SELEKSI GALUR MUTAN SORGUM [Sorghum bicolor (L.) Moench] UNTUK PRODUKTIVITAS BIJI DAN BIOETANOL TINGGI DI TANAH MASAM MELALUI PENDEKATAN PARTICIPATORY PLANT BREEDING
SUNGKONO A361050021
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Seleksi Galur Mutan Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] untuk Produktivitas Biji dan Bioetanol Tinggi di Tanah Masam melalui Pendekatan Participatory Plant Breeding adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juni 2010
Sungkono NRP. A361050021
ABSTRACT SUNGKONO. Selection of Sorghum Mutan Line [Sorghum bicolor (L.) Moench] for High Yield and Bioethanol Production in Acid Soil Strees Condition with Participatory Plant Breeding Approach. Supervised by Didy Sopandie, Trikoesoemaningtyas, Soeranto Hoeman, and Muhammad Arif Yudiarto. Sorghum is one of high value commodities for food and energy security, because two commodities could be cultivated integratedly in one time and space. Sorghum is drought tolerance plant and suitable to be developed in Indonesia dry lands. The major problem of dry land in Indonesia is predominance of acid soil with Al toxicity. Participatory plant breeding program could be introduced in marginal land to improve adoption of the selected lines. The objective of this research was to develop sorghum variety tolerant to acid soil with high productivity of grain and bioethanol through Participatory Plant Breeding approaches. This research consisted of three stages, i.e: (1) evaluation of sorghum mutant lines in acid soil, (2) participatory varietal selection of sorghum mutant lines in acid soil, and (3) preliminary yield trial of selected lines in acid soil. Evaluation of sorghum mutant lines in acid soil was conducted by screening 61 mutant lines developed through gamma irradiation. The selection was conducted in an augmented design in Central-Lampung. Fiveteen lines selected from the screening in acid soil was used in a participatory varietal selection conducted in four different regions in Lampung in mother and baby trials. The prelimenary yield trial was conducted in a randomized complete block design experiment with 24 sorghum lines in three replications in East-Lampung. The results from the screening in acid soil showed that sorghum mutant lines ZH30-29-07, ZH30-3007, and ZH30-35-07 were tolerant in acid soil with high grain productivity and mutant lines PSj-60-05, ZH30-35-07, ZH30-29-07, and PSj-96-05 showed high ethanol productivity. The result of the participatory varietal selection showed that there were differences in preference among farmers in one location or between locations to mutant line selection traits, which led to differences in selected lines. Farmers preferred traits were resistance to loging, short maturity, good performance and high panicle weight. Famers selected ZH30-29-07, ZH30-3007, and ZH30-35-07 which have resistance to loging and good performance and high panicle weight, and selected B-76 and B-92 mutant line for ideal plant height and short maturity. There were similarity in selected lines between reseachers and farmers in PVS. The similar selection were ZH30-29-07, ZH3030-07, dan ZH30-35-07. This result showed that farmers have indigenous knowledge could to used for plant beeding program. Sorghum mutant lines i.e GH-ZB43-07, PSj-95-05, ZH30-29-07, and ZH30-30-07 showed highest grain yield, and ZH30-35-07, BR-ZH30-06-07, and PSj-95-05 showed highest ethanol production in the yield trial compared to national varieties. Mutant line PSj-9505 was both highest in grain and ethanol production. Key words: sorghum, acid soil, selection, participatory varietal selection
RINGKASAN SUNGKONO. Seleksi Galur Mutan Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] untuk Produktivitas Biji dan Bioetanol Tinggi di Tanah Masam melalui Pendekatan Participatory Plant Breeding. (Di bawah bimbingan Didy Sopandie, Trikoesoemaningtyas, Soeranto Hoeman, dan Muhammad Arif Yudiarto). Sorgum adalah salah satu tanaman unggul yang dapat dikembangkan sebagai bahan pangan maupun energi, karena kedua komoditi tersebut dapat diintegrasikan proses produksinya dalam satu dimensi waktu dan ruang. Sorgum sangat toleran terhadap kekeringan, dan sangat sesuai dikembangkan di lahan kering Indonesia. Masalahnya adalah lahan kering tersebut banyak didominasi tanah masam dengan toksisitas Al yang dapat menurunkan produktivitas tanaman. Program pemuliaan tanaman partisipatif dapat digunakan untuk mendapatkan tanaman yang adaptif di lahan marjinal dan dikehendaki oleh petani. Tujuan utama penelitian ini adalah mengembangkan varietas sorgum toleran tanah masam dengan produktivitas biji dan atau bioetanol tinggi. Tujuan khususnya adalah (1) memperoleh informasi tentang adaptasi tanaman sorgum di tanah masam dan mendapatkan galur mutan toleran tanah masam dengan produktivitas tinggi, (2) mendapatkan karakter seleksi galur mutan sorgum yang sesuai dengan preferensi petani, dan kesesuaian pilihan galur mutan sorgum antara petani dan peneliti, dan (3) mengidentifikasi galur mutan yang memiliki potensi hasil baik biji maupun bioetanol yang lebih tinggi dari varietas yang sudah dikembangkan. Seleksi galur mutan sorgum dengan keragaman genetik tinggi di tanah masam melalui pendekatan Participatory Plant Breeding adalah cara untuk menjawab tujuan tersebut. Keragaman genetik diperoleh melalui teknik mutasi fisika dengan radiasi sinar Gamma yang telah dilakukan Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional. Program seleksi pada penelitian ini disusun dalam tiga percobaan, yaitu (1) evaluasi galur mutan sorgum di tanah masam, (2) participatory varietal selection, dan (3) uji daya hasil pendahuluan di tanah masam. Evaluasi galur mutan sorgum di tanah masam dilakukan dengan penapisan (screening) terhadap 61 genotipe sorgum yang dilaksanakan dengan Rancangan Acak Lengkap dan rancangan perlakuan Augmented Design di Lampung Tengah. Dalam percobaan ini dilakukan pendugaan komponen ragam dan nilai heritabilitas dalam arti luas untuk mengetahui pola pewarisan karakter agronomi galur mutan sorgum di tanah masam, mendeteksi hubungan kausal karakter agronomi terhadap hasil, dan seleksi berdasarkan karakter terpilih secara tunggal dan majemuk untuk mendapatkan galur mutan sorgum toleran tanah masam. Participatory varietal selection menggunakan 15 galur mutan (10 toleran dan 5 moderat hasil percobaan pertama) dengan rancangan mother and baby trial. Mother trial dikelola oleh peneliti dikerjakan di Bandarlampung, sedangkan baby trial dikelola oleh petani dikerjakan di Lampung Selatan, Lampung Timur, dan Tanggamus. Terdapat dua data dalam percobaan ini, yaitu data kualitatif sebagai hasil evaluasi petani terhadap karakter seleksi genotipe sorgum untuk mengetahui preferensi petani terhadap karakter tersebut, dan data kuantitatif sebagai hasil pengukuran langsung karakter agronomi oleh peneliti. Data kualitatif yang
bersifat non-parametrik dianalisis dengan Kruskal Wallis, sedangkan data kuantitatif dianalisis dengan sidik ragam dan Uji t-Dunnett. Uji daya hasil pendahuluan di tanah masam menguji 20 galur mutan dan empat varietas hasil percobaan pertama dan kedua menggunakan Rancangan Kelompok Teracak Lengkap dengan tiga ulangan. Varietas Kawali digunakan sebagai pembanding hasil biji, dan Numbu untuk pembanding hasil bioetanol. Data dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan Uji t-Dunnett. Hasil penelitian menunjukkan evaluasi galur mutan sorgum toleran tanah masam dengan produktivitas tinggi harus memperhatikan karakter bobot biomassa dan bobot biji/malai, karena kedua karakter ini menunjukkan ragam genetik yang luas, nilai heritabilitas dalam arti luas tinggi, dan mempunyai pengaruh langsung yang tinggi terhadap hasil sehingga merupakan karakter seleksi yang sangat baik untuk program pemuliaan tanaman sorgum di tanah masam. Galur mutan terseleksi toleran tanah masam dengan produktivitas biji tinggi adalah ZH30-2907, ZH30-30-07, dan ZH30-35-07; sedangkan untuk produktivitas bioetanol tinggi adalah PSj-60-05, ZH30-35-07, ZH30-29-07 dan PSj-96-05. Hasil participatory varietal selection menunjukkan adanya perbedaan preferensi antara petani dalam satu lokasi maupun antar lokasi terhadap karakter seleksi galur-galur yang dievaluasi. Perbedaan ini menghasilkan perbedaan pilihan galur mutan sorgum sehingga menciptakan biodiversitas tanaman sorgum di lapang.Petani sangat menyukai karakter tanaman sorgum yang tahan terhadap kerebahan dan berumur genjah. Galur mutan yang dipilih oleh petani yaitu ZH3029-07, ZH30-30-07, dan ZH30-35-07 mempunyai karakter tahan terhadap kerebahan, serta mempunyai bentuk dan bobot malai yang baik, sedangkan pilihan terhadap galur mutan B-76 dan B-92 didasarkan pada karakter tinggi tanaman yang ideal dan mempunyai umur yang genjah.Terdapat kesamaan pilihan galur mutan sorgum antara peneliti dan petani, yaitu sama-sama memilih galur mutan ZH30-29-07, ZH30-30-07, dan ZH30-35-07. Hasil ini membuktikan bahwa kearifan lokal (indigenous knowledge) yang dimiliki oleh petani dapat digunakan untuk program pemuliaan tanaman. Hasil uji daya hasil pendahuluan di tanah masam menunjukkan bahwa galur mutan yang teridentifikasi menunjukkan hasil biji lebih tinggi dari varietas Kawali (3,22 ton/ha) adalah GH-ZB43-07 (3,87 ton/ha), PSj-95-05 (4,61 ton/ha), ZH3029-07 (4,10 ton/ha), dan ZH30-30-07 (4,01 ton/ha); sedangkan galur yang teridentifikasi mempunyai hasil bioetanol lebih tinggi dari varietas Numbu (685 l/ha) adalah ZH30-35-07 (950 l/ha), BR-ZH30-06-07 (912 l/ha), dan PSj-95-05 (1.255 l/ha). Galur mutan PSj-95-05 merupakan salah satu galur yang mampu menghasilkan biji dan bioetanol dengan produktivitas tinggi. Kata kunci: sorgum, tanah masam, seleksi, participatory varietal selection
SELEKSI GALUR MUTAN SORGUM [Sorghum bicolor (L.) Moench] UNTUK PRODUKTIVITAS BIJI DAN BIOETANOL TINGGI DI TANAH MASAM MELALUI PENDEKATAN PARTICIPATORY PLANT BREEDING (Selection of Sorghum Mutan Lines [Sorghum bicolor (L.) Moench] for High Yield and Bioethanol Product on Acid Soil Stress Condition with Participatory Plant Breeding Approach)
Oleh SUNGKONO A361050021/AGR
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar doktor Pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
Judul Disertasi
: Seleksi Galur Mutan Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] untuk Produktivitas Biji dan Bioetanol Tinggi di Tanah Masam melalui Pendekatan Participatory Plant Breeding
Nama Mahasiswa
: Sungkono
NRP
: A361050021
Program Studi
: Agronomi
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. Ketua
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc. Anggota
Prof.(R) Dr. Ir. Soeranto Hoeman, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. M. Arif Yudiarto, M.Eng. Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Agronomi
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS.
Tanggal Ujian : .............................
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus : ..............................
PRAKATA Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT., atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi dengan judul “Seleksi Galur Mutan Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] untuk Produktivitas Biji dan Bioetanol Tinggi di Tanah Masam Melalui Pendekatan Participatory Plant Breeding”. Disertasi ini disusun berdasarkan tiga topik penelitian, yaitu (1) Evaluasi Galur Mutan Sorgum di Tanah Masam, (2) Participatory Varietal Selection Galur Mutan Sorgum di Tanah Masam, dan (3) Uji Daya Hasil Pendahuluan Galur Mutan Sorgum di Tanah Masam. Ketiga topik penelitian tersebut merupakan satu kesatuan dengan tujuan untuk mendapatkan varietas sorgum unggul toleran tanah masam dengan produktivitas tinggi yang dikehendaki oleh petani. Ucapan terimakasih dan penghargaan yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Prof.Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr., Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc., Prof. (R) Dr. Ir. Soeranto Hoeman, M.Sc., dan Dr. Ir. M. Arif Yudiarto, M.Eng., selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan dan motivasi kepada penulis mulai dari idea penelitian, perencanaan, pelaksanaan sampai penyelesaian penulisan disertasi ini. Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan kepada Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, M.Sc., dan Dr. Ir. Buang Abdullah, M.Sc., selaku penguji luar komisi pada waktu ujian tertutup, serta Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc., dan Prof. (R) Dr. Ir. Abdul Karim Makarim, M.Sc., selaku penguji luar komisi pada waktu ujian terbuka, atas kritik, koreksi, dan perbaikan terhadap disertasi ini. Penghargaan dan rasa terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Dirjen DIKTI atas beasiswa BPPS yang diberikan, Koordinator Kopertis Wilayah II di Palembang dan Ketua Sekolah Tinggi Pertanian (STIPER) Surya Dharma Bandarlampung yang telah memberikan izin dan rekomendasi sehingga penulis dapat melanjutkan studi Pascasarjana Program Doktor di Institut Pertanian Bogor. Penghargaan dan rasa terimakasih yang tulus penulis sampaikan kepada Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Pertanian IPB, Ketua Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana IPB, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu di Institut
Pertanian Bogor. Rasa terima kasih dan penghargaan yang tinggi juga penulis sampaikan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat IPB atas bantuan dana penelitian melalui Hibah Tim Pascasarjana dan Hibah Program Doktor, serta Kementerian Negara Riset dan Teknologi melalui Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional atas bantuan biaya penelitian untuk Percobaan 1. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Ketua, Para Pembantu Ketua, Para Dosen, Staf, Karyawan dan Mahasiswa Sekolah Tinggi Pertanian (STIPER) Surya Dharma Bandarlampung atas dukungan, bantuan, dan kerjasama yang baik sehingga penulis dapat melaksanakan studi, penelitian dan penulisan disertasi dengan baik. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada pimpinan dan karyawan pada Balai Besar Teknologi Pati, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (B2TP-BPPT) di Lampung Tengah, dan Balai Penelitian Tanah dan Agroklimat (BALITANAK) di Lampung Timur yang telah memberi izin penelitian dan penggunaan fasilitas lainnya. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Desta Wirnas, SP., MSi., Ir. Karlin Agustina, MSi., Isnaini, SP., dan seluruh staf laboratorium Research Group on Crop Improvement (RGCI) IPB atas bantuan, dukungan dan kerjasama yang baik. Terimakasih yang tulus dan tak terhingga penulis sampaikan kepada ayahanda Mistam (Alm.) dan Ibunda Sawinah yang telah membesarkan dan mendidik penulis, juga kepada seluruh kakak dan adik kandung. Terimakasih yang tulus khusus penulis sampaikan kepada istri tercinta Dra. Yuli Nurhidayati dan anak-anakku Desy Rachmawati dan Pujono Halim Rachmawan atas dukungan dan kesabarannya. Terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Bapak (Alm.) dan Ibu mertua serta kakak dan adik ipar atas segala dukungannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kemaslahatan hidup umat manusia pada umumnya, dan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahun dan teknologi di bidang pertanian pada khususnya. Amin. Bogor, Juni 2010
Sungkono
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Adipuro, Kecamatan Trimurjo, Kabupaten Lampung Tengah, Propinsi Lampung pada tanggal 15 Oktober 1965 dan merupakan anak kelima dari enam bersaudara dari ayah Mistam (Alm.) dan ibu Sawinah. Penulis telah menikah dengan Dra. Yuli Nurhidayati pada tahun 1991 dan telah dikaruniai dua orang anak bernama Desy Rachmawati (17 tahun) dan Pujono Halim Rachmawan (13 tahun). Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri II Simbarwaringin, Lampung Tengah pada tahun 1978, sekolah lanjutan tingkat pertama di SMP Tridhaya-Trimurjo, Lampung Tengah pada tahun 1981, sekolah menengah atas di SMA Negeri I Metro, Lampung Tengah pada tahun 1985. Pada tahun 1989 penulis menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) di Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Jurusan Budidaya Pertanian. Tahun 1990-1991 penulis bekerja di Bank Rakyat Indonesia (BRI) Kantor Cabang Metro Lampung Tengah. Pada tahun 1994 penulis diangkat menjadi Dosen Pegawai Negeri Sipil Dipekerjakan (PNSD) Kopertis Wilayah II di Sekolah Tinggi Pertanian (STIPER) Surya Dharma Bandarlampung sampai sekarang. Pada tahun 1996-2000, penulis menjadi Pembantu Ketua I Bidang Akademik di STIPER Surya Dharma Bandarlampung. Penulis menyelesaikan Program Magister (S-2) pada Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung tahun 2004, dan pada tahun 2005 melanjutkan studi ke Program Doktor (S-3) di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI Halaman PRAKATA ..................................................................................................
ix
DAFTAR ISI ...............................................................................................
xii
DAFTAR TABEL .......................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xvii i 1 1 4 4 5 5 8 8 12 14 16 19 19 22 26 29 29 29 29 29 30 31 31 31 32 39 39
PENDAHULUAN ....................................................................................... Latar Belakang ................................................................................. Tujuan Penelitian .............................................................................. Hipotesis .......................................................................................... Manfaat Penelitian ........................................................................... Ruang Lingkup Penelitian ................................................................ TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ Karakteristik Tanaman Sorgum ....................................................... Sorgum sebagai Sumber Pangan dan Bahan Baku Bioetanol …….. Industri dan Pasar Bioetanol ............................................................ Tanah Masam: Potensi, Masalah dan Peluang ……………………. Toleransi Sorgum terhadap Cekaman Abiotik ……………………. Pemuliaan Tanaman melalui Teknik Mutasi ……………………… Participatory Plant Breeding ……………………………………... Model Pengembangan Sorgum …………………………………… EVALUASI GALUR MUTAN SORGUM DI TANAH MASAM ….. ABSTRAK ....................................................................................... ABSTRACT ..................................................................................... PENDAHULUAN ............................................................................ Latar Belakang ............................................................................ Tujuan Penelitian ......................................................................... BAHAN DAN METODE ................................................................ Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................... Bahan Genetik ............................................................................. Metode Penelitian ........................................................................ HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ Kondisi Umum ............................................................................ Keragaan Karakter Agronomi dan Hasil Bioetanol Galur Mutan Sorgum di Tanah Masam ............................................................ Pendugaan Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas Karakter Agronomi Galur Mutan Sorgum di Tanah Masam .................... Hubungan Kausal Karakter Agronomi Galur Mutan Sorgum terhadap Hasil di Tanah Masam .................................................. Seleksi Galur Mutan Sorgum Toleran Tanah Masam dan Berdaya Hasil Tinggi .................................................................. SIMPULAN…………..............................................................
41 51 53 59 67
PARTICIPATORY VARIETAL SELECTION DAN KARAKTERISASI GALUR MUTAN SORGUM DI TANAH MASAM ............................... ABSTRAK ....................................................................................... ABSTRACT ..................................................................................... PENDAHULUAN ............................................................................ Latar Belakang ............................................................................ Tujuan Penelitian ......................................................................... BAHAN DAN METODE ................................................................ Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................... Bahan Genetik ............................................................................. Metode Penelitian ........................................................................ HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ Pengantar ke Participatory Plant Breeding …………………… Kondisi Umum ……………………………………………….. Participatory Varietal Selection ………………………………. SIMPULAN ………….............................................................. UJI DAYA HASIL PENDAHULUAN GALUR MUTAN SORGUM DI TANAH MASAM............................................................................... ABSTRAK ....................................................................................... ABSTRACT ..................................................................................... PENDAHULUAN ............................................................................ Latar Belakang ............................................................................ Tujuan Penelitian ......................................................................... BAHAN DAN METODE ................................................................ Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................... Bahan Genetik ............................................................................. Metode Penelitian ........................................................................ HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ Kondisi Umum ............................................................................ Keragaan Komponen Pertumbuhan .................................... Keragaan Komponen Hasil dan Hasil ................................. Keragaan Hasil Bioetanol .................................................. Kadar Pati Biji ............................................................................. SIMPULAN ……………............................................................. PEMBAHASAN UMUM ........................................................................... Participatory Plant Breeding dan Manfaatnya ……………………. Peningkatan Produktivitas Sorgum ………………………………… Studi Sifat Ketenggangan Sorgum di Tanah Masam ………………. Analisis Kelayakan Pengembangan Sorgum ………………………. Kendala pada Tanaman Sorgum dan Cara Mengatasinya …………. SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ Simpulan ........................................................................................... Saran ................................................................................................. DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. LAMPIRAN ...............................................................................................
68 68 68 69 69 70 71 71 71 71 75 75 78 89 114 115 115 115 115 115 117 117 117 118 118 120 120 121 127 131 134 136 137 137 141 142 143 145 146 146 147 148 163
DAFTAR TABEL Halaman 1. Sifat kimia tanah terukur di lokasi percobaan dan kriterianya …..
39
2. Pengaruh genotipe sorgum terhadap komponen pertumbuhan tanaman sorgum yang dibudidayakan di tanah masam ………….
42
3. Keragaan jumah daun, tinggi tanaman dan bobot biomasa genotipe sorgum di tanah asam ………………………………………………
43
4. Pengaruh genotipe sorgum terhadap komponen hasil dan hasil tanaman sorgum yang dibudidayakan di tanah masam …………
45
5. Keragaan panjang malai, jumlah biji/malai dan bobot biji/malai genotipe sorgum di tanah asam …………………………………..
47
6. Pengaruh genotipe sorgum terhadap produktivitas bioetanol dari nira batang (stem juice) ….………………………………………..
48
7. Nilai total sugar, hasil nira dan hasil bioetanol dari genotipe sorgum yang dibudidayakan di tanah masam ………………………………
49
8. Pendugaan komponen ragam, koefisien ragam genetik, dan pendugaan nilai heritabilitas arti luas (h2bs) untuk karakter agronomi tanaman sorgum yang dibudidayakan di tanah masam
52
9. Hubungan antar karakter agronomi genotipe sorgum yang dibudidayakan di tanah masam ……………………………………..
54
10. Pengaruh langsung dan tidak langsung karakter agronomi terhadap hasil (bobot biji/malai) dari genotipe sorgum di tanah masam ……
57
11. Klasifikasi ketenggangan galur mutan sorgum di tanah masam berdasarkan analisis diskriminan bobot biomasa tanaman ............
61
12. Klasifikasi ketenggangan galur mutan sorgum di tanah masam berdasarkan analisis diskriminan bobot biji/malai ........................
63
13. Galur mutan sorgum toleran tanah masam berdasarkan seleksi indeks ………………………………………………………………
65
14. Galur mutan sorgum terseleksi berdasarkan produktivitas bioetanol
66
15. Nama, jenis kelamin, umur, dan pendidikan petani yang terlibat dalam kegiatan PVS di tiga kabupaten berbeda di Lampung ………
81
16. Lama bertani, luas kepemilikan lahan, dan komoditas yang diusahakan oleh petani peserta PVS di tiga kabupaten berbeda di Lampung …………………………………………………………..
82
17. Preferensi petani Lampung Selatan terhadap karakter seleksi genotipe sorgum di tanah masam …………………………………..
91
18. Nilai skor karakter seleksi tanaman sorgum hasil evaluasi petani di Lampung Selatan …………………………………………………
92
19. Genotipe sorgum terpilih berdasarkan preferensi petani Lampung Selatan …………………………………………………………….
93
20. Preferensi petani Lampung Timur terhadap karakter seleksi genotipe sorgum di tanah masam ………………………………..
94
21. Nilai skor karakter seleksi tanaman sorgum hasil evaluasi petani di Lampung Timur …………………………………………………..
95
22. Genotipe sorgum pilihan berdasarkan preferensi petani Lampung Timur ……………………………………………………………….
96
23. Preferensi petani Tanggamus terhadap karakter seleksi genotipe sorgum di tanah masam ……………………………………………
97
24. Hasil evaluasi petani terhadap karakter seleksi tanaman sorgum di Tanggamus ………………………………………………………….
97
25.
98
Genotipe sorgum pilihan berdasarkan preferensi petani Tanggamus
26. Preferensi petani di tiga lokasi percobaan baby trial terhadap karakter seleksi genotipe sorgum di tanah masam ………………..
99
27. Pilihan petani di tiga lokasi percobaan baby trial terhadap genotipe sorgum berdasarkan preferensi seluruh karakter seleksi …………..
101
28. Pilihan petani di tiga lokasi percobaan baby trial terhadap galur mutan sorgum berdasarkan seluruh karakter seleksi ……………..
102
29. Pilihan petani di tiga lokasi percobaan baby trial terhadap galur mutan sorgum berdasarkan karakter ketahanan tanaman terhadap rebah ………………………………………………………………..
103
30. Pilihan petani di tiga lokasi percobaan baby trial terhadap galur mutan sorgum berdasarkan karakter bentuk malai …………………
104
31. Pilihan petani di tiga lokasi percobaan baby trial terhadap galur mutan sorgum berdasarkan karakter bobot malai …………………
104
32. Pilihan petani di tiga lokasi percobaan baby trial terhadap galur mutan sorgum berdasarkan karakter penampilan tanaman secara umum ………………………………………………………………
105
33. Pilihan petani di tiga lokasi percobaan baby trial terhadap galur mutan sorgum berdasarkan karakter tinggi tanaman ……………..
106
34. Pilihan petani di tiga lokasi percobaan baby trial terhadap galur mutan sorgum berdasarkan karakter umur panen …………………
106
35. Perbandingan produktivitas bioetanol dari nira batang sorgum manis di tiga lokasi percobaan baby trial …………………………
108
36. Analisis ragam karakter agronomi genotipe sorgum di Baby Trial
109
37. Pengaruh galur mutan terhadap karakter seleksi tanaman sorgum di baby trial …………………………………………………………..
110
38.
111
Pengaruh genotipe sorgum terhadap karakter seleksi di mother trial
39. Keragaan karakter seleksi tinggi tanaman, bobot biomasa, dan bobot biji/malai galur mutan sorgum di mother trial ………………
112
40. Keragaan hasil bioetanol dari nira batang sorgum manis di mother trial ………………………………………………………………….
113
41. Pengaruh genotipe terhadap keragaan pertumbuhan tanaman sorgum di tanah masam ……………………………………………
121
42. Keragaan tinggi tanaman dan jumlah daun 23 genotipe sorgum pada Uji Daya Hasil Pendahuluan di Tanah Masam Lampung Timur………………………………………………………………
122
43. Keragaan lingkar batang dan bobot biomasa 23 genotipe sorgum pada Uji Daya Hasil Pendahuluan di Tanah Masam Lampung Timur…………………………………………………………….....
125
44. Pengaruh genotipe terhadap keragaan komponen hasil dan hasil tanaman sorgum di tanah masam ………………………………..
127
45. Keragaan panjang malai dan bobot 1000 butir biji 23 genotipe sorgum pada Uji Daya Hasil Pendahuluan di Tanah Masam Lampung Timur ……………………………………………………
128
46. Keragaan bobot biji/malai dan hasil 23 genotipe sorgum pada Uji Daya Hasil Pendahuluan di Tanah Masam Lampung Timur …….
130
47. Perbandingan keragaan komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil galur mutan terpilih terhadap varietas Kawali ………….
131
48. Pengaruh genotipe terhadap keragaan total sugar, hasil nira, dan bioetanol galur mutan sorgum di UDHP tanah masam Lampung Timur ……………………………………………………………….
132
49. Keragaan total sugar, hasil nira, dan hasil bioetanol galur mutan sorgum di UDHP tanah masam Lampung Timur…………………
132
50. Nilai rata-rata kadar pati genotipe sorgum di UDHP tanah masam Lampung Timur …………………………………………………….
135
51. Analisis ekonomi usahatani berbasis sorgum manis ………………..
144
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Bagan alir penelitian ...........................................................................
6
2. Kondisi umum tanaman sorgum umur 2 minggu (a), 6 minggu (b), 10 minggu (c), dan 12 minggu (d) ......................................................
40
3. Keragaan bentuk malai genotipe sorgum yang diuji. Bentuk malai dengan komposisi biji kompak (a dan b), malai dengan komposisi biji renggang (c dan d) ........................................................................
46
4. Diagram lintasan pengaruh langsung tinggi tanaman (X1), jumlah daun (X2), panjang malai (X3), jumlah biji/malai (X4), indeks panen (X5), bobot biomassa (X6) terhadap bobot biji/malai (Y); serta nilai korelasi antar karakter agronomi ........................................
58
5. Sebaran sebalur nilai Z dan frekuensi bobot biomasa galur mutan sorgum di tanah masam .......................................................................
60
6. Sebaran sebalur nilai Z dan frekuensi bobot biji/malai galur mutan sorgum di tanah masam .......................................................................
62
7. Peta lokasi percobaan Participatory Plant Breeding di Lampung. Mother trial: Bandarlampung (1), Baby trial: Lampung Selatan (2), Lampung Timur (3), dan Tanggamus (4) ………………………….
78
8. Diskusi terfokus dengan petani peserta PVS melalui kegiatan PRA di Lampung Selatan (a) dan Lampung Timur (b) …………………
84
9. Kondisi umum tanaman sorgum di Lampung Selatan (baby trial)
86
10. Kondisi umum tanaman sorgum di Lampung Timur (baby trial) …...
87
11. Kondisi umum tanaman sorgum di Tangamus (baby trial) ………..
88
12. Kondisi umum tanaman sorgum di Bandarlampung (mother trial) …
89
13. Seleksi oleh petani berdasarkan preferensi karekter seleksi genotipe sorgum di tanah masam ……………………………………………..
90
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Hasil analisis contoh tanah ...............................................................
164
2. Deskripsi sorgum varietas Kawali dan Numbu ................................
165
Penguji Luar Komisi Pembimbing: Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup (10 Mei 2010): 1. Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, M.Sc. 2. Dr. Ir. Buang Abdullah, M.Sc. Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka (14 Juni 2010): 1. Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc. 2. Prof. (R) Dr. Ir. Abdul Karim Makarim, M.Sc.
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan beras sebagai pangan utama sumber karbohidrat di Indonesia terus meningkat seiring laju pertambahan jumlah penduduk yang mencapai 1,4% pertahun (BPS, 2006). Diperkirakan pada tahun 2025 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 316 juta jiwa (Badan Litbang Deptan, 2005); dengan konsumsi beras rata-rata 125 kg/kapita/tahun (SUSENAS, 2006), maka kebutuhan beras saat itu mencapai 39,5 juta ton, sedangkan produksi saat ini hanya 33 juta ton (Badan Ketahanan Pangan Deptan, 2008). Kekhawatiran akan terjadi defisit beras sangat beralasan, karena 95% produksi beras nasional dipenuhi oleh padi sawah (Suwarno et al., 2004) yang telah mengalami leveling off (Sopandie, 2006), dan lahannya terus mengalami penyusutan akibat alih fungsi ke penggunaan selain pertanian dengan laju sekitar 90.000 hektar per tahun (Mattjik, 2007). Selain pangan, Indonesia juga akan dihadapkan pada krisis energi dengan semakin menipisnya cadangan minyak bumi yang ada. Puncak produksi minyak bumi Indonesia telah terjadi pada tahun 1977 dengan kapasitas produksi 1,69 juta barrel/hari, dan setelah itu produksinya terus menurun sedangkan permintaan terus meningkat. Data pada tahun 2004 menunjukkan bahwa produksi minyak bumi Indonesia hanya 1,12 juta barrel/hari, sedangkan kebutuhannya mencapai 1,15 juta barrel/hari (Iman dan Nurcahyo,
2005).
Peningkatan produksi minyak
berbasis fosil sangat sulit dilakukan karena bersifat takterbarukan. Salah satu solusi untuk meningkatkan ketahanan pangan dan energi adalah menyatukan proses produksi kedua komoditi tersebut dalam satu dimensi waktu dan ruang. Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] adalah tanaman serealia yang dapat memenuhi tuntutan tersebut, karena dapat dijadikan sebagai bahan pangan sumber karbohidrat yang berasal dari biji, dan dapat dikonversi menjadi sumber energi dalam bentuk bioetanol dari hasil fermentasi terhadap nira batang (stem juice) maupun karbohidrat pada bijinya (Grassi, 2005; Yudiarto, 2006; Reddy dan Dar 2007). Selain itu, sorgum juga dikenal sebagai tanaman yang mempunyai daya adaptasi luas terhadap lahan marjinal terutama pada lahan kering (Toure et al., 2004; Borrel et al., 2005).
2 Sebagai bahan pangan, kandungan gizi pada sorgum sangat bersaing dengan beras dan jagung, bahkan untuk protein dan kalsium lebih tinggi. Kandungan protein dan kalsium pada sorgum mencapai 11,0 g dan 28,0 mg, pada beras 6,8 g dan 6,0 mg, sedangkan pada jagung 8,7 g dan 9,0 mg per100 gram bagian dapat dimakan (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1992). Selain itu, sorgum sangat berpeluang untuk dikembangkan menjadi pangan premium dengan keunggulan kandungan glutinnya sangat rendah (glutenous free food) dan indeks glikemiknya juga rendah (low glicemiks index) sehingga sangat sesuai untuk konsumen dengan kebutuhan gizi khusus. Sebagai bahan baku bioetanol, sorgum memenuhi tiga syarat utama yang diperlukan untuk diproduksi menjadi bahan bakar non-fosil secara masal, yaitu tidak berkompetisi dengan tanaman pangan, produktivitasnya tinggi, dan biaya produksinya rendah (Medco Energi, 2007). Produktivitas bioetanol dari sorgum lebih tinggi daripada tebu dan ubi kayu yang umum digunakan di Indonesia. Bioetanol yang dihasilkan oleh sorgum dengan mengolah biji dan nira batangnya sebanyak tiga kali panen dalam setahun adalah 8.419 l/ha, tebu dengan mengolah nira batangnya menghasilkan 6.192 l/ha, dan ubi kayu dengan mengolah umbinya menghasilkan 3.835 l/ha (Global Petroleum Club, 2007). Sebagai tanaman yang toleran terhadap kekeringan, sorgum mempunyai keunggulan untuk dikembangkan di lahan kering Indonesia yang sangat luas. Namun lahan kering tersebut banyak didominasi tanah masam yang mencapai 99,5 juta hektar dari 144 juta hektar lahan kering yang ada dan tersebar di Kalimantan, Sumatera, dan Papua (Hidayat dan Mulyani, 2002). Kondisi ini menyebabkan budidaya sorgum akan dihadapkan pada kendala tanah masam yang dapat menjadi faktor pembatas utama produktivitas karena adanya toksisitas Al (Kochian, 1995; Ryan et al., 1997; Anas dan Yoshida, 2000). Cekaman Al menyebabkan gangguan pada pertumbuhan akar sehingga penyerapan hara dan air menjadi terhambat (Marschner, 1995), dan tanaman dapat mengalami defisiensi unsur hara terutama fosfor (George
et al., 2001). Penurunan produktivitas
tanaman serealia akibat toksisitas Al di tanah masam dapat mencapai 28-63% tergantung tingkat toksisitasnya (Sierra et al., 2005)
3 Usaha untuk mengatasi dampak negatif tanah masam melalui ameliorasi seperti pengapuran dan pemupukan selain memerlukan biaya yang besar juga tidak sustainable. Selain itu efektifitas pengapuran menjadi rendah akibat adanya erosi dan respon tanaman yang berbeda terhadap jenis kapur (Santoso, 2004). Pendekatan biologis melalui program pemuliaan tanaman untuk mendapatkan varietas unggul toleran tanah masam dan defisiensi hara dapat menjadi pilihan strategis (Sopandie, 2006; Akhter et al., 2009). Seleksi terhadap plasma nutfah galur mutan sorgum yang ragam genetiknya diperoleh melalui teknik mutasi fisika oleh Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) pada kondisi tanah masam merupakan langkah awal untuk mendapatkan varietas sorgum toleran tanah masam dengan produktivitas tinggi. Seleksi pada lingkungan bercekaman harus dilakukan di lingkungan target dengan alasan dapat memaksimalkan ekspresi gen-gen yang mengendalikan daya hasil maupun daya adaptasi (Ceccareli et al., 2007). Selain itu, diperoleh juga informasi mengenai kondisi agroekologi dan kriteria seleksi yang lebih baik dan sesuai untuk kebutuhan setempat (Eling et al.,
2001). Program pemuliaan
tanaman yang dapat memenuhi syarat tersebut melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti peneliti, petani dan stakeholders lain yang dikenal sebagai Participatory Plant Breeding (Sperling et al., 2001). Keunggulan metode Participatory Plant Breeding yang berbasis partisipasi dibandingkan metode konvensional atau Formal Plant Breeding yang bersifat terpusat adalah sangat baik untuk memuliakan tanaman pada lahan marjinal seperti toleransi terhadap cekaman lingkungan (Almekinders dan Eling, 2001). Selain itu, adanya umpan balik dari petani dan pilihan langsung oleh petani akan menghasilkan kesesuaian genotipe pada tingkatan usahatani petani (Zuraida dan Sumarno, 2003), dan meningkatkan biodiversitas tanaman (Rana et al., 2007; Nkongolo et al., 2008).
Pemuliaan partisipatif juga mampu mengekploitasi
interaksi antara genotipe dan lingkungannya (Sobir, 2005). Berdasarkan deskripsi di atas, penelitian untuk mengembangkan tanaman sorgum toleran tanah masam dengan produktivitas biji dan bioetanol tinggi dengan pendekatan Participatory Plant Breeding menjadi penting. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Hibah Tim Pascasarjana Institut Pertanian
4 Bogor Tahun Anggaran 2007-2010 dengan judul utama Pengembangan Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] untuk Bioetanol di Lahan Kering Bertanah Masam: Fisiologi, Genetika, dan Pemuliaan (Trikoesoemaningtyas et al., 2007). Tujuan Penelitian Tujuan Utama Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan varietas sorgum toleran tanah masam dengan indikator utama produktivitas biji dan atau bioetanol tinggi melalui pendekatan Participatory Plant Breeding. Tujuan Khusus 1. Memperoleh informasi tentang daya adaptasi galur mutan sorgum di tanah masam dan mendapatkan galur mutan toleran tanah masam dengan produktivitas biji dan atau bioetanol tinggi. 2. Memperoleh informasi tentang karakter seleksi yang sesuai pada galur mutan berdasarkan preferensi petani dan kesesuaian pilihan galur mutan sorgum antara peneliti dan petani. 3. Mengidentifikasi galur mutan sorgum yang mempunyai potensi hasil lebih tinggi daripada varietas yang telah dikembangkan, baik produktivitas biji maupun bioetanol di tanah masam. Hipotesis Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah: 1. Adanya keragaman genetik pada galur mutan sorgum yang diuji menyebabkan terjadinya perbedaan daya adaptasi di tanah masam, dan terdapat beberapa galur mutan yang toleran di tanah masam dengan produktivitas tinggi. 2. Terdapat perbedaan preferensi antar petani terhadap karakter seleksi galur mutan sorgum yang dievaluasi, dan terdapat kesesuaian pilihan terhadap galur mutan sorgum yang dievaluasi antara petani dan peneliti. 3. Terdapat beberapa galur mutan sorgum mempunyai produktivitas biji dan atau bioetanol lebih tinggi daripada produktivitas varietas unggul nasional yang dijadikan pembanding.
5 Manfaat Penelitian Manfaat hasil penelitian adalah: 1. Sebagai salah satu alternatif untuk memecahkan masalah krisis pangan dan energi di Indonesia, dan sejalan dengan INPRES Nomor 1 Tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati sebagai bahan bakar lain. 2. Sebagai salah satu bentuk teknologi yang tepat untuk mengatasi lahan marjinal terutama lahan kering bertanah masam. 3. Meningkatkan pemberdayaan petani melalui keterlibatannya pada program pemuliaan tanaman partisipatif. 4. Memperkaya khasanah ilmiah tentang seluk beluk ketenggangan tanaman sorgum dan program pemuliaannya pada lahan kering bertanah masam. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dikerjakan secara berseri melalui tiga percobaan lapangan yang merupakan satu kesatuan dengan ruang lingkup penelitian tertuang pada Gambar 1. Percobaan 1 merupakan proses penapisan (screening) terhadap galur mutan sorgum untuk mendapatkan informasi tentang daya adaptasi (toleran, moderat, atau peka) dan produktivitasnya di tanah masam. Materi genetik yang digunakan adalah galur mutan yang ragam genetiknya diperoleh melalui teknik mutasi dengan radiasi sinar gamma yang dilakukan oleh PATIR-BATAN. Evaluasi keragaman genetik bertujuan untuk melihat luas atau sempitnya ragam genetik yang dimiliki oleh suatu karakter, sedangkan korelasi dan sidik lintas bertujuan untuk melihat hubungan kausal antar karakter serta pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap hasil. Evaluasi ini akan menghasilkan karakter penentu hasil dan karakter seleksi yang baik. Seleksi tunggal dilakukan berdasarkan karakter seleksi yang terpilih dengan menggunakan analisis diskriminan, dan seleksi majemuk yang memasukkan semua karakter yang dievaluasi dilakukan dengan indeks seleksi. Percobaan 2 merupakan pelaksanaan Participatory Plant Breeding dengan metode Participatory Varietal Selection (PVS). Metode ini mensyaratkan materi genetik merupakan hasil program pemuliaan lanjut agar seleksi oleh petani
6 berlangsung efektif dan efisien sehingga tingkat keberhasilannya tinggi. Oleh sebab itu, materi genetik yang digunakan pada percobaan ini adalah hasil Percoaan 1 yang kemudian dievaluasi oleh petani. Hasil evaluasi petani adalah karakter seleksi yang sesuai untuk galur mutan sorgum di tanah masam, dan galur mutan yang dikehendaki sesuai dengan karakter yang diinginkan. Percobaan 1: Evaluasi genotipe sorgum di tanah masam
Keragaan karakter agronomi, hasil, dan bioetanol di tanah masam
Korelasi & Sidik lintas
Keragaman genetik Karakter penentu hasil Karakter Seleksi Seleksi Seleksi majemuk
Seleksi tunggal Galur mutan toleran tanah masam
Percobaan 2: Participatory varietal selection
Karakter seleksi dan galur mutan dipilih petani
Percobaan 3: Uji Daya Hasil Pendahuluan
Kandidat galur harapan untuk pembentukan varietas unggul toleran tanah masam dengan produktivitas tinggi Gambar 1. Bagan alir penelitian
7 Percobaan 3 yaitu Uji Daya Hasil Pendahuluan (UDHP) bertujuan untuk mendapatkan kandidat galur mutan harapan untuk pembentukan varietas sorgum unggul toleran tanah masam. Daya hasil galur mutan tersebut dibandingkan dengan varietas unggul nasional, yaitu Kawali dan Numbu. Varietas Kawali sebagai pembanding untuk hasil biji, sedangkan varietas Numbu untuk hasil bioetanol. UDHP merupakan bagian dari serangkaian kegiatan pemuliaan tanaman untuk mendapatkan varietas unggul baru sebelum Uji Daya Hasil Lanjutan dan Uji Multi Lokasi.
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Tanaman Sorgum Taksonomi Sorgum Sorgum mempunyai nama umum yang beragam, yaitu sorghum di Amerika Serikat dan Australia, durra di Afrika, jowar di India, bachanta di Ethiopia (FAO, 2007), dan cantel di Jawa (Hoeman, 2007). Dalam sistem taksonomi tumbuhan, sorgum termasuk Divisi Angiospermae yaitu jenis tumbuhan dengan biji tertutup; Kelas Monocotyledoneae yaitu jenis tumbuhan yang mempunyai biji berkeping satu dengan Sub-kelas Liliopsida; Ordo Poales yang dicirikan melalui bentuk tanaman terna dengan siklus hidup bersifat annual atau semusim; Famili Poaceae atau Gramineae yaitu tumbuhan jenis rumput-rumputan dengan karakteristik batang berbentuk silinder dengan buku-buku yang jelas; dan Genus Sorghum (Tjitrosoepomo, 2000). Tanaman sorgum setidaknya memiliki 30 spesies, namun yang sangat umum dibudidayakan meliputi tiga spesies, yaitu Sorghum helepense (L.) Pers., Sorghum propinquum (Kunth) Hitchc., dan Sorghum bicolor (L.) Moench. (De Wet et al., 1970 dalam House, 1985). Dari ketiga spesies tersebut yang sangat populer dan menjadi tanaman komersial di dunia adalah S. bicolor (L.) Moench. Penyebaran spesies ini meliputi seluruh dunia yang dikembangkan sebagai tanaman pangan, pakan ternak, dan bahan baku berbagai industri (House, 1985). Berdasarkan pada tipe spikelet (bentuk bulir), S. bicolor dibagi menjadi 5 ras dasar, yaitu bicolor, guinea, caudatum, kafir, dan durra. Karakteristik ras bicolor yaitu bentuk bulir panjang hampir menyerupai bulir padi, guinea bentuk bulirnya bulat dengan posisi menapak secara dorso-ventral, caudatum bentuk bulir tidak simetris, kafir bentuk bulir mendekati simetris, sedangkan durra bentuk bulirnya bulat pada bagian atas dengan bagian dasar menyempit. Selain lima ras dasar tersebut terdapat 10 ras hibrida hasil persilangan antara dua ras dasar (Harland dan De Wet, 1972 dalam House, 1985). Ras hibrida yang dikembangkan di Amerika Serikat telah menjadikan negara ini sebagai produsen dan eksportir sorgum terbesar di dunia dengan produksi rata-rata 17,50 juta ton/tahun, sedangkan total produksi sorgum dunia berkisar 63,90 juta ton/ tahun (FAO-ICRISAT, 1996).
9 Morfologi Sorgum Sebagai tanaman yang termasuk kelas monokotiledone, sorgum mempunyai sistem perakaran serabut. Akar primer tumbuh pada saat proses perkecambahan berlangsung dan seiring dengan proses pertumbuhan tanaman muncul akar sekunder pada ruas pertama.
Akar sekunder kemudian berkembang secara
ekstensif yang diikuti matinya akar primer. Pada tahap selanjutnya, akar sekunder inilah yang kemudian berfungsi untuk menyerap air dan unsur hara serta memperkokoh tegaknya batang.
Keunggulan sistem perakaran pada tanaman
sorgum yaitu sanggup menopang pertumbuhan dan perkembangan tanaman ratun (ratoon) hingga dua atau tiga kali lebih dengan akar yang sama (House, 1985). Tanaman sorgum mempunyai batang yang merupakan rangkain berseri dari ruas (internodes) dan buku (nodes). Bentuk batangnya silinder dengan ukuran diameter batang pada bagian pangkal antara 0,5-5,0 cm. Tinggi batang tanaman sorgum bervariasi yaitu antara 0,5-4,0 m tergantung pada varietas (House, 1985). Tinggi batang sorgum manis yang dikembangkan di China dapat mencapai 5 m, dan struktur tanaman yang tinggi sangat ideal dikembangkan untuk pakan ternak dan penghasil gula (FAO, 2002). Pada beberapa varietas sorgum batangnya dapat menghasilkan tunas baru membentuk percabangan atau anakan dan dapat tumbuh menjadi individu baru selain batang utama (Steenis, 1975 dalam House, 1985). Sorgum mempunyai daun berbentuk seperti pita sebagaimana jagung atau padi dengan struktur daun terdiri atas helai daun dan tangkai daun. Posisi daun terdistribusi secara berlawanan sepanjang batang dengan pangkal daun menempel pada nodes. Daun sorgum rata-rata panjangnya satu meter dengan penyimpangan lebih kuran 10-15 cm (House, 1985). Jumlah daun bervariasi antara 13-40 helai tergantung varietas (Martin, 1970), namun Gardner et al. (1991) menyebutkan bahwa jumlah daun sorgum berkisar antara 7-14 helai. Daun sangat penting sebagai organ fotosintesis yang merupakan produsen utama fotosintat sehingga dapat dijadikan sebagai indikator pertumbuhan terutama untuk menjelaskan proses pembentukan biomassa (Sitompul dan Guritno, 1995). Hasil penelitian Bullard dan York (1985) menunjukkan bahwa banyaknya daun tanaman sorgum berkorelasi tinggi dengan panjang periode vegetatif yang dibuktikan oleh setiap penambahan satu helai daun memerlukan waktu sekitar 3-4
10 hari. Freeman (1970) menyebutkan bahwa tanaman sorgum juga mempunyai daun bendera (leaf blades) yang muncul paling akhir, yaitu bersamaan dengan inisiasi malai. Daun bendera muda bentuknya kaku dan tegak dan sangat penting artinya sebagai pintu transportasi fotosintat. Sorgum termasuk tanaman menyerbuk sendiri (self pollination), dimana pada setiap malai terdapat bunga jantan dan bunga betina yang letaknya terpisah. Proses penyerbukan dan fertilisasi terjadi apabila glume atau sekam dari masingmasing bunga membuka. Karena proses membukanya glume antara bunga jantan dan bunga betina tidak selalu bersamaan, maka pollen dapat viable untuk jangka waktu 10-15 hari (House, 1985). Malai tanaman sorgum beragam tergantung varietas dan dapat dibedakan berdasarkan posisi, kerapatan, dan bentuk. Berdasarkan posisi, malai sorgum ada yang tegak, miring dan melengkung; berdasarkan kerapatan, malai sorgum ada yang kompak, longgar, dan intermediate; dan berdasarkan pada bentuk malai ada yang oval, silinder, elip, seperti seruling, dan kerucut (Martin, 1970). Fisiologi Sorgum Sorgum sebagaimana tebu dan jagung digolongkan sebagai tanaman C-4, yaitu spesies tanaman yang menghasilkan asam empat karbon (asam malat dan aspartat) sebagai produk utama awal penambatan CO2. Tanaman jenis ini dikenal sangat efisien dalam fotosintesis karena mempunyai sel mesofil dan sel seludang berkas yang keduanya dimanfaatkan untuk menambat CO2. Produk metabolisme hasil penambatan CO2 pada sel mesofil adalah asam malat dan asam aspartat, sedangkan pada sel seludang berkas adalah 3-phosphoglycerate acid (3-PGA), sukrosa, dan pati (Salisbury dan Ross, 1995). Tingginya produktivitas tanaman C-4 dibandingkan tanaman C-3 karena pada tanaman C-4 kedua sistem penambatan CO2 yaitu melalui mekanisme sel mesofil dan sel seludang berkas saling bahu membahu untuk menghasilkan produk akhir fotosintesis. Produk berupa asam malat dan asam aspartat yang dihasilkan oleh sel mesofil dengan cepat ditransfer ke sel seludang berkas, dan pada sel ini asam empat karbon tersebut mengalami dekarboksilasi dengan melepaskan CO2 yang kemudian ditambat oleh Rubisco untuk dirubah menjadi 3PGA. Selain mekanisme tersebut, sel seludang berkas tanaman C-4 secara
11 anatomi lebih tebal dibandingkan sel seludang berkas tanaman C-3 sehingga lebih banyak mengandung kloroplas, mitokondria, dan organel lain yang berperan sangat penting dalam proses fotosintesis (Salisbury dan Ross, 1995; Orsenigo et al., 1997; Taiz dan Zeiger, 2002). Karakteristik tanaman C-4 yaitu pada penyinaran tinggi dan suhu panas tanaman ini mampu berfotosintesis lebih cepat sehingga menghasilkan biomassa yang lebih banyak dibandingkan tanaman C-3 (Salisbury dan Ross, 1995). Selain sebagai tanaman C-4, tingginya produktivitas tanaman sorgum juga didukung oleh fakta bahwa permukaan daunnya dilapisi oleh lilin yang dapat mengurangi laju transpirasi dan mempunyai sistem perakaran yang ekstensif. Kedua faktor ini menjadikan sorgum sangat efisien dan efektif dalam pemanfaatan air (House, 1985), sehingga produktivitas biomassa sorgum lebih tinggi dibandingkan jagung atau tebu yang sama-sama tanaman C-4 (Hoeman, 2007). Keunggulan proses fisiologi tanaman sorgum lainnya adalah memiliki gen pengendali untuk berada dalam kondisi stay-green sejak fase pengisisan biji. Fenomena stay-green ini berhubungan dengan kandungan nitrogen daun spesifik (specific leaf nitrogen) yang lebih tinggi sehingga mampu meningkatkan efisiensi penggunaan radiasi dan transpirasi (Borrel et al., 2005). Fisiologi stay-green pada akhirnya mampu memperlambat proses senescen pada daun (Mahalakshmi dan Bidinger, 2002) sehingga tanaman sorgum mampu mengelola batang dan daunnya tetap hijau walaupun pasokan air sangat terbatas (Borrel et al., 2006). Kemampuan sorgum beradaptasi pada kondisi kekeringan tidak terlepas dari karakter morfologi dan fisiologi di atas, sehingga sorgum dikenal sebagai tanaman yang toleran terhadap kekeringan. Beberapa karakter penting yang terdapat pada tanaman sorgum menurut SFSA (2003) adalah: (1) menghasilkan akar yang lebih banyak dibandingkan tanaman serealia lainnya, (2) daun mempunyai lapisan lilin dan kemampuan menggulung sehingga meningkatkan efisiensi transpirasi, (3) dapat dorman selama kekeringan dan tumbuh kembali ketika kondisi favorable, (4) tanaman bagian atas (tajuk) akan tumbuh hanya setelah sistem perakaran berkembang dengan baik, (5) mampu berkompetisi dengan bermacam-macam jenis gulma, dan (6) mempunyai laju fotosintesis yang lebih tinggi dibandingkan tanaman serealia lainnya.
12 Sorgum sebagai Sumber Pangan dan Bahan Baku Bioetanol Sumber Pangan Sorgum termasuk tanaman serealia penting di dunia yang ditunjukkan oleh luas areal tanam, produksi dan kegunaannya yang menduduki peringkat kelima setelah gandum, padi, jagung, dan barley (Martin, 1970; Doherty et al., 1981; House, 1985; Tribe 2007). Di negara yang beriklim panas, seperti beberapa negara Afrika, Asia Selatan, dan Amerika Tengah, sorgum dijadikan sebagai bahan pangan utama (House, 1985; Green Car Congress, 2009). Sebagai sumber pangan di wilayah Afrika, sorgum dikonsumsi lebih dari 300 juta penduduknya (Mogusu, 2005; Gudu et al., 2009) dan umumnya dikonsumsi dalam bentuk produk olahan tepung atau pasta (Obilana, 1981). Produk olahan tepung lebih menguntungkan karena praktis serta mudah diolah menjadi berbagai produk makanan (Suarni, 2004). Produk olahan sorgum diantaranya adalah roti, bubur, bahan minuman termasuk sirup dan bir, serta gula atau jaggery (Rajvanshi dan Nimbkar, 2005). Banyaknya ragam makanan yang dapat dihasilkan oleh sorgum menjadikan tanaman ini sebagai serealia penting dan sangat potensial untuk program diversifikasi pangan, terutama di negara yang mengalami penurunan produksi bahan pangan utama seperti Indonesia. Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional yang dikutip oleh Khomsan (2006), konsumsi beras orang Indonesia rata-rata 120-130 kg/kapita/tahun. Apabila konsumsi beras ini dapat diturunkan menjadi 100 kg/kapita/tahun melalui program diversifikasi pangan, maka akan menurunkan permintaan beras nasional setara dengan 4,3 juta ton/tahun. Berkaitan dengan program diversifikasi pangan di Indonesia, sorgum merupakan serealia yang paling potensial digunakan sebagai substitusi beras karena kandungan gizinya setara (Sirappa, 2003; Suarni, 2004), produktivitas bijinya tinggi (Dirjen Tanaman Pangan,
2007), dan secara genetik tanaman
sorgum mampu tumbuh pada agroekologi yang panas dan kering dimana tanaman serealia lain sulit tumbuh (FAO-ICRISAT, 1996). Sorgum sangat berpeluang untuk dikembangkan menjadi pangan premium karena keunggulannya, seperti kandungan glutennya yang sangat rendah (glutenous free food) dan indek
13 glikemiknya yang juga rendah (low glicemiks index) sehingga sangat sesuai untuk konsumen dengan kebutuhan gizi khusus (Sungkono et al., 2009). Keunggulan sorgum sebagai sumber pangan telah menarik minat Bill and Melinda Gates Foundation yang dipimpin oleh Bill Gates memberikan hibah sebesar US$ 16.9 juta kepada Africa Harvest Biotech Foundation di Kenya pada tahun 2005.
Program ini bertujuan mengembangkan varietas sorgum yang
mempunyai level vitamin, mineral, dan protein tinggi dalam rangka perbaikan gizi masyarakat di negara miskin (Mogusu, 2005). Saat ini di seluruh dunia terdapat lebih dari 170 juta anak usia prasekolah berada pada status gizi buruk yang sebarannya terbanyak di negara-negara miskin dan berkembang yang mempunyai masalah dengan pangannya (Wattimena, 2005). Sorgum dapat menjadi solusi masalah pangan bagi masyarakat miskin yang kesulitan modal usaha karena dalam budidayanya hanya membutuhkan sedikit input produksi (Hoeman, 2007). Bahan Baku Bioetanol Dunia saat ini sangat tergantung pada minyak bumi sebagai sumber energi, padahal minyak bumi berbahan baku fosil suatu ketika cadangannya akan habis dan tidak dapat diperbaharui. Berbagai sumber energi alternatif dicari untuk menggantikan atau sebagai campuran terhadap energi fosil, dan yang paling potensial adalah energi yang dihasilkan oleh tanaman yang dapat dikonversi menjadi bahan bakar nabati (biofuel). Alasan penggunaan bahan bakar nabati sebagai pengganti atau campuran bahan bakar fosil adalah sumber bahan bakunya mudah diperoleh, dapat diproduksi secara massal, dan renewable (Grassi-EUBIA, 2005; Widodo, 2006). Sorgum manis (sweet sorghum) memenuhi persyaratan sebagai bahan baku bioetanol karena dapat tumbuh dalam berbagai agroekologi, lebih tahan terhadap hama dan penyakit, dan memerlukan input produksi yang relatif lebih sedikit dibandingkan tanaman penghasil bioetanol lain (Hoeman, 2007). Sorgum manis produksi biomassanya tinggi karena mempunyai efisiensi fotosintesis yang tinggi yaitu 2,5% sama dengan tebu, namun pada beberapa jam tertentu dalam siklus harian, sorgum manis mempunyai efisiensi fotosintesis maksimum yang mencapai 27% (Grassi-EUBIA, 2005). Efisiensi fotosintesis yang tinggi menjadikan
14 produktivitas bioetanol dari sorgum manis lebih tinggi dibandingkan gula bit, tebu, ubi kayu dan jagung yang selama ini dijadikan sebagai bahan baku utama bioetanol (Global Petroleum Club, 2007). Tingginya produktivitas bioetanol dari sorgum manis setidaknya didukung oleh dua faktor utama, yaitu 1) produktivitas tanaman (biomassa) di lapang tinggi. Produktivitas sorgum manis hibrida varietas NTJ-2 yang dibudidayakan di India mampu menghasilkan batang 53 ton/ha dan nira (juice) sebanyak 28.000 liter/ha; dan 2) kandungan gula dan efisiensi fermentasi tinggi. Kandungan gula dari nira batang sorgum manis antara 16-23% Brix (≈ total sugar 14-21%), dengan efisiensi fermentasi berkisar antara 90-92% (Reddy dan Dar, 2007). Hasil kajian B2TP, BPPT Lampung yang dikemukakan oleh Abdurrahman (2007, konsultasi pribadi) menunjukkan bahwa produksi bioetanol dari sorgum manis berbanding lurus dengan total sugar, sedangkan produksi bioetanol dari ubi kayu berbanding lurus dengan reducing sugar. Sebagai bahan baku bioetanol, sorgum manis tidak berkompetisi dengan tanaman pangan maupun pakan ternak. Beberapa alasan yang mendukung hal ini diantaranya adalah secara botani sebagian besar bioetanol dihasilkan oleh batang, sedangkan bijinya dapat diproses menjadi bioetanol atau untuk bahan pangan dan pakan ternak. Manfaat ganda seperti ini menjadikan sorgum manis sebagai tanaman yang mampu memenuhi kebutuhan pangan, pakan ternak, dan energi dalam satu dimensi ruang dan waktu (Rajvanshi, 1989; Yudiarto, 2006). Keunggulan sorgum manis sebagai bahan baku bioetanol telah menjadikan beberapa negara seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Brazil, Afrika, dan Cina memberikan perhatian yang tinggi dan telah mengembangkannya dalam skala industri (Grassi, 2001). Di Amerika Serikat sorgum manis sebagai penghasil bioetanol, diantaranya diteliti dan dikembangkan oleh Universitas Oklahoma melalui Food and Agriculture Products Center Oklahoma State University. Selain itu India dan Philipina juga sedang mengembangkan industri bioetanol berbasis sorgum manis (Reddy dan Dar, 2007). Industri dan Pasar Bioetanol Pemanfaatan bioetanol sebagai sumber energi memberikan manfaat yang besar dari aspek lingkungan. Emisi gas buang dari anhydrous ethanol lebih bersih
15 dibandingkan emisi gas buang energi fosil sehingga bahan bakar ini bersifat ramah lingkungan (Reddy dan Dar, 2007). Hal ini disebabkan anhydrous ethanol mempunyai nilai oktan yang lebih tinggi dibandingkan bahan bakar fosil yaitu sekitar 116-120 sehingga mampu menghasilkan pembakaran yang sempurna dan mengurangi polusi (Abatiell et al., 2003; ICSC, 2007; American Coalition for Ethanol, 2007; Biomass Conversion Committe of CAREI, 2006). Penggunaan bioetanol terbukti mengurangi polusi terhadap lingkungan melalui berkurangnya emisi gas rumah kaca hingga 12% (Reddy dan Dar, 2007) sehingga permintaan dunia terhadap sumber energi ini terus meningkat. Konsumsi bioenergi dunia yang terus meningkat menyebabkan industri bioetanol berkembang pesat. Uni Eropa pada tahun 2001 mengkonsumsi energi fosil sebesar 1.486 MTOE (Million of Tonnes Oil Equivalent) dan energi biomass sebesar 57 MTOE. Konsumsi energi biomass Uni Eropa terus meningkat, yaitu 135 MTOE pada tahun 2010, 200 MTOE pada tahun 2020, dan 500-600 MTOE pada tahun 2050 (Grassi-EUBIA, 2005). Dimulai tahun 2006/2007, dunia akan memproduksi bioetanol sebanyak 17 milyar liter (≈ 17 juta ton) yang akan digunakan untuk bahan bakar kendaraan (http://en.wikipedia.org/wiki/Ethanolfuel, 2007). Hal ini membuka peluang untuk berkembangnya industri bioetanol dalam skala luas yang berarti membutuhkan bahan baku dalam jumlah yang sangat banyak. Tingginya produktivitas bioetanol dari sorgum manis menjadikan tanaman ini secara teknis mempunyai peluang paling besar untuk dikembangkan. Pada skala industri, efisiensi sorgum manis dibandingkan tanaman lain sebagai bahan baku bioetanol dibuktikan pada biaya produksi dan harga bioetanol di pasaran dunia. Menurut Grassi-EUBIA (2005), biaya produksi bioetanol di Eropa dengan bahan baku konvensional seperti gandum, jagung, dan gula bit mencapai 400-500 €/ton (€=pounsterling), sedangkan jika menggunakan sorgum manis biaya produksinya hanya berkisar 250 €/ton.
Prospek pasar bioetanol
sangat menjanjikan karena harga bioetanol di pasaran dunia pada tahun 2005 mencapai 500 €/ton di Amerika Serikat, dan 590 €/ton di Eropa. Reddy dan Dar (2007) mengungkapkan bahwa industri bioetanol berbasis sorgum manis sangat efisien karena perbandingan input energi dan energi yang dihasilkan 1:8 sehingga sangat visible untuk dikembangkan dalam skala industri.
16 Produksi bioetanol dunia sampai saat ini didominasi oleh Amerika Serikat dengan produksi sekitar 12 MTOE, kemudian disusul Brazil dengan produksi sekitar 10 MTOE. Negara ketiga yang potensial sebagai produsen bioetanol dunia berdasarkan kondisi sumber daya alam adalah Indonesia (Henry, 2009). Indonesia merupakan negara tropis sehingga tidak terdapat hambatan berarti dari sisi iklim dan keanekaragaman hayati, serta mempunyai lahan yang luas. Hal ini disebabkan industri bioetanol sangat tergantung pada efisiensi tanaman mengkonversi energi sinar matahari menjadi energi biomassa. Selain faktor sumber daya alam, yang diperlukan Indonesia agar menjadi produsen bioetanol dunia adalah: 1) adanya dorongan, insentif, dan regulasi dari pemerintah terhadap swasta untuk mengelola industri bioetanol; 2) riset yang intensif dari hulu sampai hilir; dan 3) penerapan tataniaga bioetanol yang kreatif, seperti tax insentive untuk konsumen atau mandatory obligation untuk penjual bahan bakar. Tanah Masam: Potensi, Masalah dan Peluang Salah satu bentuk lahan marjinal yang sebarannya paling luas di dunia dan juga di Indonesia adalah tanah masam. Sanchez dan Salinas (1981) dalam Ma (2005) mendeskripsikan luas tanah masam di dunia mencapai 1,6 milyar hektar dan tersebar di berbagai benua, meliputi 55% luas tanah tropis Amerika, 39% luas tanah tropis Afrika, dan 37% luas tanah tropis Asia.
Luas tanah masam di
Indonesia berupa lahan kering mencapai 99,5 juta hektar dan tersebar di Papua, Kalimantan, dan Sumatera (Hidayat dan Mulyani, 2002). Tanah masam menjadi faktor pembatas produktivitas tanaman karena adanya cekaman abiotik yang komplek, seperti toksisitas aluminium, besi dan mangan, serta defisiensi fosfor, kalsium, dan magnesium (Kochian, 1995; Maschner, 1995; Akhter et al., 2009). Aluminium, terutama dalam bentuk ion Al+3 dapat menjadi racun bagi tanaman karena aktivitasnya menyebabkan proses pembelahan dan pemanjangan sel-sel akar terganggu sehingga pertumbuhan akar menjadi terhambat (Marschner, 1995; Ma, 2000; Kochian et al., 2004). Terhambatnya pertumbuhan akar tersebut menyebabkan sistem perakaran menjadi pendek dan tidak berkembang yang menyebabkan tanaman mengalami kesulitan dalam menyerap unsur hara dan air
17 (Kochian et al., 2004; Ma et al., 2005). Kondisi ini menyebabkan tanaman tumbuh kerdil dan produktivitasnya menurun. Konsentrasi ion Al yang tinggi pada daerah rizosfir juga menyebabkan tanaman mengalami defisiensi unsur hara terutama P karena diikat oleh ion Al+3 membentuk senyawa khelat Al-fosfat yang tidak larut dalam air (Ae dan Shen, 2002). Selain itu, mobilitas ion Al yang tinggi pada apoplas sel akar juga menjadi kompetitor utama bagi beberapa kation polivalen seperti Mg+2, Ca+2, Zn+2, dan Mn+2 sehingga kandungannya di dalam tanaman menjadi berkurang yang mengakibatkan tanaman mengalami defisiensi unsur tersebut (Marschner, 1995). Kemasaman tanah yang berpotensi meningkatkan konsentrasi Al dapat terjadi secara alamiah maupun akibat praktek budidaya tanaman. Secara alamiah curah hujan yang tinggi menyebabkan tercucinya kation-kation basa yaitu Ca+2, Mg+2, K+, dan Na+ dari komplek jerapan tanah. Selanjutnya komplek jerapan tersebut diisi oleh kation-kation asam yaitu H+ dan Al+3 yang menyebabkan tanah menjadi bereaksi masam. Proses pemasaman tanah seperti ini banyak terjadi di daerah tropis yang mempunyai curah hujan dan suhu tinggi. Suhu tinggi dalam proses ini mempercepat laju pelapukan tanah (Hardjowigeno, 1985). Proses pemasaman tanah akibat praktek budidaya tanaman terjadi karena pemupukan yang berlangsung secara intensif seperti yang dilakukan oleh negaranegara maju sehingga terjadi deposit nitrogen (NO2-) yang kronik (Kelly et al., 2005) atau akibat pemupukan dengan asam sulfur seperti yang terjadi di China (Bi, 2003). Tanah yang bereaksi masam banyak didominasi oleh ion-ion Al dan Fe sehingga berpeluang meracuni tanaman dan menjadi faktor pembatas utama produktivitas tanaman di daerah tersebut (Kochian, 1995; Ma, 2000). Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengurangi toksisitas Al sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman di tanah masam. Salah satu upaya yang sering dilakukan adalah memasukkan bahan pembenah tanah (ameliorasi) berupa teknik pengapuran dan aplikasi pupuk P dosis tinggi. Pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan bermasukan tinggi (high input aproach), dan kelemahannya adalah hanya berlangsung untuk jangka waktu singkat serta memerlukan biaya yang tinggi
sehingga sistem usahatani tidak sustainable
(Marschner, 1995; Sierra et al., 2005).
18 Upaya lain yang dapat dilakukan untuk menghindari toksisitas Al dan berlangsung untuk jangka waktu yang lama serta tidak memerlukan biaya tinggi adalah penggunaan tanaman toleran Al (Goni et al., 1985; Sierra et al., 2005) yang dikenal sebagai pendekatan bermasukan rendah atau low input aproach (Marschner, 1995). Penggunaan tanaman toleran Al sangat menguntungkan baik secara ekologis maupun ekonomis sehingga sistem usahatani dapat sustainable (Zheng et al., 1998). Namun upaya mendapatkan tanaman toleran Al tidak mudah karena titik kritis konsentrasi Al yang dapat meracuni tanaman mempunyai rentang yang sangat lebar yaitu antara 1,8 µM sampai 150 µM tergantung jenis tanaman dan varietas (Marschner, 1995). Dalam menghadapi toksisitas Al, tanaman toleran Al dapat menempuh mekanisme regulated separately yaitu toleransi yang bersifat terpisah dan berdiri sendiri yang ditunjukkan oleh karakter tanaman yang hanya toleran terhadap Al saja; atau menempuh mekanisme interrelated, yaitu saling terkait dengan karakter efisien dalam memanfaatkan unsur P (Marschner, 1995). Hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tanaman toleran Al biasanya selalu diikuti dengan efisiensi yang tinggi dalam memanfaatkan unsur P (Prasetiyono dan Tasliah, 2003) sehingga mampu tumbuh dan berproduksi lebih baik dibandingkan tanaman yang kurang efisien dalam memanfaatkan unsur P. Beberapa tanaman pangan yang telah dilaporkan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap toksisitas Al dan defisiensi P melalui mekanisme interrelated adalah jagung, sorgum, ubi jalar (Tanaka, 1980), padi sawah IR-55178 (Hu et al., 2001), Lupinus albus (Yan et al., 2002; Uhde-Stone et al., 2003), dan beberapa varietas padi gogo seperti Gadih Anih, Cempo, Sibatung, Siputiah, dan Lembulut (Sopandie, 2006). Sistem perakaran merupakan salah satu karakter yang dapat digunakan oleh tanaman untuk mengurangi toksisitas Al dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memanfaatkan unsur hara. Kim et al. (2001) melaporkan bahwa tanaman gandum, triticale, dan rye yang toleran Al mempunyai sistem perakaran yang lebih baik daripada tanaman yang peka terhadap Al. Hasil penelitian Ma et al. (2002) menunjukkan bahwa tanaman padi toleran Al mempunyai perakaran yang lebih panjang dan kandungan Al pada akar lebih rendah dibandingan tanaman padi yang peka terhadap Al.
19 Toleransi Sorgum terhadap Cekaman Abiotik Sorgum dikenal sebagai tanaman yang mempunyai daya adaptasi luas terhadap berbagai kondisi agroekologi dan lahan marjinal. Daya adaptasi sorgum terhadap kondisi agroekologi ditunjukkan oleh kemampuannya tumbuh baik pada iklim kering sampai basah dengan rentang curah hujan dari 200-2.000 mm per tahun, tahan pada altitude dataran rendah sampai 3.000 m di atas permukaan laut (Mann et al., 1983), dan mampu tumbuh pada rentang wilayah dari posisi 40o LU sampai 40o LS (SFSA, 2003). Sorgum mendapat julukan sebagai “tanaman onta” karena daya adaptasinya yang tinggi terhadap iklim kering (FAO, 2002). Daya adaptasi tanaman sorgum terhadap lahan marjinal dibuktikan oleh kemampuannya tumbuh baik pada tanah dengan salinitas tinggi, tahan pada tanah alkalis dan toleran terhadap genangan (FAO, 2002). Sorgum dari ras guinea merupakan tanaman yang adaptif pada tanah yang miskin hara di Afrika Barat (Toure et al., 2004). Di China tanaman sorgum dikembangkan di wilayah Huang Huai Hai yang tanahnya banyak didominasi oleh tanah salin dan China Baratlaut dengan kondisi tanah alkalin (FAO, 2002). Tanaman sorgum pada umumnya sensitif terhadap tanah masam dengan cekaman Al tinggi (Duncan et al., 1995; Anas dan Yoshida, 2000). Penelitian untuk mendapatkan tanaman sorgum toleran tanah masam banyak dilakukan oleh para peneliti di berbagai negara melalui program pemuliaan tanaman baik konvensional maupun bioteknologi (Duncan et al., 1983; Miller et al., 1992; Kalla, 2007).
Magalhaes et al. (2004) melaporkan bahwa toleransi tanaman
sorgum terhadap Al dikendalikan oleh gen mayor tunggal yang diidentifikasi sebagai gen Alt-SB. Pada konsentrasi 27 µM Al+3 (≈148 µM Al) akar tanaman sorgum toleran Al mempunyai laju pertumbuhan akar relatif 40-70% sedangkan tanaman sensitif Al 5-15%. Hasil persilangan antara tanaman sorgum toleran Al SC283 (PAR 52,6%) dengan tanaman peka BR007 (PAR 8,7%) menghasilkan tanaman dengan PAR 30,6%. Pemuliaan Tanaman melalui Teknik Mutasi Seleksi adalah salah satu tahapan yang sangat penting dalam program pemuliaan tanaman untuk mendapatkan tanaman yang lebih baik sesuai dengan yang dikehendaki. Seleksi akan efektif apabila dilakukan pada populasi yang
20 mempunyai keragaman genetik tinggi. Salah satu cara untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman adalah melalui teknik mutasi (Till, 2009). Mutasi adalah terjadinya perubahan genetik pada gen tunggal, sejumlah gen, atau susunan kromosom (Poespodarsono, 1988). Pemuliaan mutasi adalah penggunaan induksi mutasi dalam program pemuliaan tanaman untuk mengembangkan varietas yang lebih baik (Chahal dan Gosal, 2003). Bagian tanaman yang sering menjadi target mutasi adalah bagian yang sedang aktif mengadakan pembelahan, seperti tunas dan biji (Poespodarsono, 1988). Pada tanaman tingkat tinggi, penyebab terjadinya mutasi atau mutagen dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu transposon, kimia, dan radiasi. Transposon adalah jenis mutasi yang disebabkan oleh adanya lompatan gen (jumping genes), yaitu suatu sequen DNA yang bergerak secara acak melalui genom tanaman. Transposon dapat dimasukkan ke dalam dan mempengaruhi fungsi gen dan pengaruhnya hanya dapat diukur pada fenotipe. Transposon hanya dapat terjadi pada jenis tanaman tertentu (Till, 2009).
Contoh mutagenis dengan teknik
transposon adalah disisipkannya gen kanamisin resisten dalam Escherichia coli (donor) ke dalam genom Pseudomonas sp. (resipien) secara diparental mating untuk memacu produksi auksin (Panjaitan et al., 2007). Tidak seperti transposons, mutasi yang disebabkan oleh mutagen kimia atau fisika dapat diaplikasikan pada semua jenis tanaman. Efek mutasi dapat dideteksi pada level gen atau genotipe melalui analisis kandidat gen. Mutagen kimia yang sering digunakan pada pemuliaan tanaman mutasi adalah ethyl methanesulphonat (EMS) dan sodium azide (Till, 2009), walaupun terdapat mutagen kimia lain seperti diethyl sulphate (DES), methyl nitroso urea (MNH), ethyl nitroso urea (ENH), dan ethyleneimine (Chahal dan Gosal, 2003).
Laju mutasi sodium azide
lebih tinggi daripada EMS dan produk mutasi akibat sodium azide mempunyai tingkat kesuburan (fertilitas) yang tinggi (IAEA, 2009). Mutagen terakhir yang sering digunakan dalam program pemuliaan tanaman mutasi adalah mutagen fisika melalui radiasi. Sesuai dengan sifatnya bahwa secara alamiah cahaya terdiri dari gelombang elektromagnetik dan partikel, sehingga penyebab mutasi pada tanaman juga dapat disebabkan oleh gelombang elektromagnetik maupun partikel. Mutagen yang tergolong radiasi gelombang
21 elektromagnetik adalah sinar ultraviolet (UV), sinar gamma dan sinar-X yang dibedakan berdasarkan panjang gelombang. Sinar gamma mempunyai panjang gelombang yang lebih pendek daripada sinar-X maupun UV sehingga energinya lebih besar. Radiasi oleh partikel cahaya disebabkan oleh pergerakan partikel subatom yaitu elektron (β-particles), proton (α-particles) dan neutron.
Pada
prakteknya, radiasi gelombang elektromagnetik maupun radiasi oleh partikel cahaya berinteraksi mempengaruhi materi mutasi (IAEA, 2009). Mutasi yang disebabkan oleh partikel cahaya, baik β-particles, α-particles, maupun neutron penggunaannya sangat terbatas karena kemampuan penetrasi lemah sehingga sering terjadi kontaminasi oleh gelombang elektromagnetik seperti sinar gamma. Penggunaan UV sebagai mutagen fisika pada tanaman juga sangat terbatas, karena energi yang ditimbulkan sangat rendah sehingga terjadi kesulitan penetrasi pada jaringan tanaman. Pada program pemuliaan tanaman melalui teknik mutasi, sinar gamma menjadi pilihan yang terbaik karena mempunyai panjang gelombang yang sangat pendek sehingga energinya tinggi. Sumber sinar gamma antara lain adalah Cobalt-60 (60Co) dan Ceasium-137 (137Cs). Ceasium-137 mempunyai waktu paruh (half life) yang lebih panjang yaitu 33 tahun dibandingkan Cobalt-60 yang hanya 5,3 tahun (IAEA, 2009). Galur mutan sorgum yang digunakan pada penelitian ini sebagian besar adalah hasil mutasi fisika melalui radiasi sinar gamma yang telah dilakukan oleh PATIR-BATAN, dan beberapa galur merupakan hasil persilangan sesama mutan. Benih sorgum varietas Durra dari ICRISAT (tanaman induk) dengan kadar air 12% diiradiasi dengan sinar gamma pada rentang dosis optimum 300-500 Gray (Hoeman, 2007). Secara teknis, radiasi sinar gamma yang menghasilkan foton tinggi dapat menyebabkan terjadinya ionisasi dan eksitasi pada materi yang dilaluinya. Jika suatu molekul menyerap energi ionisasi maka molekul tersebut menjadi reaktif serta membentuk ion dan radikal bebas yang bereaksi membentuk produk radiolitik yang stabil (Sardjono dan Sumampaouw, 2006). Benih sorgum yang diiradiasi dengan sinar gamma mengalami perubahan susunan DNA dan menjadi produk radiolitik yang telah mengalami perubahan genotipe dan bersifat stabil. Perubahan genotipe akan menyebabkan terjadinya perubahan fenotipe, dan sifat ini dapat diturunkan pada generasi berikutnya.
22 Olson (1998) menyatakan bahwa radiasi pada dosis 1 kGy akan memecah kurang dari 10 ikatan kimia untuk setiap 10 juta ikatan kimia yang ada. Walaupun persentasi ikatan kimia yang dipecah kecil, namun efek yang dihasilkan sangat dramatis. Pecahnya ikatan DNA menyebabkan terjadinya perubahan ekspresi gen yang akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan pada fenotipe tanaman. Salah satu hal yang sangat penting dalam teknik mutasi fisika dengan iradiasi dan sangat berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan mutasi adalah dosis radiasi. Satuan dosis radiasi yang diaplikasikan pada bahan mutan disebut rad (radiation absorbed dose), yaitu besarnya energi yang diserap per satuan massa. Dalam pemuliaan tanaman dengan teknik mutasi satuan tersebut lebih populer dengan istilah Gray (Gy). Nilai 1 Gray = 100 rad, 1 kR = 10 Gy dan besarnya energi yang dihasilkan 1 rad = 10-2 joule/kg (Chahal dan Gosal, 2003). Pada tanaman sorgum, dosis radiasi optimum yang digunakan untuk membuat produk mutan dari benih sorgum berkisar antara 300-500 Gray (Hoeman, 2007).
Participatory Plant Breeding Pengertian dan Tujuan Participatory Plant Breeding (PPB) adalah suatu metode pemuliaan tanaman sebagai alternatif dari Formal Plant Breeding (FPB). Menjadi alternatif karena terdapat beberapa prinsip yang tidak terdapat pada FPB yang dilaksanakan secara terpusat pada kondisi lingkungan yang terkontrol dan hanya melibatkan pemulia. Hasil dari FPB umumnya untuk sistem budidaya dengan adaptasi luas dan bersifat massal (PRGA, 2007) pada suatu hamparan wilayah yang relatif homogen dan tanpa kendala cekaman yang berarti. Pada kondisi lingkungan yang bercekaman, misalnya cekaman abiotik berupa tanah masam yang mempunyai faktor pembatas berupa toksisitas Al, Fe, dan defisiensi hara, maka produk FPB tidak akan mampu memberikan hasil yang maksimal. Untuk kondisi lingkungan bercekaman, hanya produk hasil pemuliaan pada lingkungan target yang dapat memberikan hasil lebih baik.
Sistem pemuliaan seperti ini dikenal sebagai
Participatory Plant Breeding yaitu sistem pemuliaan tanaman yang melibatkan peneliti, petani, dan stakeholders lain seperti konsumen, penyuluh, industri, dan kelompok tani (Sperling et al., 2001).
23 Praktek PPB di Indonesia menjadi sangat penting karena lahan pertaniannya banyak didominasi oleh tanah marjinal dengan kepemilikan lahan yang sempit. Pendekatan ini akan menghasilkan genotipe tanaman dengan karakteristik yang sesuai dengan preferensi partisipan (PRGA, 2007) dan adaptif pada kondisi lingkungan terget sehingga produktivitas tanaman dapat ditingkatkan. Menurut Sperling et al. (2001), keunggulan lain dari program PPB adalah adanya umpan balik dari petani yang sangat memahami kondisi lingkungannya dan seleksi genotipe terpilih langsung oleh petani sesuai dengan preferensinya, sehingga diperoleh galur tanaman yang sesuai di tingkat usaha tani mereka. Pengembangan tanaman sorgum dengan metode PPB di Indonesia sangat tepat bukan hanya karena dikembangkan pada lahan marjinal, namun sorgum di Indonesia belum populer dan tidak komersial. Untuk meningkatkan popularitas dan menjadikan sorgum mempunyai nilai ekonomi, alternatif yang sangat baik adalah melalui program PPB. Hal ini selaras dengan tujuan PPB yaitu untuk merespon kebutuhan tanaman yang tidak komersial atau tidak diperhitungkan dan mengembangkan tanaman pada lingkungan bercekaman (Sperling et al., 2001). Setelah adanya keberhasilan dari program PPB, maka tujuan pemuliaan ini berkembang lebih lanjut yaitu untuk meningkatkan biodiversitas, konservasi plasmanutfah, pengembangan plasmanutfah adaptif untuk kelompok pengguna marjinal seperti petani perempuan dan petani miskin, mengembangkan program pemuliaan yang lebih efisien, dan program pemuliaan terdesentralisasi untuk tujuan khusus (Sperling et al., 2001). Derajad Partisipasi Keterlibatan stakeholders seperti
petani, penyuluh, pedagang, dan
sebagainya dalam program pemuliaan partisipatif ada tingkatannya.
Banyak
faktor yang menentukan derajad partisipasi yang diadopsi pada suatu program pemuliaan partisipatif, misalnya kemampuan petani, kemajuan genotipe yang akan diseleksi, dan lingkungan target. Dalam sistem pemuliaan ini, peneliti tetap menjadi pengendali utama terutama untuk kegiatan perencanaan dan manajemen kegiatan, namun sasaran utama untuk meningkatkan pengetahuan stakholders terutama pengetahuan petani menjadi sangat penting (PRGA, 2007).
24 Pada prakteknya terdapat tiga tingkatan partisipasi yang umum ditemukan pada kegiatan program PPB, yaitu konsultatif, kolaboratif, dan kolegial (Sperling et al.,
2001; Weltzien et al., 2003).
Pada derajad konsultatif, petani atau
stakeholders lain yang terlibat hanya sebatas memberikan informasi tentang kondisi atau karakter lingkungan, genotipe tanaman, dan aspek lain yang diperlukan bagi program pemuliaan. Peneliti atau pemulia pada derajad ini masih memegang peranan yang sangat dominan dan menentukan. Pada program PPB yang di dalamnya telah terdapat pembagian tugas yang jelas antara peneliti dengan petani atau stakholders lain telah memasuki tingkat partisipasi kolaboratif. Bentuk pembagian tugas diantaranya petani melaksanakan pekerjaan budidaya tanaman dan seleksi atas petunjuk dan arahan dari peneliti. Pada derajad kolegial, peneliti hanya mendukung suatu program pemuliaan tanaman yang diinisiasi dan dikelola oleh petani. Pada tahap ini, petani telah mempunyai ketrampilan khusus tentang kegiatan pada program pemuliaan dan umumnya mereka memanfaatkan plasmnutfah yang ada di lingkungannya. Pada tahap ini peran petani jauh lebih besar daripada derajad yang lain. Studi Kasus Participatory Plant Breeding Program pemuliaan tanaman secara konvensional telah dilaksanakan secara terpusat di lembaga-lembaga penelitian baik milik pemerintah maupun swasta. Program pemuliaan ini menghasilkan berbagai varietas nasional yang dianggap dapat beradaptasi baik di semua jenis agroekosistem yang ada.
Pendekatan
pemuliaan terpusat ini telah mulai ditinggalkan dengan semakin meningkatnya kesadaran akan keragaman agroekosistem yang menuntut adanya varietas-varietas tanaman yang mempunyai adaptasi spesifik (Trikoesoemaningtyas et al., 2008). Program pemuliaan tanaman alternatif yang dapat menghasilkan varietas unggul spesifik lokasi adalah Program Pemuliaan Tanaman Partisipatif yang memiliki kelebihan mendasar, seperti kriteria seleksi yang sesuai untuk kebutuhan lokal dan kesesuaian dengan lingkungan target yang lebih baik (Elings et al., 2001), atau dengan kata lain kearifan lokal sangat diperhatikan pada pemulian model ini. Selain bisa mendapatkan varietas unggul spesifik lokasi, pemuliaan tanaman partisipatif juga dapat digunakan sebagai tindakan konservasi plasmanutfah atau
25 peningkatan keanekaragaman hayati (Sperling et al.,
2001). Menurunnnya
keanekaragaman hayati disebabkan oleh sistem budidaya monokultur dan homogen ysang terjadi sejak Revolusi Hijau dicanangkan. Sehubungan dengan kekhawatiran tersebut, beberapa lembaga internasional yang mengurusi masalah pangan dan pertanian telah melakukan tindakan pemuliaan partisipatif dengan tujuan utama menghimpun koleksi plasmanutfah. Lembaga tersebut antara lain IBPGR (International Board on Plant Genetic Resource), IRRI (International Rice Research Institute), ICRISAT (International Crops Research Institut for the Semi-Arid Tropics), CIAT (Centro International de Agriculture Tropical), CIMMYT (Centro Internacional de Mejoramiento de Maizy and Trigo), AVRDC (Asian Vegetable Research and Development Center), CIP (Center International Potato), IITA (International Institute of Tropical Agriculture) (NPGRB, 1979 dalam Zuraida dan Sumarno, 2003). Keberhasilan penerapan metode PPB telah dilakukan di beberapa negara, seperti Siria, Maroko, dan Tunisia dengan tanaman barley (Ceccarelli, 2001), kacang tanah di Colombia dan Tanzania, kentang resisten penyakit hawar daun di Bolivia, padi adaptif cekaman suhu dingin di Nepal, peningkatan keragaman genetik ubi kayu di Colombia, manajemen benih pearl millet di Rajasthan dan Namibia (Weltzien et al., 2003). Para peneliti pada program pemuliaan tanaman partisipatif umumnya menyimpulkan bahwa seleksi yang dilakukan oleh petani bisa efektif walaupun secara individu berbeda-beda. Walaupun beberapa negara dan lembaga penelitian internasional seperti tersebut di atas telah melaksanakan program pemuliaan tanaman partisipatif dan menunjukkan keberhasilan, namun di Indonesia program pemuliaan model ini masih belum diadopsi dengan baik. Padahal karakteristik pertanian di Indonesia seperti kepemilikan lahan yang sempit, lahan banyak didominasi oleh tanah marjinal, dan aspek permodalan usahatani yang kecil sangat mendukung diterapkannya sistem pemuliaan tanaman model ini.
Beberapa alasan belum
diterapkannya pemuliaan tanaman partisipatif di Indonesia menurut Zuraida dan Sumarno (2003) diantaranya adalah: (1) belum ada kepercayaan atas kemampuan petani dalam program pemuliaan tanaman, (2) peneliti bersifat tertutup atas materi genetik yang dimiliki karena khawatir otoritasnya terhadap materi genetik tersebut
26 berkurang, (3) kesadaran petani untuk mendapatkan kultivar unggul sesuai dengan kondisi agroklimat di wilayahnya masih rendah, (4) adanya kekhawatiran gagal panen pada bahan percobaan sehingga petani tidak mau mengambil resiko, dan (5) kegiatan pemuliaan partisipatif berupa seleksi atau uji daya hasil galur, tidak didukung oleh petani penggarap atau petani penyewa lahan yang lebih memilih prosentasi bagi hasil. Model Pengembangan Sorgum Wacana Pengembangan Sorgum di Indonesia Sorgum sebenarnya sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia terutama di daerah Jawa, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Di Jawa dan beberapa daerah lain, tanaman sorgum dikenal dengan nama lokal cantel dan dibudidayakan secara tumpangsari dengan tanaman pangan lain (Hoeman, 2006). Tanaman sorgum kurang populer bagi masyarakat Indonesia karena selama ini hanya dimanfaatkan untuk tanaman pangan yang kalah populer dibandingkan padi atau jagung. Sebagai tanaman pangan yang diusahakan oleh petani dalam skala kecil, kelemahan utama sorgum adalah penanganan pascapanen yang lebih sulit dibandingkan padi atau jagung, serta rasa nasinya kurang enak karena adanya senyawa tanin pada lapisan aleuron. Tanin adalah senyawa anti-nutrisi dengan rasa “sepet” sehingga konsumen kurang menyukai. Namun dengan kemajuan teknologi prosesing, senyawa tanin dapat dihilangkan dari beras sorgum melalui penyosohan (Sirappa, 2003; Suarni, 2004). Sorgum mempunyai peluang yang sangat tinggi untuk dikembangkan di Indonesia karena agroekologinya sangat mendukung, asalkan nilai ekonominya dapat ditingkatkan. Saat ini, peningkatan nilai ekonomi tanaman sorgum terbuka luas apabila dapat diproses menjadi bioetanol, selain bijinya untuk pangan serta daun dan bagasnya untuk pakan ternak. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (2007) mengungkapkan bahwa untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar minyak fosil diperlukan adanya sumber energi alternatif berupa biofuel (bahan bakar nabati). Salah satu tanaman yang sangat potensial sebagai bahan baku biofuel adalah sorgum manis dengan produk bioetanol.
27 Wacana yang digulirkan oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (2007) untuk mengembangan tanaman sorgum di Indonesia adalah melalui pembentukan desa industri yang berbasis tanaman sorgum. Desa industri yang dimaksud adalah suatu sistem terintegrasi yang terdiri dari industri primer yang mengelola sarana produksi dan infrastruktur, industri sekunder, dan industri tersier yang menangani pra dan pascapanen.
Industri pada sistem ini saling mendukung yang akan
menghasilkan produk-produk lanjutan dari tanaman sorgum. Strategi lain yang lebih sederhana dan mudah untuk melaksanakannya yaitu melalui industri rumah tangga berbasis sorgum manis yang dikelola oleh petani. Pada wacana ini setiap rumah tangga petani atau kelompok tani mempunyai unit pengolahan bioetanol sederhana.
Melalui unit pengolahan ini, petani atau
kelompok tani dapat melakukan fermentasi terhadap hasil nira sorgumnya untuk dibuat etanol dengan kadar alkohol rendah (±5-7%). Untuk meningkatkan kadar alkohol sampai 95%, petani dapat melakukan proses destilasi sendiri atau menjual hasil olahan tersebut ke industri bioetanol (Yudiarto, 2007. Konsultasi pribadi). Melalui model ini diharapkan pendapatan dan tingkat kesejahteraan petani sorgum dapat ditingkatkan. Selama ini peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani di lahan kering sulit dilakukan dengan komoditi konvensional yang selama ini telah diusahakan. Model Pengembangan Sorgum di Luar Negeri Pengembangan sorgum di Indonesia melalui konsep desa industri berbasis sorgum manis yang dilontarkan oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (2007) kurang lebih sama dengan konsep yang dilontarkan oleh Grassi et al. (2004) dengan nama The Bioenergy Rural Village Complex yang berbasis sorgum manis. Model ini sedang diuji coba di China dengan menggunakan sorgum hibrida. Dasar pemikiran dari konsep ini adalah untuk menjamin keberlanjutan usahatani tanaman sorgum yang dikembangkan oleh petani kecil di suatu pedesaan. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang terlibat. Berdasarkan konsep tersebut di atas, desa industri akan mampu memenuhi kebutuhan pangan, pakan ternak dan energi dari tanaman sorgum manis yang diusahakan. Pangan dapat diperoleh dari produksi sereal (beras sorgum) dan produk olahannya; susu dan daging diperoleh dari peternakan yang mendapatkan
28 sumber pakan dari daun dan bagase sorgum; sedangkan energi diperoleh dari produksi bioetanol. Bioetanol dapat diproduksi dalam skala rumah tangga dengan peralatan yang lebih sederhana atau dalam skala industri besar. Selain untuk dijual, produksi bioetanol dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik bagi desa. Berdasarkan kajian teknis, untuk membangun sebuah Komplek Desa Bioenergi berbasis sorgum manis untuk populasi penduduk 3.000 jiwa diperlukan lahan minimal 400 hektar. Lahan tersebut digunakan untuk plantation, dan lokasi pembuatan perangkat pendukung seperti unit pengelola biomass, generator, unit mikro distillery, industri pengolah pangan seperti sereal, susu, daging, dan gula, serta instalasi listrik, bahan bakar untuk masak, bioetanol untuk mesin pertanian dan lain-lain (Grassi et al., 2004).
EVALUASI GALUR MUTAN SORGUM DI TANAH MASAM ABSTRAK Sorgum adalah salah satu komoditi unggulan untuk meningkatkan bahan pangan dan energi, karena kedua komoditi tersebut dapat diintegrasikan proses budidayanya dalam satu dimensi waktu dan ruang. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi galur mutan sorgum toleran tanah masam untuk produktivitas biji dan bioetanol tinggi. Bahan genetik yang digunakan adalah galur mutan sorgum yang dikembangkan dengan teknik mutasi melalui radiasi sinar gamma oleh PATIR-BATAN. Seleksi terhadap 61 galur mutan sorgum dilakukan dengan menggunakan rancangan perlakuan Augmented Design dalam Rancangan Acak Lengkap di Kebun Percobaan Balai Besar Teknologi Pati, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi di Lampung Tengah. Hasil percobaan menunjukkan bahwa bobot biomasa dan bobot biji/malai adalah karakter seleksi yang baik untuk daya adaptasi dan hasil sorgum di tanah masam. Galur ZH30-29-07, ZH30-30-07, dan ZH30-35-07 adalah galur mutan toleran tanah masam dengan hasil biji tinggi, sedangkan galur PSj-96-05, ZH30-35-07, ZH30-29-07, dan ZH30-30-07 adalah galur mutan yang menunjukkan hasil bioetanol tinggi di tanah masam. Kata kunci : sorgum, tanah masam, seleksi, produktivitas biji dan bioetanol ABSTRACT Sorghum is one of high value commodities for food and energy security, because two commodities can be integrated cultivation in one time and space dimension. The objective of this research was to evaluate tolerant sorghum mutant lines in acid soil for high productivity of grain and bioethanol. Genetic materials used were mutant lines developed trought gamma irradiation by PATIRBATAN. The selection was conducted in an augmented design with 61 mutant lines at the experimentation station of Starch Technology Center, Agency for The Assessment and Application of Technology in Central-Lampung. The results showed that both biomass and grain yield per plant were could be used to evaluate adaptation of sorghum in acid soil. Sorghum mutant lines ZH30-29-07, ZH30-30-07, and ZH30-35-07 were showed high productivity under acid soil condition, and mutant lines PSj-96-05, ZH30-35-07, ZH30-29-07, and ZH30-3007 showed to high bioethanol production under acid soil condition. Key words: sorghum, acid soil, selection, grain and bioethanol productivity PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu kendala yang dihadapi dalam upaya pengembangan sorgum di Indonesia adalah adanya cekaman Aluminium, karena lahan kering di Indonesia yang tersebar di wilayah Kalimantan, Sumatera, dan Papua dengan luas sekitar
30 99,5 juta hektar banyak didominasi tanah masam (Hidayat dan Mulyani, 2002). Tanah bereaksi masam dengan indikator utama pH tanah < 5,0 mengakibatkan kelarutan Al tinggi sehingga menjadi racun bagi tanaman (Foy, 1976). Cekaman Al menyebabkan gangguan terhadap pertumbuhan akar sehingga penyerapan hara dan air terhambat yang menyebabkan produktivitas menurun (Marschner, 1995). Penurunan produktivitas pada tanaman serealia berkisar antara 28-63% (Sierra et al., 2005). Oleh karena itu cekaman Al menjadi salah satu faktor pembatas utama produktivitas tanaman di tanah masam (Kochian, 1995; Ryan et al., 1997). Pendekatan biologis melalui pengembangan varietas sorgum toleran tanah masam adalah salah satu alternatif untuk meningkatkan efisiensi budidaya di tanah masam. Pengembangan sorgum toleran tanah masam dengan produktivitas tinggi dapat dimulai dengan melakukan penapisan terhadap galur-galur yang telah ada yang dikembangkan oleh peneliti sebelumnya, seperti galur mutan sorgum yang dikembangkan oleh PATIR-BATAN melalui teknik mutasi fisika dengan radiasi sinar gamma.
Hal ini selaras dengan pernyataan Foy (1976), bahwa
langkah pertama untuk meningkatkan toleransi tanaman terhadap cekaman Al adalah melakukan penapisan (screening) terhadap tanaman yang akan dimuliakan dengan jumlah yang banyak. Program pemuliaan tanaman sorgum ke arah toleransi terhadap cekaman Al akan berhasil jika terdapat ragam genetik yang luas dalam populasi yang akan diseleksi. Selain itu, nilai duga heritabilitas dan kemajuan genetik sangat penting diketahui untuk memilih karakter seleksi yang baik (Masnenah, 1997; Nasution, 2007). Seleksi yang efisien juga membutuhkan informasi tentang hubungan kausal antara karakter komponen hasil dengan hasil, dan adanya informasi tentang karakter yang berkontribusi langsung terhadap hasil (Mohammadi et al., 2003; Limbongan, 2008). Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah mendapatkan galur mutan sorgum toleran tanah masam dengan produktivitas biji dan atau bioetanol tinggi. Selain itu, percobaan juga bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang nilai pendugaan parameter genetik dan hubungan antara beberapa karakter kuantitatif dengan hasil.
31 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Besar Teknologi Pati, milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi di Desa Negeri Bumi Ilir, Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah dari April-Agustus 2007. Hasil analisis contoh tanah di lokasi ini menunjukkan pH aktual 4,7 dengan kejenuhan Al 30-33% dan nilai Al-dd 1,11-1,35 me/100 g (Balai Penelitian Tanah Bogor, 2007). Tanah dengan sifat kimia seperti ini tergolong masam dengan tingkat kejenuhan Al tinggi (Pusat Penelitian Tanah, 1983). Bahan Genetik Bahan utama percobaan ini adalah 61 genotipe sorgum yang terdiri dari 54 galur mutan dan 7 varietas. Ragam genetik galur mutan merupakan hasil teknik mutasi fisika dengan radiasi sinar gamma yang dilakukan oleh Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional (PATIR-BATAN). Generasi dari galur mutan yang digunakan pada percobaan ini beragam, namun setidaknya merupakan generasi ke-5 (M-5).
Ketujuh varietas sorgum pada
percobaan ini digunakan untuk diseminasi dan bukan merupakan target seleksi, namun dalam perhitungan analisis nilai peubahnya dimasukkan karena merupakan bagian dari populasi tanaman percobaan. Galur mutan yang diuji terdiri dari B-69, B-72, B-75, B-83, B-90, B-92, B-95 (tetua varietas Durra), ZH30-09-07, ZH30-10-07, ZH30-11-07, ZH30-12-07, ZH30-13-07, ZH30-14-07, ZH30-15-07, ZH30-16-07, ZH30-17-07, ZH30-18-07, ZH30-19-07, ZH30-20-07, ZH30-21-07, ZH30-22-07, ZH30-23-07, ZH30-24-07, ZH30-25-07, ZH30-26-07, ZH30-27-07, ZH30-28-07, ZH30-29-07, ZH30-30-07, ZH30-31-07, ZH30-32-07, ZH30-33-07, ZH30-34-07, ZH30-35-07, ZH30-36-07, ZH30-37-07 (tetua varietas Zhengzu), BR-ZH30-01-07, BR-ZH30-02-07, BRZH30-03-07, BR-ZH30-05-07, BR-ZH30-06-07, BR-ZH30-07-07, BR-ZH30-0807 (reradiasi dari galur mutan ZH-30), YN30-38-07, YT30-38-06, YT30-39-07, YT30-40-07 (tetua varietas Yuantiansa), GH-ZB41-07, GH-ZB42-07, GH-ZB4307 (hasil persilangan antara galur mutan B-100 dengan ZH-30), PSj-60-05, PSj-
32 95-05, PSj-96-05 (reradiasi dari galur mutan ZH-30), dan ZH-30. Varietas yang digunakan terdiri dari Kawali, Numbu, Mandau, Higari-G, Durra, Zhengzu, dan UPCA-S1. Galur mutan yang dijadikan sebagai tanaman kontrol pada percobaan ini adalah B-76 dan B-100. Alasan penggunaan dua galur mutan ini sebagai tanaman kontrol adalah : 1) telah mempunyai stabilitas genetik yang tinggi (M-8) dan merupakan galur harapan BATAN yang akan dilepas sebagai varietas, dan 2) sebelumnya telah diuji coba di Kebun Percobaan B2TP-BPPT Lampung Tengah. Metode Penelitian Rancangan Percobaan Percobaan dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan rancangan perlakuan Augmented Design.
Perlakuan terdiri dari
tanaman kontrol atau penguji (k) dan genotipe (g).
Tanaman kontrol yang
dijadikan sebagai penguji adalah B-76 dan B-100 yang masing-masing diulang (r) sebanyak 10 kali. Genotipe yang diuji sebanyak 61 yang terdiri dari 54 galur mutan dan 7 varietas. Berdasarkan rancangan tersebut, maka satuan percobaan pada penelitian ini berjumlah 81 unit yang berasal dari rk + g = [(10 x 2) + 61]. Pelaksanaan Percobaan Pengolahan lahan. Lahan bekas pertanaman jagung dibersihkan kemudian dicangkul untuk membalikkan tanah. Setelah itu, tanah digemburkan dan dibuat guludan dengan panjang 5 m dan lebar 50 cm dengan jarak antar guludan 50 cm. Jumlah guludan dibuat sebanyak 81 unit, dengan perincian penggunaan 61 unit untuk genotipe yang diuji dan 20 unit untuk tanaman kontrol. Susunan guludan dibuat dengan komposisi 9 baris dan 9 kolom. Penanaman. Sebelum ditanam seluruh benih sorgum diberi perlakuan pestisida atau seed treatment untuk menghindari semut dan lalat bibit di lokasi tanam. Penanaman dilakukan dengan cara tugal, yaitu masing-masing benih dari genotipe sorgum dimasukkan ke lubang tanam. Jumlah benih yang dimasukkan sekitar 3-5 butir per lubang tanam kemudian ditutup dengan tanah. Jarak tanam antar lubang tanam yang berada di atas guludan adalah 20 cm.
33 Pemupukan. Pupuk yang digunakan dalam percobaan ini terdiri dari Urea, SP-36 dan KCl dengan dosis masing-masing 100, 60, dan 60 kg/ha. Pupuk SP-36 dan KCl diberikan sekaligus pada saat tanam, sedangkan Urea diberikan dua kali, yaitu 2/3 bagian pada saat tanam dan 1/3 bagian pada saat tanaman berumur 7 minggu setelah tanam (MST). Aplikasi pupuk dengan cara tugal dengan jarak sekitar 10 cm di sisi lubang tanam. Khusus untuk aplikasi 1/3 dosis pupuk Urea ditambahkan media pasir untuk menambah volume sebar. Pemeliharaan. Penjarangan dilakukan terhadap tanaman yang tumbuh lebih dari dua pada satu lubang tanam, dan dilakukan pada tanaman umur 2 MST. Penjarangan bertujuan untuk mendapatkan kondisi tanaman seragam, yaitu satu tanaman per lubang tanam. Penyiangan (weeding) untuk mengendalikan gulma dilakukan secara manual dengan menggunakan cangkul. Saat penyiangan juga digunakan untuk melakukan pembumbunan dengan tujuan agar tanaman kokoh sehingga tidak mudah rebah. Pengendalian hama dan penyakit pada percobaan ini tidak dilakukan, karena tidak terdapat gangguan hama dan penyakit tanaman yang melebihi ambang batas. Pengamatan. Pengamatan dilakukan terhadap karakter agronomi tanaman sorgum yang terdiri dari komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil, serta produktivitas bioetanol.
Komponen pertumbuhan meliputi : 1) jumlah daun
(helai), yaitu jumlah seluruh daun yang telah membuka dan berwarna hijau dan dihitung pada akhir fase vegetatif, 2) tinggi tanaman (cm), adalah tinggi tanaman sorgum yang diukur mulai dari permukaan tanah sampai ujung daun yang diluruskan sejajar batang dan diukur pada akhir fase vegetatif, dan 3) bobot biomasa (g), yaitu bobot tanaman segar yang terdiri dari batang, daun, dan malai yang masih terdapat biji yang diukur pada saat panen. Komponen hasil dan hasil terdiri dari: 1) panjang malai (cm), yaitu panjang malai sorgum yang diukur dari dasar malai sampai ujung malai, 2) bobot malai (g), yaitu bobot malai beserta bijinya yang terdapat pada batang utama, 3) jumlah biji/malai (butir), yaitu jumlah biji sorgum yang terdapat pada malai utama, 4) bobot biji/malai (g), yaitu bobot seluruh biji sorgum yang terdapat pada malai utama, 5) indeks panen, yaitu perbandingan antara bagian yang dikonsumsi (biji)
34 dengan bagian yang tidak dikonsumsi, dan 6) hasil (ton/ha), yaitu produktivitas biji sorgum yang dihasilkan per hektar dengan faktor koreksi sebesar 20%. Produktivitas bioetanol dengan sumber nira batang (steam juice) dihitung dengan mengukur : 1) total sugar (%), yaitu kandungan gula total atau gula terlarut yang terdapat pada nira batang sorgum, 2) bobot batang (kg/ha), yaitu bobot batang sorgum yang telah dibersihkan dari daun dan kelopak daunnya, dan 3) produksi nira (liter/ha), yaitu jumlah nira (steam juice) yang dihasilkan dari perasan batang sorgum. Analisis Data Data hasil pengamatan berupa variabel komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil dianalisis melalui sidik ragam, pendugaan ragam dan koefisien ragam genetik, pendugaan nilai heritabilitas dalam arti luas, analisis korelasi, analisis lintasan, analisis diskriminan, dan indeks seleksi. Sedangkan evaluasi terhadap keragaan hasil bioetanol dianalisis dengan sidik ragam dan seleksi terhadap 10% galur mutan dengan hasil bioetanol tertinggi. 1. Sidik ragam (analysis of variant) Sidik ragam atau analisis ragam digunakan untuk melihat ada tidaknya keragaman pada populasi genotipe sorgum yang dibudidayakan pada lahan kering bertanah masam. Sumber keragaman berdasarkan model percobaan ini terdiri atas perlakuan (P), genotipe (G), kontrol (K), interaksi genotipe dan kontrol (GxK), serta galat percobaan (ε). Model linier aditif dalam percobaan ini adalah: Y = µ + P + G + K + (GxK) + ε Keterangan: Y = nilai pengamatan
µ = nilai rata-rata umum P = perlakuan (genotipe dan kontrol) G = genotipe (galur mutan dan varietas) K = kontrol (B-76 dan B100) (GxK) = interaksi antara genotipe dan kontrol
ε = galat percobaan.
35
2. Pendugaan ragam dan koefisien ragam genetik Pendugaan komponen ragam yang terdiri dari ragam genetik, ragam fenotipik, dan ragam lingkungan menggunakan metode Baihaki (1982), dengan rumus sebagai berikut: 2
Ragam lingkungan (σ e) 2
Ragam fenotipik (σ p) 2
Ragam genetik (σ g)
= Kuadrat Tengah Galat = Kuadrat Tengah Genotipe = Ragam fenotipik – Ragam lingkungan
Sedangkan nilai Koefisien Ragam Genetik (KVG) yang digunakan untuk menduga luas atau sempitnya ragam genetik yang dimiliki oleh suatu karakter dihitung dengan menggunakan rumus Knight (1979), sebagai berikut: KVG =
2g
x 100%
x 2
Keterangan: σ g = ragam genetik, dan x = rata-rata populasi Pendugaan luas dan sempitnya nilai koefisien ragam genetik (KVG) digunakan pendekatan Alnopri (2004), yaitu: sempit (0-10%), sedang (10-20%) dan luas (>20%) 3. Heritabilitas dalam arti luas Heritabilitas dalam arti luas merupakan proporsi ragam genetik total terhadap ragam fenotipe yang dinyatakan dalam satuan persen. Seleksi akan efisien pada karakter yang mempunyai nilai heritabilitas tinggi, karena keragaan fenotipenya sebagian besar dipengaruhi oleh faktor genetik. Nilai heritabilitas dalam arti luas dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu rendah jika h2bs ≤ 0,2; sedang 0,2 ≤ h2bs ≤0,5; dan tinggi jika h2bs > 0,5 (McWhirter, 1979; Stanfield, 1983). Pendugaan nilai heritabilitas dalam arti luas dihitung berdasarkan analisis ragam menurut metode yang dikemukakan oleh Singh dan Chaudhary (1979) sebagai berikut:
h2bs =
2g x 100% 2p
Keterangan: h2bs = heritabilitas arti luas, σ2g = ragam genetik, dan σ2p = ragam fenotipik
36 4. Analisis korelasi sederhana (simple correlation) Hubungan antara dua karakter agronomi tanaman dapat diketahui melalui analisis korelasi sederhana, yaitu suatu prosedur yang mampu mendeteksi hubungan linier antara dua variabel (Singh, 2004), atau suatu ukuran derajad bervariasinya kedua peubah secara bersama-sama (Steel dan Torrie, 1991). Manfaat analisis korelasi dalam program seleksi adalah untuk mengetahui karakter-karakter yang ada kaitannya dengan karakter utama, yaitu untuk memperbaiki respon ikutan (correlated respons) dalam penerapan seleksi tak langsung (indirect selection) (Nasution et al., 2007). Gaspersz (2002) menyatakan bahwa dalam analisis korelasi sederhana ada tiga kemungkinan yang terjadi, yaitu dua variabel berkorelasi positif, negatif, atau tidak berkorelasi.
Dua variabel dikatakan berkorelasi positif, jika keduanya
cenderung berubah secara bersama dengan arah yang sama yaitu meningkat atau menurun secara bersama; dikatakan berkorelasi negatif jika kedua variabel berubah dalam arah yang berlawanan, apabila yang satu meningkat maka yang lainnya menurun; dan dikatakan tidak berkorelasi apabila kedua variabel cenderung berubah dengan tidak ada hubungan satu dengan yang lain. Formula analisis korelasi sederhana menurut Gaspersz (2002) adalah sebagai berikut:
rxy =
n xi y i ( xi )( y i )
n x
2 i
( xi ) 2 (n y i ( y i ) 2 2
Keterangan: rxy = korelasi antara variabel X dan Y n = jumlah pengamatan x = nilai variabel X y = nilai variabel Y 5. Analisis lintasan (path analysis) Analisis lintasan adalah bentuk analisis regresi linier terstruktur yang membahas hubungan kausal antara variabel-variabel baku dalam sistem tertutup (Gaspersz, 1992). Melalui analisis ini dapat diketahui kontribusi berupa pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung (direct and indirect effects) antara variabel bebas terhadap variabel respon (Singh, 2004). Analisis lintasan dapat digunakan
37 untuk mengatasi adanya kolinearitas, yaitu interaksi antara komponen hasil yang sering terjadi pada analisis korelasi (Singh dan Chaudhary, 1979; Gaspersz, 1992). Dalam melakukan analisis lintasan selalu diikuti dengan diagram lintasan (path diagram) yang bertujuan memperjelas uraian yang dikemukakan. Rumus analisis lintasan berdasarkan persamaan simultan (Gaspersz, 1992) adalah sebagai berikut:
r11 r12 .......r1 p r21 r22 ......r2 p : rp1 rp 2 .......rpp
Rx
C1 r1 y C r 2 = 2y : : C p rpy C
dan C = Rx-1 Ry
Ry
Keterangan: Rx = matriks korelasi antarvariabel bebas dalam model regresi berganda yang memiliki p buah variabel bebas, sehingga merupakan matriks dengan elemen-elemen Rxixj (i,j = 1,2, ........, p). C = vektor koefisien lintasan yang menunjukkan pengaruh langsung dari setiap
variabel bebas yang telah dibakukan. Ry = vektor koefisien korelasi antara variabel bebas Xi (i=1,2, .......p) dan variabel tak bebas Y. Rx-1 = matriks invers Rx Penentuan pengaruh sisaan (residual) menggunakan rumus:
C2s = 1 -
6
C r i 1
i iy
Keterangan: C2s = sisaan Ci = pengaruh langsung Zi terhadap Y Riy = pengaruh tidak langsung Zi melalui Ciriy
38 6. Analisis diskriminan (discriminat analysis)
Analisis diskriminan digunakan untuk mengetahui variabel-variabel penciri yang membedakan kelompok populasi yang ada atau dipergunakan sebagai kriteria pengelompokkan (Gaspersz, 1992). Pengelompokkan didasarkan pada sebaran nilai Z, yaitu nilai peubah bebas yang telah dibakukan. Nilai Z dihitung melalui persamaan: Zi =
Xi Xi S td
Keterangan: Zi = nilai peubah bebas yang telah dibakukan Xi = nilai pengamatan Xi = nilai rata-rata umum
Std = standar deviasi Dalam percobaan ini, sebaran sebalur nilai Z mengelompokkan genotipe sorgum menjadi toleran terhadap tanah masam jika nilai Z > Xi + 1Std; moderat jika 1Std < Z ≤ Xi + 1Std, dan peka jika nilai Z < 1Std. 7. Indeks seleksi (selection index)
Keunggulan seleksi dengan menggunakan indeks seleksi adalah mampu memperhatikan banyak sifat tanaman yang diseleksi sekaligus (Poespodarsono, 1988). Rumus indeks seleksi adalah sebagai berikut:
I = w1x1 + w2x2+ ........+ wixi Keterangan: I = indeks seleksi w = pembobot x = sifat yang diseleksi Nilai pembobot dalam percobaan ini menggunakan nilai pengaruh langsung karakter agronomi dan komponen hasil terhadap hasil pada analisis lintasan.
39 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Kondisi tanah. Lahan di lokasi percobaan merupakan lahan kering yang
selama ini biasa digunakan untuk menanam jagung atau singkong. Tekstur tanah yaitu sifat fisik tanah yang menunjukkan kondisi kasar halusnya tanah akibat susunan mineral tanah berupa pasir, debu dan liat komposisinya adalah pasir 19%, debu 9%, dan liat 72% (Balai Penelitian Tanah Bogor, 2004). Berdasarkan ciri fisik tersebut, tanah di lokasi percobaan merupakan tanah Ultisol atau Podzolik Merah Kuning yang ditunjukkan dengan adanya penimbunan liat di horizon bawah dan bersifat masam (Hardjowigeno, 2003). Tabel 1. Sifat kimia tanah terukur di lokasi percobaan dan kriterianya Indikator
Terukur *)
pH tanah
4,7
Indikator
Terukur
Kriteria Sangat Agak Masam Netral Masam Masam < 4,5 4,5-5,5 5,6-6,5 6,6-7,5 Sangat Rendah Sedang Tinggi rendah ---------------------- cmol(+)/kg -----------------< 10 10-20 21-30 31-60 < 5 5-16 17-24 25-40
Kejenuhan Al 30-33% KTK 0,73 Al-dd 1,11-1,35 Nilai Tukar Kation : 1,46 < 2,0 2,0-5,0 Ca+2 +2 0,71 < 0,4 0,4-1,0 Mg 0,21 < 0,1 0,1-0,2 K+ 0,00 < 0,1 0,1-0,3 Na+ Sumber: *) Balai Penelitian Tanah Bogor (2007)
6,0-10 1,1-2,0 0,3-0,5 0,4-0,7
11-20 2,1-8,0 0,6-1,0 0,8-1,0
Sifat kimia tanah merupakan salah satu indikator kesuburan tanah dan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman.
Berdasarkan sifat
kimianya, tanah di lokasi percobaan merupakan tanah masam yang ditunjukkan oleh pH tanah 4,7 dengan tingkat kejenuhan Al tinggi, yaitu mencapai 30-33% (Al-dd 1,11-1,35 me/100 g). Nilai tukar kation berada pada kategori sangat rendah sampai rendah, yaitu Ca sangat rendah (1,46), Mg rendah (0,71), K rendah (0,21) dan Na sangat rendah (0,00); sedangkan nilai kapasitas tukar kationnya (KTK) juga sangat rendah, yaitu 0,73 (Tabel 1). Dengan data tersebut, tanah di lokasi
40 percobaan dapat dikategorikan sebagai tanah masam dengan tingkat kesuburan yang sangat rendah (Hardjowigeno, 2003). Kondisi iklim. Secara umum, tipe hujan di lokasi percobaan yang berada di
Wilayah Lampung berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951) termasuk tipe B, karena mempunyai nilai Q yaitu nilai rata-rata bulan kering dibagi rata-rata bulan basah 18,89%. Klasifikasi tipe iklim menurut metode Koppen (1951) dalam Manan (1980) termasuk tipe Af, karena memiliki curah hujan terendah > 60 mm, suhu terendah > 18 oC. Zona agroklimat yang ditentukan berdasarkan Oldeman (1978) termasuk zona agroklimat C2, karena mempunyai bulan basah (> 200 mm) sebanyak 6 kali berturut-turut dan bulan kering (< 100 mm) sebanyak 2 kali. Kondisi iklim selama percobaan berlangsung yaitu dari April-Agustus 2007 menunjukkan curah hujan rata-rata 119 mm/bulan (termasuk bulan kering dengan curah hujan rendah), suhu udara rata-rata 26,54oC dan kelembaban udara rata-rata 89% (Stasiun Klimatologi Masgar Lampung, 2008).
a
c
Gambar 2.
b
d
Kondisi umum tanaman sorgum umur 2 minggu (a), 6 minggu (b), 10 minggu (c), dan 12 minggu (d)
41 Pertumbuhan sorgum.
Secara umum pertumbuhan sorgum di lokasi
percobaan baik, walaupun pada tahap awal daya tumbuh dari masing-masing galur mutan berbeda. Rentang waktu perkecambahan benih sorgum dari genotipe yang diuji berkisar antara 5-10 hari. Genotipe yang mampu tumbuh dan menyelesaikan siklus hidupnya dengan baik mencapai 55 galur (90%) dari 61 galur yang diuji. Tidak terdapat gangguan hama dan penyakit yang melampaui ambang batas ekonomi sehingga tidak dilakukan pengendalian secara kimiawi. Fenomena ini menunjukkan bahwa secara umum tanaman sorgum mampu tumbuh pada kondisi tanah masam (pH 4,7) dengan tingkat kejenuhan Al tinggi (30-33% ) yang dikelompokkan sebagai tanah dengan tingkat kesuburan rendah.
Selain itu,
sorgum juga mampu tumbuh dan berproduksi pada kondisi curah hujan rendah (119 mm/bulan) (Gamber 2).
Keragaan Karakter Agronomi dan Hasil Bioetanol Galur Mutan Sorgum di Tanah Masam Komponen Pertumbuhan
Pertumbuhan didefinisikan sebagai suatu proses dalam kehidupan tanaman yang mengakibatkan terjadinya perubahan ukuran tanaman menjadi semakin besar yang akhirnya menentukan hasil.
Pertambahan ukuran pada level tanaman
dimulai dari level sel melalui serangkaian proses biokimia, fisiologi, genetik, dan interaksi dengan lingkungan yang menyebabkan jumlah dan ukuran sel bertambah sehingga meningkatkan bahan kering (dry matter) yang bersifat tidak dapat balik (Taiz dan Zeiger, 2002).
Komponen pertumbuhan tanaman dapat diukur
diantaranya melalui tinggi tanaman, jumlah daun, dan bobot biomassa tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995). Hasil analisis ragam (Tabel 2) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada tinggi tanaman dan jumlah daun dari genotipe sorgum yang diuji yang ditunjukkan oleh pengaruh genotipe yang tidak nyata terhadap karakter tersebut, namun genotipe sorgum mempunyai perbedaan yang sangat nyata pada karakter bobot biomassa tanaman.
42 Tabel 2. Pengaruh genotipe sorgum terhadap komponen pertumbuhan tanaman sorgum yang dibudidayakan di tanah masam Karakter KT Genotipe Kisaran Rata-rata Jumlah daun (helai) 1,96tn 8,13 - 13,70 11,14 ±1,42 Tinggi tanaman (cm) 1.112,24tn 79,88 - 253,57 148,54 ±32,88 Bobot biomassa (g) 21.086,56** 110,25 - 976,81 347,36 ±151,63 Keterangan: tn= tidak berbeda nyata, dan **= berbeda sangat nyata pada taraf 1% uji F
Jumlah daun tanaman sorgum yang diuji berkisar antara 8,13-13,70 helai dengan rata-rata 11,14±1,42 helai (Tabel 2). Kondisi ini normal seperti yang dikemukakan oleh House (1985), bahwa jumlah daun sorgum yang beradaptasi baik dengan lingkungannya berkisar antara 6-12 helai dengan periode munculnya daun lima hari per daun. Dengan demikian, rata-rata genotipe sorgum yang diuji butuh waktu sekitar dua bulan (4 MST) untuk membentuk daun secara sempurna. Jumlah daun paling sedikit terdapat pada UPCA-S1 yaitu 8,13 helai dan paling banyak terdapat pada galur mutan ZH30-14-07 yaitu 13,70 helai (Tabel 3). Tinggi tanaman populasi sorgum yang diuji berkisar antara 79,88-253,57 cm dengan rata-rata 150,94 ± 34,86 cm (Tabel 2). Walaupun terdapat rentang yang lebar, namun tinggi tanaman sorgum tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa pada populasi tanaman sorgum yang diuji terdapat tinggi tanaman yang ekstrim, yaitu sangat rendah (79,88 cm) yang terdapat pada galur ZH30-24-07 dan sangat tinggi (253,57 cm) yang terdapat pada galur ZH30-14-07 (Tabel 3). Fenomena ini menunjukkan bahwa teknik mutasi fisika dapat menciptakan keragaman yang tinggi pada tanaman sorgum. Namun jumlah genotipe sorgum yang mempunyai tinggi tanaman ekstrim tersebut sedikit sehinga tidak begitu berpengaruh terhadap nilai tengah. Maschner (1995) menyatakan, tinggi tanaman dapat digunakan untuk melihat pengaruh lingkungan, karena tanaman yang mengalami cekaman lingkungan terutama cekaman abiotik seperti defisiensi unsur hara, keracunan Al atau Fe umumnya menampakkan gejala kerdil. Karakter tinggi tanaman pada budidaya sorgum sangat penting, kaitannya dengan produktivitas biji dan bioetanol.
Keuntungan tanaman yang rendah
sampai sedang adalah mudah untuk mengelola dan lebih tahan terhadap rebah, sedangkan secara fisiologis melalui keseimbangan source dan sink, tanaman yang tidak terlalu tinggi akan mengalokasikan lebih banyak fotosintat ke biji daripada
43 ke batang, karena source utama karbohidrat adalah daun dan sink utamanya adalah biji (Taiz dan Zeiger, 2002). Di sisi lain, keuntungan tanaman yang tinggi adalah mampu menghasilkan bobot batang yang tinggi sehingga dapat menghasilkan nira dalam jumlah banyak.
Produktivitas nira bersama-sama
dengan total sugar adalah komponen penting pada industri bioetanol berbasis batang sorgum manis. Tabel 3. Keragaan jumah daun, tinggi tanaman dan bobot biomasa genotipe sorgum di tanah asam No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32.
Genotipe Galur mutan B-69 B-72 B-75 B-76 B-83 B-90 B-92 B-95 B-100 BR-ZH30-01-07 BR-ZH30-03-07 BR-ZH30-05-07 BR-ZH30-06-07 BR-ZH30-07-07 GH-ZB-41-07 GH-ZB-42-07 GH-ZB-43-07 PSj-60-05 PSj-95-05 PSj-96-05 YN30-38-07 YT30-39-07 YT30-40-07 ZH30-09-07 ZH30-10-07 ZH30-12-07 ZH30-13-07 ZH30-14-07 ZH30-15-07 ZH30-16-07 ZH30-18-07 ZH30-19-07
Jumlah daun ----- helai ---9,70 10,80 8,80 10,40 9,90 8,80 10,20 10,50 9,71 11,40 9,20 11,00 10,30 11,30 11,80 11,20 11,70 10,88 12,00 11,30 12,90 10,90 11,90 12,40 12,00 13,43 12,50 13,70 12,50 10,25 12,40 10,89
Tingi tanaman Bobot biomasa ------- cm ------------- g -------138,50 223,54 175,20 240,91 126,10 262,75 156,24 231,50 155,70 227,60 124,40 239,95 175,00 386,00 151,30 249,16 141,53 248,70 112,60 303,55 86,60 61,14 120,90 345,30 144,70 349,31 159,20 488,04 196,80 450,32 144,50 332,33 154,20 368,68 123,13 124,80 144,00 176,14 146,60 385,58 152,70 292,05 197,00 372,15 188,40 338,70 139,10 375,29 110,30 232,39 153,57 425,49 179,57 414,03 253,57 595,95 222,29 451,38 117,88 231,10 129,90 364,98 114,44 175,91 Bersambung ………………
44 Tabel 3. (Sambungan) No. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55.
Genotipe Galur mutan ZH30-20-07 ZH30-21-07 ZH30-23-07 ZH30-24-07 ZH30-25-07 ZH30-26-07 ZH30-27-07 ZH30-28-07 ZH30-29-07 ZH30-30-07 ZH30-31-07 ZH30-32-07 ZH30-33-07 ZH30-34-07 ZH30-35-07 ZH30-36-07 ZH30-37-07 Varietas UPCA-S1 Numbu Higari-G Durra Kawali Mandau
Jumlah daun ---- helai ---10,60 11,90 10,67 8,13 12,20 11,50 11,60 9,30 13,40 12,60 9,30 11,20 11,50 13,00 13,50 11,13 12,22
Tinggi tanaman ------- cm -----113,60 126,10 135,22 79,88 147,60 138,00 146,80 109,30 192,30 177,40 111,80 154,30 164,10 189,00 208,80 159,75 141,78
Bobot biomasa -------- g ------263,75 283,37 351,83 67,65 379,40 358,80 337,65 249,89 674,54 570,73 434,67 377,33 415,33 389,64 976,81 519,77 460,23
8,11 9,30 9,90 10,80 12,10 13,40
111,67 128,80 151,20 177,40 146,60 143,30
110,25 319,54 322,29 364,63 545,34 366,36
Bobot biomassa tanaman sorgum mempunyai kisaran yang sangat lebar, yaitu antara 110,25-976,81 gram yang menunjukkan adanya keragaman yang tinggi pada populasi yang diuji (Tabel 2). Bobot biomassa terendah ditunjukkan oleh UPCA-S1 (110,25 g), dan tertinggi oleh galur mutan ZH30-35-07 (976,81 g) (Tabel 3). Tanaman sorgum berdasarkan perimbangan fase vegetatif-generatif termasuk tanaman golongan satu, yaitu tanaman berbatang basah yang memerlukan suatu dominansi fase vegetatif pada tahap pertama kehidupannya, dan dominansi fase generatif pada tahap akhir hidupnya (Harjadi, 1996). Bobot biomassa adalah karakter agronomi yang mencerminkan akumulasi pertumbuhan pada tanaman. Tanaman yang mampu mengkonversi energi sinar matahari dan mengakumulasikan produk fotosintesis dengan cepat akan ditandai dengan bobot biomassa tinggi, sehingga sering digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995). Kenyataan menunjukkan
45 bahwa biomassa merupakan integrasi dari hampir semua proses yang terjadi sebelumnya. Produksi biomassa mengakibatkan pertambahan berat yang dapat diikuti dengan pertambahan ukuran lain yang dapat dinyatakan secara kuantitatif. Hasil penelitian Hopkin et al. (2004) dan WANG Jun-ping et al.
(2006)
menunjukkan bahwa bobot biomassa tanaman adalah karakter yang sangat menentukan toleransi tanaman terhadap tanah masam. Komponen hasil dan hasil
Produktivitas tanaman, terutama tanaman budidaya sangat tergantung pada kemampuan tanaman untuk melakukan fotosintesis dan mengalokasikan sebagain besar hasil fotosintesis tersebut ke organ yang bernilai ekonomi (Poerwanto, 2006). Keragaan pertumbuhan tanaman mengikuti hubungan source (sumber) dan
sink (penampungan).
Jika source terganggu akibat adanya cekaman Al dan
defisiensi hara pada tanah masam, maka kapasitas sink tidak akan optimal. Bobot biomassa dapat dipandang sebagai source yang akan mendistribusikan produksi biomassa tanaman ke bagian yang bernilai ekonomis.
Sitompul dan Guritno
(1985) menyatakan bahwa hasil ekonomis tanaman berbanding lurus dengan produksi biomassa total tanaman, sehingga diperlukan ukuran bobot biomassa minimum untuk membentuk hasil apakah pada bagian vegetatif atau generatif. Hasil analisis ragam terhadap komponen hasil dan hasil
menunjukkan
bahwa genotipe tidak berpengaruh nyata terhadap karakter jumlah biji/malai, namun keragaman populasi tanaman sorgum di tanah masam sangat ditentukan oleh panjang malai dan bobot biji/malai. Hal ini ditunjukkan oleh pengaruh genotipe yang sangat nyata terhadap anjang malai dan bobot biji/malai (Tabel 4). Tabel 4. Pengaruh genotipe sorgum terhadap komponen hasil dan hasil tanaman sorgum yang dibudidayakan di tanah masam Karakter KT Genotipe Kisaran Rata-rata Panjang malai (cm) 18,28 ** 15,78-32,70 24,19 ± 4,38 Σ biji/malai (butir) 402.062,39 tn 717,00-4.261,70 1.901,42 ± 627,97 Bobot biji/malai (g) 259,83 ** 24,80-98,84 54,54 ± 16,07 Keterangan: tn= tidak berbeda nyata; *= berbeda nyata pada taraf 5%; dan **= berbeda sangat nyata pada taraf 1% uji F
Panjang malai sorgum adalah karakter yang penting pada komponen hasil karena merupakan tempat bagi cabang malai yang berisi bulir. Panjang malai
46 sorgum dari genotipe yang diuji berkisar antara 15,78-32,70 cm dengan panjang rata-rata 24,19 ± 4,38 cm (Tabel 4). Galur mutan dengan keragaan malai paling pendek adalah B-69 (15,78 cm) dan yang terpanjang adalah galur mutan GHZB43-07 (32,70 cm) (Tabel 5). Gambar 3 menunjukkan keragaman bentuk malai sorgum dari genotipe yang diuji. Hal ini membuktikan bahwa teknik mutasi fisika dapat menciptakan keragaman pada bentuk malai sorgum.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 3. Keragaan bentuk malai genotipe sorgum yang diuji. Bentuk malai dengan komposisi biji kompak (a dan b), malai dengan komposisi biji renggang (c dan d) Jumlah biji/malai menggambarkan banyaknya biji sorgum yang terdapat pada malai utama. Walaupun tidak berbeda nyata, kisaran jumlah biji/malai dari genotipe sorgum yang diuji sangat lebar, yaitu 717,00-4.261,70 butir/malai dengan nilai rata-rata 1.901,42±627,97 butir (Tabel 4). Hal ini menunjukkan ada genotipe sorgum dengan keragaan jumlah biji/malai sangat sedikit dan sangat banyak namun populasinya hanya sedikit. Genotipe sorgum dengan keragaan jumlah biji/malai paling sedikit adalah PSj-60-05 (717 butir) dan paling banyak terdapat pada varietas Kawali (4.261,70 butir) (Tabel 5). Bobot biji/malai adalah karakter hasil yang sesungguhnya karena produktivitas sorgum/hektar sangat ditentukan oleh keragaan bobot biji/malai. Bobot biji/malai dari genotipe sorgum yang diuji berkisar antara 24,80-98,84 gram, dengan rata-rata 54,54 ± 16,07 gram (Tabel 4). Galur mutan dengan keragaan bobot biji/malai paling rendah adalah PSj-60-05 (26,80 gram) dan paling tinggi adalah ZH30-29-07 (92,00 gram) (Tabel 4). Produktivitas dari kedua galur mutan tersebut adalah PSj-60-05 (1,34 ton/ha) dan ZH30-29-07 (4,60 ton/ha) (Tabel 5).
47 Tabel 5. Keragaan panjang malai, jumlah biji/malai dan bobot biji/malai genotipe sorgum di tanah asam No.
Genotipe
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Galur mutan B-69 B-72 B-75 B-76 B-83 B-90 B-92 B-95 B-100 BR-ZH30-01-07 BR-ZH30-03-07 BR-ZH30-05-07 BR-ZH30-06-07 BR-ZH30-07-07 GH-ZB-41-07 GH-ZB-42-07 GH-ZB-43-07 PSj-60-05 PSj-95-05 PSj-96-05 YN30-38-07 YT30-39-07 YT30-40-07 ZH30-09-07 ZH30-10-07 ZH30-12-07 ZH30-13-07 ZH30-14-07 ZH30-15-07 ZH30-16-07 ZH30-18-07 ZH30-19-07 ZH30-20-07 ZH30-21-07 ZH30-23-07 ZH30-24-07 ZH30-25-07 ZH30-26-07 ZH30-27-07 ZH30-28-07
Panjang malai ---- cm ---15,8 18,9 17,4 17,8 19,5 19,2 18,1 17,4 18,0 26,3 20,8 27,9 27,6 30,9 29,4 30,4 32,7 19,0 23,1 21,3 32,7 25,9 29,5 20,1 22,9 26,2 26,7 24,5 27,1 23,2 22,3 27,8 23,6 26,8 23,2 25,7 26,2 24,8 24,4 20,4
Jumlah Bobot Hasil biji/malai biji/malai ---- butir ------ g ---- -- ton/ha -1.417,4 42,8 2,14 1.716,2 45,3 2,26 1.341,9 40,5 2,03 1.635,2 43,3 2,16 1.648,5 47,4 2,37 1.713,4 49,8 2,49 2.017,6 59,0 2,95 1.650,5 53,0 2,65 1.349,9 37,4 1,87 1.904,1 54,6 2,73 1.321,3 32,6 1,63 3.592,3 83,8 4,19 2.320,4 61,5 3,08 2.324,3 74,0 3,70 2.903,3 74,3 3,71 1.571,6 37,7 1,89 2.087,6 56,9 2,85 717,0 26,8 1,34 1.700,1 50,3 2,52 2.325,5 67,2 3,36 2.881,0 67,5 3,38 2.016,9 68,3 3,42 2.221,5 68,7 3,43 1.319,0 33,7 1,68 1.140,7 32,8 1,64 1.545,9 46,3 2,32 1.779,2 48,1 2,40 2.526,7 64,3 3,22 1.856,3 56,2 2,81 2.185,0 62,4 3,12 1.429,9 38,4 1,92 1.851,6 48,9 2,45 1.260,1 35,1 1,75 2.021,8 53,4 2,67 1.657,7 55,4 2,77 2.140,3 62,7 3,14 1.706,6 53,4 2,67 1.561,6 46,1 2,31 1.672,7 46,9 2,34 894,8 33,6 1,68 Bersambung ……………..
48 Tabel 5. (Sambungan) No. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55.
Genotipe Galur mutan ZH30-29-07 ZH30-30-07 ZH30-31-07 ZH30-32-07 ZH30-33-07 ZH30-34-07 ZH30-35-07 ZH30-36-07 ZH30-37-07 Varietas UPCA-S1 Higari-G Mandau Durra Numbu Kawali
Panjang malai ---- cm ---28,5 29,2 24,1 25,5 26,9 23,9 28,8 27,8 29,3
Jumlah biji/malai ---- butir --2.737,4 2.830,3 1.379,6 1.904,6 1.552,6 2.140,9 2.342,1 1.482,3 1.490,8
Bobot biji/malai ---- g ---92,0 78,7 41,1 50,0 55,9 68,1 78,5 53,1 42,5
-- ton/ha -4,60 3,94 2,06 2,50 2,79 3,41 3,93 2,65 2,13
17,2 23,4 25,2 19,5 18,5 27,9
965,4 2.152,7 2.251,6 2.091,7 2.067,0 4.261,7
24,8 52,0 61,7 67,0 75,0 98,8
1,24 2,60 3,09 3,35 3,75 4,94
Hasil
Produktivitas bioetanol
Produktivitas bioetanol dengan sumber nira batang sorgum manis sangat ditentukan oleh kandungan gula total pada nira batangnya (total sugar = TS), bobot batang, dan produksi nira (stem juice). Ketiga komponen ini saling terkait sehingga produktivitas bioetanol tidak akan tinggi, jika salah satu dari komponen tersebut hasilnya rendah. Yang dimaksud gula terlarut (total sugar) pada batang sorgum manis yang umum diukur dan sangat menentukan produktivitas bioetanol adalah glukosa, fruktosa, dan sukrosa.
Kandungan total sugar pada batang
sorgum manis bervariasi dan tergantung pada varietas, umur panen, dan posisi buku atau internode (Perkins, 2006). Tabel 6. Pengaruh genotipe sorgum terhadap produktivitas bioetanol dari nira batang (stem juice) Karakter KT Genotipe Kisaran Total sugar (%) 1.477,87 ** 2,75-14,82 Bioetanol (l/ha) 46.213,17 ** 8,35-637,69 Keterangan: ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1% uji F
Rata-rata 7,28 139,38
Hasil analisis ragam terhadap total sugar (TS) dan produktivitas bioetanol sumber nira batang menunjukkan bahwa genotipe sorgum berpengaruh sangat
49 nyata terhadap keragaan TS dan produktivitas bioetanol. Nilai TS dari genotipe sorgum yang diuji berkisar antara 3,01-14,82% dengan rata-rata 7,28% (Tabel 6). Genotipe sorgum dengan nilai TS terendah terdapat pada varietas Higarri (2,75%) dan tertinggi terdapat pada varietas Numbu (14,82%) (Tabel 7). Berdasarkan kandungan TS pada batangnya, species Sorghum bicolor (L.) dibagi menjadi dua jenis, yaitu sorgum manis (sweet sorghum) untuk mengidentifikasi batang manis dan juicy, serta sorgum biji (grain sorghum) untuk mengidentifikasi batang yang tidak manis dan hasil yang diharapkan terutama hanya dari biji (NSSPPA, 2005; Perkins, 2006). Rata-rata hasil nira (stem juice) genotipe sorgum yang dibudidayakan di tanah masam 3.339,86 l/ha, dengan kisaran antara 375,0-10.615,0 l/ha. Galur mutan dengan hasil nira paling rendah adalah BR-ZH30-06-07 (375,00 l/ha) dan yang paling tinggi adalah PSj-95-06 (10.615,00 liter/ha) (Tabel 7). Berkaitan dengan produktivitas nira terdapat dua tipe batang sorgum, yaitu tipe kering (dry
type) dan tipe basah (full-juice type). Batang sorgum tipe kering menghasilkan sedikit nira ketika tanaman dewasa (mature), sedangkan tipe basah menghasilkan nira dalam jumlah yang banyak. Sorgum manis termasuk tipe full-juice sehingga mampu menghasilkan nira dalam jumlah banyak (Perkins, 2006), sedangkan sorgum biji termasuk dry type dengan produktivitas nira sedikit. Tabel 7. Nilai total sugar, hasil nira dan hasil bioetanol dari genotipe sorgum yang dibudidayakan di tanah masam No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Genotipe Galur mutan B-69 B-75 B-76 B-83 B-92 BR-ZH30-03-07 BR-ZH30-04-07 BR-ZH30-05-07 BR-ZH30-06-07 BR-ZH30-07-07 BR-ZH30-08-07 GH-ZB-41-07 GH-ZB-42-07
Total sugar ------ % -----5,17 4,10 7,98 6,90 4,83 5,28 7,13 5,85 6,00 8,21 8,69 7,24 4,03
Hasil nira Hasil bioetanol ----- l/ha ---------- l/ha -----1.937,50 55,12 562,50 12,70 1.391,75 61,15 937,50 35,62 2.875,00 76,51 3.000,00 87,27 3.659,55 143,67 5.500,00 177,16 375,00 12,39 6.875,00 310,66 4.125,00 197,38 6.625,00 264,10 2.750,00 61,07 Bersambung ………
50 Tabel 7. (Sambungan) No. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43.
Genotipe Galur mutan GH-ZB-43-07 PSj-60-05 PSj-95-05 PSj-96-05 YN30-38-07 YT30-39-07 YT30-40-07 ZH30-09-07 ZH30-12-07 ZH30-13-07 ZH30-15-07 ZH30-16-07 ZH30-17-07 ZH30-18-07 ZH30-21-07 ZH30-23-07 ZH30-25-07 ZH30-29-07 ZH30-30-07 ZH30-31-07 ZH30-32-07 ZH30-33-07 ZH30-35-07 ZH30-36-07 ZH30-37-07 Varietas Kawali Higarri-G Durra Mandau Numbu
Total sugar ------ % -----4,58 8,30 3,75 10,90 3,57 7,96 6,40 9,32 4,59 5,80 8,33 4,67 6,37 8,69 6,03 9,20 11,10 10,50 11,59 9,32 10,14 8,33 11,59 11,23 3,01
Hasil nira ----- l/ha -----1.062,50 7.187,50 1.750,00 10.625,00 2.375,00 1.875,00 2.562,50 2.062,50 3.812,50 4.062,50 4.437,50 1.500,00 2.000,00 1.562,50 4.687,50 3.375,00 2.187,50 6.562,50 2.812,50 3.062,50 2.625,00 4.875,00 5.500,00 2.750,00 1.187,50
Hasil bioetanol ----- l/ha -----26,79 328,48 36,13 637,69 46,64 82,18 90,30 105,81 96,29 129,74 203,53 38,54 70,11 74,76 155,64 170,97 133,70 379,41 179,43 157,10 146,56 223,60 350,99 170,05 19,70
5,43 2,75 3,00 9,25 14,82
1.125,00 2.250,00 4.562,50 4.437,50 4.125,00
33,64 34,07 75,37 226,01 336,53
Keterangan: efisiensi fermentasi 0,95 dan efsiensi destilasi 0,90 Kisaran produktivitas bioetanol dari galur mutan sorgum yang diuji sangat lebar, yaitu berkisar antara 8,35-637,69 liter/ha dengan rata-rata 139,38 liter/ha (Tabel 6). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak semua spesies Sorghum bicolor atau setidaknya galur mutan sorgum yang diuji dapat menghasilkan bioetanol dengan produktivitas tinggi yang bersumber dari nira batangnya. Galur mutan dengan hasil bioetanol terendah adalah B-95 (8,35 l/ha) dan tertinggi terdapat pada galur mutan PSj-96-05 (637,69 l/ha) (Tabel 7). Keragaan komponen hasil
51 bioetanol di atas menunjukkan bahwa tinggi rendahnya nilai TS tidak berbanding lurus dengan hasil nira, sehingga menyebabkan produksi bioetanol tidak dapat ditentukan oleh hanya satu karakter saja. Guna mendapatkan hasil bioetanol tinggi, maka harus ditemukan genotipe sorgum yang mempunyai TS tinggi dan mampu menghasilkan nira batang tinggi. Pendugaan Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas Karakter Agronomi Galur Mutan Sorgum di Tanah Masam
Kegiatan seleksi dalam program pemuliaan tanaman untuk memperbesar peluang mendapatkan galur-galur unggul memerlukan serangkaian pengujian terhadap sebanyak mungkin genotipe atau plasmanutfah yang ada. Perbaikan genotipe tanaman pada dasarnya tergantung pada tersedianya suatu populasi yang individunya memiliki susunan genetik berbeda dan keefektifan seleksi terhadap populasi tersebut (Alnopri, 2004). Ragam genetik sebagai indikator perbedaan susunan genetik tanaman dapat diketahui melalui evaluasi terhadap karakter agronomi, komponen hasil, dan hasil. Apabila suatu karakter mempunyai ragam genetik luas, maka seleksi dapat dilakukan pada populasi tersebut, sebaliknya jika ragam genetik sempit, maka seleksi tidak dapat dilakukan pada populasi tersebut karena individu dalam populasi tersebut relatif seragam (Poespodarsono, 1988). Nilai ragam genetik yang luas menunjukkan plasmanutfah yang diuji mempunyai latar belakang genetik yang berbeda (Nasution et al., 2007), sehingga dapat dijadikan sebagai sumber gen (gene pool) untuk sifat-sifat daya hasil tinggi, ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik, umur genjah, dan sifat-sifat baik lainnya (Moedjiono dan Mejaya, 1994). Gene pool mengalami perbaikan melalui seleksi di berbagai lokasi secara berulang dan terus menerus, sehingga pada suatu ketika dapat diperoleh genotipe yang memiliki daya hasil lebih tinggi dan karakter lain yang lebih unggul (Subandi, 1988 dalam Moedjiono dan Mejaya, 1994). Selain mengetahui nilai ragam genetik, pendugaan nilai heritabilitas juga sangat penting diketahui dalam program pemuliaan tanaman karena munculnya keragaman dalam suatu populasi disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan (Nasution et al., 2007). Heritabilitas merupakan suatu tolok ukur yang bersifat kuantitatif untuk menentukan apakah perbedaan penampilan
52 suatu karakter disebabkan oleh faktor genetik atau lingkungan, sehingga akan diketahui sejauh mana sifat tersebut akan diturunkan pada generasi selanjutnya (Bari et al., 1982). Nilai heritabilitas dalam arti luas yang tinggi menunjukkan bahwa faktor genetik lebih dominan mempengaruhi fenotipe dibandingkan faktor lingkungan (Bahar dan Zen, 1993). Hasil pendugaan ragam fenotipe, ragam lingkungan dan ragam genetik menunjukkan bahwa pengaruh lingkungan masih cukup tinggi terhadap keragaman populasi genotipe sorgum di tanah masam, kecuali terhadap karakter bobot biomassa, panjang malai, dan bobot biji/malai dimana faktor genetik lebih dominan mengendalikan karakter tersebut yang ditunjukkan oleh nilai heritabilitas arti luas yang tinggi (lebih dari 90%) (Tabel 8). Tabel 8. Pendugaan komponen ragam, koefisien ragam genetik, dan pendugaan nilai heritabilitas arti luas (h2bs) untuk karakter agronomi tanaman sorgum yang dibudidayakan di tanah masam KRG (%) h2bs Karakter σ2 p σ2e σ2 g Tinggi tanaman 1112,24 529,78 582,46 16,21 0,52 Jumlah daun 1,96 0,86 1,10 9,40 0,56 Bobot biomassa 21086,56 1616,35 19470,22 36,64 0,92 Panjang malai 18,28 0,47 17,81 17,43 0,97 Bobot malai 804,34 287,10 517,24 25,12 0,64 Jumlah biji/malai 402062,39 175497,33 226565,05 24,82 0,56 Bobot biji/malai 259,83 6,97 252,86 28,87 0,97 2 2 2 Keterangan: σ p = ragam fenotipik; σ e = ragam lingkungan, σ g = ragam genetik; KRG = koefisien ragam genetik, h2bs = heritabilitas arti luas Heritabilitas merupakan proporsi ragam genetik terhadap ragam fenotipe yang dikelompokkan menjadi dua, yaitu heritabilitas arti luas dan heritabilitas arti sempit. Heritabilitas arti luas merupakan proporsi ragam genetik total terhadap ragam fenotipe, sedangkan heritabilitas arti sempit adalah proporsi ragam aditif terhadap ragam fenotipe. Nilai heritabilitas arti luas dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu rendah (h2bs 0,2), sedang (0,2 h2bs 0,5), dan tinggi (h2bs > 0,5) (Stanfield, 1983). Tabel 8 menunjukkan bahwa, bobot biomassa, panjang malai, dan bobot biji/malai adalah karakter agronomi yang sangat baik digunakan sebagai karakter seleksi karena mempunyai nilai duga heritabilitas dalam arti luas yang tinggi. Hal ini selaras dengan pendapat Roy (2000), bahwa ketersediaan populasi tanaman yang memiliki keragaman yang tinggi sangat diperlukan dalam
53 pengembangan suatu varietas, dan keberhasilan seleksi sangat ditentukan oleh adanya keragaman yang dikendalikan faktor genetik. Selain mempunyai nilai heritabilitas dalam arti luas yang tinggi, karakter bobot biomassa dan bobot biji/malai juga mempunyai nilai koefisien ragam genetik (KRG) yang luas, yaitu masing-masing 36,64% dan 28,87% (Tabel 8). Nasution et al. (2007) menyatakan bahwa seleksi pada karakter yang mempunyai ragam genetik luas akan membawa kemajuan genetik yang juga besar, sehingga peluang untuk mendapatkan genotipe yang diinginkan semakin besar. Seleksi pada lingkungan bercekaman sebaiknya dilakukan di lingkungan target sehingga dapat memaksimalkan ekspresi gen-gen yang mengendalikan daya hasil maupun daya adaptasi tanaman (Ceccareli et al., 2007). Perbaikan terhadap daya adaptasi tanaman dapat digunakan untuk perbaikan produktivitas tanaman pada kondisi bercekaman (Sopandie, 2006). Toleransi tanaman terhadap cekaman Aluminium di lapang ditunjukkan oleh kemampuan tanaman mempertahankan daya hasil. Karakter bobot biomassa dan bobot biji/malai adalah karakter yang sangat menentukan toleransi tanaman terhadap tanah masam (WANG Jun-ping et
al., 2006). Bobot biomassa dapat mewakili akumulasi pertumbuhan pada fase vegetatif, sedangkan bobot biji/malai dapat mewakili pertumbuhan pada fase generatif.
Karakter bobot biomassa dan bobot biji/malai sangat bermanfaat
digunakan sebagai karakter seleksi galur mutan sorgum untuk perbaikan produktivitas di tanah masam baik melalui perbaikan potensi hasil maupun daya adaptasi tanaman. Hubungan Kausal Karakter Agronomi Galur Mutan Sorgum Terhadap Hasil di Tanah Masam Korelasi sederhana
Pertumbuhan dan produksi tanaman sangat dipengaruhi oleh keragaan karakter yang terjadi pada tahapan sebelumnya. Tidak akan diperoleh produksi yang baik tanpa didahului oleh pertumbuhan yang baik. Dengan kata lain, terdapat hubungan kausal atau korelasi antar karakter agronomi dan antara karakter agronomi dengan hasil sehingga keeratan hubungan tersebut menjadi sangat penting pada program pemuliaan tanaman, terutama pada program seleksi.
54 Menurut Nasution et al. (2007) korelasi antar karakter sangat bermanfaat pada program pemuliaan tanaman, terutama untuk memperbaiki respon ikutan (correlated respons) dalam penerapan seleksi tak langsung. Singh (2004) menyatakan, terdapat tiga tipe hubungan atau korelasi antar variabel, yaitu korelasi sederhana (simple correlation), korelasi sebagian (partial correlation), dan korelasi majemuk (multiple correlation). Korelasi sederhana menggambarkan hubungan antara dua karakter sehingga korelasi dapat digunakan untuk menelaah hubungan antara karakter penunjang dengan karakter utama atau hasil. Pada lingkungan bercekaman, karakter hasil biasanya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan sehingga akan lebih baik jika seleksi dilakukan secara tidak langsung terhadap karakter yang mempunyai korelasi positif terhadap hasil. Percobaan ini menitikberatkan pada pencapaian produktivitas hasil biji dan bioetanol yang bersumber pada batang sorgum. Karakter agronomi paling penting yang menentukan hasil kedua parameter tersebut adalah bobot biji/malai untuk produktivitas biji dan bobot biomasa untuk produktivitas bioetanol. Oleh sebab itu, kajian untuk mengetahui keeratan hubungan karakter agronomi lain terhadap kedua karakter tersebut menjadi sangat penting. Tabel 9. Hubungan antar karakter agronomi genotipe sorgum yang dibudidayakan di tanah masam Karakter JD TT BB PM JB BBj
Jumlah daun (JD) 0,000 0,000 0,000 0,007 0,005
Tinggi tanaman (TT) 0,608** 0,000 0,034 0,007 0,000
Bobot biomasa (BB) 0,645** 0,682** 0,000 0,000 0,000
Panjang malai (PM) 0,584** 0,286* 0,493** 0,000 0,000
Jumlah Bobot biji/malai biji/malai (JB) (BBj) 0,361** 0,377** 0,362** 0,469** 0,462** 0,587** 0,513** 0,485** 0,911** 0,000 -
Keterangan: angka diatas diagonal menunjukkan nilai korelasi sedangkan angka di bawah diagonal menunjukkan signifikansi; *) berkorelasi nyata pada taraf 5% dan **) sangat nyata pada taraf 1% analisis korelasi Analisis korelasi komponen hasil antara panjang malai dan jumlah biji/malai terhadap hasil (bobot biji/malai) ditunjukkan pada Tabel 9. Komponen hasil yang berkorelasi sangat nyata dan positif terhadap bobot biji/malai adalah panjang
55 malai (r=0,485**) dan jumlah biji/malai (r=0,911**). Jumlah biji/malai juga berkorelasi positif dengan panjang malai (r=0,513**). Korelasi antara panjang malai dengan jumlah biji/malai sangat nyata dan positif (r=0,513**). Hal ini menunjukkan bahwa semakin panjang malai sorgum, maka jumlah biji/malai akan semakin banyak. Secara botanis, panjang malai merupakan ruang tempat biji sorgum berada. Di bagian tengah malai terdapat sumbu malai (central axis) tempat cabang malai (panicle branches) menempel dengan kerapatan yang khas. Di cabang malai biji menempel dalam susunan kompak, longgar atau intermediet (House, 1985). Berdasarkan komposisi tersebut, semakin panjang sumbu malai, semakin banyak cabang malai dan jumlah bijinya. Korelasi positif dan sangat nyata ditunjukkan oleh panjang malai dengan bobot biji/malai (r=0,485**). Hubungan ini menunjukkan semakin panjang malai sorgum, maka bobot biji/malai akan semakin meningkat. Fenomena ini tidak terlepas dari hubungan kausal yang terjadi sebelumnya, yaitu antara panjang malai dengan jumlah biji/malai. Semakin panjang malai, jumlah biji/malai meningkat yang akhirnya diikuti oleh meningkatnya bobot biji/malai. Korelasi antara jumlah biji/malai dengan bobot biji/malai sangat nyata dan positif (r=0,911**). Tingginya tingkat keeratan hubungan antara dua variabel ini menunjukkan bahwa secara linier peningkatan jumlah biji/malai akan selalu diikuti dengan peningkatan bobot biji/malai. Dengan alasan tersebut, panjang malai, jumlah biji/malai dan bobot biji/malai adalah karakter agronomi yang dapat dijadikan sebagai karakter seleksi yang baik pada program pemuliaan tanaman sorgum untuk mendapatkan produktivitas biji yang tinggi. Salah satu variabel penting selain total sugar dan produktivitas nira yang sangat menentukan produktivitas bioetanol dengan sumber batang sorgum adalah bobot batang yang sangat ditentukan oleh bobot biomasa tanaman. Biomasa tanaman menunjukan masa bagian hidup dari tanaman. Masa sendiri merupakan ukuran kepadatan dari tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995). Dengan demikian, bobot biomasa tanaman merupakan ukuran kepadatan dari bagian hidup tanaman dan sangat dipengaruhi oleh variabel pertumbuhan vegetatif sebelumnya. Variabel pertumbuhan vegetatif yang berkorelasi positif terhadap bobot biomasa adalah jumlah daun dan tinggi tanaman (Tabel 9).
Korelasi antara
56 jumlah daun dengan bobot biomassa sangat nyata dan positif (r=0,645**). Fenomena ini menunjukkan bahwa semakin banyak daun tanaman sorgum, maka bobot biomasanya akan semakin meningkat. Demikian pula tingkat keeratan hubungan antara tinggi tanaman dengan bobot biomasa, yaitu sangat nyata dan positif (r=0,682**). Hal ini menunjukkan bahwa semakain tinggi tanaman sorgum, maka bobot biomasanya akan meningkat. Korelasi karakter agronomi pada fase pertumbuhan ini menunjukkan bahwa dengan meningkatnya jumlah daun akan diikuti dengan meningkatnya tinggi tanaman dan bobot biomasa. Daun merupakan organ tanaman yang paling bertanggungjawab terhadap proses fotosintesis, walaupun terdapat organ lain pada tanaman yang juga bisa melakukan fotosintesis, sepeti batang, bagian bunga, bulir, dan buah. Kontribusi fotosintesis pada daun terhadap bobot biomassa tanaman serealia paling besar. Pada gandum kontribusinya mencapai 66-84%, pada barley mencapai 40-50%, dan pada padi mencapai 60% (Wahid et al., 1997). Fotosintesis pada daun dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tahap inisiasi daun (initiation), daun matang penuh (leaf maturity), dan daun tua (senescene). Produktivitas fotosintesis maksium terjadi pada periode daun matang penuh (Catsky dan Sestak, 1997). Peningkatan proses fotosintesis akibat meningkatnya proporsi jumlah daun, akan diikuti dengan peningkatan aktivitas sel dalam melakukan pembelahan, pembesaran dan pemanjangan. Peningkatan aktivitas pada level sel inilah yang akan meningkatkan tinggi tanaman dan pada akhirnya akan meningkatkan bobot biomasa. Dalam program pemuliaan tanaman, seleksi untuk mendapatkan bobot biomasa tanaman sorgum yang tinggi dapat dilakukan lebih awal, yaitu dengan menggunakan karakter jumlah daun dan tinggi tanaman. Karakter bobot biomasa tanaman juga berkorelasi sangat nyata dan positif (r=0,587**) terhadap hasil yaitu bobot biji/malai (Tabel 9).
Fenomena ini
menunjukkan bahwa tanaman sorgum toleran terhadap tanah masam yang ditunjukkan oleh bobot biomasa yang tinggi akan menghasilkan biji dengan produktivitas yang juga tingi. Hal ini menunjukkan bahwa daya adaptasi tanaman sorgum di tanah masam berhubungan dengan hasil. Sopandie (2006) menyatakan bahwa pada lingkungan bercekaman, perbaikan hasil dapat dilakukan melalui perbaikan daya adaptasi tanaman di lingkungan tersebut.
57 Analisis Lintasan
Selain hubungan kausal antara dua karakter agronomi yang dapat ditelaah melalui analisis korelasi, kegiatan seleksi pada program pemuliaan tanaman juga membutuhkan informasi tentang kontribusi relatif dari masing-masing karakter agronomi atau komponen hasil terhadap hasil, baik langsung maupun tidak langsung.
Dengan menggunakan analisis lintasan kebutuhan tersebut dapat
terpenuhi (Mohammadi et al., 2003). Selain itu, analisis lintasan dapat menutupi kekurangan yang sering terdapat pada analisis korelasi, yaitu adanya kolinearitas atau saling interaksi antara komponen hasil yang membuat penafsiran menjadi tumpang tindih (Singh dan Chaudhary, 1979; Gaspersz, 1995). Analisis lintasan adalah bentuk analisis regresi linier terstruktur yang membahas hubungan kausal antara variabel-variabel baku dalam sistem tertutup (Gaspersz, 1992). Melalui analisis ini dapat diketahui pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung (direct and indirect effects) antara variabel bebas terhadap variabel respon (Singh, 2004). Dalam melakukan analisis lintasan selalu diikuti dengan diagram lintasan (path diagram) yang bertujuan memperjelas uraian yang dikemukakan (Gaspersz, 1992). Kontribusi setiap karakter terhadap hasil (bobot biji/malai) genotipe sorgum yang dibudidayakan di tanah masam, baik langsung maupun tidak langsung dianalisis melalui analisis lintasan (Tabel 10). Karakter yang dilibatkan dalam analisis ini ada enam, yaitu tinggi tanaman (X1), jumlah daun (X2), panjang malai (X3), jumlah biji/malai (X4), indeks panen (X5), dan bobot biomasa (X6). Tabel 10. Pengaruh langsung dan tidak langsung karakter agronomi terhadap hasil (bobot biji/malai) dari genotipe sorgum di tanah masam Variabel bebas dibakukan
Pengaruh langsung
Z1 Z2 Z3 Z4 Z5 Z6
0,0548 -0,0863 0,0064 0,7871 0,0749 0,2464
Pengaruh tidak langsung melalui variabel Zi Z1
Z2
Z3
Z4
Z5
Z6
Pengaruh total
0,0333 0,0157 0,0198 0,0085 0,0374 2
-0,0524 -0,0504 -0,0312 0,0202 -0,0556
0,0018 0,0037 0,0033 -0,0010 0,0032
0,2849 0,2845 0,4036 0,1915 0,3640
0,0116 -0,0175 -0,0117 0,0182 -0,0082
0,1681 0,1589 0,1216 0,1139 -0,0269 -
0,4688 0,3766 0,4852 0,9112 0,2671 0,5871
Pengaruh sisaan = C s = 0,1218 atau 12,18% Keterangan: 1=tinggi tanaman; 2=jumlah daun; 3=panjang malai; 4=jumlah biji/malai; 5=indeks panen; dan 6=bobot biomasa
58 Hasil analisis lintasan (Tabel 10) menunjukkan bahwa dua variabel bebas yang memiliki pengaruh langsung terbesar terhadap bobot biji/malai adalah bobot biomasa dan jumlah biji/malai. Pengaruh langsung bobot biomasa terhadap bobot biji/malai sebesar 0,2464, sedangkan jumlah biji/malai sebesar 0,7871. Makna dari besaran tersebut secara agronomi adalah setiap kenaikan satu simpangan baku bobot biomasa akan menaikkan bobot biji/malai sebesar 0,2464 simpangan baku, sedangkan setiap kenaikan satu simpangan baku jumlah biji/malai akan menaikkan bobot biji/malai sebesar 0,7871 simpangan baku.
Nilai pengaruh
langsung jumlah biji/malai terhadap hasil lebih tinggi dari bobot biomasa, diduga karena jumlah biji/malai secara botanis lebih dekat hubungannya dengan hasil dibandingkan bobot biomasa. X1 0,06
0,05482
0,29 0,36
X2
Bobot biji per malai
0,00640
0,36
X3
-0,23 0,51
0,78713
X4
0,07489
0,1218
0,16
0,58
-0,08629
0,68 0,65
-0,16 0,24 0,49
0,24643
X5
0,46
Sisaan -0,11
X6 Gambar 4.
Diagram lintasan pengaruh langsung tinggi tanaman (X1), jumlah daun (X2), panjang malai (X3), jumlah biji/malai (X4), indeks panen (X5), bobot biomasa (X6) terhadap bobot biji/malai (Y); serta nilai korelasi antar karakter agronomi
59 Pengaruh tidak langsung karakter bobot biomasa dan jumlah biji/malai melalui karakter lain terhadap hasil lebih tinggi dibandingkan karakter lainnya. Pengaruh tidak langsung bobot biomasa melalui tinggi tanaman (0,1681), jumlah daun (0,1589), panjang malai (0,1218), dan jumlah biji/malai (0,1139). Pengaruh tidak langsung jumlah biji/malai melalui tinggi tanaman (0,2849), jumlah daun (0,2845), panjang malai (0,4036) dan bobot biomasa (0,3640). Berdasarkan Tabel 10 di atas, secara geometrik dapat dibangun diagram lintasan (Gambar 4) untuk menjelaskan hubungan kausal antara variabel bebas (X) dan variabel respon (Y). Gambar 4 menunjukkan bahwa analisis lintasan hanya mampu menjelaskan keragaman total dari variabel respon bobot biji/malai yang diterangkan dengan menggunakan enam variabel (X1, X2, X3, X4, X5, dan X6) sebesar 87,82%, sedangkan sisanya sebesar 12,18% dipengaruhi oleh faktor lain. Persamaan struktural untuk diagram lintasan pada Gambar 4 adalah: Y= 0,05482X1-0,08629X2+0,00640X3+0,78713X4+0,07489+0,24643+C Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa bobot biomasa dan jumlah biji/malai adalah komponen utama yang berpengaruh terhadap hasil. Besarnya pengaruh bobot biomasa terhadap hasil ada hubungannya dengan peran bobot biomassa dalam distribusi biomassa tanaman ke bagian organ penyimpanan, yaitu biji (sink).
Semakin tinggi bobot biomasa tanaman (source), maka semakin
banyak biomassa yang dapat dialirkan ke sink, sehingga produktivitas tanaman meningkat.
Seleksi Galur Mutan Sorgum Toleran Tanah Masam dan Berdaya Hasil Tinggi Seleksi tunggal dengan analisis diskriminan
Seleksi adalah salah satu tahapan untuk mendapatkan genotipe yang sesuai dengan target lingkungan produksi. Ketersediaan populasi dengan keragaman yang dikendalikan oleh faktor genetik sangat menentukan keberhasilan seleksi. Dalam penelitian ini seleksi yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan galurgalur mutan sorgum yang mempunyai potensi hasil tinggi dan daya adaptasi baik pada tanah masam.
Oleh karena itu karakter seleksi yang digunakan adalah
karakter yang menentukan daya adaptasi tanaman, yaitu bobot biomasa dan
60 karakter penentu hasil, yaitu bobot biji/malai.
Kedua karakter ini digunakan
karena mempunyai nilai heritabilitas arti luas yang tinggi, koefisien ragam genetik yang luas, dan berkorelasi positif terhadap hasil. Analisis diskriminan berdasarkan sebaran nilai Z pada kurva yang menyebar normal dapat digunakan untuk mengelompokkan genotipe sorgum berdasarkan daya adaptasinya terhadap tanah masam. Berdasarkan sebaran sebalur nilai Z dari karakter seleksi yang telah dipilih, daya adaptasi galur mutan sorgum di tanah masam dikelompokkan menjadi toleran, moderat, dan peka. Kriteria yang digunakan untuk mengelompokkan galur mutan sorgum di tanah masam adalah: toleran jika nilai Z > Xi + 1SB, moderat jika 1SB < Z ≤ Xi + 1SB, dan peka
jika nilai Z < 1SB. Berdasarkan bobot biomasa. Hasil analisis diskriminan berdasarkan
karakter bobot biomassa diperoleh sebaran nilai Z dan frekuensi untuk masingmasing genotipe sorgum yang diuji (Gambar 5). Dari gambar tersebut tampak bahwa sebaran sebalur nilai Z bobot biomassa berada pada kisaran antara -2,0 sampai 4,0. Dari 49 galur mutan sorgum yang diseleksi berdasarkan bobot biomasa, terdapat lima galur dengan klasifikasi toleran (nilai Z > 1), 39 galur moderat (-1 < Z ≤ 1), dan lima galur peka terhadap tanah masam (nilai Z < -1) (Tabel 11). F r e k u e n s i Nilai Z bobot biomassa Gambar 5. Sebaran sebalur nilai Z dan frekuensi bobot biomassa galur mutan sorgum di tanah masam Lima galur mutan sorgum terseleksi toleran tanah masam berdasarkan karakter bobot biomassa adalah ZH30-35-07, ZH30-29-07, ZH30-14-07, ZH30-
61 36-07, dan ZH30-30-07. Bobot biomassa rata-rata galur mutan sorgum 384,42 g/tanaman, sedangkan galur toleran mempunyai bobot biomassa lebih dari 519 g/tanaman. Dari lima galur toleran, dua galur mempunyai bobot biomasa yang sangat tinggi, yaitu ZH30-29-07 (674,54 g/tanaman) dan ZH30-35-07 (976,81 g/tanaman) (Tabel 11). Tabel 11. Klasifikasi ketenggangan galur mutan sorgum di tanah masam berdasarkan analisis diskriminan bobot biomasa tanaman No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.
Galur mutan ZH30-35-07 ZH30-29-07 ZH30-14-07 ZH30-30-07 ZH30-36-07 BR-ZH30-07-07 ZH30-37-07 ZH30-15-07 GH-ZB-41-07 ZH30-31-07 ZH30-12-07 ZH30-33-07 ZH30-13-07 ZH30-34-07 B-92 PSj-96-05 ZH30-25-07 ZH30-32-07 ZH30-09-07 YT30-39-07 GH-ZB-43-07 ZH30-18-07 ZH30-26-07 ZH30-23-07 BR-ZH30-06-07 BR-ZH30-05-07 YT30-40-07 ZH30-27-07 GH-ZB-42-07 BR-ZH30-01-07 YN30-38-07 ZH30-21-07 ZH30-20-07
Bobot biomasa (g) 976,81 674,54 595,95 570,73 519,77 488,04 460,23 451,38 450,32 434,67 425,49 415,33 414,03 389,64 386,00 385,58 379,40 377,33 375,29 372,15 368,68 364,98 358,80 351,83 349,31 345,30 338,70 337,65 332,33 303,55 292,05 283,37 263,75
Nilai Z Klasifikasi 4,15 Toleran 2,16 Toleran 1,64 Toleran 1,47 Toleran 1,14 Toleran 0,93 Moderat 0,74 Moderat 0,69 Moderat 0,68 Moderat 0,58 Moderat 0,52 Moderat 0,45 Moderat 0,44 Moderat 0,28 Moderat 0,25 Moderat 0,25 Moderat 0,21 Moderat 0,20 Moderat 0,18 Moderat 0,16 Moderat 0,14 Moderat 0,12 Moderat 0,08 Moderat 0,03 Moderat 0,01 Moderat -0,01 Moderat -0,06 Moderat -0,06 Moderat -0,10 Moderat -0,29 Moderat -0,36 Moderat -0,42 Moderat -0,55 Moderat Bersambung .....................
62 Tabel 11. (Sambungan) No. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49.
Galur mutan B-75 ZH30-28-07 B-95 B-100 B-72 B-90 ZH30-10-07 B-76 ZH30-16-07 B-83 B-69 PSj-95-05 ZH30-19-07 PSj-60-05 ZH30-24-07 BR-ZH30-03-07 Rata-rata populasi
Bobot biomasa (g) 262,75 249,89 249,16 248,70 240,91 239,95 232,39 231,50 231,10 227,60 223,54 176,14 175,91 124,80 67,65 61,14 384,42
Nilai Z -0,56 -0,64 -0,65 -0,65 -0,70 -0,71 -0,76 -0,76 -0,77 -0,79 -0,82 -1,13 -1,13 -1,47 -1,84 -1,89
Klasifikasi Moderat Moderat Moderat Moderat Moderat Moderat Moderat Moderat Moderat Moderat Moderat Peka Peka Peka Peka Peka
Berdasarkan bobot biji/malai. Hasil analisis diskriminan berdasarkan
karakter bobot biji/malai diperoleh sebaran sebalur nilai Z dan frekuensinya untuk masing-masing genotipe sorgum (Gambar 6).
Dari gambar tersebut tampak
bahwa sebaran nilai Z bobot biji/malai berada pada kisaran antara -2,0 sampai 2,5. Dari 49 galur mutan sorgum yang diseleksi berdasarkan bobot biji/malai, maka terpilih enam galur toleran (nilai Z > 1), 34 galur moderat (-1 < Z ≤ 1), dan sembilan galur peka terhadap tanah masam (nilai Z < -1) (Tabel 12). F r e k u e n s i Nilai Z bobot biji/malai Gambar 6.
Sebaran sebalur nilai Z dan frekuensi bobot biji/malai galur mutan sorgum di tanah masam
63 Galur mutan sorgum terseleksi toleran tanah masam berdasarkan bobot biji/malai ada enam. yaitu ZH30-29-07, BR-ZH30-05-07, ZH30-30-07, ZH30-3507, GH-ZB41-07, dan BR-ZH30-07-07. Berdasarkan hasil tersebut tampak bahwa rata-rata bobot biji/malai genotipe sorgum yang diuji 54,54 g, sedangkan bobot biji/malai galur toleran lebih dari 74 g (Tabel 12). Tabel 12. Klasifikasi ketenggangan galur mutan sorgum di tanah masam berdasarkan analisis diskriminan bobot biji/malai No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35.
Galur mutan ZH30-29-07 BR-ZH30-05-07 ZH30-30-07 ZH30-35-07 GH-ZB-41-07 BR-ZH30-07-07 YT30-40-07 YT30-39-07 ZH30-34-07 YN30-38-07 PSj-96-05 ZH30-14-07 ZH30-24-07 ZH30-16-07 BR-ZH30-06-07 B-92 GH-ZB-43-07 ZH30-15-07 ZH30-33-07 ZH30-23-07 BR-ZH30-01-07 ZH30-25-07 ZH30-21-07 ZH30-36-07 B-95 PSj-95-05 ZH30-32-07 B-90 ZH30-19-07 ZH30-13-07 B-83 ZH30-27-07 ZH30-12-07 ZH30-26-07 B-72
Bobot biji/malai (g) 91,99 83,81 78,72 78,51 74,26 74,02 68,67 68,33 68,11 67,53 67,15 64,30 62,73 62,36 61,50 59,01 56,93 56,21 55,87 55,38 54,63 53,43 53,36 53,08 52,96 50,34 49,97 49,78 48,92 48,09 47,40 46,87 46,30 46,13 45,28
Nilai Z Klasifikasi 2,33 Toleran 1,82 Toleran 1,50 Toleran 1,49 Toleran 1,23 Toleran 1,21 Toleran 0,88 Moderat 0,86 Moderat 0,84 Moderat 0,81 Moderat 0,78 Moderat 0,61 Moderat 0,51 Moderat 0,49 Moderat 0,43 Moderat 0,28 Moderat 0,15 Moderat 0,10 Moderat 0,08 Moderat 0,05 Moderat 0,01 Moderat -0,07 Moderat -0,07 Moderat -0,09 Moderat -0,10 Moderat -0,26 Moderat -0,28 Moderat -0,30 Moderat -0,35 Moderat -0,40 Moderat -0,44 Moderat -0,48 Moderat -0,51 Moderat -0,52 Moderat -0,58 Moderat Bersambung .......................
64 Tabel 12. (Sambungan) No. 36. 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49,
Galur mutan B-76 B-69 ZH30-37-07 ZH30-31-07 B-75 ZH30-18-07 GH-ZB-42-07 B-100 ZH30-20-07 ZH30-09-07 ZH30-28-07 ZH30-10-07 BR-ZH30-03-07 PSj-60-05 Rata-rata populasi
Bobot biji/malai (g) 43.27 42,81 42,52 41,10 40,51 38,35 37,73 37,44 35,09 33,69 33,59 32,76 32,63 26,80 54,54
Nilai Z -0,70 -0,73 -0,75 -0,84 -0,87 -1,01 -1,05 -1,06 -1,21 -1,30 -1,30 -1,36 -1,36 -1,73
Klasifikasi Moderat Moderat Moderat Moderat Moderat Peka Peka Peka Peka Peka Peka Peka Peka Peka
Di antara galur mutan sorgum yang terpilih berdasarkan seleksi tunggal dengan menggunakan bobot biomasa dan bobot biji/malai, terdapat tiga galur yang terpilih berdasarkan kedua karakter tersebut, yaitu ZH30-29-07, ZH30-30-07 dan ZH30-35-07. Ketiga galur mutan ini merupakan galur mutan sorgum toleran tanah masam dengan produktivitas tinggi. Seleksi majemuk dengan indeks seleksi
Untuk memilih galur mutan sorgum yang mampu tumbuh dan berproduksi dengan baik di tanah masam, maka pertimbangan untuk memasukkan seluruh karakter yang diamati menjadi sangat penting, sehingga seleksi tidak hanya berdasarkan pada satu karakter yang dipilih. Pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengakomodasi hal tersebut adalah melalui seleksi indeks.
Menurut
Poespodarsono (1988), seleksi indeks lebih efisien jika dibandingkan dengan seleksi menggunakan satu karakter, karena dapat memperhitungkan banyak karakter tanaman yang diseleksi. Dalam seleksi indeks harus memperhatikan dua hal, yaitu nilai karakter dan nilai pembobot. Dalam penelitian ini, nilai karakter berasal dari enam peubah yang diamati, yaitu tinggi tanaman, jumlah daun, bobot biomassa, panjang malai, jumlah biji/malai dan indeks panen; sedangkan nilai pembobot dari masingmasing karakter diambil dari nilai pengaruh langsung karakter tersebut terhadap
65 hasil yaitu bobot biji/malai yang diperoleh dari analisis lintasan. Alasannya adalah nilai pengaruh langsung hasil analisis lintasan lebih menggambarkan kondisi obyektif yang menciptakan keragaman pada hasil. Berdasarkan perhitungan untuk mendapatkan nilai indeks seleksi, galur mutan terseleksi toleran tanah masam diambil dari galur yang mempunyai nilai indeks seleksi lebih dari 2,0. Berdasarkan kriteria ini, maka terdapat tujuh galur mutan yang terseleksi toleran tanah masam. Ketujuh galur mutan tersebut adalah BR-ZH30-05-07, GH-ZB41-07, ZH30-30-07, YN30-38-07, ZH30-29-07, ZH3014-07, dan ZH30-35-07 (Tabel 13). Tabel 13. Galur mutan sorgum toleran tanah masam berdasarkan seleksi indeks Galur mutan BR-ZH30-05-07
GH-ZB-41-07 ZH30-30-07 YN30-38-07 ZH30-29-07 ZH30-14-07 ZH30-35-07 Rata-rata
Tinggi tanaman --- m --1,21 1,97 1,77 1,53 1,92 2,54 2,09 1,49
Jumlah daun -- x10-1,10 1,18 1,26 1,29 1,34 1,37 1,35 1,11
Panjang malai --- m --0,28 0,29 0,29 0,33 0,29 0,25 0,29 0,24
Jumlah biji/malai -- x1000-3,59 2,90 2,83 2,88 2,74 2,53 2,34 1,90
Indeks Panen 0,14 0,17 0,15 0,23 0,15 0,11 0,08 0,14
Bobot biomassa -- kg -0,35 0,45 0,57 0,29 0,67 0,60 0,98 0,35
Indeks Seleksi 2,90 2,42 2,37 2,33 2,32 2,17 2,09 1,58
Tujuh galur mutan yang terseleksi berdasarkan indeks seleksi, seluruhnya masuk dalam galur yang terseleksi berdasarkan analisis diskriminan. Dalam hal ini terdapat kesesuaian metode analisis untuk mendapatkan galur mutan sorgum toleran tanah masam dengan potensi hasil tinggi.
Tiga galur mutan yang
terseleksi berdasarkan seleksi tunggal (analisis diskriminan) dan seleksi majemuk (seleksi indeks) adalah ZH30-29-07, ZH30-30-07, dan ZH30-35-07. Seleksi berdasarkan produktivitas bioetanol
Hasil bioetanol dengan sumber batang sorgum manis sangat dipengaruhi oleh produktivitas nira dan kandungan gula total (total sugar/TS) pada nira tersebut. Kandungan gula total merujuk pada kandungan glukosa, fruktosa, dan sukrosa yang terdapat pada nira batang sorgum. Kadar TS berbeda antar genotipe sorgum dan sangat ditentukan oleh periode waktu panen batang (Perkins, 2006). Nira merupakan cairan hasil perasan batang sorgum (stem juice) yang mengandung gula.
Gula melalui proses fermentasi akan diubah menjadi etil
66 alkohol (C2H5OH). Untuk memisahkan etil alkohol dengan air dilakukan proses distilasi. Dengan demikian terdapat dua tahapan yang harus dilakukan untuk menghasilkan etil alkohol (bioetanol) dari nira batang sorgum, yaitu fermentasi dan distilasi (Aryanti, 2008). Seleksi untuk mendapatkan galur mutan sorgum dengan produktivitas bioetanol tinggi dilakukan dengan melibatkan tiga komponen, yaitu produksi batang, hasil nira, dan nilai TS. Dari tiga komponen tersebut, yang sangat penting dalam penghitungan hasil bioetanol adalah hasil nira dan nilai TS. Hasil nira sangat ditentukan oleh bobot batang, karakteristik batang (kering atau juice), dan efisiensi alat pemeras. Berdasarkan volume nira dan nilai TS, produktivitas bioetanol dapat didekati dengan rumus empiris: Y = TS x VN x 0,644 x 0,95 x 0,90; dimana Y=hasil bioetanol, TS=total sugar, VN=volume nira. Angka 0,644 merupakan bilangan Stochiometri, yaitu suatu nilai tetapan sebagai faktor pengali untuk merubah gula menjadi etanol; angka 0,95 adalah nilai efisiensi fermentasi; dan angka 0,90 adalah nilai efisiensi distilasi. Tabel 14. Galur mutan sorgum terseleksi berdasarkan produktivitas bioetanol Galur mutan PSj-60-05 ZH30-35-07 ZH30-29-07 PSj-96-05 Rata-rata populasi
Produksi batang (kg/ha)
Hasil nira (liter/ha)
Total sugar (%)
40.601,25 45.977,50 42.246,25 53.364,38 27.798,30
7.187,50 5.500,00 6.562,50 10.625,00 3.339,86
8,30 11,59 10,50 10,90 7,25
Produktivitas bioetanol (liter/ha) 328,48 350,99 379,41 637,69 145,46
Galur mutan sorgum yang dapat dihitung produksi batang, hasil nira, dan nilai TS sebanyak 38 galur sehingga dapat diketahui produktivitas bioetanolnya. Seleksi terhadap 10% galur mutan sorgum dengan produktivitas bioetanol paling tinggi menghasilkan empat galur mutan terpilih, yaitu PSj-60-05 (637,46 l/ha), ZH30-35-07 (379,41 l/ha), ZH30-29-07 (350,99 l/ha), dan PSj-96-05 (328,48 l/ha) (Tabel 14). Produktivitas bioetanol dengan sumber nira batang sorgum ini masih sangat rendah jika dibandingkan dengan potensi hasilnya yang bisa mencapai 1,500 l/ha, dengan asumsi nilai TS ≥ 14%, volume nira mencapai 50% dari bobot batang yang tidak boleh kurang dari 40 ton/ha.
Faktor penyebab rendahnya
67 produktivitas bioetanol ini diduga karena batang dipanen pada usia lebih dari 110 hari sehingga kadar nira menjadi berkurang dan mesin pemeras kurang efisien. SIMPULAN
Seleksi galur mutan sorgum di tanah masam dengan produktivitas biji dan atau bioetanol tinggi harus memperhatikan karakter bobot biomasa dan bobot biji/malai, karena kedua karakter ini menunjukkan ragam genetik yang luas, nilai heritabilitas dalam arti luas yang tinggi, dan mempunyai korelasi dan pengaruh langsung tinggi terhadap hasil sehingga merupakan karakter seleksi yang sangat baik untuk program pemuliaan tanaman sorgum di tanah masam. Galur mutan sorgum terseleksi toleran tanah masam dengan produktivitas biji tinggi berdasarkan seleksi tunggal dan majemuk adalah ZH30-29-07, ZH3030-07, dan ZH30-35-07. Sedangkan seleksi berdasarkan produktivitas bioetanol menghasilkan empat galur mutan dengan potensi produktivitas bioetanol tinggi, yaitu PSj-60-05, ZH30-35-07, ZH30-29-07 dan PSj-96-05.
PARTICIPATORY VARIETAL SELECTION DAN KARAKTERISASI GALUR MUTAN SORGUM DI TANAH MASAM ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan karakter seleksi yang sesuai dengan preferensi petani, dan kesesuaian pilihan galur mutan sorgum antara petani dan peneliti. Percobaan participatory varietal selection dilaksanakan dengan menggunakan rancangan mother and baby trial dengan materi genetik galur toleran dan moderat hasil penapisan. Hasil percobaan menunjukkan ada perbedaan preferensi diantara petani terhadap karakter seleksi yang menyebabkan perbedaan pilihan galur mutan sorgum. Petani menyukai karakter tanaman sorgum yang tahan terhadap rebah dan berumur genjah. Galur mutan yang dipilih petani yaitu ZH30-29-07, ZH30-30-07, dan ZH30-35-07 mempunyai karakter tahan terhadap rebah dan mempunyai bentuk serta bobot malai yang baik, sedangkan galur B-76 dan B-92 mempunyai karakter tinggi tanaman yang ideal dan berumur genjah. Terdapat kesesuaian pilihan antara petani dengan peneliti, yaitu memilih galur ZH30-29-07, ZH30-30-07, dan ZH30-35-07. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hasil seleksi petani dapat digunakan untuk program pemuliaan tanaman. Kata kunci:sorgum,tanah masam, karakter seleksi, participatory varietal selection ABSTRACT The obyectives of this study were to develop selection traits of sorghum in acid soil preferenced by farmers, and to determine similarity of selection of sorghum mutan lines between reseacher and farmers. The study was participatory varietal selection consisted of mother and baby trial design with tolerant and moderate genetic materials by screening. The results showed difference of preference of selection trait among farmers which led to different lines selected. Preference selection traits of farmers were resistance to loging and short harvest. Mutan lines were selected by farmers ZH30-29-07, ZH30-30-07, and ZH30-35-07 have resistance to loging, good performance and panicle weight. Farmers selected B76 and B-92 mutant lines for prefered plant height and short maturity period. There were similarity choice between reseacher and farmers that selected mutant lines i.e ZH30-29-07, ZH30-30-07, and ZH30-35-07. This result showed that farmers have indigenous knowledge and selection could use for plant breeding program. Key words: sorghum, acid soil, selection trait, participatory varietal selection
69 PENDAHULUAN Latar Belakang Karakteristik yang umum ditemui dalam sistem budidaya pertanian modern adalah penggunaan kultivar unggul homogen baik homozigot maupun heterozigot dalam skala luas yang dihasilkan dari program pemuliaan konvensional atau Formal Plant Breeding (FPB) (Zuraida dan Sumarno, 2000). Sistem ini diakui mampu memberikan keuntungan bagi petani di lingkungan dengan potensi tinggi yang dapat memanipulasi lingkungan sesuai dengan karakter kultivarnya yang umumnya membutuhkan input tinggi (ICARDA, 2008). Namun sistem tersebut tidak memberikan keuntungan bagi petani di lahan marjinal dengan berbagai persoalan, seperti adanya cekaman lingkungan di lahan usahataninya yang menyebabkan interaksi antara genotipe dan lingkungan sangat tinggi sehingga penampilan fenotipe sering tidak stabil (Asfaw,
2008; Abay dan Bjornstad,
2008). Selain itu, sistem tersebut juga kurang tepat diterapkan pada masyarakat petani dengan aspek permodalan rendah dan penguasaan lahan pertaniannya sempit (IBRD, 2004). Penggunaan produk hasil FPB secara terus menerus juga dapat menurunkan keanekaragaman hayati (genetic erosion), serta menjadikan pertanian tidak berkelanjutan karena input produksi yang tinggi dapat merusak ekosistem (Desclaux, 2006; Nkongolo et al., 2008). Alternatif yang baik dalam melaksanakan program pemuliaan tanaman untuk lahan marjinal adalah melalui pendekatan partisipatif (Participatory Plant Breeding), yang seleksinya dilaksanakan secara in situ di lingkungan target sehingga lebih cepat dan murah untuk mendapatkan kultivar yang adaptif pada kondisi agroekologi setempat (Almekinders dan Elings, 2001; Sperling et al., 2001; Boef dan Ogliari, 2008). Selain itu, program PPB melibatkan petani sebagai calon pengguna akhir produk pemuliaan sehingga mampu meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemuliaan karena lebih cepat diterima (Ashby dan Lilja, 2004). Keuntungan lain dari program PPB adalah dapat memberikan kontribusi terhadap sistem pertanian berkelanjutan karena input produksi yang rendah (Chiffoleu dan Desclaux, 2006).
70 Berbagai keberhasilan program pemuliaan tanaman partisipatif dengan kondisi agroekologi dan sosial ekonomi yang tidak jauh berbeda dengan Indonesia telah ditunjukkan pada pengembangan kacang tanah dan barley di lahan marjinal Ethiopia (Asfaw, 2008; Abay dan Bjornstad, 2008) dan padi sawah di Vietnam, Laos dan Bhutan (Smolders et al., 2006). Di Australia, jagung dan gandum dengan input rendah juga dikembangkan melalui program pemuliaan tanaman partisipatif (Banziger dan Cooper, 2001). Salah satu tujuan program pemuliaan tanaman sorgum di tanah masam melalui perbaikan secara genetik (keragaman genetik diperoleh melalui teknik mutasi fisika) adalah untuk mendapatkan ideotipe (arsitekstur) tanaman sorgum yang ideal di tanah masam sehingga adaptif pada kondisi agroekologi setempat, berdaya hasil tinggi, dan disukai oleh petani atau konsumen lainnya. Menurut Cilas et al. (2006), ideotipe adalah ciri-ciri atau karakter tanaman yang dapat diwariskan dan berkorelasi terhadap hasil. Dengan kata lain, ideotipe adalah tanaman model yaitu atribut tanaman yang ideal untuk tujuan tertentu. Untuk mendapatkan ideotipe tanaman sorgum yang adaptif di tanah masam dan disukai oleh konsumen, maka harus dilakukan penelitian terhadap karakter seleksi yang ideal bagi suatu genotipe sesuai dengan tujuan pengembangannya. Program pemuliaan tanaman partisipatif yang seleksinya dilakukan langsung pada kondisi biofisik sasaran dengan memperhatikan aspek sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat setempat sangat baik untuk digunakan. Metode PPB yang tepat untuk hal ini adalah Participatory Varietal Selection (PVS). Metode ini paling berhasil dan banyak diterapkan dalam program pemuliaan tanaman partisipatif karena dilakukan terhadap materi pemuliaan lanjut yang sebelumnya dikembangkan oleh pemulia profesional (Joshi et al., 2001), dan dalam proses seleksinya melibatkan petani sehingga mampu menghasilkan karakter seleksi sesuai dengan preferensi petani (Franzel dan Coe, 2002; Sujiprihati, 2005). Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan karakter seleksi galur mutan sorgum yang sesuai dengan preferensi petani, dan kesesuaian pilihan galur mutan sorgum antara petani dan peneliti.
71 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan dilaksanakan di empat wilayah berbeda di Lampung, yaitu satu lokasi untuk mother trial dan tiga lokasi untuk baby trial. Mother trial yang dikelola oleh peneliti dilaksanakan di Kelurahan Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kota Bandarlampung. Baby trial yang dikelola oleh petani dilaksanakan di Desa Sidoharjo, Kecamatan Way Panji, Kabupaten Lampung Selatan, Desa Negeri Agung, Kecamatan Gunung Pelindung, Kabupaten Lampung Timur, dan Desa Mataram, Kecamatan Gadingrejo, Kabupaten Tanggamus. Seluruh percobaan dilaksanakan antara bulan Februari-Juli 2008. Mother trial dilaksanakan lebih awal, yaitu dari Februari-Mei 2008 dengan maksud untuk sosialisasi kepada petani peserta (PVS) tentang seluk beluk tanaman sorgum. Baby trial dilaksanakan hampir bersamaan yaitu antara Maret-Juli 2008. Bahan Genetik Bahan utama yang digunakan pada percobaan ini adalah 15 genotipe sorgum yang terdiri dari 10 galur mutan dan 5 varietas hasil penapisan pada percobaan 1 (Tabel 11 dan Tabel 12). Galur mutan yang digunakan terdiri dari lima galur toleran dan lima galur moderat terhadap tanah masam.
Galur toleran yang
digunakan adalah ZH30-29-07, ZH30-30-07, ZH30-35-07, GH-ZB41-07, BRZH30-07-07; sedangkan galur moderat adalah YT30-39-07, YT30-40-07, BRZH30-06-07, B-76 dan B-92. Sorgum varietas nasional yang digunakan pada percobaan ini adalah Kawali, Numbu, Mandau, Durra, dan Higarri-G. Penggunaan varietas pada percobaan ini selain sebagai tanaman pembanding juga untuk desiminasi sorgum kepada petani. Metode Penelitian Rancangan percobaan. Percobaan menggunakan Rancangan Mother and Baby Trial. Mother trial yang dikelola oleh peneliti menggunakan Rancangan Kelompok Teracak Lengkap (RKTL) dengan 15 perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan berupa 15 genotipe sorgum yang terdiri dari 10 galur mutan dan 5 varietas. Baby trial yang dirancang oleh peneliti dan dikelola oleh petani di
72 masing-masing wilayah mengerjakan satu sub-set percobaan ibu tanpa ulangan. Pada rancangan ini, satu lokasi baby trial merupakan satu ulangan yang menguji 15 genotipe sorgum sebagaimana percobaan ibu dan dikerjakan di lahan petani. Petani yang terlibat dalam penelitian ini adalah anggota Kelompok Tani yang terdapat di lokasi percobaan. Kriteria petani yang terlibat yaitu petani yang mengelola lahan kering dan biasa menanam tanaman serealia seperti padi atau jagung. Jumlah petani yang dilibatkan dari satu kelompok tani sebanyak lima orang untuk setiap percobaan baby trial di masing-masing daerah. Sebelum para petani diikutsertakan dalam kegiatan PVS, di lokasi percobaan dilakukan kegiatan Participatory Rural Appraisal (PRA). Koleksi dan analisis data. Data hasil evaluasi petani di percobaan baby trial adalah data kualitatif sebagai hasil evaluasi petani terhadap karakter seleksi yang terdiri dari tinggi tanaman, umur panen, bentuk malai, tingkat kerebahan, bobot malai, dan penampilan tanaman secara umum. Tingkat preferensi petani terhadap karakter yang dievaluasi dinilai melalui skor, yaitu 1=sangat tidak suka, 2=tidak suka, 4=suka, dan 5=sangat suka. Terhadap data non-parametrik ini dilakukan analisis Kruskal Wallis dengan hipotesis sebagai berikut: Ho = M1 = M2 = M3 = .................. = Mn H1 = Minimal ada Mi ≠ Mj dimana i ≠ j Keterangan: M = karakter yang dievaluasi; i dan j = banyaknya pengamatan Kruskal Wallis (Uji Perbandingan Kelompok Independen) adalah analisis non-paramterik yang digunakan untuk membandingkan tiga atau lebih kelompok secara independen.
Analisis ini tidak memerlukan asumsi normalitas data
sebagaimana ANOVA (TexaSoft, 2008). Pada percobaan ini, output atau hasil analisisnya akan menunjukkan kecenderungan pilihan petani terhadap karakter seleksi dan galur mtan sorgum yang paling disukai di lokasi percobaan dan antar lokasi percobaan.
Karakter seleksi pilihan petani ini akan menentukan galur
mutan sorgum yang akan dipilih, dan pilihan tersebut akan dibandingkan dengan galur pilihan peneliti untuk mengetahui tingkat kesesuaiannya. Di percobaan mother trial, evaluasi dilakukan terhadap keragaan karakter agronomi genotipe sorgum sebagai karakter seleksi sehingga datanya berbentuk data kuantitatif. Terhadap data ini dilakukan sidik ragam pada taraf nyata 5% dan
73 1% kemudian dilanjutkan dengan Uji t-Dunnett untuk membandingkan semua nilai tengah karakter seleksi dengan nilai tengah karakter seleksi tanaman pembanding. Tanaman pembanding pada percobaan ini adalah varietas Kawali untuk tujuan produktivitas biji dan varietas Numbu untuk produktivitas bioetanol. Nilai kritik atau nilai pembeda untuk t-Dunnett menurut Dunnett (1955) dalam Steel dan Torrie (1995) ditentukan berdasarkan persamaan: d’ = t(Dunnett) 2 KTG / p Keterangan: KTG=Kuadrat Tengah Galat, dan p=banyaknya nilai tengah perlakuan Prosedur Percobaan Mother trial. Percobaan ini dilaksanakan dua minggu lebih awal dari baby trial, dengan tujuan untuk sosialisasi kepada petani peserta Participatory Varietal Selection (PVS) tentang seluk beluk tanaman sorgum sebagai penghasil bahan pangan dan bioetanol.
Hal ini disebabkan petani belum begitu memahami
tanaman sorgum dengan baik. Lahan yang akan digunakan untuk percobaan mother trial diolah dengan menggunakan bajak, garu, dan cangkul. Setelah tanah cukup gembur, langkah selanjutnya adalah membuat unit percobaan dengan ukuran 4m x 5m. Pada satu ulangan atau blok terdapat 15 unit percobaan dan diulang tiga kali, sehingga secara keseluruhan terdapat 45 satuan percobaan. Penanaman dilakukan dengan cara ditugal, yaitu benih dimasukkan ke dalam lubang yang telah ditugal sebanyak 3-5 butir per lubang tanam. Jarak tanam yang digunakan yaitu 20 cm dalam baris dan 80 cm antar baris. Pemupukan pertama dilakukan pada saat tanam dengan menggunakan jenis dan dosis pupuk Urea 100 kg, SP-36 60 kg, dan KCl 60 kg per hektar. Pupuk diaplikasikan dengan cara ditugal disamping lubang tanam dengan jarak ± 10-15 cm. Khusus untuk Urea diaplikasikan dua kali, yaitu 2/3 bagian pada saat tanam dan 1/3 bagian pada saat tanaman berumur 7 minggu setelah tanam. Pengendalian gulma dilakukan secara manual dengan menggunakan cangkul dan koret. Waktu penyiangan disesuaikan dengan kondisi lahan dan selalu dijaga agar tanaman terbebas dari gulma. Penjarangan dilakukan pada tanaman yang
74 tumbuh lebih dari satu tanaman/lubang tanam. Pada percobaan ini tidak dilakukan pengendalian hama dan penyakit karena tidak ditemukan adanya gangguan yang berarti pada tanaman sorgum yang ada. Baby trial. Percobaan ini dilaksanakan dua minggu setelah mother trial berlangsung yang dilaksanakan di lahan petani dan oleh petani peserta PVS. Pelaksanaan percobaan diselang satu minggu untuk masing-masing lokasi yang dimulai dari Lampung Selatan kemudian Lampung Timur dan terakhir Tanggamus. Jeda waktu pelaksanaan digunakan oleh peneliti untuk memberikan kosultasi tentang seluk beluk tanaman sorgum. Pada percobaan ini peran petani bersifat aktif, yaitu langsung melaksanakan evaluasi terhadap galur mutan sorgum di lahan usahataninya melalui participatory varietal selection (PVS). Oleh sebab itu, sebelum kegiatan PVS dilaksankan di lokasi terpilih (baby trial), terlebih dahulu dilakukan Participatory Rural Appraisal untuk memahami kondisi lahan, sosial-ekonomi, tipologi petani, dan sistem budidaya yang biasa dilakukan petani di wilayah tersebut. PRA adalah suatu kegiatan partisipatif yang melibatkan orang luar sebagai katalis atau fasilitator yang memungkinkan masyarakat melakukan analisis tentang diri mereka sendiri (Chambers, 1996), sedangkan menurut Syahyuti (2006), PRA adalah salah satu bentuk community-based method yaitu suatu pendekatan untuk belajar bersama antara masyarakat lokal dan pihak luar. Dalam percobaan ini, kegiatan PRA dilakukan dengan metode wawancara dan diskusi kelompok terfokus dengan kelompok tani. Dari setiap desa dipilih 4-5 petani yang tertarik untuk terlibat dalam penelitian pemuliaan partisipatif. Pengolahan tanah pada prinsipnya sama dengan mother trial hanya bentuk unit percobaannya yang berbeda. Pada baby trial unit percobaan dibuat dengan ukuran 1 m x 20 m sebanyak 15 unit. Satu unit percobaan untuk satu genotipe sorgum. Penanaman dilakukan dengan cara ditugal, yaitu benih dimasukkan ke lubang tanam sebanyak 3-5 butir per lubang. Jarak tanam yang digunakan 15 cm dalam baris dan 80 cm antar baris sehingga dalam satu unit percobaan terdapat dua baris tanaman sepanjang 20 m. Pemupukan, pengendalian gulma, serta hama dan penyakit menggunakan jenis, dosis, dan cara yang sama mother trial.
75 Variabel pengamatan. Di percobaan baby trial pengamatan oleh petani dilakukan terhadap keragaan tanaman sorgum yang terdiri dari tinggi tanaman, umur panen, bentuk malai, tingkat kerebahan, bobot malai, dan penampilan secara umum. Peubah atau variabel pengamatan ini merupakan karakter seleksi yang menunjukkan preferensi petani terhadap suatu genotipe sorgum yang dievaluasi. Di mother trial pengamatan dilakukan terhadap karakter tinggi tanaman, bobot biomasa, panjang malai, bobot 1000 butir, dan bobot biji per malai sebagai karakter seleksi oleh peneliti. Sampel pada pengamatan ini dilakukan terhadap 20 tanaman contoh untuk masing-masing karakter seleksi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengantar ke Participatory Plant Breeding Konsep Dasar Peran varietas sebagai produk pemuliaan tanaman dalam peningkatan produksi tanaman sangat tinggi.
Pengalaman Indonesia dalam meningkatkan
produksi beras nasional, varietas memegang peranan hingga 75% dibandingkan input produksi lainnya (Darajad, 2009). Namun demikian, tidak semua varietas yang dihasilkan melalui program pemuliaan tanaman terpusat atau Formal Plant Breeding diadopsi oleh petani (PRGA, 2007). Dari 250.000 varietas tanaman yang telah dirilis, hanya 3% yang digunakan di lapang (IDRC, 2010). Program pemuliaan tanaman terpusat umumnya dikerjakan hanya oleh pemulia profesional dan dilaksanakan di lingkungan optimum. Produknya lebih ditujukan untuk sistem pertanian skala luas dengan kondisi agroekologi tanpa cekaman. Hasil program pemuliaan tanaman seperti ini kurang diadopsi oleh petani di lahan marjinal karena produktivitasnya rendah dan membutuhkan input produksi yang tinggi (Abay dan Bjornstad, 2008). Kondisi ini menyebabkan erosi genetik pada sistem pertanian (IDRC, 2010). Berdasarkan kajian di atas, konsep dasar munculnya program pemuliaan tanaman partisipatif atau Participatory Plant Breeding adalah tidak ada varietas tanaman yang dihasilkan melalui program pemuliaan tanaman modern mampu beradaptasi dengan baik pada berbagai kondisi agroekologi. Pada lahan marjinal,
76 interaksi antara genotipe dan lingkungan sangat tinggi, sehingga suatu varietas yang di lahan optimum mampu berproduksi dengan baik namun di lahan marjinal produktivitasnya rendah. Untuk mengatasi kesenjangan ini, program pemuliaan tanaman di lahan marjinal harus didesentralisasi di lingkungan target dengan melibatkan petani atau stakeholders lain guna mendapatkan tanaman yang adaptif dan disukai pada agroekologi tersebut. Dengan cara seperti ini akan diperoleh varietas tanaman yang mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan spesifik dengan produktivitas tinggi dan dalam jangka waktu lama (Ceccarelli, 2001). Secara umum, program pemuliaan tanaman partisipatif yang memadukan kondisi biofisik dan sosial ekonomi petani sangat baik diterapkan di Indonesia. Kondisi lahan usahatani di Indonesia terutama di lahan kering banyak didominasi tanah masam (Hidayat dan Mulyani, 2002); sedangkan gambaran kondisi sosial ekonomi petaninya tercermin dari penguasaan lahan garapan yang sangat sempit (Sumarno,
2005), aspek permodalan sangat rendah (Zuraida dan Sumarno,
2003), dan tidak mampu mengelola sistem kelembagaan (Sumardjo,
2010).
Selain baik diterapkan pada kondisi tersebut, PPB juga baik diterapkan pada komoditi yang belum populer dan mempunyai nilai ekonomi seperti sorgum. Untuk komoditas seperti ini, program PPB dapat mempercepat proses desiminasi dan pengembangannya di masyarakat. Materi Genetik Materi genetik atau bahan pemuliaan tanaman yang sering digunakan pada penelitian participatory varietal selection yang melibatkan petani biasanya berupa populasi segregasi, landrace, atau varietas. Penggunaan materi genetik tersebut masing-masing mempunyai alasan sesuai dengan tujuan penelitian.
Seleksi
terhadap materi genetik di lingkungan bercekaman dan melibatkan petani umumnya untuk meningkatkan potensi hasil dengan mendapatkan tanaman yang adaptif serta meningkatkan biodiversitas tanaman (Sthapit et al., 2007). Beberapa penelitian PVS yang menggunakan materi genetik tersebut telah banyak dilakukan oleh peneliti di berbagai Negara. Seleksi terhadap populasi segregasi sebagai hasil persilangan antara dua atau lebih tetua dengan sifat yang diinginkan kemungkinan akan mendapatkan tanaman
77 yang dikehendaki. Hulscher et al. (2008) telah melalukan percobaan PVS dengan membandingkan antara varietas dan populasi segregasi dari bawang putih untuk mendapatkan daya adaptasi yang baik pada sistem pertanian organik di Belanda. Ceccarelli dan Grando (2000) menggunakan landrace tanaman barley untuk mendapatkan kesesuaian terhadap kondisi kekeringan dan kualitas biji yang lebih baik melalui percobaan PVS di Syiria. Rana et al. (2006) melakukan percobaan PVS dengan menggunakan landrace dan varietas modern padi yang sudah dikenal dan dibudidayakan oleh petani untuk mendapatkan tanaman yang lebih adaptif pada ketinggian tempat dan sistem pemupukan berbeda di Nepal. Berbeda dengan penelitian PVS pada umumnya yang menggunakan materi genetik berupa populasi segregasi, landrace, atau varietas, percobaan PVS ini menggunakan materi genetik berupa galur mutan yang ragam genetiknya dikembangkan melalui teknik mutasi fisika dengan radiasi sinar gamma oleh PATIR-BATAN. Alasan penggunaan galur mutan pada percobaan ini karena lebih mudah mendapatkan ragam genetik sebagai syarat utama dalam melakukan seleksi. Pada prinsipnya, mutasi dapat menyebabkan timbulnya keragaman yang tidak tersedia pada populasi tanaman saat itu, selain juga dapat menimbulkan keragaman yang tidak dikehendaki (Welsh, 1991). Hal ini disebabkan sorgum di Indonesia belum dikembangkan sehingga varietas yang ada sangat sedikit dan penelitian genetika untuk mengembangkan populasi segregasi masih sangat langka. Selain itu, sorgum bukan tanaman asli Indonesia sehingga landrace-nya sulit diperoleh atau bahkan tidak ada. Seleksi langsung oleh petani terhadap galur mutan dengan keragaman yang sangat tinggi untuk memilah daya adaptasinya di tanah masam kurang efisien. Untuk itu telah dilakukan seleksi pendahuluan melalui penapisan (screening) oleh pemulia profesional yang memilah galur mutan sorgum menjadi toleran, moderat, dan peka di tanah masam. Materi genetik hasil screening inilah yang disebut sebagai materi pemuliaan lanjut. Terhadap materi pemuliaan lanjut, metode PPB yang paling efisien dengan tingkat keberhasilan tinggi adalah Participatory Varietal Selection (PVS), dimana petani melakukan seleksi berdasarkan preferensinya terhadap materi tersebut (Joshi et al., 2001).
78 Kondisi Umum Posisi Geografis Lokasi Percobaan Secara geografis posisi lokasi percobaan yang terpencar di empat Kabupaten atau Kota di Propinsi Lampung berada pada lintang rendah, yaitu berada pada kisaran 4o-6oLS dan 104o-105oBT.
Kota
Bandarlampung yang digunakan
sebagai mother trial berada pada posisi 5o20’LS-5o30’LS dan 105o28’BT105o37’BT; empat percobaan baby trial masing-masing berlokasi di Lampung Selatan berada pada posisi 5o15’LS-6o0’LS dan 105o0’BT-105o45’BT; Lampung Timur 4o35’LS-4o60’LS dan 104o45’BT-105o55’BT; dan Tanggamus 4o50’LS5o41’LS dan 104o18’BT-105o12’BT (Atlas Sumberdaya Pesisir Lampung, 1999) (Gambar 7).
4 4
Gambar 7.
3 1 1
3 2 2
Peta lokasi percobaan Participatory Plant Breeding di Lampung. Mother trial: Bandarlampung (1), Baby trial: Lampung Selatan (2), Lampung Timur (3), dan Tanggamus (4).
Berdasarkan posisi geografisnya, lokasi percobaan yang berada di Lampung merupakan daerah beriklim tropis humid dengan angin laut lembah yang bertiup dari Samudera Indonesia sehingga mengalami dua musim angin setiap tahunnya. November sampai Maret angin bertiup dari arah Barat ke Barat Laut yang menyebabkan musim hujan, dan April sampai Oktober angin bertiup dari Timur
79 ke Tenggara yang menyebabkan musim kemarau. Kecepatan angin rata-rata 5,83 km/jam dengan suhu rata-rata antara 26oC-28oC; suhu maksium mencapai 33oC dan minimum 20oC. Kelembaban udara rata-rata berada pada kisaran 80-88% (Atlas Sumberdaya Pesisir Lampung, 1999). Secara lebih rinci, kondisi iklim di masing-masing wilayah percobaan dijelaskan oleh Setyanto (2000) yang menghubungkan antara tipe daerah agroklimat dengan pertanin menurut Oldeman dengan curah hujan yang ada di wilayah percobaan. Bandarlampung, Kalianda, dan Jabung adalah wilayah yang mempunyai rata-rata curah hujan > 200 mm selama 3-4 bulan berturut-turut. Daerah dengan curah hujan seperti ini masuk zona agroklimat tipe C1, artinya dapat ditanami padi satu kali dan dua kali palawija setiap tahunnya. Berbeda dengan tiga wilayah lainnya, Gadingrejo merupakan wilayah yang mempunyai curah hujan > 200 mm selama < 3 bulan berturut-turut. Daerah ini termasuk zona agroklimat C2, artinya hanya dapat ditanami padi satu kali dan tanaman palawija yang kedua telah memasuki bulan kering. Jarak lokasi percobaan dari Bandarlampung (mother trial) ke baby trial masing-masing adalah: Lampung Selatan sekitar 100 km, Lampung Timur sekitar 120 km, dan Tanggamus sekitar 40 km. Posisi geografis yang berbeda dan jarak antar lokasi yang beragam menyebabkan adanya keragaman, baik pada kondisi biofisik lokasi percobaan maupun kondisi sosial ekonomi peserta PVS. Kondisi Lahan Percobaan Lampung Selatan. Lahan percobaan di Lampung Selatan merupakan sawah tadah hujan yang umumnya ditanami padi setahun sekali oleh petani yaitu pada saat musim hujan. Di luar musim hujan, petani biasanya menanam cabai, jagung, kedelai, singkong, atau palawija lainnya. Tanah di lokasi ini termasuk tanah masam dengan pH tanah rata-rata 4,8. Selama percobaan berlangsung dari Maret sampai Juli 2008, kondisi curah hujan di Lampung Selatan menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun. Curah hujan pada Maret dan April berada pada posisi 147 mm dan 113 mm, sedangkan Mei, Juni, dan Juli mempunyai curah hujan masing-masing 20 mm, 95 mm, dan 1 mm (BMG Stasiun Klimatologi Masgar, 2008).
80 Lampung Timur. Lahan percobaan di Lampung Timur merupakan lahan kering atau tegalan yang biasa ditanami jagung atau singkong dengan lapisan top soil yang tebal.
Sebelum tanah dicangkul, petani mengaplikasikan herbisida
untuk mengendalikan gulma karena lahan didominasi oleh beberapa gulma daun sempit. Tanah di lokasi percobaan ini termasuk jenis tanah podzolik merah kuning yang bereaksi masam dengan pH tanah rata-rata 4,7. Curah hujan selama percobaan berlangsung di Lampung Timur, yaitu antara Maret sampai Juli 2008 menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun sebagaimana kondisi di Lampung Selatan. Curah hujan pada bulan Maret 247 mm dan April 242 mm, dan curah hujan memasuki Mei sampai Juli terus menurun yaitu masing-masing 68 mm, 45 mm, dan 9 mm (BMG Stasiun Klimatologi Masgar, 2008). Tanggamus. Lahan di lokasi percobaan Tanggamus adalah lahan kering berupa tegalan yang selama ini diberakan oleh pemiliknya untuk penggembalaan ternak.
Pada waktu akan digunakan untuk percobaan lahan dicangkul untuk
menggemburkan tanah dan gulma tidak dikendalikan dengan herbisida sehingga cepat sekali muncul sewaktu ada pertanaman. Jenis tanahnya adalah podzolik merah kuning yang bereaksi masam dengan pH rata-rata 4,7. Kondisi curah hujan di Tanggamus antara Maret sampai Juli 2008 juga menunjukkan kecenderungan semakin menurun sebagaimana Lampung Selatan dan Lampung Timur. Pada Maret curah hujan 160 mm, April 63 mm, dan Mei 65 mm. Setelah bulan tersebut curah hujan terus turun, yaitu Juni 19 mm, dan Juli 26 mm (BMG Stasiun Klimatologi Masgar, 2008). Berdasarkan data di atas tampak bahwa pada awal penanaman di semua lokasi baby trial curah hujan masih cukup dan hal ini sangat diperlukan untuk proses perkecambahan benih sorgum. Namun pada fase pertumbuhan vegetatif dan generatif hingga memasuki masa panen curah hujan sudah sangat rendah dan telah memasuki bulan kering. Pada periode seperti ini petani tidak menanam padi atau jagung yang membutuhkan air cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sorgum merupakan tanaman yang tahan terhadap kekeringan. Bandarlampung. Lokasi percobaan di Bandarlampung yang digunakan sebagai mother trial merupakan lahan kering yang selama ini sering ditanami
81 singkong. Berdasarkan sejarahnya, tanah di lahan ini pernah digunakan untuk membuat batu bata sehingga lapisan top soil-nya hilang yang menyebabkan bahan organik di lahan ini sangat sedikit. Rendahnya bahan organik menyebabkan tanah cepat sekali kering karena kemampuan menahan air sangat rendah. Kondisi Sosial Ekonomi Petani Hasil kegiatan Participatory Rural Appraisal (PRA) menunjukkan bahwa petani yang terlibat dalam kegiatan PVS tidak hanya berjenis kelamin laki-laki tetapi juga perempuan dengan latar belakang pendidikan dan usia yang beragam. Di Desa Sidoharjo, Lampung Selatan terdapat lima petani yang terlibat dalam kegiatan PVS dan satu orang berjenis kelamin wanita. Usia petani di lokasi ini berkisar antara 35-60 tahun dengan pendidikan paling banyak Sekolah Dasar (SD) yaitu 3 orang, dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) 2 orang (Tabel 15). Tabel 15. Nama, jenis kelamin, umur, dan pendidikan petani yang terlibat dalam kegiatan PVS di tiga kabupaten berbeda di Lampung Jenis Kelamin (L/P) Desa Sidoharjo, Lampung Selatan 1. Sukirin L 2. Alfiyah P 3. Widiyono L 4. Warsono L 5. Anda Suhanda L Desa Negeri Agung, Lampung Timur 1. Samiran L 2. Trimo Joyotruno L 3. Thoyib L 4. Suyanto L 5. Suharti P Desa Mataram, Tanggamus 1. Darsono L 2. Sangidun L 3. Sunaryo L 4. Slamet L No Nama Petani
Umur (tahun)
Lama Pendidikan Formal (tahun)
60 35 50 35 40
6 6 6 12 12
47 60 28 42 40
6 9 12 12 12
45 38 55 53
12 12 6 6
Di Desa Negeri Agung, Lampung Timur, usia petani yang mengikuti kegiatan PVS antara 28-60 tahun. Di lokasi ini, dari lima petani yang terlibat terdapat satu petani berjenis kelamin wanita sebagimana di Lampung Selatan. Tingkat pendidikan petani di Desa Negeri Agung lebih baik dibandingkan dua
82 desa lainnya, yaitu 1 orang berpendidikan SD, 1 orang SLTP, dan 3 orang berpendidikan SLTA. Di Desa Mataran, Tanggamus, petani ang terlibat PVS empat orang dan semuanya berjenis kelamn laki-laki dengan usia antara 38-55 tahun dengan tingkat pendidikan SD 2 orang dan SLTA 2 orang (Tabel 15). Pengalaman bertani dari petani yang terlibat dalam kegiatan PVS rata-rata lebih dari 20 tahun, dan mereka umumnya mempunyai lahan sendiri selain juga melakukan buruh tani jika telah selesai menggarap lahan milik sendiri. Di Desa Sidoharjo petani yang terlibat PVS telah bertani antara 21-40 tahun dan memiliki lahan antara 0,75-3,0 hektar. Komoditi yang diusahakan oleh petani di desa ini umumnya adalah padi tadah hujan yang diusahakan setahun sekali. Setelah itu, petani menanam palawija seperti jagung, kedelai, dan cabai.
Pada musim
kemarau (MK-2) yaitu antara bulan Juli-September, umumnya tanah diberakan. Selain tanaman pangan, petani di daerah ini juga menanam kelapa disekitar rumah, serta mengusahakan ternak sapi, kerbau, atau kambing (Tabel 16). Tabel 16. Lama bertani, luas kepemilikan lahan, dan komoditas yang diusahakan oleh petani peserta PVS di tiga kabupaten berbeda di Lampung Lama Bertani (tahun) Desa Sidoharjo, Lampung Selatan 1. Sukirin 40 2. Alfiyah 20 3. Widiyono 30 4. Warsono 20 5. Anda Suhanda 21 Desa Negeri Agung, Lampung Timur 1. Samiran 27 2. Trimo Joyotruno 48 3. Thoyib 7 4. Suyanto 14 5. Suharti 5 Desa Mataram, Tanggamus 1. Darsono 25 2. Sangidun 20 3. Sunaryo 40 4. Slamet 40 No Nama Petani
Luas Lahan (ha)
Komoditas
1,25 0,75 3,00 1,00 1,00
Padi Padi, cabai Padi, jagung Padi Padi, kedelai
1,00 2,25 0,50 2,00 0,50
Jagung, singkong Padi, lada Jagung, singkong Jagung, singkong Padi, jagung
0,50 1,00 0,50 0,50
Padi, jagung Padi, jagung Padi Padi, jagung
Petani di Desa Negeri Agung merupakan petani lahan kering dengan luas lahan antara 0,50-2,25 hektar. Mereka umumnya menanam palawija jagung dan
83 singkong serta berkebun lada, selain juga ada yang bercocok tanam padi di beberapa lokasi. Petani di desa ini merupakan campuran antara penduduk asli Lampung dan pendatang dari Jawa Tengah. Sedangkan petani di Desa Mataram memiliki lahan garapan antara 0,50-1,0 hektar (Tabel 16). Lahan di desa ini umumnya lahan kering dan sawah tadah hujan. Mereka mengusahakan padi pada waktu musim hujan, dan setelah itu menanam jagung. Petani di desa ini umumnya transmigran dari Jawa Tengah yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar dengan kehidupan sosial budaya yang bercirikan Jawa. Pengetahuan petani tentang sorgum di tiga lokasi PRA sangat beragam. Petani di Desa Sidoharjo, Lampung Selatan yang umumnya transmigran dari Jawa Tengah telah mengenal sorgum dengan nama “cantel”, sedangkan petani di dua desa lainnya, yaitu Negeri Agung, Lampung Timur dan Mataram, Tanggamus belum mengenal sorgum dengan baik. Petani di Desa Sidoharjo tertarik untuk menanam sorgum sebagai bahan pangan alternatif di musim kemarau, karena mereka tahu bahwa sorgum (cantel) tahan terhadap kekeringan. Selain sebagai sumber pangan alternatif dengan memanfaatkan bijinya, batang dan daun sorgum juga akan dimanfaatkan untuk pakan ternak. Petani di Desa Negeri Agung dan Mataram akan menanam sorgum jika harganya baik. Petani atau stakeholders lain yang terlibat dalam kegiatan PVS umumnya sangat paham terhadap komoditi yang dimuliakan, karena kegiatan PVS biasanya menggunakan komoditi yang ditanam oleh petani setempat. Tujuan penelitiannya adalah agar petani dapat lebih mudah dan murah dalam mengakses benih, adaptif pada kondisi agroekologi setempat sehingga input budidaya tanaman lebih murah, dan meningkatkan biodiversitas tanaman. Beberapa contoh penggunaan komoditi yang telah dikenal petani dan derajad partisipatisi petani pada percobaan PPB dikemukakan oleh Ashby dan Lilja (2008) yang mengacu kepada hasil percobaan beberapa peneliti di berbagai negara sebagai berikut: (1) derajad partisipasi konsultatif dilakukan terhadap tanaman padi di Nepal, ubi kayu di Colombia, barley di Syiria, dan kentang di Bolivia; (2) derajad partisipasi kolaboratif dilakukan pada tanaman jagung di Honduras, millet di India, dan kacang tanah di Tanzania; (3) derajad partisipasi kolegial telah dilakukan pada tanaman millet di Namibia, dan jagung di Brazil; serta (4) partisipasi penuh oleh petani atau
84 percobaan petani (farmer experimentation) dilakukan pada tanaman padi di Philippina dan jagung di China. Penelitian PVS yang dilakukan pada percobaan ini menggunakan komoditi yang belum atau tidak dikenal oleh petani. Sorgum untuk petani di Indonesia pada umumnya dan petani Lampung pada khususnya belum dikenal karena belum diusahakan secara komersial. Penggunaan metode PVS pada percobaan ini lebih pada memanfaatkan keunggulan PPB dalam mendapatkan tanaman yang adaptif pada kondisi tanah masam, dan sekaligus untuk mengenalkan (dissemination) akan manfaat dan kegunaan tanaman sorgum kepada petani melalui diskusi terfokus pada kegiatan PRA (Gambar 8).
a Gambar 8.
b
Diskusi terfokus dengan petani peserta PVS melalui kegiatan PRA di Lampung Selatan (a) dan Lampung Timur (b)
Kendala yang dihadapi pada percobaan PVS dengan komoditi yang belum dikenal oleh petani diantaranya adalah: (1) petani belum memahami ideotipe tanaman sorgum seperti apa yang sesuai untuk diusahakan, (2) preferensi petani sebagai dasar penilaian terhadap karakter seleksi di lahan marjinal belum mengarah ke karakter ideal. Kendala ini selaras dengan yang dikemukakan oleh Bentley (1994) dalam Peters dan Peters
(2000) yang menyatakan bahwa
hambatan pada percobaan partisipatif diantaranya adalah: (1) petani miskin akses, (2) pengamatan yang berbeda gaya, (3) perbedaan kondisi sosial ekonomi dan lingkungan, (4) kendala waktu, dan (5) adanya jarak sosial.
85 Akibat kendala di atas, maka preferensi petani terhadap tanaman sorgum hanya mengarah kepada budidaya tanaman secara umum yang dilakukan oleh petani setempat atau budidaya umum lokal. Penerapan budidaya umum lokal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang komoditi yang dikembangkan dan kebiasaan yang dilakukan oleh petani.
Bagi petani yang terbiasa menanam
palawija seperti jagung tidak ada hambatan yang berarti pada waktu menanam sorgum. Namun pada waktu panen dan penanganan pasca panen petani belum terbiasa sehingga banyak bertanya kepada peneliti. Kondisi Pertanaman Lampung Selatan. Sebagai sawah tadah hujan, secara fisik lapisan olah tanah di Lampung Selatan lebih tebal dibandingkan lokasi lainnya yang berbentuk tegalan. Berdasarkan pengamatan visual, kemampuan tanah di lokasi ini menahan air lebih tinggi sehingga tanahnya cenderung lembab. Walaupun reaksi tanahnya masam, kondisi tersebut menyebabkan pertumbuhan tanaman sorgum di lokasi ini sangat baik (Gambar 9). Dari sisi biofisik, pengaruh lapisan olah tanah terhadap pertumbuhan sorgum sangat besar, karena sorgum adalah tanaman dengan tipe pertumbuhan tajuk berkembang setelah pertumbuhan akar tercapai (SFSA, 2008). Selain itu dari aspek budidaya, petani di lokasi ini memberikan abu sekam yang dicampur dengan pupuk kandang sebagai penutup lubang tanam.
Teknik ini
memberikan kondisi lingkungan tumbuh yang sangat baik dan berpengaruh terhadap proses perkecambahan dan pertumbuhan tanaman muda. Selain faktor biofisik, pengalaman petani peserta PVS yang lama yaitu antara 20-40 tahun dan terbiasa menanam cabai dan kedelai yang relatif lebih sulit dari menanam sorgum menjadikan petani di lokasi ini lebih serius merawat tanaman. Selama percobaan berlangsung, pertumbuhan gulma di lokasi ini sangat tertekan sehingga tidak mengganggu tanaman utama. Karena merupakan sawah tadah hujan, petani membuat drainase untuk menghindari genangan air. Dari aspek sosial, motivasi petani di lokasi ini untuk mengembangkan sorgum sangat tinggi yang dibangun dari persepsi yang baik akan manfaat tanaman sorgum sebagai tanaman pangan, pakan ternak, dan bahan bakar nabati. Persepsi muncul dengan adanya informasi tentang manfaat tanaman sorgum dari
86 peneliti yang mereka peroleh melalui kegiatan PRA. Syahyuti (2006) menyatakan bahwa sikap seseorang dalam mengambil suatu tindakan sangat dipengaruhi oleh motivasi yang ada pada dirinya. Motivasi muncul karena adanya persepsi yang dibangun oleh adanya informasi awal yang dapat berasal dari pengalaman, pemberitahuan, membaca, dan kegiatan lainnya.
Gambar 9. Kondisi umum tanaman sorgum di Lampung Selatan (baby trial) Lampung Timur. Kondisi tanaman di Lampung Timur secara umum baik dan tidak jauh berbeda dengan Lampung Selatan (Gambar 10). Hal ini didukung oleh kondisi tanah yang gembur dengan lapisan olah yang tebal sehingga perakaran tanaman sorgum dapat berkembang secara ekstensif. Dibandingkan Lampung Selatan dan Tanggamus, pengalaman bertani dari peserta PVS di lokasi ini rata-rata lebih rendah, namun mempunyai latar belakang pendidikan yang lebih tinggi sehingga kemampuan menyerap inovasi lebih baik. Menurut Syahyuti (2006), pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan sedangkan pengetahuan merupakan kekuatan (empowerment) bagi individu atau kelompok untuk betindak ke arah yang lebih baik. Empowerment adalah salah satu konsep utama yang menjadi tiang dari participatory rural appraisal. Tindakan petani di Lampung Timur yang menunjukkan tingkat pengetahuan yang
87 lebih baik diantaranya adalah mampu mengaplikasikan herbisida di lahan percobaannya sesuai dengan karakteristik gulma yang ada, sehingga pengendalian gulma di pertanaman sorgum pada tahap berikutnya lebih ringan.
Gambar 10. Kondisi umum tanaman sorgum di Lampung Timur (baby trial) Tanggamus. Pertumbuhan tanaman sorgum di Tanggamus tidak sebaik di Lampung Selatan maupun Lampung Timur (Gambar 11). Faktor biofisik dan pengelolaan petani terhadap tanaman berpengaruh terhadap kondisi tersebut. Tanah di lokasi ini selain bereaksi masam (pH 4,7) juga lapisan olahnya sangat tipis sehingga perakaran tanaman sorgum tidak berkembang secara ekstensif. Selain itu, petani di Tanggamus terlambat melalukan penjarangan tanaman dan pengendalian gulma.
Penjarangan dilakukan pada umur 4 MST bersamaan
dengan pengendalian gulma, sedangkan di dua lokasi lainnya penjarangan dilakukan ada umur 2 MST. Hal ini berpengaruh terhadap pertumbuhan awal tanaman sorgum yang sangat sensitif. Selain faktor biofisik, usia petani peserta PVS di Tanggamus juga lebih tua dibandingkan dua lokasi lainnya (Tabel 15). Faktor usia berpengaruh terhadap motivasi mengikuti kegiatan PVS, dan petani yang lebih tua cenderung kurang inovatif dibandingkan yang lebih muda. Komoditi yang diusahakan oleh petani di lokasi ini tidak beragam sebagaimana di Lampung Selatan dan Lampung Timur,
88 yaitu hanya padi dan jagung dengan sistem irigasi tadah hujan sehinga petani kurang mempunyai pengalaman dengan komoditi selain kedua komoditi tersebut.
Gambar 11. Kondisi umum tanaman sorgum di Tangamus (baby trial) Bandarlampung. Secara umum, kondisi tanaman di Bandarlampung (mother trial) tidak sebaik di Lampung Selatan atau Lampung Timur tetapi lebih mendekati kondisi tanaman di Tangamus. Pertumbuhan seluruh tanaman sorgum di lokasi ini sangat tertekan diduga akibat keracunan Al atau akibat kondisi biofisik tanah yang sudah rusak. Tanah di lokasi mother trial pernah digunakan untuk pembuatan batu bata yang mengupas lapisan olah tanah. Hal ini tampak secara visual bahwa kemampuan tanah untuk menyimpan air sangat rendah yang membuktikan bahan organik di lokasi ini sangat sedikit (Gambar 12). Tanah yang sangat kering menyebabkan perkecambahan benih sorgum terhambat. Hal ini mengakibatkan penanaman di lokasi ini diulang karena benih sorgum pada penanaman pertama banyak yang tidak tumbuh. Walaupun tanaman sorgum sangat tahan terhadap kekeringan, namun untuk tahap awal proses perkecambahan sangat memerlukan air. Pada proses perkecambahan benih, air diperlukan untuk mengaktifkan enzim-enzim yang mampu merombak cadangan makanan menjadi senyawa gula sederhana yang diperlukan dalam proses respirasi
89 yang menyebabkan embrio aktif dan berkecambah. Kekurangan air menyebabkan proses tersebut terhambat sehingga benih tidak berkecambah.
Gambar 12. Kondisi umum tanaman sorgum di Bandarlampung (mother trial) Participatory Varietal Selection Seleksi oleh Petani Seleksi oleh petani berdasarkan pada evaluasi terhadap karakter tinggi tanaman, bentuk malai, bobot malai, umur panen, kerebahan, dan penampilan tanaman secara umum. Seleksi ini menggunakan penilaian kualitatif yaitu sangat tidak suka, tidak suka, suka, dan sangat suka sehingga hasilnya adalah data nonparametrik. Data kualitatif yang bersifat non-parametrik tersebut dikuantifikasi melalui skor dan dilanjutkan dengan Uji Kruskal-Wallis untuk merangking tingkat preferensi petani terhadap suatu karakter atau genotipe di lokasi percobaannya. Petani peserta PVS dalam percobaan ini terlibat dari awal sampai akhir proses budidaya, dan evaluasi oleh petani dilakukan menjelang panen untuk melihat karakter seleksi tanaman sorgum yang akan dievaluasi secara utuh. Petani melakukan penilaian terhadap genotipe sorgum dengan cara mengisi form quisioner yang telah disiapkan oleh peneliti (Gambar 13).
90
Gambar 13. Seleksi oleh petani berdasarkan preferensi karakter seleksi genotipe sorgum di tanah masam Hasil evaluasi petani peserta PVS terhadap karakter seleksi genotipe sorgum di tanah masam menunjukkan adanya perbedaan tingkat kesukaan (preferensi) diantara petani terhadap karakter yang dievaluasi di setiap lokasi percobaan. Perbedaan preferensi disebabkan oleh perspektif atau cara pandang yang berbeda terhadap tanaman sorgum dari masing-masing petani di lokasi percobaan. Hasil evaluasi petani di masing-masing lokasi diuraikan lebih lanjut pada tulisan ini. Lampung Selatan. Preferensi petani di Lampung Selatan terhadap karakter seleksi genotipe sorgum menunjukkan bahwa mereka mempunyai perbedaan preferensi terhadap karakter seleksi yang dievaluasi. Hasil Uji Kruskal Wallis menyimpulkan bahwa cukup bukti untuk menyatakan petani Lampung Selatan mempunyai preferensi yang berbeda terhadap karakter seleksi genotipe sorgum di tanah masam (Tabel 16). Petani di Lampung Selatan menganggap penting tanaman sorgum yang tidak mudah rebah atau tahan terhadap kerebahan, sehingga karakter ini menduduki peringkat pertama sebagai karakter seleksi yang dipilih dibandingkan karakter lainnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa pada populasi tanaman sorgum yang dievaluasi banyak yang mengalami kerebahan sehingga tanaman menjadi rusak.
91 Penyebab kerebahan tanaman sorgum diantaranya adalah karakter tanaman yang tinggi, dan hal ini dibuktikan oleh rendahnya peringkat yang diperoleh karakter tinggi tanaman (ranking 5) sebagai karakter yang disukai (Tabel 17). Tabel 17. Preferensi petani Lampung Selatan terhadap karakter seleksi genotipe sorgum di tanah masam Jumlah Mean rank pengamatan Ketahanan terhadap rebah 5 27,60 Umur panen 5 23,10 Penampilan secara umum 5 15,10 Bentuk malai 5 11,30 Bobot malai (hasil) 5 11,30 Tinggi tanaman 5 4,60 2 2 Uji statistika: χ hit = 23,041; db=5; dan χ tabel (0,10)=9,24 Karakter seleksi
Urutan pilihan (peringkat) 1 2 3 4 4 5
Selain karakter kerebahan, petani di Lampung Selatan juga mempunyai preferensi yang tinggi terhadap umur panen sehingga karakter ini menduduki ranking kedua (Tabel 17). Petani di Lampung Selatan menyukai tanaman sorgum yang umurnya pendek (genjah) dengan asumsi lebih cepat panen. Umur tanaman menghasilkan (umur panen) menjadi karakter penting dalam budidaya tanaman karena pertimbangan ekonomis. Panen adalah batas waktu antara proses budidaya yang memerlukan curahan waktu, biaya, dan tenaga dengan hasil untuk manfaat kesejahteraan. Karakter kerebahan dan umur panen mempunyai skor yang tinggi yaitu rata-rata 19,9 dan 17,1 dari total skor 25 di Lampung Selatan (Tabel 18). Peringkat ketiga karakter seleksi yang dipilih oleh petani di Lampung Selatan adalah penampilan tanaman secara umum yang mencerminkan perpaduan antara beberapa karakter seleksi pada suatu genotipe sorgum (Tabel 17). Tanaman yang ideal menurut petani di lokasi ini harus menunjukkan performa yang baik. Di Lampung Selatan, karakter penampilan tanaman secara umum memperoleh skor rata-rata 15,3 dari total skor 25 (Tabel 18). Terhadap karakter bentuk dan bobot malai, petani di Lampung Selatan memberikan penilaian yang sama (Tabel 17). Karakter malai adalah salah satu karakter penentu hasil, karena biji sorgum tersusun di malai. Tanaman sorgum yang mempunyai malai panjang mengindikasikan jumlah biji pada malai tersebut banyak yang akan berpengaruh terhadap bobot biji. Bobot malai yang tinggi
92 mengindikasikan hasil tinggi. Ditempatkannya karakter malai yang terdiri dari bentuk dan bobot malai diperingkat bawah bukan berarti karakter ini tidak penting, namun diduga karena masih banyak bentuk dan bobot malai dari genotipe sorgum yang dievaluasi belum memenuhi selera petani. Bentuk dan bobot malai masing-masing memperoleh skor rata-rata 14,7 dari total skor 25 (Tabel 18). Tabel 18. Nilai skor karakter seleksi tanaman sorgum hasil evaluasi petani di Lampung Selatan Karakter seleksi A B C D E F Kawali 22 21 25 25 25 23 Mandau 19 20 22 21 20 22 Higari 20 25 18 23 14 14 Numbu 9 12 21 21 20 23 GH-ZB-41-07 8 20 20 23 21 10 B-76 20 20 8 23 10 20 B-92 20 20 8 23 9 20 Durra 20 20 8 23 9 20 ZH30-30-07 9 9 20 20 20 20 ZH30-35-07 13 9 14 20 14 10 BR-ZH30-06-07 9 15 16 12 18 10 BR-ZH30-07-07 8 18 12 19 10 9 YT30-40-07 5 20 15 16 10 5 YT30-39-07 5 20 6 20 10 5 ZH30-29-07 9 8 8 10 11 19 Rata-rata 13,1 17,1 14,7 19,9 14,7 15,3 Keterangan: A=tinggi tanaman, B=umur panen, C=bentuk malai, D=kerebahan, E=bobot malai, dan F=penampilan tanaman secara umum Genotipe
Berdasarkan Tabel 18 tampak bahwa tinggi tanaman mempunyai skor yang fluktuatif. Pada beberapa genotipe sorgum terutama kelompok varietas, petani memberikan skor tinggi namun pada kelompok galur mutan banyak yang mendapat skor sangat rendah (nilai skor < 10). Hal ini menunjukkan bahwa karakter tinggi tanaman pada galur mutan belum mendapat apresiasi baik dari petani. Nilai skor rendah yaitu kurang dari 10 dari total skor 25 juga masih terdapat pada karakter umur panen, bentuk malai, dan penampilan tanaman secara umum. Fenomena ini menunjukkan bahwa masih banyak karakter pada galur mutan yang harus terus diperbaiki supaya dapat diterima oleh petani.
93 Tabel 19. Genotipe sorgum terpilih berdasarkan preferensi petani Lampung Selatan Jumlah Mean rank pengamatan Kawali 5 72,00 Mandau 5 59,50 Higari 5 54,80 Numbu 5 54,00 GH-ZB41-07 5 49,30 B-76 5 48,20 Durra 5 47,50 B-92 5 46,20 ZH30-29-07 5 40,50 BR-ZH30-07-07 5 23,30 ZH30-35-07 5 22,40 BR-ZH30-06-07 5 19,00 YT30-40-07 5 13,70 ZH30-30-07 5 10,30 YT30-39-07 5 9,30 2 Uji statistika: χ2hit = 59,13; db=14; dan χ tabel (0,10)=21,10 Genotipe
Urutan pilihan (peringkat) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Berdasarkan evaluasi terhadap karakter seleksi yang diinginkan, petani Lampung Selatan lebih memilih varietas seperti Kawali, Mandau, Higari, dan Numbu sebagai genotipe pilihan dibandingkan galur mutan.
Hal ini dapat
dipahami karena penampilan varietas sudah stabil dan menunjukkan karakter yang baik sehingga disukai oleh petani. Pada kelompok galur mutan, petani di lokasi ini memilih galur GH-ZB41-07, B-76, dan B-92 sebagai galur yang mereka sukai (Tabel 19). Pilihan petani terhadap galur tersebut didasarkan pada tinggi tanaman yang ideal (skor 20), umur panen yang genjah (skor 20), dan tahan terhadap rebah (skor 23) (Tabel 18). Galur mutan B-76 dan B-92 merupakan galur mutan harapan BATAN yang akan dilepas sebagai varietas sehinga penampilan tanamannya sudah stabil (Hoeman, 2007, konsultasi pribadi). Lampung Timur. Hasil evaluasi petani di Lampung Timur menunjukkan bahwa petani cenderung mempunyai preferensi yang berbeda terhadap karakter seleksi galur mutan sorgum yang dievaluasi. Hal ini ditunjukkan oleh pilihan petani terhadap karakter ketahanan terhadap rebah sebagai pilihan pertama kemudian diikuti oleh umur panen sebagai pilihan kedua sebagai karakter yang paling disukai (Tabel 20).
94 Pilihan pertama dan kedua dari karakter seleksi yang dievaluasi oleh petani di Lampung Timur tidak berbeda dengan pilihan petani di Lampung Selatan, namun untuk pilihan ketiga tedapat perbedaan. Petani di Lampung Timur sangat mempertimbangkan karakter bobot malai sebagai karakter seleksi yang sangat menentukan hasil selain penampilan tanaman secara umum (Tabel 20). Tabel 20. Preferensi petani Lampung Timur terhadap karakter seleksi genotipe sorgum di tanah masam Jumlah Mean rank pengamatan Ketahanan terhadap rebah 5 22,80 Umur panen 5 21,40 Bobot malai 5 14,40 Penampilan secara umum 5 14,40 Bentuk malai 5 10,50 Tinggi tanaman 5 9,50 2 2 Uji statistika: χ hit = 9,679; db=5; dan χ tabel (0,10)=9,24 Karakter seleksi
Urutan pilihan (peringkat) 1 2 3 3 4 5
Petani di Lampung Timur memberikan skor yang beragam terhadap karakter seleksi yang dievaluasi dengan distribusi nilai rata-rata antara 17,1-20,5 dari total skor 25. Karakter ketahanan terhadap rebah mendapat skor tertinggi yaitu 20,5 kemudian diikuti umur panen dengan skor 19,6 dan bobot malai dengan skor 18,2 dari total skor 25. Karakter tinggi tanaman dan bentuk malai mendapat skor yang rendah yaitu 17,1 dan 17,4 dari total skor 25(Tabel 21). Hasil evaluasi di atas menunjukkan bahwa petani di Lampung Timur juga sangat menyukai tanaman sorgum yang tidak mudah rebah dan umurnya genjah seperti pilihan petani di Lampung Selatan. Karakter tinggi tanaman dan bentuk malai mendapat skor yang rendah menunjukkan bahwa banyak genotipe sorgum terutama galur mutan mempunyai keragaan tinggi tanaman dan bentuk malai yang tidak begitu disukai oleh petani. Dengan akumulasi skor 17 menunjukkan bahwa rata-rata skor yang diberikan terhadap karakter tersebut 3,4 yang berada antara batas tidak suka (skor 2) dan suka (skor 4). Fenomena ini menunjukkan bahwa masih banyak karakter galur mutan sorgum hasil mutasi fisika yang harus diperbaiki, terutama pada tinggi tanaman dan bentuk malai. Tinggi tanaman sangat berpengaruh terhadap tingkat kerebahan karena tanaman yang tinggi
95 cenderung mudah rebah, dan bentuk malai galur mutan yang kurang kompak menyebabkan bobot malai cenderung rendah. Tabel 21. Nilai skor karakter seleksi tanaman sorgum hasil evaluasi petani di Lampung Timur Karakter seleksi A B C D E F Kawali 22 22 25 25 25 25 Mandau 24 22 23 24 22 24 ZH30-29-07 18 21 23 22 23 22 ZH30-35-07 14 21 20 23 22 22 Durra 21 20 18 23 17 21 Higari 24 25 14 21 17 18 B-76 21 20 19 17 18 21 Numbu 10 20 21 21 20 19 B-92 21 20 16 19 16 18 BR-ZH30-07-07 22 12 19 21 16 20 ZH30-30-07 17 20 18 21 20 14 BR-ZH30-06-07 15 21 12 22 16 12 GH-ZB-41-07 10 18 10 21 17 12 YT30-39-07 12 18 12 12 14 14 YT30-40-07 6 14 11 16 10 9 Rata-rata 17,1 19,6 17,4 20,5 18,2 18,1 Keterangan: A=tinggi tanaman, B=umur panen, C=bentuk malai, D=kerebahan, E=bobot malai, dan F=penampilan tanaman secara umum Genotipe
Untuk beberapa karakter seleksi, pilihan petani di Lampung Selatan dan Lampung Timur relatif sama, namun pilihan terhadap genotipe (varietas maupun galur mutan) sorgum cenderung berbeda. Hal ni menunjukkan adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan sehingga menciptakan pilihan genotipe yang berbeda antar lokasi. Petani di Lampung Timur hanya menempatkan varietas Kawali dan Mandau sebagai varietas yang disukai, selebihnya mereka memilih galur mutan, terutama galur ZH30-29-07 dan ZH30-35-07 (Tabel 22). Kedua galur ini mendapat apresiasi tinggi di Lampung Timur karena di lokasi ini kedua galur tersebut menampilkan keragaan sesuai dengan prefrensi petani, yaitu tidak mudah rebah (skor 22 dan 23), bentuk malai baik (skor 23 dan 20) dan bobot malai tinggi (skor 23 dan 22) (Tabel 21). Di Lampung Timur, karakter tanaman yang tinggi seperti varietas Numbu dan galur BR-ZH30-06-07, GH-ZB41-07, YT30-39-07, dan YT30-40-07 mendapat apresiasi yang sangat rendah dengan
96 jumlah skor antara 6-15 dari total skor 25 (Tabel 21), sehingga galur-galur ini menempati urutan terbawah sebagai galur yang dipilh oleh petani (Tabel 22). Tabel 22. Genotipe sorgum pilihan berdasarkan preferensi petani Lampung Timur Jumlah Mean rank pengamatan Kawali 5 70,40 Mandau 5 66,10 ZH30-29-07 5 56,20 ZH30-35-07 5 48,00 Higari 5 46,20 Durra 5 46,20 B-76 5 41,60 B-92 5 37,70 Numbu 5 34,50 ZH30-30-07 5 33,40 BR-ZH30-06-07 5 24,20 BR-ZH30-07-07 5 33,10 GH-ZB41-07 5 16,20 YT30-39-07 5 11,70 YT30-40-07 5 4,50 2 Uji statistika: χ2hit = 52,59; db=14; dan χ tabel (0,10)=21,10 Genotipe
Tanggamus.
Urutan pilihan (peringkat) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Hasil analisis Kruskal-Wallis terhadap evaluasi petani di
Tangamus menyimpulkan bahwa tidak cukup bukti untuk menyatakan petani di lokasi ini mempunyai preferensi yang berbeda terhadap karakter seleksi genotipe sorgum di tanah masam (Tabel 23). Hal ini menunjukkan bahwa semua karakter seleksi menurut petani di lokasi ini mempunyai bobot yang relatif sama sehingga penilaiannya homogen. Rata-rata nilai skor terhadap karakter yang dievaluasi berada pada kisaran antara 14,3-15,7 dari total skor 20 (Tabel 24). Walaupun berdasarkan uji formal Kruskal Wallis, petani di Tanggamus mempunyai preferensi yang sama terhadap seluruh karakter seleksi yang dievaluasi, namun terdapat suatu kecenderungan berdasarkan mean rank yang diperoleh bahwa karakter ketahanan terhadap rebah (16,00) berada di ranking pertama sebagai karakter seleksi yang disukai di lokasi ini. Selain itu karakter tinggi tanaman (13,63) dan bobot malai (13,00) berada di urutan kedua dan ketiga sebagai karakter yang mendapat preferensi tinggi (Tabel 23).
97 Tabel 23. Preferensi petani Tanggamus terhadap karakter seleksi genotipe sorgum di tanah masam Jumlah Mean rank pengamatan Tinggi tanaman 4 13,63 Bentuk malai 4 11,38 Bobot malai 4 13,00 Umur panen 4 10,38 Ketahanan terhadap rebah 4 16,00 Penampilan secara umum 4 10,63 2 2 Uji statistika: χ hit = 1,870; db=5; dan χ tabel (0,10)=9,24 Karakter seleksi
Urutan pilihan (peringkat) 1 1 1 1 1 1
Hasil evaluasi petani terhadap karakter seleksi yang dikuantifikasi dengan skor menunjukkan bahwa nilai skor rata-rata berada pada kisaran 14,3-15,7 dari total skor 20 (Tabel 24). Hal ini menunjukkan bahwa petani Tanggamus sangat moderat dalam memberikan penilaian dibandingkan petani Lampung Selatan dan Lampung Timur yang lebih progresif. Terhadap fenomena seperti ini, Peters dan Peters (2000) menyatakan bahwa terdapat perbedaan gaya dari petani dalam hal mengevaluasi tanaman di lapang sehingga memunculkan keragaman pilihan. Tabel 24. Hasil evaluasi petani terhadap karakter seleksi tanaman sorgum di Tanggamus Karakter seleksi Rata-rata A B C D E F BR-ZH30-07-07 16 14 16 16 17 17 16,00 ZH30-35-07 14 14 16 17 18 16 15,83 GH-ZB-41-07 16 12 18 16 16 16 15,67 ZH30-30-07 12 14 16 17 18 17 15,67 ZH30-29-07 16 14 16 14 16 17 15,50 Numbu 10 16 16 19 14 17 15,33 YT30-40-07 16 12 14 14 18 16 15,00 BR-ZH30-06-07 12 12 16 15 18 17 15,00 Higari 15 18 13 16 12 12 14,33 YT30-39-07 14 12 16 14 14 14 14,00 Durra 16 15 12 17 10 14 14,00 B-92 16 17 14 16 8 12 13,83 Mandau 16 17 12 14 12 12 13,83 B-76 17 15 12 14 12 12 13,67 Kawali 14 16 8 16 14 10 13,00 Rata-rata 14,7 14,5 14,3 15,7 14,5 14,6 Keterangan: A=tinggi tanaman, B=umur panen, C=bentuk malai, D=kerebahan, E=bobot malai, dan F=penampilan tanaman secara umum Genotipe
98 Analisis di atas dibuktikan oleh pilihan petani Tanggamus terhadap genotipe sorgum yang disukai yang sangat berbeda dengan pilihan petani di Lampung Selatan maupun Lampung Timur. Petani di Tanggamus menempatkan enam galur mutan sebagai pilihan utama, yaitu ZH30-29-07, BR-ZH30-07-07, ZH30-30-07, ZH30-35-07, GH-ZB41-07, dan BR-ZH30-06-07 daripada varietas (Tabel 25). Fenomena ini sangat menarik yang menunjukkan bahwa keragaan galur mutan berdasarkan karakter ketahanan terhadap rebah, tinggi tanaman, dan bobot malai sesuai dengan preferensi petani Tanggamus lebih baik dibandingkan varietas. Tabel 25. Genotipe sorgum pilihan berdasarkan preferensi petani Tanggamus Jumlah Mean rank pengamatan ZH30-29-07 4 40,88 BR-ZH30-07-07 4 39,63 ZH30-30-07 4 39,38 ZH30-35-07 4 38,00 GH-ZB41-07 4 35,13 BR-ZH30-06-07 4 32,50 Higari 4 31,75 B-76 4 29,63 Numbu 4 29,38 Mandau 4 29,13 YT30-40-07 4 27,88 YT30-39-07 4 25,75 Durra 4 24,88 B-92 4 19,88 Kawali 4 13,75 2 Uji statistika: χ2hit = 10,87; db=14; dan χ tabel (0,10)=21,10 Genotipe
Urutan pilihan (peringkat) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Hasil percobaan di tiga lokasi yaitu Lampung Selatan, Lampung Timur dan tanggamus menunjukkan bahwa terdapat perbedaan preferensi petani terhadap karakter seleksi genotipe sorgum yang dievaluasi, baik antar petani dalam satu lokasi maupun pada petani antar lokasi. Hasil penelitian ini selaras dengan hasil penelitian Brocke et al. (2001) yang menyatakan bahwa perbedaan pilihan petani pada percobaan PPB tidak hanya disebabkan oleh adanya perbedaan agroekosistem, tetapi juga akibat faktor sosial ekonomi atau preferensi individu terhadap materi genetik yang dievaluasi. Perbedaan pilihan petani sesuai dengan preferensinya menyebabkan adanya keragaman genotipe sorgum yang ditanam di suatu lokasi sehingga menciptakan
99 agrobiodiversitas. Munculnya agrobiodiversitas akibat penggunaan varietas yang beragam di suatu lokasi adalah salah satu manfaat dari PPB, dan hal inilah yang banyak dieksploitasi oleh para peneliti PPB di berbagai belahan dunia. Agrobiodiversitas adalah hasil interaksi antara lingkungan, sumberdaya genetik, dan sistem manajemen dari budaya manusia (FAO, 2005). Biodiversitas dapat menciptakan konservasi secara in situ di suatu lokasi dengan adanya varietas petani (Rana et al., 2007). Selain itu biodiversitas sangat penting untuk sistem pertanian berkelanjutan yang dapat meningkatkan ketahanan pangan dan gizi (Upadhyay et al., 2006). Preferensi petani di tiga lokasi. Berdasarkan hasil analisis Kruskal-Wallis yang memadukan preferensi petani di tiga lokasi percobaan menunjukkan bahwa preferensi atau tingkat kesukaan petani terhadap karakter seleksi tanaman sorgum di tanah masam berturut-turut adalah ketahanan tanaman terhadap rebah, umur panen, penampilan tanaman secara umum, dan karakter bobot malai (Tabel 26). Hasil ini sebagai pedoman bagi pemulia tanaman sorgum bahwa dalam pembentukan ideotipe atau arsitekstur tanaman sorgum yang baik, adaptif pada tanah masam, dan dapat diterima oleh petani pengguna sebaiknya mempunyai karakter sesuai preferensi petani di atas. Tabel 26. Preferensi petani di tiga lokasi percobaan baby trial terhadap karakter seleksi genotipe sorgum di tanah masam Jumlah Mean rank pengamatan Ketahanan terhadap rebah 14 65,79 Umur panen 14 49,71 Penampilan secara umum 14 38,82 Bobot malai 14 36,79 Bentuk malai 14 33,25 Tinggi tanaman 14 30,64 2 2 Uji statistika: χ hit = 20,440; db=5; dan χ tabel (0,10)= 9,24 Karakter seleksi
Urutan pilihan (peringkat) 1 2 3 4 5 6
Kerebahan adalah salah satu karakter yang terdapat pada tanaman terutama tanaman pangan seperti padi, jagung, sorgum, kacang dan sebagainya. Tingkat kerebahan yang tinggi tidak disukai karena dapat menurunkan produktivitas tanaman. Pada tanaman padi kerebahan sangat dihindari karena dapat menurunkan hasil gabah (Wahyuni et al., 2005). Di Indonesia karakter tinggi kacang tanah
100 yang melebihi varietas Gajah atau Kelinci tidak dikehendaki karena dapat meningkatkan kerebahan tanaman (Riduan dan Sudarsono, 2005). Terdapat dua faktor yang menyebabkan terjadinya kerebahan pada tanaman, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal diantaranya adalah batang tanaman terlalu tinggi serta kurang kokoh, sedangkan faktor eksternalnya adalah kecepatan angin.
Angin yang terlalu kencang di lokasi pertanaman
mengenai tanaman yang tinggi sangat potensial menyebabkan kerebahan. Hasil penelitian Yamin dan Moentono (2005) menunjukkan bahwa tinggi tanaman adalah salah satu karakter yang berpengaruh terhadap tingkat kerebahan karena gaya yang ditimbulkannya. Untuk menghindari tingkat kerebahan tinggi pada tanaman, maka beberapa sifat yang penting yang mendukung tanaman tidak mudah rebah diantaranya adalah ketegaran bibit tinggi (seedling vigor), batang kuat (stiff straw), dan daya cengkeram akar kuat (root anchorage). Sifat-sifat ini dapat dirakit dan menjadi ideotype tanaman melalui program pemulia tanaman. Umur panen juga merupakan karekter yang sangat penting pada semua tanaman, terutama tanaman serealia seperti padi, jagung, gandum, dan sorgum. Karakter umur panen sering dicantumkan pada label sertifikasi benih. Semakin genjah umur tanaman semakin disukai oleh pengguna. Umur panen tidak hanya penting dari sisi ekonomi, tetapi juga penting dari aspek budidaya tanaman terutama untuk mengatur rotasi atau pola tanam berkaitan dengan musim tanam yang sangat tergantung dengan kondisi iklim. Semakin genjah tanaman semakin menguntungkan secara ekonomi dan memudahkan mengatur pola tanam. Bobot malai pada tanaman serealia terutama pada padi, gandum, dan sorgum adalah karakter agronomi yang sangat menentukan hasil.
Bobot malai pada
tanaman serealia sangat dipengaruhi oleh jumlah bulir pada malai atau ukuran biji yang dinyatakan dengan bobot 1000 butir. Semakin tinggi bobot malai yang kemungkinan disebabkan oleh salah satu dari faktor yang mempengaruhi tersebut akan semakin tinggi produktivitas. Berdasarkan preferensi petani terhadap karakter seleksi genotipe sorgum di tanah masam, maka terpilih beberapa genotipe sorgum yang mempunyai karakter seleksi seperti yang diinginkan oleh petani. Peringkat pertama sampai dengan keempat ditempati oleh varietas yang sudah establis, yaitu Kawali, Mandau,
101 Higari-G, dan Numbu; sedangkan terhadap galur mutan pilihan petani terdapat pada galur ZH30-35-07, ZH30-30-07, ZH30-29-07, dan B-76 (Tabel 27). Tabel 27. Pilihan petani terhadap genotipe sorgum (galur mutan dan varietas) berdasarkan seluruh karakter seleksi Jumlah Mean rank pengamatan Kawali 14 156,29 Mandau 14 148,29 Higari-G 14 120,11 Numbu 14 117,89 ZH30-35-07 14 115,89 ZH30-30-07 14 111,96 ZH30-29-07 14 110,96 Durra 14 110,93 B-76 14 104,71 BR-ZH30-07-07 14 101,61 B-92 14 99,89 GH-ZB41-07 14 99,07 BR-ZH30-06-07 14 79,36 YT-30-40-07 14 53,82 YT30-39-07 14 51,71 2 Uji statistika: χ2hit = 43,219; db=14; dan χ tabel (0,10)=21,10 Genotipe
Urutan pilihan (peringkat) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Varietas Kawali adalah varietas yang sangat ideal sebagai sorgum penghasil biji karena mempunyai keragaan tinggi tanaman sekitar 135 cm, umur tanaman 100-110 hari, dan panjang malai antara 28-29 cm (Rahmi et al., 2009). Karakter yang dimiliki oleh varietas Kawali sangat dikehendaki oleh petani di semua lokasi baby trial sehingga varietas ini mendapat apresiasi yang sangat tinggi (ranking 1). Keunggulan varietas lainnya seperti Mandau adalah sangat tahan rebah karena batangnya sangat kokoh serta mempunyai bentuk malai kompak dan besar, sedangkan varietas Higari-G sangat unggul dalam umur panen (sangat genjah), yaitu hanya sekitar 90 hari (hasil percobaan). Varietas Numbu juga merupakan varietas unggul nasional, tetapi keragaan tanamannya sangat tinggi yaitu mencapai 187 cm dengan panjang malai sekitar 22-23 cm (Rahmi et al., 2009). Karakter seperti ini bagi petani dengan orientasi hasil biji bukan merupakan karakter seleksi yang mendapat apresiasi tinggi, namun untuk karakter sebagai penghasil bioetanol dengan sumber nira batang (steam juice), karakter yang ada pada varietas Numbu merupakan karakter yang
102 sangat baik. Batang tanaman varietas Numbu tinggi dan besar dengan bobot biomasa tinggi sehingga mampu menghasilkan nira dengan produktivitas tinggi. Selain itu, keunggulan lain dari varietas Numbu adalah mempunyai kandungan gula total (total sugar) yang tinggi pada niranya. Preferensi petani terhadap galur mutan. Pilihan petani di tiga lokasi percobaan terhadap galur mutan menunjukkan bahwa galur ZH30-35-07, ZH3030-07, dan ZH30-29-07 adalah tiga galur yang paling dipilih oleh petani (Tabel 36). Pilihan ini mempertimbangkan seluruh karakter seleksi yang dievaluasi, dan ketiga galur di atas unggul dalam karakter ketahanan terhadap rebah, bentuk malai, bobot malai, dan penampilan tanaman secara umum (Tabel 28). Tabel 28. Pilihan petani terhadap galur mutan sorgum berdasarkan seluruh karakter seleksi Jumlah Mean rank pengamatan ZH30-35-07 14 86,61 ZH30-30-07 14 84,21 ZH30-29-07 14 82,32 B-76 14 78,57 BR-ZH30-07-07 14 76,96 B-92 14 76,07 GH-ZB41-07 14 75,57 BR-ZH30-06-07 14 61,46 YT30-40-07 14 42,46 YT30-39-07 14 40,75 2 2 Uji statistika: χ hit = 21,49; db=9; dan χ tabel (0,10)=14,70 Genotipe
Urutan pilihan (peringkat) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pada karakter ketahanan tanaman terhadap rebah, selain galur mutan ZH3035-07 dan ZH30-30-07, petani juga memberikan penilaian tinggi untuk galur mutan BR-ZH30-07-07 namun tidak terhadap galur ZH30-29-07 (Tabel 29). Hal ini menunjukkan galur mutan ZH30-29-07 tidak mempunyai karakter yang baik untuk ketahanan terhadap rebah walaupun galur tersebut terpilih sebagai galur pilihan petani hasil kombinasi seluruh karakter. Pada galur mutan harapan BATAN yang telah mengalami proses pemuliaan lanjut dan akan dilepas menjadi varietas, yaitu B-76 dan B-92 juga tidak mendapat penilaian tinggi untuk karakter ketahanan tanaman terhadap rebah (Tabel 29).
103 Fakta ini menunjukkan bahwa kedua galur tersebut masih rentan terhadap kerebahan sehingga petani tidak memberikan apresiasi tinggi. Tabel 29. Pilihan petani terhadap galur mutan sorgum berdasarkan karakter ketahanan tanaman terhadap rebah Jumlah Mean rank pengamatan ZH30-35-07 14 88,86 BR-ZH30-07-07 14 84,89 ZH30-30-07 14 80,93 GH-ZB41-07 14 80,82 B-92 14 80,82 B-76 14 64,64 ZH30-29-07 14 62,46 YT30-39-07 14 56,50 BR-ZH30-06-07 14 56,50 YT30-40-07 14 48,57 2 Uji statistika: χ2hit = 20,91; db=9; dan χ tabel (0,10)= 14,70 Galur mutan
Urutan pilihan (peringkat) 1 2 3 4 4 5 6 7 7 8
Penilaan petani berdasarkan karakter bentuk malai menunjukkan bahwa ketiga galur mutan yang terpilih yaitu ZH30-30-07, ZH30-35-07 dan ZH30-29-07 mempunyai bentuk malai yang baik sehingga menduduki peringkat 1-3 sebagai galur pilihan petani, walapun secara statistik preferensi petani terhadap bentuk malai tidak menunjukkan adanya perbedaan (Tabel 30). Malai sorgum beragam tergantung varietas dan dapat dibedakan berdasarkan posisi, kerapatan, dan bentuk. Berdasarkan posisi ada yang tegak, miring dan melengkung; berdasarkan kerapatan ada yang kompak, longgar, dan intermediate; dan berdasarkan pada bentuk malai ada yang oval, silinder, elip, seperti seruling, dan kerucut (Martin, 1970). Galur mutan ZH30-30-07, ZH30-35-07 dan ZH30-29-07 yang dipilih oleh petani mempunyai posisi malai tegak, kompak, dan berbentuk oval. Malai yang longgar seperti yang terdapat pada galur YT30-40-07 dan YT30-39-07 tidak disukai oleh petani (Tabel 30). Penilaian berdasarkan bobot malai menunjukkan bahwa dari tiga galur yang terpilih, dua galur mempunyai bobot malai dengan penilaian paling tinggi yaitu ZH30-30-07 dan ZH30-35-07 dan satu galur yaitu ZH30-29-07 berada pada urutan keempat sebagai galur yang disukai oleh petani (Tabel 31). Pada evaluasi secara visual di lapang oleh petani peserta PVS, bobot malai mencerminkan hasil
104 biji sehingga galur mutan yang terpilih berdasarkan bobot malai menunjukkan hasil biji yang tinggi. Namun evaluasi secara kualitatif oleh petani peserta PVS terhadap karakter bobot malai ini belum tentu menunjukkan hasil yang sebenarnya sehingga perlu justifikasi secara kuantitatif.
Evaluasi secara kuantitatif telah
dilakukan oleh peneliti dan hasilnya disajikan pada pembahasan selanjutnya. Tabel 30. Pilihan petani terhadap galur mutan sorgum berdasarkan karakter bentuk malai Jumlah Mean rank pengamatan ZH30-30-07 14 89,75 ZH30-35-07 14 82,71 ZH30-29-07 14 80,64 GH-ZB41-07 14 78,46 BR-ZH30-07-07 14 75,61 BR-ZH30-06-07 14 68,50 B-76 14 60,71 YT30-40-07 14 59,96 B-92 14 57,86 YT30-39-07 14 50,79 2 Uji statistika: χ2hit = 14,96; db=9; dan χ tabel (0,10)= 14,70 Galur mutan
Urutan pilihan (peringkat) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tabel 31. Pilihan petani terhadap galur mutan sorgum berdasarkan karakter bobot malai Jumlah Mean rank pengamatan ZH30-30-07 14 94,64 ZH30-35-07 14 92,14 GH-ZB41-07 14 86,00 BR-ZH30-06-07 14 86,00 ZH30-29-07 14 80,32 BR-ZH30-07-07 14 65,64 YT30-40-07 14 55,75 B-76 14 53,93 YT30-39-07 14 49,61 B-92 14 40,96 2 2 Uji statistika: χ hit = 35,44; db=9; dan χ tabel (0,10)= 14,70 Galur mutan
Urutan pilihan (peringkat) 1 2 3 3 4 5 6 7 8 9
Petani peserta PVS di tiga lokasi percobaan baby trial menempatkan ketiga galur mutan terpilih yaitu ZH30-30-07, ZH30-35-07, dan ZH30-29-07 pada urutan teratas berdasarkan karakter penampilan tanaman secara umum (Tabel 32).
105 Penampilan tanaman secara umum merupakan perpaduan berbagai karakter yang membentuk
keragaan tanaman secara menyeluruh.
Tanaman yang terpilih
berdasarkan evaluasi ini menunjukkan keragaan yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa dibandingkan galur mutan lainnya yang dievaluasi, ketiga galur mutan tersebut mempunyai penampilan paling disukai oleh petani peserta PVS. Berdasarkan karakter ini, galur mutan harapan BATAN yaitu B-76 mendapat apresiasi tinggi oleh petani peserta PVS sehingga menempati urutan ketiga sebagai galur yang disukai (Tabel 32). Tabel 32. Pilihan petani terhadap galur mutan sorgum berdasarkan karakter penampilan tanaman secara umum Jumlah Mean rank pengamatan ZH30-29-07 14 102,07 ZH30-30-07 14 86,61 B-76 14 80,32 ZH30-35-07 14 79,36 BR-ZH30-07-07 14 74,36 B-92 14 75,25 BR-ZH30-06-07 14 59,79 GH-ZB41-07 14 56,64 YT30-40-07 14 45,50 YT30-39-07 14 45,11 2 Uji statistika: χ2hit = 31,39; db=9; dan χ tabel (0,10)= 14,70 Galur mutan
Urutan pilihan (peringkat) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Karakter tinggi tanaman adalah karakter penting untuk pembentukan ideotipe tanaman yang baik. Pada tanaman sorgum penghasil biji, tinggi tanaman yang ideal adalah tinggi tanaman yang mendekati varietas Kawali yaitu sekitar 165 cm sesuai deskripsinya. Pada karakter ini galur mutan harapan BATAN, yaitu B-76 dan B-92 mendapat penilaian tinggi dari petani sehingga berada pada urutan teratas sebagai sorgum yang disukai petani berdasarkan karakter tinggi tanaman. Galur mutan terpilih pada evaluasi petani yaitu ZH30-30-07, ZH30-3507 dan ZH30-29-07 tidak mendapat apresiasi tinggi oleh petani untuk karakter tinggi tanaman dan hanya berada pada posisi empat sampai enam (Tabel 33).
106 Tabel 33. Pilihan petani terhadap galur mutan sorgum berdasarkan karakter tinggi tanaman Jumlah Mean rank pengamatan B-76 14 101,00 B-92 14 98,36 BR-ZH30-07-07 14 83,43 ZH30-29-07 14 76,71 ZH30-35-07 14 69,14 ZH30-30-07 14 63,29 GH-ZB-41-07 14 61,57 BR-ZH30-06-07 14 55,71 YT30-39-07 14 50,71 YT30-40-07 14 45,07 2 2 Uji statistika: χ hit = 32,12; db=9; dan χ tabel (0,10)= 14,70 Galur mutan
Urutan pilihan (peringkat) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tabel 34. Pilihan petani terhadap galur mutan sorgum berdasarkan karakter umur panen Jumlah Mean rank pengamatan B-92 14 92,96 B-76 14 83,61 GH-ZB41-07 14 75,46 YT30-39-07 14 75,46 BR-ZH30-06-07 14 68,04 ZH30-29-07 14 63,36 ZH30-35-07 14 63,36 YT30-40-07 14 61,43 BR-ZH30-07-07 14 61,43 ZH30-30-07 14 59,89 2 Uji statistika: χ2hit = 13,61; db=9; dan χ tabel (0,10)= 14,70 Galur mutan
Urutan pilihan (peringkat) 1 2 3 3 4 5 5 6 6 7
Galur mutan harapan BATAN B-92 dan B-76 mendapat penilaian tinggi oleh petani untuk karakter umur panen sehingga berada pada urutan teratas sebagai galur mutan yang disukai, sedangkan galur mutan terpilih yaitu ZH30-3007, ZH30-35-07 dan ZH30-29-07 tidak mendapat apresiasi tinggi dan berada pada urutan bawah (Tabel 34). Evaluasi oleh petani peserta PVS terhadap karakter tanaman sorgum dilakukan pada umur 100 hari, sehingga beberapa galur mutan sorgum ada yang biji pada malainya sudah memasuki masak fisiologis. Pada saat evaluasi, galur mutan B-76 dan B-92 sudah memasuki masak fisiologis sedangkan
107 galur lainnya belum. Dengan demikian, galur mutan B-76 dan B-92 termasuk galur mutan sorgum berumur genjah dibandingkan galur mutan lain yang diuji. Kesesuaian pilihan galur pada tanah masam. Petani melalui percobaan participatory varietal selection terhadap galur mutan sorgum di tiga lokasi tanah masam berbeda di Lampung memilih galur mutan ZH30-30-07, ZH30-35-07 dan ZH30-29-07 sebagai galur yang disukai dan sesuai untuk sistem budidaya lokal, sedangkan peneliti melalui percobaan penapisan (screening) di tanah masam yang telah dilakukan sebelumnya juga memilih galur mutan ZH30-29-07, ZH30-30-07, dan ZH30-35-07 sebagai galur yang toleran terhadap tanah masam dengan produktivitas biji tinggi. Hasil percobaan ini menunjukkan terdapat kesesuaian pilihan galur mutan sorgum untuk sistem budidaya di tanah masam walaupun metode percobaan yang digunakan berbeda. Berdasarkan metode percobaan, participatory varietal selection yang bekerja dengan hasil program pemuliaan lanjut dan memadukan pemahaman petani (local knowledge) akan varietas tanaman dan kondisi agroekologinya ternyata mempunyai efektivitas yang tinggi untuk menghasilkan pilihan varietas atau galur tanaman sebagaimana percobaan formal melalui penapisan (screening). Sedangkan berdasarkan pendekatan galur yang dipilih menunjukkan bahwa ketiga galur mutan yaitu ZH30-29-07, ZH30-30-07, dan ZH30-35-07 adalah galur mutan sorgum yang mempunyai keragaan baik di tanah masam. Keragaan hasil bioetanol di baby trial. Untuk produktivitas bioetanol dengan sumber nira batang, petani belum memahami sepenuhnya kriteria genotipe sorgum yang sesuai. Hal ini disebabkan tidak hanya karakter morfologi sebagai acuan pilihan tetapi juga menyangkut karakter kualitas yang tidak tampak dari luar yaitu kandungan gula total (total sugar) yang terdapat pada nira dan hasil nira dari batang sorgum. Oleh sebab itu, evaluasi terhadap genotipe sorgum untuk produktivitas bioetanol masih dipandu oleh peneliti. Produktivitas bioetanol dari empat galur mutan yang potensial menghasilkan bioetanol tinggi hasil seleksi sebelumnya dibandingkan dengan hasil bioetanol dari varietas Numbu ditunjukkan pada Tabel 35. Hasil percobaan menunjukkan bahwa produktivitas bioetanol berbeda antar galur mutan dan antar lokasi. Di Lampung Selatan dan Tanggamus produktivitas bioetanol galur mutan sangat
108 rendah yaitu kurang dari 200 l/ha jauh di bawah potesi hasilnya sekitar 1.200 l/ha (Global Petroleum Club, 2007). Produktivitas bioetanol dari galur mutan ZH3029-07 (735,19 l/ha), ZH30-35-07 (626.24 l/ha), dan ZH30-30-07 (456,39 l/ha) di Lampung Timur lebih baik dibandingkan hasil di Lampung Selatan dan Tanggamus, namun masih dibawah hasil bioetanol varietas Numbu yang mampu menembus potensi hasilnya yaitu 1.357,65 l/ha (Tabel 34). Tabel 35. Perbandingan produktivitas bioetanol dari nira batang sorgum manis di tiga lokasi percobaan baby trial Lokasi Lampung Lampung Tanggamus Selatan Timur ----------------------- liter/hektar ----------------------ZH30-29-07 149,21 735,19 160,20 ZH30-30-07 259,64 456,39 187,52 ZH30-35-07 180,76 626,24 161,45 BR-ZH30-07-07 57,77 307,56 97,78 Numbu (pembanding) 587,98 1.357,65 207,43 Keterangan: Efisiensi fermentasi 0,92; dan efisiensi destilasi 0,85 Genotipe
Banyak faktor yang mempengaruhi hasil bioetanol dengan sumber nira batang, diantaranya adalah waktu panen, kadar total sugar yang berubah akibat perubahan agroklimat, dan penanganan pascapanen.
Dalam percobaan ini
rendahnya produksi nira diduga disebabkan oleh waktu panen yang terlalu lama karena menunggu biji melewati fase masak fisiologis dan proses pemerasan yang tidak sempurna. Seleksi oleh Pemulia Seleksi oleh pemulia dilakukan di mother trial dan baby trial terhadap hasil pengukuran kuantitatif karakter agronomi tanaman sorgum. Analisis dilakukan terhadap karakter penentu ketahanan tanaman sorgum di tanah masam yaitu bobot biomassa, serta karakter penentu hasil biji yaitu bobot biji/malai. Karakter tinggi tanaman juga dianalisis untuk mendapatkan ideotype galur mutan yang sesuai sebagai penghasil biji atau bioetanol, serta untuk mendapatkan gambaran tentang tingkat kerebahan tanaman. Tinggi tanaman dan bobot biomasa secara bersamasama digunakan sebagai karakter seleksi untuk penghasil bioetanol.
109 Baby trial. Hasil analisis ragam terhadap karakter tinggi tanaman, bobot biomasa, dan bobot biji/malai menunjukkan bahwa terdapat perbedaan keragaan yang sangat nyata dari tiga karakter tersebut di lokasi yang berbeda. Hal ini ditunjukkan oleh pengaruh lokasi yang sangat nyata pada ketiga karakter tersebut. Selain lokasi, genotipe juga memberikan perbedaan terhadap keragaan ketiga karakter di atas yang ditunjukkan oleh pengaruh yang nyata pada karater tinggi tanaman dan sangat nyata pada karakter bobot biomasa dan bobot biji/malai (Tabel 36). Tabel 36. Analisis ragam karakter agronomi genotipe sorgum di Baby Trial Karakter
KT Lokasi
Nilai F-hit.
P
KT Genotipe
Nilai F-hit
P
Tinggi tanaman 9.198,50 18,71** 0,000 1.306,40 2.660* 0,013 Bobot biomasa 325.484,00 31,79** 0,000 43.606,00 4.260** 0,001 Bobot biji/malai 9.663,20 44,26** 0,000 475,90 2,18** 0,039 Keterangan: tn = tidak berbeda nyata, *= berbeda nyata pada taraf 5%, dan ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1% uji-F. Pada percobaan ini analisis kuantitatif dilakukan terhadap seluruh genotipe sorgum yang diuji yaitu varietas dan galur mutan, namun yang ditampilkan dalam pembahasan ini hanya keragaan galur mutan sebagai upaya untuk menjustifikasi pilihan petani berdasarkan analisis kualitatif melalui participatory varietal selection.
Tujuan pembahasan melalui analisis kuantitatif ini adalah untuk
mengetahui apakah pilihan petani dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hasil uji perbandingan t-Dunnett menunjukkan bahwa untuk karakter tinggi tanaman, dua dari tiga galur mutan yang dipilih oleh petani yaitu ZH30-35-07 (175,98 cm) dan ZH30-29-07 (171,74 cm) berbeda sangat nyata dan nyata lebih tinggi, sedangkan satu galur yaitu ZH30-30-07 (164,92 cm) tidak berbeda nyata dibandingkan tinggi tanaman varietas Kawali (149,38 cm) (Tabel 37). Hal ini menunjukkan dari tiga galur mutan yang dipilih, satu galur yaitu ZH30-30-07 telah mempunyai tinggi tanaman yang ideal sebagai sorgum penghasil biji, sedangkan dua galur lainnya yaitu ZH30-35-07 dan ZH30-29-07 keragaan tinggi tanamannya belum ideal sebagai sorgum penghasil biji.
110 Tabel 37. Pengaruh galur mutan terhadap karakter seleksi tanaman sorgum di baby trial Karakter seleksi Tinggi tanaman Bobot biomasa Bobot biji/malai ------- cm ------ ------- g -------------- g -------ZH30-30-07 164.92 tn 599.00 ** 77.06 tn BR-ZH30-07-07 145.67 tn 583.08 ** (56.24) ** ZH30-35-07 175.98 ** 558.00 ** (58.59) * ZH30-29-07 171.74 * 554.52 ** 75.04 tn GH-ZB41-07 185.77 ** 529.00 ** 77.86 tn BR-ZH30-06-07 158.05 tn 453.57 tn 72.46 tn YT30-40-07 163.92 tn 431.33 tn 62.04 tn YT30-39-07 201.31 ** 406.67 tn 68.74 tn B-92 182.39 ** 357.50 tn (51.12) ** B-76 195.41 ** 344.33 tn (56.44) ** Kawali (pembanding) 149.38 375.42 74.10 Nilai t-Dunnet 0,05 20,56 93,84 13,70 Nilai t-Dunnet 0,01 26,23 119,71 17,48 Keterangan: tn) tidak berbeda nyata; *) berbeda nyata pada taraf 5%; dan **) berbeda sangat nyata pada taraf 1% uji t-Dunnet Galur mutan
Karakter bobot biomasa adalah karakter penentu ketenggangan tanaman sorgum di tanah masam. Tanaman sorgum yang tenggang terhadap cekaman Al mempunyai bobot biomasa yang tinggi. Keragaan karakter bobot biomasa di percobaan baby trial menunjukkan bahwa ketiga galur yang dipilih oleh petani melalui percobaan PVS yaitu ZH30-30-07 (599,0 g), ZH30-35-07 (558,0 g), dan ZH30-29-07 (554,52 g) mempunyai bobot biomasa berbeda sangat nyata lebih tinggi dari varietas pembanding Kawali yang mempunyai bobot biomasa 375,42 g (Tabel 37). Hal ini menunjukkan pilihan galur mutan sorgum oleh petani melalui evaluasi secara kualitatif dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah melalui analisis secara kuantitatif oleh peneliti. Karakter bobot biji/malai adalah karakter penentu hasil per individu tanaman yang mencerminkan hasil tanaman secara keseluruhan. Keragaan bobot biji/malai dari ketiga galur mutan yang dipilih oleh petani menunjukkan adanya variasi. Dua galur mutan terpilih yaitu ZH30-30-07 (77,06 g) dan ZH30-29-07 (75,04 g) mempunyai bobot biji/malai yang tidak berbeda nyata dibandingkan varietas Kawali (74,10 g), sedangkan satu galur lainnya yaitu ZH30-35-07 (58,59 g) menunjukkan keragaan bobot biji/malai yang lebih rendah dari varietas Kawali
111 (Tabel 37). Fakta ini menunjukkan bahwa galur mutan yang dipilih oleh petani melalui PVS sesuai dengan pilihan peneliti melalui evaluasi secara kuantitatif. Ketiga galur mutan sorgum pilihan petani yaitu ZH30-30-07, ZH30-35-07, dan ZH30-29-07 adalah galur mutan sorgum potensial toleran tanah masam dengan produktivitas biji tinggi. Mother trial. Hasil analisis ragam terhadap karakter tinggi tanaman, bobot biomasa dan bobot biji/malai di percobaan mother trial menunjukkan bahwa genotipe (varietas dan galur mutan) tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, namun berpengaruh sangat nyata terhadap keragaan bobot biomasa dan bobot biji/malai (Tabel 38). Tabel 38. Pengaruh genotipe sorgum terhadap karakter seleksi di mother trial Karakter KT Genotipe Kisaran Rata-rata Tinggi tanaman (cm) 529,10tn 87,75-130,58 103,88±13,28 Bobot biomassa (g) 17.881,00** 104,33-368,20 241,18±77,20 Bobot biji/malai (g) 295.94** 24,93-62,34 40,00±9,93 Keterangan: tn) tidak berbeda nyata, dan **) berbeda sangat nyata pada taraf 1% berdasarkan uji-F. Berdasarkan sidik ragam, karakter tinggi tanaman tidak dipengaruhi oleh genotipe yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata pada karakter tinggi tanaman genotipe sorgum yang diuji. Hasil percobaan menunjukkan tinggi tanaman berada pada kisaran 87,75-130,58 cm dengan rata-rata 103,88±13,28 cm (Tabel 38). Tinggi tanaman terendah justru terdapat pada varietas pembanding Kawali yaitu 87,75 cm dan hal ini bukan keragaan karakter tinggi tanaman varietas Kawali pada kondisi tanpa cekaman berat. Fakta menunjukkan bahwa seluruh genotipe sorgum di percobaan mother trial pertumbuhannya sangat tertekan. Dari 15 genotipe yang dibandingkan karakter tinggi tanamannya, hanya tiga galur mutan dan satu varietas yang mempunyai karakter tinggi tanaman berbeda sangat nyata lebih tinggi daripada Kawali (Tabel 39). Tiga galur mutan yang dipilih petani di percobaan baby trial yaitu ZH30-2907, ZH30-30-07, dan ZH30-35-07 menunjukkan keragaan yang tidak berbeda nyata untuk karakter tinggi tanaman di mother trial. Keragaan ini sangat berbeda dengan di baby trial dimana dari tiga galur yang terpilih tersebut hanya satu yang tidak berbeda nyata yaitu ZH30-30-07. Hal ini menunjukkan bahwa keragaan
112 karakter agronomi tanaman sorgum sangat tergantung dengan kondisi agroekologi tempat tumbuhnya. Tabel 39. Keragaan karakter seleksi tinggi tanaman, bobot biomasa, dan bobot biji/malai galur mutan sorgum di mother trial Karakter seleksi Tinggi tanaman Bobot biomassa Bobot biji/malai -------- cm --------- g ---------- g -----ZH30-35-07 88,4 tn 320,2 ** (28,48) * BR-ZH30-07-07 92,4 tn 368,2 ** 30,15 tn ZH30-30-07 95,8 tn 285,6 tn 31,47 tn ZH30-29-07 98,3 tn 302,5 * 36,44 tn B-76 100,1 tn 152,5 tn 41,26 tn B-92 110,6 tn (139,2) * 41,94 tn BR-ZH30-06-07 112,7 tn 279,0 tn 45,31 * YT30-40-07 116,1 * 225,5 tn 47,45 ** GH-ZB41-07 117,6 * 293,3 tn 49,84 ** YT30-39-07 121,7 ** 306,7 * 50,27 ** Kawali (pembanding) 87,8 224,3 36,2 Nilai t-Dunnett 0,05 26,48 74,44 7,50 Nilai t-Dunnett 0,01 33,77 94,95 9,57 Keterangan: tn) tidak berbeda nyata, *) berbeda nyata pada taraf 5%, dan **) berbeda sangat nyata pada 1% uji t-Dunnett. Galur mutan
Karakter bobot biomassa dapat mewakili penampikan tanaman secara umum karena menggambarkan perpaduan antar karakter. Di mother trial, penampilan karakter bobot biomasa sangat dipengaruhi oleh genotipe yang ditunjukkan oleh pengaruh genotipe yang sangat nyata terhadap karakter tersebut. Penampilan karakter bobot biomasa tanaman sorgum di mother trial berkisar antara 104,33368,20 gram dengan rata-rata 241,18±77,20 gram (Tabel 38). Berdasarkan keragaan karakter bobot biomasa, di percobaan mother trial terpilih empat galur mutan yang mempunyai bobot biomassa tinggi melebihi varietas pembanding Kawali (224,3 g), yaitu ZH30-35-07 (320,2 g), BR-ZH3007-07 (368,2 g), ZH30-29-07 (302,5 g), dan YT30-39-07 (306,7 g) (Tabel 39). Galur-galur ini potensial untuk dikembangkan sebagai galur mutan sorgum toleran tanah masam, karena mempunyai bobot biomasa yang tinggi. Berdasarkan keragaan bobot biji/malai, di percobaan mother trial terdapat empat galur mutan yang mempunyai bobot biji lebih tinggi dibandingkan bobot biji varietas Kawali (36,2 g) yaitu BR-ZH30-06-07 (45,31 g), YT30-40-07
113 (47,45 g), GH-ZB41-07 (49,84 g), dan YT30-39-07 (50,27 g). Dari tiga galur mutan yang dipilih petani di baby trial, dua galur mutan yaitu ZH30-30-07 (31,47 g) dan ZH30-29-07 (36,44 g) mempunyai bobot biji yang tidak berbeda nyata dan satu galur yaitu ZH30-35-07 (28,48 g) lebih rendah dari varietas Kawali (Tabel 39). Seleksi oleh pemulia di mother trial memberikan hasil yang berbeda dibandingkan seleksi oleh petani di baby trial. Petani memilih galur mutan ZH30-29-07, ZH30-30-07, dan ZH30-35-07 sebagai galur pilihan mereka sedangkan pemulia memilih galur YT30-39-07, YT30-40-07, dan GH-ZB41-07 sebagai galur yang adaptif pada tanah masam dengan produktivitas tinggi. Namun demikian, hasil seleksi oleh petani di baby trial tersebut sama dengan hasil seleksi oleh pemulia di percobaan penapisan yang menyatakan bahwa ketiga galur yang dipilih oleh petani tersebut termasuk galur mutan toleran tanah masam dengan produktivitas tinggi. Ketidakselarasan hasil seleksi oleh petani dan pemulia diduga disebabkan oleh pertumbuhan tanaman sorgum yang sangat berbeda antara mother trial dan baby trial. Keragaan hasil bioetanol di mother trial. Produktivitas bioetanol di mother trial sangat jauh dari produksi idealnya. Bukan hanya galur mutan, namun varietas Numbu sebagai varietas pembanding juga menunjukkan keragaan hasil bioetanol yang sangat rendah, yaitu hanya 156,06 l/ha sangat jauh dari potensi hasilnya 1.200 l/ha. Dari empat galur mutan sorgum yang dibandingkan hasil bioetanolnya dengan varietas Numbu, hanya satu yang menghasikan bioetanol lebih tinggi yaitu ZH30-35-07 (199,68 l/ha) dan satu galur relatif sama yaitu ZH30-30-07 (156,72 l/ha) (Tabel 40). Tabel 40. Keragaan hasil bioetanol dari nira batang sorgum manis di mother trial Hasil batang Hasil nira TS Bioetanol % thd (ton/ha) (liter/ha) (%) (liter/ha) Numbu 1. 13,16 3.421 11,59 199,68 128% 2. 11,19 2.685 11,59 156,72 100% 3. 11,22 2.805 10,50 148,32 95% 4. BR-ZH30-07-07 14,56 3.348 8,21 138,43 89% 5. Numbu 6,97 2.091 14,82 156.06 Keterangan: efisiensi fermentasi 0,92 dan efisiensi destilasi 0,85, TS=total sugar No
Genotipe sorgum ZH30-35-07 ZH30-30-07 ZH30-29-07
114 Rendahnya produktivitas bioetanol di mother trial tidak terlepas dari pertumbuhan tanaman sorgum yang sangat tertekan. Hasil batang varietas Numbu dan tiga galur terpilih yaitu ZH30-29-07, ZH30-30-07, dan ZH30-35-07 yang dapat mencapai 40 ton/ha di percobaan penapisan, di percobaan mother trial hasilnya hanya sekitar 11 ton (Tabel 40). Komponen hasil batang sangat penting dalam produktivitas bioetanol, karena batang yang berbobot akan menghasilkan nira yang banyak dan sebaliknya.
SIMPULAN Hasil percobaan ini menunjukkan terdapat perbedaan preferensi (tingkat kesukaan) antara petani dalam satu lokasi maupun antar lokasi terhadap karakter seleksi galur mutan sorgum yang dievaluasi. Perbedaan ini menghasilkan perbedaan pilihan galur mutan sorgum sehingga menciptakan biodiversitas tanaman sorgum di lapangan. Petani sangat menyukai karakter tanaman sorgum yang tahan terhadap kerebahan dan mempunyai umur yang genjah. Galur mutan yang dipilih oleh petani yaitu ZH30-29-07, ZH30-30-07, dan ZH30-35-07 mempunyai karakter tahan terhadap kerebahan, serta mempunyai bentuk dan bobot malai yang baik, sedangkan pilihan petani terhadap galur mutan B-76 dan B-92 didasarkan pada karakter tinggi tanaman yang ideal dan mempunyai umur yang genjah. Terdapat kesamaan pilihan galur mutan sorgum antara peneliti di percobaan penapisan dengan petani di percobaan PVS, yaitu sama-sama memilih galur mutan ZH30-29-07, ZH30-30-07, dan ZH30-35-07 sebagai galur toleran tanah masam dengan produktivitas tinggi dan mempunyai karakter seleksi yang dikehendaki oleh petani. Hasil ini membuktikan bahwa kearifan lokal (indigenous knowledge) yang dimiliki oleh petani dapat digunakan untuk program pemuliaan tanaman.
UJI DAYA HASIL PENDAHULUAN GALUR MUTAN SORGUM DI TANAH MASAM ABSTRAK Pembentukan varietas sorgum toleran tanah masam dengan produktivitas tinggi di Indonesia sangat penting, karena lahannya banyak didominasi tanah masam. Seleksi galur mutan sorgum toleran tanah masam dengan produktivitas tinggi telah dilakukan dan sebagai langkah awal dalam rangka pembentukan varietas perlu dilakukan uji daya hasil guna pembentukan galur mutan harapan. Penelitian bertujuan menguji daya hasil dan mengindentifikasi galur-galur mutan sorgum yang memiliki potensi hasil lebih tinggi dari varietas pembanding. Percobaan menggunakan rancangan kelompok teracak lengkap dengan perlakuan 24 genotipe sorgum dan tiga ulangan di Lampung Timur. Materi genetik merupakan hasil percobaan penapisan dan participatory varietal selection yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil percobaan menunjukkan galur mutan GH-ZB43-07, PSj-95-05, ZH30-29-07, dan ZH30-30-07 adalah galur yang teridentifikasi mempunyai potensi hasil biji lebih tinggi dari varietas pembanding, sedangkan galur mutan yang teridentifikasi mempunyai produktivitas bioetanol lebih tinggi dari varietas pembanding adalah ZH30-35-07, BR-ZH30-06-07, dan PSj-95-05. Galur mutan PSj-95-05 adalah galur dengan produktivitas biji dan bioetanol tinggi. Kata kunci: galur mutan sorgum, tanah masam, uji daya hasil ABSTRACT Development of high yielding and acid soil tolerant varieties to acid soil are needed because of the dominance of acid soils in Indonesia. Selection of sorghum mutant lines for tolerance to acid soil with high productivity have resulted in tolerant lines. The objective of this study was to conduct prelimenary yield trials to identify mutant lines with higher yield potential under acid soil condition than varieties have released. The trial was conducted in East Lampung in a randomized complete block design with 24 sorghum lines as treatment and three replications. The lines were those selected from from screening and participatory varietal selection. The results showed that sorghum mutant lines i.e GH-ZB43-07, PSj-95-05, ZH30-29-07, and ZH30-30-07 were identified as high yielding in grain production, and ZH30-35-07, BR-ZH30-06-07, and PSj-95-05 were identified as high ethanol production compared to national varieties. Mutant line PSj-95-05 was identified as both high yielding in grain and ethanol production. Key words: sorghum mutant lines, acid soil, yield testing PENDAHULUAN Latar Belakang Sorgum saat ini merupakan tanaman serealia penting ke lima di dunia setelah gandum, padi, jagung, dan barley. Secara alamiah tanaman ini tahan
116 terhadap panas dan kekeringan sehingga banyak dikembangkan di berbagai negara tropis, termasuk di negara dengan empat musim yang ditanam pada musim panas (Tribe, 2007). Walaupun Indonesia merupakan negara tropis yang sangat ideal untuk pengembangan sorgum, namun tanaman ini belum populer karena belum dimanfaatkan sebagai komoditi ekonomi. Berdasarkan potensinya yang sangat tinggi apabila digunakan untuk bahan pangan, bahan baku bioetanol, dan pakan ternak (FAO, 2007), sorgum saat ini menjadi perhatian masyarakat Indonesia baik kalangan peneliti, akademisi, dunia usaha maupun pengambil kebijakan. Sorgum apabila dikembangkan di Indonesia terutama di luar Pulau Jawa, terlebih jika menggunakan lahan sisa garapan yang telah diusahakan akan dihadapkan pada lahan marjinal, yaitu lahan kelas IV dan VI (Sopandie, 2006). Lahan marjinal yang dominan adalah tanah masam yang banyak terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Papua (Hidayat dan Mulyani, 2002). Tanah yang bereaksi masam di wilayah tersebut banyak didominasi oleh jenis tanah Aluvial, Latosol, Organosol, Podsol, dan Podsolik (Arief, 1990). Kendala fisio-kimia pada tanah tersebut adalah kandungan bahan organik rendah, kahat unsur hara makro dan mikro, serta kelarutan Al tinggi (Sanchez, 1992). Kelarutan Al yang tinggi meracuni tanaman sehingga menjadi faktor pembatas produktivitas yang utama (Wright, 1989), dan pada serealia dapat menurunkan produktivitas hingga 63% (Sierra et al., 2005). Sorgum adalah jenis tanaman serealia yang sensitif terhadap cekaman Al tinggi (Duncan et al., 1983; Anas dan Yoshida, 2000). Pembentukan varietas sorgum toleran tanah masam dengan produktivitas tinggi menjadi sangat penting, karena produktivitas tanaman sangat tergantung pada kesesuaian varietas yang digunakan, teknik bercocok tanam, dan kondisi tempat tumbuh (Maryanto et al., 2002; Thony et al., 2008). Pada penelitian ini, pembentukan varietas tersebut menggunakan metode participatory plant breeding secara langsung di lingkungan target, yaitu tanah masam. Tujuannya adalah untuk mengoptimalkan peran lingkungan yang meliputi kondisi biofisio-kimia dan sosial, sehingga varietas yang dihasilkan secara teknis toleran terhadap tanah masam dan secara sosial dikehendaki oleh petani dan stakeholders lainnya. Dua percobaan telah dilakukan dalam rangka pembentukan varietas sorgum unggul spesifik lokasi tanah masam dengan produktivitas biji dan atau bioetanol
117 tinggi dengan metode di atas, yaitu penapisan (screening) terhadap plasmanutfah galur mutan di tanah masam dan participatory varietal selection. Percobaan tersebut telah menghasilkan beberapa galur mutan sorgum toleran tanah masam dan dipilih oleh petani.
Tahap selanjutnya adalah melakukan Uji Daya Hasil
Pendahuluan (UDHP) terhadap galur-galur pilihan tersebut. UDHP pada percobaan ini menggunakan varietas Kawali dan Numbu sebagai varietas pembanding. Idiotipe tanaman sorgum yang dikehendaki untuk produktivitas biji tinggi dan adaptif pada tanah masam adalah tajuk tidak terlalu tinggi sehingga tahan terhadap kerebahan, bobot biomasa tinggi, malai panjang, dan bobot biji/malai tinggi. Pada varietas unggul nasional, kriteria ini dimiliki oleh varietas Kawali dengan keragaan tinggi tanaman sekitar 135 cm, panjang malai 28-29 cm, umur panen antara 100-110 hari, dan produktivitas biji 2,96 ton/ha (Rahmi et al.,
2009).
Disisi lain, idiotipe tanaman sorgum yang
dikehendaki sebagai penghasil bioetanol dengan sumber nira batang (stem juice) adalah tajuk tanaman dan bobot biomasa tinggi sehingga nira yang dihasilkan banyak, serta mempunyai total sugar pada nira tinggi. Karakter ini dimiliki oleh varietas Numbu dengan tinggi tanaman sekitar 187 cm (Rahmi et al., 2009) dengan kandungan total sugar sekitar 14,81% (Laboratorium B2TP, BPPT Lampung Tengah, 2007). Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji daya hasil galur-galur mutan sorgum hasil seleksi di tanah masam dan mengidentifikasi galur-galur mutan yang memiliki potensi hasil baik biji maupun bioetanol yang lebih tinggi dari varietas yang sudah dikembangkan di tanah masam.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan dilaksanakan di Desa Gunung Mekar, Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Timur. Lahan yang digunakan merupakan lahan kering milik petani setempat yang biasa ditanami jagung. Hasil pengujian terhadap
118 kemasaman tanah di lokasi percobaan menunjukkan pH tanah rata-rata 4,8. Tanah dengan pH 4,8 termasuk jenis tanah masam (Pusat Penelitian Tanah, 1983). Percobaan dilaksanakan dari bulan Mei sampai Oktober 2009 yang meliputi tahap persiapan, pelaksanaaan percobaan di lapang, pengamatan secara on farm terhadap keragaan karakter agronomi tanaman, dan secara off farm terhadap hasil bioetanol dan kadar pati biji sorgum. Bahan Genetik Bahan utama percobaan ini adalah genotipe sorgum yang terdiri dari 20 galur mutan dan 4 varietas. Galur mutan yang disertakan merupakan galur toleran dan moderat terhadap tanah masam hasil percobaan sebelumnya (penapisan dan participatory varietal selection). Galur mutan toleran tanah masam terdiri dari ZH30-29-07, ZH30-30-07, ZH30-33-07, ZH30-35-07, GH-ZB41-07, BR-ZH3005-07, BR-ZH30-07-07, YN30-38-07; dan galur moderat terdiri dari ZH30-2307, YT30-39-07, YT30-40-07, GH-ZB42-07,GH-ZB43-07, BR-ZH30-06-07, B76, B-83, B-90, B-92, B-100, dan PSj-95-05. Dari galur-galur yang disertakan tersebut galur yang dipilih oleh petani melalui participatory varietal selection adalah ZH30-29-07, ZH30-30-07, ZH30-35-07, B-76 dan B-92. Varietas sorgum unggul nasional yang digunakan sebagai pembanding pada percobaan ini adalah Kawali dan Numbu. Kawali digunakan sebagai pembanding untuk produktivitas biji, sedangkan Numbu untuk hasil bioetanol. Varietas lain yang disertakan pada percobaan ini adalah Durra dan Mandau.
Metode Penelitian Metode Percobaan Percobaan menggunakan Rancangan Kelompok Teracak Lengkap (RKTL) dengan 24 perlakuan dan 3 ulangan yang digunakan sebagai kelompok. Perlakuan berupa ragam genotipe sorgum yang terdiri dari galur mutan dan varetas, yaitu ZH30-29-07, ZH30-30-07, ZH30-33-07, ZH30-35-07, GH-ZB41-07, BR-ZH3005-07, BR-ZH30-07-07, YN30-38-07, ZH30-23-07, YT30-39-07, YT30-40-07,
119 GH-ZB42-07,GH-ZB43-07, BR-ZH30-06-07, B-76, B-83, B-90, B-92, B-100, PSj-95-05, Kawali, Numbu, Durra dan Mandau. Data hasil pengamatan berupa keragaan karakter agronomi genotipe sorgum dianalisis dengan sidik ragam dan untuk membandingkan keragaan nilai tengah galur mutan dengan nilai tengah varietas pembanding digunakan uji t-Dunnet dengan taraf nyata 5% dan 1%. Pelaksanaan Percobaan Pengolahan lahan. Tanah lokasi percobaan dibajak kemudian digemburkan sebagaimana pengolahan tanah yang umum dilakukan petani. Setelah itu dibuat petak percobaan atau unit percobaan dengan ukuran 3m x 4m sebanyak 24 petak untuk setiap ulangan, sehingga total unit percobaan adalah 72 petak. Penanaman. Penanaman dilakukan dengan cara ditugal, yaitu benih sorgum dimasukkan ke dalam lubang tanam dengan kedalaman ± 3 cm yang telah dibuat sebelumnya. Jumlah benih yang dimasukkan sekitar 3-4 butir per lubang tanam kemudian ditutup dengan pupuk kandang yang telah diayak. Jarak tanam yang digunakan adalah 20 cm dalam baris dan 80 cm antar baris, sehingga diperoleh populasi tanaman sekitar 62.500 per hektar. Pemupukan. Pupuk yang digunakan untuk menambah unsur hara di dalam tanah adalah Urea, SP-36 dan KCl dengan dosis masing-masing 100, 60, dan 60 kg/ha. Pupuk SP-36 dan KCl diberikan sekaligus pada saat tanam, sedangkan pupuk Urea diberikan dua kali, yaitu 2/3 bagian pada saat tanam dan 1/3 bagian pada saat tanaman berumur 7 MST (minggu setelah tanam). Aplikasi pupuk dimasukkan ke dalam lubang yang telah ditugal dengan jarak sekitar 10 cm di sisi lubang tanam. Khusus untuk aplikasi 1/3 bagian dosis pupuk Urea pada 7 MST ditambahkan media pasir untuk menambah volume sebar. Pemeliharaan. Pemeliharaan meliputi penjarangan, pengendalian gulma, hama dan penyakit tanaman. Penjarangan dilakukan apabila benih yang tumbuh pada lubang tanam lebih dari satu dan bertujuan untuk mendapatkan kondisi tanaman seragam, yaitu satu tanaman per lubang tanam. Penjarangan dilakukan pada saat tanaman berumur 2 MST.
Pengendalian gulma (weeding) dilakukan
secara manual dengan menggunakan cangkul, sekaligus digunakan untuk
120 pembumbunan tanah pada baris tanaman agar tanaman kokoh sehingga tidak mudah rebah. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan sesuai dengan kondisi lapang berdasarkan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Pengamatan.
Variabel pengamatan pada Uji Daya Hasil Pendahuluan
dilakukan terhadap komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil. Komponen pertumbuhan terdiri dari tinggi tanaman, jumlah daun, lingkar batang dan bobot biomasa; sedangkan komponen hasil dan hasil terdiri dari panjang malai, bobot biji/malai, bobot 1000 butir, dan hasil biji/ha. Pengamatan terhadap komponen pertumbuhan dan komponen hasil dilakukan pada 20 tanaman contoh. Selain pengamatan di atas, dilakukan pula pengamatan terhadap hasil bioetanol dari nira batang dan kadar pati pada biji. Komponen pengamatan untuk mengetahui produktivitas bioetanol dari batang sorgum dilakukan pengukuran terhadap total sugar pada nira batang (stem juice) dan bobot batang pada saat panen (umur tanaman 110 hari). Kadar pati dianalisis di laboraorium B2TP-BPPT di Lampung Tengah.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Pertumbuhan tanaman sorgum di UDHP secara umum baik, namun dari 24 genotipe yang diuji terdapat satu galur yaitu YN-30-38-07 (daya adaptasi toleran terhadap tanah masam) tidak tumbuh di semua ulangan. Gangguan hama dan penyakit tidak menyebabkan kerusakan pada tanaman. Pengamatan visual menunjukkan serangga yang dominan pada pertanaman sorgum adalah belalang dan kutu daun (Aphis sp.), namun kedua jenis serangga tersebut tidak berkembang menjadi hama yang merugikan. Curah hujan selama percobaan berlangsung, yaitu Mei-September 2009 ratarata 40,67 mm/bulan, dengan kelembaban udara rata-rata 79,8% (Badan Meteorologi dan Geofisika, Stasiun Klimatologi Masgar, 2010). Pada rentang waktu tersebut, di bulan Agustus 2009 tidak terdapat curah hujan sama sekali di lokasi percobaan.
121 Keragaan Komponen Pertumbuhan Pertumbuhan tanaman sorgum sangat dipengaruhi oleh keragaman genotipe yang ditunjukkan oleh pengaruh genotipe yang nyata terhadap karakter jumlah daun, dan sangat nyata terhadap karakter tinggi tanaman, lingkar batang, dan bobot biomassa tanaman (Tabel 41). Hal ini menunjukkan bahwa tinggi tanaman, lingkar batang, dan bobot biomasa adalah karakter yang menyebabkan keragaman pada populasi tanaman sorgum. Adanya keragaman pada populasi tanaman akan memudahkan program seleksi untuk memilih galur yang sesuai dengan idiotipe yang dikehendaki. Tabel 41. Pengaruh genotipe terhadap keragaan pertumbuhan tanaman sorgum di tanah masam Karakter KT Genotipe Rata-rata Kisaran Tinggi tanaman (cm) 1.110,06 ** 140,11± 19,24 111,35-183,83 Jumlah daun (helai) 1,19 * 9,17±0,63 8,13-10,55 Lingkar batang (mm) 26,02 ** 18,51±2,94 13,95-23,76 Bobot biomasa (g) 29.765,23 ** 422,98±99,61 229,33-628,17 Keterangan: *) berbeda nyata pada taraf 5%, **) berbeda sangat nyata pada taraf 1% uji F Tinggi tanaman Dalam program pemuliaan tanaman, karakter tinggi tanaman sangat penting dalam karakterisasi untuk pembentukan suatu varietas. Percobaan uji daya hasil pada tanaman serealia sebagain besar mengukur keragaan tinggi tanaman, dan karakter ini umumnya dituliskan pada deskripsi tanaman.
Karakter tinggi
tanaman menjadi sangat penting karena sifat tersebut mudah diturunkan, dapat dengan mudah dilihat oleh mata, dan dapat terekspresi pada seluruh lingkungan (KNPN, 2004). Tinggi tanaman merupakan salah satu indikator pertumbuhan dan merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan terutama cahaya matahari yang bertindak sebagai fotomorfogenesis (Taiz and Zeiger, 2002). Pada lingkungan tanah masam, adanya cekaman Al yang tinggi dan rendahnya unsur hara yang tersedia maupun yang diserap oleh tanaman menyebabkan tanaman menjadi kerdil (Kochian et al., 2004; Ma et al., 2005). Indikator utama yang tampak pada tanaman yang kerdil akibat pertumbuhan yang terhambat adalah tinggi tanamannya tidak proporsional.
122 Secara ekonomis dan biologis, tinggi tanaman pada tanaman sorgum sangat ditentukan oleh peruntukannya. Untuk sorgum sebagai penghasil biji (grain sorghum) menghendaki tanaman tidak terlalu tinggi karena hasil yang akan diambil adalah biji yang akan menghasilkan pati. Pada tanaman serealia yang tumbuhnya seragam, peningkatan hasil biji banyak terdapat pada tanaman yang rendah karena alokasi fotosintat banyak ke biji daripada ke batang (Salisbury dan Ross, 1985). Namun, pada tanaman sorgum yang diperuntukan sebagai penghasil bioetanol (sweet sorghum) dengan sumber nira batang, karakter tanaman yang tinggi adalah ideal untuk menghasilkan bobot batang dan nira yang tinggi. Selain nilai total sugar, hasil bioetanol berbanding lurus dengan produktivitas nira. Tabel 42. Keragaan tinggi tanaman dan jumlah daun 23 genotipe sorgum pada Uji Daya Hasil Pendahuluan di Tanah Masam Lampung Timur Genotipe sorgum Tinggi tanaman Jumlah daun ---------- cm --------------------- helai ---------Galur mutan: B-100 159,53 ** 9,60 tn B-76 163,60 ** (9,47) * B-83 146,67 ** (8,47) ** B-90 163,27 ** (9,03) ** B-92 157,28 ** (9,33) * BR-ZH-30-05-07 138,58 tn 9,53 tn BR-ZH-30-06-07 (125,30) * 9,82 tn BR-ZH-30-07-07 (113,17) ** (8,47) ** GH-ZB-41-07 148,45 ** (9,20) ** GH-ZB-42-07 (123,07) ** (8,60) ** GH-ZB-43-07 (120,93) ** (8,45) ** PSj-95-05 (111,35) ** (8,82) ** YT-30-39-07 168,90 ** (8,83) ** YT-30-40-07 144,92 * 9,53 tn ZH-30-23-07 (120,10) ** (8,77) ** ZH-30-29-07 141,02 tn 10,07 tn ZH-30-30-07 131,85 tn 9,60 tn ZH-30-33-07 (124,15 ) * (8,52) ** ZH-30-35-07 (122,20) * (8,70) ** Varietas pembanding: Kawali (biji) 135,05 10,07 Numbu (bioetanol) 183,83 9,37 Nilai t-Dunnett 0,05=8,48; 0,01=10,74 0,05=0,58; 0,01=0,74 Keterangan: tn) tidak berbeda nyata; *) berbeda nyata pada taraf 5%; dan **) berbeda sangat nyata pada taraf 1% uji t-Dunnett. Nilai dalam kurung menunjukkan lebih rendah dari nilai pembanding
123 Tinggi tanaman galur mutan sorgum rata-rata 140,11±19,24 cm dengan kisaran antara 111,35-183,83 cm (Tabel 41).
Kisaran ini cukup lebar yang
menunjukkan bahwa tinggi tanaman pada galur mutan sangat beragam, ada yang rendah dan ada pula yang tinggi. Rata-rata tinggi tanaman galur mutan sekitar 140 cm; hal ini menunjukkan bahwa rata-rata tinggi tanaman galur mutan lebih tinggi dibandingkan varietas Kawali, yang pada percobaan ini tingginya sama dengan deskripsinya, yaitu 135,05 cm (Tabel 42). Jika idiotipe tanaman sorgum sebagai penghasil biji adalah seperti varietas Kawali, maka masih banyak galur mutan sorgum yang belum ideal tinggi tanamannya. Keragaan tanaman yang terlalu tinggi sangat potensial menyebabkan terjadinya kerebahan akibat gaya yang ditimbulkannya (Yamin dan Moentono, 2005). Pada tanaman serealia, kerebahan dapat menurunkan produktivitas tanaman (Wahyuni et al., 2005). Berdasarkan UDHP ini, dari 19 galur mutan yang dibandingkan tinggi tanamannya dengan tinggi tanaman varietas Kawali (135,05 cm), terdapat tiga galur yang mempunyai tinggi tanaman tidak berbeda nyata, satu galur berbeda nyata lebih tinggi, 8 galur berbeda nyata sampai sangat nyata lebih rendah, dan 7 galur berbeda sangat nyata lebih tinggi. Tiga galur mutan dengan tinggi tanaman yang tidak berbeda nyata dengan varietas Kawali adalah BR-ZH30-05-07 (138,58 cm), ZH30-29-07 (141,02 cm), dan ZH30-30-07 (131,85 cm) (Tabel 42). Galurgalur ini mempunyai arsitekstur yang ideal sebagai sorgum penghasil biji seperti varietas Kawali. Keragaan tinggi tanaman galur mutan untuk tujuan sebagai penghasil bioetanol dengan sumber nira batang, pembandingnya adalah varietas Numbu yang pada percobaan ini tingginya mencapai 183,83 cm. Galur mutan tertinggi pada hasil percobaan ini adalah YT-30-39-07 (168,90 cm), dan berdasarkan uji statistika hasilnya berbeda sangat nyata lebih rendah dari varietas Numbu (Tabel 42). Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka seluruh galur mutan yang ada pada percobaan ini tinggi tanamannya tidak ada yang sama atau melebihi tinggi tanaman varietas Numbu. Dengan demikian, belum ada galur mutan pada UDHP ini yang arsitekturnya ideal sebagai galur penghasil bioetanol dengan sumber nira batang berdasarkan karakter tinggi tanaman.
124 Jumlah daun Sebagaimana tinggi tanaman, jumlah daun pada tanaman juga dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.
Jumlah bakal daun yang terdapat pada
embrio biji yang masak merupakan karakteristik spesies tertentu. Karakterisitik jumlah daun pada tanaman sorgum berkisar antara 7-14 helai tergantung pada varietas tanaman (Gardner et al., 1991). Daun adalah organ utama fotosintesis pada tanaman yang menghasilkan fotosintat sebagai sumber energi (Wahid et al., 1996). Dengan mengabaikan ukuran daun lainnya, semakin banyak daun maka akumulasi fotosintat yang dihasilkan akan semakin banyak.
Para pemulia
tanaman banyak mengekploitasi karakter daun yang meliputi jumlah dan bentuk daun untuk meningkatkan produktivitas tanaman. Jumlah daun galur mutan hasil UDHP rata-rata 9,17±0,63 helai dengan kisaran yang sempit, yaitu antara 8,13-10,55 helai (Tabel 41). Varietas Kawali sebagai pembanding pada UDHP ini mempunyai jumlah daun rata-rata 10,07 helai. Berdasarkan hasil tersebut, dari 19 galur mutan yang dibandingkan jumlah daunnya dengan varietas Kawali terdapat enam galur yang jumlah daunnya tidak berbeda nyata, yaitu B-100 (9,60 helai), BR-ZH30-05-07 (9,53 helai), BR-ZH3006-07 (9,82 helai), YT30-40-07 (9,53 helai), ZH30-29-07 (10,07 helai), dan ZH30-30-07 (9,60 helai) (Tabel 42). Galur-galur yang mempunyai jumlah daun tidak berbeda nyata dengan varietas Kawali potensial menghasilkan biji dengan produktivitas tinggi karena mempunyai organ fotosintesis yang banyak. Lingkar batang Lingkar batang pada tanaman sorgum menunjukkan besar atau kecilnya batang sorgum sebagai hasil dari proses petumbuhan yang sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Lingkar batang tanaman sorgum sangat berpengaruh terhadap keragaan bobot biomasa yang merupakan karakter penentu daya adaptasi sorgum di tanah masam. Hasil percobaan menunjukkan bahwa lingkar batang galur mutan yang diuji rata-rata 18,51±2,94 mm dengan kisaran antara 13,9523,76 mm (Tabel 41). Keragaan ini menunjukkan bahwa sebagian besar lingkar batang galur mutan sorgum yang diuji berada di bawah rata-rata varietas Kawali yang mempunyai lingkar batang 19,64 mm (Tabel 43).
125 Tabel 43. Keragaan lingkar batang dan bobot biomasa 23 genotipe sorgum pada Uji Daya Hasil Pendahuluan di Tanah Masam Lampung Timur Genotipe sorgum Lingkar batang Bobot biomasa ----------- mm --------------------- g ----------Galur mutan: B-100 (14,91) ** (317,33) ** B-76 (15,23) ** (404,50) ** B-83 (14,69) ** (229,33) ** B-90 (15,27) ** (385,83) ** B-92 (16,26) ** (426,67) ** BR-ZH-30-05-07 (17,65) ** (360,17) ** BR-ZH-30-06-07 23,76 ** 458,75 tn BR-ZH-30-07-07 21,92 ** 554,67 tn GH-ZB-41-07 (17,62) ** (387,83) ** GH-ZB-42-07 20,48 tn (339,67) ** GH-ZB-43-07 21,65 ** (379,83) ** PSj-95-05 21,20 ** 548,83 tn YT-30-39-07 (14,78) ** 461,13 tn YT-30-40-07 18,50 tn (415,33) ** ZH-30-23-07 21,85 ** (438,67) * ZH-30-29-07 21,23 * 628,17 ** ZH-30-30-07 20,56 tn 554,58 tn ZH-30-33-07 19,86 tn (389,67) ** ZH-30-35-07 20,21 tn 558,00 tn Varietas pembanding: Kawali (biji) 19,64 508,17 Numbu (bioetanol) 15,19 367,17 Nilai t-Dunnett 0,05=1,22; 0,01=1,55 0,05=56,22; 0,01=71,23 Keterangan: tn) tidak berbeda nyata; *) berbeda nyata pada taraf 5%; dan **) berbeda sangat nyata pada taraf 1% uji t-Dunnett. Nilai dalam kurung lebih rendah dari nilai pembanding Pada lingkar batang, dari 19 galur mutan yang dibandingkan terdapat lima galur tidak berbeda nyata, enam galur berbeda nyata sampai sangat nyata lebih besar, dan delapan galur berbeda sangat nyata lebih kecil dari lingkar batang varietas Kawali. Enam galur mutan yang mempunyai lingkar batang lebih besar dari Kawali adalah BR-ZH30-06-07 (23,76 mm), BR-ZH30-07-07 (21,92 mm), GH-ZB43-07 (21,65 mm), PSj-95-05 (21,20 mm), ZH30-23-07 (21,85), dan ZH30-29-07 (21,23 mm) (Tabel 43). Galur mutan sorgum yang mempunyai lingkar batang lebih besar dari lingkar batang varietas pembanding Kawali berpotensi menjadi galur yang mempunyai bobot biomasa tinggi sehingga adaptif pada kondisi tanah masam dengan produktivitas tinggi.
126 Bobot biomasa Bobot biomasa adalah karakter penting pada tanaman sorgum yang dibudidayakan di tanah masam, karena karakter ini merupakan indikator toleransi tanaman terhadap cekaman Al tinggi. Hasil percobaan sebelumnya menunjukkan bahwa bobot biomasa mempunyai nilai duga heritabilitas dalam arti luas tinggi, dan berkorelasi langsung terhadap hasil. Hal ini menunjukkan bahwa keragaan karakter bobot biomasa lebih ditentukan oleh faktor gen daripada lingkungan dan sangat menentukan produktivitas biji. Sebagai hasil akumulasi dari proses pertumbuhan yang terjadi pada tahap sebelumnya, bobot biomasa juga merupakan karakter penting yang menentukan produktivitas bioetanol dengan sumber nira batang. Biomasa yang tinggi akan menghasilkan nira dalam jumlah yang banyak sehingga hasil bioetanolnya juga akan tinggi. Hasil percobaan UDHP di tanah masam Lampung Timur menunjukkan bahwa bobot biomasa galur mutan sorgum rata-rata 422,98±99,61 gram dengan kisaran antara 229,33-628,17 gram (Tabel 40). Nilai kisaran tersebut sangat lebar sehingga karakter ini sangat menentukan keragaman tanaman sorgum di lapang. Dari 19 galur mutan yang diuji dan dibandingkan dengan bobot biomasa varietas Kawali (508,17 g), terdapat enam galur tidak berbeda nyata, satu galur berbeda nyata lebih tinggi, dan sisanya berbeda nyata sampai sangat nyata lebih rendah dari bobot biomasa varietas Kawali. Enam galur yang tidak berbeda nyata adalah BR-ZH30-06-07 (458,75 g), BR-ZH30-07-07 (554,67 g), PSj-95-05 (548,83 g), YT30-39-07 (461,13 g), ZH30-30-07 (554,58 g), dan ZH30-35-07 (558,0 g), dan satu galur yang berbeda sangat nyata lebih tinggi adalah ZH30-29-07 (628,17 g) (Tabel 43). Galur-galur yang mempunyai bobot biomasa tidak berbeda nyata sampai berbeda sangat nyata lebih tingi berpeluang untuk menjadi galur mutan harapan toleran tanah masam dengan produktivitas biji tinggi. Pada percobaan UDHP ini, pertumbuhan varietas Numbu sangat tertekan yang ditunjukkan oleh kondisi lingkar batang yang hanya 15,19 mm dengan bobot biomasa sangat rendah yaitu hanya 367,17 gram, jauh dibawah lingkar batang dan bobot biomasa varietas Kawali (Tabel 43). Hasil percobaan participatory varietal selection di Lampung Timur yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan tinggi tanaman varietas Numbu rata-rata 207,70 cm dengan bobot biomasa rata-
127 rata 794,50 gram.
Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh faktor lingkungan
terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman sorgum masih cukup tinggi. Keragaan Komponen Hasil dan Hasil Keragaan komponen hasil dan hasil juga sangat dipengaruhi oleh genotipe sorgum yang dibudidayakan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa genotipe sorgum berpengaruh sangat nyata terhadap panjang malai, bobot 1000 butir, bobot biji/malai, dan hasil per hektar (Tabel 44). Keragaan ini menunjukkan bahwa keempat komponen tersebut (panjang malai, bobot 1000 butir, bobot biji/malai, dan hasil per hektar) menyebabkan keragaman pada galur mutan di UDHP. Tabel 44. Pengaruh genotipe terhadap keragaan komponen hasil dan hasil tanaman sorgum di tanah masam Karakter KT Genotipe Rata-rata Kisaran Panjang malai (cm) 69,44 ** 27,48±4,81 19,90-34,93 Bobot 1000 butir (g) 48,72 ** 30,83±4,03 23,47-38,64 Bobot biji/malai (g) 356,46 ** 65,69±10,90 42,98-92,12 Hasil (ton/ha) 0,89 ** 3,28±0,55 2,15-4,61 Keterangan: *) berbeda nyata pada taraf 5%, **) berbeda sangat nyata pada taraf 1% uji F Panjang malai Panjang malai adalah komponen penting pada sorgum yang menghasilkan biji, karena malai merupakan ruang tempat biji sorgum tumbuh dan berkembang. Semakin panjang malai maka jumlah biji akan meningkat yang akan diikuti dengan peningkatan bobot biji/malai.Panjang malai galur mutan sorgum di tanah masam UDHP Lampung Timur rata-rata 27,48±4,81 cm dengan kisaran antara 19,90-34,93 (Tabel 44). Hal ini menunjukkan bahwa panjang malai galur mutan yang diuji umumnya lebih pendek dari panjang malai varietas Kawali yang mencapai 32,20 cm (Tabel 45). Keragaan panjang malai galur mutan yang tidak berbeda nyata dan berbeda sangat nyata lebih panjang dari varietas pembanding Kawali (32,20 cm), masingmasing hanya dua galur. Galur mutan yang mempunyai panjang malai tidak berbeda nyata adalah ZH30-29-07 (31,20 cm) dan ZH30-30-07 (31,32 cm); sedangkan yang berbeda sangat nyata lebih panjang terdapat pada galur mutan GH-ZB42-07 (34,93 cm), dan GH-ZB43-07 (34,48 cm) (Tabel 45). Galur-galur
128 ini sangat potensial sebagai galur dengan produktivitas biji tinggi, karena mempunyai perangkat sink atau kapasitas penampungan hasil yaitu malai yang panjang sehingga mampu menampung biji dalam jumlah yang banyak. Tabel 45. Keragaan panjang malai dan bobot 1000 butir biji 23 genotipe sorgum pada Uji Daya Hasil Pendahuluan di Tanah Masam Lampung Timur Genotipe sorgum Panjang malai Bobot 1000 butir ---------- cm --------------------- g -----------Galur mutan: B-100 (19,93) ** 32,32 ** B-76 (22,27) ** 31,65 tn B-83 (20,42) ** 30,41 tn B-90 (20,67) ** 32,34 ** B-92 (21,92) ** 33,86 ** BR-ZH-30-05-07 (29,92) ** (23,49) ** BR-ZH-30-06-07 (29,88) ** (29,09) ** BR-ZH-30-07-07 (30,63) ** (25,90) ** GH-ZB-41-07 (27,43) ** (30,15) * GH-ZB-42-07 34,93 ** (27,69) ** GH-ZB-43-07 34,48 ** (26,33) ** PSj-95-05 (29,53) ** 31,16 tn YT-30-39-07 (26,58) ** 33,19 ** YT-30-40-07 (31,07) * (23,47) ** ZH-30-23-07 (28,77) ** (29,49) ** ZH-30-29-07 31,20 tn 38,12 ** ZH-30-30-07 31,32 tn 35,49 ** ZH-30-33-07 (28,47) ** 33,50 ** ZH-30-35-07 (29,89) ** 34,71 ** Varietas pembanding: Kawali (biji) 32,20 30,96 Numbu (bioetanol) 21,60 38,64 Nilai t-Dunnett 0,05=1,11; 0,01=1,41 Keterangan: tn) tidak berbeda nyata; *) berbeda nyata pada taraf 5%; dan **) berbeda sangat nyata pada taraf 1% uji t-Dunnett. Nilai dalam kurung lebih rendah dari nilai pembanding Bobot 1000 butir Karakter bobot 1000 butir biji merupakan ukuran yang menggambarkan besar kecilnya biji (seed size) yang dihasilkan oleh tanaman serealia.
Dari
deskripsi yang dikeluarkan oleh Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros (Rahmi et al., 2009), bobot 1000 butir biji varietas Kawali adalah 30 gram, sedangkan bobot 1000 butir biji varietas Kawali hasil UDHP adalah 30,96 gram (Tabel 45).
129 Fakta ini menunjukkan terdapat kesesuaian pada karakter bobot 1000 butir antara deskripsi dengan hasil percobaan. Keragaan bobot 1000 butir galur mutan sorgum yang disertakan pada percobaan UDHP rata-rata 30,83±4,03 g dengan kisaran 23,47-38,64 g (Tabel 44). Berdasarkan rata-rata, maka bobot 1000 butir galur mutan yang diuji relatif sama dengan bobot 1000 butir varietas Kawali, namun dari rentang bobot 1000 butir biji hasil percobaan menunjukkan terdapat galur mutan yang mempunyai keragaan bobot 1000 butir lebih rendah atau lebih tinggi dari varietas pembanding. Terdapat delapan galur dari 19 galur mutan yang diuji mempunyai bobot 1000 butir lebih tinggi dari varietas Kawali, yaitu B-100 (32,32 g), B-92 (33,86 g), YT-30-39-07 (33,19 g), ZH30-29-07 (38,12 g), ZH30-30-07 (35,49 g), ZH3033-07 (33,50 g), dan ZH30-35-07 (34,71 g) (Tabel 45). Galur-galur ini sangat potensial dikembangkan sebagai varietas sorgum dengan produktivitas biji tinggi. Bobot biji/malai Bobot biji/malai adalah hasil per individu tanaman dan merupakan karakter yang sangat penting karena sangat menentukan hasil biji per satuan luas. Keragaan bobot biji/malai dari populasi tanaman sorgum yang disertakan pada UDHP rata-rata 65,69 g dengan kisaran antara 42,98-92,12 g (Tabel 44). Berdasarkan kisaran bobot biji tersebut, terdapat rentang yang sangat lebar antara genotipe sorgum yang menghasilkan bobot biji paling rendah 42,98 g dengan yang paling tinggi 92,12 g. Hal ini menunjukkan terdapat keragaman yang tinggi pada populasi sorgum yang diuji untuk karakter bobot biji/malai. Dari 19 galur mutan sorgum yang dibandingkan bobot bijinya dengan varietas Kawali (64,45 g), terdapat 12 galur yang menunjukkan keragaan tidak berbeda nyata, dan empat galur mempunyai keragaan yang berbeda sangat nyata lebih tinggi dari bobot biji varietas pembanding. Empat galur yang mempunyai bobot biji berbeda sangat nyata lebih tinggi dari pembanding adalah GH-ZB43-07 (77,44 g), PSj-95-07 (92,12 g), ZH30-29-07 (82,02 g), dan ZH30-30-07 (80,24 g) (Tabel 46). Fenomena ini menunjukkan bahwa galur mutan sorgum yang ragam genetiknya diperoleh melalui teknik mutasi fisika juga mempunyai potensi hasil yang tinggi.
130 Tabel 46. Keragaan bobot biji/malai dan hasil 23 genotipe sorgum pada Uji Daya Hasil Pendahuluan di Tanah Masam Lampung Timur Genotipe Bobot biji/malai (g) Hasil biji (ton/ha) B-100 63,06 tn 3,15 tn B-76 64,57 tn 3,23 tn B-83 (53,31) * (2,67) * B-90 66,37 tn 3,32 tn B-92 67,96 tn 3,40 tn BR-ZH-30-05-07 69,92 tn 3,50 tn BR-ZH-30-06-07 60,56 tn 3,03 tn BR-ZH-30-07-07 61,13 tn 3,06 tn GH-ZB-41-07 66,23 tn 3,31 tn GH-ZB-42-07 66,35 tn 3,32 tn GH-ZB-43-07 77,44 ** 3,87 ** PSj-95-05 92,12 ** 4,61 ** YT-30-39-07 61,91 tn 3,10 tn YT-30-40-07 (54,19) * (2,71) * ZH-30-23-07 58,09 tn 2,90 tn ZH-30-29-07 82,02 ** 4,10 ** ZH-30-30-07 80,24 ** 4,01 ** ZH-30-33-07 (42,98) ** (2,15) ** ZH-30-35-07 68,41 tn 3,42 tn Numbu 77,76 ** 3,89 ** Mandau 56,81 tn 2,84 tn Durra (55,07) * (2,75) * Kawali (pembanding) 64,45 3,22 Nilai t-Dunnett 0,05=9,15; 0,01=11,59 0,05=0,46; 0,01=0,58 Keterangan: tn) tidak berbeda nyata; *) berbeda nyata pada taraf 5%; dan **) berbeda sangat nyata pada taraf 1% uji t-Dunnett. Nilai dalam kurung lebih rendah dari nilai pembanding Evaluasi terhadap produktivitas yaitu hasil biji/ha menunjukkan keragaan yang sebanding dengan bobot biji/malai. Rata-rata hasil biji/ha genotipe sorgum yang dibudidayakan di tanah masam adalah 3,28±0,55 ton/ha dengan kisaran 2,15-4,61 ton/ha (Tabel 44). Berdasarkan deskripsinya, produktivitas biji varietas Kawali 2,96 ton/ha (Rahmi et al., 2009), sedangkan hasil dari percobaan ini mencapai 3,22 ton/ha. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas beberapa galur mutan sorgum yang disertakan pada UDHP hasilnya sebanding dengan varietas Kawali, dan untuk beberapa galur bahkan lebih tinggi.
Galur-galur yang
teridentifikasi mempunyai produktivitas yang lebih tinggi dari varietas Kawali adalah GH-ZB43-07 (3,87 ton/ha), PSj-95-05 (4,61 ton/ha), ZH30-29-07 (4,10 ton/ha), dan ZH30-30-07 (4,01 ton/ha) (Tabel 46).
Galur-galur ini sangat
131 potensial untuk dikembangkan sebagai galur mutan harapan toleran tanah asam dengan produktivitas biji tinggi. Tabel 47. Perbandingan keragaan komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil galur mutan terpilih terhadap varietas Kawali Keragaan varietas pembanding Kawali Tinggi Bobot Bobot 1000 Produktivitas Galur mutan tanaman biomassa butir biji biji (135,05 cm) (508,17 g) (30,96 g) (3,22 ton/ha) GH-ZB43-07 1) (120,93) ** (379,83) ** (26,33) ** 3,87 ** PSj-95-05 1) (111,35) ** 548,83 tn 31,16 tn 4,61 ** 141,02 tn 628,17 ** 38,12 ** 4,10 ** ZH30-29-07 2) 2) ZH30-30-07 131,85 tn 554,58 tn 35,49 ** 4,01 ** Keterangan: tn) tidak berbeda nyata, **) berbeda sangat nyata pada taraf 1% uji t-Dunnett; nilai dalam kurung menyatakan lebih rendah; 1) galur moderat, dan 2) galur toleran di tanah masam Keragaan galur mutan sorgum yang teridentifikasi mempunyai potensi hasil biji lebih tinggi dari varietas Kawali umumnya mempunyai keragaan agronomi tidak berbeda nyata atau berbeda sangat nyata lebih tinggi dari varietas Kawali, kecuali galur mutan GH-ZB43-07 yang semua karakter pendukung hasil maupun daya adaptasi berbeda sangat nyata lebih rendah dari varietas Kawali. Dari empat galur mutan yang terpilih mempunyai potensi hasil lebih tinggi dari varietas Kawali, dua galur yaitu GH-ZB43-07 dan PSj-95-05 adalah galur mutan sorgum dengan daya adaptasi moderat terhadap tanah masam, sedangkan dua galur lainnya yaitu ZH30-29-07 dan ZH30-30-07 adalah galur toleran terhadap tanah masam berdasarkan hasil percobaan sebelumnya (Tabel 47). Keragaan Hasil Bioetanol Dari 20 galur mutan sorgum yang disertakan pada UDHP, tidak semua disertakan pada uji daya hasil untuk produktivitas bioetanol dengan sumber nira batang (steam juice). Hal ini disebabkan tidak semua galur mutan sorgum yang disertakan pada UDHP memenuhi syarat untuk dikembangkan sebagai penghasil bioetanol dengan sumber nira batang. Syarat yang harus dipenuhi oleh suatu galur sebagai penghasil bioetanol dengan sumber nira batang adalah mempunyai nilai total sugar (TS) tinggi dan hasil nira pada batang tinggi.
132 Nilai TS menunjukkan jumlah total gula yang terdapat pada nira batang yang meliputi monosakarida (glukosa dan fruktosa) maupun disakarida (sukrosa). Komponen gula terlarut inilah yang akan difermentasi menjadi etil alkohol (C2H5OH) yang kemudian dikenal sebagai bioetanol. Nilai TS yang tinggi saja tidak cukup jika tidak disertai dengan hasil nira yang tinggi, karena jumlah gula secara kuantitatif sangat tergantung dengan hasil nira. Tabel 48. Pengaruh genotipe terhadap keragaan total sugar, hasil nira, dan bioetanol galur mutan sorgum di UDHP tanah masam Lampung Timur Karakter KT Genotipe Rata-rata Kisaran Total sugar (%) 29,80 ** 9,40±1,82 7,30-12,60 Hasil nira (l/ha) 39.695,07 * 16.533±3.637 12.266-22.578 Hasil bioetanol (l/ha) 166,13 ** 837,00±257,02 508,00-1.255,00 Kadar pati (%) 76,53 tn 68,66±2,92 61,82-73,05 Keterangan: *) berbeda nyata pada taraf 5%, dan **) berbeda sangat nyata pada taraf 1% uji F Hasil percobaan menunjukkan bahwa terdapat keragaman pada enam galur mutan sorgum yang terpilih sebagai penghasil bioetanol dari nira batang yang ditunjukkan oleh pengaruh yang nyata terhadap hasil nira, dan sangat nyata terhadap nilai total sugar (TS) dan hasil bioetanol (Tabel 48). Tabel 49. Keragaan total sugar, hasil nira, dan hasil bioetanol galur mutan sorgum di UDHP tanah masam Lampung Timur Total sugar Hasil nira Hasil bioetanol (%) (l/ha) (l/ha) ZH-30-29-07 (7.30) ** 12.266,15 tn 508 tn ZH-30-30-07 (9.00) * 17.260,31 * 758 tn ZH-30-35-07 12.60 ** 17.468,39 * 950 * BR-ZH-30-06-07 (7.50) ** 22.578,44 ** 912 * BR-ZH-30-07-07 (9.00) * 16.035,47 * 791 tn PSj-95-05 (9.90) * 18.118,75 * 1.255 ** Numbu (pembanding) 10,40 12.008,54 685 0,05=0,79; 0,05=3.345; 0,05=210,74 Nilai t-Dunnett 0,01=1,01 0,01=6.319 0,01=281,53 Keterangan: tn) tidak berbeda nyata, *) berbeda nyata pada taraf 5%, dan **) berbeda sangat nyata pada taraf 1% uji t-Dunnett. Nilai dalam kurung menunjukkan lebih kecil Genotipe
Hasil rata-rata nilai TS galur mutan penghasil bioetanol 9,40±1,82% dengan kisaran antara 7,30-12,60% (Tabel 48). Dari enam galur mutan sorgum yang
133 dibandingkan nilai TS-nya dengan varietas pembanding Numbu (10,40%), hanya satu galur yang mempunyai nilai TS lebih inggi, yaitu ZH-30-35-07 (12,60%) sedangkan galur mutan lainnya berbeda nyata sampai berbeda sangat nyata lebih rendah dari TS varietas Numbu (Tabel 49). Nilai TS saja belum cukup bagi suatu galur mutan terpilih sebagai galur penghasil bioetanol dengan produktivitas tinggi. Faktor lain yang juga sangat berpengaruh terhadap hasil bioetanol dari nira batang adalah produktivitas nira. Rata-rata produktivitas nira (stem juice) dari batang galur mutan sorgum yang diuji 16.533±3.637 l/ha dengan kisaran antara 12.266-22.578 l/ha (Tabel 48). Hampir semua galur mutan yang diuji mampu menghasilkan nira lebih tinggi dari hasil nira varietas Numbu (12.008,54 l/ha), yang ditunjukkan oleh perbedaan yang nyata lebih tinggi sampai sangat nyata lebih tinggi dari hasil nira varietas Numbu (Tabel 49). Pada percobaan ini, keragaan hasil bioetanol varietas Numbu sangat rendah karena bobot biomasa tanamannnya juga sangat rendah. Keragaan hasil bioetanol menunjukkan bahwa rata-rata galur mutan sorgum mampu menghasilkan bioetanol dengan produktivitas 837,00±257,02 l/ha dengan kisaran yang lebar, yaitu terendah 508,00 l/ha dan tertinggi 1.255,00 l/ha (Tabel 48). Tiga galur mutan yang teridentifikasi mampu menghasilkan bioetanol lebih tinggi dari varietas pembanding Numbu (685 l/ha) adalah ZH30-35-07 (950 l/ha), BR-ZH30-06-07 (912 l/ha), dan PSj-95-05 (1.255 l/ha) (Tabel 49). Terdapat fenomena penting pada keragaan komponen penghasil bioetanol di Tabel 49, yaitu: 1) tidak semua tanaman sorgum yang mempunyai TS atau hasil nira tinggi akan langsung menghasilkan bioetanol banyak, dan 2) keragaan TS dan hasil nira varietas pembanding Numbu di UDHP ini lebih rendah dibandingkan hasil percobaan sebelumnya. Terhadap fenomena yang pertama, tampak pada hasil galur mutan ZH30-35-07 dan BR-ZH30-06-07.
Galur ZH30-35-07
mempunyai nilai TS tinggi, tetapi hasil nira sedikit sehingga bioetanol yang dihasilkan juga sedikit; sebaliknya galur BR-ZH30-06-07 menghasilkan nira banyak tetapi nilai TS rendah sehingga hasil bioetanolnya juga rendah. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan suatu genotipe sorgum yang mempunyai TS dan hasil nira tinggi agar mampu menghasilkan bioetanol dengan produktivitas tinggi.
134 Keragaan TS dan hasil nira varietas Numbu di UDHP ini lebih rendah dari hasil percobaan sebelumnya. Hasil di Percobaan 1 (Penapisan) dan Percobaan 2 (Participatory Varietal Selection), varietas Numbu mempunyai TS sekitar 14% dengan hasil nira sekitar 18.000 l/ha. Hal ini menunjukkan bahwa TS juga sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan tumbuh selain sebagai sifat yang dikendalikan oleh faktor genetik; sedangkan hasil nira yang rendah lebih disebabkan oleh pertumbuhan varietas Numbu yang tidak optimal di UDHP yang ditunjukkan oleh hasil bobot biomasa tanaman yang hanya 367,17 g/tanaman (Tabel 43). Pada percobaan sebelumnya, terutama di PVS, bobot biomassa varietas Numbu di Lampung Selatan dan Lampung Timur lebih dari 700 g/tanaman. Kadar Pati Biji Kadar pati pada biji sorgum penting untuk dievaluasi berkaitan dengan fungsinya sebagai bahan pangan atau bahan baku bioetanol. Sebagai bahan baku bioetanol, semakin tinggi kadar pati pada biji maka hasil bioetanol akan semakin tinggi. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kadar pati pada genotipe sorgum yang dievaluasi, hal ini ditunjukkan oleh pengaruh genotipe yang tidak berbeda nyata terhadap kadar pati (Tabel 48). Kadar pati rata-rata genotipe sorgum yang diuji adalah 68,66±2,92% dengan kisaran antara 61,82-73,05%. Berdasarkan nilai rata-rata, galur mutan dengan kadar pati paling rendah dimiliki oleh GH-ZB43-07 (61,82%) dan paling tinggi terdapat pada galur mutan GH-ZB41-07 (73,05%) (Tabel 50). Kedua galur mutan ini berasal dari tetua yang sama, namun setelah mengalami mutasi mempunyai kadar pati yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa mutasi selain membawa perubahan pada karakter morfologi juga mampu merubah kualitas hasil. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa galur mutan harapan BATAN seperti B-76, B-92 dan B-83 yang telah stabil karakter pertumbuhan dan komponen hasil serta hasilnya mempunyai kadar pati yang tinggi, yaitu berturutturut 70,15%, 71,60%, dan 72,57% (Tabel 50). Galur-galur ini sangat potensial untuk dikembangkan sebagai sorgum penghasil biji untuk berbagai kepentingan, seperti pangan (food), enargi (fuel), dan pakan ternak (feed).
135 Tabel 50. Nilai rata-rata kadar pati genotipe sorgum di UDHP tanah masam Lampung Timur Genotipe Kadar pati Genotipe Kadar pati Galur mutan: ------- (%) ------Galur mutan: -------- (%) -------GH-ZB43-07 61,82 B-76 70,15 ZH30-23-07 63,87 ZH30-30-07 71,48 ZH30-33-07 65,20 B-92 71,60 ZH30-29-07 65,81 BR-ZH30-06-07 71,72 BR-ZH30-05-07 65,93 B-83 72,57 PSJ-95-05 66,65 GH-ZB41-07 73,05 YT30-39-07 67,13 GH-ZB42-07 67,37 Varietas: BR-ZH30-07-07 68,70 Durra 69,55 YT30-40-07 68,70 Kawali 69,55 B-90 68,82 Numbu 70,39 B-100 69,55 Mandau 71,00 Untuk kepentingan sebagai bahan bakar nabati (biofuel), biji sorgum dengan kadar pati tinggi jika dikonversi menjadi bioetanol hanya membutuhkan biji dengan jumlah yang sedikit. Sebagai contoh untuk biji dengan kadar pati 70%, maka untuk menghasilkan satu liter bioetanol hanya dibutuhkan 2,5 kg biji. Persamaan matematis untuk menghitung bioetanol dengan sumber biji sorgum adalah: Hasil bioetanol (liter) = Kadar pati (%) x Bobot biji (kg) x 0,644 x 0,95 x 0,90. Nilai konstanta yang terdapat pada perhitungan ini berturut-turut adalah 0,644 merupakan bilangan Stochiometri,yaitu nilai tetapan sebagai faktor pengali untuk merubah gula menjadi etanol, angka 0,95 adalah nilai efisiensi fermentasi, dan angka 0,90 adalah nilai efisiensi distilasi. Dalam skala industri, jika seluruh hasil tanaman sorgum yang meliputi biji dan batang dikonversi menjadi bioetanol dengan menggunakan contoh galur mutan PSj-95-05, hasilnya adalah 2.955 l/ha (≈ 3.000 l/ha). Hasil tersebut berasal dari hasil bioetanol dari nira batang 1.255 l/ha (Tabel 48), dan hasil bioetanol dari biji sebanyak 1.700 l/ha (0,67 x 4.610 kg biji x 0,644 x 0,95 x 0,90). Jika dalam satu tahun, tanaman ratun dipelihara dua kali dengan penurunan produktivitas untuk biji dan batang sekitar 20%, maka produktivitas bioetanol yang dihasilkan adalah 7.800 l/ha/tahun.
Produktivitas bioetanol ini masih dibawah potensi
hasilnya yang mencapai 8.419 l/ha/tahun (Petroleum Club, 2007), namun hasil tersebut telah menuju ke arah potensi hasil.
136 SIMPULAN Hasil Uji Daya Hasil Pendahuluan terhadap beberapa galur mutan sorgum di tanah masam menyimpulkan bahwa terdapat keragaman pada produktivitas atau hasil biji galur mutan sorgum di tanah masam. Dari 20 galur mutan yang diuji, teridentifikasi empat galur yang menunjukkan potensi hasil biji lebih tinggi dari varietas pembanding Kawali (3,22 ton/ha), yaitu GH-ZB43-07 (3,87 ton/ha), PSj95-05 (4,61 ton/ha), ZH30-29-07 (4,10 ton/ha), dan ZH30-30-07 (4,01 ton/ha). Produktivitas bioetanol dengan sumber nira batang dari galur mutan sorgum yang diuji juga menunjukkan adanya keragaman. Dari enam galur mutan yang dibandingkan hasilnya dengan varietas Numbu (685 l/ha), terdapat tiga galur mutan yang teridentifikasi mempunyai hasil bioetanol lebih tinggi, yaitu ZH3035-07 (950 l/ha), BR-ZH30-06-07 (912 l/ha), dan PSj-95-05 (1.255 l/ha). Tidak terdapat perbedaan kadar pati pada genotipe sorgum (galur mutan dan varietas) yang dievaluasi. Namun berdasarkan nilai rata-rata terdapat enam galur mutan dengan kadar pati tinggi (lebih dari 70%), yaitu B-76 (70,15%), ZH30-3007 (71,48%), B-92 (71,60%), BR-ZH30-06-07 (71,72%), B-83 (72,57%) dan GH-ZB41-07 (73,05%). Galur mutan PSj-95-05 adalah galur yang mampu menghasilkan biji sekaligus bioetanol dengan produktivitas tinggi, namun daya adaptasi galur ini di tanah masam tergolong moderat. Jika hasil biji dan nira batang dari galur ini dikonversi seluruhnya ke bioetanol, maka hasilnya sekitar 7.800 l/ha/tahun. Hasil ini telah mendekati potensi hasilnya yang mencapai 8.419 l/ha/tahun.
PEMBAHASAN UMUM Participatory Plant Breeding dan Manfaatnya Salah satu ciri yang sangat menonjol dari program pemuliaan tanaman konvensional hingga saat ini adalah pekerjaan pemuliaan dilakukan hanya oleh para pemulia profesional dan di lingkungan yang optimum, yang dikenal sebagai Formal Plant Breeding (FPB). Produk FPB umumnya untuk sistem budidaya dengan adaptasi luas dan bersifat massal sehingga sering tidak diadopsi oleh petani pengguna di lahan marjinal. Hal ini disebabkan varietas yang dihasilkan tidak mampu beradaptasi dengan baik pada agroekologi bercekaman, baik cekaman biotik maupun abiotik sehingga penampilan fenotipe tidak stabil dan produktivitas tanamannya rendah (PRGA, 2007; Asfaw, 2008). Pada kondisi agroekologi bercekaman dimana interaksi antara genotipe dan lingkungan sangat tinggi, program pemuliaan tanaman harus dilakukan di lingkungan target dengan melibatkan petani serta stakeholders lain, yang dikenal sebagai Participatory Plant Breeding (PPB). PPB mendasarkan pada pemikiran bahwa tidak ada varietas tanaman yang mampu beradaptasi dengan baik pada berbagai kondisi agroekologi, dan kearifan lokal yang dimiliki oleh petani merupakan kekuatan untuk merakit varietas unggul spesifik lokasi sehingga pertanian dapat berlangsung dalam jangka waktu yang lama (Ceccarelli, 2001; Almekinders dan Elings, 2001; Sperling et al., 2001; Boef dan Ogliari, 2008). Keunggulan program PPB yang seleksi tanamannya dilaksanakan langsung di lingkungan target dengan melibatkan petani atau stakeholders lain dapat dilihat dari aspek teknis, sosial, ekologi, dan ekonomi. Secara teknis, seleksi tanaman yang dilakukan langsung di lingkungan target dapat mengekspresikan gen-gen ketahanan sehingga tanaman menjadi toleran terhadap cekaman yang ada (Ceccarelli, 2001). Dari aspek sosial, dengan melibatkan petani atau stakeholders lain dalam kegiatan pemuliaan adalah adanya umpan balik dari petani karena mereka lebih memahami kondisi agroekologi tempat usahataninya, sehingga dapat dihasilkan tanaman yang sesuai dengan preferensi petani setempat (Sperling et al., 2001; Ashby dan Lilja, 2004; PRGA, 2007).
138 Keuntungan ekologi dan ekonomi melalui program PPB diantaranya adalah diperoleh varietas petani (farmer varieties) sehingga keragaman genetik tanaman di lapang (biodiversitas) meningkat yang dapat menurunkan kerapuhan genetik, serta petani dapat lebih mudah mengakses benih dengan harga murah. Dengan menggunakan varietas petani yang toleran terhadap cekaman, maka input produksi yang tinggi akibat penggunaan pupuk anorganik dan pestisida yang berlebihan, serta harga benih yang mahal dapat ditekan (Chiffoleau, 2006). Pada akhirnya program PPB dapat menciptakan kedaulatan benih di tingkat petani, sehingga petani tidak tergantung dengan benih komersial hasil industri yang mahal dan sering tidak ada pada saat dibutuhkan. Terdapat dua domain utama dalam program pemuliaan tanaman, yaitu idiotipe tanaman yang diinginkan dan metode untuk mendapatkannya. Program PPB dengan metode Participatory Varietal Selection (PVS) yang digunakan pada penelitian ini telah menghasilkan beberapa galur mutan sorgum toleran tanah masam dengan idiotipe yang dikehendaki oleh petani.
Galur-galur tersebut
diantaranya adalah ZH30-29-07, ZH30-30-07, ZH30-35-07, GH-ZB43-07, dan PSj-95-05 untuk produktivitas biji tinggi, dan galur ZH30-35-07, BR-ZH30-05-07, dan PSj-95-05 untuk hasil bioetanol tinggi. Aplikasi atau pemanfaatan tanaman sorgum yang dikembangkan melalui program PPB diantaranya adalah dapat digunakan untuk mengatasi lahan marjinal terutama tanah masam, meningkatkan indeks penanaman (IP), dan dapat ditumpangsarikan dengan tanaman lain pada sistem pertanian di Indonesia. Tanaman dengan kemampuan seperti ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani pada khususnya dan sistem ekonomi Indonesia pada umumnya yang berbasis pada pertanian. Solusi untuk lahan marjinal. Permasalahan yang perlu mendapat perhatian dalam rangka meningkatkan produksi pangan di Indonesia adalah kurangnya lahan garapan. Lahan garapan yang tersisa yang dapat diusahakan umumnya berupa lahan marjinal dengan tingkat kesuburan yang rendah sampai sangat rendah (kelas IV-VI), yang meliputi lahan masam, lahan dengan ketersediaan P rendah, lahan kering tadah hujan, dan lahan sulfat masam. Di lahan-lahan seperti ini perlu dikembangkan varietas unggul spesifik lokasi (Sopandie, 2006).
139 Program PPB dengan metode PVS telah menghasilkan beberapa galur mutan sorgum toleran tanah masam dengan karakter yang disukai oleh petani, sehingga tanaman sorgum yang dihasilkan tidak hanya adaptif pada kondisi cekaman yang ada tetapi juga disukai oleh petani. Tanaman seperti ini dapat dijadikan sebagai solusi untuk mengatasi lahan marjinal terutama tanah masam dengan proses difusi yang cepat. Namun demikian, tanaman sorgum tidak dapat dikembangkan di tanah masam dengan reaksi kemasaman yang sangat tinggi. Hasil percobaan di Taman Bogo, Lampung Timur yang juga merupakan bagian dari penelitian ini (tidak dilaporkan), menunjukkan bahwa tanaman sorgum tidak dapat tumbuh pada kondisi tanah dengan pH 4,3 (sangat masam), tingkat kejenuhan Al 63-67% (sangat tinggi), dan Al-dd 1,95-2,00 me/100 g (Lampiran 1). Pada awalnya seluruh benih sorgum mampu berkecambah dengan baik, namun setelah 15 hari yaitu saat akar tanaman mulai berfungsi menyerap air dan unsur hara, tanaman sorgum keracunan yang ditunjukkan oleh gejala daun menguning dan kemudian seluruh tanaman mati. Hal ini menunjukkan toleransi tanaman sorgum di tanah masam dibatasi oleh tingkat kejenuhan Al di tanah masam. Peningkatan indeks penanaman (IP). Sistem irigasi untuk lahan sawah di Indonesia masih jauh dari ideal, baik infrastruktur irigasi maupun cadangan airnya. Kondisi ini menyebabkan banyak sawah yang tidak mendapatkan giliran tanam pada musim kemarau karena defisit air, atau tidak mendapatkan air irigasi sehingga hanya mengandalkan air hujan yang dikenal sebagai sawah tadah hujan. Akibatnya, sawah hanya produktif jika ada air sehingga banyak yang bera (tidak ditanami) pada musim kemarau. Di lahan kering kondisinya juga demikian, yaitu ada penanaman jika masih ada hujan dan ketika memasuki musim kemarau (terutama pada MK-2), petani tidak berani menanam padi atau jagung karena akan mengalami defisit air yang tinggi. Lahan demikian juga akan diberakan oleh petani untuk menghindari resiko gagal panen. Kondisi ini menyebabkan turunnya indeks penanaman sehingga pendapatan petani berkurang. Sorgum adalah tanaman yang sangat tahan terhadap kekeringan, sehingga dapat dibudidayakan pada musim kemarau dimana tanaman padi atau jagung tidak dapat ditanam karena akan mengalami defisit air. Dengan demikian, sorgum dapat meningkatkan indeks penanaman di lahan kering dan sawah tadah hujan dari
140 umumnya IP 100 dan IP 200 menjadi IP 300. Jika tanaman ratun juga diusahakan maka sorgum dapat meningkatkan indeks penanaman hinga IP 400. Melalui IP 300-400, kesejahteraan petani dapat meningkat secara signifikan. Tumpangsari. Pengembangan tanaman sorgum di lahan kering melalui proses desiminasi secara monokultur tidak selalu mudah, karena tanaman sorgum belum mempunyai nilai ekonomi di Indonesia. Salah satu strategi yang dapat ditempuh adalah melalui sistem tumpangsari dengan tanaman pokok yang sering diusahakan oleh petani. Strategi ini tidak menghilangkan tanaman utama dan petani mendapatkan sorgum sebagai komoditi sekunder. Penanganan pascapanen terhadap sorgum untuk mendapatkan produk olahan, seperti tepung dan bioetanol perlu disertakan dalam proses desiminasi, sehingga petani dan stakeholders lain dapat mengetahui manfaat ekonomi sorgum. Setelah menjadi komoditi ekonomi, maka pengembangan sorgum selanjutnya menjadi lebih mudah, karena teknologi budidayanya tidak jauh berbeda dengan tanaman jagung yang sudah umum dilakukan oleh petani di Indonesia. Tumpangsari antara sorgum dan tanaman perkebunan juga dapat ditempuh dengan memanfaatkan lahan sela antar tanaman utama yang belum menghasilkan, seperti pada tanaman karet, kelapa, kelapa sawit, kakao, lada, dan tanaman perkebunan lainnya. Pada tumpangsari sistem ini, sorgum hanya dapat ditanam sebelum tajuk tanaman utama menutup yang dapat mengurangi intensitas cahaya, mengingat sorgum adalah tanaman C4 yang membutuhkan sinar matahari dengan intensitas tinggi. Selain itu, tumpangsari sorgum dengan tanaman utama juga dapat dilakukan sepanjang masa pada tanaman perkebunan dalam bentuk perdu, seperti kayu putih (Melaleuca leucadendra) yang banyak dikembangkan oleh Perum Perhutani di Pulau Jawa. Selain manfaat komoditas yaitu mendapatkan tepung dan bioetanol, manfaat lain tumpangsari antara sorgum dan minyak kayu putih adalah dapat menghindari kebakaran kebun yang sering terjadi pada musim kemarau karena pengawasan kurang.
Dengan adanya tanaman sorgum yang
dikelola secara intensif, maka pengawasan terhadap kebun kayu putih menjadi meningkat yang dapat mengurangi resiko kebakaran.
141 Peningkatan Produktivitas Sorgum Walaupun sorgum adaptif pada berbagai kondisi lahan marjinal, tidak berarti sorgum harus ditanam di lahan marjinal tanpa perlakuan yang dapat meningkatkan produktivitasnya. Peningkatan produktivitas sorgum terutama di lahan marjinal selain melalui perbaikan varietas juga dapat dilakukan melalui sistem budidaya. Peningkatan produktivitas sorgum berdasarkan aspek budidaya dapat didasarkan pada sifat tanaman dan kondisi lahan sebagai tempat tumbuhnya, serta jarak tanam yang digunakan. Sebagai famili rumput-rumputan (Gramineae), sifat tanaman sorgum sebagaimana padi, jagung, dan gandum juga sangat respon terhadap pemupukan (Kamal, 2008). Sorgum juga sangat menyukai kondisi tanah yang gembur, karena tajuk tanaman sorgum akan tumbuh dan berkembang dengan baik jika sistem perakarannya telah tumbuh dengan baik (SFSA, 2003). Berdasarkan karakter ini, maka pemberian pupuk kandang merupakan salah satu alternatif yang baik untuk meningkatkan produktivitas sorgum. Pupuk kandang mampu memperbaiki sifat fisik tanah, terutama tekstur dan struktur tanah sehingga dapat memberikan lingkungan tumbuh yang baik pada sistem perakaran; selain itu pupuk kandang juga melepaskan unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman sorgum untuk tumbuh dengan baik. Jarak tanam yang optimal juga merupakan salah satu aspek kultur teknis yang perlu mendapat perhatian untuk meningkatkan produktivitas sorgum. Pada penelitian ini, jarak tanam yang digunakan adalah 20 cm dalam baris dan 80 cm antar baris sehingga diperoleh populasi sebanyak 62.500 tanaman per hektar. Dengan populasi tersebut, produktivitas biji sorgum dari genotipe yang diuji ratarata 2,73 ton/ha pada percobaan penapisan, dan 3,28 ton/ha pada Uji Daya Hasil Pendahuluan. Hasil ini sudah sebanding dengan produktivitas varietas Kawali yang berdasarkan deskripsinya adalah 2,96 ton/ha, namun masih lebih rendah jika dibandingkan dengan potensi hasilnya yang mencapai 7 ton/ha (House, 1985). Percobaan untuk meningkatkan produktivitas tanaman sorgum melalui pengaturan jarak tanam penting untuk dilakukan. Jika populasi tanaman sorgum yang dikehendaki adalah 100.000 tanaman per hektar, maka jarak tanam yang
142 mungkin adalah 20 cm dalam baris dan 50 cm antar baris. Jarak tanam ini masih memungkinkan kondisi iklim mikro seperti suhu dan kelembaban pada pertanaman sorgum baik, mengingat sorgum sangat peka terhadap kelembaban tinggi (House, 1985). Jika bobot biji/malai dari galur mutan terpilih rata-rata 65 gram dan tidak ada perubahan setelah populasinya dinaikkan, maka produktivitas biji yang dihasilkan dari populasi tersebut bisa mencapai 5 ton/ha. Berdasarkan kajian di atas, upaya-upaya kreatif pada budidaya sorgum untuk meningkatkan produktivitasnya masih perlu terus ditingkatkan. Studi Sifat Ketenggangan Sorgum di Tanah Masam Selain karakter agronomi yang telah dibahas pada percobaan ini, studi untuk mempelajari sifat ketenggangan tanaman sorgum di tanah masam juga dikerjakan pada Hibah Tim Pascasarjana-HPTP. Studi dilaksanakan di laboratorium (land to lab) untuk mempelajari karakter fisiologi dan morfologi galur mutan sorgum toleran dan peka di tanah masam (Trikoesoemaningtyas et al., 2008). Karakter fisiologi. Hasil percobaan dengan menggunakan galur mutan sorgum toleran dan peka hasil Percobaan 1 (screening) menunjukkan bahwa galur mutan toleran tanah masam (ZH30-29-07) mempunyai efisiensi penggunaan hara yang lebih tinggi dibandingkan galur peka (B-69). Hal ini dibuktikan oleh kadar P dalam jaringan tanaman sorgum yang toleran rata-rata 0,29%, sedangkan pada tanaman yang peka kadar P jaringannya rata-rata 0,34%. Kadar P jaringan yang rendah pada tanaman toleran menunjukkan bahwa tanaman tersebut lebih efisien dalam penggunaan unsur hara (Trikoesoemaningtyas et al.,
2008).
Hasil
percobaan ini membuktikan pernyataan Marschner (1995), bahwa tanaman toleran terhadap cekaman Al mempunyai kandungan hara P jaringan yang rendah, namun efisiensi penggunaan haranya tinggi. Karakter morfologi.
Akar merupakan karakter morfologi yang sangat
penting kaitannya dengan produktivitas tanaman di tanah masam. Akar adalah organ tanaman yang pertama mendapat pengaruh cekaman Al di tanah masam, kemudian berdampak terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman secara umum. Pada tanaman yang toleran terhadap cekaman Al, kerusakan akar hanya terbatas pada bagian luar dan ujung akar saja, sedangkan pada tanaman yang peka
143 kerusakan terjadi pada jaringan yang lebih dalam dan kearah jaringan akar yang lebih tua (Wagatsuma et al., 1987). Fenomena tersebut telah dibuktikan melalui percobaan pewarnaan dengan hematoxylin pada jaringan akar galur mutan sorgum toleran dan peka.
Galur mutan yang peka (B-69), mengakumulasi Al lebih
banyak pada ujung akar (ditunjukkan oleh warna merah akibat reaksi hematoxylin dan Al) daripada galur yang toleran (ZH30-29-07). Selain itu, galur mutan yang peka mempunyai sistem perakaran yang lebih pendek daripada galur yang toleran (Trikoesoemaningtyas et al., 2008). Akar tanaman yang rusak dan terhambat pertumbuhannya menyebabkan organ tersebut kesulitan menyerap air dan unsur hara, sehingga tanaman dapat mengalami defisiensi hara yang hebat dan tumbuh kerdil (Marschner, 1995). Analisis Kelayakan Pengembangan Sorgum Kelayakan biofisik. Tanaman sorgum tidak memerlukan persyaratan yang ketat untuk pengembangannya, karena tanaman ini mempunyai daya adaptasi yang luas terhadap kondisi iklim dan tanah. Sorgum dapat tumbuh dengan baik dari iklim semi arid yang kering sampai tropis basah dengan syarat intensitas sinar matahari tinggi.
Sebagai tanaman C-4 yang mampu memfiksasi CO2 dalam
jumlah banyak melalui sel mesofil dan sel seludang berkas, serta sangat efisien dalam memanfaatkan air, sinar matahari dibutuhkan sebagai sumber energi untuk pembentukan biomasa tanaman. Di daerah dengan empat musim, sorgum ditanam pada waktu musim panas sehingga mendapat sinar matahari cukup. Tanaman sorgum juga mempunyai daya adaptasi yang luas terhadap tingkat kesuburan tanah. Sorgum dapat tumbuh di daerah yang miskin kandungan hara, seperti di beberapa wilayah di Afrika; namun sangat baik dikembangkan di daerah dengan tingkat kesuburan tinggi. Lahan untuk pengembangan sorgum umumnya adalah lahan kering, namun dapat juga dilaksanakan di lahan sawah tadah hujan maupun sawah dengan irigasi teknis. Di sawah dengan irigasi teknis, pembuatan drainase menjadi sangat penting, karena sorgum tidak menyukai genangan air. Kelayakan teknis. Teknologi budidaya sorgum tidak jauh berbeda dengan tanaman jagung yang umum diusahakan oleh petani, sehingga secara teknis sorgum mempunyai kelayakan yang tinggi untuk dikembangkan di Indonesia.
144 Perbedaan yang menonjol antara jagung dan sorgum terletak pada ukuran bijinya, dan hal ini berpengaruh terhadap tingkat kedalaman lubang tanam. Kecambah dari benih jagung yang mempunyai ukuran biji lebih besar dari sorgum mampu menembus lapisan tanah penutup yang tebal akibat penugalan yang dalam, sedangkan kecambah benih sorgum menghendaki lubang yang dangkal dengan penutup lubang tanam yang gembur. Kelayakan ekonomi. Berdasarkan analisis pada skala usahatani, budidaya sorgum manis dengan berbagai produk turunannya mempunyai B/C ratio yang tinggi yaitu 1,8. Hasil tersebut dapat diperoleh dengan menggunakan contoh tanaman sorgum yang mampu menghasilkan biji dengan produktivitas 3 ton/ha, dengan hasil bioetanol dari nira batang 1.300 liter/ha, dan hasil hijauan untuk pakan ternak 8,5 ton/ha (Tabel 51). Tabel 51. Analisis ekonomi usahatani berbasis sorgum manis Komponen Produksi (kg atau liter) Harga (Rp/kg atau lt) Biaya proses (Rp) Pendapatan kotor (Rp) Pendapatan bersih (Rp) Keterangan: Total pendapatan bersih Biaya budidaya sorgum/hektar Keuntungan bersih/hektar B/C ratio
Komoditi yang diusahakan Tepung Bioetanol 1.500 1.300 5.000 5.000 1.500.000 4.550.000 7.500.000 6.500.000 6.000.000 1.950.000
Hijauan 8.500 300 425.000 2.550.000 2.125.000
: Rp 10.075.000 : Rp 3.500.000 : Rp 6.575.000 : Rp 6.575.000/Rp 3.500.000 = 1,8
Hasil perhitungan di atas belum termasuk hasil dari tanaman ratoon, yaitu tanaman yang tumbuh dari tunas setelah panen tanaman yang ditumbuhkan dari biji (seedling). Walaupun produktivitas tanaman ratoon dapat turun hingga 20% dari tanaman seedling, namun keuntungannya adalah tidak melakukan olah tanah, pengadaan benih, dan biaya untuk penanaman. Tanaman ratoon hanya perlu perawatan berupa penyiangan dan pemupukan. Umur tanaman ratoon juga lebih pendek, yaitu hanya 60 hari setelah panen tanaman pertama.
145 Kendala pada Tanaman Sorgum dan Cara Mengatasinya Selain mempunyai sifat-sifat unggul sebagai bahan pangan, bahan baku berbagai industri, pakan ternak, dan mempunyai adaptasi yang luas pada berbagai kondisi agroekologi bercekaman, kendala juga dijumpai pada tanaman sorgum. Beberapa kendala pada tanaman sorgum yang teramati dari hasil penelitian ini diantaranya adalah: 1) biji sorgum sangat disukai oleh burung pemakan biji-bijian, sehingga burung menjadi hama utama, 2) benih sorgum sangat cepat mengalami kemunduran, terlebih jika disimpan pada suhu ruangan, 3) biji sorgum sangat mudah diserang hama gudang di lokasi penyimpanan, teruma jenis Sitophilus sp., dan 4) mutu hasil panen sorgum rendah pada musim hujan. Beberapa cara yang telah dilakukan selama penelitian berlangsung untuk mengatasi kendala tersebut, diantaranya adalah menggunakan cool storage dengan suhu yang bisa diatur hingga -12oC (ada di PATIR-BATAN), atau kulkas untuk menyimpan benih guna mencegah kemunduran benih lebih awal. Benih yang disimpan pada suhu kamar akan mengalami kemunduran daya tumbuh pada penyimpanan hingga enam bulan, sedangkan yang disimpan di kulkas mampu bertahan hingga 12 bulan. Cool storage yang ada di PATIR-BATAN mampu mempertahankan daya tumbuh benih sorgum hingga lima tahun. Cara untuk mengatasi serangan hama gudang (Sitophilus sp.) diantaranya adalah dengan memberikan daun pepaya kering pada biji sorgum di dalam karung penyimpanan. Dengan adanya daun pepaya kering yang disertakan pada biji sorgum, serangga Sitophilus sp. akan menghindar. Hal ini diduga daun pepaya mengandung papain yang tidak disukai oleh hama tersebut. Burung menyerang tanaman sorgum sehingga menimbulkan kerusakan karena populasi tanamannya sedikit, namun jika populasi tanaman sorgum sudah meluas seperti padi atau jagung, maka tingkat kerusakan yang parah dapat dihindari.
Untuk mendapatkan hasil panen sorgum dengan kualitas tinggi,
sebaiknya menanam sorgum pada waktu yang tepat agar terhindar saat panen pada musim hujan. Waktu tanam yang tepat adalah pada akhir musim hujan, yaitu pada bulan April atau Mei untuk kondisi iklim di Indonesia.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Bobot biomasa dan bobot biji/malai adalah karakter seleksi yang baik untuk evaluasi sorgum di tanah masam karena mempunyai nilai koefisien ragam genetik luas, nilai heritabilitas arti luas tinggi, dan mempunyai pengaruh langsung tinggi terhadap hasil. Bobot biomasa merupakan karakter penentu adaptasi sorgum di tanah masam, sedangkan bobot biji/malai adalah karakter penentu produktivitas. Seleksi berdasarkan karakter tersebut menghasilkan tiga galur mutan toleran tanah masam dengan produktivitas biji tinggi, yaitu ZH30-29-07, ZH30-30-07, dan ZH30-35-07. Galur mutan yang terseleksi untuk hasil bioetanol tinggi adalah PSj-60-05, ZH30-35-07, ZH30-29-07 dan PSj-96-05. Terdapat perbedaan preferensi antara petani dalam satu lokasi maupun antar lokasi terhadap karakter seleksi tanaman sorgum. Perbedaan ini menghasilkan perbedaan pilihan galur mutan sehingga menciptakan biodiversitas tanaman sorgum di lapang. Petani sangat menyukai karakter tanaman sorgum yang tahan terhadap rebah dan berumur genjah. Galur mutan ZH30-29-07, ZH30-30-07, dan ZH30-35-07 dipilih oleh petani karena mempunyai karakter tahan terhadap rebah, serta mempunyai bentuk dan bobot malai yang baik; sedangkan galur mutan B-76 dan B-92 dipilih karena karakter tinggi tanamannya ideal dan berumur genjah. Terdapat kesamaan pilihan terhadap galur mutan sorgum antara peneliti dan petani, yaitu sama-sama memilih galur mutan ZH30-29-07, ZH30-30-07, dan ZH30-35-07. Hasil ini membuktikan bahwa kearifan lokal yang dimiliki oleh petani dapat digunakan untuk program pemuliaan tanaman. Galur mutan yang teridentifikasi menunjukkan potensi hasil biji lebih tinggi dari varietas pembanding Kawali (3,22 ton/ha) adalah GH-ZB43-07 (3,87 ton/ha), PSj-95-05 (4,61 ton/ha), ZH30-29-07 (4,10 ton/ha), dan ZH30-30-07 (4,01 ton/ha). Galur mutan yang teridentifikasi mempunyai hasil bioetanol lebih tinggi dari varietas Numbu (685 l/ha) adalah ZH30-35-07 (950 l/ha), BR-ZH30-06-07 (912 l/ha), dan PSj-95-05 (1.255 l/ha). Galur mutan PSj-95-05 adalah galur mutan sorgum yang sesuai untuk dikembangkan sebagai penghasil biji maupun bioetanol dengan sumber nira batang.
147 Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, sorgum dapat dijadikan sebagai salah satu komoditi unggulan untuk meningkatkan bahan pangan dan energi di Indonesia, karena mempunyai beberapa keunggulan, diantaranya adalah toleran terhadap tanah masam, tahan kekeringan, dan produktivitasnya tinggi. Keunggulan ini dapat digunakan untuk mengatasi masalah yang banyak dijumpai pada sistem pertanian Indonesia, yaitu lahan usahataninya banyak didominasi lahan marjinal terutama tanah masam, dan sistem irigasinya belum optimal baik infrastruktur maupun cadangan airnya. Kondisi ini sangat menyulitkan untuk meningkatkan indeks penanaman (IP) di Indonesia.
Sorgum dapat meningkatkan IP selain
karena mempunyai keunggulan seperti di atas, juga tanamannya dapat diratun. Sistem pertanian di Indonesia yang lahan usahataninya banyak didominasi lahan marjinal, penguasaan lahan oleh petani sempit dengan aspek permodalan yang rendah sebaiknya mengembangankan sistem pemuliaan tanaman partisipatif. Sistem ini dapat menghasilkan tanaman yang adaptif pada kondisi agroekologi setempat dan disukai oleh petani, dapat meningkatkan kedaulatan benih di tingkat petani, serta mampu menjaga dan melestarikan sumberdaya genetik dengan lebih baik melalui biodiversitas tanaman di lapang. Pada tahap awal pengenalan sistem pemuliaan tanaman partisipatif kepada petani sebaiknya menggunakan metode participatory varietal selection (PVS). Metode PVS paling sederhana dengan tingkat keberhasilan tinggi. Sederhana karena petani hanya bekerja pada materi pemuliaan lanjut yang sebelumnya telah dikembangkan oleh pemulia profesional sehingga tingkat keberhasilan untuk mendapatkan varietas yang diinginan lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Abatiell, A., J. Ireland, J. Odusina, D.S. Rajoo and Z. Zaidi. 2003. Ethanol Production in Oklahoma. Capstone Design Project-University of Oklahoma. Abay, F. and Bjornstad, A. 2008. Participatory varietal selection of barley in the highlands of Tigray in Northern Ethiopia. Dalam: Farmers, seeds and varieties: supporting informal seed supply in Ethiopia. Editor: Marja H. Thijseen, Zewdie Bishaw, Abdurrahman Beshir dan Walter S. De Boef. Wageningen International. Ae, N. and R.F. Sen. 2002. Root cell-wall properties are proposed to contribute to phosphorus (P) mobilization by groundnut and pigeonpea. Plant Soil 245: 95-103. Akhter, A., S.H. Khan, E. Hiroaki, K. Tawaraya, M. Rao, P. Wenzl, S. Ishikawa and T. Wagatsuma. 2009. Greater contribution of low-nutrient tolerance to sorghum and maize growth under combined strees conditionwith high aluminum and low nutrient in solution culture simulating the nutrient status of tropical acid soils. Soil Sci. Plant Nutr. 55: 394-406. Almekinders, C.J.M. and A. Elings. 2001. Collaboration of farmers and breeder: Participatory crop improvement in perspective. Euphytica 122: 425-438. Alnopri. 2004. Variabilitas Genetik dan Heritabilitas Sifat-sifat Pertumbuhan Bibit Tujuh Genotipe Kopi Robusta-Arabika. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia. 6: 91-96. American Coalition for Ethanol. 2007. http://www.ethanol.org. [21 Maret 2007]
What
is
Fuel
Ethanol?
Anas and T. Yoshida. 2000. Screening of Al-tolerant Sorghum by Hematoxylin Staining and Growth Response. Plant Prod Sci. 3:246-253. Aono, Toshihiro, Naoki Kanada, Ayako Ijima and Hiroshi Oyaizu. 2001. The response of the phosphate uptake system and the organic acid exudation system to phosphate starvation in Sesbania rostrata. Plant Cell Physiol. 42(11): 1253-1264. Arief, A. 1990. Masalah lahan kering masam bukaan baru untuk tanaman pangan. Simposium Tanaman Pangan, Ciloto 21-23 Maret 1990. Puslitbangtan, Departemen Pertanian, Bogor. Asfaw, A. 2008. Participatory varietal evaluation and breeding of the common bean in the Southern region of Ethiopia. Dalam: Farmers, seeds and varieties: supporting informal seed supply in Ethiopia. Editor: Marja H. Thijseen, Zewdie Bishaw, Abdurrahman Beshir dan Walter S. De Boef. Wageningen International. Ashby, J.A. and N. Lilja. 2004. Participatory research: Does it work? Evidence from Participatory Plant Breeding. Prosseding of the 4 th International Crop Science Congres. Brisbane, Australia. [26 September - 1 Oktober 2004].
149 Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung. 1999. Tim Editor: B. Wiryawan, B. Marsden, H.A. Susanto, A.K. Mahi, M. Ahmad, dan H. Poespitasari. Kerjasama Pemerintah Daerah Propinsi Lampung dengan Proyek Pesisir Lampung. Bandarlampung. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. 2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010. Lima Komoditas: Beras, Jagung, Kedelai, Gula, dan Daging Sapi. Balitbangtan Deptan., Jakarta. Bahar, H. dan S. Zen. 1993. Parameter Genetik Pertumbuhan Tanaman, Hasil dan Komponen Hasil Jagung. Zuriat 4 (1): 4-7. Balai Penelitian Tanah. 2004. Hasil analisis contoh tanah nomor: 493/2004. Balai Penelitian Tanah, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Balai Penelitian Tanah. 2007. Hasil analisis contoh tanah nomor: 366/2007. Balai Penelitian Tanah, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Banziger, M., and M.E. Cooper. 2001. Breeding for low-input condition and consequences for participatory plant breeding-examples from tropical maize and wheat. Euphytica 122: 503-519. Bari, A., S. Musa, dan E. Sjamsudin. 1982. Pengantar Pemuliaan Tanaman. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bi, S.P., N. Gan, X.C. Lu, H.Y. Ni, H. Lin, X.L. Wang and Z.B. Wei. 2003. Evaluation of aluminum speciation in surface waters in China and its environmental risk assessment. Environ. Geol. 45:65-71. Biomass Conversion Committee of CAREI. 2006. Green Oil Field: Sweet sorghum-Bioethanol. “Chuntian” series: Sweet sorghum cross breed 3 strain breeding. Boef and Ogliari. 2008. Participatory crop improvement and supporting informal seed supply. Dalam: Farmers, seeds and varieties: supporting informal seed supply in Ethiopia. Editor: Marja H. Thijseen, Zewdie Bishaw, Abdurrahman Beshir dan Walter S. De Boef. Wageningen International. Borrell, A., E.V. Oosterom, G. Hammer, D. Jordan, and A. Douglas. 2006. The physiology of “stay-green” in sorghum. Hermitage Research Station, University of Quensland, Brisbande. BPS. 2006. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta. Brocke, K.V., E. Weltzein, A. Christinck. 2001. How can participatory breeding contribute to the maintanance of biodiversity? Participative Selection, Montpeller, 5-6 September 2001. Bullard, R.W. and J.O. York. 1985. Breeding for bird resistance in sorghum and maize. In Progress in Plant Breeding 1. G.E Russel (Ed.). Butterworthand Co. Ltd. London. 325 p.
150 Catsky, J. and Z. Sestak. Photosynthesis During Leaf Aging. In Handbook of Photosynthesis (Ed.) Mohammad Pessarakli. New York: Marcel Dekker. Ceccareli S. 1996. Adaptation to low/high input cultivation. Euphytica 92:203214. Ceccarelli S, Erskine W, Humblin J, Brando S. 2007. Genotype by environment interaction and international breeding program. http://www.icrisat.com. [15 Januari 2007]. Ceccarelli, S. 2001. Desentralized-Participatory Plant Breeding: Adapting Crops to Environments and Clients. The International Center for Agriculture Research in The Dry Areas (ICARDA). Aleppo, Syria. Chahal, G.S. and S.S. Gosal. 2003. Principles and Procedures of Plant Breeding: Biotechnological and Conventional Approaches. Narosa Publishing House. New Delhi, Chennai, Mumbai, Kolkata. 604 p. Chambers, R. 1996. Participatory Rural Appraisal, Memahami Desa secara Partisipatif. Kanisius. Yogyakarta. 114 halaman. Chiffoleau, Y. and D. Desclaux. 2006. Participatory Plant Breeding: the best way to bread for sustainable agriculture. International Journal of Agriculture Sustainable 4 (2): 119-130. Coe, Richard. 2002. Analyzing data from participatory on-farm trials. Dalam Quantitative Analysis of Data from Participatory Methods in Plant Breeding. Mauricio R. Bellon dan Jane Reever (eds.). CIMMYT-PRGAIRRI. Darajd, A.A. 2009. Pengalaman riset pemuliaan dan pengembangan benih padi menjawab tantangan permintaan pangan 2025. A Rountable meeting on PSHS Research and Development. Bandung. November 2009. Delhaize, E. and P.R. Ryan. 1995. Aluminum toxicity and tolerance in plant. Plant Physiol. 107: 315-321. Delhaize, E., P.R. Ryan and P.J. Randall. 1993. Aluminum tolerance in wheat (Triticum aestivum L.). Plant Physiol. 103: 695-702. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. Makanan. Bhratara, Jakarta. 57 hal.
1992.
Daftar Komposisi Bahan
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2007. Arah Kebijakan Pengembangan Sorgum Manis sebagai Sumber Bahan Baku Bioetanol. Makalah pada workshop “Peluang dan Tantangan Sorgum Manis sebagai Bahan Baku Bioetanol”. Dirjen Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta. 14 hal. Doherty, C., L.W. Rooney and J.M. Faubion. 1981. Phytin Content of Sorghum and Sorghum Products. Dalam International Symposium on Sorghum Grain Quality. ICRISAT Center Patancheru, India. Duncan, R.R., R.B. Clark and P.R. Furlani. 1983. Laboratory and Fiel Evaluation of Sorghum for Response to Aluminum and Acid Soil. Agron. J. 75: 1023-1026.
151 Duncan, R.R., Waskom R.M., and Nabors M.W. 1995. In Vitro Screening and Field Evaluation of Tissue-Culture-Regenerated Sorghum for Soil Stress Tolerance. Euphytica 85:1-3. FAO dan ICRISAT. 1996. The world sorghum and millet economies: Facts, trends and outlook. Joint study by the Basic Foodstuffs Service FAO and Socioeconomics and Policy Division ICRISAT. 67p. FAO. 2002. Sweet sorghum in China. Spotlight/2002. FAO. 2005. Building on gender, agrobiodiversity and local knowledge. A Training Manual. Publishing Management Service, Information Division FAO. Foy, C.D. 1976. General Principles Involved in Screening Plants for Aluminium and Manganese Tolerance. In Plant Adaptation to Mineral Stress in Problem Soil (Ed.) Madison J. Wright. New York: Cornell University. Franzel, S. and R.Coe. 2002. Participatory on-farm technology testing: The suitability of different types of trials for different objective. Dalam Quantitative Analysis of Data from Participatory Methods in Plant Breeding. Mauricio R. Bellon dan Jane Reever (eds.). CIMMYT-PRGAIRRI. Freeman, J.E. 1970. Development and Structure of The Sorghum Plant and Its Fruit. Dalam Sorghum Production and Utilization: Major Feed and Food Crops in Agriculture and Food Series. Editor: Joseph S. Wall dan William M. Ross. The Avi Publishing Company, Connecticut. pp. 28-72. Gardner, F.P., R.B. Pearce dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Penerjemah Herawati Susilo. Universitas Indonesia Press, Jakarta. 428 hal. Gaspersz, V. 1992. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Bandung: Tarsito. 719 hal. Goni, B.S.R. and V. Marcarian. 1985. Diallel analysis of aluminum tolerance in selected lines of grain shorgum. Crop Sci. 25: 749-752. Grassi, G. 2001. Sweet sorghum: one of the best world food-feed-energy crop. Latin America Thematic Network on Bioenergy (LAMNET). Grassi, G., G. Tondi and P. Helm. 2004. Biomass and agriculture: sustainability, market and policies. OECD Publication Service. Paris. 13p. Grassi, G. 2005. Technologies of liquid biofuels production in Europe. European Biomass Industry Association (EUBIA). 24p. Grotz, N. and M.L. Guerinot. 2002. Limiting nutrients: an old problem with new solutions? Current Opinion in Plant Biol. 5: 158-163. Gudu, S., B.A. Were, A. Onkware, E.J. Too, G.O. Dangasuk and J. Ringo. 2009. Maize and Sorghum Breeding for Improved Yields Under Acid Soil of Western Kenya. American Society of Plant Biologists.
152 Hadiatmi, T.S Silitonga dan I.H. Somantri. 2004. Panduan Karakterisasi Tanaman Sorgum. Penyunting: Subandi, Sutoro, Ida N. Orbani. Komisi Nasional Plasma Nutfah, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, Jakarta. Hammond, J.P., M.J. Bennett, H.C. Bowen, M.R. Broadley, D.C. Eastwood, S.T. May, C. Rahn, R. Swarup, K.E. Woolaway and P.J. White. 2003. Change in gene expression in Arabidopsis shoots during phosphate starvation and the potential for developing smart plant. Plant Physiol. 132: 578-596. Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Hardjowigeno, S. 1985. Klasifikasi Tanah-Survai Tanah dan Evaluasi Kemampuan Lahan. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. 126 hal. Harjadi, S.S., 1996. Pengantar Agronomi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Henry, R. 2009. Plant Resource for Food, Fuel and Conservation. Science Conversation Series, Southern Cross University. Lismore-NSW, Australia. Henzel, R.G., K.J. Mccree, C.H.M. van Bavel and K.F. Schertz. 1975. Method for screening sorghum genotypes for stomatal sensitive to water deficits. Crop Sci. 15(4): 516-518. Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan Kering untuk Pertanian. Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Penyunting: A. Adimihardja, Mappaona dan Arsil Saleh. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Deptan, Bogor. Hal. 1-34. Hoechst. 1993. Panduan Hama dan Penyakit Tanaman. Jakarta: PT. Sarana Agrotama. Hoeman, Soeranto. 2005. Pemuliaan Tanaman dengan Teknik Mutasi. Puslitbang Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional, Jakarta. 20 hal. Hoeman, Soeranto. 2007. Peluang dan Potensi Pengembangan Sorgum Manis. Makalah pada workshop “Peluang dan Tantangan Sorgum Manis sebagai Bahan Baku Bioetanol”. Dirjen Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta. 10 hal. Hopkins, A.A., D.P. Malinowski, H. Zhang, and D.W. Walker. 2004. Russian Wildrye Seedling are Sensitive to Acid Soil. Crop Sci. 44: 2187-2192. House, L.R. 1985. A Guide to Sorghum Breeding. 2nd Ed. International Crops Research Institut for Semi-Arid Tropics (ICRISAT), Patancheru, India. Hu, B., P. Wu, C.Y. Liao, W.P. Zhang and J.J. Ni. QTLs and epistasis underlying activity of acid phosphatase under phosphorus sufficient and deficient condition in rice (Oryza sativa L.). Plant Soil 230: 99-105. [IAEA] International Atomic Energy Agency. 2009. Course Manual Mutation Breeding Approaches to Improving Protein and Starch Quality. Lismore, Australia 23-27 March 2009.
153 [IBRD] International Bank for Reconstruction and Development. 2004. Innovation support fund for farmer-led research and development. International disscution of PROLINNOVA workshop. Yirgalem, Ethiopia [Maret 2004] [ICARDA] International Center for Agricultural Research in the Dry Areas. 2008. [ICSC] International Chemical Safety Cards. 2007. http://hazard. com/msds/mf/cards/file/0044.html.
Ethanol (Anhydrous).
[IDRC] The International Development Research Centre. 2010. Diversity Means Life, Diversity Means Choice. http://www.idrc.ca/seeds/. [15 Feb. 2010]. Iman, P. dan Nurcahyo. 2005. Krisis Minyak Dunia dan Indonesia. “Priyadi’s Place”. Previous Post. Instruksi Presiden Republik Indonesia No.1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Ishikawa, S., T. Wagatsuma dan T. Ikarashi. 1996. Role of organic acids in Al detoxification. Soil Sci. Plant Nutr. 42: 613-625. Johnson, J.F., C.P. Vance, and D.L. Allan. 1996. Phosphorus deficiency in Lupin albus. Plant Physiol. 112: 31-41. Joshi, K.D., B.R. Shapit and J.R. Witcombe. 2001. How narrowly adapted are the products of decentralised breeding? The spread of rice varieatas from a participatory plant breeding program in Nepal. Euphytica 122: 589-597. Jungk A. 2001. Root hair and the acquisition of plant nutrients from soil. Plant Nutr. Soil Sci. 164: 121-129. Kaher, A. 1993. Status perbaikan varietas padi gogo untuk lahan kering marjinal. Makalah penunjang dalam Simposium Penelitian Tanaman Pangan II. Puslitbangtan, Jakarta/Bogor, 23-25 Agustus 1993. Kamal, M. dan Sunyoto. 2009. Penampilan Agronomi Berbagai Genotipe Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] di Bandarlampung Selama Dua Musim Tanam. Dalam Proseding Seminar Nasional Teknologi Tepat Guna Agroindustri dan Desiminasi Hasil-hasil Penelitian Dosen Polinela. Bandarlampung, April 2009. Kamprath, EJ. 1984. Crop responses to lime on soils in the tropics. Dalam Soil Acidity and Liming, Ed. 2. Agronomy Monograph No. 12. American Society of Agronomy, Madison WI. Pp. 349-368. Kangama C.O. and X. Rumei. 2005. Production of crystal sugar and alcohol from sweet sorghum. African J. Food Agri. Nutr. Dev. 5(2): 1-5. Kasim, N., D. Sopandie, S. Harran dan M. Yusuf. 2001. Pola akumulasi dan sekresi asam sitrat dan asam malat pada beberapa genotipe kedelai toleran dan peka aluminium. Hayati 8: 58-61. Kelly, C.N., J.B. Morton, and J.R. Cumming. 2005. Variation in aluminum resistance among arbuscular mycorrhizal fungi. Mychorrhiza 15: 193-201.
154 Khomsan, A. 2006. Beras dan Diversifikasi Pangan. Kompas Nomor 173 Tahun ke-42. Edisi Kamis, 21 Desember 2006 halaman 6. Kim, B.Y., A.C. Baier, D.J. Somers, and J.P. Gustafson. 2001. Aluminum tolerance in triticale, wheat, and rye. Euphytica 120: 329-337. Knight, R. 1979. Quantitative genetic statistics and plant breeding. In R. Knight (ed.) Plant Breeding. Brisbane Australian Vice-Chancellors Committee. P 41-76. [KNPN] Komisi Nasional Plasma Nutfah. 2004. Panduan Karakterisasi Tanaman Pangan: Jagung dan Sorgum. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta. Kochian, L.V. 1995. Celluler mechanism of aluminum toxicity and resistance in plant. Ann. Rev. Plant Physiol. Mol. Biol. 46: 237-260. Kochian, L.V. dan O.A. Hoekenga. 2004. How do crop plants tolerance acid soil? Mechanism of aluminum tolerance and phosphorous efficiency. Annu. Rev. Plant Biol. 55: 459-493. Kochian, L.V., N.S. Pence, D.L.D. Letham, M.A. Pinores, J.V. Magalhaes, O.A. Hoekenga, and D.F. Garvin. 2002. Mechanisms of metal resistance in plant: aluminum and heavy metals. Plant Soil 247: 109-119. Limbongan, Y.L. 2008. Analisis Genetik dan Seleksi Genotipe Unggul Padi Sawah (Oryza sativa L.) untuk Adaptasi pada Ekosistem Dataran Tinggi. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lin, C.S. and G. Poushinsky. 1983. A modified augmented design for an early stage of plant selection involving a large number of test lines without replication. Biometrics 39(3): 553-561. Ma, J.F. 2000. Role of organic acids in detoxification of aluminum in higher plants. Plant Cell Physiol. 41(4): 383-390. Ma, J.F., R.Shen, Z. Zao, M. Wissuwa, Y. Takeuchi, T. Ebitani and M. Yano. 2002. Response of rice to Al stress and identification of quantitative trait loci for Al tolerance. Plant Cell Physiol. 43(6): 652-659. Ma, J.F., S. Nagao, C.F. Huang, and M. Nishimura. 2005. Isolation and characterization of a rice mutant hypersensitive to Al. Plant and Cell Physiology Advance Access Published. 41p. Ma, J.F., Z.S. Jian, and H. Matsumoto. 1997. Specific secretion of citric acid induced by Al stress in Casia tora L. Plant Cell Physiol. 38: 1019-1025. Ma, Z. and S.C. Miyasaka. 1998. Oxalate exudation by taro in response to Al. Plant Physiol. 118: 861-865. Magalhaes, JV., D.F Garvin, Y. Wang, M.E Sorrels, P.E. Klein, R.E Schaffert, L. Li and LV. Kochian. 2004. Comparative mapping of a major aluminum tolerance gene in shorgum and other species in the poaceae. Genetics 167: 1905-1914.
155 Mahalakshmi V. and F.R. Bidinger. 2002. Evaluation of stay-green sorghum germplasm lines at ICRISAT. Crop Sci. 42: 965-974. Makmur, A. 2003. Pemuliaan Tanaman bagi Lingkungan Spesifik. IPB PressProgram Pascasarjana IPB. Mann, J.A., E.E. Gbur and F.R. Miller. 1983. A screening index for adaptation in sorghum cultivar. Crop Sci. 25: 593-598. Marschner, H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. 2nd Edition. Academic Press. London, San Diego, New York, Boston, Sydney, Tokyo, dan Toronto. 889p. Martin, J.H. 1970. History and Classification of Sorghum. Dalam Sorghum Production and Utilization: Major Feed and Food Crops in Agriculture and Food Series. Editor: Joseph S. Wall dan William M. Ross. The Avi Publishing Company, Connecticut. pp. 1-27. Martin, R.B. 1988. Aluminum and its role in biology. Dalam Metal Ions in Biological System, Vol. 24. Sigel H. dan Sigel A. (eds.). Marcel Dekker New York. pp. 1-57. Maryanto, E., D. Suryati, N. Setyowati. 2002. Pertumbuhan dan hasil beberapa galur harapan kedelai pada kerapatan tanam berbeda. Akta Agrosia 5(2): 4752. Massacci, A., A. Battistelli, and F. Loreto. 1996. Effect of drought stress on photosynthetic characteristics, growth and sugar accumulation of fieldgrown sweet sorghum. Aust. J. Plant Physiol. 23: 331-340. Mc.Whirter, R.S. 1979. Breeding of cross pollination crop. In R.Knight (ed.) Plant Breeding. Brisbane Australian Vice-Chancellors Committee. P 79111. Miller, D.R., Waskom R.M., Duncan R.R., Chapman P.L., Brick M.A., Hanning G.E., Timm D.A., and Nabors M.W. 1992. Acid soil stress tolerance in tissue culture-derived srghum line. Crop Sci. 32:324-327. Miyasaka, SC., Buta JG., Howell RK., and Foy CD. 1991. Mechanism of aluminum tolerance in snapbean: root exudation of citric acid. Plant Physiol. 96: 737-743. Moedjiono dan M.J. Mejaya. 1994. Variabilitas Genetik Beberapa Karakter Plasmanutfah Jagung Koleksi Balittan Malang. Zuriat 5(2): 27-32. Mogusu, Tom. 2005. Bill Gates donates Sh1.3b to biotech group. The Standard, July 1, 2005. Mohammadi, S.A., B.M. Prasanna, and N.N. Singh. 2003. Sequential path model for determining interrelationships among grain yield related characters in mize. Crp Sci. 43:1690-1697. Moon, D.H., L.M.M. Ottoboni, and A.P. Souza. Somaclonal-variation-induced aluminum-sensitive mutant from an aluminum-inbread maize tolerant line. Plant Cell 16: 686-691.
156 Nasution, M.A., R. Poerwanto, Sobir, M. Surahman, dan Trikoesoemaningtyas. 2007. Pendugaan Paramter Genetik dan Hubungan Antar Hasil dengan Beberapa Karakter Kuantitatif dari Plasmanutfah Nenas (Ananas comosus L. Merr.) Koleksi PKBT IPB. Dalam Proseding Seminar Nasional Hasil Penelitian yang Dibiayai Oleh Hibah Kompetitif. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nkongolo, K.K., K.K.L. Chintu, M. Malusi, and Z. Vokhiwa. 2008. Participatory variety selection and characterization of sorghum [Sorghum bicolor (L.) Moench] elite accessions from Malawian gene pool using farmer and breeder knowledge. African J. Agri. Res. 3(4): 273-283. [NSSPPA] The National Sweet Sorghum Producers and Processors Association. 2005. What is Sweet Sorghum? Kentucky: NSSPPA. Nurjana, Supandi A., Mursidi SM., Soepartini dan Andi D. 1993. Status hara P lahan sawah di pulau Lombok. Proseding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Obilama, A. Tunde. 1981. Traditional Sorghum Foods in Nigeria: Their Preparation and Quality Paramters. Dalam International Symposium on Sorghum Grain Quality. ICRISAT Center Patancheru, India. Olso, D.G. 1998. Irradiation of Food. http://www/ift.org
Institute of Food Technologist.
Orsenigo, M., G. Patrignani and N. Rascio. 1997. Ecophysiology of C3, C4, and CAM Plants. Dalam: Handbook of Photosynthesis. Mohammad Pessarakli (Editor). Marcel Dekker, Inc. New York. pp. 1-25 Osawa, H., K. Kojima and S. Sasaki. 1997. Role of organic acids in Al detoxification. Dalam Plant Nutrition for Sustainable Food Production and Environment. T. Ando, K. Fujita, T. Mae, S. Mori, J. Sekiya, dan H. Matsumoto (eds.). Kluwer Academic Publisher, Dordrecht. pp. 455-456. Pellet, DM., Grunes DL., and Kochian LV. 1995. Organic acid exudation as an aluminum-tolerance mechanism in maize. Planta 196: 788-795. Peng S. and Ismail. 2004. Physiological Basis of Yield and Environmental Adaptation in Rice. Dalam Physiology and Biotechnology Integration for Plant Breeding. Nguyen HT. and Blum A (eds). Marcel Dekker, Inc. New York. Perkins, J. 2006. Sorghum: The sweet alternative. Institute for Agriculture and Trade Policy, USA. Pineros, M.A. and L.V. Kochian. 2001. A patch-clamp study on the physiology of aluminum toxicity and aluminum tolerance in maize. Identification and characterization of Al+3 induced anion channels. Plant Physiol. 125:292305. Poespodarsono, S. 1988. Dasar-dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Pusat Antar Universitas (PAU) Institut Pertanian Bogor Bekerjasama dengan Lembaga Sumberdaya Informasi-IPB.
157 Prasetiyono, J. dan Tasliah. 2003. Strategi pendekatan bioteknologi untuk pemuliaan tanaman toleran keracunan aluminium. Jurnal Ilmu Pertanian 10: 64-76. [PRGA] Participatory Research and Gender Analysis. 2007. Participatory Plant Breeding. PRGA Publications.Sardjono, Y dan M.I. Sumampouw. 2006. Pengaruh Radiasi Gamma terhadap Tekstur Buah isang Ambon Lumut (Musa paradisiaca L. Var. Cavendish). Caraka Tani XX1 (2): 127-132. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2001. Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Nasional skala 1:1.000.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Rahmi, Y.A., Syuryawati, dan Zubachtirodin. 2009. Deskripsi Sorgum Varietas Kawali dan Numbu. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros, Sulawesi Selatan. Rajvanshi, A.K. and N. Nimbkar. 2001. Sweet sorghum R$D at the Nimbkar Agriculture Research Institut (NARI). Nimbkar Agriculture Research Institut (NARI), Maharashtra. Rana, R.B., C.J. Garforth, B.R. Sthapit, A. Subedi, P. Chaudhary, D.I. Jarvis. 2007. Plant Genetic Resource Newslatter (152):58-64 Reddy, B.V.S., and W.D. Dar. 2007. Sweet Sorghum for Bioethanol. Makalah pada workshop “Peluang dan Tantangan Sorgum Manis sebagai Bahan Baku Bioetanol”. Dirjen Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta. Reid, D.A. 1976. Aluminum and manganese toxicity in the cereal grain. Dalam Plant Adaptation to Mineral Stress in Problem Soil. Madison J. Wright dan Sheila A. Ferrari (eds.). Proceeding of a Whorkshop held at the National Agricultural Library, Beltsville, Maryland, November 22-23, 1976. Riduan, A., Sudarsono. 2005. Daya hasil sepuluh galur introgresi kacang tanah hasil silangan antara Arachis cardenasii dan A. Hypogaea. Hayati 12 (3):116-120 Robinson, D. 1994. The responses of plants to non-uniform supplies of nutrients. New Phytol. 127: 635-674. Roy, D. 2000. Plant Breeding, Analysis and Exploitation of Variation. New Delhi: Narosa Publishing House. Ryan, P.R., R.J. Reid and F.A. Smith. 1997. Direct evaluation of the Ca+2displacement hyphothesis for Al toxicity. Plant Physiol. 113: 1351-1357. Salih, A.A., I.A. Ali, A. Lux, M. Luxova, Y. Cohen, Y. Sugimoto, and S. Innaga. Rooting, water uptake and xylem structure adaptation to drought of two sorghum cultivar. Crop Sci. 39: 168-173. Salisbury, F.B. and C.W. Ross. 1985. Plant Physiology. Third Edition. Wadsworth Publishing Company, Belmont, California. 540p. Sanchez, P.A. 1992. Sifat dan pengelolaan tanah tropika. ITB Bandung. 397 halaman.
158 Santoso, B. 2004. Pewarisan Ketahanan terhadap Cekaman Aluminium Beberapa Varietas padi. Dalam Prosiding Lokakarya Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia VII. Hal. 58-64. Santoso, B. 2004. Pewarisan Ketahanan terhadap Cekaman Aluminium Beberapa Varietas Padi. Dalam Proseding Lokakarya Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia VII: Dukungan Pemuliaan terhadap Industri Perbenihan pada Era Pertanian Kompetitif. Sardjono, Y. dan M.I. Sumampouw. 2006. Pengaruh Radiasi Gamma terhadap Tekstur Buah Pisang Ambon Lumut. Caraka Tani, Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian. XXI (2): 127-132. Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. [SFSA] Syngenta Foundation for Sustainable Agriculture. Sorghum: increasing opportunities and choice for poor rural communities in semi-arid areas through sustainable innovation in agriculture. http://www.syngenta foundation.com/sorghum.htm [24 juli 2008]. Sierra, J., H.O. Lafontaine, L. Dufour, A. Meunier, R. Bonhomme and C. Welcker. 2005. Nutrient and assimilate pertitioning in two tropical maize cultivars in relation to their tolerance to soil acidity. Article in Press Field Crops Research. 16p. Singh, P. 2004. Publisher.
Quantitative Genetics at A Glance.
New Delhi: Kalyani
Singh, RK. and Chaudhary BD. 1979. Biometrical Methods in Quantitative Genetic Analysis. New Delhi: Kalyani Publisher. Sirappa, M.P. 2003. Prospek pengembangan sorgum di Indonesia sebagai komoditas alternatif untuk pangan, pakan dan industri. Jurnal Litbang Pertanian 22(4): 133-140. Sitompul, S.M. dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 412 hal. Smolders, H. 2006. Enhanching farrmers role in crop development; framework information for participatory plant breeding in farmer field school. PEDIGREA publication, Wageningen, CGN. Snapp, S. 2002. Quantifying Farmer Evaluation of Technologies: The Mother and Baby Trial Design. Dalam Quantitative Analysis of Data from Participatory Methods in Plant Breeding. Mauricio R. Bellon dan Jane Reever (eds.). CIMMYT-PRGA-IRRI. Sobir. 2005. Pemuliaan Tanaman Partisipatif (PTP) dan Percepatan Perakitan Varietas. Dalam Participatory Plant Breeding (Pemuliaan Tanaman Partisipatif). Pusat Kajian Buah-buahan Tropika, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor dan Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia. Hal. 2-21.
159 Sopandie, D. 2006. Perspektif Fisiologi dalam Pengembangan Tanaman Pangan di Lahan Marjinal. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Fisiologi Tanaman. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sperling, L., J.A. Ashby, M.E. Smith, E. Weltzien and S. McGuire. 2001. A framework for analyzing participatory plant breeding approaches and result. Euphytica 122: 439-450. Stanfield, WD. 1983. Theory and Problem of Genetics. Ed. Ke-2. New York: McGraw-Hill. Steel, R.G.D. dan Torrie, J.H. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika: suatu pendekatan biometrik. Terjemahan oleh Bambang Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 748 halaman. Suarni. 2004. Pemanfaatan tepung sorgum untuk produk olahan. Jurnal Litbang Pertanian 23(4): 145-151. Sujiprihati, S. 2005. Partisipasi petani dalam pemuliaan tanaman. Dalam: Participatory Plant Breeding (Pemuliaan Tanaman Partisipatif). Kerjasama Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia dengan Pusat Kajian Buah-buahan Tropika, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Sumarno. 2005. Analisis ketersediaan sumberdaya pertanian untuk ketahanan pangan nasional secara berkelanjutan. Ceramah untuk bahan pemikiran prosfektif 10-15 tahun ke depan. Seminar pertanian Umum, IPB Bogor 8 Juni 2005. Suwarno, H.M. Toha dan Ismail B.P. 2004. Ketersediaan teknologi dan peluang pengembangan padi gogo. Dalam Seminar IPTEK Padi pada Pekan Padi Nasional II. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. 18 hal. Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. PT. Bina Rena Pariwara. Jakarta. 262 halaman. Syarif, A.A. 2005. Adaptasi dan Ketenggangan Genotipe Padi terhadap Defisiensi Fosfor di Tanah Sawah. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Taiz, L. and E. Zeiger. 2002. Plant Physiology. Third Edition. Associates, Inc., Publishers. Sunderland, Massachusetts. 690p.
Sinauer
Tanaka, A. 1980. Physiological aspects of productivity in field crops. Symposium on Potential Productivity of Field Crop under Difference Environments. IRRI, Los Banos, Philippines. pp. 61-80. Taylor, GJ. 1991. Current view of the aluminum stress response: the physiological basis of tolerance. Plant Biochem Physiol. 10: 57-93. TexaSoft. 2008. Kruskal-Wallis Test. http://www.texasoft.com Thony, J., D. Suryati, Hasanudin. 2008. Daya hasil galur-galur harapan kedelai persilangan varietas Malabar dan Kipas Putih di Seluma. Bibliografi 2008, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu.
160 Till, B.J. 2009. Tilling and Ecotilling. Dalam: Regional Training Course Mutation Breeding Approaches to Improving Protein and Starch Quality. Southern Cross University, Lismore-Australia, 23-27 March 2009. Tisdale, SL., Nelson WI., and Beaton JD. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. Mcmillan Publishing, New York. Tjitrosoepomo, G. 2000. Taksonmi Tumbuhan (Spermatophyta). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 477 hal. Toure, A., F.W. Rattunde, and E. Weltzien. 2004. Guinea sorghum hybrids: Bringing the benefits of hybrid technology to a staple crop of sub-Saharan Africa. IER-ICRISAT. Tribe, D. 2007. Aluminium resistance gene found in sorghum genome-allows growth in acid soil. Source URL:http//cornellsun.com/node/23945. [7 September 2007]. Trikoesoemaningtyas. 2008. Pemuliaan untuk Lingkungan Bercekaman Abiotik. Bahan Kuliah Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (Tidak Dipublikasikan). Trikoesoemaningtyas, D. Sopandie, dan D. Wirnas. 2007. Pengembangan Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench.] untuk Bioetanol di Lahan Kering Bertanah Masam: Fisiologi, Genetika, dan Pemuliaan. Laporan Hibah Tim Pascasarjana-HPTP Bidang Penelitian Sumberdaya Hayati, Bioproduksi dan Bioproses. Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Institut Pertanian Bogor (Tidak Dipublikasikan). Uhde-Stone, C., K.E. Zinn, M.R. Yanez, A. Li, C.P. Vance and D.L. Allan. 2003. Nylon filter arrays reveal differential gene expresion in proteoid roots of white lupin in response to phosphorus deficiency. Plant Physiol. 131: 10641079. Undersander, D.J., W.E. Lueschen, L.H. Smith, A.R. Kaminski, J.D. Doll, K.A. Kelling, and E.S. Oplinger. 1990. Sorghum for Syrup. Unlu, Mustafa and P. Steduto. 1999. Comparison of photosynthetic water use efficiency of sweet sorghum at canopy and leaf scales. Turk J Agric For. 24: 519-525. Upadhyay, M.P., P.K. Shrestha, B.R. Sthapit. 2006. On farm management of agricultural biodiversity in Nepal. LI-BIRD, IPGRI, IDRC. Vanderlip, R.L. 1979. How a sorghum plant develops. Cooperative Extension Service, Kansas State University, Manhattan, Kansas. 19p. Vazquez, M.D., C. Poschenrieder, I. Corrales, and J. Barcelo. 1999. Change in apoplastic aluminum during the initial growth response to aluminum by roots of a tolerant maize variety. Plant Physiol. 119: 435-444. Villagarcia, M.R., T.E. Carter, T.W. Rufty, A.S. Niewoehner, M.W. Jennette, and C. Arrellano. 2001. Genotypic rankings for aluminum tolerance of soybean roots grown in hydroponics and sand culture. Crop Sci. 41: 1499-1507.
161 Vitorello, V.A. and Haung, A. 1996. Role of organic acids in Al detoxification. Plant Physiol. 97: 536-544. Wagatsuma, T., M. Kaneko and Y. Hayasaki. 1987. Destruction process of plant root cells by aluminum. Soil Sci. Plant Nutr. 33: 161-175. Wahid, A., E. Rasul, A.R. Rao, and R.M. Iqbal. 1997. Photosynthesis in Leaf, Stem, Plower, and Fruit. In Handbook of Photosynthesis (Ed.) Mohammad Pessarakli. New York: Marcel Dekker. Wahyuni, S., U.R. Sinniah, M.K. Yusop. 2005. Effect of pacclobutrazol and prohexadione-calcium on stem anatomy of rice. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan (24):02. Wambeke, A.V. 1976. Formation, distribution and consequences of acid soil in agriculture development. Dalam Plant Adaptation to Mineral Stress in Problem Soil. Madison J. Wright dan Sheila A. Ferrari (eds.). Proceeding of a Whorkshop held at the National Agricultural Library, Beltsville, Maryland, November 22-23, 1976. WANG Jun-ping, RAMAN Harsh, ZHANG Guo-ping, MENDHAM Neville, ZHOU Mei-xue. 2006. Aluminum tolerance in barley (Hordeum vulgare L.): physiological mechanisms, genetics and screening methodes. Journal of Zhejiang University SCIENCE B. 7(10): 769-787. Welsh, J.R. 1991. Dasar-dasar genetika dan pemuliaan tanaman. Erlangga. Jakarta.
Penerbit
Widodo. 2006. Perspektif Pengembangan Biofuel di Indonesia. Indonesia Energy Information Center. http://www.indeni.org/content/view/113/76. Williamson LC., Ribrioux SPCP., Fitter AH., and Leyser HMO. 2001. Phosphate availability regulates root system architectur in Arabidopsis. Plant Physiol. 126: 875-882. Wilzein, E., M.E. Smith, L.S. Meitzer, and L. Sperling. 2003. Technical and Institutional Issues an Participatory Plant Breeding—From the Perspective of Formal Plant Breeding. A Global Analysis of Issues, Result, and Current Experience. PPB Monograph No. 1. PRGA-CGIAR. 208p. Wright, R.J. 1989. Soil aluminium toxicity and plant growth. Commun. In Soil Sci. Plant Anal. 20(15&16):1479-1497. Yamin, M.S., M.D. Moentono. 2005. Seleksi beberapa varietas padi untuk kuat batang dan ketahanan rebah tinggi. Jurnal Ilmu Pertanian 12(2):94-102. Yan, F., Y. Zhu, C. Muller, C. Zorb, dan S. Schubert. Adaptation of H+-pumping and plasma membrane H+ ATPase activity in proteoid roots of white lupin under phosphate deficiency. Plant Physiol. 129: 50-63. Yudiarto, M.A. 2006. Pemanfaatan Sorgum sebagai Bahan Baku Bioetanol. Balai Besar Teknologi Pati (B2TP), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lampung.
162 Zhang, Wen-Hao, Peter R. Ryan and Stephen D. Tyerman. 2001. Malatepermeable channels and cation channels activated by aluminum in the apical cells of wheat roots. Plant Physiol. 125: 1459-1472. Zheng, Shao Jian, Jian Feng Ma and Hideaki Matsumoto. 1998. High aluminum resistance in buckwheat. Plant Physiol. 117: 745-751. Zuraida, N. dan Sumarno. 2003. Partisipasi Petani dalam Pemuliaan Tanaman dan Konservasi Plasma Nutfah Secara ‘On Farm’. Zuriat 14(2): 67-76.
LAMPIRAN
164
Hasil Analisis Contoh Tanah
165 Lampiran 2. Deskripsi sorgum varietas Kawali dan Numbu No Deskripsi
Satuan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
hari cm cm ton/ha gram % % % -
Umur Tinggi tanaman Panjang malai Warna biji Hasil biji Bobot 1000 biji Kadar protein Kadar lemak Kadar karbohidrat Ketahanan terhadap hama dan penyakit
11. Budidaya
-
Varietas Kawali Numbu 100-110 100-105 135 187 28-29 22-23 Krem Krem 2,96 3,11 30 36-37 8,81 9,12 1,97 3,94 87,87 84,58 Tahan penyakit Tahan penyakit karat, bercak karat, bercak daun, dan agak daun, dan hama tahan hama aphis aphis Dapat ditanam di Dapat ditanam di lahan sawah dan lahan sawah dan tegalan tegalan
Sumber: Rahmi, et al., 2009. Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros, Sulawesi Selatan