PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
ISBN: 978 – 602 – 8043 – 64 – 9
SEMINAR NASIONAL BK FKIP UNIB 2016
PROFESIONALISME KONSELOR MENGHADAPI ERA GLOBALISASI Bengkulu, 17 Desember 2016
Diselenggarakan oleh:
BIMBINGAN DAN KONSELING FKIP UNIVERSITAS BENGKULU Bekerja sama dengan: Ikatan Konselor Indonesia (IKI) Bengkulu Asosiasi B imbingan Konseling Indonesia (ABKIN) Bengkulu Musyawarah Guru B imbingan Konseling (MGBK) Bengkulu
i
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BK FKIP UNIB 2016
PROFESIONALISME KONSELOR MENGHADAPI ERA GLOBALISASI TIM EDITOR: Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd (UPI - Bandung) Prof. Dr. Mungin Edi Wibowo, M.Pd., Kons (Universitas Negeri Semarang) Prof. Dr. Pudji Hartuti, M.Pd (Universitas Bengkulu) Prof. Dr. Mujiran, M. Psi (Universitas Negeri Padang) Prof. Dr. Sudjarwo, M.Si. (Universitas Lampung)
Hak cipta dilindungi Undang-undang Copyright @ 2016 ISBN: 978-602-8043-64-9 Diterbitkan oleh:
Penerbitan FKIP Universitas Bengkulu
Alamat Penerbit: Jalan WR. Supratman Kandang Limun Bengkulu Sumatera-Indonesia 38371 Telp : 0736- 21186 email:
[email protected]
ii
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
DEWAN REDAKSI
Penasehat dan PenanggungJawab: Prof. Dr. Sudarwan Danim, M.Pd (Dekan FKIP Universitas Bengkulu) Dr. Manap, M.Pd (Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP UNIB) Dr. Hadiwinarto, M.Psi (Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP UNIB)
Editor: Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd (Universitas Pendidikan Indonesia-Bandung) Prof. Dr. Mungin Edi Wibowo, M.Pd., Kons (Universitas Negeri Semarang) Prof. Dr. Pudji Hartuti, M.Pd (Universitas Bengkulu) Prof. Dr. Mujiran, M.Psi (Universitas Negeri Padang) Prof. Dr. Sudjarwo, M.Si. (Universitas Lampung)
Diterbitkan oleh: Penerbitan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bengkulu
Alamat Penerbit: Jalan WR. Supratman Kandang Limun Bengkulu Sumatera-Indonesia 38371 Telp : 0736- 21186 email:
[email protected]
iii
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur senantiasa dipanjatkan ke hadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan ridho-Nya, sehingga prosiding Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling FKIP UNIB 2016 dapat terwujud. Prosiding Seminar Nasional ini merupakan kumpulan artikel/makalah
baik berupa hasil penelitian dan kajian teori yang disusun dan
disajikan oleh para pakar, dosen, guru, praktisi, dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, sekolah dan instansi di Indonesia. Prosiding ini merupakan bagian dari kegiatan Seminar Nasional
Bimbingan dan
Konseling FKIP UNIB tahun 2016 dengan tema: “Profesionalisme Konselor Menghadapi Era Globalisasi” yang dilaksanakan pada tanggal 17 Desember 2016. Keberhasilan pelaksanaan seminar nasional dan terkumpulnya artikel dalam prosiding ini tercapai berkat kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, panitia pelaksana mengucapkan terima kasih yang tulus dari hati kami kepada: 1. Dekan FKIP Universitas Bengkulu, Bapak Prof. Dr. Sudarwan Danim, M.Pd yang telah memberikan dukungan dan memfasilitasi semua rangkaian kegiatan seminar nasional ini. 2. Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP Universitas Bengkulu, Bapak Dr. Manap Somantri, M.Pd yang telah memberikan dukungan moral dan partisipasi aktif dalam kegiatan seminar nasional ini. 3. Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Bengkulu Bapak Dr. Hadiwinarto, M.Psi yang telah memberikan pengarahan akademik dan teknis pada semua rangkaian kegiatan seminar nasional ini. 4. Guru Besar Bimbingan dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Bapak Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd dan Guru Besar Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Padang bapak Prof. Dr. Herman Nirwana, M.Pd yang telah meluangkan waktu untuk membagi ilmunya
sebagai
narasumber
pada kegiatan
seminar nasional ini. 5. Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Bengkulu Bapak Drs. Ade Erlangga, M.Si yang telah bersedia membagikan ilmu dan berbagai informasi-informasi terkait kebijakan-kebijakan pemerintah daerah mengenai pengembangan profesionalisme guru bimbingan dan konseling di Provinsi Bengkulu. 6. Semua anggota panitia pelaksana yang terdiri dari Bapak/Ibu dosen, mahasiswa Bimbingan Konseling dan karyawan FKIP Universitas Bengkulu yang
iv
telah bekerja
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
keras dengan peran masing-masing sehingga kegiatan seminar nasional ini berjalan dengan lancar dan sukses. 7. Bapak/ibu dosen, guru, dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi dan sekolahsekolah di Indonesia yang telah memberi kontribusi menuliskan artikel ilmiah dalam prosiding ini. Semoga Prosiding SEMNAS BK FKIP UNIB 2016 dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan praktik bimbingan dan konseling di Indonesia demi terwujudnya profesi konselor yang memiliki kompetensi dan daya saing dunia pada era globalisasi.
Akhir kata, tiada gading yang tak retak, tentunya prosiding ini masih memiliki
beberapa keterbatasan yang perlu dimaklumi. Saran dan kritik yang membangun akan menjadi masukan bagi peningkatan kualitas prosiding pada masa-masa mendatang.
Bengkulu, 17 Desember 2016 Ketua Panitia
Dr. Yessy Elita, S.Psi., M.A., Psikolog NIP. 19791111 200604 2001
v
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
DAFTAR ISI Halaman Judul Dewan Redaksi
iii
Kata Pengantar
iv
Daftar Isi
vi
1. Kompetensi profesional konselor dalam melaksanakan konseling di era MEA (keterampilan konseling) Oleh : Herman Nirwana
1-9
2. Pelayanan konseling diperluas (konseling spiritual) Oleh : Dr. Hadiwinarto, M.Psi
10-20
3. Bimbingan karier di era globalisasi sebuah antisipasi Oleh : Bambang Suwarno dan Bernadine L. Yanwar
21-27
4. Kompetensi konselor dalam memahami nilai sosiokultural peserta didik Sekolah Menengah Pertama Oleh : Andika Ari Saputra dan Indah Permatasari
28-35
5. Layanan Penempatan dan Penyaluran dalam Mempersiapkan Karier Siswa Oleh : Amilia Nopitasari dan Gristianty Veronica
36-43
6. Menumbuhkembangkan Karakter Peserta Didik Oleh : E. Handayani Tyas
44-48
7. Layanan Penempatan dan Penyaluran dalam Mempersiapkan Karier Siswa Oleh : Heni Sulusyawati
49-54
8. Facebook sebagai alternatif media konseling yang menarik bagi siswa Oleh : Hermi Pasmawati
55-61
9. Layanan Konseling Individual Berbasis Internet Sebagai Alternatif Pengembangan Komunikasi Oleh : Indana Zulfa
62-68
10. Pentingnya character building dalam pendidikan Oleh : Junierissa Marpaung
69-79
11. Perbedaan pembelajaran bahasa kedua pada anak dan orang dewasa Oleh : Irma Diani
80-83
12. Model komunikasi interpersonal guru bimbingan dan konseling dalam konteks kelekatan sebagai upaya peningkatan psikologi sekolah siswa Oleh : Dian Mustika Maya vi
84-89
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
13. Peranan teknologi informasi dalam bimbingan dan konseling Oleh : Asniti Karni
90-96
14. Peran Guru Bimbingan dan Konseling (BK) dalam Membentuk Kesadaran Bersekolah Siswa SD di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan Oleh : Dwi Nur Rachmah
97-104
15. Strategi layanan bimbingan dan konseling dalam mengembangkan kemampuan resolusi konflik untuk menangani konflik interpersonal siswa Oleh : Khairi Bintani dan Shufiyanti Arfalah
105-112
16. Kematangan sosial remaja yang diasuh orang tua tunggal (single parent) Oleh : Melda Rumia Rosmery Simorangkir
113-120
17. Urgensi bimbingan penyuluhan Islam dalam keluarga Oleh : Mirna Ari Mulyani
121-125
18. Pengaruh keterikatan kerja dan konflik pekerjaan-keluarga terhadap kepuasan kerja pada ibu yang bekerja Oleh : Nita Sri Handayani dan Intaglia Harsanti
126-136
19. Layanan bimbingan belajar dalam pendidikan yang menjadi sistem Oleh : Nurlatifah Alauddin,Ismi Komariatun Nisa, Handamari Anggana Raras, Liya Husna Risqiyain
137-142
20. Profesionalisasi bimbingan dan konseling sebagai helping profession Oleh : Permata Sari dan Ishlakhatus Sa’idah
143-150
21. Peningkatan Kinerja Guru BK Berkaitan Tugas dan Kewajiban konselor “Problematika Konselor yang tidak Melaksanakan Evaluasi Program Bimbingan dan Konseling Disekolah” Oleh : Pujang Putri
150-157
22. Konseling Kelompok Sebagai Intervensi Permasalahan Siswa Usia Remaja Oleh : Rika Vira Zwagery
158-164
23. Aplikasi Layanan Bimbingan dan Konseling Berbasis Sistem Pakar Untuk Mengidentifikasi Prilaku Seksual Siswa Menggunakan Visual Basic 6.0. Oleh : Selvia Tristianti Hidajat dan Sriyanto
165-171
24. Penerapan Lesson Study Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Oleh : Rita Sinthia
172-177
25. Gawat Darurat Kebutuhan Profesi Konselor Disekolah Dasar Oleh : Dian Fithriwati Darusmin
178-183
vii
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
26. Resiko Penyalahgunaan Nafza : Apa yang Bisa Dilakukan Konselor Kota dan Desa Oleh : Eny Purwandari
184-195
27. Pergeseran Etika Dalam Komunikasi Dosen-Mahasiswa di Era Digital Oleh : Mahargyantari Purwani Dewi dan Hendro Prabowo
196-202
28. Cybercounceling : Memanfaatkan Teknologi Di Era Digital. Bagaimana Kelebihan dan Kelemahannya Oleh : Nidya Dudija
203-210
29. Strategi Orang Tua dalam Mengembangkan Interaksi Komunikatif dengan Anak Untuk Meningkatkan Kemampuan Membina Hubungan Sosial Anak Oleh: Vira Afriyati
211-222
30. Tantangan Profesi Guru BK/ Konselor Sekolah Sekarang dan Akan Datang Oleh: Wahid Suharmawan
223-231
31. Benarkah Standar Ganda Seksual Mempengaruhi Prilaku Seks Pranikah Pada Mahasiswa Oleh: Wahyu Rahardjo, Ajeng Furida Citra, Maizar Saputra, Meta Damariyanti, Aprillia Maharani Ayuningsih, Marcia Martha Siahay
232-238
32. Peran Outbond Management Training Terhadap Motivasi Kerjasama Oleh: Wiwien Dinar Pratisti dan Zainudin
239-245
33. Profesionalisasi Konselor Di Penyeliaan Klinis Oleh: I Wayan Dharmayana
246-253
Era
Globalisasi
Pentingnya
Peran
34. Membentuk Problem Focused Coping melalui Cognitive Behavior Therapy Oleh: Eko Sujadi dan Bukhari Ahmad
254-261
35. Dilema anak berbakat dalam pengambilan keputusan karier Oleh: Yessy Elita
262-267
36. Pentingnya Bimbingan dan Konseling di PAUD Oleh: Mona Ardina
268-276
37. Penerapan Pendidikan Karakter Berbasis Religi Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Oleh: Arsyadani Mishbahuddin
277-286
viii
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
ix
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
KOMPETENSI PROFESIONAL KONSELOR DALAM MELAKSANAKAN KONSELING DI ERA MEA (KETERAMPILAN KONSELING)
Oleh Herman Nirwana Email:
[email protected]. Abstrak Para pemimpin Negara Asean telah bersepakat membentuk pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara sejak akhir tahun 2015 yang lalu yang disebut Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Pasar tunggal tersebut tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional, seperti dokter, pengacara, konselor, dan lain sebagainya. Banyaknya individu yang tidak bisa menyesuaikan diri pada era MEA, dan globalisasi, membuka peluang bagi konselor untuk bekerja di berbagai setting. Kompetensi profesional yang perlu dikuasai oleh konselor pada era tersebut adalah keterampilan dalam melaksanakan konseling multi/lintas budaya. Kata kunci: Keterampilan, konseling lintas budaya LATAR BELAKANG Dua kekuatan besar yang mendorong terjadinya perubahan dalam kehidupan masyarakat adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya perkembangan teknologi informasi, dan globalisasi. Dua kekuatan tersebut juga tampak berperan di dalam perubahan sosial masyarakat Indonesia, dan perubahan tersebut tentunya mempengaruhi kehidupan masyarakat (Tilaar, 2002). Di samping itu, dengan berlakunya pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara sejak akhir tahun 2015 yang lalu, yaitu Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), memungkinkan suatu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara. MEA tidak hanya membuka arus perdagangan atau jasa, tetapi juga pasar tenaga profesional, seperti: dokter, pengacara, konselor, akuntan, dan profesi lainnya. Berbagai profesi tersebut boleh diisi oleh tenaga kerja dari negara Asean.Dengan demikian kompetensi sesama tenaga kerja di Asia Tenggara semakin ketat. Pekerja Indonesia akan menghadapi persaingan dari pekerja-pekerja lain di Asia Tenggara.
---------------------------------------------------------------------------------------* Herman Nirwana adalah Dosen Jurusan Bimbingan dan Konseling FIP UNP * Disampaikan dalam Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling, Tanggal 17 Desember 2016 di FKIP Universitas Bengkulu (UNIB) 1
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Menghadapi tantangan dan permasalah kehidupan yang berat dan komplit tersebut, ada individu yang bisa menghadapinya secara baik, dan ada yang tidak berhasil atau gagal. Mereka ini cenderung mengalami masalah karena tidak bisa menyesuaikan diri bahkan menolak perubahan tersebut.
Bagi individu yang gagal agar mereka tetap survive diperlukan ahli
(konselor) untuk membantu mereka dalam mengatasi tantangan atau masalah yang mereka alami. Di samping itu, masalah-masalah yang dialami individu juga cenderung lebih komplit dari tahun ke tahun. Oleh sebab itu, perubahan sosial memberi peluang, kesempatan, dan lahan yang subur dan luas kepada konselor memberikan pelayanan konseling. Dalam kondisi demikian, tentunya para konselor juga dituntut untuk meningkatkan keprofesionalannya. Para konselor yang selalu meningkakan keprofesionalannya yang akan tetap eksis dalam dunia yang selalu berubah. Permasalahannya adalah kompetensi profesional apa yang diperlukan konselor dalam melaksanakan konseling?
Dalam makalah ini pembahasan difokuskan pada (1)
keterampilan dasar dalam konseling, dan (2) keterampilan dalam konseling lintas budaya. KETERAMPILAN DASAR DALAM KONSELING Profesi pada hakikatnya adalah suatu pernyataan/janji yang menyatakan bahwa seseorang itu mengabdikan dirinya pada suatu jabatan atau pelayanan karena ia terpanggil untuk menjabat pekerjaan tersebut. Isi sebuah profesi adalah pelayanan, yang dilandasi rasa cinta dan kasih sayang, melalui diterapkannya kompetensi yang tinggi, dan dilaksanakan dalam bentuk tindakan nyata (Prayitno, 2010). Full (dalam Prayitno, 2010) mengemukakan lima ciri suatu entitas pekerjaan disebut profesi, yaitu (1) bersifat intelektual, (2) dilaksanakan dengan kompetensi yang dipelajari, (3) memiliki fokus objek praktis spesifik tertentu, (4) dilaksanakan dengan motivasi altruistik, dan (5) berbagai aspeknya dikembangkan melalui media komunikasi dan organisasi profesi.Di samping itu, anggota suatu profesi harus: (1) memiliki bakat, minat, dan panggilan jiwa, (2) komitmen yang tinggi untuk meningkatkan kualitas layanan, (3) memiliki kualifikasi akademik, (4) memiliki kompetensi yang diperlukan, (5) mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan, (6) memiliki jaminan perlindungan hukum, dan (7) memiliki organisasi profesi. Konseling merupakan “sebuah profesi yang mulia dan altruistik. Pada umumnya profesi ini menarik bagi orang-orang yang peduli terhadap orang lain, ramah, bersahabat, dan sensitif” (Myrick, dalam Gladding, 2012:38). Dengan demikian kepribadian konselor adalah suatu hal yang sangat penting dalam konseling. Seorang konselor haruslah dewasa, ramah, dan bisa berempati. Mereka harus altruistik (peduli pada kepentingan orang lain) dan tidak mudah marah atau frustasi (Gladding, 2012). Tidak semua orang yang ingin menjadi konselor atau mendaftar ke program pendidikan konselor, harus masuk/diterima dalam bidang ini. Alasannya terkait 2
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
dengan motivasi di balik keinginan mereka untuk mengejar ini, dan ketidakcocokan kepribadian calon konselor dengan apa yang dituntut oleh profesi konseling. Singkatnya tidak semua orang bisa menjadi konselor. Hanya individu yang memiliki karakter kepribadian tertentu yang bisa menjadi konselor. Kepribadian seorang konselor sangat krusial dalam membina hubungan konseling dan menciptakan perubahan pada diri klien, dibandingkan dengan kemampuan mereka dalam menguasai pengetahuan, keahlian, atau teknik (McAuliffe & Lovell; Rogers, dalam Gladding, 2012). Foster dan Guy (dalam Gladding, 2012) mengemukakan delapan ciri kepribadian konselor yang baik, yaitu: (1) memiliki keingintahuan dan kepedulian yang tinggi, (2) memiliki kemampuan mendengarkan yang baik, (3) dapat menikmati pembicaraan yang berlangsung, (4) empati dan pengertian yang bagus, (5) mampu mengendalikan emosi, (6) dapat mengintropeksi diri, (7) mampu mendahulukan kepentingan orang lain dibandingkan kepentingan pribadi, dan (8) dapat mempertahankan kedekatan emosional. Keterampilan dasar konseling yang harus dimiliki oleh konselor sangatlah bervariasi sesuai dengan pendekatan atau teori konseling itu sendiri. Semua teknik tersebut tentulah tidak mungkin untuk membahasnya satu persatu. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini keterampilan konseling yang dibahas adalah keterampilan umum, yaitu yang digunakan dalam setiap sesi konseling. Beberapa keterampilan konseling tersebut adalah: (1) keterampilan menerima klien secara positif, (2) sikap duduk, (3) keterampilan mendengarkan, memahami, dan merespon secara positif, dan (4) keterampilan komunikasi. Keterampilan pertama adalah menerima klien secara positif. Rogers (dalam Flanagan & Flanagan, 2004) menyebutnya dengan istilah “unconditional positive regard”. Penerimaan klien secara positif dan tanpa pamrih juga dikenal sebagai penerimaan konselor yang penuh kasih sayang dan tulus bagi klien sebagai seorang manusia (Rogers, dalam Gladding, 2012). Kesediaan klien untuk mengungkapkan masalahnya kepada konselor ditentukan oleh seberapa baik konselor bisa menerima klien sebagaimana adanya secara positif. Konselor yang dapat menerima klien secara positif, dengan sikap ramah, hangat dan penuh perhatian cenderung memberikan dampak positif kepada klien. Klien cenderung merasa bahwa dia benar-benar diterima, dipahami, diperhatikan, dan merasa bahwa konselor benar-benar siap membentunya. Pemahaman konselor hendaknya sampai pada tahap empati, mengingat empati merupakan kondisi utama untuk pengembangan konseling yang efektif (Chung & Bemak, 2002). Penggunaan keterampilan menerima klien secara positif akan mempengaruhi hubungan konseling selanjutnya. Penerimaan positif dan penuh penghargaan cenderung menghasilkan perasaan diterima, dihargai, dan perasaan betah pada diri klien. Klien yang merasa diterima 3
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
sebagaimana adanya akan mau mengikuti proses konseling secara sukarela dan sungguhsungguh. Hal ini tentunya akan membantu mempercepat tercapainya tujuan konseling yang diharapkan.
Penerimaan
terhadap
klien
berkaitan
dengan
pemahaman
dan
sangat
mempengaruhi hubungan antar manusia, yaitu hubungan konselor dengan klien. Keterampilan kedua, adalah sikap duduk. Sikap duduk konselor merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi suasana konseling. Konselor yang duduk dengan seenaknya akan memberikan kesan santai, dan kondisi seperti ini cenderung dimaknai oleh klien bahwa konselor kurang serius dalam menghadapinya. Sikap duduk konselor yang terlalu tegap juga akan memberikan kesan tertentu pada klien, di mana klien merasa bahwa dirinya sedang berhadapan dengan orang yang mengadili atau menginterogasinya. Kondisi seperti ini cenderung membuat klien takut dan ragu-ragu untuk mengemukakan masalahnya pada konselor. Posisi duduk yang semestinya adalah konselor berhadapan dengan konselor. Bila konselor duduk di kursi yang mempunyai sandaran, maka konselor hendaknya tidak tidak duduk bersandar, tetapi duduk secara rileks dan sidikit miring ke depan. Konselor duduk dengan sikap yang menunjukkan penerimaan dan keseriusannya dalam mengikuti dan membahas permasalahan klien, sehingga konselor terlihat dengan sikap yang penuh kesungguhan dan ketulusan untuk membantu klien.
Sikap duduk konselor yang diharapkan dalam konseling
adalah dengan sedikit membungkuk ke depan, duduk tidak bersandar, tangan diletakkan di atas paha, dan kedua kaki harus ke bawah. Sikap duduk seperti itu akan memberi kesan bahwa konselor memiliki perhatian yang sungguh-sungguh terhadap klien, dan benar-benar siap untuk memberikan pelayanan konseling. Walaupun sikap duduk yang diharapkan adalah seperti yang dikemukakan di atas, namun perlu disadari bahwa sikap duduk yang demikian tidaklah kaku. Selama proses konseling, konselor dapat saja menggerak-gerakan tangannya untuk memberikan respon terhadap isi pembicaraan klien, baik untuk tujuan memberi penguatan maupun untuk mempertegas isi pembicaraan. Sikap duduk yang baik jika memberikan kesan positif pada klien, di samping konselor juga lebih bebas untuk memberikan respon yang bersifat non-verbal. Keterampilan dasar ketiga adalah keterampilan mendengar, memahami, dan merespon secara positif. Dalam setiap diri individu, ada keinginan untuk didengarkan oleh orang lain tentang apa yang dikemukakannya. Seorang isteri ingin didengar omongannya oleh suaminya, begitu juga sebaliknya. Seorang guru ingin didengar oleh anak didiknya tentang apa yang dijelaskannya. Begitu juga seorang anak ingin didengar omogannya oleh orangtuanya. Ketidakterpenuhinya keinginan untuk didengar tersebut cenderung mendatangkan kekecewaan pada diri individu yang sedang mengemukakan sesuatu. 4
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Begitu juga halnya dalam konseling, seorang klien ingin didengar oleh konselornya tentang apa yang dirasakan dan disampaikannya dalam konseling. Tidak jarang ditemui, seorang klien merasa lega setelah ia mengungkapkan masalah secara bebas dan terbuka kepada konselor, meskipun konselornya belum membahas bersama klien solusi dari masalah yang dikemukakannya tersebut. Oleh sebab itu, seorang konselor perlu berlatih menjadi pendengar yang baik terhadap apa yang dikemukakan klien secara verbal, maupun “mendengarkan” apa yang dikemukakan klien melalui bahasa non-verbal (bahasa tubuh). Semua yang dikemukakan klien dalam konseling (baik melalui bahasa verbal dan nonverbal) harus dipahami konselor secara tepat, dan pemahaman tersebut sampai pada tahap empati. Dalam proses konseling, empati adalah “kemampuan konselor untuk menyatu dengan klien dan memantulkan pemahamannya kembali kepada klien” (Gladding, 2012:246). Pemahaman yang tepat dari konselor cenderung mendorong klien untuk mengungkapkan permasalahannya secara lebih rinci dan lebih dalam lagi kepada konselornya. Apa pun yang dikemukakan klien dalam konseling harus direspon secara positif oleh konselor. Oleh sebab itu, seorang konselor (termasuk semua individu) harus belajar melihat aspek yang positif dari semua yang kita lihat, kemudian menyampaikan respon positif terhadap apa yang dilihat itu. “Lihatlah aspek positif dari aspek negatif sekalipun” (begitu kata salah seorang guru saya). Adanya respon yang positif dari konselor dalam konseling cenderung menimbulkan rasa senang pada diri klien, karena ia merasa dihargai. Semuanya itu akan mendorong klien menceritakan masalah lebih lanjut. Keterampilan dasar terakhir adalah keterampilan komunikasi.Komunikasi merupakan dasar bagai segala bentuk interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari, misalnya interaksi antara orangtua dan anak di rumah, pedagang dan pembeli di pasar, guru dan murid di kelas, dan konselor dan klien dalam konseling. Singkatnya, komunikasi merupakan salah satu aspek yang dibutuhkan dalam kehidupan, terutama kebutuhan dalam berinteraksi. Penciptaan suasana konseling lebih banyak ditentukan oleh sikap dan keterampilan komunikasi konselor, misalnya ketika konselor mengomunikasikan pemahamannya secara hangat dan sungguh-sungguh kepada klien tentang apa yang diekspresikan klien. Dalam penggunaan kata-kata, konselor dituntut menggunakannya secara positif. Hal ini berarti bahwa konselor harus mampu menyatakan pemahamannya terhadap hal-hal yang diungkapkan klien. Cara konselor menyatakan pemahamannya harus bijaksana agar tidak menimbulkan sikap defensif pada diri klien. Oleh sebab itu, keterampilan komunikasi merupakan kecakapan dasar yang penting dikuasai konselor agar konseling yang dilaksanakannya berjalan secara efektif.
5
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Adanya perkembangan teknologi informasi yang pesat dan pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara (MEA) juga berdampak pada perubahan proses pembelajaran di kelas bagi mahasiswa calon konselor. Dalam proses pembelajaran di kelas perlu dikembangkan keterampilan mengelola informasi. Hal ini didasarkan tersedianya banyak sumber belajar (informasi) di dunia maya yang bisa dijadikan referensi dalam belajar. Ada enam langkah dalam pembelajaran yang mengembangkan keterampilan ini, yaitu: (1) menentukan topik, (2) menentukan sumber dan menemukan informasi, (3) memilih informasi yang relefan, (4) mengolah informasi, (5) mengidentifikasi berbagai cara menyajikan atau menyampaikan informasi, dan (6) membuat laporan atau menyampaikan informasi. Dengan penerapan langkah-langkah tersebut guru/dosen bukanlah orang yang serba dan lebih tahu. Fungsi guru/dosen berubah dari orang yang serba tahu menjadi orang untuk menjadi teman bagi siswa/mahasiswa dalam belajar.Di samping itu, penguasaan bahasa asing (terutama Bahasa Inggris) sudah menjadi keharusan untuk dikuasai oleh mahasiswa calon konselor, sehingga setelah tamat nantinya mereka bisa memberikan layanan konseling kepada klien dari berbagai negara dengan menggunakan bahasa Inggris. KETERAMPILAN KONSELING LINTAS BUDAYA Keterampilan kedua yang harus ditingkatkan oleh konselor dalam dunia global dan MEA adalah kemampuan atau keterampilannya dalam konseling lintas budaya. Pedersen, Draguns, Lonner, & Trimble (2002) menyebutnya dengan istilah kesadaran multibudaya sebagai komptetensi generik untuk konseling. Pentingnya kemampuan ini dikuasai konselor karena berdasarkan temuan penelitian bahwa budaya sebagai faktor terpenting dalam membentuk dan mempengaruhi pikiran dan perilaku individu (Lonner dan Adamopoulos, dalam Berry, Poortinga, & Pandey, 1997; Kashima, 2000), terutama budaya subyektif (nilai dan norma yang ada dalam masyarakat) (Triandis, 1994). Singkatnya, budaya merupakan elemen penting dalam membentuk setiap aspek perilaku manusia (Lewin, dalam Alford, 2000). Adanya muatan budaya (terutama budaya subyektif) dalam konseling lebih dirasakan pada tahap pembuatan putusan. Pada tahap ini nilai-nilai yang dianut individu, keluarga, dan masyarakat harus dipertimbangkan untuk menghasilkan putusan yang bisa diterima oleh semua pihak. Tanpa mempertimbangkan nilai-nilai tersebut, misalnya nilai yang dianut oleh masyarakat, akan menimbulkan masalah baru pada diri klien, misalnya dikucilkan oleh masyarakat. Tujuan konseling pada konseling lintas budaya adalah membuat putusan yang diterima secara budaya. Konseling lintas budaya merupakan pemahaman yang komprehensif tidak hanya kelompok-kelompok minoritas (Asia Amerika, etnis kulit putih dan kulit hitam, Asia Amerika) 6
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
tetapi juga individu dengan ketidakmampuan pisik, orang dewasa, wanita, gay, lesbian, veteran perang, dan individu dengan kebutuhan khusus (Corey, 2012). Lebih lanjut Corey menjelaskan konseling lintas-budaya meliputi sikap dan strategi mengolah pemahaman dan apresiasi tentang keberagaman, seperti budaya, suku, ras, jender, bahasa, agama, dan usia. Untuk itu, di samping memahami nilai-nilai yang dianutnya, konselor juga harus memahami nilai-nilai dan norma yang dianut oleh klien dari berbagai budaya. Dalam konseling lintas budaya, di mana adanya perbedaan budaya antara konselor dan klien, konselor harus mengarahkan klien untuk membuat putusan yang sesuai dengan budaya klien (Pedersen, dalam Berry, Segall, dan Kagitçibasi, 1997); dan konselor tidak boleh memaksakan nilai-nilai yang dimiliki/dianutnya untuk menjadi dasar dalam membuat putusan. Untuk itu, konselor seharusnya memahami budaya klien secara komprehensif. Dengan demikian akan memudahkan konselor dalam membantu klien membuat putusan untuk mengatasi masalah yang dialaminya. Untuk itu, konselor dituntut untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuannya dalam konseling, terutama konseling lintas budaya, dengan memahami nilainilai dan norma-norma yang ada di setiap budaya. Konselor yang terampil dalam konseling lintas budaya harus menguasai tiga area utama, yaitu (1) kesadaran konselor pada nilai-nilai budayanya sendiri beserta bias-biasnya, (2) kesadaran konselor terhadap nilai-nilai budaya klien, dan (3) strategi yang cocok dengan budaya klien (Muhaeminah, dalam Latipun, Yustina, & Ilyas, 2015).Di samping itu, konselor yang terampil secara budaya harus menguasai tiga area, yaitu “awareness, knowledge, and skills” (Pedersen, dkk., 2002:9). Lebih lanjut Pedersen, dkk. (2002) menjelaskan areaawareness meliputi (1) kemampuan mengenal gaya komunikasi, (2) menyadari perbedaan budaya dan bahasa, (3) sensitif terhadap mitos dan streotype dalam budaya lain, (4) mengapresiasi tentang pentingnya pengajaran multi/lintas budaya, dan (5) kemampuan untuk mengenal hubungan di antara kelompok budaya. Area knowledge meliputi (1) pengetahuan tentang sejarah budayanya sendiri dan budaya orang lain, (2) pengetahuan tentang peranan pendidikan, uang, nilai, sikap, dan prilaku individu dari budaya lain, (3) pengetahuan tentang bahasa dan budaya orang lain, dan (4) pemahaman tentang bagaimana budayanya dipersepsi oleh individu dari budaya lain; dan area skills meliputi keterampilan (1) menggunakan teknik-teknik pembelajaran tentang budaya lain, (2) penerimaan yang empati dengan orang dari budaya lain, dan (3) mengembangkan ide-ide baru dalam kontek budaya lain. Berdasarkan pendapat di atas adanya kebijakan pasar tunggal yang berlaku di kawasan Asia Tenggara (MEA) sejak Desember tahun 2015 yang lalu, tentunya akan terbukanya 7
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
lapangan kerja sehingga meningkatkan mobilitas penduduk, termasuk para profesional, di kawasan Asean. Dengan demikian untuk tetap eksis para konselor dituntut untuk meningkatkanawareness, knowledge, and skills-nya dalam melaksanakan konseling multi/lintas budaya. PENUTUP Dalam kehidupan yang sedang, dan akan selalu berubah, keberadaan konselor yang profesional semakin sangat diperlukan/dibutuhkan, karena banyaknya individu yang mengalami masalah karena tidak bisa menyesuaikan diri dengan perubahan itu. Di samping itu, sebagai anggota profesi, para konselor juga dituntut untuk selalu meningkatkan keprofesionalannya dengan selalu belajar.Perkembangan teknologi informasi menyediakan referensi yang banyak sebagai sumber belajar. Oleh sebab itu, keterampilan yang perlu dikembangkan pada anak didik (mahasiswa) kita adalah keterampilan mengelola informasi, sehingga fungsi guru/dosen sebagai satu-satunya sumber belajar, berubah menjadi teman untuk berdiskusi. Adanya globalisasi dan era MEA membuka peluang bagi konselor untuk bekerja di negara Asean yang berbeda bahasa dan budayanya. Untuk itu, konselor dan para calon konselor diharuskan untuk menguasai bahasa Inggris dan menguasai keterampilan dalam melaksanakan konseling multi/lintas budaya.
DAFTAR PUSTAKA Alford, S.M. 2000. “A Qualitative study of the college social adjusment of black students from lower sosioeconomic communities”. Journal of Multicultural Counseling and Development. 28, 2-15. Berry, J.W.; Poortinga, Y.H., dan Pandey, J. (Eds.). 1997. Handbook of Cross-Cultural Psychology. Volume 1: Theory and metohod. Needham Heights, MA: Allyn & Bacon. Berry, J.W.; Segall, M.H.; dan Kagitçibasi, C. (Eds.). 1997. Handbook of Cross-Cultural Psychology. Volume 3: Social behavior and applications. Needham Heights, MA: Allyn & Bacon. Chung, R.C. & Bemak, F. 2002. The relationship of Culture and Empathy in Cross-Cultural Counseling. Journal of Counseling & Development. 80, 154-159. Corey, G. 2012. Theory & Practice of Group Counseling. Belmont, CA: Brooks/ Cole. Flanagan, J.S. & Flanagan, R.S. 2004. Counseling and Psychoterapy Theories in Context and Practice: Skills, strategies, and techniques. Hoboken, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Gladding, S.T. 2012. Konseling: Profesi yang menyeluruh. Alihbahasa oleh P.M. Winarno dan Lilian Yuwono. Jakarta: PT. INDEKS. Kashima, Y. 2000. Conceptions of Culture and Person for Psychology. Journal of Cross Cultural Psychology. 31. 14-32
8
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Latipun, Yustina, Y.R., & Ilyas, A. 2015. Prosiding Seminar Nasional Bimbingan Konseling. Malang, Desember 2015. McLeod, J. 2003. Pengantar Konseling: Teori dan studi kasus. Alihbahasa oleh A.K. Anwar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Pedersen, P.B.; Draguns, J.G.; Lonner, W.J.; &Trimble, J.E. 2002. Counseling Across Cultures. Thousand Oaks, California: Sage Publication, Inc. Prayitno (Ed.). 2010. Bimbingan Konseling di Lembaga Pendidikan: Peluang dan tantangan. Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau. Tilaar, H.A.R. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar pedagogik transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo. Triandis, H.C. 1994. Culture and Social Behavior. New York: McGraw-Hill, Inc.
9
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
PELAYANAN KONSELING DIPERLUAS (Konseling Spiritual) Dr. Hadiwinarto, M.Psi E-mail:
[email protected] Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bengkulu
ABSTRACT Every human being has strengths and weaknesses. The elements of the human body consists of water, wind, fire and earth, all of which also exist in the universe. Humans also have creativity, taste, and imagination (trisakti). The inability of humans to alleviate the problem may be caused by an inability to cultivate creativity, taste, and imagination harmoniously and effectively. When a person is not able to alleviate the problem itself, it needs the help of others. The purpose of counseling is to help a person alleviate the problem so as to achieve our daily lives are effective. The Implementation of Curriculum 2013 guidance and counseling services provide opportunities to organize expanded services with a range of school personnel, parents and community. The existence of cases in the community that reflects komoleksnya problems experienced in the world of education, this article offers an alternative spiritual counseling services as one of the approaches in implementing the expanded service. The concept of alternative therapies include: self-spiritual therapy, auto-spiritual therapy, spiritual therapy and nature-fell-therapy. Spiritual counseling focus is on the process of taking the power of creativity, taste and works by utilizing physical energy and psikhis in oneself to achieve a daily life that is effective. Keywords:Service expanded, trisakti and spiritual therapy. PENDAHULUAN Pembukaan
Undang-Undang
Dasar
Negara
RI
tahun
1945
alinia
keempat
mengamanatkan tujuan penyelenggaraan pemerintah yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Undang-Undang No. 20 tahun 2003 mengamanatkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dinyatakan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Pasal 37: Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: pendidikan agama; pendidikan kewarganegaraan; bahasa; matematika; ilmu pengetahuan alam; ilmu pengetahuan sosial; seni dan budaya; pendidikan jasmani dan olahraga; keterampilan/kejuruan; dan muatan lokal. Sejalan dengan arahan undang-undang tersebut, telah pula ditetapkan visi pendidikan tahun 2025 yaitu menciptakan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif. Pengertian cerdas 10
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
disini adalah cerdas komprehensif, yaitu cerdas spiritual dan cerdas sosial/emosional dalam ranah sikap, cerdas intelektual dalam ranah pengetahuan, dan cerdas kinestetis dalam ranah keterampilan. Salah satu karakteristik Kurikulum 2013 adanya keseimbangan antara sikap, keterampilan, dan pengetahuan untuk membangun soft skills dan hard skills peserta didik. Implementasi tujuh tugas pokok guru yang tertuang dalam UU No. 14 tahun 2015 tentang Guru dan Dosen adalah menseimbangkan antara sikap, pengetahuan dan keterampilan untuk membangun soft skills dan hard skills peserta didik. Makna keseimbangan harus diberlakukan pada setiap jenjang pendidikan, bukan antar jenjang pendidikan seperti yang dimaksudkan oleh Bruner (1960) bahwa pada jenjang sekolah dasar ranah attitude harus lebih banyak atau lebih dominan diajarkan dan atau dicontohkan pada anak, kemudian diikuti ranah skill, dan ranah knowledge, sebaliknya pada jenjang pendidikan tinggi ranah knowledge lebih dominan diajarkan dibandingkan ranah skills dan attitude. Mengapa demikian? Karena fenomena yang ada, baik dalam masyarakat maupun dalam lembaga pendidikan, lemahnya pemilikan sikap positif terjadi pada semua jenjang pendidikan. Ranah sikap pada jenjang pendidikan dasar lebih pada pengajaran, penanaman nilai dan pemberian tauladan, sedangkan pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi lebih pada implementasi dan pengembangan. Tugas ini menjadi sangat berat bagi guru mata pelajaran yang selalu dikejar oleh target kelulusan yang berorientasi pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan sains. Oleh sebab itu diperlukan layanan pendidikan yang konprehensif dan mendukung pencapaian keseimbangan dan terangkum dalam layanan bimbingan dan konseling di sekolah, maka playanan diperluas menjadi sangat penting. Makna diperluas bukan saja pada sasaran (siswa, personalia sekolah, orangtua siswa dan mayarakat), akan tetapi mencakup konten dari layanan. Memperhatikan fenomena yang terjadi seperti yang dijelaskan di atas, maka konseling diperluas dengan konten konseling spiritual menjadi sangat penting pada semua jenjang pendidikan. Makalah ini akan membahas secara umum sebagai pembuka wawasan para pemangku kementingan mengenai konseling diperluas dengan konten konseling spiritual guna mewujudkan manusia susial atau makhluk yang berbudi dan beradap. PEMBAHASAN 1. Prinsip Dasar Ki Hadjar Dewantara dalam pendidikan Sejalan dengan tujuan pendidikan nasional adalah ajaran tokoh pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara (1962) yang mengemukakan bahwa untuk mewujudkan manusia susila atau makhluk yang berbudi dan beradab, mutlak membutuhkan tiga kesaktian atau kekuatan yang dikenal dengan istilah trisakti, yakni: kekuatan cipta, kekuatan rasa dan kekuatan karsa. Daya cipta adalah daya berpikir yang bertugas mencari kebenaran sesuatu; daya rasa adalah segala 11
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
gerak-gerik hati kita yang menyebabkan kita mau atau tidak mau, merasa senang atau susah, sedih atau gembira, malu atau bangga, puas atau kecewa, berani atau takut, marah atau belas kasihan, benci atau cinta; sedangkan daya karsa atau kemauan selalu timbul disamping dan seakan-akan sebagai hasil buah pikiran dan rasa. Pada hakikatnya kemauan itu merupakan kelanjutan dari hawa nafsu kodrati yang ada di dalam jiwa manusia, namun sudah dipertimbangkan oleh pikiran serta diperhalus oleh perasaan. Persoalannya adalah mampukah para pendidikan termasuk Konselor Sekolah melaksanakan ajaran tersebut sebagaimana diamanatkan oleh Kurikulum 2013. 2. Kompetensi Konselor Sosok utuh kompetensi konselor terangkum dalam unjuk kerja bimbingan dan konseling yang memandirikan mencakup empat dimensi, yakni: a. Dimensi konseli: memahami secara mendalam konseli yang hendak dilayani: 1) Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas, kebebasan memilih dan mengedepankan kemaslahatan konseli dalam konteks kemaslahatan umum 2) Mengaplikasikan perkembangan fisiologis dan psikologis serta perilaku konseli dalam bingkai budaya Indonesia, dalam konteks kehidupan global yang beradab b. Dimensi program: menyelenggarakan bimbingan dan konseling yang memandirikan: 1) Menguasai konsep dan praksis asesmen untuk memahami kondisi, kebutuhan, dan masalah konseli. 2) Merancang program bimbingan dan konseling. 3) Mengimplementasikan program bimbingan dan konseling yang komprehensif. 4) Menilai proses dan hasil kegiatan bimbingan dan konseling. 5) Memanfaatkan hasil penilaian terhadap proses dan hasil kegiatan bimbingan dan konseling c. Dimensi kompetensi: menguasai landasan teoretik bimbingan dan konseling: 1) Menguasai teori dan praksis pendidikan. 2) Menguasai kerangka teoretik dan praksis bimbingan dan konseling. 3) Menguasai esensi pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur, jenis dan jenjang satuan pendidikan. 4) Menguasai konsep dan praksis penelitian dalam bimbingan dan konseling 12
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
d. Dimensi pribadi: mengembangkan pribadi dan profesionalitas secara berkelanjutan: 1) Berimandan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa 2) Menunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat. 3) Memiliki kesadaran dan komitmen terhadap etika profesional. 4) Mengimplementasikan kolaborasi intern di tempat bekerja. 5) Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konselingf. 6) Mengimplementasikan kolaborasi antar profesi 3. Pelayanan Diperluas di sekolah: suatu keharusan Layanan bimbingan dan konseling pada setting sekolah diawali dari lahirnya Kurikulum 1975 untuk SMA yang didalamnya memuat Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan, yang berupa Pola Dasar. Sesuai dengan Pola Dasar tersebut memuat pedoman operasional pelayanan bimbingan dan konseling kepada murid, kepada guru, kepada kepala sekolah dan kepada orang tua murid/masyarakat. Melalui SK Mendikbud No 025/1995 istilah Bimbingan dan Penyuluhan diganti menjadi Bimbingan dan Konseling di sekolah dengan melaksanakan pola layanan BK di sekolah dikemas “BK Pola 17”. Selanjutnya lahir pola layanan BK Pola 17 Plus dan BK konprehensif. Sejalan dengan lahirnya Kurikulum 2013 pola layanan bimbingan dan konseling diarahkan pada pelayanan dasar, pelayanan pengembangan, pelayanan teraputik, pelayanan arah peminatan/lintas minat/ pendalaman minat studi siswa. Pelayanan teraputik untuk menangani pemasalahan yang diakibatkan oleh gangguan terhadap pelayanan dasar, pelayanan pengembangan dan pelayanan peminatan. Permasalahan tersebut dapat terkait dengan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kehidupan keluarga, kegiatan belajar, karir. Pelayanan diperluas dengan sasaran di luar diri siswa, seperti personil pendidikan, orang tua, dan warga masyarakat lainnya yang terkait dengan kehidupan dan penyelenggaraan pendidikan. Pelayanan diperluas ini dapat terkait secara langsung ataupun tidak langsung dengan kegiatan pelayanan dasar, pengembangan peminatan, dan pelayanan teraputik. Adanya berbagai kasus dalam bidang pendidikan, seperti: perkelahian antar pelajar, kekerasan guru terhadap siswa atau sebaliknya, kekerasan terhadap anak dan perempuan, pemerkosaan dari dan oleh siswa, nampaknya pelayanan diperluas juga patut mendapatkan perhatian dan dilaksanakan, meskipun bersifat kasuistik. Pada hasus-kasus tersebut mencerminkan mereka yang terlibat memerlukan layanan konseling, karena kekuatan pikir, rasa dan karsa sudah mengalami gangguan. Mereka hatinya terkunci sehingga sudah tidak memiliki rasa malu mau berbuat salah justru merasa senang, tidak merasa sedih bahkan merasa 13
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
bangga, tidak meresa kecewa justru merasa puas, tidak takut sanksi justru berani melawan sanksi, tidak merasa belas kasihan justru senang melihat orang lain menderita. Kekuatan berpikir tidak lagi digunakan untuk berpikir mencari kebenaran. Terkait dengan tugas pokok guru untuk merealisasi tujuan pendidikan, yakni: menseimbangkan antara sikap, pengetahuan, keterampilan untuk membangun soft skills dan hard skills, maka pelayanan perluasan dengan focus pengolahan daya cipta, rasa dan karsa menjadi sangat penting dilakukan. Pelayanan perluasan yang dimaksud disini tidak saja kepada siswa, tetapi juga pihak-pihak yang terlibat dengan penyelenggaraan pendidikan, seperti: personil sekolah, wali murid/orang tua murid, dan masyarakat sekitar. Oleh sebab itu, tugas Guru BK/Konselor Sekolah menjadi sangat luas. Kondisi ini harus diserta kebijakan pemerintah tentang pengadaan guru BK, penguatan kompetensi guru BK, dan didukung oleh kebijakan local sekolah yang selama ini kurang responsive terhadap keberadaan guru BK. 4. Konseling mengolah daya cipta-rasa-karsa Salah satu karakteristik Kurikulum 2013 adalah keseimbangan antara sikap, keterampilan, dan pengetahuan untuk membangun soft skills dan hard skills Secara ekstrim eksistensi manusia dikategorikan menjadi dua bagian, yakni: eksistensi non fisik dan eksistensi fisik. Secara non fisik sebagaimana dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara, manusia memiliki daya pikir, daya cipta, rasa dan karsa. Secara fisik ada empat daya utama dalam tubuh manusia, yakni: daya angin, daya air, daya api dan daya tanah. Manusia sering tidak menyadari dan tidak memaksimalkan kekuatan dalam dirinya tersebut, padahal jika mampu memaksimalkan maka itu menjadi tenaga dalam yang luar biasa. 5. Interaksi antara cipta-rasa-karsa. Daya cipta adalah daya berpikir yang bertugas mencari kebenaran sesuatu. Kebenaran sesuatu yang dimaksudkan dalam pendidikan karakter adalah kebenaran dalam bingkai budaya Indonesia, pada lingkup yang lebih kecil adalah bingkai budaya local. Sebagai contoh bahwa kebenaran dalam bertutur kata pada budaya local Bengkulu berbeda dengan kebenaran bertutur kata pada budaya Jawa. Kebenaran dalam bingkai budaya Indonesia adalah kebenaran menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan falsafat Pancasila. Karena dasar dan falsafah Negara Indonesia adalah juga product budaya. Sebagai ilustrasi; pada proses pengambilan keputusan lebih mengutamakan musyawarah daripada voting. Karena pengambilan keputusan dari product musyarawah telah mengandung kekuatan rasa para peserta musyawarah. Product daya cipta harus berada dalam rasa. Misalnya, saya mempunyai rasa memiliki negeri ini, saya mempunyai rasa memelihara negeri ini. Maka ketika rasa-rasa tersebut hilang, terjadilah pertentangan, bahkan tindak anarkhis yang justru membuktikan 14
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
bahwa seseorang itu tidak mempunyai rasa memiliki. Jika masing-masing merasa benar, menganggap benar menurut pikirannya masing-masing, maka sesungguhnya mereka tidak mempunyai rasa memiliki atas negeri ini. Proses konseling adalah membantu individu melakukan proses pengolahan rasa menggunakan kekuatan berpikir sehingga klien berkemauan untuk memperbaiki atau mengubah perilakunya secara nyaman dalam bingkai budaya Indonesia dan konteks kehidupan local. Tujuan pengolahan daya cipta, rasa dan karsa untuk: mau mengentaskan masalahnya, senang terbebas dari masalah, gembira punya masa depan baik, malu berbuat salah lagi, puas hatinya lega, berani mengambil resiko, cinta sesama makhluk, dan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap kebenaran atau sesuatu yang baik. Proses konseling diarahkan pada keseimbangan antara daya pikir, daya rasa dan daya karsa. Implemtasi ajaran Ki Hadjar Dewantara dalam praktik konseling adalah bagaimana klien mengolah daya cipta dan daya rasa secara seimbang dalam bingkai budaya Indonesia sehingga berkarsa (berkemuan) berperilaku yang beradab atas masalah dan atau kesulitannya hingga terjadi pengentasan masalah. Ada beberapa konsep terapi yang dapat dilakukan dalam konteks ini, yakni: a. Self-therapy spiritual. Harmoni interaksi antar daya cipta, rasa menghasilkan karsa yang implementasinya didukung oleh kekuatan fisik yang harmonis, selanjutnya tercipta kondisi diri bebas masalah dengan dirinya sendiri, yang berarti seseorang itu telah mencapai kondisi nyaman dan menyenangkan. Proses ini disebut self-therapy. Pertanyaannya adalah: bagaimana cara mengolah, mengendalikan dan memanfaatkan semua daya secara efektif. Dengan berprinsip pada pandangan bahwa setiap manusia mempunyai keunggulan dan kelemahan masing-masing, maka tidak setiap manusia mampu melaksanakan secara efektif dalam kehidupan sehari-hari. Self-therapy menggunakan pendekatan clien-centre therapy yang dikenal salama ini. Perbedaanya pada proses pengolahan daya cipta dan rasa, dimana pada self-therapy, klien dituntut malukan latihan-latihan tertentu dengan memanfaatkan kekuatan-kekuatan fisik yang terkandung dalam dirinya, yakni: kekuatan air, api, angin dan tanah. b. Auto-therapy spiritual. Ketika seseorang tidak mampu mencapai harmoni interaksi antara daya cipta dan rasa secara efektif sehingga memiliki keraguan dalam karsa, konflik antara cipta-rasa dan karsa, maka perlu bantuan orang lain (ahli spiritual). Fungsi orang lain ini adalah memfasilitasi seseorang mengharmonikan interaksi daya cipta dan rasa agar tidak memiliki keraguan karsa. Pendekatan terapi yang digunakan tetap menggunakan pendekatan clien-centre therapy. Ahli spiritual tidak melakukan kegiatan penyembuhan sebagaimana 15
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
yang dilakukan oleh mereka dalam menyembuhkan pasiennya, tetapi melatih
klien
melakukan olah cipta dan olah rasa dalam berbagai aktivitas. c. Nature therapy spiritual. Alam (yang bukan manusia) tidak akan mampu mengentaskan masalah yang dihadapi manusia, kecuali manusia itu yang mampu mengolah, mengendalikan dan memanfaatkan kekuatan alam. Dasar pemikiran yang digunakan adalah bahwa semua unsur fisik yang ada dalam diri manusia juga ada di alam semesta, yakni: air, api, angin dan tanah. Dalam mengolah rasa diri sendiri, maka eksistensi orang lain adalah eksistensi alam. Jadi, ada dua kekuatan yang ada di luar diri pribadi seseorang, yakni: orang lain dan alam. Fakta menunjukkan bahwa diri pribadi sering mempunyai masalah dengan diri orang lain dan atau juga mempunyai masalah dengan alam. Dengan berprinsip pada pandangan bahwa setiap manusia (diri pribadi dan diri orang lain) mempunyai keunggulan dan kelemahan masing-masing, self-therapy spiritual alam dapat digunakan untuk pengentasan masalahnya sendiri. Sebagai ilustrasi, pawang hujan dengan kekuatannya mampu mengalihkan kekuatan alam (air dalam bentuk hujan) ke lokasi lain karena diminta bantuan oleh seseorang yang sedang punya hajat dan mempunyai kemauan agar tidak hujan. Kasus kebakaran hutan, terjadi karena manusia menciptakan api (mungkin dari korek apinya: ciptaan manusia), mungkin dari letusan gunung berapi (kekuatan alam). Kedua ilustrasi tersebut memberi penjelasan bahwa manusia harus berinteraksi secara harmonis agar tidak terjadi kebakaran hutan (bencana karena ciptaan manusia dan bencana karena alam). Bagaimana mengolah daya cipta dan rasa selanjutnya melahirkan karsa yang positif kemudian digunakan untuk mengolah kekuatan alam sehingga tercipta harmoni diri dan alam, dan berakhir dengan tidak adanya masalah terkait dengan alam. Proses pengolahan kekuatan diri (non fisik dan fisik) untuk berinteraksi secara positif dengan kekuatan alam memerlukan latihan terbimbing agar manusia tidak ada masalah dengan alam. Proses ini dinamakan konseling spiritual. d. Terapi rasa (feeling therapy). Terapi rasa (feeling) tidak sama dengan manajemen diri yang lebih pada kemampuan mengurus dirinya sendiri. Saat ini seseorang berkarya tidak cukup dengan kecerdasan rasional yaitu seseorang yang bekerja dengan rumus dan logika kerja saja, atau dengan kecerdasan emosional (Goleman, 1996) agar merasa gembira, dapat bekerjasama dengan orang lain, punya motivasi kerja, bertanggungjawab dan life skill lainnya. Kemampuan untuk mengurus diri sendiri adalah kemampuan untuk mengurus wilayah diri yang paling bermasalah. Seseorang bermasalah pada umumnya terletak dalam wilayah rasa, seperti: merasa tidak mampu, merasa minder, merasa bersalah dan sejenisnya. Ketika seseorang tidak mampu menata rasa, maka diperlukan terapi rasa. Konseling terapi rasa menghasilkan klien: 16
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
1) memiliki rasa bersalah dan memiliki karsa memperbaiki diri karena memang bersalah, bukan mencari pembenaran agar dinilai tidak bersalah; 2) memiliki rasa tanggungjawab atas tugas dan kewjibannya, bukan menghindar dengan menggunakan berbagai alasan yang dirasionalkan; 3) memiliki rasa toleransi dan kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan, bukan karena merasa bahwa sesuatu itu sudah tanggungjawab masing-masing individu; 4) memiliki rasa rendah hati, bukan merasa dirinya yang paling benar dan menyombongkan diri; 5) memiliki rasa kebersamaan yang tinggi dalam melaksanakan tugas bersama, bukan kerja sendiri-sendiri dengan alasan karena sudah ada pembagian tugas; 6) memiliki rasa menghargai pendapat orang lain secara apa adanya, bukan menyalahkan pendapat orang lain dan merasa pendapatnya sendiri yang paling benar; 7) memiliki rasa kasihan ketika orang lain menderita, bukan justru merasa bangga dengan alasan yang dirasionalkan; 8) memiliki rasa integritas yang tinggi terhadap komunitas atau institusi dimana dirinya ada di dalamnya, bukan justru menyalahkan, mencemooh dan menjelek-jelekan institusi sendiri; 9) memiliki rasa puas ketika bisa membantu orang lain, bukan merasa menjadi pahlawan; 10) memiliki rasa saying dan cinta terhadap sesama makhluk, bukan membenci dengan alasan yang dirasionalkan; 11) memiliki rasa keterbatasan, bukan merasa serba bisa, serba mampu; 12) memiliki rasa bangga menjadi warga Negara Indonesia yang multi-cultur, multi-etnis dan keragaman yang lainnya; bukan merasa bangga kalau bisa berbeda dengan yang lainnya. 6. Interaksi manusia dengan alam Disadari atau tidak, kehidupan manusia dibantu oleh kekuatan alam. Manusia bernapas karena diluar dirinya ada angin, bisa minum karena diluar dirinya ada air, bisa marah (panas) karena diluar dirinya ada api, dan bisa berdiri karena ada daya tarik bumi atau ada tanah. Oleh sebab itu peliharalah secara baik apa yang ada diluar dirinya tersebut agar dapat dimanfaatkan secara baik.
Anasir-anasir tubuh manusia adalah air, angin, api, angin dan tanah, yang
semuanya ada di luar diri manusia. 17
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Anasir air berasal dari semua air yang diminum manusia. Nafsu yang terpancar dari anasir air adalah nafsu mutmainnah warna putih. Perwujudannya dalam badan wadhag juga berupa air yang membentuk badan dan sisanya dikeluarkan dari badan, seperti: keringat. Pancaran watak dari air menyebabkan manusia mempunyai sifat tentram, tenang, dan suka berfikir serta suka mempelajari hal-hal yang gaib. Adapun yang menjiwai anasir air adalah roh insani, sejenis roh manusia. Air sangat bermanfaat bagi manusia untuk menjaga kesehatan dan pengobatan namun air bisa juga mengakibatkan bencana yang tak terperikan. Banjir dahsyat di berbagai daerah jelas sekali menggambarkan kekuatan air yang mampu meluluhlantakan suatu wilayah beserta penduduknya dalam sekejap. Karena dahsyatnya kekuatan air, manusia pun selayaknya memiliki ahlak terhadap air. Banyaknya pencemaran air di Indonesia yang meliputi sungai, laut, dan air tanah jelas sekali memperlihatkan betapa rendahnya ahlak manusia Indonesia terhadap air. Bencana-bencana alam karena kekuatan air bukanlah takdir Tuhan semata, melainkan karena perbuatan manusia yang tidak berakhlak terhadap air, tidak mampu berinteraksi secara baik dengan air. Anasir angin berasal dari suasana udara. Manusia hidup tentunya bernafas dengan udara. Dari anasir udara terpancar nafsu supiah yang berwarna kuning. Di dalam diri manusia nafsu ini berkedudukan di hidung, dengan perwujudan nafas, sehingga manusia dapat membau segala sesuatu yang sedap dan tidak. Nafas juga menyebabkan manusia memiliki nafsu birahi. Apabila nafsu ini tak terkendali manusia akan menjadi layaknya hewan dan tak akan ada batas kepuasan. Roh yang menjiwai anasir ini adalah roh hewani, sejenis roh binatang, yang berkedudukan di mata, sebagai pancaindera penglihatan. Oleh sebab itu, penglihatan juga dapat memicu nafsu birahi sebagai perwujudan nafsu birahi. Pengolahan kekuatan Angin yang ada di luar diri manusia juga memiliki kekuatan yang dasyat. Keberadaan putting beliung mengambarkan betapa dasyatnya kekuatan angin. Pada sisi lain, angin juga sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, seperti: oksigen. Tanpa angin, manusia tidak bernapas. Ketika manusia melangkahkan kaki kearah barat, sesungguhnya karena terjadi interaksi yang baik antara angin yang ada di dalam dirinya dengan angin yang ada diluar dari penjuru timur. Akan tetapi, ketika angin yang datang dari barat dan sangat kuat (berarti arahnya berlawanan antara angin dalam diri dan dari luar diri) maka manusia tidak akan mampu melangkahkan kakinya. Namun demikian, bagi manusia yang memiliki kekuatan angin lebih kuat (ini hanya bagi orangorang yang berkemampuan), maka ia tetap akan mampu melangkahkan kaki kearah barat. Berarti orang itu memiliki kekuatan rasa dalam mengendalikan kekuatan angin. Arah angin berasal dari delapan penjuru dan berpusat dalam diri manusia itu sendiri yang disebut susuh angin. Kedelapan penjuru arah angin digambarkan sebagai berikut. Pertanyaannya, adakah manusia yang bermasalah dengan angin, adakah manusia merasa punya masalah dengan 18
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
angin. Jawabnya, ADA. Bagaimana mengatasinya? Jawabnya, melalui latihan mengolah rasa (self-therapy) atau konseling auto-therapy. Meditasi adalah salah satu cara mengelola angin. Sangat tidak dianjurkan kepada para nelayan pencari ikan di laut lepas yang menggunakan perahu layar melaut ketika musim badai, karena hal ini merupakan tindakan melawan angin. Berikutnya adalah anasir api yang berasal dari sinar matahari. Manusia tidak bisa hidup tanpa adanya matahari. Nafsu ini memiliki identifikasi warna merah. Perwujudannya dalam badan adalah darah yang memberi semangat gerak atau tenaga. Apabila nafsu amarah ini lepas tak terkendali secara berlebihan akan merefleksikan sifat-sifat mudah marah. Roh yang menjiwai anasir api adalah roh hewani. Ada anggapan bahwa nafsu amarah ini kedudukan di telinga. Oleh sebab itu, orang dapat mendengar dan dari mendengar (telinga) inilah sumber kemarahan atau emosi. Nafsu yang terpancar dari anasir ini adalah nafsu amarah. Sifat panas dalam diri manusia dapat terimplementasi pada sifat-sifat mudah marah, mudah tersinggung, semangat yang membara. Tanpa semangat yang membara, manusia akan lambat mencapai keinginan (kemauan). Sifat mudah marah dan mudah tersinggung merupakan salah satu sumber masalah pada diri manusia. Sifat ini memang diperlukan, tetapi tidak boleh berlebihan, maka perlu dikelola dalam kerangka rasa dan karsa. Di luar diri manusia juga ada api yang mempunyai kekuatan dasyat. Interaksi yang harmonis antara sifat unsur api dalam diri manusia dan yang ada di luar menjadi sangat penting untuk mencapai keseimbangan. Mengelola kekuatan sifat api dalam bingkai kekuatan luar hanya dapat dilakukan melalui latihan khusus di bawah bimbingan ahlinya. Latihan bagaimana mengelola dan mengendalikan sifat marah supaya menjadi kekuatan positif dalam konteks alam. Proses ini juga dikategorikan sebagai konseling spiritual, dengan klien siswa, personalia pendidikan, orangtua murid dan masyarakat. Terakhir adalah anasir tanah (bumi) dalam diri manusia dipercaya berasal dari tanamtanaman yang dimakan. Nafsu yang terpancar dari anasir ini adalah nafsu Luwamah yang diidentifikasikan berwarna hitam. Fungsi makan berguna dalam pertumbuhan badan. Apabila nafsu luwamah ini dimanjakan menyebabkan orang suka makan banyak. Roh yang menjiwai anasir ini adalah roh nabati (sejenis roh tanaman). Nafsu luwamah memiliki watak bisa berbicara, maka berkedudukan di mulut. KESIMPULAN Fenomena sosial yang berupa tindak kekerasan, penganiayaan, pelecehan dan perilaku lain yang masuk kategori tidak beradab, terjadi disekolah maupun diluar sekolah. Pelakunya bervariasi,
dari
semua
kelompok
usia
maupun
komunitas
pendidikan.
Itu
semua
mengindikasikan lemahnya pengolahan kekuatan cipta, rasa dan rasa. Maka perlu dilakukan pelayanan bimbingan diperluas baik kelompok sasaran maupun konten (cipta, rasa dan karsa) 19
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
agar terwujud manusia susial dan beradap. Akhirnya, makalah sebagai pembuka wawasan pentingnya pengolahan daya cipta, rasa dan karya dalam bingkai budaya Indonesia ini bermanfaat. Dengan pengelolaan daya cipta, rasa dan karsa dalam interaksi dengan yang harmonis, maka kehidupan sehari-hari menjadi efektif. DAFTAR PUSTAKA Bruner, J. S. (1960). The Process of education. Cambridge, Mass.: Harvard University Press Ciptoprawiro, A. 1986. Filsafat Jawa . Jakarta: Balai Pustaka. Goleman, D. (1996) Emotional intelligence, London: Bloomsbury Hadiwinarto. Hubungan antara budi pekerti dengan prestasi belajar siswa SMA. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Balitbang Depdiknas. Jakarta. Vol. 15. No. 6. November 2009. Hadiwinarto. Pendidikan Karakter mellui Program Bimbingan dan Konseling. Prosiding Makalah Seminar Nasional Bimbingan Konseling: Kerjasama Pengurus Daerah ABKIN Provinsi Bengkulu dengan Program Studi Bimbingan Konseling FKIP Universitas Bengkulu, di Bengkulu Tanggal 6 November 2013 Kemendikbud. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan. 2014. Modul 1 Diklat Implementasi Kurikulum 2013 untuk Guru Bimbingan dan Konseling (Konselor) SMP/MTs. Ki Hadjar Dewantara. 1962. Karya Ki Hadjar Dewantara. Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
20
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Bimbingan Karir di Era Globalisasi: Sebuah Antisipasi
Bambang Suwarno Dosen FKIP, Universitas Bengkulu Email:
[email protected] Bernadine L. Yanwar Mahasiswa Jurusan Bimbingan dan Konseling, FKIP, Universitas Bengkulu E-mail:
[email protected] Abstrak Globalisasi membawa perubahan pada berbagai aspek kehidupan, di antaranya lapangan kerja. Salah satu perubahan penting adalah tuntutan standar kerja yang meningkat dan berkurangnya kepastian lapangan kerja (job security). Di era globalisasi, diperlukan tenaga kerja yang berkeahlian tinggi dan memiliki berbagai kompetensi. Mengingat pekerjaan merupakan aspek kehidupan yang amat penting di masa depan, peserta didik perlu disiapkan untuk mengantisipasi era globalisasi. Persiapan yang perlu dilakukan menyangkut pengembangan seperangkat kompetensi, di antaranya keahlian par excellence serta kemampuan menghadapi perubahan. Para konselor perlu memahmi tantangan dan peluang era globalisasi serta menyiapkan peserta didik untuk mengantisipasinya. Kata kunci: bimbingan karir. globalisasi
Abstract Globalization brings about changes in various aspects of life, including employment. One important change is the increasing demands of work standard and reduced certainty of employment (job security). In the era of globalization, there is a need for skilled workforce with various competencies. Given that job is a very important aspect of life in the future, students need to be prepared to anticipate the era of globalization. Preparation needs to be done with respect to the development of a set of competencies, including par excellenceexpertise and the ability to deal with change. Counselors need to understand the challenges and opportunities of globalization and prepare students to anticipate them. Key words: career counselling, globalization
PENDAHULUAN Indonesia memasuki era globalisasi, dengan berlakunya AEC (ASEAN Economic Community, atau Masyarakat Ekonomi ASEAN) sejak tahun 2016. Menurut Pekerti (1998), globalisasi mengharuskan berbagai individu dan lembaga di suatu negara untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik dengan biaya yang sebanding atau lebih rendah daripada yang dihasilkan oleh individu atau lembaga di negara lain. Dengan kata lain, guna menghadapi era globalisasi, diperlukan peningkatan daya saing. Globalisasi mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Salah satu aspek kehidupan penting yang terimbas oleh globalisasi adalah peluang kerja, yang dipengaruhi oleh kemajuan 21
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
tekonologi dan perubahan struktur dunia kerja.Pekerjaan merupakan bagian kehidupan yang amat penting. Menurut Coutinho et al. (2004), pekerjaan memiliki berbagai makna, di antaranya sebagai sarana bertahan hidup, sarana hubungan sosial, dan sarana pemenuhan kepuasan diri. Peran terpenting pekerjaan adalah sebagai sarana bertahan hidup, karena pekerjaan memberikan penghasilan, yang memungkinkan seseorang untuk memenuhi hajat hidup, baik pangan, sandang, papan dan kebutuhan lain bagi dirinya dan orang-orang yang bergantung kepadanya. Pekerjaan juga memungkinkan hubungan dengan orang lain dan memberikan kepuasan diri serta harkat di masyarakat. Mengingat pentingnya pekerjaan bagi kehidupan peserta didik serta dampak globalisasi pada pekerjaan, konselor perlu memberikan bimbingan sejak dini agar peserta didik dapat mempersiapkan diri. Mengingat pengaruh gliobalisasi yang begitu dalam pada berbagai aspek kehidupan, termasuk lapangan kerja, perlu dilakukan refleksi sejauh mana penyesuaian diperlukan agar bimbingan karir dapat berperan secara efektif dalam mengarahkan peserta didik. Untuk itu, perlu dikaji beberapa aspek berikut, yaitu (1) hakekat globalisasi, (2) hubungan antara lapangan kerja dan era globalisasi, dan (3) bagaimana konselor dapat melakukan bimbingan karir yang efektif di era globalisasi. PEMBAHASAN 1. Hakekat globalisasi Menurut Rothenberg (2003), globalisasi merupakan proses interaksi dan integrasi ekonomi, masyarakat, dan budaya, yang berkesinambungan. Globalisasi sering dianggap sebagai fenomena baru. Namun, sebenarnya globalisasi telah berlangsung lama. Menurut Friednam (2006),
ada tiga era globalisasi. Yang pertama, dari tahun 1492 sampai 1800,
ditandai dengan kolonisasi oleh negara-negara besar ke berbagai wilayah dunia. Yang kedua, dari tahun 1800 sampai 2000, ditandai dengan ekspansi MNC (multinational companies, atau perusahaan antar bangsa) yang menyatukan ekonomi berbagai wilayah dunia. Yang ketiga, daritahun 2000 sampai sekarang, ditandai dengan kemampuan individu untuk bersaing dan bekerjasama secara global. Perlu diketahui bahwa pergerakan benda dan jasa, yang merupakan ciri globalisasi, terjadi pada ketiga era ini. Namun, yang membedakan era ketiga dibandingkan dengan ke dua era sebelumnya adalah meningkatnya penggunaan teknologi informasi, khususnya komputer pribadi dan internet, yang memungkinkan komunikasi secara langsung dan cepat, untuk pertukaran informasi, benda, dan jasa. Secara khusus, berkat teknologi informasi, dimungkinkan terbentuknya jalinan yang erat antara berbagai perorangan, perusahaan, dan negara. 22
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Situasi di atas membawa beberapa implikasi. Yang pertama, kini tidak ada lagi negara yang sepenuhnya aman dari pengaruh luar. Sebagai contoh, saat Thailand melakukan devaluasi pada tahun 1998, pengaruhnya berdampak sampai Indonesia. Yang kedua, mobilitas yang tinggi dan fleksibilitas memberikan kemungkinan untuk memindahkan produksi tanpa mengurangi mutu (Friedman, 2006). Hal ini memberikan lapangan kerja di suatu negara namun mengurangi kesempatan kerja di negara lain. Negara yang menjadi tujuan pemindahan produksi adalah negara yang memiliki daya saing, baik dalam hal regulasi maupun kesiapan tenaga kerja. Selain itu, menurut Jenkins, dalam Coutinho et al. (2008), media seperti TV, radio, dan lebih-lebih internet, mengubah cara warga dunia berinteraksi. Media memungkinkan individu mengakses informasi dan menyebarkan gagasan yang dimilikinya, misalnya lewat blog,secara cepat ke seluruh dunia. Berbagai perusahaan juga memanfaatkan media untuk perluasan pasar. Produk mancanegara seperti televisi, dapat diiklankan ke Indonesia; di pihak lain, produk Indonesia, seperti kain besurek, dapat juga diiklankan ke negara-negara lain. Perluasan pasar meningkatkan produksi serta meningkatkan lapangan kerja, bagi negara yang menjadi area produksi, namun hanya meningkatkan konsumsi bagi negara yang hanya menjadi pasar produk. Jadi, globalisasi
dapat menguntungtungkan bagi negara yang siap menghadapi era
globalisasi namun merugikan bagi negara yang tidak siap menghadapinya. Hal ini berlaku juga bagi tenaga kerja. 2. Globalisasi dan lapangan kerja Coutinho et al. (2008) menyatakan bahwa salah satu dampak globalisasi dalah berubahnya hakekat lapangan kerja. Sebelum era globalisasi kedua, yakni sebelum revolusi industri pada tahun 1800-an, dunia berada pada zaman agraris. Pekerjaan bersifat kekeluargaan dan berlangsung turun-temurun, diwariskan dari generasi ke generasi. Keberlangsungan kerja (job security) relatif stabil. Pada era revolusi industri, situasi di atas mulai berubah. Menurut Savickas (2000), pekerjaan menjadi kurang terikat pada sistem keluarga. Warga berpindah ke kota-kota besar untuk bekerja di pabrik-pabrik, yang menjadi bagian organisasi yang lebih besar dan lebih kompleks. Namun, keberlangsungan kerja (job security) relatif masih stabil. Para karyawan umumnya bekerja selama mungkin pada suatu perusahaan dan perusahaan mengganjar mereka dengan gaji dan posisi yang lebih baik berdasarkan senioritas. Memang, karyawan dengan pendidikan dan koneksi ebih baik dapat bertahan lebih lama dalam perusahaan.
23
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Sekalipun demikian, cukup banyak pekerja dengan keterampilan tingkat rendah, yang menikmati kestabilan lapangan kerja. Namun, dengan hadirnya globalisasi, kestabilan lapangan kerja menurun. Menurut Friedman (20076) kemajuan teknologi dan perluasan ekonomi global membawa dua dampak. Yang pertama, kebutuhan untuk bersaing pada tingkat global membuat perusahaan merekrut tenaga yang berpendidikan dan berketerampilan lebih tinggi dan memberhentikan tenaga lama. Yang kedua, untuk menekan biaya, perusahaan sering melakukan outsourcing, dengan memindahkan berbagai unit produksi ke negara lain. Akibatnya, sementara suatu negara mendapatkan lapangan kerja tambahan, negara lain kehilangan lowongan kerja. Menurut Savickas (2000), perusahaan kini mempekerjakan sejumlah tenaga kerja inti, dengan kualifikasi tinggi, sebagai karyawan tetap, namun mempekerjakan tenaga kerja paruh waktu dan tenaga lepas untuk pekerjaan pendukung Dengan demikian, stabilitas pekerjaaan berkurang. Menurut Hall (2004),
perusahaan tidak lagi berkomitmen untuk memberikan
pekerjaan seumur hidup. Kini, individu harus merencanakan jenjang karirnyaberdasarkan kepentingannya sendiri dan peluang yang tersedia. Di sini dituntut individu yang mampu bersikap dan berperilaku fleksibel,mampu meningkatkan berbagai keterampilan yang diperlukan dalam lingkungan yang terus berubah, dan meningkatkan kemampuan bekerja dalam tim (Grantham, 2000). Secara umum era globalisasi menuntut tenaga kerja yang berketerampilan tinggi dan produktif. Dalam hal ini, Saraswati (2003) mengidentifikasi sejumlah kompetensi yang perlu dikuasai di era globalisasi. Yang pertama,
spesialisasipar excellence; yaitu,keahlian pada
tingkatan yang lebih baik dari sesamanya, sehingga unggul dalam persaingan. Yang kedua, keterampilanbermultidisiplin, yang berarti, memiliki berbagai keterampilan lain di luar keahliannya. Sebagai contoh, dalam membangun waduk, diperlukan insinyur sipil yangselain memahamicara membangun waduk (kajian teknik sipil)juga memahami dampak lingkungan yang dapat timbul (kajian biologi). Berbagai
kompetensi
lain
yang
perlu
dikembangkan
mencakup
kemampuan
berkomunikasi secara efektif, yang mencakup kemampuan menulis serta kefasihan berbahasa Inggris; penguasaan teknologi informasi, yang menjadi amat penting di era globalisasi; kepemimpinn; kewirausahaan, yaitu kemampuan untuk selalu melihat peluang; ketepataan waktu; toleransi atas berbagai budaya; pengembangan jati diri nasional;penampilan diri; serta kemampuan melobi.
24
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Berbagai kemampuan ini perlu diupayakan sejak dini dan ini memerlukan guru bimbingan konseling yang selain memahami tuntutan era globalisasi juga dapat memberikan inspirasi bagi peserta didik guna mengembangkan berbagai kemampuan yang diperlukan. 3. Peran bimbingan karir di era global Seperti telahdisampaikan, Coutinho et al. (2004) menyatakan bahwa pekerjaan memiliki berbagai makna, di antaranya sebagai sarana bertahan hidup, sarana hubungan sosial, dan sarana pemenuhan kepuasan dan harkat diri di masyarakat. Guna mengantisipasi era globalisasi, konselor harus dapat membimbing peserta didik agar siap menghadapi berbagai tantangan, agar mereka dapat menemukan, syukur menciptakan, lapangan kerja yang sesuai untuk memenuhi panggilan hidup mereka. Gill (2013) membatasi bimbingan karir sebagai berikut: The concept of career guidance is inclusive of all those activities that seek to disseminate information about present or future vocations in such a way that individuals become more knowledgeable and aware of themselves in relation to the world of work. [Konsep bimbingan karir mencakup semua kegiatan untuk menyebarkan informasi tentang panggilan sekarang atau masa depan sedemikian rupa bahwa individu menjadi lebih luas dan sadar diri dalam kaitannya dengan dunia kerja.] (p. 102) Jika diinginkan agar bimbingan dan konseling pada umumnya, dan bimbingan karir pada khususnya, dapat efektif membimbing peserta didik untk mengantisipasi era globalisasi, maka situasi dan permasalahan yang telah dibahas pada uraian terdahulu perlu direnungkan dan dicari jalan keluarnya. Menurut Gibson dan Mitchell (2006), konselor harus mampu membimbing peserta didik agar menyadari tantangan dan peluang di era globalisasi pada lapangan kerja. Coutinho et al. (2004) menambahkan agar peserta didik dianjurkan mengikuti berbagi seminar dan lokakarya yang membahas tuntutan era globalisasi.Koselur perlu membimbing peserta didik untuk siap menghadapi ketidakpastian. Konselor juga perlu mampu menghadapi berbagai macam peserta didik dengan berbagai latar belakangkultur yang berbeda. Telah disebutkan oleh Saraswati (2003) bahwa era globalisasi memerlukan keterampilan multidisiplin.
Sebenarnya dalam hal ini diperlukan bantuan pemerintah agar memungkinkan
pendidikan jalur ganda. Sebagai contoh, pada beberapa universitas di luar negeri, kurikulum disusun sedemikian rupa sehingga mahasiswa dapat menempuh berbagai jurusan dalam waktu yang sama. Dalam hal ini, berbagai mata kuliah yang sama pada beberapa jurusan dapat diikuti sekali saja pada satu jurusan dan hasilnya diakui di jurusan lain di mana ia juga mendaftar. Sebenarnya di Indonesia hal ini pernah dilaksanakan lewat program mayor dan minor. Misalnya, salah satu penulis mengikuti program mayor S1 bahasa Inggris dan program minor 25
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
matematika. Dengan demikian ia bisa mengajar bahasa Inggris dan membantu mengajar matematika dasar yang umum, misalnya statistik. Sebaliknya, teman seangkatannya dari jurusan mayor matematika mengikut program minor bahasa Inggris.Teman tersebut dapat membantu mengajar bahasa Inggris dasar. Mungkin ada baiknya program mayor minor ini dihidupkan kembali. Lebih bagus lagi tentunya jika program dual degree(gelar ganda) seperti di negara lain dapat dikembangkan di Indonesia. Di sini, persatuan guru BK dapat ikut mendorong pemerintah untuk mengembangkan program-program jalur ganda. Namun, jika pemerintah belum memberikan respons, Hall (2004) menganjurkan agar konselor membimbing peserta didik agar menjadi multidimensi dalam mengembangkan bakat dan keterampilan mereka. Holland (1997) dan Saraswati (2003) menganjurkan agar peserta didik mengembangkan spesialisasi par excellence and mengembangkan kemampuan multidisiplin. Dalam hal ini, Hall (1997) menganjurkan agar konselor membimbing peserta didik untuk memperoleh berbagai keterampilan alternatif guna menghadapi situasi yang mungkin berubah-ubah di masa depan. Konselor juga perlu membimbing peserta didik untuk senantiasa meningkatkan keterampilannya melalui pelatihan yang berkesinambungan (Blank, 2000). Senada
dengan anjuran Saraswati (2003), Blustein (2006) menganjurkan agar konselor
membantu peserta didik untuk mengembangkan berbagai keterampilan yang menunjang pekerjaannya serta kemampuan bekerja dalam tim. Konselor dapat menggunakan asesmen vokasi untuk membantu peserta didik menentukan arah vokasi yang diinginkannya. Namun, Coutinho et al. (2004), mengingatkan agar
penggunaan
asesmen
tersebut
jangan
terjebak
dalam
statusquo.
Misalnya,
kecenderungan sekelompok peserta didik wanita pada pekerjaan sekertaris jangan sampai membuat konselor mengarahkan para wanita melulu pada pekerjaan tesebut. Selain itu, Bolles (2005) mengajurkan digunakannyaTransferable Skills Inventory (Daftar Kemampuan yang Mungkin Ditransfer), guna membantu peserta didik menilai kekuatannya sendiri, yang mungkin diterapkan di bidang lain, pada saat situasi dan tuntuan lapangan kerja berubah. Akhirnya, konselor perlu memberikan kesadaran agar peserta didik mengkaji lingkungan yang lebih luas dan dampak globalisasi pada masyarakat, sehingga ia lebih siap untuk menghadapi berbagai tantangan yang harus dihadapinya. Di sini, Lorella et al. (2012) menganjurkan agar para konselor melakukan kerjasama tingkat global, melalui komunikasi dan kerjasama dengan konselor di negara lain, sehingga dapat diperoleh strategi bersama untuk mengantisipasi dampak globaliasasi dan memimbing peserta didik untuk lebih siap menghadapi era globalisasi.
26
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
KESIMPULAN Globalisasi membawa perubahan yang mendasar pada berbagai pada berbagai aspek kehidupan, salah satunya pada pekerjaan. Pekerjaan merupakan aspek kehidupan yang amat penting, menyangkut keberlangsungan hidup, hubungan sosial, dan pemenuhan kepuasan dan harkat diri. Globalisasi membawa perubahan, di antaranya tuntutan untuk mempertinggi mutu dan outsourcing, yang menciptakan lapangan kerja di suatu negara namun menyebabkan pengangguran di negara lain. Untuk menghadapi era globalisasi, peserta didik perlu dipersiapkan untuk mengembangkan sejumlah kompetensi. Untuk itu, konselor diperlukan perannya guna membantu peserta didik dalam mengembangkan berbagai keterampilan, mengevaluasi berbagai kemampuan yang bisa dipindahkan ke lapangan kerja yang berbeda, serta bersiap diri menghadapi ketidakpastian. Guna melakukan bimbingan yang efektif, para konselor perlu mendunia, dengan membangun jaringan dengan para konselor dari negara lain. DAFTAR PUSTAKA Bolles, R. (2005). What color is my parachute? 2005: A practical manual for job-hunters and careerchangers. Berkeley, CA: Ten Speed Press. Featherstone, M. (1996). Localism, globalism, and cultural identity. Durham, NC: Duke University Press. Coutinho, M.T., Dam, U.C., & Blustein, D.L. (2008). The psychology of working and globalisation: A new perspective for a new era. International Journal of Educational Vocational Guidance, 8,5-18. DOI 10.1007/s10775-007-9132-6. Friedman, T. L. (2006). The world is flat: A brief history of the twenty-first century updated and expanded. New York, NY: Farrar, Straus and Giroux. Gibson, R. L., & Mitchell, M. H. (2006). Introduction to career counseling for the 21st century. Upper Saddle River, NJ: Pearson Education Inc. Gill, T.K. (2013). Career development in the context of globalization, privatization and liberalization. American International Journal of Research in Humanities, Arts and Social Sciences, 3(2), 102-116. Diunduh dari http://iasir.net/aijrhassissue/aijrhassissue3-2.html Grantham, C. (2000). The future of work: The promise of the new digital work society. New York, NY: McGraw-Hill. Hall, D. T. (2004). The protean career: A quarter-century journey. Journal of Vocational Behavior, 65, 1–13. Lorella, S., Byrd, R., & Crockett, S. (2012). Globalization and counselling: Professional issues for counselors. The Professional Counselor: Research and Practice, 2(3),115-123. Pekerti, A. (1998). Globalisasi, pembelajaran, dan kemanusiaan. Dalam S. Sopater, B. Subandriyo, dan Sutarno (Eds.). Pembelajaran memasuki era kesejagatan, pp. 91-100. Jakarta, Indonesia: Sinar Harapan. Rothenberg, L. E. (2003). Globalization 101: The three tensions of globalization. Retrieved from http://www.globaled.org/issues/176.pdf Saraswati, W. (2003). Mengembangkan kompetensi di era globalisasi. Artikel Sinar Harapan, 4 Mei. Savickas, M. L. (2000). Renovating the psychology of careers for the twenty-first century. In R. A. Young & A.Collin (Eds.), The future of career (pp. 53–68). New York, NY: Cambridge University Press.
27
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 KOMPETENSI KONSELOR DALAM MEMAHAMI NILAI SOSIOKULTURAL PESERTA DIDIK SEKOLAH MENENGAH PERTAMA Andika Ari Saputra, Indah Permatasari
[email protected] Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Abstract Counselor role in providing guidance and counseling services based on cultural values, according to the circumstances of learners and groups that have a view and a different culture, or culture. The counselor should be able to orally and in writing to provide guidance and counseling services based on cultural values. Competence counselor in understanding the cultural values of the guidance and counseling services dapatmembantu learners in family life and mutual assistance which is the conceptual foundation of capital that can be used as a mediator in order to facilitate the continuity of guidance and counseling services, social and cultural sound appropriate to the circumstances lingkungannya.Peserta school students junior require guidance and counseling services based on cultural values that can help in understanding the social and cultural environment. Keywords:competence counselor, cultural values, junior high school students.
PENDAHULUAN Sebagai konselor yang professional dalam melaksanakan tugasnya di sekolah dan di masyarakat, tentunya tidak terlepas dari kegiatan sosial. Layanan bimbingan dan konseling adalah upaya sistematis, objektif, logis, dan berkelanjutan serta terprogram yang dilakukan oleh konselor untuk memfasilitasi individu untuk mencapai kemandirian, dalam wujud kemampuan mamahami, menerima, mengarahkan, mengambil keputusan, dan merealisasikan diri secara bertanggung jawab sehingga mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan dalam hidupnya (dalam, Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014 Tentang Bimbingan dan Konseling Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah). Kegiatan bimbingan dan konseling tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, karena untuk melakukan kegiatan tersebut dituntut keahlian khusus atau kemampuan sebagai konselor atau ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Konselor di didik secara khusus untuk memperoleh kompetensi sebagai konselor, yaitu meliputi pengetahuan, ketrampilan, nilai, dan sikap atau kepribadian serta pengalaman dalam bidang bimbingan dan konseling.
28
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 Kartadinata (2008) menyatakan bahwa konselor adalah tenaga pendidik yang berkualifikasi strata satu (S-1) program studi bimbingan dan konseling dan menyelesaikan Pendidikan Profesi Konselor (PPK). Pendapat ini sejalan dengan syarat-syarat menjadi konselor yang mewajibkan calon konselor agar menempuh Pendidikan Profesi Konselor sebelum resmi menjadi seorang konselor. Kompetensi konselor dalam memahami nilai sosiokultural peserta didik sekolah memengah pertama (SMP) diharapakan dapat memberikan informasi tentang bentuk layanan yang berbasis padakeadaan yang dialami oleh peserta didik terkait sosial dan budaya di lingkungan. Perubahan dan kemajuan dalam berbagai segi kehidupan individusebagai yangditimbulkan
pribadi
maupun
oleh
adanya
masyarakat
merupakan
perkembangan
salah
zaman
satu
yang
akibat semakin
modern.Perkembangan zaman yang semakin modern dapat berakibat positif dannegatif.
Akibat
positif
tersebut
misalnya
teknologi
yang
serba
canggih.Sedangkan akibat negatif seperti munculnyabermacam-macam masalah diantaranya
adalah
masalahpendidikan,
hubungan
sosial,
budaya,
keluarga,
pengangguran, tenaga ahli, lapangan kerja dan sebagainya. Pendidikan formal dituntut untuk melaksanakan proses pembelajaran secara optimal untuk melahirkan peserta didik sekolah memengah pertama (SMP) yang berkualitas dan mempunyai nilai sosiokultural. PEMBAHASAN Kompetensi Konselor dalam Memahami Nilai Sosiokultural Peserta Didik Sekolah Menengah Pertama Profesi konselor sebagai tenaga pendidik profesional mengharuskan beberapa persyaratan yang harus terpenuhi. Menurut Tohirin (2007), bahwa guru pembimbing atau konselor di sekolah harus memenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan:
a. Syarat yang berkenaan dengan kepribadiannya. Seorang konselor harus memiliki kepribadian yang baik. Pelayanan bimbingan dan konseling berkaitan dengan pembentukan perilaku dan kepribadian peserta didik. Melalui layanan bimbingan dan konseling diharapkan terbentuk perilaku positif (akhlak baik) dan kepribadian yang baik pula pada diri peserta didik dan upaya tersebut akan efektif bila dilakukan oleh orang yang memiliki kepribadian baik pula.
b. Syarat yang berkenaan dengan pendidikan. Pelayanan bimbingan dan konseling merupakan pekerjaan profesional. Setiap pekerjaan profesional menuntut
29
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 persyaratan-persyaratan
tertentu
antara
lain
pendidikan.
Seorang
guru
pembimbing atau konselor selayaknya memiliki pendidikan profesi, yaitu jurusan bimbingan dan konseling Strata Satu (S1), S2 maupun S3. Atau sekurangkurangnya pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan tentang bimbingan dan konseling. Konselor yang diangkat berdasarkan pendidikan menurut kualifikasi di atas disebut guru pembimbing atau konselor profesional.
c. Syarat yang berkenaan dengan pengalaman. Pengalaman memberikan pelayanan bimbingan dan konseling berkontribusi terhadap keluasaan wawasan pembimbing atau konselor yang bersangkutan. Syarat pengalaman bagi calon guru BK setidaknya pernah melalui mikro konseling, yakni Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) bimbingan dan konseling dan pernah memberikan pelayanan bimbingan dan konseling kepada para peserta didik. Pengalaman yang telah dihayati dalam hidupnya, akan membantu mendiagnosis dan mencarikan alternatif solusi terhadap masalah peserta didik.
d. Syarat yang berkenaan dengan kemampuan. Konselor tidak akan dapat melaksanakan tugasnya secara baik jika tidak memiliki kemampuan dan keterampilan maka konselor dituntut untuk memiliki berbagai ketrampilan melaksanakan layanan bimbingan dan konseling. Guru pembimbing atau konselor harus mampu mengetahui dan memahami secara mendalam sifat-sifat seseorang, daya kekuatan pada diri seseorang, merasakan kekuatan jiwa apakah yang mendorong seseorang berbuat dan mendiagnosis berbagai persoalan peserta didik, selanjutnya mengembangkan potensi peserta didik secara positif. Konselor juga dituntut untuk memahami kode etik dalam bimbingan dan konseling dimaksudkan agar layanan bimbingan dan konseling tetap dalam keadaan baik dan diharapkan akan menjadi semakin baik. Kode etik mengandung ketentuanketentuan yang tidak boleh dilanggar ataupun diabaikan tanpa membawa akibat yang menyenangkan. Walgito (2004) berpendapat tentang kode etik seorang konselor adalah sebagai berikut:
a. Pembimbing atau pejabat lain yang memegang jabatan dalam bidang bimbingan dan konseling harus memegang teguh prinsip-prinsip bimbingan dan konseling.
b. Konselor harus berusaha semaksimal mungkin untuk dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya, dengan membatasi diri pada keahlian atau wewenangnya.
30
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
c. Pekerjaan pembimbing berhubungan langsung dengan kehidupan pribadi orang maka seorang pembimbing harus:
1) Dapat memegang atau menyimpan rahasia peserta didik dengan sebaikbaiknya.
2) Menunjukkan sikap hormat kepada peserta didik. 3) Menghargai secara sama terhadap bermacam-macam peserta didik. d. Pembimbing tidak diperkenankan: 1) Menggunakan tenaga pembantu yang tidak ahli atau tidak terlatih. 2) Mempergunakan alat yang kurang dapat dipertanggungjawabkan. 3) Mengambil tindakan-tindakan yang mungkin akan menimbulkan hal-hal yang tidak baik bagi peserta didik.
4) Mengalihkan peserta didik kepada konselor lain tanpa persetujuan peserta didik.
e. Meminta bantuan kepada ahli dalam bidang lain di luar kemampuan atau di luar keahliannya ataupun di luar keahliannya yang diperlukan dalam bimbingan dan konseling.
f. Menyadari akan tanggungjawabnya yang berat dan memerlukan pengabdian sepenuhnya. Menurut ABKIN (2009), kompetensi adalah sebuah kontinum perkembangan mulai dari proses kesadaran, akomodasi, dan tindakan nyata sebagai wujud kinerja. Pendapat Cavanagh yang dikutip oleh Yusuf dan Nurihsan (2006), bahwa kualitas pribadi konselor ditandai dengan beberapa karakteristik sebagai berikut:
a. Pemahaman diri, seorang konselor dituntut bisa memahami dirinya sendiri dengan baik sebelum memberikan layanan bimbingan dan konseling kepadapeserta didik. Self-knowledge sendiri berarti bahwa konselor memahami dirinya dengan baik, memahami secara pasti apa yang dilakukan, alasan yang menyebabkan konselor melakukan hal tersebut, dan masalah apa yang harus diselesaikan.
b. Kompeten yaitu bahwa konselor itu memiliki kualitas fisik, intelektual, emosional, sosial, dan moral sebagai pribadi yang berguna. Satu hal penting yang membedakan hubungan persahabatan dengan hubungan layanan bimbingan dan konseling adalah kompetensi yang dimiliki konselor. Konselor yang efektif adalah yang memiliki pengetahuan akademik, kualitas pribadi dan ketrampilan bimbingan dan konseling.
31
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
c. Kesehatan psikologis yang baik, konselor dituntut memiliki kesehatan psikologis yang lebih baik dari peserta didik karena kesehatan psikologis akan mendasari pemahamannya terhadap perilaku dan ketrampilannya.
d. Dapat dipercaya berkualitas, berarti bahwa konselor itu tidak menjadi ancaman atau penyebab kecemasan bagi peserta didik. Konselor yang dipercaya cenderung memiliki kualitas sikap dan perilaku, yaitu: (1) memiliki pribadi yang konsisten; (2) dapat dipercaya oleh orang lain; (3) tidak pernah membuat orang lain (peserta didik) kecewa atau kesal; (4) bertanggung jawab, mampu merespon orang lain secara utuh, tidak ingkar janji, dan mau membantu secara penuh.
e. Jujur yaitu bahwa konselor itu bersikap transparan (terbuka), autentik dan asli (genuine). Konselor yang jujur memiliki karakteristik yaitu bersikap kongruen dan memiliki pemahaman yang jelas tentang makna kejujuran.
f. Kuat, peserta didik memandang konselor sebagai orang yang tabah dalam menghadapi masalah, dapat mendorong konseli untuk mengatasi masalahnya dan dapat menanggulangi kebutuhan dan masalah pribadi.
g. Bersikap hangat, konselor bersikap hangat maksudnya adalah peserta didik bisa bersikap ramah, penuh perhatian dan memberikan kasih sayang.
h. Responsif, konselor hendaknya bersifat dinamis dan tidak pasif dengan cara memberikan umpan balik yang bermanfaat, memberikan informasi yang berguna, mengemukakan gagasan baru sehingga muncul diskusi antara konselor dan peserta
didik
dengan
memegang
tanggung
jawab
sendiri-sendiri
guna
menyelesaikan masalah peserta didik.
i. Sabar, konselor yang sabar cenderung menampilkan kualitas sikap dan perilaku yang tidak tergesa-gesa dan sikap sabar ini menunjukkan bahwa konselor lebih memperhatikan diri peserta didik daripada hasilnya.
j. Sensitif yaitu menyadari tentang adanya dinamika psikologis yang tersembunyi atau sifat-sifat mudah tersinggung, baik pada diri peserta didik maupun dirinya sendiri. Konselor yang sensitif
memiliki kualitas perilaku seperti: (1) sensitif
terhadap reaksi dirinya sendiri; (2) mengetahui kapan, dimana, dan berapa lama mengungkap masalah peserta didik; (3) mengajukan pertanyaan tentang persepsi peserta didik tentang masalah yang dihadapinya; 4) sensitif terhadap sifat-sifat yang mudah tersinggung dirinya.
k. Memiliki kesadaran yang holistik berarti bahwa konselor memahami peserta didik secara utuh dan tidak mendekatinya secara serpihan. Konselor yang memiliki kesadaran holistik akan cenderung menampilkan karakteristik seperti: (1)
32
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 menyadari secara akurat tentang dimensi-dimensi kepribadian yang kompleks; (2) menemukan cara memberikan konsultasi yang tepat dan mempertimbangkan tentang perlunya referal (rujukan); (3) akrab dan terbuka terhadap berbagai teori. Pendapat yang lain dikemukakan oleh Robbins & Judge (2009) yang mengartikan kinerja adalah produk fungsi dari kemampuan dan motivasi. Pandangan tersebut menunjukan bahwa kinerja dinyatakan sebagai produk, yaitu kerja dari orang maupun dari lembaga. Landasan
sosial-budaya
merupakan
landasan
yang
dapat
memberikan
pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi perilaku peserta didik. Peserta didik pada dasarnya merupakan produk lingkungan sosial-budaya. Fukuyama (2001) menjelaskan dalam menggunakan pendekatan universal atau etik, yang menekankan inklusivitas, komonalitas
atau
keuniversalan
kelompok-kelompok;
atau
pendekatan
emik
(kekhususan-budaya) yang menyoroti karakteristik-karakteristik khas dari populasipopulasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan untuk layanan bimbingan dan konseling. Pandangan
universal
pun
menegaskan,
bahwa
pendekatan
inklusif
disebut
“transcultural” yang menggunakan pendekatan emik; dikarenakan secara filosofis menjelaskan karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk bekerja dengan populasi spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan. Menurut Judith A. Lewis., at al., (2010) ketika seseorang dipaksa untuk menghadapi tekanan lingkungan yang lebih berat atau sulit dari kemampuan mereka dalam mengatasinya, mereka memerlukan bantuan yang praktis, positif, dan membangun. Suatu saat peserta didik dipaksa untuk mengatasi berbagai tekanan yang tiba-tiba, baik permasalahan sosial maupun budaya yang ada di lingkungannya. Pada situasi lain, peserta didik yang berada dalam lingkungan sosial dan budaya yang berbeda maka sangat dibutuhkan adanya komunikasi dan komitmen dalam menjaga dan mengamalkan nilai sosiokultural. Koentjaraningrat (1993) menjelaskan aspek yang perlu mendapatkan perhatian adalah orientasi nilai budaya yang berupa sikap kekeluargaan dan gotong-royong. Nilai budaya kekeluargaan dan gotong royong sangat menonjol dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Implikasi dari komponen bagi pengembangan konsep nilai sosiokultural dalam layanan bimbingan dan konseling untuk pengembangan pirantipiranti strategis untuk kepentingan layanan bimbingan dan konseling dalam perspektif lintas sosial dan budaya. Orientasi nilai sosial dan budaya membantu peserta didik
33
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 dalam kehidupan kekeluargaan dan gotong-royong merupakan modal landasan konseptual yang dapat dijadikan mediator guna memfasilitasi keberlangsungan layanan bimbingan dan konseling berwawasan sosial dan budaya. Menurut Drummond (2000) konselor harus mampu menunjukkan kemampuan dalam memahami dan menginterpretasikan penilaian data untuk personel professional dan orang tua pada terminology pertumbuhan dan perkembangan peserta didik. Pemberian layanan bimbingan dan konseling yang dilakukan oleh konselor tentunya harus sesuai dan tepat pada sasaran yaitu individu atau kelompok berlandaskan nilai sosiokultural. Layanan bimbingan dan konselingsesuai dengan keadaan individu dan kelompok yang memiliki pandangan sosial serta kultur atau budaya yang berbeda, konselor harus mampu secara lisan maupun tulisan dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling pada peserta didik sekolah menengah pertama berlandaskan nilai sosiokultural. Sekolah menengah pertama membutuhkan intensitas layanan bimbingan dan konseling. Pada fase ini sangat menentukan kepribadian, watak, karakter, dan sikap yang sangat berpengaruh nilai sosiokultural. Guru pembimbing dan orang tua seyogianya melakukan pengamatan dan selalu memberikan bimbingan terhadap anaknya berkaitan dengan keadaan di sekolah. Sekolah sebagai salah satu wadah pembelajaran pendidikan formal dituntut untuk melaksanakan proses pembelajaran secara optimal untuk melahirkan anak didik yang berkualitas dan mempunyai nilai sosiokultural di lingkungannya. KESIMPULAN Peran konselor dalam memahami nilai sosiokulturalterhadap pemberian layanan bimbingan dan konselingkepada peserta didik sekolah menengah pertama diharapkan dapat memberikan seperangkat sikap, nilai, keyakinan dan perilaku yang seseuai dengan keadaan lingkungan. Pemikiran dan atau ide yang mendasari perilaku konselor dan peserta didik merupakan sikap dan perilaku yang dapat dipahami sebagai sebuah kekhasan dan memiliki keberbedaan antara masing-masing peserta didik yang ditangani oleh konselor. Mengingat setiap peserta didik memiliki kekhasan perilaku yang melekat berdasarkan sosial dan budaya yang dibawa, maka aplikasi layanan bimbingan dan konseling berwawasan nilai sosial dan budaya untuk membantu peserta didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.
34
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 DAFTAR PUSTAKA ABKIN. (2009). Standar Kompetensi Bimbingan dan Konseling Profesional. Bandung: Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling. Bimo Walgito. (2004). Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Yogyakarta: Andi Offset. Drummond, Robert J. 2000. Appraisal procedurs For Counselor and Helping Professionals Fourth Edition. Merril an Imprint of Prentice Hall Upper Saddle River. Columbus, Ohio: New Jersey. Fukuyama. 2001.The Great Disruption: Human Nature and The Reconstitution of Social Order: London, Profile Books. Judith A. Lewis., Michael D. Lewis., Judy A. Daniels., at al. 2010. Community Counseling:A Multicultural-Social Justice Perspective. Belmont, USA: BROOKS/COLE Cengage Learning. Koentjaraningrat. 1993. Masalah Kesukubangsaan dan Nasional. Jakarta: UIP. Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014 Tentang Bimbingan dan Konseling Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Robbins, Stephen P., & Judge, Timothy A. (2009). Organizational Behavior ℎ (13 . ). Upple Sadle River, New Jersey: Prentice Hall. Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan. (2006). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sunaryo Kardinata. (2008). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Tohirin. (2007). Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integrasi). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
35
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 LAYANAN PENEMPATAN DAN PENYALURAN DALAM MEMPERSIAPKAN KARIER SISWA Amilia Nopitasari dan Ghristianty Veronica
[email protected],
[email protected] Program Studi Bimbingan dan Konseling, Universitas Negeri Malang Abstract Placement services and distribution of guidance and counseling, especially in the direction of specialization students should be started as early as possible, so that students can determine the future of his career. In the 2013 curriculum placement service portfolio in the direction of specialization already span the 'hierarchy clearly in 2013. ABKIN placement and distribution services to the junior high school students to do with the provision of career information and secondary school education in selajutnya high school students can be given in-depth information about the world of work and career also in higher education, students are expected to be easier to understand and determine the direction of career and education. Specialized services in the direction of specialization is an integral part of the ministry BK means service towards specialization should not be overlooked by other service providers BK. The purpose of this paper is to provide information to the BK teachers in the implementation of the provision of placement services and distribution in the direction of specialization students in schools on the implementation of the curriculum in 2013. Keywords:Placement and distribution, directions interested, Curriculum 2013 PENDAHULUAN Bimbingan dan Konseling adalah upaya sistematis, objektif, logis dan berkelanjutan serta terprogram yang dilakukan oleh konselor atau guru Bimbingan dan Konseling untuk memfasilitasi perkembangan peserta didik atau konseli untuk mencapai kemandirian dalam kehidupannya. Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014 menyebutkan bahwa guru Bimbingan dan Konseling
adalah pendidik
yang
berkualifikasi akademik minimal Sarjana Pendidikan (S-1) dalam bidang Bimbingan dan Konseling dan memiliki kompetensi di bidang Bimbingan dan Konseling. Layanan Bimbingan dan Konseling memiliki tujuan membantu konseli mencapai perkembangan optimal dan kemandirian secara utuh dalam aspek pribadi, belajar, sosial dan karir. Sejak Kurikulum 1975 sampai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pelayanan Bimbingan dan Konseling merupakan bagian integral dari kegiatan pendidikan yang mengimplementasikan kurikulum tersebut. Dalam hal ini, pelayanan Bimbingan dan Konseling juga merupakan bagian integral dalam pelaksanaan Kurikulum Tahun 2013 oleh satuan pendidikan dalam rangka memperkuat proses pembelajaran yang diharapkan benar-benar mengupayakan
36
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 pengembangan potensi peserta didik secara optimal, termasuk di dalamnya peminatan peserta didik. Menurut ABKIN (2013), pelayanan Bimbingan dan Konseling (BK) baik dalam kategori yang disebut umum maupun arah peminatan peserta didik, dimulai sedini mungkin, yaitu sejak mereka menjalani pendidikan pada jenjang Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI), dan terus berlanjut pada jenjang pendidikan menengah pertama (SMP/MTs) dan menengah atas (SMA/MA dan SMK/MAK), sampai perguruan tinggi. Pelayanan khusus dalam arah peminatan merupakan bagian tak terpisahkan dari pelayanan BK secara menyeluruh, yang berarti bahwa pelayanan arah peminatan tidak
boleh
terabaikan
oleh
sibuknya
para
penyelenggara
layanan
dalam
melaksanakan layanan Bimbingan dan Konseling secara menyeluruh, dan sebaliknya pula pelayanan arah peminatan tidak boleh mendominasi sehingga pelayanan Bimbingan dan Konseling menjadi tidak lengkap dan aspek keseluruhannya itu menjadi terganggu. Untuk ini Guru Bimbingan dan Konseling atau wajib mengimplementasikan kedua panduan penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling yang ada secara lengkap, utuh dan mantap, yaitu panduan umum dan panduan khusus pelayanan bimbingan dan konseling arah peminatan peserta didik.Buku panduan bimbingan dan konseling ini dimaksudkan untuk memfasilitasi guru Bimbingan dan Konseling atau konselor sekolahuntuk menangani dan membantu peserta didik dalam pengembangan kehidupan pribadi, pengembangan kehidupan sosial, pengembangan kemampuan belajar dan pengembangan karir, sehingga dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional. Dalam pelayanan penempatan dan penyaluran ini peserta didik memahami potensi dan kondisi diri sendiri, memilih dan mendalami mata pelajaran atau kelompok peminatan mata pelajaran, memahami dan memilih arah pengembangan karir, dan menyiapkan diri serta memilih pendidikan lanjutan dan karir sampai ke perguruan tinggi. Dalam pelayanan bimbingan dan konseling upaya pelayanan ini merupakan salah satu bentuk layanan penempatan atau penyaluran dan keterkaitannya dengan jenis layanan lain serta kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling yang relevan. Masing-masing tingkat arah peminatan memerlukan penanganan yang akurat sesuai
dengan
tingkat
perkembangan
dan
karakteristik
peserta
didik
yang
bersangkutan, serta karaketristik satuan pendidikan dimana peserta didik belajar.Tidak terkecuali pada jenjang pendidikan SMA/MA/SMALB atau SMK/MAK, arah peminatan peserta didik juga sangat penting untuk karier peserta didik ke depannya (lebih jelas dapat dilihat pada gambar 1).
37
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 Tingkat arah peminatan yang perlu dikembangkan dapat digambarkan melalui diagram sebagai berikut: PerguruanTinggi 4
4 SMA
SMK 3a
SLTA 3b
MA SMALB MAK 2 SMP/MTS
SMPLB
SLTP 1
SD/MI/SDLB Gambar 1. Pengembangan Arah Peminatan
Keterangan: 1. Arah peminatan pertama perlu dikembangkan pada peserta didik SD/MI/SDLB yang akan melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs/SMPLB. 2. Arah peminatan kedua perlu dibangun pada peserta didik SMP/MTs/SMPLB yang akan melanjutkan studi ke SMA/MA/ SMALB atau SMK/MAK. Mereka dibantu untuk memperoleh informasi yang cukup lengkap tentang jenis dan program penyelenggaraan masing-masing SMA/MA/SMALB atau SMK/MAK, pilihan peminatan mata pelajaran dan arah karir yang ada, serta kemungkinan studi lanjutannya. 3. Arah peminatan ketiga umum perlu dikembangkan pada peserta didik SMA/MA/SMALB untuk mengambil pilihan peminatan akademik, pilihan dan pendalaman mata pelajaran lintas peminatan, serta pilihan arah pengembangan karir. 4. Arah peminatan ketiga kejuruan perlu dikembangkan pada peserta didik SMK/MAK untuk memilih peminatan vokasional, pilihan mata pelajaran lintas peminatan dan mata pelajaran praktik atau kejuruan yang ada di SMK/MAK. 5. Arah peminatan keempat perlu dikembangkan pada peserta didik di SMA/MA/SMALB dan SMK/MAK yang akan melanjutkan studi ke perguruan tinggi, mereka dibantu untuk memilih salah satu fakultas dengan program studinya yang ada di perguruan tinggi, sesuai dengan bakat dan minat, serta pilihan peminatan atau pendalaman mata pelajaran yang bersifat akademik atau vokasional di SMA/MA/SMALB atau SMK/MAK.
38
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 PEMBAHASAN Bimbingan dan konseling memang tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan pendidikan pada jalur formal.Dimana bimbingan dan konseling merupakan bagian yang integral dalam pendidikan untuk mencapai tugas perkembangan peserta didik secara optimal. Pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan adalah proses bantuan yang diberikan oleh seorang ahli untuk membantu peserta didik mengenali, memahami, mengembangkan dan mengaktualisasikan diri yang dimilikinya secara maksimal sehingga peserta didik mampu mencapai perkembangan yang optimal. Kemandirian dalam konteks layanan bimbingan dan konseling memiliki makna bahwa peserta didik mampu mengenali dan memahami potensi diri sendiri dan lingkungan, mampu mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya seoptimal mungkin. Guru bimbingan dan konseling atau konselor sesuai dengan kualifikasinya adalah pengampu layanan bimbingan dan konseling yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh terhadap layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Pemberian layanan bimbingan dan konseling yang berkaitan dengan peminatan peserta didik dimulai sedini mungkin agar mampu menyadari bahwa ia berkesempatan memilih studi lanjutan sesuai dengan potensi dirinya. Menurut ABKIN (2013), secara khusus tujuan layanan pelayanan peminatan peserta didik adalah mengarahkan peserta didik untuk memahami dan mempersiapkan diri bahwa: 1. Di SD/MI/SDLB peserta didik diarahkan untuk memahami bahwa pendidikan di SD/MI/SDLB merupakan pendidikan wajib yang harus dikuti oleh seluruh warga negara Indonesia dan setamatnya dari SD/MI/SDLB harus dilanjutkan ke studi di SMP/MTs/SMPLB, dan oleh karenanya peserta didik perlu belajar dengan sungguh-sungguh. 2. Di
SMP/MTs/SMPLB
peserta
didik
diarahkan
untuk
memahami
dan
mempersiapkan diri bahwa : a. Semua warga negara Indonesia wajib mengikuti pelajaran di sekolah sampai dengan jenjang SMP/MTs/SMPLB dalam rangka Wajib Belajar 9 Tahun. b. Peserta didik SMP/MTs/SMPLB perlu memahami berbagai jenis pekerjaan/ karir dan mulai mengarahkan diri untuk pekerjaan/karir tertentu.
39
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 c. Setamat dari SMP/MTs/SMPLB peserta didik dapat melanjutkan pelajaran ke SMA/MA/SMALB atau SMK/MAK, untuk selanjutnya kalau sudahtamat nanti dapat bekerja atau melanjutkan pelajaran ke perguruan tinggi. 3. Di SMA/MA/SMALB peserta didik diarahkan untuk memahami dan mempersiapkan diri bahwa : a. Pendidikan di SMA/MA/SMALB merupa-kan pendidikan untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia dewasa yang mampu hidup mandiri di masyarakat. b. Kemandirian
tersebut
pada
nomor
(1)
didasarkan
pada
kematangan
pemenuhan potensi dasar, bakat, minat, dan keterampilan pekerjaan/karir. c. Kurikulum SMA/MA/SMALB memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk memilih dan mendalami mata pelajaran tertentu sesuai dengan kecenderungan dasar bakat, dan minat peserta didik, khususnya peminatan akademik. d. Setamat dari SMA/MA/SMALB peserta didik dapat bekerja di bidang tertentu yang masih memerlukan persiapan/pelatihan, atau melanjutkan pelajaran ke perguruan
tinggi
dengan
memasuki
program
studi
sesuai
dengan
pilihan/pendalaman mata pelajaran sewaktu di SMA/MA/SMALB. 4. Di SMK/MAK peserta didik diarahkan untuk memahami dan mempersiapkan diri bahwa: a. Pendidikan di SMK/MAK merupakan pendidikan untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia dewasa yang mampu hidup mandiri di masyarakat. b. Kemandirian
tersebut
pada
nomor
(1)
didasarkan
pada
kematangan
pemenuhan potensi dasar, bakat, minat, dan keterampilan pekerjaan/karir. c. Kurikulum SMK/MAK memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk memilih dan mendalami mata pelajaran tertentu sesuai dengan kecenderungan dasar bakat, dan minat siswa, khususnya berkenaan dengan peminatan vokasional. d. Setamat dari SMK/MAK peserta didik dapat bekerja di bidang tertentu sesuai dengan bidang pekerjaan/kejuruan yang telah dipelajarinya di SMK/MAK, atau melanjutkan pelajaran ke perguruan tinggi dengan memasuki program studi sesuai dengan pilihan peminatan/ pendalaman mata pelajaran sewaktu di SMK/MAK. Pelayanan arah peminatan peserta didik dimulai sejak dinimungkin, yaitu sejak peserta didik menyadari bahwa ia berkesempatanmemilih jenis sekolah dan/atau mata pelajaran dan/atau arah karirdan/atau studi lanjutan. Ketika itulah langkah-langkah 40
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 pelayanan secarasistematik dimulai, mengikuti sejumlah langkah yang disesuaikan dengantingkat dan arah peminatan yang ada, sebagaimana disebut terdahulu. 1.
Langkah pertama melakukan pengumpulan data dan informasi. Langkah ini dilakukan untuk mengumpulkan data tentang data pribadi, kondisi keluarga, sistem pembelajaran (termasuk sistem satuan kredit semester (SKS), informasi pekerjaan/karier, informasi pendidikan lanjutan dan kesempatan kerja, data kegiatan dan hasil belajar serta data khusus tentang pribadi peserta didik.
2.
Langkah kedua, layanan informasi/orientasi arah peminatan. Dengan langkah ini kepada para peserta didik diberikan informasi selengkapnya, sesuai dengan jenis dan jenjang satuan pendidikan peserta didik.
3.
Langkah ketiga yaitu identifikasi dan penetapan arah peminatan. Langkah ini terfokus pada kecocokan antara kondisi pribadi dan pilihan mata pelajaran lintas peminatan pada satuan pendidikan, arah pengembangan karir, kondisi orang tua dan lingkungan pada umumnya, terutama dalam rangka peminatan akademik, vokasional, dan studi lanjutan, dan/atau syarat-syarat pengambilan mata pelajaran dalam sistem SKS yang berlaku. Adapun empatalternatif pola penetapan peminatan peserta didik sesuai dengan
kondisidan daya dukung masing-masing satuan pendidikan, yaitu: 1) Alternatif pertama, adalah bahwa pemilihan dan penetapanpeminatan peserta didik didasarkan pada 3 (tiga) jenis data sebagaibahan pertimbangan, yaitu :Prestasi belajar peserta didik kelas VII, VIII, IX yang diperolehdi SMP/MTs, Prestasi UN yang diperoleh di SMP/MTs, Prestasi non akademik yang diperoleh dari SD/MI s/d SMP/MTs. 2). alternatif kedua adalah bisa dilihat dari minat belajar peserta didik yang diperoleh dari angket saatpendaftaran/ pendataan. Alternatif ketiga yaitu dari Data siswa dapat dideteksi potensi peserta didik menggunakan tes peminatanyang dilaksanakan di SMP/MTs atau di SMA/SMK atau rekomendasi Guru BK/Konselor SMP/MTs. Langkah keempat dan langkah ketiga di atas (yang berlangsung secara intensif di SLTP) diharapkan dapat menghasilkan pilihan yang tepat bagipeserta didik dan orang lain yang berkepentingan (terutama orangtua), atau pilihan yang tepat bagi peserta didik tetapi tidak disetujuioleh orang tuanya. Apabila ketidakcocokan itu terjadi maka perludilakukan peninjauan kembali atau langkah penyesuaian melaluilayanan konseling perorangan dan layanan lain serta kegiatanpendukung yang relevan baik terhadap peserta didik dan/ataupunorang tuanya.
41
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 Langkah kelima monitoring dan tindak lanjut. Guru BK atau Konselor memonitor penampilan dan kegiatanpeserta didik asuhnya secara keseluruhan dalam menjalani programpendidikan yang diikutinya, khususnya berkenaan dengan peminatanyang dipilihnya.Dalam hal ini, posisi peserta didik sedang mengikutijalur pendidikan tertentu di SLTA.Perkembangan dan berbagaipermasalahan peserta didik tersebut perlu diantisipasi danmemperoleh pelayanan BK secara komprehensif dan tepat. Layanan Peminatan Peserta Didik Baru diSMA/MAdan SMK/MAK Layanan peminatan peserta didik baru di SMA/MA danSMK/MAK dapat dilaksanakan dengan menggunakan salah satu dari duaalternatif, yaitu (a) bersamaan dengan proses penerimaan peserta didikbaru atau (b) pada awal tahun pelajaran baru setelah calon peserta didikbaru dinyatakan diterima sebagai peserta didik baru. 1.
Alternatif
pertama,
yaitu
proses
pemilihan
dan
penetapan
peminatan
peserta didik bersamaan dengan Penerimaan Peserta Didik Baru(PPDB). Alternatif ini memiliki efisiensi kerja sebab sekali bekerjasekaligus dapat 2 (dua) hasil,
yaitu
proses
penerimaan
peserta
didikbaru
dan
sekaligus
pemilihan/penetapan peminatan dapatterselesaikan. Peminatan peserta didik sudah sesuai sejak merekamasuk sekolah. Untuk kelancaran proses dan ketepatan hasil kerja, makaada beberapa kegiatan yang perlu dilaksanakan olehsekolah/ madrasah, secara keseluruhan yaitu : a. menetapkan
kuota
peserta
didik
dan
bidang
peminatan
yang
akandiselenggarakan b. menetapkan syarat pendaftaran sebagai calon peserta didik baru c. Menetapkan komponen dan kriteria peminatan belajar bagipeserta didik baru d. Mengumumkan kuota, bidang peminatan belajar, syaratpendaftaran calon peserta didik baru, syarat pendaftaran ulangpeserta didik baru, tata tertib sekolah dan waktu mulainyapembelajaran tahun pelajaran baru kepada calon peserta didikbaru atau masyarakat luas melalui papan pengumuman disekolah, media cetak setempat, dan website sekolah. e. Memfasilitasi dan menugaskan guru BK/Konselor untukmelaksanakan tugas program peminatan peserta didik yangmeliputi pemilihan dan penetapan, pendampingan,pengembangan, penyaluran, evaluasi dan tindak lanjut. 2.
Alternatif kedua, yaitu proses pemilihan dan penetapan peminatan peserta didik dilaksanakan pada minggu pertama awal tahun pelajaran baru. Pelaksanaan pemilihan dan penetapanpeminatan ini dilaksanakan oleh Guru BK atau Konselor
42
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 bekerjasamadengan pendidik lainnya dan tenaga kependidikan yang ada. Langkahyang dilakukan oleh Guru BK/Konselor meliputi: a. Memberikan informasi dan orientasi tentang macam dan kuotapeminatan, mekanisme,
komponen
dan
kriteria
yang
digunakandalam
pemilihan/penetapan, kriteria penetapan b. Menyiapkan
dan
menggunakan
instrumen
dan
atau
formatpeminatan
untukmengumpulkan data peminatan peserta didik dan orang tuanya c. Mengumpulkan data peminatan peserta didik baik datadokumentasi, observasi maupun wawancara, serta analisis datapeminatan yang terkumpul; d. Menetapkan peminatan peserta didik berdasarkan hasil analisis; KESIMPULAN Peminatan peserta didik seharusnya benar-benar sesuai dengan kemauannya sendiri berdasarkan kemampuan yang dimilikinya. peran Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor sangat penting untuk menentukan arah peminatan peserta didik. Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor juga memberikan pemahan kepada orang tua peserta didik agar tidak memaksakan dalam pemilihan peminatan anaknya sesuai dengan keinginannya sendiri, melainkan memberikan pilihan untuk anaknya memilih peminatan sesuai dengan keinginannya sendiri dan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Sehingga untuk kedepannya dalam pemilihan peminatan dan studi lanjut bisa berkembang secara optimal sesuai dengan keinginan dan kemampuan yang dimilikinya bukan dari campur tangan orang tua maupun teman sebaya.
DAFTAR PUSTAKA ABKIN.2013. Panduan Khusus Bimbingan dan Konseling Pelayanan Arah Peminatan Peserta Didik. Jakarta. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.2013. Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum. Permendikbud.2014. Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 2014. Permendikbud.2014. Lampiran Peraturan Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014. Santoso, Djoko Budi. 2008. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Malang: Universitas Negeri Malang
43
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 MENUMBUHKEMBANGKAN KARAKTER PESERTA DIDIK E. Handayani Tyas
[email protected] Abstract Character is the integrity of the whole behavior of the psychic result of the influence of endogenous factors (genetic) and exogenous factors, which are embedded in themselves and distinguish individuals or groups of individuals from one another, as well as being the determinant of a person's behavior in their adaptation to the environment. Good character is manifested in good habits and kebajikkan in everyday life, such as: good thoughts, good hearts and good behavior. Characters are radiating from within (inside-out), in the sense that good habits do not request, or pressure from others, but on the awareness and will of its own. Character is something that looks, is a form of concrete behaviors, or the application of moral. In the hands of professional educators, students are taught to be the generation that is honest, disciplined, responsible, independent, scholar, innovative and antisipatif.Tujuan this paper to describe and explain the importance of the case to develop a character to each learner. This writing method using descriptive literature review and theoretical approaches. Character consists of good qualities as a form of behavior that is visible. An individual must know, have the desire, and to do good things in order to create a custom (habit) either in the mind, heart, and behavior. Keywords:Character, Education, Educators, Students. PENDAHULUAN Sering kita mendengar pelajar dan atau mahasiswa terlibat tindak kriminal, seperti penggunaan narkoba, sex bebas, berbagai tindak kekerasan, perkelahian, saling serang sehingga terjadi korban luka-luka maupun meninggal. Apakah diperlukan pendidikan karakter, agar tidak terjadi hal – hal yang tidak kita inginkan? Pendidikan karakter tidak hanya dikemas dan disajikan di dalam kelas, diajarkan di kelas,
lalu diuji
dan kemudian dinyatakan lulus, selanjutnya dianggap selesai.
Apakah hasilnya sudah berubah? Jawaban pastinya adalah ‘belum!’ Pendidikan karakter juga tidak hanya dilakukan oleh seorang guru. Pendidikan karakter perlu niat, minat, komitmen, keteladanan yang berbasis kompetensi, serta motivasi internal dan eksternal dari seorang pendidik yang benarbenar mampu ‘menggarami’ dan menjadi ‘virus’; menciptakan ‘atmosfer’ yang mendukung (kondusif), banyak peran afektif dan psikomotorik di samping ranah kognitif. Dukungan pembelajaran seperti,kejujuran, disiplin, komitmen, tanggung jawab, dapat dipercaya harus didarahdagingkan/ diinternalisasikan dan harus di habitkan ke dalam setiap diri individu di semua lini. Kebiasaan melakukan: tegur sapa, senyum, anggukan kepala, dan semua nilai-nilai kebaikan–ketulusan, kepedulian, merupakan
44
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 ‘core’ sebuah institusi pendidikan, mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai dengan Pendidikan Tinggi. Merubah mind set seseorang pasti tidak mudah, karena setiap manusia tercipta unik dan tak ada satupun yang persis sama sekalipun anak kembar, bangsa Indonesia (yang sudah 71 tahun merdeka) masih merasa perlu memperbaiki keadaan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan Pendidikan Karakter. Setiap pendidik sangat menyadari bahwa pendidikan karakter tidak bisa instan, melainkan perlu sebuah proses panjang dan perjuangan yang gigih untuk menumbuhkembangkannya!
PEMBAHASAN Dalam kehidupan sehari-hari sering kita mendengar istilah karakter. Ada yang menyebutnya sebagai watak atau perangai, yang lain menamainya dengan istilah budi pekerti. Ada pula yang menggunakan sebutan akhlak dan untuk yang baik disebut akhlak mulia. Penggunaan kata karakter, memang sering dipakai secara bergantian dengan watak, sikap, sifat, perilaku dan sering pula dikaitkan dengan etika, moral, kebiasaan-kebiasaan seseorang, atau pembawaan seseorang. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa istilah karakter mengandung arti sifat-sifat atau kebiasaankebiasaan dalam diri dan kehidupan seseorang yang sudah begitu tertanam serta berurat berakar, serta telah menjadi ciri khas diri.Watak - sifat - kebiasaan itu tetap menjadi ciri khas diri seseorang, apakah pada waktu dilihat orang lain ataupun tidak, apakah pada waktu seseorang itu menjalankan tugas tertentu ataupun tidak, ia ‘melekat’ dan terbawa kemanapun seseorang itu berada. The Webster”s Dictionary menerangkan pengertian watak atau character sebagai: ‘The aggregate features and traits that from the apparent individual nature of some person or thing; moral or ethical quality; qualities of honesty; courage; integrity; good reputation; an account of the qualities or peculiarities of a person or thing’. Bandingkan dengan The New International Webster’s Student Dictionary of the English Language (1996 ed.) yang mengemukakan istilah karakter berarti tanda (mark) atau cap (stamp). (Yunani: character); karakter berarti kualitas atau kebiasaan yang membedakan seseorang dari orang lainnya.Sebagai perbandingan, Ensiklopedia Pendidikan mencatat bahwa watak adalah ‘struktur rohani yang tampak pada kelakuan dan perbuatan, dan terbentuk karena pembawaan dan pengaruh lingkungan’.Dalam terjemahan bebas watak berarti keseluruhan ciri-ciri dan kebiasaan yang membentuk sifat dari seseorang atau sesuatu; kualitas moral atau etis; kualitas kejujuran;
45
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 keberanian; integritas; reputasi yang baik; gambaran kualitas atau keunikan dari seseorang atau sesuatu. Ensiklopedia Indonesia menyatakan bahwa karakter merupakan ‘keseluruhan dari segala macam perasaan dan kemauan yang menampak keluar sebagai kebiasaan pada cara bereaksiterhadap dunia luar, dan pada ideal-ideal yang diidamidamkan’.Karakter merupakan pancaran dari keadaan batin seseorang yang tampak dalam bentuk perilaku sehari-hari terkait dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan lingkungan alam. Karakter mempengaruhi pertimbangan dan pengambilan keputusan etis dan moral. Sebagai perbandingan, menurut Ensiklopedia Pendidikan, watak adalah ‘struktur rohani yang tampak pada kelakuan dan perbuatan, dan terbentuk karena pembawaan’. ‘When wealth is lost, nothing is lost; When health is lost, something is lost; When character is lost, everything is lost’. Tanpa karakter yang baik, manusia kehilangan segala-galanya, termasuk kehilangan sifat mulia kemanusiaannya. Karakter baik merupakan persyaratan agar kompetensi yang dimiliki oleh seseorang dipakai secara bijaksana. Kompetensi hanya akan menjadi kekayaan dan membawa manfaat bagi orang banyak apabila kompetensi tersebut disertai dengan karakter yang baik dan benar. Sebaliknya, orang yang berkompetensi tinggi namun karakternya tidak baik dan benar cenderung akan memakai kompetensinya untuk hal-hal yang merugikan masyarakat. Tidak ada istilah terlambat guna pembentukan karakter. Memang, untuk melakukan perubahan karakter bagi orang dewasa, dibutuhkan sekian banyak hal, namun tidak demikian halnya dengan kanak-kanak dan remaja. Bagi mereka dibutuhkan antara lain, pengetahuan tentang nilai, adanya lingkungan yang kondusif, pelatihan dan pembiasaan, persepsi terhadap pengalaman hidup; karenanya didik dan latihlah mereka sejak usia dini! Umur 0 – 8 tahun biasa disebut the golden age, karena berbagai jendela kesempatan (windows of opportunity) muncul karena berkembangnya otak. Proses pembentukkan karakter pada sesorang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang khas yang ada pada orang yang bersangkutan, sering juga disebut faktor bawaan atau faktor endogen atau nature dan oleh faktor lingkungan atau eksogen atau nurture. Antara keduanya ada interaksi: manusia yang dapat mengubah/membentuk budaya lingkungan, tetapi lingkungan juga dapat membentuk karakter manusia. Hal tersebut terutama tumbuh dalam perilaku keteladanan yang secara tidak sengaja merasuk dalam kehidupan kejiwaan seseorang dan dialaminya dalam lingkungan dekat, rumah dan sekolah. Sekolah adalah tempat persemaian dan tanah subur bagi potensi
46
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 manusia, sedangkan peran orangtua di rumah adalah pendidik pertama dan utama bagi putra-putrinya, unsur keteladanan sangat besar pengaruhnya. Cara (metodologi) membina karakter tidak dapat lagi dilakukan melalui hafalan, dogma atau indoktrinasi, namun harus lebih memperhatikan perilaku yang tak langsung dapat diamati dan bersifat intrinsik. Pendidikan yang berorientasi pada pengembangan karakter hendaknya memandang peserta didik sebagai bibit-bibit yang punya potensi keunggulan yang beragam atau berbeda-beda. Mereka bukan bibit yang seragam atau sejenis, mereka terdiri dari perbedaan individu yang satu dengan yang lainnya dan harus diakui sebagai sumber potensi kreatifnya. Agama memberi perhatian yang sangat besar kepada pembentukan karakter, karena menurut pandangan agama karakter dapat dibentuk sejak dini, perhatiannyapun dalam hal ini diarahkan sejak dini, bahkan ada yang berpendapat sejak janin masih di dalam kandungan ibu. Situasi kejiwaan ibu-bapak pada saat pembuahan, kondisi kejiwaan ibu sepanjang masa kehamilan, doa orangtua, di samping gizi makanan ibu dapat mempengaruhi kepribadian anak. Demikian juga kedekatan ibu-bapak sejak kelahirannya, suasana kehidupan rumah tangga serta lingkungan sosial pada saat kanak-kanak dan remaja, serta unsur keteladanan, semuanya mempunyai andil besar dalam pembentukan karakter seseorang. Karakter terbentuk melalui perjalanan hidup seseorang. Ia dibangun oleh pengetahuan dan pengalaman, serta penilaian terhadap pengalaman itu. Human Character and Behaviour adalah salah satu cara membentuk pribadi unggul. Pembentukan watak berdasarkan lima sikap dasar, yaitu: jujur, terbuka, berani mengambil resiko, komitmen dan mau berbagi merupakan upaya membentuk seseorang menjadi profesional, bermoral, dan berkarakter, ini akan berhasil jika dimulai dari diri sendiri, dalam keluarga (sebagai sel inti komunitas bangsa) dan akhirnya dalam masyarakat bangsa Jati diri yang kuat hanya bisa terbentuk kalau seseorang membangun karakter – watak – jiwa yang tangguh, yang di dalamnya terkandung konsistensi, integritas dan dedikasi, loyalitas dan komitmen secara vertikal (dengan Sang Khalik, Tuhan Yang Maha Esa) maupun secara horizontal (dengan sesama, masyarakat, negara dan bangsa). Untuk itu dibutuhkan komitmen, ketekunan, keuletan, proses, metode, waktu, dan yang terpenting adalah keteladanan, sehingga dapatlah dikatakan bahwa pelajaran pendidikan karakter terbaik ialah hidup itu sendiri, bukan pembelajaran intelektual. Pelajaran pendidikan karakter haruslah melibatkan semua pihak; rumah tangga dan keluarga; sekolah; dan lingkungan sekolah lebih luas (masyarakat). Pembentukan watak dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama
47
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 antara ketiga lingkungan pendidikan (educational networks) tidak ada kesinambungan dan harmonisasi. Hendaklah keluarga menjadi ‘school of love’ (sekolah untuk kasih sayang, karena keluarga adalah unit terkecil dari sebuah masyarakat); sedangkan sekolah adalah institusi yang menyelenggarakan proses pembelajaran yang berorientasi pada
nilai (value-oriented enterprise), karena ia merupakan usaha
sengaja masyarakat manusia untuk mengontrol pola perkembangannya.
KESIMPULAN Pada
akhirnya
perkenankan
penulis
menyampaikan
bahwa
perlu
menumbuhkembangkan pendidikan karakter disetiap institusi pendidikan yang ada di Indonesia, mengingat bangsa ini harus memiliki arah yang jelas dalam mewujudkan tujuan pendidikan sesuai bunyi Pasal 3 UU Sisdiknas No. 20/2003: ‘Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab’. Hal ini tidak hanya memberikan harapan (hope) tentang masa depan kepada masyarakat, tetapi juga mendorong rasa percaya diri (confident) yang kuat atas diri seseorang. Oleh karena itu Karakter, Komunikasi, Keberanian sangat dibutuhkan oleh bangsa ini. Apabila kebutuhan Pendidikan Karakter ini lebih dipahami dan dilakukan oleh pendidik berkarakteryang sanggup melakukan tindakan perlakuan dengan lebih terarah, maka kemartabatan dan jati diri bangsa dalam pembentukkan karakternya akan senantiasa bertumbuh dan berkembang dengan baik dan benar demi kemaslahatan seluruh umat manusia di bumi ini. DAFTAR PUSTAKA David, Gill, 2000, Becoming Good: Moral Character (Downers Grove, IL: IVP). Linda and Richard Eyre, 1993, Teaching Your Children Values, (Simon & Schuster). Sastrapratedja, M., 1993, Pendidikan Nilai dalam Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Peny. EM. K. Kaswardi, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Semiawan, C, R, 2010, Peran Pendidikan Dalam Pembangunan Karakter Bangsa. Konferensi Nasional dan Workshop Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia. Soedarsono, Soemarno, 2002, Character BuildingMembentuk Watak, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Ted, Ward, 1988, Nilai Hidup Dimulai dari Keluarga, Malang: Gandum Mas.
48
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 LAYANAN PENEMPATAN DAN PENYALURAN DALAM MEMPERSIAPKAN KARIER SISWA Heni Sulusyawati, M.Pd.1 1
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH Bengkulu
[email protected] Abstrak
Masih banyak siswa siswi yang tidak perduli dengan karier yang akan digeluti nantinya. Sementara karier merupakan hal yang sangat penting bagi siswa, maka dari itu karier mesti di persiapkan sedini mungkin, Guru BK memiliki peran dan tanggung jawab dalam membantu siswa-siswi merencanakan karier yang sesuai dengan potensi dirinya, melalui layanan penempatan dan penyaluran yang ada di dalam bimbingan dan konseling dapat digunakan untuk membantu siswa-siswi dalam mempersiapkan karier yang sesuai dengan potensi diri. Kata kunci : layanan penempatan, bimbingan karier PENDAHULUAN Karier Kamerupakan hal yang sangat penting terutama bagi siswa, persiapan karier mesti di mulai sejak dini, artinya sejak di bangku sekolah siswa sudah mempersiapkan karier yang diinginkan yang akan digeluti di masa yang akan datang. Menyikapi persoalan tersebut makaguru BK di sekolah memiliki tanggung jawab dalam membantu siswa-siswa mempersiapkan karier yang yang sesuai dengan potensi dirinya. Guru BK di sekolah dapat memanfaatkan layanan penempatan dan penyaluran dalam membantu siswa-siswi mempersiapkan karier di masa yang akan datang. Sesuai dengan Undang-undang No. 20/2003, sekolah sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan formal mempunyai peranan yang sangat penting dalam usaha mempersiapkan karier siswa. Demi mensukseskan tujuan pendidikan nasional tersebut pada setiap satuan pendidikan harus disusun kurikulum pendidikan. Oleh karena itu, kegiatan bimbingan dan konseling harus diselenggarakan dalam bentuk kerjasama dengan pihak-pihak sekolah untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan. Dalam implementasi kurikulum 2013, kegiatan bimbingan dan konseling ditegaskan adanya daerah garapan yang disebut peminatan peserta didik, yang mana pada tahun-tahun sebelumnya disebut dengan penjurusan yang dilaksanakan ketika kenaikan kelas. Peminatan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menempatkan diri pada jalur yang lebih tepat dalam rangka penyelesaian studi secara terarah, sukses, dan jelasdalam arah pendidikan selanjutnya dan karier yang diingnkan. Banyak persepsi bahwa jurusan IPA lebih baik dari pada jurusan IPS,
49
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 sementara tidak seperti itu jurusan merupan pengelompokkan dalam jurusan, tetapi bukan dilihat dari segi tinggi rendah, maupun baik dan buruknya, tetapi dimana siswasiswi memang benar-banar menyukai bidang itu.Hasil penelitian Nusantoro & Marsetyana 2015 Menunjukkan pelaksanaan layanan peminatan pada kurikulum 2013 di SMK Negeri Se-Kota Semarang termasuk dalam kategori tinggi (71.59%). Agar bimbingan dan konseling di sekolah dapat berjalan dengan baik dalam membantu siswa merencanakan kariernya, maka perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi
perencanaan
karier
siswa.
Winkel
dan
Hastuti
(2013:647)
mengemukakanfaktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan karier yaitu nilai-nilai kehidupan(values),
inteligensi,
bakat
khusus,
minat,
sifat-sifat,
pengetahuan,
keadaanjasmani, masyarakat, keadaan sosial ekonomi negara atau daerah, status sosial ekonomi keluarga, pengaruh anggota keluarga, pendidikan sekolah, pergaulan dengan teman sebaya, dan tuntutan yang melekat pada masing-masing jabatan. PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Layanan Penempatan dan Penyaluran Layanan penempatan dan penyaluran (PP) membantu individu atau klien untuk dapat terhindat (fungsi pencegahan) dan mengalami mismatch yang dimaksud itu. Individu dengan potensi dan kondisi diri tertentu ditempatkan pada lingkungan yang lebih serasi agar potensi yang ada dapat berkembang secara optimal (Prayitno, 67:2012). Ahsin Zakaria dan Elisabeth Cristiana, 2014 mengemukakan layanan penempatan dan penyaluran merupakan salah satu layanan Bimbingan dan konseling. Layanan penempatan dan penyaluran bertujuan untuk menempatkan peserta didik pada situasi atau keadaan di mana kelebihan, potensi atau bakat yang dimiliki dapat berkembang dengan optimal. Qomariyah., Nursalim., Pratiwi., Nuryono. 2013 mengemukakan Konselor telah berperan aktif dalam pilihan karier mulai dari perencanaan program, pelaksanaan, serta evaluasi dari program yang dilaksankan.Konselor juga bekerjasana dengan banyak pihak baik dari dalam sekolah maupun dari luar sekolah untuk membantu siswa menentukan pilihan karier. 2.2 Tujuan Tujuan layanan penempatan dan penyaluran dikaitkan dengan fungsi-fungsi konseling, yaitu: a. Fungsi pemahaman
50
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 b. Fungsi pencegahan c. Fungsi pengentasan d. Fungsi pengembangan dan pemeliharaan e. Fungsi Advokasi 2.3 Komponen 1. Konselor Konselor sebagai pelaksana layanan Penempatan dan Penyaluran adalah ahli pelayanan konseling yang sangat peduli terhadap optimalisasi perkembangan individu demi kebahagiaan kehidupannya. 2. Subjek Layanan dan Masalahnya Subjek layanan PP adalah siapa saja yang memerlukan kondisi lingkungan yang lebih sesuai dengan kebutuhan kehidupan dan perkembangannya, baik di sekolah, di rumah, dalam organisasi, lingkungan kerja, lembaga seni, dan budaya, dunia keilmuwan dan sebagainya.
2.4 Asas Penyelenggaraan layanan penempatan dan penyaluran relatif sangat terbuka dan sering kali mengikutsertakan pihak-pihak di luar konselor dan diri subjek layanan. Dalam hal ini asas kesukarelaan dan keterbukaan subjek layanan (klien) sangat penting. Posisi klien untuk mengambil keputusan sendiri harus mendapatkan penguatan. Setelah itu asas kekinian dan asas kegiatan merupakan jaminan bagi kelancaran dan suksesnya layanan penempatan dan penyaluran.
2.5. Pendekatan dan Teknik 1. Format 2. Stategi BMB3 3. Materi Layanan a. Mengkaji potensi dan kondisi diri subjek layanan atau klien b. Mengkaji kondisi lingkungan, dimulai dari lingkungan yamg paling dekat, mengacu kepada arah penempatan/penyaluran subjek layanan c. Mengkaji kesesuaian antara potensi dan kondiri diri subjek dengan kondisi
yang
tersediah
atau
yang
ada,
serta
mengidentifikasi
permasalahan yang secara dinamis berkembang pada diri subjek.
51
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 d. Mengkaji kondisi dan prospek lingkungan yang ada atau baru yang mungkin “ditempati” subjek. e. Menempatkan subjek ke lingkungan baru. 4. Teknik dan bentuk Penempatan/Penyaluran a. Studi Awal 1) Studi dokumentasi terhadap hasil-hasil aplikasi instrumen dan himpunan data 2) Studi dokumentasi terhadap kesempatan yang ada yang ddapat dipilih oleh subjek layanan untuk mengarahkan diri sendiri. 3) Observasi b. Bentuk Penempatan Beberapa bentuk diantaranya antara lain: 1) Penempatan duduk siswa di dalam kelas 2) Penempatan siswa dalam kelompok belajar 3) Penempatan dan penyaluran siswa ke jurusan/program studi lanjutan 4) Penempatan siswa dalam kelompok kegiatan bakat dan minat khusus atau ekstrakurikuler 5) Penempatan
subjek
pada
posisi
tertentu
dalam
organisasi
kesiswaan atau organisasi lain 6) Pemindahan subjek ke lembaga pendidikan yang lebih sesuai 7) Pemindahan atau penggantian mata pelajaran, mata kuliah, atau bidang studi atau jurusan sesuai dengan pilihannya. 8) Pemindahan anak asrama ke ruangan atau kamar lain 9) Pemindahan tempat tinggal. c. Rencana bersama 3.1 Pengertian Bimbingan Karier Karier adalah pekerjaan, profesi (Hornby dalam Walgito, 1957:201). Seseorang akan bekerja dengan senang hati dan penuh kegembiraan apabila apa yang dikerjakan itu memang sesuai dengan keadaan dirinya, kemampuannya, dan minatnya.Yusuf (2002:59) mengemukakan dunia pendidikan merupakan masa pre-okupasi, dan memasuki pensiun merupakan masa post-okupasi. Sebagai suatusistem, masa pre-okupasi, okupasi dan masa post-okupasi hendaknya menyatu dalam kehidupan seseorang sehingga sukses karier merupakan suatu
52
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 rentang keberhasilan dalam tiga “dunia” yang berhubungan seperti terlihat pada gambar
berikut
ini.
Super
(dalamSharf,2010:228)
mengemukakan bahwa
perencanaan karier dapat mengukur tingkat pemahaman individu tentang berbagai jenis pencarian informasi dan aspek-aspek pekerjaan. Terdapat perbedaan perkembangan karier individu, Super (dalam Herr,Cramer& Niles 2004:413-414) membedakan tujuan pelaksanaan bimbingan dan konseling karier pada tingkat pendidikan,yaitu: incontrast to goals for elementary and junior high school populations, those for senior high emphasize specific planning and awareness of life roles as a consumer and as one engaged in leisure time pursuits. Examples of program goals that might be adapted to a particular senior high school (National Occupational Information Coordinating Committee, 1989) include the following. 1) Self-knowledge 2) Educational and occupational exploration 3) Career planning 3.2 Tujuan Bimbingan Karier 1. Dapat memahami dan menilai dirinya sendiri, terutama yang berkaitan dengan potensi yang ada dalam dirinya mengenai kemampuan, minat, bakat, sikap, dan cita-cita. 2. Menyadari dan memahami nilai-nilai yang ada dalam dirinya dan yang ada pada masyarakat. 3. Memahami berbagai jenis pekerjaan yang berhubungan dengan potensi yang ada dalam dirinya, mengetahui jenis-jenis pendidikan dan latihan yang diperlukan bagi suatu bidang tertentu, serta memahami hubungan usaha dirinya yang sekarang dengan masa depannya 4. Menentukan hambatan-hambatan yang mungkin timbul, yang disebabkan oleh dirinya sendiri dan faktor-faktor lingkungan, serta mencari jalan untuk dapat mengatasi hambatan-hambatan tersebut. 5. Para siswa dapat merencanakan masa depannya, serta menemukan karier dan kehidupannya yang serasi atau sesuai. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa layanan penempatan dan penyaluran dapat dimanfaatkan oleh Guru BK dalam membantu siswa siswi di sekolah untuk mempersiapkan karier siswa yang sesuai dengan potensi dirinya.
53
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 DAFTAR PUSTAKA Walgito, B. 2010. Bimbingan Konseling Studi & Karier. Yogyakarta. C.V ANDI OFFSET Herr, E. L., Cramer, S. H., Niles, S. G. 2004. Career Guidance and Counseling Through the Lifespan: Systematic approaches. Boston: Allyn and Bacon. Sharf, R. S. 2010.Applying Career Development Theory to Counseling.Edition 5 TH Pacific Grove, California. University of Delaware: Brooks/Cole CengageLearning. Winkel, W. S.,&Hastuti, M. M. S. 2013.BimbingandanKonseling di InstitusiPendidikan. Yogyakarta: Media Abadi. Yusuf, A. M. 2002.KiatSuksesdalamKarier. Jakarta: Ghalia Indonesia. Prayitno. 2012. Jenis Layanan dan Kegiatan Pendukung Konseling. Padang: Program Pendidikan profesi Konselor. Ahsin., Z & Elisabeth., C. 2014. Pelaksanaan Layanan Penempatan dan Penyaluran Untuk Peningkatan Potensi Non Akademik Anak Usia Dini Kelompok Adi TK Insan Taqwa.(Online), Vol. 04, No. 02. (http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jbk diakses 8 Desember 2016). Qomariyah., N., Nursalim., M., Pratiwi.,T.I.,Nuryono.,W. 2013. Peran Konselor dalam Proses Pilihan Karier Siswa Kelas XII Di Sekolah Menengah Tingkat Atas Negeri Kabupaten Sampang Tahun Ajaran 2012-2013. (Online), Vol. 03, No. 01. (http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jbk diakses 8 Desember 2016.) Marsetyana., F. & Nusantoro., E. 2015. Pemahaman Guru BK Tentang Pelaksanaan Layanan Peminatan Pada Kurikulum 2013. (http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jbk diakses 8 Desember 2016.
54
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 FACEBOOK SEBAGAI ALTERNATIF MEDIA KONSELING YANG MENARIK BAGI SISWA
Hermi Pasmawati
[email protected] Institut Agama Islam Negeri Bengkulu Abstract Counseling activities during this time are more likely to be carried out face to face and implementation is done in a closed room, still not so used by students as a means of a sharing places when they have problems, even the tendency of students prefer facebook account as a place to share or make wishes for their emotions. Facebook is a social networking account that its largest users come from students or teenagers. This condition certainly allows utilized by teachers guidance and counseling or school counselors to establish proximity with the students, so it will be a good emotional atmosphere wakes up between students and teachers guidance and counseling, with the means of media that are more fun and interesting, other that though this account surely will also add to the image more positively to guidance and counseling during this more likely destined for the troubled students breaking school rules or have a poor achievement in school. The process of counseling done by utilizing this facebook account to keep using the existing five stages in the process of counseling face to face and in a frame of professional confidentiality, which means that basis being the main thing, besides the process of troubleshooting client or conseli. Kata Kunci : Facebook, Alternatif Media Konseling
PENDAHULUAN Konseling sebagai layanan yang membahagiakan masih cenderung dimaknai sebagai salahsatu kegiatan yang diperuntukan bagi siswa yang bermasalah, siswa yang nakal, siswa yang malas dan tidak displin sering melanggar peraturan, dan pembangkang, atau siswa yang memiliki hasil belajar yang buruk di sekolah dan segala bentuk lebel bermasalah lainnya, sehingga banyak siswa yang enggan untuk melakukan konseling secara sukarela,dengan demikian konseling masih cenderung dianggap sebagai kegiatan yang tidak menyenangkan, kondisi ini tentu sangat jauh dari harapan dan tujuan dilaksanakan proses konseling tersebut, yaitu sebagai proses bantuan yang membantu dapat mengidentifikasi hambatan atau kendala dalam diri klien atau konselidan lingkungan untuk berkembang, membantu untuk mengambil keputusan, dan memandirikan, sebagaimana pendapat Prayitno dan Erman Amti (2004:291). bahwa proses konseling bertujuan membantu klien atau konseli untuk dapat memahami diri dan lingkungannya, sehingga dapat membawa seseorang menuju kondisi yang membahagiakan, sejahtra, nyaman, dan berada pada kondisi kehidupan yang lebih efektif.Melekatnya image atau penilaian siswa terutama terhadap
55
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 konseling di sekolah yang sudah terlanjur negatif membutuhkan usaha alternatif sosialisasi atau tindakan yang berbeda sehingga menumbuhkan persepsi yang lebih positif
dikalangan siswa
terhadap
proses konseling,
sebagai layanan
yang
menyenangkan, dan membahagiakan, salah satunya dengan menggunakan akun facebook, sebagai salah satu jejaring sosial yang sangat banyak digemari di Indonesia, berdasarkan data Tekno Kompas (2016) pengguna fecebook di Indonesia sekitar 40,8 juta orang, yang sebagaiannya adalah pelajar atau remaja. Di pilihnya akun facebook sebagai salah satu arternatif media konseling dalam artikel ini tentunya memiliki alasan tersendiri, diantaranya akun facebook merupakan salah satu akun yang paling besar penggunannya, sebagai salah satu akun yang cukup sederhana digunakan sebagai media chat, dan aplikasinya juga sangat mudah untuk ditemukkan, hampir disemua komputer dan semartphone dilengkapi dengan aplikasi ini. Selain siswa atau remaja akun facebook juga merupakan akun yang hampir guru-guru memiliki dan menggunakannya termasuk juga guru BK atau konselor sekolah, pemanfaatan facebook sebagai tempat curhat bagi siswa dengan gurunya termasuk dengan guru BK selama ini sebenarnya sudah berlangsung, namun belum dikemas dalam bingkai yang lebih profesional, artinya masih belum dilakukkan sebagai proses yang disengaja atau belum ditindak lanjuti dengan proses konseling yang lebih serius, misalnya dilakukan secara berkelanjutan, konselor menyediakan akun facebook khusus untuk kegiatan layanan konseling, artinya akun khusus yang tidak bercampur dengan kegiatan atau aktivitas pribadi dan keluarga, di akun ini konselor dapat memposting hal-hal yang dibutuhkan siswanya, misalnya tentang karir, kebutuhan akan motivasi, serta informasi-informasi yang lain yang bermanfaat dalam membantu kebutuhan siswa, disamping itu hal yang sangat penting tentunya sosialisasi tentang Bimbingan dan Konseling sebagai layanan yang menyenangkan bagi siswa, serta aktivitas konseling yang diperuntukkan bagi siswa yang dapat dijadikan sebagai penghubung atau langkah awal untuk melakukkan proses konseling face to face di sekolah. Artikel ini mencoba memberikan gambaran tentang akun facebook yang dijadikan sebagai alternatif media konseling yang menarik bagi siswa. PEMBAHASAN Sejarah dan Deskripsi Facebook Facebook pertama kali dikembangkan pada tahun 2004 oleh Mark Elliot Zuckerberg seorang mahasiswa Harvard.Sebelumnya, Facebook bernama The Facebook yang hanya digunakan dikalangan Universitas Harvard saja kemudian
56
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 berkembang di kampus Stanford.Pada saat itu, pengguna yang terdaftar di The Facebook hanya sebatas pada orang-orang yang memiliki E-Mail dengan ekstensi.edu. Artinya, The Facebook hanya untuk keluarga universitas dari kampus yang didukung. Seiring berjalannya waktu, universitas yang didukung semakin banyak hingga mencapai semua universitas di Amerika. Setelah The Facebook berganti nama menjadi Facebook, berangsur-angsur Facebook mulai meninggalkan pembatasan terhadap penggunanya, artinya semua orang dapat bergabung di Facebook asalkan memiliki E-Mail yang aktif dan valid. Negara Amerika merupakan negara pengguna akun facebook terbesar, diikuti oleh negara Inggris dan Kanada. Sedangkan untuk di Asia, pengguna Facebook terbanyak
adalah
di
Cina
dan
Indonesia
(http://media-
bloggerku.blogspot.com/2013/03/apa-itu-facebook-sejarah-dan-pengertian.htm). Manfaat facebook sebagai tempat curhat dan membina kedekatan dengan Siswa Hubungan intraksi antara guru dengan siswa sejatinya harus terbina dengan baik, apalagi seorang guru BK yang tentunya dituntut untuk lebih dekat dengan siswa, sehingga akan memudahakan proses pemberian layanan, terutama proses konseling perorangan atau konseling individual, untuk membina kedekatan dengan siswa dibutuhkan pendekatan yang baik, selain pendekatan face to face pendekatan melalui sentuhan teknologi juga sangat dimungkinkan, salah satunya dengan akun jejaring sosial atau facebook, salah satu fitur yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk konseling online melalui chatting atau vidio call adalah akun jejaring sosial, Ifdil (2013). Melalui akun jejaring sosial ini, guru BK akan lebih memungkinkan untuk dapat membina kedekatan dengan siswa dengan cara yang metode yang berbeda, dan tentunya lebih menarik untuk dilakukan, hal ini juga dapat dijadikan alternatif mensosialisasikan Bimbingan dan Konseling sebagai kebutuhan bagi siswa bukan sebagai momok yang menakutkan dikalangan siswa. Dengan kata lain akun facebook ini adalah alternatif sarana sosialisasi Bimbingan dan konseling, mempositifkan image BK dikalangan siswa agar lebih positif dan sebagai kegiatan layanan yang menyenangkan, sehingga siswa akan tertarik melakukan konseling pada guru BK, di samping pemanfaatan akun facebook ini juga akan sangat membantu bagi guru-guru yang tidak memiliki jam masuk kelas sebagai salah satu sarana sosialisasi pelayanan Bimbingan dan Konseling.Proses layanan yang selama ini hanya dilakukkan di ruangan tertutup dengan format tatap muka langsung, dengan adanya facebook tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, konseling dapat dilakukan dimana dan kapan saja,
57
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 asalkan terkoneksi dengan jaringan internet, apalagi pada kondisi sekarang perangkat yang digunakan juga sudah sangat sederhana dan mudah yaitu menggunakan smartphone. Sosialisasi Akun Facebook pada siswa sebagai salah satu sarana yang dapat dimanfaatkan dalam proses pelayanan konseling Terbatasnya jam pelayanan klasikal di kelas juga terkadang menjadi tantangan tersendiri bagi guru BK dalam menyampaikan atau mensosialisasikan Bimbingan dan Konseling secara lebih luas dan menyeluruh, bahkan di beberapa sekolah masih ditemukkan belum adanya jam khusus masuk lokal bagi guru BK, sehingga proses pelayana konseling sangat terbatas, di samping itu keterbatasan jumlah guru BK juga menjadi tantangan tersendiri untuk dapat melaksanakan proses layanan konseling yang optimal terhadap rasio idela 150 orang siswa untuk satu orang guru BK, sehingga dibutuhkan sarana atau media alternatif yang dapat menjadi penghubung antara guru BK dengan siswa asuhnya, salah satunya melalui akun jejaring sosial atau facebook, yang merupakan akun media sosial yang paling banyak digunakan dikalangan pelajar atau remaja. Sosialisasi
akun
jejaring
sosial
ini
dapat
dilakukan
dengan
cara;
1)
menyampaikannya di kelas-kelas saat jam pelayanan Bimbingan dan Konseling, setelah proses pelayanan klasikal di kelas, guru BK dapat memberikan informasi ke siswa tentang akun facebook konselor, dan group khusus 150 orang siswa binaan koselor, di akun facebook ini siswa dapat menginbox masalah-maslah pribadi baik yang berkaitan dengan belajar, sosial, karir, ataupun masalah keluarga.2) Majalah Dinding Sekolah(madding sekolah), Guru BK juga dapat mensosialisasikan layanan alternatif melalui akun facebook di mading sekolah yang tentunya lebih memungkinkan untuk dibaca oleh siswa. 3) Orientasi Siswa Baru saat orientasi siswa baru merupakan waktu yang cukup efektif sosialisasi pelayanan yang tersedia di sekolah, salah satunya kegiatan layanan Bimbingan dan Konseling , selain disampaikan secara tatap muka klasikal dalam kegiatan Orientasi Siswa Baru, guru Bimbingan dan Konseling juga dapat mengenalkan pada siswa bahwa akun jejaring sosial yang biasa mereka gunakan sebagai tempat berkomunikasi dengan teman, atau sebagai sarana mencari teman yang belum dikenal, menambah wawasan, sebagai tempat curhat, sebagai tempat eksistensi diri dengan menggungah foto atau kegiatan yang dilakukan, juga dapat dimanafaatkan sebagai sarana konseling dengan guru BKnya.
58
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 Proses konseling melalui facebook Konseling melalui akun jejaring sosial atau facebook pada dasarnya memiliki langkah dan proses yang sama dengan proses konseling face to face, namun yang membedakannya adalah konselor dan klien atau konseli tidak berada pada ruang dan waktu secara bersamaan, namun dihubungkan dengan perangkat atau media komputer atau melalui semartphone yang didalamya sudah ada aplikasi facebook. Adapun langkah konseling dengan menggunakan akun facebook juga melewati lima tahapan yang ada dalam konseling individual, yaitu . 1. Tahap pengantaran,pada tahapan ini karena proses konseling menggunakan chat ataupun vidio call lebih spontan, konselor tidak perlu melakukan penstrukturan yang panjang, atau penstruktruan yang penuh, bahasa yang digunakan juga bisa lebih sederhana dan yang penting dipahami oleh klien atau siswa yang sedang chat dengan konselor. Inti dari tahapan ini adalah konselor menciptakan suasana emosioal yang nyaman pada konseli. 2. Penjajakan; tahapan penjajakan sangat penting dilakukan untuk menentukan arah tahap pembinaan dalam konseling, padatahap ini konselor jangan terlalu buru-buru dalam memberikan solusi yang seharusnya dilakukan pada tahap pembinaan, karena kebiasaan yang sering terjadi saat proses chat baru dimulai klien atau konseli akan meminta saran atau masukan dari konselor terhadap masalah yang dihadapi, msekipun menggunakan media chat di akaun facebook, nmaun teknikteknik konseling tetap harus dilakukan, teknik pertanyaan terbuka, refleksi, dorongan minimal, penguatan dan beberapa teknik yang lain, intinya pada tahap ini konselor dapat menumukan semua informasi yang terkait dengan masalah, 3. Tahap Penafsiran; setelah proses pendalaman masalah dilakukkan barulah konselor dapat menyimpulkan secara keseluruhan tentang masalah yang sedangan dialami oleh klien atau konseli, sehingga arah penyelesaian masalah akan sesuai dengan masalah yang dihadapai klien atau konseli. 4. Tahap Pembinaan; jika tahap penjajakan dan penafsiran masalah sudah tepat maka akan sangat mudah dalma melakukkan proses pembinaan yang merupakan arah solusi atau penyelesaian masalah, disisni dapat dilakukkan teknik pemebrian informasi pemberian contoh, pemberian contoh pribadi, nasehat jika dibutuhkan,dan penguatan terhadap klien/ konseli 5) Tahap Penilaianatau mengakhiri konseling; sama halnya dengna kegiatan konseling face to face keberhasilan konseling salah satunya dapat diukur dari proses akhir atau hasil yang didapat klien atau konseli setelah melakukkan konseling, yaitu meliputi tiga hal berikut, pemahaman
59
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 baru (understanding), dicapainya
keringanan
beban
perasaan (comfort) dan
direncanakannya kegiatan setelah konseling (action),
lebih dikenal dengan
singkatan UCA (Prayitno, (2009). 5. Kelima tahap yang terdapat dalam penyelenggaraan konseling secara langsung face
to
face juga
diterapkan
pada
penyelenggaraan
konseling
melalui
facebooknamun pada penyelenggaraan konseling dengan chatting lebih terbuka untuk melakukan penyesuain karena konselor dan klien atau konseli tidak berada pada satu ruang atau tempat yang sama. Mulai dari tahap awal sampai tahap akhir, juga penggunaan teknik-teknik umum dan khusus tidak secara penuh seperti penyelenggaraan konseling secara langsung. Yang paling penting adalah proses konseling dapat memberikan makna yang lebih baik bagi konseli yang pada akhirnya dapat membantu pengentasan masalah konseli, atau terwujudnya suasana yang membahagiakan bagi konseli, atau dengan kata lain ketika proses konseling berlangsung menjadi suatu proses yang menyenakan tidak tegang atau rigid, yang selalu harus dilakukan berhadapan di ruang tertutup, namun lebih dari itu proses konseling lebih dinamis dan menyenangkan bagi siswa. Adanya media alternatif dalam proses konseling tentunya diharapkan dapat memberikan image yang lebih positif bagi proses pelayanan Bimbingan dan Konseling di sekolah. Selanjutnya sebagai media alternatif artinya akun facebook digunakan sebagai penghubung antara konseling face to face karena alasan masih terbatasnya SDM di sekolah, untuk membangun kedekatana, serta mendesaknya masalah untuk segera diselesaikan, yang tidak memungkinkan jika harus menunggu bertemu langsung dengan konselor. Sebagaimana pendapar Gibson (2008) Pelayanan konseling dilakukkan oleh konselor untuk memberikan kenyamanan bantuan yang dibutuhkan konseli ketika menghadapi suatu masalah dan tidak dimungkinkan untuk dilakukkan pertuman face to face. Selanjutanya proses pelaksanaan konseling dengan media ini tentunya tetap dalam bingkai yang profesional, artinya etika dasar konseling adalah hal yang sangat utama ditaati oleh konselor, yang salah satunya adalah kerahasiaan, sehingga tercipta proses konseling yang dinamis sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan perkembangan zaman. KESIMPULAN Facebook sebagai salah satu alternatif media konseling sangat memungkinkan sekali untuk dilakukan oleh guru Bimbingan dan konseling dalam mengembangkan layanan konseling yang lebih menarik dan inovasi bagi siswa, mengingat pengguna
60
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 facebook merupakan sebagaian besar remaja atau pelajar, disamping itu pemanfaatan akun jejaring sosial facebook juga dapat dijadikan solusi untuk memperbaiki image atau persepsi siswa bahwa kegiatan konseling merupakan proses kegiatan yang dikhususkan untuk siswa yang bermasalah, siswa yang nakal, kurang disiplin, sering melanggar tata tertib di sekolah, ataupun siswa yang memiliki prastasi belajar yang buruk di sekolah. Dengan pemanfaatan media ini tentunya dapat menjadi jembatan penghubung bagi
guru BK dalam menjalin hubungan intraksi yang baik atau
kedekatan dengan siswa, terutama siswa asuhnya, yang tentunya dengan adanya media ini akan memungkinkan 150 orang siswa yang menjadi tanggungjawab guru BK akan bisa terlayani. Di samping itu pemanfaatan akun jejaring sosial facebook ini juga akan memungkinkan lebih terbuka dan sukarelanya klien atau siswa dalam menyampaikan permasalahannya, sebagaiamana hasil penelitian, bahwa “ akun facebook atau jejaring sosial merupakan salah satu akun yang dijadikan tempat curhat dan spontanitas dari para penggunanya dalam menyampaikan masalah yang berkaitan dengan perasaan dan pikirannya.
DAFTAR PUSTAKA Ifdil. 2011. Penyelenggaraan Layanan Konseling Online Sebagai Salah Satu Bentuk Pelayanan E-Konseling.
Makalah
Seminar
Internasional
Bimbingan
dan
Konseling Universitas Pendidikan Indonesia 29 s/d 30 Oktober 2011. Dwi Andi Susanto (2015).Data Terkini Pengguna Facebook di Indonesia.. Diakses 28 November 2016, (dari www. Kompas.com/data_terkini_ pengguna facebook _di Indonesia.) Gibson R.L dan Mitchel M.H. 2008. Introduction to Counseling and Guidance. New York: Macmillan Publisher. Nelly’s. (2013). Sejarah dan pengertian Facebook. Diakses 24 November 2016. (http://Media-blogspot.com/2015/ facebook-sejarah-dan-pengertian. htm) Prayitno dan Erman Amti. 2004. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Renika Cipta.
61
Jakarta:
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 LAYANAN KONSELING INDIVIDUAL BERBASIS INTERNET SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBANGAN KOMUNIKASI Indana Zulfa
[email protected] Program Pascasarjana Bimbingan dan Konseling UNY
Abstract Individual counseling services can run as expected goals. But obstacles often arise when the counselee and counselor to deal with communication problems that can not be done at any time. In line with technological developments, the interaction between counselor and individuals it serves not only conducted through face to face relationship but can also be done through virtual relationships (virtual) via the internet. Various internet media that can be used to help counselors to communicate without face to face with the counselee. Developments in technology also requires readiness and adaptation counselor in the mastery of technology in conducting individual counseling, so that the counselor must understand the procedures including the use of internetbased counseling preparation stage, the process of counseling and post-counseling stage. Keywords:internet, Individual counseling, communications development. PENDAHULUAN Bimbingan dan konseling sebagai bagian dari sekolah yang membantu siswa mengatasi segala permasalahan yang dihadapi dalam proses studi untuk mencapai perkembangan yang optimal. Segala upaya dapat dilakukan untuk menjalin hubungan emosi antara guru pembimbing (konselor) dengan siswa. Salah satu bentuk praktik konselor adalah melakukan pelayanan responsif berupa konseling individual. Konseling yang pasti adalah aktivitas terpenting di dalam kerja seorang konselor. Namun proses layanan konseling individu bukan tanpa hambatan. Berdasarkan penelitian dari Shanty dan Christina pada tahun 2013 tentang pelaksanaan layanan konseling individu, diketahui bahwa hambatan dalam konseling individu antara lain (1) banyaknya konseli yang hanya terpaku pada panggilan konselor (2) Perkembangan masalah siswa pasca konseling sulit diketahui, (3) banyak konseli yang menganggap bahwa ketika masuk ke ruang BK pasti siswa yang nakal, persepsi itulah yang membuat konseli malu ketika datang ke ruang BK ataupun berkomunikasi dengan konselor secara langsung. Salah satu upaya untuk mengoptimalkan layanan bimbingan dan konseling di zaman yang semakin maju ini adalah dengan memanfaatkan internet.Seiring dengan
62
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 perkembangan teknologi, ada cara baru yang dapat membantu proses konseling, yaitu dengan memanfaatkan teknologi untuk berkomunikasi melaui format jarak jauh yang dikenal dengan istilah e-konseling. Artinya, pelayanan konseling individu yang diberikan konselor dapat menggunakan teknologi yang siap tersedia untuk konseli dan menguntungkan bagi kedua belah pihak. Adapun teknologi seperti telepon genggam, video camera, komputer, dan internet merupakan kebutuhan sehari-hari pada masa kini. Media teknologi akan mempermudah akses pemberian bantuan terhadap konseli jika dimanfaatkan secara tepat guna dan terlatih. Konselor sangat diharapkan akan layanan bantuannya oleh para konseli melalui layanan konseling. Layanan konseling mestinya dilakukan secara langsung dengan konseli (face to face), namun hal ini terkadang persoalan jarak sulit di pungkiri. Oleh karena itu perkembangan teknologi yang sudah makin cangih, konselor pun dapat melakukan dengan bantuan internet. Bagaimanapun pada masa mendatang, konseling individu dengan jarak yang jauh akan menggunkan jaringan internet untuk menyediakan bantuan pada tempat dan waktu yang berbeda. PEMBAHASAN 1. Layanan Konseling Individual Berbagai jenis layanan dan kegiatan perlu dilakukan sebagai penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling terhadap sasaran layanan yaitu peserta didik atau siswa. Salah satu layanan dalam bimbingan dan konseling adalah layanan konseling individual. Dimana layanan ini dimaksudkan untuk mengembangkan potensi siswa dan membantu pemecahan , masalah yang dihadapinya. Konseling individual menurut Hellen (2005) yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik atau konseli mendapatkan layanan langsung tatap muka (secara perorangan) dengan guru pembimbing dalam rangka pembahasan pengentasan masalah pribadi yang di derita konseli. Proses konseling individu berpengaruh besar terhadap peningkatan klien karena pada konseling individu konselor berusaha meningkatkan sikap siswa dengan cara berinteraksi selama jangka waktu tertentu dengan cara beratatap muka secara langsung untuk menghasilkan peningkatan peningkatan pada diri klien, baik cara berpikir, berperasaan, sikap, dan perilaku. Tujuan umum dari layanan konseling individual menurut Prayitno (2005) adalah membantu klien menstrukturkan kembali masalahnya dan menyadari life style serta 63
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 mengurangi penilaian negatif terhadap dirinya sendiri serta perasaan-perasaan inferioritasnya. Kemudian membantu dalam mengoreksi presepsinya terhadap lingkungan, agar klien bisa mengarahkan tingkah laku serta mengembangkan kembali minat sosialnya. Sedangkan tujuan khusus konseling individu dalam 5 hal yakni, fungsi pemahaman, fungsi pengentasan, fungsi mengembangan atau pemeliharaan, fungsi pencegahan, dan fungsi advokasi. Secara lebih khusus menurut Tohirin (2007) tujuan layanan konseling individu merujuk pada fungsi-fungsi bimbingan dan konseling, Pertama; merujuk pada fungsi pemahaman, maka tujuan layanan konseling individual adalah melalui layanan konseling individual klien dapat memahami seluk-beluk masalah yang di alami secara mendalam dan komprehensif, positif, dan dinamis. Kedua; merujuk kepada fungsi pengentasan, maka layanan konseling individual bertujuan untuk mengentaskan klien dari masalah yang di hadapinya, ketiga; merujuk pada fungsi pemahaman dan pemeliharaan, tujuan layanan konseling individual adalah untuk mengembangkan potensi-potensi individu dan memelihara unsur-unsur positif yang ada pada klien. 2. Aplikasi Internet dalam Layanan Konseling Individual Menurut Smaldino (2012) internet merupakan sistem seluruh dunia untuk menghubungkan jaringan-jaringan komputer yang lebih kecil bersama-sama. Siapapun di internet bisa berkomunikasi dengan siapapun lainnya di internet. Lebih lanjut menurut
Laquey (1997) yang membedakan internet dari teknologi komunikasi
tradisional adalah tingkat interaksi dan kecepatan yang dapat dinikmati pengguna untuk
menyiarkan
pesannya.
Teknologi
komunikasi
internet
memberi
setiap
penggunanya kemampuan untuk berkomunikasi secara seketika dengan ribuan orang.Moh. Surya (2006) mengemukakan bahwa sejalan dengan perkembangan teknologi komputer interaksi antara konselor dengan individu yang dilayaninya (klien) tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi dapat juga dilakukan melalui hubungan secara virtual (maya) melalui internet, atau dengan istilah e-konseling. Perkembangan dalam bidang teknologi komunikasi menuntut kesiapan dan adaptasi konselor dalam penguasaan teknologi dalam melaksanakan bimbingan dan konseling.
Sebenarnya
pelayanan
e-konseling
tidak
hanya
terbatas
pada
penyelenggaraan konseling individual, namun diperluas menjadi penyelenggaraan bimbingan dan konseling secara keseluruhan dengan bantuan teknologi. Artinya banyak manfaat yang didapat dengan mengaplikasikan teknologi ke dalam layanan
64
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 bimbingan dan konseling. Menurut Blasio (2008: 799) manfaat yang ditawarkan oleh komputer dan digitalisasi membuat komunikasi jarak jauh lebih sederhana, lebih cepat dan ekonomis serta dapat diakses dengan mudah pemakaian teknolgi maka konselor akan mendapat banyak keuntungan atara lain memepermudah dalam berkomunikasi, lebih banyak menghemat waktu dari segi penyampaiannya. Dalam proses konseling individu, konselor dapat berkomunikasi dengan konseli menggunakan teknologi. Kondisi ini bertujuan untuk memudahkan konselor dalam membantu kliennya, memberikan kenyamanan kepada konseli dalam berkomunikasi dengan menggunakan aplikasi teknologi sebagai penghubung dirinya dengan konselor tanpa harus tatap muka secara langsung. Menurut Ifdil (2011) menyebutkan beberapa media internet yang dapat digunakan diantaranya: a. Website/situs Konselor dapat menyediakan sebuah alamat situs. Situs ini menjadi alamat untuk melakukan praktik online. Sehingga konseli yang
ingin melakukan konseling
online dapat berkunjung ke situs tersebut selanjutnya melakukan konseling proses konseling. Untuk dapat memenuhi layanan tersebut, maka konselor sudah pastinya menulis berbagai informasi yang dibutuhkan oleh siswa pada alamat website. Dalam melakukan layanan ini, sudah tentu harus memiliki website atau weblog tersendiri yang sudah online di internet. b. Telephone/ Handphone Telphone/handphone dapat digunakan untuk menghubungi konselor. konselor dapat mendengar dengan jelas apa yang diungkapkan kliennya melalui fasilitas telphone/handphone. Dengan fasilitas ini pula Konselor dengan segeranya dapat merespon apa yang dibicarakan oleh kliennya. Sudah tentu, untuk menjalankan layanan ini harus ada kesepakatan antara konselor dengan konseli untuk menjalankan layanan tersebut. Biasanya layanan ini lebih mengacu di luar setting jam sekolah. c. Email Email merupakan singkatan dari Electronic Mail, yang berarti 'surat elektronik'. Email merupakan sistem yang memungkinkan pesan berbasis teks untuk dikirim dan diterima secara elektronik melalui beberapa komputer atau telepon seluler. Lebih spesifik lagi, email diartikan sebagai cara pengiriman data, file teks, foto digital, atau file-file audio dan video dari satu komputer ke komputer lainnya, dalam suatu jaringan komputer (intranet maupun internet). Ada banyak penyedia account email
65
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 gratis seperti @yahoo, @gmail, @aim, @hotmail @mail, @tekomnet, @plasa dan masih banyak yang lainnya. Layanan ini bisa diupayakan lewat menulis e-mail antara konselor dengan konseli, dimana konseli menulis prihal yang akan dikonsultasikan kepada konselor. Chat, Instant Messaging dan Jejaring Sosial. Chat dapat diartikan sebagai obrolan, namun dalam dunia internet, istilah ini merujuk pada kegiatan komunikasi melalui sarana beberapa baris tulisan singkat yang diketikkan melalui keyboard. Sedangkan percakapan itu sendiri dikenal dengan istilah chatting. Percakapan ini bisa dilakukan dengan saling berinteraktif melalui teks, maupun suara dan video. Berbagai aplikasi dapat digunakan untuk chatting ini, seperti skype, messenger,google talk, dan juga melalui jejaring sosial seperti facebook , twitter dan myspase yang didalamnya juga tersedia fasiltas chatting. d. Video conference Sudah tentu untuk menjalankan layanan ini, pada masing-masing sekolah disediakan sarana internet, komputer dengan camera (webcam) atau laptop sebagai piranti utama untuk menjalankan program ini. Melalui videoconference ini antar konselor serta siswa/ konseli bisa bertatap muka secara langsung walaupun bersifat virtual, maka bentuk layanan yang bisa diupayakan adalah tergantung kreasi dari konselor itu sendiri. Adapun bentuk layanan bimbingan dan konseling yang bisa diupayakan yaitu: layanan konsultasi, layanan Informasi, layanan konseling individual,
layanan
konseling
kelompok,
beserta
layanan
lain
yang
bisa
dikembangkan oleh masing-masing konselor dan sesuai dengan kebutuhan konseli. 3. Prosedur Pelaksanaan Konseling Individu Berbasis Internet Prosedur pelaksanaan dalam konseling individu berbasis internet ini tidak terlepas dari dasar teoritis yang digunakan.Dalam melakukan proses konseling individu berbasis internet, konselor bebas memilih pendekatan konseling yang cocok dengan masalah konselinya. Dengan kata lain menurut Geldard (2009), tidak ada pendekatan konseling tunggaldalam proses konseling yang dapat memenuhi segala kebutuhan konseli. Menurut Ifdil (2011) menyebutkan bahwa proses konseling dapat dibagi menjadi tiga tahapan antara lain (1) Tahap persiapan, tahap persiapan mencakup aspek teknis penggunaan perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software), yang mendukung penyelenggaraan konseling online. Seperti perangkat komputer/laptop
66
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 yang dapat terkoneksi dengan internet/Ethernet, headset, mic, webcam dan sebagainya. Perangkat lunak yaitu program-program yang mendukung dan akan digunakan, account dan alamat email. selain itu juga kesiapan Konselor dalam hal ketrampilan, kelayakan akademik, penilaian secara etik dan hukum, kesusuaian isu yang akan dibahas, serta tata kelola. (2) Proses konseling, tahapan konseling online tidak jauh berbeda dengan tahapan proses konseling face to face tahapan (Prayitno. 2004) yaitu terdiri atas lima tahap yakni tahap, pengantaran, penjajagan, penafsiran, pembinaan dan penilaian namun dalam pelaksanaannya "kontinum fleksibel" dimana saling berhubungan dan bersambung sesuai tahap dan lebih terbuka untuk dimodifikasi mulai dari tahap awal sampai tahap akhir, juga penggunaan teknik-teknik umum dan khusus tidak secara penuh seperti penyelenggaraan konseling langsung. Pada
sesi
konseling
lebih
menekankan
pada
terentasnya
masalah
klien
dibandingankan dengan cara bentuk pendekatan, teknik dan atau terapi yang digunakan. pada tahap ini pemilihan teknik, pendekatan dan ataupun terapi akan disesuaikan dengan masalah yang dihadapi oleh klien. (3) Pasca konseling. Pada tahap ini merupakan lanjutan dari tahapan sebelumnya dimana setelah dilakukan penilaian maka yang pertama konseling akan sukses dengan ditandai dengan kondisi klien yang KES (effective daily living). Kedua, konseling akan dilanjutkan ada sesi tatap muka (Face to Face) dan Ketiga, Konseling akan dilanjutkan pada sesi konseling online berikutnya dan (4) klien akan direferal pada Konselor lain atau ahli lain. Dalam pelaksanaan konseling individu berbasis internet ini menekankan pada bagaimana menjalin hubungan yang penuh kehangatan, menerima konseli apa adanya tanpa ada penolakan, dan empati terhadap konseli agar konseli merasa nyaman dan mau terbuka atau jujur terhadap masalah yang dihadapi.Berkaitan dengan proses di dalam melaksanakan konseling individu berbasis internet ini, perlu ditekankan pada asas kerahasiaan. Kerahasiaan ini dimaksudkan agar permasalah konseli tidak boleh sampai diketahui oleh orang lain dan benar-benar terjaga kerahasiannya. Menurut Corey (2009: 35), kerahasiaan merupakan pusat pengembangan kepercayaan dan produktifitas hubungan konseli dengan konselor yang merupakan masalah etis dan sekaligus legal. 4. Keterbatasan Layanan Konseling berbasis Internet Keterbatasan media internet diantaranya adalah konseling sangat tergantung dengan dukungan media,
jika media yang digunakan tidak bermasalah, konseling
akan lancar dilakukan. namun sebaliknya, dengan menggunakan internet bisa saja
67
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 terputus dan bahkan tidak dapat terselenggara dengan matinya listrik, koneksi terganggu, atau rusaknya perangkat yang digunakan. Kondisi lain adalah tidak terlatihnya guru bimbingan dan konseling/konselor dalam penggunaan media. Tidak adanya pelatihan formal dan khusus yang dapat diikuti untuk terampil dalam menggunakan internet. KESIMPULAN Layanan konseling individu merupakan salah satu bentuk pelayanan dalam membantu memecahkan masalah yang dihadapi konseli dan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Konseling juga memerlukan suatu penyesuaian dengan kemajuan zaman yaitu dengan penerapan aplikasi teknologi. Alat-alat atau media dalam akses informasi di era global ini sangat beragam dan mutakhir, seperti telepon selular, komputer, internet dan media lainnya yang langsung (online) ataupun yang tidak langsung
(offline).
Maka
semua
media
teknologi
informasi
tersebut
akan
mempermudah akses pemberian bantuan terhadap konseli jika dimanfaatkan secara tepat guna dan terlatih sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. DAFTAR PUSTAKA Blasio, D.P & Milani, L. 2008. ComputerMediated Communication and Persuasion: Peripheral Vs Central Route to Opinion Shift. Journal Computers in Human Behavior. Corey, G. 2009. Theory and Practice of counseling and Psychoteraphy. Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company. Geldard, K & Geldard, D. 2009. Relationship Counseling for Children, Young People and Family. Los Angeles: Sage. Hallen. 2002. Bimbingan dan Konseling Islam. Jakarta: Ciputat Press Ifdil. 2011. Penyelenggaraan Layanan Konseling Online Sebagai Salah Satu Bentuk Pelayanan E-konseling (dalam Syamsu Yusuf LN). Bandung: Rizqi Press Prayitno dan Erman Amti. 2004. Dasar-dasar bimbingan dan konseling. jakarta. Edisi revisi Rineka Cipta Sharon E. Smaldino, et al. 2012. Instructional Technology & Media for Learning: Teknologi Pembelajaran dan Media untuk Belajar.Jakarta: KENCANA Prenada Media Group Tracy Laquey. 1997. Sahabat Internet. Bandung: ITB Tohirin. 2007. Bimbingan dan konseling di sekolah dan madrasah. Jakarta PT Raja Grafindo Persada
68
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 PENTINGNYA CHARACTER BUILDING DALAM PENDIDIKAN Junierissa Marpaung, M.Psi
[email protected] Dosen Bimbingan Konseling Universitas Riau Kepulauan Batam Abstract Character education is not only dealing with the planting of value for students, but it is a collective effort to create an educational environment where every individual can live his freedom as a prerequisite for the moral life of the adult. Character education in schools, all stakeholders should be involved include educational components itself, namely the content of the curriculum, learning and assessment, quality of relationships, handling or management subjects, school management, the implementation of activities or co-curricular activities, empowering infrastructure , financing, and the work ethic of all citizens in the school environment. Implementation of character education in a systematic and sustained will build an intelligent boy in his emotions. Emotional intelligence is an important provision in preparing children to meet the future, because someone will be more easily and successfully face all kinds of life challenges, including the challenge to succeed academically. There are nine pillars of character that comes from niali-universal noble values, namely: (1) the character of the love of God and all his creatures; (2) selfreliance and responsibility; (3) honesty / trustworthy, diplomatically; (4) respectful and polite; (5) benefactors, like mutual help and mutual cooperation / collaboration; (6) confident and hardworking; (7) leadership and justice; (8) good and humble; and (9) the character of tolerance, peace and unity. Keywords:character education PENDAHULUAN Pada dasarnya, proses pendidikan bukan sekadar meninggikan dimensi kognisi dan psikomotor yang dimiliki anak. Namun, ada dimensi lain yang juga perlu mendapat perhatian lebih, yaitu dimensi afektif. Disadari atau tidak, dibandingkan dengan dua dimensi lainnya, dimensi afektif kerap terabaikan, dan alasan yang muncul karena kesulitan untuk mengukur dimensi tersebut. Ketika hendak dilakukan pengukuran, para pendidik sering mengukur dimensi ini atas dasar angka statistik semata. Bahkan, tidak jarang untuk mengukur dimensi ini justru yang diukur dimensi kognitif atau psikomotorik. Dampak dari fenomena di atas, persoalan afektif menjadi tersingkirkan sehingga salah satu bagian dari bidang garap dimensi afektif seperti kepribadian individu peserta didik juga terabaikan. Permasalahan yang muncul kemudian adalah terjadinya penurunan (dekadensi) moral pada masyarakat bangsa ini sebagai dampak ketidakjelasan pembentukan kepribadian individu (dalam Idrus, 2012). Sepanjang sejarahnya, di seluruh dunia ini pendidikan pada hakikatnya memiliki dua tujuan, yaitu membantu manusia untuk menjadi cerdas dan pintar (smart), dan membantu mereka menjadi manusia cerdas dan pintar, boleh jadi mudah 69
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 melakukannya,tetapi menjadikan manusia agar menjadi orang yang baik dan bijak, tampaknya jauh lebih sulit atau bahkan sangat sulit. Dengan demikian, sangat wajar apabila dikatakan bahwa problem moral merupakan persoalan akut atau penyakit kronis yang mengiringi kehidupan manusia kapan dan dimanapun. Menurunnya kualitas moral dalam kehidupan manusia Indonesia dewasa ini, terutama di kalangan siswa, menuntut diselenggarakannya pendidikan karakter. Sekolah dituntut untuk memainkan peran dan tanggungjawabnya untuk menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai yang baik dan membantu para siswa membentuk dan membangun karakter mereka dengan nilai-nilai yang baik. Pendidikan karakter diarahkan untuk memberikan tekanan pada nilai-nilai tertentu, seperti rasa hormat, tanggung jawab, jujur, peduli, dan adil serta membantu siswa untuk memahami, memperhatikan, dan melakukan nilainilai tersebut dalam kehidupan mereka sendiri (dalam Sudrajat, 2011). Karakter
merupakan
struktur
antropologis
manusia,disanalah
manusia
menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasan dirinya. Struktur antropologis ini melihat bahwa karakter bukan sekedar hasil dari sebuah tindakan, melainkan secara stimultan merupakan hasil atau proses. Dinamika ini menjadi semacam dialektika terus-menerus dalam diri manusia untuk menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasannya. Karakter merupakan kondisi dinamis struktur antropologis individu, yang tidak mau sekadar berhenti atas determinasi kodratinya, melainkan juga sebuah usaha hidup untuk menjadi semakin integral mengatasi determinasi alam dalam dirinya demi proses penyempurnaan dirinya secara terus-menerus.Karakter lebih bersifat subjektif, sebab berkaitan dengan struktur antropologis manusia dan tindakannya dalam memaknai kebebasanya, sehingga ia mengukuhkan keunikannya berhadapan dengan orang lain. Sementara, pendidikan senantiasa berkaitan dengan dimensi sosialitas manusia. Manusia sejak kelahirannya telah membutuhkan kehadiran orang lain dalam menopang hidupnya. Oleh karena itu, pendidikan karakter merupakan keseluruhan dinamika relasional antarpribadi dengan berbagai macam dimensi, baik dari dalam maupun dari luar dirinya, agar pribadi itu semakin dapat menghayati kebebasannya, sehingga ia dapat semakin bertanggung jawab atas pertumbuhan dirinya sendiri sebagai pribadi dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka. Secara singkat, pendidikan karakter bisa diartikan sebagai sebuah bantuan sosial agar individu itu dapat bertumbuh dalam menghayati kebebasannya dalam hidup bersama dengan orang lain dalam dunia. Pendidikan karakter bertujuan membentuk setiap pribadi menjadi insan yang berkeutamaan (dalam Koesoema, 2007).
70
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 Pendidikan karakter bukan hanya berurusan dengan penanaman nilai bagi siswa, namun merupakan sebuah usaha bersama untuk menciptakan sebuah lingkungan pendidikan tempat setiap individu dapat menghayati kebebasannya sebagai sebuah prasyarat bagi kehidupan moral yang dewasa. Oleh karena itu, ada dua macam paradigma dalam pendidikan karakter yaitu memandang pendidikan karakter dalam cakupan pemahaman isu-isu moral yang sifanya lebih sempit (narrow scope to moral education) dan melihat pendidikan karakter dari sudut pandang pemahaman isu-isu moral yang lebih luas, terutama melihat keseluruhan peristiwa dalam dunia pendidikan itu sendiri (educational happenings) (dalam Koesoema, 2007). Semestinya pendidikan merupakan sebuah persiapan untuk hidup di masa depan melalui dinamika kehidupan masa kini. Kebutuhan anak-anak berbeda dengan kebutuhan dewasa. Ketika anak belajar mengatasi apa yang dibutuhkannya pada masa kini, anak pun sesungguhnya secara individual disiapkan untuk memasuki dunia kehidupan orang dewasa. John Dewey (1859-1952) (dalam Koesoema, 2007) melihat bahwa pendidikan yang mengenali jiwa dan pertumbuhan anak-anak semata tidaklah mencukupi jika anak tidak dibekali peralatan untuk dapat hidup di tengah masyarakat industri. Untuk itu, pendidikan pragmatis-aktif instrumental ala Dewey merupakan salah satu cara untuk membuat pendidikan anak yang relevan dengan kemajuan zaman,terlebih sebuah pendidikan yang mampu mempersiapkan anak didik untuk hidup di alam demokratis. Dalam tingkatan yang ekstrem, pendidikan tak lain adalah proses sosialisasi manusia dan adaptasi kapasitasnya sesuai dengan tuntutan sosial. PEMBAHASAN 1. Pengertian Karakter Kata character berasal dari bahasa Yunani charassein, yang berarti to engrave (melukis, menggambar), seperti orang yang melukis kertas, memahat batu atau metal. Berakar dari pengertian yang seperti itu, character kemudian diartikan sebagai tanda atau ciri yang khusus,dan karenanya melahirkan suatu pandangan bahwa karakter adalah ‘pola perilaku yang bersifat individual, keadaan moral seseorang’. Setelah melewati tahap anak-anak, seseorang memiliki karakter,cara yang dapat diramalkan bahwa karakter seseorang berkaitan dengan perilaku yang ada di sekitar dirinya (dalam Sudrajat,2011). Istilah karakter dipakai secara khusus dalam konteks pendidikan baru muncul pada akhir abad-18. Terminologi ini biasanya mengacu pada sebuah pendekatan idealis-spiritualis dalam pendidikan yang juga dikenal dengan teori pendidikan normatif.
71
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 Yang menjadi prioritas adalah nilai-nilai transenden yang dipercaya sebagai motor penggerak sejarah, baik bagi individu maupun bagi sebuah perubahan sosial (dalam Koesoema, 2007). Karakter yang baik berkaitan dengan mengetahui yang baik (knowing the good), mencintai yang baik (loving the good), dan melakukan yang baik (acting the good). Ketiga ideal ini satu sama lain sangat berkaitan. Seseorang lahir dalam keadaan bodoh, dorongan-dorongan primitif yang ada dalam dirinya kemungkinan dapat memerintahkan atau menguasai akal sehatnya. Maka, efek yang mengiringi pola pengasuhan dan pendidikan seseorang akan dapat mengarahkan kecenderungan, perasaan, dan nafsu besar menjadi beriringan secara harmoni atas bimbingan akal dan juga ajaran agama (dalam Sudrajat, 2011). Tujuan pendidikan menurut Foerster (dalam Koesoema,2007) adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial antara si subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi, yang memberikan kesatuan dan kekuatan atas keputusan diambilnya. Oleh karena itu, karakter menjadi semacam identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah kualitas seorang pribadi diukur. Kekuatan karakter seseorang dalam pandangan Foerster tampak dalam empat ciri fundamental yang harus dimiliki. a. Keteraturan interior melalui mana setiap tindakan diukur berdasarkan hierarki nilai. Ini tidak berarti bahwa karakter yang terbentuk dengan baik tidak mengenal konflik, melainkan selalu merupakan sebuah kesediaan dan keterbukaan untuk mengubah dari ketidakteraturan menuju keteraturan nilai. b. Koherensi yang memberikan keberanian melalui mana seorang dapat mengakarkan diri teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang. c. Otonomi, yang dimaksud dengan otonomi di sini adalah kemampuan seseorang untuk menginternalisasikan aturan dari luar sehingga menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat melalui penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan dari pihak lain. d. Keteguhan dan kesetiaan merupakan daya tahan seseorang untuk mengingini apa yang dipandang baik, sedangkan kesetiaan merupakan dasar bagi peghormatan atas komitmen yang dipilih.
72
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 2. Pengertian Pendidikan Kata educare dalam bahasa Latin memiliki konotasi melatih atau menjinakkan (seperti dalam konteks manusia melatih hewan-hewan yang liar menjadi semakin jinak sehingga bisa diternakkan), menyuburkan (membuat tanah itu lebih menghasilkan banyak buah berlimpah karena tanahnya telah digarap dan diolah). Jadi, pendidikan merupakan sebuah proses yang membantu menumbuhkan, mengembangkan, mendewasakan, membuat yang tidak tertata atau liar menjadi semakin tertata, semacam proses penciptaan sebuah kultur dan tata keteraturan dalam diri maupun dalam diri maupun dalam diri orang lain (dalam Koesoema, 2007). 3. Pengertian Pendidikan Karakter Secara sederhana, pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa. Tetapi, untuk mengetahui pengertian yang tepat, dapat dikemukakan di sini definisi pendidikan karakter yang disampaikan oleh Thomas Lickona. Lickona (dalam Sudrajat, 2011) menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti. Bertitik tolak dari definisi tersebut, ketika kita berpikir tentang jenis karakter yang ingin kita bangun pada diri para siswa, jelaslah bahwa ketika itu kita menghendaki agar mereka mampu memahami nilai-nilai tersebut, memperhatikan secara lebih mendalam mengenai benarnya nilai-nilai itu, dan kemudian melakukan apa yang diyakininya itu, sekalipun harus menghadapi tantangan dan tekanan baik dari luar maupun dari dalam dirinya. Dengan kata lain, mereka memiliki kesadaran untuk memaksa diri’ melakukan nilai-nilai itu.
4. Alasan Perlunya Pendidikan Karakter Menurut Lickona (dalam Sudrajat, 2011) ada tujuh alasan mengapa pendidikan karakter itu harus disampaikan. Ketujuh alasan yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Cara terbaik untuk menjamin anak-anak (siswa) memiliki kepribadian yang baik dalam kehidupannya. b. Cara untuk meningkatkan prestasi akademik. c. Sebagian siswa tidak dapat membentuk karakter yang kuat bagi dirinya di tempat lain. d. Persiapan siswa untuk menghormati pihak atau orang lain dan dapat hidup dalam masyarakat yang beragam.
73
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 e. Berangkat dari akar masalah yang berkaitan dengan masalah moral-sosial, seperti ketidaksopanan, ketidakjujuran, kekerasan, pelanggaran kegiatan seksual, dan eto kerja (belajar)yang rendah. f. Persiapan terbaik untuk menyongsong perilaku di tempat kerja. g. Pembelajaran nilai-nilai budaya yang merupakan bagian dari kerja peradaban. 5. Konsep Pendidikan Karakter Pendidikan karakter di sekolah, semua stakeholder harus dilibatkan termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum,proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana dan prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga di lingkungan sekolah (dalam Asnafiyah, dkk, 2011). Membangun karakter dalam lingkungan sekolah, dapat dimulai dari kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan di kelas. Pembentukkan karakter (character building) dalma kelas dengan menggunakan pendekatan integrasi dalam semua mata pelajaran (embedded approach) (dalam Muchlas,dkk, 2011). Untuk memperoleh pemahaman integrasi karakter dalam mata pelajaran (embedded approach), konsep karakter harus mampu melakukan integrasi ke dalam kompetensi dasar setiap pembelajaran.Pengintegrasian karakter dapat dilakukan dalam setiap aspek kompetensi dasar secara proporsional. Aspek-aspek yang terkandung dalam konsep kompetensi, yaitu: pengetahuan (knowledge) yakni kesadaran dalambidang kognitif, pemahaman (understanding) yakni kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki individu, kemampuan (skill) yakni sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya, nilai (value) yaknisuatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara psikologis telah menyatu dalam diri seseorang, sikap (attitude) yakni perasaan senang atau tidak senang atau reaksi terhadap suatu rangsangan yang dating dari luar, minat (interest) yakni kecenderungan seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan. Implementasi dalam pendidikan karakter sekolah adalah dengan membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang berkarakter.Dimana RPP harus mampu memfasilitasi peserta didik sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya. RPP
berkarakter
berfungsi
untuk
mengefektifkan
proses
pembelajaran
dan
pembentukkan karakter peserta didik sesuai dengan yang direncanakan. Materi standar yang dikembangkan dan dijadikan bahan kajian oleh peserta didik harus
74
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuannya, mengandung nilai fungsional, praktis, serta disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan lingkungan. Muchlas Samani dan Hariyanto (dalam Suharyanto, 2013) menuliskan dalam bukunya bahwa Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional dalam kaitan budaya sekolah, menyarankan empat hal dalam kaitannya dengan pengembangan diri, yaitu: Pertama, kegiatan rutin yakni kegiatan yang dilaksanakan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Kedua, kegiatan spontan yakni yang bersifat spontan,saat itu juga, pada waktu terjadi keadaan tertentu, misalnya mengumpulkan sumbangan bagi korban bencana alam. Ketiga, keteladanan yakni timbulnya sikap dan perilaku peserta didik karena meniru perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan di sekolah, bahkan perilaku seluruh warga sekolah.Keempat, pengkondisian yakni penciptaan kondisi yang mendukung keterlaksanaan pendidikan karakter, misalnya kondisi meja guru dan kepala sekolah yang rapi, toilet yang bersih. 6. Nilai-nilai Karakter Ending Mulyasa (dalam Suharyanto, 2013) menuliskan pendapat Lickona yang menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik (components of good character), yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang morall, danmoral action atau tindakan moral. Endang Mulyasa juga menambahkan dalam tulisannya mengenai nilai-nilai karakter sebagaimana yang dicetuskan oleh Megawangi dalam pendidikan karakter di Indonesia. Nilai-nilai karakter tersebut adalah: cinta Allah dan kebenaran, tanggung jawab, disiplin, dan mandiri, amanah hormat dan santun, kasih sayang, peduli dan kerjasama, percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah, adil dan berjiwa kepemimpinan; baik dan rendah hati, dan toleran serta cinta damai. Menurut Lickona (dalam Sudrajat, 2011) pendidikan karakter memperlihatkan adanya proses perkembangan yang melibatkan: a. Pengetahuan Moral (Moral Knowing) Ada enam tahap yang harus dilalui dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pendidikan moral, yaitu: 1) Kesadaran Moral (Moral Awarness) Kelemahan moral yang melanda hampir semua manusia dari segala jenis usia adalah adanya kebutuhan atau kepapaan moral. Anak-anak muda, misalnya sering kali tidak peduli terhadap hal ini, mereka melakukan sesuatu tanpa mempertanyakan kebenaran suatu perbuatan.
75
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 2) Pengetahuan Nilai-nilai Moral (Knowing Moral Values) Nilai-nilai moral, seperti rasa hormat terhadap kehidupan dan kebebasan, tanggung jawab terhadap orang lain, kejujuran, keadilan, toleransi,sopan-santun, disiplin diri, integritas, kebaikan, keharuan-keibaan, dan keteguhan hati atau keberanian, secara keseluruhan menunjukkan sifat-sifat orang yang baik. Mengetahui nilai-nilai moral berarti juga memahami bagaimana menerapkan nilai-nilai-nilai tersebut dalam berbagai situasi. 3) Perspective Taking Adalah kemampuan untuk mengambil pelajaran dari peristiwa yang menimpa atau terjadi pada orang lain, melihat suatu keadaan sebagaimana mereka melihatnya, mengimajinasikan bagaimana mereka berpikir, bereaksi, dan merasakannya. Kita tidak dapat menghormati orang lain dan berbuat adil atau pantas terhadap kebutuhan mereka apabila kita tidak dapat memahami mereka. Tujuan utama dari pendidikan moral adalah untuk membantu siswa agar mereka bias memahami dunia ini dari sudut pandang orang lain, terutama yang berbeda dari pengalaman mereka. 4) Alasan Moral (Moral Reasoning) Moral reasoning meliputi pemahaman mengenai apa itu perbuatan moral dan mengapa harus melakukan perbuatan moral. Mengapa, misalnya, penting untuk menepati janji?Mengapa harus melakukan yang terbaik?Moral reasoning pada umumnya pada umumnya menjadi pusat perhatian penelitian psikologis berkaitan dengan perkembangan moral. 5) Pengambilan Keputusan (Decision Making) Kemampuan seseorang untuk mengambil sikap ketika dihadapkan dengan problema moral adalah suatu keahlian yang bersifat reflektif.Apa yang dipilih dan apa akibat atau resiko dari pengambilan keputusan moral itu, bahkan harus sudah diajarkan sejak TK (Taman Kanak-Kanak). 6) Pengetahuan Diri Sendiri (Self Knowledge) Mengetahui diri sendiri atau mengukur diri sendiri merupakan jenis pengetahuan moral yang paling sulit, tetapi hal ini sangat penting bagi perkembangan moral.Menjadi orang yang bermoral memerlukan kemampuan untuk melihat perilaku diri sendiri dan mengevaluasinya secara kritis. Perkembangan atas self knowledge ini meliputi kesadaran akan kekuatan dan kelemahan diri sendiri dan bagaimana mengkompensasi kelemahan itu. Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kelemahan itu adalah dengan menjaga ‘jurnal etik’ (mencatat
76
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 peristiwa-peristiwa moral yang terjadi, bagaimana merespon peristiwa moral itu, dan apakah respon itu dapat dipertanggungjawabkan secara etika). b. Perasaan Moral (Moral Feeling) 1) Conscience (Kesadaran) Kesadaran memiliki dua sisi: sisi kognitif (pengetahuan tentang sesuatu yang benar), dan sisi emosional (perasaan adanya kewajiban untuk melakukan apa yang benar itu). Kesadaran yang matang, disamping adanya perasaan kewajiban moral,
adalah
kemampuan
untuk
mengkontruksikan
kesalahan.apabila
seseorang dengan kesadarannya merasa berkewajiban untuk menunjukkan suatu perbuatan dengan cara tertentu, maka ia pun bisa menunjukkan cara untuk tidak melakukan perbuatan yang salah. 2) Self Esteem (Penghargaan Diri) Penghargaan diri yang tinggi tidak dengan sendirinya dapat menjamin karakter yang baik.Hal ini bisa terjadi karena penghargaan diri yang dimilikinya tidak didasarkan pada karakter yang baik, seperti misalnya karena kepemilikan, kecantikan atau kegantengan, popularitas, atau kekuasaan. Salah satu tantangan sebagai pendidik adalah membantu siswa untuk mengembangkan penghargaan diri yang didasarkan pada nilai-nilai seperti halnya tanggung jawab, kejujuran,dan kebaikan, atau didasarkan pada keyakinan pada kemampuan diri untuk kebaikan. 3) Emphaty (Empati) Empati adalah identifikasi dengan, atau seakan-akan mengalami, keadaan yang dialami pihak lain. Empati memungkinkan kita untuk memasuki perasaan yang dialami pihak lain. Salah satu tugas pendidik moral adalah mengembangkan empati yang bersifat umum. 4) Loving The Good Bentuk karakter yang paling tinggi diperlihatkan dalam kelakukan yang baik. Ketika seseorang mencintai yang baik, maka dengan senang hati ia akan melakukan yang baik. Ia secara moral memiliki keinginan untuk berbuat baik, bukan semata-mata karena kewajiban moral. Kemampuan untuk mengisi kehidupan dengan perbuatan baik ini tidak terbatas bagi para ilmuwan, tetapi juga pada orang kebanyakan, bahkan anak-anak.Potensi untuk mengembangkan perilaku kehidupan yang baik ini dapat dilakukan melalui tutorial dan pelayanan sosial, baik di sekolah maupun di masyarakat luas.
77
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 5) Self control (Kontrol Diri) Emosi dapat membanjiri (mengatasi) alasan.Alasan seseorang mengapa self control diperlukan untuk kebaikan moral.Kontrol diri juga diperlukan bagi kegemaran diri anak-anak muda.Apabila seseorang ingin mencari akar terjadinya penyimpangan sosial, salah satunya dapat ditemukan pada kegemaran diri, demikian kata Walter Niogorski. 6) Humility (Kerendahan hati) Kerendahan hati merupakan kebajikan moral yang sering diabaikan, padahal merupakan bagian yang esensial dari karakter yang baik.Kerendahan hati merupakan sisi yang efektif dari pengetahuan diri (self knowledge).Kerendahan hati dan pengetahuan diri merupakan sikap berterus terang bagi kebenaran dan keinginan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan kita.Kerendahan hati merupakan pelindung terbaik bagi perbuatan jahat. c. Tindakan Moral (Moral Action) 1) Kompetensi (Competence) Moral kompetensi adalah kemampuan untuk mengubah penilaian dan perasaan moral ke dalam tindakan moral yang efektif. Untuk memecahkan masalah konflik misalnya, diperlukan keahlian-keahlian praktis: mendengar, menyampaikan pandangan tanpa mencemarkan pihak lain, dan menyusun solusi yang dapat diterima masing-masing pihak. 2) Kemauan (Will) Untuk menjadi dan melakukan sesuatu yang baik biasanya mensyaratkan adanya keinginan bertindak yang kuat, usaha untuk memobilisasi energy moral.kemauan merupakan inti (core) dari dorongan moral. 3) Kebiasaan (Habit) Orang melakukan perilaku yang baik adalah karena didasarkan kekuatan kebiasaan. KESIMPULAN Jika kita ingin melihat agar program pendidikan karakter itu berjalan dengan baik dan efektif, kita harus memiliki parameter untuk mengukur berhasil tidaknya sebuah program pendidikan karakter. Menilai berhasil tidaknya pendidikan karakter memang tidak semudah menilai kemampuan akademis siswa, sebab kemampuan akademis dapat dengan mudah diobjektifasi dari kemampuan mereka menguasai materi, misalnya, dengan melihat rendahnya prestasi siswa. Kelemahan-kelemahan dalam prestasi akademis bisa segera dilacak sehingga kita dapat segera memperbaikinya
78
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 dan mengetahui dimana terdapat kekurangan dari peningkatan prestasi akademis tersebut, apakah cara guru mengajar, manajemen kelas, masalah pribadi siswa, motivasi, kualitas soal, standar penilaian, kesulitan materi, metode pembelajaran,dan lain-lain (dalam Koesoema, 2007). Penilaian akademis berbeda dengan penilaian pendidikan karakter. Dalam pendidikan karakter yang terutama dinilai adalah perilaku bukan pemahaman. Pendidikan karakter jika berhasil dapat meningkatkan performa sekolah, dan performa sekolah bisa meningkat jika ada pola kepemimpinan yang berjiwa pendidikan karakter di sekolah. Pendidikan karakter mengandaikan adanya visi tentang manusia yan integral, pemahaman tentang nilai-nilai yang berlaku universal.Terlebih lagi, pendidikan karakter
memerlukan
basis
kepercayaan
yang
mendalam,
bahwa
manusia
berkembang bukan hanya memenuhi panggilan kodratnya dalam kehidupan bersama di dalam masyarakat, melainkan menanggapi tawaran adikodratinya sebagai makhluk yang mampu mengatasi diri, melalui kebebasan dan pemikirannya. Manusia mampu mengubah dunia sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya, sebab nilai-nilai itulah yang menjadi sumber pembaharu kehidupan dalam masyarakat, bukan sebaliknya (dalam Koesoema,2007). Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa Indonesia secara khusus diidentifikasi dari empat sumber: (1).Agama, (2). Pancasila, (3).Budaya, dan (4).Tujuan Pendidikan. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang beragama, oleh karena itu kehidupan individu,masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama. Negara Kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila, oleh karena itu sudah semestinya kalau Pancasila menjadi sumber nilai dalam berkehidupan.Posisi budaya sebagai sumber nilai uga tidak dapat diabaikan, demikian juga dengan tujuan pendidikan nasional yang didalamnya telah dirumuskan kualitas yang harus dimiliki warga Negara Indonesia (dalam Sudrajat, 2011). DAFTAR PUSTAKA Ajat Sudrajat. (2011). Jurnal Pendidikan Karakter Tahun I Nomor 1 Oktober. FIS Universitas Negeri Yogyakarta: Yogyakarta. Asnafiyah, dkk.(2011). Membangun Karakter (Character Building) Mahasiswa Calon Guru MII Melalui Model Pembelajaran Role Playing.Yogyakarta. Muhammad Idrus. (2012). Jurnal Pendidikan Karakter Tahun II Nomor 2 Juni. FAI Universitas Islam Indonesia: Yogyakarta. Samani,Muchlas& Hariyanto. (2011). Konsep dan Model Pendidikan Karakter. PT. Rosdakarya: Bandung. Suharyanto.(2013). Character Building Dalam Pendidikan Kemuhammadiyahan Di SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Skripsi (tidak diterbitkan). 79
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 PERBEDAAN PEMBELAJARAN BAHASA KEDUA PADA ANAK DAN ORANG DEWASA Irma Diani Universitas Bengkulu Abstract This paper is talking about children and adult in second language learning. It is found that in the natural situation of second language learning, young children will do better than adults. In classroom situation, adults will do better than children to extent that the young children’s classroom is not a simulation of the natural situation. Key words: bahasa kedua (second language),induksi (induction), eksplikasi (explication). PENDAHULUAN Yang dimaksud dengan bahasa kedua (second language) adalah bahasa yang digunakan selain bahasa pertama atau bahasa ibu (mother tongue)untuk tujuan tertentu seperti pendidikan, pemerintahan, perbankan, dan lainnya (Crystal, 1985 : 174).
Kebanyakan orang beranggapan bahwa anak dapat belajar bahasa jauh lebih
cepat daripada orang dewasa. Mereka berasumsi bahwa anak belajar bahasa tidak hanya dari guru di kelas,
namun juga dari lingkungan sosial tempat dia berada.
Pendapat tersebut ada benarnya. Jika dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran bahasa (psikologis, konteks sosial, motivasi dan variabel lainnya), anakanak memang memiliki kemampuan belajar bahasa lebih baik daripada orang dewasa (Steinberg, 2001: 169). Bagaimana hal itu bisa terjadi dan mengapa demikian? Pertanyaan di atas akan dijawab pada pembahasan di bawah ini. PEMBAHASAN Beberapa faktor mendasar yang mempengaruhi pembelajaran bahasa kedua: 1. Faktor Psikologis. Steinberg (2001: 169) menyebutkan faktor psikologis yang mempengaruhi pembelajaran bahasa kedua adalah proses eksplikasi dan induksi. Anak-anak lebih mudah belajar bahasa kedua melalui proses induksi. Proses induksi adalah cara mempelajari struktur bahasa kedua dengan cara mengulang-ulang kata, frasa atau kalimat dalam situasi yang relevan sehingga diperoleh pemahaman yang tepat. Dengan cara ini seorang pembelajar bahasa akan menganalisis dan menemukan generalisasi atau aturan dalam struktur bahasa yang dipelajarinya.
80
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 Contoh: Ani tidur
Ani tidak tidur
Ani sakit
Ani tidak sakit
Contoh bahasa anak: Mommy sock – Subjek + objek (ibu mengenakan kaos kaki pada anaknya) (Mc. Neil dalam Chaer: 2003) Bahasa yang digunakan anak masih sangat sederhana, belum terstruktur dengan baik. Kalimat tersebut belum lengkap. Kalimat yang lengkap adalah sebagai berikut: Mommy, can I wear my sock?- Sapaan, Modal auxiliary + Subjek + Predikat+objek (Anak minta ibu mengenakan kaos kaki pada kakinya) Biasanya Ibu akan memahami bahasa anaknya sekalipun kalimat itu belum sempurna. Hal ini disebabkan karena Ibu terlibat langsung dalam proses pemerolehan bahasa anak. Adapun orang dewasa belajar bahasa menggunakan proses eksplikasi. Proses eksplikasi adalah proses belajar bahasa dengan cara menjelaskan aturan dan struktur bahasa asing dalam bahasa kita sendiri. Proses ini jarang digunakan pada proses belajar bahasa anak. Seorang Ibu jarang sekali mengajarkan anaknya seperti berikut ini: Nah nak, pergunakanlah awalan /ber-/ pada kata lari. Jangan pakai /me-/ karena tidak ada dalam bahasa Indonesia. Bisa juga /me- dan –kan/ tetapi arti berlari dan melarikan itu berbeda. Dalam belajar bahasa memori berperan dalam proses mengingat struktur dan aturan dalam bahasa kedua. Orang dewasa menggunakan strategi mengingat dengan cara menghapal di luar kepala. Sementara anak-anak yang belum bisa baca dan menulis umumnya tidak menggunakan strategi ini. (sumber:http://sianaktunggal.blogspot.co.id/2013/01/usia-kritis-belajar-bahasa.html). Pada proses eksplikasi (memaparkan), orang dewasa diajarkan tata bahasa dan diharapkan mampu memahami tata bahasa tersebut sesuai dengan target yang ingin dicapai. Biasanya proses ini dilakukan di kelas-kelas bahasa bukan di taman kanak-kanak dan kelas rendah. Pada proses ini mereka belajar bahasa dengan cara mencari
dan
menemukan
tata
bahasa
sendiri
(self
discovery)
kemudian
menerapkannya dalam komunikasi sehari-hari. Tetapi yang menjadi masalah adalah
81
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 bagaimana bahasa itu digunakan pada komunikasi sehari-hari.
Proses ini cocok
diterapkan bagi orang dewasa karena target belajar pada proses ini lebih berat, tidak pas
bila diterapkan pada anak-anak. Mengapa demikian, karena anak-anak akan
menemukan kesulitan dalam memahami kalimat yang kompleks dan abstrak. 2. Memori Faktor mendasar lainnya adalah kemampuan mengingat (memory) anak dan orang dewasa berbeda.
Menurut Hunter (lihat Steinberg 2001 : 174) kemampuan
mengingat anak pada usia 5 tahun jauh lebih baik daripada anak yang berusia 8 tahun, begitupun anak yang berusia 8 tahun jauh lebih baik daripada anak yang berusia di atasnya. Dari pendapat Hunter ini dapat dilihat bagaimana usia menentukan kemampuan dalam belajar bahasa. Perbedaan kemampuan belajar bahasa pada anak dan orang dewasa juga didukung oleh penelitian para ahli (seperti Salthouse : 1982; Bloom, Mullins dan Paternostro : 1996) yang menemukan bahwa short term memory orang dewasa menurun hingga 6 digit sedangkan anak-anak meningkat 7 digit hingga berusia 15 tahun. Kemampuan motorik seperti pengucapan (pronunciation) anak jauh lebih baik daripada orang dewasa. Alat ucap anak-anak masih dapat dikembangkan hingga menyerupai ucapan penutur asli, berbeda dengan pengucapan orang dewasa yang sudah sulit untuk diubah. Dalam pemerolehan sistem fonologi atau pelafalan, anakanak lebih berhasil daripada orang dewasa; bahkan banyak di antara mereka mencapai pelafalan serupa dengan penutur asli. Sementara orang dewasa tampaknya lebih maju dibidang morfologi dan sintaksis (Krashen, 1981). 3. Faktor Sosial Pada situasi belajar di kelas, orang dewasa ternyata memiliki kemampuan mencerna dan mengolah bahasa jauh lebih baik daripada anak-anak. Tetapi pada situasi di luar kelas, anak-anak memiliki kemampuan belajar yang lebih baik daripada orang dewasa karena anak-anak mampu belajar bahasa dari lingkungan sosial tempat dia tumbuh dan berkembang Terbukti bahwa secara natural anak-anak mampu belajar bahasa lebih baik dari pada orang dewasa pada proses induksi. Sebaliknya, orang dewasa mampu belajar bahasa lebih baik daripada anak-anak pada proses eksplikasi ( menjelaskan).
82
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 4. Motivasi Faktor lain yang mempengaruhi pembelajaran bahasa adalah motivasi, Secara otomatis anak yang berusia 4 tahun ke bawah tidak memerlukan motivasi tersendiri dalam belajar bahasa, berbeda dengan anak berusia di atasnya.
Motivasi dalam
belajar bahasa di kelas sangat diperlukan karena ruang kelas otomatis berbeda dengan lingkungan nyata. Suasana kelas yang berbeda, cara mengajar guru dan tugas-tugas yang diberikan bisa menjadi faktor yang dapat mempengaruhi motivasi pembelajar dalam belajar bahasa kedua. 5. Sikap Faktor lainnya adalah sikap pembelajar dalam belajar bahasa kedua. Saat anak telah berumur 5 tahun, dia mulai memiliki sikap tersendiri terhadap bahasa asing. Umumnya anak-anak lebih suka menggunakan bahasa asing saat berbicara dengan teman-temannya. Sehingga sikap anak terhadap bahasa kedua cenderung lebih positif dibandingkan dengan orang dewasa. KESIMPULAN Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa anggapan sebagian orang bahwa anak-anak memiliki kemampuan belajar bahasa kedua lebih baik daripada orang tua ternyata tidak seluruhnya benar. Di satu sisi orang tua memiliki kemampuan belajar bahasa lebih baik daripada anak-anak sesuai dengan proses dan metode apa yang digunakan dalam belajar bahasa kedua. Hal ini terjadi
karena pada proses eksplikasi,
orang dewasa memiliki target
pencapaian belajar yang jauh lebih sulit untuk dicapai oleh anak-anak. Sementara anak-anak
memiliki
kemampuan
yang
lebih
baik
dalam
menguasai
dan
mengembangkan bahasa dengan proses induksi dan situasi alami (social community). DAFTAR PUSTAKA Bloom, R.J.,Mullins,J.,and Paternostro,P. 1996. Changes in processing adverbial conjuncts troughout adulthood. Applied Psycholinguistics, 17/1. Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik, Kajian Teoretik. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Crystal, David. 1985. A Dictionary Crystal of Linguistics and Phonetics. England: Basil Blackwell Limited. Fauzan, A.R. 2013. Usia Kritis Belajar Bahasa. Diunduh 10 Desember 2016. http://sianaktunggal.blogspot.co.id/2013/01/usia-kritis-belajar-bahasa.html. Krasen, Stephen D. 1981. Second Language Acquisition and Second Language Learning. Oxford: Pergamon Press Ltd. Salthouse, T.A. 1982. Adult cognition: an experimental psychology of human aging. New York: Springer-Verlag. Steinberg, Danny dkk. 2001. Psycholinguistics : Language, Mind and World. Malaysia : Pearson Education Malaysia Sdn Bhd.
83
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 MODEL KOMUNIKASI INTERPERSONAL GURU BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM KONTEKS KELEKATAN SEBAGAI UPAYA PENINGKAATAN PSIKOLOGI SEKOLAH SISWA Dian Mustika Maya.,S.Psi.,M.A
[email protected] Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Prof.Dr.Hazairin.,SH Bengkulu Abstract Many problems of students in violation of school discipline, learning problems, until the completion of the study process kept popping up even though it has been found many methods to prevent or address such problems. This has proven to be caused by unmet needs of children by the figure attached attachment both at home especially in schools. Dean relations development through Interpersonal Communication by teacher guidance and counseling in the context of meeting the needs of attachment can be used as an alternative coaching once the character formation of students with more optimal and superior. Keywords: Interpersonal Communication, attached attachment PENDAHULUAN Pengalaman kelekatan merupakan sumber informasi bagi guru untuk belajar lebih lanjut mengenali kondisi psikologis siswa. Buren & Cooley (2002) menerangkan bahwa model mental berfungsi sebagai templet gaya kelekatan, yang akan mempengaruhi perilaku siswa sebagai kontinuitas antara pola perilaku masa anakanak hingga dewasa. Berdasarkan hasil penelitian (Dian& Zumkasri, 2016) tepatnya di kota Bengkulu ternyata orangtua sebagai figure lekat tidak mempedulikan kebutuhan kelekatan anak; orangtua memberikan respon sesuai dengan kondisi moodnya sehingga tidak konsisten dalam merespon; kadang responsive terhadap kebutuhan kelekatan anak terkadang sebaliknya; hal ini membentuk pola insecure attachment anxious-ambivalent. Kelompok gaya kelekatan yang berbeda, tidak hanya berpengaruh pada pandangan yang positif terhadap diri tetapi juga dimensi struktur diri yang berbeda. Siswa dengan gaya kelekatan aman menekankan pentingnya hubungan kelekatan yang hangat dalam perkembangan yang positif, kohoren, dan struktur diri yang diorganisasikan dengan baik. Sebaliknya siswa dengan gaya kelekatan anxiousambivalent attachment; akan menilai negative lingkungan, curiga, menjaga jarak, hingga terbentuk struktur self negatif. Oleh karenanya permasalah di sekolah seperti kenakalan siswa terus saja muncul.
84
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 Implikasi pemenuhan klekatan oleh guru di sekolah juga bukan menjadi landasan dalam penanganan penyelesaian permasalahan siswa (Dian & Yuneva, 2016). Sehingga penegakan disiplin oleh guru semata-mata tidak mampu mencegah kembali munculnya perilaku kenakalan siswa. Namun demikian, akan berbeda halnya jika penanganan permasalahan siswa mengacu pada konteks pemenuhan kelekatan. Artinya pendekatan dan sudut pandang psikologis pemenuhan kelekatan; menjadi acuan guru dalam membina atau menjalin hubungan interpersonal.Sehingga akan terbentuk konsep diri positif dalam diri siswa; yang pada akhirnya menjadi filter internal pencegahan munculnya perilaku penyimpang atau pelanggaran yang dilakukan oleh siswa. Implementasi kelekatan oleh guru terlebih lagi oleh guru bimbingan dan konseling dapat diterapkan melalui hubungan komunikasi interpersonal yang dibangun dalam proses layanan dan bimbingan yang akan dilakukan. Komunikasi Interpersonal yang dibina telah terbukti dapat membantu meningkatkan penyelesaian akademik siswa (Dian, 2016). PEMBAHASAN Kelekatan Kelekatan atau attachment adalah konstruksi organisasional orangtua dalam merespon sinyal afektif anak saat mengorganisasikan pengalaman emosional dan perasaan tidak aman (Golderg, 2000). Kelekatan juga diartikan sebagai suatu hubungan yang sifatnya universal dan dapat terjadi pada individu manapun. Kelekatan merupakan salah satu gejala yang menunjukkan adanya saling keterikatan pada manusia. Pengetian tingkahlaku lekat (attachment behavior) adalah beberapa bentuk perilaku yang dihasilkan dari usaha seseorang untuk mempertahankan kedekatan dengan seseorang yang dianggap mampu memberikan perlindungan dari ancaman lingkungan terutama saat seseorang merasa takut, sakit, atau terancam. Berkaitan dengan tingkahlaku lekat, Aimnsworth (dalam Papalia dan Old, 1986) menyebutkan ada mekanisme yang disebut dengan “working model” atau istilah Bowlby disebut dengan “internal working model”. Konsep working model selanjutnya dikembangkan oleh Collins dan Red (dalam Pramana, 1996) yang terdiri dari empat komponen yang saling berhubungan, yaitu: a. Memori tentang kelekatan yang dihubungkan dengan pengalaman. 85
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 b. Kepercayaan, sikap, dan harapan mengenai diri dan orang lain yang dihubungkan dengan kelekatan. c. Kelekatan dihubungkan dengan tujuan dan kebutuhan (goal and need). d. Strategi dan rencana yang disosiasikan dengan pencapaian tujuan kelekatan. Mc Cartney dan Dearing (2002) menyatakan bahwa pengalaman awal akan menggring dan menentukan perilaku dan perasaan mengenai internal working model. Adapun penjelasan mengenai konsep ini adalah, “internal” : karena disimpan dalam pikiran; “working” : karena membimbing persepsi dan perilaku sedangkan “model” : karena mencerminkan representasi kognitif dari pengalaman dalam membina hubungan. Anak akan menyimpan pengetahuannya mengenai suatu hubungan, khususnya pengetahuan mengenai keamanan dan bahaya. Model ini selanjutnya akan menggring anak dalam interaksi di masa yang akan datang. Interaksi interpersonal dihasilkan dan diinterpretasikan berdasarkan gambaran mental yang dimiliki seorang anak (Ervika, dalam Eva Imania, 2011). Kemampuan Komunikasi Interpersonal Komunikasi Interpersonal adalah interaksi tatap muka antar dua orang atau beberapa orang, dimana pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung dan penerima pesan dapat menerima dan menanggapi secara langsung (Hardjana : 2003). Tipe komunikasi tatap muka penting bagi pengembangan hubungan informal dalam organisasi. Demikian halnya dengan Mulyana (2008) menjelaskan bahwa komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orang secara tatap muka yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal, maupun non verbal. Komunikasi Interpersonal menunjukkan adanya kesediaan untuk berbagai aspek unik dari diri individu.(Parks : 2008). Proses komunikasi interpersonal akan terjadi apabila ada pengirim menyampaikan informasi berupa lambing verbal maupun non verbal kepada penerima menggunakan media suara manusia (human voice), maupun dengan medium tulisan. Sehingga berdasarkan asumsi ini maka, dapat dikatakan bahwa dalam proses komunikasi interpersonal terdapat komponen–komponen komunikasi interpersonal. Menurut Suranto (2011), terdapat Sembilan komponen komunikasi interpersonal, yaitu: 1. Sumber / Komunikator. Merupakan orang yang mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi, yaitu keinginan untuk membagi keadaan internal sendiri, baik yang
86
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 bersifat emosional maupun informasional dengan oranglain. Kebutuhan ini dapat berupa keinginan untuk mempengaruhi sikap atau tingkah laku oranglain. 2. Enconding. Merupakan suatu aktifitas internal pada komunikator dalam menciptakan pesan melalui pilihan symbol-simbol verbal dan non-verbal. 3. Pesan. Merupakan hasil enconding. Komunikan efektif apabila komunikan menginterpretasikan makna pesan sesuai yang diinginkan oleh komunikator. 4. Saluran. Dalam komunikasi interpersonal, enggunaan saluran atau media sematamata karena situasi dan kondisi tidak memungkinkan komunikasi secara tatap muka. 5. Penerimaan/Komunikan.
Sesorang
yang
menerima,
memahami
dan
menginterpretasikan pesan. 6. Decoding. Merupakan kegiatan internal dalam diri penerima melalui indra, penerima mendapatkan macam-macam data dalam bentuk mentah; berupa kata-kata,simbolsimbol yang harus diubah kedalam pengalaman-pengalaman yang mengandung makna; secara bertahap dimulai dari proses sensasi yaitu proses dimana indra menangkap stimui. 7. Respon. Respon dapat bersifat positif, netral, maupun negative. 8. Gangguan (Noise). Gangguan dapat terjadi di dalam komponen manapun dari system komunikasi. Noise merupakan penyampaian dan penerimaan pesan, termasuk bersifat fisik dan psikis. 9. Konteks
Komunikasi.
Konteks
ini
meliputi
nilai
social
dan
budaya
yang
mempengaruhi suasana komunikasi seperti adat istiadat, situasi rumah, norma social, norma pergaulan, etika, tata karma, dan sebagainya. Psikologis Sekolah Psikologis sekolah merupakan salah satu bagian dari Ilmu Psikologi Pendidikan. Namun, ruang lingkup psikologi sekolah berbeda dengan psikologi pada umumnya. Psikologis sekolah lebih berfokus terhadap masalah-masalah psikologis yang berkaitan dengan dunia pendidikan atau dunia sekolah dan pengembangan metode belajar untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Oleh karenanya psikologis sekolah berupaya menciptakan situasi yang mendukung bagi anak didik dalam mengembangkan kemampuan akademik, sosialisasi, dan emosi. Dengan kata lain psikologis sekolah berkonsentrasi pada dinamika sekolah (Galih Mataro, 2012)
87
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 Model Komunikasi Interpersonal Guru Bimbingan Dan Konseling Dalam Konteks Kelekatan Sebagai Upaya Peningkaatan Psikologi Sekolah Siswa Keberhasilan dalam membentuk komunikasi interpersonal banyak berada pada Komunikator dalam hal ini adalah Guru BK. Pemahaman akan stuktur Self dari pola kelekatan yang dibangun figure lekat siswa menjadi landasan guru bimbingan dan konseling dalam membentuk program layanan dan bimbingan khususnya dalam pembinaan kemampuan komunikasi interpersonal terhadap siswa. jika hal itu dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan; maka akan membentuk pola struktur self siswa yang lebih positif. Sebagaimana penjelasan Mc Cartney dan Dearing (2002) menyatakan bahwa pengalaman awal akan menggring dan menentukan perilaku dan perasaan mengenai internal working model. Pandangan yang positif terhadap diri dan lingkungan ditambah pendampingan dan binaan secara positif; menjadi peluang besar bagi anak dalam penyelesaian tugastugas akademik yang sedang dan akan ditempuhnya. Lingkungan sekolah yang positif menjadi indicator terciptanya nuansa psikologis sekolah yang menunjuang siswa untuk terus aktif dan semangat dalam menyelesaikan proses studi di sekolah. KESIMPULAN Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa hubungan interpersonal
yang
dibina
memalui
komunikasi
interpersonal
dalam
konteks
pemenuhan kelekatan diprediksi mampu menjadi jembatan dalam mengoptimalkan kondisi psikologis sekolah siswa. keberhasilan pembinaan hubungan komunikasi interpersonal berada pada Guru khususnya Bimbingan dan Konseling. Landasan munculnya perilaku menyimpang atau banyaknya pelanggaran yang dilakukan siswa atas akibat tidak terpenuhinya kebutuhan kelekatan pada siswa, menjadikan kemampuan empati guru Bimbingan dan Konseling menjadi lebih mudah dirasakan oleh siswa. DAFTAR PUSTAKA Buren, AV & Cooley,E.L (2002). Attachment Styles, View of Self, and Negative Affect. North American Journal of Psychology.2002.Vol,3, 417-430. Dian M.M (2016). Peningkatan Komunikasi Interpersonal dalam Lingkungan Pendidikan Tinggi (Studi Mahasiswa Semester VI Prodi BK T.A 2014-2015 Unihaz). Jurnal PsikodidaktikaUNIHAZ. Desember Vol.1, 7-10. Dian M.M& Yuneva (2016). Implikasi Pemenuhan Kelekatan pada Psikologi Sekolah Siswa di SMP N 12 Kota Bengkulu. Prociding Seminar Internasional ICS 2016 Universitas Negeri Padang.
88
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 Dian M.M & Zumkasri (2016). Pemenuhan Need Attachment dalam Konteks Budaya Bengkulu. Jurnal Psikologi. Eva Imania (2011). Pentingnya kelekatan orangtua dalam Internal Working Model untuk pembentukan Karakter Anak (Kajian berdasarkan teori Kelekatan Jown Bowlby). Journal of Developmental Psychology volume 33 no.5 806 – 821. Galih Matoro, Mery christine, & cynthia M Sitompul (2012). Psikologi Sekolah. Diakses tanggal 14 Februari 2016. hpp://11111gm.blokspot.co.id Goldberg, S. (2000). Attachment and Development. New York: Oxford University Press. Hardjana, M.H. 2003. Komunikasi Intrapersonal danInterpersonal. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Mc. Cartey & OldSW (1986) Human development. New York: Mc Graw Hill Book Company. Mulyana, D. 2008. Ilmu komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Papalia, D. E; Olds, S.W & Feldman, R.D. (2004). Human development 9th edition. Sanfrancisco: McGraw Hill. Pramana W (1996). The Utility of Thoories of Parenting, Attachment, Stress, and Stigma in Predicting Adjustment to Illnes. Desertasi. Departement of Psychology the University of Queensland. Suranto, A.W. 2011. Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu.
89
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 PERANAN TEKNOLOGI INFORMASI DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING Asniti Karni IAIN Bengkulu Email:
[email protected] Abstrak Perkembangan teknolgi saat ini mempermudah para konselor untuk mengembangkan layanan konseling di masyarakat melalui internet ataupun media lainnya, sehingga dengan mudah untuk melaksanakan proses konseling.Urgensi bimbingan dan konseling mengacu pada perkembangan serta kemajuan teknologi yang mutakhir, salah satunya ialah penggunaan alat atau media komunikasi serta informasi elektronik baik secara online maupun offline. Penggunaan media teknologi yang mutakhir akan senantiasa merubah gaya serta penerapan bimbingan dan konseling yang konvensional.Walaupun kegiatan konseling dilakukan dengan jarak jauh namun kerahasiaan konseli harus tetap terjaga dengan memperhatikan asas-asas dan kode etik dalam bimbingan dan konseling. Proses layanan bimbingan dan konseling tidak selalu face to face atau tatap muka. Sehingga pelaksanaan layanan yang lebih mudah yaitu dengan cyber counseling yang memungkinkan konseli tidak merasa malu/canggung yang bisa dilakukan kapan dan dimana saja. Adapun peranan teknologi informasi dalam bimbingan dan konseling diantaranya mempermudah konselor dalam menyusun, mencari dan juga mengolah data, menjaga kerahasiaan suatu data, karena dengan teknologi memungkinkan untuk menguncinya dan tidak sembarang orang dapat mengaksesnya. Membantu individu maupun kelompok untuk dapat berkomunikasi dengan lebih mudah dan relatif murah dalam pelaksanaan konseling. Memberikan kesempatan kepada individu untuk berkomunikasi lebih baik dengan menggunakan informasi yang mereka terima tanpa perlu bertemu secara fisik. Serta menjadikan teknologi informasi sebagai alat dalam suatu program kegiatan, sehingga kegiatan tersebut lebih teratur dan terstruktur. Kata Kunci: teknologi informasi, bimbingan dan konseling
PENDAHULUAN Di era informasi, kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi telah memungkinkan terjadinya pertukaran informasi yang cepat tanpa terhambat oleh batas ruang dan waktu. Karakteristik masyarakat seperti ini dikenal dengan istilah masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society). Siapa yang menguasai pengetahuan maka ia akan mampu bersaing dalam era global Begitupun kehidupan masyarakat sangat terasa perubahan akibat pengaruh globalisasi. Semua profesi segera membuat suatu sistem-sistem baru yang dapat menopang kehidupan masyarakat untuk menghadapi kedahsyatan serbuan pengaruh globalisasi. Begitupun profesi konselor yang mulai melibatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam melaksanakan proses pelayanan. Bimbingan dan Konseling
90
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 sebagai suatu proses pemberian bantuan kepada individu (siswa), dilaksanakan melalui berbagai macam layanan. Dalam memperbaiki pelayanannya, konselor mulai menggunakan media-media yang mampu menunjang kebutuhan para konseli, sehingga pelayanan Bimbingan dan Konseling berbasis teknologi informasi sangat diharapkan mampu memfasilitasi para konselor.Tujuannya adalah tetap memberikan bimbingan dan konseling dengan caracara yang lebih menarik, interaktif, dan tidak terbatas tempat, tetapi juga tetap memperhatikan asas-asas dan kode etik dalam bimbingan dan konseling. PEMBAHASAN Teknologi Informasi (TI), atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Information technology (IT) adalah istilah umum yang menjelaskan teknologi apa pun yang
membantu
mengomunikasikan
manusia dan/atau
dalam
membuat,
menyebarkan
mengubah,
informasi.Menurut
menyimpan,
Asmani
(20011:
98)Teknologi Informasi dimaknai sebagai kebutuhan manusia dalam mengambil dan memindahkan, mengolah dan memproses informasi dalam konteks sosial yang menguntungkan diri sendiri dan masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan menurut Williams dan Sawyer (2003), teknologi informasi adalah penggabungan komputerisasi yaitu komputer dengan jalur komunikasi berkecepatan tinggi yang membawa data, suara, dan video. Adapun fungsi khusus keberadaan teknologi informasi dalam bimbingan dan konseling diantaranya adalah sebagai berikut, yaitu: a.
Mempermudah konselor dalam menyusun, mencari dan juga mengolah data.
b.
Menjaga kerahasiaan suatu data, karena dengan teknologi memungkinkan untuk menguncinya dan tidak sembarang orang dapat mengaksesnya.
c.
Membantu individu maupun kelompok untuk dapat berkomunikasi dengan lebih mudah dan relatif murah dalam pelaksanaan konseling.
d. Memberikan kesempatan kepada individu untuk berkomunikasi lebih baik dengan menggunakan informasi yang mereka terima tanpa perlu bertemu secara fisik (cyber counseling). e.
Menjadikan teknologi informasi sebagai alat dalam suatu program kegiatan, sehingga kegiatan tersebut lebih teratur dan terstruktur. Komputer merupakan salah satu media yang dapat dipergunakan oleh konselor
dalam proses konseling. Pelling (2002) menyatakan bahwa penggunaan komputer (internet) dapat dipergunakan untuk membantu siswa dalam proses pilihan karir
91
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 sampai
pada
tahap
pengambilan
keputusan
pilihan
karir.
Hal
ini
sangat
memungkinkan, karena dengan membuka internet, maka siswa akan dapat melihat banyak informasi atau data yang dibutuhkan untuk menentukan pilihan studi lanjut atau pilihan karirnya. Manfaat penggunaan komputer (internet) adalah: 1. Pemanfaatan internet untuk survei, studi eksplorasi, mencari data, informasi atau dokumen elektronik yang berharga, dll. 2. Pemakaian email dan messaging dengan memperhatikan etika. 3. Publikasi pengumuman, makalah, materi ajar, program aplikasi gratis, data, dll. yang dinilai bermanfaat bagi masyarakat luas pada situs web (website). 4. Penyelenggaraan kompetisi ilmiah, seni, ketangkasan secara on line yang bernilai positif bagi masyarakat luas. Data-data yang didapat melalui internet, dapat dianggap sebagai data yang dapat dipertanggungjawabkan dan masuk akal (Pearson, dalam Pelling 2002; Hohenshill, 2000). Sampsons (2000) mengungkapkan bahwa fasilitas di internet dapat dapat dipergunakan untuk melakukan testing bagi siswa. Tentu saja hal ini harus didasari pada kebutuhan siswa. Penggunaan komputer di kelas sebagai media bimbingan dan konseling akan memiliki beberapa keuntungan seperti yang dinyatakan oleh Baggerly sebagai berikut: 1. Meningkatkan kreativitas, keingintahuan dan memberikan variasi pengajaran, sehingga kelas akan menjadi lebih menarik. 2. Meningkatkan kunjungan ke website, terutama yang berhubungan dengan kebutuhan siswa. 3. Konselor akan memiliki pandangan yang baik dan bijaksana terhadap materi yang diberikan. 4. Memunculkan respon yang positif terhadap penggunaan email. 5. Tidak akan menimbulkan kebosanan. 6. Dapat ditemukan silabus, kurikulum dan lain sebagainya melalui website; dan 7. Terdapat pengaturan yang baik. Jenis-Jenis Konseling melalui Teknologi Informasi Dalam Layanan Bimbingan dan Konseling 1. Konseling melalui telepon Kemudahan pengaksesan dalam pemberian layanan Bimbingan dan Konseling mengikuti tatanan kehidupan masyarakat global diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan para konseli yang menuntut pemberian layanan bimbingan dan konseling yang cepat, luas, dan mudah diakses oleh konseli. Konseling melalui telepon biasanya disebut konseling telepon.
92
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 2. Radio dan Televisi Pada konseling radio, percakapan antara konselor dan konseli dipancarkan. Pelayanan ini umumnya bersifat informatif atau advis, jarang hubungan klien dan konselor mencapai taraf yang mendalam dan intensif. Konseling melalui radio dan televisi memungkinkan permasalahan konseli diketahui oleh umum, oleh karena itu kerahasiaan identitas konseli harus benar-benar menjadi perhatian. Permasalahan waktu dan bagaimana masalah klien akan membatasi keleluasaan dan efektivitas konseling. 3. Internet Pelayanan konseling melalui fasilitas internet sudah dikenal dengan nama ecounseling ( email counseling ). Berikut ini adalah contoh proses konseling via internet :email therapy, cyber counseling dane-counseling. Kelebihan Penggunaan Teknologi Informasi dalam Layanan Bimbingan dan Konseling Komputer merupakan salah satu media yang dapat dipergunakan oleh konselor dalam proses konseling. Pelling (2002) menyatakan bahwa penggunaan komputer (internet) dapat dipergunakan untuk membantu siswa dalam proses pilihan karir sampai
pada
tahap
pengambilan
keputusan
pilihan
karir.
Hal
ini
sangat
memungkinkan, karena dengan membuka internet, maka siswa akan dapat melihat banyak informasi atau data yang dibutuhkan untuk menentukan pilihan studi lanjut atau pilihan karirnya. Manfaat penggunaan komputer (internet) adalah: 1. Pemanfaatan internet untuk survei, studi eksplorasi, mencari data, informasi atau dokumen elektronik yang berharga, dll. 2. Pemakaian email dan messaging dengan memperhatikan etika. 3. Publikasi pengumuman, makalah, materi ajar, program aplikasi gratis, data, dll. yang dinilai bermanfaat bagi masyarakat luas pada situs web (website). 4. Penyelenggaraan kompetisi ilmiah, seni, ketangkasan secara on line yang bernilai positif bagi masyarakat luas. Fasilitas di internet dapat dipergunakan untuk melakukan testing bagi siswa. Tentu saja hal ini harus didasari pada kebutuhan siswa. Penggunaan komputer di kelas sebagai media bimbingan dan konseling akan memiliki beberapa keuntungan yaitu sebagai berikut: 1. Akan meningkatkan kreativitas, meningkatkan keingintahuan dan memberikan variasi pengajaran, sehingga kelas akan menjadi lebih menarik.
93
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 2. Akan meningkatkan kunjungan ke web site, terutama yang berhubungan dengan kebutuhan siswa; 3. Konselor akan memiliki pandangan yang baik dan bijaksana terhadap materi yang diberikan; 4. Akan memunculkan respon yang positif terhadap penggunaan email; 5. Tidak akan menimbulkan kebosanan; 6. Dapat ditemukan silabus, kurikulum dan lain sebagainya melalui website; dan 7. Terdapat pengaturan yang baik. . Program software power point memberikan kesempatan bagi konselor untuk memberikan sentuhan-sentuhan seni dalam bahan layanan informasi. Melalui program ini, yang ditayangkan tidak saja berupa tulisan-tulisan yang mungkin sangat membosankan, tetapi dapat juga ditampilkan gambar-gambar dan suara-suara yang menarik yang tersedia dalam program power point. Melalui fasilitas ini, konselor dapat pula memasukkan gambar-gambar di luar fasilitas power point, sehingga sasaran yang akan dicapai menjadi lebih optimal. Konselor dapat memasukkan gambar-gambar yang bergerak, bahkan konselor bisa melakukan insert gambar-gambar yang ada di sebuah film. Adapun kelebihan penggunaan TI dalam bimbingan konseling diantaranya adalah sebagai berikut, yaitu: a.
Pembelajaran dari mana dan kapan saja .
b.
Bertambahnya Interaksi pembelajaran antara peserta didik dengan guru .
c.
Menjangkau peserta didik dalam cakupan yang luas.
d. Mempermudah penyempurnaan dan penyimpanan materi Kelemahan Penggunaan Teknologi Informasi Dalam Layanan Bimbingan dan Konseling Adapun kelemahan penggunaan TI dalam bimbingan dan konseling diantaranya adalah sebagai berikut, yaitu: a.
Konselor tidak dapat memastikan bahwa kliennya benar-benar seruis atau tidak.
b.
Informasi yang diterima dan diberitakan sangat terbatas, komunikasi satu arah.
c.
Kegiatan konseling melalui teknologi informasi dapat menimbulkan jarak baik secara fisik maupun psikis diantara konselor dan klien.
d. Belum terdapat data-data, fakta atau informasi yang objektif dari klien, sehingga pemecahan masalah kurang jelas. e.
Media yang digunakan kurang sesuai dengan apa yang dibutuhkan kliennya. 94
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 f.
Siswanya kurang menggunakan media yang disediakan kebanyakan langsung bertemu atau tatap muka
KESIMPULAN Teknologi informasi merupakan kebutuhan yang sangat urgen/sangat penting dalam upaya mendukung layanan BK yang lebih inovatif. Perkembangan TI yang semakin canggih ini secara langsung dapat mendukung proses pemberian layanan BK yang lebih kreatif, menarik dan inovatif. Layanan BK yang sifatnya inovatif sudah tentunya dapat membangkitkan motivasi konseli untuk mengikuti layanan dengan baik dan tujuan layanan dapat tercapai dengan baik. Misalnya penggunaan video/film, gambar animasi dan sejensinya yang dapat dipergunakan sebagai sarana penunjang pemecahan masalah konseli. Dengan demikian, keberadaan TI sangat dibutuhkan dalam mendukung kinerja guru bimbingan dan konseling. Urgensi bimbingan dan konseling mengacu pada perkembangan serta kemajuan teknologi yang mutakhir, salah satunya ialah penggunaan alat atau media komunikasi serta informasi elektronik baik secara online maupun offline. Penggunaan media teknologi yang mutakhir akan senantiasa merubah gaya serta penerapan bimbingan dan konseling yang konvensional.Walaupun kegiatan konseling dilakukan dengan jarak jauh namun kerahasiaan konseli harus tetap terjaga dengan memperhatikan asas-asas dan kode etik dalam bimbingan dan konseling. Proses layanan bimbingan dan konseling tidak selalu face to face atau tatap muka. Sehingga pelaksanaan layanan yang lebih mudah yaitu dengan cyber counseling yang memungkinkan konseli tidak merasa malu/canggung yang bisa dilakukan kapan dan dimana saja. DAFTAR PUSTAKA Abdul Kadir dan Terra Ch Triwahyuni, Teknologi Informasi, Yogyakarta: Kanisius, 2003. Asosiasi Bimbingan dan Konseling. (2008). Penataan Pendidikan ProfesionalKonselor Dan Layanan Bimbingan Dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal. Bandung: ABKIN. Association for Counselor Education and Supervision, Keterampilan Teknis Penggunaan Komputer dan Internet, 1999. Amalia, Rizki Nur, TIK dalam Pembelajaran Modern BK, (http://bk112104.blogspot.com/2014/01/tik-dalam-pembelajaran-modernbk_9.html, diakses 10 April 2015. Asmani, Jamal Ma’mur (2011). Tips Efektif Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Dunia Pendidikan, Yogyakarta: DIVA Press. Counseling Programs”, Teacher Fellowship Grant, http://jtc.cols tate.edu/vol2_2/hines/hines.htm, Diakses 26 Desember 2003. Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta 95
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 Hidayat, Rudi, Teknologi Informasi Komunikasi, Jakarta: Erlangga, 2011. Hines, Peggy La Turno, “Student Technology Competencies for School Ifdil. Makalah Penyelenggaraan Konseling Online. Disampaikan pada seminar nasional bimbingan dan konseling. 01 Mei 2012 Kodong, Frans Richard, “Teknologi Informasi dan Komunikasi di Bidang Bimbingan Konseling”, Paper presented at Seminar Nasional Informatika 2011, Yogyakarta, 2011, ISSN: 1979-2328. Prayitno dan Erman Amti. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling.Jakarta:Rineka Cipta Reynold dan Djuharis Rasul, Cerdas dan Terampil Teknologi Informasi dan Komunikasi, Jakarta: Pusat Perbukuan Kemdiknas, 2010. Sutrisno. Pengantar Pembeljaran Inovatif berbasis Teknologi dan Komunikasi. Jakarta. Gaung Persada. Tohirin. 2007. Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Williams dan Sawyer. 2003. Pengertian teknologi informasi. (online) tersedia: hhtp;//id.shvoong.com.
96
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 PERAN GURU BIMBINGAN DAN KONSELING (BK) DALAM MEMBENTUK KESADARAN BERSEKOLAH SISWA SD DI KABUPATEN BANJAR KALIMANTAN SELATAN
Dwi Nur Rachmah Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung Mangkurat Email :
[email protected] Abstrak Besarnya jumlah angka putus sekolah di Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa masih kurangnya kemampuan para siswa dalam mengatur diri mereka dalam belajar serta kurangnya kesadaran siswa untuk bersekolah terutama siswa SD. Kesiapan dan kemampuan guru bimbingan dan konseling (BK) diperlukan untuk membantu menumbuhkan kesadaran diri (self awareness) siswa dalam bersekolah. Artikel ini ditulis untuk memberikan gambaran mengenai pentingnya peranan guru bimbingan dan konseling di sekolah dasar (SD) dan langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling ketika berupaya menumbuhkan kesadaran bersekolah siswa SD di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan yang latar belakang budaya masyarakatnya berlandaskan ajaran agama islam. Kata kunci: kesadaran bersekolah, siswa SD, peran guru BK
PENDAHULUAN Sekolah memiliki peran yang penting untuk perkembangan fisik, afektif, sosial dan intelektual peserta didik. Sekolah juga menjadi bekal bagi peserta didik dalam beradaptasi di lingkungan yang lebih luas seiring dengan peningkatan usia mereka. Pihak sekolah diharuskan memberikan layanan yang terbaik bagi peserta didiknya sehingga
peserta
didik
menjadi
bersemangat
dalam
bersekolah
dan
dapat
menjalankan tugas-tugas mereka sesuai potensi yang dimiliki. Hal ini sejalan dengan pendapat Santrock (2004) yang menyatakan bahwa sekolah dasar merupakan tempat bagi anak belajar berinteraksi dan menjalin hubungan yang lebih luas dengan orang lain yang baru dikenalnya. Berns (2004) juga menyebutkan bahwa fungsi sekolah yaitu sebagai agen sosial yang membangun intelektual dan pengalaman sosial bagi siswa untuk perkembangan kemampuan, pengetahuan, minat, dan tingkahlaku yang merupakan karakteristik mereka sebagai individu untuk bekal mereka sebagai pribadi yang dewasa. Upaya yang dilakukan oleh pihak sekolah nampaknya masih belum optimal dalam membentuk karakter siswa yang bertanggung jawab, disiplin dan memiliki kesadaran diri yang baik. Angka putus sekolah yang didapat dari data indikator
97
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 kesejahteraan rakyat (2014) masih tergolong tinggi yaitu diketahui bahwa jumlah angka putus sekolah untuk jenjang pendidikan SD tahun 2013/2014 sebesar 1,10 persen. Untuk Provinsi Kalimantan Selatan sendiri diketahui dari pusat data dan statistik kemendikbud (2015) terdapat 99,31 persen anak usia SD dan sebesar 1,88 persen angka putus sekolah yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan Besarnya jumlah angka putus sekolah di Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa masih kurangnya kemampuan para siswa dalam mengatur diri mereka dalam belajar serta kurangnya kesadaran siswa untuk bersekolah. Penelitian yang dilakukan oleh Nasruddin (2012) menyebutkan bahwa sekitar 16% anak tidak minat sekolah menjadi salah satu penyebab anak tidak bersekolah dan sekitar 17,93% penyebab anak putus sekolah yaitu karena malas. Kesadaran siswa yang kurang untuk bersekolah tentu saja tidak terlepas dari peran guru bimbingan dan konseling (BK) dalam membentuk karakter siswa yang memiliki kemampuan regulasi diri dan adanya kesadaran untuk bersekolah. Guru bimbingan dan konseling (BK) seperti yang disebutkan dalam Permendikbud tahun 2014 yaitu seorang pendidik yang berkualifikasi akademik minimal Sarjana Pendidikan (S-1) dalam bidang Bimbingan dan Konseling dan memiliki kompetensi di bidang Bimbingan dan Konseling (Permendikbud, 2014). Selanjutnya disebutkan pula pada peraturan no 111 pasal 10 bahwa penyelenggaraan bimbingan dan konseling pada SD/MI atau yang sederajat dilakukan oleh Konselor atau Guru Bimbingan dan Konseling (Permendikbud, 2014). Sekolah-sekolah di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan masih kekurangan tenaga pengajar, bahkan tidak ada sama sekali guru bimbingan dan konseling (BK) yang berkualifikasi akademik sarjana bimbingan dan konseling yang khusus dipekerjakan di sekolah untuk memenuhi pelayanan bagi siswa SD. Hasil wawancara dengan beberapa orang kepala sekolah SD di Kabupaten Banjar diketahui bahwa belum ada guru khusus bimbingan dan konseling di sekolah mereka. Guru kelas bertugas mengajar dan juga sekaligus merangkap sebagai guru bimbingan dan konseling yang menangani permasalahan siswanya. Pemerintah sebagai pengambil kebijakan diharapkan dapat memperhatikan akan pentingnya peranan guru bimbingan dan konseling (BK) di sekolah-sekolah dasar, mengingat pada rentang usia sekolah dasar seorang anak mulai memahami akan dirinya, belajar moral yang baik dan benar serta berkembangnya berbagai potensi yang ia miliki baik dari kognitif maupun sosial, emosional, religiusitas dan sebagainya. Kedepan, seandainya penempatan guru bimbingan dan konseling di sekolah dasar benar-benar telah terlaksana maka para guru bimbingan dan konseling ataupun guru
98
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 kelas yang ada saat ini di Kabupaten Banjar dapat melakukan pendekatan berbasis ajaran agama islam atau bimbingan dan konseling islam untuk menumbuhkan kesadaran bersekolah siswa SD di Kabupaten Banjar. Hal ini dikarenakan wilayah Kabupaten Banjar memiliki kekhasan akan kentalnya budaya lokal yang mendasari kehidupan sehari-hari mereka pada ajaran agama islam, sehingga penting menumbuhkan kesadaran siswa untuk bersekolah mengacu pada nilai-nilai yang diajarkan dalam agama islam. Aswadi (2012) menyatakan bahwa bimbingan konseling islam dengan mengacu pada kitab Al-Qur’an akan berimplikasi secara signifikan bagi orang-orang
yang
berkenan
merespon
dan
mengindahkannya,
baik
melalui
pendengaran, penghayatan dan tindakan. PEMBAHASAN Kesadaran bersekolah dalam istilah psikologi sering dipadankan dengan self awareness. Self awareness oleh Santrock (2007) diartikan sebagai keadaan sadar terjaga mengenai sesuatu atau pengetahuan mengenai peristiwa yang terjadi diluar dan didalam dirinya, termasuk sadar akan pribadinya dan pemikiran mengenai pengalamannya. Sementara Franzoi (2009) juga menyebutkan self awareness adalah kemampuan untuk mengenali perasaan dan mengapa seseorang merasakan seperti itu yang mempengaruhi
perilaku seseorang terhadap orang lain. self awareness
adalah keadaan psikologis di mana seseorang menyadari sendiri apa yang menjadi objek perhatiannya. Self awareness perlu dimiliki oleh setiap siswa agar siswa menyadari dengan sepenuh hati pentingnya kegiatan bersekolah tersebut untuk masa depannya. Hal-hal yang diperlukan siswa untuk memiliki self awareness yaitu pengenalan mengenai emosi yang dapat mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan/emotional self awareness, kesadaran mengenai kelebihan dan kekurangan diri sendiri/accurate self assesment, dan kepercayaan diri /self confidence akan kemampuan diri sendiri (Golemen, 2011) Hasil penelitian yang dilakukan pada bulan November mengenai self awarenes siswa SD di Kabupaten Banjar dengan subjek penelitian sebanyak 30 orang diketahui bahwa tingkat self awarenes siswa SD tersebut secara keseluruhan tergolong tinggi, namun terdapat sekitar 13,3 persen siswa yang memiliki self awareness tidak terlalu tinggi bahkan cenderung kearah kurang dan dapat dikhawatirkan akan mengalami putus sekolah. Siswa agar memiliki self awareness yang optimal yaitu dapat menyadari pentingnya bersekolah maka tugas orangtualah untuk membantu menumbuhkannya.
99
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 Selain dari orangtua, peran guru juga sangat menentukan dalam membentuk self awareness terutama guru bimbingan dan konseling sehingga angka putus sekolah pada siswa SD di Kabupaten Banjar dapat ditekan. Sayangnya, saat ini banyak sekali sekolah-sekolah SD yang belum memiliki guru bimbingan dan konseling terutama di daerah terpencil. Hidayat (2014) menyebutkan bahwa sebagian besar MI/SD tidak memiliki layanan bimbingan dan konseling. Guru yang berlatar belakang pendidikan bimbingan dan konseling juga tidak banyak ditemukan di MI/SD, karena pada umumnya guru MI/SD adalah lulusan SI PGSD/PGMI. Bahkan, masih terdapat guru yang berlatar belakang lulusan D2. Kondisi seperti ini tentunya kurang tepat bila mengingat Sekolah Dasar merupakan awal setiap anak untuk memperoleh berbagai pengetahuan dasar secara formal yang akan mendasari kegiatan pendidikan pada jenjang berikutnya. Beberapa tulisan sebelumnya juga diketahui bahwa guru BK memiliki peran penting guna membantu mengatasi permasalahan peserta didik, seperti yang dijelaskan oleh Arifin (2013) bahwa guru bimbingan dan konseling dapat melakukan beberapa upaya untuk membimbing siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar di sekolah yaitu dengan cara memberikan pengayaan perbaikan pengajaran, kegiatan pengayaan bagi siswa yang cepat dalam mempelajari sesuatu, peningkatan motivasi belajar, peningkatan keterampilan belajar dan pengembangan sikap serta kebiasaaan baik. Maliki (2015) juga menggambarkan pentingnya peran guru bimbingan dan konseling yang dirangkap oleh guru kelas untuk membantu siswa mengatasi permasalahan maupun pengenalan diri mereka dengan pendekatan imaginatif, yaitu suatu pendekatan dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling di sekolah dasar dengan cara menggali potensi dan mencoba mengembangkan, membangkitkan kemampuan, minat serta bakat yang dimiliki oleh siswa. Upaya guru bimbingan dan konseling dalam menumbuhkan karakter kesadaran bersekolah yang baik pada siswa, khususnya di wilayah Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan yang memiliki ciri khas kental akan budaya melayu dan nilai-nilai islam dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti : 1. Memberikan
informasi
akan
pentingnya
bersekolah
kepada
siswa
dan
orangtua/wali siswa. Informasi yang diberikan oleh pihak sekolah bekerjasama dengan para guru atau guru bimbingan dan konseling dapat dilakukan pada awal tahun ajaran baru, pada saat pembagian raport, rapat pihak sekolah dengan wali murid ataupun pada kegiatan-kegiatan lainnya di sekolah yang melibatkan siswa dan orangtua/wali siswa. Informasi akan pentingnya bersekolah juga dapat
100
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 diberikan setiap saat oleh guru ketika masuk kelas dengan menyisipkan informasi tersebut di sela-sela pengajaran. Informasi akan pentingnya bersekolah dapat disampaikan ke siswa maupun orangtua/wali siswa dengan memberikan contohcontoh teladan dari rasulullah maupun sahabat yang rajin menimba ilmu. Selain itu dapat disampaikan pula ayat-ayat Al-quran yang berkaitan dengan pentingnya bersekolah, seperti misalnya ayat berikut : "Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS. Al-Kahfi: 110) 2. Menanamkan sikap tidak mudah menyerah dan tidak berputus asa dalam menghadapi persoalan kepada siswa. Contohnya ketika siswa tidak dapat nilai bagus, tidak paham akan pelajaran ataupun ketika ada permasalahan lainnya baik disekolah ataupun di keluarga, siswa harus mampu bangkit dan menghadapi masalah tersebut, mencari solusinya dan yang terpenting tidak menjadi malas bersekolah. Sikap-sikap ini perlu ditanamkan kepada siswa sedari awal agar siswa memahami akan pentingnya bersekolah dan berusaha mencapai hasil dengan hasil kerja kerasnya sendiri. Penyampaian informasi mengenai sikap yang harus dimiliki oleh siswa ini dapat mengutip ayat dan hadist berikut. ”Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah SWT. Sesungguhnya Allah SWT tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah SWT menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia” ( Q.S. Ar Radu ayat 11 ) “Tidak ada satu makanan pun yang dimakan seseorang yang lebih baik daripada makanan hasil usahanya sendiri. “ ( H.R Bukhari dan Nasa’i ) . 3. Merangkul dengan cepat dan penuh perhatian serta kasih sayang ketika diketahui terdapat siswa yang memiliki permasalahan. Misalnya ketika diketahui ada siswa yang sedang merasa sedih, memiliki masalah dengan temannya atau keluarganya maka seorang guru bimbingan dan konseling dapat mengajak anak untuk mengambil wudhu, melaksanakan sholat agar ia merasa tenang. Guru bimbingan dan konseling juga dapat memberikan solusi yang bisa membantu siswa menyelesaikan permasalahannya dengan mengacu pada tekhnik yang dijelaskan oleh Rosjidan (2001) yaitu dengan cara mengadakan perubahan pada lingkungan siswa yang tidak menunjang perkembangannya, mengubah sikap negatif siswa baik terhadap diri maupun lingkungannya, membantu siswa mendapatkan
101
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 lingkungan yang sesuai dengan dirinya, membantu siswa menguasai keterampilan atau persyaratan yang diperlukan sehingga siswa dapat mengatasi masalah yang dihadapinya, membantu siswa menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya. 4. Membantu siswa memahami dengan betul siapa dirinya dan potensi-potensi apa yang dapat ia gali dan kembangkan dengan bersekolah. Pada siswa sekolah dasar mereka kebingungan dengan jati diri mereka dan belum memahami potensipotensi yang di miliki. Upaya yang dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling dapat dilakukan dengan pendekatan imajinatif seperti yang dijelaskan oleh Maliki (2015) yaitu menggali potensi siswa dengan cara membangkitkan kemampuan, minat serta bakat yang dimiliki oleh siswa. 5. Mengajak siswa lainnya untuk memotivasi siswa yang sering membolos, tidak masuk sekolah dan tidak berkonsentrasi dalam belajar. Salah satunya adalah dengan menjadi fasilitator bagi siswa lain yang tidak mengalami permasalahan di sekolah untuk menjadi tutor bagi siswa lain yang memiliki masalah seperti sering bolos, tidak masuk sekolah dan kurang berkonsentrasi dalam belajar. Agar para siswa termotivasi berperilaku yang baik dan mau berperan sebagai tutor bagi teman lainnya yang sedang bermasalah, maka guru bimbingan dan konseling dapat mengingatkan siswa akan pentingnya membantu orang lain. Guru bimbingan dan konseling dapat menyampaikan ayat dan arti surat Al ‘Ashr yang berisi pentingnya saling mengingatkan dalam kebaikan. 6. Bekerjasama dengan pihak sekolah untuk menerapkan sikap sadar bersekolah di sekolah baik ketika dalam proses belajar dikelas ataupun dalam berperilaku sehari-hari di lingkungan sekolah. Sikap sadar bersekolah ini dapat mengacu pada nilai-nilai agama islam seperti misalnya menempelkan tulisan-tulisan ataupun ayatayat Al-Quran akan pentingnya bersekolah, berdoa bersama-sama sebelum pelajaran dimulai agar rajin belajar dan menghindari sifat malas, ataupun dengan cara menampilkan gambar/cerita tokoh-tokoh muslim yang sukses dan berhasil. 7. Melakukan kunjungan rumah dengan segera jika ada ditemukan siswa yang tidak masuk sekolah tanpa ada alasan yang jelas. Guru bimbingan dan konseling dapat memberikan masukan-masukan kepada orangtua agar dapat mengawasi anak mereka dan memotivasi anak mereka untuk rajin bersekolah. Selain itu, guru bimbingan dan konseling dapat mengajak orangtua dan siswa untuk sama-sama mendoakan setiap saat agar sifat malas masuk sekolah yang ada pada diri anak menjadi hilang. Metode bimbingan dan konseling dengan doa ini sejalan dengan
102
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 hasil penelitian Hamjah dan Arib (2015) yang menyebutkan bahwa doa, membaca al-Qur’an dan membaca salawat nabi merupakan kegiatan yang dapat dibahas dalam sesi konseling pada masyarakat islam. Adapun doa-doa yang dapat disampaikan antara lain dengan membaca ayat surah Toha ayat 1-5 dan doa berikut : “Allohumma innii a’uudzubika minal hammi wal hazan wa a’uudzubika minal ’ajzi walkasai, wa a’uudzubika minal jubni wa bukhli, wa a’uudzu bika min gholabatid-daini wa qohrirrijaal” “Ya Allah ya Tuhan kami, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu daripada keluh kesah dan dukacita, aku berlindung kepada-Mu dari lemah kemauan dan malas, aku berlindung kepada-Mu daripada sifat pengecut dan kikir, aku berlindung kepada-Mu daripada tekanan hutang dan kezaliman manusia.” Adz-Dzaky (2004) mengemukakan bahwa konselor islam itu harus memiliki kualifikasi-kualifikasi yang meliputi, aspek spiritualitas, moral, serta keilmuan dan skill, pengetahuan mengenai diri sendiri, kesehatan, psikologi, kejujuran, kesabaran, kehangatan, dapat dipercaya dan
mempunyai kesadaran holistic (memperhatikan
dimensi kemanusiaan). Sementara, Baqutayan (2011) menguraikan bahwa bimbingan dan konseling islam hendaknya didasarkan pada kerahasiaan, kepercayaan, rasa hormat, cinta pada diri sendiri dan orang lain, kebiasaan mendengarkan yang baik, pengertian, dan tujuan akhirnya adalah menghubungkan individu dengan Allah SWT dan menawarkan solusi spiritual kepada mereka. Selain itu, konseling islam menekankan solusi spiritual, berdasarkan cinta dan takut kepada Allah dan kewajiban untuk memenuhi tanggung jawab kita sebagai hamba Allah di muka bumi ini. KESIMPULAN Bimbingan dan konseling yang dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling ataupun guru kelas yang saat ini bertugas sebagai guru bimbingan dan konseling di Sekolah Dasar Kabupaten Banjar hendaknya memperhatikan unsur budaya. Unsur budaya yang dimaksud adalah budaya islam yang menjadi dasar berperilaku seharihari di wilayah Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan untuk menumbuhkan kesadaran bersekolah bagi siswanya. Langkah-langkah yang dapat diambil oleh guru bimbingan dan konseling atau guru kelas yaitu dengan memberikan informasi mengenai pentingnya bersekolah, menanamkan sikap tidak mudah menyerah dan berputus asa, menangani dengan segera siswa yang bermasalah, membantu siswa memahami diri dan potensinya, mengajak siswa lain untuk memotivasi temannya yang malas
103
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 bersekolah, bekerjasama dengan pihak sekolah menciptakan budaya islami dan sadar bersekolah di lingkungan sekolah, serta melakukan kunjungan ke rumah siswa yang bermasalah. Semua langkah tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan nilai dan ajaran agama islam. DAFTAR PUSTAKA Adz-Dzaky, Bakran Hamdani HM. 2004. Konseling dan Psikoterapi Islam, Jogyakarta: FajarPustaka Baru. Aswadi. 2012. Replika Bimbingan Dan Konseling Dalam Perspektif Al-Qur’an. Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, 2 (1). 1-18 Arifin, M. Luqman. 2013. Upaya Konselor Dalam MembimbingBelajar Siswa Di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Konseling Religi: Jurnal Bimbingan Konseling Islam. 4, (2). 201-218 Badan Pusat Statistik. 2015. Indikator Kesejahteraan Rakyat 2015. Jakarta : Badan Pusat Statistik Baqutayan, S.M.S. 2011. An Innovative Islamic Counseling. International Journal Of Humanities And Social Science, 1 (21). 178-183. Berns, Roberta M. 2004. Child, Family, School, Community. 6th ed. USA: Wadsworth. Departemen Agama Republik Indonesia. (1992). Al Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: Gema Risalah Press. Franzoi, S.L. 2009. Social Psychology: Fifth Edition. New York: Mc Graw Hill. Golemen, D. 2011. Working With Emotional Inteligence. New York : Bantam Books. Hamjah, S. H., & Arib, N. M. 2015. Discussion on Religious Practice in Counseling: a Preliminary Survey. Mediterranean Journal of Social Sciences, 6 (6 S5).394401. Doi:10.5901/mjss.2015.v6n6s5p394 Hidayat, M. Yusuf. 2014. Peran Guru Dalam Pemecahan Masalah Peserta Didik . Auladuna,1 (230). 229-240 Maliki. 2015. Bimbingan dan Konseling di Sekolah Dasar (suatu pendekatan imajinatif). Al- Tazkiah, 7 (2), 1- 14 Nasruddin. 2012. Riset kebijakan pendidikan anak di indonesia. prosiding the smeru research institute. Editor Nuning Akhmadi. Kementerian pendidikan dan kebudayaan. Unicef Indonesia Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2014. Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan. 2015. Infografi Pendidikan tahun 2013/2014. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Rosjidan. 2001. Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Dasar. Makalah. Disajikan dalam Seminar Regional MencariAlternatif Model Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di MI/SD. HMJ PPB-FIP Universitas Negeri Malang. Malang, 19 September 200. Santrock. 2007. Remaja. Edisi 11 Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
104
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 STRATEGI LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN RESOLUSI KONFLIK UNTUK MENANGANI KONFLIK INTERPERSONAL SISWA
Khairi Bintani, S.Pd Program Studi Bimbingan dan Konseling, Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Email:
[email protected] Shufiyanti Arfalah, S.Pd Program Studi Bimbingan dan Konseling, Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Email:
[email protected] Abstrak
Manusia sebagai makhluk sosial akan selalu berinteraksi dengan individu lain dalam kesehariannya. Jika interaksi yang dilakukan memiliki kesamaan tujuan maka akan terjalin hubungan kerjasama, namun bila interaksi yang dilakukan tersebut memiliki perbedaan maka kemungkinan besar akan terjadi konflik. Konflik interpersonal merupakan konflik yang terjadi antar individu dan kelompok, baik di dalam sebuah kelompok (intragroup conflict) maupun antar kelompok (intergroup conflict) yang dapat muncul secara alamiah sebagai akibat adanya perbedaan persepsi, tujuan atau nilainilai dalam sekelompok individu yang saling berinteraksi. Konflik interpersonal dapat terjadi pada siapa saja, kapan saja dan di mana saja tidak terkecuali pada siswa, yang dapat menghambat perkembangan siswa dalam belajar maupun sosial. Oleh karena itu diperlukan suatu cara penanganan konflik yang tepat, yaitu melalui resolusi konflik. Resolusi konflik adalah cara-cara pengaturan atau pengendalian dengan memanfaatkan secara aktif bentuk-bentuk komunikasi untuk menekan konflik itu sendirimelalui kemampuan orientasi, persepsi, emosi, komunikasi, berpikir kreatif dan berpikir kritis. Bimbingan dan konseling sebagai bagian integral dari pendidikan memberikan layanan khusus yang bersifat psiko-edukatif. Layanan bimbingan dan konseling di sekolah dapat dirancang untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan mengenai resolusi konflik melalui strategi yang bersifat preventif, yaitu melalui kegiatan bimbingan klasikal dan bimbingan kelompok (diskusi kelompok, permainan, sosiodrama); dan strategi yang bersifat kuratif, yaitu melalui konseling individual dan kelompok. Kata Kunci: Bimbingan dan Konseling, Resolusi Konflik, Strategi Layanan BK.
PENDAHULUAN Manusia sebagai makhluk sosial akan selalu berinteraksi dengan individu lain dalam kesehariannya. Jika interaksi yang dilakukan memiliki kesamaan tujuan maka akan terjalin hubungan kerjasama, namun bila interaksi yang dilakukan tersebut memiliki perbedaan maka kemungkinan besar akan terjadi konflik.Konflik merupakan suatu yang alamiah, muncul sebagai akibat adanya perbedaan antar individu baik
105
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 perbedaan persepsi, tujuan maupun nilai-nilai dalam sekelompok individu (Scannell, 2010). Konflik dapat dialami oleh siapa saja, kapan saja, di mana saja dan di berbagai kalangan termasuk dalam dunia pendidikan. Konflik yang sering terjadi di dunia pendidikan berujung pada tindakan kekerasan seperti tawuran antar pelajar yang tidak jarang mengakibatkan melayangnya nyawa seseorang. KPAI melangsir data dari klaster (pengelompokan kasus) dalam lingkungan pendidikan untuk anak korban tawuran pelajar menunjukkan, pada tahun 2011 terdapat 20 kasus, tahun 2012 terdapat 49 kasus, tahun 2013 terdapat 52 kasus, tahun 2014 terdapat 113 kasus, dan
2015
ada
37
kasus(http://www.harnas.co/2015/09/22/di-balik-marak-
kekerasan-di-sekolah). Kasus tawuran pelajar hingga saat ini masih terus terjadi. Seperti dilansir oleh okezone.com di mana terjadi tawuran antar pelajar SMKN 4 Tangerang dengan SMK PGRI 2 yang menyebabkan satu orang korban tewas, Sabtu (20/8/2016) (http://news.okezone.com/read/2016/08/20/338/1468970/tawuran-siswa-smkn-4tangerang-tewas-ditusuk). News.detik.com (6/10/2016) juga melangsir berita mengenai pelajar SMK di Karawang terlibat tawuran yang mengakibatkan satu orang tewas. Hal tersebut disebabkan oleh aksi saling ejek (http://news.detik.com/berita/d-3314413/saling-ejek-pelajarsmk-di-karawang-terlibat-tawuran-satu-orang-tewas). Contoh yang telah dikemukakan merupakan bentuk dari konflik interpersonal. Konflik interpersonal adalah konflik yang terjadi ketika dua orang tidak setuju tentang sesuatu. Artinya, ketika kebutuhan, keyakinan, atau pendapat seseorang bertentangan dengan kebutuhan, keyakinan, atau pendapat oranglain, konflik mungkin terjadi. Konflik interpersonal merupakan bentuk konflik yang umumnya banyak terjadi di sekolah seperti yang dikemukakan oleh Campbell, Corbally & Nystrand (1983) bahwa “The most common and visible type conflict in schools as well as other organizations is interpersonal conflict”. Bimbingan dan konseling sebagai subsistem pendidikan memiliki peluang yang besar dalam usaha meningkatkan kecakapan sosial peserta didik. Kerangka kerja fungsi bimbingan dan konseling yang bersifat preventif dan kuratif menjadi landasan pemikiran bahwa tidak menutup kemungkinan kemampuan resolusi konflik siswa dapat dijadikan sebagai salah satu kemampuan yang harus diajarkan kepada siswa melalui layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Layanan bimbingan dan konseling di sekolah hendaknya dilakukan dengan berbagai macam strategi yang dapat menjadi alternatif pilihan bagi konselor atau guru bimbingan dan konseling dalam membantu siswa mengembangkan kemampuan resolusi konflik.
106
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 PEMBAHASAN Secara etimologi, konflik (conflict) berasal dari bahasa latin configere yang berarti saling memukul. Konflik adalah suatu tindakan salah satu pihak yang berakibat menghalangi, menghambat atau mengganggu pihak lain di mana hal ini dapat terjadi antar kelompok masyarakat ataupun dalam hubungan antar pribadi (Antonius, dkk, 2002). Konflik ini dinamakan dengan konflik interpersonal. Konflik interpersonal (interpersonal conflict) merupakan konflik yang terjadi antar individu dan dalam setiap lingkungan sosial, seperti dalam kelompok teman sebaya dan sekolah. Konflik ini dapat berupa konflik antar individu dan kelompok, baik di dalam sebuah kelompok (intragroup conflict) maupun antar kelompok (intergroup conflict). Penyebab konflik pada siswa sangat bervariasi. Satu macam konflik mungkin saja berawal dari sumber yang berbeda. Oleh karena itu untuk memahami sumber konflik di kalangan pelajar, terdapat beberapa teori yang dapat digunakan, yaitu social learning theory, social identity theory, dan reputation enhancement theory. Berdasarkan social learning theory(Sarlito, 2006), siswa mencontoh perilaku buruk orang lain (modelling) seperti tindakan kekerasan secara langsung maupun melalui tayangan televisi atau film. Kemudian siswa tersebutmempraktekkannya dalam bentuk tindakan kekerasan baik terhadap teman sebaya maupun lingkungan sekitarnya. Social identity theory menggambarkan perilaku individu di dalam dan antar kelompok dapat dijelaskan berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok sosial tertentu dan proses identifikasi di dalam kelompoknya (Hogg & Abrams dalam Bunyamin, 2007). Hogg & Abrams mengklaim bahwa identitas kelompok sosial mempengaruhi identitas diri dan konsep diri individu. Siswa yang terlibat konflik antarkelompok seperti tawuran disebabkan mereka ingin mengidentifikasi diri mereka dan kelompok mereka, mereka bertujuan untuk melindungi nama baik dirinya dan nama baik kelompoknya. Reputation enhancement theory yang dikembangkan oleh Emler dan Reicher menjelaskan perilaku individu dalam hubungan dengan individu lain dalam satu kelompok, di mana tiap individu berusaha untuk mempunyai reputasi yang baik di hadapan teman-teman kelompoknya (Bunyamin, 2005). Jadi, keterlibatan siswa dalam setiap aksi konflik merupakan suatu upaya mereka untuk berusaha mendapatkan reputasi baik di mata teman-teman satu kelompoknya. Konflik interpersonal yang terjadi pada siswa dapat menghambat perkembangan siswa dalam belajar maupun sosial. Pada umumnya, konflik interpersonal yang tidak
107
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 terselesaikan akan menimbulkan jarak di antara siswa yang terlibat konflik interpersonal, bahkan dapat melebar menjadi perpecahan antar kelompok. Cara-cara menyikapi konflik secara tidak tepat seringkali berkaitan dengan cara pandang seseorang dalam melihat konflik. Padahal tidak selamanya konflik selalu bermakna destruktif, akan tetapi memungkinkan untuk dikelola sehingga menjadi konstruktif. Deutsch& Coleman(2006) menyebutkan bahwa hal penting dalam menyikapi konflik bukanlah konflik itu baik atau buruk, melainkan bagaimana bisa menangani konflik sehingga menjadi konstruktif. Konstruktif tidaknya suatu konflik tergantung pada pengetahuan, pemahaman, sikap, dan keterampilan individu dalam mengelola konflik. Menurut Weitzman & Patricia (Ramadhani, 2011), jika individu memiliki persepsi negatif atas konflik yang terjadi, maka sikap dan tingkah laku pemecahan konflik cenderung destructive-disfungtional. Sebaliknya cara pandang positif melahirkan persepsi, sikap, respon tingkah laku solusi konflik constructive-fungtional. Cara menangani konflik yang constructive-fungtional adalah dengan mengembangkan resolusi konflik. Resolusi konflik (conflict resolution) adalah proses untuk mencapai keluaran konflik dengan menggunakan metode resolusi konflik melalui proses manajemen konflik. Resolusi konflik, yaitu melalui cara-cara pengaturan atau pengendalian dengan memanfaatkan secara aktif bentuk-bentuk komunikasi untuk menekan konflik itu sendiri. Kemampuan resolusi konflik merupakan kemampuan untuk menyelesaikan perbedaan dan menjadi aspek penting dalam perkembangan sosial dan moral. Resolusi konflik yang konstruktif akanmembawa beberapa manfaat dalam diri seseorang, dan berdampak positif, antara lain: meningkatkan harga diri, kepercayaan yang lebih besar, meningkatkan harga diri dalam kelompok serta meningkatkan hubungan lebih erat dalam kelompok (Bimo Walgito, 2007). Selain itu, dengan terbentuknya resolusi konflik mereka dapat menemukan cara yang baik dan positif dalam memecahkankonflik dengan orang lain, menemukan ide-ide kreatif, belajar untuk mendengarkan, bersikap danmenyamakan perbedaan yang terjadi. Untuk mengatasi konflik dan mencegah melebarnya masalah yang diakibatkan konflik, maka siswa perlu mengembangkan kemampuan resolusi konflik. Kemampuan yang perlu dikembangkan dalam resolusi konflik menurut Bodine & Crawford (Jones dan Kmitta, 2001), yaitukemampuan orientasi, kemampuan persepsi, kemampuan emosi, kemampuan komunikasi, berpikir kreatif dan berpikir kritis. Kemampuan orientasi meliputi pemahaman individu tentang konflik dan sikap yang menunjukkan anti kekerasan, kejujuran, keadilan, toleransi, dan harga diri. Hal ini
108
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 penting sebagai upaya pertama dalam penanganan konflik. Ketika siswa memiliki sikap anti kekerasan dan penuh toleransi, maka siswa akan menghindari pemecahan masalah melalui fisik atau perkelahian dan akan mencari pemecahan masalah melalui tindakan-tindakan yang konstruktif dan fungsional. Kemampuan persepsi adalah suatu kemampuan seseorang untuk dapat memahami bahwa setiap individu diciptakan berbeda, mampu berempati, dan menunda untuk menyalahkan atau memberi penilaian sepihak. Hal ini berguna untuk mencegah pemikiran-pemikiran negatif terhadap konflik. Kemampuan emosi dalam resolusi konflik mencakup kemampuan untuk mengelola berbagai macam emosi, termasuk di dalamnya rasa marah, takut, frustrasi, dan emosi negatif lainnya. Ketika terjadi konflik sering kali melibatkan emosi, sehingga penting untuk memiliki kemampuan dalam pengendalian emosi. Kemampuan komunikasi meliputi kemampuan mendengarkan orang lain, berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami, dan meresume atau menyusun ulang pernyataan yang bermuatan emosional ke dalam pernyataan yang netral atau kurang emosional. Kemampuan berkomunikasi ini penting untuk menyampaikan pemikiran dan perasaan yang tepat, serta mencegah terjadinya kesalahpahaman yang kerap terjadi saat konflik. Kemampuan berpikir kreatif merupakan kemampuan memahami masalah untuk memecahkan masalah dengan berbagai macam alternatif jalan keluar. Jadi dengan mengembangkan kemampuan berpikir kreatif, siswa dapat mencari berbagai alternatif penyelesaian konfliknya, sehingga tidak terpaku pada satu alternatif pemecahan masalah. Kemampuan berpikir kritis, yaitu suatu kemampuan untuk memprediksi dan menganalisis situasi konflik yang sedang dialami. Melalui kemampuan berpikir kritis, siswa akan dapat menemukan permasalahan yang sebernarnya dari sebuah konflik dan dapat mencari pemecahan masalahnya dengan cermat dan teliti. Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari pendidikan yang memberikan layanan khusus yang bersifat psiko-edukatif. Selain memberikan pelayanan khusus yang khas, bimbingan dan konseling juga memiliki tugas dan tujuan yang searah dengan pendidikan. Di mana institusi pendidikan formal mempunyai tugas dan kewajiban yang tidak semata-mata memberikan informasi dan pengetahuan saja, tetapi juga bertugas membentuk kesadaran tanggung jawab dan pengambilan keputusan yang baik pada siswa. Dengan adanya tanggung jawab dan pengambilan
109
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 keputusan yang baik dapat membawa individu menjadi manusia seutuhnya dan mampu mengendalikan diri dalam lingkungan sosialnya. Peran Bimbingan dan Konseling dalam penanganan konflik di sekolah adalah dengan mengarahkan siswa kepada kegiatan yang positif, membantu menemukan solusi pemecahan masalah terhadap sebuah konflik, serta membantu menciptakan kondisi suasana sekolah yang ramah dan penuh kasih sayang. Dengan berpartisipasi dalam program resolusi konflik, siswa belajar keterampilan untuk memaksimalkan kemampuan menyelesaikan konfliknya. Hal ini penting karena menurut Jhonson (1995) kebanyakan siswa tidak mengetahui bagaimana mengelola konflik secara konstruktif. Untuk mengatasi konflik interpersonal yang terjadi di kalangan pelajar, layanan bimbingan dan konseling di sekolah dapat dirancang untuk memberikan pengetahuan, pemahaman dan keterampilan mengenai resolusi konflik melalui berbagai macam strategi. Strategi layanan yang dapat dikembangkan guru BK meliputi strategi yang bersifat preventif dan strategi yang bersifat kuratif. Strategi yang bersifat preventif Upaya preventif adalah kegiatan yang dilakukan secara sistematis, terencana, dan terarah untuk menjaga agar konflik interpersonal dapat diatasi dengan cara yang konstruktif. Bentuk preventif yang dilakukan yaitu dengan memberikan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan resolusi konflik melalui kegiatan bimbingan klasikal dan bimbingan kelompok. a.Bimbingan klasikal Bimbingan klasikal merupakan layanan yang dilaksanakan dalam setting kelas, diberikan kepada semua peserta didik dalam bentuk tatap muka terjadwal dan rutin setiap kelas/perminggu (Permendikbud No. 111 Tahun 2014). Guru BK dapat menyiapkan materi untuk meningkatkan kemampuan resolusi konflik siswa, meliputi kemampuan orientasi, kemampuan persepsi, kemampuan emosi, kemampuan komunikasi, berpikir kreatif dan berpikir kritis.Selain itu guru BK dapat menciptakan iklim atau suasana kelas yang nyaman sehingga mengurangi munculnya konflik. b.Bimbingan kelompok Bimbingan kelompok merupakan pemberian bantuan kepada siswa melalui kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas dua sampai sepuluh orang untuk maksud mencegah
masalah
(konflik
interpersonal),
pemeliharaan
nilai-nilai
atau
pengembangan keterampilan-keterampilan resolusi konflik. Pada bimbingan kelompok, strategi khusus yang dapat digunakan adalah diskusi kelompok, permainan, dan
110
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 sosiodrama. Melalui kegiatan-kegiatan kelompok tersebut keterampilan siswa dalam menangani sebuah konflik dapat meningkat. Strategi yang bersifat kuratif Upaya kuratif yaitu membantu siswa yang memiliki masalah konflik interpersonal agar dapat memperbaiki kekeliruan berfikir, berperasaan, berkehendak dan bertindak. Strategi yang dapat diterapkan yaitu melalui konseling individual dan konseling kelompok. a.Konseling individual Konseling individual merupakan kegiatan terapeutik yang dilakukan secara perseorangan untuk membantu siswa yang sedang mengalami masalah atau kepedulian tertentu yang bersifat pribadi. Siswa yang memiliki masalah konflik interpersonal dibantu untuk menyelesaikannya dengan berbagai teknik yang sesuai, seperti teknik konseling dengan pendekatan kognitif untuk lebih memahami permasalahan konflik interpersonal yang berfokus pada pemikiran-pemikiran siswa; konseling dengan pendekatan behavioral, untuk memberikan keterampilan berupa perilaku-perilaku yang sesuai dalam menangani konflik; konseling dengan pendekatan emosi, untuk memahami dan membantu siswa menangai konfliknya yang berpusat pada perasaan-perasaan siswa; maupun pendekatan yang memadukan ketiga unsur tersebut. b.Konseling kelompok Konseling kelompok merupakan kegiatan terapeutik yang dilakukan dalam situasi kelompok untuk membantu menyelesaikan masalah individu yang bersifat rahasia. Melalui konseling kelompok, guru BK dapat membantu siswa memecahkan konflik interpersonalnya secara langsung sekaligus memberikan pemahaman mengenai keterampilan-keterampilan resolusi konflik yang tepat pada siswa.
KESIMPULAN Konflik interpersonal merupakan konflik yang terjadi antar individu dan kelompok, baik di dalam sebuah kelompok (intragroup conflict) maupun antar kelompok (intergroup conflict). Penyebab konflik ini dapat dijelaskan melalui social learning theory, social identity theory, maupun reputation enhancement theory. Konflik interpersonal dapat menghambat perkembangan siswa dalam belajar maupun sosial. Oleh karena itu diperlukan suatu cara penanganan konflik yang tepat sehingga konflik dapat menjadi konstruktif, yaitu dengan mengembangkan kemampuan resolusi konflik. Resolusi
konflik
adalah
cara-cara
pengaturan
111
atau
pengendalian
dengan
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 memanfaatkan secara aktif bentuk-bentuk komunikasi untuk menekan konflik itu sendiri melalui kemampuan orientasi, persepsi,emosi, komunikasi, berpikir kreatif dan berpikir kritis. Strategi layanan bimbingan dan konseling yang dapat dirancang guna mengembangkan kemampuan resolusi konflik untuk menangani konflik interpersonal siswa, meliputi strategi yang bersifat preventif, yaitu melalui kegiatan bimbingan klasikal dan bimbingan kelompok (diskusi kelompok, permainan, sosiodrama); dan strategi yang bersifat kuratif, yaitu melalui konseling individual maupun kelompok dengan menggunakan pendekatan dan teknik konseling yang tepat sesuai dengan sumber masalah konflik. DAFTAR PUSTAKA Antonius Atosokhi Gea. (2009). Relasi dengan Sesama. Jakarta: Elex Media Komputindo. Bimo Walgito. (2007). Psikologi Kelompok. Yogyakarta: ANDI. Bunyamin Maftuh. (2007). Implementasi Model Pembelajaran Resolusi Konflik Melalui Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Menengah Atas. Disertasi (tidak diterbitkan) Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Campbell F.R., Corbally, E.J & Nystrand, O.R. (1983). Introduction to Educational Administration. (6th Ed). Massachusetts: Allyn and Bacon., Inc. Deutsch, M.,&Coleman, P. (2006). The Handbook of Conflict Resolution, Theory and Practice. San Fransisco: Josey-Bass Publisher. Hetti Sari Ramadhani. (2011). Efektivitas penerapan Outbound Training dalam Meningkatkan kemampuan Resolusi Konflik Interpersonal Pada Remaja. Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. http://www.harnas.co/2015/09/22/di-balik-marak-kekerasan-di-sekolah http://news.okezone.com/read/2016/08/20/338/1468970/tawuran-siswa-smkn-4-tangerangtewas-ditusuk http://news.detik.com/berita/d-3314413/saling-ejek-pelajar-smk-di-karawang-terlibat-tawuransatu-orang-tewas Jhonson, D.W. (1995). Reducing School Violence Through Conflict Resolution. Alexandria:ASCD. Jones, Tricia S. & Kmitta Dan, (2001). School Conflict Management: Evaluating Your Conflict Resolution Education Program. Ohio: Ohio Commission on Dispute Resolution & Conflict Management. Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2014). Permendikbud No. 111, Tahun 2014, tentang Bimbingan dan Konselin pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Sarlito Wirawan. (2006). Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Scannell, Mary. (2010). The Big Book of Conflict Resolution Games. USA: McGraw – Hill Companies, Inc.
112
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 Kematangan sosial remaja yang diasuh orangtua tunggal
Melda Rumia Rosmery Simorangkir
[email protected] Universitas Kristen Indonesia, Jakarta Abstrak Fenomena single parent beberapa dekade terakhir ini menjadi marak terjadi di berbagai negara di seluruh dunia. Pada tahun 2003, di Australia terdapat 14% keluarga masuk dalam kategori single parent, sedangkan di Inggris pada tahun 2005 terdapat 1,9 juta single parent dan 91% dari angka tersebut adalah wanita sebagai single parent. Berdasarkan data tersebut dapat diberikan gambaran tingginya keluarga yang berstatus sebagai single parent. Di Inggris menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga yang berstatus single parent adalah wanita sebagai kepala keluarga merangkap sebagai ibu rumah tangga, dalam kata lain wanita menjalankan peran ganda. Fakta yang terjadi di Inggris tersebut menunjukkan hal sama yang terjadi pada negara lain termasuk Indonesia. Menjadi single parent dan menjalankan peran ganda bukan hal yang mudah, hal ini dikarenakan, di satu sisi ia harus memenuhi kebutuhan psikologis anak-anaknya seperti pemberian kasih sayang, perhatian, rasa aman dan di sisi lain ia pun harus memenuhi semua kebutuhan fisik anak-anaknya. Tujuan artikel ini adalah mengoptimalkan peranan guru BK disekolah menghadapi anak dengan kondisi keluarga single parent, sehingga empati dan tindakan bantuan guru BK terhadap anak dan orangtua bisa lebih maksimal. Hal lain yang mendukung artikel ini karena dibutuhkan manajemen keluarga khusus dan matang agar anak yang dibesarkan pada kondisi keluarga single parent pun sama berkualitasnya dengan anak yang dibesarkan pada keluarga utuh. Kata kunci : Kematangan sosial, remaja, dan orangtua tunggal
Abstract Single parent phenomenon of recent decades have become rampant in many countries around the world. In 2003, in Australia 14% of families in the category of single parent, whereas in the UK in 2005 there were 1.9 million single parent and 91% of that figure is a woman as a single parent. Based on these data can be given an overview of high family's status as a single parent. In the UK showed that most of the families are single parent families are women heads doubles as a housewife, in other words the woman running multiple roles. The fact that happened in the UK showed the same thing happens in other countries, including Indonesia. Being a single parent and running a dual role is not an easy thing, this is because, on the one hand he had to meet the psychological needs of their children such as providing affection, attention, security, and on the other hand he may have to meet all the physical needs of their children , The purpose of this article is to optimize the role of BK school teachers dealing with children with the condition of single parent families, so that empathy and action against BK teachers help children and parents can be maximized. Another thing that supports this article because it takes a special family management and mature so that children raised in single parent family conditions were the same berkualitasnya with children raised in intact families. Key words: social maturity, adolescents, and single parents
113
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 PENDAHULUAN Single parent adalah orang yang melakukan tugas sebagai orang tua (ayah dan ibu) seorang diri, karena kehilangan/ terpisah dengan pasangannya. Ada banyak alasan yang menyebabkan seseorang menjadi Single Parent, diantaranya: 1. Tinggal terpisah karena pasangannya bekerja/belajar di kota/Negara lain. 2. Kematian pasangan 3. Perceraian Single parent yang terpisah dengan pasangan karena bekerja/belajar di kota/negara lain, memiliki beberapa masalah, seperti: merasa kesepian, tidak terpenuhinya kebutuhan seks sementara secara de jure ia seharusnya bisa mendapatkan pemenuhan kebutuhan seks dari pasangannya. Saat pasanganya berada jauh darinya, ia juga merasa berat membesarkan anak sendiri. Seseorang yang menjadi single parent karena kematian juga mengalami masalah yang berat. Kematian pasangan yang mendadak membuat ia tidak siap menerima kenyataan. Namun jika mendapatkan pelayanan pendampingan/konseling yang tepat, ia dapat melalui masa-masa gelapnya. Idealnya, ia harus mendapatkan konseling kedukaan yang tepat sehingga kedukaannya tidak berlarut-larut (tidak lebih dari 6 bulan). Kedukaan yang berlarut-larut memperlambat pemulihan hati anak-anaknya. Selain itu, beberapa single parent yang ditinggal mati pasangannya mengalami masalah keuangan dan merasa kesepian. Dibandingkan dengan kedua jenis single parent di atas, single parent yang berpisah dengan pasangannya karena perceraian, memiliki masalah yang lebih serius lagi. Setidaknya penulis mencatat ada 6 masalah besar, yaitu: 1. Masalah emosional 2. Masalah hukum (hak asuh, dll) 3. Menjalin hubungan baik dengan mantan suami/istri 4. Menghadapi anak 5. Masalah dengan lingkungan 6. Masalah keuangan Masa remaja merupakan suatu masa yang sangat menentukan karena pada masa ini individu banyak mengalami perubahan, baik secara fisik maupun psikis. Hurlock menyebutnya dengan dua istilah terpisah tapi berdekatan, yaitu puberty dan adolescence. Menurutnya pandangannya puberty is the period in the developmental span when the child changes from an asexual to a sexual being (Hurlock, 1980:179)”.Sedangkan adolescence adalah The term adolescence comes from the Latin word “adolescence”, meaning “to grow, or to 114
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 grow maturity. …. As it is used today, the term “adolescence” has a broader meaning it includes mental, emotional, and social maturity as well as physical maturity. (Hurlock,1980: 222) Masa remaja tidak seluruhnya berada dalam kegoncangan, tapi pada bagian akhir dari masa ini kebanyakan individu sudah berada dalam kondisi yang stabil (apa yang disebut Hurlock dengan adolescence). PEMBAHASAN Sebuah keluarga dikatakan lengkap bila terdiri atas ayah, ibu, dan anak. Interaksi antar anggota keluarga akan melahirkan status dan peran terutama bagi ayah atau ibu untuk menciptakan dan memelihara nilai-nilai dalam keluarga kepada anak. Faktor “keutuhan” sebuah keluarga sangat mempengaruhi proses perkembangan diri pada anak. Satu dari sekian realita sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat adalah fenomena keluarga dengan orang tua tunggal. Single father atau single mother, keduanya lazim disebut dengan single parent. Jika dibandingkan dengan single father, single mother cenderung mempertahankan diri untuk mengasuh anak sekaligus mencari nafkah seorang diri. Hak untuk mengurus anak pada umumnya cenderung diberikan kepada kaum ibu. Hal ini dikarenakan sebagian besar kaum pria lebih cepat memilih menikah lagi, sebab ayah tunggal (single father) cenderung menyerahkan pengasuhan anak kepada mantan istri, mertua, atau kakek-nenek (Magdalena, 2010:4). Hak atau kewajiban mendidik anak ini merupakan “beban” sosial yang lebih berat yang dimiliki oleh kaum ibu dengan status sebagai single mother. Perkembangan konseling keluarga di Indonesia sendiri tertimbun oleh maraknya perkembangan bimbingan dan konseling di sekolah. Bimbingan dan konseling (BK) di sekolah pada masa tahun 60-an bahkan sampai pada saat ini dirasakan sebagai suatu kebutuhan, karena banyak sekali masalah-masalah siswa, seperti kesulitan belajr, penyesuaian sosial, dan masalah perilaku siswa yang tidak dapat dipecahkan oleh guru biasa. Jadi diperlukan guru BK untuk membantu siswa. Namun sejak awal, lulusan BK ini memang sangat sedikit, sehingga sekolah mengambil kebijakan menjadikan guru biasa merangkap BK. Hal ini telah mencemarkan nama BK karena banyak perlakuan “guru BK” yang tidak sesuai denga prinsip-prinsip BK, seperti memarahi siswa, bahkan ada yang memukul. Mengenai kasus keluarga, banyak juga ditemukan di sekolah seperti siswa yang menyendiri, dan suka bermenung. Hurlock membagi fase-fase perkembangan remaja menjadi tiga fase yaitu fase remaja awal, remaja tengah, dan remaja akhir. 1. Fase Pra-Remaja 115
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 a. Perkembangan segi fisik/seksualitas :
Pertumbuhan badan sangat cepat. Wanita tampak lebih cepat dari laki-laki sehingga dapat menyebabkan seks antagonism.
Pertumbuhan anggota badan dan otot-otot sering berjalan tak seimbang sehingga menimbulkan kecanggungan.
Seks primer dan skunder mulai berfungsi dan produktif, ditandai dengan mimpi basah pertama pada laki-laki dan menstruasi pertama pada wanita.
b. Perkembangan segi psikis Keadaan psikis pra-remaja umunya berada pada sifatnya yang negatif atau sturm und drang. Sifat itu adalah :
Perasaan tak tenang
Kurang suka bergerak atau bekerja (malas)
Suasana hati tidak tetap atau murung
Cepat lelah dalam bekerja
Kebutuhan untuk tidur sangat besar
Mempunyai sifat social yang negative
2. Fase Remaja a. Perkembangan fisik/seksualitas : Bentuk badan lebih banyak memanjang daripada melebar, terutama bagian badan, kaki dan tangan.
Akibat berproduksinya kelenjar hormone, maka jerawat sering timbul dibagian muka.
Timbulnya
dorongan-dorongan
seksual
terhadap
lawan
jenis,
akibat
matangnya kelenjar seks (gonad). b. Perkembangan psikis :
Merindu puja
Tingkat berpikir berada dalam stadium operasional formal (verbal, logic)
Mempunyai sikap sosial yang positif, suka bergaul dan membentuk kelompokkelompok seusia
Mencari kebebasan dan berusaha menemukan konsep diri (self-concept)
Terjadinya proses seleksi nilai-nilai moral dan social
Sikap terhadap agama turut-turutan, dan kepercayaan terhadap Tuhan selalu berubah-ubah akibat kegoncangan jiwanya.
3. Fase Adolescence (akhir masa remaja)
116
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 a. Perkembangan fisik:
Pertumbuhan badan merupakan batas optimal, kecuali pertambahan berat badan.
Keadaan badan dan anggota-anggotanya menjadi berimbang, muka berubah menjadi simetris sebagaimana layaknya orang dewasa.
b. Perkembangan psikis:
Kemampuan berfikir operasional formal tampaknya mencapai kematangan, sehingga mampu menyusun rencana-rencana, menyusun alternative dan menentukan pilihan dalam hidup dan kehidupannya.
Sikap dan perasaan relative stabil, inilah yang paling mencolok perbedaannya dengan fase praremaja/remaja.
Kalau dilihat dari segi perkembangan pribadi, social dan moral, maka fase adolescence berada dalam periode krisis. Karena mereka berada di ambang pintu kedewasaan. Kematangan konsep diri, penerimaan dan penghargaan social oleh orang dewasa sekitarnya serta keharusan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai moral yang ada pada kelompok orang dewasa menjadi tanda Tanya besar bagi mereka, apakah dia sudah mampu menjadi orang dewasa dengan segala tugas dan tanggung jawabnya.
c. Perkembangan Pemahaman tentang Agama Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan, sebagaimana dijelaskan oleh Adams dan Gullota (1983), agama memberikan sebuah kerangkan moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan bisa memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada di dunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya. Remaja Dengan Orangtua Tunggal Remaja yang dibesarkan tanpa figur seorang ayah cenderung melakukan seks dini, demikian menurut para peneliti di Amerika. Para peneliti bahkan mengatakan faktor genetik sangat berpengaruh. Pendidikan seks di usia dini adalah satu cara untuk menghindarinya. Dalam Journal Child Development disebutkan beberapa teori yang mengaitkan antara ketidakhadiran ayah dengan seks dini. Hal itu dikarenakan seorang anak akan cenderung mengalami stres dan tidak stabil ketika orang tuanya tidak utuh. Hal itu kemudian memicunya untuk tumbuh dan berbagi masalah dengan pasangan
117
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 ketimbang
orangtuanya.
Pendapat
lainnya
mengatakan
bahwa
remaja
yang
dibesarkan oleh ibunya terbiasa melihat perilaku seks sang ibu dengan pasangannya di luar nikah, dan hal itu menjadi contoh yang kemungkinan dipraktikkan si anak. Dengan kata lain, sepasang orang tua akan lebih baik dalam memonitor kehidupan seks remaja dibanding single parent. Peneliti dari University of Oregon membandingkan kehidupan seks 1.000 remaja berusia 14 tahun yang dibesarkan tanpa ayah, sedikit mendapat perhatian ayah dan yang banyak mendapat perhatian dan kasih sayang ayah. Berdasarkan American National Longitudinal Survey of Youth, sebanyak 63,2 persen remaja yang dibesarkan tanpa ayah mengaku pernah melakukan seks, sedangkan mereka yang mendapat perhatian minim dari ayah dilaporkan sebanyak 52,5 persen. Adapun remaja yang dibesarkan dengan penuh perhatian oleh ayahnya hanya sekitar 21 persen. Seorang profesor psikologi asal University of Oregon mengatakan bahwa hubungan antara ketidakhadiran ayah dengan seks anak bisa dijelaskan sebagai faktor genetik. Pengaruh
lingkungan
mungkin
juga,
tapi
faktor
genetik
lebih
dominan
menurutnya.Maksud genetik dalam kasus ini bukan berarti adanya 'gen seks dini' yang diturunkan dari ayah atau ibu, tapi lebih berupa kontribusi sifat dan perilaku ibu dan ayah yang menyimpang yang menyebabkan anak melakukan seks dini. Selama ini yang kita tahu, penyebab remaja melakukan seks dini adalah pendidikan rendah, teman dan pergaulan bebas, media dan internet serta status sosial ekonomi. Tapi ternyata ketidakhadiran ayah dalam keluarga juga bisa memicu hal tersebut. Pendidikan seks yang tepat adalah cara yang efektif untuk mencegahnya. Peranan Orangtua Tunggal dalam Membentuk Anak Membentuk anak yang berkualitas merupakan tugas dari semua orang tua, begitu pula dengan single parent. Akan tetapi, ada beberapa hal khusus yang harus dilakukan oleh single parent agar anaknya berkembang sama seperti anak-anak pada keluarga lengkap. • Pengganti figur orang tua yang hilang Wanita sebagai single parent harus mampu menjadi ibu bagi anak-anaknya sekaligus memenuhi kebutuhan anaknya akan figure seorang ayah. • Komunikasi dengan anak harus selalu dijaga Manusia sanggup mencintai dan dicintai, ini adalah hal esensial bagi pertumbuhan kepribadian. Kehangatan persahabatan, ketulusan kasih sayang, dan penerimaan orang lain amat dibutuhkan manusia. Anak sangat membutuhkan kasih sayang dari
118
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 kedua orang tuanya. Kasih sayang yang tidak terpenuhi akan menimbulkan perilaku anak yang kurang baik. Anak akan menjadi agresif, kesepian, frustrasi, bahkan mungkin bunuh diri. Kondisi seperti itu sangat rentan terjadi pada anak dengan kondisi keluarga single parent. Maka orang tua perlu berkomunikasi dengan anak, agar dia tidak merasa kesepian. Orang tua mendengarkan cerita anak, dan sebaliknya orang tua juga menceritakan apa yang sedang dia alami. Jadikan anak sebagai sahabat, agar masing-masing pihak saling mengerti dan memahami situasi yang dialami. • Menerapkan disiplin Penerapan disiplin pada keluarga single parent menjadi lebih mudah dilaksanakan karena hanya ada satu sumber komando dari Ibu atau Ayah saja. Pada kasus wanita sebagai single parent, anak akan mendapatkan disiplin dari ibunya saja. diperhatikan adalah, ibu harus menerapkan disiplin yang ada dengan tegas sekaligus penuh kasih sayang. Selain itu, ibu perlu mengkomunikasikan disiplin yang berlaku pada anggota keluarga lain yang membantunya menggantikan figur seorang ayah bagi anaknya. • Menjaga hubungan interpersonal dengan anak Dalam keluarga single parent, hubungan interpersonal antara orang tua dengan anak sangatlah penting untuk dijaga. Menjaga hubungan interpersonal dengan anak dapat dilakukan dengan menjaga komunikasi serta meluangkan waktu khusus bersama anak. KESIMPULAN Orang tua adalah sosok yang paling berperan dalam perkembangan mental remaja. Jadi, walaupun seorang anak itu diasuh oleh seorang ayah atau ibu saja, asalkan cara mengasuhnya tepat, maka anak itu akan menjadi remaja yang normal. Kesalahan dalam mengasuh anak seperti kurang memberi perhatian akibat tidak dapat membagi waktu atau terlalu memberikan kebebasan pada anak inilah yang dapat menyebabkan mental anak terganggu. Anak dapat mengalami ketertekanan sehingga mencari pelarian yang salah, misalnya narkoba, bunuh diri, dan banyak lagi kasus. Beberapa hal yang perlu diperhatikan sosok single parent adalah pemberian kasih sayang kepada anak, dapat membagi waktu antara kehidupan pribadi dan pekerjaan, melakukan tugas sebagai ayah dan ibu sebaik-baiknya, menerapkan disiplin pada anak, dan yang terpenting adalah komunikasi. Komunikasi membuat anak mengerti keadaannya sehingga dia tidak cemburu atau sedih melihat teman-temannya yang memiliki ayah dan ibu. Kecemburuan atau kesedihan ini dapat membuat anak menjadi depresi. Peran guru dan sekolah pun
119
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 penting dalam hal ini agar anak-anak single parent ini dapat perhatian khusus tetapi tidak secara berlebihan karena dapat membuat mereka menjadi tidak nyaman sehingga tercipta rasa malu. Menjadi orangtua tunggal atau yang dikenal dengan single parent memang bukanlah hal yang mudah mengingat segala sesuatu harus anda lakukan sendiri. Tidak hanya menangani masalah emosi diri anda, tetapi juga anda dihadapkan dengan hidup dan turbulensi emosional anak. Setiap orang tua mungkin memiliki gaya pengasuhan yang berbeda-beda, bahkan tidak ada buku yang menjelaskan secara rinci bagaimana pola asuh yang baik untuk anak, terlebih lagi jika anda adalah seorang single parents. Namun hal ini,tidak serta merta membuat anda putus asa, anda bisa mendengarkan masukan atau mendengarkan cerita single parent lainnya yang bisa anda jadikan motivasi untuk lebih bersabar. DAFTAR PUSTAKA Hurlock, E.B (1998). Perkembangan Anak. Alih bahasa oleh Soedjarmo & Istiwidayanti. Jakarta: Erlangga Hendriati, Agustiani (2006). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Revika Aditama Monks, F.J. & Knoers, A.M.P. (1999). Psikologi Perkembangan.Yogyakarta: Gadjah Mada Univertsity Press Mubin & Cahyadi, A. (2006). Psikologi Perkembangan. Ciputat: Quantum Teaching
120
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
URGENSI BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM DALAM KELUARGA Mirna Ari Mulyani UIN Raden Fatah Palembang
[email protected] Abstrak Bimbingan konseling Islam adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat dengan berlandaskan (fondasi atau dasar pijak) utama bimbingan konseling Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasul.Konseling keluarga bertujuan untuk membantu anggota keluarga memperoleh kesadaran tentang pola hubungan yang tidak berfungsi dengan baik dan menciptakan cara-cara baru dalam berinteraksi untuk mengatasi masalah yang dihadapi dengan menggunakan beberapa teknik bimbingan konseling diantaranya, yaitu teknik Sequencing. Kata Kunci: Bimbingan, Penyuluhan, Keluarga PENDAHULUAN Bimbingan Konseling Islam merupakan kegiatan yang memiliki tujuan yang sama dengan tujuan dakwah yaitu mangazazkan diri pada kegiatan menolong orang lain. Tujuan bimbingan konseling Islam dalam keluarga adalah tidak lain untuk meningkatkan fungsi sistem keluarga yang lebih efektif. Secara khusus konseling keluarga bertujuan untuk membantu anggota keluarga memperoleh kesadaran tentang pola hubungan yang tidak berfungsi dengan baik dan menciptakan cara-cara baru dalam berinteraksi untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Maka dengan demikian, tentu bimbingan konseling bagi anggota keluarga tidak lepas dari tujuan dakwah, yaitu mencapai kebahagiaan dalam kehidupan keluarga yang akan dijalani. Namun, tentu saja kehidupan itu bukanlah mudah untuk dijalani oleh setiap anggota keluarga dalam mengarungi
kehidupan
kelurganya.
Penyebabnya
bisa
dari
kesalahan
awal
pembentukan kelurga, pada masa-masa sebelum dan menjelang pembentukan keluarga, bisa juga muncul disaat-saat mengarungi bahtera kehidupan keluarga. Oleh karena itu, maka diperlukan memberikan bimbingan konseling kepada anggota keluarga sesuai dengan tujuan bimbingan itu. Artinya
pedoman memberi bantuan
yang dilakukan oleh seseorang ke lainnya dengan aneka pilihan bantuan dan penyesuaian serta dalam memecahkan masalah. Antara lain; memberikan wawasan, dorongan dan arah-arahan serta sebagai pertolongan pertama dalam kehidupan keluarga. PEMBAHASAN Aunur Rahim Faqih menyatakan bahwa bimbingan islami merupakan proses pemberian bantuan, artinya bimbingan tidak menentukan atau mengharuskan,
121
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 melainkan sekedar membantu individu. Individu dibantu, dibimbing, agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah. Maksudnya sebagai berikut: a.
Hidup selaras dengan ketentuan Allah artinya sesuai dengan kodratnya yang ditentukan Alaah; sesuai dengan sunnatullah; sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk Allah;
b.
Hidup selaras dengan petunjuk Allah artinya sesuai dengan pedoman yang telah ditentukan Allah melalui Rasul-Nya (ajaran Islam);
c.
Hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah berarti menyadari eksistensi diri sebagai makhluk Allah yang diciptakan Allah untuk mengabdi kepada-Nya; mengabdi dalam arti seluas-luasnya.
Dapat dipahami bahwa bimbingan adalah bantuan yang diberikan secara sistematis kepada seseorang atau masyarakat agar mereka memperkembangkan potensi-potensi yang dimilikinya sendiri dalam upaya mengatasi berbagai permasalah, sehingga mereka dapat menentukan sendiri jalan hidupnya secara bertanggungjawab tanpa harus bergantung kepada orang lain, dan bantuan itu dilakukan secara terusmenerus. Moh. Surya yang dikutip oleh Aminullah Cik Sohar mengungkapkan bahwa konseling itu merupakan upaya bantuan yang diberikan kepada konseli supaya dia memperoleh konsep diri dan kepercayaan diri sendiri, untuk dimanfaatkan olehnya dalam memperbaiki tingkah lakunya pada masa yang akan datang dalam pembentukan konsep yang sewajarnya mengenai: dirinya sendiri, orang lain, pendapat orang lain tentang dirinya, tujuan yang hendak dicapai, dan kepercayaan.Dapat dipahami bahwa bimbingan konseling adalah bantuan yang diberikan kepada individu dalam memecahkan masalah kehidupannya dengan wawancara, atau dengan caracara yang sesuai dengan keadaan individu yang dihadapi untuk mencapai kesejahteraan hidup. Bimbingan, Konseling dan Islam dapat pahami merupakan usaha memberikan bantuan kepada seseorang atau sekelompok orang yang mengalami kesulitan lahir dan batin dalam menjalankan tugas-tugas hidupnya dengan menggunakan pendekatan Islam, yakni dengan membangkitkan kekuatan getaran batin (Iman) di dalam dirinya untuk mendorongnya mengatasi masalah yang dihadapinya. Oleh karena itu, bimbingan konseling Islam merupakan bantuan yang bersifat mental spiritual dimana diharapkan dengan melalui iman dan takwanya kepada Tuhan seseorang mampu mengatasi sendiri problem yang sedang dihadapinya..
122
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 Landasan (fondasi atau dasar pijak) utama bimbingan konseling Islam adalah alQur’an dan Sunnah Rasul, sebab keduanya merupakan sumber dari segala sumber pedoman kehidupan umat Islam, seperti disebutkan oleh Nabi Muhammad SAW. bahwa: )رواھﺎﺑﻧﻣﺎﺧﮫ( ﺗرﻛﺗﻔﯨﻛﻣﻣﺎﻟﻧﺗﺿﻠواﺑﻌدھﺎﻧﺎﻏﺗﺻﻣﺗﻣﺑﮭﻛﺗﺎﺑﺎﻟﻠﮭوﺳﻧﮭرﺳوﻟﮫ Artinya:“Aku tinggalkan sesuatu bagi kalian semua yang jika kalian selalu berpegang teguh kepadanya niscaya selama-lamanya tidak akan pernah salah langkah tersesat jalan; sesuatu itu yakni Kitabullah dan Sunna Rasul-Nya. (HR. Ibnu Majah). Al-Qur’an dan Sunnah Rasul dapatlah diistilahkan sebagai landasan ideal dan konseptual bimbingan konseling Islam. Dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul itulah gagasan, tujuan dan konsep-konsep (pengertian, makna hakiki) bimbingan konseling Islam bersumber. Jika Al-Qur’an dan Sunnah Rasul merupakan landasan utama yang dilihat dari sudut asal-usulnya, merupakan landasan “naqliyah” maka landasan lain yang dipergunakan oleh bimbingan konseling Islam yang bersifat “aqliyah” adalah filsafat dan ilmu, dalam hal ini filsafat Islam dan ilmu atau landasan ilmiah yang sejalan dengan ajaran Islam. Landasan filosofis Islam yang penting artinya bagi bimbingan konseling Islam antara lain adalah: falsafah tentang dunia manusia (citra manusia); falsafah tentang dunia dan kehidupan; falsafah tentang pernikahan dan keluarga; falsafah tentang pendidikan; falsafah tentang masyarakat dan hidup kemasyarakatan, dan falsafah tentang upaya mencari nafkah atau falsafah kerja. Secara umum tujuan konseling keluarga adalah peningkatan fungsi sistem keluarga yang lebih efektif. Secara khusus konseling keluarga bertujuan untuk membantu anggota keluarga memperoleh kesadaran tentang pola hubungan yang tidak berfungsi dengan baik dan menciptakan cara-cara baru dalam berinteraksi untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Konseling keluarga memusatkan perhatian pada pemecahan masalah spesifik yang menyebabkan keluarga meminta bantuan konseling. Menurut Mary (1988) dan Smith & Stevens-Smith (1992) sebagaimana yang dikutip oleh Eti Nurhayati antara lain Teknik Bimbingan Konseling keluarga ialah sebagai berikut: 1.
Sequencing: Teknik pengajuan pertanyaan yang berisi arahan tentang siapa melakukan apa, kapan, dan dimana.
123
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 2.
Pertanyaan-pertanyaan Hipotesis: Teknik pengajuan pertanyaan untuk memperoleh jawaban hipotetis.
3.
Peta
Keluarga:
Gambar
yang
mengorganisasikan
informasi
tentang
perkembangan generasi suatu keluarga yang mengungkapkan penyampaian aturan, peran, dan mitos keluarga yang sangat kuat. 4.
Reframing: Teknik yang mendeskripsikan perilaku negatif dengan cara yang berbeda sehingga menjadi perilaku positif.
5.
Tracking: Teknik yang menggunakan cara mendengarkan secara intensif tentang cerita keluarga clan secara cermat mencatat peristiwa dan urutannya.
6.
Family Sculpting: Penciptaan gambar diam dan keluarga yang menyimbolkan hubungan dengan meminta anggota kelompok memposisikan satu dengan lainnya secara fisik.
7.
Unbalancing: Teknik untuk mendukung individu atau subsistem dengan mengorbankan orang lain.
8.
Genogram: Teknik yang digunakan untuk memberikan gambaran grafis keluarga.
9.
Kursi Kosong: Teknik ini digunakan dengan cara meminta anggota keluarga mengekspresikan perasaan atau pikiran atau isi hatinya kepada anggota keluarga yang lain yang dibayangkan duduk di kursi kosong, kemudian ia memainkan peran orang yang dibayangakan dan dilanjutkan dialog secara bergantian antara peran dirinya dan peran orang yang dibayangkan tersebut.
10. Pekerjaan
Rumah:
Teknik
konseling
dilaksanakan
antara
pertemuan
konseling lainnya dengan meminta anggota keluarga yang menunjang tercapainya tujuan konseling yang satu dengan yang lain. Bimbingan Konseling Islam memberikan layangan konseling kelurga secara profesional kepada tiap-tiap anggota keluarga dalam seting individu atau kelompok, berlangsung dimasyarakat atau organisasi, baik bersifat publik maupun pribadi. Berbagai permasalahan umum dalam relasi pernikahan seperti: kesulitan keuangan, ketidak-mampuan menyesuaikan secara seksual, masalah hukum, dan anak-anak. Seseorang dengan berbagai problemanya dalam pernikahan merupakan hasil akumulasi dari berbagai problema lingkungan, pola hidup, dan hubungan antar pribadi. Posisi bimbingan konseling dalam hal ini sangat urgen dilihat oleh konselee/klien dan konselor sebagai pekerjaan reparasi pada suatu basis ilmu seni. Untuk mencapai tujuan bimbingan konseling dalam keluarga tersebut maka konselor bertugas memberikan wawasan kepada tiap-tiap anggota keluarga dalam
124
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 mengembangkan relasi harmoni antara tiap-tiap anggota keluarga itu sehingga harapan ideal kehidupan keluarga dapat terwujud. KESIMPULAN Bimbingan konseling Islam adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.Bimbingan konseling Islam berlandaskan (fondasi atau dasar pijak) utama bimbingan konseling Islam adalah alQur’an dan Sunnah Rasul.Bimbingan konseling Islam dalam keluarga bertujuan untuk membantu anggota keluarga memperoleh kesadaran tentang pola hubungan yang tidak berfungsi dengan baik dan menciptakan cara-cara baru dalam berinteraksi untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Bimbingan konseling Islam dalam keluarga menggunakan beberapa teknik bimbingan konseling diantaranya, yaitu teknik Sequencing, Pertanyaan-pertanyaan Hipotesis, Peta Keluarga, Reframing, Tracking, Family Sculpting, Unbalancing, Genogram, Kursi Kosong, dan Pekerjaan Rumah.Berbagai permasalahan umum dalam kehidupan keluarga merupakan hasil akumulasi dari berbagai problema lingkungan, pola hidup, dan hubungan antar pribadi. Posisi bimbingan konseling dalam hal ini sangat urgen dilihat oleh konselee/klien dan konselor sebagai pekerjaan reparasi pada suatu basis ilmu seni yang mempunyai keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk membantu mengembangkan kapasitas yang mempromosikan kesuksesan relasi di dalam atau di luar kehidupan keluarga. Kesadaran akan gangguan dalam hubungan antar anggota keluarga memicu seseorang umtuk mencari bantuan dari seseorang profesional yang berkualitas dalam bidang hubungan antar pribadi. Konselor bertugas memberikan wawasan kepada tiaptiap anggota keluarga dalam mengembangkan relasi harmoni antara tiap-tiap anggota keluarga sehingga harapan ideal kehidupan keluarga dapat terwujud. DAFTAR PUSTAKA Sohar, Aminullah Cik, Teori Bimbingan Konseling Islam, Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2006. Nurhayati, Eti, Bimbingan Konseling & Psikoterapi Inovatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011. Shaleh, Abd. Rosyad, Managemen Dakwah Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1977. Partowisastro, Koestoer, Bimbingan Penyuluhan Disekolah-sekolah Jilid I, Jakarta: Erlangga, 1985. Mubarok, Ahmad, Konseling Agama Teori dan Kasus, Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2000. Amin, Samsul munir, Bimbingan dan Konseling Islam, Jakarta: Amzah, 2010. Faqih, Aunur Rahim, Bimbingan dan Konseling dalam Islam,Yogyakarta: UII Press, 2001.
125
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 PENGARUH KETERIKATAN KERJA DAN KONFLIK PEKERJAAN-KELUARGA TERHADAP KEPUASAN KERJA PADA IBU YANG BEKERJA Nita Sri Handayani Intaglia Harsanti Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
[email protected] [email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh keterikatan kerja dan konflik pekerjaan-keluarga terhadap kepuasan kerja pada ibu yang bekerja. Alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah skala kepuasan kerja, skala keterikatan kerja dan skala konflik pekerjaan-keluarga. Responden dalam penelitian ini berjumlah 117 orang ibu yang bekerja dalam berbagai bidang pekerjaan yang kemudian peneliti bagi kedalam lima kategori, yaitu pekerjaan dalam bidang pendidikan, bidang kesehatan, karyawan swasta, wirausaha dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Teknik pengambilan sample yang digunakan adalah purposive sampling dengan karakteristik subjek seorang wanita bekerja, berusia minimal 25 tahun, sudah menikah dan mempunyai sedikitnya satu orang anak.Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh dari keterikatan kerja dan konflik-pekerjaan keluarga secara bersama-sama terhadap kepuasan kerja pada ibu yang bekerja sebesar 18,8 % Kata Kunci : Keterikatan kerja, Konflik pekerjaan-keluarga, Kepuasan kerja, Ibu yang bekerja. PENDAHULUAN Kaum wanita memilih untuk bekerja dengan berbagai latar belakang. Sebagian dari kaum wanita memilih jalur karir untuk mengaktualisasikan diri, namun sebagian lainnya memilih bekerja mencari nafkah untuk membantu perekonomian keluarga. Apollo dan Cahyadi (2012) mengungkapkan bahwa hampir tidak ada sektor industri yang belum dimasuki oleh kaum wanita, baik sebagai dokter, perawat, bidan, guru, dosen, pengusaha, dan politisi (eksekutif, yudikatif dan legislatif). Hal ini membuktikan bahwa memang telah terjadi peningkatan tenaga kerja wanita pada sektor industri. Hal ini dibuktikan oleh data komposisi angkatan kerja dari BPS (Badan Pengawas Statistik) 1990 & 2000 yang menyatakan bahwa jumlah angkatan kerja wanita yang aktif meningkat dari 6.869.370 pada tahun 1990 menjadi 36.871.239 pada tahun 2000. Sedangkan menurut BPS, selama Agustus 2006 hingga Agustus 2007 jumlah pekerja perempuan bertambah sebanyak 3,3 juta orang, sementara itu pertambahan jumlah pekerja laki-laki hanya sebesar 1,1 juta (Anastasia, 2010). Terjadinya perubahan demografi tenaga kerja yaitu meningkatnya jumlah wanita yang bekerja telah melahirkan tuntutan-tuntutan yang lebih kepada organisasi atau 126
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 perusahaan yang harus segara direspon oleh perusahaan atau organisasi tersebut dengan memilih kebijakan-kebijakan yang dapat diadaptasi dan dapat menigkatkan kepuasan kerja karyawan khususnya karyawan wanita (Dhamayanti, 2006) Kepuasan kerja merupakan hal yang penting diperhatikan bagi seorang tenaga kerja. Kepuasan kerja merupakan faktor untuk mencapai hasil kerja yang optimal. Meskipun kepuasan kerja merupakan hal yang penting, namun dalam kenyataannya di Indonesia dan juga dibeberapa negara lain kepuasan kerja secara menyeluruh belum mencapai tingkat yang maksimal (Johan dalam Laksmi dan Hadi 2012). Hal ini diperkuat oleh penelitian Posig dan Kickul (2004) yang menemukan bahwa 70% pekerja mengaku tidak puasa dalam pekerjaannya karena adanya konflik dalam keseimbangan antara karier dan keluarganya. Beberapa penelitian melaporkan bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan kepuasan di berbagai aspek kehidupan. Orang yang mempunyai sikap dan perasaan positif terhadap pekerjaannya akan mempunyai perasaan yang postif terhadap kehidupan pribadi dan keluarga (Schultz & Schultz, dalam Soeharto 2010). Individu yang merasa puas pada pekerjaanya secara langsung akan merasa terikat dengan pekerjaanya tersebut. Namun, tidak demikian pada ibu yang bekerja. Keterikatan terhadap pekerjaan dirasa telah menjadi sesuatu yang sangat penting bagi karyawan termasuk karyawan wanita. Hal ini didasarkan pada semakin meningkatnya kualitas karyawan wanita dalam dunia kerja (Dhamayanti, 2006). Menurut Malthis dan Jackson (dalam Dhamayanti, 2006), untuk wanita yang bekerja yang juga ibu yang memiliki anak, terdapat kurang keseimbangan antara kerja dan keluarga mempunyai pengaruh yang berarti terhadap ketidakhadiran dalam bekerja. Konflik antara tanggungjawab pekerjaan
dan
keluarga
dapat
mengakibatkan
rendahnya
job
satisfaction,
meningkatnya absenteeism, menurunkan motivasi karyawan, dan dalam jangka waktu tertentu dapat mengakibatkan turnover (Triaryati , dalam Dhamayanti 2006) Pekerja wanita yang terikat dengan pekerjaanya akan menurunkan kinerjanya pada peran dikeluarga, dikarenakan tidak semua orang dapat memenuhi ekspetasinya terhadap peran pekerjaan dan peran lain diluar pekerjaan yang dapat memunculkan ketidakseimbangan pada peran keluarga, dalam hai ini pekerjaan mempengaruhi keluarga. Peningkatan jumlah
pekerja wanita
yang bekerja di sektor publik
sebagaimana data BPS diatas, menunjukan bahwa perjuangan wanita menuntut persamaan hak atas laki-laki telah membuahkan hasil. Namun pada kenyataannya peran ganda memberikan konsekuensi yang berat bagi wanita. Disatu sisi, wanita harus turut mencari nafkah untuk membantu suami, dan disisi lain juga harus
127
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya (Apollo, 2012). Beberapa hambatan yang dihadapi oleh seorang wanita dalam menjalankan peran gandanya, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri sendiri, yakni takut akan konsekuensi negatif dari kesuksesan yang dicapainya, seperti kesulitan mendapatkan perlindungan dan perhatian dari lawan jenis, dan perasaan takut anak dan suami tidak terurus
(Prihanto
dan
Lasmono,
dalam
Apollo
dan
Cahyadi,
2012)..
Ketidakseimbangan antara pekerjaan dan keluarga disebut sebagai konflik pekerjaankeluarga, yaitu konflik yang mengacu pada sejauh mana hubungan antara pekerjaan dan keluarga saling terganggu (Greenhaus & Beutell, 1985). Konflik ini terjadi karena tuntutan peran yang berasal dari satu domain (pekerjaan atau keluarga) tidak sesuai dengan tuntutan peran yang berasal dari domain yang lain (keluarga atau pekerjaan). Beban ganda yang dipikul perempuan dapat memberi dampak yang kurang baik, baik pada kehidupan kerja maupun pada kehidupan keluarga. Tuntutan keluarga yang berlebihan bisa menghambat pemenuhan tuntutan kerja, atau sebaliknya, padatnya jadwal serta tuntutan kerja bisa menyulitkan perempuan dalam memenuhi tuntutan keluarga (Gutek, Searle, & Klepa,dalam Kuswanti, 2011). Akibatnya, perempuan mengalami Konflik Pekerjaan Keluarga. Laki-laki tidak mengalami Konflik Pekerjaan Keluarga setinggi perempuan, mengingat tugas-tugas rumah yang diembannya relatif lebih sedikit (Kuswanti, 2011). Konflik adalah suatu pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh seseorang terhadap dirinya, orang lain, organisasi dengan kenyataan apa yang diharapkannya. Terjadinya konflik sebenarnya merupakan hal yang wajar. Konflik bisa terjadi karena adanya komunikasi yang tidak lancar, serta tidak adanya
sifat
keterbukaan dari pihk-pihak yang saling berhubungan. Edwins (dalam Sami’an 2013) menyatakan konsekuensi lain dari wanita dengan konflik pekerjaan-keluarga adalah merasa tidak kompeten dalam hal pengasuhan yang kemudian terjadi penurunan terhadap pengasuhan, pernikahan dan kepuasan hidup Kontrol perempuan terhadap distribusi waktu mereka tidak sama seperti yang dimiliki oleh laki-laki, mengingat waktu yang dihabiskan untuk memenuhi tuntutan pekerjaan dan tuntutan keluarga secara psikologis masing-masing dihitung dalam satu domain (Duxbury & Higgins, dalam Kuswanti, 2011). Jadi, pada dasarnya perempuan yang bekerja melakukan 2 pekerjaan full-time: untuk rumah tangganya dan untuk pekerjaannya. Tingginya tuntutan waktu untuk melakukan pekerjaannya bisa menyebabkan perempuan mengalami Konflik Pekerjaan Keluarga (baik konflik
128
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 pekerjaan-keluarga maupun konflik keluarga-pekerjaan), mengingat manajemen rumah tangga masih tetap dibebankan kepadanya (Kuswanti, 2011). Melihat berbagai macam permasalahan yang muncul dalam konflik peran ganda yang dialami wanita, peneliti ingin melihat apakah terdapat pengaruh antara keterikatan kerja dan konflik pekerjaan-keluargaterhadap kepuasan kerja pada ibu yang bekerja?
METODE PENELITIAN Populasi dalam penelitian ini adalah ibuyang bekerja. Sampel yang terdiri dari pekerja dibidang kesehatan 4 responden, bidang pendidikan 35 responden, karyawan swasta 57 responden wirausaha 2 responden dan PNS 21 responden. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Kepuasan kerja diukur dengan menggunakan kuesioner yang di adaptasi dari Spector (1985) merupakan skala yang terdiri dari 36-item pernyataan dengan reliabilitassebesar 0,866 yang dirancang untuk mengukur secara global dari kepuasan kerja seseorang individuberdasarkanaspek-aspekkepuasankerja yang terdiri dari gaji, promosi, supervisi, tunjangan tambahan, penghargaan, prosedur dan peraturan kerja, rekan kerja, pekerjaan itu sendiri/ jenis pekerjaan, dan komunikasi. Setelah ujicoba, tersisa 27 aitem yang memiliki daya disikriminasi aitem yang baik berkisar antara 0,318 sampai 0,705 dengan koefesien reliabilitas sebesar 0,921. Keterikatan kerja menggunakan terjemahan terakhir dari UWES 17 dan 9 (Hanaken dalamSeppa¨la,
Mauno,Feldt,Hakanen,Kinnunen, Tolvanen,Schaufeli,
2008). Keakuratan dari terjemahan terakhir UWES tersebut telah diperiksa melalui metode penerjemah (Seppa et all, 2008). Pada penelitian ini,penulis akan menggunakan skala UWES-17. UWES-17, konsisten pada 17 aitem yang berfokus pada 3 dimensi dari keterikatan kerja yaitu vigor (semangat), dedication (dedikasi), dan absorptions (Schaufeli, 2007).Rentang korelasi aitem-aitem yang memiliki daya diskriminsi baik bergerak antara 0,338 sampai 0,735. Sedangkan koefisien reliabilitas alat ukur skala keterikatan kerjaadalah sebesar 0,887 Konflik pekerjaan-keluarga pada penelitian ini diukur dengan skala adaptasi dari Carlson, D.S., Kacmar, K.M., & Williams, L.J. (dalam Greenhouse dan Parasuraman, 1999) yang terdiri dari 18 aitem yang merupakan aitem favorable. Skala dibuat berdasarkan bentuk-bentuk Konflik-Pekerjaan-Keluarga yaitu Time-based conflict, strain-based conflict dan behavior-based conflict. Skala ini terdiri dari enam sub-skala
129
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 (masing-masing 3 aitem), mengukur waktu, regangan, dan konflik berbasis perilaku untuk kedua konflik gangguan pekerjaan berbasis waktu dengan keluarga dan gangguan keluarga berbasis waktu dengan pekerjaan. Berdasarkan hasil uji diskriminasi aitem yang dilakukan terhadap skala konflik pekerjaan-keluarga, diketahui bahwa 2 aitem gugur dan tersisa 16 aitem yang memiliki daya diskriminasi aitem yang baik berkisar antara 0,433 sampai 0,749. Sedangkan reliabilitas alat ukur konflik pekerjaan-keluarga setelah aitem tidak valid dihilangkan adalah sebesar 0,909. Sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu menguji pengaruh keterikatan kerja dan konflik pekerjaan-keluarga terhadap kepuasan kerja dan pada penelitian ini, analisis yang dilakukan adalah menguji pengaruh dari variabel keterikatan kerja (X1) terhadap kepuasan kerja (Y); variabel konflik pekerjaan keluarga (X2) terhadap kepuasan kerja (Y) dan variabel keterikatan kerja (X1),
konflik pekerjaan-keluarga (X2) terhadap
kepuasan kerja (Y) maka teknik yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah analisis regresi berganda. PEMBAHASAN Hasil analisis regresi sederhana menunjukan bahwa diperoleh nilai F sebesar 10,218 dan koefesien signifikansi sebesar 0,002 (p ≤ 0,05). Berdasarkan hasil tersebut, maka hipotesis yang diperoleh adalah ada pengaruh posistif dari keterikatan kerja terhadap kepuasan kerja pada ibu bekerja. Dari hasil uji regresi diperoleh nilai R square sebesar 0,082 (8,2%). Hal ini berarti bahwa 8,2 % variabel kepuasan kerja dapat ditentukan oleh variabel keterikatan kerja. Tabel 1. Hasil Uji Regresi Keterikatan Kerja terhadap Kepuasan Kerja
F
Sig
R Square
10,218
0,002
0,082
Sedangkan, hasil analisis regresi sederhana menunjukan bahwa diperoleh nilai F sebesar 13,838 dan koefesien signifikansi sebesar 0,000 (p ≤ 0,05). Berdasarkan hasil tersebut, maka hipotesis yang diperoleh adalah ada pengaruh posistif dari konflik pekerjaan-keluarga terhadap kepuasan kerja pada ibu bekerja. Dari hasil uji regresi diperoleh nilai R square sebesar 0,107 (10,7%) Hal ini berarti bahwa 10,7 % variabel kepuasan kerja dapat ditentukan oleh variabel konflik pekerjaan-keluarga
130
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 Tabel 2. Hasil Uji Regresi Konflik Pekerjaan-keluarga terhadap KepuasanKerja F
Sig
R Square
13,838
0,000
0,107
Berdasarkan analisis data yang dilakukan dengan menggunakan metode regresi ganda dengan melihat tabel Anova menunjukan bahwa diperoleh nilai
F sebesar
13,189 dan koefesien signifikansi sebesar 0,000 (p ≤ 0,05). Berdasarkan hasil tersebut, maka hipotesis yang diperoleh adalah ada pengaruh posistif dari keterikatan kerja dan konflik pekerjaan-keluarga secara bersama-sama terhadap kepuasan kerja pada ibu bekerja. Dari
hasil uji regresi diperoleh nilai R square sebesar
0,188
(18,8,7%) Hal ini berarti bahwa 18,8 % variabel kepuasan kerja dapat ditentukan oleh variabel keterikatan kerja dan konflik pekerjaan-keluarga, sedangkan sisanya sebesar 81,2% Tabel 3. Hasil Uji Regresi Keterikatan Kerja dan Konflik Pekerjaan-Keluarga terhadap Kepuasan Kerja F Sig R Square 13,189
0,000
0,188
Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh yang signifikan
dari variabel keterikatan kerja terhadap kepuasan kerja. Hasil analisis
regresi sederhana menunjukan bahwa diperoleh nilai F = 10,218 (p ≤ 0,05) dan nilai R square sebesar 0,082. Hal ini berarti bahwa 8,2 % variabel kepuasan kerja dapat ditentukan oleh variabel keterikatan kerja. Berdasarkan hasil tersebut, maka hipotesis yang diuji dalam penelitian ini yaitu ada pengaruh dari keterikatan kerja terhadap kepuasan kerja pada ibu bekerja dinyatakan terbukti. Ketika individu merasakan adanya keterikatan dengan pekerjaan maka bekerja akan menjadi suatu kondisi yang membuat individu merasa nyaman dan senang. Seseorang akan menikmati dan menghayati apa yang dilakukannya sehingga hambatan, rintangan dan ujian tidak akan dirasakan sebagai sesuatu yang menghambat
kesuksesannya
melainkan
merasa
tertantang
untuk
bisa
mengatasinya.Pekerja wanita yang terikat dengan pekerjaanya akan menurunkan kinerjanya pada peran dikeluarga, dikarenakan tidak semua orang dapat memenuhi ekspetasinya terhadap peran pekerjaan dan peran lain diluar pekerjaan yang dapat memunculkan ketidakseimbangan pada peran keluarga. Pekerja wanita ini telah
131
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 membuat pilihan, dan memiliki kemampuan untuk menyeimbangkan antara tuntutan keluarga dan tuntutan pekerjaan atau membiarkan kedua tuntutan itu berjalan secara bersamaan. Oleh karena itu seorang wanita harus bisa merawat kebahagiaannya sendiri, seorang wanita yang bekerja dan telah menikah akan lebih baik dalam segala hal yang dilakukannya, baik sebagai seorang ibu, pekerja, dan mitra (Greenberg & Avigdor, 2009). Ketika seorang wanita merasakan kebahagiaan akan menjadi mudah bagi dirinya untuk melakukan banyak hal, bersemangat dalam bekerja, mampu mengatasi konflik dan mampu berprestasi. Kemudian berdasarkan hasil analisis juga diketahui bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel konflik pekerjaan-keluarga terhadap kepuasan kerja Hasil analisis regresi sederhana menunjukan bahwa diperoleh nilai F = 13,838 (p ≤ 0,05) dan nilai R square sebesar 0,107. Hal ini berarti bahwa 10,7 % variabel kepuasan kerja
dapat ditentukan oleh variabel konflik pekerjaan-keluarga Berdasarkan hasil
tersebut, maka hipotesis dalam penelitian ini bahwa ada pengaruh dari konflik pekerjaan-keluarga terhadap kepuasan kerja pada ibu bekerja telah terbukti. Hal ini didukung pula oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Mathis dan Jackson (dalam Dhamayanti, 2006) bahwa untuk wanita yang bekerja yang juga ibu yang memiliki anak, terdapat kurang keseimbangan antara kerja dan keluarga yang berdampak kepada ketidakhadiran dalam bekerja. Ketidakseimbangantersebut menjadikan konflik pada ibu yang bekerja. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Frone, Yardley & Markel, 1997; Netermeyer, Boles & McMurrian, 1996; dan Parasuraman
dkk.,
1996),
konflik
pekerjaan-keluarga
dapat
menyebabkan
ketidakpuasan dan penderitaan dalam pekerjaan dan keluarga. Selain itu hasil penelitian lain yang mendukung juga dikemukakan oleh Edwins (dalam Sami’an 2013) menyatakan konsekuensi lain dari wanita dengan konflik pekerjaan-keluarga adalah merasa tidak kompeten dalam hal pengasuhan yang kemudian terjadi penurunan terhadap pengasuhan, pernikahan dan kepuasan kerja. Menurut Levy (2003), hal yang mendahului terjadi kepuasan kerja adalah karakteristik pekerjaan, karakterisitik individu, faktor sosial, dan konflik pekerjaan keluarga (work‐family conflict). Pekerja yang mengalami konflik pekerjaan‐keluarga (WFC) tinggi
akan mengalami ketidakpuasan terhadap pekerjaan daripada pekerja yang mengalami konflik pekerjaankeluarga rendah. Hasil penelitian Jugde & Colquitt (2004) pada staff akademik menunjukkan ada hubungan yang negatif antara konflik pekerjaan‐keluarga (WFC) dengan kepuasan kerja. Konflik pekerjaan-keluarga memberikan sumbangan
132
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 sebanyak 10,7% pada variabel kepuasan kerja. Konflik pekerjaan-keluarga membuat ibu yang bekerja terpecah konsentrasinya, sehingga membuat kinerjanya terganggu. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Triaryati, (dalam Dhamayanti 2006) yang menyatakan bahwa konflik antara tanggungjawab pekerjaan dan keluarga dapat mengakibatkan rendahnya job satisfaction, meningkatnya absenteeism, menurunkan
motivasi
karyawan,
dan
dalam
jangka
waktu
tertentu
dapat
mengakibatkan turnover Dikatakan Primastuti (dalam Prawitasari, 2007) bahwa banyak dari wanita memainkan peran ganda dalam dunia kerja untuk mendapatkan penghasilan ataupun kepuasan. Pada dasarnya konflik antara pekerjaan dan keluarga dapat terjadi pada wanita maupun pria. Penelitian Apperson (dalam Prawitasari, 2007) menemukan bahwa ada beberapa perbedaan tingkatan konflik pekerjaan-keluarga antara pria dan wanita, bahwa wanita mengalami konflik pekerjaan-keluarga pada tingkat yang lebih tinggi dibanding pria. Hal ini dikarenakan wanita memandang keluarga merupakan suatu kewajiban utama mereka dan harus mendapatkan perhatian lebih dibanding peranan pekerja mereka (Prawitasari, 2007). Uji analisis yang terakhir, dilakukan pada ketiga variabel. Berdasarkan analisis data dengan melihat tabel Anova menunjukan bahwa diperoleh nilai F sebesar 13,189 dan koefesien signifikansi sebesar 0,000 (p ≤ 0,50). Berdasarkan hasil tersebut, maka hipotesis terbukti bahwa ada pengaruh dari keterikatan kerja dan konflik pekerjaankeluarga secara bersama-sama terhadap kepuasan kerja pada ibu bekerja. Hasil uji regresi menunjukkan nilai R square sebesar
0,188. Hal ini berarti bahwa 18,8%
variabel kepuasan kerja dapat ditentukan oleh variabel keterikatan kerja dan konflik pekerjaan-keluarga, sedangkan sisanya sebesar 81,2% disebabkan oleh faktor-faktor lain yang tidak termasuk dalam penelitian ini. Keterikatan terhadap pekerjaan dirasa telah menjadi sesuatu yang sangat penting bagi karyawan termasuk karyawan wanita. Hal ini didasarkan pada semakin meningkatnya kualitas karyawan wanita dalam dunia kerja (Dhamayanti, 2006). Walaupun demikian besaran pengaruh yang tidak terlalu besar menunjukkan bahwa banyak sekali faktor-faktor lain yang mempengaruhi kepuasan kerja seorang ibu bekerja. Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Malthis dan Jackson (dalam Dhamayanti, 2006) bahwa bagi wanita bekerja yang juga ibu yang memiliki anak, terdapat kurang keseimbangan antara kerja dan keluarga yang akhirnya mempunyai pengaruh yang berarti terhadap ketidakhadiran dalam bekerja. Konflik antara tanggungjawab pekerjaan dan keluarga dapat mengakibatkan rendahnya kepuasan
133
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 kerja, meningkatnya ketidakhadiran, menurunkan motivasi karyawan, dan dalam jangka waktu tertentu dapat mengakibatkan turnover (Triaryati, dalam Dhamayanti 2006). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kepuasan kerja bagi ibu yang bekerja dapat diraih dengan adanya keterikatan yang kuat dengan pekerjaan, kemampuan mengatasi konflik pekerjaan dan keluarga serta motivasi yang tinggi untuk berhasil dalam mencapai cita-cita
KESIMPULAN Melalui penelitian ini, didapati bahwa Ha diterima, yang berarti keterikatan kerja dan konflik pekerjaan-keluarga berpengaruh terhadap kepuasan kerja pada ibu yang bekerja sbesar, 18,8%. Perubahan demografi dalam tenaga kerja telah banyak memberikan perubahan bagi status seorang wanita, Wanita tidak lagi hanya berstatus sebagai seorang ibu bagi anak-anaknya dan istri bagi suaminya. Namun, saat ini peran yang diemban oleh seorang wanita bertambah karena adanya keterlibatan wanita dalam dunia pekerjaan, yakni sebagai seorang karyawati atau pekerja. Hal ini lah yang menimbulkan konflik pekerjaan-keluarga, karena sering kali harapan dari seorang ibu untuk dapat menjalankan peran gandanya yakni sebagai seorang ibu juga sebagai seorang pekerja tidaklah selalu berjalan sesuai dengan harapan. Banyak hal yang terjadi sehingga perannya sebagai ibu dan juga sebagai seorang karyawan tidak dapat berjalan secara seimbang. Ketidakseimbangan ituyang membuat seorang ibu yang bekerja menjadi sulit untuk memenuhi atau mencapai karir dalam pekerjaanya. Tanggung jawab yang harus diembannya, membuatnya seringkali harus memilih mana yang lebih prioritas, pekerjaannya atau keluarganya. DAFTAR PUSTAKA Anastasia,E.(2014). Pengaruh konflik peran ganda terhadap komitmen organisasi pada karyawan wanita di pt eramart group samarinda.Jurnal Psikologi 2 No,2 tahun 2014. Samarinda : Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus Apollo & Cahyadi.(2012).Konflik peran ganda perempuan menikah yang bekerja ditinjau dari dukungan sosial keluarga dan penyesuaian diri.Jurnal Psikologi No.2 Juli 2012 Halaman 254-271.Program Study Psikologi : Universitas Katolik Widya Mandala Madiun. Dhamayanti, R.(2006). Pengaruh konflik keluarga-pekerjaan, keterlibatan pekerjaan dan tekanan pekerjaan terhadap kepuasan kerja karyawan wanita: studi pada nusantara tour & travel kantor cabang dan kantor pusat semarang. Jurnal Studi Manajemen & Organisasi Volume 3 Nomor 2 Juli Tahun 2006 Hal.93. Jurusan Manjemen : Universitas Diponegoro. Frone, M.R., Yardley, J.K. & Markel, K. S. (1997). Developing and testing an integrative model of the work–family interface. Journal of Vocational Behavior, 50, 145–67. Frone, M.R., M. Russell, and M.L. Cooper (2001), Antecedents and outcomes of work-family conflict: Testing a model of the work-family interface. Journal of Applied Psychology.77, 65-78.
134
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 Frone, M. R. (2000). Work–family conflict and employee psychiatric disorders: The national comorbidity survey. Journal of Applied Psychology, 85, 888–895. Greenberg, C.L Avigor, B.S..(2009). What happy working mother know. Canada : John Willey & Sons Inc. Greenhaus, J.H.& Beutell, N.J. (1985). Sources of conflict between work and family roles. The academy of management review (Vol. 10 no.1 Hal. 76-88). Greenhaus, J.H. & Parasuraman, S. (1999). Research on work, family and gender: current status and future directions. In G.N. Powell (Ed.), Handbook of Genderand Work ( 391–412). Thousand Oaks, CA: Sage Judge, T. A & Colquitt, J. A. (2004). Organizational Justice and Stress: The Mediating Role of Work–Family Conflict. Journal of Applied Psychology, 89, 395–404. Kuswanti, H.D.(2011). Waktu adalah masalahnya : menyeimbangkan konflik pekerjaan keluarga untuk mengurangi stres kerja.Jurnal Ekonomi Vol 5 Halaman 73-83. Fakultas Ekonomi : UPN Veteran Yogyakarta Levy,P.(2009). Industrial organizational psychology, third editions. New york : Worth Publisher Laksmi, N.A.P & Hadi,C. (2012).Hubungan konflik peran ganda (work family conflict) dengan kepuasan kerja pada karyawati bagian produksi pt.x. Jurnal Netermeyer, R.G., Boles, J.S.&McMurrian, R. (1996). Development and validation of work– family conflict and family–work conflict scales. Journal of AppliedPsychology, 81, 400– 10. Parasuraman, S., Purohit, Y.S., Godshalk, V.M. & Beitell, N. (1996). Work and family variables, entrepreneurial career success and psychological well-being. Journal of Vocational Behavior, 48, 275–300 Posig,M &, Kickul,J. (2004) "Work‐role expectations and work family conflict: gender differences in emotional exhaustion", Women in Management Review, 19,.373 – 386 Prawitasari,A.K.,Purwanto, dan Yuwono, S.(2007).Hubungan work family conflict dengan kepuasan kerja pada karyawati berperan jenis kelamin androgini di pt tiga putera abadiperkasi cabang purbalingga.Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi, 9, 1-13. Fakultas Psikologi : Universitas Muhammadyah Surakarta. Sami’an, A.R..R.(2013).Hubungan work engagement dan work family conflict pada wanita yang bekerja. Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi, 02, Surabaya :Universitas Airlangga. Seppa¨la, P., Saija Mauno,S. Feldt,T., Hakanen,J., Kinnunen,U.,Asko Tolvanen,A., Schaufeli,W.(2009). The construct validity of the utrecht work engagement scale: multisample and longitudinal evidence. Journal Happiness Study, 10, 459–481 Schaufeli, W. B., Salanova, M., Gonzalez-Roma, V., & Bakker, A. B. (2002). The measurement of engagement and burnout: A two sample confirmatory factor analytic approach. Journal of Happiness Studies, 3, 71–92. Soeharto, N.E.D. (2010).Konflik pekerjaan‐keluarga dengan kepuasan kerja: metaanalisis. Jurnal psikologi. VOLUME 37, NO. 1, JUNI 2010: 189 – 194. Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta Spector, P. E. (1997). Job satisfaction: Application, assessment, cause, and consequences. California: Sage Publication
135
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 LAYANAN BIMBINGAN BELAJAR DALAM PENDIDIKAN YANG MENJADI SISTEM Nurlatifah Alauddin, S.Pd.1, Ismi Komariatun Nisa, S.Pd.2, Handamari Anggana Raras, S.Pd.3, dan Liya Husna Risqiyain, S.Sos.I.4 Program Studi Bimbingan dan Konseling, Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Email :
[email protected],
[email protected],
[email protected], dan
[email protected]
Abstrak Bimbingan belajar merupakan salah satu bentuk layanan bimbingan yang penting diselenggarakan di sekolah. Pengalaman menunjukkan bahwa kegagalan-kegagalan yang dialami siswa dalam belajar tidak selalu disebabkan oleh kebodohan atau rendahnya intelegensi. Seringnya kegagalan yang terjadi disebabkan oleh karena tidak mendapatkan layanan bimbingan yang memadai.Sementara orang-orang menganggap belajar merupakan proses yang terjadi dalam otak manusia. Saraf dan sel-sel otak yang bekerja mengumpulkan informasi dari seluruh panca indera, kemudian diproses oleh otak sebagai hasil dari belajar. Oleh karena itu, orang tidak akan bisa belajar apabila fungsi otaknya terganggu.Pendidikan pada hakikatnya merupakan interaksi komponen-komponen yang esensial dalam upaya mencapai tujuan pendidikan. Perpaduan antara keharmonisan dan keseimbangan serta interaksi unsur esensial pendidikan, pada tahap operasional sangat menentukan keberhasilan pendidikan. Pendidikan yang menjadi sistem akan terdiri dari beberapa komponen dan faktor pendidikan. Kata Kunci : Layanan Bimbingan Belajar, Belajar, Pendidikan yang Menjadi Sistem. PENDAHULUAN Bimbingan dan konseling yang merupakan layanan dari, untuk, dan oleh manusia memiliki pengertian-pengertian yang khas. Bimbingan dapat dipahami sebagai proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh seseorang yang ahli kepada individu dengan menggunakan metode, prosedur, dan media agar mampu dengan mandiri memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Sedangkan konseling merupakan proses pemberian bantuan oleh seorang ahli kepada individu yang memiliki masalah dengan menggunakan prosedur, teknik, dan tahapan-tahapan wawancara yang memiliki tujuan untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh individu tersebut. Sehingga tidak salah jika layanan bimbingan dan konseling merupakan layanan untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh individu. Bimbingan belajar merupakan salah satu bentuk layanan bimbingan yang penting diselenggarakan di sekolah. Pengalaman menunjukkan bahwa kegagalankegagalan yang dialami siswa dalam belajar tidak selalu disebabkan oleh kebodohan atau rendahnya intelegensi. Seringnya kegagalan yang terjadi disebabkan oleh karena tidak mendapatkan layanan bimbingan yang memadai. 136
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 Sementara orang-orang menganggap belajar merupakan proses yang terjadi dalam otak manusia. Saraf dan sel-sel otak yang bekerja mengumpulkan informasi dari seluruh panca indera, kemudian diproses oleh otak sebagai hasil dari belajar. Oleh karena itu, orang tidak akan bisa belajar apabila fungsi otaknya terganggu. Dalam bukunya The Organizationof Behavior (1949), D.O. Hebb (Alex Sobur; 2003: 218) mengemukakan teori mengenai proses berlangsungnya belajar dan penyimpanannya di otak. Inti teori tersebut menyatakan bahwa semakin sering dua atau lebih neuron di otak meletup pada saat bersamaan, semakin besar kecenderungan bagi neuron tersebut untuk bekerjasama pada kesempatan berikutnya. Namun neuron yang dihubungkan oleh celah sinapsis ada kemungkinan tidak perlu bekerjasama, karena masing-masing neuron tersebut menjadi anggota pada sirkit yang berbeda otak. Secara umum dan singkat, belajar dapat diartikan sebagai “perubahan perilaku yang relatif tetap sebagai hasil adanya pengalaman”. Perubahan ini meliputi keseluruhan tingkah laku individu maupun yang hanya terjadi pada beberapa aspek dari kepribadiaan individu. Adapun perubahan ini dengan sendirinya dialami tiap-tiap individu atau manusia mulai sejak manusia dilahirkan dan mengalami perkembangan pada fase-fasenya yang mana merupakan berlangsungnya proses-proses belajar. Pendidikan pada hakikatnya merupakan interaksi komponen-komponen yang esensial dalam upaya mencapai tujuan pendidikan. Perpaduan antara keharmonisan dan keseimbangan serta interaksi unsur esensial pendidikan, pada tahap operasional sangat menentukan keberhasilan pendidikan. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang telah menggabungkan unsur-unsur pendidikan menjadi suatu kesatuan yang seimbang dan tepat. Sistem dapat diartikan sebagai suatu kesatuan unsur-unsur (komponenkomponen) yang saling berinteraksi secara fungsional dalam memproses masukan menjadi keluaran. Pada suatu sistem terdapat unsur-unsur yang saling berkaitan dan teratur, mekanismenya saling berhubungan dalam satu kesatuan mencapai satu tujuan. Sebuah sistem mempunyai ciri-ciri yaitu memiliki tujuan, fungsi-fungsi yang diperlukan
untuk
berhubungan),
mencapai
penggabungan
tujuan, yang
komponen-komponen, menimbulkan
jalinan
interaksi
(saling
(paduan),
proses
transformasi, umpan balik untuk perbaikan, dan terakhir, daerah batasan dan lingkungan. Pendidikan yang menjadi sistem akan terdiri dari beberapa komponen dan faktor pendidikan. Adapun komponen atau faktor pendidikan yang harus ada menurut Bawani
137
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 (1987) adalah pendidik, terdidik dan tujuan yang hendak dicapai.Sejalan dengan hal tersebut, Nawawi (1993) mengemukakan bahwa dalam kegiatan pendidikan terdapat komponen dan faktor pendidikan yaitu pendidik, anak didik, alat pendidikan, tujuan pendidikan dan sosio-kultural. PEMBAHASAN Belajar merupakan suatu kegiatan yang dilakukan disetiap sekolah. Crow&Crow dalam bukunya Educational Psychology (1958), menyatakan “learning is acquisition of habits, knowledge, and attitude”. Menurut mereka hal-hal tersebut merupakan cara yang baru untuk melakukan usaha untuk memperoleh penyesuaian diri terhadap situasi yang baru. Jadi belajar merupakan sikap yang muncul dari hasil pengetahuan dan kebiasaan dengan melakukan proses penyesuaian diri. Layanan bimbingan belajar dilaksanakan melalui tiga tahapan yaitu : 1. Pengenalan siswa yang mengalami masalah belajar Masalah belajar memiliki bentuk yang banyak ragamnya, yang pada umumnya dapat digolongkan atas: a. Keterlambatan akademik, yaitu keadaan siswa yang diperkirakan memiliki intelegensi yang cukup tinggi, tetapi tidak dapat memanfaatkannya secara optimal. b. Ketercepatan dalam belajar, yaitu keadaan siswa yang memiliki bakat akademik yang cukup tinggi (memiliki IQ 130 atau lebih) tetapi masih memerlukan tugastugas khusus untuk memenuhi kebutuhan dan kemampuan belajar yang amat tinggi itu. c. Sangat lambat dalam belajar, yaitu keadaan siswa yang memiliki bakat akademik yang kurang memadai dan perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan pengajaran khusus. d. Kurang motivasi dalam belajar, keadaan siswa yang kurang bersemangat dalam belajar, mereka seolah-olah tampak jera dan malas. e. Bersikap dan berkebiasaan buruk dalam belajar, yaitu kondisi dimana kegiatan belajar sehari-hari antagonistik dengan yang seharusnya, salah satunya seperti suka menunda-nunda tugas. (Prayitno; 2009: 279-280) 2. Pengungkapan sebab-sebab timbulnya masalah belajar Siswa yang mengalami masalah belajar seperti di atas dapat dikenali melalui prosedurpengungkapan melalui: a. Tes hasil belajar, adalah suatu alat yang disusun untuk mengungkapkan sejauh mana
siswa
telah
mencapai
tujuan-tujuan
sebelumnya.
138
pengajaran
yang
ditetapkan
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 b. Tes kemampuan dasar, tingkatan kemampuan dasar biasanya diukur (diungkap) dengan mengadministrasikan tes intelegensi yang sudah baku. Hasil belajar siswa seharusnya bisa mencerminkan tingkat kemampuan dasar yang dimilikinya. c. Skala sikap dan kebiasaan belajar, sebagian dari hasil belajar ditentukan oleh sikap dan kebiasaan belajar yang dilakukan siswa dalam belajar. Sebagian dari sikap dan kebiasaan belajar itu dapat diketahui dengan mengadakan pengamatan dalam kelas. d. Tes diagnostik, merupakan instrumen untuk mengungkapkan adanya kesalahankesalahan yang dialami oleh siswa dalam bidang pelajaran tertentu. e. Analisis hasil belajar atau karya, merupakan bentuk lain dari tes diagnostik dengan tujuan yang sama, yaitu mengungkapkan kesalahan-kesalahan yang dialami oleh siswa dalam mata pelajaran tertentu. 3. Pemberian bantuan pengentasan masalah belajar Beberapa upaya yang dapat dilakukan yaitu: a. Pengajaran perbaikan, merupakan suatu bentuk bantuan yang diberikan kepada seseorang atau sekelompok siswa yang menghadapi masalah belajar dengan maksud untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam proses dan hasil belajar mereka. Dibandingkan dengan pengajaran biasa, pengajaran perbaikan bersifat lebih khusus karena bahan, metode, dan pelaksanaannya disesuaikan dengan jenis, sifat, dan latar belakang masalah yang dihadapi siswa. b. Kegiatan pengayaan, merupakan suatu bentuk layanan yang diberikan kepada seseorang atau beberapa orang siswa yang sangat cepat dalam belajar. Masalah yang akan muncul terletak pada kemungkinan dampak yang timbul yaitu dampak positif dan negatif. Dampak positif yang dimaksud apabila siswa merasa dirinya diperhatikan dan dihargai atas keberhasilan dan kemampuannya dalam belajar sehingga akan termotivasi. Sebaliknya dampak negatif apabila siswa merasa kurang diperhatikan dan kurang dihargai sehingga mereka menjadi tidak bersemangat, sakit hati, malas dan sebagainya. c. Peningkatan motivasi belajar, prosedur-prosedur yang dapat dilakukan adalah dengan: 1) Memperjelas tujuan belajar, 2) Menyesuaikan pengajaran dengan bakat, kemampuan dan minat siswa, 3) Menciptakan suasana pembelajaran yang menantang, merangsang, dan menyenangkan, 4) Memberikan penguatan berupa reward dan punishment bila diperlukan,
139
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 5) Menciptakan suasana hubungan yang hangat serta dinamis antara guru dan siswa maupun antara sesama siswa, 6) Menghindari tekanan dan suasana yang tidak menentu, 7) Melengkapi sumber dan peralatan belajar. d. Pengembangan sikap dan kebiasaan belajar yang baik, setiap siswa diharapkan menerapkan secara efektif. Sikap dan kebiasaan belajar yang baik tidak tumbuh kebetulan, melainkan sering kali perlu ditumbuhkan melalui bantuan yang terencana. Pada layanan bimbingan belajar peranan guru dan konselor adalah saling membantu, mengisi, dan menunjang. Guru sebagai penguasa lapangan dan penggerak kegiatan pembelajaran, sedangkan konselor sebagai arsitek, penasihat, dan penyumbang data masukan dan pertimbangan untuk layanan bimbingan belajar. Berdasarkan hasil pengungkapan sebab-sebab timbulnya masalah belajar, konselor dan guru merancang layanan bimbingan belajar bagi siswa yang memerlukannya. Dalam unsur-unsur pendidikan terdapat bimbingan yang dilakukan oleh guru kepada siswa. Secara lengkap Ahmad D. Marimba (1989) dalam Tatang S. (2012: 219) merumuskan unsur-unsur pendidikan yaitu: 1. Kegiatan yang bersifat bimbingan secara sadar 2. Adanya pendidik atau pembimbing (guru) 3. Adanya yang dididik atau dibimbing (siswa) 4. Bimbingan yang mempunyai dasar dan tujuan 5. Ada alat (media) yang digunakan Selain unsur, pendidikan memiliki komponen-komponen yang menyusunnya. Komponen-komponen ini merupakan bagian dari berlangsungnya suatu pendidikan. Adapun komponen-komponen pendidikan itu adalah: 1. Dasar pendidikan, yang menjadi acuan harus merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat mengantarkan kepada aktivitas yang dicita-citakan. Setiap sistem pendidikan memiliki dasar pendidikan tertentu, yang merupakan cerminan filsafat dalam sistem pendidikan tersebut. 2. Tujuan pendidikan, merupakan sasaran yang akan dicapai dalam melakukan kegiatan pendidikan. 3. Pendidik, adalah orang yang memiliki tanggung jawab untuk membimbing. Tanggung jawab seorang pendidik yaitu menyampaikan materi pengajaran serta membentuk kepribadian anak didik.
140
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 4. Anak didik, harus dapat dipahami hakikatnya oleh pendidik. Kesalahan dalam memahami hakikat tersebut dapat mengakibatkan kegagalan total. Hakikat yang dimaksud adalah hakikat manusia yang memerlukan pendidikan dan bimbingan. 5. Materi pendidikan, merupakan semua bahan pelajaran yang disampaikan kepada peserta didik. Materi pendidikan sering juga disebut dengan istilah kurikulum karena menunjukan makna pada materi yang disusun secara sistematis untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 6. Metode pendidikan, merupakan cara (prosedur) yang digunakan dalam kegiatan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang optimal. 7. Alat pendidikan, yaitu segala sesuatu yang digunakan oleh pelaksanaan kegiatan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. 8. Lingkungan pendidikan, mempengaruhi proses pendidikan baik lingkungan yang menunjang
maupun
menghambat
proses
pencapaian
tujuan
pendidikan.
Lingkungan tersebut yaitu lingkungan sosial, keagamaan, budaya dan alam (Tatang S.; 2012: 219-224). KESIMPULAN Belajar akan memunculkan sikap baru yang merupakan hasil dari pengetahuan dan pembiasaan. Layanan bimbingan belajar merupakan layanan yang diberikan untuk mengatasi masalah belajar dan memunculkan sikap baru yang mendukung tujuan belajar. Pendidikan merupakan interaksi komponen-komponen yang esensial untuk pencapaian tujuan pendidikan. Pendidikan sebagai sistem terdiri dari berbagai komponen pendidikan. Layanan bimbingan belajar dalam pendidikan yang menjadi sistem merupakan layanan yang diberikan untuk mengatasi masalah belajar yang mana bimbingan merupakan salah satu komponen dari sistem pendidikan. DAFTAR PUSTAKA Anas, Salahudin. (2010). Bmbingan dan Konseling. Bandung: CV. Pustaka Setia. Gladding, T. Samuel. (2012). Konseling Profesi yang menyeluruh. Jakarta: Indeks. Prayitno & Erman A. (2009). Dasar-dasar Bimbingan dan konseling. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Sobur, Alex. (2003). Psikologi Umum dalam Lintas Sejarah. Bandung: Pustaka Setia. Tatang, S. (2012). Ilmu Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia. Winkel, W.S., & Hastuti, S. (2005). Bimbingan Karir di Institusi Pendidikan. Jakarta: Media Abadi.
141
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 PROFESIONALISASI BIMBINGAN DAN KONSELING SEBAGAI HELPING PROFESSION Permata Sari1 dan Ishlakhatus Sa’idah2 Program Studi Bimbingan dan Konseling, Universitas Negeri Malang
[email protected], dan
[email protected] Abstrak Bimbingan dan konseling sebagai profesi merupakan proses pelayanan bantuan yang diberikan oleh tenaga profesional (konselor)kepada konseli secara tatap muka dengan menggunakan berbagai teknik konseling untuk mendorong pengembangan diri konseli.Dalam prakteknya BK dapat dikatakan sebagai suatu profesi karena telah dianggap memenuhi syarat-syarat profesi seperti memiliki kode etik, memiliki organisasi atau asosiasi, didasarkan pada teknik intelektual, dan sebagainya. Bimbingan dan konseling sebagai profesi penolong (helping profession) adalah konsep yang melandasi peran dan fungsi konselor di masyarakat dewasa ini. Profesi penolong adalah profesi yang anggota-anggotanya dilatih khusus dan memiliki lisensi atau sertifikat untuk sebuah layanan unik dan dibutuhkan masyarakat sebagai penyedia profesional satu-satunya untuk layanan unik sesuai dengan yang mereka tawarkan. Sebagai salah satu profesi yang membantu profesi konselor harus dimunculkan atau diwujudkan melalui layanan yang aman (safe practitioner) agar tercipta kepercayaan masyarakat kepada profesi bimbingan dan konseling.Meskipun konselor sudah dianggap sebagai profesi penolong, namun di lapangan saat ini masih terus ditemukan pandangan negatif tentang kinerja konselor terkait fungsi dan tanggung jawabnya karena masih banyak ditemukan adanya perilaku kurang profesional. Perilaku-perilaku konselor yang kurang profesional memunculkan persepsi kurang positif. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan informasi mengenai profesionalisasi bimbingan dan konseling sebagai profesi penolong. Kata kunci: Profesionalisasi, Bimbingan dan Konseling, Profesi Penolong PENDAHULUAN Bimbingan dan konseling sebagai profesi merupakan proses pelayanan bantuan yang diberikan oleh tenaga profesional (konselor) kepada konseli secara tatap muka dengan menggunakan berbagai teknik konseling untuk mendorong pengembangan diri konseli. Profesi biasanya diartikan sebagai pekerjaan. Akan tetapi tidak semua pekerjaan merupakan profesi. Pekerjaan disebut sebagai profesi jika memiliki fungsi sosial, yaitu pengabdian kepada masyarakat dan didalamnya tersimpul suatu keharusan kompetensi agar profesi tersebut menjalankan fungsinya dengan sebaikbaiknya. Untuk dapat dikatakan sebagai sebuah profesi, pekerjaan tersebut hendaknya memenuhi syarat-syarat sebuah profesi. Dalam prakteknya BK dapat dikatakan sebagai suatu profesi karena telah dianggap memenuhi syarat-syarat profesi seperti,
142
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 memiliki kode etik, memiliki organisasi atau asosiasi, didasarkan pada teknik intelektual, dan sebagainya. Bimbingan dan konseling sebagai profesi penolong (helping profession) adalah konsep yang melandasi peran dan fungsi konselor di masyarakat dewasa ini. Profesi penolong adalah profesi yang anggota-anggotanya dilatih khusus dan memiliki lisensi atau sertifikat untuk sebuah layanan unik dan dibutuhkan masyarakat sebagai penyedia profesional satu-satunya untuk layanan unik sesuai dengan yang mereka tawarkan (Gibson and Michell, 1981). Dari opini tersebut, dapat diketahui bahwa bimbingan dan konseling adalah sebuah profesi penolong.. Meskipun konselor sudah dianggap sebagai profesi penolong, namun di lapangan saat ini masih terus terdengar suara-suara sumbang tentang kinerja konselor terkait fungsi dan tanggung jawabnya, karena masih banyak ditemukan adanya perilaku kurang profesional. Perilaku-perilaku konselor yang kurang profesional memunculkan persepsi kurang positif. Di lapangan,pelaksanaan konseling belum sesuai dengan yang diharapkan, yakni masih kurangnya kemampuan konselor dalam menangani dan menggali masalah yang dihadapi siswa. Adapun data konselor yang dapat menerapkan kemampuan profesional konseling dalam kategori “tinggi” hanya 39,47%, sedangkan 60,53% baru mampu menerapkan kemampuan tersebut pada kategori “sedang” (Santoso,2008). Selain itu, aspek pelayanan sosial dan menekankan pada pelayanan daripada keuntungan ekonomis merupakan beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu bidang dapat dikatakan sebagai profesi. Namun pada kenyataannya, tidak sedikit konselor yang belum memahami akan pentingnya syarat tersebut. Beberapa konselor masih
ada
yang
mengutamakan
kepentingan
pribadinya
daripada
kepentingan/kesejahteraan konseli. Sebagai contoh: ada saja konselor yang meskipun ia berada di sekolah, namun konselor kerap menolak konselinya, dengan alasan ada tugas dari atasan yang lebih penting atau konselor pergi ke ruangan lain agar tidak dicari siswanya. Hal tersebut jelas sudah berbelok dari syarat profesi. Sehingga tidak heran, masih ada yang sedikit meragukan jika BK dianggap sebagai helping profession. Pada zaman serba modern ini, ekspektasi kinerja konselor sebagai helping profession dituntut tidak hanya mampu memberikan layanan di lingkup pendidikan saja namun juga di luar lingkup pendidikan. Hal tersebut diuraikan dalam kompetensi konselor sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2008 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor.Itu artinya,
143
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 konselor sebagai profesi harus memiliki syarat, identitas, sifat dasar dan wawasan sebagai profesi yang unik (berbeda dengan profesi lain). Sebagai salah satu profesi yang diakui, bimbingan dan konseling tentunya telah memenuhi ciri profesi antara lain sebagai berikut: 1.
Bimbingan dan konseling dilaksanakan oleh petugas yang disebut sebagai guru BK atau konselor yang merupakan lulusan dari pendidikan keahlian yakni lulusan perguruan tinggi jurusan atau program studi bimbingan dan konseling.
2.
Kegiatan bimbingan dan konseling merupakan pelayanan kemasyarakatan dan bersifat sosial.
3.
Dalam melaksanakan layanan, konselor menggunakan berbagai metode dan teknik ilmiah.
4.
Memiliki organisasi profesi yaitu Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) yang didirikan di malang pada tanggal 12 Desember 1975 dan juga memiliki AD/ART maupun kode etik.
5.
Ada pengakuan dari masyarakat seperti tercantum dalam SK Mendikbud no.25 tahun 1995 yang menyatakan bahwa IPBI (saat ini ABKIN) sejajar dengan PGRI dan ISPI. Kemudian pada UU no.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 1 ayat 6 yang menetapkan konselor sebagai salah satu jenis kualifikasi pendidik.
6.
Para anggota profesi bimbingan dan konseling memiliki keinginan untuk memajukan diri baik wawasan pengetahuannya maupun ketampilannya, yakni melalui kegiatan seminar, pelatihan, workshop, atau pertemuan ilmiah lainnya. Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa kegiatan yang dilakukan oleh
konselor merupakan pekerjaan yang memenuhi ciri profesi. Dengan demikian, bimbingan dan konseling bimbingan dan konseling merupakan suatu profesi dan para petugas bimbingan dan konseling (konselor dan guru BK) merupakan tenaga profesional. Seperti halnya profesi lain, bimbingan dan konseling sebagai profesi juga memiliki jantung atau inti sebagai ciri khas dari kegiatan bimbingan dan konseling yaitu kegiatan konseling. Konseling merupakan ilmu dan kiat (seni) dalam proses bimbingan demikian ungkapan Brammer (1979) dan Rao (1982). Konseling merupakan suatu proses hubungan yang membantu. Dalam proses konseling, konselor berhubungan dengan konseli yang mengalami distorsi persepsi tentang dirinya dan lingkungannya. Fuad Hasan (1985) menggambarkan konseli mengalami masalah yang menyangkut “citra diri” yaitu konflik yang tidak saja bersifat personal tetapi juga eksistensial. Konseli adalah individu yang memiliki kebutuhan,
144
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 perasaan, pengalaman, harapan, sistem nilai yang perlu dihayati. Konselor tidak dapat berbuat menurut gaya dan kehendaknya. Proses konseling merupakan hubungan yang melibatkan pribadi kedua belah pihak dimana di dalamnya terlibat beberapa variabel sebagai berikut:
Self Perseption Need Values Feeling Experiences Expectation Expertise
Helpe r
Interview the reationship
Helpe
Self Perseption Need Values Feeling Experiences Expectation Problem
Uraian di atas menunjukkan bahwa; Pertama, kepribadian konselor merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan layanan konseling di samping faktor penguasaan pengetahuan dan ketrampilan. Kedua, suasana antar pribadi artinya keefektifan pembimbing dalam dalam melakukan konseling dipengaruhi oleh penguasaan konsep dan ketrampilan konseling serta karakteristik kepribadian. Adapun beberapa karakteristik kepribadian yang harus dimiliki konselor sebagai tenaga professional, antara lain: 1.
Memiliki kepribadian yang membantu (sifat luwes, akrab, terbuka, dapat menerima pendapat orang lain, empati, menghargai orang lain, tidak mau menang sendiri dan objektif, dapat mengendalikan diri, emosinya stabil, sabar, jujur, kreatif, inovatif, produktifa dan mandiri).
2.
Memiliki kepedulian dalam menangani kasus.
3.
Memiliki kepedulian dalam membantu memecahkan masalah konseli.
4.
Segala perilaku dan tutur katanya menyenangkan orang lain.
5.
Merasa bangga terhadap tugas-tugasnya sebagai konselor.
6.
Dapat menyimpan kerahasiaan konseli.
7.
Memiliki semangat dalam meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan sesuai dengan profesinya. Studi oleh Mochamad Hatip (1989) tentang profil konselor menunjukkan 19
karakteristik yang diharapkan dimiliki oleh konselor, yakni: Kepribadian konselor; Kemampuan intelektual; Kemampuan berempati; Menarik; Berpandangan positif; Memperlihatkan kapasitas untuk menjalin hubungan; Bersikap professional; Memiliki wawasan bimbingan; Memahami kepribadian manusia; Menguasai teori dan praktek;
145
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 Menguasai teknik pemahaman individu; Kemampuan memasyaratkan bimbingan; Kemampuan mengadministrasikan program bimbingan; Kemampuan mengelola berbagai
layanan;
Menguasai
penyelenggaraan
bimbingan
karir;
Mampu
menyelenggarakan konsultasi dengan berbagai pihak; Mampu bekerja sama dengan personil lain; Menguasai proses belajar mengajar; Mampu bekerjasama dengan profesi lain. Searah dengan pengakuan bimbingan dan konseling sebagai profesi, maka organisasi profesi bimbingan dan konseling (ABKIN) menyampaikan bahwa sebagai anggota profesi, konselorharus selalu mengembangkan pribadi dan profesionalitasnya secara berkelanjutan. Hal ini merupakan salah satu usaha ABKIN secara umum untuk mengembangkan profesionalisme dalam diri konselor dan secara khusus untuk profesionalisasi profesi bimbingan dan konseling. Berpedoman pada ciri profesi bahwa anggota profesi harus memiliki semangat dalam meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan sesuai dengan profesinya,makapermasalahan yang dapat dikaji lebih mendalam dari uraian mengenai ciri profesi di atas adalah profesionalisasi profesi bimbingan dan konseling dan wawasan kependidikan konselor dalam profesi. PEMBAHASAN Untuk menjadikan suatu bidang menjadi profesi bukanlah hal yang mudah, karena dibutuhkan perjuangan dalam pemenuhan syarat-syarat sehingga bidang pekerjaan tersebut layak disebut sebagai profesi. Namun, bidang yang telah mendapat pengakuan sebagai profesi tentunya harus lebih kompetitif dalam mempertahankan hingga meningkatkan sebutan “profesi” dengan cara profesionalisasi profesi. Jika berpedoman pada naskah pedoman pelaksanaan Profesional Guru BK/ Konselor yang telah sah dan dijadikan pedoman dalam pelaksanaan pendidikan profesi bimbingan dan konseling sejak tahun 2011, terdapat lima hal yang dapat disoroti dalam rangka profesionalisasi profesi bimbingan dan konseling. Pertama, mengenai kompetensi akademik. Sebagaimana tertuang dalam Permendiknas no.27 tahun 2008 tentag standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor, kompetensi akademik merupakan landasan bagi pengembangan kompetensi professional yang meliputi: (1) memahami secara mendalam konseli yang dilayani, (2) menguasai landasan dan kerangka teoritik bimbingan dan konseling, (3) menyelenggarakan bimbingan dan konseling yang memandirikan, (4) mengembangkan pribadi dan profesionalitas guru BK atau konselor secara berkelanjutan. Unjuk kerja guru BK sangat dipengaruhi oleh kualitas penguasaan empat kompetensi tersebut yang
146
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 dilandasi oleh sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi yang mendukung. Kompetensi akademik dan professional guru BK atau konselor secara terintegrasi membangun keutuhan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan professional. Pembentukan kompetensi akademik ini didapat dari proses pendidikan formal jenjang strata satu (S1) bidang bimbingan dan konseling. Kedua, kompetensi Profesional guru BK atau konselor yang terbetuk melalui latihan dalam menerapkan kompetensi akademik melalui pendidikan profesi guru bimbingan dan konseling atau konselor yang berorientasi pada pengalaman dan kemampuan
praktik
lapangan.Sesuai
dengan
misinya
untuk
menumbuhkan
kemampuan professional guru BK atau konselor, maka kriteria utama keberhasilan dalam keterlibatan peserta dalam pengambilan keputusan dalam proses pemberian bantuan sehingga berdampak pada pertumbuhan sosok utuh guru BK atau koselor sebagai praktisi yang aman (safe practitioner). (Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketanagaan Pendidikan Tinggi,2003) Ketiga, struktur kurikulum. Pendidikan profesi guru BK atau konselor berorientasi pada kegiatan workshop dan praktik dengan perbandingan sebesar 20:80 karena pada dasarnya PPG/PPK merupakan terapan dari kompetensi akademik yang telah dikuasai sebelumnya. Kegiatan workshop yang tertuang dalam kurikulum pendidikan profesi berkaitan dengan asesmen, pengembangan program, aplikasi konseling individu, aplikasi konseling kelompok, pengembangan media dan etrampilan bimbingan kalsikal dan penelitian. Keempat, sistem pembelajaran yang berfokus pada sistem evaluasi yang tepat untuk
penguasaan kompetensi
professional
sebagai
pendalaman kompetensi
akademik yang dikuasai pada jenjang S1. Sistem pembelajaran pada pendidikan profesi guru bimbingan atau konselor berlangsung selama 2 semester dan berfokus pada program PPL. Selama proses pendidikan, peserta akan dilatih sebagaimana ekspektasi kinerja guru BK atau konselor professional yang mengampu pelayanan yang bersifat altruistik (mengedepankan sikap empati, menghormati keragaman, serta mengedepankan kemaslahatan konseli) sehingga mampu menjadikan seorang konselor sebagai the reflective practitioner. Kelima, model pembelajaran yang lebih menekankan pada model pembelajaran berbasis pengalaman melalui workshop atau lokakarya dengan bimbingan dosen atau guru pamong, dilanjut dengan program pengalaman lapangan dan diakhiri dengan uji kompetensi profesi guru bimbingan dan konseling.
147
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 Terlepas dari beberapa hal di atas, perlu dipahami bahwa seorang professional adalah orang yang terus-menerus berkembang atau trainable. Trainability seorang professional tentu lebih mudah apabila mereka memiliki dasar-dasar pengetahuan yang kuat. Dengan usaha menuju profesionalisasi, akan menjadi jelas perbedaannya antara
orang
yang
bekerja
professional
dengan
yang
tidak
professional.
Mengembangkan diri menjadi konselor professional perlu memiliki komitmen dan tanggung jawab. Wujud dari kedua hal ini dapat dilakukan melalui partisipasi dan refleksi atas kegiatan professional. Pandangan ini didukung oleh Kartadinata (2003) yang menunjukkan tanggung jawab professional dapat ditunjukkan melalui aktif terlibat dalam kegiatan pengembangan profesi dan menujukkan sebuah komitmen untuk belajar terus menerus, usaha terus melibatkan diri, dan refleksi secara kritis terhadap praktek yang dilakukan. Dalam pedoman penyusunan portofolio sertifikasi guru dalam jabatan (2008) telah disebutkan beberapa poin yang perlu dilakukan guru BK dalam rangka pengembangan profesi. Poin-poin tersebut antara lain, kemampuan merencanakan program layanan bimbingan dan konseling, kemampuan melaksanakan layanan bimbingan dan konseling, kemampuan mengevaluasi layanan bimbingan dan konseling, lomba dan karya akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah dan sebagai pengurus organisasi di bidang kependidikan dan sosial. Adapun wawasan kependidikan dan profesi konselor secara umum meliputi: 1.
Konselor wajib terus menerus berusaha mengembangkan dan menguasai dirinya, ia wajib mengerti kekurangan-kekurangan dan prasangka-prasangka pada dirinya sendiri, yang dapat mempengaruhi hubungannya dengan orang lain dan mengakibatkan rendahnya mutu pelayanan profesional serta merugikan klien.
2.
Memiliki
wawasan
pedagogis
dalam
melaksanakan
layanan
profesional
konseling. 3.
Memahami dengan baik landasan-landasan keilmuan bimbingan dan konseling.
4.
Menghayati kode etik dan proses pengambilan keputusan secara etis.
5.
Mengetahui dengan baik standar dan prosedur legal yang relevan dengan setting kerjanya.
6.
Aktif melakukan kolaborasi profesional dan mempelajari literaturnya.
7.
Menunjukkan komitmen dan dedikasi pengembangan profesional dalam berbagai setting dan kegiatan.
148
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 8.
Menampilkan
sikap
open
minded
dan
profesional
dalam
menghadapi
permasalahan klien. 9.
Memantapkan prioritas (bidang layanan) profesionalnya.
10.
Mengorganisasikan kegiatan sebagai wujud prioritas profesionalnya.
11.
Merumuskan perannya sendiri sesuai dengan setting dan situasi kerja yang dihadapi. Sesuai dengan misinya untuk menumbuhkan kemampuan professional guru BK
atau konselor, maka kriteria utama keberhasilan dalam keterlibatan peserta dalam pengambilan keputusan dalam proses pemberian bantuan sehingga berdampak pada pertumbuhan sosok utuh guru BK atau koselor sebagai praktisi yang aman (safe practitioner).
(Direktorat
Pembinaan
Pendidikan
Tenaga
Kependidikan
dan
Ketanagaan Pendidikan Tinggi,2003). KESIMPULAN Bimbingan dan Konseling sebagai profesi akan semakin kuat kedudukannya jika ditunjang oleh keprofesionalan konselor dalam melaksanakan layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Dimana konselor tersebut sebelumnya telah memenuhi syarat formal, kepribadian, sifat dasar dan wawasan. Konselor yang telah memenuhi syarat akan menampilkan keunikan layanan bimbingan dan konseling dan selanjutnya keberadaan bimbingan dan konseling akan semakin dibutuhkan oleh masyarakat (public trust). DAFTAR PUSTAKA ABKIN. 2004. Arah Kebijakan Pengembangan dan Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia. Departemen pendidikan Nasional. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Dirjen Dikti. 2008. Serifikasi Guru Dalam Jabatan, Pedoman Penyusunan Portofolio. Jakarta Dirjen Dikti. 2010. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Profesi Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor. Gibson,L.,Robert.& Mitchell,H.,Marianne.(1981). Introduction To Guidance. New York. Macmillan Gladding, Samuel T. 2009. Counseling: A Comprehensive Profession (Sixth Edition). USA: Pearson Education International. Kartadinata, Sunaryo. 2003. Kebijakan, Arah dan Strategi Pengembangan Profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia. Bandung Nugent, Frank A. 1981.Professional Counseling: An Overview. California: Brooks/Cole Publishing Company. Pengurus Besar ABKIN. 2007. Naskah Akademik Penataan Profesionalisasi Konselor dalam Sistem Pendidikan Nasional. Permendiknas Nomor 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor. Santoso, Djoko Budi. 2008. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Malang: Universitas Negeri Malang SK Mendikbud Nomor 5 tahun 1995 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru
149
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 Peningkatan kinerja guru BK berkaitan tugas dan kewajiban konselor “Problematika Konselor yang Tidak Melaksanakan Evaluasi Program Bimbingan dan Konseling Disekolah”
Pujang Putri Pascasarjana State University of Malang
[email protected] Abstrak Tugas Konselor adalah membuat program layanan bimbingan dan konseling, melaksanakan, mengevaluasi, menindak lanjuti, mengadministrasikan dan mempertanggung jawabkan program bimbingan dan konseling secaramenyeluruh kepada Koordinator Bimbingan dan Konseling dan Kepala Sekolah.Selain itu penting juga tugas konselor mengadakan evaluasi program bimbingan dan konseling disekolah terhadap peserta didik baik bersifat preventif, preservatifmaupun bersifat korektifatau kuratif. Salah satuKewajiban konselor yang sesuai pada standar kompetensi konselor adalah 1) Melakukan evaluasi hasil, proses, dan program bimbingan dan konseling 2) Melakukan penyesuaian proses layanan bimbingan dan konseling 3) Menginformasikan hasil pelaksanaan evaluasi layanan bimbingan dan konseling kepada pihak terkait 4) Menggunakan hasil pelaksanaan evaluasi untuk merevisi dan mengembangkan program bimbingan dan konseling.Akan tetapi yang terjadi dilapangan permasalahan muncul berkaitan dengan pelaksanaan bimbingan dan konseling disekolah. Salah satunya adalah “problematika konselor yang tidak melaksanakan evaluasi program bimbingan dan konseling disekolah”. Munculnya masalah-masalah tersebut muncul karena berbagai macam faktor. Baik faktor yang berasal dari konselor itu sendiri maupun dari luar konselor itu sendiri. Faktor yang berasal dari konselor itu sendiri lebih menyoroti pada kemampuan konselor yang belum mampu menampilkan layanan bimbingan konseling yang berkualitas. Kata Kunci: tugas, kewajiban konselor, evaluasi program BK, problematika konselor
PENDAHULUAN Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator, dan instruktur (UU No. 20 Tahun 2003). Masing-masing kualifikasi pendidik, termasuk konselor, memiliki ekspektasi kinerja yang unik. Ekspektasi kinerja konselor dalam menyelenggarakan pelayanan ahli bimbingan dan konseling senantiasa digerakkan oleh motif altruistik, sikap empatik, menghormati keragaman, serta mengutamakan kepentingan konseli, dengan selalu mencermati dampak jangka panjang dari pelayanan yang diberikan (Permendiknas No. 27 tahun 2008). Keberadaan UU No. 20 tahun 2003 dan Pemendiknas No. 27 tahun 2008 tersebut menunjukkan bahwa bimbingan konseling adalah salah satu komponen yang integral dalam mendorong tercapainya tujuan pendidikan. Pada kurikulum 2013
150
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 dirancang dengan tujuan untuk mempersiapkan insan Indonesia supaya memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warganegara yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Dalam rangka implementasi kurikulum 2013 yang mengamanatkan adanya peminatan peserta didik pada kelompok mata pelajaran, lintas mata pelajaran, dan pendalaman mata pelajaran maka diperlukan adanya pelayanan Bimbingan dan Konseling yang dilakukan oleh guru Bimbingan dan Konseling atau konselor. Implementasi kurikulum 2013 tentu membutuhkan usaha dan kinerja yang lebih dari konselor. Berdasarkan pemaparan di atas, profesi bimbingan dan konseling menjadi profesi yang semakin di pandang dan mapan. Profesi bimbingan dan konseling telah diberi kesempatan untuk menjadi profesi yang bermartabat dan diakui oleh masyarakat. Hal ini tentu menjadi sebuah tantangan pada konselor itu sendiri untuk bisa menjawab tantangan tersebut dengan kinerja yang maksimal. Akan tetapi, berbagai macam permasalahan muncul terkait pelaksanaan bimbingan dan konseling disekolah. Munculnya masalah-masalah tersebut muncul karena berbagai macam faktor. Baik faktor yang berasal dari konselor itu sendiri maupun dari luar konselor itu sendiri. Faktor yang berasal dari konselor itu sendiri lebih menyoroti pada kemampuan konselor yang belum mampu menampilkan layanan bimbingan konseling yang berkualitas. Sementara itu gejala-gejala berbagai masalah pada usia remaja makin meluas dilihat dari frekuensi maupun variabilitas masalahnya. Permasalahan siswa bukan hanya berkisar pada persoalan belajar dan perkembangan diri, melainkan bergerak ke persoalan-persoalan kriminalitas dan norma-norma masyarakat seperti penggunaan narkoba, pergaulan lawan jenis yang terlalu bebas. Sedangkan faktor dari luar konselor lebih pada kurangnya dukungan sistem yang dapat menunjang kualitas kinerja konselor. PEMBAHASAN 1. Tugas-Tugas Konselor Sunaryo Kartadinata (2008:235-236) yang mengatakan bahwa seorang konselor sebagai pelaksana utama, tenaga inti dan ahli atau tenaga profesional, bertugas: a. Melakukan studi kelayakan dan need assessment pelayanan bimbingan dan konseling.
151
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 b. Merencanakan program bimbingan dan konseling untuk satuan-satuan waktu tertentu. Program-program tersebut dikemas dalam program harian/ mingguan, bulananan, semesteran, dan tahunan. c. Melaksanakan program pelayanan bimbingan dan konseling. d. Menilai proses dan hasil pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling. e. Menganalisis hasil penilaian palayanan bimbingan dan konseling. f.
Melaksanakan tindak lanjut
berdasarkan hasil penilaian pelayanan
bimbingan dan konseling. g. Mengadministrasikan kegiatan program pelayanan bimbingan dan konseling yang dilaksanakan. h. Mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dalam pelayanan bimbingan dan konseling secara menyeluruh kepada Koordinator Bimbingan dan Konseling serta Kepala Sekolah/Madrasah. i.
Mempersiapkan diri menerima dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan pengawasan oleh Pengawas Sekolah/ Madrasah Bidang Bimbingan dan Konseling.
j.
Berkolaborasi dengan guru mata pelajaran dan wali kelas serta pihak terkait dalam pelaksanaan program bimbingan dan konseling.
Melihat pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa tugas konselor adalah membuat program layanan bimbingan dan konseling, melaksanakan, menilai, menindak lanjuti, mengadministrasikan dan mempertanggungjawabkan program bimbingan dan konseling secaramenyeluruh kepada Koordinator Bimbingan dan Konseling dan Kepala Sekolah.Selain itu tugas konselor juga mengadakan bimbingan terhadap anak-anak baik bersifat preventif, preservatifmaupun bersifat korektifatau kuratif. 2. Kewajiban Konselor Kewajiban konselor pada standar kompetensi konselor (Abkin: 2008, 143-144) Kompetensi Konselor dalam point C “Menyelenggarakan Bimbingan dan Konseling yang Memandirikan” pada nomor 3 dijelaskan pada kompetensi bahwa menilai proses dan hasil kegiatan bimbingan konseling adalah sebagai berikut: a. Melakukan evaluasi hasil, proses, dan program bimbingan dan konseling b. Melakukan penyesuaian proses layanan bimbingan dan konseling c. Menginformasikan hasil pelaksanaan evaluasi layanan bimbingan dan konseling kepada pihak terkait
152
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 d. Menggunakan hasil pelaksanaan evaluasi untuk merevisi dan mengembangkan program bimbingan dan konseling. 3. Pengertian Evaluasi a. Pengertian Evaluasi Penilaian merupakan langkah penting dalam majemen program bimbingan. Tanpa penilaian keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan program bimbingan yang telah direncanakan tidak mungkin diketahui/ diidentifikasi. Penilaian program bimbingan merupakan usaha untuk menilai sejauh mana pelaksanaan program itu mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain bahwa keberhasilan program dalam pencapaian tujuan merupakan suatu kondisi yang hendak dilihat lewat kegiatan penilaian. Sehubungan dengan penilaian ini, Shetzer dan Stone (1996) mengemukakan pendapatnya bahwa evaluasi adalah kegiatan: “... making systematic judgements of the relative effectiveness with which goals are attained in relation to special standards” Evaluasi dapat pula diartikan sebagaiproses pengumpulan informasi (data) untuk mengetahui efektifitas (keterlaksanaan dan ketercapaian kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan dalam upaya mengambil keputusan). Pengertian lain dari evaluasi ini adalah suatu usaha untuk mendapatkan berbagai informasi secara berkala, bekesinambungan dan menyeluruh tentang proses dan hasil dari perkembangan sikap dan perilaku atau tugas-tugas perkembangan para siswa melalui program kegiatan yang telah dilaksanakan b. Maksud dan Tujuan Evaluasi Penilaian kegiatan bimbingan di sekolah/madrasah adalah segala upaya, tindakan atau proses untuk menentukan derajat kualitas kemajuan kegiatan dengan pelaksanaan program bimbingan di sekolah/ madrasah dengan mengacu pada kriteria atau patokan-patokan tertentu sesuai dengan program bimbingan yang dilaksanakan. Kriteria patokan yang dipakai untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah/ madrasah mengacu pada ketercapaian kompetensi, keterpenuhan kebutuhan-kebutuhan peserta didik dan pihak-pihak mnyang terlibat baik langsung maupun tidak langsung berperan membantu peserta didik memperoleh perubahan perilaku dan pribadi ke arah yang lebih baik. Dalam keseluruhan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling, penilaian diperlukan untuk memperoleh umpan balik terhadap keefektifan pelayanan bimbingan yang telah dilaksanakan. Dengan informasi ini dapat diketahui sampai sejauh mana derajat keberhasilan kegiatan pelayanan bimbingan. Berdasarkan informasi ini dapat
153
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 ditetapkan langkah-langkah tindak lanjut untuk memperbaiki dan mengembangkan program selanjutnya. c. Fungsi Evaluasi 1. Memberikan umpan balik (feedback) kepada guru pembimbing (konselor) untuk memperbaiki atau mengembangkan program bimbingan dan konseling 2. Memberikan informasi kepada pihak pimpinan sekolah/madrasah, guru mata pelajaran, orang tua peserta didik tentang perkembangan peserta didik,
agar
bersinegri
atau
berkolabrorasi
meningkatkan
kualitas
implementasi program bimbingan dan konseling di sekolah/ madrasah d. Aspek-Aspek yang Dievaluasi Ada dua macam aspek kegiatan penilaian program kegiatan bimbingan, yaitu penilaian proses dan penilaian hasil. Penilaian proses dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana keefektifan pelayanan bimbingan dilihat dari prosesnya, sedangkan penilaian hasil dimaksudkan untuk memperoleh informasi keefektifan pelayanan bimbingan dilihat dari hasilnya. Aspek yang dinilai baik proses maupuan hasil antara lain: 1. Kesesuain antara program dengan pelaksanaan 2. Keterlaksanaan program 3. Hambatan-hambatan yang dijumpai 4. Dampak pelayanan bimbingan terhadap kegiatan belajar mengajar 5. Respon peserta didik, personil sekolah/ madrasah, orang tua dan masyarakat terhadap pelayanan bimbingan; 6. Perubahan kemajuan peserta didik dilihat dari pencapaian tujuan pelayanan bimbingan, pencapaian tugas-tugas perkembangan dan hasil belajar; dan keberhsilan peserta didik setelah menamatkan sekolah/ mdarasah baik pada studi lanjutan ataupun pda kehidupaannya dimasyarakat. Problematika Konselor: Konselor yang Tidak Melaksanakan Evaluasi Program Bimbingan dan Konseling Disekolah Konselor sekolah profesional sebagai bagian dari tim pendidik di sekolah memiliki kinerja yang menunjang pencapaian tujuan yang dicanangkan oleh sekolah (Dahir & Stone, 2009). Kinerja konselor sekolah tersebut tertuang dalam program layanan konseling dan program tersebut terbukti keefektifannya dalam pencapaian tujuan sekolah dan peningkatan prestasi belajar siswa (Astramovich, Coker & Hoskins,
154
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 tanpa tahun). Untuk menguji keefektifan dan memperbaiki program layanan bimbingan dan konseling perlu dilakukan eveluasi. Evaluasi program layanan bimbingan konseling juga bisa menyediakan sumber informasi yang dibutuhkan untuk memverifikasi kekuatan program layanan konseling (Otto, 2001). Sehingga tidak ada perbaikan program layanan bimbingan dan konseling dari tahun ke tahun. Bimbingan konseling sebagai salah satu komponen dalam pendidikan di sekolah perlu di lakukan penilaian
atas
kegiatannya
untuk
mengetahui
hambatan-hambatan
dalam
pelaksanaannya. Melakukan penilaian terhadap layanan program bimbingan dan konseling pada hakekatnya bermaksud mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi sehingga dapat dilakukan perbaikan atau peningkatan kinerja profesional. Melalui suatu penilaian proses yang dilakukan secara mendalam dapat diungkap halhal yang selama ini menghambat layanan bimbingan konseling. Secara konseptual, evaluasi diyakini sebagai jantungnya berubah dan perkembangan suatu organisasi, program, kegiatan, atau institusi. Tanpa evaluasi yang baik, suatu kegiatan, program, atau organisasi sulit diharapkan untuk berkembang secara kompetitif. Rencana strategis yang baik hanya dapat dihasilkan jika didasarkan pada hasil evaluasi yang baik pula. Namun demikian, kegiatan evaluasi seringkali diabaikan atua kurang diperhatikan dalam perencanaan dan implementasi suatu kegiatan atau program. tidak jarang evaluasi dianggap sebagai aksesoris dan sesuatu yang kurang bermanfaat bagi peningkatan program, kegiatan atau organisasi dan hanya menghamburkan biaya. Evaluasi pelaksanaan bimbingan merupakan kegiatan menilai keberhasilan layanan dalam bidang bimbingan pribadi, sosial, belajar dan karir”. Untuk menilai suatu keberhasilan maka diperlukan evaluasi program. Menurut Myrick dalam Aip Badrujaman, 2011:22 bahwa lima alasan yang menjadi faktor penghambat guru pembimbing tidak melakukan evaluasi program bimbingan dan konseling. Kelima alasan guru bimbingan dan konseling tidak melakukan evaluasi meliputi: 1. Guru bimbingan dan konseling tidak memiliki cukup waktu melakukan evaluasi program bimbingan dan konseling. 2. Guru bimbingan dan konseling kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan evaluasi program bimbingan dan konseling. 3. Adanya ketakutan guru bimbingan dan konseling terhadap akuntabilitas. 4. Guru bimbingan dan konseling tidak merasa bermasalah kalau tidak melaksanakan evaluasi program bimbingan dan konseling. 5. Guru bimbingan dan konseling berpersepsi bahwa hasil evaluasi program sulit diukur.
155
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 Pemecahan Problematika Konselor secara Umum Adapun
pemecahan
masalah
pada
problematika
“konselor
yang
tidak
melaksanakan evaluasi program bimbingan dan konseling disekolah” Beberapa solusi untuk terlaksananya evaluasi Bimbingan dan Konseling di sekolah yaitu dengan cara: 1. Konselor harus mengetahui dan memahami serta melaksanakan Evaluasi Program Bimbingan dan Konseling Disekolah, dimana Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor bahwa Evaluasi Program Bimbingan dan Konseling ada tercantum dalam Kompetensi Profesional Point 15 dengan isi butir sebagai berikut: Kompetensi Profesional 15. Menilai Proses dan Hasil
15.1
Kegiatan Bimbingan dan Konseling.
Melakukan evaluasi hasil, proses, dan program bimbingan dan konseling
15.2
Melakukan penyesuaian proses pelayanan bimbingan dan konseling
15.3
Menginformasikan hasil pelaksanaan evaluasi pelayanan bimbingan dan konseling kepada pihak terkait
15.4
Menggunakan hasil pelaksanaan evaluasi untuk merevisi dan mengembangkan program bimbingan dan konseling
Evaluasi program bimbingan dan konseling harus dilakukan oleh setiap konselor disekolah, karenasudah menjadi tugas dan kewajiban konselor sebagaimana telah ditetapkan oleh Permendiknas. Evaluasi dilakukan untuk menilai ketercapaian program yang dibuat dan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat programprogram selanjutnya. 2. Mengikuti
Workshop-workshop
yang
berkenaan
mengenai
Evaluasi
Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling Disekolah, dimana seorang konselor profesional harus dituntut aktif serta kreatif, agar lebih memperhatikan dan meningkatkan kinerjanya untuk mencapai pelayanan bimbingan dan konseling yang efektif dan efisien diadakannya Workshop adalah untuk memberikan pemahaman dan peremajaan informasi mengenai bimbingan dan konseling secara berkala.
156
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 KESIMPULAN Penilaian program bimbingan merupakan usaha untuk menilai sejauh mana pelaksanaan program itu mencapi tujuan yang telah ditetapkan. dengan kata lain bahwa keberhasilan program dalam pencapaian tujuan merupakan suatu kondisi yang hendak dilihat lewat kegiatan penilaian. Evaluasi diartikan sebagai proses pengumulan informasi (data) untuk mengetahui efektivitas (keterlaksanaannya atau ketercapaian) kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan dalam upaya mengambil keputusan.. Penilaian kegiatan bimbingan disekolah adalah segala upaya tindakan atau proses menentukan derajat kualitas kemajuan yang berkaitan dengan pelaksanaan program bimbingan di sekolah dengan mengacu pada kriteria atau patokan-patokan tertentu sesuai dengan program bimbingan yang dilaksanakan.. Dalam keseluruhan kegiatan layanan bimbingan dan konseling penilaian diperlukan untuk memperoleh umpan balik terhadap keefektifitasan layanan bimbingan yang telah dilaksanakan. Dengan informasi itu dapat diketahui sampai sejauh mana derajat keberhasilan kegiatan layanan bimbingan. Pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia diharapkan dapat mendorong tercapainya tujuan pendidikan. Hal tersebut membutuhkan kinerja yang maksimal dari konselor. Akan tetapi, berbagai macam problematika bimbingan dan konseling muncul dan bisa menghambat tercapainya tujuan pendidikan. Diperlukan upaya yang maksimal dari konselor untuk segera berbenah diri untuk menjawab tantangan bahwa profesi konselor adalah profesi yang bermartabat. DAFTAR PUSTAKA Depdiknas. 2008. Penataan Pendidikan Profesional Konselor Dan Layanan Bimbingan Dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta; Departemen Pendidikan Nasional Dharma, Surya. 2008. Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Departemen Pendidikan Nasional Nurihsan, Achmad Juntika. 2006. Bimbingan Dan Konseling Dalam Berbagai Latar Kehidupan. Bandung; PT. Refika Aditama Permendiknas 27 Tahun 2008. Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor Triyono. Afrizal, S. Fitria, K. Faktor Penghambat Pelaksanaan Evaluasi Program Bimbingan dan Konseling oleh Guru Bimbingan dan Konseling di SMA Negeri Padang. Sumatera Barat: STKUP PGRI
157
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 KONSELING KELOMPOK SEBAGAI INTERVENSI PERMASALAHAN SISWA USIA REMAJA
Rika Vira Zwagery Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Jl.A.Yani km 36 Banjarbaru, Indonesia email:
[email protected] Abstrak Masa remaja merupakan masa pencarian jati diri yang ditandai dengan munculnya perubahan pada aspek fisik dan psikologis sehingga rentan untuk mengalami permasalahan. Maraknya permasalahan remaja yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa perlunya suatu intervensi yang dapat menanggulangi permasalahan itu secara efektif salah satunya adalah dengan konseling kelompok. Artikel ini membahas mengenai kajian 158iterature tentang konseling remaja yang terdiri dari tujuan konseling kelompok, proses konseling dan manfaat yang didapat bagi siswa, konselor dan sekolah. Hasilnya adalah konseling kelompok merupakan intervensi yang efektif dan efisien untuk mengatasi permasalahan siswa usia remaja baik itu masalah akademik, emosi, sosial dan perilaku dan juga dapat dilakukan untuk pengembangan diri remaja. Kata Kunci : Konseling, konseling kelompok, Remaja PENDAHULUAN Masa remaja seringkali disebut sebagai periode krisis karena pada masa itu, seseorang berusaha mencari jati dirinya dan sangat tergantung dengan lingkungannya. Kondisi emosi yang labil dan banyaknya perubahan yang dialami dalam hal fisik dan psikologis membuat seorang remaja membutuhkan kontrol diri yang baik untuk bertahan dalam kondisi yang penuh tantangan seperti ini. Permasalahan yang seringkali terjadi adalah permasalahan akademik, permasalahan sosial emosional, permasalahan perilaku dan permasalahan yang terkait dengan keluarga. Banyak data yang menunjukkan bahwa remaja sangat rentan mengalami masalah dan masalah yang dialami tersebut semakin meningkat setiap tahunnya. Permasalahan
yang
banyak
muncul
saat
ini
adalah
permasalahan
narkoba.Berdasarkan hasil riset,angka penyalahgunaan narkoba pada pelajar dan mahasiswa sejak tahun 2003 smpai dengan 2006 meningkat dari 3,9 % menjadi 5,3 % atau jumlah totalnya 1.037.682 siswa (pusatriset.ui.ac.id)Tahun 2015 Badan Narkotika Nasional (BNN) memperkirakan jumlah pengguna narkoba di Indonesia mencapai 5,1 juta orang jumlah ini di perkirakan akan terus bertambah. Selain itu, menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2014 jumlah seks bebas dikalangan remaja usia 10-14 tahun mencapai 5,38 persen, sedangkan pada
158
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 usia 14-19 seks bebas mencapai 51,8 persen. Berdasarkan data yang dikeluarkan BKKBN juga, tak kurang dari 1 juta remaja melakukan aborsi di setiap tahunnya. Perilaku seks bebas ini terkait dengan kasus aborsi. Menurut laporan dari Antara, kasus aborsi di Indonesia setiap tahunnya mencapai 2,3 juta dan 30 persen pelakunya masih remaja. Sebuah survei yang dilakukan di 33 provinsi pada pertengahan tahun 2008 melaporkan bahwa 63 persen remaja di Indonesia sekolah SMP dan SMA sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah dan 21 persen diantaranya melakukan kasus aborsi (www.antaranews.com).Oleh karena itu dibutuhkan suatu upaya penanggulangan yang dapat mengatasi masalah remaja tersebut. Beberapa remaja bahkan
memerlukan
pendampingan
khusus
karena
di
sana
mereka
akan
diperhadapkan pada beban studi, teman sebaya, kakak kelas, dan juga guru-guru yang akan memungkinkan mereka menghadapi beberapa masalah. Oleh karena itu, peran guru sebagai konselor sangatlah diperlukan untuk mengarahkan, membimbing, dan mendampingi siswa dalam menghadapi masalah-masalah tersebut di sekolah. Remaja memiliki pengalaman berharga dalam tiga area di kehidupannya, rumah, sekolah dan komunitas namun terkadang area tersebut menjadi tempat yang tidak nyaman dan aman bagi mereka (Schechtman, 2014). Area tersebut bisa jadi menjadi penyebab permasalahan yang mereka alami dan sebaliknya bisa dijadikan sebagai tempat yang menyediakan upaya penanggulangan salah satunya adalah sekolah, Sekolah merupakan tempat yang paling penting dan efektif untuk mengurangi masalah perilaku (Hoagwood, et.al., 2007; Shechtman & Ifargan, 2009; Smokowski, Fraser, Day, Galinsky & Bacallao 2004; Wilson & Lipsey, 2007) dan dapat berfungsi sebagai sumber vital dalam memberikan pelayanan psikologis (Crespi & Fischetti, 1997).Intervensi yang dilakukan di sekolah merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk merubah perilaku siswa yang maladaptif karena sebagian besar siswa menghabiskan hampir setengah waktu mereka berada di sekolah (Reinke, Splett, Robeson, & Offutt, 2009). Salah satu intervensi berbasis sekolah yang dapat dilakukan disekolah adalah dengan menerapkan konseling kelompok.Sekolah merupakan tempat yang paling cocok untuk menerapkan konseling kelompok (Shechtman, 2014).Konseling kelompok merupakan suatu teknik konseling yang melibatkan sekelompok siswa yang memiliki permasalahan yang sama dan saling berinteraksi didalamnya dengan dibantu oleh guru BK atau konselor sekolah. Konseling kelompok merupakan suatu proses yang
159
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 terdiri dari individu individu yang memiliki kesulitan dan berharap mereka dapat memecahkan masalah personal, pendidikan, dan sosial (Corey & Corey, 2002). Konseling kelompok merupakan salah satu intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai kesulitan yang dialami oleh remaja (Whiston & Sexton, 1998) dan memiliki keefektifan yang sama dengan konseling yang dilakukan secara individual (Hoag & Burlingame, 1997; Schechtman & Ben-David, 1999).Hal ini didukung oleh Brown dan Lent (2005) yang menyatakan bahwa salah satu intervensi yang tepat diberikan pada usia remaja adalah konseling kelompok. Pendekatan kelompok sangat efektif untuk digunakan pada usia remaja karena sesuai dengan ciri perkembangannya bahwa remaja lebih menyenangi interaksi dengan teman sebaya dan memiliki kepercayaan kepada mereka (Papalia, 2014). Remaja lebih memilih untuk membangun hubungan dengan teman temannya dan menceritakan permasalahan dengan teman sebayanya daripada dengan orang tua. Usia remaja sangat memerlukan dukungan dan dorongan dari teman sebaya. Menurut Pattel, Salahudin dan O’Brien (2008), dalam kelompok teman sebaya, remaja memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mendiskusikan proses perkembangannya. Mereka akan lebih terbuka satu sama lainnya karena memiliki karakteristik yang sama. Konseling kelompok merupakan salah satu upaya yang perlu dilakukan oleh konselor sekolah untuk mempengaruhi hasil siswa disekolah seperti prestasi dan perilaku siswa (Brigman & Campbell, 2003). Konseling sekolah merupakan salah satu teknik intervensi yang terbukti efektif dan efisien untuk mengatasi permasalahan disekolah (Bayley & Bradbury-Baly, 2007; Branigan, 2007; Brigman & Campbell, 2003). Konseling kelompok penting dilakukan dengan menyesuaikan kebutuhan psikologis siswa dan dapat memberikan dampak positif pada anak secara individual dan dapat bermanfaat untuk sekolah (Crespi, 2009). PEMBAHASAN Menurut Ohlsen (1977) konseling kelompok adalah suatu hubungan khas antara konselor dan beberapa klien untuk mendiskusikan kesulitan-kesulitan dan gangguan-gangguan mereka, untuk mempraktikkan keterampilan interpersonal, dan untuk mempraktikkan tingkah laku baru. Sedangkan Gazda (1984) mengungkapan bahwa konseling kelompok adalah proses hubungan antarpribadi yang dinamis, yang terpusat pada pemikiran dan perilaku yang melibatkan fungsi-fungsi terapi. Konseling kelompok melibatkan pemimpin kelompok atau konselor dan anggota kelompok atau klien.Konselor berperan sebagai pemimpin dan menjadi penengah dalam kelompok (Paisley dan Milsom, 2007). Fungsi konseling kelompok menurut
160
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 Prawitasari (1991) adalah membantu individu memahami perasaan-perasaannya dan berhubungan dengan orang lain serta untuk mengembangkan pribadinya. Konseling kelompok fokus pada pengembangan diri, perkembangan kesadaran diri, penemuan insight dan perubahan perilaku (Shechtman, 2014). Konseling kelompok dilakukan untuk mengidentifikasi permasalahan yang unik dan berlaku jangka pendek. Prosesnya cenderung tidak terstruktur mengikuti dinamika dari kelompok dan siswa dapat belajar melalui interaksi di dalam kelompok. Ketika mengalami permasalahan, siswa yang terlibat didalam konseling kelompok diajarkan untuk mencari pemecahan masalah sendiri dan bimbingan moral. Mereka diharapkan mendapatkan insight sendiri dan kemudian terjadi perubahan perilaku menjadi lebih positif. Pada konseling kelompok, peserta mendapatkan kesempatan untuk bisa terbuka satu sama lain tentang pengalaman, perasaan maupun pandangan yang dimiliki tentang sesuatu. Gibbons (2009), juga mengungkapkan bahwa banyaknya pandangan akan meningkatkan kemungkinan respon yang baru dan lengkap, ide-ide atau solusi secara signifikan. Ketika siswa tumbuh dan berkembang didalam kelompok, kemungkinan mereka akan merasa nyaman dan mampu mendiskusikan hal hal penting bersama teman sebayanya (Cox, 1999). Perasaan nyaman tumbuh karena mereka merasa memiliki persamaan yang sama dan memiliki lingkungan yang mendukung yang dapat menurunkan perasaan cemas. Pengalaman ketika berada di dalam kelompok akan meningkatkan perasaan diterima dan membantu untuk mengganti perasaan negatif menjadi lebih positif. Siswa dapat belajar mengenai perilaku yang tepat untuk merespon sesuatu yang tidak bisa mereka kontrol ketika berada di dalam kelompok (Forester-Miller, 1993). Masing masing anggota kelompok saling membantu sama lain untuk mencari pemecahan permasalahan yang mereka alami sehingga mendapatkan hasil pendapat kelompok mengenai perilaku yang tepat. Konseling kelompok penting untuk dilakukan untuk mengatasi permasalahan remaja karena teknik ini mengintegrasikan anak yang memiliki kesulitan dan permasalahan didalam suatu kelompok, memberikan perhatian pada kesulitan yang mereka alami dan menngunakan teknik untuk membantu siswa percaya terhadap anggota kelompoknya (Whiston & Sexton, 1998).Pada siswa yang bermasalah, dukungan sosial ini merupakan sesuatu yang penting karena seringkali siswa yang bermasalah tidak mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan sekitarnya. Dukungan
161
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 sosial dapat diperoleh melalui suasana konseling kelompok yang memberikan peluang pada para siswa untuk belajar berhubungan dengan orang lain. Konseling kelompok ditujukan kepada siswa dengan membentuk dukungan teman sebaya dan saling bertukar pendapat (Cox, 1999). Mereka akan mendapatkan dukungan, empati, dan penghargaan dari teman sehingga ia merasa diterima dalam kelompok dan bebas mengekspresikan perasaannya. Tersalurkannya gejolak emosi berarti hilangnya beban emosional atau paling tidak berkurangnya beban emosional yang merupakan salah satu faktor penyembuh dalam pendekatan kelompok, yang disebut dengan istilah Katarsis (Yalom, 1985). Konseling kelompok sebagai sarana pengembangan pribadi memiliki banyak manfaat dan keuntungan.
Penelitian Afiatin dan Martaniah (1998) menunjukkan bahwa
konseling kelompok terbukti efektif untuk meningkatkan kepercayaan diri bagi remaja. Penelitian lain juga telah dilakukan oleh Campbell dan Brigman (2005) dalam penelitiannya tentang konseling kelompok pada siswa dapat meningkatkan prestasi belajar dan kemampuan manajemen diri. Konseling kelompok juga dapat dilakukan untuk meningkatkan self esteem (Crespi & Fishetti, 1997; Schechtman, 2014) locus of control, dan prestasi akademik (Schechtman, 2014). Selain itu, konseling kelompok dapat meningkatkan kemampun siswa dalam menjalin hubungan persahabatan, kemampuan pembuatan keputusan, kemampuan komunikasi, dan minat terhadap kelompok (Tomori, 1995). Konseling kelompok teruji efektif untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dialami oleh siswa dalam berbagai topik dan situasi (Dansby, 1996; Crespi & Fischetti, 1997) serta dapat ditujukan pada anak dan remaja (Shechtman, 2014). Menurut penelitian, konseling kelompok dapat digunakan sebagai intervensi permasalahan rejama yang semakin marak terjadi seperti Penyalahgunaan narkoba (Crits-Christoph, et al, 2013), Depresi (Javanmiri, Kimiaee & Abadi, 2013; Bore, Hendricks, & Womack, 2013), bullying dan isu isu seksual seperti seks bebas, kekerasan seksual dan kehamilan (Bore, Hendricks, & Womack, 2013). Bahkan, konseling kelompok dapat digunakan untuk mengatasi kecanduan internet melalui konseling kelompok yang dilaksanakan secara online (Harry & Issack, 2013) Selain membawa manfaat bagi siswa, konseling kelompok juga memberian keuntungan bagi sekolah pada umumnya dan konselor pada khususnya. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa konseling kelompok membawa manfaat di berbagai situasi sekolah karena dapat menjadi alternatif intervensi untuk masalah akademik, personal/sosial atau pengembangan karir siswa (Falco, 2011). Selain itu, pelaksanaan
162
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 konseling kelompok dapat menghemat waktu konselor jika dibandingkan dengan konseling individu dan juga memiliki nilai terapeutik (Bore, Hendricks, & Womack, 2013) KESIMPULAN Simpulan dari artikel ini adalah Salah satu intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang dialami oleh siswa berusia remaja adalah melalui konseling kelompok. Keefektifan dari konseling kelompok telah terbukti dari beberapa penelitan. Konseling kelompok efektif untuk remaja karena pada usia remaja, mereka lebih menyenangi interaksi dengan teman sebaya dan sangat membutuhkan penerimaan dari teman dibandingkan oleh orang dewasa. Remaja akan lebih mudah terbuka dan saling berbagi perasaan dengan teman sebayanya. DAFTAR PUSTAKA Afiatin, T., & Martaniah, S.M. (1998). Peningkatan Kepercayaan Diri Remaja Melalui Konseling Kelompok. Jurnal Psikologika. 6, 66-79 Bailey, D. F., & Bradbury-Bailey, M. E. (2007). Promoting achievement for African American males through group work. The Journal for Specialists in Group Work, 32, 83–96 Bore, S.K., Hendricks, L & Womack, A. (2013). Psycho-Educational Groups in Schools: The Intervention of Choice. National Forum Journal Of Counseling And Addiction Volume 2, Number 1, 2013 1 Brannigan, M. (2007). A psychoeducational group model to build academic competence in new middle school students. The Journal for Specialists in Group Work, 32, 61–70. Brigman, G., & Campbell, C. (2003) Helping students improve academic achievement and school success behavior. Professional School Counseling, 7(2), 91–99. Brown, S.D. & Lent, R.W. (2005). Career Development and Counseling : Putting Theory and Research to Work. Hoboke: Jhon Wiley & Sony, Inc thed Corey, M. S., & Corey, G. (2002). Groups: Process and Practixe (6 ). Pasific Group. CA: Brooks/Cole Cox, C.L. (1999). Small Group Counseling for Children and Changing Families, The Effect of Family Change on Children and the Benefits of Group Counseling within the Elementary School: a Review Literature. Research paper: The Graduate College University of Wisconsin-Stout Crespi, T,D. (2009). Group Counseling in The School: Legal, Ethical and Treatment Issues in School Practice. Psychology in the Schools, Vol. 46(3), DOI: 10.1002/pits.20373 Crespi, T. D., & Fischetti, B. A. (1997). Counseling and psychotherapy in the schools: Rationale and considerations for professional practice. NASP Communique, 26, 18, 20 Crits-Christoph, P., Gibbons, M.B.C., Johnson, J.E., & Gallop, R. (2013). Proces Predictors of The Outcome of Group Drug Counseling. Journal of Consulting and Clinical Psychology. Vol. 81, No. 1, DOI: 10.1037/a0030101 Dansby, V. S. (1996). Group work within the school system: Survey implementation and leadership role issues. The Journal for Specialists in Group Work, 21 (4), 232- 241. Falco, L.D. (2011). Why Groups? The Importance of Group Counseling in School. School Counseling Research & Practice A Journal of the Arizona School Counselors’ Association, Incorporated Volume 3, 2011 Forester-Miller, H. (1993). Jack A. Duncan: Twenty years with ASGW. The Journal for Specialists in Group Work, 18 (4), 164-173. Gazda, G.M. (1984). Group Counseling: A Developmental Approach. Boston: Allyn & Bacon, Inc
163
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 Gibbons, T. 2009. Group coaching in organizations. Its time has come: A Process for Applierd Learning. Team Management System. Harry, P & Issack S,M. (2013). Exploring The Potential Of Online Group Counseling : A CaseStudy For Mauritian Students Presenting The Internet Addiction Disorder Syndrome. European Scientific Journal.vol.4 ISSN: 1857 – 7881 Hoag, M. J., & Burlingame, G. M. (1997). Evaluating the effectiveness of child and adolescent group treatment: A meta-analytic review. Journal of Clinical Child Psychotherapy, 26, 234-246. Hoagwood, K.E., Olin, S.S., Kerker,B.D., Kratochwill,T.R., Crowe, M., & Saka, N. (2007). Empirically based school interventions targeted at academic and mental health functioning. Journal of emotional and behavioral disorders,15 (2), 66–92. Javanmiri, Kimiaee, & Abadi, (2013). The Study of Solution Focused Group Conseling in Decreasing Depression Among Teenage Girl. International Journal of Psychological Studies. Vol 5 No 1Johnson, D.W and Johnson, F.P. (1991). Going Together: Group Theory and Group Skills. Fourth Edition. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, Inc Ohlsen, E. (1977). Group Counseling. New York: Holt. Rinchart and Winston. Paisley, P. M., & Milsom, A. (2007). Group work as an essential contribution to transforming school counseling. The Journal for Specialists in Group Work, 32, 9–17 Patel, S.G., Salahuddin, N, M., & O’Brein, K.M. (2008). Career decision-making self efficacy of Vietnamese adolescents: The role of acculturation, social support, socioeconomic status and racism. Journal of career development, 34, 218-240 Prawitasari, J.E. (1991). Pendekatan Kelompok dalam Konseling dan Psikoterapi. Malang: IKIP Malang. Reinke, W.M., Splett, J.D., Robeson, E.N., Offutt, C.A. (2009). Combining school and family interventions for the prevention and early intervention of disruptive behavior problems in children:a public health perspective. Psychology in theSchools, Vol. 46(1) DOI: 10.1002/pits.20352 Rose, S.D. (1989). Working With Adults in Groups: Integreting Cognitive-Behavioral and Small Group Strategies. San Fransisco: Josey_Bass Publishers. Shechtman, Z. (2014). Group Counseling in The School. Hellenic Journal of Psychology. Vol 11, pp 169-183 Shechtman, Z. & Ben-David, M. (1999). Individual and group psychotherapy of childhood aggression: A comparison of outcomes and processes. Group Dynamics: Theory, Research, and Practice, 3, 263-274 Shechtman, Z., & Ifargan, M. (2009). School-based integrated and segregated interventions to reduce aggression. Aggressive Behavior, 35, 342-356. Smokowski, P.R., Fraser, M.W., Day, S.H., Galinsky, M.J., & Bacallao, M.J. (2004). Schoolbased skills training to prevent aggressive behavior and peer rejection in childhood: Evaluating the making choices program. The journal of primary prevention,25 (2)October2004, 233-251.Tomori, B. (1995). Small group counselling at the elementary level. Guidance & Counseling, 10 (3), 24-31 Yalom, I.D. (1975). The Theory and Practice of Group Psychotherapy. Second Edition. New York: Basic Books. Inc, Publishers. Whiston, S. C., & Sexton, T. L. (1998). A review of school counseling outcomes research: Implications for practice. Journal of Counseling & Development, 76, 412-426.
164
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 APLIKASI LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING BERBASIS SISTEM PAKAR UNTUK MENGIDENTIFIKASI PERILAKU SEKSUAL SISWA MENGGUNAKAN VISUAL BASIC 6.0. (Studi Kasus: SMKN 3 Kota Bengkulu) Selvia Tristianti Hidajat Sriyanto Abstrak Perilaku seksual yang muncul pada usia remaja membutuhkan perhatian yang besar dari semua pihak. Peranan guru Bimbingan Konseling saat ini dituntut untuk dapat memecahkan berbagai perilaku seksual siswa. Perkembangan teknologi informasi memilliki peranan dalam mendukung guru Bimbingan Konseling menjadi guru yang lebih profesional. Sistem pakarmerupakan Artificial Intelligence (AI) dengan basis pengetahuan (knowledge base) yang diperoleh dari pengalaman atau pengetahuan pakar atau ahli dalam memecahkan persoalan pada bidang tertentu dan didukung oleh mesin inferensi yang melakukan penalaran atau pelacakan terhadap sesuatu atau fakta-fakta yang diberikan oleh pengguna dan dicocokkan dengan fakta-fakta dan aturan kaidah yang ada di basis pengetahuan.Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk membuat suatu sistem layanan Bimbingan Konseling berbasis kepakaran dalam mendeteksi perilaku seksual siswasehingga dapat membantu solusi awal bagi berbagai terhadap persoalan yang dihadapi siswa. Perangkat lunak yang digunakan dalam pembuatan aplikasi layanan bimbingan konseling berbasis sistem pakar dalam mengidentifikasi perilaku seksual siswa yaitu menggunakan pemrograman Visual Basic 6.0. dengan metode forward chaining. Hasil yang diharapkan dari aplikasi ini adalah adanya hasil identifikasi perilaku seksual siswa berdasarkan gejala-gejala yang ada, sehingga akan diperoleh pemecahan solusi terbaik terhadap perilaku seksual siswa. Kata Kunci : Aplikasi, Bimbingan Konseling, Seksual, Forward Chaining, Visual Basic 6.0. PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dibidang teknologi dan informasi komputer saat ini mengalami kemajauan yang sangat pesat. Sistem pakar merupakan salah satu cabang kecerdasan buatan yang mempelajari bagaimana “mengadopsi” cara seorang pakar berfikir dan bernalar dalam menyelesaikan suatu permasalahan, dan membuat suatu keputusan maupun mengambil kesimpulan dari sejumlah fakta yang ada. Dasar dari sistem pakar adalah bagaimana memindahkan pengetahuan yang dimiliki oleh seorang pakar ke dalam komputer, dan bagaimana membuat keputusan atau mengambil kesimpulan berdasarkan pengetahuan tersebut. Menurut data WHO (2010) terdapat 16 juta remaja perempuan usia 15-19 tahun yang melahirkan setiaptahunnya atau sekitar 11% dari seluruh kelahiran di dunia. Meningkatnya kejadian kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja mendorong 165
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 adanya upaya aborsi sehingga mengakibatkan kematian. Salah satu faktor terjadinya persoalan tersebut adalah adanya perilaku seksual remaja yang cenderung melewati batas dari kewajaran yang di lakukan remaja yang mempunyai dampak besar bagi remaja dan pasangannya. Dampak lain dari perilaku seksual remaja adalah kehamilan yang tidak diinginkan.Di provinsi Bengkulu remaja mencapai 12,11% dari total jumlah penduduk, 6,20% pada umur 15-19 tahun dan 5,91% umur 20-24 tahun. Hasil survey Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional oleh BKKBN terdapat sebesar 5,1% remaja melakukan hubungan seks pra nikah dengan pacar dan 5,7% remaja melakukan hubungan seks pra nikah bukan dengan pacar. Sebesar 8% ditemukan remaja perempuan mengaku setuju dengan perilaku seks pra nikah dan 10 % remaja laki-laki juga setuju dengan adanya hubungan seks pra nikah (BKKBN, 2013). SMKN 3 Kota Bengkulu saat ini memiliki jumlah peserta didik 1232 orang. Sumber daya siswa yang ada saat ini merupakan aset sekolah dalam menciptakan sumber daya yang berkualitas. Namun demikian perkembangan usia pada tingkat Sekolah Menengah Kejuruan membuat tantangan tersendiri bagi guru BK dalam menyelesaikan berbagai persoalan pada peserta didik. Salah satu tugas perkembangan remaja adalah mengenal lawan jenis. Siswa SMKN 3 Kota Bengkulu yang berada di rentang usia remaja yaitu 15-18 tahun membutuhkan penyesuaian diri yang baik dalam memenuhi tugas perkembangannya. Hal tersebut dipengaruhi oleh fungsi hormon dan pemenuhan tugas perkembangan. Perilaku pacaran siswa SMKN 3 Kota Bengkulu merupakan masalah kesehatan reproduksi remaja yang cukup memprihatinkan. Dampak dari perilaku pacaran yang tidak diinginkan adalah kehamilan di luar nikah. Hampir setiap tahun ada siswa yang mengalami permasalahan seksualitas. Bahkan ada yang terpaksa tidak bisa melanjutkan sekolah akibat hamil dan mengundurkan diri. Hasil survey, wawancara dan kuesioner tentang pengetahuan pencegahan perilaku seks bebas didapatkan hasil bahwa siswa SMKN 3 Kota Bengkulu siswanya masih belum memahami sikap mendukung dan tidak mendukung terhadap pencegahan perilaku seks bebas.Permasalahan tersebut membutuhkan penyelesaian segera oleh guru BK. Kendala dalam menyelesaikan suatu permasalahan terkadang membutuhkan waktu yang cukup lama. Tidak semua siswa mau terbuka menceritakan keadaan dan permasalahan yang dihadapinya sehubungan dengan permasalahan seksualitas.Dibutuhkan strategi, cara dalam membantu siswa mengatasi permasalahan seksualitas yang tepat dan menghasilkan solusi pemecahan permasalahan yang baik bagi peserta didik. Guru BK diharapkan mampu mengidentifikasi permasalahan dan mencari solusi awal yang tepat. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan
166
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 meningkatkan
keterampilan
konselor
atau
praktisi
BK
dalam
menguasai,
memanfaatkan dan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sebagai wujud profesionalitas kerja konselor dalam pelaksanaan program layanan. Melihat permasalahan tersebut diatas, diperlukannya suatu perbaikan sistem berbasis komputer, maka penulis tertarik untuk mengangkatjudul penelitian yaitu “Aplikasi
layanan
bimbingan
dan
konseling
berbasis
sistem
pakar
untuk
mengidentifikasi perilaku seksual siswa menggunakan Visual Basic 6.0. (Studi Kasus: SMKN 3 Kota Bengkulu)”. PEMBAHASAN Program aplikasi atau disebut dengan aplikasi merupakan program yang berjalan pada system operasi dan dibuat untuk membantu pengguna mengerjakan sesuatu untuk meningkatkan produktivitasnya (Puspitosari, 2010:5). Pengertian
sistem
pakar
menurut
Siswanto
(2010:1)adalah
program
ArtificialIntelligence (AI) dengan basis pengetahuan (knowledge base) yang diperoleh dari pengalaman atau pengetahuan pakar atau ahli dalam memecahkan persoalan pada bidang tertentu dan didukung oleh mesin inferensi/inferensi engine
yang
melakukan penalaran atau pelacakan terhadap sesuatu atau fakta-fakta yang diberikan oleh user atau pemakain, dicocokkan atau maching dengan fakta-fakta dan aturan kaidah yang ada di basis pengetahuan setelah melakukan pencarian, sehingga dicapai kesimpulan. Bahasa Pemrograman Visual Basic 6.0menurut Hengky (2008:1), Visual Basic 6.0 merupakan salah satu bahasa pemrograman visual. Dengan Visual Basic 6.0. dapat dengan mudah untuk membuat suatu program aplikasi. Kemudahan diberikan dalam pembuatan aplikasi, tetapi program aplikasi yang dihasilkan juga baik. Hal ini disebabkan dalam pengembangan program aplikasi Visual Basic 6.0. didukung banyak fasilitas. Model bimbingan dan konseling perkembangan pertama kali dikembangkan di Amerika oleh American School Counselor Association (ASCA) pada tahun 1997, dan mengalami revisi pada tahun 2005. Model ini menjadi pedoman bagi pelaksanaan bimbingan dan konseling di Indonesia mulai dari TK hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. ASCA (American School Counselor Association) mengartikan bimbingan perkembangan sebagai berikut: Komponen dalam keseluruhan layanan yang meliputi berbagai intervensi yang terencana dalam bidang pendidikan dan program layanan kemanusiaan lainnya 167
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 yang menyangkut semua lingkup
kehidupan manusia untuk menstimulasi dan
memfasilitasi perkembangan individu dalam semua area perkembangannya (personal,
sosial,
emosi,
karir,
moral-etika,
kognitif,
dan
estetika)
dan
memantapkan kesatupaduan area perkembangan ke dalam gaya hidupnya (Myrick,2003:83 dalam Sugandhi,2010:22). Paradigma kerja konselor yang menunggu konseli atau siswa yang bermasalah datang harus diubah menjadi konselor yang aktif membantu mengenbangkan tugastugas perkembangan siswa. Bimbingan dan konseling perkembangan adalah pemberian bantuan kepada siswa yang dirancang dengan memfokuskan pada kebutuhan,
kekuatan,
minat
dan
isu-isu
yang
berkaitan
dengan
tahapan
perkembangan siswa dan merupakan bagian penting dan ientegral dari keseluruhan program pendidikan. Bimbingan perkembanangan mengutamakan pertumbuhan aspek positif dari setiap individu. Model ini melibatkan guru kelas, dan kepala sekolah, serta melibatkan orang tua dalam kerja sama yang merupakan suatu tim bimbingan (Supriatna, 2011:30). Perilaku seksual remaja yang tidak sehat menimbulkan dampak dalam kehidupan sosial maupun pribadinya. Anita E. Woolfolk (1995) mengemukakan beberapa hasil penelitian yang dilakukan tahun 1991 sebagai berikut (Yusuf,2001:210): a. Institut Guttmacher (1991) menemukan bahwa 80% remaja pria dan 75% remaja wanita masing-masing berusia 19 tahun telah mengalami seksual di luar nikah. b. Newsweek (1991) melaporkan bahwa remaja usia 15 tahun (pria wanita) telah melakukan hubungan seksual di luar nikah. dampak dari perilaku seksual tersebut, setiap tahunnya lebih dari satu juta remaja putri hamil, dan 30 ribu diantaranya berusia di bawah 15 tahun. Dampak dari perilaku seksual tersebut, setiap tahunnya lebih dari satu juta remaja putri hamil, dan 30 ribu diantaranya berusia di bawah 15 tahun. Analisa Sistem Sistem baru yang ditawarkan dan yang akan diimplementasikan pada penelitian ini adalah pembuatan Aplikasi Layanan Bimbingan Dan Konseling Berbasis Sistem Pakar untuk Mengidentifikasi Perilaku Seksual dengan menggunakan metode forward chaining (pelacakan maju). Tahapan penelitian pada pembuatan sistem pakar memiliki langkah-langkah yang dilaksanakan secara berurutan melalui berbagai tahapan yaitu: a. Identifikasi Gejala Seksual, merupakan kegiatan identifikasi terhadap gejala-gejala seksual pada tingkatan remaja yang ada pada peserta didik.
168
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 b. Identifikasi Permasalahan, merupakan kegiatan identifikasi terhadap permasalahan seksual berdasarkan gejala-gejala yang telah terindentifikasi pada peserta didik. c. Idendifikasi Solusi, merupakan kegiatan identifikasi terhadap solusi berdasarkan gejala-gejala dan permasalahan yang telah teridentifkasi pada peserta didik. d. Identifikasi Rule (Aturan), merupakanaturan dalam menentukan solusi berdasakan gejala-gejala dan permasalahan pada peserta didik. Halaman Menu Utama Aplikasi Menu utama merupakan suatu halaman yang akan ditampilkan secara keseluruhan menu-menu yang ada didalam suatu sistem yang telah dibuat. Tampilan menu utama dari Aplikasi Layanan Bimbingan dan Konseling Berbasis Sistem Pakar seperti terlihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 1.2. Halaman Menu Utama Tampilan Sub Menu Hasil Identifikasi Siswa Tampilan halaman sub menu hasil identifikasi siswa merupakan menu yang digunakan untuk menampilkan hasil proses konsultasi siswa berdasarkan gejala dan permasalahan perilaku seksual yang ada pada siswa. Tampilan menu hasil identifikasi siswa seperti terlihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 1.3. Tampilan Hasil Identifikasi Laporan Hasil Bimbingan Permasalahan Perilaku Seksual Siswa
169
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Gambar 1.4. Kartu Hasil Bimbingan KESIMPULAN. 1. Aplikasi
layanan
mengidentifikasi
bimbingan
konseling
berbasis
sistem
pakar
dalam
permasalahan seksual siswa yang dibuat dapat digunakan
sebagai salah satu sistem konsultasi yang nyaman dan mudah bagi siswa. 2. Membantu siswa untuk mengetahui permasalahan awal prilaku seksual peserta didik berdasarkan gejala-gejala yang dialami akan dapat diidentifikasi tingkat pemahaman seksual siswa sehingga akan diperloleh solusi terbaik terhadap permasalahan yang dihadapi siswa . 3. Memberi bantuan konseling secara umum kepada guru Bimbingan Konseling yang ada pada SMK Negeri 3 Kota Bengkulu.
DAFTAR PUSTAKA Alwilsol. (2009). Psikologi Kepribadian, Malang: UMM Press. Candra, Nur Fitria, (2012), Gambaran Perilaku Seksual Remaja Di Sekolah Manengaj Kejuruan (SMK) Swasta X2 Di Kota Depok Tahun 2012, Skripsi pada FKM, Universitas Indonesia, tidak diterbitkan Corey, Gerald, (2013), Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Bandung, PT Refika Aditama. Hidajat, Selvia Tristianty,(2012), Efektifitas, Tesispada SPS UPI: tidak diterbitkan. Hengky Alexander Mangkulo, 2011, Cara Mudah Menguasai Visual Basic 6.0. Jalur Cepat Untuk Menjadi Programmer Visual Basic, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta,154 halaman. Komalasari, Gantina, Wahyuni dan Karsih, (2011), Teori dan Teknik Konseling, Jakarta, PT Indeks. Kristanto Andri, 2007, Perancangan Sistem Informasi dan Aplikasinya, Gava Media,Yogyakarta, 171 halaman. Kusrini, 2008, Aplikasi Sistem Pakar, Andi Offset, Yogyakarta
170
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 PuspitosariHeni A., 2010, Belajar Merakit PC (Personal Computer) Sendiri, Skripta Media Creative, Yogyakarta, 130 halaman. Santrock, J.W (2003), Adolescnce : Perkembangan Remaja, Jakarta, Penerbit: Erlangga Sarwono, S.W (2002), Psikologi Remaja, Jakarta: Rajawali Press. ___________ (2002), Psikologi Remaja Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Press SetyaningrumSintha, 2013, Konsep dan Perancangan Basis Data, Skripta Media Creative, Yogyakarta, 88 halaman. Siswanto, 2010, Kecerdasan Buatan, PT. Gramedia, Jakarta Supriatna, Mamat, (2010), Bimbingan dan Konseling Komprehensif, Variana, (2016), Hubungan dan Sikap Remaja Terhadap Pencegahan Perilaku Seks Bebas Pada Siswa Kelas X SMKN 3 Kota Bengkulu, Skripsi pada Program Studi Kesehatan Masyarakat, Stikes Dehasen: tidak diterbitkan Yusuf, Syamsu LN,dan Nurihsan, Juntika (2008), Teori Kepribadian, Bandung: Rosdakarya.
171
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
PENERAPAN LESSON STUDY UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN Rita Sinthia Bimbingan dan Konseling FKIP UNIB Email.
[email protected]
Abstrak Artikel ini bertujuan untuk mengakaji tentang penerapan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran Lesson study merupakan upaya meningkatkan proses dan hasil pembelajaran yang dilaksanakan secara kolaboratif dan berkelanjutan, berdasarkan prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar. Lesson study merupakan cara efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas. Lesson study terdiri dari tiga tahapan, yaitu (merencanakan) ,do (pengamantan) dan see (refleksi). Manfaat yang didapat dari lesson study antara lain, guru dapat mendokumentasikan kinerjanya, guru memperoleh umpan balik dari observer, dapat mempublikasikan kegiatan lesson study. Kata kunci: Penerapan, lesson study, kualitas pembelajaran PENDAHULUAN Era globalisasi saat ini membutuhkan sumber daya manusia yang mampu bersaing. Pendidikan merupakan aspek yang penting terhadap kualitas manusia. Kualitas sumberdaya manusia yang baik
di pengaruhi oleh kualitas pembelajaran, karena
proses kualitas
pembelajaran merupakan bagian yang paling pokok dalam kegiatan pendidikan di sekolah (Uno, 2007: 154). Kualitas pembelajaran merupakan mutu, nilai dalam rangka perubahan sikap, pola pikir peserta didik. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu mengacu kepada proses pembelajaran. Proses pendidikan yang bermutu meliputi bahan ajar, metodelogi, sarana, administrasi dan sumber daya lainnya. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas pembelajaran peserta didik melalui lesson study. Selama ini pendidikan lebih menekankan pada bagaimana guru mengajar (teacher centered) daripada bagaimana siswa belajar (student centered).Pembelajaran dikelas umumnya dalam bentuk komunikasi satu arah, guru lebih banyak berceramah dan siswa mendengarkan. Pembelajaran yang disajikan guru kurang menantang siswa untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan berpikirnya. Perlu adanya perbaikan mutu pendidikan diawali dengan perbaikan proses pembelajaran Artikel ini membahas tentang lesson study dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Tahapan-tahapan dalam lesson study. Dengan harapan dapat menambah pengetahuan guru dan calon guru mengenai lesson study.
172
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
PEMBAHASAN Lesson study merupakan proses pengkajian pembelajaran. Lesson study telah berkembang sejak abad 18 di Jepang. Berasal dari kata Jugyokenkyu yang merupakan gabungan dua kata yaitu “jugyo” yang berarti lesson atau pembelajaran, dan kenkyu yang berarti study atau kajian.
Lesson study mulai berkembnag sejak tahun 1995 melalui
kegiatan The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS). Di Indonesia sendiri lesson study mulai berkembang melalui program Indonesia Mathematics and Science Teacher Education Project (IMSTEP). Lesson study merupakan salah satu pembinaan untuk meningkatkan proses pembelajaran
yang
dilakukan
oleh
sekelompok
guru
secara
kolaboratif
berkesinambungan dalam merencanakan, melaksanakan dan melaporkan
dan
pembelajaran
Menurut Slamet Mulyana (2007) lesson study sebagai salah satu model pembinan profesi pendidik
melalui
pengkajian
pembelajaran
secara
kolaboratif
dan
berkelanjutan
berlandaskan pada prinsip prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar. Menurut Sparks (1999) lesson study merupakan proses kolaboratif yang dilakukan oleh sekelompok guru dalam mengidentifikasi masalah-masalah pembelajaran, merencanakan perbaikan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran dengan salah satu guru membelajarkannya sementara guru lain sebagai pengamat,
mengevaluasi dan
merevisi pembelajaran, melaksanakan pembelajaran yang telah direvisis berdasarkan hasil evaluasi, mengevaluasi lagi dan berbagi (menyebarluaskan) hasilnya kepada guru-guru lain. Sementara Wolker (2005) mendefinisikan Lesson study sebagai salah satu metode pengembangan profesionalitas guru. Guru yang profesional dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, yang berdampak terhadap peningkatan prestasi akademik peserta didik. Dengan kata lain lesson study merupakan upaya terencana dan berkelanjutan untuk melakukan kajian terhadap proses belajar mengajar yang bermanfaat untuk kepentingan perbaikan dan peningkatan efektifitas pembelajaran. Lesson study di artikan sebagai program in-service training guru yang dilakukan secara kolaboratif dan berkelanjutan. Dilakukan di dalam kelas dengan tujuan untuk memahami siswa lebih baik dan di lakukan secara bersama-sama dengan guru lain. Dalam lesson study para guru bekerjasama dalam hal (1) menetapkan tujuan pembelajaran, (2) secara kolaboratif merancang suatu “research lesson”, (3) melaksanakan pembelajaran dengan menugaskan seorang guru untuk mengajar dan anggota tim lainnya melakukan observasi untuk mengumpulkan data selama proses pembelajaran berlangsung, (4) mendiskusikan kejadian-kejadian
belajar
yang
telah
diobservasi
selama
proses
pembelajaran,
menggunakan informasi itu untuk melakukan pebaikan pembelajaran (Lewis,2002) 173
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Sementara Bill Cerbin & Bryan Kopp mengemukakan bahwa lesson study memiliki 4 (empat) tujuan utama, yaitu untuk: memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana siswa belajar dan guru mengajar, memperoleh hasil-hasil tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh guru-guru lainnya di luar peserta lesson study, meningkatkan pembelajaran secara sistematis melalui inkuiri kolaboratif, membangun sebuah pengetahuan pedagogis, dimana seorang guru dapat menimba pengetahuan dari guru lainnya. Melalui lesson study guru akan terbantu dalam hal (1) mengembangkan pemikiran kritis tentang belajar dan mengajar di kelas, (2) merancang program pembelajaran yang berkualitas, (3) mengobservasi bagaimana siswa berpikir dan belajar serta melakukan tindakan yang cocok, (4) mendiskusikan dan merefleksikan aktivitas pembelajaran dan (5) mengidentifikasi pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam pembelajaran. Catherine Lewis (2004) mengemukakan ciri-ciri lesson study berdasarkan hasil observasi terhadap beberapa sekolah di Jepang: a. Tujuan bersama untuk jangka panjang, guru membuat kesepakatan dalam kurun waktu jangka panjang dengan cakupan tujuan yang lebih luas, misalnya tentang pengembangan kemampuanakademik siswa. b. Materi pelajaran yang penting. Lesson study memfokuskan pada materi yang dianggap pentingdan menjadi titik lemah siswa serta sangat sulit di pelajari siswa. c. Studi tentang siswa secara cermat, apakah siswa menunjukan minat dan motivasi belajar, bagaimana siswa mengikuti proses pembelajaran, bukan tertuju pada cara guru mengajar d. Observasi pembelajaran secara langsung, dengan melakukan pengamatan secara langsung, data yang diperoleh tentang prose pembelajaran akan lebih akurat. Menurut Fujita (2005) ada tiga cara yang dapat diterapkan untuk melaksanakan lesson study, yaitu: (1) lesson study berbasis sekolah (2) lesson study berbasis bidang study (3) lesson study dalam bentuk workshop, seminar dan konferensi Lesson study memiliki tiga tahapan, yaitu tahap peerncanaan (plan), tahap pelaksanaan (do) dan tahap refleksi (see) (Kadirasman,2009). Tahap perencanaan (Plan), melakukan identifikasi masalah di kelas yang akan dipergunakan untuk kegiatan lesson study dan perencanaan alternatif pemecahannya. Pada tahap
ini
guru
berdiskusi
bersama
guru
lainnya,
menyiapakan
rencana
pembelajaran,metode, media lembar diskusi atau tugas yang akan di kerjakan siswa. Selanjutnya akan diperoleh pendapat dari guru lain sebagai kolaborator. Perlu diperhatikan heterogenitas anggota kelompok dalam pembentukan kelompok lesson study. Keanggotaan yang beragam dari segi usia, latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajar akan lebih
memperkaya
kelompok
dan
memungkinkan
174
anggota
kelompok
memperoleh
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
keuntungan karena adanya proses saling belajar antar anggota kelompok. Pembentukan kelompok di pimpin oleh kepala sekolah, dinas pendidikan atau pakar perguruan tinggi. Tahap pelaksanaan (Do), tahap ini merupakan implementasi dari tahap sebelumnya, guru lain melakukan pengamatan terhadap aktivitas pembelajaran siswa di kelas. Guru lain mencatat perilaku apa saja yang muncul, dan merekam dengan menggunakan handycam. Sebelum pembelajaran sebaiknya dilakukan briefing kepada para pengamat untuk membahas kegiatan pembelajaran. Selama pembelajaran berlangsung pengamat hanya bertugas mengamati aktivitas pembelajaran siswa baik yang positip dan negatip dalam proses pembelajaran Tahap refleksi (See) pada tahap ini guru model menyampaikan kesan-kesannya terhadap proses pembelajaran yang telah berlangsung. Guru lain menyampaikan hasil pengamatannya. Terutama yang menyangkut kegiatan peserta didik selama berlangsung pembelajaran. Membuat rencana perbaikan untuk pembelajaran berikutnya. Melalaui tahapan lesson study maka dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Kualitas pembelajaran
dari sudut kurikulum dan bahan ajar dapat dilihat dari seberapa
relevan kurikulum dan bahan ajar mampu menyediakan aneka stimulus yang beragam. Dari iklim belajar dapat dilihat seberapa besar suasana belajar mendukung terciptanya kegiatan pembelajaran yang menarik, menantang , menyenangkan dan bermakna. Selanjutnya Wang-Inverson dan Yoshida (2006) mengemukakan manfaat lesson study sebagai berikut: a. Mengurangi keterasingan guru dari komunitasnya b. Membantu guru mengobsevasi dan mengkhitisi pembelajarannya c. Memperdalam pemahaman guru tentang materi pelajaran, cakupan dan urutan materi dalalm kurikulum d. Membantu guru memfokuskan bangtuaannya pada seluruh aktivitas belajar siswa e. Menciptakan terjadinya pertukaran pengetahuan tentang pemahaman berpikikr dan belajar siswa, f. Meningkatkan kolaborasi pada sesama guru Lesson study dipilih dan diimplementasikan karena memiliki beberapa alasan: (1) merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan kualitas belajar dan mengajar di kelas. Dalam lesson study siswa saling belajar, saling mendengarkan dan saling berbagi pngetahuan.(2) jika didesign dengan baik akan menghasilkan guru yang profesional dan inovatif. (3) lesson study mendorong guru untuk belajar sepanjang hayat (4) guru dapat mendokumentasikan
kemajuan
kerjanya,
(5)
mendesiminasikan hasil akhir dari lesson study. 175
guru
dapat
mempublikasikan
dan
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Melalui lesson study dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, menurut Slavin terdapat perubahan perilaku yang positif pada tiap individu yang di didik. Perubahan disebabkan oleh pengalaman yang didapat masing masing individu. Kualitas pembelajaran secara operasional dapat diartikan sebagai intensitas keterkaitan sistematik dan sinergis guru beserta peserta didik, kurikulum, dan bahan ajar, media, fasilias dan sistem pembelajaran. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pembelajaran: a. b. c. d. e. f.
Pengetahuan Kemampuan membuat perencanaan pembelajaran Kemampuan menggunakan media Kemampuan menggunakan metode Kemampuan mengelola kelas Kemampuan mengevaluasi
Indikator kualitas pembelajaran dapat dilihat dari: a. Prestasi siswa meningkat, hal ini dapat dijadikan tolak ukur terhadap kualitas pembelajaran b. Siswa mampu bekerjasama, dengan adanya kerjasama dapat memebangun kekompakan peserta didik akan timbul suasana pembelajaran yang kondusif dan menyenangkan, adanya saling pengertian, saling percaya, saling menghargai c. Adanya pembelajaran yang menyenangkan, sehingga membantu peserta didk dalam menyerap dan memahami materi pelajaran. d. Pembelajaran yang efektif mampu mengembangkan potensi peserta didik. KESIMPULAN Lesson study merupakan salah satu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan. Lesson study dapat di gunakan guru untuk berlatih dalam upaya meningkatkan profesionalitas dan kompetensi guru. Dengan meningkatnya kualitas pembelajaran akan memberkan dampak terhadap peningkatan hasil belajar peserta didik. DAFTAR PUSTAKA Catherine (2004) Does Lesson study have a Future in the United states .Online:http://www.uwlax.ed/sotl/lsp/index 2.htm Cerbin & Kopp. A Brief Introduction to College Lesson Study. Lesson Study Project, online: http//www.uwlax.edu/sotl/Isp/indez2.htm Hamzah, Uno (2007). Model Pembelajaran .Bumi Aksara Hidenori, Fujita (2005) Distributed Leadership, Collaborative Culture and Profesional Learning Comunity: A Japanase Case. Makalah Interntional Christian University of japan, 16 Mei 2005 ____________, globallave bookx.blogspot.co.id pengertian kualitas pembelajaran dan indikator kualitas pembelajaran. Kadirasman, Nur (2009). Teknik Dokumentasi dan Analisis Rekaman Video untuk Refleksi dalam Lesson Study. Makalah Desiminasi Lesson Stydy UNY 176
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Lewis, Catherine C (2002). Lesson Study: A Handbook of Teacher-Led Instructional Change. Philadelphia, PA: Research for Better Scholl.Inc Mulyana, S. (2007) Lesson Study (Makalah). Kuningan: LPMP. Jawa Barat. Rahayu, Sri (2005). Lesson Study Sebagai Model Pengembangan Profesi Guru dalam Upaya Meningkatkan Pembelajaran MIPA. Makalah disampaikan dalam seminar dan workshop Leson Study di FMIPA UM, 21 Juni 2005 Spraks, Dennis. (1999). Overview of Lesson Study (Online). http://www.nwrel.org/msec/lessonsstudy/overview.html. http://duniapelajar.com. Diakses 1 Desember 2016 http://skrispsiku.blogsppot.com, diakses 1 Desember 2016
177
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
GAWAT DARURAT KEBUTUHAN PROFESI KONSELOR DI SEKOLAH DASAR
Dian Fithriwati Darusmin Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Email:
[email protected] Abstrak Dunia anak – anak kini memang tak lagi sama dan tidak pula dapat dibandingkan dengan dunia anak – anak sekitar 10 hingga 20 tahun yang lalu. Anak – anak usia sekolah dasar, saat ini tengah dihadapkan pada banyak stimulasi yang dapat memberi dampak positif, namun juga memiliki dampak negatif yang besar. Stimulasi gizi, melalui sejumlah makanan cepat saji dan stimulasi dari beragam media seperti televisi dan internet. Persoalan – persoalan yang dihadapi pihak sekolah juga kian beragam, tidak lagi melulu prestasi belajar yang melorot, namun faktor psikologis seperti kemasakan seksual yang kian cepat sehingga ketertarikan pada lawan jenis juga lebih cepat muncul, bullying, pelecehan seksual dan lainnya. Ketiadaan layanan khusus bimbingan dan konseling di sekolah dasar, menjadikan persoalan seperti diatas tidak cepat tertangani. Guru kelas yang diserahi tanggung jawab ini, tidak sepenuhnya mampu mengatasinya karena beban kerja yang kian besar. Artikel ini adalah studi literatur, yang akan mengkaji dan memberi gambaran tentang pentingnya keberadaan konselor di sekolah dasar, yang ditinjau dari kajian psikologi perkembangan anak usia tengah. Kata Kunci: Anak Usia Tengah (middle child), Program Bimbingan & Konseling, Sekolah Dasar PENDAHULUAN Pendidikan dasar sebagai dasar dari semua pendidikan formal di Indonesia, saat ini memang tengah menghadapi banyak tantangan. Kebijakan dan kurikulum yang selalu berubah – ubah, standar pencapaian yang harus dicapai mati – matian sebagai satu-satunya indikator keberhasilan, pendanaan yang tidak mencukupi untuk terselenggaranya program pembelajaran yang unggul, kerjasama yang kurang harmonis antara pihak sekolah dan orang tua dalam mencapai tujuan pembelajaran, adalah sedikit dari banyak tantangan yang dihadapi pendidikan dasar di Indonesia. Para guru dihadapkan pada banyak variasi tugas dan tanggung jawab harus dituntaskan pada saat bersamaan. Iming – iming peningkatan pendapatan melalui sertifikasi guru memang sukses membuat para guru ‘bertahan’ di sekolah untuk menuntaskan sejumlah tugas. Namun, implikasi seriusnya adalah peningkatan beban tugas yang tidak siap diantisipasi oleh sistem sekolah. Guru kemudian dituntut menjadi manusia super, kompeten mengajarkan ilmu, kreatif merancang metode pembelajaran, aktif menimba ilmu, akurat dalam evaluasi, bisa menjadi teladan dan inspirasi hingga menjadi ‘ibu peri’ yang bisa menyelesaikan beragam persoalan siswa baik di kelas maupun di luar kelas. Persoalan ini jamak terjadi di tingkat pendidikan dasar Indonesia. 178
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Persoalan – persoalan akademis, kebanyakan memang mampu diselesaikan oleh guru melalui beragam metode pembelajaran yang tepat. Namun, persoalan akademis tidak selalu disebabkan oleh faktor tunggal pasal kecerdasan atau ketuntasan materi. Kadangkala, ia membawa banyak persoalan di dalamnya, seperti persoalan psikologis siswa, masalah keluarga, dan persoalan lain di luar konteks akademis. Situasi yang rumit ini kadangkala menjadi tantangan bagi guru sekolah dasar. Para guru harus berbagi perhatian dan fokus pada dua hal yang sama berat, namun tidak dapat diselesaikan bersamaan. Ketuntasan materi yang tidak tercapai, dengan beberapa kali pengulangan dapat saja diselesaikan dalam waktu tertentu, namun tidak demikian dengan persoalan non akademis. Penyelesaian persoalan jenis ini akan memakan banyak waktu, menguras energi mental para guru. Maka tidak heran, jika kemudian para guru pada akhirnya memilih mengabaikan saja, selama prestasi akademik siswa masih bisa diperbaiki. Persoalan – persoalan non akademik, di sekolah dasar ibarat fenomena gunung es di lautan. Permukaan hanya menampakkan sebagian kecil dari persoalan saja, sementara di bagian bawah persoalan itu sangat banyak dan kompleks. Kenyataan yang tidak bisa dihindari adalah, permasalahan non akademik dapat saja menjadi penyebab penurunan prestasi belajar siswa di sekolah. Riset yang dilakukan Khan dan Mustaq (2012) menunjukkan prestasi akademik siswa dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti isu gender, tingkat pendidikan guru, gaya mengajar, lingkungan sekolah, faktor sosial ekonomi dan latar belakang pendidikn dan ekonomi keluarga. Temuan ini bervariasi di berbagai jenjang pendidikan dan lokasi sekolah berada. PEMBAHASAN Sebuah kasus menarik terjadi di salah satu sekolah negeri plus di Kabupaten Sleman Yogyakarta, dimana penulis menjadi psikolog informal yang membantu menangani beberapa kasus. Terjadi peningkatan kasus kekerasan pada sesama teman, seperti perkelahian yang mengakibatkan adanya luka – luka serius, saling ejek, pencurian, hingga perbuatan tidak nyaman terhadap lawan jenis. Kasus terbaru, pada bulan november 2016 adalah dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oknum guru pada siswa kelas 5 SD, yang berakibat tidak hanya trauma pada sisi korban, tapi juga rasa tidak nyaman pada semua civitas sekolah dasar tersebut. Upaya hukum memang dilakukan, demikian juga pendampingan dari lembaga terkait seperti lembaga – lembaga perlindungan anak dan beberaga lembaga psikologi terapan khusus penanganan kasus seperti di atas. Hasil wawancara penulis dengan kepala sekolah menunjukkan, adanya upaya sekolah untuk menghadirkan psikolog secara rutin di sekolah dua kali dalam satu minggu. Namun, dari pihak orang tua tidak menyetujui karena adanya biaya tambahan setiap akan melakukan konsultasi, sebesar Rp.20.000,. 179
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Persoalan lain datang saat salah satu orang tua siswa di salah satu SD negeri Kota Yogyakarta. Ia datang pada penulis dan meminta penulis memberikan parenting class di sekolah tersebut. Ia bercerita jika anaknya yang saat ini ada di kelas 4 SD mengeluhkan perilaku teman – temannya yang suka melihat gambar porno di smartphone, pacaran dan bicara kata – kata tak senonoh. Sejumlah orang tua sangat prihatin pada persoalan ini, dan berupaya berdiskusi dengan pihak sekolah untuk bisa memberikan solusi. Namun, pada akhirnya tidak ada solusi berarti yang diberikan oleh pihak sekolah dengan alasan tidak memiliki SDM yang kompeten untuk menanganinya, dan tidak ada biaya untuk mencari SDM di luar sekolah seperti psikolog. Ketidakberdayaan sekolah untuk bisa menangani secara tepat sejumlah persoalan diatas memang dapat dimaklumi, mengingat selama ini belum adanya peraturan yang mengatur adanya guru khusus bimbingan dan konseling di sekolah dasar. Tanggung jawab tersebut masih dibebankan pada guru kelas, dengan asumsi merekalah yang paling banyak berinteraksi dengan siswanya. Namun pada kenyataannya ini bukan perkara mudah bagi guru kelas untuk berbagi perhatian. Kesibukan pembelajaran, administratif dan sejumlah target menjadi beban bagi guru kelas, khususnya para guru di sekolah – sekolah dengan predikat baik. Sejumlah faktor memang menjadikan semua pihak harus mulai waspada dengan sejumlah fenomena persoalan non akademik di sekolah dasar. Perhatian harus dimulai dari proses asesmen persoalan yang tepat hingga solusi mumpuni dari banyak pihak. Faktor Perkembangan Fisik dan Psikologis Usia antara 6 hingga 14 tahun, adalah usia anak tengah atau (middle childhood) atau remaja awal. Usia ini adalah masa penting dalam proses perkembangan manusia, terutama pasa pencarian identitas diri. Selama masa ini anak – anak tengah berupaya menunjukkan pada dunia bahwa mereka mampu, mandiri, sudah memiliki kesadaran personal, dan bisa melibatkan diri pada beragam aktivitas bersama orang dewasa. Faktor biologis dan kognitif juga berkembang pesat, berubah dari tubuh dan pikiran anak – anak. Hubungan sosial dan perubahan peran, juga berubah secara dramatis saat mereka mulai memasuki usia sekolah, mengikuti banyak kegiatan, melibatkan diri dalam pertemanan dengan teman sebaya maupun orang dewasa di lingkungannya. Di masa ini juga, anak mulai mengembangkan harga dirinya dan perasaan individual, mulai membandingkan dirinya dengan teman sebaya (Eccles, 1999) Faktor fisik juga tidak dapat diabaikan, saat ini kemasakan seksual anak kian cepat. Hal ini tampak dari onset menarche pertama kali di usia 9 atau 10 tahun. Rata – rata usia pertama kali anak perempuan mengalami menstruasi telah maju lebih cepat. Sampel pada 180
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
anak perempuan di Amerika Serikat yang usia menarche pertama yaitu 9 atau 10 tahun, dan paling lambat usia 17 tahun. Usia menarche ini bisa saja terlambat pada anak – anak yang tidak mendapat asupan gizi baik selama masa pertumbuhan, atau dengan berat badan rendah. (Stang dan Story, 2005). Implikasinya adalah, anak – anak usia tengah ini mulai lebih cepat mengenal lawan jenis dan memiliki ketertarikan diantara mereka. Kini, tak lagi heran jika anak – anak usia sekolah dasar sudah mengenal istilah ‘pacaran’, ‘naksir’, ‘jadian’ atau ‘putus’. Mereka juga mulai tidak malu menunjukkan pada dunia melalui sosial media jika sudah bisa melakukan perbuatan layaknya orang dewasa dalam berhubungan dengan lawan jenis (premature sexual relationship). Sebenarnya, pemahaman mereka akan hubungan antar lawan jenis belum sepenuhnya utuh. Perilaku ini lebih banyak dibentuk oleh media massa dan internet yang bisa diakses kapan saja. Perkembangan anak – anak usia tengah , didorong oleh kebutuhan psikologis dasar untuk bisa melakukan banyak hal secara mandiri, kompeten, dan menjalin hubungan secara dekat. Mereka berupaya melakukan banyak hal agar dianggap lebih kompeten untuk beragama kemampuan yang baru dipelajari, ada kebutuhan untuk diakui oleh keluarga, teman sebaya dan lingkungan di sekitarnya (Eccles, 1999). Titik kritisnya adalah, jika lingkungan di sekitar anak usia tengah tidak siap dalam mengantisipasi percepatan kemasakan ini dan masih menganggap mereka sebagai anak – anak. Pada akhirnya perlakuan lingkungan seperti orang tua, dan pihak pendidik di sekolah menjadi tidak aware akan kebutuhan mereka, sehingga bisa dibayangkan kemana mereka akan mencari pengakuan dan sumber informasi. Pentingnya Keberadaan Profesi Bimbingan Konseling di Sekolah Dasar Orang tua tentunya adalah pihak pertama yang bertanggung jawab dalam proses tumbuh kembang anak. Namun, pihak pendidik di sekolah juga tidak dapat abai akan fenomena ini. Diperlukan kesiapan untuk menghadapi fenomena ini dengan bijaksana melalui sejumlah program yang mendukung kemasakan fisik , psikologis dan akal anak – anak usia tengah ini. Guru – guru harus benar – benar paham perkembangan psikologis anak, tidak hanya sekedar mengejar prestasi akademik. Salah satu poin penting dan darurat adalah dengan menghadirkan adanya guru ataupun profesi kompeten dalam memberikan bimbingan dan konseling (BK) di sekolah dasar. Diharapkan keberadaannya akan sangat membantu anak – anak usia tengah menghadapi perubahan dan kemasakan fisik, psikologis dan akal mereka yang terjadi lebih cepat. Sejumlah isu yang dapat ditangani oleh konselor BK di sekolah seperti perilaku tidak adaptif, kecemasan menghadapi ujian, hubungan pertemanan, kemampuan belajar, perencanaan karir, bunuh diri, keselamatan di sekolah, pelecehan seksual, kekerasan fisik, 181
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
tekanan gang antar teman, resolusi konflik, pilihan studi lanjut, kematian anggota keluarga, perceraian orang tua, kekerasan dalam rumah tangga, pencarian beasiswa, dan pemecahan atas masalah finansial siswa yang dapat mengakibatkan siswa putus sekolah (Neely dkk, 2004) Program BK terbaik adalah program yang mengacu pada kebutuhan siswa dan menjawab tantangan perkembangan siswa di sekolah, tidak hanya menjadi corong sekolah untuk memuluskan sejumlah program atau mencapai prestasi tertentu. Berikut ini disarikan dari tulisan Neely dan kawan – kawan (2004) tentang perbandingan program bimbingan dan konseling yang mengacu pada metode BK lama dan terbaru yang lebih fokus pada perkembangan siswa didik. Panduan Komprehensif Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah; Perbandingan Metode Lama dengan Metode Developmental (Neely dkk,2004) Program Lama
Program Developmental
Reaktif
Perencanaan yang berbasis prioritas
Hanya fokus pada situasi krisis
Pencegahan dan konseling krisis
Bimbingan dan konseling individual
Bimbingan dan konseling kelompok
Hanya berorientasi pada siswa yang bermasalah
Memberikan pelayanan untuk semua siswa
Fokus pada layanan Diseminasi informasi Klerikal dan tuga administrasi Program tidak terstruktur Hasil tidak terukur Hanya melibatkan konselor
Fokus pada program Terlibat dalam pengembangan kurikulum Berorientasi pada pencapaian tiap siswa Mendesain program Mengevaluasi dan melakukan improvisasi Melibatkan semua pihak terkait di sekolah
Neely dan kawan – kawan (2004), juga menyebutkan bahwa program bimbingan konseling terbaik sebaiknya mengacu pada kebutuhan siswa dan membantu para siswa untuk mencapai tujuannya bersamaan denga tujuan yang ingin dicapai pihak sekolah. Kebutuhan siswa tersebut meliputi : •
Pecapaian akademik
•
Mewujudkan siswa yang paham aturan sekolah, dan memiliki perilaku baik
•
Kemampuan sosial
•
Mendapatkan informasi pengembangan karir siswa ke depan
•
Mengembangkan kepercayaan diri siswa
•
Kemampuan membangun hubungan interpersonal 182
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Diharapkan keberadaan program bimbingan dan konseling di sekolah dasar akan memberikan pemecahan masalah atas semua persoalan di sekolah. Kompleksitas persoalan dapat ditangani dengan baik dan profesional. Para siswa tidak hanya mampu mencapai prestasi akademik, namun juga bertumbuh dan berkembang dengan optimal. KESIMPULAN Sekolah dasar, adalah lembaga pendidikan formal yang bertugas mendidik anak – anak usia tengah (middle child) yang tengah dalam masa pertumbuhan fisik dan perkembangan psikologis dan kognisi. Usia ini adalah usia penuh upaya pembuktian diri dan berupaya menunjukkan pada dunia kemandirian dan kompetensinya. Anak – anak usia tengah telah mampu melakukan analisis dan mencari sumber informasi yang dibutuhkan tanpa pemahaman utuh atas informasi tersebut. Maka tidak heran kebanyakan perilaku mereka adalah copy paste perilaku orang dewasa dalam tubuh anak – anak. Namun sayangnya, tidak demikian lingkungan memperlakukan mereka. Kebanyakan anak – anak usia tengah masih dianggap anak kecil yang lugu dan belum paham apapun. Lingkungan gagal mengantisipasi anak – anak usia tengah yang kian pintar dan selalu terpapar beragam informasi dari banyak sumber. Mereka melihat, mengingat, lalu melakukannya tanpa pertimbangan bijak. Hal inilah yang kemudian menjadi banyak bermunculan persoalan di sekolah dasar, seperti perilaku kekerasan, ketertarikan dengan lawan jenis yang terlalu dini, dan persoalan tidak produktif lainnya. Pihak sekolah, seperti para guru semakin disibukkan dengan tugas – tugas akademik dan mengabaikan persoalan psikologis anak – anak usia tengah. Persoalan – persoalan non akademik hanya dianggap sebagai masalah sekunder, dan tidak pernah benar – benar tuntas diselesaikan. Situasi ini tentunya menjadi tantangan baru agar adanya pihak ke tiga yang mengemban tanggung jawab mengawal persoalan – persoalan non akademik di sekolah dasar. Sebuah program yang komprehensif dan melibatkan semua komponen sekolah memang diperlukan, agar para siswa tidak melulu mengejar prestasi akademik namun juga mengembangkan keterampilan sosial, rasa kepercayaan diri, memiliki visi dan tumbuh menjadi siswa yang memiliki kecerdasan emosional baik dan bahagia. DAFTAR PUSTAKA Eccles, J. (1999). The Development Child Ages 6 to 14. The Future of Children Vol 9 No.2. Fall 1999. Univercity of Michigan. Khan, I., & Mustaq, S. (2012). Factors Affecting Student Academic Performance. Global Journal Management & Bussines Research, Vol 2. Global Journal Inc.USA. Neely, S., Scott, r., Barnes, S.,& Travilion, G. (2004). A Model Comprehensive Development Guidance and Counseling Program. Texas Educational Agency 1701. North Congress Avenue. Austin. Stang, J., & Story, M. (2005). Adolescent Growth and Development. Http//www.epi.umn.edu/lets/pubs/ddol_book 183
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
RISIKO PENYALAHGUNAAN NAPZA: APA YANG BISA DILAKUKAN SEKOLAH KOTA DAN DESA Eny Purwandari Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
[email protected]/
[email protected] Abstrak Jumlah angka penyalahgunaan NAPZA mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bentuk penyimpangan perilaku ini semakin terasa tatkala mempengaruhi tatanan kehidupan di masyarakat. Angka penyalahgunaan NAPZA usia sekolah menjadi masalah yang harus diantisipasi. Pada usia ini tuntutan perkembangan jaman menjadikan remaja cenderung menghabiskan sebagian waktu produktif di sekolah, sehingga waktu di sekolah sekarang ini bertambah panjang. Kegiatan sekolah, baik proses belajar mengajar, ekstrakurikuler, maupun kegiatan bebas melibatkan semua elemen yang terdapat di dalam sekolah. Elemen tersebut akan berpengaruh pada terbentuknya perilaku tertentu, termasuk penyalahgunaan NAPZA. Berdasarkan kajian demografi sekolah, antara kota dan desa. Subjek sebanyak 2407 siswa. Secara komunitas, berdasarkan setting sekolah mempunyai risiko penyalahgunaan NAPZA yang disertai dengan perilaku merokok. Wilayah kota prosentase merokok terendah sebesar 3,2 dan tertinggi 53,3. Sedangkan perilaku minum-minuman keras prosentase terendah sebesar 3,6 dan tertinggi 46,7. Sekolah di wilayah rural untuk perilaku merokok prosentase terendah sebesar 8,8 dan tertinggi sebesar 50, serta perilaku minum-minuman keras prosentase terendah sebesar 4 dan tertinggi sebesar 25. Secara umum risiko penyalahgunaan NAPZA lebih tinggi di kota dibandingkan dengan desa, meskipun rerata tidak terdapat perbedaan yang menyolok. Hal ini menjadi modal intervensi sekolah di masa yang akan datang. Kata kunci : perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA, merokok, minuman keras, setting sekolah
PENDAHULUAN Penyalahgunaan NAPZA menunjukkan peningkatan secara kuantitas.
Hasil survey
dari Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN RI) pada tahun 1997 – 2008 mengalami
kenaikan
50,1%
pertahun
(http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/
konten.php?nama=DataKasus&op=detail_data_kasus&id=30&mn=2&smn=e).
Survey
tersebut dilakukan pada tahun 2009, dengan pengklasifikasian narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. Hasil survey pada tahu 2010 sudah mencapai angka 1,99% dan prediksi pada tahun 2015 mencapai 2,8% dari jumlah penduduk. Apabila dilihat secara kualitas, kejadian penyalahgunaan NAPZA sudah sangat rapi dan terintegrasi dalam sebuah system, yang membuat semakin sulit untuk diberantas. Usia sekolah, SLTP dan SLTA mempunyai prosentase besar penyalahguna NAPZA (http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=DataKasus&op=detail_data_kasus &id=30&mn=2&smn=e).
Prosentase
yang
cukup
mengkhawatirkan
apabila
dilihat
berdasarkan masa depan yang akan ditempuh berikutnya. Data dari http://www.jambiindependent.co.id/jio/index.php?option=com_content&view=article&id=14470:2015184
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
pengguna-narkoba-di-jambi-capai-200-ribu&catid=25:nasional&Itemid=29
menunjukkan
bahwa hasil survei BNN menunjukkan penyalahguna NAPZA pada jenjang SLTA mencapai 63,9 persen. SLTP 22,5 persen, SD 11,2 persen, dan perguruan tinggi 2,4 persen. Berdasarkan fenomena ini, maka cukup beralasan apabila penelitian ini lebih fokus untuk melihat kejadian penyalahgunaan NAPZA dalam konteks sekolah, dalam hal ini adalah iklim sekolah. Sekolah adalah salah satu lingkungan anak, selain keluarga, teman sebaya dan komunitas secara luas. Sekolah pada saat ini merupakan rumah kedua bagi anak. Apabila dilihat secara waktu yang dihabiskan di sekolah hampir seimbang antara di rumah dan sekolah. Kurang lebih
7 – 10 jam waktu anak dihabiskan di sekolah (proses belajar
mengajar dan kegiatan ekstra-kurikuler), waktu tidur kurang lebih 6 jam, sisanya waktu anak di rumah dalam kondisi tersadar ( 8 jam ). Oleh karena itu sekolah mempunyai peranan terhadap
perilaku
anak.
Apabila
dalam
lingkungan
sekolah
terdapat
kejadian
penyalahgunaan NAPZA, maka perlu dikaji bagaimana iklim sekolah tersebut. Penelitian penyalahgunaan NAPZA sudah banyak dilakukan, termasuk oleh peneliti sendiri. Purwandari (2004) yang melakukan penelitian pada remaja yang menjalani rehabilitasi NAPZA
kurang lebih 90% yang mengalami kecenderungan depresi. Mereka
menyalahgunakan NAPZA dengan alasan coba-coba sebesar 30%, diajak teman sebesar 30%, dan mempunyai masalah sebesar 32%. Penelitian intervensi dilakukan untuk menurunkan kecenderungan depresi dengan metode menulis pengalaman emosional. Hasilnya cukup efektif, khususnya pada mereka yang mengalami kecenderungan depresi berat. Sullivan dan Farrell (1999) penelitian di Amerika mengidentifikasikan 14 faktor yang menjadi resiko dan 14 faktor yang mampu menjadi proteksi penyalahgunaan NAPZA. Diantara ke-14 faktor tersebut ternyata yang menjadi faktor resiko hanya 7 faktor, yaitu mempunyai pengalaman menggunakan alkohol, pernah melakukan hubungan seksual, merokok, tergolong nakal, mempunyai intensi untuk menyalahgunakan NAPZA, tekanan teman untuk proteksi juga sebanyak 7 faktor, adalah sikap yang tidak “pro” pada bentuk penyimpangan, komitmen pada sekolah, selalu masuk sekolah, terlibat pada kegiatan ekstrakurikuler, tidak ada model untuk penyalahgunaan NAPZA, dukungan keluarga, dan harapan orang tua yang positif terhadap prestasi akademis. Jadi posisi orang tua dan keluarga secara spesifik sebagai faktor yang mampu memproteksi anak untuk tidak menyalahgunakan NAPZA. Data
lain
yang
mendukung
dilaporkan
oleh
Wulandari
(2009,
dalam
http://lib.unnes.ac.id/6273/) bahwa faktor kontrol orang tua terhadap anak yang lemah, kesibukan orang tua, hubungan yang tidak harmonis dengan orang tua, pola asuh orang tua 185
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
yang keras, teladan yang buruk dari orang tua, hubungan yang tidak harmonis dengan saudara kandung menjadi faktor penyebab penyalahgunaan NAPZA. Selain itu perasaan putus asa, perasaan kesepian dan perasaan tertekan menjadi faktor internal. Sedangkan faktor pencetusnya adalah pengaruh teman kelompok dan pengaruh teman sebaya. Penelitian yang berfokus pada setting dan konteks sekolah secara lebih mendalam belum pernah dilakukan. Selama ini sekolah hanya sebagai latar belakang atau tempat yang kurang dipertimbangkan apa yang terjadi di dalamnya dan segala proses yang muncul di sekolah. Jadi belum terdapat penelitian sebelumnya, apalagi dalam perspektif komunitas, setting sekolah. Berdasarkan
kriteria
diagnostik
yang
mengacu
pada
penggolongan
secara
internasional DSM V (APA, 2013) yang disebut sebagai penyalahgunaan NAPZA adalah bentuk perilaku maladaptif, dimana secara klinis berpengaruh signifikan terhadap kerusakan atau distress, sebagai akibat dari pemakaian satu atau lebih zat psikoaktif selama 12 bulan. Menurut
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa – III (PPDGJ-III,
2002) penyalahgunaan NAPZA adalah sebuah gangguan yang luas dan berbeda keparahannya (dari intoksikasi tanpa komplikasi dan penggunaan yang merugikan sampai gangguan psikotik yang jelas dan dimensia, tetapi semua itu diakibatkan oleh karena penggunaan satu atau lebih zat psikoaktif (dengan atau tanpa resep dokter). Yang perlu digaris bawahi pada definisi ini adalah penggunaan satu atau lebih, dimana penggunaan satu jenis saja sudah dikatakan sebagai bentuk penyalahgunaan NAPZA, tentunya dengan memberikan bukti bahwa penggunaan zat tersebut dilakukan akhir-akhir atau saat ini. Pada penelitian Kandel’s (dalam Scheier, dkk., 2001) menyatakan penyalahgunaan NAPZA dimulai dari alkohol (terdiri dari “beer” dan “wine”) menuju pada
merokok atau
minuman yang lebih tinggi kandungan psikoaktifnya (hard liquor), kemudian konsumsi marijuana dan bentuk illicit lainnya, seperti pills, heroin, kokain, LSD, dan lainnya. Bahkan siswa di Amerika menyebutkan bahwa konsumsi marijuana atau heroin, juga alcohol merupakan bentuk zat yang ringan. Penelitian lain menyatakan bahwa merokok adalah awal dari penyalahgunaan NAPZA ( Flemming, dkk., 1989; Kandell & Yamaguchi, 1985; dalam Scheier, dkk., 2000). Ada juga yang menyebutkan bahwa merokok dan alkohol secara bersama-sama sebagai awal di dalam pemakaian jenis NAPZA yang lain (Ellickson, dkk., 1993). Penyalahgunaan NAPZA merupakan salah satu masalah sosial. Menurut Jessor’s (1977, dalam Leather, dkk., 2009) berdasarkan teori perilaku bermasalah menyatakan bahwa masalah perilaku yang muncul pada usia remaja dipahami sebagai sindrom yang
186
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
menunjukkan gaya hidup. Dan gaya hidup seringakali dipengaruhi oleh budaya yang ada di wilayah tersebut. Menurut Buku Advokasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba bagi Petugas Lapas dan
Rutan
(www.bnn.go.id/portal/_uploads/post/.../2010-11-23__19-44-55.pdf)
NAPZA
merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif lainnya. Terminologi narkoba familiar digunakan oleh aparat penegak hukum; seperti polisi (termasuk didalamnya Badan Narkotika Nasional), jaksa, hakim dan petugas Pemasyarakatan. Selain narkoba, sebutan lain yang menunjuk pada ketiga zat tersebut adalah NAPZA yaitu Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Istilah NAPZA biasanya lebih banyak dipakai oleh para praktisi kesehatan dan rehabilitasi. Akan tetapi pada intinya pemaknaan dari kedua istilah tersebut tetap merujuk pada tiga jenis zat yang sama. Menurut UU No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika disebutkan pengertian Narkotika adalah “zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi
sampai
menghilangkan
rasa
nyeri,
dan
dapat
menimbulkan
ketergantungan. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Bahan adiktif lainnya adalah “zat atau bahan lain bukan narkotika dan psikotropika yang berpengaruh pada kerja otak dan dapat menimbulkan ketergantungan. Adapun jenis-jenis NAPZA, dipaparkan sebaga berikut : a.. Narkotika. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, narkotika memiliki daya adiksi (ketagihan) yang sangat berat, juga memiliki daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual
(kebiasaan)
yang
sangat
tinggi,
sehingga
sulit
untuk
melepaskan
ketergantungannya. Narkotika diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu : (1) Narkotika Golongan I adalah narkotika yang paling berbahaya dengan daya adiktif yang sangat tinggi.
Narkotika yang termasuk golongan ini adalah ganja, heroin, kokain,
morfin, opium, dan lain sebagainya, (2) Narkotika Golongan II adalah narkotika yang memiliki daya adiktif kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh dari narkotika golongan II ini adalah benzetidin, betametadol, petidin dan turunannya, dan lain-lain, dan (3) Narkotika Golongan III adalah jenis narkotika yang memiliki daya adiktif atau potensi ketergantungan ringan dan dapat dipergunakan secara luas untuk terapi atau pengobatan dan penelitian. Adapun jenis narkoba yang termasuk dalam golongan III adalah kodein dan turunannya, metadon, naltrexon dan sebagainya. Berdasarkan cara pembuatannya, narkotika dibedakan ke dalam 3 (tiga) jenis yaitu narkotika alami, narkotika semi-sintesis, dan narkotika sintesis. 187
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
b. Psikotropika, adalah obat yang digunakan oleh dokter untuk mengobati gangguan jiwa (psyche) terbagi menjadi 4 golongan, yaitu : (1) Golongan Iadalah psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat, dilarang digunakan untuk terapi dan hanya untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, seperti MDMA/ekstasi, LSD dan STP, (2) Golongan II adalah psikotropika dengan daya adiktif kuat, akan tetapi berguna untuk pengobatan dan penelitian, contohnya amfetamin, metilfenidat atau Ritalin, (3) Golongan III adalah psikotropika dengan daya adiksi sedang dan berguna untuk pengobatan dan penelitian (lumibal, buprenorsina, pentobarbital, Flunitrazepam dan sebagainya), dan (4) Golongan IV yaitu jenis psikotropika yang memiliki daya adiktif ringan serta berguna untuk pengobatan, seperti nitrazepam (BK, mogadon, dumolid), dan diazepam. c. Zat Adiktif, merupakan zat-zat yang tidak termasuk dalam narkotika dan psikotropika, tetapi memiliki daya adiktif atau dapat menimbulkan ketergantungan. Biasanya ketergantungan seseorang terhadap zat atau bahan adiktif ini merupakan pintu gerbang kemungkinan adiksi mereka terhadap narkotika dan psikotropika. Adapun zat suatu benda yang termasuk dalam kategori bahan adiktif adalah: (1) Rokok - Pemakaian tembakau yang mengandung nikotin sangat luas di masyarakat. Pada upaya penanggulangan NAPZA di masyarakat, pemakaian rokok dan alcohol terutama pada remaja, harusmenjadi bagian dari upaya pencegahan, karena rokok dan alkohol sering menjadi pintu masuk penyalahgunaan NAPZA lain yang lebih berbahaya, (2) Kelompok alkohol dan minuman lain yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran (memabukkan), dan menimbulkan ketagihan – karena mengandung etanol etil alkohol, yang berpengaruh menekan susunan syaraf pusat, dan sering menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari dalam kebudayaan tertentu. Jika digunakan sebagai campuran dengan narkotika atau psikotropika, memperkuat pengaruh obat/zat itu dalam tubuh manusia, (3) Thinner dan zat-zat lain yang jika dihirup dapat memabukkan, seperti lem kayu, penghapus cair, aseton, cat, bensin dan lain sebagainya. Berdasarkan paparan di atas yang disebut sebagai risiko penyalahgunaan NAPZA adalah sudah menunjukkan perilaku merokok dan atau pernah mencoba minuman beralkohol selama 1 bulan terakhir. Perilaku-perilaku tersebut dilakukan secara sendiri maupun berkelompok. Manguin & Loeber, 1996; Resnick, dkk., 1996 (dalam Fleming, dkk., 2010) menyatakan ada dua domain di sekolah yang dapat dipergunakan untuk memprediksi masalah perilaku anak, yaitu kelekatan dengan sekolah dan motivasi berprestasi secara akademik. Bentuk kelekatan pada semua yang ada di sekolah menjadikan remaja lebih fokus, sehingga prestasi di sekolah juga meningkat.
188
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Menurut teori ekologi, sekolah merupakan sistem yang berpengaruh langsung terhadap perilaku anak. Menurut
DeWit, dkk. (2000) lingkungan sekolah terdiri dari 2
dimensi, yaitu : 1) dimensi sosial (school culture), meliputi belief, values dan tujuan tiap anggota yang ada di sekolah, 2) dimensi fisik (iklim sekolah), meliputi karakteristik struktur dan ukuran organisasi, prosedur pengaturan, demografi guru dan murid serta penampilan secara fisik. Iklim sekolah berpengaruh secara langsung terhadap masalah perilaku. Pada penelitian ini DeWit ini penyalahgunaan NAPZA yang terbentuk dari lingkungan sekolah, diukur dengan laporan diri selama 6 bulan terakhir pemakaian NAPZA. Social control theory (Hircshi, 1969, dalam LaRusso, dkk., 2008), sekolah dengan iklim positif akan meningkatkan kelekatan pada aturan yang berlaku dan model dari guru, serta orang dewasa dalam lingkungan. Social development contex model of social perspective coordination, kemampuan berpikir dalam perspektif sosial remaja akan meningkat ketika ia dihadapkan pada masalah yang ada dalam lingkungan sosialnya, yaitu di sekolah. Rasa hormat pada guru akan menjadi protective factor, karena : rendahnya tekanan dan supportive dan menunjukkan self belonging, sehingga siswa merasa senang dan nyaman di sekolah. Perilaku guru dapat memberi kontribusi pada munculnya rasa hormat, dilihat support guru (kemauan guru membantu masalah siswa). Hubungan timbal balik dalam membangun rasa hormat
memberikan kontribusi pada munculnya perilaku
penyimpangan siswa, termasuk Hasil penelitian Way, dkk. (2007) terdapat pengaruh yang signifikan antara dimensi dan iklim sekolah dengan munculnya masalah perilaku, termasuk di dalamnya adalah penyalahgunaan NAPZA. Pada tulisan tersebut menyebutkan 4 aspek iklim sekolah, yaitu : 1) hubungan antara guru-murid, 2) hubungan antar murid, 3) kemandirian siswa yang diikuti kemampuan pengambilan keputusan, 4) regulasi aturan sekolah yang jelas, konsisten dan fair. METODE PENELITIAN Penelitian ini yang digunakan dalam studi ini adalah survey, yang meliputi pengisian angket, diikuti dengan observasi sebagai data tambahan yang mendukung. Subjek penelitian ini adalah siswa SLTA yang berada di wilayah Kabupaten Sragen, yang terbagi secara demografi kota dan luar kota. Berdasarkan metode matching cluster antara kota dan desa diperoleh 27 sekolah yang mewakili SLTA di wilayah Kabupaten Sragen, dengan rincian 14 SLTA di kota dan 13 SLTA di desa. Berdasarkan wilayah tersebut pada masing-masing sekolah, secara random diambil dua kelas X dan dua kelas XI (kecuali pada sekolah yang mempunyai jumlah siswanya terbatas).
189
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Alat ukur yang digunakan adalah skala resiko penyalahgunaan NAPZA yang disusun oleh Gordon & Gordon (2000) yang terdiri dari 19 item ditambahkan dengan American Council for Drug Education
yaitu perilaku merokok dan minum-minuman keras sebagai
indikator baru yang ditambahkan dalam penelitian ini. Gordon & Gordon (2000) menyatakan bahwa seseorang dikatakan mempunyai resiko penyalahgunaan NAPZA apabila skor 4 ke atas dari 19 item yang disajikan. Skala risiko penyalahgunaan NAPZA akan dilihat prosentasenya setelah anggota tiap sekolah diidentifikasi yang mendapat skor 4 ke atas. Termasuk di dalamnya perilku merokok dan minum-minuman keras. Jadi data yang diperoleh berupa prosentase pada masingmasing sekolah. Penelitian ini menggunakan pendekatan statistik deskriptif yang berbentuk prosentase. Selain menggunakan skala, penelitian ini menggunakan metode observasi untuk menguatkan setting sekolah sebagai konteks spesifik. Lingkungan di sekitar sekolah, Tempat mangkal, Suasana, kondisi sekolah, dan perilaku siswa, guru dan karyawan. Metode even sampling dipakai dalam observasi ini. Karena observasi hanya dilakukan pada saat menjelang jam masuk sekolah dengan tujuan akan mampu mengidentifikasi perilku yang mendukung pada risiko penyalahgunaan NAPZA. HASIL DAN PEMBAHASAN Subjek yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 2407 siswa dari 27 sekolah di kabupaten Sragen dengan jumlah yang variatif tergantung dari kebijakan sekolah di dalam menetapkan jumlah siswa per kelas. Namun menunjukkan kesetaraan jumlah antara kota dan luar kota. Berdasarkan analisis statistik deskriptif dengan skala resiko penyalahgunaan NAPZA dari Gordon & Gordon (2000) yang dapat dilihat pada tabel 1 ditemukan bahwa resiko penyalahgunaan NAPZA di perkotaan (urban) lebih rendah apabila dibandingkan dengan di luar kota (rural). Rerata resiko penyalahgunaan NAPZA di kota sebesar 94,9% dan di luar kota sebesar 95,9% (lihat skor risk 4≤). Bahkan 80% ke atas menunjukkan resiko menyalahgunakan NAPZA. Hal ini menjadi bukti yang menyedihkan bahwa NAPZA sudah menjadi seperti wabah penyakit, yang menyerbu desa. Desa dalam konotasi sebuah wilayah yang terletak jauh dari perkotaan dengan ciri ciri : a) mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa, b) ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan, c) cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam seperti : iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan
yang
bukan
agraris
adalah
bersifat
sambilan
(Salman,
http://alfarisisalman92.blogspot.com/ ). Namun terjadi pergeseran nilai karena kecanggihan media informasi elektronik mengakibatkan desa dan kota tidak ada perbedaan. Hal ini 190
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
sejalan
dengan
penelitian
Singgih,
dkk
(www.psikologi.tarumanegara.ac.id)
yang
menyatakan bahwa kompetensi sosial remaja kota dan desa tidak ada perbedaan. Media
sebagai
salah
satu
bagian
dari
sistem
dalam
ecological
system
Bronnfrenbreuner sedikit banyak akan berpengaruh pada individu dan sistem yang lebih kecil, yaitu sekolah. intelektual
dan
Sekolah berfungsi sebagai agen sosial yang mampu meningkatkan
sosial,
sehingga
anak
berkembang
dengan
baik
ketrampilannya,
pengetahuannya, minat dan bakatnya (Berns, 2004). Namun fungsi sekolah sebagai agen sosial tersebut membawa pengaruh lain ketika faktor lain berkontribusi, seperti media, politik, dan idiologi yang berkembang pada kebijakan dengan tuntutan diberlakukan di dalam sebuah systemsekolah. Apabila dikaitkan dengan setting sekolah, secara jelas ada perbedaan antara sekolah kota dan desa. Biasanya sekolah di kota merupakan sekolah menjadi unggulan di daerah tersebut. Sekolah unggulan secara logika mempunyai iklim sekolah yang lebih baik. Sistem organisasional, relasional, dan instruksional sekolah ini akan lebih baik. Misalnya dalam skala risiko penyalahgunaan NAPZA terdapat item mengenai perilaku terlambat dan membolos. Perilaku terlambat (68,2% dibanding 58%) dan membolos (48,7% dibanding 40,4%) di desa lebih tinggi daripada di kota.
Perbedaan perilaku tersebut antara desa
dan kota berkaitan dengan budaya yang berkembang di wilayah tersebut. Budaya di kota syarat dengan tuntutan dan tantangan, sedangkan di desa lebih santai. Paparan Chang, dkk. (2011) yang menyatakan bahwa kreativitas guru dalam mengajar tidak ada perbedaan antara di kota dan desa, namun yang membedakan adalah suasana penegakan aturan sekolah. Membolos dan terlambat terkait dengan sebuah aturan, dan aturan terkait dengan iklim sekolah, yaitu kejelasan aturan (Way, dkk., 2007). Pada tabel 1 menunjukkan perbedaan pada perilaku merokok dan minum-minuman keras. Rerata prosentase perilaku merokok dan minum-minuman keras di daerah kota lebih tinggi dibandingkan dengan di desa. Tabel 1. Data risiko penyalahgunaan NAPZA ( N = 2407 )
JENIS
SK
SKLH
L
ALIYA
A
KOTA ( N = 1196)
DESA ( N = 1211 )
SKO
SKO
SKO
SKO
R
R
R
R
RISK
RISK
RISK
RISK
4>
4≤
4>
4≤
8,0%
92,0
10,5
7,0
ALIYA
3,2%
96,8
11,0
4,0
%
%
%
H
%
%
%
96,0
11,3
6,5
%
%
%
N
82
H SMA NEGE
B
RK
MN
JENIS
SK
SKLH
L
11
15,4
84,6
9,1
3,6
SMA
0
%
%
%
%
NEGE
191
1
2
N
73
12 4
4,0%
RK
MN
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 RI
C
12
6,0%
0 D
10
4,0%
0 E
SMA SWAS TA
F
G
H
I SMK NEGE
J
TA
35
67
47
12
0
6,0%
4,3%
4,0%
11
0
8
K
SWAS
8,1%
4
RI
SMK
62
L
53
10
3,8%
9,5%
5 M
12
0
1 N
52
1,9%
RERATA
Keterangan :
94,0
25,8
15,0
%
%
%
96,0
18,0
12,0
%
%
%
91,1
14,5
12,9
%
%
%
100,0
43,0
43,0
%
%
%
94,0
37,3
28,4
%
%
%
95,7
40,4
36,2
%
%
%
96,0
3,2
6,4
%
%
%
100,0
5,1
8,5
%
%
%
96,2
20,7
18,9
%
%
%
90,5
34,2
20,0
%
%
%
100,0
53,3
46,7
%
%
%
98,1
9,3
8,4
%
%
%
94,9
23,2
19,1
%
%
%
RI
3
4
95
8,4%
10
0
8 5
98
1,0%
91,6
18,0
9,5
%
%
%
100,0
14,8
5,6
%
%
%
99,0
9,2%
6,1
% SMA SWAS TA
6
7
9
NEGE RI
12
5,1%
4,8%
5 8
SMK
39
10
38
0
12
94,9
15,4
7,7
%
%
%
95,2
44,0
25,0
%
%
%
100,0
50,0
21,0
%
%
%
11
13,3
86,7
22,9
12,4
3
%
%
%
%
13
2,3%
97,7
20,6
8,4
%
%
%
93,6
14,1
23,1
%
%
%
95,6
8,8%
8,8
1 11
%
78
68
6,3%
4,4%
% SMK SWAS
13
12 1
0
%
100,0
26,4
9,6
%
%
%
95,9
20,5
11,4
%
%
%
TA
RERATA
SKL = sekolah (dalam bentuk koding), SKOR RISK = skor resiko penyalahgunaan NAPZA
berdasarkan Gordon & Gordon (2000), RK = perilaku merokok, MN = perilaku minum-minuman keras
Kondisi tersebut berbeda dengan temuan Donath, dkk. (2011) dengan area penelitian di Jerman dan Turki yang menyatakan bahwa konsumsi alkohol di daerah desa lebih tinggi dibandingkan dengan kota. Dikatakan Donath, dkk. (2011); Chen & Chiu (2010) menyatakan bahwa bahwa budaya sangat berpengaruh dalam konteks ini. Budaya di Indonesia, daerah luar kota (pedesaan) masih sangat memegang norma dan adat ketimuran dengan konsep “unggah ungguh”. Apalagi dalam kasus ini adalah merokok dan minum-minuman keras. Merokok mendapat toleransi lebih tinggi untuk dikonsumsi dan lebih dapat diterma dibandingkan dengan minum-minuman keras. Sehingga prosentase yang ditunjukkan merokok lebih besar. 192
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Penduduk di perkotaan pada paparan Chen & Chiu (2010) norma dan budaya yang berlaku
sudah
bukan
budaya
asli
setempat.
Penduduk
di
kota
sudah
terjadi
pencampuradukan budaya yang dibawa oleh pendatang. Dikuatkan oleh Go & Lee (2005) yang menyatakan bahwa penduduk di perkotaan lebih besar mengalamai proses akulturasi, asimilasi, dan adaptasi yang lebih tinggi. Kondisi ini apabila dikaji dengan teori kontrol sosial dari Hirschi (1969, dalam LaRusso, dkk., 2008), sekolah dengan iklim positif akan meningkatkan kelekatan pada aturan yang berlaku dan model dari guru, serta orang dewasa dalam lingkungan. Namun pada hasil ini fungsi sekolah untuk membentuk iklim positif kurang optimal. Bentuk pelanggaran aturan sekolah dan bentuk penyimpangan perilaku belum mendapat kontrol yang optimal, seperti merokok, terlambat, membolos, dan minum-minuman keras. Sekolah sebagai salah satu lembaga formal dan terdapat sebuah sistem di dalamnya terbentuk berdasarkan kelekatan, keterlibatan, komitmen, dan keyakinan. Teori kontrol sosial pada risiko penyalahgunaan NAPZA akan benar-benar menjadi sebuah kontrol apabila di sekolah yang menjadi setting pada penelitian ini terdapat aspekaspek seperti : kelekatan, yaitu relasional yang terbangun dengan baik antara bagian dalam setting sekolah (guru, siswa, dan tenaga non edukasi), keterlibatan, yaitu secara empatik terbangun interaksi dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan, komitmen, yaitu tertatanya aturan yang diberlakukan, termasuk pelaksanaannya yang jelas dan konsisten, serta keyakinan, yaitu tujuan bersama yang terbangun dalam system di sekolah akan membentuk iklim sekolah yang kondusif untuk optimalisasi potensi semua komponen yang berada di dalamnya. Namun mana yang harus terbentuk duluan, kelekatan, keterlibatan, komitmen atau keyakinan tidak dijelaskan dalam tulisan ini. Selain alur pada teori kontrol sosial yang tidak dipaparkan, dalam penelitian ini faktor demografis yang dipakai hanyalah pembagian wilayah (kota dan desa) dan pengelompokan status sekolah (aliyah, SMA swasta, SMA Negeri, SMK swasta, dan SMK Negeri). Jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan struktur keluarga tidak dikaji. Penelitian ini masih terbatas pada data awal yang masih membutuhkan kajian mendalam lagi, KESIMPULAN Berdasarkan paparan di atas, penelitian ini merupakan penelitian klinis dalam komunitas yang dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Penyalahgunaan NAPZA berdasarkan letak demografis, yaitu kota dan desa sudah menunjukkan risiko yang cukup tinggi.
193
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
2. Perilaku merokok dan minum-minuman keras lebih tinggi di kota apabila dibandingkan dengan di desa. 3. Berdasarkan analisis komunitas dalam setting sekolah menunjukkan sekolah di kota lebih tinggi risiko penyalahgunaan NAPZA, khususnya di sekolah swasta. SARAN Untuk pihak pemegang kebijakan pendidikan, membentuk sistem yang akan mampu membangun iklim sekolah yang positif, sehingga risiko penyalahgunaan NAPZA tidak berkembang ke arah perilaku yang lebih merugikan. Hal ini dapat dilakukan seperti : menegakkan aturan dengan konsisten, seleksi siswa berdasarkan bebas narkoba menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi, melakukan kontrol dan “sidak” secara periodik. Selain itu sekolah melakukan promosi kesehatan untuk pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Guru, idealnya membangun kelekatan, keterlibatan, dan komitmen dengan siswa dengan membidik aspek emosinya. Tidak hanya menuntut kapasitas kognitif yang hebat, tetapi tidak mengontrol aspek yang lainnya yang memungkinkan seorang siswa dapat berkembang lebih optimal. Sedangkan untuk siswa, melibatkan diri dengan kegiatankegiatan positif yang diselenggarakan di sekolah. Ikuti aturan yang berlaku, seperti jam masuk sekolah, tidak membolos, ikut kegiatan ekstrakurikuler, dan mempunyai komitmen akademik. Akademisi lebih banyak mempertimbangkan aspek lain sehingga kajiannya lebih komprehensif untuk memahami fenomena penyalahgunaan NAPZA. DAFTAR PUSTAKA Anganthi, N. R. A; Purwandari, E., & Purwanto, Y. 2009. Persepsi Anak terhadap Delinquency Penyalahgunaan NAPZA. Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 10, No. 2, 122 – 130. American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder Fifth TM Edition. DSM-5 . Washington : American Psychiatric Publishing. Ayvasik, H, B. & Sumer, H. C. 2010. Individual Differences as Predictors of Illicit Drug Use among Turkish College Students. The Journal of Psychology, 144 (6), 489 – 505. Berns, R. M. 2004. Child, Family, School, Community : Socialization and Support. Sixth Edition. Thomson Wardsworth. Calafat, A., Fernandez, C., Juan, M., & Becon, E. 2008. Recreational Nightlife: Risk and Protective Factors for Drug Misuse among Young Europeans in Recreational Environments. Drugs: Education, Prevention and Policy, April 2008; 15(2): 189–200. Chang , C.P., Chuang, H.W., Bennington, L. 2011. Organizational climate for innovation and creative teaching in urban and rural schools. Qualitative Quantitative 45:935–951 Data Kasus Tindak Pidana Kasus Narkoba di Indonesia Tahun 1997-2008. Reporter: Dit IV/TP Narkoba & KT Bareskrim Polri | 30 Januari 2009.http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=DataKasus&op=detail_data_kas us&id=30&mn=2&smn=e. Diakses tanggal 3 Desember 2011. Data Sensus Penduduk 2005. http://www.bps.go.id/aboutus.php?sp=0. DeWit,D. J., D Offord, D. R., Sanford, M., Barbara J. Rye, B. J., Shain, M., & Wright, R. 2000. The Effect of School Culture on Adolescent Behavioural Problems: SelfEsteem, Attachment to Learning, and Peer Approval of Deviance as Mediating Mechanisms. Canadian Journal of School Psychology. Volume 16, Number 1, 2000, 15-38
194
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016 Donath1, C., GraBel1, E., Baier, D., Pfeiffer, C., Karagülle, D., Bleich, S., Hillemacher, T. Alcohol consumption and binge drinking in adolescents: comparison of different migration backgrounds and rural vs. urban residence-a representative study. BMC Public Health 2011, 11: 84 http://www.biomedcentral.com/1471-2458/11/84.D’Silva, M. U., Harrington, N. G., Palmgreen, P., Donohew, L., & Lorch, E. P. 2001. Drug use Prevention for High Sensation Seeker : The Role of Alternative Activities. Substance Use & Misuse, 36 (3), 373 – 385. Fleming, C. B., Catalano, R. F., Haggerty, K. P., & Abbott, R. D. 2010. Relationships Between Level and Change in Family, School, and Peer Factors During Two Periods of Adolescence and Problem Behavior at Age 19. Journal Youth Adolescence 39: 670–682 DOI 10.1007/s10964010-9526-5 Gunarsa, S. D. 1989. Psikologi Perkembangan: Anak dan Remaja. Jakarta: BPK. Gunung Mulia. Herman, R. M. J. 2005. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika & Zat Adiktif) di Kalangan Siswa SMU. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan.RI, Jakarta. www.kalbe.co.id/... LaRusso, M.D., Romer, D., Selman, R. L. 2008. Teachers as Builders of Respectful School Climates: Implications for Adolescent Drug Use Norms and Depressive Symptoms in High School. Journal Youth Adolescence, 37:386–398 Lo, C. C., Kim, Y. S., Allen, T. M., Allen, A.N., Minugh, P. A., & Lomuto, N. 2011. The Impact of School Environment and Grade Level on Student Delinquency: A Multilevel Modeling Approach. Crime & Delinquency, 57(4) 622– 657. Ludden, A.B. & Accles, J. S. 2007. Psuchosocial, Motivational, and Contextual Profiles of Youth Reporting Different patterns of Substance Use During Adolescence. Journal of Research Adolescence, 17 (1), 51 – 88. Mason, W. A. & Windle, M. 2002. Gender, self-control, and infomal social control in adolescence : A test of three models of continuity of delinquent behavior. Youth Society, Vol. 33 No. 4, June 2002 : 479 – 514. Mooney, J,L; Minor, K.I; Wells,J.B; Leukefeld, C; Oser, C.B; Tindall, M.S. 2008. The relationship of Stress, Impulsivity in Sample of Women Prison Inmates. International Journal of Offender Therapy and Comparative Criminology. N.n 2015, Pengguna Narkoba di Jambi Capai 200 Ribu. (http://www.jambiindependent.co.id/jio/index.php?option=com_content&view=article&id= 14470:2015pengguna-narkoba-di-jambi-capai-200-ribu&catid=25:nasional&Itemid=29). Diakses tanggal 3 Desember 2011. Park, S., Kim, H., and Kim, H. 2009. Relationships Between Parental Alcohol Abuseand Social Support, Peer Substance Abuse Risk and Sosial Support, and Substance abuse Risk among South Korean Adolescents. Adolescence Vol. 44, No. 173 Parker, , J. S & Benson, M. J. 2004. Parent – Adolescent Relations Self-esteem, Substance Abuse, and Delinquency. Adolescence, Vol. 39,No. 155, 519 – 530. Penelitian BNN dengan BPS. 2003. Penyalahgunaan Napza di Lembaga Pemasyarakatan. www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?. Diakses tanggal 3 Desember 2011. Purwandari, E. 2007. Orientasi nilai-nilai hidup : Proses pengambilan keputusan berhenti mengkonsumsi NAPZA. Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 8, No. 2, Agustus 2007, 148 – 165. Purwandari, E. 2005. Memori Emosional Remaja yang Sedang Menjalani Rehabilitasi NAPZA. Jurnal Penelitian Humaniora Vol. 6, No. 2, Agustus 2005, 130 – 143. Rumpold, G. Klinseis, M. Dornauer, K., Kopp, M., Doering, S.,Hofer, S., Mumelter, B., & Schulbler, G. 2006. Psychotropic Substance Abuse Among Adolescent : A Structural Equation Model on Risk and Protective Factors. Substance Use & Misuse, 41, 1155 – 1169. Santrok, J. W. 2003. Adolescence (Perkembangan Remaja). Terjemahan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Sullivan, T.N. & Farrell, A. D. 1999. Identification and Impact of Risk and Protective Factors for Drug use Among urban African America Adolescent. Journal of Clinical Child Psychology, Vol. 28,No. 2, 122 – 136. Taf’a, M. & Baiocco, R. 2009. Addictive Behavior and Family Functioning During Adolescence. The American Journal of Family Therapy, 37:388–395 Tracy, P. E., Leonard, K & James, S. A. 2009. Gender differences in delinquency and juvenile justice processing: Evidence from national data. Crime & Delinquency, Volume 55, Number 2April 2009: 171-215. Wiatrowski, M. D., Griswold, D. B., & Roberts, M. K. 1981. Social control theory and delinquency. American Sociological Review, Vol. 46 (October : 525 – 541).
195
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Pergeseran Etika Dalam Komunikasi Dosen-Mahasiswa Di Era Digital Mahargyantari Purwani Dewi Hendro Prabowo Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma, Jakarta
[email protected],
[email protected]
Abstrak Generasi digital atau generasi Y adalah mereka yang dibesarkan dengan komputer, internet, dan informasi di seluruh dunia yang mudah diakses dengan cepat. Mereka memiliki sifat yang lebih transparan, kreatif, terbuka, fleksibel, asertif, senang berdiskusi, kerja tim, menghargai perbedaan dan dapat mengerjakan tugas di kampus maupun di rumah. Generasi ini juga merupakan individu yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan teknologi yang semakin hari semakin maju sehingga memudahkan mereka dalam mengerjakan tugas-tugas. Masalah miskomunikasi niscaya dapat terjadi antara mahasiswa dengan dosennya yang berbeda generasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi dosen terhadap hubungan miskomunikasi dengan mahasiswanya. Hasilnya menunjukkan adanya komunikasi yang disharmonis antara dosen dengan mahasiswa yang berbeda generasi. Kata kunci : Etika, Komunikasi Dosen-Mahasiswa, Generasi Digital LATAR BELAKANG Menurut
Buckingham
(2008)
teknologi
dewasa
ini
tampaknya terlihat
telah
menciptakan gaya baru dalam berkomunikasi dan berinteraksi. Beberapa karakteristik berkomunikasi dan berinteraksi gaya baru akibat komunikasi berbasis internet adalah independensi dan otonomi, keterbukaan emosional dan intelektual, inovasi,kebebasan berekspresi, kedekatan, dan pendekatan investigasi. Internet menyediakan sarana baru untuk membangun masyarakat, sebagai media yang aktif dan partisipatif, komunikasi
didistribusikan
sebanyak-banyaknya.
Sementara
dengan
Montgomery
(2007)
menganggap bahwa remaja masa kini merupakan pengguna dari budaya media digital. Dengan jumlah mendekati tiga per empat dari remaja dengan usia 12 – 17 tahun di akhir abad ke-20, para remaja ini telah lekat dengan dunia online baru dengan antusiasme yang besar. Internet telah memainkan peran amat penting dalam kehidupan remaja ini, serta mempengaruhi hubungan-hubungan dalam keluarga dan sosial. Remaja telah jauh melewati orang dewasa dalam penggunaan pesan singkat, mengunjungi ruang chatting, serta memainkan dan mengunduh musik. Berada dalam garis depan inovasi teknologi, mereka dengan cepat telah mengadopsi telepon seluler dan gadgets yang menawarkan komunikasi dan informasi yang belum pernah terjadi sebelumnya hanya dengan jari-jari mereka. Properti-properti
dari
media
interaktif
ini
secara
unik
cocok
dengan
kebutuhan
perkembangan mereka. Alat-alat komunikasi online mendorong secara instan dan konstan hubungan dengan kelompok sebaya; halaman web pribadi menawarkan peluang untuk ekspresi diri pencarian identitas; dan alat yang bersifat portabel memfasilitasi mobilitas dan 196
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
independensi. Luasnya raihan internet dan anonimitas yang menjanjikan menciptakan lingkungan yang mendorong pencarian informasi dalam keragaman topik yang tidak dapat diakses atau tabu pada generasi sebelumnya. Ruang chatting dan forum
mengijinkan
remaja untuk mendorong diskusi dan debat tanpa rasa takut. Media digital telah menjadi tantangan institusi di masa lalu, mengaburkan batasan di antara publik dan privat, komersil dan nonkomersil, sekolah dan rumah, serta lokal dan global. Perbedaan generasi antara remaja atau mahasiswa dengan dosennya ketika berkomunikasi dengan menggunakan gadget acapkali menimbulkan miskomunikasi yang disebabkan oleh perbedaan persepsi di antara kedua belah pihak. Di media sosial, beberapa dosen telah mengirimkan beberapa contoh miskomunikasi dan mispersepsi melalui meme, yang menunjukkan bahwa miskomunikasi ini meskipun hanya terjadi dalam jumlah kecil namun sudah menjadi masalah yang umum. METODE PENELITIAN Penelitian
ini
adalah
penelitian
eksplorasi
sederhana
dengan menggunakan
wawancara semi terstruktur pada empat orang dosen Fakultas Psikologi Universitas X di Jakarta
terkait
dengan
pengalaman
miskomunikasi
dengan
mahasiswa
dengan
menggunakan media telepon seluler. Karakteristik demografis pada keempat subjek penelitian tersaji pada tabel 1. Tabel 1 Karakteristik Demografi Subjek Penelitian Nama (Inisial)
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan terakhir
Media yang digunakan
ND
50
Pria
Doktor Psikologi
WA, sms, panggilan telepon
WR
38
Pria
Doktor Psikologi
WA, sms
WL
37
Wanita
Magister Psikologi
WA, sms, Line
QR
34
Wanita
Magister Psikologi
WA
HASIL PENELITIAN Beberapa kategori setelah dilakukan analisis data dalam penelitian ini antara lain adalah bentuk miskomunikasi, serta dampak pada dosen.
197
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Bentuk Miskomunikasi Bentuk miskomunikasi antara subjek penelitian dengan mahasiswanya pada umumnya adalah adanya asumsi mahasiswa yang berkomunikasi seperti ketika berkomunikasi dengan temannya yang ingin serba cepat dan murah. Dampak dari asumsi ini bagi keempat subjek penelitian adalah mahasiswa dianggap tidak sopan. Beberapa bentuk miskomunikasi ini adalah dalam penggunaan bahasa, penggunaan waktu, dan mispersepsi. a. Penggunaan Bahasa Penggunaan bahasa yang tidak sopan dialami oleh keempat subjek penelitian. Beberapa bentuk penggunaan bahasa yang dinilai kurang sopan adalah penggunaan emoticon (WL), penggunaan tulisan besar kecil yang tidak semestinya (WL), penggunaan kata perintah (WL & QR), dan penggunaan bahasa yang disingkat (QR). WL mengemukakan
bahwa
penggunaan emoticon dan pemilihan bahasa yang
digunakan mahasiswa saat mengirim pesan: ”Kadang mahasiswa kasih emoticon gambar monyet”. “Mahasiswa kadang tidak mengenal struktur bahasa dalam mengirim pesan. Misalnya kalimatnya sama seperti saat ia mengirim pesan pada temannya, padahal yang dikirimi pesan saat ini adalah dosen. Kadang kalau sms tidak ada titik dan spasi, tulisan besar dan kecil diselang-seling, memakai kalimat perintah”. “ .... kadang mahasiswa karena sudah merasa dekat, makanya ia suka memberi emoticon yang lucu, namun sebenarnya nggak pantas. Misalnya sudah dikasih waktu bimbingan lalu ia nggak bisa datang kemudian dikasih tambahan emoticon gambar monyet yang ditutup matanya”. QR menjelaskan pengalaman miskomunikasi dengan mahasiswanya : “... mahasiswa saat kirim pesan bahasa yang digunakan seperti mereka mengirim pesan ke teman mereka. Harusnyakan mahasiswa mencek dulu bahasa yang digunakan pada pesan tersebut apakah sudah baik atau belum”. “Ada juga mahasiswa yang mau minta tolong, namun kalimat yang digunakan dalam pesannya seperti kalimat perintah”. “Mungkin karena mahasiswa mau yang cepat dan murah jadi menggunakan bahasanya disingkat. Kalau di sms, pakai kalimat panjang berarti bayarnyakan lebih banyak. Kalau lebih cepat menyebabkan mahasiswa suka menyingkat-nyingkat kalimat jadi kadang karena banyak yang disingkat, saya sendiri nggak tahu apa singkatannya. Mereka menganggap kita tahu arti singkatan tersebut”.
198
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
b. Penggunaan Waktu Penggunaan waktu adalah saat dimana mahasiswa mengirimkan pesan pada dosennya (WL, ND) dan tawar menawar waktu (WR). WL memaparkan kasus mahasiswa yang sudah janjian ketemu namun tidak konfirmasi ulang: “Mahasiswa sering salah persepsi, misalnya kalau mau ketemu konfirmasi dulu untuk mengingatkan, tapi mereka nggak konfirmasi dan tiba-tiba muncul”. ND memiliki kasus dimana mahasiswa seolah-olah yang mengatur saatnya berkomunikasi: “Mahasiswa suka berasumsi bahwa dosennya menggunakan cara yang sama dengan cara yang mereka lakukan, sehingga menjadi tidak sopan”. “... saya terbangun pagi-pagi karena ada sms dari mahasiswa bahwa sebentar lagi dia akan telepon. Nah kemudian saya lanjutkan istirahat dan kira-kira sejam kemudian ia menelpon, kira-kira jam 07.00. Saya merasa terganggu, karena berbeda persepsi mahasiswa tahunya saya pasti sudah menyetujui smsnya. Bagi saya itu keliru, karena saya tidak pernah membalas smsnya sama sekali tiba-tiba smsnya menyelonong. Terus saya jawab bahwa, tidak sopan untuk menelepon di luar jam kantor. Lalu saya tanyakan kalau jam 07.00 pagi itu apa di kampus ada orang? Maksud saya jam kantor itu adalah jam 08.00, namun mahasiswa itu dengan yakinnya menjawab, ada pak. Ini adalah bentuk miskomunikasi. Ya pastilah dikampus itu ada orang, tapi bukan itu yang saya maksud”. WRmenceritakan kasus seorang mahasiswa yang suka menawar waktu untuk bimbingan : “..., ia beberapa kali tidak hadir bimbingan, lalu ia memberikan alasan yang macam-macam seperti katanya saya sulit untuk ditemui. Kemudian saya memberikan warning yang cukup keras bahwa ia harus mengikuti jadwal bimbingan karena temantemannya yang lain bisa hanya dia yang nggak bisa”. “Kadang sudah jelas-jelas dikasih tahu hari dan jamnya, mereka suka menawar waktu bimbingan. Padahal sebelumnya sudah dijelaskan bahwa mereka yang ikuti jadwal saya, bukan saya yang ikuti jadwal mereka”. c. Mispersepsi Perbedaan persepsi antara apa yang dimaui dosen yang tidak dapat ditangkap dengan baik oleh mahasiswa terjadi pada WL, QR dan ND. Sementara itu terdapat pula mispersepsi yang berdampak pada kurangnya empati mahasiswa terhadap dosennya (ND) WL menceritakan mengenai konfirmasi yang seharusnya dilakukan mahasiswa karena terkait dengan berkas yang harus dibawa: 199
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
“...mahasiswa sudah diberitahu konfirmasi ulang kalau mau ketemu tapi kadang nggak konfirmasi, jadi berkas bimbingannya nggak saya bawa. Kalau saya bawa tapi ternyata ia nggak datang, saya jadi capek bawa berkas kemana-mana. Nah kadang mahasiswa itu nggak tahu efeknya kalau dia nggak konfirmasi dulu. Kalau sudah konfirmasi maka berkas akan saya bawa. Ada juga mahasiswa yang janjian misalnya jam 13.00, tapi jam 12.30 sudah tanya terus saya ada dimana”. QR banyak membahas tentang preferensi penggunaan telepon dan pesan singkat, serta bahasa yang disingkat pada sms atau pesan singkat. “Ya waktu dulu, saya mau sms dosen aja takut, maka dulu saya kalau mau menghubungi dosen lewat telepon. Namun anak sekarang itu kalau diminta telepon alasannya takut menganggu kita. Nah kalau pakai pesan di WA apa SMS bahasanya banyak yang disingkat. Nah, hal ini bisa terjadi juga mungkin karena kebiasaan saat kuliah terbawa. Misalnya saat sekolah dahulu gurunya tidak menegur, nah ia mengaggap hal tersebut baik-baik saja, maka saat kuliah ia lakukan lagi. Saat kuliah mungkin ada dosen yang masih mau menegur kebiasaan yang kurang baik mahasiswanya, namun kadang ada juga dosen yang tidak mau menegur. Jika tidak ditegur maka ia tidak akan tahu kalau perbuatannya itu membuat orang lain tidak nyaman”. Kurangnya kesopanan mahasiswa pada dosennya dialami oleh ND. Hal ini diduga disebabkan karena mahasiswa memiliki persepsi sendiri dalam berkomunikasi dengan temannya, seolah-olah seperti dalam komunikasi di ruang chatting.ND menuturkan: “.......saya terbangun pagi-pagi karena ada sms dari mahasiswa bahwa sebentar lagi dia akan telepon. Nah kemudian saya lanjutkan istirahat dan kira-kira sejam kemudian ia menelpon, kira-kira jam 7.00. Saya merasa terganggu, karena berbeda persepsi, mahasiswa tahunya saya pasti sudah menyetujui smsnya. Bagi saya itu keliru, karena saya tidak pernah membalas smsnya sama sekali dan tiba-tiba smsnya nyelonong. Terus saya jawab bahwa, tidak sopan untuk menelepon di luar jam kantor. Lalu saya tanyakan kalau jam 7.00 pagi itu apa di kampus ada orang? Maksud saya jam kantor itu adalah jam 8, namun mahasiswa itu dengan yakinnya menjawab, ada pak. Ini adalah bentuk miskomunikasi. Ya pastilah dikampus itu ada orang, tapi bukan itu yang saya maksud”. d. Empati Diduga karena ada mispersepsi antara mahasiswa dengan dosennya, maka timbul masalah kurangnya empati. ND menjelaskan: 200
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
“...... mahasiswa pernah menelepon saya ketika saya kurang enak badan, saya sedang istirahat tiba-tiba mahasiswa menelpon menanyakan kapan mau bimbingan. Lalu saya jawab saya sedang sakit, lain kali saja. Namun satu jam kemudian mahasiswa tersebut menanyakan kembali kapan bapak ada bimbingan. Saya jawab, lho saya sakit kamu kok sering telepon ada apa sih? Terus saya tutup telponnya. Anehnya keesokan harinya mahasiswa telepon lagi menanyakan kapan bisa bimbingan. Saya agak marah terus terang, saya bilang pada mahasiswa itu apakah ia tahu tentang empati. Mahasiswa bilang tahu tapi saya rasa ia tidak tahu, makanya saya tutup saja teleponnya”. Dampak pada Dosen Akibat miskomunikasi dan mispersepsi, dampak bagi pihak dosen adalah emosi negatif, dimana yang paling sering dijumpai pada keempat subyek adalah marah dan terganggu. QR menjelaskan: “Kalau sudah begini, saya jadi tidak suka menjawab.Kesel, sebel dan akhirnya jadi tidak mau balas WA mahasiswa tersebut”.WR mengungkapkan: “Lho yang mengatur jadwal kok kamu. Waktu dulu saya bimbingan sama dosen saya, mahasiswa tuh harus nurut sama dosen, bukan malah milih hari yang kamu mau” PEMBAHASAN Hasil penelitian di atas yang menunjukkan bahwa ada beragam bentuk miskomunikasi antara mahasiswa dan dosennya adalah serupa dengan beberapa studi sebelumnya. Misalnya Kerber (1983) dalam survey kepada mahasiswa menunjukkan bahwa mereka menerima komputer sebagai sesuatu yang efisien dan menyenangkan namun juga menurunkan hubungan sosial. Secara umum, Kraut, Patterson, Lundmark, Kiesler, Mukopadhyay, dan Scherlis (1998) telah membuat kajian terperinci pada 73 keluarga selama tahun pertama komunikasi online mereka, hasilnya menunjukkan bahwa internet berhubungan dengan penurunan komunikasi dengan anggota keluarga dan penurunan hubungan
sosial.
Beberapa
kajian
menunjukkan
adanya
perubahan
dalam
cara
berkomunikasi yang disebabkan minat pada komputer (Orcutt & Anderson, 1977), dimana pengguna tingkat berat menjadi kurang sosial dan kurang dapat berkomunikasi secara efektif dengan orang lain serta berkurangnya minat dalam menafsirkan aspek-aspek komunikasi nonverbal (Simons, 1985). KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat pergeseran etika dalam berkomunikasi antara mahasiswa-dosen dalam penggunaan teknologi informasi disertai dengan adanya perbedaan generasi menyebabkan terjadinya beragam bentuk 201
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
miskomunikasi seperti penggunaan bahasa, penggunaan waktu, dan mispersepsi. Miskomunikasi ini berdampak pada beragam emosi yang dialami oleh dosen.
DAFTAR PUSTAKA Buckingham, D. (2008). Is there a digital generation?. Diakses dari www.communication.com/uploads/1/0/8/8/10887248/is_there_a_digital_generation. pdf pada tanggal 24 Agustus 2013. Kerber, K. W. (1983). Attitudes towards specific uses of the computer. Behaviour and Information Technology, 2, 97–209. Kraut, R. E., Patterson, M., Lundmark, V., Kiesler, S., Mukopadhyay, T., & Scherlis, W. (1998). Internet paradox. American Psychologist, 53, 1017–1031. Montgomery, K.C. (2007). Generation digital: Politics, commerce, and childhood in the age of the internet. Cambridge, Massachusetts: The MIT Press. Orcutt, J. D., & Anderson, R. E. (1977). Social interaction, dehumanization, and the “computerized other.” Sociology and Social Research, 61, 380–397. Palfrey, J., & Gasser, U. (2008). Born digital: Understanding the first generation of digital natives. New York: Basic Book. Simons, G. (1985). Silicon shock. Oxford: Basil Blackwell. Sommer, R. (2002). Personal space in a digital age. Dalam Handbook of environmental psychology. New York: John Wiley & Sons. Hal 665 - 667.
202
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
CYBERCOUNCELING: MEMANFAATKAN TEKNOLOGI DI ERA DIGITAL BAGAIMANA KELEBIHAN DAN KELEMAHANNYA? Nidya Dudija
[email protected] Fakultas Ekonomi Dan Bisnis, Universitas Telkom Abstrak Peranan teknologi dalam segala aspek kehidupan di Abad 21 ini sudah tidak dapat dipungkiri lagi. Penggunaan teknologi terbukti dapat memudahkan dan membantu aktivitas manusia yang dikenal sebagai makhluk sosial. Terutama di Indonesia yang memiliki budaya communal, tersedianya berbagai aplikasi sosial media yang dapat menyatukan setiap orang dari berbagai latar belakang kehidupan sosial dan ekonomi dianggap sebagai suatu “anugrah” sehingga setiap individu mampu mengembangkan jaringan sosialnya melalui bantuan teknologi. Melihat fenomena tersebut, saat ini semakin banyak program jasa yang ditawarkan dengan memanfaatkan teknologi, salah satunya tersedianya program konseling on-line yang saat ini cukup banyak diminati oleh sebagian besar masyarakat. Program konseling on-line dapat dikatakan sangat efektif dan efisien karena individu yang akan melakukan konseling tidak harus datang ke suatu tempat, konseling on-line dapat dilakukan meskipun dibatasi jarak dan waktu. Selain itu melalui konseling on-line identitas klien akan tetap terjaga karena klien dapat menyamarkan identitas dirinya sendiri tanpa melakukan tatap muka dengan konselor. Namun, di antara manfaat positif terdapat juga beberapa kekurangan dari program konseling on-line tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan menggunakan kajian literatur yang akan menjelasakan kelebihan dan kekurangan dari konseling on-line. Kata Kunci: Cybercounceling, Kelebihan, Kekurangan PENDAHULUAN Penggunaan Internet di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahunnya, hal ini terlihat dari Survei pengguna internet di Indonesia yang dilakukan oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) bahwa pada tahun 2016. Jumlah pengguna Internet di Indonesia adalah 132,7 juta user atau sekitar 51,5% dari total jumlah penduduk Indonesia sebesar 256,2 juta. Pengguna internet terbanyak berada di pulau Jawa dengan total pengguna 86.339.350 user atau sekitar 65% dari total penggunan Internet. Jika dibandingkan penggunana Internet Indonesia pada tahun 2014 sebesar 88,1 juta user, maka terjadi kenaikkan sebesar 44,6 juta dalam waktu 2 tahun (2014 – 2016). Seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini
203
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Gambar 1. Data Pengguna Internet Indonesia Tahun 2016 ( APJII, 2016) Survei pengguna Internet yang dilakukan oleh APJII, memperlihatkan perilaku pengguna internet di Indonesia berdasarkan konten komersial yang paling sering di kunjungi pengguna internet yaitu web online-shop sebesar 82,2 juta atau 62%. Sementara untuk konten social media yang paling banyak dikujungi adalah Facebook sebesar 71,6 juta pengguna atau 54% dan urutan kedua pada social media adalah Instagram sebesar 19,9 juta pengguna atau 15%. Seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2. Data Perilaku Pengguna Internet Berdasarkan Konten Yang Dikunjungi (APJII, 2016) Fenomena di atas menunjukkan bahwa penggunaan Internet bagi masyarakat Indonesia bukan merupakan hal yang baru atau asing, bahkan dapat dikatakan internet selalu menjadi kebutuhan setiap individu tanpa bergantung pada usia, status dan pekerjaan individu tersebut. Hal ini terlihat dari hasil survey yang dilakukan oleh APJII mengenai data pengguna internet berdasarkan usia
204
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Gambar 3. Data Pengguna Internet berdasarkan Usia (APJII, 2016) Gambar di atas menunjukkan bahwa usia termuda pengguna internet adalah 10 tahun, selanjutnya pengguna internet terbanyak adalah usia 35-44 tahun sebesar 29,2%. Sedangkan pengguna paling sedikit adalah usia 55 tahun ke atas hanya sebesar 10%. Selanjutnya untuk komposisi pengguna internet di Indonesia akan dikelompokkan berdasarkan pekerjaan, seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini
Gambar. 4. Data Pengguna Internet Berdasarkan Pekerjaan (APJII, 2016) Gambar di atas menunjukkan bahwa Pengguna internet terbanyak berprofesi sebagai Pekerja/Wiraswasta sebesar 82,2 juta atau 62%. Urutan terbanyak kedua pengguna internet berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) sebesar 22 juta atau 16,6%. Hal ini menunjukkan bahwa profesi Ibu Rumah Tangga (IRT) yang selama ini di anggap tidak memegang peranan penting karena cenderung lebih sering berada di dalam rumah dari pada di luar rumah. Namun hal ini bukan menjadi alasan bagi para Ibu Rumah Tangga untuk tidak
memahami
perkembangan
zaman
khususnya
205
perkembangan
teknologi
dan
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
penggunaannya dalam kehidupan. Pemanfaatan teknologi informasi dalam setiap aspek kehidupan membuat banyak industri melakukan bisnisnya secara online baik berupa bisnis produk maupun jasa. Cara ini dianggap sangat efisien dan efektif karena dapat memasarkan dan mempromosikan produknya secara viral ke orang-orang dalam jumlah banyak di seluruh Indonesia tanpa perlu bertemu dengan customernya. Pemanfaatan internet saat ini semakin luas karena adanya inovasi yang dikembangkan oleh para pengguna, sehingga banyak bermunculan aplikasi on-line yang menawarkan seuatu kemudahan kepada manusia. Seperti program e-learning untuk pembelajaran jarak jauh, konseling on-line dan lain sebaga lainnya. Bila dilihat dari usia pengguna internet, maka peluang berkembangnya suatu kegitan dengan memanfaatkan teknologi informasi akan lebih besar lagi. Khusus pada penggunaan teknologi dalam konseling sejak tahun 1990an telah dilakukan penelitian, hasil-hasil penelitian tersebut dapat dikategorikan menjadi tiga wilayah utama antara lain: (1) penyimpanan rekaman konseling (2) analisis data, (3) cybercounceling atau konseling melalui internet dan cyberlearning (Yusop, et al: 2006). Banyaknya ragam situs sosial media yang sangat aktif digunakan dan digermari oleh masyarakat seperti Facebook, Twitter, Instagram, Path, linkedin, Whatsapp, Snap Chat menunjukkan bila penggunaan social media merupakan bagian dari gaya hidup masyarakat di Indonesia saat ini. Sehingga kegitan cybercounseling bukan lagi merupakan hal yang asing bagi para pengguna internet. Kegiatan cybercounceling telah muncul di tahun 1990an melalui layanan konseling melalui internet. Hughes (2000) menyatakan pengertian cybercounseling dan web Counseling adalah praktek konseling profesional dan penyampaian informasi yang terjadi ketika klien dan konselor berada di tempat terpisah dan menggunakan sarana elektronik untuk berkomunikasi melalui internet. Definisi tersebut hanya menyertakan halaman web, email dan chat room yang tapi tidak menyertakan telepon dan faks pada kegiatan cybercounseling. Selanjutnya Secara spesifik, Marthin (2007) membagi dua jenis layanan dalamkonseling melalui internet, yaitu: 1. Non Interaktif berupa situs yang berisi informasi dan narasumberself helpatau pertolongan mandiri. 2. Interaktif synchronousatau secara langsung sepertichat atau instant messaging,dan video conference, maupun interaktif asynchronous yang secara tidak langsung berupa terapi email atau email therapydan Bulletin Boards Counseling (Maples & Sumi: 2008). Non Interaktif dapat berupa situs konseling yang memberikan layanan non interaktif, merupakan suatu bentuk layanan informasi atau jika kita kaitkan dengan bimbingankomprehensif merupakan salah satu bentuk layanan dasar (yang mendukung 206
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
individusebagai sebuah narasumber yang berisi informasi bagi pengayaan diri dan bersifatself helpbagi pribadi yang membutuhkan (Sampson et.al: 2004).Selanjutnya konseling yang berjenis interaktif adalah situs yang menawarkanalternatif bentuk terapi melalui internet, dimana terdapat interaksi antara konseli dankonselor baik secara langsung atausynchronousataupun tidak langsung asyncrhronous. Berikut pembagian jenis layanan yang
ditawarkan
dalam
situs
yangmemberikan
layanan
dalam
bentuk
jenisinteractive.Synchronous yaitu media layanan konseling yang dilakukan secaralangsung dan dalam waktu yang sebenarnya, bentuknya berupa pembicaraan melaluiteks. pembicaraan melalui teks memberikan kesempatan kepada individu-individuuntuk saling berkomunikasi
secara
dinamis
dalam
waktu
yang
sama
melalui
internet(Zack:
2004).Asynchronousmerupakan layanan konseling interaktif akan tetapi tidak terjadidalam waktu
yang
bersamaan.
Sehingga
terdapat
waktu
tunda,
antarapengungkapan
permasalahan Konseli dengan respon yang diberikan oleh konselor.Terdapat dua bentuk layanan dalam metode konseling ini, yaitu terapiemail danBulletin Boards Counseling (BBC).Terapi email merupakan suatu proses menulistentang permasalahan yang dialami dan dirasakan oleh konseli yang bisa dijadikansebagai bentuk terapetik bagi dirinya sendiri. Metode hubungan terapeutik melaluiemail konseling tidak mengenal waktu, artinya bisa dilakukan kapanpun, tidak mengenal tempat secara fisik, konseli tidak perlu mendatangi konselor, tetapi cukup berhubungan melalui internet. Bagi konselor sendiri, memiliki rekaman konselingyang cukup terperinci, karena semua tersimpan dalam bentuk data tertulis. Sampson dan Makela (2014) menjelaskan bahwa sejak tahun 1960-an beberapa literatur telah membahas mengenai penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam bimbingan dan konseling termasuk penjelasan terkait manfaat dan kelemahan penggunaan teknologi pada program konseling. Manfaat teknologi sering berhubungan dengan meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya, memperluas jangkauan sumber daya dan jasa untuk populasi klien yang terlayani, dan membangun komunitas baru atau kelompok dukungan sosial. Sementara itu permasalahan yang dirasakan terkait penggunaan teknologi informasi dan komunikasi adanya kekhawatiran atas masalah etika pada layanan cybercounceling. Pada tabel 1 akan dijelaskan lebih lanjut mengenai beberapa kelebihan dan kekurangan layanan konseling melalui internet yang telah dirangkum dari beberapa sumber (Nabilah, 2010).
207
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Tabel 1. Kelebihan Dan Kekurangan Layanan Konseling Melalui Internet No
Kelebihan
Kekurangan
1
Memberikan kesempatan bagi calon konseli yang merasa kurang nyaman untuk bertemu dan berkomunikasi secara langsung dan bertatap muka dengan konselor
Tidak adanya hubungan atau kontak secara tatap muka, sehingga menyulitkan bagi konselor untuk melihat ekspresi wajah konseli
2
Konselor dapat mengetahui gambaran perasaan atau emosi konseli melalui emoticon yang biasanya terintegrasi dalam aplikasi chat
Tidak adanya kegiatan berbicara secara langsung, sehingga tidak memunculkan reaksi emosional yang secara langsung dapat di interpretasikan oleh konselor
3
Melalui email yang merupakan interaksi yang dilakukan tidka langsung, individu diberi kesempatan untuk berpikir sebelum menulis sehingga individu dapat dengan mudah mengungkapkan perasaan yang sebenarnya melalui tulisan
Tidak terjadinya interaksi secara langsung, kondisi ini membatasi konselor terhadap bahas tubuh konseli yang merupakan bagian dari petunjuk penunjang dalam kegiatan konseling
4
Berbagai transaksi data seperti informan dan formulir bisa diberikan dan dikumpulkan secara online. Hal ini akan memudahkan proses administrasi dan penyimpanan data dan rekaman konseling
Dilakukan diruang virtual, yang memiliki resiko keamanan online. Dalam hal ini, bukan tidak berbagai informasi mengenai data konseli dapat disusupi oleh pihak ketiga.
5
Menghilangkan jarak untuk mendapatkan konseli, keluwesan dalam perencanaan, menghemat anggaran dan memberikan pilihan yang lebih banyak bagi konseli
Keterbatasan ekonomi, dimana tidak seluruh populasi target layanan memiliki akses terhadpa fasilitas digital yang memungkinkan bagi mereka untuk mendapatkan layanan konseling melalui internet.
PEMBAHASAN Konseling online adalah proses konseling yang dilakukan dengan alat bantu jaringan sebagai penghubung antara konselor dengan konseli. Konseling ini dikembangkan menggunakan teknologi komunikasi dari paling yang sederhana menggunakan e-mail, chat, webcam yang terhubung dengan komputer yang menggunakan jaringan internet. Tahap persiapan pada proses konseling diantarannya harus mencakup: aspek teknis penggunaan perangkat
keras
(hardware)
dan
perangkat
lunak
(software),
yang
mendukung
penyelenggaraan konseling online. Seperti perangkat komputer laptop yang dapat terkoneksi dengan internet, headset, mic, webcam dan sebagainya. Perangkat lunak yaitu programprogram yang mendukung dan akan digunakan, account dan alamat email. Media pendukung dalam konseling online, konselor dapat bertemu dengan klien atau konseli dengan menggunakan teknologi. Kondisi ini bertujuan untuk memudahkan konselor dalam membantu kliennya memberikan kenyamanan kepada klien dalam bercerita dengan menggunakan aplikasi teknologi sebagai penghubung dirinya dengan konselor tanpa harus 208
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
tatap muka secara langsung. Seperti melalui penggunaan website/situs dimana konselor dapat menyediakan sebuah alamat situs. Situs ini menjadi alamat untuk melakukan praktik konseling online. Sehingga klien atau konseli yang ingin melakukan konseling online dapat berkunjung ke situs tersebut. Kemudian melalui Email yang berarti surat elektronik. Email merupakan sistem yang memungkinkan pesan berbasis teks untuk dikirim oleh seorang konseli dan diterima secara elektronik oleh konselor melalui beberapa komputer atau telepon seluler. Selain itu cybercounceling juga dapat dilakukan melalui Chat, Instant Messaging dan Jejaring Sosial, Chat dapat diartikan sebagai obrolan, namun dalam dunia internet, istilah ini merujuk pada kegiatan komunikasi melalui sarana beberapa baris tulisan singkat yang diketikkan melalui keyboard. Sedangkan percakapan itu sendiri dikenal dengan istilah chatting. Percakapan ini bisa dilakukan dengan saling berinteraktif melalui teks, maupun suara dan video. Berbagai aplikasi dapat digunakan untuk chatting ini, seperti skype, messenger, google talk, window live messenger, mIRC, dan juga melalui jejaring sosial seperti facebook , twitter dan my space yang didalamnya juga tersedia fasiltas chatting. Ini akan membantu dalam proses konseling jika konseli tidak dapat melakukan proses konseling secara langsung atau face to face. Konseling dengan memanfaatkan teknologi informasi merupakan salah satu hal yang positif, namun bukan berarti kegiatan yang positif tersebut tidak memiliki kelemahan dan hanya memunculkan kelebihan. Konseling yang efektif membutuhkan keterbukaan hubungan
yang
saling
percaya
antara
konselor
dan
konseli.
Melalui
kegiatan
cybercounceling ini konseli dapat lebih terbuka mengingat konseli dapat saja menyamarkan identitasnya dan tidak akan berhadapan langsung dengan konselor. Hal ini membuat konseli dapat lebih terbuka dan bebas berbicara mengenai permaslahan yang akan di konsultasikan. Namun cybercouncelingi ini juga memiliki kelemahan slaah satunya karena konselor tidak melihat secara langsung konseli maka konselor dapat merasa bahwa bisa saja konseli tidak serius dalam menceritakan permasalahannya, selain itu penggunaan internet dalam proses konseling secara tidak langsung akan menimbulkan jarak baik secara fisik maupun psikois diantara konselor dan klien. Hal-hal tersebut yang kiranya perlu di pahami oleh konselor agar dapat memberikan pelayanan konseling yang efektif kepada konseli. KESIMPULAN Teknologi informasi saat ini memiliki perkembangan yang sangat pesat dan tidak lepas dari kehidupan manusia. Bahkan dapat dikatakan penggunaan teknologi informasi saat ini telah menjadi bagian dari gaya hidup manusia. Beberapa individu bahkan sangat tergantung dengan keberadaan teknologi informasi. Salah satunya cybercounceling seiring bekembanganya zaman maka beberapa hal yang biasanya dilakukan secara konvensional dapat
dilakukan
lebih
efisien
dengan 209
memanfaatkan
Teknologi
informasi.
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Cybercouncelingmerupakan kegiatan yang dilakukan oleh konselor professional dalam rangka bertemu/berbicara antara konselor dan konseli dnegan untuk menghasilkan solusi dari maslaha yang dihadapi dengan memanfaatkan Teknologi informasi (internet). Pada prakteknya Cybercounceling memiliki kelebihan dan juga kelemahan yang harus dipahami oleh kedua belah pihak, karena pelayanan yang menggunakan teknologi informasi harus ada kerjasama dan dukungan dari kedua belah pihak diantara konselor dan konseli. Harapannya jika konselor dan konseli telah memahami kelebihan dan kelemahan teknologi informasi dalam menunjang proses layanan bimbingan dan konseling, maka ke depannya bimbingan dan konseling akan menjadi suatu bidang pendidikan yang inovatif dan efisien berkat kemajuan teknologi informasi namun tetap tidak menghilangkan esensi dari layanan bimbingan dan konseling itu sendiri. DAFTAR PUSTAKA Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia .(2016). Data Pengguna Internet di Indonesia. https://www.apjii.or.id Hughes, Rosemarie, S. (2000). Ethics and Regulation of Cybercounseling. www.ericdigests.org/2001-3/ethics.htm Martin, Ann Margareth T. (2007).A Grounded Theory Approach In Developing a Cyber counseling Framework Envisioning a Culture of Peace. Philipines Unpublished. Maples, Mary Finn., Han, Sumi. (2008). Cybercounseling in the United States and South Korea: Implications for Counseling College Students of the Millennial Generation and the Networked Generation. Journal of Counseling and Development Volume: Number:- American Counseling Association Martin, Ann Margaret T. (2004). Cyberspace Counseling: a Counseling Program for Today’s Generation. The Guidance Journal (2004) Vol. 33; 1 (pg. 9-) The Philippine Guidance and Counseling Association Inc. Nabilah. (2010). Pengembangan Media Layanan Konseling Melalui Internet di Perguruan Tinggi (Studi Keterbacaan Media Layanan Konseling Melalui Internet di Universitas Negeri Jakarta). Sampson, James,P., Carr, Darrin, L., Panke, Julia., Arkin, Scott., Vernick, Stacey H., Minvielle, Meagan. (2004). Implementing Internet Website in Counseling Services. Dalam Bloom, John. W., Walz, Garry R (Eds) Cybercounseling and Cyberlearning an Encore (pg. 247-257) USA: CAPS Press. Sampson Jr, J. P., & Makela, J. P. (2014). Ethical issues associated with information and communication technology in counseling and guidance. International Journal for Educational and Vocational Guidance, 14(1), 135-148. Zack, J.S. (2004). Technology of Online Counseling. Dalam R. Krause, J. Zack, & G. Sticker (Eds). Online Counseling: a Handbook for Mental Health Professional (pp.93-121). San Diego, CA: Academy Press
210
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
STRATEGI ORANG TUA DALAM MENGEMBANGKAN INTERAKSI KOMUNIKATIF DENGAN ANAK UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBINA HUBUNGAN SOSIAL ANAK
VIRA AFRIYATI
[email protected] Prodi Bimbingan Dan Konseling FKIP UNIB Abstrak Lingkungan keluarga merupakan ajang pertama bagi individu untuk mengembangkan kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Karena orang terdekat adalah orang tua dan keluarga, maka orang tua dan keluarga sangat mempengaruhi bagaimana kelak individu mengembangkan interaksi dan komunikasinya dengan individu atau orang lain. Peran orang tua dalam mengembangkan interaksi dan komunikasi dengan anak dalam keluarga adalah sebagai: (1) fasilitator, (2) model, (3) mediator, (4) motivator, (5) moderator, dan (6) stabilisator. Untuk mengembangkan interaksi komunikatif orang tua dan anak dalam keluarga hendaknya: (1) kesediaan orang tua untuk menyediakan waktu yang cukup dalam rumah, (2) adanya empati orang tua kepada anak-anaknya, (3) pengembangan rasa saling menghormati, mengasihi, dan membutuhkan dalam keluarga, (4) adanya keramah-tamahan, (5) adanya keterbukaan, (6) adanya tugas dan kewajiban yang seimbang yang diemban seluruh anggota keluarga, (7) menerima adanya perbedaan-perbedaan yang berkembang dalam keluarga, serta (8) adanya kemandirian dan tanggung jawab yang hendaknya dipikul, baik secara sendiri-sendiri maupun secara kekeluargaan. Keyword: Interaksi Komunikatif,Hubungan Sosial PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan kodratnya, manusia memiliki dua dimensi utama dilihat dari kedirian atau individualitasnya dan hubungan antarindividu. Dengan kata lain, manusia merupakan makhluk individu dan sosial. Dua kodrat ini tidak dapat dipisahpisahkan. Individu akan berkembang dan diakui sebagai individu jika ada individu lain. Sebaliknya, kelompok sosial itu sebenarnya merupakan kumpulan individu. Berkaitan dengan dua dimensi manusia tersebut, berkembang pemikiran tentang hubungan antara hakikat manusia sebagai makhluk individu dan sosial. Huijbers (1978:40) mengatakan bahwa kehidupan seseorang itu dipengaruhi oleh orang lain sedemikian rupa sehingga arti dan hakikat hidup manusia itu ditentukan dan dibentuk bersama-sama oleh manusia itu sendiri bersama manusia lainnya. Tokoh lain, Lubis (1978:47) menyatakan bahwa pribadi dan watak, sikap dan tingkah laku manusia dan nilai-nilai yang dianutnya dibentuk oleh masyarakat lingkungannya, alam hidupnya dan oleh berbagai lambang yang dipasangnya mengenai dirinya. Dengan demikian, lingkungan bukan sekedar persyaratan
211
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
pendukung tempat hidup bagi manusia, melainkan suasana yang menentukan serta memberi corak hidup manusia. Hubungan antarmanusia tidak hanya sekedar hubungan antar Aku--Engkau, tetapi pada dasarnya merupakan hubungan antar Aku--Aku.Hubungan antar-manusia merupakan suatu pertemuan yang hakiki dan otentik antara dua manusia yang saling menerima sebagai pribadi manusia yang utuh dan saling menghargai (Kleiden, 1981:25).Oleh sebab itu, hubungan antarmanusia yang hakiki merupakan hubungan yang tidak memperhitungkan perbedaan status sosial, seperti memperhitungkan tingkat pendidikan, turunan, asal-usul, kekayaan, dan lain-lain. Hubungan antarmanusia yang hakiki dan saling menerima pribadi-pribadi, akan menghasilkan kehidupan bersama yang menghimpun sejumlah pribadi-pribadi. Kehidupan bersama manusia atau lebih lazim disebut masyarakat haruslah dibangun dan dibina dengan tetap
memperhitungkan
dan
memperhitungkan
pribadi-pribadi.Sebab,
betapapun
masyarakat itu terdiri atas individu-individu yang memiliki kekhasannya. Tentang ini Berdayev (dalam Hasan, 1973:62) mengata-kan bahwa manusia harus hidup dalam satu lingkungan masyarakat tidaklah berarti bahwa sebagai pribadi, ia harus menjadi bagian dari masyarakatnya, sebab kepribadian tidak pernah bisa menjadi bagian dari apa pun juga. Berarti, pribadi manusia tidak harus sepenuhnya dibentuk dan ditentukan masyarakat, namun masyarakatlah yang dibentuk dan ditentukan oleh pribadi-pribadi. Bobot suatu masyarakat ditentukan oleh bobot individu-individu yang mendukung dan membentuknya Hubungan antarindividu dimungkinkan karena individu itu berinteraksi dengan individu lain. Melalui interaksi, individu saling mengenal, memahami, menyelami, dan akhirnya menghargai individu lain dalam rangka mengem-bangkan individualitasnya sendiri. Interaksi itulah yang kemudian memungkinkan individu mengembangkan komunikasi.Namun, komunikasi tidak mungkin berlangsung tanpa adanya interaksi.Ringkasnya, ada interaksi yang komunikatif dan ada interaksi yang tidak komunikatif.Interaksi yang lebih berdaya guna dalam pengembangan individu adalah interaksi yang komunikatif. B. Permasalahan McInerney & Valentina McInerney (1998: 323) mengatakan, “Teachers, parents and other professionals involved in child care and development”, yang artinya para guru, orang tua, dan kaum profesional lainnya terlibat dalam permasalahan pemeliharaan dan perkembangan anak.Salah satu hal yang menarik adalah bagaimana kemampuan anak mengembangkan berkomunikasi
interaksi
merupakan
yang
komunikatif.Sebab,
kemampuan
yang 212
kemampuan
dipelajari
individu.
berinteraksi Pembelajaran
dan itu
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
berlangsung sesuai dengan lingkungan, usia, dan kematangan individu. Jadi, dapat berlangsung di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Lingkungan keluarga merupakan ajang pertama bagi individu untuk mengembangkan kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Karena orang terdekat adalah orang tua dan keluarga (misalnya kakak, adik, dan sebagainya), maka orang tua dan keluarga sangat mempengaruhi bagaimana kelak individu mengembangkan interaksi dan komunikasinya dengan individu atau orang lain. Dengan kata lain, lingkungan keluarga dan orang tua merupakan lingkungan pertama proses sosialisasi individu. Berdasarkan pengamatan sehari-hari, sering ditemukan adanya individu yang tidak mampu menjalin interaksi dan komunikasi yang ideal dengan individu lain. Antara lain hal itu diwujudkan dalam perilaku menarik diri, berdiam diri, malu, rendah diri, atau sebaliknya terlalu angkuh, tidak mau menghargai orang lain, mau menang sendiri, dan bersikap yang secara umum dikategorikan masyarakat umum sebagai sikap kurang ajar. Menurut Erikson, pakar psikososial (dalam McInerney & Valentina McInerney, 1998:347) mungkin saja pada masa dewasa individu akan mengalami salah-suai dalam berinteraksi secara sosial dan cenderung mengisolasi diri jika pada masa-masa sebelumnya individu tidak mampu mengembangkan interaksi dan komunikasi secara memadai. Meskipun cukup banyak faktor yang dapat dilacak dan ditempatkan sebagai orangorang yang bertanggung jawab atas ketidakmampuan individu menjalin interaksi dan komunikasi dengan orang lain, namun dalam tulisan ini hanya dibatasi pada unsur orang tua dalam keluarga individu. Hal itu dilandasi oleh pemikiran bahwa orang tua dan keluarga merupakan lingkungan pertama yang membentuk perilaku interkasi dan komunikasi individu dengan orang lain. PEMBAHASAN A. Peranan Orang Tua dalam Mengembangkan Interaksi dan Komunikasi dengan Anak dalam Keluarga Meskipun batasan kata orang tua dapat dimaknai secara beragam, namun dalam tulisan ini yang dimaksudkan dengan orang tua adalah orang yang memiliki anak atau lazim dipanggil sebagai bapakdan ibu atau panggilan sapaan lain-nya dari seorang anak kepada orang tua kandung laki-laki dan perempuan.Jadi, orang tua adalah bapak dan ibudari anak atau beberapa orang anak dalam suatu rumah tangga. Di pihak lain, kata anak juga dapat dimaknai secara beragam. Dalam tulisan ini, yang dimaksudkan dengan anak adalah anak (kandung atau tiri) dari orang yang memiliki status 213
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
orang tua dalam suatu rumah tangga.Jadi, hubungan antara anak dengan orang tua adalah hubungan pertalian darah, baik yang dida-sarkan atas status kelahiran maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku (misalnya peraturan tentang adopsi).Orang tua wajib bertanggung jawab mengemban amanah dan memelihara titipan Illahi tersebut. Salah satu bentuk tanggung jawab orang tua kepada anak adalah mengembangkan seluruh potensi diri anak ke arah yang positif.Salah satu sarana mengembangkan potensi tersebut melalui interaksi dan komunikasi. Interaksi dan komunikasi bahkan merupakan sarana pertama dan utama bagi anak untuk mengenali dunia dan lingkungannya.Orang tua juga merupakan orang pertama yang didapati anak melalui interaksi dan komunikasi (Kayati, 2000: 27). Kegiatan interaksi dan komunikasi ini akan semakin intensif dikembangkan anak sesuai dengan irama perkembangannya. Oleh sebab itu, interaksi dan komunikasi antara orang tua dengan anak merupakan sesuatu yang sangat penting, mendasar, dan menentukan bagi anak dalam mengembangkan dirinya menjadi sosok manusia yang kelak berguna bagi dirinya, keluarga, nusa, bangsa, dan agamanya.Pakar psikologi keluarga, Lask (1991: 1) bahkan menyatakan bahwa membesarkan dan mendidik anak merupakan sebuah pengalaman yang rumit dan melelahkan, namun juga dapat sangat menyenangkan dan sangat bermanfaat.Selain itu, Lask (1991: 7) juga mengatakan bahwa keluarga merupakan satu-satunya bagian paling penting bagi kehidupan seorang anak. 1. fasilitator. Menurut Sobur (1999: 99) pada dasarnya anak sering menghadapi berbagai persoalan, kesulitan, dan kekhawatiran. Sementara, kebanyakan orang tua berpandangan bahwa hal itu adalah hal yang wajar bagi anak. Namun, sebenarnya karena berbagai keterbatasan kemampuannya, sebenarnya hal itu dirasakan sebagai sesuatu yang berat. Pakar lain, Lask (1991: 3) menyatakan bahwa apa yang normal pada suatu umur tertentu dapat menjadi masalah pada umur lainnya. Oleh sebab itu, disarankan agar orang tua meluangkan waktu bersama anak-anaknya untuk menciptakan interaksi dan komunikasi. Hal yang sama juga disarankan oleh Berne & Louis M. Savary (1994: 22). 2. model.Orang tua juga merupakan model bagi anak dalam mengembangkan kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi. Dalam hal ini, Solt & Rudolf Dreikurs (2002:77) menyatakan bahwa orang tua hendaknya memperlihatkan sikap hormat kepada anak. Dari sudut pandang lain, Awaludin (2002: 61) menyatakan bahwa kebiasaan orang tua dalam berkomunikasi merupakan pendidikan secara tidak langsung. 3. mediator. Dalam proses interaksi dan komunikasi, apa lagi jika orang tua memiliki lebih dari satu orang anak, tidak jarang terjadi perselisihan antar-anak, bahkan 214
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
mungkin antara anak dengan ibu atau bapak. Dalam hal ini, dituntut kebijaksanaan orang tua dalam menyikapi perselisihan tersebut. Dalam hal ini, Solt & Rudolf Dreikurs (2002: 221) mengingatkan agar orang tua memperhatikan nada suaranya dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak terutama ketika menjadi penengah perselisihan. 4. motivator.Interaksi dan komunikasi dalam keluarga, baik antara anak dengan anak yang lain atau antara anak dengan orang tua tidak selalu hangat. Ada kalanya interaksi dan komunikasi berlangsung secara sepi atau dingin.Oleh sebab itu, orang tua hendaknya dapat berperan sebagai, pihak yang mampu membangkitkan interaksi dan komunikasi dalam keluarga agar selalu akrab, hangat, dan
menyenangkan
seluruh anggota. Hal itu juga dinyatakan oleh Awaludin (2002: 63) bahwa orang tua hendaknya mampu memotivasi anak. Namun, Solt & Rudolf Dreikurs (2002: 153) menyarankan agar orang tua jangan memiliki kecenderungan untuk mendorong atau memotivasi anak melakukan apa yang tidak diharapkan anak. Awaludin (2002: 62) mengingatkan agar orang tua tidak memiliki dualisme standar. 5. moderator.Interaksi dan komunikasi dalam keluarga kadang-kadang juga tidak seimbang. Artinya, ada kalanya interkasi dan komunikasi didominasi oleh pihak tertentu, misanya anak sulung karena telah memiliki kemampuan yang memadai, atau justru anak bungsu karena menjadi pusat perhatian orang tua dan anggota keluarga. Untuk itu, Solt & Rudolf Dreikurs (2002:257) menyarankan agar orang tua mampu menciptakan suasana yang ceria. 6. stabilisator. Suasana ceria dapat dirusak oleh berbagai hal, salah satunya adalah pertengkaran
orang
tua
(suami-istri).
Pertengkaran
didepan
anak
sangat
mengganggu kenyamanan dan interaksi anak dengan anggota keluarga (Sobur, 1999:13). Dalam hal ini, orang tua hendaknya berperan sebagai, yaitu pihak yang memberikan rasa nyaman. B. Jenis-jenis Interaksi Orang Tua dengan Anak dalam Keluarga Penulis tidak menemukan teori tentang jenis-jenis interaksi orang tua dengan anak dalam keluarga.Namun, dari pelacakan tentang teori interaksi, ditemukan adanya empat jenis interaksi orang tua-anak. Kemungkinan jenis in-teraksi itu menurut Joni (1985:3) itu ada tiga, yaitu (1) interaksi satu arah, adalah interaksi yang bersifat sepihak. Orang tua me-megang kendali interaksi dan pemegang otoritas. Anak ditempatkan sebagai objek atau bawahan, pihak yang diperintah (Balson, 1997:221). Orang tua menempat-kan diri sebagai penguasa sedangkan anak-anaknya adalah pihak yang dikuasai-nya. Model interaksi ini berkembang jika orang tua bersifat otoriter. Orang tua cenderung tidak 215
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
mau mendengarkan anak. Menurut Solt & Rudolf Dreikurs (2002:217) kebiasaan tidak mau mendengarkan anak-aaknya merupakan sesuatu yang tidak manusiawi. (2) interaksi dua arah, adalah interaksi timbal-balik, namun cenderung hanya melibatkan dua orang saja. Misalnya, ketika ayah berbicara dengan seorang anak, anak yang lain tidak disertakan. Meskipun model ini lebih baik dibandingkan dengan interaksi satu arah, namun juga belum menciptakan interaksi yang baik karena tidak melibatkan seluruh anggota keluarga. Menurut Balson (1997:222) komunikasi akan berlangsung jika seluruh anggota keluarga memiliki rasa hormat antar-mereka. (3) interaksi multiarah, adalah interaksi yang melibatkan seluruh anggota da-lam keluarga. Dalam model ini, seluruh anggota keluarga merasa memiliki kedu-dukan yang sama, seimbang, saling dihormati dan dihargai. Untuk itu, Gottman & Joan DeClaire (1997:116) menyatakan agar orang tua menghindari kritik yang berlebihan, komentar yang menghina, atau mengolok-olok anak. C. Interaksi Komunikatif Orang Tua dan Anak dalam Keluarga Pada bagian pendahuluan telah diuraikan bahwa tidak seluruh interaksi dalam keluarga, baik antara anak dengan anak maupun anak dengan orang tua, merupakan interaksi yang komunikatif.Oleh karena itu, perlu dideskripsikan lebih lanjut bagaimana kiat membangun interaksi komunikatif orang tua dan anak dalam keluarga. Menurut Sobur (1999:8) jika saja orang tua terampil dalam berkomunikasi dengan anak-anaknya, maka orang tua akan merasa memiliki kontrol yang semakin baik atas dirinya. Pada bagian lain, Sobur (1999:9) mengatakan tiga resep membangun komunikasi yang efektif dengan anak yaitu: (1) mencintai anak tanpa pamrih, (2) memahami sidat dan perkembangan anak dan mau mendengarkan mereka, serta (3) berlaku kreatif dengan anakanak serta mampu menciptakan suasana yang menyegarkan. Interaksi komunikatif antara orang tua dengan anak dalam keluarga cenderung ditentukan oleh kemampuan orang tua mengemban peran seperti diuraikan pada bagian di atas.Selain itu, ada kebiasaan orang tua yang merusak kekomunikatifan interaksi dengan anak.Hal itu dikemukakan Gordon (1985: 23) sebagai berikut. Ada pandangan yang keliru bahwa orang tua diperbolehkan memakai kekuasaan atau otoritas mereka untuk membatasi tingkah laku tertentu yang tidak dapat mereka terima. Orang tua beranggapan bahwa mengendalikan, membatasi, melarang, menuntut, atau menyangkal adalah benar asal dilakukan dengan beberapa cara yang cerdik hingga anak melihatnya bukan sebagai sesuatu yang menolak dirinya, melainkan tingkah lakunya. Di sinilah letak kekeliruannya. Kutipan di atas mengisyaratkan bahwa kebiasaan orang tua untuk mengen-dalikan, membatasi, melarang, menuntut, atau menyangkal merupakan tindakan yang tidak 216
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
bijaksana. Orang tua hendaknya mampu memberikan alasan-alasan yang logis, yang disepakati dan dipahami bersama oleh anggota keluarga yang lain bahwa pembatasan hingga penyangkalan terhadap anak itu memang membe-rikan dampak yang positif dan semua itu dilakukan orang tua untuk menolong anak. Dari sudut pandang yang lain, Awaludin (2002:64) mengingatkan agar orang tua tidak hanya menanamkan pendidikan emosional saja. Pendidikan nilai-nilai, terutama agama juga merupakan hal yang penting bagi anak. Lebih lanjut, Gordon (1985:27) menyatakan bahwa dalam tahun-tahun terakhir ini, ahliahli psikologi telah menemukan beberapa jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan inti tentang
bagaimana
orang
tua
menyikapi
anak-anaknya
dalam
berinteraksi
dan
berkomunikasi.Melalui penelitian dan pengalaman klinis, mulai dimengerti unsur-unsur yang penting bagi hubungan tolong-menolong yang efektif.Unsur yang paling penting adalah bahasa penerimaan. Bagi Gordon (1985:27), penerimaan merupakan sarana utama bagi penumbuhkembangan harga diri anak, seperti terlihat dalam kutipan berikut. Penerimaan adalah bagaikan tanah yang subur, yang memungkinkan benih kecil berkembang menjadi bunga yang indah.Tanah hanya memberi kemungkinan benih berkembang menjadi bunga, tetapi kemampuan berkembang sepenuhnya terletak pada benih itu sendiri.Seperti benih, seorang anak mempunyai kemampuan sepenuhnya di dalam dirinya untuk berkembang. Maka,
penerimaan
yang
tulus
terhadap
anak,
termasuk
kelemahan
dan
keterbatasannya, merupakan hal yang penting bagi pertumbuhan harga diri anak serta perkembangan kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi. Kalau orang tua mampu menerima anak sebagaimana adanya, tidak memberikan tuntutan-tuntutan yang di luar batas kemampuan anak, kelak anak pun akan mampu menerima dirinya sendiri. Jika sudah mampu menerima dirinya, langkah berikutnya adalah mendorong dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengarahkan dirinya. Dalam konteks yang berbeda, Elliott, dkk (1992:57) menyatakan bahwa anak pun hendaknya dibelajarkan untuk mampu berinteraksi dengan individu lain yang memiliki perbedaan kultural, misalnya anak keluarga berkultur Minangkabau berinteraksi dengan anak keluarga kultur Batak. Hal itu akan menambah wawasan kultural anak sehingga mampu menghargai keragaman dan perbedaan budaya. Sebab, pada masanya hampir dapat dipastikan bahwa anak berkembang menjadi individu yang hidup di antara individu lain yang multikultural.
217
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Lebih lanjut, Gordon (1985:29) menyatakan bahwa apabila orang tua belajar bagaimana mengungkapkan melalui kata-kata suatu perasaan yang tulus menerima seorang anak, maka mereka memiliki alat yang dapat memberikan ha-sil-hasil yang menakjubkan.Ini dapat memberikan pengaruh dalam usahanya un-tuk menerima dan menyukai dirinya sendiri serta untuk memiliki harga diri.Mela-lui penerimaan yang tulus, maka berarti juga orang tua mendorong anak berkem-bang dan mengaktualisasikan potensi-potensinya.Hal ini juga dikemukakan oleh Nelson-Jones (1996: 39-40) dengan mengutip pendapat Virginia Satir bahwa setiap kata, ekspresi wajah, gerak-gerik, atau tindakan dalam bagian dari orang tua memberikan anak beberapa peran mengenai nilainya. Sungguh menyedihkan betapa banyak orang tua yang tidak menyadari efek pesan ini terhadap anak-anak dan seringkali bahkan tidak menyadari pesan apa yang disampaikan oleh mereka. Artinya, penerimaan yang tidak tulus akan mengacaukan interaksi dan komunikasi dalam keluarga. Berdasarkan pandangannya, Gordon (1985:31-33) menyimpulkan empat cara yang efektif untuk berinteraksi dengan anak. Keempat cara tersebut adalah: (1) menyatakan menerima tanpa kata-kata, (2) menyatakan menerima tanpa campur tangan, (3) mendengarkan secara pasif, menunjukkan sikap menerima, dan (4) mengutarakan penerimaan dengan kata-kata. Pakar lain, Nelson-Jones (1996:40-41) menyatakan 12 sikap untuk membantu anaknya agar dapat merasa berharga. Sikap tersebut adalah: (1) menunjuk-kan keterikatan, (2) menunjukkan kasih sayang, (3) memahami perasaan, (4) mendengarkan isi pernyataan, (5) mengetahui perbedaan, (6) mengembangkan komunikasi langsung, (7) mengembangkan keterbukaan, (8) mengembangkan cara efektif untuk mengatasi masalah, (9) menyediakan kesempatan belajar yang se-suai, (10) memberikan dorongan, (11) menyatakan diri, dan (12) mengembangkan anak sebagai model dan memiliki tanggung jawab pribadi. Berne
&
Louis
M
Savory
(1994:21)
menyatakan
adanya
delapan
prinsip
mengembangkan komunikasi orang tua dengan anak. Uraian kedelapan prinsip tersebut adalah sebagai berikut, ditambah pandangan pakar lain tentang hal yang sama. 1. Menyediakan diri bagi anak. Dengan menyediakan diri, misalnya memberikan waktu yang cukup untuk mengikuti kegiatan anak, maka anak akan mengembangkan harga dirinya. Rasa harga diri anak-anak tumbuh bila mereka tahu bahwa orang tua memberikan cukup perhatian kepada mereka.Berne & Louis M Savory (1994:22-24) 2. Mendengarkan tanpa menilai. Sering orang tua langsung memberikan penilaian atau jawaban yang memojokkan anak ketika anak mengadu. Misalnya, baru saja anak mengatakan, “Bu, saya tadi di sekolah dihukum guru karena ….”, sang ibu langsung marah dan membentak anaknya, “Dasar bodoh! Mengapa kamu lupa mengerjakan 218
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
pekerjaan rumah semalam? Padahal Ibu ….”. Tindakan ini tidak menolong anak, justru memojokkan anak. Menurut Balson (1999: 209) orang tua mungkin mau mendengar apa yang dikatakan atau dikeluhkan anak, tetapi sering tidak memahami apa keluhan atau perkataan anak tersebut. Untuk itu, jadilah pendengar yang baik, terutama bagi keluhan yang disampaikan anak. Lebih lanjut, Balson (1999: 218) menyatakan bahwa mengungkapkan kembali perasaan anak merupakan langkah pertama untuk membantu anak mengahadai permasalahan yang muncul.Berne & Louis M Savory (1994:24-28) 3. Mengingat nama-nama. Anak-anak berkembang karena jaringan kerja antarmanusia, benda-benda, dan peristiwa yang mewarnai kehidupan mereka. Oleh karena itu, orang tua perlu memiliki dan mengingat panggilan yang khas bagi anakanaknya. Panggilan tersebut tentunya bermakna positif, penuh kasih sayang. Pakar lain, Balson (1999:222) menyatakan bahwa anak-anak hendaknya dihormati, tidak ada alasan bagi orang tua untuk membenci, marah, apa lagi putus asa dalam menghadapi anak-anaknya.Berne & Louis M Savory (1994: 28-32) 4. Berbagi rasa secara timbal-balik. Dengan menyertakan anak melalui berbagai aktivitas berbagi rasa, harga diri anak akan berkembang. Anak-anak merasa dibutuhkan dan membuthukan anggota keluarga lain termasuk orang tua. Berne & Louis M Savory (1994:31-33 5. Menekankan kesamaan. Anak-anak akan merasa berharga dan menghargai orang tua jika merasa adanya kepentingan kesamaan dalam keluarga. Tidaklah bijaksana jika orang tua memiliki anak emas atau anak perak dalam keluarga.Berne & Louis M Savory (1994: 33-37) 6. Melaksanakan pertemuan-pertemuan atau kegiatan yang melibatkan seluruh anggota keluarga. Kebersamaan, pertemuan, dan kegiatan berbagi akan mengangkat harga diri anak. Di samping itu, masing-masing anggota keluarga akan memahami dan menerima perbedaan minat, keunikan, dan hal-hal lain yang bersifat pribadi.Berne & Louis M Savory (1994:37-41) 7. Membawa anak ke tempat-tempat istimewa. Bagi anak-anak, menerima suatu pengalaman yang unik bersama seseorang yang dianggapnya penting berarti orang itu menganggap dirinya juga penting dan berharga. Jadi, di samping memperkaya pengalaman anak, juga mengangkat harga diri anak.Berne & Louis M Savory (1994:41-46) 8. Bersikap apa adanya, jangan berpura-pura. Jika anak-anak tahu bahwa orang tua tampil apa adanya, akhirnya mereka pun akan menyatakan diri seperti apa adanya, tidak berpura-pura.Berne & Louis M Savory (1994:46-49) 219
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Dari sudut pandang yang berbeda, Gottman & Joan DeClaire (1997:65-114) menyatakan bahwa orang tua dan pendidik hendaknya mampu mengem-bangkan lima langkah untuk melatih emosi anak melalui interaksi dan komuni-kasi. Kelima langkah tersebut diuraikan secara singkat sebagai berikut. 1. menyadari emosi anak-anak. Menurut Gottman & Joan DeClaire (1997:73) orang tua hendaknya merasakan apa yang dirasakan oleh anak-anak mereka. Orang tua hendaknya menyadari emosi-emosi, pertama dalam diri mereka sendiri baru kemudian dalam diri anak-anak mereka. 2. mengakui emosi sebagai peluang untuk kedekatan dan mengajar. Menurut Gottman & Joan DeClaire (1997:93-94) memahami emosi anak-anak dapat dijadikan peluang yang lebih besar untuk mendekatkan diri kepada anak-anak sekaligus memberikan pengajaran. Tanpa ada emosi, tidak mungkin orang tua dekat dengan anak-anaknya, apa lagi memberikan pengajaran berharga kepada anak-anaknya. 3. mendengarkan dengan empati dan meneguhkan perasaan anak. Menurut Gottman & Joan DeClaire (1997: 95) dengan kemampuan orang tua berempati kepada anakanaknya, maka akan tumbuhlah harga diri serta kepercayaan diri anak-anaknya. Dua hal itu sangat penting bagi kelangsungan dan masa depan anak-anaknya. 4. menolong anak memberi nama emosi dengan kata-kata. Menu-rut Gottman & Joan DeClaire (1997:101) anak sering tidak mampu memahami apa sebenarnya permasalahan yang berkecamuk dalam dirinya. Dengan interaksi dan komunikasi, orang tua akan membantu anak menemukan apa sebenarnya permasalahan yang sedang dihadapi oleh anak-anaknya. Pemberian nama ter-hadap emosi atau permasalahan yang sedang dihadapi merupakan hal yang pen-ting, sebab dengan mengetahui apa yang sedang bergejolak dalam batinnya anak akan mampu memikirkan
apa
langkah-langkah
yang
dapat
ditempuh
guna
meng-atasi
permasalahan, bagaimana cara melaksanakan langkah-langkah tersebut, serta apa konsekuensinya. 5. menentukan batas-batas sambil membantu anak memecahkan ma-salah. Menurut Gottman & Joan DeClaire (1997:105), anak-anak cenderung be-lum mampu memutuskan batas-batas, baik batas waktu, batas tindakan, maupun hasil dalam memecahkan masalah. Melalui empati, interaksi, dan komunikasi, orang tua dapat membantu anak-anaknya menentukan batas-batas tersebut. Dengan adanya batas yang jelas, anak akan memecahkan permasalahannya sendiri dengan rasa percaya diri dan memperoleh kepuasan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk membangun interaksi komunikatif orang tua dan anak dalam keluarga diperlukan cukup ba-nyak persyaratan. Jika 220
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
diringkaskan, persyaratan itu mencakup: (1) kesediaan orang tua untuk menyediakan waktu yang cukup dalam rumah, (2) empati orang tua kepada anak-anaknya, (3) pengembangan rasa saling menghormati, mengasihi, dan membutuhkan dalam keluarga, (4) adanya keterbukaan, (5) adanya keramah-tamahan, (6) adanya tugas dan kewajiban yang seimbang yang diemban seluruh anggota keluarga, (7) menerima adanya perbedaan-perbedaan yang berkembang dalam keluarga, serta (8) adanya kemandirian dan tanggung jawab yang hendaknya dipikul, baik secara sendiri-sendiri maupun secara kekeluargaan. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan, disimpulkan hal-hal sebagai berikut ini. 1. Peran orang tua dalam mengembangkan interaksi dan komunikasi dengan anak dalam keluarga adalah sebagai: (1) fasilitator, (2) model, (3) mediator, (4) motivator, (5) moderator, dan (6) stabilisator. 2. Jenis-jenis interaksi antara orang tua dengan anak dalam keluarga ada tiga yaitu satu arah, dua arah, dan mulktiarah. Interaksi yang baik adalah interaksi yang multi arah, menyertakan seluruh anggota dalam rumah. 3. Untuk mengembangkan interaksi komunikatif orang tua dan anak dalam keluarga hendaknya: (1) kesediaan orang tua untuk menyediakan waktu yang cukup dalam rumah, (2) adanya empati orang tua kepada anak-anaknya, (3) pengembangan rasa saling menghormati, mengasihi, dan membutuhkan dalam keluarga, (4) adanya keramahtamahan, (5) adanya keterbukaan, (6) adanya tugas dan kewajiban yang seimbang yang diemban seluruh anggota keluarga, (7) menerima adanya perbedaan-perbedaan yang berkembang dalam keluarga, serta (8) adanya kemandirian dan tanggung jawab yang hendaknya dipikul, baik secara sendiri-sendiri maupun secara kekeluargaan. B. Saran Berdasarkan kesimpulan, penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut. 1. Orang tua hendaknya memahami pentingnya interaksi dan komunikasi dalam keluarga sebab sangat menentukan bagaimana kualitas anak pada masa mendatang terutama kualitas dalam berinteraksi dan berkomnikasi dengan orang lain. 2. Perlu adanya pelatihan-pelatihan, baik bagi orang tua maupun calon-calon orang tua agar mampu mengembangkan interaksi dan komunikasi yang efektif. Pelatihan dapat dilakukan dalam bentuk penyuluhan maupun pertemuan-pertemuan ilmiah. 221
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
3. Mahasiswa BK hendaknya memiliki kesempatan memadai untuk mengem-bangkan pemahaman dan keterampilan berinteraksi dan berkomunikasi karena di samping sangat penting bagi kehidupan pribadi dan keluarganya kelak, juga penting bagi pengembangan dan pembinaan karir BK pada masa mendatang. DAFTAR PUSTAKA Awaludin , Imam. 2002. Pahami Anak Anda, Anda akan Sukses Mendidiknya. (Terjemahan karya Adil Fathi Abdullah). Jakarta: Al-Kautsar. Balson, Maurice. 1997. Menjadi Orang Tua yang Sukses. (Edisi ke-4).(Alih Bahasa oleh Sr. Alberta, CB). Jakarta: Gramedia. Berne, Patricia H. & Louis M. Savary. 1994. Membangun Harga Diri Anak. (Alih Bahasa oleh YB Tugiyargo). Jakarta: Kanisius. Elliott, Stephen N., dkk. 1992. Educational Psychology. Sydney: Brown & Benchmark Publishers. Gordon, Thomas. 1985. Menjadi Orang Tua Efektif.(Cetakan ke-3).(Terjemahan oleh Tim Psikologi Klinis Gramedia). Jakarta: Gramedia. Gottman, John & Joan DeClaire. 1997. Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional.(Alih Bahasa oleh T. Hermaya). Jakarta: Gramedia. Hassan, Fuad. 1973. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya. Huijbers, Th. 1978. “Sesama Manusia” (dalam Sekitar Manusia). Jakarta: Gramedia. Joni, T. Raka. 1985. Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Implikasi terhadap Sistem Penyampaian. Jakarta P2LPTK. Kayati, Yuni Nur. 2000. Anakku Sayang, Ibumu Ingin Bicara. Yogyakarta: Mitra Pustaka. Kleden, Ignas. 1981. “Intersubjektivitas sebagai Gejala Kebudayaan. (dalamTifa Budaya, oleh Kasijanto, editor). Jakarta: Lepennas. Lask, Bryan. 1991. Memahami dan Mengatasi Masalah Anak Anda. (Alih Bahasa oleh Bambang Sumanti). Jakarta: Gramedia. Lubis, Muchtar. 1978. Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungan Jawab). Jakarta: Mutiara. McInerney, Denis M. & Valentina McInerney. 1998. Educational Psyhology: Constructing Learning. Sydney: Prentice Hall. Nelson-Jones, Richard. 1996. Cara Membina Hubungan Baik dengan Orang Lain: Latihan dan Bantuan Mandiri. (Cetakan ke-2).(Terjemahan oleh Prihatmo). Jakarta: Bumi Aksara. Sobur, Alex. 1999. Anak Masa Depan. Bandung: Angkasa. Solt, Vicki & Rudolf Dreikurs.2002. Mendidik Anak menjadi Bahagia.(Alih Bahasa oleh Sonny Keraf). Jakarta: Creativ Media.
222
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
TANTANGAN PROFESI GURU BK/KONSELOR SEKOLAH SEKARANG DAN AKAN DATANG Wahid Suharmawan Abstrak Tantangan Guru BK/Konselor sekarang dan akan datang semakin komplek dimana eksistensi profesi Guru BK/Konselor masih menjadi pertanyaan di masyarakat, melalui organisasi profesi ABKIN diharapkan profesi ini semakin berjaya dan dikenal oleh masyakat. Beberapa tantangan yang dihadapi antara lain; Tantangan Internal bagaimana eksistensi profesi konselor ditengan masyarakat modern Indonesia ini semakin diakui. Tantangan Eksternal merupakan tantangan yang berasal dari luar lingkungan pendidikan, dimana lebih mempercayai psikolog daripada Konselor. Tantangan Abad 21 merekomendasikan model bimbingan dan konseling perkembangan (komprehensif), merupakan model yang efektif dan mampu memperbaiki mutu layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Kunci; Konselor, Tantangan Internal, Tantangan Eksternal, Tantangan Abad 21, bimbingan dan konseling perkembangan. Kata kunci: Tantangan guru BK, Konselor sekolah Abstract Master Challenges BK / counselor now and will come increasingly complex profession in which the existence of Master BK / counselor is still a question in the community, through their professional organizations ABKIN expected this profession increasingly victorious and known by society. Some of the challenges faced, among others; Internal challenges how the existence of professional counselors Indonesia ditengan modern society is increasingly recognized. External challenge is the challenge that comes from outside the educational environment, which is more than the trust psychologist counselor. Challenges of the 21st Century to recommend the model guidance and counseling development (comprehensive), is a model that is effective and capable of improving the quality of guidance and counseling services in schools. Key; Counselor, Challenges Internal, External Challenges, Challenges of the 21st Century, guidance and counseling development.
PENDAHULUAN Di Indonesia mulai tumbuh dan dikenal layanan bimbingan dan konseling di sekolah dengan fokus layanan lebih ditekankan kepada penanganan perilaku bermasalah siswa terutama yang menyangkut perilaku disiplin sekolah. Bimbingan dan Konseling dilakukan secara sporadik, oleh guru yang tanpa latar belakang bimbingan dan konseling. Upaya mempersiapkan dan memenuhi tenaga profesional di bidang bimbingan dan konseling dilakukan dengan membuka jurusan Guidance And Counseling (Bimbingan dan Penyuluhan) di UPI (IKIP Bandung saat itu) pada tahun 1964 yang dibidani oleh Dr. Mochtar Buchori, M.Ed. Penyiapan tenaga ahli dan profesional dalam bimbingan dan konseling dikembangkan terus dengan dibukanya Lembaga Pendidikan Post Doktoral IKIP Bandung pada tahun 70an, yang kini berkembang menjadi Program Pasca Sarjana. Program ini menyiapkan para calon Magister dan Doktor Bimbingan dan Konseling, dan berlangsung sampai saat ini. 223
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Upaya penyiapan tenaga profesional dilakukan juga melalui Pendidikan Profesi Konselor, yang mulai dirintis oleh Universitas Negeri Padang sejak tahun 1999/2000. Sertifikasi penggunaan tes bagi para konselor telah diawali pada tahun 1995, kerjasama antara Ditjen Dikdasmen, Universitas Negeri Malang (IKIP Malang ketika itu), dan ABKIN (IPBI saat itu). Sesungguhnya pada tahun 1986/87 upaya yang sama telah dimulai di IKIP Bandung (UPI). Inkorporasi Bimbingan dan Konseling ke dalam sistem pendidikan di Indonesia secara resmi dimulai pada tahun 1975, berbarengan dengan lahirnya Kurikulum 1975. Dalam kurikulum ini bimbingan dan konseling (sebutannya Bimbingan dan Penyuluhan) menjadi bagian terpadu dari program dan layanan pendidikan sekolah. Pada tahun yang sama lahir Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI), sebuah organisasi profesi yang mengemban tugas untuk melakukan upaya profesionaliasi bimbingan dan konseling. IPBI telah banyak berkiprah dalam percaturan Bimbingan dan Konseling Indonesia. Berbagai peraturan dan ketentuan, serta model bimbingan dan konseling yang berlaku di sekolah dewasa ini merupakan bagian dari prestasi IPBI selama 25 tahun terakhir di abad 20. Pada tahun 1984 diberlakukan kuriklum baru, dan bimbingan dan konseling di sekolah diselenggarakan dengan lebih menonjolkan layanan bimbingan karir sehingga namanya berubah menjadi Bimbingan Karir. Perubahan ini tampaknya lebih didasari pemikiran bahwa bimbingan karir sebagai inti atau identitas utama dari bimbingan dan konseling sekolah. Namun pada tahun 1994, seiring dengan diberlakukannya Kurikulum 1994, Bimbingan Karir kembali berubah menjadi Bimbingan dan Konseling, sampai saat ini. Pada dekade yang sama (kurun waktu 60-an sampai 80-an) di Amerika Serikat terjadi perkembangan bimbingan dan konseling yang semakin memperkuat perspektif perkembangan dalam bimbingan dan konseling. Gerakan civil right, gender, dan anti perang Vietnam pada tahun 60-an telah mendorong munculnya gerakan kesehatan mental masyarakat. Gerakan kesehatan mental ini secara bertahap menggeser tanggung jawab utama pekerjaan psikiatrik dan rumah sakit jiwa untuk identifikasi, treatmen, dan pencegahan kesehatan mental menjadi tanggung jawab pusat-pusat kesehatan mental masyarakat. Pada tahun 1975 terjadi perluasan layanan bimbingan dan konseling pendidikan yang diperuntukkan bagi anak-anak berkelainan (berkebutuhan khusus). Layanan ini mencakup penempatan, kolaborasi pembelajaran individual, manajemen rekord anak, konsultasi dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus, orang tua, pengasuh, dan guru. Pendekatan kesehatan mental masyarakat ini cenderung mulai meminimalisasi penggunaan istilah-istilah gangguan mental (mental disease), dan memandang disfungsi psikologis bukan sebagai akibat gangguan kepribadian, melainkan lebih sebagai respon salah suai terhadap situasi yang menuntut pemecahan praktis. Pendekatan ini berfokus pada membantu individu hidup dalam masyarakat dan memecahkan masalah hidup sehari224
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
hari. Fungsi preventif dalam pendekatan ini mulai mendapat tempat lebih penting bagi kesejahteraan manusia, dan menjadi sistem nilai baru dari pekerjaan bimbingan dan konseling. Kepedulian bimbingan dan konseling tidak semata-mata terletak pada peristiwa yang terjadi pada diri klien, melainkan juga mencakup masalah dan sumber-sumber yang melekat pada lingkungan klien, seperti perumahan, pekerjaan, pendidikan, perawatan kesehatan, dan kenyamanan fisik. PEMBAHASAN Konseling dapat dipandang sebagi tipe hubungan tertentu antara orang-orang, yang akan terjadi ketika orang-orang memiliki kebutuhan untuk menceriterakan kisah mereka atau untuk memecahkan masalah dalam kehidupan dengan bantuan orang lain yang bukan keluarga mereka atau yang memiliki hubungan dekat dengan mereka. Dalam masyarakat industrial modern, konseling dan psikoterapi telah muncul sebagai arena penting dan digunakan secara luas untuk kisah teraputik dan kerja personal. Konseling terus dibentuk dan direkonstruksi untuk merefleksikan kebutuhan dan kondisi kelompok orang-orang yang berbeda dalam masyarakat yang kompleks, tidak teratur dan mudah berubah. Konseling hadir untuk menjawab berbagai persoalan dalam dunia yang semakin mengglobal ini. Di Indonesia, perkembangan dunia konseling cukup manarik untuk disimak. Melalui sejarah dan perjuangan yang panjang, maka terbentuklah Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia yang selanjutnya disingkat dengan ABKIN. Organisai inilah yang setidaknya berusaha secara profesional menggerakkan kegiatan konseling di Indonesia. Cita-cita luhurnya adalah terwujudnya para konselor profesional yang dapat berperan dalam membantu masayarakat dan negara. Namun eksitensi konselor profesional mendapatkan berbagai tantangan harus terus dihadapi. Tantangan-tantangan yang dihadapi ada dua yang harus dihadapi yakni tantangan dari dalam konseling/ABKIN dan dari luar. A. TANTANGAN INTERNAL Konsep dasar yang harus ditegakkan adalah bagaimana eksistensi profesi konselor ditengan masyarakat modern Indonesia ini semakin diakui. Tanpa pengakuan masyarakat perkembangan konseling tentu akan angat lambat dan berat. Salah satu bagian yang krusial adalah bagaimana menciptakan konselor profesioanal melalui pendidikan konselor yang handal. Pendidikan profesi adalah usaha untuk memenuhi kompetensi dasar sebagai konselor profesional. Kompetensi diartikan sebagai sesuatu yang harus ada dan dimiliki serta melekat pada jiwa konselor. Kompetensi konselor menyangkut kompetensi akademik dan kompetensi profesional. Kompetensi akademik konselor yakni S1 bidang konseling atau S2 konseling dan 225
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
melanjutkan pendidikan profesi 1 tahun. Sedang kompetensi profesional konselor terbentuk melalui latihan dalam menerapkan kompetensi akademik dalam bidang bimbingan dan konseling yang telah dikuasai dalam kontek otentik di sekolah. Hal ini terentang dari observasi dalam rangka pengenalan lapangan, latihan ketrampilan dasar penyelenggaraan konseling, latihan terbimbing, latihan terstruktur dan latihan mandiri serta program pemagangan dan kesemuanya itu dibawah pengawasan dosen pembimbing dan konselor pamong. Berbagai isu tentang kompetensi ini, pendidikan profesi konselor tidak secara otomatis sepenuhnya dapat memenuhi kompetensi yang diharapkan. Bahkan beberapa kenyataan ada konselor yang tidak memenuhi kompetensi di atas tetapi handal dalam praktek konselor karena mengikuti pelatihan dan pengalamanya. Tetapi sebaliknya konselor yang S1 BK dan menempuh program pendidikan konselor justru tidak berkompeten. Oleh karenanya penting bagi ABKIN untuk membuat sistem pendidikan bagi konselor sekolah yang terstandar. Mengejar kuantitas, tetapi kualitas tetap terjaga. Pekerjaan besar tantangan internal adalah bagaimana ABKIN membangun etika profesi konselor yang didalamnya menyangkut pengembangan isi dan prosedur dalam penanaman etika profesi agar dimiliki oleh konselor. Pekerjaan besar dalam membangun etika profesi konselor menjadi bagian penting untuk membangun ekistensi konselor agar diakui dan dibutuhkan oleh masyarakat. Di luar struktur organisasi ABKIN ada ISPI, HSBKI, MGBK NASIONAL organisasi yang mempunyai tujuan sama dalam mengembangkan profesi Konselor/Guru BK yang justru membuat ABKIN mendapat tantangan. Kiranya ABKIN agar lebih instropeksi diri untuk lebih focus pada konsep pengembangan professional Guru BK/Konselor sekolah dengan mengoptimalkan peran Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor sekolah (penulis lebih setuju dengan sebutan Konselor Sekolah tapi ini menjadi masalah karena Sebutan Konselor Sekolah belum ada payung hukumnya). B. TANTANGAN EKSTERNAL Tantangan eksternal merupakan tantangan yang berasal dari luar lingkungan pendidikan bimbingan dan kenseling yang petanya sangat rumit dan kompleks. Berkaitan dengan eksistensi konselor maka ada tantangan yang luar biasa dari bidang lain misalnya psikologi, kesadaran masyarakat akan kebutuhan konselor, lingkungan sekolah sebagai setting bidang garap yang lebih mempercayai psikolog. Kenyataannya di dunia pendidikan kita lebih memilih psikolog dibanding konselor. Pergeseran kepercayaan ini sebenarnya tidak lepas dari kualitas konselor sekolah yang rendah. Sisi lain adalah psikolog dapat masuk dalam setting pendidikan melalui bidang pengembangan potensi, pengetesan IQ, melakukan jasa psikologi dsb. Ini membuktikan ada persinggungan bidang garap yang kuat antara 226
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
konselor dan psikolog. Oleh karenanya penting sekali mempertegas bidang garap ini secara yuridis formal/kebijakan. Jadi, secara garis besar ada dua masalah, pertama menyangkut aspek ineternal yakni sistem pendidikan profesi konselor, kompetensi konselor, etika profesi konselor dan sebagainya. Perubahan perilaku dan nilai-nilai dan perkembangan tekhnologi dunia yang semakin cepat, memaksa pendidikan konselor harus tetap bisa bertarung dan eksis dalam menyikapi berbagai situasi ini serta landasan hukum/kebijakan yang terkait dengan eksistensi konselor dengan segala atributnya. Salah satu fenomena yang sekarang muncul adalah masyarakat yang lebih memilih menggunakan tekhnologi (gadget) sebagai alat bersosialisasi. Termasuk didalamnya adalah para remaja usia sekolah. Dari bertukar informasi, mencari teman, melakukan transaksi hingga mengekpresikan permasalahan kehidupan pribadinya sebagai bentuk meminta bantuan untuk memecahkan masalahnya. Secara tidak langsung peristiwa ini merupakan peristiwa konseling. Oleh karenanya, konseling sangat mungkin bergeser dan menyentuh wilayah ini. Tugas konseling adalah membuat konsep konseling melalui media ini. TANTANGAN ABAD 21 Pemikiran bimbingan dan konseling perkembangan pada dua atau tiga dekade terakhir di abad 20 mendorong pemikiran tentang model-model penyelenggaraan bimbingan dan konseling dalam seting pendidikan. Pada tahun 1996-1999 di Indonesia terjadi studi yang dilakukan Sunaryo Kartadinata dan tim tentang Quality Improvement and Management System Development of School Guidance and Counseling Services. Penelitian ini adalah grant kepada PPS UPI yang dibiayai oleh University Research for Graduate Education (URGE). Studi ini merekomendasikan bahwa model bimbingan dan konseling perkembangan (komprehensif) merupakan model yang cukup efektif dan mampu memperbaiki mutu layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Model ini memiliki kelayakan untuk diterapkan di semua jenjang pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi, termasuk dalam seting pendidikan khusus. (Sunaryo Kartadinata dan Tim, 1999). Sejak tahun 1998 model ini telah diperkenalkan kepada para konselor melalui seminar, lokakarya, dan pelatihan baik dilaksanakan interen sekolah maupun dalam bentuk kerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional. Sejalan dengan perkembangan bimbingan dan konseling, pengakuan legal atas eksistensi konselor di Indonesia terjadi dengan ditetapkannya UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal 1 ayat (6) dinyatakan bahwa konselor sebagai salah satu kualifikasi pendidik. Pengakuan legal atas eksistensi konselor dalam Sistem Pendidikan Nasional merupakan prestasi puncak dalam sejarah bimbingan dan konseling di Indonesia. Sebagai asosiasi profesi, ABKIN ingin menegaskan dan mendeklarasikan bahwa 227
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
konselor adalah pendidik, dan layanan profesional yang dilakukan oleh konselor adalah bimbingan dan konseling. Sejalan
dengan
pengakuan
legal
atas
eksistensi
konselor,
upaya-upaya
profesionalisasi bimbingan dan konseling dilakukan terus oleh ABKIN. Konvensi Nasional Bimbingan dan Konseling ke XIII tahun 2003, dan Konvensi Divisi-Divisi ABKIN tahun 2004 merekomendasikan langkah lanjut profesionalisasi bimbingan dan konseling melalui standarisasi profesi. Standarisasi tidak hanya secara nasional tetapi juga ke arah standar internasional, yang mencakup etik, akreditasi/sertifikasi, dan kredensialisasi. Secara konkret upaya standarisasi ini diawali pada tahun 2002, dengan pengembangan Dasar Standarisasi Profesi Konseling Indonesia, sebagai hasil kerjasama antara ABKIN dengan Ditjen Dikti. Standar ini masih terus dikaji dan dikembangkan untuk penyempurnaan. Perkembangan model penyelenggaraan bimbingan dan konseling yang dicapai pada akhir abad 20 telah menunjukkan identitas profesi yang semakin kokoh. Model bimbingan dan konseling (perkembangan) komprehensif adalah model yang memposisikan konselor untuk menaruh perhatian penuh kepada seluruh siswa, bekerja bersama dengan orangtua, guru, administrator, dan stakeholder lainnya. Riset yang berbasis pada model komprehensif memberikan penguatan untuk dikokohkannya model ini sebagai model bimbingan dan konseling sekolah, namun masih belum tersosialisasikan kepada seluruh sekolah dan belum menjadi kebijakan nasional; substansi bimbingan dan konseling masih memerlukan pengembangan. Arah perkembangan ini perlu ditindaklanjuti dan ditegaskan dalam agenda abad 21. Sejarah menunjukkan terjadinya ragam pemaknaan dan pemahaman terhadap bimbingan dan konseling, dan memperhadapkan konselor kepada konflik, ketidak konsistenan, dan ketidak kongruenan peran. Untuk mempersempit kesenjangan semacam ini perlu ada langkah penguatan dan penegasan peran dan identitas profesi. Langkahlangkah tersebut adalah: 1. Memahamkan Para Kepala Sekolah Diyakini bahwa dukungan kepala sekolah dalam implementasi dan penanganan progam bimbingan dan konseling, di sekolah, sangat esensial. Hubungan antara kepala sekolah dengan konselor sangat penting terutama di dalam menentukan keefektifan program. Kepala sekolah yang memahami dengan baik profesi bimbingan dan konseling akan: a. memberikan kepercayaan kepada konselor dan memelihara komunikasi yang teratur dalam berbagai bentuk b. memahami dan merumuskan peran konselor c. menempatkan staf sekolah sebagai tim atau mitra kerja. 228
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
2. Membebaskan Konselor Dari Tugas Yang Tidak Relevan Masih ada konselor sekolah yang diberi tugas mengajar bidang studi, bahkan mengurus hal-hal yang tidak relevan dengan bimbingan dan konseling, seperti jadi petugas piket, perpustakaan, koperasi, dsb. Tugas-tugas ini tidak relevan dengan latar belakang pendidikan, dan tidak akan menjadikan bimbingan dan konseling dapat dilaksankan secara profesional. 3. Mempertegas Tanggung Jawab Konselor Sudah saatnya menegaskan bahwa bimbingan dan konseling menjadi tanggung jawab dan kewenangan konselor. Sebutan guru pembimbing sudah harus diganti dengan sebutan konselor (sebagaimana sudah ditegaskan dalam UU No. 20/2003). Perlu ditegaskan bahwa konselor adalah orang yang memiliki latar belakang pendidikan bimbingan dan konseling dan memperoleh latihan khusus sebagai konselor, dan memiliki lisensi untuk melaksanakan
layanan
bimbingan
dan
konseling.
melaksanakan
layanan
bimbingan
dan
konseling
Pemberian didasarkan
kewenangan kepada
lisensi
untuk dan
kredensialisasi oleh ABKIN, sesuai dengan perundangan dan peraturan yang berlaku. 4. Membangun Standar Supervisi Tidak terpenuhinya standar yang diharapkan untuk melakukan supervisi bimbingan dan konseling membuat layanan tersebut terhambat dan tidak efektif. Supervisi yang dilakukan oleh orang yang tidak memahami atau tidak berlatar belakang bimbingan dan konseling bisa membuat perlakuan supervisi bimbingan dan konseling disamakan dengan perlakuan supervisi terhadap guru bidang studi. Akibatnya balikan yang diperoleh konselor dari pengawas bukanlah hal-hal yang substantif tentang kemampuan bimbingan dan konseling melainkan hal-hal teknis administratif. Supervisi bimbingan dan konseling mesti diarahkan kepada upaya membina keterampilan profesional konselor seperti: memahirkan keterampilan konseling, belajar bagaimana menangani isu kesulitan siswa, mempraktekan kode etik profesi, mengembangkan program komprehensif, mengembangkan ragam intervensi psikologis, dan melakukan fungsi-fungsi relevan lainnya. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai Tantangan Guru BK/Konselor sekarang dan akan datang semakin komplek dimana jatidiri dan eksistensi profesi Guru BK/Konselor masih menjadi pertanyaan di masyarakat, oleh karena itu beberapa hal berikut dapat dijadikan rujukan agar kedepan profesi ini semakin berjaya dan dikenal oleh masyakat.
229
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
A. TANTANGAN INTERNAL 1. Konsep dasar yang harus ditegakkan adalah bagaimana eksistensi profesi konselor ditengan masyarakat modern Indonesia ini semakin diakui. 2.
Di luar struktur organisasi ABKIN ada ISPI, HSBKI, MGBK NASIONAL organisasi yang mempunyai tujuan sama dalam mengembangkan profesi Konselor/Guru BK yang justru membuat ABKIN kehilangan jatidiri.
B. TANTANGAN EKSTERNAL 1. Tantangan eksternal merupakan tantangan yang berasal dari luar lingkungan pendidikan misalnya psikologi, kesadaran masyarakat akan kebutuhan konselor, lingkungan sekolah sebagai setting bidang garap yang lebih mempercayai psikolog. Kenyataannya di dunia pendidikan kita lebih memilih psikolog dibanding konselor. 2. fenomena yang sekarang muncul adalah masyarakat yang lebih memilih menggunakan tekhnologi (gadget) sebagai alat bersosialisasi. Termasuk didalamnya mengekpresikan permasalahan
kehidupan
pribadinya
sebagai
bentuk
meminta
bantuan
untuk
memecahkan masalahnya. Secara tidak langsung peristiwa ini merupakan peristiwa konseling. C. TANTANGAN ABAD 21 1. Studi ini merekomendasikan bahwa model bimbingan dan konseling perkembangan (komprehensif) merupakan model yang cukup efektif dan mampu memperbaiki mutu layanan bimbingan dan konseling di sekolah. 2. Untuk mempersempit kesenjangan semacam ini perlu ada langkah penguatan dan penegasan peran dan identitas profesi melalui Kepala Sekolah. 3. Membebaskan Konselor Dari Tugas Yang Tidak Relevan 4. Mempertegas Tanggung Jawab Konselor, Sudah saatnya menegaskan bahwa bimbingan dan konseling menjadi tanggung jawab dan kewenangan konselor. 5. Membangun Standar Supervisi, Supervisi yang dilakukan oleh orang yang tidak memahami atau tidak berlatar belakang bimbingan dan konseling bisa membuat perlakuan supervisi bimbingan dan konseling disamakan dengan perlakuan supervisi terhadap guru bidang studi.
DAFTAR PUSTAKA Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. “Kode Etik Konselor Indonesia”. ----------------. (2004). Arah Kebijakan Pengembangan dan Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia. Kartadinata, Sunaryo. (1996). Kerangka Kerja Bimbingan dan Konseling dalam Pendidikan, Pendekatan Ekologis Sebagai Suatu Alternatif. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar. IKIP Bandung. -------------. (2003). “Kebijakan, Arah dan Strategi Pengembangan Profesi Bimbingan dan Konseling di Indonesia.” Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling, Bandung, 8-10 Desember 2003. 230
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
-------------. (2004). “Standarisasi Profesi Konseling di Indonesia.” Konvensi Nasional. DivisiDivisi ABKIN, Malang 12-13 Agustus 2004. ------------. (2004). “Revitalisasi Bimbingan dan Konseling sebagai Profesi dan Strategi. Pengembangannya.” Seminar Profesi Konselor Masa Depan, Bandung, 2 Agustus 2004. ------------.(1999). “Quality Improvement and Management System Development”. Jurnal Ilmu Pendidikan. Dec. 1999. Vol. 6. h. 413-423. ------------- (2001). “Reaktualisasi Paradigma Bimbingan dan Konseling dan Profesionalisasi Konselor”. Jurnal Bimbingan dan Konseling. Mei 2001, Vol. IV No. 7, h. 3-17. Depdiknas (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta
231
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
BENARKAH STANDAR GANDA SEKSUAL MEMENGARUHI PERILAKU SEKS PRANIKAH PADA MAHASISWA? Wahyu Rahardjo1, Ajeng Furida Citra2, Maizar Saputra3, Meta Damariyanti4, Aprillia Maharani Ayuningsih5, Marcia Martha Siahay6 1,2,3,4,5,6
Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma Jalan Margonda Raya No 100, Depok 16424, Jawa Barat Abstrak Standar ganda seksual yang lebih memihak pria untuk melakukan banyak aktivitas seksual dibandingkan wanita dianggap menjadi salah satu pendorong dilakukannya perilaku seks pranikah oleh kedua jenis kelamin. Tujuan dari penelitian ini adalah melihat secara empiris pengaruh standar ganda seksual terhadap perilaku seks pranikah pada mahasiswa. Partisipan dalam penelitian ini adalah 287 orang mahasiswa (180 mahasiswa pria dan 107 mahasiswa wanita) di Jakarta dan sekitarnya. Hasil penelitian menyatakan bahwa standar ganda seksual memengaruhi perilaku seks pranikah pada mahasiswa sebesar 15.40% (R2 = 0.154, p< .01). Hal ini terjadi karena pandangan positif pria yang memang terdorong untuk terlibat dalam berbagai aktivitas seks karena dukungan kultural. Sementara itu bagi wanita, hal ini terjadi karena standar ganda seksual dipersepsikan hanya ada di masyarakat, tetapi tidak dalam kognisi mereka. Sebagai akibatnya, wanita juga terlibat secara aktif dalam perilaku seks pranikah. Kata kunci: Standar ganda seksual, Perilaku seks pranikah, Mahasiswa PENDAHULUAN Perilaku seks pranikah merupakan salah satu fenomena yang semakin jamak ditemui dalam kultur masyarakat ketimuran. Pergeseran nilai-nilai diyakini menjadi salah satu perihal penyebab kian lazimnya perilaku seks pranikah dilakukan. Kelompok mahasiswa disebut sebagai salah satu kelompok yang rentan terlibat dalam perilaku seks pranikah (Rahardjo, 2015). Hal ini dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu puncak kemasakan seksual individu, pengaruh teman sebaya, dan dorongan internal untuk melakukan eksplorasi (Papalia, Olds, & Feldman, 2009; Rahardjo, 2013). Hal lain yang dianggap memengaruhi perilaku seks pranikah pada individu adalah mengenai standar ganda seksual. Reiss dalam berbagai publikasi dari tahun 1956 hingga 1967 telah lama menyebutkan keterkaitan standar ganda seksual dengan perilaku seks pranikah (Bordini & Sperb, 2012). Standar ganda seksual merupakan terminologi yang mewakili tarikan berseberangan mengenai pria-wanita yang terkonstruksikan secara sosial. Standar ganda seksual sendiri adalah perbedaan kriteria evaluasi mengenai seksualitas pria dan wanita (Bordini & Sperb, 2012). Adapun definisi yang nyaris senada mengenai standar ganda seksual disebutkan oleh Fugere, Escoto, Cousins, Riggs, dan Haerich (2008) sebagai perbedaan standar perilaku seks pria dan wanita yang dianggap pantas secara budaya. Standar ganda seksual terkonstruksi secara lokal pada masyarakat setempat, dan berbeda berdasarkan lintas etnis dan budaya (Crawford & Popp, 2003). 232
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Standar ganda seksual dianggap menguntungkan pria, terutama pada masyarakat yang masih kuat budaya patriarkinya (Hermita & Rahardjo, 2012). Di sisi lain, standar ganda seksual memberikan pria kebebasan secara seksual, sementara itu jika wanita melakukan hal yang sama maka akan menemui sanksi sosial karenanya (Lyons, Giordano, Manning, & Longmore, 2011). Namun demikian, hal yang kemudian dianggap menarik adalah meskipun berada di dalam posisi yang tidak diuntungkan, wanita cenderung setuju terhadap standar ganda seksual karena norma dan budaya memang mengatakan demikian (Fugere dkk., 2008). Sementara itu, studi lain menyebutkan bahwa remaja yang memiliki standar ganda seksual yang tinggi cenderung lebih terbuka dan mudah berbagi dalam berbagai topik seksualitas, termasuk mengenai perilaku seks pranikah dan juga penggunaan alat kontrasepsi (Emmerink, Vanwesenbeeck, van den Eijnden & ter Bogt, 2016). Keterbukaan ini dapat mendorong mereka untuk menjadi lebih mudah terlibat dalam perilaku seks pranikah. Berdasarkan berbagai paparan empiris di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur pengaruh standar ganda seksual terhadap perilaku seks pranikah yang dilakukan oleh mahasiswa. METODE PENELITIAN Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 287 orang mahasiswa di mana 180 orang di antaranya merupakan mahasiswa pria, dan 107 sisanya merupakan mahasiswa wanita. Partisipan penelitian ini diambil dari beberapa lokasi kampus di Universitas Gunadarma, yaitu di kota Depok, Bekasi, Cengkareng, dan Karawaci. Rerata usia partisipan adalah 20.63 tahun (SD = 1.36). Perilaku seks pranikah. Perilaku seks pranikah adalah berbagai perilaku atau aktivitas seksual yang dilakukan individu dengan orang lain sebelum dilakukannya pernikahan (Djamba, 2013). Di dalam penelitian ini, perilaku seks pranikah diukur dengan konsep perilaku seks pranikah milik Antonovsky (1980). Antonovsky (1980) mengurutkan perilaku seks pranikah mulai dari tingkat yang paling rendah menuju pada tingkat yang paling tinggi dengan rentang skor mulai dari 1 hingga 18. Partisipan kemudian memberikan tanda centang pada perilaku seks pranikah terjauh yang pernah dilakukan dirinya. Misalnya jika perilaku seks pranikah terjauh yang pernah dilakukan adalah “Menyentuh jari atau tangan pasangan” maka akan memperoleh skor 1 (karena berada pada tingkat tingkat terbawah). Sementara itu, jika memilih “Saling berpelukan erat dengan pasangan” akan memperoleh skor 10 karena berada di tingkat 10 dari level terbawah. Skor tertinggi adalah 18 yaitu pada tingkat “Berhubungan badan”. Standar ganda seksual. Standar ganda seksual adalah perbedaan kriteria evaluasi mengenai seksualitas pria dan wanita (Bordini & Sperb, 2012). Skala standar ganda seksual 233
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
yang digunakan di dalam penelitian ini menggunakan skala milik Muelenhard dan Quakenbush (2011). Skala ini menitikberatkan pada perilaku-perilaku tertentu yang dilakukan oleh pria dan wanita yang memang dibedakan pantas maupun tidaknya, dengan aspek (1) komparasi, (2) lelaki, dan (3) wanita. Salah satu contoh aitem dalam skala ini adalah “Seorang wanita dikatakan agresif jika memulai aktivitas seksual terlebih dahulu”. Pilihan jawaban untuk skala ini terentang antara Sangat Setuju hingga Sangat Tidak Setuju. Skala ini memiliki aitem sejumlah 26 butir. Untuk aspek pertama adalah komparasi di mana aitem-aitemnya menitikberatkan pada perbandingan kepatutan antara pria dan wanita. Aspek ini awalnya terdiri dari 6 aitem, dan setelah dilakukan daya diskriminasi aitem tersisa 5 aitem dengan reliabilitas sebesar 0.717. Sementara itu aspek ke dua, aitem-aitem yang menitikberatkan pada pria awalnya terdiri dari 10 aitem. Setelah dilakukan daya diskriminasi aitem tersisa 8 aitem dengan reliabilitas sebesar 0.799. Adapun aspek ketiga, aitem-aitem yang menitikberatkan pada wanita awalnya juga terdiri dari 10 aitem. Setelah dilakukan daya diskriminasi aitem maka tersisa 6 aitem dengan reliabilitas sebesar 0.718. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan korelasi dan juga regresi ganda, terutama saat mengukur pengaruh standar ganda seksual terhadap perilaku seks pranikah. Beberapa hasil tambahan diketahui dengan menggunakan uji perbedaan seperti uji-t, terutama saat melakukan komparasi standar ganda seksual dan perilaku seks pranikah berdasarkan jenis kelamin. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian seperti yang diperlihatkan pada Tabel 1 memperlihatkan bahwa ketiga sub dimensi dari standar ganda seksual memiliki korelasi dengan perilaku seks pranikah. Hasil-hasil ini tergolong menarik karena memberikan fakta lapangan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Tabel 1. Korelasi Antar Variabel Mean
STD
1
2
3
1
9.43
5.05
2
17.80
4.40
-0.127*
3
17.69
5.97
0.373**
-0.141*
4
24.14
4.27
-0.142*
0.312**
4
-0.535**
Keterangan: 1=perilaku seks pranikah, 2=standar ganda seksual-komparasi, 3=standar ganda seksual-pria, 4=standar ganda seksual-wanita, *signifikan pada < .05, **signifikan pada < .01 234
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Tabel 2. Regresi untuk Keseluruhan Partisipan Perilaku Seks Pranikah
Standar ganda seksual – komparasi Standar ganda seksual – pria Standar ganda seksual – wanita Standar ganda seksual (komparasi,
R2
Adjusted R2
0.016 (1.6)
0.013 (1.3%)
0.139 (13.9%)
0.136 (13.6%)
0.020 (2%)
0.017 (1.7%)
0.154 (15.4%)
0.145 (14.5%)
pria, wanita)
Terdapat korelasi negatif yang signifikan antara standar ganda seksual yang menitikberatkan pada komparasi jenis kelamin dan perilaku seks pranikah. Hasil senada juga diperlihatkan dengan adanya korelasi negatif yang cukup signifikan antara perilaku seks pranikah dan standar ganda seksual yang menitikberatkan pada apa yang pantas dan tidak pantas dilakukan oleh wanita. Artinya semakin negatif persepsi perbandingan boleh tidaknya aktivitas seksual dilakukan oleh pria atau wanita, atau oleh wanita saja, maka akan semakin permisif perilaku seks pranikah dilakukan. Hal ini mengindikasikan bahwa baik mahasiswa pria maupun wanita dalam penelitian ini terlibat dalam perilaku seks pranikah tanpa terlalu peduli apakah semua aktivitas seksual yang dilakukan itu sebetulnya pantas atau tidak pantas berdasarkan jenis kelamin mereka masing-masing. Hal menarik lainnya adalah fakta bahwa persepsi positif mengenai standar ganda seksual yang menitikberatkan pada apa yang pantas dan tidak pantas dilakukan oleh pria justru berkorelasi secara positif dan signifikan dengan perilaku seks pranikah. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin condong partisipan percaya bahwa pria boleh melakukan segala aktivitas seksual maka akan semakin permisif perilaku seks pranikah dilakukan. Temuan ini menegaskan bahwa tampaknya baik pria dan wanita secara kultural masih percaya bahwa pria memiliki keuntungan lebih besar untuk boleh melakukan berbagai aktivitas seksual dibandingkan wanita (Fugere dkk., 2008). Pria sangat terdorong dengan dukungan eksplisit dari kultur dalam keserbabolehan terlibat dalam berbagai aktivitas seksual (Sakaluk & Milhausen, 2012). Fakta bahwa mahasiswa wanita juga melakukan perilaku seks pranikah secara permisif meskipun meyakini standar ganda seksual senada dengan temuan Kettrey (2016). Kettrey (2016) menyebutkan bahwa individu menempatkan standar ganda seksual hanya dalam ruang kultural di masyarakat, namun tidak di dalam pikiran mereka. Sebagai salah satu konsekuensinya maka meskipun mereka menilai kultur menahan mereka untuk tidak melakukan aktivitas seksual tertentu, mereka tetap melakukan perilaku seks pranikah.
235
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Tabel 3. Komparasi Antar Variabel Berdasarkan Jenis Kelamin Kategori Standar ganda seksual - komparasi
Standar ganda seksual – pria
Standar ganda seksual - wanita
Perilaku seks pranikah
M (SD)
Jenis Kelamin Pria
18.11 (4.32)
Wanita
17.29 (4.50)
Jenis Kelamin Pria
19.41 (6.35)
Wanita
14.79 (3.81)
Jenis Kelamin Pria
23.50 (4.48)
Wanita
25.21 (3.67)
Jenis Kelamin Pria
10.06 (5.24)
Wanita
8.36 (4.53)
t Score
Sig.
t = 1.552
.ns
t = 6.818
p < .01
t = -3.346
p < .01
t = 2.798
p < .01
Hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa pria memang tampak menikmati keuntungan dari keberadaan standar ganda seksual di masyarakat. Hasil yang menarik adalah bahwa wanita memang menyadari bahwa secara kognitif mereka cenderung setuju dengan standar ganda seksual yang ada dan mendukungnya (Fugere dkk., 2008). Persepsi bahwa pria lebih diuntungkan dalam standar ganda seksual ini bukan hanya dipahami oleh pria itu sendiri, melainkan juga oleh wanita (Howell, Egan, Giuliano, & Ackley, 2011). Rudman, Fetterolf, dan Sanchez (2012) menyebutkan bahwa dalam perspektif male control theory (MCT), secara kultural pria justru mendapatkan status dengan aktivitas seksual tertentu yang dilakukan. Berseberangan dengan hal itu, berdasarkan female control theory (FCT), wanita malah kurang memiliki kendali dalam konteks seksualitas di masyarakat sehingga justru mendapatkan stigma karenanya. Salah satu stigma tersebut adalah wanita dianggap sebagai figur yang lebih mudah terlibat dalam seks kasual jika melakukan inisiatif dalam relasi seks, sedangkan persepsi terhadap pria justru muncul setelah aktivitas seks dilakukan (Reid, Elliot, & Webber, 2011). Wanita sendiri, pada dasarnya sangat berusaha merubah pandangan merugikan dari standar ganda seksual tersebut (Milhausen & Herold, 2002), walaupun sulit dilakukan. Namun demikian secara lebih lanjut Rudman, Fetterof, dan Sanchez (2012) juga menjelaskan bahwa halangan maupun larangan yang membatasi wanita untuk melakukan banyak aktivitas seksual sebebas pria dilakukan (dan juga dipercaya baik oleh pria dan wanita) agar wanita tidak mendapatkan stigma yang buruk dari masyarakat. Persepsi bahwa pria mendapatkan dukungan normatif melalui standar ganda seksual ini yang kemudian dianggap menjadi salah satu pendorong sehingga pria terlibat perilaku 236
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
seks pranikah secara lebih permisif dibandingkan wanita (Soller & Haynie, 2016). Di sisi lain, stigma negatif menyebabkan wanita cenderung lebih menjaga diri dan menampilkan perilaku seks yang tidak sebebas yang ditampilkan oleh pria (England & Bearak, 2014). Temuan senada pernah diungkap sebelumnya oleh Abraham dan Rahardjo (2015) bahwa pria selain memiliki perilaku seks pranikah yang lebih permisif dibandingkan wanita, juga lebih cair dalam memandang persoalan seksualitas. Kemungkinan besar hal ini juga terjadi karena peran standar ganda seksual dalam persepsi pria di masyarakat. KESIMPULAN Standar ganda seksual secara empiris memiliki pengaruh terhadap dilakukannya perilaku seks pranikah pada mahasiswa. Namun demikian, pengaruh tersebut tidak cukup besar. Artinya, masih banyak hal-hal lain, baik yang bersifat eksternal maupun internal, memengaruhi dilakukannya perilaku seks pranikah pada mahasiswa. Sementara itu, standar ganda seksual sendiri merupakan suatu hal yang tampaknya bukan hanya didukung secara normatif oleh kultur, tetapi juga masih dipercaya oleh pria maupun wanita. Pria memiliki persepsi yang positif terhadap standar ganda seksual, sedangkan wanita walaupun tidak mendukung, tetapi memercayainya sebagai suatu konsep yang harus dipegang. DAFTAR PUSTAKA Abraham, J., & Rahardjo, W. (2015). Psychopathy, sexual values dimensions, and premarital sexual behavior among urban unmarried adolescents. Procedia Social and Behavioral Sciences, 165, 2-11. DOI: 10.1016/j.sbspro.2014.12.598. Antonovsky, H.S. (1980). Adolescent sexuality. Lexington: Lexintong Books. Bordini, G.S., & Sperb, T.M. (2013). Sexual double standard: A review of the literature between 2001 and 2010. Sexuality & Culture, 17, 686-704. doi:10.1007/s12119-0129163-0. Crawford, M., & Popp, D. (2003). Sexual double standards: A review and methodological critique of two decades of research. The Journal of Sex Research, 40, 13-26. http://dx.doi. org/10.1080/00224490309552163. Emmerink, P.M.J., Vanwesenbeeck, I., van den Eijnden, R.J.J.M., & ter Bogt, T.F.M. (2016). Psychosocial correlates of sexual double standard endorsement in adolescent sexuality. The Journal of Sex Research, 53, 286-297. DOI: 10.1080/00224499.2015.1030720. England, P., & Bearak, J. (2014). The sexual double standard and gender differences in attitudes toward casual sex among US university students. Demographic Research, 30, 1327-1338. DOI: 10.4054/DemRes.2014.30.46. Djamba, Y.K. (2013). Sexual practices in Africa. Dalam A.K. Baumle (Ed.), International handbook on the demography of sexuality. Dordrecht: Springer. Fugere, M.A., Escoto, C., Cousins, A.J., Riggs, M.L., & Haerich, P. (2008). Sexual attitudes and double standards: A literature review focusing on participant gender and ethnic background. Sexuality & Culture, 12, 169-182. DOI: 10.1007/s12119-008-9029-7. Hermita, M., & Rahardjo, W. (2012). Sexual script and sexual double standard: A study from four tribes in Sumatera and Java, Indonesia. Unpublished paper. Presented in the 30th International Congress of Psychology, Cape Town, South Africa. Howell, J.L., Egan, P.M., Giulinao, P.A., & Ackley, B.D. (2011). The reverse double standard in perceptions of student-teacher sexual relationships: The role of gender, initiation, and 237
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
power. The Journal of Social Psychology, 151, 180-200. DOI: 10.1080/00224540903510837. Kettrey, H.H. (2016). What’s gender what to do with it? Sexual double standards and power in heterosexual college hookups. The Journal of Sex Research, 53, 1-12. DOI: 10.1080/ 00224499.2016.1145181. Lyons, H., Giordano, P.C., Manning, W.D., & Longmore, W.A. (2011). Identity, peer relationships, and adolescent girls’ sexual behavior: An exploration of the contemporary double standard. The Journal of Sex Research, 48, 437-449. DOI: 10.1080/00224499.2010.506679. Milhausen, R.R., & Herold, E.S. (2002). Reconceptualizing the sexual double standard. Journal of Psychology & Human Sexuality, 13, 63-83. DOI: 10.1300/J056v13n02_05. Muelenhard, C.L., & Quakenbush, D.M. (2011). Sexual double standard scale. In Handbook of sexuality-related measures (third edition), T.D. Fisher, C.M. Davis, W.L. Yarber & S.L. Davis (Eds.). New York: Routledge. Papalia, D.E., Olds, S.W. & Feldman, R.D. (2009). Human development (ninth edition). New York: McGraw-Hill. Rahardjo, W. (2013). Model perilaku seks berisiko pada pria. Disertasi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Rahardjo, W. (2015). Peran harga diri dan perilaku seksual daring terhadap usia hubungan seks pertama kali dan jumlah pasangan seks pada pria heteroseksual lajang. Makalah. Dipresentasikan pada Seminar Nasional “Selamatkan Generasi Bangsa dengan Membentuk Karakter Berbasis Kearifan Lokal” yang diselenggarakan di Hotel Aston Solo oleh Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Juni 2015. Reid, J.A., Elliott, S., & Webber, G.R. (2011). Casual hookups to formal dates: Refining the boundaries of the sexual double standard. Gender & Society, 25, 545-568. DOI: 10.1177/ 0891243211418642. Rudman, L.A., Fetterolf, J.C., & Sanchez, J.T. (2012). What motivates the sexual doubles standard? More support for male versus female control theory. Personality and Social Psychology Bulletin, 39, 250-263. DOI: 10.1177/0146167212472375. Sakaluk, J.K., & Milhausen, R.R. (2012). Factors influencing university students’ explicit and implicit sexual double standards. The Journal of Sexual Research, 49, 464-476. DOI: 10.1080/00224499.2011.569976. Soller, B., & Haynie, D.L. (2016). Variation in sexual double standards across schools: How do they matter for adolescent sexual behavior? Sociological Perspectives, 22, 1-20. DOI: 10. 1177/0731121416668865.
238
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
PERAN OUTBOUND MANAGEMENT TRAINING TERHADAP MOTIVASI KERJASAMA Wiwien Dinar Pratisti
[email protected] Zainudin Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Abstrak Kerjasama adalah kepedulian satu orang atau satu pihak dengan orang atau pihak lain yang tercermin dalam suatu kegiatan yang menguntungkan semua pihak dengan prinsip saling percaya, menghargai dan adanya norma yang mengatur. Kerjasama dapat dilakukan dalam lingkup kelas berupa penyelesaian tugas kelompok atau lingkup organisasi baik organisasi yang sifatnya intrakurikuler (misalnya OSIS) atau ekstrakurikuler (misalnya kegiatan hobby). Beberapa model intervensi in door dapat diberikan untuk meningkatkan kerjasama, namun pelatihan dengan model out door masih jarang dilakukan. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah menguji peran pelatihan dengan model out door untuk meningkatkan motivasi kerjasama. Adapun judul yang diajukan adalah peran outbound management training terhadap motivasi kerjasama. Perbedaan motivasi kerjasama dalam penelitian yang bersifat eksperimensial ini dilakukan dengan menguji perbedaan motivasi kerjasama sebelum mengikuti pelatihan setelah mengikuti pelatihan sehingga desain eksperimen yang digunakan adalah one gorup pre-test posttest design. Subjek penelitian adalah 15 orang anggota organisasi mahasiswa muhammadiyah yang dipilih secara acak. Instrumen pengumpulan data yang digunakan untuk mengukur motivasi kerjasama adalah skala motivasi kerjasama. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Uji-t. Hasil analisis menunjukan nilai t sebesar 3,292 dengan p<0,01 sehingga dapat diartikan bahwa ada perbedaan yang sangat signifikan pada motivasi kerjasamasebelum outbound dengan setelah outbound, dimana rerata sebelum outbound sebesar 71,467 dan setelah outbound sebesar 75,533. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa peran outbound management training sangat signifikan untuk meningkatkan motivasi kerjasama. Kata kunci: Outbound Management Training, Motivasi Kerjasama, instrumen pengumpulan data PENDAHULUAN Kehidupan manusia tidak erlepas dari keterikatan dengan orang lain, masyarakat atau lingkungan. Keterikatan manusia dengan lingkungan membangkitkan kesadaran global pada manusia untuk menjalin kerjasama dengan sesama. Kesadaran dan terjalinnya kerjasama yang bersifat global tentu bermanfaat dalam membangun kehidupan yang lebih menyenangkan dan sejahtera. Secara fisik, kerjasama yang dibangun memungkinkan manusia untuk menikmati apapun yang tidak mampu disediakan atau dibuatnya sendiri. Manfaat secara psiko-sosial, kerjasama dapat menghadirkan kehidupan yang damai karenaketerlibatan satu orang dengan orang lain yang saling mengisi untuk membangun suasana kebersamaan.
239
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Kerjasama yang dibangun dapat diterapkan dalam kelas di sekolah, maupun organisasi. Kesuksesan dalam mencapai tujuan kelompok atau organisasi sangat ditentukan oleh kerjasama antar anggota kelompok atau organisasi. Permasalahan kelompok atau organisasi yang sering terjadi berupa struktur organisasi yang dibuat sangat kaku membuat kelancaran interaksi sosial antar anggotakelompok atau organisasi menjadi terhambat. Kondisi kelompok atau organisasi tersebut menimbulkan jarak yang lebar antara pimpinan dan anggota sehingga keintiman dalam bekerja kurang terbangun. Sebagai dampaknya adalah pengambilan keputusan kelompok atau organisasi menjadi terhambat sehingga melemahkan daya saing kelompok atau organisasi. Saat ini, semakin banyak organisasi yang mengubah strukturnya menjadi struktur tim kerja (tim based organization) dengan harapan bahwa kerjasama yaang dibangun dapat meningkatkan daya saing organisasi. Pelatihan kerjasama menjadi salah satu alternatif dalam usaha meningkatkan motivasi bekerjasama. Pelatihan kerjasama adalah suatu usaha untuk meningkatkan penampilan kerja. Penampilan kerja ini biasanya berkaitan dengan perubahan pengetahuan, ketrampilan, sikap atau perilaku. Salah satu modelnya adalahexperiential learning, yaitu melibatkan peserta dalam simulasi atau permainan sebagai media mendapatkan pengalaman. Program pelatihan kerjasama dinyatakan efektifapabila dapat mengajarkan pengetahuan tentang kerjasama dan cara untuk melakukannya, dengan mencoba lebih menyentuh aspek afektif supaya peserta mempunyai kemauan untuk bekerjasama di masa yang akan datang. Selama ini, jenis pelatihan yang banyak diminati adalah pelatihan di alam bebas yang lebih dikenal dengan outbound management traning(Ancok, 2003). Ancok (2004) menyatakan bahwa keunggulan outbound management traning adalah; (1) metode ini merupakan simulasi yang dilakukan dengan menyederhanakan kehidupan yang komplek, (2)metode ini mengunakan pendekatan belajar melalui pengalaman (experiential learning) artinya proses pembelajaran dilakukan dengan melakukan dan mengalaminya secara langsung, dan (3)metode ini berusaha menyentuh sisi afektif karena dirancang untuk menciptakan perasaan gembira karena dilakukan dengan permainan. Hampir semua pelatihan experience learning dimaksudkan untuk membangun perilaku yang sesuai dengan yang diinginkan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah metode experience
learningyang
dikemas
dalam
outbound
management
training
mampu
meningkatkan motivasi kerjasama? Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk menguji peran outbound management training terhadap motivasi kerjasama. Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah (1) secara teoritis, terciptanya model pelatihan yang sesuai untuk meningkatkan motivasi kerjasama, dan (2) secara praktis, terjadi perubahan motivasi bekerjasama, yang ditandai oleh semakin meningkatnya motivasi bekerjasama. 240
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Motivasi merupakan kekuatan yang mengarahkan dan mendorong individu untuk melakukan sesuatu. Motivasi mengacu pada driving force yang menggerakkan individu pada kegiatan tertentu (Carlson dalam Yunita, 2000). Wexley & Yukl (As’ad, 2001) juga menyatakan hal yang hampir sama bahwa motivasi sebagai proses yang mendorong dan mengarahkan perilaku (the process by which behavior is energized and directed). Pengertian motivasi tidak terlepas dari istilah motif. As’ad (2001) mengacu pada pendapat Wexley & Yukl, menyatakan bahwa motif adalah hal yang melatarbelakangi individu untuk berbuat mencapai tujuan tertentu; sedangkan motivasi adalah proses yang menimbulkan dorongan atau semangat. Berdasarkan sumbernya, Martin (1992) menyatakan bahwa motivasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik. Motivasi ekstrinsik,adalah suatu tingkah laku yang dimotivasi oleh kekuatan-kekuatan eksternal. Tujuan-tujuan tertentu selalu diincar oleh seseorang yang termotivasi secara ekstrinsik. Motivasi intrinsik, adalah dorongan yang timbul dari dalam diri seseorang tanpa rangsangan atau bantuan orang lain. Sebagai contoh: motivasi ingin tahu, motif bergerak. Berkaitan dengan kerjasama, Dwiatmoko (2004) menyatakan bahwa motivasi dibagi menjadi dua, yaitu motivasi mengejar dan motivasi menghindar. Motivasi mengejar adalah dorongan untuk mendapatkan sesuatu untuk melengkapi relasi antar individu sehingga tercipta suasana kehidupan dalam kebersamaan. Sementara motivasi menghindar adalah dorongan untuk menghindari suasana kerja atau suasana hidup yang tidak nyaman karena tidak adanya kerjasama antar individu dalam kelompok atau antar kelompok. Menurut O’neil (dalam Dwiatmoko, 2004) ada enam aspek atau komponen dalam kerjasama, yaitu: (1) Adaptability, suatu proses di mana orang perorang atau kelompok saling menyesuaikan diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan atau mengenali masalah dan merespon dengan cepat, (2) Coordination, mengelola aktivitas kelompok untuk menyelesaikan tugas sesuai waktunya, (3) Decision making, memanfaatkan informasi yang ada untuk membuat keputusan, (4) Interpersonal, interaksi yang koorperatif dengan anggota kelompok, (5) Leadership, kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain atau dalam hal ini, andil individu dalam menetapkan arah kelompok, dan (6) Communication, mengerti dengan jelas dan akurat setiap perubahan informasi. Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa motivasi bekerjasama dapat didefinisikan sebagai suatu dorongan pada individu untuk melakukan aktivitas bersama atau berinteraksi dengan orang lain secara sinergi untuk mencapai tujuan bersama.Kerjasama yang terjalin dengan baik memerlukan enam komponen atau aspek dasar pembentuk kerjasama, yaitu: adaptasi (adaptability), koordinasi (coordination), 241
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
pengambilan
keputusan
(decision
making),
hubungan
interpersonal
(interpersonal),
kepemimpinan (leadership), dan komunikasi (communication). Kerjasama dapat dibangun melalui berbagai cara atau metode, melalui belajar atau melalui pengalaman atu mengombinasikan antara belajar dan pengalaman yang dikemas dalam bentuk program pelatihan. Boyett dan Boyett (Ancok, 2003) menyatakan bahwa proses belajar yang efektif di dalam program pelatihan memerlukan tahapan sebagai berikut : (1) pembentukan pengalaman(experience). Pada tahap ini peserta dilibatkan dalam suatu kegiatan atau permainan bersama dengan orang lain, ini merupakan bentuk pemberian pengalaman secara langsung pada peserta pelatihan. Pengalaman langsung tersebut akan dijadikan wahana untuk menimbulkan pengalaman intelektual, pengalaman emosional, dan pengalaman yang bersifat fisikal. Dengan pengalaman tersebut, peserta siap untuk memasuki tahap berikutnya yang disebut dengan tahapan pencarian makna (debriefing), (2) perenungan pengalaman(reflect). Tahapan ini bertujuan untuk memproses pengalaman yang diperolah dari kegiatan yang telah dilakukan. Setiap peserta dalam tahapan ini melakukan refleksi tentang pengalaman pribadi yang dirasakan saat kegiatan berlangsung. Dalam melakukan refleksi biasanya peserta menceritakan pengalaman pribadi masing-masing pada berbagai tingkatan belajar, dengan mencari insight atau makna dari pengalaman yang telah dialaminya. Kohler (Sarwono, 1997) menyebut insight ini dengan istilah ‘aha’. Insight tersebut sifatnya pribadi dan memungkinkan beberapa orang dengan pengalaman yang sama dapat memperoleh insight yang berbeda. Hal ini memperkaya insight yang didapatkan dari pengalaman yang sama. Pada tahap ini dapat digunakan sharing kelompok yang bertujuan memperkaya wacana insight-nya, (3) pembentukan konsep(form concept). Tahapan ini sebagai lanjutan dari tahap refleksi, pada tahap ini peserta mencari makna dari pengalaman intelektual, pengalaman emosional, dan pengalaman fisikal yang diperolah dari keterlibatan dalam kegiatan, dengan menanyakan pada peserta apa hubungan antara kegiatan yang dilakukan dan perilaku manajemen yang sesungguhnya. Salah satu contoh pertanyaannya adalah : “Kalau dikaitkan dengan situasi kerja atau organisasi sesungguhnya, perilaku yang anda alami tadi menggambarkan situasi kerja yang bagaimana?, dan (4) pengujian konsep(test concept). Pada tahapan ini para peserta diajak untuk merenungkan dan mendiskusikan sejauhmana konsep yang telah terbentuk di dalam tahapan tiga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat, maupun bekerja dikantor atau dimana saja. Fasilitator membantu para peserta dengan cara mengajukan pertanyaan yang menggiring peserta untuk melihat relevansi dari pengalaman selama pelatihan dengan kegiatan dunia kerja atau organisasi sesungguhnya. Pelatihan dapat dilakukan di dalam ruangan maupun di alam terbuka. Bank (1994) mengatakan bahwa outdoor training merupakan pelatihan yang aktivitasnya diadakan diluar 242
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
ruangan, mengandung petualangan yang terisi dengan aktivitas yang menantang pesertanya. Aktivitas tersebut termasuk perjalanan, petualangan, mengandung resiko dan menghadapi kondisi yang asing. Motlock (Bank, 1994) menambahkan bahwa petualangan tersebut menghadirkan tantangan yang bermakna bagi peserta pelatihan. Outbond management training adalah suatu program pelatihan managemen dialam terbuka yang berdasarkan pada prinsip “experiental learning” (belajar melalui pengalaman langsung) yang disajikan dalam bentuk permainan, simulasi, diskusi dan petualangan sebagai media menyampaian materi. Dalam program outbound management training peserta secara aktif dilibatkan dalam seluruh kegiatan yang dilakukan. Dengan langsung terlibat pada aktivitas (learning by doing) peserta segera akan mendapatkan umpan balik tentang dampak dari kegiatan yang dilakukan, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengembangan diri masing-masing peserta (Ancok, 2003). Ada beberapa alasan untukmenggunakan metode outbond management training antara lain (1) metode ini merupakan sebuah simulasi kehidupan. Kevin (dalam Ancok, 2003) menyatakan bahwa kehidupan organisasi yang sangat komplek dapat disimulasikan ke dalam suatu bentuk kegiatan yang sederhana. (2) menggunakan pendekatan melalui pengalaman langsung (experiential learning).Suatu kehidupan organisasi disimulasikan melalui sebuah permainan yang secara langsung dirasakan sukses atau gagal dalam pelaksanaan sebuah tugas. Kalau terjadi kesuksesan peserta segera tahu perilaku apa yang membuat tim kerja sukses. Demikian sebaliknya kalau tim kerja gagal dalam melaksanakan sebuah tugas, peserta langsung mengetahui perilaku mana yang menjadi penyebab kegagalan itu. Dalam pelatihan outbond peserta terlibat langsung secara kognitif (pikiran), afektif (emosi) dan psikomotorik (gerakan fisik motorik), dan (3) penuh kegembiraan karena dilakukan dengan permainan. Berne (dalam Ancok, 2003) seorang pakar analisis transaksional (transactional analisis),menyatakan bahwa dalam diri setiap orang dewasa ada komponen kehidupan sebagai orang tua, sebagai orang dewasa, dan sebagai anak. Komponen diri sebagai orang tua diwujudkan dalam perilaku menasehati
orang lain.
Komponen pribadi sebagai orang dewasa ditunjukkan pada saat seseorang berdialog dengan akal sehat dengan orang lain. Sedangkan komponen anak-anak terlihat dari perilaku minta perhatian, kasih sayang, dan perilaku bermain seperti anak-anak. Aktivitas pelatihan yang berupa permainan berkecenderungan untuk disukai oleh banyak orang. Dengan menjalani outbound management training, diharapkan terjadi peningkatan motivasi kerjasama anngota organisasi atau kelompok. Oleh karena itu hipotesis yang diajukan adalah outbound management training dapat meningkatkan motivasi kerjasama.
243
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Peneltian ini melibatkan 15 orang anggota organisasi mahasiswa muhammadiyah dan menggunakan instrumen skala motivasi bekerjasama untuk mengukur motivasi bekerjasama. Observasi, dokumentasi merupakan sarana pendukung dari pengumpulan data penelitian. Rancangan eksperimen yang digunakan adalah one group Pretest-postest Design (Suryabrata, 1990). Untuk menguji hipotesis yang diajukan dengan berdasar rancangan eksperimen yang telah ditetapkan maka teknik yang digunakan adalah Uji-t. PEMBAHASAN Pembahasan dalam penelitian ini melalui dua bagian yaitu secara kelompok dan individual. Hasil uji-t antara rerata sebelum outbound dan setelah outbound menunjukkan t sebesar 3,292 dan p sebesar 0,002 dengan p<0,01, hal ini dapat diartikan bahwa ada perbedaan yang sangat signifikan tingkat motivasi kerjasamapada kelompok eksperimen, dimana rerata kelompok eksperimen sebelum outbound sebesar 71,467 dan setelah outbound sebesar 75,533. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, motivasi kerjasama kelompok eksperimen setelah outboundlebih tinggi dibanding sebelum mengikuti outbound. Dengan kata lain, tersebut sekaligus menunjukkan bahwa outbound management training berperan sgnifikan bagi motivasi bekerjasama. Hasil penelitian ini mendukung pernyataan Ancok (2003), bahwa outbound telah pula digunakan untuk membangun tim serta modal sosial. Modal sosial adalahjaringan kerjasama di antara warga masyarakat yang memfasilitasi pecarian solusi dari permasalahan yang dihadapi mereka. Cohen dan Prusak (Ancok, 2003) berpendapat bahwa, modal sosial adalah kumpulan dari hubungan yang aktif di antara manusia: rasa percaya, saling pengertian, dan kesamaan nilai dan perilaku yang mengikat anggota dalam sebuah jaringan kerja dan komunitas yang memungkinkan adanya kerjasama. Modal sosial menjadi semakin kuat apabila sebuah komunitas atau organisasi memiliki jaringan hubungan kerjasama, yang baik secara internal organisasi, atau hubungan kerjasama yang bersifat antar organisasi. Jaringan kerjasama yang sinergik yang merupakan modal sosial dapat memberikan banyak manfaat bagi kehidupan bersama. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dari hasil penelitian maka diambil kesimpulan: a. outbound management training berperan signifikan untuk meningkatkan motivasi bekerjasama. Berdasarkan hasil analisis Uji t yang membedakan motivasi bekerjasama sebelum pelaksanaan dan setelah outbound training menunjukkan t sebesar 3,292 dengan 244
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
p<0,01 yaitu p sebesar 0,002. Rerata empirik motivasi bekerjasama kelompok eksperimen setelah
outbound training sebesar 75,533 sedangkan rerata sebelum outbound training
sebesar 71,467. Dengan demikian tingkat motivasi bekerjasama setelah outbound training lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum pelasanaan outbound training. b. Berdasarkan hasil penelitian terdapat tujuh subjek yang mengalami peningkatan motivasi bekerjasama setelah mengikuti outbound training, serta ada delapan subjek yang tidak mengalami perubahan motivasi bekerjasama atau tergolong tetap secara norma akan tetapi secara kuantitatif tetap mengalami peningkatan. Dengan demikian secara umum outbound management training yang dilakukan cukup berhasil untuk meningkatkan motivasi bekerjasama pada subjek penelitian. Berdasarkan hasil penelitian, analisis dan kesimpulan, ada beberapa saran yang ingin penulis sampaikan yaitu (1) hendaknya peserta atau subjek penelitian menindaklanjuti outbound management training ini dengan kegiatan-kegiatan pendukung yang berhubungan dengan motivasi bekerjasama, dan (2) mengusulkan outbound management training sebagai salah satu sarana untuk peningkatan SDM. DAFTAR PUSTAKA Ancok, D. 2003. Outbound Management Training, Aplikasi Ilmu Perilaku Dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta, UUI Press. Ahmadi, H.A. 1999. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta. As’ad, M. 2001. Seri Ilmu Sumber Daya Manusia. Psikologi Industri. Edisi ke-empat. Yokyakarta : Liberty. Bank, J. 1994. Outdoor Development For Manager. 2nd .Eds. England : Gower Publishing Limited Baron, R.A & Byrne, D. 1991. Sosial Psychology : Understanding Human Interaction. Sixh Edition. Boston: Allyn and Bacon. Dwiatmoko, E. 2004. Pengaruh Diskusi Tayangan Film Petualangan Kelompok Terhadap Motivasi Bekerjasama. Sosiosains, 17 (4), Oktober 2004 (hal 615-625) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Martin, H. 1992. Motivasi Daya Pengerak Tingkahlaku. Yogyakarta : Kanisius Rahayu, E. 2002. Bentuk-Bentuk Motivasi Ekstrinsik Siswa Tunagrahita Mampu Didik Di Yokyakarta, Psikomedia Kajian Ilmiah Psikologi, Volume 2. no 2 hal. 96-103. Sarwono, S.W. 1997. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: PT Balai Pustaka.
245
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
PROFESIONALISASI KONSELOR DI ERA GLOBALISASI PENTINGNYA PERAN PENYELIAAN KLINIS I Wayan Dharmayana Email:
[email protected] Bimbingan dan Konseling Universitas Bengkulu Abstrak Konseling sebagai helping profession merupakan pelayanan keahlian dengan tingkat ketepatan yang tinggi untuk kebahagiaan individu yang dilayani. Tenaga profesional yang memiliki kualifikasi profesional spesialis dalam bidang bimbingan dan konseling yang diakui, diakreditasi dan dilisensi dalam bidang itu tidaklah sebatas pengakuan, namun wujud kinerjanya patut memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai konselor. Pertanyaan yang urgen dijawab dalam artikel ini adalah seberapa profesionalkah konselor Indonesia? Bagaimana memastikan bahwa tenaga konselor yang dihasilkan benar-benar dapat menjalankan tugasnya secara profesional sesuai standar yang ditentukan? Peran Penyeliaan klinis menjadi sangat penting sebagai gatekeeper masuknya tenaga-tenaga yang menunjukkan profesionalitas yang nyata sebagai konselor. Penyeliaan Klinis bagi konselor sangatlah penting untuk memastikan bahwa konselor benar-benar telah dapat memenuhi standar kualifikasi dan kompetensi yang ditetapkan. Kata Kunci: Tenaga Profesional, Konselor, Penyeliaan klinis PENDAHULUAN Konselor adalah tenaga profesional dalam membantu individu-individu yang sedang berkembang untuk mencapai perkembangan optimal, kemandirian dan kebahagiaan, sehingga akan mencapai kehidupan
efektif keseharian berdasarkan norma-norma yang
berlaku (Wibowo, 2016). Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 tahun 2008 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor dinyatakan bahwa Konselor adalah tenaga pendidik profesional yang telah menyelesaikan pendidikan akademik strata satu (S1) program studi bimbingan dan konseling dan Program Pendidikan Profesi Konselor dari Perguruan Tinggi Penyelenggara pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi. Dalam Permendikbud 111 Tahun 2014 dinyatakan bahwa: Konselor adalah pendidik yang berkualifikasi akademik
minimal Sarjana Pendidikan (S1) dalam
bidang bimbingan dan konseling dan telah lulus Pendidikan Profesi Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor. Dalam upaya profesionalisasi konselor, baik yang telah lulus Pendidikan Profesi Konselor, maupun Pendidikan Profesi Guru Bimbingan dan Konseling, dan untuk memperkokoh eksistensi profesi konselor dan kepercayaan publik di era MEA dan masyarakat terbuka di era globalisasi abad ke-21, profesi konselor harus selalu berefleksi dan mengembangkan diri agar kinerja konselor dapat benar-benar memenuhi standar kompetensi yang telah ditetapkan. Berefleksi diri sangatlah penting untuk lebih menyadari kekuatan dan kelemahan dalam kompetensi yang telah dikuasai terutama dalam melakukan
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
konseling. Penyeliaan Klinis menjadi penting kedudukannya terhadap konselor untuk pengembangan profesional berkelanjutan yang selalu berefleksi dan memperbaiki diri untuk berkembang sesuai zamannya. PERAN PENYELIAAN KLINIS DALAM KONSELING Penyeliaan (supervision) adalah suatu intervensi yang diberikan oleh anggota yang lebih senior dari suatu profesi hubungan evaluatif dan
terhadap anggota yang lebih junior. Hubungan
ini meliputi
hierarchal; diperluas dari waktu ke waktu dengan tujuan yang
simultan yaitu meningkatkan fungsi profesional dari orang yang lebih junior,pemantauan kualitas layanan yang ditawarkan kepada klien dan melayani sebagai penjaga pintu gerbang bagi mereka yang memasuki profesi tertentu (Bernard & Goodyear, 2009). Berdasarkan definisi di atas maka dapat dirincikan ada lima aspek penting dalam aktivitas penyeliaan, yaitu (1) Aspek evaluatif terhadap yang diselia (supervisees), yaitu menerima umpan balik mengenai performansi mereka, menginformasikan mengenai kekuatan dan kelemahan terapeutik keterampilan-keterampilan atau area fungsi profesional yang butuh pengembangan, (2) Diperluas dari waktu ke waktu. Penyeliaan adalah sebuah proses, waktu diperlukan untuk terjadinya belajar dan pertumbuhan konselor bekerja dengan berbagai klien yang bervariasi, mengujicoba intervensi, strategi dan teknik yang berbeda, melacak dan meneliti upaya treatmen mereka dari waktu ke waktu (apa dan dengan siapa mereka lakukan dengan baik, atau tidak baik, dan mengapa?), (3) meningkatkan fungsi profesional konselor meliputi kemampuan-kemampuan konseptual, intervensi, implementasi, dan asesmen, (4) Memantau kualitas layanan profesional; penyelia bertanggungjawab terhadap perlakuan yang diterima klien. Jika ditemukan konselor yang merugikan klien, langkah-langkah harus diambil untuk membantunya meningkatkan perawatan klien, dan (5) Melayani sebagai penjaga pintu gerbang (gatekeeper). Penyelia bertanggungjawab memelihara standar-standar profesional; jika penyelia menganggap bahwa supervisee masih tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan setelah pelatihan yang diawasi, penyelia dapat mengharuskan supervisee yang akan terlibat dalam remediasi sampai mereka siap memasuki suatu profesi. Uraian di atas mendeskripsikan tujuan penyeliaan pada dasarnya ada tiga, yaitu: untuk (1) melayani sebagai seorang penjaga pintu gerbang (gatekeeper) bagi suatu profesi, (2) meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan personal dan profesional konselor, dan (3) menjaga keamanan terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan klien. Penyeliaan menjadi sangat penting memiliki tiga fungsi, yaitu (1) Fungsi Pendidikanterkait dengan hambatan ketidaktahuan, (2) Fungsi
dukungan terkait dengan hambatan
emosional, dan (3) Fungsi administratif terkait dengan hambatan organisasi.
247
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Fungsi pertama, meliputi pemberian pengetahuan dan keterampilan-keterampilan; pengembangan kesadaran dan nilai diri, refleksi praktek, pengintegrasian teori dan praktek, dan memfasilitasi penalaran profesional. Fungsi kedua meliputi: penanganan stress terkait pekerjaan, memelihara moral supervisee, dan mengembangkan rasa profesional diri , atau rasa berharga dan bangga terhadap profesinya. Fungsi ketiga meliputi memperjelas peran dan tanggungjawab konselor, merencanakan dan mengelola beban kerja, menginduksi dan menempatkan konselor baru, dan pemantauan, peninjauan, dan mengevaluasi kerja konselor. Profesionalitas seorang konselor sangat ditentukan seberapa fokus penyelia dalam melakukan penyeliaan. Penyeliaan yang efektif sangat ditentukan oleh seberapa fokus penyeliaan diakukan terhadap (1) proses dan keterampilan intervensi, yaitu penyeliaan terhadap apa yang dilakukan konselor dalam sesi-sesi konseling (dalam memberi salam kepada klien, permintaan informasi, merefleksikan apa yang didengar klien, mengkonfrontasi apa yang menjadi kontradiksi, menstruktur permainan peran, mendukung klien yang mengalami stress yang berat. Terentang dari yang sederhana (restatement), sampai peran yang rumit (intervensi paradoksial, tergsantung pada kemampuan
yang diselia. Sebagai
contoh penyelia ketika fokus pada proses dan keterampilan konseling mengatakan:
"Saya pikir pertanyaan awal Anda adalah baik." "Anda menggunakan banyak pertanyaan dalam sesi Anda. “Saya ingin tahu apakah Anda bisa mencoba menggunakan refleksi. " "Apakah Anda bersedia untuk mencoba bermain peran dengan klien?" "Perilaku nonverbal Anda dikomunikasikan pengasuhan terhadap (2) Penyeliaan klien." yang berfokus pada keterampilan meng-konseptualisasi terpusat pada bagaimana konselor yang diselia memahami data klien, keterampilan berfikirnya, Aktivitas rahasia dari supervisee terutama dalam: mengidentifikasi perhatian utama dari klien, merencanakan sesi-sesi mendatang, dalam memilih respon bantuan tertentu dengan tujuantujuan tertentu dalam fikiran; penggunaan refleksi perasaan sebagai sebuah proses; memilih pesan-pesan mana direfleksikan adalah sebuah keterampilan mengkonsepsi.Sebagai contoh penyelia mengatakan:
"Ketika Anda ditanya tentang ayahnya, apa yang Anda cari?" "Kemana Anda pergi dari sini dengan klien ini?" "Saya pikir Anda mengambil semua tema utama dalam sesi." (3) Penyelia yang berfokus pada keterampilan personalisasi berpusat pada penggunaan atribut personal dalam hubungan terapiutik; menjadi nyaman dan bertanggungjawab sebagai 248
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
seorang helper; memungkinkan rasa humor muncul, mampu menangani berbagai emosi yang ditunjukkan klien dan mampu menerima kritik yang konstruktif dari Penyelia. Sebagai contoh Penyelia mengatakan: "Anda mampu menjaga ketenangan Anda, bahkan ketika klien menjadi gelisah. Itu bagus." "Nampak bagi saya bahwa Anda merasa menyesal ketika memberikan pekerjaan rumah kepada klien, seperti Anda tidak ingin membuang-buang waktunya. Hal itu mengkomunikasikan kurangnya kepercayaan pada diri Anda. Itukah yang anda rasakan? " "Anda nampak tenang setiap kali saya memberikan umpan balik. Saya ragu anda dapat menangkap makna dan apa artinya. "
(4) Penyeliaan yang berfokus pada Standar dan keterampilan Profesional, yang meliputi penampilan selama, di dalam dan di luar hubungan terapeutik, tumpang tindih dengan keterampilan personalisasi, kurang terlihat dalam pelatihan awal dan lebih jelas dalam pengalaman kemudian; laporan tertulis pada waktu menjaga kerahasiaan, berperilaku profesional dalam penempatan lapangan, dan berpakaian tepat setiap saat. Sebagai contoh Penyelia mengatakan: "Hal ini mungkin terdengar pilih-pilih, tapi saya tidak berpikir Anda harus mengunyah permen karet saat Anda melihat klien ini." "Saya senang dengan bagaimana Anda menangani rujukan ke Pusat Layanan Keluarga. Segala sesuatu dalam rangka. " "Laporan terakhir yang Anda berikan memiliki beberapa kesalahan tata bahasa. Saya telah mencatat pada laporan dan saya ingin Anda untuk menulis ulang. "
Agar tugas dan fungsi dan tujuan penyeliaan dapat dicapai secara efektif, maka Penyelia dapat berperan sebagai (1) Guru, (2) Konselor, dan (3) Konsultan. Peran sebagai guru, seorang penyelia memberikan informasi, pembelajaran, arahan: tentang teknik-teknik baru, model treatmen terbaru, atau membuat sugesti arahan yang baru, mengadakan
latihan-latihan
mendemonstrasikan.
Ini
keterampilan
dilakukan
Penyelia
dasar, ketika
mengajarkan berhadapan
model,
dengan
dan
konselor
pemula.Kebanyakan komentar instruksional dan komentar evaluatif adalah komentar guru Hasil penelitian menunjukkan bahwa supervisee lebih menyukai penyelia yang memerankan diri sebagai guru pada awal penyeliaan (Rabinowitz, Heppner, & Roehlke, 1986), karenamereka tidak yakin, dan peran guru memberikan struktur dan rasa aman. Peran Penyelia sebagai konselor berfokus pada interaksi interpersonal dan intrapersonal, misalnya Penyelia memfasilitasi konselor untuk mengeksplorasi diri. Berfokus pada makna yang diberikan kepada peristiwa & perasaan tentang pengalaman. Tujuannya adalah untuk memfasilitasi konselor berkembang dengan eksplorasi diri dan dorongan.Peran sebagai konselor dibutuhkan ketika supervisee memiliki beberapa masalah personal yang menghambat upaya terapeutik, yang bertujuan untuk pertumbuhan pribadi supervisee. Peran 249
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
ini digunakan berdasarkan asumsi bahwa cara yang paling sah untuk berkembangnya supervisee secara profesional adalah bertumbuh secara pribadi. Saat ini peran sebagai konselor merupakan pilihan bagi Penyelia, lebih baik merujuk supervisee untuk mengikuti konseling pribadi (Penyelia sebaiknya bahkan harus menghindari peran ganda). Peran Penyelia sebagai Konsultan berhubungan layaknya kolega dalam bertukar informasi dan ide; dalam hal ini Penyelia sebagai manusia sumber dan memelihara efikasi diri supervisee. Konselor yang diselia dapat menerima latihan-latihan yang dipertimbangkan untuk diikuti yang memberi lebih pengalaman dan menawarkan saran-saran. Otoritas yang sama dalam berbagi, berbagi belajar,
lebih berkolaborasi dan bercurah mendapat; taraf
dimana ada saling percaya dan menghormati secara profesional.
TATA ATURAN DAN PROSEDUR PENYELIAAN KLINIS Tata aturan dan prosedur penyeliaan meliputi (1) Menetapkan Parameter Yang Jelas, (2) Menetapkan Tujuan, (3) Memberikan Feedback, (4) Melaksanakan Penyeliaan, (5) Hubungan Penyeliaan, (6) Pertimbangan Advokasi dan Keberagaman, (7) Pertimbangan etis, (8) Dokumentasi Pertanggungjawaban, (9) Evaluasi, (10) Format Penyeliaan, (11) Penyelia, (12) Persiapan Penyeliaan, (13) Hambatan terhadap Penyeliaan Yang Efektif (Tan So Yin, 2016) Menetapkan parameter penyeliaan meliputi: frekuensi,Keterlibatan terh lama sesi-sesi konseling, harapan terhadap hubungan, lokasi penyeliaan dan ketersediaan dan kemauan untuk dihubungi. Dalam menetapkan tujuan penyeliaan bersama konselor yang diselia (supervisee) menetapkan tujuan yang spesifik untuk penyeliaan. Menekankan tujuan yang secara langsung bagi aliansi terapeutik antara supervisee dan klien. Adapun cara yang efektif untuk menetapkan tujuan adalah (a) kekuatan yang dirasakan keduabelah pihak, (b) area penyeliaan yang ingin dikembangkan, (c) bagaimana supervisee belajar terbaik (dengan gaya belajar yang berbeda), (d) tingkat dukungan yang dirasakan dan dibutuhkan supervisee, (e) apa yang telah berjalan atau bekerja atau tidak jalanpada supervisee dalam penyeliaan yang lalu. Pemberian
Feedback
sangatlah
penting
dalam
proses
penyeliaan.
Penyelia
memberikan umpan balik secara reguler dan berkelanjutan, memberikan umpan balik yang bermanfaat dan langsung, lebih memperhatikan berbagai sumber umpan balik yang tersedia untuk konselor yang diselia. Umpan balik diberikan dalam konteks mempermudah terjadinya proses belajar. Dalam melaksanakan penyeliaan, seorang penyelia (a) wajib mematuhi standar profesi (akreditasi dan peraturan) dalam membangun frekuensi dan modalitas sesi-sesi penyeliaan, (b) memberikan rasa aman, dukungan dan iklim penyeliaan yang sistematis dan terstruktur, 250
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
(c) memilih format penyeliaan individu atau kelompok untuk efisiensi waktu, dan (d) mengevaluasi penyeliaan secara berkelanjutan. Penyelia semestinya menyadari bahwa relasi kepenyeliaan adalah kunci bagi efektivitas Penyeliaan juga bagi pertumbuhan dan perkembangan konselor yang diselia. Keterlibatan terhadap konselor yang diselia, untuk memfasilitasi perkembangan suatu relasi kepenyeliaan yang produktif. Penyelia mesti hadir dengan perhatian terhadap etika dan budaya yang mempengaruhi relasi kepenyeliaan. Elemen yang esensial bagi relasi kepenyeliaan adalah (a) membangun kepercayaan dan keamanan lingkungan, (b) mendorong keterbukaan diri, (c) mengidentifikasi transferensi dan kountertransferensi, (d) memeriksa masalah-masalah keberagaman, (e) menetapkan batasan-batasan yang sesuai. Cara-cara untuk pengembangan saling percaya dan saling menghargai dalam hubungan kepenyeliaan adalah Penyelia mesti mengawali dengan diskusi kolaboratif
mengenai (1) harapan, tujuan, dan tugas-tugas kepenyeliaan, (2) Perbedaan
dalam keberagaman, nilai, keyakinan, bias, dan karakteristik gaya interpersonal yang mempengaruhi hubungan dan proses-proses penyeliaan, (3) mengelola setiap perbedaan dengan bijaksana. Dalam mempertimbangkan keberagaman dan advokasi, seorang penyelia mesti mengakui bahwa penyeliaan adalah bersifat multi-budaya dan mesti ditanamkan ke dalam setiap pertimbangan memilih pendekatan dan strategi penyeliaan; mendorong supervisiee untuk menanamkan pertimbangan advokasi dan keberagaman ketika menangani klien. Dalam pertimbangan etika, seorang penyelia mesti menyampaikan kepada supervisie bahwa kedua baik penyelia maupun yang diselia seyogyanya mematuhi kode etik & pedoman yang ditetapkan oleh asosiasi, memahami bahwa kesejahteraan klien adalah yang pertama &menjadi tanggungjawab tertinggi. Memelihara dokumentasi yang memberikan suatu sistem pertanggungjawaban kepenyeliaan adalah sangat penting bagi produktivitas dan efisiensi kegiatan penyeliaan yang berkelanjutan. Dalam mengevaluasi kegiatan penyeliaan klinis memerlukan evaluasi. Dalam hal ini Penyelia mesti mengerti bahwa evaluasi adalah fundamental dalam aktivitas kepenyeliaan dan menerima tanggungjawab evaluasinya, mengkomunikasikan secara jelas rencana evaluasinya kepada konselor yang diselia, mendorong evaluasi diri secara berkelanjutan bagi konselor yang diselia, mengambil beberapa langkah untuk melakukan perbaikan yang diperlukan. Format Penyeliaan yang dipilih seorang penyelia klinis secara bervariasi, yaitu format individual, kelompok, dan peer/kolegial sesuai kebutuhan supervisiee dan juga disesuaikan
251
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
dengan kebutuhan-kebutuhan klien. Pilihan format bukanlah didasarkan atas kenyamanan penyelia semata (misalnya hemat waktu) Kegiatan Penyeliaan Klinis mesti didukung oleh kompetensi penyelia yang dapat dipertanggungjawabkan, dalam arti kompeten dalam memberikan penyeliaan klinis; dapat secara jelas
mendeskripsikan tujuan penyeliaan klinis dan membedakannya dari proses
konseling juga dari administrasi dan program penyeliaan; memiliki hubungan kolaboratif dengan Penyelia tambahan, dengan siapa konselor yang diselia bekerja (misalnya klinik, admnistratif, penyelia di universitas, bagian pratikum dan magang). Banyak hambatan ketika penyeliaan dilakukan oleh orang yang tidak memperoleh latihan yang memadai dalam bidang kepenyeliaan, yaitu (1) kehadiran penyelia menciptakan kecemasan di antara supervisees yang dapat berdampak langsung pada kualitas pelayanan terhadp klien, (2) Memiliki sikap negatif atau "menyalahkan" (3) Menjadi kaku tidak kreatif dan tidak dapat mengenali ide yang baik dari sumber lain (4) supervisees mungkin merasa tidak didukung dan tidak dapat mengembangkan keterampilan karena gaya belajar yang berbeda, (5) menjadi tidak toleran dan mudah tersinggung yang membuat orang yang diselia menolak karena kesenjangan kapabilitas. Penyelia butuh menilai kebutuhan supervisee, sehingga dapat memberikan dukungan yang memadai dan relevan. Penyeliaan klinis yang efektif membutuhkan pelatihan dan pengalaman yang memadai bagi penyelia yang dapat mengurangi dan mengatasi hambatanhambatan yang terjadi. KESIMPULAN Beberapa uraian di atas menggambarkan bahwa profesionalitas konselor sangat membutuhkan tenaga profesional dalam bidang kepenyeliaan klinis yang secara kontinu memberikan pendampingan untuk pengembangan profesi konselor yang berkelanjutan. Persoalan kemudian muncul ketika ditanyakan siapakah yang bertanggungjawab terhadap penyeliaan konselor khususnya di Indonesia? Adakah penyelia yang profesional untuk konselor yang profesional? Bagaimanakah peran Asosiasi (dalam hal ini ABKIN) dalam persoalan ini? Patut untuk didiskusikan dalam forum seminar ini. DAFTAR PUSTAKA Bernard, J. M., & Goodyear, R. K. (2009). Fundamentals of clinical supervision (4th ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson Education. Bernard, J. M. (1979). Supervisory training: A discrimination model. Counsellor Education and Supervision, 19, 60–68. Carroll, M. M. (2001). Counselling supervision: Theory, skills, and practice. London: Sage. Cashwell, T. H., & Dooley, K. (2001). The impact of supervision on counsellor selfefficacy. Clinical Supervisor. 20, 39-47. Crutchfield, L.B., & Borders, L.D. (1997). Impact of two clinical peer supervision models on practicing school counsellors. Journal of Counselling and Development, 75, 219-230. 252
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Mungin Eddy Wibowo (20016). The Role of Indonesian Guidance and Counseling Association on Developmen and Inovatation For Indonesian Counselor. Prosiding Semarang State University International Conference on Counseling and Educational Psychology Tanggal 18-19 Oktober 2016. Tans so Yin (2016) Superpervision in Konseling. Prosiding Semarang State University International Conference on Counseling and Educational Psychology Tanggal 18-19 Oktober 2016.
253
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
MEMBENTUK PROBLEM FOCUSED COPING MELALUI COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY (CBT)
Eko Sujadi Dosen Program Studi BKI IAIN Kerinci Email:
[email protected] Bukhari Ahmad Dosen Program Studi BKI IAIN Kerinci Email:
[email protected] Abstrak Remaja adalah suatu tahapan perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa.Padamasaini, banyak masalah yang akan dihadapi sehingga membuat kehidupan mereka dipenuhi dengan situasi stres. Salah satu strategi yang dibutuhkan remaja ketika berhadapan dengan situasi stres adalah problem focused coping, yakni suatu keterampilan penyelesaian masalah yang langsung berfokus pada sumber stres. Individu yang berorientasi pada problem focused coping akan berusaha untuk mengurangi stesor dengan mempelajari cara-cara atau keterampilan-keterampilan baru yang digunakan untuk mengubah situasi, keadaan, atau pokok permasalahan.Pembentukan problem focused coping dapat dilakukan melalui cognitive behavioral therapy (CBT). CBT memfokuskan perhatian pada pikiran dan perilaku yang diasumsikan sebagai faktor penyebab manusia bermasalah, sehingga dalam intervensinya pendekatan ini akan memfungsikan dengan baik kedua aspek tersebut. Keyword: Stres, problem focused coping, cognitive behavior therapy (CBT) PENDAHULUAN Remaja adalah suatu tahapan perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa, yang ditandai oleh perubahan-perubahan fisik umum serta perkembangan kognitif dan sosial (Desmita, 2008:190). Santrock (2003:561) memandang bahwa pada masa remaja banyak masalah yang akan dihadapi sehingga membuat kehidupan mereka dipenuhi dengan situasi stres. Bagi remaja yang tidak memiliki kesiapan dalam menghadapi permasalahan, mereka sering merasa tertekan dan dibayangi dengan permasalahan yang semakin bertambah. Terkadang remaja mengambil keputusan-keputusan yang salah untuk menghindar dari permasalahan yang dihadapinya. Dalam masa perkembangannya, remaja perlu dibimbing untuk mengembangkan dan mewujudkan diri secara positif serta memiliki keterampilan dalam menyelesaikan masalah. Menurut Lazarus & Folkman (1984: 141); Smith, Sarason & Sarason (1982: 453) keterampilan menyelesaikan masalah terbentuk melalui proses appraisal (penilaian), ketika diri dihadapkan pada masalah, maka sistem kognitif diri segera bereaksi terhadap masalah tersebut dengan memunculkan perilaku yang akan membantunya mengatasi atau mengurangi ketegangan yang dialaminya. Perilaku mengatasi inilah yang dinamakan dengan strategi coping. 254
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Menurut Lazarus dan Folkman (1984:152) salah satu strategi coping yakni problem focused coping, yang digunakan untuk mengurangi stresor atau mengatasi stres dengan cara mempelajari cara-cara atau keterampilan-keterampilan yang baru. Menurut Fatchiah Kertamuda & Haris Herdiansyah (2009:15) problem focused coping merupakan salah satu coping yang lebih berorientasi pada pemecahan masalah (problem solving), meliputi usaha-usaha untuk mengatur atau merubah kondisi objektif yang merupakan hambatan dalam penyesuaian diri atau melakukan sesuatu untuk merubah hambatan tersebut. Selanjutnya Lazarus & Folkman (1984:152) menjelaskan bahwa seseorang yang menggunakan problem focused coping akan berusaha untuk mengatasi permasalahan dengan cara mengubah tekanan pada lingkungan, hambatan, sumber daya, prosedur, dan sejenisnya. Problem focused coping tentunya sangat dibutuhkan remaja yang sedang memiliki permasalahan tertentu. Remaja yang berorientasi pada strategi ini akan teliti, cermat, peduli, memiliki usaha yang baik, tidak akan cepat menyerah dan pasrah terhadap permasalahan yang terjadi pada dirinya. Kemampuan pemecahan masalah yang langsung berorientasi pada sumber stres merupakan sebuah keterampilan yang tidak datang secara alamiah namun kemampuan ini ada dan akan terus berkembang dengan adanya pengalaman yang matang serta pelatihan dan bimbingan khusus kepada individu terkait dengan usaha-usaha yang akan dilakukannya jika ia berhadapan dengan permasalahan tertentu. Permasalahan rendahnya problem focused coping remaja masih terjadi hingga saat ini. Jika merujuk pada pendapat Weitten dan Lloyd dalam Syamsu Yusuf (2009:134) bahwa karakteristik seseorang menggunakan coping yang negatif antara lain: (1) melarikan diri dari kenyataan atau situasi stress; (2) berperilaku agresif; (3) memanjakan diri secara berlebihan; (4) mencela atau menghina diri sendiri; dan (5) memunculkan mekanisme pertahanan diri. Berbagai karakteristik tersebut sangat sering kita lihat pada dunia remaja. Banyak remaja yang menggunakan obat-obatan terlarang sebagai bentuk pelarian dari masalah, bersikap apatis terhadap aturan dan nilai, kehilangan motivasi dalam melakukan aktivitas, perilaku menyakiti orang lain, terlalu boros, memandang dirinya lemah dan tidak berdaya, hingga seringkali mencari-cari alasan positif yang sebenarnya tindakan yang dilakukan bersifat negatif. Gejala-gejala tersebut tentunya harus cepat ditindaklanjuti dengan memberikan intervensi-intervensi untuk membentukproblem focused coping. Semua pihak yang terkait harus peka dan tanggap terhadap keadaan yang terjadi. Orang tua, masyarakat, dan guru sebagai pihak utama dalam lingkungan pendidikan informal, nonformal dan formal memainkan peranan yang cukup signifikan dalam mengarahkan, membimbing remajasebagai upaya untuk membentuk problem focused coping siswa. Salah satu program intervensi yang dapat dilakukan yaknicognitive behavioral therapy(CBT). Remaja yang telah mendapatkan pelayanan konseling melalui cognitive behavioral therapy (CBT) diharapkan secara mandiri mampu mengarahkan dan mengembangkan 255
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
kehidupan efektif sehari-hari (KES) dan mampu menangani kehidupan efektif sehari-hari terganggu (KES-T). Ketika memiliki masalah yang menyebabkan stres maka ia mampu menyelesaikannya berdasarkan keterampilan yang dimiliki. PEMBAHASAN Problem Focused Coping Menurut Taylor, dkk (1997:400) problem focused coping adalah upaya pemecahan masalah yang dilakukan untuk mengubah keadaan stress. Menurut Lazarus & Lazarus (2006:57) seseorang dengan problem focused coping akan memusatkan perhatian terhadap apa yang dapat dilakukannya untuk menghilangkan atau mengurangi stres. “Individu akan cenderung menggunakan strategi ini apabila dirinya yakin akan dapat mengubah situasi” (Smet dalam Triantoro & Nofrans, 2009). Penulis sendiri mendefinisikan problem focused coping sebagai usaha untuk mengurangi stesor dengan mempelajari cara-cara atau keterampilan-keterampilan baru untuk digunakan mengubah situasi, keadaan, atau pokok permasalahan. Aspek-aspek problem focused coping menurut Lazarus & Folkman (1984: 153) antara lain: a) seeking informational support, yaitu mencoba untuk memperoleh informasi dari orang lain; b) confrontive coping; individu berpegang teguh pada pendiriannya dan mempertahankan apa yang diinginkannya, mengubah situasi secara agresif dan adanya keberanian mengambil resiko; dan c) planful problem-solving; individu memikirkan, membuat dan menyusun rencana pemecahan masalah agar dapat terselesaikan. Menurut Lazarus & Folkman (1984: 147) ada tiga tahap dalam coping, yakni “anticipatory or warning, impact or confrontation, and postimpact or postconfrontation”. Ketika individu berhadapan dengan lingkungan yang baru atau perubahan lingkungan (situasi penuh tekanan), maka ia akan melakukan penilaian awal (primary appraisal) untuk menentukan arti dari kejadian tersebut. Kejadian tersebut dapat diartikan sebagai hal positif, netral atau negatif. Setelah penilaian awal terhadap hal-hal yang mempunyai potensi untuk terjadinya tekanan, maka penilaian sekunder (secondary appraisal) akan muncul. Penilaian sekunder adalah pengukuran terhadap kemampuan individu dalam mengatasi tekanan yang ada. Penilaian sekunder mengandung makna pertanyaan, bagaimana cara saya menghadapi permasalahan? dan apakah saya sanggup dalam menghadapi tantangan?. Tahapan ini dinamakan anticipatory atau warning. Impact atau confrontation adalah penilaian ulang (re-apprasial) yang akhirnya mengarah pada pemilihan strategi coping untuk menyelesaikan masalah yang sesuai dengan situasi yang dihadapinya. Keputusan pemilihan strategi coping dan respon yang dipakai individu utuk menghadapi situasi yang penuh tekanan tergantung dari dua faktor. Pertama, faktor eksternal dan kedua faktor internal. Faktor eksternal termasuk di dalamnya adalah ingatan pengalaman dari berbagai 256
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
situasi yang penting dalam kehidupan. Faktor internal termasuk di dalamnya adalah gaya coping yang biasa dipakai seseorang dalam kehidupan sehari-hari dan kepribadian orang tersebut. Proses mempertimbangkan faktor internal dan eksternal merupakan tahapan postimpact atau postconfrontation. Setelah keputusan dibuat untuk menentukan strategi coping yang dipakai dengan mempertimbangkan dari faktor eksternal dan faktor internal, individu akan melakukan pemilihan strategi coping yang sesuai dengan situasi tekanan yang dihadapinya untuk menyelesaikan masalah. Ada dua strategi yang dipakai, apakah strategi yang berfokus pada emosi atau strategi yang berfokus pada masalah.
Cognitive Behavior Therapy (CBT) untuk Membentuk Problem Focused Coping Kemampuan dalam menggunakan coping akan terus berkembang dan meningkat melalui pengalaman individu dan latihan-latihan tertentu. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa pada hakikatnya pelayanan konseling bertujuan agar individu mencapai kemandirian. Ketika dihadapi pada permasalahan tertentu, individu yang memiliki problem focused coping akan terampil dan mandiri dalam mengatasi permasalahan tersebut. Menurut Prayitno (2009:27) ciri pribadi mandiri antara lain: (1) memahami dan menerima diri sendiri secara objektif, positif dan dinamis; (2) memahami dan menerima lingkungan secara objektif, positif, dan dinamis; (3) mampu mengambil keputusan; (4) mengarahkan diri sendiri; dan (5) mewujudkan diri sendiri. Pelayanan konseling yang diarahkan untuk menjadikan pribadi mandiri tidak terbatas pada format individual namun dapat dilaksanakan dalam bentuk format kelompok, klasikal, lapangan, kolaboratif, dan jarak jauh (Prayitno, 2009:47). Individu yang telah mendapatkan pelayanan konseling diharapkan memiliki sebuah prinsip hidup dan keterampilan ketika dihadapkan pada situasi-situasi tertentu, termasuk jika berhadapan dengan permasalahan. Beberapa
pendekatan
dalam
konseling
dapat
digunakan
untuk
meningkatkan
kemampuan individu dalam menggunakan coping salah satunya cognitive behavioral therapy (CBT). Seperti pendapat Smith Laura, dkk (2003:12) bahwa salah satu tujuan cognitive behavioral therapy adalah untuk meningkatkan kemampuan coping dengan residual psychotic. Begitu juga dengan pendapat Patterson (2009:7) cognitive behavioral termasuk di dalamnya “learning how to manage stress and anxiety (e.g., learning relaxation techniques such as deep breathing, and coping”. Dalam pendekatan cognitive behavioral diajarkan mengenai cara memanajemen stres dan kecemasan, relaksasi serta coping. Menurut
Patterson
(2009:6),
cognitive
behavioral
therapy(CBT)
merupakan
penggabungan dari dua jenis terapi yakni behavior yang diformulasikan tahun 1950-an dan merupakan jenis terapi yang mengarahkan individu untuk menggunakan prinsip-prinsip belajar 257
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
dalam merubah tingkah laku, sertacognitive therapy yang dibentuk pada tahun 1960-an. Ide munculnya terapi ini dikarenakan asumsi bahwa ketika individu berpikir akan memberikan dampak yang signifikan terhadap perasaannya. Para ahli melihat dan menganalisis jika kedua terapi tersebut digabungkan akan memberikan dampak yang positif kepada klien yang mengalami masalah tertentu. Perlu dipahami bahwa pikiran dan perilaku memainkan peranan yang penting dalam setiap emosi manusia. Terkadang pikiran dan perilaku manusia dapat memberikan pengaruh terhadap emosi negatif. Konsep kunci dari cognitive behavioral therapy adalah bagaimana cara manusia berpikir mengenai sebuah kejadian akanberdampak pada respon, perasaan, dan perilakuterhadap kejadian tersebut. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Dan Bilsker (2009:27), yani CBT berfokus pada identifikasi masalah antara perilaku dan pikiran manusia. Dikarenakan perilaku menusia tergantung pada pikiran, perilaku dan
perasaan. Oleh
sebab itu dalam proses konseling, yang menjadi fokus ataupun perhatian adalah tiga aspek tersebut. Pertama, pikiran: terkadang di saat klien memiliki masalah, ia tidak mampu berpikir secara jelas. Konselor dalam cognitive behavioral therapy(CBT) akan membantu klien untuk mengevaluasi pikirannya mengenai masalahyang terjadi. Kedua, perilaku: manusia tidak selalu bertindak dengan baik dan tepat pada setiap kondisi. Terkadang individuyang berada dalam situasi stres berperilaku yang tidak efektif. Memang awalnya begitu menguntungkan, namun untuk program jangka panjang segala bentuk tindakannya akan merugikan. Ketiga, perasaan: beberapa teknik dalam CBT difokuskan untuk mengubah perasaan individu. Pada dasarnya manusia memang diberikan kesempatan untuk menyatakan emosi mereka namuntidak sedikitdi antaranya yang meluapkan emosi dalam bentuk negatif. Contonya menangis ataupun marah secara berlebihan. Penulis sebagai seorang konselor pernah menerapkan teknik relaksasi kepada klien yang menjadi korban bullyingdi mana ia tidak mampu menahan emosi marah terhadap pelaku. Penerapan teknik relaksasidapat mereduksi perasaan-perasaan tertekan dan mengurangi stres. Konselor atau terapis cognitive behavior biasanya menggunakan berbagai teknik intervensi untuk mendapatkan kesepakatan perilaku sasaran dengan konseli. Teknik dalam CBT yang biasa digunakan oleh para terapis untuk membentuk problem focused coping, yaitu: 1. Menata keyakinan irasional (Goldfried; Beck; Meichenbaum’s dalam Lazarus, Richard S & Folkman, Susan, 1984:340-342). Keyakinan irrasional merupakan sumber stres. Menurut Ellis (1983:204) keyakinan irasional terjadi dikarenakan: (a) individu tidak bisa memvalidasi suatu perilaku; (b) individu menyimpan perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan, seperti kecemasan; dan (3) individu mencegah diri untuk kembali pada sumber masalah dan menyelesaikannya. Tujuan dari terapi ini adalah untuk menganalisis peristiwa-peristiwa yang menjadi faktor penyebab timbulnya masalah/stres sehingga membantu individu untuk berpikir lebih konstruktif (Lazarus, Richard S & Folkman, Susan, 1984:341). 258
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
2. Stress Inoculation Training. Pelatihan ini dikemukakan oleh Meichenbaum’s dan Novaco (Lazarus, Richard S & Folkman, Susan, 1984:342). Pada pelatihan ini, individu diberikan dan diajarkan pengetahuan yang cukup, pemahaman diri, dan keterampilan ketika menghadapi stres. Program ini terdiri dari tiga tahap. 1) Tahap pendidikan/pembelajaran, yakni disediakan informasi-informasi yang berkaitan dengan pengelolaan aspek emosi yang menekankan pada faktor-faktor kognitif; 2) tahap latihan, di mana kliendibantu untuk menilai situasi, mengendalikan pikiran dan emosi yang tidak diinginkan, memotivasi perilaku, dan mengevaluasinya; 3) tahap aplikasi, klien mencoba apa yang telah mereka pelajari dan mempraktikkannya. 3. Bibliotherapy, menerima kondisi emosional internal sebagai sesuatu yang menarik dibandingkan sesuatu yang menakutkan. 4. Mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri dalam role play dengan konselor serta mencoba penggunaan berbagai pernyataan diri yang berbeda dalam situasi ril. 5. Mengukur perasaan, misalnya dengan mengukur perasaan cemas yang dialami pada saat ini dengan skala 0-100. 6. Desensitization systematic. Digantinya respon takut dan cemas dengan cara mengemukakan permasalahan secara berulang-ulang danberurutan dari respon takut teringan sampai yang terberat untuk mengurangi intensitas emosional klien. 7. Pelatihan keterampilan sosial. Melatih klien untuk dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya. 8. In vivo exposure. Mengatasi situasi yang menyebabkan masalah dengan memasuki situasi tersebut. 9. Covert conditioning, upaya pengkondisian tersembunyi dengan menekankan kepada proses psikologis yang terjadi di dalam diri individu. Peranannya di dalam mengontrol perilaku berdasarkan kepada imajinasi, perasaan dan persepsi. 10. Pure self-help. Banyak orang mengatakan bahwa cognitive behavioral merupakan pertemuan yang sifatnya tatap muka, namun konselor dapat menerapkan teknik dengan sedikit intensitas pertemuan salah satunya pure self-help. Menurut Livingston, dkk (2009: 25) “pure self-help refers to people managing their mental health problems on their own. They learn about coping skills and strategies through books, workbooks, DVDs, computer software or Internet-based programs”. Pure self-help merujuk pada pengaturan individu terhadap masalahnya sendiri. Mereka mempelajari keterampilan dan strategicoping melalui buku, buku kerja, DVDs, aplikasi komputer dan program berbasis internet.
Melalui penerapan teknik-teknik di atas, diharapkan individu mampu menghadapi situasi stres dengan cara yang konstruktif yakni berfokus pada sumber masalah. Individu yang mampu menyelesaikan permasalahan langsung kepada sumbernya, penulis ibaratkan seperti mencabut 259
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
pohon beserta akarnya, sehingga permasalahan tidak akan muncul lagi. Berbeda halnya jika individu hanya memfokuskan pada pengendalian emosi ketika ia dihadapkan pada masalah, maka yang ia lakukan hanyalah membuat dirinya menjauh dari permasalahan, namun pada hakikatnya masalah tersebut tetap ada dan terus berkembang. KESIMPULAN Remaja perlu berorientasi dan memiliki problem focused coping. Dengan memiliki problem focused coping remaja akan lebih berani, percaya diri, memahami diri mengenai kekuatan diri dan langkah yang seharusnya diambil untuk menyelesaikan masalah. Problem focused coping berhubungan dengan kemampuan kognitif seseorang. Ketika dihadapkan dengan masalah maka individu akan menggunakan fungsi kognitif untuk menilai permasalahan tersebut kemudian memilih strategi coping yang akan digunakan. Mengingat problem focused coping sangat penting dimiliki siswa, berbagai upaya perlu dilakukan untuk meningkatkan keterampilan tersebut, salah satunya melalui pelayanan konseling. Pendekatan CBT efektif dalam meningkatkan problem focused coping. CBT merupakan penggabungan dari dua jenis terapi yakni behavior yang mengarahkan individu untuk menggunakan prinsip-prinsip belajar dalam merubah tingkah laku, dan cognitive therapy yang berangkat dari asumsi bahwa manusia merupakan makhluk berpikir. Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk membentuk problem focused coping antara lain: menata keyakinan irasional, Stress Inoculation Training, Bibliotherapy, mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri dalam role play, mengukur perasaan, Desensitization systematic, pelatihan keterampilan sosial, in vivo exposure, covert conditioning, dan pure selfhelp.
DAFTAR PUSTAKA Dan Bilkser. 2009. Help With Mild to Moderate Depression CBT-based self-management options. Visions Journal, (Online), Vol. 6, No.1, (http://www.heretohelp.bc.ca/sites/default/files/visions_cognitivetherapy.pdf, diakses 26 September 2013). Desmita. 2008. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT RemajaRosdakarya. Ellis, Henry C. 1983. Fundamentals of Human Learning, Memory, and Cognition (second editon).Dubuque, Iowa: W.C. Brown Co. Fatchiah Kertamuda & Haris Herdiansyah. 2009. Pengaruh Strategi Coping terhadap Penyesuaian Diri Mahasiswa Baru. Jurnal Universitas Paramadina, (Online), Vol. 6, No. 1, (isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/61091123.pdf, diakses 9 Desember 2012). Greenberg, Leslie S. 2010. Emotion-Focused Therapy: A Clinical Synthesis. The Journal of Life Long Learning in Psychiatry, (Online), Vol. VIII, No. 1, (http://psychiatryonline.org/data/Journals/FOCUS/1841/foc00110000032.pdf, diakses 26 September 2013).
260
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Lazarus, Richard S & Folkman, Susan. 1984. Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer Publishing Company. & Lazarus, Bernice N. 2006. Coping with Aging. New York: Oxford University Press. Patterson, Michelle. 2009. CBT in Practice. Visions Journal, (Online), Vol.6, No.1, (http://www.heretohelp.bc.ca/sites/default/files/visions_cognitivetherapy.pdf, diakses 26 September 2013). Prayitno. 2009. Wawasan Profesional Konseling. Padang: Universitas Negeri Padang. Santrock, John W. TanpaTahun. AdolesencePerkembanganRemaja. TerjemahanolehShintro B AdelardanSherlySaragih. 2003. Jakarta: Erlangga. Smith, Laura, etc. 2003. Cognitive Behavioral Therapy “Improve Coping With Residual Psychotic Symptom”. Northbridge: cognitive behavioral therapy “Improve coping with residual psychotic symptom Smith.Ronald E., Sarason, Irwin G &Sarason, Barbara R. 1982.Psychology: The Frontier of Behavior. New York: Harper & Row Publishers. Syamsu Yusuf. 2009. Mental Hygiene. Bandung: Maestro. Triantoro Safari & Nofrans Eka Saputra. 2009. Manajemen Emosi “Sebuah Panduan Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda. Jakarta: Bumi aksara.
261
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
DILEMA ANAK BERBAKAT DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN KARIER Yessy Elita Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Bengkulu
[email protected] Abstrak Anak berbakat adalah anak-anak yang diberikan kecerdasan luar biasa dan bakat-bakat yang istimewa sehingga dalam pandangan masyarakat umum mereka dapat sukses baik dalam pendidikan maupun karier tanpa memerlukan bantuan khusus. Kenyataan yang terjadi adalah tidak sedikit anak-anak berbakat yang menjadi anak-anak underachiever di sekolah dan gagal mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Kegagalan mereka dalam hidup adalah kerugian yang sangat besar bagi suatu negara karena SDM yang unggulan tidak mampu memberikan sumbangan berarti bagi kemajuan suatu bangsa. Oleh karena itu, anak berbakat memerlukan perhatian khusus, salah satunya dengan memberikan bimbingan dan konseling karier bagi anak berbakat sehingga mereka mempunyai gambaran mengenai perencanaan karier di masa depan. Artikel ini merupakan kajian pustaka yang bertujuan untuk membahas mengenai kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh anak berbakat dalam mengambil keputusan karier dan strategi-strategi yang dapat digunakan oleh konselor untuk membantu anak berbakat keluar dari kesulitan tersebut. Kata kunci: anak berbakat, bimbingan karier, perencanaan karier PENDAHULUAN Renzulli (1981) mendefinisikan anak berbakat atau gifted students adalah anak-anak yang memiliki tiga ciri pokok yaitu memiliki kemampuan umum di atas rata-rata, kreativitas di atas rata-rata dan pengikatan diri yang tinggi terhadap tugas. Dengan tiga ciri pokok tersebut, anak-anak berbakat diprediksikan dapat mencapai kesuksesan secara akademik maupun karier sehingga dapat memberikan sumbangan yang bermakna bagi kesejahteraan bangsa dan negara. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa anak-anak berbakat dengan keistimewaannya tersebut akan dapat sukses tanpa memerlukan perhatian khusus. Mereka dianggap dapat mengatur perencanaan kariernya sendiri. Kemampuan-kemampuannya yang luar biasa memungkinkannya dapat memahami diri dan karier jauh lebih baik daripada orang-orang biasa dan mendapatkan pendidikan dan pekerjaan tanpa mengalami kesulitan. Kemampuan intelektual yang superior
dan bakat yang menonjol dalam suatu
bidang tidak berarti bahwa anak-anak berbakat ini memiliki pengetahuan okupasional, keterampilan-keterampilan, keputusan-keputusan atau tujuan-tujuan karir yang memuaskan daripada orang-orang umumnya (Manrihu, 1988). Beberapa penelitian (Emmet & Minor, 1993; Hickson, 1992; Kelly, 1992) menemukan bahwa sebanyak 53 persen anak-anak yang berbakat secara akademik mengalami kesulitan dan membutuhkan bantuan untuk perencanaan karier dan pendidikan. Herr dan Cramer (1996) menjelaskan bahwa dalam 262
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
pengambilan keputusan karir pada siswa berbakat mencakup nilai-nilai apa saja dapat digunakan dalam perencanaan karir, bagaimana pilihan-pilihan jurusan kuliah berhubungan dengan pilihan karir, bagaimana membedakan antara aspirasi karir mereka dan apa yang orang lain harapkan terhadap mereka, bagaimana memilih karier yang dapat memenuhi kepuasan mereka atas tantangan dan pengembangan keterampilan secara berkelanjutan dan secara umum bagaimana membuat pilihan karir dan pendidikan. Artikel ini bertujuan membahas mengenai kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh anak berbakat dalam mengambil keputusan karier dan strategi yang dapat dilakukan oleh konselor dalam menangani anak berbakat yang dalam dilema pengambilan keputusan karier tersebut. PEMBAHASAN Asumsi-asumsi awam yang beranggapan bahwa anak-anak berbakat dapat sukses baik dalam akademik maupun karier dengan sendirinya adalah hal yang tidak tepat. Beberapa studi di lapangan telah menemukan bahwa anak berbakat mengalami kesulitankesulitan dalam pengambilan keputusan karier yang sesuai dengan kondisi mereka. Berikut ini diuraikan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh anak-anak berbakat. a. Multipotensi Siswa-siswa berbakat mengalami sindrom “overchoice”
ketika ketertarikan,
kemampuan, motivasi, dan kesempatan sangat banyak. Greene (2006) mendefinisikan multipotensi sebagai kemampuan untuk melakukan banyak hal pada level tinggi baik dari kompetensi dan kesenangan. Banyaknya potensi yang dimiliki menyebabkan siswa berbakat mengalami dilemma untuk memilih karier di antara banyak karier yang mungkin untuk dijalani, ketakutan membuat keputusan yang salah, tidak menemukan kampus yang sesuai, ketakutan untuk mengecewakan orang lain, dan kegagalan
untuk menemukan karir
“sempurna” menyebabkan prokrastinasi di kampus dan karier atau memilih jurusan yang “aman” (Greene, 2006). Anak-anak berbakat mengalami tekanan berat dari keluarga dan pendidik untuk memenuhi potensi mereka dan memilih karier yang orang lain yakini akan memberikan keberhasilan bagi mereka. Bahkan, beberapa dari anak berbakat harus mengorbankan kepuasan pribadi untuk memenuhi harapan-harapan orang tua dan pendidik (Greene, 2006). b. Keraguan Individu-individu berbakat memiliki ide-ide yang salah mengenai pengambilan keputusan okupasional, seperti harus membuat keputusan yang sempurna dan kebutuhan untuk menyenangkan orang dekat meskipun berseberangan dengan keinginan diri sendiri (Emmet & Minor, 1993). Ide-ide irasional ini sering menghasilkan tekanan dan kecemasan sehingga menyebabkan anak berbakat menjadi penuh keragu-raguan. Disposisi perseptual 263
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
ini mungkin merupakan hasil dari pengamatan diri yang salah dan juga disposisi emosional dan kognitif yang mempengaruhi pengambilan keputusan (Stewart, 1999). c. Perfeksionisme Secara
kepribadian,
siswa-siswa
berbakat
memiliki
kecenderungan
untuk
perfeksionis. Dorongan untuk mencapai kesempurnaan membuat siswa berbakat tidak puas dengan prestasinya yang tidak dapat memenuhi tujuan-tujuan pribadinya. Dorongan akan kesempurnaan ini dapat menyebabkan anak berbakat hanya mau memilih kegiatan tertentu jika ia yakin akan bisa berhasil. Kritik terhadap diri sendiri yang berlebih dan taraf aspirasi yang tidak realistis membuat banyak anak berbakat diliputi rasa tidak mampu (Munandar, 2009). d. Early emerger Anak-anak berbakat akademik mungkin membuat keputusan okupasional sejak dini dalam hidup dan mengejarnya melalui rute pendidikan yang panjang (Achter, dkk dalam Stewart, 1999). Pengambilan keputusan yang dini ini mempengaruhi perkembangan cara pandangnya terhadap dunia kerja dan kemampuan dalam berkomunikasi dengan teman sebaya. Mereka sering mengejar program akselerasi dan program pengayaan yang lebih awal dibandingkan dengan teman-teman sebaya (Achter dkk, 1996 dalam Stewart, 1999). Pola ini membatasi anak-anak berbakat untuk mengeksplorasi kesempatan-kesempatan okupasional yang lain. Individu yang berbakat mungkin menghabiskan waktu mereka untuk sebuah bakat seperti musik sehingga tidak memiliki waktu untuk bermain dengan teman sebaya. Mereka juga mengidentifikasi dengan orang-orang dewasa karena banyak menghabiskan waktu bersama dengan orang-orang dewasa yang terlibat dengan pengembangan bakat mereka. Hal penting bagi siswa-siswa berbakat untuk berperilaku sesuai dengan umur mereka. e. Tekanan dari orang lain Anak berbakat sering merasakan konflik antara tujuan-tujuan pribadi dan harapan masyarakat kepada mereka. Mereka mengalami tekanan dari orang tua dan guru untuk berhasil dan menguasai berbagai hal (Stewart, 1999). Anak-anak berbakat dilabeli sebagai calon pemimpin masa depan
sehingga mereka diharapkan untuk sukses dan kadang-
kadang keberbakatan dianggap sebagai beban dibandingkan sesuatu yang harus dikembangkan. Tekanan-tekanan ini mendorong pengamatan diri yang salah. Harapanharapan ini menyebabkan persepsi yang salah terhadap pengamatan diri bahwa mereka harus memilih karir yang memuaskan orang lain dibandingkan mengikuti nilai-nilai atau minat mereka. Sikap-sikap dan harapan-harapan ini menyebabkan anak-anak berbakat membatasi kesempatan untuk mengeksplorasi karir. f.
Kurangnya model peran okupasional
264
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Anak berbakat memiliki pengetahuan yang luas dalam banyak area namun mereka masih kurang berpengalaman hidup atau kebijaksanaan. Oleh karena itu, mereka membutuhkan bantuan dalam untuk merencanakan karier
dan bertindak secara efektif.
Pendampingan oleh mentor dan kegiatan magang membantu mereka untuk mengalami sebuah hubungan dengan seorang dewasa yang memiliki minat dan kemampuan yang sama. Hubungan ini bisa jadi sumber informasi yang realistik mengenai detil pekerjaan yang tidak diberikan di buku. Strategi-Strategi Konselor Karier Untuk Anak Berbakat Pelayanan bimbingan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan kegiatan sekolah dan telah dilaksanakan sejak kurikulum 1975 (Munandar, 2009). Pelayanan bimbingan juga mencakup pelayanan bimbingan pada siswa yang memiliki kecerdasan luar biasa dan kemampuan unggulan. Bimbingan adalah proses untuk membantu individu memperoleh pengertian tentang diri sendiri dan pengarahan diri yang perlu untuk penyesuaian diri yang maksimal di sekolah, rumah dan masyarakat (Prayitno & Amti, 2004).
Begitu pula dengan tujuan konseling yaitu membantu semua individu
menyesuaikan diri maksimal.
dan tumbuh di dalam lingkungan menuju perkembangan diri yang
Meskipun anak-anak berbakat memiliki kecerdasan dan kemampuan di atas
rata-rata, bukan berarti mereka tidak membutuhkan bimbingan baik dalam belajar maupun karier. Kemampuan intelektualnya yang tinggi dan kemampuannya yang sangat maju dianggap sebagai alasan bahwa siswa-siswa berbakat dapat membuat keputusan yang tepat mengenai apa yang akan dilakukan sepanjang hidupnya. Padahal dalam kenyataan tidak sedikit anak-anak berbakat menjadi siswa underachiever (berprestasi rendah), mengalami drop out di sekolah dan bahkan gagal dalam menjalani karier yang tepat untuk dirinya. Oleh karena itu, siswa berbakat ini membutuhkan bimbingan dan dukungan mengenai pemilihan karier (Greene, 2006). Tujuan dari pendidikan dan bimbingan karier
pada anak berbakat adalah
memberikan kesempatan kepada mereka untuk menjajaki alternatif karier yang beragam, mempertimbangkan lebih mendalam sejumlah alternatif yang sesuai dengan minat dan kemampuan pribadi, membuat keputusan tentang karier dan mengembangkan rencana hidup (Milgram, 1991 dalam Munandar, 2009). Berangkat dari dilemma atau kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh siswa-siswa berbakat dalam pengambilan keputusan karier, maka anak-anak berbakat ini membutuhkan bimbingan dan konseling karier. Beberapa strategi bimbingan dan konseling karir yang dapat dilakukan untuk siswa berbakat antara lain:
265
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
1. Dengan banyaknya minat dan kemampuan yang mereka kuasai, anak-anak berbakat harus dapat mempersempit pilihan okupasional. Hal yang dapat dilakukan oleh konselor adalah
menyarankan siswa untuk menuliskan dalam sebuah tabel
mengenai nilai-nilai, minat, dan aktivitas waktu luang dan menyoroti/memfokuskan pada pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan deskripsi mereka.
Selain itu,
konselor dapat mendorong siswa untuk membuat jurnal pribadi yang bertujuan untuk merekam ide-ide, cita-cita, pertanyaan-pertanyaan, tujuan-tujuan, orang-orang yang mereka temui, dan pengalaman-pengalaman. 2. Anak berbakat yang memiliki keyakinan salah seperti membuat pilihan karier demi menyenangkan orangtua, dan mengenyampingkan minat
mereka sendiri. Pada
situasi tersebut, konselor karier dapat membantu anak-anak berbakat ini untuk mengoreksi pembelajaran yang salah dengan menggunakan pendekatan analisis rasional (Corey, 1996) dan menggantikannya dengan berpikir yang lebih fasilitatif seperti berfokus pada menyenangkan diri sendiri dan kesadaran bahwa tidak ada satupun yang memiliki pilihan yang sempurna. Konselor dapat mendorong anak berbakat untuk mengembangkan rasa percaya diri dan kemandirian dalam pengambilan keputusan karier mereka (Stewart, 1999). 3. Konselor dapat meminta anak berbakat untuk mempelajari autobiografi orang-orang berbakat. Dengan cara ini, anak/siswa berbakat belajar bagaimana minat pribadi, hobi, karakteristik fisik dan mental orang-orang terkenal dalam merencanakan hidup sehingga diharapkan dapat
mempengaruhi jalur dan pilihan karir
bagi anak
berbakat (Stewart, 1999). 4. Pada kasus early emerger, konselor karir dapat bertanya pada anak berbakat kapan mereka mulai mempertimbangkan pilihan karir mereka. Jika pilihan karir dibuat sejak dini, maka konselor harus mewaspadai kemungkinan pengetahuan yang terbatas tentang dunia kerja. Jika anak berbakat telah menghabiskan waktu berjam-jam sendirian, konselor harus memperhatikan kebutuhan afeksi. Konselor dapat menggunakan
kelompok
kecil
atau
konseling
satu
lawan
satu
untuk
mengembangkan keterampilan berkomunikasi dan mempertemukan kebutuhan afiliasi pada anak berbakat (Stewart, 1999). Strategi-strategi yang telah diuraikan dapat digunakan konselor untuk menangani siswa/anak berbakat yang mengalami kesulitan-kesulitan dalam pengambilan keputusan karier. Peran konselor karier menjadi penting untuk dapat membantu anak-anak berbakat keluar dari dilemma yang mereka hadapi dan mengambil keputusan karier yang tepat bagi dirinya. Hal yang perlu diketahui bersama siswa-siswa berbakat memang memiliki keunggulan-keunggulan secara intelektual dan bakat-bakat di bidang tertentu, akan tetapi 266
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
mereka adalah bagian dari anak-anak yang kurang memiliki kebijaksanaan dan pengalaman yang memadai untuk dapat mengambil keputusan karier yang tepat bagi pengembangan diri mereka di masa depan. Oleh karena itu, bimbingan dan konseling karier menjadi hal yang sangat penting dalam membantu anak berbakat merencanakan karier masa depan. KESIMPULAN Pada dasarnya anak berbakat sama halnya dengan setiap anak lainnya yang membutuhkan bimbingan dan perhatian khusus agar dapat mencapai aktualisasi diri. Kemampuan intelektual yang luar biasa dan bakat-bakat menonjol yang mereka miliki tidak menjamin bahwa siswa berbakat dapat merencanakan karier masa depan mereka dengan baik. Beberapa kesulitan mereka hadapi dalam pengambilan keputusan karier, antara lain memiliki banyak minat dan kemampuan (overchoice), penuh dilemma antara memenuhi harapan diri dan harapan orangtua, perfeksionisme, dan kurang model peran bagi mereka menyebabkan anak-nak berbakat terhambat untuk mewujudkan potensi diri mereka secara optimal. Oleh karena itu, anak-anak berbakat membutuhkan kehadiran konselor dalam memberikan bantuan kepada mereka untuk merencanakan karier masa depan sesuai dengan minat dan bakatnya bukan memenuhi harapan-harapan orang-orang di sekitarnya. DAFTAR PUSTAKA Corey, G. (1996). Theory And Practice Of Counseling And Psychotherapy. 5th edition. Toronto, ON: Brooks/Cole Publishing Co. Emmet, J.D., & Minor, C.W. (1993). Career decision making factors in gifted young adults. The Career Development Quarterly, 41, 350-366 Greene, M. (2006). Helping built lives: Career and life development of gifted and talented student. Professional School Counseling, 10(1), 34-42 Herr, E.L., & Cramer, S.H. (1996). Career Guidance And Counseling Through The Lifespan. New York, NY: HarperCollins Publishers Inc. Hickson, J. (1992). A framework for guidance and counseling of the gifted in a school setting. Gifted Education International, 8, 93-103 Kelly, K. (1992). Career maturity of young gifted adolescents: A replication study. Journal For The Education Of The Gifted, 16, 36-45 Munandar, U. (2009). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas dan Penerbit Rineka Cipta. Manrihu, T.M. (1988). Pengantar Bimbingan dan Konseling Karir. Jakarta: Proyek Pengembangan LPTK Dirjen DIKTI DEPDIKBUD. Prayitno & Amti,E. (2004). Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta. Renzulli, J.S. (1981). The Enrichment Triad Model: A Guide For Developing Defensible Programs For The Gifted And Talented. Connecticut: Creative Learning Press. Stewart, B.J. (1999). Career counseling for the academically gifted student. Canadian Journal of Counseling, 33: 1, page. 3-12.
267
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
PENTINGNYA BIMBINGAN DAN KONSELING DI PAUD
Mona Ardina Universitas Bengkulu
Abstrak Anak usia dini merupakan masa perkembangan dan pertumbuhan yang sangat menentukan masa depan bangsa. Mutu sumber daya manusia ditentukan sejak dini. Idealnya, seorang anak mampu berkembang dan tumbuh secara sehat, mampu menguasai dan melalui tugastugas perkembangan dengan lancar, namun hambatan dan masalah tidak dapat dihindari.Hambatan dan masalah yang dialami anak dalam proses perkembangannya membutuhkan bantuan dari berbagai pihak. Untuk mengatasi hambatan dan masalah tersebut serta untuk membantu proses perkembangan yang optimal, maka diperlukan penanganan secara khusus melalui pelayanan bimbingan dan konseling secara menyeluruh. Layanan bimbingan di PAUD lebih mengutamakan pada jenis bimbingan : (1) pribadi-sosial, yang ditujukan untuk mewujudkan pribadi yang mampu menyesuaikan diri dan bersosialisasi dengan lingkungan secara baik; (2) bimbingan belajar, untuk mencapai tujuan dan tugas perkembangan yang mencakup pengembangan perilaku.Bentukbimbingan yang dapat dilakukan guru dan orangtua dalam membantu mengatasi berbagai permasalahan anak, yaitu : (a) Periksalah karena tidak semua tingkah laku yang bermasalah digolongkan gangguan; (b) Pahamilah, sikap, perilaku anak, dan kebutuhan anak; (c) Telatenlah, menghadapi anak-anak yang mengalami hambatan ataupun gangguan perkembangan anak; (d) Bangkitkan kepercayaan diri, dengan menggunakan teknik penguatan positif (positive reinforcement); (e) Kenali arah minatnya; (f) Meminimalisir stimulasi yang dapat mengacaukan pikiran dan konsentrasi anak; (g) Merancang lingkungan sekolah dan rumah yang kondusif bagi perkembangan anak. Kata kunci : bimbingan dan konseling, PAUD
PENDAHULUAN Anak merupakan modal dasar bagi pembangunan sumber daya manusia suatu negara. Anak usia dini merupakan masa perkembangan dan pertumbuhan yang sangat menentukan masa depan bangsa. Mutu sumber daya manusia ditentukan sejak dini, oleh karena itu untuk menyiapkan sumber daya yang berkualitas perlu rangsangan berupa pemberian gizi yang memadai, pemeliharaan kesehatan, dan pendidikan yang menstimulus tumbuhnya kreativitas. Pendidikan merupakan upaya yang berkaitan dengan pembinaan dan pengembangan berbagai aspek kepribadian yang mendorong dan mempengaruhi anak untuk berbuat atas kesadaran, kemauan, dan tanggung jawabnya (Susanto, 2015 : 1). Anak PAUD adalah anak yang berusia 4 – 6 tahun. Hurlock (1980) menyebut masa ini sebagai masa/periode kanak-kanak awal dan masa keemasan (golden age). Sebagian besar orangtua menganggap masa kanak-kanak awal sebagai usia yang mengandung masalah atau usia sulit. Para pendidik menyebut tahun-tahun awal masa kanak-kanak 268
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
sebagai usia prasekolah. Sedangkan para ahli psikologi menggunakan sejumlah sebutan yang berbeda untuk menguraikan ciri-ciri yang menonjol dari perkembangan psikologis anak seperti usia kelompok, usia menjelajah, usia bertanya, usia meniru, dan usia kreatif (Hurlock, 1980 : 108-109). Berbagai sebutan ini menunjukkan bahwa berbagai kalangan memberikan perhatian yang serius terhadap masa usia PAUD, sehingga pendidikan bagi anak PAUD perlu dilakukan secara terintegrasi untuk membina dan mengembangkan aspek perkembangan anak yang meliputi fisik, kognitif, bahasa, emosi, bakat, kreativitas, nilai/sikap dan moral, serta penyesuaian sosial. Idealnya, seorang anak mampu berkembang dan tumbuh secara sehat, mampu menguasai dan melalui tugas-tugas perkembangan dengan lancar. Seluruh aspek perkembangannya berkembang dengan baik. Anak memiliki fisik dan kesehatan yang prima, secara kognitif dan bahasa anak mampu menguasai lingkungannya dengan kecakapan intelektualnya, memiliki pengendalian emosi sehingga tidak memiliki permasalahan dalam penyesuaian sosialnya serta memiliki nilai, sikap, dan moral yang baik. Akan tetapi, pada kenyataannya, kasus-kasus permasalahan anak tidak kunjung berkurang. Bahkan setiap tahunnya banyak kasus-kasus baru yang bermunculan baik dari yang ringan sampai yang berat, dari permasalahan di rumah maupun di sekolah. Permasalahan anak terutama anak usia dini seperti tidak pernah selesai dibahas. Bahkan
permasalahan
permasalahan
tersebut
anak
bertambah
menimbulkan
banyak
dan
bervariasi
permasalahan-permasalahan
yang baru
terkadang sedangkan
permasalahan sebelumnya belum terselesaikan dengan tuntas. Multiple faktor yang menjadi penyebab munculnya permasalahan anak, baik faktor internal maupun eksternal. Faktor internal terdiri dari masalah fisik (kesehatan) dan masalah psikis yang merupakan masalah yang timbul dari dalam diri anak. Faktor eksternal adalah masalah yang terdiri dari masalah sosial yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar yaitu keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Langkah-langkah deteksi dini akan memberikan gambaran tentang seberapa serius permasalahan perkembangan yang dialami anak. Prinsip penanganan untuk gangguan pada tahap awal. Keluarga di rumah dan guru di sekolah memiliki tanggung jawab untuk menangani sehingga orangtua dan pendidik perlu memiliki hubungan dan komunikasi yang baik. Keluarga yaitu orangtua memang yang berperan utama dalam hal ini, namun yang menjadi pokok permasalahan yang dikemukakan disini adalah peran guru yangtidak kalah penting dengan peran orangtua di rumah. Dengan kata lain, guru atau pendidik merupakan orangtua anak di sekolah sehingga perannya tidak bisa dianggap remeh. Oleh karena itu, kompetensi guru diperlukan dalam hal ini. Namun kenyataan menunjukkan bahwa guru yang sudah dianggap profesional karena sudah memiliki sertifikat sebagai guru PAUD yang
269
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
profesional belum sepenuhnya dapat melakukan pendidikan yang terintegrasi (Hulukati, 2014: 146) Menjadi seorang guru harus memiliki standar kompetensi seorang pendidik, yaitu kompetensi kepribadian, profesional, pedagogik, dan sosial. Salah satu dari beberapa kompetensi tersebut adalah penerapan peranan bimbingan dalam program belajar mengajar di kelas. Peranan bimbingan tersebut menurut Natawidjaja (dalam Susanto, 2015: 17 – 18) merupakan kompetensi penyesuaian interaksional yang merupakan kemampuan guru untuk menyesuaikan diri dengan karakteristik anak dan suasana belajar anak. Izzaty (2005 : 89) mengatakan bahwa pendidik di PAUD seyogyanya memiliki kepekaan dalam mengenali tanda-tanda permasalahan perkembangan anak didiknya. Meski pendidik hanya kurang lebih 3-4 jam berinteraksi dengan anak didiknya, tetapi pendidik menjadi sumber informasi yang sangat penting. Pendidik mengamati secara langsung proses interaksi anak dengan anak-anak lain. Karena rata-rata perilaku anak dapat menjadi indikator pencapaian tugas perkembangan yang baik, maka adanya permasalahan perilaku oleh seorang anak dalam pergaulan kelompok anak-anak TK dapat menjadi indikator yang kuat. Sebagai contoh ada anak yang di dalam kelas pada waktu pendidik mengenalkan bentuk geometri atau belajar huruf dan angka, anak bertingkah tidak bisa diam, mengganggu teman di dekatnya, dengan membuat keributan, memukul temannya dengan media pembelajaran bentuk geometri yang dibuat pendidik, atau bahkan mencubit sehingga suasana di kelas menjadi kacau dengan perilaku yang dianggap menarik perhatian tersebut. Contoh lainnya, seorang anak cenderung pendiam dan sulit bekerja sama dengan temantemannya baik dalam bermain berkelompok maupun dalam menyelesaikan tugas yang diberikan pendidik. Perilaku anak akan banyak diam dan cenderung menarik diri dari lingkungan sosialnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengambil tindakan baik preventif maupun kuratif yaitu dengan pelayanan bimbingan dan konseling bagi anak PAUD. Masih banyak sekolah TK/PAUD di Kota Bengkulu yang belum memiliki layanan bimbingan dan konseling. Hambatan dan masalah yang dialami anak dalam proses perkembangannya membutuhkan bantuan dari berbagai pihak. Untuk mengatasi hambatan dan masalah tersebut serta untuk membantu proses perkembangan yang optimal, maka diperlukan penanganan secara khusus melalui pelayanan bimbingan dan konseling. Bimbingan pada pendidikan anak usia dini merupakan suatu proses bantuan khusus yangdiberikan oleh guru atau petugas lainnya kepada anak didik supaya memperhatikan kemungkinannya hambatan/kesulitan yang dihadapi anak dalam rangka mencapai perkembangan yang optimal (Susanto, 2015: 72). Syaodih (2005: 53) menambahkan bahwa kebutuhan akan layanan bimbingan dan konseling di PAUD muncul dari karakteriktik dan masalah-masalah perkembangan yang terjadi pada masa kanak-kanak. 270
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
PEMBAHASAN Bimbingan dan Konseling, yang sering disingkat dengan BK, merupakan hasil dari dua jalur perkembangan, yaitu gerakan bimbingan jabatan dan gerakan kesehatan mental. Istilah bimbingan dan konseling di lingkungan sekolah baru dikenal sejak abad ke-20. Sebelumnya orang banyak menggunakan istilah bimbingan dan penyuluhan. Namun kata penyuluhan dianggap terlalu sederhana dan tidak cocok untuk siswa pada lembaga pendidikan formal seperti sekolah atau TK/PAUD (Susanto, 2015: 2-3). Pendidik pada kenyataannya sudah memberikan bimbingan pada anak didiknya. Guru lebih berkonsentrasi pada kegiatan pengajaran, namun pendidik masih kurang memperhatikan masalah yang berhubungan dengan penyesuaian diri anak pada lingkungan sekolah dan lingkungan kehidupan di luar sekolah yang ternyata banyak rintangan. Bimbingan dan konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok, agar mampu mandiri dan berkembang secara optimal dalam bidang pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kemampuan belajar dan perencanaan karier, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan norma-norma yang berlaku (Aqib, 2012 : 1). Secara umum, layanan bimbingan di PAUD bertujuan untuk membantu anak didik supaya dapat mengenal dirinya dan lingkungan terdekatnya sehingga dapat menyasuaikan diri melalui tahap peralihan dari kehidupan di sekolah dan masyarakat sekitar anak (Susanto, 2015: 7) Anak PAUD yang sedang dalam tahap awal proses perkembangan sangat membutuhkan bantuan dari lingkungan dalam hal ini orangtua, guru, dan orang dewasa lainnya. Bantuan bimbingan ini tidak saja karena proses perkembangan itu sendiri membutuhkan bantuan seperti pembiasaan, pembinaan, dan pendidikan supaya tercapai perkembangan yang optimal, namun juga ketika terjadi hambatan atau permasalahan yang ditemui dalam proses perkembangan itu. Syaodih (2005: 53) berpendapat bahwa kebutuhan akan layanan bimbingan dan konseling di PAUD muncul dari karakteriktik dan masalahmasalah perkembangan yang terjadi pada masa kanak-kanak. Lingkungan sekolah merupakan lingkungan kedua setelah lingkungan keluarga. Dalam lingkungan sekolah, guru merupakan unsur yang penting dan posisinya sangat menentukan. Tugas guru dalam mengelola kegiatan belajar mengajar bukan hanya mengembangkan aspek kognitif dan psikomotor saja, melainkan juga mengembangkan aspek-aspek afektif. Ketiga aspek tersebut terpadu dalam membentuk perilaku yang positif (Susanto, 2015: 7). Sejalan dengan pendapat Aqib (2012 : 84) yang mengatakan bahwa bimbingan di PAUD tidak hanya terfokus pada tumbuh kembangnya anak secara normal dan kompetensi calistung (membaca menulis dan berhitung) semata, melainkan juga harus menemukan jati diri anak didik yang unik dan khas, sesuai dengan kepribadiannya. 271
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Program bimbingan dan konseling di berbagai lembaga pendidikan termasuk PAUD merupakan program bimbingan yang bermanfaat secara positif, tidak sekedar reaktif dan korektif. Bimbingan dan konseling di PAUD bertujuan membantu anak untuk mengenal dirinya (kemampuan, sifat, kebiasaan), mengatasi kesulitannya,menyiapkan perkembangan mental, sosial, dan jenjang pendidikan selanjutnya, serta mengembangkan potensinya. Menurut Kurikulum Taman Kanak-Kanak tahun 1994 dijelaskan bahwa tujuan bimbingan dan konseling di TK/PAUD adalah sebagai berikut : (Susanto, 2015: 9 – 10) 1. Membantu
anak
lebih
mengenal
dirinya,
kemampuannya,
sifat-sifatnya,
kebiasaannya, dan kesenangannya; 2. Membantu anak supaya dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya; 3. Membantu anak dalam mengatasi kesulitan yang dihadapinya; 4. Membantu menyiapkan perkembangan mental dan sosial anak untuk masuk lembaga pendidikan selanjutnya; 5. Membantu orangtua supaya mengerti, mamahami, dan menerima anak sebagai individu 6. Membantu orangtua dalam mengatasi gangguan emosi anak yang ada hubungannya dengan situasi di rumah; 7. Membantu orangtua mengambil keputusan memilih sekolah bagi anaknya yang sesuai dengan taraf kemampuan intelektual, fisik, dan inderanya; 8. Memberi informasi kepada orangtua untuk memecahkan masalah kesehatan anaknya. Menurut Suyadi (dalam Hulukati, 2014 : 148), tujuan utama penyelenggaraan bimbingan dan konseling di PAUD adalah mengantisipasi atau mengambil tindakan preventif munculnya perilaku bermasalah tersebut. Bimbingan dan konseling di PAUD tidak hanya diberikan kepada anak yang mempunyai perilaku bermasalah, melainkan juga harus diberikan
kepada
anak-anak
yang
sedang
dalam
proses
pertumbuhan
dan
perkembangannya.Bimbingan dan konseling bukan hanya untuk mengatasi perilaku bermasalah pada anak didik, melainkan juga tindakan untuk memenuhi kebutuhan tumbuh kembangnya anak secara maksimal. Pandangan ini menitikberatkan pada bimbingan yang bersifat preventif, kesehatan mental, dan pengembangan diri, sedangkan konseling yang menitikberatkan pada psikoterapi maupun diagnosis terhadap perilaku bermasalah (Aqib, 2012: 84).Dengan demikian dapat dikatakan bahwa layanan bimbingan dan konseling tidak hanya diberikan kepada anak yang bermasalah, melainkan juga pada anak yang tidak bermasalah. Para psikolog menyadari pentingnya melakukan identifikasi sejak dini terhadap perilaku bermasalah pada anak-anak. Dengan melakukan identifikasi ini, diharapkan anak-
272
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
anak di masa depan tidak mengalami hambatan dalam belajarnya, terlebihlagi gangguan pada mentalnya. Adapun cara yang dapat dilakukan, yaitu (Aqib, 2012: 84 – 85) : 1. Menjaga dan melindungi sifat unik anak agar anak tersebut dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan jati dirinya 2. Menyiapkan mental anak-anak agar siap memasuki Sekolah Dasar (SD) 3. Mengidentifikasi kemungkinan munculnya gangguan mental di kemudian hari. 4. Menelusuri bakat, minat, dan potensi anak sejak dini 5. Menjaga stabilitas keseimbangan tumbuh kembangnya anak, baik aspek fisikmotorik, bahasa, sosio-emosional, kognitif, maupun moral-keagamaan 6. Melakukan diagnosis terhadap setiap masa peka anak. Ada 5 (lima) masa peka, yaitu masa peka terhadap keteraturan, detil, penggunaan tangan, berjalan, dan bahasa. Berdasarkan landasan dan tujuan yang ingin dicapai, layanan bimbingan di TK/PAUD dapat berfungsi sebagai berikut : (Susanto, 2015: 10 – 11) a. Fungsi pemahaman, yaitu usaha bimbingan yang akan menghasilkan pemahaman tentang : (1) pemahaman diri anak terutama oleh orang tua dan guru; (2) pemahaman lingkungan anak didik yang mencakup lingkungan keluarga dan sekolah terutama oleh orangtua, guru, dan pembimbing; (3) pemahaman lingkungan yang lebih luas (di luar rumah dan sekolah); dan (4) pemahaman cara-cara penyesuaian dan pengembangan diri. b. Fungsi pencegahan, yaitu usaha bimbingan yang menghasilkan tercegahnya anak didik dari berbagai masalah yang dapat mengganggu, menghambat, ataupun menimbulkan kesulitan dalam proses perkembangannya. c. Fungsi perbaikan, yaitu usaha bimbingan yang akan menghasilkan terpecahnya berbagai permasalahan yang dialami oleh anak didik d. Fungsi
pemeliharaan
dan
pengembangan,
yaitu
usaha
bimbingan
yang
menghasilkan terpeliharanya dan berkembangnya berbagai potensi dan kondisi positif anak didik dalam rangka pengembangan dirinya secara mantap berkelanjutan. Kegiatan pelayanan bimbingan di sekolah PAUD tanggung jawab pelaksanaannya diserahkan kepada guru atau seseorang yang diserahi tanggung jawab secara fungsional untuk melakukan kegiatan pendidikan untuk anak. Untuk berperan dengan baik seorang guru dibekali dengan beberapa kompetensi yang harus diterapkan dengan baik. Salah satu dari beberapa kompetensi tersebut adalah penerapan peranan bimbingan dalam program belajar mengajar di kelas. Peranan bimbingan tersebut menurut Natawidjaja (dalam Susanto, 2015: 17 – 18) merupakan kompetensi penyesuaian interaksional yangmerupakan kemampuan guru untuk menyesuaikan diri dengan karakteristik anak dan suasana belajar anak. 273
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Penerapan bimbingan oleh guru bukan hanya diberikan terhadap mereka yang mempunyai kelainan atau masalah, melainkan juga diberikan kepada anak yang tidak mempunyai kelainan atau masalah. Adapun bimbingan secara umum yang perlu diberikan kepada semua anak, antara lain : (Susanto, 2015: 19) 1. Guru diharapkan memperhatikan aspek pribadi murid, seperti bakat, kemampuan, sikap, dan kebutuhan, agar kepada mereka dapat diberikan bantuan untuk mencapai perkembangan yang optimal 2. Guru mempunyai sikap kesadaran diri sendiri, yaitu guru menampilkan dirinya sebagaimana adanya, memperhatikan sikap senang kepada anak tanpa dibuat-buat dan memahami keberadaan anak 3. Guru mampu menciptakan hubungan yang akrab, yaitu mampu menciptakan suasana kekeluargaan yang menyenangkan buat anak 4. Guru berusaha menciptakan suasana keterbukaan, yaitu mengarahkan dan membantu anak untuk memahami dirinya dengan penuh kebebasan dan tanggung jawab 5. Guru berusaha memahami perasaan anak, ditunjukkan dengan tidak cepat menilai anak, dan memahami apa yang dirasakan oleh anak 6. Guru berusaha membantu anak yang dalam melaksanakan tugas selalu tidak selesai dan kurang inisiatif 7. Menggunakan cara bervariasi dalam menyampaikan materi terutama dengan bermain baik secara individual, kelompok, maupun bermain peran 8. Guru memberikan penguatan dengan cara memberikan dukungan, hadiah, pujian, acungan jempol, supaya anak terpupuk keberanian yang positif 9. Guru berusaha mengarahkan anak membentuk kebiasaan yang baik dengan cara memberi aturan sebelum anak berbuat dan mendamaikan anak yang berselisih untuk saling meminta maaf. Nurihsan, A.J dan Agustin, M. (2011: 52) mengemukakan bahwa bimbingan dan konseling merupakan salah satu kegiatan yang penting dalam pendidikan anak usia dini. Bimbingan dan konseling bagi anak dapat menjadi cara untuk membantu guru dalam memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar anak secara berkesinambungan sehingga dapat memberikan umpan baik bagi guru dalam menyempurnakan proses pembelajaran. Selain itu, Suyadi (2009 : 163) berpendapat bahwa keberadaan bimbingan dan konseling di PAUD sangat dibutuhkan, mengingat banyaknya perilaku bermasalah yang dihadapi anak yang perlu untuk memperoleh bantuan untuk penyelesaiannya. Pada masa perkembangan anak TK/PAUD, masalah dapat menghambat pencapaian perkembangan masa berikutnya, dan juga mempengaruhi aspek-aspek perkembangan lainnya. Tindakan pencegahan terhadap timbulnya perilaku bermasalah maupunberbagai 274
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
bahaya dalam perkembangan anak merupakan kegiatan yang penting, sebagaimana ungkapan yang populer bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati. Demikian pula halnya dengan kegiatan untuk membantu anak yang mengalami hambatan dalam perilaku, mengingat masa anak merupakan dasar bagi perkembangan pada masa-masa selanjutnya. Perilaku bermasalah yang dihadapi oleh anak usia SD, SMP, maupun SMA, bisa saja terjadi sebagai akibat tidak terselesaikannya berbagai hambatan yang ditemukan pada masa anakanak. Menurut Susanto (2015: 73), layanan bimbingan di PAUD lebih mengutamakan pada jenis bimbingan : (1) pribadi-sosial, yang ditujukan untuk mencapai tugas perkembangan pribadi-sosial dalam mewujudkan pribadi yang mampu menyesuaikan diri dan bersosialisasi dengan lingkungan secara baik; (2) bimbingan belajar, dimaksudkan untuk mencapai tujuan dan tugas perkembangan yang mencakup pengembangan perilaku. Sedangkan menurut Nurihsan, A.J. dan Agustin, M. (2011: 52 – 53) beberapa bentuk bimbingan yangdapat dilakukan guru dan orangtua dalam membantumengatasi berbagai permasalahan anak, antara lain: a. Periksalah, hal ini didasari oleh pemikiran bahwa tidak semua tingkah laku yangbermasalah digolongkan gangguan. b. Pahamilah, dengan tujuan untuk lebih memahami sikap, perilaku anak, dan kebutuhan anak c. Telatenlah, menghadapi anak-anak yang mengalami hambatan ataupun gangguan perkembangan anak d. Bangkitkan kepercayaan diri, dengan menggunakan berbagai jenis pengelolaan tingkah
laku,
misalnya
menggunakan
teknik
penguatan
positif
(positive
reinforcement) ketika anak menunjukkan perilaku yang baik e. Kenali arah minatnya, pelarangan terhadap anak untuk melakukan berbagai kegiatan hendaknya dibatasi. Guru mengamati perilaku anak untuk mengetahui bakat atau kecenderungan minat anak f.
Meminimalisir stimulasi yangdapat mengacaukan pikiran dan konsentrasi anak
g. Merancang lingkungan sekolah danrumah yang kondusif bagi perkembangan anak Tampaknya kegiatan bimbingan sebagaimana dikemukakan oleh Nurihsan, A.J dan Agustin, M. dapat dilakukan oleh guru, namun akan lebih optimal lagi apabila dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling (konselor) yang memang telah dibekali dengan kompetensi dimaksud. Persoalan yangdihadapi sekarang adalah di PAUD belum ditetapkan tenaga khusus untuk melaksanakan bimbingan dan konseling. Fakta yang banyak ditemui di sekolah TK/PAUD bahwa pada beberapa sekolah sudah ada yang melaksanakan layanan bimbingan dan konseling yang dilakukan oleh tenaga profesional seperti psikolog. Sekolahsekolah tersebut membuat jadwal kunjungan psikolog ke sekolah 1-3 bulan sekali. 275
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Kendalanya ketika ada permasalahan dengan siswa maka masalah tersebut tidak dapat langsung ditangani oleh psikolog tetapi ditangani oleh guru. Sedangkan guru yang ada tidak memiliki kompetensi untuk menangani permasalahan anak. Diharapkan kedepan akan ada perubahan kebijakan tersebut, disertaidengan upaya memberikan pemahaman terhadap guru PAUD tentang pelaksanaan bimbingan dan konseling melalui integrasi dengan kegiatan pembelajaran. PENUTUP 1. Anak memiliki kebutuhan untuk berkembang secara optimal dalam segala aspek perkembangannya, baik fisik, kognitif, bahasa, emosi, bakat, kreativitas, nilai/sikap dan moral, serta penyesuaian sosial, meski hambatan dan masalah kemungkinan dapat dialami oleh anak. 2. Tujuan utama penyelenggaraan bimbingan dan konseling di PAUD adalah mengantisipasi atau mengambil tindakan preventif jika muncul perilaku bermasalah. 3. Program bimbingan dan konseling di PAUD merupakan program bimbingan yang bermanfaat secara positif, tidak sekedar reaktif dan korektif, akan tetapi bimbingan dan konseling di PAUD juga bertujuan membantu anak untuk mengenal dirinya (kemampuan, sifat, kebiasaan), mengatasi kesulitannya, menyiapkan perkembangan mental, sosial, dan jenjang pendidikan selanjutnya, serta mengembangkan potensinya. 4. Bimbingan dan konseling di PAUD tidak hanya diberikan kepada anak yang mempunyai perilaku bermasalah, melainkan juga harus diberikan kepada anak-anak yang sedang dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya.
DAFTAR PUSTAKA Aqib, Zainal. 2012. Ikhtisar Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Bandung : Yrama Widya. Hulukati, Wenny. 2014. Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Taman Kanak-Kanak Melalui Permainan. Prosiding Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang. Hurlock, E.B. 1980. Psikologi Perkembangan. Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Alih Bahasa : Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta : Penerbit Erlangga Izzati, Rita Eka. 2005. Mengenali Permasalahan Perkembangan Anak Usia TK. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Nurihsan, A.J. dan Agustin, M. 2011. Dinamika Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : PT. Refika Aditama. Susanto, Ahmad. 2015. Bimbingan dan Konseling di Taman Kanak-Kanak. Jakarta : Prenadamedia Group. Suyadi. 2009. Buku Pegangan Bimbingan Konseling untuk PAUD. Jogjakarta : DIVA Press Syaodih, Ernawulan. 2005. Bimbingan di Taman Kanak-Kanak. Jakarta : Depdikbud.
276
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS RELIGI DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Arsyadani Mishbahuddin E-mail:
[email protected] Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bengkulu
Abstrak Pendidikan karakter berbasis religi ini mengupayakan pendidikan yang mengembangkan potensi peserta didik, membantu menemukan pribadi peserta didik yang berkarakter dan berbudaya, menanamkan nilai-nilai karakter yang terpuji secara konsisten pada diri individu (peserta didik) diiringi dengan penanaman nilai-nilai agama di dalamnya. Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter mengupayakan agar setiap individu peserta didik dapat mengenal dan menerima nilai-nilai karakter sebagai miliknya dan juga dapat bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal, menilai, dan menentukan pilihannya, serta selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri yang ada pada setiap individu (peserta didik). Dengan prinsip tersebut, peserta didik dapat belajar melalui proses berpikir, bersikap, dan berbuat sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Kata Kunci: Penerapan, Karakter, Religi, Pendidikan Agama Islam PENDAHULUAN Secara konstitusional, PAI merupakan bagian integral dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional yang bersifat sistemik dan berkelanjutan agar peserta didik menjadi orang-orang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, sebagaimana amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 yang menyatakan bahwa, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Undang-Undang di atas secara tegas menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional diarahkan pada pembentukan empat aspek yaitu: aspek religius, aspek moral, aspek intelektual, dan aspek kebangsaan. Semua aspek itu diwujudkan dalam rangka membentuk manusia yang utuh dan paripurna (insan kamil). Pendidikan agama mengambil peran utama dalam membina aspek religius dan aspek moralitas. Selanjutnya dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi kembali dikukuhkan wajib adanya mata kuliah pendidikan agama, yang 277
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
sudah dapat dipastikan merupakan suatu entitas utuh psikopedagogis/andragogis dalam kurikulum program diploma dan sarjana. Secara konseptual dan paradigmatik, tujuan akhir atau capaian pembelajaran
(learning outcomes) pendidikan agama Islam adalah
terbentuknya kepribadian mahasiswa secara utuh (kaffah) dengan menjadikan ajaran Islam sebagai landasan berpikir, bersikap, dan berperilaku dalam pengembangan keilmuan dan profesinya. Artinya, kepribadian yang utuh hanya dapat diwujudkan apabila pada diri setiap mahasiswa tertanam iman dan takwa kepada Allah SWT. Namun, perlu dicatat bahwa keimanan dan ketakwaan, hanya akan terwujud apabila ditopang dengan pengembangan elemen-elemennya, yakni: wawasan/pengetahuan tentang Islam (Islamic knowledge), sikap keberagamaan(religion dispositions), keterampilan menjalankan ajaran Islam (Islamic skills), komitmen terhadap Islam (Islamic committment), kepercayaan diri sebagai seorang muslim (moslem confidence), dan kecakapan dalam melaksanakan ajaran agama (Islamic competence). Secara keseluruhan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia
sangat
diperlukan oleh setiap mahasiswa muslim agar mau dan mampu mewujudkan ajaran Islam dalam kehidupan pribadi, pengembangan keilmuan dan profesinya secara aktif, kreatif, cerdas, dan bertanggung jawab sebagai seorang muslim yang taat beragama. Adanya wacana dan semangat membentuk pribadi bangsa yang berkarakter, muncullah berbagai variasi dari pendidikan karakter. Dalam pendidikan karakter terdapat banyak nilai-nilai yang wajib untuk ditumbuhkan, dikembangkan, dan dilaksanakan. Nilainilai yang terdapat dalam pendidikan karakter diantaranya adalah jujur, disiplin, toleransi, cinta tanah air dan sebagainya. Dari nilai-nilai tersebut terbentuklah banyak model pembelajaran karakter. Tentu saja dengan model-model pembelajaran nilai karakter yang berbeda-beda akan semakin memudahkan guru dalam menyampaikan dan mengajarkan serta mendidik nilai-nilai karakter pada peserta didik. Semakin mudah guru menyampaikan makin mudah pula peserta didik dalam menangkap dan menumbuhkan nilai-nilai karakter dalam dirinya masing-masing. Tidak dapat dikatakan mudah pula untuk dapat menerapkan nilai-nilai karakter secara konsisten. Kita tahu bahwa kondisi yang ada pada bangsa ini telah terlalu memprihatinkan. Sehingga perlu kerja keras untuk dapat menumbuhkan dan melaksanakan nilai-nilai karakter dalam kehidupan sehari-hari. Dalam model pembelajaran pendidikan karakter terdapat beberapa variasi seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa terdapat pendidikan nilai karakter dengan basis kasih sayang, media massa, IT, agama dan sebagainya. Dari adanya berbagai basis yang dapat digunakan untuk pembelajaran nilai karakter, dalam makalah ini penulis akan memaparkan mengenai salah satu basis pembelajaran dari nilai-nilai karakter berbasis religi, dimana pembelajaran nilai-nilai karakter dengan basis ini dirasa paling pokok, mendasar, dan efektif
278
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
untuk menumbuhkan nilai-nilai karakter, mengontrol perilaku dan membentuk karakter bangsa. PEMBAHASAN Pendidikan Islam dan Pendidikan Karakter Pendidikan Islam menurut Muhammad Fadhil al-Jamali dalam (Abdul Mujib, 2010:26) mengartikan sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak manusia untuk lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan maupun perbuatan. Pengertian ini memiliki tiga unsur pokok dalam pendidikan Islam yaitu: 1. aktivitas pendidikan adalah mengembangkan, mendorong dan mengajak peserta didik untuk lebih maju dari kehidupan sebelumnya. Peserta didik yang tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman apa-apa dibekali dan dipersiapkan dengan seperangkat pengetahuan, agar ia mampu merespon dengan baik. 2. upaya dalam pendidikan didasarkan atas nilai-nilai akhlak yang luhur dan mulia. Peningkatan pengetahuan dan pengalaman harus dibarengi dengan peningkatan kualitas akhlak dan 3. upaya pendidikan melibatkan seluruh potensi manusia baik potensi kognitif (akal), afektif (perasaan), dan psikomotorik (perbuatan). Ajaran Islam dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu bagian aqidah (keyakinan), bagian syari’ah (aturan-aturan hukum tentang ibadah dan muamalah), dan bagian akhlak (karakter). Ketiga bagian ini tidak bisa dipisahkan, tetapi harus menjadi satu kesatuan yang utuh yang saling mempengaruhi. Aqidah merupakan pondasi yang menjadi tumpuan untuk terwujudnya syari’ah dan akhlak. Sementara itu, syari’ah merupakan bentuk bangunan yang hanya bisa terwujud bila dilandasi oleh aqidah yang benar dan akan mengarah pada pencapaian akhlak (karakter) yang seutuhnya. Dengan demikian, akhlak (karakter) sebenarnya merupakan hasil atau akibat terwujudnya bangunan syari’ah yang benar yang dilandasi oleh fondasi aqidah yang kokoh. Tanpa aqidah dan syari’ah, mustahil akan terwujud akhlak (karakter) yang sebenarnya. Pendidikan akhlak (karakter) adalah jiwa pendidikan dalam Islam. Mencapai akhlak yang karimah (karakter mulia) adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan Islam. Di samping membutuhkan kekuatan dalam hal jasmani, akal, dan ilmu, peserta didik juga membutuhkan pendidikan budi pekerti, perasaan, kemauan, cita rasa, dan kepribadian (al-Abrasyi, 1987: 1). Sejalan dengan konsep ini maka semua mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan kepada peserta didik haruslah mengandung muatan pelajaran akhlak (karakter) dan setiap guru atau dosen haruslah memperhatikan sikap dan tingkah laku peserta didiknya.
279
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Islam memberikan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu, akan tetapi yang dimaksud adalah ilmu yang amaliyah. Artinya, seorang yang memperoleh suatu ilmu akan dianggap berarti apabila ia mau mengamalkan ilmunya. Terkait dengan hal ini, Imam AlGhazali mengatakan, “Manusia seluruhnya akan hancur, kecuali orang-orang yang berilmu, semua orang yang berilmu akan hancur, kecuali orang-orang yang beramal, semua orang yang beramal pun akan hancur, kecuali orang-orang yang ikhlas dan jujur” (al-Abrasyi, 1987: 46). Al-Ghazali memandang pendidikan sebagai teknik atau skill, bahkan sebagai sebuah ilmu yang bertujuan untuk memberi manusia pengetahuan dan watak (disposition) yang dibutuhkan untuk mengikuti petunjuk Tuhan, sehingga dapat beribadah kepada-Nya dan mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup. Sebagai bagian dari pendidikan nasional, Pendidikan Agama mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam rangka mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Pasal 2 ayat (1) secara tegas menyatakan bahwa Pendidikan Agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama. Melihat demikian pentingnya Pendidikan Agama di sekolah dan perguruan tinggi sebagaimana dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan di atas, maka Pendidikan Agama (Islam dan yang lain) memainkan peran dan tanggung jawab yang sangat besar dalam ikut serta mewujudkan tujuan pendidikan nasional, terutama untuk mempersiapkan peserta didik dalam memahami ajaran-ajaran agama dan berbagai ilmu yang dipelajari serta melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan Agama Islam hendaknya lebih ditekankan untuk mempersiapkan peserta didik agar memiliki budi pekerti atau karakter mulia (al-akhlaq al-karimah), yang ditunjang dengan penguasaan ilmu dengan baik kemudian mampu mengamalkan ilmunya dengan tetap dilandasi oleh iman yang benar (tauhid). Dengan kriteria seperti ini, diharapkan Pendidikan Agama Islam mampu mengangkat derajat para peserta didik sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuninya. Untuk mewujudkan tujuan Pendidikan Agama di atas, bukanlah hal yang mudah. Banyak hal yang harus diperhatikan mulai dari materinya, pengelolaan atau manajemennya, metodologinya, sarana dan prasarananya, hingga guru/dosen dan peserta didiknya. Pendidikan Agama sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah (mata kuliah di PT) harus diupayakan agar bisa mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman sehingga mampu mengemban fungsi dan tujuan pendidikan nasional seperti yang ditegaskan di atas tanpa harus meninggalkan ajaran-ajaran pokoknya.
280
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
Sementara itu karakter menurut Alwisol dalam (Zubaedi, 2011:11) diartikan sebagai gambaran tingkah laku yang menonjolkan nilai benar-salah, baik-buruk, baik secara eksplisit, maupun implisit. Karakter tersusun dari tiga bagian yang saling berhubungan yakni: moral knowing (pengetahuan moral), moral feeling (perasaan moral) dan moral behavior (perilaku moral). Karakter yang baik terdiri dari pengetahuan tentang kebaikan, (knowing the good), keinginan terhadap kebaikan (desiring the good) dan berbuat kebaikan (doing the good). Dalam hal ini diperlukan pembiasaan dalam pemikiran (habist of the mind), pembiasaan dalam hati (habits of the heart) dan pembiasaan dalam tindakan (habits of the action). Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan adat istiadat. Dari konsep karakter ini muncul konsep pendidikan karakter (character education). Ahmad Amin menjadikan kehendak (niat) sebagai awal terjadinya akhlak (karakter) pada diri seseorang, jika kehendak itu diwujudkan dalam bentuk pembiasaan sikap dan perilaku (Ahmad Amin, 1995: 62). Pendidikan karakter tidak sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Dengan demikian, pendidikan karakter membawa misi yang sama dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral. Seperti dijelaskan di atas bahwa karakter identik dengan akhlak. Dalam perspektif Islam, karakter atau akhlak mulia merupakan buah yang dihasilkan dari proses penerapan syariah (ibadah dan muamalah) yang dilandasi oleh fondasi aqidah yang kokoh. Ibarat bangunan, karakter/akhlak merupakan kesempurnaan dari bangunan tersebut setelah fondasi dan bangunannya kuat. Jadi, tidak mungkin karakter mulia akan terwujud pada diri seseorang jika ia tidak memiliki aqidah dan syariah yang benar. Seorang Muslim yang memiliki aqidah atau iman yang benar pasti akan mewujud pada sikap dan perilaku seharihari yang didasari oleh imannya.
Penerapan Nilai-nilai Karakter Berbasis Religi Dalam sejarah peradaban Islam, Nabi Muhammad SAW adalah model terbaik dalam berkarakter sekaligus dalam penanaman karakter di kalangan masyarakatnya. Nabi Muhammad berhasil membangun karakter masyarakat Arab menjadi berbalik dari karakter sebelumnya, yakni yang sebelumnya jahiliyah (bodoh dan biadab) menjadi Islami (penuh 281
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
dengan nilai-nilai Islam yang beradab). Pembinaan karakter ini dimulai dengan membangun aqidah orang-orang Arab selama kurang lebih tiga belas tahun, yakni ketika Nabi masih berdomisili di Makkah dan dilanjutkan dengan pembentukan karakter mereka dengan mengajarkan syariah (hukum Islam) untuk membekali ibadah dan muamalah mereka seharihari selama kurang lebih sepuluh tahun. Dengan modal aqidah dan syariah serta didukung dengan keteladanan sikap dan perilakunya, Nabi berhasil membangun masyarakat Arab menjadi masyarakat madani (yang berkarakter mulia). Para ahli akhlak (karakter) Islam memberikan wacana yang bervariasi dalam rangka pencapaian manusia paripurna (insan kamil) yang dipengaruhi oleh landasan teologis yang bervariasi pula. Di antara tokoh-tokoh karakter tersebut yang ide-idenya relevan banyak dijadikan rujukan dalam pemikiran dan pembinaan karakter dalam Islam adalah Al-Raghib Al-Asfahani dan al-Ghazali. Al-Asfahani menuangkan ide-ide penyucian jiwa (berkarakter mulia) bagi manusia dalam kitabnya yang diberi judul al-Dzari’ah ila Makarim al-Syari’ah. Menurut al-Asfahani, landasan kemuliaan agama adalah kesucian jiwa yang dicapai melalui pendidikan dan melakukan kesederhanaan, kesabaran, dan keadilan. Kesempurnaannya diperoleh dari kebijaksanaan yang ditempuh melalui pelaksanaan perintah-perintah agama, kedermawanan dicapai melalui kesederhanaan, keberanian dicapai melalui kesabaran, dan kebenaran berbuat diperoleh melalui keadilan (Majid Fakhry, 1996: 102). Itulah keterkaitan yang sangat erat antara agama dengan karakter seseorang. Ditambahkan, bahwa siapa saja yang memenuhi persyaratan tersebut ia akan memperoleh tingkat kemuliaan tertinggi yang oleh al-Quran (QS. al-Hujurat (49: 13) adalah ketakwaan. Disamping itu, ia akan menjadi khalifah yang mulia di muka bumi dan memasuki tingkatan ketuhanan, syahid, dan orang suci (Majid Fakhry, 1996: 103). Al-Asfahani membedakan kemuliaan agama dengan ketaatan beragama. Dalam pandangannya, ketaatan beragama terbatas pada ritus-ritus (peribadatan), sedang kemuliaan agama sama sekali tidak terbatas. Aturan-aturan yang berlaku bagi ketaatan beragama adalah kewajiban (fardlu) untuk memilih (nafal) atau keadilan (‘adl) untuk mencapai keutamaan (fadll). Dengan melaksanakan keadilan manusia diperbolehkan melakukan kewajiban yang menjadi prasyarat utama (Majid Fakhry, 1996: 103). Telah dipaparkan dengan jelas pada pembahasan sebelumnya bahwa pendidikan karakter memiliki pengertian yang terkait erat dengan moral dan etika. Dimana sehubungan dengan hal itu, pada dasarnya agama atau religi juga mengutamakan aspek moral dan etika dalam nilai-nilainya. Sehingga, ketika pembelajaran pendidikan karakter diberikan melalui aspek-aspek keagamaan atau berbasis pada religi, maka akan membentuk suatu kombinasi yang baik tanpa ada nilai-nilai yang saling berlawanan atau bertolak belakang. Hal ini dikarenakan agama merupakan salah satu sumber nilai dalam membangun pembelajaran pendidikan karakter. Dimana dari sumber keagamaan tersebut muncullah nilai religi sebagai 282
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
salah satu nilai yang menjadi bagian atau unsur yang membentuk karakter individu (bangsa). Selain itu, pendidikan karakter yang diajarkan melalui nilai-nilai keagamaan atau berbasis religi ini merupakan salah satu jenis dari pendidikan karakter yang dapat dilaksanakan dalam pembelajaran di sekolah/ lembaga pendidikan. Diantara nilai karakter yang baik untuk dikembangkan dalam pribadi seseorang adalah bertanggungjawab, jujur, dapat dipercaya, menepati janji, ramah, peduli pada orang lain, percaya diri, pekerja keras, bersemangat, tekun, tidak mudah putus asa, dapat berpikir secara rasional dan kritis, kreatif dan inovatif, dinamis, bersahaja, rendah hati, tidak sombong, sabar, cinta ilmu dan kebenaran, rela berkorban, berhati-hati, bisa mengendalikan diri, tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang buruk, mempunyai inisiatif, setia menghargai waktu, dan bisa bersikap adil. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama. Pendidikan karakter berbasis nilai-nilai religius dapat diuraikan secara lebih spesifik, bahwa pendidikan karakter yang berbasis religius mengacu pada nilai-nilai dasar yang terdapat dalam agama Islam. Nilai-nilai karakter yang menjadi dasar pendidikan karakter dapat bersumber dari keteladanan Rasulullah SAW yang dapat terwujud dalam kehidupan sehari-hari beliau. Sumber yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pendidikan karakter dapat disebut sebagai prinsip. Karena dalam pembahasan ini berkenaan dengan karakter berbasis religi, maka sumber dari pendidikan karakter yang dapat dijadikan sebagai prinsip pendidikan karakter yang berbasis religi berhubungan erat dengan nilai-nilai keagamaan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW seperti yang telah disinggung pada kalimat sebelumnya. Prinsip-prinsip yang bersumber dari nilai agama Islam yang digunakan dalam merekonstruksi pendidikan karakter berbasis religi yaitu: 1. Shiddiq; merupakan perilaku yang diartikan dan dimaknai secara harfiah atau bahasa sebagai perilaku jujur. Pengertian dari shiddiq itu sendiri merupakan sebuah kenyataan yang benar yang tercermin dalam perkataan, perbuatan, tindakan dan keadaan batinnya. Pengertian shiddiq tersebut dapat diuraikan dalam beberapa butir, yakni: a. Memiliki sistem keyakinan untuk merealisasikan visi, misi, dan tujuan b. Memiliki kemampuan kepribadian yang stabil, arif, dewasa, mantap, jujur menjadi teladan, berwibawa, dan berakhlak mulia. Kejujuran ini juga menjadi nilai-nilai yang mendasar untuk diajarkan pada individu (peserta didik). 2. Amanah; merupakan sikap atau perilaku seseorang yang dapat menjalankan dan menepati
setiap
janji
serta
tanggungjawabnya, 283
atau
dapat
diartikan
juga
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
bahwa amanah adalah sebuah kepercayaan yang harus ditanggung dalam mewujudkan sesuatu yang dilakukan dengan penuh komitmen, kompeten, kerja keras dan konsisten. Pengertian amanah ini dapat dijabarkan ke dalam butir-butir yakni: a. rasa memiliki dan tanggung jawab yang tinggi b. memiliki kemampuan mengembangkan potensi secara optimal c. memiliki kemampuan mengamankan dan menjaga kelangsungan hidup dan d. memiliki kemampuan membangun kemitraan dan jaringan 3. Tabligh; merupakan perilaku seseorang yang berusaha menyampaikan pesan atau amanat yang diberikan kepadanya untuk disampaikan pada seseorang yang dituju. Sehingga, sifat Tabligh ini masih dalam runtutan dari sifat jujur dan amanah. Ketika seseorang dapat dengan jujur dan mampu menyampaikan amanat yang diberikan padanya, maka ia akan dipercaya. Karena itulah, sifat-sifat ini pantas menjadi prinsip dari terbentuknya pendidikan nilai karakter berdasarkan nilai agama/ religi (Islam). Tidak hanya itu, Tablîgh adalah sebuah upaya merealisasikan pesan atau misi tertentu yang dilakukan dengan pendekatan atau metode tertentu. Dapat diuraikan mengenai pengertian ini diarahkan pada: a. memiliki kemampuan merealisasikan pesan atau misi, b. memiliki kemampuan berinteraksi secara efektif, dan c. memiliki kemampuan menerapkan pendekatan dan metodik yang tepat 4. Fathonah; merupakan salah satu sifat dari Rasulullah SAW, fathonah ini berarti cerdas. Pengertian secara utuh dari fathonah adalah sifat yang meliputi kecerdasan, kemahiran, atau penguasaan bidang tertentu yang mencakup kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Karakteristik jiwa fathanah meliputi arif dan bijak, integritas tinggi, kesadaran untuk belajar, sikap proaktif, orientasi kepada Tuhan, terpercaya dan ternama, menjadi yang terbaik, empati dan perasaan terharu, kematangan emosi, keseimbangan, jiwa penyampai misi, dan jiwa kompetisi. Sifat fathanah ini dapat dijabarkan ke dalam butirbutir: a. memiliki kemampuan adaptif terhadap perkembangan dan perubahan zaman b. memiliki kompetensi yang unggul, bermutu dan berdaya saing c. memiliki kecerdasan intelektual, emosi, dan spiritual. Inilah prinsip keempat yang melengkapi
ketiga
prinsip
lainnya,
dimana
setiap
prinsip
masih
saling
berkesiambungan dan membentuk sifat atau kepribadian yang luhur. Melalui prinsip-prinsip secara agama (Islam) tersebut tanpa mengesampingkan agama lain dimana sebenarnya terdapat ajaran yang tidak berbeda jauh dalam hal bermoral dan beretika, pada dasarnya setiap agama sama dalam membentuk umat yang patuh pada moral dan etika. Sehingga dengan prinsip tersebut, dapat dijadikan sebagai dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan nilai-nilai karakter lainnya. Dimana dengan ditambah 284
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
berbagai sumber lainnya, maka muncul berbagai nilai karakter yang dapat ditanamkan pada diri individu (peserta didik). Nilai religi yang merupakan hasil dari sumber keagamaan, dan toleransi, peduli lingkungan sebagai hasil dari sumber sosial. Pendidikan karakter merupakan upaya mengembangkan potensi peserta didik dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa agar mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai warga negara. Berdasarkan hal tersebut, kemudian dirangkai dengan pengertian agama atau religi yakni sistem keyakinan yang dimiliki setiap individu terhadap Sang Pencipta dimana agama ini merupakan agama langit yang datangnya atau turunnya dari Tuhan melalui firman-Nya (agama samawi) dan bukan merupakan agama bumi atau buatan manusia. Agama juga merupakan sistem pengontrol dan pemberi petunjuk serta menjadi pedoman bagi setiap individu dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dari agama ini pula manusia telah mengenal dan diajarkan tentang bagaimana berpikir baik, bertutur kata yang baik, dan berperilaku baik sesuai dengan nilai, norma, dan moral yang sesuai dengan aturan. Sehingga, pada hakikatnya sejak lahir kita telah diberi anugerah yakni agama yang mampu menjadi dinding kokoh dan pembatas dari hal-hal yang menyimpang. Agama merupakan hak yang paling hakiki bagi setiap manusia. Maka dari itu, setiap manusia berhak memeluk agamanya masing-masing. Apapun agamanya pada dasarnya sama-sama menjadi pilar, pondasi, dinding pembatas, dan pelindung dari berbagai pengaruh buruk dunia. Berdasarkan hal tersebut, pendidikan karakter berbasis religi ini adalah kebenaran wahyu Tuhan. Kebenaran wahyu tersebut yang selanjutnya dimasukan ke dalam mata pelajaran. Pendidikan karakter berbasis religi ini mengupayakan pendidikan yang mengembangkan potensi peserta didik, membantu menemukan pribadi peserta didik yang berkarakter dan berbudaya, menanamkan nilai-nilai karakter yang terpuji secara konsisten pada diri individu (peserta didik) dibarengi dengan penanaman nilai-nilai agama di dalamnya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa agama menjadi tembok pembatas paling kuat terhadap berbagai penyimpangan, karena itulah dengan pendidikan karakter yang berbasis agama/ religi, pembelajaran yang melibatkan nilai-nilai karakter dapat berjalan baik dan konsisten dengan selalu dipantau dan dikontrol oleh agama. Ketika individu telah menanamkan nilai karakter dalam dirinya dengan dibarengi adanya nilai keagamaan yang membuatnya selalu merasa bahwa Tuhan selalu melihat dan bersamanya, maka akan lebih kuat filter (penyaring) untuk melakukan hal-hal yang kurang baik. Berbeda dengan individu yang hanya tahu tentang nilai karakter dan tidak dibekali dengan ilmu agama, maka tidak akan menjadikannya konsisten dalam menerapkan nilai-nilai karakter dan agama, masih terdapat kemungkinan melakukan penyimpangan. Dengan begitu pentingnya agama di sekolah dan perguruan tinggi sebagaimana dirumuskan dalam 285
PROSIDING SEMNAS BK FKIP UNIVERSITAS BENGKULU 17 DESEMBER 2016
peraturan perundang-undangan, maka agama (Islam dan yang lain) memainkan peran dan tanggung jawab yang sangat besar dalam ikut serta mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang berhaluan pada karakter bangsa dan budaya. KESIMPULAN Pengembangan karakter yang ditawarkan para tokoh etika Islam mendasari pengembangan karakter manusia dengan fondasi teologis (aqidah) yang benar, meskipun pemahaman teologi mereka berbeda-beda. Dengan fondasi teologis itulah mereka membangun ide bagaimana seharusnya manusia dapat mencapai kesempurnaan agamanya sehingga menjadi orang yang benar-benar berkarakter mulia. Pendidikan karakter berbasis nilai religi ini pada dasarnya merupakan pendidikan yang berpedoman pada pembentukan dan pengembangan peserta didik yang sesuai dengan nilai karakter dan nilai-nilai keagamaan. Dalam hal ini, agama sangat erat kaitannya dengan karakter dan karakter berhubungan dengan akhlah manusia. Pendidikan karakter berbasis nilai-nilai religi ini di sekolah atau Perguruan Tinggi, dapat diimplementasikan dalam beberapa model pembelajaran baik dalam kelas maupun luar kelas. Pendidikan dengan basis ini, dapat dengan melalui Pendidikan Agama. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa belajar pendidikan agama disini bukan hanya belajar saja untuk memperoleh nilai. Melainkan belajar dengan menumbuhkan dan mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. DAFTAR PUSTAKA Abdul, Mujiib. (2010). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Ahmad Amin. (1995). Etika (Ilmu Akhlak). Terjemah oleh Farid Ma’ruf. Jakarta: Bulan Bintang Cet. VIII. Borba, Michele. (2008). Membangun Kecerdasan Moral: Tujuh Kebajikan Utama Agar Anak Bermoral Tinggi. Terjemah oleh Lina Jusuf. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Darmiyati, Zuchdi, dkk. (2009). Pendidikan Karakter Grand Design dan Nilainilai Target. Yogyakarta: UNY Press Ghazali, Imam dalam al-Qosimi, Muhammad Jamaluddîn. (1986). Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mu`min (Ringkasan Ihya`Ulumiddîn Al-Ghazali) terjemahan. Bandung: Diponegoro. Majid, Fakhry. (1996). Etika dalam Islam. Terjemah oleh Zakiyuddin Baidhawi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Marzuki. (2009). Prinsip Dasar Akhlak Mulia: Pengantar Studi Konsep-Konsep Dasar Etika Dalam Islam. Yogyakarta: Debut Wahana Press-FISE UNY Muhammad, Rohmadi dan Taufiq, Ahmad. (2010). Pendidikan Agama : Pendidikan Karakter Berbasis Agama. Lingkar Media Musfiroh, T. (2008). Pengembangan Karakter Anak Melalui Pendidikan Karakter dalam Character Building. Yogyakarta : Tiara Wacana Muwafik Saleh, Akh, (2012). Membangun Karakter dengan Hati Nurani; Pendidikan Karakter untuk Generasi Bangsa. Jakarta: Erlangga Syahidin dkk. (2014). Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Zubaedi. (2011). Desain Pendidikan Karakter (Konsepsi dan Aplikasinya Dalam Lembaga Pendidikan). Jakarta: Kencana Prenada Media Group 286