SIFAT KIMIA KAYU REMAJA (JUVENILE WOOD)
ANITA DEWANTI
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN
ANITA DEWANTI. E24070022. Sifat Kimia Kayu Remaja (Juvenile Wood). Dibimbing oleh Deded Sarip Nawawi.
Kayu sebagai salah satu produk biologi mempunyai sifat yang sangat beragam, baik antar jenis yang berbeda, jenis yang sama dari pohon yang berbeda, maupun dalam satu batang pohon yang sama. Pada awal pertumbuhan, pohon membentuk jaringan kayu dekat empulur yang dikenal sebagai kayu remaja (juvenile wood). Pembentukan kayu remaja (juvenile wood) sering dikaitan dengan kayu reaksi. Hal ini disebabkan dalam zona juvenile wood dalam pohon seringkali memiliki sifat mirip kayu reaksi. Penelitian sifat-sifat kayu remaja memiliki nilai penting dalam pemanfaatan kayu berumur muda yang umumnya memiliki volume kayu remaja (juvenile wood) yang banyak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik kimia kayu remaja (juvenile wood) dari lima jenis kayu yaitu pinus, kayu manii, sungkai, sengon, dan angsana. Sampel kayu diperoleh dalam bentuk disk dengan diameter 20-22 cm dan diambil dari dua bagian yaitu 3 cm dari empulur dan 2 cm dari arah kulit. Pengujian karakteristik kimia yang dilakukan meliputi kadar polisakarida dan lignin. Hasil penelitian menunjukkan kadar holoselulosa semakin meningkat dari bagian dekat empulur ke bagian yang jauh dari empulur. Kadar alpha-selulosa yang rendah dengan lignin yang tinggi menunjukkan indikasi terbentuknya kayu reaksi tekan pada pinus sedangkan alpha-selulosa yang tinggi dengan lignin yang rendah menunjukkan indikasi terbentuknya kayu reaksi tarik pada jenis kayu daun lebar angsana. Berdasarkan kandungan polisakarida (holoselulosa dan alpha selulosa) yang tinggi menunjukkan bahwa secara umum kayu remaja (juvenile wood) masih memungkinkan untuk dijadikan bahan baku pulp dan kertas namun dengan tingginya kadar lignin akan memberikan pengaruh pada proses pulping yang lama.
SIFAT KIMIA KAYU REMAJA (JUVENILE WOOD)
ANITA DEWANTI E24070022
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sifat Kimia Kayu Remaja (Juvenile wood) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2011
Anita Dewanti E24070022
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi
: Sifat Kimia Kayu Remaja (Juvenile Wood)
Nama Mahasiswa
: Anita Dewanti
NRP
: E24070022
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc NIP. 19660113 199103 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Hasil Hutan IPB,
Dr. Ir. Wayan Darmawan, M. Sc NIP. 19660212 199103 1 002
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Anita Dewanti, lahir pada tanggal 28 Desember 1989 di Jakarta. Penulis merupakan anak ke 2 dari tiga bersaudara pasangan Sudarman dan Sriyatun. Penulis memulai pendidikan formal tahun 1995 melanjutkan pendidikan di SD Angkasa V Halim dan lulus pada tahun 2001, kemudian melanjutkan ke SLTPNegeri 80 Jakarta dan lulus pada tahun 2004. Penulis melanjutkan ke SMUNegeri 9 Jakarta dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah aktif di organisasi Koperasi Mahasiswa IPB, Himasiltan IPB dan berbagai kepanitiaan kegiatan. Penulis mengikuti
kegiatan
Praktek
Pengelolaan
Ekosistem
Hutan
(P2EH)
di
Pangandaran-Gunung Sawal dan Praktek Pengelolaan Hutan di Gunung Walat. Penulis juga telah melaksanakan praktek kerja lapang (PKL) di Pabrik Gondorukem Terpentin (PGT Cimanggu) Cilacap, Jawa Tengah pada bulan Februari sampai April 2011. Penulis melakukan penelitian dalam rangka menyelesaikan pendidikan Sarjana di Fakultas Kehutanan IPB dengan judul Sifat Kimia Kayu Remaja (Juvenile wood) di bawah bimbingan Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dan memberi dukungan selama menyelesaikan tugas akhir ini, diantaranya kepada : 1. Bapak Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc atas bimbingan, nasehat serta kesabaran selama membimbing penulis. 2. Bapak Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, M. Sc. F.trop selaku dosen penguji yang telah memberi tambahan pengetahuan serta masukan untuk perbaikan skripsi ini. 3. Ibu Ir. Rita Kartika Sari, M. Si selaku ketua sidang yang telah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini. 4. Kedua orang tua yang telah memberikan perhatian, kasih sayang dan cinta serta pengorbanan tenaga dan materi untuk penulis. 5. Kakak dan adik tercinta (Iwan Daryanto dan Endah Triyani) yang telah memberikan semangat dan doanya. 6. Seluruh dosen dan staf di Bagian Kimia Hasil Hutan (Pak Atin, mas Wawan, Kak Adi) atas informasi dan bantuannya selama penelitian. 7. Seluruh staf pengajar dan pegawai Departemen Hasil Hutan. 8. Teman-teman THH 44 Desi, Irma, Jucy, Ina, Linda, Pristy, Dina, Yuhana, Iftor, Jauhar, Yano, Rama, dan yang lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas kebersamaan dan persahabatan selama kuliah. 11. Tosan Frimanto atas dukungan dan semangat yang diberikan kepada penulis. 9. Semua pihak yang telah membantu kelancaran selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
menyusunnya menjadi sebuah karya ilmiah dengan judul Sifat Kimia Kayu Remaja (Juvenile Wood) sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik kimia kayu remaja (juvenile wood) dari jenis kayu pinus, manii, sengon, sungkai, dan angsana. Penyusunan skripsi dilakukan atas dasar penelitian yang dilakukan selama dua bulan yaitu bulan Mei 2011 sampai Juli 2011 di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini, kedua orang tua penulis dan keluarga yang telah banyak memberikan kasih sayang, semangat serta dukungannya, dan teknisi Laboratorium Kimia Hasil Hutan dan semua pihak yang telah membantu kelancaran hingga selesainya skripsi ini. Penulis juga menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna sehingga penulis akan menerima segala kritik dan saran. Harapan penulis semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2011
Anita Dewanti
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ........................................................................................................ i DAFTAR TABEL .............................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ v BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1 1.2 Tujuan............................................................................................... 2 1.3 Manfaat Penelitian ............................................................................ 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kayu remaja (Juvenile Wood) .............................................................. 3 2.2 Komponen Kimia Struktural Kayu ....................................................... 4 2.3 Komponen Kimia Non-Struktural Kayu ............................................... 6 2.4 Deskripsi Kayu yang Diteliti ................................................................ 6 2.4.1 Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) .................................. 6 2.4.2 Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) ...................................... 7 2.4.3 Angsana (Pterocarpus indicus)....................................................... 8 2.4.4 Sungkai (Peronema canescens Jack) ................................................... 8 2.4.5 Kayu Manii (Maesopsis eminii) ...................................................... 9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................. 10 3.2 Alat dan Bahan .................................................................................. 10 3.3 Metode Penelitian .............................................................................. 11 3.3.1 Ekstraksi Etanol-toluene .................................................................... 11 3.3.2 Penentuan Holoselulosa ...................................................................... 11
3.3.3 Penentuan Alpha-selulosa .................................................................. 11 3.3.4 Penentuan Lignin Klason ............................................................. 12 3.3.5 Penentuan Lignin Terlarut Asam ....................................................... 12 3.3.6 Penentuan Rasio Monomer Penyusun Lignin ............................... 13 3.4 Analisis Data...................................................................................... 13 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Polisakarida Kayu .............................................................................. 14 4.1.1 Holoselulosa ................................................................................ 14 4.1.2 Alpha Selulosa ............................................................................. 15 4.1.3 Hemiselulosa ................................................................................ 18 4.2 Lignin ................................................................................................ 19 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 25 5.2 Saran.................................................................................................. 25 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 26 LAMPIRAN ...................................................................................................... 29
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1. Komponen Kimia Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) ........... 7 2. Komponen Kimia Kayu Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) .................. 8 3. Komponen Kimia Kayu Sungkai (Peronema canescens Jack) .......................... 9
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1. Bentuk contoh uji ........................................................................................... 11 2. Kadar Holoselulosa juvenile wood.................................................................. 14 3. Kadar α-selulosa juvenile wood ...................................................................... 16 4. Kadar selulosa dan lignin juvenile wood ......................................................... 17 5. Kadar Hemiselulosa juvenile wood ................................................................. 18 6. Kadar Lignin Klason juvenile wood ............................................................... 20 7. Kadar lignin Klason dan lignin terlarut asam juvenile wood ........................... 22 8. Hubungan Lignin Klason dan Lignin Terlarut Asam juvenile wood kayu daun lebar ............................................................................................................. 23
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1. Kadar Polisakarida Kayu ................................................................................ 30 2. Kadar Lignin Kayu ........................................................................................ 31 3. Grafik Pengujian Lignin Terlarut Asam.......................................................... 32 4. Hasil Pengujian Lignin Terlarut Asam ........................................................... 33 5. Hasil Pengujian Pyr-GC MS Sungkai ............................................................. 34
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kayu sebagai salah satu produk biologi mempunyai sifat yang sangat beragam, baik antar jenis yang berbeda, jenis yang sama dari pohon yang berbeda, maupun dalam satu batang pohon yang sama. Pengetahuan tentang sifat dasar kayu sangat penting berkaitan dengan penggunaan kayu yang sesuai dengan sifatsifatnya. Pengetahuan sifat dasar kayu ini juga penting dalam industri pengolahan kayu terkait dengan efisiensi bahan dan kemungkinan pengembangan produk pengolahan kayu. Secara alami kualitas kayu selain ditentukan oleh komponen sel-sel penyusunnya juga dipengaruhi oleh umur pohon, kematangan sel kambium, faktor lingkungan dan faktor genetik (Panshin & de Zeeuw 1980). Selama pertumbuhan pohon, pada tahun-tahun awal pohon membentuk jaringan kayu yang dikenal sebagai kayu remaja (juvenile wood) berada dekat empulur. Kayu remaja umumnya memiliki lingkar tumbuh relatif lebih lebar, kerapatan rendah dengan sel serat yang lebih pendek, penyusutan longitudinal lebih besar dan lebih banyak arah serat spiral serta kekuatannya lebih rendah. Pohon yang semakin cepat pertumbuhannya pada periode awal, akan memiliki volume kayu remaja yang semakin banyak (Kininmonth 1986). Setiap jenis kayu akan memiliki kayu remaja di dalam batangnya sebagai akibat dari proses pertumbuhan. Hanya persentasinya di dalam batang berbeda bergantung pada umur pohon tersebut ketika ditebang. Penebangan pada waktu pohon masih muda menyebabkan kandungan kayu remajanya masih tinggi dibandingkan kayu dewasanya. Pembentukan kayu remaja (juvenile wood) sering dikaitan dengan kayu reaksi. Hal ini disebabkan dalam zona juvenile wood dalam pohon seringkali memiliki sifat mirip kayu reaksi. Kayu remaja (juvenile wood) dari jenis kayu cepat tumbuh cenderung lebih banyak bersifat kayu reaksi. Dalam beberapa hal, kayu remaja (juvenile wood) dan kayu reaksi tekan (compression wood) pada kayu daun jarum dan kayu tarik (tension wood) pada kayu daun lebar mirip dan tidak mudah dibedakan (Zobel & Sprague 1998).
Kayu remaja memiliki mutu yang lebih rendah dibanding kayu dewasa. Penelitian sifat-sifat kayu remaja memiliki nilai penting dalam pemanfaatan kayu berumur muda yang umumnya memiliki volume kayu remaja (juvenile wood) yang banyak. Dalam banyak penggunaan kayu, data kuantitatif tentang komposisi kimia jenis kayu sangat diperlukan.
1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik kimia (selulosa, hemiselulosa, dan lignin) kayu remaja (juvenile wood) dari lima jenis kayu yaitu pinus, manii, sungkai, sengon, dan angsana.
1.3 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan mengenai sifat kimia kayu remaja (juvenile wood) sehingga dapat menambah pemahaman tentang kesesuaian penggunaan dari kayu.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kayu Remaja (Juvenile Wood) Pada awal pertumbuhannya, pohon membentuk jaringan kayu yang sangat dipengaruhi oleh meristem pucuk. Dengan adanya hormon auksin, arah pertumbuhan lebih dominan ke arah tinggi batang yang ditandai dengan adanya karakteristik anatomi berupa percepatan pertambahan dimensi sel. Pertumbuhan ini disebut sebagai pertumbuhan primer. Kayu yang dibentuk pada pertumbuhan primer disebut kayu remaja atau juvenile wood dan merupakan kayu yang terdapat di sekeliling empulur. Oleh karena itu juvenile wood sering disebut pith wood (Zobel & Sprague 1998) atau corewood (Walker 1993). Pembentukan kayu remaja sangat berkaitan dengan adanya pengaruh meristem pucuk yang berkepanjangan terhadap pembentukan kayu. Ketika umur pohon bertambah, pengaruh meristem pucuk berkurang digantikan secara berangsur oleh kambium yang akan membentuk pertumbuhan kayu ke arah radial dan menambah diameter batang. Pertumbuhan ini disebut sebagai pertumbuhan sekunder. Hasilnya disebut sebagai kayu dewasa atau adult wood (Panshin & de Zeeuw 1980). Kayu remaja pada pohon sangat dipengaruhi oleh umur, sehingga keberadaan kayu remaja tidak hanya pada jenis-jenis cepat tumbuh saja, tetapi juga pada jenis kayu lambat tumbuh. Lamanya periode tingkat remaja ini bervariasi pada berbagai jenis pohon, tetapi kayu remaja selalu terdapat melingkupi riap tumbuh pertama. Jumlah riap tumbuh ini tidak dapat ditentukan secara tetap, bukan saja karena perbedaan jenis pohon, tetapi juga karena pola variasi dari juvenile wood yang berbeda (Tsoumis 1991). Kayu remaja bisa terdapat pada bagian kayu teras maupun gubal, atau seluruh batang, tergantung pada umur pohon. Bagian kayu remaja di dalam batang dari pangkal sampai ujung berbentuk silindris, sehingga pada bagian ujung batang bisa seluruhnya terdiri dari kayu remaja yang meliputi teras dan gubal. Kayu remaja terdapat paling banyak dalam 5-20 lingkaran tumbuh pertama dimana lama pembentukannya tergantung spesies. Besarnya porsi kayu remaja sangat ditentukan oleh jenis pohon, jaraknya dari pucuk, dan karakteristik adanya
percepatan pertumbuhan dimensi yang menjadi konstan ketika kambium menjadi dewasa (Panshin & de Zeeuw 1980). Berdasarkan hasil penelitian Rulliaty (2008) dari aspek anatominya, pada pangkal batang sungkai (Peronema canescens Jack.) umur 22 tahun memiliki porsi kayu remaja sekitar 65%; kayu sengon (Paraserianthes falcataria) berumur 6 tahun seluruhnya masih termasuk kategori kayu remaja, sedangkan pada kayu pinus (Pinus merkusii) berumur 20 tahun mempunyai kandungan kayu remaja sebesar 31,6%. Kayu remaja memiliki lingkar tumbuh relatif lebih lebar pada tahun-tahun pertama periode pertumbuhan pohon, kerapatan rendah berpengaruh terhadap kekuatannya yang rendah pula, dan mengandung lignin yang tinggi (Kininmonth 1986). Kayu remaja memiliki penyusutan yang lebih besar pada arah longitudinal yang dapat mengakibatkan cacat lengkung (warping) pada kayu gergajian yang berdekatan dengan empulur dan mutunya jauh lebih rendah dibandingkan kayu dewasa, sehingga kayu juvenil kurang baik untuk penggunaan struktural, seperti tiang, kuda-kuda langit, dan sebagainya (Haygreen & Bowyer 1989). Menurut Zobel dan Sprague (1998), juvenile wood umumnya memiliki komposisi kimia; selulosa, hemiselulosa, lignin, poliphenol, dan resin yang berbeda dengan kayu dewasa. Selain itu karakteristik kimia juvenile wood juga berbeda pada kayu daun lebar dan kayu daun jarum Dalam banyak hal, kayu remaja memiliki sifat menyerupai kayu reaksi. Oleh sebab itu seringkali kayu remaja jenis kayu daun jarum memiliki kadar lignin yang tinggi dan selulosa yang rendah, seperti halnya kayu reaksi tekan. Sementara itu sebaliknya terjadi pada kayu remaja dari jenis kayu daun lebar yang mendekati sifat kayu reaksi tarik (Zobel & Sprague 1998). 2.2 Komponen Kimia Struktural Kayu Kayu mengandung komponen kimia yang terdiri komponen utama yaitu selulosa, hemiselulosa, serta lignin, dan komponen minor yang terdiri dari ekstraktif dan mineral. Kandungan komponen kimia kayu beragam untuk jenis kayu yang berbeda atau antar jenis kayu daun lebar dan daun jarum. Kayu daun jarum mengandung komponen kimia selulosa sekitar 42±2%, hemiselulosa 27±2%, lignin 28±3%, dan zat ekstraktif 3±2%, sedangkan komponen kimia kayu
daun lebar sebanyak 45±2% selulosa, 30±5% hemiselulosa, 20±4% lignin, dan 5±3% ekstraktif (Fengel & Wagener 1995). Selulosa merupakan komponen kimia penyusun kayu yang terbesar jumlahnya. Selulosa merupakan polimer linier dengan berat molekul tinggi yang tersusun oleh unit β-D-glukosa (Fengel & Wagener 1995). Molekul-molekul selulosa mempunyai kecenderungan membentuk ikatan-ikatan hydrogen intra dan inter molekul. Berkas-berkas molekul selulosa membentuk mikrofibril yang mengandung tempat yang sangat teratur (kristalin) dan diselingi dengan tempat yang kurang teratur (amorf). Mikrofibril membentuk fibril-fibril dan akhirnya serat-serat. Secara alami, selulosa berikatan dengan zat lain yaitu hemiselulosa dan lignin. Hemiselulosa terdapat dalam dinding sel dan sangat dekat asosiasinya dengan selulosa (Sjostrom 1995). Polisakarida penyusun dinding sel kayu selain selulosa, adalah hemiselulosa yang memiliki bobot molekul lebih rendah dibanding selulosa. Hemiselulosa berbeda dengan selulosa karena memiliki rantai molekul yang lebih pendek dan bercabang. Hemiselulosa diisolasi melalui ekstraksi kayu yang didelignifikasi dengan air atau dengan larutan alkali. Secara umum hemiselulosa dibagi menjadi dua yaitu xylan pada kayu daun lebar dan galaktoglukomanan pada kayu daun jarum (Fengel & Wagener 1995). Lignin merupakan senyawa amorf yang berada di lamella tengah dan dinding sekunder. Konsentrasi lignin dalam lamella tengah lebih tinggi dibandingkan pada lapisan dinding sekunder. Fungsi lignin yaitu sebagai perekat sel-sel dalam kayu dan memberikan ketegaran pada sel, berpengaruh dalam memperkecil perubahan dimensi sehubungan dengan perubahan air kayu dan mengurangi degradasi terhadap selulosa (Haygreen & Bowyer 1989). Berdasarkan unsur strukturalnya lignin dibagi menjadi kelompok guaiasil untuk kayu daun jarum dan guaiasil siringil untuk kayu daun lebar. Selain komposisi ligninnya, kayu daun jarum dan kayu daun lebar juga berbeda dalam kadarnya. Umumnya kadar lignin jenis kayu daun jarum lebih tinggi dibanding kadar lignin jenis kayu daun lebar (Achmadi 1990). Penentuan kadar lignin yang paling umum menggunakan metode Klason, yaitu dengan memisahkan lignin sebagai material yang tidak larut dalam asam
sulfat 72% dan diikuti dengan hidrolisis polisakarida pada asam sulfat 3% yang dipanaskan. Lignin yang berupa filtrat disebut lignin terlarut asam (acid soluble lignin). Pada prosedur penentuan kadar lignin, lignin memiliki kecenderungan berubah. Hal ini dikarenakan lignin memiliki gugus fungsi yang mengandung oksigen pada posisi benzylic dan sensitif terhadap media asam (Yasuda et al. 2001). Pada suasana asam, lignin cenderung melakukan kondensasi. Peristiwa ini menyebabkan bobot molekul lignin bertambah dan dalam keadaan yang sangat asam lignin yang telah terkondensasi ini akan mengendap (Achmadi 1990). Lignin sebagian akan terlarut di dalam asam pada tahap hidrolisis kedua dari prosedur lignin Klason. Fraksi lignin terlarut asam ini dapat diukur dengan menggunakan alat spektrofotometer pada panjang gelombang 205 nm (Swan 1965). 2.3 Komponen Kimia Non-Struktural Kayu Menurut Fengel dan Wagener (1995) terdapat komponen dalam kayu yang jumlahnya sedikit dengan berat molekul kecil yaitu berupa ekstraktif dan zat-zat mineral, dimana nilai kandungan dan komposisinya tergantung dari jenis kayu, letak geografi dan musim. Ekstraktif terkonsentrasi dalam saluran resin dan sel-sel parenkim jari-jari. Jumlah ekstraktif yang rendah terdapat dalam lamella tengah interseluler, dinding sel trakeid, dan serabut libiform. Ekstraktif merupakan sejumlah besar senyawa dalam kayu yang dapat diekstraksi dengan pelarut polar dan non polar. Ekstraktif dapat pula diartikan sebagai senyawa yang larut dalam pelarut organik. Ekstraktif terbagi menjadi fraksi lipofilik dan hidrofilik. Fraksi lipofilik terdiri dari lemak, lilin, terpena, terpenoid, dan alkohol alifatik tinggi. Fraksi hidrofilik meliputi senyawa fenolik (tannin, lignin, stibena), karbohidrat terlarut, vitamin, protein, dan garam anorganik (Achmadi 1990). 2.4 Deskripsi Kayu yang Diteliti 2.4.1 Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) termasuk family Fabaceae yang tersebar di seluruh Jawa, Maluku, Sulawesi Selatan, dan Irian Jaya. Tinggi pohon sampai 40 m dengan panjang batas bebas cabang 10-30 m, diameter sampai
80 cm, kulit luar berwarna putih atau kelabu, tidak beralur, tidak mengelupas, dan tidak berbanir. Tabel 1. Komponen Kimia Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) Komponen Kimia
Nilai (%)
Kelarutan
Nilai (%)
Selulosa
49,4
Alkohol-Benzene
3,4
Lignin
26,8
Air Dingin
3,4
Pentosan
15,6
Air panas
4,3
Abu
0,6
NaOH 1 %
19,6
Silika
0,2
(Sumber : Martawijaya et al. 1989) Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) banyak digunakan oleh penduduk Jawa Barat untuk bahan perumahan (papan, balok, tiang, kaso, dan sebagainya). Selain daripada itu, dapat juga dipakai untuk pembuatan peti, venir, pulp, papan semen, wol kayu, papan serat, papan partikel, korek api (tangkai dan kotak), dan kayu bakar (Martawijaya et al. 1989). 2.4.2 Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) termasuk famili Pinaceae yang tersebar di Aceh, Sumatera Utara, dan seluruh Jawa. Tinggi pohon 20-40 m dengan panjang batang bebas cabang 2-23 m, diameter sampai 100 cm, tidak berbanir. Kulit luar kasar berwarna coklat kelabu sampai coklat tua, tidak mengelupas, beralur lebar dan dalam. Kayu Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) dapat digunakan untuk bangunan perumahan, lantai, mebel, kotak, dan tangkai korek api, pulp, tiang listrik (diawetkan), papan wol kayu dan kayu lapis (Martawijaya et al. 1989).
Tabel 2. Komponen Kimia Kayu Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) Komponen Kimia
Nilai (%)
Kelarutan
Nilai (%)
Selulosa
54,9
Alkohol-Benzene
6,3
Lignin
24,3
Air Dingin
0,4
Pentosan
14,0
Air panas
3,2
Abu
1,1
NaOH 1 %
11,1
Silika
0,2
(Sumber : Martawijaya et al. 1989) 2.4.3 Angsana (Pterocarpus indicus) Angsana atau sonokembang (Pterocarpus indicus) adalah sejenis pohon penghasil kayu berkualitas tinggi dari suku Fabaceae (Leguminosae, polongpolongan). Tinggi pohon hingga 40 m, batang sering beralur atau berbonggol, biasanya dengan akar papan (banir). Tajuk lebat serupa kubah dengan cabangcabang yang merunduk hingga dekat tanah. Pepagan (kulit kayu) abu-abu kecoklatan, memecah atau serupa sisik halus, mengeluarkan getah bening kemerahan apabila dilukai. Kayu angsana tersebar di Jawa terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur serta terdapat juga di daerah Kalimantan (Anonim 2011). Kayu angsana atau sonokembang (Pterocarpus indicus) dapat digunakan dalam konstruksi ringan maupun berat. Dalam bentuk balok, kasau, papan dan panil kayu yang lain untuk rangka bangunan, penutup dinding, tiang, pilar, jembatan, bantalan rel kereta api, kayu-kayu penyangga, untuk konstruksi perairan bahari dan lain-lain. Warna dan motif serat kayunya yang indah kemerahmerahan, menjadikan kayu sonokembang sebagai kayu pilihan untuk pembuatan mebel, kabinet berkelas tinggi, alat-alat musik, lantai parket, panil kayu dekoratif, gagang peralatan, serta untuk dikupas sebagai venir dekoratif untuk melapisi kayu lapis dan meja berharga mahal (Anonim 2011). 2.4.4 Sungkai (Peronema canescens Jack) Sungkai (Peronema canescens Jack) termasuk dalam family Verbenaceae yang tersebar di Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, dan seluruh Kalimantan. Tinggi pohon 20-25 m, panjang batang bebas cabang sampai 15 m, diameter 60 cm atau lebih, batang lurus dan sedikit berlekuk dangkal, tidak
berbanir, ranting penuh dengan bulu halus. Kulit luar berwarna kelabu atau sawo muda, beralur dangkal dan mengelupas kecil-kecil tipis. Kayu sungkai (Peronema canescens Jack) cocok untuk rangka atap, karena ringan dan cukup kuat. Selain itu digunakan untuk tiang rumah dan bangunan jembatan, serta mebel karena memiliki corak yang menarik berupa garis-garis indah (Martawijaya et al. 1981). Tabel 3. Komponen Kimia Kayu Sungkai (Peronema canescens Jack) Komponen Kimia
Nilai (%)
Kelarutan
Nilai (%)
Selulosa
48,6
Alkohol-Benzene
4,0
Lignin
-
Air Dingin
1,1
Pentosan
16,5
Air panas
5,3
Abu
1,6
NaOH 1 %
11,3
Silika
0,4
(Sumber : Martawijaya et al. 1981) 2.4.5 Kayu Manii (Maesopsis eminii) Kayu manii (Maesopsis eminii) termasuk dalam family Rhamnaceae dan tumbuh alami di Afrika dari Kenya sampai Liberia, kebanyakan ditemukan di hutan tinggi dalam ekozona antara hutan dan sabana. Kayu manii merupakan jenis suksesi yang tumbuh pada areal hutan yang terganggu ekosistemnya. Pada sebaran alami, jenis ini tumbuh di dataran rendah sampai hutan sub pegunungan sampai ketinggian 1.800 m dpl. Biasanya ditanam di dataran rendah dan tumbuh baik pada ketinggian 600 - 900 m dpl. Daunnya digunakan untuk pakan ternak karena kandungan bahan keringnya mencapai 35% dan dapat dicerna dengan baik oleh ternak. Pulp dari jenis ini sebanding dengan pulp sebagai jenis kayu keras umumnya (Joker 2002). Kayu manii (Maesopsis eminii) adalah salah satu jenis kayu yang pertumbuhannya cukup bagus dan berpotensi komersial untuk bahan bangunan dan furniture. Kayu manii termasuk kelas awet V dan kelas kuat III/IV, bertekstur kasar dan kayunya mudah menyerap zat-zat cair. Kayu ini banyak dimanfaatkan untuk konstruksi ringan di bawah atap, peti kemas, dan kayu lapis (Hadi 2008).
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Kayu Bagian Kimia Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor selama kurang lebih dua bulan. 3.2 Alat dan Bahan Jenis kayu yang digunakan untuk penelitian terdiri dari pinus (Pinus merkusii Jungh
et
de
Vriese),
Angsana
(Pterocarpus
indicus
Willd),
Sengon
(Paraserianthes falcataria), Sungkai (Peronema canescens Jack), dan kayu manii (Maesopsis eminii). Sampel kayu diambil dari bagian batang utama setiap jenis kayu dalam bentuk disk dengan diameter antara 20-22 cm. J2 empulur J1
Gambar 1 Pengambilan contoh uji Contoh uji diambil sekitar 3 cm dari jaringan kayu dekat empulur yang dibentuk saat umur kayu masih muda (J1) dan jaringan kayu yang jauh dari empulur yang dibentuk saat umur kayu lebih dewasa diambil 2 cm dari kulit (J2) (Gambar 1). Setiap contoh uji dibuat serbuk ukuran 40-60 mesh dengan alat Willey mill dan penyaring bertingkat. Sebelum analisis komponen kimia, serbuk kayu diekstraksi dengan ethanol-toluene 1:2. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari aquades, etanol, toluene, sodium klorit, asam asetat, NaOH, H2SO4. Peralatan yang digunakan adalah timbangan elektrik, soxhlet, kertas saring, alat pemanas (waterbath), oven, desikator, alumunium foil, gelas piala, gelas erlenmeyer, filter glass, vakum, pengaduk, gelas ukur, dan lakmus.
3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Ekstraksi Etanol-toluene Ekstraksi ini bertujuan untuk melarutkan ekstraktif dari dalam sampel. Serbuk kayu 40-60 mesh sebanyak 10 gram diekstraksi dengan pelarut etanoltoluene (1:2) dalam alat sokhlet selama 8 jam. Untuk menghilangkan sisa toluene, sampel dicuci dengan ethanol. Sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 103±2oC hingga bobotnya konstan.
3.3.2 Penentuan Holoselulosa (Browning 1967) Serbuk kayu bebas ekstraktif sebanyak 2 gram dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer dan ditambahkan secara berturut-turut 0,5 ml asam asetat glacial dan 1 gram sodium klorit. Sampel kemudian direaksikan pada suhu 70-80oC dengan menggunakan penangas air. Setiap penambahan waktu reaksi selama satu jam, ditambahkan lagi 0,5 ml asam asetat glacial dan 1 gram sodium hipoklorit. Penambahan asam asetat dan sodium hipoklorit dilakukan hingga total lima kali penambahan. Sampel kemudian disaring dengan filter glass yang telah dioven dan diketahui bobotnya. Holoselulosa dicuci dengan aquades panas dan ditambahkan 25 ml asam asetat 10% lalu dibilas dengan aquades panas hingga bebas asam. Sampel dioven dengan suhu 103±20C dan ditimbang hingga bobotnya tetap.
3.3.3 Penentuan α -Selulosa Sebanyak 1 gram serbuk holoselulosa ditempatkan dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian 10 ml NaOH 17,5 % dicampurkan pada serbuk holoselulosa tersebut dan dipanaskan pada suhu 20 oC sambil diaduk. Pada saat waktu 5, 10, dan 15 menit ditambahkan 5 ml NaOH 17,5% kemudian ditutup dengan gelas arloji dan dibiarkan sampai 45 menit. Setelah itu, ke dalam sampel ditambahkan aquades 33 ml dan didiamkan selama 1 jam. Sampel disaring dengan filter glass lalu dibilas dengan 100 ml NaOH 8,3 %. Setelah itu, sampel dibilas dengan 15 ml
asam asetat 10 % kemudian dibilas dengan aquades hingga bebas asam. Sampel dioven pada suhu 103±20C dan ditimbang hingga bobotnya tetap. α 3.3.4 Penentuan Lignin Klason (Dence 1992) Serbuk kayu bebas ekstraktif sebanyak 500 mg ditempatkan dalam gelas piala, kemudian ditambahkan 5 ml H2SO4 72 % secara perlahan dan bertahap sambil diaduk pada temperatur 20 ± 1oC dan dibiarkan selama tiga jam sambil diaduk sesekali. Setelah tiga jam, serbuk dan larutan yang berada dalam gelas piala dipindahkan dalam gelas erlenmeyer 250 ml dan ditambahkan air aquades sebanyak 191 ml. Erlenmeyer ditutup dengan gelas piala dan dimasukkan ke dalam autoclave selama 30 menit dengan suhu 121oC. Lignin kemudian disaring dengan air aquades panas hingga bebas asam. Lignin dimasukkan ke dalam oven pada suhu 103±20C dan ditimbang hingga bobotnya tetap. Filtrat ditampung dan volumenya digenapkan menjadi 1 liter untuk pengujian lignin terlarut asam.
3.3.5 Penentuan Lignin Terlarut Asam (Dence 1992; Swan 1965) Filtrat dari hasil penentuan lignin Klason yang telah digenapkan volumenya menjadi 1000 ml, kemudian diambil 100 ml untuk diuji kadar lignin terlarut asamnya dengan alat spectrophotometer. Selain itu, dibuat sampel blanko dari 5 ml asam sulfat yang diencerkan hingga volumenya 1000 ml yang juga diambil sampel ujinya sebanyak 100 ml untuk pengujian spectrophotometer. Panjang gelombang yang digunakan yaitu 205 nm. Kadar lignin terlarut asam dihitung dengan menggunakan rumus :
Keterangan :
C
: Konsentrasi filtrat lignin terlarut asam (g/l)
A
: Pembacaan pada panjang gelombang 205 nm
ASL
: Kadar lignin terlarut asam (%)
V
: Volume akhir larutan (ml)
110
: nilai absorptivity
3.3.6 Penentuan Rasio Monomer Penyusun Lignin Untuk melihat kemungkinan adanya perbedaan komposisi monomer penyusun lignin sebagai akibat perbedaan kadar lignin, diuji dengan alat PyrolisisGas Kromatografi Spektrometer Massa (Pyr-GC MS). Pengujian dilakukan terhadap jenis kayu yang memiliki perbedaan kadar lignin antara posisi kayu remaja yang cukup besar. 3.4 Analisis Data Data dianalisis secara kuantitatif dan deskriptif dengan melihat kecenderungan data dalam bentuk tabel dan grafik dari nilai rata-rata.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Polisakarida Kayu Polimer karbohidrat penyusun dinding sel kayu terdiri dari selulosa dan hemiselulosa.
Kedua
fraksi polisakarida tersebut
dapat
diukur
sebagai
holoselulosa.
4.1.1 Holoselulosa Total polisakarida dalam kayu dinyatakan sebagai holoselulosa, yang diperoleh dengan metoda pelarutan fraksi lignin dalam kayu, walaupun dengan cara tersebut, masih ada sebagian kecil sisa lignin yang tetap tertinggal di dalam holoselulosa yang dihasilkan (Fengel & Wagener 1995). Kadar holoselulosa kayu berbeda berdasarkan jenis kayu dan bagian juvenile wood dengan umurberbeda. Jaringan kayu yang dibentuk pada saat pohon masih muda mengandung holoselulosa yang lebih rendah dibandingkan juvenile wood yang dibentuk pada umur pohon yang lebih dewasa (Gambar 2). 90
J1
Kadar holoselulosa (%)
80
J2
70 60 50 40 30 20 10 0
Pinus
Manii
Sungkai
Sengon
Angsana
Jenis kayu
Gambar 2 Kadar Holoselulosa Juvenile wood (J1 : jaringan kayu dekat empulur; J2 : jaringan kayu yang jauh dari empulur)
Secara umum terlihat bahwa kandungan holoselulosa jenis kayu daun lebar lebih tinggi dibanding kayu daun jarum, baik untuk jaringan berumur muda maupun yang lebih dewasa. Hal ini bisa disebabkan oleh dua kemungkinan, yaitu sebagai fenomena umum yang terjadi antara jenis kayu daun jarum yang cenderung memiliki kadar polisakarida kayu yang lebih rendah dibanding jenis kayu daun lebar (Fengel & Wegener 1995, Sjostrom 1995), atau hal ini merupakan karakteristik juvenile wood yang berkorelasi dengan hadirnya kayu reaksi dalam jaringan juvenile wood (Zobel & Sprague 1998). Kayu reaksi pada jenis kayu daun lebar (kayu tarik) memiliki kadar polisakarida kayu yang lebih tinggi dibanding kayu normalnya, sebaliknya kadar polisakarida kayu reaksi (kayu tekan) jenis kayu daun jarum cenderung lebih rendah dibanding kayu normalnya (Walker 1993, Timell 1986). Hal ini bisa terlihat misalnya pada perbedaan kadar holoselulosa antara kayu Pinus (jenis kayu daun jarum) dengan jenis kayu daun lebar Sengon (Gambar 2). Kadar holoselulosa yang tinggi dalam kayu sangat baik untuk penggunaan sebagai bahan baku pulp. Kayu dengan kadar holoselulosa yang tinggi dapat menghasilkan pulp dengan rendemen yang tinggi. Akan tetapi umumnya penggunaan juvenile wood untuk bahan baku pulp terkendala dengan dimensi seratnya yang menghasilkan pulp dengan kualitas rendah (Walker 1993). 4.1.2 Alpha-Selulosa (α-selulosa) Alpha-selulosa merupakan bagian dari selulosa yang tahan dan tidak terlarut dalam larutan alkali (NaOH 17,5%). Kemurnian selulosa sering dinyatakan melalui parameter α-selulosa, walaupun sesungguhnya alpha-selulosa bukanlah selulosa murni karena masih ada gula lain yaitu mannan dan glukomannan yang tahan terhadap alkali (Achmadi 1990). Pada umumnya, alphaselulosa yang dihasilkan tergantung pada jenis kayu dan metoda yang digunakan.
80
kadar α-selulosa (%)
70
J1
J2
60 50 40
30 20 10 0 Pinus
Manii
Sungkai
Sengon
Angsana
Jenis kayu
Gambar 3 Kadar α-selulosa juvenile wood (J1 :jaringan kayu dekat empulur; J2 : jaringan kayu yang jauh dari empulur) Kadar alpha-selulosa jaringan kayu yang dibentuk pada umur kayu masih muda lebih rendah dibanding dengan jaringan kayu yang dibentuk pada umur kayu yang lebih dewasa, kecuali untuk kayu Angsana.Variasi pembentukan kayu remaja (juvenile wood) selama pertumbuhan pohon dapat terjadi karena perbedaan jenis dan tempat tumbuh. Penelitian sebelumnya (Zobel & Sprague 1998), dalam kayu Pinus radiata pada lingkaran tumbuh ke 10 sampai 15 dari arah empulur memiliki kandungan selulosa meningkat dan setelah itu konstan, sedangkan lignin dan pentosan menurun dari empulur ke arah kulit. Berdasarkan hal tersebut, terdapat indikasi bahwa kadar selulosa kayu meningkat sejalan dengan bertambahnya umur hingga mencapai dewasa. Kayu remaja (juvenile wood) sering dikaitkan dengan kehadiran kayu reaksi.Hal ini dikarenakan banyak kayu reaksi dibentuk dalam zona kayu remaja (juvenile wood) dalam pohon, dan beberapa sifat kayu remaja (juvenile wood)menyerupai sifat kayu reaksi (Zobel & Sprague 1998).Kayu reaksi yang terjadi pada kayu daun lebar disebut kayu tarik (tension wood) sedangkan kayu reaksi pada kayu daun jarum disebut kayu tekan (compression wood) (Fengel & Wagener 1995). Kayu reaksi tekan pada jenis kayu daun jarum memiliki ciri kadar lignin yang lebih tinggi dengan kadar selulosa yang lebih rendah dibanding kayu normal, sedangkan kayu reaksi tarik dalam jenis kayu daun lebar umumnya
memiliki kadar selulosa yang lebih tinggi, khususnya alpha-selulosa, dan kadar lignin yang lebih rendah dibanding kayu normal. Kadar alpha-selulosa kayu angsana memiliki nilai yang lebih besar pada jaringan dekat dengan empulur dibanding bagian yang lebih jauh dari empulur. Hal ini berbeda dengan jenis kayu daun lebar yang lain, dimana jaringan kayu yang dibentuk pada pohon berumur lebih tua memiliki kadar selulosa yang lebih tinggi. Berdasarkan kadar selulosa, juvenile wood dari jenis kayu pinus dan angsana memiliki karakteristik yang mirip dengan sifat kayu reaksi. Kayu reaksi dapat dibentuk selama tahun awal pertumbuhan pohon sehingga jaringan kayu yang dekat dengan empulur bersifat kayu reaksi (Timell 1986). Kayu remaja (juvenile wood) pada angsana memiliki ciri kayu tarik dimana kadar selulosa yang tinggi disertai dengan nilai lignin yang rendah, sedangkan kayu tekan pada kayu daun jarum dicirikan dengan kandungan selulosa yang rendah dan lignin yang tinggi. Kayu tekan terdapat pada juvenile wood pinus yang memiliki kandungan alpha-selulosa yang rendah dan lignin yang tinggi pada bagian dekat empulur 80
70
70
60
60
50
50
40
40
30
30
20
20 Alphaselulosa
10
Total lignin
0
Total lignin (%)
α-selulosa (%)
(Gambar 4).
10 0
Pi J1
Pi J2 Ma J1 Ma J2 Su J1
Su J2
Se J1
Se J2
Ag J1 Ag J2
Jenis kayu
Gambar 4 Kadar selulosa dan lignin juvenile wood(J1 :jaringan kayu dekat empulur; J2 : jaringan kayu yang jauh dari empulur) Menurut Zobel (1975) dalam Walker (1993) kayu remaja (juvenile wood) memiliki persentase selulosa yang rendah dan serat yang pendek sehingga sifat kimia pulp yang dihasilkan rendah dan kekuatan pulp rendah pula.Kadar alphaselulosa dalam kayu dapat dijadikan sebagai penduga besarnya rendemen dan kadar alpha-selulosa dalam pulp. Kertas yang memiliki kandungan alpha-selulosa
yang tinggi atau vikositas tinggi biasanya mengandung serat berkualitas tinggi dan memiliki derajat stabilitas yang tinggi. Untuk itu penggunaan juvenile wood sebagai bahan baku kertas dapat dilihat berdasarkan umur kayu (lingkaran tumbuh). Juvenile wood yang dibentuk saat kayu umur muda berpengaruh terhadap kualitas kertas yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan umur yang lebih dewasa.
4.1.3 Hemiselulosa Hemiselulosa merupakan polisakarida berbobot molekul rendah yang terdapat dalam dinding sel. Hemiselulosa berbeda dengan selulosa karena memiliki rantai molekul yang lebih pendek dan bercabang. Hemiselulosa pada hardwood didominasi oleh xilan dengan kandungan 25-35 %, sedangkan pada softwood didominasi oleh mannan dengan kandungan 15-25 % (Fengel & Wagener 1995). Kandungan hemiselulosa dalam kayu daun jarum dan kayu daun lebar memiliki nilai yang berbeda, dimana kayu daun jarum memiliki kandungan hemiselulosa yang relatif lebih rendah dibandingkan kayu daun lebar. 30 J1
J2
Kadar hemiselulosa (%)
25 20 15 10 5 0 Pinus
Manii
Sungkai Jenis kayu
Sengon
Angsana
Gambar 5 Kadar hemiselulosa juvenile wood (J1:jaringan kayu dekat empulur; J2 : jaringan kayu yang jauh dari empulur) Kadar hemiselulosa juvenile wood pada kayu pinus, kayu manii, sungkai, sengon lebih tinggi pada bagian kayu dekat dengan empulur.Hal ini menunjukkan fenomena pertumbuhan normal kayu, dimana umumnya dengan pertambahan
umur pohon, komponen kimia dinding sel semakin bertambah hingga mencapai kayu dewasa (Haygreen & Bowyer 1989).Pengecualian terjadi pada kayu angsana yang yang lebih mirip sifat kayu reaksi (Gambar 5). Bervariasinya kecenderungan kadar hemiselulosa dalam kayu seringkali relatif kecil dan tidak sama untuk tipe hemiselulosa. Sebagaimana diketahui hemiselulosa kayu tersusun oleh beberapa jenis hemiselulosa, seperti galaktoglumanan dan arabinoglukuronoxilan dalam kayu daun jarum, atau glukuronoxilan, glukomanan dalam kayu daun lebar (Sjostrom 1995, Fengel & Wegener 1995, Gulichsen & Paulapuro 2000).Oleh sebab itu, faktor pembeda dominan untuk menganalisis keragaman sifat kimia kayu, misalnya dalam kayu reaksi, terutama berdasarkan sifat kimia selulosa dan ligninnya. Dalam penggunaan serat kayu untuk pembuatan kertas, hemiselulosa berfungsi sebagai bahan perekat alami dalam pulp dan kertas yang dapat meningkatkan ikatan antar serat dan kekuatan. Semakin tinggi nilai hemiselulosa maka ikatan antar seratnya semakin baik (Fengel & Wagener 1995).Menurut Walker (1993), perpaduan sifat kayu remaja (juvenile wood) yang memiliki ciri kerapatan rendah, kayu tekan dan banyaknya mata kayu menjadi masalah dalam penggunaan juvenile wood dari kayu daun jarum cepat tumbuh. Penggunaan juvenile wood untuk beberapa produk kertas, contohnya kertas tulis, tissue, dan kertas koran memiliki kualitas yang tinggi. Untuk itu penggunaan kayu remaja (juvenile wood) masih memadai untuk digunakan sebagai bahan baku pulp dan kertas walaupun kualitasnya tidak terlalu baik.
4.2 Kadar Lignin Kadar lignin yang terdapat dalam kayu bervariasi menurut jenis kayu, lokasi tempat tumbuh, bahkan dalam satu pohon yang sama (Akiyama et al. 2005). Berdasarkan struktur kimia polimernya, lignin jenis kayu daun jarum (softwood) dan jenis kayu daun lebar (hardwood) berbeda dalam hal jenis dan proporsi monomer penyusunnya (Sjostrom 1995). Kecenderungan yang beragam pada kadar lignin Klason terjadi antar jenis kayu dan bagian kayu yang diteliti. Berdasarkan posisi dari arah empulur, kadar lignin kayu Pinus merkusii memiliki karakteristik khas juvenile wood kayu daun
jarum yang cenderung mendekati sifat kayu reaksi tekan. Hal ini sama dengan penelitian sebelumnya terhadap kayu Pinus radiata yang menunjukkan kadar lignin menurun dari empulur ke arah kulit (Zobel & Sprague 1998, Timell 1986). Dalam jenis kayu daun lebar, terdapat perbedaan kadar lignin yang lebih beragam (Gambar 6). Kadar lignin merupakan komponen kimia yang paling sering digunakan untuk membedakan antara kayu normal dengan kayu reaksi. Hal ini karena adanya perbedaan yang signifikan baik kadar maupun komposisinya pada kayu reaksi dan kayu normal (Tsoumis 1991, Timell 1986). Dalam kayu daun jarum, kayu reaksi tekan memiliki kadar lignin yang lebih tinggi dengan proporsi unit p-hidroksifenil yang tinggi dibanding kayu normal (Timell 1986), sedangkan pada kayu reaksi tarik jenis kayu daun lebar memiliki kadar lignin yang lebih rendah dengan proporsi unit siringil yang lebih tinggi dibanding kayu normalnya (Akiyama et al. 2005). Kadar lignin Klason kayu daun lebar yang diteliti menunjukkan pola yang beragam. Jika diasumsikan kayu remaja (juvenile wood) mengandung kayu reaksi, maka hal itu dapat dilihat pada kayu angsana dan sungkai. Pada kedua jenis kayu tersebut bagian kayu yang dibentuk pada saat pohon berumur muda memiliki kadar lignin yang lebih rendah. Hal ini bisa terjadi karena pada saat pohon berumur muda dengan ukuran batang yang relatif kecil sangat rentan terhadap pengaruh mekanis eksternal, yang menyebabkan terbentuknya kayu reaksi. 45
J1
Kadar lignin klason (%)
40
J2
35 30 25 20 15 10 5 0 Pinus
Manii
Sungkai
Sengon
Angsana
Jenis kayu
Gambar 6 Kadar lignin Klason juvenile wood(J1: jaringan kayu dekat empulur; J2: jaringan kayu yang jauh dari empulur)
Secara umum berdasarkan penelitian sebelumnya, kadar lignin Klason jenis kayu daun jarum (softwood) lebih tinggi dibandingkan jenis hardwood (Fengel & Wegener 1995). Namun hasil penelitian ini menunjukkan, kadar lignin Klason kayu sungkai dan angsana lebih tinggi dibanding kayu pinus. Pengecualian tingginya kadar lignin pada kayu daun lebar ditemukan pula pada kayu ulin dengan kadar lignin mencapai sekitar 39 % (Akiyama et al. 2005). Selain lignin Klason, keragaman terjadi juga pada kadar lignin terlarut asam. Lignin terlarut asam merupakan salah satu parameter sifat kimia lignin yang bukan hanya terkait dengan kandungan lignin kayu, akan tetapi juga menunjukkan tingkat reaktivitas lignin. Reaktifitas lignin sangat ditentukan oleh komposisi unit monomer yang menyusun polimer lignin. Penelitian sebelumnya menemukan kandungan metoksil dalam kayu berkorelasi positif dengan kandungan lignin terlarut asam (Akiyama et al. 2005), sementara itu proporsi cincin aromatik penyusun lignin kayu daun lebar (rasio syringil/guaiacyl atau rasio S/G dapat diduga dari kandungan metoksilnya (Obst 1982, Obst & Ralph 1983 dalam Akiyama et al. 2005). Terdapat perbedaan antara jenis kayu daun jarum (softwood) dan jenis kayu daun lebar (hardwood) dalam hal kandungan lignin terlarut asam yang didasarkan pada prosedur lignin Klason (Dence 1992, Musha &Goring 1974). Proporsi lignin terlarut asam pada hardwood yang tinggi terdapat pada jenis yang memiliki lignin Klason kecil dan kandungan metoksil yang tinggi (Akiyama et al. 2005). Kandungan lignin terlarut asam (Acid soluble lignin) dari kayu manii, sengon, dan angsanamemperlihatkan kecenderungan yang sama, dimana meningkatnya kandungan lignin Klason diikuti dengan penurunan lignin terlarut asam (Gambar 7).
Lignin klason
ASL
5,00 4,00 3,00 2,00
ASL (%)
Lignin Klason (%)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
1,00 0,00 Pi J1
Pi J2 Ma J1 Ma J2 Su J1 Su J2 Se J1 Se J2 Ag J1 Ag J2
Jenis Kayu
Gambar 7 Kadar lignin Klason dan lignin terlarut asam juvenile wood(J1 :jaringan kayu dekat empulur; J2 : jaringan kayu yang jauh dari empulur) Pada kayu pinus, kandungan lignin Klason yang tinggi diikuti dengan tingginya nilai lignin terlarut asam pada bagian kayu yang dekat dengan empulur. Karakter lignin seperti ini sama halnya yang ditemukan pada kayu reaksi tekan. Tingginya kadar lignin pada kayu reaksi dipengaruhi oleh jenis dan komposisi dari komponen penyusun molekul lignin yaitu kandungan unit guaiasil dan phidroksiphenil. Sebagaimana telah diketahui bahwa jenis kayu daun jarum disusun oleh lignin dari unit guaiasil dan p-hidroksiphenil (Fengel & Wegener 1995). Lignin kayu tekan memiliki unit p-hidroksiphenil yang lebih tinggi sehingga lebih mudah berkondensasi selama proses penentuan lignin Klason, yang berakibat rendahnya pembentukan fraksi lignin yang terlarut asam. Kadar lignin terlarut asam pada kayu pinus lebih rendah dibandingkan kayu daun lebar yang diuji. Hal ini dikarenakan unit penyusun lignin berpengaruh terhadap pembentukan lignin terlarut asam. Menurut Matshushita et al. (2004) selama proses penentuan lignin Klason, sebagian besar unit guaiasil lignin setelah terhidrolisis akan segera berkondensasi satu sama lain membentuk produk rekondensasi berbobot molekul tinggi dalam bentuk fraksi padatan, sehingga kontribusi unit guaiasil terhadap pembentukan lignin terlarut asam adalah kecil. Oleh sebab itu, jenis kayu daun jarum yang ligninnya terutama disusun oleh unit guaiasil umumnya menghasilkan lignin terlarut asam yang kecil. Sementara itu lignin pada hardwood dengan kandungan siringil yang tinggi telah ditemukan dapat menghasilkan nilai lignin terlarut asam yang tinggi (Matshushita et al. 2004). Kayu dengan kandungan lignin terlarut asam yang lebih tinggi disebabkan oleh kandungan rasio syringil guaiasil yang tinggi pula dan sebaliknya. Hal ini
ditunjukkan oleh kayu sungkai yang memiliki kadar lignin terlarut asam yang rendah, memiliki rasio S/G yang rendah pula (0,11). Adanya unit siringil berarti menambah tingginya kandungan metoksil didalam struktur lignin. Korelasi lignin Klason dan lignin terlarut asam pada hardwood ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8 Hubungan lignin terlarut asam dan lignin Klason juvenile wood kayu daun lebar Kayu remaja (juvenile wood) memiliki kadar lignin yang tinggi sehingga dalam penggunaan sebagai bahan baku pulp perlu menjadi pertimbangan. Lignin yang tinggi pada juvenile wood akan mempengaruhi proses pulping dimana proses utamanya yaitu delignifikasi. Kayu dengan kadar lignin tinggi akan memerlukan waktu pemasakan yang lebih lama pada tahap delignifikasi. Pada proses delignifikasi atau pelarutan lignin selama pulping, banyaknya lignin akan mempengaruhi jumlah bahan kimia yang digunakan. Kadar lignin sisa dalam pulp yang masih tinggi juga akan menurunkan kekuatan fisik pulp dan menyebabkan warna gelap pada pulp sehingga kebutuhan bahan kimia menjadi lebih banyak untuk proses bleaching. Selain kadar lignin, kemudahan proses pulping juga dipengaruhi oleh reaktifitas lignin. Reaktifitas lignin yang tinggi akan mempercepat laju delignifikasi dan semakin banyak jumlah lignin yang larut. Perbedaan laju delignifikasi selama proses pulping ditemukan berkorelasi dengan jenis dan proporsi monomer penyusun lignin (Gonzales et al. 1999, del Rio et al. 2005).
Perbedaan nilai rasio siringil dan guaiasil menunjukkan adanya reaktifitas komponen penyusun lignin yang berbeda dan akan berpengaruh pada proses pulping, terutama dalam tahap delignifikasi atau proses degradasi dan pelarutan lignin. Hal ini berdasarkan pada adanya perbedaan reaktifitas dari unit siringil lignin dibandingkan dengan unit guaiasil (Tsutsumi et al. 1995).Kayu dengan rasio siringil-guaiasil lignin yang lebih tinggi menyebabkan laju delignifikasi yang lebih tinggi pula. Reaktifitas siringil yang tinggi inilah yang mempercepat laju delignifikasi pada proses pulping kayu daun lebar dibandingkan kayu daun jarum (Fergus & Goring 1970) atau diantara jenis kayu daun lebar (Gonzales et al. 1999, del Rio et al. 2005). Berdasarkan hasil penelitian Syafii dan Nawawi (2008), terdapat hubungan yang linier antara rasio siringil-guaiasil lignin dengan pembentukan lignin terlarut asam. Kandungan siringil yang tinggi dalam kayu dibandingkan guaiasil menyebabkan lignin lebih reaktif dan menyebabkan semakin cepatnya laju delignifikasi dan semakin mudah proses pulping berlangsung. Proporsi siringil yang tinggi berpengaruh pada kandungan lignin terlarut asam yang tinggi pula. Berdasarkan hal tersebut, lignin terlarut asam bisa menjadi parameter penting dalam pendugaan reaktifitas lignin terkait dengan delignifikasi selama proses pulping. Hasil penelitian menunjukkan lignin terlarut asam juvenile wood pada umur pembentukan kayu yang berbeda menghasilkan nilai yang beragam.Nilai lignin terlarut asam kayu manii, sungkai, dan sengon pada bagian juvenile wood yang dibentuk pada umur kayu dewasa memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding juvenile wood yang dibentuk pada umur kayu muda.
\
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Karakteristik kimia kayu remaja (juvenile wood) dipengaruhi oleh jenis kayu. Perbedaan sifat kimia kayu antara jaringan kayu remaja yang dibentuk pada umur pohon yang berbeda dipengaruhi oleh kecepatan pertumbuhan pohon. Pada jenis kayu daun jarum (P. merkusii), kayu remaja yang dibentuk pada awal pertumbuhan menunjukkan sifat kayu reaksi tekan. Indikasi kemiripan sifat kayu remaja dengan kayu reaksi tarik jenis kayu daun lebar terdapat pada kayu Angsana.
5.2 Saran Oleh karena adanya kemungkinan perbedaan kualitas antara kayu muda dengan kayu dewasa, pemahaman sifat-sifat kayu remaja ini perlu mendapat perhatian dalam penggunaan kayu berumur muda seperti yang dihasilkan dari hutan tanaman berdaur pendek. Untuk itu diperlukan kajian komprehensif tentang perbedaan sifat dan kualitas kayu muda dan kayu dewasa yang dikaitkan dengan sifat pengolahan dan penggunaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi SS. 1990. Kimia Kayu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB. Bogor. Akiyama T, Goto H, Nawawi DS, Syafii W, Matsumoto Y, Meshitsuka G. 2005. Erythro/threo Ratio of β-O-4 Structures as an important structural characteristic of lignin. Part 4: Variation in the erythro/threo ratio in softwood and hardwood lignins and its relation to syringyl/guaiacyl ratio. Holzforschung 59: 276-281. Anonim. 2011. Angsana (Pterocarpus http://en.wikipedia.org/wiki/Pterocarpus indicus [28 Mei 2011]
indicus).
Browning BL. 1967. Method of Wood Chemistry. Wiley Interscience Publisher. New York. Casey JP, editor. 1980. Pulp and Paper, Chemistry and Chemical Technology Volume ke-1. New York. del Rio JC, Guitierez A, Hernando M, Landin P, Romero J, Martinez AT. 2005. Determining the effluence of eucalypt lignin composition in paper pulp yield using py-GC/MS. J. Anal. Appl. Pyrolysis 74:110-115. Dence CW. 1992. The Determination of Lignin. In; Lin SY, Dence CW (Eds). Method in Lignin Chemistry. Spinger-Verlag. Berlin. Dorthe
Joker. 2002. Maesopsis eminii Engl. http://www.dephut.go.id/INFORMASI/RRL/IFSP/Maesopsis_eminii.pdf [7 Juni 2011].
Fengel D, Wegener G. 1995. Kayu; Kimia, Ultrastruktur, reaksi-reaksi. Sastroamijoyo H, penerjemah; Prawirohatmojo S, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Wood Chemistry, Ultrastructure, Reactions. Fergus BJ, Goring DAI. 1970. The location of guaiacyl and syringyl lignin in birch xylem tissue. Holzforschung 24: 113-117. Gonzalez-Vila FJ, Almendros G, del Rio JC, Martin F, Gutierez A, Romero J. 1999. Ease of delignification assessment of wood from different eucalyptus species by pyrolisis (TMAH)-GC/MS and CP/MAS 13C-NMR Spectrometry. J. Anal. Appl. Pyrolisis 49:295-305.
Gullichsen J, Paulapuro H. 2000. Papermaking Science Technology: Forest Product Chemistry, Book 3. Finnish Paper Engineers’ Association and TAPPI . Heilsinki. Haygreen JG, Bowyer JL. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu Suatu Pengantar. Terjemahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari : Forest Product and Wood Science an Introduction 3rd Edition. Kininmonth, JA 1986. Wood from fast-grown, short-rotation trees. Proceedings 18th IUFRO World Congress, Division 5 Forest Products, Ljubljana. Martawijaya A, Kartasujana I, Kadir K, Prawira SA. 1981. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan. Bogor. Martawijaya A, Kartasujana I, Mandang YI, Prawira SA, Kadir K. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan. Bogor. Matsushita Y, Kakehi A, Miyawaki S, Yasuda S. 2004. Formation and chemical structures of acid-soluble lignin II: reaction of aromatic nuclei model compounds with xylan in the presence of a counterpart for condensation, and behavior of lignin model compounds with guaiacyl and syringyl nuclei in 72% sulfuric acid. Journal of Wood Science 50:136-141. Musha Y, Goring DAI. 1974. Klason and acid-soluble lignin content of hardwoods. Journal of Wood Science 7:133-134. Panshin AJ, de Zeeuw C. 1980. Textbook of Wood Technology. McGraw-Hill Book Co. New York. Rulliaty S. 2008. Kayu muda (juvenile wood) pada jenis-jenis kayu hutan tanaman. Di dalam: Aplikasi Teknologi Pemanfaatan Kayu Untuk Keperluam Domestik. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan; Bogor, 25 Oktober 2007. Bogor : Puslitbang Hasil Hutan. hlm 31-36. Solihul
H. 2008. Maesopsis eminii Engl. http://satopepelakan.blogspot.com/2008/12/maesopsis-eminii engl. html [7 Juni 2011]
Sjostrom E. 1995. Kimia Kayu Dasar-dasar dan Penggunaan. Edisi ke-2. Sastroamijoyo H, penerjemah; Prawirohatmojo S, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Wood Chemistry, Fundamentals and Application. Second edition. Swan B. 1965. Isolation of acid soluble lignin from the klason lignin determination. Svensk Papperstidning 68:791-795.
Syafii W, Nawawi DS. 2008. Rasio Stereoisomer Erythro dan Threo Struktur Ikatan Y-O-4 dan Hubungannya dengan Tipe Cincin Aromatic Penyusun Makromolekul Lignin. Laporan Hibah Fundamental LPPM-IPB. TAPPI. 1996. TAPPI Test Methods. Atlanta: TAPPI Press. Timell TE. 1986. Compression Wood in Gymnosperms Vol I, Bibliography, Historical, Background, Determination, Structure, Chemistry, Topochemistry, Physical Properties, Origin and Formation of Compression Wood. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Germany. Tsoumis G. 1991. Science and Technology of Wood Structure, Properties, Utilization. New York. Tsutsumi Y, Kondo R, Sakai K, Imamura H. 1995. The difference of reactivity between syringyl lignin and guaiacyl in alkaline system. Holzforschung 49: 423-428. Walker JCF. 1993. Primary Wood Processing; Principles and Practice. Chapman & Hill. London Yasuda S, Fukushima K, Kakehi A. 2001. Formation and chemical structures of acid soluble lignin I: sulfuric acid treatment time and acid soluble lignin content of hardwood. Journal of Wood Science 47:69-72. Zobel BJ, Sprague JR. 1998. Juvenile Wood In Forest Trees. Springer-Verlag Berlin Heidelberg New York.
Lampiran 1. Kadar Polisakarida Kayu
No Jenis kayu 1 Pinus
2
Kayu Manii
3
Sungkai
4
Sengon
5
Angsana
Bagian J1 (1) J1 (2) Rataan J2 (1) J2 (2) Rataan J1 (1) J1 (2) Rataan J2 (1) J2 (2) Rataan J1 (1) J1 (2) Rataan J2 (1) J2 (2) Rataan J1 (1) J1 (2) Rataan J2 (1) J2 (2) Rataan J1 (1) J1 (2) Rataan J2 (1) J2 (2) Rataan
% holo 70,35 71,3 70,825 72,2 71,85 72,025 77,6 70,05 73,825 78,45 71,3 74,875 70,8 71,65 71,225 71 74,05 72,525 76,4 71,85 74,125 77,4 73,95 75,675 76,25 69,4 72,825 77,85 71,2 74,525
% alpha 64,1 63,3 63,7 70,5 61,1 65,8 59,5 64.7 62,1 67,1 66,8 66,95 55,9 60,9 58,4 59,8 62,1 60,95 53,1 59,3 56,2 69 61,1 65,05 51,9 62,2 57,05 47,6 50,8 49,2
% Hemiselulosa 13,5 6,75 10,13 7,95 10,2 9,08 10,85 6,6 8,72 5,1 5,05 5,08 14,9 10,75 12,83 11,2 11,95 11,58 23,3 12,55 17,93 8,4 12,85 10,63 24,35 7,2 15,78 30,25 5 17,63
Keterangan : J1
: Jaringan kayu dekat empulur yang dibentuk saat umur kayu muda
J2
: Jaringan kayu yang jauh dari empulur, dibentuk saat umur kayu yang lebih dewasa
Lampiran 2. Nilai Lignin Kayu
No 1
2
3
4
5
Jenis Kayu Kayu Manii
Pinus
Sungkai
Sengon
Angsana
Bagian
%Lignin Klason
J2 J2 J2 J1 J1 J1 J2 J2 J1 J1 J2 J2 J2 J1 J1 J1 J2 J2 J2 J1 J1 J1 J2 J2 J2 J1 J1 J1
26.4 27.6 27 28 28.4 29.38 29.2 27.8 30 31.6 41.8 41.6 38 37.2 39.8 37 26.6 27.6 26 29.2 29.8 28 33.8 31.2 29.4 32.2 30.8 28.2
Rata lignin klason 27.00
28.59 28.50 30.80
40.47
38.00
26.73
29.00
31.47
30.40
% ASL 2.29 2.1 1.79 1.74 1.68 1.38 0.46 0.49 0.51 0.52 0.66 1.21 0.56 0.55 1.2 0.39 2.23 1.78 1.48 1.78 1.81 1.4 1.85 1.26 1.35 1.73 1.49 1.52
Total Rata-rata ASL Lignin 2.06
1.6 0.475 0.515
0.81
0.71
1.83
1.66
1.49
1.58
rata-rata total
28.69 29.7 28.79 29.74 30.08 30.76 29.66 28.29 30.51 32.12 42.46 42.81 38.56 37.75 41 37.39 28.83 29.38 27.48 30.98 31.61 29.4 35.65 32.46 30.75 33.93 32.29 29.72
Keterangan : J1
: Jaringan kayu dekat empulur yang dibentuk saat umur kayu muda
J2
: Jaringan kayu yang jauh dari empulur, dibentuk saat umur kayu yang lebih dewasa
29.06
30.19 28.98 31.32
41.28
38.71
28.56
30.66
32.95
31.98
Lampiran 3. Grafik Pengujian Lignin Terlarut Asam
Spectrofotograf
Lampiran 4. Hasil Pengujian Lignin Terlarut Asam No 1
Jenis Kayu Kayu Manii
2
Pinus
3
Sungkai
4
Sengon
5
Angsana
Bagian J2
Nilai Serapan (A) 1.257
J2 J2 J1 J1 J1 J2 J2 J1 J1 J2 J2 J2 J2 J1 J1 J1 J1 J2 J2 J2 J1 J1 J1 J2 J2 J2 J1 J1 J1
1.154 0.984 0.958 0.922 0.76 0.253 0.269 0.282 0.288 0.363 0.666 0.306 0.026 0.305 0.658 0.291 0.217 1.225 0.98 0.812 0.979 0.998 0.771 1.016 0.692 0.742 0.953 0.818 0.837
Lampiran 5. Hasil Pengujian Pyr-GC MS
Peak Report TIC Peak# R.Time 1 3.932 2 4.147 3 4.338 4 4.533 5 4.730 6 4.938 7 5.210 8 5.868 9 9.278 10 9.737 11 10.455 12 10.520 13 11.881 14 12.097 15 12.647 16 12.869 17 13.097 18 13.413 19 14.530 20 14.719 21 15.549 22 15.678 23 16.211 24 16.631 25 17.011 26 17.353 27 17.754 28 18.045 29 18.330 30 18.651 31 18.928 32 19.238 33 19.418 34 19.779 35 19.943 36 20.071
Area 54007474 40712430 16079980 45645362 32697148 15575019 21013179 194984911 6788360 43781488 14354950 36377440 9216278 3043300 5144551 3432671 3444205 2461218 8450115 25531761 2372167 16034745 4924958 62438190 10877684 7225842 15741549 11532701 4336339 41784464 27611593 6213661 7681333 4565346 6499203 10696689
Conc% 2.29 1.73 0.68 1.94 1.39 0.66 0.89 8.28 0.29 1.86 0.61 1.54 0.39 0.13 0.22 0.15 0.15 0.10 0.36 1.08 0.10 0.68 0.21 2.65 0.46 0.31 0.67 0.49 0.18 1.77 1.17 0.26 0.33 0.19 0.28 0.45
Name Carbon dioxide (CAS) Dry ice Ammonium bicarbonate ( pyrolysis ) 2-Butanone (CAS) Methyl ethyl ketone Hydrazine, methyl-, hydrochloride (CAS) Methylhydrazine 1-Propanol (CAS) Propanol Acetic acid (CAS) Ethylic acid 1-Penten-3-one (CAS) Ethyl vinyl ketone Acetic acid, methyl ester (CAS) Methyl acetate Acetic acid, anhydride (CAS) Acetic oxide Propanoic acid, 2-oxo-, methyl ester (CAS) Methylpyruvate 2-Furancarboxaldehyde (CAS) Furfural Acetic acid, anhydride (CAS) Acetic oxide 2-Propanone, 1-(acetyloxy)- (CAS) Acetol acetate Ethyleneglycol diacrylate Dihydropyran 1,2-CYCLOPENTANEDIONE Oxirane, (propoxymethyl)- (CAS) Glycidyl propyl ether 3,6(1H,2H)-Pyridazinedione, dihydroCyclohexane,1,1'-ethylidenebis-(CAS) 2,4-Imidazolidinedione,3-methyl- (CAS) 3Methylhydantoin 2-Cyclopenten-1-one, 2-hydroxy-3-methyl- (CAS) Corylon 2-Cyclopenten-1-one, 2-hydroxy-3-methyl- (CAS) Corylon 2-Heptanamine, 6-methyl-(CAS)2-Amino-6-methylheptane 4-ETHYLBUTAN-4-OLIDE Phenol, 4-methyl- (CAS) p-Cresol Phenol, 2-methoxy- (CAS) Guaiacol Pentanal (CAS) n-Pentanal 4H-Pyran-4-one, 3-hydroxy-2-methyl- (CAS) Maltol 2,4(3H,5H)-Furandione, 3-methyl- (CAS) .ALPHA..GAMMA. HEXALACTONE 2,4(3H,5H)-Furandione (CAS) Tetronic acid HYDROXY DIMETHYL FURANONE
37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90
20.315 20.488 20.663 20.939 21.077 21.163 21.378 21.770 22.131 22.513 22.766 23.305 23.401 23.542 23.963 24.229 24.399 24.514 24.719 24.829 25.033 25.473 25.807 26.043 26.298 26.654 26.750 27.261 27.609 28.124 28.347 28.788 29.019 29.372 29.669 29.847 30.001 30.499 30.795 31.643 34.447 36.233 36.763 37.853 39.305 40.196 40.728 41.526 41.918 42.618 43.825 44.381 51.046 56.105
15193319 3210554 137983352 7152325 5088167 10438027 49070561 14461737 70747282 13650581 135044424 16573218 23290445 10063544 13366657 57834231 3672975 6429150 10479930 67814726 48319841 35857083 76206575 232113825 36049722 20843615 34746580 11363456 105879831 22072245 5435125 72975191 10373367 7943380 4897842 4130145 4445476 3204335 3074199 12145484 3064960 3497796 3947355 3450235 4871152 4878583 42795740 5653772 2425978 4806528 19769075 2643862 3194133 2782223 2354702218
0.65 0.14 5.86 0.30 0.22 0.44 2.08 0.61 3.00 0.58 5.74 0.70 0.99 0.43 0.57 2.46 0.16 0.27 0.45 2.88 2.05 1.52 3.24 9.86 1.53 0.89 1.48 0.48 4.50 0.94 0.23 3.10 0.44 0.34 0.21 0.18 0.19 0.14 0.13 0.52 0.13 0.15 0.17 0.15 0.21 0.21 1.82 0.24 0.10 0.20 0.84 0.11 0.14 0.12 100.00
2(3H)-FURANONE, DIHYDRO-4-HYDROXY2-ETHYL-4-HYDROXY-5-METHYL-3(2H)FURANONE 2-Methoxy-4-methylphenol 3-METHYL-3-PYRAZOLIN-5-ONE 3-ETHYLPENTAN-2-ONE 2-Furancarboxaldehyde, 5-(hydroxymethyl)- (CAS) HMF NAPHTHO[2,1-B]FURAN-2(1H)-ONE, 3A,4,5,9 Phenol, 4-ethyl-2-methoxy- (CAS) p-Ethylguaiacol Glycine, N-(trifluoroacetyl)-, 1-methylpentyl ester (CAS) Phenol, 4-ethenyl-2-methoxyPhenol, 2,6-dimethoxy- (CAS) 2,6-Dimethoxyphenol Phenol, 2-methoxy-3-(2-propenyl)-(CAS) Phenol,3-allyl-2Phenol, 2-methoxy-4-propyl- (CAS) 5-PROPYL3-Heptanol (CAS) 3-Hydroxyheptane Benzaldehyde, 4-hydroxy-3-methoxy- (CAS) Vanillin 2H-Pyran-2-one, 4-hydroxy-6-(2-oxopropyl)- (CAS) 61,2,4-Trimethoxybenzene Phenol, 2-methoxy-3-(2-propenyl)- (CAS) Phenol, 3-allylPhenol, 2-methoxy-4-propyl- (CAS) 5-PROPYLEthanone, 1-(4-hydroxy-3-methoxyphenyl)- (CAS) Benzoic acid, 4-hydroxy-3-methoxy-, methyl ester (CAS) 1,6-ANHYDRO-BETA-D-GLUCOPYRANOSE D-XYLIT, 1,5-ANHYDRO-TRI-O-ACETYL2-Propanone, 1-(4-hydroxy-3-methoxyphenyl)- (CAS) 1-(4propano 3-methoxy-4-hydroxyphenone 1,6-ANHYDRO-BETA-D-GLUCOFURANOSE Phenol, 2,6-dimethoxy-4-(2-propenyl)- (CAS) 4-Allyl-2,6 3-(p-hydroxy-m-methoxyphenyl)-2-propenal 1-Butanone, 1-(2,4,6-trihydroxy-3-methylphenyl)- (CAS) NAPHTHALENE, 2,3-DIMETHOXYEthanone, 1-(4-hydroxy-3,5-dimethoxyphenyl)- (CAS) 1,3-INDANDIONE, 2-ISOBUTYLIDENETRANS-METHYL ISO-EUGENOL Benzenemethanol, 3,4-dimethoxy- (CAS) Veratryl alcohol Hexadecanoic acid (CAS) Palmitic acid 3-(3',5'-dimethoxy-4'-hydroxyphenyl)-E-2-propenal Methanone, (2-hydroxy-4-methoxyphenyl) 7,8-DIMETHOXY-3,3-DIMETHYL-1-METHYLENE (-)-Nortrachelogenin 3-(3'-Methoxy-4'-hydroxyphenyl)propyl trimethoxy silane 2,2'-BIPHENYLENE DICINNAMATE 4,4-dimethyl-1-phenyl-1-penten-3-one 4,4-dimethyl-1-phenyl-1-penten-3-one 4,4-dimethyl-1-phenyl-1-penten-3-one Ethanone, 1-(4-hydroxy-3-methoxyphenyl)- (CAS) 5-HEXENE, 1,1,2,2-TETRAFLUORO-4-IODO6H-Dibenzo[b,d]pyran-6-one, 7,9-dihydroxy-3-methoxy Pacharin dimethylether 2-(2,4-dimethoxyphenyl)-6-methoxybenzofuran 2H-3,13-Methanooxireno[9,10]azacycloundecino