Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
PENGGUNAAN CATATAN PRODUKSI TELUR BULANAN UNTUK EVALUASI GENETIK AYAM PETELUR A. ANANG1, N. MIELENZ2, L. SCHÜLER2 dan R. PREISINGER3 1 Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran, Bandung Institute of Animal Breeding and Husbandry with Animal Health,Germany 3 Lohmann Tierzucht GmbH, Am Seedeich 9-11, 27454 Cuxhaven, Germany 2
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kemungkinan penggunaan catatan produksi telur bulanan untuk evaluasi genetik ayam petelur dengan empat model dan komposisi data yang berbeda. Data berasal dari salah satu galur murni Lohmann Breeding Company, Jerman. Hanya ayam-ayam yang bertelur dari bulan ke satu sampai bulan ke sebelas yang dipertimbangkan dalam analisis. Produksi telur dari 9735 ayam betina yang berasal dari 220 pejantan dan 1879 induk dari dua generasi dengan pedigree satu generasi kebelakang dianalisis. Model-model utama yang dievaluasi adalah: (1) Model Kumulatif (CM), (2) Model Multiple Trait (MTM), (3) Model Regresi Tetap (FRM), dan Model Regresi Random (RRM). Varian komponen diduga dengan Animal Model REML dan nilai pemuliaan dengan Animal Model BLUP. Hasil analisis menunjukan bahwa RRM adalah model yang menarik untuk evaluasi, tapi untuk evaluasi dengan RRM tapi perlu standard kurva produksi telur mulai bulan ke satu sampai ke sebelas. Evaluasi genetik berdasarkan catatan enam bulan pertama dengan RRM mungkin kurang baik. Penggabungan catatan penuh dari tetua dalam suatu seleksi berdasarkan catatan enam bulan pertama dengan RRM membantu memperbaiki bentuk kurva dan dapat meningkatkan korelasi nilai pemuliaan dengan catatan penuh lebih tinggi dibandingkan dengan model-model lainnya. Sebagai tambahan bahwa evaluasi genetik untuk produksi penuh berdasarkan catatan produksi bulan ganjil dianjurkan untuk effisiensi pencatatan. Kata kunci: Model kumulatif, model multiple trait, model regresi tetap, model regresi random, ayam petelur Makalah lengkap diterbitkan dalam Jurnal Ilmu ternak dan Veteriner (JITV) volume 6 no 4
545
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
PENGARUH KRIOPROTEKTAN TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA ENTOG DAN PENURUNAN KUALITASNYA SELAMA PROSES PEMBEKUAN The Effect of Cryoprotectant on Muscovy Drake Spermatozoa Quality and Decreasing of The Quality During Freezing Period SETIOKO, A.R., P. SITUMORANG , D.A. KUSUMANINGRUM, T. SUGIARTI, dan E. TRIWULANNINGSIH Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 ABSTRACT This study was the first part of series of experiment, which the aim to investigate the effect of cryoprotectant (glycerol, DMSO and DMF) and equilibration period (15, 30 and 60 minutes) on sperm quality of Muscovy drakes. This study was designed to investigate the most critical for the sperm during freezing process using the best cryoprotectant and equilibration period. The data was analyzed using 3 x 3 factorial design. The results indicated that percentage of motility (%M) of the sperm diluted with DMSO and DMF as a cryoprotectants were significantly higher than the glycerol (46.4; 38.3 vs 13.2) Percentage of live sperm (%H) after thawing for DMF and DMSO also significantly higher than glycerol. (67.9 and 63.9 vs 35.9). Equilibration time was not significantly affect %M and %H. In the Experiment 2, the quality of sperm (%M and %H) was investigated before dilution (fresh sperm), after dilution, after equilibration for 60 minutes at 5oC and after thawing. Observations on each step indicated that the most critical period was happened after equilibration until thawing where the average reduction of %M was 40.29±6.65, and %H was 34.64±11.45. Whereas total reduction of sperm quality from fresh until post thawing was 50.64±12.30 for %M and 48.64±13.09 for %H. It was concluded that the best cryoprotectant was obtained from DMF and DMSO. Post equilibration period where temperature was dropped from 5oC to –196oC, and than the temperature was increased again during thawing up to 35oC was considered as a critical period during freezing process of Muscovy sperm. Therefore, it is important to investigation the technique of temperature reduction and thawing for Muscovy sperm. Key words: cryoprotectant, sperm, freezing, muscovy ABSTRAK Penelitian ini merupakan bagian dari penelitan pertama yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh krioprotektan (glycerol, DMSO, DMF) dan waktu equilibrasi (15, 30, 60 menit) terhadap kualitas spermatozoa entog. Penelitian kedua dilakukan untuk mengetahui tahap paling kritis bagi spermatozoa selama pembekuan dengan menggunakan pengencer dan waktu equilibrasi terbaik pada penelitian 1. Data yang diperoleh pada penelitian 1 dianalisa dengan analisa variansi pola faktorial 3X3. Hasil penelitian menunjukkan DMF dan DMSO menghasilkan persentase motil (%M) lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan gliserol (46,4; 38,3 vs 13,2). Persentase sperma hidup (%H) setelah thawing untuk krioprotektan DMF dan DMSO juga lebih tinggi (P<0,05) dibanding gliserol (67,9 dan 63,9 vs 35,9). Tidak ada perbedaan yang nyata dari waktu equilibrasi terhadap %M dan %H sperma. Selanjutnya krioprotektan DMF dan waktu equilibrasi 1 jam digunakan dalam penelitian 2. Pada penelitian 2, %M dan %H pada semen segar, setelah diencerkan, setelah equilibrasi selama 1 jam pada suhu 5oC dan setelah thawing diamati. Pengamatan pada tiap-tiap tahap pembekuan menujukkan tahapan paling kritis terjadi saat pasca equilibrasi- sampai thawing dimana rata-rata terjadi penurunan %M 40,29±6,65, %H 34,64±11,45 atau dari total penurunan kualitas sperma segar sampai pasca thawing sebesar 50,64±12,30 (%M) dan 48,64±13,09 (%H). Disimpulkan DMF dan DMSO lebih cocok digunakan sebagai krioprotektan dalam preservasi spermatozoa entog dibandingkan dengan gliserol. Pasca equilibrasi sampai
546
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
dengan thawing dimana temperatur diturunkan dari 5 sampai –196 oC kemudian suhu dinaikkan lagi saat thawing (±35oC) merupakan fase yang paling kritis, sehingga perlu dicari metoda penurunan suhu dan thawing yang lebih baik untuk spermatozoa entog. Kata kunci: Krioprotektan, pembekuan, sperma, ,entog
PENDAHULUAN Daya hidup spermatozoa setelah ejakulasi relatif pendek sehingga pengawetan semen merupakan problem utama dalam pelaksanaan inseminasi buatan (SITUMORANG et al., 2001). Pengawetan semen dapat dilakukan dalam bentuk seman cair (suhu ruangan maupun suhu 5oC) maupun semen beku. Preservasi semen itik secara komersial sampai saat ini belum ada dan baru dilakukan untuk tujuan riset baik yang berhubungan dengan breeding maupun reproduksi. Beberapa penelitian tentang teknik pembekuan semen unggas telah dilakukan, tetapi secara umum hasilnya masih belum memuaskan. Penurunan kualitas spermatozoa selama pengawetan merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan. Penurunan kualitas sperma selama proses pembekuan terutama diakibatkan perubahan kondisi lingkungan seperti pengaruh perubahan temperatur, perubahan tekanan osmotik dan pembentukan kristal es intraseluler (WATSON, 1995). Selama pembekuan kurang lebih 30% sperma akan mati (GOLDMAN et al., 1991), sperma yang hidup relatif sensitive terhadap lingkungan, daya hidup pendek dan fertilitas rendah (PARKS dan GRAHAM, 1992). Penggunaan krioprotektan diharapkan mampu mengurangi pengaruh tersebut, namun tampaknya tiap-tiap spesies mempunyai respon yamg beragam terhadap krioprotektan. Pada prinsipnya ada dua teknik pembekuan sperma yaitu pembekuan secara cepat dan pembekuan secara lambat (HAFEZ, 1993; WATSON 1995). Masing-masing teknik mempunyai keuntungan dan kerugian sebagai akibat perubahan tekanan osmosis dan terbentuknya kristal es intraseluler. Beberapa penelitian pembekuan sperma unggas telah dilakukan, umumnya menggunakan teknik pembekuan secara cepat. TAI et al. (1995) telah melaporkan teknik pembekuan sperma entog dan itik pekin secera cepat, diperoleh motilitas setelah thawing sebesar 50 sampai 70% dan setelah di inseminasikan ke itik Tsaiya menghasilkan fertilitas (2–4 hari) sebesar 62,5 dan 18,7%. LUKASZEWICH (1997) meneliti pengaruh penggunaan larutan Avidulant dan Wnityp A, dengan krioprotektan DMF, DMSO, gliserol dan 1,2 propenediol dengan kecepatan penurunan suhu 1oC/menit atau 35oC/menit turun ke –35; -90 atau –110oC pada pembekuan sperma angsa White Italian. Persentase sperma hidup tertinggi (26,3%) diperoleh dengan perlakuan pelarut Avidulant dengan krioprotektan DMF dan kecepatan penurunan suhu 35oC/menit sampai suhu –110oC. Krioprotektan merupakan agen kimia yang ditambahkan dalam proses pembekuan untuk mengurangi kerusakan mekanik akibat proses pembekuan (VISHWANATH dan SHANON, 2000). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan krioprotektan kedalam pengencer sperma terhadap kualitas sperma setelah thawing dan untuk mengetahui tahapan mana yang paling kritis dalam pembekuan spermatozoa.
547
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
MATERI DAN METODE Penelitian 1 Sepuluh ekor entog jantan digunakan sebagai sumber semen. Ternak dikandangkan secara individu dan semen dikoleksi dengan metode vagina buatan (TAN, 1980). Semen yang diperoleh diamati secara mikroskopis untuk menentukan layak tidaknya untuk dibekukan. Semen yang layak (mobilitas massa minimal ++) selanjutnya dikumpulkan menjadi satu. Pool semen dibagi menjadi tiga dan diencerkan menggunakan pengencer semen yang mengandung krioprotektan glycerol, DMSO atau DMF dengan perbandingan 1:4 (Tabel 1). Tabel 1. Komposisi pengencer dan krioprotektan penelitian Bahan pengencer dan krioprotektan Glukosa (gr)
Jumlah/volume 0,57
Egg Yolk (ml)
1,5
H2O (ml)
7,8
Penstrep (ml)
0,1
Glyserol/ DMSO/DMF (ml)
0,7
Total (ml)
10
Semen yang telah diencerkan dimasukkan kedalam straw 0,25 ml kemudian diequilibrasi pada suhu 5oC selama 15, 30 dan 60 menit. Setelah waktu equilibrasi tercapai, straw yang telah tersusun pada rak di letakkan diatas uap nitrogen cair pada ketinggian 8 cm (-110oC) dari permukaan nitrogen cair selama 4 menit. Setelah itu straw langsung dimasukkan dalam nitrogen cair (-196oC). Setelah beberapa saat straw di thawing pada air hangat (±35oC) selama 30 detik. Persen motilitas (%M) dan sperma hidup (%H) diamati dibawah mikroskup. Data yang diperoleh dianalisis statistik menggunakan analisis variansi dalam rancangan pola faktorial 3x3 (STELL dan TORIE, 1991). Hasil yang signifikan diuji dengan uji beda jarak Duncan (DMRT). Penelitian 2 Sepuluh ekor entog jantan digunakan sumber semen. Ternak dikelompokkan menjadi dua kelompok, masing-masing terdiri dari lima ekor ternak. Semen ditampung dengan vagina buatan. Hanya semen yang memenuhi syarat (mobilitas massa minimal ++ dan motilitas minimal 70%) yang digunakan dalam penelitian. Semen yang memenuhi syarat dicampur menjadi satu sesuai kelompok yang telah ditentukan. Pengambilan sample semen dilakukan 7 kali sehingga diperoleh ulangan sebanyak 14 sampel. Semen diencerkan menggunakan pengencer semen yang mengandung DMF sebagai krioprotektan (Tabel 1) dan derajat pengenceran dilakukan untuk mencapai konsentrasi sperma 400 juta/cc. Setelah diequilibrasi selama satu jam semen dibekukan mengikuti penelitian pertama. Peubah yang diamati adalah %M dan %H pada pool semen segar, semen setelah diencerkan, setelah equilibrasi dan semen beku setelah ditawing pada 30oC selama 30 detik.
548
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Data yang diperoleh digunakan untuk mengetahui tingkat penurunan kualitas spermatozoa pada masing-masing tahapan dalam proses pembekuan. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian 1. Hasil menunjukkan krioprotektan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap %M dan %H setelah thawing, tidak dijumpai adanya pengaruh yang nyata waktu equilibrasi dan interaksi antara krioprotektan dan waktu equilibrasi terhadap kualitas spermatozoa setelah thawing. Pengaruh DMF dan DMSO baik pada %M maupun %H lebih baik (P<0,05) apabila dibandingkan gliserol, tidak dijumpai perbedaan yang nyata baik pada %M maupun %H antara penggunaan DMF dan DMSO. Tabel 2. Pengaruh krioprotektan dan waktu equilibrasi terhadap %M dan %H sperma beku entog setelah thawing Perlakuan
Motilitas (%M)
Sperma hidup (%H)
13,21b
35,9b
Krioprotektan: Gliserol DMSO
a
38,30
63,91a
DMF
46,42a
67,90a
15
31,43
56,00
30
33,09
57,00
60
33,85
56,09
Waktu Equilibrasi (menit)
: a,b
Keterangan
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata (P<0,05)
Hasil yang diperoleh sesuai dengan penelitian LUKASZEWICH (1997) yang menggunakan krioprotektan DMF, DMSO, Gliserol dan 1,2 propaneol untuk membekukan sperma unggas air (white anser). Hasil terbaik diperoleh dengan penggunaan DMF yaitu diperoleh sperma hidup 26,3% dan 23,0% masing-masing untuk pengencer Avidulant dan Winityp A. Hasil yang di peroleh jauh lebih baik (67,9%) karena perbedaan jenis sperma yang dibekukan (meski sama-sama unggas air), dan jenis pengencer disamping metode pembekuan yang digunakan. Gliserol umumnya digunakan sebagai krioprotektan pada pembekuan semen sapi (WATSON, 1995; SITUMORANG et al. 2001); semen kambing (VISHWANATH dan SHANON, 2000). TAI et al. (1995) berhasil mendapatkan %M sperma beku entog sebesar 50% (dibandingkan dengan yang kita peroleh 13,21%) dengan teknik pembekuan cepat menggunakan gliserol (7%) sebagai krioprotektan. Perbedaan nilai yang didapat mungkin disebabkan oleh teknik pembekuan yang digunakan. Tidak dijumpai adanya pengaruh yang nyata dari waktu equilibrasi 15, 30 dan 60 menit terhadap %H dan %M, menunjukkan equilibrasi dapat dilakukan diantara 15–60 menit. Pada prinsipnya equilibrasi diberikan selama waktu tertentu untuk memberikan kesempatan bagi terjadinya translokasi air, dengan demikian akan menurunkan kerusakan sebagai akibat pembentukan kristal es selama freezing dan thawing (VISHWANATH dan SHANON, 2000).
549
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Penelitian 2 Hasil yang diperoleh baik %M maupun %H pada penelitian 2 tidak sebaik yang diperoleh pada penelitian 1, mungkin disebabkan oleh perbedaan volume pengenceran. Penelitian 1 menggunakan pengenceran 1:4 sedangkan pada penelitian 2 derajat pengenceran dilakukan lebih untuk mendapatkan konsentrasi 400 juta/cc (pengenceran 2-3X).
100
Persen
80 60 40 20 0 I
II
III
IV
Tahapan Pembekuan %M
%H
Keterangan: I= Semen segar, II= semen setelah diencerkan, III= setelah equilibrasi pada suhu 5oC selama 60 menit, IV= setelah dibekukan, thawing pada suhu 35oC 30 detikt Gambar 1. Pengaruh tahapan pada pembekuan sperma entog terhadap %M dan %H
Kualitas sperma menurun dengan meningkatnya tahapan-tahapan pembekuan sperma (Gambar 1). Penurunan terjadi secara linier sampai dengan equilibrasi selanjutnya mengalami penurunan yang tajam setelah sperma dibekukan. Penurunan %M dan %H sangat tajam terjadi diantara tahap equilibrasi sampai dengan thawing mencapai 40,28±6,65 poin untuk %M dan 34±11,45 untuk %H atau 47,92 dan 43 poin dari kondisi awal. Penurunan yang sangat besar terjadi sebagai akibat pengaruh pembekuan, seperti yang dinyatakan oleh GOLDMAN et al. (1991) bahwa selama pembekuan 30% sperma akan mati. Penurunan yang linier dan relatif kecil sampai tahap equilibrasi menunjukkan sampai dengan tahapan ini sudah tidak dijumpai masalah. Masalah terjadi pada tahapan pembekuan dan thawing dimana tahapan ini suhu terus diturunkan dari 5oC sampai –110oC (selama 4 menit), diturunkan lagi sampai –196oC dan dinaikkan ke 35oC (10 detik). Tampak bahwa kisaran suhu yang diamati sangat besar sehingga tidak dapat ditentukan pada suhu berapa sebetulnya titik kritis bagi sperma entog. Oleh karena itu perlu dilakukan pengamatan lebih jauh untuk menentukan temperatur kritis dalam pembekuan sperma entog. Menurut SMYTH (1954) temperatur kritis spermatozoa adalah –15 dan –25oC. Freezing point atau fase dimana terjadi perubahan dari fase liquid menjadi padat untuk larutan yang diberi krioprotektan berbeda tergantung konsentrasi krioprotektan yang diberikan (HAFEZ, 1993). Untuk konsentarsi DMF 7,5% freezing pointnya –3oC, sehingga untuk menentukan temperatur kritis pada pembekuan sperma entog dengan krioprotektan DMF 7% perlu diamati saat suhu mulai diturunkan dari ±-3oC sampai ±-25oC. 550
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik perlu dicari teknik pembekuan dan thawing yang lebih sesuai. Pada prinsipnya ada dua teknik pembekuan yaitu teknik pembekuan secara cepat dan lambat, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pembekuan secara cepat tidak memberikan kesempatan bagi air sel untuk keluar dan menyebabkan terjadinya formasi es yang besar. Pembekuan lambat menyebabkan peningkatan konsentrasi garam, meningkatnya osmolality dan pH (MAZUR et al., 1972 disitasi WATSON, 1995; HAFEZ, 1993). yang merusak integritas sel dan menyebabkan kematian sel (MARYMAN, 1971 disitasi oleh BAKST, 1990). Laju penurunan suhu yang lambat menyebabkan air yang keluar sel cukup banyak (untuk mencapai keseimbangan potensi kimia intra dan ekstra seluler) sehingga sel mengalami dehidrasi dan terjadi peningkatan konsentrasi larutan intraseluler yang mengakibatkan kerusakan sel (ANNAN dan PICKETT disitasi BAKST, 1990). Penurunan suhu yang optimal untuk pembekuan sperma unggas adalah 1oC/menit dari suhu 5 sampai –20oC (SEXTON, 1980). Proses thawing juga mempunyai peranan yang besar dalam menentukan daya hidup sperma setelah pembekuan. Thawing dilakukan dengan cara menaikkan suhu secara konstan sehingga motilitas sperma dapat terjaga. Umumnya laju thawing harus selaras dengan pembekuan. Pembekuan yang cepat menghasilkan sedikit kristal es yang merugikan, thawing yang cepat juga akan mencegah pembentukan kristal es intraseluler kembali yang dapat merusak sel (ANNAN dan PICKETT disitasi BAKST, 1990), apabila terlalu cepat akan terjadi perubahan tekanan osmotik yang besar sehingga terjadi aliran zat keluar sel (BAKST, 1990). Thawing yang lambat akan menimbulkan rekristalisasi (BAKST, 1990), fenomena ini terjadi pada suhu –80 sampai –50oC. KESIMPULAN Krioprotektan DMF dan DMSO lebih sesuai digunakan dalam pembekuan sperma entog dibanding gliserol. Lama equilibrasi antara 15–60 menit dapat dilakukan dalam pembekuan sperma entog. Selama proses pendinginan dan pembekuan penurunan kualitas terus terjadi, tetapi penurunan terbesar terjadi selama proses pembekuan dan thawing. Sehingga perlu dilakukan pengamatan lebih jauh mengenai teknik pembekuan dan thawing untuk memperoleh hasil yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA BAKST, M. R. 1990. Preservation of avian cell. In: R. D. Crawford. Poultry Breeding and Genetic. Elsevier, Amsterdam GOLDMAN, E.E., J.E. ELLINGTON, F.B. FAREL and R.H. FOOTE. 1991. Use of Fresh and Frozen Thawed Bull Semen In-vitro. Theriogenology 35:204 HAFEZ, E.S.E., 1993. Preservation and Cryopreservation of Gamet and Embrios. In: E.S. E. Hafes (ed.) Reproduction in Farm Animals. Lea and Febiger. Philadelphia. LUKASZEWICH, E. (1997). Cryopreservation of the White Italian (Anser-anser) Gender Semen. Proceeding 11th Europian Symposium on waterfowl. Nantes (France). September 8-10. Pp. 111-132. SEXTON, T. J. 1980. Optimal Rates for Cooling Chiken Semen fron 5oC to –196oC. Poultry Sci. 59: 2765-2770 SITUMORANG, P., E. TRIWULANINGSIH, A.LUBIS W. CAROLINE dan T. SUGIARTI. 2001. Pengaruh Proline, Carnitin Terhadap Daya Hidup Spermatozoa Yang Disimpan Dalam Suhu 5oc (Chilling Semen). Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 6: 1-6.
551
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
SMITH, A. U. 1954. Effect of Low Temperatur on Living Cell and Tissue. In: R. J. Harris. Biologycal Application of Freezing and Drying. Academic Press. New York STEEL, R.G.D and J.H. TORRIE. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Gramedia Utama, Jakarta. TAI, J.J.L., C. TAI, Y.M. SU., H.H. HUANG T. TURADA and WATANABE.1995. Studies on the Cryopreservatin of Drake Semen. Unpublished report. Duck Research Center. I-Lan. Taiwan. R.O.C. TAN, N.S. 1980. The Training of Drakes for Semen Collection. Ann Zootech. 29 (2): 93-103 VISHWANATH, R. and P. SHANNON. 2000. Storage of Bovine Semen in Liquid and Frozen State. Animal Reproduction Science. 62: 23-53 WATSON, P.F. 1995. Recent Development and Concept in the Cryopreservation of Spermatozoa and Assessment of Their Post-thawing Function Reprod. Fertil. Dev. 7: 871–891
552