PENGANTAR PENULIS
Sifat formal dan teknis pada lembaga peradilan sering mengakibatkan penyelesain sengketa yang berlarut-larut, sehingga membutuhkan waktu yang lama. Apalagi dalam sengketa bisnis, dituntut suatu penyelesaian sengketa yang cepat dan murah serta bersifat informal procedure. Penyelesaian sengketa yang lambat dalam dunia bisnis mengakibatkan timbulnya biaya tinggi bahkan dapat menguras segala potensi
dan
sumber
daya
perusahaan
yang
bersangkutan.
Menghadapi kenyataan lambatnya proses penyelesaian sengketa dan beratnya biaya yang harus dikeluarkan melalui proses litigasi, muncul kegiatan-kegiatan
yang
diarahkan
kepada
pemikiran
upaya
memperbaiki sistem peradilan. Jika
kecaman
yang
diarahkan
ke
pengadilan
dengan
ungkapan-ungkapan yang melekat pada pengadilan sebagai the first resort and the last resort penyelesaian sengketa bisnis pada masa mendatang apakah tidak perlu dicari dan dikembangkan bentukbentuk penyelesaian baru sebagai alternatif.
i
Mengingat ketidakpuasan para pelaku bisnis terhadap proses litigasi di pengadilan, maka semakin penting untuk dikembangkan suatu lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang umum disebut denga Alternative Dispute Resolution (ADR), di mana salah satu prinsip dari ADR adalah cepat dan biaya murah. Kritikan uang dilancarkan kepada lembaga pengadilan. Hal ini tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara industri maju. Perkembangan masyarakat yang menuntut kecepatan, kerahasian, efisien dan efektif serta menjaga kelangsungan hubungan yang telah ada, hal tersebut tidak dapat direspon oleh lembaga litigasi yang ada. Lembaga pengadilan mendapat banyak kritikan dalam operasionalnya yang dinilai lamban, mahal, memboroskan energi, waktu, uang dan terbuka serta tidak dapat memberikan win-win solution sehingga konsep penyelesaian sengketa alternative yang ditawarkan mendapat sambutan yang positif, terutama di dunia bisnis yang menghendaki efisiensi dan kerahasiaan serta lestarinya hubungan kerja sama dan tidak
formalistis
serta
menghendaki
penyelesaian
yang
lebih
menekankan pada keadilan. Buku ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca tentang ADR yang merupakan budaya bangsa kita sendiri, serta perkembangan ADR dibeberapa negara di dunia. ADR
ii
diharapkan menjadi solusi dalam mencari keadilan dengan biaya ringan, waktu yang cepat dalam menyelesaikan sengketa, khususnya dalam sengketa bisnis. Harapan penulis kepada seluruh pembaca semoga dapat memberikan kritik dan saran yang konstruktif bagi penyempurnaan buku ini untuk edisi yang akan datang. Penulis menyadari bahwa selesainya buku ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu per satu. Namun demikian, penulis ingin menegaskan bahwa penulisan buku ini mungkin tidak akan berhasil tanpa kesabaran, ketekunan dan kerja keras Sdr. Ramlan, S.H., M.Hum sebagai editor. Penulis haturkan terima kasih atas ketekunannya sehingga selesaiya buku ini. Selanjutnya, buku yang sederhana ini penulis persembahkan buat orang-orang yang kukasihi dan kusayangi. Pertama kepada kedua orang tua penulis, ayahanda tercinta almarhum H. Perdana Ginting dan almarhumah ibunda tersayang Hj. Indarsih. Yang selalu dengan penuh kasih sayang dan kelembutan yang tegas serta kedisiplinan dalam mendidik dan membimbing penulis sejak kecil hingga akhir hayat mereka, dengan memberikan nasehat serta arahan yang tidak lelah-lelahnya, agar penulis berhasil dalam dunia pendidikan. Semoga almarhum dan almarhumah dapat diterima di sisi
iii
Allah SWT., Amin. Penulis juga mempersembahkan buku ini kepada istriku tersayang Hj. Saskia, S.E., M.Si., dan ketiga buah hatiku Almarhum M. Realdi Putra Ginting, Raissa Irena Perdana Ginting, dan M. Rifqi Ananda Ginting atas doa kalian, kerelaan, kesabaran, dan kasih
sayang
serta
motivasi
yang
diberikan
untuk
dapat
menyelesaikan penulisan buku ini. Anak-anakku adalah sumber keceriaan dan kebahagiaan yang membuat ide-ide dan inspirasi untuk bekerja keras dan berbuat yang lebih baik. Teriring doa, semoga buah hatiku senantiasa sehat dan tumbuh menjadi anak-anak yang shaleh dan shalehah, serta selalu gemar belajar dan mencintai ilmu pengetahuan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada penerbit Ratu Jaya Medan, atas kesediaannya menerbitkan buku ini. Semoga kerjasama yang baik dapat terus berjalan di masa-masa yang akan datang. Akhirnya, dari hati yang dalam penulis ucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, dengan berkat rahmat dan karunia-Nya memberikan kesehatan dan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan buku ini, serta proses penerbitannya dapat berjalan dengan lancar. Segala kebenaran yang tertuang di dalam buku ini semata-mata hanya tuntunan dari Allah SWT., dan segala
iv
kesalahan merupakan kekhilafan dan kealpaan penulis. Selamat membaca semoga bermanfaat…!!!
Medan, April 2009
Dr. Surya Perdana, S.H., M.Hum
v
DAFTAR ISI halaman Pengantar Penulis .......................................................................
iii
Daftar Isi.......................................................................................
viii
Bab 1 : PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP
LEMBAGA PENGADILAN.......................................
1
Bab 2 : ISTILAH DAN PENGERTIAN ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION ........................................
17
Bab 3 : PERKEMBANGAN ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION DI INDONESIA................................
22
A. Alternative Dispute Resolution Merupakan Budaya Bangsa Indonesia .................................
22
B. Penyelesaian Sengketa Melalui Alternative Dispute Resolution............................................. 1. ADR di Luar Pengadilan ............................... 2. ADR di Pengadilan .......................................
46 46 52
C. Juridiksi Alternative Dispute Resolution di Pengadilan.........................................................
62
Bab 4 : PELEMBAGAAN ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION DI INDONESIA................................
66
A. Masyarakat dan Sengketa .................................
66
B. Sengketa Bisnis .................................................
69
C. Sasaran Jangka Menengah ...............................
88
Bab 5 : PERKEMBANGAN BENTUK ALTERNATIVE DISPUTE ESOLUTION DI BEBERAPA NEGARA ..
101
A. Alasan Negara-negara Barat dan Timur
vi
Menggunakan Alternative Dispute Resolution ...
101
B. Berbagai Bentuk Alternative Dispute Resolution yang Berkembang............................ 1. Negoisasi...................................................... 2. Mediasi ......................................................... 3. Konsiliasi ...................................................... 4. Minitrial ......................................................... 5. Summary Jury Trial ......................................
113 113 120 124 131 134
C. Alternative Dispute Resolution di Beberapa Negara di Dunia.................................................
135
Daftar Pustaka .....................................................................
200
Lampiran 1 : Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ..........................................
209
2 : Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan .............................................
258
vii
1 PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP LEMBAGA PENGADILAN Sampai sekarang umat manusia masih memendang keberadaan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tetap dibuthkan. Tempat dan kedudukan peradilan dalam negara hukum dan masyarakat demokrasi masih dapat diandalkan, antara lain berperan sebagai berikut:1 1. Peradilan berperan sebagai katup penekan atau pressure valve atas segala pelanggaran hukum, ketertiban masyarakat, dan pelanggaran ketertiban umum. 2. Peradilan masih tetap diharapkan berperan sebagai the last resort atau tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan sehingga peradilan masih tetap diandalkan sebagai badan yang berfungsi
1
M. Yahya Harahap (selanjutnya disebut M. Yahya Harahap I), Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 237. Lihat juga M. Yahya Harahap (selanjutnya disebut M. Yahya Harahap II), ”Mencari Sistem Peradilan Yang Efektif dan Efisien” makalah, disampaikan pada Seminar Akbar 50 Tahun Pembinaan Hukum sebagai Modal Dasar Pembangunan Hukum Nasional Dalam PJP II, Jakarta 18-21 juli 1995.
1
menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and enforce justice). Berdasarkan kedudukan dan keberadaannya sebagai pressure valve dan the last resort, peradilan masih tetap diakui memegang peran, fungsi dan kewengan sebagai:2 1. Penjaga kemerdekaan masyarakat (in guarding the freedom of society). 2. Wali masyarakat (are regarding as costudian of society). 3. Pelaksana penegak hukum yang lazim disebut judiciary as the upholders of the rule of law. Di samping itu, tempat dan kedudukan peradilan masih dihargai sebagai badan atau institusi yang memiliki fungsi istimewa (serve a very special function). Dalam kedudukan istimewa yang demikian JR. Spencer3 mengatakan bahwa putusan yang dijatuhkan pengadilan diibaratkan seperti ”putusan tuhan” atau the judgement was the of God. Pendapat yang menganggap bahwa putusan pengadilan sebagai the judgement was the of God sudah lama berakar dalam kehidupan manusia. Masyarakat Yunani menyebutnya sebagai judicium die. 2
M. Yahya Harahap I, Loc.Cit. JR. Spencer Jackson’s, Machinery of Justice, University Press, Cambride, 1989, hlm. 19. 3
2
Kritik yang muncul terhadap peradilan bukan hanya gejala yang tumbuh di Indonesia, melainkan terjadi di seluruh dunia. Di negara-negara industri maju, kritik yang dilontarkan masyarakat pencari keadilan terutama dari kelompak ekonomi, jauh lebih gencar. Kalangan ekonomi Amerika menuduh bahwa hancurnya perekonomian nasional disebabkan mahalnya biaya peradilan. Tony Mc Adams 4 dalam tulisannya mengemukakan bahwa law has become avery big American business and litigation cost may be doing damage to natoin’s company. Kenyataan atas kritik yang menganggap bahwa mahalnya biaya berperkara ikut mempengaruhi kehidupan perekonomian bukan hanya terjadi di Amerika, melainkan terjadi disemua negara. Kritik terpenting dari berbagai negara (wujud kritiknya hampir sama) terangkum dalam uraian sebagai berikut: 1. Penyelesaian sengketa lambat. a. Penyelesaian perkara melalui proses litigasi pada umumnya lambat atau waste of time. b. Hal di atas (a) mengakibatkan proses pemeriksaan bersifat sangat formal (formalistic) dan sangat teknis (technically).
4
Tony Mc Adams, Law Businessand Society, Third Edition, Irwin, Boston, 1992, hlm. 195.
3
c. Arus perkara makin deras sehingga peradilan dijejali dengan beban yang terlampau banyak (overloaded). 2. Biaya perkara mahal. Semua pihak menganggap biaya perkara sangat mahal, apalagi jika dikaitkan dengan lamanya penyelesaian. Makin lama penyelesaian mengakibatkan makin tinggi biaya yang harus dikeluarkan, seperti biaya resmi dan upah pengacara yang ditanggung. Melihat kenyataan biaya perkara yang mahal membuat orang berperkara di pengadilan menjadi lumpuh dan terkuras segala sumber daya, waktu, dan pikiran (litigation paralyze people).5 3. Peradilan tidak tanggap (unresponsive). Kritik lain yang ditujukan kepada pengadilan adalah berupa kenyataan, pengalaman, dan pengamatan bahwa pengadilan kurang tanggap dan tidak responsive atau unresponsive dalam bentuk prilaku. Kritik tersebut antara lain sebagai berikut: a. Pengadilan kurang tanggap membela dan melindungi kepentingan umum serta sering mengabaikan perlindungan umum dan kebutuhan masyarakat.6
5
Lihat Jack Etheridge dalam Peter Lovenheim, Mediate Don’t Litigate, Mc. Graw Hill publishing Comp., New York, 1989, hlm. 23. 6 Lihat Tony Mc Adams, Op.Cit., hlm. 187.
4
b. Pengadilan sering dianggap berlaku tidak adil atau unfair, kritik ini di dasarkan atas alasan bahwa pengadilan dalam memberikan kesempatan serta keleluasaan pelayanan hanya kepada lembaga besar dan orang kaya. 4. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah. Berdasarkan kenyataan, putusan pengadilan tidak mampu memberikan penyelesaian yang memuaskan kepada pihak. Putusan pengadilan tidak mampu memberi kedamaian dan ketentraman kepada pihak-pihak yang berperkara. Kritik tersebut antara lain sebagai berikut: a. Salah satu pihak pasti menang dan lain pihak pasti kalah (winlose). b. Keadaan kalah menang dalam berperkara tidak pernah membawa kedamaian, tetapi menumbuhkan bibit dendam dan permusuhan serta kebencian. c. Putusan pengadilan membingungkan. d. Putusan pengadilan sering tidak memberi kepastian hukum (uncertainty) dan tidak bisa diprediksi (unpredictable). 5. Kemampuan para hakim bersifat generalis. Para hakim dianggap hanya memiliki pengetahuan yang sangat terbatas. Ilmu pengetahuan yang mereka miliki hanya di bidang
5
hukum. Di luar itu, pengetahuan mereka hanya bersifat umum. Memperhatikan para hakim hanya manusia generalis, sangat mustahil mereka mampu menyelesaikan sengketa yang mengandung kompleksitas dalam berbagai bidang, misalnya sengketa kontruksi. Sengketa tersebut berkaitan langsung dengan masalah teknologi konstruksi, akutansi, perkreditan, dan sebagainya. Sebenarnya masih banyak kritik yang dapat dideskripsikan, akan tetapi dari deskripsi yang diuraikan di atas sudah dapat memberikan gambaran mengenai kegoyahan, kebenaran peradilan sebagai kekuasaan kehakiman. Meskipun kedudukan dan keberadaannya sebagai pressure valve and the last resort dalam mencari kebenaran dan keadilan, namun kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan sudah berkurang. Faktor penyebab hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan adalah sistem peradilan yang terlampau formal dan teknis, sifat formal dan teknis pada sistem peradilan mengakibatkan penyelesaian sengketa terlunta-lunta sehingga membutuhkan waktu yang lama padahal masyarakat menghendaki penyelesaian yang cepat dan biaya yang murah. Sengketa bisnis menuntut penyelesaian yang bersfat informal procedure.
6
Penyelesaian sengketa yang lambat dalam dunia bisnis mengakibatkan timbulnya biaya tinggi bahkan dapat menguras segala potensi dan sumber daya perusahaan yang bersangkutan. Menghadapi kenyataan lambatanya proses penyelesaian sengketa dan beratnya beban biaya yang harus dikeluarkan melalui proses litigasi, muncul kegiatan-kegiatan yang diarahkan kepada pemikiran upaya memperbaiki sistem peradilan. Jika kecaman yang diarahkan ke pengadilan dihubungkan dengan ungkapan-ungkapan yang melekat pada pengadilan masih pantaskah mempertahankan pengadilan sebagai the first resort and the law resort penyelesaian sengketa bisnis pada masa mendatang? Apakah tidak perlu dicari dan dikembangkan bentuk-bentuk penyelesaian alternative? Penulis berpendapat bahwa lembaga peradilan masih perlu tetap dipertahankan sebagai katup penekan (pressure valve) dalam negara hukam dan demokratis. Akan
tetapi kedudukannya perlu
digeser hanya sebagai lembaga the last resort, sedangkan lembaga alternative yang lain ditempatkan sebagai the first resort. Dari uraian di atas, maka bermacam-macam alasan mengapa seorang menggunakan penyelesaian sengketa alternatif. Di samping berperan sebagai sarana penyelesaian sengketa yang potensial untuk
7
menghindari biaya tinggi, keterlambatan dan ketidakpastian yang melekat pada sistem litigasi, juga dimaksud sebagai sarana untuk memperbaiki komunikasi di antara pihak-pihak. Oleh karena putusan diambil berdasarkan kesepakatan, maka hasilnya adalah win-win, sehingga penyelesaian sengketa bersifat tuntas (tidak semu). Banyak pihak yang menyatakan bahwa melibakan diri dalam kasus pengadilan, sungguh merupakan pengalaman yang stress. Dalam wawancara dengan orang-orang yang telah terlibat dalam litigasi, John Baldwin melaporkan bahwa banyak pihak yang telah membuktikan mengalami intimidasi selama proses pengadilan formal dan juga mengalami kekhawatiran mengenai biaya perkara dan kemungkinan keharusan membayar biaya-biaya pihak lainnya. Penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan biasanya mem-butuhkan waktu yang cukup lama dan melelahkan, dimulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, bahkan mungkin sampai pada tingkat Mahkamah Agung. Hal ini sudah tentu juga membutuhkan biaya yang cukup besar serta dapat mengganggu hubungan pihakpihak yang bersengketa.7
7
Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta, 2000, hlm. 103.
8
Selain institusi peradilan formal, masih ada lagi bentukbentuk mekanisme penyelesaian sengketa lainnya yang didasarkan pada kesepakatan (kompromi, negosiasi) atau dengan melibatkan pihak ketiga sebagai mediator 8 atau konsiliator 9 ataupun yang berbentuk arbitrase. 10 Bentuk ini kemudian dikenal dengan alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute resolution). Di dalam menjalankan fungsinya ternyata lembaga peradilan formal banyak mendapat
kritikan
dari
masyarakat,
dengan
berbagai kelemahan yang melekat pada sistem peradilan formal itu sendiri, sehingga masyarakat pencari keadilan semakin menghindar dari penyelesaian sengketa melalui pengadilan (dari litigasi ke non-litigasi), kondisi ini tidak hanya melanda pengadilan di 8
Pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UUPPHI) menyebutkan mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. 9 Menurut UUPPHI, Konsiliator hubungan industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan PHKK atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. 10 Arbitrase hubungan industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar PHI melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Lihat UUPPHI.
9
Indonesia saja, tetapi melanda hampir seluruh negara di dunia, baik negara-negara Barat maupun Timur. 11 Di negara berkembang (developed countries), pengadilan adakalanya dianggap memihak kepada orang-orang yang memiliki status sosial yang tinggi dan para pengusaha besar (social stratification). Bahkan di beberapa negara, pengadilan dianggap tidak bersih, sehingga putusan-putusannya dianggap lebih memihak yang mendatangkan ketidakadilan (unjustice).12 Kemerdekaan dari institusi pengadilan banyak dipertanyakan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh B. Arief Sidharta tindakan-tindakan kekuasaan politik tersebut terutama masa orde baru selalu dikemas dalam baju hukum positif tertulis yang memenuhi semua persyaratan formal. Pembentukan hukum lewat rekayasa secara cerdik dan cermat, kemudian ditegakkan secara dipaksakan berlaku dengan dukungan kekuatan aparat militer. Hukum ditegakkan jika menguntungkan dan memudahkan penguasa untuk mewujudkan tugas-tugasnya. Sebaliknya (aturan) hukum dikesampingkan jika menghambat atau menyulitkan penguasa. Penyelenggaraan hukum ditangani pula dengan sangat 11
Runtung, “Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif (Studi Mengenai Masyarakat Karo di Kabanjahe dan Berastagi)”, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002, hlm. 91. 12 Erman Rajagukguk, Op.Cit., hlm. 103.
10
menonjolkan penggunaan kewenangan dikresional tanpa batas oleh penguasa dan campur tangan (intervensi) secara langsung pihak eksekutif (penguasa politik) terhadap pelaksanaan kewenangan yudikatif, campur tangan ini tidak jarang menampilkan diri dalam bentuk peradilan sandiwara (sham trials).13 Sistem peradilan di Indonesia banyak mendapat sorotan dari berbagai kalangan masyarakat, dan selalu dianggap tidak bersih, ditambah lagi dengan adanya isu tentang terjadinya praktik “mafia peradilan” yang melanda peradilan Indonesia di semua tingkat peradilan (PN, PT dan MA). Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengadilan banyak yang sudah berubah fungsi dari tempat menegakkan hukum dan keadilan menjadi tempat transaksi jual beli keadilan, siapa yang bisa membeli dia akan mendapatkannya. Keputusan hakim di pengadilan juga dijadikan sebagai sesuatu yang dapat diperdagangkan. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya sebagai penyebab menurunnya citra pengadilan di mata masyarakat Indonesia adalah adanya ketidak-percayaan masyarakat kepada institusi/lembaga
13
B. Arief Sidharta, Praktisi Hukum dan Perkembangan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 197.
11
tersebut, sehingga masyarakat mencari jalan lain untuk menyelesaikan sengketanya. Jalan lain ini ditempuh dengan tujuan untuk menciptakan hubungan yang baik antara pihak-pihak yang bersengketa, sehingga antara para pihak yang bersengketa tidak akan merasa saling dirugikan, karena penyelesaiannya secara win-win solution tidak win and lose. Keputusan untuk menggunakan metode penyelesaian sengketa alternatif tergantung kepada pertimbangan para pihak. Hanya saja sekurang-kurangnya ada 2 hal yang perlu dipertimbangkan untuk menggunakan penyelesaian sengketa alternatif. Pertama, prosedur penyelesaian sengketa alternatif lebih tepat guna dari pada prosedur litigasi dan kedua, perlu ditentukan pilihan bentuk mana dari penyelesaian sengketa alternatif yang paling tepat digunakan untuk jenis sengketa yang dihadapi. Perlu diketahui bahwa menurut W. Moore dan James Creighton ada beberapa pertanyaan lanjutan yang harus dijawab sebagai bahan pertimbangan bagi pihak-pihak untuk menggunakan pola penyelesaian sengketa alternatif, yaitu: 1. Berapa besar kekuatan relatif yang dimiliki oleh pihak-pihak yang terlibat, dan bagaimana pentingnya persengketaan ini bagi setiap pihak?. Sumber kekuatan meliputi:
12
a. Kekuasaan atau wewenang formal, yaitu wewenang yang diberikan secara legal untuk menetapkan kebijakan, menyusun peraturan, memberi izin, dan lain-lain. b. Keahlian/kekuatan informasi, yaitu memiliki akses untuk berhubungan dengan orang-orang yang berilmu atau memiliki informasi yang tidak dimiliki oleh orang lain. c. Kekuatan prosedural, yaitu kontrol terhadap prosedur pengambilan keputusan. d. Kekuatan asosiasi, yaitu kekuatan yang berasal dari berasosiasi dengan orang-orang yang berkuasa. e. Kekuatan dari penguasaan sumber daya, yaitu kemampuan untuk menyebabkan sesuatu yang berbahaya atau menolak mementahkan manfaat dari penyelesaian sengketa. f. Kekuatan yang diperoleh dari mengusahakan orang lain, yaitu kemampuan untuk menimbulkan ketidakenakan bagi pihak lain. g. Kekuatan habitual atau yang diperoleh dari kebiasaan, yaitu kekuatan atau kekuasaan dari berlakunya status quo atau sebagaimana biasa sesuatu dilakukan. h. Kekuatan moral, yaitu kemampuan untuk meningkatkan konflik dalam sudut pandang nilai sumber kekuatan lainnya.
13
i.
Kekuatan pribadi, yaitu atribut-atribut pribadi atau keahlian yang memperbesar sumber-sumber keahlian lainnya.
2. Memperhitungkan kekuatan relatif dan komitmen dari tiap pihak apabila persengketaan ini terus berlangsung sampai sekarang. Prosedur manakah yang kelihatannya paling baik untuk penyelesainnya? 3. Dengan mempertimbangkan kekuatan relatif dan komitmen yang diberikan oleh satu pihak, jika persengketaan tersebut terus berlangsung sampai sekarang, hasil-hasil atau akibat subtantif apa yang paling mungkin terjadi dan berapa besar peluang relatif (relative probabilities)? 4. Dengan mempertimbangkan perkiraan atau ramalan anda dalam pertanyaan nomor dua dan tiga, berapa besar keuntungan/biaya potensial dari prosedur yang diterapkan saat ini dan bagaimana suatu persengketaan akan diselesaikan. Keuntungan dan biayabiaya tersebut bisa mencakup: a. Biaya proses (staf, waktu, penundaan, biaya hukum, dan lainlain). b. Dampak antara hubungan anda/organisasi anda dan pihakpihak lain. c. Keuntungan finansial atau liability.
14
d. Resiko peningkatan/penurunan yang diakibatkan oleh hasil penyelesaian yang tidak bisa diterima. e. Menetapkan prosedur hukum. f. Dampak-dampak politik. g. Dukungan internal/moral. 5. Apakah penggunaan prosedur yang ditetapkan sekarang sudah dicarikan pembenarannya (dijustifikasi) ? 6. Mekanisme alternatif penyelesaian sengketa mana yang paling sesuai untuk menangani persengketaan ini? Dari jawaban atas beberapa pertanyaan tersebut masalah yang sedang dihadapi dapat dikualifikasikan, sehingga antara sengketa yang sedang dihadapi dengan pola penyelesaian yang dipilih sesuai. Tidak semua model penyelesaian sengketa alternatif baik untuk pihak yang bersangkutan. Suatu penyelesaian sengketa alternatif yang baik menurut Leo Kanowit setidak-tidaknya haruslah memenuhi prinsip-prinsip; harus efesien dari segi waktu, hemat biaya, dapat diakses oleh para pihak, melindungi hak-hak dari para pihak yang bersengketa, dapat menghasilkan putusan yang adil dan jujur, badan atau orang yang menyelesaikan sengketa haruslah terpercaya di mata masyarakat dan di mata para pihak yang bersengketa,
15
putusannya haruslah final dan mengikat, dan mudah dieksekusi serta sesuai dengan perasaan keadilan dari komuniti di mana penyelesaian sengketa alternatif tersebut terdapat.14
14
Munir Fuadi, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000, hlm. 34-35.
16
2 ISTILAH DAN PENGERTIAN ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah merupakan istilah asing yang masih perlu dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Beberapa istilah dalam bahasa Indonesia telah diperkenalkan dalam berbagai forum oleh berbagai pihak. Beberapa diantaranya yang telah dapat diindentifikasi adalah; penyelesaian sengketa alternatif,15 alternatif penyelesaian sengketa (APS),16 mekanisme alternatif penyelesaian sengketa (MAPS)17 dan pilihan penyelesaian sengketa (PPS).18
15
Perhatikan Erman Rajagukguk, Op.Cit., perhatikan juga Ali Budiharjo dkk., Reformasi Hukum di Indonesia, Cyber Consult, Jakarta, 1999; Baca juga Suyud Margono, ADR & Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek-aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000. 16 Lihat Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 17 Lihat Takdir Rahmadi, “Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Konteks Masyarakat Indonesia Masa Kini”, makalah disajikan dalam Seminar Sehari Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Kasus-kasus Tanah, Perburuhan dan Lingkungan, di Selenggarakan oleh Studi dan Advokasi Masyarakat bekerjasama dengan Dewan Pimpinan Pusat IKADIN, di Jakarta, 11 Agustus 1994. 18 Lihat Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
17
Sebelum mencari padanan istilah yang tepat dalam bahasa Indonesia terlebih dahulu diperlukan penyamaan persepsi tentang konsep dan pemahaman terhadap ADR tersebut. Ada dua pemahaman yang berbeda terhadap arti ADR tersebut. Pertama, ADR diartikan sebagai alternative to litigation dan yang kedua, ADR diartikan dengan alternative to adjudication. Pemilihan terhadap salah satu dari kedua pengertian tersebut menimbulkan implikasi yang berbeda. Apabila pengertian pertama yang menjadi acuan
(alternative
to
litigation), maka
seluruh
mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan termasuk arbitrase merupakan bagian dari ADR. Tetapi apabila ADR diartikan sebagai alternative to adjudication, maka hanya mekanisme yang bersifat konsensus atau kooperatif saja yang merupakan ADR. Sedangkan arbitrase yang bersifat ajudikatif tidak termasuk didalamnya, karena sama halnya dengan pengadilan cenderung menghasilkan putusan dengan solusi menang kalah (win-lose). Belum ada suatu kesepakatan dikalangan para ahli untuk menjatuhkan pilihan pada salah satu konsef tersebut di atas. Namun menurut Mas Achmad Santosa19 apabila melihat latar belakang
19
Mas Achmad Santosa (selanjutnya disebut Mas Achmad Santosa I), “Perkembangan Pelembagaan ADR di Indonesia”, makalah disampaikan pada
18
pengembangan ADR di Amerika Serikat, maka ADR yang dimaksud adalah alternative to adjudication. Sebab pada dasarnya hasil (outcome) ajudikasi baik pengadilan maupun arbitrase cenderung menghasilkan solusi win-lose, dan bukan win-win. Sehingga solusi yang dapat diterima kedua belah pihak yang bersengketa (mutually acceptable
solusition)
sangat
kecil
kemungkinannya
tercapai.
Demikian juga halnya Singapura, menurut Liew Thiam Ling dalam makalahnya berjudul Court Dispute Resolusition (CDR) in Singapore cenderung menganut pengertian bahwa ADR merupakan alternatif dari proses adjudikasi mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat konsensual.20 Jika dilihat Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaiaan Sengketa, maka Indonesia juga merupakan salah satu penganut dari pandangan yang kedua, karena undang-undang tersebut memisahkan secara tegas istilah arbitrase dengan alternatif penyelesaian sengketa.
Lokakarya Hasil Penelitian Teknik Mediasi Tradional, yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation, Indonesian Center for Enviromental Law bekerjasama dengan Pusat Kajian Pilihan Penyelesaian Sengketa Universitas Andalas, di Sedona Bumi Minang, Tanggal 27 November 1999. 20 Ibid.
19
Dalam konteks studi ini akan digunakan penyelesaian sengketa alternatif dalam arti alternative to adjudicationi, dengan tidak mengurangi arti kebenaran istilah-istilah lainnya. Tentang
pengertian
penyelesaian
sengketa
alternatif
Jacqueline M. Nolan-Haley menjelaskan; ADR is an umbrella term which refers generally to alternative to court adjudication of disputes such as negotiation, mediation, arbitration, minitrial and summary jury trial. Di sini, Jacqueline M. Nolan-Haley menekankan bahwa penyelesaian sengketa alternatif itu sebagai istilah protektif yang merujuk secara umum kepada alternatif-alternatif ajudikasi pengadilan atas konflik, tanpa menyinggung konsiliasi sebagai bentuk penyelesaian sengketa alternatif. Black Law Dictionary memberikan pengertian ADR dengan:21 “…..term refers to procedures setting dispute by means other than litigation; e.g. by arbitration, mediation, minitrial. Such procedures; which are usually lesscoslty and more axpeditiousm, are increasingly being used in commercial and labor dispute, divorce action, inresolving motor, vehicle and medical malpractice, tort claims, and in other disputes that would likely other disputes that would likely other wise involve court litigation.
21
Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, Six Edition, West Publishing Co, St. Paul, Minn, 1990, hlm. 78.
20
Pengertian yang lebih luas adalah; Alternative Dispute Resolution (ADR) is a convenient label for a range of method by which people involved in a dispute can be assisted to resolve it.These method are an alternative to traditional court procedures. ADR processes include negotiation, mediation, minitrials and arbitration. Dari beberapa pengertian di atas dapat diindentifikasi bahwa bentuk-bentuk penyelesaian sengketa alternatif dalam arti alternative to adjudication yang telah berkembang hingga saat ini adalah negosiasi, mediasi, konsiliasi, minitrial dan summery juri trial. Tujuan dari pengembangan penyelesaian sengketa alternatif adalah untuk memberikan forum bagi pihak-pihak untuk bekerja ke arah kesepakatan sukarela dalam mengambil keputusan mengenai sengketa yang dihadapinya. Dengan demikian penyelesaian sengketa alternatif adalah merupakan sarana yang potensial untuk memperbaiki hubungan di antara pihak-pihak yang bersengketa.
21
3 PERKEMBANGAN ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION DI INDONESIA
A. Alternative Dispute Resolution Merupakan Budaya Bangsa Indonesia Penyelesaikan sengketa secara alternatif bukan merupakan hal yang baru, karena sejak dahulu kala masyarakat tradisional Indonesia telah menggunakan penyelesaian sengketa secara alternatif. Hal ini dapat dilihat dari hukum adat yang menempatkan kepala adat sebagai penengah dan memberi putusan adat bagi sengketa di antara warganya. Penyelesaian sengketa yang dilakukan kepala adat dianggap efektif dan merupakan tradisi yang masih hidup dalam masyarakat 22 sampai saat ini. Penyelesaian sengketa secara alternatif merupakan culture bangsa Indonesia sendiri, baik dalam masyarakat tradisional maupun sebagai dasar negara Pancasila yang dikenal dengan istilah musyawarah untuk mufakat. Seluruh suku bangsa di Indonesia mengenal
22
Lihat Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1992, hlm. 247.
22
makna dari istilah tersebut, walaupun penyebutannya berbeda, tetapi memiliki philosophy yang sama. Dalam klausula-klausula suatu kontrak atau perjanjian, pada bagian penyelesaian sengketa selalu diikuti
dengan
kata-kata
“kalau
terjadi
suatu
sengketa
atau
perselisihan, diselesaikan dengan cara musyawarah dan apabila tidak tercapai suatu kesepakatan akan diselesaikan di pengadilan”.23 Ini artinya sejak dahulu kala penyelesaian sengketa secara alternatif sudah sering digunakan oleh masyarakat Indonesia, sedangkan penyelesaian sengketa melalui pengadilan merupakan pilihan akhir apabila penyelesaian sengketa secara alternatif tidak dapat diselesaikan. Studi-studi antropologi hukum di Indonesia mengungkapkan, bahwa terdapat institusi penyelesaian sengketa yang hidup dalam masyarakat selain dari sistem pengadilan yang tunduk pada hukum negara. Di antara institusi itu adalah: 1. Di daerah pedalaman Kalimantan. Hudson dalam tulisannya yang berjudul Padju Epat, mengemukakan bahwa banyak sengketa yang diselesaikan oleh para tua-tua adat saja. Bila pelanggaran dianggap belum berat maka 23
Mahkamah Agung, Naskah Akademis Mengenai: Court Dispute Resolution, Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2003, hlm. 135.
23
yang menyelesaikan adalah tokoh adat setempat bersama-sama dengan pihak yang bersangkutan, akan tetapi apabila pelanggarannya sudah berat ia memanggil tokoh adat setempat yang lain dan melalui rapat ditentukan apakah seorang bersalah atau tidak. Jika dinyatakan bersalah disebutkan kesalahannya dan apa hukumannya, serta bagaimana keputusan yang pernah diberikan pada
masa
lalu
dalam
sengketa
yang
mirip
(preseden).
Sedangkan hukuman yang dijatuhkan, selain berupa denda juga dikenakan kewajiban untuk menyembelih seekor hewan untuk disantap bersama.24 2. Di daerah Toraja disekitar Ranrepao dan Ma’kele. Di daerah ini ada sebuah dewan yang bernama Dewan Hadat dan merupakan lembaga adat asli Toraja, sejak dulu telah berfungsi untuk menyelesaikan sengketa. Dewan ini anggota-anggotanya merupakan orang-orang yang dianggap sebagai pemimpin dalam suatu desa, seperti para tua-tua adat dan juga orang-orang yang dianggap paling mengetahui mengenai masalah yang disengketakan. Warga masyarakat biasanya pertama sekali mengajukan sengketa mereka kepada Hadat, kemudian Hadat berhari-hari
24
T.O. Ihromi (Ed.), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 17.
24
mengadakan sidang untuk menentukan, siapa yang harus dipersalahkan mengenai suatu sengketa dan apa hukuman yang dapat dijatuhkan.25 3. Di Minangkabau. Di daerah ini ada dikenal Kerapatan Nagari yang dikepalai oleh Wali Nagari. Dalam Kerapatan Nagari yang bertindak sebagai badan pencegah, adalah hakim perdamaian dalam sengketa. Dalam prakteknya Wali Nagari memutuskan sesuatu sengketa yang diajukan ke Kerapatan Nagari bersama-sama dengan para kepala seksi yang ada dalam Kerapatan Nagari yaitu Kepala Seksi Adat, Kepala Seksi Umum.26 Hasil Penelitian Dewi Hartanti di Pasar Tradisional Padang Panjang, Sumatera Barat, menyimpulkan bahwa apabila terjadi persengketaan sebagian besar diselesaikan oleh lembaga non formal seperti Kerapatan Adat Nagari.27 Sejak tahun 1974, eksistensi Kerapatan Nagari telah diperkuat melalui
Surat
Keputusan
Gubernur
Sumatera
Barat
No.
156/GSB/1974 tentang Peradilan Perdamaian Nagari. Dalam 25
Ibid. Keebet Von Benda-Beckmann, Goyahnya Tangga Menuju Mufakat. Peradilan Nagari dan Pengadilan Negeri di Minangkabau, Gramedia Widiasarana Indonesia bekerjasama dengan Perwakilan Koninklijk Instituut voor Tal-Land-en Volkenkunde, Jakarta, 2000, hlm. 73. 27 Hilman Hadikusuma, Loc.Cit. 26
25
Pasal 3 ayat (1) Surat Keputusan tersebut menegaskan bahwa “proses pengadilan dalam mempertahankan hak kebendaan dalam sengketa harta kekayaan dilaksanakan dalam suatu lembaga atau badan peradilan adat yang disebut Kerapatan Nagari.28 4. Pulau Lombok. Moh. Koesnoe mengungkapkan bahwa di kalangan masyarakat suku Sasak di Pulau Lombok ada pula dikenal suatu lembaga penyelesaian sengketa yang diberi nama Begundem. Begundem adalah suatu bentuk musyawarah untuk mengambil keputusan mengenai penyelesaian berbagai masalah dan sengketa melalui suatu persidangan Krama Desa atau Krama Gubug. Persidangan Krama Desa atau Krama Gubug diketahui oleh seorang penulis yang diambil dari anggota Krama Desa.29 Pimpinan sidang Krama Desa dilakukan oleh penulis persidangan Krama Desa, dari awal hingga tercapainya suatu kemufakatan. Ketua Krama Desa hanya ikut menunggu persidangan sampai tercapainya kebulatan pendapat dari pimpinan persidangan 28
Anrizal, ”Kedudukan Fungsi Serta Tugas Kerapatan Adat Nagari Dalam Penyelesaian Sengketa Setelah berlakunya Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa (Studi Kasus di Kabupaten Agam)”, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 1998, hlm. 8-9. 29 Moh. Koesnoe, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Perss, Surabaya, 1979, hlm. 193-218.
26
Krama Desa. Setelah tercapai kata mufakat baru diambil alih oleh Ketua Krama Desa dari penulis persidangan dan kemudian memberikan kesimpulan dan keputusannya tentang apa yang telah dihasilkan oleh Sidang Krama Desa. Adat seperti ini dijumpai di Daerah Sakra. Dalam melaksanakan begundem, menurut adat sasak dikenal beberapa asas: a. Setiap anggota persidangan termasuk penulis sidang diperkenankan
mengemukakan
pendapat
dan
argumentasi-
argumentasinya dengan sepuas-puasnya. b. Setiap anggota sidang harus memegang teguh pada pokok persoalan yang menjadi acara pembahasan sidang Krama yang menuntut penyelesaian. c. Setiap anggota sidang di dalam pembahasan harus berpangkal pada pikiran bahwa apa yang akan dikemukakan itu harus sedemikian rupa sehingga pokok-pokok pikirannya tertuju pada penyelesaian masalah yang sedang dihadapi oleh Krama Desa. d. Setiap anggota sidang harus berbicara dengan memperhatikan sopan santun.
27
e. Bahwa setiap anggota Krama harus taat dan setia kepada keputusan yang telah diambil berdasarkan begumen di dalam Krama, baik di dalam Krama maupun dalam kehidupan seharihari. Keputusan Krama sebagai hasil menjalankan begumen mempunyai watak yang berbeda-beda di dalam masyarakat Sasak. Ada keputusan Krama yang dapat merupakan keputusan hukum yang menuntut pelaksanaan di dalam masyarakat segera setelah diterbitkan dan diumumkan. Keputusan Krama seperti ini hanya mungkin apabila mengenai tindak pidana adat yang dendanya kurang dari 25 rupiah (gulden). Adapun keputusan Krama yang sifatnya merupakan suatu pendapat, untuk dapat mengikat secara hukum diperlukan pengesahan dari instansi yang lebih tinggi (Rood Sasak). Moh. Koesnoe mengemukakan bahwa setelah tahun 1960, lembaga begumen mengalami keguncangan di beberapa tempat. Penyebabnya adalah adanya surat keputusan kepala-kepala daerah untuk segera mengadakan pembaharuan jabatan kepalakepala desa di seluruh Lombok.
28
5. Pada masyarakat Aceh. Snouck Hurgronye dalam bukunya Aceh Rakyat dan Adat Istiadatnya (De Atjehers) menuliskan bahwa wewenang penyelesaian sengketa dipegang oleh dua institusi yang berbeda, berdasarkan jenis sengketanya untuk sengketa-sengketa pasah (fasakh) yakni pembubaran perkawinan dengan sah atas kehendak salah satu pihak, perwalian bagi anak gadis yang ingin menikah dan wali karena pertalian darah atau meninggal atau yang ditinggal di luar kota yang ditentukan oleh adat, memimpin balek mendeuhab, serta pembahagian harta, diserahkan kepada kadi (kadhi). Sedangkan sengketa-sengketa lainnya menjadi wewenang dari Uleebalang. Namun tidak semua sengketa langsung diajukan kepada Pengadilan Uleebalang, seperti penghinaan fisik, melukai atau
membunuh
karena
sengketa
biasa,
pada
umumnya
diselesaikan oleh para pihak secara langsung tanpa campur tangan Uleebalang, dengan bantuan kawom-nya (sanak terdekat). Jika tidak selesai baru diserahkan kepada Uleebalang. Dalam sengketa penghinaan oleh seorang pejabat tinggi terhadap
29
bawahannya, biasanya diselesaikan melalui peusijeuh (penyejuk) atau bentuk penggantian lain.30 Pada perkembangan selanjutnya, masyarakat hukum adat sudah sejak lama menyelesaikan sengketa-sengketa adat melalui kelembagaan tradisional, seperti hakim perdamaian desa. Biasanya yang bertindak sebagai hakim perdamaian desa ini adalah kepala desa atau kepala rakyat, yang juga merupakan tokoh adat dan agama. Seorang kepala desa tidak hanya bertugas mengurusi soalsoal pemerintahan saja, tetapi juga bertugas untuk menyelesaikan persengketaan yang timbul di masyarakat hukum adatnya. Dengan perkataan lain, kepala desa menjalankan urusan sebagai hakim perdamaian desa (dorpsjutitie). Di dalam hubungannya dengan tugas kepala desa sebagai hakim perdamaian desa, Soepomo menyatakan bahwa Kepala Rakyat bertugas untuk memelihara kehidupan hukum di dalam persekutuan, menjaga supaya hukum itu dapat berjalan dengan selayaknya. Aktifitas kepala rakyat sehari-hari meliputi seluruh lapangan masyarakat. Aktifitas ini dilaksanakan bersama para pembantunya, yang tidak saja untuk menyelenggarakan segala hal yang
30
C. Snouck Hurgronye, Aceh Rakyat dan Adat Istiadatnya, Penerjemah Sutan Maimun, INIS, Jakarta, 1996, hlm. 92.
30
langsung mengenai tata usaha badan persekutuan dan tidak pula hanya untuk memelihara keperluan-keperluan rumah tangga persekutuan, seperti urusan jalan-jalan desa, gawe desa, pengairan, lumbung desa, urusan tanah yang dikuasai oleh hak pertuanan desa dan sebagainya, melainkan kepala rakyat bercampur tangan pula dalam menyelesaikan soal-soal perkawinan, soal warisan, soal pemeliharaan anak yatim dan berbagai persoalan lain yang dihadapi masyarakatnya. Tidak ada satupun lapangan pergaulan hidup di dalam badan persekutuan yang tertutup bagi Kepala Rakyat untuk ikut campur tangan bilamana diperlukan untuk memelihara ketentraman, perdamaian, keseimbangan lahir dan batin serta untuk menegakkan hukum.31 Dari uraian di atas jelas bahwa dalam masyarakat adat, penanganan sengketa adat juga menjadi wewenang kepala desa yang merupakan penguasa adat. Apalagi pada waktu itu, Landraad tidak memiliki wewenang menyelesaikan delik adat. Penegakan hukum yang dilakukan kepala desa tidak hanya terbatas pada perkara perdata saja, tetapi juga meliputi perkara pidana. Sebagai penguasa
31
R. Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1984, hlm. 65-66.
31
adat, kepala desa mempunyai wibawa dan kekuasaan untuk menetapkan keputusan adat, baik dalam rangka mencegah pelanggaran hukum adat maupun pemulihan hukum adat. Penyelesaian sengketa-sengketa adat oleh kepala desa selaku pimpinan desa dan juga selaku hakim perdamaian desa mirip dengan mediator di dalam Assensus Model diperkenalkan oleh kaum abolisionis yang menghendaki komunikasi lebih fleksibel, sehingga sengketa antara pelaku dengan korban (perseorangan atau kelompok masyarakat) akan lebih mudah diselesaikan. Apa yang dilakukan oleh kepala desa selaku hakim perdamaian desa di dalam menangani konflik yang terjadi di dalam masyarakat, sedikit banyaknya menghindari proses peradilan secara formal dan menggantinya dengan sistem kelembagaan yang berorientasi pada masyarakat.32 Hampir di seluruh kepulauan Indonesia kita dapati peradilan perdamaian desa. Hanya di Bengkalis tidak ada institusi tersebut, sedang di Tapanuli, Minangkabau, Sumatra Selatan dan Kalimantan Tenggara, pengadilan perdamaian desa subur berkembang. Sedangkan di Jawa kecuali di Yogyakarta, institusi ini hampir lenyap, karena berpuluh-puluh tahun tidak diakui oleh pemerintah Hindia Belanda. Di
32
I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Eresco, Bandung, 1993, hlm. 107-108.
32
Yogyakarta pengadilan perdamaian desa kelihatan subur setelah diadakan reorganisasi sistem tanah di daerah tersebut pada tahun 1912.33 Di dalam praktek, hakim perdamaian desa di berbagai wilayah nusantara bisa memeriksa delik-delik adat yang tidak bersifat delik menurut versi KUH Pidana, yang tidak dituntut oleh pegawai-pegawai pemerintah karena bukan strafbaar feit menurut versi KUH Pidana. Selain itu, ada perbuatan-perbuatan melanggar kesusilaan yang pidananya dari KUH Pidana dianggap tidak memuaskan rasa keadilan rakyat, sehingga masih dibutuhkan upaya-upaya adat untuk memulihkan kembali keseimbangan masyarakat yang terganggu.34 Desa Adat di Bali misalnya, yang kekuasaannya dijelmakan dalam sangkepan (rapat) Desa Adat secara musyawarah. Terhadap sengketa-sengketa adat yang bersifat forum dalam membahas masalah-masalah tertentu yang sedang dihadapi desa non-kriminal, penyelesaiannya dalam usaha mengembalikan keseimbangan kosmis yang terganggu tidak melalui proses peradilan, sehingga bukan pidana yang dikenakan, melainkan diselesaikan melalui sangkepan (rapat) desa dan ada kemungkinan untuk dijatuhkan sanksi adat 33 34
R. Soepomo, Op.Cit., hlm. 69-70. Iman Sudiyat, Hukum Adat: Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm.
196.
33
kepada pelakunya. Demikian pada, sengketa adat yang bersifat kriminal, oleh masyarakat penyelesaiannya diserahkan melalui sangkepan desa yang dipimpin oleh kepala desa adat, sehingga tidak ditempuh melalui peradilan formal. Namun sengketa-sengketa adat yang bersifat kriminal juga diselesaikan melalui proses peradilan formal. Pada masyarakat pedesaan di Sulawesi Selatan, tidak hanya seorang kepala masyarakat hukum atau kepala desa saja yang berperan sebagai hakim (judikator), tetapi ia dapat pula bertindak sebagai penengah (mediator) atau wasit (arbiter). Dalam perkembangannya, selain itu terdapat pula lembaga-lembaga lain, misalnya rapat koordinasi suatu instansi pemerintah, lembaga-lembaga pada pemerintahan kelurahan/desa, seperti Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa, ketua kelompok tani, perseorangan, keluarga, teman sejawat, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut dengan kepala desa sebagai penengah atau wasit. Tempat penyelesaiannya tidak tentu, mungkin di Balai Desa, di kantor LKMD, di ruang sidang suatu kantor pemerintah, di salah satu rumah pribadi pihak yang bersengketa, di rumah pihak ketiga, atau di tempat lain yang disetujui pihak-pihak yang bersengketa. Cara penyelesaian sengketanya tidak seperti beracara di Pengadilan Negara, tatapi lebih banyak ditempuh
34
melalui perundingan, musyawarah dan mufakat antara pihak-pihak yang bersengketa sendiri maupun melalui mediator atau arbiter. Hukum yang dijadikan pedoman dalam menyelesaikan sengketa pada umumnya hukum yang disepakati para pihak yang bersengketa, yaitu hukum adat setempat, hukum antar adat, hukum adat campuran, hukum agama, atau campuran hukum adat dan hukum agama (Islam). Di daerah Sumatera Barat (Minangkabau) penyelesaian sengketa anak kemanakan dilakukan oleh ninik mamak. Ada beberapa pola yang dilakukan dalam penyelesaian masalah di masyarakat Minangkabau, yaitu: 1. Kabupaten Pesisir Selatan. Pertama-tama, diusahakan penyelesaian melalui mamak dari pihak-pihak yang bersengketa, apabila tidak dapat diselesaikan, diteruskan kepada penghulu para pihak, kalau sengketa masih tetap tidak dapat diselesaikan, perkara diteruskan ke Balai Adat, lalu ke Karapatan Nagari, dan akhirnya ke Camat. 2. Kabupaten Tanah Datar. Di sini pihak yang mempunyai kekuasaan menyelesaikan sengketa mulai dari mamak rumah, mamak persukuan dan akhirnya Pemerintah Nagari atau Kerapatan Nagari.
35
3. Kabupaten Padang Pariaman. Kecenderungan di daerah ini, sengketa dalam keluarga diselesaikan secara musyawarah oleh mamak bersama ayah dan penghulu. 4. Kabupaten Sawahlunto Sijunjung. Mamak-mamak merupakan instansi pertama, yang dilanjutkan ke penghulu dan akhirnya ke Pengadilan Negeri. 5. Kabupaten Agam. Pada instansi pertama, maka mamak yang berusaha menyelesaikan sengketa, apabila tidak berhasil akan ditangani oleh Penghulu. Dari Penghulu prosesnya ke Kerapatan Nagari dan kemudian ke Camat. 6. Kabupaten Pasaman. Prosesnya dimulai dari mamak rumah dilanjutkan kepada mamak gadang dalam suku, lalu ke Penghulu Pucuk dan Kerapatan Adat Nagari. 7. Kabupaten Lima Puluh Kota. Mula-mula diusahakan oleh mamak rumah untuk menyelesaikan sengketa, yang apabila tidak berhasil, akan diteruskan kepada Penghulu Kaum. Prosesnya lebih lanjut ke Penghulu Suku, kemudian Sidiuk dan akhirnya ke Kerapatan Adat Nagari.
36
8. Kabupaten Solok. Prosesnya dimulai oleh mamak, yang dilanjutkan ke Penghulu, lalu ke Kerapatan Adat Nagari. Apabila Kerapatan Adat Nagari tidak berhasil menyelesaikannya maka proses dilanjutkan ke Camat, dan akhirnya ke Pengadilan Negeri. Pada tahun 1935 pemerintahan Hindia Belanda mengakui eksistensi perdamaian adat ini berdasarkan Pasal 3 a Rechterlijk Organisatie (RO), Staatsblad 1935 Nomor 102, yang antara lain menyatakan bahwa para pihak dapat saja mengajukan sengketa kepada hakim adat, namun hakim adat dilarang menjatuhkan hukuman. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka penyelesaian sengketa adat dapat dilakukan secara musyawarah melalui perdamaian desa yang dipimpin kepala desa. Kedudukan hakim perdamaian desa ini sebenarnya tidak sejajar dengan hakim pengadilan negeri. Hal ini disebabkan penyelesaian sengketa melalui hakim perdamaian desa tidak mengurangi hak dari pihak yang berperkara untuk menyelesaikannya melalui hakim biasa pada Landraad. Hakim pengadilan biasa tidak terikat oleh keputusan hakim perdamaian desa, tetapi mereka diharuskan memperhatikan keputusan yang sudah ditetapkan hakim
37
perdamaian desa tersebut dan suatu keputusan desa tidak dapat dibatalkan oleh pengadilan biasa. Dalam perkembangan selanjutnya menunjukkan terjadinya kenyataan sebagai berikut: 1. Secara diam-diam ketentuan di atas dianggap tidak berfungsi lagi, baik oleh badan peradilan umum maupun oleh pihak penggugat, sementara banyak kepala desa tidak menyadari kedudukannya selaku hakim perdamaian desa atau kalaupun menyadari ia tidak cakap menjabatnya. 2. Pada umumnya warga desa yang bersangkutan mengajukan perkaranya langsung ke pengadilan negeri setempat tanpa melalui bahkan tanpa sepengetahuan kepala desanya. 3. Putusan
perdamaian
atas
suatu
sengketa
yang
menjadi
wewenangnya dibuat oleh kepala desa tanpa menyebutkan kedudukannya sebagai hakim perdamaian desa. 4. Putusan perdamaian tersebut pada umumnya kerap kali tidak memenuhi syarat material dan atau formal sebagaimana telah diatur di dalam ketentuan yang berlaku bagi keputusan-keputusan perdamaian.
38
5. Pada umumnya desa di seluruh Indonesia tidak memiliki administrasi peradilan desa, kalaupun ada satu dua, tidak seragam. 6. Pengajuan perkara ke pengadilan negeri kerap kali tidak efisien. Artinya objek yang diperkarakan atau dipersengketakan nilainya jauh lebih rendah dibandingkan dengan ongkos perkara dan biaya lainnya. 7. Biasanya tidak efektif, karena menyeret orang sekampung ke meja hijau oleh yang bersangkutan dipandang sebagai penghinaan dan dengan demikian timbul sebagai akibat sosial negatif, seperti dendam, kekecewaan dan sebagainya. 8. Pengajuan perkara ke pengadilan negeri kerap kali bukannya menghasilkan ketenangan, kerukunan kembali, atau perdamaian. Melainkan permusuhan dan memberi kesempatan kepada oknum tertentu untuk menghasut salah satu pihak sebagai “pokrol bambu” dan sebagainya, maklumlah orang sekampung biasanya dapat diperbodoh oleh orang dari kota yang berlagak sebagai pembela. Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara
39
Pengadilan-pengadilan Sipil, perdamaian desa ini tetap dipertahankan untuk diteruskan, yang dihapus hanyalah wadahnya untuk dicarikan penggantinya. Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 disebutkan: Pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman dihapuskan: a. Segala Pengadilan Swapraja (Zelfbestuursrechtspraak) dalam Negara Sumatera Timur dahulu, Karesidenan Kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu, kecuali peradilan Agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Swapraja. b. Segala Pengadilan Adat (Inheemsche rechtspraak in rechtstrecks bestuurd gebied), kecuali Peradilan Agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Adat. Dari isi pasal tersebut di atas, terlihat bahwa peradilanperadilan adat akan dihapuskan secara berangsur-angsur, tetapi hak dan kekuasaan yang selama itu diberikan kepada hakim perdamaian desa tidak dikurangi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peranan hakim perdamaian desa masih diakui oleh peraturan perundang-undangan, tetapi wadahnya dihapuskan untuk diganti dengan wadah atau lembaga lain.35 Kemudian peranan kepala desa sebagai hakim perdamaian desa juga diakui oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang antara lain menyatakan dalam rangka 35
Ibid., hlm. 44.
40
pelaksanaan tugasnya kepala desa di bidang ketentraman dan ketertiban dapat mendamaikan perselisihan-perselisihan yang terjadi di desa. Bahkan, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 ini tetap mengakui adanya kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang masih hidup di dalam masyarakat. Kemudian, dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang juga mencabut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, pelembagaan peranan kepala desa sebagai hakim perdamaian tetap dilanjutkan. Dalam penjelasan umum dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ini dinyatakan, bahwa; “Berdasarkan hak asal-usul Desa yang bersangkutan, Kepala Desa mempunyai wewenang untuk mendamaikan perkara/sengketa dari pada warganya”. Selanjutnya, Pasal 101 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menentukan salah satu tugas dan kewajiban Kepala Desa adalah mendamaikan perselisihan masyarakat di Desa. Sedangkan
penjelasannya
menyatakan;
“Untuk
mendamaikan
perselisihan masyarakat di Desa, Kepala Desa dapat dibantu oleh lembaga adat Desa. Segala perselisihan yang telah didamaikan oleh Kepala Desa bersifat mengikat pihak-pihak yang berselisih”.
41
Namun demikian lima tahun lebih kurang undang-undang tersebut sudah dipandang tidak relevan lagi dengan perkembangan otonomi daerah itu sendiri, sehingga pada tanggal 15 Oktober 2004 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 secara resmi diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan nama yang sama (selanjutnya disingkat UUPD).36 Bila dilihat, UUPD tidak mengatur kewenangan Kepala Desa sebagai hakim perdamaian. Akan tetapi kedudukan Kepala Desa sebagai hakim perdamaian diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Dalam Pasal 15 ayat (1) huruf k disebutkan salah satu tugas dan kewajiban Kepala Desa adalah mendamaikan perselisihan masyarakat di Desa. Sedangkan penjelasannya menyatakan; “Untuk mendamaikan perselisihan, Kepala Desa dapat dibantu oleh lembaga adat Desa”. Peranan
Kepala
Desa
dengan
demikian
bukan
hanya
mengurusi soal-soal pemerintahan saja, melainkan juga mempunyai tugas, kewajiban dan wewenang untuk menyelesaikan perselisihan atau mendamaikan kedua belah pihak dari warganya yang berseng-
36
Namun UUPD ini juga sudah mengalami dua kali perubahan, perubahan pertama diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang disahkan pada tanggal 19 Oktober 2005, dan perubahan kedua diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 yang disahkan pada tanggal 28 April 2008.
42
keta dengan dibantu oleh lembaga adat desa atau dengan membentuk peradilan desa. Perdamaian desa ini merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yang dapat membantu kita mempercepat penyelesaian sengketa warga desa serta menghindari menumpuknya perkara yang harus diselesaikan pengadilan. Dengan adanya ketentuan ini, maka seharusnya setiap sengketa terlebih dahulu diselesaikan melalui lembaga desa atau peradilan desa, baru diteruskan ke pengadilan biasa. Dari sudut kasus adat yang dilakukan, perdamaian desa ini membawa beberapa aspek positif, bahwa hakim perdamaian desa bertindak aktif mencari fakta, meminta nasihat kepada tetua-tetua adat dalam masyarakat, putusannya diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat, juga putusannya dapat diterima oleh para pihak dan memuaskan masyarakat secara keseluruhan dan pelaksanaan sanksi yang melibatkan para pihak. Hal ini menunjukkan adanya tenggang rasa (toleransi) yang tinggi di antara pihak, dan suasana rukun dan damai antara para pihak dapat dikembalikan serta integrasi masyarakat dapat dipertahankan.
43
Dari semua aspek proses peradilan adat ini, maka forum peradilan desa dapat berperan dalam mengurangi dan membantu masuknya perkara yang akan diselesaikan lewat pengadilan.37 Satu hal yang perlu disadari, meskipun secara historis culture masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi musyawarah (secara konsensus), tidak dengan sendirinya secara empirik segala isue atau setiap sengketa pada saat ini dapat diselesaikan melalui bentukbentuk penyelesaian sengketa alternatif. Tradisi saja tidak menjamin dapat menyelesaikan sengketa alternatif. Hal ini dapat dimaklumi karena terdapat perbedaan konteks dan kompleksitas sengketa publik dalam masyarakat Indonesia masa kini dan sengketa dalam lingkup kelompok etnis atau masyarakat adat. Sengketa dalam konteks masyarakat adat terbatas pada sengketa internal antara pendukung hukum adat tertentu yang mempunyai kedudukan relatif egaliter. Sebaliknya sengketa publik dalam masyarakat Indonesia masa kini terjadi di luar lingkup masyarakat adat. Bahkan dalam banyak hal sengketa publik seringkali bersinggungan dengan politik penyeleng-
37
Tjok Istri Putra Astitit, “Pemberdayaan Hakim Perdamaian Desa dalam Penyelesaian Kasus Adat di Luar Pengadilan”, dalam Majalah Musyawarah, Nomor 1 Tahun I, Indonesian Center for Environmental Law, Jakarta, 1997, hlm. 6.
44
garaan pemerintahan dan pembangunan serta melibatkan instansiinstansi pemerintah.38 Oleh karenanya, bentuk-bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang dikenal dalam masyarakat tradisional Indonesia perlu dikembangkan ke arah penyelesaian sengketa alternatif modern untuk dapat menampung berbagai sengketa publik yang timbul dalam masyarakat Indonesia masa kini. Terdapat fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa dewasa ini aspirasi untuk pengembangan penyelesaian sengketa alternatif semakin sering muncul ke permukaan, terutama dari kalangan kumunitas bisnis. Sekarang sudah diterima bahwa metode penyelesaian sengketa alternatif memiliki sejumlah keuntungan dan manfaat jika dibandingkan dengan penyelesaian sengketa di pengadilan. Penyelesaian sengketa alternatif memungkinkan perkara ditangani secara informal, sukarela, dengan kerja sama langsung antara kedua belah pihak, kerahasiaan terjaga dan didasarkan pada kebutuhan kedua belah pihak yang menuju kepada penyelesaian yang saling menguntungkan (win-win solution).39
38 39
Takdir Rahmadi, Loc.Cit. Ibid.
45
B. Penyelesaian Sengketa Melalui Alternative Dispute Resolution Penyelesaian sengketa melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu: 1. ADR di Luar Pengadilan. ADR di luar pengadilan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Selain ADR, diatur juga penyelesaian sengketa dengan menggunakan dading yang diatur dalam Pasal 1851-1864 KUH Perdata, adapun penyelesaian sengketa dengan menggunakan dading berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak. Dapat dikatakan perkembangan dalam perundang-undangan, secara tegas mengakui ADR sebagai mekanisme yang diakui dalam penyelesaian sengketa. Lembaga-lembaga ADR berikut ini menunjukkan bahwa keberadaan ADR di luar pengadilan merupakan pilihan penyelesaian sengketa tertentu yang diakui, seperti: a. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), didirikan atas prakarsa KADIN sesuai amanat Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri. BANI merupakan perwujudan arbitrase yang juridiksinya meliputi sengketa-sengketa
46
perdata dalam perdagangan, industri dan keuangan baik nasional maupun internasional.40 b. Penyelesaian sengketa jasa kontruksi. Berdasarkan Undangundang Nomor 18 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Kontruksi, telah dibentuk suatu lembaga ADR sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Mediasi dalam penyelesaian sengketa jasa kontruksi yang dilakukan oleh 1 orang mediator. Juga mengatur tentang konsiliasi oleh seorang konsiliator, dan arbitrase oleh seorang arbiter. Juridiksinya dibatasi pada masalah perdata saja. c. Penyelesaian sengketa hak kekayaan intelektual (HAKI), yang sebaiknya diselesaikan di luar pengadilan. Kemungkinan penyelesaian sengketa HAKI di luar lembaga pengadilan diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang
Desain Tata
Letak Sirkuit Terpadu, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001
40
Gunawan Wijaya & Ahmad Yani, Alternatif Penyelesaian Sengketa; Seri Hukum Bisnis, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 98-99.
47
tentang Paten, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.41 d. Penyelesaian perselisihan praktek monopoli dan persaingan usaha yang dapat dilakukan di luar lembaga pengadilan, didasarkan pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Berdasarkan Kepres RI Nomor 75 Tahun 1999 dibentuk KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha). Atas putusan KPPU dapat diajukan keberatan ke Pengadilan Negeri.42 e. Penyelesaian sengketa konsumen, didasarkan pada Undangundang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang juga mengatur Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang dibentuk di Daerah Tingkat Kabupaten/Kota. Keputusan BPSK antara konsumen dan pelaku usaha dapat
41
Penyelesaian sengketa bisnis, khususnya menyangkut hak atas kekayaan intelektual lebih tepat dilakukan di luar pengadilan, melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa lainnya. Lebih lanjut lihat Rahmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, Alumni, Bandung, 2003, hlm. 290, 365, 407, 496. 42 Sesuai dengan ketentuan Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, bahwa proses penanganan perkara persaingan usaha tidak sehat tidak dapat langsung diajukan ke Pengadilan Negeri, melainkan harus melalui Komisi. Lebih lanjut lihat Ayuda D. Prayoga, et.al., Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya, Proyek Ellips, Jakarta, t.t., hlm. 140. Lihat juga Hikmahanto Juwana et.al., Peran Lembaga Peradilan dalam Menangani Perkara Per-saingan Usaha, Partnership For Bussiness Competition, Jakarta, 2003, hlm. 34.
48
diajukan keberatan ke Pengadilan Negeri dan atas putusan Pengadilan tersebut dapat diajukan kasasi. f. Penyelesaian perselisihan lingkungan hidup. Mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan atas sengketa lingkungan hidup berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Sengketa Lingkungan Hidup. Pilihan forum ADR dapat berbentuk negoisasi, mediasi, arbitrase, maupun bentuk lainnya yang merupakan pengembangan dari ketiga bentuk tersebut.43 g. ADR dalam menyelesaikan restrukturisasi utang. Dalam hal ini satuan tugas prakarsa di Jakarta adalah lembaga yang didirikan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Koordinator bidang ekonomi, keuangan dan industri selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan dengan Nomor: KEP.04/M.EKUIN/02/2000 untuk melakukan penyelesaian penyehatan perbankan dan restrukturisasi utang perusahaan dalam rangka pemulihan ekonomi nasional. Lembaga ini adalah satu-satunya lembaga mediasi di
43
Mas Achmad Santosa (selanjutnya disebut Mas Achmad Santosa II), ”Potensi Penerapan Alternative Dispute Resolution Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup”, dalam Pustaka Peradilan, Jilid XVIII, Proyek Pembinaan Tehnis Justicial Mahkamah Agung R.I., 1998, hlm. 71.
49
Indonesia dengan menerapkan proses mediasi dan menerapkan teknik-teknik mediasi. Perkara yang dimajukan ke lembaga ditengahi/didamaikan mediator yang sudah terlatih. h. Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4).
Badan
Departemen
ini
Agama
merupakan
badan
dikhususkan
yang
dibentuk
oleh
untuk mendamaikan
dan
memediasikan para pihak yang beragama Islam yang ingin bercerai. Biasanya pihak-pihak yang ingin mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama pertama kali mereka mendatangi BP4. Namun meskipun para pihak, belum mendatangi atau belum melalui proses BP4 dan langsung mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama, Pengadilan Agama tetap menerima perkara tersebut. Perkara yang dimajukan ke Pengadilan Agama oleh para pihak, baik yang sudah melalui proses BP4 maupun yang belum, maka dalam perkara tersebut tetap wajib didamaikan oleh hakim yang memeriksa dan mengadili perkaranya. i.
Penyelesaian perburuhan. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka dibentuk suatu badan untuk melakukan penye-
50
lesaian perselisihan hubungan industrial.44 Bila terjadi perselisihan antara pekerja dengan pihak pengusaha maka wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila tidak mendapatkan kesepakatan maka penyelesaian dilanjutkan ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk diselesaikan melalui mediasi, dan bila hal ini gagal kembali maka dilanjutkan ke Pengadilan Hubungan Industrial. j.
Mediasi
perbankan.
Lembaga
mediasi
perbankan
didirikan
berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/5/PBI/2006, yang telah dirubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Mediasi di bidang perbankan ini dilakukan oleh lembaga mediasi perbankan indipenden yang dibentuk oleh asosiasi perbankan, namun dalam pelaksanaan tugasnya tetap melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia.
44
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUPPHI, yang dimaksud dengan perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan antar serikat pekerja dalam suatu perusahaan.
51
Adapun fungsi mediasi perbankan ini hanya terbatas pada upaya membantu nasabah dan bank untuk mengkaji ulang sengketa secara mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan. Bahkan lembaga mediasi perbankan ini hanya menyelesaikan sengketa yang memiliki nilai tuntutan finansial paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Nasabah tidak dapat mengajukan tuntutan finansial melalui lembaga mediasi perbankan yang diakibatkan oleh kerugian immateril.
2. ADR di Pengadilan. Terwujudnya keadilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan merupakan dambaan dari setiap pencari keadilan dimanapun. Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman merumuskan di dalam Pasal 4 ayat (2); “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”. Di dalam perkara perdata hakim harus membantu para pencari keadilan dan berusaha semaksimal mungkin mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan tersebut.
52
ADR di pengadilan diatur dalam Pasal 130 HIR/154 RBg mengenai perdamaian. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam perkara perdata hakim harus bersifat aktif untuk mengupayakan perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara, guna menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi. Sebagai
perbandingan
dalam
menghadapi
masalah
caseoverlood (meningkatnya jumlah perkara) sehingga menimbulkan masalah tunggakan perkara, yang nampaknya menjadi masalah dunia dewasa ini, bahwa di Jerman penyederhanaan sistem beracara di peradilan dan juga merupakan upaya penyelesaian adalah dengan adanya pretrial hearing dan settlement (perdamaian). Punt dari Belanda (Wakil ketua Rechbank di Den Haag) menemukan bahwa angka rata-rata penyelesaian perkara dengan perdamaian adalah 40%. Upaya penyelesaian perkara dengan “settlement” yang merupakan salah satu jalan mengatasi “legain efficiency”.
Prinsip
pemeriksaan
perkara
secara
lisan
(oral
proceedings) dianggap sebagai bentuk pemeriksaan yang dapat mempercepat penyelesaian perkara.45
45
Setiawan, Aneka Masalah Hukum Dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 473.
53
Apabila di Indonesia dapat tercapai perdamaian seperti presentase di Negeri Belanda, maka sedikit akan membantu mengikis penumpukan perkara yang ada di Mahkamah Agung. Selain itu, lebih mendekati asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Mengenai apa dan bagaimana putusan perdamaian dapat diketahui dengan jalan mengaitkan ketentuan Pasal 1851 KUH Perdata dengan Pasal 130 HIR atau 154 RBg yang berbunyi; “Perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak mengakhiri suatu perkara atau mencegah timbulnya suatu perkara”. Kedua belah pihak yang bersangkutan sama-sama menyetujui dengan sukarela mengakhiri persengketaan. Persetujuan mesti murni datang dari kedua belah pihak. Artinya persetujuan itu bukan kehendak sepihak atau kehendak hakim tanpa mengurangi kebolehan hakim untuk menganjurkan memberi saran, pendapat dan nasehat.46 Agar perdamaian yang terjadi antara para pihak yang bersengketa dapat ditingkatkan dalam bentuk putusan perdamaian, kesepakatan persetujuan perdamaian harus telah dirumuskan dalam bentuk tertulis. Masing-masing pihak membubuhkan tanda tangan, 46
Ibid. Lihat juga M. Yahya Harahap (selanjutnya disebut M. Yahya Harahap III), Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan Pengadilan dan Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi, Citra Bhakti, Jakarta, 1993, hlm. 75.
54
kemudian diminta ke pengadilan untuk dituangkan menjadi putusan perdamaian. Putusan perdamaian harus memuat amar “condemnatoir”.47 Hakim yang menjatuhkan putusan harus mencantumkan amar “menghukum para pihak untuk melaksanakan isi perdamaian”. Istilah perdamaian dalam Pasal 130 HIR/154 RBg pemakaiannya tidak seragam. Retno Wulan Sutantio selalu menggunakan “acte van dading”48 sedangkan Hakim Agung Mariana Sutadi lebih sering menggunakan acte van vergelijk untuk menyatakan perdamaian dalam Pasal 130 HIR/154 RBg.49 Tresna dalam bukunya “Komentar HIR” mengunakan istilah acte van vergelijk untuk menyatakan perdamaian dalam Pasal 130 HIR.50 Banyak hakim lebih cenderung memakai istilah acte van dading untuk surat (akte) perdamaian yang dibuat para pihak tanpa/belum ada pengukuhan dari hakim dan acte 47
Secara umum putusan pengadilan bila dilihat dari sifatnya dapat digolongkan ke dalam tiga sifat putusan: pertama, keputusan bersifat deklaratoir yaitu putusan yang bersifat menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata, kedua, putusan yang bersifat condemnatoir, yaitu putusan yang berisi penghukuman dan ketiga, putusan yang bersifat konstitutif yaitu putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan keadaan hukum baru. Lihat Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkertawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 1995, hlm. 109. 48 Retnowulan Sutantio, Mediasi dan Dading, Proceedings Arbitrase dan Mediasi, Cetakan Pertama, Pusat Pengkajian Hukum Kerjasama dengan Pusdiklat MARI, t.k., 2003, hlm. 181. 49 Mariana Sutadi, ”Pendayagunaan Perdamaian Menurut Pasal 130 HIR/154 RBg dan Potensinya dalam Mewujudkan Keadilan yang Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan”, dalam Mediasi dan Perdamaian, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 5. 50 Tresna, Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta, 1975, hlm. 130-131.
55
van vergelijk adalah surat (akte) yang telah memperoleh pengukuhan dari hakim. Perdamaian dapat saja dibuat para pihak dihadapan atau oleh hakim yang memeriksa perkara, namun dapat juga perdamaian dibuat oleh para pihak di luar pengadilan, selanjutnya dibawa ke pengadilan yang bersangkutan untuk dikukuhkan. Bila ditinjau dari tempat pembuatan perdamaian, dapat dibagi atas: a. Dibuat di pengadilan (di hadapan hakim). b. Dibuat di luar pengadilan (bukan di hadapan hakim). Timbul pertanyaan, bagaimana konsekuensi hukum atas perdamaian dengan pengukuhan hakim dan perdamaian tanpa pengukuhan hakim. Bila dilihat dari ketentuan Pasal 1858 KUH Perdata yang menyatakan “Segala perdamaian mempunyai suatu kekuatan di antara para pihak seperti suatu keputusan hakim dalam tingkat penghabisan. Tidaklah dapat perdamaian itu dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan”. Ini artinya perdamaian tersebut mempunyai kekuatan yang sama dengan suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Bila dihubungkan dengan Pasal 130 ayat (3) HIR, putusan yang demikian itu tidak dapat dibanding. Begitu
56
pula Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 198551 melarang untuk kasasi. Putusan perdamaian sama nilainya dan bobotnya dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sehingga langsung mempunyai kekuatan eksekutorial. Untuk pemberdayaan Pasal 130 HIR/154 RBg telah dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama dalam menerapkan lembaga damai (dading) yang isinya sebagai berikut: a. Agar semua hakim (majelis hakim) yang menyidangkan perkara secara sungguh-sungguh mengusahakan perdamaian dengan menerapkan ketentuan Pasal 130 HIR/154 RBg, tidak hanya sekedar formalitas menganjurkan perdamaian. b. Hakim yang ditunjuk dapat bertindak sebagai fasilitator yang membantu para pihak dari segi waktu, tempat dan pengumpulan data serta argumentasi para pihak dalam rangka persiapan ke arah perdamaian. c. Pada tahap selanjutnya apabila dikehendaki para pihak yang berperkara, hakim atau pihak lain yang ditunjuk dapat bertindak sebagai mediator yang akan mempertemukan para pihak yang
51
Lihat Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
57
bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang disengketakan dan berdasarkan informasi yang diperoleh serta diinginkan masing-masing pihak dalam rangka perdamaian. Selanjutnya menyusun proposal perdamaian yang kemudian dikonsultasikan dengan para pihak untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan (win win solution). d. Hakim yang ditunjuk sebagai fasilitator (mediator) oleh para pihak tidak dapat menjadi hakim majelis pada perkara yang bersangkutan untuk menjaga obyektifitas. e. Untuk pelaksanaan tugas sebagai fasilitator maupun mediator kepada hakim yang bersangkutan diberikan waktu paling lama 3 (tiga) bulan, dan dapat diperpanjang apabila ada alasan untuk itu dengan persetujuan ketua pengadilan negeri, waktu tersebut tidak termasuk waktu penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1992. f. Persetujuan para pihak dituangkan dalam persetujuan tertulis dan ditanda tangani, kemudian dibuatkan akta perdamaian (dading), agar dengan akta perdamaian itu para pihak dihukum untuk menepati apa yang disepakati/disetujui.
58
g. Keberhasilan penyelesaian perkara melalui perdamaian, dapat dijadikan bahan penilaian (reward) bagi hakim yang menjadi fasilitator/mediator. h. Apabila usaha-usaha yang dilakukan oleh hakim tersebut tidak berhasil, hakim yang bersangkutan melapor kepada ketua pengadilan negeri/ketua majelis dan pemeriksaan perkara dapat dilanjutkan oleh majelis hakim dengan tidak menetapkan peluang bagi para pihak untuk berdamai selama proses pemeriksaan berlangsung. i.
Hakim yang menjadi fasilitator maupun mediator wajib membuat laporan kepada ketua pengadilan negeri secara teratur.
j.
Apabila terjadi proses perdamaian, maka proses perdamaian tersebut dapat dijadikan sebagai alasan penyelesaian perkara melebihi ketentuan 6 bulan. Semua aturan yang telah diuraikan dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tersebut masih banyak kekurangannya. Hal ini dapat dilihat dalam masalah-masalah yang tidak dapat terjawab dan rumitnya aturan Surat Edaran Mahkamah Agung yang seharusnya merinci pelaksanaan upaya perdamaian yang dilakukan hakim sebelum sidang perkara secara adversarial dilakukan. Tetapi patut mendapat acungan karena seperti dikemuka-
59
kan oleh M. Siahaan, Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut merupakan terobosan besar, yang merujuk kepada keberanian Mahkamah Agung menggunakan fungsi mengatur (regelende functie) yang dimilikinya. Kekurangan dan hal-hal yang tidak jelas serta tidak tuntas
diatur,
hendaknya
dilengkapi
dalam
praktek
melalui
pemahaman yang benar tentang lembaga perdamaian sebagai bentuk dari Court annexed dispute resolution.52 Menindaklanjuti Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002, maka Mahkamah Agung merasa perlu melengkapi dan menyempurnakannya dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Dan sejak 31 Juli 2008 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 dinyatakan tidak berlaku, diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 dengan nama yang sama. Dasar hukum mediasi yang merupakan salah satu dari sistem ADR di Indonesia adalah dasar negara Indonesia yaitu; Pancasila, di mana dalam filosofinya disiratkan bahwa asas penyelesaian sengketa adalah musyawarah untuk mufakat. Hal tersebut juga tersirat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hukum tertulis lainnya yang mengatur 52
M. Siahaan, ”Pengkajian Beberapa Topik Hukum Acara Perdata”, dalam Bunga Rampai Makalah Hukum Acara Perdata, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 133.
60
tentang mediasi adalah Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Yang sudah digantu dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Penjelasan Pasal 3 undang-undang tersebut menegaskan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit tetap diperbolehkan. Selain itu Pasal 14 ayat (2) menegaskan pula bahwa ketentuan ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian. Ketentuan yang sama dijumpai dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti Undang-undang No. 14 Tahun 1970. Bila dilihat kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Agung menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, ditegaskan bahwa Mahkamah Agung memiliki kewenangan: a. Memeriksa dan memutus: 1) Permohonan kasasi. 2) Permohonan peninjauan kembali. 3) Sengketa tentang kewenangan mengadili.
61
b. Memberi pertimbangan hukum kepada lembaga tinggi negara. c. Memberi nasehat hukum kepada presiden selaku kepala negara untuk pemberian atau penolakan grasi. d. Menguji secara materiil peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. e. Membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan. Dengan demikian, lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan berasal dari kewenangan Mahkamah Agung dalam membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum seperti tersebut pada huruf e di atas.
C. Juridiksi Alternative Dispute Resolution di Pengadilan Alternative Dispute Resolution pada mulanya diperuntukkan bagi penanganan masalah-masalah perdagangan, namun sekarang ini telah berkembang pula ke perkara-perkara yang lain sepanjang masih masalah perdata. Oleh karena itu, cakupan juridiksinya sangat luas. Juridiksi tersebut juga sampai kepada perceraian dalam arti mendamaikan para pihak supaya jangan cerai. Timbul suatu per-
62
tanyaan, bagaimana terhadap suatu perkara pidana aduan (klacht delict). Untuk itu kita akan melihat juridiksi mediasi di berbagai macam lingkungan peradilan. 1. Pengadilan negeri mempunyai juridiksi untuk melakukan perdamaian atau mediasi atas semua perkara perdata baik bisnis, pertanahan, perkawinan termasuk juga perkara perdata dari suatu tindak aduan (klacht delict) dan lain-lain terhadap para pihak yang berperkara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 130 HIR/RBg. Dalam hal terjadi kesepakatan di antara para pihak maka kesepakatan tersebut dikukuhkan oleh hakim yang memeriksa dan mengadili perkara. Dalam hal tidak terjadi perdamaian, maka pemeriksaan pokok perkara dilanjutkan secara ajudikasi. 2. Pengadilan agama juga mempunyai juridiksi untuk melakukan perdamaian, dalam arti agar para pihak yang berperkara tidak bercerai. Biasanya para pihak datang ke pengadilan agama tanpa melalui BP4 perkaranya tetap diperiksa. Hakim agama yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut tetap mewajibkan untuk melakukan upaya perdamaian agar para pihak yang bersengketa melakukan perdamaian terlebih dahulu. Dalam hal terjadi kesepakatan maka pihak penggugat mencabut perkaranya.
63
3. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak mempunyai juridiksi untuk melakukan perdamaian kepada para pihak yang berperkara, karena subtansi perkara yang diperiksa oleh PTUN bukanlah perkara perdata tetapi keputusan administrasi negara sebagaimana tertuang dalam Pasal 53 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam prakteknya apabila perdamaian terjadi di antara para pihak yang berperkara maka salah satu pihak akan mencabut perkaranya. Oleh karena itu, hakim yang memeriksa dan mengadili perkara justru tidak boleh melakukan perdamaian. Kalaupun terjadi perdamaian di antara para pihak semata-mata adalah terjadi di luar persidangan tanpa sepengetahuan hakim yang memeriksa. 4. Pengadilan militer tidak mempunyai juridiksi untuk melakukan perdamaian kepada para pihak yang berperkara oleh karena subtansi perkara yang dimajukan ke pengadilan militer bukanlah perkara perdata tetapi merupakan tindak pidana. Pasal 1851 KUH Perdata berbunyi; “Perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara
64
yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis.” Pasal 130 HIR atau Pasal 154 RBg berbunyi: (1)
(2)
(3) (4)
Jika pada hari yang ditentukan, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri mencoba dengan perantaraan ketuanya akan memperdamaikan mereka. Jika perdamaian yang demikian itu terjadi, maka tentang halhal yang diperdamaikan diperbuat sebuah akte, dan kedua belah pihak diwajibkan untuk mentaati perjanjian yang diperbuat itu, dan surat (akte) itu akan berkekuatan hukum dan akan diperlakukan sebagai putusan hakim yang biasa. Tentang keputusan yang demikian itu tidak diizinkan orang minta apel. Jika pada waktu dicoba akan memperdamaikan kedua belah pihak itu, perlu memakai seorang juru bahasa. Dari bunyi kedua pasal tersebut di atas tergambar pengertian,
syarat-syarat, bentuk, isi dan proses terwujudnya putusan perdamaian. Pengertian perdamaian tersebut di atas menjelaskan bahwa perdamaian adalah suatu persetujuan atau perjanjian antara para pihak, inilah unsur pertama kekuatan mengikatnya suatu perjanjian perdamaian sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, artinya berlaku mengikat sebagaimana layaknya undang-undang.
65
4 PELEMBAGAAN ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION DI INDONESIA
A. Masyarakat dan Sengketa Masyarakat Indonesia berada pada persimpangan jalan, transisi dari masyarakat agraris (pedesaan) ke masyrakat industri (perkotaan) yang menyebabkan terjadinya benturan-benturan nilai. Nilai-nilai tradisional yang di pegang teguh oleh generasi dulu mulai luntur, sedangkan nilai-nilai baru (modern) belum sepenuhnya terbentuk dan diterima. Sengketa yang terjadi pada saat ini yang sering terjadi ditengah-tengah masyarakat dapat digolongkan antara lain: 1. Sengketa tradisional, berkisar tentang keluarga, warisan, dan tanah. 2. Sengketa bisnis yang rumit serta sarat dengan unsur keuangan, perbankan modern, peraturan perundangan, etika, pemenuhan kontrak dan sebagainya.
66
3. Sengketa lingkungan yang rumit dengan masalah pembuktian ilmiah dan hubungan administrasi pusat daerah. 4. Sengketa tenaga kerja yang diwarnai dengan masalah hak asasi, reputasi negara, dan perhatian masyarakat internasional. Pada masa transisi ini, cara penyelesaian sengketa tradisional dengan bantuan pemuka masyarakat, kepala adat dan agama, atau sesepuh keluarga cenderung terbatas pada sengketa keluarga, perkawinan dan warisan. Pada kelompok masyarakat di mana sistem tradisional ini melembaga dan membudaya (seperti masyarakat Sumatera Barat), peranan figur-figur ini dianggap tidak efektif lagi, apalagi untuk menyelesaikan sengketa-sengketa modern.53 Masyarakat masa kini menilai kemampuan seseorang untuk membantu menyelesaikan masalah tidak lagi hanya berdasarkan lanjutnya usia, padatnya pengalaman, atau kearifan orang tersebut. Dalam mencari penengah, masyarakat menuntut penengah yang memiliki pengetahuan mengenai permasalahan yang dihadapi dan telah mencapai prestasi tinggi di bidang objek sengketa dan lingkungan sosialnya. Jalan lain yang banyak di tempuh oleh masyarakat sekarang untuk menyelesaikan sengketa adalah jalur hukum. 53
Sutadi Djayakusuma, “Peluang Penerapan Lembaga Penyelesaian Perkara Alternatif di Indonesia: Suatu Pandangan”, Makalah pada Seminar Eksekutif Pengelolaan Sengketa Lingkungan di Indonesia, Jakarta, 24 April 1995.
67
Dengan berkembangnya kesadaran hukum masyarakat dan melemahnya pengaruh lembaga-lembaga tradisional, anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh pihak lain sering mencari keadilan kelembaga peradilan resmi.54 Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa lembaga peradilan sebagai
lembaga
penegak
hukum
modern
sedang
dilanda
“musibah”.55 Saat sekarang, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
peradilan
sangat
rendah.
Rendahnya
kepercayaan
masyarakat terlihat dari banyaknya kasus yang diajukan ke Mahkamah Agung untuk kasasi. Hal ini menunjukkan bahwa putusan pengadilan dianggap belum merupakan keputusan yang terbaik dan adil. Gambaran di atas, mengarah kepada dibutuhkannya suatu cara penyelesaian sengketa yang efektif, dipercaya, menembus akar permasalahan, serta menyentuh rasa keadilan dan kemanusiaan pihak yang bersangkutan. Adanya cara penyelesaian sengketa ini akan mendukung tercapai dan terpeliharanya masyarakat yang damai dan tertib serta mengurangi tekanan-tekanan dan konflik dalam masyarakat. 54
“Sudah Perlu Dibentuk, Lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif”, Harian Kompas, 13 Februari 1995, hlm. 6. 55 J.E. Sahetapy, Forum Keadilan, No. 4, Tahun 5, Juni 1996.
68
Adanya rencana pengembangan pasar bebas pada awal abad 21, Indonesia dihadapkan pada situasi perekonomian, politik, dan sosial, kebijakan pemerintah yang tidak luput dari perhatian masyarakat dunia. Perubahan-perubahan sosial, ekonomi, politik, dan budaya akan terus berlangsung di abad mendatang. Hal tersebut perlu diikuti pengembangan sistem untuk menangani benturan nilai dari perbedaan pendapat. Sistem tersebut diharapkan mampu mengurangi kemungkinan munculnya sengketa atau konflik, menyelesaikan dengan cepat, tepat, dan memuaskan sengketa-sengketa yang ada dimasyarakat.56
B. Sengketa Bisnis Sengketa dengan rekanan atau mitra bisnis adalah suatu hal yang dianggap tabu bagi pelaku bisnis. Sengketa yang diketahui oleh masyarakat bisnis sangat merugikan reputasi pelaku bisnis dan berpotensi mengurangi kepercayaan klien, nasabah, atau konsumen perusahaan itu sendiri. Berbeda dengan sengketa lingkungan dan
56
Mas Ahmad Santosa dan TM. Luthfi Yazid, “Pembentukan ADR, Tidak Cukup Hanya Dukungan Budaya Musyawarah”, Harian Kompas, 27 Februari 1995.
69
tenaga kerja, sengketa bisnis umumnya sangat dirahasiakan oleh pelaku bisnisnya.57
1. Kelemahan Jalur Penyelesaian.58 Penyelesaian sengketa bisnis yang terangkum dalam penelitian menunjukkan bahwa jalan pengadilan dianggap kurang menguntungkan bagi pelaku bisnis maupun konsumen perorangan karena selain mahal, proses panjang dan berbelit-belit, kepercayaan pelaku bisnis dan masyarakat akan kenetralan pengadilan juga tidak mendukung dipilihnya pengadilan. Lembaga arbitrase yang merupakan salah satu dari ADR kurang dikenal dan dipahami oleh kalangan bisnis maupun masyarakat luas. Klausal arbitrase dalam perjanjian dagang atau kerjasama sering mencantumkan kemungkinan pengajuan sengketa ke pengadilan jika arbitrase tidak berhasil padahal putusannya sudah final. Adakalanya pelaku bisnis membawa kasus sengketanya ke pengadilan walaupun dalam perjanjian kerja tercantum klausal arbitrase. 57
“Pengusaha Lebih Suka Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Harian Kompas,19 Februari 1995, hlm. 5. 58 Bappenas dan The Asia Foundation, Makalah Kebijakan (Policy Paper) Pelembagaan Penyelesaian Sengketa Perundingan dan Arbitrase di Indonesia, Hasil studi mengenai ADR yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh PT Qipra Galang Kualita, Yayasan Akatiga, ICEL (Indonesia Center for Environment Law), dan LPPM (Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen), Jakarta, Januari 1997, hlm. 28.
70
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai lembaga arbitrase bisnis dianggap mahal, apalagi karena masih ada kemungkinan putusannya tidak dapat dieksekusi dan diserahkan ke pengadilan sehingga akan memakan waktu dan biaya lagi. Reputasi BANI makin merosot dengan adanya kasus-kasus yang diterima pengadilan walaupun telah diputus oleh BANI dan dalam perjanjian kerjanya jelas-jelas menyebutkan arbitrase sebagai pilihan penyelesaian sengketa. BANI juga dianggap tidak kuat karena tidak mempunyai wewenang eksekusi.59 Perundingan adalah proses penyelesaian sengketa bisnis antar pengusaha yang paling disukai walaupun masih ada keraguan mengenai kekuatan hukum dan pematuhan kesepakatannya. Sebaliknya, untuk sengketa antar pengusaha dengan konsumen, perundingan dianggap tidak memadai. Pihak yang menawarkan jasa perundingan atau arbitrase untuk sektor bisnis saat sekarang ini belum banyak. Arbitrase yang terbatas pada BANI, BAMUI, dan P3BI, sedangkan jasa perundingan hanya tersedia secara informal pada asosiasi profesi.
59
H. Ahmad Zulkifli, “Putusan Arbitrase Sulit Dieksekusi”, Forum Keadilan, No. 19, Tahun 4, Januari 1996, hlm. 33-34.
71
2. Bisnis dan Peluang. Perundingan dan arbitrase mempunyai peluang yang baik dan perlu dikembangkan sebagai jalur penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan karena pengadilan dianggap bukan pilihan yang menguntungkan. Pengembangan jasa pada asosiasi profesi untuk perundingan dan arbitrase perlu mendapat perhatian yang serius. Pengurus atau anggota asosiasi profesi berada pada posisi yang baik untuk berlaku sebagai penengah karena selain mengerti substansi permasalahan yang dihadapkan oleh yang bersengketa, juga mempunyai kemampuan menjaga hubungan antar anggota atau anggota dengan konsumen agar tetap baik. Salah satu prospek pengembangannya adalah keberadaan lembaga penengah/arbitrase yang setidaknya berada di bawah naungan departemen teknis, seperti Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Kehutanan, dan Departemen Kesehatan. Besarnya volume investasi asing dan perdagangan internasional yang terjadi dan akan bertambah pada abad 21 menambah pentingnya jasa juru runding dan arbitrase professional berkembang di Indonesia. Dibukanya pasar dunia di Indonesia, tidak tertutup kemungkinan masuknya tenaga mediator/arbiter professional dari luar negeri. Apabila Indonesia tidak mempersiapkan diri dengan mengembangkan
72
profesi ini, tenaga Indonesia akan tertinggal dan memiliki daya saing rendah di negeri sendiri.
3. Pelembagaan. Masalah pelembagaan diulas dengan tujuan untuk menggambarkan pentingnya melembagakan ADR jika diharapkan memegang andil dalam mencegah dan menyelesaikan sengketa di masyarakat. Pelembagaan di sini tidak terbatas pada pengertian adanya suatu badan atau organisasi, namun mencakup adanya perangkat-perangkat lembaga yang memungkinkan proses perundingan/arbitrase dilakukan di Indonesia.
4. Kebutuhan. Suatu fungsi atau proses akan dilembagakan jika memenuhi beberapa kriteria yang meliputi: 1. Konsistensi/kelakuan pelaksanaan fungsi atau proses tesebut. 2. Sistematisasi atau aturan main yang jelas. 3. Kesinambungan yang tidak tergantung pada satu atau dua individu. 4. Keberhasilan yang tidak tergantung pada satu atau dua individu.
73
Berdasarkan kriteria di atas, jika perundingan dan arbitrase diharapkan memainkan peranan yang berarti dalam masyarakat, pilihan penyelesaian sengketa ini perlu dilembagakan. Walaupun bukan hal yang baru lagi bagi masyarakat Indonesia, bentuk perundingan dan arbitrase yang ingin dikembangkan harus diperkenalkan kemasyarakat secara jelas agar tidak menimbulkan salah pengertian dan penyalahgunaan. Jika perundingan/arbitrase dijadikan sebagai suatu profesi, kesamaan persepsi dan pengertian menjadi penting sekali. Di samping itu, pengembangan profesi juru runding dan wasit di Indonesia harus sejalan dengan aturan main dan kode etik profesi yang berlaku secara internasional (badan-badan ADR internasional) serta mampu bersaing dengan juru runding/wasit internasional.
5. Unsur Kelembagaan. Unsur-unsur kelembagaan yang telah disorot dalam penelitian mencakup sebagai berikut: a. Peraturan perundang-undangan. Penelitian ini secara garis besar berupaya untuk megenali dasar hukum yang telah ada mendukung pengembangan perundingan/arbitrase. Pengalaman penerapan ADR yang sudah ada juga dipergunakan untuk menelaah apakah
74
diperlukan peraturan perundangan baru atau tidak. Akan tetapi, karena titik tolak pendirian ini adalah kebutuhan masyarakat, penelitian ini tidak membahas secara mendalam persyaratan hukum yang tepat untuk pengembangan ADR dan pelembagaannya. b. Lembaga penyediaan jasa. Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan tentang lembaga macam apa yang sesuai sebagai lembaga penyedia jasa perundingan/arbitrase dan bagaimana statusnya (badan pemerintah, swasta, atau lembaga swadaya). c. Prosedur pendayagunaan. Bagaimanakah seseorang atau sebuah lembaga yang sedang bersengketa dapat memperoleh jasa perundingan dan memilih juru runding atau wasit yang diinginkan. d. Sumber daya manusia. Unsur ini adalah ujung tombak pengembangan perundingan/arbitrase. Penelitian ini menelaah persyaratan menjadi juru runding/wasit, termasuk latar belakang pendidikan dan pekerjaan serta ketrampilan sebagai fasilitator penyelesaian sengketa. Dipikirkan pula langkah-langkah yang paling efisien dan efektif untuk mengembangkan profesi ini. e. Sumber dana/pembiayaan. Dalam penelitian ini ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan,
pertama,
penyandang dana
bagi
kegiatan-kegiatan persiapan pengembangan perundingan/arbi-
75
trase. Kedua, pembayaran biaya jasa juru runding/wasit oleh pihak-pihak yang bersengketa. f. Pemasyarakatan. Penelitian ini mencoba menggali segmensegmen masyarakat tertentu untuk mengenalkan negosiasi, mediasi, konsiliasi, serta arbitrase. Pengamatan yang dilakukan juga tentang harapan dan kekecewaan masyarakat terhadap jalurjalur penyelesian sengketa yang ada. Berdasarkan penelitian tersebut dapat diidentifikasi hal-hal yang perlu dimasyarakatkan dalam pengembangan perundingan/arbitrase.
6. Pelajaran Dari Mancanegara. Di Sri Lanka, ADR diformallisasikan oleh pemerintah pada tahun 1978 melalui Undang-undang No. 10 Tahun 1958 tentang Pendirian Conciliation Board, kemudian deperbaharui dan diperbaiki melalui Undang-undang No. 72 Tahun 1988 tentang Mediation Board. Bentuk ADR yang berlaku di Sri Lanka saat ini adalah berdasarkan atas peraturan yang terakhir. Mediation Board Commision bertanggung jawab atas pemilihan, pemindah tugasan, pemberhentian, serta pemberian sanksi indisipliner terhadap tenaga mediator. Komisi ini terdiri dari lima orang yang diangkat oleh Presiden Sri Lanka. Anggota panel mediasi adalah orang-orang yang dicalonkan oleh tokoh
76
masyarakat lokal dan sudah lulus pelatihan teknik mediasi. Pada akhir tahun 1991, di Sri Lanka telah berdiri sekitar 211 panel mediasi yang terdir atas lebih kurang 5000 tenaga mediator untuk melayani hampir seluruh wilayahnya. Mediasi adalah wajib bagi semua sengketa sebelum menempuh upaya pengadilan. Batas waktu penyelesaiannya adalah 30 hari sebelum diajukan ke pengadilan. Di Filipina, lembaga ADR dikembangkan mulai pada tingkat pedesaan (barangay) melalui Keputusan Presiden No. 1408 Tahun 1978, dengan dibentuknya lembaga mediasi di 42.000 desa diseluruh Filipina, masyarakat mendapatkan akses jasa mediasi yang mudah terjangkau, mediasi merupakan jalur yang wajib dilaksanakan. Gugatan tidak dapat diajukan ke pengadilan tanpa menunjukkan sertifikat bahwa upaya mediasi pernah dilakukan dan tidak membawa hasil yang dikeluarkan oleh sekretaris panel mediasi. Sengketa sektor tenaga kerja diselesaikan melalui National Concoliation and Mediation Board sebagai lembaga pemerintah yang menjalankan fungsi mediator swasta dan Philippine Associationof Voluntary Arbitrator sebagai organisasi arbitrase sukarela.Sengketa Bisnis diselesaikan oleh Commercial Arbitration Committee yang dibentuk oleh Kamar Dagamg dan Industri Filipina.Constriction Industry Arbotration Commision yang berada di bawah Departemen
77
Perdagangan dan Industri dibentuk dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa sektor konstruksi. Di Malaysia, jenis ADR yang paling berkembang adalah arbitrase di sektor bisnis. The Kuala Lumpur Regional Center for Arbitration (KLRCA) berdiri sejak tahun 1978 dan merupakan organisasi nirlaba yang melaksanakan mediasi dan arbitrase untuk sengketa domestic dan internasional. Di samping itu, terdapat pula The Insurance Mediation Burea yang khusus menangani klaim asuransi umum dan jiwa. Lembaga ini didirikan pada tahun 1991 sebagai lembaga nirlaba dan mempunyai anggota semua pelaku bisnis asuransi di Malaysia. Pelembagaan ADR di luar arbitrase bisnis, masih terbatas. Untuk menyelesaikan sengketa sektor tenaga kerja, Malaysia menjalankan sebuah pengadilan buruh yang berfungsi sebagai dewan arbitrase buruh. Singapura mempunyai sistem ADR yang terkait dengan lembaga peradilan yang disebut sebagai Court Mediation Center. Lembaga
ini berada
dalam
naungan
Suordinate
Court,
dan
menangani kasus-kasus dengan nilai uang di bawah US $ 5000. Tenaga mediator yang menjalankan fungsi mediasi adalah para hakim dan staf pengadilan, dengan dibantu oleh Court Support Group yang tediri atas pengacara, pekerja sosial, professional dari berbagai
78
bidang dan sebagainya. Selain CMC, National University of Singapore juga menjadi pusat arbitrase yang menyediakan jasa mediasi. Mediation Center ini mempertemukan ahli-ahli dari berbagai bidang untuk mencari sistem penyelesaian masalah yang paling efektif, efisien, dan juga menangani sengketa-sengketa dari luar Singapura.
7. Prasyarat dan Titik Lemah. Pengembangan proses perundingan dan arbitrase tidak terlepas dari konteks sosial, ekonomi, dan politik Indonesia secara keseluruhan dan khususnya pengembangan budaya hukum, pembenahan lembaga peradilan, penyetaraan daya tawar dan akses informasi bagi masyarakat lemah. Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar perundingan dan arbitrase berhasil. Tanpa prasyarat tersebut ADR akan gagal memberikan pilihan yang terbaik dan menjadi harapan keadilan yang mudah terjangkau bagi masyarakat luas. Salah satu prasyarat yang sangat menentukan keberhasilan ADR adalah pandangan dan prilaku masyarakat. Di sektor bisnis, peluang pelembagaan ADR terletak pada pemantapan lembaga arbitrase yang telah ada serta pengembangan fungsi mediator sengketa bisnis.
Untuk sengketa
79
yang melibatkan
konsumen
perorangan, pemantapan peran lembaga-lembaga pelindung konsumen perlu mendapat perhatian. Secara umum perundingan dan arbitrase mempunyai potensi untuk menyelesaikan berbagai macam sengketa di masyarakat dan mencegah terjadinya letupan sosial yang diakibatkan oleh sengketa berskala besar atau berkepanjangan. Dengan majemuknya masyarakat Indonesia serta makin banyaknya benturan kepentingan dan pendapat, penerapan perundingan dan arbitrase dipercaya dapat memainkan peranan dalam memelihara keseimbangan sosial.60
8. Pengembangan dan Pelembagaan. Paling tidak terdapat 5 faktor utama yang memberikan dasar diperlukannya pengembangan ADR di Indonesia,61 meliputi sebagai berikut: a. Salah satu cara meningkatkan daya saing dalam mengundang penanam modal ke Indonesia adalah kepastian hukum, termasuk ketersediaan sistem penyelesaian sengketa yang efisien.
60
Ibid. Mas Achmad Santosa (selanjutnya disebut Mas Achmad Santosa III), “Pelembagaan ADR di Indonesia”, Makalah untuk menanggapi Laporan Diagnostie Aqssesment of Legal Development in Indonesia (bidang ADR), Jakarta, September 1997. 61
80
b. Tuntutan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian sengketa yang efisien dan lebih mampu memenuhi rasa keadilan. c. Meningkatnya daya kritis masyarakat yang diikuti dengan tuntutan berperan serta aktif dalam proses pembangunan. d. Hak masyarakat berperan serta memiliki makna perlunya pengembangan mekanisme penyelesaian konflik. e. Menumbuhkan iklim persaingan yang sehat bagi lembaga peradilan sehingga akan terjadi proses seleksi yang menggambarkan tingkat kepercayaan masyarakat. Kehadiran pembanding dalam bentuk lembaga ADR diharapkan mendorong lembaga penyelesaian sengketa tersebut (pengadilan) meningkatkan citranya sehingga kepercayaan masyarakat pun meningkat. Selain tindak lanjut dari usaha pelembagaan ADR di Indonesia, terdapat 2 (dua) studi yang terkait, yaitu sebagai berikut: a. Studi dalam rangka penyusunan makalah kebijakan (policy paper) yang diprakarsai oleh Bappenas bekerjasama dengan The Asia Foundation. Studi dilaksanakan bersama-sama oleh PT. Qipra Galang Kualita (konsultan), Yayasan Akatiga, ICEL (Indonesian Center for Environmenyal Law), dan LPPM (Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen).
81
b. Diagnostic Assesment of Legal Development in Indonesia yang di prakarsai oleh Bappenas dengan pendanaan dari Bank Dunia (IDF Grant). Studi ini dilaksanakan oleh Firma Hukum Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro, bekerjasama dengan Mochtar, Karuwin & Komar. Salah satu obyek kajian diagnostic ini adalah pengembangan dan pelembagaan ADR. Studi di atas menemukan bahwa faktor-faktor prioritas dalam mengembangkan dan melembagakan perundingan dan arbitrase62 di Indonesia adalah sebagai berikut: a. Tersedianya sumber daya manusia yang trampil dan memiliki integritas tinggi untuk menjalankan peran sebagai juru runding/ wasit dengan netral imparsial, jujur, dan menjunjung tinggi profesionalisme kerja. b. Terbentuknya pemahaman masyarakat mengenai manfaat dan kelebihan perundingan dan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa serta kebutuhan akan jasa mediasi dan arbitrase. c. Terdapat konsistensi antar produk hukum mengenai pemanfaatan perundingan dan arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa, serta peningkatan keberlakuannya (enforceability). 62
Makalah Kebijakan Memilih menggunakan istilah perundingan untuk mewakili negotiation mediation dan conciliation, dan istilah arbitrase sebagai terjemahan arbitration. Pilihan untuk tidak menggunakan istilah ADR didorong oleh keinginan memakai istilah bahasa Indonesia yang mudah dimengerti awam.
82
9. Rekomendasi Makalah Kebijakan. Bagian ini menguraikan secara rinci inti dari usulan pelembagaan dalam makalah kebijakan (policy paper) yang mencakup proses pelembagaan dan pengembangan profesi yang menuntut disiapkannya sumber daya manusia untuk menjalankan peran sebagai juru runding/wast, serta tata laksana untuk menjalankan peran tersebut. Di samping itu, di uraikan pula tentang perlunya pemasyrakatan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat luas tentang perundingan dan arbitrase. Adanya pengembangan sumber daya manusia, tata laksana, serta peningkatan kebutuhan (demand) masyarakat akan jasa juru runding dan wasit diharapkan terbentuknya suatu kelompok profesinal yang terlatih dan cermat dalam melakukan praktek ADR. Kelompok ini pada tahun-tahun mendatang diharapkan sudah melewati critical mass sehingga asosiasi profesi juri runding dapat dibentuk. Asosiasi profesi inilah yang berfungsi untuk melanjutkan upaya menumbuhkan profesi juru runding guna memenuhi kebutuhan masrakat. Ringkasnya selama tiga atau empat tahun yang akan datang disarankan untuk diadakan program pendidikan dan pengembangan juru rundung/wasit. Kedua program ini mendapatkan arahan dan
83
bimbingan dari suatu tim pengarah yang terdiri atas wakil-wakil lembaga pemerintahan, LSM, pendidikan, swasta, dan sebagainya. Pada tahun kelima diusulkan agar sebuah asosiasi profesi juru runding/wasit dibentuk secara resmi. Tim pengarah di atas berfungsi memfasilitasi pembentukan asosiasi tersebut serta mensosialisasikannya sehingga menjadi perhatian nasional.
10. Sasaran Jangka Pendek. Program pendidikan dan pengembangan. Pelaksananaan program pendidikan dan pengembangan bertujuan menyiapkan dasar-dasar bagi pengembangan profesi juru runding/wasit. Program ini mempunyai fungsi sebagai berikut: a. Merancang kurikulum pelatihan juru runding. b. Merancang metode pelatihan yang tepat. c. Menyiapkan tenaga pelatih. d. Menyelenggarakan pelatihan umum untuk juru runding/wasit. e. Pengembangan dasar kode etik profesi. f. Pengembangan metode perundingan arbitrase. Dalam perundingan dan arbitrase, peranan pihak ketiga sebagai penengah atau wasit sangat menentukan. Pihak ketiga secara objektif menjembatani pertukaran pandangan dan pencarian
84
pemecahan antara kedua belah pihak yang bersengketa. Kriteria yang paling penting dan harus dipenuhi pihak ketiga dalam menjalankan fungsinya sebagai juru runding atau wasit adalah sifat netral imparsial dan kejujuran. Pihak ketiga tidak boleh memihak atau memenangkan salah satu pihak serta tidak bisa dipengaruhi oleh siapapun. Untuk menjaga dan mempertahankan sifat netral imparsial dan kejujuran diperlukan suatu kode etik yang menjadi pegangan dan ditaati oleh semua juru runding/wasit. Pelatihan dasar yang diadakan dalam rangka program pendidikan dan pengembangan ini dimaksudkan untuk mengajarkan teori ADR, teknik-teknik memecahkan jalan buntu perundingan (deadlock), latihan role play, pengkajian studi kasus, dan observasi juru runding/ wasit berpengalaman. Lembaga yang dinilai mampu menjalankan program pendidikan dan pengembangan adalah lembaga yang sudah bergerak di bidang pendidikan dan memilki visi tentang pengembangan perundingan dan arbitrase di Indonesia. Salah satu unsur yang dianggap sangat menentukan
keberhasilan
program
ini
adalah
penggabungan
beberapa disiplin ilmu, seperti psikologi (dinamika kelompok, budaya, dan sebagainya) hukum (kode etik, kesepakatan) ekonomi, dan sebaginya.
85
11. Program Pemasyarakatan. Pemasyarakatan merupakan salah satu unsur yang penting dan mendesak. Suatu program komperhensif perlu dirancang dan dilaksanakan untuk masyarakat ADR di Indonesia. Program ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pemasyarakatan yang bertujuan: a. Menyebarluaskan
apa
yang
dimaksud
denga
perundingan,
arbitrase, ADR atau istilah lain yang akan dipakai. b. Memasyarakatkan jenis sengketa yang bisa atau lebih tepat diselesaikan dengan perundingan/arbitrase dibandingkan dengan pengadilan. c. Menyebarluaskan keterangan mengenai program pendidikan dan pengembangan serta menarik minat calon peserta pendidikan. Tahap kedua adalah program pemasyarakatan yang dimulai pada saat dibentuknya asosiasi profesi, yang meliputi: a. Fungsi asosiasi profesi. b. Bagaimana menjadi juru runding/wasit yang baik dan kriterianya. c. Hal-hal lain yang berhubungan dengan fungsi asosiasi profesi. Sasaran program pemasyarakatan pada dasarnya meliputi seluruh lapisan masyarakat. Secara khusus, untuk setiap kelompok
86
masyarakat perlu dirancang pesan pemasyarakatan yang berbeda, seperti: a. Masyarakat luas digerakkan untuk mempercayai dan menggunakan perundingan/arbitrase dalam sengketa yang mereka hadapi serta menarik minat anggota masyarakat menjadi juru runding/wasit. b. Profesional diberbagai bidang dimobilisasi untuk dilatih menjadi juru runding/wasit. c. Pengusaha
diarahkan
untuk
mengakui
juru
runding/wasit
Indonesia dan mulai menggunakan jasanya. d. Lembaga swadaya masyarakat dan kelompok khusus, seperti lingkungan hidup dan tenaga kerja, diharapkan untuk menggunakan dan/atau menyediakan jasa juru runding/wait. e. Pemerintah, terutama lembaga peradilan, diberikan pengertian akan pentingnya proses ini dan diyakinkan tidak tersaingnya lembaga peradilan dengan berkembangnya sistem perundingan/ arbitrase swasta.
87
C. Sasaran Jangka Menengah 1. Asosiasi Profesi. Setelah
program
pendidikan
dan
pengembangan
serta
program pemasyarakatan berjalan selama beberapa tahun, diharapkan pada tahun-tahun mendatang sudah tersedia professional dalam jumlah yang memadai untuk mendirikan sebuah asosiasi. Aggota profesi ini beranggotakan perorangan yang menawarkan jasa sebagai juru runding/wasit. Fungsi asosiasi profesi antara lain sebagai berikut: a. Melaksanakan program pendidikan dan sertifikasi bagi juru runding/wasit. Asosiasi ini dapat mengambil alih koordinasi program pendidikan dan pengembangan yang telah berjalan atau menjalin kerjasama jangka panjang dengan pusat pendidikan yang melaksanakan program. b. Mengembangkan prosedur dan metode negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase dengan peleburan teknik modern dan polapola musyawarah tradisional. c. Mengembangkan dan menerapkan kode etik profesi diantara anggotanya. Dengan demikian, asosiasi berwenang memberi sanksi atau mencabut sertifikasi seorang juru runding bila terbukti menyalahi kode etik profesi.
88
d. Memberikan jasa referral dengan menyediakan daftar juru runding/ wasit untuk bidang-bidang sengketa bagi pihak yang membutuhkan. Pemilihan juru runding dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa, namun asosiasi membantu dengan memberikan akses pada nama calon juru runding. e. Menjalin kerja sama dengan lembaga serupa dimanca negara, baik untuk pendidikan, prosedur, maupun kode etik proses sebagai antisipasi era globalisasi. Kerjasama ini menjadi ujung tombak juru runding Indonesia dengan pihak internasional. f. Melakukan pemasyarakatan yang berhubungan dengan profesi juru runding serta fungsi asosiasi itu sendiri.
2. Perangkat Hukum. Saat ini telah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang memberikan peluang dan/atau mengatur pelaksanaan perundingan umum maupun sektoral. Secara khusus, komponen ADR yang paling membutuhkan legitimasi hukum adalah arbitrase. Dalam arbitrase, keputusan wasit membutuhkan kekuatan hukum yang jelas dan pasti penerapannya. Tanpa kekuatan hukum, arbitrase tidak akan diminati dan dipercaya masyarakat sebagai sistem penyelesaian sengketa yang efektif. Apabila pelaksanaan peraturan arbitrase yang
89
menetapkan putusan wasit bersifat final dan mengikat (binding) kurang memuaskan, perlu diambil langkah-langkah untuk menjamin legitimasi hukum yang diinginkan tanpa mendorong ditempuhnya jalur pengadilan. Berbeda dengan arbitrase, pelaksanaan hasil perundingan tidak terkait pada sifat keterikatan hukum. Pada prinsipnya, kesepakatan perundingan dihasilkan oleh para pihak yang bersengketa sendiri dan disepakati oleh kedua belah pihak, sehingga pelaksanaan hasil perundingan lebih tergantung pada pihak pribadi dan integritas pihak-pihak yang bersengketa dalam menjalin kesepakatan. Pihakpihak yang menghormati proses perundingan keadilan, hak-hak dan kewajiban asasi akan mentaati kesepakatan tanpa tekanan apapun dari pihak luar. Dengan demikian, setiap orang yang memasuki proses
perundingan
harus
sepenuhnya
memahami
dan
siap
memenuhi tanggung jawabnya dalam menjalankan kesepakatan. Asosiasi dan para juru runding mempunyai peranan yang penting dalam mendidik dan meyakinkan para pihak bersengketa mengenai kewajiban mereka. Pendirian asosiasi profesi juru runding mengharapkan agar dasar hukum diperlukan tidak banyak berbeda dengan pendirian asosiasi lainnya, seperti akte pendirian dan AD/ART.
90
3. Peranan Pemerintah. Peranan pemerintah dalam mengembangkan sistem ADR di Indonesia dibutuhkan, khususnya pada tahun pertama pelaksanaan program pendidikan dan pengembangan serta program pemasyarakatan. Peranan pemerintah yang diharapkan meliputi sebagai berikut: a. Pembentukan suatu tim pengarah yang memberikan arahan bagi perencanaan dan pelaksanaan kedua program di atas segala persiapan pendirian asosiasi profesi juru runding, termasuk maslah keanggotan, pendanaan, iuran anggota, sertifikasi, dan sebagainya. b. Memfasilitasi perubahan budaya, pandangan dan kebijakan di lembaga-lembaga pemerintah yang berpotensi menangani sengketa. Di samping itu, juga diharapkan fasilitas pemerintah yang memberikan keleluasaan gerak ADR sebagai pihak penengah dalam sengketa dan peran pemerintah untuk mengawasi pengembangannya. c. Menyediakan dana untuk pelaksaan kedua program di atas serta dana awal untuk pendirian asosiasi profesi juru runding, baik dari anggaran dalam negeri maupun hasil kerja sama dengan badanbadan internasional.
91
Walaupun lembag-lembaga mediasi/arbitrase telah ada namun minat pelaku bisnis untuk menggunakan jasa juru runding masih perlu dikembangkan. Pemasyarakatan untuk sektor bisnis disarankan agar dilakukan melalui lokakarya dan program pelatihan dilembagalembaga pendidikan manajemen maupan pelatihan-pelatihan umum. Pendekatan khusus pada para ahli hukum perusahaan (corporate lawyer) perlu dipertimbangkan. Juru runding atau wasit yang tepat untuk menyelesaikan sengketa antar pelaku bisnis adalah perorangan yang bekerja sebagai individu atau terkait dengan asosiasi profesi/dagang, perusahaan konsultan bisnis atau hukum, atau badan arbitrase (BANI, P3BI, dan sebagainya). Untuk sengketa antara pelaku bisnis dan konsumen perorangan, dapat juga menggunakan jasa juru runding atau wasit yang terkait dengan lembaga masyarakat. Konsep ahli pendamping dapat juga diterapkan dalam perundingan atau arbitrase bisnis. Hal ini mengingat makin rumitnya peraturan penanaman modal, perdagangan, hukum ekonomi, perpajakan, dan sebagainya. Para ahli tersebut dapat direkrut dari bidang-bidang ilmu yang sesuai dengan kebutuhan dalam suatu sengketa.
92
4. Laporan Diagnostic Assesment of Legal Development.63 Temuan dari kajian diagnostik menggaris bawahi beberapa catatan yang berkaitan dengan pengembangan ADR di luar dan di dalam pengadilan meliputi sebagai berikut: a. Dukungan serta komitmen pemerintah terhadap ADR sangat besar, namun perlu ditindaklanjuti dengan berbagai langkah nyata, misalnya menyelesaikan peraturan-peraturan mengenai arbitrase dengan mengintegritaskan komponen ADR (negosiasi, mediasi, dan konsiliasi) di dalamnya sehingga lebih memiliki landasan hukum yang kuat. b. Walaupun pola penyelesaian secara konsensus telah dikenal dan mengakar dalam masyarakat, namun konsensus dan musyawarah yang merupakan embrio dari ADR sebagai mekanisme penyelesaian konflik dalm musyawarah modern belum dipahami oleh masyarakat luas. c. Peluang penerapan ADR di dalam pengadilan (court annexed) berdasarkan Pasal 131 HIR belum didayagunakan secara optimal sehingga diperlukan pengenalan teknik ADR dikalangan hakim dan petugas pengadilan lainnya. Petunjuk pelaksaan ADR dari 63
Lihat Ali Budiardjo Nugroho, Reksodiputro in Corporation with Moctar, Karuwin & Komar, Final Report on Diagnostic Assesment or Legal Development in Indonesia, Chapter, volume I dan Annex C-4 Volume III, Maret 1997.
93
Ketua Mahkamah Agung dalam bentuk surat edaran dapat dijadikan sebagai pendorang penerapan ADR di dalam pengadilan. d. Pengembangan kelembagaan ADR di luar pengadilan harus didasarkan
pada
praktek-praktek
ADR
dalam
masyarakat.
Pengembangan kelembagaan juga perlu dilakukan pada lembagalembaga peradilan yang telah ada, seperti MIPP, Mahkamah Pelayaran, dan PSD/PSP yang pada dasarnya juga merupakan bentuk penyelesaian pola ADR dengan menyempurnakan prosedur, aturan main yang lebih jelas, dan sumber daya manusia yang professional. e. Pengembangan sumber daya manusia yang professional membutuhkan sarana pelatihan yang dapat diintegritaskan melalui kurikulum fakultas hukum dan kursus ketrampilan hukum. Asosiasi profesi advokat dan pengacara serta LSM juga berperan dalam pengembangan sumber daya manusia yang mendukung di bidang ADR.
5. Rekomendasi Diagnostic Assesment. a. Policy reform sasaran jangka pendek, terdiri dari:
94
1) Pengembangan
landasan
peraturan
perundang-undangan
(RUU) tentang ADR segera diajukan ke DPR RI. Harus ada koordinasi antara Menteri Kehakiman, Mensesneg, dan Seskab untuk mempercepat proses pengajuan tersebut. 2) Pelaksanaan pelatihan untuk arbiter dilakukan dengan terlebih dahulu membentuk tim yang akan menyusun rekomendasi yang merupakan hasil studi banding dengan Australia. 3) Melakukan kajian tentang bagaimana pengadilan dilatih menangani kasus dengan court annexed ADR. Latihan ini dilakukan dengan mengambil contoh court dispute resolution yang diterapkan pada Subordinase Court di Singapura. Dalam rangka pengembangan ADR di dalam pengadilan juga diusulkan pengembangan peraturan perundang-undangan baru sebagai elaborasi dari Pasal 131 HIR dan penerbitan Surat Edaran Mahkamah Agung yang memberi petunjuk pelaksanaan Pasal 131 HIR. b. Technical reform sasaran jangka panjang, terdiri dari: 1) Pemasyarakatan ADR yang ditujukan pada terciptanya pemahaman yang benar dilakukan melalui: a) Pengintegrasian ADR ke dalam kurikulum fakultas hukum.
95
b) Seminar informasi tentang ADR (di dalam dan di luar pengadilan) kepada masyarakat luas. c) Merancang peraturan perundang-undangan untuk memberikan landasan hukum ADR. 2) Penelitian tentang mekanisme ADR yang diterapkan dalam masyarakat tradisional, yang dari Indonesia bagian Timur. Dari rekomendasi dan rancangan tindak lanjut kajian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:64 a. Rekomendasi dari kedua kajian tersebut tidak bertentangan satu dengan yang lain bahkan dapat dijadikan masukan yang saling melengkapi. b. Masukan tentang court annexed ADR yang sudah mendesak dilakukan di Indonesia banyak dikedepankan oleh kajian diagnostik. Sebaliknya, makalah kebijakan tidak menempatkannya dalam rekomendasi. c. Makalah kebijakan ADR membahas dan memberikan masukan tentang “siapa melakukan apa” dan rincian tentang program ADR untuk melengkapi rekomendasi dan rancangan tindak kajian diagnostik.
64
Mas Achmad Santoso III, Op.Cit., hlm. 6.
96
d. Kajian diagnostik menekankan pelatihan bagi para wasit dengan pola yang diterapkan di Australia sehingga dapat melengkapi makalah kebijakan yang tidak mengupas tentang pengembangan sumber daya manusia pada arbitrase. e. Policy reform jangka pendek seperti yang diusulkan oleh kajian diagnostik dapat difasilitasi oleh tim pengarah nasional dengan dibantu tim teknis, sedangkan technical reform jangka panjang dapat difasilitasi atau merupakan tugas dari asosiasi profesi. Pengintegrasian
komponen
ADR
ke
dalam
RUU
ADR
dimaksudkan untuk menjadikan ADR berkembang pesat, memudahkan masyarakat menggunakan ADR, meningkatkan peran dari masyarakat dengan menyelesaikan sengketa sendiri (akses publik/ privat) dalam bentuk asosiasi profesi. Pembentukan ADR sebagai alternatif penyelesaian sengketa tidak cukup hanya dukungan budaya musyawarah/mufakat dari masyarakat, tetapi perlu pengembangan dan pelembagaan yang meliputi pengaturan perundang-undangan untuk memberikan landasan hukum dan pembentukan asosiasi profesi/jasa professional.65 RUU ADR harus disiapkan dan diprioritaskan oleh Departemen Kehakiman untuk diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini disebab65
Mas Achmad Santoso dan TM. Luthfi Yazid, Loc.Cit.
97
kan dalam hukum perdata atau hukum ekonomi makin membutuhkan penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan andal di luar pengadilan. Lebih jauh, dimasukkannya komponen RUU ADR diharapkan sebagai wujud penyelesaian sengketa alternative yang berkembang dengan pesat di masyarakat mendayagunakan dan ditujukan agar memudahkan masyarakat mendayagunakan ADR sebagai sarana pilihan penyelesaian sengketa. Komponen ADR diharapkan dapat direncanakan oleh pemerintah untuk diatur RUU ADR, yang berisi tentang bentuk/sifat penyelesaian sengketa secara ADR (konsensus), bagian-bagian ADR yang akan diterapkan (mediasi, konsiliasi, arbitrase) pihak-pihak yang bersengketa, dan sifat putusannya. Penulis sepakat bila semakin dipertegas aturan hukum mengenai undang-undang ADR sehingga terdapat landasan hukum yang tegas bagi mekanisme penyelesaian sengketa alternatif (ADR), khususnya dalam bidang perdagangan/bisnis. Penyusunan bentuk policy reform jangka pendek dan technical reform jangka panjang diperlukan agar sasaran pengembangan dan pelembagaan ADR dapat tercapai. Pengaturan ADR secara khusus diharapkan tidak bertentangan dengan konsep dasar/filosofi ADR yang memberikan ekonomi/ kebebasan para pihak untuk menyelesaikan sengketa (dispute/
98
difference) secara sukarela (di luar arbitrase pengadilan/out of court). Komponen ADR yang diharapkan dituangkan dalam RUU ADR seharusnya hanya mengatur aturan pokok, sedangkan aturan main (rule of the games) diserahkan kepada para pihak yang bersegketa. Para pihak mempunyai kebebasan memilih untuk menyelesaikan sendiri penyelesaian sengketanya atau menggunakan jasa profesi mediator, konsiliator dan arbiter professional. Pengembangan ADR di dalam pengadilan (court annexed ADR) sebagai elabolasi Pasal 131 HIR dan Surat Edaran Mahkamah Agung mengenai petunjuk pelaksanaan Pasal 131 HIR yang diusulkan dalam policy reform jangka pendek hendaknya mengkaji lebih lanjut mengenai pemisahan pengertian “perdamaian” sebagai penyelesaian segketa (dispute settlement) di dalam pengadilan dan di luar pengadilan. Pasal 131 HIR dimaksudkan sebagai landasan hukum mekanisme penyelesaian sengketa perdata secara damai di dalam pengadilan dan merupakan bagian integral dalam sistem peradilan hukum acara perdata di Indonesia. Penerapan court annexed ADR dengan mengambil contoh court dispute resolution (CDR) yang diterapkan Subordinate Court di Singapura akan membuat penyelesaian sengketa berlarut-larut (waste of time). Pelaksaan court annexed ADR mengakibatkan penyelesaian
99
sengketa yang sudah dilakukan melalui ADR (konsensus) dapat dengan mudah dikesampingkan oleh pihak-pihak tanpa memperdulikan putusan (mediator, konsiliator, arbiter) dan kekuatan mengikatnya (binding force). Mengingat hal di atas aturan pelaksanaan Pasal 131 HIR sebaiknya dimasukkan ke RUU Hukum Acara Perdata Nasional yang sedang disusun. Dengan demikian, konsepsi Pasal 131 HIR dapat digunakan sebagai sumber/landasan hukum penyelesaian sengketa damai di dalam pengadilan dan sekaligus berfungsi sebagai suatu sistem peradilan hukum perdata nasional yang integral.
100
5 PERKEMBANGAN BENTUK ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION DI BEBERAPA NEGARA A.
Alasan Negara-negara Barat dan Timur Menggunakan Alternative Dispute Resolution Penyelesaian sengketa alternatif sudah lama dikembang-kan,
baik di Barat seperti Amerika Serikat dan Norwegia maupun di Timur seperti Jepang dan Cina, baik karena alasan-alasan praktis maupun kebudayaan.66 Gagasan untuk mengembangkan model penyelesaian sengketa melalui penyelesaian sengketa alternatif ini nampaknya semakin meluas ke berbagai negara di dunia, baik negara-negara sedang berkembang. Amerika penyelesaian
Serikat sengketa
sebagai alternatif
negara
tempat
dikembangkan,
pertama sudah
kali mulai
mengembangkan penyelesaian sengketa alternatif sejak tahun 1960an.67 Salah satu bagian gerakan ini adalah memberikan respon
66
Erman Rajagukguk, Loc.Cit. Stephen B. Goldberg (selanjutnya disebut Stephen B. Goldberg I), Dispute Resolution Negasiation, Mediation and Other Processes, Little Brown and Company, Boston-Toronto-London, 1992, hlm. 3-4. 67
101
terhadap perjuangan hak-hak sipil. Pada tahun 1972 pusat hubungan masyarakat Departemen Kehakiman AS telah menolak sejumlah mediator untuk membantu menyelesaikan sengketa hak-hak sipil yang berskala luas di dalam masyarakat. Penyelesaian sengketa alternatif diangkat sebagai simbol gerakan reformasi hukum di AS dalam permulaan tahun 1970 ketika pengamat dalam bidang hukum dan komunitas akademis mulai mengalami keprihatinan serius tentang efek negatif dari litigasi yang semakin meningkat. Seperti dikemukakan oleh Thomas J. Harron: “…. Masyarakat Amerika sudah jemu mencari penye-lesaian sengketa melalui litigasi (badan pengadilan). Mereka tidak puas atas sistem peradilan (dissatisfieed with the judicial sistem). Mengapa? Cara penyelesaian sengketa yang melekat pada sistem peradilan sangat bertele-tele (the delay inherent in a sistem) dengan cara yang sangat merugikan, buang-buang waktu (waste of time), biaya mahal (very expensive), mempermasalahkan masa lalu, bukan menye-lesaikan masalah masa depan, membuat orang bermusuhan (enemy), melumpuhkan para pihak (pralyzes people)”. Gagasan untuk menghindari penyelesaian sengketa melalui litigasi dan anjuran berkompromi pernah disampaikan oleh Abraham Lincoln pada tahun 1850 dengan ucapan; Discourage litigation. Persuade yoaur neighbours to compromise whenever yau can. Point
102
out to them how the them how the nominal winner is often a real loser in fees, expenses and waste time.68 Salah satu upaya yang cukup populer oleh Warren Burger seorang mantan Ketua Pengadilan adalah, pada tahun 1976 menggelar suatu konfrensi yang diberi inisial Roscoe E. Pound di kota St. Paul Minneseto, menyangkut penyebab-penyebab ketidak puasan umum terhadap administrasi pengadilan. Pesertanya adalah anggota pengadilan dan para pengacara publik yang bergabung bersama untuk mencari cara-cara
baru
dalam penyelesaian
sengketa.
Sebagian besar makalah yang muncul dari konferensi ini seperti makalah klasik Frank Sander berjudul Varietas of Dispute Resolution (berbagai penyelesaian sengketa) telah membentuk pemahaman dasar tentang penye-lesaian sengketa alternatif.69 Ada hal yang menarik bila diamati sejarah perkembangan penyelesaian sengketa alternatif yang terjadi di AS di mana upaya pencarian bentuk penyelesaian sengketa alternatif tidak hanya dilakukan oleh komunitas pencari keadilan saja tetapi justru lebih gencar lagi datangnya dari kalangan pengadilan.
68
ADR in Trademark & Unfair Competition Disputes, http: /www.inta.org/adr.html.Available, diakses pada tanggal 21 Juni 2000. 69 Jacqueline M. Nolan-Haley, Alternative Disputes Resolution in a Nutshell, West Publishing Co, St, Paul Minnesota, 1992, hlm. 4-5.
103
Perkembangan penyelesaian sengketa alternatif di AS cukup pesat karena mendapat dukungan dari masyarakat dan juga lembaga peradilan formal. Penerapan penyelesaian seng-keta alternatif telah dilakukan dalam sistem hukum, para hakim sering meminta pihakpihak yang bersengketa untuk berparti-sipasi dalam summary jury trial. Dalam sejumlah pengadilan, pihak-pihak dianjurkan untuk mencoba proses mediasi sebelum dibenarkan memajukan kasusnya ke pengadilan. Bisnis penyelesaian sengketa alternatif menawarkan ber-bagai bentuk pelayanan. Para pensiun hakim sering bertindak sebagai pihak netral untuk membantu penyelesaian sengketa. Serta banyak badan hukum yang mengembangkan departemen penyelesaian sengketa alternatif dan menawarkan jasa yang sama dengan penyelesaian sengketa alternatif penyedia swasta. Oleh karena itu, Jacqueline M. Nolan-Haley70 mengatakan penye-lesaian sengketa alternatif telah menjadi sejenis industri rumah tangga (cottage industri of sorts). Lembaga penyelesaian sengketa alternatif di AS telah meluas secara sangat signifikan. Pada tanggal 12 Februari 1980 bertepatan dengan
70
hari
lahir
Abraham
Lincoln,
Ibid., hlm. 7.
104
Presiden
Jimmy
Carter
menandatangani Dispute Resolution Act sebagai landas-an hukum bagi lembaga mediasi.71 Pada tahun 1990 dikeluarkan pula satu undang-undang yang paling komprehensif yaitu Civil Justice Reform Act. Tujuan-nya adalah untuk memfasilitasi ajudikasi kasus-kasus sipil, memonitor hasil pertemuan,
memperbaiki
manajemen
litigasi
dan
menjamin
penyelesaian sengketa sipil yang adil, cepat dan tidak memerlukan biaya tinggi. Undang-undang ini merekomen-dasi enam model bagi pengadilan untuk dipergunakan mengem-bangkan Cipil Justice Expence and Delay Reduction Plan (EDRP). Salah satunya adalah merujuk kasus yang tepat kepada program penyelesaian sengketa alternatif, meliputi mediasi, minitrial, dan summary jury trial.72 Penyelesaian sengketa alternatif juga telah menjadi bagian dari praktek administrasi. Pada tahun 1990 kongres telah mengeluarkan dua undang-undang yang ditujukan untuk meningkatkan penggunaan penyelesaian sengketa alternatif oleh agen-agen federal. Seperti Administrative Dispute Resolution Act 1990 yang secara tegas memberikan otoritas dan mendukung agen-agen administratif untuk menggunakan ber-bagai teknik penyelesaian sengketa alternatif.
71 72
M. Yahya Harahap I, Op.Cit., hlm. 189. Jacqueline M. Nolan-Haley, Op.Cit., hlm. 7-8.
105
Demikian juga Negotiated Rule Making Act, memberikan otoritas dan men-dukung agen-agen administrasi untuk menggunakan pembuatan aturan negoisasi sebagai pengganti pembuatan aturan adver-sarial tradisional di bawah Adnimistrasive Procedure Act.73 Perkembangan penyelesaian sengketa alternatif di AS dilatar belakangi oleh kebutuhan-kebutuhan sebagai berikut:74 1. Untuk mengurangi penumpukan perkara di pengadilan (court congestion).
Banyak
kasus
yang
diajukan
ke
pengadilan
menyebabkan proses pengadilan seringkali berkepanjangan serta memakan waktu. Proses seperti ini memakan biaya yang tinggi dan sering memberikan hasil yang kurang memuaskan. 2. Untuk meningkatkan ketertiban otonomi masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa. 3. Untuk memperlancar serta memperluas akses ke keadilan (acces to justice). 4. Untuk memberikan kesempatan bagi tercapainya penye-lesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh dan memuaskan semua pihak (high level of acceptance).
73
Stephen B. Goldberg (selanjutnya disebut Stephen B. Goldberg II) et.al., Disputes Resolution, Little Brown, Boston, 1985, hlm. 10. 74 Jacqueline M. Nolan-Haley, Op.Cit., hlm. 5-7; Baca juga Mas Achmad Santosa I.
106
Dengan gambaran tersebut pengembangan penyelesaian seng-keta alternatif di AS cenderung karena alasan-alasan praktis. Berbeda halnya dengan Cina dan Jepang, masyarakat Cina dan Jepang secara tradisional tidak suka pada peng-adilan.75 Secara tradisional orang-orang Cina dan Jepang amat segan untuk membawa sengketa-sengketa perdata mereka ke depan pengadilan. Untuk menjaga harmoni sengketa perdata diselesaikan melalui mediasi (Cina dan Jepang) serta konsiliasi (Jepang).76 Di Jepang rasa hormat terhadap harmoni adalah merupa-kan suatu ciri nasional, yang ditetapkan dalam pasal satu Konstitusi Tujuh Belas Pasal.77 Walaupun orang Jepang tidak menyukai litigasi, tetapi bukan berarti orang Jepang adalah pelanggar hukum sebagaimana dikemukakan oleh W.S. Davis: “….. bahwa kapan dicoba untuk menyimpulkan bagaimana orangorang Jepang berhubungan dengan sistem hukum mereka dan bagaimana sikap mereka berkenaan dengan respek dan ketaatan terhadap sistem itu, maka mengenai hal itu seseorang harus memulai dengan dasar pemikiran bahwa orang-orang Jepang lebih banyak yang mentaati hukum dari pada warga negara dari kebanyakan negara-negara lain. Kondisi ini merupakan hasil dari konsep kewajiban yang mereka warisi dari Kong Fu Tsu. Selama 75
Erman Rajagukguk, Op.Cit., hlm. 103-104. Takeyoshi Kawashima, “Penyelesaian Pertikaian di Jepang Kontemporer”, dalam A.A.G Peters dan Koesriani Siswosoebroto (Ed.). Hukum dan Perkembangan Sosial. Buku Teks Sosiologi Hukum Buku II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988, hlm. 109. 77 Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yayasan Watampone, Jakarta, 1998, hlm. 131-133. 76
107
berabad-abad orang ini telah menggunakan ajaran Kong Fu Tsu itu dalam wujud ucapan-ucapan para bangsawan, dan para adminis-tratur tentang apa yang dilakukannya di mana hal itu juga dianggap benar oleh negara-negara Timur lainnya”. Selanjutnya David mengemukakan:78 “Bahwa selama berabad-abad mereka terikat oleh konsep kewajiban, baru pada akhir tahun 1990 dan sesudahnya mereka baru mengetahui mereka mempunyai hak-hak yang dapat dilindungi. Kelompok-kelompok rakyat telah mulai untuk mempertahankan kepentingan mereka melalui pengajuan gugatan hukum meliputi pencemaran lingkungan dan diskriminasi ras serta diskriminasi seksual.” Oleh
karena
itu,
cukup
beralasan
mengapa
konsep
penyelesaian sengketa alternatif sudah dikenal di Jepang sejak jaman Tokugawa. Ada dua ciri dari pengadilan-pengadilan Tokugawa yang mempunyai arti penting bagi evolusi hukum di Jepang yaitu; pertama, adanya
kebijaksanaan
untuk
meng-individualisasikan
dalam
memutuskan perkara-perkara, dan kedua, tekanan yang terus menerus
dilakukan
pada
pihak-pihak
yang
bersengketa
agar
mengkompromikan pertikaian mereka dengan perdamaian, bahkan setelah pengaduan diterima.79
78
Ibid. Dan Fenno Henderson, “ Modernisasi Hukum dan Politik di Jepang”, dalam A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Op.Cit., hlm. 43. 79
108
Kondisi seperti ini menggambarkan bahwa pengembang-an konsep penyelesaian sengketa alternatif di Jepang lebih dititik beratkan pada alasan-alasan kebudayaan yang bersifat men-dasar. Kepustakaan menyebutkan bahwa masyarakat Jepang lebih suka
menempuh
konsensus
dan
penyelesaian kompromi
sengketa
dari
pada
melalui
pendekatan
pen-dekatan adversarial
(pertikaian). Sikap ini dipengaruhi oleh ajaran Shinto, Budha dan Konfosius yang mengutamakan keharmonisan sosial. Penyelesaian sengketa melalui pendekatan adversarial yang menjadi ciri proses peradilan justru dipandang akan memper-buruk keharmonisan sosial yang terganggu timbulnya seng-keta.80 Takeyoshi Kawashima mengemukakan “Perdamaian yang besar selama tiga ratus tahun Takogawa dapat dipertahan-kan karena pertikaian di antara warga diselesaikan secara harmonis melalui administrasi mereka sendiri yang otonom, dengan menghindari sebanyak mungkin cara dengan prosedur pengadilan”. Bagi orang Jepang memperoleh keuntungan finansial melalui suatu gugatan hukum masih dirasakan sebagai hal yang abnormal dan merupakan perilaku yang anti establishment. Suatu prinsip khas 80
Chin Kim dan Craig M. Lawson, “The Law of the Subtle Mind; The Traditional Japanese Conception of Law”, dalam Internasional and Comprative Law Quartenly, Volume 28, Tahun 1979, hlm. 491.
109
model pemikiran hukum masyarakat Jepang adalah bahwa kapan suatu persengketaan timbul. Kedua pihak sama-sama bersalah dan oleh
karena
itu
beberapakompromi
harus
dikerjakan
untuk
menyeimbangkan kesalahan di kedua pihak. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan dianggap tidak menyelesaikan
masalah,
melainkan
justru
sebaliknya
dapat
menyebabkan terjadinya permusuhan yang lebih buruk lagi. Takeyosi Kawashima mengemukakan bahwa ia mengenal secara pribadi seorang petani di sebuah desa dekat Tokyo yang seluruh keluarganya dikucilkan secara sosial oleh semua penduduk desa, oleh karena mendiang ayahnya telah meng-gugat seorang petani lain di dalam suatu sengketa mengenai batas-batas tanah pertaniannya.81 Handerson
mengemukakan;82
“baik
pada
masa
Jepang
tradisional maupun pada masa Jepang modren, suatu bentuk perdamaian telah dan masih berlaku untuk penyelesaian bagian terbesar persengketaan yang timbul dalam konteks sosial yang berubah secara berangsur-angsur”.
81
Takeyoshi Kawashima, “Penyelesaian Pertikaian di Jepang Kontemporer”, hlm. 120. 82 Dan Fenno Handerson, “Modernisasi Hukum dan Politik di Jepang”, dalam AAG Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Op.Cit., hlm. 134.
110
Paling tidak ada tiga faktor atau alasan mengapa orang-orang Jepang anti litigasi menurut Achmad Ali;83 masyarakat
Jepang
yang
menganggab
Pertama, sikap
persengketaan
pada
hakikatnya merupakan sesuatu yang buruk; Kedua, litigasi dihindari sebab sistem itu membuat kesulitan untuk dapat memasuki pengadilan dan ketiga, terdapat cukup tersedia informasi empiris yang memungkinkan
baik
penggugat
maupun
tergugat
untuk
memperkirakan apa yang bakal dijadikan kalau mereka menggunakan sistem peradilan. Justru dari perkiraan yang secara empiris mereka saksikan,
warga
masyarakat
umumnya
berpendapat
bahwa
sebaiknya persengketaan diakhiri tidak dengan melalui pengadilan. Mayarakat Cina enggan membawa sengketa mereka ke depan pengadilan antara lain disebabkan dua hal. Pertama, karena pengaruh nilai-nilai ajaran Composius yang menekankan pentingnya ditegakkan prinsip-prinsip berdasarkan moral (LI), sehingga orangorang Cina kebanyakan sadar dan menerima ikatan-ikatan moral yang berlaku lebih banyak akibat pengaruh sanksi sosial dari pada karena dipaksakan oleh hukum yang berlaku.84 Kedua, Stanley Lubman mengemukakan menurut ajaran Mao, sengketa-sengketa
83 84
Achmad Ali, Op.Cit., hlm. 134. Erman Rajagukguk, Op.Cit., hlm. 105.
111
perdata
adalah
“kontradiksi
intern
antara
individu”
yang
membiarkannya diselesaikan secara intern, sikap mana mengambil alih pandangan tradisional yang lebih suka menyeleseikan sengketa secara informal dan per-damaian.85 Untuk memenuhi tradisi tersebut, baik Rezim Komunis di Cina Daratan maupun pemerintahan Nasionalis di Taiwan mendirikan “komite-komite penengah” (mediation committee).86
B.
Berbagai Bentuk Alternative Dispute Resolution Berkembang Perkembangan
penyelesaian
sengketa
alternatif
yang
sebagai
strategi penyelesaian sengketa di luar pengadilan belakangan ini cukup
pesat.
Berbagai
negara
di
dunia
telah
menerapkan
penyelesaian sengketa alternatif untuk mengurangi derasnya arus perkara ke pengadilan. Di Amerika Serikat sebagai negara yang pertama sekali mengemukakan gagasan mengenai penyelesaian sengketa alternatif, saat ini telah dikembangkan berbagai bentuk penye-lesaian sengketa alternatif, diantaranya yang cukup populer adalah negoisasi, mediasi, konsiliasi, minitrial dan summary jury trial. 85 86
Ibid. Ibid., hlm. 106.
112
1. Negoisasi. Di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di perkotaan istilah negoisasi semakin terbiasa diucapkan menggantikan istilah berunding atau bermusyawarah. Kata negoisasi berasal dari kata negotiation yang artinya perundingan. Jika diselusuri lebih jauh lagi kata negotiation tersebut sebenarnya berasal dari bahasa Latin. Seperti dikemukan oleh Larry L. Teply:87 “… the word “negotiate” in Latin, consist of “neg” meaning not and “atium”, meaning “ease” These Latin words suggest that one will not be at ease during the process or until the agreement is made furthermore in certain contexts, some individual are unconfortable with compromising ; they consider it an unprincipled “selling out”. Negosiasi dapat diklasifikasikan sebagai negosiasi seng-keta maupun negosiasi transaksional.88 Negosiasi dapat diarti-kan sebagai suatu proses bekerja untuk suatu perjanjian (kesepakatan)89 dan negosiasi dapat diartikan sebagai proses penyelesaian sengketa melalui perundingan antara para pihak yang bersengketa.90 Dalam konteks studi ini pembahasan akan difokuskan pada negosiasi sebagai salah satu bentuk penye-lesaian sengketa alternatif. 87
Larry L. Teply, Legal Negotiation: In a Nutshell, West Publishing Co, St. Paul, Minn, 1992, hlm. 5. 88 Jacqueline M. Nolan-Haley, Op.Cit., hlm. 13. 89 Garry Goodpaster, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Proyek ELIPS, Jakarta, 1999, hlm. 1. Bandingkan dengan P. Gulliver, Disputes and Negotiation; A Cross Cultural Prospective, Academic Press, New York and London, 1979, hlm. 3-7. 90 Supraprto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Airlangga University Press, Surabaya, 1999, hlm. 86.
113
Negosiasi adalah merupakan salah satu bentuk penye-lesaian sengketa alternatif yang memegang peranan penting sebagai sarana penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Oleh karena biasanya negosiasi selalu ditempatkan sebagai upaya yang pertama (the first resort) untuk mencari penyelesaian suatu sengketa. Dalam negosiasi para pihak yang bersengketa melakukan perundingan secara langsung (adakalanya didampingi peng-acaranya masing-masing) tanpa dibantu oleh pihak ketiga. Penyelesaian sengketa
sepenuhnya
dikontrol
para
pihak
sendiri
melalui
kesepakatan bersama atas dasar prinsip win-win. Negosiasi bersifat informal dan tidak terstruktur, serta waktunya-pun tidak terbatas. Adakalanya perkara yang sudah digelar di pengadilan masih terbuka untuk dibawa ke forum negosiasi. Berhasil atau tidaknya suatu sengketa diselesaikan melalui negosiasi,
sangat
dipengaruhi
oleh
ketepatan
memilih
teknik
negosiasi dan pemahaman terhadap prinsip-prinsip umum dari negosiasi serta langkah-langkah yang harus dilakukan untuk setiap negoisiasi.
114
Roger Fisher dan William Ury91 membagi teknik negosiasi dalam lima macam yaitu, teknik kompetitif, teknik kooperatif, teknik lunak, teknik keras dan teknik interest based. Teknik negosiasi kompetitif adalah suatu teknik yang secara psikologis menganggap pihak lawan (opposant party) sebagai musuh. Proses negosiasi dipandang sebagai permainan zerosum game, pada akhir mana akan muncul seorang pemenang dan seorang pihak yang kalah.92 Ciri-ciri negosiasi kompetitif antara lain pada awal negosiasi negosiator mengajukan permintaan yang besar. Sesuatu yang diketahuinya akan ditolak oleh pihak lawan, karena permintaan itu di atas atau dengan margin yang jauh dari batas tawaran yang dapat diterima atau layak. Untuk itu Garry Goodpaster mengemukakan:93 “Para kompetitor berupaya untuk mendapatkan informasi sebanyak mungkin sementara megungkapkan sedikit mung-kin cara untuk melakukannya dengan terselubung agar dianggap sopan, membiarkan agar pihak lawan yang memulai membuka tawaran. Informasi tersebut apapun itu, memberi peluang bagi negosiator ntuk membuat penawaran awalnya dengan menguntungkan, dengan menyesuaikan hal itu untuk mencapai keuntungan yang maksimum”.
91
Roger Fisher and William Ury, Getting to Yes; Negotiation an Agreement Without Giving In, Century Business Ltd, London, 1992, hlm. 9. Lihat juga Suyud Margono, Op.Cit., hlm. 49. 92 Lax and Sebenius, “The Manager as Negotiator”, dalam Jaqcueline M. Nolan-Haley, Op.Cit., hlm. 21. 93 Garry Goodpaster, Op.Cit., hlm. 50.
115
Penggunaan teknik negosiasi ini biasanya dilakukan apabila negosiator tidak memiliki data yang baik dan akurat atas diri lawannya. Teknik negosiasi kooperatif, menganggap negosiator lawan bukan sebagai musuh, tetapi sebagai mitra kerja untuk mencapai kesepakatan bersama. Para pihak berkomunikasi untuk menjajaki kepentingan, nilai-nilai bersama dan bekerja sama. Hal yang dituju oleh seseorang negosiator adalah penye-lesaian sengketa yang memberi keuntungan sebesar-besarnya bagi kedua belah pihak (winwin solution). Satu strategi esensial yang digunakan para pihak dalam negosiasi kooperatif adalah kompromi. Menurut Jeffrey Rubin dan Bert Brown94 alasan-alasan para negosiator melakukan kompromi adalah karena situasi menghendakinya, demi untuk kepentingan mereka, atau karena sudah sifatnya kooperatif dan cenderung kompromi. Menurut
studi
William
negosiator
kooperatif
memiliki
karakteristik berprilaku secara etis, memaksimumkan penye-lesaian sengketa, mendapat hasil penyelesaian yang fair, meng-hindari litigasi
94
Ibid., hlm. 76.
116
dan mempertahankan serta menciptakan hubungan pribadi yang baik dengan pihak lawan.95 Teknik negosiasi lunak dan keras. Teknik negosiasi lunak menempatkan pentingnya hubungan baik antar pihak. Teknik ini menekankan pada corak negosiasi yang mengandung lahirnya kesepakatan yang bersifat semu serta menghasilkan pola menangkalah.
Penggunaan
teknik
ini
mengandung
resiko
manakala
menghadapi seorang yang menggunakan teknik negosiasi keras. Negosiator keras dalam menghadapi negosiator lunak bersifat sangat dominan. Negosiator keras di satu pihak akan berusaha memberi konsesi dan menggunakan ancaman. Di pihak lain negosiator lunak akan memberi konsesi dan menggunakan ancaman. Di pihak lain negosiator lunak akan memberikan konsesi untuk sekedar mencegah konfrontasi dan bersikeras untuk mencapai kesepakatan. Proses negosiasi seperti ini akan menguntungkan pihak negosiator keras serta menghasilkan kesepakatan yang berpola menang-kalah.96 Teknik negosiasi interest based (berdasarkan kepen-tingan). Teknik ini merupakan jalan tengah yang ditawarkan atas pertentangan antara teknik negosiasi lunak dan keras. Teknik ini dipilih karena
95 96
Jacqueline M. Nolan-Haley, Op.Cit., hlm. 21-22. Suyud Margono, Op.Cit., hlm. 50.
117
pemilihan teknik negoisasi keras berpeluang menemui kebuntuan (dead lock) terlebih-lebih apabila bertemu dengan sesama negosiator yang bersifat keras. Sedangkan teknik negosiasi lunak berpeluang sebagai pihak yang kalah. Resiko lainnya adalah kesepakatan yang dicapai (bila ada) bersifat semu, sehingga membuka peluang di mana salah satu pihak dikemudian hari menyadari ketidak wajaran dalam proses negosiasi dan tidak mau melaksanakan apa yang telah disepakati dalam negosiasi. Teknik negoisasi interest based memiliki empat kom-ponen dasar yaitu; people (orang), interest (kepentingan), option/ solution dan objective criteria (PIOC) yang dapat diuraikan sebagai berikut:97 Pertama, komponen orang, komponen ini di bagi menjadi tiga landasan, yaitu pertama pisahkan antara orang dengan masalah; kedua, konsentrasi serangan pada masalah, bukan orangnya dan terakhir, para pihak harus menempatkan diri sebagai mitra kerja. Kedua, komponen kepentingan (interest), memfokuskan pada kepentingan mempertahankan posisi. Ketiga, komponen pilihan (option), bermaksud pertama untuk memperbesar bagian sebelum dibagi dengan memper-banyak pilihan kesepakatan (solusi) yang mencerminkan kepen-tingan bersama; 97
Ibid.
118
kedua, jangan terpaku pada satu jawaban; dan ketiga, menghindari pola pikir bahwa pemecahan masalah mereka adalah urusan mereka. Keempat, komponen kriteria, mencakup kesepakatan kriteria, standar objektif dan independen, pemecahan masalah, bernilai pasar (market
value),
preseden
berdasarkan
perkem-bangan
ilmiah
(scientific judgement), standar profesi, berstandar pada hukum dan kebiasaan dalam masyarakat.
2. Mediasi. Mediasi adalah perluasan dari proses negosiasi. Pihak-pihak yang bersengketa yang tidak mampu menyelesaikan sengketanya, akan menggunakan jasa pihak ketiga yang ber-sikap netral untuk membantu mereka dalam mencapai suatu kesepakatan. Tidak seperti proses ajudikasi di mana pihak ketiga menerapkan hukum terhadap fakta-fakta yang ada untuk mencapai suatu hasil. Dalam mediasi, pihak ketiga akan membantu pihak-pihak yang bertikai dalam menerapkan nilai-nilainya terhadap fakta-fakta untuk mencapai hasil akhir. Nilai-nilai ini dapat meliputi hukum, rasa keadilan, kepercayaan agama, moral dan masalah-masalah etik.
119
Gary H. Barnes dkk., mendefenisikan mediasi sebagai berikut:98 “Mediasi adalah proses untuk menyelesaikan sengketa dengan bantuan pihak netral. Peranan pihak netral adalah melibatkan diri untuk membantu para pihak, baik secara pribadi atau kolektif, untuk mengindentifikasi masalah-masalah yang dipersengketakan dan untuk mengembangkan proposal-proposal lebih lanjut untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Tidak seperti arbitrase, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutus setiap sengketa, melainkan mediator dapat mengikuti pertemuanpertemuan rahasia dan pembahasan khusus bersama dengan pihak-pihak yang bertikai”. Di samping itu, ada yang mendefinisikan; “Mediasi adalah suatu proses di mana pihak netral yang telah disepakati oleh pihakpihak yang bersengketa, bertindak sebagai seorang fasilitator bagi kepentingan negosiasi mereka dan membantu mereka mencapai solusi yang saling menguntungkan”.99 Penggunaan mediasi untuk menyelesaikan sengketa bukan merupakan fenomena baru. Di Amerika Serikat kelompok imigran Quaker, Cina dan Jahudi mula-mula lebih cendrung menerapkan model-model mediasinya ketimbang mengikuti sistem peradilan
98
Manchester Open Learning, Mengendalikan Konflik dan Negosiasi, (Terj. Amitya Kumara Soeharso), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hlm. 123. 99 Alternative Dispute Resolution (ADR), http;/www.fmladr.com/ services.htm.Available, diakses pada tanggal 20 Juni 2000.
120
Amerika. Perhimpunan tenaga kerja juga telah menggunakan mediasi sejak dikeluarkannya Arbitration Act 1888.100 Perkembangan sangat pesat, di mana pada tahun 1986 jaringan umum mediasi telah mencapai 220 Public Mediation Centers yang beroprasi di seluruh empat puluh negara bagian di AS, melayani penyelesain sengketa masyarakat Amerika baik sengketa besar maupun kecil. Sengketa yang diselesaikannya meliputi sengketa bisnis, pertanahan, tenaga kerja, suami-isteri, antar tetangga, dan lain-lain.101 Ada berbagai teknik atau pola mediasi yang berbeda, akan tetapi dua di antara teknik tersebut yang paling umum adalah teknik fasilitatif dan evaluatif. Perbedaan utama di antara keduanya adalah bahwa dalam teknik evaluatif, mediator jauh lebih terlibat secara aktif dalam menyelesaikan sengketa. Mediator akan memberikan saransaran tentang cara menye-lesaikan sengketa dan akan selalu mengevaluasi sengketa bagi kepentingan pihak-pihak. Sedangkan dalam model fasilitatif, mediator akan mengkonsentrasikan diri di dalam mengupayakan komunikasi di antara pihak yang satu dengan
100 101
Jacqueline M. Nolan-Haley, OpCit., hlm. 54-55. M. Yahya Harahap I, Op.Cit., hlm. 190-191.
121
pihak lainnya untuk memunculkan solusi bagi sengketa yang mereka hadapi. Mediasi itu sendiri adalah meliputi orang dan interaksi di mana orang-orang tersebut. Seperti kebanyakan bidang atau aspek yang melibatkan orang, tidak ada cara satu-satunya yang terbaik untuk melakukan hal-hal atau untuk mendapatkan hasil. Sebab selama ada pola managemen yang efektif dan berbeda, selama itu pula ada pola mediasi yang efektif dan berbeda. Namun demikian tidak ada mediasi yang dapat menjadi efektif tanpa aspek-aspek berikut ini:102 Pertama, keberadaan perwakilan pihak-pihak dengan otoritas untuk
menegosiasikan
suatu
penyelesaian
sengketa;
Kedua,
keinginan pihak-pihak untuk mendapatkan solusi di luar pengadilan. Adakalanya, hanya satu pihak yang setuju dengan mediasi yang telah ditetapkan, dan harus menjual keuntungan mediasi kepada pihak lainnya. Dalam berbagai sengketa lembaga mediasi netral harus berada dalam posisi terbaiknya untuk meyakinkan pihak-pihak bahwa mediasi memberikan mamfaat. Penggunaan mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa bisa di dasarkan pada kesepakatan para pihak ketika terjadi sengketa.
102
Richard Hill, Non Adversarial Mediation, http:/www.Batnetcom/ oikoumene/arbmed3. Html. Available, diakses pada tanggal 3 Juni 2000.
122
Bisa juga telah diperjanjikan sebelumnya (klausula mediasi). Bahkan mungkin juga bersifat memaksa, karena sudah ditentukan dengan tegas dalam suatu ketentuan undang-undang. Selanjutnya pada bagian lain disebutkan pula bahwa salah satu cara untuk mencapai mufakat adalah melalui mediasi. Tetapi dengan syarat harus atas dasar permintaan salah satu atau kedua belah pihak yang bersengketa.103
3. Konsiliasi. Hanry Campbell Black mengemukakan; “Conciliation the adjustment and settlement of a dispute in a friendly, un antagonistic manner”.104 Di sini, secara sederhana Black meng-artikan konsiliasi sebagai proses penyelesaian sengketa dengan cara ramah tamah (perdamaian) dan tidak bermusuhan. Suatu defenisi memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai konsiliasi, menyebutkan: “Conciliation is a term given to the process whereby conflicts: between parties are resolved without formal dispute resolution process. The netral party gathers information regarding the issue(sengketa) in dispute and deals with any procedural matter. If a case cannot be resolved via conciliation, the netral party
103 104
Lihat Pasal 66 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997. Henry Campbell Black, Op.Cit, hlm. 200.
123
explores what remain to be done prior to any other form of alternative dispute resolution. 105 Dengan demikian konsiliasi juga merupakan cara penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga netral untuk membantu para pihak yang bersengketa mengakhiri sengketa mereka dengan kesepakatan damai. Perbedaannya dengan mediasi terletak pada peran yang dimainkan pihak ketiga yang melibat-kan diri di dalam proses penyelesaian sengketa alternatif itu. Dalam proses konsiliasi pihak ketiga netral bertindak sebagai konsiliator memainkan peran yang pasif yang biasanya terbatas pada fungsi prosedural saja, sedangkan mediator mempunyai peran yang aktif.106 Negara-negara yang telah mengembangkan konsiliasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa alternatif antara lain, Amerika Serikat, Jepang, Korea, Australia dan Cina. Di Jepang konsiliasi atau chotei sebagai penyelesaian sengketa alternatif sudah dikenal sejak jaman Tokugawa dan dewasa
105
The New York State Dispute Resolution Association Inc. What is Alternative Dispute Resolution (ADR)? http://www.nydra.org/sdr.html. Available, diakses pada tanggal 30 Mei 2000. 106 Suparto Wijoyo, Op.Cit., hlm. 104.
124
ini sudah dituangkan dalam hukum positif Jepang yaitu Minji Chotei Ho (Undang-undang Konsiliasi Perdata) tahun 1951.107 Model konsiliasi yang berkembang di Amerika Serikat agak berbeda dengan yang dipraktekkan di Jepang, Korea Selatan. Sistem konsiliasi Amerika Serikat merupakan tahab awal dari proses mediasi, dengan acuan penerapan, apabila ter-hadap seseorang diajukan proses mediasi, diterimanya
dan
dalam
tuntutan
yang
kedudukannya
diajukan
sebagai
claimant
dapat
respondent
tanpa
melanjutkan pembicaraan, karena pihak respondent dengan kemauan baik (good will) bersedia menerima apa dikemukakan pihak claimant. Cara penyelesaian dengan good will yang demikian disebut conciliation winning over by good will (kemenangan diperoleh dengan kemauan baik). Biasanya responden untuk memenuhi tuntutan secara good will adalah karena dia sendiri mengerti dan menyadari sejauhmana seriusnya persoalan yang disengketakan, sehingga dianggapnya layak untuk memenuhi permintaan. Di samping itu responden juga tidak ingin permasalahan itu dicampuri pihak ketiga.
107
Hideo Tanaka (Ed.), The Japan Legal Sistem, Uversity of Tokyo Press, Tokyo, 1988, hlm. 492-500. Lihat juga Erman Rajagukguk, Op.Cit., hlm. 111-112.
125
Lain halnya dengan konsiliasi yang dikembangkan di Jepang dan Korea. Di Korea menurut Article 53 The Commercial Arbitration, Rule dari The Korean Commercial Arbitration Boord (KCAB) diatur suatu sistem koneksitas antara mediasi, konsiliasi, arbitrase. Sistem koneksitas antara tiga jenis penyelesaian sengketa alternatif tersebut dengan cara menempatkan kon-siliasi di tengah. Artinya jika proses mediasi mengalami jalan buntu akan dilanjutkan dengan konsiliasi dan jika proses konsiliasi mengalami kegagalan, maka penyelesaian sengketa dilanjutkan dengan arbitrase.108 Di Jepang, konsiliasi dikoneksikan dengan pengadilan. Proses konsiliasi menurut undang-undang konsiliasi Perdata Jepang adalah pihak yang ingin menempuh konsiliasi, men-daftarkan proposalnya dan membayar sedikit biaya. Konsiliasi kemudian dilakukan oleh pengadilan melalui komite konsiliasi, terdiri dari hakim yang ditunjuk oleh pengadilan, dan dua atau lebih konsiliator yang diangkat oleh pengadilan, diambil dari daftar konsiliator yang dibuat setiap tahun oleh pengadilan. Hakim dapat menunjuk pula konsiliator sebagai pengganti dirinya. Hakim sendiri bisa menjadi konsiliator tunggal apabila para pihak berpendapat tidak memerlukan komite konsiliator.
108
M. Yahya Harahap I, Op.Cit., hlm. 201-202.
126
Konsiliasi berlangsung dalam beberapa kali dan dapat menahan
waktu
beberapa
bulan.
Sidang
konsiliasi
biasanya
dilangsungkan dalam ruangan kecil di pengadilan. Para pihak dan konsiliator bertemu dalam suasana informal namun tertutup untuk umum. Negosiasi yang dilakukan di depan komite konsiliasi dapat menelorkan berbagai hasil, antara lain dicapai-nya kesepakatan. Kesepakatan tersebut dibuat secara tertulis, salinannya diberikan kepada para pihak dan satu salinan untuk arsip pengadilan. Penyelesaian sengketa menjadi efektif seperti sebuah keputusan hakim, bila tidak ada sanggahan dalam dua minggu. Jika tidak ada kemungkinan untuk mencapai kesepakat-an proses konsiliasi diakhiri dan para pihak dapat mengajukan gugatan biasa ke pengadilan.109 Di Australia konsiliasi lebih banyak dikaitkan dengan fungsi administrasi penyelesaian
negara
dan
sengketa
tata
usaha
konsiliator
negara.
tidak
mesti
Dalam
upaya
mengadakan
pertemuan dan pembicaraan dengan kedua belah pihak dalam suatu tempat, tapi bisa dilahirkan shuttle negotiation antara para pihak dan putusan yang diambil menjadi resolusi yang dapat dipaksakan kepada kedua belah bihak.110
109 110
Erman Rajagukguk, Loc.Cit. M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 218.
127
Di Cina konsiliasi adalah merupakan cara yang lebih disukai dan sebagai kelanjutannya konsiliasi hampir selalu dilaksanakan sebagai tahap penilai bagi penyelesaian sengketa bahkan para hakim selalu mengarahkan pihak-pihak bernego-siasi.111 Konsiliasi tidak hanya berkembang di beberapa negara karena secara internasional lembaga ini juga sering diperguna-kan para pihak sebagai
cara
untuk
menyelesaikan
sengketa
yang
bersifat
internasional. Dalam penyelesaian sengketa internasional istilah kon-siliasi diartikan sebagai suatu upaya untuk menyelesaikan sengketa internasional mengenai keadaan apapun di mana komisi yang dibentuk oleh pihak-pihak, bik yang bersifat tetap atau adhoc untuk menangani suatu sengketa, berada pada tahab pemeriksaan yang tidak
memihak
atas
sengketa
tersebut
dan
berusaha
untuk
menentukan batas penyelesaian yang dapat diterima oleh pihak-pihak atau memberi pihak-pihak pandangan untuk penyelesaiannya, seperti bantuan yang mereka minta. Sifat yang melekat pada cara ini segera tampak. Bila mediasi pada dasarnya merupakan eksistensi negosiasi, maka konsiliasi atau pemufakatan melibatkan campur tangan pihak ketiga pada footing 111
http:/www.hg.org/1354.txt, Loc.Cit.
128
hukum formal dan mewujudkannya ke dalam cara-cara yang dapat dipertimbangkan,
tapi
tidak
indentik
dengan
penyidikan
atau
arbitrase.112 Timbulnya konsiliasi dalam penyelesaian sengketa internasional pada mulanya diatur dalam perjanjian antara Swedia dan Chili pada tahun 1920, kemudian tahun 1921 konsiliasi dan arbitrase ditetapkan sebagai penyelesaian sengketa alternatif dalam suatu perjanjian yang dibuat antara Jerman dan Swiss.113
4. Minitrial. Minitrial merupakan bentuk penyelesaian sengketa alter-natif yang baru muncul pada tahun 1977,114 namun sangat populer dalam masyarakat Amerika. Bentuk ini dianggap pilihan yang paling efektif dan efisien menyelesaikan sengketa bisnis. Minitrial ditegakkan di atas
landasan
filosifis
dan
etika
saling
mau
dan
bersedia
mendengarkan dan menerima segala kebaik-an dan keburukan masing-masing pihak. Dianggap tidak etis untuk mempertahankan kebaikan sendiri tanpa mengakui kekurangan yang ada pada dirinya.
112
J.G. Merrills, Internasional Dispute Settlement, Sweet & Maxwell, London, 1984, hlm. 52. 113 Ibid., hlm. 53. 114 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 205.
129
Tidak etis hanya menyerang kejelekan orang lain, tapi harus mampu menerima dan memuji kebaikan pihak lain. Berpijak dari landasan etik tersebut, membuat para pihak yang bersengketa mencoba menjamin komunikasi yang akrab, dan duduk bersama saling mendengarkan segala keunggulan dan kekurangan masing-masing pihak. Setelah itu mereka ber-bincang apakah tidak mungkin dicari penyelesaian yang tepat.115 Proses minitrial terdiri dari lima tahap, yaitu:116 a. Persetujuan minitrial (Agreement in use minitrial), artinya para pihak sepakat menyerahkan penyelesaian sengketa melalui lembaga minitrial. Kespakatan ini bisa lisan (oral) dan bisa tertulis (in writing), di dalamnya dirumuskan cara dan tenggang waktu pentahapan penyelesaian. b. Persiapan kasus (case preparation), dalam tahap ini para pihak diberi kesempatan untuk mengumpulkan berbagai dokumen yang dianggap penting untuk diajukan sehubungan dengan sengketa. Jangka waktunya biasanya dibatasi antara satu hingga dua minggu.
115 116
Ibid. Ibid., hlm. 206-207.
130
c. Mendengar keterangan (information learning), untuk itu dibuka dan dimulai proses minitrial dalam suatu pertemuan tertutup di antara pihak-pihak yang dihadapi oleh para top manajer dan eksekutif para pihak, serta disampaikan didepan advisor yang mereka tunjuk, kedudukan dan fungsi advisor, bukan sebagai hukum, yang berwenang mengambil putusan, tapi hanya berperan sebagai pihak ketiga yang netral, membimbing jalannya penyampaian keterangan yang disam-paikan dalam minitrial bersifat rahasia (confidental). d. Advisor memberi pendapat (Advisor given opinion), kepada eksekutif kedua belah pihak, tidak boleh dihadiri oleh top manajer dan pengacara. Pendapat
yang diberikan berisi penjelasan
tentang kekuatan, keburukan, dan kelemahan masing-masing pihak dan bagaimana mestinya hakim menyelesaikan sengketa sekiranya kasus itu diajukan ke pengadilan. e. Mendiskusikan penyelesaian (discuss settlement), eksekutif kedua belah pihak mengadakan pertemuan tanpa dihadiri oleh advisor, karena sejak dia memberikan pandapat peran dan fungsinya berakhir dengan sendirinya. Pertemuan ter-sebut mendiskusikan penyelesaian sengketa berdasarkan informasi yang disampaikan masing-masing pihak dikaitkan dengan opini yang dikemukakan
131
advisor.
Tercapai
atau
tidaknya
kesepakatan
penyelesaian
sengketa sepenuhnya diserahkan kepada kehendak dan kemauan para eksekutif yang bersangkutan. Dengan demikian peranan advisor dalam proses minitrial hampir sama dengan peran mediator dan konsiliator. Untuk berhasilnya suatu minitrial sangat dipengaruhi oleh kemampuan advisor menyusun suatu opini hukum (legal opinion) dari keterangan para pihak, sehingga dapat menggugah perasaan para pihak kearah penyelesaian yang kompromistis. 5. Summary Jury Trial. Summary Jury Trial merupakan bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang juga baru dikembangkan di Amerika. Bentuk ini mirip dengan minitrial, itu sebabnya Douglas Whitman mengatakan;117 The summary jury trial is the jury equivalent of a minitrial. Prosedur
summary
jury
trial
menggunakan
juri
untuk
memberikan nasehat bagi pihak-pihak yang sedang berseng-keta. Juri akan mendengarkan presentase ringkas yang diberi-kan setiap pihak dalam jangka waktu singkat mengenai kasus mereka. Jumlah saksi dibatasi dan juga waktu yang diberikan bagi pengacara di dalam memberikan 117
argumen-argumennya.
Ibid., hlm. 208.
132
Para
juri
akan
bertindak
independent
setelah
kedua
belah
pihak
mempresentasekan
kasusnya. Selanjutnya juri akan mengeluar-kan keputusan. Summary jury trial seperti arbitrase, dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat. Keuntungan summary jury trial ini dibandingkan dengan pengadilan adalah bahwa summary jury trial dapat dilakukan dalam satu hari dan tidak memakan waktu yang lama. Keuntungan lainnya adalah fleksibilitas yang diberikan.118
C. Alternative Dispute Resolution di Beberapa Negara di Dunia 1. Amerika Serikat.119 Thomas J. Harron berkta bahwa masyarakat Amerika Serikat sudah jemu mencari penyelesaian sengketa melalui litigasi (badan peradilan). Mereka tidak puas atas sistem per-adilan (dissatisfied with the judicial sistem). Karena cara penye-lesaian sengketa yang melekat pada sistem peradilan sangat bertele-tele (the delay inherent in a sistem) dengan cara-cara yang sangat merugikan. Bertitik tolak dari kenyataan ini, maka mereka mencipta Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagai pilihan. Litigasi ditempatkan sebagai the
118
Alternative Dispute Resolution (ADR), http:/www.fmladr.com/ services.htm., Loc.Cit. 119 Diringkas dari M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 186-210.
133
last resort (upaya akhir). ADR ditempatkan sebagai the first resort (upaya utama). Bentuk-bentuk ADR yang digemari dan populer di Amerika Serikat, antara lain: a. Arbitrase. Di
Amerika
Serikat,
pusat
arbitrase
institusional
yang
berwawasan nasional adalah America Arbitration Association (AAA). Lembaga America Arbitration Association (AAA) ini didirikan pada tahun 1926, dengan sifatnya non-profit dan non-government. Kantor yang dimilikinya sebanyak 32 (tiga puluh dua) kantor regional (regional office) yang terdapat di kota-kota utama Amerika Serikat. Cara penyelesaiannya didasarkan pada klausula arbitrase dan putusannya bersifat final dan binding. Adapun lama penyelesaian rata-rata sekitar 3 (tiga) sampai 6 (enam) bulan. Setiap tahun rata-rata 45.000 (empat puluh lima ribu) kasus diselesaikan dari rata-rata 53.000 (lima puluh tiga ribu) kasus yang diterima.
b. Compulsory arbitration sistem. Sistem ini disebut juga the court annexed arbitration, yakni sistem penyelesaian sengketa yang memadu secara koneksitas (connected) antara pengadilan dan arbitrase. Ber-hubung sifat
134
koneksitasnya
bersifat
memaksa
(imperatif),
maka
sistem
ini
dinamakan pula ”compulsory arbitration is creat annexed with arbitration”. Proses penyelesaian sengketa dengan menggunakan sistem ini berdasarkan pada yurisdiksinya, yakni terbatas small claim (perkara kecil), terbatas $ 10.000 (sepuluh ribu dolar) (gugat yang seperti ini tunduk secara otomatis kepada sistem ini) yang diterima oleh pengadilan, kemudian dilimpahkan kepada panel arbitrase untuk diselesaikan. Jika para pihak dapat menerima putusan arbitrase, putusan tersebut dikukuhkan pengadilan. Namun, jika sebaliknya tidak mereka terima, maka sengketa itu diperiksa dan diputus pengadilan. Ini berarti putusan arbitrase tidak bersifat final dan binding, bahwa putusan yang diambil arbitrase tidak mutlak mengikat para pihak dan pengadilan juga.
c. Mediation. Mediasi sudah ada dalam budaya penduduk asli Amerika Serikat selama beratus-ratus tahun.120 Penyelesaian sengketa melalui mediasi telah lama dan mempunyai sejarah yang panjang di Amerika Serikat. Pendekatan menengahi (mediate) terhadap sengketa telah
120
Robert D. Garret, “Mediation in Native American”, Dispute Resolution Journal, America, March 1994, hlm. 39.
135
dikenal oleh penduduk asli Amerika (Indian) dan para pendatang. 121 Di dalam budaya penduduk asli Amerika, menjaga perdamaian adalah metode pemecahan masalah yang utama. Budaya mengutamakan konsensus masyarakat agar pendekatan saling berlawanan secara individual pada konflik, dijadikan sebagai dasar untuk peng-gunaan mediasi dan cara-cara penyelesaian sengketa informal. Sebagaimana yang dikatakan hakim Tom Tso, seorang pakar hukum kebiasaan penduduk asli Amerika bahwa ”metode-metode peradilan orang Indian
sebagian
besar
berdasarkan
hubungan-hubungan
keseimbangan dan penggunaan konsen-sus untuk memutuskan sengketa-sengketa”.122 Pada awal abad kedua puluh, mediasi telah dilembaga-kan secara formal dan dikembangkan menjadi profesi yang diakui. Di Amerika Serikat, mediasi pertama kali dilembagakan secara formal dalam bidang hubungan buruh, pimpinan per-usahaan.123 Pada tahun 1913, Kongres Amerika membentuk Departemen Tenaga Kerja dan
121
Kimberlee Kovach, Mediation Principil and Practice, West Publishing Co., St. Paul Minnesota, 1994, hlm. 19. Lihat juga Christopher W. Moore, The Mediation Process Practical Strategies for Resolving Confict, Jossey-Bass Publishers, San Francisco, 1986, hlm. 20. 122 Tom Tso, Moral Principles, Tradition and Fairness in the Nevajo National Code of Judical Conduct, Judicaturel, London, 2000, hlm. 25, sebagaimana dikutip Robert D. Garret, Loc.Cit. 123 Lihat Kimberlee Kovach, Op.Cit., hlm. 20. Lihat juga Christopher W. Moore, Op.Cit., hlm. 21.
136
menetapkan
bahwa
Sekretaris
Departemen
bertindak
sebagai
mediator. Mediasi digunakan agar sengketa dapat diselesaikan dengan cepat, menghindari pemogokan. Karena perkembangan bidang hubungan perburuh-an yang pesat, Kongres pada tahun 1947 membentuk Pelayanan Mediasi dan Konsiliasi Federal (The Federal Mediation and Conciliation Service). FMCS adalah suatu badan federal yang independen, yang mempunyai yurisdiksi atas sengketasengketa
di
dalam
industri-industri
yang
berkaitan
dengan
perdagangan antara negara bagian, fasilitas-fasilitas non-profit privat dan badan-badan pemerintahan federal.124 Badan ini masih aktif sampai sekarang, yang memfokuskan pada mediasi dalam sengketasengketa perburuhan. Penggunaan mediasi oleh pemerintah federal dalam sengketasengketa perubahan telah menjadi suatu model bagi banyak negara bagian. Sejumlah negara bagian telah mengesahkan undang-undang, membuat peraturan-peraturan, dan melatih calon mediator untuk menangani konflik perburuhan antar negara bagian. Mediasi yang disponsori oleh pemerintah, tidak hanya terbatas pada soal-soal hubungan perburuhan saja, tetapi juga mencakup soal-soal 124
hak-hak
sipil
warga
pada
Kimberlee Kovach, Op.Cit. hlm. 26.
137
tahun
1964,
Kongres
mengesahkan Undang-undang Hak-hak Sipil tahun 1964 (The Civil Rights Act of 1964) dan membentuk Pelayanan Hubungan-hubungan Kemasyarakatan (The Community Relations Service) yang bernaung di bawah Departemen Kehakiman. Badan ini diberi kewenangan untuk membantu ”kelompok dan perorangan” pada penyelesaian sengketa,
ketidaksetujuan,
atau
kesulitan-kesulitan
yang
berhubungan dengan praktek-praktek diskriminasi berdasarkan pada ras, warna kulit, atau asal kebangsaan. Badan ini membantu masyarakat dalam penyelesaian sengketa melalui negosiasi dan mediasi dari pada membiarkan mereka menggunakan kekerasan atau sistem judisial. Sejak pertengahan tahun 1960-an, mediasi telah tumbuh secara signifikan sebagai suatu pendekatan formal dan secara luas dipraktekkan untuk penyelesaian sengketa. Dalam sektor masyarakat (community sektor), pemerintah federal membiayai Pusat Peradilan Lingkungan (Neighborhood Justice Centers) yang menyediakan pelayanan mediasi secara cuma-cuma atau biaya murah kepada umum untuk menyelesaikan sengketa secara efektif, tidak mahal, dan informal. Pada tahun 1970, suatu usaha inovasi untuk mengurangi beban sistem peradilan dilakukan oleh Departemen Kehakiman dan
138
Lembaga Kehakiman Nasional dengan mengadakan suatu percobaan di tiga kota di Amerika, yaitu Atlanta, Kansan City, dan Los Angeles. Tujuan dari percobaan ini adalah untuk menjawab pertanyaan; dapatkah sengketa yang melibatkan penduduk biasa berhasil diselesaikan melalui mediasi sebagai suatu alternatif dan litigasi tradisional. Percobaan dengan melibatkan pusat-pusat mediasi lokal tersebut berhasil dengan baik.125 Dalam perkembangan selanjutnya, pusat-pusat peradilan lingkungan ini berkembang, dan tidak hanya menangani perkaraperkara ringan. Pusat-pusat ini kemudian berkembang menjadi Pusatpusat Penyelesaian Sengketa (Dispute Resolution Centers). Setidaktidaknya
satu
negara
mempunyai
satu
pusat
penyelesaian
sengketa.126 Pada
tahun
1980
Kongres
mengusulkan
the
Dispute
Revolution Act untuk membantu lebih banyak lagi masyarakat lokal mendirikan pusat-pusat mediasi. Undang-undang ini ditandatangani oleh Presiden Jimmy Canter pada tanggal 12 Februari 1980, bertepatan dengan hari kelahiran Abraham Lincoln.127 Dan pada saat
125
Peter Lovenheim, Mediate Don’t Litigate, Mc Graw Hill publishing Company, New York, 1989, hlm. 5-6. 126 Ibid., hlm. 22. 127 Ibid., hlm. 7.
139
ini terdapat 220 pusat mediasi publik yang beroperasi di 40 negara bagian.128 Perkembangan yang paling cepat, terjadi pada peng-gunaan mediasi dalam penyelesaian sengketa-sengketa yang berhubungan dengan masalah keluarga. Sistem peradilan dan praktisi-praktisi privat menyediakan mediasi kepada keluarga-keluarga dalam perwalian anak dan proses perceraian, sengketa antara orang tua dan anakanak, dan pengakhiran hak-hak orang tua, sengketa-sengketa suami istri. Beberapa jurisdiksi, masyarakat perceraian suami istri untuk mencoba mediasi sebelum ke pengadilan.129 Mediasi juga digunakan di dalam dan antara organisasiorganisasi untuk menangani sengketa-sengketa antar personil dan kelembagaan. Mediasi di sini, mencakup mulai dari mediasi sengketasengketa pribadi orang per orang, mengelola problem di antara mitramitra,
konflik-konflik
antar
bagian,
dan
perselisih-an
antar
perusahaan. Mediasi juga digunakan pada bermacam-macam seng-keta yang lebih besar, seperti persoalan lingkungan dan kebijak-sanaan politik (public policy). Sengketa atas lokasi pembangkit listrik, 128
Ibid., hlm. 8. Linda R. Singer, Setting Disputes Comflict Resolution In Business, Families and The Legal Sistem, Second Edition, West View Press, Boulder, 1994, hlm. 9. 129
140
konstruksi dan atau bendungan, dan pemakaian tanah, telah banyak berhasil diselesaikan melalui mediasi. Mediasi juga diterapkan dalam konflik-konflik antara pemilik tanah dan penyewa, kasus-kasus kecelakaan, dan sengketa-sengketa konsumen. Mediasi ini semakin berkembang sebagai salah satu ADR setelah disahkannya The Civil Justice Reform Act 1990. Undangundangan ini mensyaratkan semua peradilan distrik federal untuk membentuk komisi-komisi pena-sehat untuk memikirkan cara-cara pengurangan biaya dan penundaan litigasi-litigasi perdata (civil litigation). Peraturan ini secara khusus memerintahkan setiap komisi untuk memikirkan penggunaan ADR untuk mengurangi biaya dan penundaan. Sebagai hasil dari kerja komisi ini, banyak (kalau bukan semua) peradilan federal mengadakan program-program mediasi, arbitrase, atau evaluasi awal pihak netral, kebanyakan diantara-nya adalah
wajib,
untuk
membantu
pihak-pihak
yang
berpekara
menyelesaikan kasusnya lebih cepat, dan lebih murah. Selain bidang-bidang yang telah disebutkan di atas, sengketa khusus yang banyak di bawa ke mediasi adalah sengketa bisnis.130 Dari waktu ke waktu, masyarakat bisnis cenderung mencari penyelesaian sengketa melalui sistem ADR. Mediasi dianggap 130
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 192.
141
sebagai salah satu pilihan terbaik di antara sistem dan bemtuk ADR yang ada. Jenis sengketa bisnis yang sudah umum diselesaikan melalui mediasi di Amerika Serikat, adalah:131 1) Sengketa kontrak (contract dispute). 2) Pengaduan konsumen (consumer complaints). 3) Pengaduan menderita luka (personal injury complaints). 4) Tuntutan
pertanggungjawaban
produk
(product
liability
complaints). 5) Sengketa konstruksi (construction dispute). 6) Sengketa yang timbul dari merjer dan akuisisi. 7) Sengkete antara majikan dan karyawan. 8) Sengketa antar pekerja (disputes between employees). 9) Sengketa antara mitra usaha. 10) Sengketa antara anggota keluarga di dalam bisnis keluarga. Banyak sengketa bisnis sebagaimana disebut di atas berhasil diselesaikan melalui mediasi. Untuk menggambarkan mediasi sebagai salah satu alternatif terbaik dalam penyelesaian sengketa bisnis, tahun
1985
sebuah
buku
panduan
untuk
eksekutif-eksekutif
perusahaan mengenai sengketa-sengketa hukum menyebut mediasi 131
Peter Lovenheim, Op.Cit., hlm. 176.
142
sebagai ”the Steeping Giant”.132 Sejak saat ini raksasa tersebut telah bangun, dan penggunaan mediasi untuk penyelesaian sengketa antara perusahaan-perusahaan telah meningkat jumlahnya. Karena fleksibilitasnya, mediasi dapat menyesuaikan diri pada sengketa-sengketa bisnis untuk semua tingkatan, besar maupun kecil, dan yang bersifat kompleks. Mengenai keber-hasilan mediasi sebagai penyelesaian sengketa bisnis dalam waktu yang singkat, dapat dikemukakan satu contoh kasus yang terjadi di Washington, D.C. Kasus ini mengenai real estate yang bernilai miliaran rupiah. Kasus ini melibatkan real estate komersial, persekutuan pembangunan real estate, asosiasi penyewa, penjamin, dan bank, serta penasehat hukum dari setiap pihak. Satu bulan sebelum pemeriksaan perkara di pengadilan, hakim meminta para pihak dan penasehat hukum masing-masing untuk bertemu dengan Michael Lewis, seorang mediator yang sudah berpengalaman hanya melalui lima kali pertemuan
dan
beberapa
kali
telpon,
kasus
tersebut
dapat
diselesaikan dan menghasilkan persetujuan (agreement).133 Karena menyadari efektivitas mediasi dalam penyelesaian sengketa bisnis, beberapa pengadilan telah memulai menemu-kan 132 133
Linda R. Singer, Op.Cit., hlm. 70. Untuk jelasnya proses penyelesaian kasus ini lihat Linda R. Singer. Ibid.,
hlm. 71.
143
potensi mediasi untuk penyelesaian semgketa-sengketa bisnis yang kompleks. Di Chicago, misalnya Hakim Marvin E. Aspen (seorang hakim pengadilan distrik) telah menunjuk professor hukum dan mediator Stephen Goldberg sebagai tenaga khusus, untuk maksud mediasi kasus-kasus yang melibatkan dengan adanya kecurangan, pelanggaran kontrak, anti trust, dan diskriminasi pekerjaan. Tuntutan ganti kerugian rata-rata berkisar antara $ 250.000 sampai dengan $ 30 juta. Menurut Goldberg, hakim tersebut memilih kasus-kasus tersebut untuk diselesaikan melalui mediasi, karena kompleksitasnya dan kemungkinan memerlukan persidangan yang lama, tetapi tampak lebih
mudah
jika
diselesaikan
melalui
metode
penye-lesaian
(nonadversial). Mediasi sebagai penyelesaian sengketa tidak hanya berkembang di dalam peradilan. Penyelesaian sengketa bisnis melalui mediasi juga dikembangkan oleh pelaku-pelaku bisnis. Suatu kelompok
perusahaan
waralaba
(franchise)
telah
mem-bentuk
Program Mediasi Waralaba Nasional (National Franchise Mediation Program), suatu uji coba di dalam menyelesaikan sengketa antara pemberi waralaba (franchisor) dan penerima waralaba (franchise). Program didesain dan dikelola oleh Pusat Sumber Daya Publik (the Center for Public Resources) di New York, yang menawarkan suatu
144
proses penyelesaian sengketa secara bertingkat. Pada masa sebelumnya, kebanyakan per-janjian waralaba hanya berisi klausul arbitrase. Ide program ini adalah memungkinkan perusahaanperusahaan waralaba yang keberhasilannya tergantung pada usaha mereka mempertahan-kan hubungan bisnis yang positif dan produktif satu sama lain, untuk menyelesaikan sengketa-sengketa di antara mereka melalui mediasi. Anggota pendiri dari program ini, termasuk di dalamnya antara lain; Burger King, Dunkin’ Hardee’Sektor, Holiday Inn Worlwide, Juffy Lube, Kentucky Fried Chiken, McDonald’s, Pizza Hut, Southland, Taco Bell, dan Wendy’s. Di samping berkembang dalam bisnis waralaba, mediasi juga berkembang dalam industri makanan. Sepuluh perusahaan utama di dalam industri makanan, termasuk General Mills, Kellag dan Rulstan Purina, telah menandatangani suatu persetujuan untuk memediasi sengketa-sengketa mereka jika terjadi sengketa dalam masalah merek dagang, pengemasan, dan pemasaran. Selain itu, bisnis lain yang juga mengembang-kan dan menggunakan mediasi adalah asuransi. Beberapa perusahaan asuransi yang telah terbiasa dengan arbitrase, telah mulai menggunakan mediasi hampir secara rutin. Walau-pun mediasi tidak terdapat di dalam suatu kontrak, baik karena mereka tidak memikirkannya atau karena mereka tidak mem-punyai
145
kontrak, beberapa perusahaan pengangkutan meminta pihak yang dijaminnya dan pihak-pihak yang berhubungan dengan mereka untuk mencoba mediasi sebelum mereka meneruskannya ke pengadilan atau arbitrase. Sebagai contoh, di dalam program perusahaan CIGNA untuk menyelesaikan sengketa-sengketa tuntutan dari pemegang polis, perusahaan tersebut menekankan mediasi dengan keyakinan bahwa
mediasi memberikan
para
pihak kontrol atas proses
penyelesaian. Perusahaan-perusahaan asuransi perjanjian, sekarang juga merekomendasikan mediasi untuk 80% dari tuntutan yang dimasukkan terhadap apa yang dijaminnya. Dewasa ini, mediasi digunakan secara rutin di dalam industri konstruksi. Dalam usaha untuk mendapatkan lebih banyak sengketasengketa konstruksi diselesaikan melalui mediasi, Lembaga Arsitek Amerika (The American Institute of Architects), Dewan Penasehat Insinyur Mesin Amerika (The American Consulting Engineers Council), Masyarakat Insinyur Sipil Amerika (The American Society of Civil Engineers), dan Komisi Pengadaan Nasional (The National Realty Committe) bersama-sama memprakarsai suatu objek mediasi percobaan dengan Pusat Penyelesaian Sngketa (Dispute Resolution Center) di Washington, D.C. Maksud dari proyek ini adalah untuk menguji,
dengan
menggunakan
146
mediator-mediator
yang
ber-
pengalaman untuk menyelesaikan sengketa-sengketa konstruksi dan untuk memelihara kelangsungan hubungan bisnis di antara pihak yang bersengketa. Proyek ini berhasil menyelesaikan sengketa konstruksi yang sudah berlangsung selama tiga tahun di pengadilan. Keberhasilan penyelesaian sengketa melalui mediasi dalam bidang konstruksi, dengan cepat dan biaya yang lebih murah, secara tidak langsung mengurangi porsi penyelesaian sengketa konstruksi melalui arbitrase. Keluhan bahwa arbitrase adalah mahal, tidak dapat diprediksikan, dan dimuati dengan berbagai ketentuan, menyebabkan meningkatnya jumlah orang untuk berubah haluan dari arbitrase kepada mediasi. Berdasarkan sebuah artikel di Wall Street Journal, the American kehilangan
Arbitration jumlah
Association
yang
besar
(AAA), dari
menyebutkan
perusahaan
jasa
telah yang
menawarkan mediasi. Sebagai contoh, jumlah sengketa konstruksi yang ditangani oleh AAA turun dari 5.189 kasus pada tahun 1991 menjadi 4.387 pada tahun 1992, sementara pada tahun tersebut sengketa konstruksi yang ditangani oleh per-usahaan mediasi profit meningkat antara lima belas sampai dua puluh persen.134 Menyikapi
134
Untuk jelasnya proses penyelesaian kasus ini lihat Linda R. Singer. Ibid.,
hlm. 28.
147
peralihan dari arbitrase ke mediasi tersebut, AAA memperbesar departemen mediasinya dan men-dorong kliennya untuk mencoba mediasi sebelum mereka menyerahkan kepada arbitrase. Mengenai kecendrungan pelaku bisnis Amerika Serikat untuk menggunakan mediasi dari pada arbitrase tiga tahun belakangan ini, dapat dikemukakan hasil survey yang dilakukan oleh Cornel University, the Foundation for the Prevention and Early Resolution of Conflict (PERC) dan Price Waterhouse LLP. Survey dilakukan terhadap penasehat umum (general counsel), wakil penasehat (dispute counsel), dan kepala litigasi (chief of litigator) dari 528 perusahaan besar di Amerika Serikat. Perusahaan yang paling kecil, penjualannya lebih dari $ satu miliar. Hasil survey yang dipersentasikan oleh Dekan Fakultas Hubungan Industrial Perburuhan Universitas Cornell pada pertemuan puncak ADR (the ADR Superconference), yang diadakan pada tanggal 28-29 April 1997 di Washington, D.C., memperhatikan 88% dari responden telah menggunakan mediasi selama tiga tahun terakhir ini, sementara 79% telah menggunakan arbitrase. Studi tersebut, sampai sekarang masih merupakan survey yang paling komprehensif
terhadap
peng-gunaan
ADR
pada
perusahaan-
perusahaan Amerika Serikat. Lebih lanjut studi ini memperlihatkan
148
bahwa 84% responden lebih menginginkan menggunakan mediasi di masa
yang
akan
datang,
sedangkan
kecenderungan
untuk
menggunakan arbitrase di masa yang akan datang 69%.135 Menurut studi tersebut 81% dari responden menyatakan bahwa perusahaan mereka menggunakan mediasi karena mediasi menyediakan proses yang lebih memuaskan dari pada litigasi, dan 66% menyatakan mediasi menyediakan penyelesaian yang lebih memuaskan.136 Studi lain yang memperlihatkan keberhasilan mediasi sebagai penyelesaian sengketa adalah studi yang dilakukan oleh Nortwestern University. Studi ini menguji 449 kasus yang didaftarkan di lima negara
bagian
melalui
penyedia-penyedia
jasa
penyelesaian
sengketa, termasuk the American Arbitration Assosiation. Kasuskasus tersebut meliputi kontrak, konstruksi, kecelakaan (personel injury), kerusakan property (property damage), lingkungan, dan sengketa lainnya. Studi tersebut memberikan mediasi nilai yang tinggi dalam hal tingkat penyelesaian sengketanya, keseluruhan proses dengan biaya rendah, dan kepuasan pihak-pihak yang terlibat. Hasil studi tersebut memperlihatkan 78% rata-rata penyelesaian yang dicapai melalui 135
Lihat “Extensive Study Reveal Big Corporations Often Use ADR”, dalam Dispute Resolution Journal American Arbitrase Association, Dispute Resolution Journal, Vo. 52. No. 3, Summer, 1997, hlm. 7. 136 Ibid.
149
mediasi, dan pilihan yang kuat untuk menggunakan mediasi dibandingkan prosedur ADR lainnya adalah 83%. Studi tersebut memperlihatkan adanya alasan yang kuat untuk menggunakan mediasi. Biaya yang dikeluarkan dalam mediasi signifikan lebih kecil dibandingkan dengan arbitrase, mediasi juga signifikan lebih cepat dari pada arbitrase, dan para pihak lebih luas dengan proses dan hasilnya, pelaksanaan hasil, dan pengaruh prosedur para hubungan para pihak.137 Studi ini juga menemukan bahwa
jika
prosedur ADR
disebutkan di dalam kontrak, 18% kasus ke mediasi, 72% ke arbitrase. Jika para pihak dapat memilih sendiri prosedur ADR, 83% memilih mediasi. Jika suatu pengadilan meminta atau seorang hakim menganjurkan ADR, 92% mengakhiri di dalam mediasi.138 Semakin banyak pekara, secara khusus dalam bidang bisnis yang diselesaikan melalui mediasi, makin banyak didirikan pusatpusat penyelesaian sengketa (baik yang berorientasi ke profit maupun non-profit) serta perusahaan-perusahaan jasa mediasi. Beberapa pusat dan perusahaan mediasi (mediasi firm) tersebut, selain yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dikemukakan antara lain; Center 137
Lihat “Mediation Get High Marks”, dalam Dispute Resolution Journal the American Arbitration Association, Journal, American, 1997, hlm. 7. 138 Ibid., hlm. 15.
150
Dispute Resolution di Boulder, Jamsen Dispute di Seattle, Confluence North West di Portlan Oregon, Community Dispute Resolution Center di Ithaca, Society of Professional in Dispute Resolution di Washington D.C., Better Business Bureaus, Inc. dan Virginia, the Mediation Information and Resource Center, di Oregon, Dispute Resolution Research Center di Northwetern, the United States Arbitration & Mediation Inc., dan masih banyak yang lainnya. Mediator telah muncul sebagai profesi baru yang sejajar dengan profesi pengacara, akuntan, dan dokter. Dewasa ini juga makin banyak pengacara dan penasehat hukum yang merang-kap menjadi mediator. Namun, untuk memberikan hasil yang memuaskan, seorang yang akan menjadi mediator harus ditunjang dengan program-program pelatihan-pelatihan dan sertifikasi. Sebagai contoh, sampai dengan Januari 1996, 7730 orang telah menyelesaikan program pelatihan mediasi ber-sertifikat yang diadakan oleh Mahkamah Agung Florida.139 Untuk mengakomodasi keberadaan mediator-mediator profesional, di Amerika Serikat telah lahir asosiasi mediator professional yaitu Society of Profesional in Dispute Resolution (SPIDR).
139
URL: http://wwlia.org/adr2.htm, diakses tanggal 8 Februari 1997.
151
d. Conciliation. Bentuk ADR lain yang berkembang di Amerika Serikat adalah konsiliasi (conciliation). Model ini berkembang di Amerika Serikat agak berbeda dengan dipraktekkan di Jepang atau di Korea Selatan. Sistem kosiliasi ini merupakan tahap awal dari proses media dengan acuan penerapan apabila terhadap seseorang diajukan proses mediasi, dan tuntutan yang diajukan claimant (penggugat) dapat diterimanya dalam kedudukan sebagai respondent (tergugat), maka pada tahap yang demikian berarti telah diperoleh penyelesaian tanpa melanjutkan
pem-bicaraan,
karena
pihak
respondent
dengan
kemauan baik (good will) bersedia menerima apa yang dikemukakan pihak claimant. Adapun alasan respondent mau menerima tuntutam secara good will ini disebabkan dia sendiri mengerti dan menyadari sejauh mana
seriusnya
persoalan
yang
diseng-ketakan,
sehingga
dianggapnya layak untuk memenuhi per-mintaan dan juga tidak ingin permasalahan itu dicampuri pihak ketiga dengan penghargaan penyelesaian akan lebih baik tercapai di antara kedua belah pihak. Cara penyelesaian dengan good will ini disebut konsiliasi winning over by good will (kemenangan diperoleh dengan kemauan baik).
152
Penyelesaian sengketa melalui proses media ini rata-rata antara 1520%.
e. Minitrial. Minitrial merupakan suatu bentuk ADR yang baru muncul pada tahun 1977, namun sangat popular dalam masyarakat bisnis Amerika Serikat. Bentuk ini dianggap sebagai pilihan yang efektif dan efisien menyelesaikan sengketa bisnis. Kemunculan-nya bermula dari kasus sengketa antara TWR Inc. dengan Telecredit Inc. Sejak saat itu banyak dinikmati sebagai wadah penyelesaian sengketa. Apabila para pihak sepakat mencari penyelesaian minitrial, para pihak akan menunjuk seorang neutral advisor (advisor netral), kemudian di hadapan advisor ini para pihak yang bersengketa menggelar dan mengajukan bukti-bukti yang mereka anggap penting. Setelah itu, advisor memberi opinion kepada kedua belah pihak (gives the party an opinion). Pendapat yang diberikan tersebut berisi bagaimana cara penyelesaian yang semestinya sengketa itu kalau diajukan ke pengadilan.
Perlu
(nonbinding
advisory),
menyelesaikan
diingat
sendiri
pendapat
terserah
kepada
persengketaan.
153
advisor para
Dalam
tidak
mengikat
pihak
untuk
menyelesaikan
sengketa, juga advisor akan mendiskusikannya dengan eksekutif perusahaan, sehingga akan dicapai kesepakatan yang merupa-kan kehendak dan kemauan para eksekutif kedua belah pihak.
f. Summary jury trial. Selain itu, di Amerika Serikat sedang berkembang bentuk dan sistem ADR lainnya, yaitu summary jury trial. Bentuk itu boleh dikatakan mirip dan hampir sama dengan minitrial sistem dan proses penyelesaiannya diawali dengan petunjukan bebe-rapa orang dalam suatu grup yang akan bertindak sebagai juri oleh para pihak yang bersengketa. Pengacara yang mewakili kedua belah pihak menyam-paikan kasus sengketanya dalam bentuk kapsul (capsulized form). Setelah itu, pengacara kedua belah pihak menginstruksi-kan kepada juri untuk mengambil putusan (verdict) dan putusan diambil berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan pada penyampaian permasalahan kasus. Namun, belakangan timbul kritik terhadap sistem Alternative Dispute Resolution (ADR) ini. Ada yang berpendapat, kalau pengacara salah satu pihak lemah atau beritikad buruk, hal itu langsung membuat pihak pemberi kuasa berada dalam posisi yang lemah.
154
g. Settelement conference. Sistem ini mirip dengan penggarisan yang diatur dalam Pasal 131 HIR. Usaha perdamaian oleh hakim dikoneksitaskan dengan proses
peradilan.
Namun,
sistem
dan
penerapannya
telah
dikembangkan dalam suatu proses yang membuat per-adilan Amerika Serikat mengarah kepada mixed arbitration dengan cara hakim lebih dulu memanggil para pihak dalam suatu proses yang disebut ”pretrial conference” (konferensi pendahuluan pemeriksaan perkara). Proses ini dibuka dan dilakukan sebelum berlangsung tahap pemeriksaan perkara (replik-duplik). Dalam proses ini, hakim hadir dalam kapasitas dan kewenangan sebagai hakim yang sebenarnya seperti dalam proses litigasi, fungsinya hanya mendorong para pihak mencari penyelesaian sendiri atau kalau para pihak setuju, hakim tersebut dapat bertindak sebagai mediator.
2. Australia.140
140
Diringkas dari M. Yahya Harahap I, Op.Cit., hlm. 214 – 221 dan Josi K. Assegaf, “Lembaga Alternative Dispute Resolution (ADR) di Berbagai Negara: Pelajaran Bagi Indonesia”. Makalah, disampaikan pada acara Sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kalimantan Selatan, Banjarmasin, hlm. 6-7.
155
Ditinjau dari segi sejarah, ADR di Australia baru muncul belakangan jika dibandingkan dengan Amerika Serikat atau Korea Selatan.
Akan
tetapi,
perkembangan
dan
penataan
sangat
mengejutkan. Dalam waktu singkat, ADR yang dimunculkan dari benua ini dapat menandingi kemajuan yang dicapai negara lain. Pengembangan ADR di Australia sudah hampir sampai pada tahap konsolidasi. Diorganisir dan dikelola dalam suatu wadah yang dinamakan dengan Center for Disputes Resolution yang didirikan pada tahun 1988. organisasi ini bernaung di bawah University of Technology Sydney dan bekerjasama dengan Faculty of Law and Legal Practive and of Business. Untuk meningkatkan kualitas kemampuan dalam rangka pengembangan profesionalisme ADR, lembaga tersebut meng-adakan berbagai bentuk training dan kursus mengenai penye-lesaian sengketa dan membuka strata master of dispute resolution. Adapun jangkauan bidang sengketa yang ditangani ADR Australia, hampir meliputi semua kegiatan praktek bisnis. Jangkauan kegiatan jasa yang diberikannya dalam penyelesaian sengketa atau nasihat, meliputi bidang bisnis yang sangat luas, yaitu sengketa di bidang kontrak (contract), commercial tort, sengketa financial, sengketa
di
bidang
media,
sengketa
156
penistaan
(defamation),
enjinering
dan
konsyruksi,
anti
diskri-minasi,
product
liability,
environment law dan sengketa di bidang perdagangan (trade practice). Bentuk-bentuk ADR yang dikembangkan di Australia sebagai berikut: a. Arbitrase. Semula dianggap pilihan satu-satunya, karena dianggap lebih cepat dan murah dibandingkan melalui litigasi. Belakangan, peran dan fungsinya dirasakan hampir sama dengan pengadilan karena terjadi tendensi bahwa arbitrase cenderung berubah pola meniru sistem litigasi yang formalistic, arbitrator cenderung menampilkan diri sebagai hakim pribadi dan proses penye-lesaian semakin lambat, ditambah dengan biaya mahal (waste of time and expensive).
b. Assisted negotiation. Sistem dan bentuk ADR ini, meminta atau menunjuk pihak ketiga yang akan bertindak sebagai ”coache”, yaitu wakil dalam negosiasi, dengan ketentuan bantuan yang diberikan tidak diikat dalam suatu bentuk formal. Tugas “coache” sebagai partisan untuk menyalurkan pandangan pihak yang menunjuk-nya, terutama sebagai asisten negosiasi dalam suatu sengketa, seorang teknis atau
157
professional. Karena bentuknya tanpa prosedur, cara penyelesaian negosiasi sangat longgar dan sangat tergantung pada itikad baik antara pihak coache dengan pihak lawan.
c. Court annexed to arbitration. Sistem ini hampir sama dengan sistem Court Connected to Arbitration yang dikembangkan di Amerika Serikat. Keduduk-an arbitrase di sini hanya sebagai pretrial settlement (pra- peradilan). Sengketa yang diajukan ke pengadilan, harus lebih dulu dilimpahkan ke arbitrase untuk penyelesaian sengketanya. Dalam fungsi yang demikian, maka putusannya bersifat mandatory
and
menerimanya,
nonbinding, pengadilan
artinya akan
bila
para
pihak
mengukuhkannya
dapat sebagai
putusannya atau bila para pihak menolak, maka pengadilan yang akan memeriksa kembali sengketa melalui proses litigasi.
d. Conciliation. Pada prinsipnya bentuk ADR ini hampir sama dengan konsiliasi yang terdapat di berbagai negara. Cuma di Australia, konsiliasi lebih banyak dikaitkan dengan fungsi badan administrasi. Dalam upaya penyelesaian
sengketa
konsiliator
158
tidak
mesti
mengadakan
pertemuan dan pembicaraan dengan kedua belah pihak dalam suatu tempat, tetapi bisa dilahirkan shuttle negotiation dan putusan yang diambilnya menjadi resolusi yang dapat dipaksakan kepada kedua belah pihak.
e. Direct negotiation. Para pihak yang bersengketa langsung mengadakan negosiasi di antara mereka tanpa ikut campur tangan pihak ketiga. Pelaksanaan perundingan tanpa aturan formal dan karenanya perundingan dilaksanakan langsung, terutama meng-andalkan pendekatan kultur.
f. Expert determination. Penyelesaian sengketa melalui lembaga ini dilaksanakan secara koneksitas dengan mediasi. Para pihak yang berseng-keta menunjuk seorang ahli independen untuk menyelesaikan pokok sengketa, yang memiliki fungsi dan kewenangan melaku-kan investigasi sengketa, membuat laporan tertulis yang berisi nasihat penyelesaian kepada para pihak. Bila para pihak dapat menerima nasihat tersebut, mereka dapat menyelesaikan melalui mediasi atau menyerahkan penyelesaian kepada ahli, sehingga penyelesaian yang diambilnya mengikat kepada para pihak.
159
g. Fast track arbitration. Bentuk ini dapat disebut proses penyelesaian cepat. Dalam klausula arbitrase para pihak sepakat mengadakan pem-batasan waktu penyelesaiannya serta disepakati pula tidak perlu menuruti pembuktian yang formal dan teknis, tahap pengajuan claim dan statement of claim dipersingkat, arbitrator cukup mendasarkan putusan berdasarkan fakta dan putusan harus diambil sesudah hearing selesai.
h. Independent expert appraisal. Para pihak menunjuk seorang ahli independent yang diserahi fungsi melakukan penyelidikan dan menganalisis per-sengketaan. Untuk itu, seorang ahli independent dapat mengaju-kan pemeriksaan dan pertanyaan kepada kedua belah pihak yang bersengketa. Tujuan pokok ADR ini untuk menjernihkan masalah yang disengketakan. Dari hasil penelitian, kemudian ahli menyampai-kan opinion. Bila para pihak dapat menyetujuinya, hal itu diwujudkan menjadi expert determination dan berbarengan dengan itu, expert determination mengikat kepada para pihak.
160
i. Mediaton. Pada prinsipnya lingkup mediasi yang dikembangkan di Australia tidak jauh berbeda dengan mediasi yang dikembang-kan di Amerika Serikat. Akan tetapi, bila dibandingkan, termasuk dengan mediasi Jepang atau Korea, maka Australia mengatur sistem mediasi yang berkoneksitas dengan pengadilan (mediation connected to the court). Meskipun
ADR
belum
lama
dikenal
sebagai
metode
penyelesaian sengketa di Australia, namun perkembangan ADR di sana sangat pesat. Mediasi sebagai metode penyelesaian sengketa secara formal baru dikenal pada tahun 1975 ber-samaan dengan berdirinya Family Court of Australia. Sejak saat itu, peradilan tersebut telah menekankan penyelesaian sengketa melalui cara-cara selain litigasi. Peradilan ini sesuatu didesain sebagai suatu peradilan pembantu atau helping court yang memberikan fasilitas konseling sebelum atau sesudah per-ceraian, membantu rekonsiliasi, dan untuk mengurangi pen-deritaan dan kesulitan dari maslah-masalah yang terjadi setelah perceraian.141
141
Lihat Hilary Astor dan Christine M. Chinkin, Disputes Resolution Industri Australia, Butterworths, Sydney, 1992, hlm. 7.
161
Peradilan ini lebih menekankan pada konseling dan konsiliasi. Penekanan ini kemudian diwujudkan dalam Family Law Act 1975, yang
tetap
mempertahankan
bahkan
memperluas
ketentuan-
ketentuan konseling dan konsiliasi. Peradilan tersebut selalu bekerja dengan persetujuan organisasi konseling per-kawinan. Organisasiorganisasi tersebut, membangun perhatian pada mediasi. Semangat untuk mediasi ini telah diwujudkan dalam the Familiy Court dengan pembentukan proyek-proyek mediasi yang berhubungan dengan peradilan dan dengan pelatihan-pelatihan terhadap staf hukum dan staf konseling dalam keterampilan mediasi. Terpengaruh
oleh
berkembangnya
pusat-pusat
peradilan
lingkungan (neighbourhood justice centers) di Amerika Serikat, pemerintah new South Wales memutuskan untuk menguji konsep tersebut di Australia. Pada tahun 1980 dibuat suatu proyek percontohan (pilot project), dengan mendirikan tiga pusat peradilan masyarakat (community justice centers) di Bankstown, Surry Hills dan Wollongong. Berdasarkan penilaian yang independen, disimpulkan bahwa proyek berjalan dengan baik secara keseluruhan. Perkembangan yang sama juga terjadi di negara bagian lain. Di Victoria atas dukungan suatu komisi yang terdiri dari organisasiorganisasi dan badan-badan yang menaruh minat pada mediasi, telah
162
didirikan empat pusat mediasi di Heidelberg Preston, outer Easten Suburbs, Geelong, dan Bendigo. Pusat-pusat mediasi percontohan tersebut dibiayai oleh pemerintah negara bagian. Pusat mediasi yang awalnya ada empat, kemudian berkembang menjadi tujuh pusat. Ketujuh pusat tersebut kemudian didanai oleh Kejaksaan Agung negara bagian Victoria, dan sekarang pusat tersebut disebut Pusat Penye-lesaian Sengketa Masyarakat (Community Dispute Settlement Centers).142 Pada awal tahun 1989, pemerintah negara bagian Queensland telah mengusulkan pembentukan Program Per-adilan Masyarakat (Community Justice Programme), yang sekarang telah beroperasi.143 Dewasa ini seluruh ibu kota negara bagian di Australia mempunyai
sebuah
pelayanan
penyelesaian
konflik
(Conflict
Resolution Service). Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa mediasi tidak hanya digunakan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa perdata antar warga, tetapi juga dalam bidang administrasi negara. Pada tahun 1984 disahkan Undang-undang Peradilan Banding Administrasi 1984 (The Administrative Appeals Tribunal Act 1984). Tujuan dari undang-undang ini adalah untuk mendirikan suatu peradilan yang
142 143
Ibid., hlm. 9. Ibid., hlm. 14.
163
independen untuk meninjau keputusan-keputusan administrasi di dalam suatu cara yang informal dan cepat, dan mengizinkan secara leluasa bagi orang-orang yang kepentingannya terpengaruh oleh suatu keputusan untuk berpartisipasi dalam proses tersebut.144 Sehubungan dengan undang-undang tersebut, Laporan Kelompok Kerja Kejaksaan Agung Negara bagian Victoria menyimpulkan perlunya pemberian kewenangan Admistrative Appeals Tribunal untuk menyerahkan persoalan-persoalan ke mediasi.145 Mediasi sebagai penyelesaian sengketa bisnis, baik yang bersifat
domestik
maupun
internasional,
mulai
diperkenalkan
bersamaan dengan didirikannya the Australian Commercial Dispute Center (ACDC) pada bulan Januari 1986 di Sydney. Sebelumnya telah didirikan the Institute of Arbitrator tahun 1975, dan Australian Center for International Commercial Arbitration. ACDC adalah suatu perseroan terbatas dengan jaminan (company limited by guarantee), yang didirikan atas prakarsa Hakim Agung New York South Wales, Sir Laurence Street.146 Prakarsa ini diajukan setelah adanya survey yang dilakukan oleh pemerintah New South Wales akan perlunya masyarakat bisnis dan komersial bisnis (business and commercial 144
M. Allars, International to Australian Administrative Law, Butterworths, Australia, 1990, Bab 7, dalam Hilary Astor dan Christine M. Chinkin, Op.Cit., hlm. 6. 145 Ibid., hlm. 7. 146 Ibid., hlm. 10.
164
community). Meningkatnya keinginan untuk suatu pilihan baru bagi penye-lesaian-penyelesaian sengketa disebabkan karena persepsi bahwa arbitrase meningkat menjadi mahal dan kompleks. Peranan ACDC adalah menyediakan suatu penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan seluruh jenis sengketa komersial, baik dalam lingkup domestik maupun internasional.147 ACDC adalah badan yang pertama dan satu-satunya yang menyediakan seluruh penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Meskipun hampir semua metode ADR dipromosikan, namun keutamaan pusat ini adalah penyelesaian sengketa melalui mediasi.148 Seiring dengan berkembangnya mediasi sebagai penyelesaian sengketa, berkembang pula profesi mediator di dalamnya. Oleh karena itu, untuk mengakomodasikan profesi mediator ini pada tahun 1987 dibentuk the Australian Dispute Resolution Association Inc.149 Pada tahun 1994 pemerintah New South Wales mengesahkan Undang-undang Mediasi Pinjaman Pertanian (the Farm Debt Mediation Act 1994), yang mengatur mengenai sengketa antara bank
147
D. Newton, “Alternative Dispute Resolution and the Lawyer”, dalam Dispute Resolution Journal, Sydney, 1997, hlm. 85. 148 Hilary Astor dan Christine M. Chinkin, Op.Cit., hlm. 11. 149 Loise Rosemann, “the Birth of ADRA: Past and Future Visions”, dalam Dispute Resolution Journal, Australia, 1997, hlm. 85.
165
dan peminjam. Undang-undang ini mulai berlaku Februari 1995, dan membentuk suatu rezim bagi mediasi wajib terhadap sengketasengketa tertentu di antara pemberi pinjaman dan petani.150 Dengan lahirnya
undang-undang
ini,
mediasi
perbankan
semakin
meningkat.151 Di
Australia
dewasa
ini,
di
samping
mediasi
yang
diselenggarakan oleh pusat penyelesaian sengketa atau per-bankan jasa mediasi, juga terdapat mediasi di dalam pengadilan. Mediasi di dalam sistem peradilan ini pada umumnya bersifat memaksa kepada kedua belah pihak, namun agar resolusi tersebut memiliki potensi memaksa, harus lebih dahulu diminta-kan persetujuan pada pihak, dan jika mereka setuju, resolusi mengikat dan tidak ada upaya apapun yang dapat mengurangi daya kekuatannya. Berdasarkan literatur yang ada, kecen-derungan pemakaian mediasi di Australia adalah mediasi di dalam peradilan (court annexed mediation). Di Australia dewasa ini, mediasi telah berkembang sebagai penyelesaian sengketa bisnis hampir di semua bidang-bidang bisnis.
150
Fiona Crosbie, “Aspect of Confidentiality in Mediation: A Matter of Balancing Competing Public Interest”, dalam Commercial Dispute Resolution Journal, Australia, 1995, hlm. 68. 151 Maureen Garwood, “Books and Borrowers: Mediation of Failed Transaction”, dalam Dispute Resolution Journal, Australia, 1997, hlm. 93.
166
Penyelesaian sengketa bisnis melalui mediasi mencakup bidangbidang:152 1) Sengketa di bidang kontrak (contract). 2) Perbuatan
melawan
hukum
dalam
bidang
perdagangan
(commercial tort). 3) Bidang keuangan (financial). 4) Sengketa di bidang media. 5) Sengketa penistaan (defamation). 6) Sengketa konstruksi (construction). 7) Anti diskriminasi. 8) Tanggung jawab produk (product liability). 9) Sengketa dalam kegiatan perdagangan (trade practice). Mengenai keberhasilan mediasi sebagai metode penye-lesaian sengketa bisnis di Australia, dapat dikembangkan beberapa sengketa bisnis yang telah berhasil diselesaikan melalui mediasi. George H. Golvan QC, anggota BAR Victoria dan mediator, mengungkapkan keberhasilannya dalam menye-lesaikan sengketa-sengketa komersial dan konstruksi yang berskala besar dan kompleks, antara lain:153
152
D. Newton, Op.Cit., hlm. 92. George H. Golvan QC, “The Use of Mediation in Commercial and Construction Dispute”, dalam Dispute Resolution Journal, Sydney, 1996, hlm. 188189. 153
167
1) Sengketa yang melibatkan tujuh pihak, mengenai desain dan pembangunan fasilitas lapangan tenis tertutup (indoor tennis court); kasus ini diperkirakan akan memakan waktu beberapa minggu jika diajukan ke Supreme Court; melalui mediasi sengketa tersebut berhasil diselesaikan dalam waktu dua hari. 2) Sengketa di antara penggugat dan 15 tergugat dalam seng-keta perjanjian pinjaman (loan agreement), berhasil diselesai-kan melalui mediasi dalam waktu dua hari. 3) Sengketa yang kompleks berkenaan dengan kerusakan produk dengan tuntutan kerugian $ 1,5 juta, sehingga sengketa tersebut sedang diperiksa di pengadilan, dapat diselesaikan melalui mediasi dalam waktu satu hari. Di negara bagian Victoria, dewasa ini kecenderungan untuk menyerahkan sengketa-sengketa dagang dan konstruksi ke mediasi semakin meningkat. Hal ini terjadi sejak kasus bangunan Mahkamah Agung (supreme court) Victoria, mulai diserahkan pada mediasi pada tahun 1992. Kecendrungan tersebut disebut dengan ”the 1992 supreme court spring offensive”.154 Sejak saat itu terjadi peningkatan jumlah sengketa komersial dan perbankan yang diserahkan ke mediasi semakin signifikan. 154
Ibid.
168
Keberhasilan lain sebagaimana yang dikemukakan oleh David Holst, seorang mediator dari D.M.H. Mediation, dalam bidang merger perusahaan.
Kasus
ini
melibatkan
perusahaan
Ampol
dan
perusahaan Caltex. Merger kedua perusahaan tersebut merupakan yang terbesar dalam sejarah perusahaan di Australia, dengan menggabungkan asset senilai $ 3 milyar lebih.155 Perkara ini melibatkan
kedua
perusahaan
tersebut,
sehubungan
dengan
rasionalisasi dari jaringan pemasaran kedua perusahaan tersebut. Kedua pimpinan perusahaan telah menempuh usaha negosiasi, namun tetap tidak berhasil. Kemudian pada bulan Juni 1995, perusahaan Ampol menunjuk seorang mediator komersial untuk menyelesaikan rasionalisasi tersebut. Melalui negosiasi yang panjang dan kompleks, berlangsung 12 bulan, rasionalisasi tersebut dapat diselesaikan dan hasilnya melebihi apa yang diharapkan.156 Satu hal yang menyebabkan mediasi dapat berkembang dengan pesat sebagai penyelesaian sengketa bisnis di Australia, adalah dorongan dan dukungan yang kuat dari ahli hukum (lawyer). Para ahli hukum pendukung mediasi tersebut ber-gabung dalam satu organisasi yang disebut dengan lawyer engange in alternative dispute 155
David Holst, “Mediation Makes Business Sense: The Ampol/Caltex Merger”, Dispute Resolution Journal, Sidney, 1997, hlm. 109. 156 Ibid.
169
resolution (LEADR). Organisasi ini adalah organisasi non-profil yang didirikan di New South Wales Australia, dan mempunyai beberapa cabang di negara bagian lainnya, serta di New Zealand.157 Beberapa kegiatan yang dilaksanakan oleh lembaga ini adalah mengadakan pelatihan-pelatihan mediasi di seluruh Australia maupun di New Zealand.
j. Mediation - Arbitration. Bentuk ADR ini sama dengan mediation annexed to arbitration yang terdapat di Amerika Serikat, Jepang dan Korea. Dalam bentuk ini terjadi penggabungan sistem mediasi dan arbitrase yang dilakukan secara bertahap lebih dulu dicoba menyelesaikan melalui cara mediasi dan jika berhasil, proses selesai dan hasil kompromi menjadi putusan arbitrase. Tahap selanjutnya kalau mediasi gagal, proses dilanjutkan melalui cara penyelesaian arbitrase dan putusan langsung final dan mengikat. Selain itu, di 2 (dua) negara bagian Australia, yaitu New South Wales dan South Australia diadakan pengadilan khusus lingkungan. Di New South Wales pengadilan tersebut dinamakan Land and
157
Arthur Thompkins, “Cross-border Dispute Resolution in International Commercial Transaction”, dalam Law Journal, New Zealand, 1993, hlm. 260.
170
Envoronmet Court (LEC) yang setingkat dengan Supreme Court dan South
Australia
dinamakna
Environmental,
Resources
and
Development Court (ERD) yang setingkat dengan Distric Court. Di kedua lingkungan pengadilan ini dikenal variasi bentuk ADR sebagai pilihan dalam menyelesaikan seng-keta, kecuali yang bersifat pidana. Berdasarkan Land and Environment Court Act 1979, maka LEC mengenal 2 (dua) bentuk ADR, yaitu mediasi dan evaluasi netral. Kedua bentuk ini merupakan pilihan bagi para pihak yang bersengketa. Dalam memilih bentuk mediasi, maka para pihak dapat memilih untuk memaksa jasa registrar (panitera) yang sudah dilatih dan memiliki keahlian dalam memfasilitasi ataupun dapat memilih untuk menggunakan jasa mediator di luar pengadilan. Bila sistem yang pertama dipilih, maka biaya ditanggung oleh pengadilan, sedangkan sistem yang kedua biaya ditanggung kedua belah pihak. Putusannya dapat dikukuhkan sebagai putusan pengadilan. Pada
pengadilan
ERD,
maka
bentuk
konferensi
yang
merupakan bentuk awal yang biasanya dilalui oleh para pihak yang bersengketa. Tujuannya membantu para pihak menggali lebih jauh kemungkinan penyelesaian selain melalui jalur formal di pengadilan. Dalam konferensi ini pihak pengadilan meghadir-kan para pihak untuk didengar secara bersama keterangannya di dalam 1 (satu) forum.
171
Selain itu, ERD juga mengenal mediasi dan konsiliasi sebagai 1 (satu) bentuk penyelesaian sengketa di dalam sistem pengadilan. Mediator dapat ditunjuk oleh pengadilan dengan persetujuan kedua belah pihak untuk memfasilitasi sengketa yang dihadapi. Mediator juga dapat diperankan oleh pengadilan. Bila yang dipilih pengadilan, maka bila dalam proses mediasi atau konsiliasi tidak dicapai kesepakatan, hakim yang men-dengar perkara tidak dapat lagi untuk selanjutnya mengadili perkara yang sama. Putusan dari mediasi atau konsiliasi mengikat para pihak setelah terlebih dahulu dipastikan bahwa tidak ada kesepakatan yang melanggar hukum dan tidak ada pihak ketiga yang tidak terlibat dalam proses mediasi atau konsiliasi yang dirugikan.
3. China. Mediasi sudah sangat lama dikenal di China. Meskipun mediasi jarang sekali dikembangkan sebagai suatu inovasi yang unik dan relatif baru, di China mediasi telah menjadi mode penyelesaian sengketa selama berabad-abad. Hal ini tidaklah mengherankan, karena adanya perbedaan budaya China dan Barat. Di China, mediasi adalah metode penyelesaian sengketa yang telah diterima umum secara tradisional dan sosial, litigasi adalah alternatif dan sungguh-
172
sungguh suatu pengecualian. Sedangkan di negara-negara Barat, litigasi adalah metode penyelesaian sengketa yang telah diterima umum secara tradisional dan sosial, mediasi adalah alternatif yang kadang-kadang
digunakan.158
Oleh
karena
itu,
tidaklah
mengherankan, bangsa China digelari ”the most heavily nation on earth”.159 Sebelum berdirinya Republik Rakyat China, sebenarnya seluruh sengketa diselesaikan secara informal di dalam kelompokkelompok setempat, yaitu keluarga, marga, desa, dan serikat pekerja, melalui suatu prosedur konsesi yang fleksibel dan terpadu, penetapan kompromi-kompromi.160 Prosedur ter-sebut dewasa ini dikenal dengan mediasi, dilakukan oleh kepala keluarga di dalam keluarga-keluarga, golongan yang lebih tua di dalam marga, lurah di dalam desa-desa, dan pemimpin serikat pekerja di dalam organisasi-organisasi pekerja. Pola mediasi informal ini tetap berlanjut setelah kemenangan Partai Komunis pada tahun 1949. Pada bulan Maret 1954, sebagai bagian dari suatu gerakan pembaharuan hukum besar-besaran yang
158
Andrup dan J.G. Hall, “The Use of Mediation in China”, Justice of the Peace and Local Government Law 104, hlm. 104, sebagaimana dikutip dalam Bobette Wolski, Culture, “Society and Mediation in China and the West”, dalam Commercial Dispute Resolution Journal, Australia, 1997, hlm. 97. 159 Ibid., hlm. 25. 160 J.A. Cohen, Chinese Mediation on the Eve of Modernisation, Law Review, California, 2000, hlm. 1222.
173
dilakukan oleh Partai Komunis, mediasi mendapat pengesahan secara resmi dan dasar hukum dengan penerbitan peraturan untuk organisasi people’s mediation committees. Pada saat itulah untuk pertama kali sistem mediasi rakyat (people’s mediation) dibangun dan disatukan di seluruh China.161 Menurut
peraturan
perundang-undangan
China,
mediasi
mempunyai tiga bentuk, yaitu; people’s mediation, administrative mediation, dan court’s mediation.162 People’s mediation, yang dikenal dengan mediasi oleh the people’s mediation committee, adalah suatu metode yang berdaulat dan mandiri yang dilaksanakan oleh the people’s mediation committee dengan berdasarkan kesukarelaan dari persetujuan
pihak,
menurut
peraturan
perundang-undangan,
peraturan-peraturan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan negara untuk menyelesaikan
sengketa
melalui
konsultasi
yang
bersahabat.
Administrative mediation adalah suatu mediasi yang dipimpin oleh organ-organ
administrasi
yang
mempunyai
fungsi
menengahi
sengketa-sengketa, sedangkan court’s mediation adalah suatu litigasi yang dipimpin oleh peradilan rakyat (people’s court), dalam mana
161
Department of Grass-Roots Work Ministry of Justice People’s Republic of China, People’s Mediation in China, Mediation Journal, China, 2001, hlm. 88. 162 Ibid., hlm. 83.
174
suatu persetujuan untuk penyelesaian sengketa-sengketa dicapai melalui saling pengertian dari pihak-pihak yang ber-sangkutan.163 Dari ketiga bentuk mediasi tersebut, people’s mediation mempunyai peranan yang paling penting dalam penyelesaian sengketa rakyat. Peranan ini semakin penting dengan diaturnya people’s mediation dalam Konstitusi China yang diumumkan pada tahun 1982. Pasal 111 dari konstitusi tersebut, antara lain, menetapkan agar komisi-komisi penduduk kota dan orang-orang desa membentuk
subkomisi
people’s
mediation
untuk
menengahi
sengketa-sengketa perdata.164 Pada akhir tahun 1988, telah didirikan lebih dari 1.000.000 (satu juta) komisi people’s mediation di seluruh China dengan lebih dari 6.000.000 (enam juta) mediator. Begitu populernya mediasi ini sebagai penyelesaian sengketa sehingga peraturan-peraturan organik dari people’s mediation committee pada tahun 1950-an tersebut, tidak dapat memenuhi permintaan terhadap pembangunan demokrasi sosial dan sistem hukum dalam era baru. Sehubungan dengan hal tersebut, pada tahun 1989 disahkan “organic of regulation of the people’s
163 164
mediation
committee”.
Regulasi
Ibid., hlm. 85. Ibid., hlm. 88.
175
baru
tersebut
telah
meningkatkan dan mengembangkan sistem mediasi rakyat, dan memperkuat pembangunan organ komisi mediasi tersebut. Komisi mediasi dibentuk melalui pemilihan langsung oleh rakyat melalui proses nominasi oleh komisi tingkat desa, serikat pekerja atau perwakilan-perwakilan asosiasi pekerja pertam-bangan atau industri (bila pembentukan komisi mediasi di industri atau usaha pertambangan). Komisi terdiri dari 3 (tiga) sampai dengan 9 (sembilan) anggota ditambah dengan satu direktur dan satu wakil direktur jika diperlukan. Anggota komisi ini biasanya berasal dari anggota masyarakat yang terpandang, dekat dengan masyarakat yang akan dilayaninya, serta memiliki pemahaman mengenai peraturan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan. Anggotaanggota komisi ini dipilih untuk jangka waktu tiga tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali.165 Komisi
mediasi
ini
melaksanakan
tugasnya
di
bawah
pengarahan pemerintah daerah dan pengadilan di wilayah tersebut. Biro
hukum
dari
pemerintah
daerah
bertanggung
jawab
mengoraganisir komisi, membuat peraturan dan menyelenggara-kan pelatihan
anggota
komisi.
Bimbingan
pengadilan local (people’s court). 165
Ibid., hlm. 95.
176
profesi
dilakukan
oleh
Di China, sengketa yang menjadi bidang pekerjaan komisi mediasi rakyat adalah perkara perdata (civil dispute), seperti; antara suami-istri, anggota keluarga, tetangga, rekan kerja, penduduk, warisan, alimentasi, pinjam-meminjan, perumahan, tanah, mesinmesin dan alat-alat pertanian.166 Sengketa-sengketa antara lembagalembaga dan badan-badan tersebut dengan warga, adalah di luar dari jurisdiksi komisi mediasi rakyat.167 Penyelesaian sengketa melalui komisi mediasi rakyat bersifat sukarela atau pilihan. Namun, peoople’s court senan-tiasa mendorong para pihak yang bersengketa untuk menye-lesaikan sengketanya melalui komisi mediasi rakyat. Begitu kuatnya pengeruh mediasi sebagai penyelesaian sengketa perdata di China, sehingga walaupun dalam konteks sengketa dagang internasional telah menggunakan arbitrase sebagai metode penyelesaian sengketa, namun pola-pola mediasi atau konsiliasi tetap bertahan. Bentuk arbitrase yang dipakai di China adalah arbitrase dengan suatu perbedaan, mempertimbangkan penekanan dalam prosesnya pada konsiliasi di antara para pihak. Hal ini mendorong dimasukkannya konsiliasi dalam ketentuan-ketentuan
166 167
Ibid., hlm. 102. Ibid.
177
arbitrase China, dan pendirian konsiliasi Beijing (Beijing conciliation center) pada tahun 1985.168 Perkembangan yang menarik adalah penetapan kerja-sama formal antara Pusat Konsiliasi Beijing dan Pusat Konsiliasi Hamburg di Jerman, pada tahun 1986. Berdasarkan penetapan tersebut, kedua badan bertindak bersama untuk menyediakan pelayanan konsiliasi berdasarkan apa yang disebut dengan “peking hamburg rules” yang diterbitkan pada tahun 1987. Perkembangan ini diikuti dengan penetapan konsiliasi bersama yang ditandatangani oleh badan-badan arbitrase utama China di tujuh belas propinsi dengan dua badan Amerika Serikat, yaitu the national council of united states China trade (NCUSCT) dan the American arbitration association (AAA).169 Dewasa ini ada dua badan arbitrase China yang mem-punyai ruang lingkup pengaturan secara internasional, yaitu the China international and economic trade arbitration commission (CIETAC) dan the China maritime arbitration commission (CMAC). Kedua badan tersebut adalah nama baru dari badan arbitrase yang ada sebelumnya
CIETAC
yang
diperkenalkan
pada
tahun
1988,
sebelumnya bernama the foreign trade arbitration commission, yang 168
Greg Vickery, “International Commercial Arbitration in China”, dalam Dispute Resolution Journal, Sydney, 2000, hlm. 76. 169 Ibid., hlm. 51.
178
kemudian pada tahun 1980 ber-ubah menjadi foreign and economic trade and arbitration commission, dan kemudian berubah menjadi CIETAC. Sedang-kan CMAC yang juga diperkenalkan pada tahun 1988, sebelum-nya bernama the maritime arbitration commission, kemudian berubah menjadi the marine arbitration commission, dan terakhir menjadi CMAC. Berubahnya kedua nama badan arbitrase tersebut, maka berubah juga ketentuan-ketentuannya. Perubahan paling berarti yang dibuat pada ketentuan-ketentuan arbitrase tahun 1988 dari ketentuanketentuan sebelumnya adalah:170 a. Juridiksi CIETAC diperluas meliputi kontrak-kontrak antara warga negara China yang melibatkan faktor-faktor luar negri. b. Panel arbitrasi diperbesar untuk memasukkan arbiter-arbiter luar negri. c. Anggota ketiga dari suatu panel arbitrase dipilih oleh Ketua Komisi dari pada oleh arbiter-arbiter yang ditunjuk oleh para pihak. d. Pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup. e. Ketentuan termasuk untuk menolak keputusan-keputusan. f. Arbitrase yang dikonsiliasikan adalah diperbolehkan.
170
Ibid., hlm. 77.
179
g. Keputusan arbitrase melalui konsiliasi dianggap menjadi putusan arbitrase dan karena itu dapat dipaksakan. Dari perubahan nomor yang terakhir tersebut terlihat betapa pentingnya
dan
kuatnya
ketentuan-ketentuan
kedudukan
arbitrase
konsiliasi/mediasi
tersebut,
di
mana
dalam
keputus-an-
keputusan konsiliasi dalam arbitrase dianggap menjadi putusan arbitrase yang dapat dipaksakan. Mengenai kekuatan keputusan konsiliasi ini dengan tegas diatur pada Pasal 37 dalam ketentuanketentuan CIETAC. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa “Jika suatu penyelesaian dicapai melalui proses konsiliasi formal sebelum arbitrase yang sebenarnya berlangsung, peradilan arbitrase diberi kekuasaan untuk mem-buat putusan berdasarkan syarat-syarat penyelesaian sengketa yang dicapai oleh para pihak”.171 Konsiliasi meskipun
selalu
dijalankan
ketentuan-ketentuan
berdasarkan
arbitrase
tidak
asas
sukarela
menempatkan
penekanan pada proses tersebut, hanya membuat suatu penunjukan halus pada fakta bahwa komisi arbitrase dan per-adilan arbitrase “boleh melakukan konsiliasi kasus-kasus ver-dasarkan tanggung jawab mereka” (Pasal 37 ketentuan CIETAC). Meskipun demikian, kelihatannya bahwa CIETAC dan arbiter-arbiter China sama-sama 171
Ibid., hlm. 84.
180
memandangnya “kewajiban mereka untuk mencoba konsiliasi jika memungkinkan”.172 Steinert
mencatat
betapa
antusiasnya
CIETAC
dan
anggotanya di dalam mendukung para pihak untuk mencoba konsiliasi informal. Sebagai contoh, dikemukakan di mana CIETAC menggunakan suatu proses konsiliasi informal untuk menyelesaikan suatu masalah antara dua perusahaan Amerika yang terlibat litigasi di New York, atas penanaman modal mereka di China.173 Mengenai
keberhasilan
CIETAC
dalam
menyelesaikan
sengketa bisnis melalui konsiliasi, cukup mengesankan. Sampai pada pertengahan akhir tahun 1980-an, 70% dari seluruh kasus yang diserahkan kepada CIETAC telah berhasil diselesaikan melalui konsiliasi.174 Dari uraian tersebut betapa pentingnya peranan mediasi sebagai metode penyelesaian sengketa bisnis baik domestik maupun internasional di China. Hal ini terbukti dengan adanya the Beijing conciliation center dan ketentuan-ketentuan konsiliasi dalam arbitrase CIETAC.
172
Ibid., hlm. 87. Ibid., hlm. 91. 174 Mr. Justice Neil Kaplan, “Mediation in Hong Kong”, dalam Commercial Dispute Resolution Journal, Hongkong, 1994, hlm. 22. 173
181
4. Korea Selatan. Dari Korea Selatan mediasi telah lama dikenal sebagai metode penyelesaian sengketa dagang, jauh lebih dahulu diban-dingkan dengan arbitrase komersial. Kebanyakan sengketa yang diserahkan ke Korean commercial arbitration boar diselesaikan melalui proses mediasi dari pada diselesaikan dengan proses arbitrase.175 Untuk
menyelesaikan
sengketa-sengketa
bisnisnya,
baik
domestik maupun internasional, metode penyelesaian sengketa di luar peradilan yang sering ditawarkan di Korea Selatan adalah metode konsultasi, mediasi, dan arbitrase. Di Korea Selatan, mediasi sering digunakan dengan sistem koneksitas dengan konsiliasi dan arbitrase (connected mediation, conciliation and arbitration system). Hal ini diatur dengan jelas dalam Pasal 53 dari ketentuan-ketentuan the Korean commercial arbitration board (KCAB). Dengan sistem seperti itu, penyelesaian sengketa dilakukan secara bertahap, terdiri dari: a. Tahap pertama diupayakan lebih dahulu penyelesaian melalui proses mediasi sebagai berikut: 1) Panel arbiter yang ditunjuk, bertindak sebagai mediator.
175
Ibid., hlm. 258.
182
2) Apabila dapat disepakati suatu penyelesaian, solusi yang disetujui para pihak dijadikan kompromi (compromise), dan kompromi dan efektif menjadi putusan arbitrase (arbitration award) yang bersifat final dan binding, apabila para pihak menghendakinya. b. Tahap kedua, apabila proses mediasi gagal, maka ditempuh konsiliasi yaitu: 1) Apabila
mediasi
gagal
menyelesaikan
sengketa,
atas
kesepakatan bersama, mediator semula bertindak sebagai konsiliator. Konsiliator mengusahakan solusi yang dapat diterima. 2) Apabila berhasil dicapai kesepakatan atas solusi yang dibuat konsiliator, maka kedudukannya berubah menjadi arbiter. Dengan demikian solusi yang dihasilkan mening-kat menjadi putusan yang bersifat final dan binding bagi para pihak, dan mempunyai daya
eksekutorial seperti layaknya
putusan
arbitrase. c. Tahap ketiga, apabila konsiliasi gagal menyelesaikan seng-keta, proses dilanjutkan dengan arbitrase, yaitu sebagai berikut: 1) Apabila konsiliator tidak berhasil mewujudkan penye-lesaian dalam bentuk resolusi, proses konsiliasi dihenti-kan.
183
2) Selanjutnya penyelesaian dilanjutkan dengan pemeriksa-an arbitrase. Dengan demikian, penyelesaian sengketa menjadi putusan arbitrase yang bersifat final dan binding bagi para pihak. Untuk dapat dilakukan mediasi oleh KCAB, harus ada permintaan dari para pihak. Jika ada permintaan mediasi dari pihakpihak yang bersengketa dengan disertai dokumen-dokumen, KCAB mengangkat mediator yang netral. Selanjutnya, mediator berusaha untuk mencapai perdamaian atau kompromi.
5. Jepang. Perkembangan ADR di Jepang diawali munculnya lembagalembaga arbitrase, yang kemudian dikoneksitaskan dengan bentuk penyelesaian sengketa lainnya. Hal tersebut dapat digambarkan secara ringkas176 di bawah ini: a. Arbitrase. Arbitrase ini dapat dibagi kepada: 1) Pusat Arbitrase Internasional. The Japan Commercial Arbitration Association (JCAA) yang didasarkan pada Commercial Arbitration Rule dan UNCITRAL 176
Diringkas dari M. Yahya Harahap I, Op.Cit., hlm. 210-212.
184
Arbitration Rule dan The Japan Shipping Exchange, yang bertipe domestic dan internasional. Proses penyelesaian dalam lembaga ini menggunakan sistem koneksitas antara mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. 2) Labour Commission. Lembaga ini didirikan pada tahun 1945 di bawah Menteri Tenaga Kerja. Komisi ini menangani sengketa perburuhan dan proses penyelesaiannya melalui sistem koneksitas antara mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. 3) The Commusssion for Adjusment of Construction Work Disputes. Lembaga ini didirikan pada tahun 1956 di bawah Menteri Konstruksi. Komisi ini menangani sengketa konstruksi (disputes related
construction
contract)
dan
penyelesaiannya
juga
menggunkan sistem koneksitas antara mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. 4) The Environment Disputes Coordination Commission. Lembaga ini didirikan pada tahun 1972 di bawah kantor Perdana Menteri
dengan
(environment
yurisdiksi
disputes).
menangani Proses
sengketa
penyelesaiannya
koneksitas antara mediasi, konsiliasi dan arbitrase. 5) Arbitration Center of Local bar Assosociation.
185
lingkungan secara
Arbitrase ini didirikan pada tahun 1990 di Daini Tokyo, Osaka Nagoya Bas Association. Yurisdiksi lembaga ini menyelesai-kan sengketa kecil (small claim) yang prosesnya mengguna-kan sistem koneksitas antar konsiliasi dan arbitrase. 6) The Cnter of Handling Traffic Accident Disputes. Lembaga ini didirikan pada tahun 1978 (by Non-Life Insurance Comp.), dengan yurisdiksi menangani sengketa kecelakaan lalu lintas (traffic accident disputes). Adapun prosesnya menggunakan koneksitas antara konsiliasi dan rekomendasi.
b. Mediasi. Di Jepang, mediasi sudah populer. Namun sistemnya selalu berkoneksitas dengan konsiliasi dan arbitrase. Bila mediasi gagal, proses dihentikan, tetapi langsung dilanjutkan dengan konsiliasi dan mediator bertindak sebagai konsiliator. Bila konsiliasi juga gagal, maka proses langsung dilanjutkan penyelesaian melalui arbitrase dan konsiliator bertindak sebagai arbitrator.
c. Konsiliasi. Bentuk ADR ini pun sama halnya dengan mediasi, yakni berkoneksitas langsung dengan arbitrase.
186
6. Srilanka.177 Secara tradisional ADR bukan merupakan hal yang baru di Srilanka. Sekitar tahun 425 sebelum Masehi, village councils (dewan pendesaan)
telah
berfungsi
menerima
pengaduan
serta
menyelesaikan persoalan-persoalan yang dialami oleh penduduk lokal. Councils yang dinamakan Gamsabhawas diketuai oleh ketua adat. Pada pertengahan abad ke-19 Gamsabhawas mulai tidak populer dan pemerintahan Inggris pada tahun 1871 meng-gantinya dengan Village Tribunals. Pada tahun 1945 fungsi Village Tribunals dalam menangani sengketa masyarakat digantikan oleh lembaga pengadilan (rural court) yang fungsinya seperti halnya tribunals, yaitu menyelesaikan sengketa para pihak secara damai dan kekeluargaan (amicable). Formulasi ADR oleh pemerintah Srilanka dimulai pada tahun 1985 melalui pengundangan Act Nomor 10 Tahun 1958 tentang Pendirian
Conciliation
Boards,
ini
177
didirikan
untuk
mencegah
Diringkas dari Mas Achmad Santosa (selanjutnya disebut Mas Achmad Santosa IV), Mekanisme Penyelesaian Sengketa Lingkungan Secara Kooperatif (Alternative Disputes Resolution/ADR), Indonesian Center for Environmental Law, Jakarta, hlm. 5-6. Mas Achmad Santosa (selanjutnya disebut Mas Achmad Santosa V), “Pelembagaan Alternative Dispute Resolution (ADR) di Berbagai Negara”, Majalah Musyawarah Nomor 1 Tahun I, Indonesian Center for Environmental, Jakarta, 1997, hlm. 3 dan Josi K. Assegaf, Op.Cit., hlm. 2-3.
187
penumpukan dan penundaan penyelesaian perkara di pengadilan melalui upaya penyelesaian sengketa sederhana (minor disputes) secara kooperatif. Perbedaan pengadilan dengan Conciliation Boards ini adalah penunjukan ketua dan para konsiliatornya (penyelesai sengketa). Ketua dan para konsiliator Boards ditunjuk serta diangkat oleh Menteri Kehakiman sedangkan para hakim pengadilan diangkat oleh Komisi Pengangkatan Hakim yang bersifat independen yang dikuasai oleh Ketua Mahkamah Agung (Independen Judicial Service Commission). Tidak seperti halnya pengadilan, dalam proses konsiliasi ini tidak terdapat prosedur formal pemeriksaan atau beracara. Akan tetapi, Boards memiliki kewenangan menerbitkan surat panggilan untuk memaksa kehadiran seorang saksi. Adapun kesepakatan yang dihasilkan dari konsiliasi ini mempunyai status yang sama seperti halnya status suatu putusan pengadilan (executable). Karena
integritas
konsiliator
ternyata
meragukan,
maka
keberadaan lembaga ini mendapat kecaman dari masyarakat luas. Kritik juga menekankan kurangnya keterampilan teknis penyelesaian konflik para konsiliator, sehingga penanganan kasus pada akhirnya menjadi sangat tidak efisien. Untuk mengatasinya, pada tahun 1988 diundangkan Mediation Boards Act Nomor 72 yang meletakkan
188
pengawasan terhadap para penyedia jasa di bawah komisi khusus yang ditunjuk oleh Presiden, yaitu Komisi Badan Mediasi (Medition Boards Commission). Komisi ini terdiri atas 5 (lima) orang, 3 (tiga) di antaranya harus berpengalaman di dunia pengadilan (setingkat Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi). Bersamaan dengan itu diberlakukan pula mediasi sebagai upaya wajib yang harus ditempuh para pencari keadilan sebelum menempuh upaya pengadilan (compulsory mediation atau primary jurisdiction). Apabila dalam
batas waktu 30 (tiga puluh) hari tidak
terselesaikan, pencari keadilan dapat menyelesaikan-nya melalui cara pengadilan. Kasus-kasus perdata yang masuk dalam yurisdiksi undang-undang ini adalah kasus perdata, kecuali kasus-kasus yang secara tegas di luar kewenangan Mediation Boards, seperti halnya sengketa matrimonial, per-walian, adopsi, wasiat serta sengketa yang ditimbulkan oleh pelaksanaan pemilihan umum. Kasus lingkungan sendiri tidak termasuk dalam kasus yang dikecualikan, tetapi sejauh mana Mediation Boards ini telah didayagunakan untuk kasus-kasus lingkungan perlu penelaahan lebih lanjut.
189
7. Philippine.178 Secara tradisional ADR juga telah dikenal di Philippine melalui tradisi penyelesaian sengketa secara kekeluargaan dan kooperatif di tingkat pedesaan (barangay atau barrio). Pelem-bagaannya sendiri didorong
oleh
keinginan
untuk mengatasi
penumpukan
serta
kemacetan administrasi perkara di peng-adilan yang menimbulkan penurunan kualitas keadilan. Pelembagaan
ADR
tersebut
dilakukan
oleh
pemerintah
Philippine melalui Presidential Decree Philippine Nomor 1508 tanggal 11 Juni 1978, yang dikenal dengan Katarungang Pambarangay atau Barangay Justice Law, yang memberikan basis hukum pendirian lembaga penyelesaian sengketa secara kooperatif atau secara damai di
tingkat
pedesaan.
Adapun
kewenangan
yang
dimilikinya
menyelesaikan seluruh jenis seng-keta perdata dan pidana dengan ancaman hukuman ringan. Seperti halnya Srilanka, Philippine juga menganut prinsip compulsory conciliation, bahwa gugatan ke pengadilan tidak dapat diajukan sebelum dinyatakan melalui sertifikat yang dikeluarkan oleh sekretaris panel konsiliasi (Lupong Tagapayapa) bahwa upaya
178
Diringkas dari Mas Achmad Santosa IV, Op.Cit., hlm. 6-7; Mas Achmad Santosa V. Op.Cit., hlm. 4 dan Josi K. Assegaf, Op.Cit., hlm. 3-4.
190
konsiliasi pernah dilakukan dan tidak membawa hasil. Sedangkan apabila tercapai kesepakatan, maka kesepakatan tersebut menjadi mengikat dan executable seperti halnya putusan pengadilan. Namun, Lupong tidak mempunyai otoritas untuk mengkonsiliasikan kasus yang salah satu pihaknya pemerintah.
8. Hongkong.179 ADR yang populer di Hongkong dalam mencari penye-lesaian sengketa bisnis, sebagai berikut: a. Arbitrase. b. Mediasi. c. Ajudikasi (adjudication). Ajudikasi khusus menyelesaikan sengketa di bidang konstruksi lapangan terbang dengan cara mengangkat seorang adjudicator profesional di bidang konstruksi lapangan terbang. 9. Singapura.180 Singapura telah mengubah konsepsi penyelesaian seng-keta nonlitigasi sejak tahun 1966 yang termuat dalam Subordinate Rules 1966. Ketentuan ini mengatur bahwa sebelum para pihak melanjutkan
179 180
Diringkas dari M. Yahya Harahap I, Op.Cit., hlm. 213. Ibid., hlm. 213-214 dan Josi K. Assegaf, Op.Cit., hlm. 5-6.
191
keinginannya membawa seng-keta ke pengadilan, hendaknya terlebih dahulu menempuh jalan penyelesaian antar pihak. Oleh sebab itu, Singapura mempunyai Court Mediation Center. Sedangkan pelembagaan ADR dilaksanakan di Subordinate Court Singapura. Di samping itu, pemerintah Singapura sejak tahun 1994 telah mengembangkan CDR, yang didukung oleh Subordinate Court dan pemerintah Singapura, yang tujuannya untuk menyediakan forum bagi pihak-pihak yang bersengketa, mendorong masyarakat ke arah nonlitigasi (nonlitigation society) dan efisiensi manajemen kasus. Dalam
Court
Mediatiom
Center
ini
berbagai
metode
dikembangkan, seperti family conference untuk masalah-maslah keluarga, mediasi atau konsiliasi untuk menyelesaikan kasus perdata seperti ganti rugi, sengketa pembiayaan, dan lain-lain. Untuk perkara pidana yang terjadi di dalam keluarga banyak dikembangkan jenisjenis konferensi yang mempertemukan para pihak dengan bantuan fasilisator. Di samping itu, di Singapura dikembangkan pula Night Court Mediation, yang ditujukan bagi pihak-pihk yang hanya mempunyai waktu, setelah mereka selesai bekerja pada siang hari. Kasus-kasus yang diselesaikan pada umumnya kasus-kasus keluarga (family cases).
192
Dari bentuk ADR yang ada, arbitrase yang paling menonjol. Tampaknya pemerintah dan masyarakat bisnis Singapura, ingin menggeser peran Hongkong menjadi pusat arbitrase regional dan internasional di kawasan Pasifik. Untuk itu pada tahun 1994, pemerintah Singapura juga telah melakukan pembaharuan Undangundang Arbitrase dan menjadikan UNCITRAL Arbitration Rule sebagai model law.
193
DAFTAR PUSTAKA
Ayuda D. Prayoga, et.al., Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya, Proyek Ellips, Jakarta, t.t. A.A.G Peters dan Koesriani Siswosoebroto (Ed.). Hukum dan Perkembangan Sosial. Buku Teks Sosiologi Hukum Buku II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988. Arthur Thompkins, “Cross-border Dispute Resolution in International Commercial Transaction”, dalam Law Journal, New Zealand, 1993. Ali Budiardjo Nugroho, Reksodiputro in Corporation with Moctar, Karuwin & Komar, Final Report on Diagnostic Assesment or Legal Development in Indonesia, Chapter, volume I dan Annex C-4 Volume III, Maret 1997. Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yayasan Watampone, Jakarta, 1998. Anrizal, ”Kedudukan Fungsi Serta Tugas Kerapatan Adat Nagari Dalam Penyelesaian Sengketa Setelah berlakunya Undangundang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa (Studi Kasus di Kabupaten Agam)”, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 1998. Ali Budiharjo dkk., Reformasi Hukum di Indonesia, Cyber Consult, Jakarta, 1999. Andrup dan J.G. Hall, “The Use of Mediation in China”, Justice of the Peace and Local Government Law 104. Alternative Dispute Resolution (ADR), http;/www.fmladr.com/ services.htm.Available, diakses pada tanggal 20 Juni 2000. ADR
in
Trademark & Unfair Competition Disputes, http: /www.inta.org/adr.html.Available, diakses pada tanggal 21 Juni 2000. 194
Bobette Wolski, Culture, “Society and Mediation in China and the West”, dalam Commercial Dispute Resolution Journal, Australia, 1997. Bappenas dan The Asia Foundation, Makalah Kebijakan (Policy Paper) Pelembagaan Penyelesaian Sengketa Perundingan dan Arbitrase di Indonesia, Hasil studi mengenai ADR yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh PT Qipra Galang Kualita, Yayasan Akatiga, ICEL (Indonesia Center for Environment Law), dan LPPM (Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen), Jakarta, Januari 1997. B. Arief Sidharta, Praktisi Hukum dan Perkembangan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. Chin Kim dan Craig M. Lawson, “The Law of the Subtle Mind; The Traditional Japanese Conception of Law”, dalam Internasional and Comprative Law Quartenly, Volume 28, Tahun 1979. Christopher W. Moore, The Mediation Process Practical Strategies for Resolving Confict, Jossey-Bass Publishers, San Francisco, 1986. C. Snouck Hurgronye, Aceh Rakyat dan Adat Istiadatnya, Penerjemah Sutan Maimun, INIS, Jakarta, 1996. D. Newton, “Alternative Dispute Resolution and the Lawyer”, dalam Dispute Resolution Journal, Sydney, 1997. David Holst, “Mediation Makes Business Sense: The Ampol/Caltex Merger”, Dispute Resolution Journal, Sidney, 1997. Department of Grass-Roots Work Ministry of Justice People’s Republic of China, People’s Mediation in China, Mediation Journal, China, 2001. “Extensive Study Reveal Big Corporations Often Use ADR”, dalam Dispute Resolution Journal American Arbitrase Association, Dispute Resolution Journal, Vo. 52. No. 3, Summer, 1997.
195
Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta, 2000. Fiona Crosbie, “Aspect of Confidentiality in Mediation: A Matter of Balancing Competing Public Interest”, dalam Commercial Dispute Resolution Journal, Australia, 1995. George H. Golvan QC, “The Use of Mediation in Commercial and Construction Dispute”, dalam Dispute Resolution Journal, Sydney, 1996. Garry Goodpaster, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Proyek ELIPS, Jakarta, 1999. Greg Vickery, “International Commercial Arbitration in China”, dalam Dispute Resolution Journal, Sydney, 2000. Gunawan Wijaya & Ahmad Yani, Alternatif Penyelesaian Sengketa; Seri Hukum Bisnis, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001. Hideo Tanaka (Ed.), The Japan Legal Sistem, University of Tokyo Press, Tokyo, 1988. Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, Six Edition, West Publishing Co, St. Paul, Minn, 1990. Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1992. Hilary Astor dan Christine M. Chinkin, Disputes Resolution Industri Australia, Butterworths, Sydney, 1992. H. Ahmad Zulkifli, “Putusan Arbitrase Sulit Dieksekusi”, Forum Keadilan, No. 19, Tahun 4, Januari 1996. Hikmahanto Juwana et.al., Peran Lembaga Peradilan dalam Menangani Perkara Persaingan Usaha, Partnership For Bussiness Competition, Jakarta, 2003. Iman Sudiyat, Hukum Adat: Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981.
196
I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Eresco, Bandung, 1993. J.G. Merrills, Internasional Dispute Settlement, Sweet & Maxwell, London, 1984. JR. Spencer Jackson’s, Machinery of Justice, University Press, Cambride, 1989. Jacqueline M. Nolan-Haley, Alternative Disputes Resolution in a Nutshell, West Publishing Co, St, Paul Minnesota, 1992. J.E. Sahetapy, Forum Keadilan, No. 4, Tahun 5, Juni 1996. J.A. Cohen, Chinese Mediation on the Eve of Modernisation, Law Review, California, 2000. Josi K. Assegaf, “Lembaga Alternative Dispute Resolution (ADR) di Berbagai Negara: Pelajaran Bagi Indonesia”. Makalah, disampaikan pada acara Sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kalimantan Selatan, Banjarmasin. Kimberlee Kovach, Mediation Principil and Practice, West Publishing Co., St. Paul Minnesota, 1994. Keebet Von Benda-Beckmann, Goyahnya Tangga Menuju Mufakat. Peradilan Nagari dan Pengadilan Negeri di Minangkabau, Gramedia Widiasarana Indonesia bekerjasama dengan Perwakilan Koninklijk Instituut voor Tal-Land-en Volkenkunde, Jakarta, 2000. Larry L. Teply, Legal Negotiation: In a Nutshell, West Publishing Co, St. Paul, Minn, 1992. Loise Rosemann, “the Birth of ADRA: Past and Future Visions”, dalam Dispute Resolution Journal, Australia, 1997.
197
Moh. Koesnoe, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Perss, Surabaya, 1979. M. Yahya Harahap, Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan Pengadilan dan Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi, Citra Bhakti, Jakarta, 1993. ------------, ”Mencari Sistem Peradilan Yang Efektif dan Efisien”, Makalah, disampaikan pada Seminar Akbar 50 Tahun Pembinaan Hukum sebagai Modal Dasar Pembangunan Hukum Nasional Dalam PJP II, Jakarta 18-21 juli 1995. ------------, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997. Mas
Achmad Santosa, Mekanisme Penyelesaian Sengketa Lingkungan Secara Kooperatif (Alternative Disputes Resolution/ADR), Indonesian Center for Environmental Law, Jakarta.
------------, “Pelembagaan Alternative Dispute Resolution (ADR) di Berbagai Negara”, Majalah Musyawarah, Nomor 1 Tahun I, Indonesian Center for Environmental, Jakarta, 1997. ------------, “Pelembagaan ADR di Indonesia”, Makalah untuk menanggapi Laporan Diagnostie Aqssesment of Legal Development in Indonesia (bidang ADR), Jakarta, September 1997. ------------,
”Potensi Penerapan Alternative Dispute Resolution Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup”, dalam Pustaka Peradilan, Jilid XVIII, Proyek Pembinaan Tehnis Justicial Mahkamah Agung R.I., 1998.
------------, “Perkembangan Pelembagaan ADR di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Lokakarya Hasil Penelitian Teknik Mediasi Tradional, yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation, Indonesian Center for Enviromental Law bekerjasama dengan Pusat Kajian Pilihan Penyelesaian Sengketa Universitas Andalas, di Sedona Bumi Minang, Tanggal 27 November 1999.
198
M. Allars, International to Australian Administrative Law, Butterworths, Australia, 1990. Mr. Justice Neil Kaplan, “Mediation in Hong Kong”, dalam Commercial Dispute Resolution Journal, Hongkong, 1994. Mas Achmad Santosa dan TM. Luthfi Yazid, “Pembentukan ADR, Tidak Cukup Hanya Dukungan Budaya Musyawarah”, Harian Kompas, 27 Februari 1995. Manchester Open Learning, Mengendalikan Konflik dan Negosiasi, (Terj. Amitya Kumara Soeharso), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995. Maureen Garwood, “Books and Borrowers: Mediation of Failed Transaction”, dalam Dispute Resolution Journal, Australia, 1997. “Mediation Get High Marks”, dalam Dispute Resolution Journal the American Arbitration Association, Journal, American, 1997. Munir Fuadi, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000. Mariana Sutadi, ”Pendayagunaan Perdamaian Menurut Pasal 130 HIR/154 RBg dan Potensinya dalam Mewujudkan Keadilan yang Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan”, dalam Mediasi dan Perdamaian, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2004. M. Siahaan, ”Pengkajian Beberapa Topik Hukum Acara Perdata”, dalam Bunga Rampai Makalah Hukum Acara Perdata, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2004. P. Gulliver, Disputes and Negotiation; A Cross Cultural Prospective, Academic Press, New York and London, 1979. Peter Lovenheim, Mediate Don’t Litigate, Mc. Graw Hill publishing Comp., New York, 1989.
199
Peter Lovenheim, Mediate Don’t Litigate, Mc Graw Hill publishing Company, New York, 1989. “Pengusaha Lebih Suka Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Harian Kompas,19 Februari 1995. R. Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1984. Roger Fisher and William Ury, Getting to Yes; Negotiation an Agreement Without Giving In, Century Business Ltd, London, 1992. R. Singer, Setting Disputes Comflict Resolution In Business, Families and The Legal Sistem, Second Edition, West View Press, Boulder, 1994. Robert D. Garret, “Mediation in Native American”, Dispute Resolution Journal, America, March 1994. Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkertawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 1995. Richard Hill, Non Adversarial Mediation, http:/www.Batnetcom/ oikoumene/arbmed3. Html. Available, diakses pada tanggal 3 Juni 2000. Runtung, “Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif (Studi Mengenai Masyarakat Karo di Kabanjahe dan Berastagi)”, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002. Rahmadi
Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, Alumni, Bandung, 2003.
Retnowulan Sutantio, Mediasi dan Dading, Proceedings Arbitrase dan Mediasi, Cetakan Pertama, Pusat Pengkajian Hukum Kerjasama dengan Pusdiklat MARI, t.k., 2003.
200
Stephen B. Goldberg et.al., Disputes Resolution, Little Brown, Boston, 1985. ------------, Dispute Resolution Negasiation, Mediation and Other Processes, Little Brown and Company, Boston-TorontoLondon, 1992. Setiawan, Aneka Masalah Hukum Dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992. Sutadi Djayakusuma, “Peluang Penerapan Lembaga Penyelesaian Perkara Alternatif di Indonesia: Suatu Pandangan”, Makalah pada Seminar Eksekutif Pengelolaan Sengketa Lingkungan di Indonesia, Jakarta, 24 April 1995. “Sudah Perlu Dibentuk, Lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif”, Harian Kompas, 13 Februari 1995. Supraprto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Airlangga University Press, Surabaya, 1999. Suyud Margono, ADR & Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspekaspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000. Tresna, Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta, 1975. Tony Mc Adams, Law Businessand Society, Third Edition, Irwin, Boston, 1992. T.O. Ihromi (Ed.), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993. Takdir Rahmadi, “Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Konteks Masyarakat Indonesia Masa Kini”, Makalah disajikan dalam Seminar Sehari Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Kasus-kasus Tanah, Perburuhan dan Lingkungan, di Selenggarakan oleh Studi dan Advokasi Masyarakat bekerjasama dengan Dewan Pimpinan Pusat IKADIN, di Jakarta, 11 Agustus 1994. Tjok Istri Putra Astitit, “Pemberdayaan Hakim Perdamaian Desa dalam Penyelesaian Kasus Adat di Luar Pengadilan”, dalam
201
Majalah Musyawarah, Nomor 1 Tahun I, Indonesian Center for Environmental Law, Jakarta, 1997. Tom Tso, Moral Principles, Tradition and Fairness in the Nevajo National Code of Judical Conduct, Judicaturel, London, 2000. The New York State Dispute Resolution Association Inc. What is Alternative Dispute Resolution (ADR)? http://www.nydra. org/sdr.html. Available, diakses pada tanggal 30 Mei 2000. Takeyoshi Kawashima, Kontemporer”.
“Penyelesaian
Pertikaian
di
Jepang
URL: http://wwlia.org/adr2.htm, diakses tanggal 8 Februari 1997. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
202
LAMPIRAN
1
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, penyelesaian sengketa perdata di samping dapat diajukan ke peradilan umum juga terbuka kemungkinan diajukan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa; b. bahwa peraturan perundang-undangan yang kini berlaku untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha dan hukum pada umumnya; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu membentuk undang-undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UndangUndang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951); Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: 203
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 2. Para pihak adalah subyek hukum, baik menurut hukum perdata maupun hukum publik. 3. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. 4. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal termohon. 5. Pemohon adalah pihak yang mengajukan penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
permohonan
6. Termohon adalah pihak lawan dari Pemohon dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase. 7. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase. 8. Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang
204
mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa. 9. Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional. 10. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Pasal 2 Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa. Pasal 3 Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pasal 4 (1)
Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka.
(2)
Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.
205
(3)
Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak. Pasal 5
(1)
Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
(2)
Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
BAB II ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Pasal 6 (1)
Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
(2)
Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
(3)
Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.
206
(4)
Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
(5)
Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.
(6)
Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 ( tiga puluh ) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.
(7)
Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.
(8)
Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 ( tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
(9)
Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (6) tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc.
BAB III SYARAT ARBITRASE, PENGANGKATAN ARBITER, DAN HAK INGKAR Bagian Pertama Syarat Arbitrase
207
Pasal 7 Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase. Pasal 8 (1)
Dalam hal timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, e-mail atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku.
(2)
Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan jelas: a. nama dan alamat para pihak; b. penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku; c. perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa; d. dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada; e. cara penyelesaian yang dikehendaki; dan f. perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau apabila tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil. Pasal 9
(1)
Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.
(2)
Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.
(3)
Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat: a. masalah yang dipersengketakan; b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
208
c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase; d. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan; e. nama lengkap sekretaris; f. jangka waktu penyelesaian sengketa; g. pernyataan kesediaan dari arbiter; dan h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase. (4)
Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum. Pasal 10
Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tersebut di bawah ini: a. meninggalnya salah satu pihak; b. bangkrutnya salah satu pihak; c. novasi; d. insolvensi salah satu pihak; e. pewarisan; f. berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok; g. bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok. Pasal 11 (1)
Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
(2)
Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini.
209
Bagian Kedua Syarat Pengangkatan Arbiter Pasal 12 (1)
Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat: a. cakap melakukan tindakan hukum; b. berumur paling rendah 35 tahun; c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa; d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.
(2)
Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter. Pasal 13
(1)
Dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbitrase.
(2)
Dalam suatu arbitrase ad-hoc bagi setiap ketidaksepakatan dalam penunjukan seorang atau beberapa arbiter, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk seorang arbiter atau lebih dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak. Pasal 14
(1)
Dalam hal para pihak telah bersepakat bahwa sengketa yang timbul akan diperiksa dan diputus oleh arbiter tunggal, para pihak wajib untuk mencapai suatu kesepakatan tentang pengangkatan arbiter tunggal.
210
(2)
Pemohon dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, email atau dengan buku ekspedisi harus mengusulkan kepada pihak termohon nama orang yang dapat diangkat sebagai arbiter tunggal.
(3)
Apabila dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah termohon menerima usul pemohon sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) para pihak tidak berhasil menentukan arbiter tunggal, atas permohonan dari salah satu pihak, Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter tunggal.
(4)
Ketua Pengadilan Negeri akan mengangkat arbiter tunggal berdasarkan daftar nama yang disampaikan oleh para pihak, atau yang diperoleh dari organisasi atau lembaga arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, dengan memperhatikan baik rekomendasi maupun keberatan yang diajukan oleh para pihak terhadap orang yang bersangkutan. Pasal 15
(1)
Penunjukan dua orang arbiter oleh para pihak memberi wewenang kepada dua arbiter tersebut untuk memilih dan menunjuk arbiter yang ketiga.
(2)
Arbiter ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diangkat sebagai ketua majelis arbitrase.
(3)
Apabila dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemberitahuan diterima oleh termohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dan salah satu pihak ternyata tidak menunjuk seseorang yang akan menjadi anggota majelis arbitrase, arbiter yang ditunjuk oleh pihak lainnya akan bertindak sebagai arbiter tunggal dan putusannya mengikat kedua belah pihak.
(4)
Dalam hal kedua arbiter yang telah ditunjuk masing-masing pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berhasil menunjuk arbiter ketiga dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah arbiter yang terakhir ditunjuk, atas permohonan salah satu pihak, Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter ketiga.
211
(5)
Terhadap pengangkatan arbiter yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak dapat diajukan upaya pembatalan. Pasal 16
(1)
Arbiter yang ditunjuk atau diangkat dapat menerima atau menolak penunjukan atau pengangkatan tersebut.
(2)
Penerimaan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib diberitahukan secara tertulis kepada para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal penunjukan atau pengangkatan. Pasal 17
(1)
Dengan ditunjuknya seorang arbiter atau beberapa arbiter oleh para pihak secara tertulis dan diterimanya penunjukan tersebut oleh seorang arbiter atau beberapa arbiter secara tertulis, maka antara pihak yang menunjuk dan arbiter yang menerima penunjukan terjadi suatu perjanjian perdata.
(2)
Penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mengakibatkan bahwa arbiter atau para arbiter akan memberikan putusannya secara jujur, adil, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan para pihak akan menerima putusannya secara final dan mengikat seperti yang telah diperjanjikan bersama. Pasal 18
(1)
Seorang calon arbiter yang diminta oleh salah satu pihak untuk duduk dalam majelis arbitrase, wajib memberitahukan kepada para pihak tentang hal yang mungkin akan mempengaruhi kebebasannya atau menimbulkan keberpihakan putusan yang akan diberikan.
(2)
Seseorang yang menerima penunjukan sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus memberitahukan kepada para pihak mengenai penunjukannya.
212
Pasal 19 (1)
Dalam hal arbiter telah menyatakan menerima penunjukan atau pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, maka yang bersangkutan tidak dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan para pihak.
(2)
Dalam hal arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang telah menerima penunjukan atau pengangkatan, menyatakan menarik diri, maka yang bersangkutan wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada para pihak.
(3)
Dalam hal para pihak dapat menyetujui permohonan penarikan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka yang bersangkutan, dapat dibebaskan dari tugas sebagai arbiter.
(4)
Dalam hal permohonan penarikan diri tidak mendapat persetujuan para pihak, pembebasan tugas arbiter ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Pasal 20
Dalam hal arbiter atau majelis arbitrase tanpa alasan yang sah tidak memberikan putusan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, arbiter dapat dihukum untuk mengganti biaya dan kerugian yang diakibatkan karena kelambatan tersebut kepada para pihak.
Pasal 21 Arbiter atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut.
213
Bagian Ketiga Hak Ingkar Pasal 22 (1)
Terhadap arbiter dapat diajukan tuntutan ingkar apabila terdapat cukup alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil putusan.
(2)
Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter dapat pula dilaksanakan apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan, keuangan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya. Pasal 23
(1)
Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan Negeri diajukan kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
(2)
Hak ingkar terhadap arbiter tunggal diajukan kepada arbiter yang bersangkutan.
(3)
Hak ingkar terhadap anggota majelis arbitrase diajukan kepada majelis arbitrase yang bersangkutan. Pasal 24
(1)
Arbiter yang diangkat tidak dengan penetapan pengadilan, hanya dapat diingkari berdasarkan alasan yang baru diketahui pihak yang mempergunakan hak ingkarnya setelah pengangkatan arbiter yang bersangkutan.
(2)
Arbiter yang diangkat dengan penetapan pengadilan, hanya dapat diingkari berdasarkan alasan yang diketahuinya setelah adanya penerimaan penetapan pengadilan tersebut.
(3)
Pihak yang berkeberatan terhadap penunjukan seorang arbiter yang dilakukan oleh pihak lain, harus mengajukan tuntutan
214
ingkar dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak pengangkatan. (4)
Dalam hal alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) diketahui kemudian, tuntutan ingkar harus diajukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diketahuinya hal tersebut.
(5)
Tuntutan ingkar harus diajukan secara tertulis, baik kepada pihak lain maupun kepada pihak arbiter yang bersangkutan dengan menyebutkan alasan tuntutannya.
(6)
Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak disetujui oleh pihak lain, arbiter yang bersangkutan harus mengundurkan diri dan seorang arbiter pengganti akan ditunjuk sesuai dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang ini. Pasal 25
(1)
Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak tidak disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang bersangkutan tidak bersedia mengundurkan diri, pihak yang berkepentingan dapat mengajukan tuntutan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang putusannya mengikat kedua pihak, dan tidak dapat diajukan perlawanan.
(2)
Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri memutuskan bahwa tuntutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) beralasan, seorang arbiter pengganti harus diangkat dengan cara sebagaimana yang berlaku untuk pengangkatan arbiter yang digantikan.
(3)
Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri menolak tuntutan ingkar, arbiter melanjutkan tugasnya. Pasal 26
(1)
Wewenang arbiter tidak dapat dibatalkan dengan meninggalnya arbiter dan wewenang tersebut selanjutnya dilanjutkan oleh penggantinya yang kemudian diangkat sesuai dengan undangundang ini.
215
(2)
Arbiter dapat dibebastugaskan bilamana terbukti berpihak atau menunjukkan sikap tercela yang harus dibuktikan melalui jalur hukum.
(3)
Dalam hal selama pemeriksaan sengketa berlangsung, arbiter meninggal dunia, tidak mampu, atau mengundurkan diri, sehingga tidak dapat melaksanakan kewajibannya, seorang arbiter pengganti akan diangkat dengan cara sebagaimana yang berlaku bagi pengangkatan arbiter yang bersangkutan.
(4)
Dalam hal seorang arbiter tunggal atau ketua majelis arbitrase diganti, semua pemeriksaan yang telah diadakan harus diulang kembali.
(5)
Dalam hal anggota majelis yang diganti, pemeriksaan sengketa hanya diulang kembali secara tertib antar arbiter.
BAB IV ACARA YANG BERLAKU DIHADAPAN MAJELIS ARBITRASE Bagian Pertama Acara Arbitrase Pasal 27 Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup. Pasal 28 Bahasa yang digunakan dalam semua proses arbitrase adalah bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang akan digunakan. Pasal 29 (1)
Para pihak yang bersengketa mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam mengemukakan pendapat masing-masing.
(2)
Para pihak yang bersengketa dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus.
216
Pasal 30 Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan. Pasal 31 (1)
(2)
(3)
Para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini. Dalam hal para pihak tidak menentukan sendiri ketentuan mengenai acara arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan, dan arbiter atau majelis arbitrase telah terbentuk sesuai dengan Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14, semua sengketa yang penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau majelis arbitrase akan diperiksa dan diputus menurut ketentuan dalam Undang-undang ini. Dalam hal para pihak telah memilih acara arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus ada kesepakatan mengenai ketentuan jangka waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase dan apabila jangka waktu dan tempat arbitrase tidak ditentukan, arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukan. Pasal 32
(1)
Atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbitrase dapat mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa termasuk penetapan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga, atau menjual barang yang mudah rusak.
(2)
Jangka waktu pelaksanaan putusan provisionil atau putusan sela lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dihitung dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.
217
Pasal 33 Arbiter atau majelis arbitrase berwenang untuk memperpanjang jangka waktu tugasnya apabila: a. diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu; b. sebagai akibat ditetapkan putusan provisionil atau putusan sela lainnya; atau c. dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk kepentingan pemeriksaan. Pasal 34 (1)
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak.
(2)
Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih, kecuali ditetapkan lain oleh para pihak.
Pasal 35 Arbiter atau majelis arbitrase dapat memerintahkan agar setiap dokumen atau bukti disertai dengan terjemahan ke dalam bahasa yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Pasal 36 (1)
Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus dilakukan secara tertulis.
(2)
Pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan apabila disetujui para pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase. Pasal 37
(1)
Tempat arbitrase ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase, kecuali ditentukan sendiri oleh para pihak.
218
(2)
Arbiter atau majelis arbitrase dapat mendengar keterangan saksi atau mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada tempat tertentu diluar tempat arbitrase diadakan.
(3)
Pemeriksaan saksi dan saksi ahli dihadapan arbiter atau majelis arbitrase, diselenggarakan menurut ketentuan dalam hukum acara perdata.
(4)
Arbiter atau majelis arbitrase dapat mengadakan pemeriksaan setempat atas barang yang dipersengketakan atau hal lain yang berhubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa, dan dalam hal dianggap perlu, para pihak akan dipanggil secara sah agar dapat juga hadir dalam pemeriksaan tersebut. Pasal 38
(1)
Dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase, pemohon harus menyampaikan surat tuntutannya kepada arbiter atau majelis arbitrase.
(2)
Surat tuntutan tersebut harus memuat sekurang-kurangnya: a. nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak; b. uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti-bukti; dan c. isi tuntutan yang jelas. Pasal 39
Setelah menerima surat tuntutan dari pemohon, arbiter atau ketua majelis arbitrase menyampaikan satu salinan tuntutan tersebut kepada termohon dengan disertai perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan jawabannya secara tertulis dalam waktu paling lama 14 ( empat belas ) hari sejak diterimanya salinan tuntutan tersebut oleh termohon. Pasal 40 (1)
Segera setelah diterimanya jawaban dari termohon atas perintah arbiter atau ketua majelis arbitrase, salinan jawaban tersebut diserahkan kepada pemohon.
219
(2)
Bersamaan dengan itu, arbiter atau ketua majelis arbitrase memerintahkan agar para pihak atau kuasa mereka menghadap di muka sidang arbitrase yang ditetapkan paling lama 14 (empat belas) hari terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah itu. Pasal 41
Dalam hal termohon setelah lewat 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 tidak menyampaikan jawabannya, termohon akan dipanggil dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2). Pasal 42 (1) Dalam jawabannya atau selambat-lambatnya pada sidang pertama, termohon dapat mengajukan tuntutan balasan dan terhadap tuntutan balasan tersebut pemohon diberi kesempatan untuk menanggapi. (2) Tuntutan balasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperiksa dan diputus oleh arbiter atau majelis arbitrase bersama-sama dengan pokok sengketa. Pasal 43 Apabila pada hari yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) pemohon tanpa suatu alasan yang sah tidak datang menghadap, sedangkan telah dipanggil secara patut, surat tuntutannya dinyatakan gugur dan tugas arbiter atau majelis arbitrase dianggap selesai. Pasal 44 (1)
Apabila pada hari yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2), termohon tanpa suatu alasan sah tidak datang menghadap, sedangkan termohon telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbitrase segera melakukan pemanggilan sekali lagi.
(2)
Paling lama 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan kedua diterima termohon dan tanpa alasan sah termohon juga tidak
220
datang menghadap di muka persidangan, pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya termohon dan tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan atau tidak berdasarkan hukum. Pasal 45 (1)
Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan, arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara para pihak yang bersengketa.
(2)
Dalam hal usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase membuat suatu akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut. Pasal 46
(1)
Pemeriksaan terhadap pokok sengketa dilanjutkan apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) tidak berhasil.
(2)
Para pihak diberi kesempatan terakhir kali untuk menjelaskan secara tertulis pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
(3)
Arbiter atau majelis arbitrase berhak meminta kepada para pihak untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Pasal 47
(1)
Sebelum ada jawaban dari termohon, pemohon dapat mencabut surat permohonan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase.
221
(2)
Dalam hal sudah ada jawaban dari termohon, perubahan atau penambahan surat tuntutan hanya diperbolehkan dengan persetujuan termohon dan sepanjang perubahan atau penambahan itu menyangkut hal-hal yang bersifat fakta saja dan tidak menyangkut dasar-dasar hukum yang menjadi dasar permohonan. Pasal 48
(1)
Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk.
(2)
Dengan persetujuan para pihak dan apabila diperlukan sesuai ketentuan Pasal 33, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang. Bagian Kedua Saksi dan Saksi Ahli Pasal 49
(1)
Atas perintah arbiter atau majelis arbitrase atau atas permintaan para pihak dapat dipanggil seorang saksi atau lebih atau seorang saksi ahli atau lebih, untuk didengar keterangannya.
(2)
Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli dibebankan kepada pihak yang meminta.
(3)
Sebelum memberikan keterangan, para saksi atau saksi ahli wajib mengucapkan sumpah. Pasal 50
(1)
Arbiter atau majelis arbitrase dapat meminta bantuan seorang atau lebih saksi ahli untuk memberikan keterangan tertulis mengenai suatu persoalan khusus yang berhubungan dengan pokok sengketa.
(2)
Para pihak wajib memberikan diperlukan oleh para saksi ahli.
222
segala
keterangan
yang
(3)
Arbiter atau majelis arbitrase meneruskan salinan keterangan saksi ahli tersebut kepada para pihak agar dapat ditanggapi secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
(4)
Apabila terdapat hal yang kurang jelas, atas permintaan para pihak yang berkepentingan, saksi ahli yang bersangkutan dapat didengar keterangannya di muka sidang arbitrase dengan dihadiri oleh para pihak atau kuasanya.
Pasal 51 Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat berita acara pemeriksaan oleh sekretaris. BAB V PENDAPAT DAN PUTUSAN ARBITRASE Pasal 52 Para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Pasal 53 Terhadap pendapat yang mengikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 tidak dapat dilakukan perlawanan melalui upaya hukum apapun. Pasal 54 (1)
Putusan arbitrase harus memuat: a. kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA"; b. nama lengkap dan alamat para pihak; c. uraian singkat sengketa; d. pendirian para pihak; e. nama lengkap dan alamat arbiter;
223
f. pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai keseluruhan sengketa; g. pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam majelis arbitrase; h. amar putusan; i. tempat dan tanggal putusan; dan j. tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase. (2)
Tidak ditandatanganinya putusan arbitrase oleh salah seorang arbiter dengan alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan.
(3)
Alasan tentang tidak adanya tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus dicantumkan dalam putusan.
(4)
Dalam putusan ditetapkan suatu jangka waktu putusan tersebut harus dilaksanakan. Pasal 55
Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan segera ditutup dan ditetapkan hari sidang untuk mengucapkan putusan arbitrase. Pasal 56 (1)
Arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasarkan keadilan dan kepatutan.
(2)
Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak. Pasal 57
Putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup.
224
Pasal 58 Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan diterima, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada arbiter atau majelis arbitrase untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administratif dan atau menambah atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan. BAB VI PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE Bagian Pertama Arbitrase Nasional Pasal 59 (1)
Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.
(2)
Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran.
(3)
Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada Panitera Pengadilan Negeri.
(4)
Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.
(5)
Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran dibebankan kepada para pihak.
225
Pasal 60 Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Pasal 61 Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Pasal 62 (1)
Perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri.
(2)
Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
(3)
Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun.
(4)
Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa pertimbangan dari putusan arbitrase.
alasan
atau
Pasal 63 Perintah Ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembar asli dan salinan otentik putusan arbitrase yang dikeluarkan.
226
Pasal 64 Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri, dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Bagian Kedua Arbitrase Internasional Pasal 65 Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pasal 66 Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional; b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan; c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum; d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
227
Pasal 67 (1)
Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
(2)
Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai dengan: a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia; b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional. Pasal 68
(1)
Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf d yang mengakui dan melaksanakan Putusan Arbitrase Internasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi.
(2)
Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf d yang menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu Putusan Arbitrase Internasional, dapat diajukan kasasi.
(3)
Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan setiap pengajuan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah permohonan kasasi tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.
228
(4)
Terhadap putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf e, tidak dapat diajukan upaya perlawanan. Pasal 69
(1)
Setelah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan perintah eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64, maka pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang melaksanakannya.
(2)
Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang milik termohon eksekusi.
(3)
Tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata.
BAB VII PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE Pasal 70 Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Pasal 71 Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri.
229
Pasal 72 (1)
Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
(2)
Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.
(3)
Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterima.
(4)
Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.
(5)
Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.
BAB VIII BERAKHIRNYA TUGAS ARBITER Pasal 73 Tugas arbiter berakhir karena: a. putusan mengenai sengketa telah diambil; b. jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau sesudah diperpanjang oleh para pihak telah lampau; atau c. para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter. Pasal 74 (1)
Meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatkan tugas yang telah diberikan kepada arbiter berakhir.
230
(2)
Jangka waktu tugas arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ditunda paling lama 60 (enam puluh) hari sejak meninggalnya salah satu pihak. Pasal 75
(1)
Dalam hal arbiter meninggal dunia, dikabulkannya tuntutan ingkar atau pemberhentian seorang atau lebih arbiter, para pihak harus mengangkat arbiter pengganti.
(2)
Apabila para pihak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari tidak mencapai kesepakatan mengenai pengangkatan arbiter pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan dari pihak yang berkepentingan, mengangkat seorang atau lebih arbiter pengganti.
(3)
Arbiter pengganti bertugas melanjutkan penyelesaian sengketa yang bersangkutan berdasarkan kesimpulan terakhir yang telah diadakan. BAB IX BIAYA ARBITRASE Pasal 76
(1)
Arbiter menentukan biaya arbitrase.
(2)
Biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. honorarium arbiter; b. biaya perjalanan dan biaya lainnya yang dikeluarkan oleh arbiter; c. biaya saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan sengketa; dan d. biaya administrasi. Pasal 77
(1)
Biaya arbitrase dibebankan kepada pihak yang kalah.
231
(2)
Dalam hal tuntutan hanya dikabulkan sebagian, biaya arbitrase dibebankan kepada para pihak secara seimbang. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 78
Sengketa yang pada saat Undang-undang ini mulai berlaku sudah diajukan kepada arbiter atau lembaga arbitrase tetapi belum dilakukan pemeriksaan, proses penyelesaiannya dilakukan berdasarkan undang-undang ini. Pasal 79 Sengketa yang pada saat undang-undang ini mulai berlaku sudah diperiksa tetapi belum diputus, tetap diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama. Pasal 80 Sengketa yang pada saat undang-undang ini mulai berlaku sudah diputus dan putusannya telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pelaksanaannya dilakukan berdasarkan undang-undang ini. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 81 Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227), dinyatakan tidak berlaku.
232
Pasal 82 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 12 Agustus 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Agustus 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd MULADI LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 138
233
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
I.
UMUM
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan peradilan dengan berpedoman kepada Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Hal tersebut merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar dan asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara yang masing-masing diatur dalam Undang-undang tersendiri. Di dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 disebutkan antara lain bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi (executoir) dari pengadilan. Selama ini yang dipakai sebagai dasar pemeriksaan arbitrase di Indonesia adalah Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227). Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain: a. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak; b. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif;
234
c.
d.
e.
para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil; para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya benar, sebab di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat daripada proses arbitrase. Satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiannya karena keputusannya tidak dipublikasikan. Namun demikian penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi, terutama untuk kontrak bisnis bersifat internasional. Dengan perkembangan dunia usaha dan perkembangan lalu lintas di bidang perdagangan baik nasional maupun internasional serta perkembangan hukum pada umumnya, maka peraturan yang terdapat dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering) yang dipakai sebagai pedoman arbitrase sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu disesuaikan karena pengaturan dagang yang bersifat internasional sudah merupakan kebutuhan conditio sine qua non sedangkan hal tersebut tidak diatur dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering). Bertolak dari kondisi ini, perubahan yang mendasar terhadap Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering) baik secara filosofis maupun substantif sudah saatnya dilaksanakan. Arbitrase yang diatur dalam Undang-undang ini merupakan cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Tetapi tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka. Di samping itu ketentuan yang melarang wanita sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 617 ayat (2) Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering) sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dewasa ini, dan tidak dapat
235
dipertahankan lagi dalam iklim kemerdekaan ini, yang sepenuhnya mengakui persamaan hak wanita dengan hak pria. Oleh karenanya dalam Undang-undang ini tidak disebut lagi bahwa wanita tidak dapat diangkat sebagai arbiter. Semua itu diatur dalam Bab I mengenai Ketentuan Umum. Dalam Bab II diatur mengenai alternatif penyelesaian sengketa melalui cara musyawarah para pihak yang bersengketa. Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution atau ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Bab III memberikan suatu ikhtisar khusus dari persyaratan yang harus dipenuhi untuk arbitrase dan syarat pengangkatan arbiter serta mengatur mengenai hak ingkar dari para pihak yang bersengketa. Sedangkan dalam Bab IV diatur tata cara untuk beracara di hadapan majelis arbitrase dan dimungkinkannya arbiter dapat mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya termasuk menetapkan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang, atau menjual barang yang sudah rusak serta mendengarkan keterangan saksi dan saksi ahli. Seperti halnya dengan putusan pengadilan, maka dalam putusan arbitrase sebagai kepala putusan harus juga mencantumkan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA". Di samping itu dalam Bab V disebut pula syarat lain yang berlaku mengenai putusan arbitrase. Kemudian dalam Bab ini diatur pula kemungkinan terjadi suatu persengketaan mengenai wewenang arbiter, pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun internasional dan penolakan permohonan perintah pelaksanaan putusan arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam tingkat pertama dan terakhir, dan Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai penyelesaian sengketa melalui arbitrase menjadi berlarut-larut. Berbeda dengan proses pengadilan negeri dimana terhadap putusannya para pihak
236
masih dapat mengajukan banding dan kasasi, maka dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding kasasi maupun peninjauan kembali. Dalam rangka menyusun hukum formil yang utuh, maka undangundang ini memuat ketentuan tentang pelaksanaan tugas arbitrase nasional maupun internasional. Bab VI menjelaskan mengenai pengaturan pelaksanaan putusan sekaligus dalam satu paket, agar Undang-undang ini dapat dioperasionalkan sampai pelaksanaan putusan, baik yang menyangkut masalah arbitrase nasional maupun internasional dan hal ini secara sistem hukum dibenarkan. Bab VII mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal, antara lain: a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang sengaja disembunyikan pihak lawan; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut hanya dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Selanjutnya pada Bab VIII diatur tentang berakhirnya tugas arbiter, yang dinyatakan antara lain bahwa tugas arbiter berakhir karena jangka waktu tugas arbiter telah lampau atau kedua belah pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter. Meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatkan tugas yang telah diberikan kepada arbiter berakhir. Bab IX dari undang-undang ini mengatur mengenai biaya arbitrase yang ditentukan oleh arbiter. Bab X dari undang-undang ini mengatur mengenai ketentuan peralihan terhadap sengketa yang sudah diajukan namun belum diproses, sengketa yang sedang dalam proses atau yang sudah
237
diputuskan dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan dalam Bab XI disebutkan bahwa dengan berlakunya undang-undang ini maka Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227) dinyatakan tidak berlaku. II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10
238
huruf a Cukup jelas huruf b Cukup jelas huruf c Yang dimaksud dengan "novasi" adalah pembaharuan utang. huruf d Yang dimaksud dengan "insolvensi" adalah keadaan tidak mampu membayar. huruf e Cukup jelas huruf f Cukup jelas huruf g Cukup jelas huruf h Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Tidak dibolehkannya pejabat yang disebut dalam ayat ini menjadi arbiter, dimaksudkan agar terjamin adanya obyektivitas dalam pemeriksaan serta pemberian putusan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Pasal 13 Ayat (1) Dengan adanya ketentuan ini, maka dihindarkan bahwa dalam praktek akan terjadi jalan buntu apabila para pihak di dalam syarat arbitrase tidak mengatur secara baik dan seksama tentang acara yang harus ditempuh dalam pengangkatan arbiter. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17
239
Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas
Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Ayat (1) Sebelum mengangkat arbiter, para pihak tentu sudah memperhitungkan adanya kemungkinan yang menjadi alasan untuk mempergunakan hak ingkar. Namun apabila arbiter tersebut tetap diangkat oleh para pihak, maka para pihak dianggap telah sepakat untuk tidak menggunakan hak ingkar berdasarkan fakta-fakta yang mereka ketahui ketika mengangkat arbiter tersebut. Namun ini tidak menutup kemungkinan munculnya fakta-fakta baru yang tidak diketahui sebelumnya, sehingga memberikan hak kepada para pihak untuk mempergunakan hak ingkar berdasarkan fakta-fakta baru tersebut. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3)
240
Dalam ayat ini diatur tentang pengajuan tuntutan ingkar dan jangka waktunya. Jangka waktu ini dipandang perlu agar tidak sewaktu-waktu dapat dihambat dengan adanya tuntutan ingkar. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Putusan Ketua Pengadilan Negeri dalam tuntutan ingkar mengikat kedua belah pihak dan putusan tersebut bersifat final dan tidak ada upaya perlawanan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas
241
Ayat (5) Jika hanya seorang anggota arbiter saja yang diganti, pemeriksaan dapat diteruskan berdasarkan berita acara dan surat yang ada, cukup oleh para arbiter yang ada. Pasal 27 Ketentuan bahwa pemeriksaan dilakukan secara tertutup adalah menyimpang dari ketentuan acara perdata yang berlaku di Pengadilan Negeri yang pada prinsipnya terbuka untuk umum. Hal ini untuk lebih menegaskan sifat kerahasiaan penyelesaian arbitrase. Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Sesuai dengan ketentuan umum mengenai acara perdata, diberikan kesempatan kepada para pihak untuk menunjuk kuasa dengan surat kuasa yang bersifat khusus. Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Para pihak dapat menyetujui sendiri tempat dan jangka waktu yang dikehendaki mereka. Apabila mereka tidak
242
membuat sesuatu ketentuan tentang hal ini, maka arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukan. Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Huruf a Yang dimaksud dengan "hal khusus tertentu" misalnya karena adanya gugatan antara atau gugatan insidentil di luar pokok sengketa seperti permohonan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Perdata. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Ayat ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk memilih peraturan dan acara yang akan digunakan dalam penyelesaian sengketa antara mereka, tanpa harus mempergunakan peraturan dan acara dari lembaga arbitrase yang dipilih. Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2)
243
Pada prinsipnya acara arbitrase dilakukan secara tertulis. Jika ada persetujuan para pihak, pemeriksaan dapat dilakukan secara lisan. Juga keterangan saksi ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, dapat berlangsung secara lisan apabila dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase. Pasal 37 Ayat (1) Ketentuan mengenai tempat arbitrase ini adalah penting terutama apabila terdapat unsur hukum asing dan sengketa menjadi suatu sengketa hukum perdata internasional. Seperti lazimnya tempat arbitrase dilakukan dapat menentukan pula hukum yang harus dipergunakan untuk memeriksa sengketa tersebut jika para pihak tidak menentukan sendiri maka arbiter yang dapat menentukan tempat arbitrase. Ayat (2) Dalam ayat (2) pasal ini diberi kemungkinan untuk mendengar saksi di tempat lain dari tempat diadakan arbitrase, antara lain berhubung dengan tempat tinggal saksi bersangkutan. Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (4) Cukup jelas Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas
244
Huruf b Salinan perjanjian arbitrase harus juga diajukan sebagai lampiran. Huruf c Isi tuntutan harus jelas dan apabila isi tuntutan berupa uang, harus disebutkan jumlahnya yang pasti. Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Ayat (1) Pasal ini mengatur mengenai tuntutan rekonvensi yang diajukan oleh pihak termohon Ayat (2) Cukup jelas Pasal 43 Sesuai dengan hukum acara perdata sengketa menjadi gugur apabila pemohon tidak datang menghadap pada hari pemeriksaan pertama. Pasal 44 Cukup jelas
Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas
245
Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Ayat (1) Penentuan jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sebagai jangka waktu bagi arbiter menyelesaikan sengketa bersangkutan melalui arbitrase adalah untuk menjamin kepastian waktu penyelesaian pemeriksaan arbitrase. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 49 Cukup jelas Pasal 50 Cukup jelas Pasal 51 Cukup jelas Pasal 52 Tanpa adanya suatu sengketa pun, lembaga arbitrase dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat (binding opinion) mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut. Misalnya mengenai penafsiran ketentuan yang kurang jelas, penambahan atau perubahan pada ketentuan yang berhubungan dengan timbulnya keadaan baru dan lain-lain. Dengan diberikannya pendapat oleh lembaga arbitrase tersebut kedua belah pihak terikat padanya dan salah satu pihak yang bertindak bertentangan dengan pendapat itu akan dianggap melanggar perjanjian. Pasal 53 Cukup jelas
246
Pasal 54 Cukup jelas Pasal 55 Cukup jelas Pasal 56 Ayat (1) Pada dasarnya para pihak dapat mengadakan perjanjian untuk menentukan bahwa arbiter dalam memutus perkara wajib berdasarkan ketentuan hukum atau sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono). Dalam hal arbiter diberi kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka peraturan perundang-undangan dapat dikesampingkan. Akan tetapi dalam hal tertentu, hukum memaksa (dwingende regels) harus diterapkan dan tidak dapat disimpangi oleh arbiter. Dalam hal arbiter tidak diberi kewenangan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka arbiter hanya dapat memberi putusan berdasarkan kaidah hukum materiil sebagaimana dilakukan oleh hakim. Ayat (2) Para pihak yang bersengketa diberi keleluasaan untuk menentukan hukum mana yang akan diterapkan dalam proses arbitrase. Apabila para pihak tidak menentukan lain, maka hukum yang diterapkan adalah hukum tempat arbitrase dilakukan. Pasal 57 Cukup jelas Pasal 58 Yang dimaksud dengan "koreksi terhadap kekeliruan administratif" adalah koreksi terhadap hal-hal seperti kesalahan pengetikan ataupun kekeliruan dalam penulisan nama, alamat para pihak atau arbiter dan lain-lain, yang tidak mengubah substansi putusan.
247
Yang dimaksud dengan "menambah atau mengurangi tuntutan" adalah salah satu pihak dapat mengemukakan keberatan terhadap putusan apabila putusan, antara lain: a. telah mengabulkan sesuatu yang tidak dituntut oleh pihak lawan; b. tidak memuat satu atau lebih hal yang diminta untuk diputus; atau c. mengandung ketentuan mengikat yang bertentangan satu sama lainnya. Pasal 59 Cukup jelas Pasal 60 Putusan arbitrase merupakan putusan final dan dengan demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali. Pasal 61 Cukup jelas Pasal 62 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Tidak diperiksanya alasan atau pertimbangan putusan arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri agar putusan arbitrase tersebut benar-benar mandiri, final, dan mengikat. Pasal 63 Cukup jelas
248
Pasal 64 Cukup jelas Pasal 65 Cukup jelas Pasal 66 Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan "ruang lingkup hukum perdagangan" adalah kegiatan-kegiatan antara lain di bidang: - perniagaan; - perbankan; - keuangan; penanaman modal; - industri; - hak kekayaan intelektual. Huruf c Cukup jelas Huruf d Suatu Putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan dengan putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam bentuk perintah pelaksanaan (eksekuatur). Huruf e Cukup jelas Pasal 67 Cukup jelas Pasal 68 Cukup jelas Pasal 69 Cukup jelas Pasal 70 Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan.
249
Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan. Pasal 71 Cukup jelas Pasal 72 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Ketua Pengadilan Negeri diberi wewenang untuk memeriksa tuntutan pembatalan jika diminta oleh para pihak, dan mengatur akibat dari pembatalan seluruhnya atau sebagian dari putusan arbitrase bersangkutan. Ketua Pengadilan Negeri dapat memutuskan bahwa setelah diucapkan pembatalan, arbiter yang sama atau arbiter lain akan memeriksa kembali sengketa bersangkutan atau menentukan bahwa suatu sengketa tidak mungkin diselesaikan lagi melalui arbitrase. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan "banding" adalah hanya terhadap pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70. Ayat (5) Cukup jelas Pasal 73 Cukup jelas
250
Pasal 74 Cukup jelas Pasal 75 Cukup jelas Pasal 76 Cukup jelas Pasal 77 Cukup jelas Pasal 78 Cukup jelas Pasal 79 Cukup jelas Pasal 80 Cukup jelas Pasal 81 Cukup jelas Pasal 82 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3872
251
LAMPIRAN
2
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. Bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. b. Bahwa pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif). c. Bahwa hukum acara yang berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg, mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di Pengadilan Negeri. d. Bahwa sambil menunggu peraturan perundangundangan dan memperhatikan wewenang Mahkamah Agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundangundangan, maka demi kepastian, ketertiban, dan kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata, 252
dipandang perlu menetapkan Mahkamah Agung.
suatu
Peraturan
e. Bahwa setelah dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Prosedur Mediasi di Pengadilan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2003 ternyata ditemukan beberapa permasalahan yang bersumber dari Peraturan Mahkamah Agung tersebut, sehingga Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 perlu direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan. Mengingat:
1. Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Reglemen Indonesia yang diperbahrui (HIR) Staatsblad 1941 Nomor 44 dan Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg) Staatsblad 1927 Nomor 227. 3. Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara Nomor 8 Tahun 2004. 4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, lembaran Negara Nomor 73 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Lembaran Negara Nomor 9 Tahun 2004 dan Tambahan Lembaran Negara No 4359 Tahun 2004. 5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, lembaran Negara Nomor 20 Tahun 1986, sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
253
Peradilan Umum, Lembaran Negara Nomor 34 Tahun 2004. 6. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, Lembaran Negara Nomor 206 Tahun 2000. 7. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Lembaran Negara Nomor 73 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Lembaran Negara Nomor 22 Tahun 2006, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4611. MEMUTUSKAN: PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1.
Perma adalah Peraturan Mahkamah Agung Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
2.
Akta perdamaian adalah akta yang memuat isi kesepakatan perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut yang tidak tunduk pada upaya hukum biasa maupun luar biasa. Hakim adalah hakim tunggal atau majelis hakim yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan Tingkat Pertama untuk mengadili perkara perdata.
3.
4.
Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya.
5.
Kesepakatan perdamaian adalah dokumen yang memuat syaratsyarat yang disepakati oleh para pihak guna mengakhiri
254
sengketa yang merupakan hasil dari upaya perdamaian dengan bantuan seorang mediator atau lebih berdasarkan Peraturan ini. 6.
Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
7.
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
8.
Para pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang bukan kuasa hukum yang bersengketa dan membawa sengketa mereka ke pengadilan untuk memperoleh penyelesaian.
9.
Prosedur mediasi adalah tahapan proses mediasi sebagaimana diatur dalam Peraturan ini.
10. Resume perkara adalah dokumen yang dibuat oleh tiap pihak yang memuat duduk perkara dan atau usulan penyelesaian sengketa. 11. Sertifikat Mediator adalah dokumen yang menyatakan bahwa seseorang telah mengikuti pelatihan atau pendidikan mediasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang telah diakreditasi oleh Mahkamah Agung. 12. Proses mediasi tertutup adalah bahwa pertemuan-pertemuan mediasi hanya dihadiri para pihak atau kuasa hukum mereka dan mediator atau pihak lain yang diizinkan oleh para pihak serta dinamika yang terjadi dalam pertemuan tidak boleh disampaikan kepada publik terkecuali atas izin para pihak. 13. Pengadilan adalah Pengadilan Tingkat Pertama lingkungan peradilan umum dan peradilan agama.
dalam
14. Pengadilan Tinggi adalah pengadilan tinggi dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama.
255
Pasal 2 Ruang Lingkup dan Kekuatan Berlaku Perma (1)
Peraturan Mahkamah Agung ini hanya berlaku untuk mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan.
(2)
Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam Peraturan ini.
(3)
Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(4)
Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan. Pasal 3 Biaya Pemanggilan Para Pihak
(1)
Biaya pemanggilan para pihak untuk menghadiri proses mediasi lebih dahulu dibebankan kepada pihak penggugat melalui uang panjar biaya perkara.
(2)
Jika para pihak berhasil mencapai kesepakatan, biaya pemanggilan para pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditanggung bersama atau sesuai kesepakatan para pihak.
(3)
Jika mediasi gagal menghasilkan kesepakatan, biaya pemanggilan para pihak dalam proses mediasi dibebankan kepada pihak yang oleh hakim dihukum membayar biaya perkara.
Pasal 4 Jenis Perkara Yang Dimediasi Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga,
256
pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Pasal 5 Sertifikasi Mediator (1)
Kecuali keadaan sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (6), setiap orang yang menjalankan fungsi mediator pada asasnya wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(2)
Jika dalam wilayah sebuah Pengadilan tidak ada hakim, advokat, akademisi hukum dan profesi bukan hukum yang bersertifikat mediator, hakim di lingkungan Pengadilan yang bersangkutan berwenang menjalankan fungsi mediator.
(3)
Untuk memperoleh akreditasi, sebuah lembaga harus memenuhi syarat-syarat berikut: a. mengajukan permohonan kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia; b. memiliki instruktur atau pelatih yang memiliki sertifikat telah mengikuti pendidikan atau pelatihan mediasi dan pendidikan atau pelatihan sebagai instruktur untuk pendidikan atau pelatihan mediasi; c. sekurang-kurangnya telah dua kali melaksanakan pelatihan mediasi bukan untuk mediator bersertifikat di pengadilan; d. memiliki kurikulum pendidikan atau pelatihan mediasi di pengadilan yang disahkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pasal 6
Sifat Proses Mediasi pada asasnya tertutup kecuali para pihak menghendaki lain.
257
BAB II Tahap Pra Mediasi Pasal 7 Kewajiban Hakim Pemeriksa Perkara dan Kuasa Hukum (1)
Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi.
(2)
Ketidakhadiran pihak pelaksanaan mediasi.
(3)
Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.
(4)
Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.
(5)
Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi.
(6)
Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma ini kepada para pihak yang bersengketa.
turut
tergugat
tidak
menghalangi
Pasal 8 Hak Para Pihak Memilih Mediator (1)
Para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan-pilihan berikut: a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan; b. Advokat atau akademisi hukum; c. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa; d. Hakim majelis pemeriksa perkara; e. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau gabungan butir b dan d, atau gabungan butir c dan d.
258
(2)
Jika dalam sebuah proses mediasi terdapat lebih dari satu orang mediator, pembagian tugas mediator ditentukan dan disepakati oleh para mediator sendiri.
Pasal 9 Daftar Mediator (1)
Untuk memudahkan para pihak memilih mediator, Ketua Pengadilan menyediakan daftar mediator yang memuat sekurang-kurangnya 5 (lima) nama mediator dan disertai dengan latarbelakang pendidikan atau pengalaman para mediator.
(2)
Ketua pengadilan menempatkan nama-nama hakim yang telah memiliki sertifikat dalam daftar mediator.
(3)
Jika dalam wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak ada mediator yang bersertifikat, semua hakim pada pengadilan yang bersangkutan dapat ditempatkan dalam daftar mediator.
(4)
Mediator bukan hakim yang bersertifikat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan agar namanya ditempatkan dalam daftar mediator pada pengadilan yang bersangkutan.
(5)
Setelah memeriksa dan memastikan keabsahan sertifikat, Ketua Pengadilan menempatkan nama pemohon dalam daftar mediator.
(6)
Ketua Pengadilan setiap tahun mengevaluasi dan memperbarui daftar mediator.
(7)
Ketua Pengadilan berwenang mengeluarkan nama mediator dari daftar mediator berdasarkan alasan-alasan objektif, antara lain, karena mutasi tugas, berhalangan tetap, ketidakaktifan setelah penugasan dan pelanggaran atas pedoman perilaku.
Pasal 10 Honorarium Mediator
259
(1)
Penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya.
(2)
Uang jasa mediator bukan hakim ditanggung bersama oleh para pihak atau berdasarkan kesepakatan para pihak.
Pasal 11 Batas Waktu Pemilihan Mediator (1)
Setelah para pihak hadir pada hari sidang pertama, hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan penggunaan mediator bukan hakim.
(2)
Para pihak segera menyampaikan mediator pilihan mereka kepada ketua majelis hakim.
(3)
Ketua majelis hakim segera memberitahu mediator terpilih untuk melaksanakan tugas.
(4)
Jika setelah jangka waktu maksimal sebagaimana dimaksud ayat (1) terpenuhi, para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator yang dikehendaki, maka para pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator kepada ketua majelis hakim.
(5)
Setelah menerima pemberitahuan para pihak tentang kegagalan memilih mediator, ketua majelis hakim segera menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada pengadilan yang sama untuk menjalankan fungsi mediator.
(6)
Jika pada pengadilan yang sama tidak terdapat hakim bukan pemeriksa perkara yang bersertifikat, maka hakim pemeriksa pokok perkara dengan atau tanpa sertifikat yang ditunjuk oleh ketua majelis hakim wajib menjalankan fungsi mediator. Pasal 12 Menempuh Mediasi dengan Iktikad Baik
(1)
Para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan iktikad baik.
260
(2)
Salah satu pihak dapat menyatakan mundur dari proses mediasi jika pihak lawan menempuh mediasi dengan iktikad tidak baik.
BAB III Tahap-Tahap Proses Mediasi Pasal 13 Penyerahan Resume Perkara dan Lama Waktu Proses Mediasi (1)
Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator.
(2)
Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak gagal memilih mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk.
(3)
Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) dan (6).
(4)
Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat 3.
(5)
Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara.
(6)
Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi. Pasal 14 Kewenangan Mediator Menyatakan Mediasi Gagal
261
(1)
Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut.
(2)
Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator memahami bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi melibatkan aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga pihak lain yang berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu pihak dalam proses mediasi, mediator dapat menyampaikan kepada para pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan tidak layak untuk dimediasi dengan alasan para pihak tidak lengkap. Pasal 15 Tugas-Tugas Mediator
(1)
Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati.
(2)
Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi.
(3)
Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus.
(4)
Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.
Pasal 16 Keterlibatan Ahli (1)
Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat
262
membantu menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para pihak. (2)
Para pihak harus lebih dahulu mencapai kesepakatan tentang kekuatan mengikat atau tidak mengikat dari penjelasan dan atau penilaian seorang ahli.
(3)
Semua biaya untuk kepentingan seorang ahli atau lebih dalam proses mediasi ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan. Pasal 17 Mencapai Kesepakatan
(1)
Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator.
(2)
Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai.
(3)
Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator memeriksa materi kesepakatan perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktikad tidak baik.
(4)
Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian.
(5)
Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian.
(6)
Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai. Pasal 18
263
Tidak Mencapai Kesepakatan (1)
Jika setelah batas waktu maksimal 40 (empat puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3), para pihak tidak mampu menghasilkan kesepakatan atau karena sebab-sebab yang terkandung dalam Pasal 15, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan kepada hakim.
(2)
Segera setelah menerima pemberitahuan tersebut, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku.
(3)
Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mendorong atau mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan.
(4)
Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak hari para pihak menyampaikan keinginan berdamai kepada hakim pemeriksa perkara yang bersangkutan.
Pasal 19 Keterpisahan Mediasi dari Litigasi (1)
Jika para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lain.
(2)
Catatan mediator wajib dimusnahkan.
(3)
Mediator tidak boleh diminta menjadi saksi dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan.
(4)
Mediator tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana maupun perdata atas isi kesepakatan perdamaian hasil proses mediasi. BAB IV
264
Tempat Penyelenggaraan Mediasi Pasal 20 (1)
Mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama atau di tempat lain yang disepakati oleh para pihak.
(2)
Mediator hakim tidak boleh menyelenggarakan mediasi di luar pengadilan.
(3)
Penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama tidak dikenakan biaya.
(4)
Jika para pihak memilih penyelenggaraan mediasi di tempat lain, pembiayaan dibebankan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan.
BAB V PERDAMAIAN DI TINGKAT BANDING, KASASI, DAN PENINJAUAN KEMBALI Pasal 21 (1)
Para pihak, atas dasar kesepakatan mereka, dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi, atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus.
(2)
Kesepakatan para pihak untuk menempuh perdamaian wajib disampaikan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang mengadili.
(3)
Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang mengadili segera memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding yang berwenang atau Ketua Mahkamah Agung tentang kehendak para pihak untuk menempuh perdamaian.
265
(4)
Jika perkara yang bersangkutan sedang diperiksa di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali majelis hakim pemeriksa di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali wajib menunda pemeriksaan perkara yang bersangkutan selama 14 (empat belas) hari kerja sejak menerima pemberitahuan tentang kehendak para pihak menempuh perdamaian.
(5)
Jika berkas atau memori banding, kasasi, dan peninjauan kembali belum dikirimkan, Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang bersangkutan wajib menunda pengiriman berkas atau memori banding, kasasi, dan peninjauan kembali untuk memberi kesempatan para pihak mengupayakan perdamaian.
Pasal 22 (1)
Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak penyampaian kehendak tertulis para pihak diterima Ketua Pengadilan Tingkat Pertama.
(2)
Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilaksanakan di pengadilan yang mengadili perkara tersebut di tingkat pertama atau di tempat lain atas persetujuan para pihak.
(3)
Jika para pihak menghendaki mediator, Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang bersangkutan menunjuk seorang hakim atau lebih untuk menjadi mediator.
(4)
Mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), tidak boleh berasal dari majelis hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan pada Pengadilan Tingkat Pertama, terkecuali tidak ada hakim lain pada Pengadilan Tingkat Pertama tersebut.
(5)
Para pihak melalui Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dapat mengajukan kesepakatan perdamaian secara tertulis kepada majelis hakim tingkat banding, kasasi, atau peninjauan kembali untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian.
(6)
Akta perdamaian ditandatangani oleh majelis hakim banding, kasasi, atau peninjauan kembali dalam waktu selambat-
266
lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dicatat dalam register induk perkara. (7)
Dalam hal terjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5) peraturan ini, jika para pihak mencapai kesepakatan perdamaian yang telah diteliti oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama atau hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dan para pihak menginginkan perdamaian tersebut dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, berkas dan kesepakatan perdamaian tersebut dikirimkan ke pengadilan tingkat banding atau Mahkamah Agung.
Bab VI Kesepakatan di Luar Pengadilan Pasal 23 (1)
Para pihak dengan bantuan mediator besertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan gugatan.
(2)
Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai atau dilampiri dengan kesepakatan perdamaian dan dokumen-dokumen yang membuktikan ada hubungan hukum para pihak dengan objek sengketa.
(3)
Hakim dihadapan para pihak hanya akan menguatkan kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian apabila kesepakatan perdamaian tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. sesuai kehendak para pihak; b. tidak bertentangan dengan hukum; c. tidak merugikan pihak ketiga; d. dapat dieksekusi; e. dengan iktikad baik.
267
Bab VII Pedoman Perilaku Mediator dan Insentif Pasal 24 (1)
Tiap mediator dalam menjalankan fungsinya wajib menaati pedoman perilaku mediator.
(2)
Mahkamah Agung menetapkan pedoman perilaku mediator.
Pasal 25 (1)
Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator.
(2)
Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung tentang kriteria keberhasilan hakim dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator.
BAB VIII Penutup Pasal 26 Dengan berlakunya Peraturan ini, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 27 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada Tanggal : 31 Juli 2008 KETUA MAHKAMAH AGUNG BAGIR MANAN
268
BIODATA PENULIS
Dr. Surya Perdana, S.H., M.Hum, dilahirkan pada tanggal 11 Juni 1962 di Medan, agama Islam, suku Karo. Putra kelima dari tujuh bersaudara dari pasangan Alm. H. Perdana Ginting dan Almh. Hj. Indarsih. Istri tercinta Hj. Saskia, S.E., M.Si dan memiliki tiga orang anak, yaitu Alm. M. Realdi Putra Ginting, Reissa Irena Perdana Ginting, dan M. Rifqi Ananda Ginting dan tinggal di Taman Setia Budi Indah II Blok V No. 49 Medan. Penulis menyelesaikan SD Bhayangkari Medan (1974), SMP Persit Medan (1977), SMA Nusantara Yogyakarta (1981), S1 pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta (1986), S2 pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan (2001) dan S3 pada Sekolah Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan (2008). Sejak tahun 1989 sampai saat ini penulis diangkat menjadi Dosen PNS DPK di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dengan pangkat/golongan terakhir Lektor Kepala/IV a, NIP 131860653, di Jalan Kapten Muchtar Basri No. 3 Medan. Selain itu penulis juga mengajar di Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Program Pascasarjana Universitas Medan Area Medan, dan Program Pascasarjana Universitas Dharma Agung Medan.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
269
Nama
: Dr. Surya Perdana, S.H., M.Hum
Tempat/Tanggal Lahir
: Medan, 11 Juni 1962
Pekerjaan Sumatera
: Dosen Fakultas Hukum Muhammadiyah Utara Medan
Alamat Medan
: Taman Setia Budi Indah II Blok V No. 49
Riwayat Pendidikan : 1. 2. 3. 4.
SD Bhayangkari Medan, tamat tahun 1974 SMP Persit Medan, tamat tahun 1977 SMA Nusantara Yogyakarta, tamat tahun 1981 S.1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia Yogyakarta,tamat tahun 1986 5. S.2 Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, tamat tahun 2001 6. S.3 Sekolah Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, tamat tahun 2008 Riwayat Pekerjaan : Dosen Kopertis wilayah I DPK Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera utara Medan sejak tahun 1989 sampai dengan sekarang Riwayat Keluarga : Nama Orang Tua : a. Ayah : Alm. H. Perdana Ginting b. Ibu : Almh. Hj Indarsih Nama Istri
: Hj. Saskia, SE., M.Si
270
Nama Anak
: 1. Alm. M. Realdi Putra Ginting 2. Reissa Irena Perdana Ginting 3. M. Rifqi Ananda Ginting
271