SIMULASI TRANSPORTASI CABAI KERITING SEGAR PADA KEMASAN KARDUS DAN KERANJANG PLASTIK
SANDRO PANGIDOAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Simulasi Transportasi Cabai Keriting Segar pada Kemasan Kardus dan Keranjang Plastik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Sandro Pangidoan NIM F152130336
RINGKASAN SANDRO PANGIDOAN. Simulasi Transportasi Cabai Keriting Segar pada Kemasan Kardus dan Keranjang Plastik. Dibimbing oleh SUTRISNO dan Y. ARIS PURWANTO. Cabai merah adalah salah satu komoditas pertanian yang dibutuhkan masyarakat Indonesia dan bernilai ekonomis tinggi. Cabai merah termasuk komoditas mudah rusak dan biasanya dibutuhkan dalam bentuk segar, maka cara pengemasan dan transportasi menjadi titik kritis pascapanen untuk menjaga kesegaran produk pada saat didistribusikan sampai ke tangan konsumen. Tujuan penelitian ini adalah melakukan investigasi kondisi getaran pada proses transportasi di lapangan dan melakukan simulasi transportasi di laboratorium serta menganalisis pengaruh transportasi dan pengemasan terhadap susut bobot, kekerasan, derajat warna dan kadar air cabai keriting segar. Penelitian dilaksanakan di lapangan (kebun cabai di Cibedug sampai Pasar Induk Kemang) dan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) TMB IPB. Pengemasan curah dilakukan dengan dua jenis kemasan yaitu kemasan karton (kardus) dan keranjang plastik. Data getaran yang terjadi selama transportasi di lapang direkam menggunakan Android Smartphone (Vibrometer Pro 2.4.6). Selanjutnya data tersebut digunakan sebagai acuan untuk melakukan simulasi transportasi di laboratorium. Setelah dilakukan simulasi transportasi, sampel cabai disimpan pada suhu ruang selama 2 minggu untuk melihat perubahan kualitasnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa simulasi transportasi dapat merepresentasikan transportasi langsung di lapangan dengan kondisi getaran yang sama. Susut bobot terjadi di setiap perlakuan kemasan dan transportasi meskipun hasil analisis sidik ragam menunjukkan perlakuan kemasan dan transportasi tidak berbeda nyata terhadap susut bobot cabai. Kemasan kardus menunjukkan hasil yang lebih baik dalam menekan susut bobot dibandingkan keranjang plastik. Kekerasan pada cabai keriting segar mengalami penurunan setelah transportasi, akan tetapi analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis kemasan dan transportasi tidak berbeda nyata terhadap kekerasan cabai. Penurunan kekerasan tampak jelas setelah dilakukan penyimpanan setelah transportasi pada suhu ruang. Derajat warna (nilai L,a,b) mengalami perubahan setelah transportasi, akan tetapi dari analisis sidik ragam hanya derajat warna b yang berbeda nyata terhadap perlakuan transportasi. Penurunan kadar air berkorelasi dengan susut bobot yang terjadi akibat transportasi dan lebih tampak lagi setelah dilakukan penyimpanan. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perubahan susut bobot, kekerasan, warna dan kadar air tidak dipengaruhi oleh transportasi.
Kata kunci : cabai merah, pascapanen, pengemasan, simulasi transportasi, getaran
SUMMARY SANDRO PANGIDOAN. Transportation simulation for Fresh Curly Chili on Cardboard and Plastic Crate Packaging. Supervised by SUTRISNO and Y. ARIS PURWANTO. Chili is the one of agricultural commodity which is daily needed by Indonesian people and therefore has high economic value. Chili is perishable product and almost consumed as fresh product. For that reason, packaging and transportation become a postharvest critical point in order to maintain the freshness during from farmer to consumer. The objective of this study were to investigate vibration in transportation, transport simulation with bulk packaging for fresh chili and to evaluate the effect of transportation and packaging on weight losses, firmness, colour and water content of fresh chili. This study was conducted in real transportation mode (Cibedug Farm – Kemang Market) and in the laboratory (IPB). Bulk packaging transportation was performed in cardboard box and plastic crate. Vibration data during transportation was recorded using Android Smartphone (Vibrometer Pro 2.4.6). Recorded vibration was used to different packagings i.e cardboard box and plastic crate as data for transport simulation in the laboratory. After transportation simulation, chili was stored in room temperature for 2 weeks to observe its quality changes. The result shows that transportation simulation could represent real transportation mode with the same vibrate condition. Weight losses were occured in every packaging and transportation treatments although statistical analysis showed that it was not significant. Cardboard box shows better result than plastic crate in maintaining weight losses. Firmness of fresh curly chili decreased in each packagings and doing transportation. However, statistical analysis shows it’s not significant. The decreases in firmness were observed clearly after stored in room temperature. Color value (L, a, b value) changed after transportation but from the statistical analysis, only b color value was significant for transportation treatment. The decreases in water content have correlation with weight losses and this phenomenon was observed more clearly after 14 days. It was concluded that the change in weight losses, firmness, color and water content was not found clearly after transportation process. Keywords: Red chili, postharvest, packaging, transportation simulation, vibration
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
SIMULASI TRANSPORTASI CABAI KERITING SEGAR DENGAN KEMASAN KARDUS DAN KERANJANG PLASTIK
SANDRO PANGIDOAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Pascapanen
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr Ir M Solahudin MSi
Judul Tesis : Simulasi Transportasi Cabai Keriting Segar pada Kemasan Kardus dan Keranjang Plastik Nama : Sandro Pangidoan NIM : F152130336
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr Ketua
Dr Ir Y Aris Purwanto, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Teknologi Pascapanen
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 25 Agustus 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah tentang transportasi dan pengemasan, dengan judul Simulasi Transportasi Cabai Keriting Segar pada Kemasan Kardus dan Keranjang Plastik. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr dan Bapak Dr Ir Y Aris Purwanto, MSc selaku pembimbing I dan II dalam bimbingannya selama ini serta bantuan dana penelitian yang diberikan untuk mengerjakan penelitian ini sampai selesai. Terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. M. Solahudin, M.Si sebagai dosen penguji atas saran dan koreksi yang diberikan. Terima kasih pula untuk Pak Sulyaden dan Mas Abas atas bantuannya di Lab selama penelitian. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis, Bajongga B. Siahaan, SE MM dan Ritha Siagian, saudarasaudaraku, William Siahaan SE, Gabe Siahaan ST dan Nakkok Siahaan. Terima kasih juga saya sampaikan untuk teman-teman seperjuangan Program Fast track TMB IPB, TPP 2012 dan TPP 2013 semuanya atas kerjasamanya selama perkuliahan dan penelitian ini. Terima kasih untuk Mongkus atas kerjasamanya selama ini. Terima kasih untuk Debora Dian S. atas semangat dan perhatiannya. Semua ucapan ini layak untuk saudara-saudara terima atas bantuannya selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014 Sandro Pangidoan
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Pascapanen cabai merah segar
3 3
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Alat Prosedur Penelitian Pengemasan Cabai Keriting Segar Pengamatan Rancangan Percobaan
4 4 5 5 6 7 8 10
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Getaran Selama Transportasi Hubungan antara MMI dengan Frekuensi dan Amplitudo Suhu dan RH Transportasi Perubahan Mutu Produk Susut bobot
11 11 13 16 17 17
Perubahan Kekerasan
19
Perubahan Warna
21
Kadar Air
25
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
28 28 28
DAFTAR PUSTAKA
28
LAMPIRAN
31
RIWAYAT HIDUP
35
DAFTAR TABEL 1 Perkembangan produksi cabai besar (ton) 2009-2011 2 Persyaratan mutu cabai merah segar
1 2
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Cabai merah keriting segar di kebun Kemasan yang digunakan untuk penelitian Diagram alir penelitian Pengemasan cabai merah segar Penimbangan dengan menggunakan timbangan Camry 30 kg Pengukuran kekerasan cabai merah keriting Data getaran selama transportasi langsung di lapangan Getaran simulasi transportasi di laboratorium Hubungan amplitudo dengan MMI pada f = 3.2 Hz Hubungan amplitudo dengan MMI pada f = 4 Hz Hubungan frekuensi dengan MMI pada A = 3 cm Hubungan frekuensi dengan MMI pada A = 3.5 cm Hubungan frekuensi dengan MMI pada A = 4 cm Suhu dan RH selama transportasi langsung Suhu dan RH selama simulasi transportasi Susut bobot cabai keriting segar Susut bobot cabai setelah penyimpanan Perubahan kekerasan setelah penyimpanan Perubahan derajat warna L setelah penyimpanan Perubahan derajat warna a setelah penyimpanan Perubahan derajat warna b setelah penyimpanan Perubahan derajat kromatis (C*) setelah penyimpanan Perubahan derajat hue setelah penyimpanan Perubahan kadar air cabai setelah penyimpanan Model regresi susut bobot dan kadar air
5 6 7 8 9 9 11 12 14 14 15 15 15 16 17 19 19 21 22 23 24 24 25 26 27
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Analisis sidik ragam susut bobot cabai keriting segar Uji DMRT susut bobot cabai keriting segar Analisis sidik ragam kekerasan cabai keriting segar Uji DMRT kekerasan cabai keriting segar Analisis sidik derajat warna L cabai keriting segar Uji DMRT derajat warna L cabai keriting segar Analisis sidik ragam derajat warna a cabai keriting segar Uji DMRT derajat warna a cabai keriting segar Analisis sidik derajat warna b cabai keriting segar Uji DMRT derajat warna b cabai keriting segar Analisis sidik ragam kadar air cabai keriting segar Uji DMRT kadar air cabai keriting segar Alat - alat yang digunakan pada penelitian ini
31 31 31 31 32 32 32 32 32 33 33 33 33
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Cabai merah (Capsicum annuum L.) termasuk salah satu komoditas sayuran yang mempunyai nilai ekonomis tinggi sehingga cukup luas diusahakan oleh petani. Manfaat dan kegunaan cabai tidak dapat digantikan dengan komoditas lainnya, sehingga konsumen akan tetap membutuhkannya. Dengan melihat potensi dan peluang pasar cabai di Indonesia, maka komoditas ini dapat dijadikan salah satu komoditas unggulan hortikultura Indonesia. Untuk mewujudkannya perlu diusahakan budidaya dengan anjuran teknologi yang tepat agar didapatkan kualitas dan mutu hasil sesuai dengan standar mutu (SNI 01-4480-1998). Perkembangan produktivitas cabai pada tahun 2012 – 2013 di 5 provinsi dengan produksi tertinggi di Indonesia serta total produksi di Indonesia disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Perkembangan produktivitas cabai 2012-2013 (BPS 2013) 2012 Provinsi Sumatera Utara Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Indonesia
Luas panen (Ha)
2013
Produksi
Produktivitas
(Ton)
(Ton/Ha)
22129
245773
22927 38895 63185 242366
291907 215129 343714 1656615
11.11
Luas panen (Ha)
Produksi Produktivitas (Ton)
(Ton/Ha)
21254
198879
9.36
12.73 26256 5.53 39022 5.44 64114 6.84 249232
374669 230398 329177 1726382
14.27 5.90 5.13 6.93
Cabai merah adalah produk yang mudah rusak dan biasanya dibutuhkan dalam bentuk segar sehingga pengemasan dan transportasi menjadi titik kritis pascapanen untuk menjaga kesegaran produk saat didistribusikan sampai ke konsumen. Jarak antara sentra produksi cabai dengan pasar yang tidak dekat sehingga potensial menimbulkan kerusakan. Oleh karena itu, transportasi yang tepat menjadi hal yang harus diperhatikan dengan seksama (Pangidoan et al. 2013). Menurut SNI 1998, untuk dipasarkan di pasar lokal cabai merah segar dikemas dalam karung plastik dengan berat isi berkisar antara 25-40 kg. Cabai juga dikemas menggunakan karton yang diberi lubang ventilasi yang disesuaikan dengan permintaan konsumen apabila dipasarkan ke tempat yang jauh. Pengemasan yang terjadi di lapangan menggunakan karung bekas dan pengisiannya ditekan sehingga cabai patah ketika dikeluarkan, ini mempengaruhi kualitas cabai yang akan dipasarkan (Pangidoan et al. 2013). Persyaratan mutu cabai merah segar menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) disajikan pada Tabel 2.
2 Tabel 2 Persyaratan mutu cabai merah segar Persyaratan Jenis Uji Satuan Mutu I Mutu II 1. Keseragaman warna % Merah ≥ 95 Merah ≥ 95 Seragam Seragam 2. Keseragaman bentuk % (98) (96) 3. Keseragaman ukuran % 98 normal 96 normal a. Cabai merah besar segar Panjang buah cm 12-14 11-13 Garis tengah pangkal cm 1.5-1.7 1.3-1.5 b. Cabai merah keriting Panjang buah cm 12-17 10-11 Garis tengah pangkal cm 1.3-1.5 1.0-1.3 4. Kadar kotoran Cabai merah besar segar % 0 1 Cabai merah keriting % 0 1
Mutu III Merah ≥ 95 Seragam (95) 95 normal <9 < 1.3 < 10 < 1.0 2 2
Sumber : SNI No. 01-4480-1998
Produk segar biasanya diangkut menggunakan moda transportasi darat yaitu dari petani ke konsumen, yang harus diperhatikan bahwa produk segar tetap dalam kualitas terbaik dan dipertahankan kondisinya selama transportasi (Sirivatanapa 2006). Perlakuan yang kurang sempurna selama pengangkutan dapat mengakibatkan jumlah kerusakan yang dialami oleh komoditas buah-buahan segar saat sampai di tempat tujuan mencapai kurang lebih 30-50% (Soedibyo 1992). Menurut Siswadi (2007) penanganan pascapanen produk hortikultura di Indonesia belum mendapat perhatian yang cukup, ini terlihat dari kerusakan pascapanen yang masih besar yakni antara 25-28%. Rahman et al. (2012) menyatakan kehilangan hasil pascapanen produk rempah (spices) pada negara berkembang mencapai 20-50%, sedangkan pada negara maju 5-25%. Kualitas buah dan sayuran dapat menurun selama transportasi karena terjadinya kerusakan fisik dan biologis yang disebabkan oleh getaran (Jung et al. 2012). Beberapa peneliti menyatakan 25% produk segar hilang setelah panen, terutama selama pemanenan atau transportasi dari lapangan ke pasar jika tidak dilakukan pengemasan dengan baik (Techawongstien 2006). Guncangan yang terjadi selama pengangkutan di jalan raya dapat mengakibatkan kememaran, susut bobot dan memperpendek masa simpan (Purwadaria 1992). Besar kecilnya kememaran selama pengangkutan tergantung pada frekuensi, amplitudo dan lamanya getaran, amplitudo getaran dasar peti, ketinggian buah dalam wadah, dan sifat-sifat buahnya (Pantastico 1989). Alat simulasi transportasi dirancang untuk memperoleh gambaran tentang kerusakan mekanis yang diterima produk hortikultura apabila terkena guncangan. Produk hortikultura mudah sekali rusak setelah dipanen, kerusakan ini dapat dipercepat dengan adanya luka dan memar setelah mengalami pengangkutan dari kebun ke tempat pemasaran (Purwadaria 1992). Komponen pada kendaraan yang memiliki pengaruh yang terbesar adalah getaran secara vertikal (Vursavus dan Ozguven 2004), sebelumnya ini juga dinyatakan Soedibyo (1992) bahwa guncangan yang dominan pada simulasi tranportasi dengan truk adalah guncangan
3 vertikal. Penelitian tentang kerusakan pada produk yang disebabkan oleh getaran transportasi telah dilakukan pada buah persik (Choi et al. 2010), apel (Vursavus dan Ozguven 2004), alpukat (Fauzia et al. 2013), semangka (Shahbazi et al. 2010) dan buah pir (Berardinelli et al. 2005; Kim et al. 2010). Penelitian simulasi transportasi di Indonesia pada umumnya menggunakan data sekunder dari BPPT tentang kondisi jalan untuk transportasi yang mengakibatkan guncangan pada truk. Pendekatan tersebut dilakukan untuk menyederhanakan kondisi yang kompleks yang terjadi selama transportasi, dimana sebagai contoh transportasi selama 8 jam dapat diwakili dengan simulasi transportasi selama 4 jam dengan kondisi getaran tertentu. Kekurangan dari pendekatan tersebut diketahui bahwa akan terdapat perbedaan kualitas produk apabila dilakukan transportasi selama 8 jam dan simulasi transportasi selama 4 jam. Penyederhanaan tersebut diketahui tidak dapat mewakili secara menyeluruh transportasi yang terjadi sehingga diperlukan pendekatan secara langsung. Penelitian ini mencoba memberikan cara pendekatan baru dengan melakukan investigasi secara langsung kondisi getaran pada proses transportasi kemudian menyelaraskan dengan simulasi transportasi agar diperoleh kondisi yang lebih mendekati kejadian sebenarnya. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengamati kondisi getaran pada proses transportasi di lapang, melakukan simulasi transportasi berdasarkan data transportasi di lapang dan menganalisis pengaruh transportasi dan pengemasan terhadap susut bobot, kekerasan, derajat warna dan kadar air cabai keriting segar. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah menjadi acuan untuk melakukan simulasi transportasi dengan melihat dan menggunakan data transportasi di lapang dan memberi informasi tentang kemasan yang baik untuk mengangkut cabai dari kebun cabai sampai ke pasar.
2 TINJAUAN PUSTAKA Pascapanen cabai merah segar Penanganan pascapanen pada cabai merah meliputi panen, sortasi, pengkelasan mutu (grading), pengemasan, transportasi dan penyimpanan. Tujuan utama dari penanganan pascapanen adalah mengurangi kehilangan dan kerusakan produk, dimana besarnya kehilangan produk sangat bervariasi tergantung pada komoditas dan tempat produksinya (Nurdjannah 2014). Rahman et al. (2012) menyatakan bahwa kehilangan pascapanen produk rempah (spices) pada negara berkembang mencapai 20-50%, sedangkan pada negara yang maju mencapai 525%. Penyebab utama susut pascapanen adalah kurang tepatnya penanganan pascapanen, transportasi, pengemasan dan fasilitas penyimpanan yang minim (Nurdjannah 2014).
4 Pelaku penanganan dan konsumen memberikan peranan penting dalam menjaga kualitas cabai seperti warna, kesegaran dan tekstur selama proses penanganan dan penyimpanan (Sigge et al. 2001). Utama (2001) menyatakan penanganan pascapanen harus dilakukan secara hati-hati untuk memperoleh buahbuahan segar dan mempunyai kualitas yang tinggi. Penanganan yang kasar dapat mempengaruhi kualitas produk baik secara morfologis (panjang, diameter, volume dan bobot), mekanis (ketahanan produk terhadap benturan dan goresan) dan fisiologis. Keberhasilan dari penanganan pascapanen memerlukan koordinasi dan integrasi yang tepat dari seluruh tahapan pascapanen yaitu dari operasi panen sampai ke konsumen untuk mempertahankan mutu produk. Penanganan pascapanen cabai yang tidak tepat dapat mengakibatkan susut dari produk segar tersebut, dimana Purwanto et al. (2012) menyatakan bahwa kehilangan pascapanen produk cabai di Jawa Barat mulai dari tahapan panen, sortasi, transportasi dan penyimpanan mencapai 20.2% sampai 22.6%. Penyimpanan pada produk segar dilakukan tidak untuk meningkatkan mutu dari produk tersebut akan tetapi hanya mempertahankan mutunya saja. Suhu optimal dalam penyimpanan cabai adalah 7-10°C dengan RH 90-95% (Jansasithorn et al. 2010; Walker 2010), 5-10°C (Thompson 2002) dan 7-13°C (Gonzalez-Aguilar 2013). Penyimpanan di atas suhu 13°C akan mengakibatkan kerusakan yang cepat dan terinfeksi bakteri busuk lunak selama penyimpanan (Gonzalez-Aguilar 2013). Chilling injury pada cabai merah (Capsicum Annum L.) terjadi pada penyimpanan di bawah suhu 7°C (45°F) (Gonzalez-Aguilar 2013). Pengemasan dilakukan untuk mempertahankan mutu dari produk bukan memperbaiki mutu produk. Beberapa jenis kemasan transportasi digunakan dalam proses penanganan pascapanen cabai, jenis kemasan tersebut berupa karton bergelombang, karung plastik (polietilen), dan kantung plastik untuk kemasan retail (Walker 2010). Krat plastik memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap luka fisik dari wadah lain karena permukaannya yang halus dan penanganannya yang mudah (Antonio 2013). Jenis kemasan transportasi yang digunakan di Bangladesh untuk mengangkut cabai hijau adalah karung goni dan kardus karton besar (Rahman et al. 2012). Kemasan yang digunakan di Indonesia untuk cabai adalah karung plastik, jala/jaring plastik dan kardus daur ulang dengan kapasitas 30-60 kg (Purwanto et al. 2012). Penelitian kemasan cabai yang telah dipublikasikan lebih banyak menggunakan kemasan plastik dengan kapasitas 250-500 gram. Jenis plastik yang telah diteliti adalah polietilen (PE) (Rahman et al. 2012), polietilen berdensitas rendah (LDPE) (Manolopoulou et al. 2010), PVC (Taksinamanee et al. 2006; Manolopoulou et al. 2010) dan polipropilen (PP) (Rahman et al. 2012). Menurut penelitian-penelitian tersebut, jenis plastik polietilen lebih baik dalam menjaga kualitas cabai (Capsicum annuum L.) dibandingkan jenis plastik LDPE dan PVC.
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan April sampai Juni 2014 di kebun cabai di Cibedug, Bogor sampai Pasar Induk Kemang, Bogor untuk transportasi di lapang
5 dan di laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Institut Pertanian Bogor untuk simulasi transportasi. Bahan Bahan baku utama yang digunakan adalah cabai merah keriting segar yang berasal dari Cibedug, Bogor dan Desa Cangkurawok, Dramaga dengan tingkat kematangan 100% yaitu 90 HST (hari setelah tanam). Cabai diambil langsung setelah dipanen dan disortasi berdasarkan keseragaman bentuk, ukuran dan warna. Cabai yang telah disortasi kemudian dikemas dan dibawa menuju Pasar Induk Sayuran Bogor, Pasar Kemang. Cabai yang dibawa untuk percobaan di laboratorium berasal dari Desa Cangkurawok yang dekat dengan laboratorium agar diperoleh cabai dengan kualitas baik tanpa adanya kerusakan karena pengangkutan dari lahan. Gambar 1 menunjukkan cabai merah segar di kebun setelah proses panen dan akan dilakukan sortasi.
Gambar 1 Cabai merah keriting segar di kebun Alat Peralatan yang digunakan terdiri atas mobil pick up dengan bak terbuka untuk pengangkutan di lapang, meja simulator getar, stopwatch, timbangan Camry ACS-30-JC-33 kapasitas 30 kg, oven, timbangan digital, dan desikator, Rheometer tipe CR-300DX, Chromameter, dan Hobo Data Logger. Untuk mengukur getaran yang diperoleh di lapangan digunakan dua buah Android Smartphone Samsung GT I8262 dengan aplikasi Vibrometer Pro Version 2.4.6 secara vertikal dan horizontal. Peralatan-peralatan yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Lampiran 13. Penelitian menggunakan dua jenis kemasan yaitu plastic crate (keranjang plastik) dan kemasan karton (kardus) untuk pengemasan curahnya. Spesifikasi dari kemasannya adalah sebagai berikut. Kemasan karton single flute memiliki ukuran 42 cm x 33 cm x 25 cm dengan kapasitas 8 kg cabai. Keranjang plastik berventilasi yang digunakan adalah keranjang yang memiliki kapasitas 8 kg dengan ukuran 49 cm x 39 cm pada lapisan atas dan 41 cm x 30 cm pada lapisan bawah dengan tinggi 21 cm. Dua jenis kemasan tersebut yaitu keranjang plastik dan kardus disajikan pada Gambar 2.
6
(a) (b) Gambar 2 (a) keranjang Plastik ; (b) kemasan kardus Prosedur Penelitian Cabai keriting segar yang telah dipanen disortasi untuk memperoleh cabai keriting segar yang seragam. Sampel cabai diambil untuk dilakukan pengukuran kadar air, warna dan kekerasan sebagai kontrol sebelum melakukan transportasi. Cabai dimasukkan ke dalam setiap kemasan (kemasan karton dan keranjang plastik) dengan bobot setiap kemasan 8 kg, kemudian ditutup menggunakan perekat agar saat transportasi cabai tidak tercecer keluar. Setiap kemasan ditimbang untuk mengetahui berat awal dari cabai yang telah dikemas, selanjutnya kemasan diletakkan di mobil pengangkut (pick up). Alat pengukur getaran berbasis android dipasang pada kemasan pada 2 posisi, vertikal dan horizontal. Alat pengukur suhu dan kelembaban juga dipasang pada kemasan untuk mendapatkan sebaran suhu selama proses transportasi. Setelah proses transportasi selesai, kemasan akan kembali ditimbang untuk mengetahui susut bobot yang terjadi setelah proses transportasi. Data transportasi melalui aplikasi android (vibrometer) direkam selama perjalanan transportasi, data tersebut menjadi acuan untuk melakukan simulasi transportasi di laboratorium. Data suhu dan RH diukur untuk mengetahui kondisi lingkungan selama transportasi berlangsung. Setelah transportasi, dilakukan sampling untuk pengukuran kekerasan, kadar air dan warna di laboratorium. Simulasi transportasi dilakukan di atas simulator getar berdasarkan data getaran selama transportasi di lapang. Data kondisi getaran di lapang disederhanakan menjadi grafik blok getaran sehingga dapat diterapkan pada simulasi transportasi. Proses panen, sortasi, pengambilan sampel, dan pengemasan dilakukan sama seperti transportasi di lapang. Kemasan ditimbang untuk mengetahui berat awal cabai yang akan diangkut kemudian kemasan diletakkan ke alat simulator getar. Alat pengukur suhu dan pengukur getaran juga dipasang selama simulasi berlangsung. Setelah simulasi selesai, kemasan ditimbang untuk mengetahui susut bobot yang terjadi setelah simulasi transportasi. Selanjutnya dilakukan pengujian pada sampel cabai yang sudah ditentukan secara acak untuk mengukur kekerasan, kadar air dan warna dari cabai tersebut. Setelah cabai mengalami simulasi transportasi, cabai disimpan dalam kemasan transportasinya selama 2 minggu untuk melihat perubahan kualitas cabai segar setelah mengalami transportasi dan penyimpanan pada suhu ruang. Perubahan kualitas produk diukur pada hari ke-3, ke-7, ke-10, dan ke-14 setelah dilakukan simulasi transportasi. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 3.
7
Gambar 3 Diagram alir penelitian Pengemasan Cabai Keriting Segar Pengemasan cabai segar dalam penelitian ini dilakukan dengan dua kemasan yaitu kemasan karton (kardus) dan keranjang plastik. Pemilihan kemasan karton dan keranjang plastik bermaksud untuk mempertahankan kualitas cabai segar selama transportasi yang cukup jauh. Petani cabai di Indonesia biasanya menggunakan karung bekas untuk mengemas cabai untuk dibawa ke pasar, hal ini menyebabkan susut bobot dan kerusakan yang cukup besar setelah proses transportasi. Hal tersebut dapat ditanggulangi dengan menggantikannya dengan kemasan lain yang lebih kuat dan menjaga agar kualitasnya terjaga. Penggunaan kemasan kardus biasanya dilakukan untuk kemasan ekspor sehingga kualitasnya dapat terjaga, sedangkan penggunaan keranjang plastik untuk pengemasan cabai
8 dapat dikatakan masih baru karena belum ada petani di Indonesia yang menggunakan kemasan tersebut untuk transportasi cabai segar. Penyusunan cabai dalam kemasan dalam penelitian ini dilakukan dengan teratur, hal ini diharapkan dapat mengurangi jumlah kerusakan yang terjadi selama transportasi. Kejadian pengemasan yang ada di lahan, penyusunan dilakukan dengan tidak teratur dan ditekan agar mampu memuat banyak cabai yang diinginkan petani yang mengakibatkan kerusakan banyak terjadi. Penelitian ini menggunakan kemasan dengan kapasitas 8 kg untuk keranjang plastik dan kemasan kardus. Gambar 4 pada bagian kiri menunjukkan pengemasan yang terjadi di lahan petani dan pada bagian kanan menunjukkan pengemasan yang dilakukan untuk penelitian ini.
Gambar 4 Pengemasan cabai merah segar Pengamatan 1.
Susut Bobot Susut bobot diukur dengan menggunakan timbangan digital Camry ACS-30JC-33 dengan kapasitas 30 kg dan ketelitian 2 gram. Pengukuran dilakukan pada awal setelah cabai keriting segar dikemas dalam kemasan dan setelah transportasi. Persamaan yang digunakan untuk mengukur susut bobot tersebut adalah sebagai berikut. …………………………………………………(1) Dimana : a = berat bahan pada awal simulasi (kg) b = berat bahan setelah simulasi (kg) Gambar 5 menunjukkan proses pengukuran bobot dengan timbangan Camry yang dilakukan pada kemasan keranjang plastik dan kemasan kardus setelah proses pengemasan.
9
Gambar 5 Contoh penimbangan dengan menggunakan timbangan Camry 30 kg 2.
Perubahan Kekerasan Uji kekerasan diukur berdasarkan tingkat ketahanan cabai terhadap jarum penusuk dari Rheometer CR-300 DX. Uji kekerasan dilakukan pada tiga titik yang berbeda, yaitu pada bagian pangkal ujung dekat tangkai, tengah dan ujung dari cabai dengan 3 sampel sebelum transportasi, 3 sampel pada masing-masing kemasan setelah transportasi (keranjang plastik dan kardus). Gambar 6 menunjukkan proses pengukuran kekerasan cabai merah keriting. Berikut ini adalah pengaturan awal untuk penggunaan Rheometer untuk cabai pada penelitian ini : Jarum penekan = 2.5 mm Mode 20 Max. 2 kg R/H hold = 6.0 mm P/T press = 30 mm/m Rheometer CR-300 DX
Gambar 6 Pengukuran kekerasan cabai merah keriting 3.
Perubahan Warna Nilai warna diperoleh dengan menggunakan alat Chromameter dimana nilai L mengidentifikasikan tingkat kecerahan, nilai a mengidentifikasikan tingkatan warna hijau hingga merah sedangkan nilai b mengidentifikasikan tingkatan warna biru hingga kuning. Pengukuran warna dilakukan dengan meletakkan chromameter pada permukaan cabai merah segar yang telah diiris melebar dan diposisikan agar cahaya chromameter mengenai bagian kulit cabai keriting segar. Menurut Sutrisno et al. (2009) tingkat kecerahan (nilai L) mempunyai niai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih), tingkat kehijauan (nilai a*) dimana nilai positif (+) menyatakan warna merah, nilai 0 menyatakan warna abu-abu dan nilai negatif (-) menyatakan warna hijau. Tingkat kekuningan (nilai b*), dimana nilai positif (+) menyatakan warna kuning, nilai 0 menyatakan warna abu-abu dan nilai negatif (-) menyatakan nilai biru. Hasil pengukuran nilai a dan b dikonversi ke dalam satuan
10 kromatis C* dan derajat hue (°hue). Nilai C menunjukkan intensitas suatu warna sedangkan nilai °hue menunjukkan warna dominan dalam campuran beberapa warna. Untuk memperoleh nilai C* dan °hue digunakan rumus sebagai berikut : ⁄ √ 4.
Kadar Air Cabai ditimbang sebanyak 5 gram dalam cawan dengan lapisan aluminium foil yang telah diketahui berat kosongnya. Bahan dikeringkan dalam oven dengan suhu 105°C selama 4 jam lalu didinginkan dalam desikator 15 menit lalu ditimbang, selanjutnya cawan dipanaskan lagi didalam oven selama 30 menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perlakuan tersebut diulang sampai diperoleh berat yang konstan. Pengurangan berat merupakan banyaknya air yang diuapkan dari bahan dengan perhitungan sebagai berikut (AOAC 1984): (
)
……………………………….(2)
Rancangan Percobaan Penelitian ini dilakukan dengan mengamati susut bobot, tingkat kekerasan, warna, dan kadar air pada cabai merah keriting segar dengan menggunakan kemasan karton dan keranjang plastik. Penelitian ini menggunakan Rancangan Percobaan RAL Faktorial dengan dua faktor perlakuan yaitu kemasan dan transportasi (di lapang dan di laboratorium). Perlakuan yang diterapkan adalah : A = Jenis kemasan yang digunakan A1 = Kemasan karton A2 = Kemasan keranjang plastik B = Transportasi B1 = Transportasi di lapang B2 = Simulasi transportasi di laboratorium Model umum dari rancangan percobaan ini adalah : Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + Cijk ………………………………………………...(3) Dimana : Yijk = Pengamatan pada perlakuan A ke-i dan B ke-j pada ulangan ke-k µ = Rataan umum Ai = Perlakuan A ke-i Bj = Perlakuan B ke-j (AB)ij = Interaksi A ke-i dan B ke-j Cijk = Pengaruh acak dari perlakuan A ke-i, B ke-j pada ulangan ke-k yang menyebar normal i = 1, 2 (jenis kemasan) j = 1, 2 (lama penggetaran) k = 1, 2 (percobaan)
Uji statistik diawali dengan analisis sidik ragam untuk mengetahui pengaruh dan interaksi perlakuan, serta dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) sebagai penentu beda taraf nyata 5% dari hasil perhitungan dengan menggunakan Statistical Analysis Software (SAS). Acuan dalam analisis ragam untuk dapat dilanjutkan ke uji Duncan apabila: 1. Jika P-value ≥ 5 % maka tidak signifikan / tidak berpengaruh. 2. Jika P-value ≤ 5 % maka signifikan / berpengaruh.
11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Getaran Selama Transportasi
Getaran (MMI)
Selama transportasi di lapang, dilakukan perekaman jejak getaran yang dialami cabai keriting segar dari sentra produksi sampai ke pasar. Pengukuran dan pencatatan getaran selama transportasi dilakukan menggunakan Android Smartphone dengan aplikasi Vibrometer Pro 2.4.6. Aplikasi tersebut mengukur dan mencatat getaran dengan satuan MMI (Modified Mercalli Intensity Scale) yang biasa digunakan untuk mengukur getaran gempa bumi dan pada penelitian ini digunakan untuk mengukur dan mencatat getaran selama transportasi. Berikut ini adalah rekaman data getaran yang didapatkan secara langsung selama pengangkutan cabai disajikan pada Gambar 7. 8
Getaran Horizontal
7
Getaran Vertikal
6 5 4 3 2 1 0 0
5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 Waktu (Menit)
(a) Percobaan 1 8
Getaran Horizontal
Getaran (MMI)
7
Getaran Vertikal
6 5 4 3 2 1 0 0
5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 Waktu (Menit)
(b) Percobaan 2 Gambar 7 Data getaran selama transportasi langsung di lapangan Pada proses transportasi dari lahan ke pasar terdapat perubahan getaran setiap waktunya, hal ini disebabkan oleh kondisi jalan serta transportasi yang terjadi saat pengangkutan cabai. Pada data transportasi tersebut terdapat getaran yang menunjukkan angka nol (tidak terjadi getaran), hal ini disebabkan pada saat
12 transportasi terjadi kemacetan sehingga mobil dalam kondisi berhenti. Pola getaran pada Percobaan 1 berbeda dengan pola getaran pada Percobaan 2 padahal transportasi terjadi pada jalur transportasi yang sama. Hal tersebut terjadi karena kondisi perjalanan pada saat Percobaan 1 dalam hal kemacetan dan kecepatan mobil bergerak tidak akan sama dengan kondisi perjalanan pada Percobaan 2. Data yang didapat di lapangan dijadikan sebagai acuan untuk melakukan simulasi transportasi di laboratorium. Untuk menyederhanakan getaran yang terjadi selama transportasi, digambarkan grafik blok seperti yang disajikan pada Gambar 8. Pada Gambar 7 dapat diamati bahwa grafik data getaran yaitu getaran horizontal dan getaran vertikal memiliki tren yang relatif sama sehingga pada penyederhanaan diagram blok diwakili dengan satu blok grafik getaran transportasi pada Gambar 8. Untuk percobaan pertama, getaran untuk simulasi transportasi akan bergetar sebesar 5.7 MMI selama 45 menit, kemudian 10 menit kemudian digetarkan sebesar 3 MMI. Getaran kembali diberikan sebesar 5.7 MMI selama 5 menit, setelah itu selama 20 menit tidak dilakukan penggetaran, lalu dilakukan penggetaran lagi selama 10 menit. Penggambaran grafik blok untuk percobaan kedua juga mengacu pada transportasi yang terjadi langsung dari lahan sampai ke pasar pada percobaan kedua. 7
Getaran (MMI)
6 5 4 3 2 1 0 0
45
46
55
56 60 Waktu (menit)
61
80
81
90
(a) Percobaan 1 7
Getaran (MMI)
6 5 4 3 2 1 0 0
15
16
40
41
50 51 Waktu (menit)
60
61
80
81
(b) Percobaan 2 Gambar 8 Getaran vertikal simulasi transportasi di laboratorium
90
13 Dengan grafik blok getaran tersebut, diperoleh gambaran secara langsung kejadian di lapangan yang disebabkan oleh situasi dan kondisi jalan selama transportasi cabai dari petani ke pasar induk. Grafik blok getaran memang tidak dapat menggambarkan secara menyeluruh getaran yang disebabkan kondisi jalan sesungguhnya, akan tetapi dengan gambaran ini sudah dapat mewakili getaran yang disebabkan oleh kondisi jalan yang dilewati selama transportasi. Hubungan antara MMI dengan Frekuensi dan Amplitudo Panza (2002) menyatakan bahwa MMI (Modified Mercalli Intensity Scale) merupakan adalah satuan skala untuk mengukur getaran bumi yang berbasis percepatan. MMI merupakan satuan zonasi getaran dengan skala I – XII, dimana getaran akan meningkat intensitas dan dampaknya berdasarkan skala yang ditunjukkan. Sebagai contoh skala XII memiliki intensitas tertinggi dan berdampak menghancurkan benda yang ada di sekitar getaran dengan total. Hubungan antara MMI dan percepatan dapat digambarkan lewat persamaan empiris yaitu , dimana a = percepatan (cm/s2) dan I adalah Modified Mercalli Intensity. Penelitian ini mencoba membuat pendekatan antara pengukuran MMI menggunakan Vibrometer Pro 2.4.6 dengan frekuensi dan amplitudo yang dapat diaplikasikan pada simulator getar. Pemilihan pengukuran getaran yang terjadi di lapang selama transportasi menggunakan aplikasi Vibrometer berbasis android dilakukan untuk menyederhanakan proses pengukuran getaran saat di lapang. Pengukuran getaran secara manual dengan mencatat frekuensi dan amplitudo di lapang akan sangat sulit dilakukan sehingga pengukuran dengan alat bantu android sangat membantu dalam penelitian ini. Aplikasi ini dapat merekam getaran yang terjadi dalam transportasi di lapang dengan baik sampai 6 jam pengukuran. Hubungan antara MMI dengan frekuensi dan amplitudo didekati dengan hubungan MMI dengan frekuensi pada amplitudo yang sama dan hubungan MMI dengan amplitudo pada frekuensi yang sama. Hubungan antara MMI dengan frekuensi dan amplitudo didekati dengan regresi polynomial dengan ordo tiga. Hubungan MMI dengan amplitudo pada frekuensi yang sama disajikan pada Gambar 9 dan Gambar 10 dan MMI dengan frekuensi pada amplitudo yang sama disajikan pada Gambar 10, 11 dan 12. Pada Gambar 9 ditunjukkan bahwa hubungan antara amplitudo dengan MMI pada frekuensi 3.2 Hz memiliki persamaan regresi polynomial y = -0.1767x3 + 3.27x2 - 19.531x + 43.52 dengan R2 = 0.97. Pada Gambar 10 dinyatakan bahwa hubungan antara amplitudo dengan MMI pada frekuensi 4 Hz memiliki persamaan regresi polynomial 1.8476x3 20.688x2 + 76.532x - 85.981 dengan R2 = 0.94. Kedua hubungan tersebut memiliki R2 yang mendekati 1 sehingga memiliki korelasi yang kuat. Dengan demikian, persamaan tersebut dapat dinyatakan sebagai persamaan empiris untuk mewakili hubungan MMI dengan amplitudo pada frekuensi 3.2 Hz dan 4 Hz.
14 9 8 Getaran (MMI)
7 6 5
y = -0.1767x3 + 3.27x2 - 19.531x + 43.52 R² = 0.9748
4 3
Amplitudo vs MMI
2
Poly. (Amplitudo vs MMI)
1 0 0
2
4 Amplitudo (cm)
6
8
Getaran (MMI)
Gambar 9 Hubungan amplitudo dengan MMI pada f = 3.2 Hz 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
y = 1.8476x3 - 20.688x2 + 76.532x - 85.981 R² = 0.9498 Amplitudo vs MMI Poly. (Amplitudo vs MMI) 0
1
2
3
4
5
Amplitudo (cm)
Gambar 10 Hubungan amplitudo dengan MMI pada f = 4 Hz Pada Gambar 11 ditunjukkan bahwa hubungan antara frekuensi dengan MMI pada amplitudo 3 cm memiliki persamaan regresi y = -1.3492x3 + 14.299x2 48.29x + 58.311 dengan R2 = 0.98. Pada Gambar 12 dinyatakan bahwa hubungan antara frekuensi dengan MMI pada amplitudo 3.5 cm memiliki persamaan regresi polynomial y = 0.9167x3 - 10.168x2 + 37.857x - 39.992 dengan R2 = 0.97. Pada Gambar 13 ditunjukkan juga bahwa hubungan antara frekuensi dengan MMI pada amplitudo 4 cm memiliki persamaan regresi y = 51.443x3 - 483.37x2 + 1511x 1564.6 dengan R2 = 0.93. Ketiga hubungan antara MMI dengan frekuensi pada amplitudo yang sama memiliki R2 yang mendekati 1 sehingga memiliki korelasi yang kuat. Dengan demikian, persamaan tersebut dapat dinyatakan sebagai persamaan empiris untuk mewakili hubungan MMI dengan frekuensi pada amplitudo 3 cm, 3.5 cm dan 4 cm.
15 9 8 Getaran (MMI)
7 6 5
y = -1.3492x3 + 14.299x2 - 48.29x + 58.311 R² = 0.9869
4 3
Frekuensi vs MMI
2
Poly. (Frekuensi vs MMI)
1 0 0
1
2 3 Frekuensi (Hz)
4
5
Getaran (MMI)
Gambar 11 Hubungan frekuensi dengan MMI pada A = 3 cm
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
y = 0.9167x3 - 10.168x2 + 37.857x - 39.992 R² = 0.9714 Frekuensi vs MMI Poly. (Frekuensi vs MMI) 0
1
2
3
4
5
Frekuensi (Hz)
Gambar 12 Hubungan frekuensi dengan MMI pada A = 3.5 cm 8
Getaran (MMI)
7 6 5
y = 51.443x3 - 483.37x2 + 1511x - 1564.6 R² = 0.9387
4 3 2
Frekuensi vs MMI
1
Poly. (Frekuensi vs MMI)
0 0
1
2 3 Frekuensi (Hz)
4
5
Gambar 13 Hubungan frekuensi dengan MMI pada A = 4 cm
16 Suhu dan RH Transportasi Kualitas produk pada proses transportasi dipengaruhi oleh suhu dan RH yang terjadi selama transportasi. Menurut Vigneault et al. (2009) suhu atau temperatur menjadi faktor penting yang mempengaruhi kualitas hortikultura karena suhu adalah faktor utama yang mengatur laju respirasi, dimana semakin tinggi laju respirasinya akan memperpendek umur simpan dari produk tersebut. Selain itu, Vigneault et al. (2009) juga mengemukakan bahwa kelembaban relatif juga mempengaruhi umur simpan dan kualitas dari hortikultura yang akan didistribusikan. Menurut Gonzalez-Aguilar (2013) cabai akan terjaga kualitasnya apabila cabai disimpan pada suhu 7-13°C, akan tetapi transportasi cabai merah di Indonesia masih menggunakan sistem transportasi biasa tanpa memperhatikan suhu dan RH saat transportasi. Suhu dan RH transportasi dari lahan ke pasar disajikan pada Gambar 14 dan suhu dan RH simulasi transportasi di laboratorium juga disajikan pada Gambar 15. Percobaan 1 dan Percobaan 2 pada Gambar 14 menunjukkan perbedaan tren suhu dan kelembaban padahal percobaan tersebut dilakukan pada tempat penelitian dan waktu yang sama yaitu sore hari. Dari kedua percobaan ini diketahui bahwa suhu dan kelembaban juga dapat menjadi variabel bebas transportasi yang mempengaruhi kualitas dari cabai yang dibawa. Simulasi transportasi di laboratorium pada Gambar 15 memiliki suhu dan kelembaban relatif yang lebih terkontrol dibandingkan dengan suhu dan kelembaban transportasi langsung pada Gambar 14 karena dilakukan dalam ruangan tertutup.
Suhu (◦C)
Percobaan 1
32 30 28 26
Kelembaban /RH (%)
100 34
24
90 80 70 60 50 40
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 15.00
Waktu (Menit)
34
Percobaan 2
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Waktu (Menit)
32 30 28 26 24
Kelembaban /RH (%)
Suhu (◦C)
100 90 80 70 60 50 40 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 15.00
Waktu (Menit)
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Waktu (Menit)
Gambar 14 Suhu dan RH selama transportasi langsung
17
Percobaan 1
Suhu (◦C)
32 30 28 26
Kelembaban /RH (%)
100 34
90 80 70 60 50 40
24 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Waktu (Menit)
Waktu (Menit) 100
Percobaan 2
Kelembaban /RH (%)
34 Suhu (◦C)
32 30 28 26
90 80 70 60 50 40
24 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Waktu (Menit)
Waktu (Menit)
Gambar 15 Suhu dan RH selama simulasi transportasi Perubahan Mutu Produk Susut bobot Setelah transportasi dan simulasi transportasi, dilakukan pengukuran susut bobot yang terjadi pada kemasan dengan membandingkan bobot awal sebelum dan sesudah transportasi atau simulasi transportasi. Susut bobot dapat diartikan sebagai penurunan bobot produk akibat kehilangan kandungan air pada produk (Wills et al 1998). Menurut Znidarcic et al. (2010) penurunan berat sayuran setelah panen disebabkan oleh kehilangan air melalui proses transpirasi, selanjutnya Nurdjannah (2014) menyatakan bahwa perubahan susut bobot pada cabai disebabkan oleh proses respirasi dan transpirasi yang mengakibatkan kehilangan substrat dan air, dimana ini ditandai dengan layu dan mengerutnya permukaan cabai sehingga mengurangi penerimaan konsumen dan harga jual. Respirasi merupakan perombakan senyawa kompleks dalam sel (pati, gula dan asam organik) dengan bantuan oksigen (oksidasi) menjadi molekul yang lebih sederhana seperti CO2, air dan energi sedangkan transpirasi adalah proses perpindahan massa air, dimana uap air berpindah dari permukaan buah ke lingkungan di sekitarnya (Widjanarko 2012). Luka dan memar memicu peningkatan respirasi dan transpirasi senyawa kompleks yang terdapat dalam sel, seperti karbohidrat akan dipecah menjadi molekul sederhana seperti CO2 dan air yang mudah menguap sehingga cabai mengalami susut bobot (Wills et al 1998). Getaran yang terjadi selama transportasi mengakibatkan gesekan antar cabai
18 dengan cabai serta cabai dengan kemasan besar sehingga terjadi memar pada cabai, hal tersebut memicu terjadinya susut bobot dan memperpendek umur simpan (Pangidoan et al. 2013; Purwadaria 1992). Luka akibat benturan atau goresan pada cabai akan memicu proses respirasi dan transpirasi sehingga mempercepat penguapan air pada produk yang menyebabkan susut bobot terjadi (Widjanarko 2012). Dari hasil susut bobot yang diperoleh, terlihat bahwa setiap kemasan dan setiap perlakuan menyebabkan susut bobot pada cabai dan Gambar 16 juga memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan susut bobot antara transportasi di lapangan dan simulasi di laboratorium. Pada percobaan pertama, susut bobot pada kemasan keranjang selama transportasi di lapangan 0.83%, sedangkan pada kemasan kardus 0.4%, susut bobot pada kemasan keranjang plastik dan kardus setelah simulasi transportasi berturut-turut 1.05% dan 0.58%. Pada percobaan kedua, susut bobot pada kemasan keranjang selama transportasi di lapangan 0.92% sedangkan pada kemasan kardus 1.27%, susut bobot pada kemasan keranjang plastik dan kardus setelah simulasi transportasi berturut-turut 1.01% dan 0.49%. Perbedaan susut bobot antara transportasi di lapangan dan simulasi transportasi di laboratorium terjadi karena simulasi transportasi memberikan pemaparan getaran yang lebih seragam dibandingkan transportasi di lapangan yang lebih fluktuatif sehingga menyebabkan susut bobot saat di laboratorium lebih besar dibandingkan di lapangan. Dari hasil analisis sidik ragam, perlakuan kemasan dan transportasi tidak menimbulkan efek berbeda nyata terhadap susut bobot cabai keriting karena memiliki nilai P-Value ≥ 5%. Apabila dilihat dari analisis ragamnya, transportasi langsung dan simulasi transportasi ternyata sama dan tak berbeda nyata, begitu juga halnya dengan perlakuan kemasan. Hal ini berarti transportasi di lapangan dapat diwakili dengan simulasi transportasi di laboratorium dengan getaran yang dikondisikan sama. Setelah simulasi transportasi, cabai merah segar disimpan selama 2 minggu pada suhu ruang untuk melihat dari kemasan yang digunakan yang mana yang paling baik dalam menekan susut bobot setelah transportasi. Gambar 17 menunjukkan peningkatan susut bobot pada setiap percobaan dan waktu penyimpanan. Grafik pada Percobaan 1 dan Percobaan 2 menunjukkan tren yang sama, dimana peningkatan susut bobot pada kemasan kardus lebih rendah dari kemasan keranjang plastik. Dari grafik tersebut dapat dinyatakan bahwa kemasan kardus lebih baik dalam menekan susut bobot yang terjadi dibandingkan kemasan keranjang plastik. Hasil ini sejalan dengan penelitian Nurdjannah (2014) yang mengatakan bahwa kualitas cabai merah dilihat dari parameter susut bobot setelah proses penyimpanan dengan menggunakan kemasan kardus lebih baik dibandingkan dengan penggunaan karung plastik dan kemasan jala. Hal tersebut disebabkan karena laju respirasi dan transpirasi pada kemasan kardus lebih rendah dibandingkan pada karung plastik dan kemasan jala. Ini disebabkan karena kemasan kardus bersifat tertutup dan tidak banyak berkontak dengan udara di luar kemasan. Uap air yang terbentuk akibat proses transpirasi lebih mudah melewati kemasan jala dan karung plastik dibandingkan kemasan kardus. Pada kemasan kardus, uap air yang keluar dari cabai diserap oleh lapisan kemasan karton sehingga susut bobotnya akan lebih rendah dibandingkan kemasan yang lain.
19 1.5 Susut Bobot (%)
Susut Bobot (%)
1.5
1
0.5
1
0.5
0 Keranjang
Transportasi Simulasi transportasi
0
Kardus
Keranjang
Percobaan 1
Kardus
Percobaan 2
Gambar 16 Susut bobot cabai keriting segar 30
30
Percobaan 1
25 Susut bobot (%)
25 Susut bobot (%)
Percobaan 2
20 15 10
20 15
Keranjang
10
Kardus
5
5 0
0 0
3
6 9 Hari ke-
12
15
0
3
6 9 Hari ke-
12
15
Gambar 17 Susut bobot cabai setelah penyimpanan Perubahan Kekerasan Tingkat kekerasan adalah salah satu parameter yang biasa digunakan untuk menguji terjadinya perubahan mutu pada buah dan sayuran. Perubahan tingkat kekerasan pada produk hortikultura disebabkan oleh komposisi dinding sel yang berubah (Winarno 2002; Tarwyati 2009). Pada penelitian ini dilakukan uji kekerasan pada cabai keriting segar sebagai indikasi terjadinya kerusakan cabai, dimana semakin menurun nilai tekannya, mutu dari cabai sudah semakin menurun. Menurut Pantastico (1989), peningkatan dan penurunan nilai kekerasan berhubungan dengan penguapan air dan tingkat kekerasan bergantung pada tebalnya kulit luar, kandungan total zat padat dan kandungan pati yang terdapat pada bahan. Sebelum dilakukan transportasi, cabai memiliki kekerasan berkisar antara 4.02 – 4.80 N. Setelah dilakukan transportasi, cabai memiliki kekerasan berkisar antara 3.62 – 4.57 N pada kemasan keranjang dan 3.56 – 4.42 N pada kemasan kardus. Setelah dilakukan simulasi transportasi, cabai memiliki kekerasan berkisar antara 3.90 – 4.41 N pada kemasan keranjang plastik dan 4.08 – 4.80 N pada kemasan kardus. Dari hasil analisis sidik ragam, perlakuan kemasan dan transportasi tidak menimbulkan efek berbeda nyata terhadap kekerasan cabai keriting karena memiliki nilai P-Value ≥ 5%. Hal ini disebabkan karena
20 transportasi dan simulasi transportasi hanya dilakukan selama 1.5 jam sehingga perubahan tidak akan tampak secara signifikan. Perubahan tekstur produk yang semula keras menjadi lunak terjadi karena perubahan komposisi dinding sel sehingga menyebabkan menurunnya tekanan turgor sel dan kekerasan buah menurun (Winarno 2002; Nurdjannah 2014). Winarno (2002) mengemukakan secara kimiawi dinding sel tersusun dari senyawasenyawa yang sangat kompleks, antara lain selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin. Pektin adalah polisakarida yang menyusun sepertiga bagian dinding sel tanaman, terletak pada bagian tengah lamella dinding sel, dimana sifat terpenting dari pektin adalah kemampuannya membentuk gel dan sebagai bahan pengental. Pada waktu buah menjadi matang, kandungan pektat dan pektinat yang larut meningkat sedangkan jumlah zat pektat seluruhnya menurun, akibatnya akan melemahkan ikatan dinding sel sehingga kekerasan buah (firmness) akan berkurang. Dalam proses pengembangan dan pematangan, tekanan turgor sel selalu berubah. Perubahan turgor pada umumnya disebabkan oleh perubahan dinding sel dan perubahan tersebut akan mempengaruhi firmness dari buah. Tucker et al. (1993) menyatakan bahwa pelunakan buah dapat disebabkan salah satu dari tiga mekanisme yaitu kehilangan turgor, degradasi pati atau kerusakan pada dinding sel buah. Wills et al. (1998) menyatakan ketika air menguap dari jaringan, tekanan turgor menurun dan sel-sel mulai menyusut dan rusak sehingga buah kehilangan kesegarannya. Penyimpanan cabai merah segar pada suhu ruang setelah transportasi dilakukan untuk melihat pengaruh kemasan terhadap kekerasan cabai yang telah mengalami transportasi dan penyimpanan. Perubahan kekerasan pada kedua percobaan yang telah mengalami transportasi dan penyimpanan disajikan pada Gambar 18. Grafik tersebut menunjukkan bahwa terdapat penurunan kekerasan pada kedua kemasan setelah penyimpanan cabai merah segar selama 2 minggu pada suhu ruang. Penurunan tingkat kekerasan cabai setelah penyimpanan sesuai dengan penelitian Taksinamamee et al. (2006) dan Nurdjannah (2014). Penelitian Taksinamamee et al (2006) menyatakan bahwa kekerasan cabai akan menurun selama penyimpanan dan penyimpanan dengan menggunakan kemasan dan perlakuan hydrocooling ternyata dapat mempertahankan kekerasan cabai dibandingkan kontrol yang tidak diberikan perlakuan apa-apa. Penelitian Nurdjannah (2014) menunjukkan bahwa kekerasan cabai akan cenderung menurun selama penyimpanan dan perlakuan kemasan dapat menstabilkan tingkat kekerasan cabai. Menurut Nurdjannah (2014) penurunan kekerasan paling rendah terjadi pada kemasan kardus dibandingkan kemasan jala plastik, hal ini terjadi karena kemasan kardus bersifat lebih tertutup sehingga dapat menahan keluar masuknya aliran udara ke bahan yang dapat memicu proses transpirasi.
21 5
5
Percobaan 1
4 Kekerasan (N)
Kekerasan (N)
4
Percobaan 2
3 2
3 2
1
1
0
0
Keranjang Kardus
0
3 6 9 12 Penyimpanan hari ke-
15
0
3 6 9 12 Penyimpanan hari ke-
15
Gambar 18 Perubahan kekerasan setelah penyimpanan Perubahan Warna Warna adalah parameter mutu yang pertama dilihat konsumen dalam memilih buah karena dapat dilihat secara visual (Muthmainah 2008). Penilaian warna pada cabai secara visual akan bersifat subjektif sehingga diperlukan pengukuran dengan Chromameter (derajat warna L, a, b) agar diperoleh data nilai warna yang lebih objektif. Menurut Sutrisno et al. (2009) tingkat kecerahan (nilai L) mempunyai nilai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih), tingkat kehijauan (nilai a*) dimana nilai positif (+) menyatakan warna merah, nilai 0 menyatakan warna abuabu dan nilai negatif (-) menyatakan warna hijau, serta tingkat kekuningan (nilai b*), dimana nilai positif (+) menyatakan warna kuning, nilai 0 menyatakan warna abu-abu dan nilai negatif (-) menyatakan nilai biru. Penelitian ini melihat tentang perubahan kualitas warna dari cabai keriting segar akibat transportasi. Sebelum transportasi, cabai memiliki nilai L berkisar antara 43.41 – 47.80. Setelah transportasi selesai, cabai memiliki nilai L berkisar antara 40.49 – 48.88 pada kemasan keranjang plastik dan 42.22 – 48.21 pada kemasan kardus. Setelah simulasi transportasi dilakukan, cabai memiliki nilai L berkisar antara 40.25 – 50.23 pada kemasan keranjang plastik dan 40.61 – 49.10 pada kemasan kardus. Analisis sidik ragam untuk derajat warna L menunjukkan nilai P-value ≥ 5% sehingga perlakuan kemasan dan transportasi tidak berpengaruh nyata terhadap derajat nilai L. Hal ini terjadi karena cabai keriting segar hanya ditransportasikan selama 1.5 jam sehingga perubahan derajat nilai L tidak akan secara signifikan tampak. Selain itu, cabai merupakan produk hortikultura non-klimakterik sehingga fase perombakan pigmen kulit cabai tidak terlihat secara nyata (Winarno 2002). Nurdjannah (2014) menyatakan bahwa perubahan warna pada cabai terjadi akibat adanya sintesis dari pigmen tertentu, seperti karotenoid dan flavonoid, disamping terjadinya perombakan klorofil. Perombakan klorofil pada cabai menyebabkan pigmen karotenoid menjadi tampak, ini terjadi ditandai dengan perubahan nilai L walaupun secara statistik tidak tampak. Ittah et al. (1993) menyatakan bahwa warna pada cabai merah dikendalikan oleh beberapa senyawa karotenoid seperti capsanthin, capsorubin dan xanthophyll untuk warna merah dan warna kuning orange oleh senyawa β-karoten dan zeaxanthin. Kevresan et al. (2009) menyatakan perubahan warna pada buah cabai diawali dari biosintesis karotenoid yang ditandai oleh peningkatan β-karoten, β-kriptoxantin dan
22 zeaxanthin. Kumpulan zat tersebut ditransformasikan menjadi antheraxantin dan violaxanthin yang merupakan substrat capsanthin-capsorubin sintase, enzim tersebut bertugas untuk memproduksi capsanthin dan capsorubin. Warna hijau didominasi pigmen klorofil dan warna merah didominasi karotenoid merah. Penyimpanan cabai setelah simulasi transportasi dilakukan juga untuk melihat perubahan derajat warna L setelah transportasi yang dipengaruhi oleh faktor kemasan. Perubahan nilai L setelah simulasi transportasi dan penyimpanan suhu ruang disajikan pada Gambar 19. Ini menunjukkan bahwa terdapat penurunan derajat nilai L di setiap percobaan yang dilakukan, dimana penurunan derajat nilai L lebih tampak setelah penyimpanan dibandingkan setelah transportasi. Penurunan derajat warna L identik dengan penurunan kecerahan dari cabai yang telah mengalami transportasi dan penyimpanan, penurunan tersebut ditandai dengan kekusaman dari warna cabai setelah penyimpanan. Perubahan warna tersebut dipengaruhi adanya oksidasi senyawa polifenol karena rusaknya dinding sel pada buah (Pantastico 1989). 60
60
Percobaan 1
Percobaan 2
50 Derajat warna L
Derajat warna L
50 40 30 20 10
40 30
Keranjang
20
Kardus
10
0
0 0
3
6 9 Hari ke-
12
15
0
3
6 9 Hari ke-
12
15
Gambar 19 Perubahan derajat warna L setelah penyimpanan Nilai a merupakan koordinat kromatis pada Chromameter, semakin merah cabai yang diujikan maka semakin tinggi nilai a yang ditunjukkan oleh Chromameter. Sebelum dilakukan transportasi, cabai memiliki nilai a berkisar antara 20.76 – 29.93. Setelah transportasi berlangsung, cabai memiliki nilai a berkisar antara 20.23 – 29.33 pada kemasan keranjang plastik dan 23.70 – 29.25 pada kemasan kardus. Setelah simulasi transportasi dilakukan, nilai a berkisar antara 21.61 – 31.12 pada kemasan keranjang plastik dan 22.45 – 28.93 pada kemasan kardus. Hasil analisis sidik ragam derajat warna a menyatakan bahwa perlakuan kemasan dan transportasi tidak memberikan efek berbeda nyata terhadap derajat warna a. Hal tersebut terjadi karena transportasi hanya dilakukan selama 1.5 jam sehingga perubahan nilai a tidak tampak secara nyata dipengaruhi oleh transportasi. Penyimpanan pada suhu ruang setelah simulasi transportasi dilakukan juga untuk melihat perubahan derajat warna a yang diakibatkan oleh transportasi dan penyimpanan. Perubahan derajat warna a disajikan dalam Gambar 20, terlihat bahwa terdapat perubahan derajat warna a di setiap pengukuran yang dilakukan. Peningkatan derajat a tampak tidak signifikan disebabkan karena cabai yang digunakan pada penelitian ini dipanen pada saat matang sempurna sehingga perubahan derajat warna tidak akan terjadi secara drastis. Cabai merupakan
23 hortikultura non-klimakterik yang proses pematangan tidak terjadi lagi setelah dipanen atau dipisahkan dari pokok tanamannya (Krajayklang et al. 2000). 35
35 Percobaan 1
Percobaan 2
30 Derajat warna a
Derajat warna a
30 25 20 15 10 5
25 20
Keranjang
15
Kardus
10 5
0
0 0
3
6 9 Hari ke-
12
15
0
3
6 9 Hari ke-
12
15
Gambar 20 Perubahan derajat warna a setelah penyimpanan Nilai b merupakan atribut nilai yang menunjukkan derajat kekuningan atau kebiruan suatu komoditas. Sebelum transportasi pada cabai merah dilakukan, cabai memiliki nilai b berkisar antara 11.69 – 16.99. Setelah transportasi berlangsung, cabai memiliki nilai b berkisar antara 11.52 – 16.36 pada kemasan keranjang plastik dan 12.16 – 15.24 pada kemasan kardus. Setelah simulasi transportasi dilakukan, cabai memiliki nilai b berkisar antara 9.97 – 15.41 pada keranjang plastik dan 10.24 – 15.61 pada kemasan kardus. Dilihat dari analisis sidik ragam, ternyata ada pengaruh transportasi terhadap derajat nilai b karena PValue ≤ 5%, hal tersebut ditandai terdapat perbedaan antara derajat nilai b pada setiap kemasan yang mengalami transportasi di lapangan dan yang dilakukan simulasi di laboratorium. Pengaruh transportasi terhadap nilai b sejalan dengan hasil penelitian Barus (2011) yang menyatakan simulasi transportasi mempengaruhi nilai b. Penyimpanan cabai merah segar setelah simulasi transportasi juga dilakukan untuk melihat adanya perubahan derajat warna b yang disebabkan oleh transportasi dan penyimpanan. Perubahan derajat warna b yang disebabkan oleh transportasi dan penyimpanan disajikan pada Gambar 21. Kedua grafik pada gambar tersebut menunjukkan terdapat perubahan derajat warna b di setiap percobaan yang dilakukan. Hal tersebut menunjukkan bahwa derajat b dipengaruhi oleh transportasi dan penyimpanan walaupun hanya sedikit perubahan yang disebabkan oleh transportasi dan penyimpanan.
24 15
Percobaan 1 Derajat warna b
Derajat warna b
15
10
5
0
10 Keranjang
Percobaan 2
5
Kardus
0 0
3
6 9 Hari ke-
12
15
0
3
6 9 Hari ke-
12
15
Gambar 21 Perubahan derajat warna b setelah penyimpanan
35
35
30
30
25
25
Derajat C*
Derajat C*
Dalam penentuan derajat warna juga dikenal nilai kromatis (C*) dan nilai derajat hue (°h). Nilai kromatis didefinisikan sebagai intensitas warna atau kemurnian dari rona (hue). Derajat hue didefinisikan sebagai warna dominan dari campuran beberapa warna yaitu merah, kuning dan hijau. Pada Gambar 22 disajikan perubahan derajat kromatis C* setelah disimpan 2 minggu dan pada Gambar 23 disajikan perubahan derajat hue setelah disimpan 2 minggu. Nilai kromatis pada cabai setelah disimpan pada suhu ruang memberikan perubahan yang tidak signifikan pada Percobaan 1 dan Percobaan 2. Begitu juga halnya yang terjadi pada °h yang menunjukkan perubahan yang tidak signifikan setelah disimpan pada suhu ruang. Hal tersebut disebabkan karena cabai yang digunakan pada penelitian ini telah dipanen pada saat matang sempurna sehingga pematangan tidak terjadi lagi setelah cabai dipanen. Hal tersebut terjadi karena cabai merupakan hortikultura non-klimakterik yang proses pematangan tidak terjadi lagi setelah dipanen atau dipisahkan dari pokok tanamannya (Krajayklang et al. 2000).
20 15
Percobaan 1
20
10
10
5
5
0
0 0
3
6 9 Hari ke-
12
15
Percobaan Percobaa 2
15
Keranjang Kardus 0
3
6 9 Hari ke-
12
Gambar 22 Perubahan derajat kromatis (C*) setelah penyimpanan
15
30
30
25
25
20
Derajat hue
Derajat hue
25
Percobaan 1
15 10 5
20 Percobaan Percobaan 2
15
Keranjang Kardus
10 5
0
0 0
3
6 9 Hari ke-
12
15
0
3
6 9 Hari ke-
12
15
Gambar 23 Perubahan derajat hue setelah penyimpanan Kadar Air Menurut Wills et al. (1998), susut bobot dapat diartikan sebagai penurunan bobot produk akibat kehilangan kandungan air pada produk, hal ini menandakan bahwa ada keterkaitan antara susut bobot dan kadar air. Sebelum transportasi dilakukan, cabai memiliki kadar air berkisar antara 79.22% - 86.25%. Setelah transportasi dilakukan, cabai memiliki kadar air berkisar antara 79.39% - 89.62% pada kemasan keranjang plastik dan 79.06% - 82.44% pada kemasan kardus. Pengukuran kadar air setelah simulasi transportasi menyatakan bahwa kadar air berkisar antara 77.59% - 82.45% pada kemasan keranjang plastik dan 78.72% 83.77% pada kemasan kardus. Dari analisis sidik ragam untuk kadar air, perlakuan kemasan dan perlakuan transportasi tidak berbeda nyata terhadap kadar air karena memiliki nilai P-Value yang lebih besar dari 5 %. Penurunan kadar air akibat transportasi tidak tampak jelas karena hanya mengalami transportasi 1.5 jam, ini ditandai dari hasil analisis statistik yang menyatakan perlakuan transportasi dan kemasan tidak memberikan efek berbeda nyata terhadap kadar air. Penyimpanan dilakukan setelah perlakuan simulasi transportasi untuk melihat apakah terdapat perubahan kadar air yang disebabkan oleh transportasi dan penyimpanan. Perubahan kadar air yang disebabkan oleh transportasi dan dilanjutkan dengan penyimpanan pada suhu ruang disajikan pada Gambar 24. Grafik tersebut menunjukkan terdapat penurunan kadar air pada cabai merah segar pada kedua kemasan seiring dengan waktu penyimpanannya. Ini menandakan bahwa transportasi dan penyimpanan memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan kadar air. Apabila dibandingkan antar kedua kemasan yang digunakan sebagai wadah transportasi dan penyimpanan cabai merah segar, terlihat bahwa keduanya sama-sama menunjukkan penurunan kadar air dari tren garis yang dihasilkan. Penurunan kadar air terjadi karena adanya penguapan air akibat proses respirasi dan transpirasi pada cabai setelah transportasi dan penyimpanan. Luka akibat benturan atau goresan pada cabai akibat transportasi akan memicu proses respirasi dan transpirasi sehingga mempercepat penguapan air pada produk yang menyebabkan penurunan kadar air pada cabai (Widjanarko 2012).
26 86
86 Percobaan 2
82
Kadar air (%)
Kadar air (%)
Percobaan 1
78 74 70
Keranjang
82
Kardus 78 74 70
0
3
6 9 Hari ke-
12
15
0
3
6 9 Hari ke-
12
15
Gambar 24 Perubahan kadar air setelah penyimpanan
Kadar air (%)
Untuk melihat hubungan antara peningkatan susut bobot dengan penurunan kadar air digambarkan model regresi antara susut bobot dan kadar air yang disajikan pada Gambar 25. Hubungan antara kadar air dan susut bobot pada kemasan keranjang plastik memiliki nilai R2 ≥ 0.7 yaitu R2 = 0.95 pada Percobaan 1 dan R2 = 0.7 pada Percobaan 2 sehingga model tersebut memiliki korelasi yang kuat. Demikian juga halnya yang terjadi pada kemasan kardus yang memiliki R 2 ≥ 0.7 yaitu R2 masing-masing 0.86 dan 0.80 pada Percobaan 1 dan 2 sehingga model juga memiliki korelasi yang kuat. Nilai R2 mendekati nilai 1 menandakan hubungan antar variabel yang semakin erat dan terdapat korelasi antara kedua variabel tersebut. Dari hubungan antara susut bobot dan kadar air, dapat dinyatakan bahwa peningkatan susut bobot dipengaruhi oleh penurunan kadar air dari cabai selama penyimpanan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wills et al. (1998) bahwa susut bobot dapat diartikan sebagai penurunan bobot produk akibat kehilangan kandungan air pada produk, dimana dalam penelitian ini ditandai dengan hubungan antara penurunan kadar air dengan susut bobot yang terjadi setelah penyimpanan. 82 81 80 79 78 77 76 75 74 73 72
Percobaan 1 Susut bobot vs Kadar air (Kranjang)
y = -0.2606x + 80.692 R² = 0.9558
0
10
20
Susut Bobot (%)
30
Kadar air (%)
27 82 81 80 79 78 77 76 75 74 73 72
Percobaan 1 Susut bobot vs Kadar air (Kardus)
y = -0.1949x + 79.997 R² = 0.8631
0
10
20
30
Susut Bobot (%) 86 Percobaan 2
Kadar air (%)
84
Susut bobot vs Kadar air (Kranjang)
82
y = -0.2751x + 81.998 R² = 0.6947
80 78 76 74 72 0
10
20
30
Susut Bobot (%) 86
Percobaan 2
Kadar air (%)
84
Susut bobot vs Kadar air (Kardus)
82 80
y = -0.2884x + 80.424 R² = 0.8085
78 76 74 72 0
10
20
30
Susut Bobot (%)
Gambar 25 Model regresi susut bobot dan kadar air
28
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Transportasi di lapang dan simulasi transportasi di laboratorium dengan pengemasan curah pada cabai merah keriting segar menunjukkan bahwa 1. Simulasi transportasi di laboratorium dapat mewakili transportasi di lapang secara langsung asalkan dengan jejak getaran yang dikondisikan sama. 2. Hubungan antara MMI dengan frekuensi dan amplitudo didekati dengan hubungan antara MMI dengan amplitudo pada frekuensi yang sama dan MMI dengan frekuensi pada amplitudo yang sama melalui regresi polynomial ordo tiga. 3. Susut bobot terjadi di setiap perlakuan kemasan dan transportasi dan semakin meningkat setelah disimpan pada suhu ruang. Kemasan kardus lebih baik dalam menekan susut bobot dibandingkan keranjang plastik setelah dilakukan transportasi dan penyimpanan. 4. Kekerasan pada cabai keriting segar mengalami penurunan setelah transportasi dan penurunan kekerasan akan tampak jelas setelah dilakukan penyimpanan pada suhu ruang. 5. Derajat warna (derajat L,a,b) mengalami perubahan setelah transportasi dan lebih signifikan lagi setelah diberikan perlakuan penyimpanan. 6. Penurunan kadar air berkorelasi dengan peningkatan susut bobot yang terjadi akibat transportasi dan penyimpanan. Saran 1. 2. 3. 4. 5.
Melakukan transportasi yang lebih jauh seperti sentra produksi di luar Jawa Barat dengan mengukur suhu dan RH selama transportasi. Melakukan pengukuran susut mekanis dengan pengambilan sampel untuk mewakili setiap kemasan yang digunakan. Perbaikan alat simulator getar sehingga dapat menggetarkan seperti yang terjadi langsung di lapangan. Melakukan pengaturan kondisi suhu dan RH ruangan selama simulasi transportasi sesuai dengan yang terjadi di lapangan. Melakukan penelitian lebih lanjut khusus tentang hubungan MMI dengan frekuensi dan amplitudo getaran pada simulator getar.
DAFTAR PUSTAKA Antonio LA Jr. 2013. Postharvest Technology for fresh chilli pepper in Cambodia, Laos and Vietnam.AVRDC-The world Vegetable Center. AOAC. 1984. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical Chemists. Washington D.C. Badan Pusat Statistik. 2013. Produktivitas Cabai 2009 – 2013. Badan Standarisasi Nasional. 1998. Cabai Merah Segar. SNI No. 01-4480-1998. Barus APY. 2011. Penurunan Mutu Buah Nanas (Ananas comosus (l.) Merr.) dalam Kemasan Setelah Transportasi Darat [skripsi]. Bogor: IPB.
29 Berardinelli A, Donati V, Giunchi A, Guarnieri A. 2005. Damage to Pears Caused by Simulated Transport. J Food Eng. 66(2):219-226. Choi SR, Lee YH, Choi DS, Kim MS. 2010. Damage at The Peach due to Vibrational Stress During Transportation Simulation Test. J Biosystems Eng. 35(3):182-188. Fauzia K, Musthofa L, La Choviya H. 2013. Penentuan Tingkat Kerusakan Buah Alpukat pada Posisi Pengangkutan dengan Simulasi Getaran yang Berbeda. J Keteknikan Pertan Trop Biosist Vol.1 No.1 Februari 2013. Gonzalez-Aguilar G A. 2013. Pepper. Centro de Investigacion en Alimentacion Desarrollo. Hermosillo, Sonora, Mexico. http://www.ba.ars.usda.gov/hb66/108pepper.pdf. Ittah, Y., Kanner, J., Granit, R., 1993. Hydrolysis study of carotenoid pigments of paprika (Capsicum annuum L. variety Lehava) by HPLC/photodiode array detection. Journal of Agricultural and Food Chemistry 41, 899-901. Kim GS, Park JM, Kim MS. 2010. Functional Shock Responses of The Pear According to The Combination of The Packaging Cushioning Materials. J Biosystems Eng. 35(5):323-329. Krajayklang M, Klieber A, Dry P R. 2000. Colour at harvest and postharvest behavior influence paprika and chili spice quality. Elsevier Science Postharvest Biology & Tech. 20 (2000) 269-278. Jansasithorn R, East AR, Hewett EW, Mawson AJ dan Heyes JA. 2010. Temperature dependecy of respiration rate of three chilli cultivars. Acta Horticulturae 877: 1821-1826 Jung HM, Jeong GP. 2012. Effect of Vibration Stress on the Quality of Packaged Apples during Simulated Transport. J Biosystem Eng. 37(1):44-60. Kevresan Z, Mandic A P, Kuhajda K, Sakac M. 2009. Carotenoid content in fresh and dry pepper Capsicum Annuum L. fruits for paprika production. Food Processing, Quality and Safety 1-2 (2009), 21-27. Monolopoulou H, G Xanthopoulos, N Douros dan Gr Lambrinos. 2010. Modified Atmosphere Packaging Storage of Green Bell Peppers: Quality Criteria. Biosystems Enginering 106: 535-543. Muthmainah N. 2008. Mutu fisik Sawo (Achras zapota L.) dalam Kemasan pada Simulasi Transportasi. [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Nurdjannah R. 2014. Perubahan Kualitas Cabe Merah dalam Berbagai Jenis Kemasan selama Penyimpanan Dingin [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. Pangidoan S, Sutrisno, Purwanto YA. 2013. Simulasi Transportasi dengan Pengemasan untuk Cabai Merah Keriting Segar. JTEP ISSN 2338-8439 Vol.27 April 2013. Pantastico ERB. 1989. Fisiologi Pascapanen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. Yogyakarta: Gajah Mada Press. Purwadaria HK. 1992. Sistem Pengangkutan Buah-buahan dan Sayuran. PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. Purwanto, Y.A., E. Darmawati, J. Munandar, M. Syukur and N. Purwanti. 2012. Study on Market Appraisal and Value Chain Development of Chili Products in West Java. Final Report FAO TCP/INS/3303 Project.
30 Rahman MM, Miaruddin MD, Golam FC, Khan HH, Matin MA. 2012. Effect of Different Packaging Systems and Chlorination on The Quality and Shelf Life of Green Chili. Journal Agri. Res. 37(4): 729-736.. ISSN 0258-7122. Sigge GO, Hansman CF and Joubert. 2001. Effects of storage conditions, packaging material and metabisulphite treatment on the colour of dehydrated green bell pepper (Capsicum annum L.). J. F.Quality, 24, 3, 205. Siswadi. 2007. Penanganan Pasca Panen Buah-buahan dan Sayuran. Innofarm: Jurnal Inovasi Pertanian. 6(1):68-71. Sirivatanapa S. 2006. Packaging and Transportation of Fruits and Vegetables for Better Marketing. APO 2006 ISBN 92-833-7051-1. Shahbazi F, Rajabipour A, Mohtasebi S, Rafie Sh. 2010. Simulated In-transit Vibration Damage to Watermelons. J Agr Sci Tech Vol. 12: 23-34. Soedibyo TM. 1992. Alat Simulasi Pengangkutan Buah-buahan Segar dengan Mobil dan Kereta Api. Jurnal Hortikultura Edn. 2 (1) : 66-73. Sutrisno, Purwanto YA, Rakhelia E, Sugiyono. 2009. Perubahan Kualitas Buah Manggis (Garcinia mangosiana L.) setelah Proses Transportasi dan Penyimpanan Dingin. Prosiding Bidang Teknik Sumberdaya Alam Pertanian ISSN 2081-7152. Taksinamanee A, V Srilaong, A Uthairatanakij dan S Kanlayanarat. 2006. Effect of Hydro-cooling Combine with Packing Method on Enzymatic Antioxidant Activity and Some Physical Changes in Red Hot Chilli cv. ‘Superhot’. Acta Hort. 712. ISHS. Tarwyati D N. 2009. Kajian Pengaruh Kemasan Terhadap Kerusakan Fisik Kubis Segar (Brassica Oleracea L.Var. Capitata) Selama Transportasi [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. Techawongstien S. 2006. Postharvest Management of Fruit and Vegetables in the Asia-Pacific Region – Thailand. Asian Productivity Organization 2006 ISBN 92-833-7051-1. Tucker GA. 1993. Biochemistry of Fruit Ripening. Chapman and Hall, London Utama MS. 2001. Penanganan Pascapanen Buah dan Sayuran Segar : Stress pada Produk Pascapanen. Forum Konsultasi Teknologi Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Bali. Vursavuş K, Özgüven F. 2004. Determining the Effects of Vibration Parameters and Packaging Method on Mechanical Damage in Golden Delicious Apples. Turkish J Agr. and Forestry 28(5): 311-320. Walker S. 2010. Postharvest handling of fresh chiles. NM State University. http://aces.nmsu.edu/pubs/_h/H235.pdf Widjanarko S B. 2012. Fisiologi dan Teknologi Pascapanen. ISBN 978-602-203179-6. UB Press. Wills R, Mcglasson B, Graham D, Joyce D. 1998. Post Harvest : An Introduction to the Physiology and Handling on Fruits and Vegetable. Australia (AU) : NSW Pr Limited. Winarno FG. 2002. Fisiologi Lepas Panen Produk Hortikultura. Bogor: M-BRIO Press. Znidarcic D, Ban II D, Milan O, M, Karic L, Pozra T, 2010. Influence of postharvest temperatures on physicochemical quality of tomatoes (Lycopersicon esculentum Mill.). J. Food Agric. Environ. 8, 21–25.
31
LAMPIRAN Lampiran 1 Analisis sidik ragam susut bobot cabai keriting segar Source Kemasan Transportasi Kemasan*transport Error Corrected total
DF 1 1 1 4 7
Type I SS 1.44E-07 1.06E-08 1.03E-07 3.84E-07 6.42E-07
Mean Square 1.44E-07 1.06E-08 1.03E-07 9.60E-08
F Value 1.50 0.11 1.08
Pr > F 0.2880 0.7563 0.3581
Lampiran 2 Uji DMRT susut bobot cabai keriting segar Duncan Grouping A A A A
Mean 2.3035 2.3032 2.3034 2.3033
N 4 4 4 4
Tempat Keranjang Kardus Lapangan Laboratorium
Lampiran 3 Analisis sidik ragam kekerasan cabai keriting segar Source Kemasan Transportasi Kemasan*transport Error Corrected total
DF 2 1 2 6 11
Type I SS 0.0004 0.0060 0.0042 0.0085 0.0192
Mean Square 0.0004 0.0060 0.0042 0.0014
F Value 0.14 4.24 1.47
Lampiran 4 Uji DMRT kekerasan cabai keriting segar Duncan Grouping A A A A A
Mean 0.4365 0.4245 0.4240 0.4508 0.4058
N 4 4 4 6 6
Tempat Sebelum Keranjang Kardus Lapangan Laboratorium
Pr > F 0.8723 0.0852 0.3033
32 Lampiran 5 Analisis sidik ragam derajat warna L cabai keriting segar Source Kemasan Transportasi Kemasan*transport Error Corrected total
DF 2 1 2 6 11
Type I SS 1.3268 7.4261 4.135 50.4537 63.3421
Mean Square 0.66343 7.42613 2.067 8.4089
F Value 0.08 0.88 0.25
Pr > F 0.9251 0.3836 0.7895
Lampiran 6 Uji DMRT derajat warna L cabai keriting segar Duncan Grouping A A A A A
Mean 46.655 46.360 45.850 47.075 45.502
N 4 4 4 6 6
Tempat Sebelum Keranjang Kardus Lapangan Laboratorium
Lampiran 7 Analisis sidik ragam derajat warna a cabai keriting segar Source
DF
Type I SS
Kemasan Transportasi Kemasan*transport Error Corrected total
2 1 2 6 11
5.13 16.4502 0.4272 64.4958 86.5032
Mean Square 2.565 16.4502 0.2136 10.7493
F Value 0.24 1.53 0.02
Pr > F 0.7940 0.2623 0.9804
Lampiran 8 Uji DMRT derajat warna a cabai keriting segar Duncan Grouping A A A A A
Mean 26.883 26.830 25.470 27.565 25.223
N 4 4 4 6 6
Tempat Keranjang Kardus Sebelum Lapangan Laboratorium
Lampiran 9 Analisis sidik ragam derajat warna b cabai keriting segar Source Kemasan Tempat Kemasan*Tempat Error Corrected total
DF 2 1 2 6 11
Type I SS 1.137 42.0376 5.2018 19.0615 67.438
Mean Square 0.5685 42.0376 2.6009 3.1769
F Value 0.18 13.23 0.82
Pr > F 0.8404 0.0109 0.4849
33 Lampiran 10 Analisis sidik ragam derajat warna b cabai keriting segar Duncan Grouping A A A A B
Mean 13.620 13.203 12.868 15.102 11.358
N 4 4 4 6 6
Tempat Sebelum Keranjang Kardus Lapangan Laboratorium
Lampiran 11 Analisis sidik ragam kadar air cabai keriting segar Source Kemasan Transportasi Kemasan*transport Error Corrected total
DF 2 1 2 6 11
Type I SS 0.0004 0.0002 0.0009 0.0017 0.0032
Mean Square 0.002 0.001 0.004 0.0003
F Value 0.74 0.54 1.49
Pr > F 0.5151 0.4958 0.2985
Lampiran 12 Uji DMRT kadar air cabai keriting segar Duncan Grouping A A A A A
Mean 0.8202 0.8125 0.8055 0.8163 0.8091
N 4 4 4 6 6
Tempat Sebelum Keranjang Kardus Lapangan Laboratorium
Lampiran 13 Alat – alat yang digunakan pada penelitian
(a)
(b)
(c)
34
(d)
(e)
(f)
(g)
(h) (i) (j) (k) Keterangan : (a) Pick up (b) Simulator getar (c) Timbangan Camry (d) Stopwatch (e) Rheometer (f) Oven (g) Timbangan (h) Desikator (i) Chromameter (j) Android smartphone dengan Vibrometer app (k) Hobo Data Logger
35
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 September 1991 dari pasangan Bajongga Badihon Siahaan dan Ritha Siagian. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 21 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian. Tahun 2013 penulis lulus dengan gelar Sarjana Teknologi Pertanian dari Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian dan melanjutkan studi Master Sains di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dengan program Fast Track pada program studi Teknologi Pascapanen. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif sebagai anggota Komisi Kesenian PMK IPB 2010-2011 dan menjadi pengurus 2011-2012 sebagai divisi Intern. Penulis juga aktif sebagai bagian dari Himpunan Profesi mahasiswa HIMATETA 2011-2012 dengan menjabat sebagai Ketua klub Bahasa dan Jurnalistik. Selama menjadi mahasiswa penulis juga aktif mengikuti kegiatan kepanitiaan di acara-acara di Departemen Teknik Mesin dan Biosistem seperti menjadi Komisi Disiplin masa perkenalan departemen (SAPA 2011) dan acaraacara di PMK IPB sebagai pemusik di beberapa acara PMK dan kepanitiaan retreat PMK 2011 serta acara-acara Komisi Kesenian PMK IPB menjadi pemusik dan panitia kegiatan-kegiatan. Tahun 2013-2014, Penulis aktif sebagai SC dan alumni di Komisi Kesenian PMK IPB, PMK IPB dan HIMATETA. Penulis melaksanakan praktik lapangan pada tanggal 25 Juni 2012 – 10 Agustus 2012 di PT.Sandabi Indah Lestari, Bengkulu dengan judul Penanganan Pascapanen Kelapa Sawit di PT. Sandabi Indah Lestari, Bengkulu. Penulis telah menyelesaikan Skripsi untuk karya ilmiah dengan Judul Simulasi Transportasi dengan Pengemasan Curah (Bulk Packaging) pada Cabai Merah Keriting Segar dan melakukan publikasi jurnal dengan judul tersebut pada Jurnal Keteknikan Pertanian (JTEP) ISSN 2338-8439 Vol.27 April 2013.