BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Selama ini, ada kesan bahwa dunia politik adalah dunia laki-laki. Kesan ini muncul akibat adanya image, yang sebenarnya tidak sepenuhnya tepat tentang kehidupan politik; bahwa politik itu kotor, keras, penuh intrik, dan semacamnya. Akibatnya, di belahan dunia mana pun, jumlah perempuan yang terjun di dunia politik relatif kecil, termasuk di negara-negara yang tingkat demokrasi dan persamaan hak asasinya cukup tinggi. Selain itu, kesan semacam itu muncul karena secara historis, khususnya pada tahap awal perkembangan manusia, kaum laki-laki selalu identik dengan “lembaga” atau aktivitas kerja di luar rumah, sementara perempuan bertugas menyiapkan kebutuhan keluarga di dalam rumah, seperti memasak, mengasuh anak, dan semacamnya. Kaum laki-laki berburu di hutan, sementara kaum perempuan menyiapkan makanan di dapur. Dalam disiplin ilmu Hubungan Internasional, isu perempuan masih menjadi isu yang sensitif. Bahwa Hubungan Internasional dianggap sebagai ‘politik tingkat tinggi’ yang secara implisit bias gender karena erat kaitannya dengan aktivitas maskulinitas. Hubungan Internasional, seperti disiplin-disiplin ilmu lainnya, memiliki konsepkonsep yang lebih bersifat maskulin dan pembahasan yang relatif sempit mengenai apa yang relevan dan yang tidak relevan terkait materi yang dipelajari. Karena kebijakan luar negeri dan militer paling banyak dilakukan oleh laki-laki, disiplin yang menganalisis aktivitas ini bersifat maskulin dan semuanya mengenai laki-laki. Maskulinitas disipin ini karena yang tidak dimasukkan di dalam konsep-konsep tersebut adalah pengalaman
kebanyakan perempuan. Penyebab utamanya karena perempuan tidak terlibat proses pembuatan kebijakan luar negeri.1 Namun, seiring dengan perkembangan zaman, tingkat modernisasi dan globalisasi informasi, serta keberhasilan gerakan emansipasi perempuan dan feminisme, sikap dan peran perempuan, khususnya pandangannya tentang dunia politik mulai mengalami pergeseran. Perempuan tidak lagi hanya berperan sebagai ibu rumah tangga yang menjalanan fungsi reproduksi, mengurus anak dan suami atau pekerjaan domestik lainnya, tetapi sudah aktif berperan di berbagai bidang kehidupan, baik sosial, ekonomi maupun politik. Bahkan, pekerjaan tertentu yang sepuluh atau dua puluh tahun lalu, hanya pantas dilakukan para perempuan, termasuk pada pekerjaan kasar sekalipun. Di bidang politik, peranan politik perempuan menunjukkan fenomena menarik. Perempuan tidak hanya memerankan politik secara tradisional (domestik) sebagaimana pernah ditulis oleh Almond dan Velba2 sebagai agen sosialisasi politik bagi anakanaknya, tetapi mulai aktif memperjuangkan kepentingan umum atau kepentingan kelompoknya melalui lembaga sosial atau lembaga politik. Bahkan, tidak jarang mereka menyalurkan kepentingannya melalui saluran non konvensional, seperti unjuk rasa dan demonstrasi. Penelitian feminis baru-baru ini menangkap perubahan dalam lembaga-lembaga negara. Pada umumnya, sepanjang periode meluasnya perwakilan politik perempuan, perubahan-perubahan telah terjadi, baik dalam struktur-struktur negara maupun dalam hubungan-hubungan gender. Banyak negara telah melimpahkan beberapa kapasitasnya pada organisasi-organisasi quasi-negara, yang lain kepada unit-unit daerah, dan yang lain
1 2
Asrudin dan Mirza Jaka Suryana, 2009. Refleksi Teori Hubungan Internasional dari Tradisional ke Kontemporer, Yogyakarta : Graha Ilmu, hlm. 234 Gabriel Almond dan Sidney Verba, 1963. The Civic Culture, dikutip dalam Liza Hafidz, 2004. Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru, Jakarta : Pustaka LP33S Indonesia, hlm. 399
lagi ke organisasi-organisasi internasional dalam proses-proses yang dipengaruhi oleh gerakan-gerakan perempuan. Dalam demokrasi negara-negara industri, perubahan demografis dan pola peningkatan tenaga kerja dan pendidikan perempuan menuntut ke perubahan dalam hubungan gender dan meningkatnya kemungkinan-kemungkinan otonomi bagi kaum perempuan. Lembaga-lembaga politik yang mapan, pelan-pelan mulai mengejar sebagaimana pemerintahan-pemerintahan mulai
memasukkan lebih banyak politisi
perempuan dalam jabatan tinggi. 3 Semakin maraknya fenomena perempuan di sektor publik, khususnya meningkatnya peran perempuan di bidang politik, menyebabkan semakin pentingnya studi peranan perempuan. Untuk itu, agar pemahaman proses perwakilan kaum perempuan meningkat, dituntut untuk mempertahankan baik perspektif kesetaraan maupun perbedaan agar tetap bermain. Para wakil perempuan bekerja dalam konteks, dimana harapan-harapan tidak hanya
sensitif
terhadap
perbedaan
seks
dan
gender,
tetapi
juga
terhadap
ketidakleluasaaan dalam pelbagai arena politik, budaya, dan proses politik ataupun dalam capaian-capaian nyata yang telah dihasilkan karena intervensi perempuan dalam panggung politik.4 Di Indonesia, zaman gerakan perempuan, dibuka oleh pikiran Kartini sampai terbangunnya organisasi-organisasi perempuan pada tahun 1912. Kegiatan mereka pada awalnya menekankan pendidikan, yang membuka cakrawala kaum perempuan, misalnya, memasak, merawat anak, melayani suami, menjahit dan lain-lain. Lebih jauh dari itu,
3 4
Joni Lovenduski, 2008, Politik Berparas Perempuan, Yogyakarta : Kanisius, Hlm. 23-24 Ibid
mereka memberikan pula kesadaran yang belakangan disebut sebagai “emansipasi wanita”, bahwa kaum perempuan sederajat dengan kaum laki-laki.5 Kualitas kesadaran kaum perempuan mengkristal dalam kesadaran politik yang dinyatakan dalam Kongres Perempuan Pertama di Yogyakarta. Kongres yang diselenggarakan pada 22 Desember 1928 ini, dua bulan setelah Kongres Pemuda, berpendapat bahwa persamaan derajat akan dicapai dalam susunan masyarakat yang tidak terjajah.6 Perempuan Indonesia mulai aktif melibatkan diri dalam dunia politik sesudah tahun 1930, baik melalui organisasi politik yang dibangun kaum laki-laki maupun organisasi yang dibangun oleh kaum perempuan itu sendiri. Dunia politik yang dimaksud di sini, adalah perjuangan emansipasi perempuan dan keterlibatan secara aktif kaum perempuan dalam mendorong cita-cita kebangsaan yakni Indonesia Merdeka. Beberapa hal yang merupakan cita-cita emansipasi mereka terutama yang mengemuka dalam tahun 1930-an dan 1940-an, adalah keinginan kaum perempuan untuk diberi hak memilih aktif Acktief Keisrecht, anggota dewan Kota Gemeente Raad, dan anggota Dewan Rakyat Volksraad. Adapun agenda kaum perempuan Indonesia dalam gerakan politik kebangsaan adalah memperjuangkan bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah menegah seperti HBS dan AMS, ikut serta dalm aksi GAPI menuntut Indonesia berparlemen, menuntut Indonesia Merdeka melalui Komisi Visman Commissie Visman yang menyelidiki keinginan-keinginan rakyat Indonesia, dan menolak ordonansi wajib militer terbatas Militjeplicht bagi rakyat Indonesia guna menghadapi ancaman serbuan dari serdadu Jepang. 7
5
Takashi Shiraishi, 1990, An Age In Motion : Popular Radicalism in Java, 1912-1926, dikutp dalam Ruth Indiah Rahayu dan Liza Hafidz, 2004. Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, hlm.421 6 Ibid 7 Abbas, 2006, Idealisme Perempuan Indonesia dan Amerika 1920-1940, Makassar :Eramedia, hlm.132133
Pada Era pemerintahan Abdurahman Wahid, dianggap membuka sistem politik ke arah keterbukaan dan lebih akomodatif pada persoalan-persoalan perempuan. Terpilihnya Khofifah Indar Parawansa sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan bisa dipandang sebagai great boost (dorongan besar) untuk kemajuan perempuan untuk turut berkiprah dalam dunia politik.8 Hal ini berlanjut pada terpilihnya Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden perempuan pertama di Indonesia, yang menggantikan Abddurahman Wahid. Terpilihnya Megawati merupakan sebuah fenomena yang tidak biasa di dalam masyarakat dengan budaya patriarki yang sangat kuat. Di Malaysia, perkembangan peranan kaum perempuan dalam politik tidak, terlepas dari pengaruh studi gender di berbagai negara. Perkembangan itu berkaitan erat dengan pelaksanaan konferensi perempuan yang dilaksanakan di berbagai negara yang dilaksanakan oleh PBB, yang ingin mengadakan reformasi sosial dan politik bagi kaum perempuan. Keikutsertaan Malaysia dalam kegiatan-kegiatan pembangunan kaum perempuan pada tahap global, terlihat sangat aktif melalui konferensi-konferensi antarbangsa, yakni dalam empat konferensi besar yang telah dilaksanakan di berbagai negara. Salah satunya adalah pada Konferensi Perempuan Sedunia IV di Beijing tahun 1995. Deklarasi Beijing dan program aksinya sudah mencantumkan isu gender dan informasi, komunikasi dan teknologi bagi perempuan. Deklarasi Beijing juga menekankan pada perlunya pemberdayaan perempuan melalui peningkatan keterampilan, pengetahuan, akses dan penggunaan tekonologi informasi.9 Perempuan Malaysia cenderung diangkat menjadi menteri untuk urusan yang sesuai dengan kodrat mereka, misalnya di Kementrian Kesejahteraan, Kementrian Urusan Perempuan dan Pembangunan Keluarga, atau ke dalam posisi mentri muda di 8 9
Ani Widyani Soetjipto, 2005. Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta : Kompas, hlm. 42 Afriani Alimuddin. 2010. Suatu Analisis Tentang Peran Politik Kaum Perempuan di Malaysia. Makassar : Universitas Hasanuddin, hlm. 4
bidang Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga, yang sekarang dilebur menjadi Kementrian Kebudayaan, Pariwisata dan Kesenian. Satu-satunya tokoh perempuan yang pernah memegang kedudukan sebagai menteri senior, adalah Rafidah Aziz yang diangkat menjadi Menteri Perdagangan Internasional dan Perindustrian pada tahun 1987.10 Kemajuan partisipasi perempuan Malaysia dalam bidang politik dilihat, dari Wan Azizah Wan Ismail, istri mantan Wakil Perdana Menteri Anwar Ibrahim, dan anaknya Nurul Izzah Ibrahim, yang merupakan tokoh sentral dalam perpolitikan perempuan di Malaysia. Keduanya memegang posisi penting dalam parlemen di Malaysia. Mereka menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden dari Partai Keadilan Rakyat (PKR) Indonesia dan Malaysia merupakan negara serumpun, Indonesia dan Malaysia juga merupakan tetangga dekat, yang memiliki banyak kesamaan dan juga perbedaan.. Sejak tahun 1972, mereka mempunyai bahasa resmi atau nasional yang mirip, yakni dua ragam bahasa Melayu yang masing-masing disebut Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia. Dalam hal masalah politik perempuan, keduanya memiliki latarbelakang motivasi yang sama untuk ikut berkiprah dalam politik dan pemerintahan. Baik kaum perempuan Indonesia dan Malaysia, sama-sama memiliki hambatan untuk dapat berkiprah dalam dunia politik, yaitu anggapan bahwa dunia politik hanya didominasi oleh laki-laki. Meski keduanya merupakan negara dengan mayoritas berpenduduk Islam, Malaysia lebih ketat dalam menjalankan syariah agama Islam dalam kebijakan pemerintahannya. Termasuk dalam mengatur perempuan dalam kehidupan publik. Hal itu dapat dilihat dari sikap Malaysia yang melakukan reservation dalam peratifikasian CEDAW11 ( Convention the Elimination of All Forms of Discrimination
10
Perempuan dalam Politik: Refleksi Dari Malaysia, dikutip dari http:///www.watchindonesia.org/jurnal perempuan.htm. Diakses Tanggal 24 November 2014 11 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) adalah suatu instrumen standar internasional yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun
Against Women) yang artinya, Malaysia tidak akan melaksanakan sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang syariah Malaysia. Meskipun Malaysia tidak sepenuhnya menyetujui hasil-hasil dan resolusi yang telah ditetapkan dalam konferensikonferensi perempuan sedunia dan konvensi CEDAW, namun persetujuan umum telah terwujud dan secara tidak langsung konsep-konsep dasar itu turut dipegang. Terdapat beberapa aspek yang tidak dapat disetujui sepenuhnya oleh Malaysia, terkait dengan penyetaraan gender, seperti apabila hak asasi perempuan dikaitkan dengan hak asasi untuk menentukan cara berkeluarga, cara melaksanakan hak reproduktif, dan cara menjalani hidup yang bertentangan dengan ajaran agama. Sedangkan di Indonesia, masalah yang mencuat adalah tindakan afirmatif dengan pemberian kuota 30 persen dianggap beberapa kalangan, bahkan kaum perempuan sendiri, adalah justru mengkerdilkan kemampuan perempuan untuk bersaing secara bebas dengan kaum laki-laki di dunia politik. Beberapa pihak menganggap, kualitas dan minat perempuan untuk terjun di dunia politik patut dipertanyakan. Beberapa golongan seperti istri pejabat dan latarbelakang artis yang ikut pula dalam berparlemen dianggap sebagai ‘aksesori politik’. Mereka menganggap bahwa latarbelakang pendidikan dan pengalaman organisasi atau pemerintahan, kurang cukup memadai untuk terjun dalam dunia politik. Berangkat dari persoalan diatas, maka penulis tertarik untuk menganalisis masalah ini yang akan difokuskan dengan judul “Perbandingan Partisipasi Perempuan dalam Politik di Indonesia dan Malaysia”
B. Batasan dan Rumusan Masalah 1979 dan mulai berlaku pada tanggal 3 Desember 1981. Pada tanggal 18 Maret 2005, 180 negara, lebih dari sembilan puluh persen negara-negara anggota PBB, merupakan Negara Peserta Konvensi. Malaysia adalah salah satu dari Negara-negara peserta yang mengajukan reservasi, atau membuat pernyataan-pernyataan yang memodifikasi kekuatan hukum dari Konvensi pada saat meratifikasi Konvensi.
Bila ditelaah lebih jauh sejarah gerakan perempuan di Indonesia tak beda dengan fenomena gerakan perempuan di negara-negara yang pernah mengalami kolonialisme Barat. Sejarah gerakan perempuan di Indonesia pada hakikatnya telah ada pada zaman kolonialisme Barat. Namun demikian, penulis hanya ingin fokus pada pembahasan era Reformasi di Indonesia. Hal ini dimaksudkan, untuk menyelaraskan fenomena munculnya gerakan perempuan dalam politik di Malaysia sebagai dasar perbandingan Berdasarkan batasan-batasan masalah di atas, penulis merumuskan masalah dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Apa yang melatarbelakangi partisipasi perempuan dalam politik di Indonesia dan Malaysia? 2. Bagaimana wujud partisipasi perempuan dalam
politik di Indonesia dan
Malaysia?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui dan menjelaskan latar belakang partisipasi perempuan dalam politik di Indonesia dan Malaysia b. Untuk mengetahui dan menjelaskan wujud partisipasi perempuan dalam politik di Indonesia dan Malaysia
2. Kegunaan Penelitian a. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan informasi bagi para mahasiswa hubungan internasional serta pemerhati masalah-masalah
kaum perempuan, khususnya mengenai peran politik kaum perempuan di Indonesia dan Malaysia. b. Diharapkan sebagai bahan pertimbangan bagi penentu kebijakan dalam membuat kebijakan menyangkut perempuan khususnya dalam hal kedudukan perempuan dalam politik.
D. Kerangka Konseptual 1. Perbandingan Dalam membahas perbandingan secara konseptual dalam kaitan Politik adalah, merujuk pada aktifitas yang membandingkan dua objek perbandingan untuk mencari kejelasan dan pemahaman tentang fenomena politik. Membandingkan muncul dari suatu peristiwa yang berpengaruh terhadap lingkungan lain, sehingga menarik perhatian untuk diteliti. Karena itulah membandingkan merupakan kegiatan yang penting sekaligus bermanfaat bagi studi-studi ilmu lainnya, bidang politik salah satunya.12 Membandingkan didorong oleh suatu kebutuhan untuk mengetahui, apa yang belum diketahui menyangkut aspek politik, yang mengharuskan peneliti untuk melogika suatu perbandingan. Dari melogika itulah menumbuhkan berbagai permasalahan yang harus dikaji, agar perbandingan itu lebih efektif. 13
12
Chintya Ully, Teori Perbandingan Politik. Dikutip dari http://www.scribd.com/doc/90935041/teoriperbandingan-politik-review-, diakses pada Tanggal 15 Desember 2014 13 Ibid
Namun sebelumnya persoalan membandingkan akan lebih mudah diasumsikan, jika terlebih dulu memahami tujuan dari membandingkan itu sendiri, yakni ; mengapa terdapat persamaan dan perbedaan, perilaku politik yang dapat diteliti, kenapa membandingkan
negara,
pendekatan
yang
digunakan
ilmu
politik,
proses
membandingkan negara yang sesuai, metode yang tepat untuk digunakan, kelemahan dan keunggulan dari metode-metode yang dipakai, dan pengaruh atau konsekuensi perbedaan yang diobservasi. 14 Dalam hal ini, penulis akan menjelaskan fenomena politik di Negara yang ingin diteliti, yakni dengan membandingkan partisipasi perempuan dalam politik antar dua Negara, yaitu Indonesia dan Malaysia. Diperlukan tata cara yang sistematik untuk mencapai perbandingan yang tepat, seperti mengobservasi persamaan dan perbedaan antar objek. Sehingga dari berbagai permasalahan yang muncul nantinya akan mengindikasikan hasil pembenaran ilmiah dari perbandingan politik. 2. Partisipasi Partisipasi pada umumnya memiliki makna yang luas dan beragam. Banyak pengertian partipasi telah dikemukakan oleh para ahli, namun pada hakikatnya memiliki makna yang sama. Partisipasi berasal dari bahasa Inggris yaitu, participate, yang artinya mengikutsertakan, ikut mengambil bagian. Secara garis besar partisipasi adalah suatu wujud dari peran serta masyarakat dalam aktivitas berupa perencanaan dan pelaksanaan untuk mencapai tujuan pembangunan masyarakat. Wujud dari partisipasi dapat berupa saran, jasa, ataupun dalam bentuk materi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam suasana demokratis. Dalam kaitannya dengan hal ini, Soegarda Poerbakawatja berpendapat:
14
Ibid
Partisipasi adalah suatu gejala demokrasi dimana orang diikutsertakan di dalam perencanaan serta pelaksanaan dari segala sesuatu yang berpusat pada kepentingan dan juga ikut memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat kewajibannya15 Namun demikian, tidak dapat dipungkiri pula bahwa dalam mewujudkan berbagai kepentingan dan kebutuhan masyarakat, terkadang berbenturan dengan kepentingan dan kebijakan negara. Benturan ini boleh mencakup kepentingan seluruh anggota masyarakat, termasuk keinginan untuk berpartisipasi dalam masalah-masalah politik. Konsep yang mendasari partisipasi politik adalah kedaulataan ada di tangan rakyat, yang melaksanakannya melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuantujuan, serta masa depan itu, dan untuk menentukan orang-orang akan memegang tampuk pimpinan untuk masa berikutnya. Jadi, partisipasi suatu pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang sah oleh rakyat. 3. Perempuan Perempuan berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu Empu. Perspektif perempuan digambarkan pada ruang lingkup kehidupan sosial, identifikasi kelamin antara perempuan dan laki-laki, dan perjuangan hak-hak kaum perempuan. Sedangkan Wanita berasal dari bahasa Jawa, yaitu Wanito. Perspekstif wanita menggambarkan kehidupan kelas atas (priyayi) atau status sosial. Dalam masa Orde Baru, hal ini dapat dilihat dari kelompok Dharma Wanita, yang merupakan sebuah organisasi pada lembaga pemerintahan. Posisi perempuan pada organisasi tersebut lebih kepada pendampingan karir suami mereka, dibandingkan perjuangan eksistensi mereka secara pribadi. Kiprah apapun yang mereka berikan notabene adalah untuk kemajuan suami mereka. Kegiatan kelompok Dharma Wanita pun hanya berkisar pada persoalan masak-memasak, berpenampilan baik atau pun sebagai 15
Soegarda Poerbakawatja ,1981. Ensiklopedia Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, hal.251
“penghibur” dalam acara-acara yang digelar oleh kantor suami mereka bertugas. Dalam organisasi ini, secara strukturalnya pun tidak berdasarkan kompetensi yang mereka miliki, tetapi berdasarkan kepangkatan yang dimiliki oleh sang suami. Dapat dikatakan, wanita ditafsirkan lebih kepada ‘menonjolkan diri’nya. Perempuan cenderung lebih banyak dikaitkan dalam politik, karena perempuan mewakili perjuangan emansipasi. Perempuan dianggap merupakan golongan bawah yang memperjuangkan hak-haknya yang ditindas atas dominasi politik yang lebih diwarnai oleh kaum laki-laki. Pada konteks perempuan Indonesia dan Malaysia, kedua negara cenderung tidak ingin dikatakan sebagai feminis. Karena jika dilihat dari sejarahnya, kedua negara samasama berawal dari ranah domestik yang memposisikan peran perempuan yang hanya mengurus urusan keluarga. Hal ini bertolak belakang dengan apa yang diprinsipkan oleh kaum feminis, yang ingin memisahkan diri dari ranah domestik tersebut. Pada prinsip awal kebangkitan perempuan dalam berpartisipasi pada bidang politik ,baik Indonesia maupun Malaysia, lebih senang dikatakan sebagai pejuang hak-hak perempuan dari dominasi ketidakadilan jender. Di Indonesia pada zaman sebelum kemerdekaan, perempuan merupakan bagian dari kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari laki-laki dalam memperjuangkan kemerdekaan. Hal ini dibuktikan dengan adanya Sumpah Pemuda, yang pada konteksnya, mengikutsertakan baik pemuda maupun pemudi, sepakat untuk turut serta bahu membahu
dalam urusan emansipasi dan
perjuangan bangsa. Di Malaysia, Partisipasi kaum perempuan sudah dimulai ketika mereka berjuang bersama-sama
dengan
kaum pria melawan rezim kolonial di Malaysia. Saat
perjuangan menuntut kemerdekaan memuncak, kaum perempuan di Malaysia mulai
menuntut pendidikan
yang
lebih
baik
terutama untuk
juga
anak-anak
perempuan, meskipun hal tersebut belum menjadi agenda utama. Selain itu, mereka juga
mulai menuntut adanya perwakilan politik baik di tingkat pusat maupun
daerah. Seiring setelah diraihnya kemerdekaan pada kedua Negara, dan arus perkembangan zaman. Arah perjuangan perempuan di Indonesia dan Malaysia pun, lebih memfokuskan pada usaha-usaha dalam memperjuangkan partisipasi perempuan dalam bidang politik, hak perempuan, dan bentuk kekerasan terhadap perempuan.
E. METODE PENELITIAN 1. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang penulis gunakan adalah deskriptif, dimana penulis berusaha untuk memaparkan perbandingan partisipasi perempuan dalam bidang politik di Indonesia dan Malaysia 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah telaah pustaka, yaitu cara pengumpulan data dengan menelaah sejumlah literature yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, baik berupa buku-buku, jurnal, dokumen, majalah, serta surat kabar dan artikel yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas.
3. Teknik Analisa Data Teknik analisis data yang penulis gunakan dalam menganalisis data yang diperoleh dari penelitian bersifat Analisis Kualitatif, yaitu data yang diperoleh dari
berbagai literatur diinventarisasi dan diklarifikasi kemudian permasalahan dijelaskan dan dianalisa berdasarkan fakta-fakta yang ada dan disusun dalam suatu tulisan. Hal yang menjadi pokok analisa adalah partisipasi perempuan dalam lembaga politik dan pemerintahan di Indonesia dan Malaysia.
4. Metode Penulisan Metode penulisan yang dipergunakan penulis adalah metode Induktif, dimana penulis lebih dulu menggambarkan masalah secara khusus, lalu kemudian menarik kesimpulan secara umum, dalam memaparkan analisis dalam penulisan ini.