Siapakah Sesamaku Manusia?: Sebuah Refleksi Atas Masalah Diskriminasi Etnis Tionghoa Di Indonesia Berdasarkan Kisah Orang Samaria Yang Murah Hati Oleh Queency Christie Wauran
Pendahuluan Perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati (Lukas 10:25-37) merupakan salah satu perumpamaan Yesus yang sangat terkenal dalam Alkitab. Menarik karena perumpamaan ini berbicara langsung mengenai hubungan seseorang dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga perumpamaan ini relevan untuk dibahas dari tindakan sosial yang terjadi di masyarakat termasuk salah satunya ialah diskriminasi etnis. Melihat kenyataan yang dihadapi saat ini ialah terdapat kecenderungan praktik diskriminasi yang kental dalam kehidupan sosial masyarakat. Di satu sisi, kita tegas menolak diskriminasi namun pada realitanya entah disadari atau tidak praktik diskriminasi itu tetap ada. Dapat dikatakan bahwa persoalan diskriminasi pada dasarnya dipicu oleh cara seseorang yang salah dalam memandang dan memperlakukan orang lain. Kisah orang Samaria yang murah hati ini sebenarnya disampaikan sebagai jawaban atas pertanyaan seorang ahli Taurat kepada Yesus: “Dan siapakah sesamaku manusia?” (ay. 29). Dengan perumpamaan inilah Yesus membimbing ahli Taurat tersebut sampai kemudian ia menjawab pertanyaannya sendiri: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya” (ay. 37a). Jawaban ini sangat penting.1 Sehingga diharapkan agar jawaban ini akan menuntun seseorang dalam memikirkan realita diskriminasi yang sementara terjadi dalam masyarakat. Memang, pertanyaan yang Timotius Wibowo, “Membaca Kisah Orang Samaria Yang Murah Hati Dengan Kacamata Psikologi Sosial” Veritas 1/2 (Oktober 2000): 223. 1
diajukan ahli Taurat ini dalam motif yang terselubung. Namun pertanyaan ini menggambarkan cara pandang seseorang terhadap orang lain yang nyata dalam tindakannya. Sehingga pertanyaan “Siapakah sesamaku manusia?” juga perlu dijawab oleh orang percaya menanggapi persoalan diskriminasi ini. Memerhatikan realita bangsa Indonesia yang adalah negara multi etnis menyebabkan rentan terjadinya diskriminasi terhadap kaum minoritas misalnya terhadap etnis tertentu. Dalam tulisan ini penulis menyoroti diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Persoalan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa telah menjadi masalah yang kompleks yang dihadapi di dalam bangsa Indonesia. Terdapat masalah yang pelik di antara mereka yang menganggap diri sebagai orang pribumi dengan mereka yang nonpribumi, dalam hal ini etnis Tionghoa. Kembali kepada pertanyaan sang ahli Taurat di atas, pertanyaan ini juga harus dijawab oleh setiap orang, baik pribumi maupun nonpribumi: “siapakah sesamaku manusia?” dalam konteks sebagai bangsa Indonesia? Apakah hanya mereka yang segolongan dengan saya, sesuku dengan saya, ataukah kepada semua orang? Sehingga dengan menjawab pertanyaan ini seseorang setidaknya akan melihat dari perspektif yang benar mengenai persoalan diskriminasi terhadap etnis Tinghoa di Indonesia serta dapat mengambil tindakan yang tepat dalam menyikapi diskriminasi yang terjadi di bangsa ini. Pengertian Diskriminasi Menurut Theodorson & Theodorson, (1979: 115-116) diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Istilah tersebut biasanya akan untuk melukiskan, suatu tindakan dari pihak mayoritas yang dominan
dalam hubungannya dengan minoritas yang lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku mereka itu bersifat tidak bermoral dan tidak demokrasi. Dalam arti tersebut, diskriminasi adalah bersifat aktif atau aspek yang dapat terlihat (overt) dari prasangka yang bersifat negatif terhadap seorang individu atau suatu kelompok.2 Secara praktis diskriminasi adalah aksi-aksi untuk menempatkan individu-individu anggota kelompok lain pada posisi yang merugikan.3 Persoalan Diskriminasi Etnis Tionghoa di Indonesia: Antara Pribumi dan Non-Pribumi Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa telah lama menjadi isu di Indonesia. Hal ini diakibatkan karena keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia pada umumnya masih dianggap sebagai “orang asing”, walaupun sebagian besar telah lahir dan telah menjadi warga negara Indonesia.4 Sehingga muncullah kecenderungan labelisasi antara pribumi dan non-pribumi. Dapat dilihat bahwa hubungan etnis Tionghoa dengan penduduk “pribumi” di Indonesia sendiri tidak jarang diwarnai dengan prasangka. Prasangka merupakan suatu dugaan bahwa pihak lain itu mempunyai ciri yang tidak menyenangkan atau akan melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan kepadanya.5 Sayangnya prasangka tersebut dijelaskan lebih lanjut oleh Darmanto Jatman, timbul di antara dua kelompok sosial yang tidak mengalami komunikasi yang memadai, sehingga
2 James Dananjadja, Diskriminasi Terhadap Minoritas Masih Merupakan Masalah Aktual di Indonesia Sehingga Perlu Ditanggulangi Segera. Diakses 21 April 2016, http://www.lfip.org/english/pdf/baliseminar/Diskriminasi%20terhadap%20minoritas%20-%20james%20danandjaja.pdf 3 Omar Khalifah dan Jefri Sani, “Prasangka Terhadap Etnis Tionghoa di Kota Medan: Peran Identitas Nasional” Psikologia Vol. 8 No. 1 (2013): 26. 4 Sia Kok Sin, “Kisah Leluhur Israel Hidup Sebagai Orang Asing Dalam Perspektif Seorang Etnis Tionghoa (Suatu Contoh Pengaruh Latar Belakang Penafsir Dalam Proses Penafsiran)” Jurnal Teologia Aletheia Vol 7. No. 13 (September 2005): 47. 5 Ibid.
keduanya mengambil sikap berdasarkan informasi-informasi yang tidak akurat bahkan padat sentimen negatif.6 Ketika prasangka mulai timbul dalam hati maka akan mengakibatkan diskriminasi yang merugikan kedua belah pihak baik etnis Tionghoa dan penduduk pribumi. Dalam kaitan dengan penduduk pribumi, prasangka ini berkembang menjadi labelisasi, diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok etnis Tionghoa. Tindakan memotong sumber kehidupan mereka, kerusuhan dan penganiayaan, gerakan-gerakan eksklusif dan pengusiran terjadi. Tidak jarang pula kehadiran etnis Tionghoa di Indonesia dipandang juga sebagai suatu ancaman dan gangguan bagi kehidupan bangsa Indonesia sehingga ada upaya penindasan dan pembasmian dilakukan terhadap mereka. Etnis Tionghoa sebagai orang asing bahkan juga dijadikan kambing hitam.7 Didi Kwartanada mencatat dan menjelaskan dengan detail sejarah daftar panjang konflik yang terjadi dengan etnis Tionghoa, misalnya kekalahan Belanda dan kedatangan Jepang (Maret 1942); kekalahan Jepang dan revolusi kemerdekaan (1945-1950); Peraturan Pemerintah (PP) No.10/1959; Kerusuhan Mei 1963 di Jawa Barat; jatuhnya Presiden Soekarno (1966); Peristiwa Malari (1974); Peristiwa Solo-Semarang (1980), Tanjung Priok (1984); Rengasdengklok (1997), Makassar (September 1997), dan huru-hara Mei 1998.8 Sedangkan di sisi lain dalam kaitan dengan etnis Tionghoa prasangka itu juga berkembang menjadi labelisasi, diskriminasi dan upaya pertahanan diri (ego defense mechanism) yang merugikan penduduk pribumi. Upaya pertahanan diri ini diperlukan 6 Darmanto Jatman, Tabir Gelap Kerusuhan Anti Cina di Indonesia, Antara Prasangka dan Realita. Telaah Kritis Wacana Anti Cina di Indonesia. Disusun oleh Andreas Pardede et.al., (Jakarta: Pustaka Inspirasi, 2002), 121-122. 7 Sia Kok Sin, “Kisah Leluhur Israel Hidup Sebagai Orang Asing Dalam Perspektif Seorang Etnis Tionghoa (Suatu Contoh Pengaruh Latar Belakang Penafsir Dalam Proses Penafsiran)” Jurnal Teologia Aletheia Vol. 7 No. 13 (September 2005), 53-54. 8 Didi Kwartanada, “Minoritas Perantara, Kambing Hitam, Dan Absennya Perlindungan Negara: Kasus Tionghoa Di Indonesia” MAARIF Insitute For Culture And Humanity Vol. 7 No. 1 (April 2012): 129.
untuk dapat bertahan. Upaya pertahanan diri etnis Tionghoa di Indonesia dapat berupa seperti pura-pura memeluk agama mayoritas, berupaya menutupi atau menghilangkan ketionghoaannya, bisnis ali baba, praktik penyuapan, pura-pura miskin, dan lainlainnya.9 Namun dalam segi-segi tertentu, orang Tionghoa di Indonesia tidak jarang menjadi korban (victim), tetapi dalam segi-segi tertentu orang Tionghoa di Indonesia dapat berubah menjadi pembuat korban (victimizer). Dengan keberhasilan ekonomi yang dimilikinya, tidak jarang menjadikan penduduk pribumi sebagai korban. Dalam skala kecil adalah praktik rentenir di perkampungan dan di pedesaan, yang begitu menyengsarakan banyak rakyat kecil. Sedangkan dalam skala besar adalah perpindahan dana secara besar-besaran ke luar negeri oleh para konglomerat yang menjadi besar di Indonesia, yang tentunya mempunyai pengaruh dalam perekonomian Indonesia.10 Melihat realitas yang terjadi, permasalahan diskriminasi etnis Tionghoa memang telah menjadi begitu kompleks. Sebenarnya bukan lagi satu pihak yang mendiskriminasi dan pihak lain didiskriminasikan melainkan kedua-duanya ikut terlibat mendiskriminasi dan didiskriminasi. Untuk menjawab permasalahan etnis yang terjadi di Indonesia dapat diatasi hanya dengan memahami persoalan dan jawaban yang diberikan Allah melalui kebenaran-Nya di dalam firman-Nya. Belajar Dari Kisah Orang Samaria Yang Murah Hati Menanggapi persoalan diskriminasi etnis sebenarnya berangkat dari bagaimana seseorang melihat dan memperlakukan sesamanya. Dalam kisah orang Samaria yang murah hati ini sebenarnya mewakili sikap-sikap yang terwujud dalam masyarakat saat
Sia Kok Sin, “Kisah Leluhur Israel Hidup Sebagai Orang Asing Dalam Perspektif Seorang Etnis Tionghoa (Suatu Contoh Pengaruh Latar Belakang Penafsir Dalam Proses Penafsiran)” Jurnal Teologia Aletheia Vol 7. No.13 (September 2005), 49. 10 Ibid, 53. 9
ini, di mana salah satunya adalah praktik diskriminasi. Bahkan melalui kisah ini jelas Yesus menantang orang percaya untuk menunjukkan kepedulian dan belas kasihan kepada orang tanpa membuat pembedaan. Esler membuktikan bahwa Yesus menantang keseluruhan struktur sosial masyarakat yang membuat pembedaan kelompok dengan memasukkan cerita perumpamaan ini sebagai gambaran dari seorang asing/luar yang dibenci.11 Oleh karena itu, makalah ini berfokus pada analisis masing-masing tokoh serta perannya dalam kisah ini, yang pada akhirnya akan menjelaskan pandangan masingmasing tokoh mengenai siapakah sesamaku manusia. Sehingga dengan bercermin dari kisah orang Samaria yang baik hati, kita dapat melihat, memutuskan, dan menjalankan secara komperehensif perlakuan yang baik, tepat, dan sesuai kepada sesama manusia, baik sebagai pribumi terhadap etnis Tionghoa maupun etnis Tionghoa terhadap penduduk pribumi. Perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati dicatat oleh Lukas (10:2537). Injil Lukas ditulis untuk menjelaskan karya Yesus yang menyelamatkan. Dan menarik karena Injil Lukas lebih berfokus kepada perempuan, anak-anak, dan orangorang yang diabaikan secara sosial, yang penjelasannya tidak ditemukan dalam Injil yang lain. Perumpamaan ini dijelaskan Yesus dalam perjalanannya ke Yerusalem. Esler (2000:342) membuktikan bahwa Yesus menantang keseluruhan struktur sosial masyarakat yang membuat pembedaan kelompok dengan memasukkan cerita perumpamaan ini sebagai gambaran dari seorang asing/luar yang dibenci.12
11
P. F Esler ‘Jesus and the Reduction of Intergroup Conflict: The Parable of the Good Samaritan in the Light of Social Identity Theory”. Dikutip oleh Elma Cornelius. “The Motivation and Limits of Compassion” HTS Theological Studies 69. 1 (Maret 2013), 3. Diakses 20 April 2016, http://dx.doi.org/10.4102/hts.v69i1.1189 12 Esler (2000:342) ‘Jesus and the Reduction of Intergroup Conflict: The Parable of the Good Samaritan in the Light of Social Identity Theory”. Dikutip oleh Elma Cornelius. “The Motivation and Limits
Sikap Ahli Taurat: Siapakah Sesamaku Manusia Pada awal kisah ini, seorang ahli Taurat datang untuk mencobai Yesus. Ia mengajukan pertanyaan mengenai hidup yang kekal (ay. 25). Yesus menjawabnya dengan bertanya apa yang dibacanya dari hukum Taurat (ay. 26). Ahli Taurat ini menjawab dengan benar mengenai Perintah Utama yaitu mengasihi Allah dan juga mengasihi sesama manusia (ay. 27). Yesus memuji jawabannya tersebut, namun Ia melanjutkan dengan “perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup” (ay. 28). Perkataan Yesus ini sebenarnya untuk menunjukkan bahwa ia belum melakukan hal itu, bahkan ia sebenarnya tidak mampu melakukannya dengan kekuatannya sendiri. Respons ahli Taurat ini bukannya mengakui pernyataan Yesus melainkan ia ingin membenarkan dirinya dengan mengajukan pertanyaan lagi, “siapakah sesamaku manusia?” (ay. 29). Atas pertanyaan inilah Yesus menjelaskan kisah orang Samaria yang murah hati. Ahli Taurat ini menunjukkan sikap yang kurang baik dalam cerita ini. Bukannya ingin diberi pengajaran oleh Yesus, dia malah mencobai-Nya. Penjelasan mengenai hukum Taurat yang dijelaskannya menunjukkan bahwa ia mengetahui dengan baik isi Hukum Taurat. Namun tidak cukup sampai mengetahui saja, seseorang perlu mempraktikkan apa yang diketahuinya. Inilah yang tidak dimiliki oleh ahli Taurat ini. Sikap berusaha membenarkan diri tidaklah baik. Membenarkan diri menunjukkan seseorang ingin mengelak dari tanggungjawab dan kesalahan yang dibuat atau belum dilaksanakannya sekaligus menunjukkan sikap yang tidak mau tidak mau disalahkan. Korban: membutuhkan pertolongan Yesus memulai penjelasannya dengan menggambarkan seseorang yang mengalami peristiwa tragis dirampok habis-habisan, dipukuli dan ditinggalkan dalam of Compassion” HTS Theological Studies 69. 1 (Maret 2013), 3. Diakses 20 April 2016, http://dx.doi.org/10.4102/hts.v69i1.1189
keadaan yang kritis, hampir mati oleh para penyamun (ay. 30). Orang ini berjalan dari Yerusalem ke Yerikho. Dan sangat jelas bahwa orang ini membutuhkan pertolongan. B. J. Boland menjelaskan mengenai orang yang menjadi korban ini bahwa ia bisa saja seorang Yahudi. Namun adalah lebih baik untuk mengatakan tidaklah penting untuk mengetahui bangsa atau suku orang itu. Yang pasti ia berusaha mempertahankan dirinya dari para penyamun itu sehingga kondisinya dipukuli setengah mati.13 Posisi orang ini pada waktu itu adalah sangat membutuhkan pertolongan dengan segera. Dijelaskan bahwa orang ini dalam keadaan hampir mati. Sikap Para Penyamun: Merampok Para penyamun yang merampok orang ini sangatlah kejam. Setelah merampok kepunyaan orang tersebut, memukulinya, dan meninggalkannya dalam keadaan setengah mati (ay. 30). Matthew Henry menulis kita boleh saja merasa marah terhadap penyamun yang tidak memiliki perikemanusiaan sama sekali. Namun pada saat yang sama kita tidak bisa tidak juga patut berbelas kasihan terhadap orang-orang yang jatuh ke dalam tangan orang-orang yang begitu jahat dan tidak berakal seperti itu.14 Para penyamun ini jelas adalah tidak baik dan tidak bertanggungjawab. Mereka merampok dan meninggalkan orang itu setengah mati. Seorang Imam: Mengabaikan Selanjutnya kisah ini memperlihatkan seorang imam yang turun melewati jalan yang sama. Namun respons imam tersebut bukanlah menolong melainkan melewatinya dari seberang jalan (ay. 31). Imam ini tidak mau mengambil risiko untuk menolong orang yang hampir mati ini karena alasan kekudusan sebab ia melayani di Bait Allah. William Barclay menjelaskan bahwa tidak dapat diragukan imam ini mengingat akan ketentuan bahwa barangsiapa menyentuh orang mati maka ia akan menjadi najis selama 13 14
B. J. Boland, Tafsiran Alkitab Injil Lukas (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 271. Matthew Henry. Tafsiran Matthew Henry Injil Lukas 1-12 (Surabaya: Momentum, 2009), 368-369.
tujuh hari (Bil. 19:11). Sehingga ia menempatkan kewajiban-kewajiban seremonialnya jauh di atas kharitas, yaitu melayani orang yang malang itu.15 Faktanya adalah karena alasan keagamaannya dan untuk keamanan diri sendiri membuat ia bahkan juga orang Lewi memutuskan untuk tidak menolong orang yang terluka itu. Bukan berarti bahwa mereka kurang kasih atau belas kasihan melainkan mereka mengambil sikap untuk tidak menolong. Memilih untuk melewati dari seberang jalan jelas menunjukkan tindakan mereka yang tidak ingin terlibat.16 Jadi, sikap imam ini ialah mengabaikan. Seorang Lewi: Mencari Posisi Aman Bukan hanya imam saja yang lewat melainkan juga ada seorang Lewi. Berbeda dengan imam itu, orang Lewi itu bukan hanya lewat, menoleh kepada kepadanya, melainkan ia datang dan melihat orang yang terluka itu (ay. 32). Orang Lewi itu adalah seorang yang mempunyai semboyan pertama-tama keamanan diri.17 Iapun tidak mengambil risiko untuk menolong orang lain. Sungguh menyedihkan bila orang yang seharusnya menjadi teladan kemurahan hati justru berprilaku sangat jahat. Mereka yang harusnya menunjukkan rahmat Allah dan menyatakan belas kasihan terhadap orang lain, malah menahan diri.18 Sikap orang Lewi ini adalah tidak memedulikan mereka yang memerlukan pertolongan. Ia tidak mau pusing dengan masalah orang lain sama seperti imam. Sekalipun ia datang melihat ke korban namun ia juga memutuskan tidak menolong dan pergi mengambil jalan yang lain. Jadi, sikap orang Lewi ini dapat dikatakan mencari posisi aman saja dan pergi.
15
201.
16
William Barclay. Pemahaman Alkitab Setiap Hari Lukas (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 200-
Elma Cornelius. “The Motivation and Limits of Compassion” HTS Theological Studies 69. 1 (Maret 2013), 3. Diakses 20 April 2016, http://dx.doi.org/10.4102/hts.v69i1.1189 17 William Barclay. Pemahaman Alkitab Setiap Hari Lukas (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 201. 18 Matthew Henry, Tafsiran Matthew Henry Injil Lukas 1-12 (Surabaya: Momentum, 2009), 369.
Seorang Samaria: Orang Asing Yang Peduli Berbeda kontras dengan apa yang ditunjukkan oleh seorang Samaria yang dalam melewati daerah itu dalam perjalanannya. Orang Samaria ini tergerak oleh belaskasihan, yang diabaikan oleh imam dan orang Lewi. Ia berhenti dan tidak hanya melihat orang itu saja melainkan ia datang dan membalut lukannya, memberikan pertolongan pertama dengan menyirami dengan minyak dan anggur. Lalu ia menaikkan ke atas keledai tunggangannya dan membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya (ay. 33-34). Belas kasihan orang Samaria menggerakkannya bukan hanya sampai membawa ke tempat penginapan untuk perawatan melainkan ia melakukan lebih dengan memberikan uang kepada pemilik penginapan. Uang sebanyak dua dinar sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk perawatan orang tersebut. Bahkan ia pun menunjukkan kepeduliannya dengan berjanji mengembalikan uang jika biayanya melebihi apa yang diberikannya (ay. 35). Orang yang baik dalam perumpumaan ini mungkin sebenarnya adalah orang Yahudi tetapi Yesus menyusun sebuah skenario untuk mempermalukan penanyanya dengan membuat orang yang baik adalah seorang Samaria, yang berasal dari etnik luar atau orang luar.19 Justru orang Samaria ini yang adalah orang asinglah yang menolong orang yang terluka ini. Seorang asing yang peduli. Yesus: Siapakah di antara ketiga orang ini adalah sesamamu manusia? Menarik bahwa cara Yesus menjawab pertanyaan ahli Taurat ini tidaklah dengan menjawab berdasarkan pihak imam, orang Lewi, dan orang Samaria itu, maka orang yang kena samun di pinggir jalan itu adalah sesama mereka. Dan Yesus juga tidak berkata bahwa semua orang adalah sesamamu. Melainkan Yesus membalikkan
19
Elma Cornelius. “The Motivation and Limits of Compassion” HTS Theological Studies 69. 1 (Maret 2013), 3. Diakses 20 April 2016, http://dx.doi.org/10.4102/hts.v69i1.1189
pertanyaan ahli Taurat tersebut dengan bertanya, “Siapakah dari ketiga orang itu yang bertindak sebagai sesamanya terhadap orang itu?” Maka kebenaran yang terkandung dalam cerita ini dijawab sendiri oleh ahli Taurat itu bahwa sesamanya adalah orang yang menunjukkan belas kasihan kepadanya. (ay. 36-37). Meskipun ia tidak menjawab langsung orang Samaria itu, namun ia telah menyatakan bahwa orang Samaria itulah yang adalah sesama yang baik bagi orang itu. Yesus kemudian memberikan kesimpulan akhir yang merupakan salah satu bagian yang berkesan dari kisah ini: “pergilah dan perbuatlah demikian.” Kalimat ini adalah menyatakan bahwa pelajaran yang diterima oleh ahli Taurat ini harus dilakukan. Matthew Henry menjelaskannya dengan baik. Yesus seakan berkata: “Oleh sebab itu pergilah dan perbuatlah seperti yang dilakukan oleh orang Samaria itu, bila mendapat kesempatan: tunjukkanlah belas kasihan kepada orang-orang yang membutuhkan pertolongan, dan lakukanlah dengan cuma-cuma, serta dengan penuh kepedulian dan rasa kasih, meskipun mereka tidak sebangsa dan seagama denganmu, atau sependapat dan sekelompok dalam bidang iman kepercayaanmu. Biarlah kemurahan hatimu meluas sebelum engkau membangga-banggakan diri telah menjalankan perintah utama mengasihi sesamamu manusia.”20
Pergilah dan perbuatlah demikian menyatakan kewajiban semua orang di mana pun ia berada, untuk menolong orang yang membutuhkan sesuai dengan kemampuannya tanpa memerhatikan latar belakang orang tersebut. Perkataan Yesus ini jelas berlaku bagi kita yang hidup pada masa kini. Implikasi Pengajaran Orang Samaria Yang Murah Hati Terhadap Diskriminasi Etnis Tionghoa Di Indonesia Sikap Terhadap Diskriminasi: Pelaku, Korban Atau Pengamat? Dengan memerhatikan tokoh-tokoh penting dalam cerita orang Samaria yang murah hati ini dapat dilihat bahwa sebenarnya sikap dari tokoh-tokoh tersebut
20
Matthew Henry, Tafsiran Matthew Henry Injil Lukas 1-12 (Surabaya: Momentum, 2009), 373-374.
mewakili sikap-sikap baik dari sisi pribumi maupun etnis tionghoa sendiri yang menyebabkan terjadinya masalah diskriminasi etnis Tionghoa di Indonesia. Pertama, sikap ahli Taurat tersebut ingin membenarkan dirinya padahal kenyataannya ia belum melaksanakan Hukum Taurat itu, bahkan ia sendiri sebenarnya belum memahami Hukum Terutama itu. Berkaitan dengan persoalan diskriminasi, sikap ini kadang dimiliki baik oleh orang pribumi maupun oleh etnis Tionghoa sendiri. Kedua pihak merasa dirinya benar dan mempersalahkan pihak yang lain. Di sinilah muncul prasangka-prasangka. Akibatnya mulai ada pemberian label untuk membedakan golongan mereka dengan golongan yang lain. Dengan demikian keduanya sebenarnya telah mempraktikkan diskriminasi. Pada akhirnya muncullah istilah pribumi dan orang Tionghoa. Sikap ini jelas tidak benar. Perumpamaan orang Samaria yang murah hati inilah yang menjadi jawaban bagaimana seharusnya seseorang memandang orang lain. Kedua, sikap korban dalam cerita orang Samaria yang murah hati menunjukkan bahwa ia tidak berdaya untuk menolong dirinya sendiri dan ia membutuhkan pertolongan dari siapapun yang lewat jalan tersebut. Tentu saja sang korban ini tidak akan memilih-milih siapa yang akan menolongnya. Sehingga persoalan siapakah orang yang menolong tidak menjadi masalah baginya. Berkaitan dengan diskriminasi etnis, korban diskriminasi jelas perlu ditolong. Pada dasarnya perlakuan diskriminasi ini perlu ditindak tegas. Masalah yang dihadapi adalah seringkali korban diskriminasi etnis itu telah berpasrah diri akan keadaannya sehingga secara tidak langsung membiarkan diri mereka didiskriminasi. Sikap membiarkan diri tersebut kadangkala lebih memperkuat tindakan diskriminasi. Bahkan seseorang dapat bertindak sebagai pelaksana diskriminasi sekaligus korban diskriminasi. Di sisi lain, pertolongan ini seharusnya datang dari pihak mana saja dengan motivasi yang benar. Tanpa harus menunggu orang dari kalangan pribumi ataupun orang Tionghoa sendiri yang datang menolong
menghadapi isu diskriminasi ini. Karena semua orang adalah sesama maka adalah kewajiban semua orang untuk saling membantu. Ketiga, sikap penyamun ini menggambarkan pelaku diskriminasi. Tindakan kekerasan terhadap orang yang lemah, merampok habis-habisan, memukuli dan meninggalkannya setengah mati. Tindakan ini menunjukkan sikap tidak menghargai dan menghormati seseorang sebagai manusia yang seharusnya diperlakukan dengan baik. Bukankah ini yang tercatat dalam sejarah gelap perlakuan kekerasan terhadap etnis Tionghoa? Bagaimanapun juga diskriminasi tidak bisa dibenarkan dalam cara apa saja. Sikap ini hanya akan membuat daftar panjang masalah yang akan sulit diselesaikan. Keempat, sikap seorang imam yang mengabaikan orang yang memerlukan pertolongan itu. Sebagai imam ia telah melupakan tugasnya untuk melayani orang lain yang kesusahan, dan lebih mementingkan ritual-ritual keagamaan. Ia menghindari menolong orang tersebut karena alasan yang mungkin kedengarannya rohani. Namun pada saat itu, orang tersebut benar-benar membutuhkan pertolongan, sedangkan imam ini memutuskan untuk menghindari orang tersebut dengan hanya berjalan melewati orang itu. Berkaitan dengan diskriminasi, imam digambarkan sebagai pemimpin yang bertanggungjawab atas umatnya, namun kenyataannya meninggalkan kaum yang lemah dalam hal ini kaum minoritas seperti etnis Tionghoa. Apabila pemimpin (imam) hanya menjadi pengamat atau penonton atas terjadinya diskriminasi etnis berarti mereka adalah pemimpin yang tidak bertanggungjawab atas peristiwa penindasan terhadap kaum lemah. Sebagai pemimpin, maka ada tangggungjawab untuk menolong atau bertindak atas masalah ini. Kelima, kaum Lewi digambarkan sebagai orang yang aktif dalam kegiatan kerohanian yang tentunya sudah mengalami kasih Kristus di dalam komunitas. Namun seringkali karena tidak mau mengambil risiko untuk membantu kaum lemah kadangkala
hanya berkata “Mari kita mendoakan mereka, kiranya Tuhan memberkati dan menolong kesusahan mereka.” Lewi digambarkan sebagai Kristen yang sudah melayani umat Tuhan, namun mereka tidak sepenuhnya mengaplikasikan perbuatan kasih itu keluar dari gereja. Sesama manusia perlu mengalami kasih yang disalurkan dari gereja melalui orang-orang yang melayani Tuhan dan mengaku sebagai orang Kristen. Melihat orang yang tertindas, mengalami penganiayaan, dan kehilangan hidup bebas karena keadaan diskriminasi harusnya menggugah hati nurani pelayan Tuhan untuk menolong sesamanya. Lewi sama halnya dengan imam hanyalah pengamat atau penonton terhadap ketidakadilan yang terjadi. Sebagai pemimpin gereja dan orang yang dipimpin kehilangan identitas diri sebagai murid Kristus. Keenam, orang Samaria ini telah diajar untuk menghormati semua orang. Orang Samaria adalah golongan yang berbeda dengan golongan Yahudi. Mereka dianggap sebagai kasta yang terendah dalam pemikiran orang Yahudi, namun dalam gambaran ini justru menerapkan kasih Kristus terhadap sesamanya. Craig A. Evans dalam bukunya Understanding The Bible Commentary Series Luke menekankan bahwa mengasihi sesama adalah perintah yang diterapkan secara universal dan tidak selektif. Perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati menunjukkan bahwa semua orang sekalipun miskin, minoritas, maupun orang rendahan layak menerima kemurahan Tuhan.21 Kemurahan Tuhan itu nyata tampak dari dalam hati orang percaya yang mengasihi Tuhan dan sesamanya. Bukannya membeda-bedakan yang berujung pada praktik diskriminasi.
Craig A. Evans, Understanding The Bible Commentary Series Luke (Grand Rapids, Michigan: Baker Books, 2011), 177. 21
Konteks Masa Yesus dan Kekinian Pada zaman Yesus terjadi gelombang non-Yahudi ke Israel. Israel berfungsi sebagai jembatan bagi bangsa-bangsa, dan setiap hari bangsa Yahudi bergaul akrab dengan orang-orang asing.22 Ahli Taurat ini kemudian bertanya kepada Yesus, “Siapakah sesamaku manusia?” Orang Yahudi hidup di dalam dunia sekuler: dirinya adalah pusat, dikelilingi oleh kerabat dekatnya, kemudian sanak keluarganya, dan akhirnya lingkaran dari mereka semua yang menyatakan diri keturunan orang Yahudi dan ditobatkan ke Yudaisme. Kata neighbor (sesama) memiliki arti timbal balik: dia adalah saudara bagiku dan aku adalah saudaranya. Jadi lingkaran tersebut ada hubungannya dengan kepentingannya dan etnosentrisme. Garis tersebut ditarik dengan hati-hati untuk menjamin mereka yang berada di dalam lingkaran dalam keadaan baik dan menolak untuk memberikan bantuan kepada mereka yang berada di luar lingkaran.23 Sikap yang ditunjukkan oleh orang Yahudi nyata tampak diskriminasi terhadap orang asing lainnya yang ada disekitar mereka. Konteks ini hadir juga dalam kehidupan kekinian di mana begitu banyak etnis di Indonesia, namun yang menjadi sasaran objek SARA adalah kebanyakan etnis Tionghoa. Demikian dalam konteks perumpamaan yang mengangkat orang Yahudi dan orang Samaria. Orang Yahudi mewakili orang yang jumlahnya mayoritas dan disebut pribumi dan orang Samaria mewakili orang yang minoritas atau etnis Tionghoa. Konteks kekinian dalam pembauran etnis Tionghoa dengan pribumi yang dipengaruhi oleh perkawinan, budaya dan agama memberikan dampak positif dan juga dampak negatif. Tantangan berikutnya ketika perjumpaan etnis Tionghoa dan kekristenan melibatkan genre baru yaitu berbau agamis dan rentan konflik atas nama agama. Tetapi seharusnya
Orang Samaria Yang Murah Hati, diakses 21 April 2016, http://www.sarapanpagi.org/25-orangsamaria-yang-murah-hati-vt1699.html 23 Ibid. 22
perjumpaan kekristenan dengan etnis Tionghoa menghadirkan dimensi Kerajaan Allah yang memulihkan, menyembuhkan, dan memberdayakan. Sesuai kisah Orang Samaria yang baik hati maka cara seseorang melihat dan menanggapi orang lain akan menentukan sikapnya terhadap orang tersebut. Cara pandang yang benar terhadap orang lain akan menghasilkan suasana kedamaian dan dengan demikian akan mengurangi praktik diskriminasi etnis di Indonesia. Sikap orang Tionghoa menanggapi diskriminasi kaumnya tidaklah dengan membenarkan diri tetapi menunjukkan belas kasihan. Bukan saling menyalahkan siapa yang salah, siapa yang benar. Siapa yang memulai, siapa yang merespons. Siapa yang kalah, siapa yang menang. Mengetahui bahwa mengasihi itu kehendak Tuhan belumlah mengasihi. Mengetahui dan menyatakannya kepada Tuhan dan sesama barulah dinamakan mengasihi. Orang Samaria bisa saja adalah orang pribumi yang menolong sesamanya termasuk dalam hal ini etnis Tionghoa ataupun sebaliknya ketika etnis Tionghoa sebagai mayoritas ataupun minoritas membela hak etnis lainnya. Bagaimana sikap pribumi dan etnis Tionghoa sendiri? Maka kuncinya adalah belas kasihan. Mengasihi Sesama Manusia Kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama itu tidak boleh dipisahkan satu sama lain, dan yang lain tidak boleh menggantikan yang lain; seorang percaya tidak dapat mengasihi Allah dan membenci sesamanya, dan kasih kepada sesama itu tidak bisa lepas dari kepercayaan kepada Allah yang telah mengasihi lebih dahulu. John Legg mengutip pernyataan Norval Geldenhuys dalam komentarnya bahwa Yesus mengajarkan tentang mengasihi sesama yang tidak dibatasi oleh kebangsaan atau apapun, tidak peduli siapapun mereka bila kita sungguh mengasihi Allah, maka kita juga akan mengasihi mereka dan akan menunjukkan kasih itu kepada siapapun yang
membutuhkan pertolongan tanpa memandang siapa mereka dan dari mana mereka.24 Dalam hal in Yesus menyatakan kepada orang Yahudi bahwa sebenarnya sesamanya itu bukanlah orang Yahudi saja melainkan semua orang yang membutuhkan kasih-Nya. Karena pada masa Yesus sebenarnya “sesama manusia” yang dimaksud oleh ahli Taurat itu sebelumnya adalah sesama orang Yahudi saja. Dengan demikian Yesus juga menyatakan kepada orang percaya masa kini bahwa sesama manusia bukan hanya golongan tertentu saja, suku tertentu saja, daerah tertentu saja atau berdasarkan pembedaan-pembedaan yang dibuat, melainkan sesama manusia adalah semua orang tanpa mempedulikan asal, golongan, ataupun latar belakangnya. Semua orang percaya bertanggungjawab untuk saling mengasihi, menolong satu dengan lainnya.Bahkan Yesus menghendaki adanya hubungan yang lebih dalam daripada sekadar menolong sesama. Hubungan yang terbangun dengan sesama tidak sekadar memberi pertolongan, tetapi lebih lagi menyatakan kasih Kristus melalui orang yang mengasihi. Mengasihi sesama yang dimaksud oleh Yesus memiliki makna mendalam yang hanya dapat dipahami apabila orang percaya melakukan hukum yang terutama yaitu mengasihi Tuhan (Mat. 22:37-40; Kel. 20:2-6). Selanjutnya, Yesus pada masanya bertanya “Siapakah sesama kita?” dan saat itu pula Dia menggambarkannya dengan perumpamaan orang Samaria yang baik hati. Saat ini Yesus bukan hanya bertanya siapa sesama kita saja karena setiap orang percaya sudah mengetahui jawabannya. Tetapi pertanyaan pada saat ini juga adalah “Sudahkah kita menjadi sesama bagi orang lain?”
John Legg. “So Who Is My Neighbor?” Foundations An International Journal of Evangelical Theology 61.2 (Autumn 2011): 25. 24
Sudahkah Kita Menjadi Sesama Bagi Orang Lain? Perumpamaan orang Samaria yang murah hati sebenarnya menegaskan pengajaran Yesus tentang sikap yang harus dibangun oleh orang Kristen terhadap sesama. Yesus menanggapi melalui belaskasihan realitas kehidupan yang ditandai dengan berbagai pergumulan sosial dari orang-orang yang terpinggirkan, kaum miskin, kaum menderita, kaum perempuan dan anak-anak, bahkan kepada kaum atau bangsa yang dianggap kafir oleh orang Yahudi.25 Pertanyaan “siapakah sesamaku?” dengan sendirinya dipecahkan apabila kita sungguh-sungguh mau menjadi “sesama” terhadap orang lain dan bertindak sebagai “sesama”
terhadap
orang
lain.
Dalam
hal
ini
akan
nyata
bahwa
segala
diskriminasi/pembedaan berdasarkan perbedaan dalam suku, bangsa, ras, agama, kebudayaan, dan seterusnya adalah berlawanan dengan apa yang dimaksud Yesus. Perintah untuk mengasihi sesama kita atau perintah untuk menjadi sesama bagi orang lain, tidaklah hanya berlaku di kalangan orang-orang yang merupakan orang-orang sesuku, sebangsa, seiman, separtai dan sebagainya, tetapi menghubungkan kita dengan sesama manusia kita.26 Yesus justru telah menghargai hak orang lain dengan membela kebebasan orang lain untuk mendapat keadilan yang pada zaman ini dikenal sebagai human rights (Hak-hak asasi manusia). Sebagaimana Paulus menulis, “Kasih menutupi segala sesuatu (1 Kor. 13:7) dan siapa yang mencintai keadilan dan membenci kefasikan maka Allah akan mengurapi dia akan melebihi sahabat-sahabatnya (Mzm. 45:7; Ibr. 1:9). Maka sikap ini dapat menjadikan orang percaya memahami arti kata “sesama”. Harus mulai dengan menjadi “sesama” dan bertindak sebagai “sesama” terhadap orang lain, dengan tidak
I Made Suardana. “Identitas Kristen Dalam Realitas Hidup Berbelaskasihan: Memaknai Kisah Orang Samaria Yang Murah Hati” Jurnal Jaffray Vol. 13 No. 1 (April 2015): 125-126. 26 B. J. Boland, Tafsiran Alkitab Injil Lukas (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 274. 25
mempersoalkan siapa dan di mana “sesama” kita itu. Kasih kepada sesama itu tidak hanya terdiri dari perasaan luhur dan perkataan yang muluk-muluk, tetapi harus menjadi nyata dalam perbuatan praktis. Dan dalam hal ini tidak boleh dibuat perbedaan antara golongan sendiri dan “orang-orang luar” sebab kata “sesama” itu harus diartikan sebagai sesama manusia.27 Orang yang darinya kita butuh perbuatan baik mereka dan yang siap membantu kita dengan perbuatan baiknya itu, tidak bisa tidak harus kita anggap sebagai sesama manusia kita. Dan sama halnya juga orang yang memerlukan perbuatan baik kita dan yang perlu kita bantu dengan kebaikan hati kita, meskipun mereka bukan sebangsa dan seagama dan sesuku dengan kita.28 Persoalan diskriminasi etnis Tionghoa terjadi akibat respons kaum minoritas dan mayoritas dalam hal tidak menunjukkan sikap yang mengasihi sesama. Pola pikir yang terbangun atas dasar etnis dan kesamaan menyebabkan terjadinya perbedaan yang berakibat pada konflik dan diskriminasi. Baik etnis Tionghoa dan pribumi harus menempatkan diri sebagai subjek dan sekaligus objek untuk memahami posisi lebih nyaman dan aman dan demikian juga sebaliknya memahami keadaan tidak dan tidak aman. Sebagai orang percaya memahami kata “sesama” dalam pandangan kacamata Allah yang melihat ciptaan-Nya serupa dengan gambar Allah. Melalui sikap orang percaya menjadi sesama dan melakukan sebagaimana yang kita inginkan orang lain atau sesama untuk perbuat bagi kita. Kesimpulannya adalah: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat. 7:12). Implikasi berikutnya untuk mengasihi sesama adalah mengasihi musuh kita (Mat. 5:44). Diskriminasi etnis Tionghoa terjadi karena respons balik yang diberikan oleh etnis Tionghoa adalah menghindar dan bersikap pasif. Sikap pasif hanyalah meredam 27 28
B. J. Boland, Tafsiran Alkitab Injil Lukas (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 275. Matthew Henry, Tafsiran Matthew Henry Injil Lukas 1-12 (Surabaya: Momentum, 2009), 367.
dan akan menyebabkan peristiwa serupa terjadi kembali di masa depan. Tetapi sikap aktif dengan respons mengasihi sesama sekalipun itu dianggap “musuh” dengan memberikan kebahagiaan kepada orang yang terluka (kebencian, iri dan sakit hati) dengan merawat, mengobati dan berempati justru akan membawa kesembuhan trauma dan paradigm baru dalam melihat persoalan diskriminasi etnis di Indonesia. Orang Samaria yang berjalan jauh dari Yerusalem ke Yerikho dan berjumpa dengan korban yang diabaikan oleh pemimpin gereja, pelayan gereja dan orang lain yang hanya simpati kepadanya dibasuh olehnya. Suatu pertunjukan dan keberanian yang ekstrim saat ini untuk menujukkan bahwa dia dan korban itu adalah sesama. Sehingga orang percaya harus membawa kebaikan dan menghormati sesama sebagai gambar dan rupa Allah. Gereja bertanggungjawab sebagai imam dan Lewi untuk memberikan teladan kepada jemaat Tuhan untuk berbuat kebenaran melalui kasih yang Yesus sudah ajarkan dalam perumpamaan Good Samaritan yang berjalan dari Yerusalem ke Yerikho menggambarkan perjalanan yang panjang menjadi seorang Samaria yang baik hati. Yesus menghendaki belas kasihan dan bukan persembahan. Sesama manusia tidak menghendaki kebahagiaan dalam bentuk materi namun dalam bentuk kasih yang diwujudkan dengan hubungan yang mendalam atas dasar belas kasihan (compassion). Gereja memiliki beban di hati mereka untuk mengasihi sesama mereka dengan tindakan aktif, berinteraksi dengan masyarakat, dan menyatakan kasih dengan kesungguhan hati, memberikan dukungan dana dalam memerhatikan sesama yang miskin, mengalami diskriminasi, ketidakadilan dan kefasikan manusia. Penutup Terlepas dari apakah kita adalah orang pribumi ataupun etnis Tionghoa ataupun etnis yang lain, kita dapat saja memainkan peran apakah sebagai ahli Taurat, korban,
para penyamun, seorang iman, seorang Lewi, maupun sebagai orang Samaria yang murah hati. Hendaklah sikap kita sama seperti orang Samaria yang murah hati. Sebagai orang percaya maka kita wajib untuk memperlakukan orang lain (sesama) sebagaimana cara Yesus memandang mereka: mengasihi mereka. Sehingga pada akhirnya tidak ada lagi orang Tionghoa atau orang pribumi, orang Makassar atau orang Bugis, orang Batak atau orang Manado, yang ada hanyalah orang Indonesia, warga Indonesia yang berjuang untuk kepentingan, keamanan, kesejahteraan bangsa Indonesia demi kemuliaan nama Tuhan. Kepustakaan Barclay, William. Pemahaman Alkitab Setiap Hari Lukas. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996. Boland, B. J. Tafsiran Alkitab Injil Lukas. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003. Burhan, Omar Khalifah dan Jefri Sani, “Prasangka Terhadap Etnis Tionghoa di Kota Medan: Peran Identitas Nasional” Psikologia Vol. 8 No. 1 (2013): 25-33. Cornelius, Elma. “The Motivation and Limits of Compassion” HTS Theological Studies 69. 1 (Maret 2013), 1-7. Diakses 20 April 2016, http://dx.doi.org/10.4102/ hts.v69i1.1189 Dananjadja, James. Diskriminasi Terhadap Minoritas Masih Merupakan Masalah Aktual di Indonesia Sehingga Perlu Ditangulangi Segera. Diakses 21 April 2016, http://www. lfip.org/english/pdf/bali-seminar/Diskriminasi%20terhadap%20 minoritas% 20%20james%20danandjaja.pdf. Evans, A. Craig. Understanding The Bible Commentary Series Luke. Grand Rapids, Michigan: Baker Books, 2011. Henry, Matthew. Tafsiran Matthew Henry Injil Lukas 1-12. Surabaya: Momentum, 2009.
Jatman, Darmanto. Tabir Gelap Kerusuhan Anti Cina di Indonesia, Antara Prasangka dan Realita. Telaah Kritis Wacana Anti Cina di Indonesia. Disusun oleh Andreas Pardede et.al., (Jakarta: Pustaka Inspirasi, 2002), 121-122. Diakses 21 April 2016, http://sttaletheia.ac.id/wp-content/uploads/2012/08/vol.7-No.13_2005.pdf. Kwartanada, Didi.“Minoritas Perantara, Kambing Hitam, dan Absennya Perlindungan Negara: Kasus Tionghoa Di Indonesia” MAARIF Insitute For Culture and Humanity Vol. 7 No. 1 (April 2012): 129-145. Legg, John.“So Who Is My Neighbor?” Foundations An International Journal of Evangelical Theology 61. 2 (Autumn 2011), 24-30. “Orang Samaria Yang Murah Hati.” Diakses 21 April 2016, http://www.sarapanpagi.org/ 25-orang-samaria-yang-murah-hati-vt1699. Sin, Sia Kok.“Kisah Leluhur Israel Hidup Sebagai Orang Asing Dalam Perspektif Seorang Etnis Tionghoa (Suatu Contoh Pengaruh Latar Belakang Penafsir Dalam Proses Penafsir . Jurnal Teologia Aletheia Vol 7. No.13 (September 2005), 15-60. Suardana, I Made. “Identitas Kristen Dalam Realitas Hidup Berbelaskasihan: Memaknai Kisah Orang Samaria Yang Murah Hati” Jurnal Jaffray Vol. 13 No. 1 (April 2015): 125-126. Wibowo, Timotius. “Membaca Kisah Orang Samaria Yang Murah Hati Dengan Kacamata Psikologi Sosial” Veritas 1/2 (Oktober 2000): 223-230.