Selamat Datang… Di dunia yang selama ini membesarkanku
Malam Malang, Kopi Jalang Malam minggu dan hujan dan segelas kopi dan sebuah kesepian Oh bukan, kesunyian. atau…kehampaan Sebatang rokok ramping melambai-lambai dari atas meja Merayu untuk ku cium dan ku hisap Dia-nya Jalang! Seperti malam-malam lain Terasing diantara kunang-kunang yang tengah berpesta Ku tuang setetes cat pada kanvas di depanku; Setetes lagi pada segelas kopi di meja Pink, agar lebih menarik dan lucu Dan si putih yang langsing masih menggoda mata Jalang! Ada sebuah titik di kanvas Ini lukisan termahal yang pernah ku buat; Karena disitu hanya ada aku Tanpa titik tanpa garis tanpa kau Ku beri nama “Bisu” Aku cinta malam ini Memandangi lukisanku sepanjang malam, menonton tirai hujan juga lampu taman Menghirup asap kopi, walau lambungku mulai membenci “Nona, jauhkan benda itu dari ku” katanya Dan si Jalang yang ku selipkan di telinga kiri: Yang merayu, menjilat telingaku Bangsat! Sesungguhnya, kasih Ada kata yang mulai tak bisa lagi ku ucapkan Lalu ku pinta mereka untuk bicara; Kopi dan hujan dan malam dan lukisan
2
Tapi aku tak juga mencapai puncak rasaku Dan hatiku masih pegal Geli! Dan si Jalang mulai berbisik ditelinga kiri “hisap aku” katanya Gatal! Andai kau dan aku bicara Diantara kopi dan hujan dan malam dan lukisan Pasti kau sudah ku tikam dan aku ikat di pohon randu Tak akan ada kopi dalam gelas Tak ada lukisan di kanvas Oh, mungkin akan ada lukisan disekujur tubuhku Yang kau buat dari api si Jalang Bajingan! Tentang rindu… Aku hanya perlu menatap matamu Merasakan kulitmu; menyentuh pori-pori wajahmu Mendengar detak jantungmu Meresapi nafasmu Dan kita telah bicara Dan aku menyerah Kau pun tak datang Hampa ini ku sempurnakan saja Dengan menghabiskan sisa hujan Bersama si Jalang Selesai!
3
JOL* Anjeun teh lain raja, lain dewata Lain raga nu kuduna dipikaasih pikacinta Tapi naha hate bet teu bisa ingkah tinu teuteupan panon anjeun? Asa pageuh kacangreud ku amisna madu katresna. Unggal poe, Torojol anjeun ngaliwat dina implengan Jol asup dina impian Tapi nu geus kaalaman mah sugan moal deui kaalaman. Unggal poe, Nu digigir mah nyengir alabatan meunang emas sapeti Seuri nyakakak alabatan meunang inten sakotak Tapi sugan lain eta nu dipiharep kuring. Nu jauh, nu neuteup anteb dina hate Nu jauh, nu piligenti muka lawang hate Nu jauh, nu dipikasono unggal poe Nu can tangtu moal bisa maneuh dina hate.
4
SAJAK RANJANG REOT Mudah saja bagimu mencetak satu lagi nyawa Bangun tengah malam atau saat embun mulai menggelitik anu Bangkit bersama nya, mencolek si Nyai Dan kau berkuasa!! Kenapa? Kenapa nyengir? Ya, benar. Kau hanya tinggal berdiri menunjukkan kejantananmu Jangan lupa minum susu agar sehat!! Susu spesial, lokal saja biar negara makin kaya Hah!! Hey bung!! Mari, ku beri tahu… Mencetak satu lagi nyawa mungkin mudah bagimu Sabar, bung!! Tak semudah itu!! Lihat kanan-kirimu Pastikan semua sedang terlelap saling menggauli gulingnya Saat negara sepi dari pencurian, saat nagari sunyi dari kelaparan Siapkan ranjang berkualitas, lokal saja biar negara makin kaya Siapkan pakaian ala Bento, lokal saja, Gedebage bisa jadi Cibaduyut menanti Setelah itu, colek si Nyai lembut Bangkitkan gairahnya Jangan kasar-kasar kalau tak ingin dia demo anarki didepan ibu bapakmu minta cerai dari nagari bahari, pisah!! Uuuuh, sungguh hilang desah Kenapa nyengir?? Jangan acak-acak si Nyai bung!! Atau nanti kau diamuki si Ibu Pertiwi
5
Get Lost Pada malam-malam senyap aku bicara Dibawah cahaya lindap jiwa tegap dadaku sigap Ini obrolan tentang lakon Yang kerap ku hidupkan dan terhidupkan Tentang Mira, Fatma, Dara, Lintang, juga Jaka dan Mbok Yum Tentang pelajar, fashionista, si lugu dan pelacur Tentang gelandang, pegawai negeri, konglomerat, dan pengacau Aku paham benar bagaimana memunguti bulir beras untuk makan Aku pandai bermain saham Aku suka menjilat Lollypop Kemarin aku menjadi Mira, wanita putus asa yang rela menjajakan punya-nya Lalu Fatma yang anggun dan bersahaja Lantas gadis kecil bernama Dara yang manja Kemudian menjadi Mbok Yum, gelandang yang mendadak kaya Lalu Peter yang mencintai Albert Bahkan tadi pagi aku menjadi anjing yang pincang Dan aku bisa Dan malam ini aku rindu menjadi diriku sendiri Dan malam ini aku teringat akan hilangnya jati Dan mala mini aku lupa… Lupa bagaimana hidupku dulu Lupa bagaimana senyumku dulu Lupa cara ku bicara dulu Lupa cara ku berjalan dulu Lupa cara ku berpakaian dulu Terlanjur ada Jaka, Mira, Rose, Peter, Fatma dan semua dalam diri Terlanjur ada harta, tahta, nista, cinta, buta Dan hina Hina lah aku yang menjadi cangkang diantara tuntutan Cangkang kumang yang isinya lintah, bahkan gajah
6
Puppet Aku mencintaimu dengan cintamu Aku membencimu dengan bencimu Aku memelukmu dengan tanganmu Aku membunuhmu dengan pedangmu
7
PETAK UMPET Semua kan kembali kepada pemiliknya, begitupun kau ke dalam pelukan senja hangat yang mendingin kemudian menjadi malam dan aku yang hilang arah, merajah raga yang menari tak terarah biar malam kian menjadi, aku kan menari dalam bayang kelam hitam pekat pekat, merekat terdiam, bungkam terbunuh membusuk mematung membatu terpaku dalam gelap biar makin pengap sesak terdesak dan rusak biarlah menghitam dalam menajam dibalik awan membidik surya, lenyap hingga fajar menjadi kekal biarkan pergi, hilang terbawa angin atau mati biarku menari tak henti dan menghilang seraya pagi
8
Kopinya Mbah Kakung Pagi itu begitu sejuk. Mbah Kakung menyeruput kopi tubruknya perlahan di teras depan rumah, ditemani si Bejo. Gerombolan anak SD semangat menuju sekolah, malah ada yang berlari, ndak sabar pingin hormat sama sangsaka merah putih sambil nyanyi Indonesia Raya di sekolahnya. “Pagi Pakde…” sapa Pak Gun, guru honorer yang sudah lebih dari 20 tahun mengabdi jadi guru SMA di desa. “Ya, pagi dik Gun!! ” jawab Mbah Kakung sambil melambaikan tangannya “Wilujeng enjing, Mbah Pay!!!” teriak seorang pelajar SMA yang sengaja melambatkan laju sepedanya saat melintas depan rumah si Mbah. “Wooo…enjing Kopral!! Sudah merdeka belum pagi ini, Jang?” kata si Mbah dengan logat Jawa yang masih kental. “hahahaa…nambah dua kali, Jenderal!!” jawab pemuda jangkung itu sambil berlalu “hahahaaa…” tawanya renyah seperti gorengan bakwan buatan Airin, anak bungsunya. Tiba-tiba banyak motor yang melintasi depan rumah si Mbah. Orang-orangnya pake baju seragam warna hitam, mbuh tulisannya apa. Yang jelas mereka bawa bendera besar-besar sambil menyerukan semacam yel-yel. “lho…lho…lho…ada apa toh ini?” Mbah Pay alias Mbah Paidi heran, ia beranjak dari tempat duduknya, dan berjalan ke arah pagar rumahnya. “pagi-pagi bukannya pada ngantor gitu lho, 9
malah bikin ribut!! Ckckck…” Mbah Pay pun kembali ke kursi rotannya sambil geleng-geleng dan ngedumel. Apalagi yang bisa dilakukan eks pejuang itu sekarang? Selain menikmati kopi, uang pensiun yang tak seberapa, dan ngobrol dengan teman setianya si Bejo, perkutut abu-abu yang dulu nyasar dan nabrak jendela rumahnya. si Bejo itu cuma burung tapi kayak ngerti apa yang diomongin si Mbah. Tiap Mbah Pay ini ngomong sendiri, nah si Bejo suka ikut-ikut menimpali. Ya seperti pagi ini, saat si Mbah tiba-tiba uringuringan. Slrrruupp…ck..ahhh… “Dari dulu sampe sekarang perang masih saja ada. Jadi, buat apa dulu capek-capek ngusir wong Londo, buang-buang nyawa, teriak-teriak bilang MERDEKA!! MERDEKA!! MERDEKA!! Lha wong sekarang saja masih banyak yang pingin merdeka kok”. Uring-uringan si Mbah semakin menjadi sesaat setelah melintas lagi sekelompok orang ber”seragam” lengkap; caping, kaos oblong, sambil angkat-angkat cangkul dan parangnya. “e,,e,,e,,…coba lihat itu, Bejo! Itu, mereka itu, mereka itu mau minta merdeka juga. Hah, merdeka kok dipinta?!” lanjutnya. “prrkututututuuttt…..tut…” si Bejo sok-sok ikut njawab “saya berangkat ya pak” tiba-tiba Airin datang dan pamitan sambil mencium tangan ayahnya. “hmmm…iya, hati-hati kamu nduk. Ajarkan pelajaran yang baik sama anak muridmu, pastikan mereka paham betul apa itu pancasila. Bener itu kata lagu, pancasila itu dasar negara, pedoman lho itu” masih dengan nada penuh emosi. “prrrrkutututuuuttt….tut…” ngomong. 10
lagi-lagi
si
Bejo
ikut-ikutan
“tapi saya kan guru biologi pak, Pancasila itu bagiannya guru lain. Masa saya nyerobot jatah orang? Lha kalo masalah pancasila saja harus saya yang jelaskan, guru Kewarganegaraan kerjanya apa? Nangkring-nangkring saja? Minum kopi sambil klepas-klepus3 saja? Shopping? Makan gaji buta? Hah, buta ijo saja gak mau makan gajih4-nya sendiri” bibir tipisnya seakan tak bisa berhenti bergoyang. “Nah, nah, nah…ini nih, yang begini ini. mentang-mentang sudah ada bagiannya sendiri-sendiri jadi sudah ndak mau ngurusi yang bukan bagiannya, padahal itu penting buat semua. Kan ndak ada salahnya toh ngajarin anatomi dibarengi mbahas pancasila?! Nduk, pancasila itu bukan sebatas bagiannya guru kewarganegaraan, bukan Cuma pelajaran di sekolah saja, tapi ….” “ya sudah, ya sudah, saya harus cepat-cepat berangkat pak. Ini Senin, ada upacara bendera, saya gak mau kehilangan momen berharga, hormat sama merah-putih. Saya pergi dulu ya pak. Assalamualaikum…” cepat-cepat Airin berangkat, menghindari ocehan sang ayah yang terus menasehatinya. Mengibaskan rambut hitam panjangnya, dan menghilang dari pandangan, terhalang pohon rambutan yang baru saja berbunga. Slrrruuuppp…ck…ahhh… “sekarang, buat apa hormat sama bendera? Panas-panasan, sampe ada yang pingsan, malah di Pasuruan sana kompakan kesurupan masal waktu hormat sama bendera. Bukan itu, bukan. Hormat sama sangsaka merah putih itu artinya menghormati bangsa sendiri, bukan memberi “hormat grak!!” “ lanjutnya dengan nada yang sudah sedikit mereda. Slrrruppp…ck…ahhh…. Slrrp…slrrp…ck…ck…ck…slrrrrrrrrpp ah!! “nduuuk…Laraaas…” Mbah Pay memanggil cucunya yang masih saja betah di kamar. 11
“prrrkutututuuut…tut..tut…” si Bejo genit, ikut panggil-panggil Laras. “iya mbah…” teriaknya dari dalam kamar. “buatkan mbah kopi lagi, kopinya habis, nduk” lanjutnya. “jangan banyak-banyak minum kopi mbah, gak baik!! Laras lagi siap-siap mau ngampus juga” suaranya balapan dengan suara musik dan suara nyanyian Indonesia Raya dari SD di seberang jalan. “ayo nduk, jangan mbantah kalo disuruh orang tua. Bikin kopi cuma 5 menit kok. Mumpung kopi sudah jadi milik kita sepenuhnya. Dulu kopi itu cuma boleh diminum sama orangorang sana, pribumi minum air kobokan saja. Ayo nduk, cantik” rayunya… “huh!! Iya iyaaa!” Ya, baiklah, aku akan buatkan kopi untuk Mbah Kakung dulu. Ya, karena hana kopi yang bisa memerdekakan hati si Mbah. Dan tulisan ini ku simpan saja sampai semua orang di Negeri ini benar-benar merdeka, semerdeka kopi tubruk si Mbah. Selamat hari Pahlawan, Kopi!
12