5. Mengukur Kecepatan Efektif Membaca Seperti telah dijelaskan di muka, KEM itu merupakan perpaduan antara kecepatan membaca dengan kemampuan memahami isi bacaan. Kecepatan rata-rata baca merupakan cermin dari tolok ukur kemampuan visual, yakni kemampuan gerak motoris mata dalam melihat lambang-lambang grafis. Pemahaman isi bacaan merupakan cermin dari kemampuan kognisi, yakni kemampuan berpikir dan bernalar dalam mencerna masukan grafis yang diterimanya lewat indera mata. Untuk menentukan KEM seseorang diperlukan data mengenai rata-rata kecepatan bacanya dan persentase pemahaman isi bacaan. Data mengenai rata-rata kecepatan baca dapat diketahui apabila jumlah kata yang dibaca dan waktu tempuh bacanya diketahui. Cara menghitung rata-rata kecepatan baca adalah dengan cara membagi jumlah kata yang dibaca dengan waktu tempuh baca. Sebagai contoh, jika seseorang dapat membaca sebanyak 2500 perkataan dalam waktu 5 menit, artinya kecepatan rata-rata baca pembaca tersebut adalah 500 kpm (2500 : 5 = 500). Sementara itu, untuk memperoleh data tentang persentase pemahaman isi bacaan yang objektif (bukan perkiraan), tentu diperlukan suatu alat untuk mengukurnya. Alat tersebut berupa tes (masalah ini akan dibicarakan dalam bab tersendiri). Untuk menentukan persentase pemahaman seseorang terhadap bahan bacaan yang dibacanya ialah dengan cara membagi sekor bobot tes pemahaman isi bacaan yang dapat dijawab pembaca dengan benar dengan bobot/skor ideal kemudian diperkalikan dengan 100 (persen). Misalnya, jika seseorang dapat menjawab dengan benar tes pemahaman isi bacaan sebanyak 32 dari sekor ideal 50, maka persentase pemahaman isi bacaan pembaca yang bersangkutan adalah 64% (32/50 X 100% = 64%).
Berpedoman kepada pengertian KEM, yakni perpaduan antara kemampuan visual dan kemampuan kognisi, maka contoh-contoh penghitungan KEM untuk data di atas dapat ditentukan KEM-nya. Dari hasil penghitungan rata-rata kecepatan baca diperoleh data 500 kpm; dari hasil penghitungan persentase pemahaman isi bacaan diperoleh data 64%. Maka penghitungan KEM-nya adalah 500 X 64% = 320 kpm. Angka terakhir ini (320 kpm) merupakan kecepatan efektif membaca yang sudah menyertakan pengukuran dua unsur penyokong kegiatan baca, yakni kemampuan gerak mata dalam melihat lambang-lambang cetak dan kemampuan memahami isi bacaan. Sementara angka 500 kpm itu merupakan kemampuan kecepatan rata-rata baca yang belum menyertakan unsur pemahaman isi bacaan. Selanjutnya, berdasarkan ilustrasi di atas, sekarang kita dapat membuat beberapa alternatif rumus KEM yang dapat dipergunakan untuk menghitung dan menentukan KEM seseorang. Alternatif rumus-rumus tersebut antara lain sebagai berikut ini.
(1)
K
B
---- X ---- = ... kpm Wm
(2)
K
SI
B
----- X ---- = ... kpm Wd:60
(3)
K
SI
B
---- (60) X ---- = ... kpm Wd
SI
Keterangan: a) K : jumlah kata yang dibaca b) Wm : waktu tempuh baca dalam satuan menit c) Wd : waktu tempuh baca dalam satuan detik d) B : sekor bobot perolehan tes yang dapat dijawab dengan benar e) SI : sekor ideal atau sekor maksimal f) kpm: kata per menit
Untuk memudahkan proses pengukuran/penghitungan KEM, ikutilah prosedur kerja di bawah ini. 1) Tandailah bacaan anda/pembaca, di mana anda/pembaca memulai bacaan dan di mana pula berakhirnya, kemudian hitunglah jumlah kata yang telah (berhasil) anda baca itu dengan jalan: (a) menghitung jumlah kata per baris (sebagai sampel); (b)menghitung jumlah baris per halaman, lalu dikalikan dengan hasil penghitungan butir (a) menghasilkan jumlah kata per halaman. (c) menghitung jumlah halaman yang berhasil dibaca; (d)memperkalikan hasil penghitungan (b), yakni jumlah kata per halaman dengan hasil penghitungan (c), yakni jumlah halaman, menghasilkan jumlah seluruh kata yang telah dibaca.
Contoh : • Jumlah kata per baris = 11 • Jumlah baris per halaman = 35 • Jumlah halaman yang dibaca = 10 maka akan diperoleh: • Jumlah kata per halaman 11 X 35 = 385 kata • Jumlah kata yang dibaca (secara keseluruhan) adalah 10 x 385 = 3850 kata. 2) Catatlah waktu tempuh baca dengan jalan: (a) catat waktu mulai membaca, misalnya pk. 10.15 (b)catat waktu berakhirnya membaca, misalnya pk 10.20.30 (c) hitung waktu tempuh baca dengan jalan (b - a) atau 10.20.30 - 10.15 = 5 menit 30 detik atau 330 detik. 3) Hitung rata-rata kecepatan bacanya dengan jalan membagi jumlah kata (langkah 1) dan waktu tempuh baca (langkah 2) jika waktu tempuh baca dalam bentuk menit gunakan rumus (1), jika menggunakan satuan detik gunakan (2) atau (3). Penghitungan untuk contoh di atas menjadi seperti berikut ini.
*) Menggunakan rumus (1):
3850 ------ = 700 kpm 5.5
*) Menggunakan rumus (2) atau (3):
3850 ------ X 60 = 700 kpm atau 330
3850 ------- = 700 kpm 330:60
4) Tentukan persentase pemahaman isi bacaan yang anda capai dengan cara membagi sekor bobot perolehan yang benar dengan sekor idealnya, kemudian dikalikan dengan 100%.
Contoh: diberikan 30 soal pemahaman isi bacaan dengan
pembagian sebagai berikut:
I. 20 soal, bobot 2 ---> 20 X 2 = 40
II. 10 soal, bobot 1 ---> 10 X 1 = 10
------
Sekor idealnya adalah
= 50
Seandainya anda dapat menjawab 17 soal dengan benar dari nomor-nomor soal berikut: 16, 9, 12, 15-19, 22-25, 28; maka penghitungan sekor perolehan yang anda capai adalah sebagai berikut.
I. 18 butir X 2 = 36
II. 5 butir X 1 = 5
-------
Sekor perolehan = 41 atau 41:50 X 100% = 82%
5) Tentukan KEM-nya dengan jalan memperkalikan hasil langkah (3) (rata-rata kecepatan baca) dengan hasil langkah (4) (pemahaman isi bacaan). Untuk contoh data di atas, penghitungan KEM-nya tampak seperti berikut ini. (a) dengan rumus (1):
3850
41
------ X ---- = 5.5
3850 ------> ------ X 82% =
50
5.5
700 X 0.82 = 574 kpm
(b) dengan rumus (2):
700 X 82% = 574 kpm
3850
41
------ X 60 ---- = 330
50
3850 ------ X 60 82% = 330
700 X 0.82 = 574 kpm
700 X 82% = 574 kpm
(c) dengan rumus (3):
3850
41
3850
------ X ---- =
------ X 82% =
330:60
330:60
50
700 X 0.8
= 574 kpm
700 X 82% = 574 kpm
Dengan menggunakan rumus mana pun kita menghitung KEM, pada akhirnya akan menghasilkan angka yang sama, yakni 574 kpm.
Berbekal rumus penghitungan KEM tersebut, kita berkesimpulan bahwa untuk sampai pada penggunaan rumus tersebut terdapat sejumlah persiapan yang harus kita persiapkan untuk menghitung KEM. Persiapan-persian dimaksud meliputi: (a) menyediakan teks/wacana sebagai bahan bacaan; (b) menyiapkan alat pengukur waktu: jam tangan, stopwatch; (c) perangkat tes (tes bacaan).
6. KEM, Tujuan Membaca, dan Krakteristik Bahan Pembaca yang efisien mempunyai kecepatan baca yang fleksibel sesuai dengan bahan bacaan yang dihadapinya dan tujuan membacanya. Berikut ini disajikan rincian ratarata kecepatan baca yang disesuaikan dengan keperluan baca. a) Kecepatan 1000 kpm atau lebih biasa digunakan pada saat membaca skimming atau scanning, manakala pembaca hendak mengenal bahan bacaan yang akan dibaca, mencari jawaban atas pertanyaan tertentu, megetahui struktur organisasi bacaan, mencari gagasan pokok, mendapatkan kesan umum su atu bacaan, dan lain-lain. b) Kecepatan antara 500-800 kpm (tinggi) digunakan untuk membaca bahan bacaan yang mudah/ringan atau yang sudah dikenal, membaca novel/cerpen ringan untuk mengetahui jalan ceritanya. c) Kecepatan antara 350-500 kpm (cepat) digunakan untuk membaca bacaan mudah yang bersifat deskriptif/informatif dan bacaan fiksi yang agak sulit untuk menikmati keindahan sastranya atau mengantisipasi akhir cerita. d) Kecepatan antara 250-350 kpm (rata-rata) digunakan untuk membaca fiksi yang kompleks guna menganalisis watak tokoh dan jalan cerita atau bahan-bahan nonfiksi
yang agak sulit untuk mendapatkan detail informasi, mencari hubungan atau membuat evaluasi tentang ide penulis. e) Kecepatan antara 100-125 kpm (lambat) digunakan untuk mempelajari bacaan yang sukar, bahan bacaan ilmiah yang bersifat teknis, analisis nilai sastra klasik, memecahkan persoalan yang dirujuk bacaan yang bersifat instruksional (petunjuk). Kecepatan rata-rata di atas hendaknya disertai dengan minimal 70% pemahaman isi bacaan, karena kecepatan rata-rata tersebut masih merupakan kecepatan kasar yang belum menyertakan pemahaman isi bacaan. Berdasarkan hasil studi para ahli membaca di America, kecepatan yang memadai untuk siswa tingkat akhir sekolah dasar kurang lebih 200 kpm, siswa tingkat lanjutan pertama antara 200-250 kpm, siswa tingat sekolah lanjutan atas antara 250-325 kpm, dan tingkat mahasiswa antara 325-400 kpm dengan pemahaman isi minimal 70%. Dengan demikian, bila dihitung KEM-nya masing-masing akan menjadi seperti berikut: * tingkat SD
: 200 x 70% = 140 kpm
* tingkat SMTP
: 200 x 70% s.d. 250 x 70% = 140 - 175 kpm
* tingkat SMTA : 250 x 70% s.d. 350 x 70% = 175 - 245 kpm * tingkat PT
: 350 x 70% s.d. 400 x 70% = 245 - 280 kpm.
RANGKUMAN KEM merupakan kependekan dari kecepatan efektif membaca, yakni sebuah istilah untuk mencerminkan kemampuan membaca yang sesungguhnya yang dicapai oleh
pembaca. Dua unsur penyokong kegiatan/proses membaca, yakni unsur visual (kemampuan gerak motoris mata dalam melihat dan mengidentifikasi lambang-lambang grafis) dan unsur kognisi (kemampuan otak dalam mencerna dan memahamai lambang-lambang grafis) sudah terliput dalam rumus KEM. Oleh karena itu, KEM dapat ditentukan dengan jalan memperkalikan kecepatan rata-rata baca dengan persentase pemahaman isi bacaan. Untuk mencapai KEM yang tinggi diperlukan latihan dan pembiasaan. KEM seseorang dapat dibina dan ditingkatkan melalui proses berlatih. Ada dua faktor utama yang diduga sebagai faktor pemengaruh KEM, yakni faktor dalam (internal) dan faktor luar eksternal. Yang dimaksud dengan faktor dalam adalah faktor yang berada di dalam diri pembaca itu sendiri. Yang termasuk ke dalam faktor ini, misalnya intelegensi, minat dan motivasi, sikap baca, kompetensi kebahasaan, tujuan baca dll. Yang dimaksud dengan faktor luar adalah faktor-faktor yang berada di luar pembaca. Faktor ini dapat dibedakan lagi ke dalam dua hal, yakni faktor-faktor yang berkenaan dengan bacaan (keterbacaan dan organisasi bacaan) dan sifat-sifat lingkungan baca (guru, fasilitas, model PBM, teknikteknik membaca, dan lain-lain). Pembaca yang fektif dan efisien adalah pembaca yang fleksibel, yakni pembaca yang dapat menyesuaikan atau mengatur kelenturan waktu tempuh baca dengan tujuan membaca dan berbagai kondisi baca yang ada, seperti karakteristik dan tingkat kesulitan bacaan, minat baca, strategi membaca, dan lain-lain. Tujuan dan kondisi baca itu turut menentukan KEM minimal yang harus dikuasai seorang pembaca. Secara garis besar KEM dapat digolongkan ke dalam klasifikasi sangat tinggi, tinggi, cepat, rata-rata, dan lambat. KEM minimal untuk klasifikasi pembaca adalah: SD (140 kpm), SLTP (140-175 kpm), SLTA (175-245 kpm), PT (245-280 kpm) .
LATIHAN Sekarang mari kita berlatih menggunakan rumus KEM untuk mengukur kecepatan efektif membaca diri sendiri.
Petunjuk Sebelum kita mencoba mempraktikkan rumus pengukuran KEM ini, terlebih dahulu silakan anda baca dulu wacana/teks berikut. Jangan lupa untuk mencatat, kapan anda mulai membaca dan kapan berakhirnya.
A.TEKS mulai pukul : .........
Masalah hubungan antara intelegensi dan kreativitas serta peranan masing-masing terhadap keberhasilan dalam pendidikan dan dalam hidup pada umumnya telah lama menjadi pokok pembahasan dan penelitian para ahli. Merupakan suatu kenyataan bahwa intelegensi atau IQ yang tinggi belum tentu menjamin keberhasilan dalam pendidikan, apalagi dalam karir. Karena itu timbul pertanyaan, faktor-faktor apa kecuali intelegensi yang menentukan keberhasilan dalam studi? Ukuran-ukuran atau test-test apa yang sebaiknya digunakan untuk mengetahui bakat dan untuk meramalkan apakah seorang anak akan dapat menyelesaikan suatu pendidikan
dengan hasil yang memuaskan? Sejauh mana kreativitas seseorang ikut berperan? Apakah persamaan dan perbedaan antara intelegensi dan kreativitas? Sebenarnya ada dua anggapan yang mengaburkan pengertian mengenai intelegensi dan kreativitas. Pertama, anggapan bahwa hasil test intelegensi sudah mencerminkan semua kemampuan mental dan proses-proses kognitif. Kedua, aggapan bahwa kreativitas sematamata berhubungan dengan bakat artistik, dan oleh karena itu, anggapan ini telah membatasi usaha-usaha untuk mengidentifikasi dan memupuk kemampuan-kemampuan kognitif yang berkaitan dengan fungsi kreatif di luar bidang seni. Seorang tokoh yang berjasa menjelaskan pengertian tentang intelegensi dan kreativitas serta hubungan antara keduanya ialah J.P. Guilford (1956).Dalam modelnya tentang struktur intelek manusia, Guilford mendemonstrasikan bahwa intelek manusia meliputi tidak kurang dari 120 faktor, dan bahwa test intelegensi konvensional hanya mengukur sebagian kecil dari faktor-faktor tersebut. Oleh karena itu, mungkin saja bahwa seorang anak yang berdasarkan test intelegensi tertentu mencapai IQ yang tinggi, dalam kenyataannya kurang berhasil. Atau sebaliknya, seorang pemuda yang diramalkan kurang memnuhi syarat untuk pendidikan tinggi ternyata bisa jadi sarjana. Hal ini disebabkan test intelegensi yang dipakai belum tentu meliputi semua keterampilan yang dibutuhkan dalam bidang studi tertentu. Apalagi di samping faktor intelegensi, faktor kepribadian dan lingkungan juga ikut berperan. Berkenaan dengan intelegensi dan kreativitas, keduanya merupakan fungsi dari kemampuan kognitif manusia, akan tetapi meliputi dimensi yang berbeda. Menurut Guilford, tes intelegensi terutama mengukur apa yng disebutnya "pemikiran konvergen", yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan
informasi yang diberikan, sedangkan tes kreativitas terutama mengukur "pemikiran divergen", yaitu kemampuan untuk memberikan macam-macam alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Guilford menekankan bahwa sistem pendidikan yang tradisional kurang memperhatikan pengembangan dari kemampuan berpikir divergen, padahal kemampuan ini sangat penting dalam proses pemecahan masalah pada umumnya, dan khususnya di mana dibutuhkan gagasan-gagasan yang inovatif.
dari: INTELEGENSI BAKAT berakhir pukul : ............
dan TEST IQ Disusun oleh Fakultas Psikologi UI
B. Pertanyaan Bacaan I. 1. Jawablah pertanyaan bacaan berikut dengan membubuhkan tanda silang (X) pada huruf di depan alternatif jawaban yang anda anggap paling tepat! 1) Pernyataan berikut salah, kecuali ... a. Hasil tes intelegensi mencerminkan kemampuan mental dan proses kognitif seseorang. b. Kreativitas hanya berhubungan dengan hal yang bersifat artistik atau seni. c. Intelegensi yang tinggi menjamin keberhasilan studi seseorang. d. Intelegensi dan kreativitas merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan studi. 2) Tes yang memungkinkan si penjawab memberikan beberapa alternatif jawaban, digunakan untuk mengukur ... a. intelegensi b. kreatisitas
c. intelegensi dan kreativitas d. kreatis\vitas dan prestasi belajar
3) Faktor-faktor yang termasuk fungsi kognitif manusia adalah ... a. intelegensi dan kepribadian b. kreativitas dan kepribadian c. intelegensi dan kreativitas d. bakat dan kreativitas
4) Tema sentral bacaan di atas adalah ... a. Pernan intelegensi dan kreativitas dalam keberhasilan pendidikan. b. Hubungan intelegensi, kreativitas, dan kepribadian. c. Faktor-faktor penentu keberhasilan pendidikan d. Tes pemikiran konvergen dan pemikiran divergen
5) Kemampuan berpikir divergen berguna terutama dalam hal ... a. pembuatan keputusan b. proses pemecahan masalah c. pembiuatan kesimpulan yang logis d. peningkatan intelegensi
II. 1) Hitunglah jumlah kata pada teks di atas! (a) jumlah kata per baris : ...............
(b) jumlah baris
: ...............
(c) jumlah kata seluruhnya : ...............
2) Hitunglah waktu tempuh baca anda! (a) mulai membaca pukul
: ...............
(b) berakhir/selesai pukul : ............... (c) waktu tempuh baca anda : ...............
III. 1) Silakan tentukan KEM yang anda capai berdasarkan rumus KEM yang paling anda kuasai! Sebelumnya, periksa dan cocokkan hasil jawaban anda dalam menjawab pertanyaan bacaan dengan kunci jawaban berikut. (1) d
(2) b (3) c (4) a (5) b
2) Lihat daftar KEM pada uraian di muka. Apakah KEM yang anda capai sudah memadai untuk peringkat anda (mahasiswa)? 3) Silakan anda berlatih pada teks-teks lain. Jika ada teman
yang mau membantu
menyiapkan soal pemahaman bacaan, itu lebih baik. Anda boleh membuat pertanyaan sendiri dengan berpedoman pada kata tanya: apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana. Boleh juga dengan cara "heuristik", yaitu menaksir sendiri kira-kira berapa persen pemahaman anda terhadap bacaan tersebut. Tentu saja taksiran ini merupakan taksiran kasar. Oleh karena itu, KEM-nya juga bersifat taksiran kasar. 4) Buatlah grafik perkembangan KEM untuk melihat perkembangan KEM yang anda capai.
Berikut disajikan contoh grafik perkembangan KEM yang dapat anda gunakan untuk melihat perkembangan KEM yang anda atau murid anda capai.
Tabel Latihan KEM
No.
Judul Bacaan
Jumlah Kata
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Grafik perkembangan pencapaian KEM
500
Waktu
Pemahaman Isi
KEM
450 400 KE M
350 300 250 200 150 100 50 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 (dst )
Latihan ke-…
BAHAN AJAR MEMBACA DAN KETERBACAAN
1. Pendahuluan Sebagai seorang guru, guru bidang studi apa pun, tuntutan memilihkan bahan bacaan yang layak untuk siswanya merupakan hal yang tidak bisa diabaikan. Terlebih-lebih untuk guru bahasa Indonesia, karena pengajaran membaca secara formal dibebankan kepada guru bidang studi bahasa Indonesia. Meskipun buku paket atau buku teks sebagai buku pegangan dasar dalam melaksanakan kegiatan belajar dewasa ini sangat banyak jumlahnya, namun tidak berarti guru harus terpaku dengan satu macam bahan ajar yang ada. Untuk pengajaran membaca, persoalan penyediaan bahan ajar membaca tidaklah terikat oleh ketentuan buku paket atau buku teks tertentu. Dalam kenyataan yang sesungguhnya dalam kehidupan di masyarakat, keragaman bahan bacaan untuk konsumsi baca ini terasa sangat kental. Bahan bacaan tersebut dapat berupa buku teks, buku ilmiah, surat kabar, majalah, pamplet-pamplet, dan lain-lain.Kesemua bahan bacaan tersebut berpeluang untuk dijadikan bahan ajar membaca atau mungkin untuk tugas membaca. Masalahnya, apakah semua bahan bacaan yang tersedia serta mudah didapat tersebut layak untuk konsumsi baca siswa kita? Bagaimana kita dapat menentukan kriteria kelayakan dimaksud? Seberapa jauh peran guru dalam memilihkan bahan bacaan yang layak baca untuk para siswanya? Pertanyaan-pertanyaan di atas tampaknya memacu kita untuk mencari jawabnya. Pada bab ini, kita akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi melalui bahasan
"keterbacaan". Bahasan bab ini mudah-mudahan dapat membantu para guru bahasa untuk dapat menentukan tingkat keterbacaan wacana yang cocok untuk para siswanya. Keterbacaan merupakan istilah dalam bidang pengajaran membaca yang memperhatikan tingkat kesulitan materi yang sepantasnya dibaca seseorang. Melalui bab ini, anda akan kami ajak untuk mengenal berbagai konsep dan formula keterbacaan yang biasa digunakan untuk menentukan tingkat kesulitan materi bacaan. Dengan demikian, setelah membaca bab ini, anda diharapkan dapat menggunakan berbagai formula keterbacaan untuk kepentingan penentuan tingkat keterbacaan berbagai ragam bacaan. Secara rinci, diharapkan anda dapat: (a) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi keterbacaan; (b)menjelaskan sekurang-kurangnya empat bentuk formula keterbacaan; (c) menunjukkan
perbedaan
langkah/prosedur
kerja
pemakaian
formula-formula
keterbacaan; (d)menggunakan formula-formula keterbacaan tersebut untuk menentukan tingkat kesulitan materi bacaan.
2. Pengertian dan Latar Belakang Sejarah Keterbacaan Keterbacaan merupakan alih bahasa dari readability.Bentukan Readability merupakan kata turunan yang dibentuk oleh bentuk dasar readable, artinya dapat dibaca atau terbaca. Konfiks ke-an pada bentuk keterbacaan mengandung arti hal yang berkenaan dengan apa yang disebut dalam bentuk dasarnya. Oleh karena itu, kita dapat mendefinisikan "keterbacaan" sebagai hal atau ihwal terbaca-tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh
pembacanya. Jadi, "keterbacaan" ini mempersoalkan tingkat kesulitan atau tingkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu. Keterbacaan (readability) merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran/kemudahan wacananya. Untuk memperkirakan tingkat keterbacaan bahan bacaan, banyak dipergunakan orang berbagai formula keterbacaan. Perkiraan-perkiraan tentang tingkat kemampuan membaca berguna terutama bagi guru yang mempunyai perhatian terhadap metode pamberian tugas membaca atau bagi pemilihan buku-buku dan bahan bacaan lainnya yang layak dibaca. Tingkat keterbacaan biasanya dinyatakan dalam bentuk peringkat kelas. Oleh karena itu, setelah melakukan pengukuran keterbacaan sebuah wacana, orang akan dapat mengetahui kecocokan materi bacaan tersebut untuk peringkat kelas tertentu, misalnya peringkat enam, peringkat empat, peringkat sepuluh, dan lain-lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterbacaan masih selalu menjadi objek penelitian para ahli. Perhatian terhadap masalah tersebut, dimulai sejak berabad-abad yang lalu. Klare (1963) menjelaskan bahwa Lorge (1949) pernah bercerita tentang upaya Talmudists pada tahun 900 berkenaan keterbacaan wacana. Dia menentukan tingkat kesulitan wacana berdasarkan kriteria kekerapan kata-kata yang digunakan. Meskipun kajian tentang keterbacaan itu sudah berlangsung berabad-abad, namun kemajuannya baru tampak setelah statistik mulai ramai digunakan. Teknik statistik itu memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi faktor-faktor keterbacaan yang pentingpenting untuk menyusun formula yang dapat dipergunakan guna memperkirakan tingkat kesulitan wacana. Menurut Klare (1963), kajian-kajian terdahulu menunjukkan adanya
keterkaitan dengan keterbacaan. Gray dan Leary mengidentifikasi adanya 289 faktor yang mempengaruhi keterbacaan, 20 faktor di antaranya dinyatakan signifikan. Dewasa ini sudah ada beberapa formula keterbacaan yang lazim digunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan sebuah wacana. Formula-formula keterbacaan yang terdahulu, memang bersifat kompleks dan menuntut pemakainya untuk memiliki kecermatan menghitung berbagai variabel. Penelitian yang terakhir membuktikan bahwa ada dua faktor utama yang berpengaruh terhadap keterbacaan, yakni: (a) panjangpendeknya kalimat, dan (b) tingkat kesulitan kata. Pada umumnya, semakin panjang kalimat dan semakin panjang kata-kata, maka bahan bacaan dimaksud semakin sukar. Sebaliknya, jika kalimat dan katanya pendek-pendek, maka wacana dimaksud tergolong wacana yang mudah. Formula-formula keterbacaan yang dewasa ini sering digunakan untuk mengukur keterbacaan wacana, tampaknya berkecenderungan kepada dua tolok ukur tadi. Panjang kalimat dan kesulitan kata merupakan dua faktor utama yang melandasi alat-alat pengukur keterbacaan yang mereka ciptakan. Formula-formula keterbacaan yang mengacu pada kedua patokan tersebut, misalnya formula keterbacaan yang dibuat Spache, Dale & Chall, Gunning, Fry, Raygor, Flesh, dan lain-lain.
3. Kaitan Keterbacaan dengan Penyediaan Bahan Ajar Membaca Salah satu penggunaan rumus keterbacaan dapat dilihat pada upaya guru dalam memperkirakan tingkat kesulitan wacana. Perkiraan-perkiraan tentang tingkat kemampuan membaca berguna, terutama bagi guru yang memiliki perhatian terhadap metode pemberian
tugas membaca atau bagi pemilihan buku-buku teks atau bahan bacaan lainnya. Guru-guru dipandang perlu untuk memiliki kemahiran dalam memperkirakan tingkat kesulitan materi cetak. Sebab, bagaimana pun salah satu faktor pendukung keberhasilan belajar anak adalah tersedianya sumber ilmu yang dapat diperoleh dan dicerna anak dengan mudah. Salah satu cara untuk beroleh ilmu pengetahuan dimaksud melalui kegiatan membaca. Lebih baik jika kegiatan membaca dimaksud adalah kegiatan membaca mandiri yang tidak memerlukan bimbingan pihak lain. Sehubungan dengan hal itu, penyediaan sarana baca yang berupa koleksi-koleksi bacaan (buku-buku teks, majalah-majalah, kliping-kliping, surat kabar, jurnal, pamfletpamflet, dan lain-lain) perlu dimiliki, bukan saja oleh pihak sekolah melainkan oleh setiap kelas. Dengan demikian, setiap sekolah di samping harus memiliki perpustakaan sekolah juga harus memiliki perpuatakaan-perpustakaan kelas yang terletak di setiap sudut masingmasing kelas. Koleksi-koleksi bacaan pada perpustakaan kelas hendak-nya koleksi-koleksi bacaan yang memang layak untuk peringkat mereka. Pertimbangan tingkat kelayakan dimaksud, tidak saja didasarkan atas pertimbangan berbagai nilai (seperti nilai isi, manfaat, pendidikan, moral, estetika, etika, dan lain-lain) melainkan juga harus dipertimbangkan tingkat kesulitan dari masing-masing materi cetak dimaksud. Bahan-bahan bacaan tersebut hendaknya memenuhi tingkat keterbacaan sesuai dengan tuntutan dan karakteristik pembacanya. Di samping hal-hal tersebut d atas, penggunaan rumus-rumus keterbacaan akan sangat bagi guru untuk mempersiapkan atau mengubah tingkat keterbacaan materi bacaan yang hendak diajarkannya. Meskipun bahan bacaan untuk kepentingan bahan ajar sudah
tersedia banyak di luar, namun tuntutan bagi setiap guru untuk dapat berperan dan bertindak sebagai penulis tampaknya bukanlah pandangan yang keliru. Peran guru sebagai penulis tampak semakin jelas pada saat mereka dihadapkan pada pekerjaan-pekerjaan berikut, misalnya, mempersiapkan tes, membuat rencana pengajaran, menyusun program pengajaran, membuat surat kepada orang tua siswa, atau kegiatan tulis-menulis lainnya. Dalam mempersiapkan bahan-bahan seperti yang kita jelaskan tadi, guru hendaknya mempertimbangkan tingkat keterbacaan bahan yang ditulisnya itu. Bukankah si penulis (guru) berkeinginan hasil tulisannya tersebut terbaca pihak lain sebagai sasaran pembacanya. Keterampilan mengubah tingkat keterbacaan wacana perlu dimiliki setiap guru. Pengubahan keterbacaan itu sendiri dapat dilakukan dengan jalan meninggikan taraf kesulitan wacananya atau mungkin sebaliknya, menurunkan tingkat kesulitan wacana tersebut. Kegiatan ini perlu dilakukan guru, jika guru memandang para siswanya wajib mengetahui isi konten (isi materi) dari wacana itu dan tidak menemukan sumber bacaan lain yang tingkat keterbacaan wacananya cocok dengan peringkat siswanya.
4. Keterbatasan-keterbatasan Formula Keterbacaan Formula-formula keterbacaan yang pemakaiannya dewasa ini tengah populer, di samping memiliki kelebihan juga mengandung kelemahan. Sebagaimana telah dijelaskan di muka, bahwa formula-formula keterbacaan yang dipakai sekarang ini mendasarkan formulanya pada dua hal yakni panjang-pendeknya kalimat dan tingkat kesulitan kata. Kedua faktor yang menjadi landasan bagi formula-formula keterbacaan ini mengundang
pertanyaan pada kita. Bagaimana dengan konsep-konsep yang terkandung dalam wacana yang bersangkutan? Bukankah konsep-konsep makna yang terkandung dalam suatu wacana yang tidak terjakau oleh pembacanya akan berdampak pada keterpahaman pembacanya. Sering kita dapati kasus, seseorang tidak dapat memahami wacana yang dibacanya meskipun wacana tersebut telah memenuhi kriteria keterbacaan untuk peringkat pembaca yang bersangkutan. Mengapa hal itu terjadi? Pertimbangan panjang-pendek kata dan tingkat kesulitan kata dalam pemakaian formula keterbacaan, semata-mata hanya didasarkan pada pertimbangan struktur permukaan teks. Struktur yang secara visual dapat dilihat. Adapun konsep yang terkandung dalam bacaan sebagai struktur dalam dari bacaan tersebut tampaknya tidak terperhatikan. Dengan kata lain, rumusan formula-formula keterbacaan yang sering digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan itu tidak memperhatikan unsur semantis. Keterbatasan formula keterbacaan ini semakin terasa manakala kita dihadapkan pada bahan bacaan dari jenis fiksi, terutama puisi. Meskipun puisi menggunakan kata-kata dan kalimat-kalimat yang pendek-pendek, namun tingkat keterbacaan puisi justru malah menjadi rendah atau sulit dibaca. Hal ini semakin memperkuat bukti bahwa unsur semantis tidak dapat terjangkau oleh alat ukur keterbacaan yang ada. Selanjutnya, mungkin timbul pertanyaan pada diri kita, bagaimana halnya dengan kriteria kesulitan kata yang disebut-sebut sebagai faktor penentu formula keterbacaan? Bukankah jika kita berbicara tentang tingkat kesulitan kata berarti kita tengah berbicara tentang makna (unsur semantis)? Tolok ukur tingkat kesulitan kata di sini tidak didasarkan atas unsur semantisnya (seperti yang kita duga), melainkan didasarkan atas unsur panjangpendek kata yang bersangkutan. Seperti halnya kriteria kesulitan kalimat, kriteria kesulitan
kata juga didasarkan atas wujud (struktur) yang tampak. Jika sebuah kalimat atau kata secara visual tampak lebih panjang, artinya kalimat atau kata tersebut tergolong sukar. sebaliknya, jika sebuah kalimat atau kata yang secara visual tampak pendek, maka kalimat atau kata yang bersangkutan tergolong mudah. Mari kita perhatikan contoh-contoh kalimat berikut. A. Ini Budi. Ini ibu Budi. Ibu Budi sedang memasak. Ini Wati. Wati kakak Budi. Wati sedang menyiram bunga. Pak Ahmad ayah Budi. Beliau sedang membaca koran. Mereka berempat tinggal di kampung Cimanggu. tempat tinggalnya tidak jauh dari pasar.
B. Ini Budi yang dilahirkan dari pasangan ibu dan bapak Ahmad dan berkakakkan seorang perempuan bernama Wati. Jika ibu Budi memasak, kakaknya melakukan pekerjaan lain, yakni menyiram bunga; sedangkan ayahnya membaca koran. Mereka berempat tinggal di kampung Cimanggu yang letaknya tidak jauh dari pasar yang berada di kampungnya.
Mari kita bandingkan kalimat-kalimat yang tertulis pada contoh A dan kalimatkalimat yang tertulis pada contoh B. Ditinjau dari segi informasi/maksud kalimat, kedua
contoh penyajian kalimat-kalimat tersebut tidaklah berbeda secara berarti. Kedua bentuk penyajian kalimat tersebut mengandung informasi dan maksud yang sama. Namun dilihat dari segi penuangan ide ke dalam wujud-wujud kalimat, seperti tampak pada contoh penyajian kalimat bentuk A dan bentuk B, terdapat perbedaan yang sangat mencolok. Contoh penyajian A menggunakan kalimat-kalimat yang relatif pendek-pendek; sementara contoh penyajian B menggunakan kalimat-kalimat kompleks yang relatif panjang-panjang. Contoh wacana A lazim kita dapati pada buku-buku ajar (bahan ajar membaca) untuk peringkat pemula, atau terdapat pada buku-buku pelajaran kelas I sekolah dasar. Sementara contoh wacana B merupakan sajian bahan ajar untuk anak-anak sekolah dasar yang relatif lebih tinggi kelasnya (misalnya kelas 4-5 SD). Bagaimana kesimpulan anda setelah melihat dan membaca kedua bentuk penyajian kalimat-kalimat di atas? Contoh penyajian A yang menggunakan kalimat-kalimat yang pendek-pendek jauh lebih mudah ketimbang contoh penyajian B, bukan?Dengan kata lain, tingkat keterbacaan wacana pada wacana A tergolong tinggi bila dibandingkan dengan tingkat keterbacaan wacana B. Semakin tinggi tingkat keterbacaan sebuah wacana, semakin mudah wacana tersebut. sebaliknya, semakin rendah tingkat keterbacaan sebuah wacana semakin sukar wacana tersebut. Untuk
menolokukuri
tingkat
kesulitan
sebuah
kalimat
dengan
kriteria
panjang_pendek kalimat tampaknya tidak mengundang masalah. Pada kenyatannya, kalimat kompleks jauh lebih sulit ketimbang kalimat sederhana atau kalimat tunggal. Bagaimanapun, kalimat kompleks tentu sarat dengan ide, sarat gagasan, sarat dengan konsep; sedangkan kalimat tunggal hanya mengandung sebuah ide, sebuah gagasan, sebuah
konsep tertentu. Pada kalimat kompleks terjadi pemadatan konsep atau ide. Oleh karena itu, kalimat tersebut akan jauh lebih sukar ketimbang kalimat-kalimat tunggalnya. Bagaimana halnya dengan kriteria kesulitan kata? Apakah panjang-pendeknya sebuah kata benar-benar dapat dijadikan indikator bagi tingkat kesulitan kata yang bersangkutan. Mari kita perhatikan deretan kata-kata berikut.
A. - era
B. - zaman
- asa
- harapan
- rona
- cahaya/air muka
- makar
- muslihat
Bila kita bandingkan deretan kata pada contoh A dan deretan kata pada contoh B, manakah di antara kedua contoh deretan kata tersebut yang menurut anda memiliki tingkat kesulitan yang relatif lebih tinggi? Apa alasannya? Deretan kata-kata yang terdapat pada contoh B, tampaknya merupakan kata-kata yang biasa dipakai dalam kehidupan sehari, dalam percakapan yang bersifat umum. Kosakata yang terdapat pada contoh B relatif akrab dengan kehidupan keseharian kita. Lain halnya dengan kosakata yang terdapat pada contoh A. Kata-kata tersebut rasanya tidak terlalu akrab dengan kehidupan keseharian kita. Oleh karenanya, kita merasa asing dengan kosakata tersebut. Akibatnya, ditinjau dari sudut semantisnya, deretan kata yang terdapat pada contoh A relatif lebih sulit ketimbang deretan kata yang terdapat pada contoh B. Padahal dari segi bentuk, deretan kata yang terdapat pada contoh A jauh lebih pendek-pendek ketimbang deretan kata yang terdapat pada contoh B.
Hal lain yang menjadi keterbatasan formula-formula keterbacaan terletak pada penggunaan slang, satir, makna ganda, atau minat pembaca. Formula keterbacaan itu, tampaknya tidak bisa digunakan untuk bacaan fiksi (karya sastra), terlebih-lebih pada karya sastra berupa puisi. Puisi memiliki bentuk yang khas dengan struktur-struktur kalimat yang jauh bebeda dari struktur-struktur kalimat pada karya nonfiksi, seperti buku teks misalnya. Keterbatasan-keterbatasan tersebut hendaknya menjadi bahan pertimbangan kita pada saat menentukan tingkat keterbacaan wacana.
5. Penggunaan Formula-formula Keterbacaan Untuk mengukur bahan bacaan di kelas-kelas rendah, formula yang lazim dipakai ialah formula keterbacaan dari Spache. Formula tersebut dibuat pada tahun 1953. Dua faktor utama yang menjadi dasar dari penggunaan formula tersebut ialah panjang rata-rata kalimat dan persentase kata-kata sulit. Melalui berbagai pengkajian, formula-formula itu telah dibuktikan keabsahan dan keterpercayaannya untuk memperkirakan tingkat keterbacaan wacana. Akan tetapi, formula spache itu kompleks dan penggunaannya memakan banyak waktu. Rumus yang sering digunakan di kelas-kelas empat sampai kelas enam belas ialah rumus yang dibuat oleh Dale & Chall. Rumus ini mula-mula diperkenalkan pada tahun 1947. Sama halnya dengan rumus Spache, rumus Dale-Chall pun menggunakan panjang kalimat dan kata-kata sulit sebagai faktor-faktor penentu tingkat kesulitan bacaan. Rumus ini pun cukup kompleks dan memakan banyak waktu.
Grafik Fry merupakan hasil upaya untuk menyederhanakan dan mengefisienkan teknik penentuan tingkat keterbacaan wacana. Faktor-faktor tradisional: panjang-pendek kalimat dan kata-kata sulit masih tetap digunakan. Namun, kesukaran kata diperkirakan dengan cara melihat jumlah suku katanya. Dijelaskan oleh Fry bahwa formula keterbacaan yang dikembangkannya itu (Grafik Fry) dan formula Spache berkorelasi 0.90, sedangkan dengan formula Dale-Chall berkorelasi 0.94. Korelasi yang tinggi itu menunjukkan adanya keajegan rumus-rumus dan ketepercayaan penggunaan alat ukur yang diciptakannya.
5.1 Formula Keterbacaan Fry: Grafik Fry 5.1.1 Bagaimana Memahami Grafik Fry Sekarang mari kita kenali formula keterbacaan dari Edward Fry yang kemudian kita kenal dengan sebutan "Grafik Fry". Grafik keterbacaan yang diperkenalkan Fry ini merupakan formula yang dianggap relatif baru dan mulai dipublikasikan pada tahun 1977 dalam majalah "Journal of Reading". Grafik yang asli dibuat pada tahun 1968. Sebelum sampai pada penggunaan grafik dimaksud untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana, sebaiknya kita kenali dulu grafik dimaksud dengan sebaik-baiknya. Jangan lupa, bahwa formula ini mendasarkan formula keterbacaannya pada dua faktor utama, yakni panjang-pendeknya kata dan tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah (banyak-sedikitnya) suku kata yang membentuk setiap kata dalam wacana tersebut. Silakan anda perhatikan formula (Grafik Fry) dimaksud, seperti tertera di bawah ini. Hal ini penting anda camkan agar pada saat mengenali grafik Fry, anda sudah paham cara
menggunakannya. Hal ini akan menjadi dasar pertimbangan kita pada saat melakukan penafsiran terhadapnya. Berikut contoh grafiknya.
Grafik Fry
GRAFIK
(Lihat Copy aslinya)
Apa yang bisa anda jelaskan mengenai grafik tersebut? Di bagian atas grafik kita dapati deretan angka-angka seperti berikut: 108, 112, 116, 120, dan seterusnya. Angkaangka dimaksud menunjukkan data jumlah suku kata per seratus perkataan, yakni jumlah kata dari wacana sampel yang dijadikan sampel pengukuran keterbacaan wacana. Pertimbangan penghitungan suku kata pada grafik ini merupakan cerminan dari pertimbangan faktor kata sulit, yang dalam formula ini merupakan salah satu dari dua faktor utama yang menjadi landasan bagi terbentuknya formula keterbacaan dimaksud. Angka-angka yang tertera di bagian samping kiri grafik, seperti angka 25.0, 20, 18.7, 14.3 dan seterusnya menunjukkan data rata-rata jumlah kalimat per seratus perkataan. Hal ini merupakan perwujudan dari landasan lain dari faktor penentu formula keterbacaan ini, yakni faktor panjang-pendek kalimat. Angka-angka yang berderet di bagian tengah grafik dan berada di antara garis-garis penyekat dari grafik tersebut menunjukkan perkiraan peringkat keterbacaan wacana yang diukur. Angka 1 menunjukkan peringkat 1, artinya wacana tersebut cocok untuk pembaca dengan level peringkat baca 1; angka 2 untuk peringkat baca 2, angka 3 untuk peringkat baca 3, dan seterusnya hingga pada peringkat universitas. Daerah yang diarsir pada grafik yang terletak di sudut kanan atas dan di sudut kiri bawah grafik merupakan wilayah invalid. Maksudnya, jika hasil pengukuran keterbacaan wacana jatuh pada wilayah gelap tersebut, maka wacana tersebut kurang baik karena tidak memiliki peringkat baca untuk peringkat mana pun. Oleh karena itu, wacana yang demikian sebaiknya tidak digunakan dan diganti dengah wacana lain. Ketika anda membaca keterangan "seratus perkataan" pada grafik tersebut, mungkin anda bertanya-tanya, mengapa demikian? Mengapa harus "seratus" perkataan? Angka
tersebut merupakan jumlah kata yang dianggap sebagai jumlah yang representatif untuk mewakili sebuah wacana. Meskipun yang akan diukur keterbacaannya itu berupa buku yang tebalnya lebih kurang 500 halaman, pada saat dilakukan pengukuran keterbacaan, kita tidak perlu mengukur seluruh buku tersebut sejak halaman pertama hingga halaman terakhir buku itu. Kita cukup mengambil sampel dari bacaan tersebut sebanyak 100 perkataan. Memang, terdapat ketentuan khusus untuk pengukuran keterbacaan bahan-bahan bacaan yang relatif tebal seperti halnya buku; yakni pengukuran keterbacaan wacana itu harus dilakukan sebanyak tiga kali dengan sampel wacana yang berbeda-beda. Sampel pertama mungkin diambil dari halaman-halaman awal sebuah buku; sampel kedua dari bagian tengah buku; dan sampel terakhir dari halaman-halaman akhir buku itu. Mungkin anda bertanya-tanya dalam hati, apakah pengukuran keterbacaan wacana yang dilakukan terhadap sampel wacana sebanyak 100 perkataan itu hasilnya benar-benar dapat mencerminkan tingkat keterbacaan wacana secara keseluruhan? Apalah artinya sepenggal wacana yang terdiri atas 100 perkataan bila dibandingkan dengan ketebalan sebuah buku yang tipis sekalipun? Sekarang mari kita bandingan proses pengukuran keterbacaan dimaksud dengan proses pengukuran suhu tubuh oleh para dokter. Jika para dokter mendeteksi suhu tubuh seseorang dengan stetoskop, dia hanya akan memilih bagianbagian tubuh tertentu dari tubuh si pasien sebagai sampel. Misalnya saja, dokter akan memilih bagian ketiak atau mulut untuk dijadikan sampel pengukuran suhu tubuh seseorang. Meskipun begitu, hasil dari pengukuran dimaksud merupakan cerminan dari ukuran suhu tubuh si pasien secara keseluruhan. Untuk mengetahui suhu tubuh seseorang, dokter tidak perlu melakukan pengukuran suhu tubuh tersebut mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, melainkan memilih bagian-bagian tertentu dari tubuh tersebut yang
dianggap dapat mewakili seluruh suhu tubuh. Dengan beranalogi pada proses kerja pengukuran suhu oleh para dokter, maka proses pengukuran keterbacaan wacana itu pun cukup dilakukan terhadap sampel wacana, dan wacana yang dianggap representatif jika berjumlah sekurang-kurangnya sebanyak 100 perkataan. Selanjutnya, bagaimana prosedur kerja untuk penggunaan formula keterbacaan dari Fry ini? Berikut ini akan diberikan sejumlah petunjuk yang harus diikuti dalam menggunakan grafik ini untuk mengukur keterbacaan wacana.
5.1.2 Petunjuk penggunaan Grafik Fry (1977): Langkah (1) Pilihlah penggalan yang representatif dari wacana yang hendak diukur tingkat keterbacaannya tersebut dengan mengambil 100 buah perkataan daripadanya. Yang dimaksud dengan kata dalam hal ini ialah sekelompok lambang yang di kiri dan kanannya berpembatas. Dengan demikian, lambang-lambang berikut, seperti Budi, IKIP, 1999, =, masing-masing dianggap sebagai satu perkataan. Yang dimaksud dengan "representatif" dalam memilih penggalan wacana ialah pemilihan wacana sampel yang benar-benar mencerminkan teks bacaan. Wacana yang diselingi dengan gambar-gambar, kekosongankekosongan halaman, tabel-tabel, rumus-rumus yang mengandung banyak angka-angka, dan lain-lain dipandang tidak representatif untuk dijadikan sampel wacana.
Langkah (2)
Hitunglah jumlah kalimat dari seratus buah perkataan tersebut hingga perpuluhan yang terdekat. Maksudnya, jika kata yang termasuk ke dalam hitungan 100 buah perkataan (sampel wacana) tidak jatuh di ujung kalimat, maka penghitungan kalimat tidak akan selalu utuh, melainkan akan ada sisa. Sisanya itu tentu berupa sejumlah kata yang merupakan bagian dari deretan kata-kata yang membentuk kalimat utuh. Karena keharusan pengambilan sampel wacana berpatokan pada angka 100, maka sisa kata yang termasuk ke dalam hitungan seratus itu diperhitungkan dalam bentuk desimal (perpuluhan).
Perhatikan contoh wacana berikut!
Pada suatu hari Inu ikut ayahnya ke bank. Di bank itu 1
2
3 4
5
6
7 8
9 10 11
banyak orang. Di loket tabungan ada yang mengambul uang. 12
13 14 15
16
17 18
19
20
Ada juga yang menyimpan uang. Di loket yang lain orang21 22 23
24
25 26 27 28 29
orang juga antre. Ada juga beberapa petugas bank duduk 30
31
32
33 34
35
36
37
38
di luar loket-loket antrean. Mereka melayani orang-orang
39 40
41
42
43
44
45
yang bertanya tentang cara-cara menabung atau hal-hal la46
47
48
49
50
51
52
53
in. Ayah Inu berada di barisan loket tabungan. 54 55
56 57
58
59
60
Inu menunggu ayahnya di ruang tunggu. Dia memperhatikan 61
62
63 64 65
66
67
68
kesibukan orang-orang di tempat itu. Waktu Inu melihat sa69
70
71 72
73
74 75
76 77
tu kursi kosong di depan petugas yang melayani pertanyaan, 78
79 80 81
62
83
84
85
dia segera berdiri. Inu mendekati kursi itu. Petugas pun 86 87
88
89
90
91 92
93
94
mengerti, lalu dia mempersilakan Inu duduk dan menawarkan 85
96 97
98
99 100
bantuan yang mungkin dapat dia berikan.
Keterangan: Angka-angka yang tedapat di bawah setiap kata pada wacana di atas menunjukkan penghitungan sampel wacana. Kata yang digarisbawahi merupakan akhir dari sampel wacana, karena kata tersebut merupakan kata terakhir yang termasuk ke dalam hitungan 100 perkataan.
Jika kita melakukan penghitungan rata-rata jumlah kalimat untuk wacana di atas akan kita dapati 12 kalimat utuh ditambah 8 kata pada kalimat terakhir dari jumlah kata seluruhnya pada kalimat terakhir tersebut sebanyak 16 buah. Kedua belas kalimat utuh yang terdapat dalam wacana tersebut adalah sebagai berikut ini: (1)Pada suatu hari .... ke bank. (2)Di bank itu .... orang. (3)Di loket tabungan ... uang. (4)Ada juga ... uang. (5)Di loket yang ... antre. (6)Ada juga .... antrean. (7)Mereka melayani... lain. (8)Ayah Inu ... tabungan. (9)Inu menunggu ... tunggu. (10)Dia memperhatikan .... itu. (11)Waktu Inu .... berdiri. (12)Inu mendekati ... itu.
Kalimat terakhir berbunyi:
Petugas pun mengerti, lalu dia mempersilakan Inu duduk//dan menawarkan bantuan yang mungkin dapat dia berikan.
Kalimat terakhir ini (kalimat ke-13) tidak seluruhnya terpakai ke dalam hitungan seratus. Kata keseratusnya jatuh pada kata duduk. Kata tersebut merupakan kata ke-8 dari 16 kata yang terdapat pada kalimat terakhir tersebut. Dengan demikian, rata-rata jumlah kalimat pada wacana sampel di atas adalah 12 + 8/16 kalimat. Jika dihitung ke dalam sistem perpuluhan (desimal) akan menghasilkan angka 12,5 kalimat. Contoh lain, jika kalimat terakhir itu terdiri atas 17 perkataan dan hanya ada satu kata yang termasuk ke dalam hitungan 100 kata, maka bagian kalimat yang terakhir itu adalah 0,058 dibulatkan menjadi 0,1 kalimat. Jika jumlah kalimat sebelumnya ada 10 buah, maka jumlah kalimat seluruhnya adalah 10,1 kalimat. Demikianlah cara menghitung ratarata jumlah kalimat dari sampel wacana yang hendak diukur tingkat keterbacaannya.
Langkah (3) Hitunglah jumlah suku kata dari wacana sampel yang 100 buah perkataan tadi. Sebagai konsekuensi dari batasan kata (seperti dijelaskan pada langkah (1) di atas yang memasukkan angka dan singkatan sebagai kata, maka untuk angka dan singkatan, setiap lambang diperhitungkan sebagai satu suku kata. Misalnya, 234 terdiri atas 3 suku kata, IKIP terdiri atas 4 suku kata.
Berpatokan pada contoh wacana kita di atas (pada langkah 2), mari kita praktikkan cara menghitung suku kata dimaksud. Caranya, berilah tanda di atas setiap kata tersebut dengan angka-angka yang menunjukkan jumlah suku kata dari kata yang bersangkutan. Perhatikan contoh berikut!
2
3
2
2
2
3
1 1
1 1
2
Pada suatu hari Inu ikut ayahnya ke bank. Di bank itu
2
2
1
2
3
3 1
3
2
banyak orang. Di loket tabungan ada yang mengambil uang.
2
2 1
3
2
1
2
1
2
2
Ada juga yang menyimpan uang. Di loket yang lain orangorang juga antre. Ada juga beberapa petugas bank duduk di luar loket-loket antrean. Mereka melayani orang-orang yang bertanya tentang cara-cara menabung atau hal-hal la in. Ayah Inu berada di barisan loket tabungan.
Inu menunggu ayahnya di ruang tunggu. Dia memperhatikan kesibukan orang-orang di tempat itu. Waktu Inu melihat satu kursi kosong di depan petugas yang melayani pertanyaan, dia segera berdiri. Inu mendekati kursi itu. Petugas pun mengerti, lalu dia mempersilakan Inu duduk// dan menawarkan bantuan yang mungkin dapat dia berikan.
Demikianlah cara ini kita kerjakan, hingga kita menemukan jumlah suku kata untuk seluruh kata yang termasuk ke dalam hitungan 100. Dari penghitungan suku kata terhadap sampel wacana di atas, kita akan memperoleh hitungan jumlah suku kata sebanyak 228 suku kata.
Langkah (4) Perhatikan Grafik Fry. Kolom tegak lurus menunjukkan jumlah suku kata per seratus kata dan baris mendatar menunjukkan jumlah kalimat per seratus kata. Data yang kita peroleh pada langkah (2), yakni rata-rata jumlah kalimat dan data yang kita peroleh pada langkah (3), yakni rata-rata jumlah suku kata diplotkan ke dalam grafik untuk mencari titik temunya. Pertemuan antara baris vertikal (jumlah suku kata) dan baris horizontal (jumlah kalimat) menunjukkkan tingkat-tingkat kelas pembaca yang diperkirakan mampu membaca wacana yang terpilih itu. Jika persilangan baris vertikal dan baris horizontal itu berada pada daerah gelap atau daerah yang diarsir, maka wacana tersebut dinyatakan tidak absah. Guru harus memilih wacana lain dan mengulangi langkah-langkah yang sama seperti yang telah kita jelaskan tadi.
Langkah (5) Tingkat keterbacaan ini bersifat perkiraan. Penyimpangan mungkin terjadi, baik ke atas maupun ke bawah. Oleh karena itu, peringkat keterbacaan wacana hendaknya ditambah satu tingkat dan dikurangi satu tingkat. Sebagai contoh, jika titik pertemuan dari persilangan baris vertikal untuk data suku kata dan baris horizontal untuk data jumlah kalimat jatuh di wilayah 6, maka peringkat keterbacaan wacana yang diukur tersebut harus
diperkirakan sebagai wacana dengan tingkat keterbacaan yang cocok untuk peringkat, 5 yakni (6-1), 6, dan 7 yakni (6+1).
5.1.3 Beberapa Catatan Penting tentang Grafik Fry Pertama, untuk mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku (yang biasanya relatif tebal jumlah halamnnya), pengukuran keterbacaan ini hendaknya sekurang-kurangnya dilakukan sebanyak tiga kali percobaan dengan pemilihan sampel yang berbeda-beda. Si pengukur hendaknya mengambil tiga pilihan sampel wacana, yakni wacana dari bagian awal buku, dari bagian tengah buku, dan dari bagian akhir buku. Untuk artikel dan jurnal, atau surat kabar, pengkuran keterbacaan wacananya cukup dilakukan satu kali, kecuali jika penulisnya berbeda-beda. Dalam mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku, setelah si pengukur menempuh langkah-langkah petunjuk penggunaan Grafik Fry, selanjutnya hitunglah hasil rata-ratanya. Data hasil rata-rata inilah yang kemudian akan dijadikan dasar untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana buku tersebut. Sebagai contoh, mari kita perhatikan perumpamaan berikut. Dari hasil penghitungan pengukuran keterbacaan wacana dari ketiga sampel itu (bagian awal, tengah, dan akhir buku), misalnya kita peroleh data seperti berikut:
Wacana Sampel
Jumlah suku kata
Jumlah kalimat
Bagian I
124
6.6
Bagian II
141
5.5
Bagian III
158
6.8
Jumlah
423
18.9
Rata-rata
141
6.3
Jika angka rata-rata tersebut diplotkan ke dalam Grafik Fry, ternyata titik temu dari persilangan kedua data tersebut akan jatuh di wilayah 7. Artinya, tingkat keterbacaan buku yang bersangkutan cocok untuk peringkat 6, 7, dan 8. Kedua, Grafik Fry merupakan hasil penelitian terhadap wacana bahasa Inggris. Seperti kita ketahui, struktur bahasa Inggris sangat berbeda dengan struktur bahasa Indonesia, terutama dalam hal sistem suku katanya. Untuk memperoleh gambaran mengenai hal ini, mari kita perhatikan contoh sederhana berikut.
1) I go to school. 2) Saya pergi ke sekolah.
Pada contoh kalimat 1) (bahasa Inggris) kita dapati 4 suku kata; sedangkan dalam kalimat 2) (bahasa Indonesia) kita dapati 8 suku kata. Dalam bahasa Inggris, pada
umumnya sering kita jumpai kata-kata yang bersuku tunggal. Coba saja kita periksa kosakata nama diri dalam bahasa Inggris, misalnya: hand, foot, leg, lip, mouth, tooth, head, hair dan seterusnya; kemudian mari kita bandingkan dengan kosakata berikut: tangan, kaki, bibir, mulut, gigi, kepala, rambut. Berdasarkan contoh-contoh berikut, kita berkesimpulan bahwa sistem pola suku kata dalam bahasa Indonesia pada umumnya mempunyai ciri dwisuku atau bahkan lebih. Keadaan ini sangat berbeda dengan sistem persukukataan dalam bahasa Inggris. Dari 100 buah perkataan dalam bahasa Indonesia, pada umumnya akan diperoleh jumlah suku kata di atas 200-an. Berdasarkan kenyataan tersebut, dapatlah dipastikan bahwa berdasarkan Grafik Fry tidak akan pernah didapati wacana bahasa Indonesia yang cocok untuk peringkatperingkat kelas rendah, seperti kelas 1 dan 2, sebab titik pertemuan antara garis yang menunjukkan rata-rata jumlah kalimat dan rata-rata jumlah suku kata akan selalu jatuh pada daerah yang diarsir. Melihat kasus contoh wacana yang kita sajikan di bagian muka kita dapati jumlah kalimat 12.5; sedangkan jumlah suku katanya ada 228. Setelah kita plotkan ke dalam Grafik Fry, maka titik temu dari persilangan garis untuk kedua data tersebut jatuh melewati daerah yang diarsir (wilayah gelap). Oleh karena itu, tingkat keterbacaan wacana tersebut tidak bisa ditentukan atau wacana tersebut tidak memiliki peringkat baca yang cocok untuk peringkat kelas mana pun. Tetapi, apakah kesimpulan itu benar? Bukankah kalau kita mencoba mengukurnya dengan kadar pertimbangan kita (bukan alat ukur), hal itu mustahil terjadi, mengingat contoh wacana kita itu diambil dari bacaan untuk siswa sekolah dasar. Berdasarkan contoh kasus tersebut, kita boleh berkesimpulan bahwa Grafik Fry tidak bisa digunakan untuk mengukur keterbacaan wacana bahasa Indonesia kecuali jika dilakukan pemodifikasian terhadap alat tersebut. Meskipun penyesuaian yang akan kami
tawarkan ini bukan merupakan patokan yang baku, namun tawaran ini didasari oleh sebuah penelitian kecil-kecilan yang telah kami lakukan. Untuk sekedar pedoman bagi para pemakai alat ukur keterbacaan dari Fry, jika menggunakan formula ini untuk mengukur keterbacaan wacana bahasa Indonesia, petunjuk langkah-langkah penggunaan Grafik Fry masih harus ditambah satu langkah lagi, yakni memperkalikan hasil penghitungan suku kata dengan angka 0.6. Angka ini diperoleh dari hasil penelitian (sederhana) kami yang memperoleh bukti bahwa perbandingan antara jumlah suku kata bahasa Inggris dengan jumlah suku kata bahasa Indonesia itu 6:10 (6 suku kata dalam bahasa Inggris kira-kira sama dengan 10 suku kata dalam bahasa Indonesia). Mengambil data pengukuran terhadap contoh wacana kita di atas, maka akan diperoleh data jumlah kalimat sebanyak 12.5. data jumlah suku kata 228 X 0.6 = 136.8 dibulatkan menjadi 137. Jika diplotkan ke dalam Grafik Fry, titik temu dari persilangan kedua data tersebut akan jatuh di wilayah 4. Dengan demikian, wacana tersebut cocok untuk peringkat kelas 3, 4, dan 5 sekolah dasar. Contoh wacana tersebut, memang diambil dari buku Lancar Berbahasa Indonesia 2 untuk Sekolah Dasar Kelas 4, karangan Dendy Sugono, diterbitkan oleh Depdikbud tahun 1993. Dengan hasil pengukuran tadi, tampaknya sang pengarang telah memilih dan menentukan wacana dengan tingkat keterbacaan yang tepat untuk sasaran pembacanya.
5.1.4 Daftar Konversi untuk Grafik Fry Kadang-kadang guru perlu mengevaluasi bacaan yang terdiri atas kata-kata yang jumlahnya kurang dari seratus buah, seperti pertanyaan-pertanyaan dalam tes, petunjuk
untuk melakukan kegiatan tertentu, pengumuman-pengumuman singkat, atau petunjukpetunjuk penggunaan obata-obatan tertentu. Untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana-wacana yang demikian, yang jumlah katanya kurang dari seratus perkataan, para ahli telah menemukan jalan pemecahan yang cukup sederhana. Mereka telah melakukan penyesuaian terhadap prosedur penggunaan Grafik Fry dengan mengajukan daftar konversi Grafik Fry. Prosedur kerja yang disarankan ialah dengan menempuh langkah-langkah berikut ini:
Langkah (1) Hitunglah jumlah kata dalam wacana yang akan diukur tingkat keterbacaannya itu dan bulatkan pada bilangan puluhan yang terdekat. Jika wacana tersebut terdiri atas 54 buah kata, misalnya, maka jumlah tersebut diperhitungkan sebagai 50; jika jumlah wacana itu ada 26 buah, maka bilangan kebulatannya ialah 30.
Langkah (2) Hitunglah jumlah suku kata dan kalimat yang ada dalam wacana tersebut. Kegiatan ini dilakukan dengan cara yang sama seperti langkah 2 dan 3 pada petunjuk penggunaan Grafik Fry (seperti telah kita demonstrasikan) pada penjelasan terdahulu.
Langkah (3)
Selanjutnya, perbanyak jumlah kalimat dan suku kata (hasil perhitungan langkah 2 tersebut) dengan angka-angka yang ada dalam Daftar Konversi seperti yang tampak di bawah ini. Dengan demikian, guru dapat menggunakan lagi Grafik Fry menurut tata tertib seperti yang sudah dijelaskan terdahulu.Dengan kata lain, data yang diplotkan ke dalam grafik adalah data yang telah diperbanyak dengan daftar konversi.
DAFTAR KONVERSI UNTUK GRAFIK FRY
jika jumlah kata dalam wacana itu
perbanyaklah jumlah suku-kata dan
berjumlah:
kalimat dengan bilangan berikut:
30
3,3
40
2,5
50
2,0
60
1,67
70
1,43
80
1,25
90
1,1
Mari kita perhatikan contohnya. Dalam contoh di bawah ini, kita umpamakan setiap tanda garis putus menunjukkan suku kata dan kemlompok tanda garis putus-putus tersebut kita umpamakan sebagai kata yang terdapat dalam sebuah wacana. Selanjutnya, coba anda
tentukan tingkat keterbacaan wacana tersebut! Cocok untuk kelas berapakah wacana tersebut?
Wacana
jumlah suku-kata
---- -- -- -- -- --- ---- - --- -,
25
- --- -- -- -- --? -- -- - -- -
20
-- --- -- - -- --- --?
15 ______________ Jumlah 60
Jika kita ingin menentukan tingkat keterbacaan wacana (contoh) di atas, maka akan kita dapati data berikut ini. (a) Jumlah kata dalam wacana tersebut ada 34 buah, pada daftar konversi diklasifikasikan ke dalam golongan angka 30 (b) Jumlah kalimatnya ada 2 buah. (c) Jumlah suku katanya ada 60 suku kata. (d) Angka konversi untuk perbanyakan jumlah kalimat dan jumlah suku kata untuk jumlah kata 30 adalah 3.3. Dengan demikian jumlah kalimat dan jumlah suku kata hasil konversi menjadi: * jumlah kalimat : 2 X 3.3 = 6.6 * jumlah suku kata: 60 X 3.3 = 198
(e) Setelah diplotkan ke dalam Grafik Fry, titik temu dari persilangan data kalimat (6.6) dengan data suku kata (198) itu jatuh pada wilayah universitas. Artinya tingkat keterbacaan wacana tersebut, cocok untuk peringkat universitas.
5.2 Formula Keterbacaan Raygor: Grafik Raygor 5.2.1 Bagaimana Memahami Grafik Raygor Anda telah mahir menggunakan Grafik Fry, bukan? yakinkah anda bahwa grafik tersebut dapat digunakan untuk wacana-wacana dalam bahasa Indonesia? Pertanyaan itu akan dapat anda jawab setelah membandingkan kedua kalimat berikut ini.
a) I watch TV every night. b) Saya menonton TV setiap malam.
Kedua kalimat di atas itu, masing-masing terdiri atas lima kata. Namun, jumlah suku kata dalam kedua kalimat tersebut tidak sama, bahkan sangat berbeda. Kalimat bahasa Inggris (a) yang mempunyai makna yang sama dengan kalimat bahasa Indonesia (b) itu terdiri atas tujuh suku kata, sedangkan kalimat bahasa Indonesia yang ada di bawahnya itu mengandung 11 suku kata. Jumlah suku yang ada dalam 100 kata terpilih dalam bahasa Indonesia umumnya terdiri atas 200 suku atau lebih. Apa sebabnya? Kata-kata bahasa Indonesia pada umumnya terdiri atas dua suku kata atau lebih. Jika demikian, apa artinya?
Cobalah periksa lagi Grafik Fry itu! Dapatkah anda sekarang menjawab pertanyaan kedua di atas? Karena Grafik Fry mengandung kelemahan yang sukar untuk diatasi, di bawah ini diperkenalkan grafik lain yang mempunyai prinsip-prinsip yang mirip dengan prinsip Grafik Fry. Formula keterbacaan dimaksud adalah Grafik Raygor yang diperkenalkan oleh Alton Raygor. Selanjutnya grafik ini dikenal dengan sebutan "Grafik Raygor". Formula ini tampaknya mendekati kecocokan untuk bahasa-bahasa yang menggunakan huruf Latin. Untuk mengenali formula ini, mari kita perhatikan grafik berikut, Grafik Raygor. Grafik Raygor seperti tampak terbalik jika dibandingkan dengan Grafik Fry. Namun, kedua formula keterbacaan tersebut sesungguhnya mempunyai prinsip-prinsip yang mirip. Garis-garis penyekat peringkat kelas dalam Grafik Raygor tampak memancar menghadap ke atas, sedangkan dalam Grafik Fry menghadap ke bawah. Posisi yang demikian itu sesuai dengan penempatan urutan data jumlah kalimat yang berlawanan pula. Grafik Fry meletakan kalimat terpendek pada bagian atas grafik, sedangkan Grafik Raygor meletakkannya di bagian bawah. Sisi tempat jumlah suku kata digunakan untuk menunjukkan kata-kata panjang yang dinyatakan "jumlah kata sulit", yakni kata yang dibentuk oleh enam buah huruf atau lebih.
5.2.2 Petunjuk Penggunaan Grafik Raygor Prosedur penggunaan Grafik Raygor sesungguhnya hampir sama dengan Grafik Fry. Langkah-langkah yang harus ditempuh meliputi sejumlah langkah berikut.
Langkah (1) Menghitung 100 buah perkataan dari wacana yang hendak diukur tingkat keterbacaannya itu sebagai sampel. Deretan angka tidak dipertimbangkan sebagai kata. Oleh karenanya, angka-angka tidak dihitung ke dalam penghitungan 100 buah kata.
Langkah (2) Menghitung jumlah kalimat sampai pada persepuluhan terdekat. Prosedur ini sama dengan prosedur Fry dalam menghitung rata-rata jumlah kalimat.
Langkah (3) Menghitung jumlah kata-kata sulit, yakni kata-kata yang dibentuk oleh 6 huruf atau lebih. Kriteria tingkat kesulitan sebuah kata di sini didasari oleh panjang-pendeknya kata, bukan oleh unsur semantisnya. kata-kata yang tergolong ke dalam kategori sulit itu ialah kata-kata yang terdiri atas enam atau lebih huruf. Kata-kata yang jumlah hurufnya kurang dari enam, tidak digolongkan ke dalam kategori kata sulit.
Langkah (4) Hasil yang diperoleh dari langkah 2) dan 3) itu dapat diplotkan ke dalam Grafik Raygor untuk menentukan peringkat keterbacaan wacananya. Sebagai bahan latihan, mari kita praktikkan penggunaan Grafik Raygor tersebut pada wacana berikut.
Wacana
Suatu ciri khas pada manusia adalah ia selalu ingin tahu; dan setelah ia memperoleh pengetahuan tentang sesuatu, maka segera kepuasannya disusul lagi dengan kecenderungan untuk ingin lebih tahu lagi. Begitulah seterusnya, sehingga tak sesaat pun ia sampai pada kepuasan mutlak untuk menerima realitas yang dihadapinya sebagai titik terminasi yang mantap. Ketidakmungkinan untuk merasa mantap pada suatu status pengetahuan ini dapat diterangkan dari berbagai sudut. Salah satu sebab yang paling dasar ialah apa yang menjelma kepada manusia sebagai realitas alamiah dianggapnya sebagai kenyataan dwipurwa: di satu pihak dia mengamati alamnya sebagai sesuatu yang mempunyai aspek statis, akan tetapi ia pun mengamati terjadinya perubahan-perubahan, perkembanganperkembangan, dan lain sebagainya yang menguatkan adanya aspek dinamis dari gejalagejala itu sendiri (Buitendijk, 1948).
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut! Ada berapa buah kalimat yang terdapat dalam wacana di atas itu ? ........ buah
Berapa jumlah kata-kata sukar yang ada di dalamnya ? ........ buah
Wacana itu cocok untuk kelas untuk kelas berapa ? ........
Grafik yang mana yang lebih cocok bagi anda? Apa alasannya? Mana yang lebih mudah menggunakannya, Grafik Fry atau Grafik Raygor? Setelah anda menemukan daerah tingkat keterbacaan wacana di atas itu dalam Grafik Raygor, bagaimana pendapat anda? Dapatkah grafik itu dipergunakan untuk mengukur keterbacaan wacana-wacana bahasa Indonesia? Anda mungkin berpendapat bahwa Grafik Raygor lebih mudah dan lebih cocok untuk wacana-wacana bahasa Indonesia. Namun, anda tidak boleh lupa bahwa grafik ini belum banyak diteliti keampuhannya. Grafik Fry lebih banyak digunakan untuk mengetahui tingkat keterbacaan wacana bahasa Inggris, sebab grafik tersebut telah diteliti secara lebih seksama daripada Grafik Raygor. Baldwin dan Kaupman (1979) telah melakukan penelitian mengenai keampuhan dari penggunaan kedua formula keterbacaan ini. Hasil penelitian itu membuktikan bahwa terdapat korelasi yang cukup tinggi antara tingkat keterbacaan wacana-wacana yang diukur dengan menggunakan Grafik Fry dan tingkat keterbacaan wacana-wacana yang diukur dengan Grafik Raygor. Koefisien korelasi yang dihasilkannnya ialah (r) 0.87. Dari 100 buah wacana yang diteliti, ternyata ada 50 buah hasil percobaan yang menunjukkan hasil pengukuran yang sama antara pengukuran keterbacaan dengan menggunakan Grafik Raygor dengan hasil pengukuran keterbacaan dengan menggunakan Grafik Fry. Satu hal yang perlu dicatat sebagai kelebihan dari penggunaan Grafik Raygor, yakni dalam hal efisiensi waktu.Pengukuran keterbacaan wacana dengan Grafik Raygor ternyata jauh lebih cepat daripada melakukan pengukuran keterbacaan dengan menggunakan Grafik Fry.
5.3 Pengubahan Tingkat Keterbacaan wacana Dengan pengetahuan yang anda peroleh mengenai Grafik Fry dan Grafik Raygor itu anda disarankan untuk memeriksa tingkat keterbacaan buku-buku yang digunakan untuk setiap bidang studi. Setelah mengetahui tingkat keterbacaan bukubuku tersebut, anda disarankan pula untuk mencoba mengubah wacana-wacana itu dengan keyakinan bahwa pekerjaan yang anda lakukan itu bermanfaat dan merupakan ibadah yang berpahala. Tugas kita sebagai guru dalam hal ini memang cukup berat. Tahukah Anda cara menurunkan tingkat kesulitan wacana? Ya benar, dengan jalan memperpendek kalimat-kalimatnya dan mengganti kata-kata sulit dengan kata-kata yang lebih mudah.
Cobalah bandingkan kedua wacana berikut!
Wacana 1 Secara sepintas saja kita segera mengetahui bahwa advertensi di dalam majalahmajalah itu tidak ayal lagi, bermaksud untuk menarik pembaca agar mempunyai perhatian yang lebih bersungguh-sungguh mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan berat badan. Para diktator dalam bidang mode membuat sebagian besar anggota masyarakat, terutama wanita, sadar akan masalah berat badan yang sangat menentukan penampilan seseorang. Pada masa sekarang para penulis advertensi mencoba berupaya
meyakinkan sang kurus dan sang gendut berada dalam kedudukan yang sama asalkan mereka mau membeli barang-barang yang mereka tawarkan: mesin berlatih, jamu ini dan jamu itu, makanan-makanan tertentu, obat-obatan tertentu, dan seterusnya. Mereka berjanji bisa membuat kita tampak atau bisa tampak seperti model yang terpampang dalam gambar advertensi. Biasanya mereka gagal karena tidak sadar bahwa setiap orang itu berbeda.
Wacana di atas dapat diubah menjadi seperti ini.
Wacana 2 Anda pernah membaca majalah? Di dalam majalah itu mungkin ada pembicaraan tentang berat badan. Pada umumnya orang sangat memperhatikan berat badannya. Orang yang memperhatikan urusan mode, membuat kita terpaku dalam urusan berat badan. Sekarang para juru iklan masih terus melakukan hal yang sama. Ada juru iklan yang menyuruh anda membeli mesin berlatih. Juru iklan yang lain menjajakan jamu-jamu untuk menurunkan atau menaikkan berat badan. Semua iklan itu berupaya membuat kita gandrung akan penampilan seperti yang tampak dalam gambar. Namun, tujuan hidup orang tidak sama. Iklan tidak memperhatikan perbedaan-perbedaan itu.
Perbedaan apa yang tampak dalam kedua wacana di atas itu? Jika anda memperhatikan dengan baik kedua wacana tersebut, akan segera tampak dua hal yang berbeda di dalamnya. Kalimat pada wacana pertama berkesan panjangpanjang dan mengandung ide lebih banyak daripada kalimat-kalimat dalam wacana kedua. Wacana kedua menggunakan kata-kata yang lebih mudah daripada kata-kata yang digunakan dalam
wacana pertama. Kata advertensi diganti dengan kata iklan, kata terpampang diganti dengan kata tampak. Mengubah struktur kalimat mungkin lebih mudah daripada mengganti kata-kata sulit dengan kata-kata mudah. Bacaan yang bagus seringkali mengandung kalimat-kalimat yang panjang yang mengandung rincian pikiran atau ide. Cobalah perhatikan kalimat deskriptif di bawah ini. Pada umumnya, setiap bunga mempunyai bagian yang disebut poros, ialah bagian yang menumbuhkan organ-organ reproduksi yang penting (benang sari dan putik) dan lazim juga bagian-bagian tambahan (kelopak bunga dan bunga), yang dapat berperan sebagai daya tarik terhadap serangga penyerbuk dan sebagai pelindung bagian-bagian yang esensial. Waktu anda membaca wacana di atas, apa yang terjadi dalam pikiran anda? Apakah anda berupaya untuk memproses dan menyusun fakta yang berbeda-beda itu? Seraya membaca kalimat di atas, sebaiknya anda memproses dan menata berbagai fakta ke dalam rincian-rinciannya, misalnya: 1) Setiap bunga mempunyai bagian yang disebut ---- ---2) Organ-organ reproduksi yang penting itu ada dua ---- ---3) Organ-organ yang penting itu ialah putik dan benang sari. 4) Kelopak bunga dan daun bunga pun tumbuh pada ----5) Kelopak dan mahkota bunga itu merupakan pemikat. 6) Kelopak dam mahkota bunga itu melindungi organ-organ inti.
Untuk menurunkan tingkat kesulitan bacaan, fakta-fakta sebaiknya dinyatakan dengan jalan menggunakan kalimat-kalimat yang pendek-pendek daripada menggunakan kalimat yang panjang-panjang dan kompleks. Hal tersebut membantu pembaca menata fakta yang dikemukakan dalam wacana. Di samping itu juga biasanya membantu memperbaiki pemahaman, sebab fakta itu diperkenalkan dalam takaran yang lebih kecil (kalimat pendek-pendek). Wacana di atas itu dapat diubah menjadi wacana seperti berikut ini. Pada umumnya, setiap bunga terdiri atas satu poros bunga. Organ-organ reproduksi poros bunga yang penting itu ialah benang sari dan putik. Organ reproduksi tambahannya adalah kelopak bunga dan bunga. Organ ini berfungsi sebagai daya tarik terhadap serangga dalam proses penyerbukan dan berfungsi sebagai pelindung. Bagaimana pendapat anda tentang kedua bentuk penyajian wacana di atas? Mungkin anda berpendapat bahwa wacana yang kedua lebih mudah dipahami karena informasi yang disampaikannya dinyatakan dalam empat buah kalimat yang relatif lebih pendek-pendek. Dengan kalimat yang pendekpendek, pembaca akan mempunyai kesempatan untuk memproses setiap fakta dalam pernyataan yang terpisahpisah. Ketika kita membaca wacana yany pertama, yang belum diubah, kita harus berupaya menganalisis kalimat yang kompleks itu agar dapat memahami isi dan informasi yang terkandung di dalamnya. Cara kedua untuk menurunkan tingkat keterbacaan wacana ialah dengan jalan mengurangi jumlah silabi (suku kata) dengan cara mensubstitusikan kata-kata yang pendek untuk kata-kata yang panjang. Untuk melaksanakan upaya tersebut anda dapat menggunakan kamus sinonim. Jika kata-kata pengganti sukar dicari maka anda lebih baik
mengubah panjang kalimat. Mengganti kata-kata sulit memang perlu, tetapi mengubah panjang kalimat sehingga jumlah kalimat tersebut bertambah, biasanya jauh lebih mudah. Di bawah ini ada beberapa petunjuk yang dapat anda ikuti untuk menurunkan tingkat keterbacaan sebuah wacana. 1) Carilah kata-kata sukar yang terdapat dalam wacana itu. Biasanya, kata-kata yang lebih panjang lebih sukar untuk dibaca. Kata-kata yang multisilabik atau yang berhuruf 6 buah atau lebih, tergolong ke dalam kata sukar, atau bisa juga kata tersebut kurang akrab dengan kita karena frekuensi pemakaiannya tidak tinggi. 2) Ganti kata-kata sukar dengan kata-kata yang lebih mudah. Upayakan agar kata-kata sukar itu dapat diganti dengan sinonim yang lebih mudah. Substitusikan kata-kata yang lebih pendek dan lebih mudah itu pada tempat kata-kata sukar tadi. 3) Bacalah kalimat-kalimat dalam wacana tersebut untuk mengetahui kemungkinan memendekannya dengan jalan membaginya menjadi dua atau tiga buah kalimat. Camkanlah bahwa penurunan tingkat keterbacaan itu lebih mudah dilakukan dengan jalan memperbanyak kalimat, sehingga pikiran-pikiran penulis dapat dinyatakan dengan takaran yang lebih kecil-kecil. 4) Tulis kembali wacana tersebut dengan menggunakan kata-kata yang lebih mudah dan kalimat-kalimat yang pendek. 5) Ukurlah tingkat keterbacaan wacana yang baru itu untuk mengetahui penurunannya.
Anda jangan keliru. Jumlah kata sebelum dan sesudah diperbaiki tidak perlu tetap, boleh jadi bertambah, mungkin juga berkurang. Tujuan anda bukanlah mempertahankan jumlah kata, melainkan mengubah wacana supaya sesuai dengan tingkat kemampuan siswa
anda. Jika jumlah kata dalam wacana tersebut berkurang anda dapat mengukur tingkat keterbacaan wacana tersebut dengan menggunakan daftar konversi seperti yang telah anda pelajari di muka.
RANGKUMAN Tingkat keterbacaan dapat diartikan sebagai tingkat kesukaran/kemudahan wacana. Berdasarkan hasil penelitian mutakhir diperoleh bukti bahwa faktor utama yang mempengaruhi keterbacaan ada dua hal, yakni panjang-pendeknya kalimat dan tingkat kesulitan kata yang juga ditandai oleh jumlah huruf dan atau silabi yang membentuknya. Dari sekian banyak formula keterbacaan yang diperkenalkan orang, Grafik Fry dan grafik Raygor merupakan dua alat keterbacaan yang dipandang praktis dan mudah menggunakannya. Namun, karena alat tersebut diciptakan untuk mengukur wacana bahasa Inggris, maka pemakaiannya untuk wacana bahasa Indonesia masih harus disesuaikan. Cara menggunakan kedua formula keterbacaan tersebut sekurang-kurangnya harus menempuh lima langkah pokok, yakni (1) memilih penggalan wacana yang representatif sebanyak 100 kata, (2) menghitung rata-rata jumlah kalimat, (3) menghitung jumlah suku kata (untuk Fry) dan menghitung jumlah kata sulit (untuk Raygor), (4) mencari titik temu dari persilangan data (2) dan (3) dalam grafik; dan (5) menentukan tingkat keterbacaan wacana dengan jalan mengurangi dan menambah satu tingkat dari ukuran yang sebenarnya.
TUGAS DAN LATIHAN Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan jelas!
1) Kemukakan dua faktor utama yang mempengaruhi keterbacaan, serta berikan penjelasan dan ilustrasinya! 2) Setelah anda bandingkan prosedur penggunaan Grafik Fry dan Grafik Raygor, coba anda jelaskan persamaan dan perbedaan dari kedua formula tersebut. 3) Bagaimana pendapat anda tentang penggunaan kedua formula keterbacaan tersebut untuk mengukur keterbacaan wacana bahasa Indonesia? Berikan alasan dan contohcontohnya! 4) Jelaskan langkah-langkah kerja yang harus dilakukan si penulis jika dia ingin mengubah tingkat keterbacaan wacana, baik untuk kepentingan penurunan atau penaikan tingkat keterbacaan wacana. 5) Turunkanlah tingkat keterbacaan wacana berikut ke peringkat keterbacaan yang lebih rendah.
Wacana
FLORIDA
Dalam tahun 1565 orang-orang Spanyol mendirikan sebuah kota yang diberi nama St. Augustine, kota kediaman mereka yang tertua yang terletak di North America, di mana mereka tinggal secara tetap. Sebagian besar kota Florida masih berusia sangat muda, namun demikian negara bagian ini memiliki kota tertua yang bernama Cape Canaveral, yang merupakan lambang abad antariksa, karena dari kota inilah pesawat-pesawat luar angkasa dilontarkan. Pantai Miami merupakan tempat hiburan bagi ribuan pengunjung setiap hari.
Hutan kayu sebelah utara Florida merupakan sumber kayu kertas yang kaya. Perkebunan jeruk Florida Tengah menghasilkan buah jeruk yang tidak kecil jumlahnya ditambah penghasilan dari daerah Florida bagian selatan yang selalu menghasilkan sayursayuran yang segar, jagung, kacang-kacangan, dan tomat, yang kesemua itu dikirimkan ke daerah yang lebih dingin di musim salju.
MODUL 4: BAHAN AJAR MEMBACA DAN KETERBACAAN
Pendahuluan
Kegiatan Belajar 1: Pengertian dan Latar Belakang Sejarah Keterbacaan Rangkuman Perlatihan 1 Tes Formatif 1
Kegiatan Belajar 2: Kaitan Keterbacaan dengan Penyediaan Bahan Ajar Membaca Rangkuman Perlatihan 2 Tes Formatif 2
Kegiatan Belajar 3: Keterbatasan-keterbatasan Formula Keterbacaan Rangkuman Perlatihan 3 Tes Formatif 3
Kegiatan Belajar 4: Keterbatasan-keterbatasan Formula Keterbacaan Rangkuman Perlatihan 3 Tes Formatif 3
KUNCI JAWABAN TES FORMATIF DAFTAR PUSTAKA