SIFAT FISIK DAGING KERBAU PADA UMUR DAN JENIS KELAMIN YANG BERBEDA
SKRIPSI WENY ROSMAYA
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN Weny Rosmaya. D14062344. 2011. Sifat Fisik Daging Kerbau pada Umur dan Jenis Kelamin yang Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
: Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si. : Muhamad Baihaqi, S.Pt., M.Sc.
Kerbau merupakan salah satu ternak alternatif penghasil daging sebagai sumber protein hewani. Daging kerbau belum banyak diminati oleh konsumen. Bagian yang terpenting yang menjadi acuan konsumen dalam pemilihan daging adalah sifat fisik. Sifat fisik dalam hal ini antara lain warna, keempukan, kekenyalan, susut masak, dan kebasahan. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh umur dan jenis kelamin yang berbeda terhadap sifat fisik daging kerbau. Daging kerbau yang digunakan sebagai sampel pada penelitian ini adalah bagian otot Longissimus dorsi et lumbarrum. Sampel diperoleh dari peternak kerbau di Kecamatan Menes, Labuan Cibaliung, Banos, Carita, Pagelaran, Panumbang, Sodong, Bojong dan Sakebi di Provinsi Banten. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Produksi Ternak Ruminansia Besar Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB. Rancangan percobaan yang digunakan yaitu rancangan acak lengkap faktorial 2x5. Faktor pertama jenis kelamin (jantan dan betina) dan faktor kedua umur (I0, I1, I2, I3, I4). Peubah yang diamati dari penilaian kualitas daging meliputi pH, keempukan, daya mengikat air (DMA), susut masak, dan warna. Data diuji dengan Analisis of Variance (ANOVA). Uji perbedaan Tukey dilakukan pada data yang berbeda nyata. Hasil pengujian menunjukkan bahwa susut masak dipengaruhi oleh kelompok umur (P<0,05) yang berbeda, tetapi tidak oleh jenis kelamin (P>0,05). Pengujian pada pH, keempukan, daya mengikat air, warna daging dan lemak tidak dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin diduga disebabkan oleh faktor manajemen pemeliharaan, pemotongan ternak, dan penanganan daging. Kata-kata kunci : daging kerbau, susut masak, daya mengikat air, warna, keempukan
ABSTRACT Physical Characteristic of Buffalo Meat at Different Ages and Sexes Rosmaya, W., H. Nuraini, M. Baihaqi Buffalo meat is one of alternative protein source or human food. Buffalo meat is not popular because it is commonly obtained from old buffalo that is used as drought animal, so that the quality does not meet the consumer’s demand. The objective of this experiment was to study the physical characteristic of buffalo meat at different ages (I0, I1, I2, I3, I4) and sex (male and female). Variables observed were pH, tenderness, cooking loss, water holding capacity, color of meat and fat. The experiment was conducted in 2x5 factorial randomized design with factor A was ages and factor B was the sex. The data was analyzed by analyses of variance (ANOVA). The results showed that cooking loss was significantly influenced by ages (P<0,05), but not by sex. There was no significantly effect (P> 0,05) of age and sex on pH, tenderness, water holding capasityes, and color of meat and fat it might be caused by management, slaughtering method and handling of meat. Keyword : Buffalo meat, cooking loss, pH, water holding capacity, tenderness
LEMBAR PERNYATAAN
SIFAT FISIK DAGINGKERBAU PADA UMUR DAN JENIS KELAMIN YANG BERBEDA
WENY ROSMAYA D14062344
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
LEMBAR PERNYATAAN
Judul : Sifat Fisik Daging Kerbau pada Umur dan Jenis Kelamin yang Berbeda Nama : Weny Rosmaya NIM : D14062344
Menyetujui, Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si. NIP. 19640202 198903 2 001
Muhamad Baihaqi, S.Pt. M.Sc. NIP. 19800129 200501 1 005
Mengetahui : Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP. 195912121986031004
Tanggal Ujian : 21 Oktober 2011
Tanggal Lulus
:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 19 Juli 1988 di Jakarta. Penulis merupakan anak ke-dua dari tiga bersaudara dari pasangan Sumarna Basyar dan Nur Jannah. Pendidikan dasar ditempuh di SD Negeri 13 Pagi Sumur Batu Jakarta dan lulus pada tahun 2000. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2003 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 119 Jakarta. Selama bersekolah di Sekolah Menengah Pertama, penulis aktif dalam ekstrakurikuler Paskibraka. Penulis menyelesaikan pendidikan lanjutan menengah atas di Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Jakarta pada tahun 2006. Selama bersekolah di Sekolah Menengah Atas, penulis aktif dalam ekstrakurikuler kerohanian Islam. Penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Pada tahun 2007, penulis terdaftar aktif sebagai salah satu mahasiswa Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif dalam keanggotaan mushola asrama TPB IPB periode 2006-2007. Penulis juga aktif dalam pengurus gedung asrama TPB IPB 2006-2007, Koperasi Mahasiswa periode 2006-2007, asisten praktikum matakuliah Teknologi Pengolahan Ternak Daging Unggas pada tahun ajaran 2009-2010. Lembaga Dakwah Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor periode 2006-2009 sebagai Anggota dan 2009-2010 aktif sebagai Steering Comitee Lembaga Dakwah Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi berjudul “Sifat Fisik Daging Kerbau pada Umur dan Jenis Kelamin yang Berbeda”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini membahas tentang karakteristik kualitas fisik daging kerbau dari tingkat umur dan jenis kelamin yang berbeda. Kualitas fisik daging kerbau yang diamati meliputi pH, keempukan, susut masak, daya mengikat air, dan warna. Masyarakat pada umumnya menilai karakteristik daging kerbau dengan mengacu pada karakter daging sapi, sehingga dalam pengolahan daging menjadi produk olahan daging sering terdapat perbedaan hasil akhir. Masyarakat memerlukan informasi kualitas fisik daging kerbau sehingga dilakukan pada umur dan jenis kelamin yang berbeda, hasil penelitian ini bermanfaat agar masyarakat dapat membuat produk olahan daging yang sesuai dengan karakteristik daging ternak yang digunakan. Penulis
menyadari
bahwa
penulisan
skripsi
ini
masih
jauh
dari
kesempurnaan. Penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis khususnya. Selama masyarakat masih butuh pangan, peningkatan mutu produk pangan akan terus berjalan untuk memberikan kualitas yang baik bagi masyarakat.
Bogor, Desember 2011
Penulis
ix
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ......................................................................................................
ii
ABSTRACT.........................................................................................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................
iv
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................
v
RIWAYAT HIDUP .............................................................................................
vi
KATA PENGANTAR .........................................................................................
vii
DAFTAR ISI........................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL................................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................
xii
PENDAHULUAN ...............................................................................................
1
Latar Belakang ......................................................................................... Tujuan ...................................................................................................... Manfaat………………………………………………………………….. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................
1 2 2 3
Kerbau (Bubalus bubalis) ........................................................................ 3 Karkas Kerbau ............................................................................. 4 Daging Kerbau .............................................................................. 5 Otot Longissimus Dorsi…………………………………………. 6 Sifat FisikDaging ..................................................................................... 6 Nilai pH Daging…………………………………………............ 6 Daya Mengikat Air ..................................................................... 7 Keempukan Daging.................................................... .. .................. 9 Susut Masak……………………………………………………… 10 Warna……………………………………………………………. 11 MATERI DAN METODE ................................................................................... Lokasi dan Waktu .................................................................................... Materi ....................................................................................................... Prosedur ................................................................................................... Pengambilan Sampel Daging Kerbau .................................... .... Rancangan ................................................................................................ Peubah yang Diamati……………………………………………………. Nilai pH Daging…………………………………………………. Pengukuran Daya Mengikat Air (Water Holding Capacity)……. Pengukuran Daya Putus Warner Bratzler……………………….. Susut Masak (Cooking Loss)…………………………………… Pengukuran Warna Daging dan Lemak…………………………
13 13 13 13 13 14 14 14 15 15 15 16 ix
HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................................
17
Nilai pH Daging Kerbau .......................................................................... Daya Mengikat Air .................................................................................. Keempukan .......................................................................... ………….. Susut Masak ........................................................................................... Warna ..................................................................................................... Warna Daging………………………………………………...... Warna Lemak…………………………………………………..
18 20 21 23 25 25 26
KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................................
28
Kesimpulan .............................................................................................. Saran ........................................................................................................
28 28
UCAPAN TERIMA KASIH……………………………………………………
29
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
30
LAMPIRAN.........................................................................................................
33
ix
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Konsentrasi Glikogen dan Asam Laktat pada Daging Kerbau dan Sapi ………………………………………………………………….
7
2.
Daya Mengikat Air Otot Longissimus dorsi Kerbau pada Jenis Kelamin yang Berbeda (% mg/H2O)…….………………………….
8
3.
Nilai pH Daging Kerbau pada Umur dan Jenis Kelamin yang Berbeda ……………………………….…………………………….
18
4.
Nilai Air Bebas Daging Kerbau pada Umur dan Jenis Kelamin yang Berbeda ….…………………………………………..
20
5.
Nilai Daya Iris Daging Kerbau pada Umur dan Jenis Kelamin yang Berbeda…………… ……………………………………………..….
22
6.
Nilai Susut Masak Daging Kerbau pada Umur dan Jenis Kelamin yang Berbeda…………………………………………………………
23
7.
Nilai Warna Daging Kerbau pada Umur dan Jenis Kelamin yang Berbeda………………………………………………………...…….
25
8.
Nilai Warna Lemak Daging Kerbau pada Umur dan Jenis Kelamin yang Berbeda…...…………………………………………………….
27
ix
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Hasil Analisis Ragam Pengaruh Umur dan Jenis Kelamin terhadap pH Daging Kerbau…………………………………..…..………........
34
2.
Hasil Analisis Ragam Pengaruh Umur dan Jenis Kelamin terhadap Keempukan Daging Kerbau…………………………………………..
34
3.
Hasil Analisis Ragam Pengaruh Umur dan Jenis Kelamin terhadap Nilai Susut Masak Daging Kerbau……………………………………
34
4.
Hasil Analisis Ragam Pengaruh Umur dan Jenis Kelamin terhadap Nilai Air Bebas Daging Kerbau………………………………………
35
5.
Hasil Analisis Ragam Pengaruh Umur dan Jenis Kelamin terhadap Nilai Warna Daging Kerbau…………………………………………..
35
6.
Hasil Analisis Ragam Pengaruh Umur dan Jenis Kelamin terhadap Nilai Warna Lemak Daging Kerbau…………………………………..
35
ix
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Meat Color Card……………………………………………….
16
2.
Fat Color Card…………………………………………………
16
ix
PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu produk sub sektor peternakan yang mensuplai protein hewani bagi kebutuhan masyarakat adalah daging. Daging unggas, monogastrik, ruminansia kecil dan besar merupakan sumber protein asal hewan. Ketersediaan protein pada tahun 2008 dari produk peternakan sebesar 5,57 gram/kapita/hari dan pada tahun 2009 sebesar 5,68 gram/kapita/hari atau mengalami peningkatan. Ditinjau dari kelompok makanan, maka peranannya yang terbesar pada kelompok daging sekitar 54,0% (Direktorat Jenderal Peternakan, 2009). Kebutuhan masyarakat akan daging setiap tahunnya terus mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya populasi penduduk Indonesia. Kontribusi protein hewani asal daging sebagian besar dipenuhi oleh daging asal unggas sebesar 59,65%, daging sapi dan kerbau 20,4%, kemudian babi 10,1% (Direktorat Jenderal Peternakan, 2009).
Dibandingkan tahun 2008, produksi daging mengalami
peningkatan sebesar 2,08% dan peningkatan terbesar berasal dari ternak domba 15,3%, kuda 5,56%, kerbau 5,38%, babi 4,91%, dan kambing 4,24%. Kontribusi daging kerbau dalam mensuplai kebutuhan protein asal daging masih sangat kecil yaitu 5,38% (Direktorat Jenderal Peternakan, 2009). Data Direktorat Jenderal Peternakan (2009) menunjukkan bahwa Indonesia memiliki jumlah populasi kerbau sebesar 2,05 juta ekor. Kerbau lokal memiliki potensi untuk dapat dikembangkan karena mempunyai daya adaptasi yang sangat baik. Ternak kerbau dianggap mewah oleh masyarakat dalam keadaan khusus pada beberapa daerah di Indonesia seperti Banten, Padang, Medan dan Kalimantan. Menurut Burhanuddin et al. (2002), sebanyak 93,3% penduduk Pandeglang membeli daging kerbau karena tradisi dan menjadi kebiasaan yang turun-temurun. Sebanyak 89,3% masyarakat Pandeglang menyukai daging kerbau dengan alasan kemudahan mendapatkannya. Tingginya permintaan ini disebabkan oleh faktor kebiasaan, adat istiadat, dan selera masyarakat yang lebih menyukai daging kerbau dibandingkan dengan daging ternak ruminansia lain. Masyarakat Pandeglang menunjukkan kesenangannya terhadap daging kerbau dan menganggapnya sebagai makanan yang berharga dengan selalu menghidangkannya dalam perayaan-perayaan, pesta pernikahan, acara keagamaan atau dalam peristiwa-peristiwa lain yang dianggap
1
penting, dan untuk keperluan lauk-pauk sehari-hari. Sistem pemeliharaan kerbau di beberapa lokasi peternakan masih secara tradisional. Daging kerbau memang kurang disukai jika dibandingkan dengan daging sapi karena kerbau yang dipotong umumnya berasal dari ternak tua (8-10 tahun) dan digunakan sebagai ternak pekerja sehingga daging yang dihasilkan tidak empuk, juiceness rendah, dan rasanya kurang enak. Hal ini menyebabkan daging kerbau tidak memenuhi syarat sebagai daging yang bermutu baik. Keempukan daging dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keadaan serabut otot, jenis ternak, pakan, aktivitas ternak serta perlakuan sebelum dan sesudah dipotong. Umur dan jenis kelamin ternak juga turut mempengaruhi kualitas daging (Rao et al., 2009). Meskipun demikian, pengetahuan mengenai kualitas daging kerbau khususnya di wilayah Pandeglang masih belum banyak dilakukan. Penelitian diperlukan untuk mempelajari lebih lanjut kualitas fisik daging kerbau pada umur dan jenis kelamin yang berbeda. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh umur dan jenis kelamin terhadap karakteristik fisik daging kerbau. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kualitas daging kerbau dari tingkat umur dan jenis kelamin yang berbeda agar menghasilkan daging yang mempunyai nilai tambah.
2
TINJAUAN PUSTAKA Kerbau (Bubalus bubalis) Kerbau termasuk ke dalam spesies Bubalus bubalis yang diduga berevolusi dari Bubalus arnee, kerbau liar dari India. Kerbau domestik sebagai suatu spesies Bubalus bubalis memiliki tiga subspesies, yaitu kerbau sungai (B. bubalis bubalis) yang berasal dari Asia Selatan, kerbau rawa (B. bubalis carabanesis) yang berasal dari Asia Tenggara dan kerbau liar atau Arni (B. bubalis arnee). Klasifikasi ternak kerbau sebagai berikut. Kingdom
: Animalia
Kelas
: Mamalia
Sub-kelas
: Ungulata
Ordo
: Artiodactyla
Sub-ordo
: Ruminansia
Famili
: Bovidae
Genus
: Bubalus
Spesies
: Bubalus bubalis Linn
Kemampuan toleransi kerbau terhadap lingkungan, kesehatan dan produksi, pada beberapa wilayah menyamai atau bahkan melebihi sapi lokal. Kebanyakan kerbau air merupakan hewan yang belum dikenal luas dan belum dikembangkan untuk produksi. Kerbau air terdiri dari dua jenis umum, yaitu kerbau rawa dan kerbau sungai. Kerbau rawa atau kerbau lumpur (swamp buffalo) banyak terdapat di Cina, Thailand, Malaysia, Indonesi dan Filipina. Kerbau rawa berwarna mulai dari putih atau albinoid, belang, abu-abu terang sampai abu-abu gelap. Kerbau rawa umumnya berwarna keabu-abuan, leher terkulai, pendek, gemuk, tanduk melengkung mengarah ke belakang dan masif. Kerbau rawa berkubang di dalam air maupun kubangan lumpur yang terdapat secara alamiah atau dibuat oleh kerbau. Kerbau rawa umumnya digunakan sebagai ternak pekerja dan juga ternak pedaging tetapi jarang diternakan untuk produksi susu. Kerbau lumpur mempunyai kemampuan beradaptasi yang cukup baik terhadap lingkungan (iklim, pakan, dan pengangkutan) (Hasinah dan Handiwirawan, 2006).
3
Kerbau sungai (river buffalo) adalah kerbau yang biasa berkubang pada sungai yang berair jernih. Populasinya menyebar dari India sampai ke Mesir dan Eropa. Kerbau sungai merupakan ternak tipe perah umumnya berwarna hitam, memiliki tanduk yang keriting atau melingkar ke bawah membentuk spiral. Kerbau sungai berasal dari India dan Pakistan, tetapi juga ditemukan di barat daya Asia dan tenggara Eropa (Hasinah dan Handiwirawan, 2006) Karkas Kerbau Karkas kerbau adalah tubuh kerbau yang telah disembelih, utuh atau dibelah membujur sepanjang tulang belakangnya, setelah dikuliti, isi perut dikeluarkan, tanpa kepala, kaki bagian bawah dan alat kelamin kerbau jantan atau ambing kerbau betina yang telah dipisahkan dengan atau tanpa ekor. Kepala dipotong di antara tulang ocipital (Os. occipitale) dengan tulang tengkuk pertama (Os. atlas). Kaki depan dipotong di antara carpus dan metacarpus; kaki belakang dipotong di antara tarsus dan metatarsus (Dewan Standardisasi Nasional, 1995). Walaupun kulit dan kepalanya lebih berat, persentase karkas (dressing percentage) kerbau hampir sama dengan sapi, yaitu mencapai sekitar 53%. Ketebalan lemak subkutan kerbau lebih tipis dibandingkan dengan sapi. Produksi karkas kerbau memiliki persentase lemak kurang dari 25% dari berat karkas. Proporsi otot karkas kerbau lebih dibandingkan sapi dan proporsi tulangnya lebih rendah, rusuk kerbau lebih melingkar dibandingkan sapi (National Research Council, 1981). Faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi laju pertumbuhan dan komposisi tubuh yang meliputi distribusi berat dan komposisi kimia komponen karkas. Faktor lingkungan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu faktor fisiologi dan nutrisi. Umur, berat hidup, dan laju pertumbuhan juga dapat mempengaruhi komposisi karkas. Proporsi tulang, otot, dan lemak sebagai komponen utama karkas dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Bila proporsi salah satu variabel lebih tinggi, maka proporsi salah satu atau kedua variabel lainnya lebih rendah. Komposisi kimia karkas terutama terdiri atas air, protein, lemak dan abu secara proporsional juga dapat berubah bila salah satu variabel mengalami perubahan (Soeparno, 2005). Karkas dapat digunakan untuk menentukan berat dan persentase tanpa tulang, serta produk retail hasil trimming (Greiner et al., 2003). Faktor yang diperhitungkan dalam
4
mengestimasi jumlah daging dari suatu karkas (kualitas hasil) pada daging ruminansia besar meliputi ketebalan lemak subkutan, luas area urat daging mata rusuk, persentase lemak visceral (lemak penyelubung ginjal, jantung dan pelvis) terhadap berat karkas (Soeparno, 2005). Daging Kerbau Daging kerbau yang dipotong umumnya berasal dari ternak yang tua (8-10 tahun) dan dipekerjakan untuk membajak sawah serta menarik barang (sebagai kendaraan). Akibatnya, daging kerbau yang dijual di pasar tidak empuk, juiceness rendah, flavornya kurang enak sehingga tidak memenuhi syarat sebagai daging yang bermutu baik (Direktorat Jenderal Peternakan, 2005). Daging kerbau pada dasarnya sama dengan daging sapi. Daging kerbau memiliki karakteristik nilai pH daging 5,4; kadar air 76,6%; protein 19%; dan kadar abu 1%. Lemak kerbau berwarna lebih putih dan daging kerbau berwarna lebih gelap dibandingkan dengan daging sapi. Hal ini disebabkan lebih banyaknya pigmentasi pada daging kerbau atau lemak intramuskuler yang lebih sedikit (National Research Council, 1981). Kualitas konsumsi daging kerbau serupa dengan daging sapi bahkan lebih disukai di beberapa daerah. Kadar lemak daging kerbau lebih rendah sehingga dapat memenuhi keinginan konsumen dewasa ini. Walaupun demikian, daging kerbau lebih banyak mengandung tenunan pengikat dan berwarna lebih gelap sehingga cenderung mengurangi kualitas dibandingkan dengan daging sapi (Lawrie, 2003). Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor yang mempengaruhi kualitas daging sebelum pemotongan meliputi genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan (termasuk bahan aditif) dan stres (Soeparno, 2005). Faktor yang mempengaruhi kualitas daging setelah pemotongan adalah metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan (enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotik), lemak intramuskuler (marbling), metode penyimpanan dan preservasi, serta jenis otot daging dengan lokasi anatomis (Soeparno, 2005 Lawrie, 2003). Faktor kualitas daging konsumsi ditentukan terutama oleh warna, keempukan dan tekstur, flavor dan aroma (bau, cita rasa, dan juiceness). Selain itu, faktor lemak
5
intramuskuler, susut masak (cooking loss), retensi cairan, dan pH daging ikut menentukan kualitas daging (Soeparno, 2005). Otot Longissimus Dorsi Longissimus dorsi adalah otot yang sangat penting dan membentuk mata daging jika dipotong dari area rusuk dan dari loin. Otot Longissimus dorsi terdiri atas banyak sub unit otot yang masing-masing membantu fleksibilitas vertebrata colum dan gerakan leher serta aktivitas pernafasan (Swatland, 1984). Penampang lintang Longissimus dorsi meluas ke arah posterior rusuk. Otot Longissimus dorsi bagian loin mempunyai penampang lintang yang hampir konstan. Area Longissimus dorsi di antara bagian seperempat depan dan seperempat belakang dari karkas, yaitu di antara rusuk ke 12 dan ke 13 sering diuji untuk menaksir jumlah daging dari suatu karkas. Luas area Longissimus dorsi ini juga dapat dipergunakan sebagai petunjuk perbedaan tingkat perototan di antara karkas dengan panjang karkas yang kira-kira sama. Area Longissimus dorsi, pada rusuk ke 12 atau loin sering disebut Rib Eye Area (REA) pada loin (Lawrie, 2003). Sifat Fisik Daging Nilai pH Daging Nilai pH digunakan untuk menunjukkan tingkat keasaman dan kebasaan suatu substansi. Nilai pH daging sapi yang baru dipotong berkisar antara 6,5-6,8 kemudian mengalami penurunan dengan cepat sampai 5,6-5,8 setelah 24 jam. Nilai pH akhir normal daging postmortem adalah antara 5,4-5,8 (Soeparno, 2005). Jaringan otot hewan pada saat hidup mempunyai nilai pH sekitar 5,1 sampai 7,2 dan menurun setelah pemotongan karena mengalami glikolisis dan menghasilkan asam laktat yang akan mempengaruhi nilai pH. Nilai pH ultimat daging tercapai setelah glikolisis otot habis atau setelah enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif yaitu pada nilai pH rendah atau glikogen tidak lagi sensitif terhadap serangan-serangan enzim glikolitik. Menurut Soeparno (2005), nilai pH ultimat daging normal adalah antara 5,4-5,8. Temperatur lingkungan (penyimpanan) mempunyai hubungan yang erat dengan penurunan nilai pH karkas postmortem. Temperatur tinggi pada dasarnya meningkatkan laju penurunan nilai pH, sedangkan temperatur rendah menghambat laju penurunan pH (Soeparno, 2005). 6
Menurut Rao et al. (2009), nilai pH tidak dipengaruhi oleh umur, tetapi terdapat perbedaan sangat nyata di antara jenis kelamin pada daging kerbau segar dan tidak terdapat perbedaan nyata setelah daging disimpan pada suhu beku (-15 + 1 o
C) selama 1-7 hari. Perbedaan sangat nyata tersebut mengindikasikan bahwa daging
kerbau jantan (6,72+0,04) memiliki nilai pH lebih tinggi daripada betina (6,58+0,06). Menurut Zein (1991), umur pemotongan sapi berpengaruh terhadap nilai pH daging sebelum dilakukan penyimpanan. Nilai pH yang didapat untuk masingmasing kelompok umur I1, I2, I3 adalah 6,27; 6,12; 6,34. Keadaan ini disebabkan kandungan glikogen dalam otot cenderung turun pada ternak tua terutama ternak yang dipertahankan sebagai sumber tenaga. Kandungan glikogen yang rendah pada ternak sebelum dipotong menyebabkan pH akhir yang lebih tinggi. Data kandungan glikogen dan asam laktat pada karkas kerbau dan sapi dapat dilihat pada Tabel 1. Bertambahnya waktu postmortem mengakibatkan konsentrasi glikogen menurun dan asam laktat meningkat. Konsentrasi glikogen signifikan lebih tinggi pada kerbau saat 40 menit (0 hari) postmortem. Besarnya konsentrasi asam laktat menggambarkan penurunan pH (Neath et al., 2007). Tabel 1. Konsentrasi Glikogen dan Asam Laktat pada Daging Kerbau dan Sapi Waktu Postmortem (hari)
Glikogen (μmol/g otot + SD) Kerbau Sapi
Asam Laktat (μmol/g otot + SD) Kerbau Sapi
0
31,4+2,7a
20,5+2,0b
27,1+3,6
49,0+15,9
2
19,5+2,6
15,6+1,5
93,7+5,3
104,5+2,2
4
17,4+1,6
14,1+1,0
99,5+9,2
94,5+9,3
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) Sumber : Neath et al. ( 2007)
Daya Mengikat Air Daya ikat air oleh protein daging atau water holding capacity atau water binding capacity (WHC atau WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan (Soeparno, 2005). Penurunan DMA dapat diketahui dengan adanya eksudasi cairan yang disebut weep pada daging mentah yang belum dibekukan atau drip pada daging mentah beku yang
7
disegarkan kembali atau kerut pada daging masak. Eksudasi berasal dari cairan dan lemak daging. DMA dipengaruhi oleh pH, DMA menurun dari pH yang lebih tinggi sekitar 7-10 sampai pada pH titik isoelektrik protein-protein daging antara 5,0-5,1. Protein daging pada pH ini tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal. Pada pH yang lebih tinggi dari pH isoelektrik protein daging, sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air. Hal yang sama terjadi pada pH lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging terhadap surplus muatan positif yang mengakibatkan penolakan miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul-molekul air (Soeparno, 2005). Faktor pH, pelayuan dan pemasakan atau pemanasan mempengaruhi DMA daging selain spesies, umur, fungsi otot, serta pakan, transportasi, temperatur, kelembaban,
penyimpanan,
jenis
kelamin,
kesehatan,
perlakuan
sebelum
pemotongan, dan lemak intramuskular. Perbedaan DMA disebabkan oleh perbedaan jumlah asam laktat yang dihasilkan, sehingga pH diantara dan di dalam otot berbeda (Soeparno, 2005). Zein (1991) menyatakan bahwa daya ikat air tidak dipengaruhi umur saat pemotongan dilakukan dan setelah dilakukan penyimpanan karena keadaan tersebut berkaitan dengan kandungan protein daging sehingga meningkatnya kadar protein secara relatif akan meningkatkan daya mengikat air. Menurut Rao et al. (2009), daya mengikat air daging kerbau tidak dipengaruhi oleh faktor umur, namun dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin (P<0,01) selama periode penyimpanan 0, 24, dan 48 jam. Nilai daya mengikat air daging kerbau jantan lebih kecil daripada betina. Hasil analisis daya mengikat air pada karkas kerbau dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Daya Mengikat Air Otot Longissimus dorsi Kerbau pada Jenis Kelamin yang Berbeda (% mgH2O) Jenis Kelamin
Lama Penyimpanan Daging Kerbau 0 jam
24 jam
48 jam
-----------------------------% mgH2O------------------------Jantan
0,90+0,06
1,97+0,10
2,28+0,09
Betina
1,11+0,11
2,35+0,06
2,52+0,07
8
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Penyimpanan daging dalam freezer dapat mengubah jaringan otot dan menurunkan DMA setelah dilakukan thawing. Penyimpanan daging dalam chiller menghasilkan nilai DMA lebih kecil dibandingkan pada freezer. Hal ini disebabkan peningkatan denaturasi protein dan perpindahan air ke ruang ekstraselular. Freezing dapat menyebabkan nilai DMA menurun secara gradual yang disebabkan oleh pH postmortem, formasi kristal es, tingginya kekuatan ionik, denaturasi protein, dan drip loss (Kandeepan et al., 2006). Keempukan Daging Keempukan dan tekstur daging merupakan penentu paling penting pada kualitas daging. Keempukan daging ditentukan oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar atau status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya, serta daya ikat air oleh protein daging serta jus daging (Soeparno, 2005). Pada prinsipnya, keempukan daging dapat ditentukan secara subjektif dan objektif. Penentuan keempukan dengan metode subjektif dilakukan dengan uji panel cita rasa atau panel taste. Pengujian secara objektif dapat dilakukan secara mekanik dengan uji putus Warner-Brazler. Nilai daya putus Warner-Brazler menunjukkan tingkat keempukan daging. Keempukan daging menurun dengan meningkatnya umur ternak. Daging dengan pH tinggi mempunyai keempukan yang lebih tinggi daripada daging dengan pH rendah. Kealotan atau keempukan serabut otot pada kisaran pH 5,4 sampai 6,0 lebih banyak ditentukan oleh status kontraksi serabut otot dari pada oleh status fisik serabut otot (Soeparno, 2005). Hewan yang tua akan mengalami perubahan struktur jaringan ikat dan daging menjadi lebih keras sehingga nilai daya iris meningkat. Xiong et al. (2007) menyatakan bahwa nilai daya iris dipengaruhi oleh umur dan lama penyimpanan postmortem karena terjadi proses psikokimia pada daging selama penyimpanan postmortem pada suhu refrigerator. Nilai daya iris semakin meningkat dengan bertambahnya
umur
dan
semakin
menurun
dengan
bertambahnya
waktu
penyimpanan posmortem hingga 10 hari karena terjadi perpecahan serabut otot. Rao et al. (2009) juga menyatakan hal yang sama yaitu terdapat pengaruh yang nyata pada umur dan jenis kelamin terhadap nilai daya iris daging kerbau pada periode 9
penyimpanan berbeda. Nilai daya iris cenderung meningkat pada ternak kerbau yang lebih tua karena terjadi perkembangan jaringan ikat seiring bertambahnya umur ternak. Daging kerbau betina lebih empuk dibandingkan daging kerbau jantan. Pengaturan ransum juga berpengaruh secara langsung terhadap sifat urat daging setelah pemotongan. Ternak yang digemukkan dalam kandang akan menghasilkan daging lebih empuk dibandingkan ternak yang digembalakan. Ternak yang lebih tua yang mendapatkan ransum dengan nutrisi dan penanganan baik dapat menghasilkan daging lebih empuk dibandingkan dengan daging dari ternak yang lebih muda yang mendapatkan nutrisi dan penanganan buruk. Nutrisi dan penanganan yang baik dapat membuat otot tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga jumlah kolagen per satuan luas otot menjadi kecil dibandingkan dengan otot dari ternak yang mendapat nutrisi kurang baik, sehingga daging yang dihasilkan akan lebih empuk. Metode pemberian pakan pada ternak juga dapat mempengaruhi warna, kualitas, flavor, dan oksidasi lemak pada daging (Prihatman, 2000). Susut Masak Susut masak dipengaruhi oleh temperatur dan lama pemasakan. Semakin tinggi temperatur pamasakan semakin besar kadar cairan daging yang hilang sampai mencapai tingkat yang konstan. Susut masak dapat dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel daging serta penampang lintang daging (Soeparno, 2005). Perebusan daging pada suhu tinggi (60-90ºC) akan menyebabkan kerusakan jaringan epimisium, perimisium, dan endomesium sehingga jaringan daging akan menyusut sekitar 30% akibat keluarnya cairan daging atau cooking loss (Lawrie, 2003). Besarnya susut masak dipengaruhi oleh banyaknya kerusakan membran seluler, banyaknya air yang keluar dari daging, umur daging, degradasi protein dan kemampuan daging untuk mengikat air (Shanks et al., 2002). Susut masak menurun secara linier dengan bertambahnya umur ternak. Jenis kelamin mempunyai pengaruh yang kecil terhadap susut masak pada umur yang sama. Berat potong mempengaruhi susut masak terutama bila terdapat perbedaan deposisi lemak intermuskular (Soeparno, 2005). Menurut Zein (1991) dalam penelitiannya, perbedaan umur ternak saat dipotong tidak mempengaruhi susut masak. Rataan susut masak daging sapi yang dipotong pada umur I1, I2, I3 masing10
masing adalah 34,03; 34,22; 34,47%. Sebagian besar air terdapat dalam daging ada pada miofibril yaitu antara filamen-filamen. Menurut Ziauddin et al. (1993), susut masak menggunakan dua metode yang berbeda diperoleh bahwa Bicep femoris (BF) dan Supra spinasus (ST) pada otot hewan tua menunjukkan susut masak masing-masing 51,86% dan 52,86%, sedangkan pada hewan muda susut masak adalah 46,94% dan 47,36%. Susut masak signifikan lebih tinggi pada otot hewan tua. Pada metode pemasakan yang berbeda tidak ada berpengaruh antara kedua metode memasak. Warna Aberle et al. (2001) mengemukakan bahwa warna daging merupakan kombinasi beberapa faktor yang terdeteksi oleh mata. Faktor yang spesifik yaitu hue (warna dasar, pigmen kuning, hijau, merah, dan biru), chroma (intensitas warna), dan value (terang tidaknya). Hue di dalam daging sangat dipengaruhi oleh mioglobin. Mioglobin merupakan pigmen berwarna merah keunguan yang menentukan warna daging segar. Mioglobin ini dapat mengalami perubahan akibat reaksi kimia (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Mioglobin bersifat larut dalam air dan larutan garam encer serta merupakan bagian dari protein sarkoplasma. Banyak faktor yang mempengaruhi warna daging, antara lain spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres, tingkat aktivitas, dan tipe otot, pH, serta oksigen. Faktorfaktor ini dapat mempengaruhi penentu utama warna daging, yaitu pigmen daging mioglobin (Soeparno, 2005). Tipe molekul mioglobin, status kimia mioglobin, dan kondisi kimia serta fisik komponen lain dalam daging mempunyai peranan besar dalam menentukan warna daging (Lawrie, 2003). Lemak kerbau berwarna lebih putih dan daging kerbau berwarna lebih gelap dibandingkan dengan daging sapi. Hal ini disebabkan lebih banyaknya kadar mioglobin pada daging kerbau. Kualitas daging kerbau serupa dengan daging sapi dan bahkan lebih disenangi di beberapa wilayah seperti Banten. Sebagian konsumen dewasa ini menyukai kadar lemak daging kerbau yang rendah. Walaupun demikian, daging kerbau juga lebih banyak mengandung jaringan ikat dan berwarna lebih gelap sehingga cenderung mengurangi kualitasnya dibandingkan dengan daging sapi (Lawrie, 2003).
11
Tingkat mioglobin yang lebih tinggi secara umum ditemukan pada otot-otot yang lebih aktif dibandingkan dengan hewan yang menetap, dipelihara bebas dibandingkan dengan ternak dipelihara secara intensif, dan pada ternak tua dibandingkan dengan ternak yang lebih muda (Warris, 2004).
12
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pengujian analisa daging dilaksanakan di Laboratorium Produksi Ternak Ruminansia Besar Departemen Ilmu Produksi Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pengambilan sampel dilakukan dari bulan April sampai Juni kemudian dianalisis bulan Juli sampai Agustus 2009. Materi Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah otot Longissimus dorsi et lumbarrum. Peralatan yang digunakan untuk melakukan analisis fisik daging ini adalah Carver press, planimeter, pH meter, timbangan Sartorius, Warner Bratzler Shear Force, Termometer bimetal, kertas saring, pisau, panci, baskom, talenan, kompor, dan tissue. Prosedur Pengambilan Sampel Daging Kerbau Sampel daging kerbau diperoleh dari peternakan rakyat di wilayah Pandeglang Banten yang tersebar pada 10 kecamatan yaitu Kecamatan Menes, Labuan, Cibaliung, Banos, Carita, Pagelaran, Panumbang, Sodong, Bojong, dan Sakebi yang berumur antara kurang sari 1 tahun sampai 4 tahun dengan jenis kelamin jantan dan betina.
Kerbau yang dipotong sebagian dipelihara dengan cara
digembalakan dan sebagian lagi dikandangkan. Ternak kerbau yang digunakan sebagai sampel berasal dari bangsa kerbau rawa. Peternak menjual kerbaunya ke Rumah Pemotongan Hewan (RPH) tradisional. Kerbau diperiksa umurnya berdasarkan pergantian gigi seri susu dengan gigi seri tetap. Jika gigi seri susu I1 telah berganti dengan gigi seri tetap berarti kerbau telah berumur 2 tahun, jika gigi seri susu I2 telah berganti dengan gigi seri tetap maka umur kerbau 3 tahun, dan jika gigi seri susu I3 telah berganti menunjukan umur kerbau 3,5 tahun, serta jika gigi seri susu telah berganti semua (I4) dengan gigi seri tetap berarti umur kerbau telah mencapai 4 tahun. Ternak-ternak tersebut kemudian dipotong. Tahap selanjutnya sebanyak 300 gram daging bagian Longissimus dorsi et lumbarum diambil sebagai sampel dalam keadaan segar dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) tersebut.
13
Daging bagian Longissimus dorsi et lumbarum pada rusuk ke 12-13, kemudian disimpan pada freezer bersuhu -12 oC selama 1-2 bulan. Sampel selanjutnya dianalisis karakteristik fisik. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap pola faktorial 2x5 dengan jumlah ulangan yang berbeda. Faktor pertama adalah jenis kelamin (jantan dan betina) dan faktor kedua yaitu umur (kurang dari 1 tahun/Io, umur 1 tahun/I1, umur 2 tahun/I2, umur 3 tahun/I3, umur 4 tahun/I4). Model matematis yang digunakan menurut Steel dan Torrie (1991) adalah : Yijk = µ+ αi + βj + (αβ)ij + εijk Keterangan : Yijk
= Nilai parameter peubah yang diamati pada ulangan ke-k dari faktor I (jenis kelamin) ke-i dan faktor II (umur ternak kerbau) ke-j
µ
= Nilai rataan umum
αi
= Pengaruh jenis kelamin ke-i terhadap peubah (i1 dan i2)
βj
= Pengaruh umur ternak kerbau ke-j terhadap peubah (j1, j2, j3, j4, j5)
(αβ)ij
= Interaksi antara pengaruh jenis kelamin ke-i dan umur ternak ke-j terhadap peubah
εijk
= Pengaruh galat percobaan Data yang diperoleh dianalisis ragam. Perbedaan nyata (P<0,05) dilanjutkan
dengan uji Tukey. Hipotesis penelitian pada hasil analisis ragam menunjukkan terima H0 dan tolak H1 jika pengaruh umur dan jenis kelamin terhadap peubah yang diamati sama besar atau nilai tengah perlakuan semuanya sama (P>0,05). Terima H1 dan tolak H0 jika minimal ada satu data nilai tengah pada peubah yang diamati dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin atau tidak sama dengan lainnya (P<0,05) (Steel dan Torrie, 1991).
14
Peubah yang Diamati Nilai pH Daging Daging diukur menggunakan pH-Meter yang dikalibrasi dengan larutan buffer dengan nilai pH 4 dan 7. Daging ditusuk dengan plat dari pH-Meter kemudian nilai pH daging akan tertera pada layar pH-Meter. Pengukuran Daya Mengikat Air (Water Holding Capacity) Daya Mengikat Air (DMA) dianalisis berdasarkan persentase air yang keluar (mg/H2O) yaitu mengepres 0,3 gram sampel daging dengan beban 35 kg pada suatu kertas saring diantara dua plat selama 5 menit. Bobot daging ditimbang terlebih dahulu menggunakan timbangan digital. Pengepresan dilakukan pada area kertas saring yang tertutup sampel daging yang telah pipih dan area basah sekelilingnya. Luas area basah dapat diperoleh dengan mengurangkan area yang tertutup daging dari total area yang terbentuk pada kertas saring. Alat yang digunakan untuk mengukur luas area basah pada kertas saring adalah planimeter. Kandungan air yang keluar dari daging setelah penekanan dapat dihitung dengan rumus (Hamm, 1972 dalam Soeparno, 2005) : mg H2O = Luas Area Basah (cm2) – 8,0 0,0948 % air bebas = mg H2O x 100 % 300 Keterangan : 0,0948 = konstanta rumus mg H2O 300 = hasil konversi 0,3 g menjadi mg
Pengukuran Daya Putus Warner Bratzler Shear Suhu internal daging diukur terlebih dahulu dengan cara menusukkan termometer bimetal pada sampel daging pada batas akurasi termometer. Sampel daging direbus sampai mencapai suhu internal 81 oC kemudian diangkat dan didinginkan. Setiap sampel daging yang telah didinginkan dibuat core daging dengan menggunakan selongsong sepanjang kira-kira 4,7 cm dengan alat khusus berbentuk pipa dengan lubang berdiameter 0,5 inci (1,27 cm) sehingga diperoleh daging 15
berbentuk silinder. Daya putus kemudian diukur menggunakan alat pemutus WarnerBratzler. Sampel diiris menggunakan pisau pengiris pada alat secara melintang sampai terbelah dua. Tingkat keempukan ditentukan oleh besarnya kekuatan (kg/cm2) yang diperlukan untuk memotong daging yang ditunjukkan oleh jarum penunjuk yang bergerak di atas skala kepekaan pengukuran 0,1 kg/cm2. Susut Masak (Cooking Loss) Termometer bimetal ditancapkan pada bagian tengah daging. Daging direbus dalam air mendidih mencapai suhu internal 81 oC. Daging matang tersebut ditiriskan hingga beratnya konstan kemudian ditimbang bobotnya. Susut masak dapat dihitung sebagai persentase selisih berat sebelum pemasakan dan setelah pemasakan terhadap berat sebelum pamasakan. Pengukuran Warna Daging dan Lemak Skor warna daging dan lemak diukur berdasarkan skor warna Photo Graphic Colour Standard untuk daging dan lemak menggunakan Fat colour card oleh Frapple dan Bond (AUS-MEAT) sebagai pembanding. Skor warna daging memiliki skala 1-9 dan warna lemak dengan skala 1-7. Pada penelitian ini menggunakan skala 9 point, dimana 1= pucat pink, 2=pink, 3 = merah muda, 4 = merah cerah, 5 = merah, 6 = merah tua, 7 = merah tua gelap, 8 dan 9 = berwarna coklat kemerahan. Warna skor lemak dengan menggunakan skala 7 point, dimana 1 = putih pucat, 2 = putih, 3 = putih gelap, 4 = putih agak kekuning-kuningan, 5 = berwarna kuning pucat, 6 = kuning muda, dan 7 = kuning.
Gambar. 1 Meat Color Card
Gambar. 2 Fat Color Card
16
HASIL DAN PEMBAHASAN Ternak kerbau mempunyai fungsi dan peranan dalam sistem usahatani sebagai sumber tenaga, sumber pupuk dan sekaligus memberikan pendapatan tambahan bagi petani. Kerbau di lokasi penelitian digunakan sebagai sumber tenaga, sumber pendapatan, tabungan keluarga, sumber pupuk, dan status sosial. Berdasarkan hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah dan Kerbau (PSPK) 2011 yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia mulai 1-30 Juni 2011 jumlah populasi kerbau adalah 1,3 juta ekor. Populasi kerbau secara rinci di setiap pulau di Indonesia yaitu Sumatera 512.816 ekor, Jawa 363.008 ekor, Bali dan Nusa Tenggara 257.587 ekor, Kalimantan 41.541 ekor, Sulawesi 110.393 ekor, serta Maluku dan Papua 19.671 ekor. Sebagian besar populasi kerbau terdapat di pulau Jawa, antara lain di daerah Banten memiliki populasi kerbau sebanyak 123.100 ekor (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2011). Komposisi jenis kelamin kerbau menunjukkan pola relatif sama, yaitu jumlah terbesar adalah populasi betina, sebesar 68,76 persen dari total populasi. Sementara itu berdasarkan komposisi umur, sebagian besar kerbau betina adalah berumur dewasa (>2 tahun), yaitu 72,40 persen dari total populasi betina. Untuk kerbau jantan, jumlah terbanyak pada umur dewasa (>2 tahun) sekitar 42,34 persen dari total populasi kerbau jantan. Potensi daging kerbau dalam penyediaan protein hewani masih rendah hal ini dikarenakan pertumbuhan populasi yang kian menurun dan produktivitas yang rendah. Penurunan ini diduga berkaitan dengan sistem pemeliharaan masih dilakukan secara tradisional. Penyebab lain adalah tingginya jumlah pemotongan, terbatasnya pakan dan padang penggembalaan, penampilan produksi belum maksimal, angka kelahiran rendah, dewasa kelamin dan selang beranak (calving interval) relatif panjang, serta kurang tersedianya pejantan. Produksi daging berdasarkan kemampuan induk dapat dihitung berdasarkan bobot anak lahir per satuan waktu, sedangkan berdasarkan sumber daya alam adalah dengan menghitung biomassa untuk menghasilkan 1 kg daging (Mayunar, 2007). Populasi kerbau sebagian besar terdapat di Pulau Jawa. Faktor penyebabnya adalah tingkat kebutuhan (konsumsi) daging di pulau Jawa relatif lebih besar jika dibandingkan dengan kebutuhan daging di luar pulau Jawa. Faktor lain
17
yang berpengaruh adalah infrastruktur, teknologi dan industri peternakan yang lebih maju di pulau Jawa dibanding dengan daerah-daerah lainnya, terutama industri penyediaan pakan ternak (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2011). Daging kerbau yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari daerah Rumah Potong Hewan (RPH) di Kecamatan Menes, Labuan dan Cibaliung. Penyembelihan di rumah potong tersebut masih dilakukan secara tradisional. Jumlah ternak Kerbau yang paling banyak dipotong pada penelitian ini adalah kerbau betina kerena populasi kerbau betina di daerah banten lebih banyak dibandingkan kerbau jantan. Daging kerbau memiliki serat yang besar dan lebih kasar daripada daging sapi dengan lemak keras dan berwarna putih. Menurut Lawrie (2003), kualitas daging kerbau lebih rendah dibandingkan dengan daging sapi karena daging kerbau mengandung lebih banyak tenunan pengikat dan berwarna lebih gelap sehingga mengurangi kualitasnya. Ketidaksukaan konsumen terhadap daging kerbau adalah karena dagingnya keras atau alot (Burhanudin et al., 2002). Nilai pH Daging Kerbau Nilai pH merupakan sifat fisik yang paling umum dipertimbangkan pada daging segar. Nilai pH juga dapat mempengaruhi sifat-sifat fisik daging yang lain seperti daya mengikat air, keempukan, susut masak, dan warna daging (Soeparno, 2005). Nilai pH digunakan untuk menunjukkan tingkat keasaman dan kebasaan suatu substansi. Nilai pH daging sangat berpengaruh terhadap ketahanan daging. Hasil pengukuran pH daging kerbau disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai pH Daging Kerbau pada Umur dan Jenis Kelamin yang Berbeda Jenis Kelamin Betina Jantan Rataan
Umur I0 (±1 thn) 6,06±0,64
I1 (±2 thn) 5,73±0,42
I2 (±3 thn) 5,54±0,09
I3 (±3,5 thn) 5,58±0,16
I4 (±4 thn) 5,61±0,53
(n=7)
(n=6)
(n=9)
(n=6)
(n=60)
5,63±0,30
6,00±0,73
5,55±0,15
5,51±0,08
5,50±0,19
(n=13)
(n=6)
(n=2)
(n=4)
(n=2)
5,58±0,47
5,87±0,58
5,55±0,12
5,55±0,12
5,55±0,36
Rataan 5,7±0,37
5,64±0,29
5,67±0,33
Keterangan : n= jumlah sampel
18
Hasil pengujian perlakuan
(P>0,05).
menunjukkan bahwa nilai pH tidak dipengaruhi oleh Hal ini diduga sampel yang beragam dan manajemen
pemotongan yang kurang baik serta akibat sampel daging kerbau saat dibawa ke laboratorium yang membutuhkan waktu perjalanan selama 5-6 jam dari Banten ke Bogor. Transportasi daging hanya menggunakan media es batu sebagai bahan untuk mempertahankan suhu dingin. Sampel daging dibekukan setelah sampai di laboratorium pada suhu -12oC dalam waktu yang lama 1-2 bulan hingga sebelum sampel dianalisis. Fluktuasi suhu penyimpanan tersebut dapat menyebabkan perubahan kondisi psikokimia sampel daging. Penelitian lain yang dilakukan Andreas (2010) menyatakan bahwa nilai pH tidak dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin setelah daging disimpan dalam freezer selama 7 hari, namun umur berpengaruh terhadap nilai pH sebelum dilakukan penyimpanan daging. Nilai pH pada daging kerbau jantan yaitu 5,7±0,5 (<2 tahun) dan 5,5±0,1 ( 2-4 tahun). Nilai pH daging kerbau betina 5,8±0,5 (< 2 tahun), 5,5±0,1 (2-4 tahun), 5,8±0,5 (> 4 tahun). Menurut Rao et al. (2009), nilai pH tidak dipengaruhi oleh umur, tetapi terdapat perbedaan sangat nyata di antara jenis kelamin pada daging kerbau segar dan tidak terdapat perbedaan nyata setelah daging disimpan pada suhu freezer (-15+1oC) selama 1-7 hari. Secara keseluruhan, daging kerbau yang berasal dari daerah Banten mempunyai nilai pH daging dalam batasan pH normal (5,4-5,8). Meskipun pH daging kerbau jantan umur I1 dan I0 kerbau betina di atas nilai pH ultimat, namun belum mencapai kategori DFD (dark, firm, dry) dengan nilai pH 6,5-6,8 (Mullen dan Troy, 2005). Kerbau betina pada umur I1 mempunyai nilai pH daging yang lebih tinggi dari pH isoelektrik protein daging sehingga menyebabkan daya mengikat air daging kerbau betina meningkat. Hasil pengujian menunjukkan tidak adanya interaksi antara umur dan jenis kelamin terhadap nilai pH daging kerbau. Hal ini dapat djadikan dugaan bahwa sampel daging kerbau dengan tingkat umur dan jenis kelamin yang berbeda di daerah Banten tersebut digunakan sebagai ternak pekerja. Menurut Lawrie (2003), kandungan glikogen dapat cenderung menurun jika ternak mengalami stres sehingga nilai pH dapat meningkat tetapi kandungan glikogen yang rendah juga dapat menurunkan pH karena glikogen berperan dalam proses glikolisis. Kandungan
19
glikogen pada ternak juga dipengaruhi oleh beberapa faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik tersebut meliputi spesies, tipe otot, dan variabilitas diantara ternak. Faktor ekstrinsik yang berpengaruh meliputi temperatur lingkungan, perlakuan adanya bahan tambahan sebelum pemotongan, dan stres sebelum pemotongan. Daya Mengikat Air Daya mengikat air oleh protein daging atau water holding capacity (WHC) atau water binding capacity (WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan (Soeparno, 2005). Hasil rataan nilai air bebas daging kerbau dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4.
Nilai Air Bebas Daging Kerbau pada Umur dan Jenis Kelamin yang Berbeda
Jenis Kelamin
Betina
Jantan
Rataan
Umur I0 (±1 thn) I1 (±2 thn) I2 (±3 thn) I3 (±3,5 thn) I4 (±4 thn) Rataan ---------------------------------------------% mgH2O---------------------------------------0,30±0,24
0,38±0,30
0,38±3,00
0,20±0,17
0,23±0,16
(n=7)
(n=6)
(n=9)
(n=6)
(n=60)
0,32±0,17
0,35±0,16
0,18±0,22
1,07±0,71
0,38±0,00
(n=13)
(n=6)
(n=2)
(n=4)
(n=2)
0,31±0,21
0,37±0,23
0,28±0,22
0,64±0,44
0,31±0,08
0,3±0,218
0,46±0,25
0,38±0,24
Keterangan : n = jumlah sampel
Hasil dari penelitian dengan perlakuan umur yang berbeda dari jenis kelamin jantan dan betina tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai daya mengikat air karena implikasi dari nilai pH yang juga tidak berpengaruh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rao et al. (2009) bahwa daya mengikat air daging kerbau tidak dipengaruhi oleh faktor umur, namun dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin (P<0,01) selama periode penyimpanan 0, 24, dan 48 jam. Persentase nilai daya mengikat air daging kerbau betina menurun pada I3 dan I4. Menurut Rao et al. (2009), penurunan daya mengikat air pada daging kerbau betina diduga akibat dari rasio kehilangan cairan dan protein yang tinggi pada daging. Rasio kelembaban dan protein nyata menurun secara linier selama peningkatan periode penyimpanan. Penurunan kelembaban diakibatkan oleh penguapan cairan di permukaan daging dalam freezer, sedangkan penurunan protein
20
selama penyimpanan disebabkan oleh denaturasi protein pada drip loss akibat peningkatan konsentrasi formasi kristal es pada jaringan otot (Kandeepan et al., 2006). Hasil pengujian menunjukkan tidak adanya interaksi antara umur dan jenis kelamin terhadap kualitas fisik daya mengikat air
pada daging kerbau bagian
Longissimus dorsni et lumbarrum. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992) protein daging berperan dalam pengikatan air daging. Daya mengikat air oleh protein dipengaruhi nilai pH dan jumlah ATP (Adenosin Triphosphat). Proses pengikatan air oleh protein merupakan fungsi dari gugus asam amino daging tersebut. Kadar protein daging yang tinggi menyebabkan peningkatan kemampuan menahan air daging sehingga menurunkan kandungan air bebas, dan begitu pula sebaliknya. Semakin tinggi jumlah air yang keluar, maka daya mengikat airnya semakin rendah. Nilai daya mengikat air meningkat seiring dengan penurunan nilai pH daging. Apabila nilai pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik daging (5,0-5,1), maka nilai daya mengikat air daging akan tinggi atau nilai mg H2O rendah. Kerbau rawa di daerah Banten mempunyai nilai daya mengikat air daging yang tinggi karena mempunyai nilai pH yang lebih tinggi dari titik isoelektrik daging. Hasil penelitian ini berbeda dengan Rao et al. (2009), yang menyatakan nilai daya mengikat air yang rendah. Kerbau yang digunakan kerbau India, usia ternak kerbau yang digunakan yaitu 6 bulan sampai 2 tahun, 2 sampai 4 tahun dan di atas 4 tahun dan menggunakan taraf penyimpanan yang berbeda yaitu 0, 24 dan 48 jam mengakibatkan perbedaan tersebut. Keempukan Keempukan merupakan salah satu kriteria dalam penilaian mutu daging. Daging kerbau
memiliki tingkat keempukan yang rendah, karena ternak yang
dipotong umumnya berasal dari ternak yang tua (8-10 tahun) dan dipekerjakan untuk membajak sawah serta menarik barang (sebagai kendaraan). Hasil pengukuran daya iris daging dengan alat Warner Blatzer dapat dilihat pada Tabel 5.
21
Tabel 5. Nilai Daya Iris Daging Kerbau pada Umur dan Jenis Kelamin yang Berbeda Jenis Kelamin
Umur
Rataan I0 (±1 thn) I1 (±2 thn) I2 (±3 thn) I3 (±3,5 thn) I4 (±4 thn) 2 ---------------------------------------kg/cm ----------------------------------------5,89±3,54
Betina
10,27±0,58
(n=7) 8,11±2,24
Jantan
(n=6) 5,95±5,50
(n=13) 7
Rataan
±2,89
(n=6) 8,11±3,04
10,19±1,85
10,02±0,95
9,65±1,11
(n=9)
(n=6)
(n=60)
9,11±2,37 (n=2) 9,65±2,11
8,92±1,72 (n=4)
8,77±1,98
9,20±1,61
8,17±2,76
(n=2)
9,47±1,34
9,21±1,55
8,69±2,18
Keterangan : n = jumlah sampel
Penelitian ini menunjukkan bahwa umur dan jenis kelamin yang berbeda tidak memberikan pengaruh terhadap keempukan daging kerbau. Hal ini merupakan implikasi dari nilai pH dan daya mengikat air yang juga tidak berpengaruh. Andreas (2010) menyatakan hal yang sama bahwa daya iris daging kerbau tidak dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin. Nilai daya iris dapat menunjukkan keempukan daging. Keempukan diduga kuat merupakan penentu yang paling penting pada kualitas daging. Nilai daya iris Warner-Bratzler Shear (WBS) dikelompokkan menjadi 4 kategori yaitu sangat empuk (WBS<3,2), empuk (3,2<WBS<3,9), sedang (3,9<WBS<4,6), dan keras (WBS>4,6) (Belew et al., 2002). Hasil pengukuran keempukan daging kerbau pada penelitian ini menunjukkan kategori keras. Nilai daya iris berkorelasi negatif dengan keempukan. Semakin tinggi nilai daya iris, maka tingkat keempukan semakin rendah atau alot. Sistem pemeliharaan kerbau di daerah Banten sebagian di kandangkan dan sebagian lagi digembalakan. Perbedaan manajemen pemeliharaan dapat berpengaruh terhadap kualitas pakan yang diberikan. Kerbau yang dikandangkan diberi pakan 100% rumput, sedangkan kerbau yang digembalakan mencari pakan sendiri di padang gembala. Selain itu, kerbau yang dikandangkan juga digunakan sebagai ternak pekerja sehingga dapat meningkatkan kealotan daging. Nilai daya iris daging kerbau di daerah Banten secara keseluruhan tinggi
yang berarti bahwa nilai
keempukan rendah sehingga masuk dalam katagori daging keras. Ternak kerbau di daerah Banten baik berumur muda maupun tua dapat ditingkatkan keempukannya
22
dengan memberikan ransum dengan nutrisi baik serta penanganan baik sehingga dapat menghasilkan daging lebih empuk. Menurut Prihatman (2000), nutrisi dan penanganan yang baik mengakibatkan otot tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga jumlah kolagen per satuan luas otot menjadi kecil dibandingkan dengan otot dari ternak yang mendapat nutrisi kurang baik sehingga metode pemberian pakan pada ternak juga dapat mempengaruhi warna, kualitas, flavor, dan oksidasi lemak pada daging. Susut Masak Susut masak merupakan persentase berat daging yang hilang akibat pemasakan dan merupakan fungsi dari waktu dan suhu pemasakan. Daging dengan susut masak yang rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan persentase susut masak yang tinggi. Daging yang memiliki susut masak yang rendah akan mengalami kehilangan nutrisi selama proses pemasakan lebih sedikit. Hasil perhitungan nilai susut masak dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Jenis Kelamin
Betina
Jantan
Rataan
Nilai Susut Masak Daging Kerbau pada Umur dan Jenis Kelamin yang Berbeda Umur I0 (±1 thn) I1 (±2 thn) I2 (±3 thn) I3 (±3,5 thn) I4 (±4 thn) ---------------------------------------(%)------------------------------------37,89±15,3
43,48±5,74
49,7±4,04
47,35±4,62
49,94±6,1
(n=7)
(n=6)
(n=9)
(n=6)
(n=60)
47,78±5,04
33,43±10,5
47,14±8,3
45,55±24,8
46,28±2,3
(n=13)
(n=6)
(n=2)
(n=4)
(n=2)
42,84±10,17a
38,45±8,1
48,42±6,17
46,45±14,73
48,11±4,19b
Rataan
45,67±7,15
44,04±10,19
44,85±8,67
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) n = jumlah sampel
Hasil penelitian menunjukkan bahwa susut masak tidak dipengaruhi (P>0,05) oleh jenis kelamin sedangkan pada umur berpengaruh nyata (P<0,05). Tidak ada interaksi antara umur dan jenis kelamin terhadap susut masak daging kerbau. Pengaruh umur pada daging kerbau yaitu I0 dan I4 berbeda hal ini dikarenakan serabut otot dan penampang lintang daging yang berbeda. Menurut Ziauddin et al. (1993), susut masak dipengaruhi oleh umur (P<0,01) pada daging bagian biceps
23
femoris (BF) dan semitendinosus (ST) pada hewan tua (12 tahun), nilai susut masak sebesar 52-86% dan 46,94 - 47,36% ternak muda (1-2 tahun) dengan metode pemasakan yang berbeda yaitu pada pemasakan dengan menggunakan tekanan dan tidak menggunakan tekanan. Andreas (2010) mengungkapkan hal yang berbeda bahwa jenis kelamin dan umur tidak berpengaruh terhadap nilai susut masak daging kerbau. Nilai pH daging kerbau jantan pada umur I1 cukup tinggi sehingga menghasilkan daya mengikat air yang lebih tinggi pula. Daya mengikat air yang lebih tinggi akan
meningkatkan
kemampuan otot mengikat air sehingga susut
masak menjadi lebih rendah. Menurut Soeparno (2005), penurunan pH yang diakibatkan temperatur tinggi dapat menyebabkan penurunan daya mengikat air karena meningkatnya denaturasi protein otot dan meningkatnya perpindahan air ke ruang ekstraseluler sehingga dapat meningkatkan angka susut masak daging. Susut masak daging juga sangat berhubungan dengan daya mengikat air daging. Semakin rendah daya mengikat air daging, maka susut masaknya akan semakin besar. Daya mengikat air daging tinggi akan menyebabkan air yang keluar sedikit sehingga susut masak daging menjadi rendah. Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar air daging, yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan di antara otot. Menurut Shanks et al. (2002), besarnya susut masak dipengaruhi oleh banyaknya kerusakan membran seluler, banyaknya air yang keluar dari daging, degradasi protein, dan kemampuan daging untuk mengikat air. Menurut Lawrie (2003), susut masak juga dipengaruhi oleh waktu dan temperatur pemasakan. Semakin tinggi temperatur pemasakan dan semakin lama waktu pemanasan maka semakin besar kadar cairan daging yang hilang sampai mencapai tingkat yang konstan. Tingginya nilai susut masak disebabkan oleh derajat kerusakan serabut otot dan koagulasi protein (Vasanthi et al., 2007). Perebusan daging pada suhu tinggi (60-90 oC) menyebabkan kerusakan jaringan epimisium, perimisium, dan endomisium sehingga jaringan daging akan menyusut sekitar 30% dari panjang semula akibat keluarnya cairan daging (Lawrie, 2003). Nilai susut masak daging kerbau dari daerah Banten secara keseluruhan rendah yaitu dibawah
24
50%. Hal ini dikarenakan daging kerbau memiliki nilai daya mengikat yaitu air yang tinggi sehingga air yang keluar saat pemasakan sedikit. Warna Warna Daging Warna merupakan salah satu faktor penilaian kualitas fisik dari suatu daging. Menurut Aberle et al. (2001), warna daging merupakan kombinasi beberapa faktor yang terdeteksi oleh mata. Warna merupakan salah satu komponen penting pada penampakan daging segar dan sangat berpengaruh terhadap ketertarikan konsumen dibandingkan dengan karakteristik-karakteristik visual lain pada daging segar. Konsumen cenderung menghubungkan warna merah cerah terhadap tingkat kesegaran daging. Komponen yang mempengaruhi warna daging yaitu konsentrasi dan keadaan pigmen hem, mioglobin (Mb) dan hemoglobin (Hb). Hasil penilaian skor daging dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai Warna Daging Kerbau pada Umur dan Jenis Kelamin yang Berbeda
I1 (±2 thn)
Umur I2 (±3 thn)
I3 (±3,5 thn)
I4 (±4 thn)
4,11±2,33
4,72±0,74
6,23±0,158
4,57±1,90
5,43±1,39
(n=7)
(n=6)
(n=9)
(n=6)
(n=60)
5,00±1,52
6,17±0,41
6,5±0,71
6,66±0,47
6,16±0,23
(n=13)
(n=6)
(n=2)
(n=4)
(n=2)
4,56±1,93
5,45±0,58
6,37±0,44
5,62±1,19
5,80±0,81
Jenis Kelamin
I0 (±1 thn)
Betina
Jantan
Rataan
Rataan 5,01±1,30
6,09±0,67
5,56±0,99
Keterangan : n= jumlah sampel
Pada penelitian ini tidak ada pengaruh perlakuan terhadap penilaian warna daging kerbau. Proses pemotongan di Rumah Potong Hewan (RPH) di Kecamatan Labuan, Menes dan Cibaliung masih tradisional sehingga lumuran darah yang melekat pada daging dapat mempengaruhi kondisi warna daging. Warna daging ditentukan oleh karakteristik kandungan pigmen mioglobin di dalamnya. Mioglobin terbentuk sekitar 50-90% dari total pigmen tergantung pada spesies dan otot tertentu., Kandungan mioglobin pada otot Longissimuss dorsi et lumbarum rendah karena urat daging diafragma kurang bekerja secara konstan (Lawrie, 2003).
25
Menurut Boakye dan Mittal (1996) faktor yang spesifik terhadap warna daging meliputi hue (warna dasar, pigmen kuning, hijau, merah, dan biru), chroma (intensitas warna), dan value (terang tidaknya). Hue di dalam daging sangat dipengaruhi oleh mioglobin. Penelitian Arun et al. (2005) menggunakan perlakuan karnosin dengan persentase berbeda dengan tujuan untuk melihat pengaruh warna pada daging kerbau menemukan tanda-tanda perubahan warna kecoklatan. Hasil pengamatan pada persentase karnosin 60% menunjukkan pengurangan pigmen mioglobin di daerah tertentu pada daging karena terjadinya oksidasi metmioglobin. Nilai skor warna daging kerbau jantan dan betina rata-rata berada di skor 4-6 dengan tingkatan umur yang berbeda yaitu berwarna merah cerah sampai merah tua. Warna daging merah cerah sampai merah tua hal ini dikarenakan pengukuran warna daging dilakukan dalam kondisi daging masih segar, setelah pemotongan. Menurut Lawrie (2003) menjelaskan bahwa pada daging segar terdapat senyawa kimia yaitu oksimioglobin. Pigmen oksimioglobin merupakan pigmen yang menggambarkan warna merah cerah tersebut. Pada daging terdapat enzim sitokrom yang mengubah mioglobin menjadi oksimioglobin walau oksigen tidak terdapat dalam daging. Hal yang sama dijelaskan juga oleh Muchtadi dan Sugiyono (1992) bahwa mioglobin merupakan pigmen berwarna merah keunguan yang menentukan warna daging segar. Mioglobin ini dapat mengalami perubahan akibat reaksi kimia. Mioglobin bersifat larut dalam air dan larutan garam encer serta merupakan bagian dari protein sarkoplasma. Keterikatan air pada protein daging tidak hanya ditentukan oleh sifat protein, lemak maupun air pada daging, tetapi dipengaruhi juga oleh nilai pH yang menentukan karakteristik daging normal, PSE (pale, soft, exudative) dan DFD (dark, firm, dry) yang disebut juga dark-cutting beef (DCB) untuk daging sapi. Terbentuknya mioglobin disebabkan oleh aktivitas urat daging yang tinggi. Semakin tinggi aktivitas urat daging, maka semakin banyak mioglobin yang terkandung pada urat daging (Lawrie, 2003). Warna Lemak Sebagian besar lemak di dalam tubuh ternak tersimpan di dalam depot lemak, termasuk lemak otot yang disebut intramuskular. Lemak intramuskular berlokasi di dalam jaringan ikat perimiseal diantara fasikuli atau ikatan serabut otot, dan lazim
26
disebut lemak marbling (Soeparno, 2005). Hasil penilaian skor warna lemak dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Nilai Warna Lemak Daging Kerbau pada Umur dan Jenis Kelamin yang Berbeda Jenis Kelamin
Betina
Jantan
Rataan
Umur I0 (±1 thn) 3,32±0,47
I1 (±2 thn) 3,14±0,69
I2 (±3 thn) 3,37±0,41
I3 (±3,5 thn) 3,71±1,50
I4 (±4 thn) 3,62±0,90
(n=7)
(n=6)
(n=9)
(n=6)
(n=60)
3,00±0,80
3,17±0,41
3,75±0,35
3,36±0,47
3,84±0,23
(n=13)
(n=6)
(n=2)
(n=4)
(n=2)
3,16±0,64
3,16±0,55
3,56±0,38
3,54±0,99
3,73±0,57
Rataan 3,43±0,39
3,42±0,45
3,43±0,42
Keterangan : n= jumlah sampel
Warna lemak pada daging kerbau dengan perlakuan umur yang berbeda dari jenis kelamin jantan dan betina tidak berpengaruh nyata (P>0,05) dan tidak ditemukan interaksi nyata antar perlakuan. Penilaian warna lemak daging dilakukan setelah proses pemotongan pada bagian urat daging Longissimuss dorsi et lumbarum. Nilai skor warna lemak kerbau jantan dan betina pada tingkatan umur yang berbeda rata-rata berada di skor 3-4 yaitu putih gelap dan putih agak kekuningkuningan. Menurut Lawrie (2003), warna lemak kekuningan ditentukan oleh banyaknya pigmen β-karoten dalam lemak tersebut. Lemak kerbau berwarna lebih putih dan daging kerbau berwarna lebih gelap dibandingkan dengan daging sapi. Hal ini disebabkan lebih banyak pigmentasi pada daging kerbau atau lemak intramuskuler yang lebih sedikit (National Research Council, 1981).
27
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Ternak Kerbau yang berasal dari 10 kecamatan di Propinsi Banten secara umum menghasilkan karakteristik fisik daging yang sama. Ciri-ciri daging kerbau pada penelitian ini adalah berwarna merah sampai merah tua; warna lemak putih sampai putih kekuningan, keempukan rendah dengan nilai pH pada batas normal. Saran Penelitian lanjutan sebaiknya dilakukan pada kondisi umur yang diketahui dengan jelas melalui sistem recording. Ternak kerbau yang akan digunakan mendapat manajemen pemeliharaan yang sama.
28
UCAPAN TERIMAKASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia yang tak terhingga maupun musibah dan cobaan-Nya yang senantiasa mengingatkan sehingga penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam tak lupa penulis sampaikan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta para keluarga dan sahabatnya hingga akhir zaman. Penulis mengucapkan terimakasih kepada pembimbing utama skripsi dan pembimbing akademik Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si. dan Muhamad Baihaqi, S.Pt. M.Sc atas bimbingan, saran dan perhatian yang telah diberikan pada penulis baik dalam penyusunan skripsi maupun selama kuliah. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bramada Winiar Putra, S.Pt., M. Tito, S.Pt, Cucu Diana, yang juga telah membimbing dalam penyelesaian penelitian ini. Selain itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Dr. Irma I. A., S.Pt, M. Si dan Ir. Anita S. Tjakradidjaja, M. Rur. Sc dan Dr. Rudi Afnan S. Pt, MSc. Agr sebagai dosen penguji tugas akhir atas masukan dan saran selama ujian sidang. Terima kasih penulis sampaikan kepada Ifit S.Pt, Mahmudah S.Pt, Yuliana Fajar S.Pt, Henty Silvianuri S.Pt, Desti Astuti, Aisah, Dyah Ayu, Faris Destantio S.Pt, Satryo Ardi S.Pt, Retno Cahya Mukti, dan seluruh rekan-rekan di IPTP, Fakultas Peternakan IPB, dan teman-teman organisasi mahasiswa LDF Famm AlAn’amm atas semua sumbangsih yang telah diberikan selama penelitian ini. Terimakasih pula kepada semua pihak yang telah membantu pembuatan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Ucapan terimakasih penulis haturkan kepada kedua orang tua tercinta, kakak dan adik atas segala kasih sayang, doa, kesabaran, motivasi dan semua bantuan berupa materi, moral dan spiritual yang telah diberikan tanpa henti. Terimakasih untuk semua sanak saudara yang setiap saat memberikan doa. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan seluruh pembaca.
Bogor, Desember 2011
29
DAFTAR PUSTAKA Aberle, E. D., J. C. Forrest, D. E. Gerrard, E. W. Mills, H. B. Hendrick, M. D. Judge, & R. A. Merkel. 2001. Principles of Meat Scince. 4th edition. Kendall Hunt Publishing Company, Lowa. Andreas, E. 2010. Telaah kualitas karkas dan daging serta identifikasi keragaman gen GH dan GHR pada kerbau (Bubalus bubalis). Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arun K. Das, A. S. R. Anjaneyulu, & S. Biswas. 2005. Effect of carnosine preblending on the quality of ground buffalo meat. Food Chemistry 97 : 531538. Belew, J.B, J. Brooks C, D.R. McKenna, & J.W. Savell. 2002. Warner-Bratlzer shear evaluation of 40 bovine muscles. Meat Science Section, Department of Animal Science, Texas Agricultural Experiment Station, Texas A&M University, College Station, TX 77843-2471, Texas. Boakye, K. & G. S. Mittal. 1996. Changes in colour of beef m. longissimus dorsi muscle during ageing. Meat Science, Vol. 42, No. 3, 347-354. Burhanuddin, S. Matsithoh, & J. Atmakusuma. 2002. Analisis preferensi dan pola konsumen daging kerbau pada konsumen rumah tangga di Kabupaten Pandeglang. Media Peternakan. Vol. 25 No. 1 Dewan Standarisasi Nasional. 1995. Karkas Kerbau. SNI 01-3933-1995. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. Direktorat Jenderal Peternakan. 2005. Lokakarya Pengembangan dan Peningkatan Produksi Ternak Kerbau serta Potensi Peluang dan Tantangan Usaha Ternak Kerbau Mendukung Agribisnis Peternakan, Jakarta. Direktorat Jenderal Peternakan. 2009. Statistik Peternakan 2009. Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian RI, Jakarta. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011. Statistik Peternakan 2011. Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian RI. Jakarta. Greiner, S. P., G. H. Rouse, D. E. Wilson, L. V. Cundiff & T. L. Wheeler. 2003. Accuracy of predicting weight and percentage of beef carcass retail product using ultrasound and live animal measures. J. Anim. Sci. 81: 466–473. Hamm, R. (1972). Kolloidchemie des Fleisches-des Wasserbindungsvermoegen des Muskeleiweisses in Theories und Praxis. Verlag Paul Parey, Berlin. In; Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Ke-Empat. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hasinah, H. & E. Handiwirawan. 2006. Keragaman genetik ternak kerbau di Indonesia. Dalam : Subandrio (Editor). 2006. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
30
Kandeepan, G., S. Biswas, & K. Porteen. 2006. Influence of histological changes of refrigerator preserved buffalo meat on quality characteristics. Journal of Food Technology 4 (2) : 116-121 Lawrie, R. A. 2003. Ilmu Daging. Terjemahan Aminuddin Parakkasi. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Mayunar. 2007. Status dan prospek pengembangan ternak kerbau di Provinsi Banten. Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Banten. Muchtadi, T. R. & Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mullen, A. M. & D. J. Troy. 2005. Current and Emerging Technologies for the Prediction of Meat Quality. In : J. F. Hocquette and S. Gigli (Eds). Indicator of Milk and Beef Quality. Wegeningen Academic Publisher, Netherland. National Research Council. 1981. The Water Buffalo: New Prospect for An Underutilized Animal. National Academy Press, Washington D.C. Neath, K. E., A. N. Del Barrio, R. M. Lapitan, J. R. V. Herrera, L. C. Cruz, T. Fujihara, S. Muroya, K. Chikuni, M. Hirabayashi, & Y. Kanai. 2007. Difference in tenderness and pH decline between water buffalo meat and beef during postmortem aging. Meat Science, 75 : 499-505. Prihatman, K. 2000. Pakan Ternak. Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pedesaan, Bappenas. Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Jakarta. Rao, D. N., G. Thulasi, & S. W. Ruban, 2009. Meat quality characteristics of nondescript buffalo as affected by age and sex. World Applied Scinces Journal 6(8): 1058-1065. Shanks, B. C., D.M. Wolf, & R.J. Maddock. 2002. Technical note : The effect of freezing on Warner Bratzler shear force values of beef Longissimus steak across several postmortem aging periods. J. Anim- Sci 80 : 2122-2125. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Ke-Empat. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Steel, R. G. D. & J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan Bambang S. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Swatland, H.J. 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice-Hall Inc., Englewood Cliff, New Jersey. Vasanthi, C., V. Venkataramanujam, & K. Dushyanthan. 2007. Effect of cooking temperature and time on the physico-chemical, histological and sensory properties of female carabeef (buffalo) meat. Meat Science 76 : 274-280. Warriss, P. D. 2004. Meat Science: an Introductory text. School of Veterinary Science University of Bristol, CABI Publishing, Bristol. Xiong, Y. L., O. E. Mullins, J. F. Stika, J. Chen, S. P. Blanchard, & W. G. Moody. 2007. Tenderness and oxidative stability of post-mortem muscles from mature cows of various ages. Meat Science, 77 : 105-113. 31
Zein, Z. 1991. Pengaruh umur ternak, suhu, dan lama penyimpanan terhadap pH, daya mengikat air serta keempukan daging sapi PO jantan. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ziauddin, K. S., N. S. Mahendrakar, D. N. Rao, B. S. Rames & B. L. Amla. 1993. Observations on some chemical and physical characteristic of buffalo meat. Meat Science, 37 : 103-113.
32
LAMPIRAN
33
Lampiran 1. Hasil Analisis Ragam Pengaruh Umur dan Jenis Kelamin terhadap Nilai pH Daging Kerbau Sumber Keragaman
DB
JK
KT
Fhit
P
Jenis Kelamin (JK)
1
0,0015
0,0007
0,70
0,404
Umur (U)
4
0,0079
0,0067
1,61
0,178
Interaksi (JK*U)
4
0,0038
0,0038
0,93
0,449
Galat
105
0,1098
0,1098
Total
114
S = 0,0323 ; R2 = 10,87% ; R2 (terkoreksi) = 3,23% Lampiran 2. Hasil Analisis Ragam Pengaruh Umur dan Jenis Kelamin terhadap Nilai Keempukan Daging Kerbau Sumber Keragaman
DB
JK
KT
Fhit
P
Jenis Kelamin (JK)
1
0,150
0,142
0,02
0,895
Umur (U)
4
61,310
12,274
1,50
0,208
Interaksi (JK*U)
4
32,248
8,062
0,98
0,419
Galat
117
959,212
8,198
Total
126
S = 2,863 ; R2 = 8,90% ; R2 (terkoreksi) = 1,89% Lampiran 3. Hasil Analisis Ragam Pengaruh Umur dan Jenis Kelamin terhadap Nilai Susut Masak Daging Kerbau Sumber Keragaman
DB
JK
KT
Fhit
P
Jenis Kelamin (JK)
1
301,44
25,90
0,42
0,519
Umur (U)
4
1003,05
625,12
2,53
0,045
Interaksi (JK*U)
4
156,42
156,42
0,63
0,641
Galat
113
6989,56
6989,56
Total
122
8450,47
S = 7,864 ; R2 = 17,29% ; R2 (terkoreksi) = 10,70%
34
Lampiran 4. Hasil Analisis Ragam Pengaruh Umur dan Jenis Kelamin terhadap Nilai Air Bebas Daging Kerbau Sumber Keragaman
DB
JK
KT
Fhit
P
Jenis Kelamin (JK)
1
0,01408
0,00014
0,04
0,852
Umur (U)
4
0,01709
0,01207
0,75
0,558
Interaksi (JK*U)
4
0,00653
0,00653
0,41
0,803
Galat
106
0,42516
0,42516
Total
115
0,46287
S = 0,0633 ; R2 = 8,15% ; R2 (terkoreksi) = 0,35% Lampiran 5. Hasil Analisis Ragam Pengaruh Umur dan Jenis Kelamin terhadap Nilai Warna Daging Kerbau Sumber Keragaman
DB
JK
KT
Fhit
P
Jenis Kelamin (JK)
1
0,0398
0,0231
3,36
0,070
Umur (U)
4
0,0059
0,0183
0,66
0,618
Interaksi (JK*U)
4
0,0363
0,0363
1,32
0,267
Galat
106
0,7307
0,7307
Total
115
0,8129
S = 0,083 ; R2 = 10,11% ; R2 (terkoreksi) = 2,48% Lampiran 6. Hasil Analisis Ragam Pengaruh Umur dan Jenis Kelamin terhadap Nilai Warna Lemak Daging Kerbau Sumber Keragaman
DB
JK
KT
Fhit
P
Jenis Kelamin (JK)
1
0,0398
0,0231
3,36
0,070
Umur (U)
4
0,0059
0,0183
0,66
0,618
Interaksi (JK*U)
4
0,0363
0,0363
1,32
0,267
Galat
106
0,7307
0,7307
Total
115
0,8129
S = 0,083 ; R2 = 10,11% ; R2 (terkoreksi) = 2,48% Keterangan : DB
= Derajat Bebas
JK
= Jumlah Kuadrat
KT
= Kuadrat Tengah
35