SENGKETA EKONOMI SYARIAH DAN KESIAPAN PERADILAN AGAMA Oleh Drs. La Suriadi Alumni IAIN Alauddin Cabang Ambon tahun 1990 Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Agama Ambon
II. ABSTRAK Reformasi hukum yang dilakukan Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung terus digalakkan. Dengan lahirnya Undang-undang nomor 03 tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menambah tugas dan kewenangan baru bagi Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa Ekonomi Syariah yang diajukan oleh masyarakat. Namun dengan tugas dan kewenangan baru tersebut menjadi spirit dan inspirasi bagi kemajuan Peradilan Agama dalam proses penegakkan hukum di Indonesia. Kewenangan baru yang dihadapi Peradilan Agama
terkait dengan sengketa
Ekonomi Syariah haruslah disikapi dengan mencari formula baru yang tepat untuk menjawab tantangan yang ada terutama masalah sarana perkantoran
yang
memadai, prasarana yang menunjang dan tidak kalah pentingnya adalah kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur Peradilan itu sendiri yaitu Hakim, Panitera dan Jurusita.Unsur-unsur inilah sebagai sarana yang dipersiapkan untuk menunjang tugas dan kewenangan yang ada pada Peradilan Agama.Oleh karena itu tantangan kedepan semakin berat apabila kita tidak persiapkan sumber daya yang berkualitas sejak dini baik dilakukan didalam maupun luar Negeri dengan menerapkan sistim sertifikasi bagi hakim Peradilan Agama yang dipercaya untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.Untuk melaksanakan perintah Undangundang tersebut diperlukan hukum formil dan meteriil terapan, sehingga perlu segera menyususn suatu kumpulan ekonomi Islam sebagai panduan bagi para hakim dalam menyelesaikan sengkea ekonomi syariah yang menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama. 1
Adanya persamaan persepsi dalam penegakkan hukum, kebenaran dan keadilan melalui Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah bukan bermaksud mematikan kebebasan dan kemandirian pada hakim dalam menyelesaikan fungsi Peradilan. Maksud pengembangan dan persamaan persepsi terkait sengketa ekonomi syariah bukan bertujuan memandulkan kreatifitas dan penalaran akan tetapi lebih kepada orientasi tugas dan kewenangan baru yang diamanatkan Undang-undang kepada Peradilan Agama tentunya dengan terobosan dan pembaruan hukum kearah yang lebih actual. II. PENDAHULUAN Langkah maju Mahkamah Agung terus dilakukan dalam upaya penegakkan hukum melalui Badan Peradilan Agama. Upaya-upaya kearah penyelesaian sengketa tentang Ekonomi Syariah terus dilakukan sehingga lahirlah Undangundang Nomor 03 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 dan perubahan kedua dengan Undang-undang nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Reformasi dibidang hukum yang dilakukan Mahkamah Agung mendapat apresiasi penuh masyarakatluas terutama masyarakat muslim Indonesia untuk penyelesaian masalah Sengketa Ekonomi Syariah dapat diproses di Pengadilan Agama sesuai tugas dan kewenangan yang ada pada Pengadilan Agama.itu sendiri. Harapan masyarakat terhadap penyelesaian sengketa ini hendaklah dilakukan sebagai tindak lanjut implementasi
amanat Undang-undang dan Peraturan
Mahkamah Agung RINomor 02 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).Sejalan dengan itu
Undang-undang juga memberikan ruang
yang sebesar-besarnya kepada masyarakat muslim untuk masalah sengketa Ekonomi Syariah dapat diselesaikan melaui proses hukum di Pengadilan Agama sesuai Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Maka dari itu kewajiban Negara untuk mengakomodir semua kepentingan Lembaga yang ada dalam Lembaga Peradilan terutama Peradilan Agama terhadap perangkat struktur, sarana prasarana dan Sumber Daya Manusia (SDM). Oleh karena itu kesiapan untuk menindaklanjuti gugatan masyarakat terhadap masalah hukum Ekonomi Syariah yang dihadapinya hendaknya dilakukan 2
sesuaiprosedur hukum dan
ketentuan peraturan perundang undangan yang
berlaku yaitu di Pengadilan Agama. Hal ini dikuatkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 tentang uji materi pasal 52 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah. Karena itu kesiapan Peradilan Agama untuk menerima gugatan sengketa Ekonomi Syariah harus siap “ bisa tidak bisa harus bisa”. Itulah motto Bapak. Dirjen Badilag Dr. H. Purwosusilo, S.H., M.H. Ketentuan baru Peradilan Agama sebagaimana termaktub dalam pasal 49 Undangundang nomor 3 tahun 2006 adalah sebagai berikut : Pasal 49 berbunyi: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan b. Waris c. Wasiat d. Hibah e. Wakaf f. Zakat g. Infak h. Sedekah, dan i. Ekonomi Syariah Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 muncul paradigma baru bagi Peradilan Agama. Apabila sejauh ini Pengadilan Agama yang diidentikan sama dengan Peradilan keluarga, hukum perdata keluarga, maka dengan kewenangannya yang baru dapat mengadili sengketa dibidang ekonomi syariah yang dijabarkan dalam penjelasan pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah
adalah
perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: 1. Bank Syariah 3
2. Lembaga Keuangan Mikro Syariah 3. Asuransi Syariah 4. Reasuransi Syariah 5. Reksadana Syariah 6. Obligasi Syariah dan surat berharga jangka menengah Syariah 7. Sekuritas Syariah 8. Pembiayaan Syariah 9. Pegadaian Syariah 10. Dana pensiun Syariah 11. Bisnis Syariah III. PEMBAHASAN A. Kedudukan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) melengkapi pilar Peradilan Agama. Lahirnya Undang-undang Nomor 03 tahun 2006 tentang perubahan atas Undangundang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar terhadap kedudukan dan eksistensi Peradilan Agama di Indonesia. Disamping kewenangan yang telah diberikan dalam bidang hukum Islam, Peradilan Agama juga diberi wewenang menyelesaikan perkara dalam bidang Ekonomi Syariah sesuai pasal 49 huruf (i) tentang ekonomi syariah yang meliputi Perbankan Syariah, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, Asuransi Syariah, Reasuransi Syariah, Reksadana Syariah, Obligaasi Syariah, dan surat berharga berjangka menengah Syariah, Sekuritas Syariah, Pembiyaan Syariah, Pegadaian Syariah, Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syariah dan Bisnis Syariah. Setelah Peradilan Agama diperluas kewenangannya untuk menyelesaikan perkara ekonomi syariah diprediksi akan banyak terjadi dikemudian hari sengketa bisnis syariah.1 Oleh
karena
itu
Mahkamah
Agung
Republik
Indonesia
dalam
mereliasasikan kewenangan baru Peradilan Agama tersebut telah menetapkan _______________________ 1
Dr. Mardani Dosen Pascasarjana Islamic Economic dan Finance (IEF) Trisakti, 04 Mei 2010.
Universitas
4
beberapa kebijakan antara lain,Pertama: Memperbaiki sarana dan prasarana lembaga Peradilan Agama baik hal-hal yang menyangkut fisik gedung maupun hal-hal yang menyangkut peralatan, Kedua: Meningkatkan kemampuan teknis Sumber Daya Manusia (SDM) Peradilan Agama dengan mengadakan kerjasama dengan Perguruan Tinggi baik dalam maupun luar Negeri bagi para aparatur Peradilan Agama teruama para hakim untuk meningkatkan pengetahuan dibidang hukum ekonomi syariah,Ketiga: Membentuk hukum formil dan materil agar menjadi pedoman bagi aparat peradilan Agama dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara ekonomi syariah, Keempat: Memenuhi sistem dan prosedur agar perkara yang menyangkut
ekonomi syariah dapat dilaksanakan secara
sederhana, mudah dan biaya ringan. Keempat kebijakan Mahkamah Agung tersebut merupakan pilar
kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan fungsi
peradilan sebagaimana diamanatkan dalam pasal 24 Undang-undang Dasar 1945 Jo. Undang-undang nomor48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.Dengan lahirnya Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) berarti mempositifkan hukum ekonomi syariah di Indonesia. Seandainya KHES tidak disusun maka hakim Pengadilan Agama memutus perkara ekonomi syariah dengan merujuk kepada kitab-kitab fiqih semata yang tersebar dalam berbagai mazhab, karena tidak ada rujukan hukum positif , sehingga terjadilah disparitas dalam putusan antara suatu Pengadilan dengan Pengadilan yang lain, antara hakim yang satu dengan hakim yang lain sebagaimana ungkapan different judge different sentence, lain hakim lain pendapat dan putusannya. Maka oleh karena itu sangat tepat dan beralasan lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 2 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah untuk menjawab tantangan bagi Peradilan Agama. B. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah a. Berdasarkan Undang-undang Berdasarkan pasal 49 huruf (i) Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang berwenang menyelesaikan sengkea ekonomi syariah adalah lembaga Peradilan Agama. Hal itu sejalan dengan ketentuan pasal 55 5
ayat (1) Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, bahwa yang berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah adalah lembaga Peradilan Agama. Sengketa ekonomi syariah dapat terjadi karena para pihak yang bertransaksi mengenai gugatan wanprestasi, gugatan pembatalan transaksi dan pihak ketiga dengan para pihak yang bertransaksi mengenai pembatalan transaksi, pembatalan akta hak tanggungan, perlawanan Sita Jaminan dan/atau Sita Eksekusi serta pembatalan lelang.² Dengan demikian jelas bahwa karena ekonomi syariah ini merupakan salah satu dari dua system ekonomi yang berlaku di Indonesia dan bukan merupakan perbuatan hukum, maka siapa saja yang berhubungan dengan ekonomi syariah tanpa membedakan agama harus tunduk system yang dianut ekonomi Islam termasuk dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah, yang didasarkan pada prinsip Islam yang mengharamkan riba, garar, zalim, riswah, dan maisir. Oleh karena itu ekonomi syariah sebagai salah satu system ekonomi selain ekonomi kapitalis dapat dipraktekkan oleh siapa saja dan lembaga keuangan mana yang mau berhubungan dengan kegiatan ekonomi yang didasarkan kepada prinsip Islam ekonomi syariah yang dibahas dalam dua disiplin ilmu yaitu ilmu ekonomi dan ilmu hukum ekonomi Islam. Ekonomi syariah yang menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama yang diatur dalam Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama berhubungan dengan ilmu hukum ekonomi yang harus diketahui oleh para hakim dilingkungan Peradilan Agama.³ b. Berdasarkan Hukum Islam 1.Al Sulh (Perdamaian) Secara bahasa,“sulh” berarti meredam pertikaian, sedangkan menurut istilah“sulh”suatu jenisakad atau perjanjianuntuk mengakhiri perselisihan/pertengkaran antara dua pihak yang bersengketa secara damai.4
_________________________________ 2 Mahkamah Agung RI, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II, tahun 2013, hal 169. 3
Prof. Dr.H. Abdul Manan,SH,SIP, MHum,h Mimbar Hukum dan Peradilan,Edisi no 73,2011, Penyelesaian
Sengketa
Ekonomi Syariah: sebuah kewenangan baru Peradilan Agama,hal, 6 4AW.Munawir, Kamus Al Munawir, Pondok Pesantren Al Munawir, Yogyakarta, 1984,
hal 843.
6
Menyelesaikan sengketa berdasarkan perdamaian untuk mengakhiri suatu perkara sangat dianjurkan oleh Allah SWT, sebabagaimana FirmanNya dalam surat Al-Hujurat ayat: 10 yang artinya: “ Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikan antara keduasaudaramu (yang berselisih) dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”.5 Ada tiga hal yang harus dipenuhi dalam perjanjian perdamaian yang harus dilakukan oleh orang yang melakukan perdamaian yaitu: ijab, Qabul, dan lafazd. Jika ketiga hal tersebut telah terpenuhi, maka perjanjian itu telahAda tiga hal yang harus dipenuhi dalam perjanjian perdamaian dilakukan oleh orang yang melakukan perdamaian yaitu: ijab, Qabul, dan lafazd. Jika ketiga hal tersebut telah terpenuhi, maka perjanjian itu telah berlangsung sebagainana yang diharapkan. Dari perjanjian itu lahir suatu ikatan hukum, yang masing-masing pihak berkewajiban untuk melaksanakannya..Perlu disimak bahwa perjanjian damai yang sudah disepakati tidak bisa dibatalkan secara sepihak. Jika ada pihak yang tidak menyetujui isi perjanjian itu, maka pembatalan perjanjian itu harus atas persetujuan kedua belah pihak. Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian damai dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Hal yang menyangkut Subjek Tentang subjek atau orang yang melakukan perdamaian harus orang cakap bertindak menurut hukum. Selain itu orang yang melaksanakan perdamaian harus
orang yang
mempunyai kekuasaan atau mempunyai
wewenang untuk melepaskan haknya atau hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian tersebut. Belum tentu setiap orang yang cakap bertindak mempunyai kekuasaan atau wewenang. Orang yang cakap bertindak menurut hukum tetapi tidak mempunyai wewenang untuk memiliki seperti Pertama: Wali atas harta orang yang berada dibawah perwaliannya,
_______________________ 5 Depatemen Agama RI, Al Qur’an Terjemah Per-Kata, tahun 2007, hal, 516.
7
Kedua:pengampu atas harta benda orang yang berada dibawah pengampunannya,Ketiga: pengawas(nazir) wakaf atas hak milik wakaf yang ada dibawah pengawasannya. b. Hal yang menyangkut Objek Tentang objek dari perdamaian harus memenuhi ketentuan yakni, pertama: berbentuk harta, baik berwujud maupun yang tidak berwujud, seperti hak milik inteketual, yang dapat dinilai atau dihargai, dapat diserahterimakan dan bermanfaat, kedua: dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan kesamaran dan ketidakjelasan , yang pada akhirnya dapat pula melahirkan pertikaian baru terhadap objek yang sama. c. Persoalan Yang Boleh Didamaikan (Di-Sulh-kan) Para ahli hukum sepakat bahwa hal-hal yang dapat dan boleh didamaikan hanya dalam bentuk pertikaian harta benda yang dapat dinilai dan sebatas hanya kepada hak-hak manusia yang dapat diganti. Dengan kata lain, persoalan perdamaian itu hanya diperbolehkan dalam bidang muamalah saja, sedangkan hal-hal yang menyangkal hak-hak Allah tidak dapat didamaikan. d. Pelaksana Perdamaian Pelaksana perjanjian damai bisa dilaksanakan dengan dua cara, yaitu diluar sidang Pengadilan atau melalui sidang Pengadilan. Di luar sidang Pengadilan , penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan baik oleh mereka sendiri (yang melakukan perdamaian) tanpa melibatkan pihak lain, atau meminta bantuan orang lain untuk menjadi penengah (wasit), itulah yang kemudian disebut dengan arbitrase, atau dalam syariat Islam disebut dengan hakam. Pelaksanaan
perjanjian
damai
melalui
sidang
Pengadilan
dilangsungkan pada saat perkara sedang diproses dalam sidang Pengadilan. Di dalam ketentuan perundang-undangan ditentukan bahwa sebelum perkara diproses, atau dapat juga selama diproses bahkan sudah di putus oleh Pengadilan tetapi belum mempunyai kekuatan hukum tetap, hakim harus menganjurkan agar para pihak-pihak yang bersangketa supaya 8
berdamai. Seandainya hakim berhasil mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa, maka dibuatlah putusan perdamaian, kedua belah pihak yang melakukan perdamaian itu
dihukum untuk mematuhi perdamaian yang
telah mereka sepakati.Perjanjian perdamaian (sulh) yang dilaksanakan sendiri oleh kedua belah pihak yang berselisih atau bersengketa, dalam praktik dibeberapa Negara Islam, terutama dalam hal perbankansyariah disebut dengan6“tafawud” dan “taufiq” (perundingan dan penyesuaian). Kedua hal yang terakhir ini biasanya dipakai dalam mengatasi persengketaan antara intern, khusunya bank dan lembaga-lembaga keuangan pemerintah. 2.Tahkim ( Albitrase) Dalam perspektif Islam, “albitrase” dapat dipadankan dengan istilah “tahkim”.Tahkim sendiri berasal dari kata “hakamah”.Secaraetimologi, tahkim
berarti
menjadikan
seseorang
sebagai
pencegah
suatu
sengketa.7Secara umum tahkim memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang dikenal dewasa ini yakni pengangkatan seseorang atau lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih atau lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih atau lebih, guna menyelesaikan perselisihan mereka secara damai, orang yang menyelesaikan disebut dengan “ hakam” Menurut Abu al Ainain Fatah Muhammad8Pengertian tahkim menurut istilah fikih sebagai bersandarnya dua orang yang bertikai kepada seseorang yang mereka ridhai keputusannya untuk menyelesaikan pertikaian para pihak yang bersengketa.Sedangkan menurut Said Agil Husein al Munawar9. ____________________________ 6
Asyur Abdul Jawad Abdul Hamid, An Nidham Lil Bunuh al Islami,al Ma’had al alamy lil Fikr al Islamy, Cairo, Mesir, 1996, hal 230. 7 Liwis Ma’luf, Al Munjid al Lughoh wa al- A’lam, Dar al-Masyriq, Beirut, tt,hal.6. 8 Abu al Ainain Fatah Muhammad, Al Qadha Wa al Itsbat fi al Fiqh al Islami, Dar al Fikr, Kairo,Mesir,1976,hal 84. 9 Said Agil Husein al Munawir, pelaksanaan arbitrase di Dunia Islam: Dalam ritrase Islam di Indonesia, BAMUI & BMI, Jakarta, 1994, hal. 48-49.
9
Pengertian“tahkim”
menurut
kelompok
ahli
hukum
Islam
MazhabHanafiyah adalah memisahkan persengketaan atau menetapkan hukum diantara manusiadengan ucapan yang mengikat kedua belah pihak yang bersumber dari pihak yang mempunyai kekuasaan secara umum. Sedangkan
pengertian
“tahkim”
menurut
ahli
hukum
dari
kelompokSyafi’iyah yaitu memisahkan pertikaian antara pihak yang bertikai atau lebih dengan hukum Allah atau menyatakan dan menetapkan hukum syara’ terhadap suatu peristiwa yang wajib dilaksanakannya. Maka oleh sebab itu hukum Islam melembagakkan tahkim sebagai tatanan yang positif karena tahkim (arbitrase) mengandung nilai-nilai positif dan konnstruktif sebagai berikut:10 1
Kedua pihak menyadari sepenuhnya perlunya penyelesaian yang terhormat dan bertanggung jawab.
2
Secara sukarela mereka akan melaksanakan putusan dan arbiter, sebagai konsekuensi atas kesepakatan mereka mengangkat arbiter, kesepakatan mengandung janji dan janji itu harus ditepati.
3
Secara sukarela mereka menyerahkan penyelesaian persenketaan itu kepada orang atau lembaga yang disetujui dan dipercainya.
4 5
Mereka menghargai hak orang lain, sekalipun orang lain itu adalah lawannya. Mereka tidak ingin merasa benar sendiri dan mengabaikan kebenaran yang mungkin ada pada orang lain.
6
Mereka memiliki kesadaran hukum dan sekaligus kesadaran bernegara, bermasyarakat, sehingga dapat dihindari tindakan main hakim sendiri (eigenrechting).
7
Sesungguhnya
pelaksanaan
tahkim/arbitrase
itu
didalamnya
mengandung makna musyawarah dan perdamaian
_______________________________ 10Rahmad Rosyadi, MH. Dan Nagatino,SH.,MH. Arbitrase dalam prespektif Islam dan Hukumpositif, PT Citra Aditya Bakti,Bandung,2002,hal.108-109
10
3. Prinsip-prinsip Ekonomi Syariah Menurut buku hukum ekonomi syariah yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA bahwa prinsip ekonomi syariah adalah sebagai berikut: 1. Siap menerima resiko (Al Kharaj bid dhaman) 2. Tidak melakukan penimbunan 3. Tidak monopoli 4. Pelarangan interes riba. Didalam al Qur’an Allah menjelaskan pada surat Al Baqarah ayat: 278 yang artinya: “ Wahai orang-orang yang beriman ! Bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman.Kesiapan
Peradilan
Agama
Secara
yuridis
normative,
penyelesaian sengketa perbankan syariah telah diatur dalam beberapa ketentuan antara lain:
Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa (APS)
Lahirnya Undang-undang nomor 3 tahun 2006 yang merupakan berubahan terhadap Undang-undang nomor 7 tahun 1989, maka sejak itu pula penyelesaian sengketa perbankan syariah menjadi kewenangan Peradilan Agama sebagaimana dijelaskan pasal 49 Undang-undang tersebut
Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah terutama pada pasal 55 ayat (1), bahwa penyelesaian sengketa perbankan dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
3. Kewenangan Peradilan Agama Memang sebelum disahkan Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang Peradilan Agama, bahwa sengketa dalam perbankan syariah diselesaikan melalui jalur arbitrase, akan tetapi sejak tanggal 21 Pebruari 2006, sengketa perbankan syariah ini menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama. Ketentuan ini memposisikan 11
Pengadilan Agama sebagai salah satu lembaga yang bertugas dan berwenang menyelesaikan sengketa yang timbul dalam ekonomi syariah tanpa mempersoalkan lagi siapa subjek hukum yang mengadakan perikatan dengan bank syariah baik perorangan maupun badan hukum. Namun demikian proses penyelesaian sengketa yang diajukan para pihak, dapat juga ditempuh melalui cara mediasi dengan memilih mediator yang tersedia di Pengadilan Agama atau yang dikehendaki/ditunjuk oleh para pihak yang bersangkutan. Mahkamah Agung RI menganjurkan agar penyelesaian perkara perselisihan diupayakan melalui proses tahkim atau arbitrase.11Ketentuan pasal 130 HIR yang menegaskan bahwa boleh menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dengan catatan dikehendaki dan disepakti oleh para pihak. Diharapkan lembaga Basyarnas dapat berperan secara optimal sehingga mampu menyelesaikan segala bentuk muamalah dan perdata yang muncul dikalangan umat Islam.Disatu sisi terkait dengan pelaksanaan (eksekusi) putusan Basyarnas yang tidak dilaksanakan secara suka rela oleh para pihak, maka menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI nomor 8 tahun 2008 maka hal itu menjadi kewenangan dan yurisdiksi Peradilan Agama untuk menyelesaikannya. Pada sisi yang lain menurut pasal 59 ayat (1) Undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang menyatakan bahwa apabila para pihak tidak melaksanakan putusan Basyarnas tersebut secara suka rela maka berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak. Sehubungan dengan muatan norma tersebut di atas maka tampak jelas telah terjadi konflik norma antara pasal 59 ayat (3) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah.
_______________________ 11
Undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase.
12
Menurut Mutamimal Ula (salah seorang anggota DPR RI) bahwa ketika persoalan penyelesaian sengketa perbankan syariah ini dibawah ke Peradilan umum
dirasakan
berjalan
agak
lamban
penanganannya.Salah
satu
penyebabnya adalah karena majelis hakim Peradilan Umum kurang memahami hukum Islam.Oleh karena itu, agar terciptanya kepastian hukum yang berkaitan dengan sengketa perbankan syariah maka penyelesaian sengketa
perbankan
syariah
diserahkan
kepada
Lembaga
Peradilan
Agama.Saya sangat sependapat dengan statemen anggota DPR RI tersebut.Hal itu telah didorong oleh fakta empiris di lapangan dan ditunjang dengan beberapa ketentuan perundang-undangan yang telah mendukung kompetensi absolut Pengadilan Agama dalam melaksanakan penyelesaian sengketa ekonomi syariah dan eksekusi putusan arbitrase syariah yang tidak dilaksanakan oleh para pihak. Dengan demikian agar tegaknya kepastian hukum yang adil dan terjaminnya konstitusional Undang-undang perbankan syariah yang juga akan berimplikasi kepada dunia usaha dan bisnis syariah maka ketentuan pasal 59 ayat (3) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman nomor 48 tahun 2009yang berbunyi: dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa sedangkan penjelasan pasal 59 ayat (1) Bab IX Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menjelaskan bahwa: “penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama” Oleh karena itu menurut penulis pasal 59 ayat (3) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 harus dicabut/atau sitidak tidaknya direvisi karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 maupun peraturan perundang-undangan lainnya di Indonesia yang pada akhirnya menimbulkan gesekan ketidak pastian hukum bagi masyarakat. Asumsi yang penulis sampaikan ini sejalan dengan ketika diperdebatkan banyak khalayak tentang pasal 52 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah bertentangan dengan UUD 1945. Setelah putusan 13
Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013 tentang uji materi Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 pasal 52 ayat (2) dan (3) maka kewenangan penuh Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Setelah putusan MK tersebut sudah tidak ada lagi tawar menawar serta perdebatan hukum tentang kewenangan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Oleh karena itu dengan kewenangan baru yang ditegaskan Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan syariah, Peraturan Mahkamah Agung nomor 2 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 maka Peradilan Agama siap menjalankan kewenangan barunya sebagaimana diamanatkan tersebut. IV. KESIMPULAN 1. Bahwa sengketa ekonomi syariah dapat diproses di Lembaga Peradilan Agama berdasarkan Undang-undang nomor 6 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang nomr 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan syariah serta Peraturan Mahkamah Agung RI, nomor 02 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, dan putusan MK Nomor 93/PUUX/2012 2. Bahwa Kedudukan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah merupakan pilar Peradilan Agama di Indonesia telah membawa perubahan yang begitu besar terhadap kedudukan dan eksistensi Peradilan Agama yang kewenangannya
menyelesaikan
perkara
dalam
bidang
ekonomi
disamping kewenangan yang telah diberikan dalam bidang hukum Islam juga kewenangan untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah sesuai Undang-undang nomor 3 tahun 2006 pasal 49 huruf (i) yaitu: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan 14
b. Waris c. Wasiat d. Hibah e. Wakaf f. Zakat g. Infaq h. Shodaqah dan i. Ekonomi Syariah. 3. Bahwa implementasi pasal 49 huruf (i) sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tersebut adalah tentang ekonomi syariah yang meliputi: a. Perbankan syariah b. Lembaga keuangan mikro syariah c. Asuransi syariah d. Reasuransi syariah e. Reksadana syariah f. Obligasi syariah g. Dan surat berharga berjangka menengah syariah h. Sekuritas syariah i. Pembiyaan syariah j. Pegadaian syariah k. Dana pensiun lembaga keuangan syariah dan l. Bisnis syariah. 4. Bahwa terkait dengan tugas dan kewenangan baru tersebut Mahkamah Agung
RI
mengambil
kebijakan
kongrit
antara
lain
pertama:
Memperbaiki sarana dan prasarana Lembaga Peradilan Agama baik fisik gedung
maupun
menyangkut
peralatan.
Kedua:Meningkatkan
kemampuan teknis Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur Peradilan Agama seperti: Hakim, Panitera dan Jurusita khusus dibidang ekonomi syariah dengan mengadakan kerja sama Perguruan Tinggi baik dalam maupun luar Negeri. 15
5. Penyelesaian hukum tentang ekonomi syariah dalam pandangan penulis terdapat dalam dua hal yaitu: 1. Berdasarkan Undang-undang nomor 3 tahun 2006 pasal 49 huruf (i), tentang Peradilan Agama, Undang-undang nomor 21 tahun 2008 pasal 55 ayat (1) tentang perbankan syariah dan Peraturan Mahkamah Agung RI, Nomor 02 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. 2. Berdasarkan hukum Islam yaitu: a. Al Sulh (perdamaian) b. Tahkim (albitrase) 6. Pasal 59 ayat (3) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman perlu dicabut/setidak tidaknya direvisi karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. 7. Bahwa dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013 tentang uji meteri pasal 52 ayat (2) Undangundang Nomor 21 tahun 2008 tentang ekonomi syariah adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Maka dengan demikian sudah tidak ada lagi tawar-menawar untuk diperdebatkan menyangkut kewenangan absolut sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama.
16
DAFTAR PUSTAKA Al Qur’an al- Karim Undang-undang no. 7 tahun 1989 Undang-undang no. 3 tahun 2006 Undang-undang no. 50 tahun 2009 Undang-undang no. 21 tahun 2008 Undang-undang no. 48 tahun 2009 Ensiklopedi Ekonomi & Perbankan Syariah, Penerbit Kafa Publishing Gedung Ad-Dawah, Jalan Batik Halus no. 25 Sukaluyu Bandung 40123 Mahkamah Agung RI, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Buku II Edisi Revisi 2013 Mimbar Hukum dan Peradilan, Penerbit Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani, 2011 Jejak Langkah & Dinamika PPHIM, Penerbit PPHIM dan Ramah Publisher, Jl. Kerta Mukti No. 88 RT.003/08 Ciputat Jakarta Selatan, 2007 Mimbar Hukum dan Peradilan, Penerbit Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIM), 2010 Mimbar Hukum dan Peradilan, Penerbit Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIM), 2008 Mimbar Hukum dan Peradilan, Penerbit Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIM), 2013 Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang undangan dalam lingkungan Peradilan Agama, 2004 EYD Edisi Baru, Cetakan I, Yogyakarta, 2013 Varia Peradilan , November 2013 Varia Peradilan, Desember 2013 Varia Peradilan, Januari 2014 17
Ensiklopedi Islam, Penerbit PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,1993
18