Jurnal Ultima Humaniora, September 2014, hal 243-250 ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 2
SERVANT LEADERSHIP: Menyoal Aspek Spiritual dalam Kepemimpinan ARCADIUS BENAWA Dosen Home-base pada Character Building Development Center Universitas Bina Nusantara Jl. Kemanggisan Ilir III No. 45, Palmerah, Jakarta Telp: (021) 532 7630 / Fax: (021) 5332985 Surel:
[email protected] Diterima: 27 Oktober 2014 Disetujui: 15 Januari 2015
ABSTRACT This article aims to show that the spiritual aspect must be highlighted in terms of leadership style and significance, because every leader is always marked with oath of office before fulfilling his tour of duty. Leaders should also be accountable not only on the horizontal level but also at the vertical level. With phenomenological studies and literature about the practice of leadership is faced with a number of theories about leadership and then to be synthesized the more authentic leaderships than just imaging or false branding leadership. Current assumption tends to say that leadership (either in political or organizational sphere) is merely a sociological problem devoid of spiritual aspects. However, seen from the historical development of leadership perspective, it is never excluded from the spiritual dimension. In the form of manipulative style, some versions of leadership are derived from the “sky” (gods), so then these gave way to tyrannical king and rulers’ model of leadership. In this article, I will argue that these days one must ponder on the birth and growth of authentic leadership as popularized by Robert K. Greenleaf, framed within the term of servant leadership. This article resumes on the conviction that authentic leadership will give more benefit to develop the life system as well as the purpose of leadership itself rather than merely the pseudo leadership, which actually, in the long run, will damage the people because of its failure to meet members’ expectations in satisfactory ways. Keywords: authentic leadership, spiritual leadership, pseudo leadership
Pendahuluan Merebaknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh banyak pemimpin politik di negara Indonesia, yang didasarkan pada Pancasila, utamanya sila “Ketuhanan Yang Maha Esa,” merupakan sebuah ironi yang serius. Apalagi dalam upacara pelantikan sebelum memulai
09-arcadius.indd 243
periode jabatan publik, setiap pemimpin di negeri ini selalu disahkan dengan ritual “sumpah jabatan”. Bagi penulis, realitas itu memrihatinkan dan cukup memadai untuk dijadikan indikasi awal dari diabaikannya aspek spiritual dalam praktik kepemimpinan di negeri ini. Padahal seorang pemimpin tentu dituntut untuk memiliki kepercayaan
4/16/2015 6:21:47 AM
244
SERVANT LEADERSHIP : Menyoal Aspek Spiritual dalam Kepemimpinan
(trust) di dalam dirinya. Pertanyaannya, bagaimana pemimpin akan mendapatkan trust dari orang yang dipimpinnya bila ia sendiri tidak setia pada kebenaran yang absen terwujud dikarenakan praktik-praktik terselubung ataupun terang-terangan yang melukai hati konstituennya? Dalam bahasa ragam populer, konstituen butuh bukti bukan janji. Ambil contoh berikut: tekad seorang pemimpin untuk memberantas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), ternyata dalam praktiknya justru si pemimpin tersebut yang ditengarai menjadi pemicu pembiaran terhadap praktik KKN. Hal ini tentu sangat melukai hati konstituen yang berujung pada merosotnya tingkat elektabilitas si pemimpin dalam periode pemilihan berikutnya. Berkaca dari paragraf pembuka di atas, secara khusus dengan menyoroti momentum Pemilu 2014 yang baru saja berlalu, baik dalam Pemilihan Legislatif April 2014 maupun Pemilihan Presiden Juli 2014, ditemukan sejumlah persoalan yang mengemuka. Persoalan-persoalan tersebut dapat dirumuskan dalam gugus pertanyaan seperti berikut: 1) Seperti apakah wajah kepemimpinan di Indonesia pasca Pemilu 2014? Bagaimanakah pemetaannya secara makro maupun mikro? 2) Persoalanpersoalan krusial seperti apa yang sudah, sedang dan masih mungkin akan muncul setelah fase Pemilu 2014? 3) Adakah sumbangan yang berarti dari dunia pendidikan untuk memperlancar, atau malah mungkin mendistorsi proses pematangan, bahkan mungkin juga pembusukan demokrasi dalam Pemilihan Umum? 4) Bagaimana membingkai dan menganalisis dramaturgi politik pasca-Pemilu 2014 dalam bingkai politik pencitraan? 5) Adakah pesan moral-spiritual yang bernilai, pantas, dan berharga yang dapat dipelajari dari peristiwa Pemilu 2014 yang lalu sebagai modal dan bekal menjadi warga negara Republik In-
09-arcadius.indd 244
Vol II, 2014
donesia yang lebih santun, beradab, dan demokratis? Didorong oleh rumusan pertanyaanpertanyaan di atas, penulis hendak memfokuskan pembahasan dalam artikel ini pada aspek spiritual dalam kepemimpinan, yang dalam praktik nyatanya kerap dilalaikan, walaupun dalam ritual pelantikan sang pemimpin, aspek spiritual itu ditampakkan dengan jelas dalam “sumpah jabatan”. Metode Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pemandu penelitian tersebut di atas, penulis meneliti literatur akademis tentang spiritualitas dan kepemimpinan. Gea, A. et. al. (2004: 308) dalam buku Relasi dengan Tuhan mengungkapkan bahwa salah satu wujud kesetiaan pada kebenaran adalah setia pada janji. Namun, paradoksnya, bagaimana pemimpin bisa diharapkan setia pada janji bila pada level sumpah saja ia telah berani melanggarnya? Hal ini sudah cukup mengindikasikan tiadanya kesetiaan pemimpin pada kebenaran. Lebih jauh lagi, pemimpin yang tidak setia pada kebenaran diragukan dapat membangun trust di antara konstituennya. Paling jauh, pemimpin yang tidak setia pada kebenaran akan membangun trust tersebut dengan model pencitraan. Amat disayangkan bahwa pencitraan yang tidak otentik itu tidak akan bertahan lama. Otentisitas kebaikan si pemimpin masih harus diuji kalau si pemimpin benar-benar mau membangun citra baik di antara konstituennya. Menurut U. S. Army Handbook, seperti dikutip A. B. Susanto (2010: 16), terdapat tiga gaya utama kepemimpinan, yakni otoriter atau otokratis. partisipasi atau demokrat, dan delegasi atau pemerintahan bebas. Gaya kepemimpinan otoriter (otokratis) diterapkan manakala pemimpin
4/16/2015 6:21:47 AM
SERVANT LEADERSHIP : Menyoal Aspek Spiritual dalam Kepemimpinan
meminta anak buah untuk melakukan apa yang diinginkan si pemimpin. Sifat dari gaya kepemimpinan ini tidak mengenal kompromi. Yang penting, para pengikut melakukan kewajiban mereka, sebab dalam kewajiban tersebut sudah termaktub nilai kebijaksanaan dan kebaikan. Gaya ini diterapkan dalam kondisi ketika seorang pemimpin beranggapan memiliki semua informasi untuk memecahkan masalah, mengejar tenggat waktu, dan memotivasi karyawan. Beberapa pemimpin menerapkan gaya otokratis sebagai “kendaraan” untuk berteriak, dengan menggunakan bahasa yang merendahkan, memimpin dengan ancaman, bahkan cenderung menyalahgunakan kekuasaan yang diamanahkan padanya. Gaya kepemimpinan ini cenderung kasar. Pemimpin memerintah orang-orang di sekitarnya dengan tangan besi. Tidak ada kesempatan untuk mengulang apa yang telah diperintahkan. Sekali pemimpin berkata, anak buah wajib melaksanakannya tanpa banyak bertanya. Gaya otoriter biasanya digunakan hanya pada saat tertentu. Umumnya, pemimpin yang mempraktikkan gaya ini adalah orang yang otoriter yang seolah-olah memiliki kuasa tanpa batas (omnipotentia). Dalam sejarah peradaban Eropa, Kaisar Nero dikenal sebagai pemimpin otoriter. Nero dikenal dengan semboyannya, “Orderint, dum metuant”. Artinya, biar mereka (rakyat) benci, asal takut. Gaya kepemimpinan kedua adalah partisipasi atau demokrat. Gaya kepemimpinan ini tidak segera mendapatkan hasil cepat dan mencapai tujuan dengan lekas, namun, sifatnya lebih bersahabat dan egaliter. Bahasa yang digunakan bukan perintah, namun lebih sebagai ajakan. Misalnya, “Mari bersama-sama kita bahu membahu memecahkan dan mencapai tujuan bersama ….” Gaya kepemimpinan partisipatif melibatkan anggota, termasuk satu atau
09-arcadius.indd 245
arcadius benawa 245
lebih karyawan dalam proses pengambilan keputusan. Secara tim, mereka menentukan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Meskipun demikian, si pemimpin tetap orang yang paling bertanggung jawab. Jika si pemimpin menerapkan gaya ini, bukan berarti suatu organisasi atau lembaga lemah. Sebaliknya, penerapan gaya kepemimpinan model partisipasi justru menunjukkan kekuatan seorang pemimpin yang mengundang hormat dari para anak buahnya. Gaya kepemimpinan ini lazim diterapkan ketika si pemimpin memiliki informasi yang cukup mengenai kekuatan dan kelemahan anak buah, se hingga ia dapat membagi tugas dan tanggung jawab sesuai dengan keterampilan masing-masing anak buahnya. Untuk mencapai tujuan organisasi atau lembaga, si pemimpin tidak bekerja sendirian. Ia bekerja bersama orang lain, dalam tim. Dalam lingkup hidup bermasyarakat (sosio-politis), gaya ini dapat diterapkan ketika sebagian besar warga memiliki pengetahuan dan keterampilan. Pada dasarnya gaya kepemimpinan ini bertolak dari asumsi bahwa semua warga punya potensi, tinggal bagaimana si pemimpin menggali, mengembangkan, dan mengarahkan potensi-potensi itu semua untuk mencapai tujuan. Sosok pemimpinlah yang bertugas mengarahkan dan memaksimalkan kemampuan anak buah. Gaya kepemimpinan partisipatif ini cocok bagi warga yang sudah terdidik dan paham mengenai hak dan kewajibannya. Baik pemimpin maupun warga berelasi secara saling menguntungkan. Setiap warga menjadi bagian utuh dari organisasi sehingga pemimpin dimungkinkan untuk membuat keputusan yang lebih baik dan adil untuk semua. Gaya kepemimpinan ketiga adalah delegasi atau pemerintahan bebas. Dalam model ini, pemimpin memungkinkan anak buah untuk membuat keputusan. Namun,
4/16/2015 6:21:47 AM
246
SERVANT LEADERSHIP : Menyoal Aspek Spiritual dalam Kepemimpinan
pemimpin tetap bertanggung jawab atas keputusan yang dibuat. Gaya ini akan berhasil, manakala anak buah mampu menganalisis situasi dan menentukan apa yang perlu dilakukan dan bagaimana melakukannya. Seorang pemimpin tidak dapat melakukan semuanya seorang diri. Ia harus pandai membaca situasi, mana tugas yang harus didelegasikan dan mana yang tidak. Yang didelegasikan hanyalah tugas tertentu saja. Pendelegasian tugas bukan berarti tidak ada satu pun yang bertanggung jawab. Jika terjadi kesalahan yang berdampak pada kegagalan, si pemimpin tidak bisa menyalahkan orang lain. Mengambil contoh dari sejarah kekaisaran Romawi, model kepemimpinan yang diterapkan Pontius Pilatus merupakan kasus yang menarik untuk direfleksikan. Dalam tradisi Kristiani, Injil Yohanes bab 18 – 19 menjadi konteks dari kasus kontroversial yang menyeret Yesus pada tuntutan dan vonis hukuman salib, sebuah hukuman paling nista waktu itu bagi khalayak Yahudi. Dalam perikop Injil Yohanes 18: 38a, Pilatus mempertanyakan “kebenaran” yang dicanangkan Yesus, karena Pilatus mau mengaburkan “kebenaran” itu dengan tindakan simbolik “mencuci tangan.” Pasalnya, hukuman berat yang “layak” dijatuhkan bagi seorang Yahudi adalah hukuman “rajam”, dan bukan “salib”. Namun, sedemikian nistanya sosok Yesus yang dituduh telah menghojat Allah sehingga orang Yahudi pun merasa jijik untuk menjatuhkan hukuman “rajam” bagi Yesus. Karena itu, dipakailah tangan orang Romawi melalui hukuman salib, dan tuduhan pun lalu dibuat relevan dengan bahasa penguasa waktu itu, yakni subversif. Seperti tertulis dalam Injil Lukas 23: 38 dan Yohanes 19: 19, Yesus dituduh mengaku sebagai Raja orang Israel, sehingga pada salib-Nya dituliskan INRI (Iesus Nazarenus Rex Iudaeorum
09-arcadius.indd 246
Vol II, 2014
= Yesus orang Nazareth [yang mengaku sebagai] Raja orang Yahudi). Model kepemimpinan Pilatus jelas mengisyaratkan kepemimpinan yang berorientasi pada statusquo dan melalaikan keutamaan-keutamaan yang semestinya melekat pada sosok pemimpin, seperti setia pada kebenaran. Pilatus yang jelas-jelas tidak menemukan adanya kesalahan pada Yesus justru menyerahkan proses penyaliban Yesus pada bangsa Yahudi dengan ungkapannya yang terkenal “Aku tidak bertanggung jawab atas darah orang ini!” Citra Pemimpin yang “membiarkan,” yang disimbolkan dengan adegan cuci tangan tersebut menjadi cikal-bakal meruapnya anarkisme di tengah masyarakat. Meskipun pelaku dan konteks sejarahnya berbeda, namun pesan moral itu jugalah yang kerap dirasakan oleh warga di Indonesia. Beberapa kejadian bisa disebutkan sebagai contoh, antara lain, pembiaran terhadap perilaku anarkis ormas tertentu terhadap kelompok-kelompok minoritas, baik berupa perusakan fasilitas fisik bangunan maupun penganiayaan fisik. Selain itu, belum terselesaikannya kasus-kasus korupsi besar yang diduga akan menyeret sejumlah elit pemimpin negeri ini juga menunjukkan adanya pembiaran kasuskasus hukum berdampak besar yang lalu ditutup-tutupi dengan kasus-kasus kecil pengalih perhatian khalayak. Contoh dari sosok pemimpin yang berdimensi spiritual ada pada kepemimpinan yang dipraktikkan Yesus; sosok yang tidak disukai para pemuka masyarakat Yahudi, yang lalu membawa risiko jelas, yakni salib (kebinasaan). Salib tak mungkin terhindarkan bagi pemimpin yang menyadari bahwa kepemimpinannya tidak semata-mata dipertanggungjawabkan pada level sosial kemasyarakatan (horizontal) melainkan juga pada level ilahi (vertikal). Alasannya cukup jelas: pada level
4/16/2015 6:21:47 AM
SERVANT LEADERSHIP : Menyoal Aspek Spiritual dalam Kepemimpinan
horizontal, dengan keahliannya menutupnutupi kesalahan, si pemimpin bisa memainkan citra dirinya seolah-olah ia sosok pemimpin yang baik. Syaratnya juga jelas: sejauh tidak bisa dibuktikan secara legalyuridis tuduhan terhadap kesalahannya, maka tuduhan itu akan dikembalikan menjadi tuntutan balik sebagai pendiskreditan pemimpin, atau bahkan bisa saja dikenakan tuduhan “subversif”. Sementara itu, bila pemimpin menyadari dimensi spiritual dalam kepemimpinannya, ia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya pada Yang Ilahi, yang dipercayai sebagai Yang Mahatahu, baik terhadap kesalahan atau kejahatan yang tampak nyata maupun yang ditutup-tutupi. Di mata manusia, bisa saja kebenaran dikaburkan, tetapi tidak demikian di mata Tuhan. Secara formal, pemimpin memang diminta melakukan sumpah jabatan. Artinya, ia menyadari bahwa jabatan kepemimpinan tersebut ia terima dari Atas dan harus dipertanggungjawabkan kepada Sang Pemberi Amanah juga. Maraknya pemimpin yang tidak memerhatikan dimensi spiritual ditengarai oleh Dudi Arisandi sebagai pemicu bagi Robert K. Greenleaf untuk menyuarakan kembali pentingnya dimensi spiritual dalam kepemimpinan lewat bukunya “The Servant as Leader” (2008), yang disusunnya demi memberikan sumbangsih bagi terbentuknya kondisi masyarakat yang lebih baik, yakni masyarakat yang lebih peduli. Menurutnya, yang harus dilakukan seorang pemimpin pertama-tama adalah melayani. Itulah tolok ukur pemimpin yang sejati, yakni pemimpin yang motivasi utama dalam kepemimpinannya adalah hendak melayani orang lain. Model pemimpin yang melayani bukan sekadar demi pencitraan, melainkan ditunjukkan dengan konsisten dan terusmenerus, demi memicu dan memacu ang-
09-arcadius.indd 247
arcadius benawa 247
gotanya dalam meningkatkan kompetensi sekaligus mengembangkan potensi anggotanya. Selayaknya pelayan, hendaknya pemimpin selalu mengutamakan yang dilayaninya agar kebutuhan anggotanya terpenuhi. Niatan atau spirit pemimpin pelayan seperti itu jelas akan bertentangan dengan nafsu akan kekuasaan yang kerap menjadikan status pemimpin justru sebagai peluang untuk meraup harta melimpah. Spirit yang dibawa dan dikembangkan pemimpin pelayan justru demi tumbuh kembangnya anggota yang dilayaninya, sehingga mereka tumbuh sebagai pribadi yang lebih baik, sehat, bijaksana, mandiri, dan dapat diandalkan. Lebih jauh Arisandi juga menyitir Max De Pree (2003), yang dalam bukunya Leadership is an Art, mengungkapkan ciri khas seorang pemimpin pelayan, yakni respek terhadap orang lain. Konkretnya, sejauh mana pemimpin dapat memahami bahwa setiap manusia itu memiliki kemampuan, bakat, dan kekuatan yang khas. Pemimpinlah yang mengambil peran sentral untuk menumbuhkembangkan rasa percaya diri di antara anggotanya, bahwa masingmasing anggota memiliki potensi dan kemampuan yang khas. Bagaimana seorang pemimpin itu memfasilitasi, memberi kesempatan demi memaksimalkan potensi dan kemampuan anggotanya, merupakan seni tersendiri. Dengan demikian, jelas bahwa seorang pemimpin pelayan mensyaratkan kedewasaan yang harus ditunjukkan, selain bahwa ia mampu menghargai dirinya sendiri juga anggotanya. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian literatur ini menunjukkan bahwa keterlibatan unsur iman ataupun spiritual dalam konsep kepemimpinan menjadi jelas dalam model kepemimpinan pelayan.Artinya, semakin pemimpin itu menunjukkan
4/16/2015 6:21:47 AM
248
SERVANT LEADERSHIP : Menyoal Aspek Spiritual dalam Kepemimpinan
keberimanannya atau spiritualitasnya, semakin jelas pula konsep kepemimpinannya yang dihadirkan dalam model kepemimpinan yang melayani, bukan menguasai. Hal ini sejalan dengan temuan yang dikemukakan Sahertian dan Frisdiantara (2012: 284), bahwasanya ada hubungan antara kepemimpinan spiritual dengan teori-teori kepemimpinan berbasis nilai, meskipun kepemimpinan spiritual masih lebih kerap menjadi wacana teoretis, namun ia tetap merupakan alternatif yang layak dipertimbangkan, terutama jika dibandingkan dengan teori-teori kepemimpinan lainnya. Demikian pula temuan Freeman (2011: 121), yang mengafirmasi bahwa keyakinan spiritual (misalnya, harapan dan iman kepada Allah) sebagai faktor penyebab dalam pembentukan nilai-nilai dan perilaku pemimpin yang melayani. Menyitir Arisandi (2010) dalam blognya, “Kepemimpinan pelayan memandang masalah apa saja di dunia sebagai masalah di sini, di dalam diri sendiri, bukan di luar sana. Maka, kalau pemimpin ingin mengobati suatu cacat anggota atau masyarakat, pemimpin pelayan harus memulai proses perubahan/penyembuhannya dari sini, dalam diri pelayan, bukan di luar sana. Pada intinya kepemimpinan pelayan adalah pendekatan jangka panjang yang memberikan perubahan kepada kehidupan dan kerja, demi menciptakan perubahan positif di seluruh kehidupan masyarakat. Banyak sekali individu dan perusahaan besar dunia telah menjadikan kepemimpinan pelayan sebagai falsafah hidupnya. Banyak tokoh dunia yang menerapkan model kepemimpinan pelayan ini, dan mereka dianggap sebagai pemimpin yang besar. Contohnya: Nabi Muhammad, Yesus, Kong Hu Cu, Gandhi, Abraham Lincoln, Ki Hajar Dewantoro dan masih banyak pemimpin besar lainnya. Para penulis, pemikir, dan pemimpin yang terkemuka pun memberikan respon yang positif bagi kemunculan model kepemimpinan pelayan.”
09-arcadius.indd 248
Vol II, 2014
Dalam perspektif Jawa, kepemimpinan pelayan telah dikenal sejak dulu. Menurut Tugiman (1999: 46), prinsip-prinsip kepemimpinan Jawa tercermin dalam trilogi kepemimpinan yang dikenalkan oleh Ki Hajar Dewantara, yakni ing ngarsa sung tulada (di depan pemimpin harus menjadi teladan atau role model dalam perannya sebagai pengarah; directing), ing madya mangun karsa (di tengah-tengah anggota yang dipimpinnya ia harus membangun semangat – sebagai animator), dan tut wuri handayani (bila pemimpin berada di belakang ia memberi dorongan – sebagai motivator). Konsep kepemimpinan pelayanan yang menonjolkan pelayanan kepada orang lain, termasuk kepada bawahan, akan semakin menumbuhkan keterikatan yang kuat antara pemimpin dengan yang dipimpin. Tanggung jawab ke bawah (downward accountability) akan menjadikan kepemimpinan berakar dan diterima dengan tulus oleh bawahan. Cara pandang Jawa mengenal istilah sifat tumungkul (tanggung jawab ke bawah) yang harus dimiliki seorang pemimpin Konsep kepemimpinan tradisional yang telah lama dikenal dalam tradisi luhur masyarakat Nusantara, di antaranya tertuang dalam kumpulan seloka “Asta Brata,” yang berisikan ajaran-ajaran Hindu tentang bagaimana seharusnya menjadi pemimpin yang baik. Menurut Arifin Abdulrachman (1968), Asta Brata adalah contoh kepemimpinan yang terdapat dalam Ramayana. Asta Brata adalah delapan tipe kepemimpinan yang merupakan 8 (delapan) sifat Kemahakuasaan Tuhan. Ajaran ini diberikan Sri Rama kepada Wibhisana sebagai Raja Alengka Pura saat menggantikan kakaknya, Rahwana. Kedelapan ajaran Asta Brata tersebut berbunyi sebagai berikut:
4/16/2015 6:21:47 AM
SERVANT LEADERSHIP : Menyoal Aspek Spiritual dalam Kepemimpinan
1. Indra Brata: Artinya, pemimpin hendaknya mengikuti sifat-sifat Dewa Indra sebagai dewa pemberi hujan, yang memberi kesejahteraan kepada rakyat. 2. Yama Brata: Artinya, pemimpin hendaknya mengikuti sifat-sifat Dewa Yama, yaitu menciptakan hukum, menegakkan hukum, dan memberikan hukuman secara adil kepada setiap orang yang bersalah. 3. Surya Brata: Artinya, pemimpin hendaknya memberikan penerangan secara adil dan merata kepada seluruh rakyat yang dipimpinnya. Ia juga perlu selalu berbuat berhati-hati seperti matahari yang sangat berhati-hati dalam menyerap air. 4. Candra Brata: Artinya, pemimpin hendaknya selalu dapat memperlihatkan wajah yang tenang dan berseri-seri, sehingga masyarakat yang dipimpinnya merasa yakin akan kebesaran jiwa dari pemimpinnya. 5. Bayu Brata: Artinya, pemimpin hendaknya selalu dapat mengetahui dan menyelidiki keadaan serta kehendak yang sebenarnya, terutama keadaan masyarakat yang hidupnya paling menderita. 6. Kuwera Brata: Artinya, pemimpin hendaknya harus bijaksana dalam mempergunakan dana atau uang, selalu berhasrat menyejahterakan masyarakat, dan tidak menjadi pemboros yang malah dapat merugikan negara dan masyarakat. 7. Baruna Brata: Artinya, pemimpin hendaknya dapat memberantas segala bentuk penyakit yang berkembang di masyarakat, seperti pengangguran, kenakalan remaja, pencurian dan pengacau keamanan negara. 8. Agni Brata: Artinya, pemimpin seharusnya memiliki kesungguhan untuk memotivasi tumbuhnya sifat ksatria
09-arcadius.indd 249
arcadius benawa 249
dan semangat yang berkobar dalam menundukkan musuh-musuhnya. Dalam perspektif Buddha, menurut Hagen Berndt (2006: 95), sebagaimana disitir Andri Pitoko, terdapat ciri-ciri yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin Buddhis, lebih populer dikenal dengan istilah Jalan Mulia Berunsur Delapan, yang dikelompokkan menjadi tiga pokok, yaitu: kebijaksanaan (panna), moralitas (sila), dan konsentrasi (samadhi). Kebijaksanaan meliputi pemahaman benar dan pikiran benar; Moralitas meliputi ucapan benar, tindakan benar, dan penghidupan benar; sementara Konsentrasi meliputi usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Bagaimanapun rupa sang pemimpin, tentu ia memunyai kriteria-kriteria tersendiri antara lain, ia mempunyai kelebihankelebihan, seperti lebih kuat, lebih pandai, lebih memiliki kualitas pribadi yang unggul, serta lebih memiliki kesempatan dari pada orang lain. Seorang pemimpin mendapat mandat untuk bekerja guna memenuhi keperluan orang banyak. Kekuasaan yang dimiliki hanya dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai seorang pemimpin. Dalam pandangan Buddhis, pemimpin tidaklah berbeda dengan bawahannya. Pandangan mengenai martabat dan derajat perlakuan yang sama pada semua manusia, menunjukkan sifat agama Buddha yang demokratis. Dari uraian di atas, menjadi jelaslah pandangan yang penulis ajukan dalam makalah ini, yaitu bahwa kepemimpinan bukanlah suatu ajang popularitas, bukan perebutan kekuasaan, bukan keahlian melakukan pertunjukan, dan bukan sekadar kebijaksanaan dalam perencanaan jangka panjang. Dalam bentuknya yang paling sederhana, kepemimpinan adalah ikhtiar untuk menyelesaikan suatu amanah
4/16/2015 6:21:47 AM
250
S ERVANT LEADERSHIP : Menyoal Aspek Spiritual dalam Kepemimpinan
bersama orang lain dan membantu orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Simpulan dan Implikasi Dari paparan pada bagian sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa tatkala aspek spiritual diabaikan dalam kepemimpinan, maka “sumpah jabatan” hanya akan menjadi ritual kosong yang tidak menginspirasi sang pemimpin, terkait dengan aspek spiritual dalam kepemimpinan. Keterlibatan unsur iman atau spiritualitas dalam konsep kepemimpinan kontemporer menjadi lebih jelas terwujud dalam model kepemimpinan pelayan. Sudah seyogianya model kepemimpinan pelayan ini diterapkan secara lebih massif dan intens di Indonesia. Implikasinya, perlu lebih ditanamkan di kalangan calon pemimpin, perhatian akan aspek spiritual di dalam kepemimpinan, sehingga para calon pemimpin dapat memaknai ungkapan pemimpin pelayan atau leader as servant, dengan pelbagai karakteristiknya. Istilah “Revolusi mental” yang lantang didengang-dengungkan akhir-akhir ini pada hakikatnya adalah revolusi mental pemimpin agar tidak lagi suka minta dilayani tetapi seharusnya si pemimpinlah yang lebih berusaha untuk dapat melayani anggotanya, umatnya, warganya, rakyatnya. Itulah makna pokok dalam aspek spiritual kepemimpinan, yang, jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan tulus hati, diharapkan mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia dari krisis kepemimpinan dan dekadensi moralitas beberapa tahun belakangan ini. DAFTAR PUSTAKA Arifin Abdulrachman, R. (1968). Leadership Theory, Pengembangan dan Filosofi Kepemimpinan. Jakarta: Dinas Latihan Djabatan Lembaga Administrasi Ne gara.
09-arcadius.indd 250
Vol II, 2014
Arisandi, Dudi. (2010). “Servant Leadership – Memimpin dengan Hati untuk Melayani”, yang dapat diakses di http://darisandi. wordpress.com/2010/04/17/servantleadership-memimpin-dengan-hatiuntuk-melayani/ Berndt, Hagen. (2006). Agama yang Bertindak – Kesaksian Hidup dari Berbagai Tradisi. a.b. A. Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius. Bdk. dengan sitiran Andri Pitoko dalam http://posbali.com/ciriciri-pemimpin-buddhis/ DePree, Max. (2003). Leadership is an Art. New York: Random House LLC. Freeman, GT. (2011). “Spirituality and Servant Leadership. A Conceptual Model and Research Proposal”, dalam Emerging Leadership Journeys, Vol. 4 (1): 120140, yang dapat diakses di http://www. regent-edu/acad/global/publications/ elj/vol/ss1/Freeman_V4/1_pp120-140. pdf Greenleaf, Robert K. dan Frick, Don M. (2008). A Life of Servant Leadership. San Francisco, California: Berrett-Koehler. Greenleaf, Robert K., Don M. Frick, dan Larry C. Spears. (1996). On Becoming a Servant Leader. California: Wiley. Sahertian, P. dan Frisdiantara. Christea. (2012). “The Spiritual Leadership Dimension In Relation to Other ValueBased Leadership in Organization”, dalam International Journal of Humanities and Social Science, Vol.2 (15): 284290, yang dapat diakses di http://www. ijhssnet.com/journals/Vol_2_No_15_ August_2012/36.pdf Senge, Peter M. (1994). The Fifth Discipline. New York: Double Day Act Publishing Group, Inc. Susanto, A.B. dan Masri Sareb Putra, R. (2010). 60 Management Gems: Applying Management Wisdom in Life. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Tugiman, Hiro. (1999). Budaya Jawa dan Mundurnya Presiden Soeharto. Yogyakarta: Kanisius.
4/16/2015 6:21:48 AM