Seri Dewi Ular Karya Tara Sagita LORONG TEMBUS KUBUR Uploader Jisokam di Indozone Ebook oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/ http://kangzusi.info/ http://cerita-silat.co.cc/
1 CAHAYA petir menyambar salah satu pucuk pohon hutàn tembaga. Warna cahaya itu bukan biru atau putih menyilaukan seperti petir-petir yang sering berkerilap di awan bumi. Warna cahaya petir itu merah saga. Terang sekali. Bentuknya bukan berkelok-kelok seperti petir yang sering terlihat di permukaan burni. Bentuk cahaya merah itu menyerupai pedang raksasa. Panjang dan berukuran besar. Sekali melesat menimbulkan dentuman dahsyat. Menghentak kuat, bagaikan ingin membelah alam dimensi mistik. Suara dentuman itu bergelombang panjang, seolah-olah berjalan dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Ketika lidah petir alam mistik itu menyambar salah satu pucuk pohon hutan tèmbaga, maka dalam sekejap. saja puluhan pohón lainnya ikut menjadi hangus. Terbakar dan hancur menjadi debu serbuk tembaga. “Aku belum pernah melewati hutan ini, Paman. Apakah pohon-pohonnya benar-benar terdiri dan lapisan logam tembaga?” “Kurasa benar. Petiklah daun pohon yang pendék itu, Kumala. Coba, petiklah sehelai saja.” Kumala Dewi menuruti saran tersebut. Anak pohon yang rnasih tergolong muda dengan tinggi hanya sebatas lutut itu memiliki daun selebar telapak tangan orang dewasa. Warnanya coklat bening. Sepertinya tampak rentan dan mudah dipetik. Tapi kenyataannya tidak demikian. Kumala Dewi mengerahkan tenaganya untuk memetik sehelai, ternyata tidak bérhasil. Daun anak pohon itu selain keras juga kenyal. Dipulir ke kanan, kembali ke kiri, dipulir ke kiri kembali ke kanan. Ketika daun itu beradu dengan daun yang timbul adalah suara gesekan dan benturan logam tembaga. Traang, .zzssrreeng, traaang, trrreeeng, zzssreeeng…! “Heeh, heeeh heeeh, heeeh… Biar jarimu sampai geripis habis nggak bakalan kamu bisa memetik daun pohon itu, Kumala,” ujar sang paman yang mengenakan baju biru bergari-garis putih dengan hiasan benang perak. Sejak dalam perjalanan sang paman sering tertawa terkekeh-kekeh, menbuät mimik mukanya semakiñ tampak tua dan kempot. Kali ini perjalanan Dewi Ular dalam melintasi dimensi alam gaib tidak sendirian. Ia ditemani oleh sosok tua berambut panjang warna putih uban merata. Si muka tua itu juga mengeñakan kain pembalut pinggang warna merah. Kain pinggang menyerupai selendang itu berfungsi sebagai tempat menyelipkan sebuah kipas, manakalà kipas tersébut sedang tidak digunakan. Saat ini kipas lipat berwarna biru beludru deñgan hiasan bulu héwan halus ditepiannya itu sedang berada dalam genggaman: Sesekali ditebarkan buat kipasan, sesekali dikatupkan buat mainan tangan
isengnya. Pada saat menemui Kumala dibumi, kipas itu tak pernah digunakan. Hanya térselip di pinggang. Agaknya kipas itu sebagai senjata juga baginya. Jika sekarang kipas itu sering berada dalam genggamannya hal itu dikarenakan ia merasa perlu waspada dalam melintasi alam dimensi gaib ini. “Mengapa Pamañ dewa membawaku melewati tempat ini ? Bahkan rnengajakku berhenti sejenak di sini?” “Aku curna mau pamer. Hee, hee, hee …” “Pamer apa?” Dewi Ular menatap dengan sedikit kerutan dahi. “Pamer tentang hutan ini. Apakah orang tuamu belüm pernah bercerita tentang hutan tembaga. ini, Déwi Ular ?” “Belum. Ada apa dengán hutan pohon tembaga mi?” “Aku yang menciptakan hutan ini! Hi eeh, hehe, hehe:..” Kümala tampak terperangah kagum. “ O, ya? Jadi, hutan tembaga ciptaan Paman sendiri?!” Dewa Bahakara menyeringai bangga, mengipas-ngipaskan kipasnya di depan dada. Padahal udara tidak panas. Terang, namun tanpa matahari. Tapi gerakan mengipas itu agaknya merupakan kebiasaan sang dewa senior jika sedang waspada dalarn santainya. “Hutan tembaga ini kuciptakan dalam waktu satu malam, menurut hitungan bumi. Dan, kukerjakan sendirian, tanpa bantuan ayahmu atau yang lain.” “Untuk apa Paman rnenciptakan hutan tembaga yang luasnya sekitar.…lirna hektar ini?” “Yeeeehhe, hehehehe. . hehehé… kamu pasti kepengen tahu, kan ? Sudah kuduga sebelumnya, kamu pasti tanya begitu.” “Apakah Paman Bahakara keberatan rnenjawabnya.” “Ooo, tidak. Justru aku ingin pamerkan padamu nostalgia masa mudaku dulu.” “Maksud, Paman?” ‘Hutan
tembaga ini kuciptakan dengan mengerahkan kesaktianku, lalu kuprsembahkan kepada bidadari teman karib nenekmu, sebagai tanda cinta dan sekaligus maskawinnya.” ‘O, yaaa…??!” wajah Kumala ceria mendengar kisah romantis yang ternyata dimiliki oleh si Dewa Bahakara, alias Dewa Jenaka, atau dewa penabur tawa itu. “Siapa bidadari yang kau suntingitu Paman?” “Dewi Lajangsuri. Woooww, hohohoho… keren kan namanya?” Ia kegirangan sendiri membuat Kumala jadi tertawa geli. “Apakah Bibi Lajangsuri senang menerima hadiah hutan tembaga ini, Paman?” “Ooh, yaaa… senang sekali, sebab dia adalah satu-satunya bidadari yang hobinya makan tembaga.” “Apa.?! Makan tembaga?.!” “He, he, he, he…. sudah kuduga kamu pasti bakalan kaget, mata melotot, mulut menganga dan hidung megar tanpa sadar. Hehe, hehe, hehe, hehe..!” Ia menari-nari dengan lompatan-lompatan kecil mengelilingi Kumala. Tingkahnya sungguh kocak dan sangat menghibur hati. “Kamu tahu, Kumala… pohon-pohon tembaga itu meskipun hancur berkali-kali dirusak oleh Abadho dengan petirnya, tapi serpihannya akân tumbuh sebagai biji ternbaga, dan hutan ini akan semakin lebih rimbun lagi.” “Abadho…?! Siapa itu Abadho, Paman?” Dengan dada sedikit dibusungkan, si Dewa Jenaka menjawab, “Biasaaa… kalau bahasa buminya: rivalku, saingan asmaraku. Tápi sampai sekarang Abadho nggak dapat apa-apa, cuma bisa dongkol keselak jengkol ngeliatin
kemesraanku. dengan Lajangsuri. Makanya, dari dulu dia selalu berusaha merusak prasasti cintaku ini dengan segala macam cara.” “Paman tidak mencegahnya?” “Nggak perluuuu…. Ngapain dicegah, bikin capek aja. Kan enak, semakin dirusak semakin rimbun hutanku.. “ “Dan, Bibi Lajangsuri semakin kenyang menikmati makanan tembaganya, ya?” “Otomati i iss…!!” bibirnya sambil menyong seperti terong Lucu sekali. Entah berapakali sudah Kumala dibuatnya tertawa kegelian, sampai perutnya mulai merasa kaku dan rahangnya sedikit ngilu. “Kelak,kalau kau benar-benar sudah mau dipinang,, kusarankan mintalah sesuatu dari calon suamimu yang bisa dijadikan prasasti cinta kalian berdua. Kamu percaya nggak, orang yang mempunyai prasasti cinta dalam hidupnya, dia akan selalu bergairah dalam cinta, dan keromantisan jiwanya tak akan padam.” “Wwoow.. luar biasa tutur katamu, Paman. Bak penyair tak berpena,” senyum Kumala masih memancarkan pesona kecantikan alami, yang nyaris tanpa pulasan kosmetik sedikit pun. “Apakah nanti di Kahyangan aku bisa bertemu Bibi Lajangsuri, Paman? Boleh aku kenalan dengan beliau?” Raut wajah tua si Dewa Jenaka mulai kusut. Tawanya surut, senyumannya pun susut Bias rona keceriaan seolah padam sama sekali dari permukaan wajah tuanya. Kumala Dewi mulai berkerut dahi pelan-pelan sambil memandangi sang Dewa Jenaka. “Kenapa, Paman?” tanya Kumala hati-hati sekali. Dewa Bahakara yang menjadi comblang cintanya kedua orang tua Kumala itu kini melangkah dan melangkah pelan. Kumala Dewi mengikutinya dengan perasaan sesal, karena agaknya apa yang ia katakan tadi justru menghadirkan duka di hati sang dewa. “Paman, hmmm… maafkan aku kalau kata-kataku tadi tidak berkenan di hati Paman. Aku… aku nggak tahu kalau ucapanku tadi membuat Paman jádi bersedih. Maafin aku, ya Parnan. Aku…” “Aku nggák sedih,” potongnya cepat. Mulai berpaling menatap Kumala dan rnenyeringai dalam senyuman tuanya. Kipasnya dibuka lagi dan dibuat kipasan di depan dadanya. “Aku hanya. teringat sesuatu. Bukan sedih.” “Tapi wajah Paman kehilangan senyum, dan..” “Bukan hilang, tapi sengajà kutelan,” sangkalnya. “Aku teringat sesuatu yang sangat serius. Dan, kalau lagi serius itu boleh nggak pake senyurn kan!. Nggak pàke tawa juga bolehkan?”
“Maaf, Paman,” desis suara Kumala pelan. “Kenapa aku terbungkam sërius waktu kau bilang kepingin kenalan dengan istriku? Karena… “ Ia menghentikan langkahnya. Merapatkan kipasnya menjadi seperti tongkat. Lalu, bicara berhadapan langsung dengan Kumala dalam jarak hanya tiga jengkal. “Karena…dia termakan oleh sumpahnya sendiri.” “Sumpah? Maksudnya sumpah bagaimana, Paman?” “Dia pernah bersumpah untuk tidak mencintai siapa pun lebih besar selain cintanya padaku. Dia berjanji, bahwa cintanya padaku adalah cinta yang paling agung, paling besár, dan, paling mulia, dibandingkan cintanya kepada keluarga, teman, atau bahkan dirinya sendiri. “ ‘Luar biasa keagungan cintanya,” gumam Kumala lirih. “Tapi pada suatu ketika, ia lupa akan sumpahnya. Ia lebih mencintai hutan tembaga ini dibandingkan mencintai diriku. Maka, seketika itu juga ia termakan sumpahñya, dan berubah menjadi sebatang pohon tembaga yang tumbuh di antara pohon-pohon di sekitar sini.” “Ooh…?!“ Kumala tercengang kaget dan sedih.. “Sekian lama aku mencari yang mana pohon jelmaan dirinya,. namun tidak pernah berhasil, Kumala. Seluruh kesaktianku kukerahkan untuk mengenali yang mana pohon perwujudan istriku, tapi tetap saja siâ-sia. Bantuan dari para dewa seniórku pun tak dapat memulihkan dan mènunjukkan mana pohon jelmaan’istriku itu. Akhirnya, aku hanya bisa menjalani nasib hidupku, menjadi jomblo begini sekian ratus tahun lamanya, sambil sesekali kutengok prasasti cinta ini sebagai tanda bahwa aku masih tetap mencintainya.” “Duuh, Paman… tragis sekali nasib percintaanmu…” “ Tragis ya? Ah, cuekin ajalah! Nggak perlu sedih. Tertawa itu lebih baik daripada menangis. Iya, khan? Heeh, heeh, heeh….!” Dewa Jenaka itu kembali bertingkah lucu dalam gerakan, lucu dalam tawanya, dan lucu dalam ucapannya. keseriusannya tadi hilang lenyap tak berbékas di raut wajahnya. Tapi di lubuk hatinya yang paling dalarn?Hanya dia yang tahu. Hanya dia yang bisa merasakan, adakah duka di lubuk sana, atau hanya tawa yang ada. “Kumala, kunjungan ke prasasti cinta sudah selesai. Mari kita lanjutkan perjalanan kita dengan potong kompas.”
“Potong kompas, Paman?” “Punya kompas nggak?” “Aku nggak punya kompas, Paman.” “Ya sudah, jangan potong kompas. Potong bébek angsa saja, hehe, hehe, hehe… weeek, weeek, week ….. ! “ ia berputar-putar menirukan suara bebek. Kumala Dewi geleng-geleng kepala sambil berkata dalam hatinya. “Dewa Jenaka…, si Penabur Tawa…, pantaslah kalau,,dia tak mau sedih sedikit pun, selain riang, jenaka, dan tertawa..” Dewa lucu yang oleh ayah-ibunya Kumala sering dipanggil: Bokis itu., segera mengunakan kesaktian geràknya untuk melanjutkan perjalanan menuju Kahyangan. Ia berkelebat sangat cepat, melebihi kecepatan badai mana pun. Sementara itu, Dewi Ular ták. mau kehilangan jejak sang paman dewa, sehingga ia gunakan pula kesaktiannya yang mampu bergerak dengan kecepatan melebihi gerakan cahaya. Mereka menerabas hutän tembaga sebagai jalur ‘potong kompás’ yang tadi disebutsebut si dewa Bokis itu. Bukan hal aneh lagi kalau Bokis mengetahui jalur cepàt menuju Kahyangan, karena tentunya sudah ribuan kali ia mondar-mandir dari hutan tembaga ke Kahyangan. Terutama saat ia kehilangan istrinya dan sibuk menentukan pohon tembaga yang mana yang merupakan jelmaan dan sang istri. Kumala yakin, perjalanannya tak akan tersesat selama Dewa Jenaka sebagai pemandu jalannya. Tapi belum1agi’ mereka kelüar dari melintasi hutan tembaga, tahu-tahu si muka tua ilu rnerentangkan kedua tangannya sambil berhenti seketika. Seeet…! Kurnala Dewi nyaris tak bisa ‘menginjak rem’ kesaktiannya, sehingga hampir saja menerjang Dewa Bahakara dari belakang. Untung saja ia segera melambung melewati atas kepala si Dewa Jenaka itu, sehingga benturan dari belakang tak sempat terjadi. “Ada apa, Pamar?! Kenapa berhenti?” “Lihatlah sekeliling kita, Kümala. !” Dewi Ular memandangi seke1i1ingnya Tak ada sesuatu yang mencurigakan, pikirnya. Ia coba menggunakan aji Mata Dewanya,. ternyata tak ada sesuatu yang menarik untuk dibicarakan.
Tapi kenapa Dewa Jenaka itu cengar-cengir sendiri sambil melirik ke sana-sini? “Ada apa sih,Paman?” “Aji Mata Dewa-mu tidak cukup untuk menembus lapisan kabut iblis. Gunakan aji Sukma Netra.” Dewi Ular makin heran walau bungkam. “Gunakan rohmu untuk memandang. Rohmu!” “Aku belum punya Aji Sukma Netra,” bisik Kumala. “Ooo, pantas…! Kalau begitu, pandangIah ini, hi ieeehh…!!” Kipas yang sudah dibukä itu segera dikibaskan dalam satu lompatan memutar cepat. Wuuuusss . .! Angin yang keluar dari kibasan kipas tadi bercampur asap merah dan butiran lembut yang menyerupai serbuk emas. Dalam sekejap lapisan udara di sekeliling mereka hancur seperti dinding kaca yang diterjang badai besar. Jeggaaaaarrrrrrr….!! Alam yang semula redup kini menjadi terang benderang, walau tetap tanpa sengatan rasa panas matahari. Terangnya alam sekeliling hutan tembaga membuat Kumala Dewi tercengang dan segera pasang kuda-kuda, karena tèrnyata mereka berdua telah dikelilingi oleh puluhan tengkorak bertulang hitam. Ukuran mereka sama seperti manusia bumi, namun tak memiliki daging, kulit, dan sebagainya, selaiñ hanya tulang belulang berwarna hitam..Namun, pada bagian rongga mata mereka terisi gumpalan bara merah yang dapat bergerak seperti bola mata manusia. “Siapa mereka ini, Paman?” bisik Kumala sarnbil beradu punggung dengan Dewa Jenaka. “Laskar Tengkorak Hitam, prajurit setianya Abadho.” “Ooo…saingan cinta yang paman ceritakan tadi?” “Ya. Hati-hati, jangan sampai tersentuh sèdikit pun olehnya. Sekujur tulang mereka mengandung racun mematikan! Biar aku yang bereskan mereka!” “Tapi, Paman…” Täk sampai tuntas Kumala bicara, tengkorak-tengkorak hitam yang mengepung
mereka berdua maju serempak dengan beterbangan tak beraturan. Benturan tulang tulang mereka menimbulkan suara gaduh tersendiri, yang terasa asing bagi pertärungannya Kumala selama mi. Untuk menghindari sentuhan lawannya, Dewi Ular terpaksa menggunakan kesaktian naganya. Ia berubah menjadi sinar hijau bening berbentuk naga kécil yang segera melesat naik ke atas. Claaap, wui issst…! Meluncur terus naik tinggi dan tinggi sekali. Sementara itu Dewa Bahakara melesat ke atas pula.melebihi ketiñggian .para tengkorak hitam itu, lalu ia bergerak seperti lari cepat menge1i1ingi lawannya dengan kipas diayunkan dalam gerakan bersilang-silang. Wi st, wi ist, wiist, wi st…! Dalam sekejap para tengkorak hitam itu terkurung oleh kabut biru yang bergerak makin sempit. Mata merah para tengkorak hitam mulai memancarkan sinar. seperti laser ke berbagai penjuru, termasuk ke atas mereka. Claap, claap, claap, claap, claap, claap…! Dentuman beruñtun terjadi akibat sinar sinar merah mereka menghañtam pohon pohon tembaga. Pohon itu hancur, tumbang, remuk, namun si Dewa Jenaka selamat dari kilatan cahaya merah lawannya. Ia sudah beradá di ujung sana. Duduk di atas gugusan batu tembàga, sambil bertumpang satu kaki dan berkipas-kipas déngan santaiñya. “Heeehh, hehehe, hehehe, hehehe…!” suara tawanya terdengar terkkeh-kekeh, sambil menyaksikan lawan-lawannya saling tabrak; berusaha keluar dari kabut biru yang makin menyempit. Ternyata tak satu pun mampu keluar dari kabut biru itu. Bahkan dalam beberapa detik berikutnya, terdengar suara berderak keras seperti batu-batu besar dihancurkan bersamaan. Grrreeprrrraaaaaaaak…!! “Hee, hee, heee, hee, hee.. !” Ia tertawa terkekeh-kekeh, girang sekali melihat tengkorak-tengkorak hitam itu hancur remuk secara bersamaan, bagaikan digencet baja penghancur tulang. Kabut birunya tadi merniliki daya jerat yang amat kuat dan mempunyai daya hancur’yang sulit dihindari siapa pun. Dalam sekejap saja mereka sudah menjadi serpihan tulang hitam yang bertumpuk-tumpuk setinggi pundak orang dewasa. Tak satu pun lawan tersisa.
Kumala Dewi menyaksikan penghancuran tulang-belulang itu dari ketinggian sana dalam keadaan masih berwujud cahaya hijau seperti naga kecil, yang diam mengambang di udara namun tetap penuh waspada. Maka, ketika seberkas sinar rnerah menyerupai pedang besar tampak rnelesàt dari langit gaib sebagai kilatan cahaya petir, Dewi Ular berkelebat cepat sebagai sinar hijaü yang menyongsong lidah petir itu. Sebab, jika ia tidak bergerak cepat, maka Dewa Jenaka akan menjadi sasaran empuk bagi Iidah petir yang bergerak lebih cepat dari suara dentumannya. Zlaabb, wui ssst..! J1eggaaaaaarrr….! Bleguuummmm…! Dentuman dahsyat yang pertama akibat benturan:sinar hijaunya Kumala Dewi dengan lidah petir merah, dentuman yang kedua adalah gema maut dari petir itu sendiri. Dewa Jenaka terbelalak melihat sinar hijaunya Kumala nekat diadu dengan lidah petirnya Abadho. Ia mencemaskan nasib Kumala yang terpental entah ke mana. Dengan gerakan aji Badai Purba sang paman dewa berkelebat mencari keberadaan Dewi Ular. “Terlalu berani anak itu! Dia belum tahu. kekuatan Abadho dengan Aji Jagal Gunturnya itu! Waaah, waaah, waaah…. Bisa mati hangus anaknya Permana itu! Celakà!. Aku bisa disalahkan oleh semua penghuni Kahyangan kalau sampai terjadi apà-apa páda diri bocah itu?! Gawat, gawat, gawat…!” Sambil menggerutu cemas sendirian, Dewa Jenaka melayang kian kemari mencari keberadaan Dewi Ular. Namun ia sempat tercengang heran melihat langit koyak dan berongga hitam. Dari rongga yang tampak itu menetes butiran meräh yang tak lain adalah hujan darah. Bersamaan itu terdengar pula suara meraung besar memenuhi alam hutan tembaga. “Hah…?! Abadho terluka parah rupa‘nyà?! Waah, hebat juga kesaktian anakmu, Permana. Dia bisa melukai Abadho, si penguasa langit gaib itu?! Ya, ya…top abis deh Dewi Ular!” Dewa Jenaka geleng-geleng kepala. Kagum. Setelah itu baru garuk-garuk kepala. Bingung. “Tapi, sekarang dia mental ke mana?! Ya, ampuuün… Getaran dewaniku tak menangkap gelombang hawa saktinya sama sekali?!” Dewa jenaka pun berseru sambil melayang mengeliling hutan tembaga ciptaannya sendiri itu. “Kumalaaaaa…!! Dimana kaaauuuu…!!” -ooo0dw0ooo-
2 ADA suara tangis di keheningán malam. Pelan tapi terdengar dengan jeIas. Tangis itu adalah tangis seorang perempuan yang merintih pilu tak berkesudahan. Tak jelas berapa usianya, tapi sudah pasti dia seorang perempuan. Setiap orang yang mendengar suara tangis itu akan terharu hatinya, tapi setelah itu akan bergidik merinding sekujur tubuhnya. “Kayaknya bukan suara tangis biasâ nih, Dung.” “Maksud lu?” “Bukan tangisan manusia.” “Ah, lu kalo becanda jangan kayak gitu dong. Sekarang malam Jumat nih, Cing. Nggak usah pake ngomong begituan, kenapa sih?” “Yaah, lu takut ya? Payah lu. penakut, jangan jadi Satpam komplek dong. Biar nggak dapat tugas ronda tengah malam begini, bego! He, he, he…!” Dudung mengakui dirinva bukan orang yang berani pada hal-hal bersifat gaib. Ia hanya berani berhadapan dengan kejahatan nyata; pencuri, rampok, preman dan sebagainya. Ia pernah berkelahi melawan tiga orang pencuri yang bermaksud membobol sebuah ruko di wilayahnya. Ia berani hadapi mereka. Tapi sejujurnya Ia akui sangat ngeri berhadapan dengan roh halus, atau hantu dalarn bentuk apapun. Meski pun Dudung merasa dirinya pengecut terhadap hal-hal gaib, tapi Ia yakin belum tentu Ocing lebih berani dari dirinya. Bisa saja Ocing berpura-pura berani, berlagak menertawakan dirinya, namun semua itu semata-mata untuk menutupi rasa takutnya sendiri. Atau, bisa saja Ocing tiba-tiba menjadi pemberani setelah ia tahu temannya jauh lebih pengecut dari dirinya. PesoaIannya bukan itu. Masalah yang dihadapi oleh para penghuni komplek perumaham Jatiwangi Estate adalah mnculnya suara tangis seorang wanita yang memilukan, Juga menyeramkan. Suara itu didengar di mana-mana. Hampir tiap penghuni rumah mendengar suara tangis yang sepertinya ada di depan rumah, di belakang, atau di samping rumah mereka. Beberapa penghuni rumah keluar mencari suara tangis itu. Namun tidak seorang, pun menemukan sumber tangisan. Semakin didekati, suara tangis itu sepertinya semakin menjauh. Akibatnya, banyak orang yang keluar dari rumahnya hanya. untuk mencari di mana sumber suara tangisan berasal. “Saya nggak bisa tidur dengar suara tangisan itu,” ujar seorang lelaki yang menempati rumah di Blok D. “Saya juga risi mendengarnya, makanya saya keluar mencari siapa yang menangis dari tadi nggak
berhenti-berhenti,” kata pria gemuk yang tinggal di Blok K. “Kedengarannya sih dari samping rumah saya,” timpal seorang pemuda yang mengaku menempati rumah di Blok N, paling belakang dari urutan Blok di komplek tersebut. Katanya lagi, “Tapi saya dekati suara itu ternyata bukan dari samping rumah. Saya ikuti terus, eeeh tahu-tahu saya sampai sini?” “lih, gue jadi merinding lagi, Cing!” ujar Satparn bernarna Dudung setelah mereka bergabung dengan orang-orang itu. ”Gue juga,” bisik Ocing. “Kita pulang aja, yuk?” “Pale lu, pulang:mendingan kita ngetem di pos ajalah.” Kedua Satpam itu sebenarnya sama-sama bingung. Mestinya mereka jagá berempat, tapi teman mereka yang satu sudah izin pulang kampung dua hari, yang satunya lagi sakit karena habis kecelakaan kemarin lusa. Petugas penggantinya belum bisa dipastikan bisa datang atau tidak, karena tak ada kabar. Mau tak mau malam ini hanya mèreka berdua yang bertanggung jawab atas keamanan komplek perumahan kelas menengah itu. Jarum jam di pos keamanan menunjukkan pukul satu lewat beberapa menit. Ocing dan Dudung ternyata tak berani menimggalkan pos tersebut. Mereka takut kena sangsi berat, sementara mereka mengaku penghasilannya menjadi Satparn komplek cukup lumayan. Alangkah sayangnya jika harus kehilangan pekerjaan tersebut hanya karená terganggu suara tangis misterius. Untuk mengatasi rasa takut, mereka menyumpal lubang telingä dengan kapas. “Gue heran, Cing…udah disumpal pake kapas tapi kenapa suara tangis itu masih kedengaran jelas, ya?” “He,eh .! Eeh, stel radio aja! Wayang golek, atau dangdut, biarlàh. Yang penting ada suara lain, ,biar suara tangis itu nggak terlalu mengganggu kita.” Dudung menyeringai girang.
Gagasan tersebut sangat tepat menurutnya. Maka, mereka pun menghidupkan radio dan menemukan siaran lagu-lagu dangdut. Mereka membunyikan radio cukup keras. Memenuhi ruangan pos penjagaan yang tak seberapa lebar itu. Tapi belum ada 5 menit, ternyata radio itu tiba-tiba mati sendiri. Tidak ada aliran listrik yang bisa masuk ke radio minicompo tersebut Mereka mencoba mengutak-atik tapi tak berhasil menghidupkan kembali minicompo tersebut . Suara tangis wanita terdengar lagi. Sesekali hilang, sesekali muncul dalam tempo lama, lalu hilang beberapa menit, muncul lagi dengan lebih jelas. kedua security itu benar-benar mengalami tekanan batin mendapat teror suara tangisan yang selalu membuat bulu kuduk merinding. Karena semakin larut malam sémakin jelas suara tersebut seakan berjarak hanya beberapa meter dan mereka. “Dung, suaranya seperti ada di… di seberang selokan depan itu, Dung. Coba.. coba lu periksa deh.” “Ogah. Lu aja sana!” “Yaaah, eluuu… Atau, kita periksa berdua deh, biar…” Kata-kata Ocing terhenti. Ada mobil yang mendekati pintu gerbang dari arah dalam. Mobil itu jelas mau keluar komplek. Tapi Ia harus berhenti di pos karena jalan keluarnya terhalang portal besi. Dudung segera keluar dari pos, karena ía lebih dulu mengenal siapa pengeniudi mobil Grand Cherokee warna hitam itu. Tapi sebelum Dudung menyapa, ternyata si pengemudi mobil lebih dulu menyapanya dengan keramahan yang agak tegang. “Malem, Bang Dudung…’ “Eeh, malem Juga, Tuan Sam…,” Dudung bergegas melepaskan rantai dan mendorong besi penghalang jalan. Ocing berseru dari dalam pos, karena ia pun mengena! eksekutif muda yang sangat ramah, supel dan mau bergaul dengan siapa saja itu. “Maleeem, Boss…!” “Malem, Bang Ocing.” “Mau beli makanan ya?” “Nggak. Mau ke rumah temen.” Dudung sudah membukakan pintu portal, lalu mendekati Samon sambil bertanya pelan. “Tuan Sam, ngomong-ngomong Tuan merasa terganggu nggak dengan suara tangisan aneh itu?” “0, sangat terganggu. Nggak bisa tidur. Iya tuh, kenapa sampai ada suara kayak gitu ya? Padahal kemarin-kemarin nggak ada suara aneh begitu kan?” “Kita berdua di sini juga heran. Kayaknya ada sesuatu yang mesti ditangani oleh ‘orang pinter’ nih.”
“Makanya saya paksain keluar jam segini. Mau jemput teman yang bisa ngatasin suara aneh itu.” “Wah, itu ide bagus, Boss. Bagus sekali itu!” Ocing tampak senang, dan berapi-api memnjinya. Dudung pun menyatakan hal yang sarna. Ia berharap orang yang diandalkan Samon itu benar-benar mampu membuat tenang kembali suasana komplek tersebut. Mobil Jenis Jeep warna hitam itu meluncur di kesunyian nialam. Jalanan yang lengang membuat Samon tak khawatir mengemudikan mObil dalam kecepatan tinggi. Ia sengaja ngebut biar lekas sampai dan bisa cepat membawa temannya itu pulang. Suara tangis misterius yang rnengganggu semua penghuni komplek Jatiwangi Estate harus segera dihentikan Sam menyadari bahwa suara itu makin lama semakin mengganggu kejiwaan semua orang yang mendengarnya. Larna-lama banyak orang menjadi gila karena tertekan jiwanya. Ia sendiri hampir stress menghadapi gangguan itu. Sayangnya, upaya mencari solusi itu menemui hambatan. Di luar dugaan tiba-tiba mobilnya kehilangan tenága. Mesin màti. Sam baru ingat bahwa tadi ia lupa belum isi bensin. Sedangkan bensin cadangan tak ada. Pom bensin cukup jauh. Mobil itu akhirnya berhenti di pinggir jalan. Dekat dengan warung tenda yang masih buka. Jaraknya sekitar 20 meter dari tempat berhentinya mobil Samon. Warung tenda itu menjual roti bakar, mie rebus, dan beberapa minuman malam. Sepertinya kurang begitu laku. Tak ada orang yang makan di situ, atau sekedar nongkrong untuk minum kopi. “Cari bensin ke mana, ya? Seingatku pom bensin masih jauh dari sini. Sial!” Sam menggerutu sendiri. “Mobil angkot nggak ada yang lewat Kalau toh ada, siapa yang disuruh beli? Masa’ mobil kutinggal di sini, sementara aku cari bensin? Apa aman? Ah, nggak. Tempat ini nggak aman. Sebaiknya… o,ya… sebaiknya aku cari tahu dulu sama orang di warung itu. Siapa tahu dia mengetihui pom bensin terdekat, atau bisa kusuruh beli ke sana. Daripada aku yang berangkat dan meninggalkan mobil ini, mendingan aku suruh orang. Kasih upah agak gede dikit nggak masalah…” Di dalam warung tenda itu ada seorang anak remaja berkaus lusuh, mengenakan topi dibalik. Dan, seorang wanita berusia sekitar 35 tahuñ kurang. Mengenakan sweater merah. Rambutnya ikal selewat pundak. Dijepit dengan bando warna pink. Badannya sekal. Tidak gemuk, tapi padat berisi. Tingginya sekitar 170 cm. Berkulit kuning langsat. Samon sempat tercengang beberapa detik begitu wanita itu berbalik menghadapnya. Ternyata ada kecantikan yang sangat menarik di wajah berhidung mancung itu. Kecantikan yang terkesan matang itu merniliki sepasang alis yang tebal namun tersusun indah di atas sepasang bola mata yang agak lebar. Bola mata itu sendiri memancarkan keindahan yang sulit diurai dengan kata-kata.
“Cantik juga dia?” gumam hati Samon. “Mungkin kecantikan itu diandalkan bisa menjadi daya tarik bagi pembeli agar sélalu datang ke warung ini. Tapi, kenapa sepi? Apakah karena sudah larut malarn sehingga sudah tak ada pembeli yang datang?” Samon yang tertegun segera menggeragap ketika mendapat sapaan ramah dari perempuan cantik itu. “Silakan duduk, Mas. Mau roti bakar apa mie rebus?” “Hmm, eeh… nggak, saya cuma mau numpang tanya, apakah Mbak tahu tempat orang jual bensin yang paling dekat dari sini?” “Waah, setahu saya sih ya cuma pom bensin yang di dekat pertigaan sana yang paling dekat. Kenapa? Mobilnya kehabisan bensin?” “Hmmm, iyy, iya… kehabisan bensin. Duuh, gimana ya?” Sam duduk di bangku itu, tapi menghadap ke jalanan, sambil mengawasi mobilnya. Ia benar-benar bingung. Apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dikatakan lagi. Kecantikan tanpa make up itu sempat menggoda hatinya, sehingga ketenangan berpikirnya jadi terganggu. “Sebentar lagi ada angkot lewat kok. Pasti lewat depan pom bensin. Mas bisa ke sana, dan mobil biar karni jagain deh.” “Hmm, iya… tapi… tapi…” “Atau, biar pelayan saya yang beli bensin ke sana? Mas bisa tunggu sini sambil ngopi atau…” “0, ya… bisa minta tolong, ya? Maksud saya, bisa suruh Mas itu untuk beli bensin di pom sana? Hmrnm, nanti saya kasih uang lelahnya deh.” “Bisa aja,” kemudian perempuan berbibir sensual itu bicara pada anak remaja yang ternyata pelayannya.
“Bar, tolongin Mas itu beli bensin, ya?” “Ya, Mbak.” “Kasihan, mobilnya mogok kehabisan bensin. Ntar nggak bisa pulang,” seraya la tertawa kecil. Tawanya renyah dan indah. “Aduuh, terirna kasih sebelumnya. Terirna kasih…” “Tapi, ternpatnya ada nggak?” “Hmmrn, wah… jerigen kecil saya juga ketinggaln tuh. Tapi saya ada bekas botol air mineral. Cukuplah bensin sebotol buat sementara. Asal jalan saja. Sebentar saya ambil.” Sambil mengambil botol bekas air mineral, hati Samon berdecak heran dan kägum. “Nggak sangka di warung sederhana kayak gitu ada daya tarik istimewa yang bisa bikin setiap pembeli maunya jadi pelanggan di situ. Cántik sekali dia. Bodynya juga okey banget. Pantasnya dia nggak jadi pemilik warung tenda kayak gitu. Jadi pemilik café bergengsi lebih pantas. Duuh, jantungku jadi berdetak-detak. Waaah, gawát nih, hehehehe…” Sam tertawa dalam hati. Merasa malu pada diri sendiri setelah menyadari hatinya tertarik pada kecantikan di bãlik warung tenda. Barno, pelayan yang masih berusia sekitar 16 tahun itu, akhirnya pergi juga setelah menunggu angkot sekitar 10 menit. Selama menunggu kembalinya Barno, Sam terpaksa memesan minurnan hangat Ovaltine. Paling tidak hal itu sebagai balas Jasa atas bantuan yang diberikan oleh perempuan cantik itu. “Emang malam-malam begini mau ke mana, Mas? Mau pulang ke rumah apa mau pergi ke suatu tempat?” tanyanya sambil menyiapkan pesanan Samon. “Mau ke rumah teman, Mbak. Ada keperluan penting. 0, ya… jam segini kok belum tutup, apa nunggu suaminya datang.., Ya ? “ “Kami biasa tutup menjelang pukul tiga, Mas.” “Ooo, kirain nunggu dijemput suaminya.” Sambil menghidangkan segelas ovaltine panas perempuan itu tersenyuni malu dan berkata dengan nada ringan. “Udah lama nggak punya suami kok, Mas.” “0, ya…?!”
“Udah kabur, nggak tahu ke mana dia. Dengar kabarnya aja nggak pernah,” ujarnya dengan aksen Jawa cukup kental. Ia tidak kembali ke balik meja dagangan, melainkan duduk dalam satu bangku dengan Sam, walau jaraknya lebih dari satu jangkauan. “Ooooo… jadi, usaha begini cuma dibantu pelayan satu, si Barno tadi?” Samon mengeluarkan sebungkus rokoknya, lalu menyalakan sebatang. “Biasanya ada dua pelayan, tapi yang satu lagi sedang pulang kampung. Jadi, ya cuma satu orang yang bantuin saya.” Sam menggumam dan manggutmanggut Berusaha untuk tetap tenang, walau pun setiap kali beradu pandang dadanya selalu bergemuruh. Seolah-olah detak jantungnya menjadi sangat cepat “Sudah berapa tahun usaha begini, Mbak? O,ya… Mbak siapa sih panggilannya?” “Mbak Ajeng. Dari anak kecil sarnpai orang tua manggil saya rata-rata Mbak Ajeng semua. Padahal narna saya bukan cuma Ajeng saja. Ada terusannya.” Ia tertawa malu, tapi justru makin cantik, makin menawan, dan makin membuat Samon seperti dibakar api kemesraan. Ketika perempuan itu ganti menanyakan nama tamunya, Sam pun menyebutkan namanya dengan jelas. Hampir lima belas menit sudah sejak kepergian Barno, ternyata anak itu beum juga kembali. Memang tak ada kendaraan umum yang lewat dari arai pom bensin sejak tadi. Kemungkinan besar Barno sendiri jengkel menunggu angkutan umum belum ada yang lewat. Dan, waktu menunggu itu telah memberikan peluang banyak bagi Sam dan Mbak Ajeng untuk ngobrol apa saja yang ingin mereka obrolkan. Termasuk tujuan Sam yang sebenarnya. “Lho, memangnya kenapa kok malam malam begini harus carl ‘orang pintar’? Apa ada keluarga yang sakit?” “Bukan sakit, tapi ada gangguan dari alam gaib…,” Sam rnenjelaskan secara singkat tentang suara tangis misterius itu. “Oooo, kalau cuma begituan sih, kenapa mesti jauh-jauh panggil ‘orang pintar’, Mas. Buang waktu dan buang tenaga.” “Maksud Mbak Ajeng… di sekitar sini ada ‘orang pintar’ yang bisa mengatasi gangguan macam itu?” Mbak Ajeng menyunggingkan senyum malu-malu.
“Mas tinggalnya…” “Panggil aja saya; Samon atau Sam,” potongnya cepat. “Tinggalnya jauh dari sini?” “Di komplek perumahan Jatiwangi. Tahu kan?” “Hmm, ya, ya… saya tahu. Kalau begitu, nanti kalau Barno sudah datang, biar dia kemasi semua dagangan di sini. Kita segera menuju ke rumah situ deh.” “Terus, jemput si ‘orang pintar’ itu di mana?” “Nggak usah dijemput. Kan sudah ada di depan situ.” Sam terhenyak bungkam. Matanya menatap dalam keraguan. Ajeng bergegas bangkit menghampiri kompor yang tadi lupa dipadarnkan apinya. Sambil pergi ke sana ia berkata agak pelan. “Yaaah, itu sih kalau situ percaya dengan kemampuan-saya. Kalau nggak percaya, ya jangán dipaksain. Ntar malah kecewa.” “Mbak Ajeng serius nih?” Perempuan itu membalikkan badan, menatap Sanion. “Apa perlu bukti?” Tatapan matanya begitu tajam, namun punya getaran indah yang terasa menembus Sampai ke ulu hati. Bikin hati bedesir-desir. “Kamu sudah tiga kali pacaran, kan? Tapi selalu saja pacarmu menikah duluan karena dijodohkan oleh orang tuanya?” Samon tertegun kaget. “Dari mana dia tahu, ya?” pikirnya sambil tersenyum-senyum kecil menutupi rasa malunya. “Pacarmu yang kedua berdarah campuran, kan? Dia mirip orang bule. Rarnbutnya pirang, matanya biru. Sering disangka orang bule beneran. Betul?” Kali ini wajah Sam tercengang jelas-jelas. Luar biasa kagetnya hati Sam mendengar Mbak Ajeng bisa menyebutkan ciri-ciri Francisca, pacar keduanya itu. Hati semakin berdeba-rdebar stelah menyadari bahwa ternyata di warung tenda itu Ia justru bertemu dengan ‘orang pintar’ yang mampu meneropong kehidupan masa lalunya. Bahkan, rnasalah pribadinya di kantor pun bisa dibeberkan oleh Ajeng dengan sangat lancar.
“Ada perempuan separoh baya yang sedang jatuh cinta padamu di kantor. Ia ingin sekali bisa tidur bersarnamu. Ia selalu memanjakan dirimu, mengistimewakan dirimu, tapi kamu selalu menghindar karena dia adalah atasanmu sendiri. Dan, kamu merasa bahwa kehangatan asmararnu tidak bisa dibeli dengan kekuasaannya. Betul begitu?” “Cukup, cukup… !“ potong Samon secepatnya. “Okey, okey… saya percaya Mbak ‘orang i ntar’. Tapi tolong jangan kupas rahasia pribadi saya lagi. Saya malu sambil tertawa cànggung dan salah tingkah-sendiri. “Bayangan kehidupanmu bisa kulihat dengan jélas lewat pandangan matamu, Sam. Bahkan tanpa menatap matamu pun aku bisa melakukannya.” “Iya, iya… saya percaya, Mbak… saya percaya…. Cukup deh, jangan diteropong lagi pribadi saya,” pinta Sam sambil mengangkat-angkat kedua tangannya tanda menyerah. Táwanya tetap tawa yang sumbang karna bingung menyembunyikan rasa malu. Kini tatapan mata Ajeng tak setajam tadi. Ekspresi wajahnya kembali ceria, senyüm manisnya mulai tampak menggoda lagi. “Jadi, bagaimana?” “Iya, deh… Saya setuju dengan rencana tadi tolong singkirkan suara tangis yang menyiksa batin kami itu. ya Mbak.” “Boleh. Tapi…. kalau ada syaratnya, keberatan nggak?” “Ada syaratnya? Hmmm, boleh tahu apa syaratnya?” Mbak Ajeng menatap dengan
pandangan yang makin rnembangkitkan hasrat asmara. Mata indahnya itu menjadi sedikit sayu. Sementara senyumannya menjadi semacam magnit yang niemiliki daya tarik sangat kuat, sukar untuk dihindari atau pun dilawan. Samon menelan ludah sendiri sambil berkata dalam hatinya, ‘Jangañ-jangan aku salah mengartikan syarat yang dià maksud? Waaah, bakalan malu lagi kalau aku salah paham nih…” -ooo0dw0ooo-
3 JARUM jam bergerak tepat di angka 12. Maka, jam dinding itu berdentang dua kali. Bukan dua belas kalL Karena yang bergerak ke angka 12 tadi, jarum yang panjang, sedangkan jarum yang pendek menanti dengan setia di angka dua. Dentang jam dinding itu menggema memenuhi rumah indah sang putri dewa. Suasana sepi membuat suara tersebut menjadi cukup keras, membangunkan Sandhi yang tertidur di sofa panjang ruang tengah. Dilihatnya Buron masih memainkan remote control mencari tayangan TV yang cocok dengan seleranya. Beda-beda dikit tak apalah, pikirnya. Sandhi pindah tidurnya ke kamar. Saat menuju kamar Ia sempat melempar kepala Buron dengan bantal yang tadi dipakainya tidur di sofa. Buuk…! “Nggak tidur lu?!” “Ntar…,” jawab Buron pendek. Ia tak marah kepalanya dilempar pakai bantal karena pelan, dan sudah hal biasa bagi mereka berdua untuk bercanda kurangajar seperti itu. “Udah jam dua nih, Ron. Lihat tuh… !” “Iya, gue tau. Cerewèt Lu, ah!” “Emang ntar ada pertandingan bola ..?!’ “Nggak.” “Ya, udah. Mati n aja tevenya. Hemat listrik tau!” “Gue lagi nungguin Samon, bego!” sentak Buron. Ia merasa kesal digurui terus seperti anak kecil. Sandhi tak jadi masuk kamar. Berhenti di depan pintu dan menatap Buron dengan mata masih sayu karena belum tuntas masa kantuknya. “Samon? Emang dia mau ke sini .. ?” “Dia mau jemput gue.Tadi dia telepon, katanya di daerah tempat tinggalnya dari tadi ada suara orang menangis. Dicari orang sekomplek nggak ketemu, tapi suara itu masih tetap ada mengganggu ketenangan para penghuni komplek tersebut. Tadinya dia mau minta Kumala supaya datang ke sana. Tapi karena gue bilang Kumala nggak ada di rumah, maka dia paksa gue supaya menangani misteri itu, ganti n Kumala. Dia mau jemput gue … “ Kata-katanya berhenti karena merasa tak ada respon dari Sandhi. Ketika ia menatap ke arah pintu kamar, ternyata Sandhi tertidur sambil berdiri dan bersandar di kusen pintu. Buron kesal. Dia ambil bungkus rokok kosong dan dilemparkan tepat mengenai kening Sandhi.
“Kampret luh, dijelasin malah molor!! Huh… ! Ptetaak…! “Aaauh…!!” pekik Sandhi langsung menyeringai. Memegangi jidatnya yang terasa seperti dilempar dengan sepatong kayu keras. Padahal hanya gumpalan kertas pembungkus rokok yang sebelunmya sudah diremat-remat Buron. Kertas bungkus rokok itu tidak akan sekeras kayu mahoni kalau tidák diisi tenaga gaib saat diremat-remat oleh jelmaan Jin Layon itu. “Candaan lu kasar,Sapi!” sambil melemparkan bantalnya, tepat mengenai muka Baron. Buron tertawa pelan melihat Sandhi bersungut-sungut sambil mengusap-usap jidatnya. Ternyata lemparan tadi telah membuat rasa kantuk hilang seketika. Bahkan selera untuk berbaring pun tak ada lagi. Sandhi bergegas ke ruang makan Membuka kulkas, minurn air es dari botol. Lalu, menyambar sepotong kue bikinan Mak Bariah tadi sore dan memakannya sambil ke ruang tengah lagi. “Jam berapa lu mau dijemput Samon?” “Dia bilang sih paling lama setengah jam. ini udah lebih dari setengah jam belum muncul juga. “ “Telepon ke HP-nya.” “Udah gue coba. HP-nya nggak aktif.” “Hmm, kalau gitu…, lu dikerjain ama dia.” “Gue yakin nggak dikerjain. Gue malah mencemaskan dia. Jangan-jangan ada sesuatu yang menghalangi perjalanannya kemari. Dari tadi gue kebayang terus mukanya tuh.” “Lu homo kali, pengen ciuman ama dia,” ujar Sandhi seenaknya. Memberi kesan tak serius menanggapi kecemasan Baron. Karena selama ini Buron dikenal sebagai jelmaan sesosok jin yang suka usil, konyol dan slebor, maka firasatnya jarang dipercaya Sandhi sebagal firasat yang serius. Berbeda dengan, Kumala Dewi. Firasatnya selalu serius dan terbukti dalam kenyataan yang ada. Sayang sekali malam itu Kumala Dewi tidak ada di rumah. Kumala telah dijemput oleh utusan dari Kahyangan. ia dipanggil pentolan dewa-dewa Kahyangan untuk membahas sesuatu yang sangat pemting.
Semula Kumala ingin menolak panggilan itu, mengingat dulu ketika ia lahir ia dibuang ke bumi hingga sekarang. Tetapi sang utusan yang diwakili oleh Dewa Bahakara alias Dewa Jenaka itu telah menggunakan siasat paksaan halus, yaitu dengan menanam benih janin ke dalam perut cowok kesayangan Kumala, yaitu Rayo Pasca. Jika undangan itu tetap ditolak oleh Kumala, maka dalam waktu dekat Rayo akan hamil dan melahirkan. Tentunya hal itu akan memalukan pribadi Rayo sebagai pria sejati, Karena itu lah Kumala terpaksa bersedia dijemput dan dibawa ke Kahyangan, (Baca serial Dewi Ular dalarn episode: “Misteri Santet Iblis”). Perjalanan mereka diawali tadi pagi, setelah Kumala menyelesaikan kasus Santet iblis. Tentunya Sandhi maupun Buron menyangka perjalanan Kumala ke Kahyangan lancar-lancar saja. Apalagi mereka tahu Kumala tidak sendirian, ada Dewa Jenaka yang mendampinginya sebagai utusan terhormat dari Kahyangan. Dewa senior itu tentunya akan melindungi Kuniala jika terjadi sesuatu. Tetapi dalam prakteknya si dewa senior justru terkagum-kagum melihat keberanian Kumala beradu kesaktian dengan senjata mautnya Penguasa Langit Gab Abadho. Setelah terkagum-kagum si dewa senior terbingung-bingung karena kehilangan Kumala. Dewa Jenaka kali ini bersungut-sungut sambil menggerutu bergaya ABG bumi. “Gue aja selalu hindari Aji Jagal Gunturnya si Abadho, eeh… dia main slonong boy aja. Akibathya ya beginilah. mental kemana tuh anak ya? Wah, jangan-jangan mokat, alias mati?! Aduuhh, jangan sampai deh, jangan sampai mati . Gue bisa bunuh diri kalau dia sampai mati. Eh, tapi katanya bunuh diri kan dosa, ya? Nggak jadi deh. Kapan-kapan aja kalau lagi mood … “ Sambil mencari dengan getaran radar gaibnya si dewa Bokis berceloteh terus tiàda hentinya. Kadang
dengan suara kadang hanya dibatin saja. Dewa Bokis bertambah cemas karena radar gaibnya tidak dapat menangkap sinyal gelombang gaibnya Dewi Ular. Akibatnya Ia tak dapat memperkirakan dimana titik koordinat Dewi Ular berada. Ada beberapa faktor yang membuat sinyal gelombang gaib tidak dapat terdeteksi pihak lain. Satu di antaranya, apabila orang tersebut berada dalam ruang hampa gaib. Kesaktian setinggi apapun apabila berada dalam wilayah ruang hampa gaib, maka pihak lain tidak alsan bisa menangkap sinyal gaibnya, demikian juga yang berada di situ tidak dapat menangkap sinyal gaib dari luar. Tetapi energi gaib yang dimiliki tetap ada. Hanya tidak berfungsi untuk melakukan komunikasi gaib dengan pihak luar. Apakah Dewi Ular saat ini berada di wilayah ruang hampa gaib ? Jawabnya, ya! Akibat adu kesaktian dengan Aji Jagal Guntur andalannya si Penguasa Langit Gaib, sinar hijau berbentuk seperti naga kecil itu bagaikan kapas tertiup badai. Melesat cepat dalam keadan hilang keseimbangan. Sebenarnya seberkas sinar apapun tak dapat terpental. Tapi karena di dalamnya terdapat energi padat dari kesaktian Dwi Ular, maka sinar hijau itu dapat terpental hingga masuk sumur kecil tanpa air. Sumur itu hanya berisi gumpalan kabut berwarna kuning, seperti uap belerang. Garis tengah sumur itu tidak lebar, sekitar dua kali ukuran tombak. Permukaannya tertutup kabut putih, sehingga tidak mudah terlihat oleh siapa pun. Mirip lubang jalanan yang digenangi air. Tak ada yang menyangka kalau di situ terdapat sumur tanpa air. Meski pun Iebarnya tak seberapa, tapi kedalamannya sungguh tak dapat diduga. Ketika sinar hijaunya Kumala masuk ke situ, Ia merasakan gerakan meluncur ke bawah cukup lama. Saat meluncur di kedalaman sumur itu Kumala Dewi tak dapat melihat apa-apa selain warna kuning, yaitu kuningnya kabut yang baunya mirip daun kemangi. Semakin turun semakin jelas warna kuning itu, seperli cahaya pagi. Makin lama makin jelas, dan akhirnya Ia temükan suasana terang tapi tak benderang. Seperti suasana senjadi bumi. Zlaaab. .! Sinar hijau mirip naga kecil ilu berubah menjadi sosok gadis cantik berambut panjang dengan pakaian ketat berwarna hijau, bercelana lentur sebatas betis. Kedua kakinya mengenakan semacam sandal yang terbuat dari bahan Lentur dengan tali melilit silang - menyilang sampai hampir menutupi betis indahnya. Kedua kaki itu kini menapakdi atas tanah bertimput lembut, mirip lurnut warna orange. Sebelum Ia bergerak Ieblh lanjut, ía terpaksa menarik napas panjang. Ada rasa sakit di tulang rusuknya. Mungkin akibat adu kekuatân déngan Aji Jagal Guntur, sehingga ia terluka di bagian rusuk kanan. Dengan menarik napas panjang dan menyalurkan hawa saktinya, maka rasa sakit itu berangsurangsur hilang.
Kini mata beningnya yang berbulu lentik lebat itu menatap alam sekeliling. Alisnya. sedkit mengeriñyit, menandakan Ia merasa asing dengan tempat tersebut. “Di mana aku ini?!” Tempat yang aneh namun punya keindahan itu memiliki langit juga. Tapi langit di situ tidak setinggi jarak pandang langit di bumi. Langit itu mempunyai gumpalan mega yang berwarna merah tembaga, namun sebenarnya langit itu sendiri memliki warna dasar kuning keperak-perakan. Anehnya, udara di bawah langit itu mempunyai lorong-lorong yang ditandai dengan warna kabut hitam. Ada yang lorong memiliki warna kabut merah, biru dan ungu. Ketebalan kabut yang bergerak-gerak membuat Kumala tak bisa melihat ada apa di dalam lorong berkabut itu. Di depan matanya terdapat hamparan rumput orange yang sangat luas. Menyerupai padang golf. Pohon-pohonnya tertata rapi. Tumbuh teratur. Tidak liar. Daun dan batang pohon rata-rata memiliki unsur warna kuning. Ada yang kuning gading, kuning kunyit, ada yang kecoklat-coklatan. Tanah berumput yang menghampar di depan mata Kumala Dewi itu tidak datar seperti lapangan bola, melainkan memiliki gundukan-gundukan bergelombang, seperti susunan tanah di padang golf. Pada salah satu sisi terdapat serumpun bambu yang tumbuh bergerombol dan berderet membentuk huruf U. Warnanya kuning gading dengan daun coklat agak tua. Bambu-bambu itu tumbuh melingkari sebuah danau yang berbentuk bundar. Cukup besar. Airnya berwarna hijau giok. Bening menyegarkan. “Aaih, bagus sekali air danau itu. ? ! “ Kumala Dewi tersenyum kegirangan, lalu segera menghampiri danau tersebut. Namun belum sampai kaki Kumala mendekati pinggiran danau, tiba-tiba ia merasakan datangnya hawa panas dari arah belakang. Dengan cepat Ia berbalik ke belakang, dan dilihatnya sebongkah batu berkobaran lidah api sebesar kepala bayi sedang meluncur cepat ke arahnya. Seketika itu tangan Kumala berkelebat sambil tubuhnya melayang ke atas. Wuuusst…!
Tangan itu mengeluarkan semburan asap putih berbintik-bintik hijau, lalu rnenghantam batu terbungkus api. Jegaaaarrr…! Ledakan itu membiaskan sinar orange. Menyebar cepat, menghantam tubuh Dewi Ular. Maka, tubuh itu pun terhempas ke belakang, lalu jatuh ke tanah berumput dengan cukup kuat. Bluuugh…! , Dewi Ular langsung menyeringai. “Aauulthkk…!!” Tulang punggungnya terasa seperti patah. Sementara itu pakaian hijaunya membekas warna hitam hangus. Membentuk garis melintang dari dada kiri ke perut kanan. Ia juga merasakan luka bakar yang cukup serius di bagian perut dan dadanya. “Uuuhhkk…! Sakit -sekali … ! Dada dan. perutku pasti robek dan, oohhhkk…! Urat-uratku seperti putus semua! Celaka. Aku sulit bergerak, aahk,..aahk, aaahhk..!” Ia berhasil, duduk. Terengah-engah. Mata tetap waspada. Dilihat dari luka pada bagian dada sampai perut, Kumala Dewi yakin lawannya pasti punya kesaktian cukup tinggi. Sinar yang membias tadi memang melukai tubuhnya, tapi tidak membuat rusak pakaiannya, kecuali hanya bergaris hitam. pakaiannya tetap utuh, Dan, itu berarti jenis kesaktian yang digunakan bukan kesaktian tingkat sedang. Pasti tingkat tinggi. “Haaagghh … !” Dewi Ular mengerahkan hawa salju dari dalam tubuhnya. Hawa salju itu dialirkan ke sekujur tubuh, sehingga lukanya tidak terasa, sakit. Ia dapat bangkit kembali.Hawa murni mengalir deras, sehingga membuat luka koyak di dada dan perut itu segera bergerak menutup dan akhirnya lenyap tanpa bekas. Sayang, tak seorang pun, boleh melihat bagian bekas luka itu. Kena sensor. “Ke mana dia?” bisik hati Kumala. “Atau mungkin dia memang hanya sekedar ingin berkenalan dan mengujiku?” Aji Mata Dewa segera digunakan. Setiap sudut tempat diperhatikan. Akhirnya ia menemukan sesuatu yang mencurigakan di antara dua pohon berdahan rimbun bagaikan sepasang payung. Kekuatan aji Mata Dewa membuatnya mampu melihat pada lapisan udara. di antara kedua pohon. Ada energi panas yang sedang aktif. Maka dengan cepat jari tangannya dikibaskan seperti melempar pisau belati, dan ujung jari itu mengeluarkan sinar hijau
berbentuk runcing, mirip mata tombak. Claaap… ! Sinar itu luar biasa cepatnya, sehingga dalam sekejap sudah menerjang lapisan udara di antara dua pohon. Bleeegaarr…! “Aahkk ……………!!!!” Ada suara pekikan pendek. Suara itu bersamaan dengan pecahnya lapisan udara dan terlemparnya sesosok tubuh dari sana. Wuuut, bruuuss … ! Srossssoooooott ……. !!! Tubuh.yang terlempar.dari persembunyiannya itu meluncur seperti kereta salju di atas rerumputan. Kumala Dewi segera mengejarnya. Bukan untuk menghajarnya kembali. Namun hanya mengikuti sampai tubuh itu berhenti dari meluncurnya. “Hahh… ??!” tersentak suara kaget Kumala setelah mengetahui bahwa musuh yang dihantamnya tadi ternyata gadis kecil berusia sekitar 6 tahun. Tubuhnya agak kurus, tapi berkulit kuning bersih. Wajahnya mungil, matanya bundar indah, rambutnya panjang berponi di bagian depan. “Ya,. ampuuun…! Ooh, maafkan aku:, maafkan aku, Dik… !” Kumala Dewi sangat menyesali tindakannya tadi. la segera berlutut menolong lawannya, karena anak tersebut menyeringai kesakitan dan mengalami sukar bernapas. Dewi Ular segera menyalurkan hawa suci untuk pengobatan. Dalam waktu singkat anak itu pun mulai bisa bernapas longgar dan tidak menyeringai kesakitan lagi. “Maafkan -aku, ya Dik? Kalau tahu kau masih anak-anak, aku tidak akan menyerangmu! Maaf, ya?” “He,eh … Nggak apa-apa kok, Kak. Tadi aku juga nakal, coba-coba gangguin Kakak.” “Oo., jadi benar, tadi yang menyerangku kamu?” Gadis cantik nan mungil itu menganggukkan kepala dengan sangat lugu. Polos sekali sikapnya. “Tadi aku coba-coba mainkan tanganku maju-mundur, eeh tahu-tahu keluar apinya. Api itu nyerang Kakak… terus… terus, mele-dak,keras sekali. Aku.takut. Maka, aku sembunyi. Maapin aku juga, ya
Kak.” “Iya, iya… Kakak nggak marah kok,”’ Kumala Dewi memberikan senyum keramahannya , supaya anak itu yakin betul kalau sang kakak benar-benar tidak marah. Sebab, saat menuturkan pengakuannya tadi, wajah mungil secantik boneka itu tampak ketakutan. Rona penyesalannya kelihatan jelas. Maka, Kumala harus segera menetralkan perasaan bersalah anak tersebut. “Kamu bisa panggil aku Kak Mala, ya? Nama kakak Kumala Dewi. Nama kamu siapa?” “Hmmm, hmmm… nggak tahu, Kak.” “Lho, kok sama namanya sendiri nggak tahu?” “Habis, aku lupa, Kak. Waktu aku jatuh kejeblos lubang, kepalaku, terbentur-bentur. Saki iit, sekali. Terus, aku nggak tahu bagaimana, eeh… tahu-tahu,,.aku udah di sini.” “Sendirian …!” “He,eh. Sendirian. Aku takut. Terus aku nangis. Lamaaaa… sekali aku nangis. Habis, aku lapar, hauuus banget.. Mau minum air danau., tapi takut mati. Habisnya, aku lempar kayu di danau, eeh… kayunya langsung terbakar. Jadi, aku nangis .terus. Sampai ada bayangan orang kasih minuman, ada teh, ada kopi, ada air putih…, terus, aku minum bayangan itu. Uuh, lega deh. Hausku jadi ilang…” Kumala dewi menggumam haru. “Kasihan anak ini…” Lalu, ia bertanya, “Jadi kamu bukan tinggal di sini?” “Bukan,” ia menggeleng dengan lugu. “Kamu tinggal di mana?” “Ngggg… nggak tahu. Aku lupa.” “Orang tuamu siapa?” “Naah, itu juga aku lupa, Kak. Aku udah berusaha ingetin. lamaaa… sekali, eeh nggak inget-inget juga. Kalau aku paksain inget-inget terus, kepalaku jadi sakit. Eeh, tapi sekarang rasa ngilu di kepalaku kok udah nggak ada? ,Udah sembuh, ya Kak?”. “‘Mudah-mudahan,” jawab Kumala sambil tersenyum lembut. Sebenarnya ia ingin katakan, bahwa hawa suci yang disalurkan darinya tadi dapat untuk menyembuhkan semua penyakit yang diderita anak itu.
Tapi agaknya keterangan tersebut belum diberikan, mengingat si gadis kecil tidak membutuhkan penjelasan seperti itu. Kumala hanya berkata dalam, hatinya, “Anak ini jatuh, terperosok lubang, mungkin sama dengan keadaanku tadi. Bedanya, kepala dia terbentur-bentur, sedangkan aku nggak sampai begitu. Mungkin benturan di kepala itulah yang membuatnya lupa jati diri. Kalau bahasa ilmiahnya… amnesia.” Gadis mungil secantik boneka Barbie itu memang tampak lugu dan polos. Tapi sebenarnya ia memiliki kesaktian yang cukup lumayan. Barangkali kesaktian itu adalah kesaktian turun temurun, yang didapatkan, tanpa melalui berlatih dan bertapa. Namun dari mana ia berasal sebenarnya, sulit dipastikan. Mungkin anak manusia bumi hasil perkawinan silang dengan dewa, atau mungkin anak dari penghuni planet lain-yang jauh dari bumi. “Dilihat dari pakaiannya yang serba ketat, warna merah, kainnya halus dan bagus, berhias manikmanik intan, aah… aku yakin dia bukan anak biasa. Setidaknya anak raja atau penguasa yang punya status terhormat. Hmm, tapi badannya berbau wangi? Apakah dia anak dewa juga? Cuma… aroma. wanginya kok nggak kayak aroma dari badanku, ya?” Anak itu berkata, “Kakak, kamu jangan mandi di danau itu. Nanti bisa kebakar lho.” “Apa iya?” “Danau itu ada racunnya.” “Dari mana kamu tahu?” “Kan aku pernah. lemparkarr kayu, terus kayunya kebakar. Kalau kakak kebakar, nanti kakak item Iho. Nggak cantik lagi kayak aku…” sambil ia tersenyum malu. Lucu dan membuat Kumala tertawa geli. la cubit pipi si bocah dengan gemas, lalu Kumala pun berkata padanya. “Kamu kuberi nama Barbie aja,,ya? Buat sementara aja.” “Barbie itu apa binatang yang katanya suka dipotong dan dimakan manusia bumi .” “Itu… babi!”,Kumala tertawa. “Kecil kecil kok udah main plesetan kata kamu ini. Barbie itu Hanya boneka. Lucu, cantik, dan mungil kayak kamu. Bagaimana, mau kan kuberi nama Barbie?” “Nanti aku jadi boneka?” “Ya, nggak. Cuma pinjem nama aja. Daripada ,ingat-ingat namamu .susah. Biarkalau ada apa-apa kakak bisa manggil kamu.” “O000… jadi kakak mau manggil aku? . Manggil aja sekarang.”
Kumala.semakin geli mendengar kepolosan Barbie. Kepala anak itu dipeluk di perutnya sambil tertawa gembira. Anak itu pun ikut tertawa walau pun mungkin tak tahu apa yang harus ditertawakan. “Kak Mala mau bobo? Yuk, aku kasih tahu tempat yang fenak buat bobo…” “‘Kok bobo? Kita harus cari jalan keluar dari tempat ini, Barbie. Ngapain buang-buang waktu buat bobo?” “cari jalan keluar? Aaah, percuma-lah. Nggak akan nemu.” “Maksudmu?” “Aku udah coba ke sana-sini cari jalan keluar, tapi nggak pernah bisa, Kak. Nggak ada jalan keluar dari tempat ini.” “Nggak ada?” “Iya. Aku udah lompat masuk ke lorong-lorong di langit itu, tapi ternyata itu bukan, jalan keluar. Itu cuma lorong buntu. Isinya cuma kabut.” “Kamu .bisa lompat masuk ke lorong udara itu?! Setinggi itu kamu bisa jangkau dengan, lompatan?!” “Bisa,” sambil mengangguk polos lagi. “Kak Mala bisa nggak? Mau aku ajarin supaya bisa?!” Tertegun bengong Kumala mendengarnya. Masih sekecil itu, Barbie sudah bisa melompat ke tempat yang cukup tinggi dan berjarak cukup jauh. Luar biasa sekali anak ini, pikir Kumala. Dan, dia bilang… dia sudah menjelajahi tempat ini untuk mencari jalan keluar? Hmm, tentu saja,,ia menjelajahi bukan dengan jalan kaki biasa. Pasti dengan kesaktiannya yang membuatnya bisa bergerak sangat cepat. Tapi… tapi apa benar nggak ada jalan keluar dari sini? Gawat dong kalau benar begitu. Duuh… gimana caranya, ya? Masa sisa umurku harus ku habiskan’ di sini hanya bersama si mungil Barbie ini?” Kumala Dewi tertegun lama memikirkan sebuah cars untuk bisa keluar dari.alam sunyi tak berpenghuni itu . oooOdOwOooo
4 Wanita Penghilang Tangis misterius … SIANG mulai merayap meninggalkan pagi. Samon sengaja singgah dulu ke rumah Kumala sebelum sampai kantor. Selain ingin minta maaf kepada Buron, karena tak bisa menepati janjinya semalam, Sam juga ingin membicarakan masalah Ajeng kepada Buron. Memang lebih tepatnya kepada Kumala, namun agaknya hari itu ia belum bisa bertemu dengan bidadari penguasa ular itu. “Buron masih tidur tuh, Sam,” ujar Sandhi. “Mungkin karena dia tidur pukul empat, nungguin kamu nggak datang-datang, jadi ya begitulah… kebluk! Dibangunin susah.” “Aku cuma. mau klarifikasi tentang janjiku semalam dan minta maaf sebesarbesarnya pada dia. Tapi aku juga punya kabar aneh yang perlu kusampaikan. pada Kumala, atau dia. Karena kabar ini berkaitan dengan masalah gaib…” Dering telepon rumah terdengar nyaring. “Bentar, Sam… siapa tahu itu telepon dari si dongo Buron,’ Sandhi bergegas masuk untuk nienyambut telepon. Semeatara.tamu ganteng itu tertegun sendirian di teras. Hanyut dalam lamunan. Larut dalam kecamuk batinnya sendiri. “Gila! Badanku seperti habis digebukin orang sekampung? Sakit semua, terutama di persendian,” Sam bicara sendiri ,dalam hatinya. “Kasihan Buron nungguin aku. Seandainya aku nggak kehabisan bensin, seandainya nggak ketemu Ajeng, mungkin badanku nggak kayak gini rasanya.. Dan, aku nggak ngecewain Buron. Kalau dia ngadu sama Kumala, aku jadi nggak enak hati. Makanya, perlu di-klarifikasi sekarang juga.Eeh,ternyata dia belum pulang .. “ Sam paling tidak bisa.mengecewakan orang dengan sengaja., la selalu berusaha menepati janji pada siapapun.Kalau toh terlanjur tak bisa menepati, karena suatu halangan, maka. ia akan segera menemui orang itu, mengklarifikasi, dan meminta maaf. Sebelum hal itu ia lakukan, maka sepanjang hari ia akan gelisah. Kegelisahan seperti itu jelas akan mengganggu konsentrasi kerjanya. Sam tidak mau berlama-lama menanggung kegelisahan. Sandhi agak lama menerima.telepon. Rupanya telepon itu dari Pramuda, kakak angkatnya Kumala, orang pertama yang
menemukan Kumala ketika bidadari itu turun ke bumi, dan yang sekarang menjadi pemilik perusahaan tempat di mana, Kumala duduk sebagai konsultannya, (Baca serial Dewi Ular dalam episode : “Roh Pemburu Cinta”). Karena Sandhi cukup lama melayani teleponnya Pramuda, maka semakin banyak kesempatan bagi, Samon untuk. merenungi kejadian tadi malam. Sejak dalam perjalanan tadi Sam selalu bertanya dalam hatinya. dengan pertanyaan yang sama. “Kenapa aka bisa jadi begini, ya?” Masih kental dalam ingatannya ketika ia pulang dengan membawa Mbak Ajeng, sebagai orang yang dipercaya mampu menghentikan suara tangis misterius di kompleknya. Pada dasarnya memang upaya tersebut tidak sia-sia.,Mbak Ajeng memang punya kemampuan di bidang gaib. Kemampuan itu sungguh sesuatu yang sangat mengejutkan bagi Sam, karna sama sekali tak menyangka kalau penjual roti bakar di waung tenda itu ternyata memiliki kekuatan supranatural …. Bukan kemampuan yang pas-pasan.. Tapi cukup profesional. Padahal penampilan Mbak Ajeng biasa-biasa saja. Tidak selayaknya penampilan seorang dukun atau paranormal yang sering mempromosikan diri dalam iklan-iklan media cetak. Tanpa harus bertukar pakaian lebih dulu, Mbak Ajeng langsung saja dibawa Samon dari warungnya yang sedang dikemasi Barno, pelayannya. Ketika memasuki komplek perumahan tempat tinggal Sam, perempuan itu menurunkan kaca pintu mobil. Dan, suara tangis wanita yang misterius itu masih ada. “Berhenti sebentar, Sam,” pintanya. Samon pun menuruti, menghentikan mobilnya dalam posisi masih tetap di tengah jalan. Mbak Ajeng menelengkan kepala, menyimak suara tangis itu. Kemudian ia menyuruh Samon menjalankan mobilnya kembali. “.Aku butuh tempat untuk melakukan upacara ritual kecil-kecilan. Apa ada tempat untuk itu ?” “Hmm, tempat untuk itu Yaaah… paling bisa di rumahku, Mbak. Kalau di rumah ketua Rwmalah ntar diprotes atau ada kesalah pahaman.”
“Di rumahmu, boleh juga.. Tapi, apa nggak mengganggu anggota keluarga lainnya yang mungkin.sedang…” “Aku cuma tinggal sama Bi Inun, pelayan.”, “Nggak ada yang lain?” “Nggak ada. Biasanya sama,adikku; Johan. Tapi dia lagi ada tugas dari kantornya ke Medan. Sudah tiga hari ini aku cuma tinggal sendirian.” Mbak Ajeng.diam sebentar. Menyimak suara tangis yang masih saja terdengar, padahal mereka sudah jauh dari tempat mobil berhenti tadi. “Suara tangis ini bukan berasal dari sekitar sini.” “0, ya? Jadi, dari mana?” “Dari alam lain.” “Dari… dari alam gaib, maksudnya?” Ajeng mengangguk kalem. Setelah diam sesaat, ia bicara lagi dengan sesekati memperhatikan tempattempat tertentu yang dianggap rawan. Akhirnya ketika hendak melintasi jembatan sungai kecil berair sangat dangkal, Ajeng meminta Samon menghentikan mobilnya lagi. Samon pun menuruti permintaan itu., Lalu, perempuan itu melongokkan kepalanya sampai keluar mobil. “Naah, itu sumbernya,” seraya menunjuk ke suatu arah, di mana terdapat serumpun bambu hias pelengkap taman. Bambu hias yang kecil-kecil dengan daunnya yang indah itu tumbuh merimbun di sepanjang sungai, hingga tikungan jalan. “Di dekat tanaman bambu itu terdapat lorong tembus kubur. Tak kelihatan oleh mata awam sih, tapi yang jelas di situ ada semacam rongga panjang yang menghubungkan dimensi kita dengan dimensi alam sana. Suara tangis itu adanya di alam kubur. Kenapa suaranya bisa sampai, sini? Karena suara itu keluar melatui lorong tembus kubur yang di bambu-bambu itu.” “Tapi kenapa terdengar seluruh komplek? Padahal komplek ini luas sekali.” “Suara gaib dengan suara biasa jangan disamakan dong. Suara gaib bisa memenuhi. sebuah kota, tergantung kekuatan gelombang suara tersebut. Kalau kekuatan suara gaib itu mempunyai frekuensi tinggi, maka satu kota pun bisa mendengar suara itu. Tapi kalau frekuensinya rendah, yaah… hanya radius tertentu yang dapat mendengarnya.”
“Tapi, dulunya nggak begini kok. Baru malam ini aja ada suara aneh kayak gitu.” “Lorong tembus kubur dapat terbuka apabila mengalami getaran hebat, semacam gempa alam gaib.yang membuat tanah kubur merekah. Begitu Pula kalau di sana terjadi lagi guncangan semacam gempat cukup hebat, maka lorong tembus kubur akan. tertutup dengan sendirinya.” Sam menggumam sambil manggutmanggut.Mobil berjalan pelan diarahkan ke rumahnva. “Jadi bagaimana mengatasinya? Menyumbat lorong itu?”’ “Kalau sumbatannya eggak kuat bisa jebol dan semakin lebar ruang pantulnya. Ntar semua suara kubur bisa terdengar di seluruh perumahan ini. Termasuk jeritan roh yang tersiksa di alam kuburnya, bisa kedengaran lho.”’ “lih, menyeramkan sekali kalau sampai terjadi begitu.” “Nah., jadi lebih baik membujuk yang bersangkutan agar berhenti menangis. Atau menjauh dari lorong tembus kubur itu kalau dia masih ingin menangis. Caranya, dengan melakukan ritual kecil. Maksudnya ritual yang tidak membutuhkan tumbal, darah, bayi,atau sejenisnya.” “Jadi, apa yang harus kita persiapkan dalam ritual nanti?” “Air putih, kopi pahit, dan teh pahit. Ada kan?’ „Ada. Biar nanti pelayanku yang siapkan.”’ “0, oh… nggak Usah. Biar aku sendiri yang membuatnya, karna aku tahu ukuran pahitnya kopi yang disukai roh-roh penasaran macam itu.” “O, jadi… Mbak Ajeng sendiri yang mau bikin minumannya? Boleh., Nanti saya bantu menyiapkan segala sesuatunva.”, “Satu lagi… aku butuh, kamar khusus.” “‘Kamar khusus? Hmmm, paling ada j uga kamar tidurku.” “Ya, nggak apa. Asal tidak buat mondar mandir orang. Terkunci rapat. Jangan sampai ada yang melihat ritualku, kecuali… kamu nggak apa-apa. Karena, kamu kan pemilik kamarnya.” “Aku di luar saja nanti supaya…” “Oo, nggak, nggak, nggak….!” sergah Ajeng. “Kamu harus ada dalam kamar itu. Sebab, aku takut kalau ada barang yang hilang, lalu hati kecilmu mencurigaiku. Demi, keamanan bersama, kamu harus ada di kamar itu. Mau tiduran kek., mau duduk, atau mau apa saja terserah.”
Nada bicaranya sudah mulai tegas-tegas, sulit disangkal atau dibantah oleh Sam. Yang bisa dilakukan Sam adalah menuruti apa yang menjadi perintah Ajeng. Sam sendiri punya rasa heran dalam hatinya, mengapa.ia menjadi sangat patuh pada perempuan itu? Bahkan ia sadar dirinya jadi seperti robot yang tidak pernah bisa menolak perintah apapun. Wajah cantik itu memang sudah mulai tampak berwibawa,sejak menjelaskan tentang lorong kubur tadi. Setibanya di rumah Sam, persiapan tadi segera dilakukan. Mereka juga masih mendengar suara tangis tersebut seperti berasal dari belakang rumah. Jelas sekali. Tapi Ajeng sarankan agar Sam jangan menghiraukan suara itu lagi, karena suara tersebut mengandung gelombang mistik yang dapat merusak sistem kerja otak, emosi dan khususnya kejiwaan orang yang mendengarnya. “Perempuan ini benar-benar pintar,’: ujar Sam membatin. “Dia bukan dukun kampungan. Dia memiliki pola pikir akademis,bisa menghubungkan hal gaib dengan logika..Hebat betul dia. Sudah hebat pengetahuannya hebat pula daya pikatnya. Dari tadi belum reda jantung berdebar-debar membayangkan berada dalam pelukannya. Biasanya aku nggak semudah ini membayangkan hal-hal seperti itu. Aku jadi benar-benar tertarik padanya.” Setelah minuman selesai dibuat, Sam disuruh membawanya ke kamar. Sam menurut saja tanpa keluh kesah atau gerutuan batin. Mbak Ajeng pergi ke kamar. Mandi sebentar, kemudian keluar-dari kamar mandi. sambil menyuruh Sam menutup dan mengunci pintu kamar. Sam mematuhi perintah itu. Jantungnya, makin berdetak-detak, karna sadar. dirinya sekarang berada dalam kamar hanya berdua dengan Ajeng. “Matikan lampunya, buka sedikit pintu kamar mandi, biar ada penerangan samar-samar,” katanya sambil ia melepaskan sweater. Suasana kamar jadi remang-remang, karena hanya mendapat penyinaran dari bias cahaya lampu kamar mandi. Suasananya cenderung romantis. bagi Simon. Ajeng meletakkan minuman tadi di lantai bersama nampannya. “Nah, sekarang kamu mau tiduran di ranjang, mau menghadap ke arah mana saja, ya, terserah.’.. tapi, yang jelas aku harus melepas pakaianku.” “Hahh ?! “ “Ya, aku harus telanjang bulat supaya auraku sampai ke alam sana. Okey?”
“Tap… tapi kalau… hmm…” “Kamu mau ngintip?. Nggak usah ngintip. Lihat langsung juga boleh kok,” seraya dia melirik penuh makna. Ajeng benar-benar melepas semua pakaiannya. Samon berusaha untuk buang muka. Namun has-rat yang semakin. menggelora memaksa matanya untuk sesekali melirik sebentar, lalu memandang ke arah lain lagi. Hal itu ia lakukan berulang-ulang sambil duduk dikursi komputer. Namun karna tak boleh menyalakan lampu, tentunya, juga komputer, maka yang dialami Sam adalah siksaan dari keresahan bertubi-tubi. Keringat dingin pun mulai membasah di sekitar leher dan pelipisnya. Sekitar 5 menit lamanya. Ajeng duduk bersila di lantai seperti orang sedang meditasi., Kursi komputer berada menyamping dari posisi duduknya Ajeng, sehingga mata Samon berkali-kali tertuju pada gumpalan dada yang tampak besar, kencang dan menjorok ke depan. Meski ia sudah buang muka, namun tanpa disadari mukanya kembali berpaling dan menatap keindahan tubuh Ajeng dalam keremangan cahaya sensual itu. Tiba-tiba, terdengar suara seperti. benda, jatuh di permukaan air, cpluung … ! Samon memperhatikan 3 minuman di depan Ajeng. la mulai terperangah, karena melihat dengan mata kepalanya sendiri, minuman teh pahit menyusut dengan sendirinya. Seperti ada yang menghisapnya memakai pipet sedotan. Suuuuutt…! Minuman teh itu pun akhirnya tinggal bagian ampas. “Gila..?!Bisa begitu, ya?! Siapa yang minum tuh? Eeh, eeh… kopinya juga?!” Samon melebarkan matanya, maka tampak jelas olehnya air kopi yang masih panas itu menyusut dengan cepat, sampai tinggal bagian ampasnya saja. Minuman air putih juga demikian. Kurang dari setengah menit setelah penyusutan minuman itu, suara tangis, perempuan itu berhenti. Hilang. Sekarang yang ada hanya keheningan malam. Sam mencoba mempertajam pendengarannya, namun hasilnya tetap sama. Suara tangis misterius itu telah berhenti total. Ajeng berhasil membuat tangis itu berhenti. “Hebat … Hebat sekali dia ! ” sanjung Samon dalam hatinya. Ajeng mengusap, wajahnya dengan telapak tangan, pertanda acaranya sudah selesai. Samon buru-buru buang.muka, biar tak ketahuan habis melakukan kenakalan dengan mata. Namun, ternyata perempuan itu justru memanggilnya dengan suara lirih.
“Sam…! Hey, Sam…!” “Ya, Mbak … ?” Sam tak menengok. “Sam sebentar, kuberitahu hasilnya…” Lagi-lagi Sam patuh dengan perintah itu. la menghampiri dan, jongkok di damping Ajeng. Perempuan itu sedikit memutar badan agar berhadapan. Dan, Samon menjadi salah tingkah dalam melemparkan pandangan matanya. “Kau tadi lihat minuman itu, susut sendiri?” ““Ya, lihat, Mbak.” “Suara tangis itu juga sudah berhenti, bukan?” “Ya, sudah berhenti.” “Sekarang tinggal kau memenuhi syaratnya, seperti yang kubilang di warung tadi.”. “Sya…. syaratnya apa…” “Mendekatlah… dekat lagi…” Sam mendekatkan telinganya, menyangka akan dapat bisikan. Tapi tangan Ajeng meraih dagu Sam dan memalingkan wajah Sam pelan-pelan hingga beradu wajah dengannya. Bibir Ajeng merekah dengan mata sayu dan suara mendesah. “Saamm, eehhmm.,.” “Mmmm:.. mmbak…” (jisokam : halaman ini gurem gak jelas , hanya saja ianya tidak keluar dari pakem ) Paginya , ketika ia harus berangkat ke tempat kerja, maka sekujur tubuh Sam merasakan pegal dan sakit-sakit semua, terutama pada setiap persendian tulang dan urat-urat tertentu. la juga merasakan lemah, tak bertenaga, dan pandangan matanya sering kabur. Kondisi seperti itu berusaha disembunyikan. Sam yang harus mengantar pulang Ajeng sebelum ia menuju kantornya,masih bisa tampak tenang dan sehat-sehat saja. Bahkan sempat bercanda dengan Ajeng dalam mobil yang sedang berjalan.
“Kamu nggak jera kan, Sam?” “Jera kalau cuma sekali ini,” jawabnya berseloroh. “Maunya tiap hari, ya? Hmmm,. itu berarti kamu harus memiliki aku. Dan untuk memiliki aku ada, syaratnya.” “Syarat melulu,” Sam tertawa. “Okey, apa syaratnya? Coba sebutkan, siapa tahu aku bisa memenuhi Syarat itu.” “Aah, kayaknya nggak mungkin kamu bisa memenuhi syarat itu, karena… syarat itu jauh dari jangkauanmu. Bukan bidangmu.” “Sebutkan saja, siapa tahu aku bisa.” Ajeng berpaling menatap ke arah kanannya. Pria handsome itu dipandangi beberapa saat, setelah itu baru bicara lagi. “Syaratnya, kau harus bisa mencari kelemahan seseorang yang menjadi saingan profesiku. Kalau kau bisa menemukan kelemahan orang tersebut, maka kau bisa memiliki seluruh tubuhku, dan kau bisa menikmatinya kapan saja kau mau.” “Saingan? Siapa orang yang menjadi sainganmu itu, Mbak?” “Kau pasti mengenalnya.” Samon berpaling menatapnya, Ajeng bersuara tegas dan jelas. “Kumala Dewi!” Jantung Samon seperti tersundut api. Andai saja saat itu ia tidak sedang memegang stir mobil, maka tubuhnya pasti akan tersentak kaget mendengar nama itu disebutkan Mbak Ajeng-nya. Samon buru-buru berlagak bingung, seolah-olah merasa asing dengan nama tersebut. “Kumala Dewi…? Orang mana . itu?” Ajeng tersenyum tipis bernada sinis. Memandang lurus ke depan dengan rona keangkuhan mulai membayang di wajahnya. “Aku tahu kau sudah, mengenalnya. Semalam pun kau ingin pergi ke rumahnya, bukan? Aku. membaca pikiranmu dan mendengar suara hatimu, Sam.” “Gawat…!” gumam hati Sam mulai kikuk. Ia seperti berada di lorong yang sempit. Tak ada jalan
untuk mengelak lagi. “Kalau kau bisa mendapatkan kelemahan Kumala Dewi, maka kau akan memiliki kehangatanku selamanya.” Kerongkongan terasa kering. Napas menjadi sesak. Sam merasa sulit melontarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Bahkan nenelan ludahnya sendiri saja sulit sekali. Yang bisa bicara, hanya hatinya.” Siapa perempuan ini sebenarnya? oooOdwOooo
5 SEBENARNYA hanya Kumala Dewi yang tahu bahwa suara tangis misterius yang didengar di komplek perumahan Jatiwangi itu ternyata adalah suara tangisnya si Barbie. Bukan tangis dari alam kubur seperti yang dikatakan Mbak Ajeng kepada Samon. Hanya saja, agaknya Ajeng memang punya kemampuan supranatural yang tinggi, sehingga ia mampu memberikan minuman kepada Barbie melalui lapisan alam gaib. “Masih jauh lagi perjalanan kita, ya Kak?” tanya Barbie yang tampaknya sudah mulai lelah mengikuti langkah kaki Kumala. “Kakak nggak tahu, apa masih jauh atau sudah dekat, Barbie. Yang jelas kita harus terus berusaha mencari jalan keluar. Jangan menyerah. Setiap usaha yang gigih pasti ada hasilnya, Sayang !” Rambut anak itu diusap-usap , seperti diacak-acak. Kumala suka memperlakukan demikian. Barbie pun tidak merasa jengkel. Yang membuat ia jengkel adalah perjalanan itu sendiri. Kumala membawanya berjalan melintasi padang rumput orange, tanpa bekal makanan dan minuman. Barbie merasa lelah, dan ingin istirahat. Tapi Kumala tak memahami hal itu, sehingga Barbie pun terpaksa bicara dengan cemberut. “Kalau jalan terus begini, nanti kakiku jadi buntung, Kak.” “Kenapa buntung?.” “Kan capek jalan terus…! “ Dewi Ular tertawa kecil. “Ooo, ya, ya… kalau begitu, kita istirahat, di bawah pohon sana, ya? disana rindang, dan kalau terjadi apa-apa kita bisa berlindung. okey?” Dari tadi Kumala mencoba melakukan komunikasi gaib, tapi tidak berhasil Hubungan gaib di situ tidak mendapat sinyal. Ia baru mengetahuinya, dan semakin merasa harus lebih tangguh lagi dalam upaya menemukan jalan ke luar. Sebab kini ia yakin betul dirinya sudah terasing dari alam mana pun. “Kak, lihat ke atas deh… Pohon ini ada buahnya, Kak.”
“Hmm, ooh… iya, ada buahnya. Buah apa ini, ya? Mangga blukan, jeruk bukan…?” “Aku lapar, Kak,”. rengek si kecil Barbie.. “Tapi buah pohon ini belum tentu bisa dimakan, Sayang. siapa tahu mengandung racun mematikan.” Barbie mengeraskan jari telunjuknya. jari itu dijulurkan ke batang pohon yang menyerupai,pohon beringin. Jruub….! Dengan mudahnya jari itu bisa masuk ke batang pohon yang keras itu. Kumala Dewi terperanjat melihat apa yang dilakukan Barbie. Benar-benar hebat anak ini. Jarinya bisa berubah menjadi seperti mata pisau dengan mudahnya dia mencolokkan jarinya pada batang pohon sekeras ini . Sebenarnya Kumala sendiri bisa melakukan hal itu. Tapi yang membuatnya kagum adalah kondisi Barbie yang masih kecil. Sangat muda sekali. Tapi sudah mampu melakukan hal seperti itu. Dibandingkan yang sudah dewasa, maka Barbie Akan mendapat nilai plus, karena kecil-kecil sudah memiliki kesaktian seperti itu. “Kayaknya nggak mengandung racun, Kak,” kata Barbie. “Darimana kau bisa tahu?” “Lihat aja…,” is menunjukkan jari tangannya yang basah, “getah pohon ini tidak langsung kering di jariku. Berarti tidak mengandung racun, Kak.” “Oo, begitu ya caramu mendeteksi, racun?” pikir Kumala. “Aku mau makan buah ini, ya Kak,” “Baik kalau kau yakin tidak beracun , Kakak akan ambilkan.” Dewi Ular tidak memanjat pohon itu. Cukup dengan menghentakkan telapak tangannya ke batang pohon satu kali.. maka buah-buah berwarna merah itu pun berjatuhan. Duug … ! Duuur … !
Pohon bergetar dan buahnya berjatuhan. Barbie bersorak girang sambil memunguti. buah yang bentuknya mirip mangga, tapi kulithya mirip kulit jeruk. Warnanya ungu seperti terong. “Ini sejenis apel barangkali” gumam Kumala sambil memeriksa salah satu dari buah tersebut. Mengandung air dan mudah digigit. Tanga dikupas. lebih dulu,. Barbie langsung menggeragotnya seperti ia makan buah apel . “Bawalah beberapa sebagai bekal perjalanan kita, Barbie.” “Kakak nggak mau? Nggak lapar, ya Kak?” “Belum. Tapi mungkin nanti kakak akan memakannya kalau sudah benar-benar lapar.” Mereka mulai melangkah lagi. Sambil berjalan ke arah mana saja, Dewi Ular sebentar-sebentar melepaskan sentilan dari jari tangannya ke udara, sekeliling mereka. Sentilan itu mengandung tenaga inti yang dapat untuk menengarai adanya ruang kosong, rongga, sekat dan sebagainya, yang diharapkan dapat menjadi jalan keluar dari alam aneh itu. Ketika mereka berada di tanah sedikit tinggi, salah satu buah yang dibawa Barbie jatuh menggelinding. “ Yaah ,jatuuuh …..!” Barbie tak mau kehilangan salah satu bekalnya. Ia buru-buru mengejar-buah itu dan memungutnya. Pada saat itulah Kumala Dewi melihat sekelebat bayangan hitam yang segera menyambar Barbie. Wuuust..! “Kakaaaaak ….. “ “Heyyy…! Lepaskan dia!” seruan itu di ringi gerakan melayang cepat, seperti terbang. Zlaaap…! Bayangan hitam itu menenteng Berbie dengan satu tangan, Anak mungil bak boneka itu berteriakteriak sambil meronta. Agaknya ia tak berhasil melepaskan tangan yang menentengnya karena tangan bayangan itu tak dapat dipegangnya. “Kakak..,. kakaaak… kakak .. !!! “ Zwwwubs…! Dewi Ular menerjang bayang hitam tanpa raga. Usahanya itu sia-sia. Seperti menerobos gugusan asap hitam. Ia terpaksa kembali mengejar dengan gerakan melayang terbang. Berkali-kali ia berhasil menerjang lawannya, namun lawannya selalu. lolos karena tak dapat dipegang. “Celaka! Dia nggak bisa disentuh?! ,Hmmm, kalau begitu aku harus gunakan Aji Tapak Serap…”
Dewi Ular sengaja hinggap di salah satu gugusan batu kuning. Kedua telapak tangannya segera saling gosok, kemudian dijulurkan ke depan dalam satu sentakan. Huup … ! Energi penghisap dikerahkan. Maka, bayangan hitam yang sudah lari menjauh itu dapat tertarik mundur. Terhisap oleh kedua telapak tangan Kumala. Bahkan rambut panjang Barbie pun ikut meriap-riap terhisap, tangan tersebut Bruuussb…! “Aaaaaaa !!” Barbie menjerit karena tubuhnya melayang tersedot tangan Kumala. la sudah berhasil lepas dari tangan si bayangan hitam. Dalam sekejap. sudah tubuh anak itu sudah tertangkap dalam pelukan Dewi Ular. Zzuuub…! “Ooh, Kaaak…! “ “Tenang, tenang… Kau sudah dalam pelukanku, Barbie!” Kumala Dewi memeluk Barbie dalam gendongannya. Tapi si bayangan hitam tak mau tinggal diam begitu saja. Ia masih penasaran ingin merampas Barbie dari tangan Kumala. Seberkas sinar perak melesat dari tangan bayangan .itu-Dewi Ular menyentakkan,kakinya dan, tubuh pun melesat ke atas dengan cepat sambil menggendong Barbie. Wuuuut … ! Sinar perak itu berhasil dihindari,dan menghantam salah satu pohon.di kejauhan sana Blegaaarrrr…!. Dentuman itu besar dan keras sekali. Alam aneh itu seperti akan tenggelam ke dasarnya. Terguncang hebat. Hal itu membuat Kumala dapat mengukur kekuatan lawannya yang tidak bisa dianggap enteng.. Kini ia bergerak menuju salah satu pohon yang tumbuh di, dataran tinggi. “Kak, bayangan itu mengejar kita!” seru Barbie. “Turunlah dulu. Diam di balik pohon, ya?!” Melihat bayangan itu, melayang cepat, Dewi Ular segera menyambutnya dengan gerakan meluncur, cepat pula.
Zlaaaap … ! Sebelum saling bertabrakan di udara, Kumala Dewi berubah menjadi sinar hijau berbentuk seperti naga kecil. Sinar itu menerjang bayangan hitam yang tampak kehilangan konsentrasi sekejap. Woouuwwb…! Blegaaaaarrr…! Benturan sinar hijau dengan bayangan hitam menghasilkan ledakan dahsyaf dengan semburan cahaya api berukuran besar. Ketika cahaya api itu padam, asapnya bergumpal-gumpal membentuk seperti sebongkah batu raksasa berwarna hitam pekat dan melambung ke atas dengan cepat. Wooouuww bbbss….! Di atas sana gumpalan asap hitam pekat itu berangsur-angsur pudar. Dewi Ular kembali menghampiri Barbie setelah yakin bahwa lawannya telah musnah bersama gumpalan asap hitam pekat tadi. “Kamu nggak apa-apa kan?” Barbie menggeleng ,tiga buah tadi masih dipeluknya dengan dua tangan, seakan takut, terjatuh lagi. “Syukurlah kalau kamu nggak apa-apa. Udah, tenang aja. Jangan takut, Kakak akan selalu melindungimu, Barbie.” “Aku nggak takut kok,” kata anak itu. “Aku cuma jijik dijepit tangan yang nggak bisa kuraba. Baunya amis, Kak.” “Kenapa tadi kamu nggak gunakan kesaktianmu ? “ “Aku lupa cara menggunakannya.” Dewi Ular tarik napas panjang. Memaklumi keadaan Barbie. “Itu tadi bayangannya siapa, Kak?” “Entahlah. Tapi mungkin itu tadi bangsa siluman penghuni alam ini. Atau sejenisnya.”.. “Siluman itu apa?” “Kakak jelaskan sambil jalan, yuk.” “Aku capek. Kakak gendong. aku kayak tadi, ya?” “Barbie, kamu….”
“Nanti gantian, aku gendong Kakak.” Kumala tersenyum geli. “Cerdik juga anak ini. Pinter merayu.” Karena bujukan itu lucu, menyenangkan, maka Kumala Dewi tak keberatan menuruti keinginan Barbie. Pikirnya, dengan menggendong Barbie gerakannya bisa lebih cepat lagi, sehingga seluruh alam ini bisa dijelajahi dalam waktu lebih cepat dibandingkan harus jalan kaki seperti tadi. Namun rencana, tetaplah rencana. Langkah sang dewi jelita terhalang lima sosok bayangan hitam tanpa raga. Tak jelas bentuk rupanya. Tak jelas bentuk pakaiannya. Atau mungkin malah tidak berpakaian. Lelaki atau perempuan juga, tak jelas. Sulit dibedakan. Lima bayangan itu berukuran lebih tinggi dari yang tadi. “Woow… kereeen … !” “‘Husy! Diam kau,Barbie. Keren, keren… apanya, yang keren?” “Mereka lebih besar dari yang tadi, Kak. Mereka juga termasuk si Lukman kan?” “si Lukman. Siluman!” bisik Kumala sambil tetap menggendong Barbie. Lalu, tiba-tiba ia mendengar suara serak sedikit menggema. “Kami bukan siluman!” Barbie yang berada di gendongan belakang Kumala berbisik, “Ayo, tebak… yang mana yang bicara, Kak?” Kumala tak menghiraukan bisikan itu, karena memang sulit membedakan yang mana yang, bicara mulut mereka tak jelas ada di sebelah mana, begitu pula mata dan telinganya. Bentuk kepala mereka hanya oval polos hitam. Dewi Ular bersikap tenang dengan gerakan. mata lincah penuh waspada. Kelima bayangan itu mendekat. Kakinya tidak melangkah, melainkan melayang di atas permukaan tanah. Mereka berhenti, dalam jarak sekitar sepuluh langkah dari tempat Kumala, berdiri. “Mau apa kalian menghadangku?” “Anak itu milik kami.” Sekarang siapa, yang bicara ketahuan.yang paling tengah. Sebab ada gerakan dari tangannya saat meminta anak itu. “Lupakan keinginan kalian. Anak ini tidak-akan kulepaskan apapun yang kalian lakukan terhadap kami.” “Kau boleh pergi, tapi tinggalkan anak itu “
“Kenapa kalian menginginkan anak ini?” “Dia telah memakan buah kejantanan kami.,” “Apa …?!” Dewi Ular terkejut, bahkan merasa ragu. Dengan pengertiannya sendiri tentang maksud mereka. “Kami tidak akan mengganggu. siapa pun, yang datang ke alam ini, selama mereka tidak mengusik kehidupan kami. Tetapi anak itu telah memakan buah kejantanan kami, sehingga ia harus kami makan untuk mengembalikan buah kejantanan kami itu “ “Buah kejantanan bagaimana maksud kalian?” “Di alam ini, kaum jantan meletakkan buah kejantanannya di pohom-pohon, supaya tetap segar dan subur. Kami mengambilnya apabila sudah waktunya bagi kaum jantan membuahi ladang kenikmatan kaum betina kami.” Yang paling ujung kiri menimpali. “Jika salah satu dari kami kehilangan buah kejantanan, maka yang bersangkutan akan dikucilkan oleh kaum betina, karna dianggap masih anak-anak. Dikucilkan oleh kaum betina merupakan siksaan paling berat dan sangat memalukan bagi harga diri kaum jantan.” “Wah, wah, wah…,” Kumala mendesis pelan setelah mengerti betul maksud mereka. Ia segera berbisik kepada Babrie. “Hey, buang buah-buah itu.” “Katanya buat bekal perjalanan kita Kak.” “Sudahlah, turuti saja. perintah. kakak. Buang buah-buah itu. Kau belum pantas memakannya, Barbie. Itu untuk wanita dewasa.” “Maksudnya bagaimana sih, Kak?” “Aaduuuh, ini anak cari penyakit aja. Udah, buruan lemparkan semua.buah itu ke mereka.” Barbie yang masih belum paham itu terpaksa menuruti perintah sang kakak. Tiga buah yang sedianya untuk bekal di perjalanan terpaksa dilemparkan ke arah lima bayangan. tersebut . “Ambillah itu. Dan, maafkan anak ini. Anak ini tidak tahu apa-apa tentang yang kalian bicarakan tadi.” Tiga bayangan memungut buah yang dilemparkan Barbie. Tapi yang paling tengah masih menuntut
diserahkannya Barbie kepada mereka. “‘Kami harus memakan anak itu! Karena dia sudah memakan dua buah kejantanan kami .. !” “Kalau begitu kalian harus berhadapan denganku.;,” “Apa boleh buat…!” Wuuut… ! Tiba-tiba bayangan yang tengah melepaskan pukulan tanpa maju sedikit pun. Gelombang pukulan itu berupa gumpalan asap biru yang meluncur.deras ke arah Dewi Ular. Namun hal itu sudah diwaspadai oleh Dewi Ular. Maka, dengan cepat is pun melepaskan sinar hijau dari kedua matanya. Sinar hijau lurus itu menghantam gumpalan kabur biru. Jgaaarrr…! Ledakan itu menimbulkan gelombang hawa panas yang menyentak kuat. Kelima bayangan terpental, Dewi Ular sendiri. juga terpental. Barbie hampir saja jatuh dari gendongannya kalau saja anak itu tidak berpegangan rambut Kumala kuat-kuat. Kumala menyeringai bukan karena hentakan gelombang panas tadi, melainkan karena rambutnya ditarik Barbie kuat-kuat. “Auuh, lepaskan rambutku, Barbie…!” Barbie melepaskan pegangan pada rambut Kumala. Kini dewi jelita itu berdiri dengan tegak-kembali, dan tetap menggendong Barbie di punggungnya. Namun kini ia sadar bahwa ternyata dirinya sudah dikepung oleh beberapa bayangan hitam yang berukuran tinggi-besar, seperti yang lima tadi. Mereka mengurung Kumala dalam jarak sekitar 30 meter. Salah satu dari kelima bayangan yang tadi terpental berkelebat masuk dalam kepungan, berhadapan dengan Kumala. “Kau telah terkepung! Serahkan anak itu, dan kami akan tunjukkan padamu jalan keluar dari alam ini. “ “Kalian boleh ambil anak ini kalau sudah bisa lumpuhkan kekuatan Dewi Ular!”’ “Hahh ?!” Bayangan yang berhadapan dengan Kumala tersentak kaget. Di ringi gerakan mundur antara dua meter. Ternyata yang tercengang kaget bukan hanya dia, tapi hampir semua bayangan hitam yang mengepungnya.
Bahkan suara mereka mulai terdengar gemuruh dengan masing-masing menyebut nama Dewi Ular. “Dewi Ular… ooh, celaka… Ya, Dewi Ular… Dia rupanya… ?!” Dalam hati.Kumala. bertanya, “Ada apa mereka? Kenapa ada yang mundur sampai jauh ? “ Lalu, bayangan yang di depan Kumala itu bersuara lagi. Kali ini suaranya lemah dan terkesan gemetar. “Benarkah… benarkah kau adalah Dewi Ular…? ! “ “Ya. Kenapa?” “Putri sang Nagadini?” “Betul.” Lalu, bayangan itu berseru kepada yang lain dalam-bahasa mereka. “Mahazoka, boozunnaaaa…!!” Wuuuuuuuuuuuuuuuuurrkkk Sebegitu banyaknya bayangan hitam yang-mengurung Kumala Dewi, tiba-tiba berlutut , dengan kepala tertunduk, membungkuk, nyaris menyentuh tanah. Beberapa saat kemudian mereka tegak kembali, namun tetap berlutut. Tak ada yang berani berdiri. Termasuk bayangan hitam yang berhadapan dengan Kumala. “Atas nama rakyatku, aku mohon ampun padamu, karena kami tak tahu kalau kamu adalah. putri Hyang Dewi Nagadini yang kesohor itu.” “Kalian kenal sama ibuku? “ “Kami adalah sekelompok roh tanpa raga yang pernah diselamatkan oleh ibundamu dari ancaman kepunahan Dewa Perang. Jika tidak ada pembelaan dari Hyang Dewi Nagadini, maka alam ini sudah dihancurkan oleh Dewa Nathalaga, karena dianggap sebagai tempat persembunyian para jin. Karena pembelaan. dari Hyang Dewi Nagadini, maka kami bersumpah akan mengabdi pada beliau dan anak cucunya kelak.” “O0000…”, Kumala nianggut-manggut. Selama ini ia belum pernah mendengar ibunya bercerita tentang alam roh tanpa raga. “Dewi Nagadini itu siapa; Kak?” bisik Barbie. “‘Mamaku…” “Mama itu apa?” “Ntar aja penjelasannya, ah!”
Kumala Dewi menurunkan Barbie, karena ia yakin, tempat itu sudah aman. baginya. Dan, pimpinan roh tanpa raga itu menyatakan. mencabut tuntutannya, Yang berarti Barbie sudah tidak lagi menjadi incaran mereka. Setelah menceritakan dirinya jatuh dan tersesat di alam itu, maka pimpinan roh tanpa raga membawa Kumala ke salah satu bukit yang tidak terlalu tinggi dan mudah didatangi. Di atas bukit itu Kumala melihat lubang besar di udara. Lubang, besar itu memiliki tepian bercahaya biru uranium. “Itu tempatnyai Nyai Dewi!” “Tempat apa itu?” “Itu yang dinamakan Lorong Tembus Kubur.” “Ooo, menyeramkan juga namanya.” ‘Masuklah ke lorong itu. Karna hanya itulah satu-satunya jalan keluar dari alam ini, Hyang Dewi Ular.” “Baiklah. Terima kasih atas bantuann itu. Boleh aku tahu namamu?” “Janggapala, Nyai Dewi…” “Janggapala,, hmmm… baik. Damai sejahtera bersama rakyatmu, Janggapala…” “Selamat jalan, Nyai Dewi, Ular…!” Janggapala membungkuk, memberi hormat penuh khitmad. Dia belum bergerak dari posisi bungkuknya,,sebelum Dewi Ular dan Barbie melompat masuk kelorong bercahaya. Wuuussst… ! Kemudian hilang dari pandangan Janggapala. Dewi Ular meluncur deras bagaikan terhisap kuat oleh energi yang ada dalam Lorong Tembus Kubur itu. Tak lupa sikecil boneka Barbie itu, dipeluknya kuat-kuat agar jangan sampai terpisah darinya. Perjalanan melayang cepat itu.melewati lautan mayat berbau busuk. Tapi tak satu pun mayat yang hidup secara gaib di sana ada yang berani mengganggu perjalanan Dewi Ular. Sebab, mereka tahu, siapa pun yang muncul dari Lorong Tembus Kubur berarti berasal dari alam Roh Tanpa Raga. Para mayat hidup di situ tak ada yang berani melawan kesaktian para penghuni alam Roh Tanpa Raga. Zlaaap, zlaaap, Zzuuuuuunuzzb… Brruuk…! Dewi Ular dan Barbie jatuh terhempas ditempat yang berudara hangat. Ada cahaya sinar matahari., namun sudah redup. Ternyata
mereka berdua sudah berada di alam kehidupan manusia. Dewi Ular segera membawa pergi Barbie keluar dari rumpun bambu yang ada di pinggir sungai kecil. “Kita di mana ini, Kak?” “Di alam manusia. Tapi entah di mana ini?” Kumala dan Barbie sudah berada di tepi jalan beraspal. la masih bingung kemana arah, yang harus dituju. Pada saat itu sebuah mobil hitam melintas di depannya.Tiba-tiba mobil itu berhenti mendadak sampai suara remnya seperti perawan menjerit. Ci it…!! Lalu, dari dalam mobil itu nongol kepala seorang pemuda tampan yang segera berseru keras-keras. “Kumalaaa !!” “Hah ! Samon ” gumam Kumala yang belum sadar bahwa ia sebenarnya berada: di komplek perumahan Jatiwangi Estate, Tempat itu adalah tempat yang pernah ditunjukkan Ajeng kepada Samon tentang adanya sebuah lorong gaib yang disebut Lorong Tembus Kubur. Ajeng benar. Tapi siapa Ajeng sebenarnya ? Mengapa ia merasa bersaing berat dengan Kumala Dewi ? Hal itu akan dibahas oleh Samon dan Kumala dalam kisah berikutnya …….. PARIT KEMATIA N SELESAI ..