Prosiding Nasional Seminar dan Lokakarya Penulisan Karya Ilmiah Denpasar, 2 – 4 Nopember 2015
ISSN: 2477-1317
SINERGI PERAN ORANG TUA DALAM PENANAMAN NILAI-NILAI KARAKTER DI SEKOLAH DASAR
Titin Bilhuda Mahasiswa S2 Pendidikan Dasar Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya Abstrak Pengimplementasian pendidikan karakter merupakan fokus utama perubahan kurikulum 2013. Orang tua, sekolah dan masyarakat merupakan tiga pilar utama penentu sukses tidaknya program pendidikan karakter. Dengan ditanamkannya penndidikan karater sejak sedini mungkin, terutama pada level sekolah dasar, diharapkan akan mampu membentuk karakter generasi penerus bangsa yang unggul, berkualitas, yang tidak mengabaikan nilai-nilai moral, norma-norma sosial serta nilai-nilai kebajikan universal seperti toleransi, kebersamaan, saling membantu dan mengormati, multikulturalisme, demokrasi dan sebagainya. Pendidikan karakter di sekolah dasar diharaapkan akan mampu melahirkan pribadi unggul yang tidak hanya memiliki kemampuan kognitif semata, namun juga memiliki karakter yang mampu mewujudkan kesuksesan personal peserta didik di masa depan. Oleh karena itu sinergi antara orang tua dan sekolah dalam mensukseskan pendidikan karakter menjadi sangat penting. Pada gilirannya, pola asuh orang tua yang demokratis dan penuh kasih sayang akan sangat membantu program pendidikan karakter di sekolah. Kata Kunci: Peran Orang Tua, Nilai-Nilai Karakter, Sekolah Dasar
PENDAHULUAN Salah satu tujuan pendidikan sesungguhnya adalah sebagai upaya untuk memanusiakan manusia. Ketika manusia lahir ke dunia, sesungguhnya ia dibekali dengan berbagai potensi yang harus diaktualisasikan. Proses aktualisasi potensi secara sengaja inilah yang merupakan proses pendidikan. Proses ini berlangsung sampai seorang anak mencapai kedewasaan. Kedewasaan diri dapat ditunjukkan juga dengan kepribadian yang matang yaitu kepribadian yang menunjukkan karakter diri sebagai manusia yang baik, manusia yang mengaktualisasikan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan dalam hidupnya (Rukiyati, 2014). Pendidikan yang bertujuan untuk memanusiakan manusia berarti bahwa pendidikan bukan hanya bermanfaat untuk menjadikan seseorang pandai dalam bidang akademik, tetapi juga mendidik agar manusia memiliki karakter kemanusiaan. Karena banyak manusia yang pandai namun tidak memiliki pengendalianmoral yang baik, seperti tercermin dari banyaknya tindak korupsi, manipulasi jabatan, kriminalitas dan sebagainya. Karena itu, secara umum pendidikan memiliki dua fungsi utama yaitu mengembangkan ilmu pengetahuan dan mendisiplinkan tingkah laku agar terbentuk karakter yang baik sebagai manusia. Mengembangkan ilmu pengetahuan memiliki makna bahwa pendidikan ditujukan untuk melahirkan pengetahuan-pengetahuan serta berkembangnya teknologi baru yang bermanfaat bagi manusia, sedangkan 1
Prosiding Nasional Seminar dan Lokakarya Penulisan Karya Ilmiah Denpasar, 2 – 4 Nopember 2015
ISSN: 2477-1317
mendisiplinkan tingkah laku bermakna menanamkan nilai-nilai karakter agar perilaku seseorang sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Pendidikan karakter sangat dibutuhkan bagi bangsa Indonesia untuk menjadikan bangsa Indonesia dapat bertahan di dalam percaturan dunia global. Individu-Individu yang berkarakter akan membawa bangsa Indonesia lebih maju dan setara dengan bangsa-bangsa lain. Selain itu, dengan pendidikan karakter yang telah diberikan sejak sedini mungkin, maka dapat mengurangi tindakan-tindakan penyimpangan sosial dan angka kriminalitas yangdiakibatkan pengaruh budaya yang buruk. Maka dari itu dibutuhkan peran seluruh elemen bangsa untuk turut mengembangkan pendidikan karakter. Pendidikan karakter sangat penting dan mendesak untuk diimplementasikan pada semua level pendidikan. Hal ini karena berbagai alasan, diantaranya; (1) karakter adalah bagian esensial manusia dan karenanya harus dididikkan; (2) saat ini karakter generasi muda mengalami erosi, pudar, dan kering keberadaannya; (3) terjadi materialisasi kehidupan yang diukur dengan uang dengan menghalalkan segala cara; dan (4) karakter merupakan salah satu bagian manusia yang menentukan kelangsungan hidup dan perkembangan warga bangsa, baik Indonesia maupun dunia (Maksudin, 2013). Pendidikan karakter dipandang sangat penting karena pada kenyataan sekarang banyak sekali terjadi masalah-masalah serta tindakan penyimpangan yang disebabkan oleh pengabaian terhadap nilai-nilai dan karakter. Perubahan pada masyarakat yang diakibatkan pesatnya berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa dampak perubahan yang sangat besar dan radikal pada kehidupan masyarakat, kebudayaan, nilai-nilai dan norma sosial serta agama. Nilai-nilai yang semula dipegang teguh oleh masyarakat, kini mengalami pergeseran dan cenderung mulai ditinggalkan.Sementara itu, nilai-nilai baru yang menggantikan posisi nilai-nilai yang lama tidak selalu dilandaskanpada kepercayaan atau keyakinan masyarakat itu sendiri, sehingga menyebabkan maraknya penyimpangan sosial dikalangan masyarakat. Dengan digalakkannya pendidikan karakter sejak sedini mungkin, akan menjadi dasar dalam pembentukan karakter bangsa yang berkualitas, yang tidak mengabaikan nilai-nilai sosial seperti toleransi, kebersamaan, saling membantu dan mengormati dan sebagainya.Pendidikan karakter akan melahirkan pribadi unggul yang tidak hanya memiliki kemampuan kognitif saja namun memiliki karakter yang mampu mewujudkan kesuksesan personal. Selain upaya mendisiplinkan perilaku, pendidikan karakter sesungguhnya merupakan bagian dari pendidikan moral, sama halnya seperti pendidikan akhlak dan pendidikan agama. Masalah moral berhubungan dengan keutuhan karakter. Karakter yang utuh identik dengan seorang manusia dalam manifestasi kehidupannya terpenuhi. Memiliki kebajikan sesungguhnya tidaklah sama dengan telah tertanamnya perilaku eksklusif tertentu. Memiliki kebajikan tampak nyata dalam diri seseorang ketika dia mampu berhubungan dengan orang lain dalam lingkungan sosial pada berbagai bidang kehidupan. Kualitas moral dan kualitas sosial dalam perilaku manusia sesungguhnya dapat tercermin dari karakter manusia tersebut. Selain membentuk akhlak dan moralitas, pendidikan karakter juga bertujuan membentuk kepribadian yang baik. Orang yang memiliki kepribadian yang ungggul tercermin dengan kemampuan pengendalian diri yang baik. Pengendalian diri yang baik sesunggguhnya merupakan dasar bagi seseorang dalam meraih kesuksesan dalam kehidupannya. Orang yang memiliki kepribadian yang baik akan lebih tahan menghadapi tantangan hidup, bisa mengurangi efek negatif tekanan lingkungan, bisa 2
Prosiding Nasional Seminar dan Lokakarya Penulisan Karya Ilmiah Denpasar, 2 – 4 Nopember 2015
ISSN: 2477-1317
mengatur upaya pemuasan keinginan individu yang tidak mengganggu kenyamanan orang lain, bisa mengontrol diri untuk bekerja secara konstan demi mencapai tujuan. Harapan-Harapan Perubahan Mendasar dalam Kurikulum 2013 Perubahan mendasar pada Kurikulum 2013 terutama ditekankan pada perubahan cara pandang dalam memahami proses pembelajaran. Pendidikan karakter merupakan salah satu tujuan penting yang ingin dicapai dalam pengimplementasian kurikulum pendidikan. Dalam Kurikulum 2013, tujuan pembelajaran pada level sekolah dasar lebih besar proposisinya ditekankan untuk mencapai tujuan pencapaian pada ranah afektif, atau pembentukan sikap dan penanaman nilai-nilai kehidupan pada peserta didik. Inilah landasaan yang menyebabkan pendidikan karakter harus diberikan sedini mungkin, terutama secaraa berkualitas pada tingkat sekolah dasar. Tujuan penerapan pendidikan karakter menurut Lickona (1991) adalah untuk membentuk pengetahuan moral, merasakan dan menyikapi moral serta mmengimplementasikan moral. Karakter yang baik merupakan kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dalam pemikiran, perasaan dan tindakan. Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior. Good character consists of knowing the good, desiring the good, and doing the good-habits the mind, habits of the heart, and habits of action (Lickona, 1991). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan yang baik. Proses pendidikan karakter sudah tentu harus dipandang sebagai usaha sadar dan terencana, bukan usaha yang sifatnya terjadi secara kebetulan. Pendidikan karakter seharusnya merupakan usaha yang sungguh-sungguh untuk memahami, membentuk, memupuk nilai-nilai etika, baik untuk diri sendiri maupun untuk semua warga masyarakat atau warga negara secara keseluruhan. Tujuan penanaman nilai-nilai moral dalam pendidikan karakter tidak mungkin dicapaihanya semata-mata membiarkannya sekedar sebagai kurikulum tersembunyi yang tidak terkontrol dan terukur pencapaiannya. Pendidikan karakter selayaknya memiliki tolak ukur yang jelas, dan didukung secara nyata oleh masyarakat melalui konsensus bersama.Peniruan sistem pendidikan yang berasal dari luar, yang kurang menyentuh budaya lokal, seringkali justru tidak sesuai untuk perkembangan peserta didik pada lokalitas tertentu, terutama dalam menginternalisasi nilai-nilai budaya yang dianut masyaraakat setempat. Cara dan sistem pendidikan yang ada seringmenuai kritik dan kecaman karena diragukan efeknya bagi pembentukan karakter bangsa (Budiningsih, 2008). Pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pemangku kepentingan dalam pendidikan, baik pihak keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah dan juga masyarakat luas. Oleh karena itu, langkah awal yang perlu dilakukan adalah membangun kembali kemitraan dan jejaring pendidikan yang kelihatannya mulai terputus diantara ketiga stakeholder terdekat dalam lingkungan sekolah yaitu guru, keluarga dan masyarakat. Pembentukan kepribadian anak dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama tidak terbangun sinergi yang harmonis antar seluruh elemen penyelenggara pendidikan.Demikian pula peran keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama pada diri peserta didik merupakan pilar utama yang harus lebih diberdayakan dalam upaya mensukseskan program pendidikan karakter di sekolah.
3
Prosiding Nasional Seminar dan Lokakarya Penulisan Karya Ilmiah Denpasar, 2 – 4 Nopember 2015
ISSN: 2477-1317
Pentingnya Keterlibatan Orang Tua Dalam Pendidikan Karakter Karakter bangsa terwujud dari karakter masyarakat dan karakter masyarakat terbentuk dari karakter masing-masing anggota masyarakat bangsa tersebut. Pengembangan karakter, atau pembinaan kepribadian pada anggota masyarakat, secara teoretis maupun secara empiris, selayaknya telah dilakukan sejak usia dini hingga dewasa (Afandi, 2011). Masyarakat juga memiliki peran dalam membentuk karakter seorang anak melalui orangtua dan lingkunganya (Supriyadi, 2010). Pendidikantidak hanya ditujukan untuk membentuk insan Indonesia yang pandai, tetapi juga memiliki keperibadian atau berkarakter, sehingga nantinya lahir generasi bangsa yang tidakhanya memiliki kemampuan aspek pengetahuan yang baik, namun memiliki generasi yang berkembang dengan karakter yang bernafaskan moral yang baik, nilai-nilai luhur bangsa serta beragama. Salah satu tujuan dari pendidikan karakter adalah mendorong lahirnya anak-anak yang baik dan berkarakter unggul. Ketika seorang anak tumbuh dan berkembang dengan diikuti tumbuh dan berkembangnya karakter yang baik, maka mendorong anak tersebut tumbuh dengan kapasitas dan komitmennya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar serta memiliki tujuan hidup. Budaya yang tumbuh subur di sekitar lingkungan peserta didik, baik lingkungan sekolah maupun lingkungan rumah, menyebabkan peserta didik tumbuh dan berkembang dimulai dari budaya di lingkungan terdekat, kemudian berkembang ke lingkungan yang lebih luas yaitu budaya nasional bangsanya dan budaya universal atau budaya global. Apabila peserta didik menjadi asing terhadap budaya terdekatnya maka dia tidak mengenal dengan baik budaya bangsanya dan dirinya sebagai anggota budaya bangsa. Dalam situasi demikian maka dia sangat rentan terhadap pengaruh budaya luar dan bahkan cenderung untuk menerima budaya luar tanpa proses pertimbangan. Orang tua sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter anak. Peran orang tua bukan hanya untuk melahirkan anak saja tetapi juga membesarkan dan mendidiknya. Ibarat merawat sebuah tanaman, bukan hanya benihnya saja yang bagus, tetapi juga harus dijaga dan dirawat hingga tanaman itu berbuah. Begitu juga meski orang tuanya pintar, tetapi jika anak tidak dididik dan dirawat dengan baik, maka hasilnya akan berbuah tidak sempurna bahkan bisa rusak. Ibarat benih yang ditanam, jenis dan kualitas buahnya akan sesuai dengan benih dan kualitas perawatan. Semua hasil didikan tersebut akan berpulang kembali pada orang tuanya (Widayati,2005). Lingkungan keluarga adalah lingkungan yang pertama kali meletakkan dasar nilai-nilai baik bagi anak untuk mampu menilai dan mengetahui mana yang benar atau salah, bagus atau buruk, adil atau tidak adil, serta dosa, haram, dan halal. Di lingkungan inilah selalu terjadi interaksi yang mendalam antara peserta didik dengan orang tua. Sehingga sangat dibutuhkan peran dan tanggung jawab orang tua dan atau orang yang lebih dewasa dari anak untuk senantiasa memberikan bimbingan dan dukungan terhadap perkembangan anak, baik secara fisik, mental maupun psikologis. Para sosiolog meyakini bahwa keluarga memiliki peran penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa, sehingga mereka berteori bahwa keluarga adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat, sehingga jika keluarga-keluarga yang merupakan fondasi masyarakat lemah, maka masyarakat pun akan lemah. Oleh karena itu, para sosiolog meyakini bahwa berbagai masalah masyarakat, seperti kejahatan seksual dan kekerasan yang merajalela, serta segala macam kebobrokan moralitas di masyarakat merupakan akibat dari lemahnya peran institusi keluarga.
4
Prosiding Nasional Seminar dan Lokakarya Penulisan Karya Ilmiah Denpasar, 2 – 4 Nopember 2015
ISSN: 2477-1317
Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut resolusi Majelis Umum PBB (dalam Megawangi, 2004), fungsi utama keluarga adalah ”sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga, sejahtera”. Keluarga adalah komunitas pertama yang menjadi tempat bagi seorang anak, sejak usia dini belajar baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, benar dan salah. Dengan kata lain, di keluargalah seseorang sejak dia sadar lingkungan, belajar tata nilai atau moral. Karena tata nilai yang diyakini seseorang akan tercermin dalam karakterya, di keluargalah proses pendidikan karakter seharusnya berawal. Pertama dan utama, pendidikan di keluarga ini akan menentukan seberapa jauh seorang anak dalam prosesnya menjadi orang yang lebih dewasa memiliki komitmen terhadap nilai moral tertentu dan menentukan bagaimana dia melihat dunia sekitarnya, seperti memandang orang yang tidak sama dengan dia, berbeda status social, berbeda suku, berbeda agama, berbeda ras, berbeda latar belakang budaya. Di keluarga pula seseorang mengembangkan konsep awal mengenai keberhasilan dalam hidup ini atau pandangan engenai apa yang dimaksud dengan hidup yang berhasil dan wawasan mengenai masa depan (Raka,dkk, 2011). Posisi orang tua dan anggota keluarga dalam membentuk karakter anak akan sangat dominan. Karena lingkungan keluarga adalah tempat belajar anak yang pertama dan utama. Sebelum anak mengenal lingkungan yang lebih luas, seperti lingkungan sekolah dan masyarakat, terlebih dahulu anak mengenal keluarganya. Maka sikap, pola pikir dan perilaku anak pasti tidak jauh dari sikap, pola pikir dan perilaku keluarganya. Maka betul jika dikatakan bahwa jatuhnya buah tidak akan jauh dari pohonnya. Artinya sikap, pola pikir dan perilaku anak pasti tidak jauh dari orang tua. Sinergi Peran Orang Tua dan Sekolah dalam Menumbuhkan Karakter Anak Sekolah merupakan salah satu institusi formal yang mengemban tugas untuk menumbuhkan karakter peserta didik. Untuk dapat melaksanakan tugasnya tersebut sekolah perlu menciptakan budaya moral yang positif. Adapun metode pendidikan karakter yang paling efektif adalah dalam bentuk keteladanan. Segala tindak tanduk, perilaku, dan sikap guru pasti diamati oleh siswa, dan tidak sedikit pula yang menirunya. Untuk itu jangan sampai hal-hal yang ditiru oleh siswa adalah hal negatif. Jangan sampai pepatah “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” menjadi kenyataan. Oleh karenanya, bukan hal aneh jika guru pun hendaknya juga memperoleh pendidikan karakter. Sebelum memberikan nasehat dan teladan kepada siswa, guru harus berbenah diri terlebih dahulu. Melalui pemodelan yang diteladankan oleh orang tua dan guru, maka nilai-nilai karakter akan diinternalisasi peserta didik sehingga menjadi habit. Proses internalisasi merupakan suatu proses yang berlangsung secara terus menerus yang akan memiliki dampak masuknya sebuah nilai ke dalam diri seseorang. Nilai yang masuk melalui proses internalisasi akan mampu menjadi pedoman bagi individu dalam berperilaku.Dalam proses internalisasi ini diperlukan adanya bimbingan dan arahan baik dari guru, orang tua, masyarakat, maupun teman sebaya. Dengan demikian, banyak faktor atau komponen yang mempengaruhi berhasil tidaknya proses internalisasi.Namun
5
Prosiding Nasional Seminar dan Lokakarya Penulisan Karya Ilmiah Denpasar, 2 – 4 Nopember 2015
ISSN: 2477-1317
faktor pendorong yang utamanya tentunya adalah adalah orang tua dan guru sebagaiagen transformasi nilai-nilai yang pertama kali diterima oleh seorang anak. 1. Landasan Psikologis Peran Orang Tua Seorang anak pada usia sekolah dasar, yakni pada usia 6-12 tahun, berdasarkan teori perkembangan psikologi, menurut pandangan Sigmund Freud (dalam Fidelis, tanpa tahun) sebenarnya sedang berada pada tahap laten. Anak pada tahap ini cenderung menggunakan pola berfikir kongkrit. Anak membutuhkan pengakuan dan dukungan dari orang yang lebih dewasa, dalam hal ini orang tua, guru dan lingkungan sekitar. Dukungan inilah yang disebut scafolding. Dalam proses belajar aktif, siswa memang diharapkan mampu mengkonstruksi sendiri pengetahuan dengan memilih strategi dan sumber belajar yang tepat berdasarkan kesadaranya akan perkembangan belajarnya atau kontrol terhadap metakognisinya. Akan tetapi dalam proses mengelola proses belajar itu, sebagai seorang yang belum berpengalaman, siswa membutuhkan dukungan atau bantuan dari orang lain yang lebih dewasa atau lebih berpengalaman agar proses belajar siswa lebih terarah. Segala upaya dan cara untuk membantu siswa meningkatkan kemampuan metakognisinya inilah yang disebut sebagai scafolding. Jadi scafolding merupakan dukungan yang dibutuhkan siswa agar mampu menguasai proses belajarnya secara lebih baik. Scaffolding refers to a variety of ways that we can help students asquire increasing metacognitive control. Within all models we do this by studying students performance as learners and their development of learning strategies (Joyce, 2002). Dalam memberikan dukungan inilah letak peran pentingorang tua dalam memantapkan nilai-nilaikarakter yang diinternalisasi oleh peserta didik. Orang tua bisa membantu anak-anaknya mengembangkan potensinya melalui proses kebiasaan di rumah yang konsisten dan berkesinambungan. Anak pada usia kongkrit selalu membutuhkan pengakuan atas segala perkembangan pengetahuan dan keterampilan yang ia kuasai. Anak selalu ingin diakui jika telah mengetahui dan melakukan sesuatu dengan baik.Anak meniru orang tua atau guru yang ingin yang menjadi idolanya. Inilah yang dimaksud dengan proses imitasi. Jadi sangat penting bagi orang tua dan guru untuk bisa dekat dengan anak secara emosional dan membangun hubungan interpersonal yang kualitatif. Pada tahap ini, anak ingin mendengar bahwa dia dianggap sebagai anak yang baik dan berkarakter baik, yang nantinya akan dijadikan landasan dalam menilai karakternya sendiri atau untuk membentuk estimasi dirinya (selfestime). Anak sangat ini mendengar kalimat-kalimat penguatan dari orang tua dan gurunya seperti kalimat “Kau anak yang baik”, “Kau belajar dengan baik”, “Kau sudah mengerjakan dengan baik.”, “Kau bekerjasama dengan teman-temanmu, luar biasa!” dan seterusnya. Kalimat-kalimat penguatan positif tersebut akan menumbuhkan kepercayaan diri anak dan membentuk keinginannya untuk anak yang memiliki karakter yang baik. Melalui dorongan dan dukungan emosional seperti itu, anak tidak hanya mendapatkan kompetensi pengetahuan dan keterampilan semata, akan tetapi juga menumbuhkan rasa hargadiri, kerjasama untuk bekerjasama dengan peserta didik lain dan membangun hubungan penuh kepercayaan terhadap orang tua dan guru.
6
Prosiding Nasional Seminar dan Lokakarya Penulisan Karya Ilmiah Denpasar, 2 – 4 Nopember 2015
ISSN: 2477-1317
Berikut adalah skema pembentukan kebiasaan anak pada usia 6-12 tahun, dalam membentuk karakternya yang dikembangkan Fidelis Waruwu.
2. Dampak Pola Asuh Orang Tua Terhadap Pembentukan Karakter Anak Pola asuh yang diterapkan orang tua terhadap anak pada dasarnya sangat menentukan proses tumbuh kembang dan pembentukan karakter anak. Oleh sebab itu, pentingnya pemahaman dan keteladanan tentang nilai-nilai karakter yang baik menjadi perhatian penting dalam keluarga, selain hubungan yang harmonis antara ayah dan ibu, kesepakatan tentang cara mendidik anak dalam keseharian, serta kesepahaman tentang arah pendidikan anak menjadi kebutuhan utama dalam keluarga. Hal ini dikarenakan persoalan mendasar yang sering menimbulkan masalah dalam diri anak adalah suasana yang tidak harmonis antara ibu dan ayah yang terjadi di depan anak akan menimbulkan efek fisikologis bagi anak. Menurut Biller (dalam Santrock, 2007), sikap positif anak banyak dipengaruhi oleh memampuan kedua orang tua, dalam menjalin kerjasama, memperlihatkan penghargaan satu sama lain, berkomunikasi yang seimbang, dan kemampuan untuk memahami kebutuhan masing-masing. Berdasarkan pandangan Erikson (dalam Megawangi, 2004), kesuksesan orang tua dalam membimbing anak ketika menghadapi konflik kepribadian di usia dini, sangat menentukan kesuksesan kehidupan sosial anak di masa dewasa. Setiap perilaku orang tua dan pola asuh yang diterapkan di dalam keluarga, banyak berpengaruh dalam pembentukan kepribadian atau karakter seorang anak. Perilaku ini menyangkut bagaimana kasih sayang, sentuhan, kelekatan emosi antaraorang tua, terutama ibu, serta penanaman nilai-nilai yang dapat mempengaruhi kepribadian anak. Kedua orang tua harus terlibat, karena keterlibatan ayah dalam 7
Prosiding Nasional Seminar dan Lokakarya Penulisan Karya Ilmiah Denpasar, 2 – 4 Nopember 2015
ISSN: 2477-1317
pengasuhan dimasa kecil sampai usia remaja juga menentukan pembentukan kepribadian atau karakter anak. Keluarga yang harmonis dimana ayah dan ibu saling berinteraksi dengan kasih sayang dan selalu ada kebersamaan keluarga, akan memberikan suatu lingkungan yang kondusif bagi pembentukan karakter anak. Keberhasilan seorang anak dalam hubungan sosialnya, tergantung perlakuan orang tua dalam mengasuh anak-anaknya. Pada umumnya perlakuan tersebut diwujudkan dalam bentuk merawat, memelihara, mengajar, dan membimbing anak. Segala perlakuan orang tua yang berupa tindakan dan ucapan yang bertujuan untuk menumbuhkembangkan anak disebut sebagai pola asuh orang tua. Pola asuh orang tua ini bersifat penting sekali sebagai dasar-dasar nilai yang kompleks pada diri anak. Berdasarkan hasil beberapa penelitian, disimpulkan bahwa pola asuh demokrasi lebih ideal untuk diterapkan oleh orang tua dalam menimbulkan rasa percaya diri pada anak. Hal ini dikarenakan pola asuh demokrasi lebih memprioritaskan kepentingan anak, tetapi tidak ragu dalam mengendalikan mereka. Memberikan kebebasan yang disertai dengan arahan dan bimbingan, tidak terlalu memaksakan kehendaknya dan harapan yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak-anak mereka. Kehangatan dan keterlibatan yang diberikan oleh orang tua membuat anak lebih bersedia menerima pendidikan orang tua.
KESIMPULAN Berdasarkan paparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter sangat penting dan mendesak untuk diimplementasikan sejak sedini mungkin. Terutama pada tingkat sekolah dasar. Dalam mensukseskan program-program pendidikan karakkter di sekolah, sinergi peran dan keterlibatan orang tua sangat penting, mengingat orang tua adalah sumber imitasi yang dijadikan model dalam sosialisasi primer seorang anak sejak pertama. Oleh karena itu orang tua sangat perlu untuk menumbuhkan pola asuh demokratis di lingkungan keluarga dan memberikan perhatian serta kasih sayang yang cukup kepada anak. Dari hasil pembaahasan di atas, untuk menanamkan karakter yang unggul pada diri anak, hal-hal yang semestinya diperhatikan adalah: (1) Bagi orang tua keluarga adalah lingkungan pertama dan utama bagi seorang anak, oleh karena itu diharapkan orang tua dapat menerapkan pola asuh yang tepat dalam mendidik dan membentuk karakter anak, terutama dalam menumbuhkan rasa percaya diri anak. Pola asuh demokrasi disarankan lebih ideal dalam menimbulkan rasa percaya diri anak; (2) Bagi guru sebagai pendidik hendaknya selain berperan meningkatkan aspek pengetahuan dan keterampilan sosial siswa, diharapkan juga lebih memperhatikan aspek sikap atau karakter. Terutama upaya memperkuat rasa percaya diri anak. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan hal-hal positif, melibatkan siswa dalam pembelajaran di kelas secara demokratis, mendorong kemandirian belajar, memberikan motivasi untuk mengikuti kegiatan ekstra kurikuler sesuai dengan bakat dan minat anak. (3) Kepada pihak sekolah hendaknya menjalin kerjasama yang sinergis antara orang tua siswa dengan pihak sekolah dalam hal pendidikan anak. Bagaimana pun pihak sekolah tidak dapat sepenuhnya memperhatikan dan mendidik siswanya setiap saat. Sebagaimana diketahui bahwa anak lebih banyak berinteraksi dengan keluarganya di rumah. Bentuk kerjasama antara pihak sekolah dan 8
Prosiding Nasional Seminar dan Lokakarya Penulisan Karya Ilmiah Denpasar, 2 – 4 Nopember 2015
ISSN: 2477-1317
orang tua siswa yang dapat dilakukan seperti memfasilitasi pertemuan rutin antara pihak sekolah dengan orang tua, antar sesama orang tua siswa, dan melibatkan orang tua dalam berbagai kegi-atan tertentu yang diselenggarakan oleh pi-hak sekolah.
DAFTAR PUSTAKA Afandi, Rifki. 2011. Integrasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran IPS Sekolah Dasar. http://journal.umsida.ac.id/files/RifkiV1.1.pdf. diakses 15 Juni 2015. Budiningsih, S. Asri. (2008). Pembelajaran Moral. Jakarta: Rineka Cipta. Joyce, Bruce, Weil, Marsha dan Calhoun, Emily. (2002). Models of Teaching. Allyn and Bacon: Pearson Lickona, Thomas. (1991). Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. Bantam Books: New York Maksudin. (2013). Pendidikan Karakter Non-dikotomik (Upaya Membangun Bangsa Indonesia Seutuhnya). Jurnal Pendidikan Karakter, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. No. 2. Vo. III. Tahun 2013.Hal. 140-141. Megawangi, R. (2004). Pendidikan Karakter Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa. Jakarta: Indonesian Heritage Foundation (IHF). Raka, Gede. dkk. (2011). Pendidikan Karakter di Sekolah. Jakarta: Alex Media Komputindo Rukiyati, Y dkk. (2014). Penanaman Nilai Karakter Tanggungjawab dan Kerja Sama Terintegrasi Dalam Perkuliahan Ilmu Pendidikan. Jurnal Pendidikan Karakter, No. 2, Vol. IV, Tahun 2014 Santrock. (2007). Remaja. Gelora Aksara Pratama: Jakarta. Supriyadi, Edy. (2010). Pengembangan Pendidikan Karakter di Sekolah. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/ARTIKEL-KARAKTERSEMNASUNY-2010.pdf diakses 21 April 2015. Waruwu, Fidelis .(tanpa tahun). Makalah disampaikan pada Seminar Parenting. Anak Bertumbuh Menjadi Pembelajar yang Kreatif, Mandiri dan Bertanggungjawab. Artikel online.pdf Widayati, Ida. S. (2005). Smart Choice, Suara Hati Seorang Ibu Berbagi Pengetahuan dan Pengalaman. Jakarta: Hikmah
9