SERBA SERBI HUTAN DESA (HD) Oleh Agus Budhi Prasetyo, S.Si.,M.Si.
Dalam Renstra 2010-2014, Kemenhut merencanakan hutan kemasyarakatan seluas 2 juta ha dan hutan desa seluas 500.000 ha. Dari areal yang dicadangkan, sekitar 50% dalam tahap proses verifikasi dan baru sekitar 131.209.34 (1,66%) yang telah diberikan izin oleh Bupati/Gubernur sejak diterbitkan Peraturan Menhut tentang Hutan Kemasyarakatan (2007), Hutan Tanaman Rakyat (2007) dan Hutan Desa (2008). Kebijakan ini dipandang sebagai salah satu upaya untuk menekan laju deforestasi di Indonesia yang pada tahun 2007 menempatkannya sebagai negara dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia dan negara emitor ketiga setelah USA dan China (World Bank, 2007). Banyak pihak memandang kebijakan ini sebagai pengakuan negara terhadap pengelolaan hutan oleh rakyat yang selama ini terabaikan, namun mampu menjaga kelestarian alam dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Bagi masyarakat, hutan tak hanya memiliki makna ekologis, tetapi juga sosial, budaya dan ekonomi.
A. KERANGKA KEBIJAKAN HUTAN DESA Mengacu pada penjelasan UU 41/1999 tentang Kehutanan, khususnya pada penjelasan pasal 5, hutan desa adalah hutan negara yang berada di dalam wilayah suatu desa, dimanfaatkan oleh desa, untuk kesejahteraan masyarakat desa tersebut. Selanjutnya di dalam PP 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, hutan desa didefinisikan sebagai hutan negara yang belum dibebani izin atau hak yang dikelola oleh desa dan untuk untuk kesejahteraan masyarakat desa. Prinsip dasar dari Hutan Desa adalah untuk membuka akses bagi desa-desa tertentu, tepatnya desa hutan, terhadap hutan-hutan negara yang masuk dalam wilayahnya. Sebagaimana diketahui, tak sedikit desa-desa berada di dalam atau sekitar kawasan hutan. Sudah selayaknya desa-desa semacam ini mendapatkan akses terhadap sumberdaya hutan yang ada di wilayahnya, demi kesejahteraan masyarakat desa tersebut. Inisiatif pengembangan hutan desa sebenarnya sudah berjalan sejak tahun 1999, bertepatan dengan disahkannya UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Inisiatif tersebut dihentikan karena pemerintah tidak bisa mengeluarkan perizinannya, dan sebagai kompromi dikembangkan HKm. Dengan pengembangan hutan desa diharapkan desa-desa hutan bisa membangun skema pendapatan asli desa untuk kesejahteraan masyarakat desa tersebut. Hak akses desa terhadap hutan negara yang ada di dalam wilayahnya inilah yang kemudian diterjemahkan sebagai hutan desa. Pemberian akses ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/Menhut-II/2008, tentang Hutan Desa, yang ditetapkan pada tanggal 28 Agustus 2008. Peraturan ini kemudian diikuti dengan perubahan-perubahannya (Permenhut No. P.14/Menhut-II/2010 dan Permenhut No. P.53/Menhut-II/2011). Di dalam Hutan Desa, hak-hak pengelolaan secara permanen diberikan oleh Menteri Kehutanan/Pemerintah Daerah kepada lembaga desa dengan waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang. Perizinan Hutan Desa dapat diberikan di areal hutan lindung dan juga produksi yang berada di dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan. Penetapan areal kerja hutan desa dilakukan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan 1
usulan Bupati/Walikota. Dalam hal ini hak yang dapat diberikan adalah hak pemanfaatan Hutan Desa bukan hak milik dengan status tetap di hutan negara.
B. PROSEDUR PERIZINAN DAN PENGELOLAAN HUTAN DESA Pelaksanaan skema Hutan Desa sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa dapat dipilah dalam 3 tingkatan: pertama, penetapan yang dilakukan oleh pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan); kedua, perizinan yang dilakukan oleh pemerintah daerah (Gubernur); ketiga, pengelolaan di lapangan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat pemegang izin pemanfaatan hutan desa. Gambar 1. Proses Penetapan Areal Hutan Desa
Untuk dapat mengelola hutan desa, Kepala Desa membentuk Lembaga Desa yang nantinya bertugas mengelola hutan desa yang secara fungsional berada dalam organisasi desa. Yang perlu dipahami adalah hak pengelolaan hutan desa ini bukan merupakan kepemilikan atas kawasan hutan, karena itu dilarang memindahtangankan atau mengagunkan, serta mengubah status dan fungsi kawasan hutan. Intinya Hak pengelolaan hutan desa dilarang digunakan untuk kepentingan di luar rencana pengelolaan hutan, dan harus dikelola berdasarkan kaidah-kaidah pengelolaan hutan lestari. Lembaga Desa yang akan mengelola hutan desa mengajukan permohonan hak pengelolaan kepada Gubernur melalui Bupati/Walikota. Apabila disetujui, hak pengelolaan hutan desa diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun, dan dapat diperpanjang setelah dilakukan evaluasi yang dilakukan paling lama setiap lima tahun sekali. Apabila di areal Hak Pengelolaan Hutan Desa terdapat hutan alam yang berpotensi hasil hutan kayu, maka Lembaga Desa dapat mengajukan permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Alam dalam Hutan Desa. Dan apabila di areal Hak Pengelolaan Hutan Desa dapat dikembangkan hutan tanaman, maka Lembaga Desa dapat mengajukan permohonan IUPHHK Hutan Tanaman dalam Hutan Desa. Namun dalam pemanfaatannya mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemanfaatan hasill hutan kayu pada hutan alam 2
maupun hutan tanaman. Selain itu pemungutannya dibatasi paling banyak 50 m3 tiap lembaga desa per tahun.
Gambar 2. Proses Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Desa
Dengan mendapat hak pengelolaan hutan desa, masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan berpotensi sangat besar dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Hal ini dimungkinkan karena pemegang hak pengelolaan hutan desa berhak memanfaatkan kawasan, jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Namun untuk di hutan lindung tidak diizinkan memanfaatkan dan memungut hasil hutan kayu. Dalam memanfaatkan kawasan hutan desa, baik yang berada di hutan lindung maupun hutan produksi masyarakat dapat melakukan berbagai kegiatan usaha, yaitu budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur, lebah, penangkaran satwa liar, atau budidaya pakan ternak. Sedangkan dalam memanfaatkan jasa lingkungan dapat melalui kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, atau penyerapan dan penyimpanan karbon. Intinya, Hutan Desa adalah salah satu wujud kebijakan untuk pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan serta mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari. Kebijakan ini perlu disosialisasikan pada masyarakat dan institusi terkait agar tujuan yang diharapkan dapat dicapai. Selain itu, Hutan Desa diharapkan memberikan akses kepada masyarakat setempat melalui lembaga desa, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat secara berkelanjutan.
C. HUTAN DESA: Hak Kelola Rakyat dan Penyelesaian Konflik Pada dasarnya dahulu hutan desa adalah hutan-hutan rakyat yang dbangun dan dikelola oleh rakyat dan kebanyakan berada di atas tanah adat atau tanah milik, meski ada juga yang berada di kawasan hutan milik negara. Namun seiring perkembangan, berkaitan dengan kondisi sosial politiknegara, kawasan hutan yang awalnya secara formal tidak ada pihak yang mendapatkan 3
hak milik, kemudian ditetapkan menjadi kawasan hutan negara. Sayangnya, pengelolaan hutanhutan ini kemudian lebih tersentralistik dan pada akhirnya menimbulkan banyak masalah serius. Sementara itu, masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan butuh ruang untuk bisa eksisten secara ekonomi, budaya dan sosial politik. Brown (2004) mencatat bahwa sedikitnya ada 50 juta penduduk miskin Indonesia berada di dalam hutan dan CES UI (Center for Economic and Sosial Studies) (2005), dalam Hidayat (2009) mencatat bahwa jumlah penduduk miskin di dalam dan sekitar hutan lebih besar dari penduduk miskin di luar kawasan hutan. Untuk turut serta mengurangi persoalan kemiskinan, Kementerian Kehutanan harus memiliki kemauan politik dan melakukan reformasi kebijakan dalam mendistribusikan akses dan ruang kawasan hutan bagi masyarakat. Selain itu, pada umumnya kawasan hutan yang diusulkan bagi Hutan Desa berkonflik dengan kawasan permukiman, pertanian bahkan penguasaan lahan oleh pihak lain. Penunjukan kawasan hutan melalui TGHK yang dibuat secara politik dan administrasi menghasilkan banyak distorsi. Walaupun ada peta paduserasi antara TGHK dan RTWRP, namun hasilnya tidak memperlihatkan kondisi riil di lapangan, disisi lain tidak adanya partisipasi dan kurangnya akurasi dalam skala peta. Hal ini mengakibatkan banyaknya kawasan permukiman dan pertanian masyarakat termasuk dalam kawasan hutan. Karenanya keberadaan Hutan Desa menjadi penting dalam pengelolaan hutan di Indonesia, dan menjadi salah satu solusi yang dapat mengakomodasikan konteks lokal, mengurangi kemiskinan, dan turut dalam mitigasi perubahan iklim. Hutan Desa juga dapat menjamin keberlanjutan dan transformasi ekonomi dan budaya masyarakat. Konteks-konteks tersebut dapat dijawab dengan berbagai skema distribusi dan akses terhadap hutan berdasarkan kebutuhannya, sehingga masyarakat memiliki hutan namun butuh pengakuan dan kejelasan tenurial. Konsep Hutan Desa lebih kepada pemberian akses dan hak kelola hutan kepada lembaga desa yang dianggap sebagai pemerintahan terkecil. Konsep desa yang berasal dari Jawa dapat mengakomodir kepentingan lebih luas dari kelompok atau koperasi dimana masyarakatnya lebih cenderung heterogen. Dari aspek normatif beberapa persamaan yang dapat dilihat bahwa baik itu HKm, HD, dan HTR menganut prinsip pemberdayaan masyarakat dan memberi ruang dan akses kelola masyarakat yang sejalan dengan PP No.6/2007 dan UU Kehutanan No. 41 tahun 1999.
E. TANTANGAN Salah satu tantangan utama penyelenggaraan hutan desa, terkait dengan persoalan tarikmenarik kepentingan antara entitas desa (sebagai representasi pemerintah pusat) dengan entitas adat yang mewakili entitas lokal. Hal semacam ini diperkirakan akan banyak dijumpai di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, maupun Nusa Tenggara, dimana kehidupan masyarakat adat masih banyak dijumpai, sementara tata ruang maupun pemerintahan desa belum terbentuk secara sempurna. Di lokasi semacam ini, boleh jadi Hutan Desa menjadi kompromi terhadap tuntutan pengakuan hutan adat yang hingga saat ini belum terselesaikan Tantangan lainnya terkait disharmoni kebijakan Hutan Desa dan aturan pelaksanannya, tetapi juga terkait dengan aturan yang lebih tinggi. Misalnya konflik kebijakan antara kehutanan dan UU 4
KSDAHE, UU Kehutanan dengan UUD 1945, UU Otonomi Daerah/Otonomi khusus, UU Penataan Ruang dan UUPA yang menyangkut tentang hak-hak masyarakat dalam kawasan hutan dengan berbagai skema. Selanjutnya dalam proses pemanenan Hutan Desa yang mendapat izin usaha kayu, pemerintah telah mengeluarkan regulasi P.51/Menhut-II/2006 dan P.55/Menhut/2006 tentang verfifikasi asal usul kayu berdasarkan jenis izin Hutan Desa yang diperoleh. Semangat dari kedua peraturan ini adalah untuk mempermudah dan menyederhanakan persyaratan administrasi dari asal-usul kayu dari hutan-hutan HD, dengan memberikan wewenang kepada kepala desa. Kepala desa berhak untuk mengeluarkan dokumen pengangkutan dari hutan KM dengan nama Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU). Namun sayangnya hanya menyangkut tiga jenis kayu saja yaitu kayu Sengon (Albazia falcataria), karet dan kayu kelapa. Sementara untuk jenis kayu lainnya dalam pengangkutannya tetap menggunakan SKKB (Surat Keterangan Kayu Bulat), disertai dengan cap tambahan dengan kode: KR (Kayu Rakyat). Dokumen SKKB dikeluarkan oleh kabupaten, tetapi hal ini ternyata lebih sulit didapatkan karena ditentukan dengan pembuktian hak kepemilikan lahan. Lalu jenis kayu yang bisa dapat SKAU bertambah menjadi 15 dengan keluarnya P.33/Menhut/2007. Berikutnya, tantangan terkait dengan proses penetapan dan perizinan hutan Desa masih panjang dan rumit berdampak pada biaya tinggi, masih perlu penyederhanaan proses agar terjangkau dan dapat diakses oleh masyarakat. Tantangan lain yang tak kalah penting adalah keadilan distribusi manfaat dari penyelenggaraan hutan desa. Utamanya agar pemanfaatan hutan dapat terdistribusi secara adil hingga ke seluruh level sosial ekonomi masyarakat desa, sehingga Tujuan penyelenggaraan hutan desa yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat secara berkelanjutan dapat tercapai.
5
PLAJAN, JAWARA DESA PEDULI KEHUTANAN Oleh : Ir. Bambang Sigit Subiyanto, MM PENDAHULUAN. Desa merupakan bagian dari pemerintahan yang terkecil di Negara kita. Negara bisa dikatakan makmur gemah ripah loh jinawi apabila dimulai dari masyarakat yang ada di desa sejahtera adil dan makmur. Dengan demikian Pembangunan dapat dikatakan berhasil dapat dilihat dari keadaan desa itu, baik secara fisiknya, kinerja dan manajemen pemerintahannya serta administrasi penatausahaannya. Salah satu desa yang berhasil itu adalah Desa Plajan yang dapat dikatakan berhasil dalam pembangunan Kehutanan bidang Penghijauan dan Konservasi Alam, yang sekarang adalah Wanalestari. GAMBARAN UMUM DESA Desa Plajan adalah desa yang berada di lereng Gunung Muria bagian barat di ketinggian + 400 meter diatas permukaan laut masuk dalam Kecamatan Pakis Kaji, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah. Luas wilayah desa Plajan adalah 1.044,5 ha yang terdiri dari 224,94 ha sawah, 455 ha tegalan, 345 ha pekarangan atau bangunan serta penggunaan lain seluas 19,5 ha ini berpenduduk 7449 jiwa. Dibawah kepemimpinan Kepala Desa/ Petinggi bapak Marwoto yang menjabat dua periode pada periode pertama dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2006 dan periode ke dua tahun 2007 sampai tahun 2013. Terlihat secara nyata pada saat sekarang Desa Plajan tidak saja merupakan desa yang ijo royo royo berhutan lebat dengan pola agroforestry dangan aturanaturannya desa di bidang kehutanan yang ditaati oleh penduduknya. Masyarakatnyapun dapat dikatakan merasa aman dan tentram menjalankan ibadah agama masing-masing karena di desa ini ada 3 agama yaitu Islam, Kristen dan Hindu Bali yang masing-masing umatnya saling rukun dan damai saling berdampingan. Kesejahteraan masyarakatnyapun meningkat dari hasil hutan kayu dan non kayu, pertanian, indutri dan jasa lingkungan. Disamping itu Desa Plajan juga dikenal pada tataran internasional, karena di desa ini dibangun Wisata Alam Situs Bumi dan Monumen Gong Perdamaian Dunia.
Wajar bila Desa Plajan pada bulan Agustus lalu sebagai pemenang lomba Penghijauan dan Konservasi Alam (PKA) dan menyandang Juara Nasional Penghijauan dan Konservasi Alam tahun 2011. KONDISI AWAL DESA DAN PERMASALAHANNYA Kondisi awal Desa Plajan pada satu dasawarsa yang lalu merupakan desa yang dapat dikatakan gersang bertanah gundul dan kritis. Sulit air di musim kemarau karena mengeringnya sumber mata air, sering terjadi tanah longsor dan banjir dimusim penghujan dan sulitnya masyarakat yang menggantungkan hidupnya untuk mencari kayu bakar dan hijauan untuk makanan ternak. Hal ini dikarenakan masyarakat kurang memperhatikan kaidah konservasi dalam pengelolaan lahan dan hutan. Desa Plajan belum terkelola secara profesional dengan manajemen yang baik dan para perangkat desa yang kompeten. Adapun permasalahan yang dihadapi adalah rendahnya SDM tentang Kehutanan, Pemilikan lahan petani sempit, Kurangnya modal usaha dan Sulitnya memperoleh air untuk kebutuhan rumah tangga, serta Sistem penebangan hasil hutan tidak beraturan.
Fota kondisi awal lahan desa Plajan (1997)
AKTIVITAS DESA DALAM PEMECAHAN MASALAH Dalam menjalankan tugasnya pak Marwoto sebagai Petinggi Desa dalam mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut diatas. Dibantu oleh perangkat desa dan Penyuluh Kehutanan Lapangan, yang selalu mendampinginya. Baik dalam Perencanaan, Pelaksanaan maupun dalam Pengawasannya, fisik di lapangan maupun dalam penyusunan Peraturan Desa di bidang Kehutanan serta keadministrasiannya.
1
Diawali dengan mengadakan Rembug Desa yang membahas : Perencanaan Program Pembangunan Kehutanan lewat Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes) dan Pembuatan Peraturan Desa untuk mendukung Program Kehutanan. Mereka secara terus menerus mensosialisasikan Rencana yang telah disepakati bersama itu pada setiap kesempatan adanya pertemuan-pertemuan baik secara formal maupun informal.
Foto Rembug Desa melalui Musbangdes. Adapun perencanaan program pembangunan desa yang bersangkut paut dengan kehutanan disepakati ada 7 program kerja yaitu : Penghijauan, Peningkatan Ketahanan Pangan, Pengembangan Ekonomi Kerakyatan, Rehabilitasi Lahan dan Konservasi tanah, Pelestarian Lingkungan, Pengembangan Aneka Usaha Kehutanan, Penjaringan Modal dan Kemitraan Usaha. Untuk memperkuat program kerja tersebut agar berjalan lancar dan tidak menyimpang dari tujuannya dibuatlah aturan-aturan desa baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Peraturan – peraturan Desa pendukung kehutanan tertulis ada 10 Perdes yaitu: Peraturan Tebang Satu Pohon Tanam Lima Pohon, Peraturan Nikah dan Tanam Pohon, Perturan Penetapan Tempat Wisata Alam, Peraturan Gerakan Labuh menanam Pohon, Peraturan Penebangan Pohan dan Peredaran Kayu, Peraturan Perlindungan Satwa Langka yang dilindungi, PeraturanPendirian Industri Pengolahan kayu, Peraturan Penanaman Pada Turus Jalan Desa Plajan, Peraturan penanaman pada bibir sungai, Peraturan Penebangan Pohon Langka. Sedangkan aturan /kesepakatan desa pendukung kehutanan tidak tertulis ada 7 yaitu: Larangan penebangan pohon disekitar sumber mata air, Larangan penebangan pohon disekitar punden,
Larangan penebangan pohon disekitar wisata alam, Larangan penebangan pohon disekitar makam, Larangan penebangan pohon di bibir sungai, Larangan penebangan pohon langka. Strategi Petinggi Desa dalam menjalankan tugasnya dalam menangani masalah untuk mendukung pembangunan kehutanan yaitu dengan melakuakan penyuluhan bersama-sama Muspika dan Penyuluh Kehutanan Lapangan mensosialisasikan peraturan – peraturan kehutanan yang telah diimplementasikan menjadi Peraturan Desa baik secara langsung kepada masyarakat juga melalui kelembagaan yang ada didesa. Ada dua jenis kelembagaan yang ada di desa yaitu lembaga formal dan non formal. Lembaga formal yaitu BPD,LKMD, PKK, Karang Taruna, RT, RW dll. Lembaga non formal yaitu Kelompok Tani, Kelompok Pecinta Alam, Wanita Tani, Kelompok Agama Islam Muslimatan, Kelompok Agama Hindu Purnama Tilem dll. Melalui organisasi kelembagaan desa inilah Pak Marwoto sbagai petinggi desa mempunyai metode dan teknik penyuluhan tersendiri selain langsung menjelaskan manfaat dan fungsi hutan,tanah dan air, juga melalui lagu-lagu yang diciptakan sendiri. Isinya mengenai keindahan alam dan ajakan menanam pohon. Lagu-lagu ini dinyanyikan sendiri maupun oleh orang lain diwaktu-waktu ada acara resmi atau hajatan di desa plajan.
Foto Penyuluhan yang dilakukan secara massal di areal wisata Akar Seribu. Adapun pemecahan masalah-masalah tersebut di atas diupayakan melalui 5 upaya yaitu : Upaya Peningkatan SDM melalui Penyuluhan secara periodik dari Penyuluh Kehutanan Lapangan, Pelatihan-pelatihan bidang Kehutanan, dan Karya wisata ke daerah
2
yang lebih berhasil. Upaya Peningkatan Modal Usaha melalui Kemitraan dengan pihak-pihak lain diantaranya yaitu Pengolahan Kayu, sarang burung walet, wisata alam dan industry rumah tangga serta Pecinta Alam. Meningkatkan Koperasi Kelompok (kelompok tani, kelompok pengguna air, PKK dan RT). Memanfaatkan hutan wisata alam dari Jasa Lingkungan dan Jasa air. Upaya Peningkatan Hasil dari Lahan Sempit melalui Pembuatan hutan rakyat pola agrofoestry sehingga mendapatkan incaome harian, bulanan dan tahunan. Pengembangan Aneka Usaha Kehutanan yaitu usaha mebel, anyam-anyaman bamboo, pembuatan gula aren, budidaya jamur, pembuatan criping pisang dan usaha ternak kambing dan sapi. Upaya Penyediaaan air bersih Kebutuhan Rumah tangga melalui penyaluran air dari sumber mata air ke pemukiman dengan membangun bak penampungan air, Pembuatan embung. Upaya Pengaturan Penebangan Kayu melalui aturan Perdes Tebang satu tanam lima pohon.
dengan kebijakan perioritas pembangunan kehutanan adalah sebagai berikut: Bidang Pemantapan Kawasan Hutan. Dalam pengimplementasian pembangunan kehutanan bidang pemantapan kawasan hutan telah dibuat ketetapan peraturan desa (Perdes) melalui Pembuatan Hutan Rakyat Swadaya seluas 450 hektar atau 42 % dari luas Desa Plajan dan pembangunan lokasi hutan Wisata alam seluas 25 hektar. Bidang Rehabilitasi hutan dan Peningkatan Daya Dukung DAS. Implementasi dalam pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Peningkatan Daya Dukung DAS yaitu : Membudayakan gerakan masyarakat menanam, Pembuatan Kebun Bibit Swadaya, Penghijauan Turus Jalan sepanjang 14 kilometer, Penanaman pada sepadan sugai atau bibir sungai sepanjang 5 kilo meter. Pembuatan kegiatan sipil teknis seperti embung, sumur resapan dan Dam Penahan. Bidang Pengamanan Hutan dan Pengendalian Kebakaran Hutan. Untuk pengamanan hutan dan pengendalian kebakaran hutan ini dibentuk Satgas Pengamanan hutan dengan tugas : Pengawasan peredaran kayu diwilayah desa Plajan, Pencegahan kebakaran hutan dan mengawal Peraturan Desa dibidang Kehutanan. Bidang Konservasi Keaneka Ragaman Hayati Dalam bidang konservasi keanekaragaman hayati , untuk perlindungan satwa, pencegahan penggembalaan liar, perlindungan pohon langka dan mata air.
Foto Tempat Wisata Alam dan Bak Penampungan Air bersih Desa Plajan. AKTIVITAS PROGRAM KERJA BIDANG KEHUTANAN YANG TELAH DICAPAI Implementasi kinerja Desa Palajan dalam mendukung pembangunan kehutanan sesuai
Bidang Revitalisasi Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan. Membangun Kemitraan usaha dan kerja sama dengan para pelaku usaha dibindang kehutanan, industri dan pertanian yaitu : Kerjasama dengan PT Parade Bintang Kudus dalam hal Pengelolaan wisata alam akar seribu dan goa sakti, Kerja sama dengan UD Jawul Jepara dalam hal pembelian dan pengolahan kayu hasil hutan rakyat. Kerja sama dengan UD Supar Jepara dalam bidang pembelian dan pengolahan hasil hutan rakyat, Kerja sama dengan PT,Nasima Semarang, dalam bidang pengelolaan sarang burung wallet, Kerja sama dengan PT.Adi Farm dalam bidang pengolahan sarang burung wallet. Kerja sama dengan Zonna
3
Komunite Semarang dalam bidang Penghijauan dan lingkungan, Kerja sama dengan Komite Presiden Perdamaian Dunia tentang situs Bumi Dunia dan Gong Perdamaian Dunia. Bidang Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan. Berkemangnya aneka usaha kehutanan yang meliputi : industry Mebel, Pembuatan anyam-anyaman dari bamboo, Industri Pembuatan Gula aren dan pati sagu, Ternak Kambing, Sapi, industry rumahan pembuatan criping pisang dan talas, Pengembangan sarang burung wallet serta Pengembangan Jasa lingkungan.
manajemen yang professional oleh perangkat desanya. Dan pendampingan yang terus menerus oleh Penyuluh Kehutanan Lapangan. Dibawah kepemimpinan Petinggi atau Kepala Desa Marwoto yang terpilih selama dua periode ini barulah tampak hasilnya yang nyata tentang perubahan desa yang dulunya gersang menjadi ijo royo-royo. Ini dikarenakan sang petinggi atau kepala desa konsren terhadap pembangunan kehutanan, pertanian dan industry serta lingkungan. Desa Plajan yang sekarang merupakan desa yang rimbun sejuk dan tertata rapih dengan masyarakatnya yang damai dan dapat dikatakan sejahtera. Dalam hal ini kerukunan beragama juga sangat mendukung dalam pembangunan hutan. DAMPAK KEBERHASILAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN DESA PAJAN Secara umum Keberhasilan desa plajan dalam pembangunan kehutanan berdampak : Meningkatnya kesejahteraan masyarakat (adanya pendapatan harian, bulanan dan tahunan). Terciptanya lingkungan yang indah, nyaman, sejuk dan asri.
Munculnya Sumber Mata Air baru, Dengan keberhasilan pembangunan hutan rakyat seluas 450 hektar atau 42% dari luas wilayah desa berdampak munculnya 46 titik sumber mata air baru yang digunakan untuk air bersih dan dapat mencukupi kebutuhan 850 KK selain itu juga digunakan untuk pengairan sawah seluas 250 hektar dan untuk kolam ikan.
Foto salah satu contoh hasil pemberdayaan masyarakat. Mengembangkan gerakan cinta pohon dan gemar menanam di setiap RW. Membuat Kebun Bibit Rakyat. Dana yang dikeluarkan dari desa Plajan untuk mendukung pembangunan kehutanan ini mencapai 30 % dari APBDes Desa Plajan. Hal ini tidak begitu saja mudah didapat tetapi melalui perjuangan dan kinerja desa yang benar-bener dikelola dan diurus secara
Menghasilkan Jasa lingkungan yang bermanfaat bidang Ekologi, Ekonomi dan Sosial. Bidang Ekologi muncul sumber mata air, berkembangnya flora dan fauna. Bidang Ekonomi menghasilkan jasa lingkungan dan berkembangnya industry rumah tangga. Bidang Sosial tempat rekreasi wisata alam akar seribu, tempat berkemah pramuka, pelajar dan mahasiswa, tempat penelitian peguruan tinggi (Undip dan Inisnu). Tersedianya Hijauan Makanan Ternak Terbangunnya hutan rakyat dengan pola agroforestry sersedia hijauan makanan ternak
4
yang dapat mencukupi ternak kambing sejumlah 2.150 ekor dan 1200 ekor sapi. Tersedianya bahan baku industry mebel. Hutan rakyat desa plajan dengan luasan yang cukup dengan pengelolaan yang baik dan didukung dengan aturan Perdes dalam pengelolaan hasil hutan rakyat sehingga dapat menjamin pasokan bahan baku dan berkembangnya industry mebel dan kerajinan kayu sebanyak 185 pengrajin. Berperan Sebagai Pengendali Laju Erosi dan Tanah Longsor serta banjir di musim hujan dengan sivil teknis kehutanan dalam pengetrapan pengolahan lahan hutan rakyat seperti teras sering, guliplak, cek dam, teras bangku dan saluran air, dapat ber fungsi sebagai pengendali laju erosi. Pendapatan masyarakat yang diperoleh dari Hutan Rakyat dalam waktu 3 tahun. Kayu gelondong sebanyak 14.000 m3 setara dengan empat milyar upiah, Kayu bakar sebanyak 6000 m3 setara dengan tujuh ratus lima puluh juta rupiah. Jasa air sebesar empat puluh delapan juta rupiah, Jasa lingkungan tiga puluh enam juta rupiah. RENCANA KEDEPAN.
KERJA
DESA
PLAJAN
Jangka Pendek : Peningkatan Pembuatan Kebun Bibit Rakyat dan Pemanfaatan lahan dibawah tegakan dengan tanaman obat. Jangka Panjang: Pembuatan Wisata Alam Situs Bumi dan Gong Perdamaian Dunia. Pengembangan sarana dan prasarana wisata alam.
KESIMPULAN Hutan atau Hutan Desa bisa lestari apabila ada: Kebersamaan Lembaga formal dan non formal dalam kepeduliannya terhadap hutan dan lingkungan. Pemberdayaan masyarakat dibidang kehutanan yang memahami manfaat dan fungsi hutan. Peraturan Desa secara tertulis maupun tidak tertulis sebagai aturan di bidang kehutanan menjadi landasan hukum. Kerjasama dengan para pihakyang peduli kehutanan. Pemanfaatan hutan dari jasa lingkungan dan jasa air sehingga hutan tidak ditebang. sehingga hutan tetap lestari. Desa Plajan yang semula tidak mempunyai wilayah hutan namun dapat membangun hutan dan memanfaatkan jasa lingkungannya dapat mensejahterakan masyarakatnya. Tertarik untuk berkunjung kesana . Bila para pembaca akan berkunjung ke desa ini dapat ditempuh dengan naik kendaraan umum bus jurusan Jepara Pati turun di terminal Bangsri dari Bangsri ke Desa Palajan naik angkudes. Selamat studibanding, berrekreasi di desa wisata Plajan (Hutan Rakyat,Hutan wisata Akar Seribu, Gua Sakti, Pohon-pohon langka dan Situs Bumi serta Gong Perdamaian Dunia). Tuhan Memberkati.
5
STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Oleh : Ir. Bambang Sigit Subiyanto, MM.
Masyarakat pelaku utama dan pelaku usaha lokal-lah yang memiliki pengetahuan, kearifan lokal dan keahlian. Peran Penyuluh Kehutanan sebagai fasilitator adalah untuk mendampingi dan mendengar serta belajar dari masyarakat, bukan mengajari masyarakat tentang problem dan kebutuhan mereka. Tetapi memfasilitasi agar masyarakat mampu menyelesaikan sendiri permasalahannya. PELUANG DAN TANTANGAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Desa yang ada di dalam dan di sekitar kawasan hutan adalah identik dengan masyarakat yang berekonomi lemah. Masyarakat sekarang ini cenderung lebih banyak memanfaatkan hutan daripada melestarikannya. Banyak program masuk desa tapi pelaksanaannya berjalan sendirisendiri. Banyak potensi hutan yang belum tergarap dengan maksimal dengan basis pelestarian di dalamnya seperti tumpang sari atau agroforestry atau hutan campuran. Lembaga-lembaga di tingkat bawah belum bersinergi, partisipasi masyarakat dalam melestarikan hutan masih rendah, termasuk kelompok perempuan. Untuk itu peluang dan tantangan ini perlu di analisis guna menemukan strategi pemberdayaan masyarakat yang efektif dan partisipatif.
Desa yang ada di sekitar hutan.
SKEMA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT. Penyuluh Kehutanan melalui penyuluhannya harus mampu menjelaskan manfaat dan fungsi hutan secara lestari, melalui 3 kelola lestari yaitu kelola kawasan, kelola kelembagaan dan kelola usaha. Melalui pertemuan-pertemuan, musyawarah secara intens dan partisipatif dari masyarakat yang difasilitasi oleh Penyuluh Kehutanan membahas bersama dan di analisis dengan metode pemberdayaan rakyat yang partisipatif. Dari sini muncullah Skema Pemberdayaan Masyarakat yang disepakati bersama sekaligus merupakan strategi yang paling baik menurut mereka. Skema Pemberdayaan Masyarakat itu adalah rangkaian kegiatan yang harus dilalui dan dilaksanakan. Subyeknya adalah Pemberdayaan Masyarakat di sekitar hutan yang kurang mampu atau marjinal dan Pemerintahan setempat yang terkait. LANGKAH-LANGKAH/TAHAPAN YANG DILAKUKAN. 1.SOSIALISASI PROGRAM Mengenalkan tim fasilitator kepada masyarakat, menjelaskan tujuan program yang akan dilaksanakan beserta dengan waktu pelaksanaan dan batas waktunya. Membuka peluang partisipasi dan partisipasi masyarakat beserta pemerintah desa, kecamatan maupun kabupaten.
dasar dalam merumuskan program. Perumusan Program secara partisipatif akan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan program. Pengintegrasian hasil kajian dan pengetahuan masyarakat local mempunyai peran penting.
Foto Penyuluhan/ sosialisasi yang dilakukan secara massal di areal terbuka. 2. KAJIAN SECARA PARTISIPATIF Menggunakan metode yang tepat dalam pelaksanaan kajian seperti: pemetakan social, transek, kalender musim, kajian kebijakan, kajian pasar dll. Penekanan penggunaan instrument tersebut berpangku pada upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program pembangunan kehutanan.
4. MENJARING ASPIRASI MASYARAKAT. Mengakomodasi aspirasi masyarakat pelaku utama dan pelaku usaha terhadap program yang di jalankan. Menentukan skala prioritas program sesuai dengan hasil kajian dan tujuan yang ingin dicapai. Prioritas program / kegiatan yang disetujui oleh masyarakat merupakan suatu jawaban terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh mereka. Inisiasi program harus sensitive gender. Dukungan dari pemerintah setempat desa / kabupaten di tuangkan dalam Surat Keputusan atau Perdes atau Perda. Pembuatan Perdes diawali dengan mengadakan Rembug Desa yang membahas : Perencanaan Program Pembangunan Kehutanan lewat Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes) dan Pembuatan Peraturan Desa untuk mendukung Program Kehutanan.
Dialog Para Pihak 3. LOKAKARYA HASIL KAJIAN Dialog dan sharing hasil kajian yang sudah dilakukan secara partisipatif dan yang telah disepakati serta mendapatkan masukan dari masyarakat pelaku utama dan pelaku usaha dapat dijadikan sebagai
Rembug Desa melalui Musbangdes
Untuk mengakomodir aspirasi masyarakat tersebut harus taat asas perencanaan dalam jaring aspirasi yaiyu : Asas persamaan Semua orang yang terlibat selama dalam perencanaan mempunyai kedudukan yang sama dan sedrajat, tidak ada perbedaan status. Semua disini berfungsi sebagai team work. Asas peran serta Semua orang harus melibatkan dirinya secara penuh baik fisik maupun pikirannya. Hasil perencanaan ini akan sangat tergantung kepada peran serta, kemampuan, pengalaman, wawasan, kesungguhan partisipan itu sendiri. Asas demokratis Kedudukan semua orang sederajat. Setiap pendapat didasarkan pada argument, terbuka terhadap kritik, jujur dan teliti, sehingga akan terjadi komunikasi dialogis diantara partisipan. Hal ini baik untuk kejelasan gambaran, kejelasan keberadaan dan kejelasan logika (rasionalitas). 5. PERUMUSAN RENSTRA, TIM PELAKSANA DAN BADAN PENGAWAS. Adanya Renstra merupakan jaminan keberlanjutan program pemberdayaan yang akan dilaksanakan oleh masyarakat. Tim pelaksana dibentuk dari unsur masyarakat yang intinya mendorong partisipasi. Badan pengawas bertugas untuk melakukan memonitoring dan evaluasi agar pelaksanaan program dapat trasparan dan akuntable. Pihak pemerintah memberikan dukungannya delam pelaksanaan program. 6. PELAKSANAAN PROGRAM (AKSI) Bila program kerja sudah terumuskan dan kelompok sudah terbentuk, maka rencana aksi komunitas harus sudah bisa dilaksanakan. Mekanisme atau aturanaturan terkait dengan kegiatan yang
dilaksanakan dirumuskan bersama dengan masyarakat. Pengelolaan kegiatan dan keberlanjutan program menjadi tanggung jawab bersama.
Rencana Aksi dengan kelompok
Mediasi konflik penting untuk dipersiapkan sejak dini. Mediasi konflik dalam pemberdayaan masyarakat yang perlu kita perhatikan yaitu : Adanya manajemen untuk menagani konflik. Karena adanya konflik dapat menurunkankan tingkat partisipasi masyarakat bahkan menghambat partisipasi. Hindari bias kepentingan personal dalam perumusan program. Mediasi konflik dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan cultural, personal, hukum dan musyawarah untuk mencapai mufakat. Pendekatan personal juga dapat ditempuh dengan mengedepankan harmoni social. 7. MONITORING DAN EVALUASI. Kegiatan monitoring dan evaluasi kadang masih dipandang sebelah mata, padahal kegiatan ini sangatlah penting untuk menunjang keberhasilan dan untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan dari program yang sedang dan telah dilaksanakan. Monitoring dapat dilakukan dengan dua cara yakni : monitoring internal dan monitoring ekternal.
Monitoring internal dilakukan dengan melibatkan tim pelaksana beserta mitra. Sedangkan monitoring eksternal dilakukan dengan melibatkan tim dari luar atau tim independen dan tim ahli dalam bidang pemberdayaan yang dilakukan. Hal ini dilakukan bukan untuk mencari kesalahan melainkan untuk pembelajaran program.
Demikian strategi pemberdayaan masyarakat bila minimal Penyuluh Kehutanan dalam kegiatan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat, langkahlangkah tersebut dilakukan dengan cermat, teliti, partisipatif dan demokratis akan menghasilkan program-program/ kegiatan pembangunan kehutanan yang dapat dicapai dengan sukses efektif serta effisien. Selamat berkarya dan salam…. luar biasa.
Monitoring 8. LAPORAN DAN PENDOKUMENAN Laporan dibuat berisi seluruh kegiatan pelaksanaan kegiatan yang sudah dilaksanakan dan laporan penggunaan dananya. Dokumen laporan akhir sebaiknya juga didesain untuk dokumen pembelajaran proses pemberdayaan yang sudah dilakukan sehingga dapat dimanfaatkan oleh desa atau organisasi lain yang memerlukan.
Hasil Produksi Empon-Empon
PENYULUH KEHUTANAN?? MAU BANGEEET.. !!! Endang Dwi Hastuti*
Selama ini profesi penyuluh kehutanan dianggap tidak menarik. Penyuluh kehutanan identik dengan serba kekurangan : kurang “seksi”, kurang besar penghasilannya, kurang berkembang kariernya, dan masih banyak lagi kekurangan-kekurangan yang melekat pada profesi sebagai penyuluh kehutanan sehingga profesi ini tidak diminati . Kalau kita menengok sejarah, sebagian besar penyuluh kehutanan di daerah adalah para Petugas Lapangan Penghijauan (PLP) atau Petugas Lapangan Reboisasi (PLR)
dan
Petugas Lapangan Dam Pengendali (PLDP) yang diangkat pada era kegiatan Proyek Inpres Penghijauan dan reboisasi yang digulirkan mulai tahun 1976. Tugas sebagai PLP, PLR dan PLDP lebih mengarah pada bimbingan teknik dalam pelaksanaan kegiatan penghijauan dan reboisasi. Latar belakang pendidikan para penyuluh tersebut umumnya SLTA, sedangkan pelatihan peningkatan kapasitas sangat minim diadakan, sehingga kapasitas, produktivitas dan kapabilitas penyuluh kehutanan dalam melaksanakan penyuluhan masih lemah. Kondisi ini diperparah dengan terbitnya PP Nomor 62/1998 dan PP Nomor 25/2000 yang menyatakan antara lain bahwa penyuluhan kehutanan merupakan salah satu urusan bidang kehutanan yang kewenangannya diserahkan kepada kabupaten/kota. Setelah berlakunya otonomi daerah maka kelembagaan formal yang bertugas menangani penyuluhan kehutanan baik di Dinas Kehutanan Provinsi dan Dinas yang menangani kehutanan di kabupaten/kota menjadi sangat bervariasi. Beberapa daerah provinsi dan kabupaten/kota ada yang memberikan perhatian cukup terhadap penyuluh dan kegiatan penyuluhan kehutanan, sebaliknya beberapa daerah lain perhatian dan dukungannya sangat kurang. Selain itu, penyuluh kehutanan banyak yang dialihtugaskan ke jabatan struktural atau dialihfungsikan pada tugas-tugas lain di luar tupoksinya sebagai tenaga fungsional penyuluh kehutanan. Situasi dan kondisi ini menyebabkan Penyuluh Kehutanan seperti “anak ayam yang kehilangan induk”, yang berdampak pada kesejahteraan dan perkembangan kariernya yang kurang lancar. Di pusat bahkan pernah ada masa dimana banyak orang menganggap penyuluh kehutanan adalah “orang buangan”. Ketika seseorang masuk menjadi penyuluh di Pusat Penyuluhan, orang bertanya-tanya salah apa dia kok jadi penyuluh. Banyak cemoohan yang bikin kita prihatin. Ketika seseorang mau menjadi penyuluh kehutanan biasanya orang berkomentar “Lugu” yang artinya “Lu Guoblok”. Itulah gambaran singkat betapa remehnya penyuluh kehutanan dimata kebanyakan orang. Tapi itu dulu!! Sekarang siapa sih yang tidak
mau jadi penyuluh? Kita harus berani berkata bahwa masa depan penyuluh kehutanan sekarang lebih cerah, lebih menjanjikan!
Lain Dulu lain Sekarang.. Sekarang menjadi penyuluh kehutanan lebih menarik dibanding jadi pejabat struktural. Lahirnya Undang-Undang No. 16 tahun 2006 tentang Sistim Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K) merupakan titik awal yang cerah dalam penyuluhan kehutanan. Posisi para penyuluh sudah kuat karena hak dan kewajibannya telah diatur dengan jelas dalam UU SP3K tersebut. Demikian pula peraturan-peraturan lainnya yang mengatur tentang penyuluh kehutanan telah terbit, seperti Perpanjangan Batas Usia Pensiun, BOP, Tunjangan Fungsional, Sertifikasi Penyuluh, Angka Kredit, dan lain-lain yang memungkinkan seorang penyuluh mencapai puncak karier dan kesejahteraannya.
Jadi Penyuluh Dulu Baru Diklat Dulu untuk bisa diangkat menjadi penyuluh kehutanan salah satu syaratnya harus lulus diklat pembentukan penyuluh kehutanan, padahal kesempatan untuk mengikuti diklat sangat minim. Salah satu akibatnya banyak calon penyuluh kehutanan yang bertahun-tahun belum diangkat mereka pindah ke jabatan struktural. Sekarang calon penyuluh kehutanan diangkat dulu menjadi penyuluh kehutanan , setelah itu paling lama 2 tahun baru wajib mengikuti dan lulus diklat fungsional dibidang penyuluhan kehutanan.
Naik Pangkat 2 Tahun, Karier Terjamin! Karier penyuluh kehutanan sekarang ini lebih pasti. Segala sesuatu tentang penyuluh kehutanan dan angka kreditnya telah diatur dalam Peraturan PERMENPAN DAN RB NO. 27 TAHUN 2013 (Revisi dari SK MENPAN NO. 130/KEP/M. PAN/12/2002) Melalui mekanisme pengumpulan angka kredit, penyuluh yang ingin naik pangkat dalam 2 tahun sekarang
bukan hal yang sulit. Tugas pokok, kegiatan dan angka kredit seorang
penyuluh , mekanisme pengusulan Daftar Usulan Angka Kredit (DUPAK) serta penilaian dan penetapan angka kredit penyuluh dengan jelas diatur dalam Peraturan PERMENPAN DAN RB NO. 27 TAHUN 2013. Kegiatan-kegiatan penyuluh kehutanan yang dalam peraturan terdahulu belum terakomodir untuk mendapat angka kredit dalam PERMENPAN DAN RB NO. 27 TAHUN
2013 sudah diakomodir. Dengan demikian kesempatan penyuluh untuk naik pangkat dan jabatan sekarang jauh lebih mudah. Kepastian karier penyuluh kehutanan tidak diragukan lagi. Jenjang jabatan penyuluh kehutanan sekarang bertambah. Untuk penyuluh kehutanan terampil ada tambahan jenjang Penyuluh Kehutanan Pelaksana Pemula, golongan ruang IIa, dan yang paling seru sekarang ini penyuluh kehutanan bisa sampai jenjang Penyuluh Kehutanan Utama , Golongan ruang IVd-IVe . Pensiun Sampai Usia 60 Tahun Dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2010, tentang Perpanjangan Batas Usia Pensiun Bagi Pegawai Negeri Sipil Yang Menduduki Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian, Penyuluh Perikanan dan Penyuluh Kehutanan, batas usia pensiun penyuluh kehutanan jenjang Madya dan Jenjang Utama dapat diperpanjang sampai dengan 60 tahun. Penyuluh kehutanan jenjang Penyelia dan jenjang Muda pada saat Perpres ini ditetapkan, batas usia pensiunnya dapat diperpanjang sampai dengan 60 tahun. Biaya Operasioanal Penyuluh (BOP) Naik Bantuan Operasional Penyuluh (BOP) adalah dana yang diberikan oleh Kementerian Kehutanan
cq. Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kehutanan (BP2SDMK) kepada
penyuluh kehutanan untuk lebih memperlancar pelaksanaan tugas sesuai dengan rencana kerja. Semula BOP untuk setiap penyuluh Kehutanan sama besarnya yaitu Rp. 250.000/bulan. Berdasarkan Surat Kementerian Keuangan Nomor : S.593/MK.02/2013 tanggal 27 Agustus 2013, BOP mengalami kenaikan menjadi: No 1. 2. 3.
WILAYAH Rp Wilayah Barat (Sumatera, Jawa) Rp. 320.000/bulan Wilayah Tengah (Bali, Kalimantan, Sulawesi, NTT, Rp. 400.000/bulan NTB) Wilayah Timur (Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Rp. 480.000/bulan Barat)
Tunjangan Jabatan Fungsional Naik Semula Tunjangan Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan diatur dalam Perpres No: 33/2007 yang besarnya sebagaimana dalam tabel dibawah ini. Berdasarkan Perpres Nomor 19 Tahun 2013, Tunjangan Fungsional Penyuluh Kehutanan mengalami kenaikan menjadi :
Jenjang
Jabatan
Pangkat
Perpres No 33/2007
Pelaksana Pelaksana Lanjutan Penyelia
IIb-IId IIIa-IIIb IIIc-IIId
Rp. 240.000 Rp. 265.000 Rp. 300.000
Rp. 360.000 Rp. 450.000 Rp. 780.000
Pertama Muda Madya
IIIa-IIIb IIIc-IIId IVa-IVc
Rp. 270.000 Rp.400.000 Rp. 550.000
Rp. 540.000 Rp. 960.000 RP. 1.260.000
PK Terampil
Perpres No. 19/2013
PK Ahli
Tunjangan Profesi Pada prinsipnya tunjangan profesi penyuluh kehutanan sudah disetujui Kementerian Keuangan, diharapkan dalam waktu dekat dapat direalisasikan.
Penyuluh Kehutanan Teladan Dapat Angka Kredit Penyuluh kehutanan yang mendapat penghargaan sebagai penyuluh kehutanan teladan dapat diberikan angka kredit dengan ketentuan : Penyuluh kehutanan teladan tingkat nasional diberikan angka kredit 50% angka kredit yang disyaratkan untuk kenaikan jenjang dan atau pangkat setingkat lebih tinggi dengan rincian 80% untuk unsur utama dan 20% untuk unsur penunjang. Penyuluh kehutanan teladan tingkat provinsi dapat diberikan angka kredit 37,5%, dan penyuluh kehutanan teladan tingkat kabupaten 25%.
*PKA pada Pusat Penyuluhan Kehutanan
Jangan Takut Ikut Sertifikasi Sama dengan Ngumpulin DUPAK Kok Hendro Asmoro, SST., M.Si*)
Apa kabar Penyuluh Kehutanan ..... LUAR BIASA, itulah jawaban para Penyuluh Kehutanan yang selalu menggema dan kompak setiap kali disapa pada saat pertemuan. Pertanyaan berikutnya kepada Penyuluh Kehutanan : Siap ikut uji kompetensi ? Jawabannya kurang kompak hingga harus diulang beberapa kali. Kenapa demikian? Mungkin sebagian Penyuluh Kehutanan masih belum begitu jelas tentang uji kompetensi. Pada kesempatan ini, penulis mencoba memberikan gambaran singkat bagaimana proses asesmen kompetensi dan apa saja yang perlu dipersiapkan oleh para Penyuluh Kehutanan dalam mengikuti asesmen kompetensi. Apa yang menjadi dasar pelaksanaan Asesmen Kompetensi Penyuluh Kehutanan ? Dalam pasal 32 ayat (3) Undang-undang 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, dinyatakan bahwa “ Pembiayaan penyuluhan yang berkaitan dengan tunjangan jabatan fungsional dan profesi, biaya operasional penyuluh PNS, serta sarana dan prasarana bersumber dari APBN, sedangkan pembiayaan penyelenggaraan penyuluhan di provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa bersumber dari APBD yang jumlah dan alokasinya disesuaikan dengan programa penyuluhan”. Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2009 tentang Pembiayaan, Pembinaan, dan Pengawasan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan dinyatakan bahwa “Setiap penyuluh PNS yang telah mendapat sertifikat profesi sesuai standar kompetensi kerja dan jenjang jabatan profesinya, diberikan tunjangan profesi penyuluh”. Kedua peraturan perundang-undangan inilah yang menjadi dasar utama pelaksanaan uji kompetensi oleh pemerintah dan lembaga sertifikasi profesi. Artinya salah satu tujuan dari penyelenggaraan uji kompetensi adalah mendapat sertifikat profesi sebagai syarat bagi Penyuluh Kehutanan untuk memperoleh tunjangan profesi. Kemudian, pelaksanaan asesmen kompetensi bagi Penyuluh Kehutanan mengacu pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.137/Men/V/2011 tentang Penetapan Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor Kehutanan Bidang Penyuluhan Kehutanan Menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia.Penyusunan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) menggunakan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 130/KEP/M.PAN/12/2002 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan dan Angka Kreditnya. Berdasarkan pada lingkup dan cakupan kegiatan penyuluhan kehutanan, dalam SKKNI Bidang Penyuluhan Kehutanan, kompetensi penyuluh kehutanan dipetakan dalam beberapa fungsi seperti disajikan pada Tabel 1 berikut :
1 |J a n g a n T a k u t I k u t S e r t i f i k a s i
Tabel 1 :Peta Fungsi Bidang Kerja Utama Penyuluh Kehutanan Fungsi Kunci Melakukan Interaksi sosial Menyelenggara kan penyuluhan kehutanan
Fungsi Utama Mengembangkan interaksi sosial
Fungsi Dasar / Unit kompetensi 1. Melakukan Komunikasi Dialogis 2. Membangun Jejaring Kerja 3. Mengorganisasikan Masyarakat
Melakukan persiapan penyuluhan kehutanan
1. Menyusun Data Potensi Wilayah, Agroforestry Ekosistem, dan Kebutuhan Inovasi/Teknologi Kehutanan 2. Menganalisis Potensi Wilayah, Agroforestry Ekosistem, dan Kebutuhan Inovasi/Teknologi Kehutanan 3. Menyusun Programa Penyuluhan Kehutanan 4. Menyusun Rencana Kerja Tahunan Penyuluh Kehutanan 1. Menyusun Materi Penyuluhan Kehutanan 2. Menetapkan Metode Penyuluhan Kehutanan 3. Mengembangkan Kemandirian Kelompok Sasaran 1. Melakukan Pemantauan Pelaksanaan Penyuluhan Kehutanan 2. Melakukan Evaluasi Pelaksanaan Penyuluhan Kehutanan
Melaksanakan penyuluhan kehutanan
Melakukan pemantauan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan penyuluhan kehutanan Melakukan pengembangan penyuluhan kehutanan
Mengembangkan sektor kehutanan
Melakukan pengembangan profesi penyuluhan kehutanan Melaksanakan pengembangan penyuluhan Melakukan pendampingan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan Melakukan pendampingan kegiatan pengelolaan hasil hutan Melakukan pendampingan kegiatan jasa lingkungan dan TSL
2 |J a n g a n T a k u t I k u t S e r t i f i k a s i
1. Membuat Telaahan Pelaksanaan Strategi dan Kebijakan Penyuluhan Kehutanan 2. Melakukan Pengembangan Pedoman, Juklak, Juknis, dan Prosedur Kerja Penyuluhan Kehutanan 3. Melakukan Pengembangan Aspek Teknik, Metodologi, Materi, Sarana, dan Alat Bantu Penyuluhan Kehutanan Membuat Karya Tulis/Karya Ilmiah di Bidang Pengembangan Profesi Penyuluhan Kehutanan Membuat Media Penyuluhan Dalam Bentuk Model 1. Melakukan Pendampingan Kegiatan Pembibitan 2. Melakukan pendampingan Kegiatan Penanaman 3. Melakukan Pendampingan Kegiatan Sipil Teknis Konservasi Tanah dan Air 1. Melakukan Pendampingan Kegiatan Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 2. Melakukan Pendampingan Kegiatan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu 3. Melakukan Pendampingan Penatausahaan Hasil Hutan Kayu Rakyat 1. Melakukan Pendampingan Pemanfaataan Jasa Lingkungan dan atau wisata alam 2. Melakukan Pendampingan Kegiatan Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar
Fungsi Kunci
Fungsi Utama Melakukan pendampingan kegiatan perlindungan hutan Melakukan pendampingan kegiatan di bidang planologi Melakukan pendampingan kemitrausahaan
Fungsi Dasar / Unit kompetensi 1. Melakukan Pendampingan Pengendalian Kebakaran Hutan 2. Melakukan Pendampingan Pengamanan Hutan 1. Melakukan Pendampingan Kegiatan Inventarisasi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan 2. Melakukan Pendampingan Kegiatan Tata Batas Kawasan Hutan Melakukan Pendampingan Akses Permodalan dan Kemitrausahaan
Sumber : Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : Kep.137/Men/V/2011
Bagaimana Proses Asesmen Kompetensi Penyuluh Kehutanan? Sebelum masuk pada proses asesmen kompetensi, ada baiknya kita mencoba mengenal beberapa istilah dalam asesmen kompetensi. Asesmen kompetensi mungkin secara sederhana dapat diartikan sebagai uji kompetensi. Namun, dalam tulisan ini uji kompetensi kita pahami sebagai asesmen kompetensi. Beberapa istilah yang perlu diketahui dalam asesmen kompetensi antara lain : 1. Asesmen Kompetensi adalah proses asesmen baik teknis maupun non teknis melalui pengumpulan bukti yang relevan untuk menentukan apakah seseorang kompeten atau belum kompeten pada suatu unit kompetensi atau kualifikasi tertentu. 2. Kompetensi Kerja adalah spesifikasi dari setiap sikap, pengetahuan, keterampilan dan atau keahlian serta penerapannya secara efektif dalam pekerjaan sesuai dengan standar kinerja yang dipersyaratkan. 3. Asesor Kompetensi adalah seseorang yang ditugaskan oleh suatu lembaga sertifikasi profesi untuk melakukan asesmen kompetensi terhadap asesi 4. Asesi Kompetensi adalah Pemohon atau peserta asesmen kompetensi yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk dapat ikut serta dalam proses sertifikasi melalui asesmen kompetensi. 5. Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) adalah suatu lembaga sertifikasi profesi yang ditugaskan untuk melakukan proses asesmen. 6. Benchmark/Acuan Pembanding adalah Kriteria yang akan digunakan untuk mengases kemampuan asesi, bisa berupa : standar kompetensi/unit kompetensi; kriteria asesmen dari suatu kurikulum pelatihan; spesifikasi unjuk kerja; spesifikasi produk. Dari pengertian asesmen kompetensi di atas, dapat kita ketahui bahwa hasil akhir dari proses asesmen adalah rekomendasi asesor kepada asesi untuk mendapat pengakuan kompeten atau belum kompeten pada suatu unit kompetensi atau kualifikasi yang diasesmen. Proses asesmen kompetensi secara sederhana dilakukan terhadap bukti-bukti pendukung atas pekerjaan atau unit kompetensi asesi yang akan diasesmen dengan menggunakan acuan pembanding. Acuan pembanding yang digunakan pada proses asesmen kompetensi Penyuluh Kehutanan adalah SKKNI Bidang Penyuluhan Kehutanan. Untuk mendukung 3 |J a n g a n T a k u t I k u t S e r t i f i k a s i
pembuktian terhadap unit kompetensi yang asesmen, asesor dapat menggunakan perangkat asesmen seperti : 1. Daftar cek verifikasi bukti portofolio untuk mengecek bukti-bukti yang disertakan oleh asesi termasuk : valid (sahih), authenticity (asli), currency (terkini), dan sufficiency (cukup). 2. Daftar Pertanyaan Tertulis atau Lisan untuk mengetahui tingkat pengetahuan asesi 3. Lembar instruksi atau tugas praktek/demonstrasi untuk mengetahui tingkat keterampilan asesi DUPAK dan Bukti Pendukung Asesmen Kompetensi Bukti pendukung dalam proses asesmen kompetensi dikelompokkan atas : 1. Bukti langsung yaitu informasi yang diperoleh melalui observasi unjuk kerja secara langsung di lapangan atau di tempat kerja. 2. Bukti tidak langsung yaitu informasi yang diperoleh dari observasi unjuk kerja di tempat yang menyerupai tempat kerja atau ruang simulasi. 3. Bukti tambahan yaitu informasi yang diperoleh dari tempat lain karena kondisi dan situasi tidak memungkinkan untuk melakukan observasi langsung ataupun tidak langsung/simulasi. Dalam pelaksanaan asesmen kompetensi Penyuluh Kehutanan, bukti pendukung yang digunakan adalah bukti fisik dari lampiran Daftar Usulan Penilaian Angka Kredit (DUPAK). Mengapa demikian? Jawabannya adalah Penyusunan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) menggunakan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 130/KEP/M.PAN/12/2002 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan dan Angka Kreditnya yang dilengkapi dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 272/KPTS.II/2003 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan dan Angka Kreditnya. Jika ditinjau dari pengelompokkan bukti pendukung dalam proses asesmen kompetensi, maka bukti fisik yang merupakan lampiran yang tak terpisahkan dari DUPAK dapat dimasukkan dalam kategori bukti tidak langsung. Bukti tidak langsung tersebut harus dipersiapkan oleh Penyuluh Kehutanan sebelum mengikuti asesmen kompetensi. Untuk memudahkan Penyuluh Kehutanan dalam mempersiapkan bukti pendukung pelaksanaan tugas pada saat asesmen kompetensi nanti, penulis mencoba membuat tabel bukti tidak langsung dari masing-masing unit kompetensi yang disesuaikan dengan bukti fisik dari lampiran DUPAK, seperti disajikan pada Tabel 2 berikut :
4 |J a n g a n T a k u t I k u t S e r t i f i k a s i
Tabel 2 : Bukti Tidak Langsung Untuk Setiap Unit Kompetensi Penyuluh Kehutanan. I. KOMPETENSI UMUM Unit Komptensi KHT.PK01.001.01 Melakukan Komunikasi Dialogis KHT.PK01.002.01 Mengembangkan Kemandirian Kelompok Sasaran KHT.PK01.003.01 Mengorganisasikan Masyarakat II. KOMPETENSI INTI Unit Komptensi KHT.PK02.001.01 Menyusun Data Potensi Wilayah, AgroforestryEkosistem, dan Kebutuhan Inovasi/Teknologi Kehutanan KHT.PK02.002.01 Menganalisis Potensi Wilayah, Agroforestry Ekosistem, dan Kebutuhan Inovasi/Teknologi Kehutanan
KHT.PK02.003.01 Menyusun Programa Penyuluhan Kehutanan KHT.PK02.004.01 Menyusun Rencana Kerja Tahunan Penyuluh Kehutanan KHT.PK02.005.01 Menyusun Materi Penyuluhan Kehutanan KHT.PK02.006.01 Menetapkan Metode Penyuluhan Kehutanan KHT.PK02.007.01 Mengembangkan Kemandirian Kelompok Sasaran
Bukti Tidak Langsung Surat Keterangan/Laporan Kegiatan melakukan Komunikasi Dialogis Surat Keterangan/Laporan Kegiatan Mengembangkan Kemandirian Kelompok/Surat Kerjasama Kemitraan (MoU) Surat Keterangan /Laporan KegiatanMengorganisasikan Masyarakat/ Kerjasama/Kemitraan/Kesepakatan Bersama (MoU)
Bukti Tidak Langsung Surat Keterangan/Laporan Melakukan Kegiatan Menyusun Data Potensi Wilayah, Agroforestry Ekosistem, dan Kebutuhan Inovasi/Teknologi Kehutanan Buku Monografi Wilayah Kerja Penyuluh Kehutanan dan/atau Profil Wilayah Kerja Penyuluh Kehutanan Buku Programa Penyuluhan Kehutanan Buku Rencana Kerja Tahunan Penyuluhan Kehutanan Surat Keterangan /Laporan Melakukan KegiatanMenganalisis Potensi Wilayah, Agroforestry Ekosistem, dan Kebutuhan Inovasi/Teknologi Kehutanan Buku Monografi Wilayah Kerja Penyuluh Kehutanan/Profil Wilayah Kerja Penyuluh Kehutanan Buku Programa Penyuluhan Kehutanan Buku Rencana Kerja Tahunan Penyuluhan Kehutanan Buku Programa Penyuluhan Kehutanan Surat Keterangan Melakukan Kegiatan Menyusun Programa Penyuluhan Kehutanan Buku Rencana Kerja Tahunan Penyuluhan Kehutanan Surat KeteranganMelakukan Kegiatan Menyusun Rencana Kerja Tahunan Penyuluhan Kehutanan Surat Keterangan Melakukan Kegiatan Menyusun Materi Penyuluhan Kehutanan Materi Penyuluhan berupa : Media Cetak/Elektronik : Leaflet, Brosur/Booklet, Powerpoint, Poster, Naskah Siaran Radio, Film Buku Rencana Kerja Tahunan Penyuluhan Kehutanan Surat Keterangan Melakukan Kegiatan Menetapkan Metode Penyuluhan Kehutanan Surat Keterangan melaksanakan kegiatan Penyuluhan Buku Administrasi Kelompok Tani Binaan : Buku Anggota, AD/ART, Potensi Kelompok, Buku Hasil Pertemuan/kegiatan, Buku Tamu, dll, Buku Rencana Kerja Kelompok Kerjasama/Kemitraan/Kesepakatan Bersama (MoU)
5 |J a n g a n T a k u t I k u t S e r t i f i k a s i
Unit Komptensi KHT.PK02.008.01 Melakukan Pemantauan Pelaksanaan Penyuluhan Kehutanan KHT.PK02.009.01 Melakukan Evaluasi Pelaksanaan Penyuluhan Kehutanan KHT.PK02.010.01 Membuat Telaahan Pelaksanaan Strategi dan Kebijakan Penyuluhan Kehutanan KHT.PK02.011.01 Melakukan Pengembangan Pedoman, Juklak, Juknis, Dan Prosedur Kerja Penyuluhan Kehutanan KHT.PK02.012.01 Melakukan Pengembangan Aspek Teknik, Metodologi, Materi, Sarana, dan Alat Bantu Penyuluhan Kehutanan
KHT.PK02.013.01 Membuat Karya Tulis/Karya Ilmiah di Bidang Pengembangan Profesi Penyuluhan Kehutanan III. KOMPETENSI PILIHAN Unit Komptensi KHT.PK03.001.01 Membuat Media Penyuluhan Dalam Bentuk Model KHT.PK03.002.01 Melakukan Pendampingan Kegiatan Pembibitan KHT.PK03.003.01 Melakukan Pendampingan Kegiatan Penanaman KHT.PK03.004.01 Melakukan Kegiatan Pendampingan Kegiatan Sipil Teknis Konservasi Tanah dan Air
Bukti Tidak Langsung Surat Keterangan dan Laporan melakukan kegiatan pemantauan pelaksanaan penyuluhan kehutanan Surat Keterangan dan LaporanMelakukan kegiatan Evaluasi Pelaksanaan Penyuluhan Kehutanan(Laporan Bulanan/Triwulan/Tahunan Penyuluh Kehutanan) Surat Keterangan/Surat Keputusan Tim dan Laporan Kegiatan Membuat Telaahan Pelaksanaan Strategi dan Kebijakan Penyuluhan Kehutanan Rumusan Hasil Telaahan Pelaksanaan Strategi dan Kebijakan Penyuluhan Kehutanan Surat Keterangan/Surat Keputusan Tim dan Laporan Kegiatan Melakukan Pengembangan Pedoman, Juklak, Juknis, Dan Prosedur Kerja Penyuluhan Kehutanan Rumusan Hasil TelaahanPengembangan Pedoman, Juklak, Juknis, Dan Prosedur Kerja Penyuluhan Kehutanan Surat Keterangan/Surat Keputusan Tim dan Laporan Kegiatan Melakukan Pengembangan Aspek Teknik, Metodologi, Materi, Sarana, dan Alat Bantu Penyuluhan Kehutanan Rumusan Hasil Telaahan Pengembangan Aspek Teknik, Metodologi, Materi, Sarana, dan Alat Bantu Penyuluhan Kehutanan Surat Keterangan dan Hasil Karya Tulis, antara lain : Makalah, artikel, terjemahan/saduran (baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan)
Bukti Tidak Langsung Surat Keterangan /Laporan Kegiatan Membuat Media Penyuluhan Dalam Bentuk Model Surat Keterangan /Laporan Kegiatan Melakukan Pendampingan Kegiatan Pembibitan Surat Keterangan / Laporan Melakukan Kegiatan Pendampingan Kegiatan Penanaman Surat Keterangan / Laporan Melakukan Kegiatan Pendampingan Kegiatan Sipil Teknis Konservasi Tanah dan Air
6 |J a n g a n T a k u t I k u t S e r t i f i k a s i
Unit Komptensi KHT.PK03.005.01 Melakukan Kegiatan Melakukan Pendampingan Kegiatan Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu KHT.PK03.006.01 Melakukan Kegiatan Melakukan Pendampingan Kegiatan Pengelolaan Hasil Hutan Kayu KHT.PK03.007.01 Melakukan Kegiatan Pendampingan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Rakyat KHT.PK03.008.01 Melakukan Pendampingan Kegiatan Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Satwa Liar KHT.PK03.009.01 Melakukan Pendampingan Kegiatan Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar KHT.PK03.010.01 Melakukan Pendampingan Pengendalian Kebakaran Hutan KHT.PK03.011.01 Melakukan Pendampingan Pengamanan Hutan KHT.PK03.011.01 Melakukan Pendampingan Pengamanan Hutan KHT.PK03.012.01 Melakukan Pendampingan Kegiatan Inventarisasi Sosial, Budaya, Ekonomi Masyarakat di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan KHT.PK03.013.01 Melakukan Kegiatan Pendampingan Kegiatan Tata Batas Kawasan Hutan KHT.PK03.014.01 Melakukan Kegiatan Pendampingan Akses Permodalaan dan Kemitrausahaan
Bukti Tidak Langsung Surat Keterangan / Laporan Melakukan Kegiatan Melakukan Pendampingan Kegiatan Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu
Surat Keterangan / Laporan Melakukan Kegiatan Melakukan Pendampingan Kegiatan Pengelolaan Hasil Hutan Kayu
Surat Keterangan / Laporan Melakukan Kegiatan Pendampingan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Rakyat Surat Keterangan / Laporan Kegiatan Melakukan Pendampingan Kegiatan Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Satwa Liar Surat Keterangan / Laporan Kegiatan Melakukan Pendampingan Kegiatan Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar Surat Keterangan / Laporan Kegiatan Melakukan Pendampingan Pengendalian Kebakaran Hutan Surat Keterangan / Laporan Kegiatan Melakukan Pendampingan Pengamanan Hutan Surat Keterangan / Laporan Kegiatan Melakukan Pendampingan Pengamanan Hutan Surat Keterangan / Laporan Melakukan KegiatanPendampingan Kegiatan Inventarisasi Sosial, Budaya, Ekonomi Masyarakat di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan
Surat Keterangan / Laporan Melakukan Kegiatan Pendampingan Kegiatan Tata Batas Kawasan Hutan Surat Keterangan / Laporan Melakukan Kegiatan Pendampingan Akses Permodalaan dan Kemitrausahaan Surat Keputusan Kerjasama/Kemitraan/Kesepakatan Bersama (MoU)
Sumber : Diolah dari Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : Kep.137/Men/V/2011 dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 272/KPTS.II/2003.
7 |J a n g a n T a k u t I k u t S e r t i f i k a s i
Jika dilihat dari tabel tersebut di atas, maka bukti tidak langsung dari setiap unit kompetensi yang diasesmen merupakan bukti fisik dari pelaksanaan butir-butir kegiatan penyuluhan kehutanan sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 272/KPTS.II/2003. Selain bukti pendukung tersebut, sebaiknya Penyuluh Kehutanan yang akan mengikuti asesmen kompetensi juga menyiapkan berkas administrasi lainnya seperti : 1) STPPL Diklat Pembentukan Penyuluh Kehutanan 2) STPPL Diklat Teknis Kehutanan 3) Sertifikat dan atau Piagam Penghargaan 4) SK Jabatan Fungsional Penyuluh 5) Referensi dari pimpinan/rekan sejawat Penutup Jika saja setiap penyuluh kehutanan melaksanakan tugas pokok dengan baik dan rutin mengusulkan DUPAK yang dilengkapi bukti fisik sesuai petunjuk teknis, maka penyuluh kehutanan Insya Allah akan selalu siap setiap saat untuk mengikuti asesmen kompetensi. Secara sederhana, penulis mencoba mengasumsikan asesmen kompetensi Penyuluh Kehutanan saat ini hampir sama dengan penilaian DUPAK. Perbedaannya adalahpada pelaksanaan penilaian DUPAK, Penyuluh Kehutanan tidak bisa diklarifikasi langsung atas bukti fisik hasil kegiatannya. Sedangkan asesmen kompetensi, Penyuluh Kehutanan sebagai asesi dapat diklarifikasi secara langsung dengan menggunakan metode dan perangkat asesmen yang telah disiapkan oleh lembaga sertifikasi profesi sebagai pelaksana asesmen. Harapannya, jika suatu saat Penyuluh Kehutanan ditanya kembali dengan pertanyaan : Siap ikut uji kompetensi ? akan dijawab dengan yakin dan kompak SIAP !!!. Semoga tulisan ini bermanfaat. (HA)
Sumber Bacaan : Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2009 tentang Pembiayaan, Pembinaan, dan Pengawasan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.137/Men/V/2011 tentang Penetapan Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor Kehutanan Bidang Penyuluhan Kehutanan Menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 272/KPTS.II/2003 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan dan Angka Kreditnya. *) Penyuluh Kehutanan Madya-Pusluh
8 |J a n g a n T a k u t I k u t S e r t i f i k a s i
SDSN CIBUBUR 11 PAGI Mengajarkan Cinta Menanam di Keriuhan Jakarta
Ryke L.S. Siswari *)
Tidak salah bila Sekolah Dasar Standar Nasional (SDSN) Cibubur 11 Pagi, Jakarta ditetapkan sebagai terbaik tingkat nasional Lomba Penghijauan dan Konservasi Alam untuk Kategori Kecil Menanam Dewasa Memanen (KMDM) tahun 2013. Sekolah ini telah melaksanakan kegiatan KMDM secara swadaya bahkan saat sosialisasi KMDM belum menjangkaunya. Terletak
di
kelurahan
Cibubur,
Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur, sekolah
ini
sungguh
beruntung
memiliki lahan yang luas apalagi untuk ukuran Jakarta. Suasana sejuk dan asri sangat terasa begitu memasuki sekolah
ini
tanaman
karena
dan
banyaknya
pepohohonan
yang
tumbuh di sana. Dengan luas lahan 6.580
m2
dan
bangunan
sekolah
seluas
975 m2, sekolah ini memang
memiliki potensi yang luar biasa untuk melaksanakan kegiatan penanaman.
Gambar 1. Lingkungan sekolah yang hijau asri Suasana yang sangat berbeda dengan hiruk pikuk kota Jakarta yang sesak oleh hutan beton dan kemacetan. Sekolah ini bahkan telah mengajarkan kepada anak-anak untuk berkebun tanaman hias, buah-buahan
dan sayuran sebelum mengenal program KMDM. Dengan
demikian, saat diperkenalkan program KMDM, sekolah ini tinggal mengembangkan program yang memang sudah dilaksanakan. Setelah mengenal KMDM, SDSN Cibubur 11 Pagi menambahkan kegiatan ini ke dalam kegiatan yang telah dilaksankan dengan penyesuaian-penyesuaian searah program KMDM. Sekolah ini bahkan mengadakan pelatihan KMDM sendiri untuk melatih para guru calon pendamping kegiatan KMDM dengan fasilitator dari Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan Jakarta Timur. Materi yang diberikan dalam pelatihan tersebut meliputi KMDM di sekolah, teknis penanaman dan pemeliharaan pohon, Pengenalan jenis pohon tanaman hutan dan pembangunan persemaian tanaman hutan.
Di sekolah ini, KMDM telah menjadi bagian dari kurikulum sebagai muatan lokal. Mata pelajaran KMDM diajarkan kepada seluruh siswa kelas I hingga kelas VI dengan materi sesuai kelasnya dan mendapat nilai yang dicantumkan di raport. Selain mendapatkan teori tentang cinta lingkungan dan penananam di dalam kelas, siswa sekolah ini juga mendapatkan praktek berkebun dan pembibitan melalui kebun bibit sekolah serta penanaman. Selain oleh masing-masing guru penangajar, Kegiatan KMDM di sekolah ini juga didampingi oleh Pak Urip SP yang merupakan Penyuluh Kecamatan Ciracas dan Pak Sukarto yang merupakan Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat. Kegiatan ini tidak hanya didampingi oleh para penyuluh kehutanan, melainkan juga mendapatkan pembinaan dari Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan Jakarta Timur. Dimulai Dari Belajar di Kebun Bibit Kebun Bibit Sekolah sebagai salah satu
sarana
pembelajaran
KMDM
dibangun di atas lahan seluas 250 m2 di lahan milik sekolah. Di sini siswa belajar
membuat
pembibitan.
persemaian
dan
Juga memelihara bibit
bantuan dari suku Dinas Pertanian dan Kehutanan
Jakarta
Timur
dan
Kementerian Kehutanan sebelum siap ditanam
atau
dibagikan
ke
masyarakat dan sekolah lain.
Gambar 2. Merawat tanaman di kebun bibit
Jenis bibit yang dibuat meliputi kayu-kayuan ( jati, mahoni
buah (mangga, klengkeng, jambu dan rambutan) serta
dan gmelina). Sekolah ini telah menghasilkan bibit yang
dibagikan kepada siswa untuk di tananam di rumah, masyarakat di sekitar sekolah serta sekolah-sekolah di sekitarnya. Untuk menggalang dana bagi keberlanjutan kebun bibit dan pembelajaran tanam menanam, bibit yang dihasilkan juga dijual kepada orangtua murid pada acara-acara sekolah dengan harga Rp 10.000 untuk 2 bibit tanaman buah dan atau kayu.
Menanam = Menabung Selain belajar di KBS, siswa juga diajak berkebun sayuran, tanaman hias, tanaman obat serta tanaman jagung. Lahan sekolah yang memang luas dibagi kedalam blok-blok tanaman yaitu blok tanaman pertanian, blok tanaman produktif, blok tanaman obat dan hutan mini yang berisi tanaman kehutanan dn tanaman langka. Selain itu tanaman kehutanan/kayu-
kayuan juga ditanaman tersebar di seluruh area sekolah. Jenis tanaman yang sudah ada meliputi mahoni, sawo, belimbing, tanjung, pete, mangga, klengkeng, jambu dan tanaman langka. Seluruh pohon yang ada di SDSN Cibubur 11 pagi telah dipetakan dengan menggunakan GPS. Tanaman pertanian yang ditanam meliputi jenis jagung, bayam, kangkung, sawi, cabe dan terong. Seluruh tanaman dirawat oleh para siswa, demikian pula Kebun Bibit Sekolah yang dirawat para siswa sesuai jadwal piket bersama pendampingnya. Pada blok tanaman obat, siswa diajak untuk memberikan label pada setiap jenis tanaman dengan mencantumkan naman dan manfaat tanaman obat tersebut. Seperti halnya bibit tanaman kayu-kayuan, hasil kebun berupa jagung dan sayuran juga dijual kepada orangtua murid. Orangtua murid di undang di saat-saat panen. Selain untuk menggalang dana bagi keberlanjutan kebun sekolah, hal ini juga dimaksudkan untuk menumbuhkan kebanggaan pada para murid karena apa yang dilakukan bisa menghasilkan uang. Ini juga merupakan bentuk lain dalam menanamkan keyakinan bagi par murid bahwa saat mereka menanam pohon, pada saatnya nanti mereka akan memanen hasil yang lebih besar. Pohon yang mereka tanam saat ini adalah tabungan bagi mereka di masa yang akan datang. KMDM memang merupakan kegiatan penyuluhan yang dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan minat dan rasa cinta lingkungan dan penanaman pohon kepada
anak
Artinya,
usia
sekolah
kegiatan
dasar.
ini
lebih
mengutamakan proses pembelajaran untuk
mencintai
menanam
pohon
lingkungan daripada
dan
sekedar
pembangunan fisiknya.
Gambar 3. Belajar cara menanam pohon
Untuk Jakarta, hal ini menjadi semakin penting karena kondisi lahan maupun budaya masyarakat kota besar dimana anak lebih akrab dengan kegiatan kunjungan ke mall bermain dengan tablet dan handphone.
Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh sekolah ini dalam
pelaksanaan KMDM memang sudah tepat.
“Intinya adalah menanamkan kepada anak-anak bagaimana mengenal,
mencintai dan
menciptakan lingkungan yang lebih baik,” jelas Herwidiastuti, M.Pd., Kepala Sekolah SDSN Cibubur 11 Pagi. Anak-anak telah merasakan dengan banyaknya pohon,
suasana sekolah
menjadi lebih nyaman. Mereka juga merasakan senangnya mendapat uang dari hasil tanaman. Selain itu disampaikan bahwa bila dari tanaman pertanian saja sudah bisa menghasilkan
uang,
tabungan
dari
hasil penanaman pohon pasti akan lebih besar.
Gambar 4. Praktek menanam pohon
Banyak Cara Menuju Cinta Menanam Di sekolah ini kegiatan cinta menanam dan cinta lingkungan tidak hanya diberikan di kelas dalam bentuk teori maupun di kebun dalam bentuk praktek. Kegiatan ini juga dilakukan melalui permainan dan berkesenian dalam kegiatan ekstra kurikuler. Sekolah ini bahkan telah menciptakan lagu KMDM untuk menyemangati anak didiknya melakukan kegiatan tersebut. Di sekolah ini juga dibangun hutan mini yang berisi berbagai tanaman langka. Tanaman yang sudah ada di sini sekitar 81 pohon yang terdiri dari jamblang, bisbul, gowok lobi-lobi, jambu bol, kemiri, sawo juga tanaman seperti kayu putih, salam dan maja. Di sini , murid diajak mengenali berbagai jenis tanaman yang sudah mulai langka dan kegunaaannya. Mereka juga diajak untu menjaga dan memeliharanya. Untk meningkatkan kecintaan akan lingkungan dan kegiatan peaanaman, SDSN Cibubur 11 Pagi juga beberapa kali mengikutsertakan murid-muridnya dalam kegiatan penanaman yang dilakukan oleh berbagai pihak terutama Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan Jakarta Timur serta kementerian Kehutanan. SDSN Cibubur 11 Pagi juga mensosialisasikan para program KMDM ini kepada orangtua murid serta sekolah lain di sekitarnya.
para
Hal ini dilakukan dengan mengundang
orangtua murid dan perwakilan sekolah disekitarnya serta dengan cara pembagian bibit. Dampaknya pun telah terlihat dengan diikutinya program ini oleh sekolah-sekolah lain
diantaranya SDN Kelapa Dua Wetan 01 Pagi, SDN Kelapa Dua Wetan 06 Pagi, SDN Cibubur 01 Pagi, SDN Cibubur 06 Petang dan SDN Kelapa Dua Wetan 06 Pagi. Sesuai dengan tujuannya untuk menumbuhkembangkan minat dan rasa cinta lingkungan serta cinta menanam, apa yang telah dilakukan sekolah ini memberikan contoh nyata tentang keberhasilan KMDM. SDSN Cibubur 11 Pagi telah menanamkan rasa cinta lingkungan dan cinta menanam tidak hanya kepada anak didiknya tetapi juga telah menular kepada masyarakat dan sekolah-sekolah di sekitarnya. Di tengah kepadatan pemukiman dan hiruk pikuk ibukota Jakarta, anak-anak dengan gembira belajar membuat bibit, berkebun dan menanam pohon. Semoga apa yang telah dirintis dan dicapaiSDSN Cibubur 11 Pagi ini dapat terus terlaksana dengan semakin baik, juga terus menginspirasi sekolah lain untuk melakukan hal serupa.
*) Penyuluh Kehutanan pada Pusat Penyuluhan Kehutanan
YESAYA MAYOR, ‘FROM ZERO TO HERO’ Oleh : Victor Winarto *) Yesaya Mayor (49 tahun) dilahirkan di Kampung Sawinggrai, Distrik Meos Mansar, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Masa kecilnya tak jauh berbeda dengan teman-teman sebaya, yaitu dihabiskan untuk membantu orang tua berladang di hutan dan mencari ikan di laut. Dengan kata lain hutan dan laut menjadi bagian hidup yang membentuk karakter Yesaya Mayor hingga beranjak dewasa. Awalnya penebang liar Hutan dan laut di Papua Barat, khususnya di
Distrik
Meos Mansar
menyediakan
segala kebutuhan hidup yang melimpah. Namun karena minimnya infrastruktur dan sarana transportasi, masyarakat di distrik ini hidup miskin. Akibatnya Yesaya Mayor dan teman-temannya gampang tergoda oleh bujukan oknum pengusaha nakal untuk melakukan illegal logging. Sejak lahiriah
menjadi kondisi
penebang
liar,
perekonomian
secara Yesaya
Mayor mulai membaik. Saat itu, yang ada dibenaknya hasil Foto 1. Yesaya Mayor
dari
hanya
keuntungan
berjualan
kayu,
materi tanpa
memperdulikan bahaya yang mengancam akibat banyaknya pohon yang ditebang.
Bencana datang Perlahan tetapi pasti, kejadian yang tidak dibayangkan sebelumnya datang juga. Bukan longsor atau banjir bandang yang di alami, tetapi kelangkaan kayu dan kekeringan melanda Distrik Meos Mansar. Akibat kelangkaan kayu di distrik ini, masyarakat harus membeli dari distrik terdekat apabila membutuhkan kayu untuk membangun rumah, membuat perahu atau keperluan lainnya. Karena minimnya sarana transportasi menyebabkan ongkos angkut lebih mahal dari harga kayunya sendiri, sehingga uang yang dikumpulkan selama menjadi penebang liar tak ada artinya.
Selain itu Distrik Meos Mansar pernah dilanda kekeringan akibat kemarau panjang, sehingga sebagian besar mata air mengering. Masyarakat menderita karena kesulitan mendapatkan air bersih, bahkan burung-burung dan binatang yang ada di kawasan itu banyak yang mati. Berbagai rangkaian peristiwa yang dialami Yesaya Mayor, membuat batinnya terusik dan dihantui rasa bersalah telah merusak hutan beserta isinya. Semua itu memberi pelajaran berharga sehingga jalan hidupnya berbalik 180 derajat dan menyadarkannya untuk menjaga serta melestarikan hutan. Bertaubat Menjadi Pribadi Baru Bermodal filosofi “lebih baik menjual jasa daripada menjual sumberdaya”, membuat sosok Yesaya Mayor menjadi pribadi yang “baru”. Filosofi tersebut diaktualisasikan melalui aktifitas nyata dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dengan mengembangkan tanaman lokal. Bibit-bibit tanaman dibawa masuk ke hutan dan ditanam pada lahan-lahan terbuka akibat penebangan liar yang dilakukan sebelumnya. Dalam perjalanan masuk ke hutan, ia juga membawa cangkang kerang untuk diletakkan di tanah sebagai tempat minum bagi burung/ satwa lain yang hidup di hutan. Yesaya Mayor juga melakukan konservasi anggrek spesies. Anggrek-anggrek yang ditemukan di hutan, ditangkarkan secara sederhana dengan cara memisahkan beberapa tanaman dari rumpun yang ada, dan ditanam atau ditempelkan pada pohon lain disekitarnya. Dalam rangka menjaga kelangsungan hidup satwa, khususnya burung cenderawasih, dilakukan penyuluhan dengan memasang papan-papan himbauan dan larangan. Masyarakat dihimbau agar tidak menangkap burung dan menjadikan distrik Meos Mansar sebagai salah satu habitat nyaman bagi burung cenderawasih. Untuk menyaksikan keindahan dan atraksi burung cenderawasih, Yesaya Mayor membangun beberapa tempat pengamatan di bawah pohon tempat burung tersebut biasa hinggap. Selain itu ia melarang masyarakat nelayan agar tidak menangkap ikan secara besar-besaran. Mereka dihimbau agar menangkap ikan secukupnya untuk kebutuhan makan sehari-hari, dan tidak untuk dijual. Karena sesuai filosofinya, dengan membiarkan ikan hidup bebas di habitatnya, masyarakat dapat menikmati keindahan dan manfaat lainnya. Untuk mendukung
semua aktifitasnya, dibentuk Sanggar Pecinta Lingkungan. Sanggar tersebut ditunjuk sebagai Pusat Informasi Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Selat Dampir, Wilayah Waigeo Selatan, Distrik Meos Mansar oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Raja Ampat.
Anggrek spesies hasil penangkaran Yesaya Mayor
Papan himbauan Menuai hasil Kini apa yang dilakukan oleh Yesaya Mayor beserta masyarakat yang tergabung dalam Sanggar Pecinta Lingkungan, mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak.
Secara pribadi Yesaya Mayor menjadi relawan LSM Conservation International Indonesia. Pada tahun 2010 yang bersangkutan dinobatkan sebagai Nominator Penerima Kalpataru kategori Perintis Lingkungan. Sedang pada tahun 2012 dinobatkan sebagai Juara Lomba Penghijauan dan Konservasi Alam Wana Lestari Tingkat Provinsi Papua Barat, kategori Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM). Selain mendapat pengakuan atas prestasi yang berhasil diraih, Yesaya Mayor dan masyarakat sekitar memperoleh manfaat ekonomi atas upayanya menjaga hutan dan flora/fauna yang ada di dalamnya. Dari waktu ke waktu tingkat kesejahteraan masyarakat di Kampung Sawinggrai, Distrik Meos Mansar mulai meningkat. Hal ini dipengaruhi oleh semakin banyaknya wisatawan domestik dan internasional yang berkunjung ke Kabupaten Raja Ampat, khususnya ke Distrik Meos Mansar. Semoga aktifitas Yesaya Mayor menginspirasi pihak-pihak lain untuk menjaga dan melestarikan hutan dan kekayaan alam yang ada di dalamnya serta mendorong lahirnya PKSM-PKSM baru. Jayalah penyuluhan kehutanan Indonesia !!! *) Penyuluh Kehutanan pada Pusat Penyuluhan Kehutanan
1
Siapkah Penyuluh Kehutanan mendampingi kegiatan kehutanan di lapangan?
Oleh : Dr. Ir. Suwignya Utama, MBA (Kepala Bidang Renbang SDM Aparatur, Pusat Renbang SDM Kehutanan)
Pendahuluan Salah satu pesan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa dalam jambore nasional penyuluhan kehutanan di Kaliurang tahun 2012 yang lalu, adalah bahwa Penyuluh Kehutanan (PK) sebagai tenaga ujung tombak dalam pembangunan kehutanan di lapangan. Sebagai tenaga ujung tombak, maka penyuluh kehutanan harus kompeten dan professional. Penyuluh kehutanan juga berada di garda terdepan kegiatan kehutanan, yang seharusnya paling tahu bagaimana kegiatan harus dilakukan di lapangan. Tentu saja bersama dengan masyarakat sebagai pelaku utama kegiatan tersebut. Penyuluh sebagai tenaga ujung tombak, idealnya memainkan peran pendampingan terhadap kelompok yang melakukan kegiatan kehutanan. Sesuai dengan amanah dalam UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan, bahwa setiap jenis kegiatan pembangunan kehutanan baik aspek perencanaan hutan, rehabilitasi hutan/lahan, pemanfaatan hutan, serta perlindungan hutan dan konservasi alam semuanya memerlukan dukungan penyuluhan kehutanan. Sehingga otomatis peran penyuluh kehutanan dalam setiap kegiatan kehutanan sangat diperlukan. Namun demikian fakta yang terjadi di lapangan, tidak semua bidang kehutanan tersebut didukung oleh peran penyuluhan kehutanan. Penyuluh sebagai tenaga ujung tombak dalam kenyataannya hanya bergerak pada bidang kehutanan tertentu saja, kebanyakan hanya pada beberapa kegiatan kehutanan yang berada di luar kawasan hutan. Sedangkan penyuluh kehutanan yang berada pada UPT PHKA, melakukan aktivitas penyuluhan pada kawasan konservasi. Masih banyak kegiatan kehutanan terutama aspek perencanaan hutan dan aspek pemanfaatan hutan masih belum mendapatkan dukungan penyuluh kehutanan. Tulisan ini selanjutnya akan menyoal sejauhmana kesiapan penyuluh kehutanan dalam mendampingi seluruh kegiatan kehutanan di lapangan? Uraian akan berangkat dari faktor internal yaitu kompetensi teknis kehutanan yang dimiliki penyuluh. Sedangkan factor eksternal yaitu: bagaimana proses pengembangan SDM penyuluh; dukungan kebijakan pendampingan; dan pemahaman institusi penyuluhan terhadap program dan kegiatan kehutanan yang harus didampingi penyuluh.
2
Sejauhmana Pemahaman Penyuluh tentang Teknis Kehutanan? Faktor penting dalam mendampingi kegiatan kehutanan adalah kompeten dalam bidang tersebut. Kompeten berarti memiliki kemampuan dan penguasaan aspek teknis kehutanan dari setiap program dan kegiatan kehutanan. Kompeten dibangun dari unsur pengetahuan teknis yang melandasi suatu kegiatan, pengetahuan tentang petunjuk pelaksanaan/ petunjuk teknis atau aturan yang melandasinya, keterampilan dalam melakukan kegiatan teknis kehutanan, keterampilan dalam memfasilitasi pembelajaran terhadap kelompok, dan sikap kerja yang positif terhadap kegiatan tersebut. Gambaran kompetensi penyuluh kehutanan terkait kegiatan kehutanan bisa dilihat dari hasil kegiatan monitoring dan evaluasi (monev) pengembangan penyuluh kehutanan yang dilakukan Pusat Renbang SDM Kehutanan (2013). Hasil monev menunjukkan bahwa tingkat pemahaman penyuluh kehutanan terhadap peraturan, juklak, dan juknis kegiatan teknis kehutanan masih termasuk rendah atau rata-rata sebesar 37 %. Sampel diambil terhadap 46 orang penyuluh kehutanan di kabupaten dan UPT PHKA di 6 provinsi (Riau, Kalsel, Lampung, DIY, Sulsel dan Bali). Komposisi sampel penyuluh kehutanan yaitu dari UPT PHKA (5 orang), Bakorluh/Dishut Provinsi (12 orang) dan Bapeluh/Dishut Kabupaten (29 orang). Kegiatan monev pengembangan SDM fugsional penyuluh kehutanan seperti Gambar 1. Gambar 1. Fungsional Penyuluh Kehutanan dan Atasan Langsung, Kepala Bidang Penyuluhan di Kalimantan Selatan, Antusias Mengisi Kuisioner dan Berdiskusi dengan Petugas
Metode kegiatan monev yaitu survey kuesioner dan test kognitif untuk mengukur pengetahuan teknis kehutanan. Materi test kognitif berasal dari peraturan, juklak dan juknis kegiatan kehutanan. Hasil selengkapnya disajikan pada Gambar 2.
3
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
33
Perenc Htn
41
PHKA
33
PDAS PS
40
Pemanfaatan Htn
37
Rata2
Gambar 2. Grafik tingkat pemahaman penyuluh kehutanan terhadap peraturan, juklak, dan juknis kegiatan kehutanan dalam persen (%)
Ternyata pemahaman penyuluh kehutanan terhadap peraturan, juklak dan juknis tentang perencanaan hutan dan pengelolaan DAS & perhutanan sosial termasuk paling rendah. Beberapa sub bidang kompetensi teknis yang termasuk paling rendah pada bidang perencanaan hutan adalah tentang “pengukuhan hutan” dan “penatagunaan hutan”. Sedangkan pada bidang pengelolaan DAS dan PS yang tingkat pemahaman paling rendah yaitu tentang “aneka usaha kehutanan” dan perbenihan tanaman hutan”. Hal ini bermakna bahwa penyuluh kehutanan masih memerlukan peningkatan kompetensi terutama aspek pengetahuan tentang aspek-aspek yang masih lemah tersebut. Penyuluh kehutanan selain harus mempunyai keterampilan teknis kehutanan, perlu juga didukung dengan tingkat pemahaman terhadap berbagai peraturan, juklak dan juknis tentang program dan kegiatan kehutanan yang harus didampingi. Karena setiap kegiatan selalu mengacu kepada juklak dan juknis. Upaya yang dilakukan yaitu dengan kegiatan pemberian informasi berbagai peraturan kehutanan bisa melalui sosialisasi terhadap penyuluh kehutanan dengan mendatangkan nara sumber dari UPT Kehutanan atau Direktorat Jenderal terkait di Kementerian Kehutanan. Sosialisasi dilakukan oleh kantor BP4K, atau melalui kantor Bakorluh, atau oleh UPT Kehutanan yang program kehutanan nya harus didukung oleh penyuluh. Uapaya lainnya lainnya adalah penyediaan informasi tentang peraturan, juklak, juknis kegiatan kehutanan pada website Badan P2SDMK dan mendorong penyuluh bisa mengakses dan down load agar dipelajari. Diperlukan keaktifan dan kemauan belajar yang tinggi dari para penyuluh untuk bisa belajar mandiri.
4
Dukungan Pengembangan SDM Penyuluh Kehutanan Dukungan pengembangan SDM penyuluh kehutanan adalah upaya-upaya yang dilakukan unit kerja tempat penyuluh kehutanan bernaung, dalam rangka pengembangan kemampuan penyuluh melalui berbagai kegiatan dan penyediaan kesempatan penyuluh untuk pengembangan dirinya. Dukungan pengembangan penyuluh meliputi pendayagunaan penyuluh oleh unit kerja; kesempatan pengembangan yang disediakan oleh unit kerja; jejaring kerja yang dibangun penyuluh; dan potensi pengembangan yang bisa dilakukan penyuluh. Berdasarkan hasil kegian monev pengembangan SDM fungsional binaan Kemenhut (Pusrenbang SDM Kehutanan, 2013), diperoleh gambaran hasil bahwa dukungan pengembangan SDM penyuluh kehutanan oleh unit kerja termasuk kategori sedang dengan skor rata-rata 72 % (Gambar 3). 100 80 60 40 20 0
66
62
83
76
72
Gambar 3. Grafik tingkat dukungan pengembangan SDM penyuluh kehutanan dalam persen (%)
Aspek yang paling rendah yaitu kesempatan pengembangan yang diberikan unit kerja kepada penyuluh kehutanan yaitu sebesar 62 %. Kesempatan pengembangan bagi penyuluh berupa kesempatan mengikuti pelatihan, sosialisasi tentang kebijakan dan program kehutanan serta fasilitasi untuk mengikuti temu profesi. Kegiatan sosialisasi tentang kebijakan kehutanan, misalnya, sangat penting diikuti oleh penyuluh kehutanan yang harus mendampingi berbagai kegiatan kehutanan di lapangan. Selama ini penyuluh banyak yang belum mengetahui tentang berbagai kebijakan kegiatan kehutanan yang harus diimplementasikan di lapangan. Misalnya program tentang Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKM), Hutan Desa (HD), dan lain-lain. Pendayagunaan tenaga penyuluh kehutanan oleh unit kerjanya juga masih termasuk rendah sebesar 66 %. Pendayagunaan tenaga penyuluh oleh unit kerja merupakan seberapa jauh dukungan unit kerja terhadap program kerja penyuluh, termasuk dukungan anggaran dalam memfasilitasi kegiatan yang dilakukan penyuluh kehutanan. Penyuluh kehutanan di UPT PHKA (BKSDA dan BTN) selama ini mengerjakan kegiatan pendampingan Masyarakat Desa Konservasi (MDK). Namun penyuluh kehutanan pada instansi penyuluhan kabupaten kadang tidak mendapatkan dukungan secara optimal untuk melakukan pendampingan kegiatan
5
kehutanan. Banyak dijumpai instansi penyuluhan kabupaten tidak secara khusus mempunyai program kegiatan kehutanan. Kebanyakan penyuluh kehutanan di instansi kehutanan kabupaten merasa tidak mendapatkan program atau kegiatan yang bernuansa penyuluhan kehutanan. Berhubung dukungan pengembangan SDM penyuluh kehutanan ternyata masih dalam kondisi yang perlu diperbaiki, maka penyuluh kehutanan di kabupaten harus berupaya menjalin jaringan kerja dengan UPT Kehutanan yang menjadi tempat berbagai kegiatan kehutanan. Melalui pendekatan kepada pejabat strutural Bapeluh, agar dilakukan sosialisasi tentang berbagai kebijakan dan program kehutanan, dengan mengundang narasumber dari UPT kehutanan setempat. Misalnya untuk sosialisasi tentang HTR bisa mengundang UPT kehutanan yaitu BP2HP (Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi). Untuk program dan kegiatan terkait HKM (Hutan Kemasyarakatan), HR (Hutan Rakyat), HD (Hutan Desa) bisa mengundang narasumber dari UPT kehutanan yaitu BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) setempat.
Bagaimana Dukungan Kebijakan Pendampingan? Dari segi kebijakan, sebenarnya landasan aturan mengenai pendampingan penyuluh kehutanan terhadap berbagai kegiatan kehutanan sudah cukup kuat. Dari amanah UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, tersirat bahwa penyuluhan kehutanan sebagai pendukung pembangunan kehutanan yang menyediakan SDM kehutanan yang kompeten dalam melaksanakan pembangunanm kehutanan. Dengan demikian penyuluh kehutanan harus diperankan dalam melakukan penyuluhan pada semua bidang kehutanan. Dengan kata lain setiap aspek pembangunan kehutanan memerlukan dukungan penyuluhan. Karenanya setiap aspek pembangunan kehutanan memerlukan SDM, yang harus aelalu ditingkatkan aspek pengetahuannya, kemampuannya, dan sikap kerjanya agar tahu, mau dan mampu melakukan kegiatan kehutanan dengan sebaik-baiknya. Dukungan kebijakan lainnya dating dari UU Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, di mana penyuluhan kehutanan diposisikan untuk menyiapkan SDM dan modal sosial agar pembangunan kehutanan semakin maju dan berkelanjutan. Penyuluhan kehutanan menjadi faktor penting dalam keberlanjutan pembangunan kehutanan. Selain itu terdapat pula kebijakan berupa Permenhut Nomor : P.29/Menhut-II/2013 tahun 2013 tentang Pedoman Pendampingan Kegiatan Pembangunan Kehutanan, yang mengamanatkan bahwa tenaga pendamping kegiatan pembangunan kehutanan adalah penyuluh kehutanan PNS, penyuluh kehutanan swasta, PKSM dan tenaga lain yang kompeten untuk melakukan pendampingan. Dalam berbagai petunjuk pelaksanaan kegiatan misalnya KBR, HTR dan lain-lain juga disebutkan bahwa pendamping kegiatan kehutanan diantaranya adalah penyuluh kehutanan. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa landasan kebijakan terutama peraturan yang mendorong penyuluh kehutanan mendampingi semua aspek pembangunan kehutanan sudah
6
cukup kokoh. Pertanyaan selanjutnya sudahkah semua pihak terkait memahami berbagai landasan peraturan itu?. Kemudian sudahkah para pihak berkeinginan kuat melaksanakan nya, dan akhirnya sejauhmana aplikasi dari semua kebijakan tersebut.
Sejauhmana Kebijakan Kehutanan Dipahami oleh Pejabat Struktural Bapeluh? Dalam beberapa kali workshop tentang pemetaan SDM kehutanan yang penulis ikuti pada beberapa provinsi yang melibatkan peserta dari pejabat struktural Bapeluh, bisa ditarik kesimpulan sementara bahwa pemahaman pejabat struktural Bapeluh tentang berbagai program dan kegiatan kehutanan terutama yang memerlukan pendampingan penyuluh kehutanan masih sangat terbatas. Ada berbagai faktor penyebab, diantaranya kebanyakan pejabat struktural pada Bapeluh kabupaten bukan berlatar belakang pendidikan kehutanan; minimnya pengalaman pelatihan teknis kehutanan; dan seringnya terjadi alih tugas pada instansi pemerintah di kabupaten/kota. Faktor lain adalah minimnya wahana sosialisasi mengenal program dan kegiatan kehutanan yang bisa diikuti oleh dan melibatkan Bapeluh. Selain itu masih ada hambatan komunikasi antara instansi kehutanan dengan instansi penyuluhan di kabupaten/kota. Dalam kondisi pemahaman terhadap berbagai kebijakan dan program kehutanan yang masih rendah, maka upaya mendorong penyuluh kehutanan untuk mendampingi semua kegiatan kehutanan di wilayah kerjanya juga akan mengalami hambatan. Ditambah lagi dengan adanya masalah lemahnya koordinasi antara dinas kehutanan dan instansi penyuluhan di kabupaten. Padahal banyak kegiatan kehutanan yang dilakukan dinas kehutanan harusnya didampingi oleh penyuluh kehutanan. Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan ini adalah kegiatan yang sebenarnya sederhana, tetapi sangat bermanfaat untuk peningkatan kepedulian para pejabat struktural Bapeluh. Adakan kegiatan sosialisasi berbagai kebijakan, program dan kegiatan kehutanan bagi pejabat struktural Bapeluh. Siapa yang bisa melakukannya? UPT Kehutanan terkait, misalnya BPDAS mengundang para jajaran Bapeluh untuk dilakukan sosilasaisi kebijakan RHL, HKM, HD dan KBR. BP2HP bisa melakukan sosialisasi kebijakan HTR dengan mengundang jajaran Bapeluh kabupaten. BPKH bisa melakukan upaya sosialisasi mengenai kebijakan pengukuhan kawasan atau penatagunaan kawasan hutan bagi jajaran Bapeluh, karena diperlukan penyuluhan kepada masyarakat mengenai aspek tersebut. Atau Bakorluh, dalam salah satu kegiatan rapat koordinasi penyuluhan mengundang narasumber dari Eselon I Kemenhut untuk menyampaikan berbagai kebijakan kehutanan.
Penutup Pada akhirnya kembali kepada pertanyaan di judul tulisan ini, siapkah penyuluh kehutanan mendampingi dan mengawal semua kegiatan kehutanan di lapangan? Jawaban para penyuluh pastinya secara serempak “siap !”, namun amunisi (-kompetensi) nya perlu ditambah, dukungan unit kerja perlu didorong dan dimaksimalkan; kebijakan-nya harus di-“bumi”kan; para komandan (=pejabat struktural) di instansi penyuluhan juga harus diberikan pembekalan
7
yang cukup. Akhirnya putaran roda pelaksanaan administrasi pemerintahan bidang kehutanan pada instansi pusat, provinsi dan kabupaten harus berputar secara sinergis, harmonis dan saling mendukung. Semua itu harus dibingkai oleh jalinan komunikasi yang efektif antar institusi. Dilandasi oleh iktikad baik jajaran SDM di setiap level dan setiap lini. Demikian harapan penulis ke depan sinergi tersebut segera terwujud.
KAJIAN SINGKAT ASSISTED NATURAL REGENERATION (ANR) Oleh Yumi dan Indri Puji Rianti
Pengertian Assisted Natural Regeneration (ANR) adalah sebuah metode untuk meningkatkan pembentukan hutan sekunder dari lahan kritis, yang ditumbuhi rerumputan dan vegetasi semak belukar, dengan cara melindungi dan merawat pohon pionir serta anakan alami yang ada di kawasan tersebut. ANR bertujuan untuk mempercepat proses suksesi alami dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan permudaan alami seperti degradasi tanah, kompetisi gulma dan gangguan yang berulang-ulang (seperti api, rumput dan pemanenan kayu). Anakan secara khusus dijaga dari tanaman yang sangat rentan terbakar seperti rumput alang-alang. Sebagai tambahan untuk upaya perlindungan, jenis baru ditanam jika dibutuhkan atau diinginkan. Dengan ANR hutan tumbuh lebih cepat dari yang alami. International Centre For Research in Agroforestry (ICRAF) menterjemahkan ANR ke dalam Bahasa Indonesia Pemeliharaan Permudaan Alam (PPA). ICRAF (1999) mendefinisikan ANR atau PPA adalah usaha penghutanan kembali dengan memanfaatkan anakan alami yang ada. Anakan alami tersebut dirawat oleh manusia guna mempercepat pertumbuhannya. Oleh karena itu cara ini juga dapat disebut Permudaan Alam yang Dipercepat (PAD) atau Accelerated Natural Regeneration. ANR menekankan konsep permudaan alami dengan pepohonan pionir, yang sudah ada dan tumbuh secara alami di padang alang-alang atau padang rumput lainnya. Pepohonan pionir ini sudah berkembang dengan baik dan mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat. ANR juga mendorong permudaan alam baru dari bibit yang berasal dari biji pepohonan di hutan alam sekitarnya. ANR menghindari masalah ketidaksesuaian antara jenis pepohonan yang bisa ditanam pada suatu lahan dengan memanfaatkan keberadaan pepohonan yang sudah ada secara alami. Tindakan ini dapat membantu melindungi keanekaragaman hutan alami.
Gambar 1. Teknik Pemeliharaan Pionir dan Perebahan Alang-alang
Pencegahan kebakaran dapat membantu permudaan alam pepohonan baik di padang alangalang atau padang rumput lainnya seperti rumput bambu atau glagah (Saccharum spontaneum), maupun di hutan sekunder. Teknik penggilasan (perebahan/penekanan) merupakan cara yang efektif dalam upaya menekan alang-alang dan Saccharum. Secara singkat, ANR bertujuan untuk: (a) membantu pencegahan kebakaran; (b) mengontrol pertumbuhan alang-alang dan rumput lain yang rentan kebakaran; dan (c) menitikberatkan pada pertumbuhan anakan alami yang ada dan pemeliharaanya. ANR dapat mempercepat proses perubahan alang-alang menjadi hutan sekunder secara alami dengan cara : (a) membuat lingkaran untuk membatasi pertumbuhan gulma; (b) menggilas/merebahkan alang-alang; (c) menjadikan rebahan alang-alang sebagai mulsa. Manfaat ANR Bila pendekatan ANR dilaksanakan dengan baik, maka padang alang-alang akan berkembang menjadi hutan sekunder. Dibandingkan dengan rehabilitasi secara konvensional melalui penanaman satu jenis pohon, pendekatan ANR memberikan keuntungan baik dari aspek ekologi, sosial, dan ekonomi. Dari segi ekonomi, pendekatan ANR tidak memerlukan biaya tinggi jika dibandingkan dengan rehabilitasi konvensional karena mengurangi biaya untuk pekerjaan penyiapan lahan, pembelian benih, pembuatan persemaian dan lainnya. Sebaliknya masyarakat dapat mengambil manfaat dari pengkayaan tanaman, yang dipilih sesuai dengan keinginan mereka. Dari segi ekologi, ANR dapat mempertahankan permudaan alami, melestarikan jenis alami bahkan jenis endemik dan menjaga keanekaragaman hayati. Bahkan saat ini ANR dapat menjadi sarana untuk penyerapan karbon yang berguna dalam mitigasi perubahan iklim. Dari segi sosial, ANR dapat memberikan kesempatan kerja kepada masyarakat, meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap upaya rehabilitasi dan restorasi hutan. Secara singkat manfaat penggunaan ANR adalah : (a) efisiensi biaya untuk rehabilitasi dan restorasi ekosistem hutan; (b) menyediakan kesempatan kerja untuk masyarakat; (c) berkontribusi untuk memperkuat biodiversitas; (d) membantu penyerapan emisi karbon dan mendukung mitigasi perubahan iklim. Prospek Pengembangan ANR ANR telah cukup lama dikembangkan di Filipina. Pada tahun 1989, Forest Management Bureau, Department of Environment and Natural Resources (DENR) Filipina secara resmi mengadopsi dan merekomendasikan ANR sebagai metode restorasi untuk penutupan hutan, tetapi pelaksanaan di lapangan tidak terlalu signifikan selama beberapa tahun. Hal ini terutama disebabkan karena keterbatasan kapasitas dan kurangnya kesadaran para ahli kehutanan dan kurangnya contoh keberhasilan ANR. Tahun 2006, FAO mendukung penerapan ANR di Filipina melalui proyek tiga tahun untuk mengkompilasi dan mendokumentasikan pengalaman pelaksanaan ANR, dan menyebarluaskan prinsip ANR di antara beragam stakeholders.
Gambar 2. Foto Hasil kegiatan ANR di Bohol, Filipina Sebelum dilakukan Metode ANR Tahun 2007 (kiri) dan setelah diterapkan metode ANR Tahun 2012 (kanan) Pengalaman ANR di Filipina menunjukkan bahwa pendekatan ANR paling tepat diterapkan pada : kawasan yang bernilai ekologis, seperti aliran sungai kritis, untuk melestarikan flora dan fauna asli (endemik) dan di kawasan dimana masyarakat mendukung restorasi hutan. Untuk pembangunan dasar ANR yang berhasil, penerapan ANR secara praktis perlu mempertimbangkan aspek teknis sebagai berikut: a) Pemilihan lokasi b) Kesesuaian species (site-species) c) Modifikasi lahan untuk merangsang pertumbuhan spesies yang diinginkan d) Penanaman tambahan dan pengayaan e) Perlindungan lokasi f) Pemantauan lokasi Pelajaran paling penting dari pengalaman penerapan ANR di Filipina adalah pentingnya kolaborasi dengan masyarakat lokal dan dunia usaha/swasta untuk mendapatkan hasil secara berkelanjutan dalam waktu yang panjang. Peran aktif dan keterlibatan sektor kehutanan dalam mempromosikan dan mencari dukungan dana untuk kegiatan restorasi hutan sangat penting. Dalam perkembangannya, ANR dikaitkan dengan isu perubahan iklim dan krisis ekonomi. ANR dapat dikaitkan dengan program “perdagangan karbon”. Sebagai contoh di Filipina pada awal tahun 2010, DENR berhasil mendapatkan proyek baru Clean Development Mechanism (CDM), yang menekankan penerapan teknik dan kegiatan ANR. Komitmen pihak swasta untuk mendukung kegiatan ANR melalui Corporate Social Responsibiliy (CSR) sudah bermunculan, dan DENR sendiri merencanakan penggunaan teknik ANR untuk restorasi 9.000 hektar dalam Program Pembangunan Lahan Kering. Faktor-faktor Penunjang Keberhasilan ANR di Provinsi Bohol, Filipina Kegiatan ANR di Provinsi Bohol, tepatnya di Baranggay San Miguel, Danao Municipality yang didanai FAO dan dilaksanakan secara kolaboratif antara masyarakat, pemerintah dan LSM Bagong Pag-Asa selama tiga tahun (2006-2009), saat ini sudah menunjukkan hasil yang cukup signifikan antara lain: 1. Penambahan luasan lahan kritis yang berhasil direhabilitasi, dari 23 hektar pada akhir proyek (2009) berkembang menjadi 72 hektar saat ini;
2.
3. 4.
5.
Hasil monitoring dan identifikasi plot dan transek mengindikasikan tumbuhnya sejumlah spesies pohon, di antaranya beberapa spesies penting yang biasa ditemukan di hutan klimaks yang tidak diganggu; Pemanfaatan tanaman pandan untuk kerajinan sebagai tambahan pendapatan masyarakat; Semakin banyak pihak yang memiliki kepedulian untuk merehabilitasi lahan kritis, baik pihak asing maupun swasta, bukan hanya dari kalangan yang bergerak di dunia kehutanan tetapi meluas kepada profesi lain seperti pihak kepolisian, kalangan pendidikan dan lainnya; Semakin berkembangnya obyek wisata alam/ekoturisme.
Keberhasilan ANR di Filipina tidak terlepas dari beberapa hal yang menunjang, antara lain: 1. Komitmen Pemerintah Pusat dan Daerah untuk melaksanakan rehabilitasi dan restorasi hutan Pemerintah Pusat mengeluarkan aturan tentang penerapan metode ANR dalam restorasi hutan (DENR memorandum Circulair No.17). DENR juga aktif mensosialisasikan dan melatih para walikota/bupati serta aparat Pemda lainnya tentang ANR; Pemerintah daerah secara aktif terlibat dalam kegiatan rehabilitasi hutan; Pemerintah memberikan perhatian pada kepentingan masyarakat dalam upaya rehabilitasi melalui pemberian ijin penanaman, pengelolaan dan pemanfaan hasil hutan (lindung) kepada masyarakat; Pemerintah pusat dan Daerah bersama-sama mengembangkan obyek wisata ekotourisme selain untuk meningkatan pendapatan masyarakat, juga meningkatkan kesadaran dan kepedulian wisatawan terhadap hutan dan upaya rehabilitasi hutan. 2. Kolaborasi antara Pemerintah, Dunia Usaha, Badan Donor, LSM dan masyarakat Pemerintah Pusat berupaya menggalang dana dari donor luar negeri maupun dunia usaha dalam negeri untuk kegiatan ANR. Sebagai contoh pada tahun 2010, Pemerintah Filipina telah berhasil menarik dunia usaha untuk mendanai kegiatan ANR yang dikaitkan dengan mitigasi perubahan iklim “Clean Development Mechanism (CDM)“ melalui CSR, Pemerintah, negara donor, badan dunia (FAO) dan LSM bekerja sama baik dengan masyarakat: melatih, meningkatkan kapasitas dan memberikan beasiswa, sarana pendidikan, sarana kesehatan masyarakat untuk penerapan ANR; Masyarakat secara aktif menjaga dan melestarikan hutan demi kesejahteraan mereka dan anak cucu mereka. 3. Pembagian tanggung jawab pengelolaan kawasan rehabilitasi hutan Rehabilitasi dan restorasi hutan bukan hanya menjadi tanggung jawab Dinas kehutanan/lingkungan hidup saja tapi semua aparat pemerintah dan masyarakat sehingga secara jelas ada pembagian tanggung jawab pengelolaan kawasan rehabilitasi hutan, yang dibagi per blok dengan luasan puluhan hektar. Untuk meningkatkan motivasi dan kinerja secara periodik diadakan lomba atau penilaian keberhasilan kegiatan rehabilitasi yang dilakukan di blok masing-masing. 4. Peran Penyuluh Swasta Satu orang tenaga voluntir dilatih, ditingkatkan kapasitasnya dan diberi insentif oleh LSM untuk menjaga hutan dan menularkan ilmu/informasi kepada yang lain
Voluntir kemudian menyebarkan informasi, memotivasi dan menyadarkan tokoh2 masyarakat untuk peduli terhadap hutan. Tokoh-tokoh masyarakat dini kemudian dilatih dan menjadi partner volunir dalam menggerakkan masyarakat agar mau berpartisipasi dalam kegiatan rehabilitasi hutan Walaupun tidak dikenal istilah penyuluh swasta, tetapi mereka telah berperan sebagai penyuluh swasta yang menyebarkan informasi, menyadarkan dan menggerakkan masyarakat.
Gambar 3. Petak Percontohan ANR yang Dikelola Polisi 5. Kesadaran dan Keterlibatan aktif masyarakat Sosialisi terus menerus dilakukan untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya kegiatan rehabilitasi hutan dalam menjaga sumber air bagi kehidupan mereka dan masa mendatang; Adanya apresiasi/reward dari Pemerintah atau donor atas jerih payah masyarakat berpartisipasi aktif dalam upaya rehabilitasi dan mencegah kebakaran hutan, berupa pembangunan fasilitas umum dan fasilitas pelayanan sosial: beasiswa, pembangunan sekolah, rumah sakit dan lainnya, Peningkatkan kapasitas dan pendapatan masyarakat dari kegiatan ANR meningkatkan kepedulian masyarakat untuk menjaga dan merawat hutan di wilayahnya.
Gambar 4. Demonstrasi Pembuatan Kerajinan Tangan dari Pandan oleh Masyarakat Lokal di Sekitar Lokasi Percontohan ANR di San Miguel Menambah Pendapatan Masyarakat Penerapan ANR di Indonesia Kegiatan ANR di Indonesia di laksanakan di Provinsi Sumatera Barat Kabupaten Agam. Kegiatan dilaksanakan di tiga lokasi, di Nagari Simarasok Kecamatan Baso, Nagari Kamang Mudiak Kecamatan Kamang Magek dan Nagari Pasie Laweh Kecamatan Palupuh. Kegiatan
yang dilaksanakan secara kolaboratif antara masyarakat, pemerintah dan BV. CO2 Operate Belanda selama satu tahun (2012). Kegiatan diawali dengan survei lokasi awal tahun 2012, kegiatan pelatihan di tiga lokasi pada dibulan April, Mei dan Juni 2012. Pelaksanaan kegiatan ANR untuk Kabupaten Agam mengalami banyak modifikasi dan pengayaan teknik dari teknik yang ada. Hal ini mengingat kondisi Sumatera Barat yang pada dasarnya bukan daerah kritis yang didomisili alang-alang sebagaimana daerah yang merupakan sasaran utama penerapan ANR. Kondisi yang ada justru memberikan kesimpulan baru, ANR bisa diterapkan untuk berbagai kondisi lahan dan tumbuhan bawah, efektif, efisien dan mudah diadobsi oleh masyarakat lokal. Perkembangan yang sudah dicapai antara lain: 1. Penyebaran dan penerapan teknologi ANR oleh masyarakat lokal sekitar hutan yang diterapkan di lahan-lahan masyarakat (tidak hanya di unit percontohan); 2. Terbetuknya 3 unit percontohan ANR di 3 lokasi, masing-masing seluas 1 hektar. Peluang dan Tantangan Pengembangan ANR di Indonesia Memperhatikan manfaat dan keberhasilan penerapan ANR sebagai upaya restorasi ekosistem hutan di Filipina, dan mengingat metode ANR yang relatif lebih murah, praktis dan efektif dibandingkan dengan metode rehabilitasi konvensional, maka perlu dipikirkan pengembangan ANR di Indonesia. Peluang pengembangan ANR di Indonesia antara lain adalah: Luasan lahan kritis yang ditumbuhi padang alang-alang dan rawan kebakaran tersebar luar di Indonesia, terutama di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Data dari ICRAF menyebutkan 13,5 juta hektar padang alang-alang di Indonesia; Tingginya tingkat biodiversitas di hutan alam Indonesia, sehingga diasumsikan banyak anakan alami yang terkandung di lahan kritis, yang dapat menjadi sumber daya alam bagi pembentukan hutan sekunder alami; Tersedianya sumberdaya manusia, baik masyarakat sebagai pelaku utama ANR, penyuluh kehutanan dan penyuluh swadaya masyarakat yang kompeten dalam kegiatan rehabilitasi hutan; Komitmen Pemerintah untuk menurunkan tingkat emisi sebesar 26% dengan kekuatan sendiri (14% dari sektor kehutanan) dan 41% dengan bantuan internasional yang ditargetkan terwujud pada tahun 2020; Tingkat kesadaran dan kepedulian dunia usaha terhadap masalah lingkungan semakin meningkat, dan ditunjang dengan kewajiban perusahaan yang bergerak di bidang usaha berkaitan dengan sumberdaya alam untuk memberikan dana CSR untuk pemberdayaan masyarakat di lingkungan usahanya. Tantangan pengembangan ANR di Indonesia antara lain adalah: Dikeluarkannya peraturan perundangan yang mendasari dan mendukung penerapan ANR, yang menjadi acuan bagi Pemerintah Pusat maupun Daerah, sampai dengan di tingkat tapak; Kesediaan para perencana, praktisi di lapangan untuk mengikuti penerapan ANR yang lebih berorientasi kepada “proses” bukan kepada “output” yang secara mudah terlihat. ANR
menekankan pada proses permudaan alami yang membutuhkan waktu cukup lama untuk dapat terlihat hasilnya, minimal 5-7 tahun; Sinergitas Pemerintah Pusat dan Daerah dalam mendukung penerapan ANR. Sejak pemberlakuan Otonomi daerah, hampir di semua bidang pemerintahan menghadapi permasalahan dalam koordinasi dan komunikasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Keberhasilan ANR menuntut kerja sama yang baik antara Pemerintah Pusat dan Daerah; Kemauan dan komitmen (political will) untuk berkolaborasi dengan semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan ANR; Peningkatan kompetensi tenaga penyuluh PNS/swadaya/swasta khususnya berkaitan dengan metode ANR, pemberdayaan masyarakat, manajemen konflik, mitigasi dan perubahan iklim termasuk perdagangan karbon, Agroforestry dan pencegahan kebakaran hutan; Kemampuan Pemerintah untuk mencari dukungan dana dari negara donor atau menggerakan dunia usaha melalui dana CSR untuk berperan aktif dalam kegiatan rehabilitasi dan restorasi hutan.
Peran Penyuluhan dalam Pengembangan ANR di Indonesia Penyuluhan memegang peranan penting dalam pengembangan ANR. Keberhasilan ANR sangat ditentukan oleh keberhasilan menyadarkan, memotivasi dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi dan restorasi hutan. Belajar dari pengalaman di Filipina, ANR tidak akan berhasil tanpa proses pemberdayaan masyarakat. Proses pembelajaran masyarakat mengenai sesuatu hal yang baru, dan untuk mengubah perilaku masyarakat sehingga memiliki kesadaran dan komitmen dalam kegiatan rehabilitasi dan restorasi hutan secara swadaya memerlukan pendampingan dari penyuluh kehutanan, baik PNS, swadaya maupun swasta. Metode ANR secara sederhana dapat dijadikan sebuah inovasi (penyuluhan) dalam kegiatan rehabilitasi lahan kritis, terutama di daerah dengan padang alang-alang yang luas. Penyuluh perlu mendampingi masyarakat dalam menerapkan teknik ANR, dan bila perlu dikombinasikan dengan teknik agroforestry untuk mendapatkan manfaat lebih besar khususnya dalam meningkatkan pendapatan masyarakat. ANR dan metode apapun untuk mendukung keberhasilan rehabilitasi dan restorasi hutan di Indonesia sangat memerlukan kepedulian dan komitmen yang tinggi dari berbagai pihak. Oleh karena itu upaya untuk meningkatkan kesadaran, kepedulian dan kolaborasi dengan berbagai pihak perlu terus diupayakan, dan ini merupakan salah satu tugas dan fungsi penyuluhan kehutanan.
Tetapi untuk pengembangan ANR secara meluas di Indonesia, perlu diprogramkan secara cermat melalui beberapa kegiatan mendasar antara lain: 1. Kajian mengenai penerapan ANR saat ini, prospek dan strategi pengembangannya di Indonesia. Kajian ini dapat dilakukan oleh Forum Peneliti, Penyuluh dan Widyaiswara, bekerja sama dengan Ditjen BPDAS PS; 2. Peningkatan kapasitas penyuluh PNS dan PKSM mengenai metode ANR, Community Based Forest Management (CBFM), manajemen konflik, Agroforestry, mitigasi dan perubahan iklim, perdagangan karbon; 3. Pembuatan Unit Percontohan bekerja sama dengan FAO, dan donor lainnya terutama yang berkaitan dengan kegiatan REDD dan lainnya; 4. Sosialisasi, koordinasi dan komunikasi terus menerus untuk meningkatkan kesadaran, komitmen dan kolaborasi Pemerintah Daerah, Dunia usaha dan lainnya; 5. Pembuatan materi penyuluhan ANR dan materi lainnya yang berkaitan dengan penerapan ANR dalam berbagai bentuk media cetak, media elektronik dan lainnya; 6. Mengadakan kegiatan pelatihan, magang, studi banding, dan pemberian apresiasi/penghargaan atau kegiatan lomba untuk meningkatkan motivasi, kinerja dan partisipasi masyarakat dan Pemerintah Daerah dalam mendukung penerapan ANR sebagai upaya rehabilitasi dan restorasi ekosistem hutan di Indonesia.