44
V. Penutup Setelah pembahasan pada Bab sebelumnya mengenai produksi, pemasaran dan pendapatan petani kakao di Desa Peleru Kecamatan Mori Utara Kabupaten Morowali, maka pada bagian penutup ini disajikan hasil penelitian dan kesimpulan, keterbatasan penelitian dan saran untuk penelitian selanjutnya. 5.1. Hasil Penelitian dan Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bagian sebelumnya (Bab IV) maka dipeloleh hasil penelitian dan kesimpulan sebagai berikut: 5.1.1. Hasil Penelitian a) Produksi Hasil penelitian dari aspek produksi menunjukan bahwa: 1. Pada proses penanaman hanya sebagian kecil (23,33%) petani responden yang mengetahui jenis kakao yang mereka tanam, sedangkan selebihnya tidak mengetahui jenis kakao yang mereka tanam. 2. Dengan luas lahan ≤ 2 Ha, sebagian besar petani kakao Desa Peleru menggunakan pupuk urea sebagai pupuk utama dengan rata-rata penggunaan 208 kg/Ha per tahun. 3. Karena serangan berbagai jenis penyakit dan hama seperti busuk buah, mati pucuk, jamur batang, dan serangan hama penggerek (batang, buah dan daun) maka petani (97%) melakukan penyemprotan dua kali dalam sebulan dengan menggunakan 1-2 liter pestisida dalam satu kali penyemprotan. 4. Musim panen kakao Desa Peleru dilakukan dalam dua musim yaitu musim panen raya yang dilakukan antara bulan April-Juni dan panen semester (antara) dilakukan antara bulan Agustus- November dengan rata-rata dua kali panen dalam sebulan.
45
5. Sehubungan dengan proses produksi kakao, ditemukan bahwa petani Desa Peleru belum melakukan beberapa proses produksi yang cukup penting untuk menghasilkan biji kakao yang berkualitas seperti proses fermentasi (pemeraman biji setelah di pisah dari kulit) yang cukup, pencucian biji, dan sortasi. Karena itu peneliti mengusulkan agar petani memperhatikan dan melakukan sistem produksi yang lebih baik sehingga menghasilkan ouput berupa biji kakao yang memiliki kualitas tinggi seperti mengurangi pemakaian dosis pestisida yang terlalu tinggi, menggunakan pupuk yang cukup (organik maupun nonorganik), dilakukannya proses pencucian biji, fermentasi dan sortasi pada biji kakao. Dengan demikian kualitas biji kakao di Kabupaten Morowali dapat bersaing dengan kakao di kabupaten lainnya bahkan dengan kualitas kakao di tingkat internasional. 6. Rata-rata petani Desa Peleru memiliki luas perkebunan kakao ≤ 2 Ha dengan lama bertani 10-20 tahun. Rata-rata produksi kakao petani responden pada waktu penelitian (panen raya dan panen semester) adalah 1,6 ton per tahun. 7. Biaya produsksi atau pengeluaran petani responden dalam mengusahakan perkebunan kakao rata-rata mencapai Rp. 9.056.000 per tahun dengan pengeluaran terbesar untuk upah tenaga kerja yaitu Rp. 6.040.000 per tahun atau sekitar 67% dari total biaya produksi. 8. Petani Desa Peleru masih mengalami keterbatasan pengetahuan dan informasi menganai pengolahan perkebunan kakao yang baik. Karena itu penulis mengusulkan agar pemerintah melalui Balai Penyuluhan dan PPL (Petugas Penyuluh Lapangan) yang ada disetiap kecamatan memberikan penyuluhan, pelatihan, pendampingan yang baik, aktif dan jelas kepada petani.
46
b) Pemasaran Dari aspek pemasaran diperoleh hasil penelitian sebagai berikut: 1. Sebagian besar (93%) petani responden menjual langsung kakaonya ke rumah pembeli sedangkan hanya 7% saja yang didatangi oleh pembeli. 2. Sebanyak 57% petani responden menjual kakaonya kepada kelompok tani, 37% menjual ke pengumpul biasa atau tengkulak, dan sisanya menjual langsung ke pedagang besar. Ditemukan juga fakta bahwa penjualan kakao kepada kelopok tani sama dengan penjualan kakao pada pengumpul lokal karena pengumpul tersebut adalah anggota bahkan ketua dari kelompok tani tersebut. 3. Untuk mengukur standar dan mutu kakao seperti tingkat kekeringan, kebersihan dan warna, pembeli (pedagang pengumpul lokal) biji kakao Desa Peleru hanya menggunakan sistem meraba dan melihat dan belum menggunakan standard penggunaan tester. Walaupun penggunaan tester terkadang dilakukan namun hal tersebut hanyalah sebagai formalitas. 4. Semua biji kakao kering Kabupaten Morowali dijual ke luar daerah seperti ke pedagang besar antar kabupaten kemudian ke eksportir antar pulau di Kota Palu dan hanya sebagian kecil yang di jual ke industri pengolahan di Sulawesi Selatan. Selisih harga pembelian kakao pada tingkat pembeli lokal dan pengumpul antar Kabupaten adalah Rp. 2.000/kg. Selain itu, di tingkat kabupaten bahkan Propinsi Sulawesi Tengah belum ada nilai tambah seperti pengolahan biji kakao menjadi coklat bubuk, coklat cair dan lain-lain. Oleh karena itu mungkin perlu dipertimbangkan penyediaan sektor industri pengolahan (pabrik kakao) minimal di tingkat Propinsi Sulawesi Tengah, agar kakao yang dijual atau diekspor bukan lagi berupa bahan mentah (biji kakao) melainkan barang setengah jadi. Dengan adanya nilai tambah dan sektor
47
industri pengolahan diharapkan dapat meningkatkan harga kakao di tingkat petani. 5. Secara keseluruhan harga kakao di Kabupaten Morowali cukup bervariasi seperti pada sepanjang bulan September yaitu Rp. 17.000-Rp. 19.000/kg. Harga kakao di tingkat petani Desa Peleru juga menurut hasil penelitian cukup bervariasi dengan rata-rata Rp. 12.767/kg. Karena fluktuasi harga dan rendahnya harga kakao di tingkat petani, penulis mengusulkan adanya kebijakan yang tepat dari pemerintah mengenai penetapan harga kakao sehingga petani memiliki pendapatan yang layak melalui penetapan harga yang wajar. 6. Hampir semua petani Desa Peleru memilih untuk menjual komoditi kakaonya ke pengumpul lokal dan bukan ke pengumpul kecamatan atau pengumpul besar tingkat kabupaten. Salah satu alasannya adalah infrastruktur yang kurang mendukung dan jarak tempuh yang jauh. Karena itu penulis mengusulkan agar pemerintah daerah memperhatikan dan memperbaiki infrastruktur jalan sehinga mendukung kelancaran pemasaran dan penyediaan sarana produksi pertanian, serta adanya pengembangan dan penyediaan bibit unggul bagi petani kakao. c) Pendapatan Diperoleh hasil penelitian dari aspek pemasaran sebagai berikut: 1. Harga kakao yang tidak menentu (berfluktuasi), perbedaan waktu penjualan, perbedaan kualitas biji kakao membuat pendapatan petani tidak menentu dan berbeda-beda antara petani satu dengan yang lainnya. Dari harga waktu penelitian diperoleh pendapatan bersih Rp. 11.347.789 per tahun. 2. Hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa jika dibandingkan dengan PDRB perkapita Kabupaten Morowali tahun 2011 Rp. 21.846.250 (dengan migas)
48
atau Rp.17.343.642 (tanpa migas) maka pendapatan perkapita petani kakao Desa Peleru dari harga saat penelitian sangat rendah yaitu hanya Rp. 2.967.336 per tahun. Jika dilihat dari garis kemiskinan Kabupaten Morowali (Rp. 248.568 per bulan), pengeluaran perkapita petani Desa Peleru berada sedikit di bawah garis kemiskinan yaitu Rp. 247.278 per bulan. 5.1.2. Kesimpulan 1. Produksi perkebunan kakao di Desa Peleru bahkan di tingkat Kabupaten Morowali sudah baik, dimana pada tahun 2010 rata-rata kecamatan memiliki perkebunan kakao dengan luas 1.169 Ha dan produksi 458 ton dengan ratarata produktivitas 392 kg/Ha. Luas perkebunan kakao Kabupaten Morowali dari tahun 2007-2010 terus mengalami peningkatan dari 11.742 Ha menjadi 15.192 Ha dengan rata-rata produksi mencapai 5.839 ton per tahun. Namun yang perlu diperhatikan adalah pengolahan kakao di tingkat petani agar melakukan proses produksi yang lebih baik lagi sehingga menghasilkan komoditi kakao yang unggul dan bersaing. 2. Sebagian besar petani kakao menjual langsung biji kakaonya ke pengumpul lokal yang kemudian dijual kembali ke pedagang besar antar kabupaten dan selanjutnya ke pedangan besar antar pulau (eksportir). Untuk penentuan kualitas dan mutu kakao pada level pengumpul lokal hanya ditentukan dengan meraba dan melihat saja tanpa menggunakan alat ukur tester sebagai standar penentuan kualitas dan harga. Masalah terbesar yang dihadapi petani maupun pedagang pengumpul dalam pemasaran adalah tidak menentunya harga kakao (berfluktuasi). 3. Dari perhitungan menggunakan harga saat penelitian, diperoleh rata-rata pendapatan keluarga petani kakao Desa Peleru hanya Rp. 11.347.789 per tahun dengan pendapatan perkapita sangat kecil yaitu Rp. 2.967.336 per tahun.
49
Hasil ini mengindikasikan kemiskinan pada petani kakao karena pengeluaran perkapita per bulan petani (Rp. 247.278) berada sedikit di bawah garis kemiskinan Kabupaten Morowali (Rp.248.568). Dari hasil penelitian ini, dapat ditarik kesipulan bahwa walaupun komoditi pertanian khususnya kakao masih menjadi salah satu sumber pendapatan terbesar dan masih berpeluang untuk terus di kembangkan sebagai komoditi unggulan di Desa Peleru bahkan di Kabupaten Morowali, namun sampai sekarang pendapatan dari perkebunan kakao belum mampu mengangkat atau meningkatkan kesejahteraan petani. 4. Petani Desa Peleru menghadapi berbagai masalah dalam pegusahaan perkebunan kakao seperti serangan hama PBK (penggerek buah kakao), hitam buah, penggerek daun dan batang. Pada waktu penelitian ini (Desember 2011 Januari 2012), masalah baru perkebunan kakao adalah timbulnya penyakit mati pucuk dan serangan jamur batang yang dapat menyebabkan matinya pohon kakao. Hasi penelitian ini hampir sama dengan penelitian Darwis dan Nur tahun 2003 tentang Perspektif Agribisnis Kakao di Sulawesi Tenggara, mereka mengatakan bahwa terjadi pergeseran hama dan penyakit kakao yaitu hama PBK (penggerek buah kakao) yang menyerang tanaman kakao petani tahun 2002 dan pada tahun 2003 terjadi serangan hama busuk buah yang menyebabkan turunya produksi kakao petani hingga 40% - 50%. Namun yang menjadi pembeda dari kedua penenilitian ini adalah penggunaan pupuk, dimana pengunaan pupuk urea petani Desa Peleru sedikit leih rendah yaitu rata-rata 208 kg/Ha sedangkan petani di Kabupaten Kolaka menggunakan pupuk urea 233 kg/Ha. 5. Penelitian ini mengamini beberapa hal dari penelitian Darwis dan Nur tahun 2003. Darwis dan Nur mengatakan bahwa tidak ada perbedaan harga antara biji kakao yang difermentasi dengan yang tidak difermentasi. Hal ini juga
50
terjadi di Kabupetan Morowali dan bahkan petani tidak melakukan proses fermentasi. Biji kakao petani Sulawesi Tenggara masuk ke Kawasan Industri Makasar (KIMA) melalui padagang bakul, pedagang pengumpul dan pedagang antar pulau, demikian dengan Kabupaten Morowali dan Propisni Sulawesi Tengah yang sebagian besar biji kakaonya di ekspor ke luar daerah atau keluar negeri berupa biji kakao kering. Namun demikian, ada beberapa perbedaan diantaranya keuntungan yang diperoleh pedagang pengumpul lokal di Kabupaten Kolaka tahun 2003 yaitu 4% - 6 % (Rp. 500-Rp. 700/kg) dengan harga rata-rata Rp. 11.529/kg, sedangkan keuntungan atau marjin pemasaran pengumpul kakao di Desa Peleru Kabupaten Morowali lebih besar yaitu kurang lebih 15 % (Rp. 2000/kg) dari harga kakao Rp. 13.000/kg tahun 2011. 6. Dalam kompas jumat 06 April 2012 memaparkan analisis dan opini mengenai anjloknya harga kakao. Beberapa hal diantaranya mengenai aturan Menteri Keuangan Nomor 67 Tahun 2010 tentang bea keluar dan tarif bea keluar, yang berdampak pada terus anjloknya harga biji kakao dari Rp. 24.000 menjadi Rp. 15.000/kg. Sepanjang tahun 2011 harga kakao tidak pernah lagi mencapai Rp. 20.000/kg. Selama tiga bulan terakhir harga kakao hanya Rp. 15.000/kg. Penelitian ini sependapat dengan hal tersebut dimana harga kakao di Desa Peleru beberapa bulan terakhir di tahun 2011 mengalami penurunan dan bahkan lebih rendah yaitu Rp. 11.000 - Rp.14.000/ kg. 7. Penelitian Sahara, Dahya dan Amiruddin mengenai Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Keuntungan Usahatani Kakao di Sulawesi Tenggara tahun 2004 menyimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi pendapatan usaha tani kakao secara nyata adalah luas areal dan harga pupuk. Petani memperoleh keuntungan maksimal dengan memperluas areal perkebunan dan meningkatkan
penggunaan
pupuk
sampai
batas
rekomendasi
dosis
51
pemupukan. Penelitian Sahara dan kawan-kawan ada benarnya namun ada halhal lain yang perlu diperhatikan dan juga akan berpengaruh terhadap pendapatan petani sesuai dengan penelitian ini yaitu penggunaan pestisida untuk pembasmi hama yang akan mengganggu produksi kakao petani, serta fluksuasi harga yang akan mempengarui pendapatan petani. 5.2. Keterbatasan Penelitian dan Saran untuk Penelitian Mendatang Penelitian ini tentunya tidak terlepas dari berbagai kekurangan dan keterbatasan yaitu sebagai berikut: 1.
Sulitnya menemui beberapa petani responden yang akan di wawancarai karena petani sibuk dengan berbagai kegiatan di perkebunan yang jaraknya cukup jauh dari perkampungan.
2.
Sampel (responden) penelitian yang tidak bisa banyak (lebih dari 30) karena terbatasnya waktu penelitian dan waktu yang dibutuhkan untuk mewawancarai satu orang responden membutuhkan waktu yang cukup lama.
3.
Beberapa responden kurang mengingat beberapa hal terkait pertanyaan dalam wawancara (kuesioner) seperti harga pestisida, dan luas perkebunan yang dimiliki.
4.
Peneliti selanjutnya diharapkan dapat mempersiapkan dan merencanakan waktu penelitian dengan baik sehingga memiliki cukup waktu untuk mengamati dan mewawancarai petani. Dengan waktu yang cukup panjang maka diharapkan data yang dikumpulkan dapat lebih akurat.
5.
Penelitian selanjutnya diharapkan ada analisis persamaan dan perbedaan antara produksi, pemasaran, dan pendapatan petani kakao di beberapa desa maupun kecamatan potensi perkebunan kakao di Kabupaten Morowali.