SIMULASI SISTEM KENDALI PENGGERAK 2-DOF UNTUK ANTENA KOMUNIKASI SATELIT (SIMULATION OF 2-DOF MECHANISM CONTROL SYSTEM FOR SATELLITE COMMUNICATION ANTENNAS)
TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung Oleh
HENDRI MAJA SAPUTRA NIM: 23110009 (Program Studi Teknik Mesin)
PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK MESIN DAN DIRGANTARA INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2012
SIMULASI SISTEM KENDALI PENGGERAK 2-DOF UNTUK ANTENA KOMUNIKASI SATELIT
Oleh
HENDRI MAJA SAPUTRA NIM: 23110009 (Program Studi Teknik Mesin) Institut Teknologi Bandung
Menyetujui Tim Pembimbing
Tanggal 24 September 2012
Ketua
Anggota
Dr. Ir. Zainal Abidin____ NIP: 19600412 198503 1 005
Dr. Eng. Estiko Rijanto__ NIP: 19671231 198712 1 002
ii
ABSTRAK SIMULASI SISTEM KENDALI PENGGERAK 2-DOF UNTUK ANTENA KOMUNIKASI SATELIT Oleh HENDRI MAJA SAPUTRA NIM: 23110009 (Program Studi Teknik Mesin) Mekanisme penggerak dua derajat kebebasan (MP 2-DOF) banyak digunakan di berbagai bidang, baik untuk perangkat sipil maupun perangkat pertahanan dan keamanan (hankam). Khusus peralatan hankam, ketergantungan pada produk impor memungkinkan terjadinya kebocoran data rahasia dan kesulitan perbaikan serta perawatan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menindaklanjuti pemecahan masalah tersebut melalui dukungan kegiatan riset oleh beberapa satuan kerja, antara lain penelitian radar oleh Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi (P2ET), penelitian optronics stabilized platform oleh Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi, dan Metrologi (P2KIM), dan penelitian pengunci sasaran bergerak oleh Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik (P2Telimek). Dalam rangka turut mendukung penelitian LIPI tersebut maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengembangkan teknik kendali sistem penggerak 2-DOF pada antena komunikasi satelit. Ruang lingkup penelitian ini, antara lain: mengkaji algoritma sensor IMU untuk diterapkan pada sensor merek PhidgetSpatial 3/3/3, menurunkan persamaan sudut balik untuk mengkompensasi pergerakan kendaraan, dan menurunkan persamaan dinamika beserta simulasi penerapan kendali PID. Metodologi penelitian diawali dengan kajian pustaka, kemudian penurunan persamaan attitude serta persamaan sudut balik, selanjutnya dilakukan pemodelan dinamika dengan dua metode (metode Lagrange dengan asumsi titik massa pada sendi dan metode NewtonEuler untuk titik massa pada Center of Gravity/COG), dilanjutkan dengan linierisasi model dinamika dan simulasi teknik kendali menggunakan data MP 2Berdasarkan hasil penelitian, pembacaan PhidgetSpatial 3/3/3 dengan Matlab harus dibuat waktu cuplik yang tidak kurang dari 32 ms. Metode sudut balik yang paling tepat untuk mengkompensasi pergerakan kendaraan adalah “metode matriks rotasi” dengan waktu proses yang jauh lebih cepat, dimana galat maksimum terhadap metode matriks Jacobian adalah 0,03º untuk Pan dan 0,02º untuk Tilt. Daya aktuator maksimal yang dibutuhkan adalah 1,72 kW untuk Pan dan 2,69 kW untuk Tilt. Pada simulasi kendali PID diperoleh nilai [kp, ki, kd] untuk Pan adalah [70, 0,001, 30] sedangkan untuk Tilt adalah [720, 880, 220]. Perbandingan simulasi kendali PID antara sistem linier dengan sistem tak-linier secara visual menunjukkan tanggapan yang sama pada keadaan tunak, sedangkan pada daerah transient memiliki perbedaan. Kata kunci: simulasi, kendali, penggerak 2-DOF, antena komunikasi satelit, IMU, PID. iii
ABSTRACT SIMULATION OF 2-DOF MECHANISM CONTROL SYSTEM FOR SATELLITE COMMUNICATION ANTENNAS Oleh HENDRI MAJA SAPUTRA NIM: 23110009 (Program Studi Teknik Mesin)
Two degrees of freedom driving mechanisms (MP 2-DOF) are widely used in various fields, not only civilian but also defense. Especially in the field of defense, the dependence on imported products resulting the leakage of confidential data and the difficulty of repairing and maintenance. Indonesian Institute of Sciences (LIPI) solves that problem through research activities conducted by several research centers, including radar research by the Electronics and Telecommunications Research Center (P2ET), optronics stabilized platform research by the Research Center for Calibration, Instrumentation and Metrology (P2KIM) and moving target locking research by the Research Center of Electric Power and Mechatronics (P2Telimek). The purpose of this research is to develop techniques for controlling a 2-DOF drive system used in satellite communication antennas that support all the LIPI research activities. The scope of this study includes: reviewing IMU sensor algorithms to be applied in the sensor PhidgetSpatial brand 3/3/3, deriving the inverse angle equation to compensate the vehicles movement and derives dynamical equations and its simulation using PID control. The research methodology begins with a literature review, derivation of the attitude and inverse angle equation, modeling the dynamics by two methods (Lagrange method by assuming point masses on the joints and the Newton-Euler method for point masses at the Center of Gravity / COG), and linearize the dynamics model and control simulation using a MP 2DOF belongs to LIPI. The following results have been obtained. Reading PhidgetSpatial 3/3/3 with Matlab should consider a sampling time less than 32 ms. The most appropriate inverse angle method to compensate for the vehicles movement is "rotation matrix method" with much faster process, where the maximum error of the method to Jacobian matrix is 0.03º for Pan and 0.02º for Tilt. The maximum actuator power required is 1.72 kW for Pan and 2.69 kW for Tilt. In PID control simulation, the constant[kp, ki, kd] obtained for Pan are [70, 0.001, 30] while for the Tilt are [720, 880, 220]. PID control simulation comparison between linear systems and non-linear system visually showed the same response in the steady-state, whereas in the transient region have differences. Keywords: simulation, control, antennas, IMU, PID.
2-DOF
iv
driver,
satellite
communication
PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS
Tesis S2 yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan Institut Teknologi Bandung, dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak cipta ada pada pengarang dengan mengikuti aturan HaKI yang berlaku di Institut Teknologi Bandung. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi pengutipan atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin pengarang dan harus disertai dengan kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan sumbernya.
Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh tesis haruslah seizin Direktur Program Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung.
v
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur kepada Allah SWT dan ucapan rasa terima kasih yang mendalam kami ucapkan kepada orang-orang terkasih dan tersayang, serta berbagai pihak yang telah memberikan dukungan sepenuhnya sehingga terselesaikannya tesis ini.
Secara khusus kami persembahkan rasa terima kasih kepada: 1. Dosen pembimbing sekaligus walisiswa Bapak Dr. Ir. Zainal Abidin 2. Kepala Puslit Telimek LIPI sekaligus pembimbing Bapak Dr. Eng. Estiko Rijanto 3. Pegawai dan Rekan Mahasiswa Lab Dinamika – ITB 4. Teman-teman Peneliti Bidang Mekatronik Puslit Telimek LIPI 5. Istri dan putra-putri tercinta 6. Dan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu Semoga Allah SWT membalas seluruh amal yang telah bapak dan ibu lakukan dengan yang lebih baik, aamiin…
Bandung,
September 2012 Penulis,
vi
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan tesis ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya dengan judul “SIMULASI SISTEM KENDALI
PENGGERAK
2-DOF
UNTUK
ANTENA
KOMUNIKASI
SATELIT”.
Tesis ini berisikan informasi mengenai pengembangkan teknik kendali untuk sistem penggerak 2-DOF antena komunikasi satelit yang dipasangkan pada kendaraan. Diharapkan tesis ini dapat memberikan pengetahuan kepada kita semua terkait sistem penggerak 2-DOF yang memiliki kepresisian dan mampu untuk tetap mengarah pada titik sasaran tertentu walaupun mengalami pergerakan kendaraan.
Kami menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Zainal Abidin dan Dr.Eng. Estiko Rijanto sebagai pembimbing, atas segala saran, bimbingan dan nasehatnya selama penelitian berlangsung dan selama penulisan tesis ini.
Bandung,
September 2012 Penulis,
vii
DAFTAR ISI ABSTRAK ............................................................................................................. iii ABSTRACT ........................................................................................................... iv PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS......................................................................v UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................................. vi KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii DAFTAR TABEL ..................................................................................................xv Bab I.
Pendahuluan ...............................................................................................1 I.1
Latar Belakang..................................................................................1
I.2
Tinjauan Pustaka ..............................................................................2
I.3
Perumusan Masalah ..........................................................................7
I.4
Tujuan Penelitian ..............................................................................7
I.5
Ruang Lingkup Penelitian ................................................................7
I.6
Metode Penelitian .............................................................................7
I.7
Sistematika Penulisan .......................................................................8
Bab II. Dasar Teori...............................................................................................10 II.1 Sensor Inersia (IMU) ......................................................................10 II.2 Kinematika dan Dinamika ..............................................................11 II.2.1 Kinematika Manipulator .....................................................12 II.2.2 Dinamika Manipulator ........................................................13 II.2.3 Linierisasi Sistem Dinamika ...............................................15 II.3 Teknik Kendali ...............................................................................16
viii
II.4 Mekanisme Penggerak 2-DOF Milik LIPI .....................................17 Bab III. Pemodelan dan Rancang Bangun Sensor Inersia .....................................19 III.1 Model Sensor Giroskop, Akselerometer, dan Magnetometer ........19 III.2 Model AHRS (Attitude Heading References System) ....................19 III.2.1 Model Attitude Relatif dari Giroskop ................................20 III.2.2 Model Attitude Absolut dari Akselerometer dan Magnetometer .....................................................................21 III.2.3 Model Posisi dan Kecepatan dari Data Akselerometer ......24 III.3 Perangkat Keras Sensor ..................................................................24 III.4 Perangkat Lunak Sensor .................................................................25 III.5 Hasil Pengukuran Data Sensor .......................................................26 III.6 Hasil Pengujian Data Sensor dengan Tapis Kalman ......................28 III.7 Implementasi Sensor IMU..............................................................33 Bab IV. Kinematika ...............................................................................................35 IV.1 Model Pergerakan Kendaraan ........................................................35 IV.2 Model Kinematika Mekanisme ......................................................35 IV.3 Transformasi Homogen Total.........................................................38 IV.4 Metode Sudut Balik ........................................................................40 IV.4.1 Metode Matriks Jacobian ....................................................41 IV.4.2 Metode Matriks Posisi ........................................................43 IV.4.3 Metode Matriks Rotasi .......................................................45 IV.5 Perbandingan Nilai Galat Maksimum Ketiga Metode ...................46 IV.5.1 Masukan Gerak PY .............................................................46 IV.5.2 Masukan Gerak RPY ..........................................................48 Bab V. Dinamika ..................................................................................................49 V.1 Model Dinamika dengan Metode Lagrangian ................................49
ix
V.2 Model Dinamika dengan Metode Newton Euler ............................50 V.3 Simulasi Dinamika Mundur Antena Komunikasi Satelit ...............53 V.4 Linierisasi Model Dinamika ...........................................................55 V.5 Perbandingan Persamaan Tak-Linier dengan Linier untuk Lengan 2 .........................................................................................59 V.6 Teknik Kendali ...............................................................................59 V.6.1 Persamaan Dinamika Sistem Linier....................................60 V.6.2 Persamaan Dinamika Sistem Tak-Linier ............................61 Bab VI. Kesimpulan dan Saran .............................................................................65 VI.1 Kesimpulan .....................................................................................65 VI.2 Saran ...............................................................................................65 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................67
x
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1.
Spesifikasi PhidgetSpatial 3/3/3 .................................................... 70
Lampiran 2.
Penurunan model dinamika dengan metode Lagrangian (asumsi titik massa pada sendi) ................................................... 71
Lampiran 3.
Penurunan model dinamika dengan metode Newton Euler {asumsi titik massa pada titik pusat massa (center of gravity/ COG)} .......................................................................................... 73
Lampiran 4.
Sifat-sifat sinus-kosinus untuk linierisasi ..................................... 76
xi
DAFTAR GAMBAR Gambar I.1
Komponen-komponen INS .......................................................
3
Gambar I.2
Ilustrasi gerak rotasi (γ, β, α) dan translasi (bx, by, bz). ............
5
Gambar I.3
Perbedaan kinematika balik dengan sudut balik .......................
5
Gambar I.4
Diagram alir penelitian..............................................................
8
Gambar II.1
Estimasi tapis Kalman untuk giroskop dan akselerometer ....... 10
Gambar II.2
Estimasi tapis Kalman untuk giroskop, akselerometer, dan magnetometer ............................................................................ 11
Gambar II.3
Blok teknik kendali secara umum ............................................. 16
Gambar II.4
Blok teknik kendali computed-torque ....................................... 16
Gambar II.5
MP 2-DOF dengan perangkat optronik ..................................... 17
Gambar II.6
MP 2-DOF dengan perangkat antena komunikasi satelit.......... 17
Gambar III.1
Prinsip kerja INS ....................................................................... 20
Gambar III.2
Penyesuaian koordinat referensi global dengan koordinat sensor ........................................................................................ 20
Gambar III.3
Koordinat rotasi sensor: (a) sumbu-Y; (b) sumbu-X ................ 21
Gambar III.4
Perubahan koordinat referensi global........................................ 22
Gambar III.5
Koordinat komponen Xh dan Yh ............................................... 23
Gambar III.6
Tampak atas sensor IMU PhidgetSpatial 3/3/3 ......................... 25
Gambar III.7
Program PhidgetSpatial 3/3/3: (a) diagram alir; (b) tiga bagian utama sintaks ................................................................. 25
Gambar III.8
Pengaruh waktu cuplik terhadap data sensor (sumbu-Z) .......... 26
Gambar III.9
Hasil pengukuran sensor giroskop 3-aksis ................................ 27
Gambar III.10 Hasil pengukuran sensor akselerometer 3-aksis ....................... 27 Gambar III.11 Hasil pengukuran sensor magnetometer 3-aksis ....................... 28 Gambar III.12 Estimasi kecepatan sudut sumbu-Z, sensor tidak digerakkan ... 29 Gambar III.13 Estimasi kecepatan sudut sumbu-Z, sensor digerakkan ............ 30 Gambar III.14 Estimasi RPY sumbu-Z, sensor digerakkan .............................. 30 Gambar III.15 Hasil perhitungan attitude relatif (RPY) ................................... 31 Gambar III.16 Hasil perhitungan attitude absolut (BEH) ................................. 32 Gambar III.17 Implementasi sensor IMU pada alat pengangkat (crane) ......... 33
xii
Gambar III.18 Besar sudut hasil pengukuran alat pengangkat ......................... 34 Gambar IV.1
Koordinat notasi D-H untuk MP 2-DOF................................... 36
Gambar IV.2
Kerangka koordinat transformasi homogen total ...................... 38
Gambar IV.3
Diagram blok transformasi homogen total................................ 38
Gambar IV.4
Metode matriks Jacobian terhadap gerak PY: (a) sudut balik; (b) galat sudut.................................................................. 42
Gambar IV.5
Metode matriks Jacobian terhadap gerak RPY ......................... 42
Gambar IV.6
Diagram Benda Bebas MP 2-DOF............................................ 43
Gambar IV.7
Metode matriks posisi terhadap gerak PY: (a) sudut balik; (b) galat sudut ............................................................................ 44
Gambar IV.8
Metode matriks posisi terhadap gerak RPY: (a) sudut balik; (b) galat sudut ............................................................................ 44
Gambar IV.9
Metode matriks rotasi terhadap gerak PY: (a) sudut balik; (b) galat sudut ............................................................................ 46
Gambar IV.10 Metode matriks rotasi terhadap gerak RPY: (a) sudut balik; (b) galat sudut ............................................................................ 46 Gambar IV.11 Perbandingan waktu proses ketiga metode untuk gerak PY ..... 47 Gambar IV.12 Perbandingan waktu proses ketiga metode untuk gerak RPY ... 48 Gambar V.1
MP 2-DOF dengan asumsi titik massa pada sendi .................... 49
Gambar V.2
Perbandingan hasil analitik dengan robotics toolbox................ 54
Gambar V.3
Letak kutub fungsi alih lengan 1: (a) jerat terbuka; (b) jerat tertutup ...................................................................................... 58
Gambar V.4
Letak kutub fungsi alih lengan 2: (a) jerat terbuka; (b) jerat tertutup ..................................................................................... 58
Gambar V.5
Kemiripan hasil linierisasi berdasarkan simpangan sudut ........ 59
Gambar V.6
Tanggapan sistem linier terhadap sudut kesetimbangan: (a) jerat terbuka; (b) jerat tertutup dengan kendali PID ............ 61
Gambar V.7
Simulasi teknik kendali MP 2-DOF sistem tak-linier ............... 62
Gambar V.8
Matriks massa balik................................................................... 62
Gambar V.9
Tanggapan sistem linier terhadap sudut kesetimbangan: (a) jerat terbuka; (b) jerat tertutup dengan kendali PID ............ 63
xiii
Gambar V.10. Perbandingan kinerja kendali PID model linier dengan model tak-linier: ........................................................................ 63 Gambar V.11
Galat tanggapan kendali PID model tak-linier terhadap model linier ............................................................................... 64
xiv
DAFTAR TABEL Tabel II.1
Struktur persamaan dinamika manipulator ...................................... 13
Tabel II.2
Rekursif Newton-Euler .................................................................... 14
Tabel II.3
Spesifikasi MP 2-DOF untuk antena komunikasi satelit bergerak .. 18
Tabel III.1
Ketentuan kuadran komponen Xh dan Yh ....................................... 23
Tabel III.2
Data deviasi standar dan nilai rata-rata dari pengukuran sensor ..... 28
Tabel III.3
Variasi nilai deviasi standar derau proses (q) .................................. 29
Tabel III.4
Variasi nilai deviasi standar derau pengukuran (r) .......................... 29
Tabel III.5
Kenaikan/penurunan nilai attitude relatif ........................................ 32
Tabel III.6
Data deviasi standar dan nilai rata-rata attitude absolut .................. 33
Tabel III.7
Kondisi kerja alat pengangkat pada saat dilakukan pengujian ........ 34
Tabel IV.1 Parameter lengan MP 2-DOF .......................................................... 36 Tabel IV.2 Parameter simulasi sudut balik ........................................................ 40 Tabel IV.3. Algoritma sudut balik metode matriks Jacobian.............................. 41 Tabel IV.4. Galat maksimum terhadap pergerakan PY ...................................... 47 Tabel IV.5. Galat maksimum terhadap pergerakan RPY .................................... 48 Tabel V.1
Parameter simulasi dinamika antena komunikasi satelit ................. 53
xv
Bab I. Pendahuluan I.1 Latar Belakang Mekanisme penggerak dua derajat kebebasan (MP 2-DOF) banyak digunakan di berbagai bidang, baik untuk perangkat sipil (antena radar pengawas pantai, antena komunikasi satelit, dll) maupun untuk peralatan dibidang pertahanan dan keamanan (peluncur tembakan, senjata gatling, turret, dll). Khususnya dalam bidang pertahanan dan keamanan, ketergantungan pada produk impor dari komponen utama sistem yang dimaksudkan memungkinkan terjadinya kebocoran data rahasia dan kesulitan perbaikan serta perawatan sehingga dikhawatirkan terjadinya intervensi asing.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menindaklanjuti pemecahan masalah ketergantungan tersebut melalui dukungan kegiatan penelitian oleh beberapa unit kerja, antara lain penelitian dibidang radar oleh Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi (P2ET), penelitian tentang target tracking oleh Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi, dan Metrologi (P2KIM), dan penelitian dibidang robotika tentang pengunci sasaran bergerak oleh Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik (P2Telimek). Salah satu faktor
penentu
daya
saing
teknologi
tersebut
adalah
kemampuannya
untuk
mengkompensasi pergerakan rotasi dan translasi kendaraan, beberapa penelitian dilakukan secara terus-menerus baik dalam hal kinematika, dinamika maupun teknik kendali sehingga diperoleh mekanisme penggerak yang mampu mempertahankan arah sasaran akibat pergerakan rotasi dan translasi kendaraan.
Sistem penggerak 2-DOF membutuhkan sensor Inertial Measurement Unit (IMU) untuk membaca pergerakan rotasi dan translasi akibat gerak kendaraan dimana MP 2-DOF dipasangkan. Pada makalah (Wongkamchang dan Sangveraphunsir, 2008) sistem hanya menggunakan sensor giroskop, padahal modul sensor terbaru seperti PhidgetSpatial 3/3/3 merupakan kombinasi dari sensor giroskop, akselerometer, dan magnetometer. Model attitude dari kombinasi sensor tersebut dapat diturunkan melalui analisis geometri (Adiprawita dkk., 2007; Agus dkk., 2008), walaupun demikian penelitian yang mengkaji model sederhana dan sistematik untuk memperoleh attitude yang memperhatikan kinerja PhidgetSpatial 3/3/3 untuk sistem penggerak 2-DOF antena komunikasi satelit belum dilakukan. Penelitian kinematika balik untuk sistem MP 2-DOF dengan metode iterasi
1
menggunakan matriks Jacobian menggunakan fasilitas robotics toolbox (release 7.1) telah dilakukan (Saputra dan Rijanto, 2009), penurunan persamaan geometri menggunakan matriks posisi dibahas oleh (Soong dan Brown, 1991), sedangkan penurunan secara analitik menggunakan matriks rotasi belum pernah ada yang membahas secara khusus. Ketiga metode inipun belum pernah dibandingkan, baik simulasi maupun eksperimen. Pemodelan dinamika mekanisme 2-DOF telah diturunkan dengan asumsi penyederhaan tertentu menggunakan metode Newton-Euler (Sarwar dan Malik, 2010) maupun metode Lagrangian (Rubio dkk., 2010), akan tetapi pemodelan dinamika dengan struktur ideal yang menggunakan parameter antena komunikasi satelit milik LIPI belum dilakukan.
Penelitian difokuskan pada sistem penggerak 2-DOF yang meliputi kajian persamaan sensor IMU untuk diterapkan pada sensor inersia merek PhidgetSpatial 3/3/3, penurunan persamaan sudut balik yang mengkompensasi perubahan orientasi akibat gerak kendaraan, penurunan persamaan dinamika dan membuat simulasi penerapan kendali PID dari sistem penggerak 2-DOF untuk antena komunikasi satelit. Teknologi mendasar dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diterapkan di berbagai peralatan sipil dan peralatan militer yang telah disebutkan sebelumnya.
I.2 Tinjauan Pustaka Kepresisian merupakan hal penting yang ingin dicapai dalam bidang robot dan mekatronik. Kepresisian dalam bidang mekatronik sangat tergantung pada masalah kinematika, dinamika dan teknik kendali. Mekanisme penggerak dua derajat kebebasan (MP 2-DOF) adalah sebuah contoh peralatan mekatronik yang dapat digunakan untuk berbagai aplikasi seperti sistem penggerak turret, senjata gatling, launcher, antena radar, dan antena komunikasi satelit. Penelitian terkait kinematika, dinamika, dan teknik kendali terusmenerus dilakukan untuk memperoleh MP 2-DOF yang mampu mempertahankan arah sasaran akibat pergerakan rotasi dan translasi kendaraan .
Sistem penggerak 2-DOF membutuhkan Inertial Measurement Unit (IMU) untuk membaca pergerakan rotasi akibat gerak kendaraan dimana MP 2-DOF dipasangkan. IMU merupakan bagian dari Attitude and Heading References System (AHRS) dan Inertial Navigation System (INS), untuk lebih jelas lihat Gambar I.1. AHRS dapat digunakan pada berbagai aplikasi, baik di kendaraan darat (misalnya mobil, kereta, dan robot mobil), kapal
2
laut, maupun pesawat terbang. Proses pemodelan attitude pada kenyataannya cukup rumit karena galat dari data sensor menyebabkan akumulasi galat pada perhitungan attitude.
Gambar I.1 Komponen-komponen INS (Titterton, 2004) Teknologi termaju berhasil mengembangkan sensor IMU dalam hal kepresisian dan ketahanan uji menggunakan micro-electro-mechanical systems (MEMS). IMU yang berkembang merupakan kombinasi tiga orientasi sumbu koordinat yang saling melengkapi, dimana masing-masing
aksis terdiri atas
sensor giroskop,
akselerometer,
dan
magnetometer (Waller, 2006).
Attitude atau orientasi dapat direpresentasikan melalui tiga arah rotasi yaitu roll, pitch dan yaw (RPY) atau bank, elevation, dan heading (BEH) dengan sudut Euler ZYX (Craig, 2005), DCM (Direction Cosine Matrix) dan sudut Quaternion. Perbandingan hasil dari ketiga metode representasi tersebut secara detail dibahas oleh (Kang dkk., 2009). Sudut Euler sangat intuitif dan luas penggunaannya, tetapi memiliki kelemahan yakni akan mengalami singularitas jika sudut mendekati 90º (Adiprawita dkk., 2007; Agus dkk., 2008; Kang dkk., 2009).
Ada dua pendekatan yang biasa digunakan untuk perhitungan attitude. Pertama (attitude relatif) adalah attitude yang dihitung berdasarkan mekanisasi inersia yang menggunakan integral waktu diskrit terhadap pengukuran kecepatan rotasi menggunakan data dari giroskop 3-aksis. Sudut yang dihasilkan dari pendekatan ini adalah roll, pitch dan yaw (RPY). Dalam hal ini, penentuan attitude tergantung pada nilai pengukuran sebelumnya serta akan selalu mengalami penyimpangan (drift), untuk itu membutuhkan kompensasi koreksi secara terus menerus. Kedua (attitude absolut) adalah attitude yang dihitung berdasarkan nilai pengukuran terakhir dari data dari akselerometer dan megnetometer, melalui metode analisis geometri. Sudut yang dihasilkan dari pendekatan ini adalah bank, elevation, dan heading (BEH). Penentuan bank dan elevation, diperoleh dari vektor 3
gravitasi yang diukur dengan akselerometer, sedangkan heading dihitung dari magnetometer dan sudut bank-elevation (Adiprawita dkk., 2007; Agus dkk., 2008). Orientasi medan magnet secara matematis harus diputar ke bidang horizontal terlebih dahulu. Jika orientasi tidak diputar ke bidang horizontal maka perhitungan heading akan menghasilkan kesalahan yang cukup besar (Caruso, 2000).
Permasalahan umum yang paling mendasar pada sensor IMU adalah terdapat derau berupa Gaussian white noise (Phidget, 2010) yang dapat menyebabkan ketidakakuratan dan ketidakpresisian perhitungan attitude. Metode untuk meminimalisir derau menggunakan tapis Kalman dibahas oleh (Liu dkk., 2008). Tapis Kalman merupakan estimator yang sangat efektif untuk mengestimasi keadaan (state estimation) dinamika sistem yang kompleks, khususnya sistem diskrit dinamika linear yang melibatkan derau proses maupun derau pengukuran.
Pembahasan yang terkait dengan penelitian ini secara umum dapat ditemukan pada beberapa literatur. Mekanisme Pan-Tilt (MPT) dua derajat kebebasan (2-DOF) yang dikombinasi dengan penjejak visual (video kamera) dan dipasang di kapal laut dan pesawat dibahas oleh (Sarwar dan Malik, 2010; Hong, 1995; Sangveraphunsir dan Wongkamchang, 2010). Pemodelan dan simulasi dinamika dari platform gimbal 2-DOF berukuran besar dengan asumsi rigid dan fleksibel yang dilengkapi teknik kendali elektronik untuk mengurangi hentakan pada Line-Of-Sight (LOS) guna meningkatkan performansi sistem dapat dilihat pada (Singh dkk., 2008). Aplikasi dari kendali posisi dan kecepatan inersia untuk platform giroskopik 2-DOF yang dimodelkan dengan metode Lagrangian diimplementasi dalam dua mode operasi berbeda, yaitu mode kendali posisi non-inersia (posisi sudut dikendalikan) dan mode kendali kecepatan inersia (kecepatan inersia platform dikendalikan) dibahas oleh (Rubio dkk., 2010).
Ilmu yang paling mendasar dari sistem MP 2-DOF adalah mengkompensasi pergerakan rotasi dan translasi dari gerak kendaraan {lihat Gambar I.2 (Saputra dan Rijanto, 2009)} menggunakan kinematika sudut balik. Istilah ‘sudut balik’ digunakan karena penelitian ini difokuskan pada penentuan sudut (θ1 dan θ2) yang harus dibentuk akibat rotasi sudut RPY (γ, β, α), sedangkan istilah kinematika balik biasa digunakan untuk penentuan sudut agar mencapai posisi Cartesian tertentu (lihat Gambar I.3).
4
Gambar I.2 Ilustrasi gerak rotasi (γ, β, α) dan translasi (bx, by, bz).
Metode kinematika balik untuk menentukan sudut manipulator lengan robot untuk mencapai posisi tertentu telah dijelaskan (Craig, 2005). Penelitian mengenai kinematika balik mekanisme 2-DOF dengan metode geometri dan Jacobian untuk kepala robot Rochester dapat dilihat pada (Soong dan Brown, 1991). Kinematika balik melalui proses komputasi algoritma Jacobian pseudoinverse menggunakan fasilitas robotics toolbox (release 7.1) dapat dilihat pada makalah (Saputra dan Rijanto, 2009). Kinematika balik manipulator juga dapat diselesaikan dengan metode lain yang lebih canggih seperti neural network (Feng dkk, 2012), pendekatan neuro-genetic (Koker, 2011), dengan perangkat lunak ANFIS (Yazid dan Rijanto, 2007), dan lain-lain.
Gambar I.3 Perbedaan kinematika balik dengan sudut balik Mekanisme penggerak 2-DOF yang diimplentasikan pada perangkat senjata telah dibahas (Özdemir, 2006). Permasalahan utama pada implementasi ini adalah upaya pengendalian agar pergerakan inersia platform dan hentakan gaya balik akibat tembakan dapat diantisipasi. Tahap awal yang perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan melakukan pemodelan sistem yang tepat. Pemodelan mekanisme giroskopik 2-DOF yang diturunkan dengan metode Newton-Euler melalui asumsi penyederhaan tertentu telah dilakukan (Sarwar dan Malik, 2010), selain itu juga terdapat pembahasan yang memodelkan dengan metode Lagrangian (Rubio dkk., 2010). Setelah dimodelkan,
5
persamaan yang diperoleh perlu dilinierisasi, (Lee, 2005) mencontohkan linierisasi model dinamika dari lengan robot planar 2-DOF.
Implementasi sistem kontrol tracking pengarah antena menggunakan kompensator PIDLead compensator untuk sistem mekanisme 4-DOF dijelaskan (Afandi, 2006). Pengendali PID juga dapat dilengkapi dengan pengendali cerdas menggunakan multilayer backpropagation neural network “Neural PID Tuner” (Hong, 1995). Perbandingan Computed torque control dan kendali PD untuk performasi penjejak pada data posisi objek dapat dilihat pada (Swarup, 1993). Pada makalah (Wongkamchang dan Sangveraphunsir, 2008), dilakukan perancangan pengendali lanjut untuk memenuhi performansi sistem penggerak 2-DOF yang dipasangkan kamera. Sistem menstabilkan ke arah target dengan mengkompensasi gerakan eksternal akibat gaya aerodinamik dan manuver pesawat. Giroskop dipasangkan pada landasan untuk mengukur kecepatan dan orientasi gimbal yang relatif terhadap koordinat referensi. Kinematika balik diturunkan melalui metode geometri, sedangkan model dinamika diturunkan dengan metode Lagrange. Untuk pengendali tingkat tinggi (pengendali jerat bagian luar), gimbal kamera dikendalikan untuk mengkompensasi pergerakan landasan, sedangkan untuk pengendali tingkat rendah (pengendali jerat bagian dalam) dari sistem servo gimbal digunakan kendali dinamika balik tegar (robust inverse dynamic) dan kendali adapatif. Pada makalah (Sangveraphunsir dan Wongkamchang, 2010), kendali adapatif dari sistem tersebut diganti dengan kendali sliding mode.
Pada penelitian ini, pemodelan dan rancang bangun sensor IMU diperlukan untuk memberikan dua hal penting. Pertama adalah menerangkan model perhitungan attitude yang sederhana dan sistematik agar dapat digunakan langsung guna menghitung attitude relatif dan attitude absolut sebagai masukan sistem MP 2-DOF. Kedua adalah menerangkan aplikasi dari IMU PhidgetSpatial 3/3/3 yang programnya dibuat sendiri menggunakan perangkat lunak Matlab dan bekerja secara waktu nyata (realtime) pada sistem MP 2-DOF. Walaupun implementasi PhidgetSpatial 3/3/3 sebagai sensor inersia telah dibahas oleh (Andersson dan Idegren, 2011; Williford, 2012), tetapi tidak menyinggung masalah kinerja sensor secara rinci. Pemodelan kinematika untuk memperoleh sudut balik ditujukan untuk merekomendasikan metode yang optimal untuk digunakan sebagai kompensasi pergerakan rotasi kendaraan dengan asumsi pada posisi tertentu (tidak ada pergerakan translasi). Metode yang dibandingkan adalah iterasi menggunakan matriks Jacobian, penurunan persamaan geometri menggunakan matriks 6
posisi, dan penurunan secara analitik menggunakan matriks rotasi. Penelitian lain yang yang membandingkan hasil dari ketiga metode ini belum pernah dilakukan, baik simulasi maupun eksperimen. Pemodelan dinamika memberikan model dinamika maju dan dinamika mundur dari MP 2-DOF yang dimplementasikan pada alat komunikasi satelit. Model dinamika maju digunakan untuk simulasi teknik kendali, sedangkan dinamika mundur digunakan untuk menghitung torsi dan daya yang dibutuhkan dalam perancangan komponen penggerak.
I.3 Perumusan Masalah Masalah yang dihadapi adalah (1) ada beberapa cara untuk menghitung posisi dan orientasi dari data sensor IMU sehingga diperlukan pemilihan yang tepat, (2) ada beberapa metode sudut balik dari MP 2-DOF yang bertujuan agar dapat selalu mengarah pada posisi dan orientasi tertentu, walaupun mengalami pergerakan enam derajat kebebasan (rotasi dan translasi), dan (3) diperlukan analisis menyeluruh yang terkait dengan dinamika dari mekanisme penggerak 2-DOF.
I.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan teknik kendali untuk sistem penggerak 2DOF pada antena komunikasi satelit. Tiga bagian yang menjadi fokus penelitian antara lain (1) pemodelan dan rancang bangun sensor IMU, (2) penurunan metode sudut balik yang sesuai untuk implementasi MP 2-DOF yang terintegrasi, dan (3) membuat pemodelan dinamika untuk mengetahui karakteristik dari perangkat nyata yang ada, yang disertai dengan teknik kendali menggunakan parameter dari MP 2-DOF milik LIPI.
I.5 Ruang Lingkup Penelitian Mengkaji algoritma sensor IMU untuk diterapkan pada sensor inersia merek PhidgetSpatial 3/3/3. Menurunkan persamaan sudut balik yang mengkompensasi pergerakan rotasi akibat gerak kendaraan. Menurunkan persamaan dinamika dan membuat simulasi penerapan kendali PID dari sistem penggerak 2-DOF antena komunikasi satelit.
I.6 Metode Penelitian Metode penelitian ini diawali dengan kajian pustaka dan pengamatan (observasi), kemudian dilakukan penurunan persamaan attitude serta penurunan persamaan sudut balik, selanjutnya dilakukan pemodelan dinamika MP 2-DOF dengan dua metode (metode 7
Lagrange dengan asumsi titik massa pada sendi dan metode Newton-Euler untuk sistem yang ideal dimana titik massa pada Center of Gravity/COG), dilanjutkan dengan linierisasi dari model dinamika dan simulasi teknik kendali menggunakan data riil yang ada.
Gambar I.4 Diagram alir penelitian
I.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini dibagi menjadi 6 bab, antara lain: Bab I berisi tentang latar belakang dilakukannya penelitian. Kemudian dibahas tinjauan pustaka dari beberapa referensi ilmiah yang dilanjutkan dengan perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, ruang lingkup dan metode yang digunakan dalam penelitian. Untuk penutup dipaparkan mengenai sistematika penulisan;
Bab II berisi tentang dasar teori yang terkait beberapa hal, antara lain adalah pengetahuan secara umum mengenai fungsi dari sensor inersia, kinematika dan dinamika manipulator yang biasa digunakan dibidang robotika, serta penjelasan teknik kendali secara umum. Pada akhir subbab, ulasan singkat mengenai MP 2-DOF milik LIPI yang sudah dibuat berserta spesifikasinya akan dijelaskan;
8
Bab III berisi tentang pemodelan dari masing-masing sensor (giroskop, akselerometer dan magnetometer). Setelah itu, persamaan yang digunakan untuk mendapatkan informasi posisi, kecepatan, dan attitude dari data ketiga sensor akan diturunkan. Pengujian hasil pemodelan dilakukan dengan menggunakan sensor PhidgetSpatial 3/3/3;
Bab IV berisi tentang penurunan persamaan kinematika dari keseluruhan yang diperlukan dalam sistem MP 2-DOF. Penurunan persamaan tersebut meliputi model gerak kendaraan, model kinematika mekanisme, transformasi homogen total, dan metode sudut balik untuk mengkompensasi akibat pergerakan rotasi dan translasi kendaraan;
Bab V berisi tentang pemodelan dinamika MP 2-DOF yang disertai dengan simulasi teknik kendali. Simulasi dilakukan baik menggunakan persamaan linier maupun persamaan tidak linier;
Bab VI berisi tetang kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan. Selain itu, saransaran yang perlu dilakukan dalam rangka pengembangan kedepan juga diberikan.
9
Bab II. Dasar Teori Bab ini membahas dasar teori yang terkait dengan penelitian yang dilakukan. Hal pertama yang dipaparkan adalah mengenai sensor Inertial Measurement Unit (IMU), kemudian dasar-dasar kinematika dan dinamika manipulator, serta teknik kendali yang biasa digunakan. Setelah itu, mekanisme penggerak dua derajat kebebasan (MP 2-DOF) milik LIPI yang sudah dibuat akan dijelaskan.
II.1 Sensor Inersia (IMU) Orientasi sudut (roll-pitch-yaw) secara umum menggunakan integral dari kecepatan sudut yang diukur dengan giroskop (Roetenberg, 2006). Dalam hal ini, giroskop akan mengalami penyimpangan, oleh karena itu membutuhkan kompensasi koreksi secara terus menerus. Untuk mengatasi penyimpangan maka derau yang tidak berguna pada data harus dapat diminimalkan dengan teknik fusi sensor, seperti tapis Kalman. Pada kebanyakan kasus, data akselerometer juga dapat digunakan untuk mengoreksi penyimpangan giroskop. Hal ini diilustrasikan oleh Gambar II.1 (Luinge, 2002). Akselerometer 3-aksis dapat secara akurat digunakan untuk mendeteksi kemiringan (bank-elevation) berdasarkan gaya gravitasi bumi untuk percepatan rendah, tetapi tingkat ketelitian akan semakin berkurang seiring bertambahnya percepatan (Cloete, 2009). Akselerometer tidak dapat mendeteksi putaran pada sumbu vertikal (heading), oleh karena itu tidak dapat secara independen digunakan untuk mendeteksi bank-elevation-heading (Luinge dan Veltink, 2005).
Gambar II.1 Estimasi tapis Kalman untuk giroskop dan akselerometer Pada Gambar II.1, giroskop
𝐬�− 𝐙𝑮
dan akselerometer
𝐬 �− 𝐙𝑨
keduanya digunakan untuk
membuat estimasi vektor unit vertikal global 𝐙�. Perbedaan dua estimasi ditulis sebagai 10
̂ 𝛆 , Tapis Kalman mengestimasi kedua parameter �𝛆 dan galat offset 𝐛 fungsi galat orientasi 𝛉
tersebut, bersama dengan galat kovarian dari orientasi 𝐐𝛉 , offset 𝐐𝐛 , dan estimasi
penyimpangan 𝐐𝐙𝐆 dan 𝐐𝐙𝐀 .
Pada struktur estimasi dengan penambahan magnetometer, tapis Kalman didesain untuk mengestimasi orientasi, offset giroskop, dan interfensi magnetik (lihat Gambar II.2). Akselerometer Zaks dan giroskop Zgiro keduanya mengestimasi kemiringan Z, sedangkan arah dari vektor magnetik global H diestimasi oleh giroskop Hgiro dan magnetometer Hmag (Roetenberg dkk., 2003).
Gambar II.2 Estimasi tapis Kalman untuk giroskop, akselerometer, dan magnetometer Metode umum yang digunakan untuk menurunkan orientasi dari data perangkat IMU dalam kondisi statik atau quasi-statik (frekuensi yang sangat rendah) adalah melalui analisis geometri dari data akselerometer dan magnetometer. Pada kasus lain yang hanya mengandalkan magnetometer, penurunan orientasi yang relatif terhadap bumi dapat secara langsung menggunakan vektor gravitasi. Metode ini merupakan metode yang paling mendasar apabila dibandingkan dengan metode lain yang lebih canggih yang diterapkan dengan algoritma tingkat tinggi, seperti tapis Kalman atau sejenisnya.
II.2 Kinematika dan Dinamika Kinematika dan dinamika yang digunakan dalam penelitian ini mengambil referensi dari kinematika dan dinamika yang biasa digunakan pada lengan robot (manipulator).
11
II.2.1 Kinematika Manipulator Untuk mengetahui hubungan kinematika antara lengan dan sendi pada manipulator digunakan notasi Denavit-Hartenberg (D-H). Formulasi D-H dapat membantu untuk menggambarkan posisi dari setiap lengan dan keseluruhannya. Ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan dalam penentuan sistem koordinat, antara lain (Craig, 2005): 1. Penandaan sumbu-Z adalah diarah sumbu sendi 2. Penandaan sumbu-X adalah tegak lurus terhadap sumbu sendi. 3. Penandaan sumbu-Y mengikuti aturan tangan kanan sistem koordinat. Setiap sambungan lengan/ sendi dapat digambarkan sebagai transformasi koordinat, yang di tulis dengan persamaan (Lewis dkk., 2004) cos θi sin θi i−1 iT = � 0 0
i−1 iT
= Rot Z,θi TransZ,θi TransX,αi Rot X,αi
− sin θi cos αi cos θi cos αi sin αi 0
sin θi sin αi − cos θi sin αi cos αi 0
ai cos θi ai sin θi �, untuk i = 1, 2, …, n (II.1) di 1
dimana Link length (ai) adalah jarak dari sumbu Zi ke Z1+1 diukur sepanjang sumbu Xi, Link twist (αi) adalah sudut antara sumbu Zi dan Zi+1 diputar terhadap sumbu Xi yang nilainya positif jika berlawanan arah jarum jam, Link offset (di ) adalah jarak dari sumbu Xi-1 ke Xi diukur sepanjang sumbu Zi-1, dan Link angle (θi) adalah sudut antara sumbu Xi-1 dan Xi diputar terhadap sumbu Zi-1. Salah satu hal yang dapat dibentuk dari persamaan kinematika manipulator adalah mendapatkan matriks Jacobian. Matriks Jacobian adalah bentuk multidimensi dari derivatif dan merupakan transformasi time-varying linear (Craig, 2005).
𝜕𝐹
∂F
δY = ∂X δX ;
δY = J(X)δX atau Ẏ = J(X)Ẋ
Matriks 𝜕𝑋 disebut Jacobian, J. Di dalam robotik ditulis v = J(θ)θ̇
(II.2)
(II.3)
dimana v adalah vektor kecepatan Cartesian, dan θ adalah vektor kecepatan sudut. Jumlah baris sama dengan jumlah derajat kebebasan dalam ruang Cartesian, sedangkan jumlah kolom sama dengan jumlah sendi manipulator. Pada manipulator dapat terjadi singularitas apabila determinan matriks Jacobian adalah sama dengan nol (lost full rank) sehingga tidak memiliki inverse.
12
II.2.2 Dinamika Manipulator Persamaan umum dinamika manipulator dapat dituliskan secara terstruktur sebagaimana yang diperlihatkan pada Tabel II.1 (Williams, 2012). Ada dua metode yang umum digunakan untuk menurunkan persamaan dinamika dari sebuah manipulator, antara lain metode Newton-Euler yang berdasarkan pada kesetimbangan gaya dan metode Lagrange yang berdasarkan pendekatan energi. Tabel II.1 Struktur persamaan dinamika manipulator Persamaan state space {τ} = [M(Θ)]�Θ̈� + �V�Θ, Θ̇�� + {G(Θ)} [M(Θ)] N x N matriks massa; simetris dan positif tertentu �V�Θ, Θ̇��
N x 1 vektor Coriolis dan sentripetal
{G(Θ)}
N x 1 vektor gravitasi
Persamaan space konfigurasi {τ} = [M(Θ)]�Θ̈� + [B(Θ)]�Θ̇Θ̇� + [C(Θ)]�Θ̇2 � + {G(Θ)} [M(Θ)] N x N matriks massa; simetris dan positif tertentu N(N−1) [B(Θ)] Nx matriks Coriolis [C(Θ)]
�Θ̇Θ̇�
2 N(N−1) x1: 2
T �θ̇1 θ̇2 θ̇1 θ̇3 … θ̇N−1 θ̇N �
N x N matriks sentripetal T �Θ � Nx1 �θ̇12 θ̇22 … θ̇2N � {G(Θ)} N x 1 vektor gravitasi Persamaan state space Cartesian {F} = [Mx (Θ)]�Ẍ � + �Vx �Θ, Θ̇�� + {Gx (Θ)} [Mx (Θ)] N x N matriks massa; simetris dan positif tertentu = [J−T ][M(Θ)][J−1 ] N x 1 vektor Coriolis dan sentripetal �Vx �Θ, Θ̇�� = [J−T ]��V�Θ, Θ̇�� − [M(Θ)][J−1 ]�J̇��θ̇�� {Gx (Θ)} N x 1 vektor gravitasi = [J−T ]{G(Θ)} Catatan: �Ẋ � = [J]�Θ̇� �Ẍ � = �J̇��Θ̇� + [J]�Θ̈� ̇2
Untuk proses komputasi, metode Newton-Euler dibuat dalam bentuk pendekatan rekursif Newton-Euler (Craig, 2005; Siciliano, 2009), dimana rekursif untuk sendi rotasi dan translasi memiliki bentuk yang berbeda. Contoh pendekatan rekursif yang telah diturunkan (Craig, 2005) dapat dilihat pada Tabel II.2.
13
Tabel II.2 Rekursif Newton-Euler Persamaan Newton : Gaya, F = mv̇ c
Persamaan Euler :
Iterasi maju: i+1
ω̇i+1 =
i+1
i+1
v̇ i+1 =
v̇ Ci+1 =
i+1
Iω̇ + ω x cIω
i+1
i+1 i iR ωi
ωi+1 =
i+1 i iR ω̇i
i i+1 iR� ω̇i
+ θ̇i+1 i+1Z� i+1
+ i+1iR iωi x θ̇i+1 i+1Z� i+1 + θ̈i+1 i+1Z� i+1
x iPi+1 + iωi x � iωi x iPi+1 � + iv̇ i �
ω̇i+1 x i+1PCi+1 + i+1ωi+1 x � i+1ωi+1 x
i+1
Ni+1 =
Iterasi mundur: i
c
Momen, N =
Ci+1
i+1
Fi+1 = mi+1 i+1v̇ Ci+1
Ii+1 i+1ω̇i+1 + i+1ωi+1 x i
fi =
i i+1 fi+1 i+1R
Ci+1
PCi+1 � + i+1v̇ i+1
i+1
Ii+1 i+1ωi+1
+ iFi
ni = iNi + i+1iR i+1ni+1 + iPCi x iFi + iPi+1 x i+1iR i+1fi+1 τi = inTi iZ� i
Metode Lagrangian mengandung dua komponen utama, yaitu energi kinetik dan energi potensial (Craig, 2005). Persamaan umum energi kinetik pada lengan ke-i, k i adalah 1
1
T k i = 2 mi vCi vCi + 2 iωTi CiIi iωi .
(II.4)
Bagian pertama adalah energi kinetik yang disebabkan oleh kecepatan linier pada pusat massa lengan, dan bagian kedua adalah energi kinetik yang disebabkan oleh kecepatan sudut. Energi kinetik total adalah Karena 𝒗𝑪𝒊 dan
k = ∑ni=1 k i .
(II.5)
𝝎𝒊 merupakan fungsi 𝛉 dan 𝛉̇ maka energi kinetik dapat dituliskan oleh
𝒊
formula skalar sebagai fungsi posisi dan kecepatan sendi 𝐤(𝛉, 𝛉̇), yaitu k�θ, θ̇� = 2 θ̇T M(θ)θ̇ .
(II.6)
Persamaan umum energi potensial pada lengan ke-i, 𝐮𝐢 adalah ui = −mi 0g T 0PCi + urefi ,
(II.7)
1
dimana
𝟎
𝐠 ∈ 𝓡𝟑𝒙𝟏 adalah vektor gravitasi,
𝟎
𝐏𝐂𝐢 adalah lokasi pusat massa lengan ke-i,
dan 𝐮𝐫𝐞𝐟𝐢 adalah konstanta yang membuat nilai minimum 𝐮𝐢 adalah nol. Energi potensial total adalah
14
Oleh karena
u = ∑ni=1 ui .
𝟎
(II.8)
𝐏𝐂𝐢 adalah fungsi 𝛉 maka energi potensial dapat ditulis oleh fungsi skalar
sebagai fungsi posisi sendi, 𝐮(𝛉).
Formula dinamika Lagrangian diperoleh dengan cara menurunkan persamaan gerak dari fungsi skalar yang disebut Lagrangian, yang didefinisikan sebagai perbedaan antara energi kinetik dan energi potensial dari sistem mekanik dengan persamaan ℒ�θ, θ̇� = k�θ, θ̇� − u(θ).
(II.9)
Persamaan gerak manipulator diberikan oleh d ∂ℒ
dt ∂θ̇
∂ℒ
− ∂θ = τ atau
d ∂k
dt ∂θ̇
dimana 𝛕 ∈ 𝓡𝟑𝐱𝟏 adalah vektor torsi aktuator.
∂k
∂u
− ∂θ + ∂θ = τ ,
(II.10)
Secara umum, ada beberapa parameter yang diperlukan pada pemodelan dinamika antara lain: inersia motor Jm, gesekan motor (viscous Bmv dan Coulomb Bmc), rasio rodagigi N, inersia beban JL, gesekan lengan (viscous BLv dan Coulomb BLc), massa m, dan lokasi pusat massa COG (center of gravity). Untuk mempermudah perhitungan biasanya untuk parameter yang tak dominan dapat diabaikan. Ada dua hal yang diperlukan setelah tahap pemodelan, yaitu linierisasi dan membandingkan antara hasil simulasi linier dan tak-linier. Untuk simulasi kinematika dan dinamika manipulator digunakan perangkat lunak Matlab dengan bantuan Robotics Toolbox (Corke, 2002). Metode pengintegralan yang dapat digunakan untuk simulasi numerik kinematika dan dinamika MP 2-DOF, antara lain metode Euler atau metode Trapezoidal (Aksman, 2006).
II.2.3 Linierisasi Sistem Dinamika Pada umumnya, komputasi berbagai metode kendali menganggap bahwa plan adalah linier, padahal pada kenyataannya sulit sekali mencari perangkat yang linier sempurna. Hampir seluruh persamaan gerak adalah tak-linier sehingga untuk simulasi teknik kendali harus dilinierisasi terlebih dahulu pada titik operasi tertentu. Salah satu metode yang mudah diimplementasikan untuk mengatasi ketidaklineran adalah dengan membuat lookup tabel atau membatasi sistem hanya pada daerah kerja linier tertentu saja (Hartono, 2008; Lee, 2005). Untuk validasi, hasil simulasi linier hasil linierisasi harus dibandingkan dengan simulasi tak-linier.
15
II.3 Teknik Kendali Diagram blok sistem kendali secara umum dapat dilihat pada Gambar II.3. Masukan dan keluaran merupakan variabel atau besaran fisik. Kedua dimensi masukan dan keluaran tidak harus sama. Kinerja teknik kendali merupakan hal yang sangat penting sehingga pada proses perancangan dan pengembangan sistem, parameter-parameter kinerja menjadi acuan hasil yang diharapkan.
Gambar II.3 Blok teknik kendali secara umum Untuk seluruh pergerakan dari satu titik ke titik lain di implementasikan sebagai step (langkah), sedangkan untuk pergerakan yang lebih halus (dan memerlukan torsi yang lebih kecil) maka digunakan pembangkitan trajectory (lintasan). Ada beberapa jenis algoritma lintasan yang biasa digunakan, antara lain: spline, trapezoid (bounded acceleration), kurva S (bounded jerk), sinusoidal, sigmod, dan lain-lain.
Khusus untuk manipulator, kendali computed-torque dapat diterapkan. Teknik kendali ini merupakan linierisasi umpan balik (feedback linearization) dari persamaan tak-linier. Prinsip kerja dari teknik kendali ini dapat dilihat pada Gambar II.4 (Lewis dkk., 2004).
Gambar II.4 Blok teknik kendali computed-torque Gambar II.4 menunjukkan bahwa teknik kendali melibatkan penguraian masalah perancangan teknik kendali untuk jerat bagian dalam (inner-loop) dan jerat bagian luar (outer-loop).
16
II.4 Mekanisme Penggerak 2-DOF Milik LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memiliki mekanisme penggerak dua derajat kebebasan (MP 2-DOF) dengan motor servo sebagai aktuator, untuk lebih jelasnya lihat Gambar II.5. Optronik Penyambung lengan 2 Sendi lengan 2 (Tilt) Mekanisme penggerak 2-DK
Sendi lengan 1 (Pan)
Gambar II.5 MP 2-DOF dengan perangkat optronik Gambar II.5 menunjukkan MP 2-DOF yang dipasangkan optronik pada ujung penyambung lengan 2. Mekanisme penggerak tersebut memiliki dua sendi yang saling independen, yaitu Pan dan Tilt. Optronik berfungsi melakukan penjejakan objek menggunakan teknologi optik. Pada proses pengembangannya, optronik tersebut dapat diganti dengan berbagai perangkat yang disesuaikan dengan kebutuhan. Gambar II.6 menunjukkan MP 2-DOF yang dipasangkan perangkat antena komunikasi satelit. Antena komunikasi satelit
Penyambung lengan 2
Mekanisme penggerak 2-DK
Gambar II.6 MP 2-DOF dengan perangkat antena komunikasi satelit Pada Gambar II.6 dapat dilihat bahwa panjang total antena komunikasi satelit adalah sekitar dua kali dari panjang mekanisme penggerak, dimana panjang antena adalah 1,131 17
m, sedangkan tinggi mekanisme adalah 0,568 m. Spesifikasi yang digunakan pada perencanaan dari model yang ditunjukkan pada Gambar II.6 yang menjadi objek dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel II.3. Data yang diuraikan pada tabel ini merupakan data yang akan digunakan untuk simulasi pada pemodelan dinamika.
Tabel II.3 Spesifikasi MP 2-DOF untuk antena komunikasi satelit bergerak Lengan 2
Panjang, L2 = 1,131meter Massa, m2 = 11,45 kg Rasio rodagigi, G2 = 30 Inersia motor, Jm2 = 0,31e-4 Gesekan viscous, B2 = 0,817e-3 Gesekan Coulomb, Tc2 = [0,126 -0,071] Pusat massa (X,Y,Z) = [0,32 -0,04 0,00] m Momen inersia pada COG: (kg.m2) Lxx = 0,67 Lxy = -0,45 Lxz = 0,00 Lyx = -0,45 Lyy = 2,54 Lyz = 0,00 Lzx = 0,00 Lzy = 0,00 Lzz = 2,70
Lengan 1
Panjang, L1 =0,568 meter Massa, m1 = 62,38 kg Rasio rodagigi, G1 = 20 Inersia motor, Jm1 = 0,31e-4 Gesekan viscous, B1 = 1,48e-3 Gesekan Coulomb, Tc1 = [0,395 -0,435] Pusat massa (X,Y,Z) = [-0,01 -0,01 0,04] m Momen inersia pada COG: (kg.m2) Lxx = 2,25 Lxy = -0,03 Lxz = -0,08 Lyx = -0,03 Lyy = 1,81 Lyz = -0,11 Lzx = -0,08 Lzy = -0,11 Lzz = 2,39
Landasan
Mass = 23,56 kg Pusat massa (X,Y,Z) = [0,00 0,00 0,07] m Momen inersia pada COG: (kg.m2) Lxx = 0,85 Lxy = 0,00 Lxz = 0,00 Lyx = 0,00 Lyy = 0,85 Lyz = 0,00 Lzx = 0,00 Lzy = 0,00 Lzz = 1,08
18
Bab III. Pemodelan dan Rancang Bangun Sensor Inersia III.1 Model Sensor Giroskop, Akselerometer, dan Magnetometer Model kecepatan sudut, percepatan, dan medan magnet yang dibentuk akan digunakan sebagai pertimbangan untuk mendapatkan estimasi nilai attitude relatif (roll, pitch, dan yaw / RPY), attitude absolut (bank, elevation, and heading / BEH), posisi dan kecepatan. Kecepatan sudut dimodelkan sebagai ω = ωg − bg − ng ,
(III.1)
dimana 𝛚𝐠 adalah kecepatan sudut yang berasal dari giroskop, 𝐛𝐠 adalah bias giroskop, dan 𝐧𝐠 adalah derau dari data pengukuran giroskop. Percepatan dimodelkan sebagai
α = αa − na ,
(III.2)
mm = m + mb + nm ,
(III.3)
dimana 𝛂𝐚 adalah percepatan yang berasal dari akselerometer, dan 𝐧𝐚 adalah derau dari data pengukuran akselerometer.
Medan magnet dimodelkan sebagai dimana 𝐦𝐦 adalah vektor medan magnet yang berasal dari magnetometer, 𝐦 adalah vektor medan magnet bumi, 𝐦𝐛 adalah vektor medan magnet yang ditimbulkan oleh
kendaraan, dan 𝐧𝐦 adalah derau dari data pengukuran magnetometer. Dengan diasumsikan
bahwa magnetometer terisolasi dari vektor medan magnet yang ditimbulkan oleh kendaraan maka 𝐦𝐛 dapat dianggap nol sehingga model medan magnet pada persamaan (III.3) menjadi
m = mm − nm .
(III.4)
Berdasarkan ketiga model sensor tersebut maka derau yang muncul (ng, na, dan nm) dapat diminimalkan oleh tapis Kalman, sedangkan untuk bias (𝐛𝐠 ) pada model sensor giroskop dapat dihilangkan dengan proses kalibrasi statik.
III.2 Model AHRS (Attitude Heading References System) Model AHRS merupakan bagian dari INS (Inertial Navigation System), untuk lebih jelas lihat Gambar III.1. Model AHRS merupakan kombinasi dari tiga model yang secara terpisah diturunkan melalui pendekatan geometri dari data pengukuran sensor (giroskop, akselerometer, dan magnetometer). Pada Gambar III.1, dapat dilihat bahwa model AHRS diuraikan menjadi tiga model, antara lain: (1) model attitude relatif sudut roll, pitch, dan 19
yaw (RPY) dari data giroskop; (2) model attitude absolut sudut bank, elevation, dan heading (BEH) dari data akselerometer dan magnetometer; dan (3) model posisi dan kecepatan linier dari data akselerometer.
Gambar III.1 Prinsip kerja INS Perlu diperhatikan bahwa sebelum melakukan penurunan untuk ketiga model di atas maka perbedaan antara koordinat sensor PhidgetSpatial 3/3/3 dengan referensi global harus disesuaikan terlebih dahulu sebagaimana Gambar III.2. Apabila notasi dari kedua koordinat tersebut disesuaikan maka diperoleh bahwa Xr = X, Yr = Z, dan Zr = −Y.
Gambar III.2 Penyesuaian koordinat referensi global dengan koordinat sensor
III.2.1 Model Attitude Relatif dari Giroskop Model attitude relatif dibentuk guna memperoleh sudut roll, pitch, dan yaw (RPY). Keluaran sensor giroskop (ω) adalah berupa nilai tertentu yang menyatakan besaran kecepatan sudut. Besar sudut (θ) dari keluaran sensor dapat dihitung dengan cara diintegralkan. Hubungan antara sinyal kecepatan sudut dan sudut adalah t
θ(t) = ∫t k ω(t) dt, dθ(t) dt
k−1
= ω(t). 20
(III.5) (III.6)
Jika diubah dalam bentuk diskrit maka persamaan di atas dapat ditulis θk+1 −θk
= ωk ,
∆T
(III.7)
θk+1 − θk = ωk ∆T,
(III.8)
θk+1 = θk + ωk ∆T,
(III.9)
dimana 𝛉𝐤 adalah sudut saat ini, 𝛉𝐤+𝟏 adalah sudut yang dihitung, 𝛚𝐤 adalah kecepatan
sudut (hasil baca sensor), dan ∆𝐓 adalah waktu saat ini (𝐭 𝐤 ) dikurang dengan waktu sebelumnya (𝐭 𝐤−𝟏 ).
III.2.2 Model Attitude Absolut dari Akselerometer dan Magnetometer Model attitude absolut dibentuk guna memperoleh sudut bank, elevation, dan heading (BEH). Sudut yang dibentuk dari rotasi sepanjang sumbu-X dan sumbu-Y dihitung menggunakan data yang diperoleh dari akselerometer melalui pendekatan Z ′ ≈ 1 (lihat Gambar III.3).
(a)
(b)
Gambar III.3 Koordinat rotasi sensor: (a) sumbu-Y; (b) sumbu-X Jika koordinat Z pada sensor berbalik ke atas maka percepatan pada sumbu-Z akan bernilai negatif (Az < 0) sehingga α = −α dan γ = −γ. Matriks rotasi yang dibentuk dengan
sudut Euler dapat dihitung dengan substitusi α dan γ, dimana α = sin−1 (Ax ) dan γ = sin−1�Ay �. Dengan asumsi bahwa β = 0 maka cos α − sin α R = � sin α cos α 0 0 c(α) = �s(α) 0
0 1 0� �0 1 0
0 0 0 1 1 0� �0 cos γ 0 1 0 sin γ
− s(α) c(γ) s(α) s(γ) c(α) c(γ) − c(α) s(γ)�. s(γ) c(γ) 21
0 − sin γ�, cos γ
(III.10)
Pada implementasi penggunaan data yang dihasilkan sensor akselerometer [ax, ay, az] dan data magnetometer [mx, my, mz], harus dinormalisasi untuk memastikan bahwa vektor yang dihasilkan bernilai satu. Data di normalisasi dengan persamaan berikut: Ax =
Mx =
ax
�a2x +a2y +a2z mx
�m2x +m2y +m2z
; Ay =
; My =
ay
�a2x +a2y +a2z my
; Az =
�m2x +m2y +m2z
az
�a2x +a2y +a2z
; Mz =
,
mz
(III.11)
�m2x +m2y +m2z
,
(III.12)
dimana Ax, Ay, Az adalah percepatan setelah normalisasi dan Mx, My, Mz adalah data medan magnet setelah normalisasi. Dengan menyesuaikan data medan magnet dari koordinat yang dibaca sensor dengan koordinat pada Gambar III.2 maka mfx = Mx, mfy = Mz, dan mfz = - My. Apabila ditulis dalam bentuk vektor, menjadi mvek = [mfx mfy mfz ].
(III.13)
Vektor medan magnet pada persamaan di atas kemudian ditransformasikan untuk menghilangkan pengaruh rotasi yang terjadi melalui persamaan berikut: Vm = [mfx
mfy
c(α) − s(α) c(γ) s(α) s(γ) mfz ] �s(α) c(α) c(γ) − c(α) s(γ)�, 0 s(γ) c(γ) T
mfx c(α) + mfy s(α) = �−mfx s(α) c(γ) + mfy c(α) c(γ) + mfz s(γ)� = [Xr mfx s(α) s(γ) − mfy c(α) s(γ) + mfz c(γ)
(III.14)
Yr
Zr ].
(III.15)
Persamaan di atas menggambarkan komponen X dan Y pada koordinat referensi global yang telah mengalami rotasi sepanjang sumbu-X dan rotasi sepanjang sumbu-Z, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar III.4.
Gambar III.4 Perubahan koordinat referensi global
22
Apabila perubahan koordinat yang terjadi tersebut disesuaikan kembali dengan koordinat referensi global maka diperoleh Xh = −Zr , Yh = −Xr, dan Zh = Yr. Berdasarkan hal ini maka nilai Xh dan Yh yang dimaksud adalah
Xh = −mx s(α) s(γ) + my c(α) s(γ) − mz c(γ), Yh = −mx c(α) − my s(α).
(III.16) (III.17)
Komponen Xh dan Yh pada persamaan di atas digunakan untuk menghitung arah utara atau Bearing (βk ) pada koordinat bumi, untuk lebih jelasnya lihat Gambar III.5.
Gambar III.5 Koordinat komponen Xh dan Yh Perhitungan Xh dan Yh menggunakan arctan sehingga kuadran dari kedua komponen tersebut harus diperhatikan. Untuk kedua komponen tersebut berlaku ketentuan-ketentuan sebagaimana yang diperlihatkan pada Tabel III.1. Pada saat koordinat Zh berubah pada arah sebaliknya maka percepatan pada sumbu-Z akan bernilai negatif (Az < 0). Oleh karena itu, perlu ditambahkan bahwa β merupakan nilai absolut dari (β − 2π).
Tabel III.1 Ketentuan kuadran komponen Xh dan Yh (Caruso, 2000) Yh
(Xh < 0) ⟹ β = π − tan−1 � � Xh
Yh
(Xh > 0 & Yh < 0) ⟹ β = − tan−1 � � (Xh > 0 & Yh > 0) ⟹ β = 2π − tan (Xh = 0 & Yh < 0) ⟹ β = π/2
Xh
−1
Yh
� � Xh
(Xh = 0 & Yh > 0) ⟹ β = 3π/2
Setelah seluruh tahapan, langkah berikutnya adalah nilai yang telah diperoleh diubah kedalam bentuk satuan derajat sebagaimana persamaan berikut:
23
180
bank, γk = γ �
π
(III.18)
180
elevation, αk = α � heading, βk = β �
�, π
180 π
�,
(III.19)
�.
(III.20)
III.2.3 Model Posisi dan Kecepatan dari Data Akselerometer Untuk memperoleh kecepatan, diperlukan proses integral terhadap data sensor akselerometer yang dapat ditulis sebagai berikut: �⃗� dt, �⃗ = ∫�A v
(III.21)
�⃗ adalah vektor percepatan (Ax, Ay, Az) setelah normalisasi. Untuk memperoleh dimana A
posisi dilakukan dengan melakukan pengintegralan ganda terhadap data sensor dengan persamaan �⃗� dt� dt. s⃗ = ∫�∫�A
(III.22)
Sebelum melakukan integral, koordinat data percepatan harus disesuaikan terlebih dahulu dengan koordinat sensor sebagaimana Gambar III.2. Selain itu, data percepatan harus ditransformasikan agar bidang putar tetap berada pada bidang horizontal melalui proses perkalian data sensor akselerometer dengan matriks rotasi sebagaimana berikut: A = [A x
dimana:
Ay
c(α) − s(α) c(γ) s(α) s(γ) Az ] �s(α) c(α) c(γ) − c(α) s(γ)� = [Ax2 0 s(γ) c(γ)
Ax2 = Ax c(α) + Ay s(α),
Ay2
Az2 ], (III.23) (III.24)
Ay2 = −Ax s(α) c(γ) + Ay c(α) c(γ) + Az s(γ),
Az2 = Ax s(α) s(γ) − Ay c(α) s(γ) + Az c(γ).
(III.25) (III.26)
III.3 Perangkat Keras Sensor Sensor IMU yang digunakan dalam penelitan adalah PhidgetSpatial 3/3/3, terdiri dari kombinasi tiga buah sensor, antara lain: akselerometer 3-aksis, giroskop 3-aksis, dan magnetometer 3-aksis. Komponen elektronik PhidgetSpatial 3/3/3 secara fisik terdiri dari beberapa integrated circuit (IC) yang terkumpul dalam satu modul elektronik (lihat Gambar III.6). Spesifikasi dari sensor PhidgetSpatial 3/3/3 yang dapat dilihat pada Lampiran 1. 24
Gambar III.6 Tampak atas sensor IMU PhidgetSpatial 3/3/3 Pada Gambar III.6 menunjukkan bahwa sensor IMU yang digunakan dalam penelitian merupakan kumpulan dari beberapa sensor dan pengolah sinyal yang terintegrasi.
III.4 Perangkat Lunak Sensor Program pembacaan data sensor PhidgetSpatial 3/3/3 menggunakan perangkat lunak Matlab. Diagram alir untuk program yang dibuat untuk membaca sensor PhidgetSpatial 3/3/3 dapat dilihat pada Gambar III.7a. Untuk dapat berfungsi maka program yang dibuat harus terdiri tiga bagian utama sebagaimana pada Gambar III.7b.
(a)
(b)
Gambar III.7 Program PhidgetSpatial 3/3/3: (a) diagram alir; (b) tiga bagian utama sintaks
25
Pada Gambar III.7a dapat dilihat bahwa koneksi perangkat keras phidget sangat mempengaruhi proses kerja program, karena itu pemahaman yang benar terkait library phidget sangat diperlukan. Program pembacaan sensor yang dibuat menampilkan/ menyimpan beberapa hal, antara lain: data pengukuran ketiga sensor, hasil perhitungan dari model 1 (attitude relatif) dan model 2 (attitude absolut). Untuk model 3 (kecepatan dan posisi) tidak ditampilkan, karena menyesuaikan kebutuhan dari sistem MP 2-DOF yang hanya memerlukan data orientasi (attitude) akibat dari pergerakan kendaraan.
Waktu cuplik dalam program yang dibuat adalah 32 ms, nilai ini diperoleh setelah dilakukan uji coba langsung pada sensor sebagaimana Gambar III.8.
Waktu cuplik 16 ms
Waktu cuplik 32 ms Giroskop sumbu-Z
Giroskop sumbu-Z 0.5
Kecepatan o sudut ( /s)
Kecepatan o sudut ( /s)
0.5
0
-0.5
0
5
10
15
20
25
0
-0.5
30
0
5
10
Percepatan(g)
Percepatan(g)
0.9942 0.9941
0
5
10
15
20
25
30
30
25
30
25
30
0.9942 0.9941 0.994
0
5
10
15
20
waktu (s) ( )
Magnetometer sumbu-Z
Magnetometer sumbu-Z -0.645
Fluks(G)
0
Fluks(G)
25
0.9943
waktu (s)
-0.2 -0.4 -0.6 -0.8
20
Akselerometer sumbu-Z
Akselerometer sumbu-Z 0.9943
0.994
15
waktu (s)
waktu (s)
0
5
10
15
20
25
-0.65 -0.655 -0.66
30
waktu (s)
0
5
10
15
20
waktu (s)
Gambar III.8 Pengaruh waktu cuplik terhadap data sensor (sumbu-Z) Gambar III.8 menunjukkan bahwa waktu cuplik kurang dari 32 ms menyebabkan perilaku dari data yang dihasilkan sensor magnetometer berubah (terjadi loncatan), sedangkan di atas 32 ms menunjukkan perilaku yang hampir sama dengan waktu cuplik 32 ms.
III.5 Hasil Pengukuran Data Sensor Permasalahan umum yang paling mendasar pada sensor IMU adalah terdapat derau yang berupa Gaussian white noise (Phidget, 2010) , sehingga yang dianalisis adalah standar deviasi dan nilai rata-ratanya. 26
Pengukuran dilakukan dengan mengatur sensor agar tidak bergerak (dijaga dalam kondisi diam). Gambar III.9, Gambar III.10, dan Gambar III.11 secara berurutan menunjukkan hasil pembacaan sensor giroskop, sensor akselerometer, dan sensor magnetometer. Giroskop sumbu-X Kecepatan o sudut ( /s)
0.4 StdDev = 0.0881 Mean = -0.0104
0.2 0 -0.2 -0.4
0
10
20
30
40
50
60
waktu (s)
(a) Giroskop sumbu-Y Kecepatan o sudut ( /s)
0.4 StdDev = 0.0880 Mean = 0.0042
0.2 0 -0.2 -0.4
0
10
20
30
40
50
60
waktu (s)
(b) Giroskop sumbu-Z Kecepatan o sudut ( /s)
0.4 StdDev = 0.0741 Mean = -0.0054
0.2 0 -0.2 -0.4
0
10
20
30
40
50
60
waktu (s)
(c) Gambar III.9 Hasil pengukuran sensor giroskop 3-aksis: (a) sumbu-X; (b) sumbu-Y; dan (c) sumbu-Z
Percepatan(g)
Akselerometer sumbu-X -0.051 StdDev = 0.0003 Mean = -0.0538
-0.052 -0.053 -0.054 -0.055
0
10
20
30
40
50
60
waktu (s)
(a) Percepatan(g)
Akselerometer sumbu-Y 0.014 StdDev = 0.0003 Mean = 0.0126
0.013 0.012 0.011
0
10
20
30
40
50
60
waktu (s)
(b) Percepatan(g)
Akselerometer sumbu-Z 0.9985 StdDev = 0.0000 Mean = 0.9985
0.9985 0.9984 0.9984
0
10
20
30
40
50
waktu (s)
(c) Gambar III.10 Hasil pengukuran sensor akselerometer 3-aksis: (a) sumbu-X; (b) sumbu-Y; dan (c) sumbu-Z 27
60
Magnetometer sumbu-X Fluks(G)
-0.812 StdDev = 0.0006 Mean = -0.8170
-0.814 -0.816 -0.818 -0.82
10
0
40
30
20
60
50
waktu (s)
(a) Magnetometer sumbu-Y Fluks(G)
-0.13 StdDev = 0.0006 Mean = -0.1382
-0.135 -0.14
0
10
20
40
30
50
60
waktu (s)
(b) Magnetometer sumbu-Z Fluks(G)
-0.555 StdDev = 0.0006 Mean = -0.5598 -0.56
-0.565
0
10
20
30
40
50
60
waktu (s)
(c) Gambar III.11 Hasil pengukuran sensor magnetometer 3-aksis: (a) sumbu-X; (b) sumbu-Y; dan (c) sumbu-Z Gambar di atas menunjukkan bahwa data yang diperoleh dari sensor mengandung derau. Pembahasan lebih rinci terkait pengurangan derau yang terjadi dibahas pada subbab selanjutnya. Berdasarkan data pengukuran yang diperoleh, terjadi galat pada data setiap sensor. Galat tersebut dijelaskan dalam bentuk deviasi standar dan dapat dilihat pada Tabel III.2. Deviasi standar sensor akselerometer dan magnetometer nilainya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan sensor giroskop. Tabel III.2 Data deviasi standar dan nilai rata-rata dari pengukuran sensor NO
Sensor
1
Giroskop
2
Akselerometer
3
Magnetometer
Komponen Nilai rata-rata Deviasi standar Nilai rata-rata Deviasi standar Nilai rata-rata Deviasi standar
Sumbu-X
Sumbu-Y
Sumbu-Z
-0,0104 0,0881 -0,0538 0,0003 -0,8170 0,0006
0,0042 0,0880 0,0126 0,0003 -0,1382 0,0010
-0,0054 0,0741 0,9985 0,0000 0,5598 0,0009
III.6 Hasil Pengujian Data Sensor dengan Tapis Kalman Data pengukuran ketiga sensor diperbaiki kinerjanya dengan tapis Kalman. Fungsi utama dari tapis Kalman dalam pengujian adalah untuk meminimalisasi derau yang terjadi. Data sensor giroskop dipilih untuk pengujian karena memiliki deviasi standar yang lebih besar 28
dibandingkan data sensor akselerometer dan magnetometer (lihat Tabel III.2). Pengambilan data yang pertama, sensor diposisikan diam (tidak bergerak), sedangkan untuk pengambilan data yang kedua, sensor digerak-gerakkan. Parameter yang diatur dalam simulasi adalah besarnya deviasi standar derau proses (q) dan deviasi standar derau pengukuran (r), dimana nilai deviasi standar pengukuran yang dipilih adalah 0,08 º/detik. Deviasi standar derau proses diestimasi adalah setengah deviasi standar derau pengukuran. Kombinasi parameter untuk simulasi dapat dilihat pada Tabel III.3 dan Tabel III.4. Tabel III.3 Variasi nilai deviasi standar derau proses (q) NO 1 2 3
Kombinasi Nilai q
Deviasi derau Proses (q)
Deviasi derau Pengukuran (r)
0,004 0,04 0,4
0,08 0,08 0,08
q/10 q (estimasi) q*10
Tabel III.4 Variasi nilai deviasi standar derau pengukuran (r) NO 1 2 3
Kombinasi Nilai r r/10 r (estimasi) r*10
Deviasi derau Proses (q) 0,04 0,04 0,04
Deviasi derau Pengukuran (r) 0,008 0,08 0,8
Hasil simulasi dari ketiga kombinasi sebagaimana tabel di atas dapat dilihat pada Gambar III.12, Gambar III.13, dan Gambar III.14. Kecepatan o sudut ( /s)
Kecepatan sudut sumbu-Z (q tipe No.1 & r tipe No.3) 1 tanpa Tapis Kalman dengan Tapis Kalman 0.5
0
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
data ke-i
(a) Kecepatan o sudut ( /s)
Kecepatan sudut sumbu-Z (q tipe No.2 & r tipe No.2) 1 tanpa Tapis Kalman dengan Tapis Kalman 0.5
0
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
data ke-i
(b) Kecepatan o sudut ( /s)
Kecepatan sudut sumbu-Z (q tipe No.3 & r tipe No.1) 1 tanpa Tapis Kalman dengan Tapis Kalman 0.5
0
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
data ke-i
(c) Gambar III.12 Estimasi kecepatan sudut sumbu-Z, sensor tidak digerakkan 29
Kecepatan o sudut ( /s)
Kecepatan sudut sumbu-Z (q tipe No.1 & r tipe No.3) 100 tanpa Tapis Kalman dengan Tapis Kalman 0
-100 1150
1200
1250
1300
1350
1400
1450
1500
data ke-i
(a) Kecepatan o sudut ( /s)
Kecepatan sudut sumbu-Z (q tipe No.2 & r tipe No.2) 100 tanpa Tapis Kalman dengan Tapis Kalman 0
-100 1150
1200
1250
1300
1350
1400
1450
1500
data ke-i
(b) Kecepatan o sudut ( /s)
Kecepatan sudut sumbu-Z (q tipe No.3 & r tipe No.1) 100 tanpa Tapis Kalman dengan Tapis Kalman 0
-100 1150
1200
1250
1300
1350
1400
1450
1500
data ke-i
(c) Gambar III.13 Estimasi kecepatan sudut sumbu-Z, sensor digerakkan
sudut (degrees)
Kecepatan sudut sumbu-Z (q tipe No.1 & r tipe No.3) 40 tanpa Tapis Kalman dengan Tapis Kalman
20 0 -20 -40 1400
1450
1500
1550
1600
1650
1700
1750
1800
data ke-i
(a) sudut (degrees)
Kecepatan sudut sumbu-Z (q tipe No.2 & r tipe No.2) 40 tanpa Tapis Kalman dengan Tapis Kalman
20 0 -20 -40 1400
1450
1500
1550
1600
1650
1700
1750
1800
data ke-i
(b) sudut (degrees)
Kecepatan sudut sumbu-Z (q tipe No.3 & r tipe No.1) 40 tanpa Tapis Kalman dengan Tapis Kalman
20 0 -20 -40 1400
1450
1500
1550
1600
1650
1700
1750
1800
data ke-i
(c) Gambar III.14 Estimasi RPY sumbu-Z, sensor digerakkan Pada simulasi variasi dari ketiga kombinasi yang ditunjukkan pada gambar di atas dapat dilihat bahwa semakin besar nilai q maka estimasi tapis Kalman semakin mengikuti pergerakan yang sesungguhnya, sedangkan semakin kecil nilai q maka estimasi tapis Kalman akan semakin jauh menyimpang dari pergerakan sesungguhnya. Berkebalikan 30
dengan variasi nilai q, untuk variasi nilai r menunjukkan bahwa jika semakin kecil nilai r maka estimasi tapis Kalman semakin mengikuti pergerakan sesungguhnya, sedangkan semakin besar nilai r maka estimasi tapis Kalman akan semakin jauh menyimpang dari pergerakan sesungguhnya.
Dapat dilihat bahwa Gambar III.12c, Gambar III.13c, dan Gambar III.14c menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya. Berdasarkan hasil tersebut maka perbandingan yang ideal antara deviasi derau pengukuran (r) dan deviasi derau proses (q) berdasarkan simulasi sekitar 1:5 {kombinasi q nomor 3 (r = 0,08 dan q = 0,4) atau kombinasi r nomor 1 (r =0,008 dan q = 0,04)}. Berdasarkan hal ini, kombinasi yang dipilih adalah r = 0,08 dan q = 0,4.
Gambar III.15 dan Gambar III.16 menunjukkan hasil pengukuran perhitungan attitude relatif dan perhitungan attitude absolut. Data sensor yang digunakan untuk menghasilkan attitude sudah melalui tapis Kalman.
sudut (degrees)
Roll 0.5 0 -0.5 -1
0
10
20
30
40
50
60
40
50
60
40
50
60
waktu (s)
(a) sudut (degrees)
Pitch 0.3 0.2 0.1 0 -0.1
0
10
20
30
waktu (s)
(b) ( )
sudut (degrees)
Yaw 0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8
0
10
20
30
waktu (s)
(c)
Gambar III.15 Hasil perhitungan attitude relatif (RPY): (a) sumbu-X; (b) sumbu-Y; dan (c) sumbu-Z
31
Besarnya derau yang terjadi pada sensor giroskop sangat berpengaruh pada hasil pengintegralan sehingga sudut RPY yang didapat dari hasil perhitungan secara akumulasi mengalami perubahan dan terus-menerus menyimpang, padahal kondisi sensor tidak digerak-gerakkan, dimana rata-rata kenaikan/penurunan yang terjadi dapat dilihat pada Tabel III.5. Tabel III.5 Kenaikan/penurunan nilai attitude relatif Sudut RPY Roll Pitch Yaw
Garis kemiringan Nilai Awal Nilai Akhir 0 -0,5959 0 0,2410 0 0,3459
Penyimpangan [derajat] per detik per menit 0,6 0,0099 0,2 0,0040 0,3 0,0058
Akumulasi hasil penyimpangan yang terjadi diminimalkan dengan algoritma tapis Kalman. Nilai penyimpangan pada data di atas (roll = 0,6º/menit, pitch = 0,2º/menit, dan yaw = 0,3º/menit) lebih kecil jika dibandingkan dengan penyimpangan rata-rata berdasarkan spesifikasi untuk sensor giroskop sebagaimana Lampiran 1, yaitu 4º/menit.
sudut (degrees)
Bank 0.76 StdDev = 0.0066 Mean = 0.7224
0.74 0.72 0.7
0
10
20
40
30
60
50
waktu (s)
(a) ( )
sudut (degrees)
Elevation 3.14 StdDev = 0.0075 Mean = 3.0845
3.12 3.1 3.08 3.06
0
10
20
30
40
50
60
waktu (s)
(b) sudut (degrees)
Heading -98.4 StdDev = 0.0460 Mean = -98.8103
-98.6 -98.8 -99
0
10
20
30
40
50
waktu (s)
(c) Gambar III.16 Hasil perhitungan attitude absolut (BEH): (a) sumbu-X; (b) sumbu-Y; dan (c) sumbu-Z
32
60
Hasil perhitungan attitude absolut yang telah ditunjukkan pada Gambar III.16 memiliki derau sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel III.6. Tabel III.6 Data deviasi standar dan nilai rata-rata attitude absolut Sudut BEH bank elevation heading
Nilai rata-rata [derajat] 0,7224 3.0845 -98.8103
Deviasi standar [derajat] 0,0066 0,0075 0,0460
Nilai hasil perhitungan untuk mendapatkan attitude absolut dari data akselerometer dan magnetometer sebagaimana di atas memiliki deviasi standar yang relatif kecil, sehingga dapat dikatakan bahwa hasil perhitungan dari model yang dibuat sudah cukup baik.
III.7 Implementasi Sensor IMU Sensor IMU yang telah dimodelkan dan dirancang bangun telah di uji coba pada alat pengangkat (crane). Gambar III.17 menunjukkan aplikasi dari sensor IMU pada alat pengangkat. Informasi yang diinginkan dari data pengukuran yang dilakukan sebatas untuk mengetahui putaran horizontal (Pan) dari alat pengangkat tersebut.
Gambar III.17 Implementasi sensor IMU pada alat pengangkat (crane) Pada saat alat pengangkat bekerja sebagaimana Tabel III.7 maka data yang dihasilkan oleh sensor IMU direkam. Data yang dihasilkan pada uji coba tersebut dapat dilihat pada Gambar III.18. 33
Tabel III.7 Kondisi kerja alat pengangkat pada saat dilakukan pengujian Waktu 14:42 14:44 14:49 14:52 14:54 14:58 15:01 15:02 15:07 15:09 15:13 15:14 15:16 15:16 15:18
Kondisi Mengangkat kawat motor bergerak dari Barat ke Utara Menempatkan kawat motor di Utara Mengangkat kotak bergerak dari Barat ke Utara Menempatkan kotak di Utara Mengangkat generator bergerak dari Utara ke Tenggara Mengangkat generator lebih tinggi di Tenggara Menempatkan generator di Utara Berputar dari Utara ke Tenggara, lalu ke Utara Mengangkat dua drum kecil dari Utara ke Barat Menempatkan drum di barat Menempatkan boom untuk posisi istirahat Mengangkat boom dari posisi istirahat Mengangkat motor dari Utara ke Barat Laut Menempatkan motor di Barat Laut Menempatkan boom untuk posisi istirahat
Nilai sudut yang diperoleh pada uji coba ini tidak diketahui secara pasti merepresentasikan nilai yang sebenarnya karena tidak dilakukan pengukuran dengan alat pembanding yang terkalibrasi. Pengujian ini hanya untuk mengetahui bahwa sensor dapat berfungsi di tempat yang terbuka.
Putaran Horizontal terhadap Utara
Sudut (o)
15:19:12
15:16:20
15:13:27
15:10:34
15:04:48
15:01:56
14:59:03
14:56:10
14:53:17
14:50:24
14:47:32
14:44:39
14:41:46
Terjadi loncatan 15:07:41
360 300 240 180 120 60 0
Waktu Gambar III.18 Besar sudut hasil pengukuran alat pengangkat Gambar III.18 menunjukkan bahwa secara umum sensor IMU yang dibuat dapat bekerja secara baik dan dapat digunakan untuk mengukur sudut horizontal dari pergerakan alat pengangkat. Pada data hasil pengukuran terdapat loncatan yang kemungkinan disebabkan oleh interfensi logam dan rigiditas dari alat pengangkat itu sendiri.
34
Bab IV. Kinematika Pemodelan kinematika mekanisme penggerak dua derajat kebebasan (MP 2-DOF) dibagi menjadi dua bagian. Bagian yang pertama adalah model pergerakan kendaraan enam derajat kebebasan yaitu rotasi RPY (roll, pitch, yaw) dan translasi (bx, by, bz), sedangkan bagian kedua adalah model kinematika mekanisme penggerak. MP 2-DOF antena komunikasi satelit yang dijadikan sebagai objek penelitian ditunjukkan oleh Gambar II.6.
IV.1 Model Pergerakan Kendaraan Kendaraan darat, laut, dan udara dengan MP 2-DOF yang mengalami pergerakan rotasi (roll, pitch, yaw / RPY) dan translasi (bx, by, bz) dimodelkan oleh matriks tranformasi homogen. Pergerakan rotasi direpresentasikan oleh sudut Euler ZYX yang dijelaskan dengan persamaan berikut: Rotasi, ABR α,β,γ = 𝑦𝑎𝑤 (α) ∗ 𝑝𝑖𝑡𝑐ℎ (β) ∗ 𝑟𝑜𝑙𝑙 (γ) cα = �sα 0
cαcβ = �sαcβ −sβ
−sα 0 cβ cα 0� � 0 0 1 −sβ
cαsβsγ − sαcγ sαsβsγ + cαcγ cβsγ
0 sβ 1 0 1 0 � �0 cγ 0 cβ 0 sγ
0 −sγ� cγ
cαsβcγ + sαsγ sαsβcγ − cαsγ�, cβcγ
(IV.1)
dimana sα = sin(α), cα = cos(α), sβ = sin(β), cβ = cos(β), sγ = sin(γ), dan cγ = cos(γ), sedangkan gerak translasinya berdasarkan persamaan Translasi, b = [bx by bz]T.
(IV.2)
Kedua jenis pergerakan (rotasi dan translasi) dapat disatukan kedalam matriks transformasi homogen kendaraan Tk sebagai berikut: Tk =
A R � B α,β,γ
0
cαcβ sαcβ b �=� −sβ 1 0
cαsβsγ − sαcγ sαsβsγ + cαcγ cβsγ 0
cαsβcγ + sαsγ sαsβcγ − cαsγ cβcγ 0
bx by �. b𝑧 1
(IV.3)
IV.2 Model Kinematika Mekanisme Model kinematika diturunkan dengan notasi Denavit-Hartenberg (notasi D-H) yang biasa digunakan dalam bidang robotika. Koordinat yang menunjukkan simbol dan nilai berbagai parameter dari mekanisme dua derajat kebebasan dapat dilihat pada Gambar IV.1 dan Tabel IV.1. 35
Y1
Z1 X1 Sistem Tilt (θ2)
L2
Y2
Z2 X2
Arah sasaran
Sistem Pan (θ1)
L1
Z0
Y0
X0
Gambar IV.1 Koordinat notasi D-H untuk MP 2-DOF Gambar IV.1 merupakan diagram benda bebas dari mekanisme penggerak 2-DOF yang memiliki satu sumbu koordinat referensi dan dua sumbu koordinat sendi. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa jarak koordinat referensi ke koordinat satu adalah L1 dan jarak koordinat satu ke koordinat dua adalah L2. Putaran pada sendi satu dinamakan Pan (θ1), sedangkan putaran pada sendi dua dinamakan Tilt (θ2). Tabel IV.1 Parameter lengan MP 2-DOF Sendi ke-i
αi-1
ai-1
di
θi
1 2
π/2 0
0 L2
L1 0
θ1 θ2
Tabel IV.1 menunjukkan parameter D-H yang diperoleh dari konfigurasi pada Gambar IV.2 untuk penjelasan notasi dapat dilihat pada sub Bab II.2.1. Berdasarkan parameter tersebut maka dapat diturunkan matrik transformasi homogen untuk setiap sendi sebagaimana berikut: cos θi sin θi i−1 iTm = � 0 0
− sin θi cos αi sin θi sin αi ai cos θi cos θi cos αi − cos θi sin αi ai sin θi �, sin αi cos αi di 0 0 1 cos θ1 0 sin θ1 0 sin θ 0 − cos θ 0 0 1 1 �, 1Tm = � 0 1 0 L1 0 0 0 1 cos θ2 − sin θ2 0 L2 cos θ2 sin θ2 cos θ2 0 L2 sin θ2 1 �. 2Tm = � 0 0 1 0 0 0 0 1 36
(IV.4)
(IV.5)
(IV.6)
Matriks tansformasi homogen mekanisme untuk seluruh lengan adalah cos θ1 0 sin θ1 0 cos θ2 − sin θ2 0 L2 cos θ2 sin θ 0 − cos θ 0 sin θ2 cos θ2 0 L2 sin θ2 0 1 1 �� � 2Tm = � 0 1 0 L1 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 cos θ1 cos θ2 − cos θ1 sin θ2 sin θ1 L2 cos θ1 cos θ2 sin θ1 cos θ2 − sin θ1 sin θ2 − cos θ1 L2 sin θ1 cos θ2 =� �. sin θ2 cos θ2 0 L1 + L2 sin θ2 0 0 0 1
(IV.7)
Ujung lengan 2 (end-effector) dari mekanisme penggerak diarahkan pada sasaran atau target tertentu yang juga memiliki posisi dan orientasi. Target dapat diasumsikan berupa benda yang memiliki orientasi yang sama sehingga dapat ditulis 1 0 Tt = � 0 0
0 1 0 0
0 Ltx 0 Lty � 1 Ltz 0 1
(IV.8)
Oleh karena matriks di atas maka matriks transformasi homogen mekanisme menjadi Tmt
cθ1 cθ2 −cθ1 sθ2 sθ1 sθ cθ −sθ1 sθ2 −cθ1 = 03Tm ∗ Tt = � 1 2 sθ2 cθ2 0 0 0 0 cθ1 cθ2 −cθ1 sθ2 sθ1 px sθ1 cθ2 −sθ1 sθ2 −cθ1 py =� �, sθ2 cθ2 0 pz 0 0 0 1
L2 cθ1 cθ2 1 L2 sθ1 cθ2 0 �� L1 + L2 sθ2 0 1 0
0 1 0 0
0 0 1 0
Ltx Lty � Ltz 1 (IV.9)
dimana:
px = Ltt cθ1 cθ2 − Lty cθ1 sθ2 + Ltz sθ1,
py = Ltt sθ1 cθ2 − Lty sθ1 sθ2 − Ltz cθ1, pz = L1 + Ltt sθ2 + Lty cθ2.
Notasi Ltt merupakan panjang total lengan dua (L2) ditambah dengan jarak ujung lengan dua ke objek yang menjadi target (Ltx) atau secara matematis ditulis Ltt = L2 + Ltx . Apabila diasumsikan bahwa sasaran hanya bergerak searah dengan koordinat end-effector (menjauh atau mendekat searah sumbu-X) maka Lty dan Ltz dapat dianggap nol sehingga persamaan (IV.9) dapat disederhanakan menjadi Tmt
cθ1 cθ2 sθ cθ =� 1 2 sθ2 0
−cθ1 sθ2 −sθ1 sθ2 cθ2 0 37
sθ1 −cθ1 0 0
Ltt cθ1 cθ2 Ltt sθ1 cθ2 �. L1 + Ltt sθ2 1
(IV.10)
IV.3 Transformasi Homogen Total Posisi dan orientasi seluruh bagian yang berhubungan dengan mekanisme penggerak secara umum dapat diilustrasikan sebagaimana Gambar IV.2. Diagram blok penurunan persamaan transformasi homogen total untuk MP 2-DOF dapat dilihat pada Gambar IV.3.
Gambar IV.2 Kerangka koordinat transformasi homogen total Pada Gambar IV.2 dapat dilihat bahwa posisi dan orientasi seluruh bagian terdiri dari rangkaian beberapa transformasi, antara lain transformasi kendaraan (Tk), Transformasi mekanisme (Tm), dan transformasi target (Tt) yang saling terhubung. Transformasi koordinat {O}-{A}-{C}-{D} dapat diwakili oleh transformasi koordinat {O}-{D}.
Gambar IV.3 Diagram blok transformasi homogen total
38
Gambar IV.3 menjelaskan secara sederhana cara memperoleh transformasi homogen total. Matriks transformasi homogen total T diperoleh dengan mengalikan matriks homogen pergerakan kendaraan Tk dengan matriks homogen mekanisme ke target Tmt sehingga persamaannya dapat ditulis T = Tk ∗ Tmt
cαcβ cαsβsγ − sαcγ sαcβ sαsβsγ + cαcγ =� −sβ cβsγ 0 0 nx sx ax Px ny sy ay Py =� �, nz sz az Pz 0 0 0 1
cαsβcγ + sαsγ sαsβcγ − cαsγ cβcγ 0
bx cθ1 cθ2 by sθ1 cθ2 �� sθ2 b𝑧 0 1
−cθ1 sθ2 −sθ1 sθ2 cθ2 0
sθ1 −cθ1 0 0
px py � pz 1 (IV.11)
dimana:
n = vektor normal (sumbu-Y),
(IV.12)
nx = (cαcβ)cθ1 cθ2 + (cαsβsγ − sαcγ)sθ1 cθ2 + (cαsβcγ + sαsγ)sθ2
ny = (sαcβ)cθ1 cθ2 + (sαsβsγ + cαcγ)sθ1 cθ2 + (sαsβcγ − cαsγ)sθ2 nz = (−sβ)cθ1 cθ2 + (cβsγ)sθ1 cθ2 + (cβcγ)sθ2
s = vektor geser (sumbu-Z),
(IV.13)
sx = −(cαcβ)cθ1 sθ2 − (cαsβsγ − sαcγ)sθ1 sθ2 + (cαsβcγ + sαsγ)cθ2
sy = −(sαcβ)cθ1 sθ2 − (sαsβsγ + cαcγ)sθ1 sθ2 + (sαsβcγ − cαsγ)cθ2 sz = (sβ)cθ1 sθ2 − (cβsγ)sθ1 sθ2 + (cβcγ)cθ2
a = vektor pendekatan (sumbu-X),
(IV.14)
ax = (cαcβ)sθ1 − (cαsβsγ − sαcγ)cθ1
ay = (sαcβ)sθ1 − (sαsβsγ + cαcγ)cθ1 az = (−sβ)sθ1 − (cβsγ)cθ1
P = vektor posisi.
(IV.15)
Px = (cαcβ)px + (cαsβsγ − sαcγ)py + (cαsβcγ + sαsγ)pz + bx
Py = (sαcβ)px + (sαsβsγ + cαcγ)py + (sαsβcγ − cαsγ)pz + by Pz = (−sβ)px + (cβsγ)py + (cβcγ)pz + b𝑧
Untuk menghitung sudut balik yang diperlukan sebagai kompensasi akibat pergerakan rotasi (RPY) kendaraan dapat diselesaikan dengan beberapa metode yang akan dijelaskan.
39
IV.4 Metode Sudut Balik Penentuan sudut balik dapat diturunkan melalui tiga metode, yaitu: iterasi menggunakan matriks Jacobian (metode 1), penurunan secara geometri dari matriks translasi (metode 2), dan analisis dari matriks rotasi (metode 3). Pada penelitian ini, setiap selesai uraian dari masing-masing metode, akan dibuat simulasi menggunakan perangkat lunak Matlab yang dilakukan dengan dua tahap. Pada tahap pertama, gerak rotasi yang diberikan hanya berupa pitch dan yaw saja (PY, dengan gerak roll = 0). Tahap kedua yakni dengan memberikan gerak berupa roll, pitch, dan yaw (RPY). Parameter yang digunakan untuk simulasi dapat dilihat pada Tabel IV.2. Gerak RPY dimasukkan pada simulasi menggunakan interprestasi sudut Euler ZYX dengan waktu cuplik yang disesuaikan dengan waktu cuplik untuk pengambilan data sensor IMU, yaitu 32 ms. Tabel IV.2 Parameter simulasi sudut balik Parameter
Nilai (Satuan)
Translasi kendaraan, [bx by bz]
[0 0 0] (m)
Jarak ujung lengan 2 ke target, Ltx
1.000 (m)
Panjang lengan MP 2-DOF, [L1 L2]
[0,57 1,13] (m)
Frekuensi pergerakan, [fr fp fy]
[1,25 0,75 0,22] (Hz)
Amplitudo pergerakan, [mr mp my]
[pi/4 pi/3 pi/2] (rad)
Offset pergerakan, [Or Op Oy]
[0 2 4] (rad)
Tabel IV.2 menunjukkan parameter simulasi yang digunakan untuk dua hal, yakni untuk masukan konfigurasi mekanisme dan masukan pembangkitan trajektori pergerakan orientasi yang berupa sinyal sinus. Data yang digunakan sebagai masukan konfigurasi mekanisme yaitu translasi kendaraan, jarak ujung lengan 2 ke target, dan panjang lengan, sedangkan data yang digunakan sebagai masukan pembangkitan trajektori yaitu frekuensi, amplitudo, dan offset.
Galat dari hasil simulasi untuk tahap pertama dihitung berdasarkan selisih antara hasil metode matriks Jacobian, metode matriks posisi, dan metode matriks rotasi terhadap masukan pitch dan yaw (PY) yang diberikan, sedangkan galat tahap kedua dihitung berdasarkan selisih antara metode kedua atau metode ketiga terhadap metode pertama. 40
Simulasi untuk ketiga metode dibuat dalam satu program, dimana ketiga metode memperoleh masukan yang sama, lalu dari nilai masukan tersebut dilakukan perhitungan sudut balik untuk metode matriks Jacobian, metode matriks posisi, dan metode matriks rotasi. Persamaan
untuk
memperoleh
nilai
sudut
balik yang digunakan berbeda.
Persamaan untuk metode matriks Jacobian yakni menggunakan algoritma sebagaimana yang ditunjukkan oleh Tabel IV.3, yang kemudian dilakukan proses iterasi. Persamaan yang digunakan dalam pemrograman untuk melakukan perhitungan metode matriks posisi adalah persamaan (IV.18) s/d (IV.23) yang diperoleh melalui perhitungan secara langsung berdasarkan geometri, sedangkan untuk metode matriks rotasi menggunakan persamaan (IV.34) dan (IV.35) yang diperoleh melalui analitik.
IV.4.1 Metode Matriks Jacobian Pada metode ini dilakukan iterasi menggunakan pseudoinverse dari matriks Jacobian yang diperoleh dari model kinematika MP 2-DOF. Algoritma yang digunakan dapat dilihat pada Tabel IV.3. Metode matriks Jacobian merupakan metode yang digunakan dalam Robotics Toolbox (Corke, 2002), sehingga untuk simulasi hanya tinggal menjalankannya saja dengan memasukkan data yang diperlukan. Tabel IV.3. Algoritma sudut balik metode matriks Jacobian No
Proses
1
Hitung matriks Jacobian
2
Hitung pseudoinverse dari matriks Jacobian, −1
3
J∗ = �JT J� JT
Hitung perubahan sudut sendi, ∆θ = J∗ ∆e
dimana ∆e diperoleh dari nilai pada model tranformasi homogen total yang dimasukkan kedalam persamaan berikut:
4
5
6
∆e = �Px
Py
Pz
1 (s 2 z
− ay )
Implementasikan perubahan sudut,
1 (a 2 x
− nz )
1 (a 2 y
− sx )�
T
θsesudah = θsebelum + ∆θ
Normalisasi perubahan sudut,
Nθ = norm(∆θ)
Nilai θ yang sesuai ditemukan, apabila Nθ lebih kecil dari nilai toleransi yang diinginkan.
41
Simulasi metode matriks Jacobian Sudut balik yang dihasilkan oleh metode ini terhadap gerak pitch dan yaw (PY) dapat dilihat pada Gambar IV.4a, sedangkan galat sudut balik terhadap gerak sudut ditunjukkan pada Gambar IV.4b. Pada Gambar IV.4 tampak bahwa galat maksimum dari sudut balik Pan maupun sudut balik Tilt yang dihasilkan memiliki nilai yang sangat kecil.
100
20
Sudut (degrees)
60
-6
Pan Tilt
roll
β
pitch
α
40
θ
20
θ
Galat sudut (degrees)
γ
80
x 10
yaw
Pan Tilt
0 -20 -40
15
10
5
-60
0
-80 -100
0
1
2
3
4
-5 0
5
1
2
Waktu (s)
3
4
5
Waktu (s)
(a)
(b)
Gambar IV.4 Metode matriks Jacobian terhadap gerak PY: (a) Sudut balik; (b) galat sudut Gambar IV.5 menunjukkan sudut balik yang dihasilkan oleh metode matriks Jacobian terhadap gerak RPY. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa interfensi dari gerak roll dan pitch dapat terkompensasi. Khusus untuk simulasi tahap kedua, metode ini akan dijadikan sebagai pembanding bagi metode lainnya.
100 γ
roll
β
Sudut (degrees)
50
pitch
α
yaw
θ
Pan
0
θ
Tilt
-50
Mengkompensasi orientasi
-100
-150
0
1
2
3
4
5
Waktu (s)
Gambar IV.5 Metode matriks Jacobian terhadap gerak RPY
42
IV.4.2 Metode Matriks Posisi Metode ini merupakan penurunan sudut balik menggunakan persamaan geometri dari MP 2-DOF dengan memanfaatkan matriks posisi dari transformasi homogen total, P = [Px
Py
Pz ]T (lihat persamaan IV.15). Gambar IV.7 menunjukkan diagram benda bebas
mekanisme MP 2-DOF untuk penurunan sudut balik dengan geometri.
Target (Px, Py, Pz)
Z0 Ltt
z θ2
r L1
Y0
θ1
(Px, Py)
r
0
X0
Gambar IV.6 Diagram Benda Bebas MP 2-DOF Untuk penyelesaian persamaan diperlukan nilai z dan r, dimana nilai tersebut dapat dihitung dengan persamaan z = Pz − L1
(IV.16)
r = �Px2 + Py2
(IV.17)
Berdasarkan Gambar IV.6, ada tiga persamaan yang dapat dibentuk untuk memperoleh sudut θ1 dan tiga persamaan untuk memperoleh sudut θ2 . Sudut Pan, yaitu:
sin θ1 =
cos θ1 = Sudut Tilt, yaitu:
Py r
Px r
Py
tan θ1 = P
x
z
sin θ2 = L
tt
r
cos θ2 = L
tt
z
Py
(IV.18)
P
(IV.19)
⟹ θ1 = sin−1 � r �,
⟹ θ1 = cos −1 � rx �, ⟹ θ1 = tan−1 �P �.
Py
(IV.20)
⟹ θ2 = sin−1 �L �,
z
(IV.21)
r
(IV.22)
x
tt
⟹ θ2 = cos −1 �L �, z
tt
tan θ2 = r ⟹ θ2 = tan−1 �r� . 43
(IV.23)
Simulasi metode matriks posisi Sudut balik yang dihasilkan oleh metode ini terhadap gerak PY dapat dilihat pada Gambar IV.7a dengan galat sudut sebagaimana pada Gambar IV.7b. Pada Gambar IV.7 dapat dilihat bahwa galat sudut balik yang dihasilkan sudut Tilt memiliki nilai yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan galat sudut Pan.
100
0.04 β
60
Sudut (degrees)
roll pitch
α
40
yaw
θ
Pan
20
~sin
θTilt~sin θ
0
Pan
~cos
-20
θ ~cos
-40
θPan~stan
-60
θTilt~tan
Tilt
0.02 0.01 0 -0.01 -0.02
-80
-0.03
-100
-0.04
0
1
2
3
Pan~sin Tilt~sin Pan~cos Tilt~cos Pan~tan Tilt~tan
0.03
Galat sudut (degrees)
γ
80
4
5
0
1
Waktu (s)
2
3
4
5
Waktu (s)
(a)
(b)
Gambar IV.7 Metode matriks posisi terhadap gerak PY: (a) Sudut balik; (b) galat sudut Sudut balik yang dihasilkan oleh metode ini terhadap gerak RPY dapat dilihat pada Gambar IV.8a, sedangkan galat sudut balik metode ini terhadap metode pertama ditunjukkan pada Gambar IV.8b.
100
50 θ
Pan
40
θ ~Metode1 Tilt
θ
Sudut (degrees)
Pan
30
~sin
Galat sudut (degrees)
50
θ ~sin Tilt
θ
0
Pan
~cos
θ ~cos Tilt
θ
-50
Pan
~tan
θ ~tan Tilt
Jauh perbedaan dibandingkan dengan Metoda Jacobian
-100
-150
Pan~sin Tilt~sin Pan~cos Tilt~cos Pan~tan Tilt~tan
~Metode1
0
1
2
3
4
20 10 0 -10 -20 -30 -40
5
0
1
2
3
4
5
Waktu (s)
Waktu (s)
(a)
(b)
Gambar IV.8 Metode matriks posisi terhadap gerak RPY: (a) Sudut balik; (b) galat sudut Pada Gambar IV.8, galat yang dihasilkan sangat besar, dimana galat maksimum sudut Pan adalah 40,70 derajat dan galat maksimum sudut Tilt adalah 9,81 derajat. Berdasarkan hasil tersebut maka dapat dikatakan bahwa penggunaan metode ini tidaklah tepat.
44
IV.4.3 Metode Matriks Rotasi Metode matriks rotasi adalah dengan menurunkan secara analitik matriks rotasi dari matriks homogen total R, yaitu nx R = �n y nz
sx sy sz
ax ay �, az
dimana: nx = (cαcβ)cθ1 cθ2 + (cαsβsγ − sαcγ)sθ1 cθ2 + (cαsβcγ + sαsγ)sθ2,
(IV.24)
(IV.25)
ny = (sαcβ)cθ1 cθ2 + (sαsβsγ + cαcγ)sθ1 cθ2 + (sαsβcγ − cαsγ)sθ2,
(IV.26)
sx = −(cαcβ)cθ1 sθ2 − (cαsβsγ − sαcγ)sθ1 sθ2 + (cαsβcγ + sαsγ)cθ2,
(IV.28)
sz = (sβ)cθ1 sθ2 − (cβsγ)sθ1 sθ2 + (cβcγ)cθ2,
(IV.30)
ay = (sαcβ)sθ1 − (sαsβsγ + cαcγ)cθ1,
(IV.32)
nz = (−sβ)cθ1cθ2 + (cβsγ)sθ1 cθ2 + (cβcγ)sθ2,
(IV.27)
sy = −(sαcβ)cθ1 sθ2 − (sαsβsγ + cαcγ)sθ1 sθ2 + (sαsβcγ − cαsγ)cθ2 ,
(IV.29)
ax = (cαcβ)sθ1 − (cαsβsγ − sαcγ)cθ1,
(IV.31)
az = (−sβ)sθ1 − (cβsγ)cθ1 .
(IV.33)
Setiap baris atau kolom dari matriks rotasi R dapat dinormalisasi (penjumlahan dari setiap komponen yang dikuadratkan merupakan vektor unit atau sama dengan satu). Dengan menurunkan secara analitik kolom ketiga untuk mencari 𝛉𝟏 dan baris ketiga untuk mencari
𝛉𝟐 maka diperoleh
a θ1 = tan−1 � x�−ay �, n θ2 = tan−1� z�sz �.
(IV.34) (IV.35)
Simulasi metode matriks rotasi Sudut balik yang dihasilkan oleh metode ini terhadap gerak pitch dan yaw (PY) dapat dilihat pada Gambar IV.9a dengan galat sudut sebagaimana ditunjukkkan Gambar IV.9b. Pada Gambar IV.9 dapat dilihat bahwa galat maksimum yang dihasilkan sangat kecil yaitu 7,11 x 10-15 derajat.
45
100
8 γroll
80
β
θ
Pan
20
Pan Tilt
pitch
α yaw
40
-15
6
Galat sudut (degrees)
Sudut (degrees)
60
x 10
θ
Tilt
0 -20 -40
4 2 0 -2 -4
-60 -6
-80 -100
0
1
2
3
4
-8
5
0
1
Waktu (s)
2
3
4
5
Waktu (s)
(a)
(b)
Gambar IV.9 Metode matriks rotasi terhadap gerak: (a) Sudut balik PY; (b) galat sudut Sudut balik yang dihasilkan oleh metode ini terhadap gerak RPY dapat dilihat pada Gambar IV.9a, sedangkan galat sudut balik metode ini terhadap metode pertama ditunjukkan pada Gambar IV.9b.
0.03
100 θ
~metode1
θ
~metode3
Pan Pan
50
Pan Tilt 0.02
θ ~metode1
Galat sudut (degrees)
Sudut (degrees)
Tilt
θ ~metode3 Tilt
0
-50
-100
-150
0.01
0
-0.01
-0.02
0
1
3
2
4
-0.03
5
0
1
Waktu (s)
3
2
4
5
Waktu (s)
(a)
(b)
Gambar IV.10 Metode matriks rotasi terhadap gerak RPY: (a) Sudut balik; (b) galat sudut Pada Gambar IV.10 tampak bahwa sudut balik yang dihasilkan hampir sama dengan sudut balik metode matriks Jacobian dengan galat sudut yang relatif kecil.
IV.5 Perbandingan Nilai Galat Maksimum Ketiga Metode IV.5.1 Masukan Gerak PY Perbandingan galat maksimum dari ketiga metode yang digunakan dapat dilihat pada Tabel IV.4. Nilai tersebut merupakan galat maksimum yang dihitung berdasarkan selisih dari sudut balik hasil perhitungan ketiga metode dengan sudut pitch-yaw (PY).
46
Tabel IV.4. Galat maksimum terhadap gerak PY No 1 2
Galat maksimum (derajat)
Metode
Pan
Matriks Jacobian
2,13x10-14
1,84x10-5
sin
1,53x10-11
0,03
cos
2,94x10
-13
0,03
1,42x10
-14
0,02
7,11x10
-15
7,11x10-15
Matriks posisi
tan 3
Tilt
Matriks rotasi
Tabel IV.4 menjelaskan bahwa galat maksimum yang dihasilkan dengan metode matriks Jacobian untuk mengkompensasi gerak sangat kecil, yaitu 2,13x10-14 (pan) dan 1,84x10-5 (tilt). Walaupun demikian, galat metode ini lebih besar jika dibandingkan dengan metode matriks rotasi yang bernilai 7,11x10-15.
Waktu proses perhitungan untuk ketiga metode yang dihasilkan juga merupakan hal yang diperhatikan dalam penelitian. Waktu proses yang direkam secara waktu nyata pada saat prosesor melakukan perhitungan dengan ketiga metode akibat gerak PY dapat dilihat pada Gambar IV.11.
Gambar IV.11 Perbandingan waktu proses ketiga metode untuk gerak PY
Gambar IV.11 menunjukkan bahwa metode matriks posisi memiliki waktu proses paling cepat (tangen, sinus, kosinus secara berurutan), tetapi terjadi ‘loncatan’ untuk penggunaan kosinus dan tangen. Metode matriks rotasi memiliki waktu proses lebih lambat dari metode matriks posisi, tetapi jauh lebih cepat apabila dibandingkan metode matriks Jacobian. 47
IV.5.2 Masukan Gerak RPY Perbandingan galat maksimum dari ketiga metode yang digunakan dapat dilihat pada Tabel IV.5. Nilai tersebut merupakan galat maksimum yang dihitung berdasarkan selisih dari sudut balik hasil perhitungan metode matriks posisi dengan metode matriks Jacobian, serta selisih hasil perhitungan metode matriks rotasi dengan metode matriks Jacobian. Tabel IV.5. Galat maksimum terhadap gerak RPY Metode
Matriks posisi
Galat maksimum (derajat) Pan
Tilt
sin
40,70
9,77
cos
40,70
9,81
tan
40,70
9,79
0,03
0,02
Matriks rotasi
Gambar IV.12 menunjukkan waktu proses yang direkam secara waktu nyata pada saat prosesor melakukan perhitungan dengan ketiga metode akibat adanya gerak RPY.
Gambar IV.12 Perbandingan waktu proses ketiga metode untuk gerak RPY Gambar IV.12 memperlihatkan karakter yang hampir serupa dengan Gambar IV.11. Pada gambar ini tampak bahwa metode matriks posisi memiliki waktu proses paling cepat (tangen, sinus, dan kosinus secara berurutan), tetapi terjadi ‘loncatan’ untuk penggunaan kosinus. Metode matriks rotasi memiliki waktu proses lebih lambat dari metode matriks posisi, tetapi jauh lebih cepat apabila dibandingkan metode matriks Jacobian.
48
Bab V. Dinamika Model dinamika untuk manipulator secara umum dapat dibentuk dengan dua metode, yaitu metode Lagrangian dan metode Newton-Euler. Pemodelan dinamika pada penelitian ini menggunakan kedua metode tersebut, hanya saja terdapat perbedaan asumsi. Pemodelan dinamika dengan metode Lagrangian pada MP 2-DOF menggunakan asumsi titik massa di setiap sendi, sedangkan pemodelan dinamika dengan metode Newton-Euler menggunakan asumsi titik massa di pusat gravitasi (center of gravity/COG) pada struktur lengan.
V.1 Model Dinamika dengan Metode Lagrangian Penurunan persamaan MP 2-DOF dengan asumsi titik massa pada setiap sendi dengan metode Lagrange dimaksudkan untuk memudahkan dalam memahami penurunan persamaan. Ilustrasi asumsi tersebut secara jelas dapat dilihat pada Gambar V.1.
Gambar V.1 MP 2-DOF dengan asumsi titik massa pada sendi Pada Gambar V.1 terlihat bahwa massa lengan 1 diasumsikan sebagai gumpalan massa yang berada pada ujung lengan 1, sedangkan gumpalan massa lengan 2 berada pada ujung lengan 2. Hasil akhir dari penurunan model dinamika menggunakan metode Lagrangian dengan asumsi tersebut (lihat Lampiran 2) adalah τ1 = m2 l22 cos 2 (θ2 ) θ̈1 ,
τ2 = m2 l22 θ̈2 + m2 l22 cos 2 (θ2 ) sin(θ2 ) θ̇12 − m2 gl2 cos(θ2 ).
(V.1) (V.2)
Persamaan di atas dapat diubah kedalam bentuk standar M(θ)θ̈ + V�θ, θ̇� + G(θ) = τ, dengan M(θ) adalah matriks inersia (bentuk simetri), V�θ, θ̇� adalah vektor Coriolis, dan G(θ) adalah vektor gravitasi, yaitu
49
M(θ) = �
V�θ, θ̇� = �
m2 l22 cos2 (θ2 ) 0 �, 0 m2 l22
(V.3)
0
�, m2 l22 cos 2 (θ2 ) sin(θ2 ) θ̇12
G(θ) = �
(V.4)
0 �. m2 gl2 cos(θ2 )
(V.5)
Persamaan (V.1) dan (V.2) merupakan model dinamika mundur. Persamaan tersebut dapat diubah menjadi model dinamika maju menjadi m2 l22 cos2 (θ2 ) θ̈1 = τ1
⟹
θ̈1 = m
τ1
,
m2 l22 θ̈2 + m2 l22 cos2 (θ2 ) sin(θ2 ) θ̇12 − m2 gl2 cos(θ2 ) = τ2 ⟹
2
τ −m l cos θ̈2 = 2 2 2
2(θ
(V.6)
2 2 2 l2 cos (θ2 )
̇2 2 ) sin(θ2 )θ1 +m2 gl2 cos(θ2 ) 2 m2 l 2
,
(V.7)
Apabila disusun dalam bentuk matriks, model dinamika maju menjadi τ1
m2 l22 cos2 (θ2 ) θ̈ � 1 � = �τ −m l2 cos2(θ ) sin(θ )θ̇2 +m gl cos(θ )�. 2 2 2 2 2 1 2 2 2 θ̈2 2
(V.8)
m2 l2
V.2 Model Dinamika dengan Metode Newton Euler Penyelesaian dengan metoda Lagrangian untuk parameter sistem penggerak yang ideal adalah hal yang cukup rumit. Oleh karena itu, pada model dinamika MP 2-DOF yang memperhatikan seluruh parameter digunakan metoda Newton-Euler. Persamaan dinamika manipulator secara umum adalah M(θ)θ̈ + V�θ, θ̇� + F�θ̇� + G(θ) + τd = τ + τext ,
(V.9)
dimana M(q) adalah matriks inersia, V(q, q̇ ) adalah vektor Coriolis, F(q̇ ) adalah vektor gesekan, G(q) adalah vektor gravitasi, τd adalah torsi gangguan, dan τext adalah torsi luar. Penandaan gesekan dinamika memiliki sifat sebagai berikut +1 sgn�θ̇� = �𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑚𝑒𝑑𝑖𝑎𝑡𝑒 −1
θ̇ > 0 θ̇ = 0 . θ̇ < 0
(V.10)
Untuk penyederhanaan, τd dapat diabaikan sehingga persamaan (V.9) dapat ditulis M(θ)θ̈ + N�θ, θ̇� − τext = τ ,
(V.11)
dimana N�θ, θ̇� adalah adalah bagian tak-linier. Persamaan N�θ, θ̇� adalah N�θ, θ̇� = V�θ, θ̇� + F�θ̇� + G(θ) ,
(V.12)
50
F�θ̇� = Fv �θ̇� + Fd sgn�θ̇� ,
(V.13)
dimana Fv q̇ adalah gesekan Viscous dan Fd sgn(q̇ ) adalah gesekan dinamis. Dinamika manipulator dengan sendi yang memiliki reduksi transmisi G berlaku τ = Gτm
θm = Gθ,
=> τm = G−1 τ ,
(V.14) (V.15)
dimana G adalah rasio roda gigi, q m adalah kecepatan sudut dari rotor, dan τm adalah torsi motor. Dengan menyertakan persamaan (V.11) pada persamaan dinamika motor berikut τm − τ = Im θ̈m + Bm θ̇m
(V.16)
maka persamaan kesetimbangan dinamika motor menjadi τm − G−1 �M(θ)θ̈ + N�θ, θ̇� − τext � = Im θ̈m + Bm θ̇m ,
τm + G−1 τext = Im θ̈m + Bm θ̇m + G−1 �M(θ)θ̈ + N�θ, θ̇�� ,
G−1 (τ + τext ) = Im θ̈m + Bm θ̇m + G−1 �M(θ)θ̈ + N�θ, θ̇�� .
(V.17)
Melalui hubungan persamaan (V.14) dan (V.15) serta kedua sisi dikalikan dengan G maka persamaan di atas menjadi τ + τext = GIm θ̈m + GBm θ̇m + M(θ)θ̈ + N�θ, θ̇� ,
(V.18)
τ + τext = (M(θ) + G2 Im )θ̈ + N�θ, θ̇� .
(V.20)
τ + τext = G2 Im θ̈ + G2 Bm θ̇ + M(θ)θ̈ + N�θ, θ̇� ,
(V.19)
Nilai 𝐆𝟐 𝐁𝐦 𝛉̇ pada persamaan (V.19) tergantung terhadap kecepatan sudut sehingga dapat dijadikan satu dengan gesekan 𝐅𝐯 �𝛉̇� pada bagian tak-linier sebagaimana berikut N�θ, θ̇� = V�θ, θ̇� + (Fv + G2 Bm )�θ̇� + Fd sgn�θ̇� + G(θ) .
(V.21)
Ujung lengan MP 2-DOF diasumsikan tidak menerima torsi dari luar (τext = 0) sehingga persamaan (V.20) dapat ditulis
τ = (M(θ) + G2 Im )θ̈ + N�θ, θ̇� .
(V.22)
Persamaan di atas digunakan dalam rekursif Newton Euler untuk menurunkan persamaan dinamika MP 2-DOF. Berdasarkan iterasi rekursif Newton Euler yang telah diturunkan sebagaimana Lampiran 3 maka diperoleh model dinamika dari MP 2-DOF sebagai berikut. 2 2 2 τ1 = (Iyy1+ 2Ixy2 cθ2sθ2 + Ixx2s2 θ2 + Iyy2c 2 θ2 + m2 s 2 θ2 (ry2 +rz2 )+ m2c 2 θ2 (rx2 + L22 + 2L2 rx2+ 2 2 2 rz2 )2m2 ry2 cθ2sθ2(rx2+ L2) + m1(rx1 + rz1 ) + G12 Jm1) θ̈1 + (Ixz2sθ2 + Iyz2cθ2 – m2 rz2 (ry2cθ2 + (L2+ rx2) sθ2)) θ̈2 +(Ixz2cθ2– Iyz2 sθ2– m2 rz2 ((L2+ rx2) cθ2 – ry2 sθ2)) θ̇22 +(2(Ixx2 2 2 – Iyy2)sθ2cθ2 + 2Ixy2 (c 2 θ2 –s 2 θ2 )+ 2m2 ((L2 + rx2) ry2 (s2 θ2 –c 2 θ2 ) – ((rx2 - ry2 )+ 2 ̇ ̇ (L2+2rx2)L2) sθ2cθ2)) θ1 θ2+G1 f1 , (V.23)
51
2 2 τ2 = (Ixz2sθ2 + Iyz2cθ2 – m2 rz2 (ry2cθ2 + (L2+ rx2) sθ2)) θ̈1 + (Izz2+ m2 (rx2 + ry2 + L22 + 2rx2L2) + G22 Jm2) θ̈2 - ((Ixx2– Iyy2 ) sθ2cθ2+ Ixy2c 2 θ2 – Ixy2 s 2 θ2– m2 ry2 ((L2+ rx2) c 2 θ2 - (L2 + rx2) 2 s2 θ2 – ry2 sθ2cθ2)– m2 sθ2cθ2 (L22 + rx2 + 2L2 rx2)) θ̇12 + m2g(L2 cθ2 + rx2 cθ2 – ry2 (V.24) sθ2)+G22 f2 .
Untuk kepentingan teknik kendali maka persamaan (V.23) dan (V.24) dapat diubah dalam bentuk standar M(θ)θ̈ + V�θ, θ̇� + g(θ) + f�θ̇� = τ , dengan M(θ) adalah matriks inersia
(bentuk simetri), V�θ, θ̇� adalah vektor Coriolis, G(θ) adalah vektor gravitasi, dan F(q̇ )
adalah vektor gesekan. Apabila ditulis dalam bentuk matriks menjadi �
V11 �θ, θ̇� V12 �θ, θ̇� f1 �θ̇� g (θ) M11 (θ) M12 (θ) ̈ � θ̇ + � 1 � + � � = τ, �θ + � M21 (θ) M22 (θ) g 2 (θ) V21 �θ, θ̇� V22 �θ, θ̇� f2 �θ̇�
(V.25)
dimana: M11 (θ)
2 2 2 +rz2 )+ m2c 2 θ2 (rx2 + L22 + = (Iyy1+ 2Ixy2 cθ2sθ2 + Ixx2s 2 θ2 + Iyy2c 2 θ2 + m2 s2 θ2 (ry2 2 2 2 2L2 rx2+ rz2 )2m2 ry2 cθ2sθ2(rx2+ L2) + m1(rx1 + rz1 ) + G12 Jm1) ,
M22 (θ)
2 2 = (Izz2+ m2 (rx2 + ry2 + L22 + 2rx2L2) + G22 Jm2),
M12 (θ)
= M_21 (q)= (Ixz2sθ2 + Iyz2cθ2 – m2 rz2 (ry2cθ2 + (L2+ rx2) sθ2)),
V11 �θ, θ̇� = (2(Ixx2 – Iyy2)sθ2cθ2 + 2Ixy2 (c 2 θ2 –s2 θ2)+ 2m2 ((L2 + rx2) ry2 (s2 θ2 –c 2 θ2 ) – 2 2 ((rx2 - ry2 ) + (L2+2rx2)L2) sθ2cθ2)) θ̇2 , V12 �θ, θ̇� = (Ixz2cθ2– Iyz2 sθ2– m2 rz2 ((L2+ rx2) cθ2 – ry2 sθ2)) θ̇2 ,
V21 �θ, θ̇� = - ((Ixx2– Iyy2 ) sθ2cθ2+ Ixy2c 2 θ2– Ixy2 s 2 θ2 – m2 ry2 ((L2+ rx2) c 2 θ2 - (L2 + rx2) 2 s2 θ2 – ry2 sθ2cθ2)– m2 sθ2cθ2 (L22 + rx2 + 2L2 rx2)) θ̇1 ,
V22 �θ, θ̇� = 0, g1 (θ)
= 0,
f1 �θ̇�
= G12 f1 ,
g 2 (θ)
= m2g(L2 cθ2 + rx2 cθ2 – ry2 sθ2),
f2 �θ̇�
= G22 f2 .
Variabel keadaan yang tepat untuk menggambarkan model dinamis adalah posisi θ1 dan θ2
dan kecepatan θ̇1 dan θ̇2 . Dalam variabel keadaan, model dinamika dapat ditulis sebagai θ1 θ̇1 ⎡θ ⎤ 2 d ⎢ ⎥=� θ̇2 �. dt ⎢θ̇1 ⎥ −1 M(θ) �τ(t) − C�θ, θ̇�θ̇ − g(θ) − f�θ̇�� ⎣θ̇1 ⎦ 52
(V.26)
V.3 Simulasi Dinamika Mundur Antena Komunikasi Satelit Simulasi menggunakan data-data MP 2-DOF yang diaplikasikan untuk antena komunikasi satelit. Parameter simulasi dinamika ditunjukkan oleh Tabel V.1. Tabel V.1 Parameter simulasi dinamika antena komunikasi satelit Parameter
Nilai
Posisi sensor terhadap mekanisme [km]
[0; 0; 0,001]
Posisi mekanisme terhadap target [km]
[595; 0; 0]
Parameter D-H (alpha A[km] theta D[km])
L1 = [pi/2 0 0 0,000568] 0,001131 0 0] L2 = [0
Massa [kg]
m1 = 62,38 ; m2 = 11,45
Koordinat COG yang mengacu kepada kerangka koordinat lengan [m]
rx1=-0,001; ry1=-0,001; rz1=0,04; rx2=0,32; ry2=-0,04; rz2=0,00;
Momen inersia pada COG [kg.m2]
Ixx1=2,25; Iyy1=1,81; Izz1=2,39; Ixy1=-0,03; Iyz1=-0,11; Ixz1=-0,08; Ixx2=0,67; Iyy2=2,54; Ixy2=-0,45; Iyz2=0;
Inersia amartur (inersia angker dinamo/inersia motor) [J atau kg.m2]
Jm1 = 0,31x10-4 Jm2 = 0.31x10-4
Rasio reduksi roda gigi
G1 = 20 ; G2 = 30
-2
Gravitasi objek [ms ]
gx=0; gy=0; gz=9,81
Gaya/momen pada ujung lengan 2
Fx=0; Fy=0; Mx=0; My=0;
Default posisi lengan [rad]
qz = [0 0]
Kecepatan [º/s] Percepatan [º/s2]
qd = [300 100] qdd = [60 20]
Waktu cuplik [detik]
ts = 0,032
Izz2=2,70; Ixz2=0;
Fz=0; Mz=0;
Dalam hal ini, hasil analitik yang menggunakan persamaan (V.23) dan (V.24) akan dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dengan Robotics Toolbox (Corke, 2002).
Berdasarkan simulasi sebagaimana yang ditunjukkan oleh Gambar V.2 maka untuk merancang penggerak 2-DOF antena komunikasi satelit agar bekerja dengan baik diperlukan motor dengan daya minimal 1,72 kW untuk Pan dan 2,69 kW untuk Tilt.
53
Sudut (degrees) Sudut (degrees) Sudut (degrees)
ROLL 50 0 -50 0
1
3
2
4
5 Waktu (s)
6
7
8
9
10
6
7
8
9
10
6
7
8
9
10
PITCH 100 0 -100 0
1
2
5 Waktu (s)
4
3
YAW 100 0 -100 0
1
2
3
5 Waktu (s)
4
200
15 Robotics Toolbox Analitik
0 -200 0
2
4
6
8
Galat sudut balik (degrees)
Sudut Pan (degrees)
(a) Gerak RPY
10
Sudut Tilt (degrees)
Waktu (s) 100 Robotics Toolbox Analitik
0 -100 0
2
4
6
8
5 0 -5 -10 -15 0
10
Pan Tilt
10
2
4
60
500 Robotics Toolbox Analitik
0 2
6
4
8
10
Torsi Tilt (N.m)
Waktu (s) 500 Robotics Toolbox Analitik
0 2
6
4
8
Pan Tilt
40 20 0 -20 -40 0
10
2
Waktu (s)
2000
10
500 Robotics Toolbox Analitik
0 2
4
6
8
10
Waktu (s)
Daya Tilt (W)
8
Nilai rata-rata = [-0,10 3,39] N.m Deviasi standar = [8,88 13,90] N.m Galat daya lengan (W)
Daya Pan (W)
Torsi maksimum hasil analitik: Pan = 253,94 N.m Tilt = 486,49 N.m
5000 Robotics Toolbox Analitik
0 -5000 0
4 6 Waktu [detik]
(e) Galat torsi hasil analitik terhadap Robotics Toolbox
(d) Torsi terhadap gerak RPY
-2000 0
10
Nilai rata-rata = [0,63º 0,04º] Deviasi standar = [5,09º 2,19º]
Galat torsi (N.m)
Torsi Pan (N.m)
Sudut maksimum hasil analitik: Pan = 129,87º Tilt = 67,62º
-500 0
8
(c) Galat sudut hasil analitik terhadap Robotics Toolbox
(b) Sudut balik terhadap gerak RPY
-500 0
6 Waktu (s)
Waktu (s)
2
4
6
8
Pan Tilt
0
-500 0
10
Waktu (s)
2
4
6
8
Waktu (s)
(g) Galat daya hasil analitik terhadap Robotics Toolbox
(f) Daya lengan terhadap gerak RPY Daya maksimum hasil analitik: Pan = 1,72 kW Tilt = 2,69 kW
Nilai rata-rata = [0,0094 -0,0106] kW Deviasi standar = [0,18 0,14] kW
Gambar V.2 Perbandingan hasil analitik dengan robotics toolbox
54
10
V.4 Linierisasi Model Dinamika Persamaan dinamika yang diberikan oleh persamaan (V.23) dan (V.24) adalah persamaan tak-linier. Untuk linierisasi persamaan dinamika tersebut maka diturunkan pada titik kesetimbangan dari sistem terlebih dahulu. Diasumsikan bahwa motor penggerak manipulator dalam keadaan tidak menyala (tidak bergerak) sehingga 𝜏1 = 𝜏2 = 0 dan θ̇1 = θ̇2 = θ̈1 = θ̈2 = 0. Berdasarkan perhitungan, persamaan (V.23) menghasilkan nilai nol, sedangkan persamaan (IV.24) menghasilkan
m2 g�L2 cos θ2 + rx2 cos θ2 – ry2 sin θ2 � = 0,
(V.27)
(L2 + rx2 ) cos θ2 = ry2 sin θ2 ,
(V.29)
L2 cos θ2 + rx2 cos θ2 – ry2 sin θ2 = 0, (L2 + rx2 ) ry2
tan θ2 =
sin θ
= cos θ2 , 2
(V.30)
(L2 + rx2 ) ry2
(V.28)
.
(V.31)
Dari persamaan tersebut, dapat dilihat bahwa titik-titik kesetimbangan terjadi pada saat, θ1s = c ; dan θ2s = tan−1 �
L2 + rx2 ry2
�.
(V.32)
Dengan menggunakan data antena komunikasi satelit milik LIPI, untuk θ1s akan setimbang
disetiap nilai sembarang (dipilih θ1s = 0), sedangkan θ2s adalah setimbang pada saat θ2s = 1,6947 rad (97,1º) dan θ2s = -1,4466 rad (-82,9º).
Asumsikan gangguan sangat kecil diterapkan pada kondisi kesetimbangan manipulator maka dengan sifat-sifat sinus-kosinus (Lampiran 4) persamaan dinamika setelah di linierisasi menjadi 2 2 2 δτ1 = (Iyy1+ m1(rx1 + rz1 )+ m2 rz2 + (Ixy2– m2 ry2 (L2+ rx2)) sin(2θ2) + (Ixx2 + m2 2 rry2 ) sin2(θ2) + (Iyy2 + m2 (L2+ rx2)2 ) cos2(θ2)+ G12 Jm1) δθ̈1+ ((Ixz2– m2 rz2
(L2+ rx2)) sin(θ2) + (Iyz2– m2 rz2 ry2 ) cos(θ2) ),
δτ2 = ((Ixz2– m2 (L2+ rx2) rz2) sin(θ2)+ (Iyz2– m2 rz2 ry2) cos(θ2)) δθ̈1+ (Izz2+ m2 2 ((L2+ rx2)2+ ry2 )+ G22 Jm2) δθ̈2 + m2 g(L2+ rx2) cos(θ2)– m2 gry2 sin(θ2).
(V.33)
(V.34)
Persamaan di atas disederhanakan untuk setiap nilai θ2s , menjadi
2 2 2 2 δτ1 = (Iyy1 + m1 (rx1 + rz1 )+ m2 rz2 + (Ixx2+ m2 ry2 ) + G12 Jm1) δθ̈1 + (Ixz2 – m2 rz2
(L2+ rx2)) δθ̈2 ,
55
(V.35)
2 δτ2 = (Ixz2– m2 (L2+ rx2 ) rz2) 𝛿𝜃̈1 + (Izz2+ m2 ((L2+ rx2 )2+ ry2 )+ G22 Jm2) 𝛿𝜃̈2 + m2
g(L2+ rx2)δθ2∓ m2 gry2.
(V.36)
Dengan mensubstitusi data antena komunikasi satelit (Tabel V.1) pada persamaan di atas maka diperoleh a. Pada θ2s = 1,6947 rad, persamaan dinamika adalah δτ1 = δθ̈1 = 2,6106 δθ̈1,
(V.37)
δτ2 = 3,9270 δθ̈2 + 36,0709 δθ2 + 4,4930.
(V.38)
�2 = 3,9270 δθ̈2 + 36,0709 δθ2 , dimana δτ �2 = δτ2 − 4,4930. Dalam bentuk lain δτ
b. Pada θ2s = −1,4469 rad, persamaan dinamika adalah δτ1 = 2,6106 δθ̈1 ,
(V.39)
δτ2 = 3,9270 δθ̈2+ 36,0709 δθ2 - 4,4930.
(V.40)
�2 = 3,9270 𝛿𝜃̈2 + 36,0709 δθ2 , dimana δτ � 2 = δτ2 + 4,4930. Dalam bentuk lain δτ Penyelesaian persamaan fungsi alih untuk memperoleh keluaran dari masukan unit step dari persamaan di atas adalah a. Persamaan sistem torsi lengan 1 δτ1 = A δθ̈1 .
(V.41)
Fungsi alih dengan Laplace dari persamaan diatas adalah δτ1 (s) = As 2 δθ1 (s) ,
G1 (s) =
δθ1 (s) δτ1 (s)
1
1
= As2 δθ1 (s) = δτ1 (s) As2 .
1
Dengan δτ1 (s) merupakan unit step δτ1 (s) = s maka δθ1 (s) =
1 s
1
As2
1
= As3 .
1
tn−1
Berdasarkan tabel Laplace balik, solusi untuk F(s) = s3 adalah f(t) = (n−1)! maka
solusi untuk persamaan δθ1 adalah
t3−1
t2
δθ1 (t) = A(3−1)! = 2A .
(V.42)
δτ2 + B = C δθ̈2 + D δθ2
(V.43)
b. Persamaan sistem torsi lengan 2
56
Fungsi alih dengan Laplace dari persamaan diatas adalah �2 (s) = Cs 2 δθ2 (s) + D δθ2 (s) = (Ds2 + D) δθ2 (s) δτ G2 (s) =
δθ2 (s) � 2 (s) δτ
1 � 2 (s) 1 = Cs2 +D δθ2 (s) = δτ Cs2 +D
� 2 (s) merupakan unit step δτ �2 (s) = 1 maka Dengan δτ s δθ2 (s) =
1 1 1 = 2 2 s Cs + D s(Cs + D)
a1 a2 s + a3 a1 Cs2 + a1 D + a2 s2 + a3 s (a1 C + a2 )s2 + a3 s + a1 D = + 2 = = s Cs + D s(Cs 2 + D) s(Cs 2 + D)
diketahui bahwa a1 C + a2 = 0 ; a3 = 0 ; a1 D = 1 sehingga diperoleh 1
a1 = D
,
C
a2 = − D 1
dan
Cs
a3 = 0. Dengan demikian
1 1
Cs
1 1
δθ2 (s) = Ds − D(Cs2 +D) = D � s − Cs2 +D� = D � s −
Cs
D C�s2 + � C
Berdasarkan tabel Laplace balik, solusi untuk F(s) = s
s2 +ω2
1 s
1 1
� = C �s −
s
D s2 + C
�
(V.44)
adalah f(t) = 1 dan F(s) =
adalah f(t) = cos(ωt) maka solusi untuk persamaan δθ2 adalah δθ2 (t) = D �1 − cos(�D�C t)� 1
(V.45)
Dari fungsi alih, dapat dipetakan kutub-kutub menggunakan akar-akar kedudukan: a. Fungsi alih lengan 1 Jerat terbuka: G1 (s) =
δτ1 (s)
1
1
= As2 = 2,6106 s2
(V.46)
Pole: 2,6106 s2 = 0 s12 = 0
Jerat tertutup: T1 (s) =
δθ1 (s)
G1 (s) 1+G1 (s)
=
1 As2 1 1+ 2 As
=
1 As2 As2 +1 As2
1
= As2+1 =
1/A
s2 +1/A
(V.47)
=
0,3831
s2 +0,3831
Pole: s2 + 0,3831 = 0 s12 = ±√−0,38 = ±0,62j
(V.48) (V.49)
Pada Gambar V.3 dapat dilihat bahwa letak kutub jerat terbuka berada pada pusat koordinat, sedangkan untuk jerat tertutup letak kutub bergeser disepanjang sumbu imajiner.
57
oot ocus 1.5
1
1
Imaginary Axis (seconds-1)
Imaginary Axis (seconds-1)
oot ocus 1.5
0.5
0
-0.5
0.5
0
-0.5
-1
-1
-1.5 -0.2
-0.15
-0.1
-0.05
0
0.05
0.1
-1.5 -0.2
0.15
-0.15
-0.1
Real Axis (seconds -1)
-0.05
0
0.05
0.1
0.15
Real Axis (seconds -1)
(a)
(b)
Gambar V.3 Letak kutub fungsi alih lengan 1 (a) jerat terbuka; (b) jerat tertutup b. Fungsi alih lengan 2 Jerat terbuka: G2 (s) =
δθ2 (s) � 2 (s) δτ
1
1
0,2546
= Cs2 +D = 3,9270 s2+36,0709 = s2 +9,1854
(V.50)
Pole: s2 + 9,1854 = 0 s12 = ±√−9,19 = ±3,03𝑗
(V.51)
Jerat tertutup: T2(s) =
G2 (s) 1+G2 (s)
=
1 Cs2 +D 1 1+ 2 Cs +D
=
1 Cs2 +D Cs2 +(D+1) Cs2 +D
=
1� C (D+1)� s2 + 𝐶
=
1� 3,93 (36,07+1) �3,93 s2 +
Pole: s2 + 9,44 = 0 s12 = ±√−9,44 = ±3,07j
=
0,26
s2 +9,44
(V.52) (V.53)
Pada Gambar V.4 dapat dilihat bahwa letak kutub jerat terbuka berada disepanjang sumbu imajiner, untuk jerat tertutup letak kutub hanya bergeser sedikit tetapi tetap disepanjang sumbu imajiner.
Root Locus
10
8
8
6
6
Imaginary Axis (seconds-1)
Imaginary Axis (seconds-1)
10
4 2 0 -2 -4 -6
4 2 0 -2 -4 -6
-8
-8
-10 -1
-10 -1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
Real Axis (seconds -1)
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
Real Axis (seconds -1)
(a)
(b)
Gambar V.4 Letak kutub fungsi alih lengan 2 (a) jerat terbuka; (b) jerat tertutup
58
0.4
0.6
0.8
1
V.5 Perbandingan Persamaan Tak-Linier dengan Linier untuk Lengan 2 Setelah substitusi data dari Tabel V.1 maka persamaan tak-linier MP 2-DOF adalah τ1 = [0,6883 sin2 (θ2 ) + 3,7208 cos2 (θ2 ) + 1,9966] θ̈1 + 1,3311 θ̇1 θ̇2 dan (V.54) τ2 = 3,9270 θ̈2 − 0,6656 θ̇12 + 36,0709 cos(θ2 ) − 4,4930 sin(θ2 ),
(V.55)
sedangkan persamaan linier sistem adalah
δτ1 = 2,6106 δθ̈1 dan
(V.56)
δτ2 = 3,9270 δθ̈2 + 36,0709 δθ2 .
(V.57)
Gambar V.5 menunjukkan seberapa mirip persamaan yang telah dilinierisasi terhadap persamaan tak-linier untuk lengan 2. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar simpangan yang diberikan akan menyebabkan ketidakmiripan dengan terjadinya
0.5
n
0 -0.5 -1
0
5 waktu<detik>
10
linear vs tak linear lengan 2, δθ0 = 60o tak linier linier
1
n
l
-θ dan -θ
2
0 -1 -2
0
5 waktu<detik>
10
l
0
5 waktu<detik>
n
1
0.4 0.3
tak linier linier
0.5
0.2 0.1 0
0 -0.5 -1
0
10 20 frekuensi
0
5 waktu<detik>
5
1
tak linier linier
0
0.5
0
-5 -10
0
10 20 frekuensi
0
5 waktu<detik>
0.1 0.05 0
10
0
20 10 frekuensi
0
10 20 frekuensi
0
10 20 frekuensi
1 0.8 0.6 0.4 0.2
10
linear vs tak linear lengan 2, δθ0 = 90o
1.5
0.2 0.15
10
linear vs tak linear lengan 2, δθ0 = 45o
0.5
amplitudo dari θ dan θ n l
-θ dan -θ
10 20 frekuensi
amplitudo dari θ dan θ l n
tak linier linier
l
-θ dan -θ
1
-0.4
0
0.25
amplitudo dari θ dan θ l n
linear vs tak linear lengan 2, δθ0 = 30o
0
0 -0.2
l
10
n
5 waktu<detik>
0.005
-θ dan -θ
0
0.2
l
-0.02
0.01
tak linier linier
n
-0.01
0.015
amplitudo dari θ dan θ n l
n
0
0.4
amplitudo dari θ dan θ n l
0.01
l
-θ dan -θ
tak linier linier
linear vs tak linear lengan 2, δθ0 = 15o
0.02
-θ dan -θ
linear vs tak linear lengan 2, δθ0 = 1o 0.02
amplitudo dari θ dan θ l n
beda frekuensi dan amplitudo antara persamaan linier terhadap persamaan tak-linier.
0
3
2
1
0
Gambar V.5 Kemiripan hasil linierisasi berdasarkan simpangan sudut
V.6 Teknik Kendali Simulasi teknik kendali hanya untuk menunjukkan bahwa konsep kendali PID dapat bekerja secara kualitatif. Kriteria kestabilan relatif yang menentukan nilai overshoot, settling time dan rise time sistem umpan balik tidak dilakukan karena belum adanya data yang pasti terkait motor penggerak yang digunakan.
59
V.6.1 Persamaan Dinamika Sistem Linier Persamaan linier digunakan untuk mencari nilai kendali PID yang sesuai yang kemudian diaplikasikan pada teknik kendali tak linier. Pada perancangan kendali PID di analisis dengan kriteria kestabilan Routh (Ogata, 2002).
Fungsi alih dari jerat tertutup dari lengan 1 yang dilengkapi dengan kendali PID adalah
Persamaan
k 1 .k + i+kd s As2 p s k 1 1+ 2 �Kp + i+kd s� s As
karakteristiknya
=
A kd kdkp – Aki ki
s
k As2 +Kp + i+kd s s
adalah
koefisiennya menjadi s3 s2 s1 s0
k kp + i+kd s
k s2 +kp s+ki
d = As3 +k
ds
2 +k
p s+ki
As3 + k d s2 + k p s + k i = 0
.
(V.58) sehingga
susunan
kp ki
dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk memenuhi syarat kestabilan lengan 1 maka nilai ki > 0 dan kdkp-Aki > 0. Fungsi alih dari jerat tertutup dari lengan 2 yang dilengkapi dengan kendali PID adalah k 1 .k + i+kd s Bs2 +C p s k 1 1+ 2 �Kp + i+kd s� s Bs +C
=
k kp + i +kd s s
k Bs2 +C+Kp + i+kd s s
k s2 +kp s+ki
= Bs3 +kd s2 +(C+k d
p )s+ki
.
(V.59)
Persamaan karakteristiknya adalah Bs 3 + k d s 2 + (C + k p )s + k i sehingga susunan
koefisiennya menjadi s3 s2 s1 s0
A kd kd(C+kp) – Aki ki
C+kp ki
dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk memenuhi syarat kestabilan lengan 2 maka nilai ki > 0 dan kd(C+kp) – Aki > 0. Berdasarkan beberapa kali percobaan dengan memperhatikan terpenuhinya syarat kestabilan lengan 1 dan lengan 2 maka diperoleh nilai [kp ki kd] untuk lengan 1 adalah [70 0,001 30] sedangkan untuk lengan 2 adalah [720 880 220].
60
Dapat dilihat pada Gambar V.6a bahwa untuk sistem lengan 1 (Pan) tanggapan sistem cenderung tidak stabil, sedangkan untuk lengan 2 (Tilt) tanggapan sistem berosilasi. Pada Gambar V.6b terlihat tanggapan sistem akan lebih baik setelah ditambahkan kendali PID. 9 Pan Tilt Referensi
8
Pan Tilt Referensi
2
7 1.5
Sudut (rad)
Sudut (rad)
6 5 4
1
3 0.5
2 1 0
0
0.5
1
1.5
2
3
2.5
4
3.5
4.5
0
5
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
waktu (s)
waktu (s)
(a)
(b)
Gambar V.6 Tanggapan sistem linier terhadap sudut kesetimbangan (a) jerat terbuka; (b) jerat tertutup dengan kendali PID
V.6.2 Persamaan Dinamika Sistem Tak-Linier Dinamika manipulator secara sederhana adalah
untuk dinamika maju
Galat penjejakan adalah
M(θ)θ̈ + N�θ, θ̇� = τ,
(V.60)
θ̈ = M −1 (θ) �τ − N�θ, θ̇��.
(V.61)
e(t) = θd (t) − θ(t),
(V.62)
ë (t) = θ̈d (t) − θ̈(t).
(V.64)
ë = θ̈d − M −1 (θ) �τ − N�θ, θ̇��,
(V.65)
ė (t) = θ̇d (t) − θ̇(t),
(V.63)
Dengan substitusi persamaan (IV.61) ke (IV.64), menjadi
u = θ̈d − M −1 (θ) �τ − N�θ, θ̇��,
(V.66)
τ = M(θ)�θ̈d − u� + N�θ, θ̇�.
(V.68)
θ̈d − u
= M −1 (θ) �τ − N�θ, θ̇��,
(V.67)
Persamaan (IV.68) disebut computed-torque control law. Berdasarkan persamaan tersebut maka dibuat simulasi teknik kendali manipulator menggunakan SIMULINK-MATLAB. 61
12:34
t
Jam digital
Waktu
MODEL DINAMIKA
-K-
Masukkan Parameter
Proporsional1 1 s
-K-
Integrator1
[theta1d;theta2d]
du/dt
Step1
Osiloskop
Gain4
0 emu
Kontrol PID - azimut mux
demux
y1
theta_dd
M inv *(tau-G-C)
theta_d 1/s
1/s
y
integral1
integral2
keluaran
G3 f(u)
Zero-Order Saturasi Hold
G4
Gravitasi
-K-
output1
Matrix Multiply
Terminator2
-K-
Derivatif1
mu
Matriks massa balik
Gain1
y Scope1
Galat umpan balik
Konstanta
theta M inverse
Proporsional2 Step2
1 s
y Scope2
Integrator2 du/dt Derivatif2
emu
-K-
Terminator1 f(u)
Manual Switch
Gain3
Cthdot1
-K-
f(u) Cthdot2
Gain5
Coriolis
Kontrol PID - elevasi
Quantizer
Gambar V.7 Simulasi teknik kendali MP 2-DOF sistem tak-linier Dapat dilihat pada Gambar V.7 bahwa kendali sistem tak-linier melibatkan matrik massa balik, vektor Coriolis, dan vektor gravitasi. Kecepatan dan posisi aktual dijadikan sebagai umpan balik jerat bagian dalam (masukan sistem tak-linier), sedangkan sebagai umpan balik jerat bagian luar (referensi) hanya menggunakan informasi posisi aktual. Gambar V.8 merupakan diagram yang lebih rinci dari matriks massa balik yang ada pada Gambar V.7.
Terminator
[-M12 M11] f(u) 1 theta
emu
m11 f(u)
f(u)
-m12
detM
-C-
1 2
m22
[M22 -M12 -M12 M11]
[M22 -M12 -M12 M11] / det(M)
M inverse
[M22 -M12]
Gambar V.8 Matriks massa balik Parameter dinamika yang digunakan untuk simulasi ditunjukkan oleh Tabel V.1 dengan tambahan saturasi torsi (torque_sat = 100). Nilai-nilai parameter Kp, Ki, Kd yang diperoleh dari simulasi teknik kendali sistem linier digunakan sebagai nilai parameter pada simulasi teknik kendali sistem tak-liner (lihat Gambar V.7). Hasil simulasi kendali jerat terbuka dan kendali jerat tertutup dengan kendali PID dengan masukan 1,6947 rad dapat dilihat pada Gambar V.9.
62
5 Pan Tilt Referensi
4
1.5
Sudut (rad)
3
Sudut (rad)
Pan Tilt Referensi
2
2
1
1 0.5 0
-1
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
0
5
0
0.5
1
1.5
2
waktu (s)
2.5
3
3.5
4
4.5
5
waktu (s)
(a)
(b)
Gambar V.9 Tanggapan sistem tak-linier terhadap sudut kesetimbangan: (a) jerat terbuka; (b) jerat tertutup dengan kendali PID Perbandingan hasil kendali PID yang menggunakan persamaan linier dan tak-linear ditunjukkan pada Gambar V.10.
taklinier linier Referensi
2
1.5
Sudut (rad)
Sudut (rad)
1.5
1
0.5
0
taklinier linier Referensi
2
1
0.5
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
0
5
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
waktu (s)
waktu (s)
(a)
(b)
Gambar V.10. Perbandingan kinerja kendali PID model linier dengan model tak-linier: (a) Pan; (b) Tilt Gambar V.10 menunjukkan bahwa sistem kendali sudah cukup baik dan mencapai referensi yang diberikan, dimana pada keadaan tunak tanggapannya hampir serupa, sedangkan diluar daerah linierisasi (transient) hasilnya memiliki perbedaaan. Perbedaan tersebut dapat ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
63
0.3 Pan Tilt
0.25 0.2
galat (rad)
0.15 0.1 0.05 0 -0.05 -0.1 -0.15
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
waktu (s)
Gambar V.11. Galat tanggapan kendali PID model tak-linier terhadap model linier
64
Bab VI. Kesimpulan dan Saran
Setelah semua proses perancangan dan simulasi yang telah dilakukan maka diperoleh kesimpulan dan saran yang dapat digunakan untuk pengembangan penelitian lebih lanjut.
VI.1 Kesimpulan Pemodelan dan rancang bangun sensor IMU dapat diimplementasikan langsung pada sensor PhidgetSpatial 3/3/3 untuk mengetahui posisi, kecepatan, dan attitude dari suatu benda. Pembacaan sensor PhidgetSpatial 3/3/3 dengan Matlab harus memperhatikan beberapa hal, antara lain: (a) waktu cuplik harus lebih besar atau sama dengan 32 ms; (b) perbandingan deviasi derau pengukuran (r) dan deviasi derau proses (q) untuk parameter tapis Kalman adalah 1:5 dengan nilai r = 0,08 dan q = 0,4.
Pemodelan kinematika MP 2-DOF memberikan informasi bahwa metode sudut balik yang paling tepat untuk mengkompensasi pergerakan kendaraan adalah menggunakan “metode matriks rotasi” karena dapat merepresentasikan gerak RPY dengan waktu proses yang jauh lebih cepat jika dibandingkan metode matriks Jacobian dan menunjukkan hasil yang lebih baik jika dibandingkan metode matriks posisi. Galat maksimum metode matriks posisi terhadap metode matriks Jacobian adalah 40,79º (Pan) dan 9,81º (Tilt), sedangkan galat maksimum metode matriks rotasi terhadap metode matriks Jacobian adalah 0,03º (Pan) dan 0,02º (Tilt).
Pemodelan dinamika mundur menunjukkan bahwa daya minimal yang dibutuhkan oleh MP 2-DOF antena komunikasi satelit agar bekerja dengan baik adalah 1,72 kW (Pan) dan 2,69 kW (Tilt), sedangkan pemodelan dinamika maju mensimulasikan teknik kendali, dimana diperoleh nilai [kp ki kd] untuk Pan adalah [70 0,001 30] sedangkan untuk Tilt adalah [720 880 220].
VI.2 Saran Prosedur penelitian MP 2-DOF untuk antena komunikasi satelit diawali dengan melakukan simulasi, sehingga sebagian besar kesimpulan yang diperoleh pada penelitian ini adalah analisis dari hasil simulasi. Pada tahapan selanjutkan perlu dilakukan eksperimen pada 65
prototipe yang sebenarnya. Sebelum melakukan eksperimen tersebut perlu dilakukan kalibrasi dan pengujian ketahanan sensor PhidgetSpatial 3/3/3 terhadap perubahan temperatur, hentakan, getaran, kelembaban udara, dll. Bila tidak melakukan hal tersebut maka perlu dibeli sensor yang terkalibrasi dan telah teruji karena tanpa melakukan hal tersebut maka eksperimen yang dilakukan akan keliru.
66
DAFTAR PUSTAKA
Adiprawita, W., Ahmad, A., dan Sembiring, J. (2007) : Development of AHRS (Attitude and Heading Reference System) for Autonomous UAV (Unmanned Aerial Vehicle), Institut Teknologi Bandung, Indonesia. Afandi, M. (2006) : Implementasi sistem kontrol tracking pengarah antena menggunakan PID-Lead compensator, Instrumentasi, 30, No.2. Agus B., W. Adiprawita, dan Muljowidodo (2008) : The Application of MEMS-based Inertial Sensors for Onboard Avionics System of Unmanned Aerial Vehicles, 5th International Symposium on Nanomanufacturing. Aksman, L. (2006) : Force Estimation Based Compliance Control of a Two Link Harmonically Driven Robotic Manipulator, Master Tesis, University of Maryland, Department of Aerospace Engineering. Andersson, T. dan Idegren, M. (2011) : Set-up and real-traffic assessment of a data logger for vulnerable-road-user motion, Master Tesis, Chalmers University of Technology, Sweden. Caruso, M.J. (2000) : Applications of Magnetic Sensors for Low Cost Compass Systems, Position Location and Navigation Symposium, IEEE 2000, San Diego, 13-16 March 2000, 177-184. Cloete, T. (2009) : Benchmarling Full-body Inertial Capture Motion for Clinical Gait Analysis, MSc. Thesis, Stellenbosch University. Corke, P.I. (2002) : Robotics TOOLBOX for MATLAB (Release 7.1), Pullenvale: CSIRO. http://petercorke.com/Robotics_Toolbox.html Craig, J. (2005) : Introduction to Robotics: Mechanics and Control, 3rd edition., Canada, USA: Pearson Prentice Hall. Feng, Y., Yao-nan, W., dan Yi-min, Y. (2012) : Inverse Kinematics Solution for Robot Manipulator based on Neural Network under Joint Subspace. International Journal of Computers and Communications, 7, No.3, 459-472. Hartono, P. (2008) : Analisis Pengendalian Kecepatan Motor DC Menggunakan Metoda Logika Fuzzy dengan Pencatudayaan PWM, Master Tesis, Institut Teknologi Bandung. 25-26, 39. Hong, W. (1995) : Robotic cathing and manipulation using active vision. Master Tesis, Massachusetts Institute of Technology. Kang, H., Nguyen, H., Suh, Y., dan Ro, Y. (2009) : A DCM Based Orientation Estimation Algorithm with an Inertial Measurement Unit and a Magnetic Compass. Journal of Universal Computer Science, 15, no. 4, 859-876. Koker, R. (2011) : A neuro-genetic approach to the inverse kinematics solution of robotic manipulators. Scientific Research and Essays, 6 (13), 2784-2794. Lee, L.F. (2005) : Controllability Analysis of an Underactuated Three links Manipulator. Final Project, MAE 569 System Analysis, State University of New York at Buffalo. Lewis, F., Dawson, D., dan Abdallah, C. (2004) : Robot Manipulator Control Theory and Practice, 2nd ed., USA: Marcel Dekker, Inc. 67
Liu, C., Zhou, Z., dan Fu, X. (2008) : Attitude Determination for MAVs using a Kalman Filter, Tsinghua Science & Technology, 13, issue 5, 593-597. Luinge, H.J. (2002) : Inertial Sensing of Human Movement, Ph.D. Thesis, Twente University. Luinge, H.J. dan Veltink, P. H. (2005) : Measuring Orientation of Human Body Segments using Miniature Gyroscopes and Accelerometers. Medical and Biological Engineering and Computing, 43, No.2, hal.273-282. Ogata, K. (2002) : Modern Control Engineering., 4th Edition, Prentice-Hall, Inc. Özdemir, G. (2006) : Intelligent Stabilization Control of Turret Subsystems Under Disturbances from Unstructured Terrain, Msc Tesis, Middle East Technical University. Phidget, Inc. (2010) : Product Manual, 1056 - PhidgetSpatial http://www.phidgets.com/products.php?category=5&product_id=1056_0
3/3/3.
Roetenberg, D. (2006) : Inertial and Magnetic Sensing of Human Motion, PhD Thesis, University of Twente. Roetenberg, D., Luinge, H., dan Veltink, P. (2003) : Inertial and Magnetic Sensing of Human Movement Near Ferromagnetic Materials, Proceedings of the Second IEEE and ACM International Symposium on Mixed and Augmented Reality (ISMAR ’03). Rubio, F., Ortega, M., Gordillo, F., dan Vargas, M. (2010). Application of position and inertial-rate control to a 2-DOF gyroscopic platform, ELSEVIER Robotics and Computer-Integrated Manufacturing, 344–353 Sangveraphunsir, V., dan Wongkamchang, P. (2010) : Control of Inertial Stabilization Systems Using Robust Inverse Dynamics Control and Sliding Mode Control, The 6th International Conference on Automotive Engineering (ICAE-6), Bangkok. Saputra, H.M. dan Rijanto, E. (2009) : Analisis Kinematik dan Dinamik Mekanisme Penggerak 2-DOF untuk Antena Bergerak pada Komunikasi Satelit, Teknologi Indonesia, 32, No.1, 21-29. Sarwar, I. dan Malik , A. (2010) : Stability analysis and simulation of a two DOF robotic system based on linear control system. Int. J. Intelligent Systems Technologies and Applications.8, Nos.1-4. Siciliano, B., Sciavicco, L., Villani, L., dan Oriolo, G. (2009) : Robotics: Modelling, Planning and Control. Springer, London. Singh, R., Hanmandlu, M., dan Khatoon, S. (2008) : Modeling and Simulation of the Dynamics of a Large Size Stabilized Gimbal Platform. Asian International Journal of Science and Technology in Production and Manufacturing, 1, No.2, 111-119. Soong, J. dan Brown, C. (1991) : Inverse Kinematics and Gaze Stabilization for the Rochester Robot Head. Technical Report 394, The University of Rochester. Swarup, N. (1993) : Design and Control of a Two-axis Gimbal system for use in active visio. Thesis. Massachusetts Institute of Technology. Titterton, David H., and Weston, John L.(2004). Strapdown Inertial Navigation Technology. United Kingdom: The Institution of Electrical Engineers, 2004. ISBN 0-86341-358-7.
68
Waller, K. (2006) : Developing a Benchmark Suite for The Evaluation of Orientation Sensors. Master Tesis, Clemson University. Williford, B. (2012) : Mobile Phones Coupled with Remote Sensors for Surveillance. Master Tesis, Naval Postgraduate School, Monterey, California. Williams, R. (2012) : Robot Mechanics. In NotesBook Supplement for: EE/ME 4290/5290 Mechanics and Control of Robotic Manipulators, Dr. Bob Productions. Wongkamchang, P. dan Sangveraphunsir, V. (2008) : Control of Inertial Stabilization Svstems Using Robust Inverse Dynamics Control and Adaptive Control, Thammasat Int. J. Sc. Tech., 13, No.2, 20-32. Yazid, E. dan Rijanto, E. (2007) : Invers Kinematic Mapping of 6 DOF Articulator using ANFIS (Adaptive Neuro-Fuzzy Inference System), Seminar Nasional Teknologi Simulasi 2007, Yogyakarta, F31-F38.
69
Lampiran 1. Spesifikasi PhidgetSpatial 3/3/3
Karakteristik
Nilai
Magnetometer Jangkauan pengukuran
± 4 Gauss
Resolusi
Minimum 400µG
Offset (°) dari utara
2°
Giroskop Jangkauan pengukuran
±400 °/s
Resolusi
0,02 °/s
Penyimpangan / menit
4°
Akselerometer Resolusi percepatan
228µg
Galat putaran berlebih @ 1g
2mg
Bandwidth percepatan @ kecepatan cuplik 1ms 110 Hz Jangkauan pengukuran (aksis XYZ)
±5g (49m/s2)
Tingkat derau sumbu 0 (sumbu-X)
deviasi standar (σ) 300µg untuk 128 cuplik/detik
Tingkat derau sumbu 1 (sumbu-Y)
deviasi standar (σ) 300µg untuk 128 cuplik/detik
Tingkat derau sumbu 2 (sumbu-Z)
deviasi standar (σ) 500µg untuk 128 cuplik/detik
Papan PhidgetSpatial 3/3/3 Kecepatan data rata-rata
4ms sampai pencuplikan
1000ms
Tegangan Min./Maks. USB
4,75 – 5,25 VDC
Spesifikasi arus USB
Maksimum 45mA
Kecepatan USB
Kecepatan penuh (12Mbit)
Temperatur operasi
0 - 70°C
Sumber : http://www.phidgets.com/products.php?category=5&product_id=1056_0 70
per
Lampiran 2.
Penurunan model dinamika dengan metode Lagrangian (asumsi titik massa pada sendi)
Energi kinetik pada lengan 1 v = θ̇r
Oleh karena pengaruh pergerakan θ1 maka jangkauan terjauh r dihitung berdasarkan lintasan tegak lurus (horizontal) dari lengan 2. r = l2 cos(θ2 ) θ̇ = θ̇1
2
1
1
EK1 = 2 m2 �l2 cos(θ2 ) θ̇1 � = 2 m2 l22 cos 2 (θ2 ) θ̇12
Energi potensial pada lengan 1
EP1 = m1 gl1 Energi kinetik pada lengan 2 Pada penurunan lengan 2, manipulator diasumsikan manipulator 1 lengan sebagaimana gambar di bawah ini.
Gambar MP 2-DOF lengan 2 dengan asumsi titik massa
dimana v = θ̇2 r dan r = l2 maka
1 EK2 = m2 v 2 2
2 1 1 EK2 = 2 m2 �l2 θ̇2 � = 2 m2 l22 θ̇22
Energi potensial pada lengan 2
EP2 = m2 g[l1 + l2 sin(θ2 )]
71
Persamaan Lagrange L = EK − EP = EK1 + EK2 − EP1 − EP2 1
1
L = 2 m2 l22 cos2 (θ2 ) θ̇12 + 2 m2 l22 θ̇22 − m1 gl1 + m2 g[l1 + l2 sin(θ2 )]
1 1 L = 2 m2 l22 cos2 (θ2 ) θ̇12 + 2 m2 l22 θ̇22 − m1 gl1 + m2 gl1 + m2 gl2 sin(θ2 ) 1 1 L = 2 m2 l22 cos2 (θ2 ) θ̇12 + 2 m2 l22 θ̇22 + m2 gl2 sin(θ2 )
𝜕𝐿 = m2 l22 cos2 (θ2 ) θ̇1 𝜕θ̇1
𝑑 𝜕𝐿 � � = m2 l22 cos 2 (θ2 ) θ̈1 𝑑𝑡 𝜕θ̇1 𝜕𝐿 =0 𝜕𝜃1
𝜕𝐿 = m2 l22 θ̇2 ̇ 𝜕θ2
𝑑 𝜕𝐿 � � = m2 l22 θ̈2 𝑑𝑡 𝜕θ̇2
𝜕𝐿 = −m2 l22 cos2 (θ2 ) sin(θ2 ) θ̇12 + m2 gl2 cos(θ2 ) 𝜕𝜃2
sehingga persamaan dinamika mundur MP 2-DOF menjadi 𝑑 𝜕𝐿 𝜕𝐿 � �− = τ1 𝑑𝑡 𝜕θ̇1 𝜕𝜃1
m2 l22 cos2 (θ2 ) θ̈1 = τ1
(untuk lengan 1)
∂L d ∂L � �− = τ2 ∂θ2 dt ∂θ̇2
m2 l22 θ̈2 + m2 l22 cos2 (θ2 ) sin(θ2 ) θ̇12 − m2 gl2 cos(θ2 ) = τ2
(untuk lengan 2)
72
Lampiran 3.
Penurunan model dinamika dengan metode Newton Euler (asumsi titik massa pada center of gravity/ COG).
Rekursif Newton-Euler dilakukan melalui dua tahap, yaitu iterasi maju dan iterasi mundur. Iterasi maju Lengan 1 1 0R
cθ1 =� 0 sθ1
sθ1 0 −cθ1
0 cθ1 1� ; 01R = �sθ1 0 0
0 sθ1 0 −cθ1 � 1 0
ω̇1 = 10R ∗ �ω̇0 + z0 ∗ 𝜃1̈ + �ω0 x�z0 ∗ θ̇1 ��� cθ1 = � 0 sθ1
sθ1 0 −cθ1
c1 0 0 0 0 1� ∗ ��0� θ̈1 + ��0� x ��0� θ̇1 ��� = � 0 0 s1 0 1 1
ω1 = 10R ∗ �ω0 + z0 ∗ θ̇1 � cθ1 =� 0 sθ1
sθ1 0 −cθ1
c1 0 0 0 1� ∗ ��0� + �0� ∗ θ̇1 � = � 0 0 s1 0 1
v̇ 1 = (ω̇1 xP1 ) + �ω1 x(ω1 xP1 )� + 10R ∗ v̇ 0
cθ1 0 0 0 0 0 ̇ ̇ ̈ = �θ1 � x �L1 � + ��θ1 � x ��θ1 � x �L1 ��� + � 0 sθ1 0 0 0 0 0
v̇ C1 = (ω̇1 x r1 ) + �ω1 x(ω1 x r1 )� + v̇ 1
s1 0 −c1
0 0 0 1� ∗ � 0 � = �θ̈1 � 0 θ̈1 0
s1 0 −c1
0 0 0 1� ∗ � 0 � = �θ̇1 � 0 θ̇1 0
sθ1 0 −cθ1
0 0 0 1� ∗ �0� = � g � g 0 0
rx1 rx1 rz1 θ̈1 − rx1 θ̇12 0 0 0 0 g = ��θ̈1 � x �ry1 �� + ��θ̇1 � x ��θ̇1 � x �ry1 ��� + �g � = � � r r ̈ z1 z1 0 0 0 0 − rx1 θ1 − rz1 θ̇12
F1 = m1 ∗ v̇ C1
m1 �rz1 θ̈1 − rx1 θ̇12 � rz1 θ̈1 − rx1 θ̇12 m1 g g = m1 ∗ � � �=� 2 −m1 �rx1 θ̈1 + rz1 θ̇12 � − rx1 θ̈1 − rz1 θ̇1
𝑁1 = 𝐼1 ∗ ω̇1 + �ω1 𝑥 (𝐼1 ∗ ω1 )� Ixx1 I = � xy1 Ixz1
Ixy1 Iyy1 Iyz1
Ixx1 Ixz1 0 0 Iyz1 � ∗ �θ̈1 � + ��θ̇1 � 𝑥 ��Ixy1 Izz1 Ixz1 0 0
Ixy1 Iyy1 Iyz1
Ixz1 0 Iyz1 � ∗ �θ̇1 ��� Izz1 0
Ixy1 θ̈1 Ixy1 θ̈1 Ixy1 θ̈1 + Iyz1 θ̇12 Ixy1 θ̇1 Iyz1 θ̇12 0 Iyy1 θ̈1 = �Iyy1 θ̈1 � + ��θ̇1 � 𝑥 �Iyy1 θ̇1 �� = �Iyy1 θ̈1 � + � 0 � = � � 2 ̇ 2 0 −Ixy1 θ1 Iyz1 θ̈1 Iyz1 θ̇1 Iyz1 θ̈1 Iyz1 θ̈1 − Ixy1 θ̇ 1
Lengan 2 2 1R
c2 = �−s2 0
s2 c2 0
c2 0 0� ; 12R = �s2 1 0
−s2 c2 0
0 0� 1
73
ω̇2 =
2 1R
∗ �ω̇1 + z0 ∗ θ̈2 + �ω1 x �z0 ∗ θ̇2 ���
c2 = �−s2 0
s2 c2 0
s2 θ̈1 + c2 θ̇1 θ̇2 0 0 0 0 0 ̈ ̇ ̇ ̈ + �� ��� = � � + � � x �� � ∗ �� � ∗ θ � ∗ θ 0 0 0 θ1 θ1 c2 θ̈1 − s2 θ̇1 θ̇2 � 2 2 1 1 0 0 1 θ̈2
ω2 = 21R ∗ �ω1 + z0 ∗ θ̇2 �
s2 θ̇1 0 0 0 ̇ ̇ � = � � + � � ∗ �� � ∗ θ 0 0 θ1 c2 θ̇1 � 2 1 0 1 θ̇2
c2 = �−s2 0
s2 c2 0
s2 θ̈1 = ��c2 θ̈1
+ c2 θ̇1 θ̇2 𝐿2 s2 θ̇1 s2 θ̇1 c2 s2 0 𝐿2 0 ̇ ̇ ̇ � x � � x �� �� + �� − s2 θ1 θ2 0 c2 θ1 c2 θ̇1 � x � 0 ��� + �−s2 c2 0� ∗ � g �
v̇ 2 = (ω̇2 xP2 ) + �ω2 x(ω2 xP2 )� + 21R ∗ v̇ 1 θ̈2
0
θ̇2
0
θ̇2
− L2 c22 θ̇12 − L2 θ̇22 + gs2 � =� L2 θ̈2 + L2 c2 s2 θ̇12 + gc2 L2 s2 θ̇1 θ̇2 − L2 (c2 θ̈1 − s2 θ̇1 θ̇2 )
0
0
1
0
v̇ C2 = (ω̇2 x r2 ) + �ω2 x(ω2 x r2 )� + v̇ 2 = s2 θ̈1 = ��c2 θ̈1
+ c2 θ̇1 θ̇2 s2 θ̇1 s2 θ̇1 rx2 rx2 ̇ ̇ ̇ ̇ r r − s2 θ1 θ2 � x � y2 �� + ��c2 θ1 � x ��c2 θ1 � x � y2 ��� rz2
θ̈2
− L2 c22 θ̇12 − L2 θ̇22 + gs2 � + � L2 θ̈2 + L2 c2 s2 θ̇12 + gc2 ̇ ̇ ̈ ̇ ̇ L2 s2 θ1 θ2 − L2 (c2 θ1 − s2 θ1 θ2 )
θ̇2
θ̇2
rz2
F2 = m2 ∗ v̇ C2
N2 = I2 ∗ ω̇2 + �ω2 x (I2 ∗ ω2 )� Ixx2 = �Ixy2 Ixz2
Iterasi mundur
Ixy2 Iyy2 Iyz2
Ixx2 Ixz2 s2 θ̈1 + c2 θ̇1 θ̇2 s θ̇ ⎛ 2 1 ̈ ̇ ̇ ̇ Iyz2 � ∗ �c2 θ1 − s2 θ1 θ2 � + ⎜�c2 θ1 � x ��Ixy2 Izz2 Ixz2 θ̈2 θ̇2 2 ⎝
Ixy2 Iyy2 Iyz2
Ixz2 s2 θ̇1 ⎞ Iyz2 � ∗ �c2 θ̇1 ��⎟ Izz2 θ̇2 ⎠
Lengan 2 nn2 = R identitas (nn3 + ((R identitas P2 ) x fh3 )) + ((P2 + r2 )x F2 ) + N2 1 0 = �0 1 0 0
0 ⎛ 𝑀𝑥 1 0� ⎜�𝑀𝑦 � + ���0 𝑀𝑧 1 0 ⎝
fh2 = (R identitas ∗ fh3 ) + F2 1 = ��0 0
𝐹𝑥 0 0 𝐹 1 0� ∗ � 𝑦 �� + F2 𝐹𝑧 0 1
0 1 0
𝐹𝑥 𝐿2 0 𝐿2 ⎞ 0� � 0 �� x �𝐹𝑦 ��⎟ + ��� 0 � + 𝐹𝑧 1 0 0 ⎠
τ2 = nn2 (R identitas z0 ) + G22 (Jm2 θ̈2 + f2 )
74
rx2 �ry2 �� x F2 � + N2 rz2
1 = nn2 ��0 0
0 1 0
0 0 0� �0�� + G22 (Jm2 θ̈2 + f2 ) 1 1
2 2 = (Ixz2sθ2 + Iyz2cθ2 – m2 rz2 (ry2cθ2 + (L2+ rx2) sθ2)) θ̈1 + (Izz2+ m2 (rx2 + ry2 + L22 + 2rx2L2) + G22 Jm2) θ̈2 -
((Ixx2– Iyy2 ) sθ2cθ2+ Ixy2c 2 θ2 – Ixy2 s 2 θ2 – m2 ry2 ((L2+ rx2) c 2 θ2 - (L2 + rx2) s 2 θ2 – ry2 sθ2cθ2)– m2 2 sθ2cθ2 (L22 + rx2 + 2L2 rx2)) θ̇12 + m2g(L2 cθ2 + rx2 cθ2 – ry2 sθ2)+G22 f2
Lengan 1 nn1 = R 2 (nn2 + ((R 2inv P1 ) x fh2 )) + ((P1 + r1 )x F1 ) + N1 c2 = � s2 0
−s2 c2 0
c2 0 0� �nn2 + ���−s2 1 0
fh1 = (R 2 ∗ fh2 ) + F1 c2 = ��s2 0
−s2 c2 0
s2 c2 0
0 0 0 0� �L1 �� x fh2 �� + ���L1 � + 0 1 0
rx1 �ry1 �� x F1 � + N1 rz1
0 0� ∗ fh2 � + F1 1 τ1 = nn1 (R1inv z0 ) + G12 (Jm1 θ̈1 + f1 ) cθ1 = nn1 ��sθ1 0
0 sθ1 0 0 −cθ1 � �0�� + G12 (Jm1 θ̈1 + f1 ) 1 1 0
2 2 2 2 = (Iyy1+ 2Ixy2 cθ2sθ2 + Ixx2s 2 θ2 + Iyy2c 2 θ2 + m2 s 2 θ2 (ry2 +rz2 )+ m2c 2 θ2 (rx2 + L22 + 2L2 rx2+ rz2 )2m2 ry2 2 2 + rz1 ) + G12 Jm1) θ̈1 + (Ixz2sθ2 + Iyz2cθ2 – m2 rz2 (ry2cθ2 + (L2+ rx2) cθ2sθ2(rx2+ L2) + m1(rx1
sθ2)) θ̈2 +(Ixz2cθ2– Iyz2 sθ2– m2 rz2 ((L2+ rx2) cθ2 – ry2 sθ2)) θ̇22 +(2(Ixx2 – Iyy2)sθ2cθ2 + 2Ixy2 (c 2 θ2 –
2 2 s 2 θ2 )+ 2m2 ((L2 + rx2) ry2 (s 2 θ2 –c 2 θ2 ) – ((rx2 - ry2 ) + (L2+2rx2)L2) sθ2cθ2)) θ̇1 θ̇2 +G12 f1
75
Lampiran 4. Sifat-sifat sinus-kosinus untuk linierisasi Untuk θ1
Pada θ1s = 0 rad
θ1 = θ1s + δθ1 = δθ1
cos(θ1 ) = cos(δθ1 ) ≈ 1
θ̇1 = δθ̇1
;
;
sin(θ1 ) = sin(δθ1 ) ≈ δθ1
;
θ̇12 = δθ̇12 = 0
Untuk θ2
θ̈1 = δθ̈1
θ2 = θ2s + δθ2 ; θ̇2 = δθ̇2 ; θ̈2 = δθ̈2
Pada θ2s = 1.6947 rad
Pada θ2s = −1.4469 rad
sin(θ2s ) = sin (1,6947) = 0,9923
sin(θ2s ) = sin (−1.4469) = −0,9923
cos(θ2s ) = cos (1,6947) = −0,1236
cos(θ2s ) = cos (−1.4469) = 0,1236
sin(θ2 ) = sin(θ2s + δθ2 ) = sin(θ2s ) cos(δθ2 ) + cos(θ2s ) sin(δθ2 ) = 0,9923 − 0,1236δθ2
sin(θ2 ) = sin(θ2s + δθ2 ) = sin(θ2s ) cos(δθ2 ) + cos(θ2s ) sin(δθ2 ) = −0,9923 + 0,1236δθ2
cos(θ2 ) = cos(θ2s + δθ2 ) = cos(θ2s ) cos(δθ2 ) − sin(θ2s ) sin(δθ2 ) = −0,1236 − 0,9923δθ2
cos(θ2 ) = cos(θ2s + δθ2 ) = cos(θ2s ) cos(δθ2 ) − sin(θ2s ) sin(δθ2 ) = 0,1236 + 0,9923δθ2
cos 2 (θ2 ) = (−0,1236 − 0,9923δθ2 )2 = 0.0153 + 0.2453δθ2 + 0.9847δθ2 2 = 0.9847 − 0.2453δθ2
cos 2 (θ2 ) = (0,1236 + 0,9923δθ2 )2 = 0.0153 + 0.2453δθ2 + 0.9847δθ2 2 = 0.9847 − 0.2453δθ2
cos(2θ2 ) = cos(2θ2s + 2δθ2 ) = cos(2θ2s ) cos(2δθ2 ) − sin(2θ2s ) sin(2δθ2 ) = −0.9695 + 0,2453δθ2
cos(2θ2 ) = cos(2θ2s + 2δθ2 ) = cos(2θ2s ) cos(2δθ2 ) − sin(2θ2s ) sin(2δθ2 ) = −9695 + 0.2453δθ2
sin2 (θ2 ) = (0,9923 − 0,1236δθ2 )2 = 0.9847 − 0.2453δθ2 + 0.0153δθ2 2 = 0.9847 − 0.2453δθ2
sin2 (θ2 ) = (−0,9923 + 0,1236δθ2 )2 = 0.9847 − 0.2453δθ2 + 0.0153δθ2 2 = 0.9847 − 0.2453δθ2
sin(2θ2 ) = sin(2θ2s + 2δθ2 ) = sin(2θ2s ) cos(2δθ2 ) + cos(2θ2s ) sin(2δθ2 ) = 0.9836 − 0.9695δθ2
θ22 = δθ22 ≈ 0
sin(2θ2 ) = sin(2θ2s + 2δθ2 ) = sin(2θ2s ) cos(2δθ2 ) + cos(2θ2s ) sin(2δθ2 ) = −0.2453 − 9695δθ2
;
θ̇22 = δθ̇22 ≈ 0
θ1 θ2 = δθ1 (θ2s + δθ2 ) ≈ 0
θ2 = θ2s + 2θs δθ 2
(θs + δθ) =
θ2s
+ 2θs δθ
θs 2 + 2θs δθ + δθ2 = θ2s + 2θs δθ 2
δθ = 0
θ̇1 θ̇2 = δθ̇1 δθ̇2 ≈ 0
θ̇1 θ̇2 = θ̇1s θ̇2s + θ̇2s δθ̇1 + θ̇1s δθ̇2
(θ̇1s + δθ̇1 )(θ̇2s + δθ̇2 ) = θ̇1s θ̇2s + θ̇2s δθ̇1 + θ̇1s δθ̇2
(θ̇1s θ̇2s + θ̇1s δθ̇2 + θ̇2s δθ̇1 + δθ̇1 δθ̇2 ) = θ̇1s θ̇2s + θ̇2s δθ̇1 + θ̇1s δθ̇2 δθ̇1 δθ̇2 = 0
76