Prosiding Skripsi Semester Gasal 2010/2011 SK-091304 Sintesis Dan Karakterisasi Oksida Perovskit LaCo1-xNixO3-δ Dengan Metode Kopresipitasi Ivanie Fika Yuanita*, Hamzah Fansuri, M.Si., Ph.D 1) Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Abstrak Oksida-oksida perovskit (ABO3) telah lama dikenal sebagai bahan yang dapat disubstitusi pada unsur A-nya maupun pada unsur B-nya. Mobilitas oksigen kisi pada oksida perovskit bergantung pada struktur kisinya yang dapat dimodifikasi dengan melakukan substitusi isomorfis, baik pada posisi kisi yang ditempati oleh ion A-nya maupun B-nya dengan ion-ion sejenis. Pada penelitian ini ion Co3+ pada oksida perovskit akan disubstitusi dengan Ni3+ sehingga dihasilkan oksida perovskit dengan komposisi LaCo1-xNixO3-δ, dimana x = 0≤x≤1. Oksida perovskit LaCo1-xNixO3-δ disintesis dengan metode kopresipitasi menggunakan NaOH sebagai agen pengendap. Substitusi Ni3+ akan mempengaruhi intensitas puncak perovskit pada difraktogram. Kata Kunci : perovskit, Kopresipitasi,LaCo1-xNixO3-δ
Abstract Perovskite oxides (ABO3) have been known as material which may be isomorphically substituted for either the A element or the B element. Oxygent Mobility of perovskite oxides depend on its lattice structure which may be modified by isomorphic substitution on either the A ions or B ions position with ions of a kind. In this research Co3+ on perovskite oxide substituted by Ni3+ with result LaCo1-xNixO3-δ, which x = 0≤x≤1. Perovskite oxides LaCo1-xNixO3-δ could be synthesized by coprecipitation method with NaOH as precipitant. Ni3+ substitution influence on peak intensity XRD pattern of perovskite. Keyword: Perovskite, Coprecipitation, LaCo1-xNixO3-δ 1.
Pendahuluan Bahan bakar minyak merupakan sumber energi utama dunia yang paling banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun kini, krisis bahan bakar minyak (BBM) sedang mengancam dunia seiring dengan meningkatnya penggunaan bahan bakar yang akhirnya menyebabkan defisit pada cadangan minyak yang ada di perut bumi. Telah banyak diramalkan bahwa persediaan minyak bumi sebagai bahan bakar utama akan habis pada abad ini. Maka upaya-upaya untuk mencari sumber bahan bakar alternatif perlu dikembangkan. Salah satu upaya yang dikembangkan untuk mengalihkan penggunaan bahan bakar minyak adalah dengan bahan bakar yang berbentuk gas, yaitu metana. Namun bahan bakar ini sulit didistribusikan kepada konsumen sehingga perlu dikonversikan kedalam wujud cair. Gas metana, disamping jumlahnya yang melimpah, juga dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak, karena mempunyai banyak kemiripan antara bahan bakar minyak dengan gas. Sehingga penggunaannya tidak memerlukan perubahan yang drastis dari infrastruktur yang umumnya digunakan pada penggunaan bahan bakar minyak. Proses konversi metana menjadi hidrokarbon cair dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu steam reforming, autothermal reforming, dan oksidasi parsial. Metana mempunyai potensial yang rendah serta tidak bertahan lama sehingga Prosiding Kimia FMIPA
apabila dilakukan konversi metana melalui cara steam reforming atau autothermal reforming, secara komersial akan kurang menguntungkan karena membutuhkan investasi yang mahal. Sedangkan bila mengkonversi metana dengan cara oksidasi parsial mempunyai selektifitas yang rendah, karena terjadi persaingan reaksi antara gas oksigen dengan metana menjadi metanol maupun dengan gas metanol yang baru terbentuk menjadi CO2 dan H2O. Sehingga untuk mendapatkan selektifitas yang tinggi, oksigen yang ditambahkan harus dikontrol dengan tetap. Pengontrolan oksigen dapat dilakukan dengan menggunakan membran penghantar ion oksigen. Membran ini dan seterusnya menyuplai oksigen yang sekedar cukup untuk mengkonversi metana menjadi metanol dengan menggunakan ionion oksigen pada kisi kristal material membrannya. Dengan demikian, penggunaan oksigen untuk konversi metanol harus diminimalkan sehingga peluang terjadinya reaksi oksidasi metanol labih lanjut dengan oksigen menjadi lebih rendah. Salah satu bahan yang dapat digunakan untuk memisahkan oksigen dengan laju fluks dan kemurnian tinggi adalah perovskit (kharton dkk, 1999; Ishihara dkk, 2000). Perovskit, mempunyai struktur umum ABO3 dimana A adalah logam yang berukuran besar biasanya logam tanah jarang dari deret lantanida dan B adalah logam transisi yang ukurannya lebih kecil. Oksida perovskit memiliki kestabilan yang tinggi serta dapat mengalami substitusi parsial pada kation A dan B dengan
logam lain (Leanza dkk, 2000). Sementara itu, oksigen kisi pada oksida perovskit dapat disumbangkan kepada pereaksi lain secara reversibel tanpa mengakibatkan kerusakan struktur kristalnya. Oksida perovskit berbasis LaCoO3 telah banyak diteliti karena memiliki sifat oksidasi dan reduksi yang baik, dapat menghantarkan ion oksigen, memiliki aktivitas dan selektivitas yang tinggi. Ia dapat mempertahankan integritas strukturnya saat berada dalam keadaan tereduksi dan kembali ke keadaan asalnya setelah direoksidasi. Oksida perovskit berbasis oksida Cobalt telah terbukti memiliki fluks oksigen yang tinggi (Yang dkk, 2005). Kharton (1999) membuat membran oksida perovskit LaCoO3 yang disubstitusi dengan Nikel dengan menggunakan metode Solid State. Substitusi nikel kedalam subkisi kobalt dari LaCo1xNixO3 menghasilkan konduktifitas ion oksigen yang menurun drastis yang dapat membatasi faktor alirnya. Sedangkan konduktifitas elektronik larutan padatnya semakin meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi nikel. Pada penelitian kali ini oksida perovskit LaCo1-xNixO3 (x =0-1 ; dengan interval 0,1) dibuat dengan metode kopresipitasi, dengan NaOH sebagai agen pengendapnya. Untuk mendukung hasil penelitian tersebut, produk hasil sintesis dianalisis dengan XRD sehingga didapatkan informasi tentang struktur perovskit yang terbentuk, selain itu juga dilakukan DTA/TGA untuk menentukan suhu kalsinasi. Sedangkan informasi mengenai komposisi dari perovskit yang terbentuk dilakukan analisa dengan XRF. 2. Metode Penelitian 2.1 Peralatan dan Bahan 2.1.1 Peralatan Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peralatan yang diperlukan pada preparasi bahan laboratorium seperti alat-alat gelas, pengaduk magnetik, pipet volum, pipet tetes, gelas ukur, labu ukur, botol semprot, oven, furnace, hot plate, pompa vakum, corong buchner, dan neraca analitik. Instrumen karakterisasi yang digunakan adalah DTA/TGA (Setaram Setsys-1750) di Balai Besar Keramik Bandung, Difraktometer sinar-X (XRD) (Philipps PN-1830 X-ray Diffractometer) di Riset Center ITS, Surabaya, dan X-ray Fluoresence (XRF minipal 14 PANalytical) di laboratorium Studi Energi dan Rekayasa, LPPM ITS Surabaya. 2.1.2 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah La2O3 (Merck, 99,5%), Co(NO3)2·6H2O (Merck, 99,0%), Ni(NO3)3.6H2O (Merck, 99%), HNO3 (Mallinckrodt, 68%), NaOH (Mallinckrodt, 99%), metanol (99,9%) dan aqua-demin. 2.2 Prosedur Kerja Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental di laboratorium. Langkah-langkah yang akan dilakukan di dalam penelitian ini adalah preprasi yang diikuti oleh karakterisasi oksida perovskit LaCo1-xNixO3 Prosiding Kimia FMIPA
dengan metode kopresipitasi dengan nilai x=0; 0,1 ; 0,2 ; 0,3 ; 0,4 ; 0,5 ; 0,6 ; 0,7 ; 0,8 ; 0,9 ; dan 1. 2.2.1 Preparasi Oksida Perovskit LaCo1-xNixO3-δ Oksida perovskit yang dibuat pada penelitian ini merupakan oksida perovskit berbasis LaCoO3-δ yang disubstitusi dengan Ni2+ sehingga menjadi LaCo1-xNixO3-δ. Oksida perovskit LaCo1-xNixO3-δ dibuat dengan metode kopresipitasi seperti yang dilakukan oleh Pecchi dkk (2007) dan Chi dkk (2004). Preparasi oksida perovskit LaCo1-xNixO3-δ diawali dengan pembuatan larutan nitrat dari logam-logamnya terlebih dahulu, yaitu lantanum nitrat, kobalt nitrat, dan nikel nitrat. Larutan lantanum nitrat dibuat dengan melarutkan oksida lantanum (La2O3) dengan HNO3 1 M. Oksida lantanum mula-mula ditimbang sesuai komposisi yang dikehendaki (Tabel 3.1). Selanjutnya oksida lantanum yang berupa serbuk putih ini dilarutkan dengan HNO3 1 M sebanyak ±80 mL. Kemudian larutan diaduk dengan pengaduk magnetik dengan kecepatan 350 rpm selama 30 menit sambil dipanaskan pada suhu 70˚C. Larutan yang dihasilkan berupa larutan tak berwarna (bening) dan tanpa adanya endapan sama sekali. Larutan kobalt (II) nitrat dibuat dengan melarutkan serbuk nitrat anhidratnya (Co(NO3)3.6H2O) dengan aqua demin. Aqua demin yang ditambahkan hanya beberapa tetes saja hingga serbuk nitrat anhidratnya terlarut sempurna karena sifatnya yang higroskopis (mudah larut dalam air). Larutan kobalt (II) nitrat yang diperoleh berwarna merah pekat.Larutan ketiga yang disiapkan adalah larutan nikel (II) nitrat. Larutan ini dibuat dengan cara yang sama seperti kobalt nitrat yaitu melarutkan serbuk nitrat anhidratnya (Ni(NO3)3.6H2O) dengan beberapa tetes aqua demin. Larutan nikel (II) nitrat yang diperoleh berwarna hijau. Larutan kobalt (II) nitrat yang sudah dibuat tadi kemudian ditambahkan kedalam larutan lantanum (III) nitrat sambil tetap diaduk dengan pengaduk mengnet dengan kecepatan 350 rpm. larutan yang didapat selanjutnya ditambahkan dengan larutan nikel (II) nitrat sehingga diperoleh larutan dengan komposisi yang sesuai dengan komposisi oksida perovskit LaCo1-xNixO3-δ. Larutan NaOH yang digunakan sebagai agen pengendap pada penelitian kali ini dibuat dengan cara melarutkan 4 gram pelet NaOH dengan aqua demin hingga volume 100 mL. Agen pengendap ini ditambahkan kedalam larutan prekursor hingga tidak terbentuk endapan lagi yaitu 100mL. Endapan yang terbentuk disaring dengan menggunakan corong Buchner dan menggunakan kertas saring Whatman No 40. Selanjutnya endapan yang tertinggal di kertas saring pada corong buchner dicuci dengan metanol (99,9%) hingga diperoleh filtrat dengan pH netral. Kemudian endapan pada kertas saring dikeringkan pada suhu 100˚C dengan oven selama 6-8 jam. Endapan kering (prekursor) yang terbentuk kemudian digerus untuk mendapatkan serbuk kering yang halus. Serbuk yang telah halus ini selanjutnya diubah menjadi oksida perovskit dengan cara dipanaskan pada suhu tinggi dengan
menggunakan furnace listrik. Suhu kalsinasi yang digunakan didapat dari hasil analisis DTA/TGA yang dilakukan pada endapan kering yang dihasilkan. 2.2.2 Analisis DTA/TGA Analisis DTA/TGA dilakukan untuk menentukan suhu, waktu dan metode kalsinasi dalam mengubah prekursor menjadi oksida perovskit. Prekursor yang digunakan berbentuk serbuk. Analisis dilakukan di Balai Besar Keramik Bandung, menggunakan instrumen Setaram Setsys1750. Analisis DTA/TGA dilakukan dengan kenaikan suhu 10 o/menit dalam atmosfir udara dan rentang suhu mulai dari suhu kamar hingga 1000 o C. 2.2.3 Karakterisasi Oksida LaCo1-xNixO3-δ Karakterisasi dilakukan untuk mengetahui apakah oksida perovskit LaCo1-xNixO3-δ sudah terbentuk atau tidak. Maka dari itu perlu dilakuan penentuan fasa dengan menggunakan difraksi sinar-X. Selain itu, dilakukan pula analisis komposisi unsur-unsur pembentuk oksida perovskit dengan menggunakan Fluoresensi sinar-X (XRF). 2.2.4Penentuan fasa oksida perovskit menggunakan XRD Penentuan fasa dilakukan dengan menggunakan analisis XRD. Hal ini diperlukan untuk mengetahui fasa oksida perovskit yang terbentuk dari proses sintesis. Analisis XRD dilakukan di Riset Center ITS, Surabaya dengan menggunakan difraktometer sinar-X Philipps X’pert PN-1830. Sumber sinar-X yang digunakan adalah Cu, dengan radiasi Kα1 yang dihasilkan dari sumber Cu dengan panjang gelombang (λ) 1,54056 Ǻ. Analisis difraksi dilakukan terhadap cuplikan dalam bentuk serbuk halus. Serbuk tersebut ditempatkan dalam holder berbentuk bulat dengan diameter 2,5 cm dan bervolume 22mm3. Permukaan culipkan dihaluskan dengan cara ditekan, dicetak dalam sampel holder berbentuk lingkaran tersebut. Analisis dilakukan dengan rentang sudut 2θ antara 20 hingga 60˚. 2.2.5 Komposisi Oksida Perovskit Analisis komposisi terhadap oksida perovskit yang terbentuk dilakukan dengan menggunakan analisis X-ray Fluoresence (XRF). Instrument XRF yang digunakan adalah XRF merk PANalytical tipe Minipal 4, PW 4030/45b. Analisa XRF ini dilakukan di Laboratorium Study Energi dan Rekayasa LPPM ITS, Surabaya. Cuplikan yang digunakan untuk analisa adalah serbuk hasil kalsinasi. 3.Hasil dan Diskusi 3.1 Preparasi Oksida Perovskit LaCo1-xNixO3-δ Preparasi oksida perovskit LaCo1-xNixO3-δ diawali dengan pembuatan larutan nitrat dari logam-logamnya terlebih dahulu, yaitu larutan lantanum nitrat, kobalt nitrat, dan nikel nitrat. Larutan lantanum nitrat dibuat dengan melarutkan oksida Lantanum (La2O3) dengan HNO3 1 M. Selanjutnya larutan lantanum nitrat diaduk dengan Prosiding Kimia FMIPA
pengaduk magnetik dengan kecepatan 350 rpm selama ± 30 menit sambil dipanaskan dengan suhu 70˚C yang bertujuan untuk menghomogenkan larutan dan untuk membuat larutan jenuh lantanum nitrat. Larutan lantanum nitrat yang diperoleh ditunjukkan pada Gambar 3.1.
(a)
(b)
Gambar 4.1 (a) padatan La2O3 (b) larutan Lantanum Nitrat (La(NO3)3(aq)) Reaksi yang terjadi antara oksida lantanum dengan asam nitrat adalah sebagai berikut : La2O3(s) + 4HNO3(aq) → 2La(NO3)3(aq) + 2H2O(l) Larutan Kobalt (II) Nitrat dan larutan Nikel (II) Nitrat dibuat dengan melarutkan serbuk nitrat anhidratnya dengan aqua demin. Larutan-larutan yang diperoleh ditunjukkan pada Gambar 3.2. Garam-garam kobalt nitrat dan Nikel nitrat bersifat higroskopis sehingga sangat mudah menyerap uap air yang terkandung di dalam udara yang lembab. Oleh karena itu proses penimbangannya harus dilakukan dengan cepat dan peralatan yang digunakan harus benar-benar kering. Larutan Kobalt (II) Nitrat tersebut kemudian ditambahkan ke dalam larutan Lantanum (III) nitrat sambil tetap diaduk dengan pengaduk magnet dengan kecepatan 350 rpm. Larutan yang didapat tersebut selanjutnya ditambahkan dengan larutan Nikel (II) Nitrat sehingga diperoleh larutan dengan komposisi yang sesuai dengan komposisi oksida perovskit LaCo1-xNixO3-δ.
(a)
(b)
Gambar 3.2 (a) Larutan Kobalt Nitrat (b) Larutan Nikel Nitrat. Larutan prekursor yang terbentuk ini kemudian ditambahkan dengan agen pengendap yaitu NaOH 1 M. Agen pengendap yang biasa digunakan adalah hidroksida, karbonat, dan asam oksalat, namun merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Chi dkk (2004), hidroksida dipilih sebagai agen pengendap karena mempunyai kemampuan pendispersi yang lebih tinggi dan mempunyai sifat elektrokatalitik yang lebih baik daripada karbonat dan asam oksalat. Oleh karena itu pada penelitian ini digunakan NaOH sebagai agen pengendapnya. Kemungkinan reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut : La(NO3)3.xH2O(aq) + 3NaOH → La(OH)3(s) + Na+(aq) + 3NO3-(aq) + xH2O(l) Co(NO3)3.xH2O(aq) + 2NaOH → Co(OH)2(s) + Na+(aq) + 3NO3-(aq) + xH2O(l)
Ni(NO3)3.xH2O(aq) + 2NaOH → Ni(OH)2(s) + Na+(aq) + 3NO3-(aq) + xH2O(l) Agen pengendap yang ditambahkan secara berlebih kedalam larutan ion logam nitrat hingga pengendapan berakhir, bertujuan untuk memastikan pengendapan ion logam terjadi secara sempurna dan homogen (Chi, 2004). Agen pengendap sebanyak 100 mL ini dituang kedalam campuran secara langsung bukan dengan cara ditambahkan tetes demi tetes, hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya pengendapan bertingkat, dimana Lantanum Hidroksida akan mengendap terlebih dahulu karena mempunyai Ksp yang kecil (2x10-21) dan baru diikuti oleh Kobalt (Ksp = 1,3 x 10-15) dan Nikel (Ksp = 6 x 1016 ). Pada kopresipitasi, proses pengendapan harus terjadi secara bersamaan. Spesies dengan Ksp kecil akan mengendap sekaligus membawa spesies yang mempunyai Ksp lebih besar. Larutan kemudian disaring, dicuci dengan metanol hingga pH netral, dan dikeringkan pada suhu 100˚C hingga endapan yang dihasilkan benarbenar kering (± 8 jam). Pengeringan ini bertujuan untuk menghilangkan HNO3 dan H2O yang masih ada didalam endapan (Chi, 2004). Endapan kering ini selanjutnya dihaluskan untuk memperoleh produk serbuk. Endapan serbuk ini kemudian dikalsinasi untuk membentuk oksida perovskit LaCo1-xNixO3-δ. 3.2. Penentuan Suhu Kalsinasi Suhu kalsinasi yang digunakan untuk membentuk Oksida Perovskit diperoleh dari data DTA/TGA, dengan analisa ini akan diperoleh perubahan fasa dan massa yang terjadi pada residu. Termogram DTA/TGA prekursor oksida perovskit (residu kering) dapat dilihat pada Gambar 3.3. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa pada grafik TGA, terjadi tiga kali perubahan berat. Perubahan berat pertama kali terjadi pada suhu 100˚C-240˚C yaitu ∆m1 sebesar 23%. Pada suhu ini prekursor oksida perovskit mulai terdekomposisi. Hal ini didukung dengan adanya beberapa lembah endotermis pada kurva DTA. Perubahan berat ini terjadi karena hilangnya air permukaan. Air permukaan ini sifatnya hanya melapisi permukaan luarnya saja sehingga mudah untuk dihilangkan. Banyaknya lembah-lembah endotermis pada suhu sekitar 200˚C menunjukkan terdapat air kristal dan air yang teroklusi di dalam padatan mempunyai kuat ikat yang beragam. Hal ini menunjukkan heterogenitas kristal dan morfologinya yang merupakan konsekuensi dari terdapatnya berbagai ion logam pada prekursor. Kristal-kristal tersebut tentunya juga memiliki permukaan dan morfologi yang berbeda-beda pula. Keragaman kristal dan morfologi dari prekursor tersebut kemungkinan besar dapat diketahui dengan analisis kristalografi (menggunakan difraksi sinar-X), morfologi dan mikroskopi elektron. Penurunan berat yang kedua terjadi pada suhu sekitar 250-400˚C yaitu ∆m2 sebesar 12%. Hal tersebut menunjukkan adanya proses dekomposisi molekul-molekul nitrat dan pelepasan gas-gas yang Prosiding Kimia FMIPA
lain (Merino dkk, 2005). Hal ini didukung dengan munculnya puncak kuat endotermis pada 380˚C. Perubahan termal selanjutnya terjadi antara 400-700˚C yaitu ∆m3 sebesar 4%. Diatas suhu 700˚C tidak terjadi pengurangan berat lagi sehingga dapat dikatakan bahwa proses pembentukan perovskit dimulai pada suhu ini.
Gambar 3.3 Termogram Oksida perovskit LaCoO3-δ Perubahan campuran oksida logam menjadi oksida perovskit diperkirakan terjadi pada suhu sekitar 800˚C ditandai dengan adanya puncak eksotermis. Puncak ini diperkirakan sebagai akibat dari pembentukan oksida perovskit yang bersifat eksotermis sehingga menghasilkan kurva eksotermis. Perubahan tersebut terjadi tanpa diikuti dengan peruahan berat. Ini berarti bahwa perubahan yang terjadi hanya merupakan penyusunan ulang struktur kristal dari oksida logam biasa menjadi oksida perovskit. Berdasarkan ulasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa oksida perovskit dapat terbentuk pada suhu diatas 800˚C. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan suhu yang sedikit lebih tinggi yaitu 850˚C, untuk memastikan bahwa oksida perovskit sudah terbentuk. 3.3. Karakterisasi Oksida Perovskit Berdasarkan hasil analisis DTA TGA, maka padatan prekursor oksida perovskit dikalsinasi pada suhu 850˚C. Seluruh oksida perovskit dengan komposisi yang bervariasi dikalsinasi pada suhu yang sama, yaitu 850˚C. Hal ini karena perovskit yang diteliti ini merupakan turunan dari oksida perovskit LaCoO3-δ sehingga dianggap bahwa suhu dan proses kalsinasi yang paling tepat pada pembuatan oksida perovskit LaCoO3-δ juga sesuai untuk digunakan dalam penyiapan oksida perovskit LaCo1-xNixO3-δ. Untuk meningkatkan kristalinitasnya, maka proses kalsinasi oksida perovskit ini dilakukan dalam dua tahap. Pada tahap pertama, padatan prekursor dikalsinasi selama 2 jam. Selanjutnya serbuk tersebut digerus dan dikalsinasi ulang dengan suhu yang sama selama 2 jam. Gambar 3.4 memperlihatkan perubahan warna pada serbuk prekursor sebelum dan sesudah kalsinasi. Dimana warna serbuk berubah dari hijau menjadi hitam.
(a)
(b)
Gambar 3.4 Oksida Perovskit LaCo1-xNixO3-δ (a) sebelum kalsinasi (b) sesudah kalsinasi Serbuk prekursor yang telah dikalsinasi kemudian di karakterisasi untuk mengetahui fasa yang terbentuk dan komposisi kimianya. Karakterisasi fasa dilakukan dengan menggunakan teknik difraksi sinar-X sedangkan untuk mengetahui komposisi kimia nya digunakan analisis dengan XRF. 3.3.1 Karakterisasi Fasa Oksida Perovskit Analisis difraksi sinar X dilakukan dengan panjang gelombang (λ) radiasi CuKα sebesar 1,541 pada rentan sudut 2θ antara 20-60˚. Pola difraksi sinar X ditunjukkan pada gambar 3.5. Pada gambar tersebut dapat dilihat puncak-puncak khas oksida perovskit LaCoO3-δ. Pada Gambar 3.5 tampak bahwa kerangka oksida perovskit LaCoO3-δ terbentuk tanpa menghasilkan fasa-fasa non perovskit. Begitu pula dengan LaCoO3-δ yang disubstitusi dengan Ni menjadi LaCo1-xNixO3-δ, yaitu pada variasi komposisi 0,1 ; 0,2 ; 0,3; 0,4 ; 0,9 dan 1 menunjukkan bahwa oksida perovskit terbentuk tanpa adanya fasa-fasa non perovskit. Hal ini sesuai dengan data PCPDF 25-1060. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3.6.
Gambar 3.6 Hasil Search and Match Oksida Perovskit LaCoO3-δ
Gambar 3.7 Difraktogram LaCo1-xNixO3-δ. Keterangan gambar: * = LaCoO3; + = La(OH)3 ; # = La2O3 ; ● = NiO Puncak-puncak perovskit menunjukkan intensitas yang berbeda-beda, tergantung pada jumlah substituennya. Dari gambar 3.8 dapat dilihat bahwa intensitas oksida perovskit menurun seiring bertambahnya jumlah subtituen. Hal ini dapat terjadi karena adanya perubahan pada struktur oksida perovskit. Perubahan intensitas ini tergantung pada posisi atom-atomnya dan kuat hamburnya (West, 1984).
Gambar 3.5 Difraktogram sinar-X oksida perovskit LaCo1-xNixO3-δ Namun saat substitusi Ni 0,5 hingga 0,8 menunjukkan terbentuknya fasa-fasa non perovskit yaitu La2O3, La(OH)3, La2NiO4, dan NiO (gambar 3.7). Adanya Fasa-fasa non perovskit tersebut kemungkinan dapat disebabkan karena adanya perbedaan Ksp antara La, Co, dan Ni. Harga Ksp dari La, Co, Ni berturut-turut adalah sebagai berikut 2x10-21, 1,3x10-15, 6x10-16. Dari harga Ksp tersebut dapat dilihat bahwa pada saat La mengendap maka Co dan Ni belum mulai mengendap sehingga atom La menjadi berlebih, seperti yang tampak difraktrogram sinar X pada variasi X=0,5 hingga 0,8 Prosiding Kimia FMIPA
Gambar 3.8 difraktogram sinar-X yang menunjukkan adanya pergeseran dan penurunan puncak.
Selain itu, penambahan jumlah subtituen juga mengakibatkan terjadinya pelebaran puncak. Hal ini disebabkan pergantian ion Co3+ dengan ion Ni3+. Ion Ni3+ mempunyai jari-jari ion yang lebih kecil dibandingkan dengan Co3+ yaitu sebesar 0,60 Ǻ dan 0,61Ǻ (Valderama dkk, 2009). Pergantian ion Co3+ dengan ion Ni3+ yang mempunyai jari lebih kecil ini mengakibatkan perubahan pada struktur, yang mengakibatkan perubahan ukuran partikel. Sehingga, semakin banyak ion Co3+ yang tersubstitusi menyebabkan ukuran partikel menjadi lebih kecil, sehingga terjadi pelebaran puncak difraksi (Dann, 2000). 3.3.1 Komposisi Kimia Oksida Perovskit Analisis komposisi oksida perovskit dilakukan dengan metode kering menggunakan instrumen XRF. Komposisi kimia oksida perovskit hasil sintesis ditunjukkan pada tabel 3.1 Tabel 3.1. Rasio Molar La:Co:Ni berdasarkan hasil analisis XRF Cuplikan LaCoO3-δ LaCo0,9Ni0,1O3-δ LaCo0,8Ni0,2O3-δ LaCo0,7Ni0,3O3-δ LaCo0,6Ni0,4O3-δ LaCo0,5Ni0,5O3-δ LaCo0,4Ni0,6O3-δ LaCo0,3Ni0,7O3-δ LaCo0,2Ni0,8O3-δ LaCo0,1Ni0,9O3-δ LaNiO3-δ
La 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Fraksi Mol Logam Co 0,7056 0,6845 0,5826 0,4905 0,4285 0,3686 0,2954 0,2054 0,1412 0,0742 -
Ni 0,0704 0,1405 0,2146 0,2857 0,3686 0,4318 0,4901 0,5837 0,6841 0,7072
4. Kesimpulan Oksida perovskit berbasis LaCoO3 yang disubstitusi Ni3+ (LaCo1-xNixO3-δ, dimana x= 0,0 hingga 1,0 dengan interval 0,1) dapat disintesis dengan metode kopresipitasi menggunakan larutan natrium hidroksida sebagai agen pengendap dengan suhu kalsinasi sebesar 850 oC yang didapatkan dari hasil data DTA/TGA. Hasil analisis fasa kristal oksida perovskit menunjukkan bahwa substitusi Ni3+ terhadap Co3+ pada variasi komposisi 0,1 hingga 0,4 maupun pada komposisi 0,9 dan 1 tidak menghasilkan fasa-fasa non perovskit. Fasa-fasa non perovskit muncul pada variasi komposisi 0,5; 0,6; 0,7; dan 0,8. Intensitas puncak perovskit semakin menurun seiring bertambahnya jumlah subtituent yang disebabkan karena adanya perubahan sturktur pasa kisi kristal perovskit. Pergeseran puncak difraksi terjadi karena pengaruh perbedaan jari-jari ionik antara Co3+ dengan Ni3+. Komposisi oksida perovskit berdasarkan hasil analisis XRF menyimpang dari data yang diinginkan. Ucapan terimakasih 1. Hamzah Fansuri, M.Si., Ph.D atas dukungan, bimbingan dan motivasi yang diberikan 2. Ibu dan Ayahanda atas dukungannnya dan doanya 3. Semua pihak yang mendukung yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu hingga terselesainya penelitian ini Daftar Pustaka Bialobok, B., Trawczynski, J., Mista W., and Zawadzki, M., (2007), Ethanol Combustion Over Strontium and Cerium-Doped LaCoO3 Catalysts, Applied Catalysis B: Environmental, Vol 72, hal. 395-403 Chen, C. M. (2004), Ceramic Membrane Reaktor System for System for Converting Natural Gas to Hydrogen (ITM syngas), Air Products and Chemicals, Inc
Gambar 3.9 Grafik fraksi mol logam yan diinginkan dengan fraksi mol logam yang diperoleh pada data XRF Gambar 3.9 menunjukkan bahwa data yang diperoleh menyimpang dari data yang diinginkan dimana fraksi mol logam yang dihasilkan dari data XRF lebih kecil dari fraksi mol logam yang diinginkan. Berkurangnya fraksi mol logam meningkat secara signifikan seiring dengan meningkatnya jumlah substituent. Dari gambar tersebut juga dapat dilihat bahwa data yang dihasilkan sudah presisi namun belum cukup akurat.
Prosiding Kimia FMIPA
Chi, Bo., Jian, B.L., Yong, S.H, Jin, H.D., (2004), “Effect Of Precipitant of Ni-Co Spinel Oxide by Coprecipitation Method”, Materials Letter, Vol 58, hal 1415-1418 Daintith, J., (1994), Kamus Lengkap Kimia, Erlangga, Jakarta Dann, Sandra, E., (2000), Reactions and Characterization of Solid, Royal Society of Chemistry, UK Ishihara, T., Yamada, T., Arikawa, H., Nishiguchi, H., Takita, Y., (2000), Mixed Electronic Oxide Ionic onductivity and Oxygen Permeating Property of Fe, Co, or Ni doped LaGaO3 Perovskite Oxide, Solid State Ionic Vol 135, pp. 631-636
Ismunandar, (2004), Padatan Oksida Logam; Struktur, Sintesis dan Sifat-Sifatnya, ITB Press, Bandung
Rao, C.N.R. and Gopalakhrisnan, J. ,(1997), New Direction in Solid State Chemistry, Second Edition. Cambridge University Press, pp. 28-29
Kharton, V.V., Naumovich, E. N., Kovalensky, A. V., Viskup, A. P., and Figueiredo, (1999), Mixed Electric and Ionic Conductivity o LaCoOMO3 (M=Ga, Cr, Fe, or Ni) : IV. Effect Preparation Method on Oxygen Transport in LaCoO3-δ, Solid State Ionic, Vol. 138, pp. 144-152
Rivas,M.E., Fierro,J.L.G.,Goldwasser,M.R.,GribovalConstant,A., (2008), H2 Production From CH4 Decomposition: Regeneration Capability and Performance of Nicel and Rhodium Oxide Catalysts, Jurnal of Power Sources, Vol. 184, pp. 265 – 275
Leanza, R., Rossetti, I., Fabbrini, L., Oliva, C. and Forni, L. (2000), Perovskite Catalysts for the Catalitic Flameless Combustion of Methane Preparation by Flame-hydrolysis and Characterisation by TPD-TPR-MS and EPR, Applied Ctaliysis B, Vol 28 hal. 55-64
Royer, S., Alamdari, H., Duprez D., and Kaliaguine, S., (2005), Oxygen Storage Capacity of La1-xA’xBO3 Perovskites (with A’=Sr, Ce; B=Co, Mn)Relation with Catalytic Activity in the CH4 Oxidation Reaction, Applied Catalysis B: Environmental, Vol. 58, pp. 273–288
Mahdavi, V. and Peyrovi, M. H, (2006), Synthesis of C1-C6 Alcohols over Copper/Cobalt Catalyst Investigation of the Influence of Preparative Procedures on the Activity and Selectivity of CuCo2O3/ZnO, Al2O3 Catalyst, Catalysis Communications, Vol. 7, pp.542-549.
Sibilia, J.P., (1996), Materials Characterization and Chemical Analysis, 2nd edition, Wiley-VCH, New York
Merck Chemical Database. (2004) Lanthanum (III) Oxide LAB, 112220. Merck Chemical Database. (2004) Cobalt (II) Nitrate Hexahydrate GR for Analysis, 102536. Merino, N.A., Barbero, B.P., Grange, P., and Cadús, L.E., (2005), La1-xCaxCoO3 Perovskite-Type Oxides: Preparation, Characterisation, Stability, and Catalytic Potentiality for the Total Oxidation of Propane, Journal of Catalysis, Vol. 231, pp. 232–244 Mundschau, M.V., Burk C.G., and Gribble Jr., D.A., (2008), Diesel Fuel Reforming Using Catalytic Membrane Reactors, Catalysis Today, vol. 136, pp. 190–205 Nugroho, A. dan Hendro, W., (2005), Pengembangan Metode Analisa Menggunakan Alat ICP AES Plasma 40 untuk Penentuan As dan Sb, Kimia FMIPA UnPad, Bandung Ouaguenouni, M. H-S., Benadda, A., Kiennemann, A. and Barama, A., (2009), Preparation and Catalytic Activity of Nickel-Manganese Oxide Catalysts in the Reaction of Partial Oxidation of Methane, Comptes Rendus Chimie, xx, pp. 1-9. Pecchi, G., (2007), Structural Magnetic and Catalytic Properties of Perovskit Type Mixed Oxides LaMn1-yCoyO3 (y=0; 0,1; 0,3; 0,5; 0,7; 0,9; 1), Journal of Molecular Catalysis A: Chemical, Vol 282, pp. 158-166 Perego, C., and Villa, P., (1997), Catalyst Preparation Methods, Catalysis Today, Vol. 34 Petrov, A.N., Kononchuk, O.F., Andreev, A.V. and Cherepanov, V.A., (1995), Crystal Structure, electrical and magnetic properties of La1xSrxCoO3-y, Solid State Ionic, Vol. 80, pp.189-199 Prosiding Kimia FMIPA
Tanaka, H., and Misono, M., (2001), Advance in Designing Perovskite Catalysts, Current Oppinion in Solid State and Materials Science, Vol 5, pp. 381-387 Tien-Thao, N., Zahedi-Niaki, M.H., Alamdari, H., and Kaliaguine, S., (2007), Effect of Alkali Additives Over Nanocrystalline Co-Cu Based Perovskites as Catalysts for Higher-Alcohol Synthesis, Journal of Catalysis, Vol. 245, pp. 348-357 Tsipis, E.V., Patrakeev, M.V., Kharton, V.V., Yaremchenko, A.A., Mather, G.C., Shaula, A.L., Leonidov, I.A., Kozhevnikov V.L., and Frade, J.R., (2005), Transport Properties and Thermal Expansion of Ti-substituted La1−xSrxFeO3−δ (x=0.5-0.7), Solid State Sciences, Vol. 7, pp. 355365 Valderrama, G., Kiennemann, A., Goldwasser, M, R., (2009), La-Sr-Ni-Co-O Based Perovskite-type Solid Solution as Catalyst Precursors in the CO2 Reforming of Methane, Jurnal of Power Sources xxx, pp. 7 -15 Wei, H.J., Y. Cao, W.J., and Ji C.T., (2008), Lattice Oxygen of La1-xSrxMO3 (M=Mn, Ni) and LaMnO3-δFβ Perovskite Oxides for the Partial Oxidation of Methane to Synthesis Gas, Catalysis Communications, Vol. 9, pp. 2509–2514 West, A.R., (1984), Solid State Chemistry and its Applications, John Wiley & Sons, Singapore, pp.103-104 Wold, A. and Dwight, K., (1993), Solid State Chemistry, Sintesis, Structure, and Properties of Selected Oxides and Sulfides, Chapman & Hall, Inc., New York Zeng, P., Chen, Z., Zhou, W., Gu, H., Shao Z., and Liu, S., (2007) Re-evaluation of Ba0.5Sr0.5Co0.8Fe0.2O3-δ Perovskite as Oxygen Semi-permeable Membrane, Journal of Membrane Science, Vol. 291, pp. 148-156