Rahasia Gelang Pusaka Saduran : OKT
Sumber DJVU : BBSC Editor: Angon, Unknown Dimhader dan Sumahan Ebook oleh : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/ http://cerita-silat.co.cc/ http://ebook-dewikz.com
Jilid 1 PENDAHULUAN Tujuh belas tahun yang lampau..... Rembulan yang bercahaya indah seperti tengah tergantung di tengah-tengah langit. Maka di seluruh jagat berkilauanlah sinar perak yang menarik hati. Ketika itu malam Tiong Ciu (pertengahan musim rontok), karenanya si Puteri malam indah luar biasa. Karena itu juga, pegunungan Ciong Lam Sam yang luas ribuan lie, seperti bermandikan sinar perak permai itu. Itu pula sebabnya kenapa telah terlihat jelas sekali waktu tujuh atau delapan orang, bagaikan bayangan-bayangan abu-abu, berlari lari disalah sebuah jalan gunung. Gerak gerik orang-orang itu mirip serombongan anjing anjing pemburu yang sedang melakukan pengusutan atau pengejaran, tampaknya tak letihnya mereka. Mereka terus berlari-lari keras. Tapi Mereka bukanlah rombongan yang pertama. Masih ada satu rombongan lain, yang lebih kecil, yang berlari-lari tak kurang kencangnya daripada mereka yang berada disebelah depan. Mereka ini terdiri dari dua orang dan larinya, nampaknya, seperti tidak memilih jalan lagi..... Dari dua orang itu, dari yang lari dimuka, tiba-tiba terdengar jerit tangisnya seorang bayi, yang tergendol di punggungnya. Dia lantas menghentikan larinya, dia membekap mulut itu sambil berkata. "diam, manis....." Dialah seorang wanita, yang rambutnya kusut tertiup angin. Dia beroman cantik dan gagah. "Kenapa?" tanya orang yang lain disebelah depan, yang menunda tindakannya. "Hayo lari! Pengejar-pengejar itu nanti menyandak kita!" Dialah seorang pria.
Dari cara bicaranya orang ini, dia tentu suaminya si nyonya. Dia juga menggendong seorang anak lain. Dengan mana yang tajam, dia mengawasi si wanita. Anak yang menangis itu berdiam. Si wanita menghela napas lega. "Ceng Hun, masih berapa jauh lagi?" tanya si pria.
"Setelah melintasi mulut gunung umum di depan itu, di sana ada sebuah jalan sempit, "sahut si wanita. "Itulah dia" "Kalau begitu marilah!" Si pria berlari pula si wanita mengikutinya. Di belakang mereka mengejar terus rombongan yang kedua itu..... Tepat pria dan wanita itu tiba dijalan sempit yang semak, rumputnya tinggi sebatas dada, tiba-tiba mereka disambut gelak tertawa yang dingin yang memecah kesunyian sang malam atau sang gunung datangnya dari arah depan, di muka jalan kecil itu. Di situ, di atas sebuah batu hijau, tampak berdirinya seorang yang tubuhnya kurus-kering bagaikan rebung yang mukanya kisutan. yang rambut serta kumis janggutnya putih laksana perak. Dia mengenakan baju panjang, hingga dia terlihat bukan seperti pendeta, tak miripnya dengan seorang imam. Dengan sekonyong-konyong, pria dan wanita itu menghentikan larinya. Di antaranya sinar rembulan, sekarang nampak tegas pria dan wanita itu. Si pria pun tampan dan gagah romannya. Dan anak di punggungnya beroman sama seperti anak dipunggung si wanita. Mungkin kedua anak itu, anak anak kembar.
Kembali seorang memperdengarkan tertawanya yang dingin, "Hendak lari masuk ke dalam Toan Hun hok, eh?" kata dia. "Hendak meloloskan diri di jalan kecil dan sesat ini? Hm!" Suara itu tajam, sangat tak dapat didengarnya. Pula disebutnya nama lembah Toan Hun Kok (menyeramkan sekali). "Toan Hun Kok" berarti "Lembah Nyawa Putus Sementara itu, tibalah rombongan yang mengejar itu. Merekalah orang.orang yang usianya muda dan lanjut. Melihat sekian pengejar itu si pria tertawa dingin dan berkata tajam: "Sungguh tidak disangka malam ini Tiat Kian Sie-seng berhasil menemui Heng-sam Jie Loo It Koay, Sam Siu, serta masing-masing ketua Khong Tong Pay dan Tiam Chong Pay! Hahaha....." Parasnya delapan orang itu berubah pucat, lalu merah padam. Terang sekali mereka mendongkol dan gusar terejek demikian rupa. Hampir berbareng mereka itu berlompat maju melakukan penyerangan Dengan sangat kesusu si pria dan wanita bergerak menyambut serangan itu Maka terdengarlah bentrokan tangan yang keras. Sebagai kesudahan. keduanya terpental mereka muntah darah! Orang tua kurus kering itu, yang beroman pendeta bukan dan imam bukan, mengasi dengar tertawanya yang membangunkan bulu roman, suaranya itu bercampur menjadi satu dengan tangisnya anak-anak di punggungnya si pria dan wanita. Habis tertawa itu, siorang tua berkata nyaring:"Hanya dengan pukulan Tiat Sat Cwee Sim Ciang kami kedua Jie Loo, cukup sudah kamu menerimanya, apalagi sekarang di
sini ada pula enam orang lainnya! Sekarang berlakulah tahu diri, lekas kau serahkan "Cay Hoan Giok Tiap"supaya kami dapat berlaku murah dengan membikin kamu terbinasa utuh!" Si pria ialah Tiat Kiam Sie-seng, atau siPelajar Pedang Besi, bergerak bangun. Baru saja ia hendak membuka mulutnya, atau ia sudah muntah pula memuntahkan darah hidup seperti bermula barusan. Ia melirik kepada wanita yang rebah disisinya, yaitu isterinya, yang ia panggil "Ceng Hun" itu. Maka isteri itu sangat pucat, tubuhnya tak berkutik Mendadak ia merasa hatinya nyeri, lagi-lagi ia muntah...... Seorang tua yang bermata satu, yang berdiri disamping si pria, mengasi dengar suara "Hm!" yang tawar. Mendadak dia mengayun tangan kirinya, membikin suatu benda melesat menyambar si pria! Tubuh Tiat Kiam Sie seng baru mau bangun atau dia roboh pula, kali ini untuk tidak bergeming lagi, sedang dari mulut, hidung, mata dan telinganya, lantas mengalir keluar darah merah. Menyusul itu siorang tua mata tunggal itu lompat untuk menyambar anak di punggung si pelajar itu, untuk terus melemparkan ke semak-semak di sisi mereka. Maka dari dalam semak itu segera terdengar jeritan yang menyayatkan hati..... Habis itu, siorang tua mengulur pula tangannya, untuk menyentuh tubuh sipria atau datanglah bentakan: "Tahan dulu! Cay Hoan Giok Tiap didapatkan kita beramai! Bagaimana dengan kami bertujuh?" Itulah suaranya seorang.
Orang tua mata satu itu tertawa lama. Dingin suara tawa itu. "Mungkinkah kau, Soat-san gan Mo Hong Keng, menguatirkan aku Tok-gan Jin Touw, akan menelan sendiri saja?" kata dia. Orang tua yang dipanggil Soat-san-gan Mo Hong Keng itu si Belibis dari Soat-San, Gunung salju yang mengenakan jubah putih, tertawa dingin juga. "Kau, Tok Gan Jin-touw, Cee In, kau hendak menelannya sendiri. aku tidak takut?" katanya. "Hanyalah itu tiga saudara kakak-beradik mereka.... Dia tidak meneruskan, agaknya dia sengaja, terus dia melirik si orang tua bukan pendeta bukan imam. Orang bukan pendeta bukan imam itu yang dipanggil Tok Gan Jin touw, si Pembunuh Mata Satu berobah parasnya Demikian juga orang tua yang jangkung kurus dan bermuka kuning. yang berdiri di sisinya. Berdua mereka menempelkan tubuh jadi satu dengan lain dengan rapat sekali. Soat-san gan Mo Hong Keng tertawa terbahak. "Kamu lihat!" katanya. "Lihat, Hoo See Sam Siu memperlihatkan diri asalnya! Dikolong langit ini siapakah manusianya yang tidak tahu bahwa Kut Lauw Loo jin, Tok Gan Jin Touw dan Song-bun sin dari Hoo-see berniat menelan sendiri Cay Hoan Giok Tiap?" Ketika itu dua orang imam yang berjubah abu-abu maju ke depan, satu diantaranya lantas berkata: "Sekarang ini kita baiklah jangan membikin banyak berbisik saja! Paling benar kita cari dahulu Giok Tiap, baru kita bicara pula!" Ketua dari Khong Tong Pay, It Yang Cu, turut bicara.
"Benar apa katanya Tiat Ciang Pangcu!" ujarnya: "Kita mencari dahulu, baru kita mendamaikannya. Siapa yang memikir untuk menelannya sendiri dia boleh lihat Tiat kiam Sie-seng sebagai contoh!"
Imam, yang dipanggil Tiat Ciang Pangcu itu, ketua partai Tangan Besi, yang sebenarnya bernama Pui Thian Bin menoleh kepada imam berbaju abu-abu usia pertengahan disisi untuk berkata: "Thian Tie Lao-too mari kita sama-sama mencari" Hanya sebentar mereka bekerja, menggeledah, lantas mereka berdiri bengong dengan saling memandang! Karena itu, orang orang yang lainnya itu lantas menggantikan mereka menggeledah tubuhnya si pria dan wanita. Mereka pun lantas melongoh. Tak ada barang yang mereka cari! Thian Tie Lou-too, si imam tua Thian Tie menjadi gusar sekali, maka ia menyambar anak yang lainnya, lantas tangannya diayun. Hanya mendadak, ia menunda gerakan tangannya itu, sambil memandang sianak, ia memuji "Sungguh tulang yang bagus!" Habis mengucap itu, dengan membawa anak, ia lari kabur kedalam hutan dan menghilang disitu! "Mungkinkah benda berada ditubuh anak itu?" berkata ketua dari Tiam Cong Pay, yaitu Cauw Bin Giam lo si Raja! Akherat tertawa. Inilah sebab ia bercuriga melihat kaburnya si imam, atau toojin, bersama anak itu. Soat San Gan lantas berlompat ke semak-semak. Dia mencari anak yang tadi dilemparkan kembali dia melongoh. Anak itu tidak ada. Yang lain lain juga tercengang. Mereka heran sekali. Siapa yang membawa kabur anak itu di depan hidung mereka? bukankah mereka? Bukankah mereka semuanya jago-jago berkenamaan?
Tiat Ciang Pangcu dongak melihat langit "Sudah, jangan kita menjanjikan tempo lagi!" katanya. "Mari kita susul Thian Tie Loa koay si iman siluman tua!" Merdengar demikian, semua orang bagaikan terjaga secara mendadak dari tidur mereka, maka serentak mereka bergerak, lari menyusul Thian Tie Tojin. Hampir berbareng dengan kepergiannya orang-orang itu, langit pun guramlah. Siputeri Malam yang terang cemerlang dengan tiba tiba saja dialingi sang mega hitam itulah bagaikan tanda bahwa Thian pun tak ingin mengawasi lagi kedua mayat yang hampir separuh telanjang, yang rebah damping-berdampingan ditanah pegunungan yang sunyi senyap itu. Sang mega terus bermain-main, bergulung gulung. Makin lama jagat makin gelap. Hanya lewat sesaat, sesudah sang halilintar muncul
berkelebatan berulangkali sabagai gantinya, turunlah sang air langit, hingga seluruh gunung menjadi basah, menyapu bersih darah yang berhamburan itu, sirna dikaki gunung. Setelah hujan berhenti turun, maka mendadak ditempat peristiwa hebat itu terlihat seorang, yang dari jauh bergerak mendatangi bagaikan kilat cepatnya. Dia muncul dari arah lembah Nyawa Putus. Langsung dia menghampiri kedua mayat yang tersia sia itu dia berdiri disisinya. terus dia menghela napas. Habis itu, dengan tangannya masing masing angkat setubuh mayat, dia lari balik kedalam lembah dinama dia menghilang didalam rimba raja yang hebat....
"BOCAH TAK BERGUNA"
Kota kecamatan Gie hin di Kanglam tengah merayakan malam Goan Siauw atau Cap Go Meh, malam tanggal lima belas yang indah dari Chia-gwee bulan pertama. Kota menjadi ramai sekali, sangat hidup nampaknya. Terutama orang berdesakan dihalaman muka Seng Hong Bio, gereja Malaikat Kota dimana ada dipertunjukkan wayang opera, yang panggungnya tinggi sependirian dua orang. Semua tempat duduk sudah penuh sesak. Cerita yang di lakonkan ialah "Sat Cu Po," atau "Pembalasan Pembunuhan Anak." Tengah keramaian barlangsung itu maka dari bawah panggung terlihat munculnya seorang yang romannya luar biasa. Dia tinggi belum empat kaki. Dia jalan berlenggang-lenggok. Punggungnya berbungkuk unta. Dua buah tangannya sebaliknya, panjang sampai didengkulnya. Dia memiliki mulut yang lebar ujung bibirnya, seumpama kata hampir sampai kesisi telinganya. Sedangkan hidungnya melesak sampai dia seperti tak memiliki hidung lagi. Bibirnya yang bawah pun doble, turun rendah sekali, Maka itu, itulah roman yang jelek lagi menakuti..... Segera juga mata orang banyak tertuju kepada orang kate luar biasa ini. Diantara ada orang orang yang berteriak saking kagumnya. Orang luar biasa itu sebaliknya mengawasi orang banyak dengan matanya yang tajam, yang sinarnya memandang hina. Dia berjalan perlahan mengitari panggung wayang itu. Kemudian dengan kedua tangannya yang besar bagaikan kipas dan merabah sebuah cabang tiang mimbar penonton yang besar seperti mangkuk, atas mana, tiang itu pecah remuk! Dengan begitu, ambruklah mimbar itu, hingga terdengar suara runtuhnya yang keras dan berisik melebihkan
berisiknya tambur dan gembreng sandiwara diatas panggung! Tanpa mengambil mumat kecelakaan diterbitkannnya itu, sijelek itu berindap masuk kedalam gereja di mana dia menghilang disatu pojok yang gelap.
Berbareng lenyapnya orang aneh itu, disitupun terlihat seorang pelajar usia pertengahan, yang gerakannya gesit. Tanpa suara tindakannya, dia turut lenyap didalam gereja itu. Hanya tak lama tak lama, dia muncul pula, romannya lesu. bagaikan orang putus asa. Tengah dia berjalan keluar itu, tiba-tiba sinar matanya bentrok dengan orang jelek tadi, yang menyelip diantara orang banyak. Sijelek itu membuka jalan dengan paksa. Maka dia tertawa dingin, dia lantas menyusul. Dia pun mesti mendorong atau menolak setiap orang yang berdiri di hadapannya. Orang kate luar biasa itu berjalan terus keluar kota Si pelajar terus mengintilnya. Dibelakang orang aneh itu, dia mengawasi dengar tertawa yang dingin disusul dengan kata-katanya ini: "Sungguh sebuah pukulan Cit-sat Cwie Sim Ciang yang lihay sekali! Dari manakah kau pelajarinya! Si kate jelek itu berpaling. Dia memandang si pelajar hanyahnya sekelebatan, lantas dia menoleh pula ke depan, untuk melanjuti perjalannya tanpa mengambil mumat orang yang iseng mulut itu.... Si pelajar tertawa dingin. Dia loncat menyusul tangan kanannya diulurkan, untuk menyambar pundak orang. Tepat di saat sambaran itu hampir mengenai sasarannya, mendadak si kate berkelit. Dengan satu kali mencelat saja dia telah memisahkan diri tujuh atau delapan tindak. Segera dia menoleh, mengasih lihat roman yang gusar. "Siapakah kau? "tegurnya. "Apakah kau sudah tidak memikir hdup lebih lama pula?"
Si pelajar tertawa lebar. "Akulah Liong-heng-ciu Beng It Cin!" sahutnya tembareng. "Hendak aku tanya kau, dari manakah kau dapat pelajari ilmu silatmu itu Cit Sat Tywie Sim Ciang Ilmu silat itu ialah Tangan Menghancurkan Jantung. Sambil menjawab, atau berkata begitu, kembali dia lompat maju kembali, dia mengulur tangannya guna menjambret pula ke arah pundak! Si kate berkelit Lagi lagi dia mencelat delapan tindak. Sangat gesit dan lincah gerakannya. Liong-heng ciu Beng It Cin menjadi melengak "Sip pat Inilah ia tidak sangka sama sekali. Sebenarnya ia sudah menggunai tipu silat "Siauw Liong Ciu" atau "Merantai Naga satu di antara jurus jurus terlihay dari sip pat Liong heng Ciu yang terdiri dari delanpan belas jurus. Heran dia yang orang lolos pula. Ketika itu berkumpul sudah banyak orang yang datang menonton.Diantara mereka itu terdengar pujian: "Bagus!' "Kau siapa? "tanya Liong Heng Ciu yang menjadi gusar sekali. Si kate mengasi dengar jawabannya yang tajam dan tawar: "Aku yang rendah seorang yang tidak mempunyai nama, maka itu cukuplah kalau aku dipanggil Bu Beng Tong Cu "Bu Beng Tong Cu" itu berarti: "Bocah tak bernama" Memang, sejak dia kenal dirinya, si jelek ini belum pernah mendengar orang sebut atau panggil dia dengan namanya, bahkan gurunya memanggil ia dengan 'Eh' saja.
Pertanyaannya Beng It Cin membuatnya heran lantas dia berpikir. Begitulah, dia memberikan jawabannya itu.
Beng It Cin heran. Lantas ia menatap bocah didepannya ini. Orang mestinya belum berusia lebih daripada enam atau tujuhbelas tahun, tetapi aneh, kenapa dia demikian kate. Bu Beng Tongciu juga mengawasi Liong Heng Kiam. Ia mendongkol melihat sikap orang, Ia merasa bahwa ia sangat dipandang hina. Tiba tiba timbullah hawa amarahnya lalu dengan sekonyong konyong ia lompat menyambar dengan tipu silat "Kay Thian Pek Te atau menciptakan dunia.
Beng It Cin menjadi kaget sekali. Tahu-tahu tangannya kanan dibetulan nadi telah kena dicekal. Dan si cebol terus memutar tangan kanannya di depan muka orang, menyusul mana tangan kirinya, dengan lima jarii bagaikan gaetan, menyentuh sasarannya! Sudah duapuluh tahun Liong Heng Ciu mengembara, belum pernah ia menemui lawannya yang setimpal. Ia ketarik hati waktu ia melihat anak ini merusak tiang mimbar dengan satu kali "meraba" saja. Ia ingat itulah ilmu silatnya seorang "hantu tua, yang sudah sepuluh tahun lebih tak pernah muncul pula dalam dunia Kang Ouw, yang buat beberapa tahun sedang ia cari. Karena itu, tertariklah hatinya mendapati orang yang mengerti ilmu silat itu Ia menduga kepada murid atau ahli waris si hantu tua. Maka ia mengikuti. Siapakah, sekarang ia kena dicekal sampai tak sanggup ia melepaskan lengannya itu Si kate tertawa dingin. "Kiranya begini! saja Liong Heng Ciu yang namanya menggetarkan dunia Kong Ouw!" Begitu dia berkata, dia melepaskan cekalannya, tubuhnya lompat mundur tiga tindak.
Liong Heng Ciu melongoh. Menampak demikian si cebol tertawa. "Jikalau tidak puas, mari coba lagi dia menantang. Liong Heng Ciu sangat mendongkol. Belum pernah ia menerima hinaan semacam itu Maka, menuruti hawa-amarahnya, ia menyerang pula. menggunakan dua dua tangannya dan tipu silatnya juga "Hut Ia Sauw Goa," yaitu "mengebut mega, menyapu rembulan" Dua tangannya menotok kekedua jalan darah-Hian kie dan Khie hay. Ini pun salah satu jurus dari ilmu silatnya itu. Sip-pat liong Heng Ciu. Lain orang, belum ada yang pernah mengalahkan tipu silatnya ini. Si bocah tak bernama melihat serangan itu, dia menyambut. Dia menggerakkan tangan kanannya dengan tipu silat "Ngo Gak Siauw Liong," atau "Di lima gunung merantai naga sedangkan kaki dirinya diajukan, hingga dia jadi rendah tubuhnya. Dia bukan menangkis. hanya dengan lima jerijinya dia mencaba mencekal lengan lawan. Liong Heng Ciu terkejut. Tak leluasa ia melayani orang kate, hingga ia jadi kurang sebat. Ketika itu, tangannya juga sudah meluncur sebagian. Tiba-tiba ia merasakan lengannya kesemutan. Itulah akibat lengannya tercekal itu Dengan
lekas. rasa kesemutan itu menjalar ke seluruh tubuhnya Si bocah tertawa terrgelak, membarengi itu, dengan dua-dua tangannya, dia menolak. Tidak ampun lagi, tubuh Liong Heng Ciu tertolak mental jauhnya satu tombak lebih, dan tempo kakinya menginjak tanah, ia pun lantas muntah darah! Dengan tawar, si bocah berkata: "Kau telah tergempur dengan pukulanku yang bernama Cit-sat Cwie Sim Ciang!
Di dalam tempo dua belas jam, kau bakal mati, maka itu. lekas kau pergi pulang!" Walaupun dia berkata demikian, anak itu terlihat tegak kebocah-bocahannya. Habis berkata itu, dia menggoyang-goyang kepalanya, terus dia pengin geloyor, membuka jalan di diorang banyak. Liong heng ciu Beng It Cin memegang tubuhnya salah seorang penonton, untuk ia dapat berdiri. Kembali ia muntah darah. Kata ia lemah pada orang itu: "Aku minta tolong memanggilkan aku sebuah kereta supaya aku dapat diantar ke Sip Lip Pay Kau bakal dipersenan Keluarga Beng." Orang itu agak bersangsi, "Nanti aku yang antarkan kau!" berkata seorang tua, yang berada di sisi mereka. Bahkan ia lantas pergi memanggil kereta. Tempo Liong Heng Ciu naik ke atas kereta itu, si orang tua memayangnya. Tempo roda roda kereta berputar, maka di samping kereta terlihat seorang pendeta tua bersama seorang bocah usia enam atau tujuh belas tahun mengikutinya dengan tindakan yang cepat dan ringan sekali. Hanya baru beberapa tindak, lantas mereka segera menghentikan mereka. Si pendeta tua menghela napas melihat romannya Liong Heng Ciu "Suhu...." berkata sianak muda atau segera ia disebelah si pendeta. "Tidak ada pertolongan lagi! Dia telah terluka anggauta-angggauta tubuhnya bagian dalam...!" "Tapi, suhu.... Bukankah suhu mempunya kepandaian merebut pulang nyawa orang? Kenapa dengan banyak
sekali memandang saja, sekarang suhu memastikan bahwa orang itu tak dapat ditolong pula?" Si pendeta tua bungkam. Dia seperti kelelap dalam pikirannya. "Siapapun bakal terhajar mati oleh pukulan Cit-sat Cwie Sim Ciang kecuali dia memiliki ilmu tenaga dalam dari kaum Buddha kita yang dinamakan prama atau tenaga dalam Tay Ceng Bin-khie dari kaum Too Kauw. Dahulu hari ayahnya.... Ah sudahlah, terlalu siang untuk mengatakannya!" "Suhu! '"kata sianak muda. "Suhu bagaimana dengan ayahku? Suhu telah berjanji, sesudah usiaku tambah, suhu hendak memberikan keterangan itu"
"Anak Ie kata sipendeta sabar "asal saatnya tiba akan aku beri keterangan padamu! Lalu ia bertindak dengan perlahan Si anak muda mengikuti, ia menundukkan kepala Tidak lama tibalah mereka di sebuah rumah berhala kecil. Berdua mereka masuk kedalam situ. Segera seorang seebie cilik, kacung pendeta menyambut seraya berkata: "Guruku sudah pulang! Sekarang suhu berada didalam kamarnya lagi menantikan" Mereka mengangguk, terus mereka masuk kedalam. Maka mereka lantas melihat seorang pendeta tua lagi duduk bersilat diatas pouwtoan, tempat duduknya yang istimewa. Melihat tetamunya pendeta itu lantas berbangkit sambil menyapa: "Kauw Siu Tay-su selamat berjumpa!" Pendeta yang dipanggil Kouw Siu itu tertawa, ia berkata: "Pada empat puluh tahun dulu, ketika kita bertemu buat pertama kali di Siauw Lim Sie, kau masih menjadi
kacungnya Goan Thong Taysu ketua Siauw Lim Sie! Dan sekarang, usiamu sudah meningkat. Ia terus menunjuk sianak muda seraya menambahkan. "Inilah muridku. Oe Ie Kun!" Sedangkan kepada muridnya, ia baling: "Lekas kau memberi hormat kepada Hui Khong taysu!" Anak muda itu menurut, ia mengunjuk hormatnya. Hui Khong membalas seraya berkata: "Tak usah kita ada setingkat!" Tapi sianak muda berkata: "Aku memohon pengajaran dari taysu" Kemudian Hui Khong berkata pada Kouw Siu Taysu; "Kabarnya taysu hidup menyendiri di gunung Ciong Lam San, kenapa kembali taysu muncul didunia umum?" "inilah guna anak ini!" sahut si pendetu tua. "Sebelum dia lulus, hendakku membawanyanya mengembara untuk mencari pengalaman. Setelah itu, dia mesti pulang untuk duduk bersemadhi hadapi tembok selama tiga tahun, baru kemudian bolehlah dia turun gunung." Hui Khong mengangguk, terus ia berkata pada sianak muda: "Sie-cu, kau belajariah dengan rajin dan tekun, supaya kau dapat mewariskan kepandaian gurumu ini yang menjadi ahli utama dari golongan Mahayana dari India, supaya kelak kau membikin makmur kalangan Rimba Persilatan" Ie Kun mengangguk. Kouw Siu berdiam sekian, lama baru ia menanya: "Apakah sekarang ini masih ada itu orang orang yang dinamakan Jie Loo, Sam Siu dan It Koay?'"
Dalam suaranya Hui Khong ketika ia mengangguk dan menjawab: "Ya. bukan saja mereka itu masih tetap seumpama menggeraki angin menebarkan gelombang dalam dunia Kangouw, bahkan untuk Kanglam dan Kang-pak. Tiat Ciang Pang menjadi satu kumpulan paling besar..." Selagi mereka itu berbicara seorang kacung pendeta. yang datang dengan berlari-lari. lantas melaporkan: "Diluar ada datang seorang kate luar biasa, katanya dia hendak mencari suhu!" Hui Khong terkejut. "Ah! Kenapakah dia datang?" serunya Meski begitu, ia toh bangkit dan terus lari keluar. Kouw Siu dan muridnya, yang juga rasa-rasa heran, turut pergi keluar, maka itu, lantas mereka melihat si orang cebol yang tadi mereka ketemukan. Kapan Bu Beng Tongcu melihat Hui Khong, dia tertawa geli, tetapi hanya sebentar, tiba tiba wajahnya menjadi guram dan murung, terus dia berkata keras: "Aku Bu Beng Tongcu aku datang mencari kau! Di sini hendak aku membereskan perhitungan kita yang terjadi ditaman yang tersia-siakan dari keluarga Cie di luar kota Hangciu!" Parasnya Hui Khong pun menjadi merah padam. "Kau, kau makhluk manusia, bukan setan, bukan!" tegurnya: "Kenapa kau bolehnya datang menyatroni aku di sini? Kau harus ingat peristiwa dahulu hari itu! Ketika itu aku menyayangi kau. Tak tega aku melukaimu, karena aku ingat tak mudah untuk mencari kepandaian!" Bu Beng Tongcu gusar. "Siapa merintangi aku, dia mesti membayar dengan jiwanya dia membentak lantas dia menggerakan kedua tangannya, agaknya dia bendak menyerang
"Tahan!" berseru Kou Siu, yang melihat lagak orang galak itu tidak keruan itu. "Bukankah kau muridnya Thian Tie Tojin?" Si cebol mengawasi pendeta tua itu, matanya bersinar "Kalau benar, bagaimana?" dia balik bertanya. Kouw Siu melihat pada dahi si cebol itu sebuah tahi-lalat merah terang, ia mengawasi muridnya, di dahi siapapun terdapat tahi-lalat, lantas hatinya tergerak. "Bu Beng Tongcu, kau sebenarnya bernama apa?" ia bertanya lembut. "Akulah Bu Beng Tongcu!" sahut si cebol kaku. "Kau keledai tua yang botak, jangan kau banyak bacot Berhati-hatilah atau aku akan membunuhmu juga!" Oe Ie Kun menjadi gusar. "Beranikah kau" bentaknya. Bu Tong Tongcu melirik. "Jikalau kau berani, jangan kau sembunyi saja di belakang gurumu!" ejeknya. Oe Ie Kun gusar sekali ia hendak maju, tapi gurunya mencegah: "Kau bukan lawan dia."
Hui Khong gusar sekali melihat orang demikian galak dan kurang ajar. "Tidak dapat tidak hari ini aku mesti ajar adat padamu!" katanya. Bu Beng Tongcu melirik, mendadak ia mencelat maju dan menyerang. Si pendeta tidak menyangka orang maju demikian cepat dan gerakannya juga pesat sekali. Ia segera maju seraya bertindak ke samping. Itulah gerakan maju sambil berkelit. Sambil maju itu, ia menggerakkan tangaa kirinya dengan tipu silat "Geng-khong pay-long" atau "Menghadapi udara kosong mengatur gelombang," dua buah jari tangannya mencari sasaran kedua jalan darah kie kut dan thian cu.
Bu Beng Tongcu berseru nyaring, tubuhnya dihentakkan ke samping, untuk berkelit. setelah itu ia maju pula, menyerang dengan kedua tangannya, dengan gerakan "Jioliong-hun-cui" atau "Dua ekor naga memecah air." Hebat kedua tangannya itu meluncur kepada si pendeta. Terkejut si pendeta, ia heran sekali, hingga ia berkata didalam hatinya: "Kenapa tenaga dalam bocah ini bertambah cepat berlipat ganda tempo hari?" ia lantas mengajukan dua tangannya, guna menolak. Kedua pihak bentrok keras sekali, sama-sama mereka mundur dua tindak. Tapi tubuh kate si bocah menggeliat, parasnya menjadi sangat tak sedap dipandang. Dengan gusar, dia berkata nyaring: "Satu bulan lagi kita akan menentukan pula menang dan kalah. Pastilah aku si Bu Beng Tongcu akan mengambil benda di atas batang lehermu guna di pakai menyembayangi rohnya tujuh orang yang telah terbinasa di taman keluarga Cie!" "Sungguh mulut besar!" kata Oe Ie Kun di dalam hati, sedangkan matanya melihat si cebol itu mencelat pergi. lantas menghilang. Kauw Siu menghela napas "Agaknya si cebol ini merasa pasti bahwa satu bulan lagi dia akan dapat mengalahkan kau..." ia berkata perlahan pada Hui Khong. Hati si pendeta bercekat. "Melihat dia maju demikian pesat, memang benar juga satu bulan lagi aku sangsi dapat melawan dia," katanya. "Jikalau taysu sudi, aku mohon diberi petunjuk jalan yang terang." Kouw Siu mengajak tuan rumah kembali ke dalam. Ia berkata: "Jikalau aku tidak salah, Bu Beng Tongcu ini mestinya semacam orang yang pernah disebutkan guruku. Orang semacam dia dipelihara dan didik sedari masih sangat kecil. Umpama kata dia minum dicuci bersih
sumsumnya, di tukar tulang-tulangnya. Orang biasa menanam pohon dengan dipaksakan dikekang hingga ia menjadi tidak dapat besar, sedangkan tubuh manusia dicegah melarnya dengan dimasukan ke dalam sebuah guci. Demikian si cebol barusan. Dia menjadi kecil dan kate karena bikinan, tetapi walaupun demikian, bakatnya tidak menjadi lenyap, kalau dia belajar silat, dia dapat memperoleh kemajuan sempurna. Aku menduga dialah muridnya Thian Tie Tojin, nyata dugaanku tidak meleset."
Perdeta ini berhenti sejenak, lantas dia menambahkan: "Baiklah, akan aku mengajar kau tiga jurus dengan apa nanti kau dapat membebaskan diri dari si cebol yang liehay itu...." Hui Khong mengucap terimakasih. Kouw Sia lantas membacakan tiga jurus pelajaran yang ia berikan itu. Oe Ie Kun mendengarkan dengan penuh perhatian. Melihat lagak muridnya pendeta tua berkata: "Tak usah kau mencuri dengar! Kau juga boleh belajar sekalian, guna kau nanti menjaga dirimu!" Ie Kun girang sekali. Ialah seorang murid luar biasa. Selama ia mengikuti gurunya setiap kali ia menyaksikan guru itu berlatih tentutentu ia minta diajari akan tetapi guru itu melainkan menyuruh ia duduk bersemadhi selama tujuh belas tahun belum pernah ia diajarkan silat sekalipun satu jurus. Maka itu sekarang, mendengar ia mau diajari hingga tiga jurus ia girang hingga ia lompat berjingkrak. Kouw Siu mengajak dua orang itu pergi ke belakang, di tempat yang sepi. Ia berkata. "Inilah tiga jurus Thian Touw kamu, ingat baik-baik. Sekarang lihat akan jurus yang pertama, namanya Cian Kouw Lui Tong. "artinya Tambur perang berbunyi laksana guntur." Habis berkata, ia bersilat, untuk memberi contoh.
Hui Khong dan Ie kun bersilat, mereka menelan itu. Habis itu menyusul pelajaran dua jurus lainnya, yaitu "Ciu po Thian Keng, "atau "Batu pecah mengejutkan langit dan "Thian Peng Te Liat atau "Langit ambruk, bumi gempa." Pelajaran itu diberikan sampai kedua orang itu apal betul, setelah mana, si pendeta tua memberikan pesannya: "Tiga jurus ini luar biasa. asal digunai, mesti-mesti orang terlukai karena itu, jangan kamu sembarang gunakan, supaya kamu tidak dikutuk Thian!"
kui Khong dan Oe Ie Kun memberikan janjinya. Malam itu malam Goan Siauw, kota ramai luar biasa, akan tetapi di dalam rumah sudah itu, orang tetap terbenam dalam kesunyian, karena itu, Ie Kun ingin sekali menyaksikan keramian. Ia memang belum pernah melihat, dunia.... "Kau boleh pergi tetap ingat jangan kau kemaruk dengan keramaian," kata si guru, yang baik hati. "Ingat. kau mesti pulang sebelum tengah malam!" Ie Kun mengucap terima kasih. Ia berjanji akan pulang sebelum jam dua-belas. Seorang diri ia berjalan dengan cepat menuju kekota Gie hun. Inilah yang pertama kali ia keluar seorang diri, maka ia mirip seekor burung yang lolos dari kurungan. Sudah sekian lama ia mengikuti gurunya mengembara, belum pernah ia diberikan kemerdekaan seperti ini. Maka ia kagum sekali selekasnya ia tiba didalam kota. Suasana sangat ramai. Orang tampak berlipat ganda banyaknya daripada waktu siang tadi. Saking kagum, ia jadi terbengong.
Tiba tiba pemuda ini menjadi terkejut. Tengah ia dongak, ia melihat satu bayangan orang berkelebat diatas genting. yang lantas lenyap dalam sebuah loteng yang tinggi. Ia heran, ia jadi ingin mendapat tahu. Menyelak diantara orang yang berjubelan, ia menuju kerumah yang berloteng itu. Cuma tiga putaran saja, sampai sudah ia didepan rumah itu. Iiulah rumah yang besar dengan pekarangan yang lebar, hanya di empat penjurunya, temboknya sudah tua dan gugur disana sini suatu tanda bahwa gedung itu sudah lama tidak terawat. Pintu pekarangannya yang besar dan diberi bercat, juga sudah tidak keruan macam. Melihat dari tembok yang gugur dan bolong, dibagian dalam rumah itu tak nampak sinar api. Ketika itu didepan rumah itu ada lewat serombongan orang ketika mereka mendapatkan Ie Kun lagi berdiam mengawasi, salah seorang diantaranya berkata: "Itulah rumah hantu, setiap hari ada setannya yang mengacau! Jikalau kau melihat setan, anak muda, jangan kau heran! Kau tahu. siapa masuk kedalam rumah itu, dia tak pernah keluar lagi sampai tulang-belulangnya pun tak ada sisanya" Jalan disitu tak banyak dilalui orang, toh itu jalan hidup. tak percaya Ie Kun terhadap ceritera tentang hantu itu. Ia percaya tentulah orang jail yang menyamar menjadi setan. guna mengganggu orang orang yang berlalu-lintas disitu. Atau dilain saat ia mendapat pikiran ini. "Tak mungkinkah orang jahat menggunakan tempat ini sebagai sarangnya?" Memikir demikian, pemuda ini sudah lantas mengambil keputusan. Bukannya ia berlalu dari situ, ia justeru melompati tembok untuk masuk kedalam pekarangan. Didalam situ ia mendapatkan banyak pohon hingga sukar buat ia berjalan maju. Rumah itu juga banyak wuwungannya.
Sekian lama Ie Kun berjalan, belum juga ia mendekati gedung. Ia heran, ia menjadi bingung Teranglah bahwa ia telah kesasar. Ia mencoba akan jalan lempang, sia sia. Ia menjadi menyesal yang ia sudah berlaku sembrono. Pantas gurunya membilangi bahwa ia belum berpengalaman. Pernah Ie Kun memperoleh pelajaran Kie-bun Pat-kwa dan gurunya Itulah pelajaran yang telah diberikan pada tujuh atau delapan tahun yang lalu, tetapi sekarang, berada didalam tempat sesat, ia seperti putus asa. Maka di akhirnya ia menjatuhkan diri. untuk duduk numprah, guna memusatkan pikiranhya. Iapun memejamkan matanya. Lewat sekian lama, baru ia merasa otaknya jernih. Lantas ia membuka matanya, memandang kedepan, lalu kekiri dan kekanan dan akhirnya kebelakang. Ia memperhatkan sekitarnya. Tiba-tiba ia terperanjat. Itulah karena ia mendengar suara berkelisik disisinya. Lekas lekas ia memutar tubuh. atau ia mendapatkan seorang wanita muda dengan pakaian serba putih tahutahu sudah berdiri disisinya itu. Ia kaget sekali, sedang hidungnya segera mencium bau yang harum.
"Rupanya kau bukan penduduk sini?' tiba-tiba si nona tanya perlahan. Ie Kun mengawasi. Ia mendapatkan seorang yang cantik sekali, sendirinya, ia tercengang. Ia tidak mendengar kata-kata sinona, ia melainkan merasakan sedapnya suara yang merdu. Sinona nampak kurang senang karena orang berdiam saja. "Eh, aku menanya kau!" tegurnya. "Kau dengar atau tidak?" Kali ini, si pemuda terperanjat, dia sadar. "Aku..."sahutnya bingung.
Nona itu membanting kaki, agak jengkel dia. "Mari turut aku!" katanya. "Aku antar kau keluar dari tin ini!" "Tin" ialah semacam garis perang yang rahasia yang menyesatkan. Ie Kun menurut. Baru jalan dua putaran, ia sudh melihat bagian luar. "Kau tunggu disini!" kata si nona. "Jangan berkisar! Didalam rumah ini terdapat berlapis-lapis perangkap! Kau tunggu, hendak aku menyingkirkan satu perintang, baru kau masuk!" Ie Kun dengar kata. Ia tetap bingung. Tak tahu ia, siapa nona ini. Ketika ia mengiringi nona, ia masih nampak linglung. Sinona melihat lagaknya, dia heran. Pikirnya: "Melihat dari wajahnya, dia memiliki tenaga dalam yang mahir. Dia rupanya orang yang masih maju Mungkin dia sama seperti aku, dia datang kemari tanpa tujuan dan aku mengajaknya secara bersahaya" "Mari!" katanya kemudian. Ia menjejak tanah untuk lompat tinggi tiga tombak, lalu maju ke sebelah dalam. Ia bergerak tanpa suara anginnya, Ie Kun heran."Pantas dia berani," pikirnya. Justeru itu dua tombak jauhnya didepan dia, pemuda ini melihat melesatnya dua bayangan orang yang berkelebat untuk terus lenyap di tempat gelap. "Heran!" pikirnya, "Di waktu begini, dirumah kosong ini, dari mana datangnya orang-orang itu?" Tepat itu waktu, dari jauh terdengar jeritan yang menyeramkan hati. muncul pula dua bayangan orang, lalu terdengar suara satu diantaranya "Mungkin disana sudah terjadi pertempuran...
"Hmm!" kata yang lain. "Malam ini pangcu sendiri yang memegang tampuk pimpinan, biar ada datang lebih banyak orang satu jiwa pun tidak bakal mendapat ampun!" "Bagaimana dugaan kau." kata yang satu: "Apakah pendeta dari Siauw Lim Sie sudah menyerahkan barangnya atau tidak?" "Aku tidak tahu" Belum habis suara orang itu, lantas mendadak dia roboh,
demikian juga kawannya. Ie Kun kaget sekali. "Siapakah yang membokong mereka kata dalam hati. "Kalau penyerang itu melihat aku dan dia menyerang juga, bukankah aku akan mati konyol?" Maka lantas ia menggeser tubuhnya dan baru ia menggerakan kakinya, ia mendengar bentakan halus ini: "Hai bocah kecil. jangan bergerak! Kau sudah turut Raja akhirat Wanita datang kemari kau dilarang bergerak kau berdiamlah!" Ie Kun terperanjat. ia berpaling kearah darimana suara itu datang Ia mslihat diantara rumpun pepohonan rebah satu tubuh yang tertutup baju tambalan tetapi punggungnya menggenjol sebuah kantong besar dari kain merah, Dialah seorang pengemis yang habis berkata lantas mengawasi kepadanya sambil bersenyum simpul. Dia bersikap sangat tenang. Ketika itu nampak dua bayangan keluar dari muka gedung berlari-lari ke arah mereka Hanya sebentar sampailah mereka disampingnya kedua mayat. Orang yang satu berjongkok meneliti kedua mayat itu. Setelah berdiam sekian lama terdengarlah suaranya: "Entah senjata rahasia apa yang begini jahat
"Cit-cie-niauw!" sahut yang lainnya, sesudah dia berjongkok memeriksa. "Pertanda tegas dari piauw beracun ialah siapa terkena, tenggorokkannya lantas tertutup dan tujuhnya mengeringkuk. Habis berkata begitu orang itu menurunkan busurnya dari pundaknya. agaknya dia hendak melepaskan anak panah sebagai tanda rahasia. Tapi belum lagi dia sempat menggunakan panahnya itu, diapun roboh disusul tergulingnya kawannya untuk tidak berkutik lagi sebagai dua mayat disisinya itu. Menyusul robohnya dua orang ini, dari samping berlompat keluar satu orang lain, dalam gerakan bagaikan bayangan dengan kedua tangannya dia meraup memondong ke empat mayat itu untuk dibawa berlalu dengan cepat menghilang kelain arah. Masih ada satu bayangan lain, yang berlompat dari luar pekarangan masuk kedalam untuk bergerak lebih jauh guna lompat naik ke atas genting dimana diapun melenyapkan diri. Bukan main herannya Oe Ie Kun ia menjadi sangat bingung. Semua orang tidak dikenal, semua bergerak dengan sangat gesit. Ia lantas menduga bahwa didalam gedung itu mungkin mungkin ini telah terjadi suatu peristiwa yang hebat. Baru setelan itu si pengemis bergerak bangun terus dia meneprek-neprek kantung, "Hayo engko kecil. jalanlah!" katanya. "Kapan sang maiam berlarut maka kau tak akan keburu menyaksikan pertunjukan yang menarik hati" Habis berkata dia berjalan. Baru dua tindak dia berhenti pula. Dia melihat si anak muda berdiam saja. Dia lantas mengawasi terus dia mengernyitkan alis. "Apakah kau belum pernah belajar silat tegurnya.
Berkata begitu, dia mengulur sebelah tangannya hendak menyambar lengan si anak muda. Tiba-tila dia menjerit perlahan. Sentuhannya kepada lengan sianak muda membuat tangannya, tangan kanan mental balik. Tangannya itu kesemutan. "Ha... batu kemala yang bagus yang belum di gosok," katanya heran dan kagum. "Rupanya gurumu baru mengajari kau ilmu dalam tetapi belum ilmu silat" Ie Kun mengawasi. Ia kagum yang sipengemis mengetahui tentang kepandaiannya. "Jangan takut" kata pula si pengemis, "Mari aku ajak kesanal" Kali ini si pengemis menyambar leher baju orang, untuk diangkat, maka di lain saat berdua mereka sudah berada diatas wuwungan. hingga terlihat tegas gedung lebar sekali, terkurung banyak pohon gauw-tong yang besar dan tinggi. Ie Kun tidak melihat sinar api, hatinya tidak tenang. Dengan masih memegangi leher baju si anak muda, si pengemis maju terus sampai mereka berada diatas lauwteng. Disini, dengan jalan ditangga, mereka turun kebawah terus masuk kedalam sebuah ruang. Mendadak si pengemis tertawa terbahak dan berkata: "He, imam tua Thian Tie! Kamu mengadakan rapat besar orang-orang gagah, kenapa kau tidak mengundang aku sipengemis tua turut hadir bersama sama karena itu, aku jadi datang sendiri!" Ie Kun melihat didalam ruang itu hadir kira tiga puluh orang pria dan wanita, tua dan muda.. Diantaranya, seorang toosu atau saykong, atau imam tua lantas berbangkit.
Untuk mengasi dengar suaranya "Hm, Yo Thian Hoa! Kaulah si pengemis tua yang tidak ketahuan tempat jejaknya, cara bagaimana aku dapat mengundang kau hadir di sini?" Si pengemis tua, yang dipanggil! Yo Thian Hoa itu, tertawa. Kata dia: "Asal kamu Jie Loo sudi membagi aku secangkir arak, aku si pengemis tua tidak akan mengatakan apa-apa lagi. Cumalah perangkap kamu disebelah luar terlalu banyak jumlahnya, membikin aku si pengemis tua sampai susah dapat masuk kemari, syukur ada beberapa anggauta pria dan wanita, yang membuka jalan. jikalau tidak, pastilah siang-siang sudah tulang belulangku bakal disuguhkan untuk digerogoti kawanan anjing!" Kata-kata itu membikikin kaget, tidak melaikan si toosu tua yang benama Thian Tie Toojin itu tapi juga seorang tua lain, yang baju yang abu abu, yang bajunya abu-abu, yang sudah lantas berjingkrak bangun. Terlihat nyata rambut dia pada bangun berdiri. Si pengemis tua melihat orang itu dia berkaok-kaok seorang diri: "Ayo! Ayo! Pangcu dari Tiat Ciang Pang bergusar! Jangan-jangan aku si pengemis tua bakal mati karena kaget!" "Pang-cu" ialah "ketua," dan "Tiat Ciang Pang" yaitu partai Tangan Besi. Pangcu itu, yang bernama Pui Thian Bin, lantas berkata: "Siapa di antara kamu yang pergi keluar untuk melihat....?"
Belum berhenti suaranya ketua ini atau angin menghembus masuk, memelesatkan serupa barang, yang jatuh diatas meja dengan mengasi dengar suara membeletuk. Sebab itulah sebatang piauw, yang menyambar dan nancap.
Pui Thian Bin kaget sekali, tapi dia lantas berseru, gusar: "Cit chee-piauw sudah muncul kenapa pemiliknya tidak muncul juga?" Memang yang nancap itu ialah sebuah piauw model bintang. Menyusul teguran si ketua partai Tangan Besi itu satu suara tertawa tajam dan dingin lantas terdengar, sesudah itu segera terlihat berkelebatnya satu orang yang berlompat masuk dari liang jendela, orang mana memondong seorang lain yang sudah tidak dapat berkutik karena dia telah menjadi korban totokan jalan darah. Ketika Ie Kun sudah melihat tegas orang yang baru masuk itu dia heran hingga dia mengasi dengar suara terperanjatnya. Dia kenali orang itu sebagai si nona berbaju putih, yang tadi menolongi ia lolos dari dalam itu. Sebenarnya orang tidak mempehatikan pemuda ini tetapi seruan kagetnya itu lantas menyadarkan semua hadirin. Semua lantas berpaling ke arahnya. Dan Pui Thian Bin, sambil tertawa dingin, lantas menanya si pengemis tua: "Eh siapakah bocah cilik itu?" Si pengemis tua tertawa geli. "Dia bukanlah si pengemis cilik!" sahutnya "Dialah orang yang datang untuk melihat keramaian!" Memang juga, pengemis ini tidak kenal Oe Ie Kun. Thian Tie Toojin maju satu tindak, untuk nenatap si anak muda. "Siapakah kau?" tanyanya, suaranya dalam. "Kau murid siapakah? Kenapa kau berani lancang masuk ke tempat terlarang dari Tiat Ciang Pang ini?" Ie Kun berdiam Sejak bermula, entah kenapa, tidak ada kesan baiknya terhadap imam itu.
Thian Tie gusar sekali. Belum pernah ia diperhina orang secara itu. Sambil tertawa tawar, tangannya diluncurkan, guna menyambar si anak muda. Ia menggunakan tipu. silat. "Siauw Liong Kui Yan" atau "Merantai naga di dalam gedung." Melihat si imam menyambar si anak muda, si pengemis mendahului menolak dengan tongkat bambunya kepada pundak anak muda itu, atas mana tubuh Ie Kun tertolak roboh. Karena itu, sambaran imam itu menjadi tidak mengenakan sasarannya. Dia jadi mendongkol. "Eh, pengemis tua! "tegurnya, "siapa yang menyuruh kau menurunkan tangan? Yo Thian Hoa tertawa terkekeh "Siapakah yang tidak tahu hebatnya Heng San Jie
Loo? katanya. "Bocah ini bocah macam apakah? Mana dia dapat bertahan? Maka itu aku si pengemis tua aku mendahului kau mengajar adat padanya supaya di matanya janganlah sampai tidak ada si orang yang berilmu tinggi!" Kata-kata itu berupa umpatan untuk Thian Tie Toojin, akan tetapi di balik itu ada tersembunyi ejekan bahwa saykong sudah menghina bocah cilik. Tentu sekali. Thian Tie ketahui itu, maka juga parasnya menjadi guram. Akan tetapi dia dapat berpikir dia tidak mau bentrok dengan si pengemis tua. Dia pun menyangsikan entah ada siapa lagi orang lihay yang bersembunyi di sekitar sarangnya ini. Maka juga, habis mendelik kapada Ie Kun, ia mundur ke tempat asalnya. Tepat itu waktu, seorang datang masuk dengan laporannya: "Pendeta kepala yang menjadi ketua Siauw Lim Sie mohon bertemu!"
Yo Thian Hoa si Pengemis Sakti, atau Sin Kay, mengasi bangun pada Oe Ie Kun sembari dia kata: "Segera juga sandiwara akan dimulai!" Baru saja Thian Tie menerima laporan itu, dari arah pintu sudah tampak munculnya empat orang pendeta tua yang tubuhnya ditutup dengan kain yaitu jubah suci. berwarna merah. Mereka lantas berdiri berbaris di tengah ruangan. Pui Thian Bin, ketua Tiat Ciang Pang tertawa tawar. "Aku tidak sangka sama sekali bahwa keempat pendeta pandai huruf Goan dari Siauw Lim Sie telah datang herkunjung!" katanya sebagai sambutan. "Tian ketua, bagaimana kalau aku mohon diajar kenal?" Salah seorang pendeta tua itu, yang bertubuh kurus, maju setindak seraya dia merangkapkan kedua belah tanganya. "Pinceng bernama Goan Thong," kata ia hormat, "Pinceng datang bersama tiga adik seperguruanku Goan Kak, Goan Siang dan Goan Tong. Dan kami datang sendiri untuk mengambil kembali buku catatan dari kuil kami!" "Hm!" tertawa Pui Thian Bin, suaranya dingin lagaknya temberang. Lantas dia menunjuk kepada belasan imam tua dan muda di depannya Dia terus kata "Baru-baru ini aku si orang tua mengepalai delapanbelas orang hiocu kami pergi menemui pendeta-pendeta pandai dari Siauw Lim Sie, ketika itu ke delapabdas hiocu kami itu telah mendapaikan buku catatan itu sesudah satu pertempuran matimatian. Oleh karena itu taysu, ingin aku mengetahui, untuk kamu meminta pulang buku catatan itu, barang apakah yang hendak dijadikan barang tukarannya?"
Oe Ie Kun tidak tahu urusan, dengan perlahan ia tanya si pengemis "Buku catatan Siauw Lim Sie apa macam itu maka mereka sampai memperebutinya begini macam?" Yo Thian Hoa menjawab: "Buku catatan itu mengenai suatu rahasia penting dari Siauw Lim Sie serta mengenai juga nama baiknya kuil itu, karena itu, murid-murid Siauw Lim Sie ini ingin sekali mendapatkannya pulang." Goan Thong Taysu memandang para hadirin. "mana dia buku catatan itu?" ia tanya.
Pui Thian Bin merogo kesakunya dari mana menarik keluar sejilid buku yang ia terus ulapkan. Sembari berbuat begitu, ia berkata "Buku itu ada pada aku si orang she Pui belum lagi aku membukanya akan lihat, segelnya masih utuh!" Goan Thoan Taysu bernapas lega. "Pui Sie-cu, kau mengharapi barang apakah sebagai barang tukarannya?" tanyanya. Thian Tie Toojin menyela: "Pada tujuh-belas tahun yang lalu, Siauw Lim Sie telah kehilangan Cay Hoan Giok Tiap. Katanya barang-barang itu bakal kembali kepada Siauw Lim Sie. Benarkah?" Mendengar pertanyaan itu, paras Goan Thong berobah menjadi pias. "Cay Hoan Giok Tiap kami itu hilang berbareng dengan buku catatan kami ini," katanya. "Kami belum pernah mendengar kabar itu." "Jikalau demikian," berkata si imam atau say kong. "baik kita menanti saja kembalinya Cay Hoan Giok Cap, baru kita bicara pula tentang penukaran buku catatan ini!" Goan Thong menjadi tidak senang, parasnya berobah pula, tetapi ia dapat menguasai dirinya. "Malam ini
siapakah yang menjadi tuan rumah di sini?" tanyanya. Ia tertawa dingin. Tiat Ciang Pangcu Pui Thian Bin juga tertawa dingin. "Hm! Hm! Malam ini akulah si orang she Pui bersama Thian Tie Tojin yang menjadi tuan rumah!" sahutnya. Ia lantas memandang kepada semua hadirin, baru ia menyambung: "Jikalau kami tidak dapat penukaran dengan Cay Hoan Giok Tiap, dapat diganti dengan pelajaran silat Siauw Lim Pay yang tujuh puluh dua itu! Nanti kami memilih salah seorang dari delapan belas hio-cu kami untuk dialah yang menerima pelajaran itu!" Tujuh puluh dua ilmu silat Siauw Lim Pay itu ialah yang disebut Siauw Lim Citcap-jie Ciat Kie. Goan Thong tertawa dingin. "Pui Pangcu, nyatalah kau memandang terlalu kecil kepada Siauw Lim Pay!' katanya."Mana dapat sembarang orang mempelajari Siauw Lim Cit-cap-jie Ciat Kie itu? Lagi pula Cay Hoan Giok Tiap juga mana dapat sembarang diserahkan!" Pui Thian Bin memperdengarkan suara dari hidungnya. "Jikalau tak dapat kita saling tukar." kata dia. "maka barang yang telah kami dapatkan itu juga tidak dapat dibayarkan pulang!" Belum lagi Goan Tbong memperdengarkan suaranya Thian Tie sudah memegatnya. Kata saykong atau toosu ini: "Dahulu telah tersiar berita bahwa Tiat Kiam Sie-seng Oe Kee Lok tidak mengambil Cay Hoan Giok Tiap dari Siauw Lim Sie mengapa sekararg dibilang barang-barang itu telah hilang?" Goan Thong terus dapat menguasai dirinya. "Dahulu hari itu telah terbit salah mengerti di antara Tiat Nam Sie-seng dan
Siauw Lim Sie kami!" ia. memberi
keterangan "dan dia telah menyatakan bahwa di dalam tempo tiga hari mesti datang mengambil Cay Hoan Giok Tiap milik Couwsu kami itu. Benar saja. di dalam tempo tiga hari yang disebutkan itu barang kami itu lenyap. Akan tetapi disamping itu kamu harus tahu, halnya Tiat Kiam Sie seng terbinasa ditegalan belukar terbinasa di tangan kamu, itu bukanlah kabar baru. Oleh karena itu, tidak dapat di sangsikan pula bahwa Cay Hoan GioK Tiap mesti berada di dalam tangan kamu atau di tangan salah seorang yang turut kamu melakukan pengeroyokan itu!"' Pui Thian Bin, ketua Tiat Ciang Pang partai Tangan Besi tertawa seram. "Oa, kiranya yang mengintil malam itu dengan diam-diam ialah kau sendiri!" katanya mengejek. Goan Thong memperlihatkan sikap agungnya ia tidak menggubris ejekan itu. Sebaliknya, ia menggerakkan tangannya kepada ketiga sute. atau adik adik seperguruannya itu, untuk memberi isyarat. "Aku bersumpah. di dalam tempo tiga bulan kami akan mendapatkan pulang buku catatan kami itu!" kita ia, keras lalu terus ia bertindak pergi dengan diikuti ketiga sute-sutenya it. Tiba-tiba Thian Tie Tojin berteriak keras: "Hai, keledai gundul, apaah kamu sangka tempat ini dapat kamu lancang datang dan dapat kamu tinggalkan pergi sesukamu saja?" Habis berkata, ini lantas mau bergerak guna menghalangi. Dan sekonyong-konyong dari luar ruang itu terdengar suara tertawa berkakak di iringi dengan kata-kata dingin ini: "Hai Thian Tie si hidung kerbau, jangan kau temberang!" "Hidung kerbau" ialah kata kata yang tak manis untuk pertapa imam. tosu atau saykong dari kaum Too Kau (Agama Too).
Dan menyusul itu, suatu benda bercahaya, berkelebat meluncur ke dalam ruang, nancap diatas mejadi depan Tian Tie Tojin hingga semua orang menjadi kaget, lebih-lebih setelah jelas, itulah Cit chee piauw, senjata rahasia "Bintang Tujuh" Paras si saykong pucat dan tak dapat dia segera membuka mulutnya. Menyusul meluncurnya piauw itu, seorang terlihat melompat masuk pesat bagaikan burung terbang menyambar. Lalu di lain saat tampak tegas, diaiah seorang yang berpakaian hitam seluruhnya, yang mukanya bertopeng. Dia lantas berkata kepada empat pendeta dari Siauw Lim Sie itu: "Kamu pergilah!" Sin Kay si Pengemis Sakti.berkata pada On ie kun "Orang itu ialah Cit Chee Piauw Tojin Sim Ie tuan dari piauw Bintang Tujuh, yang disebut juga Bu Eng Jin si Manusia Tanpa Bayangan. Dialah orang yang tak membedakan baik atau jahat, yang paling mengutamakan kepentingan diri sendiri, maka itu berhati-hatilah kau andaikata di belakang hari kau bertemu dengannya." Habis itu Cit chee-piau Sim Ie lantas bertindak menghampiri Ie Kun, dengan wajah yang tidak menutarakan sesuatu perasaan seenaknya saja dia bertanya. "Eh, anak kecil apakah kau she Oe?" "Betul!" sahut Ie Kun jumawa. Ia pun mengangguk.
"Ada pengajaran apakah dari kau?" Pemuda ini tidak mempunyai pengalaman dalam kalangan Kangouw, walaupun sikapnya Cit Chee Piauw menyatakan dia tak bermaksud baik, ia tidak mau menunjukan kelemahannya, maka ia juga menjawab dengan berani. Tentu saja. saking jauhnya, ia tidak memikir untuk berjaga jaga.
Sin Ie menghampiri sampai dekat, mendadak ia menyentil dengan dua buah jari tangan kanannya. Sudah majunya sangat pesat diluar dugaan, juga sentilannya sangat mendadak dan cepat. Ie kun merasa akan dadanya beku, terus ia roboh terkulai. Yo Thian Hoa merasa tidak enak hati melihat orang menghampiri si anak muda. akan tetapi sebelum ia tahu apa apa. Cit Chee Piauw sudah mendahului menyentil Ia terkejut hingga dengan air muka berobah, ia berseru "Bintang Thian Khong!" Cit Chee Piauw tertawa kata ia pada si pengemis tua. "kau kenal llmu sentilan ini, ya!" Tanpa menanti jawaban, ia tertawa dingin pula sambil menghadapi Heng San Loo yaitu Tiat Ciang Pangcu Pui Thian Bin dan Thian Tie Tojin dan berkata: "Paman guru kamu sudah muncul pula ke dalam dunia Kangouw! Tadi aku telah bertemu dengan muridnya yang menyebut dirinya Bu Eng Jie si Bocah Tak Bernama!" Berkata begitu, ia memegang tubuhnya Ie Kun, untuk diangkat bangun, seraya menambahkan: "Aku hendak pinjam dulu anak ini!" Sebenarnya ia hendak lantas mengangkat kaki, dan ia melirik pada Sin Kay dan berkata: "Pengemis tua apabila kau tidak puas, dapat kau pergi ke pulau Cit Chee To di Tang Hay mencari aku! Cuma, sebelumnya itu, kau mesti melatih dulu ilmu tongkatmu yang diberi nama Pah Kau Pang itu! Hahaha..." Baru setelah itu, seperti juga di situ tidak ada orang lain, ia bertindak lebar sambil membawa Ie Kun. Ketika ia sampai di ambang pintu, di situ ia melihat si nona berbaju putih yang berdiam saja, karena nona itu sudan tertotok jalan darahnya. Ia nampak kaget, dengan paras berobah ia
berkata nyaring: "Siapakah yang bernyali begini besar berani menawan murid kesayangannva Sam Im Sin Nie?" Pui Tian Bin merasa tidak sanggup melayani Sim Ie, sekian lama dia membiarkan saja orang bertingkah di hadapannya, akan tetapi sekarang dia sudah habis sabar. Dia lantas berkata keras: "Lim Lo toa! Aku melihat persahabatan kita selama duapnluh tahun. suka aku mengalah: "Nah lekaslah kau pergi!" Cit Chee Piauw menyeringai. "Jikalau kau tidak puas, kau juga boleh pergi ke Cit Chee To mencari aku!" katanya. Cit Chee To atau pulau Bintang Tujuh berada di Tang Hay Laut Timur. Habis berkata begitu, Sam Ie mengangkat tubuh si nona baju putih untuk dibawa pergi. Ia mencelat dengan sebat, dan lenyap di malam yang bersinarkan rembulan itu.
"Tahan dulu" berseru Sin-kay Yo Thian Hoa sembari ia bergerak menyusul. Akan tetapi. tiba-tiba Thian Tie Tojin lompat ke depan orang, untuk merghadang. (BERSAMBUNG J1LID KE 2)
Jilid 2 "Apakah kau mau berlalu dengan begitu saja? tanyanya, dingin. Si pengemis tertawa terbahak-bahak. "Sudah menjadi kebiasaan bagi aku si pengemis tua, kalau aku bilang mau pergi, aku lantas pergi!" katanya. "Belum pernah aku dapat dicegah orang!" Si saykong sengit sekali, Memang dia sangat mendongkol Pertama-tama dia merasa tak puas akan
kelakuan keempat pendeta dari Siauw Lim Sie itu. Kedua, dia telah dipermainkan Cit Chee Piauw yang berandal dan temberang itu, yang membuat buyar usahanya. Maka dari itu dia hendak mengeluarkan rasa penasarannya terhadap Yo Thian Hoa. Sekarang dia mendengar tantangan pengemis itu. Lantas dia mengangkat tinggi tangan kanannya, dengan gerakan ‘Cakar Setan!’ Yo Thian Hoa terkejut sekali. Ia melihat lengan orang yang kurus dan kulitnya putih pucat. Di dalam hatinya ia berseru: "Cit Sat Cwie Sim Ciang!" Akan tetapi ia mencoba menguasai diri, ia juga bersiap sedia untuk sesuatu serangan. Tian Tie Tojin tertawa, dengan tangan kanannya itu, dia menolak dengan cepat dan kuat. Angin serangan itu membawa bawa bau amis bacin. Yo Thian Hoa menarik tongkat bambunya, sedangkan dengan tangan kanannya yang ia putar, ia menolak ke depan guna mengeluarkan hawa Sam Yang Cin Khie. Seketika itu juga bau bacin lantas lenyap Thian Tie terperanjat, hingga ia melengak sejenak. Sebegitu jauh, belum pernah menemui lawan. Ia berseru: "Hawa Sam Yang Cin Kie yang liehay!" Terus ia mengertak gigi, terus ia maju sambil mementang kedua tangannya yang putih diajukan guna menolak di depan dada. Itulah serangan yang dahsyat sekali. Yo Thian Hoa mengasi dengar suara "Hmm!" seraya kedua tangannya dibuka dipakai menolak pula. Maka bentroklah tenaga mereka hingga masing-masing tubuh mereka bergoyang dua kali. Ke delapanbelas hiocu, pemimpin sebawahan dari Tiat Ciang Pang, semua orangorang Liok Lim yang kenamaan,
akan tetapi menyaksikan pertempuran dihadapannya ini, mereka kagum semuanya, bersorak memuji: "Bagus!"
Di dalam hati Thian Tie Tojin melengak. Ia mendapat kenyataan, si pengemis lihay sekaii. Maka ia lantas berpikir buat menggunakan akal, atau ia bakal hilang muka. Juga Yo Thian Hoa sendiri kagum mendapatkan imam itu demikian tangguh. Selagi begini, diam-diam ia melirik kepada Pui Thian Bin. Ia mendapatkan ketua Tiat Ciang Pang itu tertawa dingin. Ia telah mendengar di antara kedua Heng San Jie Loo, Pui Thian Bin terlebih liehay dari pada Thian Tie Tojin, maka dari itu dia mengerti, jikalau mereka turun tangan berbareng, ia bisa celaka. Karena itu lantas memikirkan jalan keluar. Tiba-tiba Thian Tie Tojin mengangkat kakinya untuk bertindak jalan memutar, Yo Thian Hoa. Cara jalannya itu aneh. Setelah tiga tindak, ia maju langsung. Begitu juga sesudah dua tindak. ia maju terus lagi. Arahnya melintang, entah apa maksudnya itu. Pengalaman si pengemis sudah banyak akan tetapi ia toh tidak mengerti itu. Karena itu ia cuma bisa bersiap-siap saja. Selagi jalan berputar itu, sekonyong-konyong Thian Tie Tojin berseru nyaring seruan itu terus dibarengi dengan satu serangan "Hoan In Hok Ie atau "Mega terbalik, hujan menyerang menungkrap." Yo Thian Hoa sudah lantas berhenti, sambil berhenti itu, tongkatnya diluncurkan, guna menyerang. Itulah pukulan "Kiauw Ta Hek Khauwj atau "Memukul anjing hitam" Perlawanan ini ada hasilnya, Thian Tie kena dibikin mundur.
"Ha ha ha.... hari ini tongkatku peranti memukul anjing mendapat untung!" kata si pengemis sambil tertawa bergelak. Bukan main mendongkolnya Thian Tie. Orang menyamakan ia dengan seekor anjing. Mendadak ia berseru. Hampir seperti tak terlihat tubuhnya melesat maju sambil kedua tangannya menyerang! Sin Kay terkejut, tiba-tiba dadanya terasa dingin. Dengan lekas ia menahan napas dan berjaga-jaga. Akan tetapi ia merasakan angin masuk dari dadanya terus menjalar, tahulah bahwa ia sudah terbokong. Cepat-cepat ia menutup jalan darahnya. "Curang!" ia berseru dalam gusarnya. Tapi ia bukan maju terus, untuk, menyerang ia hanya lompat ke jendela untuk nyeplos keluar, buat kabur. Tian Tie Tojin tertawa bergelak "Dia telah terkena pukulanku Pek Pou Twie Hun!" katanya girang. "Siapa terkena pukulanku itu dia cuma bisa lari jauhnya seratus tindak lebih! Pukulan "Pek Pow Twie Hun" itu berarti pukulan "Seratus tindak mengejar arwah." Untuk mendapat kepastian, imam ini lantas lompat keluar jendela. Akan tetapi ia mendapatkan suasana sunyi, di situ tak tampak lagi Sin Kay Yo Thian Hoa, ataupun bayangannya, hingga ia menjadi heran. Tiat Ciang Pui Thian Bin lantas berkata pada imam itu:
"Lotee, satu malam ini kita beruntun mendapatkan tiga orang musuh yang tangguh! Aku rasa, selanjutnya Tiat Ciang Pay tidak dapat hidup tenang lagi...." Thian Tie tidak suka menyebutkan tentang musuhnya, ia menyimpangkan persoalan dan berkata: "Malam ini entah
datang berapa banyak orang liehay. Kenapa mereka tidak muncul semuanya? "Itulah sebab mereka telah lenyap kegembiraannya begitu cepat mereka mendapat kenyataan, pendeta-pendeta dari Siauw Lim Sie itu tidak membawa Cay Hoan Giok Tiap kata Pui Thian Bin yang terus melemparkan buku catatan ditangannya keatas meja. Tepat buku dilemparkan, tepat satu bayangan abu-abu berlompat melayang turun dari atas penglari, menyambarnya melewati meja itu, terus berlompat lebih jauh keluar jendela. Semua orang di dalam ruang itu terkejut dan heran. hingga mereka menjadi melengak. Pui Thian Bin dan Thian Tie Toojin turut tercengang juga Kejadian itu diluar dugaan mereka. Tempo mereka tersadar, kaduanya lantas lompat menyusul keluar di jendela. Masih sempat mereka melihat bayangan tadi jauhnya belasan tombak. Bagaikan kilat, mereka berlompat melesat, untuk mengejar!
Cit chee-piauw Sim Ie
Diantara laut yang bergelombang nampak sebuah perahu layar kecil tengah menggelesar maju, tubuh perahu terapung turun dan naik. Didalam kendaraan air itu Ie Kun tersadar untuk lantas merasakan kepalanya pusing. Itulah disebabkan serbuan gelombang karena perahu terumbang ambing keras. Ketika ia mementang matanya melihat kedepan, lalu kekiri dan kanan, kebelakang juga, ia tercengang. Ia mendapatkan laut mengitarinya. Cuma
dikejauhan tanpak puncak bukit yang menunjuki bahwa laut itu memempel dengan daratan.... Dengan lantas Ie Kun melihat orang yang menjadi kawan seperahu itu ialah si baju hitam yang bertopeng yang biji matanya bersinar diantara dua buah liang matanya mata topeng itu. Sinar mata itu sinar mata kepuasan. Lain orang lagi, yang berada di dalam perahu itu, ialah sinona berbaju putih. Sinona juga lagi memandang kesekitarnya, sebab dia pun tidak kurang herannya, bahkan segera dia menanya: "Kita berada dimana?" Nona ini memang tidak tahu bahwa orang telah membawa ia kabur dari dalam kuil. Tempo ia melihat si anak muda, yang tadi malam ia ajak keluar dari dalam tin, dia berseru heran: "Oh...." Ie Kun berlaku tenang, bahkan ia tertawa dan memonyongkan mulutnya ketika ia berkata: "Kita telah diculik Cit-chee-piauw Sim Ie!'
Nona itu kaget, segera ia berpaling kepada si serba hitam. "He, kau hendak membawa aku kemana?" tegurnya bengis. "Ke Cit Chee To! sahut Sim Ie tawar. Cuma sebegitu jawabannya atau mulutnya sudah tertutup, rapat pula. Dia berdiam. Agaknya dia agi memikir suatu urusan besar.... Masih ada seorang lain didalam kendaraan air itu ialah sijurumudi. Dia merobah arah tujuannya, untuk dapat berputar melewati sebuah selat, hingga dilain saat orang telah melihat tegas sebuah pulau bercokol di hadapan mereka "Mungkin itu Cit Chee To.'' kata sinona pada Ie Kun. Pulau itu tidak terpisah terlalu jauh dari daratan.
Si anak muda memandang kedepan, ke pulau yang disebutkan si nona. Ia menampak sesuatu yang abu-abu, tidak ada rumput, tidak ada pohon kayunya. Ada juga jurang yang tinggi dan curam Perahu layar itu meluncur terus, untuk akhirnya berlabuh disebuah tepian yang sempit, dimana terdapat banyak batu karang bahkan untuk bertindak naik kedarat, ada tangga batunya. Ketika itu seluruh pulau tertutup cuaca magrib, segala apa disekitarnya terlihat guram dan suram, mendatangkan rasa seram. Didalam suasana itu maka terdengarlah suara "tak takut aku bahwa kamu dapat kabur pergi! "Kita sudah sampai!'' katanya nyaring. Disini, tertawa puas dari Sim Ie. Kata-kata itu diakhiri dengan totokan kepada kedua muda-mudi, untuk membebaskan mereka dari kekangan pada jalan darahnya yang tertotok tadi. Selekasnya si nona merdeka sebelah tangannya segera melayang kepada Cit Cbee Piauw. Ia lihay ia dapat segera mengumpul tenaganya Sim Ie tertawa dingin tubuhnya mencelat tujuh atau delapan kaki jauhnya. Dia tidak gusar, dia tidak mau membalas menyerang. Si nona penasaran, ia mengulangi serangannya bahkan terus sampai dua belas kali. Sim Ie terus main mundur. Baru kemudian setelah terdesak, dia menghela napas, lalu sebelah tangannya dipakai, membalas menyerang.
Nona baju putih itu tertawa dingin. Ia berkelit. Habis itu, ia menyerang pula dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya diputar kebelakang, untuk dipakai menghunus pedang dipunggungnya. Sim Ie menangkis serangan tangan kiri sinona Tiba-tiba ia terkejut. Keiika kedua tangan bentrok ia merasa seperti ada tenaga yang membetot, menarik tangannya itu. "Tak kecewa nona Ban Hong si baju putih ini menjadi muridnya Sam Im Sin Nie!''
katanya didalam hati. Karena ini sambil melepaskan diri dengan tangannya yang lain ia menyambar pedang sinona untuk mencoba merampasnya.
Nona Bun melndungi pedangnya terus ia menyerang. Ia berlaku sebat dan bengis seperti bermula Sampai disitu yaitu lewat beberapa jurus. Sim Ie tidak mau mengalah pula bahkan dengan dua buah jeriji tangannya, jeriji telunjuk dan tengah ia menyentuh. Itulan sentilan yang dapat menembus gunung atau memecah batu. Bun Hong berani, ia menangkis. Tak mau ia mengijinkan bahwa jalan darahnya, jalan darah hiankie, nanti kena tertotok pula. Karena ini, pedangnya itulah yang kena tersentil, hingga saaranya nyaring hingga ia terkejut, sebab hampir saja senjatanya itu lepas dari tangannya. "Oh. kiranya kau!'' berseru si nona gusar sekali. Kembali ia mendesak dengan tujuh atau delapan serangannya yang semua dapat ditangkis atau dikelit lawan itu. Tak pedul semua serangannya berbahaya. Maka kedua pihak bergerak dengan sangat sebat berlompatan kedua samping atau maju atau mundur.
Si nona penasaran karena tadi malamnya ia dirobohkan dengan dibokong, ia ditotok di luar tahunya, hingga sekarang dengan mudah orang mengangkutnya ke perahu terus ke pulau yang tak ia kenal ini. Ia menduga ia ditotok Sim Ie sesudah ia menyaksikan lawan ini menggunai sentilan Thian Kong Tan Cie Kang itu. Karena itu, ia lantas mengeluarkan semua kepandaiannya, guna melawan kepada si tuan dari pulau Tujuh Bintang. Oe Ie Kun menonton dengan hatinya sangat tertarik. Belum pernah ia menyaksikan pertarungan sangat seru seperti ini. Berbareng dengan itu, ia ingat saat gurunya, Kouw Siu Taysu, mengajari ia teorinya ilmu silat. Ia melihat kadang-kadang ada jurus jurus yang sama atau hampir sama atau yang maksudnya tujuannya sama walaupun gerak-geriknya tangan atau kaki mulanya berlainan. Ia kagum, ia pun girang. "Dengan menonton ini, tanpa guruku mengajari lagi, dapat aku berlatih kata ia di dalam tadi. Maka ia terus menonton dengan perhatian sepenuhnya. Sebagai murid, Ie Kun belum tahu maksud gurunya, guru yang mengetahui ia mengandung sakit hati besar sekali. Guru itu tidak terburu napsu mengajari muridnya. Ia hanya memerlukan pelajaran tenaga dalam serta teorinya ilmu silat. Sampai sebegitu jauh, belum pernah ia diajari prakteknya. Maka sampai sebegitu jauh juga, ia belum bisa bersilat dengan gerak tangan dan kaki hingga ia mengira ia tidak pandai dalam ilmu silat, padahal ia sudah mencapai tingkat kemahiran seorang lihay. Selagi pertempuran berlangsung terus, Jit Chee Piauw menggukan kesempatan mengeluarkan sebatang piauwnya berwujud bintang segi lima. Lantas dia membentak: "Hai bocah perempuan, jangan kau paksa aku menggunai piauwku ini!"
Sim Ie menjadi sangat tidak puas. Si nona ialah muridnya Sam Im Sin Nie, sedangkan ia tergolong kepada jago tua, seorang cianpwee, tetapi ia tidak mampu
lekas mengalahkan nona itu, seorang dari golongan muda. Ia malu karena ia melihat, di antara mereka ada seorang lain lagi. Nona Bun Hong tahu orang lihay suka ia menghentikan pertempuran itu, tetapi tidak mau mengalah dengan begitu saja. Maka ia kata, dingin. "Buat menghentikan pertempuran, itu dapat. Cuma, siluman tua, tidak dapat kau memerintah aku!" Jit Chee Piauw tidak menghiraukan lagi nona itu. Ia cuma tertawa dingin, terus ia berpaling kepada si anak muda. "Kau jangan ambil pusing pula pada bocah wanita ini! katanya. "Mari kita bicarakan urusan kita! Hayo turut aku! Berkata begitu, ia mendahului bertindak, memasuki sebuah gua dimana terus ia menjatuhkan diri ketanah. Oe Ie Kun menurut meskipun ia ragu-ragu. "Oe Ie Kun! kata si orang bertopeng, "tahukah kau siapa ayah dan ibumu?" Ie Kun ketarik mendengar orang bicara tentaug ayah-ibunya. "Tidak, aku tidak tahu." sahutnya. Bukan suara ia melayani bicara. Sim Ie berdiam, ia mengawasi. Ia rupanya lagi memikir sesuatu. Ia juga memandang sinona, yang turut masuk kedalam gua.
Sinona menjadi tidak senang. Ia mengira orang hendak bicara rahasia dan ia menjadi orang yang tidak berhak mendengarnya. "Rahasia apakah itu?" katanya, sengit "Baiklah, akan aku pergi keluar." Sim Ie tertawa dingin, tidak ia menghiraukan nona itu "Ayahmu iyalah Tiat Kiam Sie seng," katanya kemudian. "Dahulu hari itu, ayahmu hendak mengambil buku catatan Siauw Lim Pay yang disimpan diatas loteng Chong Keng Kek didalam kuil Siauw Lim Sie. Ia telah memberi janji hendak melakukan pencarian didalam tempo tiga hari. la juga hendak sekalian mengambil Cay Hoa Giok Tiap. Kesudahannya ia berhasil mencuri barang-barang yang ia sebutkan itu. Hanya perbuatannya itu telah dapat diketahui olen It koay Jie Loo dan Sam Siu. Dari siang-siang mereka itu sudah memasang mata. Lantas ayahmu dikejar mereka, hingga kesudahannya ia kena dibinasakan....." Berkata begitu jago tua ini berpaling kepada Nona Bun Hong, yang masih belum bertindak pergi. Ia menegur, "Bukankah kau bilang kau hendak pergi keluar? Nona itu mendongkol. Dengan hati panas, ia membanting kaki. "Tak dapat kau menguasai aku, bentaknya. Cit Chee Piauw tertawa. "Hmm ia perdengarkan suaranya, yang dahsyat membikin bangun buluroma. Tapi ia tidak mau melayani sinona. Ia berpaiing pula kepada Ie Kun. untuk melanjuti keterangannya: "Tiat Kiam Sie seng mempunyai sepasang anak kembar. Berbareng dengan kematiannya serta isterinya, lenyap juga anak kembar itu.
Tentu saja, itu waktu pun hilang Cay Hoan Giok Tiap. Setelah itu selama belasan tahun aku melakukan penyeliiikan tentang anak kembar itu, akhirnya aku
memperoieh keterangan bahwa kau telah ditolongi dan dirawat oleh pendeta Kouw Siu asal dari India. Aku juga mendapat tahu kau telah dibawa ke Gie bin. Mungkin itu ada berhubungan dengan urusan buku catatan Siauw Lim Pay itu, untuk dilakukan penukaran dengan pihak Tiat Ciang Pang. Hanya aku tidak tahu, entah apa sebabnya, gurumu tidak hadir bersama. Buku Catatan itu, yang disebut "Kie Su Koan" berada dilain tangan partai Tiat Ciang Pang itu. Disaat kematian ayah bundarnu dahulu hari, orang orang yang turut mengepung dan membinasakan telah menggeledah tubuh ayah bundamu itu tetapi mereka tidak mendapatkan barang yang mereka cari, maka ada dugaan bahwa itu berada pada kamu sianak kembar Cit Chee Piauw hening sejenak, sedang kedua biji matanya bersinar tajam, membuai orang jeri melihatnya. Tak lama ia bicara pula, sengaja ia membikin suaranya lirih "Cay Hoat Giok Tiap bersama-sama buku "Kie Su Koan" itu, ada hubangannya dengan suatu rahasia besar Siauw Lim Pay. Siapa berhasil mendapatkan dua rupa barang itu, dia pun akan mengeiahui rahasianyal Kembali sijago tua berhenti sebentar, untuk menatap tajam anak muda didepannya itu. Sinar matanya sangat dingin. "Apakah Giok Tiap itu berada padamu? tanyanya kemudian. Berbareng dengan itu, tubuhnya Bun Hong berkelebat mendekati sianak muda. Lantas dia kata: "Jangan kau serahkan padanya!. Dialah orang licik yang akalnya seratus. Jangan kau percaya padanya!" Peringatan itu membikin Ie Kun ingat pesannya Sin-kay Yo Thian Hoa. Maka ia lantas menjawab: "Tidak ada Giok Tiap padaku! Tapi, ingin aku mohon bertanya, apakah benar ayahku ialah Tiat Kiam Sie-seng?"
Sudah beberapa kali pemuda ia mendengar disebutnya nama Tiat Kiam Sie-seng hanya ia tidak menyangka sama sekali bahwa si Pelajar Pedang Pesiar ialah ayahnya sendiri. Diam diam ia kata didalam hatinya: "Sheku sama dengan shenya Tiat Kiam Sie-seng, dan Giok Tiap juga benar ada pada tubuhku, bahkan guruku sengaia membungkus rapih dan mengikatnya erat-erat didadaku, karena itu cerita dia ini mestinya benar.... Tapi ia masih ragu ragu, maka ia mengajukan pertanyaannya itu. Cit Chee Piauw membawa sikap tawar. "Buat apa aku mendustai kau?" katanya. "Kau keluarkan Giok Tiap itu, nanti aku pahamkan rahasianya, baru aku hendak menukarnya dengan "Kie Su Koan dan Pui Thian Bun. Segala apa yang aku peroleh nanti, akan aku bagi dua dengan rata denganmu!" Nona Bun Hong yang tetap berada disamping mereka itu, tertawa dingin pula. Ia
kata lagi, "Perkataannya Cit Chee Piauw Sim Ie di dalam sepuluh, cuma dapat didengar satu bagian, kata katamu cuma dapat dipakai untuk mengakali anak kecil!" Sim Ie gusar sekali. "Budak hina!" bentaknya. Mendadak tubuhnya mencelat tinggi, ketika ia turun pula. kedua kakinya menendang kearah muda-mudi itu. Bun Hong berkelit, sambil berbuat begitu, ia menyambar tangan sipemuda, buat diajak menyingkir bersama. Hanya diluar dugaannya, Ie Kun pun telah berlompat berkelit, bahkan jauhnya sampai beberapa tombak! "Ha, kiranya kau menyimpan rahasia kepandaianmu, kata sinona heran dan kagum Ie Kun sudah mahir teori, selama dua hari pengalamannya dengan sendirinya ia dapat menginsafi
prakteknya. Begitulah ketika ia ditendang sijago tua, ia sudah lantas menjauhkan diri sambil lompat mencelat. Sim Ie heran sekali, ia menduga orang hanya batu kemala yang belum digosok, tidak tahunya, pemuda itu bertubuh ringan dan gesit, gerakannya lincah sekali. Mengetahui kebisaannya ini, Ie Kun juga mau menyangka gurunya sudah menyembunyikan kepandaiannya terhadapnya tak tahunya, Kouw Siu memberi pelajaran secara luar biasa itu ada maksudnya. Pertama-tama itu membawa muridnya ke Pouw Te di Lam hay, Laut Selatan, ia mengajarkan ilmu silat teori belaka. Ia berbuat begini karena terpaksa, ialab karena ia tahu kadang-kadang ada orang yang mencuri melihat, mengintai mereka, guru dan murid. Ia pikir, baiklah ia mendidik muridnya dengan tenaga dal