1. Selamat datang di Munchen!
Aku tengah bersiap-siap berangkat ke tempat kerjaku ketika wajah mama yang telah menua muncul di balik pintu kamarku. “Di, ada surat nih,” katanya seraya masuk kedalam kamar dan duduk diatas kasurku. Aku yang tengah mematut didepan cermin berbalik lalu memandangnya dengan heran. “surat apaan ma?” tanyaku bingung. Seingatku aku tak pernah kirim surat ke siapapun. Satu-satunya interaksiku dengan kantor pos adalah hobiku berbelanja online yang tengah aku coba rem saat ini. Mama menggidikkan bahunya, lalu mengangkat tangannya, memperlihatkan amplop warna putih dengan logo kecil berwarna hijau dengan lambang yang sangat familiar bagiku. Aku terpekik kaget. Sisirku jatuh dari genggamanku dan aku segera menghampiri mama, duduk disampingnya dan merebut surat itu dengan tidak sabar. “ya ampun, ini surat dari LMU ma,” kataku sambil menyobek bagian atas surat itu. Rasa penasaranku tak bisa
menunggu untuk membuka surat itu dengan jalan tidak merusaknya. Aku keluarkan selembar surat didalamnya yang kelak mengubah hidupku. Isi suratnya berbahasa Inggris. singkat dan padat, tapi jelaslah hal itu mampu membuatku merasa jadi manusia yang yang paling beruntung di dunia saat ini. Mama memandang wajahku dengan penasaran. Pastilah dia ikut ingin tahu, hal apa gerangan yang membuat anak sulungnya ini begitu sumringah. Mataku membaca bolak-balik surat itu hingga hampir tiga kali, hanya untuk memastikan bahwa isinya benar-benar seperti apa yang aku baca sejak pertama membacanya. Setelah yakin, dengan penuh antusias aku memeluk mama. “Aku keterima kuliah di Jerman ma! Di Munchen!” pekikku bahagia. Sumpah, aku tak pernah merasa sesenang ini. Rasanya semua usaha kerasku selama ini terbayar. Oh iya, namaku Audi Carissa. Usiaku 22 tahun saat ini dan baru saja menyelesaikan kuliah S1-ku di salah satu universitas negeri di Jakarta. Sejak lulus kuliah aku memang selalu bercita-cita untuk melanjutkan kuliah di 2
Eropa. Sebenarnya tidak harus Jerman. Aku mengirimkan aplikasi pengajuan beasiswa S2-ku ke banyak Universitas di Eropa seperti ke Inggris, Perancis, Belanda dan bahkan negara Skandinavia seperti Swedia hingga Denmark. Citacitaku simple saja sebenarnya. Aku ingin kuliah ke jenjang yang lebih tinggi di negara Barat agar kualitas diriku bertambah, dan aku bisa punya banyak manfaat untuk orang-orang disekelilingku. Aku memilih Eropa karena sudah begitu lama aku menyukai benua biru ini. bayangkan, satu wilayah yang hanya seukuran Indonesia itu bisa punya puluhan bahasa yang jauh berbeda satu sama lain! Budaya mereka juga kaya. Dari yang aku baca, tipe gereja di Eropa bisa berbeda dari satu negara dengan negara lain. Padahal sebagian besar dari mereka dulunya berada di bawah satu gereja, Vatikan. Belum lagi jenis makanannya
yang
kaya
dan
tentu
saja,
kualitas
pendidikannya yang tidak diragukan. Berangkat dari pertimbangan ini, aku mengenyampingkan keywords dengan nama negara non-Eropa dalam proses pencarian S2-ku di internet yang sudah menjadi aktivitasku setiap hari sejak hari pertama aku dikukuhkan sebagai sarjana.
3
Berbekal beasiswa dari salah satu institusi pemerintah, aku nekat mencari beasiswa S2 ke negaranegara itu dan aku tidak pernah menyangka bahwa akhirnya, Ludwig Maximillanus University-lah yang menerimaku. Kampus yang sering disingkat dengan nama LMU itu terletak di wilayah selatan Jerman, tepatnya di kota Munchen. LMU termasuk ke dalam universitas terbaik di Jerman, tapi aku tidak terlalu menjadikan ranking sebagai pertimbangan karena pada dasarnya semua universitas di Jerman bereputasi baik. Aku mengambil program Jurnalisme karena aku memang ingin melanjutkan karierku di bidang jurnalistik. Untungnya program ini merupakan program internasional sehingga tidak mewajibkanku menguasai bahasa Jerman karena bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris. Baguslah, karena aku benar-benar buta bahasa Jerman. “LMU apa sih?” Adit, adikku yang masih kelas 3 SMA muncul dari kamarnya, sudah lengkap dengan seragam SMAnya yang dengan aneh, mengingatkanku akan betapa tuanya umurku saat ini. “Ludwig Maximillan University, kampus gue nanti dek” kataku sumringah. 4
Mata adikku membesar beberapa senti. Seperti mama, diapun pasti terkejut. “Lo jadinya keterima disitu kak? Mau di ambil?” tanyanya dengan pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu di jawab. “ya menurut lo…” kataku gemas sambil meninggalkannya kembali ke kamarku. Di dalam, mama masih terduduk. Ketika aku masuk, dia tersenyum senang sambil memelukku. “hebat banget anak mama bisa kuliah di Jerman. mama bangga” bisiknya. Aku balas memeluknya dengan erat. Sebagai single mother, aku mengagumi mama sebagai wanita yang sangat mandiri. Sejak aku lulus SMA, mama seorang diri membesarkan aku dengan Adit tanpa bantuan papa. Papa sudah meninggal karena kanker yang menggerogotinya tubuhnya. Setelah surat itu datang, aku jadi luar biasa sibuk. Aktivitasku hari itu akhirnya dimulai dengan mengajukan surat resign ke kantorku. Aku bekerja sebagai wartawan di salah satu koran kenamaan di ibukota yang membuatku punya banyak kenalan, baik dari sesama wartawan maupun
narasumber. Sebenarnya, berpisah dengan
5
merekalah yang paling berat buatku. Hal ini karena hubungan aku dengan mereka sudah sangat akrab. Selanjutnya adalah teman-teman kuliahku yang sebagian besar masih berusaha lulus dari kampus S1 ku. Memang, perjuangan terberat di dunia kuliah bukanlah untuk hadir di kelas setiap hari, tapi menyelesaikan skripsi karena hal ini benar-benar tergantung pada ketekunan dan niat yang muncul dari diri sendiri. Sisanya, dan tentu saja yang paling melelahkan, adalah mengurus visa belajarku ke kedutaan besar Jerman. bukan main repotnya! Seminggu sebelum berangkat, semuanya sudah siap. Totalnya aku membawa dua koper pakaian untuk bekalku dua tahun tinggal disana. Mama juga membekaliku berbagai macam makanan Indonesia, khawatir jika lidahku menolak makanan Eropa. Padahal ya tidak juga, aku dengar di Jerman banyak juga kok tempat makan Asia. Tapi untuk menghemat biaya, memang ada baiknya aku membawa bekal dari Indonesia. Adikku Adit tidak membantu sama sekali. Dia malah terus mencekokiku dengan ceritanya soal klub sepak bola asal Munchen yang jujur, tidak pernah aku pedulikan sama sekali.
6
“kak nanti lo nonton Bayern Munchen di Allianz Arena ya, gue denger sih harganya lebih murah daripada lo nonton Liga Inggris, terus lo foto-foto jangan lupa. Nanti lo upload facebook biar gw pamerin ke temen-temen gue biar pada sirik sama gue” crocosnya sambil tiduran diatas kasurku, sedangkan aku tengah duduk diatas lantai, melipat
pakaianku
satu
persatu
untuk
kemudian
dimasukkan kedalam koper. “gue kesana mau belajar ah bukan mau nonton bola. Lagian gue yang kesana napa lo yang pamer,” komentarku cuek. Adit seperti tidak peduli. Dia terus bicara soal klub Bayern Munchen dan begitu juga aku, aku terus melipat pakaianku tanpa mendengarkannya. Adikku yang menyebalkan itu tidak juga tergerak hatinya untuk ikut turun dan membantuku memasukkan barang-barang. Tega. Pemberi beasiswaku sendiri sudah memberikan sejumlah uang yang disebutnya akan cukup untuk sebulan pertamaku disana. Sisanya, mereka akan mentransfer ke rekeningku setiap bulan. Teman-temanku juga berjanji akan mengantarku ke bandara di hari keberangkatanku 7
nanti. Semua dokumen juga sudah siap. Kini satu hal yang harus aku persiapkan adalah mental. Sejak surat itu datang, sebenarnya perasaanku campur aduk antara antusias dan takut. Aku antusias karena tahu sebentar lagi aku akan menjejakkan kaki di Eropa, wilayah yang aku impikan sejak awal kuliah dulu. Takut karena aku memang takut, jika nanti aku tidak bisa mengikuti kuliah dengan baik. Aku tidak bisa bahasa Jerman, modalku hanya bahasa Inggris dan nekat. Selain itu aku dengar, sistem belajar di Jerman sangat berat. Mereka tidak ragu untuk mendrop-out mahasiswa yang memang dinilai lemah akademisnya. Jika aku sampai di drop out, bagaimana pertanggungjawabanku kepada si pemberi beasiswa? Hih, membayangkannya saja aku sudah tidak bisa tidur. Tapi sebenarnya, rasa antusiasme mengalahkan rasa takutku. Aku lebih merasa semangat saat ini daripada ketakutan. Aku tahu, setidaknya jika aku merasa sedih karena nilaiku jelek atau aku kangen rumah, aku ada di tempat yang selama ini aku mimpikan. Aku sedang menjalani mimpiku. Jadi harusnya, tidak ada yang membuatku sedih.
8
Sehari sebelum keberangkatan, aku tidak bisa memejamkan mataku barang sedetikpun. Aku terlalu excited. Aku sampai men-tweet “excitement is actually killing” di akun twitter-ku di jam 2 pagi. Aku tidak bisa membayangkan bahwa dalam hitungan jam, aku akan berada di Munchen, Jerman yang akan menjadi rumahku untuk dua tahun kedepan. Aku juga sudah berhubungan dengan mahasiswa Indonesia yang kuliah di Munchen lewat akun facebook PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Munchen. Mereka tampaknya ramah dan menerima kedatanganku dengan hangat. Salah satu dari mereka bahkan menawarkan untuk menjemputku ke bandara besok. Aku sebenarnya sudah menolak karena takut merepotkan, namun orang itu bersikeras karena dia bilang, jarak dari bandara ke pusat kota sangat jauh. Menurutnya, sebagai orang baru aku belum mengerti soal sistem kereta bawah tanah di Munchen sehingga kemungkinan besar, aku akan naik taksi untuk pergi menuju asrama tempat aku tinggal yang biayanya, bisa sampai €80 atau sekitar 1 juta. Hal inilah yang dialaminya ketika pertama kali datang ke Munchen. Ngeri dengan kemungkinan itu, akupun mengiyakan tawarannya.
9
*** “Audi ya?” sapa seorang cowok ketika aku akhirnya berhasil keluar dari pintu bandara dan kini telah berada di bagian luar bandara, sambil clangak-clinguk mencari orang yang katanya akan menjemputku. Aku menarik nafas lega sambil mengangguk semangat. Untunglah aku tak perlu menunggu lama untuk bertemu dengannya. Cowok itu bertubuh tinggi dan atletis. Tidak terlalu kurus maupun gemuk. Matanya cokelat dan kulitnya putih. Menurutku sih dia tampan. “Zaki”
katanya
sambil
mengulurkan
tangan.
Aku
menyambutnya dengan senang. Zaki lalu mengambil salah satu koperku yang dari tadi aku dorong dengan susah payah. Demi tuhan, membawa dua koper yang tingginya sepinggang benar-benar membuatku stress! “eh, makasih” kataku tanpa menolak. Zaki tersenyum lalu berjalan di sampingku. “Willkomen in Munchen - Selamat datang di Munchen” katanya ramah. Aku tidak menjawab apa-apa karena aku masih terpesona dengan sekelilingku. Aku seperti orang kampung yang baru pertama kali menginjakkan kaki ke
10
kota karena ternyata Munchen sangat indah. Indah sekali. Langitnya orange cerah karena musim panas tengah berlangsung. Aku pikir, summer yang disebut di dalam student guide-ku adalah musim panas yang memang panas menyengat seperti di Jakarta, tapi tidak sama sekali. Mataharinya memang muncul, namun udara terasa segar dan anginnya bertiup
dingin. Di depanku terbentang
padang rumput luas yang di belah oleh jalanan yang meliuk-liuk seperti ular. Ada beberapa bangunan yang terletak berjauhan dan sisanya, hanya beberapa orang petugas bandara dan turis atau mungkin pelajar yang baru datang sepertiku. Ternyata bandara Franz-Joseph Strauss, bandara tempatku berdiri sekarang tidak seramai yang aku kira. Padahal di internet aku baca bandara ini merupakan bandara ketujuh tersibuk di Eropa. namun ternyata masih kalah
dengan
Bandara
Soekarno-Hatta,
yang
aku
tinggalkan 17 jam yang lalu. “berapa lama tadi penerbangannya, Di?” tanya Zaki lagi. Aku seperti terbangun dari lamunanku. Aku menoleh dan melihatnya tengah memandangku ramah, berusaha memulai percakapan. 11
“17 jam, tadi aku transit dulu di Dubai lima jam,” jawabku lengkap. “wah.. bete dong ya nunggu lima jam” komentarnya. Aku diam saja. Tidak juga sih, sepanjang menunggu aku membaca buku Bliss of Happiness karya Eric Wagner sehingga 5 jam jadi tidak terasa. “Aku amazed banget nih, ternyata Munchen bagus banget ya,”
kataku
jujur,
tidak
bisa
menyembunyikan
kekampunganku. Mataku masih jelalatan memandangi setiap jengkal bandara FJS yang di design sangat modern. Rasanya tidak boleh ada sedikitpun pemandangan yang terlewat oleh mataku. Zaki tertawa terbahak. “ini kamu pertama kali ke Eropa ya?” tanyanya Aku mengangguk polos. “wait until you see the center-tunggu sampai kamu liat pusat kotanya. Ini sih belum apa-apa. Masih jauh dari pusat kota, tapi emang Munchen bagus banget sih, aku juga gak nyesel kuliah disini. Pokoknya paling bagus deh dibandingin kota lain di Jerman,” katanya menjelaskan.
12
Tak lama, kami sudah sampai ke U-Bahn stasiun, yaitu stasiun kereta bawah tanah yang menghubungkan Munchen dengan kota-kota lainnya di Jerman. Kata Zaki, U-Bahn adalah alat transportasi paling cocok buat mahasiswa menjangkau
seperti sampai
aku. ke
Selain
jaringannya
wilayah-wilayah
yang
kecil
di
Munchen, U-bahn ini juga lumayan murah. Cukup dengan beli tiket U-Bahn yang berjangka waktu, aku sudah bisa bebas naik U-Bahn kemanapun dan kapanpun aku mau. Sebagai awal, aku membeli tiket U-Bahn dengan jangka waktu satu bulan. “Artinya, kamu bisa kemana-mana pake tiket itu selama satu bulan, sepuasnya. Mau sampe tidur di U-Bahn juga boleh,” kaya Zaki menjelaskan setelah tiket itu ada ditanganku. Aku membaca tulisan di tiket itu dengan seksama namun percuma saja, aku tidak mengerti bahasa Jerman. Untungnya Zaki mau menjelaskan padaku dengan detail. Jadilah perjalananku dari bandara ke Haufbahnhof-stasiun pusat yang terletak di tengah kota- dilewati dengan kuliah dari Zaki soal Munchen. Kata Zaki, Munchen kota dengan salah satu kualitas terbaik di Eropa. transportasi massa13
nya modern, jaminan keamanannya tertinggi di Jerman, pemandangannya indah dan kita bisa minum langsung dari keran air yang ada diseluruh kota. “serius itu, Zak?” tanyaku tidak percaya. “iya, kamu gak akan sakit perut. Makanya penting kemana-mana bawa botol minum,” jawabnya. Aku tak habis dibuat kagum oleh ceritanya. Dan benar saja, sesampainya di Haufbahnhof aku menemukan kehebatan lain dari Munchen. Hauftbahnhof di Munchen sangat besar dengan berbagai macam penjual makanan yang berjejer rapi di kanan-kirinya. Stasiun pusat itu nampaknya memiliki seluruh rute perjalanan baik dalam maupun keluar negeri. Dari Haufbahnhof aku bisa melihat jejeran kereta dengan tujuan kota-kota lain di Eropa seperti Paris, Budapest, Roma hingga Amsterdam. “kita bisa naik itu pake tiket U-Bahn Zak?” tanyaku penasaran. Aku sudah membayangkan keliling ke kotakota di Eropa setiap hari libur hanya dengan menggunakan kartu ajaib itu. Zaki tergelak.
14
“nggaklah, ini tiket buat di Munchen aja, kalo buat ke negara Eropa atau negara lain kamu pakenya DB Bahn, tiketnya beda lagi, harganya juga beda lagi,” katanya menjelaskan. Aku sedikit kecewa. Namun hal itu tidak menghilangkan antusiasme-ku. Kalau ada waktu, nanti sampai di asrama aku akan mencari di internet berapa harga tiket DB Bahn. Aku sedang menimbang-nimbang negara tujuan ketika aku dan Zaki memasuki terowongan bawah tanah yang mengarah ke stasiun U-Bahn, atau terminal dalam kota. Stasiun U-Bahn cukup luas dengan layar yang menunjukkan keterangan tentang kereta yang akan
datang,
tujuan
serta
waktu
kedatangannya.
Disampingnya, ada papan dengan keterangan masingmasing jenis kereta dengan rute yang dilewatinya. Dengan keterangan
seakurat
memperhitungkan
ini,
waktu
tentu ketika
saja
kita
bepergian.
bisa Huh,
seandainya saja sistem transportasi di Jakarta juga serapi ini. “udah dateng tuh,” kata Zaki tepat ketika sebuah kereta bawah tanah berwarna biru dengan kaca transparan berhenti di depanku. Angka di layar menunjukkan angka 15