SIKAP DAN PERILAKU PEGAWAI TERHADAP PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN MUTU ISO 9001 DI BADAN PELAYANAN PERIJINAN TERPADU (BP2T)
Kasus Kabupaten Sragen Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Sidoarjo Provinsi Jawa Timur
PUJI WINARNI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Sikap dan Perilaku Pegawai terhadap Penerapan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BP2T). Kasus Kabupaten Sragen Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Sidoarjo Provinsi Jawa Timur, adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2012
Puji Winarni I.361070021
ABSTRACT To improve the quality of public services delivered to the community, the Integrated Promotion, Investment and Licensing Board, Districts of Sragen and Sidoarjo have been implementing Quality Management System (QMS) ISO 9001 since 2002/2003. The implementation of ISO 9001 improves employees’ knowledge and expertise in the production process and services, the organization performance, and organizational competitiveness as well as changes the organizational culture and behavior of the people. However the success of implementing quality management system in shifting service paradigm of the employees are not followed directly by other districts around the country. Several problems arouse in the implementation of the QMS ISO 9001. The aims of the study are to: (1) identify factors influencing employees’ attitudes toward the implementation of Quality Management System and their behaviors toward public services quality; (2) analyze dominant factors that influence employees’ attitudes toward the implementation of QMS ISO 9001 and in delivering services to the community, (3) identify the emergence of quality culture, (4)) propose a model for sustainable QMS ISO 9001 implementation at BP2T, and (5) find strategy to make the QMS ISO 9001 implementation model achievable. Data collected on September 2011 and February 2012 by using several methods: questionnaire, interview, observation, and reviewing existing data and documents. Primary data were collected by using Group administered survey on 96 employees (government and non government). Data analyzed by using descriptive techniques and path analysis. The study shows that (1) commitment, formal educational background, employees’ learning styles, the way employees’ communicate in the learning process, and materials used in the learning process are the factors influencing employees’ attitudes toward the implementation of QMS ISO 9001; whereas intrinsic motivation, leader’s communication skills and commitment, learning approach, especially materials, methods of learning, employees’ cosmopolitanism, group interaction, and employees’ attitudes are factors influencing employees’ behaviors in delivering services to the community; (2) employees’ learning styles and materials used in the learning process are the dominant factors influencing employees’ attitudes toward the implementation of QMS ISO 9001; whereas intrinsic motivation, leader’s communication skills, materials that used in the learning process, and employees’ attitude toward QMS ISO 9001 become the dominant factors influence the employees’ behaviors in delivering services to the community; (3) indication of quality culture can be found in BP2T Sragen District and Sidoarjo District; (4) model to sustain the implementation of QMS ISO 9001 can be created by maintaining and increasing employees’ intrinsic motivation, improving leaders’ commitment and communication, and supported by appropriate learning approach; (5) strategy for implementing sustainable QMS ISO 9001 model can be achieved by (a) increasing commitment of collective leadership at local government, (b) providing organizational infrastructure and policies on reward systems, financial support, career development, and human resource development to increase intrinsic motivation, and (c) providing sufficient materials needed for self directed learning. Keywords: Quality Management System, ISO 9001, employees’ attitudes and behaviors, public organization, BP2T
RINGKASAN PUJI WINARNI. Sikap dan Perilaku Pegawai terhadap Penerapan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BP2T). Kasus Kabupaten Sragen Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Sidoarjo Provinsi Jawa Timur. Komisi Pembimbing: MA’MUN SARMA (Ketua), DARWIS S. GANI dan SOENARMO HATMODJOSOEWITO (masing-masing sebagai anggota). Reformasi yang telah berjalan lebih dari sepuluh tahun belum memberikan cukup bukti terutama reformasi di bidang pelayanan publik. Pelayanan publik yang buruk masih banyak dijumpai di berbagai daerah di mana seharusnya berdasarkan Undang-Undang Otonomi Daerah No. 32 tahun 2004, Pemerintah daerah menjadi ujung tombak pemberian pelayanan publik yang lebih sesuai dengan yang diperlukan masyarakat. Terobosan manajemen pelayanan publik telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sragen dan Sidoarjo dengan menerapkan standar Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001 pada Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BP2T) sejak tahun 2002. Kualitas pelayanan perijinan di dua Kabupaten tersebut diakui telah mampu menarik investor, mengubah sikap dan perilaku pegawai dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga menarik pemerintah daerah lainnya, institusi swasta maupun pemerintah untuk datang, mempelajari dan bahkan kemudian tertarik untuk menerapkan SMM ISO 9001. Dibandingkan dengan jumlah Pemerintah Kabupaten, Kota dan Provinsi yang ada saat ini (533) kurang dari 10% yang telah berupaya menerapkan SMM ISO 9001 (46 Kota, Kabupaten,Provinsi). Diduga adanya anggapan bahwa penerapan SMM ISO 9001 tidak cocok untuk institusi pemerintah, membuat birokrasi semakin panjang dan berbelit, mutu SDM yang rendah, dan diperlukan banyak sumber daya yang harus dialokasikan membuat penerapan SMM ISO 9001 lambat menyebar di institusi layanan pemerintah lainnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk : (1) mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sikap pegawai pada penerapan SMM ISO 9001 dan perilakunya pada pelayanan publik di pemerintah daerah, (2) menganalisis faktor dominan yang mempengaruhi sikap pegawai pada penerapan SMM ISO 9001 dan perilakunya pada pelayanan publik, (3) mengetahui budaya mutu yang terlihat di daerah penelitian, (4) merumuskan model penerapan SMM ISO 9001 yang berkelanjutan pada pemerintah daerah (system sustainability), khususnya pada unit pelayanan publik, serta (5) menyusun strategi mempertahankan keberlangsungan penerapan SMM ISO 9001 (system sustainability) berdasarkan kepada model yang dibangun. Penelitian dilakukan pada bulan September 2011 sampai dengan Februari 2012 di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BP2T) Kabupaten Sragen Provinsi Jawa Tengah dan BP2T Kabupaten Sidoarjo Provinsi Jawa Timur. Pemilihan dua daerah tersebut didasarkan kepada lamanya BP2T telah menerapkan SMM ISO 9001 dan mendapatkan sertifikasinya. Desain penelitian adalah korelasional dengan menggunakan hubungan sebab-akibat. Unit analisis adalah BP2T dengan jumlah populasi 104 pegawai. Jumlah sampel penelitian sebanyak 96 orang. Pengambilan sampel secara survey, dan pengambilan data menggunakan teknik
administrasi secara berkelompok. Analisis data menggunakan: (1) statistik deskriptif, dan (2) statistik inferensial menggunakan analisa jalur (path analysis) dengan bantuan program SPSS 16.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Sikap pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001 dipengaruhi secara langsung dan nyata oleh komitmen pimpinan, pendidikan formal pegawai, model pembelajaran di organisasi, khususnya materi pembelajaran, model komunikasi, dan cara belajar. Perilaku pegawai pada pelayanan publik dipengaruhi oleh sikap pegawai, motivasi ekstrinsik, motivasi intrinsik, komunikasi, materi, metode, interaksi antar kelompok, interaksi intra anggota dalam kelompok, dan kekosmopolitan pegawai; (2) Materi pembelajaran dan cara belajar menjadi faktor dominan dan memberikan pengaruh yang sangat nyata pada sikap pegawai terhadap mutu, keterlibatan aktif, pengembangan diri dan internalisasi sifat-sifat kepemimpinan. Motivasi intrinsik menjadi faktor dominan yang mempengaruhi perilaku pegawai dalam pelayanan publik. Materi pembelajaran, model komunikasi dan sikap pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001 menjadi faktor dominan lainnya yang mempengaruhi perilaku pegawai pada pelayanan publik; (3) Indikasi terbentuknya budaya mutu telah terlihat di daerah penelitian yang ditandai dengan kesadaran akan pentingnya pelanggan. Temuan empiris di lapangan menunjukkan nilai pengukuran kepuasan pelanggan meningkat setiap tahunnya; (4) Model yang dikembangkan dalam upaya penerapan SMM ISO 9001 yang berkelanjutan di BP2T didasarkan kepada dikelolanya motivasi intrinsik pegawai yang tinggi, didukung oleh kepemimpinan yang komunikatif dan berkomitmen, serta pendekatan pembelajaran di organisasi yang sesuai; (5) Strategi aktualisasi model penerapan SMM ISO 9001 yang berkelanjutan mengacu kepada pengalaman BP2T Kabupaten Sidoarjo dan BP2T Kabupaten Sragen yakni: (a) perlunya penggalangan komitmen kolektif pimpinan tertinggi di Pemerintah Daerah, (b) menjaga dan meningkatkan motivasi intrinsik pegawai melalui sistem pengembangan karir yang menarik, sistem penghargaan dan keterlibatan aktif pegawai di organisasi, serta (c) mengembangkan materi pembelajaran yang sesuai dalam hal jenis, jumlah dan kemudahan aksesnya sehingga pembelajaran mandiri dapat terlaksana dengan baik. Kata Kunci: SMM ISO 9001, sikap dan perilaku pegawai, organisasi pemerintah, BP2T
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB
SIKAP DAN PERILAKU PEGAWAI TERHADAP PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN MUTU ISO 9001 DI BADAN PELAYANAN PERIJINAN TERPADU (BP2T) Kasus di Kabupaten Sragen Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Sidoarjo Provinsi Jawa Timur
PUJI WINARNI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Ujian Tertutup
: Dr.Ir. Fatimah Z.S. Padmadinata (Peneliti/ Deputi Bidang Jasa Ilmiah-LIPI) Dr.Ir. Gusti Putu Purnaba, DEA (Staf Pengajar Fakultas Matematika-IPB)
Penguji Ujian Terbuka
: Dr. Zakiyah, M.M (Wakil Manajemen, Badan Standardisasi Nasional) Dr.Ir. Basita Ginting Sugihen, M.A (Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia-IPB)
PRAKATA Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberi kemampuan, kekuatan, dan kesehatan sehingga penelitian yang dituangkan dalam bentuk disertasi ini berhasil diselesaikan. Disertasi disiapkan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program pendidikan Strata Tiga (S3) dan meraih gelar Doktor pada Program Studi Penyuluhan Pembangunan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penelitian difokuskan kepada sikap pegawai pemerintah daerah khususnya di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BP2T) dalam menerapkan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 serta perilaku mereka pada pemberian pelayanan publik ke masyarakat. Hasil penelitian diharapkan akan dapat menambah khasanah perbendaharaan atau referensi atas penerapan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 di organisasi-organisasi publik di tanah air. Selain itu, temuan penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam memperbaiki sistem pelayanan publik menjadi semakin bermutu dan berorientasi kepada kebutuhan dan kepuasan masyarakat. Terima kasih.
Bogor, Agustus 2012 Puji Winarni
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih yang tidak terhingga disampaikan kepada Dr.Ir. Ma’mun Sarma, MS., M.Ec selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof.Dr.Ir. Darwis S. Gani, M.S., dan Dr. J. Soenarmo Hatmodjosoewito, M.Ed selaku anggota Komisi Pembimbing, yang telah dengan sabar, tulus dan ikhlas membimbing dan mengarahkan sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr.Ir. I.Gusti P.Purnaba, Dr. Basita S. Ginting, Pimpinan dan staf Program Pascasarjana, khususnya Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc beserta staf Prodi PPN. Terima kasih atas saran, bimbingannya yang telah memberi warna pada disertasi kami. Ucapan terima kasih disampaikan kepada pimpinan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Prof. Dr. Umar A. Jenie, Apt (Kepala LIPI 2002-2010); Prof. Lukman Hakim, Apt ; Ph.D (Kepala LIPI), Dr. Ir. Fatimah Z. S. Padmadinata, DEA, Deputi Bidang Jasa Ilmiah-LIPI yang telah memberi ijin, kesempatan dan kepercayaan untuk dapat melanjutkan studi program S3 di IPB. Kepada Prof. Sediono MP Tjondronegoro yang telah demikian percaya kepada penulis, dengan senang hati beliau telah memberikan rekomendasinya. Tanpa rekomendasi beliau, mustahil penulis dapat diterima di program S3 IPB. Terima kasih Prof, semoga tidak mengecewakan kepercayaan yang telah Prof. Sediono berikan. Kepada Dr. Zakiyah, terima kasih. Tidak akan pernah terlupakan budimu. Terima kasih disampaikan kepada Bapak Saiful Illah,SH.,MH, Bupati Kabupaten Sidoarjo yang telah memberi ijin dan memfasilitasi kami selama penelitian berlangsung. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Drs. Joko Santosa, M.M, Kepala BP2T Sidoarjo, Bapak Ir. Sugiyanto, MS, Sekretaris BP2T, Bpk. Rendi Kusuma, Wakil Manajemen BP2T Kabupaten Sidoarjo, yang tidak pernah bosan melayani dan memfasilitasi selama penelitian berlangsung, serta para staf yang telah menerima penulis dengan ramah dan penuh kekeluargaan. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Tugiono, SH, MH, Kepala BP2T Kabupaten Sragen, beserta staf, khususnya mbak Maya. Terima kasih telah membagi ilmunya yang demikian banyak untuk memperbaiki mutu pelayanan publik. Kepada teman-teman seperjuangan di PPN: pak Adi Riyanto, mbak Yumi, mbak Yunita, pak Bambang, Tanti Kustiari, mas Erwiantono yang telah menjadi teman diskusi yang intensif selama persiapan disertasi ini, baik lewat darat maupun maya, terima kasih. Kita telah mengukir kebersamaan melalui PPN yang tidak akan pernah terlupakan selamanya. Terima kasih juga disampaikan kepada segenap pimpinan dan staf Puslit Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian. Pak Tomtom, pak Ade, Dr. Dini Andiani, Dr. Agus F Syukri, yang telah menjalankan organisasi dengan sangat baik. Dian, Mai, Fitri, Dodi, Dini, Sik, Yuda, semuanya. Terima kasih atas dukungannya yang luar biasa. Terakhir, ucapan terima kasih disampaikan kepada keluarga besar Wiryo Sunardjo dan Keluarga Besar KH. Abd. Fatah Al-Manshur yang selalu memberi dukungan moril hingga terselesaikannya disertasi ini. Kepada suami tercinta, Dr. Muhammad AS Hikam, MA rasanya tidak cukup untaian kata terima kasih dituliskan. Terima kasih yang tulus karena telah menjadi pendorong semangat dan
teman diskusi yang tiada habis, dan sekaligus permohonan maaf sebesar-besarnya karena kesibukan menulis disertasi ini sehingga seringkali terabaikan. Phrasa “talk to me” yang semakin sering terlontar di bulan-bulan terakhir penyusunan disertasi ini menjadi indikasi betapa kurangnya waktu yang kita habiskan bersama. Kepada ananda Halida Putri Widyastuti yang sedang menuntut ilmu di Pennsylvania State University, terima kasih pengertiannya dan dorongan semangat bagi ibunya untuk segera menyelesaikan disertasi ini. Tanpa keberadaan dan dorongan keduanya, mustahil disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. Semoga Allah SWT selalu memberi kita yang terbaik.
Bogor, Agustus 2012
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Surakarta pada tanggal 27 Februari 1961 sebagai anak bungsu dari delapan bersaudara pasangan (alm. dan almh.) Bapak dan Ibu Wiryo Sunarjo. Pada tahun 1989 menikah dengan Dr. Muhammad A.S. Hikam, MA dan dikaruniai seorang anak: Halida Putri Widyastuti (22 tahun) yang saat ini sedang menyelesaikan studi di College of Engineering, Department of Chemical Engineering, Pennsylvania State University-USA. Pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan memperoleh gelar Sarjana pada tahun 1985 dengan bantuan beasiswa PT. Unilever Indonesia (1982), Yayasan Supersemar (1983) dan beasiswa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (1984-1985). Pada tahun 1991 memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi di bidang Human Resource Management pada Department of Management - Hawaii Pacific University di Honolulu, Hawaii-USA dengan beasiswa dari Overseas Training Office (OTO-Bappenas). Gelar Master of Arts diperoleh pada tahun 1993. Penulis bekerja di LIPI sejak tahun 1985 pada Bagian Pendidikan dan Pelatihan. Jabatan struktural pertama yang dipercayakan kepadanya adalah Kepala Subagian Program dan Kurikulum di tahun 1995. Pada tahun 1998 diangkat sebagai Kepala Bidang Penemuan Ilmiah, Pusat Standardisasi-LIPI. Pada kurun waktu tersebut terlibat aktif dalam pembentukan Sentra HaKI-LIPI, menjadi salah satu counterpart Management System Strengthening Project (MSS-LIPI) pada sub project Human Resource Management System (HRMS) khususnya Leadership Development Program (LDP) bekerja sama dengan CSIRO-Australia. Tahun 2000-2003 dipercaya sebagai Kepala Bidang Kompetensi Peneliti dan Asesor, dan pada tahun 2004 hingga 2008 dipercaya sebagai Kepala Bagian Tata Usaha Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian (P2SMTP). Tahun 2008 hingga sekarang dipercaya sebagai Kepala Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian-LIPI. Saat ini aktif sebagai Anggota Tim Reformasi Birokrasi LIPI, Ketua II KORPRI Unit LIPI dan Ketua Umum Yayasan Salafiyah-Kholidiyah-Plumpang, Tuban Jawa Timur. Selama mengikuti program S3, penulis menjadi salah satu pengurus Perhimpunan Ahli Penyuluh Pertanian Indonesia (PAPPI). Karya ilmiah berjudul Analisis Budaya Mutu pada P2SMTP telah dipresentasikan pada Annual Meeting on Testing and Quality pada tahun 2008. Artikel berjudul Analisis Sikap Mutu Pegawai terhadap Perilaku Pelayanan Publik diterbitkan di Jurnal Penyuluhan, sedangkan artikel lainnya berjudul Analisis Sikap dan Perilaku Pegawai pada Penerapan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu akan diterbitkan di Jurnal Standardisasi Vol 14 No 3 tahun 2012. Karya Ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………...
xv
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………..
xvii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………...
xix
PENDAHULUAN Latar Belakang ……………………………………………………... Perumusan Masalah ………………………………………………... Tujuan Penelitian …………………………………………………... Manfaat Penelitian ………………………………………………….
1 7 16 17
TINJAUAN PUSTAKA Teori Sikap …………………………………………………………. Perilaku Individu …………………………………………………… Perilaku Responsif, Handal, dan Beretika Pelayanan ……….. Budaya, Budaya Organisasi dan Budaya Mutu ……………………. Manajemen Mutu Terpadu dan SMM ISO 9000 …………………. Sejarah Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 ………………… Sistem Manajemen Mutu dan ISO 9001……..………………. Perubahan Perilaku ………………………………………………… Birokrasi di Indonesia ……………………………………………… Faktor yang Berpengaruh terhadap Sikap dan Perilaku …………… Karakteristik Individu ……………………………………….. Umur …………………………………………………… Pendidikan ……………………………………………... Pendidikan Formal ……………………………….. Pendidikan Nonformal …………………………… Pengalaman …………………………………………….. Kekosmopolitan ………………………………………... Pengetahuan terhadap Sistem Manajemen Mutu ………. Status Sosial ……………………………………………. Motivasi ……………………………………………………… Motivasi Ekstrinsik …………………………………….. Motivasi Intrinsik ………………………………………. Dinamika dan Interaksi Kelompok …………………………... Kepemimpinan ……………………………………………….. Komunikasi …………………………………………………… Pendekatan Pembelajaran ……………………………………. Tinjauan Atas Penelitian Terdahulu ……………………………….
19 25 29 31 38 40 42 59 60 68 69 70 71 72 73 73 74 74 76 77 77 79 79 81 86 88 92
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir ………………………………………………….. Hipotesis Penelitian ………………………………………………...
97 101
xiii
METODE PENELITIAN Lokasi dan Disain Penelitian ………………………………………. Populasi dan Sampel ………………………………………………. Pengumpulan Data …………………………………………………. Jenis Data yang Dikumpulkan …………………………………….. Kesahihan dan Keterandalan ………………………………………. Kesahihan (validitas) ………………………………………... Keterandalan (reliabilitas) …………………………………... Pengolahan dan Analisis Data ……………………………………... Konseptualisasi dan Definisi Operasional …………………………. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Umum Daerah Penelitian ………………………………... Kondisi Geografis……………………………………………… Kondisi Perekonomian ………………………………………… Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ………………………… Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Sragen ……… Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Sidoarjo …….. Jenis Perijinan, Mekanisme dan Dampak Keberadaan BP2T …. Deskripsi Variabel-Variabel Penelitian …………………………….. Identifikasi Faktor yang Mempengaruhi Sikap Pegawai terhadap Penerapan SMM ISO 9001 dan Perilaku Pegawai pada Pelayanan Publik………………………………………………………………. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Pegawai terhadap Penerapan SMM ISO 9001 dan Perilaku Pegawai pada Pelayanan Publik ………………………………………………………………. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Pegawai terhadap Penerapan SMM ISO 9001………………………….. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pegawai pada Pelayanan Publik ………………………………………... Perilaku Budaya Mutu ……………………………………………... Model Penerapan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 yang Berkelanjutan BP2T……………………………………………. Strategi Penerapan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 yang Berkelanjutan ……………………………………………………….
103 104 106 107 108 108 109 110 113
123 123 125 127 128 131 137 145
187
190 192 214 235 238 242
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ………………………………………………………… Saran ………………………………………………………………..
253 255
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….
257
LAMPIRAN ………………………………………………………………
277
xiv
DAFTAR TABEL Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Karakteristik pembeda budaya mutu di organisasi…………………. Perbedaan ISO 9000 versi 1987 dan 1994 dengan ISO 9001 versi 2000 dan 2008………………………………………………………. Sebaran responden di dua daerah penelitian (n=96)........................... Status kepegawaian responden…………………………………… Hasil uji reliabilitas peubah penelitian dengan n=36……………….. Indikator dan parameter kepemimpinan (X1) .................................... Indikator dan parameter motivasi (X2)……………………………... Indikator dan parameter interaksi kelompok (X3) ............................. Indikator dan parameter karakteristik pegawai (X4) ......................... Indikator dan parameter pendekatan pembelajaran (X5).................... Indikator dan parameter sikap pegawai (Y1)...................................... Indikator dan parameter perilaku pegawai (Y2)................................. Penduduk di Kabupaten Sragen dan Kabupaten Sidoarjo ................. Perkembangan IPM Kabupaten Sidoarjo dan Sragen, 2008-2010….. Komposisi pegawai berdasarkan tingkat pendidikan formal ….…... Sebaran status kepegawaian………………………………………… Jenis pelayanan perijinan BP2T Kabupaten Sragen dan Sidoarjo….. Nilai kepemimpinan (X1) ………………………………………….. Nilai sub peubah kepemimpinan …………………………………… Sebaran responden berdasarkan motivasi (X2) .................................. Sebaran responden berdasarkan interaksi kelompok (X3).................. Interaksi antar kelompok (X31)dan intra di dalam kelompok (X32) . Sebaran umur responden (X41).……………………………………. Latar belakang pendidikan formal responden (X42) ………………. Sebaran pendidikan non formal yang pernah diikuti (X43) ………... Sebaran responden berdasarkan pengalaman (X44)……. ………… Tingkat kekosmopolitan responden (X45)………………………… Sebaran responden terhadap pengetahuan SMM ISO 9001 (X46)… Sebaran responden menurut status sosial (X47)…………………… Pendekatan pembelajaran di organisasi (X5) ……………………… Sikap responden terhadap penerapan SMM ISO 9001 (Y1) ….… Tanggapan responden terhadap perilaku pelayanan publik (Y2).…... Sebaran responden atas perilaku responsif (Y21)…………………. Tanggapan responden terkait perilaku handal (Y22)………………. Tanggapan responden terhadap perilaku beretika pelayanan (Y23).. Pendorong dilaksanakannya SMM ISO 9001 di BP2T …………… Kendala dalam menerapkan SMM ISO 9001 ……………………… Hasil analisis regresi sikap responden terhadap penerapan SMM ISO 9001 (n=96)……………………………………………. Dekomposisi pengaruh antar peubah model sikap dan perilaku …… Hasil analisis regresi untuk perilaku pegawai (n=96)…………….....
xv
37 46 105 105 110 114 115 116 117 119 120 121 125 128 136 136 138 145 147 153 154 155 157 158 160 162 163 165 166 169 174 180 181 183 184 185 187 193 215 216
xvi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Prochaska’s stages of change............................................................... Interaksi manusia, perilaku dan lingkungan ( Bandura,1977)............. Model Sistem Manajemen Mutu berdasarkan proses.......................... Delapan prinsip manajemen mutu ....................................................... Skema organisasi sebagai sebuah sistem ............................................ Model pendekatan pembelajaran ......................................................... Kerangka operasional: hubungan antar peubah .................................. Model Y1 : Sikap pegawai .................................................................. Model Y2: Perilaku pegawai terhadap pelayanan publik .................... Model hubungan sikap dan perilaku pegawai pada pelayanan publik……………………………………………………………… Bagan struktur organisasi BP2T Kabupaten Sragen............................ Bagan struktur organisasi BP2T Kabupaten Sidoarjo.......................... Skema bisnis proses pelayanan perijinan dan non perijinan BP2T Kabupaten Sragen............................................................................... Skema bisnis proses pelayanan perijinan BP2T Kabupaten Sidoarjo.. Diagram lintasan (jalur) sikap dan perilaku pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001.................................................................... Diagram jalur faktor-faktor yang mempengaruhi sikap pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001...................................................... Diagram jalur faktor yang mempengaruhi sikap pegawai pada penerapan SMM ISO 9001 dan perilakunya pada pelayanan publik..... Model penerapan SMM ISO 9001 yang berkelanjutan pada BP2T .... Strategi penerapan SMM ISO 9001 yang berkelanjutan pada BP2T....
xvii
23 27 47 48 55 90 102 112 113 113 131 134 140 141 191 192 218 241 243
xviii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. 2. 3.
Direktori Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (KPTSP).......... 279 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas (n=36) ................................. 287 Hasil Analisis Regresi ................................................................. 292
xix
xx
PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi dimaksudkan sebagai pelimpahan sebagian kewenangan yang dimiliki
pemerintah
pusat
kepada
pemerintahdaerah
untuk
melakukan
pengaturannya sendiri. Dengan pelimpahan kewenangan ini, diharapkan tumbuh partisipasi masyarakat dimana kebutuhan masyarakat akan semakin mudah dipenuhi dan sesuai dengan kondisi dan kekhususan masing-masing daerah. Kesempatan lebih luas untuk berpartisipasi bagi masyarakat terbuka lebar (Romli, 2007).Fakta yang memprihatinkan terkait dengan tingkat kesejahteraan rakyat yang menuruntajam menunjukkan rendahnya kinerja pemerintahan daerah di era otonomi, era di mana Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat. Untuk menghambatturunnya
tingkat kesejahteraan masyarakatdiperlukan keberanian
mengembalikan semangat Otonomi Daerah. Desentralisasi menjadi jawaban yang bisa mengarahkan kepada sukses daerah mengelola dirinya sendiri (Weber, 1947). Desentralisasi merupakan sebuah terobosan besar dalam pengelolaan politik, ekonomi, dan sosial di Indonesia. Desentralisasi membuat
daerah memiliki
peluang yang besar untuk mengembangkan potensi diri masing-masing. Kajian Harmantyo (2007) menemukan bahwa sebagai akibat dari adanya otonomi daerah,tercatat hingga tahun 2006 Indonesia telah memiliki lebih kurang 500 kabupaten dan kota dari seharusnya berjumlah sekitar 460 buah. Jumlah ideal jika menggunakan perhitungan spasial atau kewilayahan. Pertumbuhan ataupun pemekaran kota dan kabupaten rata-rata 30 Daerah Otonom setiap tahunnya. Tahun 2011, jumlah tersebut telah mencapai 533 daerah (Kemendagri, 2012). Peluang terjadinya konflik kewilayahan dan kesenjangan antar daerah menjadi semakin tinggi. Hal ini belum lagi ditambah dengan berbagai permasalahan birokrasi yang selama ini dikeluhkan. Pola penyelenggaraan pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan, antara lain: (1) kurang responsif, (2) kurang informatif, (3) kurang accessible (sulit dijangkau), (4) kurang koordinasi, (5) terlalu birokratis, (6) kurang mau mendengarkan keluhan, saran dan aspirasi masyarakat, dan (7) inefisien. Berbagai dokumen persyaratan yang diperlukan,
2
khususnya dalam pelayanan perijinan, seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diperlukan. Berbagai studi menyatakan
kelemahan utama pelayanan publik di
pemerintahdaerah adalah sumber daya manusia yang kurang profesional, memiliki kompetensi yang tidak sesuai, kurang berempati dan lemahnya etika aparat birokrasi yang menjadi ujung tombak pelayanan. Salah satu unsur utama yang sangat perlu dipertimbangkan untuk perbaikan dan peningkatan mutu layanan publik adalah masalah sistem remunerasi (penggajian) yang memadai bagi birokrasi, sehingga pungutan liar dan korupsi di tubuh birokrasi dapat dikurangi, atau dibersihkan. Permasalahan lainnya adalah birokrat tidak memberikan pelayanan berkualitas kepada para pemangku kepentingan, yakni para pelanggan internal dan eksternal organisasi, disamping masalah-masalah lain yang mendominasi. (Dwiyanto, 2003; Faozan, 2003). Kekurangmampuan pengelolaan pemerintahan tidak hanya terjadi di dalam negeri, tetapi juga terjadi
di berbagai belahan dunia lainnya sehingga
menimbulkan gagasan untuk menata ulang pemerintahan. Osborne dan Gaebler (1992) mengusulkan sepuluh prinsip sederhana dan terstruktur untuk menata ulang pemerintahan yang lebih dikenal dengan ”reinventing government”. Mereka menyampaikan
bagaimana sebuah pemerintahan dikelola dengan cara-cara
wirausaha, artinya pemerintahan dikelola dengan cara yang efisien, efektif serta tetap memperhatikan resiko-resiko yang ada. Menurut Osborne dan Gaebler, sebuah pemerintahan yang efisien dan efektif akan bisa terwujud jika pemerintah lebih baik: (1) mengarahkan daripada mengayuh, (2) memberikan kewenangan daripada melayani, (3) kompetitif dengan menyuntikkan semangat persaingan ke dalam pemberian pelayanan, (4) digerakkan oleh misi daripada oleh peraturan yang ada, (5) berorientasi kepada hasil dan bukan kepada
input, (6) berorientasi kepada pelanggan (masyarakat)
bukan kepada birokrasi, (7) mengembangkan prinsip kewirausahaan yakni berprinsip lebih baik menghasilkan daripada membelanjakan, (8) antisipatif, (9) desentralisasi, serta (10) berorientasi kepada pasar sehingga mengurangi terjadinya monopoli. Prinsip Osborne dan Gaebler tersebut telah pula menginspirasi pemerintah Indonesia dengan melakukan pembenahan di bidang
3
pemerintahan yakni dimulainya era
otonomi daerah di tahun 1999 melalui
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Upaya pembenahan di bidang pemerintahan tersebut dirasa masih terkendala oleh sikap dan perilaku pegawai dan budaya birokrasi di organisasi pemerintah yang sulit untuk berubah (Dwiyanto, 2010). Sulitnya perubahan perilaku dan budaya aparat birokrasi tidak lepas dari sejarah panjang birokrasi Indonesia sebagaimana disampaikan oleh Sinambela (2009). Sinambela menyatakan bahwa birokrasi Indonesia diawali dengan kebutuhan pemerintah Kolonial Belanda yang memerlukan tenaga sebagai kepanjangan tangan pemerintah untuk berhubungan langsung ke masyarakat. Para keturunan priyayi memiliki kesempatan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut dan mereka diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. ”Ambtenaar” atau pegawai pemerintah di masa pendudukan Belanda merupakan abdi negara. Dapat dipahami jika kemudian paradigma tersebut mengakar cukup lama di benak para abdi negara, dan pada praktek pengelolaan pemerintahan. Kondisi tersebut sulit untuk dapat mengubah perilakunya sebagai abdi negara yang harus memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagaimana
abdi masyarakat dan yang diharapkan darinya
(Dwiyanto. 2010; Suryono, 2011). Kajian Farazmand (2002) menyatakan bahwa dekade tahun 80 dan 90 merupakan waktu yang kritis bagi sektor publik dan pemerintahan. Manajemen pemerintahan menghadapi permasalahan yang serius hampir di setiap segi. Wacana anti birokrasi, anti regulasi, dan anti pemerintahtelah digantikan dengan isu-isu global, pasar bebas, privatisasi, deregulasi, penciutan (downsizing) yang semuanya menuntut adanya perbaikan mengelola
kegiatannya.
berkembangnya teknologi
Tuntutan
pelayanan dancara-cara sektor publik tersebut
sejalan
dengan
semakin
informasi yang cepat dan secara langsung telah
berpengaruh terhadap permintaan dan harapan masyarakat akan pelayanan publik yang lebih baik dan berdaya saing tinggi. Oleh karena itu, diperlukan sebuah cara baru sebagai terobosan dalam mengelola organisasi. Farazmand juga menyatakan bahwa penerapan prinsip-prinsip manajemen mutu menjadi salah satu pilihan untuk dapat meningkatkan kinerja organisasi dalam memberikan layanan publik yang lebih baik, menurunkan ketidakpuasan
4
masyarakat, serta membangun dan mengembangkan kemampuan organisasi untuk bekerja lebih efisien dan efektif. Organisasi yang bekerja secara efisien dan efektif hanya bisa terjadi jika didukung oleh sumber daya manusia yang memiliki orientasi sikap positif terhadap mutu pelayanan. Organisasi dapat menciptakan kestabilan ditempat kerja, memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan lebih baik serta meningkatkan moral pegawai. Survey yang dilakukan oleh
ISO (2009) menyatakan bahwa sistem
manajemen mutu berbasiskan standar internasional telah memberi keuntungan kepada organisasi manufaktur, jasa, pengguna, konsumen, dan regulator serta mendukung development).
terjadinya Survey
pengembangan tersebut
yang
terkait
berkelanjutan
dengan
(sustainable
penerapan
standar
SistemManajemen Mutu ISO 9001(SMM ISO 9001):2000 dimana pada akhir Desember 2008 tercatat 982.832 sertifikat ISO 9001 yang telah dikeluarkan di 176 negara. 40% sertifikat tersebut dimiliki oleh para penyedia jasa (service provider). Angka tersebut menunjukkan adanya kenaikan jumlah pengguna ISO 9001 di kalangan penyedia jasa sebesar 3% jika dibandingkan dengan angka di tahun 2007. Kajian Sampaio (2009) menyatakan bahwa jika dibandingkan antara sertifikat ISO 9001 dengan per seribu penduduk, maka Itali merupakan negara terbesar yang menerapkan ISO 9001, diikuti oleh Spanyol, Australia, Inggris, Jerman, Jepang, dan Perancis. Survey terbaru yang dikeluarkan oleh ISO terkait dengan sertifikasi ISO 9001 menyatakan bahwa pada akhir Desember 2010 terdapat 1.064.785 sertifikat ISO 9001 yang dikeluarkan atau meningkat sebesar 4% dibandingkan dengan tahun 2009 (Frost, 2011). Tahun 2010 China menjadi negara pertama yang mendapatkan sertifikat ISO 9001 terbanyak, diikuti oleh Itali dan German. Meningkatnya jumlah organisasi yang menerapkan ISO 9001 di China menunjukkan tingginya kesadaran organisasi untuk meningkatkan mutu kinerja organisasi dengan memenuhi permintaan dan persyaratan pasar dunia terhadap jaminan mutu produk. SMM ISO 9001 sebagai sebuah standar telah memperkenalkan model praktek-praktek manajemen organisasi yang baik dan berorientasi kepada pendekatan proses Plan-Do-Check-Act (PDCA) yang sistematis sehingga
5
memungkinkan organisasi swasta maupun publik mengadopsi standar tersebut. SMM ISO 9001 merupakan standar yang paling banyak diadopsi oleh organisasi di dunia. Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa penerapan SMM ISO 9001 mampu meningkatkan kinerja organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri. (Ollila,1995; Prajogo dan Sohal,1999, Stringham, 2002, Ahmad, 2001; Chu et al, 2001; Sing dan Nahra, 2006; Hafni, 2004; Sutoyo, 2006). Penelitian Ollila (1995) menemukan bahwa dampak dari penerapan SMM ISO 9001 adalah meningkatnya mutu produk dan
pelayanan sehingga meningkatkan kepuasan
pelanggan. Penelitian Simmons dan White (1999) menyatakan bahwa sertifikasi SMM ISO 9001 berdampak positif terhadap keuntungan perusahaan. Dick, et al (2002) menyatakan bahwa penerapan SMM ISO 9001 di sektor layanan jasa telah membuat perbedaan penting, khususnya terhadap bagaimana mutu diharapkan oleh pelanggan dan diukur secara berkelanjutan. Meskipun berbagai studi telah menunjukkan peran SMM ISO 9001 dalam mendorong keuntungan perusahaan, meningkatkan kinerja dan produktivitas organisasi, penerapan SMM ISO 9001 di organisasi publik masih diragukan kemanfaatannya. Pendapat lain menyatakan tidak perlunya penerapan SMM ISO 9001 di organisasi publik karena organisasi publik atau pemerintah telah memiliki mekanisme tersendiri dalam pengelolaan organisasi. Organisasi publik yang menerapkan SMM ISO 9001 dikhawatirkan akan menjadi organisasi yang mekanistis, semakin birokratis dan semakin tidak tanggap terhadap perkembangan yang terjadi di luar organisasi. Organisasi publik hanya akan menghabiskan biaya tidak sedikit untuk mendapatkan sertifikasi SMM ISO 9001 tetapi tidak diikuti dengan perubahan perilaku pegawai sebagaimana yang diharapkan. Sertifikasi juga tidak menjamin terjadinya peningkatan kinerja terkait dengan tingginya biaya yang secara eksplisit dan implisit diperlukan untuk menerapkannya (Van der Wiele dan Van Iwaarden, 2005). Terlepas dari berbagai pandangan negatif tentang SMM ISO 9001, menurut Hafni (2004) peranan sumber daya manusia sangat dominan dalam berpengaruh tidaknya penerapan SMM ISO 9001 terhadap produktivitas kerja. Kompetensi, kesadaran akan pelatihan, infrastruktur dan lingkungan kerja berpengaruh terhadap kinerja organisasi yang menerapkan SMM ISO 9001 (Sutoyo, 2006).
6
Organisasi yang menargetkan mendapatkan sertifikasi SMM ISO 9001 karena keinginan dan kesadaran sendiri memiliki kemauan dan
sikap yang positif
terhadap SMM ISO 9001 dan kinerja mereka dilaporkan meningkat. Kondisi tersebut berbeda dengan mereka yang meraih sertifikat SMM ISO 9001 karena adanya tekanan dari pelanggannya (Kaziliunas, 2010). Dampak dari salah satu prinsip SMM ISO 9001 yakni
peningkatan berkelanjutan (continous
improvement) adalah dipromosikan dan difasilitasinya budaya mutu kepada lingkungan yang semakin meluas. Peran auditor mutu sangat besar pada proses penerapan SMM ISO 9001 dan terdapat hubungan
positif antara strategi
peningkatan berkelanjutan dengan meningkatnya kinerja organisasi (Terziovski dan Power, 2007). SMM ISO 9001 juga mendapatkan perhatian di Indonesia. Menurut Paradigm Consultant (2009), terdapat 3000 organisasi di Indonesia yang menerapkan sertifikasi ISO 9001 maupun ISO 14001, baik organisasi privat maupun publik. Jumlah ini cenderung meningkat sejalan dengan berkembangnya pasar di dalam dan luar negeri. Berbagai sektor layanan telah mulai menerapkan SMM ISO 9001 sebagai upaya mereka meningkatkan kinerja organisasi. Salah satu organisasi publik yang telah menerapkan SMM ISO 9001 adalah unit pelayanan teknis di daerah yang memiliki hubungan langsung dengan masyarakat yaitu Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BP2T). Terdapat 397( 74.48%) Kantor atau Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BP2T) atau Kantor Perijinan Terpadu (KPT) dari 533 PemerintahDaerahProvinsi, Kota, dan Kabupatendi Indonesia. Dari jumlah tersebut, baru 46 BP2T atau KPT
atau 11.58% yang telah
menerapkan SMM ISO 9001. Beberapa kantor BP2T Kabupaten dan Kota yang telah menerapkan SMM ISO 9001 dilaporkan telah mampu meningkatkan kinerja organisasi, meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), meningkatnya standar pelayanan,
berubahnya
perilaku
pegawai
dalam
melayani
masyarakat,
meningkatnya Indek Kepuasan Masyarakat (IKM) serta menjadi tempat tujuan studi banding pelaksanaan pelayanan prima dari berbagai institusi pemerintah maupun swasta, di dalam dan luar negeri (Menpan, 2006).
7
Meskipun bukti empiris kemanfaatan penerapan SMM ISO 9001 telah dapat dilihat di beberapa PemerintahProvinsi,Kota,Kabupaten, bukti tersebut belum cukup kuat mendorong pemerintah daerah Provinsi, Kota, Kabupaten lainnya turut serta menerapkan SMM ISO 9001 sebagai salah satu upaya perbaikan mutu layanan publik.
Perumusan Masalah Birokrat atau aparatur publikseringkali dijuluki sebagai “abdi negara” (Yudhiantara,
2009),
karena
mereka
melaksanakan
berbagai
tugas
kemasyarakatan, pemerintahan dan pembangunan yang diselenggarakan atas nama negara. Kompleksitas
pelayanan umum yang diberikan oleh para abdi
negara memperkuat jaringan birokrasi dengan hirarki terbentang luas mulai dari pusat hingga ke pelosok-pelosok desa. Kondisi faktual di masyarakat menunjukkan bahwa berhubungan dengan birokrasi berarti berhadapan dengan sejumlah lembaga, aturan dan mekanisme yang berbelit. Masyarakat yang harus mendapatkan pelayanan oleh negara berubah menjadi pembeli jasa yang harus mengeluarkan biaya untuk mendapatkan layanan yang seharusnya diterima sebagai warga negara. Sejak kemerdekaan hingga saat ini
birokrasi di Indonesia belum
berkembang menjadi lebih efisien, tetapi justru menjadi tidak efisien dan memiliki banyak aturan formal yang tidak mudah untuk diikuti (Rozi, 2000). Birokrasi Indonesia di masa reformasi ditandai dengan tingginya pertumbuhan daerah otonomi baru, jumlah pegawai meningkat dan mekarnya struktur organisasi, sehingga struktur birokrasi semakin lama menjadi semakin besar. Model ini tetap melekat bahkan semakin membesar setelah era reformasi di tahun 1998. Warsono (2007) menyatakan bahwa tumbuh dan membesarnya birokrasi merupakan sebuah fenomena biasa mengingat bahwa semakin berkembangnya sebuah negara dengan berbagai kepentingan yang harus diurus, maka birokrasi semakin gemuk dan lamban dalam bergerak. Kondisi ini berujung kepada pengelolaan birokrasi yang tidak efisien.Di lain pihak, masa reformasi dan paska reformasi tahun 1998 telah memberikan
banyak ruang gerak kepada publik untuk melakukan tuntutan
terhadap berbagai hal yang dirasa terlalu jauh menyimpang dari inti reformasi
8
yang sebenarnya. Birokrasi dituntut untuk dapat menjawab dan mengemban tugas utamanya yakni melayani masyarakat dengan cara-cara yang efisien, terbuka, transparan dan meletakkan masyarakat sebagai subyek dan pusat berbagai kegiatan kepemerintahan. Reformasi menumbuhkan paradigma baru bagaimana sebuah pemerintahan yang baik dan bersih (good governance) dapat dijalankan. Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Pelayanan Publik Nomor 25 Tahun 2009 untuk menjadi panduan bagi pemerintahprovinsi, kota dan kabupaten maupun institusi yang bergerak di bidang pelayanan publik terkait jasa, hak dan kewajiban tiap pihak. Pelaksanaan Undang-Undang Pelayanan Publik masih menemui berbagai kendala di lapangan mengingat banyaknya aspek pelayanan publik yang ada serta kompleksitasnya di lapangan (Rasad, 2006). Undang dan peraturan menjadi tidak efektif, tumpang tindih, serta
Undangbelum
didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas. Berbagai
konsep digunakan untuk melakukan reformasi di tubuh
birokrasi. Salah satunya adalah sebagaimana
disampaikan pada Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003, yakni konsep birokrasi yang Miskin Struktur Kaya Fungsi (MSKF), terutama ditujukan untuk rasionalisasi birokrasi di lingkungan pemerintah daerah. Demikian juga dengan konsep yang terkandung pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang cenderung menggunakan model demokrasi lokal. Konsep tersebut merupakan jawaban atas perkembangan model birokrasi yang telah diterapkan di luar negeri, dengan berbagai istilah: entrepreneurial bureaucracy, reinventing government, dan good governance (Yudhiantara, 2009;
Osborne dan Gaebler, 1992). Perubahan pengelolaan
birokrasi dalam prakteknya masih sangat sulit dilakukan meskipun setelah terjadinya reformasi di tahun 1998 (Dwiyanto, 2010). Laporan tahun 1999 dari The World Competitiveness Yearbook menyatakan bahwa birokrasi Indonesia masih berada pada kelompok dengan indeks daya saing yang paling rendah dari 100 negara yang diteliti (Cullen dan Cushman, 2000). Bahkan di tahun 2008, Indonesia berada di peringkat 59 dari 60 negara
yang
disurvey (Mudrajad, 2008). Indonesia
pada tahun 2008-2009
berada pada ranking 55 dari 134 negara menurut Global Competitiveness Index(GCI), atau berada pada ranking 51 dari 55 negara menurut Institute for
9
Management Development (IMD)1. Data membaiknya perekonomian Indonesia tercermin dari meningkatnya tingkat daya saing Indonesia dimata dunia. Tingkat daya saing Indonesia menurut versi World Economic Forum yang meliputi 142 negara menurun dari nomor 40 di tahun 2010 menjadi nomor 46 di tahun 20112. Global Competitif Report (GCR) maupun laporan dari World Competitive Year Book di bulan Mei 2010 menyatakan meningkatnya daya saing Indonesia 3. GCR melaporkan bahwa tahun 2011 daya saing Indonesia berada di peringkat 44 dari 139 negara, meningkat 10 peringkat. Meningkatnya daya saing dihitung pada tingkat ekonomi makro. Sedangkan infrastruktur lain masih dalam kondisi minus (listrik, infrastruktur, pendidikan, kesehatan, inovasi dan riset). Hasil penelitian Universitas Gajah Mada (UGM) di tiga Provinsi pada tahun 2000 menyatakan bahwa kinerja birokrasi utamanya dalam pelayanan publik masih sangat buruk disebabkan karena budaya paternalistik (Dwiyanto, 2003). Sedangkan kajian politik dan resiko ekonomi di 14 negara di tahun 2001 menyatakan adanya indikasi kinerja birokrasi Indonesia makin buruk dan korupsi yang belum dapat dikurangi intensitasnya. Hasil survey yang dilakukan oleh Koalisi Global Transparansi Internasional dan disampaikan pada tahun 2007 menyatakan bahwa Indonesia termasuk salah satu dari 38 negara dengan indeks korupsi 2.3 (buruk). Negara paling bersih adalah Selandia Baru, Finlandia dan Denmark. Kajian Darwanto (2011) menyatakan adanya lima besar permasalahan mendasar yang harus dipertimbangkan para investor ketika akan melakukan bisnis di Indonesia. Ke lima faktor tersebut adalah (1) korupsi, (2) birokrasi yang tidak transparan dan berbelit, (3) situasi politik yang tidak stabil, (4) lemahnya pemerintahan dan (5) SDM yang kurang memiliki kualifikasi yang diharapkan. Widodo (2005) menyatakan bahwa birokrasi Indonesia mengidap penyakit “autisme” dengan gejala: (1) adanya kecenderungan mempertahankan kebiasaan yang sudah mapan sehingga sulit untuk mengadakan perubahan, (2) sulit menerima konsep-konsep pembaharuan apalagi jika konsep pembaharuan tersebut berasal dari pihak lain, serta (3) birokrasi hanya meniru berbagai konsep
1
www.setneg.go.id, Rencana Pembangunan Indonesia ke Depan dan Tantangannya, 6 Mei 2009 (www.bappenas.go.id). 3 Laporan World Competitive Year Book menyatakan Indonesia di posisi 35 di tahun 2010, 2009 di posisi 42, dan tahun 2008 di posisi 51. 2
10
perubahan yang ada (reinventing government, clean dan good governance) tetapi belum memberikan hasil signifikan. Diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004 dimana kemudian terbentuk pemerintah daerah provinsi, kota dan kabupaten, berimplikasi pada semakin tingginya tuntutan masyarakat atas peran pemerintah daerah dalam pemberian pelayanan langsung kepada masyarakat. Pemerintah daerah berperan sebagai
penyelenggara pelayanan publik terdepan kepada
masyarakat. Pemerintah daerah dituntut kemampuannya untuk senantiasa meningkatkan kualitas layanan dan mampu menetapkan standar pelayanan berdimensi luas. Cakupan dimensi tersebut terutama meliputi dimensi lingkungan hidup, yakni menjaga kualitas hidup, serta melindungi dan mensejahterakan masyarakat. Pemerintah daerah dituntut untuk memberikan kualitas pelayanan prima dan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan menjaga mutu pelayanan publik, maka Pemerintah telah menjamin hak-hak asasi warga negara (Fernandes, et al. 2002 dalam Priyono, 2006) Pemberian pelayanan publik kepada masyarakat merupakan kegiatan pelayanan
yang
dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai
upaya memenuhi kebutuhan (barang dan jasa)
maupun sebagai pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Bentuk pelayanan yang diterapkan di lapangan adalah wujud dari proses pemerintah dalam mengambil keputusan. Pelayanan publik yang diberikan pemerintah mencakup segala bidang kehidupan masyarakat seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, transportasi, kesehatan, dan kependudukan dengan mengikutsertakan keterlibatan masyarakat sebagaimana diatur oleh Undang Undang tentang Pelayanan Publik Nomor 25 Tahun 2009. Pemberian pelayanan kepada masyarakat pada umumnya menganut prinsip fungsionalisasi dimana setiap instansi pemerintah berperan sebagai penanggung jawab utama atas terselenggaranya fungsi tertentu. Oleh karena itu diperlukan koordinasi dengan instansi lain. Setiap instansi pemerintah memiliki kelompok pelanggan (clientele groups) yaitu masyarakat. Kepuasan kelompok pelanggan inilah yang harus dijamin oleh birokrasi pemerintahan (Sinambela, 2006).
11
Konsep pelayanan prima menjadi model yang banyak diterapkan pemerintah daerah untuk meningkatkan mutu pelayanan publik. Tujuan dilaksanakannya pelayanan prima adalah kepuasan masyarakat pengguna layanan. (Sedarmayanti, 2004). Salah satu pola pelayanan prima yang telah diterapkan oleh pemerintah daerah adalah pelayanan satu atap atau satu pintu, yaitu pola pelayanan publik yang dilakukan secara terpadu pada suatu tempat (kantor) tertentu oleh beberapa instansi pemerintah (Unit Pelaksana Teknis Daerah atau yang sejenis) sesuai dengan kewenangan masing-masing (LAN, 1998). Kepala daerah (provinsi, kabupaten dan kota) berdasarkan Pedoman Penyusunan
Standar
Pelayanan
Publik
Nomor
Per/20/M.PAN/7/2006
berkewajiban menetapkan standar pelayanan publik di daerahnya. Standar Pelayanan Publik (SPP) meliputi unit penyelenggara, komponen (jenis layanan, persyaratan, prosedur, biaya, waktu layanan, dan dasar hukum penyelenggaraan pelayanan), serta ruang lingkup layanan (perijinan dan non perijinan). Priyono (2006) menyatakan bahwa strategi pemberian pelayanan prima kepada masyarakat bukan hal baru. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya model-model pelayanan pembayaran pajak kendaraan bermotor yang melibatkan beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD) seperti: Dinas Pendapatan Daerah, Kepolisian dan Jasa Raharja. Strategi penerapan pelayanan satu atap atau satu pintu secara terpadu adalah dengan meminimalkan jarak antar instansi pengelola pelayanan dan efektifitas koordinasi diantara unit-unit pelayanan tersebut. Pengguna layanan menjadi lebih mudah dalam mendapatkan pelayanan yang diinginkan, baik dari segi waktu maupun biaya yang harus dikeluarkan. Penerapan unit pelayanan terpadu kemudian diperluas ke unit-unit pelayanan lainnya, baik yang terkait dengan perijinan maupun non-perijinan. Kunci keberhasilan unit pelayanan terpadu dalam memberikan pelayanan prima terletak pada sumber daya manusia pendukung. Diperlukan SDM yang memiliki kompetensi yang relevan dengan bidang-bidang pelayanan yang dikelola. Semakin tinggi relevansi kompetensi SDM, terutama di lini terdepan dari layanan terpadu, semakin tinggi pula efektifitas layanan. Meskipun demikian, Priyono (2006) lebih lanjut menyatakan, bahwa kualitas SDM yang tinggi belum cukup mendukung penyampaian pelayanan prima kepada
12
masyarakat. Masih diperlukan seperangkat dukungan yakni fasilitas dan peralatan fisik yang memadai, disamping dukungan lain berupa sistem insentif dan faktorfaktor lain yang mendukung. Penelitian Ridwan (2008) menyatakan bahwa keberadaan Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BP2T) Kabupaten Sragen dalam pemberian layanan satu atap memberikan dampak berantai yang sangat signifikan, antara lain: meningkatnya investasi, terjadinya
penyerapan tenaga kerja di sektor industri, terjadinya
peningkatan perusahaan yang memiliki perijinan, peningkatan potensi fiskal, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan peningkatan pertumbuhan ekonomi, meskipun masih banyak terkendala oleh berbagai hambatan. Hambatan paling utama adalah: (1) sistem yang berlaku masih belum mengaitkan secara langsung antara prestasi kerja pegawai dengan perkembangan karir, (2) sistem telah mengatasi hal-hal yang bersifat teknis manajerial, tetapi belum membenahi hal-hal yang bersifat strategis kebijakan, (3) sistem manajemen belum disosialisasikan ke seluruh masyarakat sehingga masih banyak masyarakat yang belum mengetahui sistem dan prosedur yang harus diikuti. Permasalahan paling mendasar yang dihadapi saat ini adalah mutu pelayanan publik di era otonomi daerah yang belum dapat meningkat secara signifikan dengan peningkatan pendapatan daerah dan beban masyarakat. Otonomi daerah belum secara optimal meningkatkan mutu layanan publik karena belum berhasil mewujudkan sistem administrasi yang memberikan kesetaraan antara pemberi layanan (pemerintah daerah) dengan masyarakat yang dilayani (Priyono, 2006). Sebagian besar pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota bahkan belum mampu memberikan pelayanan publik dengan kualitas standar pelayanan minimum sekalipun. Dilain pihak, masyarakat tampaknya belum memahami secara pasti standar pelayanan yang seharusnya diterima sesuai dengan prosedur pelayanan publik yang dibakukan (Dwiyanto, 2010). Strategi pelayanan prima sebagaimana diterapkan oleh beberapa pemerintah daerah sebagai upaya pelaksanaan Undang-Undang Pelayanan Publik Nomor 25 Tahun 2009 belum dapat dipenuhi oleh pemerintah daerah dalam waktu yang pendek. Dalam banyak kasus, manfaat pelayanan publik baru terlihat dampaknya
13
setelah beberapa tahun kemudian, misalnya dalam hal pelestarian sumber daya alam dan lingkungan.Pelayanan publik menjadi tanggung jawab pemerintah. Jaminan mutu pelayanan publik yang diterima masyarakat merupakan akuntabilitas dari pejabat publik yang
dipilih langsung oleh rakyat dan
mendapatkan imbalan dari hasil-hasil pajak dan pendapatan negara lainya (Widodo, 2005). Terdapat tiga unsur yang saling terkait dalam pelayanan publik: (1) Pemerintah daerah sebagai lembaga pelayanan, (2) lembaga perwakilan rakyat sebagai pengambil keputusan, dan (3) masyarakat sebagai penerima layanan. Ketiga unsur ini saling mempengaruhi dalam posisi setara untuk mempengaruhi mutu pelayanan publik (Fernandes, 2002). Kelemahan pada salah satu unsur tersebut akan mempengaruhi kinerja pada unsur yang lainnya. Masyarakat sebagai pengguna layanan berperan dalam
menyampaikan tuntutan,
harapan serta
kepuasan mereka terhadap pelayanan yang diterimanya.. Keinginan masyarakat semestinya menjadi masukan dalam pembuatan kebijakan pelayanan publik. Dinas, instansi teknis daerah sebagai ujung tombak pelayanan publik seharusnya bersifat transparan, tidak diskriminatif, mudah dijangkau, melaksanakan dengan proses yang tidak berbelit-belit serta dapat dipertanggungjawabkan. Termasuk diantaranya adalah bagaimana dinas dan instansi pemberi layanan merespon setiap keluhan masyarakat sebagai pengguna jasa. Pelayanan prima yang diterapkan beberapa organisasi sebagai strategi untuk memberikan pelayanan yang bermutu diharapkan akan menjadi penggerak utama pencapaian tujuan organisasi (Lovelock, 1992). Pelayanan prima berorientasi kepada kepuasan pelanggan. Profesionalisme menjadi kunci strategi pelayanan prima dimana
sumber daya manusia (SDM) menjadi kunci keberhasilan
(Suryono, 2011). Strategi pelayanan prima berjalan baik jika didukung dengan SDM yang memiliki kompetensi relevan dengan bidang-bidang pelayanan yang dikelola. Disinilah permasalahan yang dihadapi oleh Unit Pelaksana Teknis Pemerintah Daerah (UPTD). Pemahaman pegawai atas tingkat profesionalisme aparat birokrasi pemerintah yang seharusnya dipenuhi masih jauh dari yang seharusnya.
Implikasi
dari
kurangnya
profesionalisme
pegawai
adalah
dihasilkannya mutu pelayanan publik yang jauh dari harapan masyarakat. Sikap
14
dan perilaku pegawai di lingkungan birokrasi belum berubah cukup signifikan meskipun era reformasi telah berjalan lebih dari sepuluh tahun lamanya. Sikap dan perilaku SDM dan perubahannya menurut Notoatmodjo (2010) dipengaruhi oleh faktor-faktor pendorong (driving forces) yang berasal dari luar individu selain faktor-faktor lainnya yang berasal dari dalam individu. Sejarah panjang dalam pengelolaan birokrasi pemerintah yang sentralistik masih belum sepenuhnya berubah termasuk dalam sistem penerimaan pegawai. Isu-isu kolusi dan nepotisme masih terus berlangsung dan kompetensi SDM yang sesuai dengan jabatan serta prestasi kerja masih belum mendapatkan prioritas yang sesungguhnya. Penerapan strategi pelayanan prima terkendala oleh kualitas SDM, tidak hanya dari sisi kemampuan dan kompetensi tidak memadai, tetapi juga sikap dan perilaku SDM di lini terdepan layanan (Priyono, 2006; Dwiyanto, 2010, Faozan, 2003). Perubahan sikap dan perilaku pegawai di lini terdepan pelayanan publik dilakukan dengan berbagai upaya. Upaya-upaya peningkatan mutu pelayanan publik telah banyak dilakukan oleh berbagai pemerintahan di daerah, baik kabupaten maupun kota. Tidak cukup hanya dengan memperbaiki struktur kelembagaan dan sistem insentifnya, tetapi juga di dalam penataan proses pelayanan yang diberikan. Pengalaman beberapa organisasi pemerintah dalam menerapkan SMM ISO 9001 ternyata telah mampu mengubah perilaku pegawai dan sekaligus meningkatkan kinerja organisasi (Ferreira dan Diniz, 2004,Stringham, 2004). Temuan mereka mengubah anggapan bahwa SMM ISO 9001 hanya cocok untuk diterapkan di organisasi swasta. Penerapan Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001
memberikan
panduan praktek manajemen yang baik dengan pendekatan PDCA (Plan-DoCheck-Act)s ehingga memungkinkan organisasi mengatur ketentuan-ketentuan pelayanan publiknya dilaksanakan dengan baik. Penerapan SMM ISO 9001 adalah sebuah perbaikan proses pelayanan publik di segala lini sehingga memerlukan waktu panjang. Berbagai penelitian menyatakan manfaat dampak positif penerapan SMM ISO 9001 terhadap kinerja organisasi (Ahmad, 2001; Chu et al, 2001; Sing dan Nahra, 2006; Hafni, 2004; Sutoyo, 2006, Ollila, 1995; Simmons dan White, 1999). Lebih lanjut dikatakan bahwa penerapan SMM ISO 9001 bermanfaat dari segi efisiensi, yakni terhadap kepuasan pelanggan. SMM
15
ISO 9001 menjadi alat bantu personil dalam mencapai kinerja organisasi yang semakin efisien dan efektif. Di Indonesia, beberapa pemerintah provinsi,kota dan kabupaten saat ini telah menerapkan SMM ISO 9001 dan dianggap berhasil memperbaiki kinerja pelayanan publiknya, yaitu: Kabupaten Solok, Kabupaten Sragen, Kabupaten Sidoarjo, Kota Pare-Pare, Kabupaten Jembrana dan Kota Cimahi. Pemerintah kota dan kabupaten tersebut telah mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) beberapa tahun terakhir serta menjadi daerah yang diminati investor untuk menanamkan modal (Menpan, 2006). Tidak hanya itu, keberhasilan mereka telah pula mengubah konsepsi tentang pelayanan publik yang bermutu dengan meningkatnya
keterlibatan masyarakat dan menyebarnya sikap kesadaran
terhadap informasi. Pemanfaatan teknologi informasi yang tinggi untuk mendukung pemberian pelayanan kepada masyarakat telah memberi dampak terhadap transparansi informasi di kalangan masyarakat dengan jangkauan yang lebih luas (Sinombor et al, 2009). Keberhasilan pemerintah daerah tersebut menarik minat pemerintah kota dan kabupaten lain untuk mengikuti jejaknya dengan menerapkan SMM ISO 9001 pada beberapa UPTD, khususnya unit pelayanan terpadu satu pintu atau satu atap. Meskipun demikian, dibandingkan dengan jumlah pemerintah kota dan kabupaten yang ada, jumlah tersebut belum cukup signifikan untuk membuat perubahan mutu pelayanan kepada masyarakat. Beberapa organisasi publik bahkan gagal mempertahankan sertifikasi SMM ISO 9001 dengan berbagai alasan (Karya, 2007). Menjadi pertanyaan dalam penelitian ini, mengapa penerapan SMM ISO 9001 ini tidak menjadi program nasional? Apakah SMM ISO 9001 di Indonesia hanya cocok untuk organisasi swasta dan bukan organisasi publik? Mungkinkah SMM ISO 9001 yang diterapkan untuk memperbaiki
pengelolaan organisasi
terkendala oleh berbagai faktor? Faktor apa yang membuat suatu pemerintah kota atau kabupaten berhasil menerapkan SMM ISO 9001? Sementara pemerintah daerah lainnya masih belum tertarik untuk menerapkannya? Selanjutnya, bagaimana sikap dan perilaku pegawai tersebut terhadap penerapan SMM ISO 9001 dan bagaimana pengaruhnya terhadap kinerja organisasi, terhadap
16
terbentuknya budaya mutu
dan dampaknya terhadap masyarakat? Benarkah
penerapan SMM ISO 9001 telah mampu mengubah sikap dan perilaku pegawai pemerintah daerah, sebagai individu dan kelompok,
kearah perilaku budaya
mutu? Bagaimana model dan strategi yang harus dikembangkan untuk menjaga keberlangsungan penerapan SMM ISO 9001 tersebut ketika standar, apakah standar produk ataupun standar manajemen masih bersifat sukarela (voluntary), dan bukan bersifat sebuah pemaksaan atau kewajiban (mandatory)? Berdasarkan atas fenomena yang diuraikan diatas, terdapat beberapa permasalahan yang perlu dijawab sebagai pertanyaan pokok dalam penelitian ini (research questions) adalah sebagai berikut: (1) Faktor-faktor
apakah
yang
mempengaruhi
sikap
pegawai
dalam
menerapkan SMM ISO 9001dan perilaku pegawai pada pelayanan publik? (2) Faktor dominan apakah yang berpengaruh pada sikap pegawai dalam penerapan SMM ISO 9001dan perilakunya pada pelayanan publik? (3) Bagaimana bentuk budaya mutu di pemerintah kota atau kabupaten? (4) Bagaimanakah model penerapan SMM ISO 9001 yang dapat berlangsung secara keberlanjutan di BP2T? (5) Strategi apa yang perlu dilakukan agar model penerapan SMM ISO 9001 dapat dijalankan berdasarkan kepada temuan di lapangan? Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini untuk mengetahui sikap pegawai pada penerapan SMM ISO 9001 dan perilaku pegawai pada pelayanan publik. Tujuan khusus penelitian ini adalah: (1) Mengidentifikasi dan menganalisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sikap pegawai pada
penerapan SMM ISO 9001 dan
perilakunya pada pelayanan publik di pemerintah daerah. (2) Menganalisis faktor dominan yang mempengaruhi sikap pegawai pada penerapan SMM ISO 9001 dan perilakunya pada pelayanan publik di pemerintah daerah. (3) Mengetahui budaya mutu yang terbentuk di daerah penelitian.
17
(4) Merumuskan berkelanjutan
model
penerapan SMM ISO 9001 yang
pada pemerintah daerah (system sustainability),
khususnya dalam konteks pelayanan publik. (5) Menyusun
strategi untuk mengaktualisasikan model
penerapan
SMM ISO 9001 yang berkelanjutan (system sustainability).
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan mampu memberikan pengayaan teoritis maupun praktis terhadap sikap dan perilaku pegawai pada penerapan SMM ISO 9001. Pada bidang keilmuan atau teoritis, penelitian ini berguna untuk: 1. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu-ilmu perilaku terapan (applied behavioral science) terkait dengan penerapan SMM ISO 9001 dan implikasinya kepada perilaku pegawai pada pelayanan publik. 2. Memperkaya khasanah keilmuan tentang proses penerapan SMM ISO 9001 di organisasi publik dan budaya mutu yang terjadi, khususnya di pemerintah daerah di Indonesia. 3. Memberikan informasi bagi penelitian yang serupa agar dapat melakukan penyempurnaan demi kemajuan ilmu pengetahuan tentang sikap dan perilaku pegawai di lingkungan organisasi publik, serta kinerja pegawai
dalam
memenuhi harapan masyarakat akan layanan publik yang berkualitas khususnya dengan penerapan SMM ISO 9001. Secara praktispenelitian ini berguna untuk: 1. Informasi penting bagi para pengambil kebijakan yang berkeinginan menerapkan SMM ISO 9001. Dengan memperhatikan faktor penentu keberhasilan penerapan SMM ISO 9001 maka diharapkan mereka dapat merumuskan dan mendesain model penerapan SMM ISO 9001 yang lebih efisien, efektif dan bermanfaat bagi organisasinya. 2. Contoh strategi pemerintah daerah khususnya dan organisasi publik pada umumnya dalam menerapkan SMM ISO 9001 untuk pengembangan model pelayanan prima yang berstandar internasional. 3. Menjadi alat ukur atau instrumen bagi pemerintah pusat, baik Kementerian Dalam Negeri maupun Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. SMM
18
ISO 9001 dapat dipertimbangkan sebagai alat bantu untuk mengevaluasi kinerja organisasi publik khususnya yang terkait dengan kebijakan pengembangan dan pemekaran daerah baru.
TINJAUAN PUSTAKA Teori Sikap
Sikap adalah kesadaran individu yang menentukannya melakukan perbuatan secara nyata dalam kegiatan-kegiatan sosial dalam masyarakat (Ahmadi, 2007). Sedangkan Thurstone (1946) sebagaimana dikutip Ahmadi, menyatakan sikap sebagai tingkat kecenderungan yang bersifat positif atau negatif yang berhubungan dengan obyek psikologi: simbol, kata-kata, slogan, orang, lembaga, ide, dan sebagainya. Dikatakan sebagai bersikap positif apabila yang bersangkutan menyukai sesuatu dan sebaliknya dikatakan sikap yang negatif bila yang bersangkutan tidak menyukai sesuatu (dislike). Sikap, menurut Warnaen (2002) adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku tertentu, sehingga sikap bukan hanya kondisi internal psikologis yang murni dari individu (purely psychic inner state), tetapi sikap lebih merupakan proses kesadaran yang sifatnya individual. Artinya proses ini terjadi secara subjektif dan unik pada diri setiap individu. Keunikan ini dapat terjadi oleh adanya perbedaan individual yang berasal dari nilai-nilai dan norma yang ingin dipertahankan dan dikelola oleh individu. Thurstone & Chave (Mitchell, 1990) mengemukakan definisi sikap sebagai: “The sum total of a man’s inclination and feelings, prejudice or bias,preconceived notions, ideas, fears, threats, and convictions about anyspecific topic (hal. 532) Sikap adalah keseluruhan dari kecenderungan dan perasaan, curiga atau bias,asumsi-asumsi, ide-ide, ketakutan-ketakutan, tantangan-tantangan, dan keyakinan-keyakinan manusia mengenai topik tertentu. Pendapat ini berbeda dengan Thomas & Znaniecki (1920) yang berpendapat bahwa sikap tidak sematamata ditentukan oleh aspek internal psikologis individu melainkan melibatkan juga nilai-nilai yang dibawa dari kelompoknya.Thurstone lebih spesifik menunjukkan faktor yang menentukan sikap seseorang terhadap sesuatu obyek sikap (specific topic). Pendapat Allport sebagaimana dikutip Ramdhani (2008) mengenai sikap lebih memperkaya pandangan yang dikemukakan sebelumnya. Menurut Allport sikap adalah:
20
A mental and neural state of readiness, organised through experience,excerting a directive and dynamic influence upon the individual’s response to all objects and situations with which it is related (1935:810). Sikap adalah kondisi mental dan neural yang diperoleh dari pengalaman, yang mengarahkan dan secara dinamis mempengaruhi respon-respon individu terhadap semua objek dan situasi yang terkait. Krech & Crutchfield(1948) sebagaimana dalam Ramdhani (2008) menyatakan tentang komponen sebagai: pengorganisasian yang relative berlangsung lama dari proses motivasi, persepsi dan kognitif yang relatif menetap pada diri individu dalam berhubungan dengan aspek kehidupannya. Sikap individu ini dapat diketahui dari beberapa proses, diantaranya:(1) motivasi, (2) emosi, (3) persepsi dan (4) proses kognitif yang terjadi pada diri individu secara konsisten dalam berhubungan dengan obyek sikap. Konsistensi ini sangat ditekankan oleh Campbel dalam Ramdhani (2008) yang mengemukakan bahwa sikap adalah “A syndrome of response consistence withregard to social objects”. Artinya, sikap adalah sekumpulan respon yang konsisten terhadap obyek sosial. Penekanan konsistensi respon ini memberikan muatan emosional pada definisi yang dikemukakan Campbell tersebut. Sikap tidak hanya kecenderungan merespon yang diperoleh dari pengalaman tetapi sikap respon tersebut harus konsisten. Pengalaman memberikan kesempatan pada individu untuk belajar. Aiken (1970) dalam Ramdhani (2008) menambahkan bahwa: sikap adalah kecenderungan yang dipelajari dari seorang individu untuk merespon secara positif atau negatif dengan intensitas sedang dan atau memadai terhadap obyek, situasi, konsep, atau orang lain..Kecenderungan yang diarahkan terhadap obyek diperoleh dari proses belajar. Definisi tersebut secara konsisten menempatkan sikap sebagai kecenderungan atau tendensi yang menentukan respon individu terhadap suatu obyek. Tendensi ini diperoleh individu dari proses belajar, sedangkan obyek sikap dapat berupa benda, situasi, dan orang. Pendapat yang agak berbeda dengan pendapat yang dikemukakan sebelumnya diajukan oleh Triandis (1971) yang menyatakan bahwa sikap adalah: “an idea charged with emotion which predisposes a class of actions to a particular class of social situation “ (1971:2).
21
Sikap adalah ide yang berkaitan dengan emosi yang mendorong dilakukannya tindakan-tindakan tertentu dalam suatu situasi sosial. Pendapat dan sikap seseorang tidak bisa dilepaskan dari dimana ia bekerja, etnis, kelas sosial dan sejarah. Cara berpikir seseorang dimana ia bekerja.
akan
sangat berbeda-beda tergantung
Artinya sifat pekerjaan sangat mempengaruhi seseorang
bersikap. Etnisitas sangat mempengaruhi seseorang dalam memandang orang lain (Warnaen, 2002). Kelas sosial ekonomi juga mempengaruhi bagaimana seseorang berpendapat dan bersikap, sedangkan sejarah akan mengubah cara pandang atau sikap seseorang. Artinya, berdasarkan sejarah pula sikap seseorang akan berubah sepanjang waktu. Sikap bukan sesuatu yang tetap. Sikap timbul
karena adanya stimulus
atau adanya
rangsangan.
Terbentuknya sikap dipengaruhi oleh adanya perangsang di lingkungan sosial dan kebudayaannya. Keluarga, norma, adat-istiadat, agama bersama-sama membentuk sikap individu. Sikap individu berkembang sejalan dengan perkembangan biologisnya serta lingkungan dimana ia berada, meskipun sikap tidak selalu berujung kepada perbuatan. Sikap yang berujung kepada perbuatan inilah yang disebut sebagai perilaku. Sikap tidak akan terbentuk tanpa adanya interaksi dengan manusia lain ataupun dengan obyek lainnya. Ahmadi (2007) menyatakan adanya dua faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sikap seseorang: (1)faktor internal, dan (2) faktor eksternal. Faktor internal berupa daya pilih seseorang untuk menerima dan mengolah pengaruh dari luar yang biasanya disesuaikan dengan motivasi, sikap dan perhatian yang menjadi minatnya. Sedangkan faktor eksternal berupa interaksi sosial di luar kelompok, antara manusia dengan hasil-hasil kebudayaan, misalnya interaksinya dengan peralatan komunikasi. Sikap dapat diubah atau dibentuk jika terdapat hubungan timbal
balik yang langsung antara manusia serta adanya
komunikasi langsung dari satu pihak ke pihak lainnya. Oskamp (1991) dalam Ahmadi (2007) mengemukakan bahwa sikap dipengaruhi oleh proses evaluatif yang dilakukan individu. Oleh karena itu, mempelajari
sikap
berarti
perlu
juga
mempelajari
faktor-faktor
yang
mempengaruhi proses evaluatif yaitu: (1) faktor-faktor genetik dan fisiologik. Sebagaimana dikemukakan bahwa sikap dapat dipelajari. Meskipun demikian,
22
individu membawa ciri sifat tertentu yang menentukan arah perkembangan sikap ini. Di lain pihak, faktor fisiologik juga memainkan peran penting dalam pembentukan sikap melalui kondisi-kondisi fisiologik, misalnya usia, atau sakit sehingga harus mengkonsumsi obat tertentu; (2) pengalaman personal. Faktor lain yang sangat menentukan pembentukan sikap adalah pengalaman personal yang berkaitan dengan sikap
tertentu. Pengalaman personal yang langsung
dialami memberikan pengaruh yang lebih kuat daripada pengalaman yang tidak langsung. Menurut Oskamp terdapat lima aspek yang secara khusus memberi sumbangan dalam membentuk sikap:(1) peristiwa yang memberikan kesan kuat pada individu (salient incident), yaitu peristiwa traumatik yang merubah secara drastis kehidupan individu, (2) munculnya objek secara berulang-ulang (repeated exposure), (3) pengaruh orang tua yang sangat besar terhadap kehidupan anakanaknya. Sikap orang tua akan dijadikan role model bagi anak-anaknya, (4) kelompok sebaya atau kelompok masyarakat memberi pengaruh kepada individu, (5) media massa adalah media yang hadir di tengah-tengah masyarakat. Sejalan dengan Oskamp, Warner dan De Fleur menyatakan bahwa pembentukan dan perubahan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Lingkungan terdekat dalam kehidupan sehari-hari banyak memiliki peranan. Terdapat tiga pola hubungan antara sikap dan perilaku sebagaimana hasil penelitian Warner dan De Fleur di tahun 1969 (Akhmadi,2007) yakni: (1) postulat keajegan (consistency), yakni adanya hubungan langsung antara sikap dan tingkah laku, yaitu mereka secara konsisten menunjukkan adanya hubungan yang positif antara sikap dengan tingkah laku, (2) pola ketidakajegan (inconsistency) yang menyatakan adanya ketidakkonsistenan antara sikap dan perilaku individu, serta (3) pola konsistensi kontingen (keajegan yang tidak tentu). Pada pola konsistensi,
sikap dan perilaku seseorang dipengaruhi dan
tergantung kepada situasi tertentu atau yang disebut sebagai variabel antara, yakni: batasan sosial (social constraint), jarak sosial (social distance), faktor personal dan situasional (situational and personality factors), keyakinan yang beragam versus keyakinan tidak beragam (multiple beliefs versus single beliefs), serta faktor-faktor sosial (social factors). Sikap baru akan mempengaruhi tingkah laku setelah melalui variabel antara tersebut (Allen, Guy dan Edgley, 1980: dalam
23
Ahmadi, 2007). Perubahan sikap melalui beberapa tahapan digambarkan Prochaska ke dalam lima
tahapan
perubahan, yang dikenal
sebagai
“Prochaska’s Stages of Change”sebagaimana pada Gambar 1.
Maintenance Action Preparatio n Contemplation Precontemplation - Consciousness raising - Dramatic relief - Environmental reevaluation
- Selfreevaluation - Value clarification - Contact and discussion - Guided imagery
Use of mass media, motivational interviewing techniques, and other methods
- Using and fostering Self and social support social and caring liberation relationship - Contingency management - Counter conditioning
- Continue positive reinforcement and social support - Stimulus control - Maintain selfefficacy
Skill building, social support through small groups, and other methods
Gambar 1 Prochaska’s Stages of Change Sumber:http://barrieranalysisi.fhi.net/what_is/prochaskas_diagram,[ 30/05/09] Proses dan aktivitas yang bisa dikembangkan pada setiap tahapan perubahan sikap dimulai dengan: (1) Pre-contemplation. Pada tahap ini muncul adanya kesadaran
yang
ditumbuhkan
oleh
adanya
pendidikan
publik
dengan
menggunakan media masa, ataupun kelompok kecil. Bangkitnya kesadaran akan diikuti dengan dramatic relief, satu kegiatan untuk menurunkan tingkat keraguraguan serta berbagai sikap negatif melalui bermain peran (role playing), pengakuan (testimony) dan berbagai aktivitas kelompok lainnya. Mengevaluasi ulang terhadap lingkungan dilakukan setelah kedua proses tersebut dilalui. Bagaimana kegiatan seseorang akan mempengaruhi orang lain melalui diskusi
24
yang terarah dengan anggota keluarga, pengakuan, ataupun dengan model penceritaan tertentu. (2) Contemplation, dimana individu melakukan apa yang disebut sebagai mengevaluasi ulang terhadap diri sendiri. Mengevaluasi terhadap pandangan diri dapat
melalui berbagai aktivitas: kontak dan diskusi dengan
contoh model (role model) lain, atau bahkan dengan cara membuat imajinasi terhadap diri sendiri pada situasi yang baru; (3) Tahap persiapan (preparation), dimana mulai terjadi adanya kebebasan diri dan sosial (self and social liberation). Pada tahap ini muncul satu kepercayaan bahwa seseorang dapat berubah dan berkomitmen untuk berubah, serta menciptakan lingkungan sosial untuk perubahan dengan cara mengubah norma-norma dalam komunitasnya yang cocok untuk perubahan, menarik perhatian mereka yang berkomitmen untuk berubah dan bahkan mengorganisasi satu cara yang dapat mendorong tumbuhnya komitmen bersama (public commitments); (4) Tindakan (action) dilaksanakan dengan menggunakan
yang
dukungan sosial dan hubungan saling
menjaga (caring relationship) melalui mitra bestari
(peer group). Langkah-
langkah yang positif individu didorong menuju satu perilaku yang diinginkan, misalnya: komitmen, dan
memberikan penghargaan kepada kelompok. Pada
tahap ini pula seseorang belajar untuk berperilaku yang sehat dalam menyelesaikan permasalahan perilaku, atau yang disebut sebagai counter conditioning; (5) Menjaga perilaku (maintenance), yakni meneruskan dorongan positif dan dukungan sosial yang telah ada melalui berbagai cara: dukungan sosial dari kelompok yang secara terus menerus, dan mengintegrasikan sistem penghargaan (reward dan recoqnition) untuk menjaga komitmen. Pada saat yang sama, disingkirkan pemicu untuk perilaku yang tidak sehat dan
menjaga
kemanjuran sendiri (self-efficacy) dengan cara mengelola kepercayaan diri untuk melawan godaan melalui diskusi secara berkala dan
membuat sistem yang
dapat dipercaya. Menurut Winardi (2009), sikap merupakan determinan dari perilaku karena adanya keterkaitan antara persepsi, kepribadian dan motivasi. Berdasarkan anggapan tersebut maka implikasi bagi seorang manajer adalah bahwa sikap seharusnya dipelajari karena sikap akan menentukan predisposisi seseorang terhadap aspek-aspek tertentu. Sikap juga memberikan landasan emosional dan
25
hubungan antar pribadi seseorang dengan identifikasi dari pihak lain. Sikap juga diorganisasikan sehingga memiliki kedekatan
dengan
kepribadian
seseorang. Menurut Winardi pula sikap ada yang menetap, tetapi sikap dapat mengalami perubahan karena sikap merupakan bagian intrinsik dari kepribadian seseorang. Sikap dapat diukur dengan menggunakan dua cara: langsung dan tidak langsung. Untuk mengukur sikap secara langsung dikenal adanya 3 skala yang telah dikembangkan: (1) Skala Thurstone (skala pendapat), (2) Skala Likert yang mengukur sikap berdasarkan rata-rata jawaban, serta (3) Skala Bogardus, yaitu skala jarak sosial. (Ahmadi, 2007). Sedangkan pengukuran sikap secara tidak langsung dilakukan untuk menghindari adanya bias karena subyek yang diukur sikapnya mengetahui bahwa mereka sedang berada dalam pengamatan untuk diukur. Teknik pengukuran tidak langsung khususnya berguna bila responden terlihat enggan mengutarakan sikapnya secara jujur. Perilaku Individu Perilaku adalah sikap yang berujung kepada perbuatan (Ahmadi, 2007). Freud, yang dikenal dengan aliran psikoanalisnya menyatakan bahwa perilaku manusia dianggap sebagai hasil interaksi subsistem dalam kepribadian manusia, yaitu: Id, bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia, merupakan pusat insting yang bergerak berdasarkan prinsip kesenangan dan cenderung memenuhi kebutuhannya, egois, tidak bermoral, serta tidak mau tahu dengan kenyataan. Dalam id ini dikenal adanya libido-yakni insting reproduktif, danthanatos-insting destruktif dan agresif; Ego, yang berfungsi menjembatani tuntutan id dengan realitas di dunia luar, sebagai mediator antara tuntutan nafsu hewani dengan tuntutan yang rasional dan realistis. Ego ini yang berfungsi mengerem hasrat hewani menjadi lebih rasional. Super ego atau hati nurani yang merupakan internalisasi dari norma-norma sosial dan kultur masyarakat. Menurut aliran behaviorisme, sebuah teori yang disampaikan oleh Pavlov menyatakan bahwa perilaku manusia merupakan
hasil belajar dari pengaruh
lingkungannya. Penyebab terjadinya perubahan perilaku tersebut adalah
26
pengalaman. Perilaku manusia, kepribadian manusia dan temperamennya didasarkan kepada pengalaman inderawi (sensory experience). Metode Pelaziman Klasik yang dikenalkan Pavlov menyatakan bahwa perilaku manusia disebabkan adanya stimuli yang terkondisikan atau bersifat netral dengan stimuli yang tak terkondisikan. Organisme bisa diajar untuk bertindak dengan pemberian suatu rangsangan. Konsep Pavlov ini disempurnakan oleh Skinner di tahun 1938(Toha et al,2009) dengan metode yang disebut sebagai operant conditioning (pelaziman operan), yakni organisme menghasilkan respon karena menyalurkan rangsangan yang diterima dari sekitarnya. Terdapat dua konsep utama dari pelaziman operan, yakni (1) peneguhan (reinforcement) positif dan negatif, serta (2) denda (punishment). Seseorang akan melakukan tindakan pengulangan berkali-kali (positif), atau jika tindakan pengulangan dihindari (negatif), serta jika tindakan menghasilkan suatu respon yang dikurangi atau dihindari (denda). Perilaku manusia menurut aliran behaviorisme ini diperkuat dengan teori pembelajaran sosial (Social Learning) yang dipopulerkan oleh Bandura (1977). Menurut Bandura, telah menjadi sifat manusia untuk meniru (imitate) tingkah laku atau tindak tanduk orang lain yang diterima masyarakat (socially accepted behavior) dan juga tingkah laku yang tidak diterima masyarakat. Bentuk-bentuk tingkah laku tersebut bisa (1) berbeda menurut situasi, (2) berbeda antara individu, dan (3) berbeda antar satu budaya dengan budaya lainnya. Teori ini menekankan bahwa manusia belajar meniru tidak hanya pada hal-hal yang dapat diterima masyarakat tetapi juga hal-hal yang tidak dapat diterima masyarakat. Masyarakat meniru karena apa yang dilakukannya akan membawa kepuasan, ganjaran atau peneguhan, baik secara langsung yang berupa pujian, karena kemauan sendiri (peneguhan mandiri) atau karena cita-citanya sendiri, serta karena individu ingin mendapatkan kepuasan secara tidak langsung dengan meniru orang lain. Formulasi Bandura menerangkan bahwa perilaku, lingkungan dan individu saling berhubungan dan berinteraksi serta saling mempengaruhi satu sama lain sebagaimana pada Gambar 2.
27
B
E
P
Gambar 2 Interaksi manusia, perilaku dan lingkungannya (Bandura, 1977) Keterangan: B : Behavior (Perilaku) E : Environment (Lingkungan) P: Person (manusia atau individu)
Sejalan dengan Bandura, Lewin (1947) juga menyatakan bahwa perilaku manusia bukan sekedar respon dari stimulus, melainkan produk dari berbagai gaya yang mempengaruhinya secara spontan, yang digambarkan dengan rumus B: f (O,E), atau perilaku merupakan interaksi antara diri sendiri (person atau Organisme) dan lingkungan psikologisnya (Environment). Lewin mengkaji perilaku sosial melalui pendekatan konsep ”medan, field” atau ”ruang kehidupan” sebagai sebuah keseluruhan peristiwa masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang dan akan berpengaruh pada perilaku manusia pada situasi yang tertentu. Pemahaman atas perilaku manusia senantiasa dikaitkan dengan konteks yang ada yakni lingkungan dimana perilaku tersebut tampil. Pada intinya, situasi yang ada di sekeliling individu berpengaruh terhadap perilakunya. Skinner membedakan perilaku menjadi dua bagian: (1) perilaku alami atau innate behavior, yakni perilaku yang dibawa sejak lahir yang berupa reflek atau insting. Perilaku ini secara otomatis akan digerakkan tanpa melalui pusat syaraf. Respon timbul seketika setiap terkena rangsangan, dan (2) perilaku operan atau operant behavior, yakni perilaku yang dibentuk melalui proses belajar. Perilaku operan lebih dominan daripada perilaku alami karena melalui serangkaian proses di pusat syaraf. Perilaku dapat dibentuk melalui : (1) conditioning atau pembiasaan, yakni membiasakan diri untuk berperilaku sebagaimana yang diharapkan, (2) melalui pengertian (insight), yakni perilaku yang dibentuk dengan belajar kognitif disertai
28
dengan pengertian, dan (3) pembentukan perilaku menggunakan model, yakni perilaku terbentuk dengan menggunakan model atau contoh sebagaimana yang disampaikan melalui teori belajar sosial (social learning theory).Pengamatan terhadap perilaku dapat dilakukan melalui pengamatan perilaku aktual maupun perilaku menurut ingatan atau perilaku menurut tanggapan (Kerlinger, 2006). Pengamat dibekali dengan instrumen atau sistem pengamatan yang berwujud suatu skala dan dijadikan sebagai panduan dalam menilai obyek berdasarkan satu karakteristik tertentu atau lebih, sedangkan obyek tersebut tidak sungguh-sungguh ada. Untuk dapat melakukan hal tersebut, pengamat harus membuat sebuah penilaian berdasarkan pada waktu sebelumnya atau dengan dasar persepsi atau cerapan mengenai seperti apa obyek tersebut sebelumnya. Cara termudah untuk mengukur perilaku, baik aktual maupun tanggapan adalah dengan menggunakan skala jenjang (rating scale). Sikap (attitude) sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan manusia. Sikap sangat menentukan perilaku (behavior) seseorang (Taryoto, 1991). Sikap juga
sangat
mempengaruhi
tanggapan
seseorang
terhadap
masalah
kemasyarakatan, termasuk masalah terkait dengan pelayanan kepada masyarakat. Schafer dan Tait (1981) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara sikap atau perasaan seseorang terhadap suatu obyek dengan perilakunya terhadap obyek tersebut. Jika sikap seseorang terhadap suatu obyek dapat diketahui, maka akan dapat diduga bentuk kegiatan yang akan dilakukannya. Menurut Taryoto (1991) tidak tertutup kemungkinan bahwa tindakan yang dilakukan seseorang tidak sejalan dengan sikapnya. Oleh karena itu muncul keraguan terhadap konsistensi hubungan antara sikap dengan perilaku seseorang. Kelman (dalam Ahmadi, 2007) mengeksplorasi lebih lanjut tentang temuan Warner dan De Fleur terkait dengan hubungan antara sikap dan perilaku seseorang. Menurut Kelman, inkonsistensi hubungan antara sikap dan perilaku seseorang dapat terjadi karena tiga alasan penting: (1) ketidaksesuaian sikap orang tersebut dengan informasi mengenai kenyataan yang sesungguhnya atau kenyataan yang terjadi, (2) ketidaksesuaian sikap orang tersebut dengan sikap panutannya, dan (3) ketidaksesuaian yang terjadi karena terpaksa. Kelompok merupakan pihak yang seringkali membuat sikap seseorang tidak konsisten
29
dengan perilakunya (Sarwono, 2005). Freedman et al (1974) dan Coon (1977) menyatakan bahwa sikap yang terstruktur
pada karyawan seringkali
menimbulkan kendala bagi performa pekerjaan mereka. Menurut Freedman dan Coon, terdapat tiga macam faktor umum yang mempengaruhi perubahan sikap seseorang yaitu: (1) kepercayaan pada pihak yang mengirimkan pesan, (2) pesan itu sendiri, (3) situasi yang dihadapi. Apabila karyawan tidak percaya kepada pengirim pesan, maka pesan tersebut tidak akan mereka terima dan oleh karenanya tidak akan mengubah sikap mereka. Demikian pula jika pesan tersebut tidak cukup meyakinkan mereka, maka tidak akan ada dorongan yang kuat untuk terjadinya perubahan yang diinginkan. Semakin besar prestise pembawa pesan, semakin besar pula perubahan sikap yang dihasilkan. Perilaku Responsif, Handal, dan Beretika Pelayanan Perilaku oleh Ancok (1986) didefinisikan sebagai kegiatan yang sudah dilakukan oleh seseorang. Perilaku pegawai pada pelayanan publik adalah reaksi, gerakan lahiriah atau fisik, pernyataan-pernyataan verbal dan pengalaman subyektif pegawai dalam memberikan pelayanan publik yang berupa jasa kepada masyarakat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), responsif diterjemahkan sebagai kemampuan cepat merespon, bersifat menanggapi, tergugah hati, bersifat memberi tanggapan atau tidak masa bodoh. Perilaku responsif dapat didefinisikan sebagai reaksi, gerak lahiriah atau fisik, pernyataan-pernyataan verbal dan pengalaman subyektif pegawai dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara cepat tanggap dan penuh perhatian.Suryono (2011) menyatakan bahwa seorang administrator publik diharapkan memiliki daya tanggap (responsiveness) yang tinggi. Daya tanggap ini merefleksikan tingkat kepekaan atau sensitifitas seorang administrator publik terhadap keadaan yang baru, kondisi yang berubah, perkembangan permintaan dan kebutuhan publik. Oleh karena itu seorang administrator publik atau pegawai negeri diminta untuk selalu memikirkan tentang kebutuhan masyarakat yang dianggap
prioritas, melakukan identifikasi
kebutuhan kelompok masyarakat, mempertimbangkan dan merespon masukan
30
mereka, bertindak adil serta rasional dalam menggunakan prosedur birokrasi organisasi. Sedangkan perilaku handal dapat didefinisikan sebagai sebuah perilaku yang dapat dipercaya, yang dapat memberikan hasil yang sama pada setiap kegiatan yang berulang (KBBI). Sebuah perilaku yang handal pada pelayanan publik adalah perilaku verbal pegawai pelayanan publik yang dapat memberikan jaminan bahwa jasa pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat dapat diterima sesuai dengan janji yang telah diikrarkan pada piagam pelayanan yang ada. Kemauan dan kemampuan pegawai dalam memberikan pelayanan sesuai dengan prosedur yang berlaku, memiliki kompetensi dan ketrampilan dalam mengoperasikan peralatan kerja yang dipergunakan akan membuat penerima layanan mendapatkan keyakinan (assurance) bahwa mereka akan menerima layanan sesuai yang dijanjikan (Riduwan, 2009). Etika adalah apa yang dianggap baik dan buruk tentang hak dan kewajiban moral (KBBI). Integritas dan etika dalam pelayanan publik berkaitan dengan komitmen kejujuran untuk melaksanakan segala tugas dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Etika menurut Rohr dan Cooper sebagaimana dikutip Keban (1994) adalah nilai-nilai keadilan, persamaan, dan kebebasan sebagai dasar pengambilan keputusan terhadap berbagai alternatif kebijakan dalam melaksanakan tugas. Etika pelayanan tidak cukup hanya berdasarkan kepada nilai ekonomis dan efisiensi, tetapi perlu memasukkan nilai-nilai kesetaraan sosial (social equity) bagi masyarakat maupun individu. Standar etika selalu
berkembang dari waktu ke waktu mengikuti standar perilaku yang
merefleksikan nilai-nilai dasar masyarakat yang dilayani. Perilaku yang beretika pelayanan dapat didefinisikan sebagai perilaku yang sopan santun, ramah tamah, melayani dengan baik, bertindak adil kepada setiap pengguna layanan adalah harapan masyarakat terhadap pelayanan publik yang ditawarkan pemerintah daerah (Dwiyanto, 2003).
31
Budaya, Budaya Organisasi (Organizational Culture) dan Budaya Mutu (Quality Culture)
Budaya dan Budaya Organisasi (Organizational Culture) Koentjaraningrat menyatakan bahwa kebudayaan atau budaya merupakan sebuah sistem, dimana sistem itu terbentuk dari perilaku, baik perilaku badan maupun pikiran. Budaya berkaitan erat dengan adanya gerak dari masyarakat, dimana pergerakan yang dinamis dan dalam kurun waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam kumpulan masyarakat.Tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat (2000) yaitu: (1) kebudayaan sebagai suatu yang kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilainilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Sebagai sebuah ide, kebudayaan bersifat abstrak, tidak dapat diraba, dan berada pada alam pikiran manusia dimana kebudayaan tersebut hidup, (2) kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi, sosial, religi yang ditujukan untuk membantu manusia hidup bermasyarakat, serta (3) kebudayaan sebagai bendabenda hasil karya manusia.Terdapat tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia, yaitu: (1) sistem kepercayaan (religi, agama), (2) sistem pengetahuan, (3) peralatan dan perlengkapan hidup manusia, (4) mata pencaharian dan sistem-sistem ekonomi, (5) sistem kemasyarakatan, (6) bahasa dan (7) kesenian. Schein (1992) menyatakan
bahwa
jika
budaya
(culture)
diperbincangkan oleh manajer maka budaya berhubungan dengan “certain values that managers are trying to inculcate in their organization”, nilai-nilai tertentu yang dicoba ditanamkan di organisasi oleh para manajer, yang berimplikasi adanya budaya organisasi yang kuat atau lemah. Budaya organisasi yang tepat akan mempengaruhi efektifitas organisasi. Budaya menekankan adanya sesuatu hal di dalam kelompok yang dimengerti dan dipahami bersama, diantaranya: bahasa yang digunakan, adat istiadat dan kebiasaan, norma kelompok yang menyatakan standar dan nilai yang berlaku di dalam kelompok, aturan permainan untuk bisa hidup berdampingan di organisasi, iklim organisasi-yakni cara orang-
32
orang berinteraksi satu dengan lainnya, nilai-nilai yang diumumkan dan akan diraih bersama, kebiasaan berpikir, mental model, paradigma berbahasa, berbagi makna dan pemahaman yang diciptakan di dalam kelompok. Budaya atau kultur melibatkan dua unsur penting yakni tingkat stabilitas struktural didalam kelompok serta adanya unsur yang memberi stabilitas yaitu pola atau integrasi dari berbagai elemen kedalam satu paradigma yang lebih besar. Budaya bagi sebuah kelompok didefinisikan sebagai: “ a pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think, and feel in relation to those problems” (Schein, 1992:14) Berdasarkan definisi diatas, terdapat tiga hal mendasar: (1) berhubungan dengan sosialisasi, yakni bagaimana seseorang berproses untuk dapat mengetahui dan memahami budaya sesuatu kelompok, apakah melalui pencarian sendiri untuk menemukannya, ataukah melalui suatu proses sosialisasi dari generasi sebelumnya kepada generasi barunya; (2) menyangkut permasalahan perilaku, yakni persepsi, pemikiran dan perasaan yang telah terpola, dan (3) bagaimana sebuah organisasi yang besar dapat menpunyai satu budaya mengingat di dalamnya akan terdapat berbagai kelompok, berbagai ukuran dan variasi diantara kelompok tersebut sangat substansial. Jika nilai-nilai yang dianut dapat menyebar ke seluruh kelompok yang ada di organisasi, maka terciptalah apa yang disebut sebagai budaya organisasi, meskipun pada saat yang sama akan ditemui adanya sub budaya di dalam kelompok-kelompok tersebut. Schein lebih lanjut menganalisa kultur organisasi kedalam tiga tingkat: (1) Artifacts, termasuk didalamnya adalah semua fenomena yang setiap orang bisa melihat, mendengar, merasakan ketika seseorang memasuki sebuah kelompok atau organisasi baru dimana mereka tidak terbiasa dengan budaya tersebut. Artifacts bisa berujud sesuatu penampakan fisik: bahasa, arsitektur, teknologi dan produknya, lingkungan fisik lain, kreasi seni, ataupun gaya yang merasuk ke dalam cara berpakaian, nilai-nilai yang dipublikasikan, upacara-upacara ritual lainnya yang bisa diobservasi dari kelompok atau organisasi tersebut yang membuat perilaku tersebut menjadi sebuah rutinitas. Pada tingkat ini
33
budayaorganisasi sangat mudah untuk diobservasi tetapi sangat sulit untuk di uraikan atau dimengerti. (2) Espoused values. Setiap kelompok dalam organisasi akan terdapat seseorang atau manajer yang menterjemahkan nilai-nilai budaya organisasi
kedalam
bentuk
strategi,
tujuan
dan
filosofi
berdasarkan
pemahamannya. Jika pemahaman menterjemahkan strategi dalam menghadapi sesuatu permasalahan tersebut berjalan dan sukses, maka strategi tersebut akan ditransformasikan menjadi nilai-nilai bersama maupun asumsi bersama. Tetapi tidak semua nilai atau asumsi baru tersebut akan dapat diterima. Nilai dan asumsi yang mudah, memiliki peran menumbuhkan kepercayaan kelompok dalam menyelesaikan permasalahan akan
diterima di organisasi. Nilai-nilai tersebut
biasanya melalui proses validasi sosial yang melibatkan hubungan internal di dalam kelompok. (3) Asumsi dasar (basic assumptions). Asumsi dasar terjadi ketika sebuah solusi terhadap permasalahan tertentu telah menjadi sebuah rutinitas yang dilakukan. Asumsi dasar sulit untuk bisa diubah. Untuk mempelajari hal-hal yang baru, diperlukan serangkaian proses membangkitkan, mengevaluasi ulang serta berbagai perubahan yang mungkin dilakukan dengan porsi yang lebih stabil.
Setiap orang menginginkan adanya stabilitas kognitif sehingga setiap
perubahan atau setiap pertanyaan tentang asumsi dasar yang telah ada akan menimbulkan kecurigaan ataupun menimbulkan sifat defensif seseorang. Untuk memahami sebuah budaya kelompok, seseorang perlu mengetahui asumsi dasar yang ada serta bagaimana proses pembelajaran terbentuknya asumsi dasar tersebut terjadi. Kepemimpinan menurut Schein (1992) adalah sumber dari segala kepercayaan (beliefs) dan nilai-nilai dimana setiap kelompok berinteraksi dengan permasalahan internal dan eksternal organisasi.Budaya dan kepemimpinan adalah dua sisi mata uang, dimana pertama-tama pemimpin akan menciptakan budaya di organisasi ketika
menciptakan kelompok-kelompok dan organisasi. Ketika
budaya organisasi terbentuk dan tumbuh, maka budaya organisasi akan menciptakan berbagai kriteria untuk kepemimpinan dan pemimpin yang diperlukannya. Jika seorang pemimpin tidak memahami bagaimana kultur di organisasinya, maka pemimpin tersebut akan diatur oleh kultur organisasi yang ada. Setiap orang diharapkan memahami kultur organisasi terlebih bagi seorang
34
pemimpin.
Hoyle (2001) menyatakan bahwa kualitas kepemimpinan akan
menciptakan lingkungan kerja dimana orang-orang di organisasi melakukan halhal yang benar dengan benar tanpa perlu diberi arahan lebih lanjut. Budaya organisasi bisa sangat stabil, tetapi tidak selalu statis. Berbagai krisis yang menerpa organisasi dan perubahan lingkungan akan mendorong organisasi melakukan evaluasi terhadap berbagai nilai-nilai atau serangkaian praktek yang telah dilakukannya. Tantangan tersebut akan mendorong munculnya cara baru yang lebih kreatif dalam melaksanakan sesuatu. Budaya organisasi bisa melemah maupun menguat. Budaya organisasi akan menjadi sangat kuat (nilainilai dasar bersama, pola perilaku, praktek-praktek)
ketika berbagai tingkat
budaya dalam kelompok terhubung dengan sangat erat. Keberlanjutan kepemimpinan, keanggotaan kelompok yang stabil, konsentrasi geografi, ukuran kelompok serta kesuksesan organisasi akan berpengaruh terhadap munculnya budaya organisasi yang kuat (Kotter dan Heskett,1992). Budaya organisasi yang kuat akan mendorong orang-orang untuk secara cepat bertindak dan berkoordinasi satu dengan lainnya dalam menghadapi permasalahan, pelanggan, dan atau bahkan para pesaingnya. Sejalan dengan hal tersebut, Schein (1992) menyatakan bahwa budaya organisasi adalah satu dari solusi terhadap permasalahan yang dihadapi organisasi. Kotter dan Heskett (1992) lebih lanjut menyebutkan bahwa budaya organisasi, struktur formal, sistem, perencanaan, dan kebijakan organisasi, kepemimpinan dan lingkungan yang kompetitif akan membentuk perilaku dari manajemen organisasi. Hofstede (1991) menyatakan bahwa budaya organisasi sebagai: “ the psychological assets of an organization, which can be used to predict what will happen to its financial assets in five years’s time”(1991:18) Budaya organisasi adalah aset psikologis yang dapat digunakan untuk memprediksi apa yang akan terjadi dengan aset-aset mereka pada kurun lima tahun mendatang. Budaya organisasi adalah cara-cara umum bagaimana setiap anggota organisasi belajar untuk berpikir, merasakan dan bertindak. Budaya organisasi merupakan sebuah konsep yang terpadu, halus, tetapi memiliki konsekwensi yang tinggi.Hofstede lebih lanjut menyatakan bahwa
organisasi
35
adalah sebuah sistem sosial. Budaya organisasi berbeda dengan budaya bangsa secara nasional. Studi Hofstede menyatakan bahwa relasi budaya kekuasaan (power distance) di organisasi di Indonesia memiliki rentang kekuasan yang tinggi. Implikasi dari rentang kekuasaan yang tinggi di organisasi tercermin pada relasi kewenangan, konsepdiri terkait dengan hubungan antara individu dengan masyarakat, konsep individu tentang gender, serta cara-cara menangani konflik. Hofstede juga
menyatakan adanya perbedaan budaya disebabkan karena
regionalitas (kedaerahan), kepercayaan(beliefs)
dan agama (religion), gender,
perbedaan antar generasi dan kelas sosial di masyarakat. Studi yang dilakukan Kotter (1992) menunjukkan bahwa: (1) budaya organisasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja ekonomi organisasi dalam jangka panjang,(2) budaya organisasi akan menjadi faktor yang jauh lebih penting dalam menentukan kesuksesan sebuah organisasi di masa mendatang, (3) budaya organisasi yang menghambat kemampuan ekonomi organisasi dalam jangka panjang sangat jarang terjadi. Budaya organisasi tumbuh dan berkembang dengan cepat pada organisasi yang terdiri dari orang-orang yang sangat rasional dan pandai, (4) meskipun sulit untuk berubah, budaya organisasi dapat digunakan untuk lebih mendorong terjadinya perubahan kinerja organisasi.
Budaya Mutu (Quality Culture) Mempelajari budaya mutu tidak bisa dilepaskan dari budaya organisasi yang ada. Budaya organisasi adalah cara-cara umum bagaimana setiap anggota organisasi belajar untuk berpikir, merasakan dan bertindak. Budaya organisasi merupakan sebuah perwujudan sehari-hari dari nilai dan tradisi yang mendasari bagaimana organisasi tersebut beroperasi (Nasution, 2005). Sebuah organisasi dinyatakan sebagai organisasi yang berbudaya mutu apabila sistem nilai di organisasi tersebut menghasilkan suatu lingkungan yang kondusif bagi pembentukan dan perbaikan mutu secara terus menerus. Karakteristik umum sebuah organisasi yang memiliki budaya mutu menurut Goetsch dan Davis (1994) adalah apabila organisasi tersebut: (1) berperilaku sesuai dengan slogan yang dicanangkannya, (2) memberi perhatian penuh atas masukan pelanggan yang digunakan untuk meningkatkan mutu layanan atau
36
produk secara terus-menerus, (3) melibatkan dan memberdayakan para karyawan, (4) pekerjaan dilakukan oleh tim kerja, (5) keterlibatan manajer puncak atau ekksekutif dengan tidak mendelegasikan tanggung jawab mereka atas mutu, (6) tersedianya sumber daya yang diperlukan, kapan saja dan dimana saja diperlukan untuk menjamin perbaikan mutu yang berkelanjutan, (7) memiliki dan melaksanakan program pendidikan dan pelatihan bagi karyawan pada semua level di organisasi sehingga mereka memiliki kompetensi untuk melaksanakan tugas dengan mutu output yang meningkat secara terus menerus, (8) tersedianya sistem penghargaan dan promosi yang didasarkan kepada kontribusi karyawan terhadap peningkatan mutu secara terus-menerus, (9) menganggap rekan kerja sebagai pelanggan internalnya, dan (10) pemasok atau rekanan diperlakukan sebagai mitra kerja. Boomer sebagaimana dikutip Gizzi (2012) menyatakan bahwa budaya mutu dicirikan dengan adanya: (1) sikap, nilai-nilai, praktek-praktek yang mendukung pembelajaran di organisasi, (2) adanya tantangan yang secara terus-menerus dalam melakukan sesuatu dengan selalu memastikan terjadinya efisiensi dan perubahan, (3) adanya dorongan meningkatkan kapasitas pegawai untuk berkontribusi pada proses pengambilan keputusan, baik dalam proses pekerjaan maupun pada tingkat pengambil keputusan, serta (4) bekerja pada berbagai pemangku kepentingan maupun dengan mitra dari luar organisasi. Dalam membangun budaya mutu, selalu ditemui adanya hambatan terkait komitmen, kapasitas, kemampuan memahami pelanggan dan harapannya, pemberdayaan dan pelembagaan di organisasi. Mutu dianggap sebagai fenomena budaya dimana mutu didekati sebagai sebuah rangkaian nilai, orientasi umum dan ideologi organisasi daripada sebagai serangkaian alat atau teknik organisasi dalam memberikan barang dan jasa kepada pelanggannya (Munhum, et al, 2010). Garvin (1988) menyatakan bahwa budaya mutu di organisasi berkembang sepanjang waktu dengan adanya pergeseran nilai-nilai dan ideologi yang menghargai orang dan berorientasi kepada mutu. Terdapat empat hal yang dapat dilihat dari budaya mutu: (1) budaya pengawasan atau inspection culture, (2) budaya kontrol dengan menggunakan alat statistik (statistical control), (3) budaya penjaminan mutu (quality assurance), dan (4) manajemen strategis terhadap
37
budaya mutu. Sedangkan Cameron dan Sine (1999) menyatakan bahwa ada atau tidaknya budaya mutu di organisasi dapat dilihat kepada: (1) ketiadaan dorongan mutu (absence of quality emphasis), (2) cara organisasi mendeteksi kesalahan (error detections), (3) pencegahan terhadap terjadinya kesalahan (error prevention), dan (4) mutu yang kreatif (creative quality) yang dicirikan oleh adanya antisipasi organisasi terhadap kebutuhan pelanggan dan kecenderungan pelanggan di masa depan. Dari empat penanda tersebut dapat diketahui budaya mutu yang ada dan melembaga di organisasi. Cameron dan Sine lebih lanjut membedakan antara organisasi yang berbudaya mutu tinggi dengan organisasi yang kurang mementingkan budaya mutu sebagaimana Tabel 1.
Tabel 1 Karakteristik pembeda budaya mutu di organisasi Kurang berbudaya mutu (less advanced Quality Culture) - Efektifitas organisasi rendah - Kurang menggunakan peralatan dan teknik standar mutu, seperti pemanfaatan ISO - Kurang menekankan kepada data, analisa dan pemanfaatan data pada pelanggan, pesaing, pegawai dan kinerjanya - Kurang terlihat adanya pembelajaran di organisasi - Kurang terlihat adanya kordinasi silang dan secara fungsional - Kurang memanfaatkan kerja kelompok atau tim - Kurang memfokuskan kepada optimalisasi pemanfaatan SDM - Mutu bukan merupakan prioritas tinggi bagi manajemen Sumber: Cameron dan Sine, 1999.
Lebih berbudaya mutu (more advanced Quality Culture) - Efektifitas organisasi tinggi - Menerapkan teknik dan alat standar mutu - Memberikan perhatian penuh kepada pengumpulan, penganalisaan, pemanfaatan data atas pelanggan - Terdapat bukti-bukti sebagai organisasi pembelajaran - Terjadi koordinasi secara fungsional dan saling silang - Adanya kerja kelompok diantara pegawai - Menekankan kepada optimalisasi pemanfaatan SDM - Mutu menjadi prioritas.
Hoyle (2009) membagi tingkat pencapaian mutu menjadi tiga tingkat. Tingkat pertama dapat dicapai jika mutu dimaksudkan sebagai terbebasnya dari kekurangan yang membutuhkan pengawasan yang lebih baik dengan biaya yang lebih rendah. Pada tingkat ini belum
berarti organisasi telah dapat menjaga
kepuasan pelanggan. Tingkat ke dua dicapai jika terjadi kesesuaian antara mutu yang dihasilkan dengan keinginan pelanggan dimana untuk hal tersebut diperlukan serangkaian proses yang dianggap mampu dan berujung kepada rendahnya biaya. Kepuasan pelanggan belum tentu dapat dijaga. Tingkat ke tiga
38
dicapai apabila dipuaskannya kebutuhan pelanggan dan harapan mereka. Pada tingkat ini dibutuhkan satu inovasi sebagaimana proses yang sesuai dan mampu menjaga pelanggan yang puas
sehingga pada akhirnya
menjaga
kesuksesan organisasi.
Manajemen Mutu Terpadu dan SMM ISO 9001 Manajemen Mutu Terpadu Manajemen mutu terpadu atau Total Quality Management (TQM) adalah sebuah cara pandang yang menekankan bagaimana sebuah mutu produk dapat dihasilkan dari kerja berbagai pihak secara bersama. Menurut Nasution (2004), TQM merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus-menerus atas produk, jasa, tenaga kerja, proses dan lingkungannya. TQM merupakan representasi dari pemikiran berbagai pakar manajemen, termasuk Shewhart, Deming, Juran, Ishikawa, dan
Crosby. Juran dan Deming
pemikirannya dalam memperkenalkan
konsep mutu.
sangat dominan
Deming menganggap
bahwa apa yang dilakukannya berdasarkan kepada data-data statistik sebagai sebuah sistem dan sebuah filosofi kerja yang berujung kepada mutu. Juran menganggap manajemen mutu terpadu
sebagai sebuah sistem total yang
mengarah kepada mutu. Keduanya sepakat bahwa yang dimaksudkan dengan manajemen mutu terpadu adalah sebuah cara mengelola organisasi untuk meningkatkan daya saing, efisiensi dan fleksibilitas di seluruh organisasi melalui metode pencegahan dan pengawasan internal sehingga tidak terjadi kesalahan (zero defect). Organisasi, baik publik maupun swasta bersaing dalam tiga isu penting: mutu (quality), harga (price) dan waktu pengiriman (delivery). Demikian mutu meningkat, maka keuntungan bisa diraih dan digabung melalui penurunan kegagalan produksi dan biaya. Ketiadaan problem mutu juga dengan sendirinya akan menghilangkan hal-hal tersembunyi yang harus dilakukan organisasi untuk mengatasi produk yang gagal memenuhi standar tertentu. Pengenalan mengenai manajemen mutu terpadu ini dilakukan setelah Perang Dunia II berakhir yang ditandai dengan kemerosotan perekonomian Amerika Serikat (Gasperz, 2003).
39
Manajemen mutu terpadu memberikan : (1) arah untuk menggerakkan keseluruhan organisasi untuk memuaskan kebutuhan pelanggan, (2) memfokuskan kepada keterlibatan dan partisipasi secara aktif dan rutin dari setiap orang dalam organisasi dalam perbaikan mutu secara sistematis, (3) melibatkan setiap individu dan kelompok di seluruh bagian organisasi, (4) menyediakan suatu pandangan hidup untuk secara tetap memperbaiki kinerja organisasi pada setiap level dan setiap aktivitas, (5) menciptakan lingkungan perbaikan secara terus-menerus berdasarkan
kerjasama
kelompok,
kepercayaan
dan
penghargaan,
(6)
mengevaluasi proses kerja dimana pekerjaan diselesaikan dengan cara sistematis, konsisten, berperspektif organisasi dengan menggunakan metode kuantitatif dan teknik analisis, dan (7) memperluas pengetahuan dan keahlian dalam perbaikan proses (Rampersad, 2003). Beberapa dasar pemikiran tentang mutu terutama dalam organisasi pelayanan publik diungkapkan oleh Martin (1993) yang menyatakan bahwa : (1) mutu tidak
identik
dengan
biaya tinggi (quality is free). Penelitian
menunjukkan bahwa biaya implementasi manajemen mutu dikompensasi oleh produktivitas yang meningkat dan biaya total barang dan jasa yang lebih rendah; (2) program manajemen mutu akan menciptakan pelanggan yang patuh; (3) manajemen mutu sangat sesuai dengan pelayanan kepada masyarakat dan nilainilai kerja sosial; (4) manajemen mutu menghendaki reorientasi pemikiran dan persepsi para pegawai dan jajaran manajemen. Oakland (1995) mendefinisikan mutu sebagai mencapai persyaratan pelanggan (meeting the customer requirements). Beberapa definisi dari para ahli yang dikutip Oakland, misalnya: mutu adalah kecocokan untuk suatu tujuan atau pemakaian atau fitness for use (Juran); mutu harus ditujukan kepada kebutuhan pelanggan, saat ini dan yang akan datang (Deming); Crosby dan ISO 9000 menyatakan bahwa mutu adalah memenuhi atau sesuai dengan yang dipersyaratkan (conformance to requirements). Goetsch dan Davis (2000) mencatat definisi mutu sebagai : (1) kinerja yang bisa mencapai standar sesuai yang diharapkan pelanggan (mutu menurut Fred Smith, CEO FedEx); (2) mutu adalah mencapai
kebutuhan pelanggan pada waktu yang pertama dan setiap
waktu (Administrasi Pelayanan Umum-USA); (3) mutu adalah menyediakan
40
pelanggan dengan produk dan jasa yang secara konsisten memenuhi kebutuhan dan harapannya (Boeing); (4) mutu adalah mengerjakan hal yang benar dengan benar pada saat yang pertama, serta (5) mutu selalu mengutamakan perbaikan dan selalu memuaskan pelanggan. Pendekatan Manajemen Mutu Terpadu digunakan sebagai filosofi dasar SMM ISO 9001:2000 dan perubahannya pada SMM ISO 9001:2008. Sejarah Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 Sejak kemunculannya pada tahun 1947, International Organization for Standardization (ISO) menjadi satu-satunya organisasi pengembang standar terbesar di dunia, dimana lebih dari 17.500 standar internasional telah diterbitkan dengan cakupan yang sangat luas: mulai dari pertanian, industri, konstruksi, perangkat medis, teknologi informasi, hingga manajemen organisasi. ISO terlahir dari dua buah organisasi yang berada di Amerika Serikat, yakni International Standard Association (ISA), yang berdiri di New York dengan United Nation Standard Committe Coordination (UNSCC) yang dimiliki Perserikatan BangsaBangsa (PBB). Delegasi 25 negara yang bertemu di London pada tahun 1946 akhirnya memutuskan untuk membuat sebuah organisasi baru bertaraf internasional yang ditujukan untuk memfasilitasi koordinasi internasional dan penyatuan standar industri. Kesepakatan inilah yang kemudian melahirkan organisasi ISO secara resmi ditahun 1947 (Hoyle, 2001, Zulhaidarsyah,2009). Nama ISO berasal dari kata “Isotheros” yang berarti sama atau equal, dan dipilih sebagai representasi dari kesamaan kedudukan setiap Negara yang bergabung menjadi anggota dan menerapkan standar ISO yang diterbitkan. Pada tahun awal beroperasinya ISO, muncul rekomendasi diperlukannya standar internasional yang kemudian diharapkan akan dibawa oleh negaranegara anggotanya ke standar yang telah mereka kembangkan secara nasional. Standar yang dikembangkan ISO sangat bermanfaat khususnya untuk negaranegara berkembang karena standar tersebut menawarkan solusi praktis untuk berbagai masalah terkait dengan perdagangan global. ISO juga terkait dengan transfer teknologi, produk, kualitas, keamanan, dan spesifikasi lingkungan. Terlihat jelas bagaimana negara-negara berkembang mengalami berbagai kendala untuk berpartisipasi dalam penerapan ISO. Kendala tersebut diantaranya adalah
41
buruknya infrastruktur industri termasuk komponen pendukungnya dalam perdagangan yakni minimnya jumlah standar nasional, serta keberadaan lembagalembaga penilaian kesesuaian: lembaga metrologi, kalibrasi, pengujian, lembaga inspeksi dan fasilitasnya (Zulhaidarsyah, 2009). Standar Internasional mulai resmi terbit pada tahun 1971. Kesepakatan dalam perdagangan dunia yang dimulai oleh adanya kesepakatan umum terhadap perdagangan dan tarif atau General Agreement on Trade and Tariff (GATT)
hingga terbentuknya World Trade Organization
(WTO) dimaksudkan untuk menghilangkan hambatan perdagangan dunia dalam bentuk tarif. dan
Standar GATT memastikan bahwa peraturan, standar, pengujian
prosedur sertifikasi diharapkan tidak menciptakan hambatan baru untuk
perdagangan. Perjanjian ini juga memuat cara-cara praktek yang baik untuk setiap pihak terkait dalam mempersiapkan, mengadopsi dan menerapkan standar secara sukarela. Sejak tahun 1979, ISO langkah yang dapat memastikan
berkomitmen untuk menerapkan langkahbahwa
standar
internasional
yang
ditetapkannya sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam WTO. Dalam perkembangannya, standar internasional yang diterbitkan ISO berkembang dari standar spesifik yang mengacu kepada produk, bahan atau proses ke standar yang berhubungan dengan mutu. Hal ini terkait dengan semakin berkembangnya
perdagangan
internasional
atau
global
dan
munculnya
kekhawatiran bahwa standar nasional yang telah berkembang di suatu negara tidak dapat diterima di negara lainnya. Jika ini terjadi, maka akan berakibat aktivitas perdagangan tidak dapat berjalan dengan lancar. Standar pertama yang dikeluarkan
ISO adalah
ISO 8402 di tahun 1986 yang menstandarkan
terminologi manajemen mutu. Standar tersebut berkembang dengan munculnya ISO 9001, ISO 9002 dan ISO 9003 di tahun 1987. Ke tiga standar ini memberikan persyaratan untuk sistem manajemen mutu yang diterapkan organisasi dengan berbagai kegiatan, mulai dari penelitian dan pengembangan, hingga kepada unitunit layanan dan pemeliharaan. Sedangkan ISO 9004 khusus memberi panduan terhadap sistem manajemen mutunya. Keberhasilan ISO 9000 series ini pada tahun 1987 menjadikan ISO sebagai standar yang dinilai paling fair dalam perdagangan dunia (Thaher, 2005).
42
Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 Sistem manajemen mutu adalah sebuah sistem manajemen yang memungkinkan organisasi memenuhi tugas pokok, fungsi dan misinya. Kecukupan (adequacy), kecocokannya (suitability) dan efektifitas (effectiveness) dari manajemen dilihat dari sejauh mana sistem tersebut membantu organisasi mencapai tujuan dengan cara efisien. Tidak ada satupun keuntungan yang bisa diraih dengan hanya memfokuskan kepada satu aspek kinerja yang ada di dalam organisasi, tetapi dengan memfokuskan kepada kombinasi berbagai faktor yang berperan kepada kinerja organisasi (Hoyle, 2001). Pembahasan tentang ISO 9001 selalu dihubungkan dengan mutu.Secara rinci, Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001 terdiri dari sekumpulan prosedur terdokumentasi dan praktek-praktek standar untuk sistem manajemen yang bertujuan menjamin kesesuaian dari suatu proses dan produk terhadap kebutuhan atau persyaratan tertentu. Kebutuhan atau persyaratan tersebut ditentukan atau dispesifikasikan oleh pelanggan dan organisasi. SMM mendefinisikan bagaimana organisasi menerapkan praktek-praktek manajemen mutu secara konsisten untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan pasar (Gaspersz ,2005). SMM ISO 9001 adalah standar sistem manajemen umum yang dipublikasikan oleh The International Organization for Standardization (ISO), sebuah federasi badan-badan standar dari berbagai negara dengan anggota lebih dari 140 negara. Standar yang dikeluarkan oleh ISO memiliki spesifikasi teknis. Khusus untuk SMM ISO 9001 ini mendeskripsikan sebuah proses dimana organisasi bisa dan mampu mencapai “mutu produk” yang dijanjikan kepada masyarakat konsumennya. Terdapat delapan prinsip yang harus dipenuhi, yakni: (1) fokus ke pelanggan, (2) kepemimpinan, (3) keterlibatan setiap orang di dalam organisasi, (4) melalui pendekatan proses, (5) pendekatan sistem terhadap manajemen, (6) perbaikan berkelanjutan, (7) mendasarkan keputusan berdasarkan fakta, serta (8) terciptanya hubungan yang saling menguntungkan
dengan
pemasok atau
rekanan. Berdasarkan delapan prinsip tersebut, Bachmann (2003) melihat bahwa penerapan SMM ISO 9001 sebenarnya adalah upaya membuat sebuah organisasi berbudaya mutu yang berorientasi kepada pelanggannya.
Sejak pertama kali
43
diterbitkan di tahun 1987, ISO 9000 telah mengalami berbagai perubahan, baik dari sisi filosofi dasar maupun tujuannya. Sistem Manajemen Mutu ISO 9000:1987 yang dikenalkan secara luas di tahun 1987 menekankan kata-kata yang sangat terkenal : “Write what you do, and do what you write, yakni tuliskan apa yang kamu lakukan dan lakukan apa yang kamu tuliskan”. Sistem tersebut mengajarkan kepada setiap orang untuk mulai mencatat atau menulis proses dan aktivitas setiap orang dalam bekerja. Sistem juga mendorong seseorang untuk konsisten dalam melaksanakan pekerjaannya. Karena menulis apa yang dikerjakan, maka otomatis akan menyebutkan pula output dari kegiatan tersebut. SMM ISO 9000:1987 mengawali adanya proses check dan recheck yang berujung kepada minimalnya kesalahan yang terjadi. Dikenal tiga seri ISO 9000: 1987 yaitu seri: ISO 9001:1987, ISO 9002: 1987 dan ISO 9003:1987. Masing-masing dengan cakupan yang berbeda. ISO 9001:1987 memperkenalkan adanya 20 klausul manajemen mutu.SMM ISO 9000:1987 dikembangkan dengan filosofi dasar memberikan jaminan mutu (quality assurance) kepada masyarakat. Sistem dan prosedur yang dikembangkan ditujukan untuk memastikan tidak adanya produk cacat yang dihasilkan serta memastikan bahwa produk cacat tidak diterima pelanggan. Sistem Manajemen Mutu ISO 9000:1994 dikembangkan dengan melakukan berbagai perbaikan dari ISO 9000:1987 dengan filosofi dasar yang masih sama. Dari 20 klausul manajemen mutu yang dikenalkan oleh ISO 9000:1987, maka seri ISO 9000:1994 menambahkan pencegahan.
Pencegahan
dilakukan
dengan
unsur preventif atau
membuat
prosedur
yang
menyebabkan kesalahan tidak akan terjadi secara berulang. Kesalahan yang terjadi berulangkali akan menimbulkan biaya tinggi bagi organisasi. Oleh karena itu manajemen harus memastikan telah dibangun sebuah prosedur yang mampu mencegah terjadinya kesalahan berulang. Duapuluh klausul manajemen mutu masih digunakan dengan menambahkan penjaminan mutu (quality assurance) kepada tindakan pencegahan dan prosedur mengikuti persyaratan.ISO 9000:1994 lebih banyak ditekankan kepada persyaratan administratif. Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2000. Perubahan cukup mendasar terjadi pada ISO 9001 versi 2000, yakni dengan diadopsinya filosofi dasar
44
Manajemen Mutu Terpadu atau Total Quality Management. Selain tindakan preventif yang dikembangkan di versi sebelumnya (1994), maka ISO 9001 versi 2000
ini
menambahkan
perlunya
perbaikan
berkelanjutan
(continuous
improvement). Beberapa klausul juga disederhanakan, dari 20 klausul menjadi hanya delapan klausul. Klausul 1, 2 dan 3 menyangkut ruang lingkup, penjelasan umum dan definisi. Sedangkan klausul 4 hingga 8 terkait dengan sistem manajemen mutu, tanggung jawab manajemen, manajemen sumber daya, realisasi produk, pengukuran, analisa dan perbaikan berkelanjutan. Delapan
prinsip
manajemen mutu juga mulai dikenalkan pada penerapan ISO 9001 versi 2000. Pada seri ini pula, sistem penulisan ISO 9000 berubah menjadi ISO 9001:2000 SMM ISO 9001:2000 dibangun
melalui
delapan prinsip: (1) fokus
kepada pelanggan (customer focus), (2) kepemimpinan (leadership), (3) keterlibatan setiap orang (involvement of people), (4) manajemen proses (process management),
(5) pendekatan sistem dalam manajemen (system approach to
management), (6) perbaikan
berkelanjutan (continuous improvement), (7)
pendekatan fakta untuk pengambilan keputusan (factual approach to decision making), dan (8) hubungan yang saling menguntungkan dengan pemasok (mutually beneficial supplier relationships). Prinsip-prinsip ini menekankan pentingnya peran kepemimpinan sebagai sebuah kunci untuk peningkatan mutu. Memfokuskan kepada kepuasan pelanggan menjadi tujuan akhir organisasi, serta menggarisbawahi
perlunya
perbaikan
berkelanjutan,
pengukuran
dan
pembelajaran yang terus menerus (Zairi, 2002). SMMISO 9001:2008. Versi terbaru
masih menggunakan pendekatan
Total Quality Management, yang mencakup lima unsur: organisasi, tanggung jawab, prosedur-prosedur, proses-proses dan sumber-sumber daya untuk penerapan manajemen mutu. SMM ISO 9001:2008 menetapkan persyaratanpersyaratan dan rekomendasi untuk desain dan penilaian dari suatu SMM, yang bertujuan untuk menjamin bahwa organisasi akan memberikan produk (barang dan jasa) yang memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan serta melakukan evaluasinya. Organisasi ISO 9001 adalah organisasi yang telah ditetapkan berdasarkan perundangan yang ada sehingga memiliki legitimasi yang kuat sebagai pelaksana. Persyaratan-persyaratan yang ditetapkan
merupakan
45
keinginan
pelanggan
dan diyakini tidak akan melanggar peraturan dan
perundangan yang berlaku dimana organisasi tersebut berada. bertanggungjawab
untuk
menjamin
mutu
dari
Manajemen
produk-produk
tertentu,
sebagaimana ditentukan oleh organisasi. Fokus kepada pelanggan dan tidak lagi kepada perbaikan tetapi kepada peningkatan secara berkelanjutan. Filosofi ini mendorong munculnya inovasi untuk terjadinya peningkatan berkelanjutan dalam memberikan kepuasan pelanggan. Dari segi proses, SMM ISO 9001:2008 mengatur keseluruhan proses bisnis yang ada, tidak hanya mengatur pada proses bisnis inti saja. Pelaksanaan seluruh kegiatan secara fleksibel dan
menyatu
dengan kegiatan sehari-hari organisasi. Persyaratan-persyaratan dan rekomendasi dalam SMM ISO 9001:2008 lebih memperjelas berbagai klausul yang sebelumnya telah ada di SMM ISO 9001:2000 dan dianggap masih membingungkan. ISO 9001:2008 juga diterapkan pada manajemen organisasi yang memasok produk (supplier), atau manajemen memastikan dan menjamin bahwa pemasok produknya memberikan yang terbaik dan sesuai dengan kebutuhan pelanggan sehingga akanmempengaruhi bagaimana produk itu didesain, diproduksi, dirakit, dan ditawarkan. Manajemen juga diharapkan menyediakan infrastruktur yang dapat memastikan diwujudkannya barang dan jasa sesuai dengan keinginan pelanggan, sesuai atau sejalan dengan peraturan dan aperundangan yang berlaku, mencari berbagai inovasi untuk perbaikan pelayanan serta adanya perangkat komunikasi yang dipakai di organisasi. Perubahan paling mendasar pada SMM ISO 9001:2008 adalah adanya keharusan Wakil Manajemen berasal dari internal organisasi mengingat bahwa Wakil Manajemen memiliki peran yang sangat penting dalam penerapan SMM ISO 9001 di organisasi. Secara singkat, Tabel 2 menyajikan perbedaan antara ISO 9000 versi 1987 dan 1994 dengan ISO 9001 versi 2000 dan 2008. Sedangkan jika ditinjau sebagai sebuah proses, SMMISO 9001 dapat dijelaskan dengan Gambar 3.
46
Tabel 2 Perbedaan ISO 9000 versi 1987 dan 1994 dengan ISO 9001 versi 2000 dan2008 Area perbedaan ISO 9000 versi 1987 & 1994 ISO 9001 versi 2000 & 2008 Filosofi Konsep Quality Assurance System Total Quality Management dasar Pendekatan Berbasis prosedur Berbasis proses dan sasaran proses yang terdefinisi Fokus pada Fokus untuk mengurangi Fokus untuk memastikan output pelanggan jumlah produk cacat yang setiap proses dapat memenuhi diterima pelanggan eksternal persyaratan, baik pelanggan eksternal maupun pelanggan internal Fokus pada Fokus pemeriksaan dilakukan Fokus pencegahan terjadi Cacat untuk memastikan produk kesalahan pada setiap proses cacat tidak diterima pelanggan eksternal Fokus pada peningkatan Elemen standar Jenis standar
Elemen persyaratan Operasional Proses yang termasuk Sistem
Fokus pada perbaikan
Fokus pada peningkatan berkelanjutan
Terdapat tiga standar (ISO 9001/9002/9003) yang berlaku untuk jenis-jenis organisasi tertentu 20 elemen persyaratan utama
Hanya satu jenis standar ISO 9001, bersifat generik untuk setiap jenis organisasi
Proses-proses yang berhubungan dengan “core process”
Seluruh proses bisnis yang ada
5 elemen persyaratan utama
Pelaksanaan sistem
Cenderung birokratis dan Cenderung fleksibel dan harus terpisah dari kegiatan seharidapat menyatu dengan kegiatan hari sehari-hari Sumber: Faure, L.M dan Faure, M.M, 1992; Zeng et al., 2005; Prajogo dan Sohal, 2006; Martinez Lorente et al., 2010. Proses SMM ISO 9001 pada Gambar 3 dapat dijelaskan sebagai berikut: pada organisasi berbasiskan SMM ISO 9001
maka manajemen bertanggung
jawab untuk menangkap dan memastikan bahwa persyaratan pelanggan, yakni keinginan pelanggan peraturan perundangan
dapat diwujudkan oleh organisasidan sesuai dengan hukum
yang ada. Berdasarkan kajian tersebut,
manajemen memastikan dialokasikannya sumber daya yang memadai untuk
47
bisa dipergunakan dalam proses merealisasikan produk sebagaimana keinginan pelanggan Perbaikan terus menerus pada SMM
Pengukuran dan analisis
Manajemen sumber daya
Realisasi produk
Kepuasan PELANGGAN
PELANGGAN persyaratan
Tanggung jawab manajemen
Produk
Gambar 3 Model Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 berdasarkan proses (SNI 19-9001:2008 ) Manajemen juga bertanggung jawab atas direalisasikannya produk sesuai dengan
keinginan
pelanggan
serta
melakukan
pengukuran
dan analisis
terhadap kepuasan pelanggan. Pengukuran dan analisis kepuasan pelanggan tidak hanya dilakukan kepada pelanggan tetapi juga terhadap berbagai proses di dalam organisasi: sumber daya yang terlibat, audit internal, komunikasi, proses dan mekanisme mewujudkan produk tersebut. Berdasarkan hasil pengukuran dan analisis terhadap kepuasan pelanggan tersebut maka disusun pula sebuah strategi untuk melakukan perbaikan dan peningkatan kinerja secara terus menerus di organisasi. Bukan saja kepada mekanisme, proses, sumber daya yang ada tetapi juga terhadap kinerja organisasi. Proses ini berlangsung secara terus menerus sehingga
menciptakan
lingkaran
kepedulian terhadap mutu yang semakin
meluas di organisasi dan masyarakat.Delapan prinsip dalam manajemen mutu disajikan pada Gambar 4.
48
8.Hubungan saling menguntungkan dgn pemasok
1.Fokus ke pelanggan
7.Pendekatan Fakta untuk pengambilank eputusan
2. Kepemimpinan
MANAJEMEN MUTU
3. Pendekatan proses 4. Keterlibatan setiap orang
6.Perbaikan berkelanjutan
5. Pendekatan sistem
Gambar 4 Delapan prinsip manajemen mutu (Hoyle, 2001: 35) Prinsip pertama: Fokus ke Pelanggan Organisasi sangat tergantung kepada pelanggannya untuk tetap ada. Oleh karena itu, organisasi harus memahami kebutuhan pelanggan, saat ini dan di masa mendatang, berjuang untuk dapat memenuhi persyaratan yang mereka minta dan jika memungkinkan, melebihi apa yang diminta pelanggan (Hoyle, 2001). Prinsip ini meminta setiap orang di organisasi untuk memusatkan seluruh daya untuk memenuhi keinginan pelanggan. Prinsip berfokus kepada pelanggan ini direfleksikan dengan keharusan untuk (1) berkomunikasi dengan pelanggan, (2) memelihara milik pelanggan sebaik-baiknya, (3) ada pemahaman atas apa yang diinginkan dan diharapkan pelanggan, (4) adanya penunjukkan wakil manajemen, dan (5) adanya komitmen dari manajemen. Menurut Gaspersz (2003) pelanggan adalah semua orang yang menuntut perusahaan atau organisasi untuk memenuhi suatu standar mutu tertentu , dan karena itu akan memberikan pengaruh pada kinerja organisasi. Beberapa definisi pelanggan lainnya dari manajemen perusahaan L.L. Bean, Freeport, Maine yaitu: (1) Pelanggan adalah orang yang tidak tergantung kepada kita tetapi kita yang
49
tergantung kepadanya; (2) Pelanggan adalah orang yang membawa kita kepada keinginannya; (3) Pelanggan adalah orang yang teramat penting yang harus dipuaskan. Masyarakat luas adalah pelanggan pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah provinsi, kota dan kabupaten. Baik Gaspersz maupun Slamet (2008) membedakan jenis-jenis pelanggan menjadi tiga yaitu : (1) Pelanggan internal (internal costumer) yaitu orang yang berada dalam organisasi dan memiliki pengaruh pada kinerja pekerjaan kita; (2) Pelanggan antara (intermediate customer), yaitu orang yang berperan sebagai perantara, bukan sebagai pemakai akhir produk itu; dan (3) Pelanggan eksternal (external customer), yaitu pembeli atau pemakai akhir produk, sering disebut sebagai pelanggan nyata (real customer). Menurut Goetsch dan Davis (2000), pelanggan merupakan pihak dari luar organisasi yang menggunakan produk dari perusahaan, dan pemasok adalah pihak yang memasok bahan yang dibutuhkan untuk membuat produk. Perkembangan saat ini menyatakan bahwa organisasi memiliki pelanggan internal (para pegawai yang bekerja dalam perusahaan) dan pelanggan eksternal. Dalam manajemen mutu,
pelangganlah yang mendefinisikan tingkat mutu sehingga kepuasan
pelanggan perlu dipenuhi. Kepuasan pelanggan dicapai apabila sesuai atau melampaui harapan pelanggan. Oleh karena itu prinsip memfokuskan kepada pelanggan harus dipahami karyawan sehingga kebutuhan pelanggan diketahui, dimengerti dan diwujudkan atau dipenuhi.
Kebutuhan pelanggan tidak statis
sehingga diperlukan kontak yang konstan dengan pelanggan. Fokus dari mutu adalah pada kepuasan pelanggan sehingga perlu dipahami komponen-komponen kepuasan pelanggan (Hoyle, 2001). Kebijakan mutu yang dicanangkan organisasi diselaraskan dengan kebutuhan dan orientasi pelanggan terhadap mutu layanan.Gaspersz (2003) menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan ekspektansi pelanggan yaitu : (1) kebutuhan dan keinginan yang dirasakan pada saat melakukan transaksi produk perusahaan; (2) pengalaman masa lalu ketika mengkonsumsi produk dari perusahaan atau pesaingnya; (3) pengalaman dari teman-temannya ketika mengkonsumsi produk; serta (4) komunikasi melalui iklan dan pemasaran juga mempengaruhi persepsi pelanggan.
50
Prinsip kedua: Kepemimpinan Menurut Hoyle (2001), pemimpin
menetapkan
kesatuan tujuan dan
arahan bagi organisasi. Pemimpin harus membuat, menciptakan dan bertanggung jawab terhadap lingkungan internal organisasi yang membuat setiap orang didalamnya menjadi terlibat sepenuhnya dalam pencapaian tujuan organisasi. Kepemimpinan yang kuat akan mendorong organisasi mencapai tujuan yang ditetapkan, menjauhkan segala halangan menuju sukses. Kepemimpinan tidak berdiri sendiri, tetapi
bersama-sama dengan faktor lain di dalam organisasi
menciptakan nilai bersama, budaya organisasi, visi dan memotivasi orang-orang di dalam organisasi. Kepemimpinan menetapkan
tujuan
yang
direfleksikan
organisasi
serta
dalam
ISO
9001
kebijakan-kebijakan,
mencakup:
merencanakan,
memastikan terjadinya komunikasi internal serta menciptakan satu lingkungan kerja yang efektif. Inti dari prinsip ke dua
adalah adanya perubahan
kepemimpinan dari kepemimpinan yang menjengkelkan (aggravation) ke arah kepemimpinan yang memotivasi. Sistem dan prosedur yang dibangun di organisasi tidak akan berarti jika tidak diikuti dengan kualitas kepemimpinan yang diharapkan. Kepemimpinan yang efektif memiliki pengaruh positif terhadap kinerja organisasi, meskipun kinerja organisasi sendiri merupakan kumpulan dari kerja individu-individu yang ada di dalam organisasi tersebut. Di dunia bisnis yang memiliki persaingan yang semakin ketat, peran kepemimpinan menjadi demikian penting untuk membuat organisasi dapat bertahan di lingkungan yang sangat dinamis (Maritz, 1995 dan Bass, 1997). SMM ISO 9001 menyebutkan peran kepemimpinan dan komitmen manajemen, khususnya manajemen puncak (pimpinan tertinggi organisasi) adalah
memastikan proses komunikasi yang
sesuai telah dibangun di organisasi. Selain itu, manajemen puncak juga melakukan review atau kajian terhadap kesempatan untuk melakukan perbaikan, serta menentukan sumber daya yang digunakan sehingga terjadi peningkatan
efektifitas organisasi.
secara berkesinambungan Kepemimpinan berperan
besar dalam memperlancar perbaikan mutu organisasi, termasuk kemampuan
51
mengakomodasi saran dan usulan dari berbagai pihak di dalam organisasi (Winarni dan Syukri, 2008). Prinsip ke tiga: Keterlibatan setiap orang “People at all level are the essence of an organization and their full involvement enables their abilities to be used for the organization’s benefit” (Hoyle, 2001:37) Inti dari prinsip ke tiga dalam SMM ISO 9001 adalah terjadinya perubahan dari hanya sekedar mengoperasikan menjadi bekerja sama (transition from operate to cooperate). Setiap orang yang berada di dalam organisasi memiliki kompetensi: pengetahuan dan ketrampilan yang berbeda-beda sehingga setiap orang diharapkan terlibat secara penuh berpartisipasi dalam pencapaian tujuan organisasi. Manajemen oleh karenanya harus memahami hal ini dan membuat setiap orang dapat memberikan kontribusinya secara nyata kepada organisasi.
Manajemen harus memanfaatkan kemampuan, pengalaman,
ketrampilan setiap individu dan melibatkannya dalam setiap diskusi untuk pencapaian tujuan organisasi. Unsur-unsur yang ada dalam keterlibatan setiap orang diantaranya adalah: partisipasi dalam membuat dan mereview disain, terlibat dalam menentukan tujuan, menetapkan kewenangan dan tanggung jawab, menciptakan lingkungan yang kondusif dimana mereka akan termotivasi untuk bekerja optimal, komunikasi internal, serta dalam mengidentifikasi kompetensi yang diperlukan. Dalam mengelola mutu jasa, Kotler dan Heskett(1992)menyatakan bahwa organisasi sebaiknya mengambil langkah-langkah tidak hanya menyediakan pelayanan jasa yang lebih baik, melainkan juga memulihkan keadaan dari pelayanan yang keliru dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut : (1) Memberdayakan karyawan di garis depan dengan memberikan wewenang, tanggung jawab, dan insentif yang mereka butuhkan untuk memperhatikan, peduli dan mengurus kebutuhan pelanggan, (2) Memiliki komitmen tentang mutu dari manajemen puncak, (3) Menyediakan jasa terbaik dengan menetapkan mutu pelayanan yang tinggi, (4) Memanfaatkan perusahaan jasa terkemuka untuk mengamati kinerja pelayanan dengan cermat, baik kinerja sendiri maupun kinerja
52
pesaing, (5) Meminta perusahaan jasa tersebut mengkomunikasikan perhatian mereka tentang mutu pelayanan kepada karyawan dan menyediakan umpan balik kinerja (Nasution, 2004). Inti dari keterlibatan setiap orang di organisasi adalah terwujudnya pemberdayaan individu (Hoyle, 2009). Pemberdayaan dimaksudkan sebagai suatu upaya untuk menciptakan dan atau meningkatkan kapasitas dan kemampuan masyarakat, baik pada tataran individu, kelompok, maupun organisasi atau masyarakat dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dengan hasil akhir yang diharapkan adalah adanya kemandirian individu, kelompok ataupun masyarakat. Isu pemberdayaan muncul sebagai respon terhadap munculnya dorongan internal dan eksternal. Dorongan internal terkait dengan keengganan pegawai, motivasi dan pengembangan diri, sedangkan dorongan eksternal dapat berupa tingginya kompetisi, berubahnya struktur ketenagakerjaan, serta tingginya harapan pelanggan terhadap organisasi (Nixon, 1994). Terdapat beberapa elemen penting untuk tumbuhnya pemberdayaan yaitu: adanya akses terhadap informasi, adanya dukungan sumber daya yang memadai bagi individu, kelompok, atau masyarakat untuk melaksanakan tugasnya, serta adanya
akses
terhadap program-program
yang memungkinkan
individu
mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan pengalamannya (Page dan Czuba, 1999). Pemberdayaan diharapkan akan meningkatkan kepercayaan dengan berbagi kekuasaan (sharing power atau kontrol) untuk kehidupan yang lebih baik. Erstad (1997) menganggap bahwa pemberdayaan di organisasi diartikan sebagai upaya meningkatkan kemampuan organisasi dan individu untuk berbuat (act), yakni memungkinkan pegawai untuk membuat keputusan dan bertanggung jawab atas tindakannya masing-masing. Oleh karena itu, menjadi tugas organisasi menyusun strategi untuk memberi kesempatan kepada pegawai menerapkan kemampuannya tersebut (Hoyle, 2009). Organisasi dapat memberikan fasilitas atau lingkungan yang kondusif untuk mendukung terjadinya pemberdayaan. Menurut Lasley (1996) pemberdayaan terkait dengan tugas organisasi untuk menggunakan
strategi
sehingga
didapatkan
meningkatkan respon terhadap pelanggan.
komitmen
pegawai
untuk
53
Berbeda dengan Erstad (1997), Lasley (1996), dan Nixon (1994), Beach (1996) beranggapan bahwa pemberdayaan individu tidak bisa diitingkatkan atau didorong dari luar individu. Organisasi hanya dapat membuat sebuah lingkungan, sistem dan situasi yang
tidak
membatasi karyawan dengan pertimbangan
perilaku karyawan dapat berkembang secara optimal. Diharapkan dengan cara demikian maka pegawai bisa beradaptasi, mengembangkan dan mengubah struktur organisasi untuk menghasilkan perilaku yang diinginkan. Pegawai memiliki kemauan untuk belajar, tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang dapat mengelola diri sendiri (self-managed), mengembangkan kepemimpinan yang tidak hanya berada di puncak organisasi, meningkatnya kepercayaan pegawai terhadap manajemen serta kepercayaan diantara pegawai adalah wujud pemberdayaan di organisasi. Selain dari itu, tumbuhnya diharapkan
akan
meningkatkan
partisipasi
pegawai
dalam
pemberdayaan pengambilan
keputusan, lancarnya komunikasi dan kemampuan mengatasi konflik dengan resolusi yang efisien dan efektif.
Prinsip ke empat: Pendekatan Proses Pendekatan proses dimaksudkan jika hasil yang diinginkan bisa dicapai dengan cara yang lebih efisien terkait dengan sumber daya yang digunakan dan aktivitas yang diperlukan dalam proses tersebut (Hoyle, 2001). Semua pekerjaan adalah sebuah proses karena ia memanfaatkan input dan mengubahnya menjadi output. Proses menjadi sebuah kegiatan yang dinamis karena melibatkan orangorang, peralatan, serangkaian kegiatan, keputusan-keputusan yang harus diambil terkait kebenaran dan evaluasi terhadap hasil yang didapatkan. Pada intinya, keseluruhan kegiatan tersebut menuju kepada satu tujuan yakni terpenuhinya keinginan pelanggan dan kepuasan mereka. Proses harus dikelola dengan sebaik-baiknya untuk tidak menghasilkan hal-hal yang tidak berguna. Proses tidak hanya mengubah input menjadi output, tetapi juga memperhatikan beberapa hal: tujuan yang jelas dari output yang dihasilkan, proses yang didisain untuk mencapai tujuan melalui beragam kegiatan dengan menggunakan kemampuan dan kompetensi individu, sumberdaya dan informasi yang diperlukan. Proses juga diarahkan untuk memenuhi dan
54
memuaskan
pelanggan
ataupun
pemangku kepentingan yang terlibat
didalamnya. Proses diharapkan dapat mengukur, mereview, dan secara berkelanjutan dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitasnya (Hoyle, 2009).
Prinsip ke lima: Pendekatan Sistem Didefinisikan sebagai kegiatan identifikasi, memahami dan mengelola berbagai proses yang saling terkait sebagai sebuah sistem yang secara bersamasama berkontribusi kepada efektifitas dan efisiensi pencapaian tujuan organisasi (Hoyle, 2001; Hadi, 2007). Sebagai sebuah sistem, maka keseluruhan proses yang terjadi sebagai aktivitas untuk mencapai tujuan organisasi dihubungkan satu dengan yang lainnya
sehingga tersambung. Seluruh sumberdaya digunakan
secara efektif untuk mendukung proses yang berlangsung. Informasi mengalir dengan lancar serta kinerja atau output yang dihasilkan terpantau dengan baik. Sistem menjadi bergerak dinamis karena perilaku salah satu unsur pendukung sistem akan berpengaruh kepada perilaku unsur pendukung lainnya dan bepengaruh terhadap keseluruhan sistem. Oleh karena itu, pendekatan sistem berarti (1) harus mengembangkan, mengimplementasikan dan mengelola sistem yang terhubung, dimana terdapat (2) saling ketergantungan dan merupakan serangkaian proses, (3) hubungan antar proses,
termasuk didalamnya (4)
bagaimana mengembangkan pengukuran proses tersebut. Organisasi selalu dikaitkan dengan adanya hirarki dimana menjadi tugas atasan membagi pekerjaan kepada bawahan. Hal ini disebabkan karena atasan selalu memiliki sejumlah anak buah yang membentuk
piramida organisasi
(Szilagyi dan Wallace, 1990). Organisasi dapat dilihat melalui pendekatan inputtransformation-output approach, atau yang dikenal sebagai model sistem sebagaimana Gambar 5.
55
Environmental beneficiaries
Environmental forces
Input
Proses transformasi
Output
Feedback internal
kontrol
maintenance
koordinasi
Feedback ( external)
Gambar 5 Skema organisasi sebagaisebuah sistem (Szilagyi dan Wallace, 1990:620) Setiap organisasi memiliki output, tergantung kepada tipe organisasinya. Untuk itu diperlukan adanya sejumlah input, yang berupa sumber daya manusia, peralatan, informasi, instruksi, sejumlah sumber daya lainnya. Dengan melalui proses transformasi (kontrol, maintenance dan koordinasi) akan menghasilkan output yang diharapkan. Sumber input dapat berasal dari dalam organisasi maupun dari luar dimana biasanya input dari luar dapat berupa tekanan-tekanan lingkungan seperti: peraturan perundangan, pelanggan, pemasok, para investor, dan bahkan para pesaing. Melalui transformasi terhadap input yang berupa (1) kontrol, didalamnya termasuk: review, verifikasi terhadap standar yang digunakan, kesesuaian dengan standar, (2) maintenance (yang digunakan untuk mengelola organisasi, termasuk didalamnya adalah struktur organisasi itu sendiri, sistem penghargaan, sistem sosialisasi), dan (3) koordinasi untuk mencapai satu kesatuan pelaksanaan kegiatan yang mengarah kepada pencapaian tujuan organisasi. Organisasi biasanya akan membuat berbagai mekanisme untuk koordinasi. Disisi output yang dihasilkan, terdapat tiga pengguna output: para pelanggan, pemilik organisasi serta para pekerja. Individu di dalam organisasi akan selalu bekerja dalam lingkup sistem yang demikian.
56
Prinsip ke enam: Peningkatan Berkelanjutan (Continual Improvement) Peningkatan berkelanjutan dari keseluruhan kinerja organisasi harus menjadi tujuan tetap organisasi. (Hoyle, 2001; Hadi, 2007). Peningkatan berkelanjutan berarti mengubah dari kegiatan mengkoreksi kesalahan yang terjadi (error correction) menjadi mengkaji kesalahan (course correction). Setiap orang di dalam organisasi harus selalu mempertanyakan kinerja masing-masing, mempertanyakan target yang ditetapkan dan mencari target baru bagi organisasi untuk mendorong kemampuan organisasi. Setiap orang selalu berusaha untuk mencari jalan yang terbaik dan metode baru untuk menyelesaikan pekerjaannya. Inti dari prinsip ke enam ini terdapat pada tiga kata kunci: kinerja (performance), metoda (methods) dan target. Tiga area tersebut menjadi kunci bagi organisasi untuk mencapai dan mempertahankan suksesnya. ISO
9001
mendefinisikan
peningkatan
berkelanjutan
(continual
improvement) sebagai sebuah aktivitas untuk meningkatkan kemampuan memenuhi persyaratan yang diminta (Hoyle, 2001). Skala yang digunakan untuk mengukur terjadinya peningkatan berkelanjutan ini sangat relatif. Peningkatan berkelanjutan dapat terjadi dalam kurun waktu satu minggu, satu bulan dan bahkan bisa bertahun-tahun. Peningkatan berkelanjutan sangat tergantung kepada target yang akan dicapai, yaitu: individu, aktivitas, produk, dan bahkan organisasi. Target individu berarti adanya upaya untuk selalu meningkatkan kemampuan dan kompetensi individu yang terlibat di dalam sistem dan proses mewujudkan produk yang diminta, perbaikan produk bisa berupa modifikasi produk atau perbaikan mutu produk. Target aktivitas, berarti mengurangi variasi untuk mencapai efisiensi. Target organisasi dapat melingkupi area yang sangat luas dan bisa berujung kepada reorganisasi. Kegiatan tersebut dimulai dari perbaikan tugas-tugas individu, proses dan sistem organisasi. Tiga hal yang direfleksikan dalam SMM ISO 9001 yakni : (1) proses peningkatan atau perbaikan (improvement processes), (2) identifikasi peningkatan atau perbaikan yang dilakukan, dan (3) adanya review terhadap dokumen serta peningkatan.
proses terkait kesempatan untuk melakukan perbaikan dan
57
Prinsip ke tujuh: Pendekatan fakta untuk pengambilan keputusan “effective decisions are based on the analysis of data and information” (Hoyle, 2001:40) Inti dari prinsip ke tujuh tersebut adalah adanya transisi dari model pengambilan keputusan yang subyektif dan intuitif oleh pengambil keputusan menjadi pengambilan keputusan yang obyektif berdasarkan data dan fakta. Diperlukan sebuah mekanisme yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengoleksi data dan fakta yang dapat dipercayai kesahihannya. Konsep
pendekatan
fakta
untuk
pengambilan
keputusan
adalah
penggunaan data untuk mendukung keputusan organisasi, mengeliminasi keputusan berdasarkan intuisi dan indra ke enam lainnya. Keputusan yang tidak mendasarkan kepada data dan fakta yang ada akan sangat berbahaya bagi organisasi, khususnya terkait dengan keputusan-keputusan strategis organisasi. Kinerja organisasi akan sangat bergantung kepada kemampuannya membuat keputusan yang tepat terkait dengan produk (barang dan jasa), pasar, membuat prioritas dan memutuskan berbagai aktivitas yang harus dilakukan yang mengarah kepada peningkatan kinerja.
Kegagalan dalam membuat keputusan akan
berdampak kepada hilangnya pelanggan, pasar, dan menurunnya keuntungan finansial organisasi (Lubis, 2008). Pendekatan fakta untuk pengambilan keputusan yang direfleksikan oleh SMM
ISO 9001 melalui beberapa persyaratan,
diantaranya: (1) melakukan review, menyiapkan alat ukur (measurements tools), dan memonitor cara mendapatkan fakta, (2) mengontrol alat ukur yang digunakan, (3) menganalisis fakta yang ada untuk mendapatkan informasi, (4) mencatat dan mendokumentasikan fakta-fakta, serta (5) memberikan persetujuan berdasarkan fakta. Pendekatan ke delapan: Hubungan yang saling menguntungkan dengan pemasok (mutually beneficial supplier relationship) Prinsip yang dianut dari pendekatan tersebut adalah bahwa organisasi dan pemasok adalah dua buah elemen yang saling bergantung satu dengan lainnya dan mendapatkan kemanfaatan dari hubungan tersebut.
Kelangsungan
hidup
organisasi tidak hanya bergantung kepada pelanggan tetapi juga bergantung
58
kepada pemasoknya. Pemasok berperan dalam memberikan berbagai kebutuhan organisasi, mulai dari berbagai material atau bahan yang diperlukan hingga kepada layanan
yang tidak dilakukan organisasi. Sebagai contoh: layanan
pengelola kegiatan (event organizer) untuk acara-acara perkenalan produk ke pasar, jasa pembersih (cleaning service), foto kopi, dan satuan pengamanan. Pada SMM ISO 9001 terjadi transisi terhadap pendekatan sebelumnya kepada pemasok, yakni dari pendekatan oposisi (berlawanan) menjadi pendekatan persekutuan atau bekerja sama (Hoyle, 2001). Perkembangan di pasar barang dan jasa di tahun-tahun terakhir berubah cukup drastis, khususnya dalam hubungan antara pemasok dan pelanggan. Hubungan tersebut menjadi lebih kuat dengan adanya upaya-upaya menumbuhkan hubungan yang lebih baik yang berdasarkan atas saling percaya. Pelanggan diuntungkan karena tidak harus melakukan penimbunan material yang diperlukan karena pemasok menjamin material selalu tersedia. Biaya-biaya gudang dan penyimpanan dapat ditekan lebih rendah. Hubungan kedua belah pihak lebih mengarah kepada memberi dan menerima. Hubungan ini mendorong tumbuhnya layanan purna jual yang lebih baik (Lubis, 2008). SMM ISO 9001:2008 mengatur hubungan yang saling menguntungkan antara organisasi dan pemasok yang diwujudkan dalam persyaratan-persyaratan: adanya kontrol, evaluasi, analisa dan review terhadap data-data yang dimiliki pemasok. Ke delapan prinsip tersebut digunakan untuk melakukan validasi terhadap proses yang sedang berjalan. Validasi terhadap keputusan-keputusan, serta terhadap pelaksanaan audit, dengan mempertanyakan: dimana fokus ke pelanggan berada pada
proses tersebut. Bagaimana unsur kepemimpinan
terrefleksikan di dalam proses? Dimana keterlibatan setiap orang pada proses pengambilan keputusan, di dalam memonitor dan mengukur kinerja, dan didalam meningkatkan kinerja? Dimana pendekatan proses diaplikasikan untuk mencapai tujuan, dimana sistem bekerja, dimana peningkatan atau perbaikan berkelanjutan terjadi, dan dimana proses hubungan dengan pemasok berada dan berjalan saling menguntungkan (ISO, 2008).
59
Perubahan Perilaku Mengingat bahwa perilaku manusia adalah suatu kondisi yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong (driving forces) dan kekuatan-kekuatan penahan (restraining forces), maka perilaku akan berubah jika terjadi keadaan ketidakseimbangan diantara ke dua faktor tersebut (Lewin dalam Notoatmodjo, S, 2010). Terdapat tiga kemungkinan yang mengakibatkan terjadinya perubahan perilaku pada seseorang: 1.
Meningkatnya kekuatan pendorong yang disebabkan adanya stimulusstimulus yang mendorong terjadinya perubahan perilaku. Stimulus bisa berupa informasi ataupun situasi yang berhubungan dengan perilaku individu yang bersangkutan, sedangkan kekuatan penahannya tetap tidak berubah. Stimulus ini mendorong terbentuknya perilaku baru dari individu. Sebagai contoh: ” makan tidak makan asal kumpul” adalah kepercayaan bahwa berkumpulnya keluarga inti merupakan sebuah keharusan, meskipun kondisi ekonomi dalam keadaan tidak menguntungkan. Informasi berbagai pekerjaan yang ada diluar daerah telah mendorong perilaku baru, yakni perilaku merantau ke luar daerah;
2.
Menurunnya kekuatan penahan. Penurunan ini disebabkan karena adanya stimulus yang terus menerus memperlemah kekuatan penahan tersebut. Menurunnya kekuatan penahan telah menyebabkan munculnya perilaku baru dari individu;
3.
Menurunnya kekuatan penahan yang secara bersamaan terjadi peningkatan kekuatan pendorong akan menyebabkan terjadinya perubahan perilaku individu. Sebagai contoh: iklan atau kampanye yang terus menerus terhadap pentingnya Keluarga Berencana serta pentingnya setiap individu mengekspresikan kemampuan dirinya untuk berkarir (perempuan dan lakilaki) akan meningkatkan kekuatan pendorong sekaligus melemahkan kekuatan penahan (ibu tidak bekerja). Lippitt et al (1958) mengidentifikasi adanya faktor pendorong perubahan
(change forces) dan faktor penahan (resistance forces) yang beroperasi terhadap naik-turunnya kesiapan individu untuk berubah. Faktor pendorong perubahan (change forces) akan berada di berbagai situasi yang meningkatkan keinginan
60
individu untuk membuat sejumlah perubahan. Demikian juga berlaku bagi faktor penahan (resistance forces). Faktor ini akan berada pada berbagai situasi yang menurunkan keinginan individu untuk berubah. Kedua faktor tersebut selalu ada dalam setiap situasi, apakah pada tingkat individu, kelompok, atau bahkan dalam masyarakat yang lebih luas. Pada tingkat individu, keberadaan kedua faktor tersebut menyebabkan timbulnya konflik keinginan (conflicting desires): antara keuntungan yang didapat dengan ketakutan seandainya perubahan tersebut akan mengakibatkan kenyamanan yang selama ini dinikmati menghilang. Ketidakpuasan yang dialami individu muncul sebagai akibat dari apa yang diharapkannya tidak sesuai dengan yang didapatkan. Dalam kasus pelayanan publik, masyarakat menginginkan adanya pelayanan publik yang transparan, murah, tepat waktu, beretika. Sedangkan layanan yang diterima adalah layanan yang tidak bisa diandalkan: berbiaya mahal, memakan waktu lama, dan tidak mendapatkan pelayanan secara manusiawi. Keinginan masyarakat tersebut telah menjadi sebuah dorongan eksternal (driving force) bagi unit layanan publik untuk berubah. Masyarakat menginginkan adanya perubahan perilaku pegawai untuk lebih tanggap.
Birokrasi di Indonesia Birokrasi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena berpegang pada hirarki dan jenjang
jabatan.
Birokrasi
adalah cara bekerja atau susunan
pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan yang banyak liku-likunya (Transparasi Indonesia, 2009). Menurut Hans dan Schiel (1990), birokrasi Indonesia mengikuti pola Parkinson, yakni dimana proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktural dalam birokrasi terjadi secara tidak terkendali, serta mengikuti pola Orwel, yakni birokratisasi yang terjadi adalah merupakan proses perluasan kekuasaan pemerintah yang ditujukan untuk mengontrol peri kehidupan masyarakat di bidang ekonomi, politik dan sosial dengan berbagai regulasi dan peraturan, yang bilamana perlu, menggunakan paksaan. Menelusuri sejarah birokrasi
Indonesia dapat memberikan
arah orientasi birokrasi dalam
61
memberikan pelayanan publik. Sinambela (2006) membagi sejarah birokrasi Indonesia ke dalam 3 (tiga) masa: masa kerajaan, masa kolonial atau penjajahan, serta masa merdeka. Masa kerajaan dimulai sejak kira-kira abad ke V dengan munculnya kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat dimana pada masa ini pengaruh agama Hindu melekat kuat. Abad ke VII Kerajaan Sriwijaya tumbuh menjadi negara maritim yang beragama Budha. Di Jawa muncul kerajaan Kalingga dengan Ratu Simha yang termashur dan dilanjutkan oleh dinasti Sanjaya dan Syailendra (abad VIII daan IX). Pada abad-abad ini ke dua agama, Hindu dan Budha memiliki pengaruh yang sangat kuat di pulau Jawa. Kesultanan Demak Bintara sebagai kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa dan diteruskan dengan Kerajaan Mataram. Menurut Sinambela (2006), Kerajaan Mataram mewakili model negara tradisional yang memiliki ciri
birokrasi patrimonial. Pada masa inilah
berkembang feodalisme yang kuat dan menyelimuti pola-pola birokrasi negara. Pada masa ini berkembang berbagai lapisan masyarakat yang sangat hirarkis dengan Raja sebagai penguasa tertinggi dan lapis pertama masyarakat. Kalangan bangsawan, tentara dan pemuka agama berada di lapis ke dua. Lapis ketiga atau yang paling bawah adalah masyarakat biasa: petani, buruh tani, dan pekerja lainnya. Menurut Sinambela (2006), stratifikasi sosial yang ada merupakan stratifikasi sosial dengan pola tertutup (closed social stratification) dimana sangat sulit bagi sebuah kelas sosial untuk bergerak
vertikal,
kebawah (social
movement) dan terutama sekali keatas. Dasar stratifikasi sosial lebih kepada dasar keturunan dimana raja
memegang kekuasaan tertinggi atas pergerakan
sosial masyarakat tersebut. Tidak mengherankan
jika kelas atau lapis kedua
dalam masyarakat yang terdiri dari para bangsawan, tentara, pemuka agama sangat loyal kepada raja. Mereka inilah yang menjadi “penguasa” atau “the rulling class” dan sangat loyal kepada raja atau terlihat sangat loyal kepada raja. Para penguasa tidak mungkin bertahan terus tanpa dukungan dari masyarakat. Oleh karena itu berbagai cara dilakukan untuk memberikan keyakinan atas kebenaran
62
kekuasaan yang dimiliki dengan membangun mitos yang mampu memberikan keyakinan atas kebenaran kekuasaannya. Kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh the rulling class tersebut menyangkut berbagai peri kehidupan masyarakat dan dijalankan dengan berbagai cara: kepercayaan,pemujaan, kepatuhan dan bahkan kalau perlu dengan paksaan. Hal tersebut dimungkinkan karena adanya kepercayaan bahwa segala sumber kemampuan dimiliki oleh raja. Ukuran kepatuhan birokrasi dan masyarakat pada masa itu adalah bagaimana mengabdi kepada raja secara total. Masa penjajahan kolonial. Birokrasi diciptakan semata-mata untuk menjadi perantara antara pihak penguasa (penjajah) dengan masyarakat pribumi yang dikuasainya. Pada masa ini sebenarnya dasar-dasar birokrasi modern telah mulai dibangun dengan dibentuknya jabatan-jabatan kenegaraan dengan berbagai rumusan tugas, fungsi, kewenangan, dan tanggung jawab bagi masing-masing jabatan, serta mendapatkan gaji menurut skala penggajian dan dibayarkan oleh kantor kas negara. Sistem birokrasi modern yang diperkenalkan tidak menghapuskan sistem feodalisme yang telah ada sehingga terjadi sistem administrasi ganda. Hal ini nampak pada fenomena birokrasi modern yang diterapkan bagi kalangan kulit putih dan kelas dua lainnya (Cina, dan etnis lainnya). Disisi lain dikembangkan jabatan tradisionil yang terdiri dari pegawai pangreh praja pribumi yang dikenal dengan sebutan “priyayi”. Gejala ini memunculkan neofeodalisme di kalangan pejabat pemerintah. Golongan priyayi menggambarkan ciri baru masyarakat pribumi yang berpendidikan dan menduduki posisi di birokrasi tetapi dengan gaya kehidupan aristrokrat, mengingat hanya dari kalangan bangsawan, tentara, pemuka agama yang diperkenankan mengenyam pendidikan ala barat. Golongan inilah yang tidak bisa membebaskan dirinya dari etos feodal yang ada (Joko Suryo dalam Sinambela, 2006). Pada masa kemerdekaan, birokrasi Indonesia diwarnai dengan ciri masyarakat prismatik, yakni masyarakat dengan heterogenitas dan formalisme yang tinggi dan overlapping. Heterogenitas yang tinggi ditengarai dengan adanya campuran sifat masyarakat tradisional (fused society) dan masyarakat modern (refracted society). Formalisme tinggi ditandai dengan adanya ketidaksesuaian
63
antara praktek dan ketentuan yang tertulis, antara norma dengan empiris, sedangkan overlapping ditandai dengan tumpang tindihnya antara struktur yang dibedakan dan dispesialisasikan secara formal berdampingan dengan struktur yang belum dibedakan. Keluarga berpengaruh terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi kedinasan. Periode ini juga ditandai dengan catatan birokrasi pemerintah
yang
diterjemahkan sebagai officialdom, atau kerajaan pejabat (Sinambela, 2006). Sinambela menyatakan lebih lanjut, bahwa jabatan yang disandang para pejabat birokrasi dilengkapi dengan berbagai fasilitas dan atribut yang mencerminkan kekuasaan tersebut. Beberapa gambaran yang melengkapi pernyataan tersebut diantaranya: (1) diluar hirarki kerajaan pejabat, terdapat rakyat yang tidak memiliki kekuasaan (powerless). Oleh sebab itu, Thoha (2003) menyatakan birokrasi pemerintah kita adalah kerajaan pejabat yang jauh dari rakyat; (2) pejabat
birokrasi
menjadi
sentral
untuk
segala
penyelesaian
urusan
kemasyarakatan. Rakyat tergantung kepada pejabat bukan sebaliknya. Kualitas pelayanan dengan demikian tidak menjadi prioritas utama; (3) kekuasaan dalam birokrasi melekat pada diri “pejabat” yang bersangkutan, sakral, sulit ditemui dan bagi rakyat biasa tidak bisa sembarangan untuk bertemu dengan pejabat. Konsekwensi dari situasi ini adalah rakyat yang tidak memiliki kuasa dan dalam posisi tawar yang lemah sehingga memunculkan praktek-praktek suap, korupsi, kolusi, berbelit-belitnya birokrasi. Pejabat yang memiliki kekuasaan diibaratkan sebagai
raja. Bila rakyat membutuhkan pelayanan, maka pejabat
tersebut akan mendistribusikan pelayanan tersebut. Berdasarkan tinjauan kesejarahan tersebut, tidak salah bila Rozi (2000) menyatakan bahwa birokrasi di Indonesia adalah birokrasi patrimonial, yang merupakan kelanjutan dan warisan dari sistem nilai tradisional yang tumbuh di masa kerajaan-kerajaan masa lampau dan bercampur dengan birokrasi gaya kolonial (Romli, 2007). Adapun ciri-ciri birokrasi patrimonial adalah: (1) para pejabat disaring berdasarkan kriteria pribadi, (2) jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan, (3) para pejabat mengontrol fungsi administrasi dan fungsi politik, (4) setiap tindakan dalam organisasi selalu diarahkan atas hubungan pribadi dan politik. Model birokrasi ini mengedepankan
64
perilaku dan mentalitas sebagai penguasa yang harus dilayani daripada sebagai aparat yang harus melayani publik. Hubungan yang terjadi lebih bersifat personal, dimana faktor kedekatan dan loyalitas pribadi menjadi prioritas daripada aturanaturan legal-formal. Dalam konteks hubungan ini pulalah dikenal dengan dasar kekeluargaan, pertemanan, like and dislike dalam promosi suatu jabatan. Birokrasi dimasa Orde Baru 2000). Birokrasi dimasa ini
memiliki sejarah yang tidak baik (Rozi,
dijadikan sebagai kendaraan politik menuju
kekuasaan. Birokrasi menjadi alat politik. Pejabat politik yang mengisi birokrasi pemerintah sangat dominan dan memiliki kewenangan besar di hampir semua aspek
kehidupan
masyarakat.
Birokrasi
menangani
semuanya.
Luasnya
kewenangan ini mengakibatkan menonjolnya peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan (regulator) daripada sebagai pelaksana kebijakan (eksekutor). Birokrasi lebih bersifat menguasai daripada melayani masyarakat. Birokrasi kemudian dianggap sebagai sumber masalah dan beban masyarakat daripada sumber solusi atas berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat. Fenomena ini terjadi karena birokrasi yang ada dibentuk untuk menguasai masyarakat dengan segala sumber daya yang dimilikinya. Birokrasi semakin kuat kekuasaannya dimasa Orde Baru dengan munculnya slogan A-B-G: ABRI-Birokrasi- Golkar. Birokrasi menjadi mesin politik Golkar yang didukung sepenuhnya dengan kekuatan angkatan bersenjata negara, yakni ABRI. Birokrasi menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan. Opini yang terbentuk akhirnya adalah bahwa sikap, perilaku dan opini pejabat politik dan pejabat birokrasi tidak dapat dibedakan. Birokrasi tumbuh sebagai instrumen untuk menggalakkan industrialisasi serta menjaga hasil-hasilnya untuk dapat disebarluaskan kepada masyarakat. Industrialisasi akan berhasil jika dilaksanakan dalam kondisi kemasyarakatan yang stabil. Disinilah diperlukan peran militer. Menurut Orde Baru, stabilitas harus dijaga dan menjadi prasyarat mutlak terjadinya pembangunan, yang diharapkan kemudian diiringi dengan tumbuhnya peran swasta dalam proses industrialisasi. Kondisi terakhir ini tidak terjadi dengan baik
sehingga peran pemerintah menjadi semakin besar dan
mengatur ke segala segi kehidupan berbangsa dan bernegara (Liddle, 1996).
65
Latar belakang budaya dan kesejarahan diyakini memiliki andil terhadap arah perkembangan birokrasi Indonesia, diantaranya:(1) budaya formalisme yang melahirkan birokrasi dengan mengutamakan simbol-simbol seremonial daripada produktivitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik, (2) budaya feodalisme yang paternalistik melahirkan birokrasi dimana orientasi status dan senioritas lebih menonjol daripada profesionalitas dan kreativitas, (3) adanya jiwa kekeluargaan yang berujung kepada terjadinya nepotisme dalam memberikan pelayanan kepada publik, (4) adanya budaya upeti dan mengaburnya batas-batas antara kedinasan dan pribadi yang memunculkan terjadinya korupsi dan penyalahgunaan harta kekayaan negara. Dapat disimpulkan bahwa budaya memiliki pengaruh yang demikian dominan dalam mewarnai perilaku birokrasi Indonesia (Sinambela, 2006, Darwin, 1999 dan Muhaimin, 1980). Rozi (2000) menggambarkan birokrasi Indonesia dari tujuh dimensi yang ada. Dimensi ini meliputi dimensi kultur dan struktur kerja, hubungan kerja, tujuan kerja, sikap terhadap publik, pola rekruitmen, pengawasan dan penghargaan, model pelayanan serta keterkaitannya dengan politik. Model Birokrasi Indonesia adalah irasional-hirarkis, hubungan kerja bersifat komandointervensionis, tujuannya adalah untuk penguasaan dan pengendalian publik, dengan biaya ekonomi tinggi. Dalam melaksanakan rekruitmen, pengawasan dan penghargaan, Rozi menyebutnya dengan “spoil system”, karena mengedepankan nepotisme, diskriminasi, dan penghargaan berdasarkan kaitan primordialismekesukuan-ras,agama atau kelompok. Birokrasi memberikan pelayanan yang seadanya karena tidak adanya pesaing dalam bidang tersebut (Osborne dan Gaebler, 1992). Birokrasi Indonesia berpolitik, artinya birokrasi pemerintah tidak saja diisi oleh mereka yang melalui jalur karir, tetapi juga dimasuki oleh para pemimpin politik dari partai politik. Kondisi ini semakin mengaburkan pola hubungan diantara keduanya, terutama dalam hal pengawasan dan kontrol. Pertanyaan “siapa mengawasi siapa”, atau siapa menjadi subordinasi dari yang lainnya, seringkali memunculkan satu permasalahan baru. Kepemimpinan dari jalur politik menganggap dirinya lebih superior dibandingkan pejabat publik yang berasal dari jalur karir atau
66
profesional, karena menganggap dirinya dipilih langsung oleh rakyat, sehingga memiliki legitimasi yang lebih kuat. Birokrat atau aparatur publik tersebut dijuluki sebagai “Abdi Negara” (Yudhiantara, 2009), karena dipundaknya berbagai tugas kemasyarakatan, pemerintahan
dan
pembangunan
diselenggarakan
atas
nama
Negara.
Kompleksnya pelayanan umum yang diberikan oleh para Abdi Negara semakin memperkuat jaringan birokrasi yang terbentang dari pusat hingga ke pelosokpelosok desa. Menurut Yudhiantara jika melihat apa yang dilakukan oleh para Abdi Negara ini, maka perlu adanya penghargaan dan respek terhadap mereka. Kondisi faktual yang ada di masyarakat menunjukkan keadaan yang sebaliknya. Berhubungan dengan birokrasi berarti berhadapan dengan sejumlah lembaga dengan birokrasi yang berbelit, dari satu meja ke meja lainnya. Rakyat yang seharusnya dilindungi oleh Negara diubah menjadi pembeli jasa yang harus mengeluarkan biaya untuk mendapatkan layanan yang seharusnya diterima sebagai warga Negara. Birokrasi yang diperkenalkan oleh Weber (1947) masih jauh untuk dapat dilaksanakan di Indonesia. Birokrasi menurut Weber bercirikan adanya berbagai aktivitas yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka mencapai tujuan organisasi melalui : (1) cara-cara pendistribusian pekerjaan yang baku sebagai kewajiban resmi, (2)
organisasi mengikuti prinsip hirarki, yakni
menggunakan “span of control” tertentu, artinya setiap unit kerja yang lebih rendah berada dibawah control dan pengawasan unit kerja yang lebih tinggi, (3) penyelenggaraan birokrasi melalui suatu sistem kaidah yang abstrak dan konsisten,
(4)
pejabat
birokrasi
diangkat
dan
ditetapkan
berdasarkan
impersonalitas formalistik, berdasarkan kemampuan atau kompetensi. Setiap penanggung jawab pekerjaan memiliki yurisdiksi atas tugas dan tanggung jawabnya dengan tatanan birokrasi dan kompetensi masing-masing dan didukung dengan pola komunikasi yang tertulis. Weber juga menyatakan bahwa birokrasi secara tegas dipisahkan dari pengaruh politik. Birokrasi tipe ideal Weber akan dapat menciptakan kepastian pelayanan melalui adanya standar prosedur operasional yang tertulis. Standar tersebut akan membuat pelayanan menjadi dapat diharapkan, tidak diskriminatif dan non-partisan (Dwiyanto, 2010).
67
Masa reformasidan paska reformasi tahun 1998 telah memberikan banyak ruang gerak kepada publik untuk menuntut berbagai hal yang dirasa menyimpangterlalu jauh dari intinya. Birokrasi dituntut untuk dapat menjawab dan mengemban tugasnya, yakni: menjadi pelayan masyarakat dengan cara-cara yang efisien, terbuka, transparan dan meletakkan masyarakat sebagai subyek dan pusat berbagai kegiatan kepemerintahan. Pada masa ini tumbuh paradigma baru bagaimana sebuah pemerintahan yang baik dan bersih (good governance) dapat dijalankan. Keputusan
Menteri
Negara
Pendayagunaan
Nomor63/Kep/M.Pan/03 tentang Pedoman Umum
Aparatur
Negara
Penyelengara Pelayanan
Publik diikuti dengan keluarnya Peraturan Menteri Nomor Per/20/M.Pan/4/06 tentang Pedoman Umum Penyusunan Standar Pelayanan Publik
memberi
panduan bagaimana pemerintah menyusun pelayanan publik yang seharusnya diberikan kepada masyarakat. Meskipun demikian, saat ini masih terlihat adanya fragmentasi pelaksanaan pelayanan publik tersebut. Hal ini terjadi karena banyaknya aspek pelayanan publikserta kaitannya
dengan kemampuan
pemerintah daerah yang berbeda-beda (Rasad, 2006). Perundangan menjadi tidak efektif, tumpang tindih, dan belum didukung oleh sumberdaya manusia yang memadai kualitasnya. Ketidakpastian
pelayanan masih terus terjadi, terutama menyangkut
waktu, biaya dan cara pelayanan. Pemerintah masih menerapkan manajemen konvensional dimana
pelayanan publik masih menjadi arena dan domain
birokrasi pemerintah dan birokrasilah yang menentukan jenis layanan yang akan diberikan, termasuk kualitas, kuantitas dan cara pelayanannya (Dwiyanto, 2010). Keterlibatan masyarakat dalam era reformasi sangat tinggi yang mendorong beberapa pemerintah kota dan kabupaten memperbaiki cara-cara pelayanan publik dengan manajemen partisipatif. Pemerintah kota dan kabupaten membuat kontrak pelayanan meskipun untuk jenis layanan yang masih sangat terbatas, seperti KTP. Kota Blitar, Kota Jogjakarta, Kota dan Kabupaten Semarang membuat kontrak pelayanan yang menyatakan bahwa pelayanan publik adalah milik bersama. Warga dan pemerintah memiliki hak dan kewajiban yang
68
harus dihormati, dan hubungan keduanya bersifat kontraktual. Menurut Dwiyanto (2010), dengan diterapkannya model pelayanan publik secara kontraktual ini telah mengubah paradigma birokrasi dan praktek-praktek sebelumnya yang tidak sesuai.
Partisipasi, transparansi dan akuntabilitas penyelenggara negara dan masyarakat menjadi penting dan berdampak kepada terjadinya pergeseran budaya pelayanan yang selama ini ada. Masa reformasi telah mendorong perilaku masyarakat menjadi semakin egaliter, masyarakat memahami hak dan kewajibannya, sedangkan birokrasi belum berubah cukup banyak. Pengenalan konsep ”abdi masyarakat atau public servant” belum membudaya. Sikap dan budaya aparat birokrasi dibentuk oleh budaya yang hidup dalam birokrasi. Jika budaya birokrasi adalah budaya kekuasaan, maka perilaku pegawai pemerintah masih mencerminkan budaya penguasa, bukan budaya pelayanan.
Faktor yang Berpengaruh Terhadap Sikap dan Perilaku Mengamati sikap dan perilaku tidak bisa dilepaskan dari beberapa variabel yang mempengaruhi perilaku individu tersebut. Sofyandi dan Garniwa (2007) menyatakan terdapat tiga hal atau variabel yang secara langsung mempengaruhi perilaku individu: (1) aspek individu, (2) aspek psikologis, dan (3) aspek keorganisasian dimana mereka berada. Aspek individu menyangkut aspek kemampuan dan ketrampilan. Aspek psikologis menyangkut
bagaimana
bersikap, belajar, termotivasi. Sedangkan aspek organisasi adalah suatu alat atau sarana yang dapat digunakan atau memberi manfaat individu untuk memenuhi kebutuhannya. Organisasi dimana individu berada terdiri dari berbagai sub-sistem yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Organisasi akan memberikan pengaruh terhadap perilaku individu dengan menciptakan pranata tertentu yang menghendaki setiap individu didalamnya mengikuti. Organisasi menciptakan suatu kultur (budaya) yang bisa membedakannya dari organisasi yang lain (Hofstede,1991; Schein, 1992). Budaya organisasi tersebut mempengaruhi bagaimana individu bersikap dan berperilaku.
69
Dalam kaitan individu sebagai aparatur negara adalah mereka yang memiliki tugas pokok dan fungsi melayani masyarakat dan berada di dalam organisasi publik. Menurut World Definition, aparatur adalah alat, perangkat, baik negara atau pemerintah, pegawai negeri sipil (PNS) dan alat kelengkapan lainnya yang menyelenggarakan tugas-tugas kepemerintahan dan kenegaraan untuk kelancaran roda pemerintahan sehari-hari. Sebagai aparatur negara, tugas utamanya adalah memberikan layanan kepada masyarakat (servicing the public). Untuk itu diperlukan serangkaian persyaratan individu yang dinyatakan dalam kompetensi individu untuk dapat menduduki sebuah jabatan atau tugas tertentu. Selain itu, mereka menjalankan tugas pokok dan fungsi sesuai dengan bidang pekerjaan masing-masing dalam lingkup organisasi yang lebih besar. Lingkungan organisasi mempengaruhi bagaimana individu bersikap dan berperilaku dalam mewujudkan tugas-tugas yang menjadi bebannya. Karakteristik Individu Karakteristik individu adalah bagian dari pribadi yang melekat pada diri seseorang. Karakteristik tersebut mendasari tingkah laku seseorang dalam situasi kerja maupun situasi lainnya (Rogers dan Shoemaker, 1987). Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa karakteristik individu adalah sifat-sifat yang melekat pada diri seseorang dan berhubungan dengan aspek kehidupan, seperti umur, jenis kelamin, posisi, jabatan, status sosial, dan agama. Lionberger (1960) menyatakan bahwa karakteristik individu yang perlu diperhatikan adalah: umur, tingkat pendidikan dan karakter psikologis. Karakteristik psikologis antara lain adalah rasionalitas, fleksibilitas mental, dogmatisme, orientasi terhadap pekerjaan dan kecenderungan mencari informasi. Hare (1962) mengemukakan bahwa perubahan perilaku seseorang terhadap penerimaan ide-ide baru, akan dipengaruhi oleh karakteristik pribadi, karakteristik ekonomi dan lingkungan. Dalam kaitannya dengan proses difusi inovasi, Slamet (1995) mengemukakan bahwa umur, pendidikan, status sosial ekonomi, pola hubungan dan sikap merupakan faktor individu mempengaruhi proses difusi inovasi.
yang
Mc Leod dan O’Kiefe Jr (1972)
sebagaimana dikutip Marliati (2008), menyatakan bahwa variabel kependudukan
70
yang digunakan sebagai indikator untuk menerangkan perilaku individu adalah jenis kelamin, umur dan status sosial. Menurut Madrie (1986), tingkat pendidikan formal, pengalaman, kekosmopolitan, nilai-nilai budaya, keberanian menghadapi resiko, merupakan indikator yang menentukan karakteristik pribadi seseorang.Rogers (1987) menambahkan yang disebut sebagai
sumberdaya pribadi
adalah: (1) ciri
kepribadian (personality), dan (2) ciri komunikasi. Ciri kepribadian mencakup: empati, dogmatisme, kemampuan abstraksi, rasionalitas, intelegensia, sikap terhadap perubahan, sikap mengambil resiko, sikap terhadap ilmu pengetahuan atau pendidikan, fatalisme, motivasi meningkatkan taraf hidup dan aspirasi terhadap pendidikan dan pekerjaan. Berdasarkan batasan-batasan yang dikemukakan di atas, maka secara konseptual yang dimaksudkan sebagai karakteristik individu adalah keseluruhan ciri-ciri yang melekat pada seseorang yang dapat berbeda satu dengan lainnya. Berpijak dari konsep tersebut, maka karakteristik pegawai adalah ciri-ciri yang melekat pada individu pegawai yang dapat membedakannya dari pegawai lainnya. Dalam penelitian ini karakteristik pegawai meliputi: umur, pendidikan formal, pendidikan nonformal yang relevan, pengalaman bekerja, kekosmopolitan, status sosial di dalam organisasi pemerintah (ranking, pangkat dan golongan ruang, jabatan), tingkat pengetahuan dan pemahaman
pegawai terhadap sistem
manajemen mutu. Umur Umur seseorang dapat mempengaruhi tingkat kemampuan yang dimiliki dalam
melakukan
aktivitas
atau usaha.
Secara umum, umur seseorang
berkaitan dengan tingkat kematangan fisik dan mental. Hawkins, Best dan Coney (1986) mengemukakan bahwa umur, jenis kelamin, dan pendidikan akan mempengaruhi perilaku seseorang.
Salkind (1989) mengemukakan bahwa
perbedaan umur dapat membedakan tingkat kematangan seseorang.
Tingkat
perbedaan tersebut juga disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan interaksinya dengan individu Secara ekonomis dikenal pengelompokkan usia produktif dan usia ketergantungan. Usia produktif berkisar antara 15 tahun sampai 60 tahun. Pada
71
kisaran usia tersebut, seseorang dianggap mempunyai kesiapan secara fisik dan mental untuk bekerja
dan memiliki tanggung jawab.
Walaupun
dalam
realitasnya banyak orang yang memiliki kematangan fisik dan mental untuk bekerja pada saat mencapai usia 17 sampai 20 tahun.
Oleh karena
itu
Departemen Tenaga Kerja memberi batasan usia kerja terendah pada usia 18 tahun. Kemampuan bekerja secara produktif bagi seseorang akan terus bertambah pada batas umur tertentu yang kemudian akan mengalami penurunan dengan bertambahnya umur.
Pendidikan Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran danatau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Padmowihardjo (1994) mendefinisikan pendidikan dalam lingkup
yang lebih luas, yakni
sebagai usaha mengadakan perubahan perilaku
berdasarkan ilmu-ilmu dan pengalaman yang sudah diakui dan diterima oleh masyarakat. Sedangkan Slamet (2003) menyatakan bahwa pendidikan adalah suatu usaha untuk menghasilkan perubahan-perubahan pada perilaku manusia. Perubahan perilaku yang ditimbulkan
oleh proses pendidikan dapat dilihat
melalui (1) perubahan dalam hal pengetahuan, (2) perubahan dalam keterampilan atau kebiasaan
melakukan sesuatu, dan (3) perubahan dalam sikap mental
terhadap segala sesuatu yang dirasakan.
Winkel (1996) menyebutkan bahwa
pendidikan merupakan proses pembentukan watak seseorang sehingga diperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku. Dengan demikian, tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi kemampuan mereka mengubah perilaku. Pendidikan bertujuan untuk menjadikan seseorang menjadi anggota masyarakat dimana mereka berada. UNESCO memperkenalkan dengan empat pilar tujuan pendidikan, yaitu : (1) learning to know: belajar untuk mengetahui, (2) learning to do: belajar untuk berbuat, (3) learning to be: belajar untuk menjadi dirinya sendiri, dan (4) learning to live together: belajar untuk hidup bersama dengan orang lain. United Nations for Development Programme (UNDP) dalam
72
”Human Development Report 1999” mendefinisikan tujuh tujuan pendidikan yang dikenal dengan The seven freedoms adalah sebagai berikut: (1)freedom from discrimination: bebas dari perlakuan yang diskriminatif, (2) freedom from fear: bebas dari ketakutan, (3)freedom of thought, speech, and participate: bebas untuk berfikir, berbicara, dan berpartisipasi, (4) freedom from want: bebas dari berbagai keinginan, (5) freedom to develop and realize: bebas untuk mengembangkan dan merealisasi ide, (6) freedom from injustice and violations:
bebas dari
ketidakadilan dan kekerasan, serta (7) freedom from undecent work, yakni bebas dari pekerjaan yang tidak layak. Pendidikan Formal Pendidikan formal menurut Combs dan Ahmed (1985), adalah pendidikan yang dilaksanakan di sekolah secara teratur, sistematis, mempunyai jenjang dan dibagi dalam waktu-waktu tertentu, berlangsung dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Dengan demikian pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan secara resmi dan tertentu di sekolah yang pelaksanaannya diatur secara sistematis berdasarkan aturan dan kurikulum yang baku serta mempunyai tujuan sesuai dengan jenjang pendidikannya sejak dari taman kanakkanak sampai perguruan tinggi. Proses pendidikan yang dimaksudkan adalah menyiapkan peserta didik bagi tugas perkembangan di masa datang, baik secara individu, mahluk sosial, sebagai warga negara maupun yang terkait dengan tugas atau profesi
tertentu
melalui
pengembangan kemampuan
(pengetahuan,
ketrampilan, dan sikap). Menurut Inkeles (1964), yang melakukan penelitian intensif tentang dampak modernisasi terhadap sikap individu, nilai-nilai dan cara hidup menemukan bahwa seorang manusia modern dicirikan dengan adanya kemampuannya bersikap terbuka terhadap pengalaman baru, meningkatnya kemampuan untuk tidak tergantung pada satu figur tertentu, percaya kepada ilmu pengetahuan, berorientasi terhadap mobilitas, menerapkan perencanaan jangka panjang, serta aktif berperan dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Kegiatan pendidikan merupakan indikator terpenting yang berperan dalam pembentukan manusia modern. Menurut Inkeles, satu tahun pendidikan telah meningkatkan nilai modernitas 2-3 poin pada skala modernitas 0-100 yang dikembangkannya.
73
Pendidikan NonFormal Prijono dan Pranarka (1996) mengatakan bahwa pendidikan non formal pada umumnya merupakan jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat guna meningkatkan kemampuan menerapkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh peserta didik dari lingkungan pendidikan formal ke dalam lingkungan pekerjaan praktis di masyarakat.
Bentuk pendidikan non
formal tersebut dapat berupa pelatihan, kursus, penataran, magang, dan penyuluhan. Senada dengan pendapat tersebut, Blanckenburg (1988) menyatakan bahwa
pendidikan
non
formal
merupakan
kegiatan
pendidikan
yang
diorganisasikan secara sistematis dan dilaksanakan di luar jaringan sistem formal untuk menyediakan bentuk pelajaran yang dipilih sesuai kebutuhan kelompokkelompok tertentu dalam masyarakat, baik bagi orang dewasa maupun anak-anak. Salah satu bentuk pendidikan non formal adalah pelatihan atau training, atau pembelajaran (Fauzi, 2011), yakni upaya melaksanakan transfer pengetahuan dan ketrampilan kepada seseorang dalam upaya meningkatkan kapasitas orang tersebut di tempat kerja atau di masyarakat. Terdapat tiga aspek yang dicakup dalam kegiatan pelatihan atau pembelajaran, yaitu: (1) adanya perolehan pengetahuan, (2) perolehan ketrampilan dan (3) pengembangan bakat dalam upaya meningkatkan kinerja seseorang dalam suatu pekerjaan tertentu. Upaya pembelajaran tersebut dilaksanakan dalam suatu waktu yang tertentu yang relatif singkat, secara sistematis, terorganisir dengan baik dan disampaikan dengan member tekanan lebih banyak kepada praktek daripada teori.
Pengalaman Pengalaman terkait dengan dimensi waktu dan proses belajar yang didapatkan dalam selang waktu tersebut.
Artinya bahwa semakin sering
seseorang mengalami proses belajar, maka secara gradual akan semakin banyak memperoleh pengalaman. Havelock (1969) menyatakan bahwa pengalaman masa lalu yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi kecenderungannya untuk merasa memerlukan dan siap menerima pengetahuan baru.
Menurut Padmowihardjo
(1994), pengalaman adalah suatu kepemilikan pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan.
Dalam otak manusia
74
digambarkan adanya pengaturan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang sebagai hasil belajar selama hidupnya. Dalam proses belajar, seseorang akan berusaha menghubungkan hal yang dipelajari dengan pengalaman yang dimiliki. Ban dan Hawkins (2001) menyatakan bahwa seseorang yang belajar dapat memperoleh atau memperbaiki kemampuan untuk melaksanakan suatu pola sikap melalui pengalaman dan praktek.
Hasil pembelajaran membuat seseorang
memiliki pengetahuan, pengalaman dan pemahaman dalam menghadapi sesuatu yang perlu diselesaikan segera. Taksonomi Bloom (1973) menempatkan pengetahuan sebagai akibat paling dasar dan sederhana dari pembelajaran, yakni kemampuan untuk mengenali, mengingat, menyampaikan apa yang didapatnya dalam pembelajaran, yang pada tingkat selanjutnya memengaruhi afektif seseorang. Slamet (1995) mengemukakan bahwa dalam prinsip belajar seseorang cenderung lebih mudah menerima atau memilih sesuatu yang baru (inovasi), bila inovasi tersebut memiliki kaitan dengan pengalaman masa lalunya sehingga inovasi tersebut tidak terlalu asing baginya. Temuan Inkeles (1964) menyatakan bahwa pengalaman seseorang bekerja pada perusahaan memiliki dampak terhadap nilai-nilai modernitas seseorang. Jika seseorang tidak memiliki cukup waktu dan biaya untuk mengikuti pendidikan formal yang baik, maka ia masih memiliki peluang untuk menjadi manusia modern dengan cara bekerja dan memperoleh pengalaman pada perusahaan-perusahaan besar.
Kekosmopolitan Kekosmopolitan secara umum dapat diartikan sebagai keterbukaan seseorang terhadap berbagai sumber informasi sehingga memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas. Sifat kekosmopolitan menurut Mardikanto (1993) adalah tingkat hubungan seseorang dengan dunia luar di luar sistem sosialnya sendiri. Kekosmopolitan seseorang dapat dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan yang dilakukan, serta pemanfaatan media massa dan media lainnya sebagai sumber informasi.
Bagi
warga
masyarakat yang lebih kosmopolit, adopsi
inovasi dapat berlangsung lebih cepat.
Tetapi bagi mereka yang tertutup,
terkungkung di dalam sistem sosialnya sendiri (localite), proses adopsi inovasi
75
akan berlangsung sangat lambat karena tidak adanya keinginan-keinginan baru untuk hidup lebih baik seperti yang telah dapat dinikmati oleh orang-orang lain di luar sistem sosialnya sendiri. Pengetahuan terhadap Sistem Manajemen Mutu Taksonomi Bloom (Bloom,1973) membagi tujuan pendidikan kedalam 3 ranah: ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.Ranah kognitifberisi perilakuperilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir. Ranah afektif berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.
Ranah psikomotor berisi perilaku-perilaku yang menekankan
pada aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin. Pada ranah kognitif, Bloom lebih lanjut membagi kognitif kedalam 6 tingkat dan 2 kategori. Kategori 1 adalah pengetahuan yang merupakan tingkat paling rendah dari 6 tingkat yang ada di ranah kognitif. Kategori 2 adalah tingkat 2 sampai dengan 6 (pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi). Pengetahuan berisikan
kemampuan
untuk
mengenali dan mengingat
peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, dan prinsip dasar. Sebagai contoh, ketika pegawai diminta menjelaskan manajemen mutu, pegawai yang berada di level ini bisa menguraikan dengan baik definisi mutu, karakteristik
produk
atau
layanan
yang
bermutu,
dan standar kualitas
minimum untuk produk. Sedangkan pada kategori 2, pegawai sudah mampu memahami, mengaplikasikan, menganalisa, mensintesa, dan mengevaluasi gagasan atau ide yang telah diterapkannya. Pada penelitian ini, salah satu faktor yang dinilai pada karakteristik individu dibatasi kepada tingkat pengetahuan pegawai terhadap sistem manajemen mutu. Bagi mereka yang telah pernah mempelajari sesuatu hal dimasa lalu, maka pengenalan terhadap informasi yang telah pernah berada di dalam memorinya akan memudahkan
terjadinya penerimaan terhadap informasi tersebut.
Pengenalan mereka terhadap sistem manajemen mutu akan memudahkan mereka untuk tertarik dan belajar tentang sistem manajemen mutu lebih jauh lagi. Pengetahuan yang dimiliki seseorang akan memunculkan tanggapan, emosi,
76
asumsi dan persepsi terhadap sesuatu hal yang terkait dengan pengetahuan tersebut. Ranah afektif menjadi bagian selanjutnya dari kognitif individu. Ranah afektif berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. Status sosial Pelapisan sosial terjadi pada masyarakat majemuk. Pelapisan atau kelas sosial masyarakat terbentuk karena beberapa hal: (1) berdasarkan kekayaan atau kebendaan baik materi maupun finansial, (2) berdasarkan struktur kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya. Seseorang yang memiliki kekuasaan dan kewenangan yang terbesar akan
memiliki status sosial yang paling tinggi.
Sebagai contoh di organisasi. Pimpinan tertinggi organisasi memiliki status sosial dan kewenangan yang paling tinggi. (3) berdasarkan kehormatan, ini biasa terjadi pada masyarakat tradisionil.
Masyarakat tradisionil sangat menghormati
seseorang yang memiliki banyak sumbangsih dan jasanya kepada masyarakat; (4) ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang. Pada masyarakat modern yang menghargai ilmu pengetahuan, maka seseorang dengan kemampuan dan penguasaan ilmu pengetahuan yang tinggi memiliki status sosial yang tinggi pula (Inkeles, 1964). Menurut Szilagyi dan Wallace (1990) status sosial adalah ranking sosial di dalam sebuah kelompok yang diberikan berdasarkan posisi individu di dalam kelompok atau karakateristik individu. Status bisa menjadi fungsi dari individu tersebut, gaji atau tingkat upah yang diterima, jadwal bekerja, kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain di dalam atau di luar kelompok, atau bahkan senioritas. Faktor yang paling berpengaruh di dalam organisasi terkait dengan status adalah pekerjaan yang bersangkutan. Sistem status di dalam organisasi bisa berdampak positif maupun negatif, terutama buat atasan langsung (penyelia). Sistem status
juga
memiliki pengaruh
kelompok yakni status yang
yang
langsung terhadap kinerja
berhubungan dengan setiap individu di dalam
kelompok. Jika ada persetujuan
diantara
anggota kelompok terhadap status
masing-masing yakni setiap orang di dalam kelompok memiliki status yang jelas terkait kewenangan dan tanggung jawab yang jelas, maka setiap orang dan kelompok akan beraktifitas kearah pencapaian tujuan organisasi.
77
Motivasi Motivasi adalah sebuah alasan atau dorongan seseorang untuk bertindak. Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan antusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik) (Sudrajat, 2008). Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya. Berbagai teori tentang motivasi yang selama ini dikenal antara lain: antara lain : (1) Teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan); (2) Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi); (3) Teori Clyton Alderfer (Teori ERG); (4) Teori Herzberg (Teori Dua Faktor); (5) Teori Keadilan; (6) Teori Penetapan Tujuan; (7) Teori Victor H. Vroom (Teori Harapan); (8) Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku; dan (9) Teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi (Indrawijaya, 1986; Szilagyi dan Wallace, 1990; Winardi, 2001; Siagian, 1985). Terdapat empat peran besar motivasi terhadap perilaku seseorang. Motivasi berperan dalam mendorong, memelihara, dan menghentikan serangkaian kegiatan, melakukan evaluasi terhadap situasi lingkungan yang berhubungan dan mempengaruhi
tujuan
individu. Motivasi juga berperan dalam menentukan pilihan dan arahan perilaku dan dalam proses pembelajaran.
Motivasi Ekstrinsik Motivasi ekstrinsik berhubungan dengan perilaku yang dipengaruhi oleh keinginan mendapatkan penghargaan eksternal (Hitss, Esser dan Marriott, 1992 dalam Oluseyi dan Ayo, 2009). Penghargaan, umpan balik positif dan tidak adanya hukuman merupakan contoh adanya penghargaan eksternal. Faktor eksternal yang mempengaruhi motivasi seseorang bisa berupa jenis dan sifat pekerjaan, kelompok kerja dimana seseorang bekerja, organisasi tempat bekerja, kepemimpinan di tempat kerja, situasi lingkungan, sistem insentif yang berlaku dan penerapannya.
78
Dalam lingkup pekerjaan, dikenal dengan adanya empat motif yang mendorong perilaku pegawai dalam organisasi (Szilagyi dan Wallace, 1990). Ke empat motif ini penting dan berada pada berbagai tingkatan di organisasi. Motif tersebut adalah: (1) Kompetensi dan keingintahuan (competence and curiosity). Setiap pegawai dalam organisasi selalu menginginkan pekerjaan yang tidak membosankan dan berulang-ulang. Mereka berusaha untuk memperbaiki dan
meningkatkan
ketrampilan
yang
diperlukan
untuk
melaksanakan
pekerjaannya. Kebutuhan ini terlihat dengan jelas bahkan pada pegawai yang memiliki pekerjaan membosankan dan rutin. Mereka akan mencari jalan untuk membuat pekerjaan tersebut terasa menarik.(2) Prestasi (achievement). Baik Maslow maupunMcClelland menganggap bahwa motif untuk berprestasi ini selalu ada dalam diri setiap orang dengan kedalaman yang sangat bervariasi. Menurut McClelland, mereka yang menginginkan prestasi tinggi memiliki kecenderungan untuk menghindari resiko tinggi atau mencoba-coba. Mereka menginginkan adanya penghargaan segera atas capaian yang mereka raih, lebih berupa penghargaan finansial yang diasosiasikan dengan
seberapa
tinggi capaian
prestasi mereka. Oleh karena itu, kelompok tersebut sangat menghargai adanya pekerjaan yang jelas dan dapat diukur dengan hasil yang konkrit. (3) Afiliasi (affiliation). Selain motivasi untuk berprestasi, pegawai juga menginginkan adanya hubungan yang hangat dan pertemanan ditempat kerja. Berkembangnya persahabatan dan dukungan saling menguntungkan dari rekan sekerja menjadi fenomena universal dan menjadikan kebutuhan untuk berafiliasi sebagai kebutuhan dasar. (4) Persamaan (equity). Konsep ini muncul dari adanya kebutuhan karyawan untuk diperlakukan secara adil dan proporsional dalam organisasi. Keadilan menjadi kebutuhan utama yang memotivasi karyawan untuk berperilaku di organisasi. Motif karyawan juga berbeda-beda dari satu kultur budaya ke kultur budaya yang lain. Pengetahuan tentang kepribadian karyawan akan sangat bernilai bagi atasan untuk memahami dan memperkirakan berada pada satu pekerjaan tertentu.
perilaku karyawan ketika
79
Motivasi Intrinsik Motivasi intrinsik adalah faktor internal terkait dengan minat dan keinginan individu, persepsi seseorang mengenai diri sendiri, harga diri dan kebanggaan, harapan pribadi, kebutuhan, keinginan kerja, dan prestasi kerja yang diharapkannya (Indrawijaya, 1986; Sudrajat, 2008). Motivasi
intrinsik
lebih
berhubungan dengan keinginan pribadi seseorang yang dilakukan bukan karena akan adanya penghargaan. Motivasi intrinsik juga didefinisikan sebagai pengalaman-pengalaman yang bernilai positif yang diperoleh seseorang langsung dari apa yang mereka kerjakan, dan menjadi faktor yang sangat penting untuk pengembangan
kognitif
intrinsik lebih merupakan
seseorang (Ryan dan Deci, 2000). Jadi, motivasi sebuah kegiatan yang dilakukan untuk kepuasan
pribadi daripada untuk beberapa konsekwensi lainnya. Ketika seseorang mendapatkan sesuatu yang sangat menyenangkan dan menarik, maka ia akan memiliki keinginan untuk menggunakan upaya tertentu untuk melaksanakan pekerjaannya tersebut. Grabner dan Speckbacher dalam Yuen dan Kee (2011) mengindikasikan bahwa motivasi intrinsik tidak saja akan meningkatkan upaya
seseorang tetapi juga memiliki pengaruh yang besar
terhadap aspek lain dari perilakunya. Temuan Yuen dan Kee menyatakan bahwa terdapat hubungan antara motivasi intrinsik dengan tiga komponen dari komitmen organisasi yaitu: (1) afektif, yakni keinginan pegawai untuk secara emosional dihubungkan
dengan
keterlibatannya
di
organisasi,
(2)
komitmen
berkesinambungan (continuance commitment), yakni kesadaran atau pengakuan pegawai atas keuntungan yang diperolehnya jika ia tetap berada di organisasi tersebut, serta (3) normatif komitmen, yakni konsekwensi dari perasaan pegawai untuk tetap tinggal di organisasi berdasarkan pandangan dan norma pribadinya sendiri. Dinamika dan Interaksi Kelompok Kelompok dapat didefinisikan sebagai: (1).Kehidupan manusia yang berjumlah dua orang atau lebih (Mardikanto, 1993); (2). Hubungan atau interaksi yang nyata; (3). Mempunyai daya tahan dan struktur tertentu, serta (4). Berpartisipasi bersama dalam suatu kegiatan. Terlihat bahwa kemampuan manusia untuk dapat mempertahankan kehidupan sangat tergantung dari kemampuan
80
mereka untuk berkumpul dengan manusia lainnya. Semakin teratur kelompok yang dibentuknya akan semakin cepat kemajuan yang dapat dicapainya. Sarwono (2005) menyatakan jika melihat dari tujuan bersama yang ingin dicapai, dikenal dua kelompok: kelompok sosial dan kelompok tugas. Kelompok sosial adalah kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih dengan dasar tujuan yang sama, yaitu tujuan kesenangan dan kesehatan rohani (psychologycal wellbeing). Setiap anggota juga mengadakan interaksi dan kelompok itu sendiri juga mempunyai ketahanan. Artinya kelompok yang sudah terbentuk tidak akan segera bubar, kecuali diantaranya para anggota sudah tidak terdapat persesuaian tujuan lagi. Kelompok sosial ini menitikberatkan kepada suatu fungsi sosial, sebagai lawan dari kelompok tugas yang menitik beratkan kepada fungsi penyelesaian suatu tugas tertentu (tasks). Seperti halnya kelompok sosial, didalam kelompok tugas berkumpul dua orang atau lebih dengan dasar tujuan yang sama, yaitu untuk menyelesaikan suatu tugas tertentu. Didalam kelompok setiap anggota mengadakan interaksi secara nyata. Kelompok mempunyai suatu ketahanan, yaitu kelompok tidak akan bubar sebelum tugas dapat diselesaikan. Kelompok tugas menitikberatkan kepada suatu fungsi penyelesaian tugas. Jadi kelompok tugas dapat didefinisikan sebagai kelompok yang terbentuk karena adanya suatu tugas tertentu dan mempunyai fungsi untuk menyelesaikan tugas tersebut. Sedangkan jika ditinjau dari proses pembentukannya, dikenal adanya kelompok formal dan informal (Mardikanto, 1993). Di dalam kelompok formal para anggota kelompok mempunyai kedudukan tertentu sebagaimana telah diatur oleh suatu peraturan yang tegas dan tertulis. Dengan demikian akan terdapat suatu pembatasan tugas dan wewenang dari para anggotanya . Peraturan-peraturan diciptakan dengan tegas dan dengan sengaja oleh para anggotanya, terutama untuk mengatur hubungan antar anggotanya. Interaksi kelompok Sebuah kelompok harus memiliki interaksi yang melembaga, artinya mengikuti pola-pola tertentu, tidak berinteraksi secara acak (random) saja. Kehidupan sebuah kelompok akan banyak tergantung dari anggota. Sesama anggota akan saling tergantung
dan saling memerlukan, sehingga hubungan
diantara mereka menjadi sangat kohesif (mantap).Apa yang terjadi antar anggota
81
kelompok adalah dinamis, bukan statis (Johnson dan Johnson, 2012). Kelompok yang memiliki anggota yang demikian akan memiliki ketahanan hidup yang tinggi. Konsepsi ”dinamika kelompok”
berkembang kearah pengertian yang
bermacam-macam: mengorganisasi dan mengelola sesuatu kelompok. Dinamika kelompok juga dimaksudkan sebagai teknik atau cara-cara pengambilan keputusan kelompok, serta dinamika kelompok menunjuk ke suatu bidang yang bertanggung jawab untuk memajukan pengetahuan tentang kehidupan kelompok (Slamet, 2007). Jetkins (1950) dalam Mardikanto (1993) mengingatkan bahwa kajian tentang dinamika kelompok adalah sebuah kajian tentang ”kekuatankekuatan yang terdapat di dalam maupun di lingkungan kelompok yang akan menentukan perilaku anggota-anggota kelompok dan perilaku kelompok yang bersangkutan, untuk bertindak atau melaksanakan kegiatan-kegiatan demi tercapainya tujuan bersama yang merupakan tujuan kelompok tersebut.”(195) Tercapai tidaknya tujuan kelompok akan sangat tergantung kepada tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan kelompok yang merupakan perwujudan dari perilaku kelompok sebagai sebuah kesatuan perilaku anggota kelompok. Kepemimpinan Kepemimpinan berfungsi sebagai penggerak, dinamisator, dan koordinator dari sumber daya manusia, sumber daya alam, dana, sarana dan prasarana yang disiapkan di dalam organisasi (Kartono, 2006). Implikasi dari pernyataan tersebut adalah bahwa seorang pemimpin dituntut untuk memiliki beberapa kemampuan, diantaranya: ia diharapkan
memiliki kapasitas, kecerdasan, kemampuan
berbicara, dan kemampuan menilai. Pemimpin juga diharapkan memiliki prestasi atau achievement tertentu yang bisa dibanggakan, bertanggung jawab, mandiri, inisiatif, memiliki sosialibilitas yang tinggi, mudah bergaul, dan kooperatif. Bass (1981) menyatakan kepemimpinan adalah pusat dari segala aktifitas atau orang penting yang dapat memadukan kelompok.
Kepemimpinan memegang peran
yang sangat beragam. Kepemimpinan berperan dalam (1) memunculkan peranperan di dalam struktur (initiation of structure); (2) sebagai efek yang muncul dari adanya interaksi banyak pihak di dalam proses sosial untuk mencapai satu tujuan bersama; (3) sebagai alat untuk mencapai tujuan; (4) sebagai relasi
82
kekuasaan; (5) sebagai bentuk ajakan ; (6) kepemimpinan sebagai sebuah tindakan atau perilaku; (7) kepemimpinan sebagai sebuah seni dalam menangani orangorang untuk mencapai yang terbaik dengan sesedikit mungkin gesekan dan sebanyak mungkin kerjasama. Fungsi pimpinan menjadi sangat penting dalam memberikan komitmen dan dukungannya terhadap perubahan. Kepemimpinan, tidak sekedar berfungsi mengajak orang-orang untuk melakukan kegiatannya dalam rangka pencapaian tujuan, tetapi kepemimpinan berfungsi sebagai sumber kekuatan, pembimbingan, arahan, dan strategi dalam mencapai tujuan. Harris, Hart dan Shields (2009) menyatakan bahwa pimpinan adalah seseorang yang mempunyai tugas untuk membuat perubahan di organisasinya. Oleh karena itu, seorang pimpinan harus: (1) mampu mengartikulasikan visinya dengan
memberi
tekanan
kepada
pentingnya
visi
organisasi
untuk
kelangsungannya; (2) membentuk tim koalisi yang kuat untuk mengarahkan perubahan yang terjadi; (3) berkomitmen untuk menyediakan fasilitas terkait dengan teknologi yang digunakan serta terhadap proses di organisasi; (4) mengkomunikasikan nilai-nilai organisasi dan tujuan organisasi ke seluruh pegawai; (5) menanamkan integritas ke seluruh organisasi; (6) menyemangati dan memberdayakan pihak-pihak lain untuk bisa membuat perubahan organisasi; (7) merencanakan dan membuat capaian-capaian pendek; (8) melakukan konsolidasi dan membiasakan adanya perbaikan atau peningkatan (improvement) serta melanjutkan
perubahan yang direncanakan; serta (9) memiliki stamina yang
tinggi untuk melanjutkan perubahan organisasi, paling tidak untuk jangka waktu lima tahun ke depan. Nanus (1992) menyatakan adanya empat peran kritis bagi kepemimpinan yang efektif, yaitu: (1) sebagai penentu arah (direction setter), yakni pemimpin diharapkan
mampu
melakukan
dan
menetapkan
sasaran
dengan
mempertimbangkan lingkungan yang ada dan mengerahkan sumberdaya organisasi yang dimiliki; (2) sebagai agen perubahan (change agent), pemimpin diharapkan mampu mengantisipasi berbagai perubahan dan perkembangan lingkungan global yang berdampak kepada organisasinya, dan menentukan prioritas perubahan yang sesuai dengan visi organisasi; (3) sebagai juru bicara (spokesperson). Pemimpin harus mampu menjadi negosiator ulung bagi
83
organisasinya; (4) sebagai pelatih (coach), maka pemimpin harus menyampaikan visi kepada seluruh pegawainya, kemana akan dituju dan bagaimana merealisasikannya dan membimbingnya mencapai tujuan. Bagi Senge (1999), pimpinan aparatur negara haruslah memiliki tiga ketrampilan baru yang diperlukan, yakni: membangun visi bersama (build shared vision), mengangkat dan menguji mental model (surfacing and testing mental model), dan berfikir serba sistem (systems thinking). Kepemimpinan tidak bisa dilepaskan dari kaitan budaya (kultur) masyarakat yang ada. Kultur bahkan menjadi bagian yang terpadu dari keseluruhan kepemimpinan yang lazim disebut sebagai gaya kepemimpinan. Berbagai gaya kepemimpinan diperkenalkan: kepemimpinan kharismatik, kepemimpinan transformasional, kepemimpinan situasional, kepemimpinan visioner, transaksional, otokratis, militeristis, dan kepemimpinan bergaya bebas (Yukl, 2005; Kartono,2006, Rivai, 2008, Bass,1981). Dalam membangun nilainilai organisasi, seorang pemimpin diharapkan mampu menyelaraskan nilai-nilai individu
dengan
nilai-nilai
menumbuhkan atribut
organisasi.
Pemimpin
diharapkan
mampu
kepemimpinan sebagaimana yang dikembangkan
Kuczmarski dan Kuczmarski (1995), diantaranya: L: listens actively ( aktif mendengar), E: emphaty (memiliki empati), A: attitudes are positive and optimistics (perilaku yang positif dan optimis), D: delivers onpromises and commitment ( menyampaikan apa yang dijanjikan dan menjadi komitmentnya), E: energy high level (memiliki semangat dan energi yang tinggi), R: recoqnizes self doubts and vulnerability (mengenali keraguan sendiri dan kerentanannya), serta S: sensitivity to others, values, and potential ( sensitif terhadap orang lain, nilainilai, dan potensi yang dimiliki orang lain). Dalam
konteks
kepemimpinan
di
sektor
publik
(pemerintahan),
kepemimpinan lebih merupakan ”kepemimpinan formal”, yakni kepemimpinan yang diangkat dan dikukuhkan untuk menduduki suatu jabatan tertentu di dalam organisasi (LAN, 2010). Akuntabilitas menjadi sangat penting sebagai wujud pertanggungjawaban kepada publik dan sebagai pertanggungjawaban sosial. Sebagai pimpinan di organisasi pemerintah, maka pimpinan
adalah seorang
pelayan masyarakat (public servants),sehingga diharapkan konsep dan praktek
84
kepemimpinan aparatur di Indonesia dapat dijalankan dengan baik. Natakusumah (2006) mengidentifikasikan delapanbelas ciri kepemimpinan aparatur Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yaitu: Berketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan,
keadilan,
peradaban,
perjuangan,
kemerdekaan,
kesatuan,
kedaulatan rakyat, kemakmuran, kesejahteraan umum, kecerdasan hidup, tertib, menjaga
perdamaian,
merakyat,
bijaksana
dengan
menerapkan
permusyawaratan, transparan, menumbuhkan partisipasi dan akuntabilitas. Menurut Koentjaraningrat (2004), gaya kepemimpinan dalam suatu kelompok atau masyarakat sangat tergantung kepada situasi yang terdapat pada kelompok masyarakat tersebut. Pada masyarakat tradisionil, tiga unsur penting yang harus ada adalah (1) adanya kekuasaan, (2) adanya kewajiban (authority), serta (3) adanya popularitas. Pemimpin dalam masyarakat tradisionil harus memiliki sifat yang disenangi masyarakat, diakui warga masyarakat, memiliki keahlian, ditetapkan oleh adat setempat, ramah, serta memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kekuatan fisik yang nyata. Pakar manajemen, Drucker (2000) sepakat bahwa kepemimpinan tidak pernah bisa dilepaskan dari kaitan budaya (kultur) dimana masyarakat berada. Abad ke duapuluh satu telah memunculkan berbagai gaya kepemimpinan Jepang, Cina, Korea, selain gaya kepemimpinan barat yang selama ini telah dikenal. Sedangkan di Indonesia, gaya kepemimpinan Ki Hajar Dewantoro yang terkenal dengan ”ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tutwuri handayani, yakni di depan menjadi teladan, ditengah memberi semangat, dan di belakang mengikuti” menjadi salah satu gaya kepemimpinan yang digali dari budaya Indonesia (Suyanto, 2011). Ajaran Raden Ngabehi Ronggowarsito memperkenalkan delapan laku kebajikan atau dikenal dengan gaya kepemimpinan hasta brata, yakni kepemimpinan yang memiliki sifat alam semesta: matahari, bulan, bintang, angin, api, awan, samudra, dan bumi.
Pemimpin memiliki sifat tidak terburu-buru,
rendah hati, sabar, berhati-hati sebagaimana sifat matahari. Pemimpin memiliki sifat layaknya bulan yang dapat membuat gembira, manis senyum, halus budi; bersifat kartika atau bintang yang tegas dan tidak mudah tergoda, percaya diri dan berterus terang. Pemimpin bersifat bagaikan awan, yakni berkeadilan dalam
85
menerapkan kekuasaannya dengan menerapkan prinsip reward and punishment; bersifat sebagaimana angin yang tanpa batas, tanpa pamrih; bersifat sebagaimana samudra yang pemaaf, tidak mudah tersinggung, membuat orang senang; bersifat sebagaimana bumi yang dermawan, suka memberi dan rela berkorban bahkan termasuk dirinya sendiri (Lemhanas, 2011). Untuk dapat melaksanakan penerapan manajemen mutu secara terpadu, diperlukan beberapa persyaratan, diantaranya adalah adanya komitmen dari manajemen puncak (Goetsch, 1997; Fandy, 1995; Nasution, 2005; Zulhaidarsyah, 2008). Komitmen utuh dari manajemen puncak berupa ketersediaan sumber daya yang diperlukan, waktu yang dicurahkan, dan keterlibatannya secara langsung di dalam proses perubahan (Gonzales & Guillen, 2002). Mengingat persepsi pegawai terhadap perubahan sangat dipengaruhi oleh bagaimana manfaat perubahan tersebut terhadap dirinya, maka pemimpin diharapkan mampu memberikan visi yang jelas. Pemimpin menterjemahkan visi menjadi acuan-acuan strategis organisasidan menyatukan satu kesatuan komando untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Pemimpin diharapkan menerus
terhadap
proses
yang
sedang
memberikan informasi yang terus terjadi.
Pemimpin
menetapkan
infrastruktur lain yang diperlukan, seperti prosedur, kebijakan berkomunikasi, merencanakan, memantau dan mengevaluasi jalannya perubahan dan mengambil keputusan yang rasional terkait dengan perubahan dan implementasi lebih lanjut (Nasution, 2005). Menerapkan SMM berarti menjalankan satu perubahan organisasi yang amat besar. Tantangan yang
dihadapi adalah adanya
dua kutup yang
berseberangan: satu kutup setuju dan mendorong terjadinya perubahan, dan disisi lainnya tetap mempertahankan ”status quo” atau kemapanan. Yang kedua adalah perubahan pola kepemimpinan. Kepemimpinan menjadi faktor stimulus yang penting dalam mendorong terjadinya perubahan. Kepemimpinan menjadi unsur kunci dalam budaya dan struktur organisasi. Pimpinan memainkan peran yang sangat mendasar dalam konsolidasi penerapan SMM, terutama ditunjukkan dengan adanya komitmen mereka terhadap perubahan (Slamet, 2008; Brown, 1994; Yukl, 2001). Tugas pemimpin dideskripsikan sebagai ”transformational, transactional and representative” (West etal, 1993 dalam Ferreira dan Diniz,
86
2004). Kepemimpinan pula yang menjadi sumber kepercayaan (beliefs) dan nilai-nilai yang dianut kelompok dalam berinteraksi dengan kelompok lainnya, baik di internal maupun eksternal organisasi (Schein, 1992). Hambrick dan Mason (1984) serta Roth (1992) menekankan perlunya memadukan
karakteristik
pimpinan
tertinggi
organisasi
dengan
strategi
pencapaian tujuan organisasi. Keterpaduan ini tidak hanya berada pada pimpinan tertinggi organisasi, tetapi keterpaduan tersebut seharusnya diikuti oleh pimpinan di berbagai tingkat dibawahnya (Thomas, Litschert, dan Ramaswamy, 1991). Kathuria dan Porth (2003) menyarankan untuk menyelaraskan karakteristik manajerial dengan fungsinya. Menurut Miller, de Vries dan Toulouse (1982), organisasi yang memiliki strategi bisnis yang sangat riskan dan inovatif selalu dapat dipastikan memiliki pimpinan yang agresif dan percaya diri. Sedangkan organisasi yang memiliki tujuan atau strategi bisnis yang konservatif dapat dipastikan ia memiliki pimpinan yang sangat ketat terhadap pengawasan (tighter locus of control) . Thomas, Litschert, dan Ramaswamy (1991) menggunakan tipologi yang dikembangkan oleh Miles dan Snow (1978) untuk menilai kinerja pimpinan. Mereka menyatakan bahwa organisasi yang menyelaraskan antara strategi dengan karakteristik pimpinan menjadikan mereka pimpinan yang mumpuni. Penelitian Roth (1992) menyimpulkan bahwa peningkatan kinerja bisa dicapai ketika karakteristik pimpinan sebagai pengambil keputusan sejalan dengan persyaratan strategi organisasi. Nasution (2005) menyatakan, bahwa model kepemimpinan partisipatif adalah model kepemimpinan yang cocok dalam penerapan SMM ISO 9001. Komunikasi Semua unit di organisasi, baik unit-unit, kelompok, gugus tugas, maupun individu memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pekerjaannya. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab ini mengharuskan adanya kontak dengan pihak lain, baik di dalam organisasi maupun dengan pihak-pihak di luar organisasi tanpa pembatasan dari struktur formal (Winardi, 2009). Komunikasi memiliki peran yang sangat penting bagi hidup dan matinya organisasi, bukan saja melalui diseminasi informasi tetapi juga sebagai bentuk dari perilaku organisasi.
87
Scott dan Mitchell (1976) mengidentifikasikan empat fungsi komunikasi. Fungsi yang pertama adalah emosi. Saluran komunikasi yang dibangun diantara individu selalu memiliki konteks emosional. Melalui komunikasi setiap individu di dalam organisasi dapat mengekpresikan apa yang dirasakan, kepuasan, ketidakpuasan, frustrasi,
kepada sesama rekan kerja
dan bahkan kepada
pimpinan organisasi. Melalui komunikasi pula mereka dapat menyelesaikan konflik terkait dengan ketidakjelasan pekerjaan, tugas dan tanggung jawabnya. Fungsi yang kedua adalah motivasi. Komunikasi membantu pimpinan untuk memotivasi bawahan, memandu, mengontrol dan bahkan mengevaluasi kinerja organisasi dan bawahannya. Peran pimpinan dalam melaksanakan fungsi perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi memerlukan cara-cara berkomunikasi yang baik sehingga menimbulkan keinginan bawahan untuk bekerja lebih baik. Fungsi komunikasi yang ketiga adalah sebagai pemasok informasi melalui jalur komunikasi yang benar dan lancar. Sebagai pemasok informasi, fungsi komunikasi menjadi sangat penting karena informasi yang dibawa akan digunakan sebagai bahan untuk membuat keputusan organisasi. Fungsi komunikasi yang ke empat adalah sebagai kontrol. Fungsi ini memerlukan sistem dan prosedur yang dipergunakan sebagai alat kontrol aliran komunikasi di dalam organisasi (Scott dan Mitchell, 1976) Tugas dan tanggung jawab kepemimpinan di dalam organisasi adalah memastikan adanya proses komunikasi yang berjalan dengan lancar di setiap lini, dan ke segala arah. Proses komunikasi dimaksudkan sebagai sebuah proses yang memastikan bahwa informasi berjalan dan diterima dengan baik oleh organisasi, termasuk didalamnya bagaimana informasi tersebut dimengerti dan dipahami di seluruh organisasi. Tanggung jawab manajemen dalam penerapan SMM ISO 9001 adalahberjalannya informasi ke segala arah, didukung dengan sistem informasi yang handal dengan mengurangi penyimpangan (distortion) yang seminimal mungkin (Hoyle,2001). Persyaratan adanya sistem informasi yang baik dimaksudkan tidak hanya mengatur informasi apa saja yang harus disebarluaskan, tetapi juga alat atau media komunikasi yang digunakan (klausul 5.5.3 ISO 9001). SMM ISO 9001 mensyaratkan adanya sistem informasi yang baik untuk mendukung fungsi
88
kepemimpinan yang diperlukan (ISO, 2008). Operasional manajemen akan berjalan dengan baik jika terjadi alir informasi yang efektif, antara pengirim dan penerima informasi. Informasi tersebut perlu untuk disampaikan kepada pegawai sehingga mereka bisa bekerja dan menjalankan tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan kinerja yang diharapkan. Dengan berkomunikasi, maka keinginan pelanggan yang menjadi fokus organisasi dapat direalisasikan dengan baik. Komunikasi diharapkan terjadi dengan efektif untuk menghindari berbagai kesalahan, diantaranya: (1) informasi yang salah disebarluaskan, sebaliknya informasi yang benar gagal diterima oleh orang yang seharusnya menerima, (2) informasi yang benar diterima oleh orang yang tidak seharusnya menerima, (3) informasi yang benar terlambat diterima sehingga mereka tidak memiliki cukup waktu untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan tugasnya. ISO 9001 mensyaratkan terjaminnya proses komunikasi yang tepat sehingga diperlukan sebuah standar proses yang memastikan bahwa komunikasi akan berjalan dengan efektif dan informasi diterima oleh yang berhak menerima dengan distorsi yang seminimal mungkin (Kaziliunas, 2010). Proses komunikasi dibangun untuk mengkomunikasikan: (1) visi, misi dan nilai-nilai organisasi, (2) kebijakan operasi, (3) tujuan organisasi, (4) rencana-rencana terkait dengan pengembangan pasar, layanan, produk dan rencana perbaikan mutu, (5) persyaratan pelanggan, regulasi dan persyaratan lainnya yang diperlukan untuk proses, (6) permasalahan yang dihadapi, dan perlu diselesaikan, (7) setiap proses perubahan untuk mendapatkan komitmen semua pihak yang terlibat, serta (8) untuk mengkomunikasi hasil atau capaian organisasi, umpan balik pelanggan, serta hal-hal lain, termasuk berita-berita tentang hal-hal yang baik (keberhasilan pencapaian tujuan) ataupun hal-hal yang buruk lainnya (keluhan pelanggan). Pendekatan Pembelajaran Pendekatan pembelajaran di organisasi menurut Sudrajat (2008) dapat didefinisikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1)
89
pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach). Sedangkan secara lebih khusus, self-directed learning merujuk kepada model pembelajaran mandiri yang dilakukan pegawai di organisasi (Maughan dan Anderson, 2005). Jika pendekatan pembelajaran telah ditetapkan, maka kemudian disusun sebuah strategi pembelajaran yang sesuai. Newman dan Logan (Makmun, 2003) mengemukakan empat unsur strategi
pembelajaran yang perlu diperhatikan,
yaitu: (1) mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil (output) dan sasaran (target) yang akan dicapai, dengan mempertimbangkan aspirasi dan selera masyarakat yang memerlukannya, (2) mencari jalan yang paling efektif untuk mencapai sasaran, (3) menetapkan langkah-langkah (steps) yang akan dtempuh sejak titik awal sampai dengan sasaran, (4) menetapkan tolok ukur (kriteria) keberhasilan dari upaya pembelajaran tersebut. Lebih lanjut Makmun mengatakan bahwa teknik pembelajaran merupakan gaya seseorang atau kecenderungan seseorang dalam melaksanakan metode atau teknik pembelajaran tertentu yang sifatnya individual. Teknik pembelajaran akan menampakkan keunikan atau kekhasan dari masing-masing individu sesuai dengan kemampuan, pengalaman dan tipe kepribadian dari guru yang bersangkutan, yang dalam hal ini disebut sebagai metode pembelajaran. Metode pembelajaran adalah cara yang digunakan oleh guru atau
fasilitator dalam
upayanya menyampaikan pesan-pesan, informasi kepada para warga belajar sehingga apa yang diinginkan dari tujuan pembelajaran tersebut dapat diterima dengan baik oleh warga belajar. Menurut Sudrajat (2008) cara belajar akan menampakkan keunikan siswa atau seseorang yang sedang belajar sesuai dengan kemampuan, pengalaman, tipe kepribadian
orang tersebut.
Cara belajar adalah
sebuah seni bagaimana
seseorang mampu menyampaikan informasi yang dimilikinya atau bagaimana seseorang
mampu
menyerap
informasi
yang
dipelajarinya.
Pendekatan
pembelajaran, strategi, metode, teknik dan taktik pembelajaran dan cara belajar yang terangkai secara utuh disebut sebagai pendekatan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran di sebuah organisasi tidak jauh berbeda dengan
pendekatan
90
pembelajaran di dalam kelas.
Pendekatan tersebut
terkait dengan berbagai
macam unsur yang secara bersama-sama akan mempengaruhi model pembelajaran yang akhirnya dipilih dan dianggap terbaik untuk dilaksanakan. Pendekatan pembelajaran atau strategi belajar di organisasi yang menerapkan SMM ISO 9001 berbeda dengan pembelajaran konvensional yang selama ini dikenal. Pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada warga belajar, dalam hal ini karyawan dianggap jauh lebih baik daripada pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada guru. Inti dari pendekatan pembelajaran di organisasi adalah mengembangkan semangat partisipasi, kompetensi dan kapasitas pegawai yang berorientasi kepada pelaksanaan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Sebuah gambaran tentang model pembelajaran atau pendekatan pembelajaran disajikan pada Gambar 6 yang diadopsi dari Sudrajat (2008).
Model Pembelajaran
Strategi Pembelajaran (expositionMetode Pembelajaran discovery learning diskusi, or group-individual (ceramah, simulasi) learning) Teknik dan Taktik Pembelajaran (spesifik, individual, unik diskusi, Metode Pembelajaran (ceramah, simulasi) Gambar 6 Model atau pendekatan pembelajaran (Sudrajad, 2008) Teknik dan Taktik Pembelajaran (spesifik, individual, unik)
Model pembelajaran
Model pembelajaran
Pendekatan Pembelajaran (student or teacher centered)
Gambar 6 Model atau Pendekatan Pembelajaran (Sudrajat, 2008)
Klausmeier dan Goodwin (1971) menyebutkan ada 9 faktor yang mempengaruhi proses belajar, yaitu : (1) Tujuan belajar. Proses belajar dipengaruhi oleh tujuan pembelajaran, apa yang diharapkan dan diinginkan dari proses pembelajaran tersebut; (2)
Materi pembelajaran.
Setiap orang yang
belajar, masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan pada suatu bidang
91
tertentu. Semakin dewasa orang yang belajar akan cenderung mendekati suatu minat atau keahlian dalam suatu bidang tertentu; (3) Media dan teknologi dalam pembelajaran. Perlengkapan audio, audio visual, komputer, ruangan untuk kegiatan belajar kelompok, belajar mandiri, dan lainnya; (4) Karakteristik dan perilaku orang yang belajar.
Untuk memperoleh proses belajar yang efektif
sangat ditentukan oleh karakteristik dan perilaku orang yang belajar baik kemampuan pengetahuan,
intelektual, kemampuan psikomotorik dan fisik serta
karakteristik sikap; (5) Karakteristik pengajar atau fasilitator. Kemampuan intelektual, keterampilan dan sikap instruktur atau fasilitator sangat berpengaruh terhadap efektifnya suatu proses belajar; (6) Interaksi pengajar dan fasilitator dengan orang yang belajar. Interaksi pengajar dan fasilitator dengan orang yang belajar diantaranya adalah bagaimana komunikasi antara pengajar atau fasilitator dan warga yang diajar, bagaimana cara pengajar atau fasilitator menyampaikan materi lainnya; (7) Organisasi,organisasi kependidikan dan pelatihan baik penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, maupun organisasi keprofesian pengajar; (8)Karakteristik fisik, seperti ruangan, sarana dan fasilitas lembaga pendidikan dan pelatihan sangat menentukan keberhasilan proses belajar; dan (9) Hubungan rumah dengan pusat pelatihan serta komunitas. Anggapan terhadap peran penting lembaga pelatihan dan lingkungan sosial berpengaruh terhadap proses belajar dan pengembangan kompetensi. Hasil penelitian Maughan dan Anderson (2005) menyatakan bahwa ketika organisasi memutuskan untuk menerapkan sistem manajemen mutu sebagai budaya baru di organisasi, maka organisasi akan mengubah struktur dan pola kerja dan cara-cara mendapatkan pengetahuan baru serta ketrampilan bagi pegawainya. Menurutnya, yang terpenting dalam organisasi adalah memberikan kesempatan adanya pembelajaran tentang mutu dengan : (1) berdasarkan teori pembelajaran yang tepat, (2) bisa dikontrol oleh pembelajar atas topik-topik yang relevan, adanya tujuan pembelajaran, dan langkah-langkah sistematis yang diambil, (3) adanya keterlibatan yang terus-menerus dimana pembelajar memiliki kesempatan untuk mencari informasi yang berhubungan dengan kebutuhan dan keinginannya untuk tahu, (4) adanya kesempatan untuk menerapkan dan berbagi informasi (sharing information and knowledge), (5) adanya pembelajaran yang bisa
92
digunakan baik secara formal maupun secara belajar mandiri (self-directed learning models), (6) bisa diakses melalui media komputer, dan (7) mampu menunjukkan hasil dari pembelajaran dengan menerapkan pengetahuan dan ketrampilan barunya ke dalam simulasi pemecahan masalah atau suatu proses yang bisa diukur. Maughan dan Anderson percaya bahwa situasi pembelajaran sangat kental dipengaruhi oleh struktur organisasi dan situasi sosial di dalam organisasi tersebut. Pola-pola pembelajaran berkelanjutan perlu dibangun di dalam organisasi dalam berbagai pengetahuan: produk, ketrampilan bekerja di dalam kelompok, dan bahkan kemampuan dan pengetahuan mengatasi konflik (Yang, 2003; Applebaum dan Reichart, 1997).
Tinjauan Atas Penelitian Terdahulu Madsen (2005) menemukanbahwa faktor umur, jenis kelamin, status perkawinan, masa jabatan (tenure), posisi, status pekerjaan, istri atau suami (spouse) dan pendidikan berhubungan erat dengan perubahan sikap dan perubahan organisasi, yakni berhubungan erat kearah perubahan positif. Faktor-faktor lain seperti: komunikasi, pengetahuan dan ketrampilan, logistik dan sistem pendukung, komitmen organisasi, partisipasi, relasi sosial di tempat kerja, kepuasan kerja mendukung terjadinya perubahan perilaku individu. Penelitian Shah (2011) menemukan bahwa pegawai yang berada di sektor organisasi publik di negara-negara berkembang dapat mengembangkan sikap dan perilaku yang positif terhadap perubahan organisasi berdasarkan keadilan yang terdistribusi (distributive justice) dan prosedur yang adil (procedural justice). Menurut Shah, faktor demografi lainnya seperti umur, jenis kelamin, status perkawinan tidak ada hubungannya dengan kesiapan
pegawai dalam
menghadapi perubahan
organisasi, dimana perubahan organisasi ini tidak pernah bisa dihindari. Persepsi individu pegawai terhadap keadilan (fairness) di tempat kerja juga berpengaruh terhadap sikap dan perilaku pegawai. Pegawai akan bersikap positif terhadap perubahan jika mereka diperlakukan adil: menerima keadilan, dengan metode yang tepat, dan mekanisme dan prosedur yang tepat dalam menghasilkan output (Foster, 2010).
93
Elias (2009) meneliti tentang sebab-sebab perubahan dan metode pengembangan sikap dan perilaku pegawai yang dapat menerima perubahan organisasi. Penelitian ini penting
menurut
Elias
karena
hingga saat ini
organissai tidak pernah memiliki kontrol terhadap keputusan pegawai. Manajemen perlu memahami faktor yang dapat diprediksi mendorong pengembangan sikap positif pegawai, keyakinan serta perilaku yang mendorong keberhasilan perubahan perilaku. Elias menemukan peran agen perubahan, proses bisnis yang benar, partisipasi, kepercayaan terhadap lingkungan kerja dan komitmen menjadi faktor yang mendorong sikap dan perilaku positif pegawai terhadap perubahan. Penelitian lain menemukan bahwa kontrol terhadap pengambilan keputusan, adanya otonomi yang lebih besar, dukungan sosial yang membuat pegawai dapat bekerja lebih inovatif, jaringan sosial untuk pengembangan kesehatan dan kepuasan kerja akan mendorong terjadinya perubahan kultural (Rodwell, etal, 2011;
Coats dan Passmore, 2008). Kepemimpinan yang
memberdayakan bisa menjadi faktor pendorong yang sangat penting untuk pemberdayaan organisasi. Kepemimpinan dapat mendorong komitmen pegawai, mulai dari komitmen pegawai yang rendah, yakni perilaku dasarnya (sekedar patuh terhadap perintah atasan) hingga pada komitmen yang tinggi, yakni termotivasi
dan
mengidentifikasi
kerja-kerja
organisasi.
Tidak
adanya
kepemimpinan yang visioner dan komitmen pimpinan telah pula menyebabkan dicabutnya sertifikasi ISO 9001 yang telah diterima organisasi sebagaimana kasus PT. KAI- Jakarta (Karya, 2007). Penelitian tentang pengaruh penerapan SMM ISO 9001 di organisasi publik dilakukan oleh Ferreira dan Diniz (2004) terhadap administrasi publik pemerintah kota Vila Real-Portugal. Penerapan SMM ISO 9001 telah mampu mendorong dan mengubah sikap dan perilaku apatis dan non-responsif pegawai menjadi sikap yang sangat tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Penerapan SMM ISO 9001 berdampak positif terhadap persepsi pelanggan atas produk dan kualitas layanan (Ollila, 1995), dan berdampak positif terhadap kinerja operasi dan keuangan organisasi meskipun tidak selalu menguntungkan buat seluruh organisasi (Simmons dan White, 1999). Kujala (2002) menyatakan penerapan
94
SMM ISO 9001 yang tidak hanya diformulasikan pada aktivitas bekerja tetapi juga terhadap perubahan nilai dan prinsip-prinsip dasar adalah sebuah cara “selfcontrol” yang didorong oleh kelompok mitra bestari (peer group) untuk tujuan yang terukur sehingga berdampak positif terhadap perubahan nilai. Kajian Martin (1993) terhadap
penerapan manajemen mutu terpadu
(TQM) di organisasi pelayanan masyarakat menemukan bahwa tanggung jawab manajemen, standar prestasi dan motivasi, pendekatan yang diambil dan terarah kepada pemberdayaan individu, basis perbaikan yang mengarah kepada kelompok dan dikerjakan secara lebih manusiawi,
serta kerja sama tim ternyata
meningkatkan partisipasi dan kepercayaan atau loyalitas individu di dalam organisasi. Sedangkan kajian Amar dan Zain (2001) terhadap rendahnya daya saing industri manufaktur Indonesia di dunia menemukan adanya kendala industri manufaktur di dalam menerapkan TQM. Mereka menemukan adanya 11 faktor yang menghambat industri manufaktur dalam menerapkan TQM. Ke 11 faktor tersebut menemukan bahwa
manusia sebagai faktor penghambat terbesar
(38.3%), diikuti dengan faktor ketersediaan material atau sarana (24.8%), ketersediaan peralatan dan mesin (15.6%), sikap terhadap kualitas (8.5%), dan informasi yang bermutu (3.5%). Faktor lain yang juga turut berpengaruh meskipun tidak signifikan adalah budaya (kultur), hubungan antar bagian, metoda, training dan keuangan. Penelitian
Hafni (2004) tentang
penerapan SMM ISO 9001:2000
menemukan adanya pengaruh signifikan terhadap produktifitas kerja. Faktorfaktor
infrastruktur,
lingkungan kerja, dan sumber daya manusia berperan
penting terhadap produktifitas kerja, tetapi sumber daya manusia memiliki pengaruh yang sangat dominan. Demikian pula penelitian Sutoyo (2006) di PT. Brantas Abipraya, Medan. Sutoyo menyimpulkan adanya hubungan atau pengaruh yang signifikan dan simultan antara kompetensi, kesadaran dan pelatihan, infrastruktur dan lingkungan kerja terhadap kinerja karyawan. Widyaningrum (2006) menganalisis permasalahan yang dihadapi PT. Telkom Bogor dalam menerapkan SMM ISO 9001:2000 dan menemukan bahwa beberapa klausul (tanggung jawab manajemen, manaajemen sumber daya, realisasi produk, pengukuran analisa dan peningkatan) sudah diterapkan dengan baik, sehingga
95
kinerja organisasi terlihat baik pula. Widyaningrum menemukan adanya beberapa faktor yang ditengarai memiliki pengaruh terhadap efektifitas penerapan SMM ISO 9001:2000 yaitu: sistem administrasi, pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan kemampuan, dan kerja sama tim. Sedangkan penelitian Aziz (2009) atas pengaruh penerapan ISO 9001:2000 (kompetensi, kesadaran dan pelatihan, infrastruktur dan lingkungan kerja) terhadap kinerja pegawai dengan pemberian insentif dan kepuasan kerja sebagai variabel moderating di PT (Persero) Pelabuhan Belawan Indonesia I Medan menemukan tidak adanya korelasi positif atas penerapan ISO 9001:2000 dengan kinerja. Dari berbagai kajian tentang penelitian terdahulu baik terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku pegawai, terjadinya perubahan di organisasi, maupun kajian tentang penerapan ISO 9001 di organisasi menyatakan belum satupun mengkaji adanya hubungan linear antara sikap dan perilaku pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001, apalagi jika dikaitkan dengan penerapan ISO 9001 di organisasi publik dan dampaknya terhadap mutu pelayanan publik sebagaimana di pemerintah daerah.
96
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
Kerangka Berpikir Layanan publik yang selama ini disediakan dan diberikan oleh pemerintah melalui perwakilan yang ada (pemerintah provinsi, kabupaten dan kota) masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Dari 12.000 layanan yang tersebar di seluruh Indonesia, baru 3500 jenis layanan yang telah dilaksanakan dengan mengikuti prinsip-prinsip transparan, efisien dan akuntabel (Kaban, 2009). Sedangkan dari sekitar 533 Pemerintah kabupaten, kota, dan provinsi yang ada sekarang ini, telah berdiri sekitar 397 unit pelayanan terpadu tetapi sebagian besar belum memberikan pelayanan kepada masyarakatnya dengan lebih baik. Terobosan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sragen untuk memberikan pelayanan publik yang bermutu kepada masyarakat telah memberikan harapan baru, baik bagi masyarakat penerima layanan maupun bagi pemerintah daerah beserta jajaran aparatnya. Keputusan pimpinan tertinggi Kabupaten Sragen
untuk memperbaiki citra pemerintah daerah yang tidak
efisien, tidak responsif di tahun 2002 dengan mengadopsi SMM ISO 9001 dipandang sebagai langkah yang tepat. Keputusan pimpinan sebagai keputusan otoritas memiliki banyak dimensi atau faktor yang mendorong diterapkannya SMM ISO 9001 (Prajogo dan Sohal,2006). Selain faktor internal, yakni adanya keinginan untuk memperbaiki berbagai proses bisnis yang ada di dalam organisasi, juga karena adanya dorongan dari luar organisasi. Terbitnya UndangUndang Nomor 25 Tahun 2009 yang menyatakan perlunya organisasi menjadi lebih ramping, responsif, transparan dan akuntabelserta adanya tuntutan penegakan demokrasi, HAM, pengelolaan lingkungan hidup merupakan beberapa masalah yang mendorong perlunya perbaikan pelayanan publik. Sangat disadari bahwa organisasi yang menerapkan manajemen mutu terpadu berbeda dengan organisasi yang biasa saja. Organisasi tersebut berbeda dalam banyak hal terutama orientasinya kepada pelanggan. Pelanggan menjadi fokus kegiatan organisasi. Oleh karena itu umpan balik dari pelanggan, baik dari sisi harga, biaya, kualitas, nilai dan kenyamanan harus dikumpulkan dan
98
diintegrasikan kedalam proses untuk produk atau layanan jasa. Organisasi berusaha untuk selalu meningkatkan kualitas layanan dan produknya. Berbeda
dengan
organisasi
berbasis
mutu,
organisasi
tradisional
memproduksi barang dan jasa berdasarkan kepercayaan atas nilai-nilai yang dianutnya sendiri (Anderson & Maughan, 2005). Fokus utama dari organisasi berdasarkan prinsip manajemen mutu terpadu adalah peran manusia atau karyawannya. Organisasi akan berusaha untuk mendorong, mengilhami, memotivasi karyawan di setiap lini dengan berdisiplin terhadap berbagai hal positif: pelatihan, terlibat dalam proses yang berulang, bekerja berdasarkan data dan fakta, menyadari bekerja dalam sebuah sistem yang saling terkait, berkeinginan untuk memantau kemajuan yang dicapai dan melakukan penyesuaian terhadap berbagai variabel masukan sebagai bagian dari peningkatan kemampuan berkelanjutan (continous improvement). Pegawai juga menganggap bahwa para pemasok adalah bagian penting yang harus dirangkul untuk mendapatkan mutu barang yang diinginkan. Budaya kerja dan budaya organisasi tersebut akan muncul di setiap lini di organisasi. Mereka diharapkan dan didorong untuk memiliki cara berkomunikasi yang baik dengan selalu berbagi informasi, memiliki toleransi yang tinggi terhadap perubahan, dan mampu mengelola diri sendiri (dewasa). Mereka juga diharapkan dapat bekerja pada masa kini tetapi memiliki visi yang jauh kedepan. Stringham (2004) menyatakan bahwa dalam menerapkan manajemen mutu di organisasi publik diperlukan satu perubahan kultur atau budaya organisasi yang menyeluruh dan komprehensif. Penerapan SMM memerlukan komitmen yang berkesinambungan dari pimpinan dan keterlibatan pegawai di seluruh lini. Pimpinan harus memiliki keinginan untuk memberdayakan para bawahan. Sebaliknya bawahan memiliki keinginan untuk menerima tambahan tugas dan tanggung jawab untuk memenuhi dan melebihi apa yang diinginkan oleh masyarakat sebagai para pembayar pajak. Pimpinan berkewajiban membangun dan
mengartikulasikan
visi
dan
tujuan
strategis
yang
sesuai,
mengkomunikasikannya dan menunjang perubahan-perubahan yang mungkin diperlukan di lingkungan organisasi. Stringham lebih lanjut menekankan perlunya kepemimpinan yang berkesinambungan dan memiliki visi jauh kedepan di
99
organisasi publik. Pejabat yang ditunjuk secara politis di jabatan tersebut dalam kurun waktu tertentu diharapkan dapat berlanjut terutama pada masa-masa transisi. Tujuan penerapan SMM ISO 9001 pada unit pelayanan terpadu salah satunya adalah terjadinya perubahan budaya kerja organisasi dan tercapainya mutu layanan yang sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat. Artinya, organisasi mampu memberikan pelayanan publik sesuai dengan kehendak masyarakat, dan pegawai mampu menunjukkan kinerjanya dengan baik sesuai dengan harapan masyarakat. Pegawai yang baik, memiliki kompetensi dan kapasitas yang tidak dihasilkan dengan serta merta. Kualitas pegawai tersebut dihasilkan dari sebuah proses perencanaan yang matang serta
melalui
pembelajaran yang panjang dan terencana dengan baik. Selain itu, keberhasilan penerapan SMM ISO 9001 dipengaruhi dan berhubungan dengan karakteristik pegawai sebagai faktor pendorong internal terbentuknya sikap dan perilaku yang bermutu. Keberhasilan Pemerintah Kabupaten Sragen dan pemerintah daerah lainnya dalam melakukan reformasi terhadap cara-cara pemberian pelayanan publik kepada masyarakat diakui oleh berbagai kalangan, tidak saja di dalam negeri tetapi juga dari berbagai pihak di luar negeri. Keberhasilan pemerintah daerah mengubah perilaku pegawainya sehingga tidak lagi bersikap sebagaimana pegawai pemerintah di masa lalu,
mendapatkan pujian dan menuai berbagai
penghargaan karena dampak yang dihasilkannya: iklim investasi yang kondusif, peningkatan pendapatan asli daerah, dan pada gilirannya meningkatkan angka partisipasi bekerja atau menurunnya pengangguran (Bappeda Sragen, 2008). Perubahan sikap dan perilaku karyawan terjadi melalui serangkaian proses yang panjang dan sebagai akibat dari berinteraksinya berbagai faktor, baik internal individu maupun eksternal dimana individu berada. Penerapan sistem manajemen mutu di organisasi diduga menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya perubahan berbagai fungsi di dalam organisasi: fungsi kepemimpinan, sistem perencanaan,
pelaksanaan
pelayanan
kepada
masyarakat,
kebijakan
pengembangan SDM, sistem komunikasi di dalam organisasi, serta sistem insentif. Dapat dikatakan bahwa penerapan SMM ISO 9001 mendorong terjadinya
100
perubahan sistem pengelolaan organisasi dan orang-orang didalamnya secara menyeluruh, sistematis dan terencana. Dari banyaknya faktor yang berpengaruh terhadap pelayanan publik, maka faktor manusia memegang peranan yang sangat penting (Amar dan Zain, 2001) selain sikap mereka terhadap mutu (Koo, Koo dan Tao, 1998). Sikap seringkali menjadi faktor yang dilupakan dalam pencapaian sertifikasi ISO 9001. Penerapan SMM ISO 9001 diharapkan dapat secara bertahap mempengaruhi perubahan sikap dan perilaku pegawai di birokrasi, khususnya mereka yang berada dan menjadi ujung tombak layanan publik kepada masyarakat. Perilaku yang terbentuk dalam diri seseorang selalu dipengaruhi oleh dua faktor: internal dan eksternal (Notoatmodjo, 2010). Faktor eksternal dikenal sebagai driving forces atau stimulus, atau faktor yang berasal dari luar dirinya, serta faktor internal, atau respon yang berasal dari dalam individu. Faktor eksternal atau stimulus berupa faktor yang berasal dari lingkungan, baik lingkungan fisik maupun non fisik. Lingkungan dapat berupa lingkungan sosial, budaya, ekonomi, politik, organisasi: kebijakan remunerasi, insentif dan penghargaan, sistem dan budayanya, kepemimpinan di dalam organisasi, interaksi yang berjalan diantara anggota organisasi, serta kelembagaan lainnya. Faktor internal yang merespon adanya stimulus dari luar adalah kemampuan individu dalam melakukan pengamatan, sikap, motivasi, persepsi (Winardi, 2009). Perubahan sikap dan perilaku pegawai terhadap penerapan sistem manajemen mutu berdampak kepada kemampuannya dalam menerjemahkan kebijakan pelayanan prima kepada masyarakat yakni
layanan yang bermutu kepada
masyarakat penerima jasa. Dari paparan tersebut maka penelitian ini akan mengkaji beberapa faktor yang berpengaruh terhadap sikap pegawai pada penerapan SMM ISO 9001 (Y1). Dalam penelitian ini faktor eksternal yang diteliti dibatasi pada faktor-faktor : kepemimpinan, motivasi ekstrinsik, dinamika dan interaksi kelompok, serta pendekatan pembelajaran terhadap sistem manajemen mutu.Sedangkan faktor internal yang ditengarai berperan penting terjadinya perubahan perilaku pegawai motivasi individu (intrinsik) dan karakteristik individu.
101
Termasuk kedalam karakteristik karyawan ini adalah umur, latar belakang pendidikan (formal maupun non-formal), status sosial di dalam organisasi, kekosmopolitan,
pengalaman
bekerja
dan
pengetahuan
terhadap
sistem
manajemen mutu. Sikap positif pegawai terhadap penerapan sistem manajemen mutu berdampak kepada perilaku pegawai dalam memberikan pelayanan masyarakat (Y2). Perilaku pegawai mencakup: sikap tanggap atau responsif terhadap keluhan masyarakat, melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan dengan efektif dari segi waktu, dapat dipercaya, bertindak adil dan beretika serta memahami nilai-nilai pelayanan publik dan kepuasan masyarakat yang disyaratkan. Gambar 7 menyajikan hubungan antara peubah bebas (X) dengan peubah tidak bebas (Y).
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah disampaikan, maka hipotesis kerja penelitian ini adalah : 1)
Sikap pegawai terhadap penerapan SMMISO 9001 dipengaruhi secara positif dan nyata oleh kepemimpinan, motivasi,
interaksi kelompok,
karakteristik individu, dan pendekatan pembelajaran; 2)
Perilaku pegawai dalampelayanan publik dipengaruhi positif oleh sikap pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001, kepemimpinan, motivasi, interaksi kelompok, karakteristik individu, dan pendekatan pembelajaran di organisasi.
102
X1. Kepemimpinan 1.1. Visi 1.2. Komitmen 1.3. Komunikasi
X2. Motivasi 2.1. Motivasi ekstrinsik 2.2. Motivasi Intrinsik
X3. Interaksi Kelompok 3.1. Interaksi antar kelompok 3.2. Interaksi Intra Anggota dalam kelompok
Y1. Sikap Pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001. Y11. Terhadap mutu Y12. Terhadap keterlibatan di organisasi Y13. Terhadap pengembangan diri Y14. terhadap internalisasi nilai kepemimpinan
Y2. Perilaku Pegawai terhadap Pelayanan Publik 2.1. Responsif 2.2. Handal 2.3. Etika Pelayanan
X4. Karakteristik Individu 4.1. Umur 4.2. Pendidikan Formal 4.3. Pendidikan Non Formal 4.4. Pengalaman 4.5. Kosmopolitan 4.6. Pengetahuan tentang ISO 9001 4.7. Status Sosial
X5. Pendekatan Pembelajaran di Organisasi 5.1. Materi 5.2. Metode 5.3. Model Komunikasi 5.4. Cara Belajar
Gambar 7 Kerangka operasional: hubungan antar peubah
METODE PENELITIAN Lokasi dan Disain Penelitian Pemilihan daerah penelitian dilakukan dengan metode purposive sampling dengan pertimbangan sebagai berikut: (1) Unit studi adalah pemerintah daerah provinsi, kota atau kabupaten; (2) Pemerintah daerah tersebut telah menerapkan sistem pelayanan publik satu pintu atau satu atap pada unit pelayanan publik; (3) Kantor pelayanan publik satu atap atau satu pintu tersebut telah menerapkan atau pernah menerapkan SMM ISO 9001 dan telah mendapatkan sertifikat ISO 9001 dari Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu (LSSM); (4) Unit layanan terpadu satu pintu atau satu atap telah diregistrasi SMM ISO 9001 minimal dalam kurun waktu tiga tahun; (5) Provinsi, kota atau kabupaten tersebut mendapatkan Piala Anugerah
Citra
Pelayanan
Prima
dari
Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; (6) Daerah yang dipilih mewakili daerah dengan tipologi yang berbeda: daerah industri dan daerah pedalaman (hinterland). Data yang dirilis oleh Kementerian Dalam Negeri menyebutkan terdapat 533 pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia, dengan rincian sebagai berikut: 33 Provinsi, 99Kota, dan 404 Kabupaten. Berdasarkan sebaran tersebut, terdapat
397 Badan Pelayanan Perijinan dengan nama yang
berbeda-beda. Khusus untuk Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BP2T) juga dikenal dengan nama
Badan
Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal
(BPTPM), atau Kantor Pelayanan Terpadu (KPT). Berdasarkan kriteria butir (4) didapatkan 100 Kantor Perijinan Terpadu Satu Pintu (KPTSP) terkait dengan layanan investasi yang secara resmi dipublikasikan oleh Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) (Lampiran 1). Dari 533 Provinsi, Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia, Kantor Pelayanan Terpadu
Satu Pintu yang telah menerapkan dan mendapatkan
104
sertifikasi ISO 9001: 2000 dan ISO 9001:2008 sebanyak 46 kantor dengan rincian: Pemerintah Provinsi sebanyak: 4 buah (Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi Utara), 22 Kota, dan 20 Kabupaten. Tahun mulai penerapan dan sertifikasi ISO 9001 sangat beragam, mulai dari tahun 2002 hingga yang barubaru ini menerima di tahun 2011. Sesuai dengan kriteria butir 4, yakni KPT atau BP2T yang telah menerapkan SMM ISO 9001 dan mendapatkan sertifikasi dengan kurun waktu minimal 3 tahun adalah Kota Cimahi, Kabupaten Sragen, Kabupaten Sidoarjo, Kota Bontang, Kabupaten Banjar di Kalimantan Selatan. Kabupaten Jembrana, Kabupaten Solok, serta Kotamadya Pare-Pare. Dua kabupaten terpilih yaitu Kabupaten Sragen-Provinsi Jawa Tengah serta Kabupaten Sidoarjo-Provinsi Jawa Timur dengan pertimbangan BP2T di dua kabupaten tersebut adalah yang terlama menerapkan SMM ISO 9001. Kabupaten Sragen mewakili daerah pedalaman (hinterland) dengan tipologi pertanian dan Kabupaten Sidoarjo mewakili daerah industri. Disain penelitian adalah penelitian
korelasional dengan menggunakan
sebab-akibat. Penelitian dilakukan di beberapa pemerintahan daerah yang telah menerapkan konsep layanan publik satu atap atau One Stop Service (OSS) pada Kantor Badan Perijinan Terpadu yang telah menerapkanSMM ISO 9001.
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah
para pegawai
yang bekerja pada unit
layanan terpadu satu atap atau satu pintu khususnya bagian pelayanan jasa perijinan usaha atau investasi. Teknik pengambilan sampel dengan cara surveymenggunakan teknik pengadministrasian secara kelompok terhadap seluruh pegawai yang bekerja di unit layanan tersebut (Moeheriono, 2010). Populasi di dua daerah penelitian berjumlah 104 orang. Pengembalian kuesioner sebanyak 96 responden ( 92.31%) yang tersebar di dua daerah penelitian sebagaimana Tabel 3.
105
Tabel 3 Sebaran responden di dua daerah penelitian (n = 96) No
Jenis Kelamin
Kabupaten Sragen
Kabupaten Sidoarjo
1 2
Pria Wanita Jumlah
pop 24 19 43
pop 33 28 61
resp 24 19 43
resp 28 25 53
Jumlah pop 57 47 104
%
resp 52 44 96
pop 54.8 45.2 100
resp 54 46 100
Sumber data : Pengolahan data lapangan, 2011 Berdasarkan jenis kelamin, 54% atau 52 orang responden pada penelitian ini adalah pria dan 46% atau 44 orang sisanya adalah wanita. Berdasarkan status kepegawaian responden yakni Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Tidak Tetap (PTT), komposisi di dua daerah penelitian sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Status Kepegawaian Responden No 1
Status Kepegawaian PNS
2
PTT Jumlah
Kabupaten Sragen 35
Kabupaten Sidoarjo 53
Jumlah
%
88
91.60
8
0
8
8.40
43
53
96
100
Sumber Data : Pengolahan data lapangan, 2011
Mengingat jumlah responden yang ada dan disesuaikan dengan tujuan penelitian, yakni menggali berbagai faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku pegawai pada penerapan SMM ISO 9001 di lingkungan pemerintah daerah khususnya di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu, maka penggunaan pisau analisa jalur (path analysis) diharapkan mampu menjawab pertanyaan penelitian. Jumlah sampel minimal yang diperlukan untuk mendapatkan hasil yang dapat dipertanggungjawabkan adalah 50% dari total populasi. Sedangkan pada penelitian ini mendapatkan 96 orang responden yang merupakan 92.31% dari populasi pegawai (104) yang ada di dua daerah penelitian tersebut. Responden berstatus PNS sebanyak 8 orang sedangkan 8 orang sisanya berstatus PTT.
106
Pengumpulan Data Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan observasi langsung di lapangan. Penggunaan kombinasi kedua teknik tersebut diharapkan akan dapat saling melengkapi kelemahan dan kekurangan dari masingmasing teknik sehingga akan didapatkan data yang sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian. Survei dilakukan dengan pengadministrasian secara berkelompok (Group Administered Survey) yakni di ruang kerja mereka. Dengan cara demikian, pengembalian survey(response rate) penelitian ini dapat mendekati 100%. Ijin penelitian disampaikan kepada Kepala Kantor selaku pimpinan tertinggi di organisasi. Peneliti membagikan kuesioner kepada para responden yakni para PNS dan PTT Kantor Badan Pelayanan Perijinan Terpadu dengan terlebih dahulu menjelaskan tujuan penelitian. Responden menyerahkan kuesioner yang telah diisi pada hari itu juga atau pada hari berikutnya. Pembersihan (cleaning) data dilakukan dengan cara pengecekan terhadap keseluruhan kuesioner. Jika ditemukan adanya kekurangan terhadap data yang belum diisi responden, maka dilakukan pengecekan kembali kepada responden. Beberapa pertanyaan yang sangat meragukan atau berbeda dari kelaziman jawaban populasi segera ditindaklanjuti dengan wawancara terstruktur berpedoman kepada hasil kuesioner yang ada. Sebagai contoh, seorang PNS yang telah bekerja selama lebih dari 20 tahun, berpendidikan formal Sarjana Strata Satu (S1). PNS tersebut masih memiliki pangkat dan golongan Penata Muda/ IIIa. Berdasarkan perhitungan dengan peraturan kepegawaian yang ada, masa kerja 20 tahun dan berpendidikan S1 seharusnya yang bersangkutan telah memiliki Pangkat dan Golongan minimal Penata Tingkat I/IIId atau bahkan Pembina/IVa. Dari hasil wawancara mendalam diketahui bahwa responden tersebut ternyata memiliki latar belakang pendidikan formal SLTA pada saat masuk sebagai PNS. Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner semi terstruktur kepada responden dan wawancara mendalam (indepth interview) kepada informan kunci (key informant) untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap. Observasi langsung dilapangan dilakukan untuk membandingkan hasil wawancara dengan kenyataan di lapangan dan diharapkan dapat mempertajam hasil
107
wawancara. Observasi langsung dilakukan terhadap pelaksanaan pemberian layanan langsung kepada masyarakat, terutama kompetensi PNS di lini pelayanan, cara pelayanan dan perilaku pegawai dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat, terhadap dinamika dan interaksi kelompok serta terhadap proses pembelajaran di organisasi.
Jenis Data yang Dikumpulkan
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh langsung dari responden, dengan menggunakan kuesioner dan panduan wawancara secara terstruktur maupun tidak terstruktur serta melakukan observasi langsung terhadap perilaku responden. Sedangkan data sekunder diperoleh dari pendataan dan dokumentasi atas data dan informasi yang telah tersedia di unit pelayanan terpadu satu atap atau satu pintu. Data sekunder dapat berupa data tentang kepuasan masyarakat, keluhan dan penanganannya, serta data lain yang relevan dari instansi pemerintah maupun swasta yang ada, seperti: keadaan penduduk (demografi) dan ketenagakerjaan, kondisi sosial, data investasi, data Pendapatan Asli Daerah (PAD), data Usaha Mikro, Kecil dan Menengah(UMKM)
dan
industri,
berbagai
Undang-Undang,
Peraturan
Pemerintah, Keputusan Menteri, Surat Keputusan Kepala Daerah, dokumen sistem manajemen mutu dan dokumen lain yang relevan, lay-out atau tata letak OSS atau KPT, Data primer diperlukan untuk mengetahui faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi sikap pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001 serta perilaku pegawai dalam memberikan pelayanan publik di unit pelayanan terpadu satu pintu atau satu atap. Data primer tersebut diperoleh melalui kuesioner yang dibuat dengan skala Likert 1 hingga 4. Alternatif dari tiap jawaban ditransformasikan menjadi data kuantitatif dengan cara pemberian skor atau nilai. Skor yang diperoleh menggunakan skala Likert dapat dipertimbangkan sebagai data interval walaupun pada dasarnya ordinal (Kerlinger,2006; Gulo, 2002). Data primer dari informan kunci diperlukan untuk melengkapi analisa kualitatif sikap dan perilaku pegawai terkait dengan penerapan SMM ISO 9001 di unit layanan
108
terpadu satu pintu atau satu atap. Data sekunder diperlukan untuk mengetahui latar belakang atau sejarah dan budaya Kota dan Kabupaten dalam pemberian pelayanan publik kepada masyarakat
Kesahihan dan Keterandalan Kesahihan (validitas) Black dan Champion (1976) menyatakan bahwa kesahihan menyangkut ketepatan dalam penggunaan alat ukur. Suatu alat ukur dinyatakan valid atau sahih apabila alat ukur tersebut dapat digunakan untuk mengukur secara tepat konsep yang ingin diukur. Sebagai alat ukur untuk mengumpulkan data, kuesioner harus dapat digunakan untuk mengukur konsep yang hendak diukur. Kesahihan kuesioner tersebut bersandar pada logika dan pembuktian statistik. Kesahihah (validitas) dalam penelitian ini dilakukan dalam tiga bentuk : (1) kesahihah isi (content validity), (2) kesahihan yang berhubungan (criterion related validity), dan (3) kesahihan konstruk (construct validity)(Kerlinger, 2006). Kesahihan isi berdasarkan pada (1) pendapat ahli baik dari berbagai kajian pustaka maupun pendapat pakar (pembimbing dan narasumber lainnya) dalam rangka pencapaian tujuan, (2) uji kesahihan logika, yaitu membandingkan teori sikap dan perilaku, teori belajar sosial, teori kelompok, teori kepemimpinan, teori sistem dalam kaitannya dengan sikap dan perilaku pegawai. Kesahihan yang berhubungan (criterion related validity) atau kesahihan konkuren didasarkan kepada hubungan yang teratur antara sikap dan perilaku pegawai dengan faktor internal dan eksternal dan penerapan sistem manajemen mutu dalam unit pelayanan terpadu satu pintu atau satu atap. Kesahihan dapat dilihat melalui korelasi sederhana antara skor yang dicapai antar peubah dari masing-masing konsep yang diukur. Kesahihan konstruk menghubungkan gagasan dan praktek psikometrik di satu pihak, dengan gagasan teoritis di pihak lain. Validitas konstruk digunakan untuk menjelaskan faktor apa saja yang mempengaruhi hasil test seseorang yang demikian beragam hasilnya. Analog dengan hal tersebut, kesahihan konstruk dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui faktor apa yang mempengaruhi sikap dan perilaku pegawai dalam menerapkan SMM ISO 9001. Untuk
109
memperoleh kuesioner yang mempunyai validitas konstruk dan validitas isi yang tinggi, maka daftar pertanyaan disusun dengan cara: (1)mempertimbangkan teoriteori yang relevan, (2). menyesuaikan isi pertanyaan dengan kondisi responden, (3) berkonsultasi dengan komisi pembimbing, serta (4)mengujicobakan kuesioner. Setelah instrumen selesai disusun, instrumen kemudian diujicobakan. Responden untuk pengujian instrumen berjumlah 36 orang. Hasil uji coba dianalisis dengan korelasi Pearson. Menurut Ancok dalam Singarimbun (1995) angka korelasi yang diperoleh dari hasil uji coba kemudian dibandingkan dengan Tabel korelasi nilai r. Bila nilai korelasi dan reliabilitas hasil perhitungan lebih besar dari rtabel maka instrument tersebut dianggap valid dan reliable.Untuk n=36(responden uji coba) dengan α= 5% diperoleh rtabel = 0,361. Berdasarkan hasil uji coba intrumen penelitian maka instrumen penelitian dianggap valid dan reliable yaitu diperoleh 137 pertanyaan valid ( >rtabel = 0,361) (Lampiran 2).
Keterandalan (reliabilitas) Keterandalan menyangkut kemampuan alat ukur untuk mengukur gejala secara konsisten, stabil, teliti dan sebagai alat ukur yang tepat dalam mengukur gejala yang sama (Black dan Champion, 1976). Kerlinger (2006) menandai keterandalan ini berkaitan dengan stabilitas atau kemantapan, keterpercayaan (dependability), dan keteramalan (predictability),
akurasi atau ketepatan
instrumen pengukur. Untuk menguji keterandalan atau reliabilitas kuesioner digunakan rumus Cronbach’s Alpha: 2 item
N =
1N–1
(Kountur, 2003) 2
total
Keterangan: = Cronbach’s Alpha N = banyaknya pertanyaan 2 = variance dari pertanyaan item 2 = variance dari skor total
Pengujian validatas berdasarkan skala Cronbach Alpha 0 sampai dengan 1. Apabila nilai hasil perhitungan (α) dikelompokkan ke dalam lima kelas dengan
110
skala yang sama (0 sampai 1), maka ukuran kemantapan alpha dapat diinterprestasikan sebagai berikut : (1) Nilai koefisien Alpha berkisar 0,00 – 0,20, berarti kurang reliabel (2) Nilai koefisien Alpha berkisar 0,21 – 0,40, berarti agak reliabel (3) Nilai koefisien Alpha berkisar 0,41 – 0,60 berarti cukup reliabel (4) Nilai koefisien Alpha berkisar 0,61 – 0,80, berarti reliabel (5) Nilai koefisien Alpha berkisar 0,81 – 1,00, berarti sangat reliabel Terhadap instrumen dan peubah yang akan digunakan di penelitian dan telah diujicobakan kepada 36 responden diperoleh hasil bahwa keseluruhan peubah dinyatakan memiliki reliabilitas konsistensi internal (internal consistensy reliability) sebagaimana disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil uji reliabilitas peubah penelitian dengan n = 36 No Peubah 1 Kekosmopolitan 2 Visi Pimpinan 3 Komitmen Pimpinan 4 Komunikasi Pimpinan 5 Motivasi Ekstrinsik 6 Motivasi Intrinsik 7 Interaksi Antar Kelompok 8 Interaksi Intra Anggota di dalam Kelompok 9 Materi Pembelajaran 10 Metode 11 Model Komunikasi 12 Cara Belajar 13 Kesediaan Menjalankan Manajemen Mutu Organisasi 14 Keterlibatan aktif di dalam Kelompok 15 Pengembangan Diri 16 Internalisasi Sifat Kepemimpinan Individu 17 Tanggap 19 Etika Pelayanan 20 Strategi Keberlanjutan Penerapan ISO 9001 Sumber: Olahan data lapangan, 2011
Cronbach Alpha 0.773 0.667 0.867 0.774 0.836 0.771 0.,833 0.728 0.695 0.866 0.684 0.752 0.657 0.864 0.623 0.776 0.823 0.677 0.838
Pengolahan dan Analisis Data Penelitian ini akan melihat hubungan kausal antara berbagai peubahbebas yang terpilih dengan peubah tidak bebas lainnya, menghitung derajat besarnya pengaruh langsung maupun tidak langsung, serta melihat kecocokan model penelitian yang dirancang (model hipotetik) dengan model sesungguhnya. Data yang dikumpulkan
diolah melalui serangkaian proses editing, pengkodean,
pemilahan, pembersihan (cleaning) data dan analisis data. Data dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif, verifikatif dan kuantitatif. Analisa berbagai
111
faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku pegawai dilakukan secara kualitatif melalui proses pemberian arti secara subyektif terhadap nilai kuantitatif yang ditemukan berdasarkan uji statistik dan dilengkapi dengan temuan lapangan. Seluruh data yang terkumpul ditabulasi sesuai dengan kategorinya dan kemudian dianalisis sesuai kebutuhan penelitian. Untuk mengetahui hubungan antar peubah atau peubah penelitian dan menemukan model empiris hubungan antar peubah dan faktor-faktor pendukungnya, digunakan analisis jalur (path analysis) dengan regresi linier dan menggunakan bantuan program SPSS.16. Pengujian dengan analisa jalur dilakukan karena : (1) Ada sejumlah hubungan tidak langsung antara peubah yang akan dipelajari, (2) Hanya terjadi arus kausal searah dan (3) Semua peubah diukur dalam skala interval (Dillon dan Goldsten, 1984). Dengan analisis jalur dapat dilakukan evaluasi terhadap pengaruh langsung dari peubah bebas atas peubah tidak bebas dan pengaruh tidak langsungnya melalui peubah bebas ataupun peubah tidak bebas lainnya serta derajat hubungan tersebut. Metode analisa jalur pada prinsipnya menggunakan analisis regresi linier dengan peubah-peubah yang dibakukan. Koefisien korelasi (r) dengan persamaan berikut:
dimana
Persamaan regresi dengan peubah bebas (Xi ) berbentuk sebagai berikut: Y= b0 + b1 X1 +b2 X2 +b3X3 +… +bkXk + Keterangan: Y bo b1 ..bn
: Peubah dependen (terikat) : intercept : koefisien regresi
X1…Xk
: peubah independen (bebas) : error atau peubah pengganggu.
112
Berdasarkan path diagram dari model hipotetik persamaan struktural tersebut dapat diidentifikasikan dua model yang menjadi dasar analisis data. Kedua model tersebut dapat dijabarkan menjadi dua persamaan struktural: Model Persamaan Struktural Y1:
Y1 =
.1.1Y1X1
+ .1.2 Y1X2 + .1.3 Y1X3 + .1.4 Y1X4+ .1.5 Y1X5 +
X1 .1.1
X2 .1.2 X3
X4
Y1
.1.3 .1.4 .1.5
X5 Gambar 8 Model Y1: sikap pegawai Keterangan : X1 : Kepemimpinan X2 : Motivasi X3 : Interaksi Kelompok X4 : Karakteristik Individu X5 :Pendekatan Pembelajaran di Organisasi Model Y2: Perilaku Pegawai Pada Model Y2 persamaan strukturalnya: Y2 =
.2.1Y2X1
+ .2.2 Y2X2 + .2.3 Y2X3 + .2.4 Y2X4+ 21.5 Y2X5 +
2.1
Y2Y1+
113
X1 .2.1
X2 .2.2 X3 X4
.2.3 Y2
.2.4 .2.5
X5 2.1
Y1 Gambar 9 Model Y2: Perilaku pegawai terhadap pelayanan publik Gambaran hubungan antara berbagai peubah yang diduga berpengaruh langsung kepada sikap pegawai (Y1), berpengaruh langsung dan tidak langsung kepada perilaku pegawai (Y2) disajikan pada Gambar 10. X1 X2
2.1
11 12
Y1
2.2
X3
1.3
β2.1
2.3
X4
1.4 2.4 1.5
X5
Y2
2.5
Gambar 10. Model hubungan sikap dan perilaku pegawai pada pelayanan publik
Konseptualisasi dan Definisi Operasional Kepemimpinan (X1) Kepemimpinan adalah sebuah fungsi menggerakan dan mempengaruhi orang lain untuk mewujudkan visi dan tujuan organisasi. Kepemimpinan memberikan arah organisasi bekerja, oleh karena itu
pemimpin harus
114
memberikan visi, misi, dan
komitmennya. Perwujudan komitmen pimpinan
berupa berbagai kebijakan strategis di bidang pengembangan SDM, terwujudnya lingkungan organisasi yang kondusif untuk bekerja, adanya sistem dan prosedur, serta sarana dan prasarana komunikasi yang menjamin lancarnya komunikasi di dalam organisasi. Kepemimpinan dan komitmen pimpinan yang demikian diduga menjadi salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi sikap dan perilaku pegawai dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kepemimpinan menjadi salah satu unsur utama dalam SMM ISO 9001. Berbagai penelitian juga menyampaikan bahwa kepemimpinan berperan besar dalam sukses tidaknya sebuah organisasi menerapkan ISO 9000 (Jabnoun dan AlGhasyah, 2006). Tabel 6 Indikator dan parameter kepemimpinan (X1) Indikator
Definisi Operasional
X.1.1. Visi
Kemampuan pemimpin dalam memberikan impian masa depan, baik secara organisasi maupun bagi pegawai di dalamnya dan menimbulkan ketertarikan pihak luar untuk bekerja sama
Parameter
X.1.2. Komitmen
X.1.3.Komunikasi
Skala
Kemampuan memberikan teladan 2. Kemampuan memberi arahan masa depan 3. Kemampuan membangkitkan semangat pegawai untuk bekerja 4. Kemampuan menarik mitra kerjasama
Interval (sangat tidak mampu, cukup mampu, mampu, dan sangat mampu)
Kepedulian dan perhatian pimpinan dalam menyediakan linkungan kerja yang kondusif, sarana dan prasarana kelembagaan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas
1.
Interval (rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi)
Kemampuan pimpinan dalam menjalin efektifitas komunikasi dengan seluruh pegawai, menyampaikan informasi, menerima masukan, mendengarkan permasalahan, mengendalikan situasi
1.
4.
1.
2. 3.
2.
3.
4.
Tersedianya kebijakan organisasi yang kondusif Tersedianya fasilitas kerja yang diperlukan Lingkungan kerja kondusif Waktu yang tepat untuk komunikasi Terbuka menerima masukan dari siapa saja di organisasi Kemampuan mencairkan dan menghidupkan suasana yang memancing umpan balik Ketersediaan sarana komunikasi
Interval (tidak efektif, cukup, efektif, efektif, sangat efektif)
Motivasi (X2) Motivasi adalah dorongan psikologis yang mengarahkan seseorang ke arah suatu tujuan tertentu. Motivasi membuat keadaan dalam diri individu muncul, terarah, dan mempertahankan perilakunya. Motivasi menjadi dorongan (driving forces) bagi seseorang untuk bertindak dan melaksanakan sesuatu. Oleh karena itu motivasi pada setiap orang akan berbeda-beda. Motivasi menjadi energi bagi
115
seseorang yang dapat menimbulkan sikap persisten ataupun antusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan atau tugas. Motif berperan dalam mendorong, memelihara, dan menghentikan serangkaian kegiatan, melakukan evaluasi terhadap situasi lingkungan yang berhubungan dan mempengaruhi
tujuan
individu. Motif berperan dalam menentukan pilihan dan arahan perilaku, serta motif berperan dalam proses pembelajaran. Faktor pendorong ini dapat dibedakan menjadi dua: faktor instrinsik, yakni yang berada di dalam diri individu, dan faktor ekstrinsik yakni dorongan yang berasal dari luar individu. Peubah motivasi ekstrinsik pegawai digali lebih dalam baik secara kuantitatif maupun kualitatif menggunakan kuesioner dan wawancara terhadap beberapa hal terkait lingkungan strategis di dalam organisasi dan di luar organisasi (sosial), diantaranya: (1) keinginan pimpinan untuk meningkatkan kepercayaan publik, (2) memenuhi tuntutan masyarakat akan layanan yang responsif, mudah dijangkau dan murah dari segi biaya, serta (3) meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dengan menarik semakin banyak investasi dari luar. Motivasi intrinsik lebih kepada dorongan internal yang dimiliki pegawai untuk bekerja, yang meliputi: (1) adanya kebanggaan diri bekerja pada institusi bertaraf nasional dan bahkan internasional, (2) adanya keinginan untuk bekerja lebih baik, (3) meningkatnya take home pay atau pendapatan pegawai, serta karena melihat adanya manfaat jangka panjang bagi diri pribadi (Riduwan, 2009). Tabel 7 Indikator dan parameter motivasi (X2) Indikator
Definisi Operasional
Parameter
Skala
X2.1. Motivasi ekstrinsik
Dorongan dari luar individu yang memunculkan perilaku tertentu
1. Pimpinan ingin meningkatkan kepercayaan masyarakat 2. Layanan mudah, murah,responsif 3. Meningkatnya PAD
Interval (rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi)
X2.2.Motivasi Intrinsik
Sikap yang akan mendorong munculnya perilaku tertentu dan kemampuan, yang memberi seseorang kapasitas tertentu untuk bertindak dengan benar
1. Adanya kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement) 2. Adanya kebutuhan untuk bersosialisasi dan berafiliasi, mendapatkan pengakuan (need for affiliation) 3. Adanya kebutuhan akan pekerjaan yang menantang, kepercayaan(need to power) sesuai dgn fair payment
Interval (rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi)
116
Interaksi Kelompok (X3) Organisasi dapat mencapai tujuannya karena dukungan
berbagai
kelompok yang terdiri dari individu-individu. Interaksi yang terjadi di dalam kelompok antar individu sesungguhnya akan mempengaruhi kinerja organisasi. Demikian juga interaksi antar kelompok akan sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan organisasi. Cara-cara kelompok berinteraksi di dalam sistem sosial ini akan memberikan pengaruh terhadap individu yang ada di dalamnya. Dalam penelitian ini digunakan interaksi kelompok menurut Cartwright dan Beal G.M (Riduwan, 2009) Tabel 8 Indikator dan parameter interaksi kelompok (X3) Indikator
Definisi
Parameter
Skala
Operasional X3.1. Interaksi antar kelompok
Kualitas hubungan antar kelompok yang dapat dilihat dari berbagai variasi kegiatan kerjasama, persaingan, pertikaian, horisontal, vertikal, dan diagonal
1.
2.
3. 4.
X3.2. Interaksi intra anggota dikelompok
Kualitas pola hubungan antara anggota di dalam kelompok
1. 2. 3. 4. 5.
Adanya tugas yang jelas antar kelompok, yang meliputi informasi, koordinasi, diseminasi dan inisiasi Frekwensi dan intensitas melakukan hubungan atau komunikasi, kerjasama antar kelompok Efektifitas pencapaian tujuan kelompok (kompetisi antar kelompok) Frekwensi konflik yang terjadi
Interval (rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi)
Adanya tujuan kelompok yang jelas dan relevan Adanya struktur tugas yang jelas di setiap individu Adanya pengembangan dan pembinaan individu di dalam kelompok Intensitas hubungan antar anggota Ukuran kelompok
Interval (rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi)
Karakteristik Pegawai (X4) Karakteristik pegawai adalah sejumlah faktor dalam diri pegawai yang diduga mempengaruhi proses terbentuknya sikap dan perilaku pegawai dalam menerapkan sistem manajemen mutu untuk pelayanan publik.
117
Tabel 9 Indikator dan Parameter Karakteristik Pegawai (X4) Indikator
Definisi Operasional
X4.1. Umur
Jumlah tahun sejak responden dilahirkan sampai saat ybs menjadi responden
Parameter
Skala
Jumlah tahun
Rasio
X4.2. Pendidikan Formal
Jumlah tahun yang dihabiskan pegawai mengikuti pendidikan formal
Jumlah tahun
Rasio
X4.3. Pendidikan nonformal
Jumlah pendidikan nonformal yang pernah diikuti responden sampai saat ini
Frekwensi keikutsertaan dalam pendidikan nonformal
Rasio
X4.4.pengalaman
Jumlah tahun sejak awal responden dinyatakan selesai sekolah dan mulai bekerja
Frekwensi seringnya berpindah tempat bekerja, baik di organisasi sekarang maupun sebelumnya
Interval (rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi)
X4.5. Kekosmopolitan
Tingkat hubungan seseorang dengan dunia luar di luar sistem sosialnya
Jenis, frekwensi hubungan, penggunaan alat komunikasi
Interval (rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi)
X4.6. Tingkat Pengetahuan terhadap SMM
Berisikan kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, prinsip dasar SMM definisi dari kualitas, karakteristik produk berkualitas, ,standar kualitas minimum untuk produk, dsb.
1.
Mampu menjelaskan konsep mutu Mampu menjelaskan peristilahan SMM Mampu menjelaskan gagasan SMM Mampu menjelaskan produk bermutu Mampu menjelaskan arti pelanggan
Interval (rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi)
Jenjang, pangkat di organisasi Jabatan formal dan non formal Status kepegawaian
Interval (rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi)
X4.7. Status Sosial
Tingkat kedudukan pegawai dalam organisasi dilihat dari jenjang, jabatan, pangkat
2. 3. 4. 5.
1. 2. 3.
Pendekatan Pembelajaran (X5) Pembelajaran
mengusahakan terjadinya sebuah dinamika atau proses
perilaku dan menjelaskan mengapa perilaku berubah atau perilaku tidak berubah atau tetap sepanjang waktu meskipun pegawai tumbuh dan terjadi perubahanperubahan di organisasi. Sikap terbentuk dari pengalaman, melalui proses belajar sehingga berbagai upaya (penerangan, pendidikan, pelatihan, komunikasi) dapat digunakan untuk mengubah sikap seseorang. Perubahan sikap ini pada gilirannya akan mengubah perilaku sesuai dengan yang diharapkan (Sarwono, 2005).
118
Pendekatan pembelajaran sebagai sebuah cara atau metode yang digunakan untuk menyampaikan informasi, materi, pengetahuan dan ketrampilan terutama terkait dengan pelaksanaan sistem manajemen mutu untuk pelayanan publik. Diharapkan dengan pendekatan pembelajaran yang sesuai, maka pegawai akan mampu mengembangkan kompetensi, menjawab keingintahuan, dan mengembangkan karir yang diinginkan. Pendekatan pembelajaran diukur dengan persepsi pegawai terhadap kesesuaian cara belajar,
metode belajar, model
komunikasi yang berjalan serta fasilitas belajar, termasuk diantaranya ruang belajar, perpustakaan, materi, buku yang digunakan, saluran media informasi di dalam organisasi. Peubah pendekatan pembelajaran digali lebih mendalam secara kuantitatif maupun kualitatif kepada beberapa informan kunci terhadap beberapa hal terkait dengan : (1) cara belajar dan tahapan belajar yang sesuai untuk penerapan SMM ISO 9001; (2) bagaimana model pembelajaran tersebut yang dianggap paling sesuai menurut persepsi pegawai; (3)
cara, metode dan materi belajar yang
dibutuhkan pegawai untuk belajar. Selain itu, digali pula kesempatan untuk belajar mandiri maupun kelompok (self-directed learning), melalui pelatihan formal dan nonformal, di dalam dan di luar organisasi untuk hal-hal yang berhubungan langsung dengan persyaratan khusus pekerjaan sangat diperlukan untuk kelancaran penerapan SMM ISO 9001 (Maughan dan Anderson, 2005).
119
Tabel 10 Indikator dan parameter pendekatan pembelajaran (X5) Indikator
Definisi Operasional
X5.1.Materi
Kecukupan jumlah, jenis, dan manfaat materi dalam memenuhi kebutuhan belajar pegawai
1.
Cara yang digunakan fasilitator dalam menyampaikan materi pembelajaran
1.
X5.2. Metode Belajar
Parameter
2. 3.
2.
3.
X5.3. Model komunikasidalam belajar
Kemudahan menangkap pesan dan informasi , ketertarikan pegawai terhadap cara pembimbing atau fasilitator berinteraksi dengan pegawai
1.
2.
3.
X5.4.Cara belajar
Kecenderungan pegawai dalam belajar dan mengikuti metode pembelajaran yang digunakan
1. 2. 3. 4.
Skala
Kecukupan jumlah dan jenis materi Keragaman bentuk materi Kesesuaian materi dengan kebutuhan pegawai
Interval (Sangat kurang, kurang, cukup, sangat cukup)
Ketertarikan pegawai pada metode pembelajaran yang digunakan Kemudahan pegawai mengikuti metode yang digunakan Kesesuaian metode dengan kebutuhan pegawai
Interval (rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi)
Kesesuaian model komunikasi yang digunakan Efektifitas model komunikasi dalam meningkatkan pemahaman pegawai Kemampuan model komunikasi dalam meningkatkan interaksi diantara pegawai yang belajar (diskusi)
Interval (rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi)
Penggunaan berbagai macam cara pembelajaran Kesesuaian cara belajar Respon pegawai terhadap metode belajar Kesempatan menerapkan
Interval (rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi)
Sikap Pegawai (Y1) Sikap pegawai dalam penelitian ini menunjuk kepada pandangan pegawai terhadap konsep mutu dalam melaksanakan pekerjaan, keterlibatan mereka di dalam kelompok dan di organisasi, terhadap keinginan untuk mengembangkan potensi dan kapasitas
diri pribadi, terhadap etos kerja yang diyakini, dan
bagaimana pegawai mengembangkan dan menginternalisasikan sifat-sifat kepemimpinan untuk dirinya. Sikap didefinisikan sebagai sikap yang sangat positif pada penerapan SMM ISO 9001.
120
Tabel 11 Indikator dan parameter sikap pegawai (Y1) Indikator
Definisi Operasional
Y1.1 Sikap terhadap Mutu
Seberapa jauh pemahaman pegawai tentang konsep mutu
Parameter 1.
2.
3.
Y1.2. Sikap terhadap keterlibatan dalam kelompok
Seberapa tinggiketerlibatan aktif pegawai dalam berbagai kegiatan (organisasi dan sosial) yang dapat meningkatkan keberdayaannya di dalam kelompok dan organisasi
1.
2.
3.
Y1.3.Sikap terhadap konsep pengembangan diri
Seberapa banyak waktu dan sumberdaya lain yang dicurahkan pegawai untuk melakukan kegiatan pengembangan diri (kompetensinya)
1.
2.
3.
Y1.4.Sikap terhadap kepemimpinan
Seberapa jauh pegawai mampu menginternalisasikan fungsifungsi kepemimpinan di dalam dirinya
1.
2.
Skala
Tingkat pemahaman pegawai terhadap mutu kepuasan masyarakat Tingkat pemahaman dan kesediaan pegawai untuk menjalankan sistem, prosedur, dan regulasi yang dianut organisasi Kesesuaian pandangan etos kerja pegawai dengan zero defect (mutu)
Interval (rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi)
Frekwensi keikutsertaan pegawai dalam kegiatan kelompok Frekwensi keikutsertaan pegawai dalam kegiatan organisasi Frekwensi pegawai berperan dalam struktur organisasi kelompok
Interval (rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi)
Menyediakan waktu yang cukup untuk mencari kesempatan diklat Menyediakan anggaran yang cukup sesuai kebutuhan Menyediakan waktu yang cukup untuk belajar secara otodidak
Interval (rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi)
Pegawai memiliki sikap mental dan kepedulian yang tinggi terhadap berjalannya fungsi perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan perbaikan (PDCA) Pegawai menunjukkan penghargaan terhadap kepemimpinan orang lain
Interval (rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi)
Perilaku Pegawai dalam Pelayanan Publik (Y2) Perilaku individu dalam penelitian ini diukur melalui perubahan kognitif, afektif dan psikomotorik pegawai dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pegawai diharapkan lebih terampil dan berkompeten dalam melaksanakan tugas, memiliki etika pelayanan, cepat tanggap terhadap keluhan pelanggan, dan mampu melakukan analisa terhadap permasalahan yang dihadapi, serta memiliki disiplin kerja, memahami cara berbagi informasi dan cara bekerja dalam kelompok. Perilaku pegawai dalam pelayanan publik kepada masyarakat
121
mencakup dimensi kognitif dan pengetahuan pegawai dalam fungsi-fungsi pelayanan publik. Tabel 12 Indikator dan parameter perilaku pegawai (Y2) Indikator
Definisi Operasional
Parameter
Skala
Y2.1. Tanggap (Responsif)
Tingkat pengetahuan, ketrampilan, kemampuan dan sikap pegawai dalam melaksanakan tugasnya
1. Pengetahuan pegawai terhadap peraturan, kebijakan, administrasi dalam urusan pelayanan publik 2. Ketrampilan pegawai dalam menyelesaikan tugasnya 3. Sikap pegawai dalam menangani saran dan keluhan masyarakat
Interval (rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi)
Y2.2. Perilaku Handal
Tingkat kepercayaan dan kejujuran pegawai dalam melaksanakan tugasnya
1. Kemauan pegawai dalam memberikan pelayanan sesuai dengan prosedur 2. Sikap pegawai dalam memberikan informasi yang sebenarnya 3. Kemauan pegawai untuk melaksanakan tugas dengan cepat dan tepat 4. Sikap pegawai yang adil dalam memberikan pelayanan publik
Interval (rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi)
Tingkat pengetahuan, ketrampilan dan sikap pegawai dalam memberi keyakinan masyarakat terhadap layanan publik
1. Pegawai selalu memberikan penjelasan dan berkomunikasi dengan baik kepada masyarakat 2. Pegawai senantiasa ramah dan sopan kepada masyarakat 3. Pegawai memberikan layanan hingga tuntas
Interval (rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi)
Sejauh mana pegawai mampu menunjukkan perhatian khusus kepada masyarakat yang sedang bermasalah
1. Sejauh mana pegawai memberikan penjelasan, informasi, pembinaan terhadap masyarakat 2. Sejauh mana pelayanan yang diberikan pegawai menimbulkan rasa keadilan masyarakat 3. Sejauh mana pegawai menunjukkan perhatiannya kepada masyarakat yang sedang bermasalah
Interval (rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi)
Y2.3.Etika layanan
122
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Umum Daerah Penelitian
Kondisi geografis 1. Kabupaten Sragen Terletak di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kabupaten Sragen secara geografis berada diantara 110.45’ dan 111.10’ BT serta 7.15’ dan 7.30’LS. Sragen memiliki wilayah 941.55 km2 dan terbagi ke dalam 20 kecamatan yang ada dan 208 desa atau kelurahan. Dari luas wilayah tersebut, luas tanah persawahan sebesar 43%, beririgasi teknis, setengah teknis dan tadah hujan serta sisanya adalah lahan bukan sawah atau tanah kering sebesar 57. Mata pencaharian penduduk di Kabupaten Sragen masih bertumpu di sektor pertanian, bahkan Kabupaten Sragen telah memproklamirkan diri sebagai Kabupaten sentra padi organik. Kabupaten Sragen dialiri oleh Sungai Bengawan Solo, meskipun demikian terdapat beberapa kecamatan yang merupakan daerah kurang subur, yaitu daerah-daerah yang berada di sebelah utara aliran Sungai Bengawan Solo seperti Kecamatan Kalijambe, Gemolong dan Sumber Lawang. 2. Kabupaten Sidoarjo Kabupaten Sidoarjo berbatasan langsung dengan ibukota Provinsi Jawa Timur, Surabaya, dikenal sebagai daerah penyangga untuk Surabaya. Kabupaten Sidoarjo juga dikenal sebagai pusat berbagai industri, mulai dari industri kecil hingga industri skala besar, nasional dan multinasional. Kabupaten Sidoarjo diapit oleh dua sungai besar yaitu Sungai Porong dan Sungai Surabaya, sehingga Kabupaten Sidoarjo dikenal juga dengan Kota Delta. Secara geografis letak Kabupaten Sidoarjo adalah 112°5’ - 112°9’ Bujur Timur dan 7°3’ - 7°5’ Lintang Selatan. Di sebelah utara berbatasan dengan Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik, di sebelah timur adalah Selat Madura, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pasuruan,
124
sedang di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Mojokerto. Luas wilayah Kabupaten Sidoarjo adalah 71.424,25 Ha yang terbagi atas 18 kecamatan, 322 desa dan 31 kelurahan.
Kondisi Demografis 1. Kabupaten Sragen Berdasarkan catatan Biro Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sragen, rata-rata pertumbuhan penduduk Kabupaten Sragen selama kurun waktu lima tahun terakhir sebesar 1%, dimana jumlah penduduk wanita lebih besar dari jumlah penduduk laki-laki. Dibandingkan dengan jumlah penduduk Kabupaten Sidoarjo, maka jumlah penduduk di Kabupaten Sragen hanya sekitar 45% dari penduduk Kabupaten Sidoarjo. 65% penduduk Sragen berada pada umur 15 hingga 64 tahun, atau tergolong pada penduduk intermediate. Penyebaran penduduk terpadat berada di tiga kecamatan: Sragen, Masaran dan Kedaung. 2. Kabupaten Sidoarjo Penduduk Sidoarjo berjumlah 1.945.252 jiwa dengan jumlah penduduk terbanyak berada di Kecamatan Waru, Taman dan Sidoarjo. Sebagai Kabupaten yang masuk kedalam lingkup “gerbangkertosusilo” (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan) dan sebagai sebuah kawasan terpadu pengembangan perekonomian di Jawa Timur,
Kabupaten Sidoarjo memiliki jumlah penduduk terbanyak
keempat setelah Kota Surabaya, Kabupaten Malang, dan Kabupaten Jember. Sumber daya manusia Kabupaten Sidoarjo
termasuk pada
kategori penduduk intermediate dimana jumlah penduduk usia produktif 15 s.d. 64 tahun mencapai 70%. Terkait dengan kondisi kependudukan, Kabupaten Sidoarjo memiliki sex ratio101. Menurut kajian BPS Pemerintah Propinsi Jawa Timur (2010), kondisi sex ratio ini menggambarkan adanya 101 perempuan pada setiap 100 orang laki-laki. Lebih banyak penduduk perempuan dibandingkan laki-laki juga terjadi di Kabupaten Sragen
sebagaimana
disajikan pada Tabel 13. Sex ratio di Kabupaten Sragen sebesar 102 di
125
tahun 2010, atau terdapat 102 perempuan pada setiap 100 orang laki-laki. Kondisi ini telah berlangsung selama kurun waktu lima tahun terakhir (sejak 2006). Tabel 13 Penduduk di Kabupaten Sragen dan Sidoarjo Pria
Wanita
Jumlah
No
Tahun
Sidoarjo
Sragen
Sidoarjo
Sragen
Sragen
Sidoarjo
1
2010
977.683
437.269
967.569
446.195
883.464
1.945.252
2
2009
988. 166
433.987
976.595
443.415
877.402
1.964.761
3
2008
905.098
431.191
896.089
440.760
871.951
1.801.187
4
2007
749.669
428.876
765.081
438.696
867.572
1.514.750
5
2006
733.075
426.958
747.503
436.956
863.914
1.480.578
Sumber: BPS-Kab. Sragen, Agustus 2010; BPS Kab. Sidoarjo, 2010
Kondisi Perekonomian 1.
Kabupaten Sragen Sektor pertanian dan jasa merupakan mata pencaharian utama penduduk di Kabupaten Sragen (40%), diikuti oleh sektor manufaktur (20%). Sisanya tersebar di berbagai mata pencaharian lainnya yang tidak cukup signifikan. Untuk kabupaten atau kota yang termasuk dalam lingkup
Karesidenan
Surakarta (Kabupaten Sragen, Sukoharjo, Klaten, Boyolali, Karanganyar, Wonogiri dan Kota Solo), penduduk Sragen dengan mata pencaharian bertani masih menduduki ranking kedua terbesar setelah Kabupaten Wonogiri. Mata pencaharian penduduk kota dan kabupaten lainnya di eks Karesidenan Surakarta telah mengalami pergeseran dari sektor pertanian ke sektor jasa dan manufaktur. Pada tahun 2008, tercatat 16.080 industri yang menanamkan modal di Kabupaten Sragen. Dari jumlah tersebut, industri kecil memegang peranan yang sangat besar (16.067 industri kecil dan 13 industri besar) dengan total investasi sebesar Rp 2.906.854.000.000,00. Investasi ini juga selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sragen tercatat hampir sama tinggi dengan pertumbuhan ekonomi nasional (6,1%) dan lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi regional Jawa Tengah (5,89%). Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Sragen
tercatat 6,09%, sedangkan Provinsi Jawa Tengah hanya mencatat PDRB
126
5,84%. Pertumbuhan yang cukup tinggi ini terjadi di sektor perdagangan, hotel dan restoran yang tumbuh sebesar 7,39%, sektor angkutan dan komunikasi tumbuh sebesar 7,65%, industri pengolahan tumbuh sebesar 7,00% dan pertumbuhan yang terkecil berada di sektor pertambangan dan penggalian sebesar 3,24%. Kajian BPS menunjukkan bahwa pertumbuhan yang kecil di sektor pertambangan dan penggalian mengindikasikan bahwa sektor tersebut kemungkinan besar akan semakin mengecil perannya dalam mendorong pertumbuhan perekonomian Kabupaten Sragen. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sragen disebabkan adanya pertumbuhan produktivitas sektor-sektor ekonomi dan juga karena kenaikan harga barang dan jasa yang terjadi pada tahun 2010 (BPS Kab. Sragen, Agustus 2010). 2. Kabupaten Sidoarjo Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sidoarjo ditopang oleh kegiatan industri pengolahan dan perdagangan serta pemukiman dengan dukungan infrastruktur
yang
sangat
memadai
(jalan,
bandara,
terminal,
dan
telekomunikasi). Perekonomian Kabupaten Sidoarjo mengalami penurunan dimulai pada tahun 2007, yakni 5,56 di tahun 2007, menurun menjadi 4,83% di tahun 2008, dan sedikit meningkat menjadi 4,91% di tahun 2009. Penurunan pertumbuhan ekonomi tersebut sebagai dampak adanya bencana lumpur Lapindo. Bencana tersebut telah menurunkan kepercayaan dan minat investor untuk menanamkan modalnya di Kabupaten Sidoarjo. Kondisi perekonomian
Kabupaten
Sidoarjo
mulai
membaik
dimana
angka
pertumbuhan ekonomi sebesar 5,62% di tahun 2010. Angka pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sidoarjo lebih kecil dibandingkan dengan angka pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sragen (6,1% di tahun 2010) serta dibawah angka pertumbuhan ekonomi nasional (6,09%). Pemerintah
Kabupaten
Sidoarjo
optimis
bahwa
pembangunan
Kabupaten Sidoarjo akan terus tumbuh dan berkembang dengan pesat (DPRD, 2010). Berbagai sentra usaha ekonomi kreatif dikembangkan terus sebagai salah satu dari tiga kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2015 Kabupaten Sidoarjo: (1) penguatan dan perluasan lembaga ekonomi mikro, kecil, menengah dan koperasi, (2) pemberdayaan
127
kelompok keswadayaan dan pengembangan masyarakat, serta (3) perluasan investasi. Industri memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap pertumbuhan
perekonomian
Kabupaten
Sidoarjo,
khususnya
industri
pengolahan agribisnis. Industri pengolahan memberikan sumbangan sebesar 46,10% dari total PDRB di tahun 2008 atau sebesar Rp 23. 429.989,04,00. Angka ini meningkat di tahun 2009. Dampak meningkatnya peran industri pengolahan
pada
PDRB
Kabupaten
Sidoarjo
adalah
meningkatnya
pendapatan masyarakat, perluasan lapangan kerja dan kesempatan kerja. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2010 Kabupaten Sragen sebesar 70,93 yang dihitung
berdasarkan empat
komponen utama
pendukungnya: (1) Angka Harapan Hidup (AHH), (2) Angka Melek Huruf (AMH), (3) Rata-Rata Lama Sekolah (Mean Years School), serta (4) angka pengeluaran riil per kapita. AHH menurut perhitungan Susenas tahun 2010 dinyatakan sebesar 72,56 tahun. Angka rata-rata penduduk yang bersekolah sebesar 6,99 tahun,
AMH sebesar 84,36% dan pengeluaran riil sebesar
628,07. Kondisi IPM Kabupaten Sragen selama kurun waktu empat tahun terakhir terus menunjukkan perbaikan yang cukup berarti. Angka ini mengindikasikan adanya sinergisitas yang cukup tinggi antara upaya-upaya optimalisasi pola, sasaran pembangunan dan sumber daya yang ada dengan pemerintah dan masyarakat. IPM Kabupaten Sidoarjo tahun 2010 sebesar 75.89 (Bappeda , 2010). IPM dihitung berdasarkan IHH sebesar 70,39, IMH sebesar 97,29, pengetahuan atau lama sekolah (Mean Years School) penduduk sebesar 9,52, serta pengeluaran riil masyarakat sebesar 645,837. Jika dibandingkan dengan Kabupaten Sragen, maka IPM Kabupaten Sidoarjo lebih tinggi daripada Kabupaten Sragen. Jika ditinjau dari angka rata-rata lama sekolah, maka penduduk Kabupaten Sidoarjo telah mengenyam pendidikan dasar wajib sembilan tahun yang dicanangkan pemerintah. Kondisi ini juga lebih tinggi dibandingkan Kabupaten Sragen (70,93) dan bahkan IPM secara nasional. Tabel 14 menyajikan perkembangan IPM Kabupaten Sidoarjo dan Sragen selama kurun waktu 2005 – 2009.
128
Tabel 14 Perkembangan IPM Kabupaten Sidoarjo dan Sragen, 2008-2010 Uraian
2008
2009
2010
Sidoarjo
Sragen
Sidoarjo
Sragen
Sidoarjo
Sragen
IPM
72.48
69.57
73.30
70.27
75.89
70.93
AHH/ tahun
69.34
72.18
69.65
72.37
70.39
72.56
AMH (%)
97.27
81.15
97.58
82.26
97.29
84.36
Rata-2 lama sekolah 9.56 6.50 9.61 6.88 9.52 (tahun) Pengeluaran per kapita 608.500 626.260 615.562 627.150 645.837 riil disesuaikan Sumber: BPS Kabupaten Sragen, 2010 dan BPS Kabupaten Sidoarjo, 2010
6.99 628.040
Badan Pelayanan Perijinan Terpadu 1. Kabupaten Sragen Pemerintah Kabupaten Sragen membentuk Unit Pelayanan Terpadu (UPT) sesuai dengan Keputusan Bupati Sragen Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Kabupaten Sragen. Organisasi ini bekerja belum sebagaimana yang diharapkan. UPT pada masa awal pembentukannya masih belum dapat berfungsi secara optimal. UPT masih dicap sebagai kantor pos yang hanya menerima permintaan perijinan, menerima berkas-berkas atau dokumen yang diperlukan dan kemudian menyampaikannya kepada dinas terkait untuk diproses lebih lanjut. Sistem yang berjalan
menjadi
tidak
efisien,
berbelit-belit,
tidak
transparan,
serta
memunculkan terjadinya pungutan liar (pungli) yang membebani masyarakat. Kondisi ini membuat masyarakat, khususnya pengusaha kecil, menengah (UKM) enggan mengurus perijinan usahanya sehingga kegiatan investasi di Kabupaten Sragen tidak berkembang dengan baik. Bupati Sragen melalui Keputusan Nomor 17 Tahun 2002 tanggal 24 Mei 2002 membentuk UPT versi baru yakni pembentukan organisasi dan tata kerja Unit Pelayanan Terpadu Kabupaten Sragen dengan konsep ”one stop service” (OSS), yakni berbagai perijinan yang semula tersebar di berbagai unit kerja diselesaikan di UPT dengan informasi persyaratan yang jelas, target waktu pelayanan yang pasti, dan dengan biaya yang transparan. Kantor UPT tersebut beroperasi secara resmi pada tanggal 1 Oktober 2002. Kebijakan ini didukung sepenuhnya oleh legislatif melalui surat Ketua DPRD Kabupaten Sragen Nomor
129
170/288/15/2002 tanggal 27 September 2002 perihal Persetujuan Operasional UPT Kabupaten Sragen. Selanjutnya pada tahun 2003 UPT tersebut dikuatkan kedudukannya dengan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2003 dalam bentuk Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) Kabupaten Sragen. Pada tahun yang sama, KPT menerapkan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2000 sebagai bagian dari mewujudkan visi KPT untuk memberikan pelayanan berkelas dunia kepada masyarakat. Sejalan dengan semakin berkembangnya unit pelayanan publik di berbagai pemerintah provinsi, kota dan kabupaten, Menteri Dalam Negeri melalui Peraturan Menteri Nomor 24 Tahun 2006 menegaskan perlunya dibentuk unit Pelayanan Terpadu
Satu Pintu (PTSP) non-investasi untuk memberikan
pelayanan publik yang lebih baik. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 melengkapinya dengan Gugus Perangkat Daerah dan Organisasi atau Tata Kerja Perangkat Daerah (Permendagri Nomor 20/2008). Tugas dan fungsi Kantor Pelayanan Terpadu memenuhi Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor Per/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi. Salah satu tujuan reformasi birokrasi adalah untuk membentuk profil dan perilaku aparatur yang memiliki integritas tinggi, produktivitas tinggi dan bertanggung jawab, kemampuan memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat melalui birokrasi yang bersih, efisien, efektif, produktif, transparan, dan akuntabel. Kualitas pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat menjadi indikator keberhasilan otonomi daerah. Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu (KP2T) semakin mengembangkan tugas dan fungsinya. Tidak saja mengemban tugas-tugas yang dinyatakan dalam Permendagri, tetapi juga tugas-tugas lain di bidang investasi dan penanaman modal. KP2T melayani perijinan dan penanaman modal (bidang investasi) selain tugas-tugasnya di bidang non-investasi lainnya. Guna peningkatan kualitas pelayanan dan untuk memudahkan koordinasi dengan pemangku kepentingan, maka pada tanggal 20 Juli 2006 status KP2T ditingkatkan menjadi Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BP2T) Kabupaten Sragen dengan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2006.BP2T memiliki jalur koordinasi baik kepada Kementerian
130
Dalam Negeri maupun dengan Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM). Pendirian BP2T Kabupaten Sragen adalah untuk menyelenggarakan pelayanan perijinan dan non perijinan dengan prinsip dapat dipercaya, mudah, murah, dan transparan melalui satu atap. Konsep ”one stop service” (OSS) dimaksudkan sebagai segala sesuatu terkait dengan perijinan yang tersebar di berbagai dinas dan unit kerja atau Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang ada, dengan prinsip layanan ini dapat diselesaikan cukup di kantor BP2T. BP2T memberikan informasi mengenai berbagai persyaratan yang diperlukan dengan jelas, mekanisme atau prosedur yang harus ditempuh, dokumen yang diperlukan, biaya, waktu penyelesaian dan menjamin tidak adanya pungutan yang tidak jelas. Masyarakat, disisi lain, diharapkan merespon mekanisme yang ditetapkan dan mengawasi kinerja aparat BP2T secara benar, sehingga tujuan dari pendirian BP2T dapat dicapai. Tujuan pendirian BP2T adalah: (1) mewujudkan pelayanan prima, (2) meningkatkan efisiensi dan efektifitas kinerja aparatur Pemerintah Kabupaten Sragen, khususnya yang terlibat langsung dengan pelayanan masyarakat, serta (3) mendorong kelancaran pemberdayaan ekonomi masyarakat. Adanya BP2T diharapkan dapat mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi penanaman modal dan investasi dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat Kabupaten Sragen.
Pendirian BP2T tidak terlepas dari
upaya pemerintah daerah untuk memecahkan permasalahan birokrasi yang selama ini dialami oleh sebagai besar pemerintah di daerah yakni keluhan atas mutu pelayanan publik yang jauh dari harapan masyarakat. Selain itu, dirasakan bahwa pendapatan asli daerah tidak cukup signifikan berkontribusi sebagai sumber pendapatan karena rendahnya perolehan pajak dan kegiatan usaha perekonomian rakyat. BP2T Kabupaten Sragen mengadopsi
prinsip
pelayanan prima
sebagaimana yang tertuang dalam Keputusan Menpan Nomor 81 Tahun 1993, antara lain: sederhana, jelas, aman, transparan, effisien, ekonomis, adil dan tepat waktu. BP2TKabupaten Sragen memiliki visi ”Unggul dalam Pelayanan”. Visi tersebut diterjemahkan ke dalam misi ”Mewujudkan pelayanan profesional dan kepuasan pelanggan ".
131
Struktur Organisasi BP2T Kabupaten Sragen Untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat, BP2T Kabupaten Sragen didukung dengan
struktur organisasi sebagaimana Gambar 11. Kepala BP2T
Sekretariat Kelompok Jab.Fungsional Subag Umum dan Kepegawaian
Bidang Layanan Pengaduan Subid Pelayanan KTP, KK, Akta Catatan Sipil Subid Informasi Dokumentasi & PenangananPe ngaduan
Bidang Perijinan Usaha
Subid Perijinan Indagkop& reklame Subid Perijinan Pertanian, Hubpar, SIUJK, K3
Subag Keuangan
Bidang Perijinan Tertentu
Subid Perijinan Prinsip,Lokasi, IMB & HO Subid Perijinan Pendidikan &Kesehatan
Subag Penyusunan Program Kegiatan Bidang Penanaman Modal
Subid Perencanaan Promosi
&
Subid Kerjasama dan Pengawasan
Gambar 11 Bagan struktur organisasi BP2T Kabupaten Sragen 2. Kabupaten Sidoarjo Kantor BP2T Kabupaten Sidoarjo terletak di Jalan Pahlawan No. 141, Sidoarjo. Tidak sebagaimana letak kantor BP2T Kabupaten Sragen yang berada dalam satu lokasi dengan kantor bupati, letak kantor BP2T Kabupaten Sidoarjo berada di luar komplek perkantoran Bupati Sidoarjo, tetapi cukup mudah ditemukan karena berada pada jalan dan jalur utama Kabupaten Sidoarjo yang berhubungan dengan Kabupaten Gresik. Lokasi ini dipilih karena kemudahan aksesnya bagi masyarakat.
132
Kabupaten Sidoarjo ditunjuk sebagai daerah percontohan otonomi daerah mewakili Provinsi Jawa Timur di tahun 1995. Sebagai tindak lanjut penunjukan tersebut maka
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo menyusun model pelaksanaan
otonomi daerah dengan membentuk UPT berdasarkan Surat Keputusan Bupati Sidoarjo Nomor310 Tahun 1997. UPT dimaksudkan sebagai wadah koordinasi pola pelayanan terpadu antar instansi pemerintah dalam memberikan pelayanan masayarakat di satu tempat atau lokasi sesuai dengan kewenangan masing-masing instansi. Instansi yang terlibat adalah mereka yang memiliki tugas dan fungsi pemberian perijinan terkait dengan aktivitas usaha ekonomi. Pada awal pendirian UPT terdapat 11 perijinan. UPT hanya melakukan koordinasi perijinan tanpa melakukan perubahan terhadap mekanisme yang telah berlangsung sebelumnya. Sebagai akibatnya, perijinan menjadi tidak memiliki kejelasan dalam hal waktu penyelesaian, masih berbelit-belit dan biaya yang tidak transparan. Sistem penanganan perijinan usaha tersebut kemudian diubah dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Sidoarjo Nomor 02 Tahun 2001 dan Surat Keputusan Bupati Nomor 16 Tahun 2001 tentang pembentukan Dinas Perijinan dan Penanaman Modal Kabupaten Sidoarjo yang melayani 15 jenis perijinan. Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah ditindaklanjuti oleh Kabupaten Sidoarjo dengan mengubah nama Dinas Perijinan dan Penanaman Modal menjadi Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BP2T) sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Sidoarjo. Perijinan yang ditangani BP2T Kabupaten Sidoarjo sebanyak 25 buah dengan penerapan prinsipprinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, simplifikasi dan keamanan. BP2T Kabupaten Sidoarjo memiliki visi ”Terwujudnya Pelayanan Satu Pintu yang Prima”. Visi diterjemahkan sebagai keinginan BP2T memberikan pelayanan perijinan dan penanaman modal secara terpadu dalam satu tempat dengan berorientasi kepada pelanggan atau masyarakat. Pelayanan diberikan secara prima dengan memenuhi prinsip-prinsip kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, keamanan, keterbukaan, efisien, berkeadilan yang merata serta ketepatan waktu.
133
Untuk
mewujudkan
visi
tersebut,
BP2T
Kabupaten
Sidoarjo
mencanangkan misi sebagai berikut: (1) Mewujudkan kualitas pelayanan perijinan dan penanaman modal kepada masyarakat, pelaku usaha atau investor sesuai Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008; (2) Mewujudkan citra aparatur pemerintah di bidang pelayanan sesuai prinsipprinsippelayanan prima dengan memberikan pelayanan sederhana, mudah, jelas dan pasti, terbuka, efisien, adil, cepat dan tepat waktu; (3) Mewujudkan kompetensi aparatur pelayanan perijinan dan penanaman modal menjadi tenaga trampil dalam bidangnya (profesional); serta (4) Melaksanakan sosialisasi, informasi,
monitoring dan evaluasi pelayanan
perijinan, serta promosi potensi dan peluang investasi. Dengan misi tersebut diharapkan akan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat, pelaku usaha atau investor dalam memperoleh legalitas ijin atau usahanya. Untuk dapat menjalankan visi dan misi tersebut BP2T Kabupaten Sidoarjo memiliki struktur organisasi pelaksana sebagaimana pada Gambar 12. Kepegawaian BP2T BP2T Kabupaten Sragen didukung oleh sumber daya manusia sebanyak 43 orang
untuk melayani 69 jenis layanan perijinan maupun non-perijinan.
Pegawai tersebut direkrut berdasarkan kompetensi pada bidangnya masingmasing, sehingga diasumsikan telah berpengalaman dan ahli dibidang pelayanan yang menjadi tugasnya. Sesuai dengan peraturan yang ada, BP2T Kabupaten Sragen maupun Kabupaten Sidorajo tidak memiliki kewenangan untuk melakukan rekrutmen terhadap SDM yang dibutuhkannya, tetapi rekrutmen SDM Kabupaten Sragen dilakukan oleh Badan Kepegawaian Daerah (BKD).
134
Kepala Badan Sekretaris Kel. 1. Jab. Fungsional Subag Perencanaan dan Pelaporan Bidang Perijinan Tertentu 2.
Subag Umum dan Kepegawaian
Bidang Perijinan Usaha
Bidang Penanaman Modal
Subid Pengembangan dan Promosi
3.
Subag Keuangan
Subid Monitoring dan Evaluasi
Gambar 12 Struktur organisasi BP2T Kabupaten Sidoarjo (2011)
BP2T Kabupaten Sragen memiliki hak untuk memberikan usulan tentang berbagai persyaratan kompetensi atas SDM yang diperlukannya, baik mereka yang direkrut langsung dari pasar tenaga kerja maupun mereka yang dimutasikan ke BP2T. Dengan demikian, BP2T akan mendapatkan pegawai yang sesuai dengan kebutuhan dan memiliki kompetensi yang sesuai dengan jabatan yang akan diisinya. Pegawai yang bertugas
di BP2T telah dinilai kinerjanya
sertapendidikan dan pelatihan yang pernah dijalaninya. Tugas personil yang ditempatkan di BP2T berdasarkan Surat Penugasan Bupati Sragen Nomor 800/690–11/ 2002. Latar belakang pendidikan pegawai BP2T Kabupaten Sragen sebagian besar adalah S1 keatas (76,75%) dan sisanya adalah pegawai dengan latar belakang pendidikan S0 (diploma) kebawah, termasuk SLTA dan yang sederajat. Sebanyak 81,39% atau 35 orang pegawai berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan sisanya adalah pegawai tidak tetap (8 orang). Jabatan struktural yang terdapat pada BP2T Sragen terdiri atas satu Eselon II yakni Kepala BP2T, lima Eselon III yakni: Kepala Bagian Tata Usaha, Kepala Bidang Pelayanan Umum dan Pengaduan, Kepala Bidang Perijinan Jasa Usaha, Kepala Bidang Perijinan
135
Tertentu dan Kepala Bidang Penanaman Modal. Disamping itu, BP2T dibantu oleh sebelas pejabat setingkat Eselon IV yang terdiri dari: Kepala Sub Bagian Umum, Kepala Sub Bagian Keuangan, Kepala Sub Bagian Penyusunan Program, Kepala Sub Bidang Pelayanan KTP, KK dan Akte Catatan Sipil, Kepala Sub Bidang Informasi Dokumentasi dan Penanganan Pengaduan, Kepala Sub Bidang Perijinan Indakop dan Reklame, Kepala Sub Bidang Perijinan Pertanian Perhubungan Pariwisata SIUJK, K3, Kepala Sub Bidang Perijinan Prinsip Lokasi IMB dan HO, Kepala Sub Bidang Perijinan Pendidikan dan Kesehatan, Kepala Sub Bidang Perencanaan dan Promosi, serta Kepala Sub Bidang Kerjasama dan Pengawasan. Struktur organisasi ini merupakan hasil perubahan dari struktur organisasi lama di tahun 2002 ketika KPT Kabupaten Sragen pertama kalinya beroperasi berdasarkan Surat Bupati Sragen Nomor 800/69011/2002. KPT hanya didukung oleh 39 orang dengan Kepala KPT sebagai penanggung jawab, dibantu oleh seorang Kepala Sub Bagian Tata Usaha, Kepala Seksi Pelayanan, Kepala Seksi Perijinan, dan Kepala Seksi Bina Program dan Informasi. BP2T Kabupaten Sidoarjo didukung oleh 55 PNS, dua pegawai kontrak dan empat pegawai honorer, sehingga keseluruhannya berjumlah 61 orang. Satu orang Eselon II (Kepala Badan), empat orang eselon III (Sekretaris Badan, Kepala Bidang Perijinan Tertentu, Kepala Bidang Perijinan Usaha, Kepala Bidang Penanaman Modal), serta lima orang eselon IV (Kepala Subag Perencanaan dan Pelaporan, Kepala Subagian Umum dan Kepegawaian, Kepala Subag Keuangan, Kepala Subid Pengembangan dan Promosi, serta Kepala Subid Monitoring dan Evaluasi. Berdasarkan latar belakang pendidikan pegawai, Tabel 15 menunjukkan sebagian besar pegawai di BP2T Kabupaten Sragen maupun BP2T Kabupaten Sidoarjo memiliki latar belakang pendidikan S1 (53,86%). BP2T Kabupaten Sragen memiliki pegawai dengan latar belakang pendidikan S2 sebanyak 18,61%, jauh lebih banyak daripada yang dimiliki oleh BP2T Kabupaten Sidoarjo, yakni 4,90%. Sedangkan pegawai dengan latar belakang pendidikan SLTA kebawah masih menduduki ranking kedua (30,77%) setelah pegawai berlatar belakang pendidikan S1. Kondisi ini berbeda jika diperhatikan pada komposisi pegawai
136
pada masing-masing kantor BP2T. BP2T Kabupaten Sragen memiliki pegawai dengan latar belakang pendidikan S2 (18,61%) yang merupakan ranking kedua terbanyak setelah pegawai berpendidikan S1. Tabel 15 Komposisi pegawai berdasarkan tingkat pendidikan formal
No
Kabupaten Sragen n
Tingkat Pendidikan
1
S2 keatas
2
S1
3 4
Kabupaten Sidoarjo % n
Total %
n
%
8
18,61
3
4,90
11
10,57
25
58,14
31
50,82
56
53,86
SO (Diploma)
3
6,97
2
3,28
5
4,80
SLTA kebawah
7
16,28
25
40,98
32
30,77
43
100,00
61 100,00
104
100,00
Jumlah
Sumber: Pengolahan data lapangan, 2011 Sedangkan status kepegawaian
pada BP2T Kabupaten Sragen dan
Kabupaten Sidoarjo disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16 Sebaran status kepegawaian BP2T No 1
Status Kepegawaian PNS
2
Non PNS Jumlah
Jumlah
Sragen
Sidoarjo
n
%
35
55
90
86,54
8
6
14
13,46
43
61
104
100,00
Sumber: Pengolahan data lapangan, 2011 Berdasarkan Tabel 16 terlihat bahwa sebagian besar pegawai berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), yakni sebanyak 86,54% dan sisanya sebesar 13,46% berstatus Pegawai Tidak Tetap (PTT) maupun pegawai kontrak. Kondisi ini merata di BP2T Kabupaten Sidoarjo maupun di BP2T Kabupaten Sragen.
137
Jenis Perijinan, Mekanisme dan Dampak Keberadaan BP2T Jenis Perijinan BP2T Kabupaten Sragen memberikan pelayanan terhadap 59 jenis pelayanan perijinan dan sembilan jenis pelayanan non-perijinan yang menyangkut hajat hidup masyarakat yang sangat mendasar yaitu: layanan KK, KTP, akte kelahiran, akte kematian, akte pengangkatan anak, akte pengakuan dan pengesahan anak, akte perubahan/ganti nama (khusus WNI keturunan), akte perkawinan, akte perceraian. BP2T Kabupaten Sidoarjo tidak memberi pelayanan khusus non-perijinan. BP2T Kabupaten Sidoarjo memberi pelayanan perijinan terkait investasi dan ijin usaha sebanyak 25 jenis perijinan. Data jenis perijinan yang dilayani pada BP2T Kabupaten Sragen dan BP2T Kabupaten Sidoarjo dapat dilihat pada Tabel 17. Pelayanan non-perijinan atau non-investasi tersebut memakan waktu pelayanan selama satu hingga lima hari kerja, sedangkan untuk pelayanan perijinan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perijinan sangat bervariasi, mulai dari satu hari (Surat Ijin Usaha Perdagangan, Tanda Daftar Perusahaan, Tanda Daftar Industri), hingga 14 hari kerja (Ijin Lokasi, Ijin Pemanfaatan Ruang, Ijin Reklame). Dalam bidang penanaman modal, BP2T Kabupaten Sidoarjo merupakan salah satu dari 100 Kantor PTSP yang tercatat pada BKPM yang mendapatkan kualifikasi bintang empat sebagaimana Peraturan Kepala BKPM Nomor 11 tahun 2009 dan Keputusan Kepala BKPM Nomor 67 Tahun 2010. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo berdasarkan kedua Surat Keputusan tersebut memiliki kewenangan untuk memproses ijin Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di wilayahnya. Ijin tersebut adalah : (1) Pendaftaran Perusahaan Penanaman Modal, (2) Ijin Prinsip Penanaman Modal terkait ijin prinsip baru, ijin prinsip perluasan, ijin prinsip perubahan, dan (3) Ijin Usaha Penanaman Modal, yang meliputi ijin usaha baru dan ijin usaha penggabungan (merger).
138
Tabel 17 Jenis Pelayanan Perijinan BP2T Kabupaten Sragen dan Sidoarjo No 1
2
BP2T Kabupaten Sragen (59 perijinan dan 9 layanan non perijinan) Perijinan Usaha (Industri, Koperasi, Reklame, Pertanian, Perhubungan dan Pariwisata, SIUJK, K3)
BP2T Kabupaten Sidoarjo (25 Perijinan)
SIUP; IUI, TDP, TDI; Ijin Rekreasi dan Hiburan Umum; Ijin Usaha Rumah Makan; Ijin Usaha Salon Kecantikan; Ijin Usaha Hotel; Agen Perjalanan Wisata; Ijin Pondok Wisata; Pajak Reklame; Ijin Usaha Huller; Produksi Makanan dan Minuman, Tanda Daftar Gudang; Penggunaan Ketel Uap; Penggunaan Bejana Uap atau Pemanas Air; Penggunaan Bejana Tekan; Perijinan Botol Baja; Penggunaan Pesawat Angkat dan Angkut; Penggunaan Pesawat Tenaga dan Produksi; Penggunaan Instalasi Kebakaran; Penggunaan Instalasi Listrik; Penggunaan Instalasi Penyalur Petir; Ijin Trayek Tetap; Ijin Usaha Angkutan; Ijin Usaha Peternakan; Ijin Pemotongan Hewan; Pendirian Keramba Apung; Usaha Konstruksi; Usaha Depot Air Minum Isi Ulang.
Ijin Perubahan Status Tanah Sawah; SIPA; Ijin Reklame; SIUP; TDP; TDI; IUI; TDG; Ijin Usaha Hotel; Ijin Usaha Pondok Wisata atau Pemondokan; Ijin Usaha Restoran atau Rumah Makan; Ijin Usaha Jasa Boga; Ijin Usaha Angkutan Wisata, Ijin Usaha Wisata Tirta; Ijin Usaha Kawasan Pariwisata
Perijinan Tertentu (Ijin Prinsip, Lokasi, IMB dan HO atau Gangguan, Pendidikan dan Kesehatan)
Perijinan Usaha
Perijinan Tertentu
Ijin Prinsip; Ijin Lokasi; IMB; HO dan Ijin Tempat Usaha; Ijin Penutupan Jalan; Praktek Bersama Dokter Umum atau Gigi; Pendirian Rumah Bersalin; Pendirian Balai Pengobatan; Praktek Dokter Spesialis; Praktek Dokter Umum atau Gigi; Praktek Bidan; Praktek Perawat; Pendirian Apotik; Pendirian Optik; Praktek Tukang Gigi; Pendirian Toko Obat; Pengobatan Tradisionil; Rekomendasi Pendirian Rumah Sakit Swasta; Rekomendasi Pendirian Pusat Kebugaran; Rekomendasi Pendirian Salon Kecantikan; Pendirian Lembaga Pendidikan; Praktek Bersama Dokter Spesialis; Ijin Kursus; Praktek Asisten Apoteker; Ijin Terapis; Praktek Refraksionis Optisian; Perawat Gigi; Rumah Sakit Swasta, Laboratorium Kesehatan.
Ijin Lokasi, IMB, HO, Ijin Persetujuan Pemanfaatan Ruang
3
Penanaman Modal
Pendaftaran Penanaman Modal; Ijin Prinsip Penanaman Modal; Ijin Usaha Penanaman Modal: Ijin Usaha Baru dan Ijin Usaha Penggabungan (Merger)
4
Non Perijinan: Kartu Keluarga (KK); Kartu Tanda Penduduk (KTP); Akte Kelahiran, Kematian, Pengangkatan Anak, Pengakuan dan Pengesahan Anak, Akte Perubahan/Ganti Nama (Khusus WNI Keturunan); Akte Perkawinan; Akte Perceraian;
Tidak melayani Non-Perijinan
Sumber: Pengolahan data lapangan, 2011
139
Sebagai upaya menjaga dan meningkatkan standar pelayanan publik, baik BP2T Kabupaten Sragen maupun BP2T Kabupaten Sidoarjo sejak tahun 2003 telah menerapkan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001: 2000 dan mendapatkan sertifikat ISO 9001:2000 dari Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu (LSSM). BP2T Kabupaten Sragen sejak tahun 2010 tidak lagi memperpanjang sertifikasi ISO 9001:2000 tetapi BP2T Kabupaten Sidoarjo tetap melanjutkan sertifikasi dengan melaksanakan konversi penerapan SMM ISO 9001:2000 ke Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008. Penerapan SMM ISO 9001: 2008 menjamin pelayanan perijinan terkait persyaratan, kebutuhan sumber daya, dan pencapaian sasaran mutu. Evaluasi kinerja dilakukan melaluiaudit internal secara reguler (dua kali setahun), melaksanakan rapat tinjauan manajemen (empat kali dalam setahun) untuk mengevaluasi hal-hal yang bersifat mendesak dan segera ditindaklanjuti, serta audit eksternal yang dilaksanakan setahun sekali oleh PT. Sucofindo SICS Jakarta.
BP2T
meningkatkan kinerja dan semangat pegawai
dengan cara
memberikan penghargaan kepada staf yang menunjukkan kinerja terbaik. Sistem reward and punishment dijalankan dengan baik. Penghargaan Staff of the months diberikan kepada staf BP2T yang menunjukkan kinerja terbaik, diberikan setiap tiga bulan sekali. Salah satu hasil dari penerapan SMM ISO 9001:2008 ini adalah Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) yang selalu meningkat setiap tahunnya. Survey IKM dilaksanakan oleh institusi di luar BP2T. IKM BP2T Kabupaten Sragen menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Tahun 2005 dengan nilai 83,77 dan survey di tahun 2009 menunjukkan meningkatnya nilai IKM menjadi 84,1. Sedangkan BP2T Kabupaten Sidoarjo mendapatkan nilai IKM di tahun 2005 sebesar 78,87 dan terus meningkat sehingga pada tahun 2009 memiliki nilai 80,62 dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 80,80. Kriteria penilaian IKM tersebut mengikuti Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Pemerintah Nomor:KEP/25/M.PAN/2/2004 dengan 15 indikator penilaian: (1) prosedur pelayanan, (2) persyaratan pelayanan, (3) kejelasan petugas pelayanan, (4) kedisiplinan petugas pelayanan, (5) tanggung jawab petugas pelayanan, (6) kemampuan petugas, (7) kecepatan pelayanan, (8) keadilan mendapatkan pelayanan, (9) kesopanan dan keramahan petugas, (10)
140
kewajaran biaya pelayanan, (11) kepastian biaya pelayanan, (12) kepastian jadwal pelayanan, (13) kenyamanan lingkungan, (14) keamanan pelayanan, dan (15) ketersediaan dan kemudahan akses informasi.
Pelaksanaan survey
IKM
dilakukan secara langsung kepada para pengguna layanan melalui layar sentuh (touch screen) yang disiapkan di kantor BP2T. Mekanisme Perijinan Baik BP2T Kabupaten Sragen maupun BP2T Kabupaten Sidoarjo membuat skema bisnis proses pelayanan perijinan dan non-perijinan dengan sangat sederhana untuk memudahkan masyarakat memahami prosedur yang berlaku. Gambar 13 adalah Mekanisme atau Bagan Alir Pelayanan Perijinan dan Non-Perijinan BP2T Kabupaten Sragen. Pemohon cukup membawa dokumen persyaratan yang diminta kepada loket-loket pelayanan yang sesuai untuk mendapatkan nomor pelayanan. Jika seluruh dokumen yang diperlukan telah sesuai dengan persyaratan, maka pemohon
akan
dipersilahkan
untuk
melakukan
pembayaran
pada
saat
pengambilan Surat Perijinan yang diperlukan, sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
PEMOHON
LOKET LAYANAN
PENYERAHAN
PEMERIKSAAN BERKAS
PEMBAYARAN
PEMERIKSAAN LAPANGAN
PROSES
Gambar 13Skema bisnis proses pelayanan perijinan dan non-perijinan BP2T Kabupaten Sragen Sedangkan bagan atau bisnis proses pelayanan perijinan di BP2T Kabupaten Sidoarjo dituangkan pada Gambar 14.
141
CUSTOMER SERVICE Menerima berkas permohonan
PEMOHON Menyerahkan Surat Keputusan
KEPALA BIDANG: 1. 2. 3. 4. 5. PEMBAYARAN RETRIBUSI: Bank Jatim
Gambar
14
6.
Meneliti keabsahan berkas Peninjauan lapangan Kordinasi dengan dinas terkait Perhitungan,penetapan biaya retribusi Pembuatan dan tanda tangan Berita Acara Pemeriksaan Pembuatan dan paraf draft SK
KEPALA BP2T Tanda tangan Surat Keputusan
Skema bisnis proses pelayanan perijinan pada BP2T
KabupatenSidoarjo (2011)
Pemohon perijinan membawa berkas atau dokumen persyaratan langsung ke kantor BP2T untuk diproses lebih lanjut dan diperiksa kelengkapan dokumen yang diminta. Jika telah memenuhi persyaratan yang diminta, pemohon dapat langsung membayar biaya perijinan tersebut secara tunai, menggunakan biro gilyet, giro, cek, atau transfer pada loket Bank Jatim yang telah tersedia di kantor BP2T Kabupaten Sidoarjo. Pembayaran juga dapat dilakukan melalui Tim Tinjau Lapangan dengan penerbitan Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD). Pemohon hanya menunjukkan surat penyetoran biaya tersebut pada saat mengambil dokumen Surat Ijin yang telah selesai.
Dampak Keberadaan BP2T Kabupaten Sragen Dengan kondisi pegawai yang ada, dan dibandingkan dengan jumlah dan jenis layanan yang diberikan (68 jenis layanan yang terdiri dari 59 layanan perijinan dan 9 layanan non-perijinan), BP2T Kabupaten Sragen dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Kabupaten Sragen berhasil meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara meyakinkan. Pada tahun 2001, PAD Kabupaten Sragen mencapai Rp 14,1 milyar, meningkat
142
menjadi Rp 22,5 milyar pada tahun 2002, Rp 40,5 milyar di tahun 2003 dan Rp 51,4 milyar pada tahun 2005. Keberadaan Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Sragen ternyata menimbulkan efek berantai yang sangat signifikan antara lain : 1.
Investasi meningkat, tahun 2002 berjumlah
592 milyar, dan terus
meningkat sehingga di tahun 2009 tercatat 1,35 trilyun. 2.
Penyerapan tenaga kerja disektor industri meningkat dimana pada tahun 2002 sebesar 40,785 dan ditahun 2005 tercatat sebanyak 46,794 tenaga kerja diserap industri.
3.
Jumlah perusahaan yang memiliki perijinan (legalitas usaha) meningkat. Jika pada tahun 2002 baru sebanyak 6,373 perijinan, maka di tahun 2008 berjumlah 15,245 ijin perusahaan.
4.
Rangking I Daerah Pro Investasi di Jawa Tengah Tahun 2005.
5.
Peningkatan Potensi Fiskal yakni dari urutan delapan terbawah menjadi diatas rata-rata nasional di tahun 2003, yakni naik 250 %.
6.
PAD meningkat dari 8,8 milyar menjadi 88,3 milyar selama 7 tahun
7.
PDRB meningkat tahun 2002 – 2006 sebesar 57,46 %.
8.
Pertumbuhan ekonomi meningkat, pada tahun 2004 sebesar 4,53 %, dan tahun 2010 meningkat sebesar 6,09%.
Penghargaan yang telah diperoleh BP2T Kabupaten Sragen antara lain : 1. Satya Abdi Praja dari Gubernur Jawa Tengah. 2. Citra Pelayanan Prima dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. 3. Terpilih sebagai Best Practice Modul dari LPM UNS yang ditulis dalam buku Reformasi Pemerintah Daerah. 4. Terpilih sebagai Best Practice Modul dari JPIP Surabaya. 5. Terpilih sebagai Best Practice Modul dari JICA Jepang dan dibuat film dan telah diedarkan ke berbagai kabupaten dan kota di Indonesia. 6. Direkomendasikan oleh Asian Development Bank (ADB) dan IFC sebagai contoh model Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) dan dibuat panduan tentang OSS yang diedarkan ke berbagai kabupaten dan kota di Indonesia. 7. Otonomi Award bidang Pelayanan Publik dari JPIP – Jawa Post.
143
8. Penghargaan sebagai kabupaten model program pelayanan satu pintu dari BKKSI. 9. Rangking I Daerah Pro Investasi di Jawa Tengah Tahun 2005. 10. Terpilih sebagai Best Practice Modul dari Internews. 11. Citra Bhakti Abdi Negara dari Presiden RI Tahun 2006. 12. Terpilih Best Practice Modul JICA Tahun 2007. 13. Terpilih Best Practice Modul Departemen Dalam Negeri Tahun 2007. 14. Terpilih sebagai Kabupaten percontohan di bidang pelayanan Tahun 2007. 15. Terpilih sebagai kota penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Terbaik oleh Presiden. 16. Terpilih sebagai Kepala Pemerintahan Terbaik dari PWI Pusat. 17. Terpilih sebagai Kabupaten terbaik bidang investasi (Investment Award) tahun 2009 dan 2010. 18. Mendapatkan ICT Pura Utama satu-satunya Kabupaten di Indonesia dari Kementerian Komunikasi dan Informasi untuk daerah yang menerapkan layanan informasi elektronik, pada bulan Oktober 2011. Kota lainnya adalah Surakarta, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Banda Aceh, Tangerang, dan Cimahi. Keberhasilan BP2T Kabupaten Sragen telah mengundang perhatian berbagai pihak. BP2T menjadi tempat berkunjung baik untuk studi banding oleh kabupaten, kota dan provinsi lain atau institusi lain (universitas, lembaga non pemerintah) di Indonesia maupun untuk kegiatan penelitian. Tercatat rata-rata 75 kunjungan studi banding pertahunnya diterima BP2T Kabupaten Sragen. Kabupaten Sidoarjo Dampak nyata dari keberadaan BP2T Kabupaten Sidoarjo adalah kontribusinya
dalam
menyumpang
PAD
daerah
yang
menunjukkan
kecenderungan yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Sumbangan pemasukan kas daerah dari retribusi (IMB, HO, Ijin Khusus) meningkat tajam. Jika pada tahun 2009 sebesar Rp 11.020.698.353,00 maka pada tahun 2010 mencapai Rp 21. 862.517.152,00 atau hampir 100 % kenaikannya. Investasi
di
bidang perdagangan menempati urutan tertinggi, diikuti oleh investasi di bidang
144
perumahan, industri pengolahan serta hotel dan restoran. Investasi di bidang pertanian dan perikanan lebih banyak berada pada area industri pengolahan. BP2T Kabupaten Sidoarjo mendapatkan berbagai penghargaan atas keberhasilannya menjadi daerah percontohan pelaksanaan otonomi di daerah, khususnya di Jawa Timur. Berbagai penghargaan tersebut diantaranya: 1. Anugerah ISO 9001:2000/SNI 19-9001:2001 di tahun 2003. Dipertahankan hingga penerapan peralihan ke ISO 9001:2008 yang berlaku hingga Februari 2012. 2. Otonomi Award Grand Category 2005 dari Jawa Pos Institute of Pro Otonomy (JPIP), sebagai daerah terdepan dalam memberikan terobosanterobosan pada pelayanan publik. 3. Piala Presiden RI tanggal 22 Desember 2006 sebagai Pelopor Inovasi Pelayanan Prima (Pelopor pembentukan Dinas Perijinan dan Penanaman Modal Pertama di Indonesia). 4. Piala dan Penghargaan
Menteri
Dalam Negeri yang diserahkan oleh
Presiden RI Tahun 2007 sebagai contoh terbaik kabupaten dalam penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). 5. Piala dan penghargaan Investment Award dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebagai nominasi Kabupaten Penyelenggara PTSP Terbaik Tahun 2007. 6. Piagam Penghargaan Citra Pelayanan Prima Tahun 2008 oleh Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara. 7. Piala dan Penghargaan Investment Award tahun 2009 dari Kepala BKPM sebagai Kabupaten terbaik di bidang Pelayanan Penanaman Modal. 8. Piagam Penghargaan Inovator Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu Tahun 2010 oleh Gubernur Jawa Timur. 9. Piagam Penghargaan PTSP Terbaik di Bidang Penanaman Modal Tingkat Nasional Tahun 2010 dari BKPM. 10. Piagam Penghargaan Investment Award 2010 Provinsi Jawa Timur untuk Kategori Promosi Investasi.
145
Deskripsi Variabel-Variabel Penelitian Kepemimpinan (X1) Kepemimpinan adalah sebuah fungsi menggerakkan dan mempengaruhi orang lain untuk mewujudkan visi dan tujuan organisasi. Kepemimpinan memberikan arah organisasi bekerja, oleh karena itu pemimpin harus memberikan visi dan misiserta komitmen yang diwujudkan dengan adanya berbagai kebijakan strategis di bidang
pengembangan SDM, mewujudkan lingkungan organisasi
yang kondusif untuk bekerja, ketersediaan sarana dan prasarana kerja yang memadai, adanya sistem dan prosedur, serta mengembangkan sistem komunikasi yang menjamin lancarnya komunikasi di dalam organisasi. Fungsi kepemimpinan yang diteliti pada penelitian ini meliputi aspek visi, komitmen dan komunikasi. Tabel 18 menyajikan rataan skor kepemimpinan secara menyeluruh.
Tabel 18Nilai kepemimpinan (X1) Unsur
Kategori
Kepemimpinan (X1)
Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
16 27 28 39 40 51 52 64
Jumlah
Sragen
Sidoarjo
Total
n
%
n
%
n
%
-
0
0,00
0
0
0
0
–
0
0,00
1
1,88
1
1,04
–
7
16,28
25
47,18
32
33,33
-
36
83,72
27
50,94
63
65,63
43 Rataan skor Kategori
100,00 55,4 Sangat tinggi
53
100,00 50,66 tinggi
96
100,00 52,78 Sangat tinggi
Sumber : Pengolahan data lapangan, 2011
Tingkat efektifitas kepemimpinan di dua daerah penelitian menunjukkan pada kategori sangat tinggi.
Jika dilihat masing-masing daerah, maka akan
terlihat sedikit perbedaan antara Kabupaten Sragen dan Kabupaten Sidoarjo. Kondisi keseluruhan ini merupakan potret yang ada di Sragen dimana pegawai menyatakan bahwa kepemimpinan di BP2T sangat efektif dalam memanfaatkan fungsi-fungsi kepemimpinan yang ada. Sedangkan di Sidoarjo, terdapat data
146
pencilan (1,04%) yang menyatakan kepemimpinan dalam kategori tinggi. Pengamatan subyektif di lapangan memperlihatkan bahwa gaya berkomunikasi dari pimpinan tertinggi BP2T Sragen berbeda dengan gaya komunikasi pimpinan tertinggi BP2T. Pimpinan BP2T Sragen lebih ekstrovert, sedangkan pimpinan BP2T seorang yang introvert.
Nilai sub peubah kepemimpinan yang
direpresentasikan dari visi, komitmen dan komunikasi pimpinan disajikan pada Tabel 19. Visi membawa gambaran arah organisasi di masa yang akan datang. Temuan di lapangan sesuai dengan Harris, Hart dan Shields (2009) yang menyatakan bahwa pimpinan adalah seseorang yang membuat perubahan di organisasinya, sehingga kemampuan pimpinan dalam mengartikulasikan visi dengan tekanan perlunya visi untuk keberlangsungan organisasi menjadi demikian penting. Sebagai pusat dari segala aktifitas, kepemimpinan dengan skor tinggi menggambarkan bahwa kedua daerah penelitian memiliki pimpinan yang mampu berperan dalam (1) memunculkan peran-peran di dalam struktur organisasi, (2) memunculkan adanya interaksi banyak pihak di dalam proses sosial organisasi mencapai tujuannya, (3) perilaku mengajak, menangani orang-orang untuk mencapai yang terbaik dengan sebanyak mungkin terjadi kerjasama dan sesedikit mungkin terjadi konflik (Bass, 1981). Temuan di lapangan juga mendukung pernyataan Bass tersebut. Visi pimpinan digambarkan ke dalam kebijakan mutu organisasi. Organisasi yang menerapkan SMM ISO 9001 diharapkan menjadi organisasi pembelajar (Maughan dan Anderson, 2005), sedangkan salah satu dari ciri organisasi pembelajaran (learning organization)
menurut Senge (1990)
adalah bagaimana visi dibangun bersama dan disebarluaskan di seluruh organisasi. Tabel 19 menggambarkan nilai sub peubah kepemimpinan yang direpresentasikan oleh visi berada pada kategori sangat tinggi untuk dua daerah. Dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan
di kedua daerah penelitian sangat
efektif dalam memberikan gambaran visi kepada para pegawainya.
147
Tabel 19 Nilai sub peubah kepemimpinan (X1) Unsur
Kategori
Visi (X11)
Sragen
Sidoarjo
Total
n
%
n
%
n
%
Rendah
6,0 – 9,5
0
0
0
0
0
0
Sedang
9.6 -14.1
0
0
2
3,70
2
2,10
Tinggi
14.2 –
3
6,90
9
26,98
12
12,50
40
93,10
42
79,24
82
85,40
43
100,00
53
100,00
96
100,00
Rataan skor
19,86
18,96
19,36
Kategori
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi
–
0
0,00
0
0
0
0,00
-
3
6,97
4
7,50
7
7,20
Tinggi
17.52-22.77
10
23,26
22
41,50
32
33,33
Sangat tinggi Jumlah
22.78-28,00
30
69,77
27
50,94
57
59,37
53
100,00
96
100,00
17.7 17.8 – 24,0
Sangat tinggi Jumlah
Komitmen
Rendah
7,00 12,25
(X12) Sedang
12,26 17,51
43
100,00
Rataan skor
24,81
22,17
23,35
Kategori
Sangat tinggi
tinggi
Sangat tinggi
Komunikasi
Rendah
3,00-5,25
0
0
0
0
0
0.00
(X13)
Sedang
5.26-7.51
4
9,30
11
20,75
15
20,75
Tinggi
7.51-9.77
9
20,93
26
49,06
35
49,06
Sangat tinggi Jumlah
9.78-12.00
30
69,77
16
30,19
46
30,19
96
100,00 10,06 Sangat tinggi
43 Rataan skor Kategori
53 10,76 Sangat tinggi
9,53 tinggi
Sumber: Pengolahan data lapangan, 2011 Visi memberikan fokus dan energi untuk belajar. Visi
menciptakan
perasaan kebersamaan dan memberikan koherensi terhadap berbagai kegiatan yang berbeda, yang menciptakan perasaan saling terikat satu dengan yang lain. Pimpinan tertinggi di BP2T melakukan kegiatan rutin untuk berbagi visi melalui kegiatan apel pagi dan sore setiap hari, pertemuan rutin (Rabu atau Kamis), untuk seluruh pejabat struktural atau dengan cara turun langsung di front desk pelayanan. 85,40% responden menyepakati bahwa pimpinan mereka memiliki
148
visi yang jelas tentang masa depan organisasi, utamanya dalam memberikan pelayanan yang terbaik ke masyarakat. Visi sebagai kebijakan mutu organisasi mampu mendorong semangat mereka untuk berkompetisi menjadi BP2T terbaik, dan pimpinan juga melakukan pengecekan terhadap pemahaman dan meninjau ulang visi tersebut secara berkala. Tidak ada perbedaan tingkat kategori antara Sragen dan Sidoarjo.
Komitmen (X12) Komitmen pimpinan organisasi berada pada kategori skor sangat tinggi, yakni 59,37% responden sepakat bahwa pimpinan BP2T memiliki komitmen yang sangat tinggi terhadap organisasinya.
Lebih dari 90% responden yang
menyatakan komitmen pimpinan berada pada kategori tinggi dan sangat tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa fungsi kepemimpinan berjalan dengan baik, yakni kepemimpinan menjadi sumber kekuatan, pembimbingan, arahan dan strategi pencapaian tujuan. Kepemimpinan telah membuat anak buah bekerja karena merasakan keberadaan pimpinan organisasi ke depan maupun
baik dalam memberikan gambaran visi
komitmen pemimpin tertinggi organisasi. Hal
tersebut terlihat pada saat pemimpin mengkomunikasikan visi, strategi dan misinya kepada para bawahannya. Jika dibandingkan antara Sragen dan Sidoarjo, kepemimpinan BP2T terdapat sedikit perbedaan tetapi tidak nyata. Informasi tersebut sesuai dengan Hoyle (2001) yang menyatakan bahwa pemimpin menetapkan kesatuan tujuan dan arahan bagi organisasi. Pemimpin membuat dan menciptakan lingkungan internal organisasi yang membuat setiap orang di dalam organisasi terlibat penuh dalam pencapaian tujuan organisasi. Komitmen pemimpin dapat direpresentasikan dengan kesediaannya untuk menyediakan sarana dan prasarana kelembagaan yang diperlukan untuk pencapaian tujuan organisasi. Pemimpin pula yang membuat terobosan sistem komunikasi sehingga
setiap orang terlibat dalam berbagai
kegiatan organisasi. Model komunikasi di setiap organisasi berbeda-beda, tergantung kepada budaya dan nilai-nilai yang disepakati dan dibangun di organisasi tersebut. Komitmen pimpinan di dalam SMM ISO 9001 direpresentasikan tidak hanya
149
dalam penyediaan sumber daya yang diperlukan organisasi dan dukungan sumber daya yang sesuai untuk kegiatan mewujudkan produk yang bermutu, tetapi juga dalam cara pimpinan berkomunikasi membangun hubungan dengan para pegawainya, waktu yang cukup dan keterlibatannya secara langsung pada setiap proses perubahan (Gonzales & Manuel Guillen, 2002; Slamet, 2008; Brown, 1994 dan Yukl, 2001). Pelaksanaan SMM ISO 9001 menyaratkan adanya komitmen pimpinan puncak organisasi, yakni Kepala Badan, yang secara langsung menangani kegiatan pelaksanaan tugas dan fungsi BP2T, disamping peran pimpinan tertinggi Pemerintah Daerah, yakni Bupati dan Muspida setempat. Penerapan ISO 9001:2000 dan sertifikasinya di BP2T Kabupaten Sragen selama kurun waktu 2003-2010 membuktikan
bahwa tanpa komitmen ketiga pimpinan tersebut,
sertifikasi SMM ISO 9001 berhenti di tahun 2010.
Di lain pihak, BP2T
Kabupaten Sidoarjo menerapkan ISO 9001:2000 hingga melaksanakan migrasi ke ISO 9001:2008 secara konsisten. BP2T Kabupaten Sidoarjo konsisten dan masih tetap mendapatkan dan mempertahankan sertifikasinya hingga saat ini. Komitmen pimpinan pada penerapan ISO 9001 tidak cukup hanya pada pimpinan BP2T tetapi juga didukung oleh pimpinan pemerintah daerah beserta Muspidanya. Komitmen pimpinan tidak sekedar diucapkan, tetapi juga diterapkan langsung pada kegiatan menjalankan tugas dan fungsinya di organisasi, termasuk bagaimana pimpinan secara langsung berfungsi sebagai agen penggerak perubahan, sebagaimana pernyataan pimpinan BP2T berikut: “… Saya jarang berada ditempat. Pagi hari hanya sebentar di ruangan, sisanya saya berkeliling kepada teman-teman dimana saja karena disanalah permasalahan yang harus segera diselesaikan. Dengan cara demikian saya bisa membangun prinsip kebersamaan dan egaliter antara pimpinan dan anak buah. Ibu lihat sendiri, anak buah saya tidak ada yang mundukmunduk meskipun bukan berarti tidak menghormati saya….”
Cara pimpinan mewujudkan komitmen tersebut tidak hanya berfungsi sebagai perwujudan besarnya komitmen pimpinan, tetapi juga menunjukkan adanya upaya membangun model komunikasi yang konvergen, dari berbagai arah, komunikasi yang tidak hanya searah. Pimpinan juga mewujudkan fungsinya sebagai teman dan pendengar yang baik, tetapi juga memberi bimbingan (coach)
150
sebagaimana Senge (1990) menyatakan pimpinan yang baik adalah pimpinan yang mampu menjadi pendengar, pembimbing, dan juga sebagai juru bicara organisasi. Budaya (kultur) masyarakat yang ada sangat berpengaruh terhadap gaya kepemimpinan dan bagaimana cara pimpinan menyelaraskan nilai-nilai individu dengan nilai-nilai organisasi. Kultur masyarakat Kabupaten Sragen lebih mudah dibentuk karena kesejarahan Sragen dimasa lalu. Sragen merupakan daerah kerajaan Mangkunegara yang dulunya bernama Sukowati. Sebuah kerajaan yang terbentuk sebagai akibat perjanjian Giyanti tahun 1651, yakni dipecahnya Kerajaan Surakarta menjadi dua: Kasunanan (Surakarta) dan Mangkunegaran dengan daerah Sukowati (Sragen). Tradisi kerajaan inilah yang menciptakan budaya patrimonial yang cukup kental yang memberi warna pada hubungan pimpinan dan bawahan disamping menimbulkan jarak kekuasaan yang cukup lebar di organisasi (Hofstede, 1991; Warnaen,2002). Pemimpin menjadi faktor stimulus yang penting dalam mendorong terjadinya perubahan.
Kepemimpinan di BP2T Sragen menjadi faktor kunci
dalam budaya dan struktur organisasi karena pemimpin menjadi sumber kepercayaan (beliefs) dan nilai-nilai yang dianut kelompok dalam berinteraksi dengan kelompok lainnya baik di dalam maupun diluar organisasi (Schein, 1992),sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala BP2T Sragen berikut:
“…disini mudah kok memberikan arahan kepada teman-teman. Saya pikir karena kita ini khan dulunya tradisi kerajaan. Ini lebih mudah mengarahkan mereka untuk mengerjakan sesuatu, yang penting saya memberi contoh yang benar, dan terlihat manfaatnya, mereka akan mengikuti ….”
Berbeda dengan Kabupaten Sragen, kultur di Kabupaten Sidoarjo lebih dipengaruhi oleh kultur masyarakat pesisir, ditopang oleh perdagangan sebagai kegiatan ekonominya. Kultur yang demikian memunculkan kultur egalitarian, dan lebih demokratis (Warnaen, 2002). Kultur ini pula yang dijadikan dasar bagaimana model komunikasi dibangun didalam organisasi. Pimpinan tertinggi organisasi pemerintahan sebagaimana pimpinan BP2T adalah pemimpin formal yang diangkat dan dikukuhkan sebagai pimpinan pada jabatan tertentu (LAN, 2010), tetapi pada saat yang sama pimpinan diharapkan menjadi pemimpin
151
informal terkait dengan berbagai permasalahan pribadi pegawai yang tidak berhubungan dengan bidang tugas dan jabatannya.
Komunikasi (X13) Tingginya
nilai
komunikasi
(rataan
10,06
dari
nilai
12)
juga
mengindikasikan bahwa empat fungsi komunikasi sebagaimana yang dinyatakan oleh Scott dan Mitchell (1976) berjalan dengan baik. Komunikasi dibangun dengan fungsi untuk menyalurkan emosi. Saluran komunikasi yang dibangun di BP2T memiliki konteks emosional. Saluran komunikasi
bisa menjadi wadah
setiap orang di organisasi untuk menumpahkan apapun yang dirasakan : kepuasan, ketidakpuasan, frustrasi, kegembiraan, tidak saja kepada rekan sesama tetapi juga kepada pimpinan. Melalui komunikasi pula segala konflik dan ketidakjelasan pekerjaan, tugas dan tanggung jawab diselesaikan dengan baik. Komunikasi di BP2T juga berfungsi sebagai alat memotivasi pegawai, memandu, mengontrol dan bahkan mendorong pegawai untuk selalu bersikap profesional dengan mengembangkan kompetensi diri setiap saat. Fungsi komunikasi lainnya adalah pemasok informasi. Fungsi ini menjadi sangat penting karena informasi yang benar dan tepat menjadi dasar pengambilan keputusan pimpinan di organisasi. Informasi berfungsi sebagai kontrol akan berjalan dengan baik jika sistem dan prosedur yang digunakan dalam mengkontrol aliran informasi di organisasi berjalan dengan baik pula. Keseluruhan fungsi komunikasi sebagaimana disebutkan berjalan dengan sangat baik di dua daerah penelitian. Sistem komunikasi yang dibangun di dua daerah tersebut dapat diandalkan kinerjanya dalam mendukung tugas, fungsi dan kewenangan Badan dalam memberikan pelayanan publik. Dukungan Local Area Network (LAN) atau intranet yang kuat, tersedianya SDM yang memiliki kualifikasi yang memadai, serta berjalannya sistem pelayanan on-line kepada masyarakat merupakan bukti bahwa sistem komunikasi yang dibangun (software dan hardware) dapat diandalkan kinerjanya (reliable). BP2T Sragen mendapatkan anugerah Award ICT Pura di tahun 2011 untuk layanan publik yang berbasis teknologi informasi yang secara terus menerus dikembangkan dengan berbagai terobosan inovasi pelayanan. Tahun 2011 BP2T
152
Sragen memperkenalkan
PATEN (Sistem Pelayanan Terpadu Administrasi
Kecamatan) berbasiskan teknologi informasi. PATEN adalah wujud dari pelimpahan kewenangan Bupati kepada kecamatan untuk pengurusan perijinan yang berskala kecil (11 jenis, diantaranya ijin perhelatan, penutupan jalan, ijin pertunjukan ) dan non-perijinan (22 jenis, termasuk pengurusan KTP,KK). Masyarakat tidak harus datang ke kabupaten untuk mengurus perijinan dimaksud. Masyarakat hanya perlu mendatangi kantor Kecamatan yang relatif berjarak lebih dekat dengan rumah tinggal pemohon. Konsep PATEN adalah mendekatkan sedekat mungkin seluruh kegiatan perijinan dan non-perijinan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Motivasi (X2) Motivasi adalah alasan atau dorongan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Motivasi sebagai sebuah kekuatan atau energi
seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi individu dapat berasal dari dalam dirinya maupun berasal dari luar dirinya. Motivasi ekstrinsik
diukur
dengan menggunakan parameter terkait lingkungan strategis di dalam maupun diluar organisasi yang dianggap mampu mendorong tumbuhnya motivasi untuk menerapkan sistem ISO 9001. Motivasi intrinsik diukur dengan menggunakan beberapa parameter sesuai dengan hirarki kebutuhan Maslow, seperti: adanya kebutuhan untuk berprestasi, adanya kebutuhan untuk bersosialisasi, berafiliasi, dan kebutuhan akan pekerjaan yang menantang. Pernyataan sebaran responden berdasarkan motivasi disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 menyatakan bahwa motivasi pegawai terkait dengan penerapan SMM ISO 9001 berada pada kategori yang tinggi, artinya pegawai memiliki motivasi atau dorongan untuk bekerja di BP2T sesuai dengan yang telah ditetapkan. Motivasi yang dimiliki individu dan dikombinasikan dengan dorongan dari luar individu yang berupa sistem di organisasi, permintaan atau tekanan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang baik, dan bahkan peraturan perundangan yang berlaku yang mengharuskan pegawai memberikan pelayanan prima kepada masyarakat.
153
Tabel 20 Sebaran responden berdasarkan motivasi (X2) Unsur
Kategori
Motivasi
Rendah
Sidoarjo
Total
n
%
n
%
n
%
0
0,00
0
0
0
0,00
1
2,33
8
15,09
9
9,37
35
81,40
37
69,81
72
75,00
7
16,27
8
15,10
15
15,63
43
100,00
53
100,00
96
100,00
Rataan skor
40,88
40,47
40,66
Kategori
tinggi
tinggi
Tinggi
14,0024,00
Ektrinsik Sedang
(X21)
Sragen
25,0035,00
Tinggi
36,0046,00
Sangat tinggi Jumlah
47,0056,00
Motivasi
Rendah
9,00-15,99
0
0,00
0
0
0
0,00
Intrinsik (X22)
Sedang
16,00-
0
0,00
0
0
0
0,00
8
18,60
13
24,53
21
21,87
35
81,40
40
75,47
75
78,13
43
100,00
53
100,00
96
100,00
Rataan skor
32,35
31,58
31,93
Kategori
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi
22,99
Tinggi
23,0029.99
Sangat tinggi Jumlah
30,0036,00
Sumber: Pengolahan data lapangan, 2011
Berbagai dorongan dari luar pegawai yang menjadikannya motivasi ekstrinsik berada pada kategori tinggi (72 orang) atau 75%, dan pada kategori sangat tinggi, yakni 15 orang
atau 15,63% . Sedangkan sisanya (9 orang)
menyatakan dorongan untuk bekerja dan memberikan pelayanan yang lebih baik dalam kategori sedang saja. Parameter pada motivasi ekstrinsik diantaranya adalah harapan masyarakat akan layanan publik yang diterimanya dikaitkan dengan kinerja pemerintah daerah, tanggapan positif masyarakat terhadap penerapan SMM ISO 9001, adanya visi pimpinan pemerintah daerah terhadap pelayanan publik, adanya sistem remunerasi, ganjaran dan hukuman (reward and punishment), dan pengembangan karir yang menarik, serta meningkatnya jumlah investasi yang masuk ke daerah tersebut. Dapat disimpulkan bahwa harapan masyarakat, harapan dan program pimpinan dalam merespon pelayanan publik sesuai dengan keinginan masyarakat, model remunerasi, reward dan punishment
154
pada kedua daerah penelitian menjadi dorongan bagi pegawai untuk bekerja dan bersikap positif. Motivasi intrinsik pegawai berada pada kategori sangat tinggi di dua daerah penelitian, yakni 75 pegawai atau 78,13% menyatakan demikian. Sedangkan pegawai yang menyatakan bahwa motivasi intrinsik tinggi berjumlah 21 pegawai atau 21,87%. Motivasi intrinsik diantaranya adalah rasa tanggung jawab yang dimiliki pegawai dalam menjalankan tugas, adanya pekerjaan yang menantang kemampuannya dan diberikan
pimpinan kepadanya, penghargaan
yang diterimanya meskipun tidak berwujud finansial. Lingkungan pekerjaan yang menyenangkan, adanya kesempatan mengembangkan kompetensi dan kapasitas merupakan beberapa hal yang turut mendorong tumbuhnya motivasi intrinsik pegawai yang kuat. Interaksi Kelompok(X3) Interaksi kelompok yang diamati sebagaimana tercantum dalam kerangka berpikir meliputi interaksi antar kelompok dan interaksi intra di dalam kelompok. Interaksi antar kelompok diukur dengan menggunakan parameter kejelasan tugas kelompok, frekuensi dan intensitas melakukan pertemuan atau komunikasi antar kelompok, efektifitas pencapaian tujuan kelompok dan frekuensi konflik yang terjadi. Interaksi intra anggota di dalam kelompok diamati dengan menggunakan parameter adanya kejelasan tujuan kelompok, adanya struktur tugas dan fungsi setiap individu di dalam kelompok, adanya kesempatan untuk mengembangkan diri, serta intensitas hubungan antar individu di dalam kelompok. Sebaran responden berdasarkan interaksi kelompok disajikan pada Tabel21. Tabel 21 Sebaran responden berdasarkan interaksi kelompok (X3) Unsur
Interaksi Kelompok (X3)
Kategori
Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Jumlah
Sragen
Sidoarjo
Total
n
%
N
%
n
%
0
0,00
3
5,66
3
3,13
2
4,65
13
24,53
15
15,62
36
83,72
30
56,60
66
68,75
5
11,63
7
13,21
12
12,50
43 Rataan skor Kategori
100,00 52,67 tinggi
53
100,00 47,30 tinggi
96
100,00 49,71 tinggi
18,0031,99 32,0043,99 44,0058,99 59,0072,00
155
Nilai interaksi kelompok secara bersama-sama (interaksi antar kelompok dan interaksi intra di dalam kelompok) berada pada kategori tinggi merupakan yang terbesar, yakni 66 pegawai (68,75%),
dan pada kategori sangat tinggi
sebanyak 12 pegawai atau 12,50% dan hanya tiga orang menyatakan interaksi kelompok pada kategori yang rendah (3,13%). Interaksi kelompok baik di Kabupaten Sragen maupun Sidoarjo berada pada kategori tinggi yang merupakan mayoritas respon pegawai. Interaksi kelompok direpresentasikan oleh dua sub peubah yaitu: (1) interaksi antar kelompok, antara kelompok yang ada di dalam BP2T ataupun kelompok BP2T dengan unit satuan kerja lainnya di Kabupaten, dan (2) interaksi intra anggota di dalam kelompok, yakni bagaimana interaksi anggota dengan sesama anggota lainnya dalam satu kelompok yang sama. Potret interaksi kelompok di BP2T disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Interaksi antar kelompok (X31) dan intra kelompok(X32) Unsur
Kategori
Sragen
Sidoarjo
Total
n
%
n
%
n
%
Interaksi
Rendah
9,00-15,75
0
0
3
5,66
3
3,13
Antar
Sedang
15,76-
6
13,95
7
13,21
13
13,54
33
76,74
36
67,92
69
71,87
4
9,31
7
13,21
11
11,46
43
100,00
53
100,00
96
100,00
Rataan skor
25,67
24,70
25,14
Kategori
tinggi
tinggi
tinggi
22,51
Kelompok Tinggi
(X31)
22,5229,27
Sangat tinggi Jumlah
29,2836,00
Interaksi Intra
Rendah
9,00-15,75
1
2,32
6
11,32
7
7,29
Anggota di
Sedang
15,76-
0
0
15
28,30
15
15,63
32
74,42
29
54,72
61
63,54
10
23,26
3
5,66
13
13,54
43
100,00
53
100,00
96
100,00
Rataan skor
27,00
22,60
24,57
Kategori
tinggi
tinggi
tinggi
22,51
Kelompok (X32)
Tinggi
22,5229,27
Sangat tinggi Jumlah
29,2836,00
Sumber : Pengolahan data lapangan, 2011
156
Interaksi antar kelompok dan antar anggota di dalam kelompok di dua daerah penelitian berada pada kategori tinggi. Interaksi antar kelompok dan intra anggota di dalam kelompok di Kabupaten Sragen lebih tinggi frekuensinya daripada di Kabupaten Sidoarjo. Kabupaten Sidoarjo memiliki jadwal rutin pertemuan antar Dinas terkait perijinan yang dilayaninya setiap hari Rabu. Pertemuan tersebut membahas berbagai temuan lapangan dari dinas-dinas terkait, RT, RW, wakil kelurahan, wakil kecamatan yang diperlukan rekomendasinya untuk BP2T dapat mengeluarkan perijinan yang dimohon masyarakat. Pertemuan tersebut dihadiri oleh masyarakat pemohon ijin. Kabupaten Sragen, dilain pihak, dari hasil penelitian ditemukan bahwa pertemuan antar kelompok dan intra anggota didalam kelompok prosentasenya lebih tinggi daripada Kabupaten Sidoarjo. Dukungan jumlah pegawai yang lebih banyak di Kabupaten Sidoarjo (61 orang) untuk 25 layanan perijinan dan hanya 43 orang pegawai di Kabupaten Sragen untuk 69 jenis layanan perijinan dan non-perijinan memungkinkan terjadinya perbedaan tingginya frekuensi pertemuan antar kelompok maupun antar anggota didalam kelompok terjadi.
Karakteristik Individu Pegawai (X4) Karakteristik individu yang diamati sebagaimana tercantum dalam kerangka berpikir meliputi umur, lamanya mengikuti pendidikan formal, lamanya mengikuti pendidikan non-formal yang dikonversikan kepada frekuensi pegawai mengikuti berbagai pendidikan dan pelatihan, baik terkait dengan kompetensi teknis maupun kompetensi sosial-emosional.
Pengalaman bekerja dihitung
dengan menggunakan parameter jumlah tahun setelah pegawai tersebut menyelesaikan sekolah dan memulai bekerja. Tingkat kekosmopolitan pegawai diukur
menggunakan parameter frekuensi berhubungan dengan dunia diluar
dirinya, diluar sistem sosialnya serta dukungan alat komunikasi yang dimanfaatkannya. Tingkat pengetahuan responden terhadap SMM ISO 9001 diukur dari kemampuan pegawai dalam memahami dan menelaah beberapa filosofi dasar tentang SMM ISO 9001, konsepsi mutu, maksud dan tujuan diterapkannya ISO 9001, dan kemampuan pegawai menjelaskan konsep pelanggan dan kebutuhannya. Status sosial di organisasi diukur dengan
157
kedudukan pegawai tersebut dalam pangkat dan jabatannya di struktur organisasi (status kepegawaian), kedudukan yang bersangkutan pada struktur organisasi ISO 9001.
Umur (X41) Secara umum, umur berkaitan dengan tingkat kematangan biologis dan psikologis seseorang dalam melakukan aktivitas (Piaget, 1954; Salkind, 1989 ). Umur, secara bersama-sama dengan jenis kelamin, dan pendidikan (formal maupun non formal) akan mempengaruhi perilaku seseorang (Hawkins, Best dan Coney, 1986 ). Suparno (2001) menyatakan umur berhubungan dengan berkembangnya kemampuan berpikir seseorang. Pada penelitian ini umur dikelompokkan berdasarkan usia produktif dengan kisaran antara 15 tahun sampai 60 tahun. Usia 60 tahun adalah
merupakan rata-rata umur pensiun Pegawai
Negeri Sipil (PNS) yang menduduki jabatan eselon II. Jika PNS tidak memiliki jabatan fungsional peneliti, atau fungsional lainnya yang setara, maka rata-rata usia pensiun PNS adalah 56 tahun, dan usia dewasa memasuki pasar tenaga kerja adalah 17 tahun. Kementerian Tenaga Kerja menggunakan batasan umur terendah 18 tahun seseorang dianggap dewasa. Sebaran umur responden penelitian disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Sebaran umur responden (X41) Karakteristik Individu
Kategori
Umur (tahun)
Kab. Sragen
Kab. Sidoarjo
Total
n
%
n
%
n
%
<20-30
6
13,93
11
20,75
17
17,71
31-40
17
39,53
18
33,96
35
36,46
41-50
18
41,86
23
43,39
41
42,71
51-60
2
4,60
1
1,88
3
3,12
Jumlah
43
100
53
100
96
100
Sumber : Pengolahan data lapangan, 2011
Mayoritas umur responden berada pada kisaran 41-50 tahun (42,71%). Sedangkan responden yang berada pada kisaran umur muda, yakni pegawai berumur hingga 30 tahun (17,71%). Mereka yang berada pada kategori usia produktif sampai dengan 50 tahun berjumlah 76 orang (79,17%). Diperkirakan
158
pada lima hingga sepuluh tahun mendatang, akan terjadi cukup banyak pegawai yang memasuki usia pensiun, sedangkan pegawai yang berusia muda (<20 s.d 30) dikhawatirkan tidak akan bisa menutup kekurangan pegawai yang pensiun. Baik BP2T Kabupaten Sragen maupun BP2T Kabupaten Sidoarjo tidak memiliki kewenangan untuk melakukan rekrutmen pegawai secara langsung. Rekrutmen pegawai dilaksanakan secara terpusat oleh Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Pimpinan BP2T hanya memiliki kewenangan untuk mengusulkan pegawai berdasarkan persyaratan jabatan dan kompetensi yang diperlukan.
Pendidikan Formal (X42) Sebagai sebuah usaha sadar untuk menyiapkan peserta melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi perannya di masa mendatang, pendidikan formal memegang peranan penting untuk menjadi jembatan terjadinya perubahan perilaku. Pendidikan formal adalah pendidikan yang dilaksanakan di sekolah secara teratur, sistematis, mempunyai jenjang dan dibagi ke dalam waktuwaktu tertentu yang berlangsung sejak taman kanak-kanak hingga ke perguruan tinggi. Latar belakang pendidikan formal responden dan sebarannya dapat dilihat pada Tabel24. Tabel 24Latar belakang pendidikan formal responden (X42) KATEGORI SMTP/SMP SLTA/SMA/SMK S0 S1 S2 Jumlah
n 0 7 3 25 8 43
SRAGEN % 0.00 16,28 6,98 58,14 18,60 100
n 2 15 2 31 3 53
SIDOARJO % 3.77 28,30 3,77 58,49 5,66 100
n 2 22 5 56 11 96
Total % 2.08 22,92 5,21 58,33 11,46 100
Sumber : Pengolahan data lapangan,2011 Berdasarkan data lapangan diperoleh informasi bahwa mayoritas responden berlatar belakang pendidikan Sarjana Strata Satu (S1). Sebaran ini merata di kedua daerah penelitian (58%). Latar belakang pendidikan
SLTA
menduduki tempat kedua setelah S1 (22.92%), dan Magister (S2) sebesar 11.46%. Jika dilihat pada sebaran responden yang memiliki latar belakang pendidikan Magister, BP2T Kabupaten Sragen memiliki prosentase yang lebih tinggi daripada
159
Kabupaten Sidoarjo. Banyaknya pegawai yang berpendidikan Magister di Kabupaten Sragen merupakan hasil kebijakan pimpinan yang memberikan keleluasaan kepada pegawai untuk mengikuti pendidikan formal ke jenjang yang lebih tinggi. Meningkatnya jenjang pendidikan pegawai ini tidak ditujukan untuk kenaikan pangkat, tetapi untuk meningkatkan kompetensi mereka dalam melayani masyarakat, sebagaimana jawaban pimpinan BP2T, Tg (47 tahun). “… kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi kami perbolehkan sepanjang dilakukan diluar jam kerja. ….saya telah menyampaikan bahwa setelah menyelesaikan pendidikan lebih tinggi bukan kemudian berhak menuntut kedudukan dan jabatan yang lebih tinggi, tetapi untuk memperbaiki dan meningkatkan kompetensi mereka dalam melaksanakan tugas…”
Pendidikan Non Formal (X43) Pendidikan non formal pada umumnya merupakan jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat untuk meningkatkan kemampuan menerapkan ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya dari pendidikan formal ke dalampraktek-praktek di tempat kerja dan masyarakat (Prijono dan Pranarka, 1996). Pendidikan nonformal diorganisasikan sedemikian rupa sehingga mampu menyediakan bentuk-bentuk pembelajaran yang dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dari hasil penelitian didapatkan data adanya dua cara pendidikan non formal: diselenggarakan oleh unit organisasi tersebut (inhouse training) yakni dengan mengundang narasumber dan menyelenggarakannya sendiri, atau dengan cara mengirimkan pegawai mengikuti training-traning yang ditawarkan oleh pihak diluar institusi. Jenis training yang diselenggarakan beragam, mulai dari training yang diperlukan untuk meningkatkan kemampuan kognitif dan psikomotorik pengetahuan dan ketrampilan, hingga training yang ditujukan untuk mengasah kemampuan afektif peserta. Tabel 25 menyajikan frekuensi pendidikan nonformal yang pernah diikuti responden. Responden di kedua daerah penelitian secara merata hanya mengikuti pendidikan nonformal (diklat) rata-rata satu hingga tiga kali setahun (71,88%), 26 orang mengaku bisa mengikuti pendidikan nonformal hingga empat sampai enam kali dalam setahun. Hanya satu orang yang pernah mengikuti diklat melebihi tujuh kali dalam setahun, yakni pimpinan organisasi.
160
Tabel 25 Sebaran pendidikan nonformal yang pernah diikuti (X43) Kategori (Frekuensi) Rendah 1 – 3 Sedang 4 – 6 Tinggi 7–9 Jumlah Rataan frekuensi
n 40 3 0 43
Kategori
Sragen % 93,02 6,98 0 100 2,21
n 29 23 1
Sidoarjo % 54,72 43,40 1,89
53
rendah
100,00 3,11
n 69 26 1 100
rendah
Total % 71,88 27,08 1,04 100,00 2,71
rendah
Sumber : Pengolahan data lapangan, 2011 Diklat yang diikuti oleh seluruh pegawai adalah diklat tentang motivasi dan pelayanan pelanggan atau kesadaran terhadap mutu pelayanan yang dilaksanakan sekali dalam setahun (team work, outbond, etika pelayanan, fokus kepada pelanggan, customer awareness). Pelatihan penyegaran tentang SMM ISO 9001, dan audit internal berbasiskan ISO 9001 dilakukan setiap tahun, khusus dilaksanakan oleh BP2T Kabupaten Sidoarjo sebagai bagian menjaga dan meningkatkan kompetensi personil yang merupakan syarat wajib bagi organisasi yang mendapatkan sertifikasi ISO 9001. Pegawai
menghadiri
diklat
teknis
yang
terkait
dengan
bidang
kompetensinya (akuntansi, sistem informasi, penanaman modal, perpajakan) sangat tergantung kepada penawaran dari luar instansi yang biasanya ditawarkan tanpa memungut biaya. Meskipun demikian, keterbatasan anggaran yang ada seringkali telah membatasi ruang gerak responden untuk bisa mengikuti kursuskursus sekalipun gratis, sebagaimana disampaikan oleh salah satu staf BP2T berikut: “…yang paling mudah adalah memanggil motivator untuk datang kemari, 1-2 jam pertemuan untuk mengingatkan kita atas pentingnya pelayanan yang beretika. Kesulitan pendanaan yang ada saat ini memang menjadi kendala kami untuk bisa mengikuti diklat-diklat yang ditawarkan dari luar, meskipun gratis. Saya suka malu karena terlambat informasi dari teman-teman, padahal tempat kami selalu dijadikan tempat studi banding…”
161
Pengalaman (X44) Pengalaman erat hubungannya dengan dimensi waktu dan proses pembelajaran yang didapatkan seseorang dalam kurun waktu tersebut. Semakin sering seseorang mengalami proses belajar, maka akan semakin banyak pula pengalaman yang diperolehnya. Pengalaman masa lalu akan mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk merasa memerlukan dan siap menerima pengetahuan baru (Havelock, 1969). Otak manusia merekam berbagai pengalaman yang dimiliki seseorang selama masa hidupnya, dan di dalam proses belajar ia akan selalu menghubungkan antara pengetahuan yang telah direkamnya dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajarinya. Sejalan dengan hal tersebut, Slamet (1995) menyatakan bahwa seseorang akan lebih mudah memilih dan menerima sesuatu yang baru bila hal tersebut memiliki kaitan dengan pengalaman masa lalunya sehingga seolah-olah pengetahuan tersebut tidak terasa lagi kebaruannya. Pengalaman responden terkait dengan parameter lamanya ia bekerja sejak responden memasuki dunia kerja hingga saat ini. Sebaran pengalaman responden disajikan pada Tabel 26. Dari data Tabel 26 ditemukan bahwa mayoritas pengalaman responden berada pada kategori sedang, yakni 34,37% atau 33 orang. Mereka menyatakan pernah berpindah-pindah tempat pekerjaan, bukan saja berada di lingkungan pemerintah daerah tetapi mereka berpindah dari organisasi swasta ke organisasi publik, termasuk harus berpindah lokasi (kota). Sebanyak 32 responden memiliki pengalaman dengan kategori tinggi (33,33%), 11 orang memiliki pengalaman yang tinggi (11,46%) dan 20 orang responden memiliki pengalaman dengan kategori rendah. Responden yang masuk dalam kategori tinggi ini telah berpindah pekerjaan lebih dari tiga kali, pada tempat atau organisasi yang berbeda-beda dan kadangkala berbeda cukup jauh dari bidang kompetensi yang dimiliki responden. Pekerjaan di BP2T dianggap cukup menantang karena responden terpaksa harus belajar lebih jauh tentang area yang bukan merupakan bidang pekerjaannya.
162
Tabel 26 Sebaran responden berdasarkan pengalaman (X44) Kategori
Sragen
Sidoarjo
Total
n
%
n
%
n
%
Rendah
1 – 8,99
7
16,28
13
24,53
20
20,84
Sedang
9 – 15,99
15
34,88
18
33,96
33
34,37
Tinggi
16 – 23,99
13
30,23
19
33,85
32
33,33
Sangat tinggi
24 – 31,00
8
28,61
3
5,66
11
11,46
43
100,00
53
100,00
96
100,00
Jumlah Rataan Skor Kategori
15,68
13,47
14,44
Sedang
Sedang
Sedang
Sumber: Pengolahan data lapangan, 2011
Kekosmopolitan (X45) Kekosmopolitan didefinisikan sebagai tingkat keterbukaan seseorang terhadap berbagai informasi dan sumber informasi sehingga seseorang diharapkan memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas. Sifat kekosmopolitan dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan hidup atau karir yang ditempuh, frekuensi pemanfaatan media massa dan media lainnya yang digunakan responden sebagai sumber informasi yang diperlukannya dari dunia luar diluar sistem sosialnya. Secara tidak langsung proses adopsi inovasi akan sangat mudah dan berlangsung cepat pada masyarakat yang memiliki tingkat kosmopolitan yang tinggi dibandingkan dengan proses adopsi yang berlangsung pada masyarakat yang lebih tertutup (Mardikanto, 1993). Inkeles
(1964)
menyatakan
bahwa
ciri
orang
modern
adalah
keterbukaannya terhadap informasi baru, terhadap kesempatan-kesempatan yang ada, terhadap nilai-nilai baru yang berkembang di lingkungan masyarakat, dan bagaimana ia berpikir jauh ke depan untuk merencanakan hidupnya. Manusia modern menurut Inkeles adalah manusia yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. Tingkat kekosmopolitan responden disajikan pada Tabel 27.
163
Tabel 27 Tingkat kekosmopolitan responden (X45) Sragen Kategori Rendah
11,00-
Sidoarjo
Total
n
%
n
%
n
%
0
0,00
0
0,00
0
0,00
2
4,65
7
13,21
9
9,37
26
60,47
39
73,58
65
67,71
15
34,88
7
13,21
22
22,92
43
100
53
100
96
100
19,25 Sedang
19,2627,51
tinggi
27,5235,77
Sangat tinggi
35,7844,03
Jumlah Rataan skor
34,77
31,94
33,21
Kategori
tinggi
tinggi
tinggi
Sumber: Pengolahan data lapangan, 2011 Kekosmopolitan responden berada pada kategori tinggi. Kedua daerah penelitian yang dipilih merupakan daerah yang masuk ke dalam kategori pemerintah daerah kabupaten yang maju, dan sering menjadi daerah percontohan untuk pemerintah daerah lainnya di Indonesia. BP2T Kabupaten Sragen mendapatkan berbagai penghargaan atas prestasinya mengubah paradigma lama birokrasi, yakni memangkas birokrasi sehingga menjadi birokrasi yang efisien dan responsif terhadap tuntutan masyarakat. Demikian pula BP2T Kabupaten Sidoarjo yang menjadi daerah percontohan pelaksanaan otonomi daerah. Pemilihan daerah ini sebagai daerah percontohan karena letak Kabupaten Sidoarjo yang sangat strategis sebagai daerah pengembangan industri, jasa dan perdagangan, serta letaknya yang tidak terlalu jauh dari ibukota propinsi Jawa Timur. Terobosan birokrasi yang diterapkan Kabupaten Sidoarjo juga menjadi contoh sebuah birokrasi yang ramah terhadap masyarakat. Teknologi informasi telah berkembang dengan sangat baik dan didukung oleh SDM Kabupaten Sidoarjo yang memiliki tingkat melek huruf yang tinggi (97,29) diatas tingkat melek huruf nasional serta memiliki IPM yang tinggi pula (75,89). Kondisi kualitas SDM tersebut mendukung tingkat kekosmopolitan responden. Responden menyatakan menggunakan teknologi informasi yang
164
disediakan manajemen untuk mengakses berbagai informasi yang diperlukan dalam menjalankan tugasnya. Tingkat kekosmopolitan responden di Kabupaten Sragen termasuk pada kategori yang tinggi. Sedangkan angka rataan skor kekosmopolitan Kabupaten Sidoarjo lebih rendah (31,94) daripada rataan skor tingkat kekosmopolitan Kabupaten Sragen (34,77). Kekosmopolitan responden di Kabupaten Sragen yang tinggi, dengan tingkat kosmopolitan sangat tinggi sebesar 34,88% disebabkan oleh terbatasnya dana yang dapat digunakan untuk mendukung kegiatan pengembangan diri pegawai. Pegawai memanfaatkan ketersediaan internet untuk mengakses informasi terbaru terkait dengan bidang tugasnya. Upaya ini mampu mengembangkan pengetahuan mereka terhadap hal-hal baru, peraturan baru yang harus dijalankan oleh BP2T sehingga mereka tidak tertinggal jauh dengan informasi terbaru terkait bidang tugasnya. Pengetahuan terhadap Sistem Manajemen Mutu ISO 9001(X46) Taksonomi Bloom membagi tujuan pendidikan kedalam tiga ranah : ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Ranah kognitif berisi perilaku yang menekankan kepada aspek intelektualitas, seperti pengetahuan, pemahaman, pengertian dan ketrampilan berpikir. Pada ranah afektif berisi perilaku yang menekankan pada aspek perasaan dan emosi, seperti : sikap, apresiasi dan cara penyesuaian diri. Pada ranah psikomotorik, individu lebih berorientasi kepada aspek ketrampilan motorik seperti mengetik, mencangkul, dan mengoperasikan mesin. Bagi mereka yang telah mempelajari SMM ISO 9001, maka berbagai informasi yang terkait lainnya akan lebih mudah untuk dipahami dan berpengaruh dalam menentukan sikapnya. Pengetahuan ini akan memunculkan tanggapan, emosi, asumsi dan persepsinya terhadap SMM ISO 9001.Pengetahuan, pemahaman dan pengertian responden pada SMM ISO 9001 yang tidak hanya sekedar mengetahui tetapi memahami dan mengerti cara sistem bekerja di organisasi akan sangat membantu SMM ISO 9001 ini diterapkan dengan lebih baik. Sebaran pengetahuan responden terhadap SMM ISO 9001 disajikan pada Tabel 28.
165
Tabel 28 Sebaran responden terhadap pengetahuan SMM ISO 9001(X46) Sragen Kategori Rendah
15,00-
Sidoarjo
Total
n
%
n
%
n
%
3
6,98
8
15,09
11
11,46
38
88,37
45
84,91
83
86,46
2
4,65
0
0,00
2
2,08
0
0
0
0,00
0
0,00
43
100,00
53
100,00
96
100,00
18,75 Sedang
18,7622,51
tinggi
22,5226,27
Sangat tinggi
26,2830,00 Jumlah Rataan skor
19,4
19,00
19,18
Kategori
Sedang
Sedang
sedang
Sumber: Pengolahan data lapangan, 2011
Pemahaman responden secara umum terhadap beberapa klausul ini Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 termasuk pada kategori sedang. Sebanyak 83 responden atau 86,46% memiliki pengetahuan sedang, dan 11,46% responden memiliki pengetahuan yang rendah. Dari temuan di lapangan disimpulkan bahwa belum semua pegawai memahami esensi diterapkannya SMM ISO 9001, tetapi mereka melaksanakannya karena menurut mereka sistem ini secara kasat mata telah membantu mereka bekerja secara sistematis, tidak bekerja secara serabutan diluar bidang tugas dan kompetensinya. Responden hampir seluruhnya sepakat bahwa setiap pekerjaan memerlukan sistem dan prosedur yang jelas yang memudahkan mereka bekerja. Pemahaman bahwa dokumen yang digunakan sebagai acuan, Sistem Prosedur Operasional (SPO sebagai sebuah dokumen yang dinamis masih banyak yang menyalahartikan). Demikian pula tanggapan responden yang menyatakan
bahwa penerapan SMM ISO 9001 sebagai
menambah pekerjaan karena banyaknya dokumen tertulis masih dijumpai didaerah penelitian. Kondisi lainnya adalah tidak semua pegawai terlibat langsung di dalam struktur organisasi SMM ISO 9001, apalagi BP2T Kabupaten Sragen yang sejak tahun 2010 tidak lagi memperbaharui sertifikasinya menuju ISO 9001:2008.
166
Konsekuensi dari tidak diperbaharuinya skema sertifikasi (meskipun tetap menerapkan sistem sesuai SMM ISO 9001) adalah tidak adanya tuntutan wajib kepada manajemen untuk secara konsekuen melakukan kegiatan penyegaran pengetahuan terhadap SMM ISO 9001, disamping pengetahuan lainnya yang diperlukan untuk menjaga dan meningkatkan kompetensi pegawai.
Status Sosial (X47) Status sosial dalam penelitian ini didefinisikan sebagai ranking sosial individu di dalam sebuah kelompok yang diberikan berdasarkan posisinya di dalam kelompok tersebut. Pada masyarakat majemuk pelapisan atau kelas sosial terbentuk karena (1) kebendaan, harta kekayaan yang dimiliki, (2) berdasarkan struktur kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki, (3) berdasarkan kehormatan yang diberikan masyarakat kepadanya, (4) karena ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang. Status seseorang bisa menjadi fungsi orang tersebut mendapatkan gaji dan tingkat upah yang diterima, jadwal bekerja, serta kemampuannya berinteraksi dengan orang lain dan bahkan tingkat senioritasnya. Status sosial di organisasi dikaitkan dengan kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki, senioritas, keahlian dan kompetensi, serta keterlibatan dalam berbagai kegiatan di organisasi yang merujuk kepada keahlian individu tersebut.Sebaran responden menurut status sosial di organisasi dapat dilihat pada Tabel 29.
Tabel 29Sebaran responden menurut status sosial (X47) Sragen Kategori
Sidoarjo
Total
n
%
n
%
n
%
Rendah
6,00-8,25
8
18,60
16
30,19
24
25,00
Sedang
8,26-11,10
20
46,51
30
56,60
50
52,08
tinggi
11,20-13,70
9
20,93
4
7,55
13
13,54
Sangat tinggi
13,80-16,03
6
13,96
3
5,61
9
9,38
Jumlah
43
100
53
100
96
100
Rataan skor
10,35
9,74
10,01
Kategori
sedang
sedang
sedang
Sumber: Pengolahan data lapangan, 2011
167
Temuan penelitian menyatakan bahwa sebanyak 24 orang responden (25%) berada pada status sosial yang rendah, yakni tidak memiliki kekuasaan, kewenangan atau kemampuan atau kompetensi yang diperlukan. 50 orang (52,08%) berada pada kategori status sosial sedang dan 22,92 % sisanya berada pada kategori status sosial yang tinggi dan sangat tinggi. Mereka yang berada pada kelompok status sosial tinggi dan sangat tinggi adalah para pimpinan atau pejabat eselon IV, III dan II serta mereka yang bertanggung jawab dan memegang jabatan tertentu pada organisasi ISO 9001. Status sosial responden berkategori tinggi di Sragen prosentasenya lebih tinggi dibandingkan dengan responden di Kabupaten Sidoarjo. Kondisi ini dapat dimengerti berdasarkan struktur organisasi BP2T masing-masing. BP2T Kabupaten Sragen memiliki struktur organisasi yang lebih lebar rentang kendalinya. Terdapat satu orang eselon II (Kepala Badan), lima eselon III dan sebelas eselon IV dengan layanan yang lebih beragam. Prosentase pegawai BP2T Kabupaten Sragen yang menduduki
jabatan struktural adalah 40%,
sedangkan prosentase pegawai BP2T Kabupaten Sidoarjo yang menduduki jabatan struktural sebesar 16%. Keterlibatan PNS secara langsung dalam struktur organisasi ISO di Kabupaten Sidoarjo cukup tinggi terkait dengan fungsi-fungsi manajemen di organisasi ISO: Wakil Manajemen, Sekretaris Wakil Manajemen, Auditor.
Pendekatan Pembelajaran(X5) Kelumpuhan total atas mutu seringkali dialami oleh organisasi yang sedang menerapkan sistem manajemen mutu ISO 9001 (Oakland, 1992). Bagi Oakland, fase ini sangat penting dan menentukan bagi dibangunnya kesadaran dan sikap yang benar tentang mutu. Penyampaian pemahaman atas mutu hanya memberikan pemahaman yang sangat dangkal. Terlebih penting adalah bagaimana upaya pemahaman tersebut diikuti dengan proses berkomitmen terhadap mutu, ditindaklanjuti dengan kebijakan mutu di organisasi, mengukur dan menyediakan biaya mutu yang diperlukan, mendesain sistem yang diperlukan, kapasitas dan
168
kompetensi SDM, sistem monitoring dan evaluasi serta pendidikan dan pelatihan yang diperlukan. Keberhasilan
pembelajaran
berpengaruh pada proses
ditentukan
oleh
belajar. Penelitian ini
faktor-faktor
yang
mengukur pendekatan
pembelajaran dengan menggunakan parameter yang dikenalkan Klausmeier dan Goodwin (1971), diantaranya: tujuan pembelajaran, materi, media dan teknologi yang digunakan, karakteristik dan perilaku pembelajar, karakteristik pengajar atau fasilitator, organisasi pembelajaran, karakteristik fisik pembelajaran (sarana, prasarana yang diperlukan untuk terjadinya proses pembelajaran). Pendekatan pembelajaran di daerah penelitian disajikan pada Tabel 30. Pendekatan pembelajaran di organisasi termasuk dalam kategori tinggi, artinya jawaban responden adalah persepsi mereka terhadap beberapa parameter pembelajaran : materi yang sesuai, metode pembelajaran, model komunikasi dan cara yang seharusnya digunakan selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Tidak ada perbedaan kategori atau nilai pembelajaran di organisasi antara Kabupaten Sragen dengan Kabupaten Sidoarjo. Materi Pembelajaran (X51) Materi pembelajaran secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sifat yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, dan sifat atau nilai yang disusun berdasarkan hasil identifikasi dan analisis kebutuhan pelatihan yang diharapkan (Fauzi, 2011). Fauzi lebih lanjut menyatakan bahwa isi materi pelatihan seharusnya bersumber dari empat aspek, yaitu: (1) kebutuhan masyarakat atau pengguna produk; (2) keinginan lembaga atau organisasi untuk memperpendek kesenjangan kompetensi dalam mencapai tujuan lembaga; (3) kebutuhan individu yang bertugas sebagai pelaksana maupun kebutuhan pimpinan yang mengalami kesenjangan kompetensi, dan (4) ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Keempat sumber pengembangan materi tersebut digunakan dalam proporsi yang seimbang, meskipun dapat juga salah satu sumber mendapatkan prioritas daripada sumber yang lainnya.
169
Tabel 30 Pendekatan pembelajaran di organisasi (X5) Variabel yang diukur Pendekatan pembelajaran (X5)
Kategori
Sragen n % Rendah 25,00-43,75 0 0 Sedang 43,76-62,51 0 0 Tinggi 62,52-81,39 25 58,14 Sangat tinggi 81,40-100,03 18 41,86 Rataan skor 81,21 Kategori tinggi Materi (X51) Rendah 8,00-13,99 0 0 Sedang 14,00-19,99 0 0 Tinggi 20,00-25,99 29 67,44 Sangat tinggi 26,00-32,00 14 32,56 Rataan skor 25,67 Kategori tinggi Metode (X52) Rendah 7,00 – 12,25 0 0 Sedang 12,26 – 17,51 2 4,65 Tinggi 17,52 – 22,74 27 62,79 Sangat tinggi 22,75- 28,03 14 32,56 Rataan Skor 22,95 Kategori Sangat tinggi Model Rendah 4,00-6,99 0 0,00 Komunikasi Sedang 7,00-9,99 0 0,00 (X53) Tinggi 10,00 – 13,99 32 74,42 Sangat tinggi 14,00-16,00 11 25,58 Rataan Skor 12,42 Kategori tinggi Cara Belajar Rendah 6,00 – 9,99 0 0 (X54) Sedang 10,00- 14,99 0 0 Tinggi 15,00-19,99 18 41,86 Sangat tinggi 20,00 – 24,00 25 58,14 Rataan Skor 20,16 Kategori Sangat tinggi Keterangan : n Sragen = 43; n Sidoarjo = 53; n total = 96
Sidoarjo n % 0 0 3 5,66 46 86,79 4 7,55 73,38 tinggi 2 3,77 2 3,77 46 86,79 3 5,67 23,00 tinggi 0 0,00 8 15,09 39 73,58 6 11,32 20,09 tinggi 0 0,00 10 18,87 37 69,81 6 11,32 11,91 tinggi 0 0 6 11,32 36 67,92 11 20,76 18,38 tinggi
Total n 0 3 71 22
2 2 75 17
0 10 68 20
0 10 69 17
0 6 54 36
% 0,00 3,13 73,96 22,96 76,89 tinggi 2,08 2,08 78,13 17,71 24,20 tinggi 0,00 10,75 70,97 21,51 21,38 tinggi 0,00 10,42 71,87 17,71 12,14 tinggi 0 6,25 56,25 37,50 19,18 tinggi
Materi pembelajaran harus diajarkan atau disampaikan dalam kegiatan pembelajaran. Ditinjau dari pihak pembelajar, materi pembelajaran tersebut dipelajari pembelajar untuk mencapai standar kompetensi tertentu sehingga menghasilkan output dari kegiatan pembelajaran yang diinginkan. Tolok ukur keberhasilan pembelajar mengikuti kegiatan pembelajaran diukur melalui penilaian dengan menggunakan instrumen penilaian yang disusun berdasarkan indikator pencapaian belajar yang diinginkan. Pada penelitian ini menyoroti ketersediaan materi pembelajaran yang diperlukan pegawai dari sisi jumlah yang memadai, materi yang bervariasi komposisinya dan sesuai dengan kebutuhan pegawai. Materi tersebut
dapat
berupa CD atau soft copy, handout, buku panduan, atau buklet-buklet yang disediakan. Selain itu, kemudahan materi tersebut ditemukan ketika pegawai
170
memerlukannya, khususnya materi SMM ISO 9001 yang bukan hanya berbentuk dokumen standar acuan ISO atau SNI. Persepsi responden terhadap ketersediaan materi pembelajaran dalam kategori tinggi dan sangat tinggi, yakni 92 orang atau 95,84% menginginkan tersedianya materi dalam jumlah yang cukup, tersedia dalam berbagai tampilan, mudah didapatkan dan khususnya untuk materi ISO 9001 mudah untuk dipahami. 4,16 % sisanya menyatakan sedang atau rendah saja. Tidak terdapat perbedaan yang cukup signifikan atas ketersediaan materi pembelajaran baik di Kabupaten Sragen maupun Kabupaten Sidoarjo. Metode (X52) Metode, adalah cara, yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan. Hal ini berlaku baik bagi guru (metode mengajar) maupun bagi siswa (metode belajar). Makin baik metode yang dipakai, makin efektif pula pencapaian tujuan (Sudjana,2007). Metode dan teknik mengajar merupakan strategi menyampaikan bahan ajar kepada peserta didik. Metode dan teknik yang dipergunakan dalam kegiatan belajar mengajar disesuaikan dengan rencana pencapaian
tujuan
pembelajaran
tersebut.
Yang
dimaksudkan
metode
pembelajaran organisasi dalam penelitian ini adalah khusus pada cara menyampaikan materi kepada responden atau pegawai yang dianggap lebih tepat dalam upaya organisasi melakukan internalisasi SMM ISO 9001. Metode yang tepat adalah metode yang mampu menarik minat pegawai untuk mempelajari SMM ISO 9001, memudahkan mereka memahami dan mengikuti pembelajaran, disampingitu teknik atau prosedur pembelajaran yang menjamin pegawai mencapai tujuan pembelajaran. Berbagai metode pembelajaran yang umumnya dipergunakan adalah metode pembelajaran ceramah, metode diskusi, serta metode belajar sambil bekerja (learning by doing). Metode pembelajaran ceramah adalah penjelasan secara lisan atas bahan pembelajaran kepada sekelompok pendengar untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu dalam jumlah yang relatif besar, seperti ditunjukkan oleh Mc.Leish (1976). Melalui ceramah, dapat dicapai beberapa tujuan, yang pada saat yang sama dengan
ceramah guru dapat mendorong
timbulnya inspirasi bagi pendengarnya. Gage dan Berliner (1981) menyatakan
171
metode ceramah cocok untuk digunakan dalam pembelajaran dengan ciri-ciri tertentu yakni untuk penyampaian bahan belajar yang berupa informasi dan jika bahan belajar tersebut sukar didapatkan. Metode pembelajaran diskusi adalah proses keterlibatan dua orang peserta atau lebih untuk berinteraksi saling bertukar pendapat, dan atau saling mempertahankan pendapat dalam pemecahan masalah sehingga didapatkan kesepakatan diantara mereka. Pembelajaran yang menggunakan metode diskusi merupakan pembelajaran yang bersifat interaktif (Gagne & Briggs. 1979). Sedangkan metode belajar sambil bekerja (learning by doing) adalah sebuah cara untuk menumbuhkan kemampuan melalui belajar dan langsung mempraktekannya dilapangan. Learning by doing meminta pengerahan fisik, otak dan hati pada materi yang akan dipelajari (Langi,2008) Metode
pembelajaran
yang
ditemukan
di
daerah
penelitian
mengungkapkan bahwa responden menginginkan metode pembelajaran yang dirancang fleksibel, dilakukan
secara bersama-sama antara pemberi dan
penerima, serta dengan cara menerapkan langsung ke dalam praktek sehari-hari. Sebanyak 70,97% atau 66 orang menyetujui metode pembelajaran tersebut dan 21,51% sangat setuju dengan metode pembelajaran yang dirancang sesuai dengan kebutuhan mereka. Dengan metode ini, diharapkan hal-hal yang tertulis pada SMM ISO 9001, khususnya yang sulit untuk dipahami dapat secara langsung dimengerti aplikasinya di lapangan. Hanya 10,75% menyatakan tidak memiliki banyak usulan atau respon terkait dengan metode mempelajari SMM ISO 9001 di organisasinya.
Model Komunikasi (X53) Model komunikasi pada penelitian ini diwujudkan oleh beberapa parameter : kesesuaian model komunikasi yang digunakan dalam pembelajaran di kelas, efektifitas
model komunikasi yang digunakan dalam meningkatkan
pemahaman pegawai terhadap bidang pekerjaannya, serta peran komunikasi dalam meningkatkan interaksi diantara pegawai yang sedang belajar di dalam kelas maupun antara pegawai dengan fasilitator.
172
Tanggapan responden terhadap model komunikasi yang dibangun di dalam pembelajaran di organisasi berada pada kategori tinggi dan sangat tinggi, yakni 69 orang atau 71,87% pada kategori tinggi dan 17,71% pada kategori sangat tinggi (17 orang). 10% sisanya menganggap bahwa komunikasi yang terjadi sedangsedang saja perannya. Dapat disimpulkan bahwa model komunikasi yang berjalan saat ini sesuai dengan kebutuhan mereka. Fasilitator mampu membangun komunikasi yang baik sehingga meningkatkan interaksi pegawai dalam proses memahami SMM ISO 9001 dimana komunikasi dua arah dibangun dengan baik pula. Model komunikasi yang ditemukan pada BP2T Kabupaten Sragen berada pada kategori tinggi dan sangat yakni seluruh responden menyatakan demikian (100%). Responden
menyatakan komunikasi sebagai salah satu faktor yang
mempengaruhi model pembelajaran di organisasi dapat berjalan dengan sangat baik. Sedangkan pada Kabupaten Sidoarjo, 43 orang atau 81,13% menganggap model komunikasi yang berjalan berada pada kategori tinggi dan sangat tinggi. Sisanya beranggapan bahwa model komunikasi yang dibangun selama pembelajaran termasuk dalam kategori sedang saja. Cara Belajar (X54) Belajar sebagai proses hubungan stimulus-respon-reinforcement. Para ahli kognitif berpendapat bahwa tingkahlaku seseorang tidak hanya dikontrol oleh hadiah (reward) dan peneguhan(reinforcement). Tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan dimana seseorang terlibat langsung dalam situasi tersebut dan memperoleh pencerahan untuk pemecahan masalah. Tidak ada dua individu yang memiliki cara belajar yang sama, tetapi cara belajar tidak ada hubungannya dengan kepandaian seseorang. Cara belajar seseorang hanya merupakan sebuah kecenderungan atau preferensi tertentu seseorang dalam belajar. Cara belajar seseorang berjalan seiring
dengan
pertumbuhannya
dan
preferensi
tersebut
mempengaruhi
capaiannya. Terkait dengan cara belajar individu, Seng (2003) menyatakan bahwa berbagai
faktor
berpengaruh
terhadap
cara-cara
seseorang belajar
dan
meningkatkan kemampuannya. Faktor tersebut diantaranya adalah lingkungan
173
sosial dimana ia tumbuh, kohesivitas anggota kelompok dan interaksi yang terjadi dalam komunitas belajar. Cara belajar setiap orang di organisasi dipengaruhi oleh berbagai stimulus yang diterimanya di tempat kerja. Stimulus tersebut dapat berupa kemudahan untuk memanfaatkan berbagai fasilitas organisasi yang ada, norma serta budaya organisasiyang berkembang. Cara belajar lebih sebagai sebuah metode pembelajaran individu tentang bagaimana mereka
menyusun strategi dalam
belajar sehingga mampu memahami, mengerti, dan mengaplikasikannya pada dunia yang nyata (Seng, 2003). Cara belajar di organisasi pada penelitian yang lebih mengarah kepada pembelajaran individu
dan
kelompok
(self-directed learning). Temuan di
lapangan menyatakan bahwa cara belajar tersebut berada pada kategori tinggi, yakni 54 orang atau 56,25% menyatakan bahwa cara belajar di organisasi sangat kondusif dan bermanfaat meningkatkan pemahaman mereka tehadap SMM ISO 9001. Sebanyak 37,50% menyatakan cara belajar mereka sangat sesuai dengan kebutuhan mereka untuk memahami dan menerapkan SMM ISO 9001. Sedangkan sisanya sebesar 6,25% menyatakan bahwa cara belajar di organisasi masuk pada kategori sedang. Responden di dua tempat penelitian sepakat bahwa cara belajar berada pada kategori tinggi, artinya cara belajar di organisasi (individu maupun berkelompok) sangat bermanfaat dan efektif dalam membantu mereka memahami ISO 9001. Sikap Pegawai Terhadap Penerapan SMM ISO 9001 (Y1) Sebagaimana disebutkan pada konseptualisasi dan definisi operasional penelitian, sikap dimaksudkan sebagai konsistensi pegawai dalam merespon konsep mutu, manajemen mutu, keterlibatan aktif pegawai dalam tim atau kelompok, di organisasi, sikap pegawai secara pribadi terhadap kebutuhan untuk mengembangkan diri (kompetensi dan kapasitasnya), serta sikap pegawai dalam menginternalisasikan sifat-sifat kepemimpinan kedalam diri pribadi sebagai individu. Sikap tersebut direfleksikan kepada tanggapan mereka baik positif maupun negatif terhadap penerapan SMM ISO 9001. Dari Tabel 31 tersebut terlihat bahwa seluruh pegawai memiliki sikap yang sangat positif terhadap diterapkannya SMM ISO 9001 dimana jawaban
174
responden termasuk ke dalam kategori tinggi dan sangat tinggi (98,96%). Artinya, tidak ada keraguan sama sekali untuk mendukung penerapan SMM ISO 9001 di organisasinya. Tidak ada perbedaan sikap baik di BP2T Sragen maupun di BP2T Sidoarjo. Sikap pegawai dalam mendukung penerapan SMM ISO 9001 ini dapat dilihat dari beberapa sub peubah yang mendukung, diantaranya: sikap pegawai khususnya terhadap mutu, sikap pegawai terkait dengan pelaksanaan prinsip keterlibatan setiap orang di organisasi atau partisipasi aktif setiap orang di organisasi (involvement of people), sikap pegawai terhadap prinsip continual improvement atau peningkatan berkelanjutan organisasi dan pengembangan diri individu, serta sikap pegawai terhadap berkembangnya nilai-nilai atau sifat-sifat kepemimpinan di setiap lini di organisasi, khususnya pada level individu pegawai. Tabel 31 Sikap responden terhadap penerapan SMM ISO 9001(Y1) Variabel yang diukur Sikap (Y1)
Kategori
30,00 – 52,99 53,00 – 74,99 75,00 – 96,99 97,00 –120,00 Rataan skor Kategori Terhadap Rendah 8,00-13,99 Mutu (Y11) Sedang 14,00- 19,99 tinggi 20,00- 25,99 Sangat tinggi 26,00- 32,00 Rataan skor Kategori Terhadap Rendah 8,00-13,99 Keterlibatan di Sedang 14,00- 19,99 organisasi tinggi 20,00- 25,99 (Y12) Sangat tinggi 26,00- 32,00 Rataan Skor Kategori Terhadap Rendah 7,00-12,99 pengembangan Sedang 13,00-17,99 diri (Y13) Tinggi 18,00-22,99 Sangat tinggi 23,00-28,00 Rataan Skor Kategori Internalisasi Rendah 7,00-12,99 nilai Sedang 13,00-17,99 kepemimpinan tinggi 18,00-22,99 (Y14) Sangat tinggi 23,00-28,00 Rataan Skor Kategori Sumber data: Pengolahan data lapangan, 2011 Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
Sragen n % 0 0,00 0 0,00 27 62,79 16 37,21 94,05 tinggi 0 0 0 0 12 27,91 31 72,09 25,49 tinggi 0 0,00 6 13,95 13 30,23 24 55,81 24.93 tinggi 0 0,00 10 23,26 30 69,77 3 6,97 18,86 tinggi 0 0 0 0 28 65,12 15 34,88 22,60 tinggi
Keterangan : n Sragen = 43; n Sidoarjo = 53; n total = 96
Sidoarjo n % 0 0,00 1 1,89 46 86,79 6 11,32 89,26 tinggi 0 0 1 1,89 26 49,06 26 49,06 27,65 Sangat tinggi 0 0,00 4 7,55 36 67,92 13 24,53 24,11 tinggi 5 9,43 16 30,19 29 54,72 3 5,66 17,32 sedang 0 0 1 1,89 30 56,60 22 41,51 22,34 tinggi
Total n 0 1 73 22
% 0,00 1,04 76,04 22,92 91,41 tinggi 0 0 1 1,04 38 39,58 57 59,38 26,46 Sangat tinggi 0 0,00 10 10,42 49 51,04 37 38,54 24,48 tinggi 5 5,21 26 27,08 59 61,46 6 6,25 18,01 tinggi 0 0 1 1,04 58 60,41 37 38,54 22,46 tinggi
175
Sikap Pegawai terhadap Mutu (Y11) Penerapan SMM ISO 9001 membutuhkan sebuah organisasi yang memiliki budaya tersendiri, demikian pula individu-individu didalamnya. Individu yang memiliki orientasi sikap terhadap mutu, baik mutu kinerja organisasi maupun mutu kinerja individu akan lebih mudah menerima dan menjalankan SMM ISO 9001 di organisasinya (Koo et al, 1998). Menurut Koo, kebanyakan organisasi yang menjalankan sertifikasi SMM ISO 9001 melupakan faktor sikap pegawai, dan sikap pegawai dianggap sebagai sesuatu yang sudah semestinya demikian (given). Sikap pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001 sangat tinggi, yang direpresentasikan oleh sebagian besar atau 57
orang (59,38%). Pegawai
menyatakan pemahaman mereka yang semakin baik terhadap apa yang dimaksudkan sebagai organisasi yang bermutu, memastikan bahwa organisasi memiliki sasaran mutu, dimana penerapan dan sertifikasi yang diterima organisasi telah mendorong semangat mereka untuk bekerja lebih baik lagi untuk masyarakat. Pegawai juga menyatakan tingginya minat untuk mempelajari SMM ISO 9001. Menurut responden, dengan adanya sistem, mekanisme dan prosedur yang ada telah membantu mereka melaksanakan tugas, membuat mereka bekerja lebih efisien tanpa harus setiap kali menunggu arahan pimpinan karena kejelasan tugas-tugas, batasan kewenangan yang mereka miliki. Sistem dan prosedur yang dibuat dipahami tidak hanya sebagai sebuah pemenuhan terhadap undang-undang atau peraturan lain yang mengikat, tetapi sistem dan prosedur yang dibangun telah membantu responden mempermudah pelaksanaan tugas. Mereka yakin bahwa penerapan SMM ISO 9001 ini telah meningkatkan kepuasan masyarakat dan tidak hanya menguntungkan segelintir orang di organisasi atau di masyarakat. Sikap keterlibatan aktif (involvement of people) di organisasi (Y12) Menunjukkan seberapa
tinggi keterlibatan pegawai dalam berbagai
kegiatan organisasi dan sosial yang berujung kepada keberdayaannya di dalam kelompok dan organisasi. Parameter yang dipergunakan untuk mengukur keterlibatan aktif terdiri dari frekuensi keikutsertaan pegawai dalam kegiatan kelompok, dalam kegiatan organisasi serta berperan langsung di dalam struktur organisasi tersebut.
176
Keterlibatan aktif setiap orang di organisasi adalah prinsip ketiga dari SMM ISO 9001, yakni terjadi perubahan paradigma dari yang hanya berkerja sesuai dengan ketentuan menjadi bekerja sama dengan lebih baik. Artinya terjadi peningkatan pemahaman dan rasa kepedulian terhadap bidang pekerjaan. Keterlibatan aktif setiap orang diantaranya adalah partisipasi dalam membuat disain, terlibat dalam menetapkan tujuan, menetapkan kewenangan dan tanggung jawab, menciptakan lingkungan yang kondusif, berpartisipasi dalam komunikasi internal serta mampu mengidentifikasi kompetensi yang diperlukan. Tabel 31 menunjukkan bahwa keterlibatan responden dalam berbagai kegiatan organisasi termasuk ke dalam kategori tinggi dan merata di dua daerah penelitian. Sebanyak 51,04% atau 49 orang responden menyatakan memiliki tingkat partisipasi yang tinggi dan 37 orang atau 38,54% terlibat secara langsung dalam proses manajemen mutu organisasi dengan tingkat keterlibatan yang sangat tinggi. Hanya 10,42% responden yang termasuk ke dalam kategori sedang-sedang saja. Artinya, kebebasan yang diberikan organisasi untuk dapat berpartisipasi mengemukakan pendapat, saran, keluhan belum dimanfaatkan secara optimal. Pengembangan diri (Y13) Pengembangan diri diterjemahkan dari prinsip ke-enam SMM ISO 9001 yakni ”peningkatan berkelanjutan atau continual improvement” (Hoyle, 2009) yang berlangsung di tingkat individu pegawai. Manajemen organisasi harus selalu berorientasi kepada kepuasan pelanggan. Oleh sebab itu, diperlukan berbagai upaya untuk selalu dapat memenuhi kepuasan pelanggan. Bagi organisasi sebagaimana
pemerintah
daerah,
pelanggan
utama
adalah
masyarakat.
Peningkatan mutu layanan menjadi tanggung jawab setiap orang di organisasi, bukan hanya tanggung jawab manajer mutu atau wakil manajemen atau pimpinan organisasi. Inti dari peningkatan berkelanjutan adalah kinerja, metode dan target yang semakin baik dan meningkat. Ketiga hal tersebut hanya dapat dicapai jika setiap orang selalu mencari jalan dan metode terbaik untuk menyelesaikan target dan memuaskan pelanggannya. Konsep tersebut mensyaratkan organisasi untuk memiliki program dalam rangka menjaga dan meningkatkan kompetensi pegawainya.
177
Pada penelitian ini parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat kedewasaan atau kesadaran pengembangan diri responden adalah waktu dan sumberdaya lain serta upaya
banyaknya
yang dicurahkan pegawai untuk
melakukan kegiatan pengembangan diri, kompetensi, kapasitas dan karirnya di organisasi. Parameter yang digunakan dalam penelitian ini adalah: waktu yang dialokasikan untuk mencari kesempatan mengikuti diklat, menyediakan anggaran pribadi sesuai kebutuhan, tidak menggantungkan diri kepada ketersediaan anggaran organisasi, serta menyediakan waktu yang cukup untuk belajar secara otodidak. Sebaran sikap responden terhadap keinginan mengembangkan diri disajikan pada Tabel 31 menyatakan bahwa sikap responden terkait dengan upaya pengembangan diri termasuk dalam kategori tinggi, hanya saja tidak merata di dua daerah penelitian. Responden di Kabupaten Sragen memiliki sikap positif terhadap pengembangan diri
dalam kategori tinggi, sedangkan responden di
Kabupaten Siidoarjo sikap positif mereka terhadap pengembangan diri hanya berada pada
kategori sedang. Secara keseluruhan terdapat 59 orang yang
memiliki sikap positif yang tinggi terhadap pengembangan diri, 26 orang berada pada kategori sedang saja dan 6 orang menganggap kesempatan mengembangkan diri sebagai sebuah kesempatan yang sangat baik dan sangat positif. Sebanyak 6.25% responden menganggap pengembangan diri sangat tinggi. Dengan pengembangan kemampuan dan kompetensi yang tnggi membuat mereka memiliki kesempatan untuk mendapatkan tugas dan peran yang jauh lebih menantang. Internalisasi nilaikepemimpinan (Y14) Teori Kesifatan (trait theory) menurut George R. Terry adalah sebagai berikut: 1) Kekuatan badaniah dan rokhaniah merupakan syarat pokok bagi pemimpin sehingga mereka mempunyai daya tahan untuk menghadapi berbagai rintangan. 2) Stabilitas emosi. Pemimpin dengan emosi yang stabil akan menunjang pencapaian lingkungan sosial yang rukun, damai, dan harmonis. 3) Pengetahuan tentang relasi insan. Pemimpin diharapkan memiliki pengetahuan tentang sifat, watak, dan perilaku bawahan agar bisa menilai kelebihan dan kelemahan bawahan yang disesuaikan dengan tugas-tugas yang akan diberikan
178
kepadanya. 4) Kejujuran. Pemimpin yang baik harus mempunyai kejujuran yang tinggi baik kepada diri sendiri maupun kepada bawahan. 5) Obyektif. Pertimbangan pemimpin harus obyektif, mencari bukti-bukti yang nyata dan sebab musabab dari suatu kejadian dan memberikan alasan yang rasional atas penolakannya. 6) Dorongan pribadi. Keinginan dan kesediaan untuk menjadi pemimpin harus muncul dari dalam hati agar mau ikhlas memberikan pelayanan dan pengabdian bagi kepentingan umum. 7) Keterampilan berkomunikasi. Pemimpin diharapkan mahir menulis, berbicara dan mendengar, mudah menangkapmaksud orang lain, mahir mengintegrasikan berbagai opini serta aliran yang berbeda-beda untuk mencapai kerukunan dan keseimbangan. 8) Kemampuan mengajar. Pemimpin diharapkan juga menjadi guru yang baik, yang membawa orang belajar pada sasaran-sasaran tertentu untuk menambah pengetahuan, keterampilan agar bawahan bisa mandiri, mau memberikan loyalitas dan partisipasinya. 9) Keterampilan sosial. Pemimpin diharapkan bersikap ramah, terbuka, mau menghargai pendapat orang lain, sehingga ia bisa memupuk kerjasama yang baik. 10) Kecakapan teknis atau kecakapan manajerial. Penguasaan teknis perlu dimiliki pimpinan agar tercapai efektifitas kerja dan kesejahteraan. Esensi dari sifat kepemimpinan adalah mengajak, mempersuasi orangorang untuk dapat bekerja bersama-sama mencapai suatu tujuan organisasi. Kepemimpinan sebagai penggerak, dinamisator dan koordinator sumber daya yang dimiliki organisasi. Seorang pemimpin dituntut untuk memiliki beberapa kapasitas dan kemampuan, diantaranya: kemampuan berbicara, menilai, mendengarkan, berempati, mandiri, memberikan solusi dan membantu memahami persoalan, serta memiliki kemampuan melayani, terbuka dan mudah bergaul (Kartono, 2006; Greenleaf, 1999). Dari sedemikian banyak sifat-sifat pemimpin yang diharapkan, penelitian ini menggunakan parameter sifat kepemimpinan yang dikembangkan oleh Geoge R. Terry tentang trait leadership. Parameter yang diambil meliputi kemampuan responden memahami esensi kepemimpinan dalam menggerakkan orang lain, kemampuan dan kecakapan teknisnya menjadikannya tempat untuk bertanya,
179
memiliki stabilitas emosi yang cukup baik terkait dengan hubungan antar teman, kemandirian, dan sebagainya. Tabel 31 menyajikan jawaban responden terkait dengan upaya-upaya internalisasi sifat kepemimpinan. Hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa internalisasi sifat kepemimpinan di dalam individu di organisasi termasuk ke dalam kategori tinggi. Angka tersebut merata di dua daerah penelitian. Sebagian besar responden baik di Sragen maupun Sidoarjo telah mampu melakukan internalisasi sifat-sifat kepemimpinan dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya, dimana mereka yang termasuk dalam kategori tinggi berjumlah 58 orang atau 60,41% dan mereka yang termasuk dalam kategori sangat tinggi sebesar 37 orang atau 38,54%. Dapat disimpulkan pegawai di dua daerah penelitian memiliki sifat dan sikap kemandirian yang tinggi, mampu memotivasi lingkungan kerja, menjadikan diri sebagai tempat untuk bertanya karena kemampuan teknis yang dimilikinya dan kemampuan tersebut merata di seluruh individu. Perilaku Pegawai dalam Pelayanan Publik (Y2) Sesuai dengan konsep yang digunakan dalam penelitian ini, yang dimaksudkan sebagai perilaku adalah respon atau reaksi seseorang yang tidak hanya berupa reaksi dan gerakan lahiriah atau fisik, tetapi juga pernyataanpernyataan verbal dan pengalaman subyektif (Schafer dan Tait dalam Taryoto, 1991). Perilaku oleh Ancok (1986) didefinisikan sebagai kegiatan yang sudah dilakukan oleh seseorang.
Perilaku pegawai dalam pelayanan publik adalah
reaksi, gerakan lahiriah atau fisik, pernyataan-pernyataan verbal dan pengalaman subyektif pegawai dalam memberikan pelayanan publik berupa jasa
kepada
masyarakat. Perilaku pegawai dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, umumnya faktor internal (dalam) dan faktor eksternal (luar). Kondisi pengaruh faktor luar akan mempengaruhi faktor di dalam, yang secara individual akan berbeda-beda. Perilaku pegawai atau aparat birokrasi yang diharapkan oleh masyarakat adalah perilaku aparat berbudaya melayani dan bukan perilaku aparat berbudaya kekuasaan. Pegawai pelayanan publik diharapkan bersifat
responsif, dapat dipercaya (reliable), artinya,
180
informasi dan layanan yang diberikan benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, serta memiliki etika layanan yang baik. Pemberian layanan yang beretika dimaksudkan bahwa setiap pemberi layanan mampu menunjukkan perhatian khusus atau personal kepada masyarakat yang sedang bermasalah, memberikan rasa berkeadilan, ramah dan sopan. Aparat birokrasi yang berada pada unit-unit layanan yang langsung kepada masyarakat adalah representasi dan simbol birokrasi pelayanan. Apapun yang mereka lakukan ketika berinteraksi dengan masyarakat akan sangat menentukan persepsi dan penilaian masyarakat terhadap birokrasi pelayanan yang mereka terima (Dwiyanto, 2006). Oleh karena itu Suryono (2011) menganggap perlunya seorang administrator publik yang selalu tanggap dan profesional dalam menjalankan tugasnya. Profesional dalam mendasarkan keputusannya pada prinsip-prinsip umum rasional dan obyektif, dan berperilaku sesuai dengan kode etik profesinya. Tabel 32 menyajikan tanggapan responden atas perilaku mereka dalam melayani masyarakat.
Tabel 32 Tanggapan responden terhadap perilaku pelayanan publik (Y2) Kategori Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
17,00 – 29,75 29,76--42,51 42,52--55,27 55,28--68,03
Sragen n % 0 0,00 0 0,00 5 11,63 38 88,37
jumlah 43 100,00 Rataan skor 59,30 Kategori Sangat tinggi Sumber: Pengolahan data lapangan, 2011 Dari Tabel 32 tersebut menyatakan
Sidoarjo n % 0 0,00 1 1,89 23 43,40 29 54,71
Total n % 0 0,00 1 1,04 28 29,17 67 69,79
53
96
100,00 56,85 Sangat tinggi
100,00 57,95 Sangat tinggi
bahwa perilaku pelayanan publik
pegawai yang direpresentasikan oleh tiga sub peubah: responsif, handal dan beretika pelayanan berada pada kategori tinggi (29,17%) dan sangat tinggi (69,79%). Perilaku yang demikian ini merata di dua daerah penelitian. Responden beranggapan bahwa mereka memiliki tanggung jawab yang besar untuk menyelesaikan tugas pelayanan sesuai dengan tenggat waktu yang dijanjikan. Selain itu, responden berusaha untuk selalu melayani dengan keramahan dan
181
membuat nyaman masyarakat selama mengurus dokumen perijinan yang diinginkan. Tanggapan 99 orang responden berada pada kategori tinggi dan sangat tinggi terhadap pelayanan masyarakat. Responden menyatakan bahwa mereka sadar akan tugas dan tanggap terhadap keluhan pemohon perijinan.Responden mengaku menguasai peraturan yang berhubungan dengan permohonan perijinan dan trampil menyelesaikannya. Hanya sebagian kecil, yakni 1 orang atau 1,04% yang memiliki tingkat responsifitas yang sedang. Terkait dengan temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa responden atau pegawai BP2T Kabupaten Sragen dan Sidoarjo sangat responsif ketika berhadapan dan melayani masyarakat yang memerlukannya. Ketika ditelusuri lebih lanjut, responden yang memberikan tanggapan pada kategori sedang (1,04%) menyatakan bahwa respondentersebut tidak memiliki tugas dan fungsi layanan langsung atau berhadapan langsung dengan masyarakat (bukan front line staff). Meskipun demikian, mereka menguasai peraturan yang berhubungan dengan permohonan perijinan dan terampil menyelesaikannya sehingga mereka menjadi tenaga pengganti yang siap setiap saat jika diperlukan. Perilaku Responsif (Y21) Responsif menurut KBBI diartikan sebagai cepat merespon, bersifat menanggapi, tergugah hati, bersifat memberi tanggapan atau tidak masa bodoh. Perilaku responsif dapat didefinisikan sebagai reaksi, gerakan lahiriah atau fisik, pernyataan verbal dan pengalaman subyektif pegawai dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat secara cepat dan penuh perhatian. Tanggapan responden atas perilaku responsif dalam melayani masyarakat disajikan pada Tabel 33. Tabel 33 Sebaran responden atas perilaku responsif (Y21) Kategori Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
5,00 – 8,75 8,76 – 12,51 12,52 – 16,27 16,28 – 20,03
Sragen n % 0 0,00 1 2,32 26 60,47 16 37,21
jumlah 43 100,00 Rataan skor 16,40 Kategori Sangat tinggi Sumber: Pengolahan data lapangan, 2011
Sidoarjo n % 0 0,00 1 1,89 36 67,92 16 30,19
n 0 2 62 32
% 0,00 2,08 64,58 33,34
53
96
100,00 16,21 Sangat tinggi
100,00 16,06 Sangat tinggi
Total
182
Pegawai BP2T sebagai responden penelitian ini memiliki perilaku yang sangat responsif terhadap kegiatan pelayanan perijinan dan non-perijinan yang diberikan kepada masyarakat. Sebanyak 98 % lebih responden berada pada kategori perilaku responsif yang tinggi dan sangat tinggi atau sangat responsif. Hanya sebagian kecil saja (2,08%) yang berada pada kategori sedang. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan dari ke dua daerah penelitian.
Perilaku yang dapat diandalkan (reliable) (Y22) Sebuah perilaku yang dapat diandalkan (reliable) adalah sebuah tindakan, pernyataan verbal responden yang dapat memberi jaminan bahwa jasa pelayanan publik yang diinginkan oleh masyarakat dapat diterima sesuai dengan janji yang telah diikrarkan pada piagam pelayanan yang ada. Perilaku responden dalam memberi pelayanan dapat dilihat secara fisik ketika mereka melayani dengan ketrampilan
psikomotoriknya,
yakni
mengoperasikan
berbagai
peralatan
pendukung yang digunakan dalam memberikan jasa. Beberapa parameter yang digunakan untuk melihat kehandalan pemberi layanan (service provider) kepada penerima layanan (masyarakat), diantaranya adalah kemauan responden dalam memberikan pelayanan sesuai prosedur yang berlaku, jujur dalam memberikan keterangan, tidak berbelit-belit, memperhatikan proses pelayanan termasuk waktu pelayanan yang dipergunakan, memberikan perhatian yang sama (adil) kepada seluruh masyarakat yang memerlukan. Responden diharapkan memiliki pengetahuan dan ketrampilan mengoperasikan peralatan yang digunakan (dokumen, alat tulis, dan peralatan penunjang lainnya) dengan meyakinkan dengan kesalahan yang sangat minimal. Terpenuhinya parameter tersebut akan membuat penerima layanan mendapatkan keyakinan (assurance) bahwa mereka
akan mendapatkan pelayanan sesuai dengan
harapannya (Riduwan,2009). Tabel 34 menyajikan sebaran perilaku responden yang dapat diandalkan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
183
Tabel 34 Sebaran responden terkait perilaku handal (Y22) Kategori Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
6,00-9,99 10,00-14,99 15,00-18,99 19,00-24,00
Sragen n % 0 0,00 0 0,00 4 9,31 39 90,69
jumlah 43 100,00 Rataan skor 16,40 Kategori Sangat tinggi Sumber: Pengolahan data lapangan, 2011
Sidoarjo n % 0 0,00 1 1,89 8 15,09 44 83,02
n 0 1 12 83
53
96
100,00 16,06 Sangat tinggi
Total % 0,00 1,04 12,50 86,46
100,00 16,21 Sangat tinggi
Temuan di lapangan mengindikasikan bahwa perilaku responden yang dapat diandalkan masyarakat sudah demikian merata di dua tempat penelitian, Sragen dan Sidoarjo. Ini terbukti dari 82 orang atau 86,46% responden sepakat bahwa mereka telah mampu merespon tuntutan penerima layanan untuk berperilaku yang dapat menimbulkan rasa kenyamanan dan kepercayaan masyarakat, yakni termasuk pada kategori yang sangat tinggi. Sebanyak 12 orang menyatakan mereka memiliki keyakinan mampu memberikan pelayanan yang memuaskan masyarakat dalam kategori yang tinggi dan hanya satu orang atau 1,04% yang masuk ke dalam kategori sedang. Observasi yang dilakukan dilapangan juga telah memberi keyakinan bahwa para petugas yang ditempatkan dibagian depan (front line staff, customer service), yang berhubungan langsung dengan masyarakat benar-benar menguasai bidang tugasnya, cepat merespon dan memberikan penjelasan yang demikian rinci tanpa melihat ulang persyaratan, dokumen dan mekanisme yang seharusnya ditempuh
penerima layanan. Menurut pimpinan BP2T, petugas front line
diharuskan mampu memahami dan
menyampaikan keseluruhan persyaratan
perijinan yang berlaku kepada masyarakat yang datang ke kantor BP2T. Etika Pelayanan (Y23) Etika menurut Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI) adalah apa yang dianggap baik dan buruk tentang hak dan kewajiban moral.Integritas dan etika dalam
pelayanan
publik
berkaitan
dengan
komitmen
kejujuran
untuk
melaksanakan segala tugas dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Etika menurut Rohr dan Cooper sebagaimana dikutip Keban (1994) adalah nilai-nilai keadilan, persamaan, kebebasan sebagai dasar pengambilan
184
keputusan terhadap berbagai alternatif kebijakan dalam melaksanakan tugas. Etika pelayanan tidak cukup hanya berdasarkan kepada nilai ekonomis dan efisiensi, tetapi perlu memasukkan nilai-nilai kesetaraan sosial (social equity) bagi masyarakat maupun individu. Standar etika, oleh karenanya bukan sesuatu yang statis tetapi berkembang dari waktu ke waktu sesuai standar perilaku yang merefleksikan nilai-nilai dasar masyarakat yang dilayani. Sopan santun, ramah tamah, melayani dengan baik, bertindak adil kepada setiap pengguna layanan adalah harapan masyarakat terhadap pelayanan publik yang semestinya ditawarkan oleh Pemerintah Daerah. Tabel 35 menyajikan sebaran
etika
pelayanan yang dipahami dan dilakukan responden dalam melayani masyarakat.
Tabel 35 Tanggapan responden tentang perilaku beretika pelayanan (Y23) Kategori
Sragen % 0 0,00 0 0,00 9 20,93 34 79,07
n Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
6,00-9,99 10,00-14,99 15,00-18,99 19,00-24,00 jumlah Rataan skor Kategori
43
100,00 20,30 Sangat tinggi
Sidoarjo % 0 0,00 3 5,66 24 45,28 26 49,06
n
53
100,00 19,21 Sangat tinggi
Total n 0 3 33 60
% 0,00 3,12 34,38 62,50
96
100,00 19,70 Sangat tinggi
Sumber: Pengolahan data lapangan, 2011
Secara menyeluruh etika pelayanan berada pada kategori sangat tinggi dengan rataan skor 19,70 dari nilai tertinggi 24,00. Etika pelayanan yang dimiliki responden berada pada kategori yang tinggi (34,38%) dan sangat tinggi (62,50%). Artinya lebih banyak responden memiliki kesadaran untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan perilaku yang
tanggap terhadap kebutuhan
masyarakat, sopan, ramah, bersahabat, jujur, melayani dengan sepenuh hati, bertindak adil, serta berusaha membuat masyarakat penerima layanan merasa dihormati dan nyaman ketika mencari pelayanan jasa yang mereka butuhkan. 93 orang menyatakan telah memiliki etika pelayanan sebagaimana yang diharapkan masyarakat. 3,12% sisanya atau 3 orang responden termasuk ke dalam kategori beretika sedang. Tidak ada satupun pegawai yang memiliki etika pelayanan yang rendah.
185
Responden berperilaku sebagaimana yang diharapkan ketika berhadapan atau melayani masyarakat yang datang. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa responden yang menyatakan tidak pernah berperilaku sebagaimana diharapkan masyarakat karena memang tidak memiliki tugas yang berhubungan langsung dengan masyarakat, sehingga tidak ada kesempatan untuk memberikan pelayanan. Perilaku pelayanan responden yang beretika, responsif dan handal terbukti berkorelasi secara baik dengan Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) di dua daerah penelitian. BP2T Kabupaten Sragen memiliki IKM yang sangat memuaskan (diatas 83%) dan BP2T Kabupaten Sidoarjo memiliki IKM yang sangat baik (80%) dan mengupayakan untuk semakin meningkat setiap tahunnya.
Pendorong implementasi ISO 9001 Adopsi sebuah inovasi khususnya di organisasi publik atau di organisasi pemerintah sangat dipengaruhi oleh keputusan politik pimpinan organisasi tersebut (Afuah, 1998). Hal ini terkait dengan komitmen pimpinan dalam menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk mengadopsi inovasi tersebut. Jawaban responden tentang pihak-pihakyang lebih berkompeten dalam mendorong diterapkannya SMM ISO 9001 disajikan pada Tabel 36. Tabel 36 Pendorong dilaksanakannya SMM ISO 9001 di BP2T Ranking
Sragen
Sidoarjo
1
Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah
2
Pemerintah Pusat
Pegawai kantor
3
Industri
Masyarakat luas
4
Masyarakat luas
Pemerintah Pusat
5
Pegawai kantor
Industri
6
Pihak pemberi sertifikat
Pihak pemberi sertifikat
Sumber : Pengolahan data lapangan, 2011
Bagi responden di Kabupaten Sragen maupun Sidoarjo, Pemerintah Daerah adalah otoritas pertama yang bertanggung jawab terhadap keputusan penerapan SMM ISO 9001 di unit-unit pelayanan publik sebagaimana BP2T karena merekalah yang berhubungan langsung dengan masyarakat. BP2T diharapkan mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat secara adil, transparan, dan responsif. Jawaban responden terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap implementasi SMM ISO 9001 ternyata terdapat
186
perbedaan. Penanggung jawab penerapan SMM ISO 9001 di urutan kedua menurut responden di Kabupaten Sragen adalah Pemerintah Pusat, sedangkan responden di Kabupaten Sidoarjo memilih pegawai kantor yang bersangkutan sebagai penanggung jawab diterapkannya SMM ISO 9001. Ini menunjukkan perbedaan tingkat pemahaman dan kedewasaan responden di BP2T Kabupaten Sidoarjo. Tanggung jawab atas mutu dan kinerja berada pada tanggung jawab individu dan kantor dimana mereka berada. Pihak pemberi sertifikat atau LSSM pemberi sertifikat disepakati sebagai pihak terakhir yang bertanggung jawab mendorong diterapkannya SMM ISO 9001.
Kendala dalam penerapan SMM ISO 9001 Berbagai kendala djumpai pada penerapan SMM ISO 9001 di Kantor BP2T. Kendala tersebut berasal dari dalam maupun dari luar organisasi. Menurut responden, komitmen pimpinan merupakan faktor paling berat dan utama yang harus ada di lapangan.Kabupaten Sidoarjo menganggap bahwa komitmen pimpinan tertinggi Pemerintah Kabupaten beserta pimpinan daerah lainnya (DPRD, Sekretariat Daerah, Muspida) sangat penting untuk keberlangsungan penerapan SMM ISO 9001. Komitmen pimpinan tersebut yang terus menerus diperjuangkan oleh pimpinan BP2T sehingga keberlangsungan penerapan SMM ISO 9001 tetap terlaksana. Jajaran BP2T Kabupaten Sidoarjo telah mendapatkan komitmen pimpinan tertinggi (Bupati) untuk melanjutkan penerapan SMM ISO 9001. Responden di Kabupaten Sragen menyatakan bahwa masyarakat yang tidak mau tahu dengan sistem, prosedur, dan mekanisme yang dibangun berdasarkan SMM ISO 9001 merupakan kendala terbesar yang dihadapi. Masyarakat terbiasa dengan sistem yang ada, dimana mereka bisa kapan saja meminta jasa pelayanan publik tanpa mengikuti sistem dan prosedur yang ada. Perilaku yang sulit berubah, tidak saja di masyarakat tetapi pada individu pegawai menjadi kendala kedua terbesar dalam menerapkan SMM ISO 9001. Tabel 37 memberikan gambaran jenis kendala yang dihadapi BP2T dalam menerapkan SMM ISO 9001.
187
Responden di dua daerah penelitian sepakat bahwa biaya merupakan kendala terakhir yang perlu diperhitungkan. Artinya, bahwa biaya bukan satusatunya kendala terbesar dalam menerapkan SMM ISO 9001. Biaya masih dapat dicarikan jalan keluar lain untuk mensiasatinya. Tabel 37 Kendala dalam menerapkan SMM ISO 9001 Ranking
BP2T Kabupaten Sragen
BP2T Kabupaten Sidoarjo
1
Masyarakat yang tidak mau tahu dengan sistem, prosedur dan mekanisme yang ada Perilaku yang sulit berubah Penyamaan persepsi tentang klausul atau ketentuan dalam SMM ISO 9001 Pengetahuan dan pemahaman tentang ISO 9001
Jika Komitmen Pimpinan tidak ada
2 3
4
Perilaku yang sulit berubah Pengetahuan dan pemahaman tentang ISO 9001
Masyarakat yang tidak mau tahu dengan sistem, prosedur dan mekanisme yang ada 5 Kerjasama antar unit atau Kerjasama antar unit atau kelompok kelompok 6 Komitmen pimpinan Penyamaan persepsi tentang klausul atau ketentuan dalam SMM ISO 9001 7 Tidak adanya biaya tambahan yang Tidak adanya biaya tambahan cukup yang cukup Sumber : Pengolahan data lapangan, 2011
Identifikasi Faktor yang Mempengaruhi Sikap Pegawai terhadap Penerapan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 dan Perilaku Pegawai pada Pelayanan Publik
Analisis faktor yang mempengaruhi sikap pegawai terhadap penerapan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 dan perilaku pegawai pada pelayanan publik di BP2T Kabupaten Sragen dan Kabupaten Sidoarjo menggunakan Analisa Jalur (path analysis) dengan regresi linier dan menggunakan bantuan program SPSS 16 dan
menggunakan metode backward. Metode ini akan mengeluarkan peubah
atau sub peubah yang tidak layak masuk kedalam regresi satu demi satu, dengan kriteria jika nilai t< 2,11 dan p> 0,05, maka sub peubah tersebut dikeluarkan. Analisis uji regresi digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian. Persamaan linear digambarkan oleh pola hubungan peubah bebas (X) terhadap
188
peubah tidak bebas (Y) dengan menggunakan taraf nyata α = 0,05. Kriteria ujinya adalah jika t hitung > t tabel, maka H1 diterima. Sebaliknya jika t hitung ≤ t tabel , maka H0 diterima. Jika diketahui nilai t tabel (1,96), n= 96 pada α = 0,05, pernyataan hipotesa kerja dalam penelitian ini adalah: 1. Sikap pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001 dipengaruhi secara bersama-sama dan nyata oleh kepemimpinan, motivasi, interaksi kelompok, karakteristik individu, dan pendekatan pembelajaran di organisasi. 2. Perilaku pegawai terhadap pelayanan publik dipengaruhi secara bersamasama dan nyata oleh
sikap pegawai terhadap SMM ISO 9001,
kepemimpinan, motivasi, interaksi kelompok, karakteristik individu, dan pendekatan pembelajaran diorganisasi.
Hasil statistik uji t terhadap peubah-peubah model yang dikorelasikan menunjukkan nilai koefisien regresi beta (β) sebagai berikut : 1. Pengaruh faktor peubah kepemimpinan, motivasi, interaksi kelompok, karakteristik individu, dan pendekatan pembelajaran di organisasi dikorelasikan dengan faktor peubah sikap pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001 dimana H1 diterima jika nilai F hitung lebih besar dari F tabel dan t hitung lebih besar dari t tabel dengan taraf α = 0,05. 2. Sikap pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001, kepemimpinan, motivasi, interaksi kelompok, karakteristik individu, dan pendekatan pembelajaran di organisasi dikorelasikan dengan faktor peubah perilaku pegawai pada pelayanan publik. H1 diterima jika
nilai F hitung lebih
besar dari F tabel dan t hitung lebih besar dari t tabel dengan taraf α = 0,05. Setelah melewati 14 tahapan, terlihat beberapa sub peubah yang dikeluarkan (removed) dari persamaan dan terlihat bahwa sub peubah bebas yang layak dimasukkan kedalam model regresi adalah sub peubah: X12, X42, X51, X53, dan X54. Hasil penelitian menunjukan bahwa sikap pegawai (Y1) terhadap penerapan sistem manajemen mutu ISO 9001 tidak dipengaruhi secara bersama-sama oleh kepemimpinan (X1), motivasi (X2), interaksi kelompok (X3), karakteristik
189
individu (X4), dan pendekatan pembelajaran di organisasi (X5). Hal itu dibuktikan dengan nilai F hitung yang lebih besar dari Ftabel dengan nilai signifikan lebih besar dari 0.05. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa peubah sikap pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001 tidak dipengaruhi secara nyata dan
bersama-sama
oleh
kepemimpinan,
motivasi,
interaksi
kelompok,
karakteristik individu, dan pendekatan pembelajaran di organisasi, tetapi hanya dipengaruhi oleh sub peubah komitmen pimpinan, latar belakang pendidikan formal pegawai, materi pembelajaran, model komunikasi serta cara belajar di organisasi. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh pengujian hipotesis yang kedua dimana perilaku pegawai terhadap pemberian pelayanan publik tidak dipengaruhi secara bersama-sama dan nyata oleh
sikap pegawai terhadap SMM ISO 9001,
kepemimpinan, motivasi, interaksi kelompok, karakteristik individu, dan pendekatan pembelajaran diorganisasi. Berdasarkan hasil analisis regresi, nilai F hitung untuk pengujian hipotesis kedua memiliki nilai yang lebih kecil dari F tabel dan nilai signifikan yang lebih besar dari 0,05. Meskipun kedua pengujian hipotesis penelitian ini hanya dipengaruhi oleh sebagian peubah dan sub peubah yang ada, akan tetapi penelitian ini dapat dikembangkan dengan melihat peran dari faktor-faktor tersebut secara parsial dalam mempengaruhi sikap dan perilaku pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001 dengan cara menghilangkan indikator peubah yang tidak valid (Kusnendi, 2008). Berdasarkan hasil analisis jalur (path analysis) maka diagram jalur pada model sikap pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001 dan perilakunya pada pelayanan publik ditunjukkan pada Gambar 15. Hasil analisis jalur menunjukkan bahwa sikap pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001 dipengaruhi langsung secara nyata oleh : (1) kepemimpinan, khususnya
yang direpresentasikan oleh komitmen pimpinan (X12), (2)
karakteristik individu, khususnya pendidikan formal pegawai (X42), (3) model pembelajaran di organisasi, khususnya materi pembelajaran (X51), model komunikasi (X53), dan cara belajar (X54). Peubah kepemimpinan, khususnya komitmen (X12) berhubungan negatif yang nyata terhadap sikap pegawai pada penerapan SMM ISO 9001. Peubah karakteristik individu, khususnya pendidikan
190
formal serta pendekatan pembelajaran di organisasi memberikan hubungan pengaruh positif dan nyata terhadap sikap positif pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001. Pengaruh langsung terbesar berasal dari materi pembelajaran yakni 0.463, diikuti oleh cara belajar sebesar 0.448. Adapun pengaruh langsung terkecil berasal dari pendidikan formal pegawai (0.133). Persamaan regresi (persamaan jalur) dapat dituliskan sebagai berikut: Y1 = - 0.156X12 +0.133X42 + 0.463 X51 + 0.193 X53 + 0.448 X54 + 0.532 €1; R2 = 0.717 (Persamaan 1) Y2 = - 0.265X21 +0.542X22 +0.351X13 – 0.380X51 + 0.303X52 +0.202X31 – 0.305X32 +0.247X45 + 0.367Y1 + 0.669 €2; R2 = 0.552 (Persamaan 2)
Diagram lintasan (jalur) sikap pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001 dan perilaku pegawai pada pelayanan publik disajikan pada Gambar 15.
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Pegawai terhadap Penerapan SMM ISO 9001 dan Perilaku Pegawai Pada Pelayanan Publik
Pembahasan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap pegawai terhadap implementasi SMM ISO 9001 dan perilaku pegawai pada pelayanan publik merujuk kepada temuan sebagaimana disajikan pada Gambar 15,
ditunjang
dengan berbagai informasi dan temuan lapangan, dilengkapi dengan teori yang digunakan untuk mendukung penelitian serta berbagai temuan penelitian lain yang relevan.
191
X13
X21 X12 -0.265 0.532 -.156
€1
0.351
X22
X42 0.542
0.133
X54
Y1
0.448
€2
0.367
Y2 0.193
X53
0.463 -0.380 0.303
X51 X52
0.202 -0.305
0.247
X31 X32
X45
Gambar 15 Diagram lintasan (jalur) sikap dan perilaku pegawai terhadap Penerapan SMM ISO 9001 Keterangan: X12 : Komitmen pimpinan
X13 : Komunikasi Pimpinan
X42 : Pendidikan Formal
X21 : Motivasi Ekstrinsik
X51 : Materi Pembelajaran
X22 : Motivasi Intrinsik
X53 : Model Komunikasi
X31 : Interaksi Antar Kelompok
X54 : Cara Belajar
X32 : Interaksi Anggota Intra Kelompok
Y1 : Sikap Pegawai
X45 : Kekosmopolitan X52 : Metode Pembelajaran Y2 : Perilaku Pegawai
0.669
192
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Pegawai terhadap Penerapan SMM ISO 9001 Berdasarkan hasil uji statistik ditemukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi sikap pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001 adalah: 1. Pendekatan pembelajaran di organisasi, yakni :materi pembelajaran, cara belajar, dan model komunikasi. 2. Kepemimpinan, khususnya komitmen pimpinan 3. Karakteristik individu, khususnya latar belakang pendidikan formal X12 X42 -0.156 0.133
X51
0.463
X53
16
€10.532
0.448
X54 Gambar
Y1
0.193
Diagram jalur faktor-faktor yang mempengaruhi sikap
pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001 Keterangan : X12
: Komitmen pimpinan
X42
: Pendidikan formal;
X51 : Materi pembelajaran
X53
: Model komunikasi;
X54 : Cara belajar
Persamaan struktural faktor-faktor yang mempengaruhi sikap pegawai terhadap implementasi SMM ISO 9001 adalah sebagai berikut: Y1 = - 0.156 X12 + 0.133 X42 + 0.463 X51 + 0.193 X53 + 0.448 X54 + 0.532€1; R2 = 0.717 (Persamaan 1) Gambar 16 menunjukan bahwa sikap pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001 dipengaruhi secara bersama-sama oleh 5 sub peubah yaitu komitmen
193
(X12), pendidikan formal (X42), materi pembelajaran (X51),cara belajar (X54), dan model komunikasi (X53) yang dibuktikan dengan nilai F hitung (45,715) yang lebih besar dari dengan F tabel (2,32). Selain itu, kelima peubah tersebut juga menunjukkan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,717 pada Y1. Artinya kelima peubah
tersebut mempunyai pengaruh sebesar 71,7 persen terhadap sikap
pegawai pada penerapan SMM ISO 9001 dan sisanya sebesar 28,3 persen dipengaruhi oleh peubah lain yang tidak diteliti pada penelitian ini. Jika dilihat secara parsial pengaruh kelima peubah tersebut maka komitmen berpengaruh secara nyata (-2,370) dan negatif (-0,156); pendidikan formal berpengaruh nyata (2,369) dan positif (0,133); materi pembelajaran
berpengaruh secara nyata
(6,561) dan positif (0,448), model komunikasi berpengaruh secara nyata (2,923) dan positif (0,193), dan cara belajar berpengaruh secara nyata (6,433) dan positif (0,463) pada sikap pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001. Dari kelima peubah tersebut ternyata X51(materi pembelajaran) mempunyai pengaruh terbesar terhadap sikap pegawai dalam penerapan SMM ISO 9001 karena X51 mempunyai nilai Standardized Coeffficients Beta paling besar dibandingkan baik dengan komitmen pimpinan, pendidikan formal pegawai, cara belajar pegawai, maupun model komunikasi yang berlangsung saat pembelajaran. Hasil analisis regresi sikap pegawai pada penerapan SMM ISO 9001 disajikan pada Tabel 38. Tabel 38 Hasil analisis regresi sikap pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001 (n=96)
1
Peubah -peubah Koefisie t Nilai α bebas (independen) n hitung Korelasi Komitmen pimpinan -0.156* -2,370 0,020
2
Pendidikan formal
3
No
0.133*
2,369
0,020
Materipembelajaran
0.463**
6,561
0,000
4
Model komunikasi
0.193**
2,923
0,004
5
Cara belajar
0.448**
6,433
0,000
R2
71.7 0
Hasil
Berpengaruh nyata Berpengaruh nyata Berpengaruh sangat nyata Berpengaruh sangat nyata Berpengaruh sangat nyata
*diperoleh jika t hitung lebih besar dari t tabel atau nilai signifikan lebih kecil dari α (0,05) ; ** diperoleh jika t hitung lebih besar dari t tabel atau nilai signifikansi lebih kecil dari α= 0.01;t hitung merupakan nilai absolut.
194
1. Materi Pembelajaran Faktor pertama yang berpengaruh terhadap sikap pegawai pada penerapan SMM ISO 9001 adalah ketersediaan materi pembelajaran yang sesuai baik jumlah dan jenisnya. Dari temuan ini dapat disimpulkan bahwa tersedianya materi pembelajaran yang sesuai, baik dari segi jumlah, jenis, dan kesesuaiannya dengan tujuan pembelajaran di organisasi akan semakin meningkatkan sikap positif pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001. Materi tersebut berupa panduan, pedoman standar
SMM 9001 yang
diterapkan di organisasi, dan materi-materi pembelajaran lainnya yang terkait dengan pengembangan kapasitas dan kompetensi pegawai dalam menjalankan tugas. BP2T memberikan pelatihan dan pengembangan kompetensi pegawai dengan maksud untuk mengembangkan kompetensi dan ketrampilan teknis terkait pekerjaan dan pelaksanaan tugas. Selain itu, pelatihan ditujukan untuk mengembangkan kompetensi sosial, yakni perubahan perilaku dan etika pelayanan kepada masyarakat. Perubahan perilaku dan etika pelayanan dianggap sangat penting dan perlu untuk diberikan karena sifat layanan BP2T kepada masyarakat yakni service atau layanan perijinan dan non perijinan. Disamping itu, pimpinan BP2T sangat menyadari bahwa perilaku pegawai pemerintah (PNS) selama ini dianggap kurang tanggap, kurang beretika ketika memberikan pelayanan kepada masyarakat harus diubah menjadi perilaku responsif dan melayani masyarakat. Berbagai kegiatan pengembangan etika layanan dilaksanakan hampir setiap bulan, meskipun hanya dalam kurun waktu 1-2 jam pertemuan dengan mengundang motivator dari luar instansi. Penelitian Anderson
dan
Maughan
(2005)menyatakan
bahwa
pendekatan
pembelajaran organisasi memegang peran yang sangat penting di masamasa awal penerapan sebuah sistem atau budaya kerja baru di organisasi. Lebih lanjut dikatakan, pendekatan pembelajaran tradisionil (ceramah) harus diubah menjadi pembelajaran yang melibatkan seluruh personil di organisasi. Pendekatan Self-directed learning atau mandiri menurut
195
Anderson dan Maughan adalah pendekatan pembelajaran yang paling sesuai di organisasi. Materi pembelajaran yang sesuai artinya materi yang dapat mendukung sepenuhnya pola pembelajaran mandiri serta sesuai dengan tujuan pelatihan, yakni meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat. Materi dapat diakses kapan saja diperlukan dan dalam berbagai bentuk atau tampilan yang sesuai dan memudahkan pembelajar mempelajarinya. Mengingat kegiatan layanan publik diharapkan memberikan pelayanan yang bermutu, responsif, dijalankan dengan etika pelayanan yang sesuai dengan standar yang ada dan dengan keinginan masyarakat, maka pelatihan yang diberikan sebagian besar terkait dengan perubahan sikap pelayanan kepada publik yang lebih responsif. Pendekatan pembelajaran di organisasi berbeda dengan pendekatan pengajaran.
Menurut
Pretty
(1997)
pengajaran
(teaching)
lebih
menekankan kepada transfer pengetahuan dari seseorang yang tahu kepada seseorang yang tidak tahu. Pengajaran merupakan model yang umum dalam kurikulum pendidikan pada banyak organisasi. Paradigma pengajaran menekankan kepada penyampaian materi pelajaran kepada murid atau peserta secara searah, tidak memberikan tekanan pada proses pengembangan diri dan peningkatan kemampuan belajar peserta. Pembelajaran, disisi lain, memberikan ruang gerak yang cukup bagi peserta untuk terlibat aktif sejak awal atas pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukannya untuk mengatasi atau memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam hidup, di tempat kerja dan di lingkungan sosialnya. Peserta belajar memiliki akses yang cukup atas apa yang ingin dipelajari, bagaimana mempelajari dan dengan siapa mereka bisa belajar. Temuan penelitian menyatakan kuatnya pengaruh
pendekatan
pembelajaran terhadap sikap pegawai dalam menerapkan SMM ISO 9001, yakni bagaimana materi pembelajaran berperan penting dan berpengaruh terhadap sikap pegawai. Temuan ini sejalan dengan pernyataan Fauzi (2011) tentang terjadinya pergeseran paradigma pelatihan dari yang
196
semula berorientasi
kepada pelatih
(trainier’s
oriented) menjadi
pembelajaran yang lebih berorientasi kepada peserta (learner’s oriented). Pembelajaran menggambarkan pertumbuhan dan perkembangan seseorang yang sangat signifikan terkait apa yang mereka miliki sendiri, dan kepribadian yang berujung kepada pengembangan individu dan organisasi. Oleh karena itu, mereka akan memberikan respon positif untuk belajar jika materi yang mereka dapatkan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka, bermanfaat dan menarik perhatian mereka, membantu mereka tumbuh dan mengembangkan kemampuan alami yang membuat mereka berbeda dari yang lain. Materi pembelajaran menjadi sangat penting untuk dapat menarik perhatian pegawai untuk belajar, ada atau tidak ada pembimbing, terutama untuk tujuan diklat yang secara khusus dilaksanakan untuk mengembangkan potensi pegawai yang berbeda-beda (Clardy,2000). Materi pembelajaran berperan penting terhadap berhasil tidaknya tujuan pembelajaran yang telah direncanakan sebelumnya (Rejeki, 1998). Materi tidak saja perlu dikaitkan dengan tujuan pembelajaran, tetapi juga dikaitkan dengan pengalaman seseorang serta pemilihan metode belajar dan
bagaimana
peserta
belajar
memilih
cara-cara
belajar
yang
dianggapnya sesuai dengan dirinya. Materi pembelajaran perlu tersedia dalam bentuk yang beraneka ragam.
Temuan penelitian di lapangan
menyatakan diperlukan beragam materi pembelajaran karena beragamnya cara belajar pegawai dalam memahami dan menerapkan SMM ISO 9001. Terkait dengan pemahaman dan pengetahuan pegawai terhadap Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 yang termasuk kedalam kategori sedang, tidak mengherankan jika para pegawai juga menyatakan perlunya tersedia materi diklat dalam berbagai bentuk dalam jumlah yang cukup. Selain itu, 11,46% pegawai menyatakan tidak mudah memahami materi ISO 9001. Sebanyak 15% pegawai di BP2T Kabupaten Sidoarjo menyatakan tidak mudah memahami SMM ISO 9001 dan hanya 6.98% pegawai di BP2T Kabupaten Sragen yang merasakan hal yang sama. Buku-buku panduan yang menyangkut ISO 9001 tidak mudah didapatkan
197
di unit kerja dimana standar acuan yang ada tidak mudah dipahami. Diperlukan waktu yang cukup untuk mempelajari sendiri maupun dengan cara mengamati langsung atas penerapan SMM ISO 9001 tersebut di organisasi. SMM ISO 9001 merupakan sebuah inovasi yang diadopsi oleh Kantor Perijinan BP2T di Kabupaten Sragen dan Sidoarjo. Sebagai sebuah inovasi dan telah diterapkan lebih dari lima tahun (BP2T Sragen selama 8 tahun dan BP2T Sidoarjo 10 tahun), maka sebenarnya SMM ISO 9001 bukan merupakan sebuah inovasi baru lagi, tetapi filosofi dasarnya belum dapat sepenuhnya dipahami. Para pegawai telah menerapkan SMM ISO 9001 dalam melaksanakan tugas melayani perijinan ke masyarakat, tetapi belum memahami esensi pokok atau filosofi dasar
SMM ISO 9001.
Hanya sebagian pegawai yang memahami filosofi dasar tersebut. Mereka adalah para pegawai yang terlibat sejak pertama kali SMM diterapkan, sedangkan sebagian besar pegawai tidak mengikuti proses penerapan dan sertifikasi sejak awal.
Oleh karena itu, ketika dihadapkan kepada
pertanyaan mendasar tentang mutu, tentang pelanggan, tentang sistem dan prosedur yang digunakan tidak semua pegawai bisa menjelaskan dengan baik. Meskipun demikian mereka mampu menyampaikan bahwa apa yang diberlakukan di BP2T telah membantunya bekerja secara lebih sistematis, sesuai dengan tugas dan kewajibannya, serta membantunya meluruskan hal-hal yang tidak seharusnya terjadi. Kinerja individu menjadi lebih terukur dan teratur, sesuai dengan pernyataan NB (47 tahun) berikut ini: ”...buat saya, ISO adalah sarana pendisiplinan diri, kita bisa enak bekerja apalagi seperti saya ini, yang sebelumnya bekerja macam-macam. Kadang di meja, kadang di lapangan. Dengan ISO, kita ada manual. Yang masuk yang harus menyesuaikan diri dan ISO bukan sekedar prestise tetapi sarana kedisiplinan, karena kita terpacu...”
Meskipun bahan-bahan untuk mempelajari SMM ISO 9001 tidak tersedia cukup banyak, pegawai melaksanakan system tersebut
masih
menyatakan tetap akan
karena mereka dapat
merasakan
manfaatnya ditempat kerja. Hal ini sejalan dengan temuan Conroy (1999) tentang bagaimana sulitnya materi pembelajaran untuk pendidikan
198
kelautan didapatkan, tetapi pembelajaran tentang kelautan masih tetap dapat dilaksanakan dengan baik karena pembelajar melihat adanya keuntungan dibalik itu semua. Berbagai kendala yang ada dapat diselesaikan, termasuk biaya yang diperlukan. Kemandirian inilah yang diharapkan muncul sebagai efek dari diterapkannya SMM ISO 9001 di organisasi. Kebutuhan untuk berprestasi, memberikan yang terbaik kepada masyarakat merupakan salah satu hasil berubahnya perilaku pegawai dalam melayani masyarakat.
Pentingnya
materi
pembelajaran
yang
mampu
mendorong
terjadinya perubahan sikap sejalan dengan temuan Fullan (1987) dimana materi baru bersama-sama dengan perubahan struktur organisasi berpengaruh terhadap kurikulum pembelajaran, tingkat pengetahuan dan pemahaman dari peserta belajar. Temuan
pentingnya peran media
pembelajaran terhadap sikap positif pegawai atas penerapan SMM ISO 9001 ini memperkuat temuan Mahdan (2007) tentang pentingnya sumbersumber bacaan, perpustakaan dan material lain yang relevan dan memadai sehingga
meningkatkan motivasi belajar mereka. Temuan ini juga
menguatkan pentingnya sumber-sumber bacaan, jumlah, jenisnya yang mempengaruhi bagaimana SMM ISO diadopsi (Chan dan Li, 2001). Pemanfaatan materi pembelajaran yang bervariasi juga disarankan oleh Seng (2003) untuk meningkatkan motivasi peserta belajar. Contohcontoh yang diberikan dan tugas-tugas
harus selalu dimonitor dan
dipastikan menjadi bagian yang menantang, meningkatkan keterlibatan dan memiliki kaitan secara personal dengan seluruh warga belajar. Dengan cara demikian, Seng percaya akan dapat mengembangkan suatu iklim motivasi bagi warga belajar. Tidak kalah penting adalah menghubungkan antara materi pembelajaran yang sudah dikuasai warga belajar dengan tujuan organisasi, tujuan kelompok dan meningkatkan kompetisi antar kelompok dan perbaikan atas kinerja yang telah dicapainya.
199
2. Cara Belajar Analisis uji statistik menyatakan bahwa cara belajar di organisasi merupakan faktor kedua yang memberikan pengaruh paling kuat terhadap sikap pegawai pada penerapan SMM ISO 9001. Dapat disimpulkan bahwa semakin sesuai cara belajar atau gaya belajar pegawai dalam memahami, menerapkan SMM ISO 9001, semakin meningkat sikap positif pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001. Setiap individu memiliki kecenderungan cara belajar yang berbedabeda. Gaya atau cara belajar pegawai berbeda-beda dari satu orang ke orang yang lain. Memahami cara atau gaya belajar pegawai membantu pegawai untuk dapat menentukan pilihannya terhadap karir, terhadap kemampuan memecahkan masalah, terhadap cara menentukan tujuan, terhadap cara bergaul dengan orang lain dan yang terpenting adalah cara berperilaku pada situasi yang baru (LAN, 2010). Marno dan Idris (2008) mengistilahkan cara belajar dengan tipe belajar. Dikenal adanya tiga tipe belajar siswa yang perlu diketahui oleh guru maupun
fasilitator sehingga kegiatan pembelajaran dapat
berlangsung efektif. Ke tiga tipe belajar tersebut adalah: (1) visual, dimana pembelajar lebih mudah belajar dengan cara melihat atau mengamati, (2) auditori, yakni pembelajar akan lebih senang belajar dengan cara mendengarkan; dan (3) kinestetik, yakni pembelajar lebih mudah belajar jika ia mempelajari sesuatu dengan melaksanakannya sekaligus. Temuan di lapangan yang menyatakan bahwa cara belajar merupakan faktor kedua yang berpengaruh sangat kuat terhadap sikap pegawai pada penerapan SMM ISO 9001. Temuan ini memperkuat teori yang disampaikan oleh Porter dan Hernacki (2005) tentang pengaruh cara belajar terhadap kinerja seseorang. Ketika seseorang mengetahui cara belajar yang terbaik maka dia dapat membantu dirinya sendiri untuk belajar lebih cepat dan lebih mudah. Dengan mempelajari bagaimana memahami cara belajar orang lain, seperti teman- teman, rekan kerja, suami atau istri, anak- anak dan orang tua, maka akan dapat membantu memperkuat hubungan dengan orang- orang disekitarnya.
200
Berbagai cara belajar yang teridentifikasi dari lapangan diantaranya adalah: beberapa pegawai menyukai cara belajar langsung yakni dengan cara belajar sambil bekerja (learning by doing) atau cara belajar kinestetik, mengamati, mempelajari dan menerapkannya langsung (on the job training) atau visual, dengan bantuan buku-buku, alat bantu lain, modul berupa CD, handout, leaflet, tape rekaman, internet, dan lain-lain, yang disebut sebagai self-study. Sebagian lainnya dapat belajar dengan sangat baik jika terlibat dalam diskusi dengan kelompok, dengan teman sekerja atau dengan atasan langsungnya, atau dengan cara bermain peran (role playing). Menurut Fauzi (2011) cara belajar role playing ini memberi kontribusi perubahan sikap yang cukup besar, yakni tumbuhnya sikap toleran terhadap perbedaan individu dan pada saat yang sama berkembang pula ketrampilan-ketrampilan antar pribadi. Belajar dengan bimbingan seorang ahli yang berada di luar unit kerja dan berperan sebagai konsultan tidak menjadi pilihan cara belajar pegawai dalam penerapan SMM ISO 9001. Bagi pegawai, yang lebih penting adalah mereka memiliki keleluasaan atau kesempatan menggunakan berbagai cara belajar yang sesuai dengan karakter dirinya dalam mempelajari dan memahami ISO 9001 dan organisasi memfasilitasinya. Dengan cara demikian, peningkatan berkelanjutan (continous improvement) di tingkat individu sebagaimana tertera pada prinsip SMM ISO 9001 dapat berjalan dengan baik. Temuan penelitian juga mendukung teori pendidikan humanisme yang dikembangkan Rogers (1969) yang lebih dikenal dengan sistem “Student Centered Learning”. Manusia dihargai kebebasannya untuk belajar, dihargai martabat dan potensinya sebagai manusia. Bagi Rogers, setiap manusia, setiap pegawai memiliki pilihan-pilihan bagi dirinya untuk mengembangkan potensi yang ada. Cara yang dikenalkan Rogers memberikan arah untuk mengembangkan sebuah proses belajar (cara belajar murid dan cara mengajar guru atau fasilitator) yang ditekankan kepada potensi yang dimiliki pembelajar.
201
Prinsip-prinsip humanisme Rogers menghargai setiap orang memiliki kemampuan belajar yang alami. Pembelajaran yang signifikan bisa terjadi apabila materi tersebut dirasakan berguna dan memiliki relevansi dengan dirinya. Peserta belajar akan memaknai apa yang dipelajarinya jika mereka melakukan, terlibat langsung dan bertanggung jawab di dalam proses belajar tersebut. Selain itu, peserta belajar juga dilatih untuk dapat mengkritik diri sendiri (self-criticism), maupun menerima kritik dari orang lain sehingga kemerdekaan, kreatifitas dan kepercayaan terhadap diri sendiri meningkat. Keterlibatan setiap orang tergambarkan dalam kegiatan pembelajaran yang dipusatkan kepada peserta belajar. Keterlibatan tersebut didorong dan menjadi salah satu prinsip dari delapan prinsip yang dikenalkan SMM ISO 9001. Cara belajar pegawai berpengaruh secara nyata terhadap sikap pegawai juga merupakan sebuah langkah untuk mendapatkan manfaat yang terbesar dari pengalaman belajar pegawai. Temuan ini juga meperkuat apa yang disampaikan LAN (2010) tentang perlunya mengenali kemampuan belajar sehingga pengalaman baru atau mempelajari hal-hal baru merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap individu. Temuan di lapangan juga sejalan dengan pendapat Dwiyogo (2001) yang menyatakan bahwa di masa depan
pendekatan pembelajaran telah berubah dari
pendekatan pembelajaran tradisional ke arah pembelajaran visioner (masa depan). Pembelajaran visioner adalah pembelajaran yang dapat dilakukan dimana saja, kapan saja, dengan siapa saja, serta melalui media apa saja. Artinya pembelajaran tidak tergantung pada suatu tempat tertentu seperti ruangan kelas, pada suatu waktu tertentu dengan sumber belajar yang tidak terbatas pada guru atau dosen. Pembelajaran dan cara belajar pegawai sangat tergantung kepada permasalahan yang dihadapi di lapangan. Sebagaimana teori pembelajaran ”hadap masalah” yang dikenalkan oleh Freire (1984). Cara belajar pegawai pada daerah penelitian termasuk dalam kategori sangat tinggi, khususnya dalam mempelajari penerapan ISO 9001 di unit kerja BP2T. Pegawai di BP2T Kabupaten Sragen memiliki cara belajar lebih unik
202
dalam upaya mereka menyesuaikan dengan kondisi yang dihadapi. Secara statistik cara belajar di BP2T Kabupaten Sragen memiliki pengaruh yang positif nyata dan termasuk kedalam kategori sangat tinggi. Sedangkan cara belajar pegawai di BP2T Kabupaten Sidoarjo termasuk kedalam kategori tinggi. Keunikan situasi di BP2T Kabupaten Sragen diantaranya adalah: (1) Para pegawai yang lebih senior dan telah lama bekerja di BP2T oleh pimpinan tertinggi BP2T tidak lagi diberikan fasilitas pelatihan atau pembelajaran secara konvensional (dikelas, dibimbing dari waktu ke waktu).
Mereka
dianggap
telah
mampu
mengembangkan
dan
menyesuaikan cara belajar masing-masing dengan kebutuhan dan permasalahan di tempat kerja. Pimpinan memfasilitasi dengan sarana dan prasarana yang diperlukan pada batas-batas dimana bisa disediakan oleh anggaran yang tersedia; (2) Senior diharapkan memiliki kreatifitas untuk mengembangkan diri, tidak selalu menuruti apa kata pimpinan, sebagaimana pernyataan pimpinan BP2T berikut: ” ...based on competency saja. Yang tua-tua ya sudah, dibiarkan saja. Sudah susah. Ada istilah pak Bupati : ”ojo gocekan setut”, loyal tanpa reserve. Bupati tidak suka karena bupati yang sekarang ini orangnya tidak pernah bikin pujian. Kalau yang muda-muda atau pegawai baru: istilahnya harus dicekoki, diberi bubur, di dulang (disuapi) supaya cepat-cepat bisa naik motor, mobil, sehingga bisa lebih nyaman...”
Ijin belajar untuk pengembangan kompetensi pegawai diberikan kepada para pegawai dapat belajar dengan lebih leluasa, terutama jika dapat dilakukan diluar jam kerja dengan bantuan teknologi informasi. Semua pegawai memiliki kemampuan untuk memanfaatkan teknologi informasi secara merata. Oleh karena itu, pegawai memiliki keleluasaan untuk mengembangkan diri, mempelajari berbagai hal di tempat kerja sesuai dengan kecenderungan mereka belajar yang dianggap paling sesuai untuk diri sendiri. (3) Keterbatasan dana anggaran dari pemerintah daerah bagi BP2T Kabupaten Sragen untuk beroperasi dengan baik menjadi salah satu faktor pendorong pegawai dalam mengembangkan berbagai cara meningkatkan kemampuan dan pengetahuan yang terkait dengan tugas dan
203
tanggung jawabnya. Keterbatasan dana yang ada ternyata tidak melemahkan semangat belajar pegawai, tetapi malah mengubahnya menjadi tantangan mencari informasi ke berbagai sumber dengan memanfaatkan teknologi informasi yang tersedia dan dapat diandalkan. Pimpinan BP2T menyampaikan berbagai informasi yang terkait dengan tugas-tugas BP2T dan personil. Pimpinan BP2T memiliki pemahaman yang tinggi terhadap kecenderungan para pegawai dalam belajar dan mengembangkan diri. Pimpinan
mampu melakukan
pendekatan personal untuk mendorong para pegawainya bersikap positif baik terhadap sistem di organisasi yang berbasis SMM ISO 9001 maupun terhadap perilaku pegawai di dalam mengimplementasikan sistem yang disepakati
organisasi ketika berhadapan dengan masyarakat yang
membutuhkan pelayanan perijinan. Tingginya pengaruh cara belajar terhadap sikap pegawai pada penerapan SMM ISO 9001 juga terjadi di BP2T Kabupaten Sidoarjo dengan latar belakang yang berbeda. Kabupaten Sidoarjo harus berkompetisi dengan Kabupaten dan Kota lainnya dalam memberikan pelayanan perijinaninvestasi. Pendanaan tidak menjadi penghalang yang serius bagi pegawai BP2T Sidoarjo untuk mengembangkan diri dan organisasinya. Terkait dengan cara belajar individu dan organisasi, sebanyak56,25% pegawai menyatakan bahwa cara belajar yang sesuai dengan mereka dan
difasilitasi oleh pimpinan memberikan pengaruh
positif terhadap sikap positif pegawai dalam menerapkan SMM ISO 9001. Cara belajar yang berpengaruh terhadap pembentukan sikap juga disampaikan oleh Zen (2010) dan Collins (1998). Zen menyatakan bahwa cara belajar setiap individu berbeda-beda, bagaimana ia belajar dan menciptakan solusi, secara formal maupun non formal dengan orientasi jangka panjang dan atas prakarsa pembelajar sendiri. Cara belajar yang dirasa sesuai akan menimbulkan perubahan sikap dan perilaku karena prinsip pembelajaran adalah sebuah proses belajar yang berkesinambungan sejak lahir hingga mati. Disinilah diharapkan terjadi perubahan perilaku individu.
204
Kecepatan seseorang mengabsorbsi informasi berbeda-beda dari satu orang ke orang lainnya. Zen (2010) menyatakan kecepatan tersebut tidak ada hubungannya dengan tingkat kecerdasan, dan oleh karenanya dukungan manajemen perlu senantiasa digalakkan. Senada dengan Zen, Collins (1998) menyatakan pentingnya diklat
dilaksanakan secara
individual. Setiap orang memiliki tingkat kecakapan yang berbeda-beda, dan cara belajar yang berbeda pula. Disisi lain, diklat bertujuan untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki seseorang sehingga ia memiliki kepercayaan diri yang tinggi atas pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki. Memahami cara belajar, memahami tingkat kecakapan yang berbeda-beda antar individu, maka proses pembelajaran individu di organisasi akan menghasilkan nilai-nilai, sikap individu yang memiliki wawasan jangka panjang dan sikap pembelajar yang berkesinambungan. 3. Model Komunikasi Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap sikap pegawai pada penerapan SMM ISO 9001 adalah model komunikasi yang berlangsung dan dipergunakan dalam pembelajaran di organisasi. Komunikasi dalam pembelajaran di organisasi berperan penting dalam mengantarkan pesanpesan dan pemahaman atas sesuatu informasi tertentu kepada penerima sesuai dengan yang dimaksudkan. Model komunikasi Berlo (Mulyana, 2007) menyatakan banyaknya kendala yang dilalui sebuah informasi untuk sampai kepada penerima pesan. Melalui saluran informasi yang benar, maka pesan-pesan yang ditampilkan akan dapat diterima sesuai dengan yang diinginkan pengirim pesan. Mengingat salah satu fungsi komunikasi adalah sebagai pemasok informasi (Szilagyi dan Wallace, 1990), maka pelaksanaannya perlu dilakukan dengan cara-cara berkomunikasi yang tepat sasaran, benar dan lancar. Informasi yang dibawa bisa jadi merupakan sebuah informasi yang akan menjadi dasar pengambilan keputusan individu, organisasi, dan bahkan masyarakat yang lebih luas. Dalam kaitannya dengan pengaruh nyata model komunikasi dalam pembelajaran kepada sikap pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001, temuan di lapangan menyatakan
205
model komunikasi yang ada dirasa sangat sesuai dengan apa yang diperlukan pegawai dalam memahami, mendalami dan menerapkan SMM ISO 9001 di bidang pelayanan perijinan dimana mereka bertugas. Pendekatan pembelajaran di organisasi yang efektif melalui pendidikan orang dewasa adalah dengan menciptakan adanya suasana belajar yang kondusif dan menyenangkan sehingga proses pembelajaran yang berlangsung secara terus menerus tersebut dapat berhasil. Setiana (2005) menyatakan bahwa suasana pembelajaran yang menyenangkan dapat terjadi jika terjalin komunikasi yang baik dan saling menghargai, saling percaya, adanya kesempatan untuk menemukan diri, serta tidak ada ancaman. Komunikasi dilaksanakan secara terbuka, transparan dengan mengakui adanya kekhasan masing-masing individu, serta adanya pemahaman
bahwa setiap orang memiliki hak untuk berbuat atau
melakukan kesalahan, ragu-ragu. Model komunikasi yang lebih spesifik antara atasan dan bawahan di organisasi disampaikan oleh Szilagyi dan Wallace (1990) dan Winardi (2009). Menurut mereka, kinerja organisasi, kinerja individu, kelompok tergantung kepada kesuksesan
pimpinan teratas organisasi, pimpinan
menengah dan bawah dalam melakukan interaksi dengan para pegawainya di manapun mereka berada. Komunikasi menjadi kunci sukses antara atasan dan bawahan dalam mencapai tujuan dan misi organisasi. Efek dari terbangunnya komunikasi dan interaksi yang baik antara atasan dan bawahan adalah terbangunnya kepercayaan dan kepuasan karyawan. Sejalan dengan Szilagyi dan Wallace (1990), temuan dilapangan menyatakan bahwa pegawai di kedua BP2T merasakan adanya suasana komunikasi yang baik antara atasan dan bawahan, antara peserta pelatihan dengan pembimbing atau fasilitator ketika mereka harus mengikuti pengembangan kompetensi.
Komunikasi yang terjalin saat ini antara
pegawai dan atasan dirasakan mampu meningkatkan hubungan antara atasan dan bawahan. Komunikasi yang lancar antara atasan dan bawahan dianggap telah mampu meningkatkan pemahaman mereka terhadap SMM
206
ISO 9001 dengan model dialogis (komunikasi dua arah) dan bahkan ke segala arah. Sebanyak
71,87%
pegawai
menyatakan
komunikasi
yang
berlangsung di kedua organisasi tersebut dalam kategori tinggi dan sangat tinggi (17,71%), artinya komunikasi telah berjalan sesuai dengan harapan semua pihak. Tidak ada keharusan seorang pimpinan selalu berada di belakang meja dan menerima laporan pegawainya. Pimpinan BP2T di kedua daerah penelitian melakukan hal tersebut. Model ini ternyata efektif dalam membangun komunikasi yang sangat konvergen di daerah penelitian sehingga berbagai permasalahan
yang terjadi dapat dengan
cepat diatasi. Selain itu, model komunikasi searah dilakukan dengan cara apel pagi dan sore, dimana pimpinan memberikan arahan dan semangat bekerja. Sedangkan komunikasi secara diagonal dilaksanakan ketika pekerjaan berjalan. Pimpinan berkeliling ke tempat kerja pegawai untuk mengetahui kendala yang dihadapi pegawai secara langsung. Berbagi informasi antara pimpinan dan staf dipertukarkan ketika pimpinan berkeliling dari satu meja ke meja lainnya. Staf mengetahui kendala dan keterbatasan organisasi dalam memfasilitasi pelaksanaan tugas dan kewajiban
organisasi
dan
staf
memiliki
kesempatan
untuk
mengembangkan inovasi masing-masing terkait pelaksanaan tugas dan fungsinya. Cara ini mampu menumbuhkan motivasi yang tinggi di kalangan pegawai. Penerapan SMM ISO 9001 di dua daerah penelitian telah mampu mengubah model komunikasi
searah (dari
atasan ke bawahan)
sebagaimana yang selama ini berlangsung di birokrasi, menjadi model komunikasi yang berjalan ke segala arah dengan lancar. Selain itu, dukungan teknologi informasi yang disyaratkan dalam SMM ISO 9001:2008
dimana
tanggung
jawab
manajemen
(management
responsibility) untuk memberi dukungan sarana komunikasi telah mampu mengubah paradigma berkomunikasi pegawai di lingkungan birokrasi. Dampak membaiknya saluran komunikasi yang dibangun di organisasi
207
adalah menurunnya kesenjangan kekuasaan (power distance) antara atasan dan bawahan sebagaimana disampaikan oleh Hofstede (1991). Dampak inilah yang diharapkan dari penerapan SMM ISO 9001. Terdapat sedikit perbedaan model komunikasi yang berjalan di daerah penelitian, yakni di Sidoarjo masih ditemukan 18,87% atau 10 orang yang menyatakan bahwa model komunikasi yang ada masih pada kategori sedang. Pengamatan subyektif di lapangan memastikan bahwa model atau gaya komunikasi dari pimpinan tertinggi organisasi berbeda antara Sragen dan Sidoarjo. Kepribadian pimpinan BP2T Sragen yang sangat ekstrovert dan pimpinan BP2T Sidoarjo yang introvert (tidak banyak bicara). Efektifitas komunikasi ini pulalah yang mendorong terjadinya sikap dan perilaku positif pegawai dalam penerapan SMM ISO 9001. 4. Pendidikan Formal Faktor ke empat yang berpengaruh terhadap sikap pegawai pada penerapan SMM ISO 9001 adalah pendidikan formal pegawai. Makna dari temuan ini adalah bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan pegawai semakin positif sikap mereka dalam menerapkan SMM ISO 9001. Pendidikan merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang karena lama pendidikan yang ditempuhnya. Mardikanto (1993) menyatakan bahwa jenjang pendidikan yang relatif lebih tinggi akan mempengaruhi cara dan pola pikir petani dalam berusaha tani. Temuan ini sejalan dengan Winkel (2006) yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan sebuah proses pembentukan watak seseorang sehingga diperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara bertingkah laku yang lebih baik. Dengan demikian, pendidikan seseorang akan mempengaruhi kemampuan mereka mengubah sikap dan perilaku. Tingkat pendidikan seseorang dapat mengubah pola pikir dan daya penalaran yang lebih baik, sehingga semakin lama seseorang mengenyam pendidikan maka orang tersebut akan semakin rasional cara berpikirnya. Pegawai dengan tingkat pendidikan formal yang tinggi dimungkinkan bertindak lebih rasional dalam pekerjaannya. Mereka yang berpendidikan
208
rendah akan sulit untuk melakukan adopsi inovasi.
Tingkat pendidikan
pegawai di kedua daerah penelitian sebagian besar berlatar belakang Sarjana Strata Satu ( 56 orang atau 58,3%), berpendidikan Sarjana Strata Dua (Magister) sebanyak 10 orang atau 10,4%, atau pegawai dengan latar belakang pendidikan S1 keatas berjumlah 66 orang atau 68,7% dari populasi. Sebuah jumlah yang cukup besar jika dikaitkan dengan empat pilar tujuan pendidikan UNESCO yakni pendidikan akan membantu proses manusia untuk : (1) Belajar untuk mengetahui (learning to know); (2) Belajar untuk berbuat sesuatu (Learning to do), (3) Belajar untuk menjadi dirinya sendiri (learning to be), serta (4) Belajar untuk dapat hidup bersama dengan orang lain (learning to live together). Hasil penelitian menyatakan
tidak ada hambatan yang cukup
berarti bagi pegawai di kedua tempat penelitian tersebut untuk mengekspresikan kebebasan mereka mengembangkan dan merealisasikan ide-ide, bebas untuk berfikir, berbicara, dan berpartisipasi, bebas untuk tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif ditempat kerja, bebas dari ketidakadilan dan kekerasan. Artinya, dari temuan penelitian dapat disimpulkan bahwa pegawai di daerah penelitian telah memiliki kesempatan untuk mengembangkan ide dan inovasinya, terlibat dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan, dapat menyumbangkan saran perbaikan serta mampu untuk menentukan sikap positif atau negatif terhadap sesuatu inovasi sebagaimana SMM ISO 9001. Tumbuhnya sikap pegawai dengan inisiatif dan inovasi yang tinggi merupakan satu kondisi yang sangat baik dan menunjang salah satu prinsip dalam ISO 9001:2008, yakni peningkatan berkelanjutan. Inovasi baru tentang cara-cara untuk meningkatkan mutu pelayanan, mengantisipasi keinginan pelanggan di masa mendatang selalu menjadi bagian yang harus dilaksanakan. Temuan penelitian ini berbeda dengan temuan Amar dan Zain (2001) pada rendahnya daya saing industri manufaktur di Indonesia. Industri manufaktur di Indonesia menghadapi kendala dalam menerapkan Total Quality Management (TQM), khususnya kendala manusia sebagai faktor penghambat terbesar (38.3%), sikap terhadap mutu (8,5%) serta
209
faktor lain yang tidak berpengaruh secara signifikan.
Hasil temuan
lapangan juga menyatakan bahwa SDM organisasi bukan merupakan kendala terbesar bagi organisasi dalam menerapkan SMM ISO 9001, tetapi lebih kepada kendala-kendala di pihak masyarakat penerima layanan, kesepahaman memaknai SMM ISO 9001, serta komitmen pimpinan tertinggi pemerintah daerah. Kabupaten Sragen tidak sertifikasi ISO 9001
meneruskan
karena ketiadaan biaya dan komitmen pimpinan
puncak, meskipun sistem pemberian layanan publik masih tetap mengadopsi prinsip SMM ISO 9001. Sedangkan karena komitmen pimpinan daerah yang sangat tinggi maka BP2T Kabupaten Sidoarjo masih tetap menerapkan ISO 9001 versi 2008 dan sertifikasinya. Temuan ini juga memperkuat temuan sebelumnya oleh Hafni (2004) yang menyatakan adanya pengaruh signifikan penerapan ISO 9001: 2000
terhadap
produktifitas
kerja.
Menurut
Hafni,
faktor-faktor
infrastruktur, lingkungan kerja, dan sumber daya manusia berperan penting terhadap produktifitas kerja, tetapi sumber daya manusia memiliki pengaruh yang sangat dominan. Sejalan dengan Hafni, penelitian Sutoyo (2006) juga menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara kompetensi, kesadaran dan pelatihan terhadap kinerja karyawan. Tingginya
latar
belakang
pendidikan
pegawai
merupakan
bukti
kompetensi pegawai yang cukup untuk mendukung pelaksanaan tugas.
5. Komitmen Pimpinan Faktor kelima yang berpengaruh atas sikap pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001 adalah komitmen pimpinan. Temuan penelitian menyatakan bahwa komitmen pimpinan berhubungan negatif dan nyata atas sikap pegawai terhadap penerapan ISO 9001 (-0.156). Dapat disimpulkan bahwa pegawai yang memiliki sikap positif yang tinggi terhadap penerapan ISO 9001 kurang merasakan adanya komitmen yang cukup mereka.
dari pimpinan organisasi sebagaimana yang diharapkan untuk
210
Statistik menunjukkan bahwa penilaian pegawai di kedua daerah penelitian tentang komitmen pimpinan termasuk kedalam kategori sangat tinggi (59.37%), masih terdapat 7 pegawai atau 7,20% menyatakan komitmen pimpinan dalam kategori sedang. Temuan ini sejalan dengan pernyataan pimpinan BP2T yang menyatakan bahwa beliau tidak memberikan perhatian yang cukup kepada sebagian pegawainya karena anggapan bahwa mereka telah cukup menerima perhatian, cukup senior dan dapat menjalankan tugas tanpa supervisi yang terus menerus darinya. Kantor BP2T didirikan untuk memberikan kepastian tentang hak, tanggung jawab, kewajiban dan kewenangan berbagai pihak yang terkait dengan
penyelenggaraan
pelayanan
publik.
Masyarakat
berhak
mendapatkan pelayanan publik yang maksimal, sederhana, murah, tepat waktu, transparan dan berkeadilan. Pimpinan BP2T diharapkan membuat, menciptakan dan bertanggung jawab terhadap lingkungan internal organisasi yang mampu membuat setiap orang yang terlibat didalamnya bekerja sepenuhnya untuk mencapai tujuan organisasi. Tidak hanya memberikan dan membagikan visi tentang tujuan organisasi, tetapi juga memberikan gambaran bagaimana visi tersebut dicapai dan bagaimana berbagai halangan yang mungkin timbul bisa dieliminir sejauh mungkin. Kepemimpinan yang direfleksikan dalam SMM ISO 9001 adalah kepemimpinan yang memberikan landasan kebijakan, merencanakan dan memastikan terjadinya proses komunikasi internal yang berjalan dengan baik dan menciptakan lingkungan kerja yang kondusif. Pimpinan puncak atau pimpinan tertinggi organisasi bertanggung jawab menyediakan sarana dan
prasarana
yang
diperlukan
untuk
mewujudkan
keinginan
pelanggannya. Dalam kaitan dengan tugas-tugas BP2T, komitmen pimpinan organisasi telah diwujudkan dalam memberikan arah gerak organisasi kedepan, mengerahkan sumber daya yang dimiliki, menjadi juru bicara (spokesperson) organisasi keluar serta sebagai pelatih (coach), yakni memberikan bimbingan kepada pegawainya ketika diperlukan. Apa yang telah dilakukan pimpinan di kedua daerah penelitian ini sejalan dengan Nanus (1992) yang menyatakan adanya empat peran
211
pimpinan yang efektif: sebagai penentu arah (direction setter), sebagai agen perubahan (change agent), sebagai juru bicara (spokeperson), dan sebagai pelatih (coach). Hanya saja peran-peran tersebut tidak secara maksimal dirasakan merata oleh para pegawainya. Komitmen pimpinan yang lebih nyata yang diharapkan pegawai BP2T adalah tersedianya sarana dan prasarana yang memadai termasuk biaya yang timbul karena aktifitas mereka menjalankan tugas dan fungsi layanan kepada masyarakat. Peran pimpinan sebagai pemberi arahan dan sebagai pelatih juga dirasakan kurang, khususnya pegawai senior yang ada. Fungsi komitmen inilah yang masih belum sepenuhnya dijalankan oleh pimpinan organisasi, atau terjadi perbedaan persepsi antara pimpinan dan bawahan. Pegawai senior merasa tetap memerlukan arahan dan bimbingan, sedangkan pimpinan menganggap pegawai senior telah memiliki kemampuan cukup untuk melaksanakan tugas. Harris, Hart dan Shields (2009) menyatakan
bahwa pimpinan
dituntut tidak hanya mampu mengartikulasikan visi, mampu membentuk tim untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi, mengkomunikasikan nilai-nilai organisasi, menanamkan integritas, memberdayakan pihakpihak lain, merencanakan dan membuat capaian-capaian pendek, dan memiliki stamina tinggi untuk melakukan itu semua, tetapi yang lebih penting
adalah
bagaimana
pimpinan
memiliki
komitmen
untuk
menyediakan fasilitas terkait yang digunakan di dalam proses organisasi mewujudkan kinerja yang dituntut kepadanya. Komitmen pimpinan yang tinggi diwujudkan oleh pimpinan Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo dalam menerapkan SMM ISO 9001: 2000 hingga perubahannya yakni SMM ISO 9001:2008 sehingga sertifikasi atas penerapan sistem tersebut tidak pernah terputus sebagaimana Kabupaten Sragen. Kinerja pimpinan tertinggi Kabupaten Sidoarjo ini sejalan dengan persyaratan yang diminta bagi sebuah organisasi ketika ia menerapkan SMM ISO 9001, yaitu organisasi menunjukkan kapabilitasnya untuk memuaskan kebutuhan masyarakat sebagai pelanggannya. Untuk itu, pimpinan harus menunjukkan, menjaga
212
dan mengelola komitmennya untuk memenuhi kebutuhan dan harapan seluruh pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya, bukan hanya pelanggannya (Hoyle, 2009). Pentingnya komitmen pimpinan tertinggi organisasi disebutkan secara jelas pada klausul 5.1 dari SMM ISO 9001. Standar mensyaratkan bahwa pimpinan tertinggi organisasi memberikan dokumen, dan bukti atas komitmennya terhadap pengembangan dan penerapan SMM ISO 9001 dan bagaimana perbaikan berkelanjutan dapat berjalan dengan baik. Komitmen dalam SMM ISO 9001 didefinisikan sebagai sebuah obligasi atau kewajiban organisasi yang dijalankan dalam rangka melakukan sesuatu. Komitmen bukan hanya sebuah janji tetapi komitmen baru diterima jika seseorang sepakat untuk melaksanakan sesuatu dan memberitahukan orang lain atas keinginannya tersebut. Komitmen yang tidak dikomunikasikan kepada orang lain hanya akan dianggap sebagai keinginan pribadi tanpa adanya keharusan untuk memenuhi komitmen tersebut
kecuali atas
kesadaran sendiri. Komitmen lebih lanjut dimaksudkan sebagai: (1) melakukan apa yang ingin dilakukan untuk dapat mencapai tujuan organisasi, (2) melakukan apa yang telah diucapkan dengan tidak melakukan pekerjaan dibawah standar yang ditetapkan, (3) tidak mengirimkan produk dan jasa dibawah standar, tidak menyepelekan kesalahan, meningkatkan proses, menghargai perencanaan, melaksanakan prosedur, memenuhi janji-janji dan kebijakan, (4) mendengarkan suara pegawai dan juga para pemangku kepentingan lainnya. Komitmen, dengan demikian perlu ditunjukkan melalui bukti-bukti nyata di dalam sistem pengelolaan organisasi. Komitmen pentingnya memenuhi persyaratan atau keinginan pelanggan harus dilengkapi dengan prosedur dan kebijakan mutu yang dibangun untuk memenuhi keinginan pelanggan. Manajemen juga menunjukkan bahwa sumber daya yang diperlukan untuk memenuhi keinginan pelanggan dapat ditentukan, ditetapkan. direncanakan dan disediakan. Demikian komitmen pimpinan dikomunikasikan kepada seluruh organisasi, maka seharusnya komitmen
213
dapat dibuktikan dengan sumberdaya yang dialokasikan dan tersedia ketika diperlukan. Tidak hanya itu, komitmen terhadap mutu pelayanan dapat dibuktikan melalui tindakan dan keputusan yang diambil pimpinan. Pimpinan
mengalokasikan waktu yang cukup untuk mendengarkan
keluhan karyawan, keluhan penerima layanan, memotivasi karyawan untuk mencapai kinerja melebihi standar yang diharapkan adalah seorang pimpinan yang berkomitmen tinggi terhadap kualitas. Berbagai cara ditempuh oleh pimpinan tertinggi BP2T dalam upaya mendengarkan keluhan pelanggan.
Pimpinan mengalokasikan
waktu khusus untuk dapat bertemu dan berkomunikasi dalam suasana informal dengan masyarakat terkait dengan mutu layanan dan hal-hal yang diharapkan mereka kepada BP2T. Tidak hanya secara periodik, tetapi juga secara kasus per kasus yang memerlukan penanganan segera. Pimpinan BP2T (DS, 47 tahun) menyatakan demikian: “…saya harus membuat pertemuan khusus dengan teman-teman industri terkait keluhan mereka. Bagi saya jangan sampai capaian dan penghargaan yang sudah dirintis oleh BP2T bertahun-tahun akan rusak dalam waktu yang sekejab karena ketidakpuasan masyarakat. Harus diupayakan mekanisme dimana mereka dapat menyampaikan langsung keluhannya kepada pimpinan tertinggi BP2T. Itulah kepuasan mereka…”
Pimpinan BP2T juga melakukan upaya-upaya komunikasi yang intensif dengan pimpinan pemerintah daerah (Bupati dan jajarannya, DPRD, dan Muspida) untuk mendapatkan komitmen yang terus menerus dalam menerapkan SMM ISO 9001. Komitmen pimpinan tercermin dari nilai Indek Kepuasan Masyarakat (IKM) di dua daerah penelitian yang termasuk pada kategori tinggi dan terus meningkat dari waktu ke waktu. Hanya saja, tingkat kepuasan pegawai dalam bekerja tidak dapat diukur sebagaimana IKM yang dapat diukur dengan kriteria penilaian yang sama untuk berbagai layanan masyarakat. Pegawai di BP2T Kabupaten Sragen menganggap belum mampunya pimpinan menyediakan sumber daya yang cukup bagi mereka untuk dapat melaksanakan tugasnya sebagaimana yang diharapkan. Hal ini terbukti dengan menurunnya kualitas reward yang diterima karyawan, dan menurunnya partisipasi karyawan dalam
214
mengikuti berbagai kegiatan diklat yang ditawarkan institusi diluar Pemerintah Daerah (Pemerintah Pusat dan institusi lainnya). Meskipun demikian komitmen yang sangat tinggi (59,37%) tersebut masih belum dirasakan oleh sebagian pegawai di dalam organisiasi. Temuan dilapangan menyatakan bahwa pimpinan di kedua daerah penelitian
memfokuskan dan menunjukkan komitmennya yang tinggi
secara lebih spesifik kepada pegawai-pegawai yang dirasakan memerlukan bimbingan, arahan, petunjuk dalam melaksanakan tugasnya. Untuk pegawai yang sudah senior dan dianggap sudah memahami kondisi, kebijakan, mekanisme di organisasi, kedua pimpinan ini sepakat untuk tidak memberikan berbagai keistimewaan lagi, khususnya dalam bentuk arahan dan bimbingan. Inilah yang dianggap sebagai kurangnya komitmen oleh sebagian pegawai yang memiliki sikap positif terhadap penerapan SMM ISO 9001.
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pegawai pada Pelayanan Publik Hasil uji statistik menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pegawai pada pelayanan publik adalah: 1. Motivasi intrinsik pegawai 2. Materi pembelajaran 3. Sikap pegawai 4. Komunikasi yang dibangun pimpinan 5. Interaksi intra anggota di dalam kelompok 6. Metoda pembelajaran 7. Motivasi ekstrinsik 8. Kosmopolitan 9. Interaksi antar kelompok
Persamaan
struktural
(persamaan
jalur)
faktor-faktor
yang
mempengaruhi perilaku pegawai pada pelayanan publik dapat disajikan sebagai berikut:
215
Y2 = - 0.265X21 +0.542X22 +0.351X13 – 0.380X51 + 0.303X52 +0.202X31 – 0.305X32 +0.247X45 + 0.367Y1 + 0.669 €2; 2
R = 0.552 (Persamaan 2) Tabel 39 Dekomposisi pengaruh antara peubah model sikap dan perilaku Pengaruh antar peubah
Pengaruh Langsung
Tidak
langsung
Total
melalui Y1 X12 Y1 Y2
-0.156
-0.057
-0,203
X42 Y1Y2
0.133
0.048
0,181
X51 Y1Y2
0.463
0.169
0.632
X53 Y1Y2
0,193
0.071
0,264
X54 Y1Y2
0,448
0.164
0.612
X21 Y2
-0,265
-
-0,265
X22 Y2
0,542
-
0,542
X13 Y2
0,351
-
0,351
X51 Y2
-0,380
-
-0,380
X52 Y2
0,303
-
0,303
X31 Y2
0,202
-
0,202
X32 Y2
-0,305
-
-0,305
X45 Y2
0,247
-
0,247
Y1 Y2
0,367
-
0,367
Catatan: Peubah bebas X, dan peubah tidak bebas Y X1. Kepemimpinan: (X12. Komitmen, X13. Komunikasi); X2. Motivasi (X21. Motivasi ekstrinsik, X22. motivasi intrinsik); X3. Interaksi Kelompok (X31. interaksi antar kelompok, X32. interaksi intra anggota di dalam kelompok; X4. Karakteristik individu (X42. pendidikan formal, X45. kosmopolitan); X5. Pendekatan pembelajaran di organisasi (X51. Cara belajar, X52. metode, X53. model komunikasi, X54. Materi belajar); Y1 = Sikap Pegawai; Y2 : Perilaku Pegawai
Hasil analisa uji statistik menunjukkan bahwa perilaku pegawai terhadap pelayanan publik dipengaruhi secara bersama-sama oleh sikap pegawai (Y1), motivasi ekstrinsik (X21), motivasi intrinsik (X22), komunikasi pimpinan (X13), materi (X51), metode (X52), interaksi antar kelompok (X31), interaksi intra anggota dalam kelompok (X32), dan kosmopolitan (X45), karena nilai F hitung (11,790) lebih besar dibandingkan dengan dengan F tabel (2,32). Ke sembilan peubah tersebut
216
mempengaruhi perubahan perilaku pegawai terhadap pelayanan kepada publik secara bersama-sama sebesar 55,2% (R2 = 0,552), sedangkan sisanya (45%) dipengaruhi oleh peubah lain yang tidak diteliti pada penelitian ini. Secara parsial, perilaku pegawai tersebut dipengaruhi nyata oleh sikap pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001 (3,215) dan positif (0,367), motivasi ekstrinsik (-2,312) dan negatif(-0,265), motivasi intrinsik (5,744) dan positif (0,542), komunikasi (4,065) dan positif (0,351), materi (-2,889) dan negatif (-0,380), metode (2,492) dan positif (0,303), interaksi antar kelompok (2,165) dan positif (0,202), interaksi intra anggota dalam kelompok (-2,534) dan negatif (- 0,305), kosmopolitan (2,239) dan positif (0,247). Peubah yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap perilaku pegawai padapelayanan publik secara berurutan adalah motivasi intrinsik, materi belajar, sikap pegawai, komunikasi pimpinan, interaksi intra anggota di kelompok, metode belajar, motivasi ekstrinsik, kosmopolitan, dan interaksi antar kelompok sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 40. Diagram jalur faktor-faktor yang mempengaruhi sikap pegawai terhadap SMM ISO 9001 dan perilakunya pada pelayanan publik dapat digambarkan sebagaimana pada Gambar 17 dengan menggunakan analisa statistik uji t pada taraf alpha= 0.05. Tabel 40 Hasil analisis regresi untuk perilaku pegawai (n=96) No 1
Variabel peubah (independen) Sikap Pegawai
2 3
Motivasi Ekstrinsik Motivasi Intrinsik
4
Komunikasi
5
Materi Belajar
6 7
Metode Belajar 0.303* 2.492 0.015 Interaksi Antar 0.202* 2.165 0.033 Kelompok Interaksi Intra Anggota -0.305* -2.534 0.013 Berpengaruh nyata dalam Kelompok Kosmopolitan 0.247* 2.239 0.028 Berpengaruh nyata Sumber : Analisa statistik dengan n= 96; α= 0.05 dan sama atau lebih kecil dari 0.01
8 9
Nilai Koefisien 0.367**
t hitung 3.215
Nilai Signifikan 0.002
-0.265* 0.542**
-2.312 5.744
0.023 0.000
0.351**
4.065
0.000
-0.380**
-2.889
0.005
Hasilnya Berpengaruh sangat nyata Berpengaruh nyata Berpengaruh sangat nyata Berpengaruh sangat nyata Berpengaruh sangat nyata Berpengaruh nyata Berpengaruh nyata
217
*diperoleh jika t hitung lebih besar dari t tabel atau nilai signifikan lebih kecil dari alpha (0,05); ** diperoleh jika t hitung lebih besar dari t tabel, dengan nilai signifikan lebih kecil atau sama dengan 0.01
Hipotesis awal adalah perilaku positif pegawai dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dipengaruhi secara bersama-sama oleh sikap pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001 (Y1), kepemimpinan (X1), motivasi (X2), interaksi kelompok (X3), karakteristik individu (X4), dan pendekatan pembelajaran di organisasi (X5). Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa ke enam
peubah tersebut secara bersama-sama
memberikan pengaruh nyata terhadap perilaku pegawai pada pelayanan publik yang diberikan. Jika dilihat lebih mendalam kepada peubah dan sub peubah yang ada sebagaimana tertera pada Tabel 40 dan Gambar 17, maka terlihat bahwa tidak semua sub peubah memberikan pengaruh nyata terhadap perilaku pegawai pada pelayanan publik. Hanya terdapat sembilan sub peubah dari 22 sub peubah yang memiliki pengaruh nyata terhadap perilaku pegawai. Motivasi intrinsik (X22) merupakan sub peubah yang memiliki pengaruh terbesar pada
perilaku pegawai dalam melayani
masyarakat. Temuan ini mematahkan anggapan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau aparat birokrasi sebagaimana pegawai BP2T tidak memiliki motivasi yang kuat untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Pengaruh tidak langsung peubah bebas terhadap perubahan perilaku pegawai melalui sikap adalah materi pembelajaran (X51), cara belajar (X54) dan model komunikasi (X53) dalam pembelajaran. Ketiga sub peubah ini merupakan representasi dari pendekatan pembelajaran di organisasi dan merupakan jalur kritis yang berpengaruh sangat nyata dan besar terhadap perubahan perilaku pegawai pada pelayanan publik.
218
Motivasi
€10.532
Komitmen
Intrinsik (X22)
(X12) -0.156
Sikap terhadap
Pendidikan
SMM ISO
0.133
formal (X42)
(X21) -0.265
0.367
Model komunikasi
Komunikasi pimpinan
0.448
0.463
Materi belajar
ekstrinsik
9001(Y1) 0.193
(X53)
Perilaku -0.38
0.351 0.247
€20.532
0.303
Cara belajar
Gambar
17
0.202
(X13) Kosmopolitan
layanan (Y2)
(X51)
(X54)
Motivasi
0.542
(X45)
-0.305
Interaksi intra
Metoda
Interaksi antar
kelompok
belajar (X52)
kelompok (X31)
(X32)
Diagram Jalur Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Pegawai pada Penerapan SMM ISO 9001 dan Perilakunya pada Pelayanan Publik.
Lintasan kritis pertama dari model sikap dan pengaruhnya terhadap perubahan perilaku pegawai pada pelayanan publik sangat ditentukan oleh ketersediaan materi pembelajaran (X51) yang berhubungan nyata dan sangat kuat terhadap sikap pegawai (Y1) pada penerapan SMM ISO 9001. Materi pembelajaran berpengaruh baik secara langsung ke perilaku pegawai maupun secara tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap sikap pegawai pada penerapan SMM ISO 9001. Jalur kritis kedua adalah besarnya pengaruh cara belajar (X54) terhadap sikap (Y1) dan perilaku pegawai pada pelayanan publik (Y2). Materi pembelajaran dan cara belajar merupakan representasi pendekatan pembelajaran di organisasi. Jalur kritis ketiga yang merupakan temuan terpenting dalam penelitian ini adalah besarnya pengaruh motivasi
219
intrinsik pegawai (X22) kepada pegawainya berpengaruh nyata terhadap perilaku pegawai dalam melayani publik. Jalur kritis ke empat adalah materi pembelajaran (X51) yang berpengaruh nyata dan negatif terhadap perilaku pegawai pada pelayanan publik. Sedangkan cara
pimpinan
berkomunikasi (X13) merupakan jalur kritis kelima yang berpengaruh nyata dan positif terhadap perilaku pegawai pada pelayanan publik.
1. Motivasi Intrinsik Pegawai Faktor pertama yang mempengaruhi perilaku pegawai pada pelayanan
publik
adalah
motivasi
instrinsik
pegawai
yang
direpresentasikan oleh tiga parameter yang digunakan dalam penelitian. Ke tiga paramaeter tersebut mengacu kepada hirarki kebutuhan yang dikembangkan Maslow, yaitu: (1) Kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement), (2) Kebutuhan untuk bersosialisasi, berafiliasi dan mendapatkan pengakuan (need for affiliation), serta (3) Adanya kebutuhan akan pekerjaan yang menantang dan kepercayaan (need to power atau need for self actualization) sesuai dengan keadilan atas tugas dan penghargaan yang diterima. Dari temuan penelitian
dapat disimpulkan bahwa semakin
tinggi motivasi intrinsik yang dimiliki pegawai akan semakin positif perilaku pegawai ketika memberikan pelayanan kepada masyarakat. Motivasi sebagai sebuah alasan atau dorongan seseorang untuk bertindak merupakan sebuah energi yang dapat meningkatkan persistensi maupun antusiasme seseorang dalam melaksanakan suatu kegiatan. Motivasi intrinsik sebagai sebuah energi yang dibangun dari dalam individu memberikan pengaruh terhadap perilaku pegawai dalam menyikapi penerapan SMM ISO 9001 dan perilaku pelayanan kepada masyarakat. Temuan ini memperkuat temuan sebelumnya oleh Fryxell, et al. (2004) tentang pengaruh motivasi terhadap upaya sertifikasi ISO 9001 khususnya pada efektifitas sistem manajemen lingkungan. Demikian pula temuan Zainol dan Zaelani (2009) dimana motivasi mempengaruhi sikap manajemen untuk mengadopsi ISO
220
9001 pada sistem manajemen lingkungan ISO 14001 di Malaysia. Kajian Zainol dan Zaelani juga menemukan faktor lainnya yang berpengaruh yakni peran dari pimpinan tertinggi, adanya orientasi pasar serta kultur organisasi. Berbagai faktor internal individu pegawai yang berpengaruh terhadap motivasi intrinsik sebagian besar berasal dari keinginan pegawai untuk berprestasi (need for achievement), keinginan mereka untuk bersosialisasi, berafiliasi
dan mendapatkan pengakuan, dan
karena pekerjaan yang menantang. Sangat sedikit atau bahkan tidak ada yang setuju ketika motif internal pegawai untuk berprestasi ini dikaitkan dengan reward atau penghargaan yang akan diterimanya. Jawaban responden pada pertanyaan yang mengkaitkan antara besarnya resiko pekerjaan dengan insentif yang akan diterima, 63% pegawai di Sragen menyatakan kurang setuju dan 50% pegawai di Sidoarjo juga menyatakan kurang setuju. Meskipun demikian, pegawai di kedua tempat penelitian mengharapkan adanya insentif dalam bentuk finansial yang memadai untuk hasil jerih payahnya, tetapi menurut mereka sangat tidak pantas jika keinginan tersebut dinyatakan secara terbuka sebagaimana disampaikan oleh M berikut ini: ”...Ini khan terkait dengan tingkat keikhlasan dan tingkat religi seseorang. Ada yang mengkaitkan dengan tingkat kesejahteraan yang bukan dalam bentuk uang, ada aspekaspek lain, ada aspek-aspek lain yang menjadi pertimbangan...”
Temuan ini sejalan dengan apa yang disampaikan Szilagyi dan Wallace (1990) tentang adanya empat motif yang mendorong perilaku pegawai di dalam organisasi. (1) Kompetensi dan keingintahuan mendorong pegawai untuk menginginkan pekerjaan yang tidak membosankan dan berulang-ulang. Oleh karenanya pegawai terpacu untuk meningkatkan pengetahuan dan kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan dengan cara yang tidak biasa; (2) Kebutuhan untuk berprestasi yang mendorong pegawai memilih pekerjaan yang jelas
221
dengan resiko yang tidak terlalu tinggi serta mudah diukur pencapaian kinerjanya; (3) Keinginan seseorang untuk menjalin hubungan sosial yang baik dengan lingkungannya, serta (4) Motif untuk mendapatkan persamaan hak. Kultur budaya seseorang menurut Szilagyi dan Wallace (1990) berperan penting dalam ke empat motif
tersebut.
Keengganan pegawai untuk menyatakan secara terbuka imbalan yang pantas dan segera atas pekerjaan atau prestasi adalah bukti bahwa kultur di dua daerah penelitian belum dapat menerima prestasi seseorang yang dihubungkan dengan keuntungan finansial yang diperoleh. Kultur yang demikian juga mendukung temuan Hofstede (1991) tentang kultur Indonesia yang tidak secara terbuka menyatakan pendapat, baik positif maupun negatif. 2.
Materi belajar Faktor kedua yang mempengaruhi perilaku pegawai terhadap ISO 9001 dan perubahan perilaku pegawai adalah materi belajar. Materi pembelajaran, terkait jumlah dan jenisnya berpengaruh negatif dan nyata terhadap perilaku pegawai dan perubahannya. Dari temuan ini dapat disimpulkan bahwa materi pembelajaran, yang terkait dengan kesesuaian materi yang diperlukan untuk pengembangan kompetensi dan kapasitas pegawai dalam melaksanakan tugas, jumlahnya, jenisnya, kemudahan akses terhadap materi, kesesuaian materi dengan cara belajar pegawai dirasakan masih belum optimal dalam mendukung perubahan perilaku pegawai kearah pelayanan publik yang baik. Materi pembelajaran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah, jenis, dan kesesuaiannya dengan kegiatan diklat yang diperlukan pegawai, maka materi belajar yang berhubungan negatif terhadap perilaku pegawai pada pelayanan publik dapat dipahami sebagai
belum cukupnya jumlah, jenis dan ketersediaan materi
yang diperlukan pegawai, khususnya mereka yang telah memiliki jiwa pelayanan publik yang sangat tinggi. Dapat dipahami dari temuan di lapangan menyatakan bahwa untuk materi-materi diklat yang terkait
222
dengan perilaku pelayanan (responsif, handal, dan beretika), sangat jarang dijumpai dalam bentuk hardcopy (CD, handout, buku-buku). Diklat tentang pembentukan karakter layanan lebih sering diberikan dalam bentuk diklat outbond, kesadaran atas pelanggan, kesadaran berperilaku yang santun, sopan dan ceria menyambut pelanggan. Diklat lainnya yang juga mendapatkan porsi cukup besar adalah diklat tentang membangun sikap percaya diri dan meyakinkan dalam melayani pelanggan, cara bersikap tubuh (body language) dan bertindak
tenang
saat
melayani
pelanggan.
BP2T
seringkali
mengundang praktisi bisnis, akademisi, maupun psikolog untuk dapat memperkenalkan cara baru atau pola pikir baru dalam menjalankan organisasi. Materi untuk diklat yang demikian ini jarang sekali tersedia dalam bentuk hardcopy. 3. Sikap Faktor ketiga
yang berpengaruh secara nyata terhadap
perilaku pegawai terhadap pelayanan publik adalah sikap pegawai yang direfleksikan oleh indikator: (1) pandangan atau orientasi pegawai terhadap mutu, (2) keterlibatan pegawai secara aktif di organisasi, (3) terhadap kesadaran untuk pengembangan diri serta (4) terhadap
kemampuan
pegawai
menginternalisasikan
fungsi
kepemimpinan di dalam dirinya. Hasil
penelitian
menyatakan
bahwa
sikap
pegawai
berpengaruh positif dan nyata terhadap perilaku pegawai pada pelayanan publik. Semakin positif sikap pegawai terhadap mutu dan nilai-nilai SMM ISO 9001 akan semakin terefleksikan pada positifnya perilaku pegawai yang responsif, akuntabel dan beretika dalam pemberian pelayanan. Temuan membuktikan salah satu tesis Warner dan De Fleur (Ahmadi, 2007) tentang hubungan antara sikap dan tingkah laku. Pada kasus ini, terjadi konsistensi (postulat keajegan) hubungan sikap dan perilaku
yang dipengaruhi oleh lingkungan
terdekat dalam kehidupan sehari-hari, yakni lingkungan organisasi birokrasi (sistem, kebijakan, kultur, nilai-nilai). Sebagai sebuah
223
kecenderungan positif atau negatif yang berhubungan dengan obyek psikologis tertentu, sikap positif pegawai ditunjukkan dalam bentuk perilaku yang positif terhadap pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Terkait dengan peran sikap individu yang berhubungan secara konsisten dengan perilakunya, hal ini sejalan pula dengan formulasi Bandura yang menyatakan bahwa perilaku
(behavior) merupakan
fungsi dari individu (person) dan lingkungan (environment) dimana ia berada. Kantor BP2T telah menerapkan SMM ISO 9001 selama bertahun-tahun merupakan sebuah lingkungan dimana para pegawai berada dan bekerja. Penerapan SMM ISO 9001 secara langsung telah mempengaruhi cara kerja pegawai, cara berinteraksi dengan orang lain, baik sesama pegawai, dan dengan masyarakat yang dilayani. Pegawai dipandu melaksanakan pekerjaan dengan panduan mutu, instruksi kerja yang jelas, terarah, dan lebih pasti atas target kinerja yang harus dihasilkan. Pembelajaran sosial di organisasi sebagaimana BP2T telah membentuk budaya organisasi yang berorientasi kepada pentingnya pelayanan kepada masyarakat sehingga berbagai cara dan inovasi layanan dikenalkan kepada masyarakat. Inovasi pelayanan yang semakin efisien dalam melayani masyarakat merupakan representasi dari salah satu prinsip SMM ISO 9001:2008 yakni adanya peningkatan berkelanjutan. Meningkatnya sikap positif pegawai terhadap mutu dan SMM ISO 9001 tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi perubahan tersebut melalui serangkaian proses dan waktu yang panjang (lebih dari delapan tahun) yang berujung kepada positifnya perilaku pegawai terhadap SMM ISO 9001 dan pelayanan masyarakat. Pembentukan perilaku yang demikian ini sejalan dengan teori Skinner tentang pembentukan perilaku melalui pembiasaan (conditioning) atau perilaku yang dibentuk karena sebuah proses belajar yang dilalui individu (operant conditioning). Pegawai dibiasakan bekerja dalam sebuah sistem, saling tergantung antara satu bagian dengan baian lainnya. Pegawai
224
dibiasakan bekerja mengikuti mekanisme dan prosedur baku yang disepakati, berperilaku sesuai dengan nilai-nilai budaya mutu yang ditetapkan. Perilaku yang dibentuk melalui proses belajar ini menurut Skinner akan menjadi perilaku yang lebih dominan pada individu. Pegawai di kedua daerah penelitian bekerja melayani masyarakat dibawah sebuah sistem manajemen bertaraf internasional dan diakui telah mampu meningkatkan kinerja pemerintah daerah dimata masyarakat (Dwiyanto, 2010). Sikap positif pegawai terhadap penerapan SMM 9001 ini juga sejalan dengan Nasution (2005) tentang pengaruh implementasi SMM terhadap partisipasi dan komitmen pegawai terhadap mutu, sehingga tumbuhnya rasa bangga pada pekerjaan akan mendorong pegawai bekerja secara optimal serta tumbuhnya rasa tanggung jawab untuk meningkatnya kinerja organisasi. Temuan
di
lapangan
memberikan
pemahaman
bahwa
perubahan perilaku pegawai dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dapat terjadi karena adanya dorongan sikap positif pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001, adanya motivasi intrinsik pegawai yang tinggi, serta adanya metode pembelajaran di organisasi yang sesuai dengan kebutuhan pegawai untuk mengembangkan pengalaman, kapasitas dan kompetensinya menjalankan tugas. Stimulus terjadinya perubahan perilaku tersebut sejalan dengan temuan Rustandi (2010) tentang stimulus yang diperlukan santri untuk berubah ke perilaku santri yang memiliki kompetensi di agribisnis. Motivasi belajar, sikap dan nilai yang ditanamkan oleh para ustadz untuk memiliki etos kerja yang tinggi, bukan kepada hasil yang tinggi merupakan stimulus yang berpengaruh terhadap terjadinya perilaku agribisnis santri. Sikap pegawai yang berperan besar dalam perilaku pelayanan publik juga sejalan dengan temuan Koo, Koo dan Tao (1998) dimana mengetahui lebih dalam tentang sikap pegawai dan apa yang mereka pikirkan berpengaruh besar terhadap suksesnya sertifikasi SMM ISO
225
9001. Jika persepsi pegawai benar terhadap SMM ISO 9001, maka akan memberi mereka cukup banyak ruang untuk meningkatkan kontribusi mereka ke organisasi. Menurut mereka, pegawai adalah satu-satunya aset yang sangat rentan untuk diduga sikapnya. Temuan Koo, Koo dan Tao juga menyatakan bahwa sikap merupakan faktor yang berdiri sendiri dalam memberikan pengaruh pada pencapaian sertifikasi ISO 9001 di organisasi. Adanya hubungan pengaruh yang positif dari sikap ke perilaku merupakan representasi dari keajegan sikap yang terefleksikan dalam tindakan-tindakan atau perilaku yang kasat mata. Disinilah pengaruh kelompok berperan. Sarwono (2005) menyatakan bahwa sikap yang dimiliki seseorang tidak selamanya akan berujung kepada perilaku yang sesuai dengan sikap tersebut karena kelompok dimana ia bergabung tidak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan individu. Peran dan perilaku kelompok
akan mewarnai motivasi pegawai
kemudian mempengaruhi perilaku seseorang ketika mereka berada di dalam kelompok tersebut.
4. Komunikasi Pimpinan. Faktor keempat yang berpengaruh terhadap perilaku pegawai dalam
memberikan
pelayanan
kepada
masyarakat
adalah
kepemimpinan, khususnya komunikasi. Komunikasi pimpinan, dalam hal ini bukan hanya pimpinan puncak (tertinggi), tetapi juga pimpinan struktural mulai dari eselon IV, III hingga II yang ada di BP2T memiliki pengaruh positif dan nyata terhadap perilaku pegawai dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Fungsi kepemimpinan dalam organisasi adalah menggerakkan orang-orang di dalam organisasi untuk secara bersama-sama mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu, seorang pimpinan diharapkan memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan visinya, mengkomunikasikan nilai-nilai organisasi dan tujuan organisasi kepada seluruh pegawainya.
226
Temuan di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan berkomunikasi para pimpinan termasuk kedalam kategori tinggi (49,06%) dan sangat tinggi (30,19%), artinya para pimpinan di kedua tempat
penelitian
memiliki
kemampuan
untuk
menyampaikan
informasi, mengajak bekerja, menjadi juru bicara organisasi ke luar dan menjadi pelatih bagi pegawainya. Temuan ini sejalan dengan pernyataan Nanus (1993) bahwa seorang pimpinan organisasi sebagaimana BP2T juga berperan sebagai agen perubahan (agent of change). Mereka memperkenalkan ide-ide baru layanan, memutuskan diadopsi tidaknya sebuah teknologi, dimana setelah diputuskan untuk diadopsi akan berlanjut kepada pencarian baru berbagai informasi yang terkait (Rogers, 1995). Temuan di lapangan juga menguatkan pernyataan Kartono (2006) bahwa pemimpin haruslah selalu berkomunikasi dengan semua pihak, baik melalui hubungan formal maupun informal. Suksesnya pelaksanaan tugas
pemimpin sebagian besar ditentukan oleh
ketrampilan pimpinan dan kemahirannya menjalin komunikasi yang tepat dengan semua pihak yang terlibat, baik di internal organisasi, secara horisontal, diagonal
secara vertikal, keatas dan kebawah
maupun
organisasi,
dengan
eksternal
yakni
para
pemangku
kepentingan BP2T: masyarakat umum, industri, pimpinan Pemerintah Daerah, serta unit-unit pelaksana teknis daerah lainnya. Sebuah organisasi yang menerapkan SMM ISO 9001 adalah sebuah organisasi pembelajar, maka Senge (1990) menyampaikan perlunya beberapa kemampuan yang harus dimiliki seorang pemimpin dalam organisasi pembelajar (learning organization). Peran baru yang dimaksudkkan Senge diantaranya adalah: (1) pemimpin sebagai perancang, (2) pemimpin sebagai pengasuh, dan (3) pemimpin sebagai guru. Pemimpin bertanggung jawab terhadap pembangunan organisasi, dimana setiap orang memperluas dan meningkatkan kemampuan secara terus menerus, memperluas kompetensi untuk memahami
227
kompleksitas, menjelaskan visi, dan memperbaiki paradigma berpikir yang ada atau mengubah mental model lama. Peran pemimpin sebagaimana yang diharapkan oleh Kuczmarski dan Kuczmarski (1995) tidak saja mengajak orang-orang untuk bekerja bersamanya, artinya pimpinan seharusnya memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, tetapi pemimpin juga diharapkan memiliki kemampuan lainnya, seperti mendengarkan, memiliki perilaku yang positif dan optimis, memiliki semangat tinggi, memahami kelemahan dan kekuatan sendiri serta memiliki perhatian atau atensi terhadap orang lain. Ketrampilan berkomunikasi menjadi sebuah keniscayaan bagi pimpinan. Komunikasi yang dibangun oleh para pimpinan di daerah penelitian dirasakan pegawai mampu memenuhi kebutuhan mereka akan informasi terkini, tersedia saluran komunikasi yang dibutuhkan, serta tidak terjadi kemandekan informasi. Hal ini terbukti salah satunya adalah
komitmen para pimpinan dalam menyediakan infrastruktur
komunikasi yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan tugas pegawai sehingga kedua daerah penelitian mendapatkan pengakuan dari institusi lain karena komitmennya tersebut. Hadiah ICT Pura bagi ke dua BP2T yang memiliki kesadaran tinggi atas pemanfaatan IT merupakan bukti bahwa komunikasi merupakan
perangkat
penting
organisasi
untuk
mewujudkan
pencapaian kinerja. Tidak hanya di bidang pemenuhan infrastruktur komunikasi, sisi kelembagaan informasi lainnya yang tidak kalah penting adalah tidak adanya pembatas dalam berkomunikasi juga dirasakan oleh para pegawai di dua daerah penelitian. Berbagai kebijakan komunikasi yang diterapkan di
dua daerah penelitian
terbukti mampu meningkatkan kepuasan masyarakat. Pemanfaatan
jalur-jalur
komunikasi
tidak
resmi,
seperti:pertemuan secara tidak sengaja, adanya malam ramah tamah, makan bersama, outbond, pelatihan pengembangan kepribadian (self awareness,customer awareness) yang hampir rutin diadakan setiap
228
bulan sekali untuk seluruh pegawai, dan acara-acara kebersamaan lainnya telah meningkatkan mutu komunikasi antara pimpinan dan bawahan. Kondisi ini memberikan dampak terhadap terwujudnya transparansi dalam pengelolaan organisasi, sehingga setiap orang di organisasi
merasakan
dampak
dijalankannya
prinsip-prinsip
pengelolaan organisasi berbasis SMM ISO 9001.
5. Interaksi Intra Anggota di Dalam Kelompok Faktor kelima yang berpengaruh terhadap perubahan perilaku pegawai pada penerapan SMM ISO 9001 dan perilakunya dalam melayani masyarakat adalah interaksi kelompok. Interaksi kelompok direpresentasikan oleh dua hal: (1) Interaksi antar kelompok, dan (2) Interaksi intra anggota di dalam kelompok. Interaksi intra di dalam kelompok memiliki pengaruh negatif, nyata dan parsial terhadap perilaku pegawai dalam pelayanan kepada masyarakat. Pegawai yang telah memiliki perilaku yang tinggi, yakni responsif
terhadap
kebutuhan
masyarakat,
akuntabel
dalam
memberikan pelayanan serta memiliki etika yang tinggi dalam pelayanan merasa bahwa interaksi mereka di dalam kelompok masih sangat kurang ditinjau dari frekwensi dan kemanfaatannya bagi mereka. Pegawai merasakan masih terbatasnya kesempatan untuk mendiskusikan tugas-tugas kelompok, mendiskusikan potensi yang dimiliki kantor dan individu, serta terbatasnya kesempatan mereka untuk terlibat langsung dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pegawai dalam memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat. Pegawai yang memiliki partisipasi aktif dalam kategori tinggi sebanyak 51.04%, atau separo dari responden yang ada. Temuan ini belum sepenuhnya sejalan dengan pernyataan Hare tentang kelompok (1976), Bales (1950) dan Bass (1960). Menurut Hare, kelompok adalah sekumpulan individu yang saling berinteraksi, yang oleh Stogdill diperluas dengan adanya interaksi yang terbuka dimana tindakan orang-orang didalamnya akan
229
menentukan sistem yang ada, dan interaksi tersebut tersusun oleh serangkaian peran dan norma-norma. Bales mempertegas hubungan intra kelompok dimana setiap orang mendapatkan kesan atau pandangan tentang anggota yang lainya, berinteraksi dan bertanya kepadanya, memiliki persepsi yang sama mengenai sesuatu hal sehingga
mereka
bertindak
sebagai
sebuah
kesatuan
di
lingkungannya. Para anggota akan mencoba untuk memuaskan beberapa kebutuhan pribadi melalui kebersamaan mereka di dalam kelompok. Kelompok bisa menjadi sehat ataupun tidak sehat. Jika pegawai BP2T dianggap sebagai sebuah kelompok, maka harus ada interaksi di dalamnya, adanya kesempatan bertatap muka, adanya saling ketergantungan dan adanya identitas yang kuat. Identitas kelompok kecil semacam BP2T ini sebagai sebuah batasan sosial. Interaksi intra anggota di dalam kelompok memiliki pengaruh yang nyata dan negatif,
dapat
disimpulkan
bahwa
ciri-ciri
kelompok
kecil
sebagaimana yang disampaikan Bales belum dapat sepenuhnya terjadi dan dirasakan oleh anggota kelompok di BP2T. Frekwensi tatap muka, pertemuan, saling ketergantungan diantara anggota, masih dirasa belum optimal dirasakan sebagai pendorong terjadinya perubahan perilaku pegawai dalam melayani masyarakat. Perilaku positif pegawai lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar interaksi intra di dalam kelompok. Hasil pengamatan di lapangan mengindikasikan bahwa pertemuan kelompok secara formal memang jarang dilakukan karena lingkup organissi yang kecil dengan rentang kendali yang tidak terlalu luas. Diskusi berjalan tanpa melalui pertemuan formal kelompok yang dirasa terlalu formal dan kadangkala menimbulkan pembiayaan yang tidak seharusnya ada, misalnya untuk konsumsi. 6. Metode belajar Faktor ke enam yang mempengaruhi perilaku pegawai terhadap ISO 9001 dan perubahan perilaku pegawai adalah metode belajar.
230
Metode belajar lebih dilihat dari sisi bagaimana pembawa pesan, fasilitator, guru, pengajar menyampaikan informasi, pengetahuan baru dan pesan-pesan kepada pegawai. Hasil analisa statistik menyatakan bahwa metode pembelajaran memberikan pengaruh positif dan nyata terhadap perilaku pegawai. Artinya metode belajar yang tepat berpengaruh secara nyata terhadap perubahan perilaku pegawai. Metode belajar
yang tepat
dan berhubungan dengan
perubahan perilaku juga dibahas oleh Seng (2003). Menurut Seng, pembelajaran adalah
perubahan perilaku yang permanen pada
individu ketika mereka belajar melalui pengalaman. Belajar adalah sebuah proses perubahan internal yang terjadi didalam individu yang sulit untuk bisa diobservasi langsung. Namun demikian, perubahan dalam berpikir, emosi atau kemampuan seseorang dalam merespon terhadap situasi tertentu adalah kunci pembelajaran. Senada dengan Seng, hasil akhir dari penyuluhan atau pembelajaran adalah terjadinya perubahan individu dalam hal kemampuan untuk memilih dan memutuskan hal-hal terbaik untuk dirinya ketika ia dihadapkan pada situasi untuk memilih dan memutuskan (Asngari, 2007). Metode pembelajaran yang tepat, oleh karenanya menjadi sangat penting untuk menarik dan memotivasi seseorang untuk belajar. Demikian banyak perspektif teori belajar yang ada, tetapi menurut Seng (2003), ada kesamaan perspektif yang perlu diketahui oleh warga belajar maupun pengajar yaitu: (1) setiap orang mempelajari sesuatu yang bermanfaat maupun yang tidak bermanfaat, (2) peserta belajar tidak selalu menyadari apa yang telah dipelajarinya, (3) hasil pembelajaran tidak selalu mudah untuk dilihat, (4) terdapat berbagai macam dan tingkat pembelajaran. Dengan memahami asumsi dasar tentang bagaimana proses pembelajaran terjadi akan memudahkan dalam memahami bagaimana peserta belajar atau pegawai mempelajari sesuatu. Temuan di lapangan juga membuktikan teori Bandura (1977) bahwa perubahan perilaku seseorang bisa diamati dan dipengaruhi
231
oleh proses internal yang ada di dalam diri orang tersebut. Proses internal yang dimaksud dalam hal ini adalah bagaimana seseorang tersebut mempelajari sesuatu dan bagaimana lingkungan diluar mempengaruhi individu, yaitu metode pembelajaran yang digunakan.
7. Motivasi Ekstrinsik Motivasi adalah akibat dari interaksi seseorang dengan situasi tertentu yang dihadapi sehingga kekuatan motivasi seseorang dengan orang lain akan berbeda-beda, khususnya jika mereka berada pada situasi tertentu (Siagian, 2004). Motivasi yang bersumber dari luar diri yang bersangkutan dikenal sebagai motivasi ekstrinsik. Motivasi eksternal yang paling mudah dilaksanakan kepada individu pegawai adalah pujian yang disampaikan oleh atasan pegawai kepadanya, apalagi jika disertai dengan penghargaan berupa hadiah atau finansial. Sebagai sebuah proses psikologis yang sangat fundamental sifatnya, motivasi seseorang menjadi sebuah kebutuhan sehingga manajemen perlu memberikan perhatian yang sifatnya khusus. Motivasi ekstrinsik dalam penelitian ini adalah berbagai dorongan ataupun harapan baik yang berasal dari dalam organisasi, seperti keputusan atau kebijakan organisasi, peraturan atau Undang-undang yang mengatur organisasi hingga kepada dorongan atau tekanan dari masyarakat yang mengharapkan pelayanan yang lebih baik bagi mereka. Berbagai dorongan dari luar pegawai yang menjadikan motivasi ekstrinsik pada kategori tinggi (75%). Sedangkan yang menyatakan bahwa dorongan eksternal yang membuat mereka termotivasi bekerja sangat tinggi berjumlah 15.63% atau 15 orang. Adapun parameter pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah: harapan masyarakat akan layanan publik yang diterima dikaitkan dengan kinerja pemerintah daerah. Parameter lainnya adalah tanggapan masyarakat terhadap penerapan SMM ISO 9001 di BP2T, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pusat dan
232
Daerah, serta perundangan lain yang mengatur organisasi dan tata kerja BP2T. Sedangkan dorongan eksternal individu pegawai tetapi berasal dari dalam organisasi diantaranya adalah visi pimpinan terhadap pelayanan publik, sistem remunerasi, sistem penghargaan dan hukuman (reward and punishment), pengembangan karir yang menarik, serta meningkatnya investasi dan implikasinya kepada penghargaan yang diterima pegawai. Hasil analisa statistik menyatakan bahwa motivasi ekstrinsik berhubungan negatif dan nyata terhadap perilaku pegawai dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan kata lain, para pegawai yang memiliki perilaku yang sangat positif, sangat tinggi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat masih belum merasakan
dorongan kebutuhan masyarakat ataupun keputusan
pimpinan, kebijakan pimpinan maupun peraturan perundangan yang cukup kuat bagi mereka untuk berperilaku responsif kepada pelayanan masyarakat. Tetapi ada faktor lain diluar dorongan eksternal yang membuat pegawai berperilaku sangat responsif, handal dan beretika pelayanan kepada masyarakat.
8. Kekosmopolitan individu Kekosmopolitan individu atau pegawai merupakan faktor ke tujuh yang memberikan pengaruh nyata dan positif terhadap perilaku pegawai pada perilakunya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Artinya, semakin kosmopolit seseorang pegawai semakin positif perilakunya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan sebaliknya. Temuan dilapangan menunjukkan tingkat kekosmopolitan pegawai di kedua daerah dalam kategori tinggi (67,71%) dan sangat tinggi (22,92%). Prosentase pegawai yang memiliki kekosmopolitan yang tinggi di Sragen (73,58%) lebih tinggi daripada di Sidoarjo (60,47%).
Sifat
kekosmopolitan
yang
direpresentasikan
keterbukaan seseorang atau frekwensi mereka mengakses
dari
sumber-
233
sumber informasi, tingkat hubungannya dengan dunia di luar dirinya dan sistem sosialnya. Selain itu, tingkat kekosmopolitan seseorang dapat dicirikan oleh frekwensi dan jarak perjalanan yang dilakukannya, dimana pada penelitian ini adalah riwayat pekerjaan, atau karir dan seberapa banyak pegawai telah mengalami berbagai pengalaman dengan kepindahan mereka dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Proses adopsi inovasi akan berjalan jauh lebih cepat pada masyarakat
yang
memiliki
tingkat
keterbukaan
yang
tinggi
(Mardikanto, 1993). Sejalan dengan pernyataan Mardikanto tersebut, tingginya tingkat kekosmopolitan pegawai di kedua daerah penelitian mempengaruhi sikap pegawai yang secara langsung mempengaruhi perilaku pegawai pada penerapan SMM ISO 9001 dan perilakunya pada pelayanan publik. SMM ISO 9001 adalah sebuah standar sistem manajemen mutu yang dikembangkan untuk merespon perkembangan dunia yang semakin mengglobal. Penerapan SMM ISO 9001 terutama di organisasi publik sebagaimana BP2T diputuskan oleh pimpinan organisasi yang memiliki wawasan modern dan jauh ke depan, dilaksanakan oleh pegawai yang memiliki tingkat pendidikan formal yang tinggi, dan memiliki tingkat kekosmopolitan atau sentuhan dengan dunia luar yang tinggi pula.
9. Interaksi Antar kelompok Temuan di lapangan menyatakan bahwa interaksi antar kelompok memberikan pengaruh positif dan nyata terhadap perilaku pegawai terhadap pelayanan publik dan perubahan perilaku pegawai sebagaimana dinyatakan dengan nilai t hitung (2.165) yang lebih besar dari t tabel (1.98) pada alpha 0.05. Interaksi antar kelompok yang direpresentasikan dengan frekwensi pertemuan antar kelompok, kemanfaatan pertemuan antar kelompok dalam menyelesaikan permasalahan
berpengaruh
terhadap
perilaku
pegawai
dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Semakin sering pertemuan dilaksanakan,
semakin
mudah
menyelesaikan
permasalahan,
234
menghindarkan tumpang tindih tugas dan konflik yang terjadi antar kelompok dalam proses melaksanakan tugas, semakin tinggi atau semakin positif perubahan perilaku pegawai dalam menjalankan tugastugas pelayanan kepada masyarakat. Pegawai semakin responsif dan akuntabel dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Interaksi antar kelompok di dua daerah penelitian dalam kategori tinggi (71.87%). Kelompok kerja memungkinkan organisasi dan para anggota melaksanakan hal-hal tertentu yang tidak mungkin dilakukan dan dilaksanakan oleh individu-individu ataupun oleh kelompok secara tersendiri (Winardi, 2009). Demikian pula yang ditemukan di lapangan. Pelayanan perijinan yang diberikan oleh BP2T baik Kabupaten Sragen maupun Sidoarjo memerlukan kerja sama dengan kelompok lain di luar BP2T. Ketika hubungan individu di dalam kelompok mengalami pendewasaan, maka perhatian dialihkan kepada hubungan antara kelompok dan pihak lain di dalam lingkungan eksternal. Koordinasi hubungan antar kelompok di BP2T dengan kelompok lain di Unit Satuan Kerja Pemerintah Daerah lainnya perlu dibangun untuk mencapai tujuan pelayanan yang maksimal. Temuan di lapangan menyatakan bahwa tingginya interaksi antar kelompok telah mampu meminimalkan konflik yang mungkin terjadi ketika mereka harus melaksanakan tugas masing-masing. Pertemuan rutin yang digelar setiap hari Kamis menjadi arena koordinasi
antar kelompok yang memiliki tugas dan fungsi yang
saling terkait, dan diwakili oleh mereka yang memiliki kewenangan untuk memutuskan. RW dan RT sebagai sebuah institusi yang memberikan pendapat terhadap pemanfaatan tata ruang di wilayahnya dengan BP2T sebagai penerbit perijinan. Menurut responden, kerja sama antar kelompok diantara mereka telah dapat berjalan dengan harmonis sehingga dapat mengurangi konflik yang mungkin terjadi selama mereka menjalankan tugas dan efisien dari segi waktu.
235
Perilaku Budaya Mutu Kajian Cameron dan Sine (1999) tentang beberapa karakteristik yang membedakan sebuah organisasi memiliki budaya mutu dapat dilihat dari beberapa hal, yakni: adanya efektifitas organisasi yang cukup tinggi, diterapkannya alat untuk mengukur standar mutu, seperti penerapan ISO 9001, memiliki sikap yang positif terhadap cara-cara pengumpulan data, analisa dan pemanfaatan data khususnya untuk mengetahui keinginan pelanggan. Selain itu organisasi juga dapat dengan mudah dikenali sebagai organisasi pembelajar (learning organization), diterapkannya koordinasi silang bagi para fungsional, menekankan optimalisasi penggunaan pegawai dan mutu menjadi prioritas organisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku pegawai di kedua daerah penelitian dapat dikatakan telah berbudaya mutu. Pertama, BP2T Sragen dan Sidoarjo telah menerapkan salah satu alat untuk menerapkan dan mengukur standar mutu, yakni menerapkan SMM ISO 9001 sejak tahun 2002 (Sragen) dan 2003 (Sidoarjo). Kedua, mereka memiliki efektifitas yang cukup tinggi terkait dengan kinerja yang dicapainya, yakni jumlah perijinan yang telah dikeluarkan, keterlambatan penyelesaian perijinan yang berada dibawah 5%. Secara proporsional, satu orang pegawai melayani 197 perijinan pertahun, artinya setiap dua hari sekali sebuah perijinan dapat diselesaikan dengan baik (BP2T Sidoarjo, 2011). Ketiga, keduanya selalu melaksanakan survey untuk mengumpulkan data kepuasan pelanggan atau kepuasan masyarakat, yakni mengukur Indeks Kepuasan
Masyarakat
(IKM),
baik
dilakukan
sendiri
maupun
menggunakan pihak ketiga di luar BP2T. Daerah penelitian juga dengan mudah dikenali sebagai organisasi pembelajar dengan adanya program-program pembelajaran di organisasi yang secara teratur dilaksanakan 1-3 kali dalam setahun (customer awareness, pengembangan pribadi, dan kegiatan pembelajaran lainnya yang lebih mengarah kepada pengembangan kompetensi pegawai). Selain itu, SDM yang ada dipergunakan secara optimal. BP2T Sragen memiliki 43 pegawai untuk melayani hampir 70 jenis layanan perijinan dan non
236
perijinan dengan sistem layanan satu atap, sedangkan Sidoarjo memiliki lebih banyak pegawai (61 orang ) untuk melayani 25 jenis perijinan dengan sistem satu pintu. Mutu pelayanan menjadi perhatian yang tinggi di kedua daerah penelitian dimana kedua pimpinan BP2T selalu mencari jalan atau inovasi untuk bisa memberikan layanan yang terbaik untuk masyarakat dan kepuasan mereka. Perhatian terhadap mutu salah satunya disampaikan oleh Tg (45 tahun) terkait dengan SDM yang akan dimutasi, sebagai berikut:
…saya tidak keberatan anak buah saya dimutasi apalagi jika untuk dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi dan memiliki pengaruh karena anak buah saya memiliki etos kerja, etos melayani dan kemampuan yang melebihi rata-rata pegawai negeri yang ada di Kabupaten. Contohnya, ada yang dipromosi menjadi Camat, dan disana ia menyebarkan cara-cara pengelolaan kantor sebagaimana disini, menggunakan sistem manajemen mutu. Kalau semakin banyak yang seperti itu, saya yakin budaya pelayanan akan semakin cepat menyebar dan masyarakat puas tidak harus ke kantor Bupati…
Pendapat dan pengalaman yang disampaikan oleh Tg tersebut sesuai dengan filosofi dasar tujuan diterapkannya SMM ISO 9001:2008 tentang Total Quality Management (TQM). Penerapan SMM ISO 9001 diharapkan bisa menjadi sebuah gerakan yang semakin lama semakin meluas, tidak saja mencakup organisasi itu sendiri, tetapi juga memberi dampak kepada sekitarnya dan pemangku kepentingannya (Hoyle, 2009) sebagaimana gambaran gerakan lingkaran angin puyuh yang semakin melebar diatasnya. Pandangan untuk selalu meningkatkan mutu yang menjadi salah satu parameter budaya mutu terlihat pada pandangan pimpinan BP2T (DS, 47 tahun) untuk selalu melakukan upaya-upaya perbaikan, misalnya dengan visi pelayanan prima yang diwujudkannya dalam pola ”tujuh tiga dan delapan empat”. Artinya pelayanan yang biasanya dilaksanakan selesai dalam waktu tujuh hari dipangkas menjadi tiga hari, dan pelayanan yang membutuhkan waktu delapan hari dipangkas menjadi empat hari. DS juga membuat terobosan dengan mengadakan pelatihan bahasa asing, khususnya terkait dengan kecenderungan meningkatnya jumlah investor
237
yang berasal dari negara Korea dan Taiwan. Kebijakan tersebut dilakukan untuk semakin menarik minat investor datang di daerahnya. DS memperkirakan bahwa kelompok masyarakat sipil seperti: Lembaga Swadaya Masyarakat, pengusaha, wartawan media akan menjadi kelompok penekan (pressure group) yang semakin kuat. Pengusaha mempunyai hak untuk memilih dimana ia akan menginvestasikan dananya, dan daerah-daerah di sekitar Sidoarjo seperti Gresik, Surabaya, Pasuruan, Mojokerto adalah saingan Sidoarjo. Oleh karena itu penerapan ISO 9001 harus dijaga kesinambungannya, sebagaimana pernyataan DS berikut ini: … saya tahu menerapkan ISO tidak murah, tetapi bukan mahalnya yang menjadi pertimbangan. Budaya kerja yang perlu diubah. Jika budaya mutu ISO 9001 sudah berjalan, sudah terbiasa, malah yang baru akan mengikuti. Masyarakat industri percaya kepada kita….
Pemikiran pimpinan BP2T (DS) tentang antisipasi atas keinginan pelanggan di masa mendatang merupakan sebagian hasil yang diharapkan kepada organisasi yang menerapkan SMM ISO 9001. Tanggung jawab manajemen tidak hanya sebatas kepada berkomitmen menyediakan sarana dan prasarana kerja, tetapi juga menilai dan mengantisipasi keinginankeingan pelanggan di masa datang. Budaya ISO telah dirasakan manfaatnya oleh para pegawai BP2T. Salah seorang pegawai, NB menyatakan adanya keteraturan dalam bekerja serta memberinya banyak waktu karena ia tidak harus mengerjakan berbagai macam pekerjaan yang bukan menjadi bidang kerjanya. Disamping itu, dengan sistem yang ada, ia bisa mengetahui target penyelesaian pekerjaan. Bagi NB tidak jadi masalah jika diperlukan waktu tambahan untuk mengerjakannya. NB menyatakan rasa bangganya dengan bisa bekerja di BP2T yang memiliki budaya kerja yang berbeda dengan unit kerja lainnya di Sidoarjo. Jika dikaitkan dengan terbentuknya budaya, mulai dari ide-ide, perilaku dan kemudian simbol-simbol, artefaks, benda-benda seni (Koentjaraningrat,
2000),
maka
perilaku
berbudaya
mutu
yang
238
tergambarkan di dua daerah penelitian telah membentuk budaya mutu di masyarakat. Ide pelayanan yang berbasiskan SMM ISO 9001 yang bertaraf internasional dan diakui perannya, perilaku pegawai yang responsif terhadap pelanggan dan masyarakat, serta sarana dan prasarana pelayanan yang telah memperhatikan kebutuhan dan kenyamanan masyarakat adalah bukti telah terjadinya perubahan budaya birokrasi yang lamban, tidak responsif dan tidak kredibel menjadi budaya birokrasi yang menjadikan masyarakat sebagai pelanggan utamanya. Jika dikaitkan dengan tingkat pencapaian mutu organisasi menurut Hoyle (2009), maka apa yang dicapai oleh BP2T tersebut telah berada pada tingkat ke tiga. Kepuasan masyarakat karena terpenuhinya kebutuhan dan harapan mereka (yang ditunjukkan dengan IKM diatas 80%) menjadi ukuran keberhasilan ke dua organisasi publik dalam memuaskan masyarakat. Inovasi-inovasi pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat sesuai dengan prosesnya dan mampu menjaga kepuasan masyarakat sehingga menjaga dan meningkatkan kesuksesan organisasi.
Model Penerapan SMM ISO 9001 yang Berkelanjutan di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BP2T)
Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa dari duapuluh dua peubah yang diduga berpengaruh terhadap sikap pegawai pada penerapan SMM ISO 9001 dan perilakunya pada pelayanan publik, telah didapatkan sebelas peubah yang berpengaruh nyata dan sangat nyata, baik positif maupun negatif. Analisa deskriptif yang mengikuti setiap peubah yang berpengaruh telah pula disajikan berdasarkan temuan di lapangan, teori yang mendukung maupun penelitian yang telah dilakukan sebelum penelitian ini. Beberapa peubah yang dianggap sangat kritis, berperan besar pada sikap pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001 dan perilakunya pada pelayanan publik dipergunakan sebagai dasar untuk mengembangkan
model penerapan SMM ISO 9001 yang diharapkan
dapat secara berkelanjutan diterapkan di kedua daerah penelitian tersebut.
239
Model yang diusulkan bukanlah sebuah model yang statis tetapi merupakan model yang dinamis disesuaikan dengan temuan lapangan terhadap berbagai peubah yang berperan besar dalam menentukan sikap pegawai maupun perilaku pegawai dalam memberikan pelayanan publiknya. Bukan berarti peubah-peubah yang ditemukan dan memiliki nilai standardized yang lebih kecil tidak memiliki pengaruh, tetapi peubah tersebut secara bersama-sama dengan peubah lainnya akan memberikan pengaruh terhadap sikap pegawai dan perilakunya. Gambar 18 menunjukkan model penerapan SMM ISO 9001 yang berkelanjutan dengan pengembangan
sikap positif pegawai terhadap
penerapan SMM ISO 9001 sebagai langkah awal proses penerapan model tersebut. Sikap positif pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001 akan dapat dibentuk dan dikembangkan jika
didukung sepenuhnya oleh
komitmen pimpinan, ketersediaan materi pembelajaran yang sesuai ditinjau dari jumlah dan komposisinya, bentuk sediaan materi, berupa CD, hand out, panduan, ataupun bentuk lainnya, kemudahan akses pegawai dalam mendapatkan materi dan kemudahan memahaminya, dihargainya cara belajar pegawai serta model komunikasi yang berjalan ketika pembelajaran di organisasi berlangsung. Faktor tersebut merupakan sebuah kondisi lingkungan di organisasi yang akan mempengaruhi dan mengubah sikap pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001. Sedangkan cara belajar, pendidikan formal,
motivasi intrinsik yang dimiliki pegawai
merupakan kondisi internal yang akan mempengaruhi cara pegawai bersikap. Sikap positif pegawai yang juga didukung oleh cara pimpinan berkomunikasi yang baik, bukan saja kepada para bawahan, tetapi juga dengan pihak-pihak eksternal organisasi akan
memberikan pengaruh
terbentuknya perilaku layanan publik yang responsif, handal dan beretika. Terjadinya perubahan paradigma pemberian pelayanan publik yang mengarah kepada perilaku responsif, dapat diandalkan dan beretika menjadi suatu keadaan yang sangat diharapkan masyarakat penerima layanan. Jika masyarakat mendapatkan kepuasan atas pelayanan aparat birokrasi yang memang seharusnya melayaninya, maka peran pegawai
240
Pemerintah Kabupaten sebagai pelayan masyarakat dapat dikatakan telah diwujudkan dengan baik. Perubahan paradigman pelayanan publik yang bermutu, senantiasa berkembang kearah peningkatan layanan merupakan dampak dari diterapkannya SMM ISO 9001 di organisasi. Penerapan SMM
ISO 9001 yang secara terus menerus, sistematis diharapkan
membentuk pola perilaku manusia
modern sebagaimana yang
digambarkan Inkeles (1964), yakni manusia yang penuh perencanaan ke depan, memanfaatkan teknologi, berdasarkan data dan fakta, serta selalu mengembangkan sikap positif dalam kehidupannya. Berdasarkan
model
yang
dibangun
tersebut,
tidak
saja
keberlangsungan penerapan SMM ISO 9001 dapat dilaksanakan tetapi pada saat yang sama mampu mengantarkan terjadinya perubahan mental model atau mindset (Senge, 1990). Pegawai BP2T akan mampu mengembangkan ketrampilan dan kemampuan baru, yang ketika kemampuan baru tersebut berkembang, maka akan berkembang pula kesadaran dan sensibilitas yang baru. Siklus pembelajaran yang mendalam ini diharapkan akan mampu mendorong terjadinya pergeseran paradigma pemikiran fundamental di tataran individu
dan secara kolektif di
organisasi. Model penerapan SMM ISO 9001 sebagaimana disajikan pada Gambar 18 perlu dilakukan validasinya, baik dengan menggunakan metode validasi dengan pakar, yakni memanfaatkan metode Focus Group Discussion (FGD), maupun dengan metode lainnya, seperti dengan memanfaatkan studi-studi literatur yang ada, serta dengan mengacu kepada standar-standar yang terkait lainnya.
241
INPUT
pimpinan
PROSES
Komitmen
Komunikasi
Materi
pimpinan
Cara
Pendidikan
belajar
formal
Model komunikasi
Sikap positif terhadap
Motivasi
Penerapan SMM ISO 9001
intrinsik
OUTPUT
PERILAKU PEGAWAI RESPONSIF, HANDAL, ETIKA
OUTCOME
Meningkatnya kepercayaan
kepuasan
masyarakat terhadap
Meningkatnya
masyarakat (IKM ) aparat
Meningkatnya kesejahteraan masyarakat
birokrasi
Gambar 18 Model Penerapan SMM ISO 9001 yang Berkelanjutan pada BP2T
242
Strategi Penerapan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 yang Berkelanjutan Untuk dapat menerapkan model yang telah digambarkan sebelumnya serta untuk meningkatkan efektifitas penerapan SMM ISO 9001 secara berkelanjutan, maka perlu disusun sebuah strategi dengan berdasarkan kepada temuan di lapangan. Strategi, sebagai sebuah program umum yang diterapkan di organisasi untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan perlu dijabarkan secara detil dan terpadu dengan melihat kepada keseluruhan sistem yang ada. Melaksanakan strategi secara acak hanya akan menghasilkan ketidakefisienan serta lebih banyak berujung kepada kegagalan organisasi mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Gaspersz, 2007). Strategi keberlanjutan penerapan SMM ISO 9001
adalah serangkaian
program dan kegiatan yang secara umum direncanakan untuk dapat dilaksanakan dalam rangka mengawal penerapan SMM ISO 9001 dengan lebih konsisten. Konsistensi penerapan SMM ISO 9001 diharapkan pada akhirnya akan mampu menjaga dan meningkatkan sikap positif pegawai dan perilakunya ketika berhadapan dan melayani masyarakat. Strategi keberlanjutan penerapan SMM ISO 9001 lebih dititikberatkan kepada konteks penerapannya di lapangan, bukan kepada konten atau isi SMM ISO 9001 sebagaimana model penerapan SMM ISO 9001 yang telah diusulkan sebelumnya. Terdapat tiga buah strategi keberlanjutan SMM ISO 9001 yang dapat disarikan dari temuan di lapangan dan diperkirakan paling berpengaruh terhadap keberlangsungan sistem yaitu: 1. Komitmen Pimpinan Pemerintah Daerah; 2. Peningkatan Motivasi Intrinsik Pegawai; 3. Pengembangan Materi Pembelajaran di Organisasi. Langkah strategis dirancang dengan mempertimbangkan temuan empiris di lapangan yang memiliki pengaruh terbesar. Langkah strategis terkait dengan aspek terbesar dari perilaku inilah yang akan dilaksanakan terlebih dahulu, baru diikuti dengan langkah-langkah strategis lainnya. Langkah-langkah strategis untuk melaksanakan model penerapan SMM ISO 9001 yang berkelanjutan disajikan pada Gambar 19.
243
1. Galang komitmen pimpinan Pemda secara kolektif 2. Adopsi falsafah baru untuk perbaikan mutu layanan 3. Lembagakan kepemimpinan yang membantu pegawai dengan bantuan teknologi 4. Optimalkan fungsi kepemimpinan 5. Lakukan komunikasi intensif internal dan eksternal organisasi 1. Penataan kembali pola pengembangan karir, pengembangan kapasitas dan kompetensi pribadi 2. Sistem penghargaan dan pengakuan atas prestasi 3. Keterlibatan dan pemberdayaan pegawai
Komitmen Pimpinan Pemerintah Daerah
Tingkatkan Motivasi Intrinsik Pegawai
Kembangkan Materi Pembelajaran
1. Penyusunan peta cara belajar pegawai 2. Ketersediaan materi pembelajaran, jenis, jumlah,kemudahan akses 3. Forum pembelajaran kelompok, diskusi 4. Kembangkan system komunikasi efektif dlm pembelajaran
Gambar 19 Strategi penerapan SMM ISO 9001 yang berkelanjutan.
1.
Komitmen Pimpinan Pemerintah Daerah Strategi penerapan SMM ISO 9001 yang berkelanjutan yang dapat mendorong terjadinya perubahan perilaku pegawai dalam pelayanan kepada masyarakat adalah dengan menggalang dan memperkuat komitmen pimpinan serta bagaimana komitmen pimpinan dapat dirasakan oleh seluruh pegawai di BP2T. Dengan meningkatnya komitmen pimpinan dan dapat dirasakan keberadaannya
secara
merata di
organisasi
diharapkan
akan
dapat
mempertahankan dan jika mungkin meningkatkan motivasi intrinsik pegawai yang sudah dalam kategori sangat tinggi. Tiga dari empat belas langkah Deming (Deming’s Fourteen Points) terkait dengan kepemimpinan diusulkan untuk dipertimbangkan, yaitu: (a) Pimpinan perlu mengadopsi falsafah baru untuk memperbaiki mutu pelayanan.
244
Falsafah baru tersebut diperlukan untuk disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di sekitar organisasi; (b) Melembagakan kepemimpinan yang membantu pegawai dengan dukungan teknologi sehingga dapat bekerja dengan baik. Teknologi informasi yang telah dibangun di organisasi dapat dimanfaatkan secara optimal; (c) Mengoptimalkan fungsi kepemimpinan jauh lebih baik daripada hanya membuat target dan sasaran bagi pegawai. Tiga point tersebut berlaku pula untuk daerah penelitian. Komitmen pimpinan pemerintah daerah perlu digalang untuk penerapan SMM ISO 9001 yang berkelanjutan (sustaibale). Komitmen bersama tersebut dapat ditumbuhkan melalui anjangsana berbagai pusat pertumbuhan atau
dan visitasi ke
pusat pelayanan berkelas dunia untuk
melihat dari dekat pelaksanaan pelayanan publik yang bermutu. Pimpinan BP2T juga dapat mengundang pakar-pakar yang berasal dari praktisi, universitas untuk datang dan mendiskusikan perkembangan terkini tentang pelayanan publik bersama-sama jajaran pemerintah daerah. Pimpinan BP2T perlu membagi perhatian dan komitmennya secara merata ke seluruh pegawai di BP2T. Pimpinan BP2T dapat memberikan pekerjaan yang menantang kepada para pegawai yang memiliki sikap yang sangat positif terhadap penerapan SMM ISO 9001 dengan tetap melakukan pemantauan terhadap hasil kinerja mereka. Pada saat yang sama, pimpinan tetap memberikan perhatian penuh membina mereka yang masih dalam kategori yunior (muda usia, kurang pengalaman dan kompetensinya). Dengan cara demikian, setiap orang akan merasa mendapatkan perhatian penuh dan komitmen dari pimpinannya. Prinsip mengikutsertakan setiap orang di organisasi dapat diwujudkan sehingga meningkatkan motivasi pegawai dalam bekerja. Penggalangan dukungan pendanaan yang kuat dengan mencari sumber-sumber pendanaan lain yang tidak mengikat, misalnya hibah atau dana bersumber dari masyarakat lainnya (swasta). Pengalaman Kabupaten Sidoarjo untuk mendapatkan komitmen pimpinan patut ditiru. Upaya melibatkan pimpinan pemerintah daerah, bukan hanya Bupati sebagai Kepala Daerah, tetapi juga pimpinan lainnya yang tergabung dalam Muspida (DPRD,
245
Kepolisian,
Koramil)
sejak
awal
terkait
dengan
kemanfaatan
dan
kemudharatan SMM ISO 9001. Upaya tersebut membuahkan hasil dengan terjaganya komitmen BP2T untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Keterlibatan pimpinan pemerintah daerah secara kolektif menjadi kunci bagaimana sistem manajemen mutu dapat terjaga keberlangsungannya. Penggalangan dukungan dan komitmen pimpinan daerah dapat dilakukan dengan semakin mengintensifkan komunikasi antara pimpinan BP2T dengan pimpinan pemerintah daerah serta antara pimpinan BP2T dengan internal pegawai. Pimpinan BP2T perlu mengkomunikasikan berbagai manfaat dan dampak penerapan SMM ISO 9001 di BP2T. Dampak terbesar dari penerapan SMM ISO 9001 di BP2T adalah membaiknya sikap dan perilaku pegawai kepada pelayanan ke masyarakat. Komunikasi juga perlu dilakukan dengan berbagai cara: sosialisasi, anjangsana, laporan, kegiatankegiatan terkait dengan keberhasilan penerapan SMM ISO 9001 dapat menjadi bukti yang bisa dilihat dan dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat. Kepuasan masyarakat yang menjadi tujuan dari penerapan SMM ISO 9001 di sektor publik sebagaimana BP2T perlu diketahui secara luas. Kepuasan masyarakat ini menjadi nilai positif bagi pemerintah daerah. Dukungan dan peran pemerintah untuk menjamin keberlangsungan penerapan SM ISO 9001 juga disampaikan oleh Zeng dan Tian (2007) pada kasus penetapan SMM ISO 9001 di China. Problem-problem terkait dengan sistem sertifikasi, sistem audit internal perlu mendapatkan campur tangan pemerintah untuk menanganinya. 2. Meningkatkan
motivasi pegawai untuk berperilaku responsif, handal dan
beretiket dalam melayani masyarakat. Strategi kedua untuk mengelola dan meningkatkan perilaku pegawai yang responsif ketika memberikan pelayanan kepada masyarakat adalah meningkatkan motivasi intrinsik pegawai. Pegawai yang memiliki motivasi intrinsik yang tinggi tidak memerlukan pengawasan ketat untuk selalu berperilaku sesuai dengan harapan masyarakat karena kesadaran yang tinggi atas pekerjaan, atas tanggung jawab yang dimiliki serta atas kebanggaannya
246
untuk dapat melayani masyarakat. Langkah-langkah strategis yang dapat diusulkan untuk meningkatkan motivasi pegawai diantaranya adalah: a. Melakukan penataan kembali terhadap pola pengembangan karir yang telah ada, termasuk kebijakan pengembangan kapasitas pribadi dan kompetensi SDM di organisasi. Penataan pola pengembangan karir yang ada dapat dilakukan dalam jangka panjang, karena terkait dengan sistem penataan karir Pegawai Negeri Sipil sebagai bagian dari birokrasi pemerintah. BP2T hanya dapat melakukan penataan karir yang berdampak jangka pendek dan dalam lingkup kewenangan yang dimiliki BP2T. Pentingnya kompetensi SDM seringkali terlupakan di organisasi, apalagi organisasi sebagaimana di lingkup pemerintah daerah. Penerapan SMM ISO 9001 mengharuskan setiap pegawai yang terlibat di dalam proses mewujudkan produk harus memiliki kompetensi yang sesuai. Oleh karena itu, meningkatkan dan menjaga kompetensi pegawai menjadi sangat penting dan harus selalu diprogramkan secara berkala. Kendala yang ditemukan di lapangan adalah seringkali tidak sinkronnya antara pekerjaan yang menjadi tanggung jawab individu dengan kompetensi yang dimilikinya. Harris, Hart dan Shields (2009) membedakan antara kompetensi individu dengan ketrampilan dan pengetahuan. Ketrampilan dan pengetahuan memberikan efek yang jauh lebih terlihat kepada kinerja individu, sedangkan kompetensi lebih dihubungkan dengan tindakan spesifik,
misalnya
menentukan
tujuan,
menilai
resiko,
serta
mengembangkan serangkaian kegiatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Kompetensi memungkinkan pegawai untuk menggunakan fakta dan konsep-konsep yang ada untuk melaksanakan tugas. Menurut penelitian Harris, Hart dan Shields, kebanyakan pimpinan akan lebih memilih pegawai yang mampu menyelesaikan tugasnya, bukan karena pengetahuan teknis yang dimilikinya. Oleh karena itu, memiliki SDM yang berkompeten dalam bidang tugasnya memberikan jaminan bahwa pekerjaan yang diberikan sebagai tanggung jawabnya akan dapat terselesaikan dengan baik. Tugas-tugas pembinaan kepegawaian di
247
pemerintah daerah menjadi tanggung jawab Badan Kepegawaian Daerah (BKD), tetapi BKD tidak memiliki kemampuan untuk mengenali kualitas SDM secara pribadi. Dibandingkan dengan BKD, maka Kantor BP2T memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mengenali ketrampilan, pengetahuan dan kompetensi pegawainya ketika dihubungkan dengan kemampuan pegawai menyelesaikan tugas. Model pengembangan kompetensi pegawai ini lebih baik diserahkan kepada BP2T, dan BP2T menyusun strategi pengembangan SDM berdasarkan kompetensi yang spesifik di BP2T yakni pelayanan perijinan berkelas dunia yang sangat humanistik. BP2T dapat menggunakan ahli untuk menyusun program pengembangan kompetensi karyawan yang sesuai, atau dapat pula mengembangkan program tersebut dengan cara benchmarking dengan institusi sejenis yang ada, di dalam maupun diluar negeri, sehingga standar kompetensi pegawai pelayanan publik, khususnya di bidang perijinan dapat ditetapkan. Program pengembangan kompetensi pegawai ini menjadi syarat mutlak jika organisasi menerapkan SMM ISO 9001. b. Penataan kembali sistem penghargaan (reward) dan pengakuan atas prestasi pegawai yang telah ada dengan berbagai model penghargaan, baik secara finansial maupun non finansial. Bagi pegawai yang berprestasi, mereka akan dengan mudah mengembangkan perasaan kekuasaan atas lingkungan mereka karena kesanggupan mereka menaklukkan tantangan lingkungan. Kondisi ini perlu dipertahankan dengan memberikan imbalan yang pantas sehingga memunculkan perasaan bahwa pegawai memiliki kekuasaan atas nasibnya sendiri. Pimpinan organisasi dapat menyediakan berbagai sarana dan prasarana untuk memuaskan kebutuhan pegawai. Pengembangan sistem penghargaan tidak hanya meliputi penghargaan dalam bentuk finansial, tetapi juga bentuk-bentuk lain yang mampu merangsang motivasi pegawai, mengingat tidak semua orang menganggap uang sebagai sebuah perangsang atau insentif (Winardi, 2009).
248
Sebagian orang menganggap bahwa simbol kesuksesan, prestise atau kekuasaan adalah banyaknya uang yang didapatkan, tetapi ada pula yang lebih menganggap bahwa pengendalian mereka atas lingkungan dan kekuasaan sebagai sebuah reward yang lebih besar karena lebih menyeluruh sifatnya. Pimpinan BP2T perlu mengenali karakter para pegawainya, sehingga bisa disesuaikan model reward yang diberlakukan, yang dapat mengakomodasi kepentingan individu dengan kebijakan penghargaan yang berlaku di organisasi. c. Meningkatkan keterlibatan yang memberdayakan pegawai. BP2T Kabupaten Sidoarjo maupun Sragen memiliki sumber daya pegawai yang berkualitas, yang juga menjadi temuan pada penelitian ini, yakni tingginya angka melek huruf atau tingginya pendidikan formal pegawai. Dengan dukungan kualitas SDM tersebut, maka kebutuhan pegawai untuk terlibat secara aktif sebagai pengakuan atas kemampuan mereka menjadi sangat penting (Adler dan Doktor, 1991). Keterlibatan dan pemberdayaan pegawai menjadi dasar konsep manajemen mutu terpadu atau penerapan SMM ISO 9001. Keterlibatan (employee involvement) adalah sebuah proses mengikutsertakan para pegawai di seluruh tingkatan organisasi dalam pembuatan keputusan dan pemecahan masalah (Bounds, dalam Nasution, 2005; Hoyle, 2009). Menurut Bounds, orang yang paling dekat dengan permasalahan yang terjadi di organisasi adalah orang yang paling tepat dan terbaik untuk bersama-sama membuat keputusan. Disamping itu pula, keputusan yang diambil organisasi akan lebih baik hasilnya jika mendapatkan masukan dari setiap pihak yang dipengaruhi langsung oleh keputusan tersebut. Pemberdayaan wewenang,
sebagian
pegawai atau
(empowerment)
seluruhnya
kepada
adalah pegawai
pemberian sehingga
keterlibatan mereka di dalam organisasi benar-benar terjadi dan dirasakan oleh pegawai yang bersangkutan. Hal ini sejalan dengan hirarki kebutuhan yang dikembangkan Maslow, bahwa untuk SDM yang telah memiliki tingkat kompetensi tertentu, dalam hal ini di Kabupaten Sragen dan Sidoarjo yang memiliki lebih dari 65% SDM nya berpendidikan formal
249
yang tinggi (S1 keatas), maka pekerjaan yang menantang, yang memberi kewenangan dan tanggung jawab yang lebih akan menjadi menarik dan memotivasi pegawai untuk berbuat dengan lebih baik lagi. Tanpa adanya pemberdayaan karyawan, maka keterlibatan pegawai hanya sebatas kepada strategi organisasi yang menarik tetapi tidak memiliki ruh untuk mengajak pegawai aktif meningkatkan kinerja organisasi. Beberapa upaya yang dapat dilakukan pimpinan organisasi diantaranya adalah : (1) mulai memberikan tanggung jawab kepada pegawai di bawahnya; (2) melatih pimpinan di organisasi untuk bagaimana dapat mendelegasikan sebagian pekerjaan, tugas dan tanggung jawabnya; (3) menjalin komunikasi dan umpan balik yang erat antara pimpinan, atasan langsung (sebagai penyelia) serta pegawai yang mendapatkan pelimpahan tugas; (4) memberikan penghargaan dan pengakuan atas prestasi pegawai yang melaksanakan pelimpahan tugas dan tanggung jawab; serta yang tidak kalah penting adalah (5) penyadaran kepada pimpinan bahwa keterlibatan dan pemberdayaan pegawai bukan sebuah upaya untuk menurunkan kekuasaan dan kewenangan pimpinan, tetapi untuk meningkatkan motivasi pegawai dan mengembangkan kemampuan pimpinan dalam mengelola SDM yang berpendidikan tinggi dan berkualitas (Page dan Czuba, 1999). Pegawai yang merasa dihargai kemampuannya, diberi pekerjaan yang menantang akan terdorong untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya secara terus menerus tanpa harus disediakan sarana dan prasarana pembelajaran oleh organisasi. Selain itu kemanfaatan dari keterlibatan dan pemberdayaan pegawai oleh Browen dan Lawler (dalam Nasution, 2005) dinyatakan dapat memberikan respon yang langsung kepada kebutuhan masyarakat secara lebih cepat. Pegawai mempunyai rasa memiliki yang tinggi (sense of belonging) pada pekerjaan dan merasa dirinya lebih berarti dan berperan bagi organisasi. Pegawai dapat berinteraksi langsung dengan masyarakat dan pelayanan yang personal dan menyentuh langsung masyarakat akan bisa menjadi iklan baik yang
250
menyebar melalui mulut ke mulut (word of mouth) dan sangat efektif dampaknya bagi citra positif organisasi. Peningkatan keterlibatan dan pemberdayaan pegawai di organisasi ini sejalan dengan prinsip-prinsip SMM ISO 9001: mengembangkan kepemimpinan di segala lini di organisasi. Keterlibatan setiap orang di organisasi meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap tugas-tugas pencapaian sasaran organisasi, serta terjadi peningkatan berkelanjutan baik di tataran individu maupun di organisasi. Dampak positif penerapan SMM ISO 9001 adalah menyebarnya pandangan dan perilaku bermutu di masyarakat yang lebih luas.
3. Pengembangan Materi Pembelajaran yang Sesuai dengan Tujuan Pembelajaran Strategi yang ketiga untuk dapat mendukung keberlangsungan penerapan SMM ISO 9001 dan memberikan dampak yang kuat terhadap perilaku pegawai adalah dengan cara menyediakan materi pembelajaran yang cukup bagi pegawai. Strategi ini dapat dilaksanakana melalui beberapa cara: a. Diawali oleh pimpinan organisasi untuk menyusun sebuah peta cara
belajar
para
pegawainya
sehingga
dapat
diketahui
kecenderungan pegawai dalam belajar. Peta tersebut dapat diletakkan ditempat yang cukup terbuka dan dapat diketahui oleh umum, khususnya pegawai lainnya (atasan maupun rekan sekerja). Dengan cara demikian, apapun cara belajar pegawai akan dapat dipahami dan dihargai oleh rekan sekerja ataupun pimpinan yang sedapat mungkin memberikan kemudahan terhadap materi yang diperlukannya dalam mempelajari dan menerapkan SMM ISO 9001. Pengembangan ketrampilan, kapasitas dan kompetensi individu akan dapat dengan mudah dijalankan karena adanya kesadaran yang tinggi untuk bertoleransi terhadap perbedaanperbedaan individu yang ada. Peta cara belajar pegawai ini tidak
251
saja bermanfaat untuk atasan tetapi juga untuk para fasilitator yang dapat memilihkan materi atau metode pengajaran yang sesuai. Pengembangan kompetensi pegawai dapat dilakukan dengan cara lebih personal terkait dengan kemampuan individu yang berbedabeda (Collins, 1998). b. Ketersediaan materi pembelajaran yang diperlukan, ditinjau dari kemudahan akses, dapat dipilih oleh pegawai sesuai dengan karakter atau cara belajar mereka. Materi yang sesuai dan menarik akan meningkatkan motivasi pegawai untuk belajar yang artinya optimalisasi potensi pegawai melalui pengembangan fisik dan mental (pola pikir dan mental model paradigma pelayanan publik yang benar) dapat berjalan efektif. Program-program pelatihan yang
selama
ini
dijalankan,
khususnya
pelatihan
yang
menyadarkan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pegawai publik, orientasi kepada pelanggan perlu dilaksanakan secara terus menerus mengingat orientasi pelayanan kepada masyarakat belum sepenuhnya disadari. c. Pola-pola pembelajaran yang dikembangkan, dengan forum-forum belajar yang kecil, kelompok tugas, sangat penting dilakukan sehingga pegawai dapat selalu meningkatkan kontribusinya kepada organisasi. Pengembangan kelompok-kelompok kecil diskusi yang secara rutin dilaksanakan di organisasi akan memberi kontribusi yang cukup besar dalam mengembangkan dan menyamakan persepsi pegawai terhadap pelaksanaan SMM ISO 9001 dan kegiatan pendukung lainnya (Maughan dan Anderson, 2005). Dengan berdiskusi, banyak hal bisa didapatkan pegawai dengan cara yang sangat menyenangkan dan sesuai dengan metode pembelajaran buat orang dewasa. d. Mengembangkan
sistem
komunikasi
yang
efektif
dalam
pembelajaran yang berlangsung. Komunikasi sebagai sarana untuk bertukar informasi, pelepas emosi dan komunikasi adalah kunci sukses atasan dan bawahan dalam mencapai tujuan organisasi.
252
Komunikasi yang berjalan dan telah berlangsung sebaiknya tetap dijaga keberlangsungan dan kelancarannya dan jika mungkin ditingkatkan frekwensinya. Sebagai contoh, komunikasi antar pegawai BP2T dengan rekan-rekan sekerja yang berada di luar instansinya perlu ditingkatkan melalui berbagai sarana komunikasi yang ada. Komunikasi ini telah memperlancar arus komunikasi dan perkembangan peraturan terbaru yang terkait dengan bidang tugas pegawai. Cara ini cukup efektif untuk menghilangkan kendala keterbatasan pendanaan yang dimiliki BP2T, pada saat yang sama, para pegawai bisa mengembangkan kompetensinya melaksanakan tugas tanpa harus meninggalkan tempat tugas.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Sikap pegawai terhadap implementasi Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 dipengaruhi langsung secara nyata oleh : (1) kepemimpinan, khususnya komitmen pimpinan, (2) karakteristik individu, khususnya pendidikan formal pegawai, (3) model pembelajaran di organisasi, khususnya materi pembelajaran, model komunikasi, dan cara belajar. Komitmen pimpinan, berkorelasi negatif yang nyata terhadap sikap pegawai dalam menerapkan SMM ISO 9001. Pegawai dengan sikap positif yang tinggi terhadap penerapan SMM ISO 9001 menganggap komitmen pimpinan tidak merata dan belum sesuai yang diharapkan. Materi belajar memiliki pengaruh yang besar terhadap sikap pegawai. Semakin sesuai dalam hal jenis, jumlah dan ketersediaan materi belajar, semakin tinggi sikap positif pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001. Perilaku pegawai pada pelayanan publik dipengaruhi oleh sikap pegawai, motivasi, cara pimpinan berkomunikasi, materi dan metode belajar,interaksi kelompok, dan kekosmopolitan pegawai. Motivasi intrinsik pegawai memberikan pengaruh terbesar dan berkorelasi positif terhadap perilaku pegawai. Semakin tinggi motivasi intrinsik pegawai semakin tinggi pula perilaku responsif, handal dan beretika dalam memberikan pelayanan ke masyarakat. Terdapat hubungan keajegan antara sikap dengan perilaku.
2.
Faktor dominan yang mempengaruhi sikap pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001 adalah
materi pembelajaran. Semakin sesuai materi
pembelajaran yang diperlukan untuk menerapkan SMM ISO 9001 akan semakin meningkatkan sikap positif pegawai terhadap penerapan SMM ISO 9001. Faktor kedua terbesar yang berpengaruh terhadap sikap pegawai adalah cara belajar. Peubah yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap perilaku pegawai pada pelayanan publik adalah motivasi intrinsik. Meningkatnya motivasi intrinsik pegawai akan meningkatkan perilaku positif pegawai dalam pelayanan publik. Materi pembelajaran
254
memiliki pengaruh dan hubungan negatif dengan perilaku. Materi yang ada masih belum sesuai baik jumlah maupun jenisnya dengan kebutuhan pegawai yang memiliki perilaku pelayanan yang tinggi kepada masyarakat. Sikap dan cara pimpinan berkomunikasi berpengaruh nyata dan positif terhadap perilaku pegawai pada pelayanan publik. 3. Indikasi terbentuknya budaya mutu telah terlihat di dua daerah penelitian yang ditandai dengan kesadaran akan pentingnya kepuasan pelanggan, yakni masyarakat pengguna layanan. Indeks KepuasanMasyarakat (IKM) di daerah penelitian menunjukkan angka yang meningkat setiap tahunnya. BP2T telah berada pada tingkat mutu ketiga dengan kemampuannya memenuhi dan memuaskan kebutuhan masyarakat. 4. Model penerapan SMM ISO 9001 yang berkelanjutan (sustainable) disusun berdasarkan kepada faktor-faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku pegawai sebagai input (komitmen pimpinan, materi belajar, cara belajar, interaksi kelompok), yang ditunjang dengan motivasi intrinsik yang tinggi dan dikomunikasikan oleh pimpinan. Output yang diharapkan dari model tersebut adalah terbentuknya perilaku positif pegawai sebagai proses yang harus dilalui sehingga terwujud sebuah perilaku pelayanan publik yang responsif, handal dan beretika. Validasi terhadap model diusulkan dengan menggunakan cara-cara Focus Group Discussion (FGD) maupun dengan tinjauan literatur yang terkait. 5. Strategi perlu disusun untuk dapat mengaktualisasikan model penerapan SMM ISO 9001 yang berkelanjutan (sustainable) melalui : (1) Peningkatan dan pemerataan komitmen pimpinan kolektif di pemerintah daerah dengan cara komunikasi yang intensif dengan para pemangku kepentingan, meningkatkan kelembagaan kepemimpinan dan falsafah mutu yang diadopsi; (2) Meningkatkan motivasi intrinsik pegawai melalui penataan sistem pengembangan karir, kebijakan pengembangan kapasitas pribadi SDM dan meningkatkan keterlibatan dan sekaligus pemberdayaan pegawai; (3) Pengembangan materi pembelajaran di organisasi yang dapat dilakukan dengan terlebih dahulu memahami peta cara belajar pegawai, memperluas akses pegawai terhadap materi pembelajaran yang diperlukan,
255
mengembangkan forum belajar kelompok yang secara kontinyu membahas perkembangan terkini yang diperlukan pegawai dalam melaksanakan tugas-tugasnya, serta mengembangkan sistem komunikasi yang dapat membantu pembelajaran berlangsung secara efektif.
Saran 1. Komitmen bersama (kolektif) diantara Pimpinan tertinggi di pemerintah daerah (Bupati,DPRD, Muspida) sangat diperlukan dan terus menerus diupayakan keberadaannya. Komitmen bukan hanya sebatas pada kebijakan tetapi pada pelaksanaannya di lapangan. Untuk mendapatkan komitmen pimpinan Pemerintah Daerah maupun komitmen masyarakat terhadap penerapan SMM ISO 9001, pimpinan BP2T diharapkan semakin intensif melakukan komunikasi dengan para pemangku kepentingannya, dan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi yang tersedia secara intensif. 2. Penerapan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 terbukti mampu mendorong terjadinya perubahan budaya birokrasi di bidang pelayanan yang konvensional menjadi pelayanan yang berorientasi kepada mutu. Budaya mutu telah dapat dilihat pada pegawai dan organisasi birokrasi sebagaimana BP2T. Pemerintah Daerah maupun organisasi publik lainnya disarankan dapat menerapkan SMM ISO 9001 karena penerapan SMM ISO 9001 dapat mengubah budaya birokrasi yang lamban, tidak responsif, kurang memiliki etika pelayanan menjadi birokrasi yang responsif, tanggap, beretika sehingga meningkatkan kinerja organisasi
sekaligus
kepuasan masyarakat. 3. Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 dapat digunakan sebagai salah satu alat kebijakan untuk membantu pemerintah daerah memperbaiki kinerja dan perilaku aparat birokrasinya. Pendekatan proses dan sistem yang diperkenalkan dalam SMM ISO 9001 telah terbukti mampu mengangkat kinerja Pemerintah Daerah melalui peningkatan kepercayaan masyarakat kepadanya.
Kementerian
Dalam
Negeri
maupun
Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dapat
256
memanfaatkan SMM ISO 9001 secara komplementer dengan alat manajemen lainnya untuk memperbaiki mutu pelayanan publik dan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah. 4. BKPM dapat mengkampanyekan perbaikan pelayanan di unit perijinan penanaman modal sebagaimana BP2T
melalui penerapan sistem
manajemen mutu bertaraf internasional sebagaimana ISO 9001. Penerapan SMM ISO 9001 bisa wajib diterapkan di Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Penanaman Modal lainnya di seluruh Indonesia. Adanya jaminan mutu atas pelayanan perijinan (waktu, biaya, layanan yang transparan) akan memberikan keyakinan kepada investor bahwa modal yang ditanamkan akan dapat member keuntungan yang besar kepada investor. SMM
ISO
9001
dapat
digunakan
untuk
memberikan
jaminan
dankepercayaan investor dalam menanamkan modalnya di daerah tersebut. 5. Penelitian ini tidak melakukan kajian atas hubungan antara peubah bebas dengan peubah bebas lainnya. Ditemukannya peubah motivasi intrinsik sebagai faktor dominan dalam mempengaruhi perilaku pegawai yang tidak berhubungan dengan sikap positif pegawai bisa jadi dipengaruhi oleh peubah lain yang tidak dicakup dalam penelitian ini. Penelitian lanjutan dengan maksud untuk menggali faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap sikap, perilaku, motivasi intrinsic pegawai dan budaya mutu perlu dilakukan di masa mendatang. Penelitian tentang sikap dan perilaku pemangku kepentingan lainnya terhadap SMM ISO 9001 dapat dilakukan dan diharapkan akan semakin melengkapi temuan penelitian ini.
257
DAFTAR PUSTAKA
Adler, Nancy, J dan Robert Doktor. 1986. From the Atlantic to the Pacific Century: Cross-Cultural Management Reviewed. Journal of Management, Vol. 12 No. 2, hlm 295-318 Afuah. Allan. 1998. Innovation Management. Strategies, Implementation, and Profits. Oxford: Oxford University Press. Ahearne, M., Mathieu, J. and Rapp, A. 2005. To Empower or Not to Empower Your Sales Force? An Empirical Examination of The Influence of Leadership Empowerment Behavior on Customer Satisfaction and Performance. Journal of Applied Psychology, Vol. 90. hlm 945-955. Ahmad, Zakaria. 2001. Reengineering Public Services Through ISO 9000. Asian Review of Public Administration. hlm 108-119 Ahmadi, Abu.H. 2007. Psikologi Sosial. Jakarta:Rineka Cipta Amar, Kifayah dan Zuraidah Mohd. Zain. 2001. Barriers in the Implementation of Total Quality Management in Indonesian Manufacturing Organization. Jurnal Teknik Industri, Vol. 3 No.2. hlm 72-79. Applebaum, S.H,Reichart W. 1997. How to Measure an Organization’s Learning Ability, a Learning Orientation: Part 1. Journal of Workplace Learning. Vol 09 No. 7. hlm 225-239 Arikunto, Suharsimi. 1999. Jakarta:Rineka Cipta.
Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Arnold, J.A., Arad, S., Rhoades, J.A. and Drasgow, F. 2000. The Empowering Leadership Questionnaire: The Construction and Validation of a New Scale for Measuring Leader Behaviors. Journal of Organizational Behavior, Vol. 21. hlm 249-269. Asngari, Pang.S. 2001. Peranan Agen Pembaharuan/Penyuluh dalam Usaha Memberdayakan (Empowerment) Sumberdaya Manusia Pengelola Agribisnis. Orasi Ilmiah. Guru Besar Tetap Ilmu Sosial Ekonomi. Bogor: Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. ----------------, 2007. Bahan Kuliah Filsafat Penyuluhah. Jurusan PPN-IPB (Tidak diterbitkan). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Aziz, Anhar. 2009. Pengaruh Penerapan ISO 9001:2000 terhadap Kinerja Pegawai dengan Pemberian Insentif dan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Moderating di PT (Persero) Pelabuhan Indonesia I Unit Terminal Peti
258
Kemas Belawan.[tesis]. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatra Utara, Medan. Bales, R.E. 1950. Interaction Process Analysis: a Method for the Study of Small Group. Reading, MA: Addison-Wesley Ban, Van Den dan Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian (terjemahan). Yogyakarta: Kanisius Bandura, Albert . 1977. Social Learning Theory. Englewood Cliff, New Jersey: Prentice-Hall. Bappeda Kabupaten Sragen dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Sragen. 2008. Sragen Dalam Angka. Bappeda Kabupaten Sidoarjo. 2010. Laporan Pertanggung Jawaban Masa Akhir Jabatan. Bass, Bernard M. 1997. Concepts of Leadership. In Vecchio, R.P. (ed). Leadership:Understanding the Dynamics of Power and Influence in Organizations. Notre Dame: University of Notre Dame Press -----------------------1981. Stogdill’s Handbook of Leadership. A survey of theory and research. New York: The Free Press Beach, A.J., 1996. Empowerment to the People: Creating an Atmosphere for Growth. Empowerment in Organization, Vol. 4, No. 1. hlm 29-33 Biss, Jonathan. QM and ISO 9000-The NZ Meat Industry. A Personal Perspective. www.meatupdate.csiro.au/data/Quality_input_02-94.pdf. [22 Maret 2011] Blanchard, Ken. et al. 2007. Leading at High Level. Ponijan Law & Hendra Lim, penerjemah. Jakarta:PT. Gramedia. Blanckenburg, Peter von. 1988. Politik dan Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Bloom BS. 1973. Taxonomy of Educational Objectives. Handbook I and II. New York: David McKay Company; Inc. New York for Longmanns. Bobby,DePorter dan Mike Hernacki, terjemah Alwiyah Abdurrahman, 2005. Quantum Learning:Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa PT Mizan Pustaka. (BPS) Badan Pusat Statistik Kabupaten Sragen. 2010. Sragen In Figures.
259
Bowen, D.E., and Lawler, E.,E. 1992. The Empowerment of Service Workers: What, Why, How, and When. Sloan Management Review, Vol. 33, No. 3. hlm 31-39. Brophy, Peter. The Quality Program of the Library and Learning Resources Service at The University of Central Lancashire. Aslib Information 21(6), June 1993. p.240-248. http://forge.fh.potsdam.de/ IFLA/94-2brpe.pdf. [22 Maret 2011] Brown, P. Steven & Robert A Peterson. 1994.. The Effect of Effort on Sales Performance and Job Satisfaction. Journal of Marketing, Vol. 58 No. 2. hlm 70-80. Cameron, Kim, dan Wesley Sine. 1999. A Framework for Organizational Quality Culture. QM Journal, Vol. 99 No. 6. Cheema, GS, Rondinelli, GA, editor. 1983. Decentralization and Development :Policy Implementation in Developing Countries. Beverly Hills: Sage Publication Ching, Chun Shih, dan Julia Gamon. 2001. Web-Based Learning: Relationships Among Student Motivation, Attitude, Learning Styles, and Achievement. Journal of Agricultural Education, Vol 42, Issue 4, hlm 12-20. Choong, Yuen-Onn. et al. 2011. Intrinsic Motivation and Organizational Commitment in the Malaysian Private Higher Education Institutions: An Empirical Study. International Refereed Research Journal, Vol. II, IssueOct 4. Chu, Pin-Yu. et al. 2001. ISO 9000 and Public Organizations in Taiwan: Organizational Differences in Implementation Practices with Organization Size, Unionization and Service Types. Public Organization Review: A Global Journal (1). hlm 391-413. Clardy, A. 2000. Learning on Their Own: vocationally oriented self-directed learning project. HRD Quarterly, Vol. 11. No. 2. hlm 105-125 Coats D, Passmore, E. 2008. Public Value: The Next Steps in Public Reform. London: The Work Foundation. Collins, Arthur S.Jr. 1998. Common Sense Training. Novata, CA:Presidio Press Colquitt.2001. On the Dimentionality of Organizational Justice: A Construct Validation of a Measure. Journal of Applied Psychology, Vol.86, No. 3. hlm 386-400 Conroy. A. Carol. 1999. Identifying Barriers to Infusion of Aquaculture into Secondary Agriscience: Adoption of a Curriculum Innovation. Journal of Agricultural Education. Vol. 40, No. 3. hlm 1-10
260
Combs, Philip H., dan Manzoor Ahmed. 1985. Memerangi Kemiskinan di Pedesaan melalui Pendidikan Non-Formal. Jakarta: CV Rajawali. Coon, D. 1977. Introduction to Psychology. St. Paul, Minnesota: West Publishing. Cullen, Ronald B, Donald P. Cushman. 2000. Transition to Competitive Government: Speed, Consensus and Performance. New York: State University of. New York Press. Darwanto, 2011. Analisis Peringkat Daya Saing Indonesia. www.bappenas.go.id [ 11/7/2012] Darwin, Muhajir. 1999. National Crisis: The Responses of the Poor and the Government. Populasi, Vol. 1 No. 1. hlm 1-14 Denove, Chris, James D. Power IV. 2007. Satisfaction. Riga Ponziani, Penerjemah. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Dewettinck, Koen, Maaike van Ameijde, 2011. Linking Leadership Empowerment Behavior to Employee Attitudes and Behavioral Intentions: Testing the Mediating Role of Psychological Empowerment. Journal of Personnel Review. Vo. 40 No. 3. hlm 284-305 Dick, G.; Gallimore, K.; Brown J. 2002. Does ISO 9000 Accreditation Make a Profound Difference to the Way Service Quality is Perceived and Measured? Managing Service Quality. Vo. 12, No. 1. hlm 30-42 Dillon W.R. dan M. Goldsten. 1984. Multivariate Analysis:Methods and Application. New York: John Wiley and Sons (DPRD) Humas Dewan Perwakilan Daerah. 2010. Pertumbuhan Ekonomi Lampauai Target. http://dprd-sidoarjokab.go.id/pertumbuhan-ekonomilampaui-target.html [5/7/2011] Drucker, Peter. F.2000. Managing Knowledge Means Managing Oneself. Leader to Leader, No. 16, Spring. Dwiyanto, Agus, 2010. Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif, dan Kolaboratif. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press. ---------------------. 2003. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jogjakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, UGM Elias, S.M. 2009. Employee Commitment in Times of Change: Assessing the Importance of Attitude Toward Organizational Change. Journal of Management, Vol. 35. No.1. hlm 37-55
261
Erstad, Margaret. 1997. Empowerment and Organizational Change. International Journal of Contemporary Hospitality Management, Vol. 9 No. 7. hlm325333 Fandy, Tjiptono & Anastasia Diana. 1995. Total Quality Management. Yogyakarta: Andi Offset Faozan, Haris, 2003. Peran Birokrasi, Manajemen Kebijakan dan Eksistensi Pelayanan Publik. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara Farazmand, Ali, Ph.D. 2002. Total Quality Management: Key Concepts and Analysis of Best Practices for Improving Public Service Performance. Paper presented at the International Conference on TQM in Government. Tehran, December 7-9 Fauzi., Ikka Kartika, Dr., Hj. 2011. Mengelola Pelatihan Partisipatif. Bandung: Penerbit Alfabeta. Faure, L.M and Faure, M.M. 1992. Implementing Total Quality Management. London:Financial Times Pitman Publishing. Feigenbaum, Armand V. 1983. Total Quality Control. New York: Mc.Graw Hill Felix Antonius, Definisi Sikap. http://antoniusfelix-shared.blogspot.com/2008 /10/definisi-sikap.html. [20/06/ 2009] Ferreira, Maria Patrocia, Fransisco Diniz. 2004. Total Quality Management and Public Organization: The Case of Villa Real Town Hall. Paper presented in 4th European Congress of the European Regional Science. Association Region and Fiscal Federalism. University of Porto, Portugal, 25-29 Agustus 2004. Paper 347 Foster, R.D. 2010. Resistance, Justice, and Commitment to Change. Human Resource Development Quarterly, Vol. 21 No.1. hlm 3-39 Freedman, Jonathan L., J. Merrill Carlsmith, David O Sears. 1974. Social Psychology. Engelwood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc. Freire. 1984. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta:LP3ES Frost, Roger. 2011. The ISO Survey of Certification 2010. www.iso.org/news [ 20/7/2012]. Frost, Roger. 2005. ISO 9001:2000. Guidelines for Local Government. ISO Management System, May-June. hlm 21-22 Fryxell, G.E, Lo. C.W.H and Chung, SS. 2004. Influence of Motivation for Seeking ISO 14001 Certification on Perception of EMS Effectiveness in China. Environmental Management, Vo. 33, No. 2. hlm 239-251
262
Gadsden, Carlos. 2007. The Government You Can Trust. ISO Focus, September, hlm 50 Garvin, D.A., 1988. Managing Quality: The Strategic and Competitive Edge. New York:Free Press Gaspersz, Vincent. 2007. Organizational Excellence. Model Strategik Menuju World Class Quality Company. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Gasperz, Vincent, 2003. ISO 9001:2000 and Continual Quality Improvement. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Gizzi, Cindan, (tanpa tahun). Building a Quality Culture in Public Health: lessons learned from a Fellow MLC State: Washington. www.iphionline.org/vertical/sites [ 4/5/12]. Goetsch, David L, Stanley B. Davis. 2000. Quality Management : Introduction to Total Quality Management for Production, Processing, and Services. New Jersey: Prentice-Hall, Inc Gonzales, Tomas F, Manuel Guillen. 2002. Leadership Ethical Dimension;A Requirement in TQM Implementation. The TQM Magazine, Vol 14. hlm 150-164 Gulo, W. 2000. Metodologi Penelitian. Jakarta: Grasindo Hadi, Anwar. 2007. Pemahaman dan Penerapan ISO/IEC 17025:2005. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Hafni. 2004. Pengaruh ISO 9001:2000 Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan Rumah Sakit ”X” di Medan. [skripsi]. Sekolah Pascasarjana-USU, Medan. Hambrick, D.C, and P.A. Mason. 1984. Upper Echelons: The Organisation as a Reflection of Its Top Managers. Academy of Management Review 9. hlm 193-206 Hans, Dieter-Evers dan Tilman Schiel. 1990. Kelompok-Kelompok Strategis: Studi Perbandingan tentang Negara, Birokrasi dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Hare, A. Paul, E.F. Borgatta dan R.E. Bales. 1962. Small Groups, Studies in Social Interaction, Revised Edition, by Alfred A Knopf. New York. Harian Analisa. 2007. “Indonesia Termasuk Dalam 38 Negara Terkorup Dunia”. 27 September 2007. Harmantyo, Djoko. 2007. Pemekaran Daerah dan Konflik Keuangan Kebijakan Otonomi Daerah dan Implementasinya di Indonesia. Makara Sains, Vol. 11, No. 1 April 2007. hlm 16-22
263
Harris, Charles, S., Betty K. Hart, Joyce Shields. 2009. Organizational Change: The Role of Culture and Leadership. hlm: 793-835. dalam Andrew P. Sage and William B Rouse (eds.) Handbook of Systems Engineering and Management. Second Ed. John Wiley & Sons, Inc. Havelock, R.G. 1969. Planning for Innovation Theory the Dissimination and Utilization of Knowladge. Institute for Social Research, The University of Michigan. Michigan. Hawkins, Del. I, Best, Roger J., dan Coney, Kenneth A. 1986. Consumer Behavior:Implications for Marketing Strategy. Mc Graw Hill Co. New York. Hessel, Nogi S, Tangkilisan. 2004. Manajemen Modern untuk Sektor Publik. Yogyakarta:Balairung Hidayat, Syarief. 2004. Editor. Kegamangan Otonomi Daerah. Jakarta: Pustaka Quantum Hofstede, Geertz. 1991. Culture and Organization. London: McGraw BookHill. Houghton, J.D. and Yoho, S.K. 2005. Toward a Contingency Model of Leadership and Psychological Empowerment: When Should Self-leadership Encouraged?, Journal of Leadership and Organizational Studies, Vol. 11 No. 4. hlm 65-83. Hoyle, David. 2009. ISO 9000: Quality System Handbook, 6th ed. Oxford: Butterworth-Heinemann -------------------. 2001. ISO 9000 Quality System Handbook, 4th ed. Oxford: Butterworth-Heinemann Indrawijaya, Adam L. 1986. Perilaku Organisasi. Bandung: Penerbit Sinar Baru. Inkeless, Alex. 1968. Making Men Modern: On the Causes and Consequences of Individual Change in Six Developing Countries. hlm. 342-361,dalam Amitai Etzioni and Eva Etzioni (eds) Social Change. New York: Basic Books. International Organization for Standardization (ISO). ISO 9001:2008 International Standard, Quality Management Systems Requirements. ---------------------, 2009. The ISO Survey of Certification. www.iso.org [12/02/ 2010) Jabnoun, Naseur dan Hassan Abdullah Al-Ghasyah. 2005.. Leadership Styles Supporting ISO 9001:2000, The Quality Management Journal, vol. 12, no. 1. hlm 21-30
264
Jayawardhena, Chanaka, Andrew M.Farell. 2011. Effect of Retail Employees’ Behavior on Customer’s Service Evaluation. International Journal of Retail and Distribution Management, Vol. 39, No. 3. hlm 203-217. Johnson, David W dan Frank P. Johnson. 2012. Dinamika Kelompok. Theresia, SS, penerjemah; Jakarta: PT. Indeks. Terjemahan dari Joining Together, ninth edition. Kaban, Cerdas. 2007. Kebijakan Penerapan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2000 untuk Pemerintah Daerah. Paper dipresentasikan pada Sarasehan Sosialisasi Penerapan Sistem Mutu Pada Pemerintah Daerah Menurut ISO 9001:2000 dengan Pedoman IWA4:2005. Jakarta: SP-Pustan LIPI Kartono, Kartini. 2006. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Karya, Indah, PT dan Badan Litbang Perhubungan. 2007. Standar Sistem Manajemen Mutu Sarana, Prasarana dan SDM Perkeretaapian Indonesia. Laporan Teknis Penelitian. Kathuria R, and S.J. Porth .2003. Strategy Managerial Characteristics Alignment and Performance: A Manufacturing Perspective. International Journal of Operation and Production Management 23, No. 3, hlm 255-276. Kaziliunas, Adolfas. 2010. The Implementation of Quality Management System in Service Organizations. Public Policy and Administration, No. 34, hlm 71-82 Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. 2006. Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Publik. Kiat dan Terobosan Kabupaten/Kota. Kerlinger, Fred. N. 1990. Asas-Asas Penelitian Behavioral, diterjemahkan dari Foundation of Behavioral Research, 3th ed. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press. Klausmeier HJ, Goodwin W. 1971. Learning and Human Abilites: Educational Pschology. Fourth Ed. New York: Harper & Row Publisher Koentjaraningrat. 2004. Manusia dan Kebudayaan. Jakarta: Djambatan Koo, Hannah; L.C. Koo dan Fredrick K.C. Tao. 1998. Analysing Employee Attitudes Towards ISO Certification. Managing Service Quality, Vol. 8, No.5, hlm. 312-319. Kotter, John. P dan James L. Heskett. 1992. Corporate Culture and Performance. New York: The Free Press.
265
Krech, D dan Crutchfield. 1948. Theory and Problems of Social Psychology. New York: Mc. Graw Hill. Kuczmarski, Susan Smith dan Thomas D. Kuczmarski. 1995. Values-Based Leadership. Prentice Hall. Kujala, Jaakko. 2002. Total Quality Management as Cultural Phenomena- A Conceptual Model and Empirical Illustration. [Disertasi]. Helsinki: Helsinki University of Technology . Kurnia, Saniadi, 2008. Analisis Kinerja Kantor Pelayanan Terpadu dan Perijinan Kabupaten Grobogan [tesis]. Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro Kusnendi. 2008. Model-Model Persamaan Struktural. Satu dan Multigroup Sampel dengan LISREL. Alfabeta. Bandung. Langi, Armen Z. 2008. Learning //azrl.wordpress.com[20/02/12).
by
Doing
and
Teaching.
http:
Lashley, C. 1996. Research Issues for Employee Empowerment in Hospitality Operations. International Journal of Hospitality Management, Vol. 15, No. 3, hlm 283-98. (LAN) Lembaga Administrasi Negara. 2010. Kajian Paradigma: Paradigma Kepemimpinan. Jakarta:LAN (LAN) Lembaga Administrasi Negara. Penyusunan Pedoman Pelayanan Publik (tanpa tahun) (Lemhanas) Lembaga Ketahanan Nasional R.I. 2011. Materi Pokok Bidang Studi Postur Kepemimpinan dan Negarawan. Lewin, Kurt. 1947. Group Discussion and Social Change in T.M. Newcomb & E.L. Hartley (eds). Reading in Social Psychology. New York: Holt Liao, H-. and Chuang, A. 2004. A Multilevel Investigation of Factors Influencing Employee Service Performance and Customer Outcomes, Journal of Academy of Management, Vol. 47, hlm 41-58. Liddle, William, R. 1996. Leadership and Culture in Indonesian Politics. Sydney: ALLEN &UNWIN in association with ASAA Lionberger, H.F. 1960. Adoption of New Ideas and Practices. Ames, IA: Iowa State University LIPI, 2010. FGD Reformasi Birokrasi. Serpong: P2SMTP-LIPI (tidak terbit)
266
Lippitt, Ronald, Jeanne Watson, Bruce Westley. 1958. The Dynamics of Planned Change: A Comparative Study of Principles and Techniques. New York: Harcourt, Berface & World, Inc. Lovelock, CH. 1992. A Basic Toolkit for Service Manager. In Lovelock, CH (editor). Managing Services-Marketing, Operations, and Human Resources. New Jersey: Prentice Hall. hlm 17-30. Lubis, Mahyudanil. 2008. Service Excellence Strategy: Langkah Awal Implementasi Pelayanan Prima. http://mahyudanillubis.blogspot.com/2008_12_01_archive.html [25/10/2010] Madrie, 1986. Beberapa Faktor Penentu Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Pedesaan. Bogor: Fakultas Pascasarjana-IPB Madsen, SR, Miller, D, John, CR. 2005. Readiness for Organizational Change: Do Organizational Commitment and Social Relationship in the Workplace Make a Difference? Human Resource Development Quarterly, Vol. 16, No. 2. hlm 213-233. Magd, Hesham, et al. 2003. ISO 9000 Implementation : A Study of Manufacturing Companies in Saudi Arabia. Managerial Auditing Journal, Vol. 18 No.4. hlm 313-322. Mahdan. Lalu Furkhan.2007. Hubungan antara Motivasi Belajar, Sikap dan Kebiasaan Belajar, dan Hasil Belajar Mahasiswa Universitas Mataram. (Tesis Pascasarjana) Universitas Negeri Malang. Makmun, Abin Syamsudin. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya Remaja. Mardikanto, Totok, 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Marliati. 2008. Pemberdayaan Petani untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas dan Kemandirian Petani Beragribisnis (Kasus di Kabupaten Kampar Provinsi Riau). [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Maritz., D. 1995. Leadership and Mobilizing Potential. Human Resource Management, Vo. 10. No. 1. hlm 8-16. Martin, Lawrence. L. 1993. Total Quality Management in Human Science Organization. Sage Publications Martinez-Costa, M., Choi, T. Y., Martinez, J. A., and Martinez-Lorente, A. R. 2009. ISO 9000/1994, ISO 9001/2000 and TQM: The performance debate revisited. Journal of Operations Management, Vol. 27. hlm 495-511.
267
Matla, Husain. Otonomi Daerah: Alat http://hati.unit.itb.ac.id/p+49. [27/6/2009]
Konglomerasi
Internasional.
Maughan, George,Tracy Anderson, 2005. Linking TQM Culture to Traditional Learning Theories. Journal of Industrial Technology. Vol. 21. OctoberDecember 2005. hlm 1-7. Maughan, G.R dan Prine Ball, K.S. 1999. Synergetic Curriculum for the High Performance Workplace. The Technology Teacher. Vol. 58. No. 7. hlm 3841 Maurer, T.J. 2002. Employee Learning and Development Orientation: Toward an interactive model of involvement in continuous learning. Human Resource Development Review. Vol.1 No.1. hlm 9-44 Mawhood, P. editor. 1987. Local Government in The Third World: The Experience of Tropical Africa. Chinchester: John Wiley and Son.
Mehta,
Sandeep. 2005. Building a Quality www.projectperfect.com.au [3/05/12]
Culture.
White
Paper.
Miles, R.E and C.C. Snow ,1978. Organizational Strategy, Structure, and Process. New York: McGraw Hill. Miller, D.M., F.R. Kets de Vries and J.M. Toulouse .1982. Top Management Locus of Control and Its Relationship to Strategy Making, Structure and Environment. Academy of Management Journal 25. hlm 237-253 Mitchell, J. 1990. An Introduction to Logic of Psychologycal Measurement. New Jersey: Lawrence Erlbaum Association.. Moeheriono. 2012. Perencanaan, Aplikasi dan Pengembangan Indikator Kinerja Utama, Bisnis dan Publik. Jakarta:Rajawali Press Mohamad Ismail. 2003. Pelayanan Publik dalam era Desentralisasi. Seminar Pelayanan Publik dalam era Desentralisasi. Jakarta, Bappenas: 18 Desember 2003 Mudrajad, Kuncoro. Indonesia www.mudrajad.com/ipload/Indonesia Bangkit (wartaekonomi.com)
Bangkit 2008.pdf.
2008. 25/6/2009
Muhaimin, Yahya. 1980. Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia. Prisma, 10 Oktober 1980. Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu Komunikasi. Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya
268
Munhum, Prabha Ramscook, Soolakshna D, Kukea,Bhiwajee Pernjoo Naido.2010. Service Quality in the Public Service. International Journal of Management and Marketing Research, Vol. 3 No.1. hlm 37-47. Nanus, Burt. 1992. Visionary Leadership;Creating a Compelling Sense of Direction for Your Organization. Jossey-Bass. Nasution, M.N. 2004. Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management). Bogor: Ghalia Indonesia . Natakusumah, Purnaman.2006. Bahan Ceramah Kepemimpinan. Diklat Pim 2. Jakarta: LAN Natsir, Syahrir. 2004. Pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap Perilaku Kerja dan Kinerja Karyawan Perbankan di Sulawesi Tengah. [Disertasi] Universitas Airlangga, Surabaya Neves, P. 2009. Readiness for Change: Contributions for Employees’ level of Individual Change and Turn Over Intentions. Journal of Change Management, Vol. 9. No. 2. hlm 215-231 Nixon, B. 1994. Developing and Empowering Culture in Organizations”. Empowerment in Organization, Vo. 2, No. 1. hlm 14-24 Notoatmodjo, S, 2010.Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Oakland, John, S. 1995. Total Quality Management. Oxford: ButterworthHememann Ollila, A. 1995. Quality Improvement Through ISO 9000 Standard. [Dissertation]. Helsinki University of Technology. Espoo, Finland. Osborne, David, Ted Gaebler. 1992. Mewirausahakan Birokrasi. Diterjemahkan dari Reinventing Government. Jakarta : PPM Othman, Roziana, Hj.2006. Factors Influencing the Implementation and Maintenance of ISO 9001:2000 Standard in Selected Organizations in Malaysia. [Thesis], University Putra Malaysia. www.ps asir.upm.edu.my Padmowihardjo, Soedijanto. 1994. Materi Pokok Psikologi Belajar Mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka. Page, Nanette and Cheryl E. Czuba. 1999. Empowerment: What Is It?. Journal of Extension, Vol. 37. No. 5. Panisa Mechinda, Paul G. Patterson. 2011. The Impact of Service Climate and Service Provider Personality on Employees’ customer-oriented Behavior in a High-contact Setting. Journal of Services Marketing Vol.25, No. 2 , hlm 101–113.
269
Paradigm-Consultant. 2009. Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14000. www.paradigm-consultant [ 24/7/2012] Peach, M, Jimmieson, N.I, and White, K.M. 2005. Beliefs, Underlying Employee Readiness to Support a Building Relocation: A Theory of Planned Behavior Perspective. Organization Development Journal. Vol. 23, No.3. hlm 9-22 --------PP No. 65/2005. Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo. 2011. Profil Badan Pelayanan Perijinan Terpadu 2011. --------. 2011. Standar Pelayanan Publik (SPP) Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, Badan Pelayanan Perijinan Terpadu. (PHC). Education Foundation. 1999. Total Quality Management: A Continuous Improvement Process. Piaget, Jean. 1954. The Construction of Reality in The Child. New York: Ballantine Books, Inc Pouza, Souza, Andres et al. 2009. Implementing a Functional ISO 9001 Quality Management System in Small and Medium-Sized Enterprises. International Journal of Engineering (IJE), Vol 3, No. 3 Prajogo, Daniel, Amril Sohal. 2006. The Implementation of ISO 9000 in Australian Organization: a Comparison Between the 1994 and the 2000 versions. Monash University: JAS-ANZ Prijono, O.S. dan A.M.W. Pranarka. 1996. Pemberdayaan; Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies. Priyono, Agung. 2006. Pelayanan Satu Atap sebagai Strategi Pelayanan Prima di Era Otonomi Daerah. Jurnal Spirit Publik, Vo. 2. Nomor 2. hlm 67-74 Purcell, J. and Hutchinson, S. 2007. Front-line Managers as Agents in the HRMPerformance Causal Chain: Theory, Analysis and Evidence. Human Resources Management Journal, Vol. 17 No. 1, hlm 3-20. Ramdhani, Neila. 2008. Sikap dan Beberapa Definisi untuk Memahaminya. http://neila.staff.ugm.ac.id/wordpress/wpcontent/2008/03/definisi.pdf. [10/06 2009). Rampersad, H.K. 2003. Total Performance Scorecard: Redefining Management to Achieve Performance with Integrity. Massachussetts: ButterworthHeinemann.
270
Rasad, Fauziah. 2006. Reformasi Birokrasi dalam Perspektif Pemberantasan Korupsi. Januari 2006. http://www.transparansi.or.id [11 Juni 2009] Riani, Asri Laksmi. 2011. Budaya Organisasi. Yogyakarta: Graha Ilmu. Riduwan, MBA. 2009. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian. Bandung: Alfabeta Riduwan, MBA dan Engkos Achmad Kuncoro. 2011. Cara Menggunakan dan Memaknai Path Analysis (Analisis Jalur). Bandung: Penerbit Alfabeta Ridwan, Mochammad. 2008. Kebijakan Badan Pelayanan Terpadu dalam Pelayanan Satu Pintu atau Satu Atap (One Stop Service) sebagai Bentuk Reformasi Birokrasi di Kabupaten Sragen. [Tesis]. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Rivai, Veitzal. 2003. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta: Rajawali Press. Robinson, Leigh. 2003. Committed to Quality: the Use of Quality Schemes in UIC Public Leisure Services. Managing Service Quality, Vol.3 No.3. hlm. 247-55 Rodwell, John.J; Andrew J. Noblet, Amanda F. Allisey. Improving Employee Outcomes in the Public Sector. Journal of Personnel Review, Vol. 40, No.3, hlm:383-397. Rogers, Carl, R. 1969. Freedem to Learn. Ohio: Charles E. Merill Publishing Company Rogers, Everett 2005. Diffusion of Innovation. 5th. ed. New York: FreePress. Rogers, Shoemaker.1987. Communication of Innovation. A Cross Cultural Approach. New York: A Division of The Macmillan Company. Romli, Lili. 2007. Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Rosana, Dadan, 2009. Pengembangan Budaya Kualitas Melalui Penerapan ISO 9001:2000 di Universitas Negeri Yogyakarta. Jurnal Cakrawala Pendidikan, November 2009, Thn. XXVIII, No. 3 Roth, C.E. 1992. Environmental Literacy: Its Roots, Evolution, and Directions in the 1990s. Columbus, Ohio Roth, K. 1992. Implementing International Strategy at the Business Unit Level: The Role of Managerial Decision Making Characteristics. Journal of Management Review 19, No. 3. hlm 446-471.
271
Romli, Lili. 2007. Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Rozi, Soebhan Safuan.2000. Model Reformasi Birokrasi Indonesia. Jakarta: PPWLIPI Rustandi,Yudi. 2010. Identifikasi Perilaku Santri pada Pengembangan Kompetensi AGribisnis (Studi Pemberdayaan Santri Pondok Pesantren AlItifaq Ciwidey-Bandung). [Tesis]. Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Ryan , R.M., & Deci, E.L.,2000. Intrinsic and Extrinsic Motivations: Classic Definitions and New Directions. Contemporary Educational Psychology, Vol. 25. hlm 45-67 Salkind, N.J. 1985. Theories of Human Development. New York: John Willey and Sons. Sampaio, P.; Saraiva,P.; Guimaraes Rodrigues, A. 2009. ISO 9001 Certification Research:Questions, Answers and Approaches. International Journal of Quality and Reliability Management, Vol. 26 No.1. hlm 35-58 Sarwono, Sarlito Wirawan. 2005. Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Jakarta: Balai Pustaka Sarwono, Sarlito Wirawan. 2006. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Schafer, R.B., dan J.L. Tait. 1981. A guide for understanding attitudes and attitude change. North Central Regional Extension. Publication 138 Schein, Edgar, H. 1992. Organizational Culture and Leadership. San Fransisco: The Jossey-Bass Scott, William G., Terence R. Mitchell. 1976. Organizational Theory: A Structural and Behavioral Analysis. Homewood, IL: Irwin. Sedarmayanti.2004. Good Governance: Membangun Sistem Manajemen Kinerja Guna Meningkatkan Produktivitas. Bandung: Mandar Maju. Senge, Peter M. 1999. Leadership in Living Organizations. hlm. 73-90. dalam Frances Hesselbein, Marshal Goldsmith, Ian Somervile (eds). Leading Beyond the Walls. Drucker Foundation. ------------------, 1990. The Fifth Discipline, The Art and Practice of The Learning Organization. Currency Doubleday Seng, Tan Ong, et al. 2003. Educational Psychology. Singapore: Seng Lee Press
272
Shah, Naimatullah. 2011. A Study of The Relationship Between Organizational Justice and Employee Readiness for Change. Journal of Enterprise Information Management Vol. 24 No. 3, hlm 224-236 Shipton, H. Dawson, J. West, M , M. Patterson. 2002. Learning in Manufacturing Organization: What Factors Predict Effectiveness. Human Resource Development International, Vol. 5, No. 1. hlm 55-72 Siagian, Sondang P. 2004. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta Siagian, Sondang P. 2002. Manajemen Strategik. Jakarta: Bumi Aksara. Simmons B., White M., 1999. The Relationship Between ISO 9000 and Business Performance: Does Registration Really Matter? Journal of Managerial Issues. Vol. XI, No. 3, hlm 330-343 Sinambela, Poltak, et al. 2006. Reformasi Pelayanan Publik. Teori, Kebijakan, dan Implementasi. Jakarta: Bumi Aksara Singarimbun, Masri. 1995. Metodologi Penelitian. Jakarta: LP3ES Singh, Prakash, dan Manshour Nahra. 2006. ISO 9000 in The Public Sector: A Successful Case From Australia. The TQM Magazine, Vol.18 No.2. hlm 131-142 Sinombor, Sonya Helen dan Reny Sri Ayu Taslim. Revolusi Birokrasi Sragen Parepare. http://oss-center.net/v2/index.[25/6/2009] Slamet M. 1995. Perspektif Ilmu Penyuluhan Pembangunan Menyongsong Era Tinggal Landas dalam Penyuluhan Pembangunan di Indonesia Menyongsong abad XXI. Jakarta: PT Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Slamet, Margono. 2003. Memantapkan Penyuluhan Pertanian di Indonesia. Dalam Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Penyunting Ida Yustina dan Adjat Sudrajat. Bogor: IPB Press. Slamet, Margono. 2008. Bahan Kuliah Manajemen Mutu Terpadu, PPN-IPB (tidak diterbitkan) Slamet, Margono. 1995. Sumbang Saran Mengenai Pola Strategi dan Pendekatan Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian pada PJP II. Makalah Lokakarya Dinamika dan Perspektif Penyuluhan Pertanian pada PJP II. PSE PUSTAKA dan CIFAD. Bogor. Soeyanto. 2011. Kepemimpinan Gaya Surga. http://msuyanto.com/baru/?p=238. [20 /05/ 2011)
273
Sofyandi H., Garniwa, I. 2007. Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Graha Ilmu Stringham, Shand, H. 2004. Does Quality Management Work in The Public Sector? Public Administration and Management: An Interactive Journal. Vol 9 No.3. hlm 182-211 Sudjana, D. 2007. Sistem dan Manajemen Pelatihan, Teori dan Aplikasi. Bandung: Falah Production Suryono, Agus. 2011. Manajemen Sumber Daya Manusia: Etika dan Standar Profesional Sektor Publik. Malang: UB Press Sudrajat. 2008. Teori-teori Motivasi. ttp://akhmadsudrajat.wordpress.com [2 /06/ 2008] Sunyoto, Danang. 2009. Analisis Regresi dan Uji Hipotesis. Jakarta: PT.Buku Kita. Sutoyo. 2006. Analisis Pengaruh Penerapan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2000 terhadap Kinerja Karyawan pada PT. Brantas Abipraya Wilayah I Medan. [Tesis]. Medan:Sekolah Pascasarjana-Universitas Sumatra Utara. Szilagyi, Andres D,Jr., Marc J. Wallace, Jr. 1990. Organizational Behavior and Performance. HarperCollins Publisher. Taryoto. A.H.1991.Konsumsi Bahan Pangan: Suatu Tinjauan Sikap dan Perilaku Individu. Pangan Vol. 9, No.2. hlm 39-44 Teicher, J., Hughes, O., & Dow, N. 2002. Interactive Selling: a Dynamic Framework for Service. Journal of Service Marketing, Vol. 12 No. 6. hlm 384-393 Terziovski, M., dan Power, D. 2007. Increasing ISO 9000 Certification Benefits: A Continous Improvement Approach. International Journal of Quality and Reliability Management. Vol. 24, No. 2. hlm 141-163 Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Thomas, A.S., R.J. Litschert, and Ramaswamy, 1991. The Performance Impact of Strategy Manager Alignment: An Empirical Examination. Strategic Management Journal Vol 12. hlm 509-512 Toha, Ramli, Hendro Asmoro. (ed). 2009. Pendekatan Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta: Golden Media Triandis, Harry.C. 1971. Attitude and Attitude Change. New York: John Wiley&Sons, Inc
274
Umar, Husein. 2010. Desain Penelitian MSDM dan Perilaku Karyawan. Jakarta: Rajawali Press. ---------Undang-Undang Pelayanan Publik Nomor 25 Tahun 2009 Van der Wiele,T.; Van Iwaarden, J.2005. Perception About ISO 9000:2000 Quality System Standar Revision and Its Value:Dutch experience. International Journal of Quality and Reliability Management. Vol. 22, No. 2. hlm 101-119 Warnaen, Suwarsih. 2002. Stereotip Etnis dalam Masyarakat Multi Etnis. Jakarta: Mata Bangsa Warsono, Hardi, Hanif. 2007. Perencanaan Partisipatif Pemerintah Daerah. Jakarta: PT. Grasindo Weber, Max. 1947. The Theory of Social and Economic Organization. New York: The Free Press Weber,PS, Weber, J.E. 2001. Changes in Employee Perceptions During Organizational Change. Leadership and Organization Development Journal, Vol.22, No. 5. hlm 291-300 Widianingrum. 2006. Analisis Penerapan ISO 9001:2000 pada PT. Telkom Indonesia, Tbk, Bogor. [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB). Widodo, Tri Putro.2005. Autisme Birokrasi. Jurnal Sarathi, Vol. 12 No. 2. Winardi, J. 2009. Manajemen Perilaku Organisasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Winarni, Puji dan Agus Fanar Syukri. 2008. Analisis Sistem Manajemen Mutu Puslit SMTP-LIPI Berdasarkan 8 Prinsip Manajemen Mutu. P2SMTP-LIPI: Prosiding AMTEQ 2008. hlm 1-15. Winkel, W.S. 1996. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Grasindo Yang, B. Applebaum, Richard. 2003. Toward a Holistic Theory of Knowledge and Adult Learning. Human Resource Development Review,Vol 2 No.2. hlm 106-129. Yudhiantara. 2009. “Ada Apa dengan Good Governance?” Harian Fajar, Bali, 22 April 2009. Yuen, Onn Choong & Kee Luen Wong. 2011. Intrinsic Motivation and Organizational Commitment in the Malaysian Private Higher Education
275
Institutions: An Empirical Study. International Refereed Research Journal, Vol II, Isued Oct 4. hlm 91-100. Yukl, Gary.2005. Kepemimpinan Dalam Organisasi . Budi Supriyanto, penerjemah. Jakarta: PT. Indeks. Terjemahan dari Leadership in Organization. Zairi,M. 2002. Synchronization of TQM. The TQM Magazine Vol. 14, No. 1 Zainol, Razuan dan Suhaiza Zaelani. 2009. Adoption Factors for EMS ISO 14000 in Malaysia. School of Management, University Sains Malaysia Zeng, S.X, Tian P, and Shi, J.J. 2005. Implementing Integration of ISO 9001 and ISO 14001 for Construction. Managerial Auditing Journal, Vol. 20 No. 4. hlm 394-407 Zeng, S.X and P. Tian. 2007. Overcoming Barriers to Sustainable Implementation of the ISO 9001 System. Managerial Auditing Journal, Vol. 22, No. 3. hlm 244-254 Zulkhaidarsyah. 2008. Kumpulan Standar dalam ISO 9000. http://zulkhaidarsyahiso.blogspot.com [5/04/2011]
276
LAMPIRAN
279
Lampiran 1: Direktori Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) berdasarkan data BKPM PTSP di Jawa Barat / One Stop Shop Investment Service in West Java 1. Kabupaten Purwakarta/Purwakarta Regency : Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu (BPMPTSP), Jalan Veteran No.139, Purwakarta 41115, Telp/Fax (0264) 8224794 2. Kota Bogor/Bogor Municipal : Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu (BPMPTSP), Jalan Veteran No.139, Purwakarta 41115, Telp/Fax (0264) 8224794 3. Kabupaten Subang/Subang Regency : Badan Penanaman Modal dan Perijinan (BPMP), Jalan Ade Irma Suryani Nasution No.2, Telp (0260) 411014 4. Kabupaten Sumedang/Sumedang Regency : Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan, Jalan Prabu Geusan Ulun Nomor 36, Sumedang 45311 Telp. (0261) 205657 5. Kabupaten Bogor/Bogor Regency : Badan Perizinan Terpadu (BPT), Jalan Tegar Beriman No.40 Cibinong 16914, Telp/Fax (021) 8751090 6. Kabupaten Majalengka/Majalengka Regency : Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPPTPM), Jl. KH. Abdul Halim Nomor 97. Telp (0233) 8286600 Fax. (0233) 8286600 7. Kabupaten Sukabumi/Sukabumi Municipal : Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT)Kab. Sukabumi, Jabar, Jalan Raya Cibolang Km.7 Cisaat, Sukabumi 43152, Telp/Fax (0266) 237527 8. Kabupaten Indramayu/Indramayu Regency : Badan Penanaman Modal dan Perizinan (BPMP), Jalan MT Haryono No.20 Indramayu, Telp/Fax (0234) 275718 9. Kabupaten Kuningan/Kuningan Regency : Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT), Jalan Aria Kamuning No.2 Kuningan 45511, Telp (0232) 8882858 10. Kota Sukabumi/Sukabumi Municipal : Kantor Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu, Jalan Mayawati Atas No. 11, (0266) 212171 11. Kota Cimahi/Cimahi Municipal : Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu, Jln. Rd Hardjakusumah Blok Jati Cihanjung, Cimahi 40513 Telp/Fax (022) 66322601 12. Kota Bandung/Bandung Municipal : Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu, Jalan Cianjur No.34 Bandung, Telp (022) 7217487, 7217663, Fax (022) 7217587 13. Kabupaten Ciamis/Ciamis Regency : Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT), Jalan Cianjur No.34 Bandung Telp (022) 7217487, 7217663 Fax (022) 7217587 14. Kabupaten Tasikmalaya/Tasikmalaya Regency : Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu, Jalan Otto Iskandar Dinata No.2 Telp. (0265) 2352359 15. Kabupaten Cirebon/Cirebon Regency : Badan Pelayanan Perizinan Terpadu, Jl. Sunan Muria No.10 Telp/Fax. (0231) 323631 16. Kabupaten Cianjur/Cianjur Regency : Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal, Jalan Slamet Riyadi No.3 Telp (0263) 263894 Fax (0263) 284422 17. Kota Banjar/Banjar Municipal : Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Terpadu, Jalan Brigjen M. Isya SH, Kompleks
280
Perkantoran Purwaharja, Telp/Fax (0265) 742585, E-mail :
[email protected] PTSP di Jawa Tengah / One Stop Shop Investment Service in Central Java 1. Kabupaten Banyumas/Banyumas Regency : Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan, Jalan Jend. Sudirman No.540, Telp (0281) 627965 Fax (0281) 624521, Purwokerto 2. Kota Tegal/Tegal Municipal : Badan Pelayanan Perijinan Terpadu, Jalan Ki Gede Sebayu No.3, Tegal Telp (0283) 356101 3. Kabupaten Sragen/Sragen Regency : Badan Perijinan Terpadu, Jalan Raya Sukowati No.255 Telp (0271) 891025, Sragen 57211 4. Kabupaten Batang/Batang Regency : Kantor Penanaman Modal dan Pelayanan, Jalan Urip Sumoharjo No.13 Telp (0285) 4493081, Fax (0285) 392289, Batang 51212 5. Kota Pekalongan/Pekalongan Municipal : Badan Pelayanan Perijinan Terpadu, Jalan Majapahit No.1 Telp (0285) 432086, 7925600, Fax (0285) 420428, Pekalongan 51111 6. Kota Semarang/Semarang Municipal : Badan Pelayanan Perijinan Terpadu, Drs. A. Zainuddin, MM., (Sekretaris), Jalan Pemuda 148 Telp (024) 3585944, 3513366 pes 1321, 1322, 1421, Semarang 50132 7. Kabupaten Semarang/Semarang Regency : Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu, Jalan Gatot Subroto No.104 Telp (024) 6921908, Ungaran Barat 50517 8. Kabupaten Karanganyar/Karanganyar Regency : Badan Pelayanan Perijinan Terpadu, Jalan Lawu Telp (0271) 495269 Fax (0271) 494027 Karanganyar 57711 9. Kabupaten Demak/Demak Regency : Badan Pelayanan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal, Jalan Sultan Hadi Wijaya No.8, Demak, Telp.(0291) 681011, Website: http://www.demak.go.id 10. Kabupaten Pati/Pati Regency : Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu, Jalan Tombronegoro No.1 Pati Telp.(0295) 381196, Fax.(0295) 381196 11. Kabupaten Kudus/Kudus Regency : Kantor Pelayanan Perjinan Terpadu, Jl simpang Tujuh no 1 Kudus Telp.(0291) 435018, Fax.(0291) 439300 12. Kabupaten Kendal/Kendal Regency : Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu, Jalan Soekarno Hatta No.124 Kendal Telp. (0294) 382309, 381251 ,Website: www.bpmpt.kendalkab.go.id, E-mail:
[email protected] 13. Kabupaten Rembang/Rembang Regency : Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu, Jalan Gatot Subroto No.8 Rembang Telp.(0295) 693069, Fax.(0295) 693480 14. Kabupaten Cilacap/Cilacap Regency : Badan Penanaman Modal dan perizinan Terpadu, Jl. Kalimantan No. 74 Telp. (0282) 541727, 542909, Fax.(0282) 542909 15. Kota Magelang/Magelang Municipal : Badan Pelayanan Perijinan Terpadu, Jalan Veteran No.7 Telp. (0293) 314663, 361775 16. Kabupaten Magelang/Magelang Regency : Badan Pelayanan Perijinan Terpadu, Jalan Tukiyat No.20, Kota Mungkid, Telp.(0293) 788249 17. Kabupaten Purbalingga/Purbalingga Regency : Kantor Pelayanan
281
Perizinan Terpadu, Jl. Mayjend. Sungkono KM.2 Telp.(0281) 891235 18. Kabupaten Boyolali/Boyolali Regency : Kantor Perizinan Dan Penanaman Modal, Jalan Kates 51, Telp.(0276) 321678, Fax.(0276) 321105 19. Kabupaten Temanggung/Temanggung Regency : Kantor Pelayanan Perizinan dan Penanaman Modal, Jl.A.Yani No.32 E Telp.(0293) 492089, Fax.(0293) 56212 20. Kabupaten Pemalang/Pemalang Regency : Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu, Jl. Jend. Sudirman Timur No. 64 Telp.(0284) 323541 Website: www.osspemalang.org ; E-mail:
[email protected] PTSP di Jawa Timur / One Stop Shop Investment Service in East Java 1. Kabupaten Gresik/Gresik Regency : Badan Penanaman Modal dan Perijinan (BPMP), Jalan DR. Wahidin Sudirohusodo No.245 (Kantor BUPATI) Telp. (031) 3930732-33 Fax (031) 3930731 2. Kabupaten Lamongan/Lamongan Regency : Kantor Perijinan, Jalan DR. Wahidin Sudirohusodo No.57 Lamongan, Telp/Fax (0322) 323365 3. Kabupaten Probolinggo/ Probolinggo Regency : Kantor Penanaman Modal dan Perijinan, Jalan Raya Dringu No.45 Telp/Fax (0335) 424175 4. Kota Pasuruan/ Pasuruan Municipal : Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu (BPMPPT), Jalan Pahlawan No.26 B Pasuruan Telp (0343) 422754, Fax. 418188 5. Kabupaten Mojokerto/Mojokerto Regency : Badan Pelayanan Perijinan Terpadu, Jalan RA Basuni No.14 Mojokerto Telp (0321) 382016, 321368 6. Kabupaten Jombang/Jombang Regency : Badan Pelayanan Perijinan, Jalan Merdeka 151, Jombang Telp. (0321) 873333, Fax (0321) 851733 7. Kota Kediri/Kediri Municipal : Kantor Pelayanan Perijinan, Jalan Jend. Basuki Rahmat 15 Kediri, Telp (0354) 682345 8. Kabupaten Trenggalek/Trenggalek Regency : Kantor Perijinan dan Penanaman Modal, Jalan KH Wahid Hasyim No.5 Telp (0355) 797156 9. Kabupaten Pacitan/Pacitan Regency : Kantor Pelayanan Perijinan, Jalan Gatot Subroto No.73 telp (0357) 884368 10. Kabupaten Blitar/Blitar Regency : Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Jalan Veteran No.10 Telp/Fax (0342) 801665 11. Kota Blitar/Blitar Municipal : Kantor Pelayanan Terpadu, Jalan Cokroaminoto No.1, Telp/Fax. (0342) 814328, 814119, email :
[email protected] 12. Kota Malang/Malang Municipal : Badan Pelayanan Perijinan Terpadu, Jalan Mayjen Sungkono Tlogowaru, Malang Telp (0341) 751942 13. Kabupaten Malang/Malang Regency : Kantor Penanaman Modal, Jalan Nusa Barong 13 Telp (0341) 355858, 355990, Fax (0341) 355858, Malang 65117 14. Kabupaten Pasuruan/Pasuruan Regency : Badan Pelayanan Perijinan dan Penanaman Modal, Jalan Hayam Wuruk No.14 Telp (0343) 428883, Fax (0343) 426508, Pasuruan 67115 15. Kabupaten Sidoarjo/Sidoarjo Regency : Badan Pelayanan Perijinan Terpadu, Jalan Pahlawan 141, Sidoarjo Telp (031) 8953472, 8052090 16. Kota Surabaya/Surabaya Municipal : Badan Penanaman Modal, Provinsi Jawa Timur, Jalan Jagir Wonokromo No.352, Surabaya
282
60244,Telp.( 62-31) 8410877, 8418676,Fax. (62-31) 8412363,http://www.jatimprov.go.id PTSP di D.I. Yogyakarta / One Stop Shop Investment Service in D.I. Yogyakarta 1. Kabupaten Sleman/Sleman Regency : Kantor Pelayanan Perizinan, Jalan KRT.Pringgodiningrat, Beran, tridadi, Sleman Telp.(0274) 867199, 868405 Pst. 1175, 1275 Fax.(0274) 868945, E-mail:
[email protected], Website: www.slemankab.go.id 2. Kota Jogjakarta/Jogjakarta Municipal : Badan Kerjasama dan Penanaman Modal (BKPM), Provinsi DI Yogyakarta, Komp. Kepatihan Danurejan Gedung Unit VII Lt. 3 Jl. Malioboro, Yogyakarta,Tlp. 0274562811; Ext.1132, Fax. 0274-552521 PTSP di DKI Jakarta / One Stop Shop Investment Service in DKI Jakarta 1. Kota Jakarta/Jakarta Municipal : Badan Penanaman Modal dan Promosi DKI Jakarta, Jl. MT Haryono Kav. 45-46, Jakarta, Telp. 0217949660, Fax. 021-7949567 PTSP di Banten / One Stop Shop Investment Service in Banten 1. Kabupaten Serang/ Serang Regency : Badan Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal, Jalan Jenderal Sudirman No.5 telp (0254) 203720, Serang Banten 2. Kabupaten Pandeglang/Pandeglang Regency : Badan Pelayanan Perijinan Terpadu, Jalan KH. Tb. A. Halim No.3 Telp (0253) 201030, Fax (0253) 201030, Pandeglang 42213 3. Kabupaten Lebak/Lebak Regency : Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu, Jalan Abdi Negara No.3 Telp (0252) 202772, Rangkasbitung 42312 PTSP di Bali/ One Stop Shop Investment Service in Bali 1. Kota Denpasar/Denpasar Municipal : Badan Penanaman Modal, Provinsi Bali, Jalan DI Panjaitan No.5, Denpasar 80235,Telp. (62-361) 237991, 229593, Fax. (62-361) 236037, 731711 PTSP di Nusa Tenggara Barat / One Stop Shop Investment Service in West Nusa Tenggara 1. Kota Mataram/Mataram Municipal : Badan Penanaman Modal, Provinsi NTB, Jl. Udayana No. 4 Mataram; Telp/Fax : 0370632632/634926 PTSP di Nusa Tenggara Timur / One Stop Shop Investment Service in East Nusa Tenggara 1. Kota Kupang/Kupang Municipal : Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Jl.Basuki Rachmat No. 1 Kupang ,Telp. 0380-821834, Fax. 0380-833213 PTSP di Kalimantan Barat / One Stop Shop Investment Service in West Kalimantan 1. Kabupaten Kubu Raya/Kubu Raya Regency : Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu, Jl.A.Yani II, Telp.(0561) 724456, 724457, Fax.(0561) 724456, Website:bpmptkkr.blogspot.com, E-mail:
[email protected]
283
2. Kabupaten Pontianak/Pontianak Regency : Kantor Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu (KPMPT), Jl. Daeng Manambon Telp.(0561) 6693068 Fax.(0561) 6693068 3. Kota Singkawang/Singkawang Municipal : Kantor Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu, Jalan Jend. Sudirman No.25 A Telp/Fax.(0562) 639093 4. Kabupaten Sambas/Sambas Regency : Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu, Jalan Gusti Hamzah No.16 Telp.(0562) 392327 Fax.(0562) 392327 5. Kota Pontianak/Pontianak Municipal : Badan Penanaman Modal Daerah Provinsi Kalimantan Barat, Jl. Sutra Syahrir No. 17, Pontianak, Telp. 0561-743491-768002, Fax. 0561-769472 PTSP di Kalimantan Timur / One Stop Shop Investment Service in East Kalimantan 1. Kabupaten Kutai Kertanegara/Kutai Kartanegara Regency : Badan Penanaman Modal dan Promosi Daerah, Jl. Muso Bin Salim No.06 Tenggarong Telp. (0541) 661122 Fax. (0541) 661177 2. Kota Bontang/ Bontang Municipal : Badan Pelayanan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal, Jl. MT. Haryono No.31 Lt.1 Telp.(0548) 20594 Fax.(0548) 20598, Website : http://wwww.kpt-bontang.go.id, E-mail :
[email protected] 3. Kota Balikpapan/Balikpapan Municipal : Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu, Jl. Jend. Sudirman Rt.1 No.1 Telp. (0542) 421500, 421600, Fax. (0542) 422941 4. Kota Probolinggo/Probolinggo Municipal : Badan Pelayanan Perizinan, Jalan Basuki Rahmad No. 14 Probolinggo 67217 Telp.(0335) 428990 Fax.(0335) 430758 5. Kota Samarinda/Samarinda Municipal : Badan Perijinan dan Penanaman Modal Daerah (BPPMD), Provinsi Kalimantan Timur, Jalan Basuki Rahmat No. 59 Samarinda-75112, Telp. 0541-743235/743487, Fax.0541-736446 PTSP di Kalimantan Selatan / One Stop Shop Investment Service in South Kalimantan 1. Kota Banjarmasin/Banjarmasin Municipal : Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal, Jalan RE.Martadinata No.01 Telp.(0511) 3363856 Fax.(0511) 3363317 PTSP di Kalimantan Tengah / One Stop Shop Investment Service in Central Kalimantan 1. Kabupaten Kotawaringin Timur/East Kotowaringin Regency : Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu, Jl. Kapten Mulyono No.1 Telp.(0531) 32318, 25103 Fax.(0531) 24600. Sampit 2. Kota Palangkaraya/Palangkaraya Municipal : Badan Penanaman Modal daerah (BPMD), Provinsi Kalimantan Tengah, Jl. Tjilik Riwut Km. 5,5 Palangkaraya 73112, Telp. 0536-3231414, Fax. 0536-3231454 PTSP di Maluku / One Stop Shop Investment Service in Maluku 1. Kota Ambon/Ambon Municipal : Unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu BPMD Prov. Maluku, Jl. Pengeringan Pantai Waihaong, Ambon, Telp. (0911) 310165, Fax. (0911) 310165
284
PTSP di Maluku Utara/ One Stop Shop Investment Service in North Maluku 1. Kota Ternate/Ternate Municipal : Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Provinsi Malut, Jl. Saleh Effendi No. 1 Kel.Kampung , Ternate ;Telp. 0921-3128559, Fax. 0921--3128080 PTSP di Papua/ One Stop Shop Investment Service in Papua 1. Kota Jayapura/Jayapura Municipal : Badan Koordinasi Penanaman Modal Provinsi Papua, Jl. Dr. Sam Ratulangi No. 32 Jayapura,Telp. 0967533600, 531322; Fax. 0967-536943 PTSP di Papua Barat/ One Stop Shop Investment Service in West Papua 1. Kota Manokwari/Manokwari Municipal : Biro Perekonomian dan Investasi, Jl. Siliwangi No. 1,Manokwari Telp. 0986-213124, Fax. 0986211719 PTSP di Sulawesi Barat / One Stop Shop Investment Service in West Sulawesi 1. Kota Mamuju/Mamuju Municipal : Badan Promosi Penanaman Modal Daerah (BPPMD), Provnsi Sulbar, Jl. Gatot Subroto No. 30, Mamuju, Telp. 0462-21092 PTSP di Sulawesi Tengah / One Stop Shop Investment Service in Center Sulawesi 1. Kota Palu/Palu Municipal : Badan Promosi dan Penanaman Modal Provinsi Sulawesi Tengah, Jl. Pramuka No. 23, Palu, Telp. (0451) 21111, 424325, Fax: (0451) 421807 PTSP di Sulawesi Selatan / One Stop Shop Investment Service in South Sulawesi 1. Kota Makasar/Makasar Municipal : Badan Koordinasi Penanaman Modal ,Provinsi Sulawesi Selatan, Jln. Jend. Sudirman Urip Sumoharjo No. 269, Telp. 0411-453614; Fax. 0411-423478 PTSP di Sulawesi Tenggara / One Stop Shop Investment Service in Southeast Sulawesi 1. Kota kendari/Kendari Municipal : Badan Penanaman Modal Daerah (BPMD), Provinsi Sultra, Jl. Mayjen S. Parman No. 2 Kendari 93121, Telp. 0401-3126052 ;Fax. 0401-3126182 PTSP di Sulawesi Utara / One Stop Shop Investment Service in North Sulawesi 1. Kota Manado/Manado Municipal : Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Kerjasama Regional (BKPMKR), Provinsi Sulut, Kantor Gubernur, Lt..4, Jl. Tujuh Belas Agustus No. 69, Manado,Telp. 0431860334, Fax. 0431-860334 PTSP di Gorontalo / One Stop Shop Investment Service in Gorontalo 1. Kota Gorontalo/Gorontalo Municipal : Badan Investasi Daerah, Provinsi Gorontalo, Jl. Dewi Sartika No. 10 Kota Gorontalo 96128,Telp. 0435-827744, Fax. 0435-827767 PTSP di Sumatera Barat / One Stop Shop Investment Service in West Sumatera 1. Kota Pariaman/Pariaman Municipal : Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal, Jl. Nasri Nasar No.1 Pariaman Telp.(0751) 91529, E-mail:
[email protected]
285
2. Kota Payakumbuh/Payakumbuh Municipal : Kantor Penanaman Modal, Jl. A.Irma Suryani Nasution No.8 Telp.(0752) 92508 3. Kota Padang/Padang Municipal : Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Provinsi Sumatera Barat, Jl. Setia Budi No. 15 - Padang,Telp. 0751-811341, Fax. 0751-811342, email :
[email protected] PTSP di Sumatera Utara / One Stop Shop Investment Service in North Sumatera 1. Kabupaten Samosir/Samosir Regency : Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu, Jl. Raya Rianiate Km.5,5 Pangururan Telp/Fax. (0626) 20121 2. Kota Medan/Medan Municipal : Badan Penanaman Modal dan Promosi (BPMP) Provinsi Sumatera Utara, Jl. Imam Bonjol No. 11, Telp. (061) 4564447; Fax.(061) 4564155 PTSP di Sumatera Selatan / One Stop Shop Investment Service in South Selatan 1. Kota Palembang/Palembang Municipal : Badan Penanaman Modal Daerah Provinsi Sumatera Selatan, Jl. Jend. Sudirman No. 90 Km. 4,5 Palembang,Telp. 0711-411007; Fax. 0711-411199 PTSP di Bengkulu / One Stop Shop Investment Service in Bengkulu 1. Kota Bengkulu/Bengkulu Municipal : Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD), Prov. Bengkulu, Jl. Batang Hari No. 108, Padang Harapan, Bengkulu,Telp. (0736) 22044, Fax. (0736) 22044 PTSP di Riau / One Stop Shop Investment Service in Riau 1. Kota PekanBaru/Pekanbaru Municipal : Badan Pelayanan Terpadu, Jl. Cut Nya Dien No. 3 Telp.(0761) 28262, Fax.(0761) 42003 2. Kabupaten Karimun/Karimun Regency : Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun, Jl. Jend.Sudirman Komplek Perkantoran Pemda Karimun (Gedung D), Tanjung Balai Telp/Fax.(0777) 7366030 E-mail:
[email protected] PTSP di Lampung / One Stop Shop Investment Service in Lampung 1. Kota Bandar Lampung/ Bandar Lampung Municipal : Badan Penanaman Modal dan Perizinan, Jl. Way Pengubuan No.3 Pahoman Telp/Fax (0721) 265723 PTSP di Jambi / One Stop Shop Investment Service in Jambi 1. Kota Jambi/Jambi Municipal : Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD), Provnsi Jambi, Jl. R.M. Noor Atmadibrata 1 A, Jambi, Telp. 0741-669352; Fax. 0741-60450 PTSP di Nangroe Aceh Darussalam / One Stop Shop Investment Service in Nangroe Aceh Darussalam 1. Kota Banda Aceh/ Banda Aceh Municipal : Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Jl. T.Nyak Arief No. 2`19, Banda Aceh, Telp. 0651-23170, 22697, Fax. 0651-23171 PTSP di Kepulauan Riau / One Stop Shop Investment Service in Island of Riau 1. Kabupaten Bintan/Bintan Regency : Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan Wilayah kabupaten Bintan, Jl. DI Panjaitan KM.6 No. 32 Tanjung Pinang telp. 0771-21953
286
2. Kota Tanjung Pinang/Tanjung Pinang Municipal : Badan Penanaman Modal dan Promosi Daerah (BPMPD) Provinsi Kepri, Jl. Wiratno No. 3-4, Tanjung Pinang, Telp. 0771-314477, Fax. 0771-28855 PTSP di Bangka Belitung / One Stop Shop Investment Service in Bangka Belitung 1. Kota Pangkal Pinang/Pangkal Pinang Municipal : Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Provinsi Kep.Bangka Belitung, Komp. Perkantoran Pemerintah Kel. Air Itam, Kec.Bukit Intan, Pangkal Pinang 33146, Telp. 0717-437706, 437701, Fax. 0717- 439223, 431694 http://nswi.bkpm.go.id/wps/portal/direktoriptsp/!ut/p/c5/04 (Mei 2011)
287
Lampiran 2.
UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS 1. Uji Validitas Uji validitas adalah uji tentang kemampuan suatu questionare sehingga benarbenar dapat mengukur apa yang ingin diukur. Salah satu cara yang yang digunakan
adalah
dengan
Corrected
Items
Total
Correlation
yaitu
mengkorelasikan skore pada item-item pertanyaan (yang diuji) dengan skore total dari item pertanyaan tersebut. Kriteria yang diuji adalah jika nilai Signifikanasi lebih kecil dari 0,05 (alpha( )) maka pertanyaan tersebut valid. Dibawah ini adalah beberapa variabel yang sudah diuji validitas jumlah sampel sebanyak 36 responden. Hasil uji validitas menunjukan bahwa semua variabel sudah valid jika kolom merah tidak di gunakan dalam kuesioner tersebut. Kekosmopolitan NO Sig. 1 0,011 2 0,003 3 Tidak Digunakan 4 0,001 5 0,000 6 0,000 7 0,000 8 0,000 9 0,000 10 0,000 11 0,001 Visi NO 1 2 3 4 5 6
Sig. 0,007 0,000 0,000 0,002 0,000 0,000
Komitmen Pemimpin NO Sig. 1 0,000 2 0,000 3 0,000 4 0,000 5 0,000 6 0,000 7 0,046 Komunikasi NO Sig. 1 Tidak Digunakan 2 Tidak Digunakan 3 Tidak Digunakan 4 0,000 5 Tidak Digunakan 6 Tidak Digunakan 7 0,000 8 0,000
288 Motivasi Ekstrinsik NO Sig. 1 0,000 2 0,000 3 Tidak Digunakan 4 0,000 5 0,000 6 0,000 7 0,036 8 0,024 9 Tidak Digunakan 10 0,000 11 0,000
Motivasi Intrinsik NO Sig. 1 Tidak Digunakan 2 0,000 3 Tidak Digunakan 4 0,000 5 0,000 6 0,000 7 0,000 8 0,000 9 0,000 10 0,000 11 0,000 12 Tidak Digunakan 13 Tidak Digunakan 14 0,000 15 0,000 16 0,000 17 0,000 Interaksi Antar Kelompok NO Sig. 1 0,030 2 0,015 3 0,000 4 0,000 5 0,000 6 0,000 7 0,000 8 0,000 9 0,000
Interakasi Intra Anggota di dalam Kelompok NO Sig. 1 0,001 2 0,001 3 0,000 4 0,023 5 0,000 6 0,000 7 0,000 8 0,000 9 0,000 Materi NO Sig. 1 0,005 2 Tidak Digunakan 3 0,005 4 0,000 5 0,000 6 0,000 7 0,000 Metode NO Sig. 1 0,000 2 0,000 3 0,000 4 0,000 5 0,000 6 Tidak Digunakan 7 0,000 8 0,000 Model Komunikasi NO Sig. 1 0,000 2 0,000 3 Tidak Digunakan 4 0,000 5 0,000
289 Cara Belajar NO Sig. 1 0,000 2 0,000 3 0,012 4 Tidak Digunakan 5 0,000 6 0,000 7 Tidak Digunakan
Internalisasi Sifat Kepemimpinan NO Sig. 1 0,000 2 0,000 3 0,000 4 0,000 5 0,000 6 0,000 7 0,000
Orientasi Mutu NO Sig. 1 Tidak Digunakan 2 0,000 3 0,000 4 0,000 5 Tidak Digunakan 6 Tidak Digunakan 7 Tidak Digunakan 8 0,000 9 0,000 10 0,005 11 0,000
Tanggap NO Sig. 1 0,000 2 0,000 3 0,000 4 0,000 5 0,001
Partisipasi di dalam tim/kelompok NO Sig. 1 0,003 2 0,000 3 0,000 4 0,000 5 0,016 6 0,000 7 0,405 8 0,000 9 0,145 10 0,000 Pengembangan Diri NO Sig. 1 0,000 2 Tidak Digunakan 3 0,000 4 Tidak Digunakan 5 0,000 6 Tidak Digunakan 7 0,000 8 Tidak Digunakan
Keandalan (Reliabilitas) NO Sig. 1 0,015 2 0,000 3 0,000 4 0,000 5 0,000 6 0,000
Etika pelayanan NO Sig. 1 Tidak Digunakan 2 Tidak Digunakan 3 0,000 4 0,000 5 Tidak Digunakan 6 0,000 7 Tidak Digunakan 8 0,000
290 Strategi Keberlanjutan Penerapan ISO 9001 NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Sig. 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 Tidak Digunakan 0,001 0,000 0,000 Tidak Digunakan Tidak Digunakan 0,000 0,005 Tidak Digunakan Tidak Digunakan Tidak Digunakan
291
2. Uji Reliabilitas Suatu questionare disebut reliabel/handal jika jawaban-jawaban seseorang konsisten. Uji Ini menunjukkan ketidak konsistenan pertanyaan dalam mengungkap sikap atau pendapat responden. Konsep reliabilitas dapat dipahami melalui dasar konsep tersebut yaitu konsistensi. Salah satu cara yang digunakan dalam uji reliabiltas adalah reliabilitas konsistensi internal (internal consistency reliability). Konsep reliabilitas menurut pendekatan ini adalah konsistensi diantara butir-butir pertayaan atau pernyataan dalam suatu instrumen. Teknik yang digunakan untuk uji ini adalah dengan cronbach alpha. Kriteria untuk uji ini adalah jika hasil cronbach alpha ≥ 0,6 maka variabel tersebut reliabel Dibawah ini adalah beberapa variabel yang sudah diuji reliabilitas dengan jumlah sampel sebanyak 36 responden. Hasil uji reliabilitas menunjukan seluruh variabel masuk dalam kriteria uji cronbach alpha. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Variabel Kekosmopolitan Visi Komitmen Pemimpin Komunikasi Motivasi Ekstrinsik Motivasi Intrinsik Interaksi Antar Kelompok Interakasi Intra Anggota di dalam Kelompok Materi belajar Metode pembelajaran Model Komunikasi Cara Belajar Orientasi atau pandangan terhadap mutu Keterlibatan di kelompok Pengembangan Diri Internalisasi Sifat Kepemimpinan Tanggap Handal Etika pelayanan Strategi Keberlanjutan Penerapan ISO 9001
Cronbach alpha 0,773 0,667 0,867 0,774 0,836 0,771 0,833 0,728 0,695 0,866 0,684 0,752 0,657 0,864 0,623 0,776 0,823 0,638 0,677 0,838
292
Lampiran 3: Regression (total Sragen dan Sidoarjo) [DataSet1] D:\disertasi ipb 2011\attachments_2012_01_16\DETAILYKOMPOSIT.sav
Model Summary Std. Error of the Model
R
R Square
Adjusted R Square
Estimate
1
.868a
.754
.697
4.71150
2
.868
b
.754
.700
4.68171
3
.868c
.754
.704
4.65628
4
.868d
.753
.707
4.63310
5
.867e
.752
.709
4.61377
6
.866
f
.751
.711
4.59698
7
.866g
.749
.713
4.58153
8
.864h
.747
.713
4.57906
9
.861i
.742
.712
4.59285
10
.859
j
.739
.711
4.59611
11
.856k
.733
.708
4.62063
12
.853l
.728
.707
4.63352
13
.851m
.724
.705
4.64621
14
n
.717
.702
4.67113
.847
a. Predictors: (Constant), X54, X42, X44, X43, X31, X13, X45, X46, X53, X47, X12, X21, X51, X22, X11, X32, X41, X52 b. Predictors: (Constant), X54, X42, X44, X43, X31, X13, X45, X46, X53, X47, X12, X21, X51, X22, X32, X41, X52 c. Predictors: (Constant), X54, X42, X44, X31, X13, X45, X46, X53, X47, X12, X21, X51, X22, X32, X41, X52 d. Predictors: (Constant), X54, X42, X31, X13, X45, X46, X53, X47, X12, X21, X51, X22, X32, X41, X52 e. Predictors: (Constant), X54, X42, X31, X13, X46, X53, X47, X12, X21, X51, X22, X32, X41, X52 f. Predictors: (Constant), X54, X42, X31, X13, X46, X53, X47, X12, X21, X51, X22, X32, X41 g. Predictors: (Constant), X54, X42, X31, X13, X46, X53, X12, X21, X51, X22, X32, X41
293
h. Predictors: (Constant), X54, X42, X31, X13, X53, X12, X21, X51, X22, X32, X41 i. Predictors: (Constant), X54, X42, X13, X53, X12, X21, X51, X22, X32, X41 j. Predictors: (Constant), X54, X42, X13, X53, X12, X21, X51, X22, X41 k. Predictors: (Constant), X54, X42, X13, X53, X12, X51, X22, X41 l. Predictors: (Constant), X54, X42, X13, X53, X12, X51, X41 m. Predictors: (Constant), X54, X42, X53, X12, X51, X41 n. Predictors: (Constant), X54, X42, X53, X12, X51
ANOVAo Model 1
2
3
4
5
6
7
8
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
5241.893
18
291.216
Residual
1709.264
77
22.198
Total
6951.156
95
Regression
5241.524
17
308.325
Residual
1709.633
78
21.918
Total
6951.156
95
Regression
5238.364
16
327.398
Residual
1712.793
79
21.681
Total
6951.156
95
Regression
5233.905
15
348.927
Residual
1717.251
80
21.466
Total
6951.156
95
Regression
5226.917
14
373.351
Residual
1724.239
81
21.287
Total
6951.156
95
Regression
5218.310
13
401.408
Residual
1732.846
82
21.132
Total
6951.156
95
Regression
5208.952
12
434.079
Residual
1742.204
83
20.990
Total
6951.156
95
Regression
5189.862
11
471.806
F
Sig.
13.119
.000a
14.067
.000b
15.101
.000c
16.255
.000d
17.539
.000e
18.995
.000f
20.680
.000g
22.501
.000h
294
9
10
11
12
13
14
Residual
1761.295
84
20.968
Total
6951.156
95
Regression
5158.142
10
515.814
Residual
1793.014
85
21.094
Total
6951.156
95
Regression
5134.469
9
570.497
Residual
1816.687
86
21.124
Total
6951.156
95
Regression
5093.685
8
636.711
Residual
1857.471
87
21.350
Total
6951.156
95
Regression
5061.843
7
723.120
Residual
1889.313
88
21.469
Total
6951.156
95
Regression
5029.892
6
838.315
Residual
1921.264
89
21.587
Total
6951.156
95
Regression
4987.406
5
997.481
Residual
1963.751
90
21.819
Total
6951.156
95
24.453
.000i
27.007
.000j
29.822
.000k
33.681
.000l
38.834
.000m
45.715
.000n
a. Predictors: (Constant), X54, X42, X44, X43, X31, X13, X45, X46, X53, X47, X12, X21, X51, X22, X11, X32, X41, X52 b. Predictors: (Constant), X54, X42, X44, X43, X31, X13, X45, X46, X53, X47, X12, X21, X51, X22, X32, X41, X52 c. Predictors: (Constant), X54, X42, X44, X31, X13, X45, X46, X53, X47, X12, X21, X51, X22, X32, X41, X52 d. Predictors: (Constant), X54, X42, X31, X13, X45, X46, X53, X47, X12, X21, X51, X22, X32, X41, X52 e. Predictors: (Constant), X54, X42, X31, X13, X46, X53, X47, X12, X21, X51, X22, X32, X41, X52 f. Predictors: (Constant), X54, X42, X31, X13, X46, X53, X47, X12, X21, X51, X22, X32, X41 g. Predictors: (Constant), X54, X42, X31, X13, X46, X53, X12, X21, X51, X22, X32, X41 h. Predictors: (Constant), X54, X42, X31, X13, X53, X12, X21, X51, X22, X32, X41 i. Predictors: (Constant), X54, X42, X13, X53, X12, X21, X51, X22, X32, X41 j. Predictors: (Constant), X54, X42, X13, X53, X12, X21, X51, X22, X41
295
k. Predictors: (Constant), X54, X42, X13, X53, X12, X51, X22, X41 l. Predictors: (Constant), X54, X42, X13, X53, X12, X51, X41 m. Predictors: (Constant), X54, X42, X53, X12, X51, X41 n. Predictors: (Constant), X54, X42, X53, X12, X51 o. Dependent Variable: Y1 Coefficientsa Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
2
B (Constant)
Std. Error 29.053
8.658
X11
.042
.324
X12
-.380
X13
Coefficients Beta
t
Sig. 3.356
.001
.012
.129
.898
.180
-.170
-2.106
.038
-.621
.426
-.117
-1.459
.149
X21
.480
.267
.166
1.799
.076
X22
-.218
.158
-.121
-1.380
.172
X31
-.171
.141
-.093
-1.215
.228
X32
.224
.170
.136
1.319
.191
X41
.098
.121
.084
.812
.419
X42
.516
.570
.062
.906
.368
X43
.150
.422
.022
.355
.723
X44
-.057
.122
-.047
-.467
.642
X45
-.088
.194
-.043
-.450
.654
X46
.226
.214
.073
1.053
.296
X47
.198
.283
.053
.699
.487
X51
1.141
.236
.497
4.836
.000
X52
-.154
.253
-.064
-.610
.543
X53
.969
.494
.160
1.963
.053
X54
1.369
.300
.464
4.565
.000
29.157
8.566
3.404
.001
X12
-.376
.177
-.169
-2.125
.037
X13
-.633
.413
-.119
-1.531
.130
X21
.481
.265
.166
1.818
.073
(Constant)
296
3
4
X22
-.212
.150
-.117
-1.412
.162
X31
-.169
.139
-.092
-1.216
.228
X32
.228
.167
.138
1.362
.177
X41
.099
.120
.084
.824
.412
X42
.515
.566
.062
.909
.366
X43
.158
.415
.023
.380
.705
X44
-.057
.121
-.047
-.469
.640
X45
-.087
.193
-.042
-.450
.654
X46
.231
.209
.075
1.106
.272
X47
.201
.280
.053
.720
.474
X51
1.141
.234
.497
4.868
.000
X52
-.155
.251
-.064
-.616
.540
X53
.959
.484
.158
1.982
.051
X54
1.384
.275
.469
5.030
.000
29.650
8.421
3.521
.001
X12
-.372
.176
-.167
-2.118
.037
X13
-.663
.404
-.125
-1.644
.104
X21
.494
.261
.171
1.890
.062
X22
-.208
.149
-.115
-1.398
.166
X31
-.165
.138
-.090
-1.196
.235
X32
.229
.166
.139
1.380
.171
X41
.097
.119
.082
.811
.420
X42
.538
.560
.065
.962
.339
X44
-.054
.120
-.045
-.453
.651
X45
-.095
.191
-.046
-.495
.622
X46
.221
.206
.072
1.073
.286
X47
.210
.277
.056
.758
.451
X51
1.137
.233
.495
4.883
.000
X52
-.152
.250
-.063
-.607
.545
X53
.967
.481
.160
2.012
.048
X54
1.364
.268
.463
5.080
.000
30.768
8.012
3.840
.000
-.378
.174
-2.167
.033
(Constant)
(Constant) X12
-.169
297
5
6
X13
-.655
.401
-.124
-1.634
.106
X21
.472
.256
.163
1.847
.068
X22
-.203
.148
-.112
-1.373
.173
X31
-.163
.137
-.089
-1.192
.237
X32
.218
.163
.132
1.333
.186
X41
.057
.079
.048
.712
.479
X42
.563
.554
.068
1.017
.312
X45
-.107
.188
-.052
-.571
.570
X46
.219
.205
.071
1.068
.289
X47
.214
.275
.057
.778
.439
X51
1.158
.227
.504
5.105
.000
X52
-.148
.248
-.061
-.596
.553
X53
.961
.478
.159
2.011
.048
X54
1.377
.266
.467
5.185
.000
30.035
7.875
3.814
.000
X12
-.396
.171
-.177
-2.316
.023
X13
-.582
.379
-.110
-1.538
.128
X21
.397
.218
.137
1.820
.073
X22
-.224
.142
-.124
-1.576
.119
X31
-.140
.130
-.076
-1.076
.285
X32
.169
.138
.102
1.220
.226
X41
.060
.079
.051
.765
.447
X42
.615
.544
.074
1.129
.262
X46
.214
.204
.070
1.049
.297
X47
.172
.264
.046
.651
.517
X51
1.155
.226
.503
5.114
.000
X52
-.157
.247
-.065
-.636
.527
X53
1.010
.468
.167
2.156
.034
X54
1.406
.259
.477
5.424
.000
30.860
7.740
3.987
.000
X12
-.388
.170
-.174
-2.287
.025
X13
-.589
.377
-.111
-1.564
.122
X21
.386
.217
.134
1.782
.078
(Constant)
(Constant)
298
7
8
X22
-.225
.142
-.124
-1.586
.116
X31
-.139
.130
-.076
-1.073
.286
X32
.167
.138
.101
1.211
.229
X41
.060
.079
.052
.770
.444
X42
.608
.542
.074
1.121
.266
X46
.202
.203
.066
.999
.321
X47
.175
.263
.047
.665
.508
X51
1.064
.174
.463
6.110
.000
X53
.899
.433
.148
2.075
.041
X54
1.394
.258
.473
5.411
.000
31.646
7.623
4.151
.000
X12
-.390
.169
-.175
-2.305
.024
X13
-.639
.368
-.121
-1.736
.086
X21
.399
.215
.138
1.855
.067
X22
-.238
.140
-.132
-1.704
.092
X31
-.143
.129
-.078
-1.102
.274
X32
.181
.136
.109
1.328
.188
X41
.080
.073
.068
1.101
.274
X42
.762
.489
.092
1.559
.123
X46
.192
.201
.062
.954
.343
X51
1.072
.173
.467
6.194
.000
X53
.859
.428
.142
2.009
.048
X54
1.420
.254
.482
5.590
.000
32.483
7.569
4.292
.000
X12
-.392
.169
-.176
-2.317
.023
X13
-.636
.368
-.120
-1.729
.087
X21
.383
.214
.132
1.787
.078
X22
-.252
.139
-.139
-1.809
.074
X31
-.158
.128
-.086
-1.230
.222
X32
.205
.134
.124
1.532
.129
X41
.096
.071
.082
1.357
.178
X42
.871
.475
.105
1.835
.070
X51
1.105
.170
.481
6.509
.000
(Constant)
(Constant)
299
9
10
11
12
X53
.829
.426
.137
1.945
.055
X54
1.452
.252
.492
5.769
.000
30.229
7.365
4.104
.000
X12
-.395
.170
-.177
-2.329
.022
X13
-.571
.365
-.108
-1.563
.122
X21
.322
.209
.111
1.540
.127
X22
-.250
.140
-.139
-1.795
.076
X32
.123
.116
.074
1.059
.292
X41
.106
.070
.090
1.503
.136
X42
.866
.476
.105
1.819
.072
X51
1.119
.170
.487
6.588
.000
X53
.954
.415
.157
2.298
.024
X54
1.418
.251
.481
5.652
.000
29.662
7.351
4.035
.000
X12
-.364
.167
-.163
-2.176
.032
X13
-.561
.365
-.106
-1.534
.129
X21
.287
.207
.099
1.389
.168
X22
-.234
.139
-.129
-1.684
.096
X41
.112
.070
.096
1.599
.114
X42
.913
.475
.110
1.923
.058
X51
1.125
.170
.490
6.624
.000
X53
1.058
.403
.175
2.623
.010
X54
1.489
.242
.505
6.158
.000
34.033
6.679
5.095
.000
X12
-.369
.168
-.166
-2.199
.031
X13
-.495
.364
-.094
-1.360
.177
X22
-.156
.128
-.086
-1.221
.225
X41
.117
.071
.100
1.664
.100
X42
.841
.474
.102
1.773
.080
X51
1.149
.170
.500
6.762
.000
X53
1.017
.404
.168
2.513
.014
X54
1.547
.240
.525
6.458
.000
29.426
5.528
5.324
.000
(Constant)
(Constant)
(Constant)
(Constant)
300
13
14
X12
-.334
.166
-.150
-2.012
.047
X13
-.442
.363
-.084
-1.220
.226
X41
.113
.071
.096
1.595
.114
X42
.930
.470
.113
1.979
.051
X51
1.098
.165
.478
6.648
.000
X53
1.097
.400
.181
2.743
.007
X54
1.392
.204
.472
6.832
.000
27.616
5.339
5.172
.000
X12
-.413
.153
-.185
-2.694
.008
X41
.098
.070
.083
1.403
.164
X42
.985
.469
.119
2.101
.038
X51
1.081
.165
.471
6.554
.000
X53
1.161
.398
.192
2.920
.004
X54
1.350
.201
.458
6.705
.000
30.363
4.994
6.080
.000
X12
-.348
.147
-.156
-2.370
.020
X42
1.100
.464
.133
2.369
.020
X51
1.064
.165
.463
6.433
.000
X53
1.169
.400
.193
2.923
.004
X54
1.321
.201
.448
6.561
.000
(Constant)
(Constant)
a. Dependent Variable: Y1
301
Excluded Variablesn Collinearity Statistics Model
Beta In
t
Sig.
Partial Correlation
Tolerance
2
X11
.012a
.129
.898
.015
.359
3
X11
.017b
.182
.856
.021
.366
X43
.023b
.380
.705
.043
.826
X11
.017c
.179
.858
.020
.366
X43
.022c
.359
.721
.040
.828
X44
-.045c
-.453
.651
-.051
.311
X11
.016d
.175
.862
.020
.366
X43
.025d
.414
.680
.046
.835
X44
-.053d
-.535
.594
-.060
.318
X45
-.052d
-.571
.570
-.064
.369
X11
.017e
.180
.857
.020
.366
X43
.024e
.400
.690
.044
.836
X44
-.051e
-.522
.603
-.058
.318
X45
-.056e
-.611
.543
-.068
.370
X52
-.065e
-.636
.527
-.070
.294
X11
.023f
.258
.797
.028
.372
X43
.026f
.438
.663
.048
.838
X44
-.051f
-.520
.604
-.057
.318
X45
-.036f
-.412
.681
-.045
.399
X52
-.066f
-.650
.517
-.072
.294
X47
.047f
.665
.508
.073
.621
X11
.037g
.415
.679
.046
.383
X43
.019g
.313
.755
.034
.852
X44
-.048g
-.493
.624
-.054
.318
X45
-.034g
-.388
.699
-.043
.399
X52
-.057g
-.560
.577
-.061
.296
X47
.041g
.589
.557
.065
.625
X46
.062g
.954
.343
.104
.706
X11
.024h
.268
.789
.029
.388
4
5
6
7
8
9
302
10
11
12
X43
.009h
.157
.876
.017
.866
X44
-.039h
-.401
.689
-.044
.320
X45
.000h
-.006
.996
.000
.438
X52
-.054h
-.533
.596
-.058
.296
X47
.043h
.622
.536
.068
.626
X46
.071h
1.097
.276
.119
.717
X31
-.086h
-1.230
.222
-.133
.620
X11
.050i
.595
.554
.064
.433
X43
.011i
.191
.849
.021
.867
X44
-.009i
-.095
.925
-.010
.346
X45
.037i
.505
.615
.055
.572
X52
-.051i
-.502
.617
-.054
.297
X47
.053i
.763
.447
.082
.638
X46
.080i
1.239
.219
.133
.732
X31
-.033i
-.539
.591
-.058
.820
X32
.074i
1.059
.292
.114
.614
X11
.056j
.662
.510
.071
.434
X43
.023j
.388
.699
.042
.886
X44
.022j
.234
.816
.025
.367
X45
.066j
.971
.334
.104
.658
X52
-.042j
-.413
.681
-.044
.298
X47
.059j
.853
.396
.092
.641
X46
.067j
1.037
.303
.111
.745
X31
-.022j
-.355
.724
-.038
.834
X32
.057j
.820
.414
.088
.629
X21
.099j
1.389
.168
.148
.595
X11
.017k
.207
.836
.022
.491
X43
.015k
.246
.806
.026
.897
X44
.011k
.121
.904
.013
.370
X45
.028k
.441
.660
.047
.765
X52
-.046k
-.449
.654
-.048
.298
X47
.067k
.969
.335
.103
.648
X46
.076k
1.202
.233
.128
.761
303
13
14
X31
-.029k
-.485
.629
-.052
.844
X32
.053k
.751
.455
.080
.631
X21
.051k
.768
.445
.082
.711
X22
-.086k
-1.221
.225
-.130
.616
X11
.042l
.548
.585
.058
.536
X43
.028l
.480
.632
.051
.934
X44
.017l
.189
.850
.020
.371
X45
.044l
.712
.478
.076
.810
X52
-.051l
-.501
.617
-.053
.299
X47
.079l
1.165
.247
.123
.668
X46
.074l
1.161
.249
.123
.762
X31
-.021l
-.348
.728
-.037
.854
X32
.053l
.749
.456
.080
.631
X21
.045l
.678
.500
.072
.714
X22
-.075l
-1.062
.291
-.112
.625
X13
-.084l
-1.220
.226
-.129
.659
X11
.054m
.712
.479
.075
.544
X43
.024m
.405
.686
.043
.936
X44
.070m
1.195
.235
.126
.903
X45
.051m
.815
.417
.086
.814
X52
-.047m
-.459
.647
-.049
.299
X47
.101m
1.585
.116
.166
.761
X46
.091m
1.466
.146
.154
.810
X31
-.026m
-.435
.665
-.046
.858
X32
.060m
.855
.395
.090
.635
X21
.052m
.787
.433
.083
.719
X22
-.071m
-1.006
.317
-.106
.625
X13
-.065m
-.953
.343
-.101
.679
X41
.083m
1.403
.164
.147
.880
a. Predictors in the Model: (Constant), X54, X42, X44, X43, X31, X13, X45, X46, X53, X47, X12, X21, X51, X22, X32, X41, X52 b. Predictors in the Model: (Constant), X54, X42, X44, X31, X13, X45, X46, X53, X47, X12, X21, X51, X22, X32, X41, X52
304
c. Predictors in the Model: (Constant), X54, X42, X31, X13, X45, X46, X53, X47, X12, X21, X51, X22, X32, X41, X52 d. Predictors in the Model: (Constant), X54, X42, X31, X13, X46, X53, X47, X12, X21, X51, X22, X32, X41, X52 e. Predictors in the Model: (Constant), X54, X42, X31, X13, X46, X53, X47, X12, X21, X51, X22, X32, X41 f. Predictors in the Model: (Constant), X54, X42, X31, X13, X46, X53, X12, X21, X51, X22, X32, X41 g. Predictors in the Model: (Constant), X54, X42, X31, X13, X53, X12, X21, X51, X22, X32, X41 h. Predictors in the Model: (Constant), X54, X42, X13, X53, X12, X21, X51, X22, X32, X41 i. Predictors in the Model: (Constant), X54, X42, X13, X53, X12, X21, X51, X22, X41 j. Predictors in the Model: (Constant), X54, X42, X13, X53, X12, X51, X22, X41 k. Predictors in the Model: (Constant), X54, X42, X13, X53, X12, X51, X41 l. Predictors in the Model: (Constant), X54, X42, X53, X12, X51, X41 m. Predictors in the Model: (Constant), X54, X42, X53, X12, X51 n. Dependent Variable: Y1
Regression (Perilaku;Y2) [DataSet1] C:\Documents and Settings\winarni\My Documents\DETAILYKOMPOSIT.sav Variables Entered/Removedb Variables Model
Variables Entered
1
Y1, X44, X43,
Removed
Method
X42, X31, X46, X13, X45, X53, X47, X22, X12,
. Enter
X21, X52, X11, X41, X32, X54, X51a 2
Backward (criterion: . X46
Probability of F-toremove >= .100).
305
3
Backward (criterion: . X41
Probability of F-toremove >= .100).
4
Backward (criterion: . X42
Probability of F-toremove >= .100).
5
Backward (criterion: . X53
Probability of F-toremove >= .100).
6
Backward (criterion: . X54
Probability of F-toremove >= .100).
7
Backward (criterion: . X43
Probability of F-toremove >= .100).
8
Backward (criterion: . X44
Probability of F-toremove >= .100).
306
9
Backward (criterion: Probability
. X12
of F-toremove >= .100).
10
Backward (criterion: Probability
. X47
of F-toremove >= .100).
11
Backward (criterion: Probability
. X11
of F-toremove >= .100).
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: Y2
Model Summary Std. Error of the Model
R
R Square
Adjusted R Square
Estimate
1
.768a
.590
.487
3.91248
2
.768b
.590
.494
3.88839
3
.768c
.589
.500
3.86552
4
.767d
.589
.505
3.84339
5
.767
e
.588
.510
3.82342
6
.765f
.585
.514
3.81103
7
.764g
.583
.517
3.79745
8
.759h
.576
.515
3.80685
9
.754
i
.569
.513
3.81464
10
.749j
.561
.510
3.82554
11
.743k
.552
.506
3.84264
a. Predictors: (Constant), Y1, X44, X43, X42, X31, X46, X13, X45, X53, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X41, X32, X54, X51
307
b. Predictors: (Constant), Y1, X44, X43, X42, X31, X13, X45, X53, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X41, X32, X54, X51 c. Predictors: (Constant), Y1, X44, X43, X42, X31, X13, X45, X53, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X32, X54, X51 d. Predictors: (Constant), Y1, X44, X43, X31, X13, X45, X53, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X32, X54, X51 e. Predictors: (Constant), Y1, X44, X43, X31, X13, X45, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X32, X54, X51 f. Predictors: (Constant), Y1, X44, X43, X31, X13, X45, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X32, X51 g. Predictors: (Constant), Y1, X44, X31, X13, X45, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X32, X51 h. Predictors: (Constant), Y1, X31, X13, X45, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X32, X51 i. Predictors: (Constant), Y1, X31, X13, X45, X47, X22, X21, X52, X11, X32, X51 j. Predictors: (Constant), Y1, X31, X13, X45, X22, X21, X52, X11, X32, X51 k. Predictors: (Constant), Y1, X31, X13, X45, X22, X21, X52, X32, X51 ANOVAl Model 1
2
3
4
5
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
1673.367
19
88.072
Residual
1163.372
76
15.308
Total
2836.740
95
Regression
1672.530
18
92.918
Residual
1164.210
77
15.120
Total
2836.740
95
Regression
1671.242
17
98.308
Residual
1165.498
78
14.942
Total
2836.740
95
Regression
1669.781
16
104.361
Residual
1166.958
79
14.772
Total
2836.740
95
Regression
1667.256
15
111.150
Residual
1169.484
80
14.619
F
Sig. 5.754
.000a
6.146
.000b
6.579
.000c
7.065
.000d
7.603
.000e
308
6
7
8
9
10
11
Total
2836.740
95
Regression
1660.300
14
118.593
Residual
1176.439
81
14.524
Total
2836.740
95
Regression
1654.247
13
127.250
Residual
1182.492
82
14.421
Total
2836.740
95
Regression
1633.894
12
136.158
Residual
1202.845
83
14.492
Total
2836.740
95
Regression
1614.413
11
146.765
Residual
1222.327
84
14.552
Total
2836.740
95
Regression
1592.787
10
159.279
Residual
1243.952
85
14.635
Total
2836.740
95
Regression
1566.871
9
174.097
Residual
1269.868
86
14.766
Total
2836.740
95
8.165
.000f
8.824
.000g
9.395
.000h
10.086
.000i
10.884
.000j
11.790
.000k
a. Predictors: (Constant), Y1, X44, X43, X42, X31, X46, X13, X45, X53, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X41, X32, X54, X51 b. Predictors: (Constant), Y1, X44, X43, X42, X31, X13, X45, X53, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X41, X32, X54, X51 c. Predictors: (Constant), Y1, X44, X43, X42, X31, X13, X45, X53, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X32, X54, X51 d. Predictors: (Constant), Y1, X44, X43, X31, X13, X45, X53, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X32, X54, X51 e. Predictors: (Constant), Y1, X44, X43, X31, X13, X45, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X32, X54, X51 f. Predictors: (Constant), Y1, X44, X43, X31, X13, X45, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X32, X51 g. Predictors: (Constant), Y1, X44, X31, X13, X45, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X32, X51 h. Predictors: (Constant), Y1, X31, X13, X45, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X32, X51 i. Predictors: (Constant), Y1, X31, X13, X45, X47, X22, X21, X52, X11, X32, X51 j. Predictors: (Constant), Y1, X31, X13, X45, X22, X21, X52, X11, X32, X51 k. Predictors: (Constant), Y1, X31, X13, X45, X22, X21, X52, X32, X51
309
Model Summary Std. Error of the Model
R
R Square
Adjusted R Square
Estimate
1
.768a
.590
.487
3.91248
2
.768b
.590
.494
3.88839
3
.768c
.589
.500
3.86552
4
.767
d
.589
.505
3.84339
5
.767e
.588
.510
3.82342
6
.765f
.585
.514
3.81103
7
.764g
.583
.517
3.79745
8
.759
h
.576
.515
3.80685
9
.754i
.569
.513
3.81464
10
.749j
.561
.510
3.82554
11
.743k
.552
.506
3.84264
a. Predictors: (Constant), Y1, X44, X43, X42, X31, X46, X13, X45, X53, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X41, X32, X54, X51 b. Predictors: (Constant), Y1, X44, X43, X42, X31, X13, X45, X53, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X41, X32, X54, X51 c. Predictors: (Constant), Y1, X44, X43, X42, X31, X13, X45, X53, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X32, X54, X51 d. Predictors: (Constant), Y1, X44, X43, X31, X13, X45, X53, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X32, X54, X51 e. Predictors: (Constant), Y1, X44, X43, X31, X13, X45, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X32, X54, X51 f. Predictors: (Constant), Y1, X44, X43, X31, X13, X45, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X32, X51 g. Predictors: (Constant), Y1, X44, X31, X13, X45, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X32, X51 h. Predictors: (Constant), Y1, X31, X13, X45, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X32, X51 i. Predictors: (Constant), Y1, X31, X13, X45, X47, X22, X21, X52, X11, X32, X51 j. Predictors: (Constant), Y1, X31, X13, X45, X22, X21, X52, X11, X32, X51 l. Dependent Variable: Y2
310
Excluded Variablesk Collinearity Statistics Model
Beta In
t
Sig.
Partial Correlation
Tolerance
2
X46
.021a
.234
.816
.027
.654
3
X46
.023b
.253
.801
.029
.656
X41
.039b
.292
.771
.033
.301
X46
.019c
.215
.831
.024
.666
X41
.036c
.276
.783
.031
.302
X42
-.027c
-.313
.755
-.035
.707
X46
.018d
.205
.838
.023
.667
X41
.036d
.272
.786
.031
.302
X42
-.029d
-.341
.734
-.038
.710
X53
.044d
.414
.680
.046
.463
X46
.029e
.337
.737
.038
.693
X41
.047e
.363
.717
.041
.308
X42
-.022e
-.263
.793
-.029
.719
X53
.031e
.297
.767
.033
.476
X54
-.098e
-.690
.492
-.077
.256
X46
.034f
.400
.690
.044
.700
X41
.051f
.394
.694
.044
.308
X42
-.027f
-.321
.749
-.036
.725
X53
.029f
.277
.782
.031
.476
X54
-.074f
-.536
.594
-.059
.269
X43
-.049f
-.646
.520
-.072
.880
X46
.052g
.618
.538
.068
.727
X41
.096g
1.164
.248
.128
.745
X42
-.032g
-.384
.702
-.042
.727
X53
.030g
.285
.776
.031
.476
X54
-.106g
-.783
.436
-.086
.282
X43
-.047g
-.612
.542
-.067
.881
X44
.097g
1.188
.238
.130
.759
X46
.056h
.661
.510
.072
.728
4
5
6
7
8
9
311
10
11
X41
.079h
.968
.336
.106
.763
X42
-.031h
-.371
.712
-.041
.727
X53
.020h
.195
.846
.021
.479
X54
-.128h
-.965
.337
-.105
.291
X43
-.047h
-.614
.541
-.067
.881
X44
.081h
.999
.321
.109
.775
X12
-.117h
-1.159
.250
-.126
.499
X46
.051i
.603
.548
.066
.729
X41
.034i
.444
.658
.048
.884
X42
-.066i
-.876
.383
-.095
.911
X53
.033i
.314
.754
.034
.484
X54
-.117i
-.879
.382
-.095
.292
X43
-.056i
-.739
.462
-.080
.891
X44
.054i
.674
.502
.073
.823
X12
-.118i
-1.159
.250
-.126
.499
X47
-.097i
-1.219
.226
-.132
.817
X46
.075j
.923
.359
.100
.781
X41
.047j
.619
.537
.067
.901
X42
-.056j
-.747
.457
-.081
.919
X53
.011j
.109
.914
.012
.495
X54
-.052j
-.410
.683
-.044
.324
X43
-.050j
-.652
.516
-.071
.894
X44
.063j
.799
.426
.086
.831
X12
-.078j
-.790
.432
-.085
.531
X47
-.074j
-.946
.347
-.102
.845
X11
.139j
1.331
.187
.143
.473
a. Predictors in the Model: (Constant), Y1, X44, X43, X42, X31, X13, X45, X53, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X41, X32, X54, X51 b. Predictors in the Model: (Constant), Y1, X44, X43, X42, X31, X13, X45, X53, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X32, X54, X51 c. Predictors in the Model: (Constant), Y1, X44, X43, X31, X13, X45, X53, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X32, X54, X51 d. Predictors in the Model: (Constant), Y1, X44, X43, X31, X13, X45, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X32, X54, X51
312
e. Predictors in the Model: (Constant), Y1, X44, X43, X31, X13, X45, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X32, X51 f. Predictors in the Model: (Constant), Y1, X44, X31, X13, X45, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X32, X51 g. Predictors in the Model: (Constant), Y1, X31, X13, X45, X47, X22, X12, X21, X52, X11, X32, X51 h. Predictors in the Model: (Constant), Y1, X31, X13, X45, X47, X22, X21, X52, X11, X32, X51 i. Predictors in the Model: (Constant), Y1, X31, X13, X45, X22, X21, X52, X11, X32, X51 j. Predictors in the Model: (Constant), Y1, X31, X13, X45, X22, X21, X52, X32, X51 k. Dependent Variable: Y2
Coefficientsa Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant)
Std. Error 9.063
8.072
X11
.478
.276
X12
-.176
X13
Coefficients Beta
t
Sig. 1.123
.265
.217
1.731
.087
.154
-.123
-1.141
.257
1.345
.359
.397
3.746
.000
X21
-.523
.232
-.283
-2.256
.027
X22
.541
.133
.468
4.073
.000
X31
.244
.118
.208
2.062
.043
X32
-.369
.144
-.349
-2.570
.012
X41
.028
.101
.037
.275
.784
X42
-.163
.465
-.031
-.350
.727
X43
-.244
.351
-.057
-.697
.488
X44
.039
.101
.052
.390
.698
X45
.348
.162
.265
2.153
.035
X46
.037
.158
.021
.234
.816
X47
-.249
.235
-.104
-1.061
.292
X51
-.497
.224
-.339
-2.216
.030
X52
.451
.210
.292
2.148
.035
X53
.164
.419
.042
.391
.697
X54
-.190
.285
-.101
-.666
.507
313
Y1 2
3
.238
.097
2.453
.016
9.647
7.629
1.264
.210
X11
.496
.263
.226
1.889
.063
X12
-.177
.153
-.124
-1.157
.251
X13
1.339
.356
.396
3.762
.000
X21
-.536
.224
-.290
-2.400
.019
X22
.537
.131
.465
4.102
.000
X31
.247
.117
.210
2.109
.038
X32
-.373
.141
-.353
-2.639
.010
X41
.029
.100
.039
.292
.771
X42
-.150
.459
-.028
-.326
.745
X43
-.256
.345
-.060
-.742
.460
X44
.041
.101
.053
.407
.685
X45
.348
.161
.265
2.165
.034
X47
-.253
.233
-.105
-1.085
.281
X51
-.493
.222
-.336
-2.219
.029
X52
.453
.208
.293
2.176
.033
X53
.162
.416
.042
.390
.698
X54
-.201
.279
-.107
-.721
.473
Y1
.244
.093
.381
2.608
.011
10.186
7.359
1.384
.170
X11
.501
.260
.228
1.924
.058
X12
-.173
.151
-.121
-1.142
.257
X13
1.355
.350
.400
3.876
.000
X21
-.543
.221
-.294
-2.455
.016
X22
.541
.129
.468
4.186
.000
X31
.245
.116
.209
2.112
.038
X32
-.377
.140
-.356
-2.687
.009
X42
-.142
.456
-.027
-.313
.755
X43
-.264
.342
-.061
-.772
.443
X44
.063
.066
.082
.959
.341
X45
.340
.158
.259
2.158
.034
X47
-.235
.224
-.098
-1.051
.297
(Constant)
(Constant)
.372
314
4
5
X51
-.492
.221
-.335
-2.227
.029
X52
.456
.207
.295
2.205
.030
X53
.161
.414
.042
.390
.698
X54
-.211
.275
-.112
-.768
.445
Y1
.246
.092
.386
2.671
.009
9.919
7.268
1.365
.176
X11
.499
.259
.227
1.927
.058
X12
-.174
.151
-.122
-1.156
.251
X13
1.355
.348
.400
3.899
.000
X21
-.539
.220
-.292
-2.456
.016
X22
.540
.128
.468
4.207
.000
X31
.246
.115
.209
2.131
.036
X32
-.380
.139
-.359
-2.731
.008
X43
-.271
.339
-.063
-.800
.426
X44
.065
.065
.084
.992
.324
X45
.347
.155
.264
2.233
.028
X47
-.266
.200
-.111
-1.330
.187
X51
-.489
.219
-.333
-2.229
.029
X52
.452
.205
.293
2.203
.031
X53
.170
.410
.044
.414
.680
X54
-.203
.272
-.108
-.744
.459
Y1
.242
.091
.379
2.668
.009
11.171
6.572
1.700
.093
X11
.478
.253
.218
1.892
.062
X12
-.171
.150
-.120
-1.146
.255
X13
1.325
.338
.392
3.919
.000
X21
-.535
.218
-.289
-2.452
.016
X22
.540
.128
.468
4.228
.000
X31
.237
.113
.202
2.101
.039
X32
-.362
.132
-.342
-2.750
.007
X43
-.262
.337
-.061
-.777
.439
X44
.066
.065
.086
1.016
.313
X45
.337
.153
.257
2.207
.030
(Constant)
(Constant)
315
6
7
X47
-.274
.198
-.114
-1.387
.169
X51
-.500
.217
-.340
-2.304
.024
X52
.483
.190
.313
2.543
.013
X54
-.184
.267
-.098
-.690
.492
Y1
.250
.088
.391
2.827
.006
12.949
6.026
2.149
.035
X11
.425
.240
.193
1.772
.080
X12
-.193
.146
-.135
-1.320
.190
X13
1.288
.333
.380
3.871
.000
X21
-.556
.215
-.301
-2.582
.012
X22
.515
.122
.446
4.220
.000
X31
.232
.112
.198
2.070
.042
X32
-.373
.130
-.352
-2.858
.005
X43
-.211
.327
-.049
-.646
.520
X44
.076
.063
.099
1.201
.233
X45
.352
.151
.268
2.334
.022
X47
-.275
.197
-.115
-1.398
.166
X51
-.452
.205
-.308
-2.206
.030
X52
.461
.187
.299
2.471
.016
Y1
.220
.077
.344
2.871
.005
11.990
5.820
2.060
.043
X11
.419
.239
.191
1.754
.083
X12
-.193
.145
-.135
-1.325
.189
X13
1.338
.322
.395
4.149
.000
X21
-.571
.213
-.309
-2.676
.009
X22
.517
.122
.448
4.250
.000
X31
.228
.112
.194
2.042
.044
X32
-.372
.130
-.352
-2.865
.005
X44
.075
.063
.097
1.188
.238
X45
.361
.150
.275
2.412
.018
X47
-.288
.195
-.120
-1.473
.145
X51
-.451
.204
-.307
-2.209
.030
X52
.460
.186
.298
2.470
.016
(Constant)
(Constant)
316
Y1 8
9
10
.224
.076
2.943
.004
11.793
5.832
2.022
.046
X11
.424
.239
.193
1.773
.080
X12
-.167
.144
-.117
-1.159
.250
X13
1.367
.322
.404
4.242
.000
X21
-.533
.212
-.289
-2.521
.014
X22
.506
.122
.438
4.160
.000
X31
.211
.111
.180
1.903
.061
X32
-.350
.129
-.331
-2.714
.008
X45
.375
.150
.286
2.507
.014
X47
-.232
.190
-.096
-1.218
.227
X51
-.489
.202
-.333
-2.415
.018
X52
.454
.187
.294
2.436
.017
Y1
.217
.076
.339
2.854
.005
10.721
5.770
1.858
.067
X11
.357
.233
.163
1.535
.128
X13
1.203
.290
.355
4.148
.000
X21
-.529
.212
-.286
-2.495
.015
X22
.537
.119
.465
4.523
.000
X31
.212
.111
.181
1.912
.059
X32
-.362
.129
-.342
-2.814
.006
X45
.354
.149
.270
2.382
.019
X47
-.232
.190
-.097
-1.219
.226
X51
-.564
.192
-.384
-2.941
.004
X52
.464
.187
.300
2.486
.015
Y1
.231
.075
.361
3.069
.003
9.595
5.711
1.680
.097
X11
.305
.229
.139
1.331
.187
X13
1.197
.291
.354
4.117
.000
X21
-.501
.211
-.271
-2.371
.020
X22
.571
.116
.495
4.936
.000
X31
.209
.111
.178
1.873
.064
X32
-.353
.129
-.334
-2.742
.007
(Constant)
(Constant)
(Constant)
.350
317
11
X45
.309
.144
.235
2.138
.035
X51
-.555
.192
-.378
-2.885
.005
X52
.476
.187
.308
2.547
.013
Y1
.214
.074
.335
2.889
.005
(Constant)
9.514
5.737
1.658
.101
X13
1.187
.292
.351
4.065
.000
X21
-.490
.212
-.265
-2.312
.023
X22
.625
.109
.542
5.744
.000
X31
.238
.110
.202
2.165
.033
X32
-.323
.127
-.305
-2.534
.013
X45
.324
.145
.247
2.239
.028
X51
-.558
.193
-.380
-2.889
.005
X52
.468
.188
.303
2.492
.015
Y1
.234
.073
.367
3.215
.002
a. Dependent Variable: Y2