SIKAP SOSIAL KELOMPOK MUSIK KARINDING TERHADAP GLOBALISASI (Studi Kasus terhadap Kelompok Musik Karinding X Di Kota Bandung) R.R. Asmara M. Ariez Musthofa Universitas Pendidikan Indonesia
ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sikap sosial kelompok musik karinding X terhadap globalisasi. Penelitian ini menggunakan desain penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Subyek penelitian adalah kelompok musik karinding X yang menggunakan karinding sebagai instrumen utama dan mengembangkan alat musik tersebut dengan berbagai aliran musik yang hadir di Indonesia melalui proses globalisasi. Sedangkan, teori yang digunakan adalah teori aspek sikap sosial yang dikemukakan oleh Ahmadi (2007). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok musik karinding X memiliki sikap sosial yang cenderung positif terhadap globalisasi. Ini ditunjukkan dengan berbagai manfaat yang dapat diambil dari globalisasi, seperti manfaat dari adanya internet dan juga nilai-nilai musik metal yang diinternalisasikan oleh kelompok musik karinding X. Akan tetapi, kelompok ini juga menyadari bahwa globalisasi memiliki kecenderungan negatif. Kecenderungan negatif yang muncul dari globalisasi adalah determinasi budaya yang dapat memangkas keragaman budaya dan ini disebabkan adanya budaya dominan yang memengaruhi. Oleh karenanya, kelompok musik karinding X mereduksi kecenderungan negatif tersebut dengan melakukan penggalian potensi lokal dan juga melakukan sinkretisasi budaya. Pemerintah pun semestinya membantu menyebarkan karinding dan alat musik tradisional lainnya melalui pendidikan dan para musisi karinding dapat mempertahankan keragaman corak untuk menunjukkan kekayaan seni budaya di Indonesia sebagai wujud respon terhadap globalisasi. Kata kunci: kelompok musik karinding, sikap sosial, globalisasi.
ABSTRACT This research aimed at knowing social attitude of karinding music group toward globalization. This research used case study research design with qualitative approach. Subject of this research was X-Karinding Music Group who use karinding as main instrument and develop this instrument with many kind of music genre in Indonesia that exist because of globalization process. Aspects of Social Attitude theory of Ahmadi (2007) used by the researcher. This research showed that XKarinding Music Group had social attitude with positive tendency toward globalization, like the benefit from internet and metal music value that internalized by this group. But, this group realized that globalization had negative tendency too. Negative tendency of globalization appeared from cultural determination that generalized cultural diversity and this could be happen because of dominant culture. So that, X-Karinding Music Group was digging local culture and doing cultural synchretization. The Government have to spread karinding dan another traditional music instrument through education and karinding musicians shall maintain diversity of karinding as the richness of Indonesia culture. Key Words: karinding music group, social attitude, globalization.
PENDAHULUAN Latar Belakang Globalisasi merupakan suatu fenomena yang kontroversial. Hal tersebut dapat dipahami melalui berbagai sudut pandang yang berbeda dalam menafsirkan fenomena ini. Para hiperglobalis menyatakan bahwa globalisasi merupakan suatu proses yang sangat bermanfaat. Sedangkan, orangorang yang skeptis terhadap proses ini menyatakan bahwa globalisasi hanya akan memunculkan ketidaksetaraan sosial karena adanya kecenderungan untuk membentuk suatu standardisasi budaya. Berbeda dengan para transformalis yang memandang globalisasi sebagai suatu perubahan relasi sosial dan penyusunan institusinya (Dimitrova, 2002). Dikarenakan globalisasi merupakan suatu fenomena yang sulit dipahami dan kontroversial, maka, fenomena tersebut menimbulkan kecenderungan berupa kebingungan bagi masyarakat yang berada di era informatika dan teknologi komunikasi massa. Majunya teknologi komunikasi pada masa sekarang menimbulkan berbagai macam sikap terhadap globalisasi. Sikap tersebut bermula dari anggapan-anggapan yang memprediksi sifat-sifat manusia pada masa ini. Salah satunya adalah apa yang dikemukakan oleh Widodo (2005) bahwa manusia di era globalisasi ini berperan sebagai figuran atau bisa dikatakan sebagai manusia massa. Manusia massa menurut Gassef (Widodo, 2005:2) adalah “manusia yang lahir secara tergesagesa, terasing dari sejarahnya sendiri, dan tidak memiliki masa lampau”. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa manusia itu sendiri diramalkan akan dibentuk dalam suatu konstruk yang global, di mana terdapat suatu kecenderungan bahwa identitas nasional atau lokal bisa lenyap dalam budaya yang global itu. Pada kondisi ini yang menjadi pemeran utamanya adalah kapitalisme (Widodo, 2005). Menurut Chong (2005) kapitalisme itu sendiri memiliki kemampuan untuk mengubah masyarakat yang memiliki perbedaan budaya menjadi suatu masyarakat yang sejenis, misalnya saja menjadi masyarakat konsumen. Disinilah peran utama kapitalisme mulai terlihat, yaitu untuk mendominasi melalui budaya globalnya dan hal inilah yang menurut Tomlinson (Lechner & Boli, 2000) disebut sebagai homogenisasi budaya. Kecenderungan homogenisasi budaya ini merupakan dampak dari globalisasi yang mampu merubah dan membentuk pandangan masyarakat menjadi satu konstruk. Misalnya saja, globalisasi membuat masyarakat memiliki sikap sosial terhadap status simbol yang direpresentasikan melalui nilai materi. Jadi, ketika seseorang menggunakan barang-barang branded, maka, orang tersebut akan dianggap oleh orang-orang lainnya sebagai individu yang memiliki status sosial yang tinggi dan hal ini dapat dikatakan sebagai sikap sosial masyarakat terhadap konsumen produk branded sebagai dampak dari adanya globalisasi (Chong, 2005).
Asmara, R.R. & Musthafa, M.A.(2012). “Sikap Sosial Kelompok Musik Karinding terhadap Globalisasi (Studi Kasus terhadap Kelompok Musik Karinding X di Kota Bandung).” Proceedings. Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Indonesia: Tantangan Pengembangan Psikologi Indonesia, Universitas Paramadina, 6 September 2012.
Akan tetapi, homogenisasi budaya bukanlah suatu proses yang dapat diterima begitu saja oleh masyarakat, karena sebetulnya masyarakat akan menginterpresentasikan segala kecenderungan tersebut dengan nilai budaya yang dianutnya (Tomlinson dalam Lechner & Boli, 2000). Hal ini bisa saja menjadi salah satu bentuk reaksi yang pada akhirnya akan membentuk suatu sikap sosial yang baru terhadap kecenderungan homogenisasi budaya sebagai tantangan dalam globalisasi. Sikap sosial itu sendiri menurut Gerungan (2004) merupakan sikap yang ditunjukkan dengan terbentuknya kegiatan yang sama dan berulang-ulang terhadap objek sosial yang dilakukan bukan hanya oleh individu, tetapi oleh sekelompok atau semasyarakat (Gerungan, 2004). Di Bandung, terdapat suatu komunitas musik metal yang mengangkat nilai-nilai kearifan lokal, yakni komunitas Ujungberung Rebels. Komunitas ini pada awal tahun 2000 menunjukkan suatu kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga spirit lokalitas; dalam konteks ini adalah menjaga spirit nilai-nilai Sunda (Kimung, 2011). Artinya, komunitas tersebut selain berinteraksi dengan globalisasi yang diwakilkan oleh musik metal, juga sedang mengupayakan kelestarian nilai budaya yang dilakukan dengan cara mengadopsi alat musik tradisional terhadap aliran musik yang sudah akrab di telinga masyarakat, misalnya seperti musik metal. Fenomena ini semakin diperkuat dengan munculnya kelompok musik yang menggunakan karinding sebagai instrumen utamanya serta mengeksplorasi dan mengolaborasikan karinding dengan berbagai jenis musik, seperti Karinding Attack, Karinding Militan, dan Markipat Karinding. Namun, pada beberapa kelompok musik karinding tertentu, akar musik metal yang diterjemahkan pada karinding lebih dominan dibandingkan jenis musik lainnya. Menurut Kimung (Gustamar, 2010) karinding itu sendiri merupakan alat musik tradisional Sunda yang memiliki berbagai fungsi, salah satunya adalah alat untuk membasmi hama. Selain itu juga memiliki makna filosofis tersendiri yaitu yakin, sabar, dan sadar yang merujuk kepada kesakralan dan spiritualitas (Kimung dalam Gustamar, 2010). Sedangkan, Saouma et al (2007) menyatakan bahwa musik metal memiliki visi tersendiri untuk menawarkan sistem nilai baru yang edukatif di masa yang akan datang dengan menyuarakan berbagai kritik sosial terhadap persoalan yang ada melalui lirik yang dibuat (Saouma et al, 2007). Pentingnya menjaga musik tradisional ini juga merupakan salah satu titik balik dari tantangan globalisasi yang ada, karena sebetulnya terdapat keterikatan yang kuat antara industri musik dan globalisasi yang juga telah memengaruhi masyarakat untuk mendengarkan musik dalam satu konstruk selera. Dalam Held et al (1999) dinyatakan bahwa perkembangan industri musik yang seragam ternyata mengancam eksistensi dari musik dan komunitas tradisional yang ada. Pernyataan ini diperkuat juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Bogt et al (2011) yang diketahui bahwa terdapat empat jenis musik yang sering didengar oleh banyak pemuda di seluruh dunia, yaitu pop, urban, rock, dan high brow. Namun, kini musik urban seperti R&B mulai dikolaborasikan dan menyatu dengan jenis musik pop. Sehingga, dapat dikatakan bahwa musik pop merupakan aliran musik utama yang menjadi acuan di seluruh dunia (Bogt et al, 2011). Asmara, R.R. & Musthafa, M.A.(2012). “Sikap Sosial Kelompok Musik Karinding terhadap Globalisasi (Studi Kasus terhadap Kelompok Musik Karinding X di Kota Bandung).” Proceedings. Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Indonesia: Tantangan Pengembangan Psikologi Indonesia, Universitas Paramadina, 6 September 2012.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa musik tradisional daerah tidak menempati urutan yang paling awal dalam daftar jenis musik yang didengar oleh para pemuda. Penelitian tersebut selaras dengan nasib karinding sebagai salah satu alat musik tradisional Sunda yang pada tahun 1970an sudah mulai ditinggalkan masyarakat. Hal itu dikarenakan adanya perubahan selera musik pada masyarakat yang saat itu lebih menyukai musik modern daripada musik tradisional (Abah Olot dalam Kustiasih, 2010). Oleh karenanya, berkembangnya kelompok musik yang menggunakan karinding sebagai instrumen utamanya merupakan suatu fenomena yang patut ditelaah secara mendalam di era globalisasi ini, di mana musik pop memiliki pengaruh yang kuat dalam era tersebut. Fenomena yang dipaparkan di atas juga sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Chong (2005) bahwa nilai yang dipahami oleh orang Asia bisa meminimalisasi pengaruh dari Barat sebagai salah satu cara untuk menghadapinya. Begitu pula dengan kelompok musik karinding yang memiliki sikap sosial tertentu terhadap globalisasi dan juga memiliki tujuan tersendiri yaitu upaya pelestarian nilai budaya Sunda. Selain itu, penerjemahan berbagai jenis musik terhadap karinding yang mereka ciptakan merupakan suatu komposisi yang menimbulkan keunikan pada era globalisasi.
Kajian Pustaka Sikap sosial menurut Gerungan (2004) adalah suatu cara yang sama secara berulang-ulang terhadap objek sosial yang ditunjukan bukan hanya oleh seorang individu, akan tetapi, sekelompok orang yang mengevaluasi objek sosial tersebut (Gerungan, 2004). Selain itu, perbedaan yang mendasar antara sikap individual dan sikap sosial adalah stimulus yang memicu timbulnya rangsangan. Jika pada sikap individual, stimulus hanya mampu memicu rangsang individual. Sedangkan, pada sikap sosial, stimulus merupakan objek yang mampu menimbulkan situasi yang merangsang secara sosial. Jadi, dapat dikatakan bahwa sikap sosial itu terwujudkan melalui tindakantindakan yang dilakukan oleh anggota-anggota dari kelompok. Hal ini sejalan dengan pendapat Ahmadi (2007) bahwa subjek dalam sikap sosial adalah orang-orang dalam suatu kelompok. Meskipun, sikap sosial tersebut dinyatakan oleh sekelompok orang, namun, hal tersebut tidak bisa dilepas dari peranan antar individu yang saling berinteraksi dan menyatakan sikap dari kelompoknya. Sedangkan, objek dari sikap sosial adalah yang mampu menarik perhatian sosial bagi kelompok tersebut (Ahmadi, 2007). Interaksi ini tidak bisa dilepaskan dari baik atau buruknya keanggotaan seorang individu di dalam kelompoknya dan juga berkaitan dengan norma sosial yang telah dibangun dalam kelompok. Ini mengindikasikan terdapat pertanggungjawaban anggota-anggota di dalam kelompok terhadap norma sosial yang telah dibangun bersama. Sikap individual maupun sikap sosial memiliki tiga aspek yang sama (Ahmadi, 2007), yaitu: 1.
Aspek Kognitif
Asmara, R.R. & Musthafa, M.A.(2012). “Sikap Sosial Kelompok Musik Karinding terhadap Globalisasi (Studi Kasus terhadap Kelompok Musik Karinding X di Kota Bandung).” Proceedings. Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Indonesia: Tantangan Pengembangan Psikologi Indonesia, Universitas Paramadina, 6 September 2012.
Aspek ini menekankan pada berbagai gejala yang berkaitan dengan pikiran. Gejala tersebut bisa berupa sebuah pengolahan, pengalaman, dan keyakinan. Keyakinan itu berkaitan dengan harapan-harapan individu tentang objek ataupun kelompok objek tertentu. 2.
Aspek Afektif Aspek ini menitikberatkan pada sebuah proses yang menyangkut perasaan-perasaan tertentu ketika mengevaluasi suatu objek. Seperti ketakutan, simpati, antipati, dan sebagainya yang ditunjukan kepada objek-objek tertentu. Aspek afektif ini menunjukan pula suatu perasaan positif dan perasaan negatif yang muncul pada individu-individu terhadap objek yang disikapinya.
3.
Aspek Konatif Aspek ini diwujudkan melalui berbagai kecenderungan perilaku pada objek yang dievaluasi. Misalnya saja, ingin menjauhkan diri dari objek yang dievaluasi (Ahmadi, 2007).
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan beberapa fenomena mengenai kelompok musik karinding di atas, masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimana sikap sosial kelompok musik karinding terhadap globalisasi?”
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Subyek penelitian adalah kelompok musik karinding X yang terdiri dari sembilan personil berjenis kelamin laki-laki, yaitu K, M, H, O, W, Y, J, P, dan A. Kelompok musik karinding X ini merupakan subyek yang purposif, karena mengangkat alat musik karinding dan juga berasal dari komunitas metal. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan menggunakan teknik triangulasi data, yakni wawancara semiterstruktur pada dua key person kelompok musik karinding X, observasi, dan studi dokumentasi. Akan tetapi, peneliti juga melakukan teknik pengumpulan data tambahan dengan menggunakan diskusi kelompok terfokus terhadap enam orang personil kelompok musik karinding X. Menurut Bloor et al (2001) diskusi kelompok terfokus membuat peneliti mampu untuk memahami makna dari kelompok itu sendiri. Sehingga, data yang dicari bukanlah kedalaman informasi, tapi makna yang ditunjukkan melalui norma kelompok. Selain itu, jumlah partisipan pada diskusi kelompok terfokus tidak menentukan kredibilitas data, karena tujuan yang ingin dicapai ada pada komunikasi antar anggota yang interaktif. Diskusi kelompok terfokus yang digunakan oleh peneliti berjenis pre existing group, yang biasa dilakukan dengan cara mengumpulkan orang-orang yang memiliki pengalaman serupa dan mengalaminya bersama-sama (Bloor et al, 2001 ).
Asmara, R.R. & Musthafa, M.A.(2012). “Sikap Sosial Kelompok Musik Karinding terhadap Globalisasi (Studi Kasus terhadap Kelompok Musik Karinding X di Kota Bandung).” Proceedings. Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Indonesia: Tantangan Pengembangan Psikologi Indonesia, Universitas Paramadina, 6 September 2012.
Analisis data yang dilakukan tertuju pada model Miles dan Huberman (Sugiyono, 2010) serta dibagi menjadi tiga bagian, yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data dilakukan dengan cara merangkum hal-hal yang pokok dan penting untuk kemudian dicari tema dan polanya. Sedangkan, penyajian data pada penelitian dengan pendekatan kualitatif menekankan kepada teks yang bersifat naratif, yakni yang menentukan pola hubungan atau hubungan antar kategori. Ini mengindikasikan adanya pencarian hubungan antar kalimat. Lalu, kesimpulan yang ditarik oleh peneliti itu masih bersifat sementara, karena kesimpulan tersebut bisa berubah berdasarkan masalah di lapangan yang bisa saja berkembang. Akan tetapi, jika peneliti kembali ke lapangan dan menemukan bahwa data bersifat konsisten, atau pola interaktif tidak berubah, maka dapat dikatakan bahwa kesimpulan yang dilakukan oleh peneliti dapat dipercaya kredibilitasnya. Penarikan kesimpulan juga bisa dilakukan dengan ditemukannya kerelevanan informasi yang diberikan oleh subyek penelitian, hasil observasi, dan analisis dokumentasi yang berkaitan dengan subyek penelitian (Miles & Huberman dalam Sugiyono, 2010).
HASIL PENELITIAN DAN DISKUSI Sikap sosial dinyatakan sebagai suatu evaluasi terhadap objek sosial yang disikapi dan ditunjukkan oleh sekelompok orang. Objek sosial mengartikan bahwa objek ini akan merangsang secara sosial, berbeda dengan sikap individual yang cenderung hanya merangsang secara individual. Sikap sosial ini merupakan bentuk interaksi antara individu-individu di dalam kelompok. Oleh karenanya, sikap sosial ini terdiri atas dinamika kelompok itu sendiri. Menurut Ahmadi (2007) sikap individual maupun sikap sosial selalu mengandung tiga aspek, yakni aspek kognitif, afektif, dan konatif. Aspek-aspek itu yang menunjukkan bahwa sikap sosial bukanlah berisi opini atau pengetahuan semata, tapi juga berisikan perasaan dan kecenderungan berperilaku. Sehingga, individu atau kelompok akan menunjukkan perilaku berdasarkan sikapnya. Berikut ini terdapat bagan penyajian data dari sikap sosial kelompok musik karinding X terhadap globalisasi.
Asmara, R.R. & Musthafa, M.A.(2012). “Sikap Sosial Kelompok Musik Karinding terhadap Globalisasi (Studi Kasus terhadap Kelompok Musik Karinding X di Kota Bandung).” Proceedings. Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Indonesia: Tantangan Pengembangan Psikologi Indonesia, Universitas Paramadina, 6 September 2012.
KELOMPOK MUSIK KARINDING X
GLOBALISASI
SIKAP SOSIAL
KOGNITIF
Kelebihan Nilai metal dan internet Kekurangan Determinasi keragaman budaya
KONATIF AFEKTIF
Adanya ketakutan
Penggalian keragaman potensi lokal dan sinkretisasi budaya
Gambar 1. Penyajian Data Sikap Sosial Kelompok Musik Karinding X terhadap Globalisasi
Penjelasan: Pada gambar 1, diketahui bahwa globalisasi merupakan gejala penduniaan yang tidak dapat ditolak. Oleh karenanya, fenomena tersebut mempengaruhi pola hidup masyarakat, khususnya komunitas metal Ujungberung Rebels yang akhirnya membentuk kelompok musik karinding X. Dalam gambar 1 tersebut, diketahui pula berbagai evaluasi kelompok musik karinding X terhadap globalisasi yang disebut sebagai sikap sosial. Sikap sosial ini memiliki tiga aspek, yakni aspek kognitif, afektif, dan konatif. Pembagian tiga aspek sikap sosial tersebut dilakukan berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Ahmadi (2007). Pada aspek kognitif diketahui bahwa kelompok musik karinding X memiliki pengetahuan yang mengevaluasi adanya globalisasi. Pengetahuan tersebut dibagi menjadi dua bagian, yakni kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari globalisasi yang dinyatakan oleh kelompok musik karinding X adalah adanya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, yakni internet dan juga musik metal. Sedangkan, kekurangan dari globalisasi adalah adanya kecenderungan dari proses tersebut yang mendeterminasi keragaman budaya di dunia. Pada aspek afektif terdapat rasa takut ketika mengevaluasi berbagai kecenderungan dalam globalisasi. Sedangkan pada aspek konatif terdapat pula kecenderungan bertindak yang
Asmara, R.R. & Musthafa, M.A.(2012). “Sikap Sosial Kelompok Musik Karinding terhadap Globalisasi (Studi Kasus terhadap Kelompok Musik Karinding X di Kota Bandung).” Proceedings. Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Indonesia: Tantangan Pengembangan Psikologi Indonesia, Universitas Paramadina, 6 September 2012.
ditunjukkan oleh kelompok musik karinding X terhadap berbagai pengaruh dari globalisasi itu sendiri. Di bawah ini terdapat diskusi hasil penelitian dari aspek-aspek sikap sosial yang terdiri dari aspek kognitif, afektif, dan konatif.
a.
Aspek Kognitif Aspek kognitif menunjukkan adanya pengetahuan yang dimiliki mengenai objek yang
dievaluasi. Selain itu, aspek ini menunjukkan harapan-harapan terhadap objek yang dievaluasi. Menurut Ahmadi (2007), aspek kognitif berisikan pengetahuan, pengalaman, dan bahkan keyakinan yang dimiliki (Ahmadi, 2007). Pada kelompok musik karinding X ini, pengetahuan yang dimiliki mengenai globalisasi berisikan informasi-informasi yang positif dan negatif. Globalisasi dinyatakan oleh kelompok musik karinding X sebagai sebuah gejala penduniaan. Fenomena ini dinyatakan tidak dapat ditolak bagi siapapun yang ada di Indonesia. Akan tetapi, menghadapi globalisasi merupakan sebuah tantangan yang harus diantisipasi dengan frame berpikir lokal. Hal tersebut dilakukan agar tidak terbawanya frame kelompok musik karinding X sebagai orang Indonesia dengan berbagai frame lain yang ada di globalisasi. Selain itu, menurut K, melalui globalisasi, potensi yang ada di berbagai daerah pun dapat mengglobal jika disertai dengan visi dunia. Ini serupa dengan yang dinyatakan oleh K, salah satu key person kelompok musik karinding X:
“Ketika kita menghadapi, ketika kita melihat fenomena ini datang kita harus punya pemikiran yang kuat biar eeuuh ga kebawa-bawaan gitu.” (KB-1-A2) Informasi-informasi yang positif mengenai globalisasi ditunjukkan dengan adanya manfaat yang dirasakan oleh kelompok musik karinding X. Misalnya saja dengan adanya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Castells (1999) menyatakan bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga membangkitkan perkembangan pendidikan dan budaya yang di dalamnya terdapat kekuatan, pengetahuan, dan kreativitas (Castells, 1999). Sehingga, internet bagi kelompok musik karinding X mampu menerobos batas-batas dunia yang dahulu tidak bisa ditembus. Selain itu, kelompok musik karinding X juga menyatakan bahwa efek globalisasi dalam bidang musik adalah musik metal. Berikut ini pemaparan dari K dan M sebagai key person dari kelompok musik karinding X: “Terus musik-musik metal, saya rasakan ya sangat bagus, tidak mendidik menjadi generasi muda yang alay, tidak mendidik generasi muda yang cengeng”. (M-5b-D3) “(Pengaruh globalisasi) yang paling kerasa sama saya mah ada metal. Metal dengan segala ide, dengan segala cara, dengan segala filsafatnya, dengan segala sistemnya. Asmara, R.R. & Musthafa, M.A.(2012). “Sikap Sosial Kelompok Musik Karinding terhadap Globalisasi (Studi Kasus terhadap Kelompok Musik Karinding X di Kota Bandung).” Proceedings. Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Indonesia: Tantangan Pengembangan Psikologi Indonesia, Universitas Paramadina, 6 September 2012.
Itu memberi pengaruh ke saya pribadi, terutama D.I.Y. D.I.Y itu bener-bener bikin satu kesadaran baru di diri saya dan temen-temen juga digodog di sini”. (KB-8-D2) Musik ini memiliki filsafat dan ide pergerakan tertentu, seperti D.I.Y yakni do it yourself yang membuat para musisi metal menjadi mandiri, tidak bergantung pada kekuasaan tertentu. Selain itu, musik metal ini yang menempa kepribadian para anggota kelompok musik karinding X untuk menjadi generasi muda yang tidak cengeng. Bahkan, melalui musik metal, kelompok musik karinding X dapat mengenal berbagai potensi lokal dari tiap negara yang kemudian diglobalkan melalui aliran musik ini. Perkenalan dengan potensi lokal tiap negara itulah kemudian muncul kesadaran akan spirit lokalitas Sunda. Ini menunjukkan bahwa kelompok musik karinding X menginternalisasi nilai-nilai yang ada di musik metal dan kemudian mengaitkan nilai-nilai metal tersebut dengan potensi lokal yang ada. Misalnya, komunitas Ujungberung Rebels menemukan simbol metal pada nilai-nilai Sunda yang direpresentasikan dua kujang bersilang yang bermakna panceg dina galur dan memiliki arti tetap teguh pada jalurnya. LeVine (2008) menyatakan bahwa musik metal ini menitikberatkan pada kemandirian dan demokrasi, adanya toleransi terhadap hak asazi manusia dalam berbagai pandangan, dan juga menolak kemunafikkan, korupsi, serta pemimpin yang otoriter (LeVine, 2008). Ini menunjukkan bahwa musik metal memiliki nilai yang bermakna positif, sehingga, kelompok musik karinding X pun terinspirasi oleh adanya aliran musik tersebut. Selain informasi positif, ada pula informasi yang bersifat negatif dari globalisasi itu sendiri. Bagi kelompok musik karinding X, globalisasi cenderung mendeterminasi keragaman budaya yang ada. Hal ini menurut kelompok musik karinding X disebabkan dengan adanya budaya yang dominan dan menguasai budaya-budaya lain; ini merupakan bahaya yang cukup jelas muncul dari globalisasi. Misalnya saja pengaruh westernisasi pascaorde lama yang semakin menguat di Indonesia. “Bahaya misalnya yang spesialnya ini dideterminasi sama proses globalisasi, soalnya yang namanya global yang mendunia itu kan yang bisa menguasai dunia.. orang kan.. sesuatu yang menguasai itu cuma satu. Cuma pemenang yang bisa mendominasi, sesuatu yang dominan ini pasti akan mendominasi yang lain. Itu akan menghilangkan keragaman, di satu sisi.” (FGD-K-6-B3) Budaya yang mendominasi budaya-budaya lain dapat menyebabkan globalisasi kehilangan ‘wajah’ yang sebenarnya, dan membuat dunia menjadi datar. Menurut kelompok musik karinding X semestinya keragaman itu dipertahankan, karena semakin keragaman yang ada di dunia menguat, maka proses globalisasi pun akan semakin kuat. Pernyataan di atas menunjukkan suatu harapan yang muncul dari kelompok musik karinding X dengan adanya globalisasi. Aspek kognitif menunjukkan adanya pengetahuan yang berisikan informasi-informasi yang sifatnya positif dan negatif. Selain berisikan pengetahuan, aspek kognitif menunjukkan suatu harapan terhadap objek sosial yang dievaluasi dan keragaman budaya yang diglobalkan merupakan harapan kelompok musik karinding X dari globalisasi. Asmara, R.R. & Musthafa, M.A.(2012). “Sikap Sosial Kelompok Musik Karinding terhadap Globalisasi (Studi Kasus terhadap Kelompok Musik Karinding X di Kota Bandung).” Proceedings. Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Indonesia: Tantangan Pengembangan Psikologi Indonesia, Universitas Paramadina, 6 September 2012.
b.
Aspek Afektif Aspek afektif lebih menitikberatkan kehidupan perasaan individu atau kelompok dalam
mengevaluasi suatu objek sosial. Aspek afektif tersebut biasanya berisikan perasaan negatif atau pun positif (Ahmadi, 2007). Kelompok musik karinding X menyatakan suatu perasaan negatif terhadap globalisasi, yakni ketakutan. Perasaan tersebut muncul karena kelompok tersebut mengetahui berbagai bahaya yang bisa muncul dari globalisasi, seperti kecenderungan mendeterminasi keragaman budaya yang ada. Selain itu, kelompok musik karinding X juga menyatakan bahwa globalisasi mampu menawarkan banyak paham yang memberikan efek. Salah satu efek terburuk yang paling ditakutkan adalah jika paham dari globalisasi ini diterima tanpa filter oleh masyarakat. Selain itu, budaya dominan yang ada ternyata telah mewabah di Indonesia, misalnya dengan adanya musik-musik Korea. Ini menunjukkan tidak adanya frame berpikir lokal yang muncul di masyarakat Indonesia dan
juga mengindikasikan
identitas bangsa yang mulai menghilang. Hal tersebut juga diperkuat dengan pernyataan M yang menunjukkan adanya ketakutan terhadap dampak buruk yang dibawa globalisasi terhadap karinding itu sendiri: “M: jadi imbas globalisasi yang paling ditakuti kalau imbas negatifnya adalah terhadap diri kita, influence.. masuk ke otak kiri, ke otak kanan kita ini apakah kita telan atau tidak, kalau kita telan mentah-mentah seperti tadi, dan isme tersebut masuk ke diri kita dan kita masukkan ke karinding, auranya bisa positif bisa negatif.. itu yang paling saya takuti sebetulnya.” (FGD-M-11) Ketakutan ini pulalah yang akhirnya menunjukkan sikap sosial dari kelompok musik karinding X, yakni ketakutan akan keterasingan di negara sendiri karena adanya globalisasi. Ini serupa dengan yang dinyatakan oleh Tomlinson (2003) bahwa terdapat asumsi bahwa globalisasi bisa merusak identitas-identitas lokal (Tomlinson, 2003).
c.
Aspek Konatif Aspek konatif menunjukkan adanya kecenderungan berperilaku ketika mengevaluasi objek
sosial. Menurut Gerungan (2004), sikap sosial berisikan pengetahuan, perasaan, dan kecenderungan untuk bertindak (Gerungan, 2004). Sehingga, terdapat pula perbedaan yang mendasar antara sikap sosial dengan pengetahuan yang biasa, karena mengandung segi emosional dan motivasional. Kelompok musik karinding X menyatakan bahwa merespon globalisasi harus dilakukan dengan dua cara, yakni penggalian keberagaman nilai lokal dan sinkretisasi budaya. Ketika mengevaluasi globalisasi dan menemukan kelemahan atau bahaya dari globalisasi, maka diperlukan cara mengantisipasi berbagai kecenderungan tersebut. Oleh karenanya, penggalian nilai-nilai lokal yang beragam sangat penting dilakukan untuk mengembalikan ‘wajah’ globalisasi yang sebenarnya. Asmara, R.R. & Musthafa, M.A.(2012). “Sikap Sosial Kelompok Musik Karinding terhadap Globalisasi (Studi Kasus terhadap Kelompok Musik Karinding X di Kota Bandung).” Proceedings. Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Indonesia: Tantangan Pengembangan Psikologi Indonesia, Universitas Paramadina, 6 September 2012.
“Euuh... manusia kan beda-beda, makanya yang harus dibangun itu supaya engga terhabis gitu aja bagaimana kita bisa puas dengan nilai-nilai lokalitas kita dan justru kalau kita kuat, maka globalisasi juga akan kuat. Dan karena makin banyak identitas di globalisasi juga makin menunjukan wajah global yang sebenarnya. Globe itu dunia, ya sebenar-benarnya dunia itu ragam, bukan sesuatu yang sama.” (KB-6-E2) Akan tetapi, kelompok musik karinding X menegaskan pula bahwa penggalian nilai lokal tersebut harus disertai dengan adanya sifat-sifat tertentu, yakni tidak fasis, rasis, atau bahkan etnosentris. Ketika nilai-nilai lokal tersebut diglobalkan, maka globalisasi akan memicu keragaman dunia. “Kalau menurut saya kearifan lokal dari setiap yang dikampanyekan yang diglobalkan, yang diduniakan. Saya yakin yah setiap kearifan-kearifan lokal yang ada di tanah manapun pasti mengajarkan kebenaran, pasti mengajarkan kebaikan. Tidak menjadi fasis, tidak menjadi rasis, gitulah pokoknya mah tidak menjadi etnosentris. Tapi satu ajaran luhurlah.” (M-9-E3) Menurut M-salah satu key person kelompok musik karinding X-sering kali nilai-nilai lokal itu dikerdilkan. Dalam artian, makna Sunda seringkali hanya dipahami sebagai sebuah wilayah geografis, padahal, Sunda itu sendiri merupakan ajaran luhur yang diwariskan oleh para leluhur dan ajaran tersebut relevan dengan kehidupan masa kini. Selain itu, kelompok musik karinding X juga menyetujui bahwa karinding bukanlah alat ekspresi saja, tapi memiliki nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhur, seperti yakin, sabar, dan sadar. Kekaguman kelompok musik karinding X terhadap karinding tidak berhenti di situ saja, tapi juga pada sejarah lisan alat musik tersebut yang ternyata memiliki banyak manfaat, yakni sebagai alat meditatif, alat pembasmi hama, simbol untuk menyatakan cinta, dan alat pergaulan di masanya. Secara musikal, karinding memiliki frekuensi yang berbeda dengan alat musik lainnya dan mampu membangun suasana ritmis maupun melodis. Hal tersebut membuat kelompok musik karinding X tersadar bahwa instrumen sesederhana tersebut ternyata merupakan alat musik yang canggih, karena berbagai efek alat musik modern yang dibuat saat ini cenderung meniru karinding atau alat-alat musik yang dibuat di zaman dahulu, bahkan karinding dibuat sebelum gamelan ada. Pemahaman kelompok musik karinding X terhadap nilai-nilai lokal yang ada di sekitar ini merupakan wujud respon terhadap globalisasi dan kelompok ini menunjukkan suatu harapan terhadap globalisasi yang bersifat indigenus, yakni ketika nilai lokal diglobalkan dan kemudian memicu keragaman. Selain itu, globalisasi juga tidak dapat dipungkiri memiliki ide-ide yang bermanfaat, oleh karenanya ide yang bermanfaat tersebut dapat disinkretisasi dengan kebudayaan yang sudah ada di sekitar. Ide bermanfaat dari globalisasi yang disinkretisasi mesti melalui proses penyaringan ketat sebelum dikombinasikan. Dalam hal ini, kelompok musik karinding X menginternalisasi nilai-nilai positif dari spirit metal ke dalam kebudayaan lokal yang dimiliki.
Asmara, R.R. & Musthafa, M.A.(2012). “Sikap Sosial Kelompok Musik Karinding terhadap Globalisasi (Studi Kasus terhadap Kelompok Musik Karinding X di Kota Bandung).” Proceedings. Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Indonesia: Tantangan Pengembangan Psikologi Indonesia, Universitas Paramadina, 6 September 2012.
“Yang kita lakukan sebagai anak muda adalah mengimbanginya. Lamun ceuk basa Sunda mah diigeulan (kalau bahasa Sundanya mah ditarikan). Kita harus menari, memainkannya globalisasi. Apa itu sesuatu yang datang, yang baru, yang datang dari datang, yang mendunia, dapat dari luar, kita filter, kita combine, kita kawinkan dengan ada yang di sekitar kita. Tidak melupakan juga yang ada di kita. Dan kita mengembangkannya, dihybrid-lah.” (M-2-E6) Hal di atas sesuai dengan yang dinyatakan oleh Dimitrova (2002) bahwa globalisasi memiliki kekurangan dan kelebihan. Namun, hal yang perlu diperhatikan oleh individu dan masyarakat adalah memainkan peran sebaik mungkin dalam ‘skenario’ global (Dimitrova, 2002). Begitu pun dengan kelompok musik karinding X yang menyadari berbagai kelebihan dan kekurangan dari globalisasi, maka kelompok ini pun menyiapkan cara untuk merespon globalisasi tersebut sekaligus mempertahankan budaya yang ada di sekitar. Kecenderungan berperilaku ini merupakan salah satu langkah awal untuk memulai strategi dalam menghadapi tantangan globalisasi. Ini juga diperkuat dengan pernyataan Gerungan (2004) bahwa seseorang atau sekelompok orang cenderung bertindak berdasarkan sikap sosial maupun sikap individual yang dimilikinya (Gerungan, 2004).
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa sikap sosial kelompok musik karinding X terhadap globalisasi terdiri dari tiga aspek, yakni aspek kognitif, afektif, dan konatif. Aspek kognitif ditunjukkan dari informasi-informasi yang diketahui oleh kelompok tersebut, misalnya seperti kelebihan globalisasi yang tertuju pada kemajuan teknologi informasi dan komunikasi serta adanya pengaruh filsafat musik metal. Sedangkan, kekurangan globalisasi ditunjukkan dengan adanya determinasi keragaman budaya. Selain kognitif, terdapat pula aspek afektif yang terdiri dari perasaan takut saat mengevaluasi kecenderungan globalisasi yang mampu menghilangkan identitas bangsa. Kemudian, aspek konatif yang ditunjukkan oleh kelompok musik karinding X adalah dalam era globalisasi, masyarakat harus menggali potensi lokal dan juga melakukan proses sinkretisasi budaya. Ini menunjukkan bahwa sikap sosial kelompok musik karinding X bukan hanya terdiri dari pengetahuan biasa, tapi juga terdiri dari segi motivasional dan perasaan. Dari kesimpulan yang telah dibuat, peneliti memberikan saran kepada beberapa pihak. Pertama, pemerintah diharapkan membantu para musisi karinding untuk membuat alat musik tersebut mampu menjadi alat pendidikan nasional. Selain itu, pemerintah juga diharapkan mampu menyebarkan karinding maupun alat musik tradisional lainnya melalui pendidikan, karena institusi pendidikan merupakan salah satu institusi yang dapat mewariskan nilai-nilai kearifan lokal yang diajarkan leluhur. Selain itu, peneliti juga mengharapkan kelompok-kelompok musik untuk mengeksplorasi karinding dan mempertahankan keragaman corak permainannya karena akan menunjukkan kekayaan seni budaya di Indonesia. Terakhir, untuk penelitian selanjutnya maupun pada para praktisi lainnya, diharapkan memulai penelitian pada kesenian tradisional lainnya serta pengembangan yang ada pada Asmara, R.R. & Musthafa, M.A.(2012). “Sikap Sosial Kelompok Musik Karinding terhadap Globalisasi (Studi Kasus terhadap Kelompok Musik Karinding X di Kota Bandung).” Proceedings. Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Indonesia: Tantangan Pengembangan Psikologi Indonesia, Universitas Paramadina, 6 September 2012.
kesenian tersebut dan kemudian mencari nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalamnya sebagai wujud dokumentasi dan publikasi yang dapat dipelajari oleh masyarakat. Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman budayanya dan seni budaya merupakan salah satu wujud dari perilaku khas orang-orang Indonesia dalam mempertahankan kebudayaan.
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, A. (2007). Psikologi sosial. Jakarta: PT Rineka Cipta Bloor, M., Frankland, J., Thomas, M., & Robson, K. (2001). Focus Groups in Social Research. London: Sage Publications Ltd. Bogt. T., Delsing, M., Zalk, M., Christenson, P. G., & Meeus, W. . (2011). “Intergenerational Continuity of Music Taste”. Social Forces. 90, (1), 297-320. Castells, M. (1999). “Information Technology, Globalization, and Social Development”. UNRISD Discussion Paper. 114. Chong, T. (2005). Modernization Trends in Southeast Asia. Singapore: Utopia Press. Dimitrova, A. (2002). Challenging Globalization-The Contemporary Sociological Debate About Globalization. Dissertation in Advanced European and International Studies. Tersedia: www.iehei.org/bibliotheque/AnnaDIMITROVA.pdf Gustamar, R. (2010, 21, Desember). Kimung Berbicara tentang Karinding. Formagz. Tersedia: www.formagz.com Gerungan, W.A. (2004). Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika Aditama. Held, D., McGrew, A., Goldblatt, D., & Perraton J. (1999). Global Transformation. California: Stanford University Press. Kimung. (2011). Jurnal Karat: Karinding Attacks Ujungberung Rebels. Bandung: Minor Books. Kustiasih, R. (2010, 7, Juli). www.kompas.com
Abah Olot Melestarikan Karinding. Kompas. Tersedia:
LeVine, M. (2008). “Heavy Metal Muslims: The Rise of Post-Islamist Public Sphere ”. Contemporary Islam. 2. 229-249. Lechner dan Boli (ed). (2000). The Globalization Reader. United Kingdom: Blackwell Publishing Ltd. Saouma. R., Klepper. S., Molpheta S., & Pille, S. (2007). Cultural Heritage and History in The Metal Scene. Wageningen: Belvedere Chair in The Chairgroup Land Use Planning. Sugiyono. (2010). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Tomlinson, J. (2003). Globalization and Cultural Identity. Tersedia: www.polity.co.uk Widodo, M.S. (2005). Cinta dan Keterasingan dalam Masyarakat Modern. Yogyakarta: Narasi. Asmara, R.R. & Musthafa, M.A.(2012). “Sikap Sosial Kelompok Musik Karinding terhadap Globalisasi (Studi Kasus terhadap Kelompok Musik Karinding X di Kota Bandung).” Proceedings. Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Indonesia: Tantangan Pengembangan Psikologi Indonesia, Universitas Paramadina, 6 September 2012.