i
HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANATOMI DAN KIMIA ENAM JENIS KAYU TERHADAP SIFAT AKUSTIK KAYU
MEITA WIDIYATI
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN Meita Widiyati. Hubungan Karakteristik Anatomi dan Kimia Enam Jenis Kayu terhadap Sifat Akustik Kayu. Skripsi. Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Di bawah bimbingan Dr. Lina Karlinasari, S.Hut, M.ScF dan Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc. Kayu memiliki sifat akustik yang dapat menyerap dan menyalurkan gelombang bunyi akibat adanya sumber bunyi. Jenis kayu spruce (Picea sp.), fir (Pseudotsuga sp), dan maple (Acer sp.) merupakan jenis kayu yang sangat dikenal memiliki sifat akustik yang baik khususnya untuk keperluan alat musik (Bucur 2006). Beberapa jenis kayu lokal yang diketahui juga dapat digunakan sebagai bahan baku alat musik khususnya gitar antara lain kayu mahoni (Swietenia mahagoni), pinus (Pinus merkusii), sonokeling (Dalbergia latifolia), dan meranti merah (Shorea pinanga) (Widiyati 2008). Sejauh ini penelitian mengenai hubungan karakteristik sifat dasar (anatomi dan kimia kayu) dengan sifat akustik kayu Indonesia (lokal) masih sangat terbatas. Penelitian yang sudah dilakukan hanya sebatas aplikasi penggunaannya sebagai bahan alat musik (Ardhianto 2002 dan Sejati 2008). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh karakteristik anatomi kayu dan komponen kimia kayu dari enam jenis kayu lokal terhadap sifat akustik kayu. Bahan yang digunakan adalah lempengan kayu afrika (Maesopsis eminii), Pinus merkusii, Pinus insularis, mangium (Acacia mangium), sonokeling (Dalbergia latifolia),dan mahoni (Swietenia mahagoni) setebal 5 cm dengan diameter ± 30 cm. Dari lempengan tersebut dibuat sediaan mikrotom berukuran 2 cm arah radial, 2 cm arah tangensial, dan 4 cm arah aksial untuk pengamatan mikroskopik dan ultrastruktur kayu. Selain itu, diperlukan contoh uji berukuran (2 x 2 x 2) cm sesuai standar ASTM D143 (2000) untuk pengukuran kerapatan kayu tiap-tiap bagian. Untuk pengujian komponen kimia kayu, bahan penelitian yang digunakan berupa serbuk yang lolos 40 mesh berdasarkan bagian kayu (gubal dan teras). Hasil penelitian menunjukkan jenis softwood (Pinus merkusii dan Pinus insularis) memiliki kecepatan gelombang bunyi yang lebih tinggi dibandingkan dengan hardwood karena jenis softwood memiliki struktur anatomi yang homogen, ukuran serat panjang, dinding sel tebal, sudut mikrofibril yang kecil, kadar selulosa tinggi, dan hemiselulosa rendah. Pada hardwood, jenis sonokeling memiliki kecepatan gelombang bunyi paling tinggi dibandingkan dengan jenis hardwood lainnya (mahoni, mangium, dan kayu afrika). Hal ini diduga karena sonokeling memiliki jumlah pembuluh paling jarang dan sudut mikrofibril yang paling kecil dibandingkan jenis hardwood lainnya. Nilai sound damping pada hardwood lebih tinggi dibandingkan softwood. Hal ini diduga karena hardwood memiliki struktur sel yang kompleks. Diantara jenis-jenis hardwood, kayu afrika dan mangium memiliki nilai sound damping yang tinggi dibandingkan dengan jenis hardwood lainnya. Hasil ini diduga karena kedua jenis tersebut memiliki diameter pembuluh/pori yang paling besar dibandingkan dengan jenis yang lain sehingga mampu menahan gelombang lebih lama, selain itu juga dikarenakan kedua jenis ini merupakan jenis cepat tumbuh. Kata kunci : sifat akustik, sifat anatomi, sifat kimia, kecepatan gelombang bunyi
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Karakteristik Anatomi dan Kimia Enam Jenis Kayu terhadap Sifat Akustik Kayu adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Mei 2009
Meita Widiyati NIM E24104063
HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANATOMI DAN KIMIA ENAM JENIS KAYU TERHADAP SIFAT AKUSTIK KAYU
MEITA WIDIYATI E 24104063
SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
LEMBAR PENGESAHAN
: Hubungan Karakteristik Anatomi dan Kimia Enam Jenis
Judul Skripsi
Kayu terhadap Sifat Akustik Kayu Nama Mahasiswa
: Meita Widiyati
NRP
: E24104063
Program Studi
: Teknologi Hasil Hutan
Sub Program Studi
: Pengolahan Hasil Hutan
Menyetujui, Komisi Pembimbing Ketua,
Anggota,
Dr. Lina Karlinasari, S. Hut, M.ScF NIP. 132 206 244
Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc NIP. 131 967 242
Mengetahui : Dekan Fakultas Kehutanan IPB
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP. 131 578 788
Tanggal Lulus :
i
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Serang, Jawa Barat pada tanggal 3 Mei 1986 sebagai anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Prijowidagdo dan Ibu Yetti Sri Nurhayati. Pendidikan sekolah dasar ditempuh di SDN Panaragan I Bogor, sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 7 Bogor dan sekolah lanjutan tingkat atas di SMU Negeri 4 Bogor. Pada tahun 2004, penulis masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan memilih Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif pada berbagai organisasi kemahasiswaan, yaitu Masyarakat Rumput sebagai Ketua Paduan Suara Fakultas Kehutanan IPB Periode 2006-2007, anggota divisi Olahraga Alam Bebas (OAB) Rimbawan Pecinta Alam (RIMPALA) Fahutan IPB, sekretaris Departemen Infokom Himpunan Profesi Mahasiswa Hasil Hutan (Himasiltan) IPB Periode 2006-2007, serta berbagai kepanitiaan kegiatan. Penulis mengikuti kegiatan praktek umum kehutanan (PUK) di Baturaden - Cilacap, Jawa Tengah dan Praktek Umum Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari (PUPHTL) di Getas Ngawi, Jawa Timur. Penulis juga telah melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Yamaha Music Manufacturing Indonesia (PT. YMMI) Jakarta Timur. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan kegiatan praktek khusus (skripsi) dalam bidang akustik kayu dengan judul “Hubungan Karakteristik Anatomi dan Kimia Enam Jenis Kayu terhadap Sifat Akustik Kayu” di bawah bimbingan Dr. Lina Karlinasari, S. Hut, M.Sc.F.Trop dan Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc.
KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta menyusun karya ilmiah yang berjudul “Hubungan Karakteristik Anatomi dan Kimia Enam Jenis Kayu terhadap Sifat Akustik Kayu”. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Dalam penulisan ini membahas tentang karakteristik anatomi dan kimia beberapa jenis kayu daun jarum (softwood) dan kayu daun lebar (hardwood), dan hubungannya dengan sifat akustik kayu. Kajian ini diharapkan dapat berkontribusi pada pemahaman karakter dasar kayu sebagai bahan baku. Hal ini dapat mendorong upaya-upaya pengembangan disertifikasi dan peningkatan efisiensi penggunaan kayu. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian karya tulis ini. Penulis juga menyadari karya ini masih jauh dari sempurna. Segala kritikan dan saran penulis terima dengan senang hati. Semoga karya ini dapat berguna bagi kita semua. Amien.
Bogor, Mei 2009
Meita Widiyati NIM E24104063
ii
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada : 1. Dr. Lina Karlinasari, S.Hut, MScF. Trop dan Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc yang dengan penuh kesabaran telah memberikan pengarahan, bimbingan dan motivasi tinggi kepada penulis. 2. Bapak Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MS dan Bapak Dr. Ir. Endes N Dahlan, MS selaku penguji yang telah meluangkan waktu untuk menguji dan nasehatnya kepada penulis. 3. Papah, Mamah, Mas Dandi, Mba Desi, Mas Ari, Teh Alien, Mba Dewi, Kak Marlon, Neng Risna, Dek Alrino, Dek Ananda dan seluruh keluarga yang telah memberikan kasih sayang, dorongan, semangat, dan pengorbanannya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. 4. Seluruh dosen dan staf pegawai Fakultas Kehutanan terutama bagian Rekayasa dan Desain Bangunan (Keteknikan Kayu), Kimia Hasil Hutan, Peningkatan Mutu (Kayu Solid), Biokomposit, dan Pemanenan Hasil Hutan yang telah memberikan motivasi dan ilmu yang tidak terkira banyaknya kepada penulis. 5. Seluruh staf pegawai KPAP Departemen Hasil Hutan yang telah memberikan bantuan dalam masalah administrasi dan motivasi kepada penulis. 6. Teman-teman satu bimbingan (Kak Eka, Hans dan Nyoman). 7. Teman-teman THH 41, THH 40, THH 42, THH 43, THH 44 serta Fahutan IPB. Semoga kita selalu KOMPAK dan ASIK. 8. Keluarga besar RIMPALA (Rimbawan Pecinta Alam) Fahutan IPB khususnya R-IX yang telah memberikan perhatian dan pengertian kepada penulis. 9. Teman-teman Passing Out (Afin, Yoga, Adi, Hendra, Dora, Melincah, Risde, Merry, Indah, Keli, dan Lilis) yang telah memberikan semangat disaat temanteman yang lain mulai pergi satu persatu meninggalkan kampus.
ii
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ......................................................................................................... i DAFTAR TABEL ................................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ v DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vi BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang...................................................................................... 1 1.2. Tujuan ................................................................................................... 2 1.3. Manfaat ................................................................................................. 2 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 3 2.1. Sifat Akustik ......................................................................................... 3 2.2. Sifat Anatomi........................................................................................ 5 2.2.1. Sifat Makroskopik......................................................................... 5 2.2.1.1. Lingkaran Tumbuh ................................................................ 5 2.2.1.2. Kayu Gubal dan Kayu Teras ................................................. 6 2.2.1.3. Tekstur .................................................................................. 6 2.2.2. Sifat Mikroskopik ......................................................................... 6 2.2.2.1. Sel Pembuluh (Pori) .............................................................. 6 2.2.2.2. Serat ...................................................................................... 9 2.2.2.3. Parenkim ............................................................................... 9 2.2.2.4. Jari-Jari .................................................................................. 9 2.2.3. Sifat Ultrastruktur Kayu................................................................ 10 2.3. Sifat Kimia............................................................................................ 10 2.4. Karakteristik Kayu yang Diteliti .......................................................... 13 2.4.1. Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.) ......................................... 13 2.4.2. Kayu Pinus merkusii Jungh. Et de Vriese..................................... 13 2.4.3. Kayu Pinus insularis Endlich ....................................................... 13 2.4.4. Kayu Mangium (Acacia mangium Willd) .................................... 14 2.4.5. Kayu Mahoni (Swietenia mahagoni Jacq.) ................................... 14 2.4.6. Kayu Sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.) .............................. 14
ii
BAB III. BAHAN DAN METODE ...................................................................... 16 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian............................................................... 16 3.2. Bahan dan Alat Penelitian .................................................................... 16 3.2.1. Bahan dan Alat Pengujian Sifat Anatomi Kayu ........................... 16 3.2.2. Bahan dan Alat Pengujian Sifat Kimia Kayu ............................... 17 3.3. Metode Penelitian ................................................................................. 17 3.3.1. Persiapan Bahan ............................................................................ 17 3.3.2. Pengujian Sifat Anatomi Kayu ..................................................... 18 3.3.2.1. Sifat Makroskopik ................................................................. 18 3.3.2.2. Sifat Mikroskopik ................................................................. 19 3.3.2.3. Sifat Ultrastruktur Kayu ........................................................ 21 3.3.3. Pengujian Sifat Kimia ................................................................... 21 3.3.3.1. Kadar Holoselulosa ............................................................... 21 3.3.3.2. Kadar Selulosa ...................................................................... 22 3.3.3.3. Kadar Hemiselulosa .............................................................. 22 3.3.3.4. Kadar Lignin ......................................................................... 23 3.3.3.5. Kelarutan Kayu dalam Air Dingin ........................................ 23 3.3.3.6. Kelarutan Kayu dalam Air Panas .......................................... 23 3.3.3.7. Kelarutan Kayu dalam Etanol-Benzene (1:2) ....................... 24 3.3.3.8. Kelarutan Kayu dalam NaOH 1% ......................................... 24 3.3.3.9. Kadar Abu ............................................................................. 25 3.4. Analisis Data ........................................................................................ 25 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 27 4.1. Karakteristik Anatomi .......................................................................... 27 4.1.1. Karakteristik Makroskopik Kayu.................................................. 27 4.1.1.1. Lingkaran Tumbuh ................................................................ 27 4.1.1.2. Kayu Teras dan Kayu Gubal ................................................. 28 4.1.1.3. Tekstur .................................................................................. 29 4.1.2. Karakteristik Mikroskopik Kayu .................................................. 29 4.1.2.1. Serat ...................................................................................... 29 4.1.2.2. Pembuluh/Pori ....................................................................... 30 4.1.2.3. Parenkim ............................................................................... 31
ii
4.1.2.4. Jari-Jari .................................................................................. 31 4.1.3. Karakteristik Ultrastruktur Kayu .................................................. 39 4.1.3.1. Sudut Mikrofibril dan Indeks Kristalinitas ........................... 39 4.2. Karakteristik Komponen Kimia Kayu .................................................. 40 4.2.1. Komponen Kimia Struktural Kayu ............................................... 40 4.2.1.1. Selulosa ................................................................................. 41 4.2.1.2. Hemiselulosa ......................................................................... 42 4.2.1.3. Holoselulosa .......................................................................... 43 4.2.1.4. Lignin .................................................................................... 44 4.2.2. Komponen Kimia Non-Struktural ................................................ 44 4.3. Hubungan Sifat Anatomi dan Kimia Kayu dengan Sifat Akustik Kayu .................................................................................................... 46 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 54 5.1. Kesimpulan ........................................................................................... 54 5.2. Saran ..................................................................................................... 55 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 56 LAMPIRAN ....................................................................................................... 59
ii
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1.
Kerapatan dan persentase kayu teras-kayu gubal ...................................... 28
2.
Dimensi serat kayu ...................................................................................... 30
3.
Sudut mikrofibril dan indeks kristalinitas ................................................... 39
4.
Komponen kimia struktural kayu ............................................................... 41
5.
Klasifikasi komponen kimia kayu Indonesia .............................................. 42
6.
Komponen kimia non-struktural kayu ........................................................ 45
7.
Sifat akustik kayu keenam jenis kayu ........................................................ 46
8.
Rangkuman model dan analisis regresi linier hubungan antara sifat akustik dengan sifat kimia kayu .................................................................. 53
ii
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1.
Skema pemotongan lempengan untuk pengambilan contoh uji ................ 17
2.
Contoh tiga dimensi untuk bahan pembuatan mikrotom ............................ 18
3.
Sel serabut/serat yang utuh ......................................................................... 20
4.
Penyusunan sayatan pada gelas obyek ....................................................... 21
5.
Kayu teras dan kayu gubal dalam suatu potongan melintang..................... 28
6.
Foto penampang kayu Pinus merkusii ........................................................ 33
7.
Foto penampang kayu Pinus insularis........................................................ 34
8.
Foto penampang kayu sonokeling (Dalbergia latifolia) ............................ 35
9.
Foto penampang kayu mahoni (Swietenia mahagoni) .............................. 36
10. Foto penampang kayu afrika (Maesopsis eminii) ....................................... 37 11. Foto penampang kayu mangium (Acacia mangium) .................................. 38 12. Keragaman kadar selulosa keenam jenis kayu ........................................... 42 13. Keragaman kadar hemiselulosa keenam jenis kayu ................................... 43 14. Keragaman kadar holoselulosa keenam jenis kayu .................................... 43 15. Keragaman kadar lignin keenam jenis kayu ............................................... 44 16. Hubungan kadar selulosa dengan sifat akustik ........................................... 49 17. Hubungan kadar lignin dengan sifat akustik .............................................. 49 18. Hubungan kadar hemiselulosa dengan sifat akustik ................................... 50 19. Hubungan kadar zat ekstraktif dengan sifat akustik ................................... 51
0
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1.
Pengukuran diameter pori, jumlah pori, dan jumlah jari-jari.................... 60
2.
Pengukuran dimensi serat kayu Pinus merkusii........................................ 62
3.
Pengukuran dimensi serat kayu Pinus insularis........................................ 63
4.
Pengukuran dimensi serat kayu sonokeling (Dalbergia latifolia) ............ 64
5.
Pengukuran dimensi serat kayu mahoni (Swietenia mahagoni) ……....... 65
6.
Pengukuran dimensi serat kayu afrika (Maesopsis eminii)....................... 66
7.
Pengukuran dimensi serat kayu mangium (Acacia mangium).................. 67
8.
Nilai sudut mikrofibril dan indeks kristalinitas…………………………. 68
9.
Nilai kerapatan dan kadar air kayu............................................................ 69
10. Nilai komponen kimia struktural kayu....................................................... 71 11. Nilai komponen kimia non-struktural kayu............................................... 73 12. Analisis keragaman komponen kimia struktural kayu............................... 76 13. Analisis keragaman komponen kimia non-struktural kayu....................... 77
1
BAB I PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Kayu merupakan material penting yang sangat luas dalam penggunaannya, antara lain sebagai bahan baku furniture, bahan bangunan baik struktural atau non-struktural, dan lain-lain. Selain itu, kayu juga biasa dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan alat musik seperti piano, gitar, dan biola. Kayu digunakan sebagai bahan utama dari alat musik karena kayu memiliki sifat akustik. Menurut Tsoumis (1991), kayu sebagai sumber bunyi dan memiliki kemampuan menyerap suara dengan baik yang diukur dengan koefisien penyerapan suara yang ditunjukkan oleh proporsi (persentase) suara yang diserap dalam bentuk gelombang bunyi. Bucur (2006) mengemukakan bahwa kayu spruce (Picea sp.), fir (Pseudotsuga sp.), dan maple (Acer sp.) adalah jenis kayu yang tercatat memiliki sifat akustik yang baik. Ketiga jenis kayu tersebut banyak diimpor untuk keperluan pembuatan alat musik. Sejauh ini penelitian mengenai sifat dasar akustik kayu Indonesia (lokal) masih sangat terbatas. Penelitian yang sudah dilakukan hanya sebatas aplikasi penggunaannya sebagai bahan alat musik (Ardhianto 2002 dan Sejati 2008). Beberapa jenis kayu lokal yang telah diketahui dapat digunakan sebagai bahan baku alat musik untuk gitar antara lain kayu mahoni (Swietenia mahagoni), pinus (Pinus merkusii), sonokeling (Dalbergia latifolia), dan meranti merah (Shorea pinanga) (Widiyati 2008). Jenis kayu afrika (Maesopsis eminii) dan mangium (Acacia mangium) merupakan jenis kayu cepat tumbuh (fast growing species) yang telah banyak dimanfaatkan sebagai jenis kayu pertukangan. Idealnya industri alat musik dalam memilih bahan kayu tidak hanya didasarkan pada kualitas akustiknya saja, tetapi juga memilih bahan yang ketersediaannya mencukupi. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui karakteristik sifat dasar kayu yaitu sifat anatomi dan kimia dari jenis kayu Indonesia dalam penggunaannya sebagai bahan akustik. Kayu - kayu tersebut adalah sonokeling (Dalbergia
2
latifolia Roxb.), mahoni (Swietenia mahagoni), kayu afrika (Maesopsis eminii), mangium (Acacia mangium), dan pinus (Pinus merkusii dan Pinus insularis). 1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh karakteristik anatomi kayu (makroskopik, mikroskopik, dan ultrastruktur) dan komponen kimia kayu (selulosa, hemiselulosa, lignin, zat ekstraktif, dan kadar abu) dari enam jenis kayu lokal terhadap sifat akustik kayu. 1.3. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang karakteristik anatomi dan komponen kimia kayu lokal yang baik dalam penggunaannya sebagai bahan akustik.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sifat Akustik Akustik menurut ilmu fisika didefinisikan sebagai penyalur, transmisi, dan penerima dari energi gelombang akibat getaran, gesekan, atau pukulan (Sejati 2008). Sementara itu menurut Tsoumis (1991), kayu dapat bertindak sebagai sumber suara. Akibat benturan langsung, bunyi yang dihasilkan oleh sumber lain dipancarkan melalui udara dan mempengaruhi kayu dalam bentuk gelombang bunyi. Nada suara baik rendah atau tinggi, tergantung pada frekuensi getaran, sedangkan frekuensi getaran dipengaruhi oleh dimensi, kerapatan, dan elastisitas (modulus elastisitas). Berdasarkan medianya, gelombang dibagi menjadi dua yaitu gelombang elektromagnetik dan gelombang mekanis. Gelombang elektromagnetik tidak memerlukan media atau zat antara dalam perambatannya sedangkan gelombang mekanis memerlukan media atau zat antara dalam perambatannya (Young 2003). Gelombang bunyi yang dihasilkan kayu merupakan gelombang mekanis. Berdasarkan frekuensi gelombangnya, bunyi dibagi ke dalam gelombang infrasonik (frekuensi kurang dari 20 Hz ), audiosound (frekuensi 20 Hz – 20 KHz) yang merupakan gelombang yang dapat didengar oleh manusia, dan supersonik atau ultrasonik dengan frekuensi lebih dari 20 KHz (Bucur 2006). Gelombang ultrasonik (ultrasonic waves) merupakan gelombang mekanik longitudinal dengan frekuensi di atas 20 kHz yaitu daerah batas pendengaran manusia. Gelombang ultrasonik dapat merambat dalam medium padat, cair dan gas. Hal ini disebabkan gelombang ultrasonik merupakan rambatan energi dan momentum mekanik. Rambatan energi ini berinteraksi tergantung pada molekul dan sifat inersia medium yang dilaluinya (Sitompul 2006). Oliveira et al. (2002) dan Bucur (2006) mengemukakan bahwa beberapa variabel yang mempengaruhi kecepatan gelombang dalam media kayu (variasi dalam satu jenis) diantaranya : 1. Kadar air yang tinggi cenderung memperlambat kecepatan rambatan gelombang
4
2. Arah serat; kecepatan gelombang lebih cepat pada arah longitudinal (searah serat), diikuti arah radial, dan yang terlama adalah pada arah tangensial. 3. Panjang serat; semakin panjang serat maka semakin cepat rambatan gelombang mengalir. 4. Dinding sel dengan porositas dan permeabilitas yang tinggi akan memperlambat kecepatan gelombang ultrasonik. 5. Daerah kristalin pada dinding sel lebih cepat mengalirkan gelombang ultrasonik dibandingkan dengan daerah amorph. Kecepatan gelombang semakin cepat pada dinding sel yang mengandung derajat polimerisasi (DP) yang tinggi hal ini karena semakin besarnya kontinuitas elastis dan kristalin bahan. Untuk itu kecepatan gelombang terbesar terjadi pada lapisan selulosa (DP 1000-1500) diikuti hemiselulosa (DP 5-200) dan paling lambat ketika melewati lapisan lignin (DP 5-60) (Oliveira et al. 2002) 6. Struktur lingkaran tumbuh; proporsi antara kayu awal (earlywood) dan kayu akhir (latewood). Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kecepatan gelombang pada kayu akhir lebih cepat dibandingkan pada kayu awal (Bucur 2006). Gelombang sonik merupakan sinyal suara musik, karena kisaran gelombang suara musik sama dengan kisaran gelombang sonik yaitu berkisar 20 Hz - 20 KHz. Suara yang ditransmisikan oleh kayu secara berangsur-angsur teredam yang menyebabkan hilangnya getaran suara. Kapasitas peredaman kayu (sound damping) bervariasi sesuai jenis, kadar air, arah getaran (longitudinal, transversal, torsional (puntiran), dan cara getaran (Tsoumis 1991). Menurut Bucur (2006), kayu yang memiliki kualitas akustik yang bagus dikenal dengan istilah resonance wood. Parameter akustik yang dapat digunakan untuk menilai kualitas alat musik dan peredam suara yaitu kecepatan gelombang suara (velocity), sound (acoustic) radiation, logarithmic decrement (sound damping atau loss coefficient (δ)), sound absorption, coefficient of attenuation, characteristic impedance, emmision ratio, dan loudness indeks. Bahan yang digunakan untuk keperluan alat musik harus memiliki nilai kecepatan gelombang yang tinggi, dengan nilai sound damping rendah. Apabila nilai kecepatan gelombang rendah dan nilai sound damping yang tinggi maka
5
bahan tersebut cocok digunakan sebagai peredam suara. Parameter-parameter tersebut dipengaruhi oleh sifat kayu itu sendiri yaitu sifat fisis dan mekanis, dimana komponen struktur kayu ikut mempengaruhinya (anatomi dan kimia). Syarat dari resonance wood antara lain memiliki kekakuan yang tinggi, kecepatan gelombang suara yang tinggi, kerapatan kayu yang tinggi, memiliki internal friksi yang rendah, serta memiliki tekstur dan struktur anatomi yang homogen. 2.2. Sifat Anatomi Sifat anatomi kayu dapat diamati melalui pengamatan makroskopik (sifat kasar kayu) dan pengamatan mikroskopik. Selain kedua sifat itu, terdapat sifat yang lebih detail yaitu sifat ultrastruktur kayu. 2.2.1. Sifat Makroskopik Sifat makroskopik kayu adalah sifat yang terlihat pada kayu tanpa harus menggunakan mikroskop atau bila perlu dibantu dengan lup (Tsoumis 1991). Yang termasuk sifat makroskopik adalah lingkaran tumbuh, penampang kayu teras-kayu gubal, dan tekstur kayu. 2.2.1.1. Lingkaran Tumbuh Lingkaran tumbuh adalah batas sel-sel yang dibentuk akibat perubahan musim, namun tidak mesti dalam satu tahun. Lingkaran tumbuh berbeda dengan lingkaran tahun dalam hal waktu pembentukannya. Pengelompokkan suatu jenis kayu berdasarkan lingkaran tumbuh atau lingkaran tahun dibagi dua, yaitu kayu berbatas lingkar tumbuh jelas dan kayu berbatas lingkar tidak jelas atau tidak ada. Kayu yang mempunyai batas lingkar tumbuh yang jelas, yaitu kayu yang mempunyai perubahan struktur yang mendadak pada batas antara kayu awal dan kayu akhir. Biasanya termasuk perubahan pada ketebalan dinding sel dan atau perubahan pada diameter radial seratnya. Kayu yang mempunyai batas lingkar tumbuh yang tidak jelas atau tidak ada, yaitu lingkar tumbuh yang samar yang ditandai oleh perubahan struktur yang terjadi secara berangsur pada zona tertentu, atau sama sekali tidak dapat dilihat jelas.
6
2.2.1.2. Kayu Teras dan Kayu Gubal Menurut Haygreen et al. (2003), pada pengamatan suatu potongan melintang batang sering menampakkan bagian tengah yang gelap yang dikelilingi bagian luar yang muda warnanya. Bagian tengah yang gelap disebut kayu teras, sedangkan bagian yang muda disebut kayu gubal. Dalam kayu gubal terdapat selsel yang hidup. Kayu teras secara fisiologis tidak berfungsi lagi tetapi berfungsi untuk menunjang pohon secara mekanis. 2.2.1.3. Tekstur Istilah tekstur kayu berkenaan dengan kualitas permukaan yang ditentukan oleh ukuran relatif sel-sel penyusun. Tekstur suatu jenis kayu dikatakan halus jika ukuran sel-selnya sangat kecil. Diameter sel serabut kurang dari 30 mikron dikatakan bertekstur halus, diameter antara 30-45 mikron bertekstur sedang sedangkan diameter lebih dari 45 mikron bertekstur kasar (Pandit dan Kurniawan 2008). 2.2.2. Sifat Mikroskopik Sifat mikroskopik adalah sifat-sifat objektif dari kayu yang baru jelas dilihat apabila mata kita dibantu dengan mikroskop. Sifat mikroskopik umumnya bersifat struktural, termasuk di dalammya adalah diameter, frekuensi, penyebaran, dan susunan sel penyusun kayu (Pandit dan Kurniawan 2008). Struktur hardwood ditandai oleh adanya pembuluh, jari-jari, serabut (serat), dan parenkim. Pembuluh, yang sangat bervariasi dalam ukuran, berfungsi sebagai jaringan penyalur. Trakeida dan serabut berfungsi sebagai jaringan penyedia tenaga mekanis. Serabut merupakan sel yang dominan dengan volume mencapai 60% dari volume kayu. Parenkim, baik longitudinal maupun jari-jari, dapat mencapai 20-30 % volume kayu. Fungsinya adalah sebagai jaringan penyimpanan makanan. Pada jenis kayu softwood strukturnya hanya ditandai dengan adanya trakeida, serabut, dan parenkim. 2.2.2.1. Sel Pembuluh (Pori) Menurut Tsoumis (1991), sel pembuluh atau pori hanya terdapat pada kayu daun lebar. Dalam batang, sejumlah sel pori tersusun secara bertingkat membentuk satu kesatuan ke arah longitudinal menyerupai pipa (saluran) yang
7
panjangnya bervariasi. Jaringan yang demikian lebih dikenal sebagai jaringan pembuluh. Wheeler et al. (1989) menyebutkan ciri-ciri pembuluh yang digunakan sebagai dasar identifkasi, antara lain : 1) Sebaran pori (porositas) Berdasarkan sebaran porinya, kayu dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu : a) Kayu berpori tata lingkar (ring porous) Kayu berpori tata lingkar adalah kayu dimana letak pori besar terpisah dari pori kecilnya dalam satu riap sehingga membentuk zona pemisahan yang jelas. Pada kayu yang demikian terdapat perubahan yang mendadak dari kayu awal ke kayu akhir. b) Kayu pori semi tata lingkar Berpori semi tata lingkar atau disebut juga berpori setengah tata lingkar apabila zonasi pemisahan antara pori besar dan pori kecil tidak begitu jelas. Kayu semi tata lingkar dapat terbentuk dari kepadatan porinya, misalnya pada kayu awal keberadaan pori lebih banyak atau lebih rapat (jumlah per satuan luasnya lebih banyak) dari pada keberadaan pori pada kayu akhirnya. Dengan kata lain, kayu yang termasuk semi tata lingkar yaitu kayu-kayu yang mempunyai susunan pori pertengahan antara kayu berpori tata lingkar dengan kayu berpori tersebar (diffuse). c) Kayu berpori tata baur (diffuse) Kayu berpori tata baur apabila pori besar dan pori kecil tersebar merata pada permukaan kayu atau tidak ada perbedaan lokasi pori besar dan pori kecil dalam satu riap tumbuh atau tidak ada perbedaan ukuran pori dalam satu lingkaran tahun. Kelompok ini hampir mencakup seluruh jenis kayu dari tropis dan juga kebanyakan kayu dari daerah sub tropis. 2) Pengelompokan pori a) Pori hampir seluruh soliter, yaitu pori secara keseluruhan terpisah satu dengan lainnya karena dikelilingi oleh jaringan lain, misalnya 90% atau lebih tidak berhubungan antar pori.
8
b) Kebanyakan berkelompok secara radial dari empat atau lebih, yaitu pori yang saling berdekatan bergabung empat atau lebih. c) Kebanyakan membentuk cluster, yaitu pori sering terlihat membentuk grup-grup dari tiga atau lebih dan terjadi kontak baik pada bidang radial maupun tangensial. 3) Diameter pembuluh Diameter pori diukur pada bidang lintang. Pembuluh yang diukur harus mewakili semua ukuran sel pembuluh yang ada. Diameter tangensial lumen pembuluh-pembuluh termasuk dinding selnya diukur pada bagian terlebar dari terowongan pembuluh. Nilai diameter pembuluh merupakan nilai dari rataan sebanyak minimal 25 serat. 4) Jumlah atau frekuensi pembuluh per mm² Jumlah pembuluh per satuan luas permukaan lintang dapat mempunyai nilai yang cukup besar di dalam identifikasi kayu. Setiap individu dihitung sebagai satuan individu. 5) Tilosis dan bahan endapan di dalam pori Tilosis dikatakan ada jika terdapat suatu bahan (gelembung, tonjolan) yang keluar dari dinding pori yang berasal dari sel parenkim jari-jari maupun parenkim aksial melalui ceruk, sehingga sebagian maupun keseluruhannya menyumbat lumen pori tersebut. Tilosis ini sering terdapat pada bagian kayu teras. Klasifikasi jumlah dan ukuran pori menurut Den Berger (1925) dalam Pandit dan Prihatini (2005) yaitu : 1) Jumlah pori a) Sangat jarang
: kurang dari 2 per mm²
b) Jarang
: 2-5 per mm²
c) Agak jarang
: 6-10 per mm²
d) Agak banyak
: 10-20 per mm²
e) Banyak
: 20-40 per mm²
f) Sangat banyak
: lebih dari 40 per mm²
2) Ukuran pori a) Luar biasa kecil
: kurang dari 20 µm
9
b) Sangat kecil
: 20 – 50
c) Kecil
: 50 – 100 µm
d) Agak kecil
: 100 – 200 µm
e) Agak besar
: 200 – 300 µm
f) Besar
: 300 – 400 µm
g) Sangat besar
: lebih dari 400 µm
µm
2.2.2.2. Serat Sel-sel penyusun kayu yang berbentuk panjang langsing dikenal dengan nama serat. Serat dikatakan berdinding sangat tebal jika lumen atau rongga selnya hampir seluruhnya terisi dengan lapisan-lapisan dinding. Dari ciri inilah dapat dipahami bahwa serat berfungsi sebagai penguat batang pohon (Mandang dan Pandit 1997). Trakeida kayu daun jarum umumnya memiliki panjang sekitar 3-5 mm dengan diameter trakeida sekitar 0,03 mm, sedangkan serat kayu daun lebar umumnya memiliki panjang sekitar panjang sekitar 1 mm dengan diameter serat 0,02 mm (Casey 1980). 2.2.2.3. Parenkim Parenkim merupakan jaringan yang berfungsi untuk menyimpan serta mengatur bahan makanan cadangan. Menurut penyusunnya, parenkim dibedakan menjadi 2 macam yaitu parenkim aksial yang tersusun vertikal dan parenkim jarijari yang tersusun secara horisontal. Menurut Pandit dan Kurniawan (2008), berdasarkan distribusinya pada penampang lintang kayu parenkim dibagi atas 2 bagian besar yaitu : 1) Parenkim apotrakeal Pada parenkim apotrakeal sel-sel atau kumpulan sel-sel parenkim berdiri terpisah dari pembuluh (pori) kayu. 2) Parenkim paratrakeal Pada parenkim paratrakeal sel-sel atau kumpulan sel-sel parenkim terletak bersinggungan dengan pembuluh secara sepihak atau seluruhnya. 2.2.2.4. Jari – Jari Sel jari – jari berfungsi sebagai jalan angkutan bagi cairan pohon dalam arah horisontal dari dan ke lapisan floem. Sel jari-jari diproduksi dari pembelahan sel
10
inisial jari-jari dalam kambium. Inisial jari-jari sendiri berasal dari pembelahan inisial jari-jari sendiri atau yang lain atau dari pembelahan yang tidak sama dari inisial bentuk kumparan (Haygreen et al. 2003). Klasifikasi sel jari-jari berdasarkan jumlahnya (Den Berger 1925 dalam Pandit dan Prihatini 2005) : 1) Sangat jarang, jika jumlah jari-jari kurang dari sama dengan 3 per mm 2) Jarang, jika jumlah jari-jari 4-5 per mm 3) Agak jarang, jika jumlah jari-jari 6-7 per mm 4) Agak banyak, jika jumlah jari-jari 8-10 per mm 5) Banyak, jika jumlah jari-jari 11-15 per mm 6) Sangat banyak, jika jumlah jari-jari lebih dari sama dengan 15 per mm 2.2.3. Sifat Ultrastruktur Kayu Sifat yang lebih detail dalam kayu berupa sifat ultrastruktur. Sifat ultrastruktur kayu dapat dilihat dalam bentuk sudut mikrofibril dan kondisi noktah kayu. Pada sifat ultrastruktur kayu yang terpenting adalah besar sudut mikrofibril lapisan S2 dimana hal ini dapat diukur dengan memakai mikroskop biasa. Mikrofibril lapisan S2 membentuk sudut yang kecil dan hampir sejajar dengan sumbu sel (Fengel dan Wegener 1995). Menurut Panshin dan de Zeeuw (1980), dinding S1 secara keseluruhan tebalnya sekitar 16 % dengan orientasi sudut mikrofibril (MFA) sekitar 50-70º terhadap sumbu panjang sel. Dinding S2 merupakan lapisan paling tebal, yaitu sekitar 74 % dengan orientasi sudut MFA sekitar 10-30º terhadap sumbu panjang sel, sedangkan dinding S3 lebih tipis dibanding S1 dan tebalnya sekitar 8 % dengan orientsi MFA sekitar 60-90º. Sanjaya (2001) mengemukakan bahwa indeks kristalinitas merupakan luasan daerah kristalit yaitu perbandingan antara luasan daerah kristalin dengan daerah amorf. Semakin kecil indeks kristalinitas pada kayu, maka semakin kecil pula selulosa dalam dinding sel yang terbentuk kristalit dan amorfnya lebih besar. 2. 3. Sifat Kimia Menurut Fengel dan Wegener (1995), kimia kayu dan komponenkomponennya tidak dapat dipisahkan dari strukturnya. Kayu tidak hanya
11
merupakan senyawa kimia, atau jaringan anatomi, atau bahan tetapi merupakan gabungan dari ketiganya. Kesemuanya ini merupakan hasil hubungan yang erat dari komponen-komponen kimia yang membentuk unsur-unsur ultrastruktur, yang kemudian bergabung menjadi suatu sistem yang berderajat tinggi yang membentuk dinding sel yang akhirnya membentuk jaringan kayu. Secara garis besar komponen kimia terbagi dua yaitu komponen makromolekul dan komponen minor dengan molekul rendah. Komponen makromolekul terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang terdapat pada semua kayu. Komponen minor dengan berat molekul rendah terdiri dari zat ekstraktif dan zat-zat mineral yang biasanya terdapat pada jenis kayu tertentu dalam jumlah yang berbeda. Karakteristik dasar dari setiap komponen kimia penyusun kayu tersebut mampu mempengaruhi sifat-sifat kayu secara keseluruhan. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan yang memadai tentang sifat-sifat kimia kayu agar pemanfaatan bahan baku kayu dapat dilakukan secara optimal sesuai dengan sifat-sifat dasarnya. Apabila dikaitkan dengan lama penyimpanan kayu, komponen selulosa adalah komponen kimia yang kadarnya paling stabil. Lignin memiliki sifat yang relatif stabil terhadap proses oksidasi. Selain itu komponen hemiselulosa merupakan komponen yang paling tidak stabil karena mudah terhidrolisis (Bucur 2006). Selulosa adalah homo-polisakarida yang tersusun atas unit-unit monomer ßD-glukopiranosa yang terikat satu sama lainnya dengan ikatan-ikatan glikosida. Molekul-molekul
selulosa
seluruhnya
berbentuk
linier
dan
mempunyai
kecenderungan kuat membentuk ikatan-ikatan hidrogen intra dan inter molekul. Berkas-berkas molekul selulosa membentuk agregat bersama-sama membentuk mikrofibril yang mengandung tempat-tempat yang sangat teratur (kristalin), diselingi dengan tempat-tempat yang kurang teratur (amorph). Mikrofibril membentuk fibril-fibril dan akhirnya serat-serat selulosa (Sjostrom 1991). Hemiselulosa berbeda dengan selulosa karena tersusun atas berbagai gula yang heterogen dan memiliki rantai molekul yang lebih pendek serta bercabang. Unit-unit gula yang membentuk hemiselulosa umumnya berasal dari kelompokkelompok pentosa, heksosa, asam heksuronat dan deoksiheksosa. Rantai utama
12
hemiselulosa dapat berupa homopolimer, misalnya xilan, atau heteropolimer, misalnya glukomanan. Beberapa unit gula seringkali menjadi gugus samping bagi rantai utama hemiselulosa, misalnya asam 4-O-metilglukoronat dan galaktosa. Fengel dan Wegener (1995) menyatakan bahwa gabungan antara kadar selulosa dan hemiselulosa dinyatakan sebagai kadar holoselulosa. Holoselulosa berpengaruh terhadap sifat keteguhan dan kekakuan serat, sehingga sulit didegradasi oleh fungi. Selain itu holoselulosa juga memiliki sifat afinitas yang besar terhadap air. Lignin adalah suatu polimer yang kompleks dengan berat molekul tinggi, tersusun atas unit-unit fenilpropana. Lignin terdapat diantara sel-sel dan diantara dinding sel. Lignin berfungsi sebagai perekat untuk mengikat sel-sel agar tetap bersama-sama. Keberadaan lignin dalam dinding sel sangat erat hubungannya dengan selulosa yang berfungsi untuk memberikan ketegaran pada sel dan juga berpengaruh dalam memperkecil dimensi sehubungan dengan perubahan kadar air kayu (Haygreen et al. 2003). Achmadi (1990) menyebutkan bahwa lignin dapat dibagi dalam kelompok menurut unsur strukturalnya, yaitu : 1. Lignin guaiasil : terdapat pada kayu daun jarum (23-32%), dengan prazat koniferil alkohol. 2. Lignin guaiasil-siringil : merupakan ciri kayu daun lebar (20-28%), pada kayu tropis > 30%), dengan prazat koniferil alkohol : sinapil alkohol, nisbah 4:1 sampai 1:2. Zat ekstraktif meliputi sejumlah besar senyawa organik yang berbeda dengan berat molekul yang kecil yang dapat diekstraksi dari kayu dengan menggunakan pelarut polar ataupun non polar. Fengel dan Wegener (1995) menggolongkan senyawa-senyawa yang terdapat dalam ekstraktif kayu menjadi kelompok-kelompok terpena dan terpenoid, lemak dan zat lilin, senyawa-senyawa fenolat serta senyawa-senyawa lainnya. Komponen anorganik kayu seluruhnya terdapat dalam abu setelah seluruh bahan organik kayu dibakar. Abu menunjukkan kadar bahan inorganik dalam kayu yang merupakan sisa setelah pembakaran bahan organik. Kadar bahan mineral kayu temperate berkisar 0,1 – 1,0% sedangkan kayu tropis dapat mencapai 5%. Komponen utama abu kayu adalah kalsium, kalium, dan
13
magnesium, dalam jumlah yang lebih sedikit Mn, Na dan P. Pada kayu tropis umumnya lebih banyak mengandung silika dibanding kayu temperate. 2. 4. Karakteristik Kayu yang Diteliti 2.4.1. Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.) Kayu afrika berasal dari famili Rhamnaceae dengan nama latin Maesopsis eminii Engl. Kayu afrika merupakan jenis pohon cepat tumbuh. Kayu afrika memiliki kekuatan sedang sampai kuat, dan cocok untuk kayu konstruksi, kotak, serta tiang. Jenis ini banyak ditanam untuk sumber kayu bakar. Daunnya digunakan untuk pakan ternak karena kadar bahan keringnya mencapai 35% dan dapat dicerna dengan baik oleh ternak. Pulp dari jenis ini sebanding dengan pulp sebagai jenis kayu keras umumnya. Pada pola agroforestry ditanam sebagai penaung coklat, kopi, kapulaga dan teh, juga ditanam untuk pengendali erosi. Walaupun merupakan koloni yang agresif di areal semak dan areal terganggu di hutan, jenis ini kurang dapat bersaing dengan alang-alang tinggi (Joker 2002). 2.4.2. Kayu Pinus merkusii Jungh. Et de Vriese Menurut Pandit dan Kurniawan (2008), kayu pinus termasuk famili Pinaceae. Kayu pinus memiliki tekstur agak kasar, tidak berpori, memiliki saluran damar aksial tetapi sangat jarang. Jari-jari dari kayu pinus ini sangat halus dan sempit terdiri dari satu seri, kadang-kadang ada yang fusiform jumlahnya sekitar 4-15 sel. Selain itu, kayu pinus memiliki BJ 0,55 (0,40-0,75), kelas awet IV dan kelas kuat III. Kayu pinus dapat digunakan sebagai bahan baku korek api, papan partikel, pulp dan kertas, vinir, perabot rumah tangga, pensil, kotak, kerangka pintu dan jendela, serta mainan anak. Menurut Widiyati (2008), kayu ini juga digunakan sebagai komponen kecil (small parts) pada bagian dalam badan gitar yang berfungsi sebagai akustik/peredam suara. 2.4.3. Kayu Pinus insularis Endlich Pinus insularis Endlich termasuk kedalam famili Pinaceae. Pinus insularis End banyak tersebar didaerah pegunungan pulau Luzon Filipina, pegunungan Zambades. Kayu pinus ini memiliki pohon yang ramping, lurus, tingginya hingga 60 m serta sedikit diatas tanah, besarnya 1 m. Pinus ini dapat hidup dengan baik pada ketinggian 1000 sampai 2700 m dpl. Pemanfaatan kayunya jarang sekali atau
14
tidak pernah dipakai untuk bangunan rumah (Mirov 1967). Pinus ini memiliki berat jenis 0,55 dan termasuk kelas kuat III, kelas awet III (Seng 1990) 2.4.4. Kayu Mangium (Acacia mangium Willd) Mandang dan Pandit (1997) menyatakan bahwa kayu mangium masuk ke famili Leguminosae. Kayu teras alami berwarna coklat pucat sampai coklat tua, kadang-kadang coklat zaitun sampai coklat kelabu, sedangkan kayu gubal berwarna kuning sampai kuning jerami. Coklat polos atau alur berwarna gelap dan terang bergantian pada bidang radial dengan tekstur halus sampai agak kasar dan merata. Kayu mangium memiliki BJ rata-rata 0,61 (0,43-0,66) dengan kelas awet III dan kelas kuat II-III. Kegunaan kayu mangium sebagai bahan konstruksi ringan sampai berat, rangka pintu dan jendela, perabot rumah tangga, lantai, papan dinding, tiang, gerobak dan rodanya, pemeras minyak, alat pertanian, kotak dan batang korek api, dan lain-lain (Pandit dan Kurniawan 2008). 2.4.5. Kayu Mahoni (Swietenia mahagoni Jacq.) Menurut Martawijaya et al. (1981), mahoni termasuk kedalam suku Meliaceae, meliputi dua jenis yaitu Swietenia macrophylla King (mahoni daun besar) dan Swietenia mahagoni Jacq. (mahoni daun kecil). Daerah penyebarannya yaitu seluruh jawa dengan tinggi pohon dapat mencapai 35 m dan diameter 125 cm. Kayu mahoni termasuk kedalam kelas kuat II – III, sedangkan untuk kelas awetnya mahoni termasuk kedalam kelas III. Kayu mahoni ini juga memiliki tekstur agak halus, susunan pori soliter dan bergabung 2-3 arah radial, diameter pori 100-200 µm, jumlah pori 30-65/mm², sedangkan jumlah jari-jari 5-10/mm dengan susunan multiseriat/heteroselular. Kegunaan kayu mahoni antara lain untuk perabot rumah tangga, kayu lapis, barang kerajinan, komponen alat musik, dan lain-lain. 2.4.6. Kayu Sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.) Sonokeling termasuk kedalam famili Papilionaceae dengan nama latin Dalbergia latifolia Roxb. Daerah penyebarannya yaitu seluruh jawa, tajuk berbentuk bulat dan berdaun jarang. Tinggi pohon mencapai 43 m dengan panjang batang bebas cabang 3 – 5 m. Diameternya mencapai 150 cm, dengan batang
15
umumnya tidak lurus (kebanyakan berlekuk) dan tidak berbanir. Kulit luar berwarna putih mengelupas kecil-kecil (Martawijaya et al. 1981). Sonokeling termasuk kedalam kelas kuat II dengan berat jenis 0,83 (0,77 – 0,86), untuk kelas awet termasuk kedalam kelas awet II. Susunan pori sonokeling yaitu terdiri dari sebagian besar pori soliter atau soliter dan bergabung 2 – 4 dalam arah radial, diameter pori 100-300 µm, frekuensi pori 2-6/mm², sedangkan jari-jari kayu sonokeling homogen, seluruhnya terdiri dari sel baring, frekuensi jari-jari 710/mm (Martawijaya et al. 1981). Menurut Widiyati (2008) pada perusahaan alat musik, kayu ini digunakan sebagai bahan finger gitar yang berfungsi sebagai tumpuan untuk menekan senar gitar.
16
BAB III BAHAN DAN METODE
3. 1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan mulai April 2008 – November 2008 yang dilaksanakan di Laboratorium Peningkatan Mutu dan Laboratorium Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Pengujian ultrastruktur kayu dilakukan di Laboratorium Pengujian Hasil Hutan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan (P3HH), Departemen Kehutanan RI di Gunung BatuBogor. 3.2. Bahan dan Alat Penelitian Bahan dan peralatan yang digunakan untuk pengujian sifat anatomi dan kimia kayu dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 3.2.1. Bahan dan Alat Pengujian Sifat Anatomi Kayu Bahan yang digunakan adalah lempengan kayu afrika (Maesopsis eminii), Pinus merkusii, Pinus insularis, mangium (Acacia mangium), sonokeling (Dalbergia latifolia), dan mahoni (Swietenia mahagoni) setebal 5 cm berdiameter ± 30 cm dengan jumlah 2 disk untuk tiap jenis kayu. Bahan tersebut digunakan untuk mengetahui sifat makroskopik, mikroskopik, dan ultrastruktur kayu. Bahan kimia yang digunakan untuk penentuan ciri anatomi kayu yaitu larutan CH3COOH dan H2O2 dengan perbandingan 1:20; alkohol konsentrasi 20%,30%,50%,70%,80%, 90% dan absolute; pewarna safranin 2 %; aquades; kertas saring; canada balsam; kertas lakmus biru; xylol ; gliserin; alkohol (1:1); dan celica gel. Alat yang digunakan adalah gergaji potong, pisau tajam, cutter, loupe/kaca pembesar dengan perbesaran 10x, ampelas, kertas kalkir, meteran, kertas milimeter blok, tabung reaksi, cawan petri, kuas, preparat, mikroskop untuk melihat dimensi serat, mikroskop foto dengan perbesaran 30x, camera digital, gelas objek, cover glass, waterbath, tabung film, X-Ray difraktometer, serta alat tulis.
17
3.2.2. Bahan dan Alat Pengujian Sifat Kimia Kayu Bahan yang dipergunakan untuk menganalisis sifat kimia kayu adalah serbuk kayu bagian gubal dan bagian teras yang lolos saringan 40 mesh/ 0,40 mm (TAPPI T 257 cm-85), dimana serbuk ini diambil dari tiap lempengan. Masingmasing pengujian dilakukan 2 kali pengulangan dari 10 lempengan dengan 2 bagian (kayu teras dan kayu gubal), sehingga total 40 sampel. Bahan kimia yang digunakan untuk menentukan komponen kimia kayu adalah NaClO2, CH3COOH, NaOH, HNO3, Na2SO3, asam sulfat, Etanol-Benzene, dan air destilata. Alat yang digunakan adalah Willey mill, saringan, waterbath/penangas air, gelas ukur, erlenmeyer, gelas piala, cawan porselen, pipet, pengaduk, oven, timbangan, soxhlet, alumunium foil, kertas saring, termometer, pH meter, desikator, corong dan alat tulis. 3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Persiapan Bahan Lempengan yang digunakan diambil dari bagian pangkal pohon yang berjarak ± 10 cm dari atas permukaan tanah dengan diameter ± 30 cm (Gambar 1).
} 5 cm 5 cm
(B)
10 cm
(A)
(C)
Keterangan : (A) Pohon, (B) Bahan untuk pengujian sifat makroskopik kayu berupa disk, (C) Pembuatan pola (tangensial, radial, dan melintang) pada lempengan berdasarkan bagian kayu gubal dan teras untuk pengujian sifat mikroskopik dan ultastruktur, sekaligus untuk pengujian komponen kimia kayu.
Gambar 1. Skema pemotongan lempengan untuk pengambilan contoh uji
18
Ukuran contoh uji untuk pengamatan sifat mikroskopik adalah 2 cm arah radial, 2 cm arah tangensial dan 4 cm arah aksial (Gambar 2). Potongan kayu tersebut diambil dari 2 bagian (gubal dan teras) di tiap lempengan dan juga dari tiga arah (tangensial, radial, dan melintang). Selanjutnya dari contoh kayu tersebut, dibagi atas ukuran (1,5 x 1,5 x 4) cm untuk slide maserasi dan slide mikrotom, dan ukuran (0,5 x 0,5 x 4) cm untuk ultrastruktur kayu (Pandit 2007). Jumlah slide maserasi untuk penentuan ukuran serat sebanyak 10 sampel, dan slide mikrotom untuk pengamatan struktur kayu sebanyak 10 buah untuk 3 bagian (tangensial, radial, dan melintang) sehingga total 30 slide. Jumlah mikrotom untuk pengujian ultrastruktur kayu (pengamatan sudut mikrofibril) sebanyak 6 sampel, dimana sampel diambil dari tiap jenis kayu pada penampang tangensialnya. Selain itu, diperlukan contoh uji berukuran (2 x 2 x 2) cm sesuai standar ASTM D143 (2000) untuk pengukuran kerapatan kayu tiap-tiap bagian. Bahan sisa dari lempengan tersebut diatas, dapat digunakan untuk bahan penentuan komponen kimia kayu. Bahan terlebih dahulu dibuat chip kemudian digiling dengan menggunakan Willey mill berdasarkan bagian kayu (gubal dan teras), lalu disaring untuk menghasilkan serbuk yang lolos 40 mesh. X
a b
R
a
T
4 cm
4 cm
b
2 cm 2 cm Keterangan : (a) Jari-jari, (b) Riap tumbuh, (X) Penampang lintang, (R) Penampang radial, (T) Penampang tangensial.
Gambar 2. Contoh tiga dimensi untuk bahan pembuatan mikrotom 3.3.2. Pengujian Sifat Anatomi Kayu 3.3.2.1. Sifat Makroskopik Untuk pengamatan sifat makroskopik, lempengan diampelas pada bagian permukaannya hingga penampakan pada penampang melintang terlihat jelas.
19
Sifat-sifat makroskopik yang diamati dengan menggunakan mata telanjang atau loupe adalah pola lingkaran tumbuh, persentase kayu gubal-teras dan tekstur kayu. Dari pengamatan tersebut, kemudian digambar/difoto. Untuk menghitung persentase kayu gubal-teras dilakukan berdasarkan metode Dot Grid. Metode ini melakukan pengukuran perhitungan luas secara langsung dengan menggunakan milimeter blok dan kertas kalkir. Kertas kalkir diletakkan diatas penampang melintang kayu hingga tampak kayu gubal dan terasnya, kemudian dilakukan penggambaran sketsa batas kayu teras dan gubal pada kertas kalkir. Perhitungan luas kayu teras dan gubal dilakukan dengan cara menempelkan kertas kalkir dengan milimeter blok. Menghitung luas kayu teras dan gubal dilakukan dengan menghitung tiap kotak didalam milimeter blok, adapun yang luasnya lebih dari setengah kotak dianggap memiliki luas 1 cm, dan bila luasnya kurang dari setengah kotak dianggap memiliki lus nol (Brillianty dan Franswesti 2001). Menurut Anggraini (2005) ada ketentuan dalam menghitung luas kayu teras dengan menjumlahkan daerah kayu teras yang telah tergambar pada kertas milimeter blok yaitu : a. Apabila luasnya lebih dari 0,75 cm² maka dihitung 1 cm² b. Apabila luasnya 0,3 – 0,7 cm² dihitung 0,5 cm² c. Apabila luasnya kurang dari 0,3 cm² maka tidak dihitung Sehingga, perhitungan dapat dilakukan dengan rumus : Kayu teras (%) =
luas kayu teras
x 100 %
luas kayu secara keseluruhan Keterangan : kayu gubal = 100% - % kayu teras 3.3.2.2. Sifat Mikroskopik Dari contoh lempengan kayu setebal 5 cm dibuat sediaan mikrotom berukuran 2 cm arah radial, 2 cm arah tangensial dan 4 cm arah aksial pada kedua bagian yaitu gubal dan teras. a) Pembuatan slide maserasi Pembuatan slide maserasi untuk pengukuran dimensi sel dibuat dengan metode Forest Product Laboratory (FPL), dimana mikrotom dibuat potonganpotongan kecil seperti batang korek api.
20
Menurut Pandit dan Prihatini (2005), dalam pembuatan slide maserasi dengan metode Forest Product Laboratory (FPL), sebelumnya beberapa potong kayu kecil dimasukkan dalam tabung reaksi tertutup yang berisi campuran asam asetat glasial dan H2O2 (perbandingan 1:20) dipanaskan dalam pemanas dengan suhu 60°C selama 48 jam. Contoh dipindahkan ke dalam kertas penyaring dan dicuci dengan aquades sampai bebas asam (dengan kertas lakmus biru). Serat yang telah bebas asam dipindahkan ke dalam petri dish atau biasa juga menggunakan tabung film, lalu diberi zat pewarna safranin 2% sebanyak 2-3 tetes untuk mempermudahkan pengukuran. Untuk tujuan pembuatan dokumentasi diperlukan perendaman selama 6 sampai 8 jam agar zat warna meresap ke dalam serat. Serat yang sudah diberi warna kemudian dicuci dengan aquades, lalu dehidrasikan dengan alkohol 10%, 20%, 30%, 50%, 70%, 80%, 90%, dan alkohol absolut masing-masing selama 2 menit. Setelah itu diberi xylol sebagai pengganti alkohol. Setelah selesai, secepat mungkin pindahkan sayatan ke object glass kemudian segera dibubuhi canada balsam dan langsung ditutup dengan cover glass, lalu keringkan.
Keterangan gambar : A. panjang serat B. diameter lumen C. tebal dinding sel D. diameter sel
Gambar 3. Sel serabut/serat yang utuh Dalam pengukuran serat, pengukuran panjang serat dilakukan dari ujung ke ujung yang runcing, sedangkan pengukuran diameter serat yang ujungnya terbuka dan tidak runcing dalam hal ini dianggap tidak utuh sehingga tidak layak untuk diamati. Pengukuran serat dilakukan sebanyak 25 serat pada bagian kayu gubal (kayu dewasa), sehingga banyaknya contoh serat yang diukur adalah 25 serat untuk 10 lempengan sehingga total 250 serat.
21
Sifat-sifat mikroskopik lainnya yang diamati yaitu pembuluh atau pori, jarijari, dan parenkim. Sifat ini dapat dilihat dengan mikroskop dengan cara pembuatan slide mikrotom. b) Pembuatan slide mikrotom Contoh kayu berukuran (1,5 x 1,5 x 4) cm dalam tiga bidang orientasi dilunakkan dengan gliserin, pembuatan sayatan tipis dilakukan setebal 15-20 mikron dengan bantuan alat sliding microtome, dehidrasi sayatan dilakukan dengan alkohol bertingkat terakhir dengan xylene, pewarnaan dilakukan dengan safranin 2%. Mounting dilakukan dengan canada balsam (Pandit 2007). X
Keterangan gambar :
R
X : Sayatan penampang lintang
T
R : Sayatan penampang radial T : Sayatan penampang tangensial
Label
Gambar 4. Penyusunan sayatan pada gelas obyek 3.3.2.3. Sifat Ultrastruktur Kayu Sifat ultrastruktur yang akan diamati yaitu besaran sudut mikrofibril dan indeks kristalinitas dengan menggunakan alat X-Ray difraktometer di Litbang Kehutanan Bogor. Pengujian ultrastruktur kayu dilakukan dengan menggunakan difraktometer sinar–X. Difraktograf sinar-X merekam luas daerah kristalin dan amorph dalam bentuk diagram. 3.3.3. Pengujian Sifat Kimia Kayu 3.3.3.1. Kadar Holoselulosa Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui zat yang tertinggal setelah kayu bebas dari zat ekstraktif dan telah didelignifikasi. Pengujian dilakukan dengan menggunakan metode Browning (1967). Serbuk kayu bebas zat ekstraktif sebanyak 1 gram dimasukkan kedalam erlenmeyer ukuran 500 ml, lalu ditambahkan 100 ml aquadest, 3 ml Hipoklorit dan 1 ml CH3COOH. Sampel dipanaskan dengan waterbath pada suhu 70-80 °C
22
selama 5 jam dimana pada setiap jam ditambahkan 3 ml Hipoklorit dan 0,2 ml CH3COOH. Setelah pemanasan selesai, sampel disaring dan dicuci dengan aquadest panas, lalu ditambahkan 50 ml etanol. Sampel holoselulosa dioven pada suhu 103 ± 2 °C lalu ditimbang sampai beratnya konstan. Kadar holoselulosa : % holoselulosa =
B 100% A
B = Berat holoselulosa (gram) A = Berat serbuk awal (gram) 3.3.3.2. Kadar Selulosa Penentuan kadar selulosa dilakukan dengan standar TAPPI T17 m-55. Serbuk bebas zat ekstraktif sebanyak 2,5 gram dimasukkan kedalam erlenmeyer 300ml, lalu tambahkan 250 ml aquadest panas dan dipanaskan dalam waterbath bersuhu 80 °C selama 4 jam. Setelah pemanasan, sampel disaring serbuk dengan menggunakan kertas saring yang telah diketahui beratnya. Sampel yang telah dikering udarakan ditambahkan HNO3 3,5 % sebanyak 125 ml. Setelah itu sampel dipanaskan diatas waterbath suhu 80 °C selama 12 jam lalu disaring sampai bening dan dikering udarakan. Sampel ditempatkan dalam erlenmeyer 300 ml dan ditambahkan larutan campuran NaOH : Na2SO3 (20 gram : 20 gram dalam 1 liter) sebanyak 125 ml dan dipanaskan diatas waterbath suhu 50 °C selama 2 jam. Selanjutnya sampel disaring dengan kertas saring hingga filtrat tidak berwarna, lalu tambahkan 50 ml NaClO2 10 % dan dicuci dengan aquadest panas hingga berwarna putih. Sampel lalu dibilas dengan CH3COOH 10 % sebanyak 100 ml, kemudian dicuci hingga bebas asam dengan aquadest panas. Sampel dioven suhu 103±2 °C lalu ditimbang sampai berat konstan % selulosa =
B 100% A
B : Berat selulosa (gram) A : Berat serbuk awal (gram) 3.3.3.3. Kadar Hemiselulosa Pengukuran kadar hemiselulosa yang terkandung dalam kayu diperoleh dengan cara mengurangi kadar holoselulosa dengan kadar selulosanya, yaitu:
23
% hemiselulosa = holoselulosa (%) – selulosa (%) 3.3.3.4. Pengujian Kadar Lignin Penentuan kadar lignin dilakukan dengan metode modifikasi lignin klason (Dence 1992). Serbuk bebas zat ekstraktif sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam gelas piala ukuran 50 ml, lalu ditambahkan 10 ml asam sulfat (H2SO4) 72 % secara perlahan sambil diaduk hingga serbuk terdispersi sempurna. Sampel disimpan pada suhu kamar selama 3 jam sambil diaduk sesekali. Kemudian sampel dipindahkan kedalam erlenmeyer 500 ml dan diencerkan hingga konsentrasi asam sulfat 3% yaitu dengan penambahan air hingga total volume 381 ml. Larutan dipanaskan dalam autoclave selama 30 menit pada suhu 121°C. Setelah itu sampel disaring lalu dioven dan ditimbang. % Lignin =
B 100% A
B = Berat Lignin (gram) A = Berat serbuk awal (gram) 3.3.3.5. Kelarutan Kayu dalam Air Dingin Pengujian dilakukan dengan menggunakan TAPPI T207 om-88 dengan tujuan untuk melarutkan zat-zat ekstraktif seperti gula, gum, atau zat warna. Serbuk kayu sebanyak 2 gram, diekstrak 300 ml aquadest dingin dalam erlenmeyer 500 ml, selama 48 jam pada suhu kamar. Setelah itu serbuk disaring melalui kertas saring dan dicuci dengan air dingin. Pengeringan dilakukan pada oven bersuhu 103 ± 2 °C sampai beratnya konstan dan ditimbang. Kadar zat ekstraksi larut dalam air dingin : % kelarutan =
BKT A BKT E 100% BKT A
BKT A = Berat kering serbuk awal (gram) BKT E = Berat kering serbuk setelah ekstraksi (gram) 3.3.3.6. Kelarutan Kayu dalam Air Panas Pengujian dilakukan dengan menggunakan TAPPI T207 om-88, dengan tujuan untuk melarutkan zat-zat ekstraktif seperti gula, gum, atau zat warna dalam kayu dan pati. Serbuk kayu sebanyak 2 gram diekstrak dengan 100 ml aquadest
24
panas yang dimasukkan dalam erlenmeyer 250 ml. Sampel dipanaskan diatas waterbath pada suhu 80°C selama 3 jam, dan diaduk sesekali. Setelah reaksi, sampel disaring dan dicuci dengan aquadest panas hingga larutan bening. Pengeringan dilakukan pada oven bersuhu 103 ± 2 °C sampai beratnya konstan dan ditimbang. % kelarutan =
BKT A BKT E 100% BKT A
BKT A = Berat kering serbuk awal (gram) BKT E = Berat kering serbuk setelah ekstraksi (gram) 3.3.3.7. Kelarutan Kayu dalam Etanol-Benzene (1:2) Pengujian ini berkaitan dengan kadar zat-zat seperti lemak, resin dan komponen-komponen lain yang tidak terlarut dalam eter. Pengujian dilakukan dengan menggunakan TAPPI T204 om-88. Serbuk kayu sebanyak 10 gram dimasukkan kedalam kertas saring yang dibuat seperti thimbel, yang telah diketahui beratnya. Thimbel dimasukkan kedalam soxhlet dan diekstraksi dengan 300 ml etanol-benzene (1:2) selama 6-8 jam. Setelah itu timbel dicuci dengan etanol, hingga larutan bening, dan dianginanginkan. Thimbel dioven pada suhu 103 ± 2 °C hingga beratnya konstan. Kadar zat ekstraksi larut dalam etanol benzene : % kelarutan =
BKT A BKT E 100% BKT A
BKT A = Berat kering serbuk awal (gram) BKT E = Berat kering serbuk setelah ekstraksi (gram) 3.3.3.8. Kelarutan Kayu dalam NaOH 1% Pengujian ini dimaksudkan untuk melarutkan zat-zat ekstraktif seperti tanin, gula, atau zat berwarna dalam kayu serta pati. Berdasarkan standar TAPPI T212 om-93, untuk mengukur kelarutan ini disediakan serbuk kayu sebanyak 2 gram yang diekstrak dengan 100 ml NaOH 1% pada suhu 100ºC selama 1 jam sambil diaduk pada setiap 5, 10, 15, dan 25 menit pertama. Selanjutnya sampel disaring, dicuci dengan aquades panas, hingga filtrat tidak berwarna. Sampel dibilas dengan 25 ml asam asetat (CH3COOH) 10% sebanyak 2 kali, dan dicuci dengan air panas
25
sampai bebas asam. Pengeringan dilakukan dengan oven bersuhu 103 ± 2 °C hingga beratnya konstan. Kadar zat ekstraktif larut dalam NaOH 1% : % kelarutan =
BKT A BKT E 100% BKT A
BKT A = Berat kering serbuk awal (gram) BKT E = Berat kering serbuk setelah ekstraksi (gram) 3.3.3.9. Kadar Abu Pengukuran kadar abu ini berdasarkan TAPPI T 211 om-93. Serbuk sebanyak 1 gram ditimbang (Bo) dalam cawan porselen yang sudah diketahui beratnya dan dioven pada suhu 103±2 °C sampai berat konstan. Kemudian sampel dimasukkan kedalam tanur bersuhu 600ºC selama 6 jam. Setelah itu keluarkan sampel dari tanur dan dinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Kadar abu : % mineral =
B 100% A
B = Berat Abu (gram) A = Berat serbuk awal (gram) 3.4. Analisis Data Data yang dikumpulkan diperoleh berdasarkan hasil observasi sifat kimia dan sifat anatomi. Untuk mengetahui jenis kayu dan pengaruh komponen kimia berdasarkan bagian kayu dilakukan perancangan percobaan rancangan acak lengkap dua faktorial menggunakan sistem SAS (Statistical Analysis System), dengan faktor A adalah variasi jenis kayu dan faktor B adalah variasi bagian kayu (gubal dan teras). Ulangan yang dilakukan adalah dua kali. Model umum rancangan percobaan yang digunakan adalah (Mattjik dan Sumertajaya 2002) : Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Keterangan : Yijk
= nilai pengamatan pada ulangan ke- k yang disebabkan oleh taraf ke- i faktor α dan taraf ke- j faktor β
26
i
=jenis kayu (Pinus insularis, Pinus merkusii, sonokeling, mahoni, mangium, afrika)
j
= bagian kayu (gubal dan teras)
k
= ulangan 1dan 2
µ
= nilai rata-rata sebenarnya
α
= jenis kayu (faktor 1)
β
= bagian kayu (faktor 2)
αi
= pengaruh jenis kayu pada taraf ke-i
βj
= pengaruh bagian kayu pada taraf ke-j
(αβ)ij = pengaruh interaksi antara faktor α (jenis kayu) pada taraf ke- i (Pinus insularis, Pinus merkusii, sonokeling, mahoni, mangium, afrika) dan faktor β (bagian kayu) pada taraf ke- j (gubal dan teras)
εijk
= galat (kesalahan percobaan) Selain itu untuk mengetahui hubungan sifat akustik dengan komponen kimia
kayu, dilakukan analisis data dengan menggunakan persamaan regresi linier sederhana. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2007. Persamaan regresi linier sederhana yang digunakan adalah (Mattjik dan Sumertajaya 2002) : Y = α + βx + ε Keterangan : Y = nilai dugaan berupa sifat akustik kayu yang berupa kecepatan gelombang ultrasonik dan sound damping α = konstanta regresi β = slope atau koefisien regresi x = nilai peubah bebas berupa komponen kimia kayu yang terdiri dari selulosa, lignin, hemiselulosa, dan zat ekstraktif ε = galat percobaan
27
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik Anatomi 4.1.1. Karakteristik Makroskopik Kayu 4.1.1.1. Lingkaran Tumbuh Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada sebagian jenis kayu yang diteliti, lingkaran tumbuhnya sangat jelas seperti ditunjukkan pada jenis Pinus merkusii dan Pinus insularis (softwood). Menurut Haygreen et al. (2003), kejelasan lingkaran tumbuh pada kayu dipengaruhi oleh perubahan struktur yang mendadak pada batas antara kayu awal dan kayu akhir akibat perubahan musim. Sebagai contoh pada Gambar 6.b dan 7.b untuk kayu Pinus merkusii dan Pinus insularis terlihat adanya berbedaan antara bagian kayu awal dan kayu akhir. Pada kayu awal memiliki ukuran sel yang lebih besar dibandingkan dengan kayu akhir sehingga tampak kayu akhir lebih rapat dibandingkan dengan kayu awal. Untuk keempat jenis lainnya yaitu sonokeling, mahoni, mangium, dan kayu afrika yang merupakan jenis hardwood terlihat adanya garis-garis lingkaran tumbuh namun tidak begitu jelas. Ketidakjelasan lingkaran tumbuh pada jenis hardwood ini disebabkan oleh bentuk sebaran porinya. Sonokeling memiliki sebaran pori baur. Menurut Haygreen et al. (2003), sebaran pori baur menunjukkan tidak adanya perbedaan atau sedikit perbedaan dalam ukuran dan jumlah pembuluh di seluruh lingkaran pertumbuhan secara kasat mata. Kayu mangium dan kayu afrika memiliki sebaran pori baur, tetapi lingkaran pertumbuhannya terlihat cukup jelas pada bagian kayu teras. Menurut Ginoga (1997) dalam Malik et al. (2005), kejelasan lingkaran tumbuh pada kayu mangium untuk bagian terasnya kemungkinan dikarenakan pertumbuhannya yang cepat. Untuk kayu mahoni memiliki lingkaran tumbuh yang cukup jelas dengan sebaran pori baur dan terkadang tata lingkar. Hal ini sesuai sejalan dengan Pandit dan Mandang (1997) yang menyatakan bahwa mahoni memiliki sebaran pori baur dan terkadang semi tata lingkar.
28
4.1.1.2. Kayu Teras dan Kayu Gubal Gambar 5 menunjukkan perbedaan antara kayu gubal dan kayu teras dari masing-masing jenis kayu. Kayu gubal dicirikan dengan warna kayu yang lebih terang dibandingkan dengan kayu teras.
Pinus merkusii
Pinus insularis
Mahoni
Sonokeling
Mangium
Kayu afrika
Gambar 5. Kayu teras dan kayu gubal dalam suatu potongan melintang Berdasarkan proporsi kayu gubal dan kayu teras, kayu Pinus merkusii, Pinus insularis, sonokeling dan mahoni memiliki proporsi kayu gubal yang lebih besar dibanding kayu terasnya (Tabel 1). Tabel 1. Kerapatan dan persentase kayu teras-kayu gubal ρ (gram/cm³) Persentase (%) Jenis kayu Kayu Teras Kayu Gubal Kayu Teras Kayu Gubal Softwood Pinus merkusii 0,56 0,54 15,79 84,21 Pinus insularis 0,58 0,57 36,05 63,95 Hardwood Dalbergia latifolia 0,70 0,69 41,25 58,76 Swietania mahagoni 0,61 0,61 22,66 77,34 Maesopsis eminii 0,48 0,45 62,16 37,84 Acacia mangium
0,54
0,53
79,83
20,17
29
Sementara itu, persentase kayu teras pada jenis mangium dan kayu afrika lebih besar dibandingkan dengan jenis lainnya. Hal itu dikarenakan kedua jenis ini termasuk jenis kayu cepat tumbuh, dimana pematangan kayunya lebih cepat dan pembentukan kayu terasnya pun semakin cepat pula. Kayu teras merupakan bagian kayu yang sebagian besar sel-selnya telah mati karena proses menebalnya dinding sel. Semakin tinggi persentase kayu teras dibandingkan dengan kayu gubal dapat mengindikasikan tingginya zat ekstraktif yang terdapat dalam kayu (Tabel 6). Dari Tabel 1 juga dapat diketahui meskipun rata-rata kerapatan kayu teras lebih tinggi dibandingkan dengan kayu gubal, tetapi nilainya tidak berbeda jauh antara keduanya. Pada umumnya bentuk sel-sel pada kayu gubal dan teras tidak mengalami perubahan kecuali pada kayu awal dan kayu akhir. Yang membedakan antara kayu gubal dan kayu teras hanyalah keberadaan zat-zat aromatik (ekstraktif) pada kayu teras saja (Fengel dan Wegener 1995). Zat ekstraktif merupakan zat-zat tertentu yang memiliki fungsi yang berbeda-beda, salah satunya adalah untuk mencegah serangan hama dan penyakit pada kayu sehingga kayu memiliki keawetan alami yang tinggi. Oleh karena itu, kayu teras menjadi salah satu faktor penentu kualitas kayu jika ditinjau dari kekuatan dan keawetan kayunya. Kayu teras dikenal memiliki sifat kayu yang lebih berat, lebih kuat, lebih indah gambarnya dan lebih tahan terhadap pembusukan bila dibandingkan dengan sifat kayu gubal (Hillis 1987). 4.1.1.3. Tekstur Kayu Pinus merkusii dan Pinus insularis (softwood) memiliki tekstur kasar karena memiliki nilai diameter serat lebih dari 45 μm yaitu masing-masing 48,74 μm dan 53,25 μm. Jenis sonokeling, mahoni, mangium, dan kayu afrika (hardwood) memiliki tekstur halus karena diameter serat kurang dari 30 μm dengan nilai masing-masing 19,17; 18,34; 19,43; dan 25,08 μm (Tabel 2). 4.1.2. Karakteristik Mikroskopik Kayu 4.1.2.1. Serat Serat berfungsi sebagai penyedia tenaga mekanik pada batang karena mempunyai dinding sel yang relatif tebal. Serat dikatakan berdinding sangat tebal
30
jika lumen atau rongga selnya hampir seluruhnya terisi dengan lapisan-lapisan dinding. Dari ciri inilah dapat dipahami bahwa serat berfungsi sebagai penguat batang pohon. Serabut kayu hardwood jauh lebih pendek daripada trakeida kayu softwood (Haygreen et al. 2003). Tabel 2. Dimensi serat kayu Panjang serat (μm)
Diameter serat (μm)
Diameter lumen (μm)
Tebal dinding (μm)
Softwood Pinus merkusii Pinus insularis Rata-Rata Softwood
5155 5469 5312
48,74 53,25 51,00
32,80 37,37 35,09
7,97 7,94 7,96
Hardwood Dalbergia latifolia Swietenia mahagoni Maesopsis eminii Acacia mangium Rata-Rata Hardwood
1043 1047 1209 1122 1105,25
19,17 18,34 25,08 19,43 20,51
11,97 12,54 18,00 13,37 13,97
3,60 2,90 3,54 3,03 3,27
Jenis kayu
Dalam Tabel 2 jenis softwood memiliki panjang serat yang lebih panjang (lebih dari 5000 μm) dibandingkan dengan jenis hardwood (1000 μm). Ukuran ini juga berlaku untuk diameter serat yaitu diameter lumen dan tebal dinding serat, dimana jenis softwood memiliki nilai lebih tinggi (lebih dari 40 μm) dibandingkan jenis hardwood (20 μm). Jenis kayu spruce (Picea sp.) dan maple (Acer spp.) merupakan jenis yang memiliki sifat akustik yang baik dimana kayu spruce memiliki panjang serat berkisar 2900-3000 μm dengan diameter serat 20-40 μm. Kayu maple memiliki panjang serat sekitar 1000 μm dan diameter serat sekitar 30 μm. (Bucur 2006; Tsoumis 1991). Perbedaan ukuran sel serat dipengaruhi oleh umur pohon maupun jenis kayu itu sendiri. 4.1.2.2. Pembuluh (Pori) Jenis Pinus merkusii dan Pinus insularis (softwood) tidak memiliki pembuluh. Jenis sonokeling, mangium, dan kayu afrika mempunyai sebaran pori baur sedangkan mahoni memiliki sebaran pori baur dan sebaran pori tata lingkar. Dari penampang melintang (Gambar 6.b-11.b) dapat dihitung diameter tangensial
31
rata-rata dan frekuensi pembuluh tiap jenis yaitu sonokeling 120,5 µm dan frekuensi 2-6 per mm²; mahoni 99,63 µm dengan frekuensi 3-8 per mm²; akasia 127,75 µm dengan frekuensi 2-8 per mm²; dan kayu afrika 137,75 µm dengan frekuensi 2-7 per mm². Berdasarkan klasifikasi Den Berger (1925) dalam Pandit dan Prihatini (2005), semua jenis kayu hardwood yang diteliti memiliki frekuensi pori jarang sampai agak jarang. Umumnya semua jenis kayu hardwood memiliki ukuran pori agak kecil, kecuali mahoni yang memiliki ukuran kecil. Kelompok pori pada sonokeling, mahoni dan mangium adalah soliter dan berganda radial 2-3 pori, sedangkan kayu afrika berpori soliter dan berganda radial. Pada Bucur (2006), kayu spruce tergolong jenis softwood yang tidak memiliki pembuluh dan kayu maple (hardwood) memiliki pembuluh dimana termasuk kedalam kelompok soliter, berdiameter 25-150 µm, dan berjumlah 3050 pori per mm². 4.1.2.3. Parenkim Menurut penyusunnya, parenkim dibedakan menjadi 2 macam yaitu parenkim aksial yang tersusun vertikal dan parenkim jari-jari yang tersusun secara horisontal.Dari arah melintang, jenis Pinus merkusii dan Pinus insularis (softwood) terlihat memiliki sel parenkim aksial yang berbentuk kotak/persegi empat dan juga sel parenkim jari-jari yang nampak seperti garis-garis tipis yang mengarah ke empulur (Gambar 6.a dan 7.a). Parenkim aksial sonokeling (Gambar 8.a) bertipe paratrakea selubung bentuk sayap dan pita konfluen, mahoni (Gambar 9.a) umumnya bertipe paratrakea bentuk selubung dan ada yang membentuk pitapita konsentris; kayu afrika (Gambar 10.a) bertipe paratrakea bentuk sayap dan konfluen; sedangkan mangium (Gambar 11.a) bertipe paratrakea bentuk selubung di sekeliling pembuluh, kadang-kadang cenderung bentuk sayap pada pembuluh yang kecil. 4.1.2.4. Jari-Jari Jika dilihat pada penampang melintang, jenis Pinus merkusii memiliki ketebalan jari-jari 18 µm, Pinus insularis 17 µm, sonokeling 18,25 µm, mahoni 31,5 µm, mangium 15,63 µm dan kayu afrika 25,75 µm. Frekuensi jari-jari untuk jenis Pinus merkusii 2-5, Pinus insularis 3-6; sonokeling 10-15, mahoni 5-9,
32
mangium 5-9 dan kayu afrika 3-7. Berdasarkan klasifikasi kayu dari jumlah jarijarinya (Den Berger 1925 dalam Pandit dan Prihatini 2005) jenis softwood memiliki jari-jari yang jarang. Sedangkan untuk jenis hardwood sangat beragam jumlahnya, mulai dari jarang sampai banyak. Dilihat dari penampang radial (Gambar 6.d-11d) susunan jari-jari jenis softwood homogen yaitu uniseriat, sedangkan jenis hardwood multiseriat. Sonokeling, mahoni dan kayu afrika memiliki susunan jari-jari fusiform, sedangkan mangium susunannya uniseriat. Sementara itu kayu spruce memiliki dua susunan jari-jari yaitu uniseriat dan fusiform, dengan jumlah jari-jari 80-100 per cm, sedangkan kayu maple memiliki ciri jari-jari homoselular yang terdiri dari 1-20 seriat (Bucur 2006). Jari-jari berpengaruh pada sifat-sifat kayu. Jari-jari dapat menghambat perubahan dimensi pada arah radial, dan pengaruh ini didukung kenyataan bahwa pada pengeringan, penyusutan kayu pada arah radial lebih kecil daripada penyusutan kayu pada arah tangensial. Jari-jari juga berpengaruh pada kekuatan kayu karena jari-jari membentuk bidang-bidang radial yang lemah (Haygreen et al. 2003).
33
6.a
6.b
6.c
6.d
Keterangan : a) Penampang lintang (30x), b) Penampang lintang (96x), c) Penampang radial (300x), dan d) Penampang tangensial (300x)
Gambar 6. Penampang kayu Pinus merkusii
34
7.a
7.b
7.c
7.d
Keterangan : a) Penampang lintang (30x), b) Penampang lintang (96x), c) Penampang radial (96x), dan d) Penampang tangensial (300x)
Gambar 7. Penampang kayu Pinus insularis
35
8.a
8.c
8.b
8.d
Keterangan : a) Penampang lintang (30x), b) Penampang lintang (96x), c) Penampang radial (300x), dan d) Penampang tangensial (300x)
Gambar 8. Penampang kayu sonokeling (Dalbergia latifolia)
36
9.a
9.b
9.c
9.d
Keterangan : a) Penampang lintang (30x), b) Penampang lintang (96x), c) Penampang radial (300x), dan d) Penampang tangensial (96x)
Gambar 9. Penampang kayu mahoni (Swietenia mahagoni)
37
10.a
10.b
10.c
10.d
Keterangan : a) Penampang lintang (30x), b) Penampang lintang (96x), c) Penampang radial (96x), dan d) Penampang tangensial (300x)
Gambar 10. Penampang kayu afrika (Maesopsis eminii)
38
11.a
11.b
11.c
11.d
Keterangan : a) Penampang lintang (30x), b) Penampang lintang (96x), c) Penampang radial (300x), dan d) Penampang tangensial (96x)
Gambar 11. Penampang kayu mangium (Acacia mangium)
39
4.1.3. Karakteristik Ultrastruktur 4.1.3.1. Sudut Mikrrofibril dan Indeks Kristalinitas Mikrofibril merupakan berkas-berkas selulosa yang dikelilingi senyawasenyawa lain yang berfungsi sebagai matriks (hemiselulosa) dengan berat molekul rendah untuk membentuk unit yang lebih besar dan bahan-bahan yang melapisi (lignin). Molekul-molekul selulosa yang membentuk bagian teratur sempurna disebut kristalit, sedangkan yang tanpa batas khusus berubah menjadi bagian yang tak teratur disebut amorph (Sjostrom 1995). Tabel 3. Sudut mikrofibril dan indeks kristalinitas Sudut Mikrofibril (º)
Indeks Kristalinitas (%)
Softwood Pinus merkusii Pinus insularis Rata-Rata Softwood
22,28 18,6 20,44
36,33 33,16 34,75
Hardwood Dalbergia latifolia Swietania mahagoni Maesopsis eminii Acacia mangium Rata-Rata Hardwood
16,5 18,15 30,0 21,9 21,64
41,29 38,33 42,00 35,26 39,22
Jenis kayu
Kayu Pinus merkusii memiliki sudut mikrofibril 22,28º sedangkan Pinus insularis 18,6º. Pada jenis-jenis hardwood, sudut mikrofibril paling besar terdapat pada kayu afrika yaitu 30º dan sonokeling memiliki sudut paling kecil yaitu 16,5º (Tabel 3). Kayu afrika memiliki sudut mikrofibril terbesar dikarenakan kayu contoh penelitian merupakan kayu reaksi. Kayu reaksi adalah salah satu bentuk abnormalitas pada batang yang miring, melengkung atau bengkok. Kayu reaksi timbul sebagai reaksi dari batang pohon yang tumbuhnya miring atau melengkung untuk kembali ke posisi normalnya yaitu berdiri tegak vertikal. Kayu reaksi yang terjadi pada kayu daun lebar disebut kayu tarik (tension-wood) (Tsoumis 1991). Sementara itu Tim Jurusan Teknologi Hasil Hutan (1990) menyebutkan bahwa jenis kayu afrika ini termasuk yang memiliki gejala serat terpadu. Semakin kecil sudut mikrofibril pada kayu, maka arah serat semakin sejajar terhadap sumbu panjang sel. Perbedaan besaran sudut mikrofibril dipengaruhi oleh umur pohon,
40
lebar riap, dan posisi riap (Deresse et al. 2003). Menurut Fengel dan Wegener (1995), ukuran sel ikut mempengaruhi besaran sudut mikrofibril. Pada ukuran selsel pendek dan lebar mempunyai sudut yang lebih besar. Indeks kristalinitas merupakan luasan daerah kristalit yaitu perbandingan antara luasan daerah kristalit dengan daerah amorph (Sanjaya 2001). Semakin kecil indeks kristalinitas pada kayu, maka semakin kecil pula kadar selulosa dalam dinding sel yang membentuk daerah kristalit sehingga daerah amorphnya lebih
besar.
Bertambahnya
daerah
amorph
memungkinkan
terjadinya
pengembangan volume kayu. Dari keenam jenis kayu yang diteliti, indeks kristalinitas tertinggi terdapat pada kayu afrika yaitu 42 % dan terkecil pada Pinus insularis yaitu 35,26% (Tabel 3). Diungkap dalam Bucur (2006) nilai indeks kristalinitas kayu spruce beragam berdasarkan umurnya, nilai tertinggi terdapat pada umur 4 dan 100 tahun yaitu 46,5 %. Kayu maple memiliki indeks kristalinitas sebesar 33,4 % pada umur 4 tahun. Panjang atau besaran kristalit tergantung pada sudut fibril dan jarak dari hati kayu. Panjang atau besaran kristalit semakin kecil dengan kenaikan sudut dan penurunan jarak radial (El-Osta 1974 dalam Fengel dan Wegener 1995). 4.2. Karakteristik Komponen Kimia Kayu 4.2.1. Komponen Kimia Struktural Kayu Berdasarkan Tabel 4 diketahui nilai rata-rata selulosa dan lignin pada jenis softwood lebih tinggi dibandingkan dengan hardwood. Jenis softwood memiliki nilai rata-rata selulosa 53,71 % dan hardwood 50,23 %, sedangkan untuk nilai rata-rata
lignin softwood 26,87 % dan hardwood 25,14 %. Sementara itu,
komponen hemiselulosa dan holoselulosa jenis softwood nilai rata-ratanya lebih kecil dibandingkan dengan jenis hardwood. Hasil analisis keragaman (pada taraf nyata 5%) untuk kadar selulosa, hemiselulosa, dan holoselulosa berdasarkan bagian kayu (gubal dan teras) menunjukkan bahwa jenis kayu berpengaruh sangat nyata terhadap kadar selulosa, holoselulosa, dan hemiselulosa, sedangkan untuk bagian kayu dan interaksi antara jenis dengan bagian kayu tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap ketiga komponen tersebut. Sementara itu untuk jenis kayu, bagian kayu (gubal-teras),
41
dan interaksi antara jenis kayu dengan bagian kayu tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap komponen lignin (Lampiran 12). Tabel 4. Komponen kimia struktural kayu Jenis Kayu
Selulosa KG
KT
Hemiselulosa KG
Holoselulosa
KT
KG
21,72
77,35
KT
Lignin KG
KT
Softwood Pinus merkusii
52,98
Rata-Rata Jenis Pinus insularis
55,22
24,37
54,14
22,68
54,10 52,48
23,05 19,74
76,94
77,15 75,16
77,35
27,05
27,26
27,16 26,50
26,66
Rata-Rata Jenis
53,31
21,21
74,52
26,58
Rata-Rata Softwood
53,71
22,13
75,84
26,87
Dalbergia latifolia
52,26
Rata-Rata Jenis Swietania mahagoni
52,56 47,97
Rata-Rata Jenis Maesopsis eminii
23,02 46,55
27,46
47,26 49,18
Rata-Rata Jenis Acacia mangium
Hardwood 52,85 23,01 23,03
27,37 50,62
32,55
49,90 51,08
27,28
30,38 31,46
51,31
27,45
32,13
75,27
75,88
75,58 75,43
73,83
74,63 81,73
81,00
81,36 78,53
83,44
25,32
25,89
25,61 25,98
25,65
25,82 25,65
22,82
24,24 24,11
25,67
Rata-Rata Jenis
51,20
29,79
80,99
24,89
Rata-Rata Hardwood
50,23
27,91
78,14
25,14
Secara umum, kayu gubal mengandung lebih banyak lignin dan selulosa dibandingkan dengan kayu teras (Fengel dan Wegener 1995). Jenis kayu mahoni memiliki kadar selulosa dan lignin terbesar pada bagian kayu gubalnya sedangkan jenis kayu afrika memiliki kadar lignin terbesar pada bagian kayu gubalnya. Untuk jenis lainnya memiliki kadar selulosa dan lignin terbesar pada bagian kayu teras dibandingkan dengan kayu gubalnya. Pada keenam jenis kayu, kadar hemiselulosa umumnya memiliki nilai lebih tinggi di bagian kayu gubalnya kecuali mangium. Perbedaan kadar komponen kimia ini kemungkinan disebabkan karena proses hidrolisis yang kurang sempurna. 4.2.1.1. Selulosa Gambar 12 menunjukkan perbedaan nilai selulosa jenis kayu yang teliti. Jenis Pinus merkusii dan Pinus insularis (softwood) memiliki kadar selulosa terbesar dengan nilai rata-rata masing-masing jenis yaitu 54,10% dan 53,31%. Selanjutnya nilai kadar selulosa pada sonokeling (52,56 %), mangium (51,20 %), kayu afrika (49,90 %), dan mahoni (47,26 %).
42
Gambar 12 . Keragaman kadar selulosa keenam jenis kayu Selulosa merupakan komponen kayu yang terbesar, yang dalam kayu daun jarum dan kayu daun lebar jumlahnya mencapai hampir setengahnya (Sjostrom 1995). Sementara itu, kayu yang berumur dianggap telah memiliki struktur yang baik berkaitan dengan kristalisasi rantai selulosanya atau telah tercapai kondisi optimum dari kristalinitinya. Apabila dilihat dari klasifikasi komponen kimia kayu Indonesia (Tabel 5), maka keenam jenis kayu yang diteliti termasuk kedalam kelas yang mengandung selulosa tinggi, karena kadar untuk jenis softwood (Pinus merkusii dan Pinus insularis) lebih dari 44 % dan jenis hardwood (sonokeling, mahoni, mangium, dan kayu afrika) memiliki kadar lebih dari 45 %. Tabel 5. Klasifikasi komponen kimia kayu Indonesia Komponen Kimia 1. Kayu Daun Lebar (Hardwood) Selulosa Lignin Pentosan Zat Ekstraktif Abu 2. Kayu Daun Jarum (Softwood) Selulosa Lignin Pentosan Zat ekstraktif Abu
Kelas Tinggi
Kelas Sedang
Kelas Rendah
45 33 24 4 6
40-45 18-33 21-24 2-4 0,2-6
40 18 21 2 0,2
44 32 13 7 > 0,89
41-44 28-32 8−13 5−7 0,89
41 28 8 5 < 0,89
Sumber : Dir. Jend. Kehutanan (1976) 4.2.1.2. Hemiselulosa Nilai rata-rata kadar hemiselulosa pada kayu hardwood umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan kayu softwood (Gambar 13). Menurut Fengel dan
43
Wegener (1995), perbandingan dan komposisi kimia hemiselulosa berbeda pada kayu lunak (softwood) dan kayu keras (hardwood). Dimana pada umumnya, jenis hardwood memiliki kadar hemiselulosa lebih besar dibandingkan dengan kayu softwood. Kayu spruce (Picea spp.) memiliki kadar hemiselulosa berkisar antara 43-45 %, sedangkan jenis maple memiliki kadar 42-47 % (Rowell 1984)
Gambar 13. Keragaman kadar hemiselulosa keenam jenis kayu 4.2.1.3. Holoselulosa Holoselulosa merupakan produk kayu bebas zat ekstraktif yang dihasilkan setelah lignin dihilangkan dari kayu. Oleh sebab itu, kadar utama holoselulosa terdiri atas selulosa dan hemiselulosa.
Gambar 14. Keragaman kadar holoselulosa keenam jenis kayu Kadar holoselulosa dari keenam jenis kayu berkisar antara 74,52-81,36%. Kadar holoselulosa tertinggi terdapat pada jenis kayu afrika yaitu sebesar 81,36 % sedangkan kadar holoselulosa terendah terdapat pada jenis Pinus insularis yaitu sebesar 81,36 %. Holoselulosa dalam kayu banyak terdapat dalam bagian dinding sekunder yang berfungsi sebagai penguat tekstur dan sebagai sumber energi
44
(Ginting 2004 dalam Nugraheni 2008). Untuk kayu spruce (softwood), kadar holoselulosanya sekitar 69 % sedangkan maple 77 % (Rowell 1984). 4.2.1.4. Lignin Dalam softwood kadar lignin lebih banyak bila dibandingkan dengan hardwood, dan juga terdapat beberapa perbedaan struktur lignin dalam softwood dan hardwood (Fengel dan Wegener 1995). Kadar lignin jenis softwood memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan jenis harwood. Nilai rata-rata kadar lignin pada jenis softwood yaitu 26,87 % dan jenis hardwood yaitu 25,14 %. Rowell (1984) menyatakan bahwa kayu softwood kadar ligninnya lebih besar dibandingkan dengan kayu hardwood. Kadar lignin pada kayu spruce sekitar 27-29 %, sedangkan kayu maple beragam dari 21-30 %.
Gambar 15. Keragaman kadar lignin keenam jenis kayu Menurut Haygreen et al. (2003), lignin terdapat diantara sel-sel dan didalam dinding sel. Lignin berfungsi sebagai perekat untuk mengikat sel-sel agar tetap bersama-sama. Keberadaan lignin dalam dinding sel sangat erat hubungannya dengan selulosa yang berfungsi untuk memberikan ketegaran pada sel dan berpengaruh dalam memperkecil perubahan dimensi sehubungan dengan perubahan kadar air kayu serta mengurangi degradasi terhadap selulosa. 4.2.2. Komponen Kimia Non-Struktural Kayu Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa pada umumnya zat ekstraktif kayu teras memiliki kadar yang lebih tinggi dibandingkan dengan kayu gubal. Hal ini sesuai yang disampaikan Hillis (1987), dimana disebutkan bahwa konsentrasi tertinggi zat ekstraktif kayu terdapat pada bagian kayu teras, kulit dan daerah pohon yang terluka atau mati. Selain itu, komponen kadar abu dalam kayu
45
hardwood pun memiliki nilai rata-rata paling besar dibandingkan dengan kayu softwood. Hal ini sejalan dengan Tsoumis (1991), dimana kadar abu kayu daun jarum (softwood) sekitar 0,02 %-1,1 % dan kayu daun lebar (hardwood) 0,1-5,4 %. Sementara itu, jenis hardwood memiliki kadar zat ekstraktif yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis softwood. Tabel 6. Komponen kimia non-struktural kayu Kelarutan Zat Ekstraktif (%) Jenis Kayu
Air Panas KG
KT
Air Dingin KG
KT
NaOH 1%
EtanolBenzen
Kadar Abu
KG
KT
KG
KT
KG
KT
18,30
18,50
6,58
6,81
0,10
0,20
Softwood Pinus merkusii Rata-Rata Pinus insularis
9,78
10,15
9,28
9,97 12,40
11,08
9,87 9,58
9,03
10,93
18,40 17,68
19,90
6,70 4,17
5,85
0,15 0,30
0,50
Rata-Rata
11,74
9,98
18,79
5,01
0,40
Rata-Rata Softwood
10,85
9,78
18,60
5,85
0,28
Hardwood Dalbergia latifolia Rata-Rata Swietania mahagoni Rata-Rata Maesopsis eminii Rata-Rata Acacia mangium
11,94
15,68
13,81 11,49
14,17
12,83 12,03
18,82
15,42 11,29
16,83
10,31
12,03
11,17 9,85
12,38
11,11 10,94
17,58
14,26 10,53
12,26
15,48
19,70
17,59 21,01
25,61
23,31 22,04
28,61
25,33 18,44
22,01
3,19
6,58
4,89 3,72
8,80
6,26 4,22
11,2 5
7,74 4,56
9,30
1,05
1,05
1,05 0,35
0,25
0,30 0,75
0,75
0,75 0,85
1,20
Rata-Rata
14,06
11,39
20,23
6,93
1,03
Rata-Rata Hardwood
14,03
11,98
21,61
6,45
0,78
Berdasarkan analisis keragaman (pada taraf 5%), kadar zat ekstraktif larut air (panas-dingin) dan etanol-benzene berdasarkan jenis kayu, bagian kayu (gubalteras), dan interaksi antara jenis dengan bagian kayu memberikan pengaruh yang sangat nyata. Kecuali pada kadar ekstraktif larut NaOH 1%, berdasarkan jenis kayu dan bagian kayu terdapat perbedaan yang sangat nyata terhadap zat ekstraktif sedangkan interaksi antara jenis kayu dan bagin kayu telah memberikan hasil yang berbeda nyata (Lampiran 13).
46
4.3. Hubungan Sifat Anatomi dan Kimia Kayu dengan Sifat Akustik Kayu Nilai rata-rata sifat akustik pada jenis kayu yang diteliti berdasarkan arah radial, tangensial, dan campuran disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Sifat akustik kayu keenam jenis kayu Kecepatan ultrasonik (m/detik)
Jenis kayu PR
PT
Sound Damping (δ) PC
PR
PT
PC
6557,523
0,058
0,077
0,070
Softwood Pinus merkusii
6119,435
Rata-rata Pinus insularis
5531,006 6069
5779,611
Rata-rata
5433,704
0,068 5769,472
0,060
5661
0,083
0,088
0,077
Hardwood Dalbergia latifolia
6187,278
Rata-rata Swietania mahagoni
5475,667
0,062
5324,556
5536,167
5413,056
5113,500
0,076
Rata-rata
5198,278
0,074
0,067
0,061
0,068 5002,167
0,079
5317 5245,333
0,068 0,068
5305
Rata-rata Acacia mangium
6261,889
6087
Rata-rata Maesopsis eminii
5812,667
0,106
0,107
0,097 5409,833
5284
0,075
0,084
0,081
0,080
(Sumber : Baihaqi 2009) Kecepatan ultrasonik dan sound damping merupakan parameter yang dapat menentukan kualitas kayu sebagai bahan alat musik. Oliveira et al. (2002) dan Bucur (2006) menyatakan bahwa kadar air, arah serat, panjang serat, porositas dinding sel, daerah kristalin pada dinding sel, dan struktur lingkaran tumbuh dapat mempengaruhi kecepatan gelombang. Peredaman kayu (sound damping) dipengaruhi oleh jenis, kadar air, arah getaran (longitudinal, transversal, torsional atau puntiran), dan cara getaran (Tsoumis 1991). Selain itu, secara ringkas struktur anatomi dan karakter sel kayu yang umum digunakan untuk alat musik adalah berserat panjang, arah serat lurus, tekstur baik, memiliki susut yang rendah, ringan, bebas dari penyakit dan cacat, serta kadar air yang sesuai dengan kadar air kesetimbangan, kuat, keras dan lainlain. Walaupun demikian pemanfaatan struktur anatomi dan karakter kayu ini tergantung tujuan penggunaan alat musik itu sendiri (Ardhianto 2002).
47
Dari Tabel 6 dapat dilihat nilai rataan sifat akustik kayu dari penelitian Baihaqi (2009) yang menggunakan bahan jenis kayu yang sama yaitu nilai kecepatan ultrasonik tertinggi terdapat pada jenis softwood yaitu sekitar 6000 m/detik, sedangkan untuk jenis hardwood sekitar 5000 m/detik. Menurut Bucur (2006), untuk jenis kayu yang biasa digunakan sebagai bahan alat musik dari kelompok softwood (jenis spruce) memiliki kecepatan gelombang suara 55006500 m/detik, sementara itu untuk jenis kayu hardwood (maple), dan rosewood (Dalbergia sp.) adalah 4000-5000 m/detik. Pinus merkusii memiliki kecepatan terbesar, nilai kecepatan pada Pinus insularis tidak berbeda dengan nilai kecepatan pada sonokeling, akan tetapi berbeda nyata dengan mangium, mahoni, dan kayu afrika. Kehomogenan struktur sel kayu pada jenis softwood, dimana selnya didominasi oleh sel trakeida memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kecepatan gelombang ultrasonik. Pada jenis hardwood struktur sel lebih heterogen yaitu terdiri dari serat dan pembuluh. Pembuluh dalam jenis hardwood dapat memperlambat laju kecepatan gelombang. Pada jenis hardwood, jenis sonokeling memiliki kecepatan paling tinggi dibandingkan dengan jenis hardwood lainnya. Hal ini diduga karena selain jumlah rata-rata pembuluh per mm²nya yang paling jarang dibandingkan dengan yang lain, juga dikarenakan sudut mikrofibrilnya yang paling kecil dibandingkan jenis hardwood lainnya. Jenis softwood juga memiliki serat yang panjang dibandingkan dengan hardwood. Dimana nilai panjang serat rata-rata jenis softwood 5312 µm, sedangkan hardwood 1105,25 µm. Menurut Fengel dan Wegener (1995), kayu spruce (softwood) memiliki panjang serat 1700 – 3700 µm dan diameter serat 2040 μm. Kayu maple (hardwood) memiliki panjang serat 1000-3000 μm (Bucur 2006). Menurut Oliveira et al. (2002) dan Bucur (2006), semakin panjang serat maka semakin cepat aliran rambat gelombangnya. Selain itu, jenis softwood juga memiliki dinding sel yang tebal dibandingkan dengan jenis hardwood. Semakin tebalnya suatu dinding sel mengakibatkan porositas sel menjadi kecil sehingga dapat mempercepat rambat gelombang. Hal ini pun terjadi pada bagian kayu akhir yang memiliki dinding sel yang tebal dibandingkan dengan kayu awal, sehingga pada bagian kayu akhir ini kecepatan gelombangnya tinggi (Bucur 2006).
48
Berdasarkan nilai sudut mikrofibril dan indeks kristalinitas (Tabel 3), jenis softwood memiliki nilai rata-rata sudut mikrofibril lebih kecil (20,44º) dibandingkan dengan hardwood (21,64º). Menurut Deresse et al. (2003), semakin kecil sudut mikrofibril kayu maka arah serat semakin sejajar terhadap sumbu panjang sel sehingga laju kecepatan gelombang semakin cepat. Untuk besaran nilai rata-rata indeks kristalinitas dari masing-masing jenis, jenis softwood nilainya lebih kecil dibandingkan dengan hardwood. Menurut Olieveira et al. (2002), daerah kristalin pada dinding sel lebih cepat mengalirkan gelombang ultrasonik dibandingkan dengan daerah amorph. Tetapi berdasarkan data yang ada, jenis softwood memiliki nilai indeks kristalinitas yang kecil dengan kadar selulosa yang tinggi. Jenis hardwood memiliki nilai indeks kristalinitas yang besar dengan kadar selulosa yang lebih kecil. Kemungkinan faktor yang mempengaruhinya yaitu bagian sampel yang diambil tidak berkesinambungan, dimana sampel untuk komponen kimia diambil dari bagian keseluruhan sedangkan sampel untuk pengujian sifat ultrastruktur diambil hanya dari bagian tertentu. Selain itu, faktor penyebab yang lainnya adalah perbedaan umur dari masing-masing jenis. Dalam Bucur (2006) nilai indeks kristalinitas pada kayu spruce bervariasi dari umur 1-120 tahun, yang kemudian nilai tersebut konstan dengan nilai maksimum terdapat pada umur 4 dan 100 tahun. Apabila dilihat dari komponen kimianya, kadar selulosa pada jenis softwood lebih tinggi dibandingkan dengan hardwood. Kecepatan gelombang semakin cepat pada dinding sel yang mengandung derajat polimerisasi (DP) yang tinggi. Hal ini karena semakin besarnya kontinuitas elastis dan kristalin bahan. Untuk itu kecepatan gelombang terbesar terjadi pada lapisan selulosa (DP 10001500) diikuti hemiselulosa (DP 5-200) dan paling lambat ketika melewati lapisan lignin (DP 5-60) (Olieveira et al. 2002). Besarnya kadar selulosa pada kayu diduga dapat mempengaruhi kecepatan gelombang ultrasonik semakin cepat. Untuk mengetahui hubungan antara sifat akustik dengan sifat kimia dilakukan analisis statistik dengan regresi linier sederhana. Dari persamaan yang dihasilkan dapat digunakan sebagai dasar dalam pendugaan nilai sifat akustik melalui penentuan sifat kimia. Apabila nilai koefisien determinasi (R2) tinggi
49
maka hubungan regresi kedua variabel yang dianalisa semakin erat atau semakin linier sehingga dapat menduga variabel tak bebas berdasarkan variabel bebasnya.
Gambar 16. Hubungan kadar selulosa dengan sifat akustik Berdasarkan Gambar 16 diketahui nilai kecepatan gelombang ultrasonik pada kadar selulosa 47,26-54,10% berkisar antara 5000-6000 m/detik. Hubungan antara kecepatan gelombang ultrasonik dengan selulosa sangat baik dimana nilai r = 0,76 dan nilai R2 = 58,18 %, sedangkan hubungan selulosa dengan sound damping kurang baik karena nilai r kecil yaitu 0,19 dan R² = 3,8%. Apabila hubungan ini di modelkan (Tabel 8), diperoleh signifikansi tidak nyata pada taraf nyata 5%.
Gambar 17. Hubungan kadar lignin dengan sifat akustik Menurut Sanjaya (2001), lignin adalah amorph (non kristalin). Kecepatan gelombang paling lambat terjadi pada daerah lignin. Jenis softwood memiliki kadar lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan hardwood. Kadar lignin yang tinggi pada jenis softwood tidak berpengaruh terhadap kecepatan gelombang karena pada kenyataannya jenis softwood memiliki nilai kecepatan gelombang
50
ultrasonik yang lebih tinggi dibandingkan hardwood. Struktur anatomi pada jenis softwood diduga lebih berpengaruh terhadap kecepatan gelombang. Berdasarkan Gambar 17 hubungan antara kadar lignin dengan kecepatan ultrasonik dikatakan baik karena memiliki nilai r = 0,65 dan R2 = 42,3%, dan hubungan kadar lignin dengan sound damping baik karena memiliki nilai r yang cukup besar yaitu r = 0,737 dan R2 = 54,4%. Berdasarkan pengujian parameter model diperoleh bahwa peubah lignin berpengaruh tidak nyata pada taraf nyata 5%.
Gambar 18. Hubungan kadar hemiselulosa dengan sifat akustik Hemiselulosa merupakan senyawa amorph, karena banyak percabangan pada rantai molekulnya (Sanjaya 2001). Jenis hardwood memiliki nilai kadar yang lebih besar dibandingkan dengan softwood. Dengan tingginya kadar hemiselulosa diduga dapat memperlambat laju kecepatan gelombang. Sementara itu, Gambar 18 menunjukkan hubungan kadar hemiselulosa dengan parameter akustik (kecepatan gelombang ultrasonik dan sound damping) sangat baik. Hubungan kadar hemiselulosa dengan kecepatan gelombang ultrasonik memiliki nilai r = 0,79 dan R2 = 62,6%, sedangkan hubungan kadar hemiselulosa dengan soud damping memiliki nilai r = 0,68 dan R2 = 46,4%. Dari pengujian parameter model diperoleh bahwa peubah hemiselulosa berpengaruh tidak nyata pada taraf nyata 5%.
51
Gambar 19. Hubungan kadar zat ekstraktif dengan sifat akustik Jenis hardwood memiliki kadar zat ekstraktif yang lebih tinggi dibandingkan pada softwood. Diduga dengan adanya zat ekstraktif ini, sifat permeabilitas kayu menjadi rendah. Menurut Oliveira et al. 2002 dan Bucur 2006, permeabilitas yang rendah akan mempercepat kecepatan gelombang ultrasonik. Akan tetapi, nilai kecepatan gelombang ultrasonik hardwood lebih lambat. Zat ekstraktif diduga tidak berpengaruh besar dikarenakan bersifat non-struktural. Pada Gambar 19 menunjukkan bahwa hubungan antara kadar zat ekstraktif larut etanol-benzene dengan sifat akustik (kecepatan ultrasonik dan sound damping) kurang baik. Hal ini menunjukkan bahwa kadar zat ekstraktif kurang baik untuk menduga nilai parameter akustik. Berdasarkan pengujian parameter model diperoleh bahwa peubah zat ekstraktif berpengaruh tidak nyata pada taraf nyata 5%. Dari Tabel 6 diperoleh nilai sound damping pada hardwood lebih tinggi dibandingkan softwood. Hal ini diduga karena hardwood memiliki struktur sel yang kompleks. Pada jenis hardwood, terdapat sel pembuluh yang berfungsi menyalurkan cairan dan mineral yang diduga bisa meredam suara. Selain itu juga terdapatnya parenkim yang berfungsi sebagai penyimpan cadangan makan. Diantara jenis-jenis hardwood, kayu afrika dan mangium memiliki nilai sound damping yang tinggi dibandingkan dengan jenis hardwood lainnya. Hal ini diduga disebabkan karena kedua jenis tersebut memiliki diameter pembuluh/pori yang paling besar dibandingkan dengan jenis yang lain sehingga mampu menahan gelombang lebih lama.
52
Berdasarkan pola pemotongan arah pada kayu yang diteliti, nilai kecepatan gelombang pada arah radial lebih besar dibandingkan dengan nilai arah tangensial (Baihaqi 2009). Hal ini diperkuat oleh Karlinasari (2007) dalam pengujiannya menggunakan kayu jati, sengon, dan kayu afrika dimana arah serat mempengaruhi kecepatan gelombang. Kecepatan gelombang lebih cepat pada arah longitudinal (searah serat), diikuti arah radial, dan yang terlama adalah pada arah tangensial. Berdasarkan penampang tangensial kayu (Gambar 6.d-11.d) susunan sel jari-jari memotong sumbu memanjang tapi searah jaringan radial akibatnya gelombang merambat lebih cepat dibandingkan dengan arah tangensial. Pada penampang radial (Gambar 6.c-11.c), susunan jari-jarinya memanjang vertikal dan tersusun jarang-jarang sehingga gelombang merambat lebih lambat. Pada arah radial, rambatan gelombang akan melewati lapisan lignin untuk mencapai selulosa akibatnya akan terjadi perlemahan/atenuasi karena dilewatinya daerah amorph dan inelastis. Kecepatan rambatan gelombang terendah terjadi pada arah tangensial karena gelombang melewati wilayah yang memiliki kadar lignin dan hemiselulosa yang besar yang menyebabkan banyak perlemahan yang dijumpai oleh gelombang (Oliveira et al. 2002). Selain itu juga, pada Baihaqi (2009) disebutkan bahwa nilai sound damping pada papan arah tangensial lebih besar dibandingkan pada papan arah radial kecuali jenis mahoni. Hal ini dipengaruhi oleh susunan sel jari-jari dari masing-masing arah kayu. Perbedaan ini dapat memberikan pengaruh yang signifikan untuk memotong perambatan gelombang. Kecepatan gelombang yang tinggi dengan nilai sound damping (peredam suara) rendah adalah prasyarat kayu sebagai bahan alat musik. Apabila kecepatan gelombang rendah, sedangkan nilai sound damping tinggi maka bahan tersebut cocok digunakan sebagai peredam suara (Bucur 2006). Jenis softwood (Pinus merkusii dan Pinus insularis), jenis hardwood yaitu sonokeling dan mahoni dapat dijadikan sebagai bahan alat musik. Untuk jenis mangium dan kayu afrika lebih cocok digunakan untuk peredam suara (Baihaqi 2009). Untuk penggunaan kayu sebagai alat musik, prasyaratnya memiliki kecepatan gelombang yang tinggi. Kecepatan gelombang yang tinggi tersebut didukung dengan struktur anatomi yang homogen, berserat panjang, indeks
53
kristalinitas yang tinggi, kadar selulosa tinggi, kadar lignin rendah, sudut mikrofibril yang kecil, kadar air rendah, dinding sel dengan porositas dan permeabilitas yang rendah, persentase kayu akhir tinggi, dan pada arah serat melintang. Sementara itu, untuk penggunaan kayu sebagai peredam suara memiliki karakteristik kayu kebalikan dari yang disebutkan diatas. Tabel 8. Rangkuman model dan analisis regresi linier hubungan antara sifat akustik dengan sifat kimia kayu Parameter (x dan y)
Model regresi
r
R²
Signifikansi model (α = 0,05)
Selulosa dan kecepatan ulrasonik
y = 115,3x - 307,9
0,7627
0,5818
0,0778tn
Selulosa dan sound damping
y = 0,121 - 0,000x
0,1959
0,0384
0,7099tn
Lignin dan kecepatan ulrasonik
y = 231,7x - 339,5
0,6509
0,4237
0,1615tn
Lignin dan sound damping
y = 0,278 - 0,007x
0,7378
0,5443
0,0941tn
Hemiselulosa dan kecepatan ulrasonik
y = 7501 - 72,40x
0,7913
0,6262
0,0608tn
Hemiselulosa dan sound damping
y = 0,001x + 0,027
0,6816
0,4646
0,1359tn
Zat ekstraktif dan kecepatan ulrasonik
y = 6788 - 186,7x
0,5488
0,3012
0,2594tn
Zat ekstraktif dan sound damping
y = 0,006x + 0,036
0,6261
0,3920
0,1835tn
Keterangan : tn = tidak nyata
54
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 1. Berdasarkan karakteristik anatominya, kayu yang dapat merambatkan gelombang bunyi yang cepat adalah yang memiliki struktur sel homogen, berserat panjang, memiliki porositas dan permeabilitas dinding sel kecil, sudut mikrofibril kecil (arah serat semakin sejajar), dan daerah kristalit besar. 2. Karakteristik komponen kimia kayu yang dapat merambatkan gelombang bunyi secara cepat adalah yang memiliki kadar selulosa tinggi, hemiselulosa rendah dan lignin rendah. Zat ekstraktif tidak memberikan pengaruh yang besar karena bersifat non struktural. 3. Nilai sound damping pada hardwood lebih tinggi dibandingkan softwood, diduga karena adanya sel pembuluh dan parenkim yang bisa meredam suara. 4. Jenis sonokeling memiliki nilai kecepatan gelombang ultrasonik yang tinggi dibandingkan dengan jenis hardwood lainnya dikarenakan jumlah rata-rata pembuluh per mm²nya yang paling jarang dan sudut mikrofibrilnya yang paling kecil dibandingkan jenis hardwood lainnya. 5. Nilai kecepatan gelombang pada arah radial lebih besar dibandingkan dengan nilai arah tangensial karena susunan sel jari-jari pada arah radial memotong sumbu memanjang tapi searah jaringan radial sehingga gelombang merambat lebih cepat. Sedangkan arah tangensial memiliki susunan jari-jari memanjang vertikal dan tersusun jarang-jarang sehingga gelombang merambat lebih lambat. 6. Berdasarkan parameter akustik, karakteristik anatomi dan karakteristik komponen kimianya, jenis merkusii; insularis; sonokeling; dan mahoni lebih cocok digunakan untuk alat musik, sedangkan untuk mangium dan kayu afrika diduga lebih cocok digunakan sebagai peredam suara.
55
5. 2. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sifat akustik kayu berdasarkan bagian kayu (kayu gubal-teras, kayu awal-akhir, pangkaltengah-ujung pohon) 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan sifat dasar kayu dengan sifat akustik pada jenis kayu Indonesia (lokal) lainnya yang berpotensi digunakan sebagai bahan akustik yang baik.
56
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi S. 1990. Kimia Kayu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Pendidikan Tinggi PAU. IPB, Bogor. Hal 1 – 78. Anggraini SE. 2005. Sifat-Sifat Anatomi Kayu Jati (Tectona grandis L.f) Plus Perhutani dari Beberapa Seedlot di KPH Ngawi pada Kelas Umur I. Skripsi. Departemen Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Ardhianto N. 2002. Kajian Pembuatan dan Penilaian Mutu Gitar Akustik Menggunakan Kayu Mahoni (Swietenia mahagoni Jack.) dan Sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.). Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. [ASTM] American Society Institute. 2000. ASTMD-143. Standard Test Methods for Small Clear Specimens of Timber. In Annual Book of ASTM Standard. United State: Philadelpia. Baihaqi H. 2009. Hubungan Antara Sifat Akustik dengan Sifat Fisis dan Mekanis Lima Jenis Kayu. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Brillianty dan E Franswesti. 2001. Laporan Praktikum Penentuan Luas Kayu Gubal dan Kayu Teras (Paraserianthes falcataria). Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Browning BL. 1967. Methods of Wood Chemistry. Interscience Publ. New York. Bucur V. 2006. Acoustic of Wood. 2nd Edition. Springer: CRC Press. France Casey JP. 1980. Pulping Chemistry and Chemical Technology Volume I. Pulping and Papermaking. New York: Intercine Publicer Inc. Dence CW. 1992. Determination of Lignin In : Lin SY, Dence CW (Eds). Methods in Lignin Chemistry. Springer-Verlag. Berlin. Hal. 33-61. Departemen Pertanian, Dirjen Kehutanan. 1976. Vademicum Kehutanan Indonesia. Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Kehutanan. Jakarta. Deresse T, MS Shaler, KR Shepard. 2003. Microfibril Angle Variation in Red Pine (Pinus resinosa Ait.) and Its Relation To The Strength and Stiffness of Early Juvenil Wood. Forest Product Journal Vol. 53, No. 7/8.Hal. 34-40 Fengel D dan G Wegener. 1995. Kayu : Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. Terjemahan. Gadjah Mada University. Press. Yogyakarta. Haygreen JG, R Shmulsky, JL Bowyer. 2003. Forest Product and Wood Science, An Introduction. USA: The Lowa State University Press.
57
Hillis WE. 1987. Heartwood and Tree Exudates. Springer Series in Wood Science. Berlin : Springer-Verlag. Joker D. 2002. Informasi Singkat Benih (Maesopsis eminii Engl.). Bandung: Indonesia Forest Seed Project. Karlinasari L. 2007. Analisis Kekakuan Kayu Berdasarkan Pengujian NonDestruktif Metode Gelombang Ultrasonik dan Kekuatan Lentur Kayu Berdasarkan Pengujian Destruktif. Disertasi. Bogor: Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Malik J, A Santoso, O Rachman. 2005. Sari Hasil Penelitian Mangium (Acacia mangium Willd.). http:// www.dephut.go.id/penelitian/mangium.html [17 September 2008]. Mandang YI dan IKN Pandit. 1997. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan. Yayasan Prosea. Bogor. Martawijaya A, I Kartasujana, K Kadir, SA Prawira. 1981. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I. Bogor : Balai Penelitian Hasil Hutan. Mattjik AA dan M Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan. Edisi II. Institut Pertanian Bogor. Mirov NT. 1967. The Genus Pinus. New York: The Ronald Press Company. Nugraheni N. 2008. Keragaman Komponen Kimia dan Dimensi Serat Kayu Reaksi Melinjo (Gnetum gnemon L). Skripsi. Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB Bogor. Oliveira FGR, JAO de Campos dan A Sales. 2002. Evaluation of Mechanical Properties of Wood Using Ultrasonic Measurements. Dalam Prosiding: The 7th Worl Conference on Timber Engineering. 12-15 Agustus 2002. Shah Alam. Malaysia. Hal: 110-117. Pandit IKN dan E Prihatini. 2005. Penuntun Praktium Anatomi dan Identifikasi Kayu. Departemen Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Pandit IKN. 2007. Ultrastruktur Kayu Reaksi pada Damar (Agathis loranthifolia Salisb.) dan Sengon (Paraserianthes falcataria (L.Nielsen). Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Pandit IKN dan D Kurniawan. 2008. Anatomi Kayu : Struktur Kayu, Kayu Sebagai Bahan Baku dan Ciri Diagnostik Kayu Perdagangan Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Panshin AJ dan C de Zeeuw. 1980. Textbook of Wood Technology: Structure, Identification, Uses, and Properties of The Commercial Woods of The United States and Canada. New York: Mc Graw-Hill Book Company.
58
Rowell R. 1984. Handbook of Wood Chemistry and Wood Composites. Washington, USA. Sanjaya. 2001. Pengaruh Anhidridasetat terhadap Struktur Molekuler Kayu dalam Stabilisasi Dimensi Kayu Pinus merkusii Et. De Vr. FKIP Universitas Sriwijaya. http://www.fmipa.itb.ac.id/Sanjaya.pdf [16 Desember 2008]. Sejati KW. 2008. Studi Pembuatan Gitar Akustik Menggunakan Kayu Agathis, Pinus, dan Sonokeling. Skripsi. Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Seng OD. 1990. Berat Jenis dari Kayu-Kayu Indonesia dan Pengertian Beratnya Kayu untuk Keperluan Praktek. Pengumuman Lembaga Penelitian Hasil Hutan Bogor. Bogor. Sitompul SS. 2006. Pengendalian Hama Belalang Kembara (Locusta Migratoria) dengan Menggunakan Gelombang Ultrasonik di Kalimantan Barat : Suatu Penelitian Eksperimental dengan Pendekatan Biofisika. http://adln.lib.unair.ac.id [28 Mei 2008]. Sjostrom E. 1995. Kimia Kayu Dasar-dasar dan Penggunaan. Terjemahan. Gadjah Mada University Press. Edisi II. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. [TAPPI] Technical Association of Pulp and Paper Industries. 1996. TAPPI Test Methods. TAPPI Press. Atlanta. Tim Jurusan Teknologi Hasil Hutan. 1990. Sifat Dasar, Sifat Pengolahan dan Sifat Penggunaan Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.). Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tsoumis G. 1991. Science and Technology of Wood. Van Nostrand. New York. Hal.1-6. Wheeler EA, P Baas, PC Gasson. 1989. IAWA List of Microscopic Features for Hardwood Identification. IAWA Bull. N. s. 10(3): 219-332. Widiyati M. 2008. Laporan Praktek Kerja Lapang di PT. Yamaha Music Indonesia. Bogor: Institut Pertanian Bogor.[tidak dipublikasikan] Young HD dan OA Freedman. 2003. Fisika Universitas. (Edisi Kesepuluh, jilid 2); Alih Bahasa, Pantur Silaban; Editor, Amalia Safitri, Santika. Jakarta: Erlangga.
59
38
Lampiran 1. Pengukuran diameter pori, jumlah pori, dan jumlah jari-jari Diameter Pori :
Jumlah Pori : Diameter Pori (µm)
No.
Jumlah Pori / mm
S-1
S-2
M-1
M-2
Af-1
Af-2
Ak-1
Ak-2
S-1
S-2
M-1
M-2
Af-1
Af-2
Ak-1
Ak-2
1
125
87,5
87,5
131,25
112,5
162,5
131,25
150
1
4
8
5
4
4
4
5
2
138
100
87,5
112,5
87,5
150
118,75
125
3
4
4
4
3
3
6
5
3
125
144
93,75
106,25
125
150
112,5
162,5
3
3
6
4
3
3
4
4
4
100
100
93,75
87,5
62,5
143,75
162,5
162,5
6
4
7
4
4
6
4
6
5
100
125
100
125
125
156,25
100
125
2
4
7
3
4
3
3
3
6
125
113
125
125
62,5
137,5
125
125
2
3
6
3
2
2
6
4
7
113
125
87,5
100
112,5
150
137,5
137,5
2
5
5
4
5
3
5
5
8
125
138
81,25
125
125
125
162,5
118,75
3
4
5
3
5
3
6
4
9
75
150
87,5
100
125
175
150
150
3
3
5
4
8
3
6
4
10
138
138
87,5
100
87,5
150
137,5
143,75
4
5
4
5
3
6
7
5
11
88
188
75
87,5
112,5
168,75
106,25
137,5
4
4
4
3
4
3
4
5
12
125
150
100
87,5
112,5
137,5
125
137,5
3
3
4
6
4
3
5
4
13
113
125
100
87,5
100
200
162,5
137,5
4
3
7
3
4
2
7
4
14
100
138
100
112,5
100
125
118,75
143,75
3
2
5
4
5
4
4
6
15
138
125
100
93,75
100
100
162,5
137,5
4
3
6
6
5
3
3
6
16
125
125
87,5
87,5
125
125
162,5
118,75
5
3
5
4
3
3
2
6
17
131
131
87,5
87,5
112,5
187,5
125
150
4
2
6
5
4
2
4
4
18
119
125
87,5
75
112,5
112,5
162,5
125
3
2
6
5
4
4
4
6
19
88
125
75
87,5
112,5
150
137,5
143,75
2
3
5
5
4
3
4
20
138
100
81,25
125
137,5
137,5
137,5
137,5
3
4
4
5
2
3
6
7 7
60
61
Lanjutan lampiran 1 No.
Diameter Pori (µm)
Jumlah Pori / mm
S-1
S-2
M-1
M-2
Af-1
Af-2
Ak-1
Ak-2
S-1
S-2
M-1
M-2
Af-1
Af-2
Ak-1
Ak-2
21
125
100
125
125
100
100
150,00
125
3
5
7
7
3
3
4
6
22
100
100
87,5
125
100
150
162,50
137,5
6
4
7
6
2
2
5
3
23
125
113
100
87,5
125
125
125,00
150
2
2
6
4
3
3
5
3
24
125
125
87,5
125
150
106,25
125,00
150
4
3
4
5
4
2
3
5
25
138
100
125
125
162,5
175
125,00
131,25
3
4
5
5
4
3
6
4
Rata2 Rataan Jenis
117,5
124
94
105,25
111,5
144
137
138,5
3
3
6
4
4
3
5
5
120,5
99,63
127,75
137,75
3
5
4
5
Jumlah Jari-Jari : No.
Jumlah jari-jari/mm M-1 M-2 Af-1
PM
PI
S-1
S-2
Af-2
Ak-1
Ak-2
1
4
3
12
11
7
7
6
5
6
8
2
5
4
15
12
9
7
7
6
7
9
3
5
5
10
11
9
7
6
5
5
6
4
5
4
11
8
8
7
3
6
8
6
5
4
5
12
11
9
7
7
4
6
8
6
5
6
11
12
8
9
5
6
7
9
7
5
6
14
13
6
9
6
5
7
8
8
4
6
10
10
6
8
4
4
8
8
9
3
5
12
10
5
9
3
6
6
9
10
3
6
10
9
7
7
5
6
7
6
Rata2 Rataan Jenis
4
5
12
11
7
8
5
5
7
8
4
5
11
8
5
7
61
62
Lampiran 2. Pengukuran dimensi serat kayu Pinus merkusii No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Rata2
Panjang Serat (µm) 4600 4400 4160 7080 5680 6600 6320 5800 4000 5080 5800 4000 5720 4800 2520 6400 4600 4400 4400 5720 5400 5800 6200 4400 5000 5155
Diameter Serat (µm) 60,0 52,9 45,7 57,1 45,7 51,4 62,9 57,1 45,7 54,3 51,4 48,6 45,7 48,6 28,6 48,6 42,9 48,6 40,0 51,4 45,7 57,1 48,6 37,1 42,9 48,7
Diameter Lumen (µm) 47,1 34,3 30,0 37,1 35,7 34,3 42,9 40,0 34,3 41,4 34,3 31,4 25,7 31,4 17,1 34,3 22,9 34,3 28,6 28,6 34,3 42,9 28,6 20,0 28,6 32,8
Tebal Dinding (µm) 6,4 9,3 7,9 10,0 5,0 8,6 10,0 8,6 5,7 6,4 8,6 8,6 10,0 8,6 5,7 7,1 10,0 7,1 5,7 11,4 5,7 7,1 10,0 8,6 7,1 8,0
63
Lampiran 3. Pengukuran dimensi serat kayu Pinus insularis No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Rata2
Panjang Serat (µm) 6360 4040 5120 6640 6200 6680 6000 6080 4560 5200 5960 4320 4840 5840 6600 6320 4680 4600 3200 6320 5680 3880 7560 5160 4880 5469
Diameter Serat (µm) 57,1 51,4 51,4 57,1 51,4 54,3 54,3 54,3 62,9 51,4 57,1 42,9 51,4 48,6 45,7 42,9 51,4 57,1 62,9 54,3 51,4 60,0 57,1 45,7 57,1 53,3
Diameter Lumen (µm) 40,0 34,3 34,3 40,0 34,3 40,0 37,1 42,9 45,7 34,3 40,0 28,6 34,3 31,4 37,1 28,6 34,3 40,0 45,7 40,0 37,1 45,7 40,0 28,6 40,0 37,4
Tebal Dinding (µm) 8,6 8,6 8,6 8,6 8,6 7,1 8,6 5,7 8,6 8,6 8,6 7,1 8,6 8,6 4,3 7,1 8,6 8,6 8,6 7,1 7,1 7,1 8,6 8,6 8,6 7,9
64
Lampiran 4. Pengukuran dimensi serat kayu sonokeling (Dalbergia latifolia) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Rata2
Panjang Serat (µm) 940 960 920 980 920 1060 1000 920 960 1140 1060 1080 1160 1060 1040 1040 1080 1000 1080 1100 1080 1160 1300 1140 900 1043,2
Diameter Serat (µm) 21,43 18,57 20,00 18,57 21,43 15,00 17,14 21,43 22,86 21,43 15,71 15,71 21,43 21,43 15,71 17,14 22,86 22,14 22,86 18,57 17,14 17,14 16,43 17,14 20,00 19,17
Diameter Lumen (µm) 15,71 11,43 12,86 10,71 14,29 7,86 10,71 12,86 15,71 12,86 8,57 7,86 13,57 14,29 9,29 10,00 15,00 13,57 14,29 12,14 10,71 11,43 10,71 10,00 12,86 11,97
Tebal Dinding (µm) 2,86 3,57 3,57 3,93 3,57 3,57 3,21 4,29 3,57 4,29 3,57 3,93 3,93 3,57 3,21 3,57 3,93 4,29 4,29 3,21 3,21 2,86 2,86 3,57 3,57 3,60
65
Lampiran 5. Pengukuran dimensi serat kayu mahoni (Swietenia mahagoni) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Rata2
Panjang Serat (µm) 1160 1100 1000 840 1080 1060 980 800 1180 800 1040 1100 920 1120 980 1160 900 1100 1200 1280 1100 1180 1020 1040 1040 1047,2
Diameter Serat (µm) 18,57 21,43 17,14 17,14 15,71 20,00 15,71 20,00 17,14 18,57 18,57 17,14 15,71 20,00 17,14 15,71 20,00 17,14 21,43 17,14 15,71 20,00 20,00 21,43 20,00 18,34
Diameter Lumen (µm) 12,86 15,71 11,43 11,43 10,00 14,29 10,00 14,29 11,43 12,86 12,86 11,43 10,00 14,29 11,43 10,00 14,29 11,43 15,00 11,43 10,00 12,86 14,29 15,71 14,29 12,54
Tebal Dinding (µm) 2,86 2,86 2,86 2,86 2,86 2,86 2,86 2,86 2,86 2,86 2,86 2,86 2,86 2,86 2,86 2,86 2,86 2,86 3,21 2,86 2,86 3,57 2,86 2,86 2,86 2,90
66
Lampiran 6. Pengukuran dimensi serat kayu afrika (Maesopsis eminii) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Rata2
Panjang Serat (µm) 1140 1060 1140 1120 1080 1020 1120 1180 1400 1200 1380 1100 1260 1300 1160 1020 1240 1540 1420 1120 1260 1360 1300 1040 1260 1208,8
Diameter Serat (µm) 24,28 20,00 20,00 27,14 27,14 28,57 25,71 21,43 30,00 27,14 34,28 21,43 31,43 22,86 24,28 22,86 18,57 30,00 17,14 25,71 24,28 27,14 28,57 27,14 20,00 25,08
Diameter Lumen (µm) 15,71 12,86 12,86 20,00 18,57 22,86 18,57 15,71 21,43 21,43 25,71 12,86 24,28 15,71 17,14 17,14 12,86 21,43 11,43 18,57 15,71 20,00 22,86 20,00 14,29 18,00
Tebal Dinding (µm) 4,29 3,57 3,57 3,57 4,29 2,86 3,57 2,86 4,29 2,86 4,29 4,29 3,57 3,57 3,57 2,86 2,86 4,29 2,86 3,57 4,29 3,57 2,86 3,57 2,86 3,54
67
Lampiran 7. Pengukuran dimensi serat kayu mangium (Acacia mangium) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Rata2
Panjang Serat (µm) 1200 1040 1200 1200 1060 560 1100 1040 1240 1160 1200 1160 1280 1160 1160 1160 1020 1140 1100 1080 1120 1200 1300 1080 1080 1121,6
Diameter Serat (µm) 20,00 20,00 17,14 21,43 17,14 20,00 20,00 22,86 18,57 21,43 22,86 24,28 18,57 15,71 20,00 21,43 15,71 18,57 17,14 22,86 17,14 18,57 17,14 17,14 20,00 19,43
Diameter Lumen (µm) 14,29 14,29 11,43 12,86 11,43 14,29 14,29 17,14 12,86 15,71 17,14 18,57 12,86 10,00 14,29 15,71 10,00 12,86 11,43 11,43 11,43 12,86 11,43 11,43 14,29 13,37
Tebal Dinding (µm) 2,86 2,86 2,86 4,29 2,86 2,86 2,86 2,86 2,86 2,86 2,86 2,86 2,86 2,86 2,86 2,86 2,86 2,86 2,86 5,71 2,86 2,86 2,86 2,86 2,86 3,03
68
Lampiran 8. Nilai sudut mikrofibril dan indeks kristalinitas Jenis kayu
Sudut Mikrofibril
Indeks Kristalinitas
(°)
(%)
Softwood Pinus merkusii
22,8
36,33
Pinus insularis
18,6
33,16
Hardwood Dalbergia latifolia 1
16,2
41,98
Dalbergia latifolia 2
16,8
40,60
Rataan
16,5
41,29
Swietania mahagoni 1
22,5
34,42
Swietania mahagoni 2
13,8
42,23
Rataan
18,15
38,33
Maesopsis eminii 1
34,2
38,28
Maesopsis eminii 2
25,8
45,72
Rataan
30,0
42,00
Acacia mangium 1
21,6
36,77
Acacia mangium 2
22,2
33,75
Rataan
21,9
35,26
69
Lampiran 9. Nilai kerapatan dan kadar air kayu Jenis Kayu
Bagian
KG Pinus merkusii KT
KG Pinus insularis KT
KG Dalbergia latifolia_1 KT
KG Dalbergia latifolia_2 KT
KG Swietenia mahagony_ 1 KT
KG Swietenia mahagony_ 2 KT
Acacia mangium_1
KG
Ulangan
V (cm³)
1
8,07
Berat Basah (gram) 4,21
2
8,51
3
BKT (gram)
KA (%)
ρ (g/cm³)
3,70
13,87
0,52
4,67
4,06
14,97
0,55
8,41
4,65
3,99
16,60
0,55
1
8,10
4,41
3,89
13,34
0,54
2
7,80
4,45
4,01
11,00
0,57
3
7,66
4,21
3,82
10,40
0,55
1
8,70
4,72
4,23
11,54
0,54
2
9,11
5,32
4,70
13,21
0,58
3
7,83
4,53
4,04
12,06
0,58
1
10,10
5,78
5,18
11,58
0,57
2
9,57
5,55
5,03
10,40
0,58
3
9,10
5,42
4,90
10,63
0,60
1
8,09
5,11
4,57
11,88
0,63
2
7,87
5,04
4,46
12,93
0,64
3
7,56
5,01
4,45
12,58
0,66
1
7,35
5,25
4,70
11,63
0,71
2
7,47
5,30
4,77
11,06
0,71
3
7,75
5,53
5,11
8,20
0,71
1
8,12
5,63
4,99
12,83
0,69
2
8,56
6,01
5,46
10,01
0,70
3
8,00
5,66
5,02
12,66
0,71
1
8,82
6,60
5,89
12,13
0,75
2
8,32
5,84
5,11
14,20
0,70
3
8,48
5,97
5,33
12,01
0,70
1
7,26
4,49
4,01
12,05
0,62
2
7,12
4,30
3,83
12,21
0,60
3
6,74
4,20
3,69
13,94
0,62
1
8,61
5,28
4,68
12,82
0,61
2
8,91
5,50
4,92
11,83
0,62
3
8,53
5,10
4,56
11,84
0,60
1
9,10
5,55
4,99
11,29
0,61
2
9,23
5,55
4,89
13,51
0,60
3
8,70
5,29
4,76
11,09
0,61
1
8,05
4,99
4,48
11,26
0,62
2
8,68
5,29
4,71
12,21
0,61
3
8,63
5,23
4,71
11,11
0,61
1
8,62
4,21
3,68
14,31
0,49
2
10,40
5,75
4,96
15,98
0,55
3
8,06
4,15
3,55
16,90
0,52
70
Lanjutan lampiran 9. Jenis Kayu
Acacia mangium_1
Bagian
KG
KG Acacia mangium_2 KT
KG Maesopsis eminii_1 KT
KG Maesopsis eminii_2 KT
Ulangan
V (cm³)
1
8,32
Berat Basah (gram) 4,19
2
7,95
3
ρ (g/cm³)
BKT (gram)
KA (%)
3,66
14,54
0,50
4,00
3,39
17,99
0,50
6,76
3,66
3,13
16,93
0,54
1
8,45
4,82
4,17
15,73
0,57
2
8,25
4,54
3,91
16,04
0,55
3
8,53
4,90
4,22
16,04
0,57
1
7,47
4,30
3,68
16,96
0,58
2
8,89
4,91
4,28
14,72
0,55
3
7,43
4,30
3,72
15,75
0,58
1
7,75
3,04
2,71
11,94
0,39
2
6,33
3,01
2,65
13,51
0,48
3
9,85
3,77
3,40
11,01
0,38
1
7,96
3,21
2,88
11,65
0,40
2
8,11
3,48
3,15
10,55
0,43
3
8,03
3,43
3,04
12,90
0,43
1
7,37
3,95
3,48
13,66
0,54
2
7,39
3,90
3,46
12,81
0,53
3
7,54
4,06
3,56
14,06
0,54
1
7,39
3,99
3,56
12,26
0,54
2
7,68
4,27
3,87
10,34
0,56
3
9,78
5,32
4,68
13,58
0,54
71
Lampiran 10. Nilai komponen kimia struktural kayu Jenis Kayu
Bagian
KG PI KT KG PM KT KG Af-1 KT KG Af-2 KT KG Ak-1 KT KG Ak-2 KT KG M-1 KT KG M-2 KT KG S-1 KT KG S-2 KT
Ulangan
Kadar Selulosa (%)
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
50,40 54,56 55,08 53,20 54,92 51,04 56,36 54,08 48,80 49,12 49,84 49,80 49,52 49,28 52,52 50,32 52,96 52,16 52,32 51,44 49,28 49,92 52,56 48,92 50,16 48,32 44,04 48,84 48,52 44,88 45,24 48,08 52,20 56,00 52,56 53,20 50,28 50,56 54,64 51,00
Rata-Rata Selulosa (%) 52,48 54,14 52,98 55,22 48,96 49,82 49,40 51,42 52,56 51,88 49,60 50,74 49,24 46,44 46,70 46,66 54,10 52,88 50,42 52,82
Kadar Holoselulosa (%) 75,10 75,21 73,48 74,28 78,39 76,31 77,83 76,06 83,89 83,37 84,70 84,07 81,71 77,94 76,28 78,94 73,41 84,45 84,01 83,53 78,01 78,27 82,14 84,09 76,19 75,62 72,57 78,19 74,64 75,26 72,40 72,14 73,43 79,46 76,80 75,55 74,59 73,61 75,41 75,77
Rata-Rata Holoselulosa (%) 75,16 73,88 77,35 76,94 83,63 84,38 79,83 77,61 78,93 83,77 78,14 83,11 75,90 75,38 74,95 72,27 76,44 76,17 74,10 75,59
72
Lanjutan lampiran 10. Jenis Kayu
Bagian
KG PI KT KG PM KT KG Af-1 KT KG Af-2 KT KG Ak-1 KT KG Ak-2 KT KG M-1 KT KG M-2 KT KG S-1 KT KG S-2 KT
Ulangan
Kadar Hemiselulosa (%)
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
24,70 20,65 18,40 21,08 23,47 25,27 21,47 21,98 35,09 34,25 34,86 34,27 32,19 28,66 23,76 28,62 20,45 32,29 31,69 32,09 28,73 28,35 29,58 35,17 26,03 27,30 28,53 29,35 26,12 30,38 27,16 24,06 21,23 23,46 24,24 22,35 24,31 23,05 20,77 24,77
Rata-Rata Hemiselulosa (%) 22,68 19,74 24,37 21,72 34,67 34,56 30,43 26,19 26,37 31,89 28,54 32,37 26,66 28,94 28,25 25,61 22,34 23,29 23,68 22,77
Kadar Lignin (%) 25,75 27,25 26,77 26,55 25,72 28,39 27,59 26,94 26,02 27,39 21,14 21,35 23,14 26,03 24,56 24,24 23,36 26,70 25,75 26,50 23,55 22,82 26,64 23,78 28,31 25,00 25,84 23,80 23,72 26,89 26,63 26,33 20,43 31,99 26,07 24,92 24,38 24,48 25,82 26,73
Rata-Rata Lignin (%) 26,50 26,66 27,05 27,26 26,71 21,24 24,59 24,40 25,03 26,13 23,18 25,21 26,65 24,82 25,31 26,48 26,21 25,50 24,43 26,28
73
Lampiran 11. Nilai komponen kimia non-struktural kayu Jenis Kayu
Bagian
KG PI KT KG PM KT KG Af-1 KT KG Af-2 KT KG Ak-1 KT KG Ak-2 KT KG M-1 KT KG M-2 KT KG S-1 KT KG S-2 KT
Ulangan
Kadar ZE Larut Air Panas (%)
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
14,15 10,65 11,15 11,00 9,65 9,90 10,15 10,15 11,50 11,60 20,35 20,40 12,50 12,50 17,05 17,45 11,75 11,85 23,30 21,00 10,90 10,65 11,95 11,05 12,85 11,05 13,50 15,85 10,50 11,55 13,90 13,40 10,95 11,05 16,55 14,80 13,70 12,05 16,45 14,90
Kadar ZE Rata-Rata ZE Larut Larut Air Air Panas (%) Dingin (%) 9,70 12,40 8,35 10,85 11,08 11,00 9,25 9,78 9,30 10,00 10,15 9,75 10,85 11,55 10,85 19,15 20,38 19,20 10,85 12,50 11,20 15,85 17,25 16,10 11,40 11,80 11,45 14,55 22,15 14,40 9,65 10,78 9,60 9,90 11,50 10,15 9,60 11,95 10,35 12,60 14,68 11,80 9,75 11,03 9,70 11,05 13,65 14,05 10,25 11,00 10,30 10,80 15,68 12,05 9,20 12,88 11,45 12,50 15,68 12,75
Rata-Rata ZE Larut Air Dingin (%) 9,03 10,93 9,28 9,87 10,85 19,18 11,03 15,98 11,43 14,48 9,63 10,03 9,97 12,20 9,73 12,55 10,28 11,43 10,33 12,63
74
Lanjutan lampiran 11. Jenis Kayu
Bagian
KG PI KT KG PM KT KG Af-1 KT KG Af-2 KT KG Ak-1 KT KG Ak-2 KT KG M-1 KT KG M-2 KT KG S-1 KT KG S-2 KT
Ulangan 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
Kadar ZE Larut NaOH 1% (%) 17,30 18,05 20,45 19,35 18,55 18,05 18,80 18,20 23,55 21,00 31,85 27,50 22,90 20,70 28,65 26,45 18,20 18,95 24,25 24,40 18,40 18,20 19,90 19,50 22,10 22,75 24,00 24,00 20,10 19,10 27,85 26,60 15,50 18,60 17,35 14,65 13,80 14,00 25,50 21,30
Rata-Rata ZE Larut NaOH 1 % (%) 17,68 19,90 18,30 18,50 22,28 29,68 21,80 27,55 18,58 24,33 18,30 19,70 22,43 24,00 19,60 27,23 17,05 16,00 13,90 23,40
Kadar Abu (%) 0,30 0,30 0,40 0,60 0,10 0,10 0,30 0,10 0,50 0,50 0,60 0,80 1,00 1,00 0,70 0,90 0,60 0,60 0,80 0,80 1,10 1,10 1,70 1,50 0,20 0,40 0,30 0,30 0,40 0,40 0,10 0,30 1,00 1,00 1,20 0,80 1,00 1,20 1,30 1,10
Rata-Rata Kadar Abu (%) 0,30 0,50 0,10 0,20 0,50 0,70 1,00 0,80 0,60 0,80 1,10 1,60 0,30 0,30 0,40 0,20 1,00 1,00 1,10 1,20
75
Lanjutan lampiran 11. Jenis Kayu PI PM Af-1 Af-2 Ak-1 Ak-2 M-1 M-2 S-1 S-2
Bagian
BKT EtanolBenzene (gram)
KA (%)
KG KT KG KT KG KT KG KT KG KT KG KT KG KT KG KT KG KT KG KT
13,2 13,4 13,1 13,0 13,5 12,0 13,5 13,2 12,9 12,1 13,8 13,3 13,4 13,2 13,4 12,9 13,4 13,0 13,9 13,6
8,9 5,5 7,0 7,4 7,0 6,3 5,6 5,4 8,2 8,1 6,5 6,4 7,1 4,6 8,0 4,9 6,4 5,4 6,3 5,5
Kadar ZE Larut Etanol-Benzene (%) 4,2 5,9 6,6 6,8 3,7 15,1 4,7 7,4 6,9 13,1 2,2 5,5 4,2 8,1 3,2 9,5 4,9 8,5 1,5 4,6
Rata-Rata ZE Larut Etanol-Benzene (%) 5,0 6,7 9,4 6,1 10,0 3,9 6,1 6,4 6,7 3,1
76
Lampiran 12. Analisis keragaman komponen kimia struktural kayu Tabel 1. Analisis keragaman selulosa berdasarkan bagian gubal-teras kayu Sumber Jenis Kayu
Derajat Bebas 5
Bagian Gubal-Teras 1 Interaksi Jenis dengan Bagian Gubal5 Teras Keterangan: ** = sangat nyata, tn = tidak nyata
Jumlah Kuadran 126,81073333
Kuadrat Tengah 25,36214667
3,74460000 8,51960000
Nilai F
Pr > F
8,01
0,0016**
3,74460000
1,18
0,2981 tn
1,70392000
0,54
0,7441 tn
Tabel 2.Analisis keragaman hemiselulosa berdasarkan bagian gubal-teras kayu Sumber Jenis Kayu
Derajat Bebas 5
Bagian Gubal-Teras 1 Interaksi Jenis dengan Bagian Gubal5 Teras Keterangan: ** = sangat nyata, tn = tidak nyata
Jumlah Kuadran 346,76123750
Kuadrat Tengah 69,35224750
1,74420417 40,46337083
Nilai F
Pr > F
18,80
0,0001**
1,74420417
0,47
0,5047 tn
8,09267417
2,19
0,1229 tn
Tabel 3. Analisis keragaman holoselulosa berdasarkan bagian gubal-teras kayu Sumber Jenis Kayu
Derajat Bebas 5
Bagian Gubal-Teras 1 Interaksi Jenis dengan Bagian Gubal5 Teras Keterangan: ** = sangat nyata, tn = tidak nyata
Jumlah Kuadran 191,84887083
Kuadrat Tengah 38,36977417
0,37750417 28,93617083
Nilai F
Pr > F
15,37
0,0001**
0,37750417
0,15
0,7042 tn
5,78723417
2,32
0,1081 tn
Tabel 4. Analisis keragaman lignin berdasarkan bagian gubal-teras kayu Sumber Jenis Kayu Bagian Gubal-Teras Interaksi Jenis dengan Bagian GubalTeras Keterangan: tn = tidak nyata
Derajat Bebas 5
Jumlah Kuadran 22,98218333
Kuadrat Tengah 4,59643667
1
0,07481667
5
10,83493333
Nilai F
Pr > F
2,10
0,1361 tn
0,07481667
0,03
0,8565 tn
2,16698667
0,99
0,4640 tn
77
Lampiran 13. Analisis keragaman komponen kimia non-struktural kayu Tabel 1.Analisis keragaman ZE larut air panas berdasarkan bagian gubal-teras Sumber Jenis Kayu Bagian Gubal-Teras Interaksi Jenis dengan Bagian GubalTeras Keterangan: ** = sangat nyata
Derajat Bebas 5
Jumlah Kuadran 73,90568333
Kuadrat Tengah 14,78113667
1
52,74735000
5
47,05045000
Nilai F
Pr > F
18,38
0,0001**
52,74735000
65,60
0,0001**
9,41009000
11,70
0,0003**
Tabel 2. Analisis keragaman ZE larut air dingin berdasarkan bagian gubal-teras Sumber Jenis Kayu Bagian Gubal-Teras Interaksi Jenis dengan Bagian GubalTeras Keterangan: ** = sangat nyata
Derajat Bebas 5
Jumlah Kuadran 50,06785507
Kuadrat Tengah 10,01357101
1
39,14318431
5
21,03733235
Nilai F
Pr > F
42,32
0,0001**
39,14318431
165,43
0,0001**
4,20746647
17,78
0,0001**
Tabel 3. Analisis keragaman ZE larut NaOH 1% berdasarkan bagian gubal-teras Sumber Jenis Kayu
Derajat Bebas 5
Bagian Gubal-Teras 1 Interaksi Jenis dengan Bagian Gubal5 Teras Keterangan: ** = sangat nyata, * = nyata
Jumlah Kuadran 188,17647083
Kuadrat Tengah 37,63529417
76,36233750 23,69243750
Nilai F
Pr > F
26,66
0,0001**
76,36233750
54,08
0,0001**
4,73848750
3,36
0,0398*
Tabel 4. Analisis keragaman ZE larut etanol-benzene berdasarkan bagian gubalteras Sumber Jenis Kayu Bagian Gubal-Teras Interaksi Jenis dengan Bagian GubalTeras Keterangan: ** = sangat nyata
Derajat Bebas 5
Jumlah Kuadran 25,12093333
Kuadrat Tengah 5,02418667
Nilai F
Pr > F
99999,99
0,0001**
1
81,69660000
81,69660000
99999,99
0,0001**
5
30,29800000
6,05960000
99999,99
0,0001**
Tabel 5. Analisis keragaman kadar abu berdasarkan bagian gubal-teras Jumlah Kuadran 3,03833333
Kuadrat Tengah 0,60766667
Bagian Gubal-Teras 1 0,06000000 Interaksi Jenis dengan Bagian Gubal5 0,12500000 Teras Keterangan: ** = sangat nyata, * = nyata, tn = tidak nyata
Sumber Jenis Kayu
Derajat Bebas 5
Nilai F
Pr > F
58,34
0,0001**
0,06000000
5,76
0,0335*
0,02500000
2,40
0,0994 tn
38