Daftar Isi Kajian Perangkat Hisab Rukyat Nusantara (Rubu’ Mujayyab dan Astrolabe dalam Hisab Awal Waktu Salat) Assessment Tool of Hisab Rukyat Archipelago (Rubu ‘Mujayyab and Astrolabe in Calculating the Start Time of Prayer) — 1 Moelki Fahmi Ardliansyah
Argumentasi Hukum Jaminan Produk Halal Legal Arguments of Halal Product Guarantee — 31 Asep Syarifuddin Hidayat & Mustolih Siradj
Sengketa Ekonomi Syari’ah dan Kesiapan Peradilan Agama Syari’ah Economic Disputes and Readiness of Religious Courts — 67 Abdul Halim Muhamad Sholeh
Analisis Sistem Tata Kelola Syari’ah Bagi Perbankan Syari’ah di Indonesia dan Malaysia Analysis of Shariah Governance Systems For Sharia Banking in Indonesia and Malaysia — 87 Ali Rama
Strategi Pengembangan Industri Produk Halal Halal Products Industry Development Strategy — 121 Lady Yulia
Siasat Dakwah Nahdlatul Ulama (NU) Era Penjajahan Jepang Da’wah Strategy Nahdlatul Ulama (NU) in Japanese Occupation Era — 163 Dinno Munfaizin Imamah
Jurnal Bimas Islam Vol.8 No.I 2015
Kajian Perangkat Hisab Rukyat Nusantara _1
Assessment Tool of Hisab Rukyat Archipelago (Rubu ‘Mujayyab and Astrolabe in Calculating the Start Time of Prayer) Kajian Perangkat Hisab Rukyat Nusantara (Rubu’ Mujayyab dan Astrolabe dalam Hisab Awal Waktu Salat)
Moelki Fahmi Ardliansyah Asosiasi Maestro Ilmu Falak dan Astronomi Indonesia Merdeka, Pesantren Life Skill Daarun Najaah Semarang email:
[email protected]
Abstract : Rukyat Hisab devices are often used in the archipelago society include rubu ‘mujayyab and astrolabe. Where both have distinctive characteristic of the principles of astronomy. The start time of prayer based on the particular position of the sun, it could be easily calculated with the tool. Because rubu ‘mujayyab function as calculators corner while the astrolabe as the sky map projection. In this study discusses how the use rubu ‘mujayyab and astrolabe in the early reckoning prayer times as well as how the results of the comparison. This writing uses qualitative research with descriptive approach. Data collection through field research method that is using rubu ‘mujayyab and astrolabe as the main instrument carried by the experimental method. The primary data obtained directly from the tool of rubu ‘mujayyab, astrolabe and the data of the practice, while secondary data derived from the literature relating to the object of research. Analytical techniques such as descriptive analysis method and comparative analysis method. Based on the practice field, the study found that the method of calculation used rubu ‘mujayyab has quite long calculation process,
2_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015 while using the astrolabe is relatively short. Both of which are classified in taqribi hisab. Comparison between rubu ‘mujayyab and astrolabe with reference ephemeris have different time between 1-4 minutes for rubu’ and 1-3 minutes for the astrolabe. Abstraksi : Perangkat Hisab Rukyat yang sering digunakan di kalangan masyarakat Nusantara yakni rubu’ mujayyab dan astrolabe. Dimana keduanya memiliki ciri konsep yang khas dalam prinsip-prinsip astronomi. Awal waktu salat yang didasarkan pada posisi matahari tertentu, maka sesungguhnya dapat diperhitungkan dengan alat tersebut. Karena rubu’ mujayyab berfungsi sebagai alat hitung sudut sedangkan astrolabe sebagai proyeksi peta langit. Pada kajian ini membahas bagaimana penggunaan rubu’ mujayyab dan astrolabe dalam hisab awal waktu salat serta bagaimana hasil komparasinya. Tulisan ini menggunakan penelitian yang bersifat kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Teknik pengumpulan data melalui penelitian lapangan (field research) yaitu menggunakan rubu’ mujayyab dan astrolabe sebagai instrumen utamanya yang dilakukan dengan metode eksperimen. Data primer diperoleh langsung dari alat rubu’ mujayyab dan astrolabe dan data hasil praktek, sedangkan data sekunder berasal dari literatur yang berkaitan dengan obyek penelitian. Teknik analisis berupa metode analisis deskriptif dan metode analisis komparatif. Berdasarkan praktek lapangan, penelitian ini menemukan bahwa metode perhitungan menggunakan rubu’ mujayyab proses perhitunganya cukup panjang, sedangkan menggunakan astrolabe relatif singkat. Di mana keduanya diklasifikasikan dalam hisab taqribi. Komparasi antara rubu’ mujayyab dan astrolabe dengan acuan ephemeris terdapat selisih yakni 1-4 menit untuk rubu’ dan 1-3 menit untuk astrolabe. Keywords: Pray Timing, Rubu’ Mujayyab, Astrolabe, Sun Position
A. Pendahuluan Ibadah salat menempati posisi yang sangat urgen dalam Islam, sebagai perjalanan spiritual menghadap Allah SWT yang dilakukan pada waktuwaktu tertentu dalam setiap harinya. Waktu salat yang dijelaskan dalam al-Qur’an maupun hadis,1 merupakan ketentuan berdasakan fenomena alam yang terjadi sepanjang hari,2 yakni berdasarkan keadaan alam yang
Kajian Perangkat Hisab Rukyat Nusantara _3
terjadi akibat perjalanan semu Matahari dari timur ke barat.3 Dalam tataran aplikatif tentu diperlukan suatu metode untuk mengetahui waktunya. Pada realitanya yang dipahami oleh para ulama dalam mengetahui waktu salat dituangkan dalam metode yang berbeda, yaitu aliran tekstual yang masih klasik dan kontekstual lebih ke modern. Aliran tekstual dalam merumuskan penentuan waktu-waktu salat lebih berdasarkan kepada fenomena alam yang sesuai dengan teks-teks al-Qur’an dan hadis. Sedangkan aliran kontekstual dalam merumuskan metode penentuan waktu-waktu salat dengan mengunakan hisab.4 Ahmad Izzuddin menamakan kedua aliran ini sebagai mazhab rukyah untuk aliran klasik, dan mazhab hisab untuk aliran modern.5 Penentuan waktu salat dengan pedoman tanda-tanda alam bisa melihat secara langsung atau menggunakan instrumen-instrumen falak seperti Jam Bencet, dan tongkat istiwa’. Instrumen tersebut digunakan untuk membantu mengetahui awal waktu salat pada siang hari, yakni kapan masuk waktu Zuhur dan Asar dengan bantuan bayangan yang dibentuk dari jam bencet dan tongkat istiwa’ tersebut. Sedangkan untuk waktu salat sesudah Matahari terbenam (ghurub), dapat diketahui dengan melihat keadaan langit, awan, fajar, Matahari terbit dan terbenam. Menurut Izzuddin “ini adalah metode yang digunakan oleh mazhab rukyah dalam persoalan penentuan waktu-waktu salat, sehingga waktu salat yang ditentukan itu disebut dengan al-auqât al-mar’iyah atau al-waqtu al mar’iy”.6 Namun, dalam tataran aplikatif cara seperti ini memang cukup mudah dan sangat sederhana, tetapi hal ini akan menemukan kesulitan ketika langit mendung ataupun hujan. Inilah salah satu kelemahan metode rukyah dalam menentukan waktu salat. Adapun aliran kontekstual lebih condong memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, lebih modern dalam menentukan metode awal waktu salat yakni mengunakan hisab. Muhyiddin menjelaskan bahwa “karena perjalanan semu matahari itu relatif tetap, maka waktu posisi matahari pada awal waktu salat setiap
4_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
hari sepanjang tahun mudah dapat diperhitungkan”.7 Demikian pula kapan Matahari itu akan membuat bayang-bayang suatu benda sama panjang dengan bendanya juga dapat diperhitungkan untuk tiap-tiap hari sepanjang tahun.8 Di antara metode hisab yang ada pada saat ini adalah metode ephemeris, nautica, dan kitab-kitab klasik. Dengan cara hisab inilah, nantinya lahir jadwal waktu salat. Di antara metode-metode di atas ada yang menarik untuk dikaji yakni dalam metode hisab, karena metode ini sangat erat kaitanya dengan alat bantu hitung. Selain kalkulator dan komputer, instrumen falak yang dapat digunakan adalah rubu’ mujayyab yang fungsinya sebagai alat hitung sudut. Rubu’ dikenal sebagai orthogonal grid sehingga posisi matahari dapat diperhitungkan. Namun yang harus dipahami bahwa perhitungan trigonomerti yang terdapat pada rubu’ mujayyab didasarkan pada perhitungan sexsagesimal (60),9 oleh karena itu nilai yang diperoleh dari hasil perhitungan dengan menggunakan rubu’ mujayyab harus dibagi dengan nilai 60 agar nilai yang diperoleh sesuai dengan trigonometri biasa. Selain itu ada astrolabe yang merupakan proyeksi peta langit dalam bidang datar yang mana posisi benda-benda langit dapat diketahui azimuth dan altitude nya sesuai dengan waktu dan tempat. Sehingga waktu salat yang acuan nya pada posisi Matahari dapat diperhitungkan dengan alat ini, karena pada plate (piringan) astrolabe juga terdapat garis salat.10 Melihat kedua instrumen falak yang memiliki karakter khas masingmasing tersebut, menunjukkan bahwa metode dalam menghitung awal waktu salat sangatlah variatif. Kiranya perlu adanya kajian terhadap komparasi dalam proses perhitungan dan hasilnya sehingga dapat diketahui sejauh mana tingkat ketepatannya dalam menghitung awal waktu salat.
Kajian Perangkat Hisab Rukyat Nusantara _5
B. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, metode yang penulis gunakan adalah : 1. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk dalam penelitian lapangan (field research)11 yaitu penulis menggunakan rubu’ mujayyab dan astrolabe sebagai instrumen utama untuk mengumpulkan data-data di lapangan. Jenis penelitian ini adalah kualitatif,12 yakni dengan pendekatan deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui uraian secara mendalam tentang kajian rubu’ mujayyab dan astrolabe sebagai alat dalam hisab awal waktu salat. 2. Sumber Data Data penelitian menurut sumbernya digolongkan menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder.13 Data primer14 dalam penelitian ini adalah rubu’ mujayyab dan astrolabe serta hasil observasi (data pengamatan). Sedangkan sumber data sekunder yang dijadikan data pendukung yakni literatur yang membahas tentang rubu’ mujayyab dan astrolabe serta bukubuku yang membahas tentang hisab awal waktu salat. 3. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini metode yang digunakan oleh penulis antara lain sebagai berikut : a. Observasi Dalam mengumpulkan data penulis mengaplikasikan rubu’ mujayyab dan astrolabe dengan menggunakan teknik observasi15 untuk mengetahui data yang ditunjukkan oleh rubu’ mujayyab dan astrolabe secara langsung. Materi dan pengetahuan dari hasil pengamatan dikumpulkan kemudian diolah sebagai data dalam hisab awal waktu salat, yang nantinya di cocokan dengan keadaan alam sebenarnya. b. Ekperimen Pada metode ini rubu’ mujayyab dan astrolabe digunakan untuk menghitung waktu salat dengan perlakuan yang berbeda-
6_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
beda yakni mencoba menghitung dengan berbagai macam data deklinasi dan equation of time. Hasil yang ditunjukkan digunakan sebagai dasar untuk diambil kesimpulan mengenai instrumen rubu’ mujayyab dan astrolabe dalam menghitung awal waktu salat c. Dokumentasi Metode ini digunakan untuk mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan-catatan dan sejenisnya,16 hal ini bertujuan untuk memperoleh data-data yang berkaitan dengan rubu’ mujayyab dan astrolabe. Penulis pun menelaah dan mengkaji serta menganalisis terhadap sumber data tersebut, berupa bukubuku yang menjelaskan tentang rubu’ mujayyab dan astrolabe serta buku-buku ilmu falak dan sumber lain yang berkenaan dengan permasalahan yang akan diteliti. 4. Teknik Analisis Data Teknik yang digunakan setelah data yang diperlukan terkumpul secara keseluruhan, selanjutnya akan dipelajari dan dianalisa dengan menggunakan metode analisis deskriptif17 dan metode analisis komparatif. Kedua metode ini digunakan untuk menggambarkan penggunaan dalam menghitung awal waktu salat dan mendapat hasil perbandingan diantara keduanya. Proses analisa dimulai dengan pengumpulan data dari penggunaan rubu’ mujayyab dan astrolabe yang dijadikan data untuk menghisab awal waktu salat. Kemudian data hasil perhitungan menggunakan rubu’ mujayyab dan astrolabe disamakan dengan keadaan sebenarnya di lapangan dan dibandingkan dengan hasil perhitungan sistem ephemeris. Apabila hasilnya sama dengan keadaan sebenarnya maka tingkat akurasi astrolabe tersebut sangat akurat, sedangkan apabila sedikit berbeda maka termasuk akurat dan apabila berbeda jauh maka hasil dari alat tersebut tingkat ketepatanya tidak akurat atau sangat rendah.
Kajian Perangkat Hisab Rukyat Nusantara _7
C. Konsep Rubu’ Mujayyab dan Astrolabe 1. Rubu’ Mujayyab Rubu’ Mujayyab atau Quadrant Sinus (istilah ini murni berasal dari bahasa Arab, Rubu’ berarti Seperempat dan Mujayyab berarti sinus) adalah sebuah alat yang dipergunakan untuk menghitung sudut benda- benda angkasa, menghitung waktu, menentukan waktu salat, kiblat, posisi matahari dalam berbagai macam konstelasi sepanjang tahun. Susiknan mendefinisikan “quadrant adalah suatu alat untuk menghitung fungsi goniometris yang sangat berguna untuk memproyeksikan peredaran benda langit pada lingkaran vertikal.18
Gambar 1. Rubu’ Mujayyab Penggunaan rubu’ sebagai alat observasi benda langit telah dilakukan sejak sekitar abad ke-2 masehi oleh Ptolomeus. Quadrant Ptolomeus, terbuat dari papan kayu atau batu, berbentuk seperempat lingkaran yang terbagi kedalam 90 derajat. Selanjutnya, bagian tengah quadrant tersedia gambar yang memberikan jarak matahari dihitung dari zenit pada garis meridian. Dari obeservasi ini, Ptolomeus bisa menentukan waktu dan menentukan ketinggian matahari pada musim panas maupun dingin. Dari observasi ini juga kemiringan garis edar matahari dan lintang suatu tempat bisa diketahui. 19 Seiring berjalannya waktu, rubu’ telah menyebar ke penjuru dunia oleh para astronom sampai di Indonesia. Rubu’ Mujayyab yang berkembang
8_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
di Indonesia adalah jenis Rubu’ yang telah dikembangkan oleh Ibnu Shatir. Bagian-bagiannya terdiri dari markaz, Qousu al-Irtifa’, jaibu atTamâm, as-Sittin, Hadafatain, Khoith, Muri’, Syaqul.20 2. Astrolabe Astrolabe berasal dari dua suku kata bahasa Yunani yakni, aster yang berarti bintang dan lambanein (labein) yang berarti mengambil, memegang, menangkap, mencengkeram erat, dengan maksud untuk menentukan dan memperkirakan. Dua kata Yunani tersebut dikombinasikan menjadi astrolabe, kata ini berarti sebuah alat yang dapat digunakan sebagai pencari bintang dan untuk hal-hal astronomis. Sebagai pencari bintang, astrolabe digunakan untuk menemukan bintang-bintang yang ada di langit. Sedangkan sebagai alat bagi hal-hal astronomis, digunakan untuk menemukan waktu dengan membaca posisi Matahari dan suatu bintang yang dikenal.21
Gambar 2. Astrolabe Dalam Ensiklopedi Hisab Rukyat menurut Susiknan Azhari, Kata astrolabe berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata astro dan labio. Astro berarti bintang dan labio berarti pengukur jarak. Sementara dalam istilah ilmu falak, astrolabe merupakan perkakas kuno yang biasa digunakan untuk mengukur kedudukan benda langit. Di mana bentuknya terdiri dari piringan dengan skala pembagian derajat, dengan sebuah alat pengintai.22
Kajian Perangkat Hisab Rukyat Nusantara _9
Sementara Hajji Khalifah dalam Kasyf azh-Zhunûn nya menjelaskan secara lebih detail pengertian dan fungsi astrolabe, yaitu suatu ilmu yang membahas tata cara mengetahui keadaan bintang-bintang secara lebih mudah dan teliti, seperti mengetahui ketinggian matahari, terbit dan tenggelamnya, mengetahui azimut kiblat, mengetahui lintang tempat,dan lain-lain.23 Sedangkan Al-Khawarizmi dan Al-Biruni mengistilahkan astrolabe dengan Mir’at al-Syams atau Mirror of the Sun, dan Kushyar ibn Labban mengistilahkan dengan Mizan al-Syams. Dalam referensi lain menyebutkan bahwa Astrolabe merupakan alat yang terdiri dari lempengan (piringan) dengan ukuran 360 derajat dan terbagi-bagi dalam seperempat lingkaran (arba ‘ad-da’irah) yang tertera di dalamnya nama-nama zodiak (rasi bintang), angka-angka derajat, dan lain-lain. Alat ini berbentuk bulat yang menggambarkan bola langit yang terdiri dari garis atau skala yang menunjukkan posisi-posisi bintang atau benda-benda angkasa.24 Alat ini pada masa islam menggunakan angkaangka atau huruf-huruf dalam format “Hisâb al-Jummal”25.
D. Metode Hisab Awal Waktu Salat dengan Rubu’ Mujayyab dan Astrolabe 1. Proses Perhitungan Waktu Salat Menggunakan Rubu’ Mujayyab Sebelum melakukan proses perhitungan, data yang harus dipersiapkan adalah : a. Lintang Tempat dan Bujur Tempat Lintang dan Bujur Tempat dapat diperoleh dari tabel-tabel koordinat Bumi atau bisa juga diperoleh dari GPS dan google earth. b. Tafawut Tafawut ini digunakan sebagai harga selisih hari antara umur satu bulan dengan tanggal permulaan zodiac yang ada pada bulan itu.26 Data ini digunakan untuk menghitung perkiraan kedudukan matahari pada ekliptika.
10_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
c. Ikhtiyat Perhitungan waktu salat menggunakan rubu’ ikhtiyat yang digunakan adalah 4-5 menit, seperti yang diterangkan dalam kitab ad-Durûs al-Falakiyyah.27 d. Deklinasi Matahari Cara mengetahuinya: 1) Letakkan khoith pada al-sittini dan tandai dengan muri pada jaib 23 dan 52 menit dari bagian-bagiannya yang sama. 2) Pindahkan khoith menuju darajah al-syamsi, maka nilai yang terdapat dibawahnya adalah jaibnya Mail. 3) Kemudian Qous-kan untuk mendapatkan Mail e. Bu’ud al-Quthur Adalah jarak sepanjang lingkaran tegak (vertikal) suatu benda langit dihitung dari kaki langit hingga lingkaran terang. Cara mengetahuinya: 1) Letakkan khoith pada al-sittiny, dan tandai jaib lintang tempat dengan muri. 2) Pindahkan khoith kepada lingkaran al-mail al-Awal sampai muri tepat pada lingkaran tersebut. 3) Garis dibawah muri, jaib al-mabsuthah sampai al-sittiny, adalah nilai Bu’ud al-Quthur yang dicari f. al-Ashl al-Muthlaq28 Cara Mengetahuinya: 1) Letakkan khoith pada al-sittiny, dan tandai tamam lintang tempat (90o – lintang tempat) dengan muri. 2) Pindahkan khoith kepada lingkaran tamam mail awal (90o – deklinasi terjauh)-sampai muri menempel pada lingkaran mail al-a’dhom. 3) Garis lurus dari muri ke kebawah berupa Juyub al-Mabsuthah sampai al-sittiny, adalah nilai dari al-sittiny.
Kajian Perangkat Hisab Rukyat Nusantara _11
4) Jika salah satu dari deklinasi ataupun lintang tempat tidak deketahui, maka al-Ashl al-Muthlaq-nya adalah jaib at-tamam (90o– lintang tempat atau 90o – deklinasi) yang sudah diketahui. 5) Jika kedua-duanya tidak diketahui, maka jaib al-Ashl alMuthlaqnya adalah 60 atau nilainya 1 karena 60 : 60 = 1. Apabila mail awalnya 0 maka jaib tamam-nya ardul balad adalah ashl almutlaq, dan bila ardul balad 0 maka jaib mail awal adalah al-Ashl al- Muthlaq. Bila kedua-duanya 0 maka asalmutlaqnya adalah 60. g. Nisfu al-Fudlah29 Cara mengetahuinya: 1) Letakkan khoith pada al-sittini dan tandai jaib al-Ashl al-Muthlaq dengan muri-pada al-sittiny. 2) Pindahkan muri hingga menempel pada Bu’du al-Quthr, maksudnya jaib al-mabsuthah dari Bu’du al-Quthr. 3) Sudut antara khoith dengan awal qaus dari proses diatas disebut Nisf al-Fudllah h. Ghoyah al-Irtifa’30 Cara mengetahuinya: 1) Terlebih dahulu cari tamam Lintang Semarang, yakni 90 diukur dengan lintang Semarang, 2) Tambahkan mail awal pada tamam-nya Lintang Semarang, hal ini bila mailnya Januby, 3) Jika mailnya Syamali, maka mail awal dikurangkan dengan lintang Semarang 4) Hasil dari penambahan atau pengurangan tersebut adalah Ghoyah al- Irtifa’. i. al-Ashl al-Mu’adal Adalah Garis yang ditarik dari titik pusat suatu benda langit tegak lurus pada bidang kaki langit. Garis itu adalah garis proyeksi benda langit pada bidang kaki langit. Cara mengetahuinya:
12_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
1) Ketahui terlebih dahulu irtifa’ dan jaib-nya 2) Kemudian tambahkan Bu’du al-Quthr pada jaib-nya irtifa’ bila mailnya Syamaly, 3) Carilah selisih bila mail-nya Januby, 4) Maka hasil dari penambahan atau selisih tersebut adalah alAshl al- Mu’adal. j. Daqo’iq at-tamkiniyyah Daqo’iq at-tamkiniyyah adalah tenggang waktu yang diperlukan oleh matahari sejak piringan atasnya menyentuh ufuk hakiki hingga terlepas dari ufuk mar’i.31 Setelah data-data di atas dihitung dan dipersipsikan langkah berikutnya adalah menghitung waktu salat, sebagai berikut: a. Zuhur Cara mencarinya; jam 12 dengan ditambah Daqo’iq at-tamkiniyyah. b. Asar Cara mengetahuinya: 1) Ketahui terlebih dahulu ghoyah 2) Cari dzil mabsuthoh-nya dengan qomah yang dikehendaki, 3) Tambahkan qomah tersebut pada dzil al- mabsuthohnya, maka hasilnya adalah dzil ashar 4) Masukan dzil asar tersebut melalui jaib tamam dan qomah-nya melalui Sittiny, 5) Letakan khoit pada titik pertemuannya, maka nilai yang terdapat di bawahnya khoit dihitung dari awal qous adalah irtifa’ul ashar c. Magrib Cara mengetahuinya: 1) Jika mail-nya januby tambahkan Nishfu al-Fudlah pada jam 6 dan jika mailnya syamaly kurangkan Nishfu al-Fudlah pada jam 6,
Kajian Perangkat Hisab Rukyat Nusantara _13
2) Tambahkan Daqo’ikit at-tamkiniyyah (3,5 menit) pada hasilnya. 3) Maka jumlahnya adalah waktu magrib. d. Isya Cara mengetahuinya: 1) Bila mailnya januby tambahkan Bu’du al-Quthr pada jaib-nya 17o dan bila mail-nya syamaly kurangkan Bu’du al-Quthr pada jaib-nya 17o. Dan hasil dari pengurangan atau penjumlahan tersebut adalah asal mu’adal 2) Tepatkan muri’ pada asal mutlaq 3) Geserlah khoit-nya sampai muri berada di atas al-Ashl alMu’adal, 4) Nilai yang terdapat di bawah khoit terhitung dari awal qous adalah waktu isya. e. Subuh Cara mengetahuinya hampir sama dengan mencari waktu isya, perbedaannya terletak pada jaibnya, yakni 19 o. 2. Menghitung Awal Waktu Salat dengan Astrolabe Langkah awal yang harus dilakukan dalam perhitungan awal waktu salat adalah mendapatkan zodiac dari tanggal yang ditentukan. Hal ini disebabkan karena rete pada astrolabe menggunakan skala zodiac dalam menentukan posisi benda langit. Kemudian menyiapkan data equation of time dan memperhitungkan selisih waktu antara bujur daerah dan bujur tempat, ini digunakan untuk mengkonversi waktu hakiki ke waktu daerah setempat.32 Langkah terakhirnya adalah menambah waktu ikhtiyat.33 Berikut langkah-langkah yang dikerjakan pada setiap waktuwaktu salat : a. Zuhur Waktu zuhur dimulai ketika piringan Matahari sudah tergelincir dari garis meridian langit kira-kira 2 menit setelah kulminasi saat di meridian.
14_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
Pada astrolabe Matahari setiap transit di meridian selalu menunjukkan jam 12:00, yang membedakan pada setiap hari hanyalah ketinggian dari horizon yang disebabkan nilai deklinasi yang berubah-ubah setiap harinya pada lintang tertentu. Maka untuk mendapatkan awal waktu salat zuhur langsung memperhitungkan dengan rumus : Zuhur = 12 – e + KWD b. Asar Waktu asar dimulai ketika panjang bayangan pada saat kulminasi bertambah satu kali panjang bayangan yang sesuai dengan panjang bendanya. Definisi ini didapatkan karena Matahari saat di meridian tidak selalu pada ketinggian 90 derajat, sehingga saat kulminasi sudah terbentuk bayangan di sebelah timur. Cara menghitung awal waktu salat asar : 1) Membaca ketinggian Matahari saat kulminasi di meridian, dengan zodiak yang telah ditentukan 2) Membaca panjang bayangan pada skala cotangent, dengan menempatkan alidade pada derajat ketinggian Matahari saat kulminasi 3) Panjang bayangan saat kulminasi ditambah dengan panjang gnomon (pada astrolabe biasanya menggunakan panjang 7 kaki) 4) Melihat ketinggian Matahari dari panjang bayangan yang telah dijumlahkan 5) Menepatkan rete dengan zodiak yang telah ditentukan pada ketinggian yang telah diketahui 6) Putar rule pada posisi rete yang telah ditentukan 7) Baca jam yang ditunjukkan pada skala waktu 8) Ubah jam menjadi waktu daerah c. Magrib Garis horizon pada astrolabe menunjukkan batas antara langit dan Bumi, ketika piringan atas Matahari mulai tenggelam di garis batas
Kajian Perangkat Hisab Rukyat Nusantara _15
tersebut di sebelah barat, maka mulailah waktu salat magrib. Cara menghitungnya : 1) Putar rete dengan zodiak yang telah ditentukan ke garis horizon sebelah barat. 2) Putar rule pada posisi rete yang telah ditentukan 3) Baca jam yang ditunjukkan pada skala waktu 4) Ubah jam menjadi waktu daerah d. Isya Terdapat garis twilight pada astrolabe yang menunjukkan berakhirnya senja dan mulainya senja, garis ini berada pada ketinggian 18 derajat di bawah horizon. Waktu isya’ dimulai ketika matahari pada posisi ini. Cara menghitungnya : 1) Putar rete dengan zodiak yang telah ditentukan ke garis twilight sebelah barat 2) Putar rule pada posisi rete yang telah ditentukan 3) Baca jam yang ditunjukkan pada skala waktu 4) Ubah jam menjadi waktu daerah e. Subuh Waktu subuh dimulai ketika beralihnya malam ke siang, pada astrolabe ditunjukkan dengan garis twilight sebelah timur. Di Indonesia awal waktu subuh biasa menggunakan posisi Matahari 20 derajat di bawah horizon, karena garis twilight pada astrolabe menunjukkan 18 derajat di bawah horizon, maka terdapat selisih 2 derajat. Jadi dalam akhir perhitungan dikurangi dengan 8 menit. Cara menghitung waktu salat subuh : 1) Putar rete dengan zodiak yang telah ditentukan ke garis twilight sebelah timur 2) Putar rule pada posisi rete yang telah ditentukan 3) Baca jam yang ditunjukkan pada skala waktu
16_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
4) Ubah jam menjadi waktu daerah 5) Jam yang telah diubah menjadi waktu daerah dikurangi 8 menit
E. Komparasi Perhitungan Waktu Salat Menggunakan Rubu’ Mujayyab dan Astrolabe Dalam uraian sejarah, rubu’ merupakan alat Bantu hitung yang sangat baik hingga saat ini pun masih digunakan. Walaupun zaman sudah modern, peralatan yang digunakan untuk pengamatan astronomi sudah canggih, tetapi rubu’ masih tetap digunakan. Begitu pula dengan astrolabe yang bermula dari konsep proyeksi stereografi yang dikembangkan oleh Hipparchus dan disempurnakan menjadi instrumen oleh Cladius Ptolemy34 hingga saat ini. Waktu yang begitu lamanya apabila astrolabe tidak ada perhatian khusus dan koreksi serta tambahan skala fungsi dari masa ke masa tentu kegunaannya sudah ditinggalkan sejak lama. Sejauh pengamatan penulis, penggunaan rubu’ sebagai alat hitung khususnya dalam menghitung waktu salat tidak bisa memunculkan angka secara detail karena di dalam alat ini tidak dicantumkan satuansatuannya secara jelas dan gamblang. Begitu pula dengan astrolabe garisgaris proyeksi yang ditampilkan intervalnya setiap 5 derajat, dengan begitu pengguna instrumen ini harus memperkirakan sendiri berapa angka yang diamatinya. Berikut ini komparasi perhitungan awal waktu salat dengan menggunakan rubu’ dan astrolabe, yang terdiri dari komparasi input data, proses perhitungan dan hasil : 1. Komparasi Input Data Data-data yang digunakan dalam menghitung waktu salat diantaranya adalah lintang tempat, bujur tempat, deklinasi Matahari, dan tinggi Matahari. Selain itu dibutuhkan juga bujur daerah dan equation of time untuk mengubah dalam satuan waktu daerah.
Kajian Perangkat Hisab Rukyat Nusantara _17
a. Lintang dan Bujur Tempat
Data lintang dan bujur dapat diperoleh melalui peta dengan di interpolasi tabel dari Almanak Hisab Rukyah, informasi BMKG, dan lebih akurat lagi menggunakan GPS.35 Nilai koordinat berapa pun dapat dimasukkan dalam perhitungan mengguakan rubu’, berbeda halnya dengan astrolabe karena basisnya yang merupakan proyeksi langit lokal maka apabila ingin menghitung koordinat lain harus mengganti plate astrolabe nya.36
b. Data Matahari
Rubu’ mujayyab dalam memperoleh data deklinasi Matahari dengan cara menghitung darojatus syams atau derajat Matahari pada zodiak tertentu kemudian dilihat nilai nya dengan cara menggeser khoit. Pada astrolabe tidak jauh berbeda dengan rubu yakni dengan mentransformasikan tanggal menjadi zodiak kemudian nilai deklinasi dapat diperoleh dengan melihat skala pada rule astrolabe. Sedangkan keduanya dalam memperoleh data equation of time masih mengambil dari tabel astronomi.
c. Tinggi Matahari
Kriteria ketinggian Matahari untuk awal waktu salat secara umum yang berkembang di Indonesia adalah Maghrib -1 derajat, isya’ -18 derajat, Subuh -20 derajat, Dzuhur pada saat di meridian dan Asar dengan formulasi cotan h = tan zm + 1.37 Yang khas dari astrolabe yakni untuk posisi Matahari pada ketinggian tersebut telah tergambarkan dengan garis horizon dan twilight sehingga lebih mempermudah dalam mencari waktunya, untuk ketinggian asar dapat diperoleh melalui panjang bayangan yang dihitung melalui skala cotangent. Sedangkan pada rubu’ tinggi Matahari menggunakan kriteria tersebut. Jadi pada kedua alat tersebut tidak memperhitungkan koreksi refraksi dan ketinggian tempat untuk memperoleh tinggi Matahari saat terbit dan terbenam.
18_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
2. Komparasi Proses Perhitungan Proses perhitungan awal waktu salat antara rubu’ dan astrolabe sedikit berbeda. Fungsi dari rubu’ memang sebagai alat hitung yakni untuk menyelesaikan trigonometri, prinsip perhitunganya berdasarkan kepada hitungan Sexagesimal (hitungan yang berdasar kepada bilangan 60), dimana sin 90° = cos 0° = 60 dan sin 0° = cos 90° = 0.38 Sedangkan astrolabe merupakan alat bantu untuk menemukan bintang-bintang dan menemukan waktu dengan membaca posisi Matahari dan suatu bintang yang dikenal.39 Sehingga proses perhitungan nya pun akan sedikit berbeda. Inti dari perhitungan awal waktu salat yakni mengetahui kedudukan Matahari pada suatu tempat. Hal tersebut dapat diketahui melalui data deklinasi, sudut waktu serta jarak zenith Matahari, dari data tersebut dapat dihitung waktunya untuk Matahari pada posisi tertentu. Proses yang dilalui untuk menghasilkan waktu tersebut antara rubu’ dan astrolabe memiliki perbedaan. Proses perhitungan dengan menggunakan rubu’ sama halnya dengan metode kotemporer karena rubu’ sifatnya adalah alat hitung trigonometri. Hanya saja yang membedakan adalah input data yang dimasukkan dan istilah dalam setiap langkah perhitungannya. Biasanya di Indonesia konsep perhitungan menggunakan rubu’ masih mengacu pada kitabkitab klasik karangan para ulama’, seperti Kitab Ad-durussul Falakiyah dan Tibyanul Miqât. Yakni menghitung bu’dul quthur, ashal muthlaq, nishful fudlah, asal mua’adal, dan ghoyatul irtifa’.40 Berbeda halnya dengan astrolabe yang terdiri dari skala waktu, rule,41 rete42, plate.43 Semua bagian dari astrolabe sangat mendukung untuk lebih cepat mengetahui waktu untuk benda langit pada posisi tertentu. Seperti yang dikatakan oleh Timothy karena sesungguhnya posisi benda-benda langit dapat diketahui azimuth dan altitude nya sesuai dengan waktu dan tempat.44 Oleh karena itu untuk mendapatkan waktu salat langkah yang dilakukan adalah hanya mentransformasikan tanggal ke zodiak,
Kajian Perangkat Hisab Rukyat Nusantara _19
yakni untuk menepatkan rule pada rete astrolabe untuk membaca posisi matahari pada langit lokal disesuaikan untuk mencari masing-masing waktu salat dengan acuan garis yang ada. Waktu dapat diketahui melalui skala waktu, hanya saja waktu yang ditunjukkan dalam astrolabe merupakan waktu hakiki sehingga perlu ada koreksi waktu pertengahan dan waktu daerah. 3. Komparasi Hasil Penulis mengkomparasikan hasil perhitungan antara rubu’ dan astrolabe ditambah dengan metode ephemeris sebagai acuan untuk menilai keduanya. Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh penulis untuk waktu salat Kota Semarang (-7º LS, 110º 24’BT) pada tanggal 21 – 25 Mei 2015, sebagai berikut : Tabel 1. Komparasi perhitungan Rubu’ dan Astrolabe dengan Acuan Ephemeris tanpa Menggunakan Ikhtiyat TANGGAL
21
ZUHUR ASAR MAGRIB ISYA SUBUH
11:34:54 14:56:40 17:28:04 18:37:16 04:24:01
ZUHUR ASAR MAGRIB ISYA SUBUH
11:35:24 14:58:26
ZUHUR ASAR MAGRIB
11:34:58 14:56:44 17:29:08
17:26:48 18:42:24 04:20:46
22 23 RUBU’ MUJAYYAB 11:34:54 11:34:54 14:56:39 14:56:38 17:28:00 17:27:52 18:37:14 18:37:13 04:24:02 04:24:02 ASTROLABE 11:35:28 11:35:30 14:58:30 14:59:22 17:26:35 17:26:23 18:42:29 18:42:31 04:21:17 04:21:38 EPHEMERIS 11:35:02 11:35:06 14:56:48 14:56:51 17:29:05 17:29:03
24
25
11:34:54 14:56:37 17:27:44 18:37:12 04:24:03
11:34:54 14:56:36 17:27:40 18:37:11 04:24:03
11:35:33 14:59:25
11:35:36 15:00:24
17:26:12 18:42:37 04:22:00
17:25:58 18:42:40 04:22:13
11:35:11 14:56:55 17:29:02
11:35:17 14:57:00 17:29:02
20_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
ISYA SUBUH
18:39:33 04:21:51
18:39:36 04:21:56
18:39:39 04:22:00
18:39:43 04:22:05
18:39:49 04:22:12
Perlu di ingat bahwa hasil yang ditunjukkan dalam perhitungan trigonometri menggunakan rubu’ berbeda dengan trigonometri yang biasa digunakan, yang sudah terprogram pada kalkulator. Trigonometri kalkulator ini berdasarkan kepada bilangan biasa yaitu 1. Dalam aplikasinya berlaku sin 90° = cos 0° = 1 dan sin 0° = cos 90°= 0. Sehingga perbandingan trigonometri kalkulator dengan Rubu’ Mujayyab menjadi 60:1.45 Dengan demikian, nilai yang diperoleh melalui perhitungan Rubu’ Mujayyab harus dibagi dengan nilai 60 agar memperoleh nilai yang sama dengan kalkulator. Jika dilihat dari hasil perhitungan antara metode ephemeris dengan metode rubu mujayyab, selisihnya tidak signifikan hanya 1 sampai 4 menit. Oleh karena itu harus ada koreksi atau ikhtiyat untuk menyesuaikan dengan metode kotemporer. Apabila diklasifikasikan metode ini masih perkiraan karena data-data astronomi yang disuguhkan bersifat tetap atau statis, jika kita pahami bahwa seharusnya data astronomi itu selalu berubah karena yang dihitung adalah benda langit yang sifatnya dinamis. Sedangkan untuk astrolabe jika dibandingkan dengan data ephemeris terdapat selisih pada nilai deklinasi Matahari rata-rata sebesar 1º 09’ 40”. Untuk nilai equation of time nya juga terdapat selisih sebesar 0m 21d. Dari data ini penulis menemukan bahwa selisih pada data deklinasi diakibatkan garis-garis yang tertera pada rule astrolabe belum sesuai sehingga pembacaan datanya tidak pas. Selain itu pengguna tidak bisa membaca secara detail sampai menit dan detik. Dari data deklinasi dan equation of time, penulis melanjutkan menghitung tinggi Matahari dan bayangannya saat kulminasi. Langkah ini dikerjakan untuk mendapatkan tinggi Matahari Asar dari penjumlahan panjang bayangan saat kulminasi dengan panjang tongkatnya.46 Jadi tinggi Matahari yang didapat saat asar berbeda karena data deklinasinya pun berbeda.
Kajian Perangkat Hisab Rukyat Nusantara _21
Secara umum jika dilihat hasil perhitungan astrolabe dengan ephemeris maka akan terdapat selisih antara 1-3 menit. Namun untuk zuhur tidak terlalu banyak selisihnya karena bergantung pada jam 12 hakiki yang dikurangi dengan equation of time dan ditambah dengan koreksi waktu daerah. Untuk waktu yang terbenam dan terbit selisih - 3 menit karena pada astrolabe tidak memperhitungkan koreksi-koreksi yang mempengaruhi tinggi Matahari. Untuk waktu subuh koreksi -8 menit pada waktu subuh membuat hasilnya semakin akurat. Selain waktu zuhur, magrib, imsak dan subuh hasilnya kelebihan 3 menit. Faktor yang mempengaruhi adalah, untuk waktu asar tinggi Matahari yang diperoleh dari skala cotangent tidak terbaca dengan pasti karena panjang bayangan asar untuk angka yang di belakang koma masih dikira-kirakan. Sedangkan secara keseluruhan bergantung pada penempatan rule atau alidade dalam membaca skala-skala yang ada, sehingga mempengaruhi posisi Matahari pada zodiak. Selain dari acuan perhitungan ephemeris, penulis juga dapat menilai perbandingan antara rubu’ dan astrolabe dengan hasil komparasi sebagai berikut : Tabel 2. Perbandingan Rubu’ dan Astrolabe dalam Perhitungan Awal Waktu Salat Keterangan Input Data
Rubu’
Diambil dari data koordinat peta atau Lintang dan Bujur Almanak Hisab Tempat Rukyah. Koordinat berapapun dapat diperhitungkan.
Astrolabe Diambil koordinat Almanak Rukayah. astrolabe koordinat apabila koordinat mengganti astrolabe.
dari peta
data atau Hisab Karena berdasarkan tertentu menghitung lain harus plate
22_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
Data Matahari
Deklinasi dihitung dari zodiak Matahari, dibaca dengan menggeser khoit pada zodiak tersebut
Tinggi Matahari
Berdasarkan garis Maghrib 0º, Isya 18º, proyeksi : garis horizon Subuh 20º, Duha 4º 0º, twilight 18º dan garis 30’ meridian langit
Proses Perhitungan
Proses hisab
Hasil Perhitungan Hasil Akhir
Deklinasi dihitung dari zodiak Matahari, dibaca melalui skala rule yakni menepatkan rule pada rete pada zodiak tertentu
Menghitung untuk tinggi Matahari Asar melalui jumlah panjang bayangan dan tingggi tongkat. Sedangkan bu’dul quthur, ashal untuk mendapatkan muthlaq, nisful waktu hanya fudlah, asal mua’adal, menepatkan rete dan dan ghoyatul irtifa rule pada garis proyeksi yang dicari waktunya. Sehingga tidak memperhitungkan sudut waktu Selisih 1-4 menit Selisih 1-3 menit dengan dengan ephemeris ephemeris
Dari hasil akhir tersebut penulis menilai bahwa komparasi antara rubu’ dan astrolabe sebagai instrumen falak dalam perhitungan awal waktu salat masih dalam tataran perkiraan karena data yang di gunakan dalam perhitungan masih bersifat statis. Astrolabe dinilai lebih akurat dari pada rubu’ diperkirakan karena faktor prosedur perhitungannya yakni banyak langkah yang dilewati sehingga banyak pula angka-angka yang dibulatkan. Berbeda halnya dengan astrolabe hanya menepatkan pada posisi tertentu dan langsung dibaca waktunya, karena prinsip dari astrolabe itu sendiri memang untuk mengetahui waktu dari posisi benda langit.
Kajian Perangkat Hisab Rukyat Nusantara _23
F. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan analisa yang telah dilakukan, maka penulis membuat beberapa kesimpulan : a. Metode perhitungan menggunakan rubu’ mujayyab yakni dengan menghitung bu’dul quthur, ashal muthlaq, nishful fudlah, asal mua’adal, dan ghoyatul irtifa seperti yang dijelaskan dalam kitab-kitab klasik. Sedangkan menggunakan astrolabe langkahnya relatif singkat karena untuk tinggi Matahari telah ada garis proyeksinya seperti horizon, twilight, meridian, sehingga dapat langsung diketahui Matahari pada posisi tersebut. b. Perhitungan awal waktu salat menggunakan instrumen falak rubu’ mujayyab dan astrolabe dapat diklasifikasikan dalam hisab taqribi, karena data yang digunakan sifatnya masih statis. Dalam menggunakan instrumen juga masih minim dalam mencapai nilai menit dan detik nya, karena tidak terpampang secara detail angkaangkanya sehingga pengguna harus mengira-ngira sendiri angka menit dan derajat, maka yang terjadi adalah pembulatan-pembulatan. c. Komparasi antara rubu’ dan astrolabe dengan acuan ephemeris terdapat selisih yakni 1-4 menit untuk rubu’ dan 1-3 menit untuk astrolabe. Dengan begitu hasilnya lebih baik menggunakan astrolabe dalam perhitungan awal waktu salat. Hal ini dikarenakan astrolabe merupakan alat observasi untuk mengetahui waktu dari suatu posisi benda langit sehingga langkah yang ditempuh cukup singkat. Sedangkan langkah yang ditempuh dengan rubu’ terbilang panjang sehingga terjadi banyak pembulatan-pembulatan angka.
2. Saran a. Bagi pencinta ilmu falak, rubu’ mujayyab dan astrolabe dapat dijadikan salah satu metode dalam mencari awal waktu salat. Hasilnya dapat dijadikan perbandingan dengan metode-metode yang lain. Dengan
24_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
begitu rubu’ mujayyab dan astrolabe selalu mempunyai peran aktif dalam memberikan data perhitungan awal waktu salat. b. Rubu’ mujayyab dan astrolabe dapat digunakan sebagai salah satu metode dalam perhitungan awal waktu salat. Namun, perlu adanya ketelitian dalam membaca skala yang tertera pada keduanya supaya tidak terjadi pembulatan terus-menerus. Hal ini dilakukan dengan harapan hasil yang diperoleh dapat mendekati akurat. c. Ilmu Falak harus tetap terjaga kelestariannya dengan selalu memadukan antara warisan terdahulu dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kekinian. Supaya terus dapat berdampingan perbendaharaan khazanah keilmuan yang dimiliki.
Kajian Perangkat Hisab Rukyat Nusantara _25
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Ma’shum bin, Ad-Durus al-Falakiyyah, Jombang: Maktabah Sa’ad bin nashir nabhan, 1992 Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2002. Azhari, Susiknan, Ensiklopedi Hisab Rukyah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, Cet. Ke II. Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, Cet. Ke 5. Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI, Ditjen, Almanak Hisab Rukyat, 2010, Cet. Ke 3. Butar-Butar, Arwin Juli Rakhmadi. Jurnal Vol.7 No.1 Januari - Juni 2011, Astronomi Islam Era Dinasti Mamalik (1250-1517): Sejarah, Karakter & Sumbangan. El-Syanthy, ‘Isham Mohammad, Thuruq Ta‘rîkh an-Nusakh fî alMakhthûthât: an-Nasy‘ah wa al-Hall, Kairo: Diktat Mata Kuliah ‘Fahrasah al Makhthuthaat‘ Institut Manuskrip Arab, t.t. Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Pedoman Penulisan Skripsi, Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2010. Hambali, Slamet, Ilmu Falak I Penentuan Awal Waktu Salat dan Arah Kiblat Seluruh Dunia, Semarang : Program ascasarjana IAIN Walisonggo, 2011. Hasan, M. Iqbal, Pokok–Pokok Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Bogor : Ghalia Indonesia, 2002. Izzuddin, Ahmad, Fiqh Hisab Rukyah, Jakarta: Erlangga, 2007. -------, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab Rukyah Praktis Solusi dan
26_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
Permasalahannya), Semarang: Komala Grafika, 2006. -------, Sabtu 14 Juni 2014, Standarisasi Hisab Rukyat Sebagai Upaya Pemerintah dalam Penyatuan Umat, disampaikan dalam seminar imsakiyah Ramadhan 1435 H di STAIN Pekalongan. Jamil, A., Ilmu Falak Teori dan Aplikasi, Jakarta: Amzah, 2009. Kementerian Agama RI, Dirjen Bimas Islam Kementerian, Ephemeris Hisab Rukyat 2014. Khalifah, Hajji, Kasyf azh-Zhunûn ‘an Asâmy al-Kutub wa al-Funûn, Juz 1, Beirut: Dâr Ihyâ‘ at-Turâts al-‘Araby, t.t. Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak DalamTeori dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2008. -------, Kamus Ilmu Falak, Yogjakarta : Buana Pustaka, 2005, Cet. Ke 1. Kurniawan, Beni, Metodologi Penelitian, Tangerang: Jelajah Nusa, 2012. Mitchell, MKA Timothy J., The Astrolabe in Theory and Practice, San Francisco: Creative Commons Attribution, 2011. Morrison, James E., The Astrolabe, DE USA : Janus Rehoboth Beach, 2007. Setyanto, Hendro, Rubu’ al-Mujayab: Tabel Model Pergerakan Matahari Dalam proceeding seminar himpunan astronomi Indonesia. Bandung: Departemen Astronomi ITB, 2001. -------, Rubu. Bandung: Pundak Scientific. Stanley, R. Darren, Quadrant Construction and Aplication in Western Europe During the Early Renaissance, Kanada: National Library, 1994. Winternburn, Emily, Using an Astrolabe, Manchester: FSTC, 2005. Zainal, Baharrudin, Ilmu Falak, Selangor: Dawama Trenggunu Sdn. Bhd., 2004, Edisi kedua. Zauberer, THL Maximilian der. Introduction to the Astrolabe, Pdf.
Kajian Perangkat Hisab Rukyat Nusantara _27
Endnotes 1. QS. al-Nisa’/4: 103:
QS. al-Isra’/17: 78:
اذاHadis الظهرyang وقتdiriwayatkan صلعم قالoleh النيبAbdullah عنو قال انbinاهللUmar رضيr.aعن عبد اهلل بن عمر العصراذا ووقتالظهر العصروقت صلعم قال النيب ان قال عنو اهلل رضي التعبد اهلل زعن كل الرجل كطولو مامل حيضر عمرظل الشمسبنوكان الظهر وقت العصرقال وسلم يغبعليو ماملاهلل صل النيب الرجلان قال كلعنو ظلاهلل كانرضي عمر تصفر بن التعبد اهلل زعن العصر الشمس و ووقتصالة ووقت حيضرالشفق كطولومامل املغرب صالة ووقت الشمس مامل ووقت الشفق يغب املغربماملمامل ووقت الشمس تصفر مامل العصر ووقت حيضر صالة كطولو الرجل كل ظل الشمس و ماملز اذا صالةمامل الفجر طلوع العصرمن الصبح صالة ووقت االوسط كانالليل نصف الت ايل العشاء نصفمامل الفجر االوسط ووقت صالة الصبح من طلوع نصفو الليل العشاء ايل ) مسلم الشمس (ر تطلع املغرب مامل يغب الشفق ووقت صالة العشاء ايل ووقتاهصالة تصفر الشمس ) تطلع الشمس (رواه مسلم ) الليل االوسط ووقت صالة الصبح من طلوع الفجر مامل تطلع الشمس (رواه مسلم
2. Fenomena alam yang dimaksud dalam mengetahui waktu salat adalah
mengetahui posisi matahari harian yang sepadan sebagai rujukannya. Lihat Baharrudin Zainal, Ilmu Falak, , Selangor: Dawama Trenggunu Sdn. Bhd., 2004, Edisi kedua, h. 120.
3. Perjalanan Matahari menurut arah dari timur ke barat yang menyebabkan
pergantian siang dan malam bukanlah perjalanan yang hakiki. Namun disebabkan adanya rotasi bumi dari arah barat ke timur selama ± 24 jam untuk sehari semalam. Hal tersebut mengakibatkan semua benda langit yang berada di sekitar Bumi tampak berjalan dari timur ke barat tegak lurus dengan poros bumi.
4. Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, Ephemeris Hisab Rukyat 2014, h. 202-405.
5. Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab Rukyah Praktis Solusi dan Permasalahannya), Semarang: Komala Grafika, 2006, h. 52.
6. Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah, Jakarta: Erlangga, 2007, h. 38. 7. Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak DalamTeori dan Praktik, Yogyakarta: Buana
28_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015 Pustaka, 2008, h. 79.
8. Ditjen. Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI, Almanak Hisab Rukyat, 2010, Cet. Ke 3, h. 23.
9. Hendro Setyanto, Rubu, Bandung: Pundak Scientific, t.th, h.3. 10. Emily Winternburn, Using an Astrolabe, Manchester: FSTC, 2005, h. 11. 11. Penelitian yang dilakukan secara langsung di lapangan atau responden.
Lihat M. Iqbal Hasan, Pokok–Pokok Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Bogor : Ghalia Indonesia, 2002, h. 11.
12. Analisis kualitatif pada dasarnya lebih menekankan pada proses deduktif
dan induktif serta pada analisis terhadap dinamika antar fenomena yang diamati, dengan menggunakan logika ilmiah. Lihat dalam Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, Cet. Ke 5, h. 5.
13. Ibid. h. 91. 14. Data primer adalah data tangan pertama atau data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya. Lihat Hasan, Pokok..., h. 82.
15. Observasi merupakan suatu proses pengamatan yang komplek, dimana
peneliti melakukan pengamatan langsung di tempat penelitian. Lihat Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Pedoman Penulisan Skripsi, Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2010, h. 13.
16. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2002, h. 206.
17. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel maupun lebih tanpa membuat perbandingan atau menghubungkannya dengan variabel lain. Lihat Beni Kurniawan, Metodologi Penelitian, Tangerang: Jelajah Nusa, 2012, h. 20.
18. Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, Cet. Ke II, h. 182.
19. R. Darren Stanley, Quadrant Construction and Aplication in Western Europe During the Early Renaissance, Kanada: National Library, 1994, h. 15.
20. Muhammad Ma’shum bin Ali, Ad-Durus al-Falakiyyah, Jombang: Maktabah Sa’ad bin nashir nabhan, 1992, h. 2.
21. James E. Morrison, The Astrolabe, DE USA : Janus Rehoboth Beach, 2007, h. 1. 22. Susiknan, Ensiklopedi ..., h. 36. 23. Hajji Khalifah, Kasyf azh-Zhunûn ‘an Asâmy al-Kutub wa al-Funûn, Juz 1, Beirut: Dâr Ihyâ‘ at-Turâts al-‘Araby, t.t, h. 106.
24. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Astronomi Islam Era Dinasti Mamalik (1250-
1517): Sejarah, Karakter & Sumbangan, Jurnal Vol.7 No.1 Januari - Juni 2011, h. 5.
Kajian Perangkat Hisab Rukyat Nusantara _29
25. Hisâb al-Jummal adalah hisab atau perhitungan dengan menggunakan huruf
Arab yang dari tiap-tiap hurufnya terdiri dari angka atau bilangan tertentu. Seperti huruf alif‘ berarti satu, huruf ba‘ berarti dua, dst. Hisab model ini banyak tertera dalam literatur-literatur klasik (manuskrip) khususnya literatur Astronomi. Lihat ‘Isyam Mohammad el-Syanthy, Thuruq Ta‘rîkh anNusakh fî al-Makhthûthât: an-Nasy‘ah wa al-Hall, Diktat Mata Kuliah ‘Fahrasah al Makhthûthât‘ Institut Manuskrip Arab, Kairo, t.t, h. 4.
26. Tafawut bearasal dari bahasa Arab, yang artinya adalah selisih. Yakni selisih antara dua data. L i h a t Muhyiddn Khazin, Kamus Ilmu Falak, Yogjakarta : Buana Pustaka, 2005, Cet. Ke 1, h. 79
27. Ali, Ad-Durus..., h. 12. 28. Dikenal pula dengan sebutan Ashal hakiki atau jaibul Ausat yakni garis yang
ditarik dari titik kulminasi suatu benda langit tegak lurus pada garis yang menghubungkan titik utara dengan titik selatan. Garis itu adalah garis proyeksi benda langit kepada bidang kaki langit ketika berkulminasi. Khazin, Kamus..., h. 8.
29. Selisih antara setangah busur siang pada suatu hari standar (lintang 0o dan
deklinasi 0o) dengan setengah busur siang pada hari yang lain, dan selisih antara suatu hari setandar dengan hari yang lain. Dalam kamus ilmu falak, Nishfu Fudlah adalah jarak atau busur sepanjang lingkaran harian suatu benda langit dihitung dari garis tengah lintasan benda langit sampai ke ufuk. Ibid. h. 61.
30. Adalah tinggi kulminasi atau disebut juga jarak zenit, yakni besar sudut sepanjang lingkaran meridian langit yang dihitung dari titik utara atau titik selatan sampai pada titik pusat suatu benda langit ketika berkulminasi atas. Harga maksimal ghoyah al-irtifa’ adalah 90o. Ibid. h. 26.
31. Ibid, h. 19. 32. Untuk mengubah waktu hakiki ke waktu daerah menggunakan rumus berikut : WD = WH – e + KWD, dimana WD = Waktu Daerah, WH = Waktu Hakiki, e = Equation of time atau perata waktu, KWD = Koreksi Waktu Daerah = (λd- λx) ÷ 15, λd= Bujur Daerah, λx = Bujur Tempat. Lihat selengkapnya Slamet Hambali, Ilmu Falak I Penentuan Awal Waktu Salat dan Arah Kiblat Seluruh Dunia, Semarang : Program ascasarjana IAIN Walisonggo, 2011, h. 143.
33. Kriteria Ihtiyat yang digunakan yakni : Detik betapapun dibulatkan menjadi 1 menit, kecuali terbit detik berapa pun dibuang. Zuhur ditambah 3 menit. Asar, magrib, isya, subuh dan dhuha ditambah 2 menit. Terbit dikurangi 2 menit. Imsak, subuh sudah menggunakan ihtiyat di kurangi 10 menit. Lihat Ahmad Izzuddin, Standarisasi Hisab Rukyat Sebagai Upaya Pemerintah dalam Penyatuan Umat, disampaikan dalam seminar imsakiyah Ramadhan 1435 H
30_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015 di STAIN Pekalongan, Sabtu 14 Juni 2014, h. 26.
34. THL Maximilian der Zauberer, Introduction to the Astrolabe, Pdf, h. 1. 35. Hambali, Ilmu..., h. 181. 36. Plete astrolabe merupakan piringan yang berada pada astrolabe tempat
proyeksi langit lokal sehingga basisnya hanya untuk satu koordinat saja. Baca selengkapnya Morrison, The..., h. 9.
37. A. Jamil, Ilmu Falak Teori dan Aplikasi, Jakarta: Amzah, 2009, h. 46. 38. Hendro Setyanto, Rubu’ al-Mujayab: Tabel Model Pergerakan Matahari Dalam
proceeding seminar himpunan astronomi Indonesia. Bandung: Departemen Astronomi ITB, 2001, h. 5.
39. Morrison, The..., h. 1. 40. Ali, Ad-durus..., h. 24-26. 41. Rule terletak di atas rete, dan dirancang untuk dapat bergerak. Hal ini
digunakan sebagai pointer pada perhitungan. Bentuk rule berbeda-beda, ada ganda dan tunggal.
42. Rete adalah lapisan potongan yang terletak di atas plate. Rate menunjukkan proyeksi dari bola langit. Rete dirancang untuk dapat bisa bergerak secara bebas.
43. Plate merupakan bagian astrolabe yang menggambarkan langit lokal pengamat yang terletak pada mater. Plate dirancang sesuai dengan lintang tertentu, karena proyeksi langit yang terlihat disesuaikan dengan lintang pengamat. Apabila pengamat berpindah tempat maka plate nya harus disesuaikan dengan lintang lokasi tersebut.
44. MKA Timothy J. Mitchell, The Astrolabe in Theory and Practice, San Francisco: Creative Commons Attribution, 2011, h. 8.
45. Setyanto, Rubu’..., h. 5. 46. Tinggi Matahari Zuhur dapat diperoleh dari pembacaan terhadap astrolabe,
dari ketinggian tersebut dimasukkan ke skala cotangent akan menghasilkan bayangan. Panjang bayangan tersebut ditambahkan panjang tongkat yakni 7 maka jumlahnya adalah panjang bayangan ketika asar. Dari panjang bayangan asar dapat diketahui ketinggiannya melalui skala cotangent. Untuk data ephemeris untuk mencari tinggi zuhur menggunakan rumus : 90 – [ deklinasi – lintang tempat] dan menentukan panjang bayangan zuhur yakni dengan rumus : tan (Lintang Tempat – deklinasi ) x panjang bayangan. Setelah diketahui bayang zuhur dijumlahkan dengan 7. Kemudian dari penjumlahan panjang bayangan tersebut dicari ketinggian Matahari saat asar dengan rumus Cotan h = Panjang Bayangan : Panjang Tongkat.
Argumentasi Hukum Jaminan Produk Halal _31
Legal Arguments of Halal Product Guarantee
Argumentasi Hukum Jaminan Produk Halal
Asep Syarifuddin Hidayat & Mustolih Siradj Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta - Halal Counsulting email :
[email protected]
Abstract : During this time most of the arguments in eliminating halal assurance system (SJH) is based on sectarian argument because the benefit is just come to a certain denomination, Islamic Ummah, on the other hand harming another religion. Textually could be phrase ‘halal’ is synonymous with the everyday vocabulary of the Muslims. But when we examined further, the problem of availability of halal products is not only a matter of Islamic Ummah, but also the problems of humanity. Because of the food consumed by the human race originated chain up to the birth of civilization is exist and specified quality. The halal food is kosher and thoyyib (good / nutritious) will give birth to a superior human generation. State in this matter has also been actively contribute to provide halal food products through a variety of regulatory instruments. This happened long before the enactment of Law No. 33 Year 2014 on Halal Product Guarantee (UU-JPH). There are many laws that spread such as the food laws, health laws, consumer protection laws and regulations under enactment reserved. Birth of UUJPH inspired by Islamic Shari’a becomes a confirmation of how the urgency of halal product assurance is a very urgent problem in addition to responding to the trend of global halal being implicated. By doing so, the consumer society are protected and inwardly feel comfortable consume and use products manufactured by businesses (manufacturers), both domestic and export.
32_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
Abstraksi : Selama ini kebanyakan argumentasi dalam mengelominasi sistem jaminan halal (SJH) didasarkan pada argumentasi sektarian karena hanya menguntungkan ummat agama tertentu yakni ummat islam, di sisi lain merugikan ummat agama lain. Secara tekstual bisa frase ‘halal’ memang identik dengan kosa kata sehari-hari kaum muslim. Akan tetapi bila dicermati dan ditelisik lebih jauh masalah ketersediaan produk halal bukan hanya masalah ummat islam, akan tetapi persoalan kemanusiaan. Karena dari makanan yang dikonsumsi bermula rantai kehidupan ummat manusia hingga lahirnya peradaban bisa ada dan ditentukan kualitasnya. Makanan yang halal dan thoyyib (baik/bergizi) akan melahirkan generasi manusia yang unggul. Negara dalam persoalan ini juga telah aktif hadir berkontribusi menyediakan produk pangan halal melalui berbagai instrumen regulasi. Hal ini terjadi jauh sebelum lahirnya UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU-JPH) ada banyak peraturan yang tersebar seperti pada undang-undang pangan, undang-undang kesehatan, undang-undang perlindungan konsumen dan peraturan-peraturan di bawah undang-undang. Lahirnya UUJPH yang terilhami oleh syariat islam menjadi penegas betapa urgensi jaminan produk halal merupakan persoalan yang sangat mendesak disamping merespon tren halal global yang sedang menggejala. Dengan begitu, masyarakat konsumen terlindungi dan secara batin merasa nyaman mengkonsumsi dan menggunakan produk yang diproduksi oleh pelaku usaha (produsen), baik domestik maupun ekspor. Keywords: Halal product, JPH Act, Moslems
A. Pendahuluan Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, obatobatan, dan kosmetik serta berkembang sangat pesat. Hal itu berpengaruh secara nyata pada pergeseran pengolahan dan pemanfaatan bahan baku untuk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai masyarakat dari yang semula bersifat sederhana dan alamiah
Argumentasi Hukum Jaminan Produk Halal _33
menjadi pengolahan dan pemanfaatan bahan baku hasil rekayasa ilmu pengetahuan menjadi semakin rumit dan kompleks. Pengolahan produk dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan percampuran antara yang halal dan yang haram baik disengaja maupun tidak disengaja. Oleh karena itu, untuk mengetahui kehalalan dan kesucian suatu produk, diperlukan suatu kajian khusus yang membutuhkan pengetahuan multidisiplin, seperti pengetahuan di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, dan pemahaman tentang syariat. Dalam realitasnya banyak produk yang beredar di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya meskipun produsen menyatakan produk yang dipasarkan dinyatakan halal. Pangan pada umumnya tidak dikonsumsi dalam bentuk tidak seperti bahan mentahnya, tetapi sebagian besar diolah mejadi berbagai bentuk dan jenis pangan lainnya melalui proses produksi yang panjang dan mahal. Mulai dari proses pengadaan bahan baku, penyediaan bahan tambahan, poses pengolahan, pengemasan, distribusi pengangkutan, dan penjulan. Akibatnya akses komunikasi konsumen kepada produsen menjadi jauh dan untuk mengetahui kehalalan suatu produk pangan menjadi sulit. Ditambah lagi satu sisi pelaku usaha hendak memperoleh laba sebesar-besarnya di tengah ketatnya persaingan usaha, di sisi lain konsumen menginginkan produk bermutu dengan harga terjangkau. Indonesia negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia yang (85 % dari 250 juta jiwa) tentu saja berkepentingan dengan peredaran produk berstandar halal. Sebab secara otomatis kaum muslim menjadi konsumen terbesar/mayoritas di negeri ini disampaing menjadi pasar impor negara-negara lain. Maka itu sudah sepatutnya mendapatkan perlindungan dalam memperoleh kepastian tentang kehalalan produk yang beredar. Sebagai ilustrasi, pada 2013 kta mengimpor kosmetik dan farmasi dari Korea dengan nilai total US$ 36, 4 juta (kosmetik : US$ 11,7 juta, farmasi US$ 24, 7 juta).1 Belum lagi impor dari Thailand dan langganan impor daging sapi baik yang berasal dari Selandia Baru atau
34_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
Australia. Selain itu pasokan makanan olahan seperti cokelat, yogurt, makanan ringan (snack) dan lain-lain yang pemasoknya masih didominasi oleh Nestle, Unilever, Carrefour, dan sebagainya.2 Dengan kenyataan seperti ini sesungghnya secara empirik masalah produk berstandar halal sudah menjadi bagian yang terpisahkan dari lanskap perdagangan dan ekonomi global yang menuntut adanya standar-standar dan kualitas baku internasional untuk mendapatkan kepercayaan dari konsumen lintas negara sehingga rintangan (barier) yang dianuat oleh negara menjadi runtuh untuk memudahkan transportasi dan menurunkan biaya (cost) yang selama ini menjadi kendala. Dengan begitu arus barang menjadi lancar. Aliran barang, jasa, modal, ilmu pengetahuan dan juga perpindahan manusia antar negara menjadi makin mudah.3 Perdagangan internasional berpengaruh besar terhadap perekonomian antar negara. Antar negara dapat menarik saling keuntungan dari perdagangan timbal balik, bahkan salah satunya lebih efesien dari pada yang lain dalam memproduksi barang.4 Banyak pakar yang menyimpulkan bahwa manfaat perdagangan melampaui manfaat persaingan militer dan perluasan wilayah.5 Secara empirik, persoalan halal merupakan isu yang sangat sensitif dan selalu mengusik kehidupan masyarakat manakala menemukan produk yang dikonsumsi ternyata tidak atau belum dinyatakan halal.6 Hal ini dapat dipahami, karena secara tegas syari’ah Islam yang menjadi way of life ummat Islam mengatur dengan cukup jelas tentang makanan, bersamaan itu syariat islam juga melarang secara tegas mengkonsumsi segala hal yang tidak halal.7 Oleh karena itu maka mafhum kenapa ummat Islam sangat berkepentingan atas jaminan halal dalam rantai pengelolaan dan rantai distribusi makanan. Konsumsi halal adalah hak dasar setiap muslim. Hal ini bukan saja terkait dengan keyakinan beragama, namun ada dimensi kesehatan dan ekonomi. Maka dengan penduduk yang mayoritas muslim, tanpa diminta sudah semestinya negara hadir melindungi warganya dalam pemenuhahan hak-hak mendasar warganya. Selaras dengan itu pelaku usaha (produsen) juga
Argumentasi Hukum Jaminan Produk Halal _35
sudah seharusnya memberikan perlindungan kepada konsumen. Untuk kepentingan itu, maka dituntut peran yang lebih aktif oleh negara dalam pengaturan sistem ekonomi yang dijabarkan dalam strategi yang dilakukan pemerintah/negara sebagai instrumen perdagangan/bisnis diantaranya melalui regulasi dan de-regulasi.8 Belakangan gaya hidup halal memang tengah melanda dunia, tidak hanya menggejala pada negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim tetapi juga negara berpenduduk mayortas non muslim. Perusahaan berskala global juga saat ini telah menerapkan sistem halal sebut saja seperti Japan Airlaines, Singapore Air Lines, Qantas, America Airlines menyediakan menu halal (moslem meal). Gejala halal juga merambah negara Amerika, Australia, Jepang, Cina, India, dan negaranegara Amerika Latin.9 Khusus Jepang, negara ini memiliki perhatian sangat serius terhadap tren halal, salah satu indikasinya dengan digelarnya Japan Halal Expo yang berhasil menyedot perhatian dan minat berbagai pihak. Japan Halal Expo memuat produk halal buatan Jepang. Saat ini sudah ada 350 restoran di Jepang yang telah menyediakan makanan halal, 54 diantaranya adalah restoran khusus makanan negara tersebut.10 Sesungguhnya selama ini sudah cukup banyak rintisan peraturan yang menyinggung mengenai masalah kehalalan terutama terkait makanan, obat-obatan dan kosmetik. Sayangnya peraturan-peraturan tersebut secara teknis belum dapat dijadikan payung hukum yang kuat yang dan secara spesifik dapat mengikat terhadap persoalan kehalalan produk kepada produsen (pelaku usaha) maupun jaminan kepada konsumen.11 Maka itu belum ada jaminan kepastian hukum yang mengatur tentang halal, terlebih perundang-undangan di atas masih bersifat voluntary padahal jaminan halal menjadi keniscayaan dan sangat mendesak terutama dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen dan kancah perdagangan global. Lahirnya Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UUJPH) sesungguhnya makin mempertegas betapa
36_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
mendesaknya persoalan halal-haram dalam rantai produksi dari pelaku usaha hingga sampai dan dikonsumsi oleh konsumen. Karena diantara mereka ada peran pihak seperti distributor, subdistributor, grosir, pengecer sebelum sampai ke tangan kosnumen akhir. Diberlakukannya undang-undang UUJPH pihak konsumen (masyarakat luas) mendapatkan kepastian hukum terhadap produk makanan dan barang konsumsi lainnya. Demikian pula dengan pelaku usaha, hadirnya UUJPH memberikan panduan bagaimana mengolah, memproses, memproduksi, dan memasarkan produk kepada masyarakat kounsumen serta bagaimana membuat informasi produk halal kepada konsumen.12 UUJPH tidak hanya ditujukan untuk memberikan perlindungan dan jaminan kepada konsumen semata, dengan pemberian sertifikasi halal, produsen juga menuai manfaat dari UU ini yakni adanya kepastian hukum terhadap seluruh barang yang diproduksi. Sehingga UUJPH akan berdampak positif bagi dunia usaha. Dengan adanya jaminan produk halal untuk setiap produk, perusahaan bisa mendapatkan manfaat, yaitu produk yang bersertifikas halal digemari konsumen dan menambah tingkat penjualan. Meyediakan pangan halal dapat menjadi bisnis yang sangat prospektif, karena dengan label (sertifikasi) halal dapat mengundang pelanggan yang loyal. Hal ini bukan saja diminati oleh muslim tetapi juga masyarakat non muslim.13 Sebab menurut mereka, pangan yang halal bagi muslim itu terbutki berkualitas dan sangat baik untuk kesehatan tubuh manusia. Seperti daging yang berasal dari hewan yang halal yang disembelih sesuai dengan ketentuan Islam ternyata lebih sehat untuk dikonsumsi.14
B. Halal - Haram Dalam Pandangan Islam Makanan atau sesuatu apapun yang dikonsumsi manusia mengandung zat-zat yang dibutuhkan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti karbohidrat sebagai energi, protein hewani atau nabati sebagai untuk membangun jaringan tubuh, termasuk sel otak, serta memperbaiki bagian-bagian yang sudah lapus maupun yang rusak, vitamin dan
Argumentasi Hukum Jaminan Produk Halal _37
mineral untuk memperlancar metabolisme tubuh dalam mencerna dan menyerap sari-sari makanan dan membentuk daya tahan tubuh. Berhubung makanan dan minuman sangat besar dan dominan pengaruhnya terhadap pertumbuhan fisik badan dan kecerdasan akal manusia, maka Allah memberikan petunjuk dan memberikan bimbingan agar ummat manusia hanya mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal dan thoyyib (baik/bergizi), sehingga akan memberikan pengaruh yang baik bagi kehidupan secara fisik jasmani bagi setiap orang yang mengkonsumsinya. Sedangkan makanan yang haram akan menimbulkan dampak negatif dan membahayakan. Misalnya, bangkai atau darah akan menimbulkan penyakit, khomar atau minuman keras akan merusak lambung serta akal. Dalam pandangan Islam persoalan memilih untuk mengkonsumsi yang halal haram merupakan persoalan yang sangan penting, bahkan dianggap sebagai inti keberagamaan, karena setiap orang yang akan menggunakan atau melakukan, mengkonsumsi sangat dituntut oleh agama untuk memastikan terlebih dahulu kehalalan dan keharamannya. Jika halal, ia boleh melakukan, menggunakan atau mengkonsumsinya. Namun jika jelas keharamannya maka harus dijauhkan dari seorang muslim. Sedemikian urgen kedudukan halal dan haram hingga sebagai ulama menyatakan “Hukum Islam (fikih) adalah pengetahuan tentang halal dan haram”. Hal tersebut secara jelas dinyatakan dalam Surat alBaqarah/2: 168. Kandungan makna ayat tersebut memerintahkan seluruh ummat manusia agar mengkonsumsi makanan yang halal. Apalagi bagi orang-orang yang beriman, tentu lebih utama dan bagi wajib untuk mengamalkan tuntutan Qur’ani serta mematuhi tuntutan Allah tersebut. Selain itu, bila dicermati lebih jauh makanan dalam pandangan Islam adalah menyangkut hajat ummat manusia secara keseluruhan, bukan hanya muslim. Demikian pula soal makanan yang halal dan haram adalah urusan luas masyarakat pada umumnya. Makanan yang dikonsumsi secara biologis akan diproses, dintaranya menjadi saripati
38_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
kehidupan berupa sel sperma atau sel telur, yang berikutnya tumbuh dan menjelma menjadi janin anak manusia sebagai generasi pelanjut orang tua dan ummat manusia pada umumnya. Maka bicara tentang makanan, halal-haram, berarti bicara tetang keturunan dan generasi pelanjut yang akan menentukan masa depan peradaban ummat manusia dengan karakteristik halal-haram tersebut.15 Pada kenyatanya, dalam kehidupan sosial kemasyarakatan seorang muslim tentu saja tidak dapat menghindarkan diri dari pergaulan sosial dengan berbagai macam suku bangsa dan agama. sebagai makhluk sosial manusia juga membutuhkan manusia-manusia lainnya, termasuk produk-produk yang dihasilkan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidup, inilah yang disebut muamalah.16 Namun demikian, Islam tetap mengajarkan semua produk yang dikonsumsi harus tetap halal.17 Hal ini merupakan menifestasi ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.18 Sebaliknya, mengkonsumsi barang atau makanan yang haram dalam agama merupakan bentuk sikap membangkang terhadap ketentuan Allah, serta merupakan perbuatan maksiat yang mendatangkan dosa dan keburukan. Halal adalah sesuatu yang jika digunakan tidak mengakibatkan mendapatkan siksa(dosa). Sedangkan haram adalah sesuatu yang oleh Allah SWT dilarang dilakukan dengan larangan tegas dimana orang yang melanggarnya diancam siksa oleh Allah di akhirat.19 Pangan halal adalah pangan yang jika dikonsumsi tidak mengakibatkan mendapat siksa (dosa), dan pangan haram adalah pangan yang jika dikonsumsi akan berakibat mendapat dosa dan siksa azab dari Allah SWT.20 Selain itu, menurut Nabi Muhammad SAW mengkonsumsi yang haram menyebabkan doa yang dipanjatkan tidak akan dikabulkan dan segala amal ibadah yang dilakukan tidak akan diterima oleh Allah. Atas dasar itu, bagi umat islam, sejalan dengan ajaran islam, menghendaki agar produk-produk yang akan dikonsumsi dijamin kehalalan dan kesuciannya. Menurut Islam mengkonsumsi yang halal,
Argumentasi Hukum Jaminan Produk Halal _39
suci dan baik merupakan perintah agama dan hukumnya adalah wajib. Cukup banyak ayat dan hadis yang menyatakan hal tersebut diantaranya Al-Baqarah (2) : 29, 195, Al-jasyiyah (45) : 13, al-A’râf (7) : 157, Al-Mâidah (5) : 3, al-An’âm (6) : 145, Al-Nahl (16) ; 115 Penentuan kehalalan dan keharaman tidak dapat didasarkan hanya kepada asumsi suka atau tidak suka. Karena yang demikian itu akan dianggap sebagai membuat-buat hukum tanpa didasari argumen (tahakkum). Penentuan halal-haram merupakan hak Preogatif Allah. Dengan demikian penentuan halal haram dalam bidang pangan harus didasarkan pada al-Qura’n dan sunnah serta kaidah-kaidah hukum yakni pedoman yang dapat dipertanggungjawabkan secara syari’ah. Namun dengan perkembangan pesat ilmu pengetahuan seperti sekarang menentukan halal-haram tidak semudah zaman dahulu yang sanga mudah mengetahui jenis dan bahan baku makanan halal mudah dikenali, serta cara pengolahan pun tidak bermacam-macam. Saat ini persoalannya menjadi berbeda kemajuan iptek dan teknologi rekayasa pangan cukup menjadi alasan berapa tidak mudah mengetahui kehalalan sebuah produk terlebih apabila makanan tersebut berasal dari negara yang mayoritas penduduknya beragama non muslim, sekalipun bahan bakunya berasal dari barang-barang yang halal dan suci. Sebab bukan tidak mungkin proses pembuatan dan percampurannya membaur dengan dan bersentuhan dengan barang-barang yang tidak suci atau bercampr dengan barang yang tidak halal. Maka tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa tidak setiap orang (muslim) akan dengan mudah dapat mengetahui secara pasti halal tidaknya suatu produk pangan, obatobatan dan kosmetik. Karena untuk mengetahui hal tersebut diperlukan pengetahuan yang cukup memadai tentang pedoman atau kaidahkaidah syariat Islam Menurut hukum Islam ada bahan-bahan yang sudah jelas kehalalannya oleh dalil yang qath’iy tsubut (berdasarkan ayat al-Qur’an atau Hadis Mutawatir) mencakup jenis-jenis pangan yang dibolehkan
40_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
untuk dikonsumsi oleh dalil yang bersifat umum sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkannya dan adapula jenis pangan atau bahan makanan yang sudah jelas keharamannya oleh dalil qath’iy al-dalalah. Dan diantara yang halal dan haram itu terdapat cukup banyak pangan yang masih samar-samar (syubhat) status hukumnya yang tidak masuk dalam ketegori pertama dan kedua (mukhtalaf fih).21 Produk-produk olahan, baik makanan, minuman, obat-obatan maupun kosmetik kiranya dapat diketegorikan sebagai musytabihat (syubhat), apalagi produkproduk tersebut berasal dari negara yang berpenduduk mayoritas non muslim, sekalipun bahan baku halal tetapi proses penyimpanan atau pengolahannya tercampur atau menggunakan bahan-bahan haram22 Secara garis besar, jenis pangan atau bahan pangan, obat-obatan dan kosmetik terdiri atas hewani dan non hewani. Semua kelompok non hewani, seperti nabati dan benda cair menurut syariat Islam halal dimakan kecuali yang najis (atau yang tekena najis), berbahaya, dan yang memabukkan.23 Demikian juga yang lain, pada dasarnya hukumnya adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya sebagaimana dinyatakan dalam Surat al-Baqarah/2: 29, al-A’râf/7: 32, Al-Jâtsiyah/45: 13. Selain itu, ada kaidah fikih yang menyatakan : (al-ashlu fi al- asysy-ya alnafi’ah al- ibahah, al-ashlu fi al-adharra al- hurmah), hukum asal sesuatu yang bermanfaat itu adalah boleh dan hukum asal sseuatu yang berbahaya adalah haram. Mengenai ke-haram-an benda najis atau terkena najis disebutkan dalam Surat Al-A’râf (7) : 157. Yang dimaksud dengan buruk (khabaits) dalam ayat tersebut menurut ulama adalah najis.
C. Pengaturan Produk Halal Sebelum Terbit Undang-Undang Jaminan Produk Halal Sebagai wujud nyata kehadiran negara dalam melindungi konsumen dari produk yang tidak halal, ada banyak perundang-undangan yang sejak lama digunakan untuk mengatur peredaran produk halal. Peraturanperaturan tersebut bahkan jauh sebelum Rancangan Undang-Undang
Argumentasi Hukum Jaminan Produk Halal _41
Jaminan Produk Halal (RUU JPH) dibahas di DPR. Hal ini menandakan bahwa persoalan pengaturan produk halal sesungguhnya sudah sejak lama diperlukan baik dalam konteks peradaran barang dalam skala domestik maupun peredaran produk dalam kaitan perdagangan global terutama yang terkait dengan kegiatan ekspor impor. 1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan (selanjutnya disebut UU Pangan) merupakan pengganti dari UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan karena sudah tidak lagi sesuai dengan dinamika dan perkembangan zaman. Dalam bagian konsideran, Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang. Maka itu melihat pentingnya proses pangan dalam bagian ketentuan umum UU Pangan definisikan secara jelas tentang keamanan pangan24 bagi masyarakat dan rangkaian produksi yang meliputi menyiapkan, mengolah, membuat. mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan/atau mengubah bentuk Pangan.25 Secara eksplisit bahkan dalam UU pangan dinyatakan; penyediaan pangan yang beragam, bergizi seimbang, aman, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat; dan pengembangan pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam pola konsumsi Pangan yang beragam, bergizi seimbang, bermutu, dan aman menjadi tanggungjawab pemerintah pusat dan daerah.26 Keamanan Pangan27 dimaksudkan untuk menjaga Pangan tetap aman, higienis, bermutu, bergizi, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat. Selain itu, keamanan pangan dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
42_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Adapun metode penyelenggaraan keamanan pangan dilakukan melalui beberapa cara yaitu28 : a. sanitasi Pangan; b. pengaturan terhadap bahan tambahan Pangan; c. pengaturan terhadap Pangan Produk Rekayasa Genetik; d. pengaturan terhadap Iradiasi Pangan; e. penetapan standar Kemasan Pangan; f. pemberian jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan; dan g. jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan. Terkait dengan jaminan keamanan pangan dan mutu pangan yang terkait dengan kehalalan pangan disebutkan bahwa, hal tersebut menjadi tanggungjawab pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan pengawasan terhadap penerapan sistem jaminan produk halal (JPH) yang dipersyaratkan.29 Adapun mengenai pelabelan, pelaku usaha pangan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan. Hal ini berlaku tidak hanya untuk produsen domestik, tetapi juga pangan impor pada saat memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pencantuman label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia ditulis, dicetak, atau ditampilkan secara tegas dan jelas sehingga mudah dimengerti oleh masyarakat serta memuat paling sedikit keterangan mengenai:30 a. b. c. d. e. f. g.
Nama produk; Daftar bahan yang digunakan; Berat bersih atau isi bersih; Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor; Halal bagi yang dipersyaratkan; Tanggal dan kode produksi; Tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa;
Argumentasi Hukum Jaminan Produk Halal _43
h. Nomor izin edar bagi Pangan Olahan; dan i. Asal usul bahan Pangan tertentu. Mengenai promosi/iklan label halal terhadap produk pangan maka produsen/pelaku usaha harus mempertanggungjawabkan sekali kehalalan atas produk tersebut.31 Demikian pula terkait dengan iklan Pangan yang menyebutkan kehalalan produk pangan setiap orang wajib bertanggung jawab atas kebenarannya.32 2. UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pengaturan tentang produk halal tidak secara eksplsit diatur oleh UU Kesehatan. UU Kesehatan hanya memberikan rambu-rambu secara umum dalam memproduksi, mengolah serta mendistribusikan makanan dan minuman hasil teknologi rekayasa genetik yang diedarkan terjamin agar aman bagi manusia, hewan yang dimakan manusia, dan lingkungan.33 Selain itu, setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi dan mempromosikan produk makanan dan minuman dan/atau yang diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil olahan teknologi dilarang menggunakan kata-kata yang mengecoh dan/ atau yang disertai klaim yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan. Makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi: a. Nama produk; b. Daftar bahan yang digunakan; c. Berat bersih atau isi bersih; d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan makanan dan minuman kedalam wilayah Indonesia; dan
44_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
e. Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa. 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU Konsumen) asas dari perlindungan konsumen meliputi asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.34 Disini konsumen secara eksplisit berhak mendapatkan jaminan perlindungan hukum dari adanya undang-undang pada Pasal 4 menetapkan hak-hak konsumen sebagai berikut: a. Hak atas keamanan, kenyamanan mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
dan
keselamatan
dalam
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur dan mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat atau keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur secara tidak diskriminatif; h. Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundangundangan lainnya. Sedangkan pada Pasal 5 diatur mengenai kewajiban konsumen diatur yaitu:
Argumentasi Hukum Jaminan Produk Halal _45
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Berdasarkan kedua pasal di atas jelas sudah bahwa konsumen berhak mendapatkan yang benar, jelas dan jujur dan mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa dan berkewajiban membaca dan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. Berarti kewajiban pengusaha yang membuat produk harus memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Berdasarkan hak-hak konsumen tersebut, maka penyampaian informasi yang berkaitan dengan produk harus dapat memberikan kepastian kepada konsumen. Hal tersebut dilakukan untuk melindungi hak-hak konsumen. Maka perlu ditekankan, bahwa penyampaian informasi yang berkaitan dengan produk makanan harus memberikan jaminan bahwa produk makanan tersebut adalah halal. Hal ini penting bagi kaum muslimin, sebab mengkonsumsi produk halal merupakan ketetuan syariat yang tidak dapat ditawar-tawar.35 Selanjutnya di dalam Pasal 8 dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; tidak sesuai dengan kondisi,
46_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut, tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan dan promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu, tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label; tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat, tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan Dalam PP tersebut pengaturan tentang label pangan tertuang pada Bab II. Bab II terdiri dari lima belas bagian. Sama mandat dari UU Pangan, Pasal 2 ayat 1(satu) PP Label dan Iklan Pangan memerintahkan agar setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. Pencantuman label tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca. Selanjutnya pada Pasal 3, label yang dicantumkan itu memuat keterangan sekurang-kurangnya tentang;
Argumentasi Hukum Jaminan Produk Halal _47
a. b. c. d.
Nama produk; Daftar bahan yang digunakan; Berat bersih atau isi bersih; Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia; e. Tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa. Pada PP Label dan Iklan Pangan, pengaturan pencantuman keterangan tentang halal pada label pangan dimuat pada pasal tersendiri yaitu pada Pasal 10 dan Pasal 11. Akan tetapi, agar tidak terlihat adanya pemisahan antara label pangan dengan keterangan halal sebagai bagian dari keterangan yang setidaknya harus termuat dalam label, maka PP ini membuat suatu benang merah dengan menyatakan bahwa pernyataan halal tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Label. Menurut Pasal 10 ayat (1) bahwa : Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada Label. Pencantuman keterangan halal atau tulisan “halal” pada label pangan merupakan kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia menyatakan (mengklaim) bahwa produknya halal bagi umat Islam. Penggunaan bahasa atau huruf selain bahasa Indonesia dan huruf Latin, harus digunakan bersamaan dengan padanannya dalam bahasa Indonesia dan huruf Latin.36 Kebenaran suatu pernyataan halal pada label pangan tidak hanya dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu yang digunakan dalam memproduksi pangan, tetapi harus pula dapat dibuktikan dalam proses produksinya. Untuk mendukung kebenaran pernyataan halal, setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam wilayah Indonesia untuk
48_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
diperdagangkan wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.37 Pemeriksaan tersebut dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama dengan mempertimbangkan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut. Pasal 11 menyebutkan : 1) Untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu; 2) Pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. 3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut. 5. Instruksi Presiden (Inpres) Tahun 1991 Tentang Peningkatan Pembinaan dan Pengawasan Produksi dan Peredaran Makanan Olahan Melalui Instruksi Presiden (Inpres) No 2 tahun 1991 yang terbit tanggal 12 Juni 1991, Presiden menginstruksikan kepada Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Dalarn Negeri, Menteri Kesehatan, Menteri Perindustrian, Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, Menteri Agama dan para Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I, untuk meningkatkan pembinaan dan pengawasan produksi dan peredaran makanan olahan. Pada instruksi Presiden tersebut, antara lain menyatakan bahwa masyarakat perlu dilindungi terhadap produk dan peredaran makanan yang tidak memenuhi syarat terutama dari segi mutu, kesehatan,
Argumentasi Hukum Jaminan Produk Halal _49
keselamatan dan keyakinan agama. Agar pelaksanaan instruksi tersebut tercapai perIu dilakukan peningkatan dan pengawasan kegiatan produksi, peredaran dan atau pemasaran makanan olahan yang dilakukan secara terus menerus dan terkoordinir. Sampai saat ini, secara umum kelanjutan dari instruksi Presiden tersebut belum terlihat secara nyata penerapannya baik di kalangan industri atau instansi berwenang yang mempunyai kekuatan hukum Dalam rangka mensukseskan pelaksanaan labelisasi halal dan instruksi Presiden No. 2 tahun 1991 untuk melindungi segenap konsumen Muslim di Indonesia dan meningkatkan keunggulan kompetitif produk ekspor Indonesia terutama makanan halal untuk pasar global, maka perlu dibentuk suatu lembaga sertifikasi yang profesional dan transparan. 6. Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama RI Nomor: 427/Menkes/SKB/VIII/1985, Nomor 68 Tahun 1985 Tentang Pencantuman Tulisan “Halal” Pada Lebel Makanan. Halal merupakan masalah yang cukup fundamental bagi konsumen muslim. Kehalalan suatu produk menjadi pertimbangan utama untuk mengkonsumsinya. Mengkonsumsi makanan yang halal dan baik merupakan hal yang tidak biasa ditawar oleh seorang Muslim. Maka untuk memberikan kejelasan bagi pemeluk agama Islam terhadap halal/ tidaknya makanan hasil produksi dalam negeri yang beredar/dijual kepada masyarakat, perlu adanya ketentuan pencantuman tulisan “Halal” pada label makanan. Sesuai dengan peraturan yang berlaku, label harus dapat memberikan informasi yang tidak menyesatkan mengenai sifat, bahan kandungan, asal, daya tahan, nilai dan kegunaannya. Mengingat label adalah penyampai informasi kepada masyarakat, jadi sudah selayaknya informasi yang dimuat pada label adalah sebenar-benarnya dan tidak menyesatkan. Pencantuman tulisan “Halal” diatur oleh Keputusan bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama Nomor : 427/MENKES/SKB/VIII/1985. Makanan “halal” adalah semua jenis makanan yang tidak mengandung
50_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
unsur atau bahan yang terlarang/haram dan atau yang diolah menurut hukum-hukum agama Islam. Produsen yang mencantumkan tulisan “halal” pada label/penandaan makanan produknya bertanggung jawab terhadap halalnya makanan tersebut bagi pemeluk agama Islam. Di dalam Pasal 1, 2 dan 4 SKB Menteri Agama dan Menteri Kesehatan Nomor :427/MENKES/SKB/Viii/1985 dan Nomor 68/1985, disebutkan : Pasal 1 : Dalam Keputusan Bersama ini yang dimaksud dengan : 1) Makanan ialah semua jenis makanan dan minuman yang beredar/dijual kepada masyarakat, termasuk Bahan Tambahan Makanan dan Bahan Penolong sebagaimana ditetapkan oleh Menteri Kesehatan RI. 2) Makanan yang halal ialah semua jenis makanan yang tidak mengandung unsure atau bahan yang terlarang/haram dan atau yang diolah/diproses menurut hukum Agama Islam. 3) Tulisan “Halal” adalah tulisan yang dicantumkan pada label/penandaan yang memberikan jaminan tentang halalnya makanan tersebut bagi pemeluk Agama Islam. Pasal 2 : Produsen yang mencantumkan tulisan “Halal” pada label/penandaan makanan produknya bertanggungjawab terhadap halalnya makanan tersebut bagi pemeluk agama Islam. Pasal 4 : 1) Pengawasan preventif terhadap pelaksanaan ketentuan Pasal 2 Keputusan Bersama ini dilakukan oleh Tim Penilaian Pendaftaran Makanan pada Depatemen Kesehatan RI cq. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. 2) Dalam Tim Penilaian Pendaftaran Makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, diikut sertakan unsure Departemen Agama RI. 3) Pengawasan di lapangan terhadap pelaksanaan ketentuan Pasal 2 Keputusan
Argumentasi Hukum Jaminan Produk Halal _51
Bersama ini dilakukan oleh aparat Departemen Kesehatan RI. Berdasarkan ketentuan tersebut, ijin pencantuman Label didasarkan atas laporan sepihak perusahaan kepada Departemen Kesehatan RI tentang proses pengolahan dan komposisi bahan, belum didasarkan atas sertifikasi halal. Sertifikasi halal di Indonesia baru dilakukan semenjak didirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) tahun 1989. 7. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 82/ MENKES/SK/I/1996 Tentang Pencantuman tulisan “Halal” pada Label Makanan, yang diubah dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor :924/MENKES/SK/VIII/1996 Tentang Perubahan atas Kepmenkes RI No. 82/Menkes/SK/1996. Ketentuan teknis tentang pelaksanaan Labelisasi yang didasarkan atas hasil sertifikasi halal, pada tahun 1996 dikeluarkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 82/Menkes/SK/I/1996 Tentang Pencantuman tulisan “Halal” pada Label Makanan yang diubah dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 924/Menkes/SH/VIII/1996 Tentang Perubahan atas Kepmenkes RI No. 82/Menkes/SK/1996. Tulisan dan logo “Halal” berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI tersebut, dapat dicantumkan jika makanan tidak mengandung unsur atau bahan yang terlarang atau haram dan telah memperoleh Sertifikasi Halal dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) serta Surat Persetujuan Pencantuman Tulisan Halal pada Label dari Departemen Kesehatan (sekarang Badan POM). Makanan halal (berdasarkan Permenkes RI No. 82 Tahun 1996) adalah semua jenis makanan dan minuman yang tidak mengandung unsur atau bahan yang terlarang/haram dan atau yang diolah/diproses menurut hukum agama Islam. Dalam Pasal 3 Permenkes ini disebutkan : 1) Produk makanan yang dapat mencantumkan tulisan “Halal” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi :
52_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Mie; Bumbu masak; Kecap; Biskuit; minyak goreng; Coklat/permen; Susu, es krim; Daging dan hasil olahannya; Produk yang mengandung minyak hewan, gelatine, shortening, lecithin; j. Produk lain yang dianggap perlu 2) Produk makanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus : a. memenuhi persyaratan makanan halal berdasarkan hukum Islam; b. diproduksi sesuai dengan cara pengolahan makanan halal sebagaimana terlampir dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 8 menyebutkan : “Produsen dan Importir yang akan mengajukan permohonan pencantuman tulisan “Halal” wajib siap diperiksa oleh petugas tim gabungan dari Majelis Ulama Indonesia dan Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal”. Pasal 10 : 1) “Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud Pasal 8 dari hasil pengujian laboratorium sebagaimana dimaksud Pasal 9 dilakukan evaluasi oleh tim ahli Majelis Ulama Indonesia; 2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud ayai (1) disampaikan kepada Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia untuk memperoleh fatwa; 3) Fatwa Majelis Ulama Indonesia sebagaimana dimaksud ayat (2) berupa pemberian sertifikat halal bagi yang memenuhi syarat atau berupa penolakan”.
Argumentasi Hukum Jaminan Produk Halal _53
Pasal 11 : “Persetujuan penulisan label “Halal” diberikan berdasarkan fatwa dari Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia”. Pasal 12 : 1) berdasarkan fatwa dari Majelis Ulama Indonesia, Direktur Jenderal memberikan a) persetujuan bagi yang memperoleh sertifikat “Halal”; b) penolakan bagi yang tidak memperoleh sertifikat “Halal”; 2) Penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b diberikan secara tertulis kepada pemohon disertai alasan penolakan”. Pasal 17 : “Makanan yang telah mendapat persetujuan pencantuman tulisan “Halal” sebelum ditetapkannya keputusan ini, harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam keputusan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak ditetapkannya keputusan ini”. Berdasarkan pasal 10 dan 11 Kepmenkes No. 924/Menkes/SK/ VIII/1996 tentang perubahan atas Kepmenkes No. 82/Menkes/SK/I/1996, pada tahun 1996 Depkes, Depag, dan MUI membuat kesepakatan tentang labelisasi halal. Kesepakatan itu intinya bahwa permintaan sertifikasi dan Label Halal dilakukan melalui satu pintu pemeriksaan yang dilakukan Tim Gabungan dari unsur-unsur ketiga pihak. Hasil pemeriksaan kemudian disidangkan oleh Tim Pakar MUI untuk selanjutnya dibahas dalam Komisi Fatwa MUI. Berdasarkan Fatwa MUI yang dituangkan dalam Sertifikasi Halal, Depkes memberikan ijin pencantuman Label Halal atas produk yang bersangkutan. 8. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Kesehatan No. 472/MENKES/SKB/VIII/1985 dan No. 68/1985 tentang pengaturan tulisan “halal” pada label makanan. Dalam pasal 4 ayat 1 SKB tersebut, soal “halal-haram’ produk ditangani
54_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
Tim Penilaian Pendaftaran Makanan pada Depkes RI, dalam hal ini Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan Masih banyak lagi beberapa aturan, baik yang terkait langsung maupun tidak langsung, yang mengatur masalah produk halal, antara lain: PP No. 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat, PP No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan Mutu dan Gizi Pangan, SK Menteri Pertanian No. 555/ Kpts/TN.240/9/1986 tentang Syarat-syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Usaha Pemotongan Hewan, SK Menteri Pertanian No.557/Kpts/TN520/9/1987 tentang Syarat-syarat Rumah Pemotongan Hewan Unggas dan Usaha Pemotongan Unggas, dll. Setidaknya, terdapat 17 buah produk peraturan perundang-undangan yang bisa dijadikan legal basis untuk melindungi konsumen muslim dari produk yang tidak halal (haram). Dengan demikian, pada konteks yuridis normatif, sebenarnya aturan yang ada di Indonesia sudah cukup untuk melindungi konsumen muslim dari produk yang tidak halal. Walaupun, memang, aturan-aturan tersebut masih terserak (sektoral) sifatnya.
D. Undang-Undang Jaminan Produk Halal Doktrin halalan thoyyib (halal dan baik) sangat perlu untuk diinformasikan secara efektif dan operasional kepada masyarakat disertai dengan tercukupinya sarana dan prasarana. Salah satu sarana penting untuk mengawal doktrin halalan thayyib adalah dengan hadirnya pranata hukum yang mapan, sentral, humanis, progresif, akamodatif dan tidak diskriminatif yakni dengan hadirnya UndangUndang Jaminan Produk Halal.38 Beberapa faktor yang mendasari pentingnya UU-JPH antara lain, pertama39 berbagai peraturan perundang-undangan yang telah ada yang mengatur atau yang berkaitan dengan produk halal belum memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum bagi konsumen untuk dapat mengkonsumsi produk halal. Sehingga masyarakat mengalami kesulitan dalam membedakan antara produk yang halal dan haram. Selian itu
Argumentasi Hukum Jaminan Produk Halal _55
pengaturan produknya masih sangat terbatas hanya soal pangan belum mecakup obat-botan, kosmetika, produk kimia biologis dan rekayasa genetik. Kedua, tidak ada kepastian hukum kepada institusi mana keterlibatan negara secara jelas di dalam jaminan produk halal. Sistem yang ada belum secara jelas memberikan kepastian wewenang, tugas dan fungsi dalam kaitan implementasi JPH, termasuk koordinasinya. Ketiga, peredaran dan produk di pasar domestik makin sulit dikontrol akibat meningkatnya teknologi pangan, rekayasa teknomoli, bioteknologi dan proses kimia biologis. Keempat, produk halal Indonesia belum memiliki standar dan tanda halal resmi (standar halal nasional) yang ditetapkan oleh pemerintah sebagaimana di Singapura, Amerika Serikat, dan Malaysia. Kelima, sistem informasi produk halal belum sesuai dengan tingkat pengetahuan dan kebutuhan masyarakat tentang produk-produk yang halal.40 Setelah melewati proses yan panjang akhirnya DPR mensahkan Undang-Undang Nomor 33 tentang Jaminan Produk Halal (UUJPH). Undang-undang tersebut digagas pada waktu periode DPR RI tahun 2004-2009 dan kemudian dibahas oleh DPR RI bersama pemerintah pada periode 2009-2014. Yang cukup menarik adalah semua fraksi di DPR yang merupakan perwakilan dan perpanjangan tangan dari partai politik secara aklamasi memberikan persetujuan terhadap UUJPH. Tidak ada satupun yang menolak. RUU Jaminan Produk Halal (RUU-JPH) sempat mendapatkan penolakan dari Fraksi Partai Damai Sejahtera (PDS). Melalui anggotanya PDS menolak jaminan produk halal ini diatur undang-undang.41 Maka itu, pemahaman tentang halal tidaknya sebuah produk atau makanan, cukup diserahkan kepada agamanya sendiri untuk memberikan aturan. RUU ini hal positif bagi umat Islam, tetapi di sisi lain mungkin sebaliknya untuk umat agama lain. Seperti halnya daging babi, untuk umat Islam daging babi sebuah makanan yang haram, tapi sebaliknya untuk umat Kristen. Artinya, haramnya umat islam belum tentu haram untuk umat beragama lainnya. Bahwa haram atau tidaknya sebuah makanan tidak
56_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
bisa dimonopoli oleh agama. Meski begitu, PDS tidak meminta RUUJPH dihentikan dibahas. Mereka ingin melihat substansi dari undangundang tersebut yang harus meliputi prinsip keadilan dan kesetaraan, sehingga ada perubahan-perubahan agar dapat diterima diterima oleh seluruh warga negara di Indonesia.42 Dalam proses berikutnya, RUU-JPH terus melaju dan kekhawatiran PDS tersebut pelan-pelan mulai terjawab. Perdebatan demi perdebatan yang menjadi ciri khas di dalam perumusan perundang-undangan menjadi bumbu penyedap. Ada logika, ada tekanan, ada juga penjelasan yang terkadang sulit dipahami dan juga terkadang ada jalan keluar yang secara tiba-tiba muncul. Semua itu menggambarkan dinamika perumusan perundang-undangan yang terjadi. Melalui jalan berliku yang seperti itu, akhirnya RUU-JPH ini disepakati dan disahkan DPR. UUJPH dapat disebut sebagai formalisasi syariat Islam yang masuk dan meresap ke dalam hukum nasional melalui proses legislasi43 sebagaimana halnya undang-undang yang lebih dahulu dikodifikasi karena ‘terinspirasi’ oleh syariat islam seperti undang-undang Zakat, undang-undang Perkawinan, undang-undang Wakaf, undang-undang penyelenggaran Ibadah Haji, undang-undang Peradilan Agama, undangundang perbankan syariah dan sebagainya meskipun tidak secara langsung disebutkan syariat Islam sebagai hukum Islam. Hal semacam ini dapat dipahami mengingat persoalan yang terus berkembang dan semakin kompleks sesuai dengan perkembangan zaman.44 Indonesia sebagai negara dengan ciri masyarakat yang relegius dan memeiliki kayakinan agama yang kuat sehingga mempengaruhi norma, nilai, budaya dan perilaku pemeluknya. Konstitusi negara republik Indonesia mengakui relegiusitas tersebut sebagaimana tertuang dalam Pasal 29 UUD Republik Indonesia yang yang berdasakan ketuhanan.45
E. Konstruksi UUJPH Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU-JPH) memperkuat dan mengatur berbagai regulasi halal
Argumentasi Hukum Jaminan Produk Halal _57
yang selama ini tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan, disisi lain UUJPH dapat disebut sebagai payung hukum (umbrella act) bagi pengaturan produk halal. Jaminan Produk Halal (JPH) dalam undang-undang ini mencakup berbagai aspek tidak hanya obat, makanan dan kosmetik akan tetapi lebih luas dari itu menjangkau produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.46 Pengaturannya pun menjangkau kehalalan produk dari hulu sampai hilir. Proses Produk Halal yang selanjutnya disingkat PPH didefinisikan sebagai rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk.47 Hal ini bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan Produk; dan meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produknya. Jaminan produk halal secara teknis kemudian dijabarkan melalui proses sertifikasi. Sebelumnya sertifikasi halal bersifat voluntary, sedangkan UUJPH menjadi mandatori. Karena itu, semua produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.48 Hal inilah yang menjadi pembeda utama dengan produk perundang-undangan sebelumnya. Nantinya sebagai penanggungjawab sistem jaminan halal dilakukan oleh pemerintah yang diselenggarakan Menteri Agama dengan membentuk Badan Penyelenggara JPH (BPJPH) yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri Agama. Apabila diperlukan BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah49. BPJPH memiliki kewenangan sebagai berikut:50 a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH; b. Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH; c. Menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk;
58_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
d. e. f. g. h. i. j.
Melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri; Melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal; Melakukan akreditasi terhadap LPH (lembaga penjamin halal Melakukan registrasi Auditor Halal; Melakukan pengawasan terhadap JPH; Melakukan pembinaan Auditor Halal; dan Melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.
Dalam melaksanakan wewenangnya BPJPH bekerja sama dengan Kementerian dan/atau lembaga terkait, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kerja sama BPJPH dengan LPH dilakukan untuk pemeriksaan dan/atau pengujian produk. Kerja sama BPJPH dengan MUI dilakukan dalam bentuk sertifikasi Auditor Halal, penetapan kehalalan produk; akreditasi LPH.51 Untuk membantu BPJPH dalam melakukan pemeriksaan dan/ atau pengujian kehalalan produk pemerintah dan masyarakat dapat mendirikan LPH. Syarat mendirikan LPH meliputi:52 a. b. c. d.
Memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya; Memiliki akreditasi dari BPJPH; Memiliki Auditor Halal paling sedikit 3 (tiga) orang; dan Memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama dengan lembaga lain yang memiliki laboratorium.
Untuk menjamin proses produksi halal (PPH) lokasi, tempat, dan alat PPH wajib dipisahkan dengan lokasi, tempat, dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk tidak halal.53 Lokasi, tempat, dan alat PPH wajib dijaga kebersihan dan higienitasnya, bebas dari najis; dan bebas dari bahan tidak halal.54 Untuk menjamin kelancaran proses produksi halal pelaku usaha berhak memperoleh beberapa hal yaitu informasi, edukasi, dan sosialisasi
Argumentasi Hukum Jaminan Produk Halal _59
mengenai sistem JPH; pembinaan dalam memproduksi Produk Halal; dan pelayanan untuk mendapatkan Sertifikat Halal secara cepat, efisien, biaya terjangkau, dan tidak diskriminatif. Selain itu, pelaku usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal wajib55: a. Memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur; b. Memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penyajian antara Produk Halal dan tidak halal;
penjualan,
dan
c. Memiliki Penyelia Halal; dan d. Melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada BPJPH. Bagi Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal wajib: a. Mencantumkan Label Halal terhadap Produk yang telah mendapat Sertifikat Halal; b. Menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal; c. Memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan tidak halal; d. Memperbarui Sertifikat Halal jika masa berlaku Sertifikat Halal berakhir; dan e. Melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada BPJPH. Bagi Pelaku Usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan dikecualikan dari mengajukan permohonan Sertifikat Halal. Pelaku Usaha semacam ini wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada produk.56 Tata cara memperoleh Sertifikat Halal57 diawali dengan pengajuan permohonan Sertifikat Halal oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan oleh LPH. LPH tersebut harus memperoleh akreditasi dari BPJH yang bekerjasama dengan MUI. Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI melalui
60_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
sidang fatwa halal MUI dalam bentuk keputusan Penetapan Halal Produk yang ditandatangani oleh MUI. BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal berdasarkan keputusan Penetapan Halal Produk dari MUI tersebut. Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat perubahan komposisi Bahan. Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir. Terkait biaya, sertifikasi halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan sertifikat halal. Dalam rangka memperlancar pelaksanaan penyelenggaraan JPH, Undang-Undang ini memberikan peran bagi pihak lain seperti Pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, pemerintah daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah, perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi, dan komunitas untuk memfasilitasi biaya sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil. Dalam UUJPH terdapat Ketentuan Peralihan yang mengatur Sertifkat halal dari MUI tetap berlaku sampai dengan batas waktu sertifikat tersebut berakhir. Sebelum BPJPH dibentuk, pengajuan permohonan atau perpanjangan Sertifikat Halal dilakukan sesuai dengan tata cara memperoleh Sertifikat Halal yang berlaku sebelum Undang-Undang ini diundangkan. MUI juga tetap menjalankan tugasnya di bidang Sertifikasi Halal sampai dengan BPJPH dibentuk. UUJPH memberikan mandat, BPJPH harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Kewajiban bersertifikat halal bagi Produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia mulai berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak UndangUndang ini diundangkan. Sebelum kewajiban bersertifikat halal berlaku, jenis Produk yang bersertifikat halal diatur secara bertahap.
Argumentasi Hukum Jaminan Produk Halal _61
F. Kesimpulan Peraturan perundang-undangan jaminan produk halal telah sedemikian rupa tersebar di berbagai tingkat mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri sampai, tingkat lembaga seperti BPPOM. Sayangnya, regulasi tersebut terpencar dan tidak jelas siapa penanggungjawab dan apa tugas fungsinya. Maka itu terbitnya UUJPH menjawab persoalan-persoalan tersebut. Status dan posisi lembaga tersebut sangat penting sebagai penangungjawab perlindungan masyarakat terhadap produk-produk non halal mengingat Indonesia mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Meski demikian, kedepannya perlu dikawal bagaimana implementasi dari UUJPH tersebut agar jangan melenceng dari yang cita-citakan awalnya. Sebab persolannya sesungguhnya bukan pada proses maupun pembentukan norma perundang-undangan, akan tetapi pada level implementasi-lah sebuah peraturan perundang-undangan akan diuji konsistensinya dalam berhadapan realitas persoalan yang kompleks dan terus berkembang.
62_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
Daftar Pustaka
Amin, Ma’ruf, Fatwa Produk Halal, Melindungi dan Menentramkan,Jakarta: Pustaka Jurnal Halal, 2010 _____________, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Elsas, 2011 Basyir, Ahmad Azhar, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta: UII Press, 2009 Hasan, Sofyan, Sertifikasi Halal dalam Hukum Positif, Regulasi dan Implementasinya di Indonesia, Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014 Hata, Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO, Aspek- Aspek Hukum dan Non Hukum Bandung: PT Refika Aditama, 2006 Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 2005 Mahfud MD, Moh, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009 Masudi, Masdar Farid, Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Perspektif Islam,Jakarta: Pustaka Alvabet, 2010. Miru, Ahmad, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, t.t. Nugroho, Susanti Adi, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Jakarta : PT Prenada Media Group, t.t Sapta Nirwanda, “Ikhtiar Menjadi Produsen Halal Lifestyle” dalam Majalah GATRA, Edisi 19 Juli 2015 Sidabalok, Janus, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bkati, 2010 Sumatupang, Violetta, Hukum Kepariwisataan Berbasis Ekspresi Budaya
Argumentasi Hukum Jaminan Produk Halal _63
Tradisional, Bandung: Alimni, 2015. Suntana, Ija, Politik Hukum Islam, Bandung: CV Puastaka Setia, 2014 Tulus Abadi Dkk. Tim Pengkajian Hukum tentang Peran Serta Masyarakat dalam pemberian Informasi Halal, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta: 2011 Yafie, Ali, Fikih Perdagangan Bebas,Jakarta: Teraju, 2004 Jurnal Halal No. 113/Mei-Juni Th.XVIII 2015; Majalah “GATRA” Edisi 29 Juli 2015; Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan Hukumonline.com, UU Jaminan Produk Halal Memberikan Kepastian Hukum Kepada Kosumen, sebagaimana dalam http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54241d9c5a5ed/uu- jaminan-produk-halal-berikan-kepastian-hukum-bagi- konsumen, diskes 22 Agustus 2015. Republika.co.id , PDS Tolak RUU Jaminan Produk Halal, sebagaimana dalam http://www.republika.co.id/berita/shortlink/31828. Diakses 22 Agustus 2015. Fraksi PDS Tolak Jaminan Produk Halal dijadikan Undang-undang, hukumoline.com sebagaimana dalam http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21214/fraksi-pds- tolak-jaminan-produk-halal-dijadikan-uu .(Diakses 23 Agustus 2015)
64_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
Endnotes 1. Sapta Nirwanda, “Ikhtiar Menjadi Produsen Halal Lifestyle”, dalam Majalah GATRA, Edisi 19 Juli 2015, h. 23.
2. Ibid. 3. Violetta Sumatupang, Hukum Kepariwisataan Berbasis Ekspresi Budaya Tradisional, Bandung: Alimni, 2015, h. 155.
4. Hata, Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO, Aspek-Aspek Hukum dan Non Hukum, Bandung: PT Refika Aditama, 2006, h. 17.
5. Ibid, h. 1 6. Sebut saja kasus-kasus daging celeng, baso babi, Ajinomoto, dan sebagainya 7. Ma’ruf Amin, Fatwa Produk Halal Melindungi dan Menentramkan, Jakarta: Pustaka Jurnal Halal, 2010, h. 77.
8. Ali Yafie, Fikih Perdagangan Bebas, Jakarta: Teraju, 2004, h. 77. 9. Asrorun Ni’am Sholeh, “Halal Jadi Tren Global” dalam GATRA Edisi 29 Juli 2015, h. 34-35.
10. Japan Halal Expo 2015, Jurnal Halal No. 113/Mei-Juni Th.XVIII 2015, h. 18. 11. 12. Hukumonline.com, UU Jaminan Produk Halal Memberikan Kepastian Hukum Kepada Kosumen, sebagaimana dalam http://www.hukumonline.com/berita/ baca/lt54241d9c5a5ed/uu-jaminan-produk-halal-berikan-kepastian-hukumbagi-konsumen, diskes 22 Agustus 2015.
13. Ma’ruf Amin, Ibid, h. 79. 14. Ibid 15. Sulhan Abu Fitra, “Makanan Menentukan Kualitas Generasi dan Peradaban,” Jurnal Halal No. 113/Mei-Juni Th.XVIII 2015, 30-31.
16. Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta: UII Press, 2009, 11.
17. Lihat Surat Al-Mâidah ayat 88 18. Ma’ruf Amin, Fatwa Produk Halal, Melindungi dan Menentramkan, Jakarta: Pustaka Jurnal Halal, 2010, h. 11.
19. Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Elsas, 2011,
Argumentasi Hukum Jaminan Produk Halal _65
20. Ibid. 21. Maruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam,…, h. 321 22. Ma’ruf Amin, ibid, h. 40 23. Ibid, Ma’ruf Amin, 21 24. Pasal 1 ayat 5 UU Pangan menyatakan: “Keamanan Pangan adalah kondisi dan
upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi”.
25. Pasal 1 ayat 6 UU Pangan: “Produksi Pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan/atau mengubah bentuk Pangan”.
26. Lihat Pasal 59 poin b dan c UU Pangan 27. Lihat Pasal 67 ayat (1) dan (2) UU Pangan 28. Lihat Pasal 69 UU Pangan 29. Pasal 95 UU Pangan menyatakan:
Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap penerapan sistem jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan terhadap Pangan.
Penerapan sistem jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
30. Lihat Pasal 97 UU Pangan 31. Pasal 101 UU Pangan 32. Pasal 105 UU Pangan 33. Lihat Pasal 109 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan 34. Lihat UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 35. Tulus Abadi Dkk. Tim Pengkajian Hukum tentang Peran Serta Masyarakat dalam
pemberian Informasi Halal, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta: 2011, h. 22.
36. Ibid 25 37. Ibid 27
66_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
38. Sofyan Hasan, Sertifikasi Halal dalam Hukum Positif, Regulasi dan Implementasinya di Indonesia, Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014, h. 351.
39. Naskah Akademik RUU-JPH, h. 6-7 40. Ibid, h. 3-4 41. PDS Tolak RUU Jaminan Produk Halal, republika.co.id sebagaimana dalam http://www.republika.co.id/berita/shortlink/31828. Diakses 22 Agustus 2015.
42. Fraksi PDS Tolak Jaminan Produk Halal dijadikan Undang-undang, hu-
kumoline.com sebagaimana dalam http://www.hukumonline.com/berita/ baca/hol21214/fraksi-pds-tolak-jaminan-produk-halal-dijadikan-uu. Diakses 23 Agustus 2015
43. Legislasi adalah proses pembentukan hukum secara tertulis dengan/melalui
negara sebagaimana definisi Rousseau “legislation is expresstion of the general will, such that a free people is only bound by thelaw which they have made for the salves” sebagaimana dalam Janzuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia ( Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 2005, 33.
44. Ija Suntana, Politik Hukum Islam, Bandung: CV Puastaka Setia, 2014, h. 83. 45. Masdar Farid Masudi, Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Perspektif Islam, Jakarta: Pustaka Alvabet, 20100, h. XIII.
46. Lihat pasal 1 ayat (1) UUJPH 47. Pasal Pasal 1 ayat (3) UUJPH 48. Pasal 4 UUJPH 49. Pasal 5 50. Pasal 6 51. Pasal 10 52. Pasal 13 53. Pasal 21 ayat 1 54. Pasal 21 ayat (2) 55. Pasal 24 56. Pasal 26 57. Pasal 29-39
Sengketa Ekonomi Syari’ah dan Kesiapan Peradilan Agama _67
Syari’ah Economic Disputes and Readiness of Religious Courts
Sengketa Ekonomi Syari’ah dan Kesiapan Peradilan Agama
Abdul Halim Muhamad Sholeh Pengadilan Agama Klas II Kalianda – Lampung Selatan email:
[email protected]
Abstract : The rapid growth of Shariah economic assets in Indonesia raises a logical consequence for increasing economic disputes Shari’ah. Shari’ah economic dispute resolution through the courts is the absolute authority of the Religious Court. This is confirmed by the Law No. Court Decision No. 3/2006 and 93 / PUU-X / 2012. To be able to perform well in order to resolve economic disputes Shari’ah potentially increase in the Religious, the readiness of the Institute of Justice Religion is the absolute thing that must be strengthened. Based on the results of the study in this article, the Institute for Religious Courts--although not yet maximum— it has been sufficiently prepared to handle economic disputes Shari’ah. Readiness includes the readiness of facilities aspects, human resources aspects, and the rules / laws aspects. However, it still needs to be improved readiness by completing the religious courts as a means of additional board space curator for the settlement of disputes bankrupt; increase the number of judges who are certified in the handling of economic disputes Shari’ah, and as soon as possible to legalize a draft compilation of economic events shari’a law in order to serve as guidelines in case areas of economic news events Shari’ah.
68_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
Abstraksi : Pesatnya
pertumbuhan
aset
ekonomi
syari’ah
di
Indonesia
menimbulkan
konsekuensi logis bagi meningkatnya sengketa ekonomi syari’ah. Penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah melalui jalur pengadilan merupakan wewenang absolut Pengadilan Agama. Hal ini dikukuhkan dengan UU No. 3/2006 dan Putusan MK No. 93/PUU-X/2012. Agar dapat melaksanakan tugas dengan baik dalam rangka menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah yang berpotensi meningkat di Pengadilan Agama, maka kesiapan Lembaga Peradilan Agama merupakan hal mutlak yang harus diperkuat. Berdasarkan hasil kajian dalam artikel ini, Lembaga Peradilan Agama –meskipun belum maksimal– telah cukup siap untuk menangani sengketa ekonomi syari’ah. Kesiapan itu meliputi kesiapan dari aspek fasilitas, aspek sumber daya manusia, dan aspek peraturan/hukum. Meski demikian, kesiapan itu masih perlu ditingkatkan dengan melengkapi sarana dalam pengadilan agama seperti penambahan ruang dewan kurator untuk penyelesaian sengketa pailit; menambah jumlah hakim yang bersertifikat dalam penanganan sengketa ekonomi syari’ah, serta sesegera mungkin melegalkan draf kompilasi hukum acara ekonomi syari’ah agar dapat menjadi pedoman dalam berita acara bidang perkara ekonomi syari’ah. Keywords: Economic disputes shari’ah, readiness, religious courts
A. Pendahuluan Sistem ekonomi syari’ah dengan berbagai bentuknya, di antaranya perbankan syari’ah dan lembaga keuangan syari’ah lainnya, telah mengalami pertumbuhan yang pesat. Hal tersebut merupakan efek positif dari telah terbuktinya sistem perbankan syari’ah ketika dihadapkan dengan krisis moneter dipelbagai belahan dunia pada era tahun 1990-an sehingga animo masyarakat dunia terhadap penerapan sistem ekonomi syari’ah semakin meningkat. Hal serupa juga terjadi di Indonesia. Bahkan dalam kurun waktu tiga puluh tahunan aset lembaga keuangan syari’ah di Indonesia per Oktober 2013 saja sudah mencapai Rp. 229.56 trilyun1 . Pertumbuhan aset tersebut juga diiringi dengan pertumbuhan jumlah nasabah dan jumlah
Sengketa Ekonomi Syari’ah dan Kesiapan Peradilan Agama _69
kelembagaan keuangan syari’ah di Indonesia. Dapat difahami dengan banyaknya jumlah nasabah dan jumlah kelembagaan keuangan syari’ah ini maka kemungkinan timbulnya sengketa di antara mereka juga makin besar. Selain dari sektor perbankan syari’ah, sengketa ekonomi syari’ah juga dapat muncul dari sektor non-perbankan syari’ah, seperti antar individu yang sedang terikat kontrak ekonomi syari’ah. Banyaknya sengketa ekonomi syari’ah tersebut, maka perlu ada lembaga yang dapat dijadikan rujukan untuk menyelesaikannya. Penyelesaian itu sendiri dapat melalui jalur non-litigasi seperti musyawarah dan mediasi perbankan, serta melalui jalur litigasi yaitu melalui arbitrase dan lembaga peradilan. Terbitnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama telah memberikan wewenang baru bagi lembaga Peradilan Agama yaitu kewenangan menangani sengketa ekonomi syari’ah. Namun setelah UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syari’ah terbit, maka timbul dualisme kewenangan dalam menangani sengketa perbankan syari’ah, yaitu peradilan agama dan peradilan umum sama-sama berhak menerima, memeriksa, dan memutus perkara sengketa perbankan syari’ah. Kemudian, dualisme kewenangan tersebut berakhir ketika MK melalui putusan Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013 memutuskan bahwa satu-satunya lembaga peradilan yang berhak menangani sengketa perbankan syari’ah adalah Peradilan Agama. Dengan keluarnya putusan MK tersebut, diperkirakan perkara ekonomi syari’ah yang masuk ke Pengadilan Agama akan meningkat. Lalu, untuk mengantisipasi terjadinya peningkatan perkara ekonomi syari’ah yang akan masuk ke Pengadilan Agama, sudah sejauh manakah kesiapan Peradilan Agama dalam menghadapi hal tersebut? Serta apakah putusan MK yang baru terbit itu betul-betul meniadakan gesekangesekan kewenangan dalam menangani sengketa ekonomi syari’ah
70_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
antara peradilan agama dengan peradilan umum? Dan langkah apa yang mesti dilakukan oleh Peradilan Agama dalam rangka mensukseskan pelaksanaan kewenangan dalam menangani sengketa ekonomi syari’ah tersebut? Dalam kerangka itulah tulisan ini akan mencoba mendiskusikan persoalan sengketa ekonomi syari’ah dan kesiapan peradilan agama dalam menanganinya.
B. Sengketa Ekonomi Syari’ah 1. Definisi Sengketa Ekonomi Syari’ah Untuk memahami definisi sengketa ekonomi syari’ah, maka kita perlu terlebih dahulu memahami dua bagian penting dalam istilah sengketa ekonomi syari’ah, yaitu “sengketa” dan “ekonomi syari’ah”. Kata “sengketa” dalam Kamus Hukum diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat antara dua pihak atau lebih yang berselisih. Sedangkan, sengketa yang masuk ke pengadilan biasa disebut juga dengan perkara.2 Dari definisi ini, sengketa juga dapat dipahami sebagai perselisihan antara dua pihak atau lebih karena munculnya suatu permasalahan yang menimbulkan perbedaan pendapat dan kepentingan. Sedangkan mengenai arti ekonomi syari’ah, sebenarnya banyak definisi yang diberikan oleh para cendekiawan muslim. Namun dalam tulisan ini, Penulis hanya akan mengutip definisi ekonomi syari’ah sebagaimana yang dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. Dalam kompilasi tersebut, yang dimaksud ekonomi syari’ah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang perorang, kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersil dan tidak komersil menurut prinsip ekonomi syari’ah.3 Istilah ekonomi syari’ah sebenarnya hanya dikenal di Indonesia, sedangkan di negara lain biasa disebut dengan istilah ekonomi Islam.4
Sengketa Ekonomi Syari’ah dan Kesiapan Peradilan Agama _71
Adapun jenis ekonomi syari’ah sebagaimana disebut dalam penjelasan Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006 adalah meliputi bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, peggadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah, dan bisnis syari’ah.5 Meskipun dalam penjelasan pasal di atas hanya disebut 11 jenis, namun hal itu tidak bermakna limitatif, tetapi harus dilihat sebagai contoh. Karena jika dilihat jenis terakhir yang terdapat dalam penjelasan pasal di atas ketika menyebut “bisnis syari’ah”, maka hal ini berarti memasukkan bentuk-bentuk lain dari ekonomi syari’ah yang tidak dapat atau belum dapat disebutkan ketika merumuskan pengertian ekonomi syari’ah dalam Pasal 49 tersebut. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sengketa ekonomi syari’ah adalah sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang terikat dalam akad ekonomi syari’ah. Sengketa tersebut dapat berupa sengketa antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah dengan nasabahnya, seperti pihak Bank dengan nasabah; sengketa antara sesama lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah, seperti antara suatu bank syari’ah dengan bank syari’ah yang lain dan sengketa antara orang-orang yang beragama Islam, yang dalam akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa perbuatan/kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah. Sengketa ekonomi syari’ah juga bisa dalam bentuk perkara Permohonan Pernyataan Pailit (PPP) dan juga bisa berupa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di bidang ekonomi syari’ah, di samping itu juga perkara derivatif kepailitan (perkara tidak murni sebagai perkara kepailitan).6 2. Penyebab Terjadinya Sengketa Ekonomi Syari’ah Sungguh pun aktivitas ekonomi syari’ah telah dilaksanakan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip syari’ah, namun dalam proses perjalanannya tidak menutup kemungkinan terjadinya sengketa
72_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
antara pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan tidak terpenuhinya hak dan kewajiban secara wajar dan semestinya oleh pihak-pihak yang terkait. Secara umum, penyebab terjadinya sengketa ekonomi syari’ah adalah: a. Wanprestasi (cidera janji). Apabila tuntutan berdasarkan wanprestasi, maka terlebih dahulu tergugat dan penggugat terikat dalam suatu perjanjian. Dengan demikian pihak ketiga (bukan sebagai pihak dalam perjanjian) yang dirugikan tidak dapat menuntut ganti kerugian dengan alasan wanprestasi.7 Di antara contoh wanprestasi dalam akad ekonomi syari’ah adalah sebagai berikut:8 1) Nasabah tidak melaksanakan kewajiban pembayaran/pelunasan (harga sewa, harga beli, dan bagi hasil) tepat pada waktu yang diperjanjikan sesuai dengan tanggal jatuh tempo atau jadwal angsuran yang telah disepakati dalam akad antara pihak nasabah dengan bank. 2) Dokumen atau keterangan yang dimasukkan/disuruh masukkan ke dalam dokumen yang diserahkan nasabah kepada bank, ternyata palsu, tidak sah, atau tidak benar. b. Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtsmatig Daad) Tuntutan yang didasarkan pada Perbuatan Melawan Hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian antara penggugat dengan tergugat, sehingga tuntutan ganti rugi dapat dilakukan setiap pihak yang dirugikan, walaupun tidak pernah terdapat hubungan perjanjian antara penggugat dan tergugat. Dengan demikian pihak ketiga dapat melakukan gugatan atas dasar Perbuatan Melawan Hukum. c. Force majeur, yaitu suatu keadaan dimana Debitur tidak dapat memenuhi atau melaksanakan prestasinya karena suatu keadaan diluar kemampuan
Sengketa Ekonomi Syari’ah dan Kesiapan Peradilan Agama _73
manusia.9 Sengketa yang timbul karena Force majeur biasanya mengenai perselisihan apakah suatu kejadian diakui sebagai Force Majeur atau tidak oleh pihak lain, dan biasanya syarat-syarat agar suatu keadaan diakui sebagai Force Majeure dituangkan dalam akad, seperti ditetapkannya batasan waktu untuk pihak yang terkena akibat langsung dari Force Majeur tersebut wajib memberitahukan secara tertulis dengan melampirkan bukti-bukti dari Lembaga Kepolisian/Instansi yang berwenang kepada Pihak lainnya mengenai peristiwa Force Majeur tersebut dan jika terjadi keterlambatan atau kelalaian para pihak untuk memberitahukan adanya Force Majeur tersebut dalam batas waktu yang disepakati maka akan mengakibatkan tidak diakuinya peristiwa tersebut sebagai Force Majeur oleh Pihak lain. 3. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah dapat ditempuh melalui jalur pengadilan dan jalur di luar pengadilan. a. Jalur Pengadilan Penyelesaian sengketa ekonomi syariah dapat dilakukan melalui jalur pengadilan. Adapun pengadilan yang berwenang menerima, memeriksa, dan mengadili perkara ekonomi syariah sesuai UU No. 3 Tahun 2006 adalah pengadilan agama. Namun jika mengacu kepada UU NO. 21 Tahun 2008 maka pengadilan negeri juga berwenang menyelesaikan perkara ekonomi syariah. Keadaan ini terus berlanjut dan baru berakhir setelah MK mengeluarkan putusan Nomor 93/ PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013. Dengan putusan MK tersebut maka pengadilan yang berwenang menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah hanya pengadilan agama. b. Jalur di Luar Pengadilan Upaya penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui jalur di luar pengadilan, dapat ditempuh dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli, mekanisme arbitrase.10
74_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
4. Penyebab Minimnya Jumlah Perkara Sengketa Ekonomi Syari’ah di Pengadilan Agama Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 hingga akhir tahun 2013 atau tepatnya sebelum keluarnya putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013, perkara ekonomi syariah yang masuk pengadilan agama baru sekitar 15 perkara untuk tingkat pertama, dan 3 perkara pada tingkat banding, 2 perkara pada tingkat kasasi, dan 2 perkara pada peninjauan kembali.11 Minimnya perkara yang masuk ke pengadilan agama tersebut disebabkan oleh beberapa faktor: a. Dualisme kewenangan mengadili antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri, dikarenakan adanya konflik antara UU Nomor 21 Tahun 2008 dan UU Nomor 3 Tahun 2006. Namun kemudian faktor ini berangsur-angsur hilang setelah terbitnya putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013. b. Lembaga Perbankan Syari’ah banyak yang lebih memilih menyelesaikan sengketa melalui jalur di luar pengadilan, seperti musyawarah dan mekanisme arbitrase. Hal ini adalah untuk menjaga reputasi lembaga perbankan itu sendiri, karena bersengketa di pengadilan dikhawatirkan akan merusak nama baik lembaga perbankan tersebut. c. Banyak para pencari keadilan terutama lembaga perbankan syariah yang masih meragukan kualitas dan kredibilitas Sumber Daya Manusia Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah. d. Kurangnya sosialisasi kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, sehingga masyarakat masih banyak yang belum tahu tentang hal tersebut. 5. Gesekan Kewenangan Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Meskipun UU Nomor 3 Tahun 2006 telah memberikan kewenangan menerima, memeriksa, dan mengadili perkara ekonomi syari’ah kepada
Sengketa Ekonomi Syari’ah dan Kesiapan Peradilan Agama _75
Pengadilan Agama, namun sepanjang perjalanannya sejak keluarnya undang-undang tersebut, masih terdapat gesekan kewenangan antara Pengadilan Agama dengan Pengadilan Negeri. Sepanjang pengamatan Penulis dari berbagai sumber, paling tidak ada empat gesekan dalam persoalan kewenangan mengadili sengketa ekonomi syariah, yaitu gesekan kewenangan dalam perkara sengketa perbankan syari’ah; gesekan kewenangan dalam mengeksekusi atau membatalkan putusan basyarnas; gesekan kewenangan dalam mengeksekusi atau membatalkan putusan BPSK; dan gesekan kewenangan dalam permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (KPPU). Untuk gesekan yang pertama telah selesai dengan terbitnya putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012, namun gesekan dalam tiga hal yang lain masih belum terselesaikan hingga saat ini. a. Gesekan Kewenangan Peradilan Agama dan Peradilan Umum Dalam Penanganan Perkara Ekonomi Syari’ah Gesekan kewenangan antara peradilan agama dan peradilan umum dalam menangani sengketa ekonomi syari’ah terjadi dalam kurun waktu tahun 2006 hingga tahun 2013, tepatnya sejak diundangkannya UU Nomor 3 Tahun 2006 hingga terbitnya Putusan MK Nomor 93/ PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013. Dalam kurun waktu tersebut, baik Peradilan Agama maupun Peradilan Umum sama-sama berhak menerima, memeriksa, dan memutus perkara ekonomi syari’ah.12 Gesekan kewenangan di atas sesungguhnya terjadi karena adanya kontradiksi antara UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syari’ah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama. Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008 memberikan kewenangan mengadili perkara ekonomi syari’ah kepada Pengadilan Dalam lingkungan Peradilan Umum. Sementara pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006 menyatakan secara tegas bahwa Peradilan Agama diberikan kewenangan untuk menangani perkara ekonomi syari’ah.
76_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
Oleh karena itu, dengan terbitnya putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013 maka Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008 menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Konsekuensi logis dari batalnya Pasal 55 ayat (2) tersebut adalah bahwa satu-satunya lembaga peradilan yang berhak menangani sengketa perbankan syari’ah ialah pengadilan di lingkungan peradilan agama. b. Kewenangan Penetapan Eksekusi dan Pembatalan Putusan Basyarnas Meski putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 telah mengakhiri dualisme kewenangan antara peradilan agama dan peradilan umum dalam menangani sengketa perbankan syari’ah, namun sesungguhnya masih ada gesekan kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum dalam hal perkara permohonan penetapan eksekusi atau pembatalan putusan Basyarnas. Pada dasarnya Basyarnas merupakan lembaga arbitrase yang berperan menyelesaikan sengketa antara pihak-pihak yang melakukan akad dalam ekonomi syari’ah di luar jalur pengadilan untuk mencapai penyelesaian terbaik, ketika upaya musyawarah tidak menghasilkan mufakat.13 Persoalan mulai muncul pada saat salah satu pihak hendak mengajukan permohonan penetapan eksekusi atau pembatalan putusan Basyarnas, kepada pengadilan manakah permohonan itu diajukan? Kalau mengacu kepada UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka permohonan mengeksekusi dan membatalkan putusan lembaga arbitrase diajukan ke pengadilan negeri. Sementara itu, kalau mengacu kepada UU Nomor 3 Tahun 2006, meski di sana tidak di atur secara eksplisit tentang putusan arbitrase, maka sengketa berbagai bidang ekonomi syari’ah diselesaikan di pengadilan agama. Jadi, gesekan kewenangan dalam menangani perkara penetapan eksekusi atau pembatalan putusan basyarnas adalah wujud adanya konflik antara UU Nomor 30 Tahun 1999 dengan UU Nomor 3 Tahun 2006.14
Sengketa Ekonomi Syari’ah dan Kesiapan Peradilan Agama _77
c. Kewenangan Penetapan Eksekusi dan Pembatalan Putusan BPSK Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sesuai UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (atau disingkat UUPK), merupakan lembaga yang berwenang menangani sengketa antara konsumen dengan produsen. Meskipun Pasal 54 Ayat (3) UUPK menegaskan bahwa putusan majelis BPSK bersifat final dan mengikat, namun para pihak dapat mengajukan keberatan terhadap kepada pengadilan negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah pemberitahuan putusan BPSK. Kalau kita simak rincian tugas dan wewenang BPSK yang ditentukan pada Pasal 52 UUPK, ternyata BPSK tidak memiliki wewenang untuk melaksanakan putusannya, sebagaimana wewenang yang dimiliki oleh suatu badan peradilan. BPSK hanya memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian di pihak konsumen, dan wewenang menentukan besarnya ganti kerugian yang harus dibayar oleh pelaku usaha dan mewajibkan pelaku usaha untuk membayar ganti kerugian kepada konsumen, tetapi BPSK tidak diberikan kewenangan untuk melaksanakan sendiri putusan yang dihasilkan. Untuk melaksanakan putusannya, BPSK harus lebih dahulu meminta penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri berdasarkan ketentuan Pasal 57 UUPK. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berdasar UUPK maka kewenangan mengeksekusi atau membatalkan putusan BPSK ada pada Pengadilan Negeri. Yang menjadi persoalan kemudian adalah apabila hal yang diputuskan BPSK menyangkut sengketa konsumen dan produsen yang terikat dalam akad ekonomi syari’ah, apakah permohonan penetapan eksekusi atau pembatalan putusan BPSK tersebut juga harus diajukan ke Pengadilan Negeri atau ke Pengadilan Agama. Senada dengan kasus eksekusi atau pembatalan putusan basyarnas pada uraian terdahulu, kalau mengacu kepada UU Nomor 3 tahun 2006 maka seharusnya diajukan kepada Pengadilan Agama. Namun kalau mengacu kepada UUPK maka diajukan ke Pengadilan Negeri. Oleh karena itu, gesekan
78_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
kewenangan dalam penetapan eksekusi atau pembatalan putusan BPSK sampai saat ini masih mungkin terjadi. d. Kewenangan Penetapan Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Piutang Di antara bagian dari sengketa dalam bidang ekonomi syari’ah adalah sengketa yang melibatkan salah satu pihaknya terjebak dalam keadaan pailit atau memerlukan penangguhan kewajiban pembayaran utang. Sejauh ini, Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tidak menjelaskan secara eksplisit tentang perkara kepailitan, namun hanya menjelaskan bahwa Pengadilan Agama berwenang menangani perkara ekonomi syari’ah. Oleh karena itu dalam hal ini masih timbul kerancuan tentang siapakah yang berwenang mengadili perkara kepailitan dalam sengketa ekonomi syariah. Sebab, berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, pengadilan yang berwenang menangani permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah pengadilan niaga pada pengadilan negeri. Dengan mengkaji berbagai sumber yang ada, salah satu solusi yang muncul dalam mengatasi kerancuan kewenangan dalam menangani kepailitan dalam bidang ekonomi syari’ah adalah perlunya dibentuk pengadilan niaga syariah di Pengadilan Agama. Tujuan dibentuknya pengadilan niaga syariah tersebut adalah untuk menghindari pertentangan dengan UU No. 37 Tahun 2004. Namun persoalan kemudian muncul ketika Pengadilan Agama di dalamnya terdapat pengadilan niaga syariah, apa payung hukumnya? dan fasilitas ruangan untuk dewan kurator juga perlu disediakan dalam pengadilan tersebut sebagaimana yang ada dalam pengadilan niaga pada pengadilan negeri. Oleh karena itu, gesekan kewenangan dalam perkara kepailitan dalam bidang ekonomi syari’ah antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri sampai saat ini masih mungkin terjadi.
Sengketa Ekonomi Syari’ah dan Kesiapan Peradilan Agama _79
6. Kesiapan Peradilan Agama Seperti dijelaskan dalam uraian sebelumnya, bahwa setelah terbitnya putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 maka diperkirakan akan terjadi lonjakan perkara ekonomi syari’ah yang akan masuk ke Pengadilan Agama. Untuk mengantisipasi kemungkinan di atas, Pengadilan Agama perlu mempersiapkan diri agar dapat menangani sengketa ekonomi syari’ah dengan baik, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan dan kepuasan para pencari keadilan terhadap Lembaga Peradilan Agama. Dan untuk mengetahui sejauh mana kesiapan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah pasca berlakunya UndangUndang Nomor 3 tahun 2006, ada tiga aspek yang dikaji dalam tulisan ini, yaitu aspek fasilitas, aspek sumber daya manusia, dan aspek peraturan/ hukum. Pengkajian terhadap tiga aspek di atas, sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto yang menyatakan bahwa agar hukum atau peraturan perundang-undangan dapat berfungsi atau berlaku efektif, ada empat faktor yang turut mempengaruhi, yaitu: pertama, hukum atau peraturannya, kedua, petugas yang menegakkannya, ketiga, fasilitas yang diharapkan mendukung pelaksanaan hukum, dan keempat, warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut.15 a. Aspek fasilitas Untuk melaksanakan kewenangan baru dalam menangani perkara ekonomi syari’ah, sejauh ini Badan Peradilan Agama telah memiliki fasilitas kelembagaan berupa Subdit Syari’ah yang bertugas mengurusi masalah syari’ah termasuk di antaranya menghimpun data perkara ekonomi syari’ah. Selain subdit syari’ah, Badan Peradilan Agama juga memiliki subdit pengembangan tenaga teknis yang bertugas meningkatkan kualitas para hakim pengadilan agama khususnya dalam bidang ekonomi syari’ah. Meski begitu, secara umum kesiapan dari aspek
80_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
fasilitas ini masih harus diperkuat sebab sampai saat ini pengadilan agama belum memiliki ruang khusus untuk dewan kurator dalam hal penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah yang melibatkan masalah kepailitan. Demikian pula ketentuan yang menyebut bahwa hanya Pengadilan Niaga saja yang berhak menangani sengketa kepailitan maka Peradilan Agama juga harus memiliki Pengadilan Niaga Syari’ah. b. Aspek Sumber Daya Manusia Untuk mengantisipasi lonjakan perkara ekonomi syari’ah yang akan masuk ke Pengadilan Agama, setidaknya Peradilan Agama sudah harus memiliki hakim yang jumlahnya memadai yang ahli dalam perkara ekonomi syari’ah. Sampai akhir tahun 2013, peradilan agama baru memiliki 380 hakim yang bersertifikat untuk menangani sengketa ekonomi syari’ah.16 Namun jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah mengingat fokus Badan Peradilan Agama pada tahun 2014 ini adalah pengadaan BimTek ekonomi syari’ah. Selain hakim yang bersertifikat ekonomi syari’ah, sejatinya Peradilan Agama juga memiliki hakim yang telah berhasil mengikuti pelatihan pelatihan ekonomi syari’ah di luar negeri seperti di Arab Saudi dan Sudan. Bahkan secara tingkat akademis, dari 3080 hakim tingkat pertama yang dimiliki peradilan agama, 1278 orang di antaranya telah memiliki ijasah S2 dan 20 orang berijasah S3. Sedangkan dari 553 hakim tingkat banding, 338 orang berijasah S2 dan 15 orang berijasah S3. Sementara enam hakim agung di Kamar Agama MA seluruhnya sudah bergelar doktor.17 Meski demikian, jika dihitung jumlah satker Pengadilan Agama seindonesia yang berjumlah lebih kurang 359 satker, maka jumlah hakim yang bersertifikat saat ini masih jauh dari memadai. Jika dihitung satu satker minimal harus punya satu majelis hakim untuk menangani sengketa ekonomi syari’ah maka setidaknya dibutuhkan lebih kurang 1077 hakim yang bersertifikat ekonomi syari’ah. Selain memerlukan hakim yang mampu menangani sengketa ekonomi syari’ah, Pengadilan Agama juga memerlukan penitera/panitera pengganti serta jurusita yang
Sengketa Ekonomi Syari’ah dan Kesiapan Peradilan Agama _81
paham tentang penanganan perkara ekonomi syari’ah, seperti memahami persoalan eksekusi dan sebagainya. Dari sisi sistem pelatihan dan sertifikasi ekonomi syari’ah yang sudah berjalan selama ini, juga perlu terus ditelaah apakah output pelatihan sudah memperoleh hasil yang maksimal atau belum. Hal ini perlu agar sistem pelatihan ke depan dapat lebih efektif dan efisien. Sehingga jangan sampai terjadi fenomena di mana alumni pelatihan ekonomi syari’ah sesampainya di satkernya ketika diperintahkan untuk menyampaikan hasil yang diperoleh selama pelatihan ternyata ia tidak mampu bahkan tidak paham apa materi yang dipeleajari selama pelatihannya. Selain itu, perlu diletakkan skala prioritas dan standar kualifikasi tentang siapa yang diutamakan untuk mengikuti pelatihan ataupun sertifikasi ekonomi syari’ah, sehingga jangan sampai calon peserta pelatihan adalah orang yang berangkat dalam keadaan “nol” atau belum memiliki dasar dalam pemahaman perkara ekonomi syari’ah. c. Aspek Peraturan/Hukum Sejak tahun 2008, Peradilan Agama telah memiliki aturan hukum materiil yang terkodifikasi dalam Kompilasi Hukum Eknomi Syari’ah (KHES) untuk menyelesaikan perkara ekonomi syariah. KHES tersebut memiliki landasan hukum berupa PERMA No. 2 Tahun 2008. Sedangkan dari segi hukum formilnya, saat ini Peradilan Agama telah memiliki draf Kompilasi Hukum Acara Ekonomi Syari’ah. Meski draf ini sedang dalam tahap sosialisasi, namun diharapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat segera disahkan payung hukumnya, sehingga nantinya para hakim Pengadilan Agama mempunyai kesatuan pedoman untuk menyelesaikan perkara ekonomi syariah.
82_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
C. Penutup Dari paparan di atas terdapat beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Dengan terbitnya Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013 maka diperkirakan akan terjadi lonjakan perkara ekonomi syari’ah yang akan masuk ke Pengadilan Agama. 2. Secara umum, penyebab terjadinya sengketa ekonomi syari’ah adalah wanprestasi (cidera janji), perbuatan melawan hukum, dan force majeur. 3. Meskipun putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 telah terbit, yang intinya menegaskan bahwa kewenangan menangani perkara ekonomi syari’ah adalah wewenang absolut Peradilan Agama, bukan Peradilan Umum, nyatanya masih terdapat tikungan yang mengakibatkan gesekan kewenangan antara Peradilan Agama dengan Peradilan Umum tetap terjadi yaitu kewenangan mengeksekusi atau membatalkan putusan basyarnas dan BPSK, serta kewenangan untuk menyatakan pailit serta penundaan kewajiban pembayaran utang. Padahal, banyak sengketa ekonomi syariah yang melibatkan putusan basyarnas atau BPSK, dan juga banyak sengketa ekonomi syari’ah yang bermuara kepada keadaan pailit. 4. Agar dapat melaksanakan tugas dengan baik dalam rangka menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah yang berpotensi meningkat di Pengadilan Agama, maka kesiapan lembaga Peradilan Agama merupakan hal mutlak yang harus diperkuat. 5. Lembaga Peradilan Agama –meskipun belum maksimal– dinilai telah cukup siap untuk menangani sengketa ekonomi syari’ah. Kesiapan itu meliputi kesiapan dari aspek fasilitas, aspek sumber daya manusia, dan aspek peraturan/hukum. 6. Terdapat masukan kritis dan evaluatif yang perlu menjadi perhatian, yaitu Peradilan Agama masih perlu meningkatkan kesiapannya
Sengketa Ekonomi Syari’ah dan Kesiapan Peradilan Agama _83
dalam menangani perkara ekonomi syari’ah yaitu dengan melengkapi sarana dalam Pengadilan Agama seperti penambahan ruang dewan kurator untuk penyelesaian sengketa pailit; menambah jumlah hakim yang bersertifikat dalam penanganan sengketa ekonomi syari’ah, serta sesegera mungkin melegalkan draf kompilasi hukum acara ekonomi syari’ah agar dapat menjadi pedoman dalam beracara bidang perkara ekonomi syari’ah.
84_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
Daftar Pustaka
Majalah Peradilan Agama, Edisi 3 Des 2013 – Feb 2014, Jakarta Mujahidin, Ahmad, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah di Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010. Sofian Parerungan, “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Produk Cacat Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,” dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, (Tahun XXIX No. 340 Maret 2014). Soekanto, Soerjono, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Bandung: Alumni, 1986. Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, 2007, cet.ke V. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syari’ah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen http://adisuhendra.blog.com/2011/09/01/pengertian-ekonomi-syariahdan-perbankan-syariah. http://hasyimsoska.blogspot.com/2011/07/penyelesaian-sengketaperbankan-syariah.html.
Sengketa Ekonomi Syari’ah dan Kesiapan Peradilan Agama _85
Endnotes
1. Wawancara Ekslusif dalam Majalah Peradilan Agama, (Edisi 3 Des 2013 – Feb 2014), h. 50.
2. Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2007, h. 433. 3. Pasal 1 angka 1 Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. 4. http://adisuhendra.blog.com/2011/09/01/pengertian-ekonomi-syariah-danperbankan-syariah.
5. UU Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
6. Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah di Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, h. 41-43.
7. Sofian Parerungan, “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Produk
Cacat Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”, Majalah Hukum Varia Peradilan, (Tahun XXIX No. 340 Maret 2014), h. 80.
8. http://hasyimsoska.blogspot.com/2011/07/penyelesaian-sengketaperbankan-syariah.html.
9. Ibid. 10. Upaya penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah secara terinci disebut dalam
Pasal 1 angka 1 dan angka 10 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 1 angka 1 menyebut : “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Sedangkan Pasal 1 angka 10 menyebut: “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”.
11. Lihat Majalah Peradilan Agama, (Edisi 3 Des 2013 – Feb 2014), rubrik Liputan Khusus, h. 19.
12. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun oleh tim redaktur Majalah Peradilan Agama, beberapa perkara ekonomi syari’ah yang masih ditangani
86_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015 oleh peradilan umum dalam rentang waktu antara tahun 2006 – 2013 di antaranya adalah perkara Nomor 89/Pdt.G/2011 /PN. Ska antara Bank Syari’ah Mandiri dan nasabahnya di PN Surakarta; perkara Nomor 10/ Pdt.G/2009/PN.Bjm di PN Banjarmasin yang melibatkan Bank Muamalat sebagai tergugat; perkara Nomor 08/Pdt.G./2012/PN.Pkl di PN Pekalongan yang mendudukkan Bank Mega Syari’ah sebagai tergugat; perkara Nomor 40/Pdt.G/2011/PN.Smda di PN Samarinda di mana Bank Kaltim Syari’ah menjadi tergugat; perkara nomor 47/Pdt.G/2013/PN Klt di PN Klaten yang menjadikan BRI Syari’ah sebagai tergugat; perkara nomor 50/Pdt.G/2009/ PN.Bgr di PN Bogor yang mendudukkan Koperasi Simpan Pinjam Dana Niaga Syari’ah Cabang Bogor sebagai tergugat. Lihat Majalah Peradilan Agama Edisi 3 Des 2013 – Feb 2014, rubrik Liputan Khusus, halaman 16.
13. Lihat Majalah Peradilan Agama Edisi 3 Des 2013 – Feb 2014, halaman 17 rubrik Liputan Khusus.
14. Kerancuan kewenangan di atas, direspon oleh Mahkamah Agung
dengan dua kali menerbitkan SEMA, yaitu SEMA Nomor 8 Tahun 2008 dan SEMA Nomor 8 Tahun 2010. Bedanya kalau SEMA Nomor 8 Tahun 2008 memberikan kewenangan mengeksekusi atau membatalkan putusan basyarnas kepada pengadilan agama. Sedangkan SEMA Nomor 8 Tahun 2010 justru mengubah ketentuan dalam SEMA Nomor 8 Tahun 2008 dengan memberikan kewenangan mengeksekusi atau membatalkan putusan basyarnas pada Pengadilan Negeri.
15. Soekanto, Soerjono, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Alumni, Bandung, 1986, h. 53.
16. Wawancara Ekslusif dalam Majalah Peradilan Agama Edisi 3 Des 2013 – Feb 2014, h. 45.
17. Ibid.
Analisis Sistem Tata Kelola Syari’ah Bagi Perbankan Syari’ah di Indonesia dan Malaysia _87
Analysis of Shariah Governance Systems For Sharia Banking in Indonesia and Malaysia
Analisis Sistem Tata Kelola Syari’ah Bagi Perbankan Syari’ah di Indonesia dan Malaysia
Ali Rama Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta email:
[email protected]
Abstract : Shariah governance is a term that would represent a model of corporate governance designed to ensure the compliance of shariah principles. The study analyzes the regulatory framework of shariah governance system for Islamic financial institution between Indonesia and Malaysia, based on the legal framework in each jurisdiction. Comparative analysis is conducted on the four major aspects of shariah governance, namely regulatory framework, organizational structure, process and function of shariah council. The study finds that there are many similarities as well as difference of shariah governance practices in both countries. The similarity, for example, is that both countries have a centralized fatwa council at national level and shariah board at firm level to supervise the implementation of fatwa at industry. According to the process of shariah governance particularly on the restriction of any appointment
88_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015 as shariah board in other financial institutions and qualification for the shariah board, Malaysia adopts strict approach, while Indonesia adopts moderate approach. Abstraksi : Tata kelola syari’ah atau shariah governance merupakan istilah yang dapat merepresentasikan akan suatu model tata kelola yang didesain secara kelembagaan untuk memastikan kepatuhan terhadap aspek syari’ah. Penelitian ini bermaksud untuk menganalisa model tata kelola syari’ah bagi lembaga keuangan syari’ah yang ada di Indonesia dan Malaysia, berdasarkan kerangka hukum di masing-masing yurisdiksi tersebut. Analisis komparatif dilakukan pada empat aspek utama dari sistem tata kelola syari’ah, yaitu regulasi, struktur organisasi, proses dan fungsi dewan syari’ah. Penelitian ini menemukan berbagai kesamaan dan perbedaan tentang model tata kelola syari’ah di kedua negara tersebut. Persamaanya misalnya adalah kedua negara tersebut menerapkan sistem sentralisasi fatwa melalui lembaga fatwa di tingkat nasional yang pengawasan penerapannya di industri dilakukan oleh dewan syari’ah pada internal perusahaan. Sementara pada aspek proses khususnya masalah rangkap jabatan dan kompotensi bagi anggota dewan syari’ah, di Malaysia menggunakan pendekatan ketat. Sementara di Indonesia cenderung moderat. Keywords: shariah governance, shariah financial institutions, Shari’ah supervisory board, the fatwa.
A. Latar Pelakang Kawasan Asia Tenggara saat ini menjadi kawasan yang sedang tumbuh menjadi pusat pengembangan industri keuangan syari’ah di dunia. Indonesia dan Malaysia menjadi dua negara di kawasan tersebut yang menjadi motor penggerak perkembangan industri keuangan syari’ah di Asia Tenggara. Malaysia menjadi negara yang paling cepat dalam mengembangkan industri tersebut dengan total pangsa pasar perbankan syari’ah yang sudah mencapai sekitar 26% dari keseluruhan aset perbankan nasional. Secara historis, Malaysia sudah mengembangkan konsep keuangan
Analisis Sistem Tata Kelola Syari’ah Bagi Perbankan Syari’ah di Indonesia dan Malaysia _89
syari’ah semenjak tahun 1963 melalui pendirian Tabung Haji Malaysia. Kehadiran undang-undang bank syari’ah (IBA 1983) menjadi dasar berdirinya bank Islam Malaysia tahun 1983. Sistem perbankan syari’ah kemudian berkembang secara pesat melalui kebijakan liberalisasi sektor keuangan syari’ah dengan mengundang pihak asing untuk membuka bank syari’ah di Malaysia. Kebijakan selanjutnya adalah memeberikan peluang bagi bank konvensional untuk menawarkan produk perbankan dan keuangan syari’ah melalui skema subsidairi dan Islamic window, kebijakan ini didasarkan UU BAFIA 1989. UU IFSA 2013 merupakan UU terbaru yang mengatur tentang lembaga keuangan syari’ah di Malaysia. Indonesia, meskipun memiliki jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia baru memiliki pangsa pasar perbankan syari’ah sekitar 4.8% dari keseluruhan aset perbankan nasional. Keberadaan perbankan syari’ah di Indonesia baru di mulai pada awal tahun 1990-an melalui pendirian Bank Muamalat Indonesia sebagai bank syari’ah pertama di Indonesia. Salah satu faktor penghambat pertumbuhan perbankan syari’ah di Indonesia dibandingkan di Malaysia adalah kurangnya regulasi di awal berdirinya bank syari’ah. Industri keuangan syari’ah baru mengalami momentum pertumbuhan yang cukup signifikan setelah adanya UU No.21/2008 tentag Perbankan Syari’ah. Seiring dengan keseriusan pemerintah Indonesia dalam mengembangkan industri keuangan syari’ah, berbagai lembaga seperti OJK/BI, kementerian keuangan dan Bapenas sedang merancang master plan pengembangan industri keuangan syari’ah Indonesia. Perkembangan industri keuangan syari’ah khususnya sektor perbankan di kedua negara tersebut, Indonesia dan Malaysia tentunya membutuhkan sistem tata kelola perusahaan yang dapat menjamin tercapainya tujuan-tujuan perusahaan. Sistem tata kelola lembaga keuangan syari’ah tentunya memiliki pendekatan yang berbeda dengan sistem tata kelola perbankan pada umumnya. Hal ini disebabkan adanya keharusan bagi lembaga keuangan syari’ah untuk memastikan terlaksananya prinsip-prinsip syari’ah pada seluruh produk, instrumen,
90_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
operasi, praktek dan manajemen perbankan syari’ah. Oleh karenya, perbankan syari’ah membutuhkan sistem tata kelola yang dapat memastikan kepatuhan terhadap syari’ah.1 Sistem tata keloa yang dimaksud adalah sistem tata kelola syari’ah atau biasa disebut dengan istilah shariah goverannce (SG) bagi lembaga keuangan syari’ah. SG menurut Isra2memiliki kesamaan dengan konsep hisbah dalam sejarah masyarakat Islam klasik yang berfungsi sebagai lembaga khusus yang mengawasi penerapan syari’ah di pasar-pasar Muslim masa klasik. Dengan demikian sistem tata kelola syari’ah merupakan sistem tata kelola yang unik yang hanya ada pada lembaga keuangan syari’ah. Salah satu elemen penting dari sistem tersebut adalah keberadaan dewan syari’ah sebagai bagian struktur organisasi perusahaan. Lembaga keuangan syari’ah yang berada di berbagai yurisdiksi memungkinkan terjadinya model tata kelola syari’ah yang berbedabeda. Perbedaan ini menurut studi yang dilakukan oleh Grais dan Pallegrini,3Zulkifli4, Hassan, dkk.,5 dan Rama6 disebabkan adanya perbedaan kerangka hukum yang berlaku di masing-masing yurisdiksi. Berdasarkan pada latar belakang tersebut, penelitian ini menganalisa model tata kelola syari’ah bagi lembaga keuangan syari’ah khususnya perbankan di Indonesia dan Malaysia berdasarkan kerangka regulasi yang mengatur di masing-masing yurisdiksi tersebut. Pendekatakan komparasi sistem tata kelala syari’ah menggunakan pendekatan studi terdahulu7 yang meliputi 4 (empat) aspek utama, yaitu regulasi, struktur organisasi, proses, dan fungsi dewan pengawas syari’ah dalam sistem tata kelola syari’ah bagi lembaga keuangan syari’ah. Keempat aspek tersebut akan dilihat persamaan dan perbedaannya di masing-masing Indonesia dan Malaysia. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis konten-diskriptif atas dokumen hukum seperti UU, peraturan, surat edaran, guideline dan sejumlah dokumen pendukung lainnya yang terkait dengan sistem tata kelola syari’ah. Adapun bagian kedua dari
Analisis Sistem Tata Kelola Syari’ah Bagi Perbankan Syari’ah di Indonesia dan Malaysia _91
penelitian ini menguraian tentang kajian teori tentang sistem tata kelola syari’ah. sementara bagian ketiga menyajikan analisis komparatif model tata kelola syari’ah bagi lembaga keuangan syari’ah di Indonesia dan Malaysia. Dan bagian terakhir, kesimpulan penelitian.
B. Konsep ‘Tata Kelola Syari’ah’ Bagi Lembaga Keuangan Syari’ah Konsep tata kelola perusahaan atau good coorporate governance (GCG) menurut Sutedi8 adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ perusahaan (pemegang saham/pemilik modal, Komisaris/Dewan Pengawas dan Direksi) untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya, berdasarkan peraturan dan nilai etika. Sementara itu, Syakhroza9menganggap GCG sebagai suatu sistem yang meliputi input, proses dan output dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara stakeholders terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi demi tercapainya tujuan perusahaan. Menurut Iqbal dan Mirakhor10 konsep GCG yang diterapkan beranekaragam dan di sepanjang waktu, definisinya pun mengalami dua ekstrim pendapat – mulai dari konsep yang sempit tentang bagaimana mekanisme untuk melindungi kepentingan investor, sampai kepada konsep yang lebih luas tentang bagaimana melindungi semua kepentingan stakeholders baik internal maupun eksternal. Konsep CG pada perbankan indentik dengan lima prinsip utama, yaitu transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional, dan kewajiaran.11 Konsep tata kelola bagi lembaga keuangan yang menawarkan produk dan layanan syari’ah tentunya harus memiliki sistem tata kelola yang dapat memastikan penerapan prinsip syari’ah dalam keseluruhan perusahaan. Istilah tata kelola syari’ah atau shariah governance dimunculkan oleh
92_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
lembaga standar internasional seperti AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) dan IFSB (Islamic Financial Services Board) sebagai bentuk sistem tata kelola bagi lembaga keuangan syari’ah. Tata kelola syari’ah menurut IFSB-1012 adalah “Seperangkat pengaturan kelembagaan dan organisasi dimana lembaga keuangan syari’ah dapat memastikan bahwa terdapat pandangan independen tentang kepatuhan syari’ah melalui proses penerbitan fatwa syari’ah yang relevan, penyebaran informasi fatwa dan review internal kepatuhan syari’ah.” Definisi tersebut menurut Isra13memiliki 3 (tiga) komponen utama, yaitu (1) struktur organisasi perusahaan terdapat Dewan Pengawas Syari’ah dan fungsi yang terkait seperti Divisi Syari’ah dan Internal Audit; (2) pendapat atau opini yang bersifat independen tentang pemenuhan terhadap syari’ah; dan (3) proses review terhadap pemenuhan syari’ah. Istilah tata kelola syari’ah secara historis memiliki kesamaan tujuan dan fungsi dengan istilah hisbah pada masyarakat Muslim klasik yaitu untuk mendorong pelaksanaan syari’ah dalam sistem muamalat masyarakat Muslim. Institusionalisasi Dewan Pengawas Syari’ah dapat dianggap sebagai bentuk konsep modern dari muhtasib dalam masyarakat Muslim modern. Berbeda dengan konsep tradisional hisbah yang lebih kepada pengawasan pasar, lembaga Dewan Pengawas Syari’ah berfungsi dalam tata kelola internal perusahaan/LKS yang menjalankan tugas penasehatan (advisory) dan pengawasan (supervisory) terhadap kepatuhan syari’ah.14 Adopsi sistem hisbah dalam format modern sangat penting untuk memastikan semua aktivitas, transaksi dan operasi LKS mematuhi prinsip-prinsip syari’ah dan moral Islam. Dewan Pengawas Syari’ah sebagai elemen penting dari shariah governance menjadi lembaga ideal yang dapat menjalankan fungsi muhtasib sebagai institusi internal dari sistem hisbah dalam konteks LKS modern.15 Menurut Isra16 ruang lingkup kerangka shariah governance meliputi aspek ex-ante dan ex-post kepatuhan syari’ah. Ex-ante merujuk kepada
Analisis Sistem Tata Kelola Syari’ah Bagi Perbankan Syari’ah di Indonesia dan Malaysia _93
proses penerbitan fatwa dan penyebarannya. Sementara ex-post merujuk kepada proses review shariah internal secara periodik dan tahunan. Adapun proses ex-ante melalui tahapan pengajuan proposal produk, dokumentasi hukum, review syari’ah dan penyebaran fatwa. Sementara proses ex-post terdiri dari review syari’ah secara berkala dan tahunan. Keunikan struktur organisasi lembaga keuangan syari’ah dimana dewan syari’ah dan unit review shariah internal atau eksternal menjadi elemen tambahan dalam model struktur tata kelola pada umumnya. Keunikan ini merupakan refleksi dari struktur shariah governance bagi lembaga keuangan syari’ah.17 Studi tentang model tata kelola syari’ah bagi lembaga keuangan syari’ah di berbagai yurisdiksi telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Grais Pallegrini (2006), Zulkifli (2010), Hassan, dkk., (2013), dan Rama (2014). Umumnya peneliti-peneliti tersebut menemukan adanya praktek dan model sistem tata kelola syari’ah yang berbeda di berbagai yurisdiksi. Perbedaan tersebut menurut Hassan, dkk.,18 disebabkan oleh kerangka hukum yang mengatur di masing-masing yurisdiksi.
C. Analisis Model Shariah Governance perbankan Syari’ah di Indonesia dan Malaysia Model atau sistem tata kelola syari’ah (shariah governance) lembaga keuangan syari’ah yang dipraktekkan di berbagai negara bervariasi. Perbedaan ini terjadi disebabkan adanya kerangka regulasi yang berbeda di masing-masing yurisdiksi. Penelitian ini menganalisis kerangka regulasi tata kelola syari’ah perbankan syari’ah di Indonesia dan Malaysia dengan menggunakan model yang dikembangkan oleh Hassan dkk (2013) dengan membagi aspek tata kelola syari’ah menjadi 4 (empat) aspek utama, yaitu regulasi, struktur organisasi, proses dan fungsi dewan pengawas syari’ah. Adapun kerangka regulasi tata kelola syari’ah untuk kedua negara tersebut dapat dilihat di lampiran 1 dan 2.
94_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
1. Aspek Regulasi Aspek regulasi berusaha untuk melihat bagaimana kerangka hukum pengaturan sistem tata kelola syari’ah perbankan syari’ah di Indonesia dan Malaysia. Apakah diatur dalam bentuk undang-undang tersendiri yang terpisah dari konvensional dan juga apakah diatur dalam bentuk peraturan dan guideline. Sistem tata kelola syari’ah perbankan syari’ahdi Indonesia diatur dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah. Konsep teknis dan operasionalnya selanjutnya dijabarkan dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI). Sistem tata kelola syari’ah perbankan syari’ah di Malaysia tidak jauh berbeda dengan Indonesia, yaitu sama-sama diatur dalam bentuk undangundang dan guideline yang dikeluarkan oleh Bank Central Malaysia (Bank Negara Malaysia). Tata kelola syari’ah secara spesifik disebutkan dalam UU IFSA (Islamic Financial Services Act) 2013. Secara umum kedua negara ini menggunakan pendekatan segragated approach dalam pengaturan regulasi lembaga keuangan syari’ah, yaitu undang-undang atau aturan tentang perbankan syari’ah diatur secara terpisah dengan sistem konvensional. Di Indonesia, sistem tata kelola syari’ah berdasarkan UU No. 21/2008 menempatkan DPS (Dewan Pengawas Syari’ah) sebagai pihak penting dalam pengawasan kepatuhan prinsip-prinsip syari’ah di internal perbankan syari’ah. DPS bertugas memberikan nasehat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syari’ah.19Selanjutnya pada level nasional, ada lembaga bernama Dewan Syari’ah Nasional (DSN) yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah.20Dengan demikian, DPS adalah perpanjangan tangan dari DSN untuk melakukan pengawasan atas kesesuaian kegiatan operasional bank terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN.
Analisis Sistem Tata Kelola Syari’ah Bagi Perbankan Syari’ah di Indonesia dan Malaysia _95
Meskipun UU Perbankan Syari’ah tidak memberikan penjelasan yang rinci tentang DPS, tetapi Bank Indonesia melalui PBI dan SEBI yang dikeluarkan memberikan perincian dan guidelines terkait dengan dewan pengawas syari’ah beserta pelaksanaan GCG (good corporate governance) pada bank syari’ah. Setidaknya terdapat tiga PBI dan dua SEBI yang menguraikan tentang sistem tata kelola syari’ah pada bank syari’ah. Pelaksanaan GCG pada bank syari’ah dijelaskan melalui PBI No. 11/33/PBI/2009. PBI ini secara umum menjelaskan tentang konsep GCG bagi bank syari’ah dan UUS serta bagaimana peran masing-masing dari Dewan Komisaris, Direksi, Komite-Komite, dan Dewan Pengawas Syari’ah. Dalam PBI ini juga dijelaskan tentang format self assessment pelaksanaan GCG pada bank syari’ah. Pada bagian pengawasan syari’ah dijelaskan tentang mekanisme pengangkatan anggota DPS, masa jabatan, tugas dan tanggung jawab, mekanisme pelaporan hasil pengawasan DPS dan sanksi bagi DPS yang tidak melaksanakan kewajibannya. Meskipun guidelines ini cukup menyeluruh tapi belum bisa disebut sebagai model kerangka SG yang menyeluruh bagi bank syari’ah. Format guidelines GCG ini cenderung hasil penyesuaian dengan guidelines GCG bagi bank konvensional21 yang sudah dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelumnya. Bedanya hanya terletak pada keberadaan Dewan Pengawas Syari’ah dalam struktur organisasi perusahaan. Penjelasan lebih detail tentang teknis pelaksanaan GCG bagi bank syari’ah diuraikan melalui Surat Edaran BI (SEBI) No. 12/13/DPbS/2010. Pengaturan sistem tata kelola syari’ah di Malaysia diatur diberbagai UU tentang lembaga keuangan syari’ah yang ada di Malaysia. Pada awal mulanya, lembaga yang melakukan pengawasan aspek syari’ah pada level perusahaan disebut sebagai Shariah board (SB). Lembaga ini mulai dibentuk pada tahun 1983 oleh Bank Islam Malaysia Berhard. Semenjak Guidelines tentang tata kelola shariah committee pada LKS (lembaga keuangan syari’ah) diterbitkan oleh BNM pada tahun 2004 istilah shariah board kemudian diganti menjadi shariah committee (SC). Keberadaan SC didasarkan pada undang-undang tentang perbankan dan LKS (BAFIA)
96_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
tahun 1989. Undang-undang jasa keuangan syari’ah (IFSA) 2013 yang terbaru di Malaysia memberikan penjelasan yang cukup komprehensif tentang sistem tata kelola syari’ah atau shariah governance. Pada level nasional dibentuk Shariah Advisory Council (SAC) pada tahun 1997 berdasarkan undang-undang BAFIA 1989 yang berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi terkait dengan perbankan, keuangan dan takafulsyari’ah di Malaysia.22 Undang-undang bank central Malaysia (CBA) 2009 memberikan penjelasan yang cukup rinci terkait dengan SAC ini, seperti mekanisme pengangkatan keanggotaan, kualifikasi, fungsi, dan status hukum atas fatwa yang dikeluarkannya. Dalam undangundang tersebut juga dijelaskan bahwa BNM dapat membentuk lembaga SAC yang berwenang untuk mengeluarkan fatwa terkait dengan bisnis keuangan syari’ah23 yang sekretariatnya difasilitasi oleh bank sentral. Dengan demikian, SAC adalah lembaga resmi pemerintah dibawah koordinasi dengan bank sentral Malaysia. Dampaknya, produk hukum yang dikeluarkannya bersifat mengikat dan final bagi para pelaku industri keuangan syari’ah. BNM pada tahun 2010 menerbitkan kerangka tata kelola syari’ah(Shariah Governance Framework) bagi seluruh LKS yang berada di bawah naungan BNM. Guidelines tersebut merupakan kerangkan sistem tata kelola syari’ah yang komprehensif bagi LKS di Malaysia. Dalam framework tersebut dijelaskan tentang struktur (structures), proses (process) dan pengaturan (arrangement) LKS agar sesuai dengan prinsip syari’ah. Guidelines tersebut juga menyediakan petunjuk (guidance) yang komprehensif bagi direktur (board), shariah committee (SC), dan manajemen (management) pada LKS terkait dengan tugasnya yang berhubungan dengan syari’ah. Guidelines terebut juga memberikan kerangka kerja bagi unit shariah review, shariah audit, shariah risk management dan shariah research yang ada pada LKS dalam kerangka tata kelola syari’ah. Undang-undang IFSA 20013 secara rinci menyebutkan istilahshariah governance (tata kelola syari’ah) serta memberikan penjelasan tentang
Analisis Sistem Tata Kelola Syari’ah Bagi Perbankan Syari’ah di Indonesia dan Malaysia _97
ruang lingkup sistemshariah governance, yaitu (i) meliputi fungsi dan tugas dewan direksi, direktur, senior officer, dan anggota SC dalam organisasi perusahaan dalam kaitan pemenuhan syari’ah; (ii) Ketentuan tentang kriteria, fit dan proper test serta diskualifikasi anggota SC; dan (iii) pembentukan unit (fungsi) shariah compliance.24Oleh karena itu, Malaysia telah menganut sistem tata kelola syari’ahyang komprehensif, yaitu sebuah sistem tata kelola syari’ah yang tidak hanya menekankan pada peran SC dalam kaitan pemenuhan syari’ah tetapi menjadi tanggung jawab bersama semua organ (dewan direksi, direktur, SC, Manajemen, dan unit-unit) dalam organisasi melalui perincian peran dan fungsi masing-masing dalam kaitan pemenuhan syari’ah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kerangka regulasi tentang tata kelola syari’ah perbankan syari’ah di masing-masing, baik di Indonesia dan Malaysia sama-sama diatur dalam bentuk UU dan peraturan/guidelines yang terpisah dengan sistem konvensional. Letak bedanya pada perspektif yang digunakan. Di Indonesia cenderung melihat tata kelola syari’ah sebagai bagian dari sistem tata kelola perusahaan dengan keberadaan dewan pengawas syari’ah di internal perusahaan. Sehingga penamaanya menggunakan istilah ‘tata kelola (GCG) bagi lembaga keuangan syari’ah’. Sementara di Malaysia cenderung mengembangkan sistem tata kelola syari’ah dengan perspektif yang lebih komprehensif bahkan dengan menggunakan istilah khusus bagi sistem tata kelola lembaga keuangan syari’ah dengan istilah ‘shariah governance’. 2. Aspek Struktur Organisasi Struktur organisasi dari sistem tata kelola syari’ah bermakna bagaimana struktur kelembagaan proses pengawasan kepatuhan syari’ah di perbankan syari’ah. apakah struktur kelembagaan menganut pendekatan sentralisasi atau independen. Sehingga berdampak pada keberadaan struktur organisasi pengawasan syari’ah pada level nasional dan level perusahaan.
98_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
Berdasarkan kerangka regulasi, struktur tata kelola syari’ah bagi perbankan syari’ah di Indonesia manganut 2 (dua) level pengawasan, yaitu pengawasan oleh Dewan Syari’ah Nasional (DSN) pada level nasional dan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) pada level internal perusahaan. Kedua jenis lembaga pengawas syari’ah ini disebut dalam UU No. 21/2008 dan PBI No. 6/24/PBI/2004. DSN adalah lembaga bentukan MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang bertugas untuk mengkaji, menggali dan merumuskan nilai dan prinsipprinsip hukum Islam (syariat) dalam bentuk fatwa untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga keuangan syari’ah (lihat Kumpulan Fatwa DSN MUI 2000-2007). Meskipun status keorganisasian DSN adalah organisasi non-pemerintah tetapi fatwa yang dikeluarkannya bersifat mengikat bagi industri keuangan syari’ah sebagaimana termaktub dalam Pasal 26 UU No.21/2008 tentang Perbankan Syari’ah. Pada level perusahaan terdapat DPS yang melakukan pengawasan pelaksanaan fatwa DSN tentang prinsip syari’ah. Proses pengangkatan anggota DPS merupakan hasil kerjasama antara Bank Indonesia (BI)/ Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan DSN. Dengan demikian, DPS berperan dalam menjembatani hubungan antara BI sebagai organisasi pemerintah dan DSN sebagai organisasi non-pemerintah. Dengan demikian, Indonesia menganut sistem sentralisasi dan standarisasi fatwa keuangan syari’ah yang level pengawasannya pada industri dilakukan oleh DPS. Hubungan antara DPS dan direksi dalam struktur organisasi perusahaan adalah hubungan koordinasi, yaitu DPS dapat memberikan nasehat dan saran kepada direksi terkait pelaksanaan prinsip syari’ah pada bank.
Analisis Sistem Tata Kelola Syari’ah Bagi Perbankan Syari’ah di Indonesia dan Malaysia _99
Gambar 1: Struktur Organisasi Perbankan Syari’ah di Indonesia
DirektoratPerbankan Syari’ah
DewanSyari’ahNas ional
Shareholders DewanKomisaris
Direksi
Dewan Pengawas Syari’ah
Struktur organisasi sistem tata kelola syari’ah bagi perbankan syari’ah di Malaysia juga menganut dua level pengawasan, yaitu pada level makro terdapat SAC(Shariah Advisory Council) pada Bank Sentral Malaysia (BNM) yang berfungsi dalam harmonisasi fatwa keuangan syari’ah bagi industri keuangan syari’ah dan pada level mikro terdapat Internal Shariah Committee (SC) yang dibentuk di masing-masing bank syari’ah. Keberadaan SAC di Malaysia berdasarkan pada CBA (Central Banking Act) 2009 yang keanggotaannya ditunjuk oleh Yang di-PertuanAgong kan, setelah mendapatkan masukan dari kementerian dan Bank Negara Malaysia. Anggota SAC memiliki kompotensi di bidang syari’ah (hukum Islam), dan perbankan, keuangan, hukum atau disiplin ilmu lain yang terkait. Adapun status hukum dari fatwa yang dikeluarkan oleh SAC adalah bersifat mengikat (binding) dan final. Hal ini dikarenakan SAC adalah organisasi pemerintah yang berada dibawah naungan Bank Central Malaysia (BNM). Selanjutnya, SC adalah merupakan struktur organisasi internal perusahaan (bank syari’ah) yang melakukan pengawasan pelaksanaan prinsip-prinsip syari’ah di level mikro (perusahaan). Keanggotaan SC diajukan oleh dewan direksi setelah mendapatkan persetujuan BNM.
Syari’ah
ional
Shareholders
100_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015 DewanKomisaris
SC melakukan review atas seluruh aktivitas LKS yang hasilnya akan dipublikasikan dalam bentuk laporan Shariah Committee (SC). Secara Dewan Pengawas Direksi struktur keorganisasian, SC dalam melakukan Syari’ah tugasnya di dukung oleh unit-unit syari’ah yang lain yang ada dalam organisasi bank syari’ah, yaitu unit audit syari’ah (shariah audit function), unit review syari’ah (shariah review function), unit riset syari’ah (shariah research function) dan unit manajemen kontrol risiko syari’ah (shariah risk management control function). Gambar 2: Struktur Organisasi Tata Kelola Syari’ah Bank Syari’ah di Malaysia
Sumber: Bank Negara Malaysia Dapat disimpulkan bahwa model struktur organisasi sistem tata kelola syari’ah bagi perbankan syari’ah di Indonesia dan Malaysia samasama menganut dua sistem pengawasan, yaitu pada level makro terdapat
Analisis Sistem Tata Kelola Syari’ah Bagi Perbankan Syari’ah di Indonesia dan Malaysia _101
lembaga otoritas fatwa tertinggi yang berfungsi sebagai harmonisasi aturan atau fatwa syari’ah bagi lembaga keuangan syari’ah. produk fatwa yang dikeluarkan bersifat mengikat dan final. Sementara pada level mikro, pengawasan dilakukan oleh dewan pengawas syari’ah (DPS atau SC) yang menjadi bagian struktur internal perusahaan. Letak perbedaan kedua negara tersebut pada kedudukan DSN yang non- pemerintah sementara SAC adalah organisasi pemerintah yang memiliki implikasi pada status hukum dari fatwa yang dikeluarkan. Perbedaan lainnya terletak pada adanya unit atau fungsi lain selaian dari DPS/SC yang ada di internal perusahaan yang berfungsi dalam proses pengawasan kepatuhan syari’ah. Di Indonesia, fungsi-fungsi tersebut terintegrasi dengan fungsi yang sudah ada. Sementara di Malaysia berdiri sendiri. 3. Aspek Proses Proses tata kelola syari’ah bagi lembaga keuangan syari’ah mencakup 4 (empat) aspek, yaitu (i) pengangkatan dan pemberhentian; (ii) komposisi; (iii) persyaratan; dan (iv) batasan rangkap jabatan bagi anggota Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) dan Dewan Syari’ah Nasional (DSN). Mekanisme pengangkatan dan pemberhentian DPS di Indonesia diatur dalam PBI No.11/3/PBI/2009 dan SEBI No.12/13DPbS/2010. Alur pengangkatannya melalui proses pengajuan oleh Direksi bank syari’ah kepada BI/OJK setelah mendapatkan persetujuan dari DSN. Proses penerimaan maupun penolakan berada di tangan BI/OJK berdasarkan pada pemeriksaan kelengkapan dokumen dan wawancara yang dilakukan. Dengan demikian, DPS adalah hasil fit dan proper test yang dilakukan oleh BI/OJK dan DSN. Sehingga proses pengangkatan mereka bersifat independen. Adapun pemberhentiannya dilakukan jika yang bersangkutan tidak melakukan tugas sebagaimana mestinya, yaitu penasehatan, penilaian, pengawasan dan review terhadap prinsipprinsip syari’ah pada bank. SC (Shariah Committee) di Malaysia merupakan pengawas syari’ah di internal perusahaan yang dinominasikan dan diangkat oleh direksi
102_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
setelah mendapatkan persetujuan secara tertulis dari BNM dan SAC. Sementara dari segi pemberhentiannya, Shariah Goovernance for IFIs 2010 memberikan ketentuan bahwa LKS wajib menginfokan kepada BNM tidak lebih dari 16 hari jika terjadi pengunduran dari atau pemberhentian anggota SC. Peraturan tersebut tidak merinci tentang faktor yang dapat menyebabkan seorang anggota SC dapat diberhentikan. Dengan demikian proses pengangkatan dan pemberhentian dewan syari’ah pada level perusahaan baik di Indonesia maupun Malaysia sama-sama melibatkan tiga pihak yaitu bank sentral (BI/OJK dan BNM), otoritas fatwa (DSN dan SAC) dan direksi perusahaan. Dari segi komposisi keanggotaan DPS, di Indonesia melalui PBI No.11/3/PBI/2009 memberikan batasan jumlah yaitu tidak kurang dari dua orang atau paling banyak 50 persen dari anggota direksi. Satu orang diantara anggota DPS bertindak sebagai ketua. Sebaliknya di Malaysia, komposis anggota SC tidak boleh kurang dari 3 anggota. Dan minimal satu diantara anggota SC memiliki kualifikasi di bidang syari’ah yang akan bertindak sebagai sekretaris dewan SC (lihat BNM/RH/GL/0056 tentang guidelines tata kelola SC, 2014). Dengan jumlah yang relatif banyak tersebut maka diharapkan opini yang dikeluarkan sudah melalui proses diskusi dan perdebatan yang panjang di antara anggota SC. Komposisi ini dapat meminimalisasi terjadinya konflik kepentingan di antara anggota SC. Pembatasan rangkap jabatan bagi seorang anggota DPS di Indonesia menurut ketentuan yang ada di SEBI No.12/13/DPbS/2010 hanya dapat merangkap jabatan sebagai anggota DPS tidak lebih dari 4 (empat) lembaga keuangan syari’ah dengan rincian 2 (dua) berjenis bank dan 2 (dua) sisa lainnya non- bank. Batasan lainnya bagi seorang anggota DPS adalah tidak bisa menjadi konsultan di seluruh lembaga keuangan. Namun bagi anggota DSN tidak memiliki batasan untuk menjabat sebagai anggota DPS di lembaga keuangan syari’ah. Perangkapan jabatan sebagai anggota DPS sampai empat di LKS lainnya dapat memunculkan masalah bias keputusan yang dikeluarkan. Begitupula dengan keanggotaaan
Analisis Sistem Tata Kelola Syari’ah Bagi Perbankan Syari’ah di Indonesia dan Malaysia _103
ganda sebagai anggota DPS dan di saat bersamaan sebagai anggota DSN. Keanggotaan ganda tersebut dapat berimplikasi pada masalah independensi. Mengingat bahwa DPS harus secara periodik melakukan laporan hasil pengawasan kepada DSN terkait dengan pelaksanaan prinsip syari’ah pada suatu bank. Pengaturan masalah rangkap jabatan di Malaysia justru diatur secara ketat, yaitu bagi seorang anggota SAC berdasarkan (CBA) Central Bank Act 1958 tidak boleh menjadi anggota SC di berbagai lembaga keuangan syari’ah di Malaysia baik bank maupun non-bank. Ketentuan ini bertujuan untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan antara SAC sebagai pihak otoritas fatwa tertinggi dengan SC sebagai pengawas syari’ah pada level perusahaan. Selanjutnya, bagi aggota SC hanya dapat merangkap sebagai anggota SC di satu lembaga keuangan syari’ah lainnya. Dalam hal kompotensi bagi dewan syari’ah (DPS atau SC), Malaysia memiliki ketentuan yang cukup rigid dalam hal kualifikasi yang harus dimiliki bagi anggota DPS. Berdasarkan Shariah Governace Framework 2010 mengatur tentang ketentuan bagi anggota SC di Malaysia adalah harus beragama Islam dengan pendidikan sarjana strata satu (S1) di bidang syari’ah termasuk studi ushul fiqh atau fiqh muamalah yang berasal dari kampus ternama. Anggota SC juga harus memiliki kemampuan bahasa Melayu dan Inggris yang baik, baik lisan maupun tulisan. Di sisi lain, aturan tersebut memberikan kelonggaran untuk mengangkat anggota SC yang berasal dari latar belakang keuangan atau hukum dengan syarat jumlahnya tidak mayoritas dari seluruh anggota SC. Bahkan di Malaysia didorong komposisi keanggota SC di suatu perusahaan berlatar belakang yang berbeda baik dari segi komptotensi, pendidikan maupun pengalaman. Hal ini dimaksudkan supaya opini yang dikeluarkan oleh SC dapat mempertimbangkan berbagai aspek. Ketentuan tentang kompotensi bagi anggota DPS di Indonesia relatif berbeda di Malaysia. Ketentuan yang ada bersifat umum seperti aspek integritas, akhlak, kompotensi muamalah dan keuangan, dan reputasi
104_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
yang baik. Dalam ketentuan yang ada tidak terdapat anjuran tentang keanggotaan DPS harus berasal dari latar belakang yang berbeda terutama dari segi kualifikasi, pengalaman dan pengetahuan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam hal proses tata kelola syari’ah khususnya yang berkaitan dengan dewan syari’ah, Malaysia memiliki aturan dan ketentuan yang lebih ketat dibanding dengan Indonesia khususnya dalam hal rangkap jabatan bagi anggota dewan syari’ah dan standar kualifikasi yang harus mereka miliki. Di Indonesia cenderung menggunakan pendekatan yang lebih moderat dalam hal proses dewan syari’ah. Perbedaan perlakuan ini tentunya didasarkan pada pertimbangan industri dan kepentingan masingmasing ke dua negara tersebut. 4. Aspek Peran dan Fungsi Fungsi atau peran utama bagi dewan syari’ah di internal perusahaan menjadi salah satu aspek penting dari sistem tata kelola syari’ah. Pengawasan yang menerapkan dua level pengawasan baik pada level mikro dan makro seperti di Indonesia dan Malaysia tentunya memiliki ruang lingkup wewengan yang berbeda. Tugas dari Dewan Pengawas Syari’ah menurut UU No.21/2008 tentang Perbankan Syari’ah adalah untuk memberikan nasehat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syari’ah. Operasionalisasi dari tugas DPS tersebut selanjutnya dijabarkan dalam PBI No.6/24/PBI/2004 yaitu: (i) memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional bank terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN; (ii) menilai aspek syari’ah terhadap pedoman operasional, dan produk yang dikeluarkan bank; (iii) memberikan opini dari aspek syari’ah terhadap pelaksanaan operasional bank secara keseluruhan dalam laporan publikasi bank; (iv) mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwa kepada DSN; dan (v) menyampaikan laporan hasil pengawasan syari’ah sekurang kurangnya setiap enam (6)
Analisis Sistem Tata Kelola Syari’ah Bagi Perbankan Syari’ah di Indonesia dan Malaysia _105
bulan kepada Direksi, Komisaris, Dewan Syari’ah Nasional dan Bank Indonesia. Sementara di Malaysia, tugas dan tanggung jawab Shariah Committee (SC) diatur dalam Shariah Governance Framework 2010 yang dikeluarkan oleh BNM (Bank Negara Malaysia) yang meliputi: (i) bertanggungjawab atas semua keputusan syari’ah, opini dan pandangan yang dikeluarkan oleh anggota komite syari’ah; (ii) memberikan saran kepada direksi dan LKS berkaitan dengan operasi bisnis mereka dalam memastikan bahwa kegiatan sehari-hari beroperasi sesuai dengan prinisp syari’ah; (iii) mendukung kebijakan dan prosedur yang disahkan oleh LKS dan memastikan bahwa tidak terdapat elemen yang bertentangan dengan syari’ah di dalamnya; (iv) memvalidasi dokumen sehari-hari yang meliputi syarat dan kondisi dari transaksi yang dilakukan oleh LKS; (v) menilai hasil kerja yang dilakukan oleh shariah review dan shariah unit; (vi) membatu bidang hukum, konsultan atau auditor terkait dengan urusan syari’ah; (vii) menyarankan lembaga keuangan untuk melakukan konsultasi dengan SAC terkait dengan masalah syari’ah yang belum terpecahkan; dan (viii) membuat opini tertulis jika LKS membutuhkan saran dari SAC terkait dengan urusan syari’ah atau persetujuan produk baru. Dalam menjalankan tugas pengawasan kepatuhan syari’ah di bank syari’ah, dewan syari’ah (SC) di Malaysia dibantu oleh unit atau fungsi syari’ah yang terpisahdan independen secara struktur keorganisasian dengan unit atau fungsi yang sudah ada seperti shariah review, shariah audit, shariah research dan shariah risk management. Sebaliknya dalam sistem regulasi di Indonesia, keberadaan unit atau fungsi syari’ah tersebut tidak disebutkan secara langsung. Unit atau fungsi tersebut terintegrasi dengan unit atau fungsi yang sudah ada di dalam struktur organisasi perusahaan, seperti unit internal audit dan departemen kontrol. Dengan demikian fungsi dewan syari’ah di kedua negara secara umum melakukan verifikasi dan validasi instrumen keuangan sebelum
106_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
(ex-ente) dan sesudah transaksi (ex-post) atas kesesuaian terhadap prinsipsyari’ah. Di dalam proses sebelum transaksi (ex-ante), pengawasan dilakukan dengan adanya pihak independen berupa DSN atau SACyang memberikan fatwa mengenai operasi dan struktur lembaga keuangan syari’ah. Selain itu, keberadaan fungsi kepatuhan diperlukan untuk mensosialisasikan prinsip-prinsip syari’ah serta melakukan pengawasan langsung terhadap kepatuhan prinsip syari’ah pada setiap tingkatan dan transaksi. Untuk pengawasan sesudah transaksi (ex-post) dilakukan oleh fungsi audit syari’ah internal yang merupakan bagian dari atau terpisah fungsi audit internal. Selain itu pengawasan ini juga dilakukan oleh fungsi audit ekternal independen yang memastikan bahwa penelaahan kepatuhan internal telah memenuhi standar. Proses pengawasan ini dapat melibatkan DPS atau SC.25
D. Kesimpulan Studi dokumen hukum atau kerangka regulasi tentang sistem tata kelola syari’ah bagi lembaga keuangan syari’ah di Indonesia dan Malaysia khususnya pada empat (4) aspek utama, yaitu regulasi, struktur organisasi, komposisi, kompotensi dan fungsi dewan syari’ah menemukan beberapa kesamaan dan perbedaan. Tata kelola syari’ah bagi lembaga keuangan syari’ah di Indonesia dan Malaysia masing-masing dinyatakan dalam UU dan peraturan teknis. Bedanya, di malaysia mengembankan framework yang lebih komprehensif dengan menggunakan istilah khusus, ‘shariah governance’. Sementara di Indonesia masih menggunakan perspektif tata kelola perusahaan bagi lembaga keuangan syari’ah. Selanjutnya, Indonesia dan Malaysia sama-sama menggunakan pendekatan dua level pengawasan, yaitu pada level makro terdapat dewan fatwa syari’ah yang berfungsi dalam standarisasi dan harmonisasi ketentuan syari’ah dan pada level mikro terdapat dewan syari’ah yang melakukan pengawasan implementasi fatwa tersebut di tingkat perusahaan. Perbedaannya terletak pada status kedudukan dewan fatwa tersebut. Di Malaysia berstatus organisasi pemerintah di bawah bank
Analisis Sistem Tata Kelola Syari’ah Bagi Perbankan Syari’ah di Indonesia dan Malaysia _107
sentral. Sementara di Indonesia berstatus organisasi non-pemerintah di bawah MUI. Perbedaan status keorganisasian ini tentunya berimplikasi pada status hukum atas fatwa yang dikeluarkan. Pada aspek proses khususnya pada aspek batasan rangkap jabatan dan kompetensi bagi anggota dewan syari’ah di Malaysia cenderung menggunakan pendekatan ketat. Sementara di Indonesia lebih bersifat moderat dalam hal ketentuan rangkap jabatan bagi dewan syari’ah. Dalam hal fungsi dewan syari’ah masing-masing negara tersebut secara umum memiliki fungsi pengawasan sebelum transaksi (ex-ente) dan sesudah transaksi (ex-post). Bedanya hanya terletak pada keberadaan unit atau fungsi pendukung, apakah bersifat independen atau terintegrasi dengan unit atau fungsi yang sudah ada di perusahaan. Perbadaan kerangka regulasi tentang sistem tata kelola syari’ah bagi lembaga keuangan syari’ah di masing-masing yurisdiksi tersebut tentunya harus direspon secara baik oleh otoritas terkait demi meciptakan harmonisasi regulasi dalam rangka menciptakan integrasi sistem keuangan di antara negara-negara yang menerapkan sistem keuangan syari’ah seperti di Indonesia dan Malaysia.
108_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
Daftar Pustaka
AAOIFI,”Governance Standard for islamic Financial Institutions”, No. 1-3, Bahrain, 1999. AAOIFI,”Statement on Governance Principles and Disclosure for Islamic Financial Institutions”. Grais, W dan Pellegrini, M., “Corporate Governance and Shariah Compliance in Institutions Offereing Islamic Financial Sevices”, World Bank, September 2006. Hasan, Zulkifli, “Corporate Governance: Western and Islamic Perspective”, International Review of Business Research Papers, Vol.5 No.1, 2009, hal.277-293. Hasan, Zulkifli, “Regulatory Framework of Shariah Governance System in Malaysia, GCG Countries and the UK”. Kyoto Bulletin of Islamic Area Studies, 3-2 2010, pp. 82-115. Hassan, dkk., “A Comparative Analysis of Shariah Governance in Islamic Banking Institutions Across Jurisdiction”. Isra Research Paper, No. 50/2013. IFSB, “Guiding Principles on Shariah Governance Systems for Institutions Offering Islamic Financial Sevices”, December 2009. Iqbal dan Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance: Theory and Practice. Singapore: John Wiley, 2011. Iqbal, Zamir dan Mirakhor, Abbas, An Introduction to Islamic Finance. Singapore: John Wiley & Son, 2011. Islamic Financial Services Board (IFSB), “Guiding Priciples on Shariah Governance System for Institutions Offering Islamic Financial Services”, December 2009. Isra, Islamic Financial System: Principles and Operations. Isra Press: Kuala
Analisis Sistem Tata Kelola Syari’ah Bagi Perbankan Syari’ah di Indonesia dan Malaysia _109
Lumpur, 2010. Kumpulan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) 2000-2007. Mohammad, Taqiuddin, dkk., “The Historical Development of Modern Islamic Banking: A Study in South-East Asia Counties”. African Journal of Business Mangement, Vol. X(XX), 2013. Peraturan Menteri Negara BUMN No.: “Per-01/Mbu/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara”, Pasal 1, Ayat 1. Rama, Ali (2014), “Analisis Komparatif Model Shariah Governance Lembaga Keuangan Syari’ah: Studi Kasus Negara ASEAN”, Laporan Penelitian Puslitpen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2014. Stanley, M., “Implementing Corporate Governance for Islamic Finance”, GT. News. Dapat diakses di http://www.gtnews.com/aticle/7059. cfm. Sutedi, Andrian, Good Corporate Governance. Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Syakhroza, Akhmad, Corporate Governance, Sejarah dan Perkembangan, Teori, Model dan Sistem Governance serta Aplikasinya dan pada Perusahaan BUMN. Jakarta: Lembaga Penerbitan FE UI, 2008. Wardhany, Nurhastuty dan Arshad, S., “The Role of Shariah Board in Islamic Banks: A Case Study of Malaysia, Indonesia, and Brunei Darussalam”. 2nd Isra Colloquium, 2012.
110_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
Dokumen Hukum Indonesia 1. 2. 3. 4.
PBI No. 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan GCG bagi BUS dan UUS UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan PBI No. 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syari’ah
5. PBI No. 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah 6. SEBI No. 12/13/DPbS/2010 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah 7. SEBI No. 8/19/DPbS/2006 tentang Pedoman Pengawasan Syari’ah dan Tata Cara Pelaporan Hasil Pengawasan bagi Dewan Pengawas Syari’ah 8. Surat Keputusan DSN-MUI No. 03/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota DPS pada LKS Malaysia 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Islamic Financial Services Act (IFSA) 2013 Central Bank of Malaysia Act (CBA) 2009 Islamic Banking Act (IBA) 1983 Central Bank of Malaysia Act (CBA) 1958 Takaful Act (TA) 1984 Banking and Financial Institution Act (BAFIA) 1989 Shariah Governance Framework (SGF) for Islamic Financial Institutions (IFIs) 2010 8. Guidelines oh the Governance of Shariah Committee for the Islamic Financial Institutions 2004
Analisis Sistem Tata Kelola Syari’ah Bagi Perbankan Syari’ah di Indonesia dan Malaysia _111
Lampiran 1: Tabel 1: Aspek Regulasi Sistem Tata KelolaShariah di Indonesia Regulasi
1. UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah - Dewan pengawas syari’ah (Bab V Pasal 32), - Tata kelola bank syari’ah (Bab VI pasal 34)
2. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan - Penjelasan Pasal 6
Uraian tentang sistem Shariah Governance dan Dewan Pengawas Syari’ah a. Kewajiban bank syari’ah membentuk DPS melalui RUPS atas persetujuan MUI. b. Fungsi DPS untuk memberikan nasehat dan saran bagi direksi dan pengawasan bank terkait kepatuhan terhadap prinsip syari’ah. c. Ketentuan lebih lanjut diatur melalui PBI. d. Bank syari’ah wajib menerapkan tata kelola yang baik yang mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional dan kewajaran e. Bank syari’ah wajib menyusun prosedur inetrnal mengenai pelaksanaan prinsipprinsip tersebut. a. Hasil amandemen UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. UU ini secara spesifik menjelaskan adanya jenis bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syari’ah. Dan pada bagian penjelasan pasal disebutkan tentang Dewan Pengawas Syari’ah meskipun tidak diuraikan lebih lanjut lagi.
112_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
3. PBI No. 11/3/ PBI/2009 tentang Bank Umum Syari’ah - Pasal 34, 35, 36, 37, 38, 39
a. Bank berkewajiban membentuk DPS di tingkat pusat. b. Syarat-syarat menjadi anggota DPS dilihat dari segi integritas, kompotensi, dan reputasi keuangan. c. Tugas dan tanggungjawab DPS. d. Komposisi DPS dan batasan rangkap jabatan sebagai DPS pada bank lain e. Mekanisme pemilihan dan pengangkatan DPS
4. PBI No. 11/33/ PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah - Pasal 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51
a. Usulan pengangkatan DPS dan masa jabatan. b. Tugas dan tanggungjawab DPS. c. Pembuatan laporan hasil pengawasn oleh DPS d. Ketentuan rapat bagi DPS e. Aspek transparansi DPS
5. PBI No. 6/24/ PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari’ah - Pasal 21, 26, 27 ,32, 33
a. Persyaratan anggota DPS b. Komposisi DPS, ketentuan rangkap jabatan di DSN dan di bank syari’ah c. Tugas, wewenang dan tanggung jawab DPS d. Mekanisme pengangkatan DPS
Analisis Sistem Tata Kelola Syari’ah Bagi Perbankan Syari’ah di Indonesia dan Malaysia _113
6. SEBI No. 12/13/ DPbS/2010 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah
a. Mekanisme pengangkatan calon anggota DPS b. Tugas dan tanggungjawab DPS c. Ruang lingkup pengawasan DPS d. Laporan hasil pengawasan DPS e. Fasilitas yang diterima oleh DPS dalam menjalankan pengawasan di bank f. Batasan-batasan bagi DPS g. Sanksi bagi DPS yang tidak melaksanakan tugasnya h. Kewajiban untuk membuat laporan penilaian (self assessment) pelaksanaan GCG pada bank syari’ah
7. SEBI No. 8/19/ DPbS/2006 tentang Pedoman Pengawasan Syari’ah dan Tata Cara Pelaporan Hasil Pengawasan bagi Dewan Pengawas Syari’ah
a. Ketentuan isi laporan hasil pengawasan DPS pada bank syari’ah
8. Surat Keputusan DSN-MUI No. 03/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota DPS pada Lembaga Keuangan Syari’ah
a. Ketentuan keanggotan DPS b. Syarat-syarat keanggotan DPS c. Tugas dan fungsi DPS d. Prosedur pengangkatan DPS e. Kewajiban anggota DPS terkait hubungannya dengan DSN-MUI f. Ketentuan perangkapan keanggotan DPS di lembaga keuangan syari’ah yang lain
114_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
Lampiran 2: Tabel 2: Aspek Regulasi Sistem Tata Kelola Shariah di Malaysia Regulasi
Uraian tentang sistem Shariah Governance dan Dewan Pengawas Syari’ah
1. Islamic Financial Services Act (IFSA) 2013 - Sec./Pasal 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38
a. Regulasi ini menggabungka seluruh regulasi yang terkait dengan bisnis keuangan syari’ah, yaitu regulasi dan supervisi tentang lembaga keuangan syari’ah, takaful, sistem pembayaran, pasar uang syari’ah dan entitas terkait lainnya b. Komponen shariah governance terdiri dari fungsi dan kewajiban dari dewan direksi, direktur dan SC untuk memastikan kesesuaian lembaga terhadap syari’ah, kualifikasi menjadi SC, keberadaan fungsi internal shariah compliance. c. Kewajiban lembaga keuangan syari’ah untuk membentuk SC d. Persyaratan keanggotaan SC e. Penjelasan tentang kewajiban bagi setiap anggota SC f. Ketentuan tentang pemberhentian keanggotan sebagai SC g. Sejumlah informasi yang harus disesiakan oleh lembaga keuangan syari’ah untuk menunjang kinerja SC h. Kewajiban untuk mengangkat pihak ayang akan melakukan fungsi audit shariah compliance
Analisis Sistem Tata Kelola Syari’ah Bagi Perbankan Syari’ah di Indonesia dan Malaysia _115
2. Central Bank of Malaysia Act (CBA) 2009 - Sec./Pasal 27, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60
a. Adanya pernyataan tentang sistem keuangan yang dianut di Malaysia menganut dual banking system, yaitu sistem perbankan konvensional dan perbankan syari’ah b. Pendirian SAC c. Fungsi SAC d. Pengankatan keanggotan SAC e. Bank (sentral) menyediakan kesekretariatan untuk menjalankan tugas SAC f. Lembaga keuangan dapat konsultasi dengan SAC terkait dengan bisnis keuangan syari’ah g. Jika terjadi sengketa terkait dengan bisnis keuangan syari’ah maka pengadilan dapat merujuk pada fatwa (rulings) yang telah dikeluarkan oleh SAC atau dapat konsultasi langsung ke SAC h. Kekuatan hukum dari fatwa SAC bersifat mengikat dan finanl i. Jika terdapat perbedaan “fatwa” antara SAC dan SC maka “fatwa” SAC lebih diutamakan j. Bank central dapat menerbitkan surat edaran, guidelines dan lainnya yang berhubungan dengan syari’ah. k. Promosi Malaysia sebagai “an international Islamic financial centre”
116_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
3. Islamic Banking Act (IBA) 1983 - Sec./Pasal 13
a. Undang-undang ini mengatur tentang lisensi (pembukaan) dan regulasi bisnis perbankan syaraih (Islamic Banking Business) b. Bank syari’ah dapat berkonsultasi terkait masalah syari’ah yang berhubungan dengan bisnis perbankan syari’ah dengan SAC
3. Central Bank of Malaysia Act (CBA) 1958 - Sec./Pasal 16b
a. Bank central Malaysia dapat membentuk SAC yang berwewenang mengeluarkan hukum Islam terkait bisnis perbankan syari’ah b. Kualifikasi untuk menjadi anggota SAC c. Status hukum “fatwa” SAC menjadi rujukan jika terjadi sengketa tentang bisnis perbankan syari’ah. Fatwa yang dikeluarkan bersifat mengikat dan final d. Lembaga keuangan selain bank seperti takaful, asuransi dapat berkonsultasi dengan SAC e. Bank sentral dapat menyediakan sekretariat bagi SAC untuk menjalankan tugasnya
4. Takaful Act (TA) 1984 - Sec./Pasal 8, 53A
a. Takaful dapat melakukan konsultasi terkait dengan permasalahan syari’ah dengan SAC b. Takaful harus membentuk SAB (shariah advisory board)
Analisis Sistem Tata Kelola Syari’ah Bagi Perbankan Syari’ah di Indonesia dan Malaysia _117
5. Banking and Financial Institution Act (BAFIA) 1989 - Sec./Pasal 124
a. Perbankan dan lembaga keuangan syari’ah dapat melakukan konsultasi dengan SAC terkait dengan urusan syari’ah b. Pembentukan shariah committee pada lembaga keuangan syari’ah
6. Shariah Governance Framework (SGF) for Islamic Financial Institutions (IFIs) 2010
a. Sebuah guidelines tentang kerangka shariah governance yang komprehensif bagi perbankan syari’ah dan takaful b. Menjelaskan tentang struktur shariah goverannce, proses dan pengaturan bank syari’ah untuk memastikan kepatuhan terhadap syari’ah c. Memberikan petunjuk (guidence) bagi Direktur, SC dan Manajemen yang berhubungan dengan kewajiban mereka terkait dengan pengawasan dan kepatuhan syari’ah d. Penjelasan tentang fungsi (bidang) shariah review, shariah audit, shariah risk management dan shariah research pada lembaga keuangan syari’ah e. Fit dan Proper kriteria keanggotan SC meliputi proses pengajuan, prosedur, pengunduran dan pemecatan, kualifikasi dan diskualifikasi f. Kewajiban, tanggung jawab dan akuntabilitas SC g. Standar operasional pelaksanaan tugas SC h. Bentuk laporan hasil pengawasan SC
118_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
7. Guidelines on the Governance of Shariah Committee for the Islamic Financial Institutions 2004
a. Menjelaskan tentang aturan, regulasi dan prosedur pembentukan SC pada lembaga keuangan syari’ah termasuk didalamnya tentang kualifikasi, komposisi, diskualifikasi, pengunduran dan pemberhentian, pembatasan SC b. Mendefinisikan tentang peran, ruang lingkup tugas dan tanggung jawab SC c. Menjelaskan tentang hubungan antara SC dan SAC
Analisis Sistem Tata Kelola Syari’ah Bagi Perbankan Syari’ah di Indonesia dan Malaysia _119
Endnotes
1. Ali Rama, “Analisis Komparatif Model Shariah Governance Lembaga Keuangan Syariah: Studi Kasus Negara ASEAN,” dalam Laporan Penelitian Puslitpen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2014, h. 5.
2. Isra, Islamic Financial System: Principles and Operations, Kuala Lumpur: Isra Press, 2010, h. 106.
3. Wafik Grais dan Matteo Pellegrini, “Corporate Governance and Shariah Compliance in Institutions Offereing Islamic Financial Sevices,” World Bank, September 2006, h. 1-38.
4. Zulkifli Hasan, Regulatory Framework of Shariah Governance System in Malaysia, GCG Countries and the UK, Kyoto Bulletin of Islamic Area Studies, 3-2, h. 82-115.
5. Hassan, dkk., A Comparative Analysis of Shariah Governance in Islamic Banking Institutions Across Jurisdiction. Isra Research Paper, No. 50/2013.
6. Ali Rama, Analisis Komparatif Model Shariah Governance Lembaga Keuangan Syariah: Studi Kasus Negara ASEAN, Laporan Penelitian Puslitpen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2014, h. 1-116.
7. Hassan, dkk., 2013 dan Ali Rama, 2014. 8. Andrian Sutedi, Good Corporate Governance. Jakarta: Sinar Grafika, 2011, h. 48.
9. Syakhroza, Akhmad, Corporate Governance, Sejarah dan Perkembangan, Teori, Model dan Sistem Governance serta Aplikasinya dan pada Perusahaan BUMN. Jakarta: Lembaga Penerbitan FE UI, 2008, h. 78.
10. Zamir Iqbal and Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance. Singapore: John Wiley & Son, 2011, h. 324.
120_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
11. Lihat Peraturan Bank Indonesia No. 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan GCG bagi BUS dan UUS.
12. Lihat IFSB, Guiding Principles on Shariah Governance Systems for Institutions Offering Islamic Financial Sevices, December 2009.
13. Isra, Islamic Financial System,h. 702. 14. Ibid, 2010, h. 703. 15. Ali Rama, Analisis Komparatif Model Shariah Governance Lembaga Keuangan Syariah: Studi Kasus Negara ASEAN, Laporan Penelitian Puslitpen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2014, h. 8.
16. Isra, Islamic Financial System: Principles and Operations. Isra Press: Kuala Lumpur, 2010, h. 704.
17. M. Stanley, Implementing Corporate Governance for Islamic Finance, GT. News. Dapat diakses di http://www.gtnews.com/aticle/7059.cfm.
18. Hassan, dkk., A Comparative Analysis of Shariah Governance in Islamic Banking Institutions Across Jurisdiction. Isra Research Paper, No. 50/2013, h. 1.
19. Lihat UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Pasal 33. 20. Lihat Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, bagian Ketentuan Umum.
21. lihat Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan GCG bagi Bank Umum.
22. Lihat penjelasan di website Bank Negara Malaysia (bnm.gov). 23. Lihat Central Bank Act (CBA) tahun 2009. 24. Lihat Islamic Financial Services Act (IFSA) tahun 2013, bagin 29. 25. Lihat IFSB, Guiding Principles on Shariah Governance Systems for Institutions Offering Islamic Financial Sevices, December 2009.
Strategi Pengembangan Industri Produk Halal _121
Halal Products Industry Development Strategy
Strategi Pengembangan Industri Produk Halal
Lady Yulia Kementerian Agama Republik Indonesia email:
[email protected]
Abstract : In the era of globalization, business of halal products has been a major contributing sectors on the world economy. Sector of halal products has been into areas that dominate global trade business. With the huge market potential, in which the Muslim world today has exceeded 1.6 billion, also supported by development of halal lifestyle of non-Muslim communities, it leading to the potential market for halal products is increasing. In this case, halal products have become rahmatan lil Alamin for that use or consume it or for those who are involved in the business of halal products. In addition to halal products provide benefit for those who consume it, also provide economic value to businesses halal products. Indonesia with the largest Muslim community, may take a dominant role in the global halal products business. In order for domestic halal industry can grow and develop rapidly so as to offset the global halal products trade, it is necessary to work hard to encourage the rise of Indonesian halal industry. Industrial products are acceptable and desirable community itself and become a mainstay of export commodities so as to move the real sector and the national economy it is necessary to foster a proper strategy for the development of halal industry in Indonesia.
122_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
Abstraksi: Pada era globalisasi, bisnis produk halal tidak dipungkiri lagi telah menjadi sektor yang berkontribusi besar pada perekonomian dunia. Sektor produk halal menjadi bidang yang mendominasi bisnis perdagangan global. Dengan potensi pasar sangat besar, dimana muslim dunia saat ini sudah melebihi 1,6 miliar, juga didukung dengan berkembanganya gaya hidup halal masyarakat non-muslim, menyebabkan potensi pasar produk halal semakin meningkat. Dalam hal ini, produk halal telah menjadi rahmatan lil alamîn bagi yang menggunakan atau yang mengonsumsinya atau bagi yang terlibat dalam bisnis produk halal. Selain produk halal memberikan kebaikan bagi yang mengonsumsinya, juga memberikan nilai ekonomi bagi pelaku bisnis produk halal. Indonesia dengan jumlah masyarakat muslim terbesar, berpeluang dominan mengambil peran dalam bisnis produk halal global. Agar industri produk halal dalam negeri dapat tumbuh dan berkembang pesat sehingga mampu mengimbangi perdagangan produk halal global, maka perlu kerja keras mendorong bangkitnya industri produk halal Indonesia. Produk industri yang dapat diterima dan diminati masyarakat sendiri dan menjadi andalan komoditi ekspor sehingga mampu menggerakkan sektor riil dan menumbuhkan perekonomian nasional maka perlu strategi yang tepat untuk pengembangan industri produk halal Indonesia. Keywords: Products, Halal, Business, Industry.
A. Pendahuluan Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber hukum Islam secara jelas menetapkan bahwa ada ketentuan halal dan haram bagi umat Islam. Pangan, obat dan kosmetik, sebagian ada yang halal dan ada pula yang haram dikonsumsi atau digunakan. Begitu pula dengan produk kimia biologis dan rekayasa genetik, dan/atau produk lainnya, sering dijumpaikeraguan mengenai halal-haramnya. Al-Qur’an dan Hadits adalah panduan bagi umat Islam untuk senantiasa mengkonsumsi makanan dan barang yang halal.
Strategi Pengembangan Industri Produk Halal _123
Halal kini tidak lagi hanya murni urusan agama. Dalam kehidupan masyarakat dunia, halal menjadi simbol global yang mencerminkan jaminan kualitas dan pilihan gaya hidup. Karena dalam bisnis, produk berlabel halal dapat membuat keuntungan yang signifikan bagi produsen.1Dalam hal ini produsen dan pedagang menggunakan sertifikat halal dan logo sebagai cara untuk menginformasikan dan meyakinkan konsumen bahwa produk mereka berkualitas dan layak dikonsumsi sesuai aturan agama. Produk halal secara essensial berfungsi membentuk masyarakat berakhlak mulia dan sejahtera. Kehalalan merupakan hal sangat penting, karena makanan mempunyai implikasi terhadap perilaku. Perilaku yang baik atau buruk itu ditentukan oleh makanan yang dikonsumsi. Jika makanannya halal, maka itu akan mendorong kepada perilaku yang baik. Sebaliknya, jika makanannya haram maka akan mendorong perilaku yang kurang baik. Oleh karena itu diperlukan strategi yang tepat membangun industri produk halal dalam negeri sehingga berkontribusi secara nyata terhadap pembangunan akhlak. Meningkatnya gaya hidup halal masyarakat dunia berpengaruh pada permintaan produk halal. Banyak negara berkonsentrasi pada bisnis penyediaan produk halal, yang mana pengaturan kehalalan produk disesuaikan dengan syari’ah Islam. Perkembangan industri produk halaldi negara-negara maju, meskipun umat Islam minoritas seperti Amerika Serikat, namun pola belanja dan konsumsi pangan disesuaikan dengan ketentuan standar halal, begitu juga dengan negara-negara lainnya. Tumbuhnya angka perdagangan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta berbagai inisiatif untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat, merupakan signalpenting bahwa konsep halal dipahami sepenuhnya oleh pelaku industri. Konsep halal akan mempengaruhi transformasi masyarakat menuju tercapainya kualitas hidup yang baik, keselamatan publik, penciptaan kembali dan tempat tinggal yang nyaman.2
124_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
Indonesia dengan jumlah penduduk muslimdiatas 200 juta jiwa menjadi salah satu target pasar utama negara-negara produsen produk halal. Peluang usaha produk halal di negara kita sangatlah potensial dan menjanjikan. Dengan kuantitas penduduk muslim yang besar, kapasitas Indonesia sebagai produsen dan konsumen juga sangat besar. Kebutuhan produk halal jika dapat dipenuhi sendiri tentu akan menjadi tulang punggung perekonomian negara. Bisnis produk halal dalam negeri saat ini sebagian besar masih didominasi oleh impor. Dalam hal ini perlu adanya upaya optimal dari semua pihak terkait, baik pemerintah maupun swasta untuk membuat iklim segar bagi pengembangan produk halal dalam negeri.Agar industri produk halal di negara kita dapat tumbuh dan berkembang pesat sehingga mampu mengimbangi perdagangan produk halal global, maka perlu kerja keras mendorong bangkitnya industri produk halal Indonesia. Kita perlu produk halal yang dapat diterima dan diminati masyarakat sendiri sehingga mampu menggerakkan sektor riil dan menumbuhkan perekonomian nasional. Dalam hal ini, perlu strategi yang tepat untuk pengembangan industri produk halal Indonesia. Pertumbuhan dan perkembangan bisnis produk halal dipengaruhi oleh daya saing yang unggul dan produk yang kompetitif. Dalam membangun iklim industri yang sehat, jika pengembangan kekuatan industri produk halal dalam negeri baik dan mampu memanfaatkan peluang yang ada, tentunya akan mampu menjawab tantangan industri produk halal dalam negeri.
B. Ruang Lingkup Produk Halal Islam mengatur semua hal tentang kehidupan manusia. Semuanya tertuang dalam al-Qur’an, sebuah pedoman menjalani kehidupan bagi umat, sebagai rahmatan lil alamîn, termasuk mengenai aturan dalam mengonsumsi sesuatu. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam alQur’an:”Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan,
Strategi Pengembangan Industri Produk Halal _125
karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. alBaqarah/2:168). Ayat di atas memerintahkan agar manusia hanya mengkonsumsi produk halal. Dalam Islam, halal dan baik adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya berpengaruh besar dalam pembentukan psikis dan fisik manusia, begitu juga perilaku dan pembentukan akhlak. Hal ini menjadi tolak ukur dari cerminan penilaian awal yang mempengaruhi perilaku seseorang, karena makanan dan minuman bagi umat Islam tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan secara lahiriah saja, akan tetapi juga bagian dari kebutuhan spiritual yang mutlak dipenuhi.3 Hadits Nabi saw menjelaskan hal ini, seperti yang diriwayatkan sahabat Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah saw bersabda:“Perut adalah telaga bagi raga. Pembuluh-pembuluh darah berujung padanya. Jika perut sehat, pembuluhpembuluh itu akan sehat. Sebaliknya, jika perut sakit, pembuluh darah pun akan ikut sakit.” (HR Thabrani). Berkenaan dengan hal ini, Imam al-Ghazali mengumpamakan urusan makanan dalam agama, ibarat fondasi pada sebuah bangunan. Menurutnya, jika fondasi itu kuat dan kokoh, maka bangunan itu pun akan berdiri tegak dan kokoh. Demikian sebaliknya, apabila pondasi itu lemah dan rapuh, niscaya bangunan itu pun akan ambruk dan runtuh. Secara etimologi, halal berarti melepaskan, menguraikan, membubarkan, memecahkan, membebaskan dan membolehkan. Sedangkan secara terminologi, kata “halal” adalah sesuatu dengannya terurailah buhul yang membahayakan, dan Allah memperbolehkan untuk dikerjakan.4 Halal juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang bebas dari komponen yang dilarang bagi umat muslim untuk mengonsumsinya.5 Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal memuat beberapa defenisi yang dapat menjadi rujukan dalam mengartikan produk halal. Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang berharga yang
126_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Sedangkan produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syari’ah Islam. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan tek no lo gi, produk diolah dari berbagai bahan mentah dan baku dengan berbagai teknik dan metode modern sehingga produk jadi yang dihasilkan sulit untuk ditelusuri kehalalannya. Untuk itulah pemeriksaan dan sertifikasi halal produk menjadi sangat penting. Melalui sertifikasi halal, status kehalalan suatu produk dapat diketahui secara pasti sehingga kepentingan konsumen muslim untuk memilih produk sesuai syari’ah Islam akan terjamin. Sertifikasi halal juga merupakan bentuk perlindungan Pemerintah dalam memberikan ketentraman batin bagi masyarakat. Produk halal diperoleh melalui rangkaian kegiatan meneliti dan memilah kehalalan produk yang mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk. Adapun yang dimaksud dengan bahan adalah unsur yang digunakan untuk membuat atau menghasilkan produk. Kepastian hukum terhadap kehalalan suatu produk dibuktikan dengan sertifikat halal, atau dikenal dengan sebutan Jaminan produk halal. Pentingnya sertifikasi halal didorong oleh keinginan konsumen untuk mengikuti aturan atau keinginan mereka untuk diterima sebagai bagian dari meningkatnya tuntutan global.8 Sertifikat dan logo halal tidak hanya menjamin terhadap apa yang mereka konsumsi atau gunakan menurut hukum Islam tetapi juga mendorong manufaktur untuk memenuhi standar halal.9Saat ini banyak perusahaan pangan dan kosmetik di berbagai negara seperti Nestle, Unilever, KFC, McDonald menjadikan produknya dengan brand sebagai produk halal yang telah memiliki sertifikat halal.7 Sertifikasi halal didefinisikan sebagai pengajuan izin dan pemeriksaan produk kepada lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan sertifikat produk halal. Sertifikasi halal bertujuan memastikan bahwa produk tidak
Strategi Pengembangan Industri Produk Halal _127
mengandung babi atau produk sampingan, tidak mengandung alkohol, tidak mengandung bahan-bahan makanan yang berasal dari hewan yang dilarang, dan telah disiapkan dan diproduksi pada peralatan bersih. Daging dan unggas misalnya, harus datang dari hewan yang disembelih menurut hukum Islam.10 Melalui pemeriksaan dan sertifikasi halal, status kehalalan suatu produk dapat diketahui secara pasti sehingga kepentingan konsumen muslim untuk dapat memilih dan mengkonsumsi produk sesuai syari’ah agamanya, terjamin. Sertifikat halal akan membuat produk industri semakin diterima dan dikonsumsi masyarakat sehingga mampu menggerakkan sektor riil dan menumbuhkan perekonomian nasional.11 Dalam hal ini, sertifikat halal mempunyai hubungan yang signifikan terhadap daya jual produk pangan.12 Sebagian besar konsumen percaya bahwa produk dengan merek halal memiliki standar kualitas dan keamanan pangan yang lebih tinggi dari pada barang-barang non-halal.13 Berdasarkan keterangan al-Qur’an dan Hadits, kehalalan produk dapat ditinjau dari 3 (tiga) segi, yaitu jenis bahan atau zatnya, cara penyiapannya, dan usaha untuk mendapatkannya.6 Bahan makanan yang berasal dari tumbuhan akan dijamin kehalalannya, adapun titik kritis keharamannya terletak pada alat dan bahan yang ditambahkan ketika pengolahan dan pengemasannya. Sedangkan untuk bahan yang berasal dari hewan, titik kritisnya adalah cara penyembelihan, alat dan bahan yang digunakan atau ditambahkan ketika pengolahan termasuk kemasannya.14 Selain harus berasal dari bahan yang halal, sebuah produk juga harus memperhatikan model transportasi yang digunakan saat pengangkutannya dan analisis keharaman dilakukan pada setiap tahapan proses dengan menilai semua kemungkinan masuknya bahan haram dan najis. Untuk menentukan titik-titik kritis keharaman, bahan baku dikategorikan menjadi empat, yaitu: forbidden, risiko tinggi, menengah, dan risiko rendah.15
128_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
Tabel 1. Tingkatan risiko keharaman bahan No
1
2
3
4
Tingkat risiko
Risiko Rendah (L)
Risiko Menengah (M)
Resiko Tinggi (H)
Forbidden (F)
Keterangan Produk atau bahan mentah yang tidak mengandung bahan yang dilarang oleh syari’ah agama Islam, dan dalam bentuk tunggal tanpa campuran serta tanpa bahan tambahan.
Produk atau bahan mentah yang dibuat dari bahan dasar yang tidak diragukan kehalalannya, namun dalam bentuk campuran dan atau diberi bahan tambahan, dan atau melalui proses yang dikhawatirkan terbentuk dan atau terkontaminasi bahan haram. Produk atau bahan mentah yang terbuat dari bahan dasar yang bahaya ketidakhalalannya sangat tinggi, terutama produk yang berasal berasal dari hewan baik dalam bentuk segar (seperti daging, lemak, dan sejenisnya), maupun produk kompleks seperti minyak hewan, gelatin dan sejenisnya, termasuk juga produk khamr dan turunannya. Semua produk atau bahan mentah yang jelas-jelas berasal dari bahan haram dan atau turunannya.
Sumber: Apriyantono., 2005. Halal Foods. Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Produk yang dihalalkan dalam Islam, secara garis besar dapat dikategorikan kepada beberapa kriteria sebagai berikut: bukan terdiri
Strategi Pengembangan Industri Produk Halal _129
dari atau mengandung bagian atau benda dari binatang yang dilarang oleh ajaran Islam untuk memakannya atau yang tidak disembelih menurut ajaran Islam; tidak mengandung sesuatu yang digolongkan sebagai najis menurut ajaran Islam; tidak mengandung bahan penolong dan atau bahan tambahan yang diharamkan menurut ajaran Islam; dalam proses menyimpan dan menghidangkan tidak bersentuhan atau berdekatan dengan makanan yang memiliki kriteria terlarang. Dari paparan di atas tergambar jelas bahwa dalam Islam makanan tidak hanya dituntut bagus, tapi juga halal. Dan, kriteria halal tidak hanya menyangkut asal dan proses pengolahannya, namun juga cara memperolehnya.
C. Halal dan Gaya Hidup Iklim perdagangan global akan dipengaruhi dengan kuat oleh negaranegara yang mampu menguasai bisnis produk halal dunia. Kompetisi perdagangan bebas menekankan pada harga dan kualitas. Banyak negara di dunia menjadikan jaminan halal sebagai salah satu indikator jaminan mutu, baik di Eropa maupun Amerika. Disamping tumbuhkembangnya lembaga penelitian dan pengembangan produk halal seiring pesatnya pertumbuhan industri produk global, korelasi halal dan gaya hidup juga semakin menguat. Perkembangan produk halal telah membuka pintu secara luas bagi perusahaan dan lembaga pemeriksa produk halal menyediakan layanan informasi dan komunikasi melalui media radio, televisi dan internet bagi konsumen. Pesatnya perkembangan pasar produk halal sangat didukung oleh ekonomi modern dan dinamis, sehingga berdampak pada gencarnya promosi dibidang produk halal. Akibatnya, halal lifestyle makin meningkat dan semakin saling mempengaruhi dalam bisnis produk halal. Di Amerika Serikat, pendirian lembaga sertifikasi halal dilatarbelakangi undang-undang yang mengatur makanan halal bagi orang Yahudi.
130_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
Negara bagian yang terbanyak komunitas Yahudinya adalah New York, sehingga sejak tahun 1920 hal ini sudah diatur khusus untuk kaum Yahudi. Aturan makanan halal orang Yahudi mempunyai kemiripan dengan aturan halal umat Islam, sehingga organisasi-organisasi yang menerbitkan sertifikasi halal (Halal Certifier Bodies) banyak didirikan. Organisasi tersebut berada dibawah Kementerian Pertanian, seperti Halal Transaction of Omaha dan Islamic Food and Nutrition Council of America (IFANCA).16 Lembaga ini berada di kota Omaha, negara bagian Nebraska. Berdiri sejak tahun 1992, statusnya diakui secara hukum oleh pemerintah pada tanggal 7 Juli 1992. Sebelumnya, Halal Transaction of Omaha bernama Islamic Services of Omaha (Pelayanan Islam Omaha). IFANCA adalah organisasi Islam teknis non-profit yang mengesahkan dan mengawasi produksi produk halal. IFANCA didirikan pada tahun 1980 dan telah bekerja dengan perusahaan besar seperti Crest dan McDonald. IFANCA memiliki kantor di Vancouver dan Toronto, Chicago, Los Angeles, Brussels dan Kuala Lumpur. Mereka juga memiliki perwakilan di Pakistan, India dan Cina. IFANCA memberikan sertifikasi halal secara langsung atau melalui afiliasi di 50 negara. Selain Amerika, Afrika Selatan telah juga telah memperkenalkan sertifikasi halal sejak tahun 1960 di bawah pengawasan Ulama,meski baru terbatas pada pemotongan daging hewan dan penyembelihan. Barulah pada tahun 1980-anjangkauannya meluas pada sektor pangan lainnya. Pada tahun 1996, Otoritas Halal Nasional Afrika Selatan (SANHA)telah mengukuhkan diri menjadi lembaga sertifikasi halal unggulan. Dalam satu setengah dekade, otoritas halal Afrika Selatan telah membantu negara-negara seperti Zambia, Namibia, Botswana dan Mozambik dalam mendirikan lembaga sertifikasi halal.17 Tajikistan juga memiliki standar halal yang dikembangkan dalam dua tahun terakhir ini. Produk lokal dapat mendaftarkan diri untuk mendapatkan sertifikasi halal dari pemerintah Tajikistan. Dalam
Strategi Pengembangan Industri Produk Halal _131
merancang standar kehalalan tersebut, pihak pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan dan kementerian Pertanian, dibantu oleh Tajik Council of Ulema. Izin menggunakan label halal yang diberikan Tajik standart berlaku satu tahun. Adapun yang mendorong Tajikistan untuk memberi perhatian terhadap sertifikasi pangan halal ini tidak lepas dari permintaan pasar yang tinggi. Jerman juga telah memiliki beberapa lembaga sertifikasi halal, salah satunya Halal Control and Certification Body. Halal Control and Certification Body merupakan sebuah lembaga swasta yang mengeluarkan sertifikat halal tingkat nasional sejak tahun 2001 dan juga memberikan pelayanan akses informasi tentang halal via internet dan telepon bagi muslim di Jerman, Austria dan Swiss. Di Belanda, ada tiga lembaga sertifikasi halal, salah satunya Halal Feed and Food Inspection Authority (HFFIA, yang berdiripada tahun 1996. Lembaga ini bergerak dibidang penelitian dan pengawasan produk halal serta mengeluarkan sertifikasi halal. HFFIA dalam hal penetapan ketentuan, kaidah atau standar syari’ah produk halal berada dibawah bimbingan dan arahan dari Council of Islamic Theological Scholar yang merupakan majelis fatwa Eropa. Berawal dari pesatnya perkembangan umat Islam di dunia, termasuk di kawasan Eropa, Inggris akhirnya menjadi pionir negara produsen produk halal di UniEropa. Kini, di Inggris terdapat dua lembaga sertifikasi halal,yang pertama adalah All Things Halal (ATH). Pada mulanya, ATH sejak 2005 sudah melakukan sertifikasi halal terhadap sejumlah produk non-meat seperti produk kosmetik, pembersih, produk laundry dan es krim. Sementara itu, lembaga kedua bernama Halal Monitoring Committee (HMC) yang merupakan lembaga non-profit, mulai melakukan kegiatan sertifikasi produk halal di Inggris sejak awal tahun 2003. HMC sendiri telah diakui secara internasional oleh International Halal Integrity Alliance (IHIA). HMC beranggotakan ulama-ulama dan juga para ahli yang memfokuskan diri pada sertifikasi
132_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
industri daging halal dan sektor produk daging unggas. Kini, ATH dan HMC saling bekerjasama sebagai langkah penyatuan standarisasi halal di Inggris.18 Meningkatnya taraf perekonomian masyarakat, artinya terjadi peningkatan pendapatan masyarakat. Dalam hal ini, peningkatan pendapatan akan mempengaruhi gaya hidup masyarakat dalam mengonsumsi pangan, pangan berkualitas tinggi akan menjadi pilihan. Dalam hal ini, produk bersertifikat halal, akan menjadi alternatif pilihan bagi masyarakat. Komunikasi dan periklanan produk halal merupakan dua hal yang berkembang beriringan akibat meningkatnya pertumbuhan pasar produk halal. Hal yang sama berlaku pada perusahaan-perusahaan produk halal di Eropa. Beberapa majalah mempromosikan produkproduk mereka, dan terus mengembangkan merk halal dengan metode baru. Pertumbuhan pasar produk halal terus meningkat seiring dengan dinamika 5 (lima) hal yang meningkatkan laju market pangan halal global, yaitu: pertumbuhan penduduk muslim, pasar utama untuk makanan halal; meningkatnya pendapatan di pasar utama untuk makanan halal, peningkatan permintaan untuk keamanan pangan, dan produk berkualitas tinggi di pasar primer. Saat ini produk halal menjadi belanja tertingggi berbagai negara pada beberapa wilayah tertentu, termasuk bagi lima atau tujuh juta masyarakat Prancis dan Jerman. Di Inggris, penduduk muslim 4% dari total penduduk, sedangkan ketersediaan produk daging halal mencapai 15% dari seluruh daging yang dijual. Ketertarikan masyarakat nonmuslim mengkonsumsi daging berlabel halal didorong oleh faktor kualitas daging yang dinilai kaya rasa, lebih lembut, dan diyakini lebih aman, sehat dan lebih higienis. Pariwisata syari’ah juga merupakan bidang yang dapat dikembangkan bersamaan dengan program sertifikasi halal. Pariwisata Syari’ah adalah kegiatan wisata yang didukung oleh berbagai fasilitas serta layanan yang
Strategi Pengembangan Industri Produk Halal _133
disediakan masyarakat, pengusaha dan pemerintah yang memenuhi ketentuan syari’ah. Beberapa negara dunia, seperti Thailand, Australia, dan Amerika, yang selama ini kurang memperhatikan perkembangan wisata syari’ah, mulai merancang strategi untuk menghimpun potensi wisata syari’ah. Disini, kemajuan industri produk halal dapat bersinergi dalam pengembangan pariwisata syari’ah. Hal ini menjadi peluang besar bagi produsen produk halal, baik di negara muslim maupun non-muslim, untuk berupaya mengembangkan dan meningkatkan produksi produk halal sehingga mampu berkompetisi di pasar dunia. Untuk dapat mengambil peran dominan pada market produk halal dunia, tentunya produk halal Indonesia harus mampu meyakinkan market halal dengan produk yang berkualitas, salah satunya sertifikat halal yang melekat sebagai salah satu indikator kualitas produk dapat memberikan jaminan kualitas halal atas produk dimaksud. Menggiatkan gaya hidup halal dapat dimulai dengan memastikan produk yang dipilih dijamin halal dengan melihat ada tidaknya label halal pada kemasan atau yang ditunjukkan. Label halal pada suatu produk dapat digunakan sebagai panduan bagi konsumen dalam membeli yang akan dikonsumsi. Ini akan menjadi kebutuhan akan terwujudnya kesiapan yang handal, tangguh serta ungggul dalam pembangunan dibidang produk halal domestik. Dengan menjadikan halal sebagai gaya hidup, untuk menyongsong kesuksesan pembangunan dibidang produk halal dalam negeri.
D. Tantangan Era Perdagangan Bebas Globalisasi dapat diartikan sebagai suatu proses yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat. Globalisasi akan berpengaruh pada iklim perdagangan dunia, dimana perdagangan bebas akan mewarnai bisnis global. Setiap negara tidak dibatasi aturan dalam melakukan perdagangan produknya.
134_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
Globalisasi perekonomian mengharuskan penghapusan seluruh batasan dan hambatan terhadap arus modal, barang dan jasa. Ketika globalisasi ekonomi terjadi, batas-batas suatu negara akan menjadi kabur dan keterkaitan antara ekonomi nasional dengan perekonomian internasional akan semakin erat. Ini akan memungkinkan suatu negara dengan negara lain saling bergantung dan dapat saling menguntungkan satu sama lainnya, dan salah satu bentuknya adalah ketergantungan dalam bidang ekonomi. Kedua negara dapat melakukan transaksi pertukaran sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya. Kesiapan menghadapi perdagangan bebas makin dirasakan urgensinya saat ini sebagai tulang punggung perekonomian bangsa. Dalam logika perdagangan bebas, persaingan terbuka yang dihasilkan dalam membuat berbagai kebijakan ekonomi akan mengembangkan efesiensi, produktifitas dan kualitas yang terbaik sehingga dapat memuaskan konsumen. Gambar.1. Logika Perdagangan Bebas Gambar.1. Logika Perdagangan Bebas Persaingan Ekonomi
Persaingan Terbuka
Produktifitas, Kualitas, efisiensi
Perdagangan Bebas
Kepuasan Konsumen
Sumber: Bahajigo: 2006Sumber: Bahajigo: 2006 Dalam era perdagangan bebas,halal menjadi syarat penting dalam menembus pasar global. Mempertahankan dan mengembangkan industri pangan halal dalam negeri dilakukan melalui revitalisasi
Strategi Pengembangan Industri Produk Halal _135
sertifikasi produk halal sehingga Indonesia mampu berkompetisi pada market global. Logika perdagangan bebas akan mempengaruhi bagaimana sertifikat halal berkembang mempengaruhi bisnis produk halal. Diskursus bisnis produk halal telah menjadi isu yang dibahas pada sidang regular World Trade Organization (WTO), dikuti sekitar 100 negara di dunia. Sejak tahun 2010 isu tentang produk halal selalu menjadi agenda rutin pembahasan. Kebutuhan masyarakat dunia terhadap produk halal telah mendorong Indonesia sibuk memasarkan beragam produk halal ke berbagai negara. Guna meraih potensi besar dimaksud, pemerintah telah membentuk badan yang menjadi otoritas melakukan notifikasi ke WTO, yaitu Badan Standardisasi Nasional. BSN bersama Komite Akreditasi Nasional (KAN) melakukan koordinasi dengan pihak terkait, yaitu BPOM, Kementerian Agama, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, MUI, dan YLKI dan pihak lain yang bergerak dalam bidang produk halal. Permasalahannya adalah, jika sertifikasi halal tidak muncul sebagai suatu kekuatan yang dapat dihandalkan, maka ini akan menjadi kendala bagi pengusaha Indonesia menghadapi pasar perdagangan bebas. Sebagaimana informasi BSN (2014) bahwa: Menghadapi berbagai perjanjian perdagangan bebas, dengan ASEAN Economic Community 2015 sebagai tantangan terdekat, serta perjanjian perdagangan bebas ASEAN dengan negara partner potensial, seperti China, Australia, Korea, Jepang, dan India, maka diperlukan jaminan kualitas produk nasional yang kuat untuk memastikan keuntungan ekonomi bagi Indonesia dan halal menjadi salah satu atribut jaminan kualitas produk”. Tanpa mentalitas yang tangguh, materi yang memadai dan substansi yang terpenuhi maka segala potensi, sumber energi, komoditi dan sumber daya yang kita miliki akan sulit bersaing pada era globalisasi ini. Ini akan menjadi kebutuhan akan terwujudnya kesiapan yang handal, tangguh serta ungggul dalam bisnis produk halal.
136_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
Semua lini harus bergerak memperkuat kelembagaan dan proses sertifikasi halal. Tak ada lagi alasna untuk menunda, apalagi berlehaleha. Karena kita membutuhkan kualitas produk terbaik untuk dapat bersaing di pentas global.
E. Pengembangan Aspek Ekonomi Produk Halal Berkembanganya gaya hidup halal, mendorong tumbuhkembangnya berbagai kebijakan dan menjadikan halal sebagai kebutuhan utama masyarakat dunia. Dari aspek ekonomi, produk halal mempengaruhi geliat bisnis, baik domestik maupun ekspor. Halal telah mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan beberapa hal sebagai berikut: 1. Sertifikat halal mampu menambah daya saing Produk bersertifikat halal dapat memberikan nilai tambah, tak hanya dari sisi kesehatan, tetapi juga mempunyai keunggulan dibidang ekonomi. Sertifikat halal memberikan daya saing, sehingga secara otomatis juga berfungsi sebagai alat pemasaran. Di sisi lain, produk bersertifikat halal mampu memberikan nilai ekonomi yang tinggi. Sertifikat halal menjadi salah satu instrumen penting dalam mendapatkan akses pasar yang lebih luas dan akan memperkuat daya saing produk domestik di pasar internasional. Guna menenuhi tuntutan pasar tersebut, banyak negara-negara di dunia membentuk lembagalembaga sertifikasi halal. Pelaksanaan sertifikasi halal di berbagai negaradiselenggarakan oleh pemerintah dan sebagian dikelola oleh lembaga swasta dimana pemerintah berperan sebagai regulator sertifikasi halal. Banyak perusahaan besar berkompetisi mengisi pasar halal global. American Halal Company Incmisalnya, merupakan perusahaan besar yang menjadikan sertifikat halal sebagai keunggulan dalam daya saing. Pada tahun 2011 lembaga ini mendapat penghargaan terbaik dari World Halal Forum di Malaysia. Perusahaan ini memiliki rekam jejak yang terbukti
Strategi Pengembangan Industri Produk Halal _137
sebagai memainkan peran utama dalam menentukan arah dari industri halal global. Seperti halnya negara-negara besar, Indonesia dengan modal besarnya juga dapat memegang peran dominan pada market produk halal dunia. Tentunya semua ini diawali dengan kemampuan meyakinkan market halal dunia melalui penyediaan produk halal yang berkualitas. Di sinilah urgensi kualitas sertifikat halal yang melekat sebagai salah satu indikator kualitas produk dapat memberikan jaminan kualitas halal atas produk dimaksud. Bagi pasar dalam negeri, produk halal memiliki prospek terbaik. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, kebutuhan terhadap produk halal juga tinggi. Apalagi, perlindungan dan jaminan kehalalan merupakan hak konstitusional warga negara yang termasuk dijamin oleh UUD 1945. Negara berkewajiban dan terus berupaya memenuhi hak asasi masyarakat terhadap kepastian dan kenyamanan ataupun perlindungan dalam hal memproduksi, mengkonsumsi dan peredaran produk halal, baik makanan, minuman, obat dan kosmetika serta produk gunaan lainnya yang dibutuhkan baik oleh pelaku usaha, maupun masyarakat Indonesia khususnya umat Islam.19Inilah pasar terbesar negeri kita. Pada saat bersamaan, tingginya kebutuhan akan produk halal juga mendorong para pelaku usaha menyajikan produk halal dengan kualitas terbaik. Di sinilah kita melihat kompetisi yang sehat antar produsen untuk memiliki SDM terbaik dengan infratruktur yang baik pula sehingga benar-benar menghasilkan produk yang berkualitas. Bagaimanapun, produsen harus memastikan dengan sebenar-benarnya bahwa produk yang beredar tidak merugikan konsumen. Dalam hal ini, produsen, penyalur, dan penjual harus memiliki hati nurani untuk tidak merugikan konsumen. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan, sebab jika konsumen dirugikan, maka produsen dan penyalur serta penjual harus bertanggungjawab, pertanggungjawaban ini bukan saja dari aspek hukumnya, tetapi juga aspek sosial dan moralnya.20
138_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
Jelas, produk halal tidak hanya menggerakkan nadi perekonomian, lebih dari itu produk halal telah mendorong para pelaku usaha melakukan ekspansi usaha yang membuka ribuan lapangan pekerjaan. Bukan hanya luas jangkauan bisnis yang berkembang, namun juga mendorong tumbuhkembangnya etos kerja. 2. Meningkatnya PasarProduk Halal Komunitas muslim global membentuk segmen pasar potensial dikarenakan memiliki ketentuan khusus dalam mengkonsumsi suatu produk. Syari’ah Islam mengatur cara konsumsi atau menggunakan terhadap sesuatu. Dalam syari’ah Islam tidak diperkenankan bagi kaum muslim untuk mengkonsumsi produk-produk tertentu yang mengandung bahan atau proses yang dilarang. Dengan adanya aturan seperti ini, pelaku usaha industri mengincar pasar khusus kaum Muslimin dengan mengikuti aturan tersebut. Kuantitas konsumen muslim yang besar tentunya akan memberikan peluang yang besar pula untuk berkembangnya industri produk halal. Industri makanan halal memberikan jaminan keamanan pangan halal bagi konsumen sesuai dengan ketentuan syari’ah Islam. Produsen pangan dunia akan berupaya mengembangkan dan meningkatkan produksi produk halal untuk mengisi pasar dunia.22 Pasar produk halal yang berkembang pesat menyebabkan makin bertambahnya pengusaha muslim maupun non-muslim dalam industri produk halal. Industri produk halal menunjukkan pertumbuhan yang luar biasa. Dengan populasi muslim global sebesar 1,8 miliar, pasar untuk produk halal diperkirakan sebesar US $ 547 miliar per tahun. Tren ini diperkirakan akan meningkat menjadi USD 2,1 triliun seiring laju market pangan global.21Sebagaimana informasi yang disampaikan Plt. Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri, mengutip laporan Global State of Islamic Economic, mengatakan permintaan produk halal dunia akan mengalami
Strategi Pengembangan Industri Produk Halal _139
pertumbuhan sebesar 9,5 % dalam enam tahun ke depan, yaitu dari US$ 2 triliun pada 2013 menjadi US$ 3,7 triliun pada 2019. Tidak dipungkiri lagi, saat ini produk halal menjadi belanja tertingggi berbagai negara pada beberapa wilayah tertentu, termasuk bagi masyarakat Prancis dan Jerman. Informasi di atas didukung juga oleh Naperville dalam Reportstack, provider of premium market research reports announces the addition of Global Halal Food Market 2012-2016 (2013), menyampaikan: bahwa masyarakat muslim dunia saaat ini berkisar sekitar 1,8 miliar jiwa atau 25 % dari populasi dunia. Komunitas muslim akan menjadi target konsumen bagi produsen produk halal. Populasi terbesar muslim yang terletak di kawasan Asia Pasifik merupakan pasar yang menjanjikan, disamping pasar di Afrika Utara dan Timur Tengah yang juga sangat menguntungkan. Saat ini negara-negara di semenanjung Arab dan kawasan teluk sebagian besar kebutuhan pangannya dipasok oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa Di Australia ada dua contoh lembaga yang melayani permintaan sertifikasi dan labelisasi produk halal, yaitu Perwakilan Umat Islam seAustralia (AFIC), dan perusahaan swasta HCS (Halal Certificate Services Ltd.). Merekalah yang melayani kepentingan umat Islam Australia maupun ekspor makanan setelah diuji kehalalannya. Sertifikasi halal berlaku satu tahun dan harus diperbarui. Biaya sertifikasi halal selain untuk biaya proses pengesahan sertifikat juga dikembalikan lagi ke umat, misalnya untuk dana pembangunan masjid, sekolah Islam, dan tunjangan-tunjangan keagamaan.23 Industri makanan halal juga berkembang di negara-negara yang memiliki populasi umat Islam yang sedikit, seperti Australia, Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Ketertarikan masyarakat non-muslim mengkonsumsi daging berlabel halal didorong oleh faktor kualitas daging yang dinilai kaya rasa, lebih lembut, dan diyakini lebih aman dan lebih higienis. Inggris juga membangun Super Halal Industrial Park
140_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
(SHIP) di wilayah South Wales yang akan menjadi pusat produk halal di kawasan Eropa. Fakta ini menandakan bahwa perdagangan produk halal dalam satu dekade terakhir berkembang luar biasa pesat. Ekspor produk halal asal Indonesia diharapkan dapat meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan permintaan produk halal dunia. Sudah saatnya bagi produk halal dari Indonesia bersaing memasuki pasar potensial seperti Asia Pasifik dan Afrika. 3. Pembangunan diBidang Lain yang Mendukung Industri Produk Halal Banyak negara di dunia yang sudah menjadikan jaminan halal sebagai salah satu kualitas mutu, baik di Eropa maupun Amerika. Ini ditandai dengan begitu banyaknya lembaga pemeriksa halal yang bermunculan di berbagai Negara tersebut. Disamping lembaga penelitian dan pengembangan produk halal, teknologi pun menjadi suatu kebutuhan dalam pengembangan industri produk halal. Semakin meningkatnya produksi produk halal dan pertumbuhan pasar produk halal global, membutuhkan proses penanganan yang semakin cepat. Dalam hal ini, peningkatan teknologi dibidang produk halal, menjadi strategi yang mampu memacu jumlah layanan sertifikasi halal, terutama pengembangan teknik sains modern dalam pendeteksian makanan halal dan teknologi informasi yang memudahkan akses komunikasi dalam sertifikasi halal. Pengembangan teknologi dibidang produk halal dapat mendukung upaya promosi produk halal domestik pada market global dan meningkatkan kepatuhan pengusaha pangan memenuhi persyaratan sertifikasi halal. Teknologi yang handal sangat dibutuhkan dalam pemeriksaan produk halal secara cermat, cepat dan tepat. Tentunya dibutuhkan pula penelitian dan pengembangan produk halal guna meningkatkan kualitas teknologi yang digunakan. Begitu juga kemudahan akses informasi, menjadi faktor pendorong kecepatan bisnis produk halal. Dalam hal ini
Strategi Pengembangan Industri Produk Halal _141
meningkatnya pengembangan teknologi di bidang produk halal, menjadi faktor penting. Pariwisata syari’ah juga merupakan bidang yang dapat dikembangkan beriringan dengan program sertifikasi halal. Pariwisata Syari’ah adalah kegiatan wisata yang didukung oleh berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah yang memenuhi ketentuan syari’ah. Beberapa negara dunia, seperti Thailand, Australia, dan Amerika, yang selama ini kurang memperhatikan perkembangan wisata syari’ah, mulai merancang strategi untuk menghimpun potensi wisata syari’ah. Disini, kemajuan industri produk halal menjadi kunci dalam pengembangan wisata syari’ah. Konsep wisata syari’ah, seperti Hotel Sofyan dengan seluruh jaringan Hotel Sofyan mulai menghentikan kebiasaan lama di perhotelan yang sering menyuguhkan minuman beralkohol. 4. Meningkatnya Promosi Produk Halal Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, bahwa kebutuhan akan produk halal yang terus meningkat telah mendorong pelaku periklanan untuk berpartisipasi sebagai peluang bisnis. Seperti diberitakan, perusahaanperusahaan produk halal di Eropa menggandeng beberapa majalah untuk mempromosikan produk-produknya, dan terus mengembangkan merk halal dengan metode baru. Di sisi lain, perkembangan produk halal juga telah membuka pintu secara luas bagi perusahaan dan lembaga pemeriksa produk halal menyediakan layanan informasi dan komunikasi bagi konsumen melalui media radio, televisi dan internet. Di sini kita melihat bahwa pesatnya perkembangan pasar produk halal didukung oleh ekonomi modern yang dinamis, ditandi salah satunya dengan gencarnya promosi dibidang produk halal. Kepercayaan telah meningkatkan komitmen konsumen terhadap merek. Berdasarkan teori pemasaran, kepercayaan adalah bagian penting dari hubungan yang telah dipelajari dan dibuktikan oleh
142_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
psikolog, sosiolog, dan ekonom dari perspektif manajemen dan prinsip pemasaran. Hal ini menjadi peluang besar bagi produsen produk halal, baik bagi negara muslim maupun non-muslim, untuk berupaya mengembangkan dan meningkatkan produksi produk halal sehingga mampu berkompetisisi di pasar dunia. Pada saat bersamaan, besarnya potensi sertifikasi halal, telah mendorong perusahaan pangan untuk memenuhi persyaratan bisnis dari pemberi order. Dalam kata lain, para produsen terus meningkatkan kapasitas dan kompetensi bidang halal sesuai dengan permintaan pasar umat Islam. Bagi produsen halal dalam negeri, menyediakan produk halal dengan kualitas terbaik merupakan amanat perundang-undangan. Sebagaimana kita ketahui bersama, dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menyatakan bahwa negara berkewajiban melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Kewajiban memberikan perlindungan tersebut mencakup jaminan bagi setiap warga negara untuk memeluk dan menjalankan ibadah agama sebagaimana ditegaskan dalam pasal 29 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan, menyajikan produk halal menjadi bagian tak terpisahkan dari pelayanan dan perlindungan masyarakat dari produk-produk yang berbahaya bagi kesehatan Berkaca dari realitas tersebut, maka lahirnya Undang-Undang Jaminan Produk Halal sangat dinanti kehadirannya oleh masyarakat, khususnya masyarakat muslim yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Indonesia. Karena kini masyarakat muslim semakin memiliki kesadaran untuk mengkonsumsi produk halal dan pemerintah berkewajiban untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut. Perlindungan dan jaminan kehalalan merupakan kebutuhan hak konstitusional warga negara yang termasuk dijamin oleh UUD 1945. Di samping itu mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar
Strategi Pengembangan Industri Produk Halal _143
manusia yang pemenuhannya menjadi hak dasar manusia, pemerintah berkewajiban memenuhi hak asasi masyarakat terhadap kepastian dan kenyamanan ataupun perlindungan dalam hal memproduksi, mengkonsumsi dan peredaran produk halal baik makanan, minuman, obat dan kosmetika serta produk gunaan lainnya yang dibutuhkan baik oleh pelaku usaha, maupun masyarakat Indonesia khususnya umat Islam. Jelas, promosi produk halal merupakan hal yang saling sejalan dengan perkembangan sertifikasi halal. Tanpa mentalitas yang tangguh, materi yang memadai dan substansi yang terpenuhi, maka segala potensi, sumber energi, komoditi dan sumberdaya yang kita miliki akan sulit bersaing pada era globalisasi ini. Ini akan menjadi kebutuhan akan terwujudnya kesiapan yang handal, tangguh serta ungggul dalam pengembangan industri produk halal.
F. Problematika di Seputar Produk Halal Pelaku usaha produk halal domestik belum mampu merajaibisnis industri produk halal dalam negeri. Berbagai kendala terjadi karena perilaku produsen dan konsumen yang belum saling mendukung terhadap pertumbuhan dan perkembangan indutri produk halal. Berdasarkan data yang dirilis oleh International Halal SME Direction (2011), pada tahun 2009 jika dibandingkan dengan negara-negara lain, pengeluaran produk halal setiap muslim di Indonesia masih rendah. Di Indonesia, pengeluaran individu muslim per-tahun untuk membeli produk halal hanya US$ 1.330, Malaysia lebih unggul dengan US$ 3.507. Sedangkan pengeluaran setiap muslim untuk membeli produk halal paling tinggi yaitu di Singapura dengan US$ 17.511. Hal ini menunjukan belum terlalu berkonsentrasinyaIndonesiadalam pengembangan industri produk halal. Lemahnya permintaan produk halal lokal maupun luar negeri, membuat produsen lokal belum giat memproduksi produk halal. Hal ini menjadi faktor pendukung yang turut menyertai rendahnya tingkat
144_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
kesadaran pelaku usaha dalam melakukan sertifikasi halal. Persentase usaha produk yang yang telah melakukan sertifikasi halal masih rendah, terutama pada usaha kecil dan mikro. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti adanya paradigma bahwa produk mereka sudah bisa dijamin halal oleh mereka sendiri tanpa harus melakukan sertifikasi halal atau karena anggapan proses sertifikasi yang sulit dan memakan waktu. Keterbatasan sumber daya pelaku usaha kecil dan mikro, membuat mereka tidak terlalu mementingkan sertifikasi halal. Padahal, sertifikat halal itu merupakan bukti banwa produsen memberikan jaminan halal produknya kepada masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Jadi ada bukti bahwa produk yang diperjalbelikan itu halal sesuai dengan syari’ah. Dalam bidang pangan halal, permasalahan yang dihadapi produsen pangan halal Indonesia berawal dari bagaimana upaya produsen memberikan informasi yang jelas dan meyakinkan kepada konsumen muslim untuk membedakan halal dari haram, untuk menjamin halal yang benar-benar halal dan haram benar-benar haram.Informasi yang disampaikan produsen harus memberikan keyakinan kepada konsumen muslim sehingga mereka dapat membuat pilihan yang tepat dalam mengkonsumsi makanan. Apalagi saat ini dalam menghadapi era perdagangan bebas tingkat regional, internasional dan global, masyarakat dikhawatirkan dengan pangan dan produk lainnya yang mengandung atau terkontaminasi unsur haram. Isu permasalahan makanan halal dan haram merupaka hal yang sensitif di masyarakat kita. Permasalahan sosialisasi dan edukasi sertifikasi halal melahirkan permasalahan-permasalahan turunan yang mengakibatkan minimnya jumlah pengusaha pangan yang melakukan sertifikasi halal. Selain sarana dan prasarasana yang menunjang kearah sana juga terbatas, bentuk program sosialisasi informasinya pun belum dikenal masyarakat secara luas, apalagi sosialisasi edukasi sertifikasi halal.Kurangnya sosialisasi
Strategi Pengembangan Industri Produk Halal _145
tentang sertifikasi halal memang sangat dirasakan oleh para pengusaha pangan. Mereka merasakan sulitnya menemukan media informasi yang mudah dijangkau di tengah aktifitas mereka. Salah satunya informasi melalui radio dan televisi sangat kurang. Dampak minimnya sosialisasi informasi tentang sertifikasi halal ini lebih dirasakan oleh UMKM. Karena keterbatasan sumber daya perusahaan, seperti aset, karyawan dan anggaran, menyebabkan pengusaha pangan UMKM sulit mempeoleh informasi tentang sertifikasi halal. Dalam hal ini masih kurangnya sosialisasi dan edukasi tentang sertifikasi halal kepada produsen menjid bahan perhatian. Dalam materi dakwah di masjid-masjid,topik halal ini juga kurang porsi pembahasannya. Di sisi lain, pengawasan produk halal yang beredar dan penegakan hukum, pemerintah belum mempunyai format optimum dalam penerapannya.Oleh karena itu, diperlukan sistem pengawasan produk halal yang beredar yang mampu memberikan jaminan produk halal bagi masyarakat. Dakwah dibidang produk halal mencakup tentang makanan yang bergizi, sehat dan halal, barang guna halal dan lain-lain. Oleh karena itu, ini mejadi pekerjaan kita semua, para ulama, da’i, para pendidik, tokoh masyarakat untuk menyadarkan masyarakat bahwa persoalan halal merupakan persoalan substansial dan strategis, sangat menentukan kualitas keberagamaan kita, baik saat inni ataupun di masa yang akan datang. Hal lain yang menjadi kendala dalam membangun industri produk halal dalam negeri adalah rendahnya tingkat kualitas produk yang tidak disertai dengan standar mutu internasional sehingga sulit berkompetisi di market regional maupun global. Diikuti lagi dengan minimnya jaringan bisnis pelaku usaha domestik dalam memasarkan produk mereka, membuat jembatan ekonomi produk halal belum dapat terwujud. Disamping itu, pemerintah juga belum maksimal dalam mengkoordinir
146_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
produksi produk halal domestik dan marketnya, disamping upaya yang belum optimal dalam mengendalikan arus produk halal yang masuk ke dalam negeri. Hal ini berakibat sulitnya pelaku usaha kecil dan mikrountuk berkompetisi di negeri sendiri. Termasuk dengan kuatnya dorongan globalisasi perekonomian yang belum mampu diantisipasi baik oleh mereka. Juga karena kurangnya promosi di market global, membuat produk halal domestik belum begitu dikenal dan diminati konsumen dunia. Untuk itu perlu kerja keras semua pihak dalam mendorong bangkitnya industri produk halal dalam negeri.
G. Strategi Pengembangan Industri Produk Halal Besarnya pasar produk halal di dalam dan luar negeri merupakan potensi besar yang dapat mendorong berkembangnya industri produk halaldalam negeri.Indonesia dengan mayoritas penduduk muslim merupakan kekuatan tersendiri dalam membangkitkan industri produk halal. Besarnya potensi pasar domestikakan menjadi dorongan kuat yang dapat menggerakkan industri produk halal. Apalagi didukung dengan kehidupan beragama yang moderat dan kerukunan umat beragama yang baik, menjadikan pergerakan perdagangan produk di Indonesia akan saling menguatkan. Negara menjamin warga negaranya menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya, ini merupakan hak konstitusional warga negara. Sehubungan dengan jaminan tersebut, maka tersedianya makanan minuman, obat, kosmetik, produk kimia biologis, dan produk rekayasa genetik yang terjamin kehalalannya menurut syari’ah, bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ibadah, sehingga produk yang dikonsumsi oleh masyarakat tersebut perlu dijamin oleh undang-undang. Tumbuhnya kesadaran masyarakat terhadap kehalalan produk yang dikonsumsi merupakan salah satu indikasi peningkatan kesadaran beragama di masyarakat. Peningkatan kesadaran perlu seirama dengan
Strategi Pengembangan Industri Produk Halal _147
upaya peningkatan pelayanan pemerintah mengenai perlindungan dan penyuluhan jaminan produk halal. Hak-hak tersebut merupakan hak yang sudah melekat bagi siapapun yang berkedudukan sebagai konsumen, sekaligus sebagai subyek. Konsumen harus diposisikan sebagai subyek. Sebagai subyek hukum, kepentingan dan keselamatan harus terlindungi secara yuridis, juga harus diawasi proses perlindungan itu oleh pemerintah.Produsen, penyalur, dan penjual harus memiliki hati nurani untuk tidak merugikan konsumen. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan, sebab jika konsumen dirugikan, maka produsen dan penyalur serta penjual harus bertanggungjawab, pertanggungjawaban ini bukan saja dari aspek hukumnya, tetapi juga aspek sosial dan moralnya. Jaminan produk halal bagi masyarakat muslim Indonesia juga termasuk bagian hak konstitusional yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, lahirnya Undang-Undang Jaminan Produk Halal pada tahun 2014 merupakan perangkat yang mengatur tentang itu. Dengan adanya peraturan yang mengatur tentang penyelenggaraan jaminan produk halal di negara kita, maka akan menjadikan kekuatan yang dapat menumbuhkembangkan industri produk halal dalam negeri. Dalam hal ini Irman Putra Sidin (2014) menegaskan, mendapatkan jaminan produk halal bagi masyarakat muslim merupakan suatu kekuatan dalam pembangunan industri produk halal. Undang-Undang Jaminan Produk Halal merupakan perangkat yang menguatkan penyelenggaraan jaminan produk halal bagi masyarakat muslim.Pemerintah memandang bahwa Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal merupakan jawaban terhadap kebutuhan masyarakat untuk memperoleh jaminan ketersediaan produk halal demi kesejahteraan lahir dan batin. Dengan ketersediaan produk halal tersebut pula masyarakat sekaligus akan terlindungi dari produk-produk yang berbahaya bagi kesehatan. Jika melihat data yang ada, produk yang telah memiliki sertifikat
148_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
halal persentasenya masih sangat kecil dibandingkan dengan seluruh produk yang beredar di Indonesia. Dengan demikian, jumlah produk yang belum dijamin kehalalannya masih jauh lebih banyak beredar di masyarakat dari pada produk yang telah dijamin kehalalannya. Perumusan strategi yang tepat dapat mengatasi kelemahan industri produk halal dalam negeri dan menjadi langkah solusi dalam pemecahan permasalahan-permasalahannya. Oleh karena itu kurangnya tenaga ahli di bidang produk halal, minimnya pengetahuan masyarakat tentang produk halal, dan sarana prasarana serta perangkat teknologi yang belum mendukung,harus segera teratasi. Dalam sosialisasi dan edukasi produk halal misalnya, Pemerintah bersama dan semua Orgaisasi Masyarakat Islam dapat meningkatkan aksi gerakan masyarakat sadar halal secara aktif. Sosialisasi yang disarankan adalah menjadikan materi produk halal sebagai topik prioritas pada khutbah jum’at, majelis taklim dan acaraacara keagamaan lainnya. Disamping itu pada pelajaran pelajaran agama di sekolah umum, topik produk halal bisa dimasukan kedalam kurikulum pendidikan. Untuk peningkatkan sosialisasi dan edukasi sertifikasi halal agar para pengusaha mampu memanfaatkan peluang pasar pangan halal, perlu upaya instansi dan lembaga terkait terjun langsung mendatangi lokasi usaha atau asosiasi pengusaha dalam menyampaikan informasi dan edukasi sertifikasi halal. Hal ini akan dapat menjadi solusi keterbatasan waktu pengusaha dalam mencari informasi dan tentu akan memberikan pengaruh yang besar terhadap sikap pengusaha dalam melakukan sertifikasi halal. Dalam hal ini pengusaha harus disadarkan bahwa mencantumkan label halal akan memberikan efek positif terhadap kinerja perusahaan dan juga akan membuat masyarakat lebih percaya kepada produk yang dihasilkannya. Sebagian besar konsumen percaya bahwa produk dengan merk halal memiliki standar kualitas dan keamanan yang lebih tinggi daripada barang-barang non-halal.
Strategi Pengembangan Industri Produk Halal _149
Diberlakukannnya pasar bebas regional dan global akan menjadi tantangan bagi pelaku usaha produk halal agar dapat berkompertisi pada market tersebut. Namun tentunya perlu kesiapan yang handal dalam memanfaatkan peluang yang ada. Pelaku usaha yang maju dalam kualitas dan hubungan bisnis, akan menjadi pemenang pada kompetisisi pasar bebas. Ini akan berakibat akan terjadinya persaingan sempurna dimana kompetisi menekankan pada kualitas. Agroindustri halal akan mampu menjadi lokomotif ekonomi Indonesia di masa yang akan datang jika pembangunan di bidang produk halal terus ditingkatkan mengikuti standar global. Terkait dengan hal tersebut, di bidang akademik pun perlu ada upaya untuk mengembangkan kelimuan yang berbasis halal science, salah satunya dengan mendirikan Halal Centre, sebagai pusat penelitian dan pengembangan industri produk halal. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang produk halal berperan besar dalam proses produksiyang cepat dan efisien menggunakan teknologi modern dengan alat, mertode dan bahan campuran tertentu sehingga menghasilkan produk dengan kualitas dan kuantitas tertentu. Dalam hal ini untuk mengetahui kehalalan produk tersebut tentu tidak lagi sulit ditentukan secara manual dan sederhana. Oleh karena itu dalam mengimbangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang produksi produk halal, maka proses pengujian kehalalan produk juga harus menggunakan ilmu pegetahuan dan teknologi modern pula, diantaranya diperlukan laboratorium sebagai sarananya. Pertumbuhan pasar produk halal, akan memicu pertumbuhan dan perkembangan dibidang lain yang mendukung industri produk halal, terutama yang terkait dengan teknologi. Bagi palaku produk halal, diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN dan perdagangan bebas, dapat dipandang dari dua sisi yang berbeda; sebagai peluang dan ancaman. Namun, secara umum pengusaha produk halal di Indonesia lebih memandangnya sebagai ancaman.
150_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
Begitu juga para responden pengusaha pangan pada penelitian ini, lebih merasa tidak siap menghadapi pasar bebas. Dengan kualitas lebih rendah dibawah produk-produk negara competitor, terutama Malaysia, Singapura dan Thailand, membuat mereka memandang pasar bebas lebih sebagai ancaman ketimbang peluang. Gabungan
Asosiasi
Pengusaha
Makanan
dan
Minuman
Seluruh Indonesia (GAPMMI) mengklaim belum siap menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN (MEA). Pasalnya, industri kecil makanan dan minuman Indonesia masih jauh di bawah Singapura dan Malaysia sehingga persaingannya akan sangat berat.Belum terciptanya jembatan bisnis untuk berkompetisi pada market global bagi pengusaha kecil pada pasar bebas, juga merupakan suatu ancaman bagi kelangsungan bisnis pangan halal UMKM. Dalam hal ini, perlu peran aktif pemerintah menjalin kerja sama dengan negara lain, sehingga dapat menciptakan kemudahan distribusi produk domestik pada pasar bebas. Berdasarkan pemetaan seperti yang diurai diatas, dapat dirumuskan beberapa strategi pengembangan industri produk halal Indonesia sebagai berikut: 1) Membangun Sumber Daya Manusia yang berkeahlian di bidang produk halal. Penyelenggaraan aksi gerakan masyarakat halal di Indonesia belum mencapai semua lapisan dan tingkat masyarakat, juga disebabkan karena jumlah SDM dibidang produk halal sangat kurang, sehingga narasumber dan tenaga penyuluh belum sebanding dengan jumlah masyarakat muslim Indonesia. 2) Menggiatkan aksi komunikasi, informasi dan edukasi di bidang produk halal dengan semua elemen masyarakat sehingga jumlah masyarakat sadar halal akan semakin meningkat. 3) Meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang penelitian dan pengembangan produk halal; dngan membangun Halal Center sebagai pusat penelitian dan pengembangan di bidang produk halal bisa menjadi salah satu program yang mendukung hal ini.
Strategi Pengembangan Industri Produk Halal _151
4) Mengkoordinir produksi dan distribusi produk halal.
Adanya koordinasi satu pihak dari bisnis produk halal dalam negeri, dapat membuat kebijakan masing-masing instansi tidak akan saling tumpang tindih, sehingga satu suara dalam menggerakan pelaku usaha dibidang industri produk halal.
5) Menguatkan peran komunitas halal.
Komunitas halal yang sudah makin kian terbentuk, harus dikuatkan perannya oleh pemerintah sehingga mampu menjaring produsen dan konsumen mengembangkan industri produk halal.
6) Membangun jaringan perdagangan produk halal dalam dan luar negeri.
Menghadapi kompetisi yang semakin kuat di pasar global, perlu peran serta pemerintah menciptakan jaringan bisnis bagi pelaku usaha produk halal, terutama bagi UMKM, seperti menjalin kerjasama internasional dalam bisnis produk halal.
H. Penutup Produk halal menjadi rahmatan lil alamîn bagi semua umat, terutama bagi orang yang mengonsumsinya dan pelaku bisnis yang terlibat. Dalam pengembangan industri produk halal, penerapan kebijakan yang berkelanjutan yang sesuai dengan syari’ah Islam, akan berorientasi pada bisnis yang berkeadilan dan mampu menciptakan masyarakat adil dan makmur. Dalam hal ini penekanan strategi dilakukan dengan mengedepankan pada pembangunan aspek industri produk halal domestic dan menciptakan jaringan bisnis pada market global yang akan menumbuhkembangkan industri produk halal Indonesia merajai market global. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan efektifitas, efisiensi, dan keberlanjutan dalam pembangunan industri produk halal serta membuat
152_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
prioritas pembangunan menjadi rasional dan tepat sasaran. Karena itu pelibatan masyarakat dalam proses pengembangan industri produk halal menjadi sangat penting dalam rangka mengoptimalkan sumber daya yang ada serta menciptakan iklim komunikasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat.
Strategi Pengembangan Industri Produk Halal _153
Daftar Pustaka
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Kementerian Agama RI, 2010. Al Ghazali, Imam,Benang Tipis antara Halal dan Haram. Surabaya: Putra Pelajar, 2002. Alabsy,
Ahmad,“Elements
of
Success
of
The
Halal
Food
Business,”Malaysia:Halal Journal, 2001. Ameur, Ahmed,“The Lifestyle Halal in European Marketing,” Article ID: 1923-7529-2011-02-83-08ISSNs: 1923-7529, Academic Research Centre of Canada, 2011. Apriyantono, HalalFoods,Bogor:Program Studi Ilmu Pangan Sekolah, PascasarjanaInstitut Pertanian Bogor,2005. Ariff, Importance of halal certification,Diunduh dari http://www.halaljournal.com/article/4262/importance-of-halalcertification, 2009. Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jendral Bimbingan
Masyarakat
Islam
dan
Penyelenggaraan
Haji
Departemen Agama RI, Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal Majelis Ulama Indonesia, 2003. Bahajigo, Sugeng,Globalisasi Menghempas Indonesia, Jakarta:Pustaka LP3ES Indonesia, 2006. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Sertifikasi dan Labelisasi Halal.Jakarta:Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan, 2003. BPS Provinsi DKI Jakarta,Jakarta Dalam Angka. Jakarta:Perekonomian
154_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
DKI Jakarta, 2014. Burgman, T, “Halal flexes its marketing muscle, The Star Business Section, “thestar article dari http://www.thestar.com/Business/ article/238551, 2007. Dagang Asia Net “The Emerging of Global Halal Market,”http://www. dagangasia.net/articles), 2011. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi kedua. Cetakan kedua. Jakarta Balai Pustaka.tt. Dierks, “Market Watch 2010 – The Food Industry Malaysian-German Chamber of Commerce and Industry”. Kuala Lumpur:tp, 2011. Eika,”Sertifikasi halal di Inggris”.Rubrik Dunia Islam Majalah Percikan Iman edisi Maret 2012. Fairman, R. & YappC.“Compliance with food safety legislation in small and micro-business: enforcement as an external motivator”. Journal of Environmental Health Research, 3(2), 44-52,2004. Hanim., Suhaiza, M.Z, et. All,“Recommendations to strengthen Halal Food Supply Chain For Food Industry in Malaysia,”Penang:Journal of Agribusiness Marketing, Special Edition (2010), Universiti Sains Malaysia. 2010. Hasnah, Siti H & Hamdan, Haslenna, ” Experience of Non-Muslim Consumers on Halal as Third Party Certification Mark in Malaysia,” Asian Social Science: Canadian Center of Science and Education Vol. 9, No. 15; 2013, 2013. Hermaninto, J,“Tinjauan Titik Kritis Halal-Haram Produk Olahan Daging”.Bogor: Food Review Indonesia Vol.1. 2006. Handbook,Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi
Strategi Pengembangan Industri Produk Halal _155
Pangan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.tt. Henson, S. & Heasman, M.,Food safety regulation and the firm: understanding the compliance process.Food Policy, 23(1), 9-23. 1998. Heidarzadeh,Kambiz, “Intention To Halal Products In The World Markets, Interdisciplinary Journal of Research in Business,” Tehran: Department of Business Management, Science and Research Branch Islamic Azad University Vol. 1,2011. http://www.halalguide.info/International Halal SME Direction/2011, diakses tanggal 29 September 2014. Islamguidens HalalCertifiering of Sweden, Halal Standard Guidelines for Halal Certification, Sweden:Stockholm,2013. Jamal, A. “Marketing in a multicultural world: The interplay of marketing, ethnicity and consumption”. European Journal of Marketing, 37(11), 1599-1620. 2003. Jumaatun, A. “Understanding the Department of Veterinary Services, Malaysia”.Kuala Lumpur: KasehDia Sdn, The Halal Journal March/ April 2005. (pp.32).. Bhd. 2005. Jumaatun, A.. “Port of Rotterdam’s Halal Venture”. Kuala Lumpur: KasehDia Sdn , The Halal Journal May/June 2006. (pp.3032).. Bhd. 2006. Pieris, John, et all. Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen: Terhadap Produk Pangan Kadaluwarsa. Jakarta: Pelangi Cendekia, 2007. Kotler Ph, Keller KL. ” Marketing Management,” 14 Edition, New York: Prentice Hall, 2010. Kordnaeij, Asadollah. “Studying Affecting Factors on Customers’ Attitude toward Products with Halal Brand”.Tarbiat Modares
156_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
University,International Research Journal of Applied and Basic Sciences, ISSN 2251-838X/ Vol 4 (10): 3138-3145. Department of Management, 2013. LP POM MUI,“Pengukir Sejarah Sertifikasi Produk Halal,” LP POM MUI.2003. Loader, R. & Hobbs, J. E. Strategic responses to food safety legislation. Food Policy, 24, 1999. Manaf, Abdul B, “The competitiveness of halal food industry in Malaysia: A SWOT - ICT analysis,”Pulau Pinang: Malaysia Journal of Society and Space 9 issue1(1 - 9), UiTM.2013. Mardikanto, “Sertifikasi Halal Akan Menggairahkan Dunia Usaha,” Berita BSN 28 Februari 2014, 2014. Masykoer, Imam Ali,Bunga Rampai Jaminan Produk Halal di Negara Anggota Mabims,Jakarta: tt.p2003. Mian N. Riaz, “Fundamentals of halal foods and certification”http:// www.preparedfoods.com/Articles/Feature_Article/BNP_GUID_9,2010. Mu’alim, Amir dan Yusdani,Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta:UII Press, 2001. Munir F,Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Globalisasi,Bandung: Citra Aditya Bakti,. 2005. MUIS, “General Guidelines for the Handling and Processing of Halal Food,”Halal certification of Singapura. 2012. Noordin, Nurulhuda, Ph.D, et.all,“Value Chain of Halal Certification System: A case of the Malaysia Halal Industri,”European and Mediterranean Conference on Information Systems July 13-14
Strategi Pengembangan Industri Produk Halal _157
2009,Universiti Teknologi MARA, Malaysia. 2009. Purnomo, D,Strategi Pengembangan Agroindusti Produk Halal pada Perdagangan Pangan Global. Bogor: IPB. 2011. Qardhawi, Yusuf,Halal dan Haram dalam Islam, (terjemahan), Surabaya: Era Intermedia, 2000. Rambe, “Afrika Selatan Muncul Sebagai Pemimpin Industri Halal,”. http://www.arrahmah.com/news/2013/03/17/afrika-selatanmuncul-sebagai-pemimpin-industri-halal.html, diakses tanggal 22 oktober 2014. Rahmat, “Tahun 2015 Waspadai Peredaran Produk Non Halal,” Rakyat Merdeka, 21 Mei 2014 Rahmadianti, Fitria, “Malaysia Pimpin Standardisasi Sertifikasi Halal untuk Negara Muslim,” DetikOto, 11 April 2014. Rarick, Charles, Falk, Gideon., Barczyk, Casimir.,Feldman, Lori., et al. “Marketing to Muslims: The Growing Importance of Halal Product”. Academic journal article from Journal of the International Academy for Case Studies, 2011. Respati , Yogie , “Sertifikasi Halal Berikan Daya Saing, BeritaBudaya & Gaya Hidup dari http://mysharing.10/topik/budayadangayahidup/ diakses pada tanggal 28 Oktober 2014. Anomim, “Industri Makanan-Minuman Berat Hadapi MEA,” Republika, Kamis, 11 September 2014, 2014. Riaz, M. N. “Examining the halal market. Prepared Foods,”tp, 68(10), 8185. 1999. Riaz, M.N, and Chaudry, M.M. “Halal Food Production,” Florida: CRC Press LLC Boca Raton, 2004.
158_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
Rahmayani, Rini, “Factors Influencing Indonesian Food Manufacturers Uptake of Halal Certification”Australia: The University of Queensland Faculty of Social and Behavioural Science School of Journalism and Communication, 2008. Roderick, D, “Hold the Pork,”TIMEasia, 157, (3), http://www.time.com/ time/asia/magazine/2001/0122/muslim.rebellion.html 2001. Shafie, S., & Othman, N. “Halal certification: International marketing issues and challenges”.Germany: Paper presented at IFSAM VIII World Congress 2006, September 28–30, Berlin,2006. Sabri, M. “Singapore expands e-certification of halal products,” http:// www.IslamOnline.net. 2006. Sakr, Ahmad, “Understanding Halal Foods, Foundation For Islamic knowledge, Lombard. 1996. Soenaryo, E. S., & Apriyantono, A,“Halal Requirement For Instant Noodle Manufacture. Paper presented at The 3rd IRMA Summit14-15 March 2001. Thailand. Retrieved from http://www.nutrition.co.th/ halal.html, 2001. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: AFABETA, 2011. Sungkar I. “Importance and the Role Importance of Market Intelligence in Penetrating Global Halal Food Markets,” Kuala Lumpur: World Halal Forum Secretariat, 2007. Stokes,Jenny” The Impact of Halal,” Research Director, Salt Shakers Australia diambil dari http://www.halalchoices.com.au/index. html. 2010. Shafie , Shadidan,“Halal Certification: an international marketing issues and challenges,” Kuala Lumpur:The Universiti Malaya, 2011.
Strategi Pengembangan Industri Produk Halal _159
Sjafrizal, Perencanaan Pembangunan Daerah Dalam Era Otonomi, Jakarta: Rajawali Press. 2014. Supriadi, Yayat, “Pengaruh kebijakan labelisasi halal terhadap hasil penjualan produk,”Jakarta:Universitas Indonesia, 2009. Sucipto, “Sertifikasi Halal Juga Untungkan Produsen,”Media online gagasan hukum, publikasi 20 april 2009,http//gagasahukum.wordpress. com/tag/sertifikasi halal, diakses tanggal 22 oktober 2014, 2009. Soenaryo, E. S., & Apriyantono, A,“Halal Requirement For Instant Noodle Manufacture”. Paper presented at The 3rd IRMA Summit 14-15 March 2001. Thailand. dari http://www.nutrition.co.th/halal.html2001. Sarriff , Azmi & Akram Hadeer. “Exploring the Halal Status of Cardiovascular, Endocrine, and Respiratory Group of Medications,”Malays J Med Sci. 2013 Jan-Mar; 20(1),2013. Syafitri, Elvi, “Halal Syarat Penting dalam Menembus Pasar Global,” Berita BSN, 28 Pebruari 2014. Tejomukti, Ratna, A,“Industri Produk Halal di Thailand Tumbuh,” Republika, 3 Januari 2014 Twaigery, S. and Spillman, D.“An Introductory to Moslem Dietary Laws,”Food Tech. 43 (2),1989. Thobieb Al-Asyhar,Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian Rohani, Jakarta: Al Marwadi Prima, 2003. Utsmaniyah, Segera berdiri pusat industry produk halal di inggris, http:// al-utsmaniyah-tours.com/berita-125-segera-berdiri-pusat-industriproduk-halal-di-inggris-.html, diakses tanggal 22 oktober 2014, 2013. Wahyuni, Endang Sri, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya dengan
160_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
Perlindungan Konsumen, Jakarta:PT. Citra Aditya Bhakti, 2003. Warassih,
Esmi.Pranata
Hukum:
Sebuah
Telaah
Sosiologis,
Semarang:Suryandaru Utama,2005. Widjaja G,Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.2000. Wijayanta, Hanibal W.Y.“Menengok Label Halal di Berbagai Negara,”http:// www.forum.co.id/forum/redaksi/961230/30forsus4.html 2012. Wiliasih, Ranti.“Produk halal: Perkembangan, prospek dan strategi pengembangan di Indonesia,” Universitas Indonesia. 2010 Yaqub, Ali Mustafa, Kriteria Halal dan Haram untuk pangan, obat dan kosmetika menurut al_Qur’an dan Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013. Zakaria, Zalina. “Tapping Into The World Halal Market: Some Discussions on Malaysian Laws Standars,”Kuala Lumpur:Shariah Journal, Vol. 16, Special Edition,2008.
Strategi Pengembangan Industri Produk Halal _161
Endnotess
1. Supriadi, Yayat, “Pengaruh kebijakan labelisasi halal terhadap hasil penjual anproduk,”Jakarta:Universitas Indonesia, 2009.
2. Henson, S. & Heasman, M. Food safety regulation and the firm: understanding the compliance process.Food Policy, 23(1), 1998,h. 9-23.
3. Al Ghazali, Imam. Benang Tipis antara Halal dan Haram. Surabaya: Putra Pelajar, 2002.
4. Qardhawi, Yusuf.Halal dan Haram dalam Islam, (terjemahan), Surabaya: Era Intermedia, 2000.
5. Zakaria, Zalina, “Tapping Into The World Halal Market: Some Discussions on Malaysian Laws Standars,”Kuala Lumpur:Shariah Journal, Vol. 16, Special Edition (2008) 2008, h. 603-616.
6. Ibid 7. Kordnaeij, Asadollah. “Studying Affecting Factors on Customers’ Attitude
toward Products with Halal Brand”.Tarbiat Modares University, International Research Journal of Applied and Basic Sciences, ISSN 2251-838X/ Vol 4 (10), Department of Management, 2013, h. 3138-3145.
8. Burgman, T, “Halal flexes its marketing muscle, The Star Business Section, “thestar article dari http://www.thestar.com/Business/article/238551, 2007.
9. Ariff, Importance of halal certification. Diunduh darihttp://www.halaljournal.com/article/4262/importance-of-halal-certification, 2009.
10. Mian N. Riaz. “Fundamentals of halal foods and certification”http://www. preparedfoods.com/Articles/Feature_Article/BNP_GUID_9-,2010.
11. Mardikanto, Sertifikasi halal akan menggairahkan dunia usaha, tp,Berita BSN 28 Februari 2014
12. Ibid 13. Kotler Ph, Keller KL. ” Marketing Management,” 14 Edition, New York: Prentice Hall, 2010.
14. Hermaninto, J.,“Tinjauan Titik Kritis Halal-Haram Produk Olahan Daging,”Bogor: Food Review Indonesia Vol.1. 2006.
15. Apriyantono, HalalFoods.Bogor:Program Studi Ilmu Pangan Sekolah, Pas-
162_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015 casarjanaInstitut Pertanian Bogor,2005.
16. Yaqub, Ali Mustafa, Kriteria Halal dan Haram untuk pangan, obat dan kosmetika menurut al_Qur’an dan Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013.
17. Rambe, “Afrika Selatan Muncul Sebagai Pemimpin Industri Halal,”.http://
www.arrahmah.com/news/2013/03/17/afrika-selatan-muncul-sebagai-pemimpin-industri-halal.html, diakses tanggal 22 oktober 2014,2013.
18. Eika, 2012,”Sertifikasi halal di Inggris”.Rubrik Dunia Islam Majalah Percikan Iman edisi Maret 2012.
19. LP POM MUI.“Pengukir Sejarah Sertifikasi Produk Halal,” LP POM MUI.2003.
20. Pieris, John, et all. Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen: Terhadap Produk Pangan Kadaluwarsa. Jakarta: Pelangi Cendekia, 2007.
21. Dagang Asia Net “The Emerging of Global Halal Market,”http://www.dagangasia.net/articles), 2011.
22. Heidarzadeh,Kambiz, “Intention To Halal Products In The World Markets,
Interdisciplinary Journal of Research in Business,” Tehran: Department of Business Management, Science and Research Branch Islamic Azad University Vol. 1,2011.
23. Wijayanta, Hanibal W.Y.“Menengok Label Halal di Berbagai Negara,”http:// www.forum.co.id/forum/redaksi/961230/30forsus4.html 2012.
Siasat Dakwah Nahdlatul Ulama (NU) Era Penjajahan Jepang _163
Da’wah Strategy Nahdlatul Ulama (NU) in Japanese Occupation Era
Siasat Dakwah Nahdlatul Ulama (NU) Era Penjajahan Jepang
Dinno Munfaizin Imamah Pusat Studi Pengembangan Pesantren (PSPP) Jakarta email:
[email protected]
Abstract : Nahdlatul Ulama (NU) provides colour in the independence movement in the Japanese colonial era. As an organization with the largest network up to the village level, NU put da’wah strategy to get the chance to build strength Islamic boarding School (pesantren) and clerics or Kyai for subsequent use against the occupation. In this case, NU does not put frontally opposite position, but chose against the Japanese policy of soft diplomacy that seeks to use the power of Islam for political and economic interests in the face of the West. Abstraksi: Nahdlatul Ulama (NU) memberi warna dalam pergerakan kemerdekaan di era penjajahan Jepang. Sebagai organsisasi dengan jaringan terbesar hingga tingkat desa, NU menempatkan siasat dakwah untuk mendapatkan kesempatan membangun kekuatan pesantren dan kyai untuk selanjutnya digunakan melawan penjajahan.
164_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.II 2015 Dalam hal ini, NU tidak menempatkan posisi berlawanan secara frontal, melainkan memilih soft diplomacy melawan politik Jepang yang berusaha menggunakan kekuatan Islam untuk kepentingan politik dan ekonominya di hadapan Barat. Keywords: Fascism, colonialism, independence, Islam Indonesia
A. Pendahuluan Pada periode Januari hingga Maret 1942, negara-negara di Asia Tenggara yang menjadi jajahan Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat, mulai direbut dan diduduki tentara Jepang. Kondisi ini merupakan rangkaian upaya Jepang dalam merintis sebagai negara modern, sejak berlangsung Restorasi Meiji dari tahun 1867-1912.1Setelah menaklukan Belanda, Jepang segera membentuk pemerintahan militer, yang mana Jepang mulai menunjukkan kebijakan politik pro-Islam. Pada fase ini Jepang mulai membagi dan mengalihkan perhatiannya kepada kalangan Islam di Indonesia dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan. Jika merunut kebelakang, sikap condong Jepang kepada Islam bukan sesuatu yang baru. Seperti diungkapkan Harry J. Benda dan Aiko Kurasawa, pada tahun 1930-an, Jepang telah melakukan serangkaian penjajakan merangkul dunia Islam sebagai partner dalam menghadapi Barat. Meski dihadapkan pada kenyataan bahwa terlalu sedikit jumlah penduduk Jepang yang memeluk keyakinan Islam ini, namun mereka tidak surut bahkan bersemangat dalam menjalin hubungan dengan dunia Islam, termasuk Islam Indonesia.2 Pada hari-hari pertama pendudukan tahun 1942-1945, Jepang menunjukkan sikap aktifnya guna meraih simpati kalangan Islam, salah satunya ketika seorang perwira Jepang turut hadir dalam penyelenggaraan Sholat Jum’at di sebuah masjid di Jakarta.3 Sebagai catatan, dalam paruh pertama abad ke-20 Jepang tampil sebagai kekuatan politik dan ekonomi baru dan menjadi satu-satunya
Siasat Dakwah Nahdlatul Ulama (NU) Era Penjajahan Jepang _165
negara Asia yang berhasil menempatkan diri sejajar dengan negaranegara Barat. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuannya menjadi negara industri, sebuah label yang sebelumnya hanya tersemat pada negara-negara Barat. Tidak hanya pada aspek ekonomi dan industri saja, pada tahun-tahun selanjutnya Jepang juga mulai menunjukkan tipikalnya sebagai negara imperialis dari Asia. Padahal label seperti ini pada abad-abad sebelumnya identik dengan bangsa-bangsa Barat. Pada kelanjutannya, dengan pencapaian dan keberhasilannya di bidang industri serta munculnya tuntutan dan kebutuhan atas tersedianya bahan baku serta wilayah pasar, telah mendorong negara Jepang menampilkan diri sebagai negara ekspansionis-imperialis pada era 1930-an dan 1940-an.4 Puncak sikap ekspansionis mereka adalah ketika meletus Perang Asia Timur Raya atau Perang Pasifik yang merupakan bagian dari Perang Dunia II yang pecah di Asia. Bermula dari serangan besar-besaran secara mendadak armada Angkatan Laut Jepang terhadap pangkalan militer AL Amerika Serikat di Pearl Harbour, Kepulauan Hawai pada 8 Desember 1941,5 dalam kurun waktu yang sangat singkat pasukan Jepang dengan cepat dan mengagumkan menyebar serta merebut wilayah-wilayah strategis seperti Indochina, Muangthai (Thailand), Semenanjung Malaya (Malaysia), Birma (Myanmar), Singapura, Filipina, dan Indonesia (Hindia Belanda). Kawasan Hindia Belanda (nama Indonesia masa itu) adalah wilayah paling akhir di Asia Pasifik yang diduduki Jepang pada masa awal meletusnya Perang Pasifik tersebut. Indonesia jatuh pada 8 Maret 1942 ketika pasukan Jepang berhasil menduduki pulau penting, Pulau Jawa, setelah pemerintah kolonial Hindia Belanda menyatakan menyerah tanpa syarat dalam kapitulasi yang ditandatangani di Kalijati, Subang, Jawa Barat.6 Ketika pecah Perang Pasifik yang dilanjutkan dengan pendudukan dan penguasaan Jepang terhadap Indonesia, idiologi Pergerakan Nasional di Indonesia telah berusia 33 tahun, dengan merunut kepada momentum berdirinya Boedi Oetomo (BO) pada 20 Mei 1908.7 Secara umum dapat dikatakan sebagian besar rakyat Indonesia dan
166_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.II 2015
para tokoh politik di Indonesia pada masa itu cenderung menunjukkan sikap mendukung Jepang atau paling tidak bersimpati kepada Jepang.8 Pihak Indonesia terkondisikan berada dalam suatu ekspektasi bahwa ketika Jepang berhasil mengalahkan pasukan Hindia Belanda, maka mereka (Jepang) datang dengan status sebagai “pembebas” bagi bangsa Indonesia. Aktivitas pergerakan nasional dari masa Kolonial Hindia Belanda hingga masa pendudukan Jepang ditandai dengan munculnya partai politik yang mengusung ideologi perjuangan masing-masing, kecuali Partai Komunis Indonesia.9 Secara umum partai-partai politik itu dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok partai Nasionalis dan kelompok partai yang mengusung ideologi agama (Islam). Selain itu juga terdapat organisasi massa yang tidak menyebut dirinya sebagai partai politik yang bersifat sekuler maupun Islam. Untuk menyebut contoh ormas Nahdlatul Ulama (NU). Pada tahun pertama pendudukan, Jepang tidak membicarakan kemerdekaan dan lebih menunjukkan sifat aslinya sebagai ekspansionis dengan kebijakan-kebijakan kerasnya yang mengekang dan menekan seperti disinggung di depan. Keadaan seperti ini mewakili ungkapan bahwa kalangan pergerakan Indonesia telah terkecoh dengan propaganda perang yang dilakukan Jepang.10 Namun demikian, Jepang dihadapkan pada keterbatasan kemampuan mengendalikan wilayah – wilayah jajahan secara sendirian. Kenyataan ini membuat dukungan dari di wilayah yang diduduki menjadi kebutuhan. Jepang pun berupaya merangkul kalangan pergerakan di Indonesia dengan tujuan untuk mendukung kampanye perangnya. Meski Jepang juga sadar bahwa tindakan merangkul dan melibatkan kalangan pergerakan yang telah memiliki pengaruh luas di kalangan rakyat mengundang potensi yang merugikan. Karenanya ketika didirikan badan pendukung kampanye perang yaitu “Gerakan Tiga-A”, sosok yang dipercaya sebagai ketua bukan para tokoh populer seperti Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, atau yang lain.11
Siasat Dakwah Nahdlatul Ulama (NU) Era Penjajahan Jepang _167
Akibatnya dapat diduga, badan ini menunjukkan hasil yang tidak memuaskan sehingga Jepang berpikir ulang dan memutuskan untuk melibatkan para pemimpin yang populer di mata rakyat Indonesia. Gerakan Tiga-A dibubarkan, dan bulan Maret 1943 dibentuk PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) dan inilah masa Jepang memberi peran kepada empat tokoh, yaitu Sukarno, Mohammad Hatta, KH. Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantoro untuk menempati posisi eksekutif dalam PUTERA.12 Seperti yang selama ini menjadi kewaspadaan Jepang, bahwa melibatkan para tokoh-tokoh populis akan berpotensi kontra-produktif dengan kepentingan perang dan kedudukan mereka di Indonesia. Keberhasilan PUTERA dalam memobilisir dukungan rakyat menghadirkan rasa khawatir dan curiga Jepang. Karenanya kurang dari setahun sejak berdirinya, PUTERA pun dibubarkan untuk diganti dengan badan baru, Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa), yang lebih bisa diharap memberi jaminan terhadap kepentingan Jepang.13 Namun begitu pemahaman dan pengetahuan Jepang tentang Islam di Indonesia tampak belum utuh di awal pendudukannya itu. Kenyataan ini yang membuatnya sempat melakukan satu tindakan yang gegabah dengan menerapkan ketentuan sheikerei yang ditentang kalangan Islam. Selain itu Jepang juga melakukan kecerobohan ketika bertindak keras terhadap salah seorang ulama kharismatik NU KH. Hasyim Asy’ari,14 di mana jika tindakan tersebut tidak segera dikoreksi Jepang maka berpotensi besar pada lenyapnya dukungan Islam Indonesia terhadap kampanye Jepang. Setelah serangkaian kesalahpahaman, posisi dan daya tawar NU mulai naik di hadapan Jepang, setelah sebelumnya secara prioritas mereka dikesampingkan dibandingkan dengan kalangan Nasionalis. Pada fase ini NU mengalami sebuah posisi yang belum pernah dialami sejak masa Kolonial Hindia Belanda, di mana penguasa (Jepang) memberikan kepercayaan kepada para tokoh dan pemimpin NU. Sementara itu di pihak Islam juga melakukan mobilisasi massa untuk mendukung kampanye Jepang sehingga dimulailah berbagai aktivitas
168_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.II 2015
seperti penyelenggaraan pelatihan para kyai-kyai desa serta rekruitmen barisan sukarela dalam wadah Barisan Hizbullah. Terlihat bahwa peran dari para pemimpin NU, terutama kalangan Kyai pesantren sangat efektif untuk menggalang massa hingga ke wilayah pelosok sekalipun. Selain itu dengan adanya sikap koreksi diri Jepang atas kesalahan mereka terhadap umat Islam sebelumnya juga ditunjukkan dengan kesediaan mereka memperbolehkan NU dan Muhammadiyah aktif kembali. Ini dapat diartikan bahwa ketentuan pelarangan mengadakan aktivitas dakwah di luar aktivitas untuk kepentingan Jepang menjadi tidak berlaku bagi dua organisasi Islam itu. Pada sisi lain, ketika Jepang memberikan kepercayaan, ternyata kalangan Islam juga berhasil melakukan hal serupa dalam merealisasikan dukungan kampanye perang Jepang. Periode ini, yaitu kurun waktu Jepang berada dalam tabir kekalahan Perang Dunia II, memiliki ruang yang menarik untuk dikaji mengenai sejauh mana daya tawar politik kalangan NU saat Jepang mengharapkan dukungan. Terdapat banyak kejadian dan hal kesejarahan yang layak untuk diangkat dan dikaji lagi guna menambah khazanah pengetahun sejarah bangsa, terutama yang terkait dengan NU, yaitu sisasat dakwahnya di era penjajahan Jepang.
B. Jepang Dan Dunia Islam Relasi antara Jepang dengan umat Islam Indonesia bukan hal yang muncul secara tiba-tiba. Relasi keduanya telah terbangun beberapa tahun sebelum meletusnya Perang Pasifik, dimana Hindia Belanda telah dijadikan sebagai bagian dari rencana politik luar negeri Jepang. Pada masa-masa ini Islam menjadi bagian dalam propaganda Jepang seiring dengan munculnya gerakan Pan-Asia pada awal Abad ke-20. Secara umum Jepang mampu memahami dan memanfaatkan perasaan kolektif kalangan Islam Indonesia terkait dengan sikap mereka yang ditujukan kepada pemerintah Hindia Belanda pada masa sebelum meletus Perang Dunia II. Pengawasan ketat terhadap aktivitas politik, penolakan bekerja
Siasat Dakwah Nahdlatul Ulama (NU) Era Penjajahan Jepang _169
sama dalam pemerintahan, dan sikap-sikap negatif Belanda di masa sebelumnya adalah hal-hal yang membuat pihak Indoesia memendam rasa kecewa. Pada saat seperti ini jaringan intelijen Jepang mengamati secara langsung setiap perkembangan dan menyerap perasaan yang tumbuh. Semua diamati dengan cermat dimana para agen Jepang itu ikut membaur dan berhubungan dengan masyarakat pribumi. Semua dalam skenario penjajahan bumi Indonesia. Setiap bangsa yang hendak melebarkan pengaruhnya terhadap bangsa lain pasti memiliki tujuan dan sebab tertentu yang menjadi dasar tindakannya itu. Tujuan dan sebab itu bisa karena alasan politik, ekonomi, dan sosial. Demikian halnya pada bangsa Jepang ketika pada tahun 1930-an mulai menunjukkan watak agresifnya terhadap wilayah-wilayah di Asia. Tujuan Jepang melakukan hal itu karena ingin mewujudkan “Hakko Ikhiu”, sebuah kewajiban suci menyatukan sudut-sudut dunia di bawah satu atap Kekaisaran Jepang.15 Selain berlatar belakang motif “Hakko Ikhiu”, sikap itu juga didasari pernyataan Guchi Tanaka yang termaktub dalam “Tanaka Memorial” yang berisi tujuan dan rencana Kekaisaran Jepang.16 Jepang pun tumbuh menjadi modern dalam bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, sosial-budaya, dan militer. Karena itu memasuki Abad 20 Jepang menjelma menjadi negara maju baru. Jepang sadar atas muncul kolektivitas perasaan di Asia ini sehingga mereka berinisiatif menyebut dirinya sebagai pemimpin Asia dengan analog “saudara tua” yang akan membantu “saudara-saudara muda”-nya (bangsa Asia lain) sehingga muncul ideologi Pan Asia, suatu ideologi dan gerakan yang muncul di Asia dalam menghadapi hegemoni Barat. Satu kawasan yang mendapat perhatian adalah Hindia Belanda (Indonesia), satu wilayah yang berlimpah bahan mentah dan minyak bumi yang dibutuhkan Jepang. Semula di tahun 1930-an Jepang melakukan hubungan ekonomi secara damai dengan pemerintah Hindia Belanda dan dalam waktu bersamaan juga memperluas kegiatan intelijennya di
170_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.II 2015
kawasan ini.17 Intelijen Jepang berkamuflase dengan beragam profesi biasa yang bisa mendekatkan dengan kaum pribumi seperti pedagang, montir, juru foto, dan lainnya. Mereka mengundang simpati pada saat rakyat memendam rasa benci kepada Belanda. Selain ramah, Jepang juga menawarkan produknya secara lebih murah.18 Selama melakukan misi intelijennya itu Jepang sadar bahwa umat Islam adalah mayoritas dan memiliki nilai strategis untuk mendukung rencana politiknya. Wajar jika mereka memiliki ketertarikan pada Islam, terlebih saat dunia Islam tersatukan dalam ideologi Pan-Islamisme. Mengutip Aiko Kurasawa, kenyataan tentang sedikitnya pemeluk Islam di Jepang dan hampir tidak ada kemiripan antara ajaran Shinto dan Islam membuat awal relasi yang dibangun itu dirasakan “jauh” dan tidak akrab bagi Jepang.19Namun keadaan ini tidak lantas membuat upaya mengenal dan merangkul Islam menjadi surut. Demi kepentingan politik, Jepang melakukan sesuatu yang harus dilakukannya untuk bisa lebih mendekatkan diri dengan Islam. Sementara Harry J. Benda mengatakan, “penemuan” Islam oleh Jepang dimulai pada 1920-an dan mereka mengapresiasi Islam jelas karena motif untuk mendapat dukungan terhadap rencana ekspansinya, terhadap kawasan Asia, meski di Jepang penganut Islam hanya berjumlah ratusan orang saja.20 Langkah ini kemudian mendorong lahirnya studi Islam di Jepang, hingga pada tahun 1933 lahirlah propaganda yang menyatakan Jepang akan menjadi pelindung Islam. Pada tahun 1935 Jepang mengirim beberapa mahasiswanya ke Arab dan Mesir, dan mereka juga antusias mendatangkan para mahasiswa dan guru Islam dari Timur Tengah dan Asia ke Jepang.21 Upaya Jepang sampai pada implementasi yang bersifat fisik dengan mendirikan dua masjid, di Kobe tahun 1935 dan Tokyo di tahun 1938 dimana dalam pembukaan Masjid di Kobe itu pemerintah Jepang sengaja mengundang Pangeran Hussein dari Yaman agar bisa menarik perhatian dan empati dunia Islam.22 Jepang semakin menarik dunia Islam ketika berdiri sebuah perserikatan Islam atau Nippon Kaikyo Kyokaipada bulan Mei 1938. Indikasi semakin
Siasat Dakwah Nahdlatul Ulama (NU) Era Penjajahan Jepang _171
serius dan pentingnya organ itu dapat dilihat dalam susunan lembaga dimana posisi ketua dipegang Jenderal Senjuro Hayashi. Terlibatnya perwira tinggi militer mengindikasikan Jepang sangat serius dalam menggarap dukungan umat Islam karena saat itu pengaruh kelompok militeris di Jepang mulai menguat. Ini yang membuat badan tersebut dengan mudah dapat menggelar Pameran Islam di Tokyo dan Osaka pada September tahun itu. Jepang sadar, segala hal yang berkaitan dengan Islam yang terjadi di Timur Tengah dan belahan dunia lain dipastikan mengundang perhatian Islam Indonesia (NU). Demikianlah, ketika negara ini menyelenggarakan Pameran Islam di Tokyo dan Osaka itu maka Islam Indonesia mendapat prioritas. Bahkan dalam pandangan Ahmad Mansur Suryanegara disebutkan, tujuan penyelenggaraan Pameran Islam itu sebenarnya lebih ditujukan kepada Islam Indonesia. Pihak Islam Indonesia melalui MIAI meresponsnya dengan mengirim delegasi yang terdiri Abdul Kahar Muzakkir, KH. Farid Ma’ruf, KH. Mahfud Shiddiq, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Abdullah Al Muhdi.23 Serangkaian aktivitas dari pertukaran mahasiswa, kajian Islam, pembangunan masjid, hingga ekspo Islam itu menurut Harry J. Benda bisa dibaca sebagai sebagian dari upaya pertama Jepang melakukan pemindahan pandangan umat Islam Indonesia yang semula berorientasi ke Timur Tengah ke Jepang.24 Demikian halnya Senjuro Kobayashi dengan kedudukannya sebagai pimpinan Nippon Kaikyo Kyokai dan keberhasilannya menggelar serangkain kegiatan itu membuatnya disebut sebagai “Bapak Islam Jepang”.25 Dalam kurun waktu tersebut kalangan Islam, terutama Islam tradisionalis yang terwakili melalui organ NU, mulai menunjukkan gejala pelibatan kedalam urusan politik, ditandai dengan semakin seringnya keluar peryataan dan tuntutan dari organisasi ini terhadap ketidaksetujuan terhadap beberapa kebijakan yang dilakukan pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Kampanye Jepang pun mulai tidak tanggungtanggung. Meski terdapat perbedaan jauh antara Islam dan Shinto yang
172_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.II 2015
berpotensi menggagalkan Jepang menjadi pusat dunia Islam, namun untuk mendapat simpati, mereka menyatakan tentang kesamaan Islam dan Shinto.26 Bahkan dengan berani mereka menyatakan, Tenno Haika (Kaisar Jepang) Hirohito akan memeluk Islam berikut gambaran tentang sesuatu yang gilang-gemilang mengenai pengaruh dan kekuasaan Islam yang berpusat di sekeliling Kaisar Khalifah Jepang Raya.27 Jelas sekali jika propaganda ini mampu menyentuh, atau paling tidak mengundang perhatian kalangan Islam Indonesia.
C. NU di Hadapan Jepang Sebagai sebuah faham dan gerakan yang mulai berpengaruh, pada kelanjutannya fasisme juga bersinggungan dengan kalangan agama dan berupaya melakukan upaya untuk menarik simpati kalangan agama untuk berada di pihaknya. Untuk itu kaum fasis berupaya untuk melakukan kerja sama serta berusaha menempatkan sesuatu dan simbol yang berkaitan dengan agama ke dalam pengaruhnya. Sebagaimana terlihat ketika Benito Mussolini mendekati pihak Gereja Vatikan dengan kesepakatan menandatangani Perjanjian Lateran pada bulan Februari 1929.28 Demikian juga yang dilakukan Hitler yang memberikan tanda ‘Palang Salib Baja’ bagi para pasukannya yang telah menunjukkan prestasinya dalam medan tempur, atau juga seperti cara dari Fransisco Franco yang telah memanfaatkan orang-orang Katolik di Spanyol saat meletus perang sipil di negara tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa bagi kaum fasis agama menjadi alat penting untuk membantunya dalam mencapai tujuan.29 Harun Yahya memberikan uraian mengenai relasi antara agama dengan fasisme, dimana disebutkan bahwa fasisme bermuka dua dalam menyikapi posisi agama. Dikatakannya: “Bagi fasisme, agama dijadikan sebagai alat ideologi untuk menyatukan rakyat karena mereka menyadari bahwa masyarakat cenderung bersedia melakukan segala bentuk pengorbanan atau apapun jika hal itu mengatasnamakan agama.”30
Siasat Dakwah Nahdlatul Ulama (NU) Era Penjajahan Jepang _173
Kaum fasis juga telah mengupayakan untuk menjadikan Islam sebagai bagian dari rencana untuk mewujudkan tujuannya seperti yang telah dilakukan kepada agama Kristen. Terkait dengan hal ini Ahmad Mansur Suryanegara menyatakan Jerman telah melakukan upaya dan propaganda untuk menarik Islam di kawasan Timur Tengah dengan melakukan tindakan yang diyakini akan menimbulkan simpati di kalangan Islam dengan cara melakukan pembinasaan terhadap orangorang Yahudi, yang selama ini menjadi musuh kaum Islam. Namun ia menyatakan upaya itu tidak berhasil karena hal seperti yang disebutnya: “Bahwa Jerman gagal dalam pendekatan keagamaannya (untuk Islam di timur Tengah) karena mereka lebih menampilkan kekuatan militernya, daripada penghormatannya terhadap Islam. Oleh umat Islam pembinasaan kaum Yahudi bukanlah dinilai sebagai upaya untuk membantu Islam, melainkan sekedar permasalahan rasial semata.Terlebih lagi pihak Sekutu telah berhasil menjadikan kalangan Islam untuk tidak berpihak kepada Poros Axis.”31 Kegagalan Jerman ini yang kemudian dijadikan pelajaran Jepang dalam menghadapi kalangan Islam Indonesia dalam rangka untuk menempatkannya sebagai pendukung terhadap rencana dan kampanye perangnya. Sikap yang empatik dan akomodatif kepada dunia Islam dan Islam di Indonesia secara umum dicoba dilakukan Jepang pada tahuntahun sebelum pendudukan dan selama pendudukan, sehingga relatif pada masa-masa ini tidak berlangsung keadaan sebagaimana relasi antara Islam dengan pemerintah Hindia Belanda sebelumnya. Dalam kurun seminggu setelah pendudukannya terhadap kota Jakarta, para jamaah di Masjid Kwitang yang sedang melakukan shalat Jum’at dibuat terkejut dengan hadirnya perwira Jepang, Kolonel Horie, bersama perwira Jepang yang beragama Islam, Letkol Abdul Mun’im Inada.32 Dalam kesempatan ini Kolonel Horie berpidato yang meski kurang bisa dipahami oleh jamaah karena menggunakan bahasa Jepang, namun kejadian itu adalah cara pertama yang dilakukan oleh Jepang untuk memunculkan kesan dekat antara pihak Jepang dengan kaum Islam
174_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.II 2015
Indonesia saat pertama kali mereka menjejakkan pendudukannya atas Pulau Jawa. Entah apa yang ada di benak pihak Jepang dengan tindakan terhadap dua ulama kharismatik NU, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Mahfudz Shiddiq. Pada bulan April 1942 itu Jepang menangkap dan memenjarakan keduanya selama 4 bulan dengan tuduhan mendalangi aksi perusakan pabrik gula milik Jepang di dekat Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.33 Menurut Choirul Anam, alasan yang dituduhkan pihak Jepang atas penangkapan kedua kyai itu merupakan sesuatu yang mengada-ada. Kedua tokoh kharismatik itu ditangkap karena keduanya menyatakan penolakannya terhadap ketentuan “Saikere” yang diberlakukan Jepang. Ketentuan ini berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia dan ketika Saikere itu juga diharuskan untuk berlaku di lingkungan pesantren, KH. Hasyim Asy’ari tegas-tegas menolaknya dan menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk melakukan penolakan yang sama karena Saikere menurut Islam hukumnya haram.34 Perlakuan Jepang itu dengan segera menuai reaksi jama’ah NU dan jika tidak diselesaikan maka berpotensi memunculkan konflik antara Jepang dengan kalangan Islam, terutama Islam tradisional. Jika ini terjadi maka apa yang sebelumnya dan akan dirintis Jepang dengan pelibatan kalangan Islam, jelas akan menemui kendala. Pada bulan Agustus 1942 masalah itu diselesaikan dengan membebaskan keduanya dari penjara. Tampilnya Jepang sebagai penguasa baru pada awalnya dan secara umum mendapat sambutan dari pihak Indonesia. Ada sekian hal yang disandarkan Indonesia atas kehadiran Jepang ini seperti harapan tentang terwujudnya kawasan kemakmuran bersama, tentang bangkit dan terwujudnya kesadaran bersama sebagai bangsa Asia, hingga harapan tentang hadirnya kemerdekaan. Namun begitu kehadiran Jepang tidak melulu disikapi dengan keutuhan perasaan dan harapan yang positif terhadapnya. Pada sisi yang lain, Jepang pada masa awal pendudukannya malah membuat sebuah “blunder” yang membahayakan ketika mereka menangkap dan memenjarakan dua kyai kharismatik NU, KH. Hasyim
Siasat Dakwah Nahdlatul Ulama (NU) Era Penjajahan Jepang _175
Asy’ari dan KH. Mahfudz Siddiq ke penjara dengan tuduhankeduanya telah mendalangi sebuah kerusuhan serta menghasut masyarakat untuk menentang Jepang. Beberapa alasan utama yang perlu untuk dikemukakan mengapa Jepang sangat berkepentingan untuk mendapat dukungan dari Islam demi tujuan-tujuannya, terutama dukungan dari Islam tradisonal dalam representasi organisasi Nahdlatul Ulama (NU), adalah faktor-faktor seperti: 1. Kebutuhan dukungan logistik pangan yang berasal dari lahan pertanian di desa-desa dimana para kyai dan ulama memiliki pengaruh; 2. Secara umum para kyai dan ulama desa bukan pimpinan partai politik; 3. Kuatnya solidaritas masyarakatdesa yang tidak terpengaruh westernisasi/Barat 4. Islam di pedesaan memiliki kultur perlawanan yang kuat dan lama terhadap penjajahan Belanda/Barat 5. Potensi wilayah pedesaan dan pelosok yang ideal untuk pertahanan.35
D. Siasat Dakwah NU Terkait dengan sikapnya terhadap pihak Islam Indonesia (NU), Negara Fassime Jepang sangat memperhitungkannya sebagaimana diwujudkan dalam satu prinsip dan sikap pemerintah militer dengan agama (Islam) sebagaimana diatur pada Senryochi Gunsei Fissi Yoko atau “Prinsipprinsip mengenai pemerintahan Militer di wilayah pendudukan” yang dikeluarkan pada 14 Maret 1942. Di dalamnya dinyatakan bahwa, “Agama-agama, sebagaimana kebiasaan yang ada dan berlaku, harus dihormati sejauh mungkin untuk menjaga kestabilan pikiran rakyat dan membuat mereka mau bekerja sama. Mengenai kaum Muslim, harus diberikan perhatian
176_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.II 2015
khusus untuk memanfaatkan mereka dalam rangka mencengkeram pikiran rakyat.”36Pada kelanjutannya ketika Jepang mendapatkan kenyataan bahwa PUTERA telah berfungsi dari jauh yang menjadi harapan selama ini, maka mereka pun membentuk sebuah badan baru Jawa Hokookai atau Kebaktian Rakyat Jawa, dimana di dalamnya mulai menyertakan keterlibatan kalangan Islam, yang dalam hal ini adalah kalangan Islam dari kelompok NU, sebagai bagian yang penting dalam mencari dan mengharapkan dukungan selama melancarkan kampanye perangnya kepada pihak Sekutu. 1. Pembentukan Badan Urusan Agama (Shumubu) Pada awal pembentukan pemerintahan, militer Jepang membentuk empat institusi setingkat departemen (bu) yaitu:Somubu (Departemen Urusan Umum), Sangyobu (Departemen Perusahaan, Industri, dan Kerajinan), Kotsubu (Departemen Perhubungan), dan Zaimubu (Departemen Keuangan). Pada perkembangannya dibentuk sebuah departemen lagi yakni Shihobu (Departemen Hukum dan Kehakiman).37 Pada kelanjutannya untuk menangani hal-hal yang berkaitan dengan kalangan Islam, Jepang juga membentuk satu badan yang dinamakan Shumubu (Departemen Agama) dengan direktur pertamanya dijabat Kolonel Horie. Dengan demikian maka Shumubu menjadi lembaga yang aktif dan berarti juga cengkeraman politik Jepang terhadap kalangan Islam semakin meningkat pula.38 Di sisi lain meski telah mengecewakan kalangan Islam, teruatama kalangan ulama NU, Jepang tetap melakukan upaya-upaya yang diperlukan agar kekecewaan itu tidak semakin membesar. Untuk kesekian kalinya Jepang harus melakukan perubahan lagi terhadap badanShumubu pada tahun 1944. Tindakan ini terjadi ketika pada bulan Februari 1944 meletus sebuah pemberontakan yang dipimpin oleh seorang kyai pesantren pedesaan di Jawa Barat tepatnya di Singaparna, Tasikmalaya. Pemberontakan yang dipimpin KH. Zainal Mustafa itu jelas mengejutkan Jepang sekaligus memberi penyadaran kepada mereka
Siasat Dakwah Nahdlatul Ulama (NU) Era Penjajahan Jepang _177
bahwa segala langkah dan kebijakan yang ditempuh terhadap rakyat dan kalangan Islam ternyata gagal.39 Mundurnya Prof. Dr. Hussein Djayadingrat seperti menjadi babakan baru bagi kalangan Islam, terutama kalangan NU dalam hubungannya dengan lembaga Shumubu itu. Sosok kharismatik dari kalangan NU, KH. Hasyim Asy’ari yang pada bulan-bulan pertama pendudukan mendapat perlakuan kasar Jepang,40 mendapatkan kepercayaan menempati jabatan kepala Shumubu itu pada 1 Agustus 1944.41 Dalam pandangan Harry J. Benda pengangkatan KH. Hasyim Asya’ari, yang saat itu juga sebagai Ketua Masyumi sebagai Shumubu-co (kepala Departemen Agama) disebutnya sebagai hanya meminjam nama saja karena secara de facto kyai kharismatik ini memang tidak pernah menempati kantor Shumubu di Jakarta dan lebih memilih untuk tetap tinggal di Jombang, Jawa Timur. Namun demikian J. Benda menyatakan bahwa persetujuannya untuk berlaku sebagai simbol itu adalah sama pentingnya dengan kenyataan bahwa puteranya KH. Wahid Hasyim menempati posisi yang penting dalam struktur Shumubu. Selain menempatkan KH. Wahid Hasyim, dalam pimpinan tinggi Shumubu ini juga menempatkan Abdul Kahar Muzakkir, sosok dari kalangan Islam modernis.42 Penempatan KH. Hasyim Asy’ari sebagai Shumubu-co ini sempat memunculkan tanda tanya, apakah tindakan Jepang ini sebagai bentuk over-compensatie terhadap sikap kasar mereka yang pernah ditujukan kepada sosok kharismatik ini, atau memang mereka sebenarnya sudah muai menyadari tentang pengaruh dan kharisma dari kyai NU tersebut.43 Dalam hal ini Kurasawa mengatakan bahwa pada saat itu situasi perang sudah semakin tidak menguntungkan bagi Jepang selain juga situasi sosial ekonomi yang semakin memburuk, sehingga dengan demikian kebutuhan untuk menggalang kerja sama dengan kalangan Islam (khususnya kalangan Islam) NU menjadi sesuatu yang sangat mendesak. Pengangkatan KH. Hasyim Asy’ari sebagai Shumubu-co merupakan satu konsesi Jepang kepada kekuatan-kekuatan Islam, dan Kurasawa
178_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.II 2015
menegaskan bahwa pengangkatan tersebut bukan dipandang sebagai akibat simpati Jepang kepada kalangan Islam.44 Namun yang jelas pengangkatan KH. Hasyim Asy’ari disambut dengan rasa bersemangat oleh kalangan Islam. Meski telah berusia cukup lanjut (69 tahun) dan tidak menempati kantornya di Jakarta dan lebih memilih tinggal di lingkungan pesantrennya di Jombang, bagi Jepang pengangkatan ini merupakan sesuatu yang sangat diperlukan guna mendapatkan kesempatan mengambil keuntungan dari pengaruh ulama kharismatik ini. Terkait dengan efektivitas pelaksanaan dari jabatan tingginya itu bisa ditengahi dengan keberadaan KH. Wahid Hasyim, sang putra, sebagai sanyo (setingkat wakil Shumubu-co) yang sebelumnya juga memegang jabatan-jabatan penting seperti Wakil Ketua Masyumi dan anggota dari Chuo Sangi-in (Dewan Pertimbangan Pusat) pemerintah militer Jepang.45 Dari serangkaian perubahan-perubahan drastis dalam lembaga Shumubu ini mengandung arti mengenai pergeseran penting kebijakan pemerintah militer Jepang terhadap Islam. Hal ini diperkuat dengan sebuah laporan yang kemudian diserahkan kepada pasukan Sekutu setelah Jepang menyerah, bahwa setelah pengangkatan KH. Hasyim Asy’ari sebagai ketua Shumubu maka dengan segera Shumubu ini menjadi kantor politik kelas satu.46 Nampaknya Jepang menetapkan bahwa Shumubu sebagai sebuah markas besar penting untuk operasi propaganda dan memberikan peran politik bagi para pejabatnya, dan untuk menyandang peran-peran yang demikian pada masanya maka tidak seorangpun yang cocok selain dipercayakan kepada para pemimpin agama/ulama. Ini berangkat dari kesadaran Jepang mengenai bagaimana menggalang kerja sama dengan penduduk pedesaan, dan untuk bisa mencapai hal tersebut maka disadari betapa pentingnya peran ulama pada tingkat masyarakat bawah.
Siasat Dakwah Nahdlatul Ulama (NU) Era Penjajahan Jepang _179
2. Pembentukan Masyumi dan Chuo Sangi-in. Meski telah memberikan status hukum terhadap NU dan Muhammadiyah, namun sebuah wadah yang ditujukan untuk menyatukan kalangan Islam tetap diperlukan oleh Jepang untuk mendukung kepentingan pendudukan dan kampanye perangnya itu. Karenanya pemerintah militer pada 22 November 1943 membentuk wadah federasi Islam yaitu Majelis Syura ‘Ala Islam (Masyumi). Pada susunan kepengurusan juga terjadi perubahan dimana anasiranasir dalam MIAI tidak menempati posisi kunci dalam Masyumi ini. Sebagai pucuk pimpinan Masyumi, dipercayakan kepada KH. Hasyim Asy’ari dengan para pembantunya berasal dari unsur-unsur NU dan Muhammadiyah seperti KH. Nachrowi, Zainul Arifin, KH. Mukhtar, KH. Wahid Hasyim (unsur NU) dan KH. Mas Mansyur, KH. Farid Ma’ruf, KH. Mukti, dan Kartosudarmo (unsur Muhammadiyah).47 Untuk lebih mengikat Masyumi dengan pemerintah militer, maka dalam kedudukan sebagai ketua Masyumi, KH. Hasyim Asy’ari juga diangkat sebagai penasehat dalam pemerintah militer (Gunseikan). Dengan kenyataan seperti ini maka J. Benda melihat bahwa eksistensi dan keberadaan Masyumi sebenarnya telah menjadi bagian dari pemerintahan itu sendiri.48 Namun terlepas dari anggapan seperti itu, sudah cukup jelas bahwa dengan fenomena berdirinya Masyumi, telah memberi sebuah petunjuk mengenai semakin menguatnya kekuatan daya tawar kalangan Islam terutama NU dan Muhammadiyah, setelah sekian lama mereka diposisikan sebagai “kalah tempat” dengan kalangan Islam politik/ modernis. 3. Pelatihan Ulama dan Barisan Hizbullah Meski pada masa-masa awal pendudukan Jepang belum terlalu besar mengharapkan dukungan dan peran serta kalangan ulama dan kyai pedesaan untuk mendukung kampanye perangnya, namun Jepang sangat sadar akan pentingnya kedudukan dan fungsi para pemimpin
180_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.II 2015
agama lokal tersebut di hadapan masyarakat biasa. Mereka ini (para kyai dan ulama) yang nantinya bisa dimanfaatkan untuk mendukung kampanye peran dan rencana-rencana Jepang terhadap Indonesia dengan mengambil peran sebagai propagandis dan juru penerang dalam mengkomunikasikan kepentingan Jepang terhadap masyarakat. Namun demikian materi itu sebenarnya tidak baku alias bisa berubahubah dalam setiap even pelatihan. Materi yang disebutkan di atas adalah materi yang diberikan ketika Shumubu masih di bawah kendali Kolonel Horie. Ketika badan itu berada di bawah KH. Hasyim Asy’ari, maka mulai terjadi perubahan penyampaian materi dalam program latihan itu. Sebagai contoh, dalam penyelenggaraan latihan bulan November 1944, materi “Perang Asia Timur Raya/Perang Pasifik” ditiadakan dan diganti dengan materi tentang “Pembelaan Tanah Air”. Demikian untuk materi “Sejarah Jepang” juga diganti dengan “Sejarah Jawa”. Pada kelanjutannya sikap Jepang yang mulai condong kepada kalangan Islam juga mengandung konsekuensi dengan munculnya aspirasi untuk membentuk kesatuan yang sama dalam lingkup Islam. Bagi kalangan Islam, tumbuh kesadaran bahwa mereka juga memiliki potensi seperti halnya dengan PETA, terlebih selama pendidikan dan pelatihan perwira PETA itu terdapat cukup banyak kyai dan pemuka Islam yang ikut terlibat di dalamnya.49 Setelah menunggu hampir kurang lebih setahun, pada 14 Oktober 1944 Jepang setuju untuk membentuk satuan semi militer Islam. Namun sekali lagi mereka lamban merealisasikannya karena baru pada 8 Desember 1944 Jepang secara resmi mengumumkan pembentukannya.50 Selanjutnya pada 15 Desember 1944 satuan sukarela Islam yang diresmikan itu diberi nama “Hizbullah” yang berarti “Tentara Allah”.51 Lambatnya sikap Jepang ini dimungkinkan dengan teguhnya sikap kalangan Islam terkait dengan kebijakan untuk melibatkan potensi pribumi dalam upaya menghadapi potensi serangan militer Sekutu. Sebelumnya Jepang melalui A. Hamid Ono, seorang perwira penghubung antara Jepang dan Islam, telah meminta KH. Wahid Hasyim membantu dalam pengerahan tenaga muda pesantren untuk masuk ke kesatuan
Siasat Dakwah Nahdlatul Ulama (NU) Era Penjajahan Jepang _181
Heiho. Permintaan ini ditolak, dan oleh KH. Wahid Hasyim diusulkan agar kaum muda pesantern dilatih dalam wadah kemiliteran sukarela tersendiri untuk pertahanan dalam negeri.52Alasan KH. Wahid Hasyim, tujuan untuk pembelaan dalam negeri dipastikan menarik minat kalangan muda Islam jika dibanding dengan meminta kesediaan mereka masuk ke Heiho yang memiliki tugas membantu Jepang di front tempur di luar wilayah Indonesia.Selesai latihan, para peserta kembali ke daerah masing-masing dengan tugas merekrut dan melatih anggota baru di kampung atau pesantren-pesantren. Berpindahnya pelatihan ke desadesa dan pesantren-pesantren membuat jumlah Hizbullah mencapai taksiran 50.000 anggota.53 Namun demikian meski telah disadari oleh kalangan Islam Indonesia, bahwa posisi mereka selama masa pendudukan diarahkan berada di dalam rencana Jepang, di sisi lain mereka memanfatkan kesempatan ini untuk mematangkan diri dalam pergerakan dakwah demi tujuan utama mencapai Kemerdekaan. Sebagaimana dapat dilihat dengan cara yang ditempuh oleh NU, yang juga ditempuh oleh kalangan Nasionalis, meskipun di tingkat permukaan mereka bekerja sama dengan kekuata fasis Jepang, namun hal ini tidak lantas membuat Islam tradisional telah “terbeli” oleh pihak Jepang. Mengenai hal ini Choirul Anam menyatakan: “Akan tetapi di situlah letak ‘rule of the game’ ketika menghadapi lawan (Jepang). Di kalangan NU (pesantren) pada masa itu dikenal istilah “Yahannu” yang artinya adalah sikap dan tindakan ‘dalam’ menghadapi lawan, bukan ‘untuk’ menghadapi lawan.”54 Dengan menerapkan pola seperti ini maka kalangan NU berhasil meminimalisr potensi berhadapan dengan kekerasan fasisme Jepang, mereka juga berhasil memanfaatkan kelonggaran dan kesempatan politik yang diberikan untuk menyiasati tekanan dan kontrol ketat dari pemerintah militer Jepang. Dengan demikian dalam kasus relasi antara Jepang dengan Islam di Indonesia adalah telah diupayakan oleh Jepang untuk melibatkan Islam untuk mendukung pemerintahan
182_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.II 2015
militer dan kampanye perangnya. Tapi juga harus dicermati juga bahwa pengkondisian ini kemudian memunculkan kondisi susulan dimana kedudukan NU menempati posisi tersendiri di hadapan fasisme Jepang. Jam’iyyah NU tidak mau hanya sekedar menjadi pelengkap statis. Keterlibatan kalangan Islam ini disertai oleh nalar kritis dan strategi yang sengaja menumpang pada gelombang besar mobilisasi yang diciptakan Jepang. Situasi ini yang membedakan dengan pendapat umum Harun Yahya yang menempatkan agama sebagai obyek mati ketika masuk dalam kerangka besar totalitarian-fasisme. Peristiwa ini yang menjadikan NU mampu menempatkan diri pada posisi tersendiri pada masa penjajahan Jepang.
E. NU: dalam Sejarah, dalam Keabadian Namun satu hal lagi yang menjadi fenomena selama masa penjajahan Jepang terkait dengan peran dan prestise politik yang terjadi, bahwasanya sebuah kekuatan yang pada masa Hindia Belanda lebih memilih meminggirkan diri dan bersikap radikal terhadap serangkaian kebijakan politik asosiasi pemerintah kolonial, yakni kalangan Islam tradisional dalam representasi organisasi NU, mulai tampil dan sanggup menunjukkan kepiawaiannya dalam peran dan prestise politik. Unsurunsur seperti jumlah massa NU yang besar dan tersebar hingga ke pelosok pedesaan, kharisma para ulama dan kyai, keterikatan batin yang kuat antara massa NU dengan kyai, relasi sosial yang dekat antara pesantren-masyarakat desa, dan karakter kultur perlawanan terhadap anasir-anasir Belanda/Barat, merupakan sesuatu yang membuat pihak Jepang terdorong untuk menempatkan kelompok ini kedalam bagian dari rencana dan kampanye selama Perang Dunia II berlangsung. Dalam menyikapi keberadaan Jepang ini baik kalangan Nasionalis maupun Islam menghadapi sebuah realita bahwa dalam tahuntahun pertama perang, Jepang terlalu kuat dan tidak mungkin untuk dilawan sehingga mereka menempuh pola kooperatif.55 Menyikapi
Siasat Dakwah Nahdlatul Ulama (NU) Era Penjajahan Jepang _183
masa pendudukan Jepang yang represif sebagai sebuah fase untuk persiapan menuju mewujudkan cita-cita kemerdekaan itu, dalam pergerakan dakwahnya KH. Wahid Hasyim menggunakan analogi antara serigala (Jepang) dan kancil (kancil).56 Dengan kemampuan dan kecerdikan memanfaatkan momentum, maka kancil (Indonesia) akan bisa mengelabui lawannya yang lebih kuat dan ganas, yakni Jepang. Baik kalangan Islam maupun Nasionalis sekuler memiliki keyakinan jalannya perang tidak memiliki alasan bagi Jepang untuk tampil sebagai pemenang.57 Dengan demikian masa pendudukan Jepang ini dijadikan sebagai kesempatan untuk mempersiapkan diri menuju upaya mewujudkan Kemerdekaan Indonesia. Jepang sadar betul dan mencoba memanfaatkan serta menggiring pihak NU untuk tidak ragu-ragu dalam mendukung kepentingan pendudukan dan perangnya itu. Sudah sejak dari semula pihak Jepang mengetahui ada beberapa hal seperti masalah sentimen ideologis dan keterpinggiran kelompok itu di masa Hindia Belanda, akan bisa dimanfaatkan untuk menggiring NU untuk secara utuh memberikan dukungan kepada Jepang. Untuk itu secara umum, terutama pada masamasa akhir pendudukan, kalangan NU terkesan mendapatkan privellege dan prestise politik sebagaimana belum pernah terjadi sebelumnya, misalnya dengan pengangkatan KH. Hasyim Asy’ari sebagai kepala Shumubu, pemberian status hukum terhadap NU dan Muhammadiyyah, dimasukkannya perwakilan Islam dalam badan Chuo Sangi-in, pelatihan dan rekrutmen Hizbullah, dan sebagainya. Strategi dakwah NU di tingkat permukaan, para pemuka Islam tradisional nampak berada dalam mekanisme kontrol yang dilakukan Jepang itu. Unsur-unsur yang selama ini menjadi identifikasi dari kelompok NU seperti kharisma dan kepemimpinan para kyai, massa santri, pesantren, dan sebagainya sepertinya dimobilisasi untuk mendukung program dan rencana Jepang itu. Tapi dari serangkaian sikap yang ditunjukkan itu tidak lebih, seperti dianalogikan oleh KH. Wahid Hasyim, sebagai cara kancil dalam menghadapi serigala.Dipercayakan Shumubu kepada tokoh NU tidak
184_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.II 2015
lebih sebagai koreksi cara halus terhadap pihak Jepang bahwa mereka telah melakukan tindakan yang kurang berkenan dan tidak tepat, karena baik Kolonel Horie dan Prof. Husein Djayadiningrat bukanlah sosok yang bisa diterima di kalangan Islam mayoritas. Selain itu sebagian besar tokoh Indonesia, baik Islam dan Nasionalis, telah memiliki keyakinan bahwa perang akan segera berakhir dan Jepang menjadi pihak yang kalah. Karena kesadaran demikian ini, KH. Wahid Hasyim selalu menjaga kontaknya dengan pihak Nasionalis, sebuah cara yang telah dilakukannya dalam forum GAPPI di masa Hindia Belanda.58 Dalam internal Islam, KH. Wahid Hasyim dan para tokoh Islam lainnya melakukan optimalisasi peran sosial dan politik Islam dengan memanfaatkan jalur-jalur yang dibentuk Jepang seperti Masyumi, Shumubu, dan hingga Shumuka. Dengan semakin menguatnya peran politik itu maka untuk selanjutnya para tokoh Islam mulai berani mengajukan tuntutan terhadap Jepang, seperti dalam hal janji mengenai kemerdekaan. Tuntutan ini muncul terkait dengan dengan pidato PM Kunaiki Kaiso pada 7 September 1944 yang isinya mengenai janji kemerdekaan bagi Indonesia. Sebagaimana dirasakan kelompok Nasionalis, kalangan Islam ingin melihat sampai sejauh mana janji itu bisa dibuktikan karena dalam pidato itu disebutkan juga dengan nasib dari 50 juta orang Islam Indonesia. Tidak hanya memunculkan perhatian di dalam negeri, pidato ini juga mengundang perhatian dunia Islam sehingga sampai membuat Ketua Kongres Umat Islam se-Dunia, Syeikh Muhammad al Amin al Husaini, merasa perlu untuk memberi teguran terhadap pejabat duta besar Jepang di Jerman, Oshima, agar serius dengan janji pemerintahnya itu.59 Sebagai ketua Masyumi, KH. Wahid Hasyim, mencermati benar perkembangan ini dan ia dalam kapasitas sebagai representasi Islam Indonesia telah menerima surat kawat dari ketua Kongres Umat Islam Dunia itu. Dalam internal Masyumi, surat tersebut dibahas dengan keputusan untuk bersegera mempersiapkan umat Islam dan mempercepat tercapainya kemenangan terakhir serta menolak setiap rintangan yang berpotensi
Siasat Dakwah Nahdlatul Ulama (NU) Era Penjajahan Jepang _185
akan mengurungkan datangnya kemerdekaan. Tindakan seperti jelas semakin menambah beban bagi Jepang karena mereka semakin terdesak dan mengarah pada kekalahan. Upaya untuk mengingatkan Jepang akan janji kemerdekaan itu semakin menguat karena kemudian terjadi kontak intensif dengan kaum Nasionalis untuk bersama-sama menekan pihak Jepang Dengan munculnya tindakan seperti ini, berarti pula NU telah berhasil memanfaatkan posisi politiknya untuk terus menekan Jepang. Sehubungan dengan semakin terpuruknya pasukan Jepang dalam tahun 1944-1945 maka tidak ada hal lain yang dilakukan Jepang selain melakukan tindakan yang bisa menerbitkan harapan dari pihak Indonesia. Kekuatan politik di Indonesia mulai mendapat dorongan, dan bersamaan dengan keluarnya kebijakan populis terhadap diperbolehkanya pengibaran bendera Merah-Putih di kantor-kantor Jawa Hokokai. Meski secara umum Indonesia belum mendapat kepastian tentang kapan kemerdekaan diberikan, namun Jepang telah didesak untuk melakukan sesuatu yang ditujukan dalam mendorong gerakan nasional di Indonesia.60 Dari serangkaian uraian yang ditujukan untuk memberikan gambaran tentang kedudukan politik Islam NU, maka dapat diberikan ungkapan yang mewakili keadaan yang berlangsung pada saat itu, sebagaimana diungkapkan oleh Greg Fealy,61 bahwa dengan adanya kebijakan Jepang yang mendekati kelompok Islam, maka hal itu telah menarik NUuntuk bergairah terlibat dalam kegiatan politik. Tidak sekedar terlibat, bahwa keadaan itu juga telah memberi pengalaman dan rasa percaya diri bagi mereka sehingga menjadi sosok-sosok yang sanggup memberi bukti dan memiliki kematangan dalam berpolitik. Keadaan dan apa yang mereka perlihatkan juga bisa menjadi bukti, bahwa para tokoh NU sebagai kelompok yang sebelumnya terpinggirkan dalam arena politik pergerakan di masa Hindia Belanda, terbukti mampu melakukan berbagai pergerakan dakwah dan langkah politik yang cerdik di tengah tekanan upaya mobilisasi dan kontrol ketat dari pemerintah militer Jepang yang fasistik itu.
186_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.II 2015
F. Kesimpulan Penjajah Jepang pernah menangkap dengan kasar Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, itu adalah fakta sejarah, yang mesti kita kobarkan. Walaupun para peneliti sejarah memberikan paparan bahwa dengan NU, Jepang menunjukkan sikap positifnya. Kebijakan politik Islam Jepang ini berbeda dengan kebijakan Islam Hindia Belanda, di bawah komando Prof. Snouck Hurgronje. Sehingga hal itu menimbulkan simpati dari kalangan NU yang selama ini menjaga jarak dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pendekatan ini dilakukan dalam skema rencana mobilisasi massa dan kampanye Jepang sebelum Perang Dunia II. Hal itu juga berhasil memunculkan sinar harapan tentang suatu tata kehidupan baru dalam semangat kebangkitan bangsa Asia, teritorial yang sekian lama dijajah dan diperkosa oleh kolonialisme Barat. Jepang mengalihkan harapannya terhadap NU, pihak yang terakhir ini dengan cerdas berhasil memanfaatkan kesempatan dan ruang yang diberikan kepadanya. Konsesi yang didapatkan sebagai konsekuensi dan ketergantungan dari peralihan sikap Jepang ini, dengan cepat dimanfaatkan oleh NU untuk melakukan pergerakan dakwah yang secara permukaan memperlihatkan sikap mendukung kepentingan Jepang. Namun sesungguhnya secara rahasia ditujukan untuk kepentingan bangsa Indonesia yaitu melakukan konsolidasi kekuatan pribumi. Mempersiapkan ‘condition of possiblities’, memanfaatkan peluang dan momentum, saat terjadi krisis geopolitik di level internasional, kemudian menempatkannya sesuai porsinya di level nasional. Mewujudkan nation state of Indonesia. Inilah siasat dakwah: kancil melawan serigala, yang diterapkan putra tercinta Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Dengan ruang dan kesempatan yang diberikan itu juga, NU untuk pertama kalinya mendapatkan peran, ruang, dan kesempatan yang sedemikian luas guna menunjukan kemampuan siasat dakwah dan pergerajan politiknya dimana keadaan seperti itu menjadi sesuatu yang belum pernah dialami NU pada masa kolonial Hindia Belanda. Dalam hal
Siasat Dakwah Nahdlatul Ulama (NU) Era Penjajahan Jepang _187
ini tokoh-tokoh strategis NU yang membekali dirinya dengan akumulasi pengetahuan, telah berhasil menunjukkan kemampuan, konfidensi dan keberhasilannya dalam melakukan peran strategisnya. Yakni peran kesejarahan NU mendirikan Indonesia. NU mengabdi untuk negara bangsa dari awal hingga akhir masa.
188_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.II 2015
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik, Islam dan Masyarakat; Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta:LP3ES, 1987 Ahmad, Munawar, Ijtihad Politik Gus Dur: Analisis Wacana Kritis, Yogyakarta: LKiS, 2010 Anam, Choirul, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Surabaya: Bisma Satu, 1999 Anderson, Benedict, Imagined Communities; Reflections on the origins and spread of nationalism, London: Verso, 1983 Abdul Mun’im DZ, Piagam Perjuangan Kebangsaan, t.tp: 2011 Abdul Fattah, H. Munawwir, Tradisi Orang-orang NU, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006 Asy’ari, Hadratussyekh K.H. Hasyim, Risalah Ahlussunah Wal Jama’ah (terj. Khoiron Nahdliyyin), Yogyakarta: LKPSM, 1999. Benda, Harry J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya, 1985 Baso, Ahmad, Islam Pasca Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme dan Liberalisme Bandung: Mizan, 2005. Carlton Clymer Rodee etc., Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995 Cindy, Adams, Sukarno; Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Jakarta: Masagung Corporation, 2000 Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1990, cet. v. Dirdjosanjoto, Pradjarta, Memelihara Umat: Kiai Pesantren – Kiai Langgar di Jawa Yogyakarta: LKiS, 1999. Djajusman, Hancurnya Angkatan Perang Hindia Belanda (KNIL), Bandung:
Siasat Dakwah Nahdlatul Ulama (NU) Era Penjajahan Jepang _189
Angkasa, 1978 Fealy, Greg, Ijtihad Politik Ulama; Sejarah NU 1952-1967, Yogjakarta: LKis, 1997 KH. Wahid Hasyim, Mengapa Saya Memilih NU,ttp,2011 KH Ahmad Siddiq, Hubungan Agama dan Pancasila, ttp,1992 KH. Mustofa Bisri, Cermin: Kumpulan Tulisan, ttp, 2009 KH. Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Syaikh Siti Jenar Jilid 1-7, 2006 _________________, Atlas Walisongo, ttp, 2013 KH. Said Aqiel Siradj, Tasawuf sebagai Etika Sosial, 2006 Karim, A. Gaffar, Metamorfosis; NU dan Politisasi Islam Indonesia, Yogjakarta: LKiS, 1996 Kartodirjo, Sartono, Sejarah Nasional Indonesia,Jakarta: Balai Pustaka, 1977 Kartodirjo, Sartono, Pemberontakan Petani Banten 1988, Jakarta: Pustaka Jaya, 1984 Kurasawa, Aiko, Mobilisasi dan Kontrol; Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945, Jakarta: Yayasan Karti Sarana & PT. Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo), 1993 Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari, Yogyakarta: LKiS, 2000. Nugroho Notosusanto, Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 1979 Madjid, Nurcholish, Indonesia Kita, Jakarta: Paramadina, 2008 Malaka, Tan, Merdeka 100 %, Jakarta: Marjin Kiri, 2005 Marwati Djoenoed Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai Pustaka, 1993
190_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.II 2015
Muzadi, KH. Abdul Muchith,“NU dalam Perspektif Sejarah & Ajaran,” dalamRefleksi 65 tahun ikut NU, Surabaya: Penerbit Khalista, 2006 Mahfudh, KH. Sahal, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LKiS, 2003, cet. 2. Muzadi, K.H. A. Muchith, NU dan Fiqh Kontekstual, Yogyakarta: LKPSM, 1994. Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,Jakarta: LP3ES, 1996 Ojong, PK., Perang Pasifik, Jakarta: Penerbit Kompas, 2004 Ricklefs, MC., Sejarah Indonesia Modern 1200-1942, Jakarta: Serambi,2005 Rahardjo, M. Dawam (editor), Pergulatan Dunia Pesantren, Jakarta: P3M, 1985. Rahmat, M. Imdadun (ed.), Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bahtsul Masa’il, Jakarta: Lakpesdam, 2002 Shiraishi, Takashi, Zaman Bergerak; Radikalisme di Jawa, 1912-1926, Jakarta: Grafiti, 1997 Soedjono, Imam, Yang Berlawanan; Membongkar Tabir Pemalsuan Sejarah PKI, Yogjakarta: Resist Book , 2006 Soekarno, Indonesia Menggugat,tt: CV. Haji Masagung, 1989 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta: Penerbit Amartapura, 1963 Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Rajawali Press, 1995 Suryanegara, Ahmad Mansur, Api Sejarah 2, Bandung: Pustaka Salamadi, 2010 Syafii Maarif, Ahmad,Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1995 SD., Subhan, Ulama-Ulama Oposan, Bandung: Pustaka Hidayah, 2000 Salim, Hairus, dan Muhammad Ridwan (editor), Kultur Hibrida: Anak Muda NU di Jalur Kultural, Yogyakarta: LKiS, 1999. Siddiq, KH. Achmad, Khitthah Nahdliyyah, Surabaya: Khalista dan LTN NU Jawa Timur, 2005.
Siasat Dakwah Nahdlatul Ulama (NU) Era Penjajahan Jepang _191
Sutarto, Ayu, Menjadi NU, Menjadi Indonesia: Pemikiran KH. Abdul Muchith Muzadi, Jember: Kompyawisda Jatim, 2005. Van Bruinessen, Martin, NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru,Yogjakarta: LKiS, , 1994 Wild, Colin, & Carey, Peter, Gelora Api Revolusi, sebuah Antologi Sejarah, Jakarta: Gramedia, 1986 Yahya, Harun,Menyingkap Tabir Fasisme, Bandung: Dzikra, 2004 Zahro, Ahmad, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999, Yogyakarta: LKiS, 2004. Zubair, KH. Maemun, “Fiqih itu Luwes”. Pesantren, no. 2, vol. VII, tahun 1990. Zuhri, Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang Pesantren,Yogjakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2001 _______ , Berangkat dari Pesantren, Jakarta: Gunung Agung, 1987.
Naskah & Dokumen Hasil-hasil Muktamar Ke-29 Nahdlatul Ulama 1-5 Desember 1994 di Pondok Pesantren Cipasung, Jakarta: Lajnah Ta’lif wan Nasyr, 1996. Hasil Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-27 Situbondo. 1985, Semarang: Sumber Barokah, t.t.. Hasil-hasil Keputusan Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama, Surabaya, 27-30 Juli 2006. Jakarta: PBNU, 2006. Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Bandar Lampung, Semarang: LTN-NU dan Sumber Barokah, 1992. Ensiklopedi Islam, Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1993 Ensiklopedi Islam Indonesia(IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta), Jakarta, Djambatan, 1992
192_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.II 2015
Endnotes
1. Restoraji Meiji adalah serangkaian proses yang berlangsung pada masyarakat Jepang menyangkut seluruh bidang kehidupan yang berhasil mengubah bangsa itu menjadi negara modern. Gerakan ini terjadi setelah Dinasti Meiji berhasil memegang kekuasaan pada tahun 1867. Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 2, Bandung: Pustaka Salamadani, 2010, h. 21-22
2. Karya ilmiah yang representatif dalam memberi informasi dan uraian tentang hubungan Jepang-Islam secara umum maupun Islam Indonesia dapat dilihat pada Harry J.Benda dengan judul asli The Crescent and Rising Sun terbitan NV. Uitgeverij W. van Hoeve, Den Haag, Belanda, kemudian dalam versi bahasa Indonesia menjadi Bulan Sabit dan Matahari Terbit,Jakarta: Pustaka Jaya, 1985. Selain itu karya juga Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol, Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945,Jakarta: Yayasan Karti Sarana & PT. Gramedia Widiasarana Indonesia [Grasind], 1993. Keduanya akan menjadi sumber utama dari penyusunan ini.
3. Karya tulis yang juga menyinggung aktifnya Jepang dalam mengupayakan munculnya empati dari kalangan Islam juga bisa dibaca dalam Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang Pesantren,Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2001
4. Secara ekonomi Jepang sebenarnya sudah mampu mencukupi kebutuhan sandang pangan rakyatnya, namun mereka kekurangan dalam penyediaan bahan baku dan sangat tergantung dari impor. Sebagai contoh, 90% pemenuhan minyak Jepang tergantung dari impor, demikian juga komoditas-komoditas lain seperti nikel, biji besi, timah, seng, aluminium, kuningan, dan sebagainya yang hanya tersedia dalam jumlah sedikit di negara ini. Djajusman, Hancurnya Angkatan Perang Hindia Belanda (KNIL), Bandung: Angkasa, 1978, h. 15
5. Hanya dalam jarak waktu 1-2 hari, armada AL Jepang lain juga melakukan serangan terhadap garis pertahanan laut AL Inggris di Asia Tenggara yang dikenal kuat. Pada 10 Desember 1941 itu juga pertahanan laut Inggris di Laut China Selatan dirontokkan AL Jepang. Menurut PK. Ojong, dua peristiwa serangan kilat yang dilakukan Jepang terhadap Pearl Harbor dan
Siasat Dakwah Nahdlatul Ulama (NU) Era Penjajahan Jepang _193 pertahanan laut Inggris di Laut China Selatan, sebagai satu pukulan mematikan yang berhasil melenyapkan superioritas kekuatan armada laut dua negara itu di kawasan Pasifik. Lihat PK. Ojong, Perang Pasifik,Jakarta: Penerbit Kompas, 2008, h. 1-2
6. Dikatakan simbolis karena pada bulan-bulan sebelumnya, bulan JanuariFebruari 1942, pasukan Jepang berhasil menduduki pulau-pulau di luar Jawa seperti Kalimantan pada pertengahan Januari-Februari 1942. Sumatera direbut Jepang pada pertengahan Februari tahun yang sama. Lihat Marwati Djoenoed Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VIJakarta: Balai Pustaka, 1993, h. 1-2. Sementara itu Sulawesi, Maluku, dan wilayah-wilayah Indonesia timur lainnya sepenuhnya berada dalam penguasaan AL Jepang dalam kurun Februari-akhir bulan Maret 1942. Lihat Djajusman, Ibid, h. 129
7. Nugroho Notosusanto, Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia,Jakarta: PT. Gramedia, 1979, h. 11
8. Sikap ini muncul tidak secara tiba-tiba, sebagaimana dinyatakan Nugroho Notosusanto, bahwa interaksi antara Indonesia dan Jepang telah berlangsung dalam puluhan tahun sebelum PD II meletus. Interaksi itu terjadi dengan berdasar faktor ekonomi, sosial, budaya, dan pandangan politik bersama terkait dengan merebaknya ideologi Pan-Asia pada permulaan abad ke-20. Uraian tentang sikap pertama Indonesia terhadap Jepang ini dapat dilihat dalam Nugroho Notosusanto, Ibid, h. 13-17
9. Partai Komunis Indonesia (PKI) di Kolonial Hindia Belanda diberangus sebagai akibat dari pemberontakan yang mereka lakukan tahun 1926. Banyak pimpinan partai ini yang ditangkap, dan sebagian kecil lainnya melarikan diri ke luar negeri, sementara anggota lain yang tidak tertangkap melakukan aktivitas politik bawah tanah. MC. Ricklefs, Ibid, h. 371-372
10. Nugroho Notosusanto, Ibid, h. 39-40 11. Ibid,h. 42 12. Keempat tokoh yang dipercaya Jepang untuk menangani kegiatan PUTERA ini kemudian dikenal dengan sebutan “Empat Serangkai”. MC. Ricklefs, Ibid, h. 475
13. Nugroho Notosusanto, Ibid, h. 43
194_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.II 2015
14. Uraian tentang hal ini diungkapkan Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU,Surabaya: Bisma satu, 1999.
15. Djayusman, Hancurnya Angkatan Perang Hindia Belanda (KNIL),Bandung: PT Angkasa, 1978, h. 6
16. Guchi Tanaka adalah jenderal Jepang yang terlibat dalam Perang JepangTiongkok 1894-1895 dan Perang Jepang-Rusia (1905) dan menjadi Perdana Menteri Jepang. Dalam Memori Tanaka itu ia menyatakan tentang rencana penaklukan Jepang terhadap Asia dan dunia dengan menempuh politik darah dan besi atau perang dan penaklukkan. Ibid, h. 7-8
17. Ibid, h. 400 18. Nugroho Notosusanto, Ibid, h. 14 19. Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol, Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945,Jakarta: Kerja sama Yayasan Karti Sarana dengan PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993, h. 273
20. Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang,Jakarta: Pustaka Jaya, 1985, h. 133
21. Ibid, h. 134 22. Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 2,Bandung: Pustaka Salamadani, 2010, h. 13
23. Ibid 24. Harry J. Benda, Ibid,h. 139 25. Ahmad Mansur Suryanegara, Ibid, h. 13 26. Ibid,h. 14 27. Harry J. Benda, Ibid, h. 135 28. Perjanjian Lateran adalah perjanjian yang disepakati Benito Mussolini dengan Kardinal Gaspari yang mewakili Paus Pius XI dan Gereja Vatikan yang isinya tentang pemulihan hak-hak gereja. Harun Yahya, Ibid, h. 176
29. Ibid, h. 181 30. Ibid, h. 167
Siasat Dakwah Nahdlatul Ulama (NU) Era Penjajahan Jepang _195
31. Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 2Bandung: Pustaka Salamadani, 2010, h. 15
32. Harry J. Benda, Ibid, h. 142 dan Ahmad Mansur Suryanegara, Ibid, h. 15 33. Saikere adalah suatu ritual penghormatan kepada Tenno Haika (Kaisar Jepang) sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan atas statusnya sebagai keturunan Dewa Matahari (Ameterasu Omikami) dengan cara membungkukkan badan 90 derajat (seperti gerakan ruku’ dalam shalat) menghadap ke arah Ibukota Jepang, Tokyo, yang berlaku skepada seluruh rakyat Indonesia dengan tanpa kecuali. Choirul Anam, Ibid, h. 118
34. Ibid,h. 119 35. Ibid, h. 15-16 36. Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol, Studi tentang Perubahan di Pedesaan Jawa 1942-1945,Jakarta: Yayasan Kartisarana bekerja sama dengan PT. Gramedia, 1993, h.274
37. Jabatan Gunseibu para pejabatnya ditunjuk dari para perwira AD Jepang, sementara wakilnya diambilkan dari kalangan orang Indonesia. Ibid, h. 8
38. Ibid, h. 281 39. Pemberontakan ini meledak disebabkan motif rasa tidak puas kalangan petani lingkungan Islam tradisional terhadap Jepang yang dengan semenamena dan kejam dalam meminta beras para petani itu. Kajadian ini dinilai sama dengan kejadian serupa di masa Hindia Belanda tahun 1917 dimana meledaknya ungkapan rasa tidak puas itu dipelopori oleh pemimpin Islam lokal sebagaimana dilakukan KH. Zainal Mustafa di Tasikmalaya itu. Harry J. Benda, IbidH. 195
40. Tentang perlakuan kasar yang dialami oleh KH. Hasyim Asy’ari itu berupa penangkapan, penyiksaan, dan pemenjaraan yang dialaminya dari penjara Jombang dan penjara Mojokerto. Bahkan sosok yang sangat dihormati ini kemudian dipindahkan ke penjara Bubutan di Surabaya ditempatkan bersama dengan para tawanan yang terdiri dari para pasukan Sekutu. Choirul Anam, Ibid,h. 120
41. Aiko Kurasawa, Ibid,h. 282. Sementara itu Benda menyatakan bahwa Prof. Hussein Djayadiningrat disebutkan sebagai menarik diri dari jabatannya
196_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.II 2015 itu. Harry J. Benda, Ibid, h. 201
42. Ibid, h. 202-202 43. Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari Pesantren,Yogyakarta: LKiS dan Yayasan Saifuddin Zuhri, 2007, h. 268
44. Aiko Kurasawa, Ibid, h. 283 45. Ibid, h. 283-284 46. Laporan ini berdasar dari Mayor RS. Soerio Santoso, “De Japanese Propaganda en de Islam” (Propaganda Jepang dan Islam). (Nota van het Politiek Bureau, Chief Commanding Officer, Allied Military Administration Civil Affairs Branch, AMACAB), 1 Februari 1946, h. 5 sebagaimana dilansir olah Kurasawa. Ibid, h. 334
47. Marwati D. Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Ibid, h. 26 48. Harry. J. Benda, Ibid, h. 202 49. Terlibatnya para pemuka Islam dalam Peta sehingga mereka menduduki posisi perwira lebih dikarenakan upaya bujukan yang bersifat pribadi dari Jepang melalui perwira intelnya(Beppam), Abdul Hamid Ono. Disebutkan para pemuka Islam ini masuk ke Peta dengan sikap agak segan meski di dalamnya program ini ada perwira Jepang Muslim seperti A. Hamid Ono dan M. Abdul Mun’im Inada. Sikap ini muncul karena adanya rasa kurang berkenan kalangan Islam terhadap cara hidup orang Jepang yang menyingung perasaan kaum Muslim seperti mabuk-mabukan dan Seikerei. Ibid, h. 82-83
50. Pengumuman ini bahkan masih kalah waktu dengan diresmikannya barisan sukarela dari kalangan Nasionalis, Barisan Pelopor (Suishintai) yang didirkan pada 1 November 1944, lihat Nugroho Notosusanto,Ibid, h. 46. Pengabulan yang “terlambat” demikian Benda menyebut terkait dengan persetujuannya atas dibentuknya pasukan sukarela khusus Islam ini bertepatan dengan perayaan ketiga dari serangan besar-besarannya terhadap Pearl Harbor di tanggal yang sama tiga tahun sebelumnya. Lihat. Harry J. Benda, Ibid, h. 215-216
51. Dalam istilah Jepang, Hizbullah ini bernama Kaikyo Seinen Teishintai, Nugroho Notosusanto, Ibid, h. 46
Siasat Dakwah Nahdlatul Ulama (NU) Era Penjajahan Jepang _197
52. Ario Helmy, Ibid, h. 38 53. Nugroho Notosusanto, Ibid, h. 47 dan Ario Helmy, Ibid, h. 44 54. Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU,Surabaya: Bisma Satu, 1999, h. 122
55. Saifuddin Zuhri, Ibid, h. 270-271 56. Suatu hari, dalam pertengahan tahun 1942, aku mendapat panggilan dari KH. A Wahid Hasyim agar menemui beliau di Jakarta. Berangkatlah aku ke Jakarta dengan penuh tanda Tanya dalam kepalaku, apa maksud panggilan itu. Tetapi aku, telah membayangkan bahwa akan ada tugas baru diserahkan pada pundakku.
“Aku ingin memberitahukan kepada Saudara bahwa suatu tahap baru dalam perjuangan kita harus kita mulai sekarang.”Demikian kata KH.Wahid Hasyim ketika aku menjumpainya di Hotel Des Indes, sebuah hotel kelas satu di Jakarta.Hotel yang di zaman penjajahan, hanya ditempati oleh pembesarpembesar Belanda.
“Apa artinya tahap baru dalam perjuangan kita Gus?” kembali aku bertanya.Aku selalu memanggil beliau dengan sebutan Gus.Dikalangan pesantren dan dunia Ulama’ terkenal dengan sebutan Gus Wahid.
“Setan gundul ini,” maksudnya Jepang, “Merasa bahwa peperangan antara mereka dengan sekutu akan memakan waktu lama dan memerlukan kelengkapan perang yang bukan main hebatnya.Setan gundul ini tahu bahwa Ulama’ mempunyai pengaruh besar sekali di kalangan rakyat kita.Sebaliknya, mereka juga mengetahui bahwa rakyat sangat membenci orang-orang yang selama ini menjadi alat yang membantu dengan setia penjajahan Belanda. Jepang kini sedang memikat hati rakyat. Mereka sangat memerlukan dukungan rakyat!”.KH.Wahid Hasyim memulai menjelaskan buah pikirannya.
“Mereka telah membebaskan kita dari penjajahan Belanda, mereka telah mengusir Belanda dari kedudukannya di negeri kita. Ini berarti babakan dalam perjuangan kita telah berakhir. Nah, kini kita memasuki tahapan baru dalam perjuangan, yakni menghadapi Jepang sebagai penjajah baru.”
Aku mulai paham apa yang dimaksud dengan tahapan baru dalam perjuangan.”Bagaimana kita menghadapi Jepang, mereka sangat kuat, mempunyai angkatan perang yang sanggup menaklukan seluruh daratan
198_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.II 2015 Tiongkok, Manchuria, Indo-China, dan kini menguasai Filiphina, Thai, Burma, Malaya dan Indonesia,”demikian kataku menyela.
Dengan menyibirkan bibirnya, beliau menjawab.” Saudara ingat dongengdongeng al-Baidaba tentang cerita dunia binatang, Singa dan Harimau sebagai raja hutan dan gajah yang mempunyai keperkasaan, toh bias dikalahkan oleh kancil, dan kancil masih bias dikalahkan oleh siput-siput yang bersatu!”
“Bagiamana Gus, aku masih belum mengerti dalam hubungannya dengan teori perjuangan!” aku menanya karena sudah tak sabar lagi.
“Kita pakai ini!” sambil menunjuk ke keningnya, “Kita harus memakai otak dan pikiran.Kita bisa menjadi ‘kancil’ dalam menghadapi segala singa dan serigala. Dan, saya akan mengubah teori al-Baidaba, janganlah kancil bermusuhan dengan siput, tetapi harus bersahabat. Ya, kalau saya sendiri, tentulah tidak akan bisa menjadi kancil yang berhasil mengelabui singa dan serigala. Akan tetapi, kalau kita kaum Ulama’ bersatu, insya Allah akan jadi kancil, bahkan lebih dewasa dan lebih dari seekor kancil.
“Dari mana kita harus memulai?”aku bertanya
“Saudara harus tahu, ini perjuangan. Dalam perjuangan bisa berlaku tipumenipu, istilahnya secara kasar. Musuh menipu kita, dan kita memakai akal, sehingga siapa memperalat siapa. Saudara masih ingat, bukankah dalam alQur’an telah difirmankan:
Wa makarru wa makara Allahu wa Allahu khairu al-Makirin, mereka melakukan tipu muslihat, dan Allah Maha Pengatur daya upaya! (KH. Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang Pesantren, hal. 269-272)
57. Keyakinan ini selain didasarkan kepada pertimbangan rasionalitas dalam medan pertempuran Perang Dunia II, juga berdasar kepada keyakinan terhadap mitos dari Jayabhaya yang sedemikian populer di kalangan masyarakat Jawa, bahwa sebelum datang zaman kesentosaan yang dipimpin ratu Adil, terlebih dahulu akan muncul zaman yang buruk berupa munculnya masa peralihan yang didominasi oleh orang-orang kerdil dimana mereka hanya berkuasa selama seumur jagung. Orang kerdil itu diidentifikasi sebagai orang Jepang, dan masa seumur jagung itu adalah untuk kurun 3,5 tahun masa pendudukan Jepang yang secara nominal disamakan dengan usia tan-
Siasat Dakwah Nahdlatul Ulama (NU) Era Penjajahan Jepang _199 aman jagung yang 3,5 bulan. Nugroho Notosusanto, Ibid,h. 13
58. Choirul Anam, Ibid,h. 122 59. Choirul Anam, Ibid, h. 125 60. Sikap dari Tentara ke-16 Jepang di Jawa dan Tentara ke-25 di Sumatera ini berbeda dengan sikap yang ditunjukkan oleh AL Jepang yang menunjukkan sikap menentang terhadap setiap upaya untuk mendorong dan memajukan nasionalisme di wilayah kekuasaannya. Lihat MC. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004,Jakarta: Serambi, 2005, h. 421
61. Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama, Sejarah NU 1952-1967, Yogyakarta: LKiS, 2007, h. 51
200_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.II 2015
Pedoman Transliterasi
Revitalisasi Peran dan Fungsi Keluarga _413
414_Jurnal Bimas Islam Vol.5. No.2 2012
Ketentuan Tulisan _201
A. Ketentuan Tulisan 1. Tulisan merupakan hasil penelitian di bidnag zakat, wakaf, dakwah Islam, pemberdayaan KUA dan hal-hal terkait pengembangan masyarakat Islam lainnya. 2. Karangan ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan perangkat lunak pengolah kata Microsoft Word , font Palatino Linotype, maksimum 25 halaman kuarto minimum 17 halaman dengan spasi satu setengah. 3. Karangan hasil penelitian disusun dengan sistematika sebagai berikut: Judul. Nama Pengarang. Abstract . Keywords . Pendahuluan. Metode Penelitian. Hasil Penelitian. Pembahasan. Kesimpulan dan Saran. Daftar Kepustakaan. Sistematika tersebut dapat disesuaikan untuk penyusunan karangan ilmiah. 4. JUDUL a. Karangan dicetak dengan huruf besar, tebal, dan tidak melebihi 18 kata. b. Nama Pengarang (tanpa gelar), instansi asal, alamat, dan alamat e-mail dicetak di bawah judul. c. Abstract (tidak lebih dari 150 kata) dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris), dan Keywords (3 sampai 5 kata) ditulis dalam bahasa lnggris, satu spasi, dengan huruf miring. d. Tulisan menggunakan endnote e. Daftar Kepustakaan dicantumkan secara urut abjad nama pengarang dengan ketentuan sebagai berikut: • Untuk buku acuan (monograf): Nama belakang pengarang diikuti nama lain. Tahun. Judul Buku. Kota Penerbit: Penerbit. • Untuk karangan dalam buku dengan banyak kontributor: Nama Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Dalam: Nama Editor. Judul Buku. Kota
202_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.I 2015
Revitalisasi Peran dan Fungsi Keluarga _415
Penerbit: Penerbit. Halaman. • Untuk karangan dalam jurnal/majalah: Nama Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Nama Majalah, Volume (Nomor): Halaman. • Untuk karangan dari internet: Nama Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Alamat di internet ( URL ). Tanggal mengakses karangan tersebut. 5. Gambar diberi nomor dan keterangan di bawahnya, sedangkan Tabel diberi nomor dan keterangan di atasnya. Keduanya sedapat mungkin disatukan dengan file naskah. Bila gambar/tabel dikirimkan secara terpisah, harap dicantumkan dalam lembar tersendiri dengan kualitas yang baik. 6. Naskah karangan dilengkapi dengan biodata singkat pengarang dikirimkan ke alamat kantor Jurnal Bimas Islam berupa naskah tercetak (print out) dengan menyertakan soft copy dalam disket/ flash disk atau dapat dikirim melalui e-mail Jurnal Bimas Islam (
[email protected]).