SERANGAN KUTU PUTIH PADA MANGLID (Manglieta glauca Bl) DENGAN POLA MONOKULTUR DAN CAMPURAN Endah Suhaendah Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4 Po Box 5 Ciamis 46201; Telp. (0265) 771352 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Manglid (Manglieta glauca Bl) is one of fast growing tree species widely developed in private forests.The development of manglid species in the private forests is nowadays challenged by the pest attacts. Insects are the most serious pests that cause a serious damage to the manglid stands. The purpose of this study was to determine the major pests that attack manglid in monoculture and mixed plantation pattern. The study was conducted from February to April 2012 in Bojonggambir Village, Bojonggambir District, Tasikmalaya Regency. The results showed that pest attacked manglid species was the mealybugs. This pest is a sucking pest from Hemiptera Order, Aphididae Family, Hamamelistes Genus and Hamamelistes sp species. This pest was covered by wax as a protector. The mealybugs were typically parthenogenesis so they can produce a lot of offspring in a short time period so that the trees become stressed/withered and even dead. The percentage of mealybugs attack to manglid in monoculture system reached 60% and 14% of the manglid was died, while the percentage of attacks in mixed plantation pattern reached 30% and 10% of manglid was died. The lower percentage of mealybugs attack on the mixed pattern caused presence other tree species which become a barrier for the pest spread. Based on this result, the manglid development in mixed plantation pattern can be an alternative system to decrease losses due to mealybugs attack. Keywords: manglid, mealybugs, pests I. PENDAHULUAN Manglid (Manglieta glauca Bl) merupakan tanaman kayu pertukangan dari keluarga Magnoliaceae yang dikembangkan di hutan rakyat. Jenis ini menjadi salah satu jenis andalan petani hutan rakyat karena tergolong jenis cepat tumbuh. Menurut Rimpala (2001) di Jawa Barat manglid dijadikan komoditas unggulan pada program social forestry dan dikembangkan dengan pola agroforestry. Perkembangan komoditas manglid pada hutan rakyat saat ini, tidak terlepas dari berbagai masalah yang dihadapi. Menurut Rohandi et al. (2010) di beberapa tempat, kondisi tanaman manglid kurang optimal karena kurangnya pemeliharaan serta serangan hama. Serangga merupakan kelompok hama paling berat yang menyebabkan kerusakan hutan (Anggraeni et al., 2006; Sumardi dan Widyastuti, 2007). Selanjutnya Rohandi et al. (2010) menyatakan bahwa beberapa lokasi di Priangan Timur, tegakan manglid ditanam dengan pola monokultur. Pola tanam secara monokultur menyebabkan ekosistem disederhanakan. Dengan ekosistem yang disederhanakan, manusia telah membangun populasi serangga bersamaan dengan pertumbuhan tanaman. Lebih lanjut serangga menjadi konsumer karena dekat dengan sumber makanan, memiliki tipikal reproduksi yang tinggi dan waktu generasi yang singkat. Dengan kata lain, populasi dari beberapa spesies mempunyai potensi untuk meningkat secara cepat (Gillot, 2005). Selanjutnya Gillot (2005) menyatakan bahwa akibat penanaman secara monokultur bisa menyebabkan tidak adanya regulator alami terutama predator dan parasitoid sehingga serangga menjadi berkembang cepat dan menjadi hama utama. Kadang-kadang, beberapa tanaman budidaya yang diintroduksi terbukti menjadi inang utama dari serangga endemik dari area tersebut. Hal ini disebabkan serangga memiiki makanan alternatif dan lebih mudah mengakses makanan, sebagai hasilnya kelimpahan dan distribusi serangga yang meningkat dan serangga menjadi hama penting.
1
Untuk membuat penilaian kualitatif atau kuantitatif dari resiko serangan dan intensitas kerusakan hutan, tidak hanya bergantung pada karakteristik hutan atau site tempat hama tumbuh tetapi juga biologi hama itu sendiri. Biologi hama dan karakteristik ledakan hama dipengaruhi cuaca atau pemencaran hama mempengaruhi terhadap hutan dan ekosistem hutan. Beberapa karakteristik dari hutan tanaman seperti komposisi tanaman, umur, atau tempat tumbuh seperti ketinggian, intensitas cahaya dan struktur tanah, berasosiasi dengan resiko terjadinya ledakan hama (Winehouse, 2005). Penelitian terhadap hama manglid masih sangat terbatas dan kenyataan di lapangan menunjukkan terdapatnya serangan hama. Berdasarkan paparan di atas, diperlukan upaya identifikasi biologi hama dan karakteristik hutan untuk mengetahui penyebab terjadinya ledakan hama dan teknik pengendalian yang efektif dan efisien. B. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui persentase serangan kutu putih pada manglid dengan pola monokultur dan campuran. II. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Bojonggambir yang terletak di S 07o30’11.4”, E o 107 58’00,2” dengan ketinggian 858 m dpl dan Desa Ciroyom yang terletak di S 07o29’21.5”, E 107o56’59,5” dengan ketinggian 897 m dpl, Kecamatan Bojonggambir, Kabupaten Tasikmalaya. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai April 2012. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tegakan manglid dengan pola monokultur dan pola campuran serta alkohol 70%. Peralatan yang digunakan terdiri dari pinset, kuas, botol plastik, alat tulis dan kamera digital. C. Prosedur Kegiatan Penelitian diawali dengan melakukan survey tegakan manglid dengan pola monokultur dan campuran yang terkena hama. Pengambilan data dilakukan pada lokasi tegakan manglid monokultur dengan luas 325 m2 dan tegakan manglid campuran dengan luas 340 m2. Pengamatan dilakukan terhadap bentuk kerusakan dari tanaman dan cara merusak hama serta persentase serangan hama. Untuk menghitung persentase serangan digunakan rumus: P = tanaman yang terserang x 100% Jumlah seluruh tanaman III. A.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Morfologi Hama
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis hama yang menyerang tanaman manglid adalah hama kutu putih. Berdasarkan hasil identifikasi LIPI, kutu putih termasuk ke dalam Ordo Hemiptera, Famili Aphididae, Genus Hamamelistes dan jenis Hamamelistes sp. Ciri khas dari hama ini adalah tubuhnya ditutupi malam atau lapisan lilin berwarna putih yang berfungsi sebagai pelindung (Kalshoven, 1981; Borror et. al., 1996) (Gambar 1). Tubuh kutu lunak, berwarna cokelat kemerah-merahan dan berukuran kecil (± 1 mm). Kutu putih bersifat partenogenesis sehingga dapat menghasilkan keturunan yang banyak dalam waktu singkat. Hal ini menyebabkan populasi hama dalam satu pohon manglid sangat banyak sehingga pohon menjadi merana bahkan mati.
2
Gambar 1. Kutu putih, Hamamelistes sp B. Bentuk Kerusakan dan Persentase Serangan Kutu putih mengisap cairan tanaman tumbuhan inang. Kutu berada di batang pohon, cabang, ranting sampai ke pucuk. Kutu menyerang manglid mulai dari umur 1 tahun sampai dengan tegakan akhir daur (Gambar 2). Kerusakan pada tanaman manglid terjadi bilamana populasi kutu tinggi. Kerusakan yang terjadi pada manglid yang berumur muda, antara lain, daun berwarna kuning, rontok dan kering. Pada pohon besar, dampak kerusakan kutu terlihat warna tajuk hijau kusam dan tipis karena daun yang rontok. Berbeda dengan pohon besar sehat, tajuk lebat dan berwarna hijau pekat. Waktu serangan terjadi pada musim kemarau. Pada serangan berat, tanaman menjadi merana kemudian mati.
Gambar 2. Hamamelistes sp pada manglid umur 1 tahun dan 8 tahun Persentase serangan kutu putih pada tegakan manglid monokultur mencapai 60% dan 14% diantaranya mati sedangkan pada pola campuran persentase serangan mencapai 30% dan 10% diantaranya mati. Lebih rendahnya persentase serangan kutu putih pada pola campuran disebabkan adanya jenis pohon lain yang menjadi penghalang sebaran hama. Jenis pohon lain yang terdapat pada tegakan manglid pola campuran antara lain ganitri, suren, mahoni, jati putih, kayu manis dan kayu besi. Penyebaran dan fluktuasi populasi kutu putih dipengaruhi oleh adanya penghalang berupa bentang alam (jurang/bukit), ada tidaknya vegetasi lain dan musim. Tegakan manglid yang memiliki penghalang bentang alam dan vegetasi lain yang tinggi, cenderung lebih lambat terserang dibandingkan tegakan manglid pada bentang alam terbuka dan sedikit atau tidak memiliki vegetasi lain. Serangan kutu putih meningkat pada musim kemarau, namun demikian pada musim hujan, kutu putih masih terdapat pada tegakan manglid meskipun populasinya terbatas. Berdasarkan paparan di atas, pola manglid campuran menjadi sebuah alternatif untuk menghindari kerugian akibat serangan hama kutu putih. Dengan pengaturan komposisi tegakan, sumber pakan hama pada pola campuran akan menjadi lebih terbatas
3
dibandingkan dengan pola monokultur. Selain itu diharapkan pola campuran mampu memberikan kestabilan keanekaragaman hayati yang lebih besar dibandingkan pola monokultur, sehingga keseimbangan alami lebih terjamin (Sumardi dan Widyastuti, 2007). C. Pengendalian Tingkat serangan hama kutu putih yang merugikan dan menyebabkan kematian, mengindikasikan perlunya upaya pengendalian secara terpadu dan hal ini masih dalam penelitian. Namun demikian, berdasarkan hasil penelitian sebelumnya tentang pengendalian hama kutu putih pada pinus dan cokelat (Pracaya, 1995; Anggraeni et al., 2006; Anggraeni et al., 2010), berikut ini adalah beberapa cara pengendalian hama kutu putih secara terpadu: a. Survei dan Monitoring : kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui perkembangan kutu putih dari waktu ke waktu baik musim hujan maupun musim kemarau. Hal ini berguna sebagai dasar pengambilan keputusan pengendalian yang efektif dan efisien. b. Manipulasi Silvikultur : penjarangan tegakan yang terserang untuk meningkatkan kesehatan pohon, penanaman lebih dari satu jenis spesies pada suatu lokasi pertanaman. d. Pengendalian secara mekanik : penyemprotan air tekanan tinggi ke batang dan cabang. e. Pengendalian dengan pestisida non kimiawi: Pengendalian dengan biopestisida berbahan aktif Bacillus thuringiensis 4 gr/l yang dicampur dengan cuka kayu (40 cc/l air). IV. KESIMPULAN Jenis hama yang menyerang tanaman manglid adalah hama kutu putih. Hama ini merupakan hama penghisap dari Ordo Hemiptera, Famili Aphididae, Genus Hamamelistes dan jenis Hamamelistes sp. Ciri khas dari hama ini adalah tubuhnya ditutupi malam yang berfungsi sebagai pelindung. Kutu lilin bersifat partenogenesis sehingga dapat menghasilkan keturunan yang banyak dalam waktu singkat. Hal ini menyebabkan populasi hama dalam satu pohon manglid sangat banyak sehingga pohon menjadi merana bahkan mati. Persentase serangan kutu putih pada manglid monokultur mencapai 60% dan 14% diantaranya mati sedangkan pada pola campuran persentase serangan mencapai 30% dan 10% diantaranya mati. Lebih rendahnya persentase serangan kutu putih pada pola campuran disebabkan adanya jenis pohon lain yang menjadi penghalang sebaran hama. DAFTAR PUSTAKA Anggraeni I., S.E. Intari dan W. Darwiati. 2006. Hama & Penyakit Hutan Tanaman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Anggraeni I., N. E. Lelana dan W. Darwiati. 2010. Hama, Penyakit dan Gulma Hutan Tanaman. Sintesa Hasil Penelitian Hama, Penyakit dan Gulma Hutan Tanaman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Borror D. J., C. A. Triplehorn and N. F. Johnson. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi Keenam. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Gillott C. 2005. Entomology third edition. University of Saskatchewan Saskatoon, Saskatchewan, Canada. Springer. Kalshoven L. G. E. 1981. Pests of Crops in Indonesia. Pt. Ichtiar Baru. Jakarta. Pracaya. 1995. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya. Jakarta. Rimpala. 2001. Penyebaran Pohon Manglieta glauca Bl (Manglieta glauca Bl) di Kawasan Hutan Lindung Gunung Salak. Laporan Ekspedisi Manglieta glauca Bl. www. rimpala.com. Diakses pada 30 Desember 2009.
4
Rohandi A., D. Swestiani, Gunawan, Y. Nadiharto, B. Rahmawan dan I. Setiawan. 2010. Identifikasi Sebaran Populasi dan Potensi Lahan Jenis Manglid untuk Mendukung Pengembangan Sumber Benih dan Hutan Rakyat di Wilayah Priangan Timur. Sumardi dan S.M. Widyastuti. 2007. Dasar-Dasar Perlindungan Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Winehouse D. 2005. Ecological Methods in Forest Pest Management. Oxford University Press.
5