. E. Martin, aku biasa bernegosiasi. Aku belajar cara mempertahankan kepentinganku sambil tetap bersikap ramah dan profesional. Mimik dan nada suaraku mengisyaratkan pada Ramirez, aku bersahabat. Kata-kataku langsung ke intinya. “Kau boleh melepas tanganku, biar kuambilkan kartu namaku,” uj arku. Senyumnya tetap di tempar, kini lebih hangat dan ingin tahu daripada sinting. Aku mengangsurkan kartu nama dan mengamati dia membacanya. “Agen Keamanan Lateral,” bacanya, jelas merasa geli. “Berat juga untuk seorang gadis kecil.” Belum pernah aku menganggap diriku kecil sampai berdiri sebelahan dengan Ramirez. Tinggiku 170 cm dan berpotongan kukuh berkat darah petani Hongaria dari pihak keluarga Mazur. Tercipta sempurna untuk bekerja di ladang-ladang paprika, menarik bajak, serta membrojolkan bayi-bayi bak burung bertelur. Olahragaku lari dan secara periodik menahan lapar untuk membakar lemak, namun tetap saja bobotku 59 kg. Tidak berat, tetapi tidak ceking juga. “Aku mencari Joe Morelli. Apakah kau melihatnya?” Ramirez menggeleng. “Aku tak kenal Joe Morelli. Cuma tahu dia nembak Ziggy.” Ia memandang berkeliling pada pria-pria lainnya. ‘Ada yang lihat si Morelli?’ Tak seorang pun merespons. “Aku diberi tahu ada saksi dalam penembakan itu dan saksi itu lenyap,” berondongku. “Kaupunya gagasan kira-kira siapa saksi itu?” Lagi-lagi, tak ada respons. Terus mendesak. “Bagaimana dengan Carmen Sanchez? Kaukenal Carmen? Pernahkah Ziggy bercerita tentang dia?” “Banyak benar pertanyaanmu,” komentar Ramirez. Kami berdiri dekat jendela besar model zaman dulu di muka ruangan, dan tanpa dorongan selain naluri, kualihkan perhatianku ke gedung seberang. Lagi-lagi, sosok bias di jendela lantai 3 yang sama. Seorang laki-laki, batinku. Sulit memastikan apakah ia berkulit hitam atau putih. Toh, nggak penting juga. Ramirez mengelus lengan jaketku. “Kaumau Coke? Di sini kami punya mesin Coke. Aku bisa membelikanmu soda.” “Terima kasih atas tawaranmu, tapi ini pagi yang sibuk, aku betul-betul harus pergi. Jika kaulihat Morelli, aku akan menghargai bila kau meneleponku.” “Rata-rata cewek merasa tersanjung kalau sang juara membelikan mereka soda.” Bukan cewek ini, batinku. Cewek ini beranggapan otak sang juara mungkin rada korslet. Dan, cewek ini kurang suka atmosfer dalam gym ini. “Pasti menyenangkan tinggal sebentar dan minum soda,” kilahku, “sayangnya aku punya janji makan siang dini.” Dengan sekotak Fig Newtons. “Selalu tergesa-gesa, itu tidak baik. Kau sebaiknya tinggal dan santai-santai dulu. Teman kencanmu nggak akan marah.” Aku memindahkan bobotku, mencoba beringsut menjauh seraya meralat dustaku. “Sebenarnya, ini makan siang bisnis bersama Sersan Gazarra.” “Aku tidak percaya,” sembur Ramirez. Senyumnya membeku, dan segala keramahan telah menguap dari suaranya. “Kurasa kaubohong soal makan siang itu.”
Sulur-sulur panik mengeriting dalam perutku, dan ku-larang diri untuk bereaksi secara berlebihkan. Ramirez sedang bermain-main denganku. Pamer di depan koncokonconya. Kemungkinan besar sakit hati karena aku tidak bertekuk lutut oleh daya pikatnya. Sekarang dia harus menyelamatkan muka. Aku pura-pura memeriksa arloji. “Maaf jika kau tersinggung, tapi diharapkan ketemu Gazarra sepuluh menit lagi. Dia takkan senang kalau aku terlambat.” Aku mundur selangkah. Ramirez menyambar tengkukku, jemarinya mencekal demikian kuat hingga aku terbungkuk-bungkuk. “Kau takkan ke mana-mana, Stephanie Plum,” desisnya. “Sang juara belum selesai denganmu.” Keheningan dalam gym itu mencekam. Tak seorang pun bergerak. Tak seorang pun menyuarakan keberatan. Aku melirik setiap laki-laki itu dan hanya dibalas tatapan kosong. Tak seorang pun bakal menolong, batinku, mulai dijalari kengerian yang senyata-nyatanya. Kurendahkan suaraku untuk mengimbangi nada Ramirez yang pelan. “Aku kemari sebagai anggota komunitas penegak hukum. Aku datang mencari informasi yang akan membantuku melacak Joe Morelli, dan kau tak punya alasan menyalahartikan niatku. Aku berlaku profesional, dan kuharap kau menghormati hal ini.” Ramirez menyeretku mendekat. “Kau kudu tahu sesuatu tentang sang juara,” tukasnya. “Pertama, kau tidak menguliahi sang juara soal penghormatan. Dan kedua, kau kudu tahu sang juara selalu mendapatkan apa yang dia mau.” Ia mengguncang-guncangku. “Kau tahu apa yang diinginkan sang juara sekarang juga? Sang juara pengen kau bersikap manis padanya, Say. Sangat manis. Kau harus minta ampun karena sudah menolak sang juara. Tunjukkan respek pada sang juara.” Deliknya beranjak ke payudaraku. “Mungkin kau kudu menunjukkan sedikit rasa takut. Kau takut padaku, hei Jablai?” Wanita mana pun dengan IQ di atas 12 bakal takut pada Benito Ramirez. Ia terkekeh dan bulu-bulu sepanjang lenganku bergidik. “Sekarang kau takut,” ejeknya dalam bisikan. “Aku bisa mencium baunya. Ketakutan anak kucing. Taruhan, celanamu pasti basah. Mungkin tanganku harus nyelip ke dalam celanamu biar kucari tahu sendiri.” Di tasku ada pistol, dan jika terpaksa aku akan menggunakannya, tapi tidak sebelum segala upaya lain gagal. Kursus 10 menit belum menjadikan diriku penembak jitu. Biar saja, batinku. Aku tak berniat membunuh siapa pun. Cuma pengen bikin mereka semua mundur agar aku bisa meloloskan diri. Tanganku meluncur di bagian luar tas sampai merasakan pistolnya, keras dan mantap di bawah telapakku. Ambil pistolmu, batinku. Bidik Ramirez dan kau harus kelihatan serius. Sanggupkan diriku menarik pelatuknya? Sejujurnya aku tak tahu. Aku ragu. Aku berharap tidak perlu bertindak sejuah itu. “Lepaskan leherku,” gertakku. “Ini peringatan terakhir.” “Jangan pernah memerintah sang juara!” hardiknya, lepas kendali, tampangnya melungker dan makin jelek. Dalam sepersekian detik itu, pintu terempas terbuka, dan aku menangkap sekilas gambaran laki-laki di baliknyaada kesintingan, dan ada pula api neraka serta kemurkaan yang begitu membara sampai napasku tercekat. Ia merenggut bagian depan blusku, dan suara kain robek menembus jeritanku.
Di kala krisis, ketika seseorang bereaksi secara naluriah, kita melakukan apa saja demi keselamatan diri. Aku melakukan hal yang akan dilakukan setiap wanita Amerika lain dalam situasi yang serupa. Dengan bantuan tasku, aku membulatkan sisi kepala Ramirez si manusia kotak alias bikin dia benjol. Berisi pistol dan penyeranta dan aneka atribut sirkus lain, beban tas ini minimal sepuluh pon. Ramirez oleng ke samping, dan aku menghambur ke tangga. Belum beranjak satu setengah meter ia sudah mencengkeram rambutku dengan kasar dan menggeretku menyeberangi ruangan bak boneka perca. Aku hilang keseimbangan dan terpelanting tengkurap di lantai, tangan duluan bergesekan dengan parkit yang tak dipernis, badan menyusul, pendaratan yang mengentak udara dari paru-paruku. Ramirez menunggangiku, bokongnya menindih punggungku, tangannya meraup rambutku, menjambak-jambak dengan liar. Aku meraih tasku namun tidak berhasil mengeluarkan pistol. Letusan senjata berkekuatan tinggi memekak dan kaca-kaca jendela pecah berhamburan. Tembakan lagi. Seseorang tengah memuntahkan berentet peluru ke dalam gym ini. Para laki-laki itu kocar-kacir dan berteriak-teriak, mencari tempat berlindung. Termasuk Ramirez. Begitu pula aku, merangkak di lantai, kaki terlalu lemas untuk menahan bobotku. Setiba di tangga, aku bangkit dan berpegangan pada susuran, kehilangan pijakan lantaran terlalu panik mengoordinasikan gerak-gerikku. Aku setengah terperosok sejauh sisa jarak turun, mencapai linoleum retak-retak di lantai dasar. Aku bangkit berdiri dan buru-buru keluar, ditimpa terik mentari yang membutakan. Stokingku tercabik-cabik dan lututku berdarah. Sambil bertumpu di kenop pintu, aku berusaha mengatur napas ketika sebuah tangan mencekal bagian atas lenganku. Aku terlompat dan merintih. Ternyata Joe Morelli. “Demi Tuhan,” rutuknya. “Jangan bengong di sini. Buruan minggat!” Kurasa Ramirez tak cukup peduli padaku untuk mengejar sampai turun tangga, tapi memang tak ada perlunya tinggal di sini untuk memastikannya. Jadi, dengan tumit sepatu berdetak-detak aku membuntuti Morelli, dadaku terbakar kekurangan oksigen dan rokku tersingkap sampai selangkangan. Di layar lebar, Kathleen Turner pasti akan terlihat menarik dalam keadaan ini. Aku jauh dari kesan glamor. Hidungku meler dan rupanya aku ngiler juga. Mengerang kesakitan dan mewek ketakutan, mulutku menyuarakan suara-suara binatang aneh dan sumpah-sumpah palsu kepada Tuhan. Kami menikung di sudut, memotong lewat jalan di blok berikutnya, dan berlari sepanjang gang satu-arah yang diapit pekarangan-pekarangan belakang. Di jalan ini berdempet garasi-garasi kayu telantar yang bisa dimuati satu mobil, serta tongtong sampah penyok dan kepenuhan. Dua blok dari situ, sirene-sirene meraung. Pasti sejumlah mobil patroli dan sebuah ambulans telah dikirim untuk menindaki penembakan tadi. Kalau dipikirpikir, seharusnya aku menunggu di sekitar gym itu dan mengakali polisi agar mereka membantuku menangkap Morelli. Hal yang patut diingat lain kali adalah aku tengah hampir diperkosa dan dianiaya. Morelli berhenti tiba-tiba dan menarikku ke dalam sebuah garasi kosong. Pintu ganda itu cukup terbuka untuk membiarkan kami menyelinap masuk, namun tak cukup lebar untuk orang-orang yang lewat melihat ke bagian dalam. Lantainya berlapis debu, udaranya apek dan bau besi. Ironi ini menamparku. Di sinilah aku, setelah sekian tahun berlalu, lagi-lagi di dalam sebuah garasi bersama Morelli. Keberangan terpancar di wajahnya, mengeraskan tatapannya, mencubit ujung-ujung mulutnya. Ia menyambar kerah setelanku dan menempelkan punggungku pada tembok kayu mentah. Benturan itu menerbangkan debu dari kasau dan membuat gigiku mengge-lugut.
Suaranya mengandung murka yang nyaris tak terkendali. “Maksud lo apa sih, ngeloyor masuk ke gym itu?” Ia menegaskan pertanyaan itu dengan menghentak badanku lagi, membuat semakin banyak debu beterbangan di sekitar kami. “Jawab!” hardiknya. Aku sakit hati, bukan fisik. Aku sudah bertindak bodoh. Dan kini, sebagai pelengkap deritaku, Morelli mendampratku. Malunya hampir setara dengan kenyataan bahwa dialah yang datang menyelamatkanku. “Aku mencari kamu.” “Vak, selamat deh, kamu berhasil menemukanku. Kau sekaligus membuatku ketahuan, dan aku tidak senang.” “Jadi, kaulah sosok di jendela lantai tiga itu, yang mengawasi gym dari seberang jalan.” Morelli tak menyahut sedikit pun. Dalam keremangan garasi, bola matanya menghitam pekat. Aku menguatkan diri. “Dan sekarang, kurasa tinggal satu hal yang harus kulakukan.” “Aku tak sabar mendengarnya.” Aku merogoh tas, mengeluarkan revolver, dan mendorong dada Morelli dengan moncongnya. “Anda ditahan.” Matanya melebar, tak menyangka. “Kamu punya pistol! Kenapa tak kamu pakai melawan Ramirez? Yesus, kamu malah memukulnya pakai tas, kayak cewek lenje. Kenapa kamu nggak pakai pistol sialanmu itu?” Kurasakan pipiku merona. Mau bilang apa? Kenyataannya sungguh mengenaskan, bisa merugikanku sendiri. Mengaku pada Morelli bahwa aku lebih takut pada senjataku ketimbang pada Ramirez takkan meningkatkan kredibilitasku sebagai agen keamanan lateral. Morelli tak butuh lama untuk menebaknya. Ia berdecak jijik, menyingkirkan laras senjataku ke samping dan mengambilnya dari tanganku. “Kalau kamu tak berani memakainya, kamu jangan bawa-bawa pistol. Kamu punya izin senjata?” “Ya.” Dan, aku hampir sepuluh persen yakin bahwa izinnya legal. “Di mana kamu memperoleh izin itu?” “Ranger mendapatkannya untukku.” “Ranger Manoso? Kristus, kemungkinan besar dia bikin surat itu sendiri di ruang bawah tanahnya.” Ia menyentak peluru-pelurunya keluar dan mengembalikan pistolku. “Cari kerjaan baru. Dan jangan dekat-dekat Ramirez. Dia sinting. Tiga kali ia dituntut atas pemerkosaan dan selalu dibebaskan berhubung sang korban lenyap.” “Aku tidak tahu …” “Banyak yang kamu belum tahu.” Tingkahnya itu mulai memuakkan. Sekarang aku cukup sadar masih banyak yang perlu kupelajari tentang sergap buron; aku tak butuh kesombongan Morelli yang sarkastik. “Jadi, maksudmu apa?” “Tinggalkan kasusku. Kamu mau berkarier sebagai penegak hukum? Baik. Silakan. Tapi jangan belajar lewat aku. Masalahku terlampau banyak untuk mencemaskan keselamatan bokongmu.”
“Tidak ada yang minta diselamatkan olehmu. Aku pasti berhasil menyelamatkan bokongku sendiri kalau kamu tak ikut campur.” “Sayang, kamu tak mampu menemukan bokongmu sendiri, bahkan dengan kedua tangan.” Telapak tanganku bilur-bilur dan rasanya seperti terbakar. Kulit kepalaku perih. Lututku gemetaran. Aku ingin pulang ke apartemen dan berdiri di bawah pancuran selama lima sampai enam jam, hingga aku merasa bersih dan kuat. Aku ingin enyah dari hadapan Morelli dan istirahat. “Aku mau pulang.” “Ide bagus,” sindirnya. “Mana mobilmu?” “Di sudut Stark Street dan Tyler.” Ia memeotkan diri di sisi pintu dan mengintip cepat. “Aman.” Lututku kini kaku, darah telah mengering dan memborok di sisa-sisa stokingku. Wajar bila aku pincang, tapi rupanya ini kelemahan yang takkan dimaklumi orang macam Morelli, jadi aku berjalan mendahuluinya. Hatiku mengerang ow, ow, ow, tapi tanpa mengucap sepatah kata pun. Saat kami tiba di belokan kusadari ia sedang mengantarku ke Stark. “Aku tak butuh pengawal,” tolakku. “Aku baik-baik saja.” Tangannya memegang sikuku, ia menuntunku maju. “Jangan geer. Aku bukannya memedulikan keselamatanmu, tapi benar-benar ingin mengenyahkanmu dari hidupku. Aku ingin memastikan kamu pergi. Aku mau lihat knalpotmu menghilang di cakrawala.” Semoga beruntung, batinku. Knalpotku ada di suatu tempat di Route 1, bersama peredamku. Kami tiba di Stark, dan aku lunglai seketika begitu melihat mobilku. Baru parkir di sana kurang dari sejam, dan dalam kurun waktu itu mobilku telah diselimuti grafiti dari ujung ke ujung. Sebagian besar nuansa merah jambu dan hijau norak, kata yang paling menonjol di kedua sisi adalah “memek”. Aku memeriksa pelat dan melihat kotak Fig Newtons di jok belakang. Yap, ini memang mobilku. Penghinaan tambahan untuk hari yang sudah cukup hina ini. Pedulikah aku? Sama sekali tidak. Kebal. Aku mulai imun terhadap hinaan. Aku mengais tas mencari kunci, menemukannya dan menancapnya di pintu. Morelli mundur dengan sempoyongan, tangan di saku, cengiran merambati bibirnya. “Biasanya orang cukup puas mendandani mobil mereka dengan garis samping atau pelat pribadi.” “Mati aja lo.” Kepala Morelli menengadah dan ia terbahak-bahak. Tawanya dalam dan kencang serta menular, dan andai aku tidak dalam keadaan terguncang, aku pasti ketawa bersamanya. Jadi, aku menarik pintu dengan kasar, mengempaskan tubuh di balik kemudi. Kuputar kunci starter, menggebrak dasbor kuat-kuat, dan meninggalkan Morelli megap-megap di tengah gumpalan asap dan deru bising yang boleh mencairkan isi perutnya. Secara resmi, aku tinggal di perbatasan timur kota Trenton. Toh, sebenarnya lingkunganku lebih mirip Hamilton Township ketimbang Trenton itu sendiri. Gedung apartemenku berupa kubus jelek dari bata merah gelap yang dibangun sebelum dunia mengenal AC sentral dan jendela termis. Seluruhnya delapan belas apartemen, disebar rata dalam tiga lantai. Berdasarkan standar zaman modern, ini bukan apartemen yang hebat. Tak tersedia klub kolam renang atau fasilitas lapangan tennis. Liftnya tak bisa diandalkan. Kamar mandi vintage model keluarga
Partridge dengan perlengkapan kuning mostar dan pernik pedusunan Prancis di meja rias. Kecanggihan perangkat dapur setingkat di bawah generik. Bagusnya, apartemen ini dibangun dengan bahan bangunan yang kukuh. Suara-suara tidak menembus dari apartemen ke apartemen. Ruangan-ruangannya luas dan bermandikan matahari. Langit-langit tinggi. Aku tinggal di lantai dua, dengan jendela-jendela menghadap lapangan parkir pribadi yang sempit. Gedung ini didirikan sebelum tren balkon, tapi aku cukup beruntung memiliki tangga darurat dari besi hitam yang melintangi jendela kamarku. Tempat yang sempurna untuk menjemur stoking, mengarantina tanaman rumah yang terjangkit kutu dan cukup lebar untuk nongkrong di luar pada malam-malam musim panas yang gerah. Yang terpenting, gedung bata jelek ini bukan bagian dari sebuah kompleks luas gedung-gedung bata jelek lainnya. Gedung ini bertengger sendiri di sebuah jalanan sibuk penuh usaha-usaha kecil, dan berbatasan dengan lingkungan rumah-rumah sederhana berstruktur kayu. Benar-benar seperti tinggal di Burg … hanya lebih baik. Ibu sempat keberatan mengulurkan tali pusar sejauh ini, dan bakeri cuma satu blok dari sini. Aku parkir di pelataran dan buru-buru masuk lewat pintu belakang. Berhubung Morelli sudah tak ada di sekitarku, aku tak perlu sok tegar, dan aku menyerapah serta mengomel dan terpincang-pincang sepanjang jalan menuju apartemenku. Aku mandi, mengobati luka-luka, dan memakai kaus dan celana pendek. Lututku kehilangan lapisan kulit teratas, dan lebamnya telah menjelma dalam nuansa magenta dan biru dongker. Kondisi sikuku kira-kira serupa. Perasaanku seperti bocah yang baru jatuh dari sepeda. Bisa kubayangkan diriku bersenandung “Aku mampu melakukannya; aku mampu melakukannya,” dan sekonyong-konyong, aku malah terbujur di tanah, tampak tolol, dengan kedua lutut tergores. Kuempaskan diri telentang di ranjang, lengan merentang lebar-lebar. Inilah posisi favoritku di kala segala sesuatu terasa percuma. Kelebihan posisi ini adalah: aku bisa tidur sementara menunggu gagasan cemerlang muncul di benakku. Aku terbaring di sana untuk waktu yang rupanya lama. Tak ada gagasan cemerlang menghampiri, dan aku terlalu gelisah untuk tidur. Aku tak kuasa menghentikan pemutaran-ulang kejadian tadi dengan Ramirez. Sebelumnya, aku tak pernah diserang oleh seorang laki-laki, bahkan belum pernah mengalami hal yang mendekati itu. Agresi tadi siang adalah pengalaman yang merendahkan, mengerikan, dan kini tatkala butiran-butiran debu telah mendarat kembali, serta giliran emosi-emosi tenang mendominasi, aku merasa telah diperkosa dan tak berdaya. Kupertimbangkan untuk melapor ke polisi, tapi segera menepis gagasan itu. Merengek-rengek ke aparat takkan menambah poinku sebagai pemburu buron yang berani dan tangguh. Tak terbayang olehku seorang Ranger mengajukan tuntutan atas penyerangan. Aku masih beruntung, kutegaskan pada diriku. Aku selamat dan hanya mengalami luka-luka luar. Berkat Morelli. Pengakuan terakhir itu membuatku mengerang. Diselamatkan oleh Morelli sungguh memalukan. Dan, amat sangat tidak adil. Kalau dipikir-pikir, kukira hasil kerjaku tidak terlalu buruk. Perkara ini kutangani sejak kurang dari 48 jam, dan aku sempat menemukan buronanku dua kali. Memang sih, belum berhasil meringkusnya, toh aku masih dalam proses belajar. Tak ada yang mengharapkan seorang mahasiswa teknik mesin tahun pertama membangun jembatan yang sempurna. Menurutku, aku berhak mendapat pemakluman yang sama. Kusangsikan pistol itu akan berguna bagiku. Tak terbayang olehku menembak Morelli. Barangkali di kaki.
Tapi seberapa besar peluangku mengenai sasaran yang kecil dan bergerak? Sama sekali tidak ada. Jelas, aku butuh cara yang tidak sefatal itu untuk menjinakkan sang mangsa. Mungkin spray beladiri lebih cocok dengan gayaku. Besok pagi aku akan kembali ke Sunny’s Gun Shop dan menambahkan spray itu ke dalam tas atribut mautku. Jam radio mengerlip pukul 05.50 petang. Aku memandangnya dengan murung, tidak segera menyadari makna waktu, kemudian dicekam ngeri. Ibu mengharapkan aku datang makan malam lagi! Aku melompat turun dari ranjang dan bergegas menuju telepon. Teleponku mati. Belum bayar tagihannya. Kusambar kunci mobil di atas bufet dapur dan menghambur ke pintu. Ibu sudah berdiri di tangga serambi saat mobilku menepi. Kedua tangannya melambai-lambai dan ia berteriak-teriak. Aku tak bisa mendengarnya di tengah raungan mesin, tapi aku membaca gerak bibirnya. “Matikan!” jeritnya. “Matikan!” “Maaf! ,” kubalas menjerit. “Peredamku copot.” “Kamu harus memperbaikinya. Aku bisa mendengarmu datang dari jarak empat blok. Gara-gara kamu jantung Ny. Ciak akan berpalpitasi.” Ia melirik mobil. “Mobilmu habis dipermak?” “Ini terjadi di Stark Street. Berandalan.” Aku mendorongnya masuk selasar sebelum ia membaca tulisannya. “Wow, lututmu bagus,” cetus Oma Mazur sembari bungkuk mengamati luka-lukaku dari dekat. “Pekan lalu aku nonton acara TV, kurasa Oprah, dan tamunya sekelompok wanita dengan lutut seperti itu. Katanya kegesek karpet. Entah apa maksud mereka.” “Kristus,” desah Ayah dari balik koran. Ia tak perlu menjelaskan. Kami semua mengerti keputusasaannya. “Ini bukan kegesek karpet,” bantahku pada Oma Mazur. “Aku jatuh waktu main sepatu roda.” Dustaku takkan dipersoalkan. Aku punya sejarah panjang kecelakaan katastrofik. Aku mendelik ke arah meja makan yang ditata dengan taplak renda yang cantik. Artinya tamu. Aku menghitung jumlah piring. Lima. Aku memutar-mutar bola mata. “Ibu, tega benar.” “Tega kenapa?” Bel pintu berdenting, mengonfirmasi ketakutanku yang terdalam. “Itu tamu kita. Bukan masalah besar,” tangkis Ibu, menuju pintu. “Boleh dong mengundang tamu ke rumahku sendiri kalau aku mau. “Itu Bernie Kuntz,” keluhku. “Kelihatan dari jendela selasar.” Ibuku berhenti, berkacak pinggang. “Memang apa salahnya dengan Bernie Kuntz?” “Pertama … dia laki-laki.” “Oke, kamu pernah punya pengalaman pahit. Bukan berarti kamu harus menyerah. Lihat kakakmu Valerie. Sudah 12 tahun ia menikah bahagia. Dia punya dua gadis cantik.” “Cukup. Aku mau pergi. Aku lewat pintu belakang.” “Kue nanas upside-down,” cegah Ibu. “Kamu akan melewatkan santapan penutup kalau pulang sekarang. Dan jangan kira kita akan menyisihkan bagianmu.” Ibu tak segan-segan bermain kotor bila menurutnya perlu. Ia tahu aku terjebak dengan kue nanas itu. Seorang Plum pasti rela mengalami siksaan terberat demi santapan penutup yang lezat.
Oma Mazur melotot garang pada Bernie. “Kau siapa?” “Aku Bernie Kuntz.” “Mau apa?” Aku memandang ke ujung lorong, pada Bernie yang dengan gelisah bertumpu dari sebelah kaki ke kaki satunya. “Aku diundang makan malam,” terang Bernie. Oma Mazur belum juga buka pintu kasa. “Helen,” panggilnya lewat pundak. “Ada seorang pemuda di depan. Katanya diundang makan malam. Kenapa aku tidak diberi tahu apa-apa soal ini?” Lihat rok lusuh yang kupakai ini. Aku tak bisa menemani seorang pria, pakai rok seperti ini.” Aku kenal Bernie sejak umurnya S tahun. Kami SD bareng. Dari kelas satu hingga kelas tiga kami makan siang bersama, dan selamanya aku akan mengasosiasikan dirinya dengan roti Wonder lapis selai kacang dan jeli. Waktu SMU kami tak pernah saling kontak. Setahuku dia pergi kuliah, dan selepas kuliah dia jualan peralatan rumah tangga di toko ayahnya. Perawakan sedang, berbobot sedang dan masih montok seperti bayi. Ia berbusana rapi lengkap dengan fanto-fel mengilat bergesper, celana bahan, dan jaket sport. Sejauh penglihatanku, sejak kelas enam ia tak banyak berubah. Dia masih kelihatan seperti tak mampu menjumlahkan bilangan pecahan, dan kait besi kecil risletingnya tegak-lurus, menciptakan sebuah tenda mungil di bukaan celananya. Kami memilih tempat duduk mengitari meja dan berkonsentrasi pada urusan makan. “Bernie menjual perangkat rumah tangga,” singgung Ibu, mengoper kol merah. “Penghasilannya bagus juga dari situ. Mobilnya Bonneville.” “Mobilnya Bonneville. Bayangkan,” timpal Oma Mazur. Ayah terus merunduk di atas ayamnya. Ia berkiblat pada Mets, pakaian dalamnya Fruit of the Loom dan mobilnya Buick. Pengabdiannya bagai dipahat dalam granit, dan ia takkan terkagum-kagum oleh ambisi besar seorang penjual panggangan roti bermobil Bonneville. Bernie berpaling padaku. “Jadi, apa kesibukanmu sekarang?” Aku memainkan garpu. Hariku tak bisa dibilang sukses, dan mengumumkan ke seluruh dunia: aku adalah agen keamanan lateral rasanya terlalu sombong. “Aku bekerja untuk semacam perusahaan asuransi,” balasku. “Maksudmu seperti menangani klaim?” “Lebih tepat seperti menangani benda-benda koleksi.” “Dia pemburu buron!” sembur Oma Mazur. “Kayak di TV, dia nguber pelarianpelarian bedebah. Dia punya pistol dan lain-lain.” Tangannya menggapai ke belakang, ke bufet tempat aku meninggalkan tas. “Tasnya penuh berisi atribut sirkusnya,” urai Oma Mazur, memangku tasku. Ia menarik keluar borgol, penyeranta, sebungkus tampon dan memajang semuanya di meja. “Dan ini pistolnya,” umumnya dengan bangga. “Cantik sekali, ya?” Harus kuakui itu pistol yang cukup keren, berlapis baja tahan karat serta gagang kayu ukir. Sebuah revolver Smith and Wesson 5-shot, Model Spesial 60. A. 38. Mudah digunakan, mudah dibawa-bawa, kata Ranger. Dan, ini pembelian bijak dibandingkan pistol semiotomatis, jika $400 pantas disebut bijak. “Tuhan,” lolong Ibu, “jauhkan darinya! Tolong ambil pistol itu sebelum dia bunuh
diri.” Silindernya terbuka dan jelas-jelas kosong. Pengetahuanku soal pistol tak banyak, tapi setahuku pistol tanpa peluru tak bisa nembak. “Kosong kok,” ujarku. “Tidak ada pelurunya.” Oma Mazur menangkup pistol itu dengan dua tangan, jari di pelatuk. Ia menyipitkan sebelah mata dan membidik lemari kaca. “Kapow,” cetusnya, “kapow, kapow, kapow.” Ayah sibuk dengan bumbu sosis, sengaja mengabaikan kami. “Aku kurang suka pistol di meja makan,” protes Ibu. “Dan hidangan jadi dingin. Nanti aku terpaksa memanaskan lagi kuahnya.” “Percuma punya pistol kalau nggak diisi,” kritik Oma Mazur padaku. “Gimana bisa nangkap pembunuh kalau pistolmu tak berpeluru?” Bernie duduk melongo semenjak tadi. “Pembunuh?” “Dia sedang mengejar Joe Morelli,” urai Oma Mazur. “Dia pembunuh bonafid sekaligus buronan paling licin. Ia meledakkan kepala Ziggy Kulesza.” “Aku kenal Ziggy Kulesza,” timpal Bernie. “Kira-kira setahun lalu dia beli TV layar lebar dariku. Jarang kami berhasil menjual layar lebar. Kemahalan.” “Apakah dia pernah beli barang lain darimu?” desakku. “Baru-baru ini?” “Nggak. Tapi, kadang-kadang aku melihatnya di Sal’s Butcher Shop, di seberang toko. Kayaknya Ziggy oke. Jenis orang kebanyakan, tahu ‘kan?” Tak ada yang memperhatikan Oma Mazur. Ia masih bermain-main dengan pistol, mengokang dan membidik, membiasakan diri dengan bobotnya. Kusadari ada sekotak amunisi di samping tampon. Sebuah pikiran mengerikan menyambar benakku. “Oma tidak mengisi pistolku ‘kan?” “Yah, tentu saja aku mengisinya,” balasnya. “Dan aku membiarkan lubang pertama kosong, kayak di TV, sehingga kita takkan menembak sesuatu tanpa sengaj a.” Untuk membuktikan dirinya sudah mengambil langkah pengaman, ia menekan pelatuk. Terdengar suara dor nyaring, kilat menyembur dari laras pistol, dan kerangka ayam menggelinjang di piring. “Bunda Suci!” pekik Ibu, melompat berdiri, kursinya terjengkang. “Ups,” celetuk Oma, “kurasa aku mengosongkan lubang yang salah.” Ia condong maju untuk memeriksa hasil karyanya. “Lumayan buat pemula; aku nembak unggasmu tepat di bool.” Ayah mencengkeram erat garpunya, mukanya merah dadu. Aku bergegas mengitari meja dan dengan hati-hati menyita pistol itu dari Oma Mazur. Aku menumpahkan seluruh peluru dan menjejalkan kembali semua barangku ke dalam tas cantol. “Lihat, piringku pecah,” keluh Ibu. “Itu ‘kan bagian dari satu set. Di mana aku bisa cari penggantinya?” Ia mengangkat piring itu, dan kami semua terbungkam memandangi taplak yang berlubang serta peluru yang menancap di meja mahoni. Oma Mazurlah yang pertama bersuara. “Tembakan itu bikin aku nafsu makan,” tukasnya. “Tolong ambilkan kentang.”
Secara garis besar, Bernie Kuntz telah menghadapi malam tadi dengan cukup bijak. Ia tidak membasahi celananya tatkala Oma Mazur mengoyak perut si ayam. Tanpa perlawanan, ia melahap sampai dua porsi dari panci kubis mengerikan bikinan Ibu. Dan ia bersikap cukup ramah padaku, padahal sudah jelas keluargaku sedeng dan kami berdua tidak ditakdirkan untuk tidur di atas seprei yang sama. Kelihatan sekali sikapnya itu demi menjaga hubungan baik semata. Aku wanita yang belum memiliki banyak perangkat rumah tangga. Romansa memang memberimu seseorang untuk menghabiskan waktu malam bersama, tetapi komisi memberimu liburan ke Hawaii. Kecocokan antara kami berdua merupakan impian terwujud. Ia ingin menjual, aku ingin membeli, dan aku tak menolak ketika ia menawarkan diskon 10 persen. Dan, sebagai bonus karena sudah duduk manis sepanjang makan malam, aku mendapat keterangan tentang Ziggy Kulesza. Ia biasa belanja daging di toko Sal Bocha yang lebih dikenal sebagai bandar judi ketimbang pria yang menimbang irisan steik. Aku mencatat informasi ini dalam hati sebagai referensi untuk masa mendatang. Sekarang tidak signifikan, toh siapa tahu suatu saat bakal berguna. Aku duduk di mejaku dengan segelas es teh dan berkas Morelli, berusaha menyusun rencana aksi. Aku baru mengisi mangkuk Rex dengan berondong jagung. Mangkuk itu kutaruh di dekatku di atas meja, dan Rex berada dalam mangkuk, pipinya gembung oleh berondong j agung, mocongnya bergerak-gerak cepat sekali. “Jadi Rex,” ujarku, “menurutmu gimana? Menurutmu kita akan mampu meringkus Morelli?” Seseorang menggedor pintu masuk, dan aku maupun Rex mematung total dengan radar berdengung. Aku tidak sedang menanti kedatangan siapa-siapa. Rata-rata tetanggaku lansia. Tak ada yang akrab denganku secara khusus. Tak terbayang olehku siapa di antara mereka yang mengetuk pintuku pada pukul 09.30 malam. Barangkali Ny. Becker dari lantai 3. Terkadang dia lupa tinggal di mana. Gedoran itu terulang. Rex dan aku menoleh ke arah pintu. Pintu itu terbuat dari baja tahan api, dilengkapi lubang intai keamanan, selot, dan rantai ganda. Tatkala cuaca bagus, aku membiarkan jendela-jendela terbuka lebar sepanjang siang dan malam, tapi aku selalu mengunci pintu. Hannibal dan halusinasihalusinasinya mustahil menerobos pintuku, tapi jendela-jendelaku menyambut dengan lengan terentang idiot mana pun yang dapat mendaki tangga darurat. Akumenangkup mangkuk memanjat keluar, dan ketukannya berhenti. kegelapan. Orang itu “Siapa?” sapaku.
berondong jagung dengan panci terbalik supaya Rex tidak pergi menyelidiki. Tanganku sampai di kenop pintu ketika Aku mengintip lewat lubang intai dan hanya melihat meletakkan jarinya di lubang intai. Bukan pertanda bagus.
Gelak lirih menyusup lewat birai pintu, dan aku te-renyak mundur. Kekehan itu disusul sepatah kata tunggal. “Stephanie.” Mustahil tak mengenali suara itu. Melodis sekaligus mengejek. Suara Ramirez. “Aku kemari untuk bermain denganmu, Stephanie,” dendangnya. “Kamu siap mainmain?” Lututku lunglai seketika, dan dadaku membuncah oleh teror irasional. “Pergilah, atau kupanggil polisi.” “Kamu takkan menelepon siapa pun, Jablai. Teleponmu diputus. Aku tahu sebab aku sudah coba nomormu.” Orangtuaku tak pernah memahami kebutuhanku untuk independen. Mereka yakin aku menjalani kehidupan yang seram serta sepi, dan argumen panjanglebar pun takkan
meyakinkan mereka sebaliknya. Sejujurnya, aku jarang sekali merasa takut. Mungkin ada kalanya aku ke-der terhadap serangga-serangga besar yang kakinya banyak. Di mataku, laba-laba yang baik adalah laba-laba yang sudah mati, dan hak-hak perempuan tidak bisa dianggap valid jika aku tak boleh menyuruh lakilaki menginjak serangga untukku. Aku tak pernah mengkhawatirkan para skinhead mendobrak pintu atau memanjat j endela yang terbuka. Rata-rata mereka lebih suka beroperasi di kawasan dekat stasiun kereta. Penodongan dan curanmor di lingkunganku juga minim dan nyaris tak pernah berakibat kematian. Hingga detik ini, saat-saat menggentarkan yang jarang kualami adalah ketika bangun di tengah malam dan terinvasi oleh ketakutan-ketakutan mistik … hantu, momok, kelelawar vampir, alien. Terpenjara oleh imajinasiku yang liar. Aku akan berbaring di ranjang, nyaris tanpa bernapas, menunggu-nunggu saat levitasi. Harus diakui, pasti lebih enak jika aku tidak menunggu sendirian. Tapi selain Bill Murray, apa daya insan manusia menghadapi agresi mahkluk gaib? Untungnya, aku belum pernah mengalami rotasi kepala total, didatangi arwah Elvis atau dipindah-pindahkan. Dan, yang paling mendekati pengalaman “keluar dari tubuh sendiri” adalah waktu bibir Joe Morelli mengerjaiku empat belas tahun silam, di belakang rak berisi kue sus. Suara Ramirez menerobos pintu. “Gak suka kalau punya urusan yang belum selesai dengan seorang perempuan, Stephanie Plum. Gak suka kalau perempuan melarikan diri dari sang juara.” Ia memutar-mutar kenop pintu, dan dalam jeda itu ususku melilit serta jantungku mengambung ke tenggorokan. Pintu itu bertahan, dan denyut nadiku turun ke tingkat prastroke. Aku menarik napas dalam-dalam beberapa kali dan memutuskan, tindakan terbaik adalah mengacuhkan dia. Aku menolak terlibat adu bentak. Dan, aku tak mau memperuncing keadaan yang telanjur parah. Aku mengatup dan mengunci jendela ruang duduk dan menutup tirai rapat-rapat. Aku bergegas ke kamar dan berdebat sendiri mengenai perlunya cari bantuan lewat tangga darurat. Bagaimanapun, rasanya goblok jika melebih-lebihkan ancaman ini, lebih dari yang rela ku akui. Ini bukan masalah besar, kutegaskan pada diriku. Tak ada yang perlu dicemaskan. Aku memutar-mutar bola mata. Tak ada yang perlu dicemaskan … selain kriminal edan, laki-laki seberat dua ratus lima puluh pon berdiri di lorong, mengata-ngataiku. Kutangkup mulut untuk menahan rintihan histeria. Jangan panik, kuingatkan diriku. Sebentar lagi tetanggaku pasti memeriksa ada apa, dan Ramirez akan terpaksa minggat. Kuambil pistol dari tas dan kembali ke pintu untuk mengintip lagi. Lubang intai tidak ditutup, dan lorong tampak lengang. Aku menempelkan telinga di daun pintu dan mendengarkan. Senyap. Selotnya kulingsirkan lalu menguak pintu sejengkal, megarantaiku tetap di tempat dan pistolku siap-siaga. Sejauh mata memandang, tak ada Ramirez. Kucabut rantai dan memantau lorong. Damai sentosa. Ia betul-betul pergi. Mataku tertumbuk pada ceceran substansi rasam di lantai depan pintu. Aku cukup yakin itu bukan tepung kanji. Aku terselak, menutup pintu dan memasang rantai. Hebat. Baru dua hari kerja dan seorang psikopat kelas dunia sudah buang peju di ambang pintuku. Hal macam ini tak pernah menimpaku sewaktu kerja di E. E. Martin. Sempat seorang gembel mengencingi kakiku, dan ada kalanya laki-laki melucuti celananya di stasiun kereta, toh itu hal-hal yang dapat diperkirakan terjadi di Newark. Aku telah belajar untuk tidak dimasukan ke hati. Urusan Ramirez ini beda persoalan. Ini amat sangat mengerikan.
Aku melenguh ketika sebuah jendela dibuka dan ditutup di lantai atas. Cuma Ny. Delgado yang mengeluarkan kucingnya, batinku. Bangkitlah. Perlu mengalihkan pikiran dari Ramirez, jadi aku menyibukkan diri dengan mengumpulkan barangbarang yang bisa kugadaikan. Tak banyak yang tersisa. Walkman, setrika, giwang mutiara pernikahanku, jam dapur, poster Ansel Adams berbingkai, dan dua lampu meja beanpot. Kuharap ini cukup untuk bayar tagihan telepon dan menyambung langganan kembali. Jangan sampai drama terjebak di apartemen sendiri tanpa dapat memanggil bantuan terulang lagi. Aku memasukkan Rex ke kandang, sikat gigi, ganti baju tidur, dan merangkak ke ranjang dengan seluruh lampu apartemen menyala. Yang pertama kulakukan begitu bangun esok paginya adalah memeriksa lubang intai. Rupanya tak ada yang luar biasa, jadi aku mandi kilat dan berpakaian. Rex terdengar pulas dalam kaleng supnya, semalam ia begadang dengan lari-lari di atas roda. Aku mengganti air minum dan mengisi mangkuknya dengan kepingan hamster yang menjijikan itu. Minum secangkir kopi pasti enak. Sayangnya, di rumah tak ada kopi. Akumendekati jendela ruang duduk dan mengintai tanda-tanda Ramirez di pelataran, lantas balik ke pintu memeriksa untuk kedua kali. Kulingsirkan selot dan membuka pintu dengan rantai tetap terpasang. Hidungku menyusup lewat celah dan mengendus-endus. Tak tercium bau petinju, jadi kututup pintu, melucuti rantai, dan membuka pintu lagi. Aku memantau keluar dengan pistol teracung. Lorong sepi. Akumengunci pintu dan menjing-kat-jingkat sepanjang lorong. Lift berdenting, pintu mendengung terbuka, dan aku hampir nembak Ny. Moyer. Aku minta maaf bertubi-tubi, bilang bahwa pistol ini bukan sungguhan, dan kabur lewat tangga sembari menggeret barang-barang rongsokan, menuju mobil. Saat pegadaian Emilio buka, aku dalam kondisi sakaw kafein. Aku nego harga giwang, namun hanya setengah hati, dan alhasil aku merasa ditipu. Bukan masalah besar. Aku sudah dapat yang kubutuhkan. Sejumlah uang untuk beli senjata ringan, bayar telepon, dan sisanya cukup buat mufin bluberi dan secangkir besar kopi. Aku menikmati sarapanku selama lima menit penuh, kemudian melesat menuju kantor telkom. Singgah di lampu merah, aku disiut-siuti oleh dua cowok naik bakter. Dari isyarat tangan mereka, aku berasumsi bahwa mereka suka karya lukis di mobilku. Aku tak bisa mendengar ucapan mereka karena gemuruh mesin. Puji Tuhan atas berkat-berkat kecil. Kulihat kabut menggumpal sekelilingku dan menyadari mobilku berasap. Bukan jenis uap putih samar pada hari-hari musim dingin. Asap ini tebal dan hitam, dan lantaran tiadanya knalpot maka asapnya membubung keluar lewat kolong mobil. Aku menggebuk keras-keras dasbor dengan tinjuku untuk memeriksa apakah indikatorindikatornya berfungsi, dan tentu saja, pijar merah oli berkedip-kedip. Di tikungan aku memasuki pom bensin, beli sekaleng 1D-W-3D, menuangkan isinya, dan mengecek tingkat oli. Masih rendah, jadi kutambahkan kaleng kedua. Persinggahan berikut, kantor hanya setingkat kurang rumit kujelaskan nenekku yang buta jantung, sehingga keberadaan wanita di
telkom. Membayar tagihan dan berlangganan-ulang ketimbang mendapatkan green card. Alhasil, dan pikun pula sedang sering mengalami serangan telepon diperlukan demi keselamatannya. Kurasa
belakang konter kurang percaya, toh aku dapat poin karena berhasil menghiburnya. Ia berjanji bahwa seseorang akan mengurusnya petang nanti. Beres. Andai Ramirez kembali, aku tinggal menelepon polisi. Dan, aku berniat beli seliter spray antiagresi sebagai bantuan tambahan. Dengan pistol aku memang payah, tapi dengan kaleng aerosol aku jagoannya. Setiba di toko senjata, pijar oli berkedip-kedip lagi. Tak ada asap, jadi kusimpulkan indikatornya barangkali rusak. Dan lagian siapa peduli, aku menolak memboroskan duit lagi demi oli. Mobilku harus menerima keadaan. Nanti saat
menerima $ 10.000 hasil tangkapanku, aku bakal beli oli sebanyak yang kuinginkandan mendorong mobil ini dari atas jembatan. Dalam bayanganku, pemilik toko senjata pastilah raksasa menyeramkan, bertopi bisbol yang mengiklankan perusahaan motor. Dalam bayanganku, mereka bernama Bubba atau Billy Bob. Toko senjata ini dikelola oleh wanita bernama Sunny. Usianya empat puluhan, warna dan tekstur kulitnya mirip cerutu mahal, rambutnya dikeriting dan dicat kuning, dengan suara perokok yang menghabiskan dua bungkus sehari. Ia memakai anting-anting imitasi, jins ketat, dan kukunya dihiasi pohon palem mungil. “Cantik,” pujiku, memandang kukunya. “Hasil karya Maura di Hair Palace. Dia genius soal kuku, dan ia bisa mengerjakan bikini wax yang akan membuatmu segundul bola biliar.” “Harus kuingat.” “Minta saja ketemu Maura. Bilang atas rekomendasi Sunny. Dan, apa yang bisa kulakukan untukmu hari ini? Sudah kehabisan peluru?” “Aku perlu spray antiagresi.” “Yang jenis apa?” “Ada lebih dari satu jenis?” “Astaga, iyalah. Kami menyediakan rangkaian lengkap spray antiagresi.” Ia menjangkau rak di sebelahnya dan menarik sejumlah bungkusan plastik. “Ini Mace yang ori-sinil. Selain itu kami punya Pepperguard, alternatif ramah lingkungan yang sekarang dipakai rata-rata departemen kepolisian. Dan, terakhir namun pastinya bukan terbelakang, ada Sure Guard, senjata kimia otentik. Yang ini sanggup merobohkan pria seberat 140 kg dalam hitungan enam detik. Sistem saraflah yang dikerjai. Asal kulitmu kena barang ini, dan kau beku seketika. Tak masalah andai kau sedang mabuk minum atau teler obat. Cukup sesemprot dan semua tuntas.” “Kedengarannya bahaya.” “Tentu saja bahaya.” “Apakah barang ini fatal? Apakah meninggalkan kerusakan permanen?” “Satu-satunya kerusakan permanen bagi korbanmu adalah terkenang-kenang pengalaman yang luar biasa memalukan. Tentu saja menyebabkan kelumpuhan sementara, dan ketika efek itu sirna biasanya ia bakal muntah-muntah dan sakit kepala parah.” “Entahlah. Bagaimana jika aku kena semprot tanpa sengaja?” Ia meringis. “Say, kau harus mengindah kena semprot tanpa sengaja.” “Kedengarannya ribet.” “Sama sekali tidak ribet. Simpelnya, letakkan jarimu di pentol. Astaga, kau ‘kan profesional sekarang.” Ia menepuk-nepuk tanganku. “Ambil Sure Guard. Kau tak mungkin mengacau.” Aku tidak merasa profesional. Aku merasa idiot. Aku pernah mengkritik pemerintah-pemerintah asing yang menggunakan senjata kimia dan di sinilah aku membeli gas saraf dari seorang perempuan yang menge-wax seluruh bulu pubisnya. “Sure Guard tersedia dalam berbagai ukuran,” bujuk Sunny. “Punyaku model gantungan kunci 17 gram. Dilengkapi kait lekas-lepas dari baja tahan karat,
sarung kulit yang menarik dalam tiga pilihan warna.” “Wow, tiga warna.” “Cobalah dulu di luar,” anjur Sunny. “Pastikan kau menguasai cara pakainya.” Aku melangkah keluar, merentangkan lengan lurus-lurus, dan menyemprot. Angin berembus, aku lari ke dalam dan mencampakkan pintu. “Angin itu memang suka jahat,” keluh Sunny. “Barangkali kau harus keluar lewat gang belakang. Silakan, lewat rak pistol.” Kuturuti sarannya, dan begitu sampai di jalan aku terbirit-birit ke mobil dan menghambur masuk, khawatir butir-butir Sure Guard masih beterbangan, menunggununggu saat untuk menyerang sistem sarafku. Kuselipkan kunci starter dan berusaha keras tidak kalut oleh fakta bahwa aku punya gas airmata bertekanan di bawah 60 kg per sentimeter persegi, yang dalam otakku dieja bom saraf, terbuncang-buncang di sela kedua lututku. Mesin menyala dan kerlip oli muncul lagi, tampak sangat merah dan rada bergetar. Bangsat. Ambil nomor dulu, batinku. Dalam daftar masalah-masalah yang harus kutangani, oli bahkan belum masuk peringkat sepuluh besar. Akumembaur dengan lalu-lintas dan sengaja tidak melirik spion untuk mengecek keberadaan gumpalan kabut. Carmen tinggal beberapa blok dari Stark Street. Bukan kawasan yang hebat, toh bukan juga yang paling parah. Gedungnya dari bata kuning dan kelihatannya perlu digosok bersih-bersih. Empat lantai. Tanpa lift. Ubin retak-retak di selasar sempit lantai dasar. Apartemennya di lantai dua. Aku sudah berkeringat tatkala mencapai pintu. Pita kuning TKP telah ditanggalkan, namun sebuah gembok terpasang. Ada dua apartemen lain di lantai itu. Aku mengetuk pintu masing-masing. Di apartemen pertama tak ada orang. Seorang wanita Hispanik, Ny. Santiago, akhir 40-an awal SD-an, menyambutku di pintu kedua. Ia menggendong bayi di pinggul. Rambutnya yang hitam dijalin ke belakang dengan rapi, wajahnya tembem. Ia dibalut jubah kamar dari katun biru dan selop kamar dari bahan handuk. Televisi berdengung di dalam apartemen yang temaram. Kulihat dua sosok kepala kecil menghadap layar. Kuperkenalkan diri dan menyodorkan kartu nama. “Entah apa lagi yang bisa kuceritakan,” tuturnya. “Si Carmen tinggal belum lama tinggal di sini. Tak seorang pun kenal padanya. Dia pendiam. Tertutup.” “Kau pernah melihatnya semenjak penembakan?” “Belum.” “Kautahu kira-kira dia ke mana? Teman? Saudara?” “Aku tidak mengenalnya. Tak ada yang kenal. Mereka bilang dia kerja di bar … Step In di Stark Street. Barangkali di sana ada yang kenal dia.” “Kau di rumah pada malam penembakan itu?” “Ya. Sudah larut, dan Carmen menyetel televisi kencang sekali. Belum pernah kudengar ia menyetel selantang itu. Kemudian seseo rang menggedor pintu Carmen. Laki-laki. Ternyata dia polisi. Kurasa dia terpaksa menggebrak, sebab tak ada yang dapat mendengarnya di balik suara televisi. Lalu tembakan pistol. Saat itulah aku menelepon polisi. Aku memanggil polisi, dan ketika kembali ke pintu depan terjadi kegaduhan di selasar, jadi aku mengintip keluar.” “Dan?” “Dan John Kuzack ada di sana, berikut sejumlah tetangga. Di sini kami saling menjaga. Kami bukan macam orang-orang yang belagak tak mendengar apa-apa. Itu sebabnya di sini tak ada obat bius. Kami tak pernah kena masalah seperti itu. John bertumpu di atas si polisi waktu aku memandang keluar. John tidaktahu lakilaki itu polisi. John hanya melihat seseorang mati ditembak di selasar Carmen, dan laki-laki satunya itu memegang senjata, jadi John turun tangan.” “Terus apa yang terjadi?”
“Betul-betul ricuh. Banyak sekali orang. Semua ingin tahu apa yang terjadi, ngerti ‘kan? Mereka berusaha menolong pria yang tewas, namun tak ada gunanya. Ia sudah tewas.” “Dengar-dengar ada dua pria di apartemen Carmen. Kaulihat pria kedua itu?’ “Kurasa iya. Ada seorang pria yang tidak kukenali. Belum pernah lihat. Kurus, berambut gelap, berkulit gelap, 30-an, mukanya aneh. Seperti habis digebuk pakai penggorengan. Hidungnya sama sekali rata. Itu sebabnya kuingat dia.” “Apa yang terjadi dengannya?” Ia mengedikkan bahu. “Entah. Kurasa dia pergi begitu saja. Seperti Carmen.” “Barangkali aku perlu bicara pada John Kuzack.” “Dia tinggal di 4B. Biasanya di rumah. Dia belum dapat pekerjaan.” Kuucapkan terima kasih dan mendaki dua rangkaian tangga lagi, bertanya-tanya orang macam apa yang mau serta sanggup merebut senjata dari Morelli. Aku mengetuk pintu 4B dan menunggu. Aku mengetuk ulang, dengan kekuatan yang bisa meremukkan jemariku. Pintu dibuka dengan kasar dan pertanyaan “orang macam apa” segera terjawab. John Kuzack bertinggi 190 cm, dengan bobot sekitar 110 kg, rambut kelabunya diekor kuda, dan punya tato ular senduk di dahi. Di tangannya ada TV Guide dan di tangan satunya kaleng bir. Aroma ganja yang menyenangkan menyeruak dari apartemennya yang berkabut. Veteran perang Vietnam, batinku. Penerbang. “John Kuzack?” Ia terjereng-jereng menatapku. “Ada yang bisa ku-bantu?” “Aku sedang melacak Joe Morelli. Aku berharap kau dapat menceritakan sesuatu tentang Carmen Sanchez.” “Kau polisi?” “Aku kerja untuk Vincent Plum. Ia yang menjamin Morelli.” “Aku tidak begitu kenal Carmen Sanchez,” akunya. “Aku sering berpapasan dengannya. Kadang-kadang bilang halo. Dia kelihatan cukup ramah. Aku sedang naik tangga saat mendengar tembakan itu.” “Ny. Santiago, di lantai dua, berkata bahwa kau melumpuhkan pria yang bersenj ata.” “Yeah. Aku tak tahu dia polisi. Yang kutahu, dia nembak seseorang dan masih memegang senjata. Banyak sekali orang mendatangi selasar, dan dia melarang mereka semua mendekat. Kusangka situasinya buruk, jadi aku menghajarnya dengan sekrat bir. Langsung beku di tempat.” Sekrat bir? Aku nyaris terbahak-bahak. Laporan kepolisian menyatakan Morelli dihantam dengan benda tumpul. Tidak disebut-sebut soal bir. “Tindakanmu berani sekali.” Ia meringis. “Gila, ini tak ada kaitannya dengan keberanian. Ia sedang memunggungiku.” “Kautahu bagaimana nasib Carmen?” “Enggak. Kurasa dia kabur di tengah keributan itu.” “Dan sejak itu kau tak melihatnya?”
“Enggak.” “Bagaimana dengan saksi pria yang hilang itu? Ny. Santiago bilang ada pria dengan hidung gepeng …” “Aku sempat lihat dia, tapi cuma itu.” “Kau bakal mengenalinya andai ketemu lagi?” “Kemungkinan besar.” “Menurutmu ada orang lain di gedung ini yang barangkali tahu soal pria hilang itu?” “Edleman satu-satunya orang yang betul-betul memperhatikan pria itu.” “Apakah Edleman penghuni sini?” “Edleman dulunya penghuni sini. Dia ditabrak mobil pekan lalu. Tepat di muka gedung. Tabrak lari.” Perutku bergejolak seketika. “Kau tidak berasumsi kematian Edleman terkait dengan pembunuhan Kulesza Śkan?” “Kita takkan pernah tahu.” Kuucapkan terima kasih pada Kuzack atas waktunya dan menuruni tangga perlahanlahan, menikmati perasaan melayang dari asap tadi yang mengandung efek samping. Sudah dekat ke tengah hari, dan semakin gerah. Pagi tadi aku berangkat dengan tumit tinggi dan setelan, mencoba tampak terhormat dan mengundang rasa percaya. Aku telah menurunkan jendela-jendela dan meninggalkannya dalam keadaan begitu sewaktu turun di parkiran depan gedung Carmen, setengah berharap mobilku akan dicuri. Tak seorang pun melakukannya, jadi kuempaskan diri di balik kemudi dan melahap habis Fig Newtons yang kucolong dari lemari Ibu. Infomasi yang kudapat dari tetangga-tetangga Carmen kurang banyak, toh setidaknya aku tidak dianiaya atau terjungkal dari puncak tangga. Berikutnya dalam daftarku, apartemen Morelli. Aku menghubungi Ranger untuk minta bantuan, sebab aku terlalu ciut untuk mengerjakan pembobolan dan masuk ke sana sendirian. Setiba parkiran, Ranger sudah menungguku. Pakaiannya serba hitam. Kaus tanpa lengan hitam dan celana kamuflase hitam. Ia bersandar pada sebuah Mercedes hitam kinclong yang antenanya pasti dapat menjangkau Mars. Aku parkir cukup jauh agar limbah asapku tak menggerogoti cat mobil itu. “Mobilmu?” tanyaku, seolah-olah ada kemungkinan punya orang lain. “Hidupku penuh berkah.” Ia mengerling ke Novaku. “Bagus juga lukisannya,” sindir Ranger. “Kau baru dari Stark Street?” “Ya, dan mereka nyuri radioku.” “Heh, heh, heh. Baik sekali dirimu, menyumbang bagi kaum yang kurang beruntung.” “Aku berniat menyumbang keseluruhan mobil, tapi tak ada yang menginginkannya.” “Walaupun berani gila bukan berarti bocah-bocah itu tolol.” Dagunya menunjuk ke arah apartemen Morelli. “Rupanya tuan rumah sedang pergi, jadi tur kita terpaksa berjalan tanpa pemandu.” “Apakah ini ilegal?” “Buset, enggaklah. Hukum memihak kita, Say. Pemburu buron boleh melakukan apa saja. Malah, kita tidak perlu surat perintah geledah.” Ia meliliti pinggangnya dengan sabuk senjata dari jaring nilon hitam dan menyelipkan sebuah Glock 9 mm di baliknya. Ia mencantoli sabuk itu dengan sepasang borgol dan mengenakan jaket hitam gombrong yang dulu dipakainya saat pertemuan pertama kami di kafe. “Bukannya berharap Morelli ada di rumah,” ungkapnya, “tapi siapa tahu. Kita
harus siap untuk segala kemungkinan.” Barangkali semestinya aku juga mengambil langkah antisipasi seperti itu, tapi sulit kubayangkan diriku dengan pantat pistol menyembul keluar dari pinggang rok. Lagian, itu pencegahan yang percuma, sebab Morelli tahu aku takkan berani menembak dia. Ranger dan aku melintasi pelataran dan berderap di jalur beratap menuju apartemen Morelli. Ranger menggedor pintu dan sejenak menunggu. “Ada orang di rumah?” bentaknya. Tak ada jawaban. “Sekarang gimana?” tanyaku. “Mau masuk dengan nendang pintu?” “Jangan. Sok macho tapi hasilnya malah patah kaki.” “Kau akan mencongkel lubang kunci? Pakai kartu kredit?” Ranger geleng-geleng. “Kebanyakan nonton TV.” Ia mengeluarkan sebuah kunci dari saku dan menjejalinya ke lubang. “Aku minta kunci sama penjaga sambil menunggumu datang.” Apartemen Morelli terdiri atas ruang duduk, pojok makan, dapur sempit, kamar mandi, kamar tidur. Lumayan bersih dan sedikit furnitur. Sebuah meja ek persegi, empat kursi bersandaran terali, sofa empuk yang nyaman, meja kopi, serta sebuah kursi kulit. Di ruang duduk terdapat perangkat stereo mahal dan di kamar tidur sebuah TV kecil. Ranger dan aku menggeledah dapur, mencari buku alamat, menilik tagihan-tagihan yang ditumpuk acak di de-pan pemanggang. Mudah membayangkan Morelli pulang ke apartemen ini, menggeletakkan kunci di atas bufet dapur, menendang lepas sepatunya, membaca surat-surat. Gelombang penyesalan melandaku saat kusadari ada kemungkinan bahwa Morelli takkan pernah lagi bebas menikmati ritual-ritual sederhana macam ini. Ia telah membunuh seorang pria dan dengan berbuat demikian sekaligus mengakhiri hidupnya sendiri. Tindakan yang sungguh sia-sia. Bagaimana ia bisa begitu goblok? Bagaimana ia bisa terjerumus kekacauan mengerikan ini? Bagaimana hal seperti ini bisa menimpa orang? “Tak ada apa-apa di sini,” gerutu Ranger. Ia menekan tombol mesin penjawab Morelli. “Hi, Seksi,” desah mesra suara perempuan. “Ini Carlene. Telepon balik ya.” Bip. “Joseph Anthony Morelli, ini ibumu. Kamu di sana? Hallo? Hallo?” Bip. Ranger membolak mesin itu dan menyalin kode pengaman dan kode pesan khusus. “Dengan catatan angka-angka ini, kaudapat mengakses pesan-pesannya dari telepon luar. Moga-moga muncul petunjuk baru.” Kami pindah ke kamar tidur, mengais laci-laci, membuka-buka semua buku serta majalah, mencermati segelintir foto di atas meja rias. Foto-foto keluarga. Tak berguna. Bukan foto Carmen. Sebagian besar laci-lacinya telah dikosongkan. Ia membawa seluruh kaus kaki dan pakaian dalamnya. Sayang sekali. Tadinya aku tak sabar ingin melihat celana dalam Morelli. Alhasil, kami balik ke dapur. “Tempat ini bersih,” Ranger menyimpulkan. “Nggak bakalan nemuin apa-apa yang menolong di sini. Dan aku meragukan ia akan kembali. Sepengamatanku ia sudah mengangkut semua keperluannya.” Ia mencomot serenceng kunci dari gancu kecil di dinding dapur dan menjatuhkannya ke tanganku. “Pegang aja. Tak ada gunanya mengganggu si penjaga kalau kaumau datang lagi.”
Kami mengunci apartemen Morelli dan menyusupkan kunci master milik si penj aga lewat celah di pintunya. Ranger mengempaskan tubuhnya ke dalam Mercedes, mengenakan kacamata hitam berbias, menguak sun roof, memasang lagu dengan bas membahana, dan melesat keluar pelataran kayak Batman. Kuembuskan napas pasrah dan memandang Novaku. Mobil itu mencecerkan oli ke aspal. Dua ruas parkir darinya, Jeep Cherokee baru berwarna merah dan emas milik Morelli berkilauan ditimpa matahari. Bisa kurasakan rencengan kuncinya bergelayut di jemariku. Satu kunci rumah dan dua kunci mobil. Menurutku, tak ada salahnya melihat dari dekat. Jadi, aku menguak pintu Cherokee dan melongok ke dalam. Wanginya masih baru. Panel instrumen bebas-debu, karpet-karpet baru disedot dan tak bernoda, bantalan merah mulus dan sempurna. Mobil ini berpintu lima, four wheel drive, dan tenaga kuda yang cukup untuk membuat seorang lakilaki bangga. Lengkap dengan AC, radio Alpine dan pemutar kaset, radio pemancar polisi, telepon selular, dan CB scanner. Ini mobil dahsyat. Dan milik Morelli. Sepertinya kurang adil, seorang peleceh hukum macam dia punya mobil sehebat ini sedangkan punyaku cuma rongsokan. Barangkali mumpung aku sudah membuka mobilnya, sekalian saja kunyalakan untuk dia. Tak baik buat mobil, hanya didiamkan dan tidak dikendarai. Semua orang juga tahu. Kutarik napas dalam-dalam dan dengan hati-hati duduk di balik kemudi. Aku mengatur posisi kursi dan kaca spion. Tanganku meletak di atas kemudi dan mengetes rasanya. Aku mampu menangkap Morelli andai punya mobil seperti ini, kuyakinkan diri. Aku cerdik. Aku gigih. Yang kubutuhkan cuma mobil. Aku bertanya-tanya apakah aku perlu menyetirnya. Mungkin sekadar menyalakannya belum cukup. Mungkin mobil ini perlu jalan-jalan mengitari blok. Mungkin yang lebih baik lagi, aku mesti mengendarainya selama satu-dua hari biar betul-betul nggak ngadat. Oke, siapa yang ketipu? Aku sedang menimbang-nimbang untuk mencuri mobil Morelli. Bukan mencuri, ralatku. Menyita. Lagian, aku ini pemburu buron, dan kemungkinan besar boleh menyita sebuah mobil dalam keadaan darurat. Aku mendelik ke arah Nova. Di mataku, keadaannya cukup darurat. Ada keuntungan lain nyolong mobil Morelli. Aku hampir yakin dia takkan senang. Dan bila kedongkolannya cukup hebat, barangkali ia bakal bertindak bodoh yaitu datang untuk merebutnya. Aku menstarter mobil dan berusaha mengabaikan jantungku yang berdegup-ganda. Rahasia sukses seorang pemburu buron adalah mampu memanfaatkan momen, batinku. Fleksibilitas. Adaptasi. Gagasan kreatif. Semua atribut yang dibutuhkan. Dan, tak ada salahnya sedikit nekat. Berkali-kali aku menghirup dan mengembuskan napas lambat-lambat agar tidak mengalami hiperventilasi sehingga mengalami tabrakan dengan mobil curianku yang pertama. Masih tinggal satu tujuan dalam rencana perjalanan hari ini. Aku harus mengunjungi Step In Bar and Grill, tempat kerja terakhir Carmen yang diketahui. Step In berlokasi di bagian Stark Street yang lebih rawan, dua blok dari gym. Aku berdebat sendiri mengenai perlunya pulang dulu ganti bajuyang lebih santai, kemudian memutuskan untuk tetap memakai setelan ini. Apa pun busananya, aku takkan bisa kelihatan membaur dengan pengunjung-pengunjung tetap bar tersebut. Aku dapat parkir setengah blok dari sana. Aku mengunci pintu, menempuh jarak pendek ke bar itu dan mendapatinya tutup. Pintunya digembok. Jendela-jendela dipalang. Tanpa penjelasan. Aku tidak terlalu kecewa. Semenjak insiden di gym, aku tak begitu kepengen menyerobot masuk ke benteng maskulin Stark Street lainnya. Aku bergegas kembali ke Cherokee dan berkendara bolak-balik sepanjang Stark Street dengan harapan melihat Morelli. Pada lintasan kelima, aku merasa tua di jalan dan bensin tinggal sedikit, jadi aku menyerah. Aku menggeledah laci dasbor, mencari kartu kredit tapi tidak ada. Hebat. Kehabisan bensin. Kehabisan duit tunai. Kehabisan duit plastik. Jika mau bertahan mengejar Morelli, aku perlu ongkos kebutuhan dasar. Tak mungkin aku menyambung hidup dari hari ke hari. Vinnie-lah jawaban paling tepat
atas masalahku. Vinnie harus menalangi pengeluaran-pengelu-aranku dulu. Di lampu merah aku berhenti sembari meneliti telepon Morelli. Aku menyalakannya dan nomor Morelli berkelip di layar. Gampang banget. Kukira sebaiknya aku memonopoli seluruh fasilitasnya. Kenapa juga berhenti pada pencurian mobil? Sekalian saja bikin tagihan telepon Morelli melonjak. Kuhubungi kantor Vinnie, dan Connie yang menyahut. “Vinnie ada?” tanyaku. “Yeah,” balasnya. “Dia bakal di sini sepanjang siang.” “Sepuluh menit lagi aku nyampe sana. Aku perlu bicara padanya.” “Kau menggrebek Morelli?” “Tidak, tapi aku menyita mobilnya.” “Ada sun roof-nya nggak?” Aku mengerling ke atas. “Tanpa sun roof.” “Payah.” Kusudahi telepon dan menikung ke Southard, berusaha memutuskan jumlah pembayaran di muka yang masuk akal. Uang itu harus cukup untuk membiayaiku selama dua pekan. Dan bila bermaksud mengejar Morelli pakai mobilnya, aku harus memasang sistem alarm. Mustahil terus-terusan jagain mobil ini, dan jangan sampai Morelli merampasnya dariku di saat aku tidur, pipis, atau ke pasar. Aku sedang menghitung-hitung ketika telepon berdering, dengung ‘brrrrp’ pelan itu nyaris membuatku nerjang trotoar. Sensasi yang aneh. Ibarat kepergok nguping, atau bohong, atau duduk di atas kloset dan tiba-tiba keempat tembok kamar mandi jatuh merebah. Aku dihantam desakan irasional untuk segera menepi dan tunggang-langgang menjauhi mobil sambil menjerit-jerit. Dengan waspada kutempelkan corong ke telinga. “Hallo?” Jeda sebentar, lalu suara wanita terdengar. “Aku mau bicara dengan Joseph Morelli.” Olala. Ternyata Momma Morelli. Kayak masalahku belum cukup aja. “Joe sedang tidak berada di tempat.” “Ini siapa?” “Aku teman Joe. Ia berpesan agar aku mengendarai mobilnya sekali-sekali.” “Bohong,” dampratnya. “Aku tahu dengan siapa aku bicara. Aku bicara dengan Stephanie Plum. Aku hafal suaramu. Apa yang kaulakukan di mobil Josephku?” Tak seorang pun memancarkan sikap merendahkan seperti Momma Morelli. Andai yang di ujung telepon sana ibu-ibu biasa, aku bakal menjelaskan atau minta maaf, tapi ibunda Morelli membuatku ngeri setengah mampus. “Apa?” pekikku. “Aku tak bisa mendengarmu. Apa? Apa?” Kubanting corong itu dan memencet tombol untuk mematikan pesawat telepon. “Bagus sekali,” gumamku sendiri. “Sangat dewasa. Sangat profesional. Betul-betul berpikir tangkas.” Aku parkir di Hamilton dan berolahraga gerak jalan sejauh setengah blok menuju Vinnie. Aku memompa semangat untuk konfrontasi sebentar lagi, memacu adrenalin, meningkatkan level energiku. Aku menghambur masuk kantor bak Wonder Woman, mengacungkan jempol pada Connie, dan melesat lempeng ke ruangan Vinnie. Pintu
terbuka. Vinnie duduk di balik meja, tunduk menekuri buletin balap kuda. “Hei,” sapaku. “Lancar?” “Ah tai,” umpat Vinnie. “Apa lagi sekarang?” Inilah yang kusuka dari keluarga kami. Betapa dekat, betapa hangat, betapa santun hubungan kami. “Aku minta pembayaran di muka. Banyak pengeluaran terkait dengan misiku.” “Pembayaran di muka? Kau becanda? Ini lelucon Śkan?” “Bukan lelucon. Aku bakal dapat $ 10.000 begitu meringkus Morelli. Aku minta $2.000 uang muka.” “Kalau neraka sudah beku. Dan jangan kira kau bisa memerasku lagi. Kau ngadu ke istriku, dan aku pasti mampus. Coba aja ngemis kerjaan ke laki-laki yang udah mati, dasar sok pinter.” Betul juga dia. “Oke, jadi pemerasan tak ada gunanya. Bagaimana dengan kemarukan? Kau mengucurkan $2.000 sekarang, dan aku takkan minta bagian 10%-ku seutuhnya.” “Gimana kalau kau gagal menggrebek Morelli? Pernah mikir ke sana?” Hanya setiap menit dalam hidupku. “Aku pasti berhasil.” “Uh huh. Maaf, aku tidak seoptimis itu. Dan ingat, aku menyetujui kegilaan ini cuma untuk seminggu. Kau masih punya 4 hari. Jika kau belum geret si Morelli Senin depan, akan kuserahkan pada orang lain.” Connie nimbrung masuk. “Ada masalah apa? Stephanie butuh duit? Kenapa tidak kasih Clarence Sampson saja padanya?” “Siapa Clarence Sampson?” lontarku. “Salah seorang anggota keluarga pemabuk-pemabuk kami. Sebagian besar waktu dia anteng-anteng saja. Tapi, dia sering kambuh melakukan hal tolol.” “Semisal?” “Semisal mengemudi dengan 150 kadar alkohol dalam darah. Pada kesempatan ini dia ketiban sial, menghancurkan sebuah mobil patroli.” “Dia nabrak patroli?” “Tidak juga,” decak Connie. “Ia mencoba menyetir mobil polisi itu. Ia nyungsep ke dalam toko minuman keras di State Street.” “Kalian punya foto oknum ini?” “Aku punya berkas setebal dua inci dengan foto-fotonya semenjak dua dekade terakhir. Saking seringnya kami menangai jaminan Sampson, aku sampai hafal nomor jaminan sosialnya di luar kepala.” Aku mengekornya ke luar ruangan Vinnie dan menunggu sementara ia memilah-milah segunung map manila. “Rata-rata agen penggrebek kami mengerjakan beberapa kasus sekaligus,” tutur
Connie. “Cara ini lebih efisien.” Ia menyodorkan selusin map padaku. “Mereka para TYTM yang sedang ditangani Morty Beyers untuk kami. Ia bakal absen lama, jadi ada baiknya kau mengambil-alih dulu. Ada beberapa yang lebih mudah ketimbang lainnya. Hafalkan saja nama-nama dan alamat-alamat dan ringkus mereka berdasarkan foto-foto ini. Kita tak pernah menduga kapan kita beruntung. Pekan lalu Andy Zabotsky sedang mengantre beli ayam goreng dan mengenali pria di depannya sebagai TYTM. Tangkapan yang bagus pula. Pengedar. Kami menghemat $30.ODD.” “Aku baru tahu kalian juga menjamin pengedar narkoba,” ungkapku. “Kukira kalian hanya menangani penjahat kelas teri.” “Bandar narkoba tidak menyusahkan,” ejek Connie. “Mereka tak suka meninggalkan daerah ini. Mereka punya klien. Mereka menghasilkan banyak uang. Jika ada yang menghilang, biasanya kau bisa mengandalkan mereka untuk muncul lagi.” Lengan mengepit map-map itu, aku berjanji akan membuat fotokopi dan mengembalikan aslinya pada Connie. Kisah tentang ayam tadi sungguh inspiratif. Bila Andy Zabotsky bisa meringkus penjahat di resto ayam, coba bayangkan potensiku pribadi. Aku selalu melahap makanan sampah macam itu. Bahkan, aku menyukainya. Barangkali karier pemburu buron ini akan berhasil. Seusai membereskan utang-utangku nanti, aku tinggal menyambung hidup dengan mengumpulkan orang-orang seperti Sampson dan sekali-kali menggrebek resto cepat aji. Aku mendorong pintu depan dan tercekat akibat perubahan dari ruang ber-AC ke luar. Suhu telah meningkat dari cerah ke panas mencekik. Udara lembab dan menyesakkan, langit mendung. Matahari menyengat bagian-bagian kulit yang terbuka, dan aku mendongak seraya menghalau mataku, setengah berharap melihat lubang ozon menganga di atasku bak mata raksasa bermata satu menembakkan sinarsinar maut radioaktif apalah. Aku tahu lubang itu sebenarnya menggantung di atas Antartika, tapi menurutku logis jika cepat atau lambat akan bergeser ke Jersey. Jersey memproduksi urea formaldehyde dan menampung sampah lepas pantai New York. Kubuka pintu Cherokee dan beringsut ke belakang kemudi. Menangkap Sampson takkan menerbangkanku ke Barbados, toh tetap bisa mengisi kulkasku dengan sesuatu yang tidak basi. Dan yang lebih penting, sebagai pengalaman buatku menjalani langkahlangkah misi sergapan. Ketika Ranger mengantarku ke kantor polisi untuk mendapatkan izin kepemilikan senjata, ia sempat menjelaskan prosedur tersebut padaku, namun aku belum pernah terjun langsung ke lapangan. Aku menyalakan telepon mobil dan memijit nomor rumah Clarence Sampson. Tak dijawab. Tak ada catatan nomor telepon tempat kerjanya. Data kepolisian mencantumkan alamatnya di SS05S Limeing Street. Aku kurang familier dengan Limeing Street, jadi kucari di peta dan mendapati Sampson tinggal dua blok dari Stark, dekat gedung-gedung pemerintahan. Foto Sampson sudah ku-rekatkan di dasbor, dan setiap detik membandingkannya dengan laki-laki yang kulewati sembari berkendara. Connie menganjurkan agar aku mendatangi bar-bar kumuh sepanjang Stark. Dalam daftar hal-hal favoritku, menghabiskan happy hour di Rainbow Room yang letaknya di pojok Stark dan Limeing berada tepat di bawah memotong kedua jempolku dengan pisau tumpul. Menurutku, nongkrong dalam Cherokee terkunci saja dan mengawasi jalan akan sama efektifnya dan memangkas bahaya. Andai Clarence berada dalam salah satu bar itu, cepat atau lambat ia bakal keluar. Perlu keliling beberapa kali sebelum aku menemukan petak parkir yang kusukai di sudut Limeing dan Stark. Pemandangan yang bagus ke Stark, sekaligus bisa melihat setengah blok Limeing. Aku sedikit menonjol dalam balutan setelan, ditambah kulit putihku dan mobil merah gede ini, toh tak seberapa dibandingkan melenggang sok cuek masuk ke Rainbow Room. Aku menguak jendela sedikit dan duduk merosot di kursi, berusaha nyaman.
Seorang bocah berambut lebat dan emas senilai $700 yang melingkari lehernya berhenti dan memandangiku, dua konconya berdiri tak jauh. “Hei say,” sapanya. “Ngapain kamu di situ?” “Nungguin orang,” balasku. “Oh yah? Cewek secakep kamu seharusnya nggak boleh disuruh nunggu.” Salah seorang konconya mendekat. Mulutnya meniru suara-suara isapan dan melambai-lambaikan lidah padaku. Saat merasa telah berhasil menarik perhatianku, ia menjilat jendelaku. Aku mengobok-obok tas sampai menemukan pistol dan spray-ku. Kugeletakkan keduanya di dasbor. Setelah itu, orang-orang berhenti dan menatapku sesekali, namun mereka tidak berlama-lama. Pukul lima, aku sudah tidak betah, dan rok rayonku kusut-masai di bagian lipatan paha. Aku sedang melacak Clarence Sampson, toh yang kupikirkan Joe Morelli. Dia berada di suatu tempat dekat-dekat sini. Bisa kurasakan di kawah perutku. Ibarat arus listrik rendah yang berdengung di bagian dalam kudukku. Dalam benak kulihat diriku menunaikan sergapan itu. Skenario termudah adalah dia sama sekali tidak melihatku, sebab aku datang dari belakang dan langsung menyemprotnya. Andai tidak mungkin, aku akan harus bicara padanya dan menunggu saat yang tepat untuk menyemprot. Begitu dia terkapar di tanah dan tak berdaya, aku tinggal memborgolnya. Sehabis memborgol dia, aku akan merasa lebih tenang. Pukul enam, aku sudah melakukan sergapan dalam benakku sekitar empat puluh dua kali dan sudah siap mental. Pukul enam tiga puluh, semangatku di titik terendah, dan aku sudah setengah pulas. Aku melemaskan otot sebisanya dan mencoba isometri. Aku menghitung mobil-mobil lalu-lalang, mengumandangkan lirik himne kebangsaan, dan lambat-lambat membaca daftar ingre-dien pada sebungkus permen karet yang kutemukan dalam tasku. Pukul tujuh, aku menelepon layanan jam untuk memastikan jam mobil Morelli tepat waktu. Aku tengah mengutuk diri karena jenis kelamin maupun warna kulitku salah untuk beroperasi secara efektif di hampir separuh kawasan Trenton, ketika seorang pria sesuai deskripsi Sampson terhuyung-huyung keluar Rainbow Room. Kucermati foto di dasbor. Melirik pria itu lagi. Cermati foto dasbor lagi. Aku 90% yakin dialah Sampson. Badan besar dan gombyor, kepala kecil tengik, rambut dan janggut gelap, Kaukasia putih. Mirip Bluto. Pasti dia Sampson. Mari hadapi kenyataan, berapa banyak sih pria gempal berkulit putih tinggal di lingkungan ini? Kujejalkan pistol dan spray kembali ke dalam tas, keluar dari parkiran dan melaju sekitar dua blok sampai belok ke Limeing dan mengambil posisi antara Simpson dan rumahnya. Aku parkir dalam deret ganda dan turun dari mobil. Segerombol remaja berdiri ngobrol di sudut, dan dua gadis cilik duduk di undakan dekat situ bersama boneka-boneka Barbie mereka. Di seberang jalan, sebuah dipan compang-camping dengan bantalan merambah keluar telah ditelantarkan di trotoar. Inilah variasi teras versi Limeing Street. Dua pria uzur nongkrong di dipan itu, menatap hampa dan tanpa kata, raut wajah tak beranimasi. Sampson meniti jalanan lambat-lambat, jelas sedang di awang-awang. Seringainya menular. Kubalas senyuman itu. “Clarence Sampson?” “Yup,” cetusnya. “Itu aku.” Kata-katanya belepotan, dan dia bau kecut, seperti baju yang terlupakan selama dua pekan di keranjang cucian. Kuulurkan tangan. “Aku Stephanie Plum. Aku mewakili perusahaan jaminanmu. Kau tak memenuhi panggilan pengadilan, dan kami ingin kau menjadwal ulang.”
Kebingungan membuat alisnya bekerut sejenak, informasi diproses, dan ia sumringah lagi. “Kayaknya aku lupa.” Bukan tipe kepribadian A. Menurutku Sampson tak perlu khawatir kena serangan jantung akibat stres. Naga-naganya Sampson akan mati akibat inersia. Aku melebarkan senyum. “Bukan masalah, sering terjadi kok. Aku bawa mobil …” Aku memberi isyarat ke arah Cherokee. “Jika tak merepotkan, aku ingin mengantarmu ke markas polisi, dan kita tinggal mengurus beberapa dokumen.” Ia menatap melewatiku, ke rumahnya. “Entahlah ii Aku menggaet lengannya dan menuntunnya maju. Seperti koboi baik hati menggiring sekawanan binatang bodoh. Percayalah padaku, anjing kecil. “Takkan makan waktu lama.” Cuma tiga minggu, barangkali. Aku memancarkan pesona dan sentosa, menekan payudaraku ke lengannya yang berlemak sebagai insentif tambahan. Aku menuntunnya mengitari mobil dan membukakan pintu penumpang. “Aku sangat menghargainya,” ucapku. Ia mandek di pintu. “Urusannya cuma memperbaharui tanggal sidang ‘kan?” “Yak, betul.” Dan sesudahnya mendekam di sel hingga tanggal itu muncul di kalender. Aku tak bersimpati padanya. Dia bisa saja membunuh orang sewaktu mengemudi dalam keadaan mabuk. Aku membujuknya masuk dan memasangi sabuk pengaman. Aku lari mengitari mobil, melompat naik dan segera ngebut, khawatir bohlam dalam otak kerdilnya tiba-tiba nyala dan dia sadar, aku agen penyergap. Tak terbayang olehku apa yang bakal terjadi begitu kami tiba di kantor polisi. Langkah demi langkah, kuingatkan diriku. Andai dia mulai brutal, tinggal kusemprot pakai gas … mungkin. Ketakutanku tak beralasan. Belum ada seperemp