Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
SELEKSI GENERASI KELIMA (G5) UNTUK PRODUKSI TELUR TINGGI DAN STABIL DENGAN CIRI FENOTIPIK KHAS PRODUKSI (The Genetic Selection of Local Chicken at Fifth Generation (G5) for High Stable Egg Production with Specific Feather Colour) BENNY GUNAWAN dan DESMAYATI ZAINUDDIN Balai Penelitian Ternak PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT In Indonesia the native chicken has an important role in providing chicken meat and eggs. The meat has special taste and texture. In order to provide the availability of native chicken’s meat and eggs continously, a program of meat and egg production improvement is needed. By manipulating the genetic variation, a selection programe is expected to gain a positive response. The objectives of this research was, first, to examine the respons of genetics selection at fifth generation to increase egg production. After five generations of selection, it is expected that Kampung chicken will lay more than 40% egg production. This experiment used 120 birds of selected population and 60 birds of control population. The egg production, feed consumption and feed conversion were recorded and respons selection was calculated. The egg production, egg weight, feed consumption, feed conversion ratio, and IOFC were recorded and calculated. In conclution, this study showed that the henday production at six generation of selected for periods of six months was 41.43% for selected population was higher (P<0,05) than that for control population (34,73%). Respons selection of G5 is 6.70% higher than control population. Feed conversion ratio of selected population (5.05) was more efficient compared to the control population (6.19). Average feed consumption is 90 gram/bird/day. Primary feather of hen was dominant in black colour (80% in population), with egg shell was white cream colour. The other 20% feather colour varied from black white, brown, white gray, while the egg shell was brown to white cream colour. Keywords: Kampung chicken, selection, egg production, response selection, spesific feather colour, egg shell colour, IOFC (income over feed cost) ABSTRAK Penelitian seleksi ayam lokal G5 merupakan lanjutan dari pengamatan pada generasi sebelumnya mulai dari generasi awal (G0) sampai generasi keempat (G4) terhadap produktifitas ayam frekuensi sifat mengeram. Tujuan penelitian untuk mengetahui produktifitas dan respon seleksi dari ayam lokal generasi kelima (G5). Pada ayam generasi G5 pengamatan ditekankan terhadap produktifitas telur dan ciri khas fenotipik korelasi antara warna bulu primer dengan warna kerabang telur. Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 120 ekor induk ayam lokal kelompok seleksi G5 dan 60 ekor induk ayam lokal tanpa seleksi dari generasi yang sama. Seluruh ayam ditempatkan kedalam kandang batere individual. Pengamatan dilakukan selama 24 minggu terhadap produksi telur harian dari masing-masing induk, bobot telur, konsumsi pakan, perhitungan konversi pakan, fenotipik warna bulu primer dan kerabang telur per induk ayam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat produksi telur selama 6 bulan dari ayam lokal kelompok seleksi pada generasi kelima (G5) sebesar 41,43% HD, lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan kelompok kontrol (34,73% HD). Respon seleksi sebesar 6,70% terhadap populasi kontrol. Rataan konsumsi pakan sebanyak 90 g/ekor/hari. Konversi pakan pada ayam kelompok seleksi (5,05) lebih baik dari pada kelompok kontrol (6,19). Hasil identifikasi ciri fenotipik warna bulu primer induk yang dominan hitam sebanyak 80% dari populasi dengan menampilkan kerabang telur berwarna putih krem. Selebihnya yang 20% warna bulu primer induk beragam dari hitam putih, coklat, putih abu-abu sedangkan warna kerabang telur bervariasi mulai coklat gambir sampai putih. Kata kunci: Ayam Kampung, Deleksi, produksi telur, respon seleksi, fenotipik khas warna pulu primer, kerabang telur, IOFC
521
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
PENDAHULUAN Kemampuan ayam lokal dalam menghasilkan telur per ekor sangat bervariasi, karena ayam lokal mempunyai keragaman individu yang besar (MANSJOER, 1989), sehingga dengan memanfaatkan keragaman tersebut usaha perbaikan produksi telur melalui seleksi diharapkan mempunyai respon seleksi yang positif. Produksi telur merupakan sumber parameter utama yang digunakan sebagai kriteria pemilihan bibit ayam lokal petelur, yaitu dengan menghitung jumlah telur yang dihasilkan ayam lokal selama periode tertentu. Produksi telur menjadi sangat bervariasi tergantung pada faktor genetik, kualitas pakan yang diberikan, penyakit dan sistem pemeliharaan. Produksi telur ayam lokal yang dipelihara dalam kandang batere dengan pola pemeliharaan intensif berdasarkan program pemerintah seperti SPAKU (Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan), PRT (Peranian Rakyat Terpadu) dan UPSUS (Upaya Khusus) diperoleh hasil produksi telur masing-masing sebesar 26,3; 35,5 dan 33% (GUNAWAN. 2002). Angka ini lebih rendah dari produksi telur ayam lokal sistem pemeliharaan SWAKARSA (peternak sendiri) yaitu sebesar 41%. Dengan makin beragamnya produktifitas ayam lokal ini, maka usaha-usaha seleksi untuk meningkatkan produktifitas masih sangat diperlukan dan diharapkan program seleksi pada ayam lokal mempunyai respon seleksi yang positif. Berdasarkan penelitian sebelumnya di Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor bahwa pada populasi dasar (G0), generasi pertama (G1); generasi kedua (G2), dan generasi ketiga (G3) diperoleh rataan produksi telur masing-masing berturut-turut sebesar 29,53% (54,32 butir/ekor); 38,12% (68,99 butir/ekor); 42,17% (76,22 butir/ekor) dan 48,96% (89,10 butir/ekor) selama 6 bulan periode produksi telur (SARTIKA et al. 2000; 2001 dan 2002). Diharapkan masih terjadi suatu peningkatan produksi telur akibat respons seleksi yang positif. Dasar pertimbangan pentingnya dilakukan seleksi produksi telur terhadap ayam lokal karena masih sedikit usaha-usaha perbaikan mutu genetik terutama dalam peningkatan produksi telur. Penelitian bertujuan untuk mengetahui tingkat produksi telur dan respon
522
seleksi pada ayam lokal generasi kelima (G5), untuk menghasilkan galur ayam lokal produksi telur tinggi dan stabil (unggul) dengan ciri fenotipik spesifik khas sebagai sumber bibit di Indonesia. MATERI DAN METODE Sebanyak 120 ayam lokal pullet (G5) umur 5 bulan, turunan hasil dari populasi seleksi G4, dan 60 ekor ayam lokal pullet (G5) turunan dari populasi kontrol G4 yang digunakan sebagai materi penelitian. Seleksi pada ayam lokal menggunakan metode independent culling level dengan memilih induk ayam terbaik (yang mempunyai produksi telur tinggi selama 6 bulan produksi dan tidak mengalami mengeram). Pencatatan produksi telur dilakukan setiap hari pada setiap individu ayam, sedangkan pemberian pakan dilakukan secara kelompok (per empat ekor) setiap minggu sampai 6 bulan produksi. Setelah berproduksi selama 6 bulan ayam lokal kelompok populasi seleksi di ranking kembali dan diseleksi dengan intensitas seleksi minimal 50% untuk menghasilkan turunan generasi kelima (F6). Aktual respon seleksi dihitung berdasarkan perbedaan nilai fenotipik persentase produksi telur antara populasi seleksi dengan populasi kontrol. Parameter yang diukur, produksi telur (%HH dan %HD), bobot telur, konsumsi pakan, perhitungan konversi pakan, perhitungan persentase respon seleksi produksi telur, fenotipik warna bulu primer dan kerabang telur selama 6 bulan. HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi telur ayam lokal hasil seleksi dan populasi kontrol pada generasi kelima (G5) selama 6 bulan (Tabel 1), bahwa persentase produksi telur tertinggi pada ayam lokal generasi keempat dicapai pada bulan ketiga, baik pada populasi seleksi maupun populasi kontrol. Selanjutnya pada bulan keempat sampai keenam terjadi penurunan persentase produksi telur secara bertahap. Berdasarkan hasil penelitian SINURAT et al (1992) pada ayam lokal yang dipelihara secara intensif di Bekasi diperoleh produksi telur 80,3 butir/ekor/ tahun, frekuensi bertelur 7,5 kali/tahun, daya
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
tetas 83,7% dan mortalitas ayam sampai umur 6 minggu 27,2%. Ayam lokal generasi kelima (G5) mengkonsumsi pakan rata-rata 90 gram per ekor per hari. Rataan bobot telur selama 6 bulan produksi telur adalah 43 g/butir dari ayam lokal populasi seleksi dan 45 g/butir pada ayam lokal populasi kontrol (Tabel 2). Ayam lokal populasi seleksi generasi kelima (G5) mencapai produksi telur tertinggi sebesar 44,32% Henhoused (HD) pada bulan ketiga, dan persentase produksi telur selama 6 bulan sebesar 41,43% HD. Tingkat persentase produksi telur pada ayam lokal seleksi ini cukup baik, karena sudah mencapai lebih dari 40% HD dan tetapi sedikit lebih rendah dibandingkan dengan produksi telur pada generasi sebelumnya (G4 sebesar 46,65% HD).
terjadi penurunan produksi akibat terjangkitnya wabah penyakit yang menyerang ayam pullet dan induk pada generasi kelima ini. Sehingga populasi induk seleksi berkurang dari rencana semula 200 ekor menjadi 123 ekor induk. Hasil seleksi selama tiga generasi menunjukkan adanya respon seleksi yang positif, yang dapat terlihat dari peningkatan produksi telur setiap generasi. Pada generasi G0 (populasi dasar), produksi telur selama 6 bulan sebanyak 54,32 butir (29,53%), generasi G1 sebanyak 68,99 butir (38,12%), generasi G2 diperoleh sebanyak 76,22 butir (42,17%), generasi G3 sebanyak 89,10 butir (48,96%), dan generasi G4 sebanyak 79,7 butir (46,65%), dan pada generasi G5 sebanyak 69,60 butir (41,43%). Peningkatan produksi telur dari generasi G0G4 dan G5 (Tabel 3).
Tabel 1. Produksi telur ayam lokal generasi kelima (G5) pada populasi seleksi dan kontrol selama 6 bulan Bulan ke
Populasi seleksi
Populasi kontrol
HH (%)
HD (%)
HH (%)
HD (%)
1
40,20
43,57
36,54
41,85
2
32,87
41,17
33,57
38,62
3
32,98
44,32
21,37
32,88
4
39,96
40,33
18,68
28,91
5
36,38
39,33
15,71
34,05
6
30,09
39,46
10,66
25,66
Produksi telur/6 bulan
35,40
41,43
21,84
34,73
Tabel 2. Produktifitas dan IOFC ayam lokal generasi kelima (G5) pada populasi seleksi dan populasi kontrol selama 6 bulan produksi telur Uraian
Populasi seleksi
Populasi kontrol
Produksi telur, (% HH)
35,40
21,84
Produksi telur, (% HD)
41,43
34,73
Konversi pakan, (g/g)
5,05
6,19
43
41,95
Rataan bobot telur/butir, (g) Mortalitas induk ayam, (%) IOFC/ekor induk/24 minggu (Rp)
24,39
35,38
6 939,5
5 236,5
Perhitungan berdasarkan harga telur Rp. 700/butir; pakan Rp. 1.850/kg
523
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
Tabel 3. Perkembangan produksi telur ayam lokal mulai generasi G0-G5 selama 6 bulan produksi Jumlah telur (butir/ekor/6 bulan)
Produksi telur (%/ekor/6 bulan)
G0
54,32
29,53
G1
68,99
38,12
8,59
SARTIKA et al. (2000)
G2
76,22
42,17
12,64
SARTIKA et al. (2001)
G3
89,10
48,96
19,43
SARTIKA et al. (2002)
G4
79,70
46,65
17,12
GUNAWAN et al. (2003)
G5
69,60
41,43
11,90
GUNAWAN et al. (2004)
Generasi
Bila diamati lebih lanjut, maka produksi telur ayam lokal populasi seleksi generasi G4 sebanyak 79,70 butir (46,65%), yang ternyata jumlahnya lebih sedikit 2,31 butir dibandingkan dengan jumlah produksi telur ayam lokal generasi G3 yaitu sebanyak 89,10 butir (48,96%). Selama tiga generasi seleksi, respon seleksi yang diperoleh cukup tinggi yaitu dari produksi telur selama 6 bulan pada generasi G0 sebesar 29,53% manjadi 48,96% pada generasi G3 (peningkatan sebesar 19,43%), kemudian produksi telur generasi G4 sebesar 46,65% (peningkatan sebesar 17,62%), dan pada G5 terjadi penurunan sebesar 5,22%. Dari hasil penelitian ini sampai generasi G5, dapat dinyatakan bahwa ayam lokal hasil seleksi generasi G5 masih cukup baik dibandingkan produksi telur populasi kontrol (tanpa seleksi yaitu sebesar 35,40% HD atau 60,80 butir/ekor/24 minggu. Dari Tabel 2 dapat dihitung respon seleksi generasi kelima (G5) pada populasi seleksi terhadap populasi kontrol sebesar 6,70%. Respon seleksi (R) dihitung berdasarkan rumus R = s x h2, dimana s adalah diferensial seleksi dan h2 adalah nilai heretabilitas. Diferensial seleksi adalah penyimpangan nilai fenotipik tetua terseleksi dengan rataan fenotipik populasi tetua sebelum diseleksi (FALCONER, 1986). Respon seleksi atau perubahan genetik yang terjadi apabila dilakukan seleksi, tergantung dari nilai heretabilitas sifat yang diseleksi dan korelasi genetik (WARWICK et al., 1983). Makin tinggi korelasi genetik, makin besar perubahan yang terjadi pada sifat yang berkorelasi. Rataan konversi pakan selama 6 bulan produksi telur sebesar 5,05 pada populasi seleksi sedangkan pada populasi kontrol diperoleh konversi pakan yang lebih tinggi
524
Respon seleksi (%)
Referensi SARTIKA et al. (1998)
yaitu sebesar 6,19 (Tabel 3). Terlihat bahwa nilai konversi pakan pada populasi seleksi lebih baik atau lebih efisien dalam menghasilkan satu kilogram telur, dibandingkan populasi kontrol. Sementara hasil penelitian SIDADOLOG et al. (1996), konversi pakan pada populasi awal seleksi sangat tinggi yaitu sebesar 8,48, yang disebabkan oleh massa telur yang diperoleh sangat rendah kemudian meningkat pada generasi G1, G2, G3 dan G4. Hasil pengamatan terhadap jumlah ayam yang masih mengeram pada ayam lokal kelompok seleksi generasi kelima (G5) hanya terjadi sekitar 2,6%. Hal ini disebabkan karena seleksi selain dilakukan terhadap produksi telur tinggi, juga dilakukan afkir pada ayam yang muncul sifat mengeram disetiap generasi (mulai G0 sampai G5). Menurut BLAKELY dan BADE (1991) bahwa sifat mengeram merupakan sifat yang menurun dan tinggi rendahnya sifat mengeram tergantung kepada faktor genetik (bangsa atau strain ayam) dan faktor lingkungan (tatalaksana pemeliharaan). Oleh karena itu upaya mengurangi/ menghilangkan sifat mengeram dapat dilakukan dengan memperbaiki mutu genetik dan metode seleksi seperti yang dilakukan pada ayam ras petelur. Hasil penelitian GOODALE et al. (1960) bahwa sifat mengeram dikontrol oleh dua pasang gen autosom yang dominan. Apabila kedua pasang gen tersebut muncul secara komplementer bersama-sama (A-C-) maka akan timbul sifat mengeram, sebaliknya bila kedua gen dominan muncul sendiri (A-cc; aaC-; dan aacc) maka sifat mengeram akan hilang. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa sifat mengeram ini adalah poligenik dengan major gen sex-linked (PARKHURST dan MOUNTNEY, 1987), tetapi peneliti lainnya
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
mengatakan bahwa sifat mengeram ini tidak terbukti sex linked (ROMANOV et al., 1999). ROMANOV et al. (1999) mengemukakan, sifat mengeram dikontrol oleh gen dominan autosomal pada satu lokus (AA), sedangkan pada ayam yang tidak mengeram dikontrol oleh gen dominan autosomal inhibitor (BB). Apabila sifat mengeram dapat dikurangi atau dihilangkan melalui seleksi, maka produksi telur akan meningkat dan ayam lokal yang menunjukkan sifat mengeram biasanya berpotensi produksi telur yang rendah. Warna kerabang telur yang dominan pada induk ayam lokal yang berbulu primer hitam adalah krem keputihan sebanyak 80% dan sisanya warna bulu primer induk bervariasi mulai hitam putih, coklat dan abu-abu putih dengan warna kerabang bervariasi antara putih dan coklat gambir dari seluruh populasi ayam yang diamati KESIMPULAN Produksi telur ayam lokal pada populasi seleksi generasi G5 selama 6 bulan produksi sebesar 41,43% HD lebih tinggi dibandingkan dengan populasi kontrol (34,73% HD). Respon seleksi 6,70 lebih tinggi dibandingkan dengan populasi kontrol. Konversi pakan ayam lokal populasi seleksi generasi G5 (5,05) yang lebih baik dibandingkan dengan populasi kontrol (6,19). Rataaan bobot telur pada populasi seleksi dan populasi kontrol masing-masing adalah 43 g/butir dan 41,95 g/butir. Warna kerabang telur yang dominan pada induk ayam lokal yang berbulu primer hitam adalah krem keputihan sebanyak 80% dan sisanya warna kerabang bervariasi antara putih dan coklat gambir. DAFTAR PUSTAKA BLAKELY, J and D.H. BADE. 1991. Ilmu Peternakan. (Terjemahan) Edisi keempat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. FALCORNER, D.S. 1986. Introduction of Quantitative Genetics. Second Edition. Longmann Scientific and Technics. Hongkong. GOODALE, H.D., F.A. HAYS, R. SAMBORN and CARD. 1960. Broodiness. In Poultry Breeding. Bulletin no.146. Ministry of Agriculture, Fisheries and Food. London.
GUNAWAN. 2002. Model Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras dan Upaya Perbaikannya (Kasus di Kabupaten Jombang, Jawa Timur). Ringkasan Desertasi. Program Studi Ilmu Ternak. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. GUNAWAN, B., D. ZAINUDDIN, S. ISKANDAR, K. DIWYANTO, H. RESNAWATI, E. JUARINI dan S. NASTITI. 2003. Optimasi mutu genetik untuk meningkatkan produksi telur pada ayam lokal. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian APBN Tahun Anggaran 2002. Balai Penelitian Ternak. Bogor. hlm. 1-11. GUNAWAN, B., D. ZAINUDDIN, S. ISKANDAR, H. RESNAWATI dan E. JUARINI. 2004. Pembentukan ayam lokal petelur unggul. Laporan Akhir Penelitian APBN Tahun 2003. Balai Penelitian Ternak. Bogor. MANSJOER, S.S. 1989. Pengembangan ayam lokal di Indonesia. Pros. Seminar Nasional tentang Unggas Lokal. Lustrum V. Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang, 28 September 1989. PARKHURST, C.R. and G.J. MOUNTNEY. 1987. Poultry Meat and Egg Production. An AVI Book, Published by Van Nostrand Reinhold, New York, USA. ROMANOV, M.N., RT. TALBOT, P.W. WILSON and P.J. SHARP. 1999. Inheritance of broodiness in the domestic fowl. Brit. Poult. Sci. 40: 20−21. SARTIKA, T., B. GUNAWAN, K. DIWYANTO, D. ZAINUDDIN, SOEDIMAN S., MURTIYENI dan A. GOZALI. 1998. Seleksi mengurangi sifat mengeram untuk meningkatkan produktivitas pada ayam buras. Laporan Hasil Penelitian. APBN 1997/1998. Balai Penelitian Ternak. Bogor. SARTIKA, T., B. GUNAWAN dan MURTIYENI. 2000. Seleksi generasi pertama (G1) untuk mengurangi sifat mengeram dan meningkatkan produksi telur pada ayam lokal. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Peternakan APBN Tahun Anggaran 1998/1999. Buku I. Penelitian Ternak Ruminansia Besar, Unggas dan Aneka Ternak dan Hijauan Makanan Ternak. Balai Penelitian Ternak. Bogor. hlm. 209−221. SARTIKA, T. dan B. GUNAWAN. 2001. Seleksi generasi kedua (G2) untuk mengurangi sifat mengeram dan meningkatkan produksi telur pada ayam lokal. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Peternakan APBN Tahun Anggaran 1999/2000. Buku III. Penelitian Ternak Unggas, Aneka Ternak dan Pascapanen. Balai Penelitian Ternak. Bogor.hlm. 8-18.
525
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
SARTIKA, T. dan B. GUNAWAN. 2002. Seleksi generasi ketiga (G3) untuk mengurangi sifat mengeram dan meningkatkan produksi telur pada ayam lokal. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian APBN Tahun Anggaran 2000. Buku II. Non Ruminansia. Balai Penelitian Ternak. Bogor. hlm 1−9. SIDADOLOG, J.H., T. YUWANTA dan H. SASONGKO. 1996. Pengaruh seleksi terhadap perkembangan sifat pertumbuhan, produksi dan reproduksi ayam kampung legund dan normal. Buletin Peternakan. Fapet UGM. Yogyakarta. 20(2): 85−97.
SINURAT, A.P., SANTOSO, E.JUARINI, SUMANTO, T. MURTISARI dan B. WIBOWO. 1992. Peningkatan produktivitas ayam buras melalui pendekatan sistem usahatani pada peternak kecil. Balai Penelitian Ternak. Bogor. Ilmu dan Peternakan. Maret. 5(2): 73−77. SLAAGTER, P.J dan WALDROUP. 1984. Calculation and evaluation of energy: Amino acid ratios for the egg production type hen. Poult. Sci. 63: 1810−1822. STEEL, R.G.D. dan J.H. TORRIE. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Edisi kedua. Cetakan Ketiga. PT Gramedia. Jakarta. WARWICK, E.J., J.M. ASTUTI dan W. HARDJOSUBROTO. 1983. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press.
526