PETUNJUK PENULISAN
Redaksi menerima tulisan asli/tinjauan pustaka, penelitian atau laporan kasus dengan foto-foto asli dalam bidang Kedokteran dan Farmasi. 1. Tulisan yang dikirimkan kepada Redaksi adalah tulisan yang belum pernah dipublikasikan di tempat lain dalam bentuk cetakan. 2. Tulisan berupa ketikan dan diserahkan dalam bentuk disket, diketik di program MS Word dan print-out dan dikirimkan ke alamat redaksi atau melalui e-mail kami. 3. Pengetikan dengan point 12 spasi ganda pada kertas ukuran kuarto (A4) dan tidak timbal balik. 4. Semua tulisan disertai abstrak dan kata kunci (key words). Abstrak hendaknya tidak melebihi 200 kata. 5. Judul tulisan tidak melebihi 16 kata, bila panjang harap di pecah menjadi anak judul. 6. Nama penulis harap di sertai alamat kerja yang jelas. 7. Harap menghindari penggunaan singkatan-singkatan 8. Penulisan rujukan memakai sistem nomor (Vancouver style), lihat contoh penulisan daftar pustaka. 9. Bila ada tabel atau gambar harap diberi judul dan keterangan yang cukup. 10. Untuk foto, harap jangan ditempel atau di jepit di kertas tetapi dimasukkan ke dalam sampul khusus. Beri judul dan keterangan yang lengkap pada tulisan. 11. Tulisan yang sudah diedit apabila perlu akan kami konsultasikan kepada peer reviewer. 12. Tulisan disertai data penulis/curriculum vitae, juga alamat email (jika ada), no. telp/fax yang dapat dihubungi dengan cepat. Contoh Penulisan Daftar Pustaka Daftar pustaka di tulis sesuai aturan Vancouver, diberi nomor sesuai urutan pemunculan dalam keseluruhan tulisan, bukan menurut abjad. Bila nama penulis lebih dari 6 orang, tulis nama 6 orang pertama diikuti et al. Jumlah daftar pustaka dibatasi tidak lebih dari 25 buah dan terbitan satu dekade terakhir. Artikel dalam jurnal 1. Artikel standar Vega KJ,Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996; 124(11):980-3. Lebih dari 6 penulis: Parkin DM, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 years follow-up. Br J Cancer 1996; 73:1006-12 2. Suatu organisasi sebagai penulis The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical Exercise Stress Testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996; 164:282-4 3. Tanpa nama penulis Cancer in South Africa (editorial). S Afr Med J 1994; 84:15 4. Artikel tidak dalam bahasa Inggris Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996; 116:41-2 5. Volum dengan suplemen Shen HM, Zhang QE. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational lung cancer. Environ Health Perspect 1994; 102 Suppl 1:275-82 6. Edisi dengan suplemen Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women’s psychological reactions to breast cancer. Semin Oncol 1996; 23(1 Suppl 2):89-97 7. Volum dengan bagian Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6 8. Edisi dengan bagian Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap lacerations of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990; 107(986 Pt 1):377-8 9. Edisi tanpa volum Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995; (320):110-4 10.Tanpa edisi atau volum Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of the
2
cancer patient and the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993;325-33 11. Nomor halaman dalam angka romawi Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology. Introduction Hematol Oncol Clin North Am 1995; Apr; 9(2):xi-xii Buku dan monograf lain 12.Penulis perseorangan Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany (NY):Delmar Publishers; 1996 13.Editor sebagai penulis Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for eldery people. New York:Churchill Livingstone; 1996 14.Organisasi sebagai penulis Institute of Medicine (US). Looking at the future of the medicaid program. Washington:The Institute; 1992 15.Bab dalam buku Catatan: menurut pola Vancouver ini untuk halaman diberi tanda p, bukan tanda baca titik dua seperti pola sebelumnya). Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM, editors. Hypertension: Patophysiology, Diagnosis and Management. 2nded. New York:Raven Press; 1995.p.465-78 16.Prosiding konferensi Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent Advances in clinical neurophysiology. Proceedings of the 10 t h International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 1519; Kyoto, Japan. Amsterdam:Elsevier; 1996 17.Makalah dalam konferensi Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, editors. MEDINFO 92. Proceedings of the 7 th World Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 61 0 ; G e n e va , S w i t ze r l a n d . A m s t e r d a m : N o r t h - H o l l a n ; 1992.p.1561-5 18.Laporan ilmiah atau laporan teknis Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor: Smith P, Golladay K. Payment for durable medi-cal equipment billed during skilled nursing facility stays. Final report. Dallas(TX):Dept.of Health and Human Services (US), Office of Evaluation and Inspections; 1994 Oct. Report No.: HHSIGOEI69200860 Diterbitkan oleh unit pelaksana: Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Health Services R e s e a r c h : W o r k F o r c e a n d E d u c a t i o n I s s u e s. Washington:National Academy Press; 1995. Contract No.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy and Research 19. Disertasi Kaplan SJ. Post-hospital home health care: The eldery’s access and utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington Univ.; 1995 20.Artikel dalam koran Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21; Sept A:3 (col.5) 21.Materi audio visual HIV + AIDS: The facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): Mosby-Year Book; 1995 Materi elektronik 22.Artikel jurnal dalam format elektronik Morse SS. Factors in the emergence of infection diseases. Emerg Infect Dis [serial online] 1995 jan-Mar [cited 1996 Jun 5];1(1):[24 screens]. Available from: URL:HYPERLINK 23.Monograf dalam format elektronik CDI, Clinical dermatology illustrated [monograph on CDROM]. Reeves JRT, maibach H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995 24.Arsip komputer Hemodynamics III: The ups and downs of hemodynamics [computer program]. Version 2.2. Orlando [FL]: Computerized Educational Systems
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
ARTIKEL UTAMA
The Role of Norepinephrine in
Septic Shock Patients A Guntur H Sub Bagian Penyakit Tropik Infeksi Imunologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Moewardi/FK UNS Surakarta
Abstract. Sepsis is a clinical syndrome as an overactive body response to microorganismal product stimuli. Manifestations of fever, tachycardia, tachypneu, hypotension and organ malfunction are related with the cardiovascular problem level. The sepsis clinical signs is hyperthermia/hypothermia (>38,3°C; <35,6°C), tachypneu (respiratory rate >20/minute), 3 3 tachycardia (pulse >100/minute), leukocytosis (>12.000/mm ) or leukopenia (>4.000/mm , immature cell (10%), suspected infection, and biomarker sign: PcT, CrP (ccm 2003). Septic shock as a subset, septic shock is defined as septic-induced hypotension which is permanent even after fluid resuscitation, with tissue hypoperfusion. The septic shock clinical signs are early phase signs (e.g volume depletion, dry mucosal layer, dry and humid skin), post fluid resuscitation signs (hyperdynamic shock, e.g. tachycardia, hard and wide arterial pulse, palpatory hyperdynamic precordium and warm extrimities) associated with sepsis manifestations and hipoperfusion signs (e.g. tachypneu, oliguria, cyanosis, mottling, ischemic finger, mental change). In accordance with EGDT (Early Goal Directed Therapy) protocol, the early management covers by giving crystalloid colloid fluid replacements. The unresponsive patients to this fluid replacement, then, should be treated with vasoactive drugs. There is still debateful in determining the best vasoactive drugs used in septic shock. The main therapeutical target is the recovery of tissue perfusion by increasing the Mean Arterial Pressure (MAP) to 65 till 75 mmHg. The other needed target is myocardial contractility increase if it is appropriate and good tissue oxygen supply. Vasoconstrictors is strong enough to produce SVR and blood pressure increase without having at all effect on increasing arterial pulse, MAP increase at 65-75 mmHg, at the used dose of 47 µg/minute, maintaining the heart rate of 97-101/minute. Norepinephrine is still potential for alpha-1 receptor agonist first choice management in septic shock. Key words: Sepsis, septic shock, vasopressor
Pendahuluan Sepsis Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya respon tubuh yang berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme. Ditandai dengan panas, takikardia, takipnea, hipotensi dan disfungsi organ berhubungan dengan gangguan sirkulasi darah. Sepsis sindroma klinik yang ditandai dengan: Hyperthermia/hypothermia (>38°C; <35,6°C) Tachypneu (respiratory rate >20/menit) Tachycardia (pulse >100/menit)
Dipresentasikan dalam acara PIN PAPDI V 2007 The 5 th National Scientific Meeting of the Indonesian Society of Internal Medicine DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
Leukocytosis >12.000/mm3 3 Leukopoenia <4.000/mm 10% >cell imature Suspected infection Biomarker sepsis (CCM 2003) adalah prokalsitonin (PcT); C reactive Protein (CrP).
Derajat Sepsis 1. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), ditandai dengan ≥2 gejala sebagai berikut: a. Hyperthermia/hypothermia (>38,3°C; <35,6°C) b. Tachypneu (resp >20/menit) c. Tachycardia (pulse >100/menit) d. Leukocytosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm
3
2. 3.
4.
5.
e. 10% >cell imature Sepsis Infeksi disertai SIRS Sepsis Berat Sepsis yang disertai MODS/MOF, hipotensi, oligouri bahkan anuria. Sepsis dengan hipotensi Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg atau penurunan tekanan sistolik >40 mmHg). Syok septik Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai hipotensi yang diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan, dan disertai hipoperfusi jaringan.
Tatalaksana Sepsis Penatalaksanaan sepsis pada umumnya terdiri dari: 1. Pemberian antibiotika dan pengobatan terhadap penyakit dasarnya (underlying disease); eliminasi pusat infeksi dan sumber infeksi. 2. Mempertahankan hemodinamika tetap normal. 3. Pengobatan adjuvans kortikosteroid, intravenous immunoglobulin (IVIG), protein C. 4. Imunonutrisi. Apabila tatalaksana tersebut tidak berhasil mengatasi keadaan sepsis, maka penderita akan jatuh dalam keadaan syok 1 septik. Syok Septik Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai hipotensi yang diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan, dan disertai hipoperfusi jaringan. Ketidakseimbangan: DO2 (oxygen delivery) dan VO2 (oxygen consumption). USA → 400.000 kasus sepsis; 200.000 kasus syok septik; 100.000 kematian. Pasien mendapatkan obat vasoaktif → syok septik jika mengalami hipoperfusi jaringan. Tanda Klinis Syok Septik Fase dini: terjadi deplesi volume, selaput lendir kering, kulit lembab dan kering. Post resusitasi cairan: gambaran klinis syok hiperdinamik: takikardia, nadi keras dengan tekanan nadi melebar, precordium hiperdinamik pada palpasi, dan ekstremitas hangat. Disertai tanda-tanda sepsis. Tanda hipoperfusi: takipnea, oliguria, sianosis, mottling, iskemia jari, perubahan status mental. Perubahan Hemodinamika Tanda karakteristik sepsis berat dan syok-septik pada stadium
4
awal adalah hipovolemia, baik relatif (oleh karena venus pooling) maupun absolut (oleh karena transudasi cairan). Kejadian ini mengakibatkan status hipodinamik, yaitu curah jantung rendah, sehingga apabila volume intravaskuler adekuat, curah jantung akan meningkat. Pada sepsis berat kemampuan kontraksi otot jantung melemah, mengakibatkan fungsi jantung intrinsik (sistolik dan diastolik) terganggu. Meskipun curah jantung meningkat (terlebih karena takikardia daripada peningkatan volume sekuncup), tetapi aliran darah perifer tetap berkurang. Status hemodinamika pada sepsis berat dan syok septik yang dulu dikira hiperdinamik (vasodilatasi dan meningkatnya aliran darah), pada stadium lanjut kenyataannya lebih mirip status hipodinamik (vasokonstriksi dan aliran darah berkurang). Tanda karakterisik lain pada sepsis berat dan syok septik adalah gangguan ekstraksi oksigen perifer. Hal ini disebabkan karena menurunnya aliran darah perifer, sehingga kemampuan untuk meningkatkan ekstraksi oksigen perifer terganggu, akibatnya VO 2 (pengambilan oksigen dari mikrosirkulasi) berkurang. Kerusakan ini pada syok septik dipercaya sebagai penyebab utama terjadinya gangguan oksigenasi jaringan. Karakteristik lain sepsis berat dan syok septik adalah
Tanda karakterisik lain pada sepsis berat dan syok septik adalah gangguan ekstraksi oksigen perifer. Hal ini disebabkan karena menurunnya aliran darah perifer, sehingga kemampuan untuk meningkatkan ekstraksi oksigen perifer terganggu, akibatnya VO 2 (pengambilan oksigen dari mikrosirkulasi) berkurang. Kerusakan ini pada syok septik dipercaya sebagai penyebab utama terjadinya gangguan oksigenasi jaringan. DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
terjadinya hiperlaktataemia, mungkin hal ini karena terganggunya metabolisme piruvat, bukan karena dys-oxia jaringan (produksi energi dalam keterbatasan oksigen). Haemodynamic support Perubahan dasar hemodinamika yang terjadi pada pasien sepsis adalah kelainan patologik arterial. Walaupun kadar katekolamin dalam darah pada sepsis meninggi, respons vaskular terhadap stimulasi reseptor alfa adrenergik tampaknya terganggu. Beberapa mediator yang diduga bertanggung jawab terhadap mekanisme vasodilatasi ini antara lain adalah interleukin 1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF), nitric oxide (NO), dan prostaglandin aktivitas komplemen (C3a, C5a). Kemungkinan lain sebagai penyebab adalah perubahan dalam metabolisme pembuluh darah sendiri. Gambaran yang khas pada pasien sepsis dengan syok adalah hipotensi yang terjadi karena dilatasi pembuluh darah arteri. Resistensi vaskular sistemik sangat rendah dan curah jantung akan meningkat. Frekuensi denyut jantung akan meningkat pula, demikian juga resistensi vaskular paru akan meningkat, karena kompensasi terhadap kekurangan O 2. Keadaan ini disebabkan karena adanya produksi NO yang meningkat berlebihan. Terjadinya peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah yang disebabkan peningkatan aktivitas komplemen (C3a, C5a), sehingga banyak cairan plasma yang menuju keluar (ekstravasasi). Secara umum tujuan dari resusitasi adalah memperbaiki oksigenisasi pada jaringan atau sel. Resusitasi biasanya menggunakan cairan kristaloid dan koloid. Resusitasi kristaloid menyebabkan ekspansi ruang interstisial, sedangkan koloid intravena yang bersifat hiperonkotik, karena tekanan onkotik, cenderung untuk menyebabkan ekspansi volume intravaskuler dengan “meminjam” cairan dari ruang interstisial. Koloid isoonkotik dapat mengisi ruang intravaskular tanpa mengurangi ruang interstisial. Dari pertimbangan fisiologis terlihat bahwa kristaloid menyebabkan lebih banyak edema daripada koloid. Ini mungkin memburuk. Pada keadaan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, koloid mungkin hanya sedikit sekali merembes ke dalam ruang interstisial, sehingga sebagian besar koloid akan terdapat tetap di dalam intravaskuler dan akhirnya koloid akan terdapat tetap di dalam intravaskular dan akhirnya koloid meninggikan tekanan onkotik plasma. Ini akan menghambat kehilangan cairan selanjutnya dari sirkulasi dan kemungkinan hal ini menguntungkan. Agaknya mikrovaskulatur masih mempunyai kemampuan untuk mempertahankan gradien protein, walaupun terdapat gangguan permeabilitas yang berat. Kelebihan koloid dalam respons metabolik dapat meningkatkan pengiriman O2 ke jaringan (DO2) dan konsumsi O2 (VO2) serta menurunkan laktat serum. Parameter-parameter tersebut merupakan indikator penting untuk mengetahui apakah penderita membaik atau akan jatuh ke situasi yang
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
lebih buruk. Perbaikan volume darah bertujuan mengoptimalkan cardiac output tanpa meningkatkan resiko terjadinya edema paru. Biasanya digunakan bergantian antara kristaloid dan koloid. Untuk meningkatkan oksigenasi jaringan dan mengurangi kebutuhan oksigen jaringan. Koreksi terhadap asidosis yang terjadi pada sepsis berat atau syok septik dapat berlangsung cepat bila penyakit dasar membaik. Sodium bikarbonat 1 disarankan untuk diberikan hanya pada asidosis berat saja. Dalam pengelolaan penderita dengan sepsis, terutama pada penderita dengan syok yang mengancam, perlu dilakukan pemantauan ketat. Khusus ada syok septik, konsensus direkomendasikan: 1. Cairan resusitasi segera diberikan dengan cairan yang ada. 2. Cairan koloid lebih dianjurkan untuk resusitasi awal karena mempunyai efek hemodinamik segera. 3. Infus cairan selanjutnya dapat memakai koloid dan kristaloid. Resusitasi Pada sepsis berat dan syok septik resusitasi merupakan persoalan yang paling penting sehingga dikenal istilah “six hour goal treatment” pedoman yang banyak dipakai dalam resusitasi adalah “early goal-directed therapy (EGDT)” yang mempunyai target optimal central venous pressor (CVP), mean arterial pressor (MAP) dan central venus oxygen saturation (ScvO2). Dengan melakukan EGDT cepat dan tepat waktu dapat mengurangi angka kematian absolut ± 16%, mengurangi mortalitas di rumah sakit dan mempunyai manfaat yang bermakna pada hasil akhir perawatan pasien dengan sepsis berat dan septik syok.2 Supplemental oxygen ± endotracheal intubation and mechanical ventilation
Central venous and arterial catheterization
Sedation, paralysis (if intubated), or both
CVP
<8 mmHg
Crystalloid Colloid
8-12 mmHg
MAP
<65 mmHg >90 mmHg
Vasoactive agents
≥65 and ≤90 mmHg ScvO 2 ≥70%
No
<70%
Transfusion of red cells until hematocrit ≥30%
≥70% <70%
Inotropic agents
Goals achieved Yes Hospital admission
Gambar 1. Early goal-directed therapy protocol3 Pada syok septik, cairan yang diberikan umumnya dianggap cukup bila dicapai tekanan darah sistolik 90 mmHg
5
dengan disertai tanda klinik perbaikan perfusi end organ. Pada pasien tua atau dengan penyakit jantung iskemia atau penyakit serebrovaskuler mungkin perlu tekanan darah >100 mmHg. Pemasangan kateter vena sentral dipertimbangkan sebagai arahan bila akan memberi cairan dalam jumlah banyak dan pada pemberian obat vasoaktif. CVP manometer penting dalam memantau pemberian cairan, dalam jumlah dan kecepatannya. Proses pemasangan CVP tidak boleh memperlambat pemberian cairan. Pada 20-30% pasien dengan syok septik memberi respon baik terhadap pemberian cairan saja, dan pada mereka dapat ditunda pemasangan CVP. Meskipun telah dipasang CVP, terapi cairan dikurangi untuk maintenace rate, tanpa tergantung pada pembacaan hasil CVP, bila keadaan klinik baik. Bila clinical end point tidak tercapai, maka cairan resusitasi berikutnya diberikan sampai sekitar CVP 12-15 mmHg atau 15-18 mmHg. Bila ada kemungkinan terjadi edema paru, maka dalam keadaan demikian dianjurkan pemasangan pulmonary artery catheter (PAC) bila mungkin. Vasopressor Agent Bila keadaan tidak dapat diatasi dengan pemberian cairan saja, maka perlu diberi obat vasopresor, golongan sympathomimetic
Obat sympathomimetic amine dipakai secara luas pada keadaan gangguan hemodinamik syok. Obat yang semula banyak dipakai adalah: epinefrin dan norepinefrin. Norepinefrin mempunyai efek vasokonstriksi kuat. Ekstravasasi di daerah sekitar infus akan dapat berakibat nekrosis. Norepinefrin dan epinefrin meningkatkan iritabilitas miokard. amine. Obat sympathomimetic amine dipakai secara luas pada keadaan gangguan hemodinamika syok. Obat yang semula banyak dipakai adalah: epinefrin dan norepinefrin. Norepinefrin
6
mempunyai efek vasokonstriksi kuat. Ekstravasasi di daerah sekitar infus akan dapat berakibat nekrosis. Norepinefrin dan epinefrin meningkatkan iritabilitas miokard. Alternatif obat lain adalah isoproterenol, dopamin dan dobutamin. Obat mempunyai efek inotropik, dan melalui reseptor beta adrenergik efeknya dapat meningkatkan perfusi jaringan. Dopamin mempunyai efek vasodilatasi renal, jantung dan serebral; meningkatkan perfusi jaringan. Dopamin mempunyai efek vasodilatasi renal, jantung dan serebral; meningkatkan tekanan sistolik dan denyut jantung; serta mengurangi aliran darah ke jaringan otot. Dibanding dopamin, dobutamin mempunyai efek chronotropic lebih kecil, sedangkan efek lain sama. Norepinefrin (NE) biasanya baru dipakai bila pemberian dopamin dan dobutamin tak berhasil menaikkan tekanan darah sistemik. Tetapi pada akhir-akhir tahun 2003, NE merupakan pilihan pertama pada keadaan syok septik. Reinhart K. (2007), Current International Guide Line merekomendasikan bahwa NE dan Dopamin mempunyai ekuivalensi untuk terapi syok septik. NE adalah α1 agonis merupakan pilihan pertama sebagai obat vasopressor. Restorasi dan tekanan perfusi dapat memperbaiki (restorasi) renal function. Dopamin α1 dan β1 kurang efektif dalam memperbaiki tekanan darah arterial bila dibandingkan dengan NE. Potensi efek dopamin dalam memperbaiki fungsi renal tidak bisa dibuktikan.4 Dosis yang dianjurkan: 1. Dopamin: 2-25 mcg/kgbb/menit di dalam cairan infus (Dextrose 5% atau normal salin) tiap 15-20 menit sampai tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg dan produksi urin lebih dari 30 ml/jam. 2. Dobutamin dosis 2-10 mcg/kgbb/menit, bekerja primer pada reseptor β-adrenergik (f1 dan β2), berguna pada pasien dengan keadaan cardiac output rendah. 3. Isoproterenol: 5 p g/ml/menit, efek dilihat tiap 15-25 menit dan dosis diduakalikan bila perlu. 4. Norepinephrin dosis awal 0.1-0.2 mcg/kgbb/menit dan dilihat efek dalam beberapa menit. Dosis maintenance adalah: 0.05 mcg/kgbb/menit diberikan melalui kateter plastik ke dalam vena besar/sentral. Karena efek pada reseptor α1, norepinephrine dosis 10-15 mcg/kgbb/ menit hanya dipakai pada keadaan dimana tekanan darah tidak dapat dipulihkan dengan berbagai cara; dapat dipakai kombinasi dengan dopamin. Sympathomimetic amine mempunyai efek lain, pada saluran nafas/paru, gula darah dan sebagainya. Faktor kritis penting adalah pemberian cairan yang cukup (challenge). Bila ada kekurangan cairan intravaskuler; maka vasodilatasi oleh beta adrenergik dapat berefek paradoksal, yaitu turunnya tekanan darah oleh karena turunnya volume intravaskular. Untuk itu perlu pengawasan tekanan vena sentral. Meski sudah diberi cairan dan vasoaktif, asidosis metabolik sering dijumpai. Untuk
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
itu dianjurkan pemberian sementara infus natrium bikarbonas. Tabel scoring obat vasopressor Tabel 1. Aktivitas reseptor dari berbagai obat Aktivitas pada reseptor
Obat
Alfa-1 Beta-1 Beta-2 Dopaminergik
Dopamin HCl (Inotropin)*
2+
3+
2+
3+
Norepinefrin
3+
2+
?
0
Dobutamin
1/2+
3+
2+
0
Epinefrin*
2/3+
3+
3+
0
3+
0
0
0
Fenilefrin-HCl (NeoSynephrine)
Rating menunjukkan derajat aktivitas mulai dari tidak ada (0) sampai maksimal (3+) indicate degree of activity from none (0) to maximal (3+). * Aktivitas tergantung pada dosis Tabel 2. Efek-efek hemodinamika dari obat-obat vasoaktif Obat
Dosis
Efek CO
MAP
SVR
2+
1+
1+
-/0/+
2+
2+
Dopamin HCl (Inotropin)*
5-20 µg/kg/min
Norepinefrin
0.05-5 µg/kg/min
Dobutamin
5-20 µg/kg/min
2+
-/0/+
-
Epinefrin*
0.05-2 µg/kg/min
2+
2+
2+
-/0/+
2+
2+
Fenilefrin HCl 2-10 µg/kg/min (Neo-Synephrine)
Rating menunjukkan derajat efek dari penurunan ringan (-) sampai peningkatan mencolok (2+) CO, cardiac output; MAP, mean arterial pressure; SVR, systemic vascular resistance. * Aktivitas tergantung pada dosis. Rasionalisasi Obat Vasoaktif Pasien yang tidak merespon terapi cairan harus diberikan obat vasoaktif. Ada silang pendapat tentang obat vasoaktif terbaik dalam syok septik. Sasaran utama adalah memulihkan dengan cepat perfusi jaringan dengan meningkatkan MAP (mean arterial pressure) menjadi 65-75 mmHg. Juga dikehendaki peningkatan kontraktilitas miokard, bila sesuai dan hantaran oksigen yang membaik ke jaringan. Jika sasaran utama meningkatkan MAP menjadi 65-75 mmHg maka NE adalah merupakan pilihan utama. Dellinger menganjurkan pemakaian norepinefrin (NE) sebagai first choice untuk septik dengan beberapa alasan. Dinyatakan juga bahawa NE lebih poten dibanding dopamin serta lebih efektif dalam mengatasi hipotensi.4 Namun Vincent masih menyatakan bahwa dopamin lebih dianjurkan untuk first line agent untuk support hemodinamika.5
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
Menurut Martin, et al (2000) mengatakan dalam penelitiannya membandingkan penggunaan NE dan dopamin. Dalam penggunaan NE memperpendek morbiditas dan mengurangi mortalitas.6 LeDoux, et a l (2000) menyatakan peningkatan dosis NE/ E pada septik syok meningkatkan MAP, dan juga terjadi peningkatan cardiac output (mid: -4,7; 5,3 dan 5,5 L/mm per m2).7 Martin (2003) melakukan penelitian obat vasopresor yang diukur cardiac output dan MAP pada 32 penderita syok septik. Dopamin terjadi perbaikan 31%, sedangkan NE 93% (p<0.001).8 Reinhart K. (2007) Current International Guideline merekomendasikan bahwa NE merupakan pilihan pertama pada penanganan syok septik.
Kesimpulan Berdasarkan data-data tersebut di atas pada penggunaan norepinefrin pada penderita syok septik mempunyai efek: Vasokonstriktor cukup kuat meningkatkan SVR (systemic vascular resistance) Meningkatkan tekanan darah tanpa sedikit meningkatkan denyut nadi Meningkatkan MAP: 65-75 mmHg sampai dengan final; 85 mmHg Dari yang diberikan 47 µg/menit mempertahankan denyut jantung 97-101 kali/menit. NE potensial terhadap α1 reseptor agonist dan masih merupakan pilihan pertama.
Daftar Pustaka 1. Guntur HA. Terapi sepsis; SIRS & sepsis. In: Imunologi, Diagnosis, Penatalaksanaan. Sebelas Maret University Press, 2006.p.10 2. Osborn TM. Early goal-directed therapy in severe and septic shock revisited*. Chest 2006; 130:1579-95 3. Rivers E, Nguyen B, Havstad S, et al. Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and septic shock. The New England Journal of Medicine 2001; 345:1368-77 4. Reihart K, Jena. Vasopressor agents. Programme abstrak book: 25. An International Symposium Sepsis 2007. Institute Pasteur: Paris, France; 2007 5. Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, et al. Surviving sepsis campaign guidelines for management of severe sepsis and septic shock. Critical Care Medicine 2004; 32(3):858-73 6. Vincent JL, Moreno R, Takala J, et al. The SOFA (sepsis-related oegan failure assessment) score to describe organ dysfunction/ failure. On behalf of the working group on sepsis-related problems of the european society of intensive care medicine. Intensive Care of Medicine 1996; 22(7):707-10 7. Martin C, Papazian L, Perrin G, et al. Norepinephrine or dopamine for the treatment of hyperdynamic septic shock? Chest 1993; 103:1826-31 8. LeDoux D, Astiz ME, Carpati CM, et al. Effects of perfusion pressure on tissue perfusion in septic shock. Critical Care Medicine 2000; 28(8):2729-32 9. Martin, et al. Comparation of vasopressor drug. Critical Care Medicine 2003 10. Shama VK, Dellinger RP. The international sepsis forum’s controversies in sepsis: my initial vasopressor agent in septic shock is norepinephrine rather than dopamine. Critical Care Medicine 2003; 7:3-5
7
SEKILAS PRODUK
Diabetes merupakan salah satu faktor risiko penyebab terjadinya penyakit jantung koroner. Bahkan oleh oleh ATP III (Adult Treatment Panel III), pasien penderita diabetes dianggap setara dengan penderita penyakit jantung koroner.1 Dan 75% kematian pada pasien diabetes akan disebabkan oleh penyakit jantung . Diabetes juga merupakan salah satu faktor risiko utama dalam terjadinya stroke, kebutaan, gagal ginjal dan amputasi non traumatik.2 Penderita diabetes terutama diabetes type 2 meningkat secara drastis dari tahun ke tahun. Menurut laporan WHO (World Health Organization), jumlah penderita diabetes di seluruh dunia tahun 2000 mencapai 171 juta orang dan diprediksi akan mencapai 366 juta orang tahun 2030 atau mengalami peningkatan sebesar 114%. Dan pada orang Asia, peningkatan tersebut akan mencapai 141% pada kurun waktu yang sama.6
• •
Glucosidase inhibitor contohnya acarbose Insulin
Dari panduan IDF yang terbaru tahun 2005, Metformin merupakan pilihan terapi obat pertama untuk pasien diabetes tipe 2 sebelum menggunakan golongan yang lain.2 Dan pada umumnya sediaan Metformin yang ada di pasar baik Metformin bermerek maupun generik adalah sediaan immediate release, sehingga harus diberikan minimal dengan dosis dua kali sehari. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi.
Prevalensi diabetes di seluruh dunia
Grafik 2. Profile kepatuhan pasien manjalankan terapi pada berbagai dosis pemberian obat3 Diabetes Care, 2004 Grafik 1. Prevalensi Diabetes di seluruh dunia6 Untuk itu, penanganan diabetes tipe 2 harus dilakukan sedini mungkin. Penatalaksanannya biasanya dimulai dari intervensi gaya hidup. Sedangkan untuk terapi obat-obatan terdiri dari beberapa golongan seperti: • Biguanid contohnnya Metformin • Sulfonylurea contohnya glimepirid, glibenklamid, gliklazid • Meglitinid contohnya nateglinid dan repaglinid • Tiazolidinedion contohnya pioglitazon dan rosiglitazon
8
Dari penelitian di atas menunjukkan bahwa kepatuhan pasien lebih baik dengan dosis sekali sehari daripada dua kali sehari atau tiga kali sehari. Dan kepatuhan pasien menjalankan terapi pada akhirnya akan mempengaruhi kesuksesan terapi pasien. Untuk PT Ferron Par Pharmaceuticals telah memasarkan sedian Metformin lepas lambat yaitu GLUMIN XR (GLUMIN Extended Release) yang hanya membutuhkan dosis sekali sehari, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien, memperbaiki kontrol gula darah dan memperbaiki hasil terapi.
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
Grafik 3. Profile perubahan HbA1c dengan penggunaan Metformin-XR dan Metformin biasa4 Tabel di atas menunjukkan bahwa GLUMIN-XR dapat memperbaiki HbA1c yang merupakan parameter utama gkulosa darah Selain itu penggunaan Metformin XR juga mampu menekan terjadinya efek samping penggunaan Metformin, sehingga akan memperbaiki profil keamanan dari Metformin.
Grafik 4. Kejadian efek samping pada saluran pencernaan dengan penggunaan Metfotmin XR atau Metformin biasa5
glukosa hepatik, meningkatkan sensitivitas terhadap insulin, menurunkan kadar LDL dan trigliserida, meningkatkan kadar HDL , menurunkan agregasi platelet dan meningkatkan aktivitas fibrinolitik. Selain itu Metformin dapat memperbaiki berat badan dan tidak memiliki risiko hipoglikemia. INDIKASI Glumin XR diindikasikan terutama untuk: • Terapi pada pasien diabetes yang tidak tergantung insulin dan kelebihan berat badan dimana kadar glukosa tidak bisa dikontrol dengan diet saja. Dapat digunakan sebagai obat tunggal atau dapat diberikan sebagai obat kombinasi dengan sulfonilurea. • Terapi tambahan pada penderita diabetes dengan ketergantungan terhadap insulin yang simptomnya sulit dikontrol. DOSIS dan CARA PEMBERIAN • GLUMIN XR harus ditelan utuh dan tidak boleh digerus atau dikunyah. • Pada pasien dewasa, dosis awal GLUMIN XR adalah 500 mg sekali sehari bersamaan dengan makan malam. Dosis maksimal sehari yang diperbolehkan untuk dewasa adalah 2.000 mg. • Dosis ditingkatkan dengan peningkatan 500 mg tiap minggunya hingga maksimum mencapai 2.000 mg sekali sehari bersamaan dengan makan malam. • Belum ada data keamanan dan keefektifan penggunaan GLUMIN XR pada pasien anak-anak. Untuk itu, GLUMIN® XR tidak direkomendasikan untuk digunakan <17 tahun EFEK SAMPING • GLUMIN XR umumnya dapat ditoleransi dengan baik. • Gangguan gastrointestinal minimal dan sementara, dapat dihindari dengan pemberian bersama makanan atau sementara mengurangi dosis. • Bila tampak gejala-gejala intoleransi, penggunaan GLUMIN XR tidak perlu langsung dihentikan, biasanya efek samping tersebut akan hilang pada penggunaan selanjutnya. • Anoreksia, mual, muntah, diare. • Berkurangnya absorpsi vitamin B 12 meningkatkan keberhasilan pengobatan
Daftar Pustaka: 1.
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa GLUMIN XR terbukti dapat menurunkan kejadian efek samping pada saluran pencernaan sebesar 53%, dan secara khusus lagi dapat menurunkan kejadian diare sebesar 77%.5 KOMPOSISI Tiap kaplet salut selaput lepas lambat GLUMIN XR mengandung Metformin HCl 500 mg. MEKANISME KERJA Mekanisme kerja GLUMIN XR yang tepat belum diketahui secara jelas. Metformin terbukti dapat menurunkan produksi
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
2. 3.
4.
5.
6. 7.
NCEP. Detection, evaluation and treatment of high blood cholesterol ini adults (Adult Treatment Panel III). 2003.p.50 Detection, IDF. Global guideline for type 2 diabetes. 2005.p.35 Guillausseau PJ. Influence of oral antidiabetic drugs compliance on metabolic control in type 2 diabetes. A survey in general practice. Diabetes & Metabolism 2003;25:79-81 Fujioka Ken, et al. Glycemic control in patients with type 2 diabetes mellitus switched from twice-daily immediate-release metformin to a once-daily extended-release formulation. Clin. Ther. 2003; 25:51529 Blonde Lawrence, et al. Gastrointestinal tolerability of extendedrelease metformin tablets compared to immediate-release metformin tablets: results of a retrospective cohort study. Curr Med Res Opin 2004; 20:565-72 Wild Sarah. Global Prevalence on Diabetes. Diabetes Care 2004; 27:1047-53 Package Insert. Glumin XR
9
ARTIKEL UTAMA
Perkembangan Terkini Metformin Sebagai Obat Anti Diabetik Oral Em Yunir Divisi Metabolik-Endokrin, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia UPF Penyakit Dalam, RS Marzoeki Mahdi, Bogor
Pendahuluan
Peran Metformin sebagai Obat AntiDiabetik
Diabetes melitus tipe 2 merupakan salah satu jenis penyakit diabetes yang paling banyak penderitanya. Dari laporan penelitian di berbagai negara di seluruh dunia, prevalensi penyakit ini semakin tinggi saja.1 Kemajuan ilmu kedokteran telah menemukan berbagai macam obat yang dapat digunakan untuk mengendalikan diabetes, sehingga dampak penyakit ini yang pada awalnya sering menyebabkan kematian akibat komplikasi akut, kini bergeser ke arah 2 komplikasi kronis yang menyerang berbagai organ vital. Komplikasi kronis sangat ditentukan oleh baik tidaknya pengontrolan kadar gula darah dan beberapa parameter lain 3 seperti tekanan darah, berat badan dan kadar kolesterol. Sehingga dalam hal ini, obat sangat memegang peranan penting dalam pengendalian diabetes. Pengendalian kadar gula darah pada diabetes pada mulanya menggunakan cara yang konservatif. Pengobatan lini pertama untuk penderita diabetes yang baru terdiagnosa adalah terapi nonfarmakologi, yaitu mengatur pola makan dan melakukan aktivitas fisik. Penggunakan antidiabetik baru diperkenankan setelah terapi nonfarmakologi selama 4–8 minggu ini dianggap gagal mengendalikan kadar gula darah. 3 Namun sejak tahun 2007 American Diabetes Association (ADA) dan European Association for the Study of Diabetes (EASD), telah mempublikasikan satu konsensus baru untuk segera mulai menggunakan metformin, bersamaan dengan pengaturan nutrisi dan aktivitas fisik, pada saat pertama 4 terdiagnosis diabetes. Konsensus yang sama telah dikeluarkan oleh Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia 4 (PB Perkeni) dan draf konsensus dari International Diabetes 7 Federation Western Pasific Region.
Berbagai laporan penelitian yang telah dipublikasikan memperlihatkan besarnya manfaat pemberian metformin dalam 2,5,6 mengontrol diabetes. Penelitian oleh Belcher tentang penggunaan metformin sebagai obat tunggal maupun kombinasi menunjukan hasil yang cukup memadai dalam pengendalian gula darah pada 3.713 pasien diabetes selama 52 minggu. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada ketiga jenis antidiabetik oral yang digunakan dalam menurunan kadar A1c dan komplikasi 5,18 kronis mikrovaskular dan makrovaskular. Penelitian penggunaan metformin jangka panjang oleh UKPDS, yang dilakukan di Inggris menunjukkan penurunan kadar A1c yang 2 cukup bermakna, setara dengan antidiabetik oral golongan lain. Efek samping seperti mual, kembung dan diare menjadi salah satu kendala yang sering dijumpai pada penggunaan metformin. Metformin umumnya digunakan untuk pasien diabetes yang mempunyai berat badan lebih atau obesitas.2 Keunggulan penggunaan metformin untuk pasien dengan berat badan normal 6 telah dilaporkan oleh Ong dkk, dari Sydney Australia. Penelitian observasional-retrospektif pada 1.072 pasien diabetes yang mendapat terapi tunggal metformin menunjukkan bahwa penggunaan metformin untuk pasien diabetes dengan berat badan normal atau berat badan lebih, memberikan hasil yang sama baiknya dibandingkan dengan pasien obesitas. Penggunaan metformin sebagai terapi tunggal pada pasien nonobesitas ini ternyata dapat mengendalikan diabetes lebih lama tanpa terjadi penurunan berat badan yang bermakna.
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
Mekanisme Kerja Mekanisme kerja metformin sebagai obat anti diabetik oral belum sepenuhnya diketahui. Banyak tahapan reaksi
11
Penggunaan metformin sebagai terapi tunggal pada pasien non obes ini ternyata dapat mengendalikan diabetes lebih lama dan tidak terjadi penurunan berat badan yang bermakna. biokimiawi yang terjadi pada proses metabolisme glukosa, baik pada sel hati, otot, atau jaringan lemak. Setiap tahapan metabolisme ini dapat mempengaruhi terjadinya hiperglikemia, sehingga setiap tahap ini dapat dilakukan intervensi untuk menurunkan proses terjadinya hiperglikemia. Penyebab hiperglikemia pada diabetes antara lain karena peningkatan gluconeogenesis dan glicogenolisis di dalam hati dan penurunan ambilan glukosa di jaringan otot atau lemak. Metformin dapat menurunkan gluconeogenesis dan glicogenolisis di dalam hati.9 Peran metformin pada tingkat seluler di dalam sel hati dalam menurunkan glukosa darah dapat dijelaskan berdasarkan hasil penelitian Zhou dkk. pada tahun 2001. Zhou dkk. telah menemukan peran enzim adenosin-monophosphateactivated-protein kinase (AMPK) pada metabolisme karbohidrat dan lemak di dalam sel hati.10 Pada keadaan normal enzim AMPK akan diaktifkan oleh adenosin monofosfat (AMP) yang terbentuk dari proses pemecahan adenosin trifosfat (ATP) menjadi adenosin monofosfat (AMP) pada siklus pembentukan energi di dalam mitokondria. Aktivasi AMPK oleh metformin akan menghambat enzim asetil-koenzime A carboxylase, yang berfungsi pada proses metabolisme lemak. Proses ini akan menyebabkan peningkatan oksidasi asam lemak dan menekan ekspresi enzim-enzim yang berperan pada lipogenesis. Selain itu enzim AMPK di hati akan menurunkan expresi sterol regulatory element-binding protein 1 (SREBP-1), suatu transcription factor yang berperan pada patogenesis resistensi insulin, dislipidemia, dan steatosis hati (perlemakan). Jadi enzim AMPK ini mempunyai peran yang dominan pada proses metabolisme glukosa dan lemak di dalam hati, dan mungkin berperan pula pada beberapa mekanisme yang menunjukan keuntungan dari metformin, seperti peningkatan ekspresi dari
12
hexokinase di dalam otot dan peningkatan glucose transporter (GLUT) dalam sel. Metformin Phosphorylation/activation of AMPK muscle glucose transport
SREBP-1 expression SREBP-1 activity ACC activity Hepatic gene expression: FAS, L-PK, S14 Hepatic FA, VLDL synthesis ( hepatic FA oxidation)
Hepatic gluocose production
hepatic steatosis liver insulin sensitivity plasma glucose plasma triglycerides
Gambar 1. AMPK: adenosine monophosphat activated protein kinase, PK: protein kinase, ACC: acethyl coenzyme-A carboxylase, SREB-1: sterol regulatory element-binding protein-1, FA: free fatty acid Pada jaringan otot metformin akan menyebabkan translokasi glucose transporter-1 (GLUT 1) dari dalam sel ke membran plasma, sehingga dapat meningkatkan ambilan glukosa masuk ke dalam sel otot.11 Beberapa mekanisme lain dari metformin dalam 15,18 menurunkan glukosa darah antara lain: 1. Meningkatkan translokasi dan aksi dari glucose transporter (GLUT ) dan aktivasi AMP activated protein-kinase. 2. Menurunkan ekspresi mRNA pada gen yang terlibat pada oksidasi asam lemak gen gluconeogenesis. 3. Menghambat aktivitas rantai pernapasan di mitokondria 4. Menurunkan resistensi insulin dengan cara menurunkan respon resistensi insulin 5. Meningkatkan fisiologi membran sel 6. Menurunkan free fatty acid flux.
Penggunaan klinis metformin Dari penelitian besar UKPDS, metformin dapat menurunkan konsentrasi A1c sebesar 1%-1,5%, setara dengan antidiabetik oral golongan sulfonilurea.2 Selain dapat menurunkan glukosa darah, terdapat beberapa efek lain seperti penurunan berat badan, perbaikan kadar kolesterol, perbaikan kelainan hemostasis dalam darah, dan C-reactive protein, suatu pertanda 14 adanya inflamasi. Metformin dapat menurunkan risiko kematian sampai 36%, dan menurunkan risiko kejadian infark miokardia sebesar 39% dibandingkan dengan terapi 2 konvensional. Hanya golongan metformin, antidiabetik oral satu-satunya yang mempunyai efek protektif langsung pada jantung.
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
Gagal jantung merupakan salah satu kontraindikasi penggunaan metformin pada penderita diabetes karena 8,13 dikhawatirkan terjadinya komplikasi laktat asidosis. Walaupun frekuensi kejadian ini sangat jarang dilaporkan. Namun penelitian yang dilakukan oleh Eurich dkk. memperlihatkan keunggulan penggunaan metformin pada pasien diabetes tipe 2 yang disertai gagal jantung, tanpa disertai adanya komplikasi asidosis laktat.12 Hasil penelitian Eurich ini memperlihatkan penggunaan metformin dapat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas secara bermakna jika dibandingkan dengan antidiabetik golongan sulfonilurea pada pasien diabetes tipe 2 yang disertai dengan gagal jantung. Beberapa keunggulan metformin:7,21 1. Menurunkan resistensi insulin 2. Menurunkan kadar glukosa darah 3. Menekan glukoneogenesis 4. Memperbaiki fungsi diastolik jantung 5. Perbaikan profil lipid 6. Menurunkan stres oksidatif 7. Memperbaiki relaksasi pembuluh darah 8. Perbaikan status hemostasis darah yang cenderung ke kondisi pro-trombosis 9. Menurunkan proses inflamasi pada endotel pembuluh darah 10. Menurunkan pembentukan advance glycation end-products (AGE)
Penggunaan Metformin Extended Release Beberapa keluhan gejala gastrointestinal yang sering dilaporkan sebagai efek samping metformin dalam pengobatan diabetes antara lain: diare, nausea, dispepsia, abdominal pain,
Penelitian retrospektif yang telah dilakukan oleh Blonde terhadap 471 pasien diabetes tipe 2 selama 2 tahun, menunjukan penggantian metformin konvensional dengan metformin (XR) pada pasien yang sama dapat menurunkan kadar A1c yang tidak berbeda namun dengan efek samping yang lebih rendah. 16,17
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
konstipasi, muntah, kembung, perubahan pola konsistensi feses, dan darah pada feses.15,16 Keluhan yang ditimbulkan 15 oleh metformin sangat berkorelasi dengan besarnya dosis. Keluhan dapat timbul pada saat mulai pertama kali penggunaan atau setelah lama penggunaan.18,19 Keluhan pada saluran pencernaan yang terjadi akibat efek samping obat merupakan salah satu kendala penggunaan metformin. Namun, efek samping pada saluran gastrointestinal ini, akan membaik setelah metformin dihentikan. Penggunaan cara konvensional yang mengharuskan pemberian metformin 2 sampai 3 kali dalam sehari sering menjadi kendala bagi pasien diabetes, yang seringkali juga harus minum beberapa jenis obat lain.18 Untuk meningkatkan kepatuhan dan mengurangi efek samping yang sering terjadi, telah di kembangkan pembuatan metformin extended-release (XR), di mana metformin di buat dengan sistem Gel Shield Diffusion System, sehingga metformin dapat diminum hanya satu kali saja dalam sehari. Dengan menggunakan teknik, ini metformin yang terbungkus oleh matrix polimer akan dilepaskan secara perlahan-lahan saat bereaksi dengan cairan di dalam lambung. Jika diminum sesudah makan malam, akan bekerja sesuai dengan fisiologi normal memperlambat pengosongan lambung pada malam hari. Penggunaan metformin-XR ini dapat mengurangi keluhan pada saluran pencernaan. Penelitian retrospektif yang telah dilakukan oleh Blonde terhadap 471 pasien diabetes tipe 2 selama 2 tahun, menunjukkan penggantian metformin konvensional dengan metformin (XR) pada pasien yang sama dapat menurunkan kadar A1c yang tidak berbeda namun dengan efek samping yang lebih rendah. 16,17 Namun, jika digunakan pada pasien diabetes yang baru tidak terdapat perbedaan efek samping antara metformin konvensional dengan metformin-XR.16 Penelitian lain yang dilakukan oleh Schwartz dkk. juga memperlihatkan hasil yang tidak jauh berbeda.17 Penggunaan metformin-XR satu atau dua kali sehari dengan dosis 1.500 mg dalam waktu 24 minggu, menghasilkan kontrol glikemik yang tidak berbeda bermakna dengan metformin konvensional, di mana A1c turun dari 8,22±0,25 menjadi 7,62±0,12 dan 8,70±0,25 menjadi 7,65±0,12, namun dengan efek samping nausea yang lebih minimal. Efek maksimal penurunan A1c didapat pada penggunaan metformin extended release sebesar 2.000 mg sehari. Penelitian tersamar ganda yang dilakukan oleh Fujioka juga memperlihatkan hasil yang tidak jauh berbeda. 20 Pada penelitian yang menggunakan metformin-XR, 1x500 mg, 1x1.000 mg, 1x1.500 mg, 1x2.000 mg dan 2x1.000 mg selama 24 minggu ini, ternyata dapat menurunkan kadar A1c sebesar 0,6%, 0,7%, 1,0%, 1,0% dan 1,2% dalam jangka waktu 12 minggu. Dosis optimal dapat dicapai pada penggunaan 1.500 mg. Pada penelitian ini juga terlihat efek samping yang terjadi pada saluran pencernaan tidak berkaitan dengan besarnya dosis. Pada penggunaan 24 minggu tidak dijumpai efek samping hipoglikemia maupun laktat asidosis.
13
Penggunaan metformin-XR yang dapat diminum satu kali sehari sebanding dengan metformin konvensional dalam mengendalikan diabetes, dengan efek samping yang lebih minimal, dapat meningkatkan kepatuhan dan mengurangi efek samping yang sering ditimbulkan oleh metformin. Strategi Penggunaan Metformin 4,18 1. Penggunaan metformin dimulai dengan dosis kecil (500 mg perhari) yang diberikan satu atau dua kali sehari pada saat makan pagi atau malam 2. Setelah 5-7 hari, jika tidak ada efek samping pada gastrointestinal, dosis dapat ditingkatkan sampai 850 atau 1.000 mg sebelum makan pagi atau makan malam. 3. Jika timbul efek samping obat pada saluran pencernaan, dosis obat dapat diturunkan pada dosis sebelumnya. 4. Dosis efektif maksimal biasanya 850 mg, 2 kali sehari, akan lebih baik lagi kalau dinaikan dosisnya sampai 3.000 mg sehari. 5. Untuk mengurangi beban pembiayaan, gunakan obat generik pada saat pertama kali. 6. Formulasi metformin dengan masa kerja panjang saat ini sudah banyak beredar di pasaran.
Penutup Prevalensi penderita diabetes yang cenderung makin meningkat akan meningkatkan pula risiko terjadinya komplikasi kronis. Penggunaan obat anti diabetik oral segera mungkin dapat menghambat terjadinya komplikasi kronis. Metformin dapat diberikan pertama kali pada penderita diabetes tipe 2 yang baru terdiagnosis, baik obesitas, berat badan lebih, berat badan normal ataupun berat badan kurang. Metformin dapat menurunkan berbagai mekanisme komplikasi kardiovaskular. Efek samping pada saluran gastrointestinal akibat metformin dan multifarmasi merupakan salah satu kendala yang sering mengganggu kepatuhan pasien dalam pengobatan. Penggunaan metformin-XR yang dapat diminum satu kali sehari sebanding dengan metformin konvensional dalam mengendalikan diabetes, dengan efek
14
samping yang lebih minimal, dapat meningkatkan kepatuhan dan mengurangi efek samping yang sering ditimbulkan oleh metformin.
Daftar Pustaka 1. Diabetes Atlas. International Diabetes Federation; 2007 2. Effect of intensive blood glucose control with metformin on complication in overweight patients with type 2 diabetes ( UKPDS 34). UK Prospective Diabetes Study Group. Lancet 1998;352:854-865. 3. Konsensus penatalaksanaan diabetes tipe 2. Pengurus Besar PERKENI; 2007 4. Nathan DM, Buse JB, Davidson MB, et al. Management of hyperglycemia in type 2 diabetes: a consensus algorithm for the initiation and adjustment of therapy, consensus statement from American Diabetes Association and European Association for the Study of Diabetes. Diabetologia 2005; 49:1711-21 5. Belcher G, Lambert C, Edward G et al. Safety and tolerability of pioglitazone, metformin, and gliclazide in treatment of type 2 diabetes. Diabetes and Clinical Research and Clinical Practice 2005; 70:53-62 6. Ong CR, Molyneaux LM, Constantino MI et al. Long-term efficacy of metformin therapy in non-obese individuals with type 2 diabetes. Diabetes care 2006;29(11):2361-2364. 7. Chan JCN, Deerochanawong C, Shera AS, et al. Role of metformin in the initiation of pharmacotherapy for type 2 diabetes: an asianpasific perspective. Diabetes Research and Clinical Practice 2006 8. Hulisz DT, Bonfiglio MF, Murray RD. Metformin-associated lactic acidosis. J American Board Family Practice 1998; 11(3):233-6 9. Hundal RS,Krssak M, Dufour S, et al. Mechanism by which metformin reduces glucose production in type 2 diabetes. Diabetes 2000; 49:2063-9 10. Zhou G, Myer R, Li Y, et al. Role of AMP-activated protein kinese in mechanism of metformin action. J Clin Invest 2001; 108(8):1167-74 11. Hundal HS, Ramlal T, Reyes R, et al. Cellular mechanism of metformin action involve glucose transporter translocation from intracellular pool to plasma membrane in L6 muscle cell. Endocrinology 1992; 131:1165-75 12. Eurich DT, Majumdar SR, McAlister FA, et al. Improve clinical outcomes associated with metformin in patients with diabetes and heart failure. Diabetes Care 2005; 28(10):2345-51 13. Schneider S. Metformin in patients with cardiovascular disease? Medscape Diabetes and Endocrinology. Available at: http:// www.medscape.com/viewarticle/412387 14. Cheng AYY, Fantus IG. Oral antihyperglicemia for type 2 diabetes. Canadian Medical Association 2005; 172(2):213-25 15. Gunton JE, Delhanty PCD, Takahashi SI, et al. Metformin rapidly increases insulin receptor activation in human liver and signals preferentially through insulin-receptor substrat-2. J Clin Endocrinol Metab 2003; 88:1323-32 16. Blonde L, Dailey GE, Jabbour SA, et al. Gastrointestinal tolerability of extended-release metformin tablets compared to immediate release metformin tablets: results of retrospective cohort study. Current Medical Research and Opinions 2004; 20(4):565-72 17. Schwartz S, Fonseca V, Berner B, et al. Efficacy, tolerability, and safety, of a novel once-daily, extended-release metformin in with tipe 2 diabetes. Diabetes Care 2006; 29(4):759-64 18. Kleppser WB, Kelly MW. Metformin hydrochloride: an antihyperglycemic agent. American J Health Syst Pharm 1997; 54:893-903 19. Foss MT, Clement KD. Metformin as a cause of late-onset chronic diarrhea. Pharmacotherapy 2001; 21(11):1422-4 20. Fujioka K, Brazg, Raz I, et al. Efficacy dose-response relationship and safety of ones daily extended release metformin in type 2 diabetic patients with adequate glycemic control despite prior treatment with diet and exercise: result from two double-blind, placebo-controlled stidies. Diabetes, Obesity and Metabolism 2005; 7:28-39 21. Kirpichinhnicov D, Mc Farlane SI, Sower JR. Metformin: an update. Annal Internal Medicine 2002; 137:25-33
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
SARI PUSTAKA
Gangguan Kognitif Pada Diabetes Melitus Rizaldy Pinzon SMF Saraf RS Bethesda Yogyakarta
Abstract. Patients with diabetes have an increased risk of developing cognitive impairment in comparison with the general population. This review suggests that cognitive dysfunction comprises impairments of executive functions, memory, attention, and psychomotor efficiency. The question of whether recurrent exposure to severe hypoglycaemia promotes long-term cognitive dysfunction is unresolved. The main risk factors for cognitive impairment in diabetes are considered to be chronological age, duration of diabetes, and coexistent microvascular and macrovascular complications. The P300 is objective measurement for cognitive ability, especially the process of attention. This review showed that the previous studies are very limited. Diabetes should be treated as a risk factor for cognitive impairment. We should be aware of cognitive impairment as one of complications in diabetic patients. Key words: diabetes, memory impairment, cognitive, P300
Pendahuluan
Pembahasan
Diabetes melitus merupakan gangguan endokrinologi yang memacu timbulnya aterosklerosis, dan berperan pada munculnya penyakit serebrovaskular. Efek hiperglikemia dan hipoglikemia akut pada sistem saraf dapat menyebabkan timbulnya gangguan kesadaran, gangguan kognitif, dan defisit neurologik. Proses aterosklerotik yang kronik dapat menimbulkan iskemia serebral yang berperan pada munculnya defisit neurologik yang permanen 1 dan gangguan kognitif. Gelombang P300 merupakan potensial aksi (event related potential) yang dipergunakan sebagai salah satu alat ukur obyektif fungsi kognitif. Gangguan dalam amplitudo maupun latensi P300 dilaporkan pada berbagai penyakit neurologi dan psikiatri, seperti demensia, sklerosis multipel, epilepsi, penyakit degeneratif sistem saraf pusat, skizofrenia dan depresi, berbagai bentuk encephalopati infeksi dan 2,3 metabolik, penyakit ginjal kronik, dan intoksikasi alkohol. Beberapa penelitian terdahulu menilai fungsi status mental pada penderita diabetes melitus dengan hasil yang bervariasi. Beberapa penelitian menunjukkan adanya gangguan fungsi kognitif pada penderita diabetes melitus, namun penelitian lain menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Beberapa penelitian terdahulu menggunakan pemeriksaan P300 pada penderita diabetes melitus dengan hasil yang bervariasi dan masih terbatas. Pertanyaan kritis yang muncul adalah “seberapa sering gangguan kognitif pada penderita DM?”, “apakah P300 dapat digunakan sebagai pengukuran yang obyektif untuk gangguan kognitif pada DM?”, “apakah skrining kognitif diperlukan sebagai bagian untuk menilai komplikasi DM?”. Kajian ini melakukan pelacakan dan telaah pustaka tentang gangguan kognitif pada DM.
Gangguan kognitif pada DM Beberapa penelitian terdahulu menilai fungsi status mental pada penderita diabetes melitus dengan hasil yang bervariasi. Beberapa penelitian menunjukkan adanya gangguan fungsi kognitif pada penderita diabetes melitus, namun penelitian lain menunjukkan hasil yang tidak signifikan.
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
Tabel 1. Hasil penelitian terdahulu tentang gangguan kognitif pada DM Peneliti Vanhanen, dkk(4)
Tahun 1999
Mavioglu, dkk(2)
1999
Sinclair, dkk(5)
2000
Gregg, dkk(6)
2000
Bruce, dkk(7)
2001
Mogi, dkk(8)
2004
Clemons, dkk(9)
2006
Shorr, dkk
(10)
Munshi, dkk(11)
2006 2006
Subjek 183 pasien DM dan 732 pasien non DM 25 pasien DM, dan 20 kontrol
Hasil Tidak ada bukti gangguan kognitif yang lebih tinggi pada pasien DM Tidak ada beda skor total kognitif antara kelompok DM dan kelompok kontrol
396 pasien DM dan 393 kontrol 9.679 pasien DM lansia wanita 63 pasien DM lansia
Disfungsi kognitif lebih tinggi pada pasien DM Diabetes berhubungan dengan gangguan kognitif pada usia lanjut Proporsi gangguan kognitif cukup tinggi pada DM. Hipertensi adalah perancu utama 69 pasien DM lansia, dan Fungsi kognitif pada DM terutama pada 27 kontrol yang medapat terapi insulin adalah lebih buruk 2.946 pasien DM lansia Gangguan kognitif berhubungan dengan degenerasi makula akibat DM 378 pasien DM lansia Hasil tidak mendukung hubungan kontrol glikemik dan fungsi kognitif Gangguan kognisi umum dijumpai pada 16 pasien DM lansia pasien DM lansia
Diabetes melitus merupakan gangguan endokrinologi yang memacu timbulnya aterosklerosis, dan berperan pada munculnya penyakit serebrovaskular. Proses aterosklerotik yang kronik dapat menimbulkan iskemia serebral yang berperan pada munculnya defisit neurologik yang permanen dan gangguan kognitif. Tabel kajian sistematis tersebut di atas menunjukkan bahwa penelitian terdahulu lebih mendukung adanya gangguan kognitif yang lebih besar pada penderita DM.
15
P300 pada Diabetes Melitus Gelombang P300 merupakan potensial aksi (event related potential) yang dipergunakan sebagai salah satu alat ukur obyektif fungsi kognitif. Gangguan dalam amplitudo maupun latensi P300 dilaporkan pada berbagai penyakit neurologi dan psikiatri. Tabel berikut menunjukkan kajian sistematis penelitian P300 pada penderita diabetes melitus. Tabel 2. Kajian peran P300 untuk menilai fungsi atensi dan memori pada DM Peneliti Kurita, dkk(12) Mochizuki, dkk(13) Tandon, dkk
Tahun Subyek 1996 60 pasien DM 1998
(14)
1999
Hasil Latensi P300 pada pasien DM dengan retinopati dan HbA1c relatif diperpanjang 24 pasien DM, dan Latensi P300 secara signifikan 16 kontrol lebih panjang pada kelompok DM 30 pasien DM dan Latensi P300 secara signifikan 30 kontrol lebih panjang pada DM, namun tidak ditentukan variabel metabolik 25 pasien DM dan Tidak ada beda latensi P300 20 kontrol antara kelompok DM dan kontrol
Mavioglu, dkk(2)
1999
Hissa, dkk(15)
2002
44 pasien DM dan 17 kontrol
Chen, dkk(16)
2003
Alverenga, dkk(3)
2005
30 pasien DM dan 30 kontrol 16 pasien DM dan17 kontrol
ERP 300 lebih ditentukan oleh usia dan bukan variabel metabolik DM ERP 300 lebih panjang secara signifikan pada kelompok DM Latensi P300 lebih panjang pada kelompok DM
Hasil pelacakan pustaka secara elektronik menunjukkan bahwa jumlah penelitian P300 pada kelompok pasien Diabetes Melitus masih terbatas. Hasil kajian sistematis di atas menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh masih bervariasi, jumlah subyek yang terbatas, dan pembanding yang tidak seimbang.
diperlukan. Suatu panduan berbasis bukti juga diperlukan untuk pengambilan keputusan klinis yang tepat.
Kesimpulan Hasil kajian menunjukkan bahwa secara patofisiologis Diabetes Melitus dapat berperan untuk munculnya gangguan kognitif. Berbagai hasil penelitian observasional masih cukup bervariasi, namun cenderung mendukung fakta adanya proporsi gangguan kognitif yang lebih tinggi pada pasien Diabetes Melitus. Dokter yang menangani pasien Diabetes Melitus seharusnya lebih mewaspadai kemungkinan munculnya gangguan kognitif.
Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5.
6.
7.
8. 9.
10.
Skrining kognitif pada Diabetes Melitus Kajian di atas memperlihatkan bahwa proporsi gangguan kognitif relatif lebih tinggi pada penderita diabetes mellitus. Pertanyaan yang menarik adalah “apakah skrining gangguan kognitif harus dilakukan pada penderita Diabetes Melitus? dan “apakah gangguan kognitif harus dipandang sebagai salah satu komplikasi Diabetes Melitus?”. Berbagai tes skrining gangguan kognitif telah dikembangkan untuk dapat digunakan dalam pelayanan 17-19 primer. Berbagai tes tersebut cukup sederhana, dan dapat digunakan secara cepat. Hasil penelitian terdahulu memperlihatkan bahwa tes menggambar jam, tes mini status mental, dan tes skrining kognitif singkat, serta tes pendek memori dan orientasi memiliki reliabilitas dan validitas yang memadai untuk digunakan dalam praktek klinik.20-22 Tes-tes tersebut cukup singkat dan memiliki feasibilitas yang 21-23 tinggi bila digunakan dalam proses pelayanan klinik. Gangguan kognitif harus diwaspadai sebagai bagian dari salah satu komplikasi Diabetes Melitus. Dokter yang merawat pasien Diabetes Melitus perlu mewaspadai hal ini. Kewaspadaan yang memadai akan membantu dalam proses deteksi dini dan tatalaksana yang lebih adekuat. Penelitian dan kajian dengan jumlah sampel yang besar masih
16
11. 12. 13.
14.
15.
16. 17. 18. 19. 20. 21.
22. 23.
24.
Ryan CM, Gackle M. Why is learning and memory dysfunction in type 2 diabetes limited to older adults ?. Diabetes Metab Res Rev 2000; 16(5):308-15 Mavioglu H, Ozmen B. Cognitive functions and P300 in type II diabetic patients. Norol Bil D 1999; 16:2 Alvarenga Kde L, Duarte JP, Silva DP. Cognitive P300 potential in subjects with diabetes mellitus. Rev Bras Otorhinolaringol 2005; 71(2): 202-7 Vanhanen M, Kuusisto J, Koivisto K. Type-2 diabetes and cognitive function in a non-demented population. Acta Neurol Scand 1999; 100(2): 97-101 Sinclair AJ, Girling AJ, Bayer AJ. Cognitive dysfunction in older subjects with diabetes mellitus: impact on diabetes self-management and use of care services. All Wales Research into Elderly (AWARE) Study. Diabetes Res Clin Pract 2000; 50(3):203-12 Gregg EW, Yaffe K, Cauley JA. Is diabetes associated with cognitive impairment and cognitive decline among older women? Study of Osteoporotic Fractures Research Group. Arch Intern Med 2000; 160(2):174-80 Bruce DG, Harrington N, Davis WA. Dementia and its associations in type 2 diabetes mellitus: the Fremantle Diabetes Study. Diabet Res Clin Pract 2001; 53(3):165-72 Mogi N, Umegaki H, Hattori A. Cognitive function in Japanese elderly with type 2 diabetes mellitus. J Diabetes Complications 2004; 18(1):42-6 Clemons TE, Rankin MW, McBee WL. Cognitive impairment in the agerelated eye disease study: AREDS report no. 16. Arch Ophtahlmol 2006; 124(4):537-43 Shorr RI, de Rekeinere N, Resnick HE. Glycemia and cognitive function in older adults using glucose-lowering drugs. J Nutr Health Ageing 2006; 10(4):297-301 Munshi M, Grande L, Hayes M. Cognitive dysfunction is associated with poor diabetes control in older adults. Diabetes Care 2006; 29(8): 1794-9 Kurita A, KatayamaK, Mochio S. Neurophysiological evidence for altered higher brain functions in NIDDM. Diabetes Care 1996;19(4):360-4 Mochizuki Y, Osihi M. Improvement of P300 latency by treatment in noninsulin-dependent diabetes mellitus. Clin Electroencephalogr 1998; 29(4):194-6 Tandon OP, Verma A, Ram BK. Cognitive dysfunction in NIDDM: P3 event related evoked potential study. Indian J Physiol Pharmacol 1999; 43(3):383-8 Hissa MN, D’Almeida JM. Event related P300 potential in NIDDM patients without cognitive impairment and its relationship with previous hypoglycemic episodes. Neuro Endocrinol Lett 2002; 233(3):226-30 Chen X, Chen W, Chen XR. Event-related potentials P300 in type 2 diabetes mellitus. Di Yi Jun Yi Da Xue Xue Bao 2003; 23(3):257-9 Rai GS, Blackman I. Dementia diagnosis: usefulness of mini mental state examination and clock drawing test. Clin Gerontol 1998;19:68-70 Shulman KI. Clock-drawing: is it the ideal cognitive screening test? Int J Geriatr Psychiatry 2000;15:548-61 Solomon PR, Brush M, Calvo V, et al. Identifying dementia in the primary care practice. Int Psychogeriatrics 1998; 12:483–93 Katzman R, Brown T, Fuld P, et al. Validation of a short orientation-memory concentration test of cognitive impairment. Am J Psyhciatry 1983; 140:734-9 Meulen EFJ, Schmand B, van Cempen EJ. The seven minute screen: a neurocognitive screening test highly sensitive to various types of dementia. Journal of Neurology Neurosurgery and Psychiatry 2004; 75:700-5 Solomon PR, Hirschoff A, Kelly B, et al. A 7 minute neurocognitive screening battery highly sensitive to Alzheimer’s disease. Arch Neurol 1998; 55:349–55 Storey JE, Rowland TJ, Basic D, et al. Accuracy of the clock drawing test for detecting dementia in a multicultural sample of elderly Australian patients. Int Psychogeriatr 2002; 14:259-71 Watson YI, Arfken CL, Birge SJ. Clock completion: an objective screening test for dementia. J Am Geriatr Soc 1993; 41:1235-40
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
SARI PUSTAKA
Penegakkan Diagnosa Leptospirosis Khrisma Wijayanti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem dan Kebijakan Kesehatan Departemen Kesehatan Surabaya
Abstrak. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh leptospira yang ditularkan melalui hewan pengerat terutama oleh tikus. Penyakit ini sebenarnya sudah ada sejak abad 19 dan mulai muncul kembali sejak terjadinya banjir di Jakarta tahun 2002. Leptospirosis disebabkan oleh bakteri patogen Leptospira interrogans. Serovarian yang sering menginfeksi manusia diantaranya adalah L. .icterohaemorrhagiae, L. automnalis dan L. australis. Leptospira masuk ke dalam tubuh manusia melalui kulit yang luka; selaput lendir mulut, mata dan hidung; inhalasi droplet infeksius; minum air yang terkontaminasi. Gejala klinik pada stadium awal adalah demam menggigil, sakit kepala, malaise, muntah, konjungtivitis, rasa nyeri otot betis dan punggung. Pada stadium dua akan timbul gejala klinik yang merupakan komplikasi pada beberapa organ tubuh terutama pada hati dan ginjal. Untuk menegakkan diagnosa leptospirosis dilakukan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk konfirmasi diagnosa leptospirosis adalah pemeriksaan laboratorium umum (pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan fungsi ginjal dan hati) dan pemeriksaan laboratorium spesifik (pemeriksaan mikroskopik, biakan, inokulasi, MAT, ELISA). Diagnosa leptospirosis dibagi menjadi tiga yaitu suspek, probable dan definitif. Kata kunci: Leptospirosis, leptospira, diagnosa
PENDAHULUAN Leptospirosis merupakan penyakit demam akut dengan manifestasi klinis bervariasi, disebabkan oleh mikroorganisme leptospira. Leptospira adalah mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit dengan manifestasi gejala klinis yang sangat luas. Leptospirosis dapat menyerang manusia atau hewan dan digolongkan sebagai penyakit zoonosis, artinya menular dari hewan ke manusia, dan penularan ini sering terjadi secara kebetulan. Penyakit leptospirosis ini masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat terutama di negara tropis dan subtropis di negara berkembang. Hal ini akibat antara lain curah hujan tinggi, kesehatan lingkungan yang kurang baik, terutama terkait dengan masalah sampah. Kejadian leptospirosis di Indonesia cukup tinggi dan angka kematian karena penyakit ini cukup besar. Indonesia menempati peringkat ketiga di dunia. Data dari Pusat Pengendalian Krisis Departemen Kesehatan, pasien leptospirosis di seluruh Jakarta, Tangerang, Bogor, Depok, dan Bekasi mencapai 193 orang dengan 14 pasien meninggal selama 1 Februari 2007. Penyakit ini memang baru mulai banyak dibicarakan setelah banjir tahun 2002, di mana dari 103 pasien yang didiagnosa menderita leptospirosis, 21 di 2 antaranya (20%) meninggal dunia. Tingkat kematian leptospirosis yang tinggi disebabkan karena keterlambatan diagnosis dan keterlambatan pengobatan. Penemuan DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
penderita tidak optimal karena sering terjadi underdiagnosis atau misdiagnosis. Gejala klinis leptospirosis yang tidak spesifik dan sulitnya tes laboratorium untuk konfirmasi diagnosis mengakibatkan penyakit ini seringkali tidak terdiagnosis. Dan jika hanya melihat gejalanya saja, tak jarang penyakit ini diduga sebagai flu, malaria, atau demam berdarah. Hal ini akan berakibat pada keterlambatan penatalaksanaan penderita yang dapat memperburuk prognosis. Meskipun sebenarnya penyakit ini pada umumnya mempunyai prognosis yang baik. Banyaknya petugas kesehatan yang belum memahami tentang penyakit juga menyebabkan terjadinya misdiagnosis dan keterlambatan pengobatan yang akan berakibat fatal. Pada tulisan ini akan dibahas tentang penyebab leptospirosis, patogenesis, manifestasi klinis dan cara penegakan diagnosis penyakit leptospirosis yang akan menambah wawasan para petugas kesehatan mengenai penyakit ini.
Penyebab Penyakit leptospirosis disebabkan oleh bakteri patogen spesies Leptospira interrogans yang berbentuk spiral. Genus Leptospira terdiri dari 2 spesies yaitu L. interrogans yang merupakan bakteri patogen dan L. biflexa adalah saprofitik. Beberapa penelitian terakhir berdasarkan temuan DNA diidentifikasi 7 spesies patogen yang tampak pada lebih 250 varian serologi (serovars). Leptospira dapat menginfeksi 17
sekurangnya 160 spesies mamalia di antaranya adalah tikus, babi, anjing, kucing, rakun, lembu, dan mamalia lainnya. Hewan peliharaan yang paling berisiko mengidap bakteri ini adalah kambing dan sapi. Setiap hewan berisiko terjangkit bakteri leptospira yang berbeda-beda. Resevoar paling utama adalah binatang pengerat dan tikus, yang paling sering ditemukan di seluruh belahan dunia. Serovarian yang dapat menginfeksi manusia antara lain adalah L. icterohaemorrhagiae, L. javanica, L. celledoni, L. canicola, L. ballum, L. pyrogenes, L. cynopteri, L. automnalis, L. australis, L. pomona, L. grippothyposa, L. hebdomadis, L. bataviae, L. tarassovi, L. panama, L. andamana, L. shermani, L. ranarum, L. bufonis dan L. copenhageni. Beberapa serovar yang menyebabkan timbulnya gejala yang berat dan dapat berakibat fatal adalah L. icterohaemorrhagiae. Serovar yang menyebabkan timbulnya penyakit dengan gejala yang lebih ringan adalah L. autumnalis, L. bataviae, L. pyrogenes dan 3-5 sebagainya.
Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel-sel hati yang ringan, pelepasan bilirubin darah dari jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular, kolestasis intrahepatik sampai berkurangnya sekresi bilirubin. Hiperemi konjungtiva khususnya perikorneal, terjadi karena dilatasi pembuluh darah, kelainan ini sering dijumpai pada patognomonik pada stadium dini. Komplikasi lain berupa uveitis, iritis dan iridosiklitis yang sering disertai kekeruhan vitreus dan lentikular. Keberadaan kuman leptospira di aqueous humor kadang menimbulkan uveitis kronik berulang. Kuman leptospira difagosit oleh sel-sel sistem retikuloendotelial serta mekanisme pertahanan tubuh. Jumlah organisme semakin berkurang dengan meningkatnya kadar antibodi spesifik dalam daarah. Kuman leptospira akan dieleminasi dari semua organ kecuali mata, tubulus proksimal ginjal, dan mungkin otak dimana kuman leptospira dapat menetap selama beberapa minggu atau bulan.6,7
Manifestasi Klinis Patogenesis Mikroorganisme leptospira masuk melalui kulit yang luka, selaput lendir mulut, hidung dan mata. Mikroorganisme ini juga dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi. Kuman leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah setelah 1 atau 2 hari infeksi. Organisme virulen mengalami multiplikasi di darah dan jaringan. Kuman leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan serebrospinal pada hari ke-4 sampai 10 perjalanan penyakit. Leptospira akan menetap pada area yang secara imunologis terisolasi seperti di dalam ginjal, di mana sebagian mikroorganisme ini akan mencapai convoluted tubulus dan bermukim di sana lalu akan membentuk koloni-koloni pada dinding lumen dan seterusnya akan masuk ke dalam kemih. Kuman leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil sehingga menimbulkan vaskulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenitas kuman leptospira yang paling penting adalah perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas selluler. Lipopolysaccharide (LPS) pada kuman leptospira mempunyai aktivitas merangsang perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai trombositopenia. Kuman leptospira mempunyai fosfolipase yaitu hemolisin yang mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang mengandung fosfolipid. Beberapa strain serovar Pomona dan Copenhageni mengeluarkan protein sitotoksin. In vivo, toksin ini mengakibatkan perubahan histopatologik berupa infiltrasi makrofag dan sel polimorfonuklear. Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia.
18
Manifestasi klinis infeksi leptospirosis sangat bervariasi dan kadang asimtomatis, sehingga sering terjadi misdiagnosis. Hampir 15-40% penderita yang terpapar infeksi tidak mengalami gejala tetapi menunjukkan serologi positif. Masa inkubasinya 2 sampai 26 hari dengan rata-rata 10 hari. Sekitar 90% penderita dengan manifestasi ikterus ringan sekitar 5-10% dengan ikterus berat yang sering dikenal dengan penyakit Weil. Manifestasi klinis pada stadium awal atau pada fase septicemic adalah demam, menggigil, kedinginan, lemah dan nyeri terutama tulang rusuk, punggung dan perut, nyeri otot terutama otot betis. Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, sakit kepala regio frontal, fotofobia, gangguan mental, dan gejala lain dari meningitis. Mual, muntah dan diare dialami oleh 50% kasus. Batuk kering dialami oleh 25-35% kasus. Gejala-gejala pada stadium awal akan terjadi selama 4-7 hari.Pada hari ketiga atau hari keempat akan timbul gejala-gejala karakteristik yaitu konjungtivitis tanpa disertai eksudat serous/purulent kemerahan pada mata, rasa nyeri pada otot-otot. Pada kulit bisa dijumpai ruam yang berbentuk makular, makulopapular ataupun urtikaria yang distribusinya tersebar di badan. Pada fase ini organisme bakteri dapat diisolasi dari kultur darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh. Fase septicemic berakhir dengan menghilangnya seluruh gejala klinis di atas untuk sementara. Kemudian akan diikuti dengan timbulnya stadium dua atau fase imun. Pada fase ini muncul antibodi IgM yang dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari urin dan mungkin tidak bisa didapatkan lagi pada darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini terjadi karena akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi dan terjadi pada 0-30 hari atau lebih. Gangguan dapat timbul tergantung manifestasi pada organ tubuh yang timbul seperti gangguan pada selaput otak, hati, mata atau ginjal.
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
Setelah relatif asimtomatis selama 1-3 hari, gejala klinis pada fase septicemic yang sudah menghilang akan muncul lagi dan kadang-kadang disertai dengan meningismus. Gejala non spesifik seperti demam dan nyeri otot mungkin sedikit lebih ringan dibandingkan fase awal dan 3 hari sampai beberapa minggu terakhir. Beberapa penderita sekitar 77% mengalami nyeri kepala terus menerus yang tidak respon dengan pemberian analgesik. Gejala ini sering dikaitkan dengan gejala awal meningitis. Delirium juga didapatkan pada tanda awal meningitis. Pada fase yang lebih berat, didapatkan gangguan mental berkepanjangan termasuk depresi, kecemasan, psikosis dan demensia. Pada gangguan anikterik dapat dijumpai meningitis aseptik. Gangguan anikterik adalah sindrom manifestasi klinis yang paling penting didapatkan pada fase anikterik imun. Gejala meningeal terjadi pada 50% penderita. Palsi saraf kranial, ensefalitis, dan perubahan kesadaran jarang didapatkan. Meningitis bisa terjadi pada beberapa hari awal, tapi biasanya terjadi pada minggu pertama dan kedua. Kematian jarang terjadi pada kasus anikterik. Pada gangguan ikterik, leptospira dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul ikterik. Nyeri perut dengan diare dan konstipasi terjadi sekitar 30%, hepatosplenomegali, mual, muntah dan anoreksia. Uveitis terjadi pada 2-10% kasus, dapat terjadi pada awal atau akhir penyakit, bahkan dilaporkan dapat terjadi sangat lambat sekitar 1 tahun setelah gejala awal penyakit timbul. Iridosiklitis dan korioretinitis adalah komplikasi lambat yang akan menetap selama setahun. Gejala pertama akan timbul saat 3 minggu hingga 1 bulan setelah paparan. Perdarahan subkonjungtiva adalah komplikasi pada mata yang sering terjadi pada 92% penderita leptospirosis. Gejala renal seperti azotemia, pyuria, hematuria, proteinuria dan oliguria sering tampak pada 50% penderita. Kuman leptospira juga dapat timbul di ginjal. Manifestasi paru terjadi pada 20-70% penderita. Adenopati, rash, and nyeri otot juga dapat timbul. Sindroma klinis tidak khas pada berbagai serotipe, tetapi beberapa manifestasi sering tampak pada serotipe tertentu. Misalnya ikterus didapatkan pada 83% penderita dengan L. icterohaemorrhagiae infection dan 30% pada L. pomona. Rash eritematous pretibial sering didapatkan pada infeksi L. autumnalis. Gangguan gastrointestinal pada infeksi dengan L. grippotyphosa. Meningitis aseptik seringkali terjadi pada infeksi L. pomona atau L. canicola. Sindrom Weil adalah bentuk leptospirosis berat dengan ditandai ikterus, disfungsi ginjal, nekrosis hati, disfungsi paru, dan diatesis perdarahan. Kondisi ini terjadi pada akhir fase awal dan meningkat pada fase kedua, tetapi keadaan bisa memburuk setiap waktu. Manifestasi paru meliputi batuk, dispnea, nyeri dada, sputum darah, batuk darah, dan gagal napas. Vaskular dan disfungsi ginjal dikaitkan dengan timbulnya ikterus setelah 4-9 hari setelah gejala awal penyakit. Penderita dengan ikterus berat lebih mudah terjadi
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
gagal ginjal, perdarahan dan kolaps kardiovaskular. Hepatomegali didapatkan pada kuadran kanan atas. Oliguria atau anuria pada nekrosis tubular akut sering terjadi pada minggu kedua sehingga terjadi hipovolemi dan menurunnya perfusi ginjal. Sering juga didapatkan gagal multi-organ, rhabdomyolysis, sindrom gagal napas, hemolisis, splenomegali, gagal jantung kongestif, miocarditis, dan pericarditis. Sindrom Weil mengakibatkan 5-10%. Sebagian besar kasus berat sindrom dengan gangguan hepatorenal dan ikterus mengakibatkan mortalitas 20-40%. Angka mortalitas juga akan meningkat pada usia lanjut.8-10
Penegakan Diagnosis 6,11 Diagnosis leptospirosis ditegakkan berdasarkan 1) anamnesis, 2) pemeriksaan fisik dan 3) pemeriksaan laboratorium. Anamnesis berupa keluhan demam yang muncul mendadak, nyeri kepala terutama di daerah frontal, mata merah atau fotofobia, keluhan gastrointestinal dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam, bradikardi, mialgia, nyeri sendi serta conjungtival suffussion. Conjungtival suffusion dan mialgia merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan. Conjungtival fusion bermanifestasi bilateral di palpebra pada hari ke-3 selambatnya hari ke-7 terasa sakit dan sering disertai perdarahan konjungtiva unilateral ataupun bilateral yang disertai fotofobia dan injeksi faring, faring terlihat merah dan bercak-bercak. Mialgia dapat sangat hebat, pemijatan otot betis akan menimbulkan nyeri hebat dan hiperestesi kulit. Kelainan fisik lain yang ditemukan yaitu: hepatomegali, splenomegali, kaku kuduk, rangsang meningeal, hipotensi, ronki paru dan adanya diatesis hemoragi. Diatesis hemoragi timbul akibat proses vaskulitis difus di kapiler disertai hipoprotrombinemia dan trombositopenia, uji pembendungan dapat positif. Perdarahan sering ditemukan pada leptospirosis ikterik dan manifestasi dapat terlihat sebagai petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, dan ruam kulit. Ruam kulit dapat berwujud eritema, makula, makulopapula ataupun urtikaria generalisata maupun setempat pada badan, tulang kering atau tempat lain. Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan penyakit leptospirosis ada dua yaitu pemeriksaan laboratorium umum dan pemeriksaan laboratorium spesifik. Pemeriksaan laboratorium umum meliputi pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan fungsi ginjal dan pemeriksaan fungsi hati. Pada pemeriksaan darah rutin bisanya dijumpai leukositosis walaupun kadang-kadang leukosit bisa normal ataupun menurun. Pada pemeriksaan hitung jenis didapati netrofil yang tinggi, laju endap darah biasanya juga tinggi. Pada keadaan penyakit yang berat bisa didapati anemia. Pada pemeriksaan fungsi ginjal, di dalam urine selalu didapati albuminuria dan cast (torak). Pada keadaan berat terdapat pula bilirubinuria, yang dapat mencapai 1 g/hari dengan disertai piuria dan hematuria.
19
Gagal ginjal kemungkinan besar akan dialami semua pasien ikterik. Ureum darah dapat dipakai sebagai salah satu faktor prognostik, makin tinggi kadarnya makin jelek prognosa. Peningkatan ureum sampai di atas 400 mg/ dL. Proses perjalanan gagal ginjal berlangsung progresif dan selang 3 hari kemudian akan terjadi anuri total. Gangguan ginjal pada pasien penyakit Weil ditemukan proteinuria serta azotemia, dan dapat terjadi juga nekrosis tubulus akut. Oliguria: produksi urin kurang dari 600 mL/hari; terjadi akibat dehidrasi, hipotensi. Pada pemeriksaan fungsi hati biasanya normal jika pasien tidak ada gejala ikterik. Ikterik disebabkan karena bilirubin direk meningkat. Gangguan fungsi hati ditunjukkan dengan meningkatnya serum transaminase (Serum Glutamic Oxalloacetic Transaminase = SGOT dan Serum Glutamic Pyruvate Transaminase = SGPT). Peningkatannya tidak pasti, dapat tetap normal ataupun meningkat 2– 3 kali nilai normal. Berbeda dengan hepatitis virus yang selalu menunjukkan peningkatan bermakna SGPT dan SGOT. Kerusakan jaringan otot menyebabkan kreatinin fosfokinase juga meningkat. Peningkatan terjadi pada fase-fase awal perjalanan penyakit, rata-rata mencapai 5 kali nilai normal. Pada infeksi hepatitis virus tidak dijumpai peningkatan kadar enzim kreatinin fosfokinase. Pemeriksaan laboratorium spesifik diperlukan untuk memastikan diagnosa leptospirosis, terdiri dari: a) Pemeriksaan secara langsung atau pemeriksaan bakteriologi untuk mendeteksi keberadaan kuman leptospira atau antigennya. Pemeriksaan langsung meliputi pemeriksaan mikroskopik, pemeriksaan molekuler, biakan dan inokulasi hewan percobaan. Pemeriksaan langsung dapat mendeteksi kuman leptospira dalam darah, cairan peritoneal dan eksudat pleura dalam minggu pertama sakit, khususnya antara hari ke 3–7, dan di dalam urin pada minggu kedua, untuk diagnosis definitif leptospirosis. Urin adalah cairan tubuh yang paling baik untuk diperiksa karena kuman leptospira terdapat dalam urin sejak gejala awal penyakit dan akan menetap hingga minggu ketiga. Pemeriksaan molekuler adalah dengan reaksi polimerase berantai untuk deteksi DNA kuman leptospira spesifik. b) Pemeriksaan secara tidak langsung atau pemeriksaan serologis melalui pemeriksaan antibodi terhadap kuman leptospira (MAT, ELISA, tes penyaring). Baku emas pemeriksaan serologi adalah MAT, suatu pemeriksaan aglutinasi secara mikroskopik untuk mendeteksi titer antibodi aglutinasi, dan dapat mengidentifikasi jenis serovar. Pemeriksaan penyaring yang sering dilakukan di Indonesia adalah Lepto Tek Dri Dot dan Lepto Tek Lateral
20
Flow. Penegakan diagnosis leptospirosis dapat dibagi dalam tiga klasifikasi yaitu: 1. Suspek, bila ada gejala klinis tanpa dukungan laboratorium 2. Probable, bila ada gejala klinis sesuai leptospirosis dan hasil serologi penyaring yaitu dipstick, lateral flow atau dri dot positif 3. Definitif, bila hasil pemeriksaan laboratorium langsung positif atau gejala klinis sesuai dengan leptospirosis dan hasil test MAT/ELISA serial menunjukkan adanya serokonversi atau peningkatan titer 4 kali atau lebih.
Diagnosa Banding
8,12
1. Dengue Fever 2. Hantavirus Cardiopulmonary Syndrome 3. Hepatitis 4. Malaria 5. Meningitis 6. Mononucleosis, influenza 7. Enteric fever 8. Rickettsial disease 9. Encephalitis 10. Primary HIV infection
Daftar Pustaka 1. Ivan R. Banjir yang akibatkan leptospirosis. Available from: http:// www.Awahita Blog.htm;2007 2. Redaksi Ayahbunda.com. Leptospirosis, ancaman saat banjir. Available from: http://www.Ayahbunda-online_com.htm;2007 3. Heuter, Kerry J, Langston, et al. Leptospirosis: A re-emerging zoonotic disease. The Veterinary Clinics of North America 2003; 33:791-807 4. Speelman P, Fauci AS, Brainwald E, eds: Leptospirosis. In: Harrison’s Principles of Internal Medicine. 14th ed.; 1998.p.756 5. Tappero J, Ashford D, Perkins N. Leptospira species (Leptospirosis). In: Mandell, Douglas, and Bennett’s Principles and Practice of Infectious Diseases. Philadelphia, Pa:Churchill Livingstone; 2000.p.2495-500 6. World Health Organization. Human leptospirosis: guidance for diagnosis, surveillance and control; 2003 7. Faine S. Leptospirosis. WHO 1982 (WHO Offset Publ. 67) 8. Gasem, MH. Gambaran klinik dan diagnosis leptospirosis pada manusia. Dalam: Riyanto B, Gasem MH, Sofro M AU, Editor. Kumpulan Makalah Symposium Leptospirosis. Cetakan pertama. Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang; 2003.p.17 -31 9. Watt G. Leptospirosis, Hunter’s Tropical Medicine and Emerging Infectious Disease 8thed.; 2000.p.452-8 10. Scott G, Coleman TJ. Leptospirosis. In: Cook GC, Zumla AI, eds. Manson’s Tropical Disease 21st ed. London: Saunders; 2003.p.116573 11. Depkes R.I. 2003. Pedoman tatalaksanan kasus dan pemeriksaan laboratorium leptospirosis di rumah sakit. Ditjen PPM-PL Jakarta:RSPI DR SS;2003.p.54 12. Tappero J, Ashford D, Perkins B. Leptospirosis. In: Principles and Practice of Infectious Disease. 5th ed. New York:Churchill Livingstone; 1998
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
TINJAUAN PUSTAKA
Sudah Perlukah Dilakukan Skrining Skoliosis pada Anak Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama Charles A Simanjuntak Rumah Sakit Daerah Raden Mattaher Jambi
Abstrak. Skoliosis adalah kelainan berupa lengkungan tulang belakang ke samping kiri atau kanan yang abnormal. Kebanyakan jenis skoliosis yang ditemukan adalah jenis idiopatik (80% dari semua kasus skoliosis, artinya penyebab lengkungan tersebut tidak diketahui penyebabnya). Skoliosis idiopatik paling sering terjadi pada kelompok umur remaja, biasanya dimulai dari umur 10-14 tahun. Pada saat ini skoliosis dapat ditangani secara baik dengan menggunakan brance (penopang), stimulasi listrik, pembedahan atau kombinasi dari ketiga metode tersebut. Pada banyak kasus, bila ditemukan lebih dini dapat ditangani dengan baik tanpa mengakibatkan masalah yang permanen atau kelumpuhan. Skoliosis dapat diderita, baik laki-laki maupun perempuan.
Pendahuluan Tulang belakang mempunyai 3 lengkungan normal, yaitu pada leher, punggung dan pinggang. Lengkungan ini dilihat dari samping. Dari belakang, tulang belakang akan terlihat lurus. Bila tulang belakang melengkung ke samping, ini yang disebut sebagai skoliosis. Skoliosis didefinisikan sebagai lengkungan tulang belakang ke samping. Kebanyakan jenis skoliosis yang ditemukan adalah jenis idiopatik (80% dari semua kasus skoliosis, artinya penyebab lengkungan tersebut tidak diketahui penyebabnya. Hal ini bukan akibat postur tubuh yang jelek atau membawa beban atau tas buku yang berat. Pada banyak kasus, bila ditemukan lebih dini dapat ditangani dengan baik tanpa mengakibatkan masalah yang permanen atau kelumpuhan. Baik laki-laki maupun perempuan dapat menderita skoliosis. Skoliosis tidak dapat dipindahkan dari seseorang ke orang lain. Kelompok umur remaja merupakan kelompok yang paling sering menderita skoliosis idiopatik, biasanya dimulai pada usia 10–14 tahun. Walaupun baik pria maupun wanita dapat menderita skoliosis, namun pada wanita lebih progresif dan butuh penanganan serius. Sekitar 10% anak membutuhkan koreksi menggunakan penopang (brace) atau DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
operasi dan selebihnya 90% tidak membutuhkan penanganan karena tidak mempunyai dampak lanjutan dari lengkungan ini. Skoliosis idiopatik sangat jarang pada bayi (infantile scoliosis), dan pada anak usia 4 hingga 10 tahun (juvenile scoliosis). Skoliosis pada negara maju sering ditemukan pada saat skrining.
Permasalahan 1. Apa yang dimaksud dengan skoliosis itu? 2. Apakah perlu dilakukan skrining skoliosis? 3. Bila terdeteksi menderita skoliosis, bagaimana penatalaksanaannya?
Pembahasan Definisi dan Kelainan yang Terjadi pada Tulang Belakang Skoliosis adalah kelainan berupa lengkungan tulang belakang ke samping kiri atau kanan yang abnormal. Beberapa pakar menyebutkan bahwa lengkungan ke samping yang kurang dari 11 derajat masih dianggap normal. Yang menjadi masalah pada skoliosis, di samping postur tubuh yang kurang menyenangkan dari segi kosmetis adalah nyeri pinggang, problem sosial dan psikologis
21
sewaktu kanak-kanak (misalnya rasa rendah diri, terisolasi secara sosial) dan dewasa (misalnya kesempatan kerja yang terbatas) dan biaya pengobatan. Secara normal vertebra torakolumbal sedikit lurus bila dilihat dari belakang. Bila dilihat dari samping, terdapat lengkungan dua ganda. Lengkungan cembung ke depan yang disebut dengan lordosis terdapat pada leher dan lumbal (pinggang) sedangkan lengkungan cembung ke
Gambar 1. Anatomi normal tulang belakang
pada daerah lengkungan berputar ke daerah cekung. Pada daerah cekung, iga saling merapat sedangkan pada daerah cembung, iga tersebut saling menjauh. Bersamaan dengan perputaran vertebra ‘processus spinosus’ deviasi makin bertambah ke sisi cekung demikian juga dengan iga yang turut memutar. Iga bagian belakang pada sisi cembung, terdorong ke belakang, sehingga terjadilah tonjolan yang dikenal sebagai ‘hump’ pada daerah torakal. Sementara iga bagian depan pada sisi cekung terdorong ke depan. Pada wanita akan terlihat payudara akan menonjol pada sisi cekung dan lebih ke belakang pada sisi cembung. Skoliosis juga menimbulkan perubahan patologis pada vertebra dan ‘discus intervertebralis’. Tinggi vertebra dan diskus menyempit pada sisi cekung. Setelah besar sudut lengkungan diukur, harus dinilai rotasi atau perputaran vertebra pada puncak lengkungan (bagian paling melengkung).
Gambar 4. Rotasi vertebra pada aspeks skoliosis
Gambar 2. Potongan koronal apeks scoliosis
Gambar 3. Posisi vertebral dan diskus intervertebra
belakang yang juga disebut dengan kifosis terdapat pada torakal (punggung) dan sakrum (panggul). Deformitas pada skoliosis sangat kompleks yang ditandai dengan lengkungan ke samping dan rotasi dari tulang belakang tersebut. Dengan berlanjutnya keadaan ini, vertebra dan ‘processus spinosus’
22
Di Amerika Serikat, diperkirakan 500.000 orang dewasa menderita skoliosis. Skoliosis idiopatik ada sekitar 65% dari jenis yang struktural. Sebagian besar timbul pada masa remaja . Lengkungan yang melebihi 20 derajat didapat kurang dari 0,5% remaja dan lengkungan antara 11-20 derajat didapat pada 2-3% remaja. Pada lengkungan yang besar, terutama bila lengkungan antara 100-120 derajat, masalah yang didapat adalah penyakit paru akibat rongga dada yang menyempit pada
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
satu sisi. Pada negara maju seperti Amerika Serikat skoliosis berat ini sudah jarang ditemukan karena segera ditangani. Lain halnya di Indonesia, masih banyak kita lihat adanya penderita skoliosis berat yang didapat pada orang dewasa. Hal ini akibat ketidaktahuan dan biasanya dianggap akibat jatuh pada masa bayi. Di Amerika Serikat, diperkirakan 500.000 orang dewasa menderita skoliosis. Skoliosis idiopatik ada sekitar 65% dari jenis yang struktural. Sebagian besar timbul pada masa remaja. Lengkungan yang melebihi 20 derajat didapat kurang dari 0,5% remaja dan lengkungan antara 11-20 derajat didapat pada 2-3% remaja. Selama obervasi, biasanya kenaikan 5 derajat dapat ditemukan bervariasi antara 5-90% penderita, bergantung pada usia, jenis kelamin dan kematangan tulang di samping bentuk (pola) dari lengkungan. Progresivitas melambat pada anak lebih besar dengan tingkat kematangan tulang yang hampir tercapai dan derajat lengkungan yang kecil. Sekitar 25-75% penderita, lengkungan tersebut tidak berubah dan malahan 3-12% penderita mengalami perbaikan (sembuh). Lengkungan yang kurang dari 19 derajat akan meningkat 10% pada wanita usia 13-15 tahun dan 4% setelah usia tersebut. Beberapa pakar menyebutkan 34% penderita akan mengalami pertambahan 10 derajat, 18% bertambah 20 derajat dan 8% bertambah 30 derajat. Penelitian lain menyebutkan 25% penderita tidak mengalami pertambahan lengkungan sebelum mencapai 25 derajat dan 12% pertambahan lengkungan berhenti sebelum mencapai 29 derajat. Pada skoliosis yang terlantar, lengkungan dapat bertambah secara dramatis, postur tubuh berubah secara nyata, terkadang timbul masalah kardiopulmoner. A. Klasifikasi Skoliosis dapat diakibatkan oleh berbagai hal. Ada beberapa diagnosa banding yang dapat dilihat di bawah ini: • Nonstructural scoliosis postural scoliosis compensatory scoliosis • Transient structural scoliosis sciatic scoliosis hysterical scoliosis inflammatory scoliosis • Structural scoliosis idiopathic (70-80% of all cases) congenital neuromuscular - poliomyelitis - cerebral palsy - syringomyelia - muscular dystrophy - amyotonia congenita
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
- Friedreich’s ataxia neurofibromatosis mesenchymal disorders - Marfan’s syndrome - Morquio’s syndrome - Rheumatoid arthritis - Osteogenesis imperfecta - Certain dwarves trauma - fractures - irradiation - surgery
Gambar 5. Tipe-tipe skoliosis kongenital Skoliosis nonstruktural biasanya timbul akibat kebiasaan posisi duduk atau kerja. Pada orang yang terbiasa memikul atau mengangkat beban secara kontinu pada satu posisi akan menimbulkan lengkungan cembung pada sisi menerima beban. Hal ini juga dikenal sebagai ‘compensatory scoliosis’. Bila hal ini dipertahankan, lama kelamaan dapat menjadi permanen, namun dalam hal ini tidak terjadi rotasi vertebra, hanya diskus vertebranya yang menyempit pada sisi yang tidak menerima beban. Umumnya jenis skoliosis nonstruktural tidak permanen. ‘Transient structural scoliosis’ merupakan kelompok skoliosis yang timbul akibat keadaan yang bersifat sementara. Bila penyebab utamanya dapat diatasi dengan baik, gangguan struktural pada skoliosisnya juga akan hilang sama sekali. Idiophatic scoliosis mencakup sekitar 80% dari keseluruhan kelainan ini. Wanita lebih banyak yaitu 7:1. Jenis ini dapat digolongkan pada tipe infantil, juvenil dan adolescent, tergantung onset usia ditemukannya. Paling banyak adalah tipe adolescent.
Skrining Skoliosis Program skrining skoliosis pada siswa yang memasuki usia remaja masih banyak diperdebatkan. Suatu penelitian epidemiologi dari sejumlah anak yang menderita skoliosis mendapat pengobatan, sementara sebagian lagi tidak perlu
23
tindakan pengobatan. Pada tahun 1993, suatu Satuan Tugas (Satgas) Pelayanan Preventif Amerika Serikat (U.S. Preventive Services Task Force=USPSTF) menyimpulkan ‘kurangnya bukti keuntungan dari skrining rutin skoliosis remaja dengan tanpa keluhan’. Ada tiga pertimbangan satgas ini: 1. Satgas (USPSTF) tidak menemukan bukti manfaat kesehatan dari arti skrining ini. Dengan ditemukannya penderita secara dini belum tentu penderita akan lebih sehat nantinya. 2. Satgas (USPSTF) membuktikan adanya manfaat tindakan medis pada sebagian kecil penderita. 3. Satgas (USPSTF) membuktikan adanya kecenderungan menakut-nakuti penderita dan memaksa dilakukan pemasangan penopang (brace) dan anjuran operasi. Sebagaimana layaknya badan-badan di Amerika Serikat, setiap tindakan harus dipertimbangkan untung ruginya, baik penggunaan obat, makanan dan termasuk skrining. Pada kenyataan, sebagaimana dijelaskan di atas, setiap penderita skoliosis idiopatik di usia remaja (Adolescent Idiophatic Scoliosis =AIS) tidak pernah mengeluh sakit. Keluhan yang dialami hanyalah berupa kelainan postur tubuh, yang mengakibatkan penderita terutama wanita jadi kurang percaya diri. Mereka tidak berani memakai pakaian yang ketat sebagaimana layaknya remaja. Enggan mengikuti senam, terutama berenang. Keuntungan skrining scoliosis ini hanya berupa tambahnya pengetahuan masyarakat dan kepedulian serta kewaspadaan terhadap apa yang dikenal sebagai skoliosis. Asosiasi Ortopedi Amerika Serikat (AAOS, American Academy of Orthopedic Surgeons & American Assosiation of Orthopedic Surgeons) dan Perkumpulan Penelitian Skoliosis Dunia (SRS, Scoliosis Research Society) tetap dengan gigih menyokong skrining skoliosis terhadap anak sekolah. Suatu penyataan bersama: ‘School Screening Programs for the Early Detection of Scoliosis’ yaitu ‘Deteksi Dini Skoliosis pada Program Skrining di Sekolah’. Usia optimal untuk skrining tidak ditetapkan, namun sebaiknya pada wanita berkisar 10-12 tahun dan laki-laki berkisar 13-14 tahun. Metode pemeriksaan yang akan dilakukan pada skrining skoliosis juga diperdebatkan. Yang biasa dilakukan adalah pemeriksaan membungkuk ke depan (Adam forward-bending test). Efektivitas cara ini juga masih dipertanyakan. Pada pemeriksaan ini, yang diperiksa membungkuk dengan lutut rapat dan lurus, lengan lurus ke lantai dan tergantung, punggung sejajar dengan lantai. Pemeriksa di berada di belakang dan melihat apakah punggung dan pinggang simetris atau tidak pada aksis tulang belakang. Perbedaan tinggi 8 mm pada satu sisi dianggap abnormal yang kemungkinan diakibatkan oleh skoliosis. Di Korea Selatan, skrining ini dilakukan oleh guru yang sudah dilatih untuk itu. Korea terdapat dokter ahli bedah
24
Orthopaedi sekitar 3000 orang dan sekitar 300 diantaranya adalah ahli bedah tulang belakang (spine surgeon), skrining ini dilakukan bukan oleh seorang ahli bedah tulang belakang namun oleh guru olahraga. Pada saat siswa mengikuti olahraga, siswa memakai pakaian olah raga, terutama dengan pakaian renang, akan terlihat postur tubuh yang asimetris, berupa bahu yang lebih tinggi serta tulang belikat yang menonjol. Pada pemeriksaan ‘adam forward bending test’ dilakukan akan terlihat adanya ketidaksimetrisan tinggi rusuk. Bila ada ketidaksimetrisan punggung atau pinggang, siswa tersebut dirujuk ke ahli bedah tulang belakang, untuk memastikan, apakah siswa tersebut memerlukan intervensi pengobatan, baik fisioterapi, pemasangan ‘brace’ atau bahkan operasi.
Gambar 6. Pada posisi berdiri
Gambar 7. Pada posisi membungkuk (Adam Forward Bending)
Karena umumnya anak-anak tidak mempunyai keluhan, akan timbul lengkungan kompensasi sehingga penampilan sedikit seimbang. Umumnya pada saat skrining perlu dikonfirmasi apakah ada dalam keluarga yang juga menderita skoliosis. Beberapa pakar menyarankan, pemeriksaan radiologi hanya dilakukan, bila: 1. Ada lengkungan yang besar dan nyata pada pemeriksaan fisik. 2. Adanya tonjolan yang asimetris pada anak yang tingkat kedewasaan tulang belum tercapai. 3. Adanya lengkungan asimetris pada keluarga dengan
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
riwayat skoliosis. 4. Adanya lengkungan asimetri disertai dengan keluhan dan gejala neurologis.
Bila anak sudah dipastikan menderita skoliosis, mereka harus menjalani pemeriksaan rontgen untuk pengukuran derajat kelengkungan. Pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan dari depan belakang (posteroanterior) dan samping. Juga pada saat mengadakan lengkungan ke samping kiri dan kanan. Pada anak dengan lengkungan kurang dari 20 derajat, tidak memerlukan pengobatan. Anak diobservasi secara berkala dengan rontgen tiap 4 hingga 6 bulan. Pengulangan ini penting untuk menilai progresivitas. Bila pertambahan lambat (5-10 derajat selama 2-3 tahun), dan tidak mencapai 20 derajat, pemeriksaan berkala dilanjutkan hingga pertumbuhan tulang dianggap sudah berhenti. Dianggap setelah pertumbuhan berhenti, progresivitas lengkungan skoliosis akan melambat atau berhenti.
derajat, harus dievaluasi apakah perlu menggunakan penopang (brace) atau harus dilakukan operasi. Suatu pengecualian bila pada anak di bawah 12 tahun dengan lengkungan 20 derajat. Hal ini karena anak dalam pertumbuhan cepat antara usia 12 hingga 14 atau 15 tahun. Sebelum dilakukan pembedahan, dilakukan pembuatan x-ray untuk menilai kekakuan atau kelenturan dari lengkungan tersebut. Hal ini dilakukan dengan membuat x-ray dengan membengkok ke kiri dan ke kanan di atas meja rontgen. Hal penting lainnya adalah lokasi lengkungan, apakah di punggung (thoracic regions), pinggang (lumbar regions) atau diantaranya (thoracolumbar). Juga polanya (tunggal atau ganda), serta arah ke kiri atau kanan. Lengkungan ganda lebih progresif dari yang tunggal pada daerah pinggang.
Gambar 9. Gambaran x-ray posisi tegak dan membengkok ke kiri dan kanan
Penatalaksanaan Pada saat ini skoliosis dapat ditangani secara baik dengan menggunakan brace (penopang), stimulasi listrik, pembedahan atau kombinasi dari ketiga metode tersebut. Pada anak yang mempunyai lengkungan progresif atau melebihi 30 derajat, memerlukan penatalaksanaan.
Penopang biasanya sangat bermanfaat pada lengkungan progresif antara 30-45 derajat Gambar 8.Tipe lengkungan skoliosis Pengukuran ini diperlukan untuk mengetahui tindakan lanjutan. Anak dengan progresivitas yang cepat (lebih dari 5 derajat dalam 4-6 bulan) atau lengkungan melewati 20
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
walaupun sangat tergantung pada usia anak dan kematangan tulang. 25
Umumnya penggunaan penopang (brace) atau operasi walaupun biasanya operasi dilakukan bila sudah melebihi 40 derajat, karena lengkungan lebih dari 40 tidak dapat diperbaiki dengan menggunakan brace (penopang). Penopang biasanya sangat bermanfaat pada lengkungan progresif antara 30-45 derajat walaupun sangat tergantung pada usia anak dan kematangan tulang. Anak yang lebih muda memerlukan penatalaksanaan dengan lengkungan kecil dibanding dengan anak yang lebih tua, karena adanya kemungkinan pertumbuhan dan pertambahan lengkungan. Sementara brace (penopang) tidak dapat mengkoreksi tulang belakang menjadi lurus, hanya dapat mencegah lengkungan bertambah jelek. Brace (penopang) yang umum nya digunakan adalah thoracolumbosacral orthosis (TLSO), yang bias dibentuk, bawah baju dan dipakai sepanjang hari (23 jam dalam sehari, dilepas hanya bila mandi. Namun ‘Charleston bending brace’ hanya dipakai waktu malam. Brace ini pada lengkungan tunggal di pinggang. Milwaukee brace, mulai dari leher hingga pinggul, sudah jarang digunakn. Angka keberhasilan penggunaan brace ini berkisar pada 50-60% pada penderita yang menggunakkan brace 1-2 tahun.
Gambar 10. X-ray pasien paska operasi koreksi dengan Harringtong Rod
Gambar 11. Penilaian kematangan tulang
26
Gambar 12. Penilaian kematangan vertebra Anak-anak yang tidak ada respon dengan brace, yang lengkungannya >45 derajat atau yang mempunyai keluhan termasuk kelainan fisik, nyeri dan gangguan jantung atau paru, sebaiknya langsung dioperasi. Umumnya operasi yang dilakukan adalah fusi tulang belakang dari belakang (posterior spinal fusion) dengan menggunakan ‘internal metal fixation’ hingga fusi tulang terjadi. Modalitas pengobatan alternatif lain adalah untuk memperlambat progresivitas lengkungan dengan manipulasi ‘chiropractic’ atau stimulasi listrik. Stimulasi listrik yang sering dilakukan adalah Lateral Electrical Surface Stimulation (LESS). Elektroda ditempelkan ke kulit, selama 8 jam setiap malamnya sampai anak mengalami kematangan tulang. Modalitas ini sering dilakukan pada penderita skoliosis di Amerika Serikat dan Eropa. Dengan modalitas ini keberhasilannya juga berkisar 50%.
Anak-anak yang tidak ada respon dengan brace , yang lengkungannya >45 derajat atau yang mempunyai keluhan termasuk kelainan fisik, nyeri dan gangguan jantung atau paru, sebaiknya langsung dioperasi. Latihan sangat dianjurkan untuk mencegah bertambah besarnya lengkungan. Walaupun pada penelitian kohort tidak terkontrol (uncontrolled cohort study school-based exercise program) menunjukkan lebih efektif bila dibandingkan hanya dengan brace tanpa latihan setelah satu tahun. Namun penelitian ini terhenti begitu saja tanpa ada kelanjutannya. Walaupun jarang bila dibandingkan dengan skoliosis
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
idiopatik, anak-anak dapat menderita scoliosis congenital yang sering dibarengi dengan kelainan genitalia dan saluran kemih (genitourinary), ‘congenital heart disease’, dan kelainan tulang belakang lainnya. Hanya 25% anak dengan scoliosis congenital yang tidak memerlukan pengobatan. Pembedahan umumnya tidak diperlukan, kecuali terlihat adanya progresivitas. Tindakan yang dilakukan berupa pemasangan implan di tulang belakang yang melengkung baik dari depan maupun dari belakang. Metode operasi ini terus berkembang, mulai dari pemasangan Harringtong rod, CotrelDubousset, Mos Miami, Formosa System dan di Indonesia dikembangkan UI-System oleh Prof. Dr. Subroto Sapardan dari RSCM. Metode UI-System dikembangkan oleh semua muridnya di Nusantara ini. Selain harganya cukup murah, implan UI-System 75% lebih murah dibanding 3 jenis implan yang pertama. Di negaranegara maju, termasuk Korea Selatan, harga implan tidak menjadi masalah karena setiap jiwa sudah memiliki asuransi, namun beberapa asuransi akhir-akhir ini mengeluarkan biaya untuk operasi koreksi skoliosis dari beban yang ditanggung asuransi. Skoliosis dapat berbarengan dengan kelainan neuromuskular seperti cerebral palsy, muscular dystrophies dan spinal muscular atrophy (SMA).
degenerasi yang lebih dini. Daerah yang menerima beban yang berlebihan (daerah cekung=concave) akan lebih cepat mengalami proses degenerasi ini.
Pada beberapa penelitian, disebutkan bahwa skoliosis depan menimbulkan risiko kehilangan densitas tulang (osteopenia). Terutama pada wanita yang menderita skoliosis sejak remaja dan resiko menderita osteoporosis akan meningkat bersamaan dengan bertambahnya usia.
Komplikasi Pada skoliosis berat, di mana lengkungan lebih dari 70 derajat, iga akan menekan paru-paru, sehingga menimbulkan kesulitan bernafas. Pada lengkungan yang lebih besar dari 100 derajat, kerusakan bukan hanya pada paru, namun juga pada jantung. Pada keadaan demikian, infeksi paru terutama radang paru akan mudah terjadi. Pada beberapa penelitian, disebutkan bahwa skoliosis depan menimbulkan risiko kehilangan densitas tulang (osteopenia). Terutama pada wanita yang menderita skoliosis sejak remaja dan risiko menderita osteoporosis akan meningkat bersamaan dengan bertambahnya usia. Selain postur tubuh yang jelek, skoliosis tingkat ringan dan sedang baru menimbulkan keluhan bila sudah berusia di atas 35 tahun. Keluhan yang mereka derita biasanya sakit kronis di daerah pinggang yang lebih dini dibandingkan orang yang normal seusianya. Hal ini akibat proses
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
Penutup
Pada kenyataannya skoliosis akan menjadi problem yang perlu mendapat perhatian di masa yang akan datang. Perlutidaknya dilakukan skrining pada anak usia sekolah tergantung pada kepedulian masyarakat terhadap kesehatan, walaupun pada saat ini program pemerintah terhadap kesehatan masih tertuju pada pemberantasan penyakit menular baik itu demam berdarah dengue, flu burung, antraks, diare, tuberkulosis dan lain-lain. Peran dari Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan juga sangat dibutuhkan. Sulitnya mendeteksi skoliosis di masyarakat saat ini diakibatkan trend anak remaja yang senang memakai baru longgar, atau wanita yang menggunakan pakaian muslim, sementara bertambahnya usia para wanita menyenangi baju yang lebih ketat. Sehingga pada saat meminta pertolongan untuk penatalaksaan koreksi skoliosis umumnya terlambat karena derajat lengkungan sudah besar.
Daftar Pustaka 1. Bunch WH, Patwardhan AV. Scoliosis, making clinical decision. Mosby; 1989 2. Goldbloom, RB. Screening for idiopathic scoliosis. Available from URL: http://www.ctfphc.org/References/Ch31bib.htm 3. Mayo Clinic Staff. Scoliosis. Available from URL: http:// www.mayoclinic.com/invoke.cfm?id=DS00194 4. O’Malley, E. What young people and their parents need to know about scoliosis. Available from URL: www.midlandpt.com/scoliosis.htm 5. Richardson ML. Available from URL: http://www.rad.washington.edu/ mskbook/Scoliosis.html 6. USPSTF, Recommendation Statement. Screening for idiopathic scoliosis in adolescents. Available from URL: http://www.ahcpr.gov/clinic/3rduspstf/ scoliosis/scoliors.htm#references 7. Vaccaro AR, Albert TJ. Spine surgery, trick of the trade. Thieme, New York; 2003 8. Physicians’ guide to the diagnosis of scoliosis. Available from URL: Hyperlink http://medstat.med.utah.edu/scoliosis/H&P.html 9. Scoliosis screening. Available from URL: http://www.iscoliosis.com/ symptoms-screening.html?myyahoo 10. Scoliosis. Available from URL: http://www.keepkidshealthy.com/welcome/ conditions/scoliosis.html 11. Screening for adolescent idiopathic scoliosis. Guide to Clinical Preventive Services, Second Edition.Musculoskeletal Disorders. Available from URL: http://cpmcnet.columbia.edu/texts/gcps/gcps0057.html 12.Screening exam pictorial. Available from URL: http:// medstat.med.utah.edu/scoliosis/exam.html
27
TINJAUAN PUSTAKA
Memprediksi Preeklamsia Rizal Rumah Sakit Dr. Oen Solo
Abstract. Prior knowledge about the preeclampsia and the application of appropriate prenatal care and management before the disease progresses to become life threatening can largely eliminate maternal mortality. The objective in most of the researches conducted in various parts of the world has been the discovery of biochemical markers and other tools such as Malondialdehyde, C-reactive protein, angiogenic factors, Activin A, Leptin, Insulin-like Growth Factor-1, and Maternal Plasma Fetal DNA levels, these markers might be helpful in identifying subjects at increased risk for developing preeclampsia. Key Word: Preeclampsia, malondialdehyde, C-reactive protein, angiogenic factor, activin A, leptin, insulinlike growth factor-1, maternal plasma fetal DNA levels
Pendahuluan Preeklamsia, baik secara independen maupun bersama dengan penyakit lain, merupakan penyebab utama kematian ibu dan kelahiran prematur yang tertinggi di dunia. Tahun 2005, Angka Kematian Maternal (AKM) di rumah sakit seluruh Indonesia akibat eklamsia dan preeklamsia sebesar 4,91% (8.379 dari 170.725), merupakan golongan penyakit obstetrik yang paling banyak menyebabkan kematian 1 dengan Case Fatality Rate (CFR) 2,35%. Selain itu kebutuhan atas perawatan intensif neonatus (neonatal intensive care) akan meningkat karena angka mortalitas perinatal meningkat sampai 5 kali dan kelahiran prematur yang diindikasikan oleh sebab preeklamsia mencapai 15%. 2 Prematuritas sendiri akan menyebabkan problem kesehatan si bayi dalam periode hidupnya di kemudian hari, beberapa kejadian telah membuktikan bahwa kelahiran prematur akan meningkatkan resiko jangka panjang penyakit kardiovaskular dan metabolik yang tentu akan menjadi beban besar ekonomi dalam bidang kesehatan. Oleh sebab itu, kemampuan prediksi, pencegahan dan pengembangan terapi preeklamsia yang aman selama periode gestasi akan menjadi prioritas utama dalam perawatan antenatal.3 Preeklamsia, suatu spektrum dari kondisi hipertensi kehamilan secara klasik dideskripsikan dengan trias gejala dari hipertensi (>140/90 mmHg), proteinuria (>100 mg/dl dengan analisa urin atau >300 mg dalam urin koleksi 24 4 jam), dan edema yang terjadi setelah kehamilan 20 minggu. 28
Hampir 2000 tahun yang lalu, oleh Celsus kelainan ini disebut eklamsia sebagai deskripsi atas kejang yang dialami oleh wanita hamil dan yang menjadi sembuh setelah proses persalinan. Di akhir tahun 1800-an baru diketahui ada hubungan antara penyakit ini dengan gejala proteinuria dan meningkatnya tekanan darah, dan sejak itu terminologi preeklamsia mulai diperkenalkan.5
Uji Prediksi Preeklamsia Penelitian atas penyakit ini begitu lambat dan sporadis sampai kira-kira 20 tahun yang lalu. Setelah itu penelitian mengenai preeklamsia berkembang pesat dan sebagai hasilnya sekarang kita memiliki berbagai informasi yang menguatkan beberapa hipotesis tentang etiologi preeklamsia, termasuk peran stresor oksidatif, inflamasi, maladaptasi sirkulasi (humoral dan mineral), dan 3 abnormalitas metabolisme. Pengetahuan mendalam tentang preeklamsia, perawatan prenatal yang memadai, dan tata laksana sebelum progresivitas penyakit akan mampu mereduksi angka mortalitas maternal dan perinatal, karena itu dibutuhkan suatu uji penapis yang efektif untuk mengidentifikasi sedini mungkin kehamilan dengan risiko tinggi. Bahasan kajian pustaka berikut mengenai preeklamsia yang secara potensial dapat diprediksi melalui perubahan beberapa biomarker sebelum diagnosis klinis preeklamsia.
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
Malondialdehyde Sebagaimana preeklamsia, komplikasi obstetrik lainnya seperti penyakit ginjal kronis, penyakit jantung kongenital, anomali plasenta (abrupsi plasenta kronis, chorioangioma) dapat menyebabkan stres oksidatif baik pada ibu maupun janin berupa meningkatnya lipid perioksidase dan aktivitas proteolitik dalam eritrosit berupa rusaknya molekul makro seperti DNA, karbohidrat, dan polyunsaturated fatty acids. Produk-produk dari polyunsaturated fatty acids seperti lipid hidroperoksida dan malondialdehyde (MDA) dapat menjadi parameter refleksi dari kerusakan membran yang eksesif.6 Tahun 2003, Basbug et al. menyatakan bahwa level malondialdehyde eritrosit di atas 35,98 nmol/g hemoglobin merupakan nilai prediksi yang signifikan atas kejadian preeklamsia pada kehamilan trimester ketiga (minggu ke 30-35). Sekalipun diketahui bahwa resiko preeklamsia meningkat hampir 24 kali pada penilaian malondialdehyde ini, cukup disayangkan bahwa kemampuan prediksinya tidak dapat dilakukan pada 2 trimester awal.7
C-Reactive Protein (CRP) Berbagai manifestasi klinis preeklamsia termasuk hipertensi, proteinuria, dan kerusakan organ akibat iskemia disebabkan oleh luasnya disfungsi endotel yang diduga karena respon inflamasi maternal yang berlebihan terhadap kehamilan ataupun oleh sebab sekresi salah satu faktor plasenta sebagai respon terhadap iskemia plasenta yang diinduksi oleh invasi trofoblas dan perubahan arteri uterus yang bersifat toksik terhadap sel-sel endotel. C-reactive protein adalah reaktan fase akut yang diproduksi oleh hepar sebagai respon terhadap sitokin proinflamasi interleukin-6 (IL-6) and Tumour Necrosis Factor- (TNF-), di mana keduanya 8 sebagian besar disekresi dari sel-sel adiposa, karena itu dapat berfungsi sebagai indeks kuantitatif yang sensitif dalam memprediksi perubahan inflamasi sistemik seperti pada kejadian aterosklerosis, stroke, dan penyakit vaskular 9 perifer. Dalam kehamilan, c-reactive protein (CRP) telah dipakai sebagai penanda awal yang potensial pada chorioamnionitis di antara wanita dengan ruptur membran prematur dan sebagai prediks hasil persalinan preterm, termasuk juga kejadian preeklamsia yang dikaitkan dengan 10 Indeks Massa Tubuh. C-reactive protein (CRP) dalam serum maternal dievaluasi oleh Chunfang Qiu et al. sejak kehamilan minggu ke-13 untuk menentukan apakah kenaikan CRP merupakan pendahuluan manifestasi klinis preeklamsia. Hasil kajian mereka menyatakan bahwa kenaikan konsentrasi CRP (≥4.9 mg/l) berisiko 2,5 kali terjadi preeklamsia di antara wanita 2 11 dengan Indeks Massa Tubuh <25 kg/m . Telah diketahui bahwa sekalipun obesitas lebih beresiko terhadap kejadian 12 atherosklerosis, diabetes dan preeklamsia, namun perlu dipertimbangkan untuk studi lebih lanjut beberapa hal seperti keadaan jaringan adiposa sebelum kehamilan yang
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
secara independen atau dengan yang lain dapat langsung berkontribusi terhadap resiko preeklamsia, faktor-faktor resiko terhadap inflamasi sistemik yang dapat dimodifikasi (modifiable risk factors for systemic inflammation) pada awal kehamilan,12 penanda inflamasi lainnya selain CRP selama kehamilan yang mungkin dapat saling berinteraksi, dan faktor-faktor non inflamasi yang meningkatkan level CRP pada trimester pertama sebagaimana yang telah 9 dikemukakan oleh Wolf et al.
Faktor Angiogenik Di tahun 2003, Maynard et al. yang sebelumnya terlibat dalam studi kanker dan biologi vaskular telah terbiasa dengan efek samping obat golongan antiangiogenic untuk terapi tumor seperti hipertensi dan proteinuria. Mereka mengobservasi hubungan antara protein dalam plasenta penderita preeklamsia soluble fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt 1) dan protein-protein proangiogenik seperti Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Placental Growth Factor (PlGF).13 Mereka berhipotesis sFlt 1 memasuki sirkulasi maternal yang kemudian mengikat dan menginaktivasi VEGF bebas (aktif) dan PlGF. Selanjutnya konsentrasi tinggi sFlt 1 dalam sikulasi akan menciptakan kondisi intravaskular yang tidak seimbang antara faktor-faktor antiangiogenic dan proangiogenic; suatu kondisi yang mendasari terjadinya sindroma preeklamsia. Demikian level soluble fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt 1) maternal yang meningkat pada preeklamsia dan sebaliknya level Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Placental Growth Factor (PlGF) bebas menurun. Maynard et al. kemudian menunjukkan bahwa dalam serum penderita preeklamsia, sFlt 1 secara in vitro menginhibisi angiogenesis dan vasodilatasi arteri renal. Yang menarik dalam studi mereka ialah observasi atas ekspresi berlebih sFlt 1 dalam tikus hamil mengakibatkan hipertensi dengan albuminuria dan endotheliosis glomerulus, keduanya memperkuat penjelasan dari karakteristik utama preeklamsia: hipertensi dan proteinuria. Bagaimanapun juga preeklamsia adalah suatu kelainan multisistem dan lepas dari pengamatan mereka pada model tikus, adanya manifestasi preeklamsia yang lain pada manusia, yakni turunnya fungsi hepar, anemia hemolitik, mikroangiopati, dan permeabilitas vaskular yang meningkat. Karumanchi dan koleganya melanjutkan evaluasi atas protein antiangiogenic ini. Mereka menunjukkan bahwa level endoglin dalam sirkulasi, suatu ko-reseptor bagi Transforming Growth Factor β1 (TGF-β1), meningkat pada penderita preeklamsia; endoglin mungkin bersifat patogen 14 pula namun dengan mekanisme yang berbeda. Endoglin mengaktivasi vasodilatasi dengan cara memperlemah ikatan TGF-β1 dengan reseptornya dan menurunkan Nitrit Oksida Sintase di endotel. Secara in vitro endoglin menurunkan proses angiogenesis, tetapi ekspresi yang berlebih endoglin
29
pada tikus hamil hanya berdampak minimal. Paparan secara simultan oleh sFlt 1 dan endoglin akan menyebabkan menifestasi hipertensi berat, proteinuria masif, meningkatnya level enzim hepar, dan beredarnya skistozit dalam sirkulasi. Faktor angiogenic (proangiogenic dan antiangiogenic) preeklamsia terkait dengan prediksi terjadinya kelainan ini. Levine et al. di tahun 2006 menjadikan ukuran protein angiogenic sebagai alat tes potensial dalam memprediksi preeklamsia, yaitu saat kenaikan level soluble fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt 1) dan turunnya level Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) bebas, Placental Growth Factor (PlGF) bebas, dan PlGF urin sekitar 5 minggu sebelum terjadi manifestasi preeklamsia.15 Selanjutnya Levine et al. menunjukkan bahwa kombinasi level endoglin dan rasio sFlt 1 dengan PLGF meningkatkan nilai prediksi preeklamsia, baik yang terjadi lebih dini ataupun yang lambat, dan juga prediksi atas dampak berat penyakit ini (restriksi pertumbuhan janin dan sindroma HELLP) 10 minggu sebelum muncul manifestasi klinis. Mereka menyimpulkan bahwa endoglin dalam sirkulasi dan soluble fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt 1), masing-masing dengan mekanisme yang berbeda menyebabkan disfungsi endotel dan memediasi terjadinya manifestasi preeklamsia. Tetapi dalam kajian tersebut masih belum dapat diterangkan mengapa sFlt 1 dalam plasenta meningkat saat preeklamsia.
Leptin Leptin adalah hormon yang terutama diproduksi oleh selsel adiposa dan plasenta yang mungkin mempengaruhi pertumbuhan, angiogenesis, imunomodulasi, dan patogenesis preeklamsia.20 Beberapa studi telah melaporkan hubungan antara tingginya konsentrasi leptin saat trimester kedua dengan preeklamsia. 21 Namun masih diperlukan studi lanjutan atas kaitan hormon ini dengan preeklamsia karena konsentrasi serum leptin saat awal kehamilan tidak jauh berbeda antara kondisi preeklamsia dengan nonpreeklamsia.22
Insulin-like Growth Factor-1 Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1), suatu hormon yang mungkin memiliki kaitan dengan pertumbuhan janin baik yang normal maupun abnormal.23 Dalam sirkulasi, Insulinlike Growth Factor Binding Proteins (IGFBPs) meregulasi aksi 24 IGF-1 dengan menginhibisi atau meningkatkan efeknya. IGF-1 menstimulasi sintesis 1,25-dihydroxyvitamin D di ginjal dan plasenta.25 Selama kehamilan berat badan bayi saat lahir berkorelasi positif dengan IGF-1 dan IGFBP-3A maternal dan fetus, sebaliknya memiliki korelasi negatif dengan konsentrasi IGFBP-1.26 Giudice melaporkan bahwa selama preeklamsia konsentrasi IGF maternal lebih rendah dibandingkan dengan kehamilan yang normal.27
DNA Fetus dalam Plasma Maternal Activin A Activin adalah bagian dari hormon glikoprotein Transforming Growth Factor-β (TGF-β) yang diproduksi oleh berbagai jaringan, termasuk ovarium, plasenta, desidua, dan membran fetus. 16 Dalam kehamilan berfungsi sebagai regulator diferensiasi trofoblas, steroidogenesis plasenta, dan produksi prostaglandin. Selama dua trimester awal, konsentrasi activin A dalam sirkulasi masih sama tingginya, meningkat secara progresif pada trimester ketiga, dan puncaknya ialah pada saat partus. Dr. Yuditiya Purwosunu bersama rekan-rekannya dari Jepang dan Italia pada bulan Juli 2007 melaporkan bahwa activin A meningkat sejak minggu ke 11-15 pada kehamilan yang asimtomatik sebelumnya, disebabkan karena proses disfungsi trofoblas 17 pada preeklamsia. Muttukrishna et al. juga menyatakan bahwa activin A dalam serum maternal meningkat saat awal kehamilan (minggu ke-15) sebelum berkembang menjadi preeklamsia karena pada preeklamsia terjadi gangguan fungsi ginjal sehingga level activin A dalam sirkulasi juga akan meningkat.18 Pada kelainan ini juga terdapat respon inflamasi sistemik yang intens sehingga menyebabkan hipoksemia dan hipoksia pada fetoplasenta yang kemudian menginduksi sitokin proinflamasi seperti Tumour Necrosis Factor- (TNF-) dan Interleukin-1 (IL-1) yang akan 19 meningkatkan activin A.
30
Telah diketahui bahwa ada peningkatan konsentrasi sebesar 5 kali lipat dari DNA fetus yang bersirkulasi dalam plasma penderita preeklamsia bila dibandingkan 28 dengan kelompok kontrol. Dalam penelitian tersebut, sampel plasma diuji dengan menggunakan gen SRY dan kromosom Y-nya dipakai sebagai penanda. DNA fetus yang bersirkulasi dideteksi pada seluruh subyek yang hamil fetus laki-laki baik yang preeklamsia maupun kelompok kontrol. Penjelasan mengenai kenaikan konsentrasi DNA fetus dalam plasma maternal saat preeklamsia, mungkin karena bebasnya DNA fetus masuk ke dalam sirkulasi 29 maternal. Kenaikan ini bisa terjadi sebagai lanjutan dari proses sebelumnya seperti peningkatan alur masuk selsel fetus semacam trofoblas dan eritroblas ke dalam 30 sirkulasi maternal atau mungkin berasal dari DNA fetus yang terlepas dari sel-sel yang akan mati dalam proses apoptosis sitotrofoblas plasenta selama 31 preeklamsia. Untuk penelitian lebih lanjut, diperlukan uji penanda DNA fetus selain kromosom Y sehingga analisisnya juga dapat dikembangkan pada kehamilan fetus perempuan.
Penutup Seperti yang telah didiskusikan bahwa karena tingginya angka mortalitas ibu dan janin akibat preeklamsia, maka
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
diperlukan suatu diagnosis sedini mungkin sehingga dapat diberikan intervensi terapetik yang memadai. Untuk itu tentu dibutuhkan penanda ideal dengan sensitivias dan spesifitas yang tinggi sebagai alat prediksi preeklamsia. Kini beberapa pegukuran yang lain semakin berkembang, baik dilakukan tersendiri ataupun secara kombinasi, seperti pengukuran indeks pulsatil arteri uterina dengan USG Doppler yang dikombinasikan dengan beberapa serum 32 ,33 maternal, dan juga pengembangan nomogram individual yang terdiri atas penilaian usia, indeks massa tubuh (IMT), paritas, kejadian preeklamsia sebelumnya, hipertensi kronis, nilai tekanan diastolik, proteinuria saat awal kunjungan, penilaian USG pada trimester kedua, dan indeks resistensi USG Doppler pada arteri umbilikal, tampaknya memiliki nilai diskriminasi dan kalibrasi yang baik sebagai usaha preventif atas preeklamsia.34 Harapan penulis bahwa hal tersebut akan membuka kemungkinankemungkinan baru bagi metode preventif dan tata laksana dalam mengatasi sindroma preeklamsia ini.
Daftar Pustaka 1. Departemen Kesehatan RI. Statistik Rumah Sakit di Indonesia. [cited 2006]. Available from URL: http://www.yanmedik-depkes.net/ statistik_rs_2006/Seri%203/Bab-2.htm 2. Goldenberg RL, Rouse DJ. Prevention of premature birth. N Engl J Med. 1998; 339: 313-20 3. Marshall DL, MD, and Jason GU, MD, PhD. Explaining and predicting preeclampsia. N Engl J Med. 2006; 355:1056-10 4. Report of the national high blood pressure education program working group on high blood pressure in pregnancy. Am J Obstet Gynecol 2000; 183(Supl):S1-22 5. Dileep KR, Nazia Q. Biochemical screening for the prediction of preeclampsia. [cited 2005 February]. Available from URL: http:// www.jpma.org.pk 6. Ullas K, Guruprasad R, Shobha UK, Lavanya R. Maternal and fetal indicators of oxidative stress during intrauterine growth retardation (IUGR). Indian Journal of Clinical Biochemistry 2006; 21(1):111-5 7. M Basbug, I Demir, I Serdar Serin. Maternal erythrocyte malondialdehyde level in preeclampsia prediction: a longitudinal study. Journal of Perinatal Medicine 2003:469-74 8. Myles W, MD, Elizabeth K, CNM, MPH, Laura S, et al. Obesity and preeclampsia: The potential role of inflammation. Obstet Gynecol. 2001; 98:757-62 9. Ridker PM, Hennekens CH, Buring JE, et al. C-reactive protein and other markers of inflammation in the prediction of cardiovascular disease in women. N Engl J Med 2000; 342:836–43 10. Lisa MB, Roberta BN, Gail FH, et al. Inflammation and triglycerides partially mediate the effect of prepregnancy: body mass index on the risk of preeclampsia. Am J Epidemiol 2005;162:1198– 206 11. Chunfang Q, David AL, Cuilin Z, et al. A prospective study of maternal serum C-reactive protein concentrations and risk of preeclampsia. American Journal of Hypertension 2004; 17:154-60 12. Thadhani R, Stampfer MJ, Hunter DJ, et al. High body mass index and hypercholesterolemia: risk of hypertensive disorders of pregnancy. Obstet Gynecol 1999; 94:543–50 13. Maynard SE, Min JY, Merchan J, et al. Excess placental soluble Fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt1) may contribute to endothelial dysfunction, hypertension, and proteinuria in preeclampsia. J Clin Invest 2003; 111:649-58 14. Venkatesha S, Toporsian M, Lam C, et al. Soluble endoglin contributes to the pathogenesis of preeclampsia. Nat Med
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
2006;12:642-9 15. Levine RJ, Lam C, Qian C, et al. Soluble endoglin and other circulating antiangiogenic factors in preeclampsia. N Engl J Med 2006; 355:992-1005 16. Muttukrishna S, North RA, Morris J, et al. Serum inhibin A and activin A elevated prior to the onset of pre-eclampsia. Human Reprod 2000; 15:1640-5 17. Purwosunu Y, Banzola I, Farina A, et al. Performance of a panel of maternal serum markers in predicting preeclampsia at 11-15 weeks’ gestation. [cited 2007 July 26]. Available from URL: http:// www.interscience.wiley.com 18. Muttukrishna S, North RA, Morris J, et al. Serum inhibin A and activin A are elevated prior to the onset of preeclampsia. Human Reproduction 2000a; 15:1640–5 19. Benyo DF, Miles TM & Conrad KP. Hypoxia stimulates cytokine production by villous explants from the human placenta. Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism 1997; 82: 1582–8 20. Henson MC, Castracane VD. Leptin in pregnancy. Biol Reprod. 2000; 63:1219-28 21. Teppa RJ, Ness RB, Crombleholme WR, et al. Free leptin is increased in normal pregnancy and further increased in preeclampsia. Metabolism 2000; 49:1043-8 22. Salomon LJ, Benattar C, Audibert F, et al. Severe preeclampsia is associated with high inhibin A levels and normal leptin levels at 7 to 13 weeks into pregnancy. Am J Obstet Gynecol. 2003; 189:1517-22 23. Chard T. Insulin-like growth factors and their binding proteins in normal and abnormal human fetal growth. Growth Regul. 1994; 4:91-100 24. Jones JI, Clemmons DR. Insulin-like growth factors and their binding proteins: Biological actions. Endocr Rev. 1995; 16: 3-34 25. Bianda T, Glatz Y, Bouillon R, et al. Effects of short-term insulin-like Growth Factor-I or Growth Hormone Treatment on Bone Metabolism and on Production of 1,25dihydroxycholecalciferol in GH-deficient Adults. J Clin Endocrinol Metab. 1998; 83:81-7 26. Cance-Rouzaud A, Laborie S, Bieth E, et al. Growth hormone, insulin-like growth factor-I and insulin-like growth factor binding protein-3 are regulated differentially in small-for-gestational-age and appropriate-for-gestational-age neonates. Biol Neonate. 1998; 73:347-55 27. Giudice LC, Martina NA, Crystal RA, et al. Insulin-like growth factor binding protein-1 at the Maternal-fetal Interface and Insulinlike Growth Factor-I, Insulin-like Growth Factor-II, and Insulinlike Growth Factor Binding Protein-1 in the Circulation of Women with Severe Preeclampsia. Am J Obstet Gynecol. 1997; 176: 7518. 28. Lo YMD, Leung TN, Tein MSC, et al. Quantitative abnormalities of fetal DNA in maternal serum in preeclampsia. Clin Chem. 1999; 45:184-8 29. Leung N, Zhang J, Lau TK, et al. Increased maternal plasma fetal DNA concentrations in women who eventually develop preeclampsia. Clin Chem. 2001; 47:137-9 30. Holzgreve W, Ghezzi F, DiNaro E, et al. Disturbed feto-maternal cell traffic in pre-eclampsia. Obstet Gynecol. 1998; 91:669-72 31. DiFederico E, Genbacev O, Fisher SJ. Pre-eclampsia is associated with widespread apoptosis of placental cytotrophoblasts within the uterine wall. Am J Pathol 1999; 155:293-301 32. Papageorghiou, Aris T, Roberts, Nicole. Uterine artery doppler screening for adverse pregnancy outcome. Women’s Health Current Opinion in Obstetrics & Gynecology. 2005; 17(6):58490 33. Spencer K , Cowans NJ, Chefetz I, et al. Second-trimester uterine artery doppler pulsatility index and maternal serum PP13 as markers of pre-eclampsia. Prenat Diagn. 2007; 27(3):258-63 34. Deis S, Rouzier R, Kayem G, et al. Development of a nomogram to predict occurrence of preeclampsia. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. 2007
31
TINJAUAN PUSTAKA
Penatalaksanaan Angina Ludwig Sutji Pratiwi Rahardjo Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNHAS
Abstrak. Angina ludwig merupakan peradangan selulitis dari bagian superior ruang suprahioid, yang ditandai dengan pembengkakan (edema) pada bagian bawah ruang submandibula yang biasanya keras dan berwarna kemerahan atau kecoklatan. Penyebab abses ini paling sering terjadi sebagai akibat infeksi akar gigi yakni molar dan premolar, dapat juga berasal dari proses supuratif kelenjar limfe servikal di dalam ruang submandibula. Penanganan yang utama adalah menjamin jalan napas melalui trakeostomi. Kata kunci: angina Ludwig
Pendahuluan Angina Ludwig atau dikenal juga dengan nama Angina Ludovici, pertama kali dijelaskan oleh Wilheim Frederick von Ludwig pada tahun 1836, merupakan salah satu bentuk abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher sebagai akibat perjalanan infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Tergantung ruang mana yang terlibat, gejala dan tanda klinik setempat berupa nyeri dan pembengkakan akan menunjukkan lokasi infeksi. Yang termasuk abses leher dalam ialah abses peritonsil, abses parafaring, abses retrofaring dan angina ludovici (angina Ludwig) atau abses submandibular.1-3 Angina Ludwig merupakan peradangan selulitis atau flegmon dari bagian superior ruang suprahioid. Ruang ini terdiri dari ruang sublingual, submental dan submaksilar yang disebut juga ruang submandibular. Ditandai dengan pembengkakan (edema) pada bagian bawah ruang submandibular, yang mencakup jaringan yang menutupi otot-otot antara laring dan dasar mulut, tanpa disertai pembengkakan pada limfonodus. Pembengkakan ini biasanya keras dan berwarna kemerahan atau kecoklatan. Ruang suprahioid berada antara otot-otot yang melekatkan lidah pada os. hioid dan m. mylohyoideus. Peradangan ruang ini menyebabkan kekerasan yang berlebihan pada jaringan dasar mulut dan mendorong lidah ke atas dan ke belakang. Dengan demikian 2-9 dapat menyebabkan obstruksi jalan napas secara potensial. Angina Ludwig paling sering terjadi sebagai akibat
32
infeksi akar gigi, yakni molar dan premolar, dapat juga berasal dari proses supuratif kelenjar limfe servikal di dalam ruang submandibular. Jika infeksi berasal dari gigi, organisme pembentuk gas tipe anaerob sangat dominan. Jika infeksi bukan berasal dari daerah gigi, biasanya disebabkan oleh strep1-3,5,6,9,10 tococcus dan staphylococcus. Angina Ludwig sering ditemukan pada orang dewasa muda yang menderita infeksi gigi. Kelainan ini juga ditemukan pada anak-anak namun jarang terjadi. Etiologi angina Ludwig antara lain karena trauma bagian dalam mulut, karies gigi, infeksi gigi, dan sistem imunitas tubuh 1,3,7,8,11 yang lemah, tindik lidah.
Etiopatogenesis Penyebab abses ini yang paling sering adalah infeksi gigi. Nekrosis pulpa karena karies dalam yang tidak
Etiologi angina ludwig antara lain karena trauma bagian dalam mulut, karies gigi, infeksi gigi, dan sistem imunitas tubuh yang lemah, tindik lidah. 1,3,7,8,11
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
terawat dan periodontal pocket dalam merupakan jalan bakteri untuk mencapai jaringan periapikal. Karena jumlah bakteri yang banyak, maka infeksi yang terjadi akan menyebar ke tulang spongiosa sampai tulang cortical. Jika tulang ini tipis, maka infeksi akan menembus dan masuk ke jaringan lunak. Penyebaran infeksi ini tergantung dari daya tahan jaringan tubuh. Odontogen dapat menyebar melalui jaringan ikat (perkontinuitatum), pembuluh darah (hematogenous), dan pembuluh limfe (limfogenous). Yang paling sering terjadi adalah penjalaran secara perkontinuitatum karena adanya celah/ruang di antara jaringan yang berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus. Penjalaran infeksi pada rahang atas dapat membentuk abses palatal, abses submukosa, abses gingiva, cavernous sinus thrombosis, abses labial, dan abses fasial. Penjalaran infeksi pada rahang bawah dapat membentuk abses subingual, abses submental, abses submandibular, abses submaseter, dan angina Ludwig. Ujung akar molar kedua dan ketiga terletak di belakang bawah linea mylohyoidea (tempat melekatnya m. mylohyoideus) yang terletak di aspek dalam mandibula, sehingga jika molar kedua dan ketiga terinfeksi dan membentuk abses, pusnya dapat menyebar ke ruang 6,14 submandibula dan dapat meluas ke ruang parafaringal. Selain infeksi gigi abses ini juga dapat disebabkan pericoronitis, yaitu suatu infeksi gusi yang disebabkan 1 erupsi molar ketiga yang tidak sempurna. Infeksi bakteri yang paling sering oleh streptococcus atau staphylococcus. Sejak semakin berkembangnya antibiotik, angina Ludwig menjadi penyakit yang 1 jarang.
struktur kelenjar menuju ruang sublingual, atau dapat juga meluas ke bawah sepanjang m. hyoglossus menuju ruang9 ruang fasia leher.
Gambar 2. Ruang submandibular terletak antara m. mylohyoid, fasia dan kulit. Ruang submandibular terinfeksi langsung oleh molar kedua dan ketiga.16 Pada infeksi ruang sublingual, edema terdapat pada daerah terlemah dibagian superior dan posterior, sehingga menghambat jalan nafas.9
Gambar 3. Ruang sublingual, terletak antara mukosa mulut dan m. mylohyoid. Ruang ini dapat terinfeksi yang berasal dari premolar dan molar pertama.16
Gambar 1. Linea mylohyoidea, tempat perlekatan m. mylohyoideus. Infeksi premolar dan molar menyebabkan perforasi, kemudian menyebar keruang-ruang yang dibatasi 15 oleh m. mylohyoideus. Infeksi pada ruang submental biasanya terbatas karena ada kesatuan yang keras dari fasia servikal profunda dengan m. digastricus anterior dan tulang hyoid. Edema dagu dapat terbentuk dengan jelas.9 Infeksi pada ruang submaksilar biasanya terbatas di dalam ruang itu sendiri, tetapi dapat pula menyusuri sepanjang duktus submaksilar Whartoni dan mengikuti
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
Gambar 4. Penyebaran pembengkakan akibat abses di ruang sublingual dan submandibular.3
33
Gambaran Klinis Gejala klinis yang timbul adalah demam, nyeri tenggorokan dan leher disertai pembengkakan di daerah submandibular yang tampak hiperemis, drooling, dan trismus. Nyeri tekan dan keras pada perabaan (seperti kayu). Dasar mulut membengkak, dapat mendorong lidah ke atas belakang sehingga menimbulkan sesak nafas.2,6,7,13 Meskipun banyak pasien sembuh tanpa komplikasi, angina Ludwig dapat berakibat fatal. Pada kasus yang berat dapat terjadi stridor dan obstruksi jalan nafas.8
Gambar 5. Tanda angina Ludwig pada anak, kemerahan dan 17 pembengkakan pada leher atas di bawah dagu.
Gejala klinis yang timbul adalah demam, nyeri tenggorokan dan leher disertai pembengkakan di daerah submandibula yang tampak hiperemis, drooling, dan trismus. Nyeri tekan dan keras pada perabaan (seperti kayu). Dasar mulut membengkak, dapat mendorong lidah ke atas belakang sehingga menimbulkan sesak nafas. 2,6,7,13 Ludwig dengan bentuk lain dari infeksi leher dalam. Infeksi pada angina Ludwig harus memenuhi kriteria: - Terjadi secara bilateral pada lebih dari satu rongga. - Menghasilkan infiltrasi yang gangren-serosanguineous dengan atau tanpa pus. - Mencakup fasia jaringan ikat dan otot namun tidak melibatkan kelenjar. 18 - Penyebaran perkontinuitatum dan bukan secara limfatik.
Penatalaksanaan Gambar 6. Abses submandibular pada orang dewasa 17 dengan diabetes melitus
Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan: Anamnesis, gambaran klinis, pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan gejala berupa rasa nyeri pada leher. Dari anamnesis biasa juga didapatkan adanya riwayat sakit 2 gigi, mengorek, dan mencabut gigi.
Diagnosis Banding 6
Limfadenitis submandibular, abses gigi. Ada empat kriteria yang dikemukakan Grodinsky untuk membedakan angina
34
Setelah diagnosis angina Ludwig ditegakkan, maka penanganan yang utama adalah menjamin jalan nafas yang stabil melalui trakeostomi yang dilakukan dengan anestesia lokal. Trakeostomi dilakukan tanpa harus menunggu terjadinya dispnea atau sianosis karena tanda-tanda obstruksi jalan nafas yang sudah lanjut. Jika terjadi sumbatan jalan nafas maka pasien dalam keadaan gawat darurat.7,12 Kemudian diberikan antibiotik dosis tinggi dan berspektrum luas secara intravena untuk organisme grampositif dan gram-negatif serta kuman aerob dan anaerob. Antibiotik yang diberikan sesuai dengan hasil kultur dan hasil sensitifitas pus. Pengobatan angina Ludwig pada anak untuk perlindungan jalan napas digunakan antibiotik
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
intravena, selain itu dapat juga digunakan terapi pembedahan. Antibiotik yang digunakan adalah Penicilin G dosis tinggi, kadang-kadang dapat dikombinasikan dengan obat antistaphylococcus atau metronidazole. Jika pasien alergi pinicillin, maka clindamycin hydrochloride adalah pilihan yang terbaik. Dexamethasone yang disuntikkan secara intravena, diberikan dalam 48 jam untuk mengurangi edem dan perlindungan jalan nafas.3,6,13 Selain itu dilakukan eksplorasi yang dilakukan untuk tujuan dekompresi (mengurangi ketegangan) dan evaluasi pus, pada angina Ludwig jarang terdapat pus atau jaringan nekrosis. Eksplorasi lebih dalam dapat dilakukan memakai cunam tumpul. Jika terbentuk nanah dilakukan insisi dan drainase. Insisi dilakukan di garis tengah secara horizontal setinggi os. hyoid (3–4 jari di bawah mandibula). Insisi dilakukan di bawah dan paralel dengan korpus mandibula melalui fasia dalam sampai ke kedalaman kelenjar submaksilar. Insisi vertikal tambahan dapat dibuat di atas os. hyoid sampai batas bawah dagu. Perlu juga dilakukan pengobatan terhadap infeksi gigi untuk mencegah 2,6,9,10 kekambuhan. Pasien dirawat inap sampai infeksi reda.
Pencegahan Pemeriksaan gigi ke dokter secara teratur dan rutin penanganan infeksi gigi dan mulut yang tepat dapat mencegah kondisi yang akan meningkatkan terjadinya angina Ludwig.7,11
Prognosis Pada penderita usia muda yang berbahaya terutama ruptur abses spontan dengan aspirasi dan/atau spasme laring. Ada kemungkinan meskipun jarang, jika tidak diobati dapat menyusup ke dalam ruang faring dengan atau tanpa tanda-tanda luar, menjalar ke bawah dari belakang esofagus menuju ke mediastinum posterior, septikemia, perdarahan, edema, ruptur, dan aspirasi. Angina Ludwig dapat berakibat fatal karena membahayakan jiwa. Namun dengan diagnosis dini, perlindungan jalan nafas yang segera ditangani, pemberian antibiotik intravena yang adekuat, penanganan dalam ICU, penyakit ini dapat sembuh tanpa mengakibatkan komplikasi. 3,7,8,11
Daftar Pustaka
Gambar 7. Insisi ludwig Angina13
Gambar 8. Proses penjalaran ke mediastinum sebagai salah 13 satu komplikasi ludwig angina
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
1. Free Encyclopedia. Ludwig’s angina. Available at: http://www. Wikipedia.org 2. Fahruddin, Darnila. Abses leher dalam. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Edisi 5 Jakarta; 2001.p.1859 3. Hartmann RW. Ludwig angina in children. Available at: www.aafp.org 4. Colman HB. Disease of the nose, throat and ear, and head and th neck. 14 ed. Hall and Colman’s. Singapore; 1992.p.181 5. Adams LG, Boies RL, Higler AP. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6 Jakarta; 1994.p.345 6. Mansjoer A, et al. Angina ludwig. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta:Media Aesculapius; 2000.p.124-5 7. Gandhi Monica, MD, MPH. Ludwig’s angina health. Available from: http://www.nlm.nih.gov/medicineplus/ency/article/001047.htm 8. Lorenso, Pia. Ludwig’s angina associated with molar infection. Available from : http://www.parentingteen.com 9. Balleger JJ. Ruang-ruang easia. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 13. Jakarta:Binarupa Aksara; 1994.p.299-301 10. Anias CR. Ludwig angina. Available from: http:// www.medstudens.com.br 11. Ghandi M. Ludwig’s angina. Available from: http:// www.medicalencyclopedia 12. Bailey BJ. Odontogenic infection. Head and Neck Surgerynd O t o l a r y n g o l o g y. 2 e d . P h i l a d e l p h i a : L i p p i n c o t t - R a v e n ; 1998.p.673-5 13. Marchincuk MC. Deep neck infection. Available from: http:// www.emedicine.com 14. American Academy of Otolaryngology. Ludwig’s angina and deep neck infection. Available from: http://www.entnet.org. 15. Rosen EJ, Bailey BJ. Deep neck spaces and infection. Availavle from: http://www.ilkom.unsri.ac.id/ 16. Chummings, CW. Odontogenic infection. Otolaryngology-Head and nd Neck Surgery. 2 ed 17. Ghorayeb BY. Submental abcess. Available from: http:// www.ghorayeb.com 18. Lanctot A. Ludwig’s angina in a 38 years old male with advance AIDS. Available from: http://www.medstanford.edu?mmedschool/
35
LAPORAN KASUS
Abses Leher Dalam sebagai Komplikasi Infeksi Odontogenic Sutji Pratiwi Rahardjo Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNHAS
Abstrak. Abses leher dalam adalah abses yang terbentuk di dalam ruang potensial, di antara fasia leher sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, sinus paranasali, telinga tengah, leher, dan lain-lain. Infeksi biasanya dimulai dari jaringan lunak leher yang meluas ke ruang-ruang potensial . Apeks gigi molar rahang bawah sangat erat hubungannya dengan m. mylohyoideus sehingga bila terjadi abses dentoalveolar, mudah menembus ruang submaksilar dan menyebar secara perkontinuitatum ke ruang-ruang lain. Komplikasi yang paling tinggi mortalitasnya pada penyakit ini adalah mediastinitis. Kami melaporkan 2 kasus abses leher dalam yang berasal dari komplikasi infeksi odontogenic. Kasus pertama adalah angina Ludwig yang berasal dari infeksi gigi 4.8. Kasus kedua adalah masticatory abscess yang berasal dari infeksi gigi 4.8. Pada kasus 1 dan 2, pasien datang dengan trismus, disfagia, febris dan tanpa obstruksi jalan napas. Pada pasien dilakukan drainase abses dan pemberian antibiotik parenteral sesuai kultur dan sensitivitas. Hasil terapi baik, maka pasien melakukan ekstraksi gigi untuk menghilangkan fokus infeksi setelah rawat jalan. Kata kunci: abses leher dalam, angina Ludwig, masticatory abscess
Pendahuluan Abses leher dalam adalah abses yang terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, sinus paranasal, telinga tengah, leher, dan lainnya. Tergantung ruang mana yang terlibat, gejala dan tanda klinis setempat berupa nyeri dan pembengkakan akan menunjukkan lokasi 1,2 infeksi. Sejak ditemukannya antibiotik, secara signifikan angka kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) kasus abses leher dalam menurun secara drastis. Walaupun demikian, abses leher dalam tetap merupakan salah satu kasus kegawatan di bidang THT. Keterlambatan dalam diagnosis dan pemberian terapi yang tidak adekuat dapat mengakibatkan komplikasi yang dapat membahayakan jiwa, seperti mediastinitis, dengan angka mortalitas sebesar 2,3 40%. Karena itu diperlukan pengetahuan dan pemahaman anatomi yang baik tentang fasia dan ruang potensial serta faktor penyebab dari abses leher dalam agar dapat memperkirakan perjalanan penyebaran infeksi dan penatalaksanaan yang adekuat.1,3,4
Etiologi
leher dalam disebabkan oleh penyebaran dari infeksi yang berasal dari faring dan tonsil. Setelah ditemukannya antibiotik, infeksi gigi merupakan sumber infeksi paling banyak yang dapat menyebabkan abses leher dalam. Kebersihan gigi yang kurang dan penyalahgunaan obat intravena bisa menjadi faktor penyebab tersering pada orang dewasa.2,5 2 Penyebab infeksi leher dalam sebagai berikut: Infeksi pada faring dan tonsil Infeksi atau abses dental Prosedur bedah mulut atau pengangkatan kawat gigi Infeksi atau obstruksi glandula saliva Trauma kavum oris dan faring Pemeriksaan, terutama esofagoskopi atau bronkoskopi Aspirasi benda asing Limfadenitis servikal Anomali celah brakial Kista ductus tyroglossalis Tiroiditis Mastoiditis dengan petrositis dan Bezold’s abscess Penggunaan obat intravena Nekrosis dan supurasi masa atau limfonodus servikalis maligna
Sebelum ditemukannya antibiotik, 70% dari kasus abses
36
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
Berbagai jenis organisme ditemukan pada abses leher dalam. Kebanyakan abses mengandung flora bakteri campuran. Pada suatu penelitian, rata-rata ditemukan lebih dari 5 spesies yang diisolasi pada satu kasus.2,5,6 Streptococcus, terutama hemolytic, dan staphylococcus adalah patogen aerob yang sering ditemukan. Isolat aerob yang lain adalah bakteri Diptheroid, Neisseria, Klebsiella, dan Haemophillus.2 Kebanyakan abses odontogenic melibatkan patogen anaerob misalnya spesies Bacteroides, terutama Bacteroides melaninogenicus, dan Peptostreptococcus.2,5
Kasus Kasus Pertama Pasien laki-laki, 35 tahun, dengan keluhan utama terdapat pembengkakan di bawah dagu yang terasa hangat dan keras, susah makan terutama makanan padat, tetapi masih dapat minum. Sembilan hari sebelumnya penderita mengeluh sakit pada gigi geraham kiri bawah, lalu berobat di Puskesmas namun tidak ada perubahan. Pasien merasa ada cairan nanah yang merembes keluar melalui akar giginya yang rusak. Dua hari sebelum masuk RS penderita tidak dapat membuka mulut dan disertai suhu badan yang agak tinggi, sakit kepala namun sesak belum ada. Pemeriksaan Fisis: Keadaan umum: sedikit lemah/gizi cukup/ sadar. Tanda vital: tekanan darah (TD):120/80 mm Hg, nadi (N): 100x/ o mnt, suhu (S): 38,5 C, pernapasan (P): 28x/mnt. Terlihat trismus ± 2 cm, hipersalivasi. Melalui celah di antara gigi tampak sisa gangren radiks pada M3 kiri bawah. Sesak belum dirasakan oleh penderita.
Pemeriksaan THT Inspeksi: fluktuasi di bawah leher, batas tidak jelas, saat di palpasi kesan seperti papan, teraba panas, tetapi tidak nyeri. Telinga: telinga kanan dan kiri tidak ada kelainan. Hidung: konka nasalis dan septum nasi kesan normal. Tenggorok: tidak dapat dinilai karena trismus ± 2 cm. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: 3 3 6 3 Hb:13g/dL, lekosit: 20x10 /mm , eritrosit: 4.48x10 /mm , 3 3 trombosit: 247x10 /mm , GDS: 229 mg/dL, ureum: 90.7 u/ L, kreatinin: 1,47 u/L, SGOT: 78.3 u/L, SGPT: 52.7 u/L Radiologi: foto toraks: kesan normal. Foto servikal AP dan lateral: soft tissue swelling dengan gambaran lusen di dalamnya. Di daerah prefaringal dan parafaringal disertai dengan kompresi pada ke-2 sisi trakea terutama sisi kiri, sesuai dengan gambaran abses prefaringal dan parafaringal.
Foto panoramic: karies profunda gigi 3.7 dan gigi 4.8 disertai abses periapikal.
Diagnosis kerja: angina Ludwig Penatalaksanaan: IVFD RL: Dextrose 5% 1:1.28 tts/mnt Clindamycin 3x300 mg p.o Metronidazole 500 mg/12 jam/IV drips
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
37
Dexamethasone 1 ampul/8 jam/IV Novalgin 1 ampul/8 jam/IV Pasang NGT, diet bubur saring (TKTP per sonde) Awasi jalan nafas dan tanda-tanda vital (T,N,S,P) Konsul bagian gigi, mulut dan bagian interna Perawatan hari ke-1 Tanda vital: T: 120/70 mmHg, N: 88x/mnt, S: 38°C, P: 20x/ mnt. Keadaan umum: sedikit lemah. Trismus ± 2 cm, odinofagi (+), febris ada, disfagia (+) (makanan padat) Edema pada daerah submental dan submandibula, fluktuasi (+), sesak (-). Penatalaksanaan : o IVFD RL: dextrose 5% 1; 1.28 tetes/mnt. o Clindamycin 3x300mg (per sonde) o Dexamethasone 1 amp/8 jam/IV o Novalgin 1 amp/8 jam/IV o Diet bubur saring TKTP (per sonde) o Dilakukan pungsi dan aspirasi di daerah submental, kesan pus disertai darah kurang lebih 50 cc o Kultur dan sensitivitas tes o Jawaban konsul bagian Gigi dan Mulut: setuju dilakukan ekstraksi sisa akar gigi M3 kiri bawah, jika trismus berkurang o Jawaban konsul Penyakit Dalam: terdapat gangguan fungsi ginjal mungkin disebabkan oleh intake cairan tidak adekuat. Usul: rehidrasi (keseimbangan cairan), kontrol ulang ureum dan kreatinin beberapa hari kemudian, periksa GDP, TTGO. Perawatan hari ke-8: Keadaan umum: Membaik. o Tanda vital: T: 120/70 mmHg, N: 88x/mnt, S: 37,3 C, P: 20x/mnt Trismus ± 3 cm, odinofagi (±), disfagia mulai berkurang, pus sisa sedikit pada drain. Ganti obat oral yaitu: Clindamycin 3x300 mg, dexametazone 3x1 tablet, mefenamat acid 3x500 mg, ekstraksi gigi.
Pemeriksaan THT Inspeksi: benjolan di pipi sebelah kiri mulai daerah zygoma ke bawah sampai di daerah submental dan angulus mandibula kiri. Palpasi: nyeri tekan (+), fluktuasi (+). Telinga: telinga kanan dan kiri tidak ada kelainan. Hidung: konka nasalis dan septum nasi kesan normal. Tenggorok: tidak dapat dinilai karena trismus ± 2 cm. Pemeriksaan penunjang Laboratorium: Hb:16g/dL, leukosit 21.1x103/mm3, GDS: 95 mg/dL, ureum 34 mg/dL, kreatinin 1.7 mg/dL, SGOT 17 u/L, SGPT 15 u/L. Radiologi: Foto toraks: dalam batas normal, foto servikal AP/ lateral: tidak ada kelainan radiologik.
Kasus Kedua: Pasien laki-laki, 28 tahun, dengan keluhan utama terdapat pembengkakan daerah pipi sebelah kiri ± 7 hari sebelum masuk RS. Dua hari sebelum masuk RS, penderita tidak dapat membuka mulut, disertai sakit bila menelan. Demam, sakit kepala, tetapi tidak ada sesak Pemeriksaan Fisis Keadaan umum : sakit sedang/ gizi baik/ sadar. Tanda vital: T: 110/60 mmHg, N: 72x/mnt, S: 36.5°C, P: 20x/ mnt, terlihat trismus ± 1 cm, hipersalivasi. Tampak sisa akar gigi M2 dan M3 rahang bawah kiri. Tidak terdapat adanya sesak.
38
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
Foto panoramic: karies profunda gigi 3.7 dan gigi 4.8 disertai abses periapikal. Diagnosis kerja: masticatory abscess sinistra Penatalaksanaan: IVFD RL: Dextrosa 5% 1:1 28 tetes/mnt. Ampicillin 1 gr/8 jam/IV (skin test). Metronidazole 500 mg/12 jam/IV/drip. Novalgin 1 amp/8 jam/IV. Dexamethasone 1 amp/8 jam/IV. Konsul bagian Gigi dan Mulut Perawatan hari I Keadaan umum: sakit sedang/gizi cukup/sadar. Tanda vital: T: 110/60 mmHg, N : 72x/mnt, S : 36.5oC ,P : 20 x/ mnt. Terlihat trismus ± 1 cm, bengkak pada pipi sebelah kiri. Dilakukan insisi dan drainase ± 1 cm di bawah angulus mandibula kiri, kesan pus warna kuning kehijauan, foetor (+). Kultur dan sensitivitas. Jawaban konsul Gigi dan Mulut: ekstraksi gigi dilakukan setelah trismus berkurang. Perawatan hari ke-9 Keadaan umum: sakit sedang/gizi cukup/sadar. o Tanda vital: T: 110/60 mmHg, N: 72x/mnt, S: 36.5 C, P: 20 x/mnt. Trismus membaik ± 3 cm, bengkak pada pipi sebelah kiri sudah tidak ada. Odinofagi tidak ada. Penatalaksanaan: ganti dengan obat oral yaitu: chloramphenicol 3x500 mg, dexamethasone 2x1 tablet, Na diclofenac 2x50 mg, ekstraksi gigi dan pasien dipulangkan.
Pembahasan Kasus pertama merupakan kasus angina Ludwig yang mengenai beberapa ruang leher dalam yaitu ruang submental, submandibular, ruang visera anterior dengan sumber infeksi berasal dari gigi molar rahang bawah. Penjalaran penyakit diawali dengan sakit gigi kemudian diikuti pembengkakan di dagu. Penyebaran infeksi yang berlanjut ke submental dan submandibula tanpa diketahui ruang mana yang terkena lebih dahulu. Sedangkan kasus kedua merupakan kasus masticatory abscess. Menurut Boss-Sorvino, et al., faktor penyebab infeksi odontogenic dan periodontal merupakan 75-90% dari seluruh
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
kasus. Adanya trismus dan letak anatomi yang berdekatan antara apeks radiks gigi, ruang submandibular dan masticatory menunjukkan kemungkinan adanya penyebaran infeksi dari gigi.10 Trismus dapat juga terjadi akibat iritasi pada m. masseter dan tendon m. pterygoideus internus yang terdapat di ruang masticatory. Dari ruang masticatory, infeksi dapat dengan mudah menyebar ke ruang parafaring, oleh karena parafaring terletak di anterolateral dari ruang masticatory. Pertimbangan pertama pada pasien dengan angina Ludwig adalah kontrol jalan napas. Edema lidah dan mulut, serta adanya trismus adalah halangan untuk melakukan intubasi oral. Trakeostomi dipertimbangkan bila ada tandatanda sumbatan jalan napas.8 Pada kedua kasus ini tidak ditemukan adanya hambatan jalan nafas. Pada kasus pertama, pus yang terdapat di ruang sublingual dapat di drainase dengan baik melalui fistula intraoral (sisa akar gigi yang mengeluarkan pus). Gambaran foto servikal AP dan lateral, tampak bahwa selain abses di submental, juga terdapat abses di parafaringal yang menekan trakea. Hubungan anatomi antara masing-masing ruang potensial adalah sebagai berikut kasus kedua, pasien datang dengan pembengkakan pada pipi kiri. Setelah dilakukan insisi dan drainase pada daerah angulus mandibula, keluar pus warna kuning kehijauan. Keadaan umum penderita menjadi lebih baik, setelah eksplorasi dan pemberian antibiotik yang 2 sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas.
Daftar Pustaka 1. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok. Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2000.p.184-8 2. Driscoll BP, Scott B, Stiernberg C. Deep neck space infection. In: Bailey, ed. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. 2 nd ed. Vol 1. Philadelphia New York:Lippincott-Raven; 2002.p.819-35 3. Lee Kj. Neck spaces and fascial planes. In: Essential Otolryngology Head & Neck Surgery. 8 th ed. New York:McGrawHill.p.422-37 4. Ballenger JJ. Snow JB. Ruang-ruang fasia. Dalam: Staf Ahli Bagian THT RSCM-FKUI, ed. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. 13 th edition. Jakarta:Bina Rupa Aksara;1996.p.295-303 5. Marcincuk MC. Deep neck infections. Available from: http:// www. emedicine.com/ specialties/ otolaryngology and Facial Plastic Surgery 6. Jimenez Y, et al. Odontogenic infections complications. Systemic manifestations. In: Med Oral Patol Oral Cir Bucal 2004; 9 Suppl:SJ 39-47 7. Beck HJ. Salassa JR. McCaffrey T, et al. Life-threatening soft tissue infections of the neck. Laryngoscope 1984; 94: 54-62 8. Bross-Soriano D, et al. Management of ludwig’s angina with small neck incisions: 18 years experience. Otolaryngol Head Neck Surg 2004; 130:712-7 9. Levine T et al. Mediastinitis occurring as a complication of odontogenic infections. Laryngoscope 986; 96:747-9 10. Zainuddin H, dkk. Abses mastikator. Kumpulan Naskah Ilmiah Konggres Nasional VIII. PERHATI; 1986.p.649-54
39
LAPORAN KASUS
Prune-Belly Syndrome: A Case Report Leecarlo Millano The Pediatrics Department of PGI Cikini’s Hospital Jakarta
Abstract. The incidence of prune-belly syndrome (PBS) is 1 in 35,000 to 50,000 live births. It characterized by three main signs: deficiency of the abdominal muscles, undescended testis, and abnormality of the urinary tract. A 2.6 year-old boy was diagnosed with PBS. He presented with right lateral abdominal enlargement and urinary in continence. The diagnosis, was made base on the physical examinations and laboratory findings, was not performed abdominal tumor. At 9 days hospitalization, the physicians suspected PBS.
C
ongenital absence of the abdominal musculature was first recognized and described by Frolich in 1839. It was not until 1895 that accompanying urinary tract abnormalities and undescended testes were linked to the lax abdominal wall by Parker. At the turn of the century, Sir William Osler accurately described an infant with the syndrome, and by likening the abdomen to a prune, coined the term “prune-belly syndrome”.1 This syndrome, also known as abdominal deficiency syndrome or 2-7 Eagle-Barrett syndrome. The abdominal flaccidity may cause several conditions, including lordosis and respiratory infections owing to a lack of abdominal support. The testes, located inside the abdomen, are indistinguishable from cryptorchid testes of nonsyndromic patients. When untreated, despite adequate testosterone levels, the testes disclose a lack of spermatogenesis after puberty. The urinary tract presents with varying degrees of renal dysplasia and ureteropelvic dilation and redundancy, particularly in the distal ureter. Large capacity bladders are generally present, in association with urachal diverticulum or fistula, and with large postvoid residual volumes. 3,8 Vesicoureteral reflux (VUR) occurs in two thirds of patients. 2,3 The prognosis may depend on the
40
degree of urinary tract stasis or obstruction and infection that impairs renal function later in life. 3 The PBS is associated with trisomy 18 and 21. Patients with PBS also have an increased incidence of tetralogy of Fallot (TF) and ventriculoseptal defects.5,7 Cardiac abnormalities occur in 10% of cases, and more than 50% have abnormalities of the musculoskeletal system, including limb abnormalities and scoliosis.2 This is a rare case. There‘s only a few literatures about this syndrome; no wonder not all physicians realize that the patient has this syndrome. The incidence among males is 18-20 times higher than in 5 females. Only about 3-5% of patients with prune-belly syndrome are females.2,7,9
Case Report A 2.6-year-old boy, was referred to PGI CIKINI hospital, Jakarta. from a hospital in Merauke, West Papua Province, with a right lateral abdominal enlargement (figure 1), urinary incontinence, and fever for almost a week. His parents said that all signs (excluding fever) had been showed since the patient was born, and it got worse. His past medical and family history were noncontributory.
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
aminotransferase was 28 U/l, and the alanine aminotransferase was 23 U/l. The γ-GT was 21 U/l. The sodium serum was 134 mmol/l, the potassium serum was 2.7 mEq/l, and the calcium serum was 9.7 mmol/l. The urinalysis showed that the leukocytes count was >300 cells/hpf (reference: 2-3 cells/hpf), and the erythrocytes count was >100 cells/hpf B A (reference: 1-3 cells/hpf ). With these physical examination and laboratory findings, our temporary diagnosis was abdominal tumor with the urinary tract infection, and undescended testis. Daily intravenous cefotaxime 100 mg/kg body weight and paracetamol 10 mg/kg body weight every six hours was initially given to the patient. A Folley cathether no. 8 was inserted into urethra. At 2 days of hospitalization, the C D body temperature was 380C. The a-Fetoprotein Figure 1. The patient had presented classical signs of prune-belly syndrome: (AFP) was 0.84 mg/dl (reference: 0-15 mg/dl). abdominal wall flaccidity (on right lateral the abdominal wall), unilateral/bilateral The abdomen radiograph showed mild intra-abdominal cryptorchidism, and urologic abnormalities. widening on both pelviocalyces system, and there were dilatation of the ureters and possibly enlargement The patient was born at 32 weeks of gestation by of the bladder (Figure 2). The urine culture which collected spontaneous vaginal delivery to a 20-year-old woman (gravida when admission was negative. 1, para 0, abortus 0) after an uncomplicated pregnancy delivered by a midwife and his weihging 2,700 g. After delivery, the patient had cried, active, negative cyanotic, and an abdominal enlargement. Physical examination was done when he arrived at CIKINI hospital-Jakarta. He, was known to have a fever and an urinary incontinence. The weight was 12.5 kg; the body temperature was 38.60C (axilla); the respiratory rate was 24 per minute; the heart rate was 120 per minute; the blood pressure was 100/70 mmHg; the sounds of heart were normal. The right side of abdomen was on enlarge and its soft to the touch. A palpable mass on the right side of the abdomen was diagnosed as the bowel, without hepatosplenomegaly. The abdomen auscultation was normal. There was no pain when palpilated. On the palpation of testes, there was an undescended testis. The extremities were warm with adequate peripheral pulses. The signs of meningeal irritation, pharyngitis, rash, or muscle tenderness were absent. The laboratory tests showed; leukocytes count was 14,100 cells/mm 3 (reference 5,000-10,000 cells/mm 3 ) with 1% neutrophils, 50% bands, 45% lymphocytes, and 6% monocytes. The hemoglobin was 11.8% g/dl and the platelets were Figure 2. The abdomen radiograph was taken at 2 days of 387x103/mm3. The sedimentation rate was 66/1 hour. The 3 hospitalization. The bowel was pressed on to the right side of mean corpuscular volume was 74 mcm , the mean corpuscular abdomen. The distal ureter was more dilated on its distal segment. hemoglobin was 24.6 pg, and the mean corpuscular hemoglobin concentration was 33.4 g/dl. The serum creatinine The CT scans of the abdomen showed urine retention with was 0.6 mg/dL, the serum urea nitrogen was 21 mg/dl. The bilateral hydroureter and hydronefrosis. It was possibly total protein was 7.6 g/dl, the serum albumin was 3.7 g/dl, because of the a bladder stenosis (Figure 3). the serum globulin was 3.9 g/dl. The aspartate
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
41
Figure 5. USG of left testis
Figure 3. The kidneys were normal, with a mild widening pelviocalyces system. This scanning clearly showed that the bowel pressed on to the lateral side of the abdomen. At 3 days of hospitalization, the electrolyte serum tests were reevaluated. The sodium serum was 138 mmol/l, the potassium serum was 2.9 mEq/l, the calcium serum was 9.5 mg/dl, and the β-HCG results was <0.10. The scrotum ultrasonography was taken at 4 days of hospitalization. The result was an undescended right testis (Figure 4 & 5).
Figure 4. USG of right testis
42
At 9 days of hospitalization, the patient complained of 0 diarrhea. The temperature was 37.6 C. The feces culture positive for Enterobacter aerogenesis. The probiotic which contained Lactobacillus was given, 2 sacchets daily. A pediatrics‘ nephrologist was consulted. The diagnostic procedure was performed as a PBS. At 10 days of hospitalization, the urinalysis tests was 0 normal. The temperature was 37.5 C. The intravenous administration of cefotaxime was stopped. At 13 days of hospitalization, the patient was afebrile. The pediatrics‘ nephrologist given an oral cephalexin 3x100 mg three times a daily as a prophylaxis. This drug should be administered until day 14. At 16 days of hospitalization, the patient was discharged and instructed to complete the administration of the oral cephalexin.
Discussion PBS can be diagnosed prenatally by a combination of ultrasonographic findings: megacystis, bilateral ureteral dilation, and signs of abdominal wall laxity. The diagnosis has been made as early as 12 weeks of gestation. Although prenatal diagnosis is possible, it is very difficult to differentiate PBS from changes secondary to posterior urethral valves and urethral atresia.10 Unfortunately the cause of the PBS has produced an intriguing, unsettled controversy. Classical thinking on embryogenesis assumes a primary somatic defect in the 1,8 developing abdominal wall. The prevailing theory is the theory of mesodermal arrest, which would explain the involvement of the genitourinary tract, the testis, and the abdominal wall. A noxious insult would have to occur between the 6th and 10th weeks of gestation. Some place that insult at 3 weeks of embryogenesis, which possibly explains the prostatic hypoplasia and poor glandular development. The mesodermal arrest theory is supported by the histologic findings in the abdominal wall, the urinary tract, and the male genital system.
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
The abundance of fibrous tissue, collagen, and connective tissue with sparsely placed muscle throughout the urinary tract speaks more of a mesodermal differentiation problem than one of obstruction.7 In this case, although the classical symptoms of PBS were showed, we had not noticed it. It was because the limited experiences and literatures. As, initial diagnosis before 9 days of hospitalization was an abdominal tumor with urinary tract infection and undescended testis. Woodard, classified PBS patients into three groups. In group 1 (20% of cases), significant renal dysplasia and pulmonary hypoplasia is present, and most patients are still born or die shortly after birth. In group 2 (40%), despite many anatomic and functional abnormalities, adequate renal function is present at birth, but may become compromised by obstruction and infection. One third of untreated patients in group 2 die within the first 2 years of renal failure or sepsis. Patients in group 3 (40%) present with mild urinary tract abnormalities, ensuring normal function and survival in most patients. 3 Based on the physical examination and laboratory findings, we temporary suspected the patient was in the group 3. The main problem to this patient is the recurrency of urinary tract infection because the upper urinary tract stasis, poor bladder emptying, vesicoureteral reflux, and bacteriuria in various combinations are the factors that have 11,12 led to poor long-term prognosis. Even with aggressive antibiotic therapy, urinary stasis, and repeat infections are thought to lead to inevitable loss of renal function. Regardless, ureteral reimplantation in patients with PBS can be quite difficult and is not infrequently fraught with complications. 7 Unfortunately, management of the undescended testis in this patient was useless. Reports by experienced observers have confirmed that it is usually impossible to bring the abdominal testicle into a scrotal position in the two years of age or older patients by a simple orchiopexy. Besides that, a later evaluation of Woodard‘s initial group of patients undergoing neonatal transabdominal orchiopexy showed them to have higher testosterone levels than a comparable group of contemporary patients having staged or Fowler-Stephens orchiopexy when older. Based on that experience, Woodard and other researchers recommend that transabdominal bilateral orchiopexy be performed sometime in the first 6 months of 1,3,7,13 life. Abdominal wall reconstructrion should be performed for this patient, because it has been prove in improving respiratory function and for cosmetical reasons. Congenital abdominal musculature in PBS, loss of spinal function and stability that could lead to development of low
DEXA MEDIA, No. 1, Vol. 21, Januari - Maret 2008
back pain.14 Several innovations in abdominal wall reconstruction have been developed over the years. Dénes, et al., showed that abdominoplasty resulted in immediate functional and cosmetic improvement compared with the preoperative status, with decreased flaccidity and better orthostatic posture in older patients. Parental satisfaction in all cases was significant. 3,7,13
Conclusion Regardless of how an individual patient might be treated, he will require long-term treatment follow-up surveillance. As more long-term results are reported, the optimal treatment plan should become more obvious.11
References 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13. 14.
Randolph J, Cavett C, Eng G. Surgical correction and rehabilitation for children with ”prune-belly” syndrome. Ann Surg 1981; 193(6):757-62 Gonzales R. Urologic disorders in infants and children. In: Nelson WE, Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 15 th ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company;1996.p.1527-53 Dénes FT, Arap MA, Giron AM, et al. Comprehensive surgical treatment of prune belly syndrome: 17 years‘ experience with 32 patients. Pediatric Urology 2004; 64(4):789-93 Moerman P, Fryns JP, Goddeeris P, et al. Pathogenesis of the prune-belly syndrome: a functional urethral obstruction caused by prostatic hypoplasia. Pediatrics 1984; 73(issue 4):470-5. Abstract Cazorla E, Ruiz F, Abad A, et al. Prune belly syndrome: early antenatal diagnosis. European Journal of Obstetrics & Gynaecology and Reproductive Biology 1997; 72:31-3 Ramasamy R, Haviland M, Woodard JR, et al. Patterns of inheritance in familial prune belly syndrome. Urology 2005; 65(6):1227:e26-7 Franco I, Langenstroer P, Talavera F, et al. Prune belly syndrome. Available from: URL: http://www.emedicine.com/med/topic3055.htm. Accessed month year Kuga T, Esato K, Sase M, et al. Prune belly syndrome with penile and urethral agenesis: report of a case. J Pediatr Surg 1998; 33(12):1825-8 Güvenç M, Güvenç H, Aygün D, et al. Prune-belly syndrome associated with omphalocele in a female newborn. J Ped Surg 1995; 30(6):896-7 Perez-Brayfield MR, Gatti J, Berkman S, et al. In utero intervention in a patient with prune belly syndrome and severe urethral hypoplasia. Urology 2001; 57(6):1178vii-ix. Woodard JR, Zucker I. Current management of the dilated urinary tract in prune belly syndrome. Urol Clin North Am 1990; 17(2):40718. Abstract Lum GM. Kidney and urinary tract. In: Hay WW, Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM, editors. Current Pediatric Diagnosis and Treatment. 15th edition. New York: McGraw-Hill; 2001:p.609-31 Woodard JR. Prune-belly syndrome: a personal learning experience. BJU 2003; 92(S1):10-1 Lam KS, Mehdian SH. Importance of an intact abdominal musculature mechanism in maintaining spinal sagittal balance: case study in prune-belly syndrome. J of Bone and Joint Surgery 2003;85-B(Issue SUPP I):22-23. Abstract.
43