BAB 1
Selamat Datang TIDAK SEMUA orang suka dengan hujan, bahkan ada saja yang menyumpahnya seolah hujan itu bisa mendengar dan menyambarkan petir ketika marah, tapi ini kan tempat yang berbeda, tempat yang segala sesuatu bisa terjadi walau hal itu tidak masuk akal sekalipun. Pikiranku mulai ngelantur ketika harus berdiri di depan jendela dan menanti kedatanganmu. Kulihat ke jam dinding. Sebentar lagi waktu yang kita janjikan akan tiba, dan hujan malah semakin deras. Aku mulai percaya bahwa kamu tidak akan datang. Sebenarnya ini bukan tentang rindu yang begitu dalam 1
sebab sebelumnya aku tidak pernah berjumpa denganmu sekali pun, hanya saja kebetulan kamu ingin berkunjung ke rumahku dan mendengarkan ceritaku. Katamu, kamu sangat penasaran tapi kenapa belum juga datang?! Kuharap kamu tidak mengecewakanku. Tapi tiba-tiba kamu sudah berdiri di depan pintu rumahku, mengenakan pakaian yang rapi dan nyaman dipandang mata. Aku langsung menyukaimu hanya dengan sekali lihat saja. Tapi kamu jangan salah tanggapan ya, sebab suka ini belum tentu berarti cinta. Aku mempersilakan kamu masuk, lalu duduk di ruang tamuku yang tidak terlalu luas ini. Aku membisu menunggu kamu bicara, tapi kamu malah celingakcelinguk melihat ke sekitar memperhatikan ruang tamuku ini. Kamu melihat sederetan pigura di dinding sebelah kiri yang merekam foto-fotoku saat aku melakukan perjalanan keliling dunia, kamu memperhatikannya dengan saksama dan sepertinya sangat tertarik dengan itu semua. “Ehm....” Aku mencoba memecah hening, tapi tatapanmu bergeming pada foto-foto itu. “Kau mau tahu sebuah cerita yang pernah aku ceritakan kepada orang-orang saat aku melakukan perjalanan itu?” Tunjukku ke arah pigura-pigura tadi.
2
Kamu akhirnya menatapku, lalu mengangguk penuh semangat. “Aku memberi judul cerita itu seperti ini....” *
Aku Punya Cerita Bohong untuk Kalian Ini adalah bulan keempat perjalananku sejak bulan Januari tahun ini. Aku sangat bertekad atas pejalanan ini, melancong ke tempat-tempat jauh yang sejak lama ingin aku datangi. Seperti yang aku bilang bahwa tekadku sudah bulat, maka aku akan terus melanjutkan perjalanan hingga tahun ini berakhir. Totalnya ada 12 bulan, dan pastinya akan ada banyak juga orang yang aku jumpai. Setiap kali berjumpa dengan orang-orang baru aku selalu menceritakan beberapa kisah kepada mereka agar ketika aku melanjutkan perjalananku, mereka bisa mengenangku, paling tidak mereka tidak melupakanku begitu saja. Hari ini aku berada di sebuah bar di pinggiran Kota New York, duduk di depan konter sambil menunggu bir yang kupesan. Bar itu cukup banyak pengunjung, namun sangat tenang. Orang-orang hanya diam, jikapun ada yang mengobrol mereka berbicara hampir seperti berbisik saja. Tapi aku tidak bingung akan hal itu, karena sama seperti 3
diriku, mereka semua menikmati alunan lentingan gitar dari seorang perempuan berambut pirang, bergaun hitam yang menyanyikan lagu Pain Killer berjudul Girl Crush di atas panggung kecil. Memasuki pertengahan lagu, aku pun memanggil bartender yang sedang menyiapkan minuman untuk pengunjung lain, lalu aku bertanya padanya, bagaimana caranya agar aku bisa bercerita sesuatu di atas panggung itu untuk semua orang? Bartender tadi mengerutkan keningnya. Dia memperhatikanku dengan saksama dan seakan tahu bahwa aku berasal dari jauh, maka dia pun memanggil seorang lelaki yang lebih tua namun berpenampilan luar biasa nyentrik di mataku. Bagaimana tidak, seorang lelaki yang mungkin saja berusia hampir 50 tahun, beranting berlian di telinga kirinya dengan tato yang memenuhi kedua lengannya mengenakan kaus hitam bertuliskan Brand New Anggel. Aku pun bercerita pada lelaki yang ternyata bernama David tentang asalku dan perjalanan yang sedang aku lakukan, kemudian aku menanyakan hal sama seperti yang tadi aku tanyakan kepada bartender tadi. David sangat tertarik dengan apa yang aku ceritakan lalu berucap, “Setelah lagu berikutnya kau bisa naik ke atas panggung.”
4
Seorang lelaki dengan setelan kemeja merah hati kotak-kotak memangku gitar di atas panggung, rambutnya hitam bercampur perak tergerai hingga ke bahu, kumis dan jambangnya rapi, matanya tajam penuh kharisma, dia mendekatkan bibirnya ke mikrofon lalu mulai mementing gitarnya, dia menyanyikan lagu Jeff Bridges yang berjudul Everyting but Love. Dan ketika lagunya sudah hampir berakhir aku pun mempersiapkan diriku. David membuka penampilanku dengan memperkenalkanku sebagai seorang pengembara lalu dia member tahu semua orang bahwa aku akan menceritakan sesuatu kepada mereka semua. Dan kemudian, aku benar-benar berdiri sendirian di atas panggung di depan mikrofon yang membisu dan tatapan pasang mata yang sabar menungguku memulai kisahku. Inilah kisahku. “Perkenalkan aku adalah seorang pengembara, aku berdiri di sini karena aku ingin menceritakan sebuah kisah kepada kalian semua. Aku punya sebuah kisah bohong untuk kalian. Kisah ini terjadi saat aku masih SMA. SMA adalah masa ketika kali pertama aku tidur dengan seorang perempuan dan perempuan itu tidak lain adalah kekasihku sendiri. Sebut saja namanya Sendu karena dia orangnya selalu sendu dan jarang tersenyum. Aku dan Sendu berjumpa pertama kali saat hari pertama masuk sekolah, dia pendiam, berambut 5
hitam panjang hingga pinggang, matanya sipit seperti keturunan China pada umumnya, bibirnya merah muda padahal dia tidak memakai gincu. Kulitnya putih bersih seolah bersinar, namun dia punya banyak tai lalat, ada di samping kiri bibirnya, di dekat pelipis matanya, di bagian pipi kanannya, beberapa di bagian lehernya dan ada lebih banyak di sekujur tubuhnya. Tapi sedikit pun aku tidak pernah membicarakan tentang tai lalatnya itu. Sebenarnya aku hanya tidak ingin dia marah karena aku menanyakan hal tidak penting seperti itu. “Kami satu kelas dan bahkan duduk satu meja, tapi dia terlalu pendiam sehingga kami jarang sekali mengobrol. Lalu aku berpikir, Mungkin saja dengan dia menjadi kekasihku, dia akan jadi banyak bicara atau membuka diri padaku. Maka aku pun menanyainya apakah dia mau menjadi kekasihku. Dua hari kemudian dia memberikan jawaban lewat selembar kertas saat pelajaran Matematika berlangsung, dia mau menjadi kekasihku. Saat dia memberi aku selembar kertas itu tidak kulihat ekspresi bahagia di wajahnya seperti seseorang yang sedang jatuh cinta, dia masih sendu seperti biasanya. Dan itu pun bukan masalah bagiku. Hubungan kami selalu baik-baik saja dan bahkan terhitung membosankan, karena kami tidak pernah bertengkar, tidak pernah berdebat tentang apa pun, jika hubungan kami diibaratkan seperti stasiun TV, maka ini 6
seperti stasiun TV lewat tengah malam, tidak ada siaran hanya ada gambar warna-warni bagai pelangi dengan penunjuk waktu dan tanggal serta suara ‘tit’ yang sangat panjang tiada henti. Di tahun kedua hubungan kami pun semuanya masih sama saja walau ada beberapa kemajuan. Jika di tahun pertama kami hanya berani untuk pegangan tangan, maka di tahun kedua ini kami mulai berani berciuman. Hal ini terjadi pertama kali ketika kami berdua dihukum karena tidak mengerjakan PR, kami dihukum membersihkan ruang kelas setelah sekolah berakhir. Dan ketika sore sudah datang, matahari masuk ke dalam ruang kelas lewat jendela kaca, aku dan Sendu bersandar di atas meja saling pandang dan kelelahan penuh keringat. Lalu aku mendekatinya dan menciumnya begitu saja. Ciuman kami sangat basah, entah di mana dia belajar cara mencium seperti itu, lidah ketemu lidah, bertukar air liur, lama hingga waktu rasa berhenti berdetak. Dan ketika tanganku memegang payudaranya yang mulai mengeras dia menutup mulutnya dan mundur menjauhiku. Kukira dia marah namun dia hanya diam dan sendu seperti biasanya. Ciuman pertama itu memicu ciuman berikutnya. Awalnya kami hanya ciuman sembunyi-sembunyi di tempat sepi hingga di tengah pasar malam yang ramai dengan pengunjung. Aku semakin menyukainya, lebih tepatnya ciuman itu, maka tiada hari tanpa ciuman. 7
Namanya juga anak muda, rasa ingin tahu kami sangatlah besar. Ketika aku dan Sendu memasuki kelas 3, Sendu mengajakku ke rumahnya, kebetulan saat itu rumahnya kosong karena orang tuanya sedang pergi keluar kota, sedangkan kakak perempuannya sedang jalan entah ke mana. Aku suka kamar Sendu, warna dindingnya biru laut, lantainya pun dilapisi dengan karpet berwarna sama, beberapa boneka rusa di atas tempat tidur, koleksi novel-novel di rak buku yang berjejal, serta sebuah gitar tua tanpa senar sehelai pun. Aku sempat bertanya tentang gitar itu, namun dia hanya bilang ‘hanya barang lama yang tidak terpakai lagi’. Di kamar Sendu kami memutar musik klasik cukup nyaring, mungkin suaranya sampai ke luar. Musik itu seingatku judulnya Clair De Lune dibawakan oleh Philadelphia Orchestra. Aku berbaring di samping Sendu di atas karpet. Kami tidak bicara seperti biasanya, hanya membisu menikmati itu semua. Dan setelah musik itu berakhir, tiba-tiba saja Sendu menyalakan TV dan memutar film porno. Aku sedikit terkejut akan hal itu, namun aku tetap diam saja, hingga film itu selesai kami masih saja membisu dan ketika sore tiba, kakak perempuan Sendu datang, aku pun pulang. Pada suatu hari ayahku dipindahtugaskan ke suatu tempat. O iya, aku belum pernah bercerita tentang pekerjaan ayahku kan sebelumnya. Ah, tapi kalian pasti 8
bisa menebaknya. Kepindahan ayahku membuat kami sekeluarga juga harus pindah. Artinya aku harus segera memberi tahu Sendu dan mengucapkan selamat tinggal padanya. Tapi hari itu aku terlalu gugup untuk memberitahunya, kami berdua membolos sekolah, pergi ke hutan yang ada di dekat rumah Sendu. Kami berbaring saja di atas dedaunan kering sambil mendengarkan kicau burung bernyanyi. Aku pun semakin merapat ke arah Sendu dan memegang tangannya erat. Entah kenapa aku tidak ingin kehilangannya. Diangkatnya tanganku lalu diletakkannya di atas payudaranya. Dia berucap. ‘Apa kamu mau merasakannya?’ Aku tidak paham apa yang dimaksudnya tapi aku hanya menjawab. ‘Iya.’ Dan setelah itu dia berguling dan menindihku begitu saja. Jelas gerakan kami semakin meliar, walau hanya beralaskan dedaunan kering kami tetap saja harus melepas pakaian kami, dan waktu terasa sangat panjang saat itu, seakan sehari ada 48 jam. Lalu setelah kami selesai di penghujung nikmat kami pun mengenakan pakaian kami kembali, tapi ketika aku memasang kancing kemejaku sambil bersandar di pohon, Sendu pergi meninggalkanku. Dia berlari tanpa menoleh ke arahku. Aku memanggilnya tapi dia tidak menghiraukanku. Dan itu menjadi akhir dari perjumpaan kami.”
9
Aku berhenti bercerita dan melihat ke semua orang yang masih diam memperhatikanku. Tak satu pun dari mereka beranjak dari tempat duduk mereka, mereka benar-benar menyimakku, walau sebenarnya ceritaku cukup membosankan. Tapi apa kau juga merasakan ada sesuatu di dalam ceritaku tadi? Sesuatu rasa yang tidak bisa dimengerti, bahkan aku sendiri tidak mengerti perasaan itu. Karena semua orang sepertinya sangat menunggu aku melanjutkan cerita tadi, aku pun langsung melanjutkannya lagi. “Jatuh cinta keduaku terjadi ketika aku masuk perguruan tinggi. Perjumpaanku dengan perempuan ini hanyalah sebuah kebetulan. Seperti nama Sendu, perempuan kali ini kita sebut dengan nama Pilu. Kenapa Pilu, karena aku mengenalnya ketika aku hadir di pemakaman ayahnya. Kebetulan ayahnya adalah teman baik ayahku. Saat acara pemakaman ayahnya selesai, hujan turun begitu lebat dan ketika aku ingin pulang, menyalakan mesin mobil, dia muncul begitu saja di bawah hujan, masuk ke dalam mobilku. Dia menatapku sejenak lalu berucap, ‘Maaf jika aku mengganggumu. Aku hanya ingin menjauh dari orang-orang yang selalu memelukku dan mengucapkan belasungkawa kepadaku.’ Dengan gugup aku hanya mengangguk. ‘Jadi kita ke mana?’ Aku 10