SEMIOTIKA JIHAD FI SABILILLAH ‘IBNU BATTUTAH’ DALAM FILM JOURNEY TO MECCA
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I)
Oleh
Nurmalisa Nazaroni NIM: 1110051000114
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya, yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata satu (S. 1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan tiruan hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 19 Desember 2014
Nurmalisa Nazaroni
ABSTRAK Nurmalisa Nazaroni Semiotika Jihad fi Sabilillah ‘Ibnu Battutah’ dalam Film Journey to Mecca. Film Journey to Mecca merupakan film yang menceritakan tentang sosok yang bernama Ibnu Battutah dalam melakukan perjalanan sucinya ke tanah suci Mekah. Ibnu Battutah dinobatkan sebagai seorang petualang muslim terbesar abad ke-14. Prestasi perjalanan yang telah ditempuhnya yaitu sejauh 73.000 mil dan melampaui 44 negara jika dilihat pada peta dunia saat ini. Perjalanan ke Mekah merupakan rute pertama petualangannya dengan misi menunaikan ibadah haji. Pemuda asal Maroko ini melakukan perjalanan ke Mekah seorang diri yang ketika itu usianya 21 tahun. Banyak penolakan ketika ia meminta izin dari berbagai pihak, terutama orang tua, saat ia berpamitan ingin melaksanakan perjalanan suci tersebut. Namun berkat tekad dan harapan yang kuat untuk bisa melihat Masjidil Haram akhirnya ia memutuskan untuk berangkat pada saat itu. Di tengah perjalanannya ia banyak sekali menghadapi berbagai hambatan, seperti fatamorgana, tidak sadarkan diri, badai gurun, bahkan ia nyaris mati akibat serangan bandit di gurun. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut: Pertama, bagaimana sign dan code Jihad fi Sabilillah Ibnu Battutah dalam film Journey to Mecca? Kedua, bagaimana elemen Jihad fi Sabilillah Ibnu Battutah dalam film Journey to Mecca? Dan ketiga, bagaimana convetion Jihad fi Sabilillah Ibnu Battutah dalam film Journey to Mecca? Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menggunakan metode semiotika Roland Barhtes yaitu dengan cara mencari makna denotasi, konotasi dan mitos yang dikemas melalui pemaknaan sign dan code, elemen dan convetion yang menjelaskan semiotika pada dasarnya hendak memperlajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan manusia dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberi makna. Film Journey to Mecca menampilkan perjuangan Jihad fi sabilillah Ibnu Battutah, terutama dalam adegan ketika Ibnu Battutah sedang melakukan perjalanan dari Kairo menuju Mekah. Di sana banyak divisualisasikan perjuangan keras Ibnu Battutah dalam menghadapi kerasnya sebuah perjuangan menuju ridha Allah. Karena, banyak sekali simbol-simbol dan kode-kode yang menurut peneliti memunculkan interpretasi dan pesan simbolik. Karena hal itulah, menurut peneliti film Journey to Mecca perlu ditelisik menggunakan kajian semiotika. Jadi, film ini berhasil menampilkan perjuangan Jihad fi Sabilillah yang dilakukan oleh Ibnu Battutah dalam memperjuangkan rukun Islam yang kelima. Kode yang muncul terdapat ketika perjalanan dari Kairo menuju Mekah. Melalui unsur sinematik film, peneliti menemukan ada 13 elemen penting yang dapat membangun makna di dalam film sebagai representasi makna Jihad fi Sabilillah. Konvensi terdapat dalam beberapa sekuen dan adegan dalam durasi-durasi tertentu. Keyword: Ibnu Battutah, Jihad fi Sabilillah, Mekah, film, Semiotik, Journey to Mecca.
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur bagi Allah SWT karena sampai pada saat ini telah diberikan nikmat sehat oleh-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah dalam rangka mendapatkan gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I) pada program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis banyak melibatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Tanpa bantuan dari semua pihak tersebut mustahil penulis dapat menyelasaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dengan hormat tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Dr. H. Arif Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Dr. Suparto, M. Ed, Ph. D, selaku Wakil Dekan I bidang Akademik, Drs. Jumroni, M. Si, selaku Wakil Dekan II bidang Administrasi Umum, dan Dr. H. Sunandar Ibnu Noor, M.A, selaku Wakil Dekan III bidang Kemahasiswaan. 2. Dr. Rulli Nasrullah, M.Si, Dosen pembimbing skripsi yang telah berkenan meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan dan inspirasinya yang sangat berharga. 3. Rachmat Baihaky, M.A, selaku Ketua Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam.
ii
4. Fita Fathurokhmah, M. Si, Sekertaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. 5. Prof. Dr. Murodi, MA, Dosen Penasihat Akademik Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI D). 6. H. Zakaria, MA. Selaku dewan penguji yang memberikan arahan dan masukan untuk perbaikan kualitas skripsi ini. 7. Dr. Sihabudin Noor, MA. Selaku dewan penguji yang mengarahkan peneliti untuk memperbaiki skripsi ini. 8. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak ilmu kepada saya. 9. Segenap jajaran pegawai tata usaha Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 10. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Dedyk Haryono dan Ibunda Maysah yang telah menjadi orang tua hebat yang tak henti-hentinya memberikan kasih sayang, doa, dan motivasinya untuk penulis. Kasih sayangmu begitu berarti bagiku. 11. Kakakku tersayang Ayi Saepudin, Jojo Septianto, Mahlin, dan adikku Bayu Prasetyo, selalu memberikan motivasi, dukungan moril maupun materil, serta kasih sayang yang tak terhingga. 12. Mas Danang Budi Utomo, kamu hadir di waktu yang tepat, terimakasih untukmu yang memberiku semangat setiap hari, motivasi, doa, canda dan tawa di saat penulis merasa jenuh. “Selalu ada jalan kalau kita mau berusaha.”
iii
13. Sahabatku, Intan Purwatih, Isyana Tungga Dewi, Karlia Zainul, Nurul Fazriah, Shofa Mayonia Jeric, Kawan-kawan KPID, dan Kawan-kawan KKN MOZAIK, kebersamaan dengan kalian memahamiku tentang banyak hal berharga. 14. Kepada Muhammad Dhiya Ulhaq, yang telah bersedia memberikan banyak referensi kepada penulis. Semoga segala partisipasi, dukungan dan motivasi serta doa kepada penulis dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.
Jakarta, 19 Desember 2014
Penulis
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI LEMBAR PENYATAAN ABSTRAK ......................................................................................................
i
KATA PENGANTAR ....................................................................................
ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................
v
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
vii
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.............................................
5
C. Tujuan dan Manfaat penelitian.......................................................
6
D. Metodologi Penelitian ....................................................................
7
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................
10
F. Sistematika Penulisan ....................................................................
11
BAB II KERANGKA TEORITIS ................................................................
13
A. Tinjauan Umum Film .....................................................................
13
B. Semiotika .......................................................................................
33
C. Representasi Jihad fi sabilillah ......................................................
41
BAB III GAMBARAN UMUM FILM JOURNEY TO MECCA ...............
48
A. Profile Bruce Neibaur sebagai Sutradara Film Journey to Mecca .
48
B. Sinopsis Film Journey to Mecca ....................................................
50
C. Tim Produksi Film Journey to Mecca ............................................
53
v
BAB IV TEMUAN DAN HASIL PENELITIAN ........................................
54
A. Adegan dalam Film Journey to Mecca ..........................................
54
B. Narasi Adegan yang diteliti ............................................................
75
C. Semiotik dalam Adegan “Perjalanan dari Kairo ............................
81
D. Interpretasi......................................................................................
98
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .........................................................
102
A. Kesimpulan ..............................................................................
102
B. Saran .........................................................................................
103
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
104
LAMPIRAN
vi
DAFTAR TABEL Tabel 1.2
Skema Gende Film Induk Primer dan Induk Sekunder ............
25
Tabel 2.2
Tabulasi Analisis Film ..............................................................
39
Tabel 1.4
Adegan Awal mula Perjalanan Ibnu Battutah ..........................
56
Tabel 2.4
Ikon, Indeks, dan Simbol dalam Adegan Awal Mula Perjalanan Ibnu Battutah ............................................................................
58
Tabel 3.4
Adegan Perampokan .................................................................
63
Tabel 4.4
Ikon, Indeks, dan Simbol dalam Adegan Ketika Ibnu Battutah Menghadapi Bahaya yang Mengancam ...................................
65
Tabel 5.4
Adegan Keteguhan Hati Mempertahankan Prinsip ..................
70
Tabel 6.4
Ikon, Indeks, dan Simbol dalam Adegan Keteguhan Hati Mempertahankan Prinsip .........................................................
72
Tabel 7.4
Analisis Tanda Denotasi dan Konotasi dalam Skenario...........
82
Tabel 8.4
Ikon, Indeks, dan Simbol dalam Adegan Perjalanan Ibnu Battutah dari Kairo Menuju Mekah ........................................................
83
Tabel 9.4
Visualisasi shot dari Adegan Perjalanan dari Kairo ................
84
Tabel 10.4
Analisis Adegan Utama Melalui Tabulasi Analisis Film Stave
Tabel 11.4
Campsall...................................................................................
94
Konvensi dalam Adegan Utama ...............................................
97
vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Film Journey to Mecca merupakan film hasil garapan sutradara asal Amerika, Bruce Neibaur. Film ini merupakan salah satu film bergendre dramatic adventure yang rilis pada akhir April tahun 2009 lalu. Journey to Mecca manampilkan catatan sejarah penting mengenai seorang tokoh petualang muslim terbesar sepanjang masa menyusuri belahan dunia pada abad 14, Abdullah ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Lawati ibn Battutah (Ibnu Batutah) asal Maroko. Dalam film ini, Bruce mencoba menampilkan sebuah makna yang tersirat dari perjuangan pemuda asal Maroko tersebut (yang ketika itu berusia 21 tahun) dalam perjalanannya menuju tanah suci Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Pesan-pesan yang ingin ditampilkan dalam film ini tergambar jelas pada beberapa adegan dan sign. Pesan-pesan tersebut banyak merepresentasikan makna sebuah perjuangan yang tulus di jalan Allah, atau disebut dengan jihad fi sabilillah. Mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), haji ialah kegiatan melaksanakan rukun Islam kelima (kewajiban ibadah) yang harus dilakukan oleh orang Islam yang mampu, dengan mengunjungi Baitullah atau Ka’bah pada bulan Haji dan mengerjakan amalan haji, seperti ihram, tawaf, sa’i, dan wukuf.1
1
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online.
1
2
Ibadah haji merupakan salah satu kewajiban yang paling sakral di antara semua kewajiban Islam. Tercatat, ibadah haji dikatakan sebagai simbol agama teragung dan merupakan ibadah teristimewa di antara keempat ibadah Islam lainnya dan termasuk salah satu rukun utama di antara kelima rukunnya. Amalan-amalan haji yang sangat agung ini mampu menyatukan segala perbedaan seperti, ras, bahasa, asal negara, serta tingkatan sosial, dan lain-lain. Selain itu, ibadah haji mampu menyatukan semuanya dalam satu kesatuan, sehingga semuanya merasa sama di mata Allah. Pesan-pesan inilah yang coba ditanamkan dalam film Journey to Mecca. Film ini mencoba memvisualisasikan perjuangan Ibnu Battutah menunaikan rukun Islam kelima, yakni pergi berhaji. Dalam perjalanan hajinya Ibnu Battutah kerapkali menghadapi kerasnya berbagai tantangan dan rintangan. Bahkan ia nyaris kehilangan nyawanya ketika datang para perampok saat menempuh perjalanan di padang pasir. Tantangan dan rintangan kian hadir silih berganti, tetapi berkat tekat keimanan dan keteguhan hatinya, ia mampu melewati segala cobaan yang menderanya. Perjalanan ini merupakan bukti pencapaian ibadah haji yang merupakan perintah langsung dari Allah. Journey to Mecca memunculkan kembali sejarah perjuangan keras pada saat itu. Film ini berhasil memvisualisasikan perjalanan berhaji yang merupakan potret atau gambaran perjalanan ke Mekah pada abad ke-14.
3
Terbukti, Film ini berhasil mendapatkan penghargaan Most Popular Film di La Geode Film Festifal, Paris pada tahun 2009 lalu dengan durasi 45 menit.2 Di Indonesia, film ini diputar di Teater IMAX Keong Emas, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta. Di dalam film ini kemudian muncul berbagai simbol-simbol dan tanda-tanda yang merepresentasikan perjuangan ‘jihad di sabilillah’ yang tercermin melalui tokoh Ibnu Battutah yang diperankan oleh Chems Eddine Zinoun. Film memiliki pengaruh yang cukup besar sebagai media penanaman nilai dan ideologi. Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum.3 Film merupakan sebuah karya yang mengandung unsur audio visual sehingga muncul berbagai interpretasi di dalamnya. Inilah yang menarik perhatian peneliti yaitu ingin mengetahui lebih jauh tanda serta simbol yang dapat mempengaruhi penontonnya dalam film ini terhadap paradigma jihad. Untuk menganalisis film ini lebih kritis lagi, pendekatan semiotika menjadi sangat penting. Karena semiotika merupakan kajian tentang pemaknaan sebuah tanda. Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari Yunani semeion (tanda). Tanda tersebut kemudian dimaknai sebagai suatu hal
2
http://cakrawala-senja.blogspot.com/2009/05/journey-to-mecca.html, diunduh pada Sabtu, 1 Maret 2014. 3 Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa; Suatu Pengantar, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1991), Cet. Ke-2, h.13.
4
yang merujuk adanya hal lain. Contohnya asap menandai adanya api, sirene mobil yang keras meraung-raung menandai adanya kebakaran di sudut kota.4 Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.5 Salah
seorang
tokoh
semiotik
yang
cukup
terkenal
dalam
mempraktikkan model linguistik dan semiologi milik Saussure yakni Roland Barthes. Barthes berpendapat bahwa bahasa ialah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam kurun waktu tertentu.6 Teori Barthes mengenai signifikasi dua tahap (two order of signification), seperti yang disebut Fiske, Barthes menemukan bahwa di dalam sebuah tanda mengandung dua unsur pemaknaan yang signifikan. Pemaknaan ini yang kemudian disebut sebagai denotative dan conotative sign.7 Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis memberi judul pada penelitian ini “Semiotika Jihad fi Sabilillah „Ibnu Battutah‟ dalam Film Journey to Mecca.”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas bahwa apa yang menjadi sorotan dalam film ini yakni bagaimana pengorbanan serta 4
Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006). 6 Indiawan Seto Wahyu, Semiotika Komunikasi, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011). 6 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), cet ke-4, h.63. 7 Indiawan Seto, Semiotika Komunikasi, h, 16.
5
perjuangan Ibnu Battutah dalam menempuh perjalanan menuju Mekah dalam rangka menunaikan ibadah haji, maka penulis membatasi penelitian pada pesan tanda atau simbol dalam rangkaian gambar yang mengandung aspek jihad fi sabilillah dalam adegan perjalanan Ibnu Battutah dari Kairo menuju Mekah pada durasi 18:58 sampai durasi 31:50 melalui film Journey to Mecca karya Bruce Neibaur. 2. Perumusan Masalah Agar tidak terlalu meluas pembahasan dalam penelitian ini, maka peneliti memfokuskan pada tiga hal berikut diantaranya: 1. Bagaimana sign dan code jihad fi sabilillah ‘Ibnu Battutah’ dalam film Journey to Mecca? 2. Bagaimana elemen jihad fi sabilillah ‘Ibnu Battutah’ dalam film Journey to Mecca? 3. Bagaimana convention jihad fi sabilillah ‘Ibnu Battutah’ dalam film Journey to Mecca? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: a. Untuk mengetahui bagaimana sign dan code jihad fi sabilillah ‘Ibnu Battutah’ dalam film Journey to Mecca. b. Untuk mengetahui bagaimana elemen jihad fi sabilillah ‘Ibnu Battutah’ dalam film Journey to Mecca.
6
c. Untuk mengetahui bagaimana convention jihad fi sabilillah ‘Ibnu Battutah’ dalam film Journey to Mecca.
2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademis Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu sebagai bahan informasi dan dokumentasi ilmiah perkembangan ilmu pengetahuan, serta memberikan pandangan tentang analisis semiotika sebagai sebuah metode penelitian dalam analisis media. b. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pencerahan bagi para praktisi perfilman untuk mengetahui bagaimana membuat film sarat makna sebagai media dakwah Islam. Sedangkan untuk praktisi komunikasi, diharapkan penelitian ini dapat menjadi khazanah keilmuan dan literatur baru untuk mengetahui serta menggali makna yang terkandung dalam sebuah produk media massa, khususnya penelitian film menggunakan analisis semiotika.
D. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menggunakan metode semiotika Roland Barthes yaitu dengan cara mencari makna denotasi, konotasi dan mitos yang dikemas melalui pemaknaan sign dan
7
code, elemen, dan convetion yang menjelaskan semiotika atau semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).8 Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan manusia dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberi makna. a. Objek Penelitian dan Unit Analisis Objek penelitian ini adalah film. Sedangkan unit analisisnya adalah mengkhususkan pada gambaran perjalanan haji abad ke-14 dalam film Journey to Mecca dalam adegan-adegan visual, audio, atau narasi dalam film Journey to Mecca yang berkaitan dengan rumusan permasalahan penelitian. b. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini data-data dikumpulkan melalui observasi, yaitu mengamati langsung secara mendalam data-data yang sesuai dengan pertanyaan penelitian. Berikut instrumen penelitiannya: 1. Data Primer Data primer berupa dokumen elektronik, yaitu berupa DVD film Journey to Mecca. Penulis mengamati simbol-simbol yang ada dalam film tersebut serta menganalisis sesuai dengan model penelitian yang digunakan. 2. Data Sekunder
8
4, h. 15.
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), cet. Ke-
8
Data
sekunder
berupa
dokumen
tertulis,
yakni
penulis
mengumpulkan data-data melalui telaah dan mengkaji berbagai literatur yang sesuai dengan materi penelitian untuk dijadikan argumentasi. 3. Teknik Analisis Data Setelah data primer dan sekunder terkumpul, kemudian dikaitkan dengan rumusan masalah. Selanjutnya dilakukan analisis data menggunakan
analisis
semiotika
Roland
Barthes.
Bartes
mengembangkan semiotika menjadi dua, yakni denotasi dan konotasi yang menghasilkan tanda secara objektif yaitu untuk memahami makna yang tersirat dalam Film “Journey to Mecca”. Selain itu menggunakan teknik analisis semiotika film Christian Metz yaitu dengan cara mencari makna dalam film yang akan diteliti, serta menggunakan tabulasi analisis film Steve Campsall sebagai pelengkap dari unsur-unsur film. Berikut indikatornya: a. Sign Unit makna terkecil yang dapat kita jumpai di manapun kita berada, dapat kita dengar, kita rasa, kita hirup, dapat pula kita tafsirkan dan turut menentukan makna keseluruhan. b. Code Sekumpulan tanda yang nampak secara alami dan membentuk makna keseluruhan. c. Elements
9
Seluruh aspek dan komponen dalam produksi film dan dapat memunculkan berbagai representasi makna. d. Denotative Sign Terdapat pada signifikasi tahap pertama, yaitu kata yang bersifat umum dan secara langsung menunjukkan makna yang sebenarnya. e. Conotative Sign Istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari penonton serta nilai-nilai dari kebudayaannya. f. Convention Sign Merupakan rujukan dalam menilai suatu pekerjaan atau kebiasaan yang sudah umum di dalam masyarakat dan biasanya eksistensinya muncul dalam sebuah kesepakatan bersama.
E. Tinjauan Pustaka Pada penelitian ini banyak persamaan dan perbedaan dengan skripsiskripsi sebelumnya khususnya yang mengkaji tentang semiotika yang menggunakan pisau analisis semiotika Roland Barthes. Tujuannya sebagai bahan rujukan bagi penulis dalam merumuskan masalah, tapi tentunya ditunjang pula dengan literatur lainnya seperti buku, artikel, internet, dll. Adapun
penelitian
yang
serupa
diantaranya
yaitu,
Semiotika
Perjuangan ‘Said Nursi’ Menulis Kitab Risalah Nur dalam Film Hur Adam
10
oleh Uray Noviandy Taslim, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam. Model semiotika yang digunakan Uray sama dengan peneliti yaitu sama-sama menggunakan model semiotika Roland Barthes. Dalam skripsinya, Uray mengkaji mengenai interpretasi dakwah bil qalam atau jihad dengan kata-kata di balik jeruji besi yang dilakukan oleh tokoh penting di Turki yaitu Bediuzzaman Said Nursi.9 Semiotika Mati Syahid dalam Film Death in Gaza, oleh Muhammad Dhiyaa Ulhaq tahun 2013, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam. Tidak jauh berbeda dari penelitian semiotika terdahulu, Ulhaq menggunakan pisau analisis semitika Roland Barthes. Wacana yang ingin dibangun pada penelitian tersebut yaitu menggambarkan fakta-fakta mengenai bagaimana visualisasi dalam merepresentasikan pandangan Islam terhadap anak-anak Palestina dalam menyikapi jihad.10 Semiotika Arti Kasih Ibu dalam Film Semesta Mendukung, oleh Ania Febriani Fasha tahun 2013, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, wacana yang diangkat yakni membatasi permasalahan penelitian pada pesan tanda atau simbol yang mengandung aspek makna kasih ibu pada film tersebut.11
9
Uray Noviandy Taslim, “Semiotika Perjuangan ‘Said Nursi’ Menulis Kitab Risalah Nur dalam Film Hur Adam,” Skripsi S1 (Jakarta: Perpustakaan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012). 10 Muhammad Dhiyaa Ulhaq, “Semiotika Mati Syahid dalam Film Death in Gaza,” Skripsi S1 (Jakarta: Perpustakaan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013). 11 Ania Febriani Fasha, “Semiotika Arti Kasih Ibu dalam Film Semesta Mendukung,” Skripsi S1(Jakarta: Perpustakaan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013).
11
Persamaan dari skripsi-skripsi terdahulu dengan penelitian ini yaitu sama-sama
menggunakan
pisau
analisis
semiotika
Roland
Barthes.
Perbedaannya terletak pada wacana yang coba dibangun oleh peneliti yaitu ketabahan hati perjuangan ibnu Battutah dalam perjalanan ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji serta peneliti mengkaji tentang jihad fi sabilillah yang dilakukan Ibnu Battutah dalam film Journey to Mecca.
F. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan terarah maka penulis membagi pembahasannya ke dalam lima bab yang dibagi kedalam sub-sub bab sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN Pendahuluan terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metodologi
Penelitian,
Tinjauan
Pustaka,
dan
Sistematika
Penulisan.
BAB II: LANDASAN TEORI Dalam bab ini menjelaskan tentang tinjauan umum film yang berisi seputar definisi film, struktur film, jenis dan klasifikasi film, sejarah perkembangan film, film sebagai media komunikasi dan sebagai media dakwah. Tinjauan umum semiotika meliputi konsep dasar semiotika, konsep semiotika Barthes dan Metz, tabel analisis Steve Campsall. Tinjauan umum jihad fi sabilillah meliputi definisi
12
jihad, drajat jihad, perintah berjihad dalam Al-qur’an. Profil Ibnu Battutah.
BAB III: GAMBARAN UMUM FILM Pada bab ini berisikan tentang profil sutradara dan penghargaan film Journey to Mecca, gambaran umum film Journey to Mecca, dan tim produksi film. BAB IV: ANALISIS SEMIOTIKA FILM JOURNEY TO MECCA Dalam bab ini menjelaskan tentang temuan penelitian dan hasil penelitian dari analisis judul film, pengantar adegan yang diteliti dan narasi yang diteliti dalam film Journey to Mecca. BAB V: PENUTUP Pada bab akhir ini, penutup terdiri dari kesimpulan, saran, daftar pustaka dan lampiran.
BAB II KERANGKA TEORITIS
A. Tinjauan Umum Film 1. Definisi Film Film, menurut Kamus Bahasa Indonesia (KBI) didefinisikan sebagai selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret). Di samping itu, film juga merupakan media untuk tempat gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop), dan film diartikan sebagai lakon (cerita) gambar hidup.1 Kemudian, menurut UU No. 23 Tahun 2009 tentang perfilman Pasal 1 menyebutkan bahwa film merupakan karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.2 Film merupakan salah satu bagian dari media massa. Film berperan sebagai sarana komunikasi yang digunakan untuk penyebaran hiburan, menyajikan cerita, peristiwa, drama, dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat. Secara etimologis, film disebut sebagai Moving Images (gambar bergerak). Awalnya film lahir sebagai bagian dari perkembangan teknologi. Film ditemukan dari hasil pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor. Thomas Edison, untuk kali pertamanya mengembangkan kamera
1
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 414. 2 Undang-U ndang No. 23 Tahun 2009 tentang perfilman, Pasal 1.
13
14
citra bergerak pada tahun 1888 ketika itu ia membuat film berdurasi sepanjang 15 detik.3 Menurut Prof. Dr. Azhar Arsyad, M. A, film atau gambar hidup merupakan gambar-gambar dalam frame dimana frame demi frame diproyeksikan melalui lensa proyektor secara mekanis sehingga pada layar terlihat gambar itu hidup. Film bergerak dengan cepat dan bergantian sehingga memberikan daya tarik tersendiri.4 Selain itu, film memiliki hubungan yang sangat erat dengan kebudayaan. Seperti apa yang dikatakan oleh James Monaco, bahwa memahami film adalah memahami bagaimana setiap unsur, baik sosial, ekonomi, politik, budaya, psikologi dan estetis film masingmasing mengubah diri dalam hubungan yang dinamis.5 Dalam pembuatan film diperlukan proses pemikiran dan proses teknik. Proses pemikiran berupa pencarian ide, gagasan, dan cerita yang akan digarap. Proses teknik berupa keterampilan artistik untuk mewujudkan ide dan gagasan menjadi sebuah film yang siap ditonton. Pencarian ide dan gagasan ini dapat berasal dari mana saja, seperti novel, cerpen, puisi, dongeng, bahkan dari sejarah masa lampau.6 Sebagai karya seni, film memiliki kemampuan kreatif. Film mempunyai kesanggupan untuk menciptakan suatu realitas rekaan sebagai bandingan terhadap realitas. Realitas yang ditampilkan dalam film adalah realitas yang dibangun oleh pembuat film dengan mengangkat nilai-nilai atau 3
Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotik Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h.
132. 4
Azhar Arsyad, Media Pengajaran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), cet. Ke-5, h.
48. 5
Teguh Trianton, Film Sebagai Media Belajar, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 49. Ekky Imanjaya, Why Not: Remaja Doyan Nonton, (Bandung: PT Mizan Bunaya Kreativa, 2004), h. 10. 6
15
unsur-unsur budaya yang terdapat di dalam lapisan masyarakat. Ataupun sebaliknya, realitas yang ditampilkan dalam film kemudian menjadikan sebuah bentukan „budaya‟ yang diikuti oleh penonton. Seperti halnya karya sastra, film adalah karya seni budaya yang terbentuk dari berbagai unsur. Secara umum struktur film sama dengan struktur karya sastra yaitu terbentuk oleh unsur-unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Oleh karena itu, untuk dapat memahami segala pesan yang disampaikan dalam film kita harus mampu menganalisis atau mengkaji berbagai unsur-unsur pembangun film tersebut. Mengkaji unsur intrinsik artinya kita dapat menganalisis satu demi satu secara objektif dengan totalitas berbagai unsur yang terkandung di dalam karya tersebut. Lalu, yang dimaksud dengan totalitas yakni bahwa berbagai unsur yang dianalisis dan diurai satu persatu tadi tetap saling dihubungkan dalam rangka mendapatkan makna dan pesan yang utuh dari keseluruhan karya.
Sedangkan
mengkaji
unsur
ekstrinsik
artinya
kita
dapat
menghubungkan makna dan pesan yang telah diperoleh dari unsur intrinsik dengan berbagai hal yang berada di luar karya yang dinilai memiliki bubungan erat dengan penciptaan dan penyerapan informasi atau pesan dalam sebuah film menjadi lebih komprehensif dan lengkap. Dalam kajian semiotika, film adalah salah satu prodak media massa yang menciptakan atau mendaur ulang tanda untuk tujuannya sendiri. Caranya adalah dengan mengetahui apa yang dimaksudkan atau direpresentasikan oleh sesuatu, bagaimana makna itu digambarkan dan mengapa ia memiliki makna sebagaimana ia tampil.
16
Pada tingkat penanda, film adalah teks yang memuat serangkaian citra fotografi yang mengakibatkan adanya ilusi gerak dan tindakan dalam kehidupan nyata. Pada tingkat petanda, film merupakan cermin kehidupan metaforis. Jelas bahwa topik film menjadi sangat pokok dalam semiotika media karena di dalam genre film terdapat sistem signifikasi yang ditanggapi orang-orang masa kini dan melalui film mereka mencari reaksi, inspirasi, dan wawasan pada tingkat interpretasinya.7 Untuk dapat memahami film secara utuh, kita harus memahami unsurunsur pembentuk film terlebih dahulu. Secara umum, unsur pembentukan film terbagi menjadi dua macam, yakni unsur naratif dan unsur sinematik. 1. Naratif Unsur naratif film berhubungan dengan aspek cerita atau tema film. Unsur ini meliputi tokoh, masalah, konflik, lokasi, dan waktu. a. Tokoh Dalam film cerita, terdapat dua tokoh penting, yakni tokoh utama dan tokoh pendukung. Tokoh utama acapkali diistilahkan sebagai protagonis, sedangkan tokoh pendukung biasa disebut dengan tokoh antagonis yang biasanya bertintak sebagai pemicu konflik. b. Masalah dan Konflik Masalah di dalam film dapat diartikan sebagai penghalang yang dihadapi oleh tokoh protagonis dalam meraih tujuannya. Permasalahan ini yang kemudian memicu konflik (konfrontasi) fisik atau batin dari luar ataupun dari dalam diri tokoh protagonis (konflik batin). 7
Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, h. 134.
17
c. Lokasi Tempat atau lokasi di dalam film biasanya berfungsi sebagai pendukung narasi di dalam skenario. Pemilihan lokasi dapat membangun cerita sehingga cerita dapat menjadi lebih realistis. d. Waktu Waktu dalam narasi film merupakan salah satu aspek penting dalam membangun cerita. Pagi, siang, sore, dan malam hari dalam film memiliki makna sendiri sebagai pembangun suasana narasi film. 2. Sinematik Adapun unsur sinematik meliputi aspek-aspek teknis dalam produksi sebuah film. Seperti mise en adegan (scene), sinematografi, editing, dan suara. a. Mise en Scene Segala hal yang berada di depan kamera. Tujuannya untuk menimbulkan efek dramatis tertentu. Empat elemen pokok Mise en Scene yaitu, setting atau latar, tata cahaya, kostum dan make-up, serta acting dan pergerakan pemain. b. Sinematografi Sinematografi berasal dari bahasa Yunani “kinema” yang berarti gerakan dan “graphein” yaitu merekam. Artinya, pengaturan pencahayaan dan kamera ketika merekam gambar fotografis untuk suatu sinema. Sinematografi sangat erat hubungannya dengan seni fotografi tetap. Perlakuan terhadap kamera dan filmnya serta hubungan kamera dengan objek yang diambil.8
8
Himawan Pratista, Memahami Film, (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008), h. 107.
18
1) Jarak Dalam sinematografi terdapat beberapa teknis sudut pengambilan gambar serta ukuran gambar dalam sebuah frame. Salah satu aspek Framing yang terdapat dalam sinematografi yaitu jarak kamera terhadap objek (type of shot), diantaranya: a) Extreme Long Shot Extreme Long Shot merupakan jarak kamera yang paling jauh dari objeknya. Wujud fisik manusia nyaris tidak tampak. Teknik ini umumnya menggambarkan sebuah objek yang sangat jauh yang memperlihatkan panorama yang luas. b) Long Shot Pada teknik long shot tubuh fisik manusia telah tampak jelas namun latar belakang suatu tempat masih dominan. Teknik ini seringkali digunakan sebagai establishing shot, yakni shot pembuka sebelum digunakan shot-shot yang berjarak lebih dekat. c) Medium Long Shot Dengan menggunakan teknik Medium Long Shot, tubuh manusia terlihat dari bawah lutut sampai ke atas. Tubuh fisik manusia dan lingkungan relaitif seimbang. Sehingga semua terlihat netral. d) Medium Shot Pada jarak ini kamera memperlihatkan gambar tubuh manusia dari pinggang ke atas. Gesture serta ekspresi wajah mulai tampak. Sosok manusia mulai dominan dalam frame.
19
e) Medium Close-up Pada teknik ini, kamera memperlihatkan tubuh manusia dari dada ke atas. Sosok tubuh manusia mendominasi frame dan latar belakang tidak lagi menjadi dominan. Seperti yang digunakan dalam adegan percakapan normal. f) Close-up Teknik close-up pada umumnya memperlihatkan wajah, tangan dan kaki, atau objek kecil lainnya. Teknik ini mampu memperlihatkan ekspresi wajah dengan jelas serta gesture yang mendetail. g) Extreme Close-up Pada jarak terdekat ini mampu memperlihatkan lebih mendetail bagian dari wajah, seperti telinga, mata, hidung, dan lainnya, atau bagian dari sebuah objek. 2) Sudut Kamera (Angle) Sudut kamera ialah sudut pandang kamera dalam mengambil gambar terhadap objek yang berada dalam frame. Secara umum, sudut kamera dibagi menjadi tiga, di antaranya: a) Low Angle Pengambilan gambar dengan low angle yaitu, posisi kamera berada lebih rendah dari objek. Hal ini mengakibatkan objek berada lebih dominan. b) High Angle High angle mengakibatkan dampak sebaliknya dari low angle, yaitu objek akan terlihat lebih imperior atau tertekan.
20
c) Eye Level Pada sudut pengambilan gambar ini yakni subjek sejajar dengan lensa kamera. Ini merupakan sudut pengambilan normal sehingga posisi subjek terlihat netral, tidak ada intervensi khusus pada subjek. c. Editing Transisi sebuah gambar (shot) ke gambar (shot) lainnya.
d. Suara Seluruh suara yang keluar dari gambar, yakni dialog, musik, dan efek suara.
2. Struktur Film Esensi dari struktur film terletak pada pengaturan berbagai unit cerita atau ide yang sedemikian rupa sehingga mudah untuk dipahami. Struktur adalah kerangka desain yang menyatukan berbagai unsur film dan merepresentasikan jalan pikiran dari si pembuat film. Struktur terdapat dalam semua bentuk karya seni. Pada film mengikat aksi (action) dan ide menjadi satu kesatuan yang utuh.9 Adapun struktur film, di antaranya: a. Shot Shot adalah hasil sebuah rekaman secara visual dan audio yang dimulai dari kamera yang diaktifkan sampai dihentikan aktifitasnya. Berapapun lamanya kamera dioperasikan jika tidak diinterupsi maka
9
D. A. Peransi, Film/Media/Seni, (Jakarta: FFTV IKJ Press, 2005), h. 8.
21
hasil rekamannya adalah sebuah shot. Sekalipun kamera digerakkan untuk mengcover subjek dari angle yang berbeda namun tidak disertai dengan penghentian operasional maka itu berupa satu shot. Dalam kenyataannya, film memerlukan banyak shot. Berapa jumlah shot dalam film adalah relatif, yang terpenting adalah dengan banyaknya shot maka akan bervariasi angle dan ukuran type of shot. Shot yang variatif akan memberi kemungkinan variasi penglihatan pada audience sehingga semakin banyak yang bisa dilihat dan diserap. b. Scene Scene (adegan) adalah kejadian yang berlangsung di satu tempat dalam kurun waktu tertentu. Scene bisa terdiri dari beberapa shot, namun bisa saja hanya satu shot berapa pun panjangnya shot itu. Skenario telah mengelompokan scene sesuai dengan urutan kejadian atau cerita, secara jelas dicantumkan scene melalui pergantian tempat dan waktu dari scene pertama hingga berikutnya. c. Sequence Sequence adalah satu segmen besar yang memperlihatkan satu peristiwa yang utuh. Sebuah sequence umumnya terdiri atas beberapa adegan yang mengelompokkan kejadian yang berurutan. Misalnya seorang pemeran berangkat menuju rumah, sampai pemeran tersebut berada dalam rumah. Jika dua atau lebih adegan tersebut berlangsung secara berurutan maka adegan-adegan tersebut dikelompokkan dalam sebuah sequence.10
10
Himawan Pratista, Memahami Film, h. 29.
22
3. Jenis dan Klasifikasi Film Seiring berkembangnya dunia perfilman, semakin banyak film yang diproduksi dengan corak yang berbeda-beda. Secara garis besar, film dapat diklasifikasikan berdasarkan cerita, orientasi pembuatan, dan berdasarkan genre. Namun, secara umum Himawan Pratista membagi film menjadi 3 jenis, yaitu: Dokumenter, Fiksi, dan Eksperimental. Pembagian ini didasarkan atas cara bertutur film tersebut, yakni naratif dan non-naratif. Film fiksi memiliki struktur narasi yang jelas, sementara film dokumenter dan film eksperimental tidak memiliki struktur naratif yang jelas.11 Adapun definisinya menurut Himawan, sebagai berikut: a. Film Dokumenter Jenis film ini biasanya berhubungan dengan orang-orang, tokoh, peristiwa atau kejadian, dan lokasi yang nyata. Film dokumenter tidak menciptakan peristiwa, tetapi merekamnya. Film ini juga dibuat dengan struktur bertutur yang sederhana. Tujuannya agar penonton lebih mudah memahami dan mempercayai fakta-fakta yang disajikan. b. Film Fiksi Film fiksi dibuat dengan menggunakan cerita rekaan dan adegan yang sudah dirancang sejak awal. Jenis film ini jauh berbeda dengan jenis film dokumenter dan eksperimental karena cerita pada jenis film ini terikat oleh plot, serta struktur filmnya pun terikat dengan hukum kausalitas atau sebab-akibat.
11
Himawan Pratista, Memahami Film, h. 29-30.
23
c. Film Eksperimental Berbeda dengan film dokumenter dan fiksi, jenis film ini tidak memiliki plot namun tetap memiliki struktur yang dipengaruhi oleh insting subjektifitas sineas, seperti gagasan, ide, emosi, serta pengalaman batin. Film eksperimental umumnya tidak bercerita tentang apapun, bahkan terkadang menentang kausalitas, film eksperimental umumnya berbentuk abstrak dan tidak mudah dipahami karena menggunakan simbol-simbol personal yang diciptakan pihak sineas sendiri. Kemudian berdasarkan orientasi pembuatannya, film dapat digolongkan
dalam
dua
kategori
yaitu
film
komersial
dan
nonkomersial. Film komersial, orientasi pembuatannya adalah bisnis dan mengejar keuntungan. Dalam klasifikasi ini, film memang dijadikan sebagai komoditas industrialisasi. Sehingga film dibuat sedemikian rupa agar memiliki nilai jual dan menarik untuk disimak oleh berbagai lapisan khalayak. Film komersial biasanya lebih ringan, atraktif, dan mudah dimengerti. tujuannya agar lebih banyak orang yang berminat untuk menyaksikan film. Berbeda dengan film komersial, jenis film non-komersial merupakan film yang digolongkan
bukan film yang berorientasi
bisnis. Dengan kata lain, film non-komersial ini dibuat bukan dalam rangka mengejar target keuntungan dan azasnya bukan untuk menjadikan film sebagai komoditas, melainkan murni sebagai seni dalam menyampaikan suatu pesan dan sarat akan tujuan. Karena bukan
24
dibuat atas dasar kepentingan bisnis dan keuntungan, maka biasanya segmentasi penonton film non-komersial juga terbatas. Contoh film non-komersial misalnya berupa film propaganda, yang dibuat dengan tujuan mempengaruhi pola pikir massal agar sesuai dengan pesan yang berusaha disampaikan. Genre Salah satu cara kunci di mana film dikembangkan dan dipasarkan adalah melalui genre.12 Istilah genre memiliki asal usul dalam sejarah seni. Awalnya, digunakan untuk merujuk pada lukisan-lukisan populer (sebagai lawan dari lukisan-lukisan berselera tinggi atau berseni tinggi). Sampai sekarang, genre merupakan istilah yang masih dipakai dalam industri penerbitan untuk membedakan buku-buku massal dari buku-buku sastra. Dalam kajian-kajian film, penelitian genre mengkaji film dengan mengaitkannya pada film-film lain dalam genre yang sama. Film-film kerap dipelajari menurut genrenya. Fungsi
genre
sendiri
adalah
untuk
mempermudah
kita
dalam
mengklasifikasikan dan memilih beberapa bentuk film yang saat ini mungkin sudah berjumlah jutaan atau bahkan lebih. Pada era Hollywood klasik, kurang lebih pada tahun 1930-1960, Bordwell, Thompson, dan Sraiger membuat filmfilm untuk masing-masing genre, seperti Western, musikal, dan komedi guna menjamin jumlah khalayak yang maksimal untuk keseluruhan sinema mereka.
12
Jane Stokes, How To Do Media and Cultural Studies: Panduan untuk Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya, (Yogyakarta: Bentang, 20060, h. 89.
25
Beberapa studio menspesialisasikan diri pada genre-genre tertentu.13 Jadi, genre sangat membantu bagi para penikmat film untuk memilih bentuk film yang dicari. Genre juga merupakan sebuah kategori semiotik karena di dalamnya terdapat kode-kode dan konvensi-konvensi yang dimiliki oleh film-film dalam sebuah genre yang sama. Misalnya, unsur-unsur seperti lokasi, gaya, dan mise en scene seluruhnya merupakan bagian dari sistem terkode yang dapat diidentifikasi melalui analisis semiotika. Mengacu pada kategori genre sebagaimana disebutkan di atas yaitu untuk mempermudah melihat dan mengklasifikasikan film, berikut skema genre film yang dibagi berdasarkan pengaruh dan sejarah serta perkembangannya. Tabel 1.2.14 Skema Genre Film Induk Primer dan Induk Sekunder.
Genre Induk Primer Aksi Drama Epik Sejarah Fantasi Fiksi-ilmiah Horor Komedi Kriminal dan Gangster Musikal Petualangan Perang Western
Genre Induk Sekunder Bencana Biografi Detektif Film noir Melodrama Olahraga Perjalanan Roman Superhero Supernatural Spionase Thriller
1. Genre Induk Prime Genre ini merupakan genre-genre pokok yang sudah ada dan populer sejak awal berkembangnya sinema di era 1900-an sampai 1930-
13
Jane Stokes, How To Do Media and Cultural Studies, h. 90. Pratista, Memahami Film, h. 13.
14
26
an. Hanya saja, beberapa yang populer dari bentuk genre ini, di antaranya seperti genre aksi, drama, komedi, horor, serta fiksi imiah yang populer hingga kini. Namun, adapula genre yang jauh lebih populer dan sukses di masa lalu, yakni genre seperti musikal, epik sejarah, perang, serta western. Di samping itu, satu-satunya genre yang tampaknya tidak pernah tersingkir dari industri perfilman adalah komedi, mungkin karena genre komedi begitu fleksibel.
2. Genre Induk Sekunder Bentuk genre ini merupakan pengembangan dari genre induk primer yang memiliki karakter dan ciri-ciri khusus dibandingkan dengan genre induk primer.
4. Sejarah Singkat Perkembangan Perfilman Film adalah media komunikasi massa yang kedua muncul di dunia setelah surat kabar, mempunyai masa pertumbuhan pada akhir abad ke-19. Pada awal perkembangannya, film tidak seperti surat kabar yang mengalami unsur-unsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan demografi yang merintangi kemajuan surat kabar pada masa pertumbuhannya pada abad ke-18 dan permulaan abad ke-19.15 Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita,
15
Alex Sobur, Semiotika komunikasi, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2009), h. 126.
27
peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum. Berbicara mengenai sejarah film, berarti tidak bisa lepas dari awal mula munculnya fotografi. Dan sejarah fotografi tidak bisa lepas dari peralatan pendukungnya, seperti kamera. Kamera pertama di dunia ditemukan oleh Ibnu Haitham.16 Seorang ilmuan Islam yang ahli dalam bidang sains, falak (astronomi), matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Pertama kali ia menemukan Kamera Obscura yakni dengan dasar kajian ilmu optik menggunakan bantuan energi cahaya matahari. Teori beliau telah membawa pengaruh kepada penemuan film yang kemudian disambung-sambungkan dan dimainkan kepada para penonton sebagaimana yang dapat kita lihat pada masa kini. Kemudian, proses pengembangan selanjutnya diteruskan pada tahun 1877 oleh Eadweard Muybridge dengan membuat film bergerak. Pembuatan film ini merupakan gambar gerak pertama di dunia, di mana pada masa itu belum diciptakan kamera yang bisa merekam gerakan dinamis.17 Pembuatan film dilakukan dengan cara merekam 16 frame gambar kuda yang sedang berlari. Dari 16 frame gambar kuda yang sedang berlari tersebut, kemudian dibuat rangkaian gerakan secara urut sehingga gambar kuda terkesan sedang berlari. Dan terbuktilah bahwa ada satu momen di mana kaki kuda tidak menyentuh tanah ketika kuda tengah berlari kencang.
16
Biografi Ibnu Haitham, Sang Penemu Kamera Obscura, tersedia di http://indonesiaindonesia.com/f/90467-ibnu-haitham-penemu-kamera-obscura/, diakses pada, Minggu, 11 Oktober 2014. 17 Stanley J. Baran, Pengantar Komunikasi Massa jilid 1 Edisi 5: Melek Media dan Budaya, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008), h. 211.
28
Setelah penemuan gambar bergerak oleh Muybridge, inovasi kamera mulai berkembang ketika Thomas Alfa Edison mengembangkan fungsi kamera gambar biasa menjadi kamera yang mampu merekam gambar gerak pada tahun 1888, sehingga kamera mulai bisa merekam objek yang bergerak secara dinamis. Maka dimulailah era baru sinematografi, yakni sebuah alat yang secara bersamaan dapat memfoto dan memproyeksikan gambar yang ditandai dengan diciptakannya sejenis film dokumenter singkat oleh Lumière Bersaudara. Film yang diakui sebagai sinema pertama di dunia tersebut diputar di Boulevard des Capucines, Paris, Prancis dengan judul Workers Leaving the Lumière's Factory pada tanggal 28 Desember 1895 yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya sinematografi. Pada awal lahirnya film, memang tampak belum ada tujuan dan alur cerita yang jelas. Namun ketika ide pembuatan film mulai tersentuh oleh ranah industri, mulailah film dibuat lebih terkonsep, memiliki alur dan cerita yang jelas. Meskipun pada era baru dunia film gambarnya masih tidak berwarna alias hitam-putih, dan belum didukung oleh efek audio. Ketika itu, saat orangorang tengah menyaksikan pemutaran sebuah film, akan ada pemain musik yang mengiringi secara langsung gambar gerak yang ditampilkan di layar sebagai efek suara. Kemudian, film bicara yang pertama muncul pada tahun 1927 di Broadway, Amerika Serikat, meskipun dalam keadaan belum sempurna sebagaimana dicita-citakan. Baru pada tahun 1935 film bicara boleh dikatakan mencapai kesempurnaan. Waktu pemutarannya cukup lama dan ceritanya
29
panjang, karena film pada masa itu banyak yang berdasarkan novel dari buku dan disajikan dengan teknik yang baik. Diawali pada tahun 1945 film mengalami kemerosotan yang cukup tajam. Hal ini disebabkan karena munculnya televisi.18 Pada tahun-tahun sejak rumah-rumah penduduk terdapat pesawat televisi, film telah surut peminatnya. Amerika Serikat mengalami kemerosotan jumlah pengunjung sampai lebih dari setengahnya. Demikian pula dengan negara-negara lain. Lalu, pada tahun 1952 Fred Waller memperkenalkan sistem “Cinerama”. Layarnya yang enam kali lebih besar dari layar yang biasa, tidak bisa digunakan secara umum karena mahalnya biaya dan karena kesukaran teknik dalam pemutarannya di gedung-gedung bioskop. Penelitian pun dilanjutkan. Pada tahun 1953 sistem “tiga dimensi” ditemukan. Penonton tidak hanya melihat gambar yang rata seperti biasanya, melainkan menonjol ke luar, seolah-olah apa yang disaksikan itu adalah kenyataan. Akan tetapi, sistem ini pun mengalami kesukaran teknik sehingga tidak dapat dengan mudah disajikan kepada publik. Kemudian, pada tahun 1953 publik yang sekian lama terpesona oleh TV berhasil ditarik kembali ke gedung-gedung bioskop. Hal itu disebabkan penemuan “Cinemascope” oleh perusahaan film 20th Century Fox. Layarnya yang lebar yang meskipun tidak menandingi Cinerama, tetapi dapat disajikan kepada publik. Publik menyambut dengan antusias. Hal itu ditandingi perusahaan film Paramount, dengan memperkenalkan sistem Vista Vision dengan sukses pula. Layar untuk Vista Vision tidak selebar layar untuk
18
Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 126.
30
Cinemascope, tetapi layarnya dapat menampilkan gambar-gambar yang tajam dan dapat memuaskan penonton.19 5. Film sebagai Media Komunikasi Massa Komunikasi massa merupakan komunikasi melalui media massa yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang besar. Proses komunikasi massa melibatkan aspek komunikasi interpersonal, komunikasi intrapersonal, komunikasi kelompok dan komunikasi organisasi. Teori komunikasi massa umumnya memfokuskan pada struktur media, hubungan media dan masyarakat, hubungan antar media dan khalayak, aspek budaya dan komunikasi massa, serta dampak atau hasil komunikasi massa terhadap individu.20 Littlejohn, menyatakan bahwa komunikasi massa merupakan: “The process whereby media organizations produce and transmit messages to large publics and the process by which those messages are sough, used, understood, and influences.”21 Komunikasi massa, proses di mana organisasi-organisasi media memproduksi dan menyampaikan pesan-pesan kepada khalayak luas dan proses di mana pesan-pesan dicari, digunakan, dipahami, dan dipengaruhi oleh khalayak. Seperti kita ketahui bersama bahwa media massa seperti surat kabar, televisi, film, radio, dan juga internet, serta proses komunikasi massa (peran yang dimainkannya) semakin banyak dijadikan sebagai objek studi. Gejala ini
19
Onong Uchjana Effendi, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007), h. 204-205. 20 Eko Harry Susanto, Komunikasi Manusia: Esensi dan Aplikasi dalam Dinamika Sosial Ekonomi Politik, (Jakarta: Mitra Wacana Media penerbit, 2010), h. 9. 21 Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2008), Cet. Ke-2, h. 16.
31
seiring dengan meningkatnya peran media massa itu sendiri sebagai suatu institusi penting dalam masyarakat. Media
sering
kali
berperan
sebagai
wahana
pengembangan
kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol, tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata cara, mode, gaya hidup dan norma-norma. Media telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif. Media masa selaku sumber kekuatan (alat kontrol), manajemen, dan inovasi dalam masyarakat dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya. Film dinilai sebagai salah satu media komunikasi masa yang efektif. Selain membawa pesan persuasi, film sudah melekat dalam kehidupan masyarakat modern dan dianggap sebagai sumber berita maupun hiburan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Selain itu, pemanfaatan film sering kali dijadikan sebagai alat propaganda. Hal tersebut berkenaan dengan pandangan yang menilai bahwa film memiliki jangkauan realisme, pengaruh emosional, dan popularitas yang hebat. Upaya membaurkan pengembangan pesan dengan hiburan memang sudah lama diterapkan dalam kesusastraan dan drama, namun unsur-unsur baru dalam film memiliki kelebihan dalam segi kemampuannya memanipulasi kenyataan yang tampak dengan pesan fotografis, tanpa kehilangan kredibilitas. 6. Film sebagai Media Dakwah Ditinjau dari segi bahasa, dakwah berasal dari bahasa Arab “da‟wah”. mempunyai tiga huruf asal, yaitu dal, „ain, dan wawu. Dari ketiga huruf asal
32
ini, terbetuk beberapa kata dengan ragam makna. Makna-makna tersebut di antaranya berarti memanggil, mengundang, minta tolong, meminta, memohon, menamakan, menyuruh datang, mendorong, menyebabkan, mendatangkan, mendoakan, menangisi dan meratapi.22 Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah sesuai dengan garis aqidah, syariat dan akhlak Islam. Menurut M. Natsir dalam pemikirannya mengenai dakwah Islam, memberikan pengertian bahwa dakwah Islam merupakan ajakan yang berisi amar ma‟ruf nahi munkar. Menurutnya ajakan tersebut tidak cukup dengan lisan, melainkan juga dengan bahasa, perbuatan dan kepribadian mulia secara nyata.23 Seiring perkembangan teknologi komunikasi, komunikasi dakwah juga memanfaatkan penggunaan media modern. Sebagaimana komunikasi pada umumnya, berdakwah melalui media memiliki keunggulan utama soal efisiensi dan efektifitas penyebaran pesan. Dalam artian, komunikasi yang berhasil mencapai tujuan, mengesankan, dan mampu menghasilkan perubahan sikap (attitude change) pada komunikan. Sedangkan, pengertian media dakwah sendiri adalah alat yang menjadi perantara penyampaian pesan dakwah kepada mitra dakwah. Aktifitas dakwah niscaya menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim. Kesadaran akan kewajiban berdakwah harus ada pada diri
22
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. Ke-2, h. 6. Thohir Luth, M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta, Gema Insani Press, 1999),
23
h. 80.
33
setiap muslim. Berdakwah sama wajibnya dengan ibadah ritual seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Salah satu alternatif dakwah yang cukup efektif adalah melalui media film, karena dengan kemajuan teknologi di zaman sekarang pemanfaatan media tersebut cukup efektif, sebagaimana kita ketahui pada saat sekarang ini dunia perfilman semakin maju dan berkembang disertai dengan sangat antusiasnya animo masyarakat dalam menikmati produksi film. Film adalah bagian kehidupan sehari-hari kita dalam banyak hal. Bahkan, cara kita berbicara pun sangat dipengaruhi oleh metafora film.24 Itulah sebabnya orang terpesona oleh film sejak awal penciptaan film. Film dapat memengaruhi emosi penonton. Adapun keunikan film sebagai media dakwah di antaranya yaitu, Pertama, secara psikologis, penyuguhan secara hidup dan tampak yang dapat berlanjut dengan animation memiliki keunggulan daya efektifnya terhadap penonton. Sehingga dakwah dapat disuguhkan kepada khalayak lebih baik dan efisien dengan media ini. Selanjutnya, media film yang menyuguhkan pesan hidup dapat mengurangi keraguan yang disuguhkan, lebih mudah diingat dan mengurangi kelupaan.25
B. Semiotika 1. Konsep Dasar Semiotika Istilah semiotics atau semiotika pertamakali diperkenalkan oleh Hippocrates (460-377 SM), ia merupakan seorang penemu ilmu medis Barat,
24
John Vivian, Teori Komunikasi Massa, (Jakarta: kencana, 2008), h. 160. Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, h. 426.
25
34
seperti ilmu gejala-gejala. Gejala, menurut Hippocrates dalam bahasa Yunani merupakan semeon, yang berarti “penunjuk” (mark) atau “tanda” (sign) fisik.26 Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.27 Semiotika, seperti kata John Lechte dalam Sobur, adalah teori tentang tanda dan penandaan. Lebih jelasnya lagi, semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs „tanda-tanda‟ dan berdasarkan pada sign system (code) „sistem tanda‟. Semiotika menjadi salah satu kajian yang bahkan menjadi tradisi dalam teori komunikasi. Teori semiotika terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri. Tanda, yakni apapun yang memproduksi makna. Secara umum, tanda menurut Tony Thwaites ialah, tanda bukan sekadar ulasan tentang dunia, tetapi dengan sendirinya merupakan ihwal (things) khususnya dalam dunia sosial. Tanda tidak hanya menyampaikan makna, tetapi memproduksinya. Tanda memproduksi banyak makna, namun bukan sekadar satu makna petanda.28 Semiotik bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang terkandung dalam sebuah tanda atau menafsirkan makna tersebut sehingga diketahui bagaimana komunikator mengkonstruksi pesan. Konsep pemaknaan ini tidak terlepas dari perspektif atau nilai-nilai ideologis tertentu serta konsep kultural yang menjadi ranah pemikiran masyarakat di mana simbol tersebut diciptakan.
26
Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 6. Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 15. 28 Tony Thwaites, Introducing Cultural and Media Studies; sebuah Pendekatan Semiotik, (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h. 13-14. 27
35
Kode kultural yang menjadi salah satu faktor konstruksi makna dalam sebuah simbol menjadi aspek yang penting untuk mengetahui konstruksi pesan dalam tanda tersebut. Konstruksi makna yang terbentuk inilah yang kemudian menjadi dasar terbentuknya ideologi dalam sebuah tanda. Sebagai salah satu kajian pemikiran dalam cultural studies, semiotik tentunya melihat bagaimana budaya menjadi landasan pemikiran dari pembentukan makna dalam suatu tanda. Ketika kita berbicara mengenai sebuah kajian ilmu atau sebuah teori, maka tidak bisa terlepas dari tokoh-tokoh yang mencetuskan kajian tersebut. Semiotika tentunya memiliki tokoh-tokoh yang menjadi pemikir terbentuknya sebuah tradisi semiotik itu sendiri, ada empat tokoh semiotika yang cukup terkenal dengan teorinya, di antaranya, pertama, Charles Sander Pierce, ia menemukan tipologi tanda yaitu indeks, ikon, dan simbol. Teori Pierce dikenal dengan grand theory yang membagi sistem tanda menjadi tiga unsur yaitu representmen, interpretant, dan objek. Kedua, Ferdinand de Saussure, tokoh ini lebih berfokus pada semiotika linguistic, setidaknya Saussure telah menemukan dua komponen dalam studi semiotika yaitu signifier (penanda) dan signified (petanda).29 Kemudian barulah muncul tokoh-tokoh selanjutnya seperti Roland Barthes dan Cristian Metz. Semiotika sendiri menurut Sobur terbagi menjadi dua jenis, di antaranya: a. Semiotika Komunikasi Semiotika ini menekankan pada teori tentang tanda, salah satu di antaranya yaitu mengansumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi,
29
Indiwan Seto, Semiotika Komunikasi, (Jakarta: Mitra Wacana Media,2011), h. 13-15.
36
yakni pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan). b. Semiotika Signifikasi Semiotika ini lebih memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu. Pada jenis ini, tidak dipersoalkan adanya tujuan berkomunikasi. Sebaliknya, yang diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan daripada proses komunikasinya.30
2. Konsep Semiotika Roland Barthes Roland Barthes menjadi tokoh yang begitu identik dengan kajian semiotika. Pemikiran semiotika Barthes banyak digunakan sebagai rujukan penting dalam penelitian, khususnya di Indonesia. Konsep pemikiran Barthes terhadap semiotik dikenal dengan konsep mitologi dan semiologi yang merupakan pendalaman dari teori linguistik dan semiologi milik Saussure.31 Sebagai penerus dari pemikiran Saussure, Roland Barthes menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Di mata Barthes, suatu teks merupakan sebentuk konstruksi belaka. Bila hendak menemukan maknanya, maka perlu dilakukan rekonstruksi dari teks itu sendiri. Barthes menjelaskan bahwa kunci dari analisisnya ada pada konotasi dan denotasi. Ia mendefinisikan sebuah tanda (sign) sebagai sebuah sistem 30
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 15. Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 63.
31
37
yang terdiri dari sebuah ekspresi (E) atau signifier dalam hubungannya (R) dengan isi (signified) (C).32 Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi, yaitu makna ganda yang lahir dari pengalaman cultural dan personal. Hal ini merupakan distingsi antara Saussure dan Barthes, meskipun Barthes tetap menggunakan istilah signifier (ekspresi) dan signified (isi) yang diusung oleh Saussure. 3. Konsep Semiotika Christian Metz Christian Metz adalah seorang teoritikus film yang terkenal sebagai pelopor penerapan teori semiotika dari Saussure ke dalam film. Tokoh ini lahir di Beziers, Prancis bagian selatan, pada tahun 1931. Pada periode 1970-an, pemikirannya mengenai film sangat memengaruhi perkembangan film di Prancis, Inggris, Amerika Latin, dan Amerika Serikat.33 Bukunya yang berjudul Languange and Cinema memberikan pemahaman mengenai film sebagai satuan bahasa yang berbeda dari bahasa tutur. Semua komponen dalam film merupakan serangkaian kode yang merepresentasikan sebuah budaya, sejarah dan nilai-nilai. Bagi Metz, teori film adalah teori yang mengkaji wacana-wacana sejarah film, masalah ekonomi film, estetika film dan semiotika film.34 Menurut Metz, film merupakan sekumpulan tanda dan bahasa yang tercipta melalui gerakan gambar serta kode-kode yang ditampilkan di dalam
32
Indiwan Seto, Semiotika Komunikasi, h. 16. http://jurnalfootage.net/v4/artikel/peranan-teori-filem-di-dalam-ilmu-filem, diakses pada Jumat, 10 Oktober 2014. 34 Zuzana M.Pick, Cinema As Sign and Languange, h. 200. 33
38
film. Baginya, sebuah film bagi penontonnya hanyalah “ilusi tentang realitas” yang mungkin lebih tepat disebut “impresi tentang realitas”. Metz secara khusus tertarik dengan bagaimana penanda film, dibandingkan dengan media lainnya (penanda-penanda lainnya), ia berhasil memberikan suatu narasi (diagesis), intrik, deskripsi, drama, dan sebagainya. Di sinilah faktor kunci penentunya, berkaitan dengan cara bagaimana film memberikan suatu struktur naratif, bukan dengan cara bagaimana film-film tertentu berkembang dan ditafsirkan dalam kerangka perkembangan ini. Menjelang pertengahan tahun 1970-an, Metz mulai menyadari bahwa pendekatan semiotik terhadap film cenderung mengistimewakan tataran struktur diskursus film dan mengabaikan kondisi penerimaan film terhadap aspek pandangan para penonton.35 4. Tabel Analisis Film Steve Campsall Steve Campsall merupakan salah seorang pengajar studi bahasa Inggris dan media di The Beauchamp College. Dalam tabel analisis filmnya yang diadopsi dari pemikiran Metz, Steve campsall melihat film sebagai kesatuan bahasa dan makna. Ini kemudian dipahami oleh Campsall sebagai Moving Image Texts: “Film Languange”. Semiotika film dapat direalisasikan dengan berbagai komponen dan elemen yang dapat menjelaskan teknik semiotika film secara mendetail melalui tabel berikut:
35
John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Posmodernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 131-134.
39
Tabel 2.2.36 Tabulasi Analisis Film Analysis Moving ImageTexts: “Film Languange” Signs, Code and Conventions
Semiotika, merupakan sebuah jalan untuk menjelaskan bagaimana tanda itu diciptakan. di dalam film, tanda-tanda tersebut diciptakan oleh para sineas film atau sutradara. Apa yang kita dengar, kita rasakan, merupakan sesuatu yang dapat kita persepsikan dan mengandung sebuah ide. Ide tersebutlah yang kemudian disebut dengan „meaning‟. Salah satu contoh pemaknaan penting, misalnya kata-kata pengecut, memiliki lawan heroic. Situasi ini memungkinkan penafsir memiliki pendapat yang berbeda, dan ini dinamakan Binary Opposite. Ada beberapa komponen dalam memahami semiotika film. Di antaranaya: - Signs (tanda): unit makna terkecil yang bisa kita tafsirkan dan turut menentukan makna keseluruhan. - Code (kode): dalam semiotika, sebuah kode merupakan sekumpulan tanda yang Nampak “pas” sekaligus “alami” dalam membentuk makna keseluruhan. - Convention (konvensi): istilah konvensi itu penting. Ia merujuk pada suatu cara yang sudah umum dalam mengerjakan sesuatu. Dan kita sering mengaitkan sesuatu yang konvensional dengan hasil yang pasti dan menganggapnya natural. Perlu diketahui pula bahwa tipe tanda dan kode setidaknya terbagi menjadi tiga, yaitu: - Ikon: tanda dank ode yang dibuat untuk menunjukkan sesuatu yang melekat atau identik pada sesuatu. - Indeks: system penandaan yang menggunakan unsure kausalitas atau sebab akibat. - Simbol: pemaknaan terhadap sesuatu yang melepaskan secara total makna denotasi pada sesuatu terssebut.
36
Stave Campsall – 27/06/2005; 14:18:24) Media – GCSE Film Analysis Guide (3) –
SJC.
40
Mise-En-Adegan
Editing
Shot Types
Camera Angle
Camera Movement Lighting
Dieges and Sound
Visual
Hal lain yang juga penting untuk memahami tanda adalah melaui konvensi. Konvensi merupakan suatu kesepakatan umum yang melekat dalam masyarakat dan dijadikan jalan dalam melakukan suatu pekerjaan. Biasanya konvensi terwujud dalam suatu perbuatan. Mise-En-Adegan menjawab beberapa pertanyaan penting di dalam sebuah film. Pertanyaan tersebut meliputi efek apa? Mengapa dia memproduksi? Dan apa tujuan yang ingin dicapai? Namun, sebenarnya Mise-En-Adegan merupakan segala sesuatu yang dihadirkan para sutradara ke dalam adegan-adegan dan rekamanrekaman yang terbuat di dalam kamera melalui aspek Setting, Kostum, Tata Rias, dan Pencahayaan. Editing merupakan suatu proses memotong dan menggabungkan beberapa potongan film menjadi satu. Membuat film tersebut menjadi cerita yang bersambung, dapat dipahami, realistis, mengalir dan naratif. Shot merupakan pengambilan gambar untu membangun sebuah potongan gambar yang naratif dan memberikan makna tersendiri terhadap objeknya. Biasanya shot terkait dengan pengambilan kamera. Seperti Close Up (CU), Point of View (POV) dan Middle Shot (MS). Sudut kamera, biasanya selalu menciptakan makna-makna yang signifikan dengan kondisi atau situasi objek. Seperti sudut kamera POV high angle shot yang mencerminkan superioritas atau kekuasaan. Pergerakan kamera merupakan suatu bentuk penciptaan makna yang dinamis. Perpindahan dari zoom out ke zoom in misalnya, memiliki nilai dan dinamika makna tersendiri. Pencahayaan merupakan salah satu aspek penting dalam film. Pencahayaan dapat menimbulkan suasana dan mood yang menegaskan makna. Kegelapan di hutan misalnya menciptakan makna ketakutan dan kengerian. Dieges atau diagenic sound di dalam film merupakan „dunia film‟. Yang mana merupakan bagian dari setiap aksi yang dijalankan aktor. Misalnya, suara musik yang yang mengiringi jalannya aktor dan lainnya. SFX merupakan gambar generasi computer (CGI) yang bertujuan untuk menciptakan realitas
41
Effects/SFX
dan makna melalui efek-efek gambar dan suara.
Narrative
Narrative merupakan unsur film yang memuat cerita dan kisah khusus di dalam film. Genre adalah ragam dari naratif yang sedang dibicarakan di dalam film. Ikonografi merupakan aspek penting dari genre. Hal inilah yang demikian akan menjadi symbol-simbol pendukung genre. Seperti padang pasir yang mendukung karakter koboi. Bintang-bintang film tertentu bisa menjadi bagian penting dalam ikonografi dan menjadi penegas makna. Bisa menjadi penegas karakter dan aksi. Media dapat menyuguhkan tingkat realitas yang sangat tinggi, sehingga sesuatu terkesan benar-benar nyata. Dengan layar yang jernih, jelas, sound yang kuat, dan ruang yang sengaja dibuat gelap, pemirsa dapat merasakan atmosfer realitas yang tinggi.
Genre Iconography
The Star System
Realism
Demikianlah berbagai komponendan elemen yang dapat merealisasikan film melalui teknis semiotika yang mana peneliti akan mengkaji lebih dalam sistem tanda yang terkait di dalam film berdasarkan tabel tersebut.
C. Representasi Jihad fi Sabilillah 1. Definisi Jihad fi Sabilillah Secara etimologi, jihad fi sabilillah dikenal sebagai jihad berjuang di jalan Allah. Secara terminologi, jihad fi sabilillah yaitu, setiap perbuatan ditegakkan atas dasar kebaikan dengan harapan ridha dari Allah. Yakni melindungi dan memelihara agama serta meninggikan kalimat tauhid, seperti berperang, berdakwah, berusaha menerapkan hukum Islam, menolak fitnahfitnah yang ditimbulkan oleh musuh-musuh Islam, membendung arus-arus pemikiran yang bertentangan dengan Islam. Jihad tidak mengharapkan harta
42
rampasan perang, atau mendapatkan usaha pada kehidupan dunia. Bagi Islam, diwajibkan kepada setiap muslim untuk menerapkan setiap nilai dan norma Islam bagi setiap dimensi kehidupannya. Usaha dan perjuangan untuk mencapai cita-cita dan tujuan Islam yang luas dan mulia ini disebut “jihad fi sabilillah” (berjuang di jalan Allah).37 Dalam melaksanakan jihad fi sabilillah, selain memerlukan kebulatan tekad yang utuh, memerlukan ilmu dan keterampilan yang memadai, tetapi juga harus mengenal medan yang dihadapi. Dengan mengenal medan, akan memperoleh keterangan betapa banyak rintangan-rintangan dan tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan jihad fi sabilillah. Ketika jihad fi sabilillah disebutkan, maka itu berarti upaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan segala kemampuan untuk selalu berada di jalan Allah.
2. Derajat Jihad fi Sabilillah a. Harus senantiasa mempunyai ruhul jihad Ruhul jihad secara umum diartikan sebagai semangat juang atau kerja keras. Adapun pengertian secara terminologi (istilah) adalah mencurahkan segenap kemampuan dan tenaga secara lahir batin untuk berjuang di jalan Allah, agar tercapai kedamaian dan ketentraman dalam naungan dan ridha-Nya. Ruhul jihad atau semangat perang ini harus terus dipupuk dan dimantapkan di kalangan umat Islam untuk dijadikan dinamo penggerak di dalam perjuangan, terutama di dalam menghadapi rintangan dan tantangan 37
Abdul Zadir Djaelani, Jihadd fi Sabilillah dan tantangan-tantangannya, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1995), h. 1
43
dari musuh-musuh Islam. Oleh karena itu, Rasulullah saw memberi jaminan bagi setiap umatnya (kaum muslimin) yang melakukan jihad fi sabilillah itu, pasti akan mendapatkan salah satu di antara dua kehormatan yang tinggi. Yakni berupa kemenangan dan kebahagiaan duniawi atau mati syahid dengan syurga jannatun na‟im di akhirat yang kekal selamanya.38 Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa [4] ayat 84: “Maka berperanglah di jalan Allah, tidak diberatkan atasmu melainkan dirimu, tetapi bangkitkanlah semangat orang mukmin. Mudah-mudahan allah menyingkirkan kegagalan (kesombongan) orang-orang kafir, karena Allah terlebih Gagah dan sangat keras siksa-Nya.” Memang melakukan jihad fi sabilillah untuk menegakkan agama Islam dan membela kehormatan kaum muslimin merupakan suatu pekerjaan yang sangat mulia dan tinggi serta sulit untuk dibandingkannya dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya. b. Mati syahid Syahid menurut bahasa artinya hadir, lawan dari ghaib. Asy-Syahid artinya orang yang menyaksikan apa yang dilihat dan didengarnya. Sedangkan arti mati syahid menurut isilah agama adalah orang yang terbunuh di jalan Allah karena membela agama dan menolak permusuhan terhadap Islam dan kaum muslimin dengan niat semata-mata li‟ila I kalimatillah (meninggikan kalimat Allah).
38
Abdul Zadir Djaelani, Jihad fi Sabilillah dan tantangan-tantangannya, h. 35.
44
Allah berfirman dalam surat At-Taubah [2] ayat 111: “sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang yang beriman diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh, itu telah menjadi janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan AlQur‟an.” Ada perkara yang dapat dikelompokkan ke dalam jihad, di antaranya mengajak kepada yang baik dan melarang kepada yang munkar. Di dalam hadits dikatakan, “Sesungguhnya jihad yang paling besar adalah menegakkan kalimat yang benar dihadapan pemimpin yang jahat.” Akan tetapi sesuatu darinya tidak menjadikan pelakunya mendapatkan syahid yang paling besar atau mendapatkan pahala orang-orang yang berjihad, kecuali jika ia membunuh atau terbunuh di jalan Allah.39 3. Perintah Berjihad dalam Al-Qur’an Jihad merupakan salah satu istilah pokok di dalam al-Qur‟an. Pembahasan jihad di dalam al-Qur‟an cukup mewarnai sebagian ayat-ayat alQur‟an yang diturunkan di Mekah dan Madinah. Hal ini menunjukkan urgensi jihad dalam sejarah pembentukan dan perkembangan syariat Islam. Islam datang membawa nilai-nilai kebaikan dan menganjurkan manusia agar
39
Al-Imam Abu al-A‟la al-Maududi, dkk, Jihad Bukan Konfrontasi: meluruskan Makna Jihad Islam dalam Realitas Kehidupan Masyarakat Modern, (Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim, 2001), h. 112.
45
memperjuangkan hal tersebut hingga mengalahkan kebatilan. Tetapi hal itu tidak dapat terlaksana dengan sendirinya, kecuali melalui perjuangan jihad. Firman Allah SWT dalam surat Al-Furqaan [25] ayat 52, yang berbunyi: “Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur‟an dengan jihad yang besar.” Allah mewajibkan jihad pada setiap muslim sebagai suatu kewajiban yang tegas. Allah memberikan seruan ajakan yang paling besar untuk jihad, memberikan pahala yang paling utama bagi para mujahid (orang yang berjuang membela agama Islam) dan syuhada (orang-orang yang mati syahid). Tidak ada yang dapat menyertai mereka dalam hal pahala kecuali orang yang melakukan jihad. Allah akan memberikan mereka keistimewaan-keistimewaan rohani dan amaliah di dunia dan di akhirat yang tidak pernah keistimewaan itu diberikan kepada selain mereka. Allah akan menjadikan darah-darah mereka yang suci sebagai catatan di dunia serta tanda kemenangan dan keberuntungan di akhirat.40
D. Profil Ibnu Battutah Muhammad bin Abdillah bin Muhammad bin Ibrahim Al-Lawati AtThanji Abu Abdullah Ibnu Battutah (Ibnu Battutah) adalah seorang tokoh terkemuka pada abad ke 14. Ia dijuluki sebagai petualang (pelancong) muslim terbesar sepanjang masa. Ia dikenal dengan berbagai macam kisah perjalanannya mengelilingi dunia. Lahir di kota Thanjah (Tangier), Maroko
40
Al-Imam Abu al-A‟la al-Maududi, dkk, Jihad Bukan Konfrontasi: meluruskan Makna Jihad Islam dalam Realitas Kehidupan Masyarakat Modern, h. 77-78.
46
pada tahun 1304.41 Ibnu Battutah dibesarkan dalam
keluarga yang taat
menjaga tradisi Islam. Ia juga merupakan seorang pemuda sekaligus pelajar yang sangat berbakat. Selama masa remajanya Ibnu Battutah telah memperoleh nilai-nilai dan kepekaan seorang pemuda yang berpendidikan. Terbukti ia berhasil menyelesaikan studinya di sekolah Sunni Maliki yang mengajarkan perihal hukum Islam yang dominan di Afrika Utara pada saat itu. Nama Ibnu Battutah telah dicatat dalam kepustakaan-kepustakaan sejarah dunia, khususnya sejak abad pertengahan sampai zaman modern. Namanya masyur di mata para ilmuan Muslim maupun Barat. Banyak buku atau karya ilmiah disusun bersumber dari memoarnya, Rihlah Ibnu battutah. Judul asli memoar itu, yang merupakan catatan perjalanan sebagaimana yang didiktekan kepada Ibnu Juzai Al-Kalbi adalah Tuhfah an Nuzhar fi Gharabil Amshar wa‟Ajaibil asfar (Hadiah Berharga dari Pengalaman Menyaksikan Negeri-negeri Asing dan Menjalani Perjalanan-perjalanan Ajaib). Karya besarnya itu kini sudah diterjemahkan ke beberapa bahasa dunia, salah satunya dalam bahasa Indonesia. Ibnu Battutah memulai perjalanan pada usia 21 tahun untuk menunaikan ibadah haji menuju ke Tanah Suci Mekah. Perjalanan tersebut berlangsung selama 18 bulan. Perjalanan ditempuh melalui jalur darat. Ia berjalan menyusuri pantai Utara Afrika melewati Aljazair, Tunisia, Tripoli, Alexandria, Kairo, Jarusalem, singgah di Damaskus, Madinah, hingga sampai pada tujuannya yakni Mekah. Ia melakukan perjalanan ini seorang diri tanpa ada teman yang mengiringi. Ia bertekad meninggalkan orang-orang yang 41
Muhammad bin Abdullah bin Battutah, Rihlah Ibnu Bathuthah: Memoar Perjalanan Keliling Dunia di Abad Pertengahan, (Pustaka Al-Kautsar: Jakarta, 2009), h. v.
47
dicintainya, laki-laki maupun perempuan. Hal ini didorong oleh tekad yang sangat kuat dan kerinduan yang mendalam terhadap ma‟had yang mulia (Mekah dan Madinah).42 Selama karier hidup perjalanannya yang merentang hampir selama tiga puluh tahun, ia telah melintasi kawasan Dunia Timur mengunjungi kurang lebih 44 negara zaman modern, dan
menempuh jarak sejumlah kira-kira
73.000 mil atau sama dengan 117.000 kilometer. Sejarawan Barat, George Sarton, mencatat jarak perjalanan yang ditempuh Ibnu Battutah tiga kali lebih jauh dari perjalanan Marco Polo. Kisah tersebut merupakan kisah perjalanan yang luar biasa. Di dalam rihlah, ia mendeskripsikan kondisi spiritual, politik, dan sosial setiap negeri yang disinggahinya. Bahkan ia berhasil merekam peradaban Timur Tengah pada abad pertengahan. Manuskrip catatan ini tersimpan di Bibliotheque Nationale, Paris. Hal inilah yang menjadikan sosok Ibnu Battutah dianggap sebagai pahlawan Islam. Ibnu Battutah meninggal dunia pada tahun 1368.43
42
Muhammad bin Abdullah bin Battutah, Rihlah Ibnu Bathuthah, h. 7. Ross E Dunn, Petualangan Ibnu Battutah Seorang Musafir Muslim Abad ke-14, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), h. xxxviii. 43
BAB III GAMBARAN UMUM FILM
A. Bruce Neibaur Sebagai Sutradara Film Journey to Mecca Bruce Neibaur, lahir di Idaho, Boise, Amerika Serikat pada tahun 1956. Bruce pernah mengemban ilmu di Utah State University dan Brigham Young University. Bukan hal baru baginya berkecimpung di dunia perfilman dan pertelevisian, kiprahnya sebagai seorang sutradara
pembuatan film
dimulai sejak tahun 1991. Berkat kontribusinya di dunia perfilman, ia berhasil memenangkan kategori di antarnya yakni, Won the Best Feature Film and Best Cinematography untuk film The Ghosts of Dickhens’ Past. Penghargaan tersebut diberikan oleh Santa Clarita International Film Festival dalam rangka festifal pendamping untuk Academy Award. Selain itu, ia juga mendapatkan penghargaan pada film Friendship Field yaitu dengan memenangkan Children's Jury Award untuk film terbaik yang diberikan oleh Liv Ullman Peace Prize at the Chicago International Children's Film Festival. Terakhir, Bruce membuat film dengan judul Journey to Mecca yang juga mendapatkan respon yang baik dari para penonton. Bagi Bruce, film yang secara khusus dibuat dalam format IMAX ini merupakan sebuah visusalisasi pengakuan dunia kepada sosok Ibnu Battutah atas prestasi perjalannya dengan menempuh jarak 73.000 mil pada tahun 1325 M dengan melintasi 44 negara (menurut peta dunia pada saat ini).
48
49
Journey to Mecca karya sutradara Amerika ini menceritakan petualangan Ibnu Battutah menuju Mekah. Film ini menjadi film Islam pertama dalam format IMAX. Dalam film ini Bruce menjadi seorang sutradara sekaligus penulis naskah. Film ini rilis pada tahun 2009. Dalam sebuah wawancara singkat Bruce Neibaur mengatakan: “It’s really everything that an IMAX film should be, because audiences go with the expectations learning things and they’re going to learn things in this film. Western audiences in particular that will that think believe their mosque”.1 Menurutnya, Asal-usul film Journey to Mecca menceritakan tentang kisah yang luar biasa dari Ibnu Battutah, mempromosikan pemahaman yang lebih baik tentang Islam di Barat, dan untuk menyajikan jantung Islam kepada dunia Muslim. Selain itu, film ini juga sarat akan nilai filosofi dan pesan di dalamnya. Film Journey to Mecca merupakan karya debutnya di bidang perfilman. Terbukti, film ini berhasil mendapatkan berbagai penghargaan, diantaranya, La Prix Du Public, Most Popular Film di La Geode Film Festival, Paris, 2009. Penonton diajak merasakan betapa beratnya perjalanan haji dan suasana Masjidil Haram pada abad ke-14. Kerumunan jamaah melakukan tawaf, sa’i, bermalam di Arafah, dan lontar jumrah di Mina. Pemandangan yang mengundang haru menyaksikan kebesaran Tuhan mengumpulkan umatnya di Baitullah, ditambah layar IMAX membuat semua tampilan di layar terasa mengesankan.
1
https://www.youtube.com/watch?v=wSaRWZ8OvIo, diakses pada 3 Agustus 2014.
50
Selain itu, adalah suatu kekaguman ketika tim produksi berhasil mendapat izin untuk mengambil gambar di Mekah, terutama di dalam Masjidil Haram. Produksi film ini dilakukan pada bulan Oktober 2007. Awak produksi seluruhnya berjumlah 93 orang, di antaranya, 85 orang Muslim dan 8 orang lainnya non-Muslim. Sutradara Bruce Neibaur dan produser merupakan awak produksi yang beragama non-Muslim, mereka hanya bisa melambaikan tangan ketika pengambilan gambar dilakukan pada saat prosesi haji tanggal 17 Desember 2007.
B. Sinopsis Film Sekali dalam seumur hidup, umat Islam dipanggil untuk melaksanakan perjalanan yang luar biasa. Setiap tahun mereka berkumpul di kota Mekah untuk menjalankan serangkaian ibadah memperingati jejak Nabi Ibrahim, ibadah tersebut disebut Haji. Kegiatan haji selalu menarik perhatian banyak pihak, baik bagi orang yang menunaikannya maupun yang tidak, termasuk dari kalangan non-Muslim. Pertahunnya tidak kurang dari empat juta muslim tumpah ruah di Mekah untuk melaksanakan ibadah haji.2 Ibadah haji merupakan salah satu kewajiban yang paling sakral di antara semua kewajiban Islam. Haji merupakan suatu simbol agama yang teragung, suatu ibadah istimewa di antara keempat ibadah Islam yang lainnya dan merupakan salah satu rukun utama di antara kelima rukunnya. Dalil yang menunjukkan kewajiban ibadah haji ialah berasal dari Al-Qur’an Al-Karim.3
2
Sumber Artilel dari http://www.abufida.com/2012/10/journey-to-makkah.html, diakses pada Senin, 27 Oktober 2014. 3 Yusuf Al-Karadhawi, 100 Tanya-Jawab Haji dan Umrah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013), h. 10.
51
Haji telah melahirkan berjuta-juta inspirasi, tekad dan semangat. Sebab di dalamnya mengandung banyak hikmah dari sebuah pengorbanan dan perjuangan. Pengorbanan harta, waktu, fisik, keikhlasan hati, kekhusuan beribadah, kesabaran terhadap diri sendiri, sabar kepada sesama, dan tentunya yang paling utama yaitu sabar kepada Allah SWT. Begitu pula yang dikisahkan dalam film Journey to Mecca yang menceritakan tentang perjalanan religi seorang pemuda bernama Ibnu Battutah yang lahir di Tangier, Maroko, pada tahun 1304. Ia dibesarkan dalam keluarga yang taat menjaga tradisi Islam. Ibnu Battutah begitu tertarik untuk mendalami ilmu-ilmu hukum Islam (fikih), sastra dan syair Arab. Kelak, ilmu yang dipelajarinya semasa kecil hingga dewasa itu banyak membantunya dalam melalui perjalanan panjangnya. Ketika Ibnu Battutah tumbuh menjadi seorang pemuda, dunia Islam terbagi-bagi atas kerajaan-kerajaan dan dinasti. Ia sempat mengalami kejayaan Bani Marin yang berkuasa di Maroko pada abad ke 14. Secara detail, setiap kali mengunjungi sebuah negara, Ibnu Battutah mencatat mengenai penduduk, pemerintahan, dan ulama. Ia juga mengisahkan tentang kedukaan yang dialami selama diperjalanan, seperti ketika berhadapan dengan penjahat, hampir tidak sadarkan diri bersama kapal yang karam dan nyaris dihukum penggal oleh pemerintah yang zalim. Ibnu Battutah memulai perjalanan pada usia 21 tahun untuk menunaikan ibadah haji menuju ke Tanah Suci Mekah. Dengan penuh kesedihan, ia meninggalkan orang tua serta sahabat-sahabatnya di Tangier. Tekadnya sudah bulat untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Perjalannya
menuju
Baitullah
telah
membawanya
berpetualang
dan
52
menjelajahi dunia. Seorang diri, ia mengarungi samudra dan menjelajah daratan demi sebuah tujuan mulia. Pada hari keberangkatannya, ayahnya memberikan kuda, emas, dan doa untuk Ibnu Battutah, sedangkan ibunya memberikan pakaian ihram. Perjalanan ke Mekah ini merupakan awal dari perjalanannya menempuh jarak ribuan mil dimulai dari Tangier, Maroko, Damaskus, dan kemudian Madinah hingga ke Mekah. Medan yang dilalui cukup berbahaya dan sangat rawan gangguan keamanan. Ia melintasi Gurun Sahara, pegunungan, dan sungai Nil. Di tengah-tengah perjalanan di gurun pasir, Ibnu Battutah bertemu dengan sekelompok perampok. Ketika diserang oleh beberapa perampok Ibnu Battutah sempat melakukan perlawanan. Namun, berhubung ia hanya seorang diri, ia akhirnya tumbang juga. Kemudian ia kembali melanjutkan perjalanannya, rintangan datang bertubi-tubi kepadanya. Namun ia tetap berserah diri kepada Allah. Ibnu Battutah percaya apa yang pernah dikatakan oleh seorang musafir: “Bahaya mengintai disetiap kesempatan dalam perjalanan menuju Mekah. Namun aku percaya orang yang berani menghadapi bahaya terbesar, akan mendapat ganjaran terbesar dari Allah.”4 Kondisi inilah yang membuat Ibnu Battutah memilih untuk berjuang di jalan Allah (jihad fi sabilillah). Film ini, secara implisit mengisahkan ulang tentang perjuangan yang ditempuh oleh Ibnu Battutah. Perjuangan tersebut, kemudian menjadikan Ibnu Battutah tetap dikenal hingga saat ini. Sebuah perjalan besar yang tercatat dalam sebuah memoar yang berjudul rihlah Ibnu Battutah.
4
terdapat pada durasi 08:12.
53
Tim Produksi Film Journey to Mecca Director
: Bruce Neibaur
Producer
: Dominic Cunningham-Reid, Taran Davies, Jonathan Barker
Executive Producer
: Jake Eberts
Line Producer
: Daniel Ferguson
Co-Producer
: Al Zain Al Sabah
Supervising Producer : Diane Robert Original Music
: Michael brook
Sinematografi
: Afshin Javadi Ghasem Ebrahimian Rafey Mahmood
Editorial Film
: Jean-Marie Drot
Penulis Naskah
: Carl Knutson, Bruce Neibaur, dan Tahir Shah.
Pemain
: Chems Eddine Zinoune sebagai Ibnu Battutah Hassam Ghancy sebagai Highwayman (penyamun) Nabil Elouahabi sebagai Hamza Nadim Sawalha sebagai Ibnu Mustapha
Produced by
: SK Films, National Geographic, Derest Door Productions, Cosmic Pictures, Eagle VisionMedia Group
Budget
5
: $13 million5
Jouney to Mecca (2009) crew, diakses dari http://moviespictures.org/movie/Journey_to_Mecca_(2009), Rabu 27 April 2014, pukul 4:45.
BAB IV TEMUAN DAN HASIL PENELITIAN A. Adegan dalam film Journey to Mecca Film yang diteliti oleh penulis berjudul Journey to Mecca. Film ini secara umum bercerita tentang perjalanan haji Ibnu Battutah pada abad ke 14. Di dalam film yang berdurasi 45 menit ini, terdapat beberapa tampilan adegan perjalanan Ibnu Battutah dalam menghadapi kerasnya tantangan alam dan tentu saja tantangan dari berbagai macam ujian yang dihadapinya. Banyak adegan yang terdapat dalam film ini yang berkenaan langsung dengan fokus penelitian. Sebelum itu peneliti juga akan meneliti adegan-adegan penting yang berhubungan dengan adegan utama, yaitu tentang perjuangan Ibnu Battutah dalam menjalankan rukun Islam yang ke-5 yakni berhaji di mana dikatakan dalam agama, haji sebagai pilar penting dalam Islam. Berawal dari mimpi, perampokan, badai gurun pasir, lembah neraka, sampai pada akhirnya Ibnu Battutah melaksanakan prosesi haji di Mekah. Namun, peneliti membatasi penelitian ini pada perjalanannya. Peneliti kemudian mencoba menarasikan dan mendeskripsikan alur cerita film dengan menyertakan komponen analisis film dan sedikit unsur semiotika. Dari sini selanjutnya barulah secara detail akan dipaparkan bagaimana unsur film dan semiotika menjadi sesuatu yang naratif. Sebagai salah satu media penelitian, narasi film biasanya muncul di dalam skenario dan percakapan yang dilakukan oleh para pemain di dalam film. Adapun berikut ini merupakan pengantar adegan yang akan diteliti.
54
55
1. Adegan 1 (Awal Mula Perjalanan Ibnu Battutah) Adegan 1 memperlihatkan situasi ketika Ibnu Battutah menjelaskan kepada sahabatnya, Hamzah, mengenai mimpi yang ia alami. Dalam mimpinya itu, ia seakan merasakan terbang di atas sayap burung raksasa menuju Kairo. Kemudian perjalanan dilanjutkan melewati berbagai macam tempat, termasuk melewati Laut Merah menuju Mekah. Setelah itu, ia bertekad untuk merealisasikan mimpi itu dengan melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Pada bagian awal adegan Ibnu Battutah bergegas melaksanakan perjalanannya seorang diri, Sutradara menghadirkan beberapa shot yang berhubungan dengan keyakinan dan tekad kuat mengapa Ibnu Battutah sangat bersikukuh melanjutkan mimpinya tersebut. Dimulai dari visualisasi perjalanan yang akan ia tempuh, memperlihatkan gambaran peta abad 14. Pada zaman dahulu, orang-orang melakukan perjalanan hanya untuk membuat peta sebagai petunjuk rute terbaik untuk menempuh perjalanan ke Mekah. Namun, Ibnu Battutah melakukan perjalanan bukan hanya untuk membuat rute ke Mekah saja. Hal ini yang menyebabkan konteks perjalanan yang dilalui menjadi lebih luas. Selanjutnya memperlihatkan adegan ketika Hamzah berpesan kepada Ibnu Battutah untuk menemui Ibnu Muzaffar seorang alim ulama yang tidak lain merupakan kerabatnya. Dalam adegan ini, waktu plot yang digunakan sangat pendek dan ringkas sangat berbeda dengan cerita aslinya yang ada di Rihlah. Alur narasi yang divisualisasikan cenderung linier, di mana plot disusun berdasarkan kronologis peristiwa yang sebenarnya.
56
Sejak kecil Ibnu Battutah dibesarkan oleh keluarga yang taat menjaga tradisi Islam. Untuk itu dalam Islam diajarkan bagaimana seorang anak menghormati orang tuanya. Terlebih, ketika sang anak ingin meminta izin melakukan perjalanan jauh. Itu pula yang dilakukan oleh Ibnu Battutah ketika berpamitan kepada orangtuanya, yakni dengan cara mencium tangan keduanya. Ketika diberi restu oleh kedua orangtuanya, kemudian Ibnu Battutah menunaikan ibadah hajinya yang pertama, tepat pada tanggal 14 Juni 1325. Di dalam film, sang Ayah membekalinya dengan emas, kuda dan sedikit uang. Dan Ibunya memberikan sepasang baju Ihram untuk dikenakan Ibnu Battutah ketika menjalani prosesi haji kelak. Ibnu Battutah divisualisasikan dengan berbagai atribut simbolik. Begitu juga aksi yang ditampilkan, sebagai representasi agama.
Tabel 1.4. Adegan Awal mula Perjalanan Ibnu Battutah Adegan 1
Visualisasi Verbal dan Non verbal
Pemain
Interpretasi Simbolik
Ibnu Battutah
Mimpi yang didasari dari sebuah pergolakan batin sampai menghantarkannya kepada niat mulia.
57
2
Ibnu Battutah
Menampilkan gambaran peta abad ke 14 perjalanan yang akan dilalui Ibnu Battutah menuju Mekah.
3
Ibnu Battutah dan Hamzah
Menunjukan peringatan Hamzah kepada Ibnu Battutah agar tidak bepergian ke Mekah seorang diri.
4
Ibnu Battutah dan Hamzah
Menampilkan keadaan di mana Hamzah sedang berpesan kepada Ibnu Battutah agar menemui kerabatnya yang berada di Kairo.
5
Ibnu Battutah
Menunjukkan kondisi perasaan yang sedih dan sangat berat meninggalkan keluarga tercinta.
58
Ibnu Battutah
6
Kondisi di mana keluarga melepas kepergian Ibnu Battutah menunaikan ibadah haji.
Tabel 2.4. Ikon, Indeks, dan Simbol dalam adegan “Awal Mula Perjalanan Ibnu Battutah” Ikon pada adegan ini terdapat pada beberapa setting tempat yang Ikon digunakan, memperlihatkan situasi Tangier. Visualisasi gambaran peta abad ke 14. Indeks dalam adegan ini adalah, kata-kata Ibnu Battutah kepada Hamzah Indeks yang siap mati dalam perjalanan menuju Mekah menunjukkan niat mulianya menunaikan ibadah haji. Simbol terdapat pada Ibnu Battutah yang divisualisasikan sebagai Simbol seorang alim yang teguh terhadap pendirian.
Secara teknis, adegan-adegan di atas memiliki beberapa unsur sinematografi. Pada adegan pertama, terlihat kondisi Ibnu Battutah yang sedang tertidur dan sedang mengalami mimpi melaksanakan perjalanan ke Mekah. Hal yang sama pula dialami oleh Nabi Muhammad saw, beliau bermimpi memasuki kota Mekah dengan aman dan sentosa. Tidak lama berselang Nabi pun bersama dengan para sahabatnya melakukan perjalanan ke Mekah untuk melaksanakan umrah. Adegan ini menunjukkan lambang iman seseorang kepada Allah. Pada adegan ini jarak kamera yang digunakan yaitu medium shot. Selanjutnya pada potongan adegan kedua terlihat sebuah gambaran peta. Jarak kamera yang digunakan yaitu Close-Up sang sutradara ingin
59
menonjolkan gambaran peta rute perjalanan Ibnu Battutah, khususnya pada abad ke 14. Digambarkan di dalam peta tersebut bahwa wilayah yang akan menjadi rute perjalanan Ibnu Battutah didominasi oleh gurun pasir. Pada potongan adegan selanjutnya digambarkan Ibnu Battutah sedang meyakinkan Hamzah bahwa ia akan tetap melakukan perjalanan mulianya ke Mekah. Adegan ini menggunakan jarak kamera long shot, sutradara ingin menampilkan suasana Tangier pada saat itu. Pada potongan shot selanjutnya, memperlihatkan Hamzah sedang berpesan kepada Ibnu Battutah untuk menemui kerabatnya di Kairo. Penggunaan shot pada adegan ini menggunakan jarak kamera long shot, di mana visualisasi ingin menampakkan objek yang dimaksud yakni percakapan antara Ibnu Battutah dan Hamzah. Selain itu, memperlihatkan kondisi lingkungan sekitar yang berada di pantai Afrika Utara. Adegan selanjutnya, menunjukkan kondisi perasaan yang sedih dan sangat berat meninggalkan keluarga tercinta. Menggunakan jarak kamera medium shot, di mana sutradara ingin memvisualisasikan ekspresi wajah perasaan sedih yang dirasakan oleh Ibnu Battutah. Kemudian potongan adegan selanjutnya memvisualisasikan Ibnu battutah yang sedang melaju pergi dengan kudanya meninggalkan seluruh keluarga menuju perjalanan panjang ke tanah suci Mekah. Jarak kamera yang digunakan yaitu long shot, sutradara ingin memperlihatkan rasa empati keluarga, khusunya orang tuanya ketika ditinggal berkelana oleh anak tercinta. Secara keseluruhan, adegan di atas memiliki beberapa karakter sinematografi. Jarak kamera yang digunakan adalah medium shot, close up,
60
long shot. Pencahayaan yang digunakan cenderung menggunakan sumber cahaya key lighting. Setting yang digunakan pada seluruh adegan adalah shot on location. Aspek suara dalam adegan di atas memakai dieges sound dan non dieges sound. Kemudian, teknik editing menggunakan tipe montase dan cut in yang diiringi dengan musik instrumental. Berikut adalah percakapan Ibnu Battutah dan sahabatnya, Hamzah, tentang mimpi yang dialami Ibnu Battutah sekaligus keinginan dari hati agar bisa mencapai Mekah: Ibnu Battutah : “Aku terbang di atas sayap burung raksasa menuju Kairo sampai sungai Nil. Kemudian menyebrangi Laut Merah menuju Mekah.” Hamzah : “Kau terbang ke Mekah? di atas sayap burung?” Ibnu Battutah : “Ya.” Hamzah : “Orang tak bisa terbang, temanku. Ke Mekah ataupun ke tempat lain! Kenapa kau bersikeras melaksanakan haji sekarang? Usiamu saja 21 tahun. Pikirkan tentang apa yang kau korbankan. Karirmu di bidang hukum baru saja dimulai.” Ibnu Battutah : “Apa yang akan kupelajari hanya bisa membantu karirku. Hamzah : “Kau bersikeras melakukan perjalanan sendiri, dan tidak seorangpun bepergian sendirian!” Ibnu Battutah : ”Jika aku harus mati, biarlah terjadi dalam perjalanan ke Mekah.1
Dalam percakapan yang dilakukan oleh Ibnu Battutah dan Hamzah di atas memberikan gambaran bahwasannya Ibnu Battutah merupakan sosok seorang pemuda yang siap merelakan hidupnya demi berjuang di jalan Allah dalam situasi apapun. Disamping itu dari petikan percakapan tersebut menggambarkan keteguhan hati dan dan keyakinan seorang Ibnu Battutah
1
Percakapan ini dapat dilihat pada durasi 04:27 sampai durasi 05:10.
61
untuk mencapai tujuannya, Mekah. Allah berfirman, dalam surat Al-Qur’an surat An-Nisaa’ ayat 100:
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, Niscaya mereka (manusia) mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang melimpah. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dimaksud), maka sesungguhnya telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa, Ibnu Battutah mencoba mewujudkan esensi dari ayat tersebut melalui sikap dan keteguhan hatinya pada saat melakukan percakapan dengan Hamzah. Walau dihadapkan pada bahaya terbesar sekalipun ia tetap pada prinsipnya. Sesungguhnya Al-Qur’an memberikan petunjuk kepada manusia untuk menempuh jalan yang lurus. 2. Adegan
2
(Adegan
Ketika
Ibnu
Menghadapi
Bahaya
yang
Mengancam) Setelah peristiwa dialog di adegan pertama, Ibnu Battutah akhirnya memantapkan hati pada pendiriannya, yaitu melaksanakan perjalanan ke Mekah seorang diri. Dalam adegan ini, sutradara mencoba memvisualisasikan bagaimana kerasnya sebuah perjalanan suci yang dilakukan seorang Ibnu Battutah tanpa adanya pengamanan khusus melewati berbagai medan yang berbahaya. Bagian lain adalah alat navigasi yang kemudian digunakan Ibnu Battutah sebagai penuntun perjalanannya. Bagian ini memperlihatkan betapa
62
Ibnu Battutah yakin terhadap jalan yang dipilihnya menuju ke Mekah sesuai mimpi yang ia alami. Padahal sebenarnya ia bisa saja dengan sangat mudah bepergian aman bersama dengan karafan haji lainnya, tetapi ia tetap memilih sendiri jalan yang akan dilaluinya. Di tengah perjalanan, kemudian datang sekelompok perampok yang menghadang. Lalu Ibnu Battutah sempat melakukan pembelaan saat sekawanan perampok tersebut melakukan penyerangan. Dikarenakan Ibnu Battutah hanya seorang diri dan ia tidak memiliki kemampuan berperang, ia akhirnya tumbang ketika melawan para perampok tersebut. Ia nyaris dibunuh, namun kemudian datang seorang ketua dari kelompok penyerang tersebut dan menghentikan peperangan yang sedang berlangsung. Bukan tanpa alasan ketua perampok (penyamun, dalam film ini) menghentikan peperangan, ia mengambil perbekalan Ibnu Battutah seperti emas, uang dan air. Uang yang diambilnya kemudian diberikan kepada kawanan perampok yang memerangi Ibnu Battutah. kemudian, ketika sang penyamun melihat baju ihram dan peta perjalanan yang dibawa Ibnu Battutah, sang penyamun tadi menyadari bahwa Ibnu Battutah adalah jamaah haji. kemudian Ibnu Battutah pun dibiarkan pergi. Setelah adegan perampokan selesai, kemudian shot berpindah dengan editing cut pada Perjalanan Ibnu Battutah melewati Gurun Sahara yang tandus. Gurun ini merupakan sebuah padang pasir terbesar di dunia. Sahara terletak di utara Afrika dan berusia 2,5 juta tahun. Luas padang pasir ini sekitar 9.000.000 kilometer.2 Adegan ini juga memperlihatkan keteguhan hati Ibnu 2
http://wonders4u.wordpress.com/fantastic-world/gurun-sahara-afrika/, Sabtu, 13 Desember 2014.
diakses
pada
63
Battutah menghadapi berbagai cobaan dan tantangan, ia tetap bersikap tenang dan menyerahkan sepenuhnya kepada allah SWT. Di dalam film, terdapat perbedaan yang sangat kontras pada kostum yang dikenakan oleh Ibnu Battutah dan Penyamun tersebut. Ibnu Battutah mengenakan pakaian berwarna putih bergaris, namun putih yang sudah lusuh dikarenakan akibat terkena debu di perjalanan. Dan ia juga mengenakan sorban berwarna putih yang kemudian melilitkan ekor sorban ke lehernya. Di sini dapat dilihat penggunaan sorban pada saat itu di Maroko cukup panjang, jadi ketika mengenakannya masih menyisakan ekor yang menjuntai ke punggung pemakainya, sehingga perlu dililitkan kembali keleher atau kepala. Sedangkan sang penyamun mengenakan pakaian berwarna hitam dan sorban dengan warna yang senada. Hal itu menunjukkan bahwa tidak semua yang identik dengan warna hitam berarti memiliki kararter antagonis. Sang sutradara mencoba memvisualisasikan warna hitam yang dikenakan oleh penyamun diartikan sebagai sosok yang berjiwa mulia. Tabel 3.4. Adegan Perampokan Adegan 1
Visualisasi Verbal dan Non verbal
Pemain
Interpretasi Simbolik
Ibnu Battutah
Pegunungan dan kuda merupakan salah satu saksi perjuangan Ibnu Battutah untuk mencapai tujuannya, Mekah.
64
2
Ibnu Battutah
Perjalanan panjang ke Mekah sebagai bentuk manifestasi perjuangan jihad fi sabilillah.
3
Ibnu Battutah
Menunjukkan mimik muka tegang dan waspada pada bahaya yang mengintai.
4
Ibnu Battutah dan Kawana n perampo k
Situasi di mana terjadi ancaman perampok yang mengintai dalam perjalanan.
5
Kawana n perampo k
Kawanan perampok yang menghadang Ibnu Battutah di tengah perjalanan.
65
6
Penyam un
Memperlihatkan Penyamun sedang memeriksa perbekalan Ibnu Battutah.
7
Gurun pasir
Gurun yang gersang menjadi saksi bisu perjuangan Jihad fi sabilillah Ibnu Battutah.
Tabel 4.4. Ikon, Indeks, dan Simbol dalam adegan “Ketika Ibnu Menghadapi Bahaya yang Mengancam” Ikon
Indeks
Simbol
Ikon dalam adegan ini adalah sekelompok bandit atau perampok yang siap membunuh para pelancong perjalanan yang tengah berada di gurun pasir, tujuannya untuk merampas perbekalan yang dibawa oleh sang pelancong. Indeks dalam adegan ini yaitu, Banyak rintangan yang datang bertubitubi menghampiri perjalanan Ibnu Battutah. Namun, rintangan-rintangan tersebut membuat ketetapan hati Ibnu Battutah semakin kuat mencapai tanah suci Mekah. Uang yang dicuri oleh para perampok, serta pakaian hitam dan putih yang dikenakan oleh Ibnu Battutah dan perampok.
Aspek sinematografi dalam adegan ini akan dijelaskan secara teknis, terlihat Pada potongan adegan pertama menunjukkan Ibnu Battutah yang
66
sedang melihat alat navigasinya untuk menentukan arah menuju Mekah. Jarak kamera yang digunakan yaitu long shot, di mana sutradara memvisualisasikan kondisi medan sekitar objek. Adegan selanjutnya berpindah setting yang berada di gurun, memperlihatkan perjuangan Ibnu Battutah menempuh perjalanan yang tidak mudah, perjalanan tetap dilalui sekalipun di waktu siang dan malam. Dalam adegan ini jarak kamera yang digunakan adalah extreme long shot. Selanjutnya, pada potongan shot ketiga meperlihatkan Ibnu Battutah sedang menunjukkan reaksi wajah waspada terhadap suasana di sekeliling pada bahaya yang mengintai. Adegan ini divisualisasikan dengan jarak kamera medium shot. Sang sutradara ingin menampikan mitos yang berkembang di masyarakat bahwasannya ketika melakukan perjalanan panjang di sebuah padang pasir akan banyak bahaya yang mengancam, di antaranya terdapat sekumpulan bandit perampok yang siap kapanpun menyerang. Adegan ini berhasil terviasualisasi secara natural dan berhasil pula memunculkan mood yang efektif bagi penonton. Menggunakan pencahayaan key lighting, di mana matahari sebagai sumber pencahayaan langsung dalam adegan ini. Pada potongan shot selanjutnya, memperlihatkan di mana Ibnu Battutah sedang disergap oleh kawanan bandit. Penggunaan shot dalam adegan ini menggunakan jarak kamera long shot. Dengan visualisasi latar yang sama, yakni di sebuah perbukitan gurun yang tandus. Potongan adegan selanjutnya memvisualisasikan pasca penyergapan Ibnu Battutah yang berhasil dihentikan oleh penyamun karena melihat Ibnu Battutah yang hampir dibunuh para perampok. Jarak kamera yang digunakan
67
yaitu medium shot. Sutradara ingin menampilkan sosok penyamun yang lebih dominan dan berhasil memberikan pengaruh kuat terhadap para perampok tersebut. Kemudian potongan adegan selanjutnya memvisualisasikan sang penyamun sedang memeriksa perbekalan yang dibawa Ibnu Battutah dan mengambilnya untuk diberikan kepada para bandit yang menyergap Ibnu Battutah. Jarak kamera yang digunakan dalam adegan ini yaitu medium shot, di mana jarak kamera ini memperlihatkan gestur serta ekspresi wajah yang mulai tampak pada objek. Jarak kamera yang mendominasi di dalam adegan ini adalah jarak long shot yang memperlihatkan kondisi Ibnu Battutah yang sangat terpuruk dan nyaris kehilangan nyawanya setelah mengalami penyergapan bandit tadi. Sutradara berhasil memperlihatkan sebuah situasi yang nyata tentang suasana batin yang sedang terpuruk. Jarak kamera extreme long shot diperlihatkan pada adegan selanjutnya yang memperlihatkan medan perjalanan yang mereka lalui di gurun pasir. Di mana sutradara jelas memperlihatkan situasi medan yang sulit untuk dilalui. Secara keseluruhan, adegan ini memiliki aspek sinematografi di dalamnya. Jarak kamera yang digunakan di antaranya yakni medium shot, long shot dan extrere long shot. Untuk pencahayaan masih didominasi oleh sumber pencahayaan natural key lighting, di mana matahari sebagai sumber pencahayaan langsung. Aspek suara yang digunakan dalam adegan di atas adalah dieges sound dan non dieges sound dengan menggunakan editing oleh tipe montase, establishing atau reestablishing shot dan cut in yang diiringi dengan musik instrumental.
68
3. Adegan 3 (Keteguhan Hati Ibnu Battutah dalam Mempertahankan Prinsip) Adegan selanjutnya ialah bagaimana perjuangan Ibnu Battutah mempertahankan keteguhan hatinya agar terus bertahan sampai pada tujuan yang ingin dicapai, yakni Mekah. Dalam keadaan kondisi batin yang tertekan, tidak ada persediaan air setetespun pada perbekalannya kali ini karena dirampok oleh para bandit gurun. Di tengah teriknya padang pasir ia merasakan halusinasi tipuan mata dengan munculnya fatamorgana, hal itu disebabkan karena dehidrasi akut. Kemudian Ibnu Battutah teringat oleh ucapannya yaitu “Jika aku mati biarlah dalam perjalanan ke Mekah” itulah kata-kata yang sempat diutarakan kepada sahabatnya, Hamzah. Lamunan tersebut mengindikasikan bahwa Ibnu Battutah pada saat itu sedang mengalami gejolak batin. Karena rasa haus yang luar biasa dan sakit tubuhnya akibat serangan bandit atau perampok, akhirnya Ibnu Battutah tidak sadarkan diri. Kemudian penyamun datang dengan melihat kondisi Ibnu Battutah yang tidak berdaya, akhirnya ia memutuskan untuk membawa Ibnu Battutah ke perkemahannya yang letaknya tidak jauh dari tempat kejadian. Setelah shot di gurun selesai, kemudian shot berpindah dengan editing cut kepada wajah Ibnu Battutah dengan menggunakan tipe Medium shot yang berfungsi untuk memperlihatkan ekspresi wajah yang mulai tampak pada objek. Dalam adegan tersebut, Ibnu Battutah diperlihatkan sedang terbaring baru sadarkan diri dari pingsangnya siang hari tadi. Kemudian ia mamaksakan diri keluar tenda untuk melihat keadaan sekitar.
69
Ada beberapa keluarga yang bermukim di lokasi tersebut, dan Ibnu Battutah disambut ramah di sana. Tidak lama datang penyamun tadi dan melakukan
percakapan
dengan
Ibnu
Battutah.
Berikut
adalah
percakapannya: Penyamun : “Kau ingin kembali ke Tangier sekarang?” Ibnu Battutah : “Aku tidak akan kembali sampai aku mencapai Mekah, sampai aku menjalankan ibadah haji.” Penyamun : “Para bandit penyergap di sepanjang jalan. Kau membutuhkan perlindungan.” Ibnu Battutah : “Darimu? Dan gerombolan pencurimu?” Penyamun : “Aku bepergian sendirian, sama seperti dirimu.” Ibnu Battutah : “Kau pasti menganggap aku bodoh.” Penyamun : “Aku tidak melakukan penilaian. Aku hanya menawarkanmu perlindungan, dan kau bisa membayarku setelah tiba dengan aman di Kairo.” Ibnu Battutah : “Kau mencuri uangku.” Penyamun : “Aku memberikannya pada orang miskin.” Ibnu Battutah : “Bagaimana caraku membayarmu?” Penyamun : “Kau punya teman-teman kaya di Kairo.” Ibnu Battutah : “Aku lebih suka mati di sini di padang pasir!” Penyamun : “Semoga damai menyertaimu. (Assalamu‟alaikum). Ibnu Battutah : “Tunggu!” Penyamun : “Katakan, apa yang dilakukan pemuda seperti dirimu berharap bisa menemukan Mekah?” Ibnu Battutah : “Haji adalah sebuah jalan untuk menjumpai tanah yang baru. Untuk mencapai Mekah dan melihat Ka‟bah yang terbaik dari semua perjalanan.” Penyamun : “Dan untuk ini kau mebahayakan hidupmu?” Ibnu Battutah : “Itu tertulis dalam Al-Qur‟an,” “Jika Allah memberikan pertolongan kepadamu, maka tidak ada yang dapat mengalahkanmu.” (QS. Ali Imran [3]:160).” Penyamun : “Dan, jika Allah membiarkanmu, maka siapa yang dapat menolongmu (selain) dari Allah sesudah itu?” (QS. Ali Imran [3]: 160).” “Banyak hikmah yang terkandung dalam Al-Qur‟an. Kita berangkat saat fajar.”3 Dalam dialog di atas, tergambar jelas tekad kuat seorang Ibnu Battutah mengarungi perjalanan ke Mekah. Di dalam Al-Qur’an tertulis,
3
Percakapan ini dapat dilihat pada durasi 15:19 sampai 17:03.
70
Allah ta’ala mengajarkan hamba-Nya melalui Rasulullah saw bahwa apabila di dalam diri seseorang sudah ada tekad yang kuat dibarengi dengan usaha yang maksimal dan tidak menyimpang dari syariat Allah, maka hal yang harus dilakukan setelah itu adalah bertawakal kepada Allah. Karena Allah mencintai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. Niscaya pertolongan dari-Nya pasti akan datang dan segala kesulitanpun akan dimudahkan. Oleh karena itu pada surat Ali Imran ayat 160, Allah menjelaskan bahwa salah satu kunci kemenangan adalah tawakal atau berserah diri kepada Allah secara benar. Karena pada hakekatnya kemenangan dan kekalahan adalah dari Allah. Maka orang mukmin harus menyadarkan segalanya hanya kepada Allah.
Tabel 5.4. Adegan Keteguhan Hati Mempertahankan Prinsip Adegan 1
Visualisasi Verbal dan Non verbal
Pemain
Interpretasi Simbolik
Ibnu Battutah
Menunjukkan sebuah kondisi batin yang sedang tertekan dan merasakan sakit yang luar biasa.
71
2
3
Ibnu Battutah
Menunjukkan keadaan Ibnu Battutah setelah sadar dari pingsannya.
Penyamun Kewibawaan dan kebijaksanaan sang penyamun menawarkan perlindungan untuk keselamatan Ibnu Battutah dalam perjalanan.
4
Ibnu Battutah
Keteguhan hati dan ketegasan dalam mempertahankan prinsip.
5
Ibnu Battutah dan penyamu n
Memperlihatkan medan perjalanan yang terjal dilalui Ibnu Battutah dan sang penyamun.
72
Ibnu Battutah
6
Situasi pelik yang tetap diterima sebagai konsekuensi perjuangan dan jihad.
Tabel 6.4. Ikon, Indeks, dan Simbol dalam adegan “Keteguhan Hati Mempertahankan Prinsip” Ikon
Indeks
Simbol
Ikon dalam adegan ini adalah setting lokasi perkemahan yang terletak di gurun untuk tempat tinggal para penduduk nomaden. Kehidupan yang sangat keras dan getir di gurun pasir menyebabkan penduduknya mempunyai kebiasaan buruk, yakni mencuri. Namun dalam film ini, divisualisasikan uang hasil curiannya akan diberikan kepada orang miskin. Indeks dalam adegan ini yaitu percakapan antara Ibnu Battutah dan penyamun, di mana Ibnu Battutah secara keras mempertahankan prinsip yang dipilihnya dan menolak saran bijak dari penyamun. Bertekat untuk melanjutkan perjalanannya tanpa bantuan siapapun. Tetapi pada akhirnya Ibnu Battutah menyetujui saran dari penyamun dengan beberapa pertimbangan. Simbol dalam adegan ini adalah sosok Ibnu Battutah yang melakukan sesuatu atas dasar tuntunan ayat suci Al-Qur’an. Dan menunjukkan kepribadian yang shaleh, di mana ia bersikukuh bertahan sampai titik darah penghabisan untuk melaksanakan haji ke Tanah suci Mekah. Simbol-simbol agama pada adegan di atas sangat kental akan karakter Ibnu Battutah sebagai seorang alim yang shaleh.
Secara teknis, adegan ini memiliki beberapa unsur sinematografi. Potongan adegan pertama, memperlihatkan kondisi yang tampak pada Ibnu Battutah sedang mengalami masa sulit di mana ia merasakan tekanan batin dan merasakan sakit yang luar biasa pada tubuhnya akibat kejadian perampokan. Dalam adegan ini, terdapat teknik dissolve to di mana terjadi
73
adegan flash back ketika Ibnu Battutah terbayang apa yang pernah ia utarakan kepada Hamzah, yakni “Jika aku mati biarlah terjadi dalam perjalanan ke Mekah.” Jarak kamera yang digunakan dalam potongan gambar ini yaitu long shot, di mana sutradara ingin menampilkan keadaan sekitar untuk mendukung adegan yang sedang dimainkan sehingga menampilkan mood yang efektif. Potongan shot selanjutnya, jarak kamera yang dipakai yaitu medium shot, di mana sutradara ingin memvisualisasikan Ibnu Battutah yang baru saja sadar dari pingsannya dan berusaha mengingat apa yang telah terjadi pada dirinya. Diperlihatkan pula ia telah berada di sebuah perkemahan milik penyamun. Kemudian
potongan
adegan
selanjutnya
memperlihatkan
penyamun sedang melakukan percakapan dengan Ibnu Battutah. Dalam adegan ini hal yang diperbincangkan yaitu membahas tentang bagaimana risiko yang akan diterima Ibnu Battutah bilamana ia tetap bersikukuh melakukan
perjalanan
seorang
diri.
Dan
penyamun
dengan
kebijaksanaannya menawarkan diri untuk bersedia menemani perjalanan Ibnu Battutah sampai ke Damaskus, yaitu tempat di mana karafan haji berkumpul di sana dan melakukan perjalanan secara kolektif. Jarak kamera yang digunakan adalah medium shot, di mana sang sutradara ingin memperlihatkan karakter kuat dari penyamun. Adegan keempat, memvisualisasikan Ibnu Battutah yang dengan sikap konsistennya mengatakan akan melakukan perjalanan suci ke Mekah untuk berhaji. Dengan mimik muka serius dan dengan tegas ia mengatakan
74
ia akan lebih suka mati di padang pasir daripada harus kembali pulang ke Maroko sebelum berhaji. Hal ini menegaskan bahwa Ibnu Batutah memiliki karakter sifat yang keras dan teguh terhadap pendirian. Jarak kamera yang digunakan pada potongan adegan ini yaitu medium shot, di mana mood yang coba dibangun memperlihatkan karakter Ibnu Battutah serta suasana perkemahan yang persis dengan gambaran yang didirikan oleh suku nomaden di gurun pada saat itu. Di tambah dengan memperlihatkan adanya api unggun di tengah mereka agar terlihat lebih natural. Adegan selanjutnya, memvisualisasikan kondisi medan yang ditempuh melewati berbagai perbukitan gurun pasir yang terkadang sulit untuk ditempuh. Namun hal itu tidak lantas membuat mereka berkecil hati untuk melanjutkan perjalanan. Perjalanan dilanjutkan dengan semangat pantang menyerah dari keduanya. Jarak kamera yang digunakan adalah long shot. Kemudian potongan shot selanjutnya memperlihatkan kondisi saat badai pasir di gurun. Keadaan di mana gambaran ini merupakan bahaya yang mengancam saat melewati gurun sehingga menyebabkan kuda yang ditunggangi harus dijatuhkan dan ditenangkan oleh pemiliknya. Adegan ini berhasil divisualisasikan oleh Ibnu Battutah dengan memeluk kudanya. Jarak kamera yang digunakan adalah long shot. Secara keseluruhan adegan di atas memiliki beberapa karakter sinematografi. Jarak kamera yang digunakan dalam adegan tersebut di antaranya yaitu long shot dan medium shot. Untuk pencahayaan cenderung
75
menggunakan sumber pencahayaan top lighting yang fungsinya sekadar ingin menunjukkan jenis pencahayaan buatan dalam sebuah adegan, yakni dengan menggunakan cahaya lilin dan api unggun. Selain itu juga tetap menggunakan cahaya utama (key light). Setting yang digunakan di dalam adegan keseluruhan adalah shot on location. Aspek suara dan editing di dalam adegan ini memakai dieges sound dan non dieges sound dengan editing di dominasi oleh tipe montase (rangkaian gambar), establishing atau reestablishing shot dan cut in yang diiringi pula dengan musik instrumental.
B. Narasi Adegan yang Diteliti Sebelum menganalisis secara detail bagaimana narasi dalam adegan khusus yang menampilkan perjalanan Ibnu Battutah, berikut peneliti akan memaparkan komponen-komponen naratif yang dapat dijadikan acuan dalam memahami adegan khusus berdasarkan unsur naratif film. 1. Tokoh Tokoh utama dalam film Journey to Mecca adalah Ibnu Battutah. Di dalam film, divisualisasikan Ibnu Battutah sebagai seorang tokoh yang protagonis, ambisius, pantang menyerah, dan tegas. Meskipun banyak menghadapi rintangan dan hambatan dalam perjalanannya, namun ia tetap konsisten melaksanakan niatnya untuk berhaji ke Mekah. Dedikasi yang tinggi, membuat ia menemukan jati dirinya ketika melaksanakan perjalanan yang panjang. Dalam keadaan apapun ia tidak henti-hentinya memohon pertolongan kepada Allah, ini merupakan bentuk Jihad fi
76
Sabilillah yang dilakukan oleh Ibnu Battutah. Adapun tokoh heroik, yaitu penyamun. Dengan karakter heroik dan tegasnya itu, dalam beberapa shot penyamun divisualisasikan sebagai pemicu konflik batin dalam diri Ibnu Battutah. Selain itu ada Hamzah yang divisualisasikan sebagai sahabat Ibnu
Battutah.
Hamzah,
berseberangan pendapat
divisualisasikan
sebagai
sahabat
yang
dengan Ibnu Battutah saat tahu bahwa Ibnu
Battutah ingin ke Mekah seorang diri. Hamzah kurang menyetujui kawannya itu melaksanakan haji seorang diri pada usia 21 tahun, namun kemudian ia merestui kepergian sahabatnya itu. Dan ada pula kawanan perampok yang menghadang Ibnu Battutah saat di gurun pasir.
2. Masalah dan konflik Masalah yang muncul pada adegan perjalanan dari Kairo adalah ketika Ibnu Battutah menemui Ibnu Muzaffar di Kairo dan menceritakan mimpi yang dialaminya, ketika Penyamun memperingatkan Ibnu Battutah melewati rute Damaskus dan bergabung dengan kafilah haji namun Ibnu Battutah tetap mempertahankan keputusannya melewati Laut Merah, ketika pasca peperangan yang berlangsung di Laut Merah, dan ketika Ibnu Battutah dilanda demam setelah selama 40 hari berada di padang pasir. Konflik yang muncul dalam adegan ini adalah konflik batin, di mana Ibnu Battutah tetap mempertahankan prinsipnya pada rute perjalanan yang ia lalui yakni melewati Laut Merah walaupun sudah diperingatkan oleh penyamun untuk memenpuh jalur Damaskus. Kemudian ketika sampai di Laut Merah ia melihat kapal-kapal laut yang hancur akibat perang yang
77
berlangsung dan sudah pasti tidak dapat menghantarkan ia menyebrangi laut tersebut.
3. Lokasi Lokasi utama dalam adegan ini adalah gurun pasir. Gurun pasir, sebagai setting utama divisualisasikan dengan cukup apik. Setting latar yang yang memadai yang cukup menghadirkan sebuah realisme ketika berada di sebuah padang gurun.
4. Waktu Penggunaan waktu dalam setiap adegan di film ini dijelaskan sebagai berikut: Siang, di mana diperlihatkan sebagian besar konflik dan masalah muncul di waktu siang hari serta pada saat itu pula perjalanan panjang yang ditempuh Ibnu Battutah. Malam, di waktu ini Ibnu Battutah mengalami mimpi terbang di atas sayap burung raksasa melewati Laut Merah menuju Mekah. Kemudian mimpi tersebutlah yang menghantarkan Ibnu Battutah berambisi untuk menunaikan ibadah haji ketika itu. Adegan Ibnu Battutah mencapai Kairo bermula dari Hamzah yang memberitahukan untuk menemui Ibnu Muzzafar di Kairo. Kemudian, pesan dari sahabatnya itu ia penuhi, sesampainya di Kairo Ibnu Battutah langsung menemui Muzzafar dan menceritakan mimpi yang ia alami. Ibnu Muzzafar memberikan tanggapan yang baik perihal mimpi yang diceritakan oleh Ibnu Battutah. Muzzafar lantas mengatakan “Rasulullah bersabda: Tuntutlah ilmu walaupun itu sampai ke negeri Cina.” Adegan
78
ini berada pada durasi 19:41 sampai 20:45. Kata-kata itu membuat tekad dan keyakinan Ibnu Battutah semakin kuat untuk memenuhi panggilan batinnya, berhaji. Ibnu Muzzafar divisualisasikan sebagai alim ulama pada saat itu, yang tidak lain merupakan kerabat dari Ibnu Battutah. Setting pada adegan ini berada di Universitas Al-Azhar Kairo. Kemudian, setelah itu setting berpindah pada suasana pasar yang menjual barang-barang antik. Di sana divisualisasikan antara Ibnu Battutah dan penyamun terjadi cekcok karena keputusan Ibnu Battutah yang tetap memilih jalur Laut Merah sebagai jalan menuju ke Mekah karena baginya ini merupakan jalur terpendek menuju Mekah padahal penyamun selalu mengingatkan bahwa ada jalur aman yang dilewati oleh para rombongan haji melewati Damaskus.4 Tidak menggubris pesan dari penyamun, Ibnu Battutahpun pergi menunggangi unta menuju Laut Merah dengan tekad dan keyakinan kuat bisa menemui Mekah melalui jalur yang ia pilih. Namun, sesampainya di Laut Merah, dengan raut muka yang sangat kecewa dari kejauhan Ibnu Battutah melihat banyak kapal-kapal laut yang menepi dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Kapal-kapal tersebut rusak parah akibat perang yang berlangsung dan menyebabkan lalulintas pelayaran tertunda. Seketika, Ibnu Battutahpun meminta ampun kepada Allah dan menyesali perbuatannya yang merasa sombong tidak mau mendengarkan saran orang lain. Ia meminta kepada-Nya agar bisa tetap sampai ke Mekah. Pada adegan ini, visualisasi dan narasi dibatasi hanya pada Ibnu Battutah. 4
Kota Damaskus merupakan salah satu kota yang dihuni tetua di dunia, selain Al-Fayyum dan Gaziantep. Populasinya saat ini diperkirakan sekitar 3.67 juta jiwa.
79
Sedangkan, hal lain sebagai pendukung cerita dapat dilihat dari aspek mise en adegan dan unsur sinematografi. Tidak sampai beberapa menit terdengar suara unta dibelakangnya. Tidak disangka oleh Ibnu Battutah ternyata sang penyamun mengikuti perjalanannya ke Laut Merah. Penyamun tersebut menyarankan Ibnu Battutah agar melewati jalur yang umum dilewati oleh para kafilah haji, yakni Damaskus. Shot berpindah ke Damaskus, di sana divisualisasikan Ibnu Battutah dan penyamun sedang melakukan percakapan. Penyamun mengembalikan upah jasa perjalanan kepada Ibnu Battutah dan minta dibelikan hewan kurban baginya untuk dipersembahkan kepada Allah. Ibnu Battutah mengajaknya bersama-sama ke Mekah, namun penyamun menolaknya dan mengatakan suatu saat ia akan kesana Insya Allah.5 Penduduk Damaskus bersikap rendah hati. Orang asing yang memiliki maksud baik akan mendapatkan perlindungan yang selayaknya dari penduduk Damaskus. Mereka yang memiliki keterampilan tertentu akan mendapat pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya. Bagi yang ingin mencari ilmu atau fokus dalam beribadah, mereka mendapat pelayanan yang baik.6 Kemudian Ibnu Battutah bersama kafilah haji yang berjumlah 10.000 orang menyusuri perjalanan dengan satu tujuan, Mekah. Di antara mereka ada yang berprofesi sebagai arsitek, ahli fisika, penyair, dan juga peternak lebah.
5
Percakapan ini muncul pada durasi 25:39. Ibnu Battutah, Rihlah Ibnu Battutah: Memoar Perjalanan Keliling Dunia di Abad Pertengahan, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012), h. 109. 6
80
Kemudian pada sekuen terakhir, ada satu tempat yang harus mereka lalui yang dikenal sebagai “Lembah Neraka.” Dalam satu tahun, lembah mendidih ini telah merenggut ribuan nyawa. Hal itu membuat para kafilah haji terpaksa melanjutkan perjalanan menuju Madinah tanpa istirahat. Dalam adegan ini terlihat beberapa orang meninggal dunia akibat dilanda demam tinggi karena suhu panas yang sangat menyengat melebihi gurun terkenal Sahara. Selama 40 hari perjalanan di padang pasir, membuat kondisi tubuh kafilah lemah. Begitu pula dengan Ibnu Battutah, tubuhnya dilanda demam. Tetapi ia bertekad tidak akan menyerah dan terus melanjutkan perjalanan walaupun dalam keadaan yang sangat lemah sekalipun. Tidak lama kemudian terdengar seruan dari kejauhan “Aku melihat Madinah.” Dari seorang penunjuk jalan yang menunggangi kuda dengan membawa tongkat dan terdapat bendera putih yang berada tepat diujung atas tongkat, itu menandakan bahwa suatu cara untuk menunjukkan kedamaian atau tidak keikutsertaan seseorang dalam peperangan. Dalam kondisi lemah, mendengar seruan tersebut Ibnu Battutah merasa seakan ada angin segar yang merasuki sela-sela jiwanya. Hal itu menuntunnya untuk melanjutkan kembali perjalanan menuju gerbang Madinah. Dari paparan narasi di atas, dapat peneliti kaji bahwasannya mitos yang ingin dibangun di dalam narasi tersebut adalah melalui sosok Ibnu Battutah. Melalui setting atau latar di mana adegan diambil, melalui narasi yang digunakan di dalam setiap adegan dan monolog yang dilakukan para
81
pemain. Adapun penjelasan mitos secara lebih detail dapat dilihat pada tabel konvensi, denotasi dan konotasi.
C. Semiotik dalam Adegan “Perjalanan dari Kairo” 1. Tanda-tanda dan Kode Di dalam sebuah film, kita pasti banyak ditampilkan tanda-tanda dan kode, terutama pada sebuah adegan. Tanda-tanda dan kode tersebut secara alami pasti memiliki makna tertentu. Akan tetapi makna yang akan terbentuk pastilah berbeda-beda pada setiap kode yang ditampilkan. Tanda dan kode tersebut merupakan hasil dari representasi dari kita sebagai peneliti. Tidak asal memberi asumsi dari makna pada kode yang ditampilkan dalam adegan, tapi sebagai peneliti harus membutuhkan pengetahuan seputar konvensi yang sudah berlaku sebelumnya dan dalam wilayah-wilayah tertentu. Pada penelitian kali ini, peneliti mencoba mencari unsur tanda dan kode pada adegan perjalanan Ibnu Battutah dari Kairo dengan mengklasifikasikan tanda-tanda yang memiliki makna lain yang bersifat subjektif dan melekat pada suatu kata ataupun frase, atau yang disebut sebagai konotasi. Pada adegan ini hanya dipilih berdasarkan tingkat relevansinya dengan tujuan penelitian. Adapun denotasi dan konotasi pada adegan utama penelitian ini adalah sebagai berikut:
82
a. Denotasi dan Konotasi Tabel 7.4. Analisis Tanda Denotasi dan konotasi dalam skenario Tanda Denotasi
Tanda Konotasi dan Mitos
Kuda
Salah satu hewan peliharaan yang telah memegang peranan penting dalam pengangkutan orang dan barang selama ribuan tahun. Dalam berbagai kebudayaan dianggap sebagai simbol kejantanan, kebebasan, kecerdasan, dan kekuatan.
Unta
Mamalia yang sangat kuat dan tahan terhadap kondisi lingkungan gurun pasir yang paling ganas sekalipun.
Hitam
Warna yang identik dengan hal yang negatif yang dapat menimbulkan persepsi orang berbeda-beda.
Putih
Menunjukkan kedamaian, spiritualitas, kesederhanaan dan kebersihan hati.
Mimpi
Pengalaman alam bawah sadar atau gambaran aktifitas kejadian yang terjadi pada saat seseorang tidur.
Shalat berjamaah
Aktifitas di mana manusia bersama-sama meraih derajat yang lebih tinggi di sisi Allah.
Padang Pasir
Suatu daerah yang hanya menerima curah hujan yang sedikit dan kelembapan udara yang sangat rendah.
Sorban
Kesalehan yang disertai intensitas ibadah yang tinggi serta keistimewaan dalam pribadi.
Haji
Ajang berkumpulnya umat Islam dalam jumlah besar pada waktu yang sama, di tempat yang sama, untuk melakukan hal yang sama, dengan pakaian yang sama, dengan tujuan yang sama, dan dengan seruan yang sama pula, yakni: “Labbaikallahumma labbaik; labbaika la syarika laka labbaik; innal-hamda wan-ni‟mata laka wal-mulka la syarika lak.” Yang semuanya itu bermuara semata-mata mengharapkan ridha Allah.
Perang
Sebuah aksi fisik antara dua atau lebih kelompok untuk
83
melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan. Kafilah
Rombongan haji berkendaraan unta di padang pasir.
Upah
Imbalan yang dibayarkan sebagai pembalas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan.
Demam
Panas badan atau suhu tubuh yang lebih tinggi dari biasanya.
Ka’bah
Rumah suci sebagai pusat bagi manusia.
Kain Ihram
Simbol bahwa sesungguhnya manusia diciptakan dengan status yang sama yakni sebagai khalifah di bumi. Maka manusia dibebaskan dari status-status yang bersifat duniawi.
Berkurban
Manifestasi dari rasa syukur seorang mukmin atas pemberian rahmat dari Allah.
Bercukur atau tahallul
Menanggalkan kesombongan yang menjadi seseorang tinggi hati dari orang lain.
Islam
Iman keagamaan muslim yang percaya bahwa hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah. Allah lah yang menurunkan wahyu Al-Qur’an kepada Muhammad.
Mekah
Situs paling suci dalam Islam dan merupakan tujuan ibadah haji.
b. Ikon, Indeks dan Simbol dalam Adegan “Perjalanan Ibnu Battutah dari Kairo Menuju mekah.” Tabel 8.4. Ikon
Indeks
Mekah merupakan kota yang identik dengan sejarah Nabi Ibrahim yang membangun tempat ibadah pertama untuk umat Islam. Prosesi haji yang dilakukan Ibnu Battutah merupakan bentuk rasa cinta kepada Allah dan mengharapka ridha dari-Nya. Kain ihram yang melambangkan kesetaraan manusia. Kuda dan unta sebagai kendaraan perjalanan Ibnu Battutah. Serta padang pasir yang menjadi saksi bisu perjuangan Ibnu Battutah menuju Mekah. Perkataan, ucapan yang memiliki unsur kausalitas terhadap sebuah peristiwa. Di dalam adegan ini khususnya telah terangkum dalam sebuah teks dalam percakapan maupun narasi. Terdapat beberapa indeks yang muncul dan cukup dominan pada adegan tersebut. Yang pertama terletak pada sikap yang tegas dari Ibnu Battutah yang senantiasa mempertahankan keputusannya untuk melewati jalur Laut Merah,
84
Simbol
padahal sudah diperingatkan bahwa di sana sedang terjadi perang. Melihat keadaan yang tidak memungkinkan untuk melewati jalur tersebut, kemudian ia mengucapkan : “Ampuni kebodohan hamba. Ampuni kesombongan hamba. Izinkan hamba mencapai Mekah dan berdiri di atas Jabal Rahmah (Gunung Arafat).”7 Setelah memanjatkan doa, terdengar suara unta di belakangnya. Ternyata penyamun mengikuti perjalanan Ibnu Battutah, dan kemudian mengajaknya untuk melewati rute Damaskus. Kemudian mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju Damaskus. Tekad kuat dan keteguhan hati Ibnu Battutah melaksanakan ibadah haji dan menentukan jalur perjalanan sendiri yang diilhami dari mimpinya. Bergabungnya Ibnu Battutah dengan Kafilah haji. sikap tenang dan sabar sebagai simbol keteguhan. Serta Lembah Neraka, lembah ini setiap tahunnya merenggut ribuan nyawa, mendesak kafilah untuk melanjutkan perjalanan tanpa beristirahat.
2. Tabulasi Analisis Elemen Adegan Sebelum masuk kepada penelitian elemen film, peneliti mencoba memunculkan beberapa potongan shot yang berhubungan langsung dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini, berikut adalah visualisasinya: Tabel 9.4. Visualisasi shot dari Adegan “Perjalanan dari Kairo” Visualisasi Verbal dan Non Verbal Visualisasi Verbal dan Non verbal
7
Berada pada durasi 23:55.
Interpretasi Simbolik
85
19:46
21:38
22:56
23:39
86
23:57
26:00
27:34
28:16
87
28:51
29:15
30:15
32:00
88
33:32
39:19
39:48
40:47
3. Analisis Narasi dan Simbolik Antara Adegan Utama dan Pendukung Pada Tabel 9.4.
89
Tabel di atas menunjukkan serangkaian adegan dan narasi yang masing-masing saling berhubungan. Peneliti akan menganalisis dari kacamata analisis film Cristian Metz. Banyak simbol yang mengandung makna tentang sebuah perjuangan Jihad fi Sabilillah pada perjalanan panjang Ibnu Battutah dari Kairo menuju Mekah. Pada kolom pertama di baris pertama, potongan adegan di atas memperlihatkan Ibnu Battutah dan penyamun sedang melakukan perjalanan. Adegan ini menunjukkan perjuangan perjalanan rohani meninggalkan tanah kelahiran menuju tanah suci Mekah. Sutradara cukup apik memvisualisasikan sebuah perjalanan yang tampak seperti alami. Adegan ini
diambil
menggunakan jarak kamera long shot yang bertujuan untuk menampilkan kondisi sekitar.
Potongan
adegan
kolom
kedua
baris
pertama,
memvisualisasikan perjalanan menyebrangi sungai Nil menggunakan perahu bersama dengan penyamun. Adegan ini menunjukkan rasa bahagia setelah sekian lama berada di gurun pasir sehingga membuat perjalanan ini terasa nikmat. Ibnu Battutah menyampaikan rasa syukurnya dalam bentuk sajak sebagai berikut: “Setelah beberapa bulan di padang gurun, kami akhirnya sampai di sungai Nil. Melebihi dalam manisnya rasa dan khazanah yang terbentang di dasarnya. Ibu dari semua kota tiada tara dalam keindahan dan karunia sebuah keajaiban pengetahuan dan pengalaman: Kairo.”
Adegan selanjutnya pada scane pendukung kedua kolom kedua. sesampainya di Kairo Ibnu Battutah langsung menemui Ibnu Muzzafar dan menceritakan mimpi yang dialaminya. Bagi Ibnu Battutah, mimpinya seolah memberi petunjuk kepadanya untuk sesegera mungkin melakukan ibadah haji
90
ke Mekah walaupun jalur yang akan dilaluinya merupakan jalur yang paling jarang ditempuh oleh para kafilah haji. Berikut petikan yang dikatakan Ibnu Muzzafar: “Kau harus mencapai tujuanmu jika kau ingin mengenali hikmah orang-orang di sekitarmu. Nabi Muhammad saw, bersabda: „Tuntutlah ilmu, sekalipun kau sampai ke negeri Cina.”8 Negeri Cina atau Tiongkok adalah negeri mahakarya tradisi, seni, dan budaya. Berkembang jauh sebelum kebudayaan Barat merambah dan mendominasi budaya masyarakat masa kini, negeri Cina telah lebih dulu dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan. Negeri ini melahirkan berbagai penemuan, mulai dari pengolahan masakan, pakaian, kertas, pengetahuan agama, budaya, dan filsafat. Keunggulanya mendapat pengakuan dari berbagai penjuru dunia, menembus dan melintasi batas-batas geografis, kultural dan agama. Untuk itu nabi Muhammad pernah menyatakan kekagumannya dengan mengatakan “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina.”9 Demikianlah penjelasan mengenai hadist tersebut. Hadist tersebut kemudian menginspirasi Ibnu Battutah untuk meneruskan perjalanannya menjelajahi negeri-negeri Muslim lainnya. Adegan pendukung selanjutnya adalah
Ibnu Battutah sedang
melakukan percakapan dengan penyamun. Adegan ini memperlihatkan upaya penyamun mengingatkan Ibnu Battutah agar tidak melewati Laut merah, karena pada saat itu sedang terjadi perang di sana. Namun Ibnu Battutah teguh pada pendirian memilih untuk melewati jalurnya dan melanjutkan perjalanan seorang diri. Dalam percakapannya ia mengatakan: 8
Percakapan dapat dilihat pada durasi 20:04 sampai 12:34. Rasti Suryadani, Anekdot Cina, (Yogyakarta: Indonesia Tera, 2008), h. v.
9
91
“Haji tak bisa menunggu! Aku akan menyebrangi Laut Merah! Aku sudah membuat keputusan.” Adegan selanjutnya memvisualisasikan keadaan di Laut Merah. Benar saja apa yang dikatakan oleh penyamun, sedang terjadi perang di Laut Merah. Sesampainya di sana, dengan raut muka yang sangat kecewa dari kejauhan Ibnu Battutah melihat banyak kapal-kapal laut yang menepi dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Kapal-kapal tersebut rusak parah akibat perang yang berlangsung dan menyebabkan lalulintas pelayaran tertunda. Seketika, Ibnu Battutahpun meminta ampun kepada Allah dan menyesali perbuatannya yang merasa sombong tidak mau mendengarkan saran orang lain. Ia kemudian meminta kepada-Nya agar bisa tetap sampai ke Mekah. Hal ini menandakan bahwa Allah menguji ketetapan hati orang beriman dengan banyak cara, di antaranya memberi mereka permasalahan pada waktu-waktu tertentu atau membuat mereka mengalami penderitaan. Diterangkan pula dalam surat AlBaqarah [02]: 155 yang berbunyi:
“Dan
sesungguhnya kami akan mengujimu dengan suatu cobaan, seperti ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Namun gembiralah orang-orang yang sabar.” Adegan pendukung selanjutnya, memperlihatkan Ibnu Battutah sedang memeluk penyamun. Secara denotasi, adegan ini menandakan sebuah perwujudan dari kepedulian tulus dan sederhana antar sahabat.
92
Adegan
selanjutnya
berpindah
setting
ke
padang
gurun,
menampilkan Ibnu Battutah yang sedang memulai perjalanan dari Damaskus bersama kafilah haji. Di antara mereka ada yang berprofesi sebagai arsitek, ahli fisika, penyair, dan juga peternak lebah. Adegan ini menunjukkan bahwa dalam memenuhi panggilan Allah, status sosial bukan lagi menjadi penghalang dalam perjalanan. Adegan selanjutnya memperlihatkan keadaan perjalanan dalam cuaca ekstrim. Ada satu tempat yang harus dilalui yang dikenal sebagai “Lembah Neraka.” Dalam satu tahun, lembah mendidih ini telah merenggut ribuan nyawa. Karena keadanaan wilayah tersebut yang tidak memungkinkan untuk beristirahat, mendesak para kafilah untuk menuju Madinah tanpa beristirahat. Karena alasan itu, di sana Ibnu Battutah kelelahan dan mengalami demam. Walaupun demikian, ia tetap tidak menyerah dan melanjutkan perjalananya itu. Hal inilah yang kemudian dilihat sebagai sebuah perjuangan Jihad fi Sabilillah betapa perjalanan ke Mekah sangatlah jauh melewati padang pasir tandus yang luar biasa panasnya. Adegan selanjutnya memperlihatkan di mana Ibnu Battutah dan para kafilah sedang melaksanakan shalat berjamaah. Adegan ini memberi makna bahwa shalat merupakan lambang kekuatan dan kesatuan umat, serta merupakan simbol terpenting dari perilaku dalam menjaga keberadaan dan keharmonisan ukhuwwah islamiyah. Adegan selanjutnya berpindah setting ke Masjidil Haram. Adegan ini memperlihatkan mimik Ibnu Battutah yang terkesima melihat apa yang diimpikannya berada di depan mata. Impian yang telah lama didoakan selama
93
hidupnya, Ka’bah yang suci. Mempertontonkan keadaan Masjidil Haram yang dipenuhi sesak oleh para jamaah haji yang sedang melakukan tawaf (bergerak mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 kali), jamaah tersebut berasal dari berbagai penjuru yang berjumlah ribuan bahkan jutaan manusia dalam satu tempat. Di mana tawaf bermakna bahwa gerak hidup setiap manusia bukanlah sekedar untuk hidup itu sendiri, melainkan segala gerak hidup itu terjadi dan menuju kepada Allah. Allah lah sebagai pusat pusaran gerak manusia. Adegan selanjutnya memperlihatkan Ibnu Battutah sedang membeli sekawanan domba untuk dikurbankan kepada orang miskin. Hal itu karena ia memngingat jasa penyamun yang membimbingnya dalam perjalanan. Adegan selanjutnya mencukur rambut atau tahallul. Hal ini menandakan bahwasannya keluar dari keadaan ihram karena telah selesai melaksanakan amalan haji. Tahallul ditandai dengan mencukur rambut, minimal 3 helai. Hal ini bermakna, menanggalkan kesombongan yang menjadi seseorang tinggi hati dari orang lain. Adegan selanjutnya memperlihatkan Ibnu Battutah bersama dengan para kafilah sedang dalam perjalanan meninggalkan Mekah. Namun, bukan Tangier tujuan selanjutnya setelah berhaji. Ia teringat oleh kata-kata Ibnu Muzzafar yang pernah mengatakan “Tuntutlah ilmu sekalipun kau sampai ke negeri Cina.” Kata-kata itulah yang kemudian menginspirasi Ibnu Battutah untuk terus mengemban ilmu hingga ke lebih dari 40 negara. Tabel 10.4. Analisis Adegan Utama Melalui Tabulasi Analisis Film Stave Campsall No
Elemen
Temuan Analisis
1.
Mise En Scene
What: Ibnu Battutah merupakan salah satu tokoh asal suku Berber. Suku berber
94
2.
Editing
3.
Shot Types
merupakan suku penduduk asli yang mendiami wilayah Afrika Utara. Dalam film ini, kostum yang dikenakan oleh Ibnu Battutah merupakan pakaian khas Maroko, yakni burnoose atau selham. Jenis pakaian ini, merupakan pakaian luar sebagai pelngkap penampilan kaum laki-laki yang bertujuan sebagai pelindung dingin. Kostum yang dikenakan oleh Ibnu Battutah seperti jubah dan sorban yang dikenakannya itu, serta jenggot yang merupakan representasi dari simbol keagungan seorang manusia pemberani, kuat, hebat, dan memiliki solidaritas tinggi. Penyamun yang idealnya menjadi sosok yang jahat dan kejam, dalam film ini diperankan berbeda. Ia diperankan sebagai sosok heroik yang menemani Ibnu Battutah dalam perjalanan. Padang pasir yang tandus, kuda dan unta yang menjadi kendaraan saat berada di padang pasir. Dan sorban yang digunakan untuk menutup setengah wajahnya dari hidung sampai dagu, bertujuan untuk melindungi wajah dari panas pasir gurun yang bertebaran. Perang di Laut Merah terjadi akibat perang Byzantium pada waktu itu, menyebabkan lalu lintas penyebrangan tidak berjalan. What Effect: Effect yang muncul dalam adegan ini yaitu shot on location yang menggunakan lokasi langsung seperti padang pasir, sungai Nil, Masjidil Haram, dan lain-lain. Penggunaan lokasi ini bertujuan untuk memunculkan aspek realism dalam film. Cahaya yang dihasilkan pada adegan ini menggunakan cahaya natural yang berasal dari matahari. What Meaning: Sistem makna yang ditampilkan adalah melalui pendekatan denotasi dan konotasi. Denotasi yang muncul dalam adegan ini yaitu, hitam, putih, haji, shalat berjamaah, perang, kuda, bercukur. Adapun penjelasan makna konotasi dan denotasi pada adegan sudah dijelaskan di atas. How: Dalam membangun aspek mise en scene yang relevan dengan narasi film pada adegan ini sutradara berfokus pada aspek setting dan pemain, di mana melalui property yang dimunculkan dalam adegan ini dapat membangun mood penonton. Purpose: Tujuan sutradara menampilkan adegan ini nampaknya adalah untuk memvisualisasikan sosok Ibnu Battutah dengan berbagai atributnya, membangun karakter pemain, dan yang terrpenting adalah untuk merepresentasikan sejarah tokoh terkenal pada masanya. Unsur editing yang digunakan adalah cut, di mana cut ini merupakan transisi dari shot satu ke shot lainnya secara langsung yang menimbulkan editing kontinu pada suatu rangkaian adegan dialog atau aksi pada umumnya. Ada beberapa aspek yang diperhatikan peneliti dalam melakukan teknik editing, yaitu aspek kontinuitas grafik, aspek ritmik, aspek spasial dan aspek temporal. Namun, pada scene ini menggunakan tempo editing yang cepat dengan durasi shot yang hanya beberapa detik. Dalam adegan ini terdapat beberapa shot, di antaranya: Pertama, medium shot. Medium shot digunakan ketika Ibnu Battutah melakukan percakapan dengan Ibnu Muzzafar. Di tempat lain diperlihatkan pula ketika Ibnu Battutah dan penyamun berada di Damaskus. Kedua adalah long shot.
95
4.
Camera Angle
5.
Camera Movement
6.
Lighting
Long shot digunakan pada saat memperlihatkan keadaan Laut Merah pasca perang, selain itu memperlihatkan adegan di mana Ibnu Battutah sedang melakukan perjalanan bersama penyamun. Ketiga adalah cloce up. Close up digunakan ketika Ibnu Battutah sampai di Laut merah dan melihat keadaan porak poranda di hadapannya. Adegan ini memperlihatkan mimik kekecewaan Ibnu Battutah. Kemudian Exreme long shot. Extreme long shot digunakan pada saat prosesi haji dilaksanakan secara menyeluruh, selain itu pada saat selesainya berhaji memperlihatkan Ibnu Battutah dan para kafilah melanjutkan perjalanan. Dan kemudian exreme long shot juga digunakan untuk memperlihatkan medan perjalanan yang ditempuh Ibnu Battutah di Padang Gurun. Sudut kamera. Tipe sudut. Tipe sudut kamera yang tampak pada adegan ini adalah tipe high angle, di mana objek diperlihatkan tampak lebih kecil daripada setting. Hal ini memunculkan kesan bahwa seseorang terlihat rendah, kecil, kehilangan dominasi, lemah, dan terintimidasi. Kemiringan. Dalam adegan ini, teknik kemiringan kamera tidak digunakan. Hal ini bisa menimbulkan makna bahwa narasi dan kisah dalam adegan ini masih stabil. Ketinggian. Dalam adegan ini, ketinggian kamera digunakan oleh sutradara untuk mempelihatkan medan perjalanan yang rumit Ibnu Battutah dan para kafilah haji pada saat di padang gurun. Pergerakan kamera pada adegan ini didominasi oleh teknik panning dan tilting. Teknik penning digunakan dengan cara menggeser kamera ke kanan ataupun ke kiri, dengan maksud melihat objek lain yang berada di sisi kanan atau sisi kiri objek. Sedangkan teknik tilting digunakan dengan cara menggerakan kamera secara vertikal, gerakannya mendongak ke atas (tilt up) atau menunduk ke bawah (tilt down). Teknik penning tampak ketika prosesi haji berlangsug, yakni ketika para jamaah sedang melakukan tawaf. Sedangkan teknik tilting tampak ketika Ibnu Battutah dalam perjalanan dari Damaskus bersama para kafilah haji. Ada beberapa aspek yang harus dilihat dalam menjelaskan lighting, di antaranya: 1. Kualitas Kualitas cahaya yang ditampilkan pada adegan ini adalah soft light atau dengan kata lain disebut sebagai cahaya lembut yang cenderung menyebarkan cahaya sehingga menghasilkan bayangan yang tipis. 2. Arah Pencahayaan Arah pencahayaan pada adegan ini adalah frontal lighting, di mana sutradara ingin menghapus bayangan dan menegaskan bentuk sebuah objek atau wajah karakter dari objek tampak jelas. 3. Sumber Cahaya Sumber cahaya dalam adegan ini menggunakan key light, dimana sumber cahaya utama dan paling kuat menghasilkan cahaya. Adapun cahaya utama yang digunakan dalam adegan ini adalah cahaya matahari.
96
7.
Dieges and Sound
8.
Visual Effect / SFX
9.
Narrative
10.
Genre
11.
Iconoghraphy
12.
The Star System
13.
Realism
Suara yang digunakan dalam adegan ini adalah tipe suara dieges sound. Tipe ini memberi pemahaman bahwa sumber suara berasal langsung dari objeknya. Selain itu terdapat tipe suara non dieges sound, yaitu suara musik yang mengilustrasikan suatu kondisi semangat, di mana terdapat dalam adegan ketika Ibnu Battutah dan kafilah memulai perjalanan dari Damaskus. Tidak terdapat visual effek dalam film ini. Hal ini menandakan bahwa film ini merupakan jenis film yang tidak banyak diintervensi unsur teknologi komputer. Secara singkat jenis narasi ini menggunakan pola narasi linier, di mana waktu berjalan sesuai dengan urutan aksi peristiwa tanpa adanya interupsi waktu yang signifikan. Film ini bergenre dramatic adventure atau dokumenter. Sutradara ingin menampilkan perjalanan dramatis seorang tokoh yang sudah melakukan sebuah perjalanan besar dan sudah cukup dikenal oleh masyarakat luas. Ikonografi merupakan sebuah system yang mendukung genre. Ikonografi dalam film ini di antaranya adalah padang pasir, Damaskus, mekah, kain ihram, sorban, pakaian, unta, kuda, dan kafilah haji. hal ini yang mendukung perjuangan Ibnu Battutah dalam perjalanannya menuju Mekah. Sutradara memilih bintang film Chems Eddine Zinoun sebagai pemeran Ibnu Battutah karena dinilai ia memiliki karakter kuat dalam memerankan tokoh tersebut. Realitas yang dibangun dalam adegan ini cukup apik dan relevan dengan kondisi sosial pada waktu itu. Dengan penggunaan layar IMAX, menciptakan mood efektif bagi penonton karena dikemas dengan unsur mise en scene yang membuat perjalanan berbahaya seperti melintasi gurun sahara, pegunungan, dan sungai nil, serta kafilah haji yang jumlahnya ribuan seolah menjadi nyata.
4. Konvensi Penjelasan mengenai konvensi, sebetulnya sudah tertera dalam elemen di bagian akhir. Namun, untuk mempermudah penelitian, berikut unsur konvensi yang lebih detail.
Tabel 11.4. Tanda-tanda Simbolik Cara argument.
mempertahankan
Pemain
Konvensi
Ibnu Battutah
Bersikap dan bertutur baiksudah dipahami semua orang sebagai suatu
97
Berserah diri kepada Allah ketika mengalami kesusahan.
Ibnu Battutah
Cara berterima kasih kepada orang lain.
Ibnu Battutah
Cara bersyukur.
Ibnu Battutah
Cara berbusana.
Ibnu Battutah
Cara melukiskan perasaan.
Ibnu Battutah
budaya positif yang membawa seseorang bisa diangkat derajatnya di mata manusia dan di mata Tuhan. Menyandarkan diri dan takdir dengan sungguh-sungguh kepada Allah merupakan ciri khusus yang dimiliki orang mukmin. Orang mukmin, yakni manusia yang memiliki sisi keimanan yang mendalam serta mampu melihat kekuasaan Allah. Karena Allah menciptakan semua peristiwa dengan tujuan ilahiyah. Manifestasi terkait hubungannya dengan sesama manusia. Kebaikan seseorang dalam wujud rasa terima kasihnya kepada sesama merupakan ukuran tingkat syukurnya seorang hamba. Anggota tubuh melaksanakan ketaatan kepada Allah. Dalam hal ini anggota badan dijadikan sebagai sarana untuk taat kepada Allah dan mencegah dari maksiat kepada-nya. Ibnu Battutah justru merepresentasikan rasa syukurnya dengan melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Mekah dan berkurban di sana. Dalam hal ini Ibnu Battutah ingin menampilkan kebudayaan khas dari Maroko dengan tampilan yang ia kenakan. Busana yang dikenakannya merepresentasikan sosok seorang manusia pemberani, kuat, dan memiliki solidaritas yang tinggi. Dalam hal ini, Ibnu Battutah mengutarakan isi hatinya akan kekaguman sebuah wilayah dan keajaiban Tuhan dengan sajak yang indah.
D. Interpretasi Film Journey to Mecca merupakan film yang menceritakan tentang kisah luar biasa dari sosok Ibnu Battutah. Film yang sarat akan pesan dan
98
filosofi ini merupakan film bergenre dokumenter/dramatic adventure. Bruce Neibaur selaku sutradara film, secara khusus membuat film ini dalam format IMAX yaitu layar yang berukuran 21,5 meter x 29,3 meter. Baginya, hal ini merupakan sebuah visusalisasi pengakuan dunia kepada sosok Ibnu Battutah atas prestasi perjalannya dengan menempuh jarak 73.000 mil pada tahun 1325 M dengan melintasi 44 negara (menurut peta dunia pada saat ini). Pesan yang coba disampaikan dalam film ini adalah hikmah dari sebuah pengorbanan dan perjuangan. Pengorbanan dan perjuangan yang dimaksud adalah pengorbanan harta, waktu, perjuangan fisik, keikhlasan hati, kekhusuan beribadah, kesabaran terhadap diri sendiri, sabar kepada sesama, dan tentunya yang paling utama yaitu sabar kepada Allah SWT. Jika dilihat dari kontennya, film ini mencoba merepresentasikan sebuah bentuk jihad yang dilakukan setulus hati dan tanpa paksaan dari pihak manapun. Ini mengindikasikan bahwa sebaiknya dalam melaksanakan perintah Allah harus dengan hati yang ikhlas walaupun banyak kendala yang dihadapi dalam menjalankannya. Ibnu Battutah divisualisasikan sebagai seseorang yang konsisten dan pantang menyerah. Penonton seolah diajak melintasi padang pasir yang tandus dan panas menyilaukan. Menyaksikan peribadatan menakjubkan saat tiga juta manusia dari seluruh dunia setiap tahun mengelilingi Hajar Aswad. Film ini khususnya, telah membangun sebuah dimensi yang berbeda dalam kegiatan jihad fi sabilillah. Dominasi tokoh dalam film ini, memberikan sebuah stimuli agar sebaiknya berjuang di jalan Allah harus sepenuh hati melibatkan seluruh jiwa raga.
99
Ibnu Battutah adalah pemuda Maroko yang ingin menunaikan ibadah haji karena mimpinya. Kedua orang tuanya sangat mengkhawatirkan dan berusaha mencegahnya mengingat usia Ibnu Battutah masih sangat muda untuk melakukan perjalanan seorang diri. Namun, karena keinginan yang sudah tidak terbendung, ia tetap bersikukuh untuk melaksanakan perjalanan ke Mekah pada saat itu. Ayahnya memberikan seekor kuda, sedangkan ibunya memberikan pakaian ihram. Pakaian ini yang kelak menyelamatkannya dari sergapan para bandit di gurun. Pada adegan 2, terjadi fenomena perampokan saat Ibnu Battutah tengah melakukan perjalanan disebuah perbukitan gurun. Di sana ia dikepung oleh kawanan bandit yang mencoba menghadangnya untuk merampas perbekalan yang dibawa oleh Ibnu Battutah. Kemudian, entah mengapa ketika Ibnu Battutah hampir dibunuh oleh para bandit, tiba-tiba ketua tokoh nomaden yang bermukim di gurun tersebut datang dan menghentikan kejadian itu. Hal ini mengindikasikan bahwa seperti yang dikatakan dalam Al-qur’an janji Tuhan tidak akan ingkar kepada hambanya yang sepenuh hati berjuang di jalan Allah. Terbukuti, Tuhan masih melindungi Ibnu Battutah dari bahaya yang mengancam dengan cara mendatangkan penyamun untuk melindunginya dari sergapan para bandit gurun. Selain itu terdapat pula adegan pada saat di mana Ibnu Battutah merasakan kesulitan, sang penyamun selalu hadir untuk membantu dan menuntunnya dalam perjalanan. Film yang diproduksi Cosmic Picture ini banyak menceritakan pengalaman Ibnu Battutah pada saat ia berinteraksi dengan peradaban bangsa lain, seperti pada saat ia melakukan perjalanan dari Damaskus bersama para
100
kafilah yang notabene berasal dari berbagai suku dan negara berkumpul di sana untuk melakukan perjalanan bersama-sama. Selain itu, film ini mampu menyajikan gambaran perjalanan haji yang sangat menuntut kesiapan mental untuk menghadapi segala rintangan yang melelahkan secara fisik maupun mental. Sineas menampilkan adegan-adegan tertentu sebagai pesan simbolik. Pada adegan khusus perjalanan Ibnu Battutah dari Kairo menuju Mekah, pesan-pesan tersebut dibangun berdasarkan narasi dan bahasa skenario. Sebagaimana pemahaman yang dilontarkan Metz, bahwasannya bahasa film berbeda dengan bahasa tutur. Bahasa film yang dimaksud adalah serangkaian aspek dan komponen yang mendukung terjadinya proses produksi tanda di dalam film tersebut. Pada adegan perjalanan Ibnu Battutah dari Kairo menuju Mekah, sineas sudah cukup jeli melihat simbol-simbol dan kode-kode itu. Terbukti dengan pemilihan lokasi setting, situasi psikis, properti, dan hal lain yang terlibat di dalam bahasa film, terangkum dalam sebuah aksi drama yang linier dan tidak membingungkan, sehingga keberlangsungan cerita tersusun rapi, membuatnya menjadi sebuah kemasan yang saling berkaitan antara ikon, indeks, simbol. Hal ini dapat dilihat ketika Ibnu Battutah sedang melakukan perjalanan panjang dari Damaskus bersama para kafilah haji. ini menunjukkan, kondisi yang mendukung dan bangunan setting yang dapat mendukung mood penonton. Jubah, unta, sorban, gurun pasir, kafilah haji sebagai pendukung ikonografi yang cukup relevan.
101
Di sisi lain, tokoh antagonis dalam film ini tidak banyak dimunculkan. Hanya sekali, ketika Ibnu Battutah disergap oleh para bandit di gurun pasir dan mencuri barang bawaannya. Dalam film ini, menurut peneliti, tantangan terbesar yang menjadi hambatan perjalanan Ibnu Battutah adalah keadaan alam yang ekstrim di mana banyak spot yang menunjukkan cuaca panas yang teramat terik. Unsur sinematografinya sangat natural, sehingga tidak terkesan dibuat-buat.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Dari penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri pembahasan dalam skripsi ini, penulis membuat beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Sign dan Code (tanda-tanda dan kode) yang terdapat pada perjuangan jihad fi sabilillah adalah tanda-tanda verbal maupun non verbal di dalam adegan perjalanan ke Mekah yang tervisualisasi dalam pertengahan cerita. Pemilihan sign dan code berfokus pada adegan ketika perjalanan yang ditempuh Ibnu Battutah dari Kairo menuju Mekah. Melalui kajian semiotika, peneliti menemukan kurang lebih 19 tanda dan kode yang signifikan terhadap tujuan penelitian dalam adegan perjalanan dari Kairo menuju Mekah yang dirangkum dalam tebel denotasi dan konotasi. 2. Elemen yang terdapat dalam perjuangan jihad fi sabilillah terdapat 13 komponen penting dalam penelitian ini. Pertama, aspek mis en scene yang menjelaskan makna melalui kostum, tata rias, setting, dan pencahayaan yang ditampilkan di depan kamera yang berfungsi sebagai penunjuk status sosial, citra dan penunjuk ruang dan waktu. Selanjutnya pemaknaan melalui editing dapat dilihat dari bagaimana pengemasan berbagai shot dalam sebuah adegan. Kemudian shot types yang menampilkan makna melalui jarak dan sudut kamera, ketinggian dan kemiringan kamera, serta camera angle, aspek ini menanmkan makna melalui berbagai sudut kemera secara khusus. Selain itu, ada pula camera movement yang bertujuan menghadirkan sebuah pesan melalui gerakan kamera secara dinamis. Lighting
102
103
memberikan makna tertentu dalam setiap adegan pemain film dan juga mood dan efek tertentu. Diges and sound menghidupkan makna melalui suara-suara tertentu. Efek visual, memberikan makna seakan terlihat nyata. Narrative bekerja dalam scenario film. Genre pada film ini adalah dramatic adventure, karena film ini menceritakan sebuah perjalanan yang dramatis dan ikonografinya memiliki kesamaan yang sangat dekat dengan genre. The star system menyesuaikan pemeran dengan cerita film. Dan yang terakhir realism, komponen ini menampilkan situasi yang terlihat realistis. 3. Convention (konvensi) dalam film ini bisa dilihat sebagaimana gambaran suasana sebuah perjalanan ke Mekah pada abad ke 14. Perampokan dan hambatan hambatan yang dihadapi dalam perjalanan setidaknya dapat memberikan sebuah gambaran kecil kepada penonton.
B. Saran Journey to Mecca, merupakan film yang memiliki plot cerita yang berusaha menampilkan sebuah perjuangan keras menuju tanah suci Mekah seorang Ibnu Battutah. Namun, setiap kejadian atau hambatan yang ditampilkan dalam film ini terlalu singkat, sehingga perjalanan yang membahayakan itu terkesan wajar-wajar saja. Film ini ada baiknya diputar juga di bioskop-bioskop pada umumnya, karena dapat menjangkau segmentasi kalangan manapun yang ingin menonton film ini. Di Indonesia khususnya, layar IMAX pada saat itu hanya terdapat di TMII, sehingga sulit terjangkau untuk kalangan yang berada di luar Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA Al-Karadhawi, Yusuf. 100 Tanya-Jawab Haji dan Umrah. Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2013. Al-Maududi, Al-Imam Abu al-A‟la, dkk. Jihad Bukan Konfrontasi: meluruskan Makna Jihad Islam dalam Realitas Kehidupan Masyarakat Modern. Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim, 2001. Arsyad, Azhar. Media Pengajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. Aziz, Moh. Ali. Ilmu Dakwah. Jakarta: Kencana, 2009. Baran, Stanley J. Pengantar Komunikasi Massa jilid 1 Edisi 5: Melek Media dan Budaya. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008. Battutah, Muhammad bin Abdullah. Rihlah Ibnu Bathuthah: Memoar Perjalanan Keliling Dunia di Abad Pertengahan. Pustaka Al-Kautsar: Jakarta, 2009. Campsall, Stave. – 27/06/2002 (Rev. 17/12/2005; 14:18:24) Media – GCSE Film Analysis Guide (3) – SJC. Danesi, Marcel. Pengantar Memahami Semiotik Media. Yogyakarta: Jalasutra, 2010. Danesi, Marcel. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra, 2010. Djaelani, Abdul Zadir. Jihadd fi Sabilillah dan tantangan-tantangannya. Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1995. E Dunn, Ross. Petualangan Ibnu Battutah Seorang Musafir Muslim Abad ke-14. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995. Effendi, Onong Uchjana. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007. Fasha, Ania Febriani. “Semiotika Arti Kasih Ibu dalam Film Semesta Mendukung,” Skripsi S1. Jakarta: Perpustakaan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013. Imanjaya, Ekky. Why Not: Remaja Doyan Nonton. Bandung: PT Mizan Bunaya Kreativa, 2004. Lechte, John. 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Posmodernitas. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
104
105
M.Pick, Zuzana. Cinema As Sign and Languange, Christian Metz. Languange and Cinema, translated by Donna Jean Umiker-Sebeok, Mouton: Thee Hague Paris, 1974. McQuail, Denis. Teori Komunikasi Massa; Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1991. Pawito. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2008. Peransi, D. A. Film/Media/Seni. Jakarta: FFTV IKJ Press, 2005. Pratista, Himawan. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008. Sobur, Alex. Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006. Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009. Stokes, Jane. How To Do Media and Cultural Studies: Panduan untuk Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya. Yogyakarta: Bentang, 2006. Suryadani, Rasti. Anekdot Cina. Yogyakarta: Indonesia Tera, 2008. Susanto, Eko Harry. Komunikasi Manusia: Esensi dan Aplikasi dalam Dinamika Sosial Ekonomi Politik. Jakarta: Mitra Wacana Media penerbit, 2010. Taslim, Uray Noviandy. “Semiotika Perjuangan „Said Nursi‟ Menulis Kitab Risalah Nur dalam Film Hur Adam,” Skripsi S1. Jakarta: Perpustakaan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012. Thohir Luth, M. Natsir. Dakwah dan Pemikirannya. Jakarta, Gema Insani Press, 1999. Thwaites, Tony. Introducing Cultural and Media Studies; sebuah Pendekatan Semiotik. Yogyakarta: Jalasutra, 2009. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008. Trianton,Teguh. Film Sebagai Media Belajar. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013. Ulhaq, Muhammad Dhiyaa. “Semiotika Mati Syahid dalam Film Death in Gaza,” Skripsi S1. Jakarta: Perpustakaan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013. Undang-Undang No. 23 Tahun 2009 tentang perfilman, Pasal 1.
106
Vivian, John. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: kencana, 2008. Wibowo, Indiawan Seto Wahyu. Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011. Website http://cakrawala-senja.blogspot.com/2009/05/journey-to-mecca.html http://indonesiaindonesia.com/f/90467-ibnu-haitham-penemu-kamera-obscura/ http://jurnalfootage.net/v4/artikel/peranan-teori-filem-di-dalam-ilmu-filem, http://moviespictures.org/movie/Journey_to_Mecca_(2009) http://wonders4u.wordpress.com/fantastic-world/gurun-sahara-afrika/ http://www.abufida.com/2012/10/journey-to-makkah.html
Lampiran 1: Cover DVD Film Journey to Mecca
Lampiran 2: Rihlah Ibnu Battutah