SIARAN PERS
RUU Ormas: Negara Kembali Mengekang Kemerdekaan Berserikat Dan Berorganisasi Februari 2013 ini, DPR akan menyelenggarakan rapat paripurna yang mengagendakan pengesahan Rancangan Undang Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas), menggantikan Undang Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Sepanjang periode pembahasan, Panitia Khusus (Pansus) RUU Ormas telah mendapatkan sangat banyak masukan, baik dari para ahli hukum tata negara maupun kalangan organisasi masyarakat sipil, agar tidak melanjutkan pembahasan RUU Ormas ini karena akan melanggar prinsip‐prinsip hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia. Pada kesempatan itu pula, Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) menyampaikan masukan dan menuntut agar pemerintah dan DPR mencabut UU Ormas dan mengembalikan pengaturan mengenai organisasi masyarakat kepada kerangka hukum yang benar dan relevan, yaitu badan hukum Yayasan (untuk organisasi tanpa anggota/non‐membership organization) dan badan hukum Perkumpulan (untuk organisasi dengan anggota/membership‐based organization). Pada kesempatan ini, KBB bersama dengan para tokoh masyarakat ingin terus menegaskan urgensi untuk segera menghentikan pembahasan RUU Ormas dan menggantinya dengan UU Perkumpulan, sekaligus mencabut UU 8/1985. Apabila Pemerintah dan DPR bersikeras melanjutkan pembahasan dan mengesahkan RUU Ormas, maka: a. Pemerintah dan DPR telah melakukan pemborosan anggaran untuk menghasilkan sebuah kebijakan yang jelas‐jelas akan menghambat kemerdekaan berserikat dan berorganisasi masyarakat; b. Pemerintah dan DPR mengacaukan sistem hukum dan mengganggu independensi sistem peradilan Indonesia dalam menentukan keabsahan suatu perikatan termasuk di dalamnya badan hukum; c. Pemerintah dan DPR mengabaikan sejarah ormas‐ormas yang telah berkontribusi pada pembentukan dan kemerdekaan Indonesia; dan d. Pemerintah dan DPR melakukan tindakan yang menurunkan citra dan kredibilitas Indonesia di mata dunia internasional sebagai negara demokratis. Oleh karena itu, kami mendesak Pemerintah dan DPR untuk: 1. Mencabut Undang‐Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) dan mengembalikan pengaturan mengenai organisasi masyarakat kepada kerangka hukum yang benar dan relevan, yaitu berdasarkan keanggotaan (membership‐based organization) yang akan diatur dalam UU Perkumpulan dan tidak berdasarkan keanggotaan (non membership‐based organization) melalui UU Yayasan. 2. Menghentikan pembahasan dan pengesahan RUU Ormas, serta mendorong pembahasan RUU Perkumpulan yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010‐2014. Rancangan Undang‐Undang Perkumpulan secara hukum lebih punya dasar, namun telah tergeser dengan RUU Ormas yang salah arah.
1 | P a g e
Jakarta, 18 Februari 2013
KOALISI KEBEBASAN BERSERIKAT (KKB)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi (YAPPIKA) Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) The Wahid Institute Imparsial Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Indonesia Parliamentary Center (IPC) Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Kelompok Peduli Penghapusan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (Keppak Perempuan) Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) Yayasan Bina Desa Indonesia Corruption Watch (ICW) Human Rights Working Group (HRWG) Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Green Peace Indonesia Arus Pelangi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Perempuan AMAN
2 | P a g e
RUU Ormas: 5 (Lima) Cara Negara Kembali Mengekang Kemerdekaan Berserikat dan Berorganisasi Disiapkan oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB)
Definisi Ormas Sapu Jagad (Pasal 1), Namun Sekaligus Membatasi Definisi Ormas yang luas, “…organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan…” akan berbenturan dengan definisi dan ruang lingkup badan hukum lain. Definisi Ormas tersebut mencakup seluruh bentuk organisasi dalam semua bidang kegiatan, mulai dari agama, kepercayaan kepada Tuhan YME, hukum, sosial, ekonomi, kesehatan, pendidikan, sumber daya manusia, pemberdayaan perempuan, lingkungan hidup dan sumber daya alam, kepemudaan, olah raga, profesi, hobi, hingga seni dan budaya, serta bidang kegiatan lainnya (Pasal 7). Terdapat berbagai kewajiban Ormas dalam RUU Ormas yang problematik, diantaranya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), memelihara nilai‐nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma kesusilaan serta memberikan manfaat untuk masyarakat, menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam masyarakat, dan berpartisipasi dalam pencapaian tujuan negara (Pasal 21). Kelompok pecinta sepak bola (sebut saja Jakmania, Arema, atau Bonek) misalnya, mungkin tidak akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan NKRI, atau nilai‐nilai agama. Namun akan sulit untuk melihat bagaimana keberadaan kelompok‐kelompok masyarakat itu akan mempromosikan nilai‐nilai tersebut. KRL Mania atau yayasan‐yayasan dalam bidang kesehatan; atau panti asuhan akan sulit memperlihatkan keterkaitan dengan promosi persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan memasukkan Yayasan ke dalam kategori Ormas ‐‐padahal UU Yayasan jelas mengatur Yayasan sebagai badan hukum tanpa anggota‐‐ kalau RUU Ormas disahkan, maka ribuan Yayasan (rumah sakit, sekolah, panti asuhan, dlsb) akan terseret ke ranah politik dengan dikategorikan sebagai Ormas.
Intervensi Pemerintah Sangat Dalam, Menyempitkan Amanat UUD 1945, dan Menimbulkan Kekacauan Hukum (Pasal 1018) Kemerdekaan berserikat dan berkumpul disempitkan menjadi hanya berbentuk “Ormas” (Pasal 10 dan Pasal 11). Segala bentuk organisasi yang berbadan hukum Yayasan dan Perkumpulan, maupun organisasi yang tidak berbadan hukum, wajib daftar sebagai Ormas dan memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Kementerian Dalam Negeri, yang dapat diperpanjang, dibekukan, dan dicabut. Birokratisasi panjang akan berlaku tidak hanya kepada Ormas berbadan hukum, tetapi juga kepada Ormas tidak berbadan hukum, misalnya kelompok‐kelompok ekonomi masyarakat yang saat ini tumbuh subur, kelompok pengajian, organisasi kepemudaan, kelompok petani/nelayan/pedagang pasar/buruh, dll (Pasal 16). Untuk mendapatkan “pengakuan negara” dalam bentuk Surat Keterangan Terdaftar (SKT), berbagai organisasi/kelompok harus memenuhi persyaratan memiliki AD/ART atau akta pendirian yang dikeluarkan oleh notaris yang memuat AD/ART; program kerja, kepengurusan, surat keterangan domisili, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), surat pernyataan bukan organisasi sayap partai politik, surat pernyataan tidak dalam sengketa kepengurusan/perkara pengadilan, dan surat pernyataan kesanggupan melaporkan kegiatan. 3 | P a g e
Sementara ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum Perkumpulan diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 12 ayat (4)), mengacaukan sistem hukum, dan mengganggu independensi sistem peradilan Indonesia dalam menentukan keabsahan suatu perikatan termasuk di dalamnya badan hukum. Tidak hanya itu, RUU Ormas juga memandatkan pencabutan Staatsblad 1870‐64 tentang Perkumpulan‐Perkumpulan Berbadan Hukum, yang akan menimbulkan kekosongan hukum bagi badan hukum Perkumpulan.
AturanAturan Yang Terlalu Mendikte Banyak contoh organisasi yang memiliki praktik melampaui persyaratan minimum good governance, akuntabilitas keuangan, dan partisipasi dalam organisasinya. Pemaksaan persyaratan yang sama bagi berbagai bentuk dan ukuran organisasi, justru akan menyulitkan pemenuhan persyaratan tersebut. Misalnya terkait kepengurusan (Pasal 29) akan sulit dipenuhi karena banyak organisasi berukuran kecil di Indonesia yang melakukan rangkap jabatan, serta berbenturan dengan pasal tentang organ yayasan dalam UU Yayasan (UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2001). Mekanisme pengawasan internal (Pasal 54‐56) merancukan aturan dan praktik yang telah dijalankan banyak organisasi, dan lagi‐lagi tumpang tindih dengan UU Yayasan serta UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pasal Larangan yang Multitafsir (Pasal 61) di Bawah Kendali Pemerintah RUU Ormas memuat serangkaian larangan yang berpeluang disalahgunakan sesuai selera penguasa. Organisasi anti korupsi yang sedang menyuarakan upaya penindakan terhadap pejabat publik yang korup bisa saja dianggap sebagai organisasi yang membahayakan keselamatan negara. Organisasi yang mengkampanyekan perlawanan pelanggaran HAM berat kepada dunia internasional, bisa saja dianggap sebagai organisasi yang melakukan kegiatan yang mengancam, mengganggu, dan/atau membahayakan keutuhan dan kedaulatan NKRI. Organisasi yang menerima dana asing, misalnya dari lembaga kerja sama internasional, badan PBB, funding agency, secara kelembagaan atau perorangan, bisa saja dilarang karena dianggap sebagai kaki tangan asing dan bertentangan dengan peraturan perundang‐undangan. Organisasi sosial keagamaan akan dilarang untuk menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas. Pasal larangan ini mengancam keberadaan organisasi sosial keagamaan yang biasa menerima donasi tanpa identitas jelas, dan pada sisi lain bisa mematikan jiwa filantropi masyarakat Indonesia. Berbagai organisasi tersebut sangat mungkin menjadi organisasi terlarang karena melakukan kegiatan yang dilarang.
Pemerintah Memegang Kekuasaan Menjatuhkan Sanksi Bagi Ormas (Pasal 6263) Kekuasaan menjatuhkan sanksi berada di tangan pemerintah (atau pemerintah daerah), mulai dari sanksi administratif berupa teguran, penghentian bantuan atau hibah, hingga sanksi pembekuan (penghentian kegiatan) dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun, pencabutan SKT, dan pencabutan pengesahan badan hukum. Peradilan baru dilibatkan oleh pemerintah (atau pemerintah daerah) pada saat menjatuhkan sanksi pembubaran ormas berbadan hukum.
4 | P a g e
Sanksi akan dijatuhkan bagi ormas yang melanggar kewajiban (Pasal 21) serta larangan (Pasal 61), misalnya tidak memiliki surat pengesahan badan hukum atau tidak memiliki SKT, menganut, mengembangkan, atau menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila diantaranya kapitalisme dan liberalisme, menggunakan nama, bendera, simbol “menyerupai” organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang, atau tanda gambar ormas atau partai politik lain, menerima sumbangan dalam bentuk apapun dari pihak mana pun tanpa identitas yang jelas, atau melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan kewenangan aparat penegak hukum. Ancaman sanksi ini jelas merupakan instrumen rezim otoriter untuk merepresi pertumbuhan organisasi masyarakat sipil sebagai counter balance pemerintah.
5 | P a g e