PRESENTASI KASUS SEORANG ANAK PEREMPUAN 1 TAHUN 11 BULAN DENGAN GLOBAL DELAYED DEVELOPMENT DAN DOWN SYNDROME DENGAN STATUS GIZI BAIK
Oleh :
Oleh : Deneisha Kartika Puspitarini
G99142113 / K5
Fila Apriliawati
G99142114 / K6
Ines Aprilia Safitri
G99151062 / K16
Erlimia Eko Noor Yuliana
G99151066 / K20
Pembimbing : Suci Murti Karini, Dra., M.Si
KEPANITERAAN KLINIK SMF / BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA 2015
0
BAB I STATUS PASIEN I.
IDENTITAS PENDERITA Nama
: An. B
Usia
: 1 tahun 11 bulan
Tanggal Lahir
: 21 Desember 2013
Berat Badan
: 9,7 kg
Tinggi Badan
: 84 cm
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Alamat
: Kemayoran, Jakarta Pusat
Tanggal Pemeriksaan
: 28 November 2015
II.
ANAMNESIS Anamnesis diperoleh dengan cara alloanamnesis terhadap orang tua
pasien saat kontrol di Poli Anak RSDM A. Keluhan Utama Belum bisa duduk sendiri dan belum bisa bicara.
B.
Riwayat Penyakit Sekarang Orang tua pasien datang ke poli jantung RS Dr. Moewardi untuk kontrol rutin. Pasien saat ini baru bisa didudukkan dan dipangku, dengan kepala yang sudah tegak. Pasien mampu menahan tubuhnya dengan dipegang namun hanya bisa bertahan sekitar 5 detik, lalu terjatuh saat pegangan di lepaskan. Pasien baru bisa tengkurap sendiri dan berguling. Pasien sudah diberi terapi tumbuh kembang, namun berhenti saat usia 6 bulan karena tidak ada yang mengantar. Di usia 11 bulan ini pasien baru bisa mengoceh dan mengucapkan satu suku kata yang tidak memiliki arti dan tidak spesfik, seperti “ma”, dan “ba”. Saat dipanggil, pasien terkadang menoleh, namun terkadang tidak menoleh.
1
C. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat mondok
:
disangkal
Riwayat alergi obat / makanan
:
disangkal
Riwayat kejang sebelumnya
:
disangkal
Riwayat penyakit serupa
:
disangkal
Riwayat alergi obat / makanan
:
disangkal
Riwayat kejang pada keluarga
:
disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
E. Pohon Keluarga
F. Riwayat Kehamilan Ibu pasien hamil saat usia 26 tahun, pemeriksan kehamilan rutin dilakukan dua kali dalam satu bulan ke dokter. Tidak didapatkan adanya keluhan selama kehamilan. Riwayat sakit berat, konsumsi obat-obatan, atau trauma saat kehamilan juga disangkal. G. Riwayat Kelahiran Pasien lahir spontan pervaginam, pada usia kehamilan 40 minggu, bayi menangis segera setelah lahir. Berat waktu lahir 3300 gram, panjang badan saat lahir 50 cm. H. Riwayat Nutrisi Pasien mengkonsmsi susu formula sejak lahir. Makanan tambahan diberikan sejak usia 3 bulan berupa bubur susu. Hingga saat ini pasien masih mengkosumsi bubur susu, karena belum dapat menelan dengan
2
sempurna. Pasien akan memuntahan makanan jika konsistensinya sedikit lebih padat atau kasar dari biasanya. I. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Pertumbuhan Berat badan lahir pasien 3300 gram dengan panjang badan 50 cm, sekarang berat badan pasien 9,7 kg dengan panjang badan 84 cm. Kesan: pertumbuhan pasien sesuai dengan usia Perkembangan Pasien belum dapat berdiri, duduk, dan bebicara. Pasien saat ini mampu menegakkan kepala, tengkurap, berguling dan duduk dengan dipangku. Pasien mampu menahan tubuhnya dengan dipegang namun hanya bisa bertahan sekitar 5 detik, lalu terjatuh saat pegangan di lepaskan. Pasien baru bisa mengoceh dan mengucapkan satu suku kata yang tidak memiliki arti dan tidak spesfik, seperti “ma”, dan “ba”. Saat dipanggil, pasien terkadang menoleh, namun terkadang tidak menoleh. Kesan: perkembangan pasien mengalami keterlambatan. J. Riwayat Imunisasi 1. HB0
: 0 bulan
2. BCG, Polio 1
: 1 bulan
3. DPT/Hb1, Polio 2
: 2 bulan
4. DPT/Hb2, Polio 3
: 3 bulan
5. DPT/Hb3, Polio 4
: 4 bulan
6. Campak
: 9 bulan
Kesan : pasien mendapatkan imunisasi lengkap sesuai kemenkes.
III. PEMERIKSAAN FISIK 1.
2.
Keadaan Umum
: baik
Derajat Kesadaran
: compos mentis
Status gizi
: gizi kesan baik
Tanda vital S
: 36,5 oC
N
: 100 x/menit, reguler, simetris, isi dan tegangan cukup.
3
RR
: 30 x/menit, tipe abdominal, kedalaman cukup, reguler.
3. Status Gizi a.
Secara klinis Gizi kesan baik
b.
Secara antropometris BB: 9,7 kg
TB: 84 cm
usia: 1 tahun 11 bulan
BB/U = 9,7/11,6 x 100% = 83 %
-2 SD < BB/U < 0 SD
TB/U = 84/85,5 x 100% = 98 %
-2 SD < TB/U < 0 SD
BB/TB = 9,7/11 x 100% = 88 %
-2 SD < BB/TB < 0 SD
Kesan : Gizi baik, normoweight, normoheight. 4.
Kulit : warna putih, kelembaban baik, turgor baik.
5.
Kepala : microcephal LK = 44 cm, LK < -2SD (Nellhause), ubun-ubun besar belum menutup, rambut hitam tidak mudah rontok dan sukar dicabut.
6.
Muka : Mongoloid face (+), sembab (-), wajah orang tua (-)
7.
Mata : alis dan bulu mata hitam tidak rontok, strabismus (-), sklera ikterik (-), conjunctiva anemis (-/-),
8.
Hidung : low nasal bridge (+) napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
9.
Telinga : tragus pain (-), sekret (-)
10. Mulut : ukuran kecil, lidah cenderung besar, mulut sering terbuka, sianosis (-), mukosa basah (+), pertumbuhan gigi tidak teratur. 11. Tenggorokan : uvula di tengah, tonsil T1 –T1, faring hiperemis (-) 12. Leher : cenderung pendek, trachea ditengah, kelenjar thyroid tidak membesar. 13. Limfonodi : kelenjar limfe sulit dievaluasi 14. Thorax : bentuk normochest, retraksi, gerakan simetris ka = ki Cor :
Inspeksi
: Ictus cordis tidak tampak
Palpasi
: Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi
: Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi
: BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (+) LPSS pansistolik
Pulmo :
Inspeksi
: Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi
: Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi
: Sonor / Sonor di semua lapang paru
Auskultasi
: SD vesikuler (+/+), RBK (-/-), RBH (-/-)
4
15. Abdomen :
Inspeksi
: dinding dada sejajar dinding perut
Auskultasi
: peristaltik (+) normal
Perkusi
: tympani
Palpasi
: supel, nyeri tekan (-), hepar / lien tidak teraba.
16. Urogenital : dalam batas normal 17. Ekstremitas : jari-jari tangan cenderung pendek, tonus otot lemah. akral dingin
-
-
sianosis
-
-
oedem
-
-
CRT < 2 detik , ADP teraba kuat 18. Status Neurologis Refleks Fisiologis : dalam batas normal Refleks Patologis : tidak didapatkan
Meningeal Sign : tidak didapatkan
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG PEMERIKSAAN
HASIL
SATUAN
RUJUKAN
10.0 31 6.7 162 3.24
g/dl % ribu/ul ribu/ul juta/ul
9.4 – 13.0 28 – 42 5.0 – 19.5 150 – 450 3.10 – 4.30
1.63 18.09
uIU/m pmol/l
1.70 – 9.10 10.30 – 25.80
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin Hematokrit Leukosit Trombosit Eritrosit IMUNOLOGI FUNGSI THYROID
TSH Free T4
V. DENVER DEVELOPMENTAL SCREEENING TEST Hasil tes perkembangan Denver yaitu, personal sosial mengalami keterlambatan setara dengan usia 1,5 tahun, adaptif-motorik halus setara dengan usia 7 bulan, bahasa setara dengan usia 8 bulan, dan motorik kasar juga mengalami keterlambatan setara dengan usia 6,5 bulan. dan kemampuan bahasa mengalami keterlambatan setara dengan anak usia 8 bulan.
5
VI. RESUME Seorang anak usia 1 tahun 11 bulan, belum bisa duduk sendiri dan terlambat bicara. Pasien saat ini baru bisa didudukkan dan dipangku, dengan kepala yang sudah tegak. Pasien juga baru bisa mengoceh dan mengucapkan satu suku kata yang tidak memiliki arti, seperti “ma”, “ba” yang tidak spesifik. Saat dipanggil, pasien terkadang menoleh, namun terkadang tidak menoleh. Pada pemeriksaan fisik didapatkan mikrocephal, LK < -2SD Mongoloid face (+), low nasal bridge (+), leher cenderung pendek, pemeriksaan jantung ditemukan bising (+) LPSS pansistolik. Hasil tes perkembangan Denver ditemukan keterlambatan pada aspek peronal sosial, motorik halus, bahasa dan motorik kasar. VII.
ASSESMENT
1. Global Delayed Development 2. DE : PJB asianotik DA : ASD dd VSD DF : ROSS I 3. Gizi baik
VIII.
PENATALAKSANAAN
1.
Edukasi orangtua pasien tentang penyakitnya
2.
Fisioterapi
IX.
PLANNING
1. Konsul THT 2. Konsul Rehabilitasi Medik 3. Konsul Poli Jantung 4. Kontrol Poli Tumbuh Kembang per 3 bulan
6
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A KETERLAMBATAN MOTORIK Definisi Istilah motorik diambil dari kata motor yang memiliki arti ”gerak” dalam kaitannya dengan pengertian gerak dimaksud adalah suatu aktivitas yang mengandalikan peran gerak tubuh sebagai perilaku gerak. Perilaku motorik (gerak) merupakan istilah generik yang mengarah kepada pengertian tentang ”gejala perilaku nyata yang teramati dan ditampilkan melalui gerak otot atau anggota tubuh di bawah kontrol sistem persyarafan”. Ada dua sitilah yang sering digunakan dalam kaitannya dengan belajar motorik yaitu kemampuan motorik dan keterampilan motorik.Kemampuan dan keterampilan ini merupakan dua konsep yang berbeda.Kemampuan motorik lebih tepat disebut sebagai kapasitas seseorang yang berkaitan dengan pelaksanaan dan unjuk kemampuan yang relatif melekat sejak kanak-kanak (Lutan, 2005). Faktor biologis dianggap sebagai kekuatan utama yang berpengaruh terhadap kemampuan motorik dasar seseorang. Kemampuan motorik dasar inilah yang kemudian berperan sebagai landasan bagi perkembangan keterampilan motorik. Oleh karena itu keterampilan motorik akan banyak bergantung kepada kemampuan dasar yang dikuasai. Lingkup kemampuan dasar ini mencakup; keseimbangan, kecepatan, ketepatan dan locomosi, kekuatan, dan fleksibilitas, misalnya.merupakan kemampuan dasar untuk pelaksanaan berbagai keterampilan motorik. Dengan demikian keterampilan motoriK dapat dikatakan sebagai faktor lingkungan (yang diciptakan) atau merupakan hasil belajar misalnya; terampil memukul bola stik, bermain bola dll.Secara mendasar anak-anak yang mengalami gangguan motorik dapat digolongkan ke dalam tiga katagori yaitu; 1) Spina bifina, 2) Cerebal palcy 3) developmental coordination disorder (Lutan, 2005).
8
Epidemiologi Prevalensi gangguan koordinasi motorik tidak diketahui tetapi diperkirakan sekitar 6% dari anak usia sekolah. Rasio laki-laki terhadap perempuan juga tidak diketahui, tetapi lebih banyak anak laki-laki yang memiliki gangguan koordinasi motorik dibandingkan anak perempuan. Laporan dalam literatur menyebutkan rasio laki-laki berbanding perempuan terentang dari 2:1 sampai sebesar 4:1 (Kaplan, 2002). Seorang anak dapat mengalami keterlambatan perkembangan di hanya satu ranah perkembangan saja, atau dapat pula di lebih dari satu ranah perkembangan.
Keterlambatan
perkembangan
umum
atau
global
developmental delay merupakan keadaan keterlambatan perkembangan yang bermakna pada dua atau lebih ranah perkembangan. Secara garis besar, ranah perkembangan anak terdiri atas motor kasar, motor halus, bahasa / bicara, dan personal sosial / kemandirian.Sekitar 5 hingga 10% anak diperkirakan mengalami keterlambatan perkembangan. Data angka kejadian keterlambatan perkembangan umum belum diketahui dengan pasti, namun diperkirakan sekitar 1-3% anak di bawah usia 5 tahun mengalami keterlambatan perkembangan umum (IDAI, 2002). Etiologi Penyebab gangguan koordinasi motorik tidak diketahui, tetapi hipotesis adalah termasuk penyebab organik dan perkembangan. Faktor resikonya adalah prematuritas, hipoksia, malnutrisi perinatal, dan berat badan lahir rendah. Kelainan neurokimiawi dan lesi lobus parietalis juga telah diajukan berperan dalam defisit koordinasi (Kaplan, 2002). Gangguan koordinasi motorik dan gangguan komunikasi memiliki hubungan yang kuat, walaupun agen penyebab spesifik tidak diketahui untuk keduanya.Masalah koordinasi juga lebih sering dibandingkan biasanya pada anak-anak dengan perilaku impulsif dan berbagai gangguan belajar. Gangguan koordinasi motorik kemungkinan memiliki penyebab yang multifaktoral (Kaplan, 2002).
9
Penyebab keterlambatan perkembangan umum antara lain gangguan genetik atau kromosom seperti sindrom Down; gangguan atau infeksi susunan saraf seperti palsi serebral atau CP, spina bifida, sindrom Rubella; riwayat bayi risiko tinggi seperti bayi prematur atau kurang bulan, bayi berat lahir rendah, bayi yang mengalami sakit berat pada awal kehidupan sehingga memerlukan perawatan intensif dan lainnya (Blackman, 1992). Faktor resiko Faktor risiko keterlambatan perkembangan motorik yang dapat diketahui dengan penilaian perkembangan pada bayi meliputi : Motorik kasar 1. 4,5 bulan
: Belum dapat mengontrol kepala
2. 5 bulan
: Belum dapat tengkurap bolak-balik
3. 7-8 bulan
: Belum duduk tanpa bantuan
4. 9-10 bulan
: Tidak dapat berdiri berpegangan
5. 15 bulan
: Belum berjalan
6. 2 tahun
: Tidak mampu naik atau turun tangga
Motorik halus 1. 3,5 bulan
: Tangan tetap terkepal
2. 4-5 bulan
: Tidak mampu memegang mainan
3. 7 bulan
: Tidak mampu memegang benda pada setiap tangan
4. 10-11 bulan
: Tidak mampu menyumput benda kecil
5. 15 bulan
: Tidak dapat memasukkan atau mengambil benda
6. 20 bulan
: Tidak dapat membuka kaos kaki atau sarung tangan
sendiri 7. 24 bulan
: Tidak dapat menyusun 5 balok
Macam penyakit yang dapat menyebabkan gangguan perkembangan motorik a) Spina Bifina Spina bifina merupakan suatu pembentukan yang salah dari stuktur tulang belakang (spina) yang disebabkan oleh penutupan yang kurang baik dari satu atau lebih ruas tulang belakang (vertebrata) yang dikenal dengan nama sumbing tulang belakang atau pembelahan tulang belakang. Kondisi 10
sumbing tulang belakang yang tidak mengakibatkan secara serius dinamakan sumbing tulang belakang samar (spinal bifidaocculta). Sumbing tulang belakang kista ( spina bifida cysta) merupakan kelanjutan dari kondisi spinal bifida occulta, yaitu suatu kondisi yang menggambarkan adanya penutupan dari saluran spina melalui celah ruas tulang yang tidak normal. Ada dua bentuk dari spina bifida cysta; Pertama; yang disebut meningokel (meningocele) yaitu suatu keadaan dimana penutupan tali spinal nampak menonjol. Kedua; yang disebut meilomeningokel (myelomeningocele). Suatu keadaan bilamana penutupan spinal terjadi pada tali spinal, dan akar syaraf menonjol (Appleton, 2010). Hasil penelitian kondisi kelainan tulang tersebut diperkirakan 1 dari 350 anak lahir dengan salah satu bentuk spina bifina dan kiri-kira ada 50.000 anak-anak usia sekolah yang memiliki salah satu bentuk dari kondisi tersebut (French and Jansma, 2012). Penyebab khusus dari Spina bifida tidak diketahui. Nampaknya bahwa ada
kombinasi
faktor
keturunan
dan
lingkungan
yang
mungkin
meningkatkan resiko dari sumbing tulang belakang, tetapi tidak ada satu faktor secara langsung dapat diidentifikasi (Anderson dan Spain, 2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki hambatan miomeningkol cenderung menunjukan kondisi hidrosefali. Di mana anak ini akan meperlihatkan ketidak seimbangan di dalam memproduksi cairan cerebrospinal dalam tengkorak dan pengaliran cairan ke dalam sistem peredaran darah melalui permukaan otak. Jika kondisi ini dibiarkan, maka akan menyebabkan terjadinya gangguan mental atau kematian yang cepat (Anderson dan Spain 2010). Banyak anak yang mengalami hambatan mielomeningokel mempunyai masalah dalam perhatian yang sekaligus akan mengganggu aktivitas gerak seperti; menangkap dan melempar bola, koordinasi gerak (visual-motor) seperti dalam melakukan koordinasi gerak mata-tangan misalnya sering muncul pada anak yang mengalami gangguan mielomeningokel (Anderson dan Spain 2010) b) Cerebral Palcy
11
Dilihat dari makna kata sesungguhnya kata Cerebral Palsy terdiri atas dua yaitu cerebral dan palsy. Kata cerebral diambil dari kata cerebellum yang berarti otak dan kata palsy yang berarti kekakuan. Jadi menurut arti katanya Cerebral Palsy menunjuk kepada kekakuan yang disebabkan karena adanya gangguan yang terletak di dalam otak . Berkenaan dengan pengertian itu (Bax:1994) menjelaskan bahwa cerebal palsy digambarkan sebagai gangguan gerak dan postur yang disebabkan oleh kerusakan permanent tetapi nonprogresif pada otak Kondisi cerebral palsy memiliki derajat tertentu dari yang ringan hingga yang berat tergantung pada hebat tidaknya kerusakan yang terjadi pada otak. Jika kerusakan pada otak itu cukup meluas sehinga menimbulkan kerusakan pada bagaian lain yaitu pusat dan fungsi pancaindra, maka gangguan itu akan menyertai pula pada gangguan yang menyebar luas pada fungsi sensoris seperti; penglihatan, pendengaran, bicara bahkan masuk kepada wilayah kecerdasan, akan tetapi dapat juga terjadi hanya menyangkut gangguan gerak dan tidak menyerang fungsi yang lain ( Bax, 2010). Berkenaan dengan hal ini (Bax:1994) menjelaskan bahwa Cerebal palsy biasanya disertai oleh kombinasi kesulitan lainnya misalnya; penglihatan, pendengaran, berbicara dan kemampuan kecerdasan. Oleh karena itu sekalipun ada dua orang anak didiagnosisi sebagai anak yang memiliki cerebal palcy akan memiliki perbedaan yang besar diantara keduanya. Hal ini menyebakan timbulnya kesulitan untuk menemukan kesimpulan tentang dampak dari gangguan motorik (cerebral palsy) terhadap perkembangan anak (Bax, 2010). Namun demikian secara umum dapat diidentifikasi dan didefinisikan beberapa tipe hambatan yang ditimbulkan oleh gangguan motorik ini (cerebal palsy).¾ dari anak daricerebral palsy mengalami gerakan spastic (spastic movement), athetosis, ataxia, rigidity dan tremor. Cerebral palsy dengan gangguan spastic menunjuk kepada suatu kondisi yang disebabkan oleh kegagalan otot dalam melakukan releksasi sehingga gerakan-gerakanmereka menjadi kaku. Cara berjalan yang menyilang (scissor gait) sehingga aktivitas berjalan dilakukan pada ujung
12
jari; kaki mengarah ketengah, kedua lutut tertekuk dan hamper beradu, punggung, sikut dan pergelangan tangang tertekuk; lengan bawah terputar ke kekanan. Cerebral palsy dengan gangguan athetosis, sering menunjukkan aktivitas sepertimenggeliat secara berlebihan dan tanpa tujuan dan diluar kehendak dirinya. Berlawanan dengan spastic, individu ini bergerak terlalu banyak ; menunjukkan tonus otot yang rendah (hypotonus), ia juga memiliki kecenderungan untuk mengeluarkan air liur, pungggung yang bengkung. Cerebral palsy dengan gangguan ataxia, menunjukkan gangguan dalam keseimbnagan dan kenestesis yang kurang, mengalami hambatan di dalam kesadaran akan ruang. Kondisi anak seperti ini biasanya diperoleh setelah lahir. Cerebral palsy dengan gangguan rigidity, menunjuk kepada kekakuan tonus otot agonis dan antagonis yang cenderung membekukan gerak dan berlawanan dengan spastic, ia memiliki elastis otot yang minim dan hampir tidak memiliki reflek. Cerebral palsy dengan gangguan tremor, memiliki gerak yang kuat dan takterkontrol. Jadi berlawanan dengan mereka yang mengalami gangguan athetosis.Namun demikian Individu ini biasanya tidak terlalu mengalami kesulitan berarti dibandingkan kondisi cerebral palsy lainnya (Bax, 2010). Cerebral Palsy sebetulnya dapat mempengaruhi satu atau lebih bagian tubuh sehingga seringkali dikelompokkan berdasarkan topografik atau anatomik. Tipe tersebut mencakup apa yang disebut dengan : 1. hemiplegia ( kelumpuhan padaa satu sisi tubuh ; lengan dan tungkai, 2. paraplegia; kelumpuhan yang diderita pada kedua tungkai, 3. dipligia; (kelumpuhan pada kedua kaki dan sedikit mengalami kelumpuhan pada lengan, 4. quadriplegia ( kelumpuhan pada semua anggota badan), 5. triplegia 9 kelumpuhan pada tiga anggota badan), dan 6. monoplegia (kelumpuhan pada satu anggota badan) (Bax, 2010) c) Developmental Coordination Disorder
13
Anak yang mengalami gangguan koordinasi gerak (developmental coordination disorder) adalah anak yang mengalami kesulitan dalam melakukan
aktivitas
sehari-hari
yang
memerlukan
keterampilan-
keterampilan gerak tertentu dan koordinasi gerak seperti; menalikan tali sepatu, bola,
mengancingkan
kancing
baju,
menangkan
dan
melempar
kesulitan menggunting dan memotong dengan menggunakan pisau,
mengendaria sepeda,
melakukan kegiatan olah raga dan menulis.
Kondisi seperti ini sulit dijelaskan dari sudut pandang neorologis atau kondisi medis dan biasanya kesulitan seperti ini berlangsung sampai usia remaja ( Kadesjo dan Gillbert, 2011). Akan tetapi kesulitan dalam menjelaskankondisi ini dilihat dari aspek neorologisdipertanyakan Henderson (1998)
oleh
Jongmans,
memiliki
Dubowizt,
dan
yang menemukan secara signifikan bahwa anak-anak
yang berusia 6 tahun ke atas yang gerak
Mercuri,
abnormalitas
memiliki kesulitan dalam koordinasi pada
fungsi
otak. Anak-anak
yang
mempunyai hambatan seperti koordinasi gerak diberi label denganistilah yang beragam seperti misalnya; Clumcy Child syndrome, developmental disfraxia, Developmental apraxia dan agnosiam perceptual motor dusfungtion, sensory integrative disfungtion, namun demikian pada tahun 1994 telah disepakati bahwa keragaman istilah sebagaimana diuraikan di atas dapat disederhanakan dalam satu istilah yang disebut dengan developmental coordination disorder (gangguan koordinasi gerak). Meskipun sampai saat ini mesih terjadi perdebatan tentang apakah terdapat perbedaan antara anak yangmenga,lami gangguan koordinasi gerajk dengan istilah-istilah yang beragam sebagaimana yang di sebutkan di atas (Jongmans et al, 2005). Terdapat kesepakatan bahwa anak-anak dengan gangguan DCD bersifat heterogen, (Dewey dan Kaplan 1994) menjelaskan bahwa terdapat tiga kelompok anak yangdikatagorikan sebagai DCD yaitu; 1. Kesulitan keseimbangan 2. Kesulitan koordinasi
14
3. Mengalami kesulitan dalam kegiatan sehari-hari seperti menyisir rambut, menulis,merencanakan gerak pada kegiatan yang berurutan dan kesulitan dalam hampir semua bidang (Dewey dan Kaplan, 2009). Kesulitan koordinasi gerak pada anak yang mengalami DCD biasanya sulit diidentifikasi sebelum usia empat/lima tahun. Hal ini deisebabkan karena belum ada kesepakatan dalam menentukan kriteria untuk mengetahui DCD sehingga belum ada tes yang dapat digunakan untuk dapat mengetahuinya pada anak di bawah usia 5 tahun. Namun demikian terdapat perkiraan incident DCD yaitu; 500-1000 dari 10.000 anak diduga mengalami DCD.. Sebagai contoh; penelitian yang dilakukanoleh Kadesjo and Gilberg (1999) meneliti lebih dari 400 anak yang berusia 6 s/d 8 tahun yang bertempat tinggal didaerah tertentu di Swedia dan anak-anak ini bersekolah di sekolah biasa. 20 anakl (4,9 %) diindentifikais sebagai anak yang mengalami DCD berat yang didasrkan pada test motorik kasar da motorik halus. Kebanyakan anak dari kelompok ini (18 orang) adalah anak laki-laki Selanjutnya 35 oarang anak (8,6%) diidentifikasi sebagai anak yang mengalami DCD sedang dan 29 dari kelompok ini adalah anak lakilaki. Hampir setengan dari kelompok anak inimenunjukkan gejala ADHD (Attention Deficit and Hyperaktive Disorder) dari tingkat yang berat sampai tingkat yang sedang.. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbandingan
antara
laki-laki
dan
perempuan
yang
mengalami
Develompment Coordination Disorder yaitu 5:1 (Dewey dan Kaplan, 2009). d) Down Syndrome Down syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental pada anak yang disebabkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom menurut Cuncha dalam Mark L.Batshaw, M.D. Menurut Bandi (1992: 24) anak cacat mental pada umumnya mempunyai kelainan yang lebih dibandingkan cacat lainnya, terutama intelegensinya. Hampir semua kemampuan kognitif anak cacat mental mengalami
15
kelainan seperti lambat belajar, kemampuan mengatasi masalah, kurang dapat mengadakan hubungan sebab akibat, sehingga penampilan sangat berbeda dengan anak lainnya. Anak cacat mental ditandai dengan lemahnya kontrol motorik, kurang kemampuannya untuk mengadakan koordinasi, tetapi dipihak lain dia masih bisa dilatih untuk mencapai kemampuan sampai ke titik normal. Tanda-tanda lainnya seperti membaca buku ke dekat mata, mulut selalau terbuka untuk memahami sesuatu pengertian memerlukan waktu yang lama, mempunyai kesulitan sensoris, mengalami hambatan berbicara dan perkembangan verbalnya. Menurut Gunarhadi (2005 : 13) down syndrome adalah suatu kumpulan gejala akibat dari abnormalitas kromosom, biasanya kromosom 21 yang tidak dapat memisahkan diri selama meiosis sehingga terjadi individu dengan 47 kromosom. Jenis aneuploidi sebagai penyimpangan kromosom tersebut dinamakan trisomi 21, yang berarti kromosom nomor 21 memiliki 3 genom (Pai dalam Gunarhadi, 2005 : 13). Kondisi manusia yang diakibatkan oleh penyimpangan kromosom jenis trisomi 21 diberi istilah idiot mongoloid atau mongoloisme. Diberi nama demikian, karena kondisi individual dengan trisomi 21 dianggap memiliki ciri-ciri wajah yang menyerupai orang oriental. Namun sekarang kondisi yang demikian itu dinyatakan sebagai down syndrome. Asosiasi keterbelakangan mental tidak melekat pada suatu golongan atau bangsa tertentu. Down syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Gejala yang muncul akibat down syndrome dapat bervariasi mulai dari yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal sampai muncul tanda yang khas : 1) Penderita dengan tanda khas sangat mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal (microchephaly) dengan bagian (anteroposterior) kepala mendatar
16
2) Sifat pada kepala, muka dan leher : penderita down syndrome mempunyai paras muka yang hampir sama seperti muka orang Mongol. Pada bagian wajah biasanya tampak sela hidung yang datar. Pangkal hidungnya pendek. Jarak diantara 2 mata jauh dan berlebihan kulit di sudut dalam. Ukuran mulut adalah kecil dan ukuran lidah yang besar menyebabkan lidah selalu terjulur. Mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol keluar (macroglossia). Pertumbuhan gigi lambat dan tidak teratur. Paras telinga lebih rendah. Kepala biasanya lebih kecil dan agak lebar dari bagian depan ke belakang. Lehernya agak pendek. Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal folds) (80%), white Brushfield spots di sekililing lingkaran di sekitar iris mata (60%), medial epicanthal folds, keratoconus, strabismus, katarak (2%), dan retinal detachment. Gangguan penglihatan karena adanya perubahan pada lensa dan kornea. 3) Manifestasi mulut : gangguan mengunyah menelan dan bicara. scrotal tongue, rahang atas kecil (hypoplasia maxilla), keterlambatan pertumbuhan gigi, hypodontia, juvenile periodontitis, dan kadang timbul bibir sumbing Hypogenitalism (penis, scrotum, dan testes kecil), hypospadia, cryptorchism, dan keterlambatan perkembangan pubertas. 4) Manifestasi kulit : kulit lembut, kering dan tipis, Xerosis (70%), atopic dermatitis (50%), palmoplantar hyperkeratosis (40-75%), dan seborrheic dermatitis (31%), Premature wrinkling of the skin, cutis marmorata, and acrocyanosis, Bacteria infections, fungal infections (tinea), and ectoparasitism (scabies), Elastosis perforans serpiginosa, Syringomas, Alopecia areata (6-8.9%), Vitiligo, Angular cheilitis 5) Tanda klinis pada bagian tubuh lainnya berupa tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya serta jarak antara jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar. Sementara itu lapisan kulit biasanya tampak keriput (dermatoglyphics).
17
Kelainan kromosom ini juga bisa menyebabkan gangguan atau bahkan kerusakan pada sistim organ yang lain. Pada bayi baru lahir kelainan dapat berupa congenital heart disease. Kelainan ini yang biasanya berakibat fatal karena bayi dapat meninggal dengan cepat. Masalah jantung yang paling kerap berlaku ialah jantung berlubang seperti Ventricular Septal Defect (VSD) yaitu jantung berlubang diantara bilik jantung kiri dan kanan atau Atrial Septal Defect (ASD) yaitu jantung berlubang diantara atria kiri dan kanan. Masalah lain adalah termasuk salur ateriosis yang berkekalan (Patent Ductus Ateriosis / PDA). Bagi kanak-kanak down syndrom boleh mengalami masalah jantung berlubang jenis kebiruan (cynotic spell) dan susah bernafas. 6) Pada sistim pencernaan dapat ditemui kelainan berupa sumbatan pada esofagus (esophageal atresia) atau duodenum (duodenal atresia). Saluran esofagus yang tidak terbuka (atresia) ataupun tiada saluran sama sekali di bagian tertentu esofagus. Biasanya ia dapat dekesan semasa berumur 1 – 2 hari dimana bayi mengalami masalah menelan air liurnya. Saluran usus kecil duodenum yang tidak terbuka penyempitan yang dinamakan “Hirshprung Disease”. Keadaan ini disebabkan sistem saraf yang tidak normal di bagian rektum. Biasanya bayi akan mengalami masalah pada hari kedua dan seterusnya selepas kelahiran di mana perut membuncit dan susah untuk buang air besar. Saluran usus rectum atau bagian usus yang paling akhir (dubur) yang tidak
terbuka
langsung
atau
penyempitan
yang
dinamakan
“Hirshprung Disease”. Keadaan ini disebabkan sistem saraf yang tidak normal di bagian rektum. Biasanya bayi akan mengalami masalah pada hari kedua dan seterusnya selepas kelahiran di mana perut membuncit dan susah untuk buang air besar Apabila anak sudah mengalami sumbatan pada organ-organ tersebut biasanya akan diikuti muntah-muntah. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan. Terlebih lagi ibu hamil
18
yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati- hati memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki risiko melahirkan anak dengan sindrom down lebih tinggi. 7) Sifat pada tangan dan lengan : Sifat-sifat yang jelas pada tangan adalah mereka mempunyai jari-jari yang pendek dan jari kelingking membengkok ke dalam. Tapak tangan mereka biasanya hanya terdapat satu garisan urat dinamakan “simian crease”. Tampilan kaki : Kaki agak pendek dan jarak di antara ibu jari kaki dan jari kaki kedua agak jauh terpisah dan tapak kaki. Tampilan klinis otot : mempunyai otot yang lemah menyebabkan mereka
menjadi
lembek
dan
menghadapi
masalah
dalam
perkembangan motorik kasar. Masalah-masalah yang berkaitan dengan masa kanak-kanak down syndrom mungkin mengalami masalah kelainanorgan-organ dalam terutama sekali jantung dan usus. 8) Down syndrom mungkin mengalami masalah Hipotiroidism yaitu kurang hormon tiroid. Masalah ini berlaku di kalangan 10 % kanakkanak down syndrom. Down syndrom mempunyai ketidakstabilan di tulang-tulang kecil di bagian leher yang menyebabkan berlakunya penyakit lumpuh (atlantoaxial instability) dimana ini berlaku di kalangan 10% kanak-kanak down syndrom. Sebagian kecil mereka mempunyai risiko untuk mengalami kanker sel darah putih yaitu leukimia. Pada otak penderita sindrom down, ditemukan peningkatan rasio APP (amyloid precursor protein) seperti pada penderita Alzheimer. 9) Masalah
Perkembangan
Belajar
Down
syndrom
secara
keseluruhannya mengalami keterbelakangan perkembangan dan kelemahan kognitif. Pada pertumbuhana mengalami masalah lambat dalam semua aspek perkembangan yaitu lambat untuk berjalan, perkembangan motorik halus dan berbicara. Perkembangan sosial mereka agak menggalakkan menjadikan mereka digemari oleh ahli keluarga. Mereka juga mempunyai sifat periang. 19
Perkembangan motor kasar mereka lambat disebabkan otot-otot yang lembek tetapi mereka akhirnya berhasil melakukan hampir semua pergerakan kasar. 10) Gangguan tiroid Gangguan pendengaran akibat infeksi telinga berulang dan otitis serosa usia 30 tahun menderita demensia (hilang ingatan, penurunan kecerdasan dan perubahan kepribadian). Penderita down syndrome sering mengalami gangguan pada beberapa organ tubuh seperti hidung, kulit dan saluran cerna yang berkaitan dengan alergi. Penanganan
alergi
pada
penderita
dwon
syndrome
dapat
mengoptimakan gangguan yang sudah ada. 44 % down syndrom hidup sampai 60 tahun dan hanya 14 % hidup sampai 68 tahun. Tingginya angka kejadian penyakit jantung bawaan pada penderita ini yang mengakibatkan 80 % kematian. Meningkatnya resiko terkena leukimia pada down syndrom adalah 15 kali dari populasi normal. Penyakit Alzheimer yang lebih dini akan menurunkan harapan hidup setelah umur 44 tahun. Gejala dan tanda Klinis Gambaran klinis dari masalah koordinasi motorik dinilai dari sudut pandang perkembangan, yaitu dengan mempertimbangkan kemampuan fisik normal
pada
usia
yang
berbeda.
Evaluasi
perkembangan
meliputi
pertimbangan variasi individu. Mengevaluasi pengembangan keseluruhan anak, mempertimbangkan karakteristik dan gaya kekuatan dan kelemahan masing-masing anak ( Kaplan, 2002). Manifestasi pada bayi 1. Bayi dengan kesulitan pada fungsi motorik mungkin muncul hipertonik atau hipotonik. Jika bayi bereaksi keras pada setiap pendengaran ringan atau rangsangan visual dengan menjadi kaku atau dengan melengkungkan punggungnya, ini adalah tanda hipertonus dan hiperreaktivitas. Bayi muda mempertahankan tonus fleksor dalam beberapa bulan pertama kehidupan dan hanya secara bertahap mengembangkan pola ekstensi. Ketika orang 20
tua melaporkan bahwa bayi mereka kuat (yaitu, otot-otot keras dan tegang muncul), jika refleks primitif (misalnya, Moro, plantar, atau refleks rooting) bertahan setelah 6 atau 7 bulan, keprihatinan tentang perkembangan motoric dibenarkan. Salah satu tanda tunggal mungkin tidak signifikan, namun ketekunan refleks primitif harus mendatangkan beberapa pemeriksaanpenuh fungsi motorik secara keseluruhan. Data anekdotal menunjukkan bahwa bayi dalam beberapa kelompok ras, misalnya Afrika, Amerika, umumnya mencapai keterampilanmotorik kasar lebih cepat daripada anak-anak dari kelompok ras lainnya. Ketika bayi kecil muncul hampir siap untuk berjalan pada usia beberapa bulan, ini adalah tanda untuk perhatian. Bayi yang bergerak sebagai seluruh unit tanpa mengoreksi sudut kepala menuju garis vertikal saat dipegang samping mungkin memiliki masalah perkembangan motorik. 2. Bayi dengan tantangan bermotor sering tertunda dalam mencapai perkembangannya seperti kemampuan untuk berguling, duduk dengan bantuan, dan duduk tanpa bantuan. Bayi dengan masalah motor mungkin tidak mampu mempertahankan berat badan mereka setelah 6 bulan bila didukung di bawah lengan mereka. 3. Pada sekitar usia 4 bulan, bayi dapat mulai mengantisipasi pergerakan benda-benda, menunjukkan perkembangan visuomotor awal. Pada sekitar usia 6 bulan, mereka biasanya dapat menentang ibu jari dalam gerakan menggenggam. 4. Pada usia 9 bulan, sambil duduk dengan sendirinya, bayi harus bisa mengoreksi diri postur saat miring ke 1 sisi atau sisi lainnya, bukan hanya menjadi terbalik. 5. Jika bayi tidak dapat duduk dengan bantuan atau dirinya sendiri pada usia 9 bulan, kekurangan ini harus diperhatian oleh pemeriksaan dokter dengan rinci dan cepat. 6. Bayi yang berdiri dan yang selalu menunjuk ke bawah dengan jari-jarikaki mereka juga mungkin menandakan hipertonus pada tungkai bawah (atau
21
hipertonus umum) dan sensitivitas tinggi untuk menyentuh di permukaan plantar kaki. Bayi ini kemudian dapatb erjalan berjinjit. Manifestasi pada tahun kedua dan ketiga dari kehidupan 1. Kesulitan dalam fungsi motorik halus pada anak-anak di tahun-tahun awal mungkin sulit untuk diidentifikasi. Misalnya, balita yang memiliki deficit keterampilan motorik halus tidak dapat menerima makanan yang membutuhkan kemampuan mengunyah yang lebih besar. Makan makanan padat membutuhkan fungsi terkoordinasi sekitar 31 pasang otot dan koordinasi bernapas dengan menelan dari bolus tersebut. Balita yang tidak makan makanan padat mungkin menampilkan penanda tantangan motor yang mungkin melampaui mengunyah. Hal ini juga berlaku untuk balita yang berulang kali tersedak makanan saat mengunyah. 2. Anak-anak mungkin memiliki kesulitan dalam kemampuan untuk membuat pemahaman untuk mengambil benda kecil dengan jari telunjuk dan jempol. Hal ini dapat diuji dengan membiarkan anak-anak untuk mengambil sebuah benda kecil dari permukaan yang datar, seperti sepotong sereal sarapan. Bayi dapat terus berusaha untuk mengambil benda-benda dengan pemahaman palmar (yaitu, dengan permukaan anterior seluruh tangan). Jika demikian, mereka harus diamati untuk keterlambatan motorik halus. 3. Pada akhir tahun pertama kehidupan, sebagian besar bayi mulai membuat upaya untuk berjalan sambil berpegangan pada furnitur dan mengambil langkah-langkah pertama mereka tak lama kemudian. Bayiyang tidak dapat berjalan setelah umur 18 bulan mungkin memiliki hypotonicity atau hypertonicity, kekuatan otot yang buruk ataukoordinasi, dan kesulitan dengan mengelola, keseimbangan, danpostur. Dalam sebuah studi tahun 1990 oleh Bax et al, kebanyakan anak yang tidak berjalan pada usia 18 bulan ternyata menjadi sehat,namun sebagian kecil mengalami kesulitan motorik, termasuk cerebral palsy dan keterlambatan perkembangan lainnya.
22
4. Kemampuan untuk berjalan sangat tergantung pada kemampuan untuk menjaga keseimbangan dan tidak jatuh. Berjalan membutuhkan lebih daripada kekuatan otot belaka untuk mendukung berat tubuh . Faktorfaktorlain yang terlibat dalam onset berjalan termasuk gaya temperamen, kesempatan, dan faktor motivasi. Manifestasi di prasekolah dan anak usia sekolah pada usia 3-5 tahun, banyak keterampilan yang diperoleh dan disempurnakan
dengan
paparan
kegiatan
dan
permainan
yang
membutuhkan motorik berlatih. Anak-anak jelas bervariasi dalam kecepatan perkembangan mereka. 5. Pada usia 4-5 tahun, kebanyakan anak telah mengembangkan preferensi tangan yang jelas atau dominasi. Dalam beberapa kasus, keterampilan tangan yang benar kemampuan untuk benar-benar melakukan tugas dengan baik dengan kedua tangan. 6. Tanda lain yang menjadi perhatian adalah kesulitan dalam memegang pensil. Kekhawatiran muncul pada anak yang memiliki kesempatan praktek dan yang masih tidak bisa memegang pensil dengan pola matang. 7. Banyak pakar berpikir bahwa kesulitan dalam keterampilan motoric halus (yaitu, dalam mengelola jari dan pergelangan tangan) lebih merupakan refleksi dari rusak di daerah proksimal tungkai atas daripada di daerah lain. Anak-anak mungkin tidak dapat menangani pena, krayon, atau pensil. Ini dianggap sebagai cara yang matang dan efisien untuk menangani tugastugas menulis. Selama kegiatan itu, hanya pergelangan tangan bergerak bersama, sementara sendi lain diekstremitas atas tetap. Namun demikian, ketika bahu lemah, anak-anak kompensasi ketika mereka harus menggunakan bagian distal ekstremitas atas (jari, tangan). Alih-alih menggunakan pergelangan tangan untuk menulis, anak-anak harus memindahkan seluruh ekstremitas atas untuk menulis (IDAI, 2002). Tanda klinis yang mengarahkan adanya gangguan koordinasi motoric terlihat paling awal pada masa bayi, saat anak yang terkena mulai berusaha melakukan tindakan yang memerlukan koordinasi motorik. Gambaran klinis yang penting adalah gangguan kinerja anak yang jelas terganggu
23
pada koordinasi motorik. Kesulitan dalam motorik mungkin bervariasi menurut umur dan stadium perkembangan anak (Hawari, 2003). Pada masa bayi dan masa anak-anak awal gangguan mungkin bermanifestasi sebagai keterlambatan kejadian perkembangan normal, seperti berputar, merangkak, duduk, berdiri, berjalan, mengancingkan baju, dan mengunci retsleting celana. Antara umur 2 dan 4 tahun, kecanggungan tampak pada hampir semua aktivitas yang memerlukan koordinasi motorik. Anak yang terkena tidak dapat memegang benda, dan mereka mudah menjatuhkannya; gaya berjalan mereka tidak mantap; mereka sering kali tersandung pada kakinya sendiri; dan mereka mungkin menabrak anak-anak lain saat berusaha mendekati mereka (Hawari, 2003). Pada anak yang lebih besar ganguan koordinasi mototrik mugkin terlihat dalam permainan di meja, seperti mencocokkan kepingan gambar atau membangun balok, dan pada tiap jenis permainan bola.Walaupun tidak ada ciri spesifik yang patognomonik untuk gangguan koordinasi motorik, kejadian perkembangan sering kali terlambat. Banyak anak dengan ganguan juga memiliki gangguan bicara. Anak yang lebih tua mungkin juga memiliki masalah kesulitan sekolah sekunder, termasuk masalah perilaku dan emosional, yang memerlukan intervensi terapeutik yang tepat (Hawari, 2003). Penegakkan diagnosa Diagnosa gangguan koordinasi motorik memerlukan riwayat tentang perilaku motorik awal anak, termasuk pengamatan langsung aktivitas motorik. Skrining informal untuk gangguan koordinasi motorik dapat dilakukan dengan meminta anak melakukan pekerjaan yang melibatkan koordinasi motorik kasar (melompat, meloncat, dan berdiri pada satu tungkai), koordinasi motorik halus (menjentikkan jari dan mengikat tali sepatu), dan koordinasi mata dan tangan (menangkap bola dan meniru tulisan) (Hawari, 2003). Diagnosa didukung oleh skor subtes kinerja yang lebih rendah darinormal dari tes kecerdasan baku da oleh skor subtes verbal yang normal atau di atas normal. Tes khusus koordinasi motorik dapat berguna, seperti Bender Gestalt
24
Visual Motor Test, Frostig Movement Skills Test Battery, dan Bruininks Oseretsky Test of Motor Proficiency (Hawari, 2003). The Bender Gestalt Visual Motor test digunakan untuk menilai penggabungan visual-motorik dan keterampilan pemahaman visual (apakah kedua mata dan salah satu bagian otak berhubungan dengan penyampaian daya lihat dengan tepat). Test ini terdiri dari sembilan tes yang harus diikuti. Bruininks-Oseretsky Test of Motor Proficiency (BOTMP) untuk menilai keterampilan motorik halus maupun kasar pada anak yang beusia4 sampai 14 tahun. BOTMP terbagi dalam 8 sub bagian, termasuk kemampuan untuk berlari dan ketangkasan umum, bagaimana seorang anak dapat mempertahankan keseimbangan dan koordinasi dari pergerakan bilateral. Tes ini sering disukai oleh anak-anak karena serupa dengan aktivitas pada masa anak-anak (melempar atau menangkap bola, berlari, melakukan push up). Tes ini paling banyak digunakan untuk menilai kemampuan motorik, dan dapat digunakan dalam cakupan yang luas pada anak-anak, dari kemampuan tubuh hingga rintangan fisik yang berat (IDAI, 2002; Kaplan, 2002). Skrining Perkembangan Diagnosa juga dapat ditegakkan berdasarkan skrining perkembangan dengan memakai denver developmental screening test II (DDST II) , bayley Infan Neurodevelopmental Screening (BINS) , muenchener, KPSP, dan kartu menuju sehat (KMS) (IDAI,2002). Skrining perkembangan DENVER II Skrining perkembangan yang banyak digunakan oleh profesi kesehatan adalah Denver II, antara lain karena mempunyai rentang usia yang cukup lebar (mulaibayi baru lahir sampai umur 6 tahun), mencakup semuaaspek perkembangan dengan realiability cukup tinggi(interrates reability = 0.99, testretest reability = 0.90).13,20Sampai tahun 1990 metode ini telah digunakan lebih dari 54 negara dan telah dimodifikasi lebih dari 15 negara (Frankenburgh dkk, 1990). Walaupun secara eksplisit metode ini untuk mendeteksi 4 aspek perkembangan, tetapi di dalamnya sebenarnya terdapat aspek-aspek lain sebagai berikut (Frankenberg, 1990). 1. Gerak kasar 25
2. Gerak halus (di dalamnya terdapat aspek koordinasi mata dan tangan, manipulasi benda-benda kecil, pemecahan masalah ), 3. Berbahasa (di dalamnya terdapat juga aspek pendengaran, penglihatan dan pemahaman, komunikasi verbal), 4. Personal sosial (di dalamnya terdapat juga aspek penglihatan, pendengaran, komunikasi, gerak halus dan kemandirian). Uji Denver membutuhkan waktu cukup lama sekitar 30-45 menit. Kesimpulan hasil skrining Denver II hanya menyatakan bahwa balita tersebut: normal atau dicurigai ada gangguan tumbuh kembang pada aspek tertentu. Normal, jika ia dapat melakukan semua kemampuan (atau berdasarkan laporan orangtuanya) pada semua persentil yang masuk dalamgaris umurnya. Walaupun ada 1 ketidakmampuan atau menolak melakukan pada persentil 75-90 masih dianggap normal. Dicurigai ada gangguan tumbuh kembang jika ada 1 atau lebih
ketidakmampuan
pada
persentil
>
90,
atau
2
(atau
lebih)
ketidakmampuan/menolak pada persentil 75-90 yang masuk garis umurnya Selain itu di dalam Denver II ada bagian terpisah untuk menilai perilaku anak secara sekilas. Tetapi Denver II tidak mampu mendeteksi gangguan emosional,atau gangguan-gangguan ringan. Tidak ada metoda skrining yang sempurna (Gunawan, 2004). Bayley Infan Neurodevelopmental Screening (BINS) Untuk mengidentifikasi bayi berusia 3-24 bulan yang mengalami keterlembatan tumbuh kembang atau mengalami gangguan neurologis. Aspek perkembangan yang diuji oleh BINS meliputi : 1. Fungsi neurologis dasar : Mengukur kelengkapan perkembangan sistim saraf pusat. 2. Fungsi penerimaan atau reseptif 3. Fungsi ekspresif 4. Fungsi pengertian (kognitif) Dalam format pencatatan hasil skor total bayi disesuaikan dengan distribusi skor yang disesuaikan usia kronologis bayi. Setiap usia memiliki titik potong yang terbagi dalam 3 klasifikasi yang mengindikasikan besarnya resiko untuk
terjadinya
keterlambatab
dalam
perkembangan
atau
gangguan 26
neurologis, : resiko rendah, resiko sedang, dan resiko tinggi. Tindak lanjut dari hasil penilaian BINS adalah sebagi berikut :
Resiko rendah Dianggap memiliki resiko minimal atau tidak memiliki resiko terjadinya hambatan perkembangan. Walaupun demikian, tetap harus diingat adanya variabel yang tidak dapat diukur oleh BINS namun dapat mempengaruhi perkembangan, misalnya faktor lingkungan.
Resiko Sedang Direkomendasikan uji BINS sekitar 3 bulan yang akan datang. Selama itu orang tua diberi petunjuk untuk memberi stimulasi sebagai latihan perkembangan anak. Bila dari pemeriksaan selanjutnya didapatkan adanya keterlambatan maka kita jarus melakukan pemeriksaan lain untuk mendiagnosis penyebab keterlambatan perkembangan.
Resiko tinggi Dibutuhkan uji diagnostik lebih lanjut (Patacy, 2010)
Muenchener Tujuan utama untuk mendeteksi keterlambatan dalam perkembangan dengan cara mengukur tahap perkembangan bidang fungís tertentu. Digunakan untuk usia 0-3 tahun. Aspek perkembangan yang dinilai antara lain :
Usia 0-12 bulan : merangkak, duduk, berjalan, memegang, persepsi, berbicara, pengertian bahasa, sosialisasi
Usia 1-2 tahun : pengertian berbahasa, berbicara, persepsi, keterampilan tangan, berjalan. Penafsiran hasil pemeriksaan : Yang pertama diperhatikan,
apakah
grafik
tadi
menunjukkan
penyimpangan yang negatif (usia perkembangan dalam bidang tertentu berada di bawah usia kronologis) (Patacy, 2010). Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP) Kuesioner ini diterjemahkan dan dimodifikasi dari Denver Prescreening Developmental Questionnaire(PDQ) oleh tim Depkes RI yang terdiri dari beberapadokter spesialis anak, psikiater anak, neurolog, THT, mata dan lain-
27
lain pada tahun 1986. Kuesioner iniuntuk skrining pendahuluan bayi umur 3 bulan sampai anak umur 6 tahun yang dilakukan oleh orangtua. Setiap umur tertentu ada 10 pertanyaan tentang kemampuan perkembangan anak, yang harus diisi (atau dijawab) oleh orangtua dengan ya atau tidak, sehingga hanya membutuhkan waktu 10-15 menit (lihat lampiran). Jika jawaban ya sebanyak 6 atau kurang maka anak dicurigai ada gangguan perkembangan dan perlu dirujuk, atau dilakukan skrining dengan Denver II. Jika jawaban ya sebanyak 7-8, perlu diperiksa ulang 1 minggu kemudian. Jika jawaban ya 9-10, anak dianggap tidak ada gangguan, tetapi pada umur berikutnya sebaiknya dilakukan KPSP lagi (Frankenburg, 1990). Untuk memperluas jangkauan skrining perkembangan Frankenburg dkk,. (1990) menganjurkan agar lebih banyak menggunakan PDQ, karena mudah, cepat, murah dan dapat dikerjakan sendiri oleh orangtua atau dibacakan oleh orang lain (misalnya paramedis atau kader kesehatan).20 Jika dengan PDQ dicurigai ada gangguan perkembangan, anak tersebut dirujuk untuk dilakukan skrining dengan Denver II yang lebih rumit, lama dan harus dilakukan oleh tenaga terlatih. Kuesioner ini sampai sekarang masih dianjurkan oleh Depkes untuk
digunakan
di
tingkat
pelayanan
kesehatan
primer
(dokter
keluarga,Puskesmas) sering disebut sebagai ‘buku hijau’ berjudul Pedoman Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita Depkes RI 1994 yang telah diuji coba di beberapa propinsi, tetapi tampaknya jarang dimanfaatkan. Bahkan beberapa dokter Puskemas tidak tahu adanya buku tersebut, atau tidak tahu cara penggunaannya karena tidak pernah diajarkan (Frankenburg, 1990). Kartu menuju sehat (KMS) Suatu kartu yang digunakan untuk mencatat berat badan bayi dan anak balita, setiap kali ditimbang secara teratur pada tiap-tiap bulan.Berat badan dicantumkan dalam KMS dalam bentuk titik (.), disebut titik berat badan. Titiktitik tersebut dirangkai sehingga membentuk grafik yang menunjukkan pertumbuhan anak tersebut (DEPKES, 2004). Kegunaan 1. Mengngontrol pertumbuhan berat badan anak. 2. Digunakan sebagai alat untuk mengetahui keadaan kesehatan anak.
28
3. Dipakai sebagai alat untuk mengetahui keadaan gizi anak. Cara pengisian 1. Pada penimbangan pertama, pengisian kolom identitas dan kolom bulan pada kolom tersedia. 2. Catat semua kejadian yang dialami atau diderita (sakit, imunisasi, pemberian vit A dosis tinggi). 3. Hasil penimbangan pertama diberi titik pada batas garis tegak (pada bulan dimana anak saat itu menimbang) dengan garis datar. 4. Penimbangan selanjutnya seperti no. 3 dan titik-titik pada tiap bulan bila Cara membaca 1. Garis yang menghubungkan titik satu ke yang lain apakah mengikuti satu warna atau pindah kewarna yang lebih tua. 2. Bila garis yang menghubungkan titik-titik tersebut pindah kewarna yang lebih tua berarti berat badan anak naik. 3. Bila garis yang dibuat menurun, tetap atau bertambah tetapi pindah ke pita warna yang muda berarti berat badan anak tidak naik. Tabel 1 Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Koordinasi Perkembangan A
Kinerja dalam aktivitas sehari-hari yang memerlukan koordinasi motorik adalah secara bermakna di bawah yang diharapkan menurut usia kronologis pasien dan inteligensia yang terukur. Hal ini dapat bermanifestasi dengan keterlambatan yang nyata dalam pencapaian kejadian motorik (berjalan, merangkak, duduk), menjatuhkan barangbarang, “kecanggungan”, prestasi buruk dalam olahraga, atau tulisan tangan yang buruk
B
Gangguan dalam kriteria A secara bermakna mengganggu pencapaian akademik atau aktivitas hidup sehari-hari
29
C
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Koordinasi Perkembangan Gangguan bukan karena kondisi medis umum (palsi serebral, hemiplegia, atau distrofi otot) dan tidak memenuhi kriteria untuk gangguan perkembangan pervasive
D
Jika terdapat retardasi mental, kesulitan motorik adalah13 melebihi dari apa yang biasa menyertainya
Catatan penulisan: jika terdapat kondisi medis umum (neurologis) atau defisit sensorik, tuliskan kondisi tersebut pada Aksis III. (Dikutip dari American Psychiatric Association, Washington, 1994) Terapi Secara khusus seorang dokter akan mencoba untuk memastikan masalah yang dialami seorang anak dalam kebiasaannya secara keseluruhan dan kemudian merencanakan intervensi untuk mengembangkan fungsi adaptif secara optimal atau kemahiran dari keterampilan yang terbelakang atau perbaikan dari kesulitan berkoordinasi (Kaplan, 2002). Terapi gangguan koordinasi motorik termasuk latihan motorik perseptual, teknik latihan neurofisiologis untuk disfungsi motorik, dan pendidikan fisik yang termodifikasi. Teknik Montessori mungkin berguna bagi banyak anak prasekolah, karena menekankan perkembangan keterampilan motorik. Tidak ada latihan atau metode latihan tunggal yang tampaknya lebih menguntungkan atau efektif dibandingkan yang lainnya. Masalah perilaku atau emosional sekunder dan gangguan komunikasi yang terjadi bersamaan harus ditangani dengan metoda terapi yang sesuai (Hawari, 2003). Tidak ada penelitian skala besar yang telah melaporkan efek terapi, walaupun penelitian kecil telah menyatakan bahwa latihan dalam koordinasi ritmik, mempraktekkan gerakan motorik, dan belajar menggunakan mesin ketik semuanya adalah berguna (Hawari, 2003). Konseling parental membantu menurunkan kecemasan dan ras bersalah pada orangtua terhadap gangguan anak dan meningkatkan kesadaran mereka, yang memberikan keyakinan bagi mereka untuk membantu anak (Hawari, 2003). 30
Prognosis Jika tidak ditangani, anak-anak dengan gangguan koordinasi motoric cenderung memiliki gejala yang bertahan pada masa remaja hingga masa dewasa (Kaplan, 2002). Pada kasus berat yang tetap tidak terobati, pasien mungkin memiliki sejumlah komplikasi sekunder, seperti kegagalan berulang pada pekerjaan akademik dan nonakademik di sekolah, masalah berulang dalam berusaha bergabung dengan kelompok teman sebaya, dan ketidakmampuan bermain dan berolahraga. Masalah tersebut dapat menyebabkan harga diri yang rendah, kesedihan, menarik diri, dan pada beberapa kasus meningkatnya masalah perilaku yang parah sebagai reaksi terhadap frustasi yang ditimbulkan oleh gangguan. Semua tingkat fungsi adaptif dapat diharapkan pada anak-anak. Ciri penyerta yang sering adalah keterlambatan kejadian nonmotorik, gangguan bahasa ekspresif, dan gangguan bahasa reseptif/ekspresif campuran (Hawari, 2003).
K.
KETERLAMBATAN BICARA Kata bahasa berasal dari bahasa Latin “lingua” yang berarti lidah. Awalnya
pengertiannya hanya merujuk pada bicara, namun selanjutnya digunakan sebagai bentuk
sistem
konvensional
dari
simbol-simbol
yang
dipakai
dalam
komunikasi.19 American Speech-Language Hearing Association Committee on Language mendefinisikan bahasa sebagai suatu sistem lambang konvensional yang kompleks dan dinamis yang dipakai dalam berbagai cara berpikir dan berkomunikasi (Chaer, 2003). Terdapat perbedaan mendasar antara bicara dan bahasa. Bicara adalah pengucapan yang menunjukkan keterampilan seseorang mengucapkan suara dalam suatu kata. Bahasa berarti menyatakan dan menerima informasi dalam suatu cara tertentu. Bahasa merupakan salah satu cara berkomunikasi. Bahasa reseptif adalah kemampuan untuk mengerti apa yang dilihat dan apa yang didengar. Bahasa ekspresif adalah kemampuan untuk berkomunikasi secara simbolis baik visual (menulis, memberi tanda) maupun auditorik (Owens, 2001).
31
Seorang anak yang mengalami gangguan berbahasa mungkin saja dapat mengucapkan suatu kata dengan jelas tetapi ia tidak dapat menyusun dua kata dengan baik. Sebaliknya, ucapan seorang anak mungkin sedikit sulit untuk dimengerti tetapi ia dapat menyusun kata kata yang benar untuk menyatakan keinginannya. Masalah bicara dan bahasa sebenarnya berbeda tetapi kedua masalah ini sering kali tumpang tindih (Owens, 2001). Secara umum, seorang anak dianggap memiliki keterlambatan bicara jika perkembangan bicara anak secara signifikan dibawah normal untuk anak-anak pada usia yang sama. Seorang anak dengan keterlambatan bicara memiliki perkembangan bicara yang khas yaitu kemampun bicaranya berkembang sama dengan anak yang memiliki usia kronologis yang lebih muda. Kemampuan bicara anak tetap mengikuti pola atau urutan yang normal tetapi terjadi lebih lambat dibandingkan anak seusianya (Ansel et al, 1994). Bahasa merupakan salah satu parameter dalam perkembangan anak. Kemampuan bicara dan bahasa melibatkan perkembangan kognitif, sensorimotor, psikologis, emosi, dan lingkungan sekitar anak. Kemampuan bahasa pada umumnya dapat dibedakan menjadi kemampuan reseptif (mendengar dan memahami) dan kemampuan ekspresif (berbicara). Kemampuan bicara lebih dapat dinilai dari kemampuan lainnya sehingga pembahasan mengenai kemampuan bahasa lebih sering dikaitkan dengan kemampuan berbicara (Simkin et al, 2006). Gangguan bicara dan bahasa terdiri dari masalah artikulasi, suara, kelancaran bicara (gagap), afasia (kesulitan dalam menggunakan kata-kata, biasanya akibat cedera otak), serta keterlambatan dalam bicara atau bahasa. Gangguan bicara dan bahasa juga berhubungan erat dengan area lain yang mendukung proses tersebut seperti fungsi otot mulut dan fungsi pendengaran. Keterlambatan dan gangguan bicara bisa mulai dari bentuk yang sederhana seperti bunyi suara yang “tidak normal” (sengau, serak) sampai dengan ketidakmampuan untuk mengerti atau menggunakan bahasa, atau ketidakmampuan mekanisme motorik oral dalam fungsinya untuk bicara dan makan. Gangguan perkembangan artikulasi meliputi kegagalan mengucapkan satu huruf sampai beberapa huruf dan sering terjadi penghilangan atau penggantian bunyi huruf tersebut sehingga
32
menimbulkan kesan cara bicaranya seperti anak kecil. Selain itu juga dapat berupa gangguan dalam pitch, volume atau kualitas suara (Makum, 1991). Afasia merupakan kehilangan kemampuan untuk membentuk kata-kata atau kehilangan kemampuan untuk menangkap arti kata-kata sehingga pembicaraan tidak dapat berlangsung dengan baik. Anak-anak dengan afasia didapat memiliki riwayat perkembangan bahasa awal yang normal, dan memiliki onset setelah trauma kepala atau gangguan neurologis lain (contohnya kejang) (Makmum, 1991; Virginia et al, 1997). Gagap adalah gangguan kelancaran atau abnormalitas dalam kecepatan atau irama bicara. Terdapat pengulangan suara, suku kata, kata, atau suatu bloking yang spasmodik, bisa terjadi spasme tonik dari otot-otot bicara seperti lidah, bibir, dan laring. Terdapat kecenderungan adanya riwayat gagap dalam keluarga. Selain itu, gagap juga dapat disebabkan oleh tekanan dari orang tua agar anak bicara dengan jelas, gangguan lateralisasi, rasa tidak aman, dan kepribadian anak (Makmum, 1991). Keterlambatan bicara (speech delay) adalah salah satu penyebab gangguan perkembangan yang paling sering ditemukan pada anak. Gangguan ini semakin hari tampaknya semakin meningkat pesat. Beberapa data menunjukkan angka kejadian anak yang mengalami keterlambatan bicara (speech delay) cukup tinggi. Silva di New Zealand, sebagaimana dikutip Leung, menemukan bahwa 8,4% anak umur 3 tahun mengalami keterlambatan bicara sedangkan Leung di Canada mendapatkan angka 3% sampai 10%. Prevalensi keterlambatan perkembangan berbahasa di Indonesia belum pernah diteliti secara luas. Data di Departemen Rehabilitasi Medik RSCM tahun 2006, dari 1125 jumlah kunjungan pasien anak terdapat 10,13% anak didiagnosis keterlambatan bicara dan bahasa. Penelitian Wahjuni tahun 1998 di salah satu kelurahan di Jakarta Pusat menemukan prevalensi keterlambatan bahasa sebesar 9,3% dari 214 anak yang berusia bawah 3 tahun. Di Poliklinik Tumbuh Kembang Anak RSUP Dr. Kariadi selama tahun 2007 diperoleh 100 anak (22,9 %) dengan keluhan gangguan bicara dan berbahasa dari 436 kunjungan baru (Klinik Tumbuh Kembang Anak RSUP Dr Kariadi, 2007). Anak yang mengalami keterlambatan bicara dan bahasa berisiko mengalami kesulitan belajar, kesulitan membaca dan menulis, dan akan menyebabkan 33
pencapaian akademik yang kurang secara menyeluruh. Hal ini dapat berlanjut sampai usia dewasa muda. Selanjutnya, orang dewasa dengan pencapaian akademik yang rendah akibat keterlambatan bicara dan bahasa akan mengalami masalah perilaku dan penyesuaian psikososial (Owens, 2001). Beberapa ahli menyimpulkan perkembangan bicara dan bahasa dapat dipakai sebagai indikator perkembangan anak secara keseluruhan, termasuk kemampuan kognisi dan kesuksesan dalam proses belajar di sekolah (Smith dan Hill, 1999). Hasil studi longitudinal menunjukkan bahwa keterlambatan perkembangan bahasa berkaitan dengan kecerdasan dan membaca di kemudian hari (Silva et al, 1987). Penilaian Kemampuan Bicara Anak Untuk menentukan apakah seorang anak mengalami keterlambatan bicara, dokter harus memiliki pengetahuan dasar parameter penilaian kemampuan berbicara. Anak mengalami perkembangan kemampuan berbicara sesuai dengan umurnya melalui tahapan pola berbicara normal akan melalui tahap berikut :
34
Etiologi Keterlambatan Bicara Kemampuan dalam bahasa dan berbicara dipengaruhi oleh faktor intrinsik (anak) dan faktor ekstrinsik (psikososial). Faktor intrinsik ialah kondisi pembawaan sejak lahir termasuk fisiologi dari organ yang terlibat dalam kemampuan bahasa dan berbicara. Sementara itu, faktor ekstrinsik dapat berupa stimulus yang ada di sekeliling anak, misalnya perkataan yang didengar atau ditujukan kepada si anak (Simkin et al, 2006). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan bicara adalah sebagai berikut: 1) Faktor Intrinsik a) Retardasi mental Retardasi mental merupakan penyebab paling umum dari keterlambatan bicara, tercatat lebih dari 50% dari kasus (Coplan, 1985). Seorang anak retardasi
mental
menunjukkan
keterlambatan
bahasa
menyeluruh,
keterlambatan pemahaman pendengaran, dan keterlambatan motorik. Secara umum, semakin parah keterbelakangan mental, semakin lambat kemampuan komunikasi bicaranya. Pada 30%-40% anak-anak dengan retardasi mental, penyebabnya tidak dapat ditentukan. Penyebab retardasi mental diantaranya cacat genetik, infeksi intrauterin, insufisiensi plasenta, obat saat ibu hamil, trauma pada sistem saraf pusat, hipoksia, kernikterus, hipotiroidisme, keracunan, meningitis atau ensefalitis, dan gangguan metabolik (Klinik Tumbuh Kembang Anak RSUP dr Karyadi, 2007). b) Gangguan pendengaran Fungsi pendengaran dalam beberapa tahun pertama kehidupan sangat penting untuk perkembangan bahasa dan bicara. Gangguan pendengaran pada tahap awal perkembangan dapat menyebabkan keterlambatan bicara yang berat. Gangguan pendengaran dapat berupa gangguan konduktif atau gangguan sensorineural. Tuli konduktif umumnya disebabkan oleh otitis media dengan efusi (Leung et al, 1990). Gangguan pendengaran tersebut adalah intermiten dan rata-rata dari 15dB sampai 20 dB (Schlieper et al, 1985). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dengan gangguan pendengaran konduktif yang
35
berhubungan dengan cairan pada telinga tengah selama beberapa tahun pertama kehidupan berisiko mengalami keterlambatan bicara (Schlieper, 1985; Shonkoff, 1996). Gangguan konduktif juga dapat disebabkan oleh kelainan struktur telinga tengah dan atresia dari canalis auditoris eksterna. Gangguan pendengaran sensorineural dapat disebabkan oleh infeksi intrauterin, kernikterus, obat ototosik, meningitis bakteri, hipoksia, perdarahan intrakranial, sindrom tertentu (misalnya, sindrom Pendred, sindrom Waardenburg, sindrom Usher) dan kelainan kromosom (misalnya, sindrom trisomi). Kehilangan pendengaran sensorineural biasanya paling parah dalam frekuensi yang lebih tinggi (Leung et al, 1999). c) Autisme Autisme adalah gangguan perkembangan neurologis yang terjadi sebelum anak mencapai usia 36 bulan. Autisme ditandai dengan keterlambatan perkembangan bahasa, penyimpangan kemampuan untuk berinteraksi, perilaku ritualistik, dan kompulsif, serta aktivitas motorik stereotip yang berulang. Berbagai kelainan bicara telah dijelaskan, seperti ekolalia dan pembalikan kata ganti. Anak-anak autis pada umumnya gagal untuk melakukan kontak mata, merespon senyum, menanggapi jika dipeluk, atau menggunakan gerakan untuk berkomunikasi. Autisme tiga sampai empat kali lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan (Leung et al, 1999). d) Mutasi selektif Mutasi selektif adalah suatu kondisi dimana anak-anak tidak berbicara karena mereka tidak mau. Biasanya, anak-anak dengan mutasi selektif akan berbicara ketika mereka sendiri, dengan teman-teman mereka, dan kadang-kadang dengan orang tua mereka. Namun, mereka tidak berbicara di sekolah, dalam situasi umum, atau dengan orang asing. Kondisi tersebut terjadi lebih sering pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Secara signifikan anak-anak dengan mutasi selektif juga memiliki defisit artikulatoris atau bahasa. Anak dengan mutasi selektif biasanya memanifestasikan gejala lain dari penyesuaian yang buruk, seperti kurang memiliki teman sebaya atau terlalu bergantung pada orang tua mereka. 36
Umumnya, anak-anak ini negativistik, pemalu, penakut, dan menarik diri. Gangguan tersebut bisa bertahan selama berbulan-bulan sampai bertahuntahun (Leung et al, 1999; Shonkoff, 1996). e) Cerebral palsy Keterlambatan bicara umumnya dialami oleh anak dengan cerbral palsy. Keterlambatan bicara terjadi paling sering pada orang-orang dengan tipe athetoid cerebral palsy. Selain itu juga dapat disertai atau dikombinasi oleh faktor-faktor penyebab lain, diantaranya: gangguan pendengaran, kelemahan atau kekakuan otot-otot lidah, disertai keterbelakangan mental atau cacat pada korteks serebral (Leung et al, 1999). f) Kelainan organ bicara Kelainan ini meliputi lidah pendek, kelainan bentuk gigi dan mandibula (rahang bawah), kelainan bibir sumbing (palatoschizis/cleft palate), deviasi septum nasi, adenoid atau kelainan laring.Pada lidah pendek
terjadi
kesulitan
menjulurkan
lidah
sehingga
kesulitan
mengucapkan huruf ”t”, ”n”, dan ”l”. Kelainan bentuk gigi dan mandibula mengakibatkan suara desah seperti ”f”, ”v”, ”s”, ”z”, dan ”th”. Kelainan bibir sumbing bisa mengakibatkan penyimpangan resonansi berupa rinolalia aperta, yaitu terjadi suara hidung pada huruf bertekanan tinggi seperti ”s”, ”k”, dan ”g” (Balipost , 2008). 2) Faktor Ekstrinsik (Psikososial) Dalam keadaaan ini anak tidak mendapatkan rangsangan yang cukup dari lingkungannya. Anak tidak mendapatkan cukup waktu dan kesempatan berbicara dengan orang tuanya. Hasil penelitian menunjukkan stimulasi yang kurang akan menyebabkan gangguan berbahasa yaitu keterlambatan bicara, tetapi tidak berat. Bilamana anak yang kurang mendapat stimulasi tersebut juga mengalami kurang makan atau child abuse, maka kelainan berbahasa dapat lebih berat karena penyebabnya bukan deprivasi sematamata tetapi juga kelainan saraf karena kurang gizi atau penelantaran anak (Bishop, 1994; Davis, 1988). Berbagai macam deprivasi
psikososial
yang
mengakibatkan
keterlambatan bicara adalah a) Lingkungan yang Sepi
37
Bicara adalah bagian tingkah laku, jadi ketrampilannya melalui meniru. Bila stimulasi bicara sejak awal kurang (tidak ada yang ditiru) maka akan menghambat kemampuan bicara dan bahasa pada anak (Widodo, 2008). b) Anak Kembar Pada anak kembar didapatkan perkembangan bahasa yang lebih buruk dan lama dibandingkan dengan anak tunggal. Mereka satu sama lain saling memberikan lingkungan bicara yang buruk karena biasanya mempunyai perilaku yang saling meniru. Hal ini menyebabkan mereka saling meniru pada keadaan kemampuan bicara yang sama–sama belum bagus (Widodo, 2008). c) Bilingualisme Pemakaian 2 bahasa dapat menyebabkan keterlambatan bicara, namun keadaan ini bersifat sementara. Smith meneliti pada kelompok
anak
dengan
lingkungan
bilingualisme
tampak
mempunyai perbendaharaan yang kurang dibandingkan anak dengan satu bahasa, kecuali pada anak dengan kecerdasan yang tinggi (Leung et al, 1999). d) Teknik Pengajaran yang Salah Cara dan komunikasi yang salah pada anak sering menyebabkan keterlambatan perkembangan bicara dan bahasa pada anak sebab perkembangan
mereka
terjadi
karena
proses
meniru
dan
pembelajaran dari lingkungan (Balipost, 2008). e) Pola menonton televisi Menonton televisi pada anak-anak usia batita merupakan faktor yang membuat anak lebih menjadi pendengar pasif. Pada saat nonton televisi, anak akan lebih berperan sebagai pihak yang menerima tanpa harus mencerna dan memproses informasi yang masuk. Akibatnya, dalam jangka waktu tertentu, yang mana seharusnya otak mendapat banyak stimulasi dari lingkungan/orang tua untuk kemudian memberikan feedback kembali, namun karena yang lebih banyak memberikan stimulasi adalah televisi, maka selsel otak yang mengurusi masalah bahasa dan bicara akan terhambat perkembangannya (Balipost, 2008). 38
Deteksi Dini Keterlambatan Bicara American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan agar melakukan surveilans perkembangan (developmental surveillance) pada setiap kontrol anak sehat dan melakukan skrining perkembangan (developmental screening) pada anak yang kontrol pada usia 9,18, dan 30 bulan atau pada anak-anak yang dicurigai memiliki keterlambatan atau kelainan perkembangan (yang ditemui saat surveilans perkembangan) (Shonkoff, 1996). Apabila didapatkan adanya gangguan perkembangan, maka harus dilakukan evaluasi medis dan perkembangan (developmental assessment) agar dapat segera dilakukan intervensi dini (early intervention) pada anak (Shonkoff, 1996). Tiga tahun pertama kehidupan merupakan periode kritis kehidupan anak. Plastisitas otak maksimal pada beberapa tahun pertama kehidupan dan berlanjut dengan kecepatan yang lebih lambat. Pengalaman sensorik, stimulasi dan pajanan bahasa selama periode ini dapat menentukan sinaptogenesis, mielinisasi, dan hubungan sinaptik . Prinsip “gunakanlah atau kehilangan” dan “gunakan serta kembangkanlah” didasarkan pada prinsip plastisitas otak (Johnston, 2004; Mundkur, 2005). Bila gangguan bicara dan bahasa tidak diterapi dengan tepat akan terjadi gangguan kemampuan membaca, kemampuan verbal, perilaku, penyesuaian psikososial, dan kemampuan akademis yang buruk. Identifikasi dan intervensi secara dini diperlukan untuk mencegah terjadinya gangguan dan hambatan tersebut. Oleh karena itu, periode yang tepat untuk melakukan deteksi dini ialah usia 1-3 tahun (Leung dan Kao, 1999; Vincer et al, 2005). Capute scales adalah salah satu alat skrining yang dapat menilai secara akurat aspek-aspek perkembangan utama termasuk komponen bahasa dan visualmotor pada anak usia 1-36 bulan. Capute scales telah digunakan secara luas untuk clinical assessment oleh neurodevelopmental pediatricians dan dengan latihan yang singkat alat ini dapat dikerjakan dengan baik ditingkat pelayanan primer. Keberhasilannya dalam pengukuran secara cepat dan mudah dari aspek-aspek perkembangan akan membantu menegakkan diagnosis banding dari sebagian besar kategori utama gangguan perkembangan (delayed, deviasi, dan disosiasi) pada masa bayi dan kanak-kanak dini, sehingga dapat segera dilakukan intervensi
39
dini untuk memberikan hasil yang terbaik (Accardo et al, 2005; Dhamayanti dan Herlina, 2009). Capute scales terdiri dari 2 jenis pemeriksaan yaitu Cognitive Adaptive Test (CAT) dan Clinical Linguistic and Auditory Milestone Scale (CLAMS).8 Beberapa definisi dan istilah dalam Capute scales : 1) Usia ekuivalen/Age-Equivalent (AE) adalah usia (dalam bulan) seorang anak berfungsi sesuai dengan perkembangan yang diuji. Usia ekuivalen ditentukan dengan menambahkan usia basal dengan total bobot nilai desimal (point values) yang diperoleh dari tiap uji/gugus tugas di atas usia basal yang mampu dilakukan oleh anak 2) Usia basal/basal age adalah usia tertinggi di antara tingkatan usia seorang anak dapat menyelesaikan semua gugus tugas dengan benar 3) Usia ceiling/ceiling age adalah usia termuda di antara tingkatan usia anak tidak mampu melakukan semua gugus tugas. Dengan kata lain, gugus tugas tertinggi apabila seorang anak dapat menyelesaikannya dengan benar 4) Usia kronologis/Chronological Age (CA) adalah usia anak sebenarnya (dalam bulan) pada saat dilakukan uji 5) Developmental Quotient (DQ) adalah skor yang menggambarkan proporsi perkembangan yang normal anak pada usia tersebut. Secara aritmetika DQ dihitung dengan membagi usia ekuivalen anak dengan usia kronologis anak dan dinyatakan dalam persentase perkembangan yang diharapkan untuk usia kronologis 6) Expressive Language Quotient (ELQ) adalah usia ekuivalen pada expressive language milestone dibagi dengan usia kronologis dikalikan 100 sedangkan Receptive Language Quotient (RLQ) adalah usia ekuivalen pada receptive language milestone dibagi dengan usia kronologis dikalikan 100 7) Language Quotient (LQ) adalah total atau gabungan usia ekuivalen bahasa (language age-equivalent) dibagi dengan usia kronologis dikalikan 100. LQ merupakan sinonim dari CLAMS DQ 8) Problem-solving (cognitive/adaptive) quotient adalah total visual-motor (problem solving) age-equivalent dibagi dengan usia kronologis dikalikan 100, yang merupakan sinonim dari CAT DQ
40
9) Full-Scale (composite) Developmental Quotient (FSDQ) merupakan nilai rerata CAT DQ dan CLAMS DQ yang menunjukkan kemampuan keseluruhan anak Pemeriksaan CLAMS mengukur milestones bahasa reseptif dan ekspresif. Milestones bahasa ekspresif diperoleh dari laporan orang tua terhadap kemampuan verbal anak. Di dalam CLAMS terdapat 26 milestones bahasa ekspresif yang meliputi 19 tingkat usia pengujian, yaitu usia 1-12 bulan (interval 1 bulan), usia 14,16,18 bulan (interval 2 bulan), usia 21 dan 24 bulan (interval 3 bulan), usia 30 dan 36 bulan (interval 6 bulan). Milestones bahasa reseptif diperoleh dari kombinasi laporan orang tua dan demonstrasi langsung berupa pengertian konsep spesifik oleh anak. Sebelas dari 17 kemampuan bahasa reseptif membutuhkan demonstrasi langsung (Accardo et al, 2005). Pengukuran CAT juga terdiri dari 19 tingkat usia pengujian dengan 57 milestones visual-motor yang diukur. Anak harus melakukan semua semua milestones dari skala visual-motor (beberapa spontan dan beberapa setelah dicontohkan pemeriksa). Setiap uji harus dimulai pada dua kelompok umur di bawah tingkatan/level fungsional anak dan diteruskan hingga kelompok umur tertinggi dimana anak dapat menyelesaikan tugas (Accardo et al, 2005). Pemeriksaan DQ dan masalah-masalah perkembangan (delay, deviasi, dan disosiasi) digunakan secara diagnostik dalam interpretasi Capute scales. Jika terlihat keterlambatan pada aspek kognitif bahasa dan visualmotor, dan tidak terdapat disosiasi di antara keterlambatan tersebut, maka retardasi mental dipertimbangkan sebagai diagnosis utama. Jika keterlambatan hanya terlihat pada aspek perkembangan bahasa dengan laju perkembangan yang normal pada aspek visual-motor, maka akan ditemukan disosiasi. Pola perkembangan seperti ini dan aspek bahasa terlambat sedangkan aspek visual-motor dalam batas normal, menunjukkan kognisi keseluruhan normal namun terdapat suatu gangguan komunikasi (Accardo et al, 2005). Deviasi ditemukan bila aspek bahasa reseptif pada seorang anak jauh melebihi kemampuan bahasa ekspresifnya. Pola deviasi menggambarkan adanya gangguan bahasa ekspresif, sedangkan jika kemampuan bahasa reseptif dan
41
ekspresif terlambat dan terdapat disosiasi dengan kemampuan visual-motor, maka terdapat gangguan komunikasi berupa gangguan bahasa reseptif dan ekspresif. Tabel. Interpretasi dari keterlambatan disosiasi dan bahasa.
Capute scales memungkinkan dokter anak menilai perkembangan secara akurat pada beberapa aspek perkembangan utama. Keberhasilan pengukuran secara cepat dari aspek-aspek perkembangan akan membantu menegakkan diagnosis banding dari sebagian besar kategori utama gangguan perkembangan pada masa bayi dan kanak-kanak dini. Tabel. Interpretasi dari keterlambatan disosiasi dan bahasa menunjukkan identifikasi CLAMS terhadap retardasi mental, gangguan bahasa, dan gangguan pendengaran, identifikasi sebagian besar anak dengan autism spectrum disorders. Komponen CAT dapat digunakan untuk membedakan global developmental delay (gangguan kognitif, defisiensi intelektual, retardasi mental) dari ganggunan komunikasi dan autis (Accardo et al, 2005).
Tabel. Spectrum development disabilities
42
Interpretasi nilai DQ, yaitu: Normal, seorang anak berkembang secara normal jika DQ pada kemampuan bahasa dan visual-motornya >85, dengan demikian FSDQ
juga >85. Suspek, jika DQ pada satu atau kedua aspek <85 tetapi >75 (DQ:75-
85). Anak-anak ini harus dipantau dengan ketat. Retardasi mental, jika kedua aspek (bahasa dan visual-motor)
menghasilkan DQ yang <75. Gangguan komunikasi (communication disorder), jika aspek bahasa terlambat (delayed), tetapi aspek visual-motor dalam batas normal (DQ >85), disosiasi di antara dua aspek kognitif dari perkembangan sangat khas pada berbagai gangguan komunikasi. Aspek bahasa harus diteliti lebih lanjut untuk menilai adanya deviasi, yang akan terlihat jika aspek bahasa reseptif dan ekspresif menunjukkan angka yang berbeda. Umumnya jika terdapat deviasi pada skala bahasa, maka kemampuan bahasa ekspresif relatif lebih sering terlambat dibandingkan dengan bahasa reseptif (Accardo et al, 2005; Dhamayanti dan Herlina, 2009). DAFTAR PUSTAKA
43
Accardo PJ, Capute AJ. 2005. The capute scales: Cognitive Adaptive Test/Clinical Linguistic & Auditory Milestone Scale (CAT/CLAMS). Baltimore: Paul. H. Brookes Publishing Co. American Academy of Pediatrics. Committe on children with disabilities. Role of the Pediatrician
in
family-centered
early
intervention
service.
Pediatrics
2001;107:1155-7. American Academy of Pediatrics. Council on children with disabilities. identifying infants and young children with developmental disorders in the medical home: an algorithm for developmental surveillance and screening. Pediatrics 2006;118:405. Anderson EM, Spain B. 2010. The Child With Spina Bifida. London: Methuen. Ansel BM, Landa RM, Stark-Selz RE. 1994. Development and disorders of speech and language. In: Oski FA, DeAngelis CD, editors. Principles and practice of pediatrics. Philadelphia: Lippincott, pp:686–700. Appleton PL, Minchom PE, Ellis NC, Eliott. Self Concept Of Young People With Spina Bifida: A population-Based Study. Journal of Developmental Medicine and Child Neurology. 2010; 36:198-215. Bax MCO. Terminology And Classification Of Cerebral Palsy. Journal of Developmental Medicine and Child Neurology. 2010; 6:295-7. Bishop DV. 1994. Developmental disorders of speech and language. In: Rutter M, Taylor E, Hersov L, eds. Child and adolescent psychiatry. Oxford: Blackwell Science, pp:546–68. Blackman JA. 1992. Developmental Screening: Infants, Toddlers, And Preschoolers. Tokyo: Saunders, pp. 617-623. Chaer A. 2003. Psiokolinguistik kajian teoritik. Jakarta: Rineka Abdi. Coplan J. Evaluation of the child with delayed speech or language. Pediatr Ann. 1985;14:203–8. Davis H, Stroud A, Green L. The maternal language environment of children with language delay. Br J Disord Commun. 1988;23:253–66. Departemen Kesehatan RI. 2012. Pedoman Pengunaan KMS2012. Available at http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2012/05/PedomanPenggunaan-KMS_SK-Menkes.pdf. [diakses pada 21 Agustus 2015]. Dewey D, Kaplan BJ. Subtyping Of Development Motor Deficits. Journal of
Development Neuropsychology. 2009;10:265-84. Dhamayanti Meita, Herlina Murfariza. Skrining gangguan kognitif dan bahasa dengan menggunakan capute scales (Cognitive Adaptive Test/Clinical Linguistic and Auditory Milestone Scale-Cat/Clams). Sari Pediatri. 2009;11(3):189-98). 44
Frankenburg WK, et al. 1990. Denver II Technical Manual. Denver: Denver Developmental Materials, pp. 1-20. Gunawan N. 2004. Pedoman deteksi dini tumbuh kembangbalita. Jakarta: Depkes RI, pp. 1-120. French R, Jansma P. 2012. Special Physical Education. Columbus: Charles E. Merrill Publihing Company. Hawari D. 2003. Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa [Skripsi]. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja Edisi 1. Jakarta: Sagung Seto. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Keterlambatan Perkembangan Pada Anak. Available athttp://idai.or.id/public-articles/seputar-kesehatan-anak/mengenalketerlambatan-perkembangan-umum-pada-anak.html [diakses tanggal 21
Agustus 2015]. Jongmans MJ, Mercuri E, Dubowitz LMS, Henderson SE. Perseptual Motor Difficulties And Their Concomitants In Six-Year-Old Children Born Prematurely. Journal of Human Movement Science. 2005; 17:629-53. Jonhston MV. Clinical disorder of brain plasticity. Brain dev, 2004;26:73-80. Judarwanto Widodo. 2008. Keterlambatan bicara-speech delay. Available at: http://www.keterlambatan-bicara.blogspot.com.
Kadesjo B, Gillberg C. Developmental Coordination Disorder In Swedish 7 Year-Old Children. Journal of the American Academy of Child Adolescent Psychiatry. 2011; 20:32-9. Kaplan, et al. 2002. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Psikiatris Klinis Jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara. Klinik Tumbuh Kembang Anak RS. Dr. Kariadi. 2007. Studi pendahuluan disfasia perkembangan. Semarang.Leung KA, Kao PC. Evaluation and management of the child with speech delay. Am Fam Phys, 1999;59:32-45. Lutan R. 2005. Teori Belajar Keterampilan Motorik: Konsep dan Penerapan [Tesis]. Bandung: Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Leung AK, Robson WL. Otitis media in infants and children. Drug Protocol. 1990;5:29–35. Makum, AH. 2001. Gangguan perkembangan berbahasa. Buku ajar ilmu kesehatan anak. Jakarta: Balai penerbit FKUI, pp; 56-69. Mundkur N. Neuroplasticity in children. Indian J Pediatr, 2005;72:855-7. Oka Lely. 2008. Jika anak terlambat bicara. Available at : www.balipost.com
45
Owens RE. 2001. Language Development an Introduction, 5th edition. New York: Allyn and Bacon. Patacy, C. 2010.
Motor
Skills
Disorder.
Available
at
http://emedicine.medscape.com/article/915251. [diakses pada 21 Agustus
2015]. Schlieper A, Kisilevsky H, Mattingly S, Yorke L. Mild conductive hearing loss and language development: a one year follow-up study. J Dev Behav Pediatr. 1985;6:65–8. Shonkoff JP. 1996. Language delay: late talking to communication disorder. In: Rudolph AM, Hoffman JI, Rudolph CD, editors. Rudolph's pediatrics. London: Prentice-Hall, pp:124–8. Silva PA, Williams SM, McGee R. A longitudinal study of children with developmental language delay at age three; later intelligence , reading and behavior problems. Dev Med Child Neurol, 1987;29;630-640. Simkin Z, Conti G. Evidence of reading difficulty in subgroups of children with specific
language
impairment.
Child
language
teaching
and
therapy,
2006;22:315-31. Smith C, Hill J. 1999. Language development and disorders of communication and oral motor function. Pediatric Rehabilitation. Philadelphia: Hanley and Belfus, pp. 57-79. Vincer MJ, Cake H, Graven M, Dodds L, McHugh S, Fraboni T. A population-based study to determine the performance of the cognitive adaptive test/clinical linguistic and auditory milestone scale to predict the mental developmental index at 18 months on the bayley scales of infant development-II in very preterm infants. Pediatrics, 2005 ;116:864-7. Virginia W, Meredith G. 1997. Gangguan bicara dan bahasa. Buku ajar penyakit telinga, hidung, tenggorok. Jakarta : EGC, pp ; 397-410. Webster RI. The clinical spectrum of developmental language impairment in school aged
children:
language,
cognitive
and
motor
findings.
Pediatrics,
2006;118:1541-9.
46