SERBA SERBI HUTAN DESA (HD) Oleh Agus Budhi Prasetyo, S.Si.,M.Si.
Dalam Renstra 2010-2014, Kemenhut merencanakan hutan kemasyarakatan seluas 2 juta ha dan hutan desa seluas 500.000 ha. Dari areal yang dicadangkan, sekitar 50% dalam tahap proses verifikasi dan baru sekitar 131.209.34 (1,66%) yang telah diberikan izin oleh Bupati/Gubernur sejak diterbitkan Peraturan Menhut tentang Hutan Kemasyarakatan (2007), Hutan Tanaman Rakyat (2007) dan Hutan Desa (2008). Kebijakan ini dipandang sebagai salah satu upaya untuk menekan laju deforestasi di Indonesia yang pada tahun 2007 menempatkannya sebagai negara dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia dan negara emitor ketiga setelah USA dan China (World Bank, 2007). Banyak pihak memandang kebijakan ini sebagai pengakuan negara terhadap pengelolaan hutan oleh rakyat yang selama ini terabaikan, namun mampu menjaga kelestarian alam dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Bagi masyarakat, hutan tak hanya memiliki makna ekologis, tetapi juga sosial, budaya dan ekonomi.
A. KERANGKA KEBIJAKAN HUTAN DESA Mengacu pada penjelasan UU 41/1999 tentang Kehutanan, khususnya pada penjelasan pasal 5, hutan desa adalah hutan negara yang berada di dalam wilayah suatu desa, dimanfaatkan oleh desa, untuk kesejahteraan masyarakat desa tersebut. Selanjutnya di dalam PP 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, hutan desa didefinisikan sebagai hutan negara yang belum dibebani izin atau hak yang dikelola oleh desa dan untuk untuk kesejahteraan masyarakat desa. Prinsip dasar dari Hutan Desa adalah untuk membuka akses bagi desa-desa tertentu, tepatnya desa hutan, terhadap hutan-hutan negara yang masuk dalam wilayahnya. Sebagaimana diketahui, tak sedikit desa-desa berada di dalam atau sekitar kawasan hutan. Sudah selayaknya desa-desa semacam ini mendapatkan akses terhadap sumberdaya hutan yang ada di wilayahnya, demi kesejahteraan masyarakat desa tersebut. Inisiatif pengembangan hutan desa sebenarnya sudah berjalan sejak tahun 1999, bertepatan dengan disahkannya UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Inisiatif tersebut dihentikan karena pemerintah tidak bisa mengeluarkan perizinannya, dan sebagai kompromi dikembangkan HKm. Dengan pengembangan hutan desa diharapkan desa-desa hutan bisa membangun skema pendapatan asli desa untuk kesejahteraan masyarakat desa tersebut. Hak akses desa terhadap hutan negara yang ada di dalam wilayahnya inilah yang kemudian diterjemahkan sebagai hutan desa. Pemberian akses ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/Menhut-II/2008, tentang Hutan Desa, yang ditetapkan pada tanggal 28 Agustus 2008. Peraturan ini kemudian diikuti dengan perubahan-perubahannya (Permenhut No. P.14/Menhut-II/2010 dan Permenhut No. P.53/Menhut-II/2011). Di dalam Hutan Desa, hak-hak pengelolaan secara permanen diberikan oleh Menteri Kehutanan/Pemerintah Daerah kepada lembaga desa dengan waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang. Perizinan Hutan Desa dapat diberikan di areal hutan lindung dan juga produksi yang berada di dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan. Penetapan areal kerja hutan desa dilakukan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan 1
usulan Bupati/Walikota. Dalam hal ini hak yang dapat diberikan adalah hak pemanfaatan Hutan Desa bukan hak milik dengan status tetap di hutan negara.
B. PROSEDUR PERIZINAN DAN PENGELOLAAN HUTAN DESA Pelaksanaan skema Hutan Desa sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa dapat dipilah dalam 3 tingkatan: pertama, penetapan yang dilakukan oleh pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan); kedua, perizinan yang dilakukan oleh pemerintah daerah (Gubernur); ketiga, pengelolaan di lapangan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat pemegang izin pemanfaatan hutan desa. Gambar 1. Proses Penetapan Areal Hutan Desa
Untuk dapat mengelola hutan desa, Kepala Desa membentuk Lembaga Desa yang nantinya bertugas mengelola hutan desa yang secara fungsional berada dalam organisasi desa. Yang perlu dipahami adalah hak pengelolaan hutan desa ini bukan merupakan kepemilikan atas kawasan hutan, karena itu dilarang memindahtangankan atau mengagunkan, serta mengubah status dan fungsi kawasan hutan. Intinya Hak pengelolaan hutan desa dilarang digunakan untuk kepentingan di luar rencana pengelolaan hutan, dan harus dikelola berdasarkan kaidah-kaidah pengelolaan hutan lestari. Lembaga Desa yang akan mengelola hutan desa mengajukan permohonan hak pengelolaan kepada Gubernur melalui Bupati/Walikota. Apabila disetujui, hak pengelolaan hutan desa diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun, dan dapat diperpanjang setelah dilakukan evaluasi yang dilakukan paling lama setiap lima tahun sekali. Apabila di areal Hak Pengelolaan Hutan Desa terdapat hutan alam yang berpotensi hasil hutan kayu, maka Lembaga Desa dapat mengajukan permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Alam dalam Hutan Desa. Dan apabila di areal Hak Pengelolaan Hutan Desa dapat dikembangkan hutan tanaman, maka Lembaga Desa dapat mengajukan permohonan IUPHHK Hutan Tanaman dalam Hutan Desa. Namun dalam pemanfaatannya mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemanfaatan hasill hutan kayu pada hutan alam 2
maupun hutan tanaman. Selain itu pemungutannya dibatasi paling banyak 50 m3 tiap lembaga desa per tahun.
Gambar 2. Proses Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Desa
Dengan mendapat hak pengelolaan hutan desa, masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan berpotensi sangat besar dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Hal ini dimungkinkan karena pemegang hak pengelolaan hutan desa berhak memanfaatkan kawasan, jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Namun untuk di hutan lindung tidak diizinkan memanfaatkan dan memungut hasil hutan kayu. Dalam memanfaatkan kawasan hutan desa, baik yang berada di hutan lindung maupun hutan produksi masyarakat dapat melakukan berbagai kegiatan usaha, yaitu budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur, lebah, penangkaran satwa liar, atau budidaya pakan ternak. Sedangkan dalam memanfaatkan jasa lingkungan dapat melalui kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, atau penyerapan dan penyimpanan karbon. Intinya, Hutan Desa adalah salah satu wujud kebijakan untuk pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan serta mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari. Kebijakan ini perlu disosialisasikan pada masyarakat dan institusi terkait agar tujuan yang diharapkan dapat dicapai. Selain itu, Hutan Desa diharapkan memberikan akses kepada masyarakat setempat melalui lembaga desa, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat secara berkelanjutan.
C. HUTAN DESA: Hak Kelola Rakyat dan Penyelesaian Konflik Pada dasarnya dahulu hutan desa adalah hutan-hutan rakyat yang dbangun dan dikelola oleh rakyat dan kebanyakan berada di atas tanah adat atau tanah milik, meski ada juga yang berada di kawasan hutan milik negara. Namun seiring perkembangan, berkaitan dengan kondisi sosial politiknegara, kawasan hutan yang awalnya secara formal tidak ada pihak yang mendapatkan 3
hak milik, kemudian ditetapkan menjadi kawasan hutan negara. Sayangnya, pengelolaan hutanhutan ini kemudian lebih tersentralistik dan pada akhirnya menimbulkan banyak masalah serius. Sementara itu, masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan butuh ruang untuk bisa eksisten secara ekonomi, budaya dan sosial politik. Brown (2004) mencatat bahwa sedikitnya ada 50 juta penduduk miskin Indonesia berada di dalam hutan dan CES UI (Center for Economic and Sosial Studies) (2005), dalam Hidayat (2009) mencatat bahwa jumlah penduduk miskin di dalam dan sekitar hutan lebih besar dari penduduk miskin di luar kawasan hutan. Untuk turut serta mengurangi persoalan kemiskinan, Kementerian Kehutanan harus memiliki kemauan politik dan melakukan reformasi kebijakan dalam mendistribusikan akses dan ruang kawasan hutan bagi masyarakat. Selain itu, pada umumnya kawasan hutan yang diusulkan bagi Hutan Desa berkonflik dengan kawasan permukiman, pertanian bahkan penguasaan lahan oleh pihak lain. Penunjukan kawasan hutan melalui TGHK yang dibuat secara politik dan administrasi menghasilkan banyak distorsi. Walaupun ada peta paduserasi antara TGHK dan RTWRP, namun hasilnya tidak memperlihatkan kondisi riil di lapangan, disisi lain tidak adanya partisipasi dan kurangnya akurasi dalam skala peta. Hal ini mengakibatkan banyaknya kawasan permukiman dan pertanian masyarakat termasuk dalam kawasan hutan. Karenanya keberadaan Hutan Desa menjadi penting dalam pengelolaan hutan di Indonesia, dan menjadi salah satu solusi yang dapat mengakomodasikan konteks lokal, mengurangi kemiskinan, dan turut dalam mitigasi perubahan iklim. Hutan Desa juga dapat menjamin keberlanjutan dan transformasi ekonomi dan budaya masyarakat. Konteks-konteks tersebut dapat dijawab dengan berbagai skema distribusi dan akses terhadap hutan berdasarkan kebutuhannya, sehingga masyarakat memiliki hutan namun butuh pengakuan dan kejelasan tenurial. Konsep Hutan Desa lebih kepada pemberian akses dan hak kelola hutan kepada lembaga desa yang dianggap sebagai pemerintahan terkecil. Konsep desa yang berasal dari Jawa dapat mengakomodir kepentingan lebih luas dari kelompok atau koperasi dimana masyarakatnya lebih cenderung heterogen. Dari aspek normatif beberapa persamaan yang dapat dilihat bahwa baik itu HKm, HD, dan HTR menganut prinsip pemberdayaan masyarakat dan memberi ruang dan akses kelola masyarakat yang sejalan dengan PP No.6/2007 dan UU Kehutanan No. 41 tahun 1999.
E. TANTANGAN Salah satu tantangan utama penyelenggaraan hutan desa, terkait dengan persoalan tarikmenarik kepentingan antara entitas desa (sebagai representasi pemerintah pusat) dengan entitas adat yang mewakili entitas lokal. Hal semacam ini diperkirakan akan banyak dijumpai di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, maupun Nusa Tenggara, dimana kehidupan masyarakat adat masih banyak dijumpai, sementara tata ruang maupun pemerintahan desa belum terbentuk secara sempurna. Di lokasi semacam ini, boleh jadi Hutan Desa menjadi kompromi terhadap tuntutan pengakuan hutan adat yang hingga saat ini belum terselesaikan Tantangan lainnya terkait disharmoni kebijakan Hutan Desa dan aturan pelaksanannya, tetapi juga terkait dengan aturan yang lebih tinggi. Misalnya konflik kebijakan antara kehutanan dan UU 4
KSDAHE, UU Kehutanan dengan UUD 1945, UU Otonomi Daerah/Otonomi khusus, UU Penataan Ruang dan UUPA yang menyangkut tentang hak-hak masyarakat dalam kawasan hutan dengan berbagai skema. Selanjutnya dalam proses pemanenan Hutan Desa yang mendapat izin usaha kayu, pemerintah telah mengeluarkan regulasi P.51/Menhut-II/2006 dan P.55/Menhut/2006 tentang verfifikasi asal usul kayu berdasarkan jenis izin Hutan Desa yang diperoleh. Semangat dari kedua peraturan ini adalah untuk mempermudah dan menyederhanakan persyaratan administrasi dari asal-usul kayu dari hutan-hutan HD, dengan memberikan wewenang kepada kepala desa. Kepala desa berhak untuk mengeluarkan dokumen pengangkutan dari hutan KM dengan nama Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU). Namun sayangnya hanya menyangkut tiga jenis kayu saja yaitu kayu Sengon (Albazia falcataria), karet dan kayu kelapa. Sementara untuk jenis kayu lainnya dalam pengangkutannya tetap menggunakan SKKB (Surat Keterangan Kayu Bulat), disertai dengan cap tambahan dengan kode: KR (Kayu Rakyat). Dokumen SKKB dikeluarkan oleh kabupaten, tetapi hal ini ternyata lebih sulit didapatkan karena ditentukan dengan pembuktian hak kepemilikan lahan. Lalu jenis kayu yang bisa dapat SKAU bertambah menjadi 15 dengan keluarnya P.33/Menhut/2007. Berikutnya, tantangan terkait dengan proses penetapan dan perizinan hutan Desa masih panjang dan rumit berdampak pada biaya tinggi, masih perlu penyederhanaan proses agar terjangkau dan dapat diakses oleh masyarakat. Tantangan lain yang tak kalah penting adalah keadilan distribusi manfaat dari penyelenggaraan hutan desa. Utamanya agar pemanfaatan hutan dapat terdistribusi secara adil hingga ke seluruh level sosial ekonomi masyarakat desa, sehingga Tujuan penyelenggaraan hutan desa yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat secara berkelanjutan dapat tercapai.
5