Sentimental Journey 1 Sebelum muncul pertanyaan, “kenapa tiba-tiba Sentimental Journey,” ada baiknya kujelaskan dulu dari mana asal-mulanya. Semua ini berawal dari event 1 dekade Anthony Ventura. Yeah, aku mengerti bahwa event tersebut berpuncak pada dirilisnya Love Hurts, namun event 1 dekade Anthony Ventura lebih dari sekedar The Chinese Love Story. Cerpen-cerpen berikut ini juga sama pentingnya, kalau bukan lebih penting. Kemudian, dalam Happy Xmas, aku menyinggung beberapa judul yang telah sekian lama tak pernah terlihat lagi. Maksudku, judul-judul seperti Old and New dan Saint of Cookery, sekarang cerpen-cerpen tersebut tak hanya merupakan cerita biasa, namun lebih menyerupai kenangan yang diparodikan. Ini bukan lagi tentang Anthony Ventura, melainkan juga tentang semua yang pernah terlibat. Mereka adalah bagian dari cultural icons yang telah dibangun selama 10 tahun terakhir ini dan mereka mungkin ingin melihat kembali kisah-kisah tersebut. Demikian juga halnya dengan para pembaca baru, mungkin mereka juga ingin tahu. Pada akhirnya aku tergerak untuk mengerjakan Sentimental Journey lagi. Ternyata tak banyak yang kuingat tentang cerpen-cerpen dalam buku ini, sampai hari ini, ketika aku membuka kembali Sentimental Journey dan tergugah secara emosional karenanya. Sentimental Journey sungguh merupakan cerminan dari judulnya: betulbetul sentimental! Aku jadi ingat saat aku menyelesaikan Sentimental Journey, jilid pertama di tahun 2000 dan jilid berikutnya di tahun 2001. Saat itu cerpen-cerpen dalam koleksi ini adalah yang terbaik, karena itu pantas untuk ditampilkan. Sekarang, kalau kau bertanya padaku, aku tidak lagi berpikir bahwa ini adalah kumpulan karya terbaik, tapi jika ada satu kata sifat yang tepat, maka kata itu adalah legendaris. Ini adalah karya-karya pertama. Ini adalah tulisan yang menjadikan Anthony Ventura seperti hari ini. Kau tahu, kurasa terkadang kau harus melihat kembali masa lalu untuk menghargai apa yang telah kau capai hari ini. Visi tersebut akhirnya menghadirkan kembali Sentimental Journey. Namun kalau kau pernah membaca atau bahkan memiliki versi pertama dari koleksi ini, kau akan menyadari bahwa meski 10 cerita yang ditampilkan di sini nyaris sama, isi dan format buku jelas berbeda. Ketika pertama kali dirilis, Sentimental Journey juga mengisahkan petualangan Anthony Ventura, mulai dari dunia komik sampai cerpen. Tapi di sini, di edisi tahun 2007 ini, kau tidak akan menemukan itu. Kalau ditanya mengapa, itu karena Newtown Post edisi November1 sudah mengulas semua itu. Kenapa harus mengulang kisah lama tentang lima tahun pertama kalau artikel sepanjang lima episode sudah membahas perjalanan sepanjang satu dekade? Okay, beberapa fakta yang mendetil memang tidak tercatat dalam artikel Newtown Post, tapi kalau sampai itu terlewatkan, besar kemungkinan bahwa fakta tersebut tidaklah penting. Dan kalau kau membaca buku ini dan menemukan beberapa perubahan dalam koleksi ini bila dibandingkan dengan versi original-nya, maka itu adalah perubahan yang disengaja. Ingat kembali ketika aku menyinggung tentang Crisis on AV Universe. Okay, sampai sejauh ini memang belum terlihat realisasinya –kecuali kalau The Chinese Love Story 1½ yang separuh jadi bisa dianggap sebagai peletakan batu pertama– tapi ide dasar untuk itu sudah ada. 1
Hingga saat koleksi ini dirilis, artikel yang dimaksud bisa di-download di http://anthonyventura.tripod.com. Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Setelah satu dekade, setelah Jagad Raya Kalbe, setelah Happy Campus, Newtown City dan sebagainya, aku jadi berpikir untuk menarik satu garis lurus dalam cerita-cerita yang berbeda untuk menjadikannya sebagai suatu kesinambungan. Bagaimana caranya? Well, Crisis adalah jawaban untuk pertanyaan tersebut. Dengan Crisis, aku jadi punya kesempatan untuk memperbaiki beberapa kesalahan di masa lalu –ini bersifat pribadi dan aku tidak akan menjelaskannya padamu, tapi kau akan mengerti kalau kau jeli– dan juga menjelaskan bagaimana suatu karakter, misalnya Endrico, bisa muncul berulang-ulang dalam cerita yang berlainan. Itu adalah satu gambaran abstrak. Aku tidak berharap bahwa kau akan memahaminya sekarang, tetapi apa yang ingin kukatakan adalah Sentimental Journey versi 2007 ini merupakan event setelah Crisis. Dengan kata lain, mulai sekarang, cerita-cerita dalam koleksi ini yang akan dipakai bilamana terjadi cross-over. Setelah satu lingkaran penuh selama sepuluh tahun, kita mulai lagi dari awal. Semakin bingung? Well, itu adalah Crisis. Namun ini adalah Sentimental Journey. Nikmati saja cerita dalam koleksi ini apa adanya, okay? Peace, love and music,
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
The Chinese Love Story
1
1. The Chinese Love Story Secara pribadi, aku tak pernah berpikir untuk kembali ke Cina lagi. Tapi nyatanya hari ini aku harus kembali. Ada urusan keluarga, dan istriku memintaku untuk mendampinginya. Jadi di sinilah aku, di bandara, dan ketika waktu berganti dengan waktu, aku menemukan diriku sudah berada di dalam pesawat yang sedang lepas landas. Waktu bergulir lagi, perlahan tapi pasti. Kutatap bandara Charles de Gaulle yang semakin lama semakin menghilang dari pandangan. Oh, betapa aku berharap untuk tidak pergi. Tapi setelah sekian lama, mungkin ada baiknya aku kembali. Siapa tahu? Perjalanan dari Perancis ke Cina bukan saja jauh, tetapi juga akan sangat membosankan dan melelahkan. Setelah satu jam perjalanan, banyak penumpang yang terlelap. Ketika aku menoleh, kulihat istriku yang sudah tertidur. Aku tidak menyalahkannya. Seperti yang kukatakan tadi, perjalanan ini akan memakan waktu lama. Hanya berdiam diri dan mengangguk atau menggeleng bila diajak bicara, tak mengherankan bila istriku merasa bosan dan lebih memilih untuk tidur. Sekali lagi, aku tidak menyalahkannya. Aku memang sedang ingin sendiri. Menit demi menit berlalu. Aku sadar bahwa aku semakin dekat dengan Beijing, ibukota Cina yang hirup pikuk sekaligus kota yang menyimpan banyak kenangan di setiap sudut hatiku. Tanpa sadar pikiranku menerawang kembali ke masa silam. Aku kembali terkenang dengan kejadian di masa lalu… *** Cina, 1960… Kehidupan pada saat itu sangat sulit. Cina yang baru saja menerapkan visi Lompatan Jauh Ke Depan yang dilontarkan Presiden Mao semakin mempersulit kehidupan rakyat miskin yang memenuhi seluruh daratan Cina. Banyak di antara mereka yang lari dari daratan Cina karena taraf kehidupan yang teramat sangat buruk. Perkenalkan, namaku Jia-Wen. Aku tumbuh dalam lingkungan seperti itu di Shanghai. Sejak kecil, aku tinggal bersama paman dan bibi yang bekerja sebagai buruh tani. Aku tak sempat mengenali kedua orang tuaku. Menurut paman, ayahku meninggal tiga hari sebelum aku lahir karena kecelakaan di pelabuhan, sedangkan ibu meninggal sewaktu melahirkanku. Paman dan bibi memang menyayangiku, tapi mereka mereka terlalu sibuk bekerja. Aku yang selalu merindukan kehadiran orang tuaku akhirnya sering melewatkan waktu dengan bermain di pelabuhan. Kehidupan kami selalu kekurangan. Untuk itu aku membantu bibi dengan menjual manisan gula-gula yang selalu dibuatnya setiap pagi. Dalam usia yang masih muda, aku sudah dipaksa lingkunganku untuk hidup mandiri. Manisan gula-gula yang dibuat bibi memang enak. Tapi buruh pelabuhan yang kasar terkadang tidak mau membayarnya. Mereka terkadang malah berbalik memarahiku dan bahkan menendangku bila aku meminta bayaran pada mereka. Kalau dipikirkan kembali, kehidupan di Cina pada waktu memang teramat sangat miskin… *** Kehidupan seperti itu terus berlanjut. Terkadang terpikir olehku, haruskah aku menjalani kehidupan ini seumur hidupku? Paman dan bibi, mereka semakin tua, haruskah mereka sengsara hingga meninggal nanti? Cina memang negara komunis, namun kiranya Tuhan tetap ada di Cina. Mungkin karena Dia-lah maka kehidupanku berubah. Suatu hari, tatkala aku sedang menjajakan gula-gula di pelabuhan, aku melihat seorang anak yang seusia denganku Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
The Chinese Love Story
2
tercebur ke dalam sungai. Dia berteriak minta tolong dengan tubuh yang timbul tenggelam. Dari gelagatnya, tampaknya dia sungguh-sungguh tak bisa berenang. Aku tak tega melihatnya dalam kesulitan. Tanpa pikir panjang lagi, aku membuang toples manisan gula-gula dan lekas melompat ke sungai. Untunglah usahaku berhasil. Cegukan sambil menangis, tampaknya dia agak terguncang juga dengan peristiwa yang baru saja dialaminya, tapi setidaknya dia selamat. Aku bersyukur bahwa dia selamat. Tapi… toples yang kulempar tadi ternyata pecah berantakan. Bagaimana aku harus menjelaskannya pada bibi nanti? Beliau pasti sedih melihat manisan gula-gula yang harusnya dijual menjadi tersia-siakan karena kecerobohanku. Hatiku sangat galau. Dengan perasaan tak menentu, aku memungut manisan gula-gula yang telah dikotori debu jalanan itu. Dari kejauhan aku mendengar deru mobil yang menuju ke arah anak itu. Tapi perhatianku kini hanya tertuju pada manisan gula-gula yang kukumpulkan. Bagaimana caranya membersihkan debu yang melekat di makanan ini? Aku sungguh bingung. “Jadi… ini bocah yang telah menyelamatkanmu?” Kudengar suara di belakangku berkata demikian. Kemudian terasa telapak tangan yang menyentuh bahuku. “Nak…” Aku menoleh. Wajah orang tua di hadapanku terkesan ramah sekali. “Nak, terima kasih karena telah menyelamatkan anakku. Siapa namamu?” “Jia-Wen, Tuan.” “Jia-Wen. Kau anak yang baik. Ini sekedar hadiah untukmu,” puji bapak itu sambil menyerahkan dua ratus Yuan. Aku tak pernah melihat uang sebanyak itu sebelumnya. Terus terang, aku agak terkejut juga. Tapi menolong bukanlah untuk mengharapkan imbalan. Aku pun menampik hadiah yang diberikan kepadaku. “Tidak, Tuan. Aku tak bisa menerimanya. Paman selalu mengajarkan kepadaku untuk menolong sesama tanpa mengharapkan pamrih,” demikian aku menuturkan alasanku kepadanya. “Oh?” Bapak itu tampaknya terkesan. Ia merangkul anak laki-lakinya yang telah berhenti menangis itu. “Yi-Lang, Jia-Wen menolak kebaikan kita. Bagaimana ayah harus membalas budinya?” Aku tertegun menatap mereka berdua. Seperti itukah hubungan ayah dan anak? Ayah, seandainya kau ada di sini, akankah kau memperlakukanku seperti itu juga? Aku jadi murung mengingat keadaanku yang yatim piatu. Yi-Lang rupanya mencoba mengartikan kesedihanku. “Ayah, manisan gula-gula yang dijualnya menjadi kotor karena aku. Bagaimana dia harus menjelaskannya pada orang tuanya?” Ah, Yi-Lang salah mengartikannya. Tapi ucapannya ada benarnya juga. Dan ayah Yi-Lang pun memberikan solusi. Mereka akan mengantarkanku pulang untuk menjelaskan kejadian ini pada bibi. Hatiku girang sekali mendengarkan ucapan tersebut. Aku tak mungkin bisa menampiknya kali ini. Pada akhirnya mereka pun mengantarkanku pulang dan… yah, itulah kali pertama aku naik mobil. Suatu pengalaman yang sangat menyenangkan… *** Paman dan bibi sangat terkejut ketika melihat mobil pejabat singgah di depan gubuk kami. Belum apa-apa bibi sudah panik dan menyangkaku mencuri sehingga tertangkap oleh pejabat ini. Dia bahkan sampai lupa dengan manisan gula-gulanya.
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
The Chinese Love Story
3
Akan tetapi ayah Yi-Lang menenangkan mereka dan menceritakan kejadian tersebut apa adanya. Dia mencoba menawarkan sejumlah uang untuk paman, tapi paman ternyata menampiknya. Paman meminta sesuatu hal kepada pejabat itu. Semula aku tidak tahu apa yang dikatakan paman kepada ayah Yi-Lang, namun pada akhirnya aku mengetahuinya. Paman sadar kalau sejumlah uang yang ditawarkan itu takkan bisa mengubah taraf kehidupan kami. Untuk itulah paman meminta kepada ayah Yi-Lang supaya membawaku keluar dari kemiskinan ini dengan jalan dijadikan anak angkat. Dia ingin supaya aku disekolahkan dan menjadi orang pintar agar tidak menjadi buruh tani seperti dirinya. Aku… aku tak tahu harus berkata apa. Paman mengorbankan dirinya dan bibi demi masa depanku. Aku memang yatim piatu, tapi paman dan bibi sudah seperti orang tuaku sendiri. Untuk beberapa saat, aku merasa paman seperti mengusir diriku, tapi kemudian kusadari bahwa pengorbanannya terlampau besar untuk diriku. Mengingat Yi-Lang adalah anak satu-satunya, pejabat itu bersedia mengangkatku sebagai anak. “Lagi pula Yi-Lang memang selalu kesepian. Kukira Jia-Wen akan menjadi teman yang baik untuknya,” tandas ayah Yi-Lang atas usul paman. Yah… peristiwa saat itulah yang mengubah jalan hidupku. Meski sedih dan penuh haru, aku akhirnya meninggalkan paman dan bibi yang telah menjagaku sejak kecil. Bersama keluarga baruku, aku pun berangkat ke Beijing… *** Shanghai sebagai kota pelabuhan memang ramai, tetapi Beijing lebih penuh sesak lagi. Sebelumnya aku tak pernah melihat begitu banyak sepeda berlalu lalang di jalan, namun Beijing benar-benar membuatku takjub. Di kota itulah aku mulai mengenyam pendidikan formal. Ayah Yi-Lang senantiasa menghadirkan guru-guru privat terbaik untuk kami berdua. Dia juga sering membawa kami ke perpustakaan wilayah. Aku sendiri sangat menyukai karya Lao Tze dan Kong Fu Tze (Confucius). Di waktu senggang, Yi-Lang yang baik juga mengajariku banyak hal. Perlu kusebutkan kalau dialah orang pertama yang mengajariku naik sepeda. Yi-Lang dan bibi-bibi dayang juga sangat ramah. Terkadang aku jadi berpikir, dalam kehidupan seperti ini, apakah ada istilah kekurangan? *** Musim semi terus tergantikan dengan musim semi yang baru. Kini aku dan Yi-Lang sudah menginjak usia remaja. Oleh ayah Yi-Lang, kami disekolahkan ke sekolah terbaik di Beijing. Setelah sekian lama belajar di bawah bimbingan guru privat, akhirnya kami merasakan bagaimana sekolah itu sesungguhnya. Kiranya hal ini adalah sesuatu yang luar biasa. Begitu banyak teman-teman. Aku jadi terkenang kehidupanku di Shanghai dulu. Bila bukan karena pengorbanan paman, mungkin aku hanyalah buruh tani pada usia sekarang ini. Terima kasih, Paman… Dari sekian banyak teman, aku dan Yi-Lang paling akrab dengan Xiao-Fen, murid wanita asal Nanking. Ayahnya seorang petani kaya. Dia sendiri seorang gadis yang modern. Di kala teman-teman wanita lain menguncir dan mengepang rambutnya, Xiao-Fen malah membiarkan rambutnya yang panjang tergerai ke bawah. Benar-benar mengagumkan! Persahabatan kami bertiga terus berlanjut dan kian mengental. Yi-Lang yang luwes dalam bergaul tampaknya begitu dekat dengan Xiao-Fen. Mungkinkah mereka berdua saling mencintai? Aku hanya bisa menerka. Aku tak memungkiri bahwa persahabatanku dengan Xiao-Fen juga menghanyutkan aku ke dalam suatu perasaan Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
The Chinese Love Story
4
untuk mencintainya. Tapi dengan keadaanku kini… bolehkah aku mencintai seseorang yang kukagumi? Sulit! Teramat sangat sulit. Aku mesti menyadari siapa diriku. Tanpa bantuan ayah Yi-Lang, aku takkan berada di sini. Lagipula tampaknya Yi-Lang juga tertarik pada Xiao-Fen. Bagaimana aku harus bersikap? Pilihan yang sulit, tapi akhirnya aku memilih untuk mengalah. Aku memusatkan perhatianku pada pelajaran dan selalu berupaya menghindari Xiao-Fen sebisa mungkin. Di kala itu aku berpikir: Xiao-Fen dan Yi-Lang, keduanya anak orang kaya. Tentunya mereka lebih cocok bila bersanding satu sama lain. Aku telah menyangka bahwa itulah hal terbaik yang pernah aku lakukan meskipun aku harus berkorban perasaan. Tapi kenyataannya aku bukanlah satusatunya penentu nasibku. Orang Cina percaya akan takdir yang telah digariskan. Kiranya aku melupakan hal tersebut… *** Suatu ketika di musim gugur tahun 1964…. Hari itu langit tampak mendung. Aku duduk termenung sendiri di ruang belajarku. Buku karangan Meng Tze yang terletak di meja tak mampu membantu mengusir kebosanan yang menghinggapiku. Yah, saat itu keadaan rumah memang sedang sepi. Orang tua Yi-Lang pergi menonton opera klasik Cina sedangkan Yi-Lang sendiri pergi entah ke mana bersama teman-temannya. Para dayang sibuk dengan urusannya masing-masing. Tinggal aku sendirian yang berjuang mengusir kebosanan di dalam diriku. Setelah sekian lama, aku memutuskan untuk pergi berjalan-jalan. Sebuah bakpau ala Guang Dong yang dijual di ujung jalan sana mungkin bisa membantuku mengusir rasa bosan yang ada. Kukenakan kasut di kakiku. Ketika aku membuka pintu, ternyata di depan pintu ada seorang gadis yang telah bersiap-siap mengetuk pintu. Dia adalah… “Jia-Wen, kau hendak pergi?” Dia… Xiao-Fen… aku terdiam sejenak menatapnya. Tentunya dia hendak mencari Yi-Lang. “Jia-Wen?” “Ah, apa? Oh ya, aku memang hendak pergi berjalan-jalan. Yi-Lang sedang pergi. Tapi kukira sebentar lagi dia pulang. Kau bisa menunggunya di…” Xiao-Fen menggeleng. “Yi-Lang selalu ingkar janji. Tidakkah dia berupaya untuk menepati janjinya barang satu kali saja?” Aku sebenarnya hendak tersenyum mendengarkan penuturan Xiao-Fen. “Fen, seharusnya kau mengeluhkan hal ini kepadanya. Kukira dia akan mendengarkanmu.” “Mungkin. Tapi lain kali saja. Jia-Wen, katanya kau hendak berjalan-jalan. Itu berarti kau belum punya tujuan untuk dituju. Bagaimana kalau kau menemaniku untuk berbelanja kain?” Aku kaget. Permintaannya itu… di dalam hatiku, aku ingin sekali. Tapi apa kata orang-orang nanti? “Tapi, Fen. Aku kira itu tidak baik. Bagaimana dengan Yi-Lang?” “Dia berhak untuk berkomentar. Namun hanya komentar sebatas teman karena memang begitulah adanya.” Ucapan Xiao-Fen membuatku tercengang. Sebatas teman? Itu berarti… “Jia-Wen. Kau bersedia menemaniku?” “A-apa? Oh ya, tentu. Dengan senang hati.” *** Beberapa menit kemudian, di pasar kain… Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
The Chinese Love Story
5
Bak-pau ala Guang Dong pun terlupakan. Satu-satunya yang aku pikirkan kini adalah: apa yang harus kukatakan pada Xiao-Fen sekarang ini? Aku tak pandai berbasa-basi. Kami terus berjalan. Xiao-Fen melirik menatapku. “Jia-Wen, kau tampak pendiam hari ini?” “Hah, a-apa? Oh ya, cuaca hari ini memang mendung,” aku menjawab dengan tersendat-sendat. A Fen tertawa. “Ngawur. Apa sih, yang sedang kau pikirkan? Jawabanmu tidak nyambung?” “Oh, begitu? Maaf. Maafkan aku.” “Ah, sudahlah. Kau tidak salah. Kau hanya agak kikuk. Itu saja.” Aku menoleh menatapnya. “Mmm? Lalu, kenapa kau bisa seluwes ini? Maksudku, sikapmu sungguh berbeda dengan gadis pada zaman ini. Pola pikirmu juga. Kau tidak kolot meski tradisi-tradisi yang membesarkan kita terasa sangat mengekang.” “Ah, ini hanya masalah minat membaca saja. Di saat kalian masih terpaku pada ajaran Kong Fu Tze, aku sudah membaca buku-buku John Locke, Voltaire dan sebagainya.” “Voltaire? John Locke? Bukankah buku-buku itu dilarang pemerintah? Katanya buku-buku itu berisikan ajaran sesat.” Xiao-Fen menggeleng. “Buku-buku itu cuma berisikan tentang prinsip kebebasan. Sesuatu yang tabu untuk dibicarakan di negara ini.” “Begitu?” Xia Fen mengangguk. Dia tampak lucu dengan anggukan kepalanya itu. Ia lantas meraih segulung kain sutera hijau dan membentangkannya di tubuhnya. “Kita lupakan dulu pembicaraan kita tadi. Bagaimana pendapatmu tentang kain ini? Cocok tidak bila kujadikan bahan untuk membuat baju?” Aku mengangguk. “Kalau yang ini?” Lagi-lagi aku hanya mengangguk tanpa berkomentar. “Jia-Wen,” tukas A Fen dengan wajah cemberut. “Masa semuanya cocok? Yang benar saja?” Ah, kenapa dia tiba-tiba sewot? Aku tak mengerti. Karena panik, aku lantas berujar sebisaku. “Fen, maaf. Tapi aku benar-benar sulit menilainya. Kau tetap tampak cantik dengan bahan baju apa pun karena… karena kau begitu cantik.” Xiao-Fen tertegun menatapku. Apakah aku salah bicara lagi? Gadis itu akhirnya tertawa. “Kau baru saja berkata seperti seniman besar Tang Bo-Hu. Kau sadar akan hal itu?” “Oh?” Akhirnya aku pun turut tertawa. Xiao-Fen tersenyum. Ia melepaskan gulungan kain itu dan berjalan mendekatiku. Ditatapnya mataku lekat-lekat. “Jia-Wen, kau serius dengan ucapanmu tadi?” “Kiranya tak ada yang salah dengan ucapanku tadi.” Fen tertunduk. “Jia-Wen, aku gembira sekali mendengarnya. Seandainya saja kau bisa menjelaskan kenapa kau selalu meninggalkan aku dengan Yi-Lang…” Gadis ini… dia membuatku kehabisan kata-kata. Haruskah aku berkata yang sebenarnya? “Xiao-Fen, ini sangat sulit bagiku…” “Kalau begitu, ralat ucapanku bila aku salah. Jia-Wen, kau pasti mengira kalau aku dan Yi-Lang saling mencintai sehingga kau selalu menghindariku, bukan?” Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
The Chinese Love Story
6
Aku tak mampu menjawabnya. “Aku mencoba memastikan bahwa ucapanku tadi benar adanya,” lanjut XiaoFen. “Jia-Wen, kau telah salah menilai hubungan kami. Bagaimana pun aku…” Ucapannya terhenti. Ia menengadah dan menatapku tanpa bersuara lagi. Sepertinya ia menantiku untuk mengatakan sesuatu. Dan aku tertawa. Hanya tertawa kecil pada awalnya, namun kemudian jadi terbahak-bahak. Xiao-Fen mengerutkan dahi. “Jia-Wen?” “Aku menertawakan kebodohanku selama ini. Kenapa aku bisa sebodoh ini? Xiao-Fen, aku… seandainya saja aku bisa tahu bagaimana takdir berjalan, aku tak perlu menunggu sampai saat ini. Aku tak perlu membuatmu gundah karena harus mendengarkan sepatah kata kalau aku… aku sungguh mencintaimu!” Xiao-Fen tersenyum bahagia mendengar ucapanku. Aku pun tersenyum menatapnya. Ada suatu perasaan bahagia yang menggelegak di hatiku setelah sekian lama terpendam. “Jia-Wen, hal yang paling membahagiakan hatiku adalah akhirnya aku bukanlah orang pertama yang mengucapkan kata cinta untuk sesuatu yang telah lama kita nantikan, melainkan kau. Demi langit, seperti inikah cinta Romeo dan Juliet?” Aku agak bingung dengan kalimatnya yang terakhir. “Romeo… Romeo apa?” Xiao-Fen tertawa lepas. “Maaf, kau mungkin lebih mengerti jika aku mengatakan kalau kita tak ubahnya seperti Sam Pek-Eng Tay.” “Ooo…” Langit bergemuruh. Hujan pun mulai turun. Meski basah, aku yakin hati XiaoFen tetap beroleh kehangatan. Untuk memastikannya, aku pun bertanya,” kau kedinginan?” “Tidak, bila kau tadinya membawa payung. Tapi sekarang iya,” jawab XiaoFen sambil bercanda. “Kalau begitu aku harus segera mengantarmu pulang.” Aku berlari di tengah hujan untuk mencari sebuah riksaw. Tak lama kemudian aku pun kembali. “Lho, penarik riksawnya?” tanya Xiao-Fen heran. “Hamba, tuan puteri,” jawabku sambil menunjuk diriku sendiri. Lagi-lagi Xiao-Fen tertawa. “Wah, ganteng sekali. Ayolah, abang penarik riksaw. Bawa aku pulang.” Kutuntun dia naik ke riksaw yang kusewa dari seorang kakek tua. Kemudian aku pun mulai berlari. “Pegang erat-erat, Nona, sebab kita akan melaju hingga ke Tibet.” Xiao-Fen segera menanggapiku. “Kalau begitu, kutitipkan salam musim gugur untuk kota Beijing!!!” Aku tak mungkin melupakan hari itu. Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari yang ceria. Xiao-Fen selalu mengisi hari-hariku dengan suara tawa dan canda rianya. Satu hal yang membuat kebahagiaanku semakin lengkap, Yi-Lang ternyata turut mendukung cinta kami berdua. Waktu terus bergulir. Adalah waktu yang mempertemukan kami dan waktu jualah yang memisahkan kami. Tiga tahun berlalu tanpa terasa. Begitu sekolah usai, aku sadar kalau aku tak bisa tinggal lebih lama lagi di rumah orang tua Yi-Lang. Kini aku harus pergi untuk mencari jalan hidupku sendiri. Sudah waktunya bagiku untuk mandiri.
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
The Chinese Love Story
7
Ayah Yi-Lang memberiku saran, bila aku ingin merantau, maka aku sebaiknya menjumpai relasinya yang telah menetap di Perancis. Beliau telah menulis surat dan yakin kalau relasinya bisa membantuku. Perancis… aku selalu membayangkan kalau negara itu ada di balik bumi tempatku berpijak kini. Suatu perjalanan yang sangat jauh. Kalau aku pergi, mungkinkah aku bisa bertemu dengan semua orang yang kusayangi lagi? Dan XiaoFen, bagaimana mungkin aku bisa meninggalkannya? Mungkin aku agak cengeng. Xiao-Fen malah tampaknya lebih tegar. Dia selalu mengatakan kalau segala sesuatu selalu membutuhkan pengorbanan. Dia mengatakan bersedia untuk menantikanku hingga aku kembali suatu hari nanti. Aku percaya padanya. Sebelum aku pergi, aku pulang ke Shanghai selama seminggu. Xiao-Fen juga turut ke kampung halamanku untuk bertemu dengan paman dan bibi. Selama seminggu itu aku melupakan beban pikiranku dengan menghabiskan waktu bersamanya. Kami bersepeda, menangkap belut dan menikmati senja yang indah di pelabuhan. Aku juga bercerita padanya bagaimana aku dulu menjual manisan gula-gula sampai pada saat aku menolong Yi-Lang yang jatuh ke sungai. Bibi bahkan sempat membuatkan manisan gula-gulanya untuk Xiao-Fen. Masa-masa itu… Rasanya tak mungkin kulupakan. *** Pada akhirnya, tiba juga waktuku untuk meninggalkan Cina. Diantar oleh paman, bibi, orang tua Yi-Lang, Yi-Lang sendiri dan Xiao-Fen, aku melangkah naik ke kapal. Entah kenapa, setiap langkah yang terayun terasa begitu berat… Semua yang mengantarku melambaikan tangan. Kulihat bibi menangis. XiaoFen terlihat tersenyum kecut. Kulihat Yi-Lang yang berada di sampingnya tengah menghiburnya. Peluit pertama telah berbunyi. Itu pertanda kalau kapal akan segera berangkat. Aku menatap mereka dari atas kapal dengan perasaan tak menentu. “Xiao-Fen,” gumamku perlahan. Mendadak kulihat gadis itu menerobos kerumunan orang-orang dan berlari menuju kapal. Ia berusaha mencapaiku untuk kali terakhir sebelum aku pergi jauh. Aku lantas menyongsongnya dengan berdesakan dengan para penumpang yang hendak naik ke kapal. Tak kuhiraukan makian para penumpang yang kesal karena ulahku itu. Yang ada di benakku pada saat itu hanya Xiao-Fen. “Jia-Wen!” seru Xiao-Fen. Kami semakin mendekat dan akhirnya berjumpa lagi. “Xiao-Fen…” “Jia-Wen,” ucap Xiao-Fen lemah. Dia menangis. Sejak semula aku tahu dia bakal menangisi perpisahan ini. Dia hanya berpura-pura untuk membesarkan hatiku. “Psst, jangan menangis. Bukankah kau sendiri yang mengatakan kalau segala sesuatu butuh pengorbanan?” ujarku sambil memeluknya. “Jangan mengejekku. Kau tahu aku tidak setabah itu. Aku… aku berharap kalau waktu bisa berhenti pada detik ini juga,” tutur Xiao-Fen dalam isak tangisnya. “Begitu? Xiao-Fen, dengarkan aku,” tukasku sambil menyeka air mata di pipinya. “Aku akan kembali.” Xiao-Fen mencoba untuk tertawa mendengar ucapanku. Namun ia malah cegukan karena tengah menangis. “Jia-Wen, aku tahu itu. Namun entah kenapa, aku masih saja menangis…” “Xiao-Fen, dengar. Kau lebih cantik di kala kau sedang tersenyum. Bersediakah kau tersenyum padaku sebelum aku pergi?” Fen mengatakan sesuatu tepat pada saat peluit kedua berbunyi. Aku tak tahu apa yang dikatakannya, tapi akhirnya dia mencoba untuk tersenyum lagi. Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
The Chinese Love Story
8
“Wah, ini sih, senyum kecut. Tapi, yah… Jauh lebih baik.” “Mengejek lagi. Jahat!” “Oh ya,” ucapku spontan sambil merogoh saku bajuku. “Aku ada sesuatu untukmu. Sekarang tutup matamu dulu.” Dia berlaku seperti yang kuminta. Aku lantas melingkarkan sebentuk kalung dengan liontin di lehernya. “Nah, sekarang buka matamu. Kau suka hadiahku?” Ia menatapku dengan berbunga-bunga. “Terima kasih… Jia-Wen.” Aku tersenyum. “Menurut paman, kalung ini diberikan ayah untuk ibu dulu. Kini warisan keluarga ini kuberikan padamu. Kau tahu artinya, bukan?” Fen mengangguk. Dia tidak menangis lagi. “Aku akan menunggumu.” “Xiao-Fen, aku harus pergi sekarang.” Aku berucap sembari meninggalkannya. “Oh ya, di dalam liontin itu ada tulisan yang kuukirkan khusus untukmu, lho!” Aku berseru tatkala berada di tangga kapal. “Tulisan?” Xiao-Fen lantas membuka liontin itu. Dia akhirnya tersenyum seperti biasanya tatkala melihat kalimat “I Love You” yang terukir dengan ukuran mungil di dalamnya. Kini dia mengerti kenapa aku sering mengunjungi perpustakaan untuk mencari kamus bahasa Inggris beberapa hari yang lalu. *** Terkadang aku merasa tak mengerti kenapa aku harus berada di Perancis. Sejak tiba di Perancis hingga enam bulan berikutnya, aku hanya bekerja sebagai tukang bersihbersih. Ayah Yi-Lang mengatakan kalau relasinya akan membantuku, tapi seperti inikah bantuannya? Kalau datang ke Perancis cuma untuk menjadi tukang bersihbersih, kenapa aku tidak menjadi buruh tani di Cina saja? Paling tidak aku masih bisa bertemu Xiao-Fen. Aku pun menceritakan keadaanku kepada Xiao-Fen lewat surat. Dia menasihatiku agar terus tekun dan bersabar. “Tak ada dewa yang pernah mencapai bulan tanpa melewati langit.” Begitu ia berujar di dalam suratnya. Kiranya pilihanku waktu itu hanyalah menuruti sarannya saja. Dan semua hal memang mesti berlalu. Setahap demi setahap aku memperoleh kenaikan jenjang jabatan. Ucapan ayah Yi-Lang akhirnya menjadi kenyataan setelah dua tahun kemudian. Ketekunanku dalam menjalankan tugas berbuah menjadi sebuah kepercayaan dari pimpinan. Aku dipromosikan menjadi pimpinan anak perusahaan yang berada di Marseille. Aku menceritakan semua itu kepada Xiao-Fen. Dalam surat balasannya, dia mengatakan bahwa semua yang menantikan keberhasilanku turut berbangga atas sukses tersebut. Menurut Xiao-Fen, paman yang kala itu sudah sakit-sakitan menasihatiku agar tidak takabur dan tetap giat berusaha. Paman… aku masih ingat betapa aku sering membawakannya rantang nasi gabah dengan bumbu kecap asin dulu. Ia seorang pekerja keras yang tidak pernah mengeluhkan nasibnya. Aku tak mungkin bisa seperti dia. Kendati begitu, aku masih ingin membawakannya rantang nasi, namun kini dengan bebek kecap dan sayurmayur yang lebih bergizi. Aku berharap masih punya kesempatan untuk itu… *** Setahun lamanya aku berada di Marseille sebelum akhirnya aku menjadi wakil presiden direktur yang membawahi anak perusahaan di kota Lyon, Bordeaux dan Toulon. Oh ya, aku sendiri berkantor di Paris sekarang. Empat tahun di Perancis cukup membuat kerinduanku akan kampung halaman memuncak. Memang, dalam empat tahun itu banyak sekali kejadian. Paman dan bibi telah meninggal. Demikian juga ayah dan ibu Yi-Lang. Yi-Lang sekarang memulai
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
The Chinese Love Story
9
usaha penerbitan koran dan Xiao-Fen, dia kini menjadi kepala perawat di rumah sakit terkemuka di Shanghai. Jujur saja, alasan terakhir inilah yang mendorong keinginanku untuk pulang ke tanah air. Aku ingin sekali melihat Xiao-Fen dengan seragam putihnya. Dia pasti sangat… ah, kau tahu apa yang ingin kukatakan. *** Pada akhirnya aku berlayar kembali ke Cina. Kapal tumpanganku mulai memasuki pelabuhan Shanghai setelah sekian lama berada di laut lepas. Kubaca surat terakhir yang dikirimkan Xiao-Fen sekali lagi. Surat itu mengabarkan kalau dia dan Yi-Lang akan menjemputku di pelabuhan. Xiao-Fen… Waktu empat tahun itu cukup lama untuk mengubah seseorang. Bagaimana rupa Xiao-Fen kini? Apakah dia masih membiarkan rambutnya yang panjang tergerai ke bawah? Apakah dia masih menyukai manisan gula-gula sebagaimana ia menyukai gula-gula bikinan bibiku dulu? Aku ingin sekali mengajaknya untuk menikmati manisan gula-gula dan bersantai di pelabuhan sambil menantikan matahari terbenam di langit senja seperti dulu. Sementara aku sibuk melamun, kapal perlahan merapat ke dermaga. Aku baru menyadari hal itu tatkala peluit kapal berbunyi nyaring di sampingku. Peluit ini… bunyi yang sama juga menderu sewaktu aku dan Xiao-Fen hendak berpisah di pelabuhan ini. Dan kini kami akan bertemu… Aku meraih tasku dan menyandarkan tubuhku di pagar pembatas badan kapal. Begitu banyak orang yang telah menunggu di bawah. Di mana Xiao-Fen dan YiLang? Di mana mereka? Dengan pakaian perawatnya, seharusnya Xiao-Fen lebih mudah dikena… hei, itu dia!! Xiao-Fen dan Yi-Lang telah melihatku terlebih dahulu. Mereka melambai ke arahku. Heran juga, bagaimana mereka bisa semudah itu menemukanku? Padahal setengah mati aku berusaha memelototi mereka. Aku berlari turun. Xiao-Fen dan Yi-Lang berlari ke arahku. Xiao-Fen dan YiLang… Benarkah itu mereka? Oh, betapa aku merindukan kalian… “Jia-Wen!!” Suara yang telah lama kunantikan itu membuatku memaksakan diri menerobos kerumunan penumpang yang juga berjejal menuruni tangga. Tak kupedulikan lagi makian para penumpang di kiri-kananku. “Xiao-Fen!!” “Jia-Wen!!” Perawat itu… meski rambutnya telah dipotong pendek, dia masih tetap malaikat di hatiku. Xiao-Fen… Aku hampir menjejakkan kaki ke tanah. Akan tetapi seorang nenek tua berjalan begitu perlahan sambil memegangi sisi tangga. Ah, nenek pengacau. Kau merusak suasana saja. Aku berkata di dalam hatiku. Aku terpaksa memperlambat langkahku dan berjalan di belakangnya. Aku kembali menoleh ke arah Xiao-Fen yang tersenyum geli melihat kekesalanku. Yi-Lang tepat berada di belakangnya. Kelihatannya dia hendak mengambil sesuatu di balik sakunya. Apa yang akan diambilnya? Jam saku? Dugaanku keliru. Ia bukan mengambil jam saku, melainkan pistol mungil. Aku terkejut sekali. Pistol? Untuk apa? Keringat dingin mengucur di sekujur tubuhku sewaktu Yi-Lang membidikkan pistolnya ke arah Xiao-Fen. A-apa maksudnya ini? Kalau maksud Yi-Lang hendak bercanda, ini jelas tidak lucu.
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
The Chinese Love Story
10
Pistol itu meletus sebanyak lima kali. Peluru pun berdesing. Aku panik dan langsung mendorong nenek tua di hadapanku. Xiao-Fen heran melihat ulahku. “Jia-Wen?” “Fen, awas!!!” Gadis itu tak mengerti maksudku. Senyum sinis pun mengembang di wajah Yi-Lang. Aku terbelalak tak percaya. Peluru itu… Peluru pertama melesat menghajar bahu Xiao-Fen. Gadis itu tersentak nyeri. Ia menjerit. Darah menyembur dan bertepatan itu pula peluru kedua mengoyak lambung. Gadis itu roboh setelah peluru ketiga menggores pipinya hingga luka. Peluru keempat dan kelima pun melayang pergi dan melukai orang disekitarnya. Letusan pistol membuat suasana di pelabuhan menjadi panik. Tanpa memperdulikan nenek tua yang terjatuh dari tangga itu, aku berlari dan merangkul Xiao-Fen. Yi-Lang yang hendak lari segera diringkus para petugas di pelabuhan… *** “Xiao-Fen.” Aku memanggil namanya setelah sempat terpaku melihat seragamnya yang mulai memerah karena darah. “Xiao-Fen, bertahanlah.” Gadis malang itu menahan nyeri. Ia berusaha berbicara namun malah memuntahkan darah. Aku panik. “Dokter! Ambulan!! Keparat, kalian selalu tak ada kalau sedang dibutuhkan.” Wajah Xiao-Fen mulai memucat. Aku sungguh merasa tak berdaya. Aku mulai menangis karena merasa seluruh dunia mendadak tidak memperdulikan ketidakberdayaanku. “Xiao-Fen. Bertahanlah, kumohon. Dokter akan segera datang.” “Jia-Wen. Aku senang… bisa melihatmu pulang. Ta…ta-tapi aku juga sedih… karena… perjumpaan kita be-begitu singkat.” “Apa yang sedang kau bicarakan? Kita akan selalu bersama. Kau akan sembuh. Kau… akan sembuh, ‘kan?” Xiao-Fen menggeleng pelan sementara pakaianku mulai dibasahi oleh darahnya. “Jia-Wen. Kenyataan… kenyataannya adalah aku harus memeninggalkanmu… selamanya” “Xiao-Fen…” “Psst… jangan menangis. Kau… kau lebih tampan ka-kalau kau sedang tersenyum. Bersed-diakah… kau… tersenyum bagiku… untuk kali terakhir?” Xiao-Fen seolah tetap memaksaku untuk tetap berada dalam akal sehatku. Ia memaksaku untuk mempercayai kenyataan kalau dia akan meninggal. Haruskah aku percaya? Pada akhirnya aku mencoba tersenyum untuknya… “Senyum… kecut. Tapi itu… masih… lebih baik.” Aku tak tahu apakah harus menangis atau tertawa mendengar ucapan tersebut. Itu kalimat yang kuucapkan empat tahun yang lalu di tempat yang sama. “Jia-Wen, de-dengarkan aku. Jangan membunuh Yi-Lang… karma yang… yang akan membalasnya. Maukah… kau berjanji padaku… untuk hal… ini?” Aku mengangguk dengan perasaan terpaksa. Xiao-Fen tampak lega. Ia percaya padaku. Napasnya semakin perlahan. Ia akan meninggal… “Jia-Wen, aku… akan… meninggal. Aku takut. Jangan… tinggalkan… aku…” “Aku takkan meninggalkanmu.” Ia tersenyum. Dan senyum itulah kenangan terakhir yang ia tinggalkan kepadaku. Xiao-Fen akhirnya pergi, pergi meninggalkan aku… dan cintaku. Pada detik itu aku hanya bisa berdoa agar ia beristirahat dalam damai. Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
The Chinese Love Story
11
*** Aku betul-betul kehilangan. Tiada lagi cinta, yang ada hanya duka. Dan Yi-Lang. Dia… “Bagaimana perasaanmu kini, wahai brengsek? Hancur lebur, ‘kan?” tukas YiLang sembari tertawa terbahak-bahak. Aku hanya menatap matanya dengan tatapan datar. “Apa maksudmu dengan semua ini? Apa kesalahanku sehingga kau menghancurkan hidupku seperti ini?” “Kesalahan? Semestinya kau menyebutnya sebagai dosa, orang suci! Jia-Wen, kau merampas semua yang ada dalam kehidupanku. Kau rampas kasih sayang ayahibuku. Mereka lebih menyayangimu meskipun kau hanyalah anak angkat. Setelah kita remaja, kau juga merampas Xiao-Fen dariku. Setelah kita dewasa, kau juga lebih sukses dariku. Kau jadi orang kaya sementara aku jatuh bangkrut. Itu semua tidak adil! Harusnya kau cuma kuli dan akulah yang jadi bosmu!!” Aku sungguh tidak habis pikir kenapa Yi-Lang bisa punya pemikiran seperti itu. Kami tumbuh bersama-sama. Kami sudah tak ubahnya seperti adik dan kakak. Tapi kenapa dia mesti iri kepadaku karena nasib kami berbeda? Bukan salahku kalau aku akhirnya lebih sukses darinya… “Kau sakit jiwa, bung. Aku telah salah menilaimu,” ujarku dengan nada tinggi. “Aku telah berjanji pada A Fen untuk tidak membunuhmu. Tetapi aku tak pernah berjanji padanya untuk tidak memukulmu. Petugas, pegang dia erat-erat!” Aku melepaskan tinju terkeras sepanjang hidupku pada saat itu juga. Kurasa tulang hidungnya pasti retak. “Itu untuk akhir dari persaudaraan kita.” Aku menegaskan kata hatiku kepadanya. Setelah itu aku pun pergi meninggalkan Yi-Lang untuk selamanya. *** Hari itu hujan deras. Aku berada di Nanking untuk mengikuti upacara pemakaman Xiao-Fen. Ketika pemakaman usai, aku minta kepada ayah dan ibu Xiao-Fen untuk mengizinkanku berada di lokasi makam Xiao-Fen untuk beberapa saat. Setelah semuanya pergi, aku pun berlutut sambil memandang batu nisan yang bertuliskan nama orang yang paling kucintai. Aku menghela napas panjang. Kupejamkan mataku untuk mengenang perjalanan kisah kami berdua. Inikah yang dinamakan suatu akhir? Terlalu menyakitkan. Dengan langkah gontai, aku meninggalkan areal pemakaman itu. Apa yang harus kulakukan kini? Dunia sungguh sepi tanpa diri Xiao-Fen. Haruskah aku juga meninggalkan dunia agar dapat bertemu dengannya lagi? Dari tempat pemakaman, aku singgah ke rumah orang tua untuk mengucapkan selamat tinggal. Aku berniat meninggalkan Nanking pada sore itu juga. Akan tetapi, siapa sangka aku akan menemukan suatu alasan yang membuatku tetap hidup? Saat itu aku sedang berbicara dengan ayah dan ibu Xiao-Fen. Di tengah perbincangan, seorang gadis masuk untuk menuangkan secangkir teh kepadaku. Aku mungkin tak menghiraukannya sewaktu aku mendengarkan suaranya. Namun saat aku menengadah menatap wajahnya, serta merta aku terkejut. “Xiao-Fen?” Ibu Xiao-Fen bisa memahami keterkejutanku. “Nak Jia-Wen, ini Xiao-Ling, adik Xiao-Fen...” *** “Adik Xiao-Fen,” gumamku perlahan. Aku menoleh ke arah wanita yang mengenakan kalung liontin yang serupa dengan yang pernah kuberikan untuk Xiao-Fen. Sungguh aneh mengingat selama aku mengenal Xiao-Fen, aku tak pernah tahu kalau dia memiliki adik kembar. Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
The Chinese Love Story
12
“Xiao-Ling, aku bisa melihat kalau Xiao-Fen tetap hidup di dalam dirimu. Akan tetapi aku bukan mencintaimu karena Xiao-Fen, namun aku mencintaimu seutuhnya sebagai seorang pribadi,” bisikku sambil merapikan selimutnya. “Xiao-Fen pasti bisa memahami hal ini. Kurasa…” Aku tak tahu apakah istriku mendengarkan bisikanku atau tidak, tapi sekilas kulihat dia tersenyum. Aku pun tersenyum sambil mencoba memejamkan mataku. Aku harus tidur. Perjalanan ke Cina masih jauh… ***
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Old And New With IIe
13
2. Old And New With IIe Rasanya sekarang ini dunia udah rada-rada gila! Semua orang pada aneh kelakuannya. Mau bukti? Nggak usah jauh, loe pergi aja ke St. Peter. Kalo udah nyampe, loe tanya alamat kelas IIe ama satpam. Oleh satpam, loe bakal dikasi tahu alamatnya (tentu aja setelah sedikit sopoi masuk ke kantongnya yang kering). Deket, kok. Paling juga dua kali naik KA, nyambung bis sampe perempatan, trus naik ojek. Nah, sebelum loe padé melangkah terlalu jauh, gua kenalin dulu situasinya. Kelas IIe ini bernuansa magis, bahkan kadang terasa angker. Ini bukannya mau nakutin, lho. Maunya cuma nyeremin aja. Abisnya penghuni kelas ini makhluk ajaib semua. Loe lihat aja. Kita mulai dari Angelia yang tiap hari rambutnya diikat (biasanya sih, pake tali tambang). Anak ini kalo ngomong cepat sekali. Lebih cepat dari bisnya film Speed yang melaju 50 mil per jam! Kalo Anthony lain lagi. Dia ini orangnya pe-de banget. Udah itu belagu lagi. Tapi pada dasarnya baek, kok. Kalem deh, bawaannya. Sama halnya dengan Antonius yang pintar tapi suka nyengir kayak kuda. Trus Budiman… baiknya sih, jangan dideketin tuh, anak. Bahaya, biang bencana dia. Fenomena lain di kelas IIe adalah triple Eddy, Eddy Susanto dan Edy. Meski sama-sama edi, tapi ukurannya beda, lho. Terserah kalian mau definisikan ukuran apa itu. Trus ada lagi yang namanya Muliady (Mul/Sapi/Lembu/Kerbau/Banteng atau yang sejenisnya) yang baru aja naik tahta menjadi ketua kelas setelah mengkudeta pemerintahan Harry. Rezim Harry jatuh karena kalah dalam revolusi tak berdarah yang didukung oleh tokoh-tokoh nasionalis seperti Ir. Tju Po Phin dan lain-lain. Lain lagi cerita tentang golongan orang-orang skandal sensasional misalnya Suhendi yang heboh dan Gunarto yang gokil. Eh, Suhendi ini biar sableng tapi sama tenarnya dengan Andy Lau, lho. Bila Andy ganteng karena hidung elangnya, maka Suhendi juga tampil lebih mengesankan dari babi dalam comberan dengan hidung betetnya (ge-er tuh, anak!). Golongan Karya… eh, maksudnya golongan anak-anak misterius (baca: pendiam) contohnya Mariani, Lawrine, Rini atau Suriyana. Data tentang mereka kurang sekali, bahkan nyaris tak ada. Ngomong-ngomong soal orang brilliannya IIe ya, siapa lagi kalau bukan Monic, Hengky, Ice dan Rusdi. Suatu hal yang menjadi ciri khas mereka adalah suara mereka yang… ssst, nyaris tak terdengar (orang pinter banyak bengongnya). Oh ya, satu lagi tokoh yang harus dikenalkan adalah… Ladies and Gentlemen… Mr. Heru!!! Ya, saudara-saudara pembaca, tepuk tangan yang meriah untuk wali kelas IIe ini. Dengan kacamata tipis dan kumis klimis serta pakaian yang necis, maka tak diragukan lagi kalau Mr. Heru adalah… orang paling tua umurnya di kelas IIe, hihihi… Okay, sekian dulu perkenalannya. Kini kita masuk ke inti cerita. Para pembaca, dengan bangga saya persembahkan kisah terbaru kami yang dikemas rapi oleh sutradara bertangan besi nan karatan yang tak lain tak bukan adalah… Anthony Ventura! *** “Baik, semua sudah siap sekarang? Dengar. Besok kita akan berkumpul di titik P pada pukul tujuh pagi.” Keesokan harinya, tanggal 31 Desember pagi, terlihat sebuah mobil kijang dan sebuah mobil container bergerak dengan kecepatan konstan. Bila percepatannya
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Old And New With IIe
14
adalah 9,8 M/s2, hitunglah… Eh, bukan. Salah, cing. Yang barusan itu soal fisikanya Mr. Budi. Maksudnya tuh, kedua mobil bergerak kencang ke St. Peter. Mul yang memimpin operasi ini turun dari mobil dan mengambil DonaldTalkie-nya. “Masuk, Blind-Eagle. Kalian siap? Lakukan penyusupan begitu jam menunjukkan pukul tujuh tepat.” “Siap, Toothless Cow. Ganti, over!” jawab Yak Kheng, pemimpin pasukan gerak cepat Blind-Eagle yang terdiri dari Anthony, Budiman, Hartono dan Eddy Susanto. “Okay, tiga, dua, satu, mulai!!” Yak Kheng memberikan komando seraya beraksi. Bersama Budiman dan Hartono, ketiga orang tersebut segera menembakkan alat pengait a la Batman. Begitu kait tersebut menancap kuat di menara, ketiga orang tersebut langsung berayun menerobos jendela kantor guru. Sementara itu, kedua personel Blind-Eagle yang tersisa langsung membereskan kedua bodyguard St. Peter, Mr. Udin dan Mr. Agus. Mr. Udin tak berkutik di bawah todongan pistol air dan Mr. Agus berhasil disuap dengan semangkok mie bakso dari kantin Savannah. Tanpa membuang waktu, Yak Kheng dan kedua anak buahnya masuk ke ruang kerja Mr. Sim. Headmaster kaget sekali dengan gerakan agresi ini. Ia semakin gemetaran tatkala Budiman dan Hartono mengacungkan pisang ambon ke arahnya. “Jangan… jangan tembak aku. Apa yang kalian inginkan?” “Ketua ingin agar Bapak menandatangani proposal ini,” kilah Yak Kheng sambil menyerahkan secarik kertas. Mr. Sim membaca proposal itu. Sejenak ia tampak ragu. Tapi melihat situasi yang tidak menguntungkan pihaknya, Mr. Sim akhirnya dengan pasrah meraih pena dan menandatangani proposal tersebut ditambah dengan cap jempol dan materai secukupnya serta turut menyertakan kuitansi tagihan atas kerusakan kaca jendela yang diterobos masuk oleh Yak Kheng dan kedua anak buahnya tadi. “Lapor, Toothless Cow. Mr. Sim akhirnya bersedia meminjamkan aula untuk acara Old And New 1996/1997 kita. Misi selesai, laporan selesai.” “Luar biasa, Blind Eagle. Ayo, anak-anak. Sekarang giliran kita!” Situasi segera berubah total. Suasana yang semula begitu tegang kini menjadi santai dan penuh keceriaan untuk menyambut tahun baru. Tak hanya itu, semangat Natal yang masih kental kian menambah maraknya suasana. Dengan penuh kegembiraan, anak-anak IIe menghambur masuk ke sekolah dan menuju aula. Container yang berisi sarana pesta turut masuk (baca: dipaksa masuk) ke sekolah. Akibatnya ya, sekolah kita cuma kehilangan pintu gerbang tercinta. *** Para panitia IIe segera turun tangan untuk mengkoordinasi. Urusan dekor-mendekor diserahkan kepada pada Edy, arsitek merangkap teknisi gambar dengan upah kerja termurah menurut standar UMK (Upah Minimum Kacung). Tata bangku diserahkan kepada Yanti. Untuk seksi konsumsi ditangani oleh Variana yang lantaran gendut seperti gentong maka lebih dikenal sebagai Atun. Ada pun bagian tata lampu dan listrik diatur oleh Suhendi. Sedikit gosip miring mengenai hal ini: Suhendi tuh, ngerti soal listrik, tapi nggak paham amat. Berhubung anak itu diasuransi ama bokapnya Rp. 1.500 di Jasa Raharja, maka dia dengan sengaja diumpankan ke bagian listrik. Sukur-sukur kalau dia kesetrum sampe mampus, panitia ‘khan bisa terima uang asuransinya. Lumayan gede lho, buat beli kwetiau plus te-es.
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Old And New With IIe
15
Memang sih, ketika aula hampir kelar, Suhendi sempat kesetrum. Tapi nggak cukup kuat, cuma 110 volt doang. Hasilnya Suhendi nggak jadi modar, cuman semaput aja. Kontan aja para panitia jadi kecewa berat. Saking jengkelnya, Suhendi dibiarkan aja terkejang-kejang di lantai ditambah beberapa tendangan pertama pada kecelakaan secukupnya. *** Okay, dalam tempo lima jam dua puluh menit dan empat puluh enam detik saja, ruangan aula berhasil disulap menjadi ajang pesta. Satu hal yang nggak nyambung adalah untuk pesta tahun baru kok, tata ruangnya malah lebih mirip dekor pesta Hallowen, ya? Ah, cuek adza… Karena kurangnya dana segar (yang ada cuma ikan segar), maka penataan aula terkesan sederhana. Bagaimana tidak? Di dalam aula cuma terlihat 500 balon untuk memperindah ruangan, 250 terompet di setiap pojok ruangan, 25 buah spotlight disko, meja dan kursi untuk kapasitas 1000 orang (tidak termasuk hewan peliharaan), lima buah lampu sorot ekstra terang khusus panggung, layar raksasa di kiri-kanan panggung dengan ukuran 3x4 Tv 52 Inch, double set stereo di atas panggung, sekumpulan alat musik keperluan band plus mikropon nirkabel sebanyak empat buah dan terakhir, sebuah piano Steinway senilai Rp. 30 juta khusus untuk acara ini. Hanya itu saja, tidak lebih… *** Pukul enam malam, satu jam sebelum acara dimulai, para panitia datang duluan untuk mempersiapkan diri. Di belakang panggung tampak Band It (baca: bandit), grup kebanggaan IIe yang terdiri dari Hermanus si pemain bass, Cun Chuan yang mengolah rhythm, Hardy si penabuh drum dan Harry si pemegang lead guitar. Untuk penyanyinya sudah tentu Angelia, si Mariah Carey gadungan. Kendati begitu, terlihat juga penyanyi lain seperti Mr. Heru dan Suhendi. Untuk pesta kali ini, Anthony yang memainkan peran sebagai MC. Sebenarnya sih, panitia nggak setuju, tapi berhubung do’i sempat ngancam bakalan nangis tiga hari tiga malam dan mogok sikat gigi tapi rajin makan pete dan jengkol, panitia jadi keder juga. Yah, terpaksa deh… Setengah jam kemudian, Variana sebagai seksi konsumsi datang dengan berbagai hidangan istimewa. Sebut aja pizza bawang guling dari Italia, spaghetti sambel terasi dari Perancis, hot cat dari Kuching, nasi basi dari Pontianak, martabak daging onta dari Mesir, udang goreng keju dari Holland dan bakpia daging sumsum gajah dari Thailand. Pokoke komplit, deh. Trus minuman juga, mulai dari yang namanya tequilla, dry gin, brandy, vodka martini, wine sampe yang tradisional kayak teh Olong dari Cina. Terakhir, untuk pencuci mulut disediakan buah qurma dan kiwi. Ketika waktu bergulir mendekati pukul tujuh, tamu-tamu mulai berdatangan. Pasangan Edy-Lisna datang paling awal. Setelah itu tampak Luyi Nguan, Antonius, Rene dan warga IIe lainnya. Personel IIe yang datang terakhir adalah Suwandi dari Flamboyan, agen 108. Selain warga IIe, hadir juga beberapa tamu yang mendapat undangan khusus dari warga IIe. Terlihat di situ Ivana Tjokro yang hadir bersama Iwan, Henny yang datang bersama Hardy, Juwita bersama Harry, pasangan Rony dan Karmilla yang diundang Gunarto, Angelina yang diundang oleh sang kakak dan masih banyak lagi. Guru-guru juga tampak ada beberapa. Misalnya aja, Mr. Sim, Natalia atau Po Phin. Namun yang tampil paling nyentrik adalah Madame Rohani. Beliau datang dengan dandanan spektakuler ala Terminator, cing!
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Old And New With IIe
16
Sebelum acara dimulai, para tamu dipersilahkan terlebih dahulu untuk menyantap hidangan yang tersedia. Tak sampe dua menit, hidangan di meja ludes sampai mengkilat piringnya. Jadi nggak perlu dicuci lagi tuh, piring. Tepat pukul tujuh, lampu di ruangan aula mendadak padam. Secara tiba-tiba, di panggung terjadi ledakan kembang api dan seketika itu juga MC kita sudah berada di atas panggung dengan muka hitam akibat ledakan kembang api. Kurang sempurna memang special FX-nya, tapi udah cukup menghebohkan, lho. “Baik, para hadirin, sebelum kita memulai acara kita, kami persilahkan ketua panitia untuk memberi kata sambutan. Waktu dan tempat kami sediakan,” ucap MC Anthony. Begitu Mul naik ke pentas, tepuk tangan menggelegar dari setiap sudut ruangan. Massa jadi histeris, soalnya si Mul bikin sensasi dengan tampil pake kostum sapi yang lengkap ama ekornya, sih. “Baiklah, saudara-saudari, pada malam ini saya bla-bla-bla… was-wes-wos… mhoo-mhoo… sekian dan terima kasih,” kata Mul dengan cueknya sembari turun panggung meninggalkan 1000 penonton yang terbengong-bengong karena kagak ngerti. Untuk membangkitkan suasana, MC Anthony pun berteriak lantang. “Okay, para hadirin. Kini saatnya kita sambut grup Band It. Dan… inilah keempat bandit tersebut,” kata Anthony ketika keempat pemuda itu naik ke pentas. “Untuk pembuka acara, Band It akan membawakan simfoni III Beethoven yang berjudul Mabuk Lagi. Mari kita berikan tepuk tangan yang meriah buat mereka.” “Jreng! Mabuk lagi, ah… mabuk lagi!” Dan tiga menit kemudian… “Begitulah saudara-saudara. Setelah penampilan Band It, kita jelang penampilan grup lawak Un-Funny yang dipimpin oleh Eddy. Grup lawak ini akan mengetengahkan adegan dari The Legend Of Condom Heroes (Con Dom Hiap Le)…” Pendekar Bi Ceng (Eddy) berkelit menghindari kelitikan Lon Tong (Yak Kheng). “Sudah saatnya Lon Tong,” teriak Bi Ceng cekikikan. Rasakanlah jurus Ditusuk Pedang Pasti Tertawa.” Lon Tong tak sempat menghindar lagi. Dengan telak ia terkena jurus maut itu. Nasib naas pun menimpanya, ia tertawa sampai mati dengan celana basah lantaran ngompol. “Bukan main, saudara-saudara. Seru sekali, bukan?” kata MC Anthony. Reaksi penonton luar biasa. Para hadirin bertepuk tangan dengan keras sekali karena sebelumnya mereka belum pernah menyaksikan adegan lawak yang tidak membuat penontonnya tertawa. “Sekarang kita sambut biduanita kita yang akan membawakan sebuah lagu berjudul…” Gesekan alat musik orkestra yang dipadu dengan bunyi gamelan di belakang panggung segera terdengar begitu ada suara langkah kaki menuju pentas. Tak lama kemudian terdengar suara yang tak asing lagi melantunkan lagu dangdut Un-break My Heart. Penonton menjadi riuh dan histeris tak terkendali. Susana menjadi panas dan tegang. Banyak penonton yang menangis meraung-raung dan terkejang-kejang. Saluran CNN dan BBC yang berada di St. Peter guna meliput langsung pesta sekolah termegah abad ini langsung memberitakan fenomena ini sebagai Angelmania. “Angelmania merupakan satu-satunya fenomena yang mampu menandingi keajaiban Beatlemania di tahun 60-an,” ungkap Larry King dari CNN. Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Old And New With IIe
17
Ketika lagu tersebut usai, suasana menjadi hening beberapa saat. Keramaian baru timbul kembali saat MC Anthony mengumumkan acara Solo Spotlight. “Untuk kesempatan pertama kami berikan kepada Mr. Heru.” Mr. Heru segera berlari ke atas panggung dan tersandung anak tangga sehingga jatuh terjerembab. Dengan darah yang terus mengucur dari hidung, Mr. Heru memainkan gitarnya dengan nada super sumbang dan membawakan lagu Let It Be Me. Tapi penonton rupanya masih terpengaruh dengan fenomena Angelmania, maka tak heran kalau puluhan buah kurma dan kiwi melayang ke atas pentas. Mr. Heru tetap bersikeras untuk menyanyi. Baru ketika sebuah granat meledak di atas panggung, Mr. Heru pun turun panggung. Solo karirnya berakhir dengan luar biasa. Gagal dengan sukses!!! “Terima kasih sebesar-besarnya kami ucapkan pada Mr. Heru. Untuk kesempatan berikutnya, kami persilahkan Suhendi.” Suhendi segera muncul dengan gayanya yang khas. Kemudian ia membawakan lagu Bujangan dari Andy Lau (bingung, ‘khan?). Tanpa diduga, si buluk ini berhasil mengendalikan emosi penonton. Hebat! Selamat untuk Suhendi!! Acara menyanyi terus dilanjutkan. Kini tiba saatnya untuk berduet. Artis yang tampil adalah Hardy dan Henny dengan lagu Macarena, Juwita dan Harry dengan lagu Wake Me Up Before You Go-Go, Edy dan Lisna dengan lagu When You Tell Me That You Love Me, Rony dan Karmilla dengan lagu You Are Not Alone. Namun yang paling menghebohkan dengan Duet Tanpa Duit ini adalah pasangan terakhir, kakak-beradik Angel yang membawakan lagu All I Want For Christmas Is You-nya Mariah Carey. Hasilnya ultra fantastis. Saking tingginya perpaduan suara mereka (10 oktaf, cing!), penonton bagian depan jadi tuli semua. Dinding ruangan terasa berguncang. Semua kaca yang ada di aula pada pecah, termasuk kacamata Mr. Sim. Kejadian selanjutnya sudah bisa ditebak. Mr. Sim mencak-mencak. Angelia dan Angelina kontan diminta turun panggung dengan tidak hormat, hihihi… Untuk sementara, acara menyanyi dihentikan. Sebagai alternatif pengganti, maka Gunarto si penyair gagal diminta naik panggung. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan, Gunarto langsung membacakan puisi kesohornya, Ulat Bulu. Namun para penonton wanita yang alergi ama kata ‘ulat’ dan sensitif dengan kata ‘bulu’ langsung mengamuk. Ratusan sepatu melayang ke atas panggung. Maka dari itu jangan heran kalau waktu pulang banyak hadirin yang nggak pakai sepatu. Kondisi kelangsungan pesta semakin kritis. Untuk menyelamatkan suasana maka… “Para hadirin, inilah acara yang kita tunggu-tunggu. Penari kita, Linda, akan membawakan tarian striptease.” … kontan aja penonton terdiam seribu bahasa. Lampu panggung menjadi temaram dan lampu disko mulai berputar. Di dalam keremangan lampu, sesosok tubuh sintal meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti irama lagu dan… berhubung masih banyak pembaca yang masih di bawah umur, maka untuk adegan selanjutnya terpaksa disensor. “Okay, para hadirin yang saya hormati. Kurang lebih tiga puluh detik lagi akan kita jelang tahun baru 1997. Silakan ambil terompetnya masing-masing. Kita bersiap-siap untuk memecahkan balon dan meniup terompet.” Lampu ruangan aula dipadamkan. “Tiga… dua… satu, Happy New Year!!” “Dar, der, dir, dor, dur,” bunyi balon dipecahkan. “Poet, toet, tut, tut, dhut,” bunyi terompet bercampur bunyi kentut hadirin yang sakit perut. Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Old And New With IIe
18
“Luar biasa… selamat tahun baru semuanya. Sebelum acara kita akhiri, kita dengarkan dulu tiga buah lagu terakhir ini.” Grup Band It segera naik ke panggung. Tak lama kemudian terdengar intro lagu Don’t Look Back In Anger. Suatu kejutan bahwa lagu ini dibawakan oleh MC kita. Untuk lagu kedua, Angelia kembali naik ke panggung. Ia menyanyikan lagu Don’t Cry For Me, Indonesia dengan iringan piano yang dimainkannya sendiri. Konon lagu ini adalah tandingan dari Don’t Cry For Me, Argentina, soundtrack dari film Evita. Lagu terakhir Let It Be, dinyanyikan oleh seluruh penyelenggara acara, antara lain Mr. Heru, Mul, Yak Kheng, Variana, Suhendi, Hardy, Harry, Cun Chuan, Eddy, Eddy Susanto, Budiman, Hermanus, Anthony, Edy, Angelia, Linda, Gunarto, Hartono, Henry, dan Yoviana. Let It Be sengaja dipilih untuk lagu terakhir untuk menandakan kerelaan kita melepas tahun 1996 dan menyambut tahun baru 1997. Suasana saat itu terasa santai namun ceremonial. Bahkan tak sedikit yang terharu mengingat banyaknya kejadian dan kenangan yang sudah terjadi selama tahun 1996. Akhir acara, para hadirin pulang dengan tertib. Walau agak mengantuk, mereka memperoleh perasaan puas yang teramat sangat. Kini semuanya sadar, kita sudah melangkah ke sebuah era baru, tahun 1997, suatu tahun dimana kita akan mengisinya dengan kegembiraan dan kesedihan yang takkan pernah kita duga… ***
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
John Lennon’s Nightmare
19
3. John Lennon’s Nightmare Mendengar suara ribut-ribut di sekelilingnya, John terbangun. Ia terkejut sekali ketika menyadari keadaan di sekitarnya telah berubah. “Di mana aku? Ini bukan rumahku,” ucap John heran. Ia mencoba mengenali keadaan di sekitarnya. “Pepperland? Mengapa aku bisa…” Belum hilang rasa herannya, John kembali dikagetkan oleh kedatangan seekor monster raksasa. John segera mengambil langkah seribu saat monster itu mencoba menyerangnya. Akhirnya John berhasil menemukan tempat persembunyian. “Jelek sekali monster itu,” kata John terengah-engah sambil membetulkan letak kacamatanya. “Bermata satu, berambut panjang dan bertanduk dua. Kukira pantasnya makhluk ini disebut Cyclops.” Setelah lama bersembunyi, John akhirnya bangkit dan mulai berjalan. “Daripada duduk di sini terus, lebih baik kutelusuri gua ini.” Beberapa saat kemudian, John menemukan sesuatu di tengah perjalanan. “Sebuah gitar. Tapi… ini adalah gitar yang kupakai sewaktu konser di Shea Stadium tahun 1965 dulu!” Tiba-tiba terdengar suara dentuman di belakangnya. Secara spontan John meraih gitarnya dan berlari. Tanpa ia sadari, jemarinya memainkan gitar tersebut. John membawakan lagu Help!. “Help! I need somebody, help! Not just anybody, help! You know I need someone, help!!!” Ajaib. Tiba-tiba tampak tiga sosok berdiri di mulut gua. “Drum sticks attack!” sosok terpendek pendek di antara tiga orang asing itu berseru seraya melontarkan sebentuk tongkat. Monster itu tertahan sejenak, tetapi tidak terhentikan. Sosok kedua segera bergerak menolong John. Ketika monster itu hampir mencapai mereka, sosok ketiga yang bergitar kidal langsung menembakkan rangkaian nada. “Get back! Get back! Get back to where you once belonged. Get back, Cyclops. Go home!” Walhasil, Cyclops terpukul mundur. Ketiga sosok itu segera kabur bersama John. Lennon kaget sekali ketika tahu siapa penolongnya. “Kalian… Paul McCartney, George Harrison dan Ringo Starr. Kenapa kalian juga bisa berada di sini? Tolong katakan padaku kalau ini hanya mimpi.” “Tidak, John. Ini adalah sebagian dari kisah yang belum kita selesaikan,” kata Ringo. “Kita masih harus…, uh, oh, tidak.” Paul heran melihat gelagat kawannya. “Ada apa, Ring? Tell Me What You See.” “Strawberry Fields… sedang dihancurkan,” jawab Ringo singkat. “Apa? Bukankah seharusnya Strawberry Fields Forever?” tanya John. “Tidak, John. Tak satupun dari kita yang mampu mempertahankan Strawberry Fields kecuali kau,” ungkap George. “Hentikan dia! Kita pergi sekarang juga!” kata John dengan berang. Beberapa saat kemudian, empat sekawan itu sudah sampai di Strawberry Fields. John seakan tak percaya melihat tempat kenangannya nyaris rata dengan tanah. “Baik, Cyclops, kau ingin perubahan? Kuladeni kau!” seru John marah sambil mengarahkan gitarnya ke arah Cyclops. “Revolution!” Cyclops terhenyak ketika mendapat serangan Revolution dari John. Namun monster itu kemudian mendepak John jauh-jauh.
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
John Lennon’s Nightmare
20
“Tahan. Usaha sendiri takkan berarti banyak,” ujar Paul. “Kita harus bersatu. Kembali pada formasi Beatles. George, kau ambil alih!” “Beres. Only A Northern Song, teman-teman,” teriak George. Ketika Cyclops mendekati mereka, perpaduan energi musik Beatles langsung meluncur deras menghujam dadanya. Tak ayal lagi monster itu terlempar ke Sea of Monster. “Hebat. Kurasa dia kini tahu arti dari Northern Song-nya Beatles.” “Jangan terlampau cepat senang, George. Lihat itu,” kata Ringo. “Monster itu kini jauh lebih menyeramkan dari semula.” “Giliranku sekarang. Siaga, sobat,” sambung John. “Come together, right now, over me…” “Pow.” Keempat Beatles itu terlempar lima kilometer jauhnya. “Kurang ajar. Dia benar-benar over me (melewatiku),” kata John sambil memegang pipinya yang memar. “Hei, masih ada ide lain?” “Ada. Kita harus berubah menjadi Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band. Blue Sergeant!” teriak Paul. George dan Ringo juga berubah. Tinggal John yang tidak berubah. “John, kenapa kau diam saja?” tanya George heran. “Medali MBE-ku sudah kukembalikan. Aku tak bisa…” Bersamaan dengan itu, Cyclops kembali mengganyang mereka. Sebuah pukulan bersarang di pipi John. “Keparat! Semuanya, formasi Beatles!” tukas John. “I Am The Walrus.” Dan energi dashyat kembali mengarah ke arah Cyclops, namun si mata satu ini tampaknya tidak berniat mengelak. “No, you are not!” kata Cyclops. Seketika itu juga buyar energi musik I Am The Walrus. Cylcops rupanya tahu kelemahan lagu ini. “Sial, gagal lagi. Kalau saja aku bisa kembali ke masa lalu untuk mengambil medaliku,” keluh John. “Benar,” sorak Paul. “Kenapa tak kau katakan dari tadi?” “Lho, apa bisa?” tanya John. Paul mengangguk. “George, kau ikut John ke masa lalu. Aku dan Ringo akan menahan monster ini. Bersiaplah untuk Magical Mystery Tour.” “Roll up, roll up for the Mystery Tour…” Secara spektakuler, John dan George kembali ke masa lalu. “Cepat, kita ke Tittenhurst Park,” kata John. “Kita lewat sini, John. Blue Jay Way,” ujar George. Terowongan dimensi terbuka. John berhasil mencapai rumah lamanya dan mendapatkan medalinya. “Dapat! Kini kita kembali,” tukas John. “Green Sergeant! Bersiaplah, George. Across The Universe.” Dalam sekejap, John dan George kembali ke Pepperland. “Kami tiba. Ringo, siapkan Yellow Submarine. Biar kami bertiga yang menghajar kunyuk yang satu ini. Rencana kita adalah kuburkan monster ini ke dalam Sea of Holes,” perintah John. “Dengan senang hati,” kata Ringo sambil menuju ke Octopus’s Garden. “Okay, Beatles. Monster ini penuh dengan amarah dan kebencian. Kita beri dia apa yang dia butuhkan. Monster, rasakanlah… All You Need Is Love,” kata John sambil mengacungkan gitarnya. Cyclops terhempas hingga 50 kilometer jauhnya. “Bravo, John. Giliranku… rasakan Maxwell’s Silver Hammer, Monster,” sorak Paul. Dan Cyclops pun dipaksa terhuyung-huyung lagi oleh mereka.
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
John Lennon’s Nightmare
21
“Dua-kosong untuk the Beatles. The Inner Light!” seru George dengan penuh semangat. Akhirnya Cyclops terlempar ke laut. “Yes, we’re Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band. It’s getting very near the end,” senandung Paul. “Yellow Submarine, guys.” Ringo terlihat mendekati mereka. John, Paul dan George segera meloncat ke Yellow Submarine. Mereka lekas mendekati Cyclops yang sedang berenang. “Pertunjukan selesai. Happiness Is A Warm Gun,” kata John. Energi kegembiraan melontarkan Cyclops ke arah Sea of Holes. Cyclops terkurung dan tak bisa keluar lagi. “Tugas kita selesai,” ujar Ringo. “Belum, Ring. Kita kembali ke Strawberry Fields,” tukas John. “Baiklah, Beatles. Kita kembalikan keadaan Strawberry Fields seperti semula,” pinta John. “Let me take you down cause I’m going to Strawberry Fields, nothing is real and nothing to get hung about, Strawberry Fields Forever.” Keadaan Strawberry Fields berangsur-angsur pulih dan kembali seperti sediakala. “Selesai dengan sempurna. Kurasa kita harus berpisah sekarang,” kata George. “Kau benar.” Ringo mengiyakan perkataan karibnya. “Ada satu hal yang ingin kukatakan kepada kalian sebelum kita berpisah. If you got trouble then don’t bring you trouble to me. Kalian tahu, malam ini benar-benar A Hard Day’s Night.” “Hahahaha…” “Aku pasti akan merindukan pertemuan seperti ini. Akankah kita berkumpul lagi suatu hari nanti?” tanya Paul. “Suatu saat nanti… Pasti, Paul. Pasti,” kata John sambil melangkah pergi. *** Epilog: 20 tahun setelah bubar, Beatles bersatu kembali di tahun 1994 untuk rekaman Free As A Bird. Meski Lennon telah meninggal tahun 1980, namun berkat kecanggihan teknologi, Paul, George dan Ringo akhirnya bisa berkumpul kembali dengan John. ***
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Aston Narrow
22
4. Aston Narrow Aston Narrow adalah nama sebuah rumah di Oak Street. Rumah ini cukup besar dan berdiri megah dengan gaya artistik Italia yang sangat menonjol sekali. Menurut kaum lanjut usia, nama rumah ini diberikan sesuai dengan nama pemiliknya, Sir Aston Narrow. Sir Aston Narrow adalah seorang kaya-raya yang terkenal kikir. Tak ada yang lebih dicintainya selain emas dan harta. Konon menjelang saat-saat terakhirnya, matanya membelalak menatap ke arah salib. Oleh sebagian orang, hal itu ditafsirkan sebagai ketidakrelaannya dalam meninggalkan harta tatkala ia harus menghadap Sang Pencipta. Tak seorang pun tahu di mana ia dimakamkan. Setelah kematiannya, rumah ini sempat berpindah tangan beberapa kali. Sepuluh tahun setelah terakhir kali dihuni, rumah ini dibeli oleh pasangan muda John dan Joanna McArthur. Sebelum membeli Aston Narrow, John sempat mendengar beberapa kisah aneh mengenai bangunan klasik yang sudah cukup berumur ini. Walau begitu, John tidak menghiraukannya. Setelah beberapa kali tinggal di rumah kontrakan, John berpendapat bahwa akan jauh lebih baik kalau memiliki rumah sendiri. Lagipula rumah ini dijual murah. Apalah artinya N$ 150,000 untuk rumah seluas 860 M2? *** Ketika hari yang ditentukan tiba, keluarga McArthur pergi untuk melihat rumah barunya… “Bagaimana, Sayang? Halaman plus taman yang luas, rumah bertingkat dua dengan delapan kamar dan sebuah kolam di belakang. Meski masih berdebu dan tamannya tidak terawat, tapi dengan sentuhan kita, segalanya akan menjadi sempurna.” Joanna bertindak seolah-olah tidak mendengar ucapan suaminya. Ia memasuki kamar pertama dan memandang ke sekelilingnya. Perasaan wanita yang tajam membuatnya merasa ada sesuatu yang salah. Tiba-tiba timbul rasa kecut di dalam hatinya. “Ya, memang rumah ini sangat indah,” jawab Joanna beberapa saat kemudian. “Tapi tidakkah kau merasa bahwa rumah ini seakan-akan ditinggal oleh pemiliknya, John?” “Ah, itu hanya perasaanmu saja. Sayang, ayo bantu aku menata tempat ini. Besok kita undang keluarga Bradley dan Venkman kemari untuk acara pesta kebun.” *** Keesokan harinya, suasana ceria meliputi Aston Narrow. Mereka memanggang kalkun sambil menikmati sangria. “Kami doakan agar kalian betah tinggal di sini,” ujar Peter Venkman sambil menenggak segelas sangria. “Cheers.” Dan mereka berpesta hingga pukul empat sore. Sebelum pulang, Joe Bradley, putra bungsu keluarga Bradley, menghampiri Joanna. “Bibi, saya senang bermain di rumah bibi. Orang tua di kamar belakang itu lucu sekali. Siapa namanya, Bibi Joanna?” Jantung Joanna langsung berdegup kencang. Tidak ada orang lain lagi di rumah ini selain dirinya dan John. Mungkinkah yang dilihat Joe itu… “Joe, sini. John, Joanna, kami pamit dulu. Sampai jumpa,” kata Mary Bradley. Setelah keluarga Bradley dan Venkman pulang, hati Joanna menjadi tidak tenang. Ditatapnya rumah barunya itu. Terlintas di hatinya suasana angker Aston Narrow. Mungkinkah? Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Aston Narrow
23
Joanna segera menepis jauh-jauh hal yang mengganggu pikirannya. Secara spontan ia meraih rosario dan mulai berdoa. *** Malam pun tiba. John segera tertidur pulas, terbuai oleh angin malam. Namun tidak demikian halnya dengan Joanna. Malam yang dingin dan diterangi bulan purnama itu terasa panjang baginya. Setiap detik bagaikan setahun lamanya. … “Joanna, bangun. Kita sudah kesiangan,” kata John sambil mengguncang bahu istrinya. “Jangan, jangan menggangguku! Aku…” Teriakan Joanna segera terhenti ketika ia menyadari suaminya yang berdiri di depannya. “Sayang, kau mimpi buruk?” “Uh, tidak. Sudahlah, kita lupakan saja. Bukankah kita sudah telat?” tutur Joanna sambil bangkit berdiri. Setelah sarapan pagi, John meninggalkan rumah dan berangkat ke kantor. Joanna memandang kepergian suaminya sambil melamun. Mungkin John benar bahwa aku terlalu banyak berprasangka buruk tentang rumah ini. Bukankah tidak terjadi apa-apa semalam? Kukira lebih baik aku mandi shower sebentar untuk menjernihkan pikiranku. Usai mandi, Joanna berniat membersihkan kamar-kamar yang belum sempat dirapikannya kemarin. Ia pun mulai dari kamar pertama yang dimasukinya tempo hari. Ah, sebetulnya kamar ini tidak terlalu kotor untuk sebuah rumah yang sudah ditinggalkan selama sepuluh tahun, pikirnya sambil tersenyum. Kemudian ia segera membenahi kamar tersebut. Suatu ketika, tanpa sengaja kemoceng yang dipegangnya mengenai suatu benda. Benda itu jatuh ke lantai. Sebuah buku rupanya. Joanna segera menghampiri dan memungut buku tersebut. “Sepertinya sebuah buku harian,” gumam Joanna sambil membuka buku tersebut. Dibacanya beberapa isi buku harian tersebut: Minggu, 20 Desember 1981 Hari Minggu ini betul-betul berkah bagi kami. Smith menemukan berkarung-karung emas di bawah marmer di kamar belakang. Aku betul-betul gembira. Mungkin ini hadiah Natal untuk kami supaya kami dapat membawa Teddy ke rumah sakit. Asmanya semakin parah… “Menarik juga. Aku jadi ingin tahu akhir dari buku ini,” gumam Joanna sembari membalik halaman demi halaman buku itu hingga halaman terakhir. Setelah itu ia mulai membaca kembali. Jumat, 3 Januari 1982 …Aku sungguh ngeri dengan rumah ini. Semenjak kami menemukan emas, di rumah ini timbul berbagai kejadian aneh. Aku putuskan untuk pindah… “Aneh. Catatan ini sepertinya belum selesai. Apa arti dari bercak-bercak noda di halaman terakhir ini? Sepertinya bukan noda tinta. Mungkinkah…” *** John McArthur bukan main kagetnya ketika sang istrinya memanggil namanya dengan keras sekali dan berbicara tak karuan via telepon. Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Aston Narrow
24
“Joanna, tenangkan dulu dirimu. Apa sebenarnya yang hendak kau bicarakan?” Setelah kepanikannya mulai reda, Joanna menceritakan perihal buku harian yang ditemukannya kepada suaminya. Perlahan-lahan John mulai mengerti. Ia lantas berjanji akan mencari tahu tentang cerita ini. Pulang dari kantor, John melihat istrinya telah menunggu di depan pintu. “Bagaimana?” tanya Joanna. “Well, aku telah bertanya kepada Mr. George, penghuni terlama di kawasan Oak Street ini. Katanya Madam Smith yang tinggal di sini dulu adalah seorang gila. Ia sering berceloteh yang tidak-tidak sejak menemukan harta terpendam di rumah ini. Kabarnya ia bunuh diri setelah membunuh suaminya dengan sebilah pisau.” “Tapi tentang buku harian itu…” “Sudahlah, sayang, lupakan semua omong kosong ini. Lebih baik kita…” “John McArthur! Kau kira aku telah berbohong padamu? Apa kau pikir seorang gila bisa menulis buku harian seperti sebuah novel?” bentak Joanna sambil berlalu meninggalkan suaminya dengan perasaan jengkel. *** Malam harinya, ketika John sedang mandi, Joanna duduk di kamar sambil memandang bulan purnama. Bulan sedang terselimuti oleh awan. Ketika sudah tertutup seluruhnya, tiba-tiba lampu di sekitarnya padam. Angin mulai bertiup menyibak gorden. Joanna mulai berkeringat dingin. Jantungnya semakin berdetak kencang saat menyadari pintu kamar yang semula tertutup kini terbuka lebar. Secara samar-samar, ia merasa ada sesosok tubuh dalam kegelapan. Sosok tubuh itu tinggi jangkung dengan rambut acak-acakan. Dalam kegelapan malam, tampak sinar mata yang merah buram. “John, kaukah itu?” tanya Joanna dengan suara gemetar. Yang ditanya tidak menjawab. Namun kini sorot mata bengis itu menatap tajam ke arah Joanna. Ditatap seperti itu, tanpa sadar Joanna mundur selangkah. Sosok itu mulai mendekatinya. Joanna terus mundur hingga tubuhnya merapat ke dinding. Sadar dirinya dalam keadaan terjepit, Joanna mencoba lari, tapi makhluk itu berhasil mencekal tangannya kuat-kuat. “Jangan, jangan bunuh aku. John, tolong!! John!” teriak Joanna histeris. “Tapi aku takkan membunuhmu, Joanna. Aku hanya minta ciuman di pipi,” kata ‘makhluk’ itu sembari menyalakan lampu. “Astaga,” ucap Joanna tatkala mengetahui siapa sosok menyeramkan itu. “John, kali ini kau betul-betul keterlaluan. Ini sungguh tak lucu.” John terpingkal-pingkal sambil melepaskan lensa kontak merah yang dikenakannya. “Aku minta maaf, sayang. Hmph, hahahaha.” “Tidak sudi. Aku tak mau melihat mukamu malam ini. Joanna pun beranjak dari tempat tidurnya. John tersenyum geli melihat tingkah istrinya. “Okay, silahkan saja kalau mau tidur di luar. Semoga bertemu hantu pujaanmu itu.” Langkah Joanna terhenti. Ia menoleh ke arah John. “Karena kamar lain belum ada kasurnya, jadi aku tetap tidur di sini. Tapi aku tak mau berbicara denganmu malam ini,” ujar Joanna sembari merebahkan tubuhnya ke tempat tidur. John kembali cekikikan. “Selamat tidur, sayang, dan selamat ngambek, hahahaha…” ***
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Aston Narrow
25
“Hari ini mendung,” kata Joanna di keesokan harinya. “John, pulanglah lebih awal hari ini,” pesan Joanna sebelum John berangkat ke kantor. Pukul lima sore, John pulang di bawah guyuran hujan lebat “Wuih, hari ini dingin sekali. Sehabis makan malam, aku ingin meringkuk di bawah selimut tebal,” ujar John. Cuaca buruk ternyata berkepanjangan. Hujan deras turun seperti tiada akhirnya. Kilat terus menyambar tiada henti. Gelegar guntur yang memekakkan telinga menambah seramnya suasana malam itu. Menjelang tengah malam, Joanna menemukan bahwa suaminya tidak lagi berada di tempat tidur. Lampu di sekitarnya padam dan pintu kamarnya terbuka. “John, jika kau pikir lelucon seperti ini sangat lucu, jangan harap aku akan memaafkanmu kali ini,” tukas Joanna berang. “Memaafkan apa? Aku sama sekali tidak melakukan apa-apa,” tutur John yang baru saja keluar dari toilet dengan nada heran. “Lho, jadi kau… kenapa pintu itu bisa terbuka?” Gantian Joanna yang keheranan. “Entahlah, mungkin karena angin. Biar kututup kembali.” Ketika John mendekati pintu, kilat kembali menyambar. Joanna langsung pucat-pasi tatkala melihat sesuatu yang tak jelas bentuknya. Makhluk itu berambut panjang dan acak-acakan. Kukunya tajam menyerupai cakar. Matanya berwarna merah-darah dan besar seperti orang yang sedang melotot. Wajahnya menyeringai angker. Bagian tubuh mulai dari pinggang ke bawah terlihat samar-samar hingga buram sama sekali. Bersamaan dengan hilangnya sinar kilat, hilang pulang sosok yang berada di dekat pintu itu. Joanna yang menyadari adanya bahaya segera memperingatkan suaminya. “John, awas!” Mendengar peringatan tersebut, secara refleks John mundur ke belakang, namun tak urung dadanya sempat tersambar oleh cakar yang tak terlihat olehnya. Sambil memegangi dadanya yang berlumuran darah segar, John segera mundur dan bertindak melindungi istrinya. “Lihat itu,” kata Joanna ketakutan seraya menunjuk ke arah darah yang menetes itu. John melihat ke arah yang ditunjuk istrinya. “Joanna, aku tak tahu apa sebenarnya makhluk yang tak kelihatan itu. Tapi apa pun dia, dilihat dari goresan yang aku terima ini, jelas dia bermaksud membunuh kita. Jadi, kau harus segera berlari keluar begitu ada kesempatan.” Baru saja John selesai berucap, tiba-tiba terdengar suara yang bergema di dalam kamar. “Bodoh, kalian tak akan ke mana-mana kecuali ke neraka. Aku, Sir Aston Narrow, bersumpah akan membunuh para pencuri harta seperti kalian ini. Setiap orang yang menodai kesucian tempat ini harus mati.” Sekali lagi John memandang ke arah Joanna. “Satu hal sudah jelas sekarang. Tamu kita ini rupanya setan atau sejenisnya. Dan tampaknya ia tidak lolos kualifikasi sehingga tak bisa ke surga atau ke neraka.” Meskipun ketakutan, Joanna akhirnya tertawa juga mendengar lelucon suaminya. Sementara itu, John mengucurkan keringat dingin ketika tetesan darah itu mulai bergerak menuju ke arahnya. Dalam hatinya, John tidak memungkiri kalau ketakutan yang teramat sangat juga menghantui dirinya. Namun demi istrinya, ia tahu ia harus berusaha. Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Aston Narrow
26
Kilat kembali menyambar di kegelapan malam. Pada saat itu juga terlihat dengan jelas wajah Sir Aston Narrow. Mulut setan itu menganga dan tampak di dalamnya cairan darah busuk dengan ulat yang menggeliat di sela-sela giginya. John nyaris muntah karena bau busuk yang menyengat itu. “Sekarang, Joanna!” Joanna pun menerobos keluar dan mulai menuruni tangga. Namun ia segera kembali lagi ke kamarnya begitu mendengar teriakan pilu dari John. “John! Tidak!” Tubuh John berlumuran darah. John pingsan. Joanna tak kuasa menahan air matanya setelah melihat derita suaminya. Dalam kepanikannya, ia melemparkan semua benda yang bisa diraihnya ke arah setan yang sudah mulai tampak setelah tersiram darah segar itu. Salah satu benda tersebut adalah rosario. Fenomena luar biasa terjadi begitu rosario tersebut menyentuh roh Aston Narrow. Asap hijau tampak mengepul ketika rosario membakar makhluk penasaran itu. Setan itu meraung kesakitan dan akhirnya menghilang dari pandangan. Joanna segera mendekati John. Ia segera memangku suaminya dan membelainya dengan lembut. Air matanya yang menetes akhirnya mengembalikan kesadaran John. “John…” “Joanna, kenapa… kau belum ju-juga pergi?” “Aku tidak akan pergi tanpa dirimu, John.” Ke mana pun kita pergi, kita harus selalu berdua.” Joanna lantas membalut luka suaminya dengan seprei dan memapahnya pergi. Kedua berjalan begitu pelan. Dipengaruhi rasa takut di dalam hatinya, pintu utama terasa begitu jauh. “John, kita sudah sampai di pintu utama,” kata Joanna sambil berusaha membuka pintu. Tapi rupanya pintu itu terkunci dengan erat. “Aneh. Biasanya pintu ini mudah dibuka,” keluh Joanna sambil menyeka keringatnya. “Ada kesulitan rupanya. Bisa kubantu?” “Tentu. Tentu sa…” Tiba-tiba Joanna merasa ada yang tidak beres. Lidahnya terasa kelu. Suara tadi… Joanna segera menoleh ke belakang. Dugaannya tepat sekali. Wajah jelek rupa dan seram itu kini berada di depannya lagi. John bahkan telah lenyap entah ke mana. “Kau mencarinya?” ujar Aston Narrow seraya menunjuk ke langit-langit. Joanna mendongak ke atas. Dilihatnya John tergantung di langit-langit dalam keadaan terbelenggu oleh tanaman aneh di sekitarnya. Seketika itu juga, perasaan sedih, takut dan benci berpadu menjadi amarah. “Apa maksud dari semua perbuatanmu ini, Setan? Mengapa kau berbuat jahat kepada kami?” kilah Joanna sambil menatap tajam ke arah Aston Narrow. Dikasari seperti itu, Sir Aston Narrow mendelik dan melotot ke arah Joanna. Matanya yang merah seolah-olah hampir tercabut dari tempatnya. “Kalian manusia, semuanya sama saja. Kalian akan mengambil dan menguras hartaku. Harta itu milikku dan hanya untukku seorang. Kalian dengar itu? Hanya untukku seorang!!!” “Gila kau! Aku sudah sering mendengar tentang Dracula, Were-Wolf, Frankenstein dan setan-setan lainnya. Tapi baru kali ini aku mengetahui tentang setan yang mata duitan. Pantas saja kau tidak diterima di neraka!” bentak Joanna sengit. “Kurang ajar! Kalian akan kubantai seperti suami-istri Smith sepuluh tahun silam. Dan kau… kau akan kujadikan serpihan!!!” Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Aston Narrow
27
Arwah Aston Narrow melaju ke arah Joanna. Sejenak Joanna sadar kalau ia telah salah bicara. Namun kini satu-satunya pilihan adalah lari. Sekali ini Joanna berhasil menghindari sergapan roh jahat Aston Narrow. Iblis tua ini semakin murka karena serangannya luput. “Jangan girang dulu, Nak. Ingat bahwa aku adalah penguasa rumah ini,” tukas Aston Narrow sampai suara seraknya menggema di seluruh ruangan. Usai berkata, roh jahat itu menjentikkan jarinya yang bercakar itu. Segera sebuah kursi kayu melayang ke arah Joanna. Di detik terakhir, Joanna mengelak dan kursi itu hancur berantakan setelah terhempas ke dinding. Setan itu kembali memburunya. Joanna terpaksa berlari kesana-kemari tanpa tujuan yang pasti. Ketika ia hampir mencapai dapur, tiba-tiba daun pintu kamar terakhir terbuka sendiri dan menghantam mukanya. Joanna terhuyung dan terjatuh sambil meringis. Begitu ia mencoba berdiri, sebuah meja melesat mengenai pinggangnya. Sementara itu, lampu hias di langit-langit jatuh menimpa kakinya. Kaki yang kecil mungil itu berderak patah dan mulai dibasahi darah. Bersamaan dengan itu pula, dua buah pisau dapur meluncur deras dan menancap di kedua bahunya. Kaki yang patah dan bahu yang terluka membuat Joanna merasakan penderitaan yang luar biasa menyakitkan. Ia pasrah sudah akan nasibnya. Aston Narrow tertawa puas menikmati penderitaan Joanna. “Well, Joanna, aku masih mau berbaik hati padamu. Sebelum kau menemui akhir hidupmu, kusuguhkan sebuah hiburan padamu. Hiburan terakhir yang akan kau lihat di dunia ini, yakni pembantaian suamimu, hahaha!” Semangat Joanna muncul kembali saat mendengar suaminya akan dibunuh. Tidak. John telah mengorbankan dirinya untukku. Maka dari itu juga aku tak boleh menyerah. Tapi, apa dayaku kini? Perlahan-lahan tubuh John melayang mendekati Aston Narrow. Joanna memandang dengan perasaan cemas. Matanya melirik ke sekelilingnya dan baru berhenti saat tatapannya dialihkan ke kamar terakhir. Sebuah salib. Itulah satu-satunya harapanku. Sekarang, atau tidak sama sekali. Ia berusaha merangkak mendekati salib tersebut. Joanna tidak menyerah meski setiap gerakan yang dilakukannya menambah lebar luka di bahunya. “Nah, Joanna, saksikan…” “Kau yang harus lihat ini, iblis!” seru Joanna sambil mengacungkan salibnya. “Rasakan.” Joanna melemparkan salib itu dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Setelah itu, ia jatuh pingsan. Aston Narrow tidak dapat menghindari salib tersebut. Segera saja salib itu bereaksi begitu bersarang di tubuhnya. Asap hijau mengepul dari tubuh Aston Narrow. Kekuatan suci yang dimiliki salib tersebut mengurai habis arwah Aston Narrow. Lubang hitam di lantai yang muncul sebagai kelanjutan fenomena tersebut segera menyedot segala nuasa mistis jahat yang terdapat di rumah itu. Berakhir sudah legenda Aston Narrow yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Semuanya diakhiri oleh salib yang ditatap Sir Aston Narrow menjelang kematiannya. *** “Dimana aku?” gumam Joanna saat mulai siuman. “Seluruh badanku sakit se-… astaga, setan itu!” “Tenang, Joanna. Semua itu sudah selesai. Kau yang menyelesaikannya dengan baik sekali,” tutur John sambil membelai rambut Joanna. “Oh ya, lukamu, John…” “Tidak apa-apa. Lagipula luka ini tidak sebanding dengan penderitaanmu.” Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Aston Narrow
28
“Syukurlah kau baik-baik saja.” Joanna menarik napas lega. “Kini kita bisa tinggal dengan tenang di rumah ini. Aston Narrow… nama ini akan selalu mengingatkan kita pada kejadian ini. Kau setuju kalau nama rumah ini kita ganti, John?” “Aku baru saja hendak mengatakan hal ini padamu. Bagaimana kalau kita ganti menjadi Aston Villa saja?” Joanna memandang ke arah suaminya sambil tersenyum. “Dasar pecandu bola…” “Kau setuju, Joanna?” “Setuju.” ***
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Saint of Cookery
29
5. Saint Of Cookery St. Peter akan menyelenggarakan lomba memasak. Pemenangnya akan mendapatkan tiket ke Hong Kong untuk bertanding dengan God of Cookery Stephen Chow. Untuk para suporter, akan diberikan tour gratis ke Disneyland. Asyik, ‘khan? Para personel IIe juga tergiur oleh hadiah ini. Oleh karena itu, mereka memilih salah seorang di antara mereka untuk mengikuti perlombaan ini. Setelah rapat, akhirnya diputuskan bahwa Anthony yang akan diikutsertakan. Untuk itu, ia akan dikirim ke Cina untuk belajar. Sedikit gosip menerpa keberangkatan Anthony. Konon sebelumnya ada calon kuat untuk dikirim ke Cina. Dia adalah Rhoma ‘Yak Kheng’ Irama. Alasannya ia ceking dan irit soal makan, jadi dia lebih hemat ongkos. Sayang, Yak Kheng menolak karena harus berdakwah dari pesantren ke pesantren. Sebelum berangkat, warga IIe dengan sukarela menyumbangkan gocap dikali 48 siswa ditambah kiss-bye secukupnya untuk Anthony sebagai ongkos. Kalo kurang ditambah sendiri ongkosnya, kalo lebih ya, dikembali’in… *** Satu minggu kemudian, bersamaan dengan bunyi lonceng, Anthony telah tiba kembali di hadapan teman-temannya. “He’s back,” seru Edy. “Dan dia… makin tambah bego mukanya.” Pidato penyambutan yang kurang ajar ini kontan disambut dengan tepuk tangan yang meriah dari teman-teman. Kendati demikian, Anthony nggak tersinggung. Kini, sebagai juru masak, Anthony bersemboyan ‘direndahkan di depan kelas, ditinggikan di depan kuali’. Dia cuma tersenyum simpul dan menggerutu seperlunya di dalam hati. Setelah silaturahmi dan melepas rasa kangen, mereka pun mohon maaf lahir dan batin serta menyantap kue lebaran dan sunatan secukupnya (emang perangko, hehehe). Well, ah… maksudnya tuh, mereka mendaulat Anthony agar mempertunjukkan sedikit keahliannya. “Usul yang bagus. Mari kita ke kantin sekarang,” tandas Mr. Heru. Ketika diperiksa, di dapur kantin cuma tersedia bahan dasar seperti kwetiau, kecambah, sawi, telur dan bumbu masak seperti kecap dan sebangsanya (nggak termasuk rempah-rempah, ya?!). Menurut analisis para dogol kampungan IIe, paling banter hasilnya hanya kwetiau goreng telur model ibu kantin. Anak-anak cuma berharap kalo buatan Anthony akan lebih enak. “Kau yakin bisa?” tanya Angelia ragu. Sejenak Anthony tertegun oleh pertanyaan tersebut. Nih anak kok gak percaya banget ya, ama gua? pikir Anthony dalam hati. “Kamu yakin bisa?” Angel mengulangi pertanyaannya. “Cerewet. Kita lihat aja nanti. Entar gua kasi loe kesempatan pertama buat nyicipin.” “Oh, ya? Awas kalo gua sakit perut,” olok Angel. “Jangankan sakit perut, loe modar juga gak apa-apa,” jawab Anthony seenaknya sambil mempersiapkan diri. Atraksi dimulai. Dengan gerakan tak terduga, tiba-tiba sudah terlihat kuali berisi minyak goreng di atas kompor menyala. Sambil menunggu minyak mendidih, Anthony memotong sayur yang tersedia. “Memotong sayur pun ada tekniknya,” komentar juru masak kita. “Salah satu teknik yang paling sederhana adalah The Blue Danube Waltz Style. Iramanya teratur, sehingga hasilnya sama besar. Lihat, semua ini adalah irisan satu senti.”
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Saint of Cookery
30
Minyak mulai mendidih. Anthony meraih centing yang tergantung di sebelah kanannya. “Dan inilah… Dragon Swings Its Tail.” Sekilas terlihat tangan berkibas dan sayuran di meja lenyap dari pandangan. Meja dihentak. Seketika itu juga kwetiau terlempar dari plastik pembungkusnya. “Porsi satu orang,” ujar Anthony sambil memutar centingnya. Bagaikan pisau, centing tersebut mengiris jalinan kwetiau yang sedang melayang. Sisa kwetiau yang tidak dibutuhkan lagi jatuh kembali tepat di bungkusnya. Bumbu demi bumbu tertuang menjadi satu aroma ke dalam masakan tersebut. Tak lama kemudian kecambah pun turut dicampurkan. Sementara itu, tangan kanannya sibuk mengaduk suatu bumbu hingga saus kental. Setelah kwetiau goreng tersaji di piring, saus tersebut langsung disiram ke atas kwetiau. “Kwetiau goreng siram saus pastel a la Kanton dan… ups, hampir lupa.” Anthony segera membalikkan kualinya yang masih panas. Disiramkannya minyak goreng ke pantat kuali. Selanjutnya ia memecahkan telur tepat di tengah kuali tersebut. “Dan ini adalah telur goreng pantat kuali. Seperti yang kujanjikan tadi, kau boleh mencicipi masakanku dulu, Nona Bawel,” ucap Anthony dengan tenang. Angelia pun mencoba satu sendok. “Bagaimana?” tantang koki IIe itu. “Lezat… tapi masih kalah dengan masakanku,” tukas Angelia dengan nada mengejek yang profesional. Anthony kontan jengkel setengah mati oleh jawaban tersebut. Asal tahu aja, Angelia paling pantang memuji makhluk di sebelahnya yang bernama Anthony ini. Kalo soal olok-mengolok, nggak bakal deh, ada rasa segan. Namun untunglah jawaban dan komentar lainnya bisa sedikit menghibur. Suhendi, Mr. Bean kelas IIe, berkomentar, “aku merasa 100 kali lebih ganteng setelah menikmati hidangan ini.” “Biasanya bibirku mengembang seperti disengat tawon bila menyantap masakan pedas. Tapi yang ini tidak. Pedasnya menggairahkan sekali,” timpal Yoviana. “Lidahku sampai bergoyang oleh sedapnya saus istimewa ini.” “Telur gorengnya juga patut diacungi jempol. Tepinya garing seperti kerupuk, tetapi kuning telurnya empuk seperti agar-agar,” kilah Lisna. “Well, kalian puas?” tanya Anthony. “Tentu,” jawab mereka kompak, kecuali satu suara yang menjawab lumayan. “Syukurlah, sebab dukungan kalian akan sangat berarti bagiku,” ujar Anthony lega. *** Keesokan harinya, pertandingan akhbar itu dimulai. Tanpa banyak hambatan, Anthony membabat para saingannya di babak penyisihan dan memperoleh tempat di Quarter Final. Untuk babak Quarter Final sampai Final, panitia mengundang lima selebritis tenar untuk menjuri lomba memasak ini. Kelima juri tersebut adalah supermodel Cindy Kriput, bintang Rambo Sylvester Paralon, petinju Mike Kasem, pebasket NBA Scott’s Emulsion dan penyanyi John Lettoi. Anthony berikut ketujuh kontestan yang lolos penyisihan pun dipersilahkan mencabut undi. Setelah semuanya mendapat giliran, maka diumumkanlah hasilnya. Babak satu adalah pertandingan antara Rony, The Cool Handsome Prince (kulkas kali?!) lulusan Oxford fakultas memasak yang akan melawan Budi Hendra, koki utama Hoka-Hoka Bento. Babak dua akan diwarnai oleh Endrico The Vegetables Farmer melawan Parno, koki KFC yang dipecat karena sering memperkosa ayam Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Saint of Cookery
31
betina yang masih muda. Di babak ketiga ada Edy, The Master of Dog Food yang akan melawan rekannya, Mul, ahli masak dari emper-emper jalan. Babak terakhir adalah adu ketrampilan antara Anthony The Boy Wonder dengan Susanto The Evil Pig yang terkenal dengan ilmu jagal babinya. *** Bel tanda lomba dimulai berdentang. Di atas panggung terlihat Rony dan Budi. Kini keduanya akan mengadu keahlian masing-masing. Rony terlihat santai dan mantap dalam mengolah masakannya. Budi malah tampak agak gugup dengan wajah berkeringat. Saking tegangnya, dia bahkan tak sadar kalo jempolnya ikut terpotong. Tiga puluh menit kemudian, hidangan khas masing-masing sudah tersaji dengan rapi. Rony dengan ayam gulung royal empuk tanpa tulang + saus kari, sedangkan Budi menyajikan shasimi special campur sushi dengan bumbu daun salam istimewa. Juri-juri pun mencicipi dan memberi penilaian. “Sungguh sashimi istimewa,” tutur Cindy Kriput. “Wangi daun salam benar-benar terserap dengan baik oleh sushi sehingga membawa aroma dan rasa yang benar-benar khas.” “Sedangkan ayam goreng tanpa tulang ini,” lanjut John Lettoi. “Sungguh luar biasa. Dengan teknik Miracle Touch yang sakti, tulang yang dikeluarkan dari daging tidak sampai merusak bentuk aslinya. Selain itu, teknik Supreme Roll Style membuat saus kari terisi di setiap pori-pori daging ayam sehingga rasa nikmatnya benar-benar merata.” Mike Kasem segera mengumumkan pemenangnya. “Pemenangnya kali ini adalah Rony! Budi kalah karena tekniknya masih jauh di bawah Rony dan lagi ditemukan sebuah jempol di antara sashimi tadi. Lanjutkan partai kedua!!” *** Endrico dan Parno tampak berhadapan di atas panggung. Setelah itu Endrico menggelar teknik menjagal sapi yang malas membajak. Parno sendiri memperlihatkan teknik mashyurnya, 1001 cara memperkosa ayam. “Stop.” Scott’s Emulsion segera menghentikan pertandingan. “Peserta Parno didiskualifikasi karena mempertunjukkan sebuah teknik yang sama sekali tidak profesional dan bisa membawa dampak buruk bagi remaja. Pemenangnya kali ini adalah Endrico.” Partai selanjutnya, Edy berhasil meng-KO Mul dengan telak. Dua buah telur mata sapi yang digorengnya terlontar ke arah Mul dan mendarat tepat di matanya. Mul kontan juling dan akhirnya jatuh tercebur ke kualinya. Oleh Edy, Mul langsung digoreng, dimasak dan ditumis. Masakan tersebut lantas diberi nama sapi nyengir tumis tomat. Pertandingan terakhir di Quarter Final rupanya juga diwarnai kartu merah. Susanto langsung dicekal setelah tertangkap basah mengupil (korek idung, bego!) selagi memasak. Semi Final babak pertama adalah pertarungan antara Rony dan Endrico. Anthony terlihat duduk menyaksikan jalannya lomba bersama penonton. Entah kenapa dia terlihat begitu tertarik dengan pertandingan ini. Lomba ini sungguh berjalan menakjubkan. Rony menghentakkan tangannya ke atas meja sehingga bahan-bahan masakan melayang ke udara. Pada saat itu pula, pisau di genggamannya menari di antara bahan-bahan tersebut. Pisau itu seolah-olah menjadi hidup dan bergerak ke sana kemari untuk memotong, mengiris, membelah dan mencincang.
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Saint of Cookery
32
Endrico sendiri juga menggelar teknik yang tidak jauh berbeda. Pisau melayang ke udara saat meja digetok olehnya. Saking rumitnya teknik yang diperagakan, entah bagaimana pisau itu kemudian jatuh ke dalam mulutnya. “Saudara-saudara, itulah teknik Senjata Makan Tuan yang paling sempurna,” ujar John Lettoi sambil mengheningkan cipta. Di belakangnya tampak sebuah tandu dengan sosok tubuh yang dibungkus dengan kain kafan. Seorang profesional sejati, pikir Anthony saat menatap Rony membakarkan dupa untuk Endrico… *** Babak selanjutnya, pertarungan antara Edy dan Anthony ternyata disudahi dengan kemenangan di pihak Anthony. Dengan demikian jelas sudah peta kekuatan jagoan kita ini. “Para hadirin yang saya hormati, sebentar lagi akan kita jelang partai Final Impian. Setelah istirahat selama satu jam, kini kedua finalis siap untuk beradu.” “Teng!!!” Kedua peserta kini beraksi. Setiap atraksi mereka selalu membuat penonton terkesima, bahkan sampai tak berkedip. Delapan Belas Tapak Budha Emas milik Anthony berebut poin dengan teknik Shakespeare Menggores Pena dalam hal mengolah daging. Cara memasak yang disuguhkan juga tak kalah hebatnya. Teknik Dua Naga Berebut Mutiara mendapat tantangan keras dari teknik Elang Perkasa Mengepak Sayap. Bel berdentang menandakan bahwa waktu telah habis. Kini para juri akan menilai pu yung hai kepiting setengah bunting-nya Anthony dan steak kaisar bumbu saus spaghetti hawaii milik Rony. “Juri memutuskan bahwa teknik keduanya sama-sama luar biasa. Karena itu dinyatakan seri. Mengenai masakannya…” Sylvester Paralon berhenti dan menoleh ke arah rekan-rekannya. “Pu yung hai yang luar biasa. Daging dan telur kepitingnya tercampur dengan rata sekali meski cangkang kepitingnya tidak dibuka. Kuah asam manis yang disiramkan ke seluruh bagian Pu Yung Hai juga memberi cita rasa yang tiada tara. Nilai sepuluh untuk Anthony.” “Steak ini juga tidak kalah hebatnya. Melalui proses memasak yang jenius, bistik ini matang dari dalam ke luar, dari tepi sampai ke intinya. Saus spaghettinya juga sangat menggiurkan. Tak tertandingi.” “Babak ini seri. Berdasarkan kesepakatan bersama, para juri menggelar babak tambahan. Kali ini adalah kesempurnaan masakan yang diperhitungkan, bukan teknik,” kata Mike Kasem. Anthony terpana mendengar keputusan ini. Tak mungkin. Ini masakan terbaikku, pikir Anthony. Ia menoleh ke arah Rony yang begitu tenang. Kemudian ia menatap teman-temannya yang mulai mencak-mencak. Habislah aku, kecuali… “Dewan juri yang terhormat, untuk menyelesaikan masakan kali ini, saya butuh bantuan. Bisakah saya mengajukan seseorang sebagai asisten saya?” Cindy Kriput berpikir sejenak. “Saya kira tak ada larangan untuk itu. Silahkan saja.” “Perlombaan dimulai!” seru Scott’s Emulsion. “Waktu satu jam.” Rony si tangan kilat segera beraksi. Ada pun Anthony masih saja terbengongbengong untuk memilih partner-nya. Ketika pandangannya beralih, ia menemukan Angelia yang kebetulan berada di sampingnya. “Angelia…” Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Saint of Cookery
33
Orang yang dipanggil malah gugup. “Aku?” “Kemarilah. Aku butuh bantuanmu…” “Tapi aku tidak pandai memasak,” tolak Angel. “Tak masalah. Yang penting adalah apakah kau yakin kalau kita bakal menang?” “Mmm… tentu.” “Bagus.” Anthony menarik napas lega. “Sekarang irislah bawang itu dan goreng. Biar aku yang menangani bahan lainnya.” Anthony kembali beraksi. Semangatnya bangkit kembali. Ia segera mencuci beras, memotong sayur,mengolah daging, mendadar telur dan memasak kaldu. Waktu terus bergulir mendekati ambang batas. Begitu bel berbunyi, masakan keduanya telah tersaji di hadapan juri. Sepiring nasi goreng dari Anthony dan semangkok sop hisit daging paus dari Rony siap untuk dinilai. “Sop hisit yang luar biasa!” sorak John Lettoi tanpa sadar. “Daging pausnya benar-benar empuk. Kekentalannya juga pas sehingga tidak menimbulkan rasa muak bagi yang mencicipinya. Sangat sempurna untuk hidangan pembuka.” “Nasi goreng ini juga… nasinya tidak terlalu lembek, sayurnya masih terasa renyah dan dagingnya gurih serta berpadu dengan kaldu secara menakjubkan. Kendati demikian, nasi goreng ini masih kalah dengan… tidak, tunggu dulu!” Tiba-tiba Scott’s Emulsion berteriak spontan. “Ada suatu perasaan hangat yang mengalir di hatiku, suatu perasaan bangga!” “Tentu, itulah sebabnya mengapa nasi goreng tersebut bernama Sentimental Fried Rice With Tears Of Glory,” tutur Anthony. “Bagaimana? Apa? Mengapa? Coba dijelaskan,” pinta Sylvester Paralon. “Bawang goreng. Itulah kunci utamanya. Saat mengiris bawang, seseorang tanpa sengaja akan berurai air mata. Air mata yang membawa perasaan seseorang itulah rahasianya.” “Satu pertanyaan lagi. Mengapa harus Angelia yang mengiris bawang itu?” “Sederhana saja. Aku tidak yakin kalau aku akan menang. Kebetulan Angelia adalah orang pertama yang kulihat dan lagi pula dia memiliki keyakinan menang.” “Hebat! Untuk itu, kami selaku dewan juri dengan bangga mengumumkan bahwa Saint of Cookery 1997 adalah… Anthony!” Seketika itu juga St. Peter bergemuruh. Tepuk tangan menggelegar dari segala penjuru. Blitz kamera menyambar tiada henti. Para suporter IIe pesta pora saat penyerahan trophy. Usai penyerahan trophy, Anthony menghilang di antara kerumunan. Ia menyelinap di sela-sela keramaian untuk mencari seseorang… “Angelia…” tegur Anthony. Angel menoleh. “Terima kasih,” ucap Anthony. “Berkat bantuanmu aku, eh, maksudku kita bisa juara. Aku takkan pernah bisa melakukannya tanpa dirimu.” “Maksudmu?” Anthony diam, namun tersenyum penuh arti. Tak jauh dari mereka, seorang fotografer amatir menemukan mereka. “Hebat, foto ini akan memenangkan Pulitzer 1997. Saint of Cookery dan seorang gadis manis.” “Klik.” ***
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
IIe: The Story
34
6. IIe: The Story Kelas IIe adalah bagian kecil dari St. Peter. Kendati begitu, kelas tersebut sangat terkenal di mata publik hingga skala internasional. Suatu ketika wartawan dari tabloid The Smile datang mewawancarai para personel kelas ini. Inilah hasil liputan eksklusif tersebut… Ironi Mariah Carey “Angelia, saya dengar baru-baru ini anda menjuarai lomba olah vocal versi burung parkit sekodia Pontianak?” “Betul.” Angelia menjawab singkat. “Kalau begitu apa yang memotivasi anda dalam perlombaan ini sehingga bisa menjadi juara?” “Mariah Carey,” tutur Angelia. “Anda tertarik pada kemampuan olah vokalnya?” “Tidak, saya tertarik karena kami berdua sama-sama kere…” Ilham Sang Penulis “Anthony, di pasaran internasional, namamu sudah setingkat dengan Sir Arthur Conan Doyle, Edgar Allan Poe dan Jules Verne. Sesungguhnya apa rahasia anda sehingga dapat melahirkan ide-ide jenius ini?” “Oh, mudah saja. Saya mendapat ilham dari orang yang duduk di belakang saya. Setiap kali saya menoleh ke belakang, wajah jelek itu selalu mengingatkan saya betapa dunia ini masih jauh dari sempurna.” Rahasia Sang Juara “Antonius, saat ini anda adalah orang nomor satu di IIe. Apa rahasianya sehingga anda bisa menggapai sukses ini?” “Rahasianya, selain kita harus murah senyum, kita juga harus pandai memberikan tip pada guru dan rajin membuka buku pada saat ujian. Anda mengerti maksud saya, bukan?” Sifat Orang Berbudi “Dari nama anda, anda pasti seorang yang berbudi, Tuan Budiman?” “Tidak salah. Saya selalu menyalurkan dana kepada orang yang membutuhkan.” “Anda sungguh dermawan…” “Tentu. Setelah dua bulan, uang tersebut saya tagih kembali dengan bunga sebesar 20%.” Asal-Usul Kulit Berwarna “Mengapa anda begitu hitam, Cecilia?” “Itu karena saya dilahirkan dalam tungku yang sedang menyala.” Cun Chuan Dan Kacamata “Sejak kapan anda mulai memakai kacamata?” “Sejak mata saya mulai rabun karena saya sering nonton film porno…”
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
IIe: The Story
35
Aku Anak Sehat, Tubuhku Kuat… “Eddy, terkadang dalam suatu peristiwa, muka anda menjadi merah. Kenapa bisa begitu?” “Ini dikarenakan sewaktu masih kecil, saya lebih sering diberi minum Krating Daeng daripada susu.” Hubungan Antara Tikus Dan Film “Eddy Susanto, di balik penampilan anda yang low-profile, rupanya anda juga seorang pebasket handal…” “Ya, begitulah. Baru-baru ini saya bermain dalam Space Jam sebagai… stuntman.” Kejiwaan “Edy, bagaimana tanggapan anda dengan ucapan Anthony tadi?” “Saya bisa memakluminya. Anda tahu, kami berdua adalah lulusan RSJ. Sungai Bangkong beberapa waktu lalu.” Gaya Dan Cara “Erna, kenapa gaya dan cara berbicara anda meniru-niru gaya bangsawan?” “Saya rasa ini wajar, Tuan Wartawan. Anda tahu, 10% dari darah saya berwarna biru. Dan darah biru adalah darah bangsawan, bukan?” Arti Panjang Dan Pendek “Elisa, sewaktu anda berambut panjang, anda terlihat lebih menawan. Kenapa musti dipotong pendek?” “Ketombe saya berjubel sewaktu berambut panjang. Makanya saya potong pendek.” “Sekarang tidak lagi?” “Masih, kok…” Mengapa Begini? Mengapa Begitu? “Gunarto, anda diyakini sebagai tokoh terpopuler di IIe. Mengapa bisa sampai begitu?” “Saya bisa begini ya, karena begitu.” “Jadi begitu?” “Ya, ini dan itu.” “????” Cita-Citaku “Hardy, anda begitu hebat dalam memainkan gitar. Apakah anda ingin sehebat Slash atau Carlos Santana?” “Tidak.” “Atau mungkin anda ingin setenar Green Day…” “Tidak, Bung. Saya sudah puas dengan hanya menjadi pengamen jalanan.” Makna Dari Terpanjang Dan Tertinggi “Harry, saya kira anda adalah siswa tertinggi di kelas ini.” “Itu tidak sepenuhnya benar. Tapi saya kira saya akan setuju jika anda mengatakan kalau ‘punyaku’ adalah yang terpanjang.”
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
36
IIe: The Story
Gigiku Adalah Gigimu “Hartono, kanapa anda bisa kehilangan dua gigi depan anda?” “Anda kenal Bugs Bunny? Kedua gigiku telah kusumbangkan kepadanya.” Diam Adalah Bijak “Hengky, kenapa anda begitu pendiam?” “Jika saya banyak bertingkah, pasti banyak prilaku menyimpang saya yang terbongkar.” Nasibmu ‘lah, Nak, Nak… “Henry, sejak kapan kau menjadi orang yang tidak bersemangat?” “Sejak saya menjadi OHIDA (Orang Yang Hidup Dengan AIDS).” Keamanan Dan Pengamanan “Luyi Nguan, anda pulang kampung saat terjadi kerusuhan. Bagaimana kesan anda?” “Sangat mengerikan. Tapi untunglah saya selamat karena saat itu saya mengenakan helm standard.” Balada Seekor Sapi “Mul, kenapa teman-temanmu memanggilmu dengan sebutan sapi?” “Itu wajar. Tidakkah anda lihat wajah saya dan muka sapi seperti pinang dibelah dua?” jawab Mul kalem (kayak lembu). Antara Polos Dan Sensualitas “Yoviana, bibir anda sungguh sensual…” “Ya, saya tahu.” “Ehm, maksud saya bibir anda tampak begitu sensual sewaktu sedang mengembang.”
***
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
April Fool’s With IIe
37
7. April Fool’s With IIe Apa kaitan antara 1 April alias April Mop dan kelas IIe? Seperti yang kita ketahui, Amerika dan negara-negara di Eropa menjadikan hari tersebut sebagai hari berbohong nasional. Trus, apa hubungannya dengan IIe? Ah, gampang. Sembilan dari setiap sepuluh orang di IIe adalah pembohong, mulut besar dan pembual. Gak percaya? Coba loe tanya ama Lisna Wati: siapa orang paling ganteng di IIe atau bahkan di jagad ini? Percaya atau tidak, jawabannya pasti Edy. Nah, itu ‘khan jelas bohong belaka (bullshit!!). Si Edy tuh, kalau dijajarin ama monyet, lutung, siamang, gorilla, lemur, orangutan de el el aja masih lebih keren simpanse. Kalo jawabannya orang paling keren di dunia adalah Anthony sih, masih bisa diterima akal sehat, ya? Trus… si Edy itu juga tidak kalah noraknya. Masa Lisna disetarakan ama Vivian Chow yang bintang film itu. Mustinya Lisna itu dibandingin ama Mdm. Sri Mazenah (tepung jagung kali?!), Mdm. Supri atau Mdm. Rohani. Pasti semua setuju kalo Lisna lebih cakep dari ketiga kandidat yang udah lewat masa expired-nya itu. Mul sang ketua kelas juga nggak kalah sablengnya. Dia berani sesumbar kalau dia sempat jadi pembaca teks Sumpah Pemuda pada saat upacara, maka sumpah keempat akan berbunyi: “Kami sapi-sapi Indonesia, merumput, di satu lapangan rumput, lapangan sepakbola.” Makhluk yang namanya Hartono juga termasuk golongan pembohong abad ini, bahkan dia adalah nominator pembohong tahun ’97. Bo’ongnya sih sederhana aja. Kalo loe tanya ke mana kedua gigi depannya menghilang, dia pasti bakalan jawab kalo kedua giginya tengah disumbangkan untuk Bugs Bunny yang lagi shooting. Tapi di kelas IIe ini yang pandai berbohong bukan cuma cowoknya. Cewekcewek juga pandai membual, bahkan ada yang tingkatannya lebih tinggi daripada cowok. Contohnya? Ah, seabrek-abrek. Angelia bisa dijadikan contoh. Meski cewek berambut panjang ini tampak polos dan namanya diberi embel-embel “Angel” segala, tapi soal berbohong jangan pernah ditanya apalagi dijawab. Kalo dikategorikan, Angelia ada di tingkat S3 atau setara dengan Doktor. Kendati para pembohong (termasuk sang wali kelas) begitu dominan di kelas IIe, namun ada juga kelompok kecil yang tak pandai berbohong meskipun teramat sangat ingin. Eddy adalah contoh konkritnya. Makhluk ini tampak jelas kalo sedang berbohong. Ciri-cirinya adalah kalo pipinya merah duluan, dia pasti lagi berbohong. Lain halnya kalau jidatnya merah duluan. Itu pertanda pikirannya sedang porno. Antonius lebih parah lagi. Dia mengidap suatu penyakit yang disebut Un-lieable Disease. Jadi kalo dia sedang berbohong, penyakitnya bakalan kumat. Gejala awalnya muka pucat pasi, trus berkeringat dingin dan ketiak basah kuyup serta mulut yang berliur dan berbusa. Dua menit kemudian ngompol di celana. Puncaknya dia bakalan ketawa sendiri dan mengakui kebohongannya. Adapun Tuty sebenarnya adalah pembohong handal. Tapi oleh Bapak Klasifikasi Tingkatan Pembohong IIe yakni Mr. Heru, Tuty dimasukkan ke mesin cuci… eh, nggak, ding. Maksudnya Tuty dimasukkan ke kelompok minoritas bukan pembohong. Alasannya? Begini, sebagai seorang pembohong, Tuty bekerja secara profesional (satu kebohongan sama dengan US$ 100). Akan tetapi cara berbohongnya teramat mudah dideteksi. Tuty cukup diinterogasi dengan sehelai bulu ayam di depan mukanya. Kalo
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
38
April Fool’s With IIe
dia jantungan dan pingsan, berarti dia sedang berbohong. Yah, perlu diketahui kalo Tuty adalah penderita kemoceng-phobia. Well, itu sekilas gambaran tentang kondisi yang tengah terjadi di pasaran sehingga menyebabkan harga indeks saham gabungan turun drastis hingga minus. Tapi warga IIe adalah orang-orang yang peka. Untuk mengembangkan, menyalurkan dan menguji bakat mereka tanpa mempengaruhi jalannya ekonomi, mereka membuat suatu acara karena mereka sadar tak mungkin menyalurkan hasrat (hasrat?) lewat Spectrum. Supaya bisa berbohong tanpa dosa, maka acara ini diselenggarakan pada tanggal 1 April. Atas prakarsa Gunarto, acara ini diberi nama: A Night Of Fool’s Jam menunjukkan pukul 05.30 PM. Sebentar lagi mentari akan tidur dan rembulan akan bertugas ronda malam. Di dalam ruangan aula, tampak para panitia bergelimpangan karena lelah setelah bekerja seharian. Edy terserang rematik plus keputihan karena mengecat ruangan aula dengan kuas menggambar dan sempat terciprat cat minyak berwarna putih. Yak Kheng patah tulang lantaran tertimpa piano sewaktu mengangkat peralatan band. Mul sendiri menderita sakit di sekitar dadanya setelah diperah dengan paksa saat panitia kehabisan air aqua. Tak lama kemudian, terdengar sirene ambulan meraung-raung menghampiri mereka. Oleh petugas ambulan, para panitia langsung diopname dan diantar pulang ke rumah masing-masing. Seperti biasa, acara dimulai pukul tujuh malam. Satu jam sebelumnya, para personel IIe yang ditunjuk hadir terlebih dahulu. Mereka harus mempersiapkan diri dan sarana pesta demi suksesnya acara. Setelah tampil gemilang dalam Old And New With IIe, Anthony kembali ditunjuk sebagai MC. Selain itu dia juga bertanggung jawab atas hidangan yang tersedia. Saint Of Cookery ’97 itu musti bisa menyiapkan hidangan yang lulus sensor dari dua juru cicip tenar IIe, Yoviana dan Variana. Untuk susunan penyanyi, Angelia tetap dipertahankan. Mr. Heru mengundurkan diri setelah insiden yang lalu. Suhendi juga berhenti menjadi vokalis. Dia turut bergabung dengan Band It. Kendati begitu, Mul akan turut meramaikan acara sebagai vokalis. Demikian juga halnya Eddy Susanto, vokalis kelompok Bay-Ko atau Brother-Bay (Take That-nya kelas IIe). Grup Band It juga turut meramaikan acara ini. Namun formasinya sudah berubah. Pembetot bass Hermanus sudah meninggalkan sekolah dan kelas tercinta untuk selama-lamanya (maksudnya pindah sekolah, jangan diartikan yang lain, dong!). Formasi yang berlaku sekarang adalah Harry-lead guitarist, Cun-Chuanrhythm guitarist, Iwan menggantikan Hermanus memainkan bass guitar, Hardy the drummer dan Suhendi, yang merupakan anggota baru, bermain kecapi. *** Tiga puluh menit lagi pesta dimulai. Ketika mendapat kabar bahwa hidangan belum tersaji pada tempatnya, Yanti berjalan menuju lab. kimia yang dijadikan dapur oleh Anthony. Di depan pintu aula, ia melihat asap putih yang mengepul sambil membawa aroma yang menggoyang lidah. Tak lama kemudian asap putih itu berganti menjadi asap hitam dan berbau gosong. Dua menit berikutnya, lab. kimia itu terbakar beneran! Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
April Fool’s With IIe
39
Anthony keluar sambil membawa sebuah nampan. Ia segera disusul oleh Yoviana dan Variana yang masing-masing mendorong meja makan berisi beragam masakan. Yanti langsung mencak-mencak. “Apa yang kau lakukan sehingga lab. kimia sampai terbakar, Saint Of Cookery?” “Kau harus tahu kalau aku sedang mencoba resep terbaruku, bistik super garing ekstra empuk. Untuk membuatnya benar-benar lezat, kita perlu api sebesar ini,” ujar Anthony santai sambil menunjuk ke arah lab. dengan muka tak berdosa. *** Tamu-tamu mulai berdatangan saat jam bergulir mendekati pukul tujuh. Rusdy hadir bersama Ice dengan helikopter. Edy dan Lisna tiba dengan limousine. Elisa dan Hartono datang dengan Harley-Davidson. Luyi Nguan pake sepeda dan Suwandi hadir memakai gerobak. Seperti pada tahun baru yang lalu, pada acara A Night Of Fool’s ini juga diundang tamu-tamu asing. Angelina sudah tampak di ruangan sambil menikmati minuman segar. Susanto ‘Babi’ juga udah ada di situ mewakili IId. Teng Lai juga hadir di pesta ini mewakili IIc sekaligus Spectrum. Tampak juga di situ Budi Hendra dari IIc, Endrico dan Sylvia yang mendapat undangan khusus dari Suhana. Rony, finalis Saint Of Cookery ’97 turut serta mengikuti acara ini bersama Karmilla setelah diundang mantan rivalnya, Anthony. Sebelum acara dimulai, para tamu dipersilahkan mencicipi hidangan istimewa dari Saint Of Cookery IIe. Berjenis-jenis makanan mulai dari gaya kutub utara sampe kutub selatan tersaji di situ. Tepat pukul tujuh, lampu di ruangan aula mendadak padam. Sebuah spotlight yang khusus disorotkan ke panggung menyala saat sebuah mawar merah dilempar ke lantai panggung. Seiring dengan diputarnya theme-song Tuxedo Bertopeng, MC kita melayang turun dari atas panggung dengan jubah berkibar-kibar. Entah karena persiapan yang kurang sempurna atau disabotase, tiba-tiba tali kawat yang menderek Tuxedo Anthony putus! Walhasil Anthony mencium lantai panggung dengan hidungnya yang gede duluan menyentuh lantai. Sementara itu, para penonton yang rada-rada bego mengira ini adalah atraksi pemanasan yang disiapkan pihak penyelenggara. Segera mereka berdiri memberi tepuk tangan yang meriah untuk MC Anthony. MC Anthony yang tadinya udah bersiap-siap diketawain para hadirin berbalik memanfaatkan situasi. “I Started A Joke…” MC kita melantunkan lagu lama ini dengan pelan untuk mengibuli penonton tentang insiden tadi. “Okay, para penonton yang saya hormati, sekarang kita mulai acara kita. Untuk acara pertama, grup Band It akan tampil menghibur kita semua. Sedangkan vokalisnya adalah seorang yang sudah sangat kita kenal dengan baik…” Lima orang pemuda berkemeja lengan panjang dengan dasi dan celana pendek yang menonjolkan kaki penuh bulu naik ke panggung. Dari samping panggung muncul makhluk aneh berkostum sapi. “Hadirin, kita sambut Band It dan Mul Agu, penyanyi beraliran alternatif sumbang. Mereka akan membawakan lagu tenar No Doubt yang sudah diaransemen ulang oleh Edy, seniman kampungan kelas IIe.” Intro lagu dimainkan oleh Suhendi dengan kecapinya. Kemudian ketiga gitaris dan penyanyi beraksi. Hardy si penabuh drum turut serta saat refrain akan dinyanyikan. “Don’t fuck…” Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
April Fool’s With IIe
40
Penonton langsung memberi sambutan saat kalimat pendek itu dilantunkan. Suasana semakin histeris di kala Mul menggoyangkan ekornya baik yang di depan maupun yang di belakang saat mengikuti irama lagu. Mr. Simon, guru PPKN kita, langsung mengundurkan diri dari jabatannya setelah menyaksikan pertunjukan. “Tak ada lagi yang bisa saya ajarkan. Inilah akhir dari pendidikan moral di St. Peter,” komentarnya dengan mata berkaca-kaca. Beberapa saat kemudian lagu selesai dinyanyikan. Seluruh penonton berdiri sambil mengacungkan lilin untuk memberi penghormatan terakhir kepada Mul yang langsung ditangkap Mr. Agus dan tak pernah kembali lagi hingga pesta bubar. “Okay, kita tinggalkan si Mul yang akan berurusan dengan pihak sekolah. Selanjutnya kita akan beralih ke drama. Untuk memperingati hari Valentine yang baru berlalu, kami persembahkan Romeo and Juliet. Sebuah karya klasik nan mashyur dari William Shakespeare yang telah dimodernisasikan oleh tangan-tangan jahil IIe. “Adegan kedua puluh, babak pertama. Silahkan, para pemain!” Anthony menjentikkan jarinya. Latar pun berganti. Sementara itu, Hengky Hermanto sebagai penata lampu segera menjalankan tugasnya. Juliet (Lisna Wati) sedang berdiri di perempatan jalan untuk menunggu ojek. Pada saat itu datanglah Romeo (Edy) mendekatinya. Juliet tampak tertegun oleh kedatangan Romeo. Adapun Romeo sendiri langsung melempar rayuan-rayuan gombalnya. “Juliet, percayakah kau akan cinta pada pandangan pertama?” ujar Romeo sambil mengobral senyum. “Wah, nggak tahu, ya. Soalnya yang gua lihat saat ini cuma tampang bejat dan senyum mesum.” Romeo tersentak kaget. Begitu cepat kedoknya terbongkar. Ia pun pasang kuda-kuda plus tampang sendu. “Juliet, tataplah aku. Katakan apa yang kau lihat.” Juliet termenung sejenak. “Ih, matamu jorok. Banyak kotorannya.” Lagi-lagi Romeo terkejut. “Oh, maaf. Kemarin daku ronda malam. Jadinya kurang tidur.” Romeo lantas mengucek-ngucek matanya dengan maksud membersihkan. “Sekarang, katakan apa yang kau rasakan dari tatapanku?” Kini giliran Juliet yang kaget. “Astaga, aku baru menyadarinya… pandangan yang buas dan penuh maksud tak baik.” Romeo jadi gelagapan. “Lho, kok nggak nyambung dengan naskahnya?” Juliet pun kesal. “Kamu yang nggak nyambung. Gua udah ngapalin teks dari Gunarto setengah idup juga…” Romeo bingung sambil menggaruk-garuk kepala sehingga ketombenya bertaburan di atmosfir. “Lha, sekenarionya gua dapat dari Yak Kheng. Janganjangan…” “April Mop!!!” seru Gunarto dan Yak Kheng dari belakang panggung. Yak Kheng yang patah tulang akibat tertimpa piano muncul di pentas dengan kursi roda dan nyengir kesana-kemari. “Kita dikibulin. Kita dijadikan badut di depan penonton,” seru Edy dan Lisna dengan muka merah padam. Tirai penutup diturunkan. MC Anthony muncul sambil terpingkal-pingkal. “Begitulah, para penonton. Baru kali ini ada pemain drama yang dibohongi di atas pentas. Salam April Mop,” kata Anthony diiringi tepuk tangan penonton. Di belakang panggung, Edy rupanya nggak bisa terima lelucon ini. Ulah Yak Kheng harus dibayar mahal. Setelah suara gedebak-gedebuk, Yak Kheng melayang keluar berikut kursi rodanya dengan muka babak belur dan mulut berbuih.
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
April Fool’s With IIe
41
Kendati begitu, gengsi Yak Kheng cukup tinggi juga. Sebelum diangkat ke Puskesmas, Yak Kheng sempat mengucapkan kalimat dari puisi tenar Chairil Anwar. “Kami hanya tulang-tulang berserakan,” tutur Yak Kheng untuk melukiskan keadaan dirinya… *** “Kita lanjutkan acara kita. Kini kita melangkah ke telekuis Englishman! Silahkan, Henry Budiharjo!!” Henry melangkah dengan tenang ke panggung walaupun dihujani telur busuk dan teriakan ‘Huuuu!!’. “Para hadirin, bagi yang berhasil menjawab kuis akan memperoleh hadiah bertamasya ke alam baka dengan tiket pergi tapi nggak dengan tiket kembalinya. Pertanyaan pertama, binatang apa yang kelaminnya ada di atas punggung? Kami beri waktu tiga menit.” Penonton benar-benar bingung dibuatnya. Tiga menit pun berlalu. “Nggak ada yang bisa? Sayang sekali, padahal jawabannya gampang, lho. Kuda lumping!!!” Penonton jadi jengkel dibuatnya. “Kuda lumping berkelamin? Itu sih, kelamin kamu! Turun, turun!!” Para penonton mulai beringas. Mereka akan melempar apa saja yang berada di dekatnya. Mulai dari cangkir hingga rudal. Untuk menyelamatkan situasi, MC Anthony segera bertindak cepat dan tepat. Henry ditendang turun dari panggung agar bisa digebuk penonton. Dengan demikian pentas bisa diselamatkan dari amukan penonton. Tak lama kemudian Henry juga menyusul Yak Kheng ke Puskesmas. *** Kejengkelan pada Henry menyebabkan situasi memanas. Untuk menyegarkan suasana kembali, maka acara yang potensial pun digelar. Angelia, penyanyi tenar IIe, ditampilkan. Saat Angelia muncul, histeria massa menyapu seluruh ruangan. Ruangan aula terasa riuh rendah dan hingar bingar. Penonton bagian depan pingsan semua. Anthony sendiri langsung memakai masker dan menyemprotkan Bay Fresh sebanyak satu lusin. Kok? Yah, ini dikarenakan Angelia memakai parfum aroma bunga Rafflesia Arnoldi, sih! Suasana berubah total saat Angelia membawakan lagu Forever-nya Mariah Carey. Penonton terkesima sampai tak bisa berkata-kata. Bahkan ada yang bersedia memberi duit gocapan segala! “Suit-suit. Bravo. Encore!! Encore!!” pinta penonton. Angelia tersenyum. Kalo satu orang nyanyi aja dapat gocap, kalau dua orang pasti dapat cepek, pikirnya. Ia pun memandang ke arah penonton dan bergaya menenangkan penonton seperti Evita saat ia akan melantunkan Don’t Cry For Me Argentina. “Untuk lagu berikutnya, saya minta Angelina untuk menemani saya. Silahkan, Angelina.” Angelina naik ke panggung untuk menyertai kakaknya. Sejenak keduanya terlihat mendiskusikan lagu apa yang akan mereka bawakan. “Two Become One,” kata Angel bersaudara dan disambut meriah oleh penonton. Lagu tersebut dinyanyikan dan dimainkan dengan begitu luar biasa. Suara alunan piano dan organ silih berganti menderu bagaikan ombak bergulung-gulung. Saking memukaunya, para penonton jadi juling semua. Acara pun berganti. Para penonton bahkan tak sadar saat Gunarto naik mengisi acara menggantikan Angel bersaudara. Baru saat suara cadel yang bariton itu
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
April Fool’s With IIe
42
terdengar, penonton seolah terbangun dari Sweet Dream dan jatuh ke dalam Nightmare. Ratusan sepatu melayang ke arah Gunarto yang sedang membaca puisi itu. Walhasil Gunarto KO dengan sukses. Yah, sesuai dengan judul puisi barunya, Nasib Oh Nasib. “Sebelum pesta berakhir, ini ada bingkisan dari panitia untuk penonton semua,” ujar MC Anthony. “Silahkan dibuka.” Begitu pita ditarik, kado langsung meledak. Serbuk arang yang hitam mengenai muka para hadirin. “April Mop!! Hahahaha…” MC Anthony terbahak-bahak. Tanpa ia sadari, penonton ngamuk berat. Tak sampai satu menit, Anthony pun dikirim ke Puskesmas menyusul Yak Kheng dan Henry. “Orang-orang disini sungguh tak mengerti makna April Mop. Aku adalah korban keganasan orang-orang barbar ini,” tutur Anthony kepada BBC saat digotong ke mobil ambulans. “Untuk penutup acaranya, biar saya yang menghibur anda.” Eddy Susanto muncul dengan gaya yang mengagumkan. Penonton menoleh. Kemudian dengan tampang beringas mereka menghampiri Eddy Susanto. Eddy jadi panik. Mukanya yang udah pucat menjadi albino. Dengkulnya beradu. Saking takutnya, Eddy Susanto jadi ngompol di celana. “Kalian mau apa? Jangan pukuli aku,” katanya dengan wajah pasrah tapi bergairah. “April Mop!” Para penonton tergelak-gelak. Dan Eddy Susanto pun langsung pingsan dengan sukses. ***
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
A Night Of Magic
43
8. A Night Of Magic Apa kaitan antara dunia perfilman dan IIe? Sepintas lalu pertanyaan ini terasa janggal, ya? Namun sebenarnya tidak demikian jika kita kaji sungguh-sungguh. Selama satu tahun terakhir ini IIe telah menjadi industri perfilman dunia. Selama itu pula IIe telah menghasilkan ratusan karya bermutu bagi dunia. Pengen bukti? Okay. Simak saja sebagian data dari kegiatan mereka selama ini: Angelia baru saja menyelesaikan Buavita, parodi tentang ibu negara Argentina. Film ini sukses besar di pasaran, bahkan mengalahkan rekor Evita-nya Madonna. Soundtrack-nya juga menggusur posisi Saturday Night Fever-nya Rusdi Travolta sebagai soundtrack terlaris di dunia dengan penjualan 10 juta keping. Anthony Carrey, sesudah sukses lewat The Mask dan sequel Ace Ventura kembali lagi ke layar perak dengan Liar-Liar. Eddy Kilmer yang namanya terdongkrak lewat Batman Forever kembali beraksi sebagai Simon Templar di fim The Saint. Sebuah rumor beredar selama pembuatan film ini: Juru make up kesulitan menangani wajah Eddy yang sering menjadi merah pada saat tegang. Pada akhirnya semua sepakat kalau wajah Eddy harus didempul dulu sebelum di-make up. Eddy “White Man” Jordan sang pebasket terbego terjun ke dunia akting dengan film Base Jam. Di sini dia akan berduet dengan Unyil, Cuplis, Kinoi dan kawankawan. Edy DiCaprio dan Lisna Danes menjadi idola remaja lewat Romeo+Juliet. Sebuah kisah percintaan nan tragis dimana Juliet Dipelet akhirnya bunuh diri setelah Romeo Kalilo dikutuk menjadi anjing. Bintang lainnya, Henry, bermain bagus dalam The English Patient yang menceritakan seseorang berkebangsaan Inggris menderita AIDS dan akhirnya meninggal dunia karena tak ada rumah sakit yang mau menampungnya (kalau pun mau, dia tetap saja akan mati). Mul Gibson, aktor tampan asal Australia itu tampil lagi dalam film Ransom. Namun hasilnya justru anjlok di pasaran. Biasa, film orang gila memang tidak digubris. Yoviana, Theresia dan Taty tampil memukau lewat film The First Wives Club, sebuah film yang menceritakan para istri yang dikecewakan suami mereka karena impotensi. Itu sebagian dari catatan tahun ini. Masih banyak lagi yang belum disebutkan, misalnya Michael-nya Rusdi Travolta atau That Thing We Do!-nya Band It yang merupakan tandingan That Thing You Do!-nya The Wonders. Pada zaman Reinassance, orang berpendapat bahwa Roma adalah pusat seni dan theater. Orang sekarang cenderung mengatakan bahwa Hollywood adalah sumber keajaiban dunia perfilman. Kini semua pandangan tersebut harus berubah. Sebagian bukti yang telah diberikan tadi sudah cukup untuk menjungkirbalikkan fakta di atas. Hanya satu pusat perfilman di dunia, IIe! Festival film international seperti Academy Award (Oscar), Golden Globe atau Cannes itu tak ubahnya hiburan untuk anak kecil. Para pembaca, bersiap-siaplah. Pasang sabuk pengaman kalian sebab kita akan segera terbang ke St. Peter Square untuk mengikuti acara:
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
44
A Night Of Magic
A Night Of Magic Menjelang pukul 07.00 PM, para selebritis dunia berdatangan untuk menyaksikan pesta terakhbar dunia perfilman abad ini. Hadir di situ para selebritis gaek seperti Sim Connery, Rohani Bardot, Lidwina Taylor dan juga bintang-bintang muda seperti Jean Claude Monic, Edy DiCaprio atau Hengky Culkin. Selain itu terlihat pula selebritis lain yang non-bintang film. Suwandi Rodman datang untuk mendukung rekan se-timnya, Eddy Jordan. Tampak juga disitu Luyi Jackson, The King Of Pop Corn dari Sambas atau supermodel Suriati Crawford. Para tamu duduk di tempat yang telah ditentukan (menurut ukuran pantat masing-masing). Deret VIP (Very Idiot Person) ditempati oleh Rusdi Travolta, Jean Claude Monic dan sebangsanya. Bagian tengah atau deret MCP (Mad and Cheap Person) ditempati oleh para superstar seperti Lisna Danes, Mul Gibson, Edy DiCaprio dan lainnya. Tempat teratas yang disebut juga deret VUP (Very Useless Person) diisi oleh Rene Murphy, Suhendi Banderas, Linda Moore dan tipe-tipe yang sejenis… *** Pas pukul tujuh, lampu mendadak padam. Kemudian terlihat sinar senter berkelebat ke sana-kemari. Penonton pun riuh saat mengetahui ternyata Endrico Stallone yang memegang senter tersebut. “Maaf, generatornya rusak. Tapi sedang diperbaiki, kok,” ujar Endrico tanpa basa-basi. Para penonton yang mengira bahwa tadi adalah cuplikan adegan Daylight kontan tersipu-sipu dan akhirnya tersapu-sapu. Tak lama kemudian lampu hidup kembali. “Hadirin yang saya hormati terutama yang dompetnya tebal, setelah sekian lama dinanti-nantikan, akhirnya tiba saatnya bagi kita untuk mengetahui hasil kerja keras kita. Inilah hari yang paling membahagiakan bagi orang yang tengah melangsungkan pernikahan dan para insan perfilman. Seperti biasa, sebelum mulai, para hadirin akan kami suguhkan… teh es. Usai menenggak teh Sosro, Endrico Stallone yang kali ini berperan sebagai MC bersuara kembali. “Kita langsung ke pokok acara untuk menyingkat waktu. Kategori pertama, Sutradara Terbaik akan dibacakan oleh Hartono dan Elisa Bunny.” Kedua pemilik nama itu pun muncul di panggung. “What’s up, doc?” sapa Hartono dengan salam khasnya. Ia pun segera menggigit wortel yang digenggamnya, namun karena ompong malah terlihat seperti sedang mengulum (Kam!). “Tiga nominator Sutradara Terbaik,” lanjut Elisa Bunny. “Mul Gibson dengan film Bravecow, Anthony Ventura dengan film Saint Of Cookery dan Gunarto Spielberg untuk film Jurassic Worm.” “Pemenangnya adalah… Anthony Ventura,” baca keduanya. Penonton pun riuh. Proyektor tiga dimensi segera menayangkan cuplikan film tersebut sementara Anthony Ventura menaiki panggung. Mr. Ventura pun menerima penghargaan Golden Glory Award. “Terima kasih semuanya. Saya sudah yakin akan menerima penghargaan ini tapi saya nggak mau sombong. Guten Abend!” Demikian ia berujar dengan cuek seraya turun dari pentas.
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
A Night Of Magic
45
Kericuhan mendadak terjadi begitu Anthony turun panggung. Mul Gibson gak terima dan membual bahwa Bravecow-nya lebih spektakuler. Akibatnya, tanpa peduli harkat, derajat dan martabatnya sebagai siluman sapi, Mul langsung ditendang keluar. “Lupakan insiden orang gila itu. Kita lanjutkan acara kita,” kata Endrico. “Kategori Aktor Terbaik akan dibacakan Gunarto Spielberg dan Angelia.” “Aktor terbaik…” Tampak di layar raksasa tayangan film Romeo+Juliet, The Saint dan Michael. “Nominatornya adalah Edy DiCaprio, Eddy Kilmer dan Rusdi Travolta. Pemenangnya…” Gunarto pun membuka amplopnya. “… Edy DiCaprio lewat Romeo+Juliet!” Para anak muda yang merupakan fans berat Romeo langsung terpekik. Idola mereka menjadi pemenangnya. “Hidup Edy, hidup anjing, hidup keuw! Suit-suit, berikan tulangnya!!” Edy muncul di panggung dan menerima trophy dari Angelia. Penonton histeris saat sang pemenang melempar senyum mesum ke arah mereka. Beberapa di antara mereka bahkan jatuh pingsan saat Edy mencoba melolong seperti anjing. Sesudah mengucapkan beberapa patah kata dengan terpatah-patah, Edy pun turun panggung. Akan tetapi para penggemarnya seakan tak rela melihat idolanya menjauh. “Edy, jangan pergi! Aku ingin memeliharamu! Edy, aku bawakan dogfood! Edy, aku ingin memandikan dan menyikat bulumu!” Begitulah kira-kira teriakan para fanatik itu. “Bukan main! Mengerikan sekali histeria massa yang ditimbulkan oleh aktor berbakat ini. Bahkan lebih dari Angelmania. Para pemirsa, hanya satu kata yang pantas mewakili semua ini. Rabiesmania!!” ujar Adolf Posumah, reporter dari RCTI. “Itulah penampilan dari Edy DiCaprio, para hadirin. Sekarang kita masuki kategori Peran Pembantu Pria Terbaik. Silahkan, Hengky Culkin dan Budiman,” kata MC. “Okay, nominatornya adalah Antonius dari film Casper, Suhendi Banderas sebagai tokoh Che dalam Buavita dan Yak Kheng Douglas dalam The Ghost And The Darkness.” “Yang beruntung kali ini adalah… Antonius,” seru Hengky dan Budiman. Piala ketiga pun berpindah tangan. Antonius sempat deg-degan juga ketika Hengky mengerlingkan mata dengan genit saat penyerahan trophy. Belum jauh Antonius melangkah meninggalkan panggung, Hengky berseru lagi,” jangan lupa, ya, nanti malam.” Kontan aja Antonius ngibrit hingga lapangan parkir. “Piala keempat untuk Aktris Terbaik. Nominasinya akan dibacakan oleh Henry dan Linda Moore,” tandas Endrico. “Beri tepuk tangan yang meriah, hadirin!” “Plok-plok-plok! Suit-suit!” Para undangan kontan jelalatan melihat penampilan aktris Linda Moore. Banyak di antara mereka yang terpana karena tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Linda Moore yang cantik rupanya agak sula, ya? “Unggulan aktris terbaik,” ucap Henry. “Lisna Danes dalam Romeo+Juliet, Angelia lewat Buavita dan Variana dalam film Fat Girl Quick Die.” “Pemenangnya adalah… Lisna ‘Juliet’ Danes. Selamat, Juliet,” tukas Linda. Para penonton kembali beraksi. “Bravo, luar biasa, Juliet! Hidup Romeo, hidup Juliet! Hip-hip auuww!!” MC Endrico pun berdecak kagum. “Ini sungguh fenomenal. Tak disangka dan tak dinyana, pasangan Romeo&Juliet bisa mengukir dan menyatukan gelar di ajang yang bergengsi ini.” Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
A Night Of Magic
46
“Lanjut! Kategori berikutnya… Pemeran Pembantu Wanita Terbaik akan diumumkan oleh Anthony Carrey dan Yoviana.” Anthony pun buka suara. “Unggulan kategori ini… Cecilia Goldberg dalam Ghost, Susanti Kidman lewat Batman Forever dan Angelia berhasil menembus nominasi super ketat ini dengan film Saint Of Cookery. Kebetulan saya sendiri turut berperan dalam film tersebut.” “Yang terbaik adalah…” sambung Yoviana. “Angelia, bintang dari Saint Of Cookery.” Layar monitor pun menampilkan cuplikan adegan Angel yang sedang mengupas bawang merah. Saat penyerahan trophy, para penonton berdiri sebagai tanda kekaguman kepadanya setelah ia berhasil menyisihkan kedua saingannya. Tepuk tangan pun bergelora dari setiap sudut ruangan. Red Rose Angel, soundtrack dari film tersebut, dikumandangkan untuk mengiringi suksesnya Angel. Hening sejenak, MC akhirnya muncul lagi di pentas. “Okay, sekarang giliran Eddy Kilmer dan Susanti Kidman yang akan mengumumkan Film Drama/Musikal Terbaik.” “Film pertama yang masuk nominasi adalah That Thing We Do!, diteruskan oleh Buavita, disusul dengan film yang sukses mengantarkan kedua pemerannya meraih Golden Glory Award, Romeo+Juliet.” “Kali ini yang keluar sebagai yang terbaik adalah… Romeo+Juliet!!!” seru Susanti Kidman. “Kedua pelakon utama diharapkan tampil untuk menerima penghargaan ini.” Klop sudah sukses Romeo+Juliet. Dengan hat-trick yang berhasil dicetaknya, film ini layak menyandang predikat Film Of The Year. “Penghargaan ketujuh, Soundtrack Terbaik akan dibacakan oleh Taty dan Mul Gibson. Perlu diketahui, Mul baru diijinkan masuk kesini lagi setelah dirantai dan dicucuk hidungnya.” “Soundtrack terbaik… OST That Thing We Do! oleh Band It dalam film dengan judul sama. Don’t Smile For Me, Argentina oleh Angelia dalam film Buavita dan (Everything I Do) I’ll Do It For You oleh Bryan Adams, OST film Robin Son.” “Yang terbaik… Don’t Smile For Me, Argentina?” tukas Mul sekenanya sambil membuka amplop. “Bukan! Yang berhak atas piala ini ternyata Band It!” Taty pun turut berujar, “sungguh di luar perkiraan. Silahkan, Band It.” Hardy selaku pimpinan grup segera tampil di podium. “Terima kasih kepada seluruh staff yang sudah terlibat dalam That Thing We Do! dan para penggemar yang telah mendukung. Kami akan kembali setelah pesan-pesan berikut ini.” “Selanjutnya, penyerahan piala untuk Film Terburuk Tahun Ini, akan dipandu oleh Rusdi Travolta dan Vanilla Ice,” tutur Endrico. Rusdi Travolta yang senantiasa dikenang sebagai raja disko lewat Saturday Night Fever langsung disambut meriah. Sedangkan Vanilla Ice yang merupakan rapper wanita pertama di IIe dan penjual es krim vanilla ini langsung disambut dengan lilin yang dinyalakan. “ Nominator film terburuk, masing-masing adalah Striptease, Romeo+Juliet (Versi Homo) yang diperankan oleh Hengky Culkin dan Budiman, dan terakhir adalah The English Patient oleh Henry.” “Dan yang benar-benar berhak adalah Romeo+Juliet (Versi Homo). Saking buruknya film ini, para penonton yang pernah melihat walaupun secara tidak sengaja atau hanya sekilas musti diangkut ke rumah sakit untuk diopname, tak terkecuali kaum homo.”
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
47
A Night Of Magic
Sang MC muncul lagi sesaat sesudah penyerahan trophy. “Kita jelang sekarang kategori Aktor Terburuk. Silahkan, Suhendi The Hunchback Of Notredame Banderas dan Yulianti, aktris paling ceking di IIe.” “Unggulan aktor terburuk 1997 adalah Henry lewat The English Patient, Hengky Culkin lewat Romeo+Juliet (Versi Homo) dan Hartono lewat Homo Alone.” Tak perlu diragukan lagi, yang paling buruk adalah Hengky Culkin!” seru Yulianti. Dipanggil namanya, Hengky segera naik ke pentas. Yulianti segera menanyakan beberapa pertanyaan kepadanya. “Bagaimana perasaan anda setelah menjadi aktor terburuk?” Hengky menjawab sambil tersenyum. Sementara itu, puluhan penonton deret depan tewas dengan sukses oleh senyum beracunnya. “Saya bangga sekali. Saya akan berusaha untuk tampil lebih buruk lagi…” “Kita tinggalkan Hengky yang agaknya kurang waras itu,” kata Endrico sembari memberi tanda agar layar diturunkan. “Kategori terakhir Aktris Terburuk, akan dibacakan oleh Hardy dan Yanti.” “Untuk Aktris Terburuk, unggulannya adalah Linda Moore dalam Striptease, Variana dalam Mrs. Doubtfire II, dan Yulianti dalam Mad Love.” “Pemenangnya … Linda Moore dalam Striptease.” Seusai penyerahan piala, MC Endrico muncul lagi. “Dengan diumumkannya kategori ini, maka berakhir pula acara kita. Bagi yang menang kami ucapkan selamat dan bagi yang belum beruntung masih ada kesempatan di lain waktu. Sampai jumpa di tahun depan. Auf Wiedersehen!”
***
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
The Ballad Of Tommy And Laura
48
9. The Ballad Of Tommy And Laura Musim lebaran telah usai. Para pelajar Roosevelt Senior High School kembali ke bangku sekolah. Di pagi itu terlihat Maurice dan Tommy yang sedang melangkah ke kelas barunya. Tommy ternyata sekelas lagi dengan teman-temannya. Hanya beberapa teman baru yang belum ia kenal, termasuk gadis berambut pirang yang duduk di sudut ruangan kelas. “Maurice, siapa gadis itu?” tanya Tommy. Maurice yang sedang mencari posisi duduk yang nyaman, berhenti sejenak dan mengalihkan pandangannya ke arah yang dimaksud. “Itu Laura,” jawab Maurice singkat. “Gadis yang cantik dan anggun. Keberuntungan menyertaiku sehingga aku bisa sekelas dengannya,” tukas Tommy spontan. Maurice mendelik ke arah karibnya. Dilihatnya Tommy masih terpekur di depan kelas. Segera ia menghampirinya. “Ada apa? Kau beranggapan bahwa dia gadis yang istimewa?” tanya Maurice. “Mmm… ya. Kau tahu sesuatu mengenai dia?” Tommy balas bertanya. “Sayang sekali, kebetulan aku…” “Kau tidak tahu?” potong Tommy. “Hei, aku bilang kebetulan aku pernah sekelas dengannya. Jadi… sedikitbanyak aku tahu.” “Sialan, kau mencoba mempermainkanku,” kilah Tommy. “Coba ceritakan.” “Kita ngobrol di kantin saja.” *** Tak lama kemudian keduanya duduk di kursi kantin dan berbincang-bincang sambil menikmati sandwich ayam dan susu hangat. “Laura seorang yang ramah. Dia juga siswi yang berprestasi di kelas kami, namun ia mendadak berubah pada semester berikutnya…” tutur Maurice sambil melahap sandwich-nya. “Kenapa, kenapa bisa jadi begitu?” Tommy jadi penasaran. “Kau kenal Charles?” Tommy mengangguk. “Chales si Cassanova itu ‘kan?” “Ya, dia. Kau tahu, Laura sungguh mengaguminya dan Charles cukup jeli untuk melihat situasi seperti ini. Jadilah mereka sepasang kekasih sampai Laura tahu kalau ia bukanlah orang yang dicintai Charles.” “Maksudnya?” “Charles selalu melirik gadis lain. Hubungan mereka berakhir ketika Laura menemukan Charles sedang merayu gadis lain.” “Jadi karena itu Laura berubah?” “Ya,” lanjut Maurice. “Laura sangat terpukul. Ia sama sekali tak menyangka bahwa cinta pertamanya akan berakhir seperti ini. Sejak itu Laura menjadi pemurung. Ia pun menjauhi lingkungan pergaulan hingga teman-temannya tidak acuh lagi padanya. Mulai saat itu ia pun sulit menerima teman laki-laki.” “Kukira kekecewaan yang ia alami membuatnya kehilangan kepercayaan pada laki-laki,” gumam Tommy sambil meneguk habis susu hangatnya. “Bisa jadi,” tukas Maurice. “Nah, kini kau sudah tahu siapa Laura. Apa kau masih berminat padanya kendati ia bekas pacar orang lain?”
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
The Ballad Of Tommy And Laura
49
Tommy beranjak dari kursinya. “Alangkah naifnya jika cinta pupus karena penilaian orang. Satu hal yang pasti kini adalah aku percaya bahwa aku terlahir untuk bertemu dan mencintai Laura.” “Bravo, Romeo kesasar. Semoga sukses,” ledek Maurice sambil tertawa. Disindir seperti itu, Tommy jadi salah tingkah. Mukanya menjadi merah padam. Maurice kembali terbahak-bahak melihat gelagat sahabatnya. Untuk mengalihkan pembicaraan, Tommy pun menanyakan hal lain. “Kalau boleh tahu, Maurice, kenapa kau bisa tahu sedetil itu? Maksudku, Laura ‘kan tidak mungkin menceritakan semuanya padamu?” “Itu benar. Tapi Carol adalah teman akrabnya…” “Carol… maksudmu Caroline, pacarmu itu?” Maurice mengangguk. “Oh, God. Itu akan lebih baik lagi,” seru Tommy girang. “Jangan khawatir, kami pasti akan membantumu.” *** Di dalam kelas, kendati pelajaran sedang berlangsung, Tommy selalu menoleh ke arah Laura setiap ada kesempatan. Laura… dari jauh pun aku bisa melihat mendung yang menggantung di benakmu. Tentunya itu berat sekali, ya, pikir Tommy. Di tengah-tengah lamunannya, tiba-tiba saja ia merasa pandangannya sengaja dihalangi seseorang. Secara spontan ia pun berkata.” Hei, minggir atau ku…” “Atau apa, Tommy?” “Astaga! So-sorry, Sir,” ujar Tommy gugup. “Berdiri di depan kelas dan renungkan kesalahanmu sampai pelajaran berakhir!” perintah Sir Thomas Moore, guru sejarah yang terkenal galak itu dengan nada tertahan. “Yes, Sir.” Tommy menjawab dengan suara lemah. Dengan langkah gontai ia melangkah ke depan kelas. Seisi kelas tertawa melihat ulah Tommy. Secara sekilas, ia melihat Laura juga tertawa sambil memandangnya. Dia… dia tertawa, kata Tommy dalam hati. Segera ia tersenyum kepada Laura dan… “Jangan cengar-cengir begitu atau kutambah lagi hukumanmu!” bentak Sir Thomas sambil melotot. “Yes, Sir,” jawab Tommy. “Dasar Mr. Bean. Tak bisa melihat orang senang. Kenapa sirik sekali, ya?” gerutunya pelan. “Tommy, temui bapak pada saat pulang sekolah nanti. Kau sudah keterlaluan dengan ucapanmu yang terakhir itu,” seru sang guru dengan marah. Tommy sama sekali tak menyangka kalau ucapannya terdengar oleh gurunya. Sementara itu, seisi kelas kembali terpingkal-pingkal dibuatnya. “Ya, ampun. Konyol sekali dia,” bisik Laura kepada Caroline yang duduk di sebelahnya. Sambil tertawa, Carol menjawab,” Tommy selalu begitu. Konyol tingkahnya tapi baik hatinya.” “Oh? Kau sudah mengenalnya?” potong Laura cepat. “Memangnya kenapa kalau iya?” pancing Carol. Laura menatapnya lekat-lekat ketika mendengar pertanyaan itu. Sejenak ia ragu, tapi akhirnya ia menggeleng. “Tidak…” desah Laura. Carol bisa menangkap perubahan air muka pada temannya. “Laura, maaf bila aku telah menyinggung perasaanmu.” “Tidak apa-apa.” Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
The Ballad Of Tommy And Laura
50
*** Beberapa hari kemudian, pada waktu istirahat, terlihat Laura sedang menyusuri koridor dengan setumpuk buku tebal di tangannya. Mdm. Elisa memintanya untuk mengembalikan buku-buku tersebut ke perpustakaan. Mendadak seseorang menyapanya dari belakang… “Berat, ya? Biar kubawakan.” Tanpa basa-basi lagi pemuda tersebut segera mengambil tumpukan buku itu dari Laura. Laura kaget, dan ia menjadi lebih terkejut lagi setelah tahu siapa pemuda itu. “To-Tommy?” “Siapa lagi?” balas Tommy dengan senyumnya yang khas. Laura menoleh ke kiri dan ke kanan. Lorong di koridor itu begitu sepi. “Kau mengikutiku?” Laura bertanya dengan tatapan menyelidik. “Ah, kebetulan saja kita bertemu. Aku sendiri ingin mengembalikan buku ini,” ujar Tommy. Laura melirik ke arah yang dimaksud. Terlihat judul William Shakespeare’s Romeo and Juliet tertera di buku itu. “Kau percaya sekarang?” Di dalam hatinya, Tommy bersyukur telah menyiapkan alasan yang tepat untuk itu. Laura diam saja. Tapi tatapan matanya mulai melembut. Keduanya pun berjalan tanpa sepatah kata pun yang terucapkan. Di dalam benaknya, Tommy berusaha menyusun kata-kata yang tepat untuk berbicara pada Laura, Namun setelah buku dikembalikan, keduanya masih saja membisu. Akhirnya Tommy buka suara memecah keheningan. “Laura, mengapa kau tampak tegang sewaktu bertemu denganku tadi? Apa kau tidak suka berteman denganku?” “Ah, itu… bukan begitu,” kata Laura gugup. “Aku hanya belum terbiasa dengan kehadiranmu.” “Sungguh?” “Tentu. Dan kau sendiri, apakah kau menyukai sastra dan drama?” “Sastra? Maksudmu buku tadi? Sebenarnya aku tidak tertarik pada sastra klasik, tapi Romeo and Juliet adalah suatu adikarya yang membuatku mau tidak mau harus membacanya.” Tommy memberikan alasannya. “Ya, itu kisah yang luar biasa. Sayangnya tak ada cinta sejati seperti itu di dunia yang fana ini.” “Laura, kau keliru. Cinta itu ada dan akan hadir bagi insan yang membutuhkan dan dibutuhkan. Kau hanya belum menemukannya, karena itu kau tidak boleh menghakimi bahwa sudah tidak ada cinta lagi di dunia ini. Kembalilah pada dirimu yang semula. Jangan menutup diri, tapi biarkanlah angin musim semi menyejukkan hatimu.” Laura berbalik dan menatap tajam pada lawan bicaranya. Rona wajahnya merah padam. Setiap kata Tommy sungguh menggores perasaannya yang halus. “Thomas Bartholow Harrison, kita baru saja berkenalan beberapa hari ini, tapi kau berbicara seolah kau sudah mengenalku sejak lama. Jangan campuri urusanku!” Dibentak begitu, Tommy lantas menggelegak darah mudanya. “Tak kusangka di balik kecantikanmu ternyata tersimpan pikiran yang picik. Aku berkata apa adanya untuk menyadarkanmu dan membantumu keluar dari ilusi kesedihan yang tak berkesudahan ini, tapi kau malah memarahiku.” “Membantu? Oh, terima kasih sekali, Mr. T. Tapi aku tak butuh bantuan orang asing. Satu hal lagi, aku tak sudi bicara denganmu. Selamat siang,” kilah Laura. Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
The Ballad Of Tommy And Laura
51
“Dasar keras kepala. Terserah kau…” tandas Tommy. Keduanya pun saling menjauh. Berhubung jalan menuju kelas dari perpustakaan hanya melalui koridor, maka keduanya dipisahkan oleh jarak yang tak seberapa. Laura merapatkan diri ke dinding sedangkan Tommy menoleh ke arah jendela. Begitu sampai di kelas, keduanya langsung dicekal profesor John Adam, guru geografi mereka. “Kalian ini… bel sudah berdentang dari tadi. Tapi kalian baru masuk sekarang. Berdiri di luar dan renungkan kesalahan kalian selama jam ini.” “Asyik banget, dong, berduaan di luar,” goda Robbie yang badung. Diledek begitu, Laura memandang Robbie dengan kesal. Di luar, keduanya kembali berdebat. “Lihat, gara-gara kau, aku juga turut dihukum,” kata Laura jengkel. “Ini tidak akan terjadi kalau kau tidak memulai pertengkaran konyol itu,” gerutu Tommy. “Jadi kau menyalahkan aku?” seru Laura sengit. “Itulah jawabanku,” ucap Tommy. “Satu-satunya yang pantas disalahkan adalah kepicikanmu.” “Kau…” “Hei, jangan ribut!” bentak guru geografi mereka. Dan keduanya pun saling membuang muka dan bungkam seketika. *** “… begitulah ceritanya,” tutur Laura kepada Caroline saat Carol bertandang ke rumahnya. “Dia menyinggung perasaanku. Menyebalkan sekali dia.” Caroline dengan sabar mendengar sahabatnya menumpahkan isi hatinya. Kemudian ia pun mencoba menanggapi Laura. “Sebenarnya bukan begitu. Dari dulu Tommy paling tidak suka melihat orang terbebani masalah. Saat seseorang kembali tersenyum merupakan kebahagiaan tersendiri baginya. Mungkin gaya bicaranya yang apa adanya tidak berkenan di hatimu. Tetapi ketahuilah, pada dasarnya ia bermaksud baik.” Laura terdiam. Kemudian ia menarik napas panjang. “Kiranya kau benar. Mungkin aku telah salah menilai dia. Tapi aku takkan minta maaf padanya. Ia juga bersalah karena telah mencampuri urusanku,” tutur Laura bersikeras. Carol tertawa kecil. “Itu terserah kau. Kukira ia juga takkan menyuruhmu minta maaf.” Carol melirik ke jam tangannya. “Wah, hampir jam tiga sore. Aku harus pulang.” “Secepat itu?” “Ya, aku ada janji dengan…” “Maurice. Betul, ‘kan?” jawab Laura cepat. Carol mengangguk. “Aku pamit dulu.” Laura mengantar caroline sampai ke pintu depan. Ketika Carol menjauh dari rumahnya, mendadak Laura memanggilnya lagi. “Maaf, Carol, mengenai perangai Tommy, apakah ia selalu membantu setiap orang?” Carol berpikir sejenak. “Rasanya tidak. Biasanya hanya teman…” “Jadi Tommy menganggapku sebagai teman?” “Mungkin lebih dari itu,” tambah Carol saat merasakan kegembiraan yang terpercik lewat kata dan wajah Laura. Sesudah Carol pergi, Laura kembali merenungkan kata-kata temannya tadi. Kemudian terbayang olehnya penampilan Tommy yang kocak dan ramah. Ya, mungkin saja aku keliru menilai Tommy karena aku belum terlalu mengenalnya, pikir Laura. Dan lebih dari sekadar teman? Ia teringat bahwa Charles Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
The Ballad Of Tommy And Laura
52
juga datang dengan topeng kebaikan dan pergi dengan menoreh sejuta luka. Trauma tersebut kembali menghantuinya. Oh, Tuhan, lebih baik jangan… Laura bisa saja mengatakan tidak, namun itu tidak cukup untuk menghentikan gejolak di hatinya. Bagaimana pun Laura hanyalah wanita biasa yang juga mengharapkan hadirnya cinta. Pertengkaran mereka tempo hari telah berubah menjadi kesan tersendiri yang mengisi kekosongan hati Laura. Namun sejak kejadian itu, Laura tak pernah lagi bertegur-sapa dengan Tommy. Tanpa sadar Laura merasa kehilangan, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa untuk mengusir perasaan tersebut. Ia hanya menanti dan menanti, hingga hari itu… *** Pada hari Valentine, Carol mengadakan pesta kebun di rumahnya. Tommy dan Laura juga diundang. Langit tampak cerah di hari yang istimewa itu. Mentari seakan mengerti sehingga hari itu tidak panas. Sayang, hati Laura tidak seteduh itu… Laura yang hadir dengan gaun putih nan indah hanya berdiri di pojok ruangan sementara teman-temannya asyik berdansa, saling memberi dan menikmati coklat bersama. Laura merasa tersisih dari pesta itu. Tommy yang ditunggunya tak kunjung datang juga. “Hai, Snow White. Tak ada teman berdansa, ya? Bagus juga kalau kau jadi penghias kebun di pojok situ,” seru Robbie yang iseng. Laura sangat tersinggung oleh kata-kata Robbie. Dia ingin segera pulang jika saja tidak dicegah oleh Carol. “Tunggulah beberapa saat lagi,” bujuk Carol. Namun hingga pesta usai, Tommy sama sekali tidak datang. Laura kecewa sekali meski Carol sudah berupaya menghiburnya. “Carol, aku tak menyalahkanmu, tapi kata-katamu tempo hari tampaknya harus diralat kembali,” kata Laura sebelum pulang. *** Malam hari, Laura termenung di kamarnya dan memikirkan pesta kebun tadi siang sambil memandang derasnya hujan dari jendela. Di benaknya berputar sejuta alasan mengapa Tommy tidak datang. Dalam gemerisiknya suara hujan lebat, samar-samar Laura mendengar namanya dipanggil. Semula ia mengira ibunya yang memanggil, tapi kemudian ia langsung menyadari suara itu berasal dari luar. Ia mengintip dari jendela dan seketika itu juga jantungnya berdegup kencang. Tommy! Pintu rumah akhirnya terbuka, Laura keluar sambil menenteng payung dan berjalan menuju pagar. Di bawah hujan, keduanya terdiam dan saling menatap. “Masuklah, di luar sedang hujan,” ucap Laura mencairkan suasana. Kemudian tangannya bergerak membuka pagar. Namun sebelum pagar terbuka, Tommy segera memegangi pagar itu sembari menggelengkan kepala kepada Laura. “Laura, aku hanya ingin mengatakan kalau kau tampak cantik dan anggun dengan gaun putih itu.” Laura terkejut. “Kau hadir di pesta itu?” Tommy mengiyakan pertanyaan Laura dan percakapan kembali terputus. “Hanya itu yang ingin kau katakan?” lanjut Laura. “Sebenarnya masih ada…” Tommy dengan ragu menjawab. Namun ia sadar bahwa kesempatan telah diberikan Laura. Masalahnya kini, sekarang atau tidak sama sekali! “Laura, kau menungguku di pesta tadi?” Gadis manis di hadapannya mengangguk. Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
The Ballad Of Tommy And Laura
53
“Maaf, aku tidak bisa menemuimu tadi. Aku sangat bingung mencari hadiah yang tepat untukmu di hari Valentine ini. Tapi kini aku telah menemukannya walau aku tak tahu apakah kau mau menerimanya atau tidak.” Laura terdiam. Tampaknya ia berdebar-debar menantikan ucapan Tommy selanjutnya. “Laura, aku… aku mencintaimu. Mungkin segala sesuatu ini terkesan begitu mendadak bagimu. Tapi kenyataannya kini kau sudah menjadi pemilik hatiku. Hidupku hanyalah untukmu, begitu pula cintaku.” Petir menggelegar di malam itu seolah langit juga menjadi saksi kesungguhan Tommy. Cinta itu telah hadir kembali bagi Laura. Kini tinggal Laura yang memutuskan. “Tidak…” Tommy terkejut oleh kalimat pendek itu. “Laura…” “Tommy, semua ini bukan merupakan hal yang mendadak bagiku,” lanjut Laura. “Aku sudah menyadarinya. Hanya bersandar pada cintamulah aku bisa meraih kebahagiaan. Aku takkan menyesal untuk menyerahkan hatiku padamu.” “Laura…” ucap Tommy dengan hati gembira. Pemuda itu tampaknya masih kurang yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. “Tommy…” Pagar besi terbuka. Laura melangkah ke dalam pelukan Tommy. Tommy membelai rambut Laura yang mulai basah karena hujan. Laura menangis bahagia karena telah menemukan kembali kenyataan dan cinta di dalam hidupnya. “Ssst, jangan menangis lagi, dong,” bujuk Tommy. Laura mulai menyeka air matanya dan tersenyum pada Tommy. Kemudian ia menutup mata saat kecupan Tommy mendarat di bibirnya. “Wow, dashyat juga kecupanmu,” kata Tommy. “Rasanya badanku meriang dan mulai demam.” “Jahat,” ucap Laura sambil tertawa lepas. “Nah, bagaimana kalau kita menari di bawah hujan, tuan putri?” “Tari hujan, maksudmu? Wah, aku pikir-pikir dulu,” ejek Laura. Tommy tertawa. Mereka pun berdansa di bawah hujan dengan gembira tanpa peduli bahwa mereka akan basah kuyup. “Hidup hari Valentine. Selamat hari Valentine kami ucapkan kepada seluruh dunia,” seru mereka berdua. Tanpa mereka sadari, dari kejauhan ada yang memperhatikan mereka. “Kau yang mengatur semua ini?” tanya Carol. “Sama sekali tidak,” jawab Maurice. “Cintalah yang mempertemukan dan mempersatukan mereka. Seperti kata Tommy, cinta selalu hadir untuk yang membutuhkan dan dibutuhkan.” ***
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Tell Laura I Love Her
54
10. Tell Laura I Love Her Dua bulan telah terlewati terhitung sejak hari Valentine yang lalu. Mungkin waktu dua bulan adalah masa yang singkat untuk sepasang muda-mudi yang sedang berbagi cinta, tapi masa dua bulan bisa terasa panjang apabila timbul masalah, Seperti kali ini… “Laura, cobalah untuk mengerti,” bujuk Tommy. “Ikut balap mobil seperti itu terlalu berbahaya. Aku takkan mengijinkanmu untuk mengikuti lomba itu.” Tommy masih berusaha untuk bersabar dan menjelaskan. “Balap mobil adalah salah satu hobi yang paling kusenangi. Lagi pula aku sudah berlatih keras untuk itu. Masa aku tidak boleh…” “Tidak,” tegas Laura. “Kukatakan sekali lagi, tidak!” “Kau selalu begitu. Dasar keras kepala,” kilah Tommy jengkel. “Terserah apa katamu, aku tetap akan ikut.” “Tommy, jangan katakan kalau kau akan melanggar kesepakatan kita berdua bahwa kita hanya akan melakukan hal yang kita setujui bersama!” Laura menatap Tommy dengan kesal. Tommy bisa menangkap sinar amarah dari sorot mata Laura. Biasanya Tommy akan mengalah kalau keadaan sudah begitu, namun tidak untuk kali ini. Turnamen balap mobil itu adalah segalanya bagi Tommy. Untuk sekali ini, ia akan mencoba untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. “Bila kau terus melarangku, maka aku tak punya pilihan selain melanggarnya.” Laura tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Kau akan melanggar janji kita? Tommy, aku melarangmu karena aku khawatir. Aku mencintaimu…” kata Laura pelan. Kemudian ia memandang Tommy dengan wajah penuh kekecewaan. Ada pun Tommy malah membuang muka. “Kau egois! Kau mau berlaku seenakmu tanpa mau peduli bagaimana perasaanku padamu. Jadi jelas sudah kalau tidak ada gunanya lagi aku duduk di sisimu kini. Tak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Permisi,” tukas Laura dengan perasaan kecewa dan marah. Kemudian ia meninggalkan meja di mana ia dan Tommy duduk. “Laura, tunggu,” seru Tommy seraya berdiri untuk mengejarnya. Namun Laura tidak mendengarkannya, Ia malah menghambur keluar. *** Di rumah, Laura merenungi kejadian di restoran tadi. Pertengkaran yang sia-sia. Seharusnya kami mencoba untuk saling mengerti, bukannya saling menyalahkan. Tommy mengatakan kalau turnamen itu sangat penting baginya. Mungkin itu yang disebut dunia laki-laki yang sulit dipahami oleh wanita, pikir Laura. Di lain tempat, Tommy juga mempunyai pikiran yang sama. Seharusnya aku tidak memarahinya tadi. Kini persoalannya malah menjadi ruwet, kata Tommy dalam hati. Tommy meraih gagang telepon di sebelahnya. Tak lama kemudian telepon Laura berdering. “Hallo…” “Hallo, Tommy? Ada apa?” “Laura… soal tadi, aku ingin minta maaf. Tak sepatutnya aku berkata ketus kepadamu. Aku tadi terlalu terbawa emosi sehingga bersikap kasar padamu. Maukah kau memaafkanku?”
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Tell Laura I Love Her
55
Laura menghela napas. “Tentu. Aku juga baru memikirkan hal ini. Kurasa kau benar bila aku terlalu mengekangmu. Bila kau tetap bersikeras untuk ikut lomba itu, aku takkan lagi melarangmu. Tapi aku sungguh berharap kau akan berubah pikiran.” “Aku senang kau mau mengerti. Aku tetap pada keputusanku. Tapi kita tinggalkan hal itu dulu. Kita bicarakan hal lain. Misalnya, besok adalah hari ulang tahunmu, bukan?” “Ah, dari mana kau tahu?” seru Laura. Tommy tertawa. “Jangan panggil aku kekasihmu kalau aku tidak tahu hari ulang tahunmu. Kujemput kau pukul dua, lalu kita makan di restoran Cina yang paling kau sukai dan kemudian kita ke stadion untuk menyaksikan pertandinganku. Bagaimana?” “Okay.” *** Keesokan harinya, sebelum menjemput Laura, Tommy mampir dulu ke toko perhiasan… “Bagaimana, bos? Cincin pesananku sudah jadi?” “Maaf, kapan pesannya, ya?” “Minggu lalu. Cincin emas bertahta batu ruby dengan inisial L yang diasah timbul di atasnya.” “Oh, yang itu. Sebentar, anak muda,” kata pemilik toko. “Nah, ini dia.” Tommy mengamati cincin pesanannya. “Sungguh cincin yang luar biasa.” Cincin itu tampak berkilau dan memancarkan sinar merah dari batu ruby di tengahnya.” Tak menunggu lebih lama lagi, Tommy lekas membayar lunas cincin tersebut. Sambil menghitung uang, bapak itu bertanya. “Untuk kekasihmu?” “Ya.” “Kau tidak merasa sayang menghabiskan uang sebanyak ini?” lanjut si bapak. “Pak, hubungan kami didasari cinta sejati. Aku rela memberikan apa saja untuk kekasihku. Segalanya, dan aku takkan menyesal sebab aku tahu dia mencintaiku. Jika cinta hanya diukur dari uang, maka itu cuma cinta semu yang munafik.” Pemilik toko itu tersenyum mendengar perkataan Tommy. “Anak muda, penghayatanmu tentang cinta pantas dikagumi. Bapak hanya bisa doakan agar kenyataan berjalan sesuai dengan apa yang kau inginkan.” “Terima kasih. Itu saja sudah cukup.” *** Laura telah selesai berdandan saat bel di rumahnya berdering. “Sebentar,” kata Laura sambil menghampiri pintu. Pas pintu dibuka, terlihat rangkaian bunga mawar yang menyembunyikan wajah si pemegang bunga. “Oh, mawar yang indah. Terima kasih, Tommy.” “Kau suka? Selamat ulang tahun.” Laura terhenyak mendengar suara itu. Itu bukan suara Tommy. “Charles!” seru Laura. Ia langsung membuang mawar yang telah dipegangnya. “Apa maumu sehingga datang ke sini?” tanya Laura geram. “Sabar. Jangan marah-marah di hari ulang tahunmu.” “Lalu apa pedulimu?” Charles tersenyum dengan senyuman yang membuat Laura muak. “Tentu saja aku peduli. Aku kemari untuk merayakan hari ulang tahunmu.” “Aku tak butuh ucapan selamatmu,” sahut Laura. “Kuperingatkan kau agar segera enyah dari sini.” Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Tell Laura I Love Her
56
“Laura, kau mengusirku? Apakah kau sudah lupa saat kita liburan musim panas di pantai? Saat kita bertamasya ke Disneyland atau saat kita menyaksikan matahari terbenam? Ingatkah kau betapa indah kenangan yang kita ciptakan bersama? Bagaimana kau bisa sampai hati mengusirku?” Setiap kata Charles bagaikan kunci yang berusaha membuka kembali kenangan lama yang telah dipendam Laura. Gadis manis itu sungguh bimbang dibuatnya. Ia merasa tak berdaya untuk berbuat sesuatu. “Semua itu telah usai. Sebaiknya kau segera pergi,” pinta Laura dengan nada melemah. “Sebentar lagi Tommy akan tiba.” Charles mendengus. “Jadi keparat yang telah memperdaya kekasihku akan datang? Bagus! Akan kuajari dia sopan santun.” “Kekasihmu?” tanya Laura bimbang. “Ya. Kembalilah padaku Laura.” *** Dalam perjalanan ke rumah Laura, Tommy melihat sebuah mobil mewah tanpa kap melintas dari arah berlawanan. “Wow, Lamborghini yang bagus,” komentar Tommy sambil memperhatikan siapa pengemudinya. Tommy kaget. “Charles dan… Laura?” kata Tommy terbata-bata. “Apa maksudnya ini? Mungkin aku salah lihat.” Pemuda itu lantas segera menginjak pedal gas dan melaju ke rumah Laura dengan perasaan cemas. Di dalam hatinya, ia berharap apa yang dilihatnya tadi keliru. Ketika tiba, Tommy bertemu ibu Laura. “Bibi Victoria…” sapanya. “Lho, Tommy? Bukankah kau sudah pergi bersama Laura?” tanya Mdm. Victoria heran. “Tidak. Aku baru saja tiba,” ujar Tommy. “Laura sudah pergi?” “Begitulah. Tapi sama siapa?” “Mohon maaf karena telah menyela pembicaraan nyonya,” tukas pembantunya. “Tapi saya melihat Nona Laura pergi bersama Tuan Charles.” “Charles?” seru ibu Laura tak percaya. “Astaga, aku sungguh tak habis pikir kenapa Laura masih mau pergi menemui anak itu.” “Kau serius dengan perkataanmu?” tanya Tommy penasaran. “Ya.” Pembantu itu mengangguk. “Saya tidak berani berbohong, Tuan.” Kata-kata pembantu itu bagaikan palu hakim yang menjatuhkan vonis bagi Tommy. Tubuhnya lemas seketika. Kepalanya pusing memikirkan alasan sehingga Laura mau pergi dengan Charles. “Bibi Victoria, aku akan mencari Laura,” kata Tommy sembari naik ke mobilnya. *** Di dalam mobil Charles, Laura merasa bingung. Ia merasa bersalah karena tidak menepati janjinya pada Tommy. Pemuda itu pasti marah besar jika tahu ia pergi bersama Charles. Namun di lain pihak, Charles adalah cinta pertamanya. Bagaimana pun cinta itu masih tersisa di hatinya. Sebagai seorang wanita, Laura selalu mengutamakan perasaan dibandingkan akal sehat, akibatnya Laura kini mendua. “Laura, kau kelihatan bimbang dengan apa yang telah kau lakukan?” tanya Charles sambil memegangi tangannya. Gadis itu terkejut dengan tindakan Charles. Ia ingin menolak namun tidak kuasa. Tangannya seolah tidak mau digerakkan. Akhirnya Laura membiarkan tangannya digenggam Charles. “Laura, kau tidak mendengarkanku?”
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Tell Laura I Love Her
57
“Oh, aku… ada apa, Charles? Maaf, aku tidak berminat bicara sekarang,” ujar Laura muram. “Baiklah. Oh ya, kita hampir sampai di tempat pertama kali kita bertemu dulu.” Laura tak menanggapinya. Sambil menahan gejolak emosinya, Laura berusaha untuk berpikir rasional. Ia sadar bahwa ia akan semakin terjebak dalam perasaan bersalah pada Tommy karena kenangan cintanya pada Charles bila hal ini dibiarkan berlarut-larut. Ia harus memilih salah satu, dan ia memilih Tommy meski ia tak tahu apakah Tommy mau memaafkannya kali ini. Begitu mobil berhenti, Laura turun dan berkata,” Charles, aku ingin…” “Ssst, tataplah mataku sekarang dan jangan berkata apa-apa lagi.” Bagai tersihir, Laura tak kuasa bergerak oleh tatapan mata Charles yang mempesona. Ia terdiam saat Charles merangkul dan mengecup bibirnya. “Selesai,” ucap Charles. “Selesai?” Laura sungguh tak mengerti dengan ucapan itu. “Luar biasa… luar biasa. Sungguh Cassanova sejati,” kata orang-orang asing yang tidak dikenal Laura sambil mengerumuni Charles. “Apa artinya semua ini?” “Kau masih tak mengerti? Permainan sudah selesai, Gadis Bodoh. Aku bertaruh dengan teman-temanku bahwa aku masih bisa mendapatkanmu kapan pun aku mau. Dan aku memenangkan taruhan itu,” tutur Charles sambil mengayunkan segepok uang di hadapannya. Sejak semula Laura tahu kalau ia tak bisa mempercayai Charles begitu saja, namun ia sungguh tak menduga akan dipermainkan seperti ini. “Charles, kau benarbenar rendah. Bagaimana kau bisa sekeji ini mempermainkanku?” seru Laura dengan perasaan hancur. Charles tersenyum licik. “Itu takkan terjadi jika kau bisa setia pada Tommy. Tapi kau malah mengecewakannya dengan pergi bersamaku. Jadi… semua itu salahmu!” *** Tommy tidak berhasil menemukan Laura. Dengan perasaan letih, kesal bercampur kecewa, Tommy menuju ke sirkuit balap untuk mempersiapkan diri. Di dalam hatinya berkecamuk berbagai macam pertanyaan yang tak mungkin bisa dijawab olehnya maupun orang lain kecuali Laura. Apakah Laura dipaksa oleh Charles? Atau… mungkinkah Laura sengaja membalas sikap kasarku tempo hari dengan cara begini? Jauh dari arena, Laura pulang berjalan kaki dengan perasaan sedih. Langit seolah mengerti dan menurunkan hujan untuk melarutkan perasaan sedihnya, tapi itu sama sekali tidak membantu. Dalam setiap langkahnya, Laura menyesali tindakannya yang bodoh. Masih pantaskah ia menemui Tommy setelah ia mengecewakannya? Dia berhenti sejenak dan memandang ke depan. Terlihat sebuah box telepon umum. Haruskah aku bicara pada Tommy sekarang? pikir Laura ragu. Paling tidak aku harus minta maaf meski aku tahu aku tak berhak lagi menerima maaf darinya. *** Setelah berdering beberapa kali, telepon di rumah Tommy dijawab oleh mesin penerima telepon. “Sorry, aku tak ada di rumah. Bagi yang berkepentingan silahkan tinggalkan pesan atau hubungi nomor telepon berikut ini. Bip…” Mulai dari saat ia tahu bahwa Charles mempermainkan dirinya sampai perjalanan pulang hingga menemukan box telepon umum ini, Laura tidak meneteskan Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Tell Laura I Love Her
58
air mata sedikit pun. Tapi saat ia mendengar suara Tommy yang berkata dengan nada riang lewat mesin penerima telepon, dia tak kuasa untuk menahan butiran air matanya. Perasaan bersalahnya seolah ingin meledak keluar dan meremukkan hatinya. Dengan perasaan tak karuan ia kembali menelepon ke nomor yang dimaksud. “Halo, di sini Tommy. Maaf, dengan siapa aku bicara?” tanya Tommy saat telepon yang diangkatnya ternyata diam saja pembicaranya. Kendati begitu, Tommy bisa mendengar derasnya air hujan dan isak tangis dari telepon. Seketika itu juga ia sadar siapa yang meneleponnya. “Laura. Kaukah itu? Dari mana saja kau? Aku mencemaskanmu,” ucap Tommy. Sebelumnya, ia ingin memarahi Laura karena pergi dengan Charles, namun ia langsung lupa begitu menerima telepon dari Laura yang tengah menangis. “Laura, jawab aku…” “Tommy… maaf. Aku telah mengecewakanmu…” “Apa maksudmu? Aku tak mengerti. Apa Charles…” “Tommy… maukah kau memaafkanku?” “Aku selalu memaafkanmu walau apapun yang terjadi.” “Tommy, terima kasih,” potong Laura. “Selamat tinggal.” Hubungan telepon terputus. Hati Tommy galau bukan buatan. Ia gelisah. Apa yang terjadi dengan Laura? Bagaimana keadaannya? Apa maksudnya dengan selamat tinggal? Pikir Tommy dengan perasaan kalut. “Hei, Anak Muda. Lomba akan segera dimulai. Cepat turun!” seru panitia sambil menggedor pintu. Tak ada waktu lagi. Tommy meraih helmnya dan menuju pintu. Tapi ia kemudian berbalik dan mengangkat gagang telepon… “Hallo, Bibi Victoria. Tolong katakan pada Laura aku selalu mencintainya. Aku tak bisa hidup tanpa dirinya. Aku mungkin akan terlambat ke sisinya, ada sesuatu yang harus kukerjakan dan tak dapat ditunda…” *** Bel rumah kediaman keluarga Laura berbunyi. Madam Victoria tekejut sekali melihat putrinya dalam keadaan menggigil karena basah kuyup. Wajah Laura sedih dan tak bersemangat. Matanya berkaca-kaca. Setelah berganti pakaian kering, Laura diminta untuk menceritakan apa yang terjadi padanya oleh sang ibu. Laura pun menuturkan semuanya… “Anakku, semua kejadian ada hikmahnya,” nasihat Madam Victoria. “Dengan peristiwa ini, kau harus lebih cermat melihat dunia ini. Tidak semua yang indah itu nyata. Tapi terkadang manusia harus menderita dulu supaya bisa memahami indahnya cinta.” “Maksud ibu?” “Kau dan Tommy yang ibu maksudkan. Beberapa hari terakhir ini kalian sering bertengkar. Tapi hari ini semuanya berubah. Sebelum kau pulang, Tommy menelepon kemari. Ia sangat khawatir padamu. Suaranya gemetar saat menyebut namamu.” “Apa yang dia katakan?” “Ia bilang ia sangat mencintaimu. Dan dia akan segera menemuimu begitu urusannya selesai.” “Oh, Tommy.” Laura tersenyum bahagia. Di saat Laura merasa dunia berpaling darinya, ternyata masih ada yang setia mendampinginya. “Nah, sekarang tidurlah. Ibu akan memanggilmu kalau Tommy datang.” ***
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Tell Laura I Love Her
59
Di sirkuit balap, Tommy memasuki putaran terakhir. Dia berada di urutan kedua dan enam belas mobil yang ada. Karena konsentrasinya yang terpecah, Tommy selalu tertinggal oleh mobil pertama itu. Kini garis finish hanya lima ratus meter di depan mata. Ia harus berbuat sesuatu kalau ingin jadi juara. Tanpa menggunakan akal sehatnya lagi, Tommy menekan pedal gas hingga menyentuh lantai mobil. Mobilnya melesat, menyalib mobil di depannya dan… Laura terbangun ketika namanya dipanggil ibunya. “Telepon untukmu, Laura.” Dengan malas Laura beranjak dari tempat tidurnya dan menerima gagang telepon. “Halo, ada apa, Carol?” “…” “Apa?” pekik Laura. Gagang telepon itu jatuh dari pegangannya. Dengan tangan gemetar ia kembali meraihnya. “Aku akan segera ke sana.” *** Beberapa saat kemudian, terlihat Laura sedang menyusuri koridor rumah sakit. Tommy, kau tak boleh meninggalkanku. Oh, Tuhan, lindungilah dia. Laura berdoa dalam hati. Di ruang gawat darurat, Tommy terbaring tak berdaya. Ia tak sadarkan diri setelah kecelakaan fatal itu. Dokter pun sudah menyerah karena kritisnya kondisi Tommy. Hanya keajaiban saja yang bisa menyelamatkannya. Tangan Tommy mendadak mengepal. Ia memegangi selang pernapasan hingga lepas. Maurice yang menjaga Tommy di ruang itu terkejut dan segera memanggil dokter. Namun dokter menggeleng. “Itu hanya reaksi terakhirnya sebelum maut datang menjemput. Mungkin ada yang ingin dia katakan.” Dalam hitungan napas terakhirnya, Tommy pun berkata, “Tell Laura I love her, tell… Laura I need… her. Tell Laura… not to cry, my… love for her, will… never… die.” Dari pintu, Laura mendengar dan melihat semuanya. Dia tak bisa menerima dan sulit percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Dunia terasa berputar cepat. Pandangannya menjadi kabur dan semakin kabur. Laura pingsan. *** Bel gereja berdentang menandakan upacara penguburan Tommy dimulai. Di dalam kapel, Laura bersujud sendirian di bawah salib Jesus. Ia tak sanggup mengikuti upacara penguburan orang yang paling dia kasihi. Mendengar belnya saja sudah nyaris membuatnya pingsan. Laura terkenang kembali saat ia dan Tommy pertama kali bertemu. Semuanya itu begitu indah. Bagaimana bisa sesuatu yang indah itu berakhir seperti ini? Ia lantas memandang cincin berinsial L yang melingkar di jari manisnya. Cincin itu diserahkan Maurice setelah ditemukan di dalam saku kostum balap milik Tommy. Cincin itu berada di dalam kotak mungil yang bertuliskan “Happy Birthday”. Hari ulang tahun… hari ulang tahun yang mestinya menjadi hari paling indah justru menjadi hari yang paling menyedihkan. Tommy meninggalkannya untuk selamanya tepat pada hari ulang tahunnya. Ironis! Sesaat kemudian, terngiang di telinganya kata-kata terakhir yang diucapkan Tommy. Kata-kata itulah yang mengiringi keabadian cinta Tommy di hati Laura. Hidup Tommy hanya untuk Laura, bahkan kematiannya juga… Laura menengadah menatap salib Jesus. Dari situ ia kembali melihat kenyataan hidup. Tommy telah pergi, pergi untuk selamanya. Tapi ia tidak mati, Tommy tetap hidup di hati Laura bersama cintanya. Untuk itulah kini Laura berdoa, supaya ia bisa melepaskan kerinduannya kepada Tommy… Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Appendix 1
60
Epilog: Tentang Cover…
A
ku sempat berpikir untuk menggunakan sketsa gambar di samping ini sebagai cover Sentimental Journey 1. Bukan saja karena aku sudah berusaha keras untuk menciptakannya (sebagai pembelaan, aku adalah penulis, bukan pelukis. Tapi tidak masalah, karena aku menciptakannya dengan Photoshop, hehehe), tetapi juga karena gadis ini tampil dalam lima dari sepuluh cerita yang terangkum di koleksi ini. Hmm, bicara soal pengaruh, dia adalah sumber inspirasi, bahkan hingga hari ini… Ah, coba lihat. Aku pikir gambar di samping sungguh a nice piece of art. Seperti lukisan dari pensil arang. Aku tidak bisa menyianyiakannya begitu saja, karena itu kusertakan dalam halaman ini. Atau lebih tepatnya lagi, halaman ini ada karena sketsa ini hendak ditampilkan… Namun kemudian aku menemukan foto yang dipotret oleh Endrico di Bali. Ada Jimmy, aku dan Ardian di dalam foto tersebut, dan kami sedang berjalan ke arah laut. Indah sekali. Aku langsung menyukainya di kali pertama aku melihatnya, sebab foto itu membawa-serta perasaan santai dan damai. Lalu aku membuat tiga buah sketsa dan siluet hitam berdasarkan foto tersebut. Lantas ada lagi sebuah kanvas dengan lukisan yang telah sempurna. Kau tidak melihat pelukisnya, namun memang itu idenya. Lukisan itu, satu-satunya yang berwarna, adalah yang terpenting. That’s us, walking into the unknown, into the wonderful and never ending story. A sentimental journey, and that’s it…
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Appendix 2
61
1. The Chinese Love Story Writing Sessions: Circa November 1996 First Published: Late December 1996 Remastered Sessions: February 24th, 2000~February 28th, 2000; September 14th, 2006
Well, ini adalah yang paling pertama. Ketika aku memulai cerpen ini, aku tidak berpikir bahwa sepuluh tahun kemudian aku masih menulis dan akan menuliskan kalimat ini. Tidak, aku tidak tahu apa-apa. Aku bahkan tidak menaruh harapan apa pun. Belum ada Anthony Ventura ketika itu. Hanya Robinson. Dan aku duduk di lantai, menulis di dekat jendela, bukan karena tempat itu memberikanku inspirasi, tapi karena tempat itu lebih terang. Hasilnya berupa empat lembar kertas, delapan halaman, dalam tulisan tangan dan dengan sedikit corat-coret. Sesederhana itu. Kupikir aku puas ketika cerpen ini terselesaikan. Bagaimana pun ini adalah karya pertama. Kendati begitu, tatkala kubaca lagi, sulit bagiku untuk menyukainya. Sebaliknya, cerita ini terasa memalukan. Bukan saja cengeng, namun juga terlalu dewasa. Bagaimana mungkin seorang pelajar SMU menulis tentang kisah cinta yang tokoh utamanya sudah menikah? Namun tidaklah mengherankan bila demikian hasilnya, sebab apa yang mengilhamiku ketika itu adalah serial Sanggar Kenangan yang ditayangkan di TV. Ketika berganti nama menjadi The Chinese Love Story dan ditampilkan untuk pertama kalinya dalam Sentimental Journey 1 di tahun 2000, cerita ini sudah mengalami perubahan yang cukup drastis. Aku tidak ingat lagi perubahan apa saja yang terjadi, tapi hasilnya jelas kian membuat cerita ini terasa seperti sebagaimana mestinya. Pernah terpikir olehku untuk mengubah cerita ini dalam sudut pandang orang ketiga, namun usaha tersebut tidak berhasil. Aku tidak menyesali kegagalan tersebut. Seperti yang kukatakan sebelumnya, beginilah semestinya. Dan sekarang, setelah 10 tahun berlalu, kupikir cerita ini cukup menarik. Salah satu love story terbaik yang pernah kutulis, kurasa... 2. Old And New With IIe
Writing Sessions: December 26th, 1996~December 27th, 1996 First Published: Early January 1997 Remastered Sessions: February 29th, 2000; December 18th, 2006
Di cerita ini Anthony Ventura lahir. Pernyataan ini tidak saja semata-mata tentang nama, melainkan juga tentang gaya cerita dan humornya yang tipikal. Dalam dua elemen komedi tersebut, meski jelas itu khas milikku, namun di sana-sini bisa kau temukan pengaruh Lupus. Yeah, jauh sebelum Old and New, aku memang membaca karya-karya Hilman. Bicara tentang standard, cerpen ini adalah segalanya. Old and New menjadi template bagi hampir semua cerpen komedi yang ditulis di masa mendatang, bahkan boleh dikatakan sulit untuk keluar dari bayang-bayang cerpen ini, terutama di masamasa awal. Kala itu aku selalu berpikir, “uh, bagaimana caranya aku bisa mengungguli yang satu ini? Atau setidaknya menghasilkan sesuatu yang sama kualitasnya?” Perasaan ini bukannya timbul tanpa alasan. Di masanya, cerpen ini adalah hit! Setahun setelah dirilis, keberhasilan Old and New masih berlanjut dengan suksesnya cerita ini dimuat dalam majalah sekolah! Aku mengerti bahwa kisah-kisah yang membumbui suatu legenda terkadang terlampau berlebihan. Melihat kembali cerita ini, aku sendiri berpendapat bahwa Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Appendix 2
62
cerpen ini terlalu jinak. Tapi mari ingat kembali bahwa ketika itu adalah tahun ’97, tahun di mana handphone adalah benda mahal dan langka yang luar biasa ajaibnya, bukan saja karena tidak berkabel, tapi juga bisa menampilkan nomor telepon yang masuk. Dengan kata lain, untuk zaman sekuno itu, cerpen ini adalah suatu terobosan yang jelas melampaui zamannya, begitu liar dan lengkap dengan sinisme anak muda yang innocent. Jika kemudian Old and New menjadi klasik, seharusnya itu tidak mengherankan. Bertahun-tahun kemudian aku menulis JKK. Kau bisa berpendapat bahwa cerita yang satu ini luar biasa kocak atau sangat kurang ajar –aku tersanjung bila pendapatmu adalah yang pertama kusebutkan, namun kalau kau lebih memilih yang kedua, aku juga tidak begitu membanggakan hasil akhir dari JKK, percayalah– namun apa yang hendak kukatakan adalah, sepuluh tahun yang lalu, bibit yang kemudian tumbuh menjadi JKK ternyata sudah ditanam di Old and New. Aku ingat ketika cerpen ini harus dirombak sedikit supaya terlihat lebih sopan dan pantas untuk majalah sekolah. Sudah radikal dari sejak dulu, eh? Hmm, aku baru menyadari hal itu sekarang... 3. John Lennon’s Nightmare
Writing Sessions: January 04th, 1997~January 06th, 1997 First Published: --Remastered Sessions: March 01st, 2000~March 02nd, 2000; December 14th, 2006
Film kartun Yellow Submarine baru dirilis ulang di tahun 1999. Itu berarti cerpen ini ditulis dua tahun sebelum aku menyaksikan kartun yang ajaib dan tidak lazim itu. Aku pikir cerita ini tergolong aneh, oleh karenanya sama sekali tidak pernah kurilis sebelum Sentimental Journey 1 di tahun 2000, namun sekarang, ketika kulihat lagi, sungguh luar biasa bahwa nuansa cerita ini bisa begitu mirip dengan kartunnya. Begitu psychedelic. 4. Aston Narrow
Writing Sessions: January 07th, 1997~January 09th, 1997 First Published: Mid January 1997 Remastered Sessions: March 03rd, 2000~March 04th, 2000, December 18th, 2006
Ini adalah satu-satunya cerita horor yang kutulis. Entah apa yang kupikirkan saat itu, sampai-sampai cerpen ini kuberi nama Aston Narrow. Satu hal yang pasti, ini ada hubungannya dengan klub sepak bola Aston Villa. Mungkin ini dikarenakan pada saat itu semua sudah mulai tergila-gila pada sepak bola, sedangkan aku tidak pernah menyukainya, jadi ini adalah upayaku untuk menghubungkan diri dengan apa yang sedang menjadi trend pada saat itu. Aku tidak bisa membayangkan bahwa semua itu berakhir menjadi cerita horor. Seumur hidupku aku senang menelurkan komentar yang ngaco dan tidak berarti, tapi aku tidak suka menakuti orang lain. Dengan begitu, kau dan aku tahu akan jadi seperti apa cerita ini. Dan aku sempat berpikir bahwa John Lennon’s Nightmare adalah cerpen terburuk yang pernah kutulis, sampai yang satu ini... Walaupun demikian, seiring waktu, aku mulai merevisi kembali pendapatku. Tidak terlalu buruk, sebenarnya. Dan untuk orang yang hanya menonton dua film horor – Ghosbusters dan Van Helsing, kalau film-film tersebut bisa kau kategorikan sebagai film horor– selama sepuluh tahun terakhir ini, kau tentunya tidak berharap banyak padaku untuk menulis cerita yang super-duper scary, bukan?
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Appendix 2
63
5. Saint Of Cookery
Writing Sessions: February 14th, 1997~February 21st, 1997 First Published: Late February 1997 Remastered Sessions: March 22nd, 2000~March 23rd, 2000; December 18th, 2006
Saint of Cookery adalah parodi dari God of Cookery. Film Stephen Chow yang luar biasa kocaknya itu kami tonton bersama-sama di rumah Endrico. Seperti seorang bocah yang baru keluar dari bioskop sambil memperagakan pukulan dan tendangan setelah menyaksikan film kungfu, aku juga pulang dengan penuh imajinasi dan tergerak untuk menulis yang seperti itu. Hasilnya adalah genre yang sama sekali berbeda dengan Old and New. Cerpen komedi sebelumnya sungguh merupakan hard act to follow, tapi aku bersyukur bahwa yang ini bisa menjadi lanjutan yang pantas bagi pendahulunya. Mungkin bukan lanjutan. Sulit untuk mengatakan bahwa ini adalah sequel dari Old and New. Rasanya lebih pantas bila disebut sebagai spin-off. Berfokus pada satu pemeran utama, Saint of Cookery menawarkan aksi dan komedi di atas kompor. Untuk humor yang tergolong jinak di masa-masa awal ini, cerpen yang satu ini masih sanggup untuk menebar senyum dan menjanjikan tawa. 6. IIe: The Story
Writing Session: March 19th, 1997 First Published: Late March 1997 Remastered Session: March 24th, 2000; December 18th, 2006
Sejak dulu aku senang melakukan eksperimen. Bagiku buku bukan hanya sarana bagimu untuk meletakkan tulisan. Kau bisa melakukan lebih dari itu. Kau bisa memberinya efek visual. Kau bisa membuat pembaca merasa lebih terlibat. Aku tidak akan menyebutkan buku yang mana, tapi jika kau mengikuti semua, atau setidaknya sebagian besar dari tulisanku, kau akan mengerti karya mana yang kumaksud. Ketika kau menciptakan sesuatu, semuanya tergantung pada imajinasi. Sungguh. Kendati begitu, yang namanya uji-coba tentu saja tidak selalu berhasil. Terutama IIe: The Story, yang ditulis ketika aku masih hijau. Untuk suatu bacaan yang berjudul The Story, cerpen ini jelas tidak memiliki banyak cerita, melainkan hanya kumpulan anekdot yang masing-masing terdiri dari dua atau tiga kalimat. Jika ada yang bertanya kenapa cerita ini bisa dimasukkan dalam koleksi ini, ingat kembali bahwa ini bukan tentang yang terbaik. Ini adalah sentimental journey, dan yang penting di sini adalah nilai historis yang tersirat di dalam IIe: The Story... 7. April Fool’s With IIe
Writing Sessions: March 26th, 1997~March 31st, 1997 First Published: April 01st,1997 Remastered Sessions: March 25th, 2000; March 27th, 2000; December 18th, 2006
Sebagai sequel dari Old and New, April Fool’s jelas sama bagusnya, kalau bukan lebih bagus. Kupikir aku menyukainya, terutama adegan legendaris dimana Henry menuturkan leluconnya tentang kuda lumping. Itu benar-benar original, dari fakta diadopsi menjadi fiksi. Aku masih ingat ketika Henry menceritakannya padaku. Reaksiku adalah, aku berhenti sejenak dan memandangnya dengan tatapan tak percaya. Maksudku, ini adalah Henry, dan ia menuturkan lelucon senakal ini? Ini sama saja seperti... seperti mendengarkan pastor mengatakan pada kita untuk berbuat zinah –well, itu perumpamaan, kuharap kau bisa memetik maknanya. Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura
Appendix 2
64
Tapi April Fool’s bukannya tanpa titik lemah. Cerita ini sedemikian miripnya dengan yang pendahulunya sehingga rasanya seperti membaca Old and New dari sudut pandang yang berbeda. Dan dengan cerita seidentik itu, setelah kau tidak mampu membuatnya menjadi lebih baik, maka selanjutnya kau akan menghasilkan cerita yang buruk. Dan yang buruk itu sungguh menunggu di depan... 8. A Night Of Magic
Writing Sessions: May 18th, 1997~May 25th, 1997 First Published: Late May 1997 Remastered Sessions: March 28th, 2000~March 29th, 2000; December 21st, 2006
Kau tidak bisa berulang kali menciptakan keajaiban yang sama. Lagi pula, apa yang terjadi berulang-ulang itu bukan lagi keajaiban namanya. Ketika aku berkata Old and New tak ubahnya seperti perangkap bagi kreativitas, aku tidak sedang bercanda. Sebagai suatu standard, apa yang kulakukan berikutnya selalu mengacu pada Old and New. Tidak seperti judulnya, aku tidak melihat banyak keajaiban dalam A Night of Magic. Cerpen ini merupakan karya yang miskin ide dan lelah akan kreativitas. Kalau saja bukan karena kapasitasnya sebagai serial IIe, A Night of Magic pasti sudah lama terlupakan. Tapi di sinilah A Night of Magic sekarang. Hope you still can feel the magic... 9. The Ballad Of Tommy And Laura
Writing Sessions: July 23rd, 1997~ July 28th, 1997 First Published: Early August 1997 Remastered Sessions: March 30th, 2000~March 31st, 2000; November 18th, 2006
Yang satu ini menarik. Aku terbangun di tengah malam dan sesuatu mengatakan padaku bahwa aku bisa dan harus menulis cerita berdasarkan lagu Tell Laura I Love Her. Keesokan harinya aku pun membongkar CD lagu yang dikoleksi oleh ayahku – aku ingat dia punya lagu itu– dan mengecek liriknya. Secara singkat, lirik tersebut sudah merupakan satu rangkaian cerita. Apa yang kulakukan hanyalah mengembangkan cerita yang sudah ada. Dalam lagu, kau bisa dengan mudah mengatakan Tommy and Laura were lovers, tapi tidak demikian halnya dengan cerita. Sebenarnya tidak mustahil untuk melakukan hal serupa, tetapi akan lebih menarik jika kau menjelaskan kenapa Tommy and Laura were lovers. Dari sinilah lahir The Ballad of Tommy and Laura. 10. Tell Laura I Love Her
Writing Sessions: July 28th, 1997~July 29th,1997 First Published: Early August 1997 Remastered Sessions: March 31st, 2000~April 03rd, 2000; November 18th, 2006
Jika The Ballad of Tommy and Laura diibaratkan sebagai kata pengantar, maka Tell Laura I Love Her adalah apa yang sesungguhnya hendak kutulis dari dwilogi Tommy and Laura ini. Bila kau berpendapat bahwa cerita ini bagus, kuucapkan terima kasih, namun aku tidak menulisnya seorang diri. Kau harus berterima kasih pula pada penulis lagu tersebut, sebab jika memang ceritaku cukup menyentuh, itu karena lagunya memang sebagus itu…
Sentimental Journey 1 © 2000, 2007, Anthony Ventura