SERI PARIWISATA
Winarta Adisubrata
HIJAU BIRU PARIWISATA
INDONESIA
HIJAU BIRU PARIWISATA INDONESIA
WINARTA ADISUBRATA
Jakarta, 2011
DAFTAR ISI
Dari Jaman Batu Kembali Ke Masa Depan
Lembah Baliem, Sorga Para Pelintas Alam ………………………. 2
Wallace Melanglang Nusantara Abad 19 …………………………. 8
Indonesia Kembali ke Masa Depan ………………………………. 19
Dari Menjelang Proklamasi Sampai ke Era Informasi
Mitos dan Realitas Menjelang Proklamasi ………………………. 26
Merancang Pembangunan Secara Terpadu ………………………. 29
Mengenang Kembali Multatuli
Memasuki Era Informasi Tanpa Korupsi …………………………. 41
…………………………………. 37
Dari Costa Rica Melintasi Nusantara Sampai ke Ujung Tenggara Dunia
Costa Rica Membangun Taman Perdamaian Dengan Anggaran Pertahanan ………………………………………………………. 48
Segitiga “Sijpri”, Proyek Pembangunan ASEAN Yang Sarat Ironi … 53
Menyeimbangkan Pulau Panaitan dan Ujung Kulon ……………. 58
Kapan Pulau Seribu Dibenahi ……………………………………. 63
Dari Desa Tenganan Sampai Pantai Kuta …………………………. 72
Jutaan Hektar Taman Nasional Lorentz Terancam Musnah
Mengintip Habitat Anjing Laut di Ujung Tenggara Dunia ………. 84
iv
……. 77
Dari Deklarasi Manila WTO 1980 Sampai Sasaran 10 Juta / Tahun Wisatawan Manca Negara
Deklarasi Manila 1980
…………………………………………. 90
Menjelang Kongres Pariwisata 2004 ……………………………. 96
Melestarikan Wilayah Laut Indonesia
Kembalikan Nusantara Sebagai Ajang Wisata Kapal Pesiar
Jaga Bali Agar Tetap Lestari
Batik, Wahana Politik dan Diplomasi Pariwisata …………………. 113
Belajar dari Takio Menyongsong Abad 21 ………………………. 119
Anjuran ASTA Menyematkan Planet Bumi ………………………. 125
Braving the Trousism Crisis
Maximizing Marketing Monies
…………………………. 102 ……. 106
……………………………………. 109
……………………………………. 128 …………………………………. 131
Dengan Bambu Runcing Kita Merebut Kemerdekaan Sampai Makna Jakarta
Sebagai Ibukota Negara
Dengan Bambu Runcing Kita Merebut Kemerdekaan
Keteladanan ABRI Kita
100 Tahun Kebangkitan Nasional ………………………………. 142
Candi Borobudu, Ketika Terancam Unesco ………………………. 145
Mendongkrak Citra Taman Mini …………………………………. 149
Sampai Kapan Srimulat Bertahan
Bahasa Indonesia, OK ?
Ranggawarsita, Pahlawan Nasional Tahun 2010 …………………. 167
Anugerah Bintang Afrika Selatan Untuk Bung Karno ……………. 172
Makna Jakarta Sebagai Ibukota Negara …………………………. 175
…………. 134
…………………………………………. 138
………………………………. 154
…………………………………………. 160
v
vi
Dari Jaman Batu Kembali Ke Masa Depan Lembah Baliem, Sorga Para Pelintas Alam Wallace Melanglang Nusantara Abad 19 Indonesia Kembali ke Masa Depan
1
Lembah Baliem, Surga Para Pelintas Alam PERTAMA kali menginjakkan kaki di bumi Irian Jaya pada tanggal 1 Mei 1963, ketika meliput serah terima wilayah Irian Barat dari UNTEA (United Nations Temporary Administration) oleh Dr. Jalal Abdoh kepada Presiden Sukarno, yang juga diliput oleh pers dunia di Kota Baru, sekarang Jayapura. Kedua, menjelang menjelang akhir tahun 1986, kali ini sampai di Lembah Baliem, ketika meliput konvensi nasional ASITA (Association of Indonesian Tourism and Travel Agents). Dan terakhir pada tahun 1993, ketika mendampingi Herman Diener, pakar pariwisata dari Heritage International yang berkedudukan di Singapura, untuk melakukan survei di Lembah Baliem sebagai surga para pelintas alam dunia. Untuk sampai di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya di Lembah Baliem dapat dikatakan hanya ada satu cara lewat udara. Dalam guide books Lembah Baliem dinamakan the Grand Valley of the Baliem River atau Lembah Agung di tepi Sungai Baliem yang terletak hampir tepat di tengah-tengah wilayah paling timur Indonesia ini. Perusahaan penerbangan Merpati Nusantara (menjelang 1 Mei 1963 masih bernama Kroonduif), sampai hari ini melayani route Jayapura - Wamena setiap hari berjarak terbang satu jam dengan pesawat Cessna. Puncak-puncak gunung berjulangan tinggi seakan memayungi lembah yang berada di ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas muka laut, di antaranya Puncak Mandala (dulu Mount Juliana) yang mencapai 4.700 meter, Puncak Yamin 4.595 meter dan Puncak Trikora (dulu Mount Wilhelmina) yang merupakan mahkota terletak di sebelah barat daya Lembah Baliem padai ketinggian 4.743 meter. Walau jalan darat sudah terbentang antara Kabupaten Jayawijaya sampai Jayapura, untuk sementara Anda tidak dianjurkan menempuhnya, karena di sana-sini masih mengalami kerusakan. Di samping faktor keamanan yang ha2
rus diperhitungkan, karena masih jauh dari nyaman. Sarana pendukung bagi para pelintas jalan darat belum memadai, atau Anda harus tabah dan “siap tempur” menghadapi kemungkinan terburuk, termasuk menyediakan bahan bakar untuk jarak ratusan kilometer untuk pergipulang dari Jayapura-Wamena. Di samping itu, berbagai keperluan mendasar lain untuk perjalanan jarak jauh belum tersedia di sepanjang jalan darat antara Jayapura hingga Wamena. Jika Anda beruntung dan Obahorok masih hidup, kedatangan Anda di bandara Wamena akan disambut oleh kepala suku Dani, Obahorok, yang sekian puluh tahun lalu sempat menikah dengan Wynn Sargent, juru foto Amerika yang mengaku anthropolog, yang kemudian menerbitkan buku tentang kehidupan suku Dani di Lembah Wamena. Siapa yang tidak akan tertarik membaca buku yang ditulis oleh seorang yang mengaku anthropolog, yang ditulis setelah berbulan-bulan melakukan studi partisipatf selama bertahun-tahun. Belum lagi kenekadannya kawin dengan sang kepala suku, Obahorok. Padahal mereka dipisahkan oleh jarak peradaban ratusan ribu tahun. Wynn Sargent yang berasal dari negeri paling modern dan paling maju di dunia, Amerika Serikat, sedangkan Obahorok ketika menjalin asmara dengan Sargent yang berkulit putih itu, mungkin baru pertama kali selama hidupnya bertemu dengan peralatan modern yang terbuat dari logam, termasuk alat potret. (Sebelum Wynn Sargent, juru foto Michael Rockefeller, seorang anthropolog anak multi miliarder David Rockefeller dinyatakan hilang di belantara Irian dan tak pernah ditemukan kembali, lama sebelum Irian Jaya kembali ke haribaan Ibu Pertiwi) Sebagian besar masyarakat Irian, termasuk suku Dani hingga sekarang masih menggunakan kapak batu, anak panah dan tombak untuk berburu. Alam Lembah Baliem yang sejuk dengan suhu beberapa derajad Celsius saja di malam sampai pagi hari, dengan udaranya yang masih sangat bersih tanpa polusi serta hijaunya padang ilalang dan rumputnya, mengabsah3
kan penilaian Herman Diener untuk mengambil kesimpulan bahwa Lembah Baliem nyaris merupakan surga bagi para pelintas alam atau trekkers. Dunia kini sedang gandrung dengan wisata alam atau eco tourism, sehingga para muda-mudi dari berbagai negara Eropa, di samping Amerika, Australia bahkan Jepang sempat berbondong-bondong dalam jumlah ribuan tiap tahun untuk menjejakkan kaki di Lembah Baliem yang di dalam buku-buku panduan wisata dituliskan ‘bagaikan taman firdaus’ dengan kehidupan manusia yang nyaris masih mutlak hidup dalam peradaban jaman batu tinggal di gubug-gubug beratap jerami yang gelap pengap tanpa jendela. Sejak ribuan tahun lalu nenek moyang peduduk lembah ini belum mengenal cocok tanam, sehingga dari jumlah ribuan orang suku Dani pada sekitar 1930-an, berkat cocok tanam kini mencapai puluhan ribu. Hasil pertanian mereka adalah talas, ubi jalar, serta beberapa jenis buah-buahan dan sayursayuran. Jumlah turis asing yang datang kemari tiap tahun mencapai ribuan orang itu sekarang sudah jauh merosot bahkan tinggal beberapa ratus orang setiap tahunnya, akibat dari masa krisis global dan tidak cukupnya Lembah Baliem dipromosikan di manca negara sebagai ‘sorga bagi para pelintas alam’. Begitu menjejakkan kaki di bandara Wamena dan meletakkan kopor di penginapan (di Wamena ketika itu belum ada hotel berbintang), Herman Diener langsung menjelajahi Lembah Baliem. Lembah Baliem dipagari oleh pegunungan-pegunungan dengan ketinggian ribuan meter dengan puncak gunung-gunungnya bersalju. Sungguh menggelikan bahwa kita sering lupa sesungguhnya Indonesia memiliki gunung yang tidak kurang menggetarkannya dibandingkan dengan gunung-gunung Alpen di Eropa yang puncaknya selalu bersalju. Di tengah kehidupan yang nyaris masih primitif, di kota kecil Wamena ada terdapat pasar Nayak yang merupakan jantung kehidupan lembah ini yang diramaikan oleh mereka yang berjual beli bahan-bahan makanan dan barang keperluan sehari-hari dijajakan terutama oleh para pendatang dari luar Irian 4
Jaya, kebanyakan dari Jawa dan Sulawesi Selatan. Penduduk lembah Baliem kini sudah mengenal cocok tanam padi dan Pemerintah sudah membangun perumahan rakyat seperti dibangun di daerah lain di negeri ini, di samping telah diselenggarakan pendidikan yang dibawa oleh misi Kristen Protestan dan Katholik. Namun penduduk asli masih lebih suka menanam talas dan ubi jalar, tinggal di rumah-rumah tradisional, dan rumah-rumah Perumnas kosong tanpa penghuni. Bagi para turis manca negara mungkin yang paling menggetarkan hati adalah kehidupan penduduk asli suku Dani. Para pria masih mengenakan koteka (horim) dan wanitanya menutupi sebagian aurat mereka dengan pakaian yang masih primitif. Operasi Koteka yang dicoba dilakukan sejak tahun 1963 ternyata belum berhasil benar. Keinginan pemerintah pusat di Jakarta untuk menghapus pemakaian koteka dan menggantikannya dengan kemeja dan celana hingga hari ini masih belum sepenuhnya terwujud. Setidaknya di sekitar Lembah Baliem, termasuk ibu kota Kabupaten, Wamena. Herman Diener sesudah melakukan survei selama tiga hari menyimpulkan, Lembah Baliem sangat ideal menjadi surga para trekkers dunia. Pertama, karena kehidupan di lembah ini relatif masih utuh menggambarkan kehidupan sejak zaman batu, walaupun di sana-sini sudah berjulangan antene-antene parabola untuk menangkap siaran-siaran televisi dari mana pun di dunia. Di sana terdapat pula bangunan-bangunan tempat ibadah orang-orang beragama Kristen dan Islam, gedung-gedung sekolah, penginapan, kantorkantor pemerintahan, tempat usaha swasta dan Pasar Nayak. Selain itu, ada beberapa kendaraan bermotor roda dua dan empat yang sekali-sekali muncul di jalanan serta becak-becak dari Medan. Kedua, alamnya yang sangat mendukung karena ketinggian dan iklimnya yang sejuk. Alam sekitarnya juga relatif masih utuh, tepat sama seperti ribuan tahun lalu, bahkan sampai pada jarak ratusan kilometer ke arah mana pun jika Wamena diambil sebagai titik pusat keberangkatan untuk melakukan trek5
king atau jalan kaki lintas alam. Di sana tersedia pos-pos telekomunikasi dan beberapa losmen atau hotel melati yang sederhana. Para trekkers yang datang ke Lembah Baliem memang bukan hendak menikmati berbagai fasilitas wisata modern seperti yang terdapat di negeri asal mereka. Kegandrungan manusia akan kehidupan kembali kepada alam (back to nature life style) akan mereka bayar berapa pun mahalnya. Sebagian di antara manusia-manusia di negara maju sejak lahir telah jenuh dengan fasilitas yang serba modern, serba wah dan serba mewah. Maka kini mereka ingin merasakan, menghayati serta kembali ke alam seperti apa yang dinikmati oleh saudara-saudara mereka yang nampak hidup bahagia, tenteram dan damai di Lembah Baliem. Itulah kurang lebih kesimpulan Herman Diener. Konsep yang lebih teknis yang dihasilkan Herman Diener telah disampaikannya kepada ASITA yang menugaskannya, dan tidak mustahil ASITA pun tentu telah menyerahkan satu copy hasil studinya kepada pemerintah, atau (ketika itu) Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi (Deparpostel). Kita tidak tahu pasti, bagaimana nasib laporan survei dan studi yang dilakukan Heritage International bersama ASITA delapan tahun lalu itu. Tetapi satu hal yang pasti adalah, ada harapan yang patut diwujudkan untuk menjadikan Lembah Baliem sebagai lembah lintas alam. Tempat ini bukan hanya dapat dijual ke pasar dunia sebagai satu di antara eco tourism objects di Indonesia, tetapi menjadi salah satu wilayah paling langka di dunia. Diener menekankan tentang mutlaknya tersedia berbagai penginapan walaupun sederhana, namun mempunyai standar kesehatan yang prima. Para penunjuk jalan (guides) harus memiliki pengetahuan yang memadai serta menguasai segala pengetahuan umum yang berkaitan dengan Lembah Baliem dan Irian Jaya pada umumnya. Penguasaan bahasa asing untuk masing-masing negeri asal turis manca negara Barat maupun Timur juga mutlak diperlukan. Hal ini berarti menuntut 6
tersedianya guides yang mampu berbahasa Jerman, Prancis, Inggris, Jepang, Cina, Korea dan sebagainya. Perpustakaan yang memadai tentang Lembah Baliem dan Irja, termasuk peta untuk para trekkers, juga harus tersedia. Selain itu diperlukan adanya pos-pos pendukung untuk mengantisipasi keadaan darurat misalnya jika ada trekker yang sakit atau mengalami kecelakaan, jaringan telekomunikasi yang prima, sarana transportasi di sekitar Lembah Baliem maupun di tempat lain apabila sewaktu-waktu ada yang terpaksa diangkut ke Jayapura atau Jakarta. Lembah Baliem patut mendapat perhatian dari Kantor Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata. Memang tidak dianjurkan Lembah Baliem dipertahankan ibarat “kebun manusia” (atau the human zoo) seperti yang pernah ditudingkan oleh dunia luar kepada RI ketika RI getol-getolnya berkampanye merebut Irian Barat melalui Tri Komando Rakyat, lebih dari 40 tahun lalu. Meskipun demikian, selagi masih tersisa, budaya zaman batu itu patut dimanfaatkan sebagai semacam ”museum hidup” yang tidak mutlak tertutup untuk kemajuan dunia. Sekarang pun antene-antene parabola untuk menangkap siaran televisi dari seantero dunia sudah berjulangan di sekitar kota Wamena. Wamena juga tidak luput dari sentuhan jaringan telekomunikasi dan transportasi udara. Kesimpulan sementara kita: jangan sia-siakan Lembah Baliem, sejauh kita masih dapat menikmatinya sebagai taman purbakala. Dan laksanakan saran Herman Diener untuk menjadikannya surga bagi para pelintas alam. Sambil menggandeng saudara-saudara kita dari suku Dani, kita tetap menghormati hak mereka untuk meraih kehidupan yang lebih maju dan manusiawi, sejajar dengan seluruh bangsa Indonesia. ***
7
Menjelajahi Nusantara Abad ke-19 GARIS Wallace membagi wilayah Nusantara jadi dua belahan: sebelah timur adalah wilayah Indo - Malaya dan sebelah barat wilayah Austral - Malaya. Garis juga juga memilahkan dalam dua wilayah biologis fauna tetapi juga memilah rumpun bangsa-bangsa di kepulauan Nusantara. Dalam bukunya The Malay Archipelago (1869) Alfred R. Wallace tidak terlalu menghiraukan sejarah dan budaya suku-suku bangsa di kepulauan yang dijelajahinya selama delapan tahun itu. Tentang perjalanannya di Jawa pun Wallace kurang peduli bahwa penduduk pulau Jawa sudah lebih 10 abad menyerap berbagai peradaban dan kebudayaan yang diserap dalam berbagai kerajaan besar. Walau Wallace mencatat tentang bekas-bekas konstruksi kota di dekat Mojokerto, di mana kerajaan Majapahit pernah berdiri, tidak terlalu disadarinya, bahwa di Nusantara telah terentang benang sejarah berbilang abad panjangnya, walau mencatat berbagai peninggalan berupa bangunan candi seperti Borobudur dan Candi Sewu di Prambanan. Juga tak terlalu dipedulikannya tentang perkembangan serupa di daerahdaerah lain yang telah disinggahinya sperti Semenanjung Malaka, Singapura dan Serawak. Namun di sana sini Wallace membuat kita terkesima oleh pengamatannya, khususnya tentang bagaimana cara Belanda memerintah di kepulauan Nusantara, khususnya di Jawa, yang pada waktu itu keadaan sosial ekonominya diamatinya sebagai bertitik berat kepada sistem tanam dengan upah yang harga hasil perkebunan yang demikian rendah, hingga menyebabkan penduduk di Jawa terikat sistem ijon, di samping terjerat candu yang “disediakan” Belanda, hingga mereka tetap terikat utang yang tiada habis-habisnya, hingga mereka tidak harus terus melakukan penanaman yang hasil panennya kemudian dibeli dengan harag murah dan mengikat mereka kepada hubungan penghisa8
pan. Boleh jadi bagian buku ini yang menyebabkan buku ini dilarang dibaca di Hindia Belanda doeloe. Yang mengagetkan pula kesimpulan bukunya, The Maly Archipelago, Wallace bukan mengadakan kesimpulan telaah ilmu alam (khususnya biologi), melainkan justru menyoroti kebangkrutan sosial dan budaya Barat, yang dibandingkannya dengan keterbelakangan suku-suku bangsa ”setengah biadab” di kepulauan Nusantara dalam beberapa segi menunjukkan bahwa bangsa Eropa lebih terbelakang lagi ketimbang bangsa-bangsa “setengah biadab” itu. Jikapun kita sekadar terbuai oleh buku tentang perjalanan mengumpulkan specimen fauna dari pulau ke pulau, dan dari satu tempat ke tempat yang lain, kita masih dapat menikmatinya sebagai laporan perjalanan yang sangat pesona. Khususnya bagi mereka yang senang akan materi buku ini. The Malay Archipelago dari Alfred Russel Wallace adalah sebuah laporan perjalanan yang sarat dengan pengalaman sang pengarang sebagai seorang natural historian membuatkita ibarat (turut) melakukan perjalanan dengan memutar jarum jam lebih dari seratus tahun ke belakang di kepulauan Nusantara ketika belum begitu dikenal dengan nama “Nusantara”, masih terasa masih dalam keadaan “semurni-murninya yang mungkin dapat kita bayangkan.” Dengan penuh kemauan Wallace berniat hendak berburu burung Cenderawaih yang ketika itu masih tercatat hampir 40 species jumlahnya dan orang utan yang tak terdapat di manapun kecuali di kepulauan yang terletak antara Asia dan Australia itu. Perlu kita catat di sini bagaimana Wallace selama dalam delapan tahun perjalanan dari pulau ke pulau dan dari desa ke desa serta dari hutan ke hutan itu telah berhasil mengumpulkan lebih dari 125.000 (!) specimen binatangbinatang menyusui, reptilia, burung, binatang kerang serta berbagai jenis serangga. Wallace mencatat berbagai suku bangsa di Nusantara satu sama lain sangat kontras yang menjadi penghuni kepulauan ini, yakni orang-orang Melayu yang secara eksklusif menempati bagian sebelah barat (yang lebih besar) dari 9
kepulauan ini, dan orang Papua (Baca: Irian) yang terutama tinggal di New Guinea dan kepulauan sekitarnya. Di antara dua lokalitas itu ditemukan pula suku-suku yang memiliki ‘ciriciri antara’ dan kadang-kadang “menarik untuk menentukan, apa mereka termasuk dalam ras yang satu (Melayu) atau lainnya (Irian) atau terbentuk berkat percampuran antara keduanya.” Menurut Wallace, orang Melayu merupakan suku bangsa paling penting di antara keduanya, yang sebagian terbesar telah sempat berhubungan dengan orang-orang Eropa. Orang-orang Melayu (asli) tinggal di Semenanjung Malaka, serta hampir di seluruh daerah-daerah pantai Kalimantan dan Sumatera. Semuanya berbahasa Melayu, atau dengan logat yang sedikit berlainan. Orang-orang Jawa dikatakan oleh Wallace sebagian tinggal di Jawa, sebagian di Sumatera, Madura, Bali, dan sebagian dari Pulau Lombok. Mereka berbahasa Jawa dan Kawi yang “mereka tulis dalam suatu abjad setempat”. Istilah kurang iadab digunakan oleh Wallace untuk orang-orang Melayu (Savage Malays di halaman 447 alinea pertama) yang disebutnya sebagai mencakup (pula) orang-orang Dayak di Kalimantan, Batak dan suku-suku (liar) di Sumatera, orang-orang di Semenanjung Malaka, penduduk-penduduk suku asli Sulawesi Utara, serta kepulauan Sula serta sebagian dari pulau Buru. Seluruh penduduk yang menempati sisi sebelah Barat dari garis yang kemudian terkenal sebagai ‘Garis Wallace’ itu dicatat sebagai memiliki ciri-ciri khas impasif. Sedikitnya dengan bukunya ini Wallace sempat memperbaiki istilah yang digunakan oleh pengarang-pengarang sebelumnya tentang orangorang Melayu yang biadab dan haus darah (ferrocious and blood thirsty) yang dikatakan oleh Wallace sebagai “terlalu dilebih-lebihkan.” Bahkan di alinea kedua pada halaman 448 Wallace memuehji golongangolongan yang lebih bermartabat dari orang-orang Melayu sebagai “bukan main halus sopan santun dan tutur katanya, memiliki sifat pendiam serta bermartabat orang-orang Eropa yang paling beradab”. 10
Di alinea yang sama Wallace mengutip Nicolo Conti (1430) yang mengatakan bahwa penduduk Jawa dan Sumatera dalam hal kekejaman “melebihi suku-suku bangsa manapun yang lain”. Mereka menganggap membunuh sebagai sekedar “lelucon kecil”. Jika seseorang baru saja membeli sebilah pedang dan ingin mencobanya, maka ia akan menusukkannya ke dada orang yang pertama yang dijumpainya. Orangorang lewat akan memeriksa lukanya, dan memuji keterampilan orang yang telah menyebabkan luka itu. Diikuti oleh Sir Francis Drake yang pernah menulis bahwa penduduk Jawa sebagai “suku bangsa yang sangat cinta akan keadilan serta tulus hatinya.” Dan dikutip pernyataan Crawfurd yang mengatakan bahwa orang-oarng Jawa yang cukup dikenalnya sebagai “suku bangsa yang suka damai, cerdas, tenang, sederhana, dan rajin bekerja”. Barbosa sebaliknya mengatakan sekitar tahun 1860 (ketika dilihatnya di Malaka): “Mereka (orang-orang Jawa) merupakan orang-orang dengan kecerdasan yang tinggi, sangat halus dalam segala tingkah laku; sangat julig, penipu, jarang mengatakan yang sebenarnya; bersedia melakukan sesuatu dengan cara sekeji-kejinya, dan bersedia mengorbankan jiwanya sendiri.” Wallace mencatat suku Melayu sebagai agak kurang cerdas. Mereka “tidak mampu melakukan apapun yang lebih dari sekedar kombinasi-kombinasi paling sederhana dari beberapa gagasan, dan sangat kurang berminat memperoleh pengetahuan.” “Peradaban mereka nampaknya tak begitu tinggi,” demikian tulis Wallace. Sebaliknya, catatan Wallace mengenai orang-orang Papua (Irian) cukup menarik. Watak dan ciri morang orang-orang Irian sebagai “samasekali berlainan dari orang-orang Melayu,” seperti halnya bentuk tubuh mereka. Orang Irian impulsif, demostratif dalam bicara dan tindakan. Emosi dan gairah mereka tertuang jelas dalam teriakan-teriakan dan tawa mereka, serta dalam seruan-seruan serta loncatan-loncatan yang menjadi-jadi ! Walaupun diakui oleh Wallace bahwa sulit untuk melakukan pengukuran 11
intelek orang Irian, tetapi Wallace cenderung menilai mereka sebagai “lebih tinggi intelek mereka ketimbang orang-orang Melayu,” tanpa mengabaikan fakta bahwa orang-orang Irian belum pernah ada yang bertemu dengan peradaban yang lebih maju. Buru-buru Wallace menambahkan bahwa perlu diingat, orang-orang Melayu telah memperoleh pengaruh dari kedatangan berbagai bangsa lain, sedangkan orang-orang Irian ketika itu baru sempat bertemu dengan orangorang Melayu. Menyusul dicatat oleh Wallace tentang ras-ras “berambut wol hitam” di Filipina, yang diakui olehnya belum pernah dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Tetapi dari berbagai deskripsi yang akurat tentang orang-orang Filipina yang telah ditulis hingga 1860an tak diperoleh kesulitan sedikitpun oleh Wallace, bahwa hampir tak ada kemiripan atau afinitas mereka dengan orangorang Irian. Dengan saling membandingkan ras-ras tersebut dan membandingkan dengan ras-ras Asia Timur, Kepulauan Pasifik dan Australia sampailah Wallace kepada suatu pendapat yang sederhana tentang asal muasal dan afinitas mereka. “Jika kita menarik garis di sebelah timur kepulauan Filipina kemudian menyusuri pantai Barat Jailolo, serta berbelok kembali ke Pulau Cendana untuk mencakup Pulau Roti, kia akan membagi kepulauan (Nusantara) dalam dua bagian, yang ras-ras suku bangsa penghuninya menunjukkan kekhasan yang tajam. Garis ini akan memisahkan ras-ras Melayu dan semua ras Asiatik dari suku-suku Irian dan semua yang menjadi penghuni kepulauan Pasifik. Dan walaupun telah terjadi percampuran, namun secara keseluruhan pembagian itu baik sekali dilakukan dan memberi kontras yang kuat seperti ternyata (sesuai) dengan pembagian zoologis dari kepulauan Nusantara, menjadi wilayah Indo Malaya dan wilayah Austro-Malaya. Di halaman 453, lebih jauh Wallace menerangkan alasan-alasan yang telah 12
membimbingnya untuk mempertimbangkan pemisahan ini dari ras-ras Oseanik ini sebagai benar dan wajar. Menurut Wallace, ras Melayu secara keseluruhan tak teragukan lagi sangat mirip dengan penduduk Asia Timur yang menjangkau dari Siam hingga Manchuria. “Saya sangat terkesan oleh hal ini, ketika saya berada di Bali saya melihat pedagang-pedagang Cina yang telah mengambil adat kebiasaan setempat dan hampir tak mungkin dikenali dan dipisahkan dari orang-orang Melayu.” Di sisi lain saya telah melihat penduduk asli Jawa yang secara fisiognomis akan dengan mudah kita kira sebagai orang Cina. Kita memiliki suku-suku Melayu yang mendiami benua Asia, serentak bersamaan dengan pulau-pulau besar Nusantara dengan begitu banyak jenis binatang menyusui besar (yang sama atau berasal dari wilayah terdekat dengan benua Asia, yang membentuk atau berkaitan dengan benua Asia dalam masa atau periode manusia (human period.) Wallace tidak meragukan lagi orang-orang Negrito adalah ras yang samasekali berlainan dari suku Melayu; namun karena sebagain di antara mereka juga mendiami sebagian dari benua Asia, dan sebagian lain bertempat tinggal di Kepulauan Andaman dan Teluk Bengal, maka harus dianggap sebagai mempunyai asal Asiatik. Setelah membandingkan pengamatannya sendiri dengan pengamatan para pengelana dan misionaris, Wallace berpendapat ada suatu ras yang identik dalam segala ciri dan bentuk fisiknya dengan orang-orang Irian yang tinggal di seluruh kepulauan Pasifik hingga sejauh Kepulauan Fiji; lebih jauh lagi yakni ras Polynesia yang berkulit coklat yang mirip dengan yang berkulit sawo matang di Jailolo dan Seram. Wallace menyimpulkan dan tanpa tedeng aling-aling, maka Wallace menulis: “Kebanyakan dari kita (orang Barat) percaya bahwa kita sebagai ras-ras yang lebih tinggi telah mencapai kemajuan dan sedang maju terus. 13
Jika benar, ada keadaan sempurn sebagai tujuan akhir yang takkan pernah kita capai, tetapi yang harus membawa kita semakin dekat menghampirinya.” “Para pemikir kita (Barat) yang terbaik menyatakan bahwa suatu keadaan di mana kebebasan individual dan pemerintah sendiri memungkinkan perkembangan yang sama dan yang adil antara aspek intelektual, moral dan fisik diri kita. “Tiap orang memiliki kemampuan intelektual yang imbang guna memahami hukum moral dan tidak memerlukan motif lain, kecuali fitrat manusia yang tunduk kepada hukum. “Betapa nyata bahwa pada orang-orang yang masih dalam tingkat peradabansangat rendah kita melihat adanya pendekatan menuju keadaan sosial yang sempurna.” Kata Wallace lebih lanjut: “Saya telah hidup bersama masyarakat biadab, baik di Amerika Selatan maupun di Timur di mana tidak ada undang-undang atau mahkamah pengadilan, di mana pendapat umum (desa) dengan bebas dapat dinyatakan. “Tiap orang secara total menghormati hak-hak sesama, dan jarang terjadi pelanggaran terhadap hak-hak tersebut, kalau bukan tidak pernah sama sekali.” Dalam masyarakat seperti itu, kedudukan semua (hampir) sama. Tidak ada tingkat-tingkat yang berbeda antara yang memiliki pendidikan dan yang tak berpendidikan, antara yang kaya dan yang miskin, antara tuan dan hamba. Semua itu sesungguhnya merupakan produk peradaban kita (Barat). Tak ada pembagian kerja yang di samping mendorong manusia menumpuk kekayaan, sekaligus menciptakan kepentingan yang saling bertentangan. Tak ada kompetisi yang keras dan perjuangan untuk mepertahankan eksistensi, atau untuk mencapai kekayaan, yang (tidak dapat kita pungkiri) telah tercipta di negara-negara beradab dengan penduduk yang padat. Di kalangan bangsa-bangsa yang kita anggap masih setengah biadab, ti14
dak ada yang mendorong mereka melakukan kejahatan besar, dan kejahatankejahatan kecil dapat ditekan, sebagian oleh pendapat umum, tetapi terutama oleh rasa keadilan yang fitri dan oleh hak tetangga yang ada dalam tiap manusia. “Sekarang, walau kita (bangsa Barat) merasa telah mencapai kemajuan yang jauh di atas tingkat biadab, namun secara intelektual, kita (Barat) tidak mencapai kemajuan yang seimbang di bidang moral. Benar bahwa di antara golongan yang tidak menderita kekurangan yang dapat dipenuhi secara mudah, dan di antara mereka ada pendapat umum yang sangat berpengaruh, sehingga hak-hak orang lain sepenuhnya dihormati. Benar pula bahwa kita telah memperluas wilayah hak-hak kita itu, dan termasuk di dalamnya persaudaraan seluruh umat manusia. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa sebagian besar penduduk kita (Barat) belum mencapai lebih jauh ketimbang ugeran-ugeran moral bangsa biadab, dan dalam banyak hal kita bahkan telah tenggelam, jauh di bawah moral dari bangsa-bangsa yang kita anggap masih biadab. “Kekurangan moralitas adalah cela besar pada peradaban modern dan halangan paling besar bagi kemajuan dalam arti yang sesungguhnya,” demikian Walllace menyimpulkan pengalamannya setelah bersua dengan nene moyang kita pada pertengahan abad ke-19. Wallace lebih lanjut mengatakan bahwa selama abad ke-19 dan terutama 30 tahun terakhir (1830-1860an), kemajuan intelektual dan material telah terlalu cepat bagi Barat untuk mengambil panen dari kemajuan-kemajuan intelektual dan material. “Kemampuan kita menguasai alam telah membimbing kita kepada suatu tingkat pertambahan penduduk yang cepat dan suatu akumulasi kekayaan yang besar. Tetapi bersamaan dengan itu tercipta sejumlah kemiskinan dan kejahatan, yang mendorong tumbuhnya perasaan yang menjijikkan dan begitu banyak keinginan yang tak terkendali hingga patut kita pertanyakan, apa 15
status mental dan moral kita (Barat) rata-rata telah merosot ?” Dibandingkan dengan kemajuan kita (Barat) yang bukan alang kepalang dalam ilmu fisika dan penerapan praktisnya, sistem pemerintahan kita, serta dalam melaksanakan keadilan kita, maupun sistem pendidikan kita, serta seluruh organisasi dan moral, kita masih berada dalam tingkat biadab. Dan jika kita mengarahkan kemampuan kita untuk memanfaatkan pengetahuan kita di bidang hukum alam dengan pemikiran guna makin memperluas perdagangan dan menambah kekayaan, keburukan yang menyertainya jika kita terlalu bernafsu mengejarnya akan menjadi demikain besar, hingga akan mencapai tingkat di luar kemampuan kita untuk memikulnya.” “Kita harus mampu menyadari kenyataan bahwa kekayaan dan pengetahuan serta budaya dari segolongan kecil tidak merupakan peradaban, dan tidak dengan sendirinya membawa kita maju kepada keadaan sosial yang sempurna.” Sistem pembuatan barang dengan mesin pabrik yang telah mencapai ukuran raksasa, perdagangan kita yang telah mencapai ukuran raksasa, kota-kota yang dijubeli penduduk menunjang pembengkakan ukuran raksasa dari kemelaratan manusia dan kejahatan yang secara mutlak lebih besar ketimbang yang pernah ada hingga sekarang. Kemelaratan dan kejahatan mendorong makin banyak manusia yang nasibnya semakin berat, mengalami kontras terhadap kesenangan, kenikmatan dan kemewahan yang nampak di mana-mana yang tak mungkin mereka nikmati. Dan menjadikan kita jauh lebih buruk ketimbang orang-orang biadab yang tepat berada di tengah-tengah masyarakat (Modern Barat). “ Ini bukan suatu hasil yang patut kita banggakan,” kata Wallace. “Kini tiba saatnya kita harus mampu mengakui kegagalan pnya peradaban kita mengembangkan perasaan simpati dan kemampuan moral kita untuk (mengubah sistem) legislasi, perdagangan dan seluruh organisasi kita. Jika tidak demikian, maka kita tidak akan pernah mencapai superioritas terhadap kelas biadab yang sebenar memiliki martabat lebih baik. 16
Kata Wallace, “Inilah pelajaran yang saya petik dari pengamatan-pengamatan terhadap bangsa-bangsa yang semula kita anggap sebagai beradab.” Demikian kalimat kunci dari A.R. Wallace, dalam bukunya The Malay Archipelago. Kesan dan kesimpulan penulis sendiri setelah membaca The Malay Archipelago, sesungguhnya Wallace yang berangkat dari rumah dan negerinya sendiri nun jauh dari belahan dunia lain itu sebagai seorang naturalist telah pulang ke negeri sendiri telah berhasil memetik pelajaran yang sama sekali hampir tak berkaitan dengan studi determinasi biologis yang mendorongnya selama delapan tahun berkelana di Nusantara.. Setelah membandingkan kehidupan masyarakat maju Barat dengan suku-suku bangsa primitif, bahkan “biadab”, Wallace sampai kepada kesimpulan, bahwa kemampuan materi, intelektual dan teknologi Barat yang berkat ratio mampu menguasai alam itu, ternyata membiarkan diri bangsa bangsa Barat jauh lebih biadab, ketimbang kita yang tadinya mereka anggap sebagai bangsa-bangsa primitif. karena mereka telah kehilangan dimensi etika dan moral dalam upaya mereka dalam menggapai “kemajuan” ! Sungguh kesimpulan yang menegakkan bulu kuduk dalam konteks ruang dan waktu serta “kemajuan” seperti kita capai di Indonesia hingga akhir dasawarsa pertama dari abad 21 sekarang ini. Ketika kita sedang meninggalkan dasa warsa pertama abad 21 kesalahan bangsa-bangsa maju, setelah 65 tahun kita terlepas dari penjajahan. Justru sesudah empat abad kedatangan mereka di Nusanta dan hampir selama itu pula menjajah nenek moyang kita, kita sebagai bekas budak mereka mengulangi kesalahan majikan yang seyogianya kita anggap sebagai berdiri sama tinggi dengan kita sebagai sesama bangsa di dunia. Wallace secara tajam dan gamblang menggpreskan pena: Bahwa sesungguhnya suatu bangsa yang beradab pun tidak mungkin mengingkari dimensi, etika dan moral dari dirinya sebagai Bangsa ! 1. Indonesia yang unik dan kaya dengan flora dan fauna serta kekayaan 17
deposit sumber sumber tambangnya ( satu contoh saja di Tembagapura, Papua Barat yang adalah tambang emas dengan deposit emas terbesar di dunia. Garis Wallace menggaris-bawahi uniknya Indonesia sebagai bangsa yang merupakan gabungan bangsa-bangsa dengan ciri Indo-Malaya dan Austro-Malaya.
Ingat saja semboyan Bhineka Tungal Ika yang adalah slogan bangsa yang resmi tercantum pada lambang kenegaraan (coat of arms) Garuda Pancasila, hasil galian Prof.Mohammad Yamin setelah mendalami kitab-kitab Negarakertagama dari Prapanca dan Pararaton.
2. Bahwa kekayaan bangsa patut kita inventarisasikan secara teliti, dan ilmiah baik segi-segi biologis maupun antropologisnya, berikut kekayaan budaya dan kekayaan alam lainnya. 3. Untuk itu diperlukan pengerahan dana, daya dan segala kecanggihan berbagai alat-alat mutakhir, tetapi yang terutama kesadaran kita sebagai manusia dan bangsa yang (harus) mampu membaca masa lalu, maka kini dan masa depan. 4. Agar kita sebagai bangsa tidak lenyap ditelan keserakahan kita sendiri, satu-satunya pilihan adalah menjaga kelestarian kekayaan lahir dan batin Bangsa dan Tanah Air dengan penuh kearifan, demi kelangsungan kehidupan anak cucu mendatang ! ***
18
Indonesia Kembali ke Masa Depan ! KATA Peter Drucker, cara terbaik untuk memprediksi atau ‘meramalkan’ masa depan adalah dengan menciptakan masa depan. Artinya, kita sendiri harus menciptakan masa depan, sekarang ini juga. Dan untuk itu kita harus berani menoleh ke belakang. Bahwa sudah sejak ribuan tahun nenek moyang kita mengarungi perairan Nusantara yang oleh bangsa Cina Nusantara kita mereka sebut sebagai Nan-hai atau Kepulauan Selatan, karena letaknya di sebelah selatan Cina. Sudah sejribuan tahun lalu pula Valmiki, pencipta epos besar ‘Ramayana’ menyebut Nusantara sebagai Dwipantara yang mencakup Swarnadipa atau Pulau Emas dan Jawadipa atau Pulau Jawawut. Keduanya adalah yang sekarang kita kenal sebagai Pulau Sumatera dan Jawa. Orang Arab menyebut Nusantara Jaza-ir al-Jawi,’ dan yang mereka maksudkan bukan semata Pulau Jawa, karena sejak nenek moyang kita ratusan tahunlalu menunaikan haji ke Mekah, di mata orang-orang Arab, siapapun yang berasal dari Nusantara mereka anggap sebagai datang ‘dari Jawi.’ Pararaton (‘Kitab Raja Raja’ ditulis setelah tahun 1481 M), yang hingga kini belum terungkap siapa penulis naskah tertulis pertama yang menggunakan kata ‘Nusantara’, telah dijadikan sumber authentik oleh Eugene Douwes Dekker yang kemudian berganti nama Setiabudi, (1879-1950), yakni cucu kemenakan dari Eduard Douwes Dekker alias Multatuli, penulis buku ‘Max Havelaar’ menggunakan istilah Insulinde. Jadilah Douwes Dekker muda sebagai pengguna pertama kata Nusantara yang kemudian digantikan dengan kata ‘Indonesia.’ Baru pada tahun 1850 James Richard Logan (1819-1869) menggunakan kata ‘Indonesia’ sebagai istilah geografis untuk menghindarkan terlalu panjangnya kata ‘Indian Archiepelago,’ sekaligus untuk mencegah kerancuannya dengan (kata) India, seperti termuat di dalam majalah Journal of the Indian Archieplago and Eastern Asia (JIAEA)’ yang terbit di Singapura. Di dalam majalah itu Logan menulis artikel tentang cirri-ciri utama dari bangsa bangsa Papua, 19
Australia, Malayu dan Polynesia.’ Setelah tercetus gerakan kebangsaan Indonesia pada tahun 1908 yakni tahun didirikannya Boedi Oetomo tergulirlah penggunaan nama Indonesia oleh Bung Hatta, pendiri Indische Partij, yang kemudian mengubah nama partainya jadi Perhimpunan Indonesia, disusul oleh Raden Mas Soewardi Soeryaniningrat (yang kemudian berganti nama Ki Hadjar Dewantara) ketika dalam pembuangan di negeri Belanda mendirikan sebuah kantor berita Indonesische Pers Bureau. Jika kita menghitung-hitung kekaya-rayaan tanah air kita Indonesia, mungkin tidak akan pernah paripurna penghitungannya, walaupun secara terus menerus telah dilakukan oleh pemerintah penjajah Belanda dulu maupun oleh Jepang ketika menduduki tanah air kita antara tahun 1942-1945. Bahkan setelah lebih dari 65 tahun kita merdeka kita pun belum tahu setepatnya apa saja yang kita miliki dan seberapa besar cakupan keserba-ragaman suku-suku bangsa di seluruh Nusantara, masing-masing dengan adat-istiadat serta kekayaan seni budayanya belum pernah tercatat rapi dan lengkap, yang secara keseluruhan merupakan warisan dari ratusan bahkan ribuan tahun perjalanan kehidupan yang berbasis kepada hampir tiap dan semua agama dan kepercayaan dari sejak jaman batu hingga berdatangannya agama agama monotheistis yang ada di dunia. Semua itu menjadikan Nusantara yang diperlambangkan Multatuli bagaikan ‘rangkaian jamrud di katulistiwa’ dengan keragaman seni, budaya dan agama yang nyaris ‘tumpleg bleg’ di tanah tumpah darah kita. Kekayaan alam berupa puluhan bahkan mungkin mencapai puluhan nribu species flora, fauna darat, sungai, danau dan lautnya mencakup kekayaan zoo-geografis dan botanis yang berciri Asiatis maupun Australis yang puluhan bahkan ratusan ribu jenis atau speciesnya. Jumlah jenis bahan tambangnya di perut bumi Nusantara, termasuk yang ada di bawah laut, demikian kaya sehingga daftar jenis mineral yang ada di seluruh muka Bumi maupun bawah lautnya tak mustahil paling lengkap diband20
ing dengan negara mana pun. Dan satu contoh yang paling menonjol barangkali adalah tambang logam di Tembaga Pura di Irian Jaya yang ternyata adalah tambang emas dengan deposit emas paling banyak di dunia. Sehingga karena kekayaan tambang emas Tembagapura inilah yang barangkali telah menjadikan provinsi paling ujung di sebelah timur ini nyaris tidak kunjung usai sebagai masalah internasional, hingga baru pada tanggal 1 Mei 1963 Dr.Jalal Abdoh yang mewakili Pemerintahan Sementara UNTEA menyerahkan Irian Jaya kepada Bung Karno selaku presiden RI ketika itu. Keindahan dan kekayaan alam Indonesia yang membentang secara vertikal dan horisontal dari Puncak Jayawijaya yang menjulang lebih dari 4000 m di atas muka hingga selalu diselimuti salju sampai ke dasar Laut Banda dengan kedalaman lebih dari 6.000 m di bawah muka laut tak tergambarkan betapa beraneka ragam dan betapa besar nilai dan maknanya bagi kita sebagai Bangsa. Dan seakan-akan sudah adat kebiasaan dan ‘budaya’ sehingga kita selalu terlambat menyadari betapa kaya raya kita sebagai Bangsa. Dan ketidak-sadaran ini yang merupakan kekurangan dan kelemahan kita yang mendarah daging dan turun temurun sejak ribuan tahun. Termasuk di antaranya kesantaian kita mengembangkan pariwisata, terutama wisata bahari sebagai salah satu bagian dari hajad hidup manusia dan wahana kita yang harus selalu bergerak maju sebagai Bangsa. Sebagai catatan, tanggal 27 September 2009 adalah Hari Wisata Dunia yang ke-30 sejak diremikannya pada tahun 1980. Surat kabar Sinar Harapan adalah satu-satunya media Indonesia yang meliput Konferensi Pariwisata Dunia dari World Tourism Organisation pada bulan September-Oktober 1980 yakni ketika tanggal 27 September resmi dijadikan Hari Bakti Pariwisata Dunia. Setelah 30 tahun waktu berlalu seakan-akan terbang tanpa suara kita kurang menyadari bahwa sekitar 900.000.000 wisatawan dunia yang melanglang bumi tiap tahunnya, dan cuma kurang dari 1 persen dari jumlah itu yang `mampir ke Indonesia, padahal dunia mengakui kedudukan Indonesia seb21
agai satu di antara yang ‘maha indah dan maha kaya seni budayanya’ di dunia ! Sejarah mencatat selama ribuan tahun Indonesia menduduki posisi sebagai tempat singgahnya manusia yang lalu lalang sambil berdagang sekaligus sambil saling memperkaya kebudayaan antara sesama bangsa sedunia, tetapi kenapa kita seakan-akan buta akan hal ini ? Buktinya hingga hari ini seakanalam Indonesia menutup diri dengan cara menutup perairan Nusantara dari pariwisata bahari dunia ? Dengan ‘ancaman’ beban bea cukai yang nyaris tak terpikul olrh industri wisata bahari manca negara mana pun yang hendak melintasi Nusantara dengan kapal pesiar mereka. Padahal sudah belasan tahun Indonesia membanggakan diri dengan acara tahunan Sail Indonesia yang diselenggarakan tepat menjelang hari kemerdekaan 17 Agustus ratusan kapal dari berb agai penjuru dunia ikut serta dalam pesta bahari internasional kita itu. Yang sekaligus mengingatkan dunia dan diri kita sendiri bahwa sudah berbilang abad Nusantara menikmati posisi silang di lalu lalang bahari dunia ! Lebih menyedihkan lagi sudah puluhan tahun (bahkan sejak sebelum krisis 1998) banyak perusahaan perkapalan pesiar menunggu=nunggu untuk diijinkan memasuki perairan kita, seperti pernah mereka nikmati pada tahun 1970an. Hal ini disebabkan telah jenuhnya perairan Karibia dan Mediterania di samping Eropa yang sejak usai perang dunia II telah menjadi pusat-pusat kegiatan wisata bahari dengan kapal kapal pesiar dan yacht. Kini perairan Asia, dan sedianya termasuk peraran Indonesia, telah mengembangkan diri sebagai kancah nwisata bahari seperti dipelopori Shanghai yang menjelang Olympiade Beijing 2008 membangun pelabuhan khusus untuk kapal pesiar dengan kelengkapan canggih, menyusul pelabuhan-pelabuhan Singapura, Hongkong, bahkan Kualalumpur dan kota kota pelabuhan Asia lain yang telah lebih dulu siap, dibanding Indonesia yang hingga hari ini nyaris belum berbuat a. Padahal, Bali sebenarnya sudah siap dengan pelabuhan serupa di Padang Baai, walau tidak secanggih Singapura atau Kualalumpur. Kenapa Indonesia belum menjawab gedoran wisata bahari dari luar Asia yang 22
telah dijawab positif oleh Kualalumpur, Singapura, Bangkok hingga Shanghai. Pelayanan global lewat internet dari mana pun di dunia orang sekarang bisa memesan tiket untuk menikmati pelayanan kapal pesiar dari Holland America Line, misalnya dengan kapal pesiar Volendam, yang sepanjang tahun mengarungi Alaska-Asia-Australia-Selandia Baru yang juga singgah di Bali. Contoh lain, untuk tamasya laut dengan jarak lebih pendek antara Bali – Lombok - Pulau Komodo dengan menggunakan kapal pesiar kecil pun bisa dipesan bahkan dengan titik start dari Amerika atau Taiwan yang disambung dengan pelayanan Bali - Komodo dimaksud. Cukup banyak tawaran serupa seperti diberikan oleh perusahaan kapal pesiar lain yang melayani Indonesia, terutama Bali, yang dapat dilihat dan dipesan melalui internet. Seorang John Daniel, manager ‘Spice Islands Cruises’ untuk Bali sudah sejak lama merumuskan empat gagasan, b agaimana memacu perairan Nusantara kembali seramai seperti belasaan tahun lalu. Kita yakin dan percaya akan iktikad John Daniel setelah nertahun-tahun berkecimpung dalam bisnis wisata kapal pesiar di Indonesia. Pengalamannya membuktikan, para pejabat Indonesia dipujinya sebagai cukup kooperatif dan berminat mengembangkan sektor wisata kapal pesiar. Fasilitas dan pelayanan terus menerus bertambah baik di Indonesia. Ini terbukti dengan telah dibangunnya pelabuhan khusus kapal pesiar di Bali. Menurut John Daniel, untuk menghidupkan pasar wisata bahari di Indonesia perlu ditinjau kembali berbagai peraturan, khususnya yang menyangkut bea cukai. Di samping perlu dobentuk task force khusus untuk wisata kapal pesiar Kita perlu menyadari perlunya menjadikan Indonesia kompetitif dalam wisata kapal pesiar. Pemberian ijin menggunakan bendera Indonesia akan mendorong perekonomian Indonesia baik oleh kapal pesiar maupun kapal barang. Akan sangat menguntungkan bagi Indonesia, jika kapal asing dilonggar23
kan dengan penggunaan bendera Indonesia baik untuk kapal pesiar maupun kapal barang yang akan memperbesar pendapatan nasional dan menambah kesempatan kerja. Di antara kunci utama bagi Indonesia memasuki dan sekaligus menciptakan masa depan adalah membuka perairan Indonesia untuk dunia luar, demi kepentingan Indonesia sendiri ! ***
24
Dari Menjelang Proklamasi Sampai ke Era Informasi Mitos dan Realitas Menjelang Proklamasi Merancang Pembangunan Secara Terpadu Mengenang Kembali Multatuli Memasuki Era Informasi Tanpa Korupsi
25
Mitos dan Realitas Menjelang Proklamasi SEORANG penulis Belanda, Bob Hering, dalam bukunya berjudul “Soekarno, Founding Father of Indonesia 1901- 1945” (terbitan Koninklijk Instituut voor Taal, Land and Volkenkunde/KITLV Press, Leiden, 2002) di halaman 364 mencatat pada 10 Agustus 1945 Soetan Sjahrir memberitahu (penyair) Chairil Anwar tentang telah dijatuhkannya bom atom di Nagasaki dan bahwa Jepang telah menerima ultimatum dari Sekutu untuk menyerah. Sjahrir mengetahui hal itu melalui siaran radio luar negeri, yang ketika itu terlarang. Berita ini kemudian tersebar di lingkungan para pemuda (terutama para pendukung Syahrir.) Sekembali mendampingi Ir Soekarno dan Radjiman ke Dalat (250 km di sebelah timur laut dari Saigon), pada 14 Agustus Hatta menceritakan kepada Sjahrir tentang hasil pertemuan di Dalat pada tanggal 11 Agustus di mana Jepang melalui Marsekal Terauchi mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia (dapat dilaksanakan) dalam beberapa hari. Sjahrir mengomentari hasil pertemuan Dalat sebagai tipu busuk Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah; “Dan Sjahrir mendesak Hatta supaya proklamasi Indonesia merdeka segera dilaksanakan, karena Jepang sudah tamat dan sudah tiba waktunya untuk menjadikan situasi Indonesia serevolusioner mungkin, demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro dengan Jepang. Sementara itu Sjahrir menyiapkan pengikutnya yang bakal berdemonstrasi dan bahkan mungkin harus siap menghadapi bala tentara Jepang dalam hal mereka akan menggunakan kekerasan.” Sjahrir telah menyusun teks proklamasi dan telah dikirimkan ke seluruh Jawa untuk dicetak dan dibagi-bagikan. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Sjahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan 26
Indonesia (PPKI). Pada 15 Agustus, setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong. Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo ke kantor Bukanfu, Laksamana Maeda, di Jalan Imam Bonjol. Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokio. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 malam 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan UUD yang sehari sebelumnya telah disiapkan Hatta. Pada 15 Agustus, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pengikut Sjahrir. Pada siang hari mereka berkumpul di rumah Hatta, dan sekitar pukul 10 malam di rumah Soekarno. Sekitar 15 pemuda menuntut Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan melalui radio, disusul pengambilalihan kekuasaan. Mereka juga menolak rencana PPKI untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 16 Agustus. Wikana (pernah menjadi anak buah Soekarno pada 1930-an di Bandung mengatakan “besok pagi akan terjadi pembunuhan jika keinginan pemuda tidak dilaksanakan”. Soekarno dengan marah menghampiri Wikana sambil menunjuk lehernya sendiri. Soekarno berteriak kepada Wikana: “Ini leher saya, seret saya ke pojok itu dan habisi saya di sini sekarang, tidak usah menunggu besok pagi.” Wikana terkejut sambil mengatakan ia tidak berniat membunuh Soekarno. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soek27
arno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu terjadi insiden Rengasdengklok. Pada pagi 16 Agustus selepas sahur (ketika itu bulan Puasa), Soekarno bersama isteri dan bayi laki -lakinya yang baru berumur 9 bulan) dan Hatta diculik. Sekembali dari Rengasdengklok Soekarno-Hatta bertekad memproklamasikan kemerdekaan. Mereka tidak keberatan kehadiran Maeda di situ karena selain merasa terlindung, mereka juga hendak memberi pelajaran kepada para pemuda tentang urusan diplomatik yang sangat rumit. Para pemuda mengusulkan naskah proklamasi menyatakan semua aparat pemerintahan harus dikuasai oleh rakyat dari pihak asing yang masih menguasainya. Tetapi mayoritas anggota PPKI menolaknya dan disetujuilah naskah proklamasi seperti adanya hingga sekarang. Para pemuda kemudian menuntut enam pemuda turut menandatangani proklamasi bersama Soekarno dan Hatta dan bukan para anggota PPKI. Para pemuda menganggap PPKI mewakili Jepang. Kompromi pun terwujud dengan membubuhkan anak kalimat “atas nama Bangsa Indonesia” Soekarnohatta, 17 Agustus 2605. Ironis, peristiwa bersejarah ini kemudian dianggap punya dua naskah proklamasi. Yang pertama, ditulis tangan oleh Soekarno, yang keduanya diketik oleh Sajoeti Melik (sekretaris Soekarno) yang juga ditandatangani Soekarno-Hatta. Sejarawan Nugroho Notosutanto mengaburkan Soekarno sebagai “yang melahirkan Pancasila” dan menyatakan teks proklamasi yang otentik justru yang diketik Sajoeti Melik. ***
28
Merancang Pembangunan Maluku Secara Terpadu WARTAWAN pakar lingkungan bahari, Peter Schröder, membuka pendapatnya tentang pelestarian lingkungan bahari Maluku dengan dongeng ‘Pangeran Kecil’ dari Antoine de Saint Exupery, ketika tokoh dongeng dari Perancis itu bertemu dengan nserigala di tengah hutan. “Dari mana ?” tanya serigala kepada Pangeran Kecil. “Dari planet, jauh sana!” jawab si Pangeran menunjuk ke angkasa, menuding salah satu, entah planet yang mana. Tanya sang serigala lagi kepada sang Pangeran: “Apa di sana ada pemburu?” “Tidak ada,” jawab Pangeran Kecil. “Apa di sana ada....ayam?” tanya serigala lagi. “Juga tidak ada!” jawab pangeran kita lagi. “Kalau begitu memang tak ada suatupun yang sempurna!” kata si serigala. Tetapi sebagai seorang manusia profesional mungkin kata sempurna tak cukup – mungkin tidak tepat? – untuk menggambarkan diri Peter Schröder yang bertubuh jangkung, layaknya seorang Barat. Nampak rapi. mengenakan sport hemd dan celana panjang, penyelam SCUBA, pemotret bawah laut, Peter juga pemegang lisensi terbang, alias pilot. Ia juga pernah jadi wartawan cukup jago, redaktur finansial di ‘New Zealand Herald, ‘ Auckland, Selandia Baru, kemudian koresponden luar negeri Radio AVRO (Algemen Vereniging Radio Omroep) Belanda berhaluan tidak ke kiri (Partai Pekerja) maupun ke kanan (Katholik). “Netral,” katanya. Schröder ditemui wartawan ini justru bukan karena kebiasaannya menyelam sambil mrmotret di bawah laut, atau membawakan pesawat udara, atau karena ia jago dalam bidang jurnalistik. Ia kini jadi Konsultan untuk pengelo29
laan sumber-sumber daya pantai dan konservasi laut untuk Indonesia. Sudah satu tahun Schröder berada di Indonesia, nampaknya begitu “kesengsem” (gandrung, atau jatuh hati) kepada Maluku. Bukan semata karena sejak abad 15 nenek moyangnya sudah lebih dulu jatuh hati dan ada “hubungan mesra” dengan cengkeh, dan bunga pala atau fuli, Maluku. Tetapi karena potensi Maluku secara kekayaan laut (flora berikut faunanya) termasuk yang paling bervariasi dan kaya dalam jenisnya, dibanding dengan seantero wilayah tropis dunia selebihnya. Terlebih lagi, demikian Peter C. Schröder, jika dikawinkan dengan pengembangan kepariwisataan, pelestarian alam laut di Maluku akan bisa menjadikan Maluku sebagai model pembangunan daerah di Indonesia yang bisa di “pilotproject”kan,. Apa lagi menurut Schröder, jika Presiden Soeharto berkenan meng’kepres’kannya. (baca : menetapkannya melalui suatu Keputusan Presiden). Maluku akan jadi provinsi contoh yang bisa dibangun dengan mengembangkan kepariwisataannya yang terkenal di seantero dunia dengan keindahan taman lautnya. Serentak dengan itu memungkinkan bagian tanah air kita ini akan tertata, terkelola baik, dan terpelihara kekayaan alam darat dan lautnya dengan segala flora dan fauna di darat maupun di bawah permukaan laut. Laki-laki jangkung yang fasih berbahasa Indoensia ini (kelahiran Mojokerto, Jawa Timur pada 1928, pada jaman pendudukanJepang “sempat” diinternir selam 3 ½ tahun dan pindah-pindah interniran di tiga-empat tempat (Surabaya, Tangerang, dan Cimahi) dan fasih berbahasa inggris. Karir jurnalistik-radionya selama bertahun-tahun dibinanya di New York. Ia juga mampu dengan baik berbahasa Jerman dan Spanyol, serta cukup baik dalam bahasa Perancis. Kehidupannya di Indonesia (diperbantukan kepada Direktur Jendral Perlindungan Hutan dan Pelesataian Alam, Prof. Dr. Ir. Rubini Atmawidjaya, M.Sc.) merupakan uluran tangan WWF/IUCN (World Wide Fund for Nature / International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) melalui kebaikan hati WWF Belanda. 30
Dengan sungguh-sungguh dan penuh anthousiasme, bahkan ibarat sudah tenggelam dalam keyakinannya, Peter Schröder mengatakan bahwa begitu kita hendak melindungi sesuatu, maka itu berarti ‘beaya.’ Dan beaya dalam keketatan budget negara, seperti sedang dihadapi RI sekarang, tentulah merupakan kendala. Hingga Schröder sampai kepada pembinaan dan pelestarian alam yang dinamakannya sebagai memiliki “tujuan ganda” ( with dual purpose), harus memenuhi tujuan ekonomis dan tujuan ekologis. Dan menariknya pada gagasan Schröder adalah didahulukannya tujuan ekonomis yang tentu saja berarti mendahulukan unsur manusia yang perlu memperoleh manfaat dari tiap konservasi, apakah itu laut, darat, berikut flora atau faunanya. Apabila kita bandingkan dengan Nusa Dua proyek Bank Dunia yang baru sesudah belasan tahun menggelinding dari sejak gagasan, rencana di atas kertas, hingga terwujud berupa penanaman modal dan dapat dibangun hotel-hotel mewah di bagian paling selatan Bali yang tandus, kering kerontang dan kini hijau kemilau itu, maka Maluku dilihat oleh Schröder sebagai “dapat memberikan efek kaskade,” mengalir serta bertingkat. Jika dituangkan dalam suatu perencanaan yang secara teknis (wisata, perlindungan alam yang dengan sendirinya akan menyangkut hampir jika tidak seluruh hajad hidup),maka pengembangan potensi wisata Maluku dengan kekayaan alam lautnya yang serentak akan melestarikannya, maka badanbadan internasional seperti Bank Dunia, Asia Development Bank, serta badan serupa dari negara-negara Masyarakat Ekonomi Eropa akan dengan yakin dan senang hati mengulurkan tangan (baca: kredit) untuk menjadikan Maluku terwujud sebagai model pembangunan provinsi Indonesia yang sekaligus akan dapat diterapkan di provinsi lain dari Aceh hingga Irian, bahkan di negaranegara Afrika atau Amerika Latin. Jika kita hanya membangun satu proyek saja, katakanlah pangan, menurut Schröder, maka keberhasilan di satu bidang ini bisa menimbulkan “tekanan-tekanan” dari berbagai jurusan, apalagi jika di bidang-bidang lain belum 31
siap, atau “mandiri.” Dengan pengembangan secara menyeluruh (termasuk, kesehatan, pertanian, dan apa saja), maka ibarat “mengangkat” suatu provinsi ke suatu permukaan kesejahteraan yang lebih tinggi, “Maluku bisa terangkat secara menyeluruh, walaupun mungkin harus dengan cara perlahan-lahan!” kata Schröder, “ tanpa stress dari aspek apa pun. Karena semua aspek dikembangkan secara bersama ! ” Untuk mewujudkan gagasannya Schröder percaya, bahwa proyek utama dapat dikatakan pariwisata dan pelestarian alam. Tetapi akan banyak sub-sub proyek lain. Dan masing-masing proyek dan sub-proyek dapat “ditawarkan” kepada badan internasional yang mumpuni secara khusus. Katakalah, jika Bank Dunia paling mahir di bidang pertanian, maka sisi pertaniannya dapat dipercayakan kepada Bank Dunia. Bank Pembangunan Asia dengan kekhususannya dsb. Bidang kesehatan dll dapat diserahkan kepada badan-badan internasional yang memang mempunyai kekhususan, kemahiran dan pengalaman. Prose kaskade yang dimaksudkannya adalah antara badan-badan internasional ke Pemerintah Pusat, kemudian dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah sampai kepada proyek-proyek di lapangan akan memungkinkan bantuan serta penanaman modal dari dunia internasional ibarat “mengalir ke bawah” seperti pada proses kaskade (bertingkat-tingkat dari atas ke bawah) sampai ke daerah Maluku. Sesudah melakukan perjalanan laut, udara, dan darat sekitar 22.000 km selama satu tahun, maka pulau-pulau besar di Maluku termasuk Ambon, Ternate dll sudah dijelajahinya, hingga ia telah memiliki wawasan yang cukup lengkap mengenai potensi dan kekayaan Maluku secara flora dan fauna khususnya laut dan pariwisata, termasuk peninggalan sejarahnya berupa benteng-benteng dsb. Pendekatan ilmiah, baik ekonomi dan pelestarian alam bisa dengan sendirinya timbul pada diri Schröder dalam menatap Maluku sebagai calon ‘pilot 32
project’ yang diidam-idamkannya itu, karena gelar-gelar yang dimilikinya di bidang ekonomi dan biologi dan biologi laut, bahkan studi-studi post masters diambilnya di bidang politik ekonomi, ekonomi sumber-sumber daya alam, oseanografi biologis, di samping displin utama ekonomi dan biologi laut yang diperolehnya di negeri Belanda dan Amerika. “Saya menyadari, betapa berbelit-belit dan ibarat lewat labyrinth jika gagasan ini diwujudkan melalui saluran-saluran legislatif, DPR, karena akan memerlukan waktu bertahun-tahun. “Dengan di’kepres’kan, bila dicapai kesepakatan antar Gubernur Maluku dan pucuk pimpinan Negara, maka saya pribadi yakin dalam tahun ini juga akan dapat dikeluarkan suatu Keputusan Presiden yang akan memungkinan Maluku tidak sekadar akan memberi manfaat kepada Republik ini, tetatpi juga negara-negara dan benua-benua lain,” kata Schröder. Melihat Pelita IV ini saja, di Maluku akan dilestarikan 1 juta hektar wilayah konservasi laut (dari keseluruhan 10 juta hektar di seluruh negeri). “Saudara tahu seberapa besar 1 juta hektar wilayah ? Itu sama besarnya dengan wilayah negeri Belanda!” kata Schröder penuh minat. Dari kenyataan ini dapat kita bayangkan betapa besar suatu wilayah Maluku jika diskalakan dengan luas negara-negara Eropa, hingga dampak dijadikannaya suatu pilot project Maluku sebagai model pengembangan wisata dan konservasi alam, berikut aspek-aspek kehidupan lainnya akan cukup menarik dimata dunia. Menjawab pertanyaan wartawan “SH” apakah gagasan tidak harus diawali dengan suatu persediaan budget cukup besar dan halangan-halangan apa yang mungkin bisa timbul sehubungan dengan gagasannya itu, Schröder berkata. “Sya tidak melihat adanya halangan, kecuali birokrasi. Dan segalanya memerlukan waktu. Dan setiap langkah akan melicinkan langkah yang berikut. Mungkin Pemerintah Pusat harus lebih dulu memberikan pinjaman atau bantuan kepada Pemerintah Daerah. Tetapi sesudah itu yang diperlukan han33
ya satu kantor penghubung di Jakarta dan kantor yang menangani hal ihwal teknis di Maluku ! ” kata Schröder. Suatu hal paling menarik diterangkan, kenapa Maluku sangat ideal untuk pilot project seperti ini. Sebuah pulau yang kecil sangat mudah terganggu kedaan alamnya. Gangguan-gangguan terhadap flora dan faunanya jauh lebih rawan daripada di pulau yang lebih besar. Sebaliknya pemulihan atau perbaikannya juga jauh lebih mudah, ketimbang pulau atau “benua” besar. Dan jika kita lihat peta Maluku yang memiliki begitu banyak pulau, hampir seribu pulau, maka rehabilitasi dan pelestarian alamnya akan jauh lebih mudah ketimbang harus melakukannya di Pulau Kalimantan, misalnya. Dan yang menggembirakan, Pemerintah Daerah provinsi Maluku sangat bergairah untuk melakukan pembangunan terhadap sumber-sumber daya alamnya, khususnya pada potensi laut dan rekreasi laut, hingga tujuan dan pemilihan pariwisata dan konservasi alam laut sangat tepat dengan gairah mereka. Disadari pula oleh Pemerintah Daerah Maluku tentang perlunya memperbesar bisnis perdagangan dan kepariwisataan. Dirasa juga perlunya tarif hotel yang lebih menarik serta pelayanan akomodasi hotel, baik untuk turis domestik maupun asing. Tahun 1984 memang baru berdatangan 5.672 orang ke Maluku sebagai turis. Dan kamar hotel di seluruh propinsi ini baru ada 720 kamar, di samping toko-toko souvenir, kantor-kantor biro perjalanan dan restoran. Dan tingginya tarif hotel di provinsi ini menunjukkan sangat diperlukannya akomodasi yang lebih pantas tarifnya. Di samping itu provinsi Maluku jelas-jelas ingin melihat adanya penanaman modal di provinsi ini. Hingga tercataltah daftar panjang tujuan dari pilot project itu, antara lain stimulasi dan pengembangan tourisme, rehabilitasi tempat-tempat historis di Ternate, Tidore, Ambon dan Banda, pemulihan “kecantikan” tempat-tempat historis di Morotai dan Bacan. (Keduanya merupakan 34
ajang Perang Dunia II yang lalu.) Dan tentu saja proteksi terhadap lingkungan laut dengan menciptakan wilayah-wilayah rekreasi laut, taman-taman laut, cagar alam laut, berikut wilayah-wilayah penyangga. Schröder juga mencatat kegairahan Pemerintah Maluku untuk mendorong wisata domestik di provinsi Maluku sendiri, dan provinsi yang termasuk paling jauh dari Pusat ini juga ingin menyumbangkan valuta asing kepada Republik. Untuk pengembangan dan penanaman modal, baik oleh sektor swasta dalam negeri maupun luar negeri. Pemerintah Pusat dan daerah perlu menyediakan insentif dan iming-iming berupa kelonggaran pajak, serta bantuan administrasi yang tidak terlalu birokratis. Faedah dan keuntungan yang bisa timbul dari dijadikannya Maluku sebagai pilot project pengembagan pariwisata dan pelestarian alam laut sangat banyak, baik dalam kaitan daerah maupun Negara secara keseluruhan. Provinsi Maluku sudah sejak berabad-abad berhubungan orang-orang maupun budaya asing. Ambon telah memiliki airport yang cukup lengkap dengan fasilitas-fasilitas perjalanan internasional, di samping Ambon telah jadi salah satu entry point internasional. Kemudahan untuk menuju ke provinsiprovinsi lain sudah cukup baik, walau masih bisa diperbaiki. Schröder menekankan akan timbulnya permintaan terhadap tenagatenaga kerja trampil yang akan menuntut disediakannya pusat-pusat latihan tenaga trampil. Dan bagi provinsi secara keseluruhan, kelak pendapatan dari kepariwisataan akan bertambah, dan pemasukan pajak pun akan naik. Serentak dengan itu Schröder juga menekankan pentingnya ditingkatkan fasilitas-fasilitas kesehatan untuk meningkatkan kesehatan umum. “Tersedianya rumah sakit yang cukup baik dan tingkat hygiene yang memadai merupakan keharusan, jika saudara menghendaki masuknya turis asing ke Maluku, “ kata Schröder. 35
Dan lapangan kerja trampil untuk bidang administratif akan menanjak pula: akuntan, penata buku, dll. Dan tuntutan akan pendidikan akan semakin bertambah, apalagi jika dikehendaki penelitian dan pengelolaan sumbersumber daya pantai dan laut supaya makin meningkat. Singkatnya, implementasi pilot project rencana pembangunan seperti digagas oleh Schroeder akan mendorong secara horisontal dan vertikal melalui integrasi ekonomi, pendidikan dan ekologi di seluruh provinsi. Keuntungan berganda (spin off) akan menyebar ke seluruh kepulauan Indonesia. Bahkan tempat-tempat sejauh Bali atau Pulau Seribu pun akan memperoleh faedahnya. Pada akhirnya semua bangsa Indonesia akan memperoleh keuntungan dari makin bertambahnya valuta asing yang masuk, serta terlindung dan dilestarikannya sumber-sumber alam yang dinamakan oleh Schröder sebagai “sensitif” itu.
36
Mengenang Kembali Multatuli KATA “korupsi” memang tidak satu kali pun digunakan dalam novel Max Havelaar of de Koffieveillingen der Nederlandsche Handelmaatschappij atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda karangan Multatuli, alias Eduard Douwes Dekker yang telah ditulis hampir satu setengah abad yang lalu. Tapi buku itu adalah kisah tentang penguasa yang korup, baik yang kulit putih maupun yang kulit coklat. Mengenang pengarang kelahiran Amsterdam 3 Maret 1820 itu, barangkali tidak ada salahnya jika kita menyimak kembali isi buku ini yang memiliki makna amat penting dalam sejarah Indonesia modem. Bangkitnya pergerakan kebangsaan di negeri kita satu antara lain telah diilhami oleh buku tersebut. Melalui karya Willem Frederik Harmans, penulis buku Multatuli yang Penuh Teka Teki (judul asli De raadselachtige Multatuli) dengan peterjemah edisi Indonesia HB Yassin, yang juga menerjemahkan Max Havelaar ke dalam bahasa Indonesia, kita mendapat penjelasan tentang latar belakang peristiwa yang menjadi pangkal tolak mahakarya ini. Dari bahan dokumentasi, diketahui apa latar di balik pertentangan antara asisten residen Douwes Dekker dengan pihak atasannya, residen Brest van Kempen dan gubernur jendral Daymaer van Twist. Max Havelaar yang telah menjadi bagian dari khazanah sastra dunia itu, pada dasarnya berinti kepada gugatan Douwes Dekker terhadap Bupati Lebak Karta Nata Negara yang dituduhnya memeras dan menindas rakyat. Pertentangan yang kemudian mengakibatkan Douwes Dekker berhenti menjadi asisten residen. Di dalam Max Havelaar peristiwa itu digambarkan walaupun agak berat sebelah dan dilihat dari sudut subjektif pengarangnya, sehingga menimbulkan kesan karya ini semacam tulisan pembelaan diri. Yang jelas telah terjadi bentrokan dan salah tafsir atas nilai nilai kebudayaan yang berlainan. Multatuli atau Douwes Dekker dengan gagasan-gagasan abad 19-nya yang menjunjung tanggung jawab dan kebebasan manusia di Er37
opa, berhadapan dengan tanggapan hak dan adat feodal masyarakat pribumi yang sudah terhitung berabad lamanya mengakar di daerah Lebak. Paralel dengan Indonesia Sekarang Multatuli dengan Max Havelaar-nya berhasil membukakan mata kaum politisi di Negeri Belanda saat itu tentang kebobrokan yang terjadi di daerah jajahannya, Akibatnya, sejak terbitnya Max Havelaar pada tahun 1860 pemerintah Belanda memulai usaha-usaha mendatangkan kesejahteraan pada kehidupan rakyat Indonesia, walaupun pada masa itu masih terjadi ekspedisi militer menaklukkan Aceh, Bali, dan Lombok. Sesungguhnya novel politik Max Havelaar telah mengujungtombaki pemberantasan korupsi di Hindia Belanda pada masa itu atau sekitar satu setengah abad sebelum Indonesia menjadi negara dan bangsa yang merdeka. Buku ini pula yang kemudian menyulut perubahan politik penjajahan Belanda, antara lain melalui politik balas budi (ethische politiek) di Hindia Timur, yang ujung-ujungnya kemudian mewujud kepada lebih diperhatikannya hal ihwal yang bertalian dengan pendidikan dan kesehatan untuk para pribumi Nusantara. Politik etis ini kemudian berbuah bumerang bagi sang penjajah, karena daripadanya tersulut kesadaran bumi putra untuk bergerak menentukan nasib diri sendiri yang lebih satu abad kemudian berhasil memproklamasikan diri sebagai bangsa Indonesia. Perihal tersebut di atas kita angkat di sini, bukan semata hari ini adalah hari lahir Eduard Douwes Dekker, tetapi kita sungguh tertusuk oleh ironi sejarah: Kenapa, jika Indonesia yang kini telah menjadi negara dan bangsa yang merdeka dan bahkan telah mewujud selama lebih dari 60 tahun, yang antara lain berkat buku Max Havelaar berthesis dan thema pokok emoh korupsi, justru sekarang korupsi makin ber”serimaharajalela” di Indonesia? Tidakkah kita menyadari bahwa justru di alam kemerdekaan dengan sistem pemerintahan demokrasi kita selayaknya juga emoh korupsi, seperti yang diprotes oleh Multatuli melalui buku Max Havelaar, yang termasuk ditu38
jukan kepada Raja Belanda, Willem m? Kenapa sistem pemerintahan demokratis kita justru seakan-akan menyuburkan sekaligus memuja korupsi bahkan sebagai “gaya hidup” (way of life) yang notabene sebagian besar justru dilakukan oleh mereka-mereka yang merasa diri berkuasa serta “memiliki lisensi untuk berbuat korupsi?” Kita melihat adanya paralelisme antara yang terjadi di Indonesia sekarang dengan di jaman Hindia Belanda pada jaman Multatuli. Perbedaannya adalah, Multatuli (melalui karyanya Max Havelaar) dapat mengadukan kekejaman yang dilakukan terhadap jutaan penduduk Hindia Belanda pada pertengahan abad 19 kepada Raja Willem III yang wilayah kekuasaannya meliputi Hindia Timur. Di Indonesia sekarang, walaupun kita memiliki seperangkat lembaga demokrasi dan pengawasan yang lengkap, dalam melaksanakan niat memberantas korupsi tetap saja kita menghadapi tembok tebal. Karena yang sedang terjadi di Indonesia, korupsi dilakukan di semua lini penyelenggaraan negara. Yang lebih ganjil lagi, jika di jaman satu setengah abad lalu karena adanya tabrakan antara nilai-nilai budaya Eropa dengan nilai-nilai lokal adat dan kebudayaan kita, di awal abad ke-21 sekarang di Indonesia justru tidak terjadi “tabrakan antarnilai”. Kenapa? Karena nilai-nilai lokal dan tradisional telah tergerus oleh nilai-nilai abad ke-21 yang makin menjadi hedonistis, materialistis, dan makin menjauh dari nilai-nilai luhur seperti dirangkum dalam mukadimah UUD 1945 yang mendahulukan ketakwaan kita kepada Tuhan yang Maha Esa serta perike-manusiaan yang adil dan beradab. Mungkin semuanya akhirnya terpulang kepada diri kita baik sebagai individu maupun sebagai bangsa. Rela dan sudikah kita menjadi lebih “penjajah” ketimbang Belanda yang dengan ethische politiek-nya masih bersedia memberikan pendidikan dan kesejahteraan kepada bangsa yang dijajahnya Atau sebaliknya kita justru lebih suka membiarkan kehidupan bangsa sendiri makin terkatung-katung dalam memecahkan masalah antara “mencukupi pangan dengan produksi sendiri atau mengimpor beras?” Sambil membiarkan nyaris 39
tiadanya kesejahteraan karena masih semrawut dan tidak tertibnya roda pemerintahan yang sedianya berjalan sesuai dengan kesepakatan di dalam UUD 1945 termasuk Panca Silanya? Jika kita tidak mampu atau lebih suka menutup mata dan tidak menjawab pertanyaan ini dengan arif dan hati-hati, maka kita bukan lagi individu maupun bangsa yang beradab serta merdeka yang berani mensejahterakan diri, melainkan masih lebih primitif ketimbang nenek moyang kita yang satu setengah abad lalu pun sudah dibela oleh Eduard Douwes Dekker dengan Max Havelaar-nya. ***
40
Memasuki Era Unformasi Tanpa Korupsi YANG paling mengesankan pada Alvin Toffler dan isterinya, Heiidi, adalah kerendahan hati mereka, serta pandangan jauh ke depan, tanpa kehilangan benang merah ke masa silam dan hari ini. Futurist mantan wartawan Alvin Toffler berkata, ketika bertemu dengan pimpinan Suara Pembaruan di Anggrek Room, Hilton Esecutive Club bahwa ia tidak tergesa-gesa percaya akan kesan pertama tentang Indonesia. Apalagi, baru beberapa puluh jam menginjakkan kaki di Jakarta. Dan ia tahu Jakarta tidak mutlak mewakili Indonesia seutuhnya. Dalam kata-katanya sendiri, Alvin mengatakan, betapa pun juga ia sangat terkesan setelah omong-omong dengan sekelompok intelektual kita tentang masalah ekonomi, politik, budaya, dan sosial yang dinilainya “sangat stimulatif.” Dengan wawasan saling-silang (cross currents) antara keragaman pandangan dan pemikiran yang berlain-lainan antara mereka, Toffler menghindarkan diri memberi kesan gegabah, mendadak dan dangkal. Dicontohkanya, walau selama delapan belas tahun terakhir sedikitnya dua kali tiap tahun berkunjung ke Jepang, Toffler merasa keliru dengan kesan mereka mengenai Jepang. Kata Heidi, “mata manusia sangat mudah keliru dalam memperoleh kesan),” (human eye is faulty). Dalam kesempatan kedua bicara dengan para intelektual di gedung Suara Pembaruan di Jl. Dewi Sartika 136-D bersam tuan rumah, Penerbit, diulang jelaskan oleh Toffler mengenai pendekatannya ke masa depan seperti dituturkannya melalui bukunya,.Gelombang Ketiga (The Third Wave.) “Perlu kita sadari, dari satu gelombang ke gelombang berikutnya (era pertanian, industrialisasi dan informasi) suatu bangsa bukan menempuh gelombang-gelombsng itu satu demi satu, seperti meniti tangga. Dan seakan bang41
sa yang satu sudah mendahului bangsa lain. “ Seperti halnya Indonesia, menurut Toffler bukan saja kini sedang berada pada tiga gelombang secara serentak, tetapi juga sebagian masih berada di pra=gelombang pertama, yakni jaman batu. Kecaman (keras) Alvin Toffler terhadap sistem serta falsafah pendidikan modern seperti kita artikan hingga sekarang (1988), sekolah sebagai sekedar pabrik yang mempersiapkan tenaga untuk diserap dan dimanfaatkan industri. Sebaliknya, negara berkembang seperti Indonesia dapat memberikan inspirasi baru dalam kebijakan pendidikan di masa datang, yang notabene tidak sekadar mencetak manusia untuk melayani dan dimanfaatkan oleh industri (gelombang kedua). Toffler menggambarkan masa depan dengan pendidikan yang tidak lagi seperti sekarang, melainkan dilengkapi dengan computer litearcy atau media literacy. (‘melek komputer[ dan ‘melek media.’) Di masa depan peranan komputer dan media (elektronika) akan sangat menonjol. Manusia tidak perlu lagi belajar berhitung, bahkan membaca. Dengan komputer, manusia tinggal memerintahkan sesuatu kepada komputer. Dan komputer akan melaksanakan, apa pun yang diperinbtahkan manusia. Di Executive Club, Toffler menyentuh betapa menyesatkannya rasionalitas birokrasi. “Bentuk klasik organisasi dalam masyarakat industri (gelombang kedua) adalah birokrasi. “Jika anda melihat prinsip dasar masyarakat industri, seperti standardisasi, sentralisasi, spesialisasi, sinkronisasi, maksimisasi dan sebagainya. Dan jika anda jumlahkan semua itu menjadi ‘birokrasi.’ Max Weber ketika menulis tentang birokrasi pada awal abad XX (sekitar 1910) mengatakan, birokrasi sebagai rasional. Kata Toffler: ‘Saya baru menulis buku baru lagi, berjudul An Analysis of A 42
Bureaucratic Behaviour. Di dalam proses penulisan, saya menjumpai kenyataan bahwa birokrasi adalah suatu yang ‘palsu’. Karena, di dalam setiap birokrasi, keputusan diambil berdasarkan pada konflik-konflik kekuatan politik yang mengalami pembenaran (justifikasi) melalui pengertian yang dianggap atau diterima sebagai rasional. Toffler meminta perhatian atas sedang terjadinya secara serentak perubahan di seluruh dunia, baik di bidang teknologi, politik, budaya, strategi dan sebagainya. Perubahan itu terjadi makin lama makin cepat. Dunia karenanya sedang dalam mencapai bentuknya yang baru. Hingga, setiap negara (termasuk Indonesia) harus berinteraksi dengan negara lain di dunia dan interaksi itu dilakukan harus berdasarkan kepada pengertian yang jelas, tentang apa yang sedang terjadi di dunia. “Sesuadah ratusan tahun berjalan industrialisasi, khususnya di negaranegara Barat, kini tahap industrialisasi sedang berada dalam proses akhirnya. Revolusi industri telah berjalan dan menempuh dengan tuntutan-tuntutan produksi massal yang semakin banyak, sistem distribusi massal yang lebih ketat, dan sebagainya. “Saya percaya, perubahan-perubahan yang sedang terjadi sesudah revolusi industri tidak akan bisa dipahami semata dengan pengertian proyeksi ‘linier.’ Perubahan-perubahan bukan cuma terjadi berurutan, melainkan secara serempak “ kata Toffler. Dicatat Toffler, Jepang akan membelanjakan sampai 50 miliar dollar Amerika untuk menambah bantuan mereka kepada negara berkembang (dunia ketiga). Dan Toffler menganjurkan Jepang untuk tidak mengikuti model lama dari bank yang lebih suka membangun berbagai proyek pembangunan seperti yang telah terjadi dengan contoh di Venezuela. Ketika Toffler menganjurkan supaya Jepang mengkhususkan pada bantuan diwujudkannya jaringan telekomunikasi elektronik di dunia ketiga, tampaknya Jepang pun setuju dengan sarannya itu. Sebelum ke Jakarta, Toffler dijamu santap malam oleh Menteri teleko43
munikasi Jepang, dan seperti dianjurkannya dalam pidato ilmiahnya di ‘Panglaykim Memorial Lecture’ Toffler ingin melihat (dengan bantuan Jepang atau Amerika) Indonesia akan memiliki jaringan komunikasi elektronik paling sempurna di Asia Tenggara guna mendukung pembangunan negara ini di tahaptahap berikut. Satu di antara yang paling mengesankan Toffler adalah nasionalisme yang tampak menduduki tempat yang penting di Indoensia. Menurut Toffler, nasionalisme bukan sekadar kumpulan ekonomi lokal yang bebas, melainkan sistem ekonomi yang terintegrasi dengan suatu sitem politik yang terintegrasi pula. Dengan kedatangan revolusi industri, pengertian nasionalisme seperti adanya di Eropa di kala itu mulai terjadi perubahan. Mulai diperlukan pembelian bulu domba dari Belgia, untuk ditenun di Inggris. Serta diperlukan pemasaran produk ke luar wilayah nasional penghasil produk itu. Maka, terciptalah gagasan-gagasan nasinalistis: mereka yang membawa mulai bergerak ke luar dari batas masyarakat lokal, mulai berpikir secara nasional. Jumlah kaum ‘nasionalis’ makin bertambah dengan terjadinya industrialisasi. Di Eropa di abad ke XIX adalah zaman terjadinya revolusi nasional. Pada tahun 1848 sebanyak 348 negara kecil Jerman bergabung menjadi satu Jerman. Musik klasik abad XIX memperdengarkan thema musik nasional. Nasionalisme tertuang di dalam puisi, seni, politik, dan sebagainya yang membantu mengakselerasikan perubahan-perubahan ekonomi di zaman itu. “Kami percaya yang sedang terjadi dewasa ini di seluruh dunia adalah munculnya sekelompok manusia yang punya kepentingan global. “Mereka tidak lagi bersikap dan berpikir dalam batas-batas nasional, melainkan supranasional. “Mereka punya ideologi mereka sendiri, kepentingan mereka sendiri, dan 44
peranan dalam pembangunan teknologi di planet Bumi ini,” kata Toffler. Toffler percaya dalam 25-50 tahun mendatang (dari tahun 1988) akan terjadi pembenturan antara gagasan nasionalistik dan globalistik. Heidi menambahkan, “juga simbolisme yang berkaitan dengan program angkasa luar. “Saya kira dalam sejarah manusis untuk pertama kali kelak akan kita melihat ke bawah ke arah planet bumi. Sekarang polusi terjadi menerobos batas nasional. “Pencemaran yang terbawa Sunga Rhein menyebar ke negara-negara lain, bahkan Kanada dan Amerika saling mencemari hujan asam. Ini sudah merupakan masalah global, bukan nasional lagi,” kata Heidi. Mendengar tentang semboyan Bhineka Tunggal Ika, Tofler percaya akan kebhinekaan dan ketunggalikaan dalam cakupan pengertian global. Toffler mengatakan ketakutan akan (kebebasan) menyatakan pendapat bisa mematikan kreativitas yang sangat diperlukan dalam pembangunan. “Manusis perlu berimajinasi bahkan manusia perlu (mampu) menduganduga” Toffler mengecam nasionalisme tipe gelombang kedua yang sudah usang perlu digantikan nasionalisme gelombang ketiga yang lebih terbuka. Toffler bahkan menyentuh mengenai korupsi dan birokrasi yang menurut hematnya “bisa mendorong ke arah kemunduran teknologi.” Negara berkembang, termasuk Indonseia, dihadapkan kepada dua pilihan, yakni antara dua teori pembangunan yang berstrategi dan wawasan kepada gelombang kedua (industrialisasi) dan yang berstrategi kepada gelombang ketiga (informasi). “Sudah tiba saatnya untuk memikirkan kembali ketertinggalan strategi pembangunan maupun pengertian nasionalisme seperti diartikan di Indonesia.” *** 45
46
Dari Costa Rica Melintasi Nusantara Sampai ke Ujung Tenggara Duniai Costa Rica Membangun Taman Perdamaian Dengan Anggaran Perdamaian Segitiga “Sijpri”, Proyek Pembangunan ASEAN Yang Sarat Ironi Menyeimbangkan Pulau Panaitan dan Ujung Kulon Kapan Pulau Seribu Dibenahi Dari Desa Tenganan Sampai Pantai Kuta Jutaan Hektar Taman Nasional Lorentz Terancam Musnah Mengintip Habitat Anjing Laut di Ujung Tenggara Dunia
47
Costa Rica Membangun Taman Perdamaian Dengan Anggaran Pertahanan BAGI majalah “Time” atau “Newsweek” tidak terlalu menggubris sidang umum Uni Internasional untuk Konservasi Alan dan Sumber Daya Alam (IUCN) di mana berkumpul lebih dari ratusan konservasionis dari 177 negara di dunia di San Jose, Costa Rica. Tetapi, begitu terjadi dar-der-dor di Nicaragua dijamin ratusan wartawan akan tumpleg-bleg ke Nicaragua, termasuk dari dua majalah berita palingtop itu. Lebih dari 1000 ahli lingkungan dan konservasi alam yang bermusyawarah untuk mencari jalan keluar dari kemampetan dan kepengapan lingkungan dunia dengan bumi termasuk laut, sungai, dan udaranya makin tercemari oleh ulah kita sendiri. Indonesia sebagai salah anggota melalui keanggotaan government agency, dalam hal ini Direktorat Jendral Pelestarian Hutan dan Lingkungan Alam (PHPA) mengirimkan Prof. Dr.Ir. Rubini Atmawidjaya, M.Sc., membawa amanat Presiden Suharto karena Indonesia di San Jose akan mengundang IUCN untuk menyelenggarakan sidang umumnya ke-18 di Indonesia tahun 1990. Lembaga-lembaga swadaya masyarakat Indonesia tidak absen di dalam sidang umum ke-17 yang berlangsung dari 1 sampai 10 Februari. Di samping itu ada ribuan orang yang ‘mewakili’ ratusan juta penduduk dari seantero dunia yang percaya akan kelestarian lingkungan alam. Tidak usah dibahas istilah kelestarian alam di sini, walau kita mengetahui bahwa di kalangan akademisi ada yang menganggap mengubris pelestarian alam sebagai ‘perbuatan orangsinting’, sebab tidak mungkin mengkonservasikan atau melestarikan alam yang bisa diartikan ini mengembalikan alam kepada ‘wujud asli dan lestari’nya alam, mungkin seperti sejak Adam dan Hawa sebelum diturunkan oleh Tuhan di Taman Firdaus itu. Cukup menarik untuk mengutip ucapan Presiden Costa Rica, Oscar Arias 48
Sanchez, yang dengan rendah hati mengakui bahwa negerinya adalah perusak hutan tropis nomor wahid di antara Negara-negara Amerika Latin. Suatu pengakuan yang bukan dengan sikap pasif belaka, sebab Costa Rica sejak beberapa tahun terakhir telah berusaha “menyimpan” 10% dari seluruh wilayah negeri ini tidak dikutak-katik untuk keperluan pembangunan, yang di negeri berkembang biasanya diartikan sebagai dirusak secara lingkungan. Agar ada jaminana kesinambungan pemanfaatan sumber-sumber daya alam, melalui pembanguna,a hingga mengoptimalkan sumber-sumber daya alam untuk menaikkan taraf hidup bangsanya. Karena sudah cukup lama dilakukan investasi di bidang pendidikan dan kesehatan, Costa Rica kini memiliki tingkat kesehatan yang dapat dibandingkan dengan Negara-negara maju; serta dengan kenaikan pertumbuhan (fasilitas) pendidikan sekitar 10%/tahun. Pada tahun 1949, osta Rica telah menghapus kesatuan-kesatuan angkatan bersenjatanya, yang semula menelan 22% anggaran belanja negaratiap tahun. Kemudian, sebagiian besar dana yang tadinya digunakan untuk angkatan bersenjata iulalu dialaihkan ke bidang kesehatan, pendidikan, energi, pertanian, penyediaan air minum dan pembanguna serta proteksi terhadap sumbersumber daya alam dan lingkungan. Namun, Costa Rica tidak mengorbankan kepenetingan keamanan nasionalnya. Seperti diucapkan oleh Direktur Strategi Konservasi Nasional Costa Rica, Dr. Carlos Quesada: “Kita hanya merumuskan kembali konsep keamanan nasional. Dari kemampuan berperang kita alihkan menjadi kemampuan untuk ‘berkemakmuran dalam keadaan damai.” Itu berarti, konsep keamanan nasional (Costa Rica) tidak lagi didasarkan kepada (kekuatan) senjata, tetapi pada kesejahteraan rakyatnya dan kemampuan dan kebebasan mereka untuk produktif.” 49
Suatu masyarakat tidak harus kaya untuk bisa menyediakan keperluankeperluan mendasar dari rakyatnya, dan secara sederhana dapat dikatakan (Costa Rica) harus mampu menggunakan sember-sumber daya alamnya dengan bijaksana. Jika keperluan sosial telah terpenuhi, maka ketegangan sosial yang menyebabkan perlunya angkatan perang tidak akan timbul, dan iklim akan tercipta untuk partisipasi demokrasi dari rakyat dalam pengambilan keputusankeputusan yang mempengaruhi masa depan mereka,” kata Quesada. Dengan konsep keamanan tersebut dengan cepat Costa Rica memperoleh dukungan dari Negara-negara sekitarnya. Dan tepi-tepi wilayah Costa Rica yang berdekatan dengan Negara-negara lain (Nicaragua dan Panama) kini diciptakan taman-taman perdamaian internasional untuk mengurangi ketegangan, guna melindungi ekosistem-ekosistem yang terancam, dan ddengan demikian Cosa Rica dapat melakukan tindakan positif dengan melakukan kerjasama antar negara yang pada masa lalu sering saling bertikai. Di antara taman-taman internasional seperti itu adalah Taman Internasional La Amistad, jika kelak perluasannya yang akan mencakup wilayah Panama terealisir. Taman-taman lain termasuk Biotopo Trifinio di perbatasan dengan El Savador, Guatemala dan Honduras dan Nicaragua. Dikandung maksud pula untuk menciptakan “Cagar Alam Perdamaian” di sepanjang perbatasan antara Costa Rica dan Nicaragua. Ada persamaan dan kesejajaran yang tajam antara Costa Rica (negeri kecil dengan penduduk sekitar 1,4 juta itu) dengan Indonesia yang secara geografis serta kekayaan sumber-sumber daya alamnya dapat dibandingkan bahkan dengan hampir seluruh bagian benua Amerika Latin. Baik Costa Rica maupun Indonesia sama-sama memiliki kekayaan sumbersumber daya alam yang secara relatif masih dapat diselamatkan serta menjadi modal pembangunan yang berkesinambungan. Keduanya juga memiliki cita-cita pembangunan yang tidak semata mendahulukan materi. (Salah seorang Presdien Costa Rica di masa lalu bahkan 50
mengatakan bahwa untuk membangun Costa Rica diperlukan “traktor dan biola,” kata lain dari material dan spiritual. Seperti halnya dengan Indonesia yang bertekad membangun manusia Indonesia sutuhnya” yang juga berdimensi spiritual. Kesejajaran yang masih bakal terwujud adalah, jika Costa Rica telah berhasil menjadi negeri tuan rumah dari sidang umum IUCN awal bulan Februari ini, berkat undangan Presiden Soeharto yang dibawa oleh Prof.Dr. Rubini Atmawidjaya, sanagt boleh jadi sidang umum IUCN ke-18 1990 mendatang akan diselenggarakan di Indonesia. Seperti dikatakan Presiden IUCN, Dr. Swaminathan kepada wartwan ini “(IUCN) sangat menghargai spotanitas yang simpatik dari Presiden Soeharto yang menawarkan diri untuk menjadi tuan rumah siding umum IUCN yang akan datang.” Beberapa LSM Pembinaan Kesejahteraan Keluarga di Indonesia yang dipimpin oleh Ny. Soepardjo Roestam memperoleh penghargaan dari IUCN dan Komisi Brundlandt yang mengakui LSM-LSM wanita Indonesia kita sebagai “penggalang kekuatan peranan wanita (Indonesia) dalam mengambil bagian penting dalam pelestarian lingkungan hidup serta perbaikan taraf hidup bangsa.” Sebagai Direktur Jendral PHPA yang bertanggungjawab atas kelstarian hutan tropis di seantero Nusantara, Prof Rubini un mendapaat enghargaan untuk jasanya menjalankan tugasnya dengan paripurna. Di samping menyampaikan undangan Presiden Soeharto ke IUCN, akhir bulan Februari ini pun Prof. Rubni akan menyelenggarakan pertemuan antara badan-badan internasional seperti IUCN, WWF (World Wide Fund for Nature, yang dulu adalah World Wildlife Fund) di samping Natuur Fonds Nederlands untuk bersama-sama Pemerintah Indonesia (dalam hal ini Ditjen PHPA dan Kantor Menteri KLH) mengevaluasi upaya pelestarian alam di Indonesia selama tahun fiscal 1987/1988, serta memproyeksikan upaya yang sama untuk tahun fiscal 1988/1989. Sungguh menarik ada suatu bangsa di dunia ini (walau bangsa itu kecil 51
dan bermukim nun di belahan bumi lain dari bagian bumi kita) yang percaya akan perdamaian dan kesejahteraan serta keadilan, tanpa mengadalkan kekuatan senjata. Dan lebih mengherankan bahwa asas “ahimsa” yang tak mengenal kekerasan itu, justru diterapkan di bagian dunia di sebelah sana, yakni di Costa Rica ! ***
Pembaruan, 12 – 2- 1988
52
Segitiga Pembangunan‘Sijori’ Proyek ASEAN Yang Sarat Ironi BJ HABIBIE dulu menyebut Singapura sebagai sekadar “sebuah noktah kecil di peta Asia Tenggara.” Tetapi negara pulau ini sejak tahun 1979 mampu membengkakkan luas daratannya dengan reklamasi yang menggunakan miliaran meter kubik pasir yang digali dari Kepulauan Riau yang tadinya kurang dari 400 km2, kini sudah mencapai 685 km2. Republik pulau yang dianggap sekadar titik kecil di peta Asia Tenggara itu pada tahun 2030 mendatang bakal menjapai 820 km2. Artnya, reklamasi besar-besaran pulau Singapura menjelang 20 tahun mendatang akan memperluas wilayah Singapura lebih dari dua kali lipat dalam jangka waktu 20 tahun mendatang. Wartawan Sinar Harapan, Pieter Bermanses pada awal 1970an menamakan Singapura sebagai :Israel’nya Asia Tenggara dalam sebuah laporan jurnalistiknya mengecam cara negeri pulau ini mengklaim angka impor Singapura dari Indonesia seakan Laporan Hermanses yang memberi tudingan agak keras kepada negara tetangga ini dikutip utuh oleh surat kabar oposisi The New Nation di Singapura. Keruan saja nama reporter Indonesia yang satu ini kontan dimasukkan dalam daftar hitam dari imigrasigapura sebagai persona non grata, alias tidak boleh masuk ke wilayah Singapura.) Pulau Nipah yang merupakan satu dari 92 pulau terluar yang adalah bagian dari wilayah RI sejak jadi titik sengketa antara Singapura dan Jakarta, nyaris tenggelam karena pasir dan tanahnya yang ditambang untuk menambah bahan reklamasi Singapura yang dijuluki di media inernasional sebagai the fastest growing island in the world, atau “pulau dengan pertumbuhan paling cepat di dunia.” Dua pekan lalu, Singapura berhasil mengajak Indonesia menandatangani perjanjian pertahanan yang bakal memungkinkan Singapura melakukan lati53
han militer gabungan dengan Indonesia di wilayah Indonesia, yang dapat melibatkan negara ketiga. Bagi kita di Indonesia, perjanjian ini cukup menarik, karena penandatanganannya serentak dilakukan bersama penandatanganan perjanjian ekstradisi antar kedua negara. Perjanjian pertahanan ini dinilai mantan Ketua MPR Amien Rais sebagai “telah menjual kedaulatan (wilayah) negara”. Sudah puluhan tahun Indonesia menunggu kesepakatan dari Singapura untuk sama sama menandatangani perjanjian ekstradisi, karena sejak lama hingga sekarang Singapura menjadi “tempat berlindung” dari para buron dari Indoinesia, termasuk para koruptor. Para buron dan koruptor kakap yang kabur dan ngendon di sana mencuci uang yang mereka korup dari sini serta memparkirnya untuk ditanamkan di Singapura, di antaranya dalam bisnis konstruksi yang didukung oleh reklamasi dengar pasir dari kepulauan Riau itu. Setelah masing-masing parlemen dari kedua negara kelak meratifikasi perjanjian ekstradisi dengan Singaoura, maka Indonesia akan dapat mewajibkan Singapura menyerahkan para buron yang ngendon di Singapura, termasuk Anggoro yang hingga hari ini masih dituntut Pemerintah RI karena perbuatannya melalap sebagian dari dana yang berasal dari Bank Century yang merupakan skandal keuangan yang berbau politik namun hingga kini Anggoro belum dapat disentuh oleh undang-undang RI, karena yang bersangkutan masih buron, ngendon di Singapura. Di sisi lain, Malaysia pun jadi sasaran penciptaan tegangan akibat ulah Singapura yang juga melakukan perluasan negara pulaunya dengan reklamasi ke arah utara, yang mengganggu alur pelayaran ke Selat Tebrau yang penting bagi ekonomi negara bagian Johor dari Semenanjung Malaysia. Kini Johor memiliki pelabuhan laut sendiri yang canggih. Tapi akibat pengerukan pasir untuk memperluas wilayah Singapura, terjadi penyempitan dan pendangkalan alur pelayaran di selat itu. Ironi “segi tiga emas Sijori,” karena sejak gagasan segi tiga pembangunan 54
yang melibatkan Singapura-Johor-Riau (Sijori) oleh tegangan yang telah melibatkan Singapura dan Indonesia dan Singapura dan Malaysia, karena sejak diciptakannya segi tiga pertumbuhan ekonomi Sijori pada tahun 1988 yang kemudian secara resmi disahkan bersama oleh tiga negara bertetangga sebagai suatu proyek kerja sama pemnbangunan ekonomi kawasan ASEAN dalam sidang puncak ASEAN 1992. Tentu dengan maksud, demi kepentingan tiga pihak akan sama-sama memetik manfaatnya. Maksud Indonesia melalui segi tiga Sijori, Indonesia akan menjadikan Pulau Batam di Riau sebagai zona perdagangan bebas. Ternyata kemudian, yang berada di balik benak Singapura adalah menjadikan Batam sebagai ajang penanaman modal bagi Singapura yang memang sudah terlalu sempit untuk menampung kawasan industrinya sendiri. Maka Skema kerja sama Sijori memang terbukti membuahkan kenaikan penanaman modal asing di Batam dari US$ 222 juta pada tahun 1985 melonjak hingga US$867 juta dolar pada 1991. Sudah dapat diduga, Singapura menduduki posisi pertama dalam penanaman modal di situ, atau sebesar 47,2%, disusul oleh Amerika Serikat (20,5 %), Jepang (7,1 %), Hongkong (4,4 %) dan negeri Belanda (4 %). Walaupun Indonesia berhasil mengembangkan Batam sebagai zona perdagangan bebas yang masih terus berkembang hingga hari ini, namun kenyataannya Riau (baca: Indonesia) harus “membayar mahal” dengan kerusakan lingkungan di provinsi terdekat dengan Singapura ini sebagai akibat penggalian pasir yang diekspor ke Singapura dari kepulauan Batam. Walaupun sekarang ekspor pasir ke Singapura resminya harus dan ‘sudah’ disetop. Bagaimana pun juga, jika dibandingkan dengan Johor dan Riau tetap saja Singapura menjadi pihak yang paling lihai memanfaatkan proyek Sijori, serentak sebagai negara penanaman modal terbesar di Batam yang secara harfiah berhasil memindahkan sebagian besar dari kawasan industrinya ke Batam. Sedangkan Johor, berkat Sijori telah terdorong dan mampu membangun pelabuhan lautnya, namun ternyata harus nyaris “tersumbat” oleh reklamasi yang dilakukan Singapura ke arah negara bagian Malaysia yang satu ini. 55
Ujung-ujungnya, Malaysia menuduh Singapura sengaja memperdangkal dan mempersempit perairan menuju Johor, supaya kapal-kapal dari luar kawasan tetap menggunakan Singapura sebagai pelabuhan persinggahan, dan tidak ke Johor. Biaya yang sangat tinggi harus dibayar oleh Indonesia sebagai akibat ekspor pasir untuk reklamasi di Singapura yang tiap m3 hanya dibayar S$ 1,15 dolar Singapura, kontraktor yang memasok para perusahaan konstruksi melipatgandakan harganya hingga S$15/m3. Dan oleh developer kawasan reklamasi itu kemudian dijual hingga ratusan dolar per m2 kepada para calon pembelinya. Pengalaman dengan Sijori menunjukkan kebenaran ucapan pendiri RRC, Maodzedong, bahwa “tidak ada persahabatan yang abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi.” (There is no permanent friend, only permanent jnterest.) Pokok pangkal masalah sebenarnya bermula di rumah kita sendiri. Berdasarkan pengalaman selama puluhan tahun merdeka sejak era orde lama dan orde baru hingga era reformasi, hampir tiap insan Indonesia percaya bahwa birokrasi di negeri ini selalu dilekati korupsi. Ini terbukti dengan rekor Indonesia sebagai satu di antara negara paling korup di dunia. Dalam kasus ekspor pasir ke Singapura yang berlangsung selama bertahun-tahun pun seluruh mata rantai birokrasi yang terlibat turut mengambil bagian dalam apa yang bisa dikualifikasikan sebagai korupsi. Julukan yang diperbolehkan kepada mereka adalah “oknum”, kendati mereka ada yang berseragam Bea Cukai, Angkatan Laut, serta ada pula pejabat dari Pemerintah Pusat dan Daerah. Juga tokoh tokoh elite politik di Jakarta dan di Riau. Republik pulau yang “hanya sebuah titik kecil di peta” itu kini sudah merasa aman dan terlindung oleh kekuatan militer yang dimilikinya yang mereka parkir pesawat pesawat tempur paling canggih di empat penjuru dunia, siaga 56
menghadapi ancaman militer dari mana pun datangnya. Dengan perjanjian pertahanan dengan Indonesia itu Singapura bakal leluasa memakai wilayah udara dan laut Indonesia yang luasnya ribuan kali wilayah Singapura. Singapura juga “punya” dua wilayah darat di Sumatra untuk latihan perang. Sementara itu, yang telah dilakukan Singapura: di sisi utara mengharu biru Johor dan di sebelah selatan Riau kepulauan jadi rusak lingkungannya karena miliaran meter kubik pasir yang dikeduk untuk memperluas negara pulau Sisngapura. Skema Sijori yang semula merupakan payung kerja sama segi tiga antara negara sekawasan, ternyata lebih memayungi kepentingan Singapura semata. Kedua kawasan negeri yang diajak bergandengan tangan, yakni Malaysia dan Indonesia ternyata tersikut kelestarian alamnya. Kini, Singapura bahkan memetik manfaat dari perjanjian pertahanan yang ditukar dengan kesediaan ekstradisi. Yang masih diangan-angankan rakyat Indonesia adalah keberhasilan pemberantasan korupsi oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Rakyat mendambakan pemerintahannya berhasil membersihkan korupsi di dalam negeri, dan seberapa yang bisa diraup dari ribuan juta dollar yang disembunyikan di negeri seberang. Suatu pendambaan yang dengan pergantian Jaksa Agung atau dengan perjanjian ekstradisi sekalipun tidak pasti akan terjamin 100% akan dapat terwujud.
57
Menyeimbangkan Panaitan Dan Ujung Kulon ‘EKSPEDISI PANAITAN’ dilaksanakan hingga empat kali bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dengan tujuan meneliti aspek biologis dari perlindungan terhadap ekosistem Pulau Panaitan. Pulau yang terletak di Selat Sunda dengan luas 12.034 ha (120 km2) pada titik koordinat 6 derajad 50 menit Lintang Selatan dan 105 derajad 15 menit Bujur Timur ini letaknya sekitar 10 km dari jasirah Ujung Kulon di ujung barat Pulau Jawa, atau kira-kira 80 km di sebelah tenggara Gunung Krakatau di Selat Sunda. Sejak tahun 1921 Panaitan adalah sebuah cagar alam murni yang pengelolaannya disatukan dengan jasirah Ujung Kulon. Kemudian pada tahun 1957 statusnya diubah jadi taman suaka margasatwa hingga lebih memungkinkan untuk dikelola serentak dengan sabana buatan di pantai utara Ujung Kulon. Pada tahun 1958 status Panaitan diubah lagi jadi cagar alam, dan bersama Gunung Honje dan Kepulauan Krakatau disatukan sebagai Taman Nasional pada tahun 1984. Satu-satunya jalur darat menuju Panaitan adalah dari Labuan yang berjarak 153 km dari Jakarta. Di pelabuhan kecil untuk para nelayan di Labuan ini anda dapat menyewa kapal motor ke Panaitan dengan jarak tempuh sekitar tujuh jam perjalanan. Wilayah Ujung Kulon beriklim tropis laut, dengan suhu rata-rata antara 25 – 30 derajad Celsius serta kelembaban antara 80 - 90 persen, dengan curah hujan sekitar 3000 mm / tahun. Angin Muson membawa musim kering dari bulan April sampai bulan Agustus dan musim hujan mulai bulan September hingga April. Hampir seluruh Pulau Panaitan terdiri dari dataran rendah dengan puncaknya berketinggian 320 m di Gunung Raksa yang membentuk tanah per58
bukitan dengan gunung Tajimalela. Pantai timurnya sebagian besar berupa daerah paya-paya yang ditumbuhi pepohonan bakau yang dibatasi oleh pantai berpasir dan batu-batu karang. Dari pantai yang luas dari Teluk Kasuari ini terbentang di tengah-tengahnya lengkungan barat daya Panaitan. Sekeliling bagian timur pantai Kasuari tanahnya berombak-ombak membentuk daerah perbukitan setinggi 100 meter. Variasi tanah dan pemandangan alamnya mengesankan dengan hamparan luas, jauh dari pantai nampak Teluk Sabini yang putih. Kawasan kerja Ekspedisi Panaitan terbagi atas tiga tahap. Tujuan ekspedisi adalah mempelajari aspek-aspek flora, fauna dan kekayaan laut pulau ini. Demi efesiensi kerja, setiap tahap ekspedisi terdiri dari kelompok mammalogi (tentang binatang menyusui), ornithologi (burung) dan entomologi (serangga). Setiap tahap laporan dibawakan dalam seminar dengan pihak berwenang dan para peminat seperti Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta dan lain-lain. Dua makalah Ekspedisi Panaitan tentang tumbuhan bakau dan gastropoda dibawakan dalam seminar tentang ekosistem tumbuhan bakau pada tahun 1986 di Bali. Setelah empat ekspedisi, PHPA pada bulan Mei 1987 memanggil mereka berkumpul di Bogor untuk mendiskusikan potensi Panaitan. Tiga penelitian yang dilakukan di Teluk Sumedang, Teluk Angkasana dan daerah Batu Putih di sebelah selatan Panaitan meneliti komunitas pantai Hernadia peitata Baringtonia dan komunitas dataran rendah Pterocymbium javanicum Oxymitra Cunneyformis. Kepentingan species pohon muda adalah Drypetes longifollia, Oxymitra cunneiformis, Diospyros pendula, Villibrunnes rubescens. Dari sisi barat Panaitan di daerah Gunung Raksa, dijumpai dua jenis tum59
buhan pantai yang mendominasi yakni Mimisops elengi, Hibiscus liliasceus dan Plerocymbim linctorum. Tumbuhan perbukitan rendah didominasi oleh Olea javanica Syzigium sp, Ficus pubineri, Pterocymbium linctroum, Artocarpus elasticus, Terminalia arborea, Dracon, lomeilon puberulum, dan Arenga oblosifolia. Penelitian di sisi timur pulau ini dipusatkan pada tumbuhan bakau di daerah Rencah Lentah. Dari 136 kelompok berhasil dicatat sebanyak 55 species, 18 di antaranya masuk dalam kriteria tanaman Bakau dengan species terbanyak adalah Rhizopora stylosa dan Rhizopora apiculata yang tergabung dengan Sonneratia aiba pada zona pasang surut. Diikuti dengan Lumnitzera racemosa dan Lumitzera littorae pada zona pasang naik. Sedang pada zona peralihan paling banyak ditumbuhi oleh Guetarda speciosa. Teluk Kadam dan Tanjung Barat terpilih untuk mewakili kawasan sebelah utara Pulau Panaitan. Kelompok tumbuhan pantainya adalah Rhodamia cinerea, Hibiscus tiliaaceus dan Mimisops elengi, Callophyllum inphyllum. Kelompok Turpinia Montana, Bambusa spinosa di daerah hutan dataran rendah, kelompok tumbuhan yang ada adalah Drypetes macrophulla, Nuclea sp, dan Turpinia Montana, Spondias sp. Catatan khusus dibuat untuk tipe mono yang menempatkan Arenga obtussifolia, pada pinggiran sungai dan tipe mono yang menempatkan Nypa fructicans yang membatasi air payau segar yang terbuka dari semak dan rerumputan yang lebih rendah, terutama Mekania cordata dan Eupathorium odoratum dengan Lantana camara. Rawa-rawa payau terletak di tengah pulau antara Sungai Cidarahayu dan Ciharashas. Kedua sungai ini dengan anak-anak sungai lainnya mendukung Panaitan dengan air segar sepanjang tahun. Di lain pihak Sungai Cilenta, yaitu sungai besar yang mengalir ke utara, biasanya menjadi payau airnya pada musim kemarau. Informasi ilmiah mengenai Panaitan antara lain dicatat oleh Hoogerwerf pada tahun 1953, secara khusus disebutkan tentang binatang-binatang me60
nyusui dan burung yang terdapat di sini. Cadangan satwa liar di Panaitan cukup memuaskan hingga 1953, mungkin berkat terpencilnya pulau ini yang tanpa penguni. Penyebaran binatang menyusui di pulau ini terutama terpusat di bagian tengah pulau, antara dataran tinggi sebelah barat dan timur. Dua rusa Jawa (Cervus timorensis) jantan dan enam betina dengan dua anak diteliti oleh ekspedisi terakhir di Tanjung Panenjoan, Teluk Sabini dan daerah Teluk Bajo. Rusa-rusa Jawa itu kemungkinan berasal dari 16 ekor yang dipindahkan dari Pulau Peucang antara tahun 1978 - 1982. Setelah itu, rusa-rusa itu membuktikan pemindahan rusa Jawa telah dilakukan oleh Ditjen PHPA. Hasil observasi binatang menyusui lain adalah Macaca fascicularis, Sus scrofa vittatus, Muntiacus muntjak, Tragulus javanicus, Paradoxurus hermaproditus, Collosciurus notatus, Lutra perspiciliata, Felis bengalensis, Ratufa bicolor, Ratus tiomanicus dan beberapa species rubah terbang dan kelelawar. Hoogerwerf (1953) mencatat keseimbangan populasi burung ketika itu berjumlah sekitar 72 species. Dari observasi ekspedisi ini hanya terdapat 60 species burung yang hidup di daerah pantai dan 45 species dari dataran rendah hutan tertutup. Burung pantai biasa yang terdapat di sini adalah Actitis hypoleucos, Numenius phaeopus Tringa nebularia, Arenaria interpres, Esacius magnirostril, Strena annaethetus, Sterna sumatrana, Leptoptilos javanicus dan Sula leucogaster. Copshycus malabaricus, Gracula religiosa, Pachycephala cinerea, Orthotomus sepium dan Hypotymis Azurea mendominasi dataran rendah hutan tertutup. Selain Antracoceros covexus dan Rhytoceros undulates dan sejumlah keluarga Accipitridae seperti elang laut putih (Hallaeetus leucogaster), dsb. Penyu hijau (Chelonia mydas) yang sedang bersarang diobservasi di pantai antara daerah Batu Rendeng dan Panenjoan. Selain itu Crododilus porosus yang hanya diselidiki di mulut sungai Ciharashas, Varanus salvator berada di sepanjang pantai biasa. 61
Perairan di sekeliling Pulau Panaitan memiliki banyak nilai ekonomis, kadang seekor lumba-lumba berenang di sepanjang tepi pantai utara dan pantai timur Panaitan. Di kemudian hari pantai ini dapat dijadikan tempat mengintip lumba-lumba,walau hanya dari kejauhan. Pada rantai karang penghalang yang bidang dasarnya diselingi pasir ditemukan 16 species karang yang keindahan dan warna-warninya berbeda-beda. Rantai kecil batu karang penghalang ini terletak di Teluk Angsana dan Tanjung Batu Putih. Sebanyak 20 genus ganggang laut dikumpulkan di sini, terutama di. Tanjung Manik dengan kepadatan yang tinggi dibanding dengan seluruh biomassa yang ada. Penelitian gastropoda di Teluk Kasuari menjumpai Drupa margaticola, Clipeomoris veriegatum dan Littorina undulate sebagai species yang penting. Beberapa saran menuntut peningkatan penanganan dan pengembangan cagar alam Pulau Panaitan. Pulau Panaitan dengan luas 120 km2 terletak di Selat Sunda yang strategis, terdesak oleh dua daerah populasi, yaitu Lampung dan Jawa Barat, direncanakan akan dikembangkan secara hati-hati untuk menunjang Semenanjung Ujung Kulon, demi mengurangi kesulitan para pengunjung di Semenanjung Ujung Kulon dan Pulau Peucang. Di samping itu, Panaitan dengan keragaman dan kapasitas habitatnya dapat dikembangkan menjadi suatu daerah pembiakan untuk binatang liar yang berbahaya di Ujung Kulon seperti banteng (Bos javanicus) dan badak Jawa atau Java Rhino (Rhinoceros sondaicus). Masih diperlukan penelitian lebih jauh sebagai bahan pembanding antara susunan dan struktur tumbuhan dengan komponen habitat lainnya yang diperlukan oleh species-species itu, sehingga dapat ditemukan keseimbangan antara Pulau Panaitan dengan Semenanjung Ujung Kulon.*** Suara Pembaruan) 4 Maret 1988 62
Kapan Pulau Seribu Kita Benahi PROF. DR. EMIL SALIM selaku meneteri lingkungan hidup menyatakan Pemerintah akan menyediakan dana untuk membeli kembali pulau-pulau dari Kepulauan Seribu, demi mempertahankan kawasan yang berada di depan hidung Ibukota Jakarta ini sebagai bagian danTaman Bahari Nasional. Persoalan sederhana, tetapi cukup membuat ruyam banyak pihak, di antaranya Pemerintah DKI Jakarta, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelstarian Alam, di samping Pemerintah Pusat, karena pulau-pulau tersebut secara hukum memang bukan milik Negara, karena jadi milik para penghuni, yang bisa menjual hak guna usahanya ke pihak ketijadikan hotel, peristirahatan atau apa saja. Dalam kesempatan wawancara khusus itu, Menteri Emil Salim juga memaparkan tentang proyeksi menjelang tahun 2000, khususnya yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber-sumber daya alam laut. Di bawah ini dengan Menteri Emil Salim.. “SH” : Mohon diuraikan tentang pengelolaan lingkungan hidup laut di Indonesia pada waktu mendatang. Emil Salim: “Bagian terbesar wilayah Indonesia terdiri dari laut. Namun perhatianadangkan kita pada sekarang sangat berorientasi kepada darat. Kini kita sedang memecahkan masalah perekonomian melalui eksploitasi sumbersumber daya alam di darat, karena ketrampilan dan teknologi yang ada untuk mengeksploitasi laut memadai. “Tetapi saya kira ini pantas. sebab kita perlu menc sumber-sumber (daya alam) laut untuk mengakomodasi pertumbuhan ekonomi di masa depan. Kini kita memiliki 165 juta jumlah penduduk dan angka itu diproyeksikan akan menjadi 223 juta pada tahun 2000 y.a.d. (Sensus tahun 2010 menctat angka lebih dari 230 juta.) Untuk memenuhi keperluan penduduk menjelang tahun 2000 kita harus 63
mengeksploitasi sumber-sumber daya alam laut. Di masa depan, laut laut akan merupakan sumber dayan ala yang paling penting untuk menunjang penghidupan dan ekonomi kita. Di masa-masa y.a.d kita harus (mampu mengeksploitasi pantai dan laut kita. Di antara Negara-negara ASEAN, Indonesia memiliki pantai paling panjang jumlahnya, namun hingga sekarang kita belum mengekploitasikan sumber-sumber daya alam laut kita. Baru-baru ini di antara para pemenang Kalpataru ada yang memperoleh penghargaan berkat usahanya yang berhasil mengumpulkan rumput laut. Nampaknya pemrosesan rumput laut cukup sederhana, asal anda tahu bagaimana harus melakukannya, dan tahu memilih di bagian laut mana anda bisa mengumpulkannya. Itu membuat saya optimis, walaupun pertumbuhan penduduk kita demikian tinggi dan tingkat kepadatan penduduk kita demikian besar terutama di Jawa. Sumber-sumber laut sesungguhnya dapat menunjang pembangunan di masa depan. Pemanfaatan wilayah pantai merupakan sumber utama untuk memperoleh pendapatan kita. Jelas, di dasar laut kita memiliki sumber-sumber tambang, termasuk minyak dan gas bumi Di dasar laut kita lakukan hal yang sama dengan yang kita lakukan dengan hutan. Kita tentukan bagian mana yang kita plot untuk dilindungi, wilayah mana yang akan kita usahakan untuk penambangan, dengan lain kata wilayah produktifnya, maupun wilayahwilayah penyangga. Dan jangan lupa di dalam laut kita masih memiliki ikan. Dengan perluasan berkat zona ekonomi eksklusif (ZEE) 200 mil dari garis pantai itu berarti kita memiliki lebih banyak wilayah untuk perikanan, hingga sumber pendapatan alam menjadi lebih banyak di masa mendatang. Kecuali itu, di permukaan laut kita masih memiliki gelombang laut, suatu potensi energi alternatif. Laut merupakan ruang potensial untuk pemukiman. Sebagai contoh, 64
wilayah sekitar teluk (lepas pantai) di Jepang kini telah digunakan untuk wilayah-wilayah pemukiman. Jika teknologi di Indonesia di kemudian hari dapat diarahkan ke sana, maka mudah-mudahan teknologi kita pada tahun 2000 dapat dikembangkan untuk memanfaatkan wilayah-wilayah lepas pantai utara Jawa sebagai wilayah pemukiman (Real estate di Muara Karang di Teluk Jakarta telah melakukan reklamasi serupa, dan kini sudah mulai ditempati untuk pemukiman). Pada tahap sekarang dalam tahun 1986 ini yang merupakan bottleneck yang paling besar untuk eksploitasi sumber-sumber (daya alam) laut kita adalah ketrampilan. Keahlian dalam oseanologi, teknik pemanfaatan wilayah pantai dan lepas pantai, serta berbagai ilmu pengetahuan tentang dasar laut masih sangat terbatas di Indonesia. Bahkan dalam banyak hal kita masih didominasi oleh tenaga ahli asing. Seperti keadaannya sekarang, saya berpendapat kita sudah harus mengkonsentrasikan pada pengembangan sumber-sumber tenaga manusia, agar pada tahun 2000 kelak kita bisa dengan efektif mengeksploitasikan sumber-sumber laut yang tetap menggunakan pertimbangan lingkungan. Bagaiman dengan situasi di taman nasional (laut) Pulau Seribu sekarang ? Emil Salim : Sekarang taman nasional Pulau Seribu masih dipetakan dalam skala 1:200.000. Yang kita perlukan adalah peta dalam skala yang cukup jelas hingga dapat digunakan dalam tingkat pengelolaan, agar kita semua dapat mengetahui batas-batas taman nasional tersebut. Seperti kita ketahui batas-batas suatu taman laut jauh lebih sulit untuk menentukannya, ketimbang taman-taman nasional darat, di mana kita dapat melihat batas-batasnya. Pemetaan yang lebih memerinci dari Pulau Seribu sekarang sedang dilakukan oleh dinas topografi Angkatan Laut, untuk dapat memberikan batas-batas taman tersebut secara lebih jelas. Masalah yang kedua, kebanyakan dari pulau-pulau yang dihuni dimiliki oleh penduduk setempat. Karenanya mereka bebas menjual tanah mereka kepada pihak ketiga. Ini berarti, pemerintah kita harus memiliki cukup dana 65
untuk membeli kembali pulau-pulau itu, agar taman nasional dapat dikelola secara baik. Seperti keadaannya sekarang ada inkonsistensi dalam penggunaan pulau-pulau di dalam kawasan taman nasional Pulau Seribu, dan saya menganjurkan, agar kepentingan-kepentingan yang bertabrakan antara pemilik pulau dan para pembeli pulau taman nasional dapat dibawa ke Panitya Sengketa Tanah pada untuk menyelesaikan konflik-konflik itu. Satu diantara fungsi Pualu Seribu sebagai taman nasional adalah untuk melindungi fauna laut, termasuk beberapa jenis penyu laut. Timbul pertanyaan, apa Pemerintah bisa mengijinkan pemilik swasta beberapa pulau unt uk mengelola kepentingan mereka sendiri, tanpa harus bertentangan dengan tujuan pengelolaan taman nasional ? “Bagaimana dengan masalah-masalah yang dihadapi taman nasional Pulau Seribu? Faktanya wilayah sekitar Teluk Jakarta yang sebagian juga mencakup wilayah Taman Nasional Pulau Seribu telah tercemar berat oleh limbah rumah tangga dan limbah industri yang masuk ke teluk itu melalui 17 batang sungai yang bermuara di sana. Dengan kata lain, ada polusi berat di Teluk Jakarta. Tetapi hanya di wilayahwilayah de kat dengan muara-muara snngai itu yang berpolusi berat. Dan ini pun tidak mempengaruhi semua ikan yang ada di teluk karena ikan berenang, bergerak ke mana-mana. Yang terkena polusi adalah binatang-binatang moluska, termasuk kerang hijau. Tetapi semua polusi dan kontaminasi itu tidak sama parahnya mencemari Teluk Jakarta. Makin jauh dari Teluk Jakarta makin tipis pencemaran itu dan wilayah taman nasional Pulau Seribu cukup jauh dari wilayah teluk. Benar ada pencemaran berasal dari minyak buangan yang berasal dari kapal-kapal yang lalu lalang keluar masuk pelabuhan Priok. Untuk mencegah minyak pencemaran buangan dari kapal-kapal ini kita lebih dulu harus menandatangani suatu konvensi internasional yang dapat 66
memberi hak kepada kita melarang kapal-kapal siapa pun juga untuk membuang minyak buangan mereka di Teluk Jakarta. Tetapi sebelum kita menandatangani konvensi tersebut, lebih dulu kita harus bisa menetapkan di bagian wilayah laut kita yang mana kapal-kapal itu bisa membuang minyak ballast mereka. Kepulauan Seribu yang sampai beberapa tahun yang lalu telah disahkan menjadi taman nasional laut itu terdiri dari sekitar110 pulau. Kepulauan itu membentang sejauh 80 Km dari Jakarta dan 32 Km ke arah barat-barat laut dari ujung utaranya. Semua pulau itu merupakan pulau karang yang kecil (rata-rata kurang dari 10 hektar) dan ketinggiannya umumnya tidak melebihi 3 meter dari permukaan laut. Pulau-pulau karang taman nasional laut Pulau Seribu (108.000 hektar) memiliki beberapa jenis ikan karang yang di sana sini masih banyak populasinya, dan dibeberapa tempat telah menipis, karena terlalu di kuras oleh para nelayan. Di antara species-species yang menarik dan berharga adalah karang raksasa, Tridagna gigas, yang nampaknya mulai lenyap di seluruh kepulauan ini. Binatang-binatang moluska lain seperti kerang dipanen oleh para penyelam dan persediaan makin tipis. Penyu paruh rajawali (Hawksbill turtle) atau Eretmochelys imbricata merupakan komponen berharga dari fauna laut tman nasional ini. Jenis penyu ini makan, tidur dan berkembang biak di pulau-pulau karang itu dan bersarang bersama dengan beberapa penyu hijau (Chelonia mydas) di pantai-pantai kepualaun ini di sebelah utara. Telur-telur penyu dikumpulkan dan dimakan atau ditetaskan di tempattempat khusus untuk itu. Anak-anak penyu yang menetas dijual untuk dibesarkan di P Tidung di dekat perbatasan sebelah selatan dari daerah penyangga (buffer zone) dari taman nasional ini. Penyu-penyu dewasa dimakan atau dijual. Bistik atau sate penyu meru67
pakan menu standard di P. Putri dan kerangka penyu paruh rajawali dijual di sana untuk para tourist, yang sama sekali berlawanan dengan konvensi CITES (Konvensi Perdagangan Internasional terhadap species flora dan fauna yang terancam punah) di mana Indonesia adalah satu di antara penandatanganan konvensi ini. Pulau-pulau karang semakin dihabiskan oleh para developers dan pemilik pribadi pulau pulau yang secara tidak legal menggali koral untuk bahan bangunan, pier dsb. juga oleh orang-orang yang secara tidak legal mengambil karang dan kulit kerang raksasa untuk diekspor dari Pulau Kelapa ke Jakarta oleh para kolektor kulit-kulit kerang yang sering menghancurkan karang-karang serta para nelayan yang berjalan dan menambatkan perahu mereka di atas karang, dan oleh mereka yang membangun pier di atas karang-karang itu. Para olahragawan snorkel dan penyelam SCUBA juga merusakkan kolonikoloni karang. Di Pulau Semut Kecil sebuah perahu yang penuh penumpang ketika mereka berolah-raga snorkel tanpa mereka sadari dalam 10 menit mereka berjalan di batu-batu karang merusakkan pertumbuhan selama 10 tahun. Semua kegiatan yang merusak ini mengurangi nilai karang, baik untuk keperluan para nelayan maupun konservasi karang-karang langka, dan untuk keperluan wisata. Ancaman potensial dalam bentuk tekanan pencarian ikan yang semakin gencar dengan cara pencarian ikan yang baru dan makin merusak, penggunaan racun dan perluasan pemanenan organisme karang untuk perdagangan akuarium dan polusi. Bentuk bentuk polusi yang dapat mematikan kehidupan sekitar karang, atau mengurangi nilai pantai-pantai untuk rekreasi, termasuk pembuangan minyak dan sampah dari kapal-kapal yang berlabuh atau meninggalkan pelabuhan Tanjung Priok. Juga semakin meluasnya ekspansi polusi dari Teluk Jakarta yang menuju ke arah utara, erosi yang semakin menjadi dari pulau Jawa dan sedimen-sed68
imen yang menyebabkan semakin mengeruhkan air laut, peledakan sumur minyak dan pembuangan pengeboran minyak dsb. Sebagian dari taman nasional Pulau Seribu sangat bernilai, tetapi nilainilainya semakin dimerosotkan oleh berbagai kegiatan, hingga perlu dilakukan proteksi terhadap wilayah-wilayah tertentu dari kepulaun ini. Walaupun berdasarkan definisi taman nasional dapat menampung kepariwisataan maupun konservasi, tetapi pencarian ikan harus dibatasi di wilayah-wilayah penyangga di sekitar taman laut. Sesudah lima tahun usulan rencana pengelolaan taman nasional ini oleh ahli konservasi lingkungan laut Dr Rodney V. Salm dari WWF/IUCN (Word Wildlife Fund / International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) masalah-masalah tsb masih ada dan belum bisa dikendalikan. Para developers masih saja membeli dan mengontrak beberapa pulau ! Pulau Seribu merupakan sistem karang yang paling berkembang di seluruh Indonesia dan diversitas koralnya yang cukup tinggi (67 genera dan sedikitnya 123 species). Memang beberapa bagian dari pulau-pulau karang ini belum rusak dan penyu paruh rajawali (Eretmochelys imbricata yang oleh IUCN dimasukkkan dalam ‘buku merah’ (daftar binatang dan tumbuhan yang terancam punah) masih secara teratur bersarang di beberapa pulau di Kepulauan Seribu. Walaupun Indonesia terletak di pusat dari wilayah dengan varietas species laut yang paling banyak di dunia, tetapi cuma sedikit di antaranya merupakan binatang-binatang endemis (asli Indonesia). Sebaliknya eksploitasi yang berlebihan akan dapat menuju kepada lenyapnya secara total dari species-species yang kini telah dinyatakan sebagai terancam punah. Ada 12 species yang dikenal terancam di Indonesia. Ini termasuk tiga binatang menyusui laut, dua jenis paus dan dugong, lima jenis penyu laut, dan empat binatang moluska. Sebanyak empat species digolongkan sebagai hamper terancam di Indo69
nesia, termasuk paus sirip dsb. Dugong-dugong di Irian Jaya telah digolongkan hampir terancam atau rentan (vulnerable) menghadapi kepunahan. Populasi dugong lain telah dinyatakan terancam. Di samping itu 8 species telah lenyap dari tempat-tempat mereka biasa berada, misalnya dugong dari Jawa dan hampir pasti di wilayah-wilayah lain; juga penyu hijau yang bersarang di Bali; penyu-penyu paruh rajawali (hawksbill) yang bersarang di Pulau Seribu, Spermonde, dan penyu jenis lain (olive ridley) dari Pangumbahan (Jawa Selatan) dsb. Di antara rokomendari dari Dr Rodney V. Salm sperti tercantum dalam laporannya yang terdiri 6 jilid mengenai konservasi lingkungan laut Indonesia a.l.: 1. Sebaiknya Indonesia mempertimbangkan untuk turut masuk konvensi pengaturan paus; konvensi tanah basah; konvensi tentang species burung-burung berpindah; konvensi tentang warisan alam dan budaya; konvensi untuk pencegahan polusi laut karena pembuangan ballast atau benda-benda lain. 2. Indonesia patut mengambil posisi tauladan dalam mempromosi Program laut-laut regional, ratifikasi konvensi proteksi dan pengelolaan lingkungan laut dan pantai wilayah ASEAN. Indonesia patut melakukan perundingan dengan Australia, Papua New Guinea, Filipina, dan Malaysia (Sabah dan Serawak) untuk merumuskan suatu perjanjian untuk melakukan studi, pengelolaan dan proteksi habitat bersama untuk species-species yang dimiliki bersama, terutama jenis-jenis penyu yang terancam punah dan dugong-dugong. 3. Pada tingkat nasional Indonesia harus mengundangkan undang-undang baru yang mengatur wilayah-wilayah laut (yang di lindungi) 4. Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam perlu memperoleh proteksi hukum untuk semua species yang terancam punah sebanyak 17 yang belum diproteksi di Indonesia, agar penangkapan dan pemanenannya (termasuk telurnya) juga ditentukan dengan peraturan. 5. Semua perairan Indonesia harus dinyatakan sebagai wilayah perlindun70
gan paus sesuai dengan kewajiban-kewajiban yang timbul dari pasal-pasal 65 dan 120 dari Undang-Undang Laut. 6. Wilayah-wilayah perlindungan untuk dugong-dugong, penyu, burung laut dsb diperlukan supaya populasinya dapat terjaga kelestariannya. ***
Sinar Harapan, 19 Juni 1986
71
Dari Desa Tenganan Sampai ke Pantai Kuta DESA TENGANAN, Bali, masih memiliki dan patuh kepada hukum tidak tertulis yang melarang siapapun menebang pohon, kecuali yang sudah mati atau tua sekali. Mungkin hal inu tidak anda anggap sebagai “berita” karena hukum yang tidak tertulis tidak mengikat keluar dari desa Tenganan. Tetapi undang-undang tertulis di Swedia juga melarang penduduk negeri ini menebang pohon biar sebatang pun, kecuali jika si penebang serentak menanam pohon sebanyak yang ditebangnya. Wartawan Anda melongok ke desa Tenganan, Bali, terbawa serta dalam suatu lokakarya tentang media massa dan perlindungan lingkungan yang diselenggarakan Carl Duisberg Gesellschaft bersama Asian Mass Communication Research and Information Centre (AMIC) dan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup bersama Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) dan Communicators for Conservation (Comcon). Bersama 24 wartawan televisi, radio dan surat kabar lain berdatangan ke desa Tenganan untuk melihat dengan mata kepala sendiri, bagaiman desa yang sudah sejak ratusan tahun yang lalu ini berhasil mempertahankan lingkungannya dengan baik. Walupun penduduk desa ini sudah menikmati saluran air minum dan aliran listrik dari Pemerintah, namun sumber air minum dan sumber air sungai masih tetap dijaga lestari, berkat hukum tak tertulis yang menggambarkan, betapa penduduk desa Tenganan sadar lingkungan. Letak desa Tenganan seperti dikawal oleh bukit-bukit yang mengelilinginya dan sebatang sungai menepis tepi desa, menunjukkan keselarasan antara manusia penghuni desa ini dengan alam sekitarnya. Hutan yang menyelimuti bukit di atas dusun ini masih lebat hijau terjaga 72
serta terhindar dari penebangan oleh siapa pun, termasuk oleh penduduk luar desa Tenganan. Yang menarik pula adalah larangan untuk kawin dengan penduduk luar desa sehinggaa menyebabkan penduduk desa Tenganan memiliki angka pertumbuhan penduduk yang sangat rendah dengan jumlah anak tiap keluarga kurang dari dua anak. Sayangnya ini akibat kawin antar keluarga. Adat melarang perkawinan antar sepupu langsung. Hanya antar sepupu kedua atau ketiga yang dibolehkan saling kawin, hingga nampaknya ada akibat genetik yang menyebabkan kecilnya jumlah keturunan mereka di desa ini yang tinggal ratusan orang jumlahnya. Tenganan seperti keadaannya sekarang banyak didorong kemajuan penghidupannya oleh tenun gringsing atau tenun tangan tradisional yang dikerjakan oleh wanita Tenganan. Karena kelangkaannya hasilm tenun desa ini harganya bisa mencapai ratusan ribu rupiah tiap lembarnya, Para pria desa ini membuat naskah-naskah di atas daun lontar yang ditulis dengan pisau. Masuknya wisatawan asing ke Bali juga memberi dampak positif langsung kepada penduduk desa tertua di Bali ini. Dampak positif langsung itu berupa tersedianya kain-kain tenun “gringsing” untuk dibeli, yang bagi penduduk Tenganan mempunyai khasiat obat. Kain gringsing yang asal katanya dalam bahasa Bali adalah “gering-sing” berarti “sakit-tidak” atau menyembuhkan. Zat-zat warna yang digunakan dalam pembuatan kain tenun tangan gringsing yang sejak dahulu kala diambil dari kulit-kulit kayu dan daun-daunan sangat boleh jadi mengandung khasiat-khasiat obat,. Dengan mencelupkan kain itu air dan meminum air celupannya seorang anak yang menderita sakit demam akan dapat sembuh oleh khasiat “anti demam” yang terkandung dalam zat pewarna yang melekat pada kain gringsing. Sesudah ke Tenganan, para peserta loka karya beranjang sana ke Yeh Mampeh, sebuah desa yang berada di lereng Gunung Batur. Yang elok dengan penduduk Yeh Mampeh ini, walaupun sejak 1963 terhantanmluapan dua 73
gunung api Batur, namun anjuran untuk bertransmigrasi oleh Pemerintah telah ditolak pendudujk yang memilih tetap bertahan di desanya. Desa Yeh Mampeh yang sebagian besar jalannya tertutup lava yang dimuntahkan Gunung Batur, di beberapa tempat mencapai ketebalan lebih dari satu meter, sejak diancam hendak ditransmigrasikan jadi bangkit semangatnya untuk menyuburkan kembali tanahnya. Terbukti lahan-lahan yang 25 tahun yang lalu dihantam lahar gunung berapi itu sangat cocok untuk ditanami jeruk nipis. Banjar Yeh Mampeh, satu di antara enam banjar dari desa Batur Selatan yang masuk di daerah Kintamani yang di kunjungi para peserta lokakarya yang berasal dari Filipina, Malaysia, Singapura, Muangthai dan Indonesia ini memiliki 50 hektar kebun jeruk nipis yang pada produksinya yang paling baik menghasilkan Rp 800 juta setahun. Harga jeruk nipis tiap kg di Yeh Mampeh mencapai Rp 600, hingga penghasilan per kapita penduduk Yeh Mapeh bisa mencapai Rp 1,1 juta/tahun. Cukup tinggi, bahkan jika dibanding dengan rata-rata desa Bali maupun luar Bali, Bahkan masih lebih tinggi dengan Kuta, daerah pantai yang mengalami “ledakan kemajuan ekonomi” luar biasa berkat wisatawan asing itu memiliki penghasilan rata-rata per orang per tahun hingga US$ 1.000. Kenapa penduduk Yeh Mampeh tidak menanam bawang putih yang harganya bisa jauh lebih tinggi ketimbang jeruk nipis. Karena tanaman jeruk nipis memiliki kelebihan dibanding bawang putih dalam kemampuannya menahan tanah, hingga tidak terbawa air di musim hujan. Para wartawan lagi-lagi dibuat melongo oleh kesadaran lingkungan penduduk yang kita anggap sebagai patut dibuat lebih sadar lingkungan itu, ternyata mereka memiliki kesadaran lingkungan lebih nyata ketimbang penduduk kota yang cuma pintar bicara tentang “sadar lingkungan”. *** Kelompok media cetak lokakarya ini menerbitkan Koran tabloid delapan halaman dengan nama “Kulkul” yang dalam bahasa Bali berarti “kentongan” sebagai lambing sarana penyebaran informasi di daerah pedesaan. Sebagai pelengkap pengisian tabloid Kulkul, kelompok media cetak dari 74
loka karya ini melanjutkan peliputan ke Nusa Dua di mana sedangn terjadi kasus salinng berhadapannya kepentingan pengelola proyek resort wisata Nusa Dua dan penduduk yang memerlukan dialog tatap muka antara kedua pihak. Setelah terjalin dialog antara pengurus koperasi unit desa nelayan “Mina Astiti Samudra” dengan pihak BTDC (Bali Tourism Ddevelopment Corporation) tercapai kesepakatan bahwa pihak KUD dengan juru bicara aketua koperasi, Nyoman Usup Sarjana, yang menghendaki disediakannya 24 are tanah (atau 2400 m2) para anggota koperasi supaya mereka dapat berwira usaha sambil mencegah praktek tidak terpuji berupa penjualan cenderamata oleh anakanak yang mengganggu para turis yang lebih dikenal sebagai “pedagang acungan” yang memaksa para turis untuk membeli dagangan mereka. Tuntutan lain pun dikabulkan, yakni tersedianya alur untuk memarkir perahu ketika mereka menunggu para turis asing yang akan menggunakan perahu mereka untuk bercengkerema dengan tarif sekitar Rp 5000/jam untuk dua orang. Masih ada syarat satu lagi : tembok-tembok penghalang ombak untuk mencegah erosi yang dibuat oleh BTDC tidak boleh begitu rupa dibuatnya hingga mengganggu perahu-perahu mereka memparkir perahu-perahu mereka. Yang cukup rumit untuk dipecahkan masalahnya adalah tuntutan KUD ini, apa jaminan bagi 63 anggota KUD ini jika tempat di mana mereka dipindahkan dari wilayah Nusa Dua di kemudian hari mengalami erosi. Untuk memberikan kepada pengelola Koran tabloid hasil lokakarya yang bernama “Kulkul” tidak kurang dari tiga orang dari utusan Direksi BTDC datang kepada kelompok wartawan media cetak dari lokakarya ini. “Kalau mau mengambilr pasi jangan dari wilayah koperasi,” kata Sarjana kepada kelompok wartawan media cetak dari lokakarya. Ini dibenarkan oleh para utusan BTDC yang mengatakan bahwa kelak pengambilan pasir dari wilayah lain yang direstui pula oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Badung yang membawahi wilayah Nusa Dua, yakni wilayah hotel resort yang disiapka untuk penyeelnggaraan konferensi PATA (Pacific Asia TravelAssociation) 1991, yang akan membengkakkan jumlah kamar hotel dari 75
2.000 menjadi 4.000 kamar dalam jangka waktu dua dua tiga tahun lagi. *** Ketika waratawan Anda didampingi peserta lokakakarya asal Bali menemui Ketua 1 Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) Kuta, Drs I Made Suwedja, mendapat keterangan bahwa Kuta memang telah mengalami “ledakan kemajuan ekonomi”. Namun diprihatinkan, bukan saja pantai Kuta telah mengalami penggerusan (abrasi) oleh ombak laut, tetapi terjadi pula penggerusan nilai-nilai spiritual sementara penduduk, terutama kalangan remajanya yang kini sudah ter”ekespose”kepada berbagai unsur budaya Eropa, Amerika dan terutama Australia. Dibuatnya tembok-tembok penahan ombak untuk “anti penggerusan” menyebabkan upacara-upacara keagamaan di sepanjang pantai akan terganggu. Juga pemuda-pemudi Kuta sekarang lebih “apresiatif” terhadap nilai-nilai material dan hedonik yang dibawa oleh turis-turis bule itu, hingga penghayatan mereka terhadap nilai-nilai spiritual yang diwariskan oleh nenek moyang mereka nampak mulai meluntur. Tidak kurang mecemaskan adalah masuknya modal-modal setengah gelap melalui perkawinan semu untuk keperluan bisnis, yang memungkinkan masuknya modal dari luar, yamg sulit untuk diketahui, hingga bisa merugikan negara dalam hal perpajakan. Bahkan lebih dari itu tidak mustahil melalui usaha-usaha setengah remang-remang ini dilakukan pula usaha-usaha “sampingan” yang melawan hukum, seperti pengedaran obat bius dsb. Masih ada lagi yang cukup memprihatinkan di pantai Kuta. Walaupun pendapatan per kapita sudah mencapai di atas US$ 1.000 / orang / tahun, namun ada ancaman terhadap nilai-nilai spiritual dan praktek-praktek usaha yang patut mendapat perhatian yang lebih jeli dan teliti dari instansi Pemerintah. *** Pembaruan, 17-11-1988 76
Jutaan Hektar Taman Nasional Lorentz Terancam Musnah SATWA LIAR dan ekologi bagian utara Taman Nasional Lorenz di Irian Jaya (1 ½ juta hektar) terancam oksplorasi penambangan minyak ditambah sekitar 20 % daari padang es pegunungan Jaya Wijaya dengan puncak tertinggi di Indonesia (4.885 M) tercemar polusi dan limbah tambang Tembagapura yang eksploitasinya bakal menerjang batas-batas taman nasional. Demikian laporan Dr Ronald G. Petocz, pimpinan proyek WWF / IUCN (World Wildlife Fund / International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) merinci wilayah-wilayah prioritas yang direncanakan dalam pengelolaan tujuh taman nasional dan cagar alam untuk lima tahun mendatang. Ketujuh taman nasional dan cagar alam tsb adalah Taman Nasional Lorenz (lebih dari 1 ½ juta Hetar, terbesar di seluruh Indonesia), Taman Nasional Mamberamo - Foja (1,4 juta Hektar), cagar-cagar alam pegunungan di kepala Burung di pegunungan Tamrau (225,720 Hektar dan 247,875 Hektar) dan cagar alam gunung Arfak yang lebih kecil (63,750 Ha), cagar alam pegunungan Cyelops, cagar alam Teluk Cendrawasih. Taman nasional Lorenz membentang dari gletsyer-gletsyer katulistiwa dari pegunungan-pengunungan tertinggi di Asia Tenggara melintasi suatu spektrum lengkap dari pegunungan Alpin, sub-Alpin berupa hutan montana, hutan dataran rendah, dan hutan-hutan bakau sampai ke bakau pantai laut Arafura. Ancaman dimaksud dalam laporan Petocz ini bisa mmenimpa tidak kurang dari 123 jenis binatang menyusui dari seluruh jumlah 154 yang diperkirakan berada dalam taman nasional ini, di samping 411 dari 639 species-species burung dengan banyak jenis endemis. Sejak dimulai operasi penambangan Freeport di lereng-lereng sebelah selatan pegunungan Carstenz, gletsyer-gletsyernya telah dengan mudah dimasuki orang-orang kota tambang Tembagapura. Kini cukup bukti adanya 77
polusi yang parah oleh limbah dari tambang-tambang di kaki gletsyer Meren. Konsesi tambang juga mencakup bagian penting dari taman nasional ini, atau kira-kira 20% padang es dan Gunung Jaya Wijaya dengan puncak tertinggi di Indonesia (4.885 m). Jalan setapak di dataran tinggi yang sangat sering digunakan dari Ilaga dan Geoga menuju ke selatan, melintasi dataran tinggi Zenggilirong dan Kemabu menurun menuju ke Tembagapura juga telah menjadi sumber-sumber ancaman terhadap satwa liar dan ekologi Taman Nasional ini. Gletsyer-gletsyer dan pegunungan Carstenz merupakan tempat-tempat yang menarik bagi para pengunjung, terutama para pendaki gunung yang sering turut menambah kerusakan dan polusi di wilayah ini. Walaupun pekerjaan eksploratif telah dihentikan untuk sementara, lebih dari separo dari tanah yang disediakan sekarang telah disewakan untuk eksplorasi minyak. Karena sifat uniknya yang luar biasa dari taman nasional ini telah diusulkan untuk dijadikan suatu “warisan dunia” (world Heritage) oleh IUCN. Jelas taman nasional ini pantas dijadikan satu di antara wilayah prioritas perencanaan pengelolaan, demikian Ronald G. Petocz dalam laporannya yang telah memantau wilayah studinya di Taman Nasional Lorentz sejak 1983 dan diteruskan dalam tahun 1984 ini juga oleh proyek WWF di Irian Jaya. Mamberamo-Foja yang telah diusulkan untuk dijadikan taman nasional, namun belum diresmikan, meliputi luas 1.442.500 Ha, hingga akan merupakan taman nasional paling besar no 2 di Indonesia, sesudah Lorentz. Taman nasional yang belum disremikan juga, memiliki serangkaian habitat yang lengkap dan tak terganggu, yang terdiri dari hutan-hutan bakau dan rawa-rawa di muara sungai Mamberamo ke atas sampai hutan dataran rendah dan zonazona hutan Montana (hutan perawan) dari kompleks pegunungan Foja-Gautter (2.193 meter), turun lagi ke dataran-dataran rendah cagar alam ini dengan spektrum berbagai jenis binatang menyusui yang paling lengkap (100 species) dan burung-burung (330 species) di sebelah utara kordilera pusat, mencakup danau paling besar di Irian Jaya, yakni Danau Rombebai, sungai paling besar Mamberamo, maupun gunung-gunung api dan ratusan danau lain. 78
Dengan wilayah hutan belantara di sekitar pegunungan Foja sebagai titik pusatnya, suatu wilayah pegunungan dengan hutan perawan di mana kanguru-kanguru pohon dan kuskus dapat dihampiri dari dekat, cagar alam Mamberamo juga telah diusulkan sebagai wilayah “warisan dunia”. Di cagar alam ini tidak ada enklaf (pemukiman) penduduk dalam jumlah besar. Wilayah Mamberamo sebelah utara telah mengalami eksplorasi minyak selama empat tahun terakhir, dan telah diusulkan pula untuk dijadikan suatu wilayah yang kemudian akan dieksploitasikan berada di dalam wilayah cagar alam ini. Proyek WWF telah melakukan survey di cagar alam ini pada tahun 1980 dan 1981. Usulan-usulan telah disampaikan kepada WWF/IUCN untuk menyediakan dana guna disusunnya suatu perencanaan pengelolaan cagar alam Mamberamo. Dua cagar alam Pegunungan Tamrau masing-masing dengan luas 265.720 Ha dan 247.875 Ha dan cagar alam gunung Arfak 63.750 Ha belum diresmikan sebagai cagar alam, tetapi tak diragukan lagi memiliki sumber-sumber daya alam paling besar dari taxa montana endemis dan langka di Irian Jaya. Di antara 130 species burung langka di Irian jaya ( termasuk Papua New Guinea) paling banyak berada di daerah Kepala Burung. Cagar alam ini memiliki 320 species burung dan 90 binatang menyusui. Pada saat ini terjadi tumpang tindih antara cagar-cagar alam ini dengan konsesi-konsesi penebangan kayu. Diharapakan ini akan terhapus dengan akan diresmikannya wilayah-wilayah ini sebagai cagar-cagar alam. Di samping itu, pegunungan-pegunungan Arfak dan wwilayah sekitarnya sangat padat penduduk. Dengan lain kata, ada ancaman tekanan pemukiman di dalam cagar-cagar alam ini. Pemukiman transmigrasi di Oransbari dan perluasan-perluasan kebun karet dan coklat di sepanjang pantai timur merupakan sebab keprihatinan tersendiri, walaupun perkebunan-perkebunan itu dapat digunakan sebagai wilayah penyangga dengan mengkoordinasikannya dengan perencanaan-perencanaan perkebunan dengan agar alam. 79
Di antara ketiga cagar alam tersebut, Arfak adalah yang paling penting untuk diprioritaskan untuk dirancang pengelolaannya. Kecuali survey udara yang belum dimulai kegiatan di wilayah ini,karena kurangnya dana dan tenaga ahli. Koridor pegunungan-pegunungan cagar alam Tamrau utara membentang sampai ke bawah sampai ke pantai, gandeng dengan bentangan pantai yang telah ditetapkan sebagai wilayah peteluran penyu yang paling penting di Asia Tenggara. Kira-kira ada 3.500 sarang penyuditemukan di sepanjang pantai ini, demikian menurut hasil survey udara yang dilakukan pada 1981. Kini diperkirakan kepadatan sarang ada antara 8.000 dan 15.000 sarang tiap tahunnya. Disebabkan oleh status terancam punahnya binatang reptilia ini dan pentingnya bagian utara dari cagar alam Tamrau, secara terpisah pantai JamursbaMandi telah diusulkan sebagai cagar alam yang merupakan prioritas mendesak untuk diteliti dan dikelola. Suatu proyek WWF/IUCN yang dibiayai oleh Masyarakat Ekonomi Eropa telah memulai penyelidikan di wilayah ini sejak 1984 dan proyek ini masih akan berjalan terus selama 18 bulan, dipimpin oleh seorang ahli di bidang biologi laut dan penyu, dengan asistensi dari pihak Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) dan Universitas Cendrawasih. Cagar alam satwa liar Wasur terletak di sudut tenggara provinsi Irian Jaya, kira-kira 304.000 Ha luasnya dan telah dinyatakan secara resmi sebagai suatu cagar alam yang mencakup Cagar Alam Rawa Biru (4.000 Ha) yang terdiri dari rawa-rawa air terbuka di pusat cagar alam. Perluasan cagar alam ini telah diusulkan dan kini sedanng diproses peresmiannya hingga seluruh cagar alam akan meliputi luas 421.000 Ha. Cagar alam ini merupakan bagian paling kering dari provinsi ini dan memiliki diversitas habitat-habitat dataran rendah seperti halnya dataran rendah hutan Melaleuca-Eucalypt, sabana rawa-rawa bakau dan hutan dataran rendah, maupun dataran-dataran lumpur pasang. avifauna merupakan cagar alam yang paling kaya di Irian Jaya, dengan perkiraan 391 species termasuk populasi beberapa jenis burung yang berpindah dari Australia. Di cagar ini 80
terdapat sekitar 81 jenis binatang menyusui. Banyak di antara faunanya yang endemis termasuk rusa. Ada dua jalur jalan di cagar alam ini: Jalan pantai selatan dari Merauke ke perbatasan dan segmen sepanjang 70 km dari Jalan Raya Trans Irian yang hampir membagi dua cagar alam ini. Di samping adanya konsentrasi ancaman terhadap cagar alam ini, ada pula perburuan gelap terhadap rusa. Terdapat pula tanda-tanda satwa liar lain terancam, termasuk banyak jenis burung cendrawasih. Cagar alam ini di antara yang ada di Irian Jaya adalah yang paling banyak dimasuki orang dengan ancaman-ancaman bukan saja perburuan terhadap satwa-satwa liar, tetapi juga program pemukiman transmigrasi, Demikian besarnya ancaman ini, hingga dalam tiga tahun y.a.d. sebagian besar dari habitat dan satwa liar di cagar alam ini akan lenyap, jika suatu program pengelolaan dan perlindungan yang intensif tidak dilakukan dari sekarang. Pekerjaan pendaluluan telah dimulai di Wasur oleh konsultan-konsultan WWF/IUCN dan kini telah ada program jangka tiga tahun untuk cagar alam Wasur dan cagar-cagar alam lain di sebelah selatan. Sangat diharapkan program ini dapat dimulai dalam tahun 1985, bekerjasama dengan WWF/IUCN dan PHPA Merauke. Fokus program adalah pengelolaan dan penerapan perlindungan satwa liar dan habitat, latihan, monitoring wilayah perburuan di dalam wilayah cagar alam, dan suatu program penelitian terhadap beberapa jenis burung. Suatu wilayah pegunungan pantai yang terisolasi, cagar alam pegunungan Cyclops, menjulang di atas ibukota provinsi Jayapura, memiliki banyak unsur montana endemis di antaranya termasuk 273 species burung dan 86 jenis binatang menyusui yang diperkirakan berada dalam cagar alam ini. Karena letaknya, cagar alam ini terkepung oleh pertanian ladang, tekanan perburuan, pengumpulan kayu dan anggrek, dan perluasan kota-kota Jayapura, Abepura dan Sentani, ketiganya merupakan pusat-pusat pemukiman. 81
Cagar ini pun mengalami tumpang tindih dengan suatu konsesi explorasi tambang, walaupun suatu prospek tambang nikel telah ditunda, kini ada kegiatan baru berupa suatu survey sumber-sumber tambang marmer di pantai utara. Walaupun wilayah ini telah diresmikan sebagai suatu cagar alam sejak 1978 (22.500 Ha) batas-batasnya telah direvisi, sesuai dengan hasil kerja proyek WWF/IUCN yang sedang berjalan. Cagar alam ini yang berada di quadrant barat laut Teluk Cendrawasih yang mencakup semua rangkaian kepulauan Auri dan sepanjang 510 km garis pantai daratan, di antaranya baru Pulau Anggremeos (2.500 Ha) yang telah disahkan sebagai cagar alam. Mungkin cagar alam ini adalah yang paling unik di antara wilayah-wilayah laut di Indonesia dengan kehidupan batu karang yang kaya, sarang serta tempat mencari makan penyu laut, wilayah rumput laut yang digemari oleh dugong-dugong, tempat yang subur bagi kerang raksasa dan bahkan buaya laut. Perairannya kaya akan ikan duyung, maupun jenis-jenis ikan yang diperdagangkan. Kini wilayah ini sudah menjadi incaran para wisatawan yang khusus bergerak dalam pengumpulan kulit kerang yang kebanyakan berasal dari Sulawesi Selatan, serentak dengan itu para nelayan setempat telah terdesak oleh rekan-rekannya yang berasal dari kepulauan Biak dan Japen. Dengan semakin berkembangnya perikanan dengan fasilitas pelabuhan serta armada nelayan Biak, semakin perlu dimulainya perencanaan pengelolaannya dengan segera. Departemen Kehutanan telah setuju ketujuh cagar alam di atas dijadikan prioritas untuk mendapat pengelolaan dalam jangka waktu lima tahun mendatang, walau sesungguhnya masih banyak cagar alam lain di Irian Jaya menunggu perhatian Pemeeeerintah. Tiba saatnya sekarang, bukan saja pemerintah tetapi juga badan-badan lain yang berkepentingan dengan pengelolaan taman nasional dan cagar alam harus menyingsingkan tangan untuk mengahadapi tantangan-tantan82
gan berupa ancaman-ancaman yang bisa merusak, bahkan melenyapkan sebagian dari wialyah-wilayah yang harus dilindungi itu, demi kelangsungan pembangunan maupun keidupan kita. Juga masyarakat umumnya perlu mulaui memberikan perhatian terhadap masalah-masalah konservasi alam yang walaupun masih tergolong “barang baru” bagi masyarakat awam, namun kini yrlah mulai memperoleh perhatian.***
23 Desember 1984, Sinar Harapan
83
Mengintip Habitat Anjing Laut di Ujung Tenggara Dunia MELANCONG biasanya ditentukan tujuan tempat yang hendak dituju, dan tujuan, kenapa tempat itu dituju. Dipilih Stewart Island di ujung selatan menengara dekat ke Kutub Selatan itu karena pulau ini buka semata terletak di tempat paling unjung Selandia Baru, melainkan karena di pulau ini dikelola cagar alam dengan penduduk paling tipis di seluruh negara ini. (Hanya kurang dari orang pada hari libur atau akhir pekan, ketika wisatawan berdatangan kemari.) Stewart Island dengan kakayaan cagar alam yang dikelola secara optimal : Fauna dan floranya mutlak dilindungi, praktis tak boleh dijamah, palagi diburu. Dengan biaya cukup dan dikelola berikut dengan tenaga ahli cukup dan peralatan yang memadai. Dari Stewart Island kita bisa belajar, bagaimana mengelola sebuah pulau kecil yang kekayaannya terutama berupa tumbuhan dan hewan itu. Pulau yang langitnya selalu cemerlang pada dinihari dan senjakala, bahkan ketika tengah malam terkadang ada aurora, terletak di hampir unjung selatan menenggara di bawah sana, di unjung selatan Selandia. Pada tahun 1864 pulau ini dibeli dari orang-orang Maori untuk Sri Ratu Inggris dengan harga ₤ 6000 (katakanlah, $ 12.000). Itupun dibayar cicil atau diangsur beberapa kali. Pulau dengan jumlah penduduk 450 orang ini berbentuk segi tiga dengan poros utara sepanjang 64 Km dan lebar kira-kira 40 Km. Cuma 24 Km dari South Island yang oleh wartawan ini baru ditempuh 18 menit dari lapangan udara Invercargill (penghujung Selatan South Island dengan pesawat Cessna, dengan melintasi Selat Foveaux. Kenapa jauh-jauh dari kampung memilih tempat hampir paling unjung, nyaris menghampiri Kutub Selatan? Pulau Stewart dengan alamnya terjaga hampir 100% utuh, tanpa tercemar oleh apa pun dan siapa pun. 84
Nama Pulau Stewart aslinya dalam bahasa Maori adlah Rakiora, (yang berarti “kilau langit”_. Nama Stewart diambil dari nama seorang awak kapal penangkap anjing laut (seal) bernama Pegasus. Stewart pada 1809 berhasil mengitari pulau itu dan membuktikan sebaliknya dari dugaan Kapten Cook yang semula mengira pulau tsb adalah bagian dari Pulau Selatan. Tepat di mulut Halfmoon Bay (atau Teluk Bulan Se[arp) terdapat pulau kecil yakni Ulva Island, di mana anda bisa menikmati jalan setapak yang dibuat untuk siapa pun yang hendak menyatu di tengah alam, sambil mendengar kicau burung dan mengamati berbagai jenis tanaman. Jalan setapak ini melitasi vegetasi alamiah yang menjangkau jarak yang cukup nyaman untuk dicapai. Lebar jalan setapak itu hampir semeter, agak diperkeras, arahnya yang berkelok-kelok merupakan daya upaya untuk melindungi vegetasi dan agar dapat menunjukkan sebanyak mungkin ciri alamiah. Jalan setapak ini berbelok kekanan dan melewati tanaman berbatang tipis bernama Totara, dan dua paku-pakuan serta sejenis lilia tanah di sisi kanan jalan, sesudah kelokan pertama. Pada perhentian kedua akan nampak menyolok tanaman ‘rimu’ dan pakupakuan rantai, yang sesungguhnya bukanlah paku-pakuan, tetapi disebut demikian karena kadang-kadang tanaman ini memiliki spora, daun-danunya mirip seperti rantai. Pada perhatian yang ketiga terdapat jenis anggrek species Corybas biasanya banyak terdapat pada musim bunga. Jenis anggrek ini daunnya berbentuk seperti kepala panah, sisi belakangnya berwarna keperakan, rata dan berwarna hijau. Kemudian kita akan memukan tanaman Miro, pohon palu Wheki yang mirip dengan yang biasa kita temukan di pegunungan kita di Indonesia yang kita sebut Pakis Haji. Masih banyak lagi tanaman paku-pakuan di sini. Dan burung yang pertama akan dapat anda kenali mungkin adalah parkit bermahkota kuning. Dan bila anda beruntung mungkin anda akan menjumpai burung tanah, 85
Weka, di sampin burug Tui, burung lonceng (bellbirds), di samping merpati dan kakatua. Dengan menggunakan kapal motor anda dapat mengelilingi pulau ini yang antara lain dihuni oleh anjing laut yang sangat ketat dilindungi kelestariannya. Dengan bersenjatakan kamera biasa kita coba rekam dari jarak yang tak boleh lebih dekat lagi dari tempat bercengkerama makhluk langka ini. Nampak mereka di bawah matahari yang tak begitu menyengat, mereka bercengkerama di atas bat-batu karang. Sekali-sekali lalu meloncat terjun ke air laut. Kemudian berenang kembali lagi ke pantai karang. Sambil mengibas-ngibaskan ekornya kemudian menyelam lagi, mungkin sambil mencari mangsa. Penjaga hutan Pulau Stewart Island yang menyertai wartawan anda menerangkan,bahwa keketatan perlindungan terhadap jenis binatang ini dilakukan secara mutlak. Siapa pun tak diperbolehkan memburu atau membunuhnya. Binatang-binatang itu dibiarkan berada di tempat yang mereka gemari, sekedar untuk berkoexistensi damai, ibarat antara Soviet dan Amerika di zaman Kruschev dulu. Dari penjaga hutan (warden) itu kita menerima setumpuk buku kecil mengenai sejarah alam pulau Stewart, tentang kekayaan burungnya, paku-pakuannya, binatang-binatang berkulit kerasnya, vegetasinya, burung-burung lautnya, pepohonan dan semak-semaknya, rerumputan lautnya, ikan lautnya dsb. Di Indonesia direncanakan (dan banyak di antaranya sudah dikukuhkan dengan undang undang ) tersedianyan sebuah Taman Nasional di setiap provinsi. Kecuali itu ada ratusan wilayah konservasi alam, yang secara keseluruhan di antara lebih dari 13.000 pulau kita itu hampir tak sebuah pulaunya pun yang tidak memiliki kekhasan tropis, baik dalam flora maupun faunanya. Yang menyedihkan adalah walaupun istilah Taman Nasional sudah dipakai untuk bebrapa hutan reservat tertentu, celakanya secara hukum istilah Taman 86
Nasional di Indonesia belum ada. Hingga perencanaan dan pengelolaannya pun hingg kini nampak masih berkatung-katung. Berpuluh-puluh jilid buku usulan mengenai bagaiman Taman Nasional itu, dari yang di unjung paling Barat di Aceh (Gunung Leuser) hingga di Irian Jaya di unjung Timur telah disusun bersama-sama ahli-ahli dari FAO (Food and Agriculture Organization, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB), IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) dan WWF (World Wildlife Fund yang sekarang sudah diperpanjang jadi Worldwide Life Fund for Nature)) dengan dana meliputi jutaan dollar, dan milyaran rupiah. Dan yang kita kawatirkan laporan-laporan usulan pengelolaan tamantaman nasional dan cagar-cagar alam itu hingga kini belum (seluruhnya) bisa diterapkan. Karena masih langkanya tenaga ahli, peralatan dan dana. Berdasarkan rasa keprihatinan itulah wartawan anda memilih mengunjungi pulau di penghunjung selatan menenggara di bola dunia itu untuk bisa kita renungi bagaiman pemerintah Selandia Baru dengan cukup mengalokasikan tenaga dan peralatan mengelola untuk melestarikan kekayaan alam di sebuah pulau yang besarnya cuma beberapa ratus Km² itu. Dan dari yang dapat kita saksikan selama tiga hari di pulau kecil Stewart ini kita yakin pulau yang dikelola dan dilestarikan demi kekayaan alamnya Pulau Stewart pun memiliki beberapa jenis bahan tambang a.l. emas yang ternyata bisa pula dikawinkan dengan kepentingan pariwisata, tanpa mengorbankan pelestarian alamnya. ***
Sinar Harapan, 10 Desember 1985
87
88
Dari Deklarasi Manila WTO 1980 Sampai Sasaran 10 Juta / Tahun Wisatawan Manca Negara Deklarasi Manila 1980 Menjelang Kongres Pariwisata 2004 Melestarikan Wilayah Laut Indonesia Kembalikan Nusantara Sebagai Ajang Wisata Kapal Pesiar Jaga Bali Agar Tetap Lestari Batik, Wahana Politik dan Diplomasi Pariwisata Belajar dari Takio Menyongsong Abad 21 Anjuran ASTA Menyematkan Planet Bumi Braving the Trousism Crisis Maximizing Marketing Monies 89
Deklalarasi Mainla WTO 1980 Menempatkan Manusia Titik Sentral Pariwisata WALAU sudah puluhan tahun merdeka, kita sebagai bangsa masih saja gelepotan dengan masalah “kebutuhan pokok”, seperti pendidikan, kesempatan kerja, perumahan, dan fasilitas kesehatan. \ Sesungguhnya perlu kita camkan bersama bahwa pariwisata perlu bagi manusia sebagai salah satu pemenuhan hasrat hidup. Karena pariwisata dapat memulihkan kembali energi, memulihkan kesehatan dan memperluas wawasan budaya kita. Lebih dari itu pariwisata menciptakan ikatan-ikatan dengan sesama manusia selaku insan sosial. Sebagai makhluk kosmis, melalui pariwisata manusia berhubungan dengan alam dan memungkinkannya menjamah alam. Betapa pahitnya kenyataan hidup, karena belum banyak di antara manusia Indonesia mampu berpariwisata, sedikitnya kita menyadari manakala kita berlibur, kita merasa lebih terbuka terhadap manusia lain, sembari memperoleh pengalaman-pengalaman lain dari kehidupan rutin. Seperti didengungkan di Konferensi Pariwisata Dunia WTO 1980 di Manila, jika pariwisata hanya dilihat sebagai industri dengan kriteria komersial semata akan menyebabkan lenyapnya dimensi budaya sebagai unsur pembentukan pribadi manusia. Di konferensi ini melalui wawasan manusiawi, sosial dan psychologis dapatlah dihadapi masalah-masalah mengenai pembangunan dan perkembangan pariwisata maupun hari libur. Menurut sementara kalangan pemikir yang menampilkan gagasan di konferensi tingkat dunia ini bagi Negara yang sudah menghagai warga negaranya secara wajar-manusiawi, hari libur bukanlah semata “hak” melainkan juga suatu “tugas sosial”. Dan karenanya perlu dipikirkan pula untuk menjaga, agar pariwisata tidak menjadi “over-industrialized”, dan terlalu dikomersialkan. Be90
gitulah gampangnya untuk mengatakan. Tema yang diambil oleh konferensi a.l. mengenai kebebasan manusia untuk bergerak. Walau kita sudah menjadi anggota PBB dan sedikit banyak terikat akan deklarasi universal mengenai hak-hak asasi manusia, tidaklah pernah kita sadari bahwa jika seorang Indonesia yang mendapat larangan pergi ke luar negeri, sebenarnya kita melanggar salah satu hak asasi manusia. Alangkah ideal dan “menggantang asap” kedengarannya, jika terutama Negara-negara Eropa Timur dan sementara delegasi yang menyokong disebar-luaskannya bahasa Eksperanto untuk menjembatani kesulitan komunikasi karena halangan bahasa antara sesama warga dunia. Serta dirasa perlu digantikannya paspor dengan kartu pengenal. Pada dasarnya kedua gagasan sederhana namun masih terlalu “ideal” ini hanya untuk menekankan betapa didambakannya kebebasan bergerak ummat manusia di bumi Tuhan, tanpa harus terhalang oleh perbatasan-perbatasan geografis berupa visa maupun paspor. Keperluan akan kerja sama kepariwisataan seperti didengung-dengungkan dalam konferensi ini lebih menekankan kepada perlunya Negara-negara maju membantu Negara-negara berkembang dan miskin. Juga ditekankan kerja sama lebih penting ketimbang bantuan, karena untuk mengembangkan kepariwisataan bahkan di Negara-negara sedang berkembang masih ada kemungkinan penanaman modal swasta, baik internasional maupun nasional di wilayah-wilayah yang berpotensi wisata. Bahkan dialog antar Negara maju dan berkembang jauh lebih penting, ketimbang sekedar bantuan. Istilah-istilah teknis, seperti analisa pasar, ongkos finansial, dan ongkos sosial maupun keuntungan yang juga dipakai di industri lain, dalam industri pariwisata tentu bisa lain penjabaran maupun kaitan artinya. Dan ini perlu pula kita amati dan perhatikan penerapannya di Indonesia. Kerja sama teknologis pada dasarnya termasuk perencanaan pembeayaan proyek-proyek pariwisata, perencanaan prasarana, yang menyangkut teknik 91
sipil, yang tidak selalu tersedia di Negara-negara berkembang. Dalam kertas-kerja dari Kenya dilaporkan bahwa pada umumnya prasarana merupakan masalah yang rumit, karena harus direncanakan, dibeayai dan diimplementasikan, sebelum seorang wiraswasta mempertimbangkan, untuk membangun suatu hotel.Tepat seperti dicontohkan oleh proyek Nusa Dua yang setelah lebih dari enam tahun “dijual” ke seluruh penjuru dunia, baru Garuda jadi investor pertama untuk membangun hotel di sana, walaupun prasarana jalan, listrik dan air telah tersedia sejak lama. Juga kita catat tidak kurang pentingnya kerja sama teknologis khususnya pengoperasian proyek, maupun pengelolaan pariwisata pada umumnya. Tema lain yang dianalisa adalah pembangunan sumber daya manusia. Indonesia sudah tepat sasaran, karena sudah punya Pusat Pendidikan Pariwisata di Bandung dan Bali, di samping beberapa akademi pariwisata swasta maupun semi Pemerintah. Dicatat dalam konferensi, bahwa begitu suatu kegiatan touristik di suatu Negara berkembang dimulai, masalah sumber daya manusia biasanya muncul dan langsung berkaitan dengan masalah-masalah umum dalam bidang pendidikan, yakni penyiapan dan penyediaan tenaga-tenaga trampil dan ahli. Jelas masalahnya tidak bisa diatasi semata hanya dengan investasi dan produksi. Perlu dilihat pula dampak ekonomis dan sosial yang ditimbulkan oleh pendidikan terhadap sikap-sikap penduduk dan lembaga-lembaga pendidikan. Dalam hal pengembangan sumber daya manusia, Indonesia tidak usah terlalu malu, jika membandingkan diri dengan Negara-negara Asia dan benua-benua berkembang lainnya. Walaupun, jika membandingkan diri dengan Filipina, sang tuan rumah, kita mungkin masih harus mengakui bahwa Filipina sudah memiliki lembaga-lembaga pendidikan yang lebih bertingkat internasional dalam profesi kepariwisataan. Kerja sama di bidang pendidikan, sekali lagi Indonesia sudah pada jurusan yang benar, seperti dicanangkan konferensi ini perlunya dilakukan antara 92
Negara-negara maju dan berkembang. Karena Indonesia telah berbilang tahun memiliki kerja sama yang erat dengan Swiss. Namun, tenaga management tingkat menengah dan senior di Indonesia masih langka. Seingat kita baru beberapa orang lulusan kita dari Eropa dan Amerika, termasuk seorang wanita yang kini sudah menduduki tingkat management menengah. Selebihnya, kita masih terpaksa harus mengandalkan tenaga-tenaga asing seperti terjadi di beberapa hotel internasional di Jakarta maupun di Bali. Tidak diabaikan dalam konferensi ini arti ekonomis, maupun keuangan dari pariwisata baik secara internasional, maupun nasional. Dalam aspek ekonomis mau-tak-mau terasa betapa njomplang, dan tidak seimbangnya, antara Negara-negara maju yang telah demikian mampu dan berlebihan dalam memberikan kecukupan kebutuhan material kepada warga negaranya, dibanding dengan penduduk negara-negara berkembang, apalagi yang miskin. Dalam aspek ekonomis ini pula mau-tak-mau krisis energi serta semakin menanjaknya harga bahan bakar menjadi masalah yang gawat dibicarakan. Hingga pada akhirnya konferensi harus menyadari, bahwa mengenai energi agaknya tidak pada tempatnya untuk terlalu mendalam hingga berlarut-larut dibahas. Masih dapat dicapai kesepakatan, bahwa jika Negara diharapkan akan dapat menikmati sumbangan ekonomis dan sosial dari pariwisata, Negara pun harus memikul tanggung jawab dalam mendudukkan pariwisata sebagai pemegang peranan sosial dan ekonomis. Walau masalah serius mengenai stabilisasi dan reorganisasi pertumbuhan ekonomi di setiap masyarakat modern menyebabkan timbulnya pesimisme, konferensi berharap, bahwa “krisis dunia tidak akan mencapai suatu titik akan secara serius mengganggu kemajuan dalam perdagangan internasional. Tata Ekonomi Internasional Baru dianggap tidak mungkin dan tidak bisa lain daripada harus diwujudkan lebih dulu melalui Tata Budaya Internasional 93
Baru yang pada giliran dan salah satu manifestasinya adalah dengan penjabaran dan pengalaman pariwisata dalam arti kata yang susungguhnya. Dan kata-kata ini datang tidak kurang dari Presiden Ferdinand Marcos dan Ny. Imelda Marcos dalam masing-masing amanat mereka secara terpisah. Pertama, Presiden Marcos sebagai tuan rumah konferensi. Kedua Ny. Imelda Marcos dalam “position paper” Filipina, karena First Lady dari tuan rumah juga jadi ketua delegasi tuan rumah, di samping juga muncul sebagai gubernur Metropolitan Manila dan Menteri Pemukiman Manusia. Setelah bersidang selama hampir dua pekan penuh, sejak 27 September hingga 10 Oktober ditingkah oleh beberapa ledakan bom yang disetel hampir simultan di tiga hotel, serta melalui berkali-kali siding pleno, sidang-sidang komisi politik dan teknik, serta sidang khusus panitia kredensi, maka sampailah konferensi pada klimaksnya menyusun sara-saran dan kesimpulan-kesimpulannya yang satu antara lain akan dibawa oleh Presiden Marcos ke sidang umum PBB y.a.d. Deklarasi Manila, demikian dinamakan kesimpulan dan sara-saran konferensi yang merupakan perasan dari puluhan amanat kepala-kepala Negara dari berbagai penjuru dunia, “kertas-kertas kerja” WTO, maupun pembahasanpembahasan, “kertas-kertas posisi” dari berbagai Negara, serta perdebataperdebatan sengit sampai kepada istilah-istilah dan susunan kalimat yang demikian bertele-tele maka tersusunlah “Deklarasi Manila” yang pada dasarnya menempatkan manusia pada kedudukannya yang wajar, sebagai titik pusat kegiatan kepariwisataan baik dalam waktu senggang dan liburnya. Bersukurlah Manila, sebagai salah satu ibu kota ASEAN, mampu melahirkan “Deklarasi Manila” khusus menyangkut kepariwisataan, hingga seperti dikatakan Jose Aspiras, itu “Man of the Year”nya kepariwisataan dunia untuk 1980 yang telah berhasil menghimpun 112 negara berdaulat di Manila, “sejak hari ini (10 Oktober) setiap kali orang menyebutkan pariwisata, maka ia akan ingat akan kota Manila, di mana deklarasi ini telah dilahirkan.” 94
Jose Aspiras mengatakan, “sesungguhnya saya sangat berkeinginan agar Indonesialah yang menjadi tuan rumah konferensi ini. Tetapi Indonesia belum memiliki seorang menteri pariwisata. Untuk memiliki bobot menjadi tuan rumah konferensi Indonesia harus mampu mengatakan kepada dunia internasional bahwa Indonesia telah meletakkan kepariwisataan sebagai pengejawantahan kebutuhan manusia dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi, sosial maupun kebudayaan.” ***
Sinar Harapan, 23-10-80
95
Menjelang Kongres Pariwisata Indonesia 2004 SEJAK Republik Indonesia berdiri pada tahun 1945 telah lima kali diselenggarakan Kongres Kebudayaan. Yang terakhir terselenggara di Padang, Sumatera Barat pada tahun 2003, dengan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata sebagai pencetus gagasan dan penyandang dana. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Drs. I Gede Ardika melemparkan gagasan menyelenggarakan Kongres Pariwisata Indonesia pada tahun 2004, bakal merupakan yang pertama diselenggarakan di negeri kita. Gagasan itu disampaikan Menteri Ardika kepada ITAF (Indonesian Tourism and Aviation Forum) pimpinan Sri Mulyono Herlambang, ketika menghadap Menteri pada 16 September 2003. Tepat kiranya jika gagasan Meneri Ardika itu kita rujukkan kepada Kongres Dunia Pariwisata dari Organisasi Pariwisata Dunia (WTO) 1980. Pemerintah Republik Indonesia mengirimkan seorang utusan ke Kongres Pariwisata Dunia yang pertama pernah diselenggaakan oleh WTO di Manila pada bulan September – Oktober 1980 itu. Sebagai formalitas delegasi Indonesia diketuai oleh Duta Besar RI untuk Filipina pada waktu itu dan beberapa orang stafnya diturut-sertakan guna melengkapi perutusan Indonesia.. Sejak pembukaan resmi oleh Presiden Ferdinand Marcos sampai malam penutupannya dengan Presiden dan Ny. Imelda Marcos sebagai tuan dan nyonya rumah. Sebagai kenang-kenangan bagi para delegasi duet Ferdinand dan Imelda menyenandungkan lagu pop Dahil Sayo yang dilantunkan dalam bahasa Tagalog, yang versi Inggrisnya berjudul Because of You. (Olok-olok sesudah rezim Marcos jatuh, judul lagu tersebut ditudingkan kepada Marcos::’Because of You (Marcos)’ Filipina jatuh miskin dan Ferdinand dan Imelda kemudian harus tergusur dari singgasana mereka karena tuduhan korupsi.). 96
Kehadiran delegasi Indonesia di kongres tingkat dunia itu ‘sangat mengecewakan,’ karena kehadiran Indonesia tanpa menyampaikan ‘country report’ yang sedianya dapat menggambarkan perkembangan Indonesia sebagai negara tujuan wisata. Juga tidak ada Message from Head of State’dari Indonesia. Rta-rata negara peserta lain menyampaikan keduanya. Dan lebih hebatnya lagi, selama tiga minggu penuh Indonesia tidak mengajukan secuil mssukan, maupun pertanyaan atau pernyataan, baik dalam suatu sidang komisi, atau working group. Kecuali satu kali, Indonesia mengacungkan tangan untuk menyatakan abstain dalam pemungutan suara atas setuju atau tidak terhadap masuknya Delegasi PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) sebagai Peserta Kongres. Sikap sebagai safe player dari delegasi kita kecele. Karena mayoritas peserta Kongres memberikan suara setuju mendukung PLO diterima sebagi observer kongres. Sesuai dengan statusnya di Markas PBB di mana PLO berstatus observer. Setelah bersidang tiga minggu penuh Kongres menghasilkan Manila Declaration, yang hingga sekarang pun dipegang dan dianut oleh semua anggota WTO sebagai kesepakatan internasional, termasuk oleh Indonesia. Dalam sebuah seminar yang dihadiri organisasi-organisasi LSM internasional yang juga diselenggarakan di Manila sebelum berlangsungnya Kongres Dunia WTO secara habis-habisan fenomena pariwisata sex yang sedang naik marak di Filipina ketika itu dihajar habis-habisan oleh para peserta seminar ini.. Berabenya bagi tuan rumah, Filipina, negeri ini adalah negeri penjaja wisata sex. Di Manila pariwisata jenis y ang satu iyang dikecam habis habisan oleh seminar LSM itu berpusat di Jalan Mabini, tidak jauh letaknya dari PICC (The Philippine International Convewntion Centre) sebagai bagian dari The Philippine Vllage kebanggaan Manila.empat diselenggarakannya kongres WTO ini. Seminar yang tidak sempat diliput oleh wartawan Sinar Harapan, namun sejumlah dokumen seminar dan keterangan tentang jalannya seminar itu 97
dapat diperoleh dari seorang peserta seminar berkebangsaan India. Menurut sumber tersebut, sex tourism business di Manila dijadikan objek studi dalam seminar tersebut. Karena demikian banyak ‘bebanten’ (atau korban) harus berjatuhan akibat merajalelanya industri wisata sex a la Filipina ketika itu. Sudah sejak sebelum 1980, bisnis wisata sex marak di negeri jiran ini. Dalam seminar itu sempat direkapitulasi bebanten-bebanten yang harus dibiarkan berjatuhan, demi pendapatan devisa untuk rezim Marcos. Satu di antara contoh betapa keji ‘mesin wisata sex’ menelan korbannya. Karena untuk tiap US$ 100 ‘pemasukan’ dari wisata sex di Filipina, kurang dari US$10 saja sampai di tangan para wanita penghibur. Salah satu contoh diungapkan di seminar itu bagaimana para turis Jepang yang berdatangan ke Manila sebelum mereka memasuki kamar hotel, para turis pria Jepang itu lebih dulu digiring ke sebuah ‘balairung’ di mana para wanita penghibur berjentrak-jentrik, layaknya seperti di atas catwalk, masingmasing mengenakan nomor. Dan para turis Jepang tinggal mengacungkan tangan menyebutkan nomor berapa yang dipilihnya. Begitu sang turis memasuki kamar hotelnya, wanita dengan nomor terpilih telah berada di masing-masing kamar mereka. Dilaporkan pula dalam seminar tersebut oleh seorang biarawati Katholik di Manila berapa jumlah anak-anak tanpa ayah yang harus diurusnya, dan hampir setiap anak yatim itu adalah buah dari sex tourism dimaksud. Jika Anda meluangkan waktu di sela-sela acara Kongres akan dapat Anda hitung berapa banyak restoran dan ‘go go club’ di sepanjang Jalan Mabini, di samping banyaknya klinik spesialis penyakit kelamin tersedia, tidak jauh dari Mabini. Walau ketika itu belum dikenal apa yang sekarang diidentifikasikan sebagai HIV (virus penyebar AIDS (Acquired Immunity Deficienct Syndrome), seperti yang kita kenal sekarang. Kongres WTO 1980 yang semula mungkin mendapat ‘angkat jempol’ oleh para delegasi yang turut menandatangani Deklarasi Manila sesungguhnya 98
bukan sama sekali tanpa cacad atau kekurangan. Mengingat Kongres telah menutup mata terhadap sex tourism yang menjamur di Manila, bahkan ketika sedang berlangsungnya Kongres. Mungkin sekadar demi tata krama menghormati tuan rumah yang akhirnya jatuh juga rejim Marcos. Betapapun juga harus kita katakan sekarang bahwa rezim Marcos ketika itu, yang kemudian diruntuhkan oleh Kekuatan Reformis pimpinan Benigno Aquino telah memanipulasi kepariwisataan Filipina sekadar untuk dijadikan mesin pencipta dollar pnambah devisa. Tersulutnya ‘People Power’ pimpinan Corry Corazon, segera setelah dieksekusinya Benigno secara biadab oleh seorang penembak jitu di bandar udara Manila,tepat pada hari kepulangan Benigno ke tanah airnya, setelah mengengasingkan diri, diperkuat oleh sexploitasi dalam kepariwisataan di Manila, hingga akhirnya turut mengantar rezim pasangan Ferdinand dan Imelda Marcos memasuki senja kala dan segera digantikan oleh Presiden Corrie Aquino, isteri alm. Benigno Aquino. Itulah pelajaran yang harus dibayar oleh Pemerintah dan Rakyat Filipina dari kebijakan pengembangan pariwisata yang menutup mata kepada pariwisata yang dimaksud untuk menjebak turis supaya berdatangan. Akhirnya berbalik.....meruntuhkan rezim pemerintahan yang menghalalkan wisata semacam itu, Jatuhnya rejim Soeharto uga merintisi berantakannya industri pariwisata Indonesia, seperti terbukti dari menggunungnya kredit macet sebesar Rp.6.6 trilyun ysng diderita oleh 40an hotel besar di Indonesia. termasuk Hotel Indonesia dari PT Hotel Indonesia International yang sekarang menjadi PT INA, sebuah BUMN yang merupakan merger dari dua PT HII dan PT Natour (keduanya BUMN). Akibat krisis ekonomi dan moneter sejak pertengahan 1997 yang mendorong ambruknya rezim Orde Baru bukan hanya menggulung industri perhotelan, tetapi juga menjadikan jutaan karyawan kepariwisataan menjadi pengangur, karena komponen-komponen industri terkait pun turut terpukul. Termasuk PT Gauda Indonesia dan PT Merpati Nsuantara (keduanya juga 99
BUMN) yang nyaris gulung tikar pula, karena keduanya nyaris mengalami kebangkrutan. yang meludeskan nilai netto dari asset Garuda Indonesia yang sempat mencapai angka negatif. Dalam arti, jika seluruh asset Garuda dilego maka Pemerintah (melalui PT Garuda Indonesia) masih harus melunasi sisa hutang yang tidak tertutup oleh penjualan seluruh asetnya. Merujuk hanya kepada tiga komponen tersebut di atas, yakni kredit macet perhotelan, menganggurnya jutaan karyawan industri pariwisata serta mengkerutnya nilai asset Garuda, sebagai akibat krisis ekonomi dan moneter yang akhirnya meruntuhkan orde baru, semua ini cukup menggambarkan, betapa luluh lantak industri pariwisata kita secara keseluruhan. Makin merosotnya jumlah wisatawan asing selama sekian tahun pasca orde baru yan makin menciutkan pendapatan Negara dan masyarakat, serta malapetaka susulan berupa terorisme bom di Legian, Bali, dan Hotel Marriott di Jakarta, yang dinilai sangat negatif yang menjadikan tingkat keamanan Indonesia sebagai negara tujuan wisata ‘sangat rendah.’ Kemudian susul menyusul munculnya malapetaka SARS (Syndroma Penyakit Pernafasan yang Akut) dan flu burung yang menambah kurang manisnya citra Indonesia sebagai negara tujuan wisata ‘Pekerjaan rumah’ seperti tergambar di atas jelas melatarbelakangi persiapan Kongres Pariwisata Indonesia 2004. Kongres seyogianya dihadiri oleh pihak-pihak di luar sektor pariwisata, baik di jajaran birokrasi maupun swasta, serta harus memperhitungkan masukan-masukan dari pihak luar,. Misalnya mereka yang berkecimpung dalam asosiasi-asosiasi industri dan profesi wisata, yang jumlahnya tidak kurang dari 40 asosiasi. Belum lagi LSM-LSM pemerhati masalah lingkungan hidup, termasuk mereka yang memonitor kerusakan lingkungan, seperti hutan tropik, terumbu karang, singkatnya ranah flora dan fauna, yang nota bene merupakan salah satu asset nasional, di samping asset budaya, yang keduanya merupakan andalan Indonesia sebagai negara yang kaya akan mega diversities, baik secaa budaya maupun keindahan alam. Kongres Pariwisata Indonesia 2004 kita harpkan akan mampu melakukan 100
pemetaan kembali problematik berikut solusi-solusinya, baik dalam matra bisnis dan perekonomian, maupun dalam neraca lingkungan dan budaya. Seberapa parah kerusakan-kerusakan lingkungan alam dan lingkungan budaya dalam ranah pariwisata serta cara bagaimana mengatasi semuanya. Persiapan terselenggaranya Kongres Pariwisata 2004 termasuk daftar personalia menjadi peserta aktif Kongres guna memperoleh perspektif permasalahan serta memetakan kembali kepariwisataan kita dengan segenap asset andalannya serta meinginventarisasikan masalah-masalah yang menyangkut pariwisata sebagai ‘mesin bisnis dan ekonomi’.Berikut langkah-langkah yang harus kita ambil, notabene dengan segala keterbatasan energi, waktu dan knowhow yang kita miliki. Maupun langkah-langkah yang dapat diambil dalam jangka waktu pendek, menengah maupun jangka panjang. Kongres Pariwisata Indonesia 2004 mendatang harus mampu memetakan kembali kepariwisataan kita melalui kaca mata dan wawasan yang ‘berpijak di atas bumi.’ Tanpa mengenyahkan kepariwisataan dari ranah ekonomi dan bisnis. Kongres mendatang semoga mampu mencegah jatuhnya lagi bebanten-bebanten serupa, seperti terjadi di Manila maupun di negeri kita sendiri, termasuk jutaan penganggur yang tertimpa krisis ekonomi yang merupakan bagian dari krisis multi-dimensi yang masih terus bergulir hingga saat ini. Belajar dari kesejajaran jatuhnya rejim Marcos dan rejim Soeharto, seluruh stakeholders pariwisata baik di jajaran swasta, Pemerintah, maupun media, harus meletakkan pariwisata pada rel yang tepat yang kontributif terhadap pembangunan nasional dengan menempatkan manusia Indonesia sebagai subjek pembngunan. Bukan pembangunan yang menempatkan bangsa kita sendiri sebagai ’objek pembangunan,’ seperti terjadi hampir sejak kita bernegara Republik Indonesia. ***
101
Melestarikan Wilayah Laut Indonesia STUDI mengenai lingkungan laut dari ahli lingkungan bahari, Dr. Rodney V. Salm, mengatakan Pemerintah RI perlu memperluas program konservasi lingkungan lautnya sampai 10 juta hektar. Hingga tahun 2000 diperkirakan Indonesia akan melindungi 30 juta hektar wilayah lautnya yang perlu dijaga kelestariannya. Guna melaksanakan rencana raksasa itu, di Direktorat Jendral PHPA (Perlindungan Hutan & Pelestarian Alam) telah dibentuk Subdirektorat Konservasi Kawasan Laut (KKL) di bawah pimpinan drs.Ismu Sutanto Suwelo. Menurut Rodney Salm tugas mengelola kawasan konservasi laut urgensinya “masih terpendam,” dibanding perhatian yang telah diberikan oleh Pemerintah Indonesia dalam menjaga kelstarian alam darat. Dr.Salm menganjurkan Indonesia merintisi perlindungan kawasan laut regional ASEAN dan menyusun program konservasi laut regional ASEAN bersama badan internasional seperti Program Lingkungan PBB (UNEP). Indonesia perlu mengambil prakarsa untuk merundingkan dengan negara-negara tetangga Australia, Papua New Guinea dan negara-negara ASEAN lain guna merumuskan perjanjian mengenai suatu tudi bersama guna menentukan cara pengelolaan serta perlindungan habitat species bintang-binatang laut yang dimiliki bersama negara-negara tetangga, aeperti penyu dan dugong karena keduanya terancam punah. Pada tingkat nasional, Indonesia perlu segera mengundangkan suatu undang-undang khusus mengenai wilayah laut. Dalam suatu wawancara khusus dengan konsultan konservasi lingkungan laut dari WWF Holland, Peter C. Schröder M.Sc, M.M.A mengatakan, jika dana merupakan hambatan bagi Indonesia untuk menjadi penandatangan konvensi internasional yang melindungi paus, misalnya, Indonesia dapat menyatakan niatnya dengan keterangan tentang keterbatasan dana hingga In102
donesia belum dapat membayar uang iuran sepenuhnya. Unrgensi bagi Indonesia untuk menjadi negara penandatangan konvensi perlindungan paus, dikatakan Ketua International Whaling Commission (IWC) Sir Peter Scott kepada wartawan “SH”, agar Indonesia jadi anggota IWC, mengingat posisi yang strategis perairan Indonesia bagi paus-paus yang melintasi perairn kita dari Lautan Pasifik menuju Lautan Hindia. Dalam kesempatan memenuhi undangan public hearing dari UNEP di London, Sir Peter Scott mengatakan kepada wartawan “SH” dengan mata kepala sendiri Sir Peter melihat sebuah kapal penangkap paus tanpa identitas di perairan Indonesia sebelah timur dari geladak kapal Lindblatt yang ditompanginya dalam suatu expedisi ilmiah, tak jauh dari Kepala Burung, Irian Jaya. Pada wawancara terpisah dengan kepala Subdirektorat KKL, Isnu Sutanto Suwelo, menyatakan keterbatasan dana bisa merupakan kendala bagi Indonesia untuk turut menandatangani konvensi perlindungan paus, walaupun berbagai instansi, termasuk di antaranya Deparlu, Kantor Menteri KLH, Direktort Jendral Perikanan Laut, dan Direktorat Jendral PHPA, telah memikirkan pentingnya Indonesia menjadi anggota konvensi tsb. Peter Schröder wanti-wanti menganggapi perlu dipertimbangkannya untung ruginya, jika Indonesia jadi penandatangan konvensi perlindungan paus. Menurut Schroder Initu donesia akan makin lebih meyakinkan mata dunia internasional sebagai negara yang benar-benar memprihatinkan kerusakan lingkungan, mengingat perairan Indonesia (di samping wilayah daratannya) merupakan bagian global dari seluruh Bumi yang dari waktu ke waktu makin memperihatinkan keadaannya. Dengan demikian citra Indonesia akan jadi lebih baik dalam daya upaya kita menjaga kelestarian lingkungan alam, termasuk flora dan faunanya. Dr. Salim menganjurkan pula, agar seluruh perairan Indonesia dinyatakan sebagai wilayah perlindungan paus (a whale sanctuary), sehingga dengan demikian Indonesia akan melengkapi wilayah lautan Hindia sebagai whale sanctuary. 103
Dianjurkan pula, agar perairan sekitar kepulauan Solor dan semua selat antara pulau-pulau Flores, Wetar, dan Timor dinyatakan sebagai zona perlindungan paus. Untuk itu Direktorat Jenderal PHPA perlalu melakukan pemdekatan kepada WWF-negeri Belanda, agar badan itu dapat memberikan sumbangannya untuk melakukan suatu survey oleh team peneliti paus dengan kapal yacht Tulip milik WWF negeri Belanda. Hasil survey itu kelak akan dapat menentukan lokasi di mana perkawinan paus dan di mana (jika ada) dilahirkan anak-anak paus di perairan Indonesia. Anjuran menghimbau bantuan kapal yacht Tulip itu menurut Dr. Salm sebaiknya dilakukan segera dilakukan (dalam tahun 1986), agar selambat-lambatnya pada tahun 1988 surveynya telah selesai. (Sejauh yang kita ketahui, setelah lebih dari 25 tahun, Indonesia tidak pernah menindak-lanjuti anjuran Sir Peter Schroeder tsb.) Dengan wanti-wanti Schröder mengatakan, jika Indonesia harus mengeluarkan $10.000 / tahun sebagai konsekuensi menjadi penandatangan konvensi paus internasional akan ada yang bertanya: buat apa membuang-buang uang puluhan juta rupiah tiap tahun “hanya sekedar untuk melindungi paus ? Bukankah dana sebesar itu jika berakumulasi dalam waktu beberapa tahun akan dapat digunakan mendidik para ahli ? Ada cara yang cukup realistis dapat ditempuh oleh Indonesia dalam kaitan, jika ada keinginan Indonesia turut menadatangani konvensi paus, yaitu dengan menyatakan kepada IWC tentang adanya keinginan Indonesia jadi anggota komisi dengan menandatangani konvensi tsb. Namun karena keterbatasan dana, sekarang belum dapat membayar sepenuhnya iuran tahunannya. Dengan demikian Indonesia akan tetap bisa menyatakan keinginannya turut melindungi paus di perairan Indonesia, sambil terus terang menyatakan “belum mampu memenuhi syarat pembayaran iuran.” Dalam studinya Dr. Salm juga menyebutkan ketika diselenggarakan Kon104
gres Dunia Taman Nasional III 1982 di Bali, Indonesia telah menyatakan komitmennya menjadikan perairan Indonesia sebagai wilayah yang dilindungi. Jika komitmen ini tidak diwujudkan, dikhawatirkan program konservasi laut Indonesia akan bisa kehilangan kredibilitasnya di mata dunia internasional, khususnya di lingkungan badan-badan internasional yang memprihatinkan keadaan lingkungan global, termasuk IUCN, dan UNEP, demikian Dr Rodney V. Salm. ***
(Sinar Harapan. 18 Januari 1986)
105
Kembalikan Nusantara Sebagai Ajang Wisata Kapal Pesiar KETIKA di Manado kini sedang diselenggarakan World Ocean Conference (WOC), sungguh tepat untuk merenungkan kembali perairan Nusantara sebagai kawasan pariwisata bahari. Sebagai kawasan penghasil rempah, sejak sebelum bangsa-bangsa Spanyol, Portugis, Belanda, Perancis dan Inggris berlomba menuju ke sini, nenek moyang kita telah menjelajahi lautan, sehingga terjalin hubungan perdagangan dengan bangsa-bangsa Barat, walau tak langsung, melalui cinammon route yang memungkinkan rempah-rempah kita jadi penyedap masakan Barat. Kemudian menyusul setelah Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM) menghubungkan Nederland dan Nusantara, sedikit demi sedikit turis Eropa (terutama Belanda) melancong ke Jawa dan Bali, hingga kemudian disusul penerbangan pertama ke timur jauh oleh Koninklijk Luchtvaart Maatschappij (KLM) yang menghubungkan Amsterdam dan Batavia. Menjelang pecah Perang Dunia Kedua, makin banyak turis Eropa berkunjung ke Hindia Belanda. Pada tahun 1954 penulis masih sempat naik kapal KPM Plancius dan Ophir dari Surabaya ke Buleleng, Bali dan sebaliknya, sebelum perusahaan perkapalan milik kerajaan Belanda itu dinasionalisasi menjadi Pelni pada 1959. Setelah RI memasuki era Orde Baru, di tahun 1970-an, Holland American Line mengoperasikan kapal pesiar Prinsendam dengan membawa turis mancanegara keliling Nusantara, antara lain menyinggahi Pulau Nias dan Bali. Sedikitnya dua kali wartawan surat kabar ini yakni Agnes Samsuri dan Suryohadi meliput pelayaran Prinsendam keliling Nusantara pada selepas tahun 1973. Kapal mewah HAL itu terbakar dan tenggelam di perairan antara Manado dan Filipina. Nusantara memiliki sejarah panjang dalam wisata bahari global, yang hingga sekarang pun masih dinikmati wisatawan dengan kapal pesiar yang masih lalu lalang di perairan Nusantara, beberapa di antaranya dengan kapal106
kapal berbagai bendera Amerika, Eropa, Asia bahkan Rusia. Walaupun Indonesia hingga kini masih tertimpa krisis multidimensi (sosial, ekonomi, politik dan budaya) yang kini seakan dilanjutkan oleh krisis global, namun fakta menunjukkan kawasan Asia Pasifik termasuk Nusantara masih dirambah oleh kapal-kapal pesiar internasional. Maka, Indonesia sekarang ini juga harus kembali berupaya membujuk rayu kapal-kapal pesiar yang belum mengarungi perairan Nusantara agar mempertimbangkan kawasan perairan kita yang paling beragam di dunia, baik dalam kekayaan keindahan alam maupun budaya. Bahwa Malaysia, Singapura dan Hong Kong sudah sejak belasan tahun lalu lebih dulu menjadi pusat persinggahan kapal pesiar dunia makin menggarisbawahi perlunya Indonesia membenahi diri kembali sebagai kawasan perairan kapal pesiar. Menjadi tuan rumah WOC yang baru pertama kali diselenggarakan hendaknya menggugah Indonesia yang sudah kelewat lama kurang menyadari kedudukannya sebagai negeri bahari yang demikian strategis. Indonesia sudah sejak proklamasi kemerdekaan, menelantarkan diri sebagai negara maritim, yang berada pada titik silang antara dua benua serta sekian laut dan lautan. Indonesia merupakan emporium yang memiliki keragaman kawasan tujuan wisata. Peter Semone, seorang pakar wisata alumnus Universitas Cornell, dengan pengalaman puluhan tahun di bidangnya, dalam sebuah proposalnya kepada (ketika itu) Direktur Jenderal Pairiwisata, Andi Mappissameng (1995), mengungkapkan bahwa 85 persen dari responden survei CLIA (Cruise Line International Asssociation) mengatakan bahwa berwisata dengan kapal pesiar (cruising) adalah satu cara yang baik untuk mencicipi keindahan berlibur. Peter Semone berkesimpulan kawasan Asia Pasifik (baca: termasuk Indonesia) sudah terposisi sebagai pasar yang mampu memenuhi tantangan dan keperluan dunia pada abad 21. Ini terbukti dengan kenyataan bahwa Singapura sudah lama menjadikan diri pusat pelayaran kapal pesiar di Asia Tenggara. Sudah lebih dari 25 tahun lalu Singapura memiliki terminal penumpang kapal pesiar dengan gaya ter107
minal bandar udara internasional yang letaknya cuma berjarak 25 menit dari bandar udara internasional Changi dengan fasilitas-fasilitas senilai S$ 50 juta yang diakui sebagai gerbang utama bagi Asia Tenggara. Indonesia semestinya memetik manfaat paling utama dari keberadaan pelabuhan kapal pesiar Singapura yang harus ki lihat pula sebagai salah satu gerbang utama ke Indonesia. Kita cukup menyadari bahwa di Asia Tenggara, kita tidak hanya bersaing dengan Singapura, tetapi juga dengan Thailand, Vietnam, Hong Kong dan Malaysia. Tetapi, posisi kompetitif itu juga dapat sekaligus sebagai posisi yang saling melengkapi. Seperti halnya dalam wisata jarak jauh yang menggunakan pesawat udara, negara-negara yang saling berdekatan menjadi pelengkap suatu negara tujuan wisata tertentu. Mahalnya biaya maka negara tujuan wisata kapal pesiar pun bisa tergabung dengan negara berdekatan. Apalagi sudah sejak puluhan tahun dunia wisata telah mengenal “fly and cruise” sebagai gabungan untuk mengefisienkan waktu bagi para pelancong dengan kapal pesiar yang banyak memilih keberangkatan atau kepulangannya menggunakan pesawat udara atau sebaliknya. Makin banyak informasi diperoleh tentang suatu negara, tujuan pesiar makin menarik pula bagi negeri berdekatan untuk memperoleh luberannya. Ke Indonesia dan negara negara ASEAN tetangganya. Puluhan negara yang mengutus para delegasinya ke WOC Manado melihat Nusantara tidak sekadar sebagai negara dengan kekayaan kelautan yang tak tepermanai yang dalam kaitan ilmiah biologis dan oceanologis merupakan ranah ilmu yang nyaris tiada batasnya untuk dirambah dan ditelaah. Sebagai tuan rumah, Indonesia harus pandai mengoptimalkan agenda WOC yang memberi manfaat bagi kepentingan nasional kita. Kita juga harus punya agenda nasional yang harus bisa kita menangkan di WOC. Indonesia, khususnya Manado dan Sulawesi Utara, tentu menggamit perhatian selama berlangsungnya konferensi kelautan dunia. Ia harus menjadi titik penting dalam peta dunia wisata bahari, termasuk yang dengan kapal pesiar itu. *** 108
Bali Harus Tetap Lestari
YANG TERBAIK, sesudah main golf, adalah mandi shower. Tetapi sesudah main golf barusan, ternyata di sini sedang tidak ada air., yang berarti tidak ada mandi shower. Jika hal serupa terjadi di kabin pesawat Garuda, pasti jadi berita head line di surat-surat kabar,” kata Direktur Utama Garuda M. Soeparno, seusai penandatanganan perjanjian komersial antara Garuda Indonesia dan China Airlines. Tempat kejadian : Bali Handara Golf Club, Bedugul. Waktu : lewat tengah hari Minggu 14 Oktober 1990, \seusai para peserta Bali Mini Marathon 10 K yang dilaksanakan di Nusa Dua Bali. Yang lebih menarik dari raibnya shower’ dari golf club ini adalah keprihatinan M. Soeparno akan Bali yang diibaratkannya sebagai ‘itik petelur emas;’. Dan seperti kata pepatah, kata M. Soeparno wanti-wanti : “ Kita jangan membunuh angsa yang bertelur emas ! ” Soeparno memprihatinkan para pemilik sawah di Bali yang sekarang pada lebih suka menjual sawah mereka untuk dijadikan hotel oleh para investor. “Jika semua sawah di Bali berubah jadi hotel, yang tinggal hanyalah kemacetan lalu lintas. Dan tidak akan ada sawah lagi. Pada hal, citra Bali antara lain adalah sawah padi. Jika sawah lenyap dari sini, maka Bali seperti dipersepsikan dunia luar akan lenyap pula, dan akibatnya orang tidak akan datang ke Bali lagi,” kata Soeparno. Masih dalam kaitan ‘telur emas’, karena tujuan hendak memperbesar ‘ukuran telur emas’ itu maka ditandatanganilah perjanjian komersial antara Garuda dan CAL, kelak tiap minggu akan terbang sebuah DC-10 dari Taipeh ke Bali, dan secara timbal balik pesawat Air bus-300 Garuda akan terbang dari Bali ke Taipeh. Ini diharapkan sudah akan terlaksana mujlai 1 Februari tahun depan. Dirut CAL Peter Bien yang menandatangani perjanjian ini yakin, sesudah tiga bulan operasi penerbangan oleh kedua pihak, jumlah penerbangan pasti 109
bakal bertambah. “Yang akan kita kirim dari Taipeh ke Bali bukan semata wisatawan, tetapi juga teknologi yang berkaitan dengan ekonomi industri kecil yang memiliki keunggulan di bidang industri kecil, Taipeh kini sudah memasuki tahap ekonomi setengah maju.” Kita lihat Bedugul bukan sekadar wialyah perbukitan dengan danau indah dan lereng-lereng yang cantik untuk main golf. Di sini orang juga bertanam sayur kubis, tomat, markisah dan murbei yang baru mulai diperkenalkan di wilayah ini sudah diserap oleh hotel-hotel besar di Bali dan di Jakarta, di samping perusahaan catering yang memasok makanan untuk pesawat-pesawat Garuda dan hampir semua pesawat luar dan dalam negeri lain yang bertitik keberangkatan Soekarno-Hatta atau Halim Perdanakusumah. Dua tiga jenis sayur dan buah-buahan di pasar Bedugul menunjukkan adanya prospek industri kecil khusus hasil pertanian dan hortikultura serta agribusiness. Dengan transfusi teknologi, knowhow dan modal Taipeh atau negara mana pun Bedugul maupun Bali memiliki prospek lebih cerah. Sudah sejak lama seorang pakar pertanian Amerika melakukan berbagai percobaan menanam tomat untuk ‘sari buah’ dan untuk memasak. Garuda dengan membuka Bali lebih lebar, menurut Soeparno: “The name of the game is coorperation !” (Dasar dari semangat perjanjian komersial ini adalah kerja sama). Dan ‘kerja sama’ bukan sekadar mengisi kamar hotel yang bakal makin bertambah di Bali yang harus selalu teriisi, tetapi dan terutama menjaga kelestarian Bali, agar Bali tidak “hilang sirna dari muka bumi,” karena terlalu deras masuknya modal yang tertarik oleh makin banyaknya para pelancong dari segala penjuru dunia yang hendak berkunjung ke Bali. Keprihatinan Suparno akan keutuhan Bali, agar sebagai ‘itik pttelur emas’ tidak terbunuh atau raib, merupakan dasar filsafat pembangunan berkesinambungan yang juga ditempuh oleh negara, yang kini sedang galak memacu industri pariwisata, yang tercakup pula di dalamnya penerbangan yang mengangkut para wisatawan dan akomodasi, di mana para wisatawan bisa 110
bermalam. Sayang penggawa pemerintah maupun publik umumnya masih kurang menyadari betapa penting perusahaan penerbangan dalam memacu berputarnya roda pembangunan bangsa. Berbagai jenis komoditi ekspor kini diterbangkan dari berbagai pelosok tanah air dengan diangkut Garuda ke luar negeri untuk mengumpulkan devisa. Di samping fungsi kohesif Garuda bersama Merpati dan perusahaan-perusahaan domestik lain menjadikan Indonesia terjangkau dari ujung ke ujung tanah air kita ke titik tujuan mana pun ! Atas pertanyaan Soeparno mengatakan ia tidak menutup mata akan kenyataan memprihatinkannya bandar udara Ngurah Rai, Denpasar. “Bayangkan jika ada dua atau tiga pesawat berbadan lebar masuk hampir bersamaan di Ngurah Rai, dan kita ambil ekstremnya pada keadaan hujan, misalnya. Bagaiman penumpang yang bisa berjumlah 1000 penumpang ditanggulangi masuk ke Bali lewat Ngurah Rai ?” Yang diidam-idamkan Soeparno, Ngurah Rai mampu menampung sedikitnya tiga pesawat jumbo, sebutlah nyaris serentak mau masuk Ngurah Rai dari utara, Jepang atau Taipeh, dari selatan (Australia), dan timur, Los Angeles. Bukan mustahil sebuah pesawat serupa sudah harus siap ditampung pula dari arah barat (Jakarta). Kenapa Soeparno begitu jauh membayangkan kepadatan yang harus dihindarkan dari kongesti di Nguarh Rai, karena pengisian kamar hotel-hotel di Bali sudah menghendaki antisipasi sejauh ini. Menurut laporan dari The Economist Intelligence Unit, (“Far East and Pacific Travel in the 1990s”, Forecasts and analysis of potentials and contraints) dari Anthony Edwards, kedatangan wisatawan dari Jepang merupakan strong point untuk Bali yang harus berhasil dijadikan distribution point untuk meluberkan para wisatawan yang ke Bali supaya mau Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Lombok maupun daerah-daerah yang lebih jauh, seperti Jawa Tengah, bahkan Su111
matera Utara, Sulawesi Utara dan Irian. Hal ini diperkuat oleh orang Garuda yang ditempatkan di Tokio, Toto Sugiarto, yang mengatakan, begitu Jepang berhasil lebih cepat mengirimkan 10 juta wisatawannya ke luar Jepang, maka untuk tahun 1992-93 Jepang akan menaikkan tantangannya dengan 15 juta wisatawan Jepang yang akan bertebaran ke seluruh penjuru dunia tanpa kecuali ke Indonesia, termasuk Bali dalam dua tiga tahun mendatang. Menurut Soeparno, untuk memenuhi tantangan makin banyaknya wisatawan manca negara ke Indonesia tanpa atau dengan Visit Indonesia Year 1991 Garuda harus menyewa pesawat-pesawat KLM maupun Yordania, Mexico, dan lain-lain. Kata kuncinya, Garuda sekali lagi berhasil menjadikan Bali akan memenuhi sasaran pengisian kamar hotel menjelang dan selama Tahun Kunjungan ke Indonesia 1991. Soeparno mengingatkan, penduduk Bali jangan turut membantu membunuh Bali sebagai “sang itik petelur emas !” ***
Suara Pembaruan, 19 Oktober 1990
Penulis mendapat penghargaan dari M. Soeparno melalui ajakan Garuda Indonesia meliput kenaikan tahta Pangeran Akihito,namun baru terwujud melalui peliputan kampanye Visit Indonesia Year 1991 di Tokio.
112
Batik, Wahana Diplomasi dan Politik Pariwisata LAMA sebelum mantan Presiden Nelson Mandela dari Afrika Selatan merasa nyaman mengenakan baju batik, ketika diterima Sri Ratu Britania Raya, Elizabeth II, di Istana Buckingham di London beberapa tahun lalu,,masih terbayang dalam ingatan kita, pada tika ijaman orde lama lebih dari setengah abad dulu, baju (gaya) Bung Karno warna putih dengan kerah terbuka dan tiga kantong serta lengan pendek jadi mode di seluruh negeri. Pada masa itu mereka yang bukan pejabat pun bangga mengenakan baju ‘gaya Bung Karno.’ Kemudian menyusul gagasan mengenakan baju batik lengan panjang sebagai pakaian resmi ada yang menyatakan sebagai berasal dari baju Bung Karno, yang kemudian diorbitkan oleh Gubenur DKI Jakarta Letnan Jenderal Ali Sadikin pada jamuan makan malam sebagai perpisahan (farewell dinner party_ dengan para delegasi konferensi PATA (Pacific Area Travel Association) pada bulan April 1971 di Taman Fahatilah Jakarta Kota. (Sebagai catatan, Konferensi PATA tahun 1963 yang untuk pertama kalinya diselenggarakan di Jakarta sebagai ibukota RI dengan tuan rumah Nung Karno sebagai Kepala Negara, seingat kita belum mewajibkan para delegasi mengenakan baju batik.) Ketika itu Gubernur Ali Sadikin sebagai tuan rumah secara protokoler mewajibkan para delegasi dan peserta konferensi mengenakan baju batik lengan panjang. Sejak itu pula protokol Istana Negara memutuskan untuk acara-acara kenegaraan di mana Presiden atas nama Negara dan Rakyat bila menjamu para tamu hingga tingkat Kepala Negara dengan pakaian nasional batik lengan panjang. Suatu keputusan yang sangat masuk di akal berasal dari gagasan Bung Karno kemudian dialobrasi oleh Kepala Rumah ATangga Istana, Joop Ave, yang mendapat bantuan penuh dari seniman batik kita, alm. Iwan Tirta, 113
yang juga seorang sarjana hokum dengan pendidikan pasca sarjana di Amerika Serikat yang juga sangat memahami tentang seluk beluk protokol dan tata karma internasional. Dari pasangan Joop Ave dan Iswan Tirta, menurut hemat kita, terlahir formalitas protokoler pengenaan batik lengan panjang pada upacara dan jamuan kenegaraan dengan Presiden RI setiap kali menerima tamu Kepala Negara tatkala secara resmi beraudiensi kepada Kepala Negara RI. Sehingga bukan hanya Ronald Reagan atau Bill Clinton mengenakan batrik lengan panjang ketika jumpa Presiden Suharto, tetapi puluhan kepala negara yang hadir pada acara-acara internasional di Bali, Jakarta dan Bogor sejak awal tahun tujuh puluhan tahun seperti APEC (Asia Pacific Economic Conference) dan sebagainya semua kepala negara yang hadir mengenakan batik lengan panjang, sesuai dengan yang dikenakan oleh tuan rumah, Presiden RI. hingga memasuki abad 21 mungkin sampai akhur jaman nanti. Diorbitkannya batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia oleh UNESO cuma lima hari setelah Hari Pariwisata Dunia 27 September lalu yang untuk tahun ini bertajuk ‘mmperkuat nilai-nilai budaya, ekonomi dan politik kepariwisataan (dunia).’ Apa mau dikata, ini terjadi setelah kira-kira dua bulan sebelum Discovery Channe’ (‘saluran televisi ‘non-fiksi nomor satu di Amerika yang otomatis bisa bermakna pula yang paling nomor wahid di dunia pula meluncurkan video clip bertajuk Enigmatic Malaysia di mana disisipkan sebuah snapshot tari pendet Bali.. Untuk kecerobohan bermuatan politik dan komersial itu Malaysia kemudian harus menyatakan permohonan maaf kepada Indonesia atas ‘kelalaian’ yang dilakukan Discovery Channel tanpa sepengetahuan Malaysia. Kasus tari pendet yang cukup menghebohkan ini merupakan bukti, betapa nilai nilai budaya dan politik kepariwisataan – dalam hal ini menggunakan wahan tari pendet - bisa di(salah)gunakan. Di sisi lain kasus pendet juga bisa saja ditafsirkan sebagai suatu ‘pokal poli114
tik komersial’ dari suatu bisnis multi media mutakhir global sekadar bermotif untuk memperoleh keuntungan semata, dengan segala dampak positif maupun negatifnya. Sangat berbeda dengan kearifan UNESCO dan UN-WTO seperti tercontoh oleh thema Hari Pariwisata dari UN-WTO untuk tahun ini yang menunjukkan, bahwa kedua badan khusus PBB tersebut mendasarkan langkah-langkah yang mereka ambil sesuai dengan semangat global village (untukmmeminjam istilah dari Marshal MacLuhan) yang mendahulukan ‘kesejahteraan umat manusia secara utuh global. Sebagai catatan, betapa terkejut kita, ketika membuka-buka melawti google dan ternyata hampir tidak ada satu negeri pa-negara un di muka bumi ini yang tidak memiliki atau mengenal batik. Bukan cuma negara-negara Afrika atau Indonesia dan Malaysia yang punya batik, tetapi juga negara-negara maju di Barat dan Timur semua bangga akan batik mereka. Di London, Paris, Tokio atau Los Angeles serta di mana-mana ditawarkan bukan cuma oleh berbagai wisma boutique, tetapi batik juga diseminarkan dan diloka-karyakan. Terjumpa berita tentang pameran koleksi batik dari Ibunda presiden Obama di Konsujlat RI di New York dan San Francisco beberapa waktu lalu. Ibarat bianglala, batik lebih jauh lagi telah menjadi wahana dan jembatan diplomasi budaya antara kedua negara Amerika dan Indonesia maupu negara lain mana pun di dunia. Dengan kaca mata awam kita dapat menoleh ke belakang terhadap pergolakan politik selama paro kedua abad 20 hingga sekarang. Didahului oleh ‘Semangat Bandung’ -- dunia Barat mengistilahkannya sebagai Bandung Spirit - yang menggelegar di seantero dunia seusai Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung, yang diprakarsai oleh Bung Karno dan didukung antara lain oleh PM India Jawaharlal Nehru, hanya selang sekitar setengah abad dunia mengalami loncatan perubahan geo-politik serta keadaan yang mutlak berubah sama 115
sekali.. Keadaan politik global yang sejak sebelum akhir abad lalu sudah diramalkan oleh para futurist bahwa abad 21 dunia bakal makin bergeser dari Barat ke Timur. Ternyata dunia Barat yang maju itu (terutama Amerika dan Inggris) sekarang harus, ibarat para jawara tinju yang harus ‘mencium kanvas,’ akibat krisis ekonomi yang semula mereka namakan krisis global, yang pemulihan kembalinya memerlukan triliunan dollar atau triliunan poundsterling. Hingga hari ini pun krisis mereka belum benar-benar menunjukkan tanda tanda kepulihan. Dan jika kita boleh surut ke belakang ke bergulung gulungnya mesin perang yang mencoba menyingkikan komunisme dari bumi Korea dan Vietnam ternyata kompromi- kompromi mahal telah harus dibayar oleh Barat. Dan tetap saja di Korea masih ada Korea Utara dan Vietnam bahkan menjadi negara sosialis yang utuh tidak terpecah-belah. Perang dingin yang telah menggusur Uni Soviet sehinggga bermetaformasa jadi suatu negara Federasi,seperti Jerman sekarang sesudah Jerman sejak lama tanpa tembok Berlin, agaknya di Timur Tengah pun negara negara maju tidak akan bisa terlalu berlama lama. Dan bukan mustahil ‘war against terrorism’ tidak harus berkepanjangan. Terpilihnya Obama sebagai presiden kulit hitam pertama di Amerika, dan kini Amerika pun sesudah bergeser mengarah sosialis, akibat krisis global yang amat mahal dan harus dibayar oleh Pemerintah Amerika sendiri. yang jauh dari berhasil dengan peperangan yang mereka coba lancarkan di Korea dan Vietnam. Ambruknya rejim Bung Karno yang disusul oleh orde baru yang kemudian tergulung oleh (era) reformasi tidak menunjukkan secara hitam putih, dalam makna sukses atau gagalnya Indonesia alam meniti perkembangan diri kita sebagai bangsa. Namun, secara politik atau diplomasi pariwisata (a.l.. dengan menggu116
nakan batik sebagai wahana) kita barangkali boleh sedikit berbangga, karena kita tidak harus menjadi bebanten seperti terjadi di Korea dan Vietnam, maupun di Thailand dan Filipina. Walaupun kekayaan kebudayaan negei negeri ini tidak terlalu jauh berbeda dari yang kita miliki, namun Indonesia tidak harus menderita akibat akibat buruk dari dampak perang Korea dan perfang Vietnam, yang menuntut negeri negeri itu menjadi penyedia pelayanan keperluan ‘rest and recuperation (R&R).’ Sangking terlalu terbius oleh gemerincing dollar, Thailand dan Filipina rela membuka pintu lebar-lebar terhadap wisatawan -- dengan hampir tutup mata -- menyediakan pelayanan wisata sex sehingga kedua negeri ini menjadi negara-negara yang mashur di dunia dengan ‘sex tourism.’ Tetapi bius gemerincing dollar itu harus mereka bayar sangat mahal. Betapa banyak berjatuhan korban penderita penyakit kelamin, termasuk HIV/AIDS di Thailand maupun Filipina. Pengangkuan UNESCO terhadap batik Indonesia sebagai masterpiece of oral and intangible heritage of humanity (maha karya warisan budaya lisan dan tak tampak milik seluruh ummat manusia cukup membesarkan d hati kita sebagai bangsa, yang sebagian kerugian tidak akan terhitung dengan jutaan.atau bahkan miliaran dollar sekalipun ! Berkat masih adanya para pendukung warisan global bernama batik di Solo dan Yogya, kita masih bisa melihat masih ada para pembatik yang mengerjakan batik tulis dengan motif klasik yang secara eksplisit oleh UNESCO diwanti-wantikan iuntuk dijaga kelestariannya, (agar terhindar dari kepunahan. ) Wanti-wanti serupa juga diberikan oleh UNESCO yang menitipkan candi Borobudur dan Prambanan sama seperti Sph.ynx di Mesir dan Tembok Cina mereka titipkan sebagai warisan budaya milik ummat manusia sejagad Menjelang akhir abad 20, Joop Ave, ketika itu masih menjabat sebagai menteri pariwisata sempat menyatakan impiannya tentang abad 21 yang dimetafrakan se bagai es krim: “If the 21th century were an ice cream, let Indonesia be its flavour !” 117
Sekarang dapat kita faham kerinduan Joop Ave yang sempat menjadi pendamping Bung Karno ketika dulu cukup lsms menjabat Kepala Rumah Tangga Istana Merdeka. Ia tentu falam benar maksud Bung Karno ketika di siding umum PBB mengajak dunia untuk membangun dunia baru, tanpa penghisapan antara bangsa-banga di dunia ? Kita masih ingat pidato Bung Karno sebagai Penyambung Lidah Rakyat di sidang umum PBB yang bertajuk “To build the world anew !” Amanat Bung Karno itulah yang dimaksudkan oleh Joop Ave sebagai Indonesian flavournya abad 21. ***
118
Belajar Dari Tokio Menyongsong Abad 21 MENGUKUR Tokio sebagai metropolit dunia paling ultra modern di Asia tentu tidak cukup hanya dalam waktu satu dua malam. Apalagi menilai arti sejarahnya sebagai pusat kekuasaan perubahan Jepang dari ratusan tahun yang lalu hingga kini, yang sempat menggegerkan dunia dengan keberhasilan Jepang menggeser plafond pertahanan 1% menjadi 1% plus yang masih beberapa kali lebih besar dari anggaran pendapatan dan belanja RI sepanjang tahun, pada hal bagi Jepang beaya itu cuma untuk anggaran bela diri atau pertahanan belaka. Mengukur Tokio yang bukan sekadar pusat entertaiment dan mode cukup mudah melalui beberapa nama: Selagi melongok sebentar ke ibukota negeri Matahari Terbit ini dirigent kelas dunia Paul Mauriat sedang ngamen di salah satu gedung pertunjukan musik di Tokio. Juga penyanyi Amerika berkulit hitam, Sarah Vaughan, sedang mangung di teater lain. Film-film yang di Indonesia masih belum diketahui kapan nongol diputar untuk umum: Pale Rider (Clint Eastwood), dan Prizzi’s Horor (Jack Nicholson) bahkan First Blood Part II” masih dijubeli penonton di beberapa bioskop di Tokio. Kenapa mengukur suatu kemajuan metropolit dengan penduduk di atas 10 juta itu dari nama Paul Mauriat, Sarah Vaughan atau Clint Easwood ? Bukankah Jepang lebih di kenal dengan gunung Fujinya lebih ternar dengan teater “kabuki”, “noh” dan “geishanya” ? Dan Tokio mampu membanggakan diri dengan wisma mode Hanae Mori, yang masih satu-satunya pencipta mode Asia yang diakui sebagai pencipta mode Asia yang diterima sebagai anggota asosiasi haute couture dunia yang berpusat di Paris itu. Dengan nama-nama di atas hendak kita gambarkan secara sepintas kilas, betapa sudah ‘Barat’nya, dan bukan lagi kebarat-baratannya Jepang atau Tokio khususnya. 119
Jika anda melongok ke luar jendela hotel atau ngeloyor di sepanjang jalanan di daerah-daerah hiburan atau perbelanjaan seperti Ginza, Sinjuku, Akasaka atau Harajuku, maka yang dapat anda saksikan sebagai sesama pemakai jalan umum adalah orang-orang Jepang yang mengenakan pakaian benarbenar bergaya Barat yang mengikuti gaya mode dari musim ke musim, sebab Jepang juga berempat musim. Mungkin kita akan tertanya-tanya jika mengetahui bahwa nampaknya “Japan Airlines” dan “Japan National Tourist Organization” (JNTO) begitu yakin bahwa Indonesia memiliki kaum remaja yang bisa digaet untuk melancong ke Jepang, khususnya ke Tokio, yang mereka pastikan akan doyan ngeloyor di Cheap Street di Harajuku, serta sebagian tentu akan mengangumi dan mampu membeli karya-karya Hanae Mori. Tetapi hal itu jangan terlalu cepat kita anggap aneh. Dalam hal memperhitungkan segala sesuatu Jepang terkenal dengan kegigihan dan ketepatan luar biasa. Saksikan saja membludagnya modal Jepang yang ditanam di negara-negara lain, termasuk Amerika. Kita tidak terlalu kagum akan segala yang serba made-in-Japan dan bisa kita saksikan secara harfiah di hampir setiap negara di seantero dunia, hampir dari kutub ke kutub dan dari benua ke benua. Jadi, jika Jepang sudah “buka pintu” untuk kaum remaja dan muda Indonesia agar tertarik ke Tokio dilakukan oleh JAL (Japan Airlines) dan JNTO (Japan National Tourism Organization) tidak secara tanggung-tanggung, setengahsetengah atau untung-untungan! Dari setiap negara ASEAN (kecuali Brunei) didatangkan wartawan untuk melongok ke Tokio dengan harapan akan meneriakkan sisi lain dari Tokio yang bukan cuma kabuki dan noh atau geisha, khusus bagi kaum remaja. Travel bureau pun mereka kerahkan untuk menyebarkan iming-imingi dengan paket dan objek-objek yang menarik (sekali lagi), khusus untuk anakanak remaja. 120
Dan kampanye mereka lewat iklan dalam bulan depan bakal ibarat menyerbu ke ibukota-ibukota ASEAN dan Hongkong. Karena demikian JAL dan JNTO mengaturnya ! Bahkan khusus dari Hongkong didatangkan wartawan-wartawan majalah mode untuk menyaksikan lebuh-lebuh atau lorong mode di sekitar Harajuku. Melihat melonjaknya pengunjung dari Indonesia ke Jepang sebenarnya memang cukup alasan bagi Jepang untuk menarik perhatian lebih besar. Dari tahun ke tahun (1982 - 1984) angka-angka jumlah wisatawan Indoenesia cenderung menanjak (37.889 untuk tahun ’82 dengan kenaikan-kenaikan 23,3% dari tahun sebelumnya, kemudian menjadi 41,574 atau kenaikan 9,7% untuk tahun 1983 dan menjadi 50,949 orang untuk 1984 atau dengan kenaikan mendekati kenaikan antara tahun 1981 - 1983, yakni 22,6% Tetapi dasar Jepang, mereka bisa membuktikan dengan angka-angka pula bahwa penyedotan turis luar negeri ke Jepang (termasuk dari Indonesia) bukan semata menyedot duit. Karena dalam neraca pembayaran kepariwisataan mereka (dalam juta dollar Amerika) dari 1981 pun menunjukkan defisit cukup besar (dari US $ 3.881 juta pada 1981 berturut-turut – sesudah cukup anjlog – merayap lagi menjadi US $ 3.362 juta pada tahun 1982 menanjak lagi menjadi US $ 3.603 juta (1983) dan US $ 3.637 juta untuk tahun 1984. Kedatangan turis Jepang ke Indonesia pun dari tahun ke tahun menunjukkan angka menanjak dari tahun 1980 (61.679) menjadi 66.552 (1981), menanjak lagi jadi 72.904 (1982) dan 84.770 (1983). Sayang angka untuk 1984 belum tercatat oleh JNTO, tetapi dalam persentase terjadi kenaikan cukup meyakinkan dari 15,7% (pada 1980 dibanding tahun sebelumnya), kemudian secara pasti menanjak 7,9% (1981), 9,5% (1982) dan 16,3% (1983). Angka-angka tersebutlah yang mungkin dapat menjelaskan (dengan daerah tujuan wisata utama Bali), kenapa JAL sampai menentuka route scheduled charters Tokio-Ngurah Rai Denpasar. Dan di Nusa Dua tourist resort di Bali JAL sudah mem”plot” untuk membangun dua hotel sebagai bagian dari “hotel chain Nikko. 121
Dikatakan oleh seorang petugas JNTO yang menjadi tuan-rumah wartawan anda selama seminggu di Tokio bahwa tujuan mendatangkan turis asing ke Jepang selain tak mungkin untuk menutup defisit memang punya tujuan tersendiri. Satu antara lain untuk menggalang saling kenal antar bangsa yang diperlukan oleh Jepang agar pepatah “tak kenal maka tak sayang” bisa menjadi positif. Maklum,supremasi ekonomi Jepang di dunia bukan cuma membuat gelagapannya bangsa-bangsa negara berkembang, tetapi bahkan negara-negara maju, tanpa kecuali Amerika. Yang belum ketahuan adalah kapan akan ada hubungan langsung antara Tokyo-Jakarta p.p. baik oleh JAL yang hingga sekarang masih melewati Kualalumpur atau Singapura untuk sampai ke Jakarta. Garuda yang terbang dari Jakarta ke Tokio pun masih via Bali. Ada keinginan Garuda untuk masuk lewat Osaka, tetapi pihak Jepang belum bisa memberi izin, karena komitmennya dengan rakyat, Osaka sudah kelewat membisingkan dan rakyat di sana tak mau itu. Hingga keinginan Garuda menghubungkan Jakarta-Osaka pun belum terwujud, sementara Air Pasific sudah menyinggahi Osaka. Bagi para muda-mudi kita jika toh tertarik untuk melancong ke Jepang, sebaiknya tidak semata berkiblat ke Sinjuku, Ginza, Akasaka, Harajuku atau Roponggi. (Semua nama ini berada di Tokio, ibarat Pasar Baru dengan pusatpusat perbelanjaan yang tidak kalah gemerlapannya dibanding shopping centers dan department stores di Eropa atau Amerika. Karena Jepang telah punya tradisi memiliki department store. Melihat department stores di Jepang sampai-sampai kita tertanya-tanya, apa sesungguhnya bukan Barat yang tgelah mengimpor budaya “torseba” dari Jepang? Pemuda-pemudi kita baik juga dibukakan mata mereka, bahwa kemampuan ekonomi dan budaya serta seni Jepang memiliki tradisi ratusan, jika tidak ribuan tahun. 122
Sudah sejak abad IV Jepang memiliki tradisi pendidikan tinggi yang diimpor dari Tiongkok. Dan bukan cuma di pusat negara seperti ibukota, tetapi juga di daerah-daerah universitas-universitas didirikan oleh negara, tetapi oleh pihak swasta. Bagaimana j\Jepang dengan “agama pertumbuhan ekonomi”nya yang seusai Perang Dunia II memiliki angka pertumbuhan ekonomi paling aduhai di dunia, hingga Jepang kini diberi kehormatan dengan “angkat jempol” alias nomor satu di dunia. Bahkan Herman Kahn alm futurologist Amerika pernah mempertanyakan apakah Abad XXI nanti tidak bakal jadi Adad Jepang. Dan jika orientasi Isaac Assimov ke arah angkasa hendak membuat kota-kota atau pabrik-pabrik bergelantungan di luar bumi, Jepang sudah lama menyelidiki dan memikirkan untuk membuat kota di bawah air laut. (Ingat saja tema Expo Dunia di Osaka tahun 1968 !) Pemuda-pemudi kita perlu menyadari, bahwa dengan sistem pendidikan yang telah begitu tuanya, kini Jepang terkenal dengan angka paling tinggi dalam pendidikan tinggi seluruh dunia, dengan angka buta huruf hampir 0, dan minat baca yang audubilah ! Koran-koran “Asahi” atau “Yumiori Shinbun” memiliki jumlah cetak jutaan, belum lagi “Mainichi”. Padahal pertama kali koran diterbitkan di Jepang pada abad yang lalu justru meniru koran Belanda yang diterbitkan di Batavia. “Bataavsche Courant”. Dan kita yang “meneruskan” tradisi baca koran dari jaman penjajahan Belanda belum memiliki satu koran pun dengan jumlah cetak yang menghampiri angka 1 juta. Pada hal jumlah penduduk kita jauh melampaui Jepang. Tiada salahnya pemuda-pemudi kita “mengiblatkan diri” (dalam orientasi berbudaya dan berteknologi) ke Jepang, seperti di JAman pendudukan kita dulu harus seikeirei (membungkuk lebih dari 90 derajat ! !) ke arah Tokio. Indonesia bukan satu-satunya bangsa dan negara yang perlu memperhitungkan Jepang. Jika Jepang Demikian menonjol pertumbuhan ekonominya 123
(dan kini harus dibarengi dengan jaminan kekuatan militer seperti dipetik dalam awal laporan ini) dan telah menyebabkan alm. Herman Kahn “mengkhawatirkan” Abad 21 sebagai Abad Jepang. Tidak salah, jika kita menyediakan waktu dan perhatian kita, terutama pemuda-pemudi kita, untuk mencari tahu dan mampu menimba dan memanfaatkan apa yang kita ketahui. Jepang, bangsa yang pernah dijuluki “penjual transistor” oleh Charles de Gaulle dan “binatang ekonomi” oleh Bhutto itu sesungguhnya bangsa yang benar-benar unggul bukan semata dalam menjual radio transistor atau televisi maupun mobil. Apalagi. pasti bukan sekedar “binatang ekonomi” karena Jepang memiliki kebudayaan yang tinggi dan tangguh, jauh menjangkau ke ribuan tahun yang lalu dan ratusan atau paling sedikit puluhan tahun ke depan. Datanglah ke Jepang, tetapi jangan cuma untuk belanja-belanja atau melongok-longok etalase, atau nonton kabuki atau makan sashimi atau sukiyaki. Kenalilah bangsa dan negeri yang adiluhung ini, karena kehadirannya di dunia pada masa kini dan nanti jelas-jelas tak mungkin kita abaikan. Lihat saja arloji yang anda pakai, atau sepeda motor yang anda miliki. Dari jarum pentul sampai pesawat angkasa luar, kelak hampir segalanya dan dimana-mana akan anda jumpai, barang-barang made-in-Japan. Dan orang-orang Jepang akan anda jumpai sebagai turis di sudut dunia mana pun anda berada,dari kutub ke kutub !. Dan mereka tidak sekedar melancong-melancong dan lihat pemandangan ke sana ke mari. Mereka seperti sepons yang menyerap apa pun yang mereka lihat dan baca, untuk mewujudkan kekawatiran Kahn menjadi kenyataan agar Abad 21 menjadi abad mereka. Sinar Harapan, 30 Oktober 1985
124
Seruan ASTA, Lindungilah Planet Bumi Kita PADA dasa warsa ini tourisme bakal jadi industri terbesar di dunia, dengan sekitar setengah miliar orang setiap tahun melakukan perjalanan secara internasional. Dampaknya secara lingkungan, budaya dan etika di wilayah-wilayah tujuan wisata jelas akan sangat mencolok. Pencemaran di pantai dan kota-kota, terbunuhnya ratusan gajah untuk diambil gadingnya, berserakannya sampah di jalur-jalur pendakian gunung, tergusurnya satwa liar dari habitat aslinya, perdagangan satwa liar ilegal, dan goncangan terhadap gaya hidup secara sosial dan ekonomis oleh para pengunjung asing, serta makin berjubelnya resort-resort pariwisata yang jadi semakin terkenl dan wilayah-wilayah berpemandangan indah....Semua itu dan berbagai pelanggaran lain merupakan keprihatinan yang makin membengkak. American Society of Travel Agents (ASTA) yang keanggotaannya melingkupi industri perjalanan di seluruh dunia dengan jumlah lebih dari 20.000 turut memprihatinkan semua ini bersama badan-badan pariwisata, lingkungan, keagamaan serta badan-badan etika di samping badan-badan pemerintah di seluruh dunia. Wilayah-wilayah yang mengalami tekanan secara lingkungan, perlindungan terhadap tanaman dan binatang yang terancam punah, polusi terhadap air, udara, serta polusi berupa bunyi dan visual serta dampak-dampak pariwisata terhadap ekosistem dunia yang makin rentan semakin menuntut perhatian kita. Sebagai “sesama penumpang” Planet Bumi, semua wisatawan pun turut bertanggung jawab di dalam menghormati keragaman dan kehadiran budaya-budaya lain dan prihatin akan sumber-sumber alamiah yang dapat diperbarui dari wialyah-wilayah tujuan wisata, agar semua itu dapat dinikmati oleh generasi-generasi mendatang. Melakukan perjalanan atau berwisata merupakan hak wajar dari semua rakyat dunia dan merupakan bagian yang menentukan di dalam perdamaian 125
dan saling pengertian antara sesama umat manusia. Sesudah hak muncullah tanggung jawab. ASTA dan para rekannya dari dunia industri pariwisata mendorong pertumbuhan kepariwisataan yang damai (peaceful tourism) dan kepariwisataan yang bertanggung jawab secara lingkungan yang tunduk kepada pedomanpedoman berikut. Baik di dalam berwisata waktu senggang atau bisnis : 1. Hormatilah Bumi Anda yang ‘lemah’ dan rentan. Menyadari hanya jika semua manusia bersedia menolong untuk melestarikannya, maka daerahdaerah tujuan wisata yang unik dan indah mungkin tidak akan ada lagi untuk dapat dinikmati oleh generasi-generasi mendatang. 2. Tinggalkan cuma jejak kaki. Ambillah foto saja Dan tidak mencoreng moreng. Tidak meninggalkan sampah. Jangan mengambil ‘cendera mata’ dari tempat-tempat bersejarah dan wilayah-wilayah alam. 3. Untuk menjadikan berwisata lebih mengandung arti, didiklah diri anda mengenai geografi, adat kebiasaan, tradisi dan budaya dari wilayah yang hendak anda kunjungi. Sediakanlah waktu untuk mendengarkan penduduk setempat. Dorong usaha-usaha konservasi setempat. 4. Hormatilah kehidupan prive dan martabat orang atau bangsa lain. Bertanyalah dulu sebelum menjepretkan kamera anda. 5. Jangan membeli produk-produk dari tanaman atau binatang yang terancam punah, seperti gading, kulit penyu, kulit atau bulu binatang. Bacalah daftar barang-barang terlarang untuk diimpor ke negara anda, sebelum anda berangkat berwisata ke negeri lain. 6. Ikutilah jalur tapak yang telah ditentukan. Jangan mengganggu binatang, tanaman atau habitat alamiah mereka. 7. Pelajarilah tentang dan bantu dan dukunglah program-program yang berorientasi kepada konservasi atau pelestarian dan badan-badan yang bekerja untuk melestarikan lingkungan. 8. Di mana mungkin berjalanlah atau gunakan moda-moda transpor yang sehat secara lingkungan. Dorong para pengemudi kendaraan umum un126
tuk mematikan mesin, bila kendaraan mereka diparkir. 9. Gunakanlah hotel, perusahaan penerbangan, resort, perusahaan perkapalan, tour operator dan pemasok yang mendorong dilakukannya penghematan energi dan pelestarian lingkungan, kualitas air dan udara, pendaurulangan, pengelolaan limbah dan bahan-bahan beracun secara aman, penagkalan polusi bunyi, pelibatan masyarakat dan yang menyediakan staf yang berpengalaman dan berlatih baik, serta mengabdi kepada prinsip-prisip lingkungan. 10. Mintalah kepada agen perjalanan anda untuk mengidentifikasikan badanbadan mana yang menghormati pedoman lingkungan ASTA untuk perjalanan udara, darat dan laut. ASTA telah merekomendasikan bahwa badan-badan ini menghormati tata krama lingkungan ini termasuk tempat-tempat khusus maupun ekosistem. Kapan Asosiasi Perusahaan Perjalanan Indonesia ASITA sebagai anggota ASTA menerapkan pedoman ASTA ? ***
Suara Pembaruan, 20 April, 1991
127
Braving the Tourism Crisis, And How to Revive It HOTEL INDONESIA ‘take over’almost literally from the Indonesian government;s hand by a private enterprise through ‘build, operate and transfer ‘ agreement symbolizes how bad the economic crisis has damaging the tourism and hotel business soon after the monetary crisis hitting Indonesia in 1986. With Rp.1.3 trillion fresh money to bail out Hotel Indonesia from its debt is nmerely a temporary effort to wave more than 40 other big hotels burdened by Rp.6.6 trillion of aggregated total debts, Heaven knows by who and whenthey can really be rescued as enjoyed by Hotel Indonesia. Being the pride of Jakarta as ‘the’ international hotel of the Republic’s capital, its construction was finished in early 1960s and officially inaugurated as the hotel flag ship of Indonesia by President Sukarno with its grand opening almost at the same event with 1963 PATA conference held in this hotel in April of 1963. The hotel was later affociated as one of the capital’s historical heritage. At the same also a tribute to tens if not hundred of thousands of thousands romushas and heihos and Indonesian hard laborers soldiers recruited by the Japanese ‘to defend the Greater South East Asia’ during the Second World War. Not to mention other war victims during the three and a half years of the Japanese occupation. For the record, Hotel Indonesia was built as part and parcel of the war repatriation for the Indonesian people to repay the damage to the Indonesian people during the Japanese occupation. Together with Hotel Indonesia, there are were other similar hotels also built namely in Bali, Yogyakarta and West Java, apart from two huge electric generating plants in East Java and North Sumatra, together with several other construction projects, including textile factories in Bali and Central Java. All those were meant as a means to trigger the Indonesian national development ighly in need of foreign currencies to purchase imported goods and services as parts of the efforts to actualize further national development. 128
Respectively, the new hotels to accommodate foreign tourists visiting the country from the rest of the world. And the electric generating plants to avail and enhance the need to increase agricultural products, mainly to provide the people with more rice as the people’s staple food and the textile factories to avail the needs for clothing materials. After the very successful tourism development in Indonesia during its first 30 year of six national development plans in Suharto’s New Order government, two-digit average growth rate continually in foreign tourists arrival, unfortunately, Indonesia must face the grievous monetary crisis which later transformed into a political crisis which toppled and wiping out Suharto as the second Indonesian president in 1998. With a drastic decrease of foreign visitors during the last six years, until today we cannot yet recovering the average annual growth as before. A lot of obstacles forcing the foreign tourists to prefer to go to other South East Asian countries. Indonesia, or elsewhere, since Indonesia still in the list of unsafe countries to visit, not to mention with rather poor tourism service quality. Since the fall of Suharto, even after almost 25 years, the multiple mega crisis has demanded four new heads of state to succeed him, with millions of people unemployed most of whom were working in tourism related industries. During the last three governments, practically tourism has been ‘disengaged’ by the government, contrary as in the past, when during the Suharto government, has been positioned as the second foreign currency earners after oil and gas. During six terms of national development plan. Over 30 years of the Suharto government, tourism turned to be wrongly positioned as a very important foreign currency earner. Among the mistakenly ‘estimated’, which really a false multiplication of so many million visitors per year, each being wrongly calculated as with US$100 /day/ tourist expenditure multiplied by an average (again a too much inflated length of stay of 10 days, hence giving a grand total of aggregated figure of so many US$ billion/year as a gross foreign annual 129
currency earnings. It is only logical, even before the fall of Suharto, those with cool head already doubting the Those criticizing it argue, that the leakagesby the imported goods and services can reacjh up 80% being overlooked by the government. Hence, so the critics say, the arithmetic cannot be more misleading. Millions of unemployment as a byproduct of tourism and hotel business crisis still have to be combined with other calamities touching another sector, namely the aviation. Garuda Indonesia, the No.1 national carrier, the other being Merpati Nusantara, both originally were Koninklijke Nederlands Indie Luchtvaart Maatchappy (KNILM) and Kroonduif, nationalized from the Dutch, are now on the red. Even Garuda until several years ago has to face the worst business position with a net worth asset in a negative figure. Meaning, if the whole assets of Garuda are sold, the Republic of Indonesia still has to pay the balance of the unpaid credit. I am afraid Merpati Nusantara until today is not so much in a better position. As we can read in the newspapers recently mentioning the demonstrations by Garuda personnel demanding the replacement of non-active Board of Directors only show the similar symptoms as shown by the personnel of Hotel Indonesia who until recently also refuse to be sacked out. Other millions of unemployed originally working in the tourism industry in the whole country, though practically keeping silent, maybe only proving the truth that being jobless they can do nothing but being silent.. The irony of the whole story of the tourism crisis is that nobody really cares. Not the government, even not the industry themselves. The more so, those who suppose themselves as tourism experts. As if nobody says nothing, and ‘all quiet on the tourism crisis.’ Do they believe that by being silent the crisis will overcome itself ? We regretfully must say it is an irony and at the same time pity. Why the government prefers to be ‘silent is golden.’ a safe country for tourists. *** 130
Maximizing Marketing Monies The Indonesia Directorate General of Tourism (DGT) will spend a total of Rp 10 billion (US$ 5 million) for tourism marketing and promotions in the fiscal year from April 1992 through March 1993, said Udin Saifuddin, marketing director of the DGT. From the budget, Rp 4 billion (US$ 2 million) will be allocated for the overseas promotion offices in Singapore, Tokyo, Frankfurt, Los Angeles and Sydney, A new office in Taipe and London will be opened later this year. The remaining Rp 6 billion (US$3 million) will be alocated for other promotional activites such as advertisements in foreign media, brochures, participation in travel trade events, marketing analysis, educational film productions by foreign producers, Saifuddin said. 1992 will be a difficult year for Indonesia, despite Visit ASEAN Year (VAY), because the world Expo in Seville and the Summer Olympics in Barcelona will be a big draw for world travelers. For VAY, Indonesia will host 11 core events and one regional event. The ASEAN Festival of Arts will be held August 2 to 9 at the Prambanan Theatre in Yogyakarta. To tap the European market, Indonesia is participating in the Word Expo. The DGT is also looking long-term to the US as a strong potential market. “We should start to promote Indonesia in the US,” said Saifuddin. “Where we should address, and what kind of techniques to promote Indonesia. Strategically, it is very difficult to attract the US market which is still in its economic recession, and Garuda is only flying into Los Angeles.” Australia, traditionally a strong source market for Indonesia, is also still in the throes of a recession, he said. “We have to be very sharp in our targeting, and we have to be selective in our programs,” Saifuddin said, “We have to maximize our efforts, and we also have to be creative.” 131
Besides maximizing marketing efforts, the DGT will also receive some help from the Indonesia Tourism Promotion Board (ITPB). Soeryo Soemarno, managing director of the ITPB, said a “special contribution” of 2% from hotel busines will add to his marketing funds. Curently, there i a 5% government charge and a 10% service charge added to hotel bills. The additional surcharge will amount to hundreds of millions of rupiahs, Soeryo said. From this fund, IPTB will be able to expand its marketing efforts and supplement what is being done by DGT, he said. Soeryo added that when the time comes, the ITPB will be in charge of managing the DGT marketing offices in Los Angeles, Frankfurt, Sydney, Singapura, Tokyo, Taipei and London. ***
ATT 1993
132
Dengan Bambu Runcing Kita Merebut Kemerdekaan Sampai Makna Jakarta Sebagai Ibukota Negara Dengan Bambu Runcing Kita Merebut Kemerdekaan Keteladanan ABRI Kita Candi Borobudu, Ketika Terancam Unesco Mendongkrak Citra Taman Mini Sampai Kapan Srimulat Bertahan Bahasa Indonesia, OK ? Ranggawarsita, Pahlawan Nasional Tahun 2010 Anugerah Bintang Afrika Selatan Untuk Bung Karno Makna Jakarta Sebagai Ibukota Negara 133
Dengan Bambu Runcing Kita Merebut Kemerdekaan LAKI-LAKI lewat usia itu masih nampak tegap setelah turun dari Bajaj. Ketika itu masih pukul 10 pagi,tengah hari di halaman Gedung Proklamasi di Jalan Proklamasi Jakarta. Usia 70 tahun tidak terlalu nampak di wajahnya yang lebih memancarkan kebijaksanaan. Mungkin berkat pahit getir di jaman perjuangan termasuk di medan perang kemerdekaan maupun ketika melakukan penumpasan pemberontakan PRRI ditambah tugas di jaman damai di pos-pos diplomatik di dua benua. Dengan pangkat Letnan Jenderal (purnawirawan) Djatikusumo serta gelar Gusti Pangeran Haryo (beliau putra Sri Susuhunan Pakubuwono X), sesudah menjalani tugas kemiliteran serta Duta Besar untuk Perancis dan Spanyol, kini pensiunan perwira tinggi berbintang tiga ini menjabat anggota Team Penasihat Presiden bidang penghayatan dan pengamalan Panca Sila. Usia 70 tahun tidak menghalanginya menikmati privilege sebagai rakyat biasa: naik Bajaj untuk pergi ke kantor dari rumahnya di Jalan H.Agus Salim yang kurang dari satu kilomketer ke Jalan Proklamasi. Dari kesederhanaan hidupnya yang nampak pada pakaian yang dikenakannya serta ruang keja di kantor maupun rumah pribadinya di Jl. Haji Agus Salim sebagai seorang di antara putra terbaik Republik ia tidak kikuk pergi ke kantor dengan jalan kaki sekali pun. Mungkin, Anda tidak terkejut menyaksikan sendiri seorang letjen turun dari sebuah Bajaj yang nyaris butut. Dengan penuh hormat, namun tak mampu menyembunyikan kekagetan, kita tak urung bertanya juga : “Naik...Bajaj Pak ?” Dengan sikap biasa saja Pak Djati menjawab: “Saya senang naik Bajaj.” Kemudian kita dipersilahkan masuk ke dalam ruang kerjanya di tingkat dua. Tak nampak seorang sekretarese, pajangan atau hiasan yang menonjol di ruang kerja. 134
Sesudah ke sana ke mari mengobrol dengan Pak Djati anda mendapat cerita-cerita baru mengenai revolusi maupun peristiwa sehari-hari yang menarik. Cerita tentang keprajuritan, perjuangan dan tentang diplomasi, bahkan cerita dari Ramayana dan Mahabarata. Dikisahkannya satu persatu watak tokoh-tokoh Pandawa. Yudisthira yang sangat bijaksana dan pemurah hati. Bima yang polos dan ksatria Arjuna ‘laki-laki dunia’ (lelananging jagad) dan Nakula-Sadewa si kembar dari lima bersaudara, yang di kemudian hari kelimanya harus merebut kembali separo dari kerajaan Hastinapura yang adalah hak mereka, maka pecahlah perang besar Baratayuda ! Obrolan terjalin seakan suatu tamasya yang bisa jauh ke masa revolusi, walau yang selalu mengasyikkan adalah pengalaman Pak Djati sejak jadi Komanda Resimen Ranggalawe dengan pangkat Kolonel. “Kita ini jangan selalu outmaneuvered dan outguarded ( terkalahkan karena “maneuver” pihak musuh dan kuwalahan menjaga tanah air). “Sudah sejak masa awal perjuangan revolusi kemerdekaan kita dibikin outmaneuvered dan outguarded oleh musuh. ”Saya masih ingat ketika di jaman revolusi dulu saya masih komandan resimen dengan pangkat kolonel. “(Menghadapi musuh) hanya dengan bambu runcing, padahal ketika itu Belanda dibantu oleh Sekutu dengan kapal Inggris His Majesty Service Northumberland. Bayangkan! “Tetapi Tuhan menghendaki, dengan bambu runcing kita bisa memenangkan revolusi. “Tetapi akankah kita di jaman yang serba modern sekarang membiarkan diri kita terus menerus outmaneuvered dan outguarded?” tanya Pak Djati. Maka pembicaraan pun sampai kepada masalah pembangunan yang satu antara lain telah diselingi oleh kontradiksi yang dibangkit-bangkitkan oleh sementara pihak, termasuk pihak-pihak asing yang hendak memecah belah dan menguasai. 135
“Saudara tahu ‘kan, kalau rumus utama ekonomi adalah efisiensi. Katakanlah teknologi adalah pengejawantahan eisiensi. Begitu ada peningkatan permintaan harus ada efisiensi. Tetapi ada pemikiran sebaliknya. Teknologi sebagai penjawab keperluan akan adanya efsiensi. Itu sebabnya ada pemikiran seakan ada kontroversi atau benturan antara kaum sarjana ekonomi di satu pihak dan kaum teknologi. “Timbul ejekan, industri teknologi pertahanan yang mulai kita galakkan dituding sebagai white elephant, atau proyek yang memerlukan banyak penanaman modal, tetapi keuntungan atau manfaatnya amat sedikit. “Dalam arti yang lebih ekstrem white elephant diartikan sebagai daya upaya yang sia-sia. “Tetapi bukankah ketika kita melancarkan KB (keluarga berencana) juga ada yang menganggap sebagai white elephant? “ Juga usaha swasembada pangan beras dulu dianggap (sebagai) white elephant. “Memproklamasikan kemerdekaan dan mendirikan Republik dulu pun ada yang menganggap white elephant. “ Saudara ingat Palapa? Palapa dulu juga dianggap white elephant! “ Memang kenyataannya kita di Indonesia memiliki banyak gajah. Di antaranya (patih kerajaan Majapahit) Gajah Mada. “Bukankah Palapa sebagai proyek pemersatu Nusantara berdasar pada Sumpah Palapa Gajah Mada tadinya juga dinamakan white elephant? Toh kitairnya berhasil dengan proyek teknologi modern Palapa, bukan ? “Harap diingat, kenapa saya mendukung usaha Menteri Habibie dengan defence industrial complexn gagasannya. Karena saya tahu industri pertahanan Menteri Habibie didukung oleh banyak industri-industri lain. “Kalau sekadar mau yang lebih murah, kita tidak usah swa sembada pangan. Beli saja beras impor. Karena beras impor bisa jauh lebih murah ketimbang produksi sendiri. 136
“Sewa saja mercenaries, perajurit-perajurit bayaran. Kita tidak usah memiliki ABRI. Mereka lebih murah ketimbang ABRI. “Tetapi mana ada prajurit bayaran mengenal Sapta Marga seperti ABRI? “Dalam konteks itulah saya berpendapat perhatian kita untuk memulai teknologi canggih dengan industri pertahanan militer itu (adalah) perlu ! “Jangan kita dari jaman permulaan rebvolusi kemerdekaan harus tetap outmaneuvered dan outguarded. “Teknologi bambu runcing yang di jaman revolusi bisa kita andalkan, karena diridhoi Tuhan, jangan kita coba-coba untuk terus kita pertahankan. Sudah bukan jamannya sekarang. Membandingkan ABRI kita sekarang dengan TKR pada permulaan revolusi kemerdekaan tentu amat berlainan, baik dalam persenjataannya maupun profesionalismenya. ABRI kini adalah prajurit yang profesional dan professed adalah ABRI yang mengabdi kepada Bangsa dan Negara. Dan ABRI adalah ABRI yang ber”Sapta Marga.” Itu sebabnya kita berusaha memiliki ABRI yang profesional dan mengabdi kepada Bangsa dan Negara, berdasarkan Sapta Marga, agar supaya kita tidak outmaneuvered dan outguarded, terutama oleh kepentingan-kepentingan luar. Kita patut menyadari pentingnya daya upaya kita mulai mengembangkan kemampuan melalui kompleks industri pertahanan yang memang kita perlukan, seperti halnya kita memerlukan swasembada pangan. Swajarnya, kita pun harus swasembada dalam kemampuan mempertahankan kelangsungan eksistensi Bangsa dan Negara,” kata Pak Djati menutup wawancara. ***
25 Juli 1987 137
Keteladanan Di Kalangan ABRI MENANGGAPI pendapat yang mengatakan kedaulatan di tangan ABRI sudah menipis dan kedaulatan yang ada cenderung kepada berorientasi ke materi serta lebih mementingkan jangka pendek dengan mengorbankan kepentingan jangka panjang, Letnan Jenderal (purnawirawan) GPH Djatikusumo menyatakan tidak sependapat. Ia juga tidak sependapat dengan mereka yang menganggap, bahwa tentara TKR dulu tidak profesional, dibanding dengan TNI sekarang. “Buktinya, waktu itu dengan menggunakan alat-alat yang ada, tanpa meriam, tanpa alat-alat yang ada di zaman sekarang kita bisa mengusir penjajah. Apa itu tidak profesional?” tanya Djatikusumo. Di zaman TKR dulu keluarga komandan kompi tidak malu, kalau bisanya cuman makan bubur dengan cabe. Tetapi tentu tidak pada tempatnya untuk mengahrapkan kondisi seperti itu harus dialami oleh para perwira di zaman sekarang. Letjen Djatikusumo lebih lebih lanjut mengatakan, bahwa sulit untuk mengharapkan ketauladan, jika anggaran terbatas, belum lagi masih ada pemotongan gaji terhadap anggota ABRI yang menurut undang-undang tidak dibenarkan. “Pemotongan gaji,” (blongo sing dicaplok”, demikian Djatikusumo mengatakan dalam bahasa Jawa), tidak dibenarkan oleh undang-undang. Kalau mau diadakan pemotongan harus dilakukan di meja lain, dan bukan langsung dipotong,” kata Djatikusumo. Ketika menjabat sebagai pimpinan ABRI ia menolak Pemerintah untuk mengadakan pemotongan gaji. Walaupun sudah diingatkan bahwa pemotongan itu adalah ‘perintah atasan,’ “Karena saya tahu undang-undang adalah lebih kuat dari ‘perintah atasan’, kata Djatikusumo yang diwawancarai “SH” di rumahnya Jalan H. Agus Salim Hari Jumat. 138
“Coba pikir, bagaimana kalau dikalangan kedokteran di ABRI, bahkan akhirnya ahli pun cuma digaji Rp 90.000/bulan. Masih ada potongan macammacam lagi!” Ketika ditanya potongan apa saja yang diketahui Jenderal Djatikusumo: “Saya tidak tahu persis apa saja itu. Selidiki sendiri. Tetapi pokoknya ada!” “Dan coba wartawan selidiki sendiri jangan cuma percaya dengan apa yang saya katakan. Lemhanas itu sekarang kantornya kosong, karena banyak diantara mereka (perwira-perwira) mengajar pindah ke perguruan-perguruan tinggi swasta,” kata Djatikusumo. “Memeng perlu kita ingat agar adil bahwa di zaman Jenderal Jusuf dulu (ketika menjabat sebagai menhamkam – Red) dana sedang banyak-banyaknya. Sekarang anggaran begitu terbatas pun masih dikurangi lagi,” kata Djatikusumo. “Mungkin dokter-dokter bisa mendapatkan tambahan penghasilan dengan praktek di sore hari. Tetapi masak ahlinya ahli gajinya Cuma Rp 90.000, Lalu ahli-ahli lain yang tidak mungkin untuk praktek sore hari, bagaima?” Dicontohkan oleh Djatikusumo tentang seseorang polisi berpangkat overste dan tugasnya mengepalai bagian narkotika yang demikian penting bahkan sesudah berprestasi luar biasa dengan menemukan sarang persembunyian narkotika dari seorang Indonesia di tengah-tengah hutan Brasil, tida bisa dinaikkan pangkat, karena peraturan tidak memungkinkannya naik pangkat menjadi kolonel. Padahal jabatan yang dipegangnya bisa dengan pangkat kolonel, bahkan brigadir. Kan musti ada penghargaan khusus untuk prestasi yang luar biasa kata Djatikusumo. “Saya juga tidak setuju dengan mereka mengatakan, bahwa ABRI sekarang lebih profesional dari zaman TKR dulu. Apa dikiranya kita dulu tidak profesional? Buktinya kita bisa mengusir penjahat ! Kita dulu juga profesional dalam arti mampu menggunakan alat-alat yang ada untuk mencapai tujuan yang ditentukan oleh tugas. Keadaan peralatan di zaman perjuangan kemerdekaan dulu 139
tentu aja ya kalah, jika dibandingkan dengan peralatan modern kemiliteran zaman sekarang. Lha wong dulu meriam saja kita tidak punya ? Sekarang kita punya macam-macam. Tetapi kita dulu juga profesional, karena di zaman itu perajurit atau perwiranya pun ada yang Sekolah Dasar saja tidak tamat!” Djatikusumo yang mengenakan kemeja batik lengan panjang untuk sehari-hari yang cukup sederhana, duduk di serambi muka rumahnya di kerosi kebun lebih lanjut memberi komentar kepada laporan suatu media cetak di Ibukota mengenai alih generasi di lingkungan ABRI di mana tidak disebutkan di dalamnya tentang apa keunggulan Pak Dirman, apa keunggulan Nasution, apa keunggulan Simatupang, dan apa keunggulan Djatikusumo? Menurut Djatikusumo keunggulan Pak Dirman, karena Pak Dirman dikenal sebagai perwira yang bisa diandalkan. Kalau kita mengatakan kepadanya, bahwa “pokoknya TKR itu harus satu-satunya tentara rakyat di Indonesia, sampai mati pun Pak Dirman tetap menjaganya demikian. Itu kelebihan Pak Dirman. Simatupang adalah seorang Jenderal intelektual. Tentu saja jenderal seperti dia tidak bisa bicara dengan para prajurit, misalnya. Tetapi kemampuannya menulis (dalam bahasa Belanda) kita manfaatkan untuk menjadikan pihak Belanda (dalam perjuangan di zaman revolusi kemerdekaan waktu itu) mengerti apa yang dimaksudkan oleh TKR. Dan Simatupang juga bis mengatakan kepada kita apa yang dimaui oleh Belanda dari TKR,” kata Djatikusumo. “Nasution lain lagi. Ia itu paling rajin menulis. Rajin memberi instruksi, perintah-perintah. Itu keunggulan Jenderal Nasution,” Kata Djatikusumo yang kemudian menggambarkan dirinya sebagai perwira lapangan. Seorang perwira penting harus tahu bagaimana menggerakkan pasukan. “The important thing is (how to move) the soldiers (from one place to anothe)!” kata Djatikusumo dalam bahasa Inggris sambil menceritakan bagaimana pada zaman pemberontakan PRRI ia mendapat perintah dari Nasution “untuk membawa pasukan dari `Medan ke Bukittinggi.” Diselingi dengan cerita-cerita yang kocak, bagaimana dalam bulan puasa Djatikusumo harus memimpin pasukan bergerak dari Medan ke Bukittinggi, “yang jaraknya sama dengan Normandie 140
ke Moskow”, karena halangan psychologis pasukan yang dipimpinnya bergerak dari wilayah Sumatera Utara yang beragama kristen)enggan memasuki wilayah Sumatera Barat yang beragama islam. “Bagi saya tidak ada daeha-daerahan. Benar di sini Sumatera Utara, di situ Sumatera Barat. Tetapi bagi saya kedua-duanya adalah Indonesia. Dan saya adalah seorang Indonesia, hingga kedua-duanya sama saja, sama-sama wilayah Indonesia,” kata Djatikusumo yang kemudian menceritakan tentang tugasnya memimpin pasukan masuk Bukittinggi, dan kemudian bertemu dengan alm (Jenderal) Achmad Yani di sana. Begiti sudah sampai di Bukittinggi, datang kawat dari Nation, menanyakan kapan berangkat ke Bukittinggi?. Disuruh jawab “setengah jam sebelum telegram Pak Nasution tiba, Djatikusumo sudah sampai di Bukittinggi dan telah bertemu dengan Achmad Yani.” “Ketika di Bukittinggi saya dirubung dan ditanyai oleh para wartawan luar negeri dari UPI, AP, Reuter dll “apa pihak lawan (PRRI, Red) akan dihukum mati, saya jawab itu terserah kejaksaan Agung) nanti. Tetapi saya katakan kepada wartawan-wartawan asing itu, bahwa ketika itu yang terjadi adalah sekedar latihan perang-perangan. Dalam latihan perang-perangan di mana pun, tentu ada pihak biru, yang ketika itu adalah tentara dari Pusat, dan pihak merah, PRRI. Dan seperti dalam latihan perang-perangan di mana pun juga maka yang selalu menang adalah pihak biru !” Sambil menutup wawancara, Djatikusumo menyebutkan bahwa perang dengan PRRI yang terjadi ketika itu bibantu oleh SEATO, dengan kekuatan yang diatur entah dari Don Muang, Thailand entah juga dari Filipina. Terbukti kapal palang merah internasional itu juga memasukkan senjata untuk PRRI dan pesawat-pesawat udara (Amerika) menjatuhkan amunisi dll untuk pihak PRRI melalui udara. Itu semua disebut dalam buku pimpinan CIA yang dulu “Siapa itu, saya lupa namanya !” ***
141
100 Tahun Kebangkitan Nasional DALAM diskusi menyongsong 100 Tahun Kebangkitan Nasional di kantor redaksi Sinar Harapan baru-baru ini yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Sejarah Kedokteran Indonesia terbersit pertanyaan, kenapa nama surat kabar Bintang Timoer berbahasa Melayu yang terbit di Surabaya pada 1850, lama sebelum perkumpulan Boedi Oetomo didirikan di Batavia pada tahun 1908, tidak tercatat sebagai perintis gerakan kebangkitan nasional bangsa kita Boedi Oetomo sebagai organisasi kemasyarakatan yang didirikan oleh para dokter Jawa (Indische artsen) lulusan STOVIA di Batavia dengan dr. Wahidin Soedirohoesodo sebagai pencetus, di samping dr. Soetomo sebagai pendiri, kebetulan juga seorang redaktur (atau kontributor) surat kabar berbahasa Jawa Retno Doemilah. Di sisi lain, lebih dari setengah abad sebelumnya Bintang Timoer sudah menggunakan bahasa Melayu. Dua puluh tahun setelah Boedi Oetomo didirikan, pada 28 Oktober 1928 diselenggarakan untuk pertama kali sebuah muktamar organisasi-organisasi kepemudaan dari seluruh Hindia Belanda yang kemudian mengambil keputusan untuk bersemboyan “satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa: Indonesia.” Dalam diskusi itu juga tercetus pertanyaan, apakah tepat menokohkan organisasi Boedi Oetomo yang kemudian condong menjadi kejawaan, priyayi, dan dekat dengan penguasa Belanda itu, atau tidakkah sebaiknya dikedepankan nama tokoh-tokohnya yang secara individual tetap konsisten bergerak untuk kebangsaan Indonesia. Jika kita boleh mengungkap catatan sejarah yang lebih tua: Bukankah Prapanca telah menuliskan karya puja sastranya, Negarakertagama pada tahun 1365 M, di mana tercantum daftar wilayah Majapahit dari Sumatera dan Semenanjung Melayu sampai jauh lebih ke timur lagi dari Bali dan Lombok sebagai wilayah Majapahit. 142
Dan “sumpah palapa Gajah Mada” seperti tersirat dari Negarakertagama, secara simbolik telah terwujud di masa Orde Baru pimpinan Jenderal Soeharto melalui satelit Palapa I dan II yang diluncurkan pada 1979 dan 1983 yang merangkaikan Nusantara secara telekomunikasi menjadi satu (secara teknis melayani pula Malaysia dan Filipina. Sejarah dengan tinta emas dan sekali-sekali tinta legam mencatat jatuh bangunnya pemerintahan RI sejak Orde Lama hingga Orde Baru dan 10 tahun terakhir memasuki era reformasi. Dan dasa warsa terakhir pasca kebangkitan 1908 bagi kita Bangsa Indonesia barangkali merupakan masa paling buruk secara sosial ekonomi. Kendati yang paling hitam legam sepanjang sejarah kemerdekaan kita barangkali adalah peristiwa Gestapu PKI yang paling berdarah sejak era proklamasi kemerdekaan. Para sejarawan kita tentu lebih arif tentang urgensi pelintasan jangka waktu seabad sesudah 20 Mei 1908 hingga sekarang, ketika kita telah memasuki catatan waktu delapan tahun setelah memasuki abad dan millennium baru: Bagaimana selayaknya kita harus mampu memetik manfaat dari keruntuhan atau raibnya kurun-kurun sejarah yang telah lalu, seperti era Syailendra (Mataram I), atau zaman Sriwijaya dan jaman Majapahit yang sudah belasan abad terpendam ditelan waktu. Atau yang lebih dekat dari zaman kita seperti pasca-Mataram II, ketika Nusantara mulai berurusan dan diinjak oleh bangsa-bangsa Barat, yang mengakibatkan nenek moyang kita harus menjadi budak dari bangsa-bangsa lain. Dapatkah kita telisik kembali sebab-sebab apa saja yang mengakibatkan kerajaan-kerajaan Sriwijaya dan Majapahit akhirnya raib? Padahal, keduanya sempat dicatat sebagai kerajaan-kerajaan dan pusat-pusat kekuasan di Asia Tenggara yang dihormati, bahkan oleh China dan India. Melalui jawaban dari para sejarawan atas petanyaan-pertanyaan serupa mungkin dapat kita fahami pula secara analogis, agar kita mampu memahami apa yang telah terjadi, katakanlah, sehingga akhirnya para sejarawan menarik 143
garis lurus dari didirikannya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 sampai satu abad kemudian hingga hari-hari ini. Peninggalan-peninggalan dari para penjajah Belanda (maupun Jepang) bagaimana pun juga telah turut membekali para pendahulu kita sehingga memungkinkan selama puluhan tahun mereka tangguh dan berhasil menyiapkan penataan kembali diri kita sebagai Bangsa, sehingga tercetuslah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 hingga sekarang ini. Seperti dicatat oleh Arnold Toynbee dalam bukunya A Study of History, bahwa suatu peradaban hanya akan raib dan akhirnya sirna, mana kala para pendukung peradaban dimaksud tidak mampu lagi menjawab tantangantantangan jamannya secara inovatif. Dan seperti ditulis oleh George Orwell di dalam bukunya berjudul 1984, hanya bangsa yang menguasai masa kini dan masa lalu yang bisa jaya menyongsong masa depan (who control the past control the future, who control the present control the past) Peradaban peradaban ratusan bahkan ribuan tahun lalu yang diemban oleh para nenek moyang kita akan tetap raib, kecuali jika kita mampu menjawab tantangan-tantangan yang kita hadapi dengan penuh keyakinan dan kerja keras. Karena memang demikianlah kenyataan sejarah seperti tergelar di muka bumi selama 6000 tahun terakhir, dan Nusantara tidak merupakan kekecualian daripadanya. Pertanyaan paling mendasar barangkali adalah: ‘Bagaimana kita mampu membaca sejarah bangsa kita selama 100 tahun terakhir?’ Dan hendak kita kemanakan diri kita sebagai bangsa. Dan pada akhirnya semua harus bermuara kepada ketulusan hati nurani kita sebagai bangsa, agar supaya kita mampu menguntai masa lalu, masa kini dan masa depan, sambil menempatkan diri kita sebagai Bangsa yang emoh jadi bangsa yang membudak kepada kepentingan bangsa lain. Dan juga tidak menjadi bangsa yang terdiri dari budak-budak untuk bangsa mana pun di dunia.***
144
Borobudur, Ketika Diancam Unesco PADA awal tahun 1970an Sinar Harapan adalah satu-satunya surat kabar Indonesia yang mensponsori kampanye pengumpulan dana pemugaran candi Borobudur sebagai pelengkap dana Unesco. Lama sesudah usai pemugaran, Unesco ancam mencabut status Borobudur sebagai Warisan Budaya Dunia, karena dikhwatirkan candi Budhistis itu terancam authensitasnya, menjelang akan dibangunnya panggung dengan teknologi ‘swara dan cahaya’ (son et lumiere). Pembuatan panggung ‘suara dan swara’ itu dimaksud guna peringatan 50 tahun kemerdekaan RI pada 17 Agustus mendatang. (Antara, 7 April 1995). Teknologi son et lumiere adalah suatu penerapan teknologi swara dan cahaya dalam bentuk teatral pada malam hari, pertama kali dikonsepkan oleh Paul Robert-Houdin, kurator Chateau de Chombord di tepi Sungai Cosson pada rahun 1952. Son et lumiere ibarat permainan aneka rona cahaya dan swara aneka warna sebagai nilai tambah kepada sebuah gedung bersejarah atau puing-puing bersejarah sebagai latar belakangnya. Permainan cahaya disinkronkan dengan sound track (rekaman suara) musik dengan narasi kisah dramatis. Walaupun biasanya tidak dimunculkan ‘pemain’, kadang dengan efek bom berasap atau kembang api, misalnya. Medium ini cepat populer di Perancis sejak pertengahan tahun 1960-an dengan sekitar 50 produksi pertunjukan, terutama di Lembah Loire, Istana Versailles dan Les Invalides. Menyusul kemudian di seluruh benua Eropa, termasuk di Roma (di Forum) dan Athena (Parthenon), keduanya dipertunjukkan dengan sejumlah versi dalam berbagai bahasa. Produksi pertama di Inggris diselenggarakan pada tahun 1967 di Green145
wich Palace. Kemudian di Kastil Cardiff, Portsmouth, Henley-on-Thames dan Menara London, serta Kastil Sterling dan Kathedral di Gloucester dan Norwich. Pementasan pertama di Amerika dilakukan di Independence Hall, Philadelphia beberapa tahun menjelang pperingatan 200 tahun kemerdekaan negeri ini lepas darj Kerajaan Britania Raya pada tahun 1776. Produksi pertama di Afrika di Piramida Giza pada April 1961, dan di Asia pertama kalinya di Benteng Merah di Delhi pada bulan Maret 1965. suai Son et lumiere di Borobudur bakal merupakan satu di antara yang pertama sesudah di Delhi.(Wartawan Anda menyaksikannya di India pada tahun 1978.) Sebagai pertunjukan, di Indonesia bakal merupakan suatu yang sangat baru yang baru dan telah dirancang akan digelar di Borobudur, demikian dikatakan Kepala Kanwil Deparpostel di Yogyakarta, Pranoto. Kisah yang akan diungkapkan sesuai dengan terungkap di relief-relief candi, yakni tentang perjalanan hidup Sang Buddha Gautama. Melalui kreativitas yang menggunakan cahaya dan berbagai efek suara kisah sang Buddha dianggap akan lebih menarik bagi para penontonnya yang diperekirakan akan terkagum-kagum oleh penerapan teknologi cahaya dan swara yang serba terkompuerisasi. Para wisatawan yang lebih bersungguh-sungguh menghayati kisah kisah yang terkandung dalam Candi Borobudur, yang adalah butir-butir falsafah kehidupan yang diajarkan Sang Buddha melalui teknologi son et lumiere menjelang 17 Agustus akan menelan biaya Rp 35 miliar akan mempesona dan membekas pada jiwa penontonnya. Tidak usah terlalu dirisaukan bahwa penanaman modal sebegitu besar tentu tentu telah diperhitungkan kapan bakal kembali. Diharapkan son et lumiere Borobudur akan menambah daya tarik bagi para ummat Buddha dari manapun mereka berasal, maupun para wisatawan umumnya. Motif keuntungan, walau tak bisa diabaikan, tidak merupakan ‘aib’, karena betapa pun juga niat untuk mewedarkan ajaran-ajaran luhur sang Buddha tentu memerlukan penanaman modal, dan demi kelangsungannya tentu me146
merlukan biaya pemeliharaan alat-alat dsb. Jika benar Unesco telah mengancam hendak mencabut status Borobudur sebagai warisan budaya dunia, karena dikhawatirkan son et lumiere akan mengganggu pekerjaan renovasi dan perbaikan candi, yang memang masih dilakukan, tidakkah ini ibarat memukul seekor nyamuk dengan kapak. Sangat mudah diterima dengan akal sehat bahwa dipersiapkannya panggung pertunjukan son et lumiere tsb tentu dengan prasyarat tanpa mengganggu pekerjaan konservasi dan perbaikan-perbaikan yang sedang dilakukan di kawasan sekitar candi. Atau, adakah unsur arogansi Unesco, karena mereka telah memberi status mentereng kepada Borobudur sebagai World Cultural Heritage, di samping karena Unesco telah bersusah payah mengumpulkan belasan juta dollar tahun 1970-an, namun jangan pula dilupakan bahwa Pemerintah RI yang juga mengeluarkan dana ratusan miliar rupiah dari anggaran belanja Negara ? Masih segar di ingatan, ketika Deputi Sekjen Unesco, Michel Batiste pada tahun 1983, di tengah kesibukan Kongres Taman Nasional Dunia di Sanur, Bali, mencoba membujuk Pemerintah RI melalui Gubernur Bali Prof. Dr. Ida Bagus Mantra. Batiste menyarankan kepada Dr. Mantra alangkah idealnya, jika ditarik garis segitiga yang menghubungkan Puncak Gunung Agung, Danau Batur dan Taman Nasional Bali Barat, hingga akan terbentuk suatu segi tiga dapat diresmikan oleh Unesco sebagai World Cultural and Natural Heritage. Betapa kita terkejut, ketika tawaran Michel Batiste hanya disambut dingin. oleh Dr Mantra. Mungkin, karena Gunung Agung adalah tempat yang disucikan oleh umat Hindu Dharma di Bali. Mungkinkah Masjidil Haram berikut Kaabahnya akan ’dilepaskan’ kepada Unesco sebagai World Cultural Heritage? Tentu umat Islam seluruh dunia akan menolaknya. Rupanya alm. Gubernur Mantra berpendirian, Unesco tidak berwenang menjadikan Gunung Agung sebagai World Cultural Heritage. Kalaupun Danau Batur atau Taman Nasional Bali Barat akan diakui sebagai 147
Warisan Alam Dunia oleh Unesco, (hal serupa terjadi dengan Ujung Kulon dan Pulau Komodo yang telah dinyatakan sebagai Warisan Alam Dunia oleh Unesco), tetap saja ada kewajiban kita untuk mengelolanya. Keberatan Unesco terhadap akan dibangunnya panggung swara dan cahaya terasa janggal, karena di Candi Prambanan sudah sejak awal tahun 1960an telah diselenggarakan secara rutin tiap tahun dipentaskan seni drama tari Ramayana. Kenapa Unesco selama ini tidak bicara apa-apa, ketika memberikan pengakuan kepada kedua candi ini sebagai warisan-warisan budaya dunia ? Kita yakin Departeman P & K yang bertanggung jawa atas renovasi dan konservasi serta pelestarian candi Borobudur tidak akan membiarkan pembangunan panggung son et lumiere Borobudur akan menggangu apalagi mencemari candi itu. Bukankah, jika Indonesia teledor dan membiarkannya, maka akan ibarat seperti kisah Aesop, membunuh angsa yang bertelur emas, karena kita ceroboh membiarkan candi ini tercemari ? Son et lumiere sekadar salah satu dari telur emas Borobudur. Tetapi Borobudur sebagai angsanya tentu tidak akan kita korbankan, sekadar demi jalan terusnya son et lumiere. Dengan status diakui sebagai World Heritage sebuah candi atau cagar alam memperoleh bantuan guna pengelolaan dan pelestariannya. Tetapi ini bukan keajaiban dan sedekah, karena Indonesia memang anggota UNESCO. Badan khusus PBB ini memang diciptakan untuk meneruskan bantuan negara- negara kaya kepada negara-negara berkembang, khusus dalam tiga bidang : pendidikan. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Kita masih ingat ketika Amerika Serikat ‘ngambeg’. tidak mau tetap duduk sebagai anggota Unesco, sebelum badan khusus PBB ini dibenahi administrasi dan pertanggungjawaban Umesco kepada para anggotanya. Ini berarti, Amerika melihat Unesco, sebagai ‘tidak selalu tepat sasaran dan kurang efisien dan efektif’ sebagai suatu badan khusus PBB yang bertanggungjawab atas pendanaan ketiga bidang itu khususnya di negara-negara berkembang. *** Jayakarta, 17 Mei 1995 148
Mendongkrak Citra Taman Mini BERMULA dari gagasan lebih dari l0 tahun yang lalu, Taman Mini sempat jadi isyu politik, yang menciptakan pro dan kontra yang cukup dahsyat di kalangan masyarakat, khususnya di Ibu Kota Jakarta Raya. Entah, bagaimana pendapat para “pemikir” yang tadinya anti alias kontra terhadap gagasan dibangunnya Taman Mini dulu itu. Kenyataann Taman Mini sekarang berkembang jadi obyek pariwisata yang banyak dikunjungi orang, bahkan mencapai jutaan orang tiap tahun. Melihat Taman ini sepintas sekalipun nampak menarik. Kebanyakan pengunjung berdatangan bukan seorang diri. Dan kebanyakan mereka bisa berjam-jam bercengkerma sambil menikmati berbagai atraksi di berbagai anjungan, museum, taman burung, atau naik kereta gantung yang memang belum ada duanya di negeri kita. Para turis asing tidak canggung menyelinap di antara publik sawo matang, bahkan ada yang menyempatkan menikmati sajian tontonan daerah yang asing bagi mereka, dan mereka asyik menikmatinya. Ini bukti tercapainya tujuan Taman Mini sebagai etalase budaya dan arsitektur tradisional serta kesenian daerah. istilah repeaters dipakai bagi mereka yang berulang kali berkunjung, mungkin perlu disurvei berapa banyak repeaters berdatangan dari waktu ke waktu. Tidak terlalu mengherankan jika persentase repeaters mungkin cukup besar dibanding seluruh jumlah pengunjung dari waktu ke waktu. Selesai dibanguN teater Keong Emas, yang membuat makin menari, Taman Mini makin dilengkapi dengan acara-acara hingga titik jenuh jumlah pengunjung seperti selalu ‘tertunda’. Mungkinkah Taman Mini memerlukan pemikiran baru supaya makin menarik, hingga manajemen tak usah terlalu pusing dengan “ancaman” akan mencapai titik jenuh atau menurunnya jumlah pengunjung ? 149
Pola utama Taman Mini rwnru hendak memamerkan kekayaan seluruh provinsi dengan masing-masing kesenian dan kebudayaannya, yang sebagian telah ditampung pula dalam Museum Indonesia di taman ini juga. Kesan yang timbul, jika anda menatap anjungan-anjungan satu persatu, serasa anjungan-anjungan itu kosong, karena rata-rata tidak memiliki lebih dari representasi kekayaan seni budaya daerah masing-masing dalam bentuk arsitektur bangunan masing-masing daerah, yang nyaris hampir serupa satu sama lain. Gagasan semula agar Taman Mini menjadi show window kekayaan seni budaya berbagai daerah bisa tetap dipertahankan. Kenapa masing-masing halaman tidak dihiasi dengan tanaman-tanaman (jika ada) khas masing-masing provinsi? Dari sini akan terungkap tantangan bagi para arsitek pertamanan, agar dari anjungan ke anjungan penonton, di samping disuguhi bentuk arsitektur khas daerah, tiap halaman anjungan bisa mengungkapkan “dalam ukuran mini” berbagai gaya dan bentuk landscaping maupun kekayaan flora melalui “penciptaan kembali” penataan seluruh halaman dan anjungan sebagai kesatuan yang mewakili masing-masing daerah. Dari universitas-universitas negeri saja tersedia insinyur dan arsitek yang tentu mampu menterjemahkan dari gagasan hingga gambar kasar dan rancangan, sampai ke bentuk maket anjungan berikut halaman masing-masing propvinsi. Mungkin melalui sayembara dari masing-masing daerah bisa dipilih kemampuan paling brilyan untuk menerjemahkan ciri-ciri fisik, watak, dan kekhasan masing-masing daerah, dengan tetap berpegang kepada bangunan anjungan yang sudah ada. Kemudian dilengkapi dengan pemanfaatan seluruh halaman, agar anjungan dapat mewakili secara ideal (gagasan) maupun fisik, unsur-unsur khas masing-masing daerah. Sebagai contoh, dalam hal mambandingkan anjungan-anjungan Jawa Barat, Jakarta, Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur perlu dicari masing150
masing unsur yang (lebih) menonjol, hingga tak ada tumpang tindih. Adanya maket tiruan candi Borobudur di anjungan Jawa Tengah, misalnya, patut dipertahankan. Tetapi bisa dilengkapi dengan fakta lain akan adanya candi-candi lain yang ada di seluruh Jawa Tengah maupun di seluruh Jawa. Pengunjung patut diberitahu, Borobudur bukan satu-satunya candi di Jawa Tengah. Dengan dihadirkannya gamelan, misalnya, tidak dimaksudkan, agar kelima anjungan Jawa masing-masing melengkapi anjungan dengan perangkat gamelan. Bisa divariasikan, Jawa Barat dengan kerajinan rakyatnya yang ada hubungan dengan seni gamelan atau wayangnya. Dan provinsi-provinsi dengan “sudut pandang” atau elemen-elemen pelengkap yang berbeda. Ketika kita baru-baru ini menanyakan kepada petugas bagian informasi, apa tgersedia peta taman, dijawab “sudah habis” kita tidak menjadi kecil hati, tetapi secara bergurau kita mengatakan: “Tolong disampaikan kepada manajemen, supaya dicetak lagi ! ” Jelas, tersedianya peta taman adalah mutlak. Jika mungkin dicetak dalam berbagai versi, katakanlah dalam bahasa-bahasa Indonesia, Inggris, Perancis, bahkan Belanda, Spanyol, atau Jepang dan Korea sekalipun. Agar tamu dari sebagian besar kebangsaan di dunia akan tertolong. Suatu peta yang secara visual dan grafis dibuat menarik dan mudah dimengerti oleh anak-anak sekalipun, akan mengundang senyum orang dewasa sekalipun, apalagi jika gaya kocak atau karikatural terserap di dalamnya. Misalnya, dengan gaya kreatif lengkap memberikan informasi, di mana anjungan-anjungan dari daerah ini, atau itu, di mana museum atau Keong Emas, dalam berbagai bahasa. Sesudah memasuki masing-masing anjungan pun, sang pengunjung dapat disambut oleh seorang guide yang siap dengan ‘booklet atau leaflet maupun folder, tentang isi anjungan. Jika mungkin juga booklet terpisah tentang masing-masing daerah. Booklet atau leaflet semacam itu, yang disediakan dan dilengkapi dengan 151
kehadiran pemandu yang fasih menguasai informasi, akan meningkatkan citra profesional penyajian anjungan maupun taman secara keseluruhan, dan akan menjadikan Taman Mini sebagai semacam pusat informasi turistik yang tidak harus kalah ampuhnya dibanding dengan Pusat-pusat Pemasaran Pariwisata Indonesia (PPPI) di Los Angeles, Frankfurt, Singapura, Sydney, Taiwan atau Tokyo. Kenapa Taman Mini oleh Garuda bersama Direktorat Jenederal Pariwisata tidak dimanfaatkan sebagai show window tanah air, atau sebagai stop over untuk para turis yang dapat meneruskan perjalanan ke berbagai daerah ? Kita beranggapan harga karcis Taman Mini sudah diputuskan atas dasar kebijakan bukan saja sarkan prinsip “ekonomi perusahaan”, misalnya agar sedikitnya menutup beaya maitenance maupun biaya eksploitasi berikut gaji pegawai. Tetapi juga agar terjangkau oleh kantong rata-rata masyarakat di bawah tingkat menengah sekalipun. Bukan mustahil, jika dipikirkan untuk menetapkan tarif khusus untuk keluarga dengan sekian anak, yang lebih menarik sekaligus untuk meningkatkan omzet dan jumlah pengunjung dari waktu ke waktu. Umum mengetahui luas wilayah yang telah dikuasai Pemerintah DKI Jakarta untuk keperluan Taman Mini belum seluruhnya dimanfaatkan. Jelas maksud semula untuk bisa dilakukan ekstensi atau ekspansi, seperti telah dilakukan hingga sekarang. Bagaimana, jika dilakukan penapisan gagasan-gagasan dari sentero tanah air, jika perlu ditantangkan pula kepada arsitek-arsitek kelas dunia untuk menciptakan pola arsitektural dan penerjemahan yang lebih tepat tentang suatu “Indonesia” yang hendak digambarkan. Karena taman ini bukan sekedar tempa untuk bercengker\ma sambil menyaksikan wayang atau lenong maupun naik kereta kawat. Tiba waktunya kita meninjau kembali Taman Mini ini yang dulu pernah diejek-ejek sebagai “proyek prestise” atau bahkan “proyek pribadi.’ Agar nantinya dapat menjadi proyek bangsa yang dapat menjadikan seluruh bangsa 152
benar-benar bangga. Taman Mini jangan disamakan dengan Disneyland atau Fantasyland, atau taman-taman hiburan, melainkan suatu taman budaya bangsa, yang secara teliti dan tepat dapat memamerkan kekayaan dari suatu negeri yang pernah dijuluki alm. Douwes Dekker, alias Mulatatuli, sebagai ‘rangkaian zamrud di katulistiwa itu.’ Dengan demikian di kemuadian hari bangsa Indonesia akan dengan bangga memiliki suatu Taman Mini yang dapat mengungkapkan “permatapermata kekayaan budaya bangsa untuk menjadikan taman ini lebih menarik dan memperkaya batin para pengunjungnya, sehinrga mereka akan lebih mengenal budaya bangsa dari ujung ke ujung tanah air, dari Sabang hingga Irian Jaya ! Jika turis asing sempat melongoknya, taman ini dapat menjadi rujukan untuk kunjungan ke berbagai daerah dengan berbagai ragam budaya dan keindahan yang tak terpermanai adanya ! ***
Penghargaan utama dari Dewan Juri lo,mba penulisan tentang TMII untuk tulisan ini disampaikan oleh almarhumah Ibu Tien Suharto melalui Pemimpin Redaksi surat-kabar Sinar Harapan Subagyo Pr. pada bulan April 1985.
153
Sampai Kapan Srimulat Akan Bertahan PAKAR hukum Dr. Todung Mulya Lubis menilai Komisi Pemilihan Umum kerap bertingkah laku mirip ‘dagelan Srimulat.’ Suatu komentar yang tak ditanggapi pihak KPU maupun group lawak itu. Ucapan Mulya Lubis itu mengingatkan kita. setiap kali kita menyaksikan lawakan Srimulat, kita benar-benar merasa terhibur, terlepas dari segala yang jungkir balik seperti tersiar melali kolom berita di surat kabar dan layar kaca, maupun di Internet. Bintang lawak Srimulat, Tarsan, yang hingga sekarang masih laku keras di layar kaca dalam kehidupan sehari-hari biasaa berpenampilan ‘orang.bisnis.’ Ketika kita melongok di rumahnya di Jakarta Timur nampak, betapa bangga dia akan puteri bungsunya yang sedang belajar di bidang design interior di Universitas Tri Sakti, tidak berbeda dengan kebanyakan rata-ra reformaata ayah yang bukan pelawak. Masih ingat kita, ketika pada awal tahun 1960an grup Srimulat mulai tenar di kota Solo, kemudian hijrah ke Surabaya, lalu ke Semarang. Setelah cukup lama bercokol di Jakarta, beberapa kali berpindah dari Taman Ismail Marzuki ke sebuah gedung setengah permanen di Senayan, tidak jauh dari gedung DPR. Kita tidak tahu pasti, kenapa Tarsan kurang tertarik jadi anggota parlemen, seperti setengah lusinan pelawak lain yang berhasil merebut posisi jadi wakil rakyat di DPR. Kita pun tak pernah mendengar komentar Mulia Lubis tentang para pelawak yang berhasil jadi wakil rakyat itu. Walau ada kaitan logika antara lawakan Mulya Lubis tentang KPU dengan para pelawak yang berhasil jadi anggota aparlemen sejak negeri ini memasuki era reformasi. Seakan-akan reformasi wajib membuka pintu bagi mereka sebagai unsur penyegar lembaga legislatif yang sesungguhnya tidak kurang lucunya, bahkan sebelum mereka turut memeriahkan lembaga legislatif yang mewakili ratusan juta rakyat itu. 154
Bukankah KPU yang dicap Mulya Lubis sering berkelakuan seperti ‘badut Srimulat’ turut melempangkan jalan bagi badut-badut beroleh kredensi sebagai anggota DPR Almarhum Teguh yang diakui sebagai pendiri group pelawak Srimulat, pernah menyatakan keinginannya supaya di tiap provinsi ada cabang dari group Srimulat. Namun, setelah sekian kali pemilu telah mendudukkan sedikitnya tiga presiden baru setelah jatuhnya Jenderal Suharto, angan-angan Teguh itu tidak terwujud. Dengan masuknya beberapa orang pelawak dari ‘peringkat nasional’ bisa jadi anggota parlemen bisa kita anggap bahwa angan-angan Teguh telah trwujud lebih jauh dari jangkauan angan-angannya semula. Rustamadji, pemimpin ‘team kreatif’ group Srimulat, menyatakan kepada wartawan anda, betapa sulit mencari bibit calon pelawak sebagai penerus mereka yang satu persatu mulai uzur. Berkat makin berubahnya ‘selera’ demokrasi di Indonesia, seperti nampak setiap hari di dalam maupun di luar gedung DPR, memungkinkan para pelawak angkatan awal Abad 21 lebih getol tampil jadi pelawak di panggung politik, yang lebih menjanjikan prospek ‘bisnis,’ ketimbang ngendon di layar kaca. Di jaman pendudukan Jepang, ketika di Solo masih ada panggung pertunjukan Miss Riboet dengan pasangan pelawak Riboet - Rawit dengan gaya lawak mereka yang kocak dan menyengat seperti ‘keributan orang yang terkeletus cabe rawit.’ Pasangan Riboet yang juga menampilkan seorang ‘badut wanita’ bernama Srimoelkat di kala itulah yangmerupakan cikal bakal panggung Srimulat yang lahir di Solo, yang kini sudah hampir raib berama raibnya era pendudukan Jepang. Menyusul jaman proklamasi hingga kini kita berada di era pasca reformasi, yang lebih menjanjikan segala serba peot dan deformatif, baik di ranah sosial, ekonomi serta politik, bahkan budaya. Tokoh Sri Moelat di panggung Miss Riboet kemudian muncul sebagai pembawa tokoh ‘Mbok Emban’ (atau dayang-dayang) di panggung ketoprak ‘Eko Proyo’ yang biasa menyajikan selangselingacara pertunjukan wayang orang dan ketoprak. Juga di Solo, sejak awal era revokusi kemerdekaan. (Eko Proyo merupakan saingan panggung wayang orang Sriwedari di Solo. Sriwe155
dari, yang hingga saat ini masih ada sebagai peninggalan dari jaman Sri Soesoehoenan Pakoe Boewono X, yakni ayahanda dari alm. G.P.H. Djatikoesoemo, yang hingga akhir hayatnya juga seorang letnan jenderal TNI AD.) Pimpinan teater Eko Proyo Manis, biasa membawakan peran Srikandi yang gagah berani. Manis adalah juga pemilik paguyuban teater tradisional ini. Eksistensi Manis dan Eko Proyo sejak didirikannya pada awal jaman revolusi kini sudah ‘hilang tak tentu rimbanya itu’ telah ditengelamkan oleh ketenaran panggung wayang orang Sriwedari dengan pasangan penari Darsi dan Rusman, yang pada era Orde Lama sering dikirim ke berbagai manca negara. Kita lihat grup-grup lawak sekarang ibarat hibrida dari ketoprak yang lahir pada tahun 1920-an di Solo, sebagai penyusul teater wayang orang. (Ketoprak berpakem antara lain dari kisah-kisah dari ‘Babad Tanah Jawi,’ dan kisah-kisah wayang bersumber kisah-kisah Ramayana dan Mahabharata.) Bentuk pertunjukan panggung yang terdekat yang bisaa diatikan sebagai sumber ‘genesis’ kelompok Srimulat, barangkali adalah kelompok lawak Yogyakarta yang dikenal sebagai ‘Dagelan Mataram,’ yang sangat mewarnai grup lawak Srimulat hingga sekarang. Tokoh-tokoh Dagelan Mataram pada awal masa revolusi kemerdekaan seperti Atmonadi, Karto Togen dan Bekel Tembong adalah ‘jawara-jawara’ kelompok Dagelan Mataram pada tahun 1947 atau 1948 yang sering tampil di Solo, karena kedekatn jarak Yogyakarta ke kota ini hanya 60 km. Dengan hati hati dapat kita katakan pula lawakan-lawakan Srimulat asalmuasalnya mungkin dapat kita telusuri kembali dari adegan-adegan ‘gorogoro’ dalam wayang kulit atau wayang orang maupun panggung ketoprak, walaupun kelompok ini bisa dianggap pula sebagai salah satu derivat langsung dari group Dagelan Mataram. Tokoh ‘pana kawan’ Semar, Gareng, Petruk dan Bagong dari panggung wayang orang sebagai pendukung selingan kocak dan segar bagi para penonton wayang biasa tampil dengan banyolan-banyolan yang tidak selalu relevan dengan kisah-kisah ‘pakem’ wayang, yang dapat dikatakan merupakan cermin atau gambaran keadaan ketika pertunjukan ditampilkan. 156
Lelucon-lelucon yang menyentuh masalah sosial politik bisa menerobos ‘masuk’ ke dalam adegan-adegan ‘goro-goro,’ yang di kemudian hari lalu terserap di Dagelan Mataram, yang sangat populer di Jawa Tengah di jaman revolusi kemerdekaan. Kemudian pada gilirannya merembes pula ke gaya banyolan kelompok Srimulat hingga sekarang. Setelah era orde lama dan orde baru masuk ke ‘kotak sejarah,’ dan sesudah sekian kali putaran pemilu di negeri kita para pelawak bahkan telah berhasil menerobos masuk langsung ke gedung DPR, maka paripurnalah ‘teater dagelan’ peringkat nasional bernama lembaga DPR yang menjadi penentu utama serta turut mewarnai keadaan sehari-hari kehidupan bangsa Indonesia dengan konsekuensi “biaya produksi” mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya. (Belum termasuk biaya pemilu KPU dalam angka triliunan pula !). Bahkan sekarang pun gedung DPR/MPR nan megah itu pun sedang akan direnovasi dengan anggaran triliunan rupiah pula guna menggenapi lebih terwujudnya ‘kehidupan berbangsa dan bernegara’ dengan segala lelucon, banyolan dan kesrimulatannya ! Grup Srimulat sempat bernama ‘Aneka Ria Srimulat’, kemudian jadi “Aneka Ria Srimulat Indosiar,” dan kini menjelma jadi kelompok Dalam Komedi Canda ‘Dakocan’ TVRI. Sebelumnya peeernah muncul pula dengan nama ‘Revue Srimulat.’ ‘Kroncong Avond Srimulat’, atau Malam Keroncong Srimulat. dengan sisipan lagu-lagu keroncong, kini bahkan ditambah dengan lagu lagu Barat. Hanya dengan selembar atau dua lembar naskah dan satu dua ‘taklimat,’ masing-masing pemain mempelajari teks kasar itu, kemudian secara improvisasi dan spontan terangkailah dialog dengan gaya dan muatan kocak yang nyaris tiada putus-putusnya ! Pemunculan aktris-aktris sinetron seperti Djihan dan Angel Ibrahim tidak semata sebagai daya tarik di sela-sela tohoh-tokoh konyol Basuki, Eko, Doyok atau Tarsan. Mereka dipasang untuk lebih meng’kontemporer’kan lawakan group yang memerlukan ‘transfusi daya tarik.’ Tidak jarang aktris-aktris sinetron yang cantik-cantik itu secara improvisasi juga menunjukkan kemampuan ngebanyol, tidak kalah jika dibanding dengan Djudjuk atau Nunung. 157
Para penggemar Srimulat tidak terbatas dari kalangan mereka yang memahami bahasa Jawa. Hal itu tertolong oleh munculnya ketoprak humor yang dipimpin oleh Timbul, yang juga anggota Srimulat. Namun karena “satu dan lain hal” mereka mengundurkan diri untuk berkonsetrasi di hibrida baru bernama ‘Ketoprak Humor.’ Jika kita menelusuri rasa dan selera humor rata-rata insan Indonesia, yang sesungguhnya juga tercermin melalui gaya Srimulat, tidak peduli apakah mereka orang Jawa atau bukan, kita melihat kekayaan rasa humor bangsa kita sungguh bukan main beragamnya, yang secara psychologis merupakan tameng atau sarana melindungi diri kita dari berbagai bentuk tekanan atau polusi lahir batin pada masa-masa krisis sekarang. Tidak terlalu mengherankan jika almarhum Jenderal Benny Moerdani pada awal 1980-an secara ‘incognito’ sering menyelinap ke tengah publik yang sedang menikamti guyonan Srimulat di Taman Balekambang, Solo, dengan ah utamanya (ketika itu) almarhum Gepeng. Bahkan Letnan Jenderal Agum Gumelar secara pribadi adalah ‘godfather’ Srimulat yang selama sekian tahun selalu mendorong grup lawak ini menerobos ke layar kaca, mula-mula lewat TPI kemudian nyantol di Indosiar dan sekarang di TVRI. Kepiawaian para pemain Srimulat menggabungkan segala bentuk banyolan daerah, dengan logat khas Madura dan Maluku berkat bimbingan dan ilham dari almarhum sutradara film Nyak Abbas Acub.. Nama-nama seperti Triman dan Paul kemudian muncul dengan gaya dan kekhasan masing-masing. Maka terciptalah aneka ragam banyolan tanpa latihan yang meriah dan kocak sekocak-kocaknya, karena tercipta secara instan, spontan dan improvisatoris, saling menanggapi dan mengimbangi sesama rekan yang hampir tidak mungkin jika dilakukan dengan latihan lebih dulu. Karena kebiasaan bermain tanpa naskah yang menurut Rustamhadji berpangkal dari “bakat alam” justru akan jadi kaku, bahkan bisa morat marit, jika harus dituangkan lebih dulu dalam naskah. 158
Bagi para pelawak Srimulat, mereka harus kita anggap mereka menemukan berbagai inspirasi dan ide dari kejadian-kejadian sehari-hari. Contoh “kocak” Dr. Mulya Lubis yang membandingkan KPU dengan group Srimulat secara spontan punterselip dan mencuat dari mulut Basuki dalam episode Kado Tahun Baru sekian tahu lalu. Jelas, Srimulat bukan semata tontonan para jenderal, tetapi hampir setiap insan yang selalu ketagihan dan mencari tahu, kapan Srimulat akan muncul lagi. Mungkin rasa humor dan kemampuan kita melihat kelucuan di balik kenyataan-kenyataan pahit dalam keidupan sehari-hari dapat men jadi penangkal frustrasi bagi diri kita sebagai manusia Indonesia. Tanpa Srimulat kita mungkin akan lebih mudah tenggelam dalam kegalauan sebagai akibat dari berbagai krisis sosial, ekonomi, politik bahkan budaya yang masih terus terjadi, entah sampai kapan nanti ! Untung dulu kita ada Gepeng, dan kini kita masih bisa berkata ‘Untung Masih Ada Srimulat!’ Entah, sampai kapan lagi. Mungkinkah jika gedung kura-kura DPR/MPR mampu menyedot semua pelawak di negeri ini baru akab berakhir budaya guyon gaya Srimulat ? ***
Pembaruan, 29 Agustus 1999
159
Bahasa Indonesia, OK ? SEJAK Bahasa Indonesia dinyatakan sebagai sarana pemersatu bangsa seperti terikrar pada tanggal 28 Oktober 1928 sebagai hari Sumpah Pemuda, nyaris tidak ada seorangpun menggubris raibnya bahasa Jawa yang sejak ratusan tahun sebelumnya hingga sekarang adalah bahasa tulis dan lisan mayoritas warga negara negeri ini. Nyaris raibnya bahasa Jawa mecuat di benak kita, ketika membaca berita tentang penyelenggaraan “Kongres Bahasa Tegal” 3 - 4 April lalu di kota Tegal, Jawa Tengah; Disengaja atau tidak, para penggagas kongres itu telah berhasil mengusik pikiran kita: Bukankah yang dijadikan thema kongres ini, yakni bahasa Tega, sesungguhnya tidak ada. Bagaimana mungkin mendadak sontak beberapa pemikir bahasa mengkonggreskan suatu bahasa yang tidak pernah ada ? Setahu kita, sebagai orang awam dalam kebahasaan, yang ada adalah bahasa Jawa dengan logat atau dialek lokal Tegal di pantai utara Jawa Tengah, sebuah kota kabupaten di pantai utara Jawa Tengah yang letak geografisnya tepat berada di antara dua kota, Brebes dan Pemalang. Kongres yang didukung sekelompok akademisi bahasa Jawa Tengah ini membukakan mata kita akan kekayaan budaya bangsa, termasuk di antaranya ratusan bahasa daerah dengan ribuan logat atau dialek lokalnya yang ytersebar dari ujung Barat provinsi Aceh sampai ujung Timur provinsi Papua Barat yang secara keseluruhan mapun satu persatu selama ini tidak terlalu kita hiraukan sebagai ‘sumber’ atau pemerkaya khazanah kata bahasa naional kita. Para penyelenggara konggres ‘bahasa Tegal’ harus kita akui telah berhasil menyentakkan kita akan eksistensi dan peran bahasa-bahasa daerah yang sedikitnya sejak dan selama kita merdeka telah kita abaikan. Tanpa kita sadari (dan karenanya juga berarti tanpa ‘niat buruk’) menjadikan kita doyan mengambil bahasa bahasa asing sebagai rujukan utama untuk ‘menciptakan’ kata baru sebagai pelengkap khazanah bahasa nasional kita 160
Sekaligus, serentak dengan itu, ketidak sadaran kita itu kita telah mencampakkan bahasa-bahasa daerah sebagai pendukung bahasa nasional, Setidaknya dalam posisi bahasa-bahasa daerah sebagai sumber dan rujukan utama guna untuk mengembangkan bahasa nasional. Kecuali dalam suatu kesempatan yang amat amat langka, katakanlah dalam suatu gawe ilmiah atau jika kita sedang berada di suatu lungkungan terbatas, kita akan mendengar orang bicara tentang bahasa Jawa kuno atau Kawi, yang merupakan cikal bakal dari bahasa Jawa yang hingga sejkarang ini pun masih digunakan oleh ratusan juta warga negara, walau sudah makin campur aduk dengan penggunaan bahasa nasional yang makin ‘tercemar’ oleh serbuan kata asing, terutama yang berasal dari bahasa Inggris. Hingga wajar saja jika makin menipis bahkan meraib orang yang tertarik akan – sebut saja – hasil kesasteraan Jawa bahkan yang tergolong Jawa modern sekalipun seperti karya-karya Raden Ngabei Ranggawarsita seperti Serat-serat Jaka Lodang, Sabda Jati dan sebagainya. Apa lagi nama Prapanca, untuk mengambil satu contoh saja, yang telah ditelan waktu lebih dari tujuh abad itu. Walaupun Negarakertagama dari Prapanca oleh dunia ilmiah sastra global hingga hari ini diakui sebagai rujukan utama yang mendasari studi tentang eksistensi bangsa dan negara Indonesia. Karena di kitab yang ditulis pada tahun 1365 Masehi ini, di samping Pararaton (‘Pustaka Raja-raja’) Negarakertagama dianggap sebagai satu-satunya dokumen historis di sepanjang sejarah umat manusia sejak mengenal huruf atau bahasa tulisan yang mampu melihat ke depan tentang akan terwujudnya wilayah Nusantara disumpahkan oleh maha patih Gajah Mada pendamping Sr Hayam Wuruk, raja Maja-pahit, yang menandai jaman keemasan kerajaan di bumi Pulau Jawa. atau Suwarnadipa. dalam kurun waktu dari abad ke-14 ini, Kita melihat upaya Pusat Bahasa Indonesia setelah.’gugur’nya (era) orde lama yang kemudian melahirkan kesusasteraan dan angkatan sastrawan (angkatan) ‘66 yang dianggap berhasil mengubah ejaan bahasa Indonesia yang sebelumnya menggunakan dua huruf ‘dj’ yang harus ditenggelamkan dan diganti cukup dengan satu huruf ‘j’ sambil membunuh dan mengenyahkan 161
huruf ‘x’, sehingga abjad (alfabet’) yang kita gunakan untuk bahasa Indonesia mengharamkan huruf yang mirip tanda silang itu, Sehingga untuk menuliskan kata ‘taxi’ kita menuliskannya ;taksi.’ (Dan jika sekarang kita masih menggunakan huruf yang satu ini maka kita bisa dianggap xenofil, jika kita menuliskan kata ‘xenofobi tetap menggunakan ejaan lama. Tetapi karena secara nasional kita sudah diubah oleh ejaan baru jadi jadi xenofoob, dengan bukti telah membunuh huruf x, yang memang tidak ada di dalam abjad Arab it. (Dan betapa rancu kita sekarang mentranskripsikan kjatakata Arab yang tidak mengenal pembakuan, seperti pada contoh kata ‘magrib,’ atau maghrib, asalamualaikum, atau assalamualaikum ?) Tetapi kenapa, kita jadi terjebak dalam kebingungan ? Bagaimana kita menuliskan kata yang harus menggunakan huruf yang telah diharamkan itu,m seperti Xenofon atau Xerox Tetapi bukankah kita jadi senofil yang senile, karena tiap hari kita melahap kata-kata Inggris, sambil menulis atau mengucapkannya tanpa perlu benar-benar memahami makna kata asing yang sudah kita pakai sehari-hari sekarang ini. Dengan ejaan yang disempurnakan Pemerintahsn orde baru melalui para perekayasa politiknya yang menggantikan Ejaan Suwandi yang pada awal kemerdekaan menggantikan Ejaan Ophuijzen sebagai salah satu manifestasi telah berwujudnya era kemerdekaan setelah proklamasi 17 Agustus tahun 1945 yang harus meninggalkan ejaan lama sebagai tinggalan era penjajahan. Penggunaan ejaan yang disempurnakan pasca pelahapan kata asing yang tak terkendali jumlah dan juntrungnya telah menyempurnakan betapa kusut masai dan kacau balaunya bahasa tulis dan bahasa lisan Indonesia kita ! Kegigihan kita me===nggunakan ejaan baru (‘yang disempurnakan’) lebih dari 50 tahun lalu itu hingga kini tidak kunjung kita sadari bahwa sesungguhnya kita telah melakukan bunuh diri bahasa atau bunuh diri budaya ! Bahasa nasional dan bahasa kesatuan kita setiap hari kita obrak-abrik baik secara tertulis, apalagi lisan, hingga sebagai bangsa kita makin cerai berai dan makn tidak utuh, Dan kita wujudkan diri kita berbahasa serancu-rancunya dengan sebanyak mungkin kata asing yang kita comot dan kebiri dari bahasa 162
asing yang seakan sah-sah saja, Dan terutama bahasa lisan sehari-hari yang kita yang dijawarai oleh para ‘pereka-yasa bahasa] terutama di layar kaca yang tiap hari menelorkan kata kata aneh baru seperti realigi atau bike to nature, atau berita headline-news dan banyak lagi !. Pada penghujung dasa-warsa pertama abad ke-21 ini kita sudah benarbenar berhasil membina bahasa nasional kita jadi bahasa yang paling kacau di dunia dengan sebanyak mungkin penggunaan kata asing. Kita tidak peduli lagi dengan kata yang kita gunakan/ Bahasa Indonesia abad ke-21 kita sudah tidak lagi mengenal tata bahasa, dan tidak peduli penggunaan kata yang sebanyak mungkin mencomot kata asing. Biar kedengaran keren di kuping orang, apalagi jika sedang menampang di layar kaca. Tidak usah makna kata, yang penting menampilkan diri dengan sebanyak mungkin kata asing. Bukankah kita sudah habis-habisan kehilangan jati diri dan hilang jati makna, ‘siapa dan apa kita ini, yang notabene masih mengaku bangsa Indonesia ! Betapa rancu kita sebagai bangsa yang mengaku berbangsa satu, bernegara satu dan bersatu bahasa itu. Kejadian kita sekarang mengingatkan kita ke awal masa kemerdekaan. Ketika kita masih memilih suatu ‘Komisi Istilah’ yang didukung oleh berbagai asosiasi profesi,seperti Ikatan Dokter Indonesia, yang dengan apik dan penuh disiplin mengenyahkan kata-kata asing melalui penciptaan padanan kata baru sebagai penggantinya namun dengan pemilihan kata yang penuh kehati-hatian. Komisi tersebut menugaskan masing-masing asosiasi profesi di Indonesiadikalaituuntukmenciptakan padanan kata untuk menggantikan istilah-istilah asing yang biasa mereka gunakan sehari-hari di antara sesame profesi, namun tiap istilah dari berbagai disiplin dan profesi yang berlain-;ainan itu sepenuhnya dapat diterima dan dipakai oleh khalayak penggguna bahasa umummnya. 163
Dan mungkin yang lebih dahsyat dafri hasil kerja Komisi Istilah itu adalah‘proyeknasional’ yang pernah diemban Redaksi Penerbitan Balai Poestaka pada awal jaman pendudukan Jepang yang oleh pemerintah pendudukan Negeri Matahari Terbit itu mereka harus menterjemahkan secara kilat harus menciptakan setiap dan semua istilah guna mendukung penterjemahan buku pelajaran sekolah menengah, karena bahasa Belanda yang harus enyah dari bumi Nusantara. Dalam jangka sangat singkat mereka berhasil ‘mengalih-bahasakan; buku buku pelajaran sekolah menengah dari Bahasa Belanda ke Bahasa Indonesia. yang sempurna, penuh disiplin, gamlang, jelas, trasparan ! Yerlahirlah istilah baru. Tidak ada lagi wiskundrekae tapi ilmu pasti. Algebra jadi aljabar. Meetkunde, ilmu ukur. Natuurkunde, jadi ilmu alam, chemie jadi ilmu kimia,biologie jadi ilmu hayat dan seterusnya dengan masing-masing segudang istilah yang secara keseluruhan ribuan jumlahnya. Semua tercipta padanannya dalam istilah dengan kata bahasa Indonesia, seperti graadboog menjadi busur derajad, doorsnee jadi penampang lintang, micro organisme jadi jasad renik dsb dst. Untuk prestasi mereka itu (Kasim Soetan, Pamoentjak, Noer Soetan Iskandar, Aman Datoek Madjoindo, Sanusi dan Armijn Pane dan mungkin juga Hardjowirogo, Poerwodarminto., Soedarjo Tokrosisworo) patut menerima a penghargaan yang harus dilakukan sekarang hanya bisa diserahkan kepada para keluarga secara anumerta, yang rasanya tidak mungkin terpikul untuk filaksanakan para ahli bahasa kita dari abad ke-21 sekarang. Karena tidak seorang pun di antara mereka (para ahli bahasa kita sekarang itu ) yang tidak tenggelam, terbuai sekaligus terbius oleh bahasa Inggris yang sesungguhnya tnelum tentu mereka kuasai. Tetapi begitu nikmat kita merasa diri kerasan menggunakan biar sepotong dua potong kata, atau istilah asing, untuk “tampiil diri kita ahli’ !!’ Menggebu-gebunya ‘globalisasi bahasa’ terjadi lewat lalu lalang informasi 24 jam tiap hari lewat segala jenis media massa termasuk cyber media dan terutama televisi yang paling merusakj, sehingga menjadikan kita kurang me164
nyadari perjalanan waktu yang telah ditempuh bahasa nasional kita selama lebih dari enam dasa warsa, yang kini bukan makin tertata atau menjadi makin kaya. Tetapi sebaliknya makin tanpa disiplin, baik dalam ketata-bahasaan, apa lagi dalam pemadanan atau pencomotan kata asing. Masuknya kata-kata asing ke dalam bahasa lisan, bahkan bahasa tulis dalam kehidupan kita sekarang terus terjadi tanpa ‘wasit’. Apalagi memang sulit menerapkan sanksi atas pelanggaran dalam berbahasa, baik tulis apa lagi isan. Sehari-hari kita lebih lahap mencaplok kata asing ketimbang dengan taat asas berbahasa Indonesia tanpa berbumbu atau berbau (kata) asing. Penyelenggaraan Kongres Bahasa Tegal seperti kita sebutkan di atas sesunguhnya telah mengingatkan kita bahwa kita telah menyia-nyiakan bahasa daerah kita sebagai tandon at khazanah kata yau reservoir yang selama ini hampir tak pernah kita manfaatkan. Tanpa mengurangi hormat kita kepada para cerdik cendekia bahasa, kita patut menyampaikan penghargaan kepada pencetus gagasan untuk mengkongreskan bahasa Tegal (yang sesungguhnya tidak ada itu). Kongres itu membantu mengingatkan kita akan eksistensi ratusan bahasa daerah yang masih ada hingga saat ini dan masih dipakai dalam kehidupan kita sehari-hari, walau terutama hanya secara lisan. Sungguh tidak layak, jika kita membiarkan proses pendewasaan bahasa nasional kita yang sudah berbalik arah mengalami degenerasi dan degradasi yang mengancam eksistensi bahasa nasional kita sebagai sarana penyatu bangsa yang sesungguhnya harus selalu kita junjung tinggi Patut kita catat, dalam pertemuan antara para ahli bahasa Indonesia dan Malaysia beberapa waktu lalu di Bogor terungkap bahwa Malaysia sudah lama memperjuangkan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi di PBB sebagai pendamping bahasa-bahasa Inggris, Rusia, Perancis atau Spanyol. Kita patut mampu memahami gagasan saudara-saudara serumpun kita itu, mengingat jumlah pengguna bahasa Melayu cukup memadai jika diband165
ing dengan jumlah pengguna bahasa Rusia, Perancis atau Spanyol. Apalagi jika kita mampu menerima kenyataan yang tanpa dilekati emosi, bukankah sesungguhnya bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu jua ? Kenapa kita sekarang seakan-akan “ sangat gigih berupaya menjadikan bahasa Inggris menjadi “bahasa kedua” di Indonesia ?” Perilaku yang sudah merata secara nasional ini, walaupun di luar kesadaran kita, sungguh terlalu OK, alias ‘omong kosong,’ OK ? ***
166
Ranggawarsita, Pahlawan Nasional Tahun 2010 Menukil kembali karya Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802 - 1873 Masehi) pada awal abad 21 sebelum 10 November 2010 bisa dianggap sebagai ¨tidak relevan¨ dalam konteks waktunya. Namun, nyaris “mendadak sontak” Pemerintah RI mwngumumkan pengangkatan pengarang besar itu sebagai pahlawan nasional, ketika belum surut benar hiruk pikuk sementara pihak yang mengusulkan supaya alm. Presiden Soeharto untuk mempahlawan-nasionalkan menyusul Bung Karno yang sudah lebih dulu dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional, setelah beberapa tahun lalu bangsa ini memperingati 100 abad kelahirannya. Jika kita ingat bahasa yang digunakan pujangga penutup Keraton Surakarta itu bahasa Jawa, yang sekarang mungki sudah nyaris punah. Walau pada jaman Ranggawarsita penggunaannya disebut sebagai bahasa ¨Jawa modern¨ yang hingga kini masih difahami para pengguna bahasa Jawa, walau pun sebagai ‘bahasa tulis’ tidak digunakan lagi oleh para pendukung bahasa dan budaya ini, kecuali oleh mereka yang tetap menjunjung tinggi budaya yang satu ini, yang mau tak mau baik kita lihat sebagai dijunjung oleh mayoritas bangsa ini. Namun, sebuah bait dari karya Ranggawarsita yang dianggap satu di antara yang paling tersimpan di dalam kalbu orang-orang Jawa adalah ¨Kalatida¨. Ungkapan ‘jaman edan’ yang digunakan Ranggawarsita dalam karya tersebut hingga sekarang masih terngiang di telinga mereka yang mengenal Ranggawarsita. Karya-karya Ranggawarsita ditulis dalam berbagai tembang ¨Macapat¨ sehingga para pembacanya dapat menyenandungkannya dengan kemerduan tembang Kinanti, Dandanggula, Megatruh dsb. Melalui ¨Kalatida¨ Ranggawarsita seakan-akan memiliki kemampuan meramalkan masa depan, seperti apa keadaan jaman kita kelak (baca : seka167
rang ketika sudah di tahun Masehi 2010, atau lebih dari 130 tahun setelah sang pujangga menggoreskan penanya. Bahwa (akan) tiba masanya, ketika kita akan kebingungan dan tidak tahu, harus berbuat apa, manakala tiba ¨jaman edan¨ yang menjadikan hati nurani dan kalbu kita kebingungan. Untuk turut menggila, rasa-rasanya kita tidak mampu melakukannya. Namun, jika kita tidak melakukannya, kita tidak akan kebagian apa-apa, dan akhirnya kelaparan,¨ demikian Ranggawarsita dalam sebuah baitnya. Perkenankan saya mengutip dari luar kepala bait tenang ¨Jaman Edan¨ itu seperti dituliskannya dalam bahasa (asli)nya: ¨Amenangi jaman edan Ewuh aya ing pambudi Arep ngedan nora tahan Baya datan ngalakoni Yekti tan kaduman melik Kaliren wekasanipun Dilalah kersaning Allah Beja bejane kang lali luwih beja kang eling lawan waspada¨
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut: ¨Ketika tiba jaman gila Kita kebingunan di hati nurani Untuk turut menggila rasanya tak tertahankan Tapi jika tidak turut menjalani Pasti kita tak memperoleh bagian 168
Akhirnya kita akan kelaparan Namun, karena kehendak Illahi Sebarapa pun beruntung mereka yang lupa Masih lebih beruntung yang ingat dan selalu waspada.¨
Pupuh atau bait-bait tentang ¨jaman edan¨ tersebut pernah dikutip oleh mantan Presiden Soeharto almarhum sebagai bagian dari amanat pembuka Kongres Kebudayaan Jawa di Semarang, Jawa Tengah, akhir 1980-an atau awal 1990-an. Seorang yang tahu membaca kutipan di atas sempat mengatakan justru karya profetis Ranggawarsita itu ibarat ¨salah alamat¨ jika dibaca oleh seorang Presiden Soeharto. Atau pengutipan itu ¨ibarat sepucuk surat yang ditujukan kepada sang pengirim¨. Jadi, masa sekarang inikah Jaman Edan itu ? Sebuah majalah berita mingguan Jakarta baru-baru ini menampilkan laporan utama berjudul ¨Menangkap Penyamun di Sarang Polisi¨. Suatu berita dengan nuansa ironi khas Indonesia, yang membersitkan pengamatan tandas bahwa kepolisian pun bisa jadi tempat bersembunyi para penyamun. Gaya jurnalistik majalah ini, yang katanya berkiblat pada new journalism Amerika tahun 1970an mengingatkan kita bahwa judul laporan utama tersebut diilhami oleh salah satu karya alm. Takdir Alisyahbana berjudul ¨Anak Perawan di Sarang Penyamun.¨ Betapa membingungkannya berita-berita dan gaya pemberitaan di Indonesia sekarang-sekarang ini. Untuk mempopulerkan singkatan pilkada, tidak kurang dari Menteri Dalam Negeri nyaris tiap hari mempromosikannya di layar kaca. Atau sebut saja kasus-kasus korupsi yang sudah merembes ke manamana, nyaris tak satu kasus pun, apalagi kasus-kasus besar, yang benar-benar tuntas terbongkar oleh perangkat hukum, apalagi media massa. 169
Di dalam karya-karya lainnya Ranggawarsita menuding kemerosotan moral bukan saja terjadi pada para penguasa tetapi juga para cendekiawan. ¨Kabeh-kabeh mung marono tingalira.¨ Semua mata mereka hanya terpancang ke situ saja, uang !) Bahkan Ranggawarsita sempat membuat definisi (baca: jarwo dosok) tentang kata ‘korupsi.’ Menurut Rangawarsita ‘korupsi’ adalah segala (perbuatan) ¨korup sinurung goroh¨ atau perbuatan yang terdorong atau tersulut oleh kebohongan. Tulisan ini sekadar untuk mengenang kembali sekaligus memperingati genap 118 tahun wafatnya Ranggawarsita. Ia menutup mata pada 5 Dulkaidah 1802 atau 24 Desember 1873 pada usia 71 tahun lebih 284 hari. Berdasar kalender Masehi, ia lahir pada 15 Maret 1802. Banyak peneliti sastra dunia dan sastra Jawa asal Eropa menilai karya sastra Raggawarsita sejajar untuk dibandingkan dengan sastrawan-sastrawan Barat seperti Shakespeare, Goethe atau Schiller. Di antara mereka mungkin adalah Frederik Winter, redaktur majalah Bramartani yang terbit di Solo pada abad XIX sekaligus juga seorang pemuja karya-karya Ranggawarsita yang sangat fanatik. Makam Winter sejak 1981 dipindahkan dari Solo ke makam Palar di Trucuk yang terletak di Kabupaten Klatenm Surakarta, di mana Ranggawarsita dimakamkan. (Makam Palar memang disediakan untuk Ranggawarsita, sehingga berasarkan perintah Bung Karno almarhum kijing atau batu nisan Ranggawarsita keagungannya dapat dibandingkan makam-makam dari mereka yang disemayamkan di Makam Imogiri, Yogyakarta. Di Imogiri pula raja-raja Susuhunan Paku Buwono diemayamkan. Di kompleks makam Palar Frederick Winter mendapat tempat yang sederhana, mungkin hendak menunjukkan betapa keluarga Winter juga sangat menghormati Ranggawarsita yang adalah juga kolega Winter, karena keduanya duduk di dewan redaksi dengan Winter sebagai seorang pimpinan.) Yang tragis bahkan misterius adalah tidak pernah tuntas dan jelasnya dik170
etahui, apakah Ranggawarsita meninggal wajar atau diracun atau diperintahkan Paku Buwana IV untuk bunuh diri. Tetapi tertulis di sepucuk surat yang dipercaya oleh para penyelidik karyakarya Ranggawarsita diyakini ditulis oleh Ranggawarsita sendiri, di mana tersebut dalam wasiat itu antara lain…hamung kirang wolung hari kang dinulu dawah hing Ribudopon…(nampak (saya ketahui) tinggal delapan hari lagi, jatuh pada Hari Rabu Pon….Jika benar demikian (bahwa Ranggawarsita sudah tahu sebelum delapan hari ia akan dipanggil kembali oleh Yang Maha Pencipta, maka itu berarti Tuhan memberikan ‘kelebihan’ bahkan lebih daripada yang dianugerahkannya kepada Nabi Muhammad karena sejauh kita ketahui Rasulullah tidak mencatat kapan ia dipangil kembali oleh Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. ***
171
Bintang Afrika Selatan Untuk Bung Karno MENJELANG Hari Kemerdekaan Afrika Selatan (Afsel) pada 27 April, Presiden Thabo Mbeki, menganugerahkan penghargaan tertingggi “The Order of the Supreme Companions of O.R. Tambo” kepada Presiden pertama RI, Ir. Sukarno. Anugerah serupa diberikan kepada Perdana Men-teri India pertama, Pandit Jawaharlal Nehru. Gelar kehormatan tertinggi dari pemerintah Afrika Selatan itu diberikan karena Bung Karno dinilai memiliki jasa besar serta memberi inspirasi dalam ke-hidupan kemanusiaan, demo-krasi, dan perjuangan bangsa Afrika Selatan, yang kemudian berhasil mengenyahkan apartheid, sekaligus memerdekakan diri dari belenggu penjajahan. Sudah 35 tahun Bung Karno tiada lagi bersama kita. Dan selama itu pula, berkat proses “deSukarnoisasi” yang telak dan terencana serta dilaksanakan oleh rezim Orde Baru selama lebih dari 30 tahun, melalui tiap saluran serta sarana dan prasarana politik, termasuk media massa, menjadikan generasi baru rata-rata tidak tahu, apa dan siapa sesungguhnya Bung Karno, karena sebagian besar dari mereka lahir sesudah tahun 1965. Era Orde Baru Soeharto kini telah tertelan sejarah, tergusur oleh gerakan reformasi yang hingga hari ini masih bergulir dengan segudang dampak negatif yang timbul. Dalam waktu antara 1998 – 2005 telah terjadi pergantian dan estafet pemerintahan ke tangan empat presiden, Dr B.J. Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri dan Dr Susilo Bambang Yudhoyono. Silih bergantinya pimpinan pemerintahan dalam waktu sangat singkat itu mungkin makin menggarisbawahi pentingnya perenungan dan pencermatan kita terhadap masa-masa lalu, termasuk tentang posisi dan peran Soekarno di republik ini selama dia berkuasa, atau bahkan sebelumnya. Sejarah mencatat, Bung Karno mengumandangkan pemikiran politiknya dalam Sidang Umum PBB dengan anjuran supaya dunia berganti wawasan dan membanting setir. Politik global dinilainya telah usang, karena terlalu 172
mendahulukan kepentingan negara-negara maju serta kurang memperhitungkan kekuatan-kekuatan baru di dunia, yakni negara-negara berkembang, yang diistilahkannya sebagai new emerging forces. Pidato Bung Karno yang cukup menggemparkan Sidang Umum PBB itu bertajuk “To Build the World Anew.” Dengan lantang Bung Karno menyerukan disetopnya eksploitasi oleh negara-negara maju (Barat) terhadap negara-negara bekas jajahan. Dan semua itu harus diganti dengan suatu tatanan baru, yakni suatu dunia yang tanpa penghisapan manusia oleh manusia.Berita anugerah penghargaan untuk Bung Karno dari Presiden Afrika Selatan yang diserahterimakan langsung kepada putri Bung Karno, Megawati Soekarnoputri, mencuatkan beberapa hal yang dapat mendukung gagasan untuk mencermati kembali masa lalu, antara lain untuk menjawab pertanyaan: “(Masih) Adakah tempat bagi Bung Karno dalam sejarah kemerdekaan Bangsa dan Negara kita?” Telah lebih dari satu generasi peristiwa G30S berlalu. Di satu sisi, para sejarawan kini tentu telah memperoleh perspektif yang lebih utuh dan lengkap tentang apa sesungguhnya yang terjadi sebelum dan sesudah kudeta yang gagal pada 1 Oktober 1965. Rezim Bung Karno yang kemudian dinamakan Orde Lama telah berada jauh di belakang kita, hampir 40 tahun lalu. Rezim Orde Baru yang menggulingkannya pun sudah “tertelan bumi.” Era baru yang sekarang mungkin akan makin sulit untuk bertahan (hidup), tanpa mampu memahami makna sejarah secara transparan, karena Orde Reformasi yang “kehilangan tongkat” tidak mustahil pula melakukan kekeliruankekeliruan serupa yang dilakukan pada masa-masa lampau. Bahkan bisa saja dalam intensitas yang lebih dahsyat makna negatifnya. Perkembangan sosial politik di Indonesia selama puluhan tahun terakhir telah mendorong rata-rata masyarakat kita kehilangan perspektif (sejarah), sehingga mentyebabkan tidak jelasnya ke mana kita sebagai bangsa hendak menuju. Sangat boleh jadi. kita akan dapat menemukan (kembali) antidote yang bisa kita gunakan melalui keberanian kita membuka-buka kembali lembaran sejarah, sedikitnya selama 50 tahun terakhir. 173
Atau bahkan sejak kita sebagai Bangsa mulai bangkit pada tahun 1908, ketika para perintis kemerdekaan kita mendirikan organisasi sosial bernama Boedi Oetomo. Jika kita tidak berani menatap kembali masa lampau kita, sangat boleh jadi kita pun akan nanar melihat diri kita pada masa sekarang, dengan segala “duka lara” yang termanifestasi dalam berbagai bentuk krisis multidimensi, yang tidak mungkin bisa diatasi hanya dengan falsafah tambal sulam, hanya dengan sekadar untuk “mengisi isi perut rakyat” dengan sembako. Itu pun harus selalu dengan RAPBN yang selalu defisit dari tahun ke tahun, dan dari tahun ke tahun harus ditutup dengan dana bantuan atau bahkan utang dari luar negeri. Kita mencatat, mantan PM Malaysia, Mahathir Mohamad, pernah menyatakan diri sebagai murid Bung Karno. Dalam kata-katanya sendiri “Saya berguru kepada Bung Karno.” Kini kita membaca berita bangsa Afrika Selatan mengakui Presiden RI pertama kita sebagai pemberi inspirasi terhadap perjuangan bangsa Afrika Selatan dalam upaya mereka melenyapkan apartheid. Tiga tahun mendatang akan genap 100 tahun para pendahulu kita menyatakan “Indonesia sebagai bangsa mulai bangkit.” Ataukah 1000 hari lagi kita masih akan harus tertidur lelap, di tengah mimpi mengerikan akibat krisis multidimensi yang tak kunjung teratasi ? *** Sinar Harapan. 2 Mei 2005
174
Makna Jakarta Sebagai Ibu Kota Negara SUDAH lebih dari lima tahun Pemda DKI Jakarta rampung membuat sebuah cetak biru pe-rencanaan pembangunan water front city Jakarta Utara yang direncanakan pembangunannya selesai pada tahun 2010. Melihat ambisiusnya proyek raksasa yang bakal membentang seluas puluhan km2 dari kawasan perumahan Pulau Kapuk melintasi kawasan Peluit, pelabuhan-pelabuhan Pasar Ikan, dan Tanjung Priok, Taman Jaya Ancol dan masih puluhan kilometer lagi kearah timur dan pasti akan menelan ratusan triliun rupiah investasi ini. Sulit bagi kita untuk membayangkan proyek maharaksasa ini bakal selesai pada waktunya. Gawe besar-besaran dan bukan main-main ini bakal mengintegrasikan kawasan-kawasan hunian, pelabuhan, berbagai jenis kawasan industri, pariwisata dan hiburan, lengkap dengan berbagai jenis fasilitas umum dengan standar abad ke-21. Gawe ini kita artikan secara awam sebagai kawasaan pembangunan tanpa comberan, tanpa kemacetan lalu-lintas, tanpa kekurangan lahan parkir, tanpa banjir, dan 1001 ”tanpa” lainnya. Hingga kini, permasalahan-permasalahan ini masih mrnghantui Ibu Jakarta secara simultan, bahkan satu persatu dan secara serentak simultan makin membengkak, mencengkeram dan mendominasi kehidupan sehari-hari Ibu Kota Jakarta Raya seperti adanya sekarang. Kita jadi ingat akan Verolme, sebuah perusahaan Belanda yang pada awal 1960-an memperoleh tugas dari Gubernur DKI Jakarta Raya (ketika itu, alm. Dr. Soemarno) untuk merancang sky line baru bagi Jakarta. Hasil akhirnya berupa Taman Hiburan Ancol sekarang. Apa kelak water-front city Jakata Utara juga harus bersabar seperti Taman Hiburan Jaya Ancol yang memerlukan waktu puluhan tahun, sejak tahap cetak baru sampai dapat terwujud ? 175
Rencana-rencana jangka pendek, menengah, dan jangka panjang guna mengatasi masalah yang telah terbukti terlaksana nhyata.Contohnya ambil saja Proyek Kali Bersih. Setelah lebih dari seperempat abad, tetap saja Prokasih baru mampu menampilkan belasan sungai yang melintasi Jakarta yang masih saja tetap kotor, seperti seperempat abad lalu. Dan makin luas daerah yang tergenangi kali-kali itu dari waktu ke waktu hingga sekarang. Menyambut kedatangan 22 Juni kali ini, melalui media massa, masyarakat dihiruk-pikukkan oleh kesibukan orang-orang mencalonkan gubernur baru. Pejabat Pemda DKI Jakarta (yang sekarang, maupun penggantinya kelak) harus berani bersikap madani, yakni meninggalkan kemunafikan dan kebatilan dan berani memasuki tahap baru dengan rasa kesadara insan manusia yang mulia yang selalu berpikir, berencana dan bertindak tidak sekadaran akan sesame insane, dan bukan semata merujuk kepada demi kepentingan sendir atau kelompok tertentu, melainkan untuk kemaslahatan seluruh bangsa. Kita harus tetap selalu mengacu kepada masa depan yang kita terjemahkan melalui perencanaan dan pelaksanaan yang konkret, guna mengatasi tantangan-tantangan yang selama ini telah membuat kita terlalu capek, karena memeras banyak tenaga dan umur. Padahal Jakarta adalah Mercu Suar RI, namun dari waktu ke waktu bahkan makin compang-camping, khususnya selama masa krisis lebih dari lima tahun terakhir. ‘Kecerahan’ masa kini. betapa kumal dan menimbulkan pesimisme kadar tinggi harus kita soroti dengan wawasan ke masa depan. Seperti diidam-idamkan oleh seorang calon Gubernur Jakarta sekarang, yang berkata ”ingin menjadikan Jakarta setaraf dengan ibu kota negara-negara lain yang lebih maju.” Jika tidak ada kesungguhan hati dan niat dengan sikap mental yang benarbenar mengabdi kepada kepentingan orang banyak, kita akan terus menerus diharu-biru oleh pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantui :Apa Jakarta harus tetap bakal jadi langganan banjir untuk selama-lamanya, misalnya ? 176
Padahal, negeri Belanda yang seluruh wilayahnya berketinggian di bawah muka laut nyaris tak pernah mengalami banjir. Bagaimana itu bisa? Celakanya bagi Jakarta, setelah baru-baru ini walikota Amsterdam beranjang sana ke Jakarta dan membawa oleh-oleh sebuah kapal keruk yang tinggal pakai (tentu kita harus dengan bahan bakar untuk menjalankannya) apa lacur.elah satu kali muncul di layer televisi kapal peruk hadiah dari walikota Amsterdam yang tentu memilki pengharapan bahwa kapal keruk yang dihadiahkannya akan segera dipakai dan dipelihara dengan sebaik-baiknya…. sekali muncul di layer kaca tidak lebih dari 2 – 3 menit, yang kemudian terjadi dengan kapal keruk dari Amsterdam itu tak seorang pun tahu telah ‘dobuang ke mana kapal keruk itu.’ Yang muncul kemudian adalah banjir lagi dan banjir lagi. Entah ke hilang ke rimba mana kapal peruk itu telah menguap sirna ! Contoh lain yang tak kurang dahsyat: Apa sampah akan terus makin menumpuk selama-lamanya di Ibu Kota Jakarta. Padahal jutaan m3 sampah tiap hari sekalipun sedianya dapat diproses jadi bahan bakar alternative atau dijadikan kompos atau apapun. Lebih dari 40 tahun lalu almarhum Dr. Sumarno pejabat gubernur Jakarta kala itu telah memelopori kmenggunakan alat pembakar (incinerator) untuk mengatasi masalah bandel yang satu ini ? Menyusul lama kemudian tidak kurang dari puteri sang Kepala Negara menjelang krisis moneter dan politik yang kenjatuhkan Sang Ayah sudah teken kontrak bersama pemerintah Malaysiauntuk mengatasi masalah sampah yang belasan tahun sesudah krisis pun masih bersifat kepala batu: Sang sampah belum mau diatur secfara baikibaik di Jakarta bahkan setelah sekian kali pasca Pemerintahan Suharto berlalu, tetap sangsampah tidak mau gone with the wind. Tepat seperti kegemaran kita menyambut banjir, yang sudah kelewat tali persaudaraannya dengan Sang Ibu Kota Jakarta. Dari tahun ke tahun daerah banjir makin bertambah membengkak, seiring dengan makin banyaknya mall dan kawasan perumahan baaru dan kemacdetan lalu lintas yang makin tak alang kepalang itu ! Apa kita tiap hari harus terus-menerus jadi ikan pindang yang dijejalkan ke 177
dalam bis yang penuh sesak, reot dan sarat polusi yang mematikan, berupa gas karbon monoksida yang nyemprot dari kenalpot mesin-mesin kendaraan umum yuang rata-rata sudah bobrok itu ? Apa Jakarta akan tetap bakal jadi ibarat lampu petromax yang lebih mampu menyedot para pengemis, gelandangan, dan penderita penyakit sosial lainnya, ketimbang mendatangkan modal sebagai salah satu sarana untuk bebenah diri ? Dengan mendandani mentalitas dan iktikad baik, serta dengan mengerahkan segala potensi lahir dan batin kita, guna menata segala yang masih ada, kita harus mampu dan berani merancang suatu masa depan secara rasional, realistis sesuai dengan kemampuan kita mengikis habis segala permasalahan yang ada. ***
178
179
180