Sekarat Kok Disertifikasi. Tidak?
Mengapa
Sebuah Reportase dari Diskusi Milis Rimbawan Interaktif 29 Oktober-15 November 2003
Dikumpulkan, Dirangkum, Ditulis-ulang dan Dilaporkan Oleh
Dwi R. Muhtaman Dicky Lopulalan
Komunitas Rimbawan-Interaktif dan Lembaga Ekolabel Indonesia/LEI Bogor, 2003
1
CopyLeft Page
CopyLeft 2003 oleh Komunitas Rimbawan Interaktif dan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). All rights and lefts are not reserved: Silakan dan sangat dianjurkan untuk membajak, mengutip, menyalin, memperbanyak dan menyebarkan dokumen ini dengan cara dan dalam bentuk apapun tanpa ijin penulis dan penerbit. Tidak ada hukuman apapun bagi yang melakukan hal itu. Malah Anda mendapatkan pahala di akhirat karena menyebarkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat.
2
Pengantar Reportase dan 3 Ucapan Terima Kasih……………. Pengantar Diskusi I…..5
Sekarat Kok Disertifikasi………. 7
Pengantar Diskusi Sesi II………………………………… 15
CBO-LEI: Harus Independent & Legitimate……………….17
Kompleksitas Melahirkan Ketidakpastian………. 30
Pengantar Reportase dan Ucapan Terima Kasih adang tidak mudah untuk bisa menuliskan diskusi dari sebuah milis. Apalagi diskusi ini menggunakan jalur umum sehingga tidak jarang ada interupsi yang sama sekali tidak berkaitan dengan isu topik diskusi. Beruntung, dalam diskusi di Rimbawan-Interaktif ini peserta lebih banyak mencurahkan komentar dan debatnya pada isu yang ditawarkan, yakni sertifikasi dan peran Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) ke depan, khususnya menyangkut LEI sebagai organisasi yang berbasis konstituen (consituent-based organization /CBO).
K
Diskusi ini memberi gambaran betapa beragamnya pendapat tentang sertifikasi dan strategi agar ia bisa efektif di Indonesia. Pada satu sisi, kondisi mutakhir kehutanan Indonesia yang berantakan membuat sertifikasi kehilangan ketajamannya. Karena itu peran sertifikasi harus dibuat untuk mempertajam pisau bedah dalam memperbaiki kondisi kehutanan. Pada sisi lain, sertifikasi justru bisa dimanfaatkan untuk dipakai secara praktis di lapangan kasus demi kasus mendorong unit-unit pengelolaan yang masih bisa diharapkan menuju pengelolaan yang lebih baik. Masih banyak isu yang menarik terangkum dalam laporan ini. Anda bisa menelisiknya satu demi satu sambil merenungkan: apakah yang bisa kita sumbangkan untuk menyelamatkan hutan tropika Indonesia dari kepunahan….
3
Secara keseluruhan diskusi dengan topik CBO-LEI yang dimulai sejak 29 Oktober 2003 dan berakhir 15 Nov 2003 telah diikuti secara aktif oleh total 32 partisipan. Dari 32 peserta ini terjadi interaksi diskusi sebanyak 197 posting. Ini mungkin bisa jadi akan menggambarkan realitas kalau kita mengadakan diskusi tatap muka. Undangan “disebar” kepada 300 orang. Yang datang sekitar 100 orang dan dari yang datang 32 orang berbicara agak ngeyel. Namun dari yang ngeyel ini pemikiran-pemikiran brilyannya muncul yang bisa jadi “mewakili” kegelisahan yang ada di kepala 300 orang itu. Mudah-mudahan. Inilah 32 orang yang membuat diskusi kita sangat panas: Adefadli, Walhi, Jakarta; Antariksa; Anthony P. Manalu, Sumalindo; Azis Khan, NRM, Jakarta/Bogor; Bambang Wahyudi; Beje Setiawan, Sumalindo, Samarinda; Blandong Ucul; Darmawan Arief; Daru Ascarya, LEI, Bogor; Hariadi K, IPB, Bogor; Mustafa A. Sardjono, Unmul, Samarinda; Imam Soeseno, Ernerst & Young, Jakarta/Bogor; Jati Jatim; Jojo Zabra; Kurniawan; Lisman Sumardjani; Nazir Darwis; Nandi S Ch; Nawa Irianto, TFT; Nazir Darwis; Nofri; Nur Wicaksono; Nurcahyo Adi, WWF Indonesia Jakarta/Bogor; Panthom PS; Herry Purnomo, CIFOR, Bogor; Srikoyo Telu; Sunaryo Adhitama, Dephut; Susan Ari; Togu Manurung, FWI, Bogor; Teddy Rusolono, IPB, Bogor; Yayan; Yurdi Yasmi. Kami ucapkan terima kasih atas kontribusi pengetahuan, pemikiran dan gagasangagasan Anda dan kawan-kawan semua di R-I yang setia memantau diskusi di media ini. Ucapan terima kasih khusus kepada Bung Nurcahyo “Ucok” Adi sebagai moderator rimbawan-interaktif atas pemberian kesem patan dan keleluasaan kepada DRM untuk menjadi moderator diskusi terbatas ini dan menggunakan R-I dalam diskusi isu CBOLEI. Tentu saja rasa terima kasih juga kita sampaikan kepada Lembaga Ekolabel Indonesia yang antusias untuk mendukung gagasan CBO. Terima kasih istimewa untuk Mbak Diah Raharjo yang membantu notulensi Sesi I. Tri Nugroho, Diah, Abdon Nababan memberi kontribusi beberapa bahan pertanyaan untuk diskusi, terima kasih. Terima kasih juga pada Titiek Pratiwi-Natural Guide- yang mengirim beberapa baris puisi Monod. Berarti sekali. Terakhir, saya mohon maaf kalau dalam diskusi isu ini ada kata-kata yg tertulis dengan buruk dan menyinggung Anda semua. Termasuk dalam laporan ini jika ada kesalahan sana sini. Kutipan-kutipan yang dibuat seng aja tidak mencantumkan nama. Kutipan difungsikan sebagai stoper untuk memberi jeda alur cerita. Juga saya mohon maaf jika pada sesi-sesi diskusi terasa ada yang belum tuntas. Ada beberapa informasi/pendapat yang mungkin tidak terangkum karena berbagai keterbatasan. Tentu saja isu-isu itu masih bisa didiskusikan pada forum KRI, Komunitas Rimbawan Interaktif. Seperti kata Monod, meski pertarungan kita nampaknya tak membawa hasil, kita harus tetap saja bertarung, berjuang. Meski harapan kita terasa sia-sia, tiada harapan, kita harus tetap berharap…. Semoga laporan ini bermanfaat. Terima kasih. Situgede, Bogor, Desember 2003
4
DRM DL --(LATIN Innovation Center)
Pengantar Diskusi I
S
ejak dirintis pada tahun 1993, Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) telah mengukuhkan perannya yang penting dalam dunia sertifikasi hutan di Indonesia. Sistem dan standar sertifikasi sudah dikembangkan dan telah pula digunakan untuk melakukan penilaian sertifIkasi pada beberapa unit manjemen hutan. Memasuki usia de factonya yang ke-10 LEI setidaknya telah mampu mencapai dua tujuan utamanya, yaitu: 1.
Mengupayakan terciptanya suatu sistem sertifikasi dalam penggunaan, pengolahan dan pemanfaatan sumberdaya hutan dan sumberdaya alam lainnya guna menjamin pelestarian dan pemeliharaan sumberdaya tersebut.
2.
Mengembangkan pola, sistem standar dan cara penerapan sertifikasi pengelolaan/ pemanfaatan sumberdaya hutan, produk-produknya, termasuk lacak-balak (chain of custody) dan pelabelan produk, sebagai salah satu alat ukur dalam pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya alam yang berwawasan lingkungan.
Memang secara operasional LEI praktis baru bekerja sekitar 4-5 tahun, namun investasi pemikiran, finansial dan kerja-kerja lapangan tidak sedikit untuk mendorong perbaikan pengelolaan hutan Indonesia melalui sertifikasi. Pertanyaannya adalah betulkah ada perbaikan, seberapa besar perbaikan tengah terjadi. Atau malah sebaliknya: alih-alih ada peningkatan kinerja pengelolaan hutan, kehancuran hutan makin menghebat. LEI sendiri mengakui betapa sulitnya memainkan dengan cantik sertifikasi di atas gelombang pengelolaan hutan yang tidak kunjung membaik. Setelah sepuluh tahun LEI berjalan, waktunya kini untuk melakukan refleksi, bercermin-diri. Satu hal yang ingin direfleksikan: re-posisi organisasi LEI atau transformasi LEI. Bentuk/jenis/tugas-tugas organisasi/mekanisme pengambilan keputusan/rambu-rambu seperti apa yang dibutuhkan oleh LEI sehingga ia bisa bekerja dan efektif mendorong tercapainya SFM pada lingkungan ekternal yang kompleks. Reposisi Organisasi LEI Secara formal kegiatan-kegaitan yang di mandatkan kepada LEI terbilang cukup luas. Ia meliputi pengkajian kebijakan dan peraturan perundang-undangan, pengembangan
5
sistem sertifikasi pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya hutan dan sumberdaya alam lainnya, pelaksanaan program sertifikasi, penyebaran informasi dan mengembangkan kerjasama dengan berbgai pihak. Beberapa kegiatan telah dilakukan sebagai rutinitas sementara kegiatan aspek lainnya belum berkembang. Dalam hal pelaksanaan sertifikasi hutan LEI sebagai organisasi akreditasi sertifikasi perlu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan lingkungannya. Pada satu sisi LEI dianggap sebagai lembaga publik dan melibatkan banyak stakeholder. Namun pada kenyataannya sistem pengambilan keputusan masih menganut bentuk Yayasan yang sangat tertutup, tidak demokratis dan birokratis. Diakui bahwa “Sebagai sebuah lembaga yang menganut azas keterlibatan publik (baca: multistakeholder), saat ini LEI tidak disertai dengan mandat yang jelas dari publik. Padahal, sesuai dengan setting kelembagaan organisasi yang berurusan dengan barang (dan kepentingan) publik gayutnya LEI telah mengantongi mandat yang mapan dari publik. Hal ini menjadi penting sebagai dasar bahwa kebijakan-kebijakan LEI tidak datang mewakili kepentingan Badan Penyantun, Badan Pengurus maupun Badan Eksekutif. Singkatnya, LEI sebagai lembaga publik harus benar-benar mewakili kepentingan publik.” Namun dipertanyakan pula betulkah persoalan LEI ada pada bentuk organisasi yang tidak mengakomodir “publik.” Siapa publik atau stakeholder LEI? Apa peran, hak dan kewajibannya? Dimana letaknya dalam proses pengambilan keputusan? Perlu diidentifikasi secara jelas akar masalah, selain yang disebutkan di atas, yang dihadapi sehingga mengesankan publiknya yang selama ini bergaul dengannya merasa “tidak dilibatkan.” Salah satu kemungkinan format organisasi LEI yang agaknya disukai adalah CBO (Constituent-Based Organization). Format CBO ini diharapkan mampu memperjelas “stakeholders,” mampu memperjelas pula peran, hak dan tanggungjawabnya, serta mampu menjaga proses-proses pengambilan keputusan yang disepakati. Pertanyaan untuk diskusi Sesi I 1. 2.
Apakah sertifikasi masih relevan untuk membantu hutan pengelolaan hutan Indonesia lebih baik? Bagaimana mengupayakan agar Lembaga Ekolabel Indonesia (yang mengusung sertifikasi) relevan?
6
“[Hutan] Sekarat Kok Disertifikasi?” PRAKATA: Sedari 29 Oktober sampai dengan 2 November 2003, diskusi sesi pertama tentang sertifikasi pengelolaan hutan lestari diselenggarakan di mailing list Rimbawan Interaktif (
[email protected]). Diskusi yang dimoderatori Dwi R. Muhtaman (LATIN Innovation Center) ini direspon 13 peserta diskusi, yakni: Nurcahyo Adi, WWF Indonesia Jakarta/Bogor; Herry Purnomo, CIFOR, Bogor; Imam Soeseno, Ernerst & Young, Jakarta/Bogor; Jati Jatim; Lisman Sumardjani, Bogor; Azis Khan, NRM, Jakarta/Bogor; Sunaryo Adhitama; Beje Setiawan, Sumalindo, Samarinda; Nandi Syukri Ch; Susan Ari 2003; Darmawan Arief; Blandong Ucul dan Yurdi Yasmi, CIFOR, Bogor. Berikut rangkuman pemikiran yang berkembang dalam diskusi itu. Lihat pengantar diskusi I.
There are times when fighting seems as fruitless as clasping with one hand Keep fighting anyway, There are times when hoping seems as hopeless as a free lunch Keep hoping anyway, There are times when loving seems as a waste of time Keep loving anyway (Theodore Monod )
ATA dan angka tentang kondisi kehutanan Indonesia memang terus berubah. Dan, semakin buruk. Diperkirakan, lebih dari enam kali lapangan sepakbola kawasan hutan dibuka dalam semenitnya. Itu sama dengan dua juta ha per tahun. Lebih edan lagi, angka laju kerusakan hutan yang dikeluarkan Baplan Departemen Kehutanan (2003): 3,8 juta ha (untuk periode 1997-2000) per tahun. Wow, hampir dua kali lipat lebih hebat. Kalau angka-angka itu benar, kecepatan kerusakan hutan yang begitu tinggi jelas tidak akan terkejar. Bahkan, oleh Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) yang sekarang ini tengah dipersiapkan dan dilaksanakan pemerintah sekalipun. Betapa tidak, target GNRHL dalam lima tahun ini (hanya) ingin merealisasikan rehabilitasi (dan reboisasi) lahan/hutan seluas 3 juta ha saja. Inipun
D
7
cuma angka. Di lapangan banyak yang memperkirakan GNRHL gagal karena reboisasi perlu ada institusi yang handal. Dan pemerintah dalam program GNRHL itu tidak menyiapkan institusi rehabilitasi dengan baik. Dibandingkan 2 juta ha per tahun laju deforestasi, “cita-cita” pemerintah itu terkesan sangat lambat. Dapat dipastikan, tidak akan mampu mengejar (boro-boro membalikkan keadaan) laju kerusakan hutan. Apalagi dengan “angka ajaib” Baplan: 3,8 juta ha per tahun! Di tengah kerusakan hutan yang parah dan pengelolaan yang carut marut, pertanyaan tentang relevansi sertifikasi mengemuka. Bagi seorang peserta diskusi, pertanyaan ini sama saja dengan pertanyaan, “Apakah kita harus menjadi orang baikbaik yang cantik dan ganteng” kepada orang yang sedang sekarat. Tentu saja menjadi anak saleh dan berbudi halus adalah perlu dan sebuah keharusan. Tapi, pertanyaan itu menjadi lucu manakala diajukan ke orang yang sedang sakit keras. “Ini namanya, right question on wrong times!. Buat industri kehutanan Indonesia, issue-nya bukan soal mengelola lebih baik (saat ini), tetapi apakah kita bisa survive? Begitu pilihannya perihal eksistensi hidup, rasanya pertanyaan lain bisa diajukan kemudian. Orang sekarat kok disertifikasi.” Lebih ekstrim lagi, ada seorang pengusaha HPH dalam sebuah lokakarya di Jakarta menanyakan, apakah sertifikasi dapat menyelesaikan carut marutnya pengelolaan hutan di Indonesia? Well, terlalu jauh rasanya membayangkan sertifikasi tiba-tiba berubah menjadi obat manjur untuk menyembuhkan penyakit kehutanan Indonesia yang sudah sampai pada stadium “kebebalan yang melebam” ini. Lalu, apa relevansi (sebenarnya) dari sertifikasi dalam deforestasi “gila -gilaan” sekarang ini?
SERTIFIKASI SEBAGAI SEBUAH PILIHAN PARADIGMA Seorang peserta diskusi sertifikasi yang merujuk pada tulisan Mubarik Ahmad -bahwa di sistem negara apapun perekonomian didasarkan pada adanya insentif dan disinsentif-melihat kebanyakan insentif di Indonesia didapatkan dengan cara melanggar hukum. Dengan sendirinya, seorang pengusaha punya kecenderungan untuk melakukan pelanggaran hukum karena mendapatkan keuntungan (insentif) yang lebih besar. Dibanding, melalui jalur-jalur legal formal. Dalam kerangka berpikir untung rugi seperti ini, jelas pertimbangan konservasi diletakkan di barisan paling belakang. Pengusaha dapat dipastikan tidak akan mempedulikan teriakan-teriakan agar menebang hutan sesuai aturan. Dalam situasi seperti ini, tekanan-tekanan perlu dilakukan, baik tekanan regulasi dari pemerintah maupun tekanan politis. Dalam kasus sertifikasi, tekanan melalui jalur politis akan jauh lebih baik apabila outputnya disetujui dan menjadi konvensi bagi negara-negara konsumen kayu asal Indonesia. Yang harus dipikirkan, adalah bagaimana sistem sertifikasi dari LEI ini bisa menjadi konvensi internasional dan disetujui/diakui terutama oleh negara-negara konsumen. Karena, bagaimana pun juga, aturan dan kriteria sertifikasi yang ada tidak memiliki landasan hukum, gampang diabaikan. Hanya saja, tawaran ini pun masih menyimpan pertanyaan: “Mungkinkah disinsentif dari pengusaha akan menjadi insentif dengan melakukan proses sertifikasi, setelah mendapatkan tekanan kuat dari negara konsumen?” Seorang peserta mengingatkan bahwa sertifikasi hutan adalah sebuah proses yang sukarela. Unit manajemen sendiri berkehendak untuk mendatangkan penilai dan melakukan penilaian pengelolaan hutan
8
di wilayah konsesinya. Karena itu penerapan sertifikasi tidak diperlukan landasanlandasan hukum kecuali pengakuan dari pasar atas proses-proses sertifikasi. Dalam faktanya, secara logika nasib dan kualitas manajemen hutan tropis diserahkan pada pembeli yang derajat kepedulian terhadap kelestarian hutan tropis sangat bervariasi, dan kebetulan hampir semua dari negara berkembang yang menerapkan sertifikasi-produk tersebut adalah negara-negara produksi utama kehutanan yang sebagian besar dari produksinya mereka konsumsi sendiri. Sedang negara-negara yang sangat haus komoditi hutan tropis dan tidak peduli dengan kelestarian lebih dari cukup untuk menjadi sasaran penjualan, misalnya negara-negara Jepang, Korea, Cina, Timur Tengah, Eropa Timur. Negara-negara yang sensitif terhadap produk bersertifikat ekolabel masih terbatas meskipun mempunyai kecenderungan meningkat. Sudah begitu, yang namanya sertifikasi ekolabel itu sifatnya sukarela. Pengembangan sistem dan standar harus dilakukan oleh lembaga independen yang melibatkan stakeholder yang luas. Kalau yang mengembangkan pemerintah-seperti kasus LPI (Lembaga Penilai Independen), sistem sertifikasinya bersifat wajib atau mandatory. Meskipun LPI pada dasarnya BUKAN lembaga sertifikasi tapi merupakan lembaga verifikasi. Nah, apabila LEI telah disepakati sebagai lembaga independen, maka sistem sertifikasi yang dikembangkan tentu akan credible sehingga pasar akan meresponnya dengan positif. “Ini berarti, bagi pengusaha atau unit manajemen yang akan mengajukan sertifikasi, ya dipersilakan, monggo. Bagaimana kalau tidak mau? Ya silakan, monggo? Wong namanya sukarela, voluntary.” Bagi peserta diskusi lain, soalnya lebih sederhana. Mewujudkan hutan lestari itu perkara mudah. Untuk hutan tanaman tinggal menanam dan hanya menebang riapnya. Demikian pula hutan alam. Apabila dalam aturan hutan lestari menyebutkan hanya boleh menebang 4-5 batang pohon per ha, itu yang dilakukan. Masalahnya, apakah nebang riap saja cukup untuk ongkos mengelola tanaman? Atau, apakah 4-5 batang pohon cukup untuk membiayai pengelolaan hutan. Ini dengan asumsi tingkat pendapatan dan distribusi pendapatan masyarakat umumnya sudah lebih baik. Di Indonesia, soalnya jadi lain. Perlu menambah satu dimensi kelestarian, yaitu kerawanan sosial. Hutan kapan saja bisa tidak lestari karena rawan sosial. Pilihan yang harus diambil bergantung pada “paradigma” yang dianut, pertama: apakah aktivitas ekonomi mampu atasi persoalan lingkungan , atau sebaliknya (kedua), aktivitas ekonomi tak mampu mengatasi soal lingkungan. Dengan sendirinya, ini bergantung kepada konsumen atau masyarakat dunia pada umumnya. Pilihan mana yang mau diambil, bak taruhan hidup-mati lingkungan. Bagi pemilih paragdigma pertama, aktivitas ekonomi mampu atasi lingkungan, sama artinya dengan membiarkan aktivitas ekonomi berjalan apa adanya. Karena, semakin tinggi tingkat perekonomian akan dengan sendirinya mendorong kesadaran lingkungan yang lebih baik. Sedang pemilih nomor dua, aktivitas ekonomi tak mampu atasi lingkungan, artinya aktivitas ekonomi tidak bisa dibiarkan apa adanya, karena perlu perangkat untuk mengendalikan agar lingkungan lestari dapat dipertahankan. Bagi yang pro “paradigma” pertama, sertifikasi hutan mestinya tidak relevan. Sebaliknya, bagi yang pro “paradigma” kedua, akan mengatakan sertifikasi hutan relevan. Sederhananya, sertifikasi relevan manakala dipandang sebagai instrumen untuk mencegah adanya gesekan kepentingan kelestarian versus kepentingan ekonomi dalam unit manajemen hutan. Tapi, sertifikasi tidak relevan kalau dipandang sebagai instrumen untuk menjaga kelestarian hutan. Bedanya memang sangat tipis. Bila gesekan kepentingan lingkungan dan ekonomi bisa dicegah oleh sertifikasi, maka
9
kelestarian akan terjamin. Jika kelestarian terjamin, maka kelestarian hutan secara keseluruhan akan terjamin. Akan tetapi, sertifikasi tidak selalu berhasil mencegah timbulnya gesekan, sehingga tak selalu bisa menjaga kelestarian hutan. Dari kerangka pikir di atas, agar LEI relevan, maka LEI dalam apapun bentuknya, mestinya cermat dalam menyikapi berbagai kemungkinan munculnya gesekan kepentingan kelestarian vs ekonomi dalam unit manajemen hutan. Prakondisi yang sering diperbincangkan, faktor dominan, yang cenderung mendorong gesekan namun sebenarnya bisa diatasi secara bertahap dalam jangka pendek, menengah dan panjang, kalau mau.
HAL POSITIF DARI SERTIFIKASI Dalam situasi pengelolaan hutan di Indonesia saat ini, yang sangat sulit menentukan siapa yang harus memulai perubahan, sertifikasi hutan dapat dilihat sebagai jalan tengahnya. Harus diakui dengan jujur, selama ini memang belum ada alat lain yang bekerja secara transparan agar pengelolaan hutan menuju pada pengelolaan yang lebih baik. Tentu dapat diingat dengan baik, sebelum ada mekanisme sertifikasi, betapa tertutupnya manajemen HPH. Publik juga hanya menerima informasi sepihak dari pemerintah. Sertifikasi hutan jelas tidak dapat menjamin apalagi menjawab tuntas bahwa hutan akan lestari. Banyak instrumen lain yang diperlukan. Sistem sertifikasi hanya menyatakan bahwa kinerja unit manajemen berada pada proses yang benar dalam jalur well managed forest. Dan, kinerja itu harus dijaga dan terus diperbaiki selama masa sertifikasi. Sejauh mana proses sertifikasi sudah mengukur PHL, sangat tergantung pada perangkat yang dimiliki sistem itu sendiri (kriteria dan Indikator, cara penilaian dan pengambilan keputusan, asesor/auditor, panel pakar, dll). Setiap lembaga sertifikasi tentunya telah membuat rambu-rambu bagaimana agar sistem ini tetap terjaga. Proses sertifikasi hutan jelas positif dan dapat jadi insentif bagi mereka yang berprofesi sebagai rimbawan. Proses sertifikasi mendorong unit manajemen untuk lebih menghargai sumberdaya manusia (SDM)-nya, bukan semata-mata pada kepentingan pemilik modal. Ini tentu kondisi yang lebih baik ketimbang anggapan saat ini bahwa untuk mengelola hutan, peran rimbawan kalah dibutuhkan dibandingkan traktor dan chainshaw. Proses sertifikasi memberi ruang untuk berkembangnya profesionalisme, yang hampir tidak mungkin dalam system regulasi pemerintah yang mengandalkan pendekatan “atur” dan “kendalikan”. Profesionalisme hanya mungkin berkembang dalam situasi yang memberi ruang adanya perbedaan, belajar dari kesalahan dan adaptif dengan kondisi lokal.
PRASYARAT RELEVANSI SERTIFIKASI Bahwasannya kegiatan Sertifikasi PHL dapat mendorong dan/atau membangkitkan banyak hal positif untuk "mengobati" berbagai penyakit kronis yang jelas sangat merusakkan hutan alam produksi (konsesi HPH) di Indonesia, sungguh merupakan hal positif yang harus diupayakan terus. Meski demikian, agar sertifikasi
10
relevan dengan kondisi tercanggih kehutanan Indonesia saat ini, ada beberapa catatan penting yang ditinggalkan beberapa peserta diskusi:
Para pemegang sertifikat diuntungkan Relevan atau tidaknya sebuah sertifikasi amat sangat tergantung kepada sikap atau nilai (value) atau bahkan budaya yang telah terbentuk terhadap apa yang disertifikasi. Relevansi sertifikasi akan mengemuka sepanjang publik – baik konsumen maupun otoritas – mengakui, mengadopsi, dan memberikan perlakukan yang lebih menguntungkan kepada pemegang sertifikat, ketimbang yang tidak atau belum. Perlakuan yang tidak berbeda di antara keduanya tentu saja tidak akan mempengaruhi tata cara pengelolaan hutan oleh produsennya. Jadi relevan atau tidak relevan sertifikasi tentu tergantung kepada apa yang terjadi pada saat ini. Apakah benar ada perlakuan yang menguntungkan terhadap pemegang sertifikat oleh konsumen dan otoritas pemberi izin pengelolaan? Jika tidak, tentu saja tidak ada gunanya sertifikasi itu.
Prinsip, kriteria dan indikator terbuka Sertifikasi (barangkali) masih relevan apabila dipandang sebagai salah satu alat untuk membantu pengelolaan hutan dengan lebih baik. Melihat Prinsip, Kriteria dan Indikator dalam sistem sertifikasi, sebenarnya akan mendukung ke arah pengelolaan yang baik, selama proses dan implementasi dari itu semuanya dilaksanakan dengan "baik". Hal lain barangkali bagaimana prinsip, kriteria dan indikator itu bukan dipertahankan sebagai keyakinan yang tidak bisa diganggu gugat, tetapi membuatnya sebagai hal yang terbuka untuk didiskusikan dengan berbagai pihak yang memang benar-benar "kompeten".
Sarana identifikasi kelestarian alam Jika tujuan sertifikasi adalah membuat suatu sarana identifikasi bahwa sebuah pengelolaan sumberdaya alam berjalan dengan memperhatikan aspek kelestarian sumberdaya alam itu sendiri, sehingga menjamin bahwa produk yang dihasilkan akan berlangsung seterusnya sampai akhir jaman dan lingkungan di sekitarnya paling tidak dapat bertahan sebagaimana awal adanya, maka jelas sertifikasi sangat relevan. Tetapi yang sering terjadi adalah penyimpangan-penyimpangan terhadap tujuan tersebut dikerenakan penyesuaian terhadap kebijakan penguasa, pengaruh satu stakeholder yang kuat, atau apapun sehingga pada kenyataannya tujuan yang mulia tadi menjadi hanya sebuah mata rantai pengelolaan SDA yang tidak ada artinya sama sekali, bahkan hanya menambah cost saja.
Asumsi manajemen sejalan Sertifikasi relevan apabila, sebagian besar tata-niaga komoditi dan manajemen kehutanan yang dimaksudkan mengikuti asumsi managemen dan tata-cara penjualan yang diasumsikan oleh lembaga sertifikasi. Untuk kasus hutan tropis Indonesia, yang sebagian besar dari hutan alam dan melalui tata-niaga siluman, sertifikasi hanya menjadi kosmetika belaka.
11
Pertanggungjawaban jangka panjang Dari jenjang waktu sejauhmana lembaga sertifikasi bertanggung jawab secara formal, hukum dan moral, bila ternyata asesmen mereka salah total, tanpa pertanggungjawaban jangka panjang, lembaga sertifikasi dengan mudah melepas tanggung jawab mereka. Tanpa pertanggung jawaban jangka panjang, lembaga sertifikasi akan menjadi alat pelengkap-stempelisasi "keselamatan" pengusaha dari pada keselamatan hutan tropis secara keseluruhan. Secara spesifik apa sanksi lembaga sertifikasi bila terbukti dikemudian hari asesmen mereka salah, karena kreteria yang digunakan tidak mampu memberi ukuran yang sehat untuk hutan tropis dan masyarakat setempat. Apakah mereka mengasuransikan diri, sehingga bila terjadi mal-praktis ada lembaga lain yang bertanggung jawab atas kegagalan sertifikasinya. Pada bagian lain dari diskusi ini disampaikan bahwa salah satu bentuk “pertanggungjawaban” lembaga sertifikasi beserta lembaga akreditasi adalah membuka pintu asupan dari publik sepanjang masa berlaku sertifikasi (yang umumnya lima tahun). Dari asupan publik inilah maka lembaga sertifikasi merespon dan melakukan verifikasi di lapangan. Disamping itu ukuran standar dan sistem bukanlah sebuah benda yang mati dan kaku, melainkan bersifat dinamis. Jika dianggap tidak memadai maka dilakukan adaptasi, perbaikan dan penyesuaian. Peran publik dan “stakeholder” sertifikasi, karena itu, sangat penting dalam menjaga “pertanggungjawaban,” kredibilitas dan efektifitas sertifikasi.
Realitas dan kondisi obyektif Sebagai sebuah instrumen, relevansi sertifikasi harus ditapis dengan realitas dan kondisi objektif dimana instrumen itu akan digunakan. Sertifikasi masih jauh dari relevan, manakala kondisi objektifnya menuntut instrument lain yang bisa jadi lepas jauh dari sertifikasi. Sampai disini, inisiatif sertifikasi masih bisa digeser wujudnya sampai pada titik yang memang ikut menjawab realitas yang ada. Wujud ini bisa jadi lain sama sekali dengan sertifikasi itu sendiri, tapi bisa dikerangka menuju penciptaan instrumen sertifikasi dalam jangka panjang. Yang relatif lebih relevan, sertifikasi atas prakondisi menuju pengelolaan hutan yang benar (lestari, adil, dst). Sekaligus, yang jadi objek sertifikasi adalah seluk beluk dan struktur "pengurusan" hutan, termasuk siapa (saja) yang menentukan struktur itu, kemana orientasinya, apa paradigmanya, bagaimana visi-misinya, apakah ada langkah konkretnya, apakah dilengkapi dengan instrument teknis operasionalnya dan seterusnya. Hasil sertifikasi di "titik" ini idealnya harus mampu memberikan gambaran bahwa "pengurusan hutan" ada pada jalur adil dan lestari tadi. Bila hasil ini yang diperoleh, maka sertifikasi di level UM bukan saja relevan tapi perlu. Analoginya, kalau kita ingin menguji apakah sebuah "pisau" tajam atau tidak, maka yang pertama dilihat adalah tampilan fisik "pisau" itu. Kalau jelas-jelas tampilan fisiknya masih jauh dari kesan sebagai sebuah pisau, bahkan sebut saja masih berupa selempeng baja, maka penapisan apakah dia tajam atau tidak harusnya digeser menjadi apakah ia pisau atau bukan. Kalau memang ideologi yang melatari keseluruhan penapisan ini adalah "kita harus punya pisau yang tajam", maka tentunya kita harus mengkondisikan lempengan baja tadi menjadi sedekat mungkin dengan pisau yang sebenar-benar pisau. Pada saat ini terjadi, maka penapisan apakah pisau ini tajam atau tidak, mejadi relevan dan perlu.
12
LEI SEBAGAI LEMBAGA AKREDITASI Dalam sejarahnya, saat LEI masih berupa working group LEI bentuk Yayasanbentuk hukum kelembagaan kini--adalah pada dasarnya pilihan transisi dan pilihan keniscayaan yang paling memungkinkan. Kenapa disebut demikian, LEI memang dirancang agar ia menjadi organisasi publik yang mempunyai keterikatan publik yang jelas. Yayasan karena pertama, bentuk badan hukum yg relatif bisa mengakomodir “keterwakilan publik” yakni melalui apa yg disebut “eminent person .” Orang-orang seperti Emil Salim, Djamaludin Suryohadikusumo, Agus Purnomo, Erna Witular dianggap bisa “mewakili” publik Indonesia. Namun keterwakilan ini—dalam pandangan moderator—merupakan keterwakilan publik yang semu, sangat eksklusif. Tapi pada waktu itu bentuk itulah yg paling memungkinkan. Visi para anggota working group adalah CBO. Bagaimana dengan pada pendiri Yayasan LEI dan juga BOT LEI, menurut informasi dan tidak diragukan, mereka sangat getol sekali untuk segera mentransformasikan LEI menjadi CBO. Ini bisa didengar pada statement LEI (Alan) di Santika. Dan juga beberapa kali disampaikan Direktur Eksekutif LEI pada Tim -4. Malah kini para BOT (Board of Trustees) yg diwakili oleh Pak Djamaluddin, mematok deadline Januari 2004 sebagai awal bentuk baru kelembagaan LEI. Itu semua adalah indikasi yang baik. Memang ada risiko dalam setiap transformasi sebuah organisasi. Tetapi mungkin risiko yg ditanggung akan jauh lebih besar jika tidak dilakukan trasnformasi. Ini adalah kesempatan sebagai masyarakat madani untuk bisa merancang sebuah lembaga yang bisa mencerminkan keterwakilan publik yang tepat, yang memberi ruang yang cukup luas dan riil pada yg namanya stakeholder. Di samping menjawab persoalan legitimasi.
AGAR LEI RELEVAN Kinerja LEI (sebagai pengusung sertifikasi) akan relevan manakala industri kehutanan bisa hidup dan tumbuh dengan normal. Dengan membiarkan lingkungan kondusif agar industri kehutanan tumbuh bukan sebagai "usaha tipu-tipu" tetapi sebagai "legitimate and respected bisnis". LEI tentunya memerlukan kepercayaan masyarakat. Selama pemberian sertifikasi dilaksanakan sesuai ketentuan, tanpa pandang bulu dan tanpa KKN tentu saja kepercayaan masyarakat akan timbul dengan sendirinya. Atau perlu "akreditasi" dari lembaga luar negeri yang dipercaya masyarakat internasional? Atau, semacam ISO sekian, yang diperlukan untuk meningkatkan kepercayaan konsumen atau stakehoders atas suatu badan usaha. Bekerja sama dengan lembaga sejenis dari luarnegeri yang telah memiliki reputasi yang baik tentu akan meningkatkan kepercayaan masyarakat internasional terhadap LEI. Dalam kaitannya dengan legitimacy, seorang peserta diskusi melihat pentingnya suatu "legitimacy" dalam sebuah institusi atau organisasi. Ini berkaitan suatu bentuk organisasi LEI yg lebih legitimate di masa yang akan datang. Menurutnya, banyak yang menganggap legitimacy bisa didapatkan dari sebuah peraturan hukum (correct jurisprudence). Oleh sebab itu perlu dimunculkan kembali peraturan umum apa yang mendasari beroperasinya LEI. Tapi belakangan hari ternyata terbukti "legitimacy" tidaklah bisa direduksi hanya dari segi peraturan hukum saja krn banyak produk hukum yang tidak dianggap (baca: dipandang sebelah mata) bahkan disepelekan begitu saja krn dipandang tidak ada legitimacy-nya. Jadi legality saja tidaklah "sufficient condition" untuk legitimacy.
13
Legitimacy perlu didukung oleh beberapa "moral values" juga. Proses pembuatan suatu keputusan misalnya harus partisipatif, memperhatikan kepentingan orang-orang yg terkena dampak keputusan tersebut, memperhatikan aspek-aspek "justice" atau keadilan dan juga memperhatikan kepentiangan lain yang lebih besar. Nah untuk itu perlu juga dipertanyakan apakah selama ini LEI sudah demikian? Kalau belum mungkin perlu menjadi bahan pertimbangan untuk bentuk CBO-LEI ke depannya. Kiranya legitimacy inilah yang mempengaruhi apakah constituentconstituent akan menerima atau melaksanakan nilai-nilai yg dianut oleh suatu organisasi atau institusi. Diyakini pula bentuk-bentuk partisipatif dimana keputusan dibuat dari bawah dengan melibatkan semua konstituen-konstituen yg ada akan menghasilkan institusi yg lebih legitimate. "… a criteria of legitimate institutions is that their legitimacy is rarely questioned. It is when these institutions are being changed or challenged that the legitimacy issue is raised.” Hal lain yang mengemuka, manakala sertifikasi dipahami sebagai salah satu instrumen bagi terciptanya Sustainable Forest Management (SFM), perlu memang ada semacam kesepakatan untuk menggunakan instrumen tersebut. Tentu, melalui berbagai pertimbangan di antaranya pertimbangan ekonomi: “apa untungnya kita menggunakan alat tersebut?” Berdasar pertimbangan yang sederhana tersebut kita dapat menjawab tentang kelembagaan LEI. Nah, kalau dapat disebut LEI sebagai lembaga yang mengadakan alat tersebut, maka LEI harus dibentuk dan diisi oleh mereka yang bersedia untuk menggunakan alat tersebut. Kalau dianalogikan, untuk dapat membuat pedang yang baik kumpulkan para pendekar pedang. Suruh mereka membuat pedang yang hebat. Dan jual pedang tersebut pada para pendekar pedang. Jangan paksa pendekar tombak dipaksa untuk menggunakan keris. “Balik kepada sertifikasi: Berapa orang sih yang mau menggunakan sertifikasi? Betulkah pengusaha mau, betulkan ada pasar yang selalu menuntut? Kalau cuma asumsi, yang kita asumsikan saja di Indonesia ini ada sertifikasi yang kredibel.”
14
Pengantar Diskusi Sesi II
D
iskusi Sesi II ini akan berlangsung dari tanggal 2 November sampai dengan tgl 6 November (siang; 12.00) 2003 Saya kutipkan penggalan dalam pengantar yang diposting sebelumnya:
“Namun pada kenyataannya sistem pengambilan keputusan masih menganut bentuk Yayasan yang sangat tertutup, tidak demokratis dan birokratis. Diakui bahwa “Sebagai sebuah lembaga yang menganut azas keterlibatan publik (baca: multistakeholder), saat ini LEI tidak disertai dengan mandat yang jelas dari publik. Padahal, sesuai dengan setting kelembagaan organisasi yang berurusan dengan barang (dan kepentingan) publik gayutnya LEI telah mengantongi mandat yang mapan dari publik. Hal ini menjadi penting sebagai dasar bahwa kebijakan-kebijakan LEI tidak datang mewakili kepentingan Badan Penyantun, Badan Pengurus maupun Badan Eksekutif. Singkatnya, LEI sebagai lembaga publik harus benar-benar mewakili kepentingan publik.” Namun dipertanyakan pula betulkah persoalan LEI ada pada bentuk organisasi yang tidak mengakomodir “publik.” Siapa publik atau stakeholder LEI? Apa peran, hak dan kewajibannya? Dimana letaknya dalam proses pengambilan keputusan? Perlu diidentifikasi secara jela s akar masalah, selain yang disebutkan di atas, yang dihadapi sehingga mengesankan publiknya yang selama ini bergaul dengannya merasa “tidak dilibatkan.” Salah satu kemungkinan format organisasi LEI yang agaknya disukai adalah CBO (Constituen-Based Organization). Format CBO ini diharapkan mampu memperjelas “stakeholders,” mampu memperjelas pula peran, hak dan tanggungjawabnya, serta mampu menjaga proses-proses pengambilan keputusan yang disepakati. Diskusi kita pada Sesi II akan memfokuskan pada “bentuk kelembagaan” LEI. Ini dimaksudkan agar ada kejelasan siapa stakeholder LEI? Untuk itu pertanyaan berikut mudah-mudahan bisa menangkap gagasan bagaimana bentuk CBO yg dimaksud/diinginkan/diusulkan. Pertanyaan:
15
1. Bentuk CBO seperti apakah yang dibayangkan cocok untuk sebuah lembaga akreditasi seperti LEI? Apa yang kita bayangkan sebagai CBO? Atau Adakah bentuk organisasi yang bisa menegaskan representasi stakeholder? Sekedar ilustrasi: dalam artian harfiah CBO-Constituent-baed organization adalah organisasi yang berbasis konstituen. Konstituen inilah yang menjadi anggota yang akan menentukan aturan-aturan main lembaga. Konstituen/anggota mempunyai peran yang sentral dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan aspek-aspek penting sertifikasi. Anggota juga bisa merumuskan apa yg akan menjadi wewenang anggota. FSC-Forest Stewardship Council, sebuah lembaga akreditas sertifikasi merupakan contoh CBO. Anggota-melalui voting—menentukan berbagai hal. AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) juga merupakan organisasi yg berbasis keanggotaan. 2. Bagaimana proses-proses/tahapan yang dilakukan agar pembentukan CBO ini bisa merepresentasikan keragaman kepentingan di Indonesia (baik dari segi geografi, sektor, atau organisasi? Sekedar ilustrasi: mungkin sebelum menuju Kongres ada pertemuanpertemuan sektoral, pertemuan regional atau pertemuan-pertemuan awal menuju Kongres. Atau seperti langkahnya? 3. Siapa saja dan apa saja syarat-syarat untuk bisa menjadi anggota CBO? Ilustrasi: FSC membuka bagi siapa saja yg berminat menjadi anggota kecuali lembaga pemerintah. FSC tidak ada anggota yg berasal dari lembaga pemerintah/yang mewakili pemerintah. Syaratnya mempunyai komitmen thdp SFM yg ditunjukkan oleh track record aktifitas selama ini dan direkomendasi oleh anggota lain. Dan seterusnya.... Mari kita diskusikan tiga pertanyaan tersebut yang saling berkaitan. Diskusi mulai saat ini hingga 6 November. Saya mengundang semua yang terdaftar di milis ini untuk menyumbangkan pemikirannya, kegalauannya dan segala uneg-unegnya. Kontribusi Anda akan sangat berarti untuk membuat upaya kita menjadi lebih baik. Saya mengundang kalangan HPH, pejabat pemerintah, pemerhati kehutanan, LSM, para peneliti, dosen, budayawan, politikus, mahasiswa dan seterusnya—laki perempuan, tua muda... Semuanya yang ada di forum ini untuk bertukar pikiran. Terima kasih atas perhatian dan partisipasi aktif Anda semua.
Salam,
Moderator diskusi CBO-LEI
16
PRAKATA:
Diskusi CBO-LEI putaran kedua di mailing list rimbawan interaktif (
[email protected]) berlangsung dengan meriah. Moderator diskusi, Dwi R. Muhtaman menyebutnya sebagai luar biasa. Tercatat 92 lintas diskusi (dari 2-9 November 2003), berasal dari 22 kontributor, yakni Adefadli, Antariksa, Anthony P. Manalu, Azis Khan, Bambang Wahyudi, Darmawan Arief, Daru Ascarya, Mustafa A. Sardjono, Imam Soeseno, Jati Jatim, Lisman Sumardjani, Nazir Darwis, Nofri, Nur Wicaksono, Nurcahyo Adi, Panthom, Herry Purnomo, Srikoyo Telu, Susan Ari, Togu Manurung, Yayan, Yurdi Yasmi. Putaran kedua ini membahas tiga pertanyaan yang dilontarkan moderator (lihat pengantar diskusi II).
CBO-LEI: Harus Independent & Legitimate “Kita semua sudah terjebak dalam kepanikan, even frustrasi. Semua yang di hadapan kita hanya dilema-dilema. Mari kita diam sejenak, merenungkan apa yang telah kita pelajari dan dilakukan orang lain.” (Srikoyo Telu)
ehancuran hutan Indonesia memang bisa membuat banyak orang jatuh mental. Semua yang peduli akan konsep manajemen hutan lestari boleh jadi, seperti yang dikatakan Srikoyo Telu, terjebak dalam kepanikan. Bahkan, frustrasi. Yang ada di hadapan mata hanyalah masalah demi masalah. Tak heran, perbincangan tentang sertifikasi dan CBO-LEI pun diwarnai keraguan, bahkan perdebatan, manakala dikaitkan dengan keadaan lapangan yang bertambah ruwet dan kompleks. Persoalan yang melingkupi dunia kehutanan Indonesia memang bejibun banyaknya: dari masalah deforestasi yang melaju tak terkendali, soal kebijakan, soal agraria, sampai soal hakhak masyarakat adat, dan sederetan panjang persoalan lainnya.
K
17
“Yes, it is indeed getting worst…” Yang lebih menyakitkan hati, sudah banyak studi yang menunjukkan bahwa performance kehutanan Indonesia disebabkan oleh “badly designed policy” (lihat Gillis dan Repetto, 1988). Juga, sudah banyak hasil penelitian yang memberikan solusi atas persoalan kehutanan di Indonesia. Namun, tak digubris oleh para pengambil kebijakan. FAO Indonesian Forestry Studies pada akhir 1980-an, salah satunya. Proyek besar itu menghasilkan 40 buku laporan komprehensif mengenai permasalahan hutan dan kehutanan Indonesia, lengkap dengan alternatif tawaran jalan keluarnya. Bagi negaranegara maju, studi dengan biaya sekian juta dollar ini sangatlah berharga dan diterapkan dalam membuat public policy. “They climb step by step”. Tapi, kondisi itu tidak terjadi di Indonesia, hasil penelitan dan studi tak dimanfaatkan oleh pejabat publik Departemen Kehutanan maupun instansi terkait untuk memperbaiki berbagai masalah mendasar dalam bidang kehutanan di Indonesia. Buku-buku laporan itu hanya menjadi pajangan belaka, yang disimpan entah di mana. Sudah begitu, bila kita simak berbagai acara pertemuan-pertemuan yang diadakan (sekarang ini maupun di masa mendatang?), sesungguhnya apa yang didiskusikan dan/atau diperdebatkan adalah "recycling of issues and/or problems". Demikian pula, solusi-solusi cerdas yang ditawarkan adalah pengulangan dari apa yang telah dibunyi kumandangkan dalam berbagai pertemuan sebelumnya. Diantaranya bahkan ada yang telah dikumandangkan sejak lebih dari 10 tahun yang lalu.
SERTIFIKASI BUKAN PRIORITAS Dalam situasi seperti di atas, memang bukan perkara yang gampang untuk meletakkan peran dan posisi sertifikasi. Tidak sedik it para peserta diskusi pesimis, sertifikasi (dan diskusi tentang sertifikasi) punya manfaat bagi perbaikan hutan di Indonesia. Ada pula yang memandang sertifikasi sebagai sebuah instrumen, penting dan relevan. Hanya saja, bukan untuk sekarang. Lainnya, melihat sertifikasi bisa memberikan kontribusi pada pengelolaan hutan yang lebih baik, tidak besar memang. Sebagian peserta diskusi melihat sertifikasi meski penting, belum terlalu perlu “diributkan” sekarang karena belum menjadi prioritas. Ada badai persoalan yang lebih dahsyat ketimbang sertifikasi. Sertifikasi bukanlah faktor minimum yang paling menentukan performance kehutanan sekarang ini. Kalaupun diandaikan sebagai pintu dan jendela dari sebuah rumah, sertifikasi tidak mungkin dipasang mendahului fondasi rumah. Sudah begitu, pembukaan banyak front dalam gerakan kehutanan akan memperlemah posisi yang sudah lemah. Padahal, untuk memperbaiki performance kehutanan Indonesia diperlukan konsentrasi pada titik yang benar-benar strategis. Strategis, artinya kalau isu ini terjawab 95% problematika kehutanan kita bisa terselesaikan, walau tidak berarti sekonyong-koyong kondisi hutan tersulap menjadi lebih baik. “Analoginya, kalau jelas-jelas secara kasat mata sungai dihadapan kita airnya keruh, apa kita masih mau melakukan "sertifikasi" kejernihan air sungai? Dengan tingginya tuntutan pasar sekalipun?. Apa nggak lebih strategis mencari tahu mengapa air sungai itu keruh?” Sertifikasi di level UM bukanlah jalan menuju perbaikan. Alasannya, hampir 90 persen persoalan teknis manajemen hutan masih diatur (didikte?) oleh pemerintah. Sebut saja, dari mulai RKT, RKL, RKD, LHC, LHP dst harus se"persetujuan" dan
18
dilegalisir pemerintah. Bahkan jarak tanam, dan jenis tanaman apa yang harus ditanam juga diatur pemerintah, termasuk apa saja yang harus disumbangkan untuk acara 17-an dari camp UM. Ada fenomena TST (TST-tau sama tau itu kawannya ABSasal bapak senang) yang berkembang di antara para praktisi HPH, bahwa sehebat dan seilmiah apapun RK-RK itu dibuat selama tidak mendapat "restu" pemerintah, jangan harap kegiatan bisa dilanjutkan. Lalu, mana ruang kreatifitas UM menuju perbaikan? Cukupkah sekitar 10 %? Lalu mana ruang kreatifitas untuk memaksimalkan keuntungan normalnya dan atau meminimalkan biaya? Kalau dalam kondisi demikian, kemudian tetap dilakukan sertifikasi; lalu sebut saja sebuah UM mendapat peringkat A (=huebat). Pertanyaannya, siapa yang huebat, si UM atau pemerintah melalui enforcement-nya? Pertanyaan ini dan sekaligus kemungkinan jawabannya akan semakin ruwet manakala dimasukkan berbagai variable penyimpangan yang terjadi sebagai bagian dari realitas itu. Penyimpangan yang tentu saja semakin menjauh dari makna perbaikan itu sendiri. Bisakah sertifikasi dititik ini mampu mengatasi realitas itu? Dalam nada yang lebih lunak, sertifikasi dapat dipandang sebagai entry point untuk memperlihatkan kondisi obyektif hutan dan kehutanan saat ini. Kondisi obyektif ini, dalam kacamata sertifikasi, memperlihatkan fakta bahwa tatanan pengurusan hutan berada pada jalur yang tidak benar (tidak lestari, tidak adil, dan seterusnya) alias unsustainable path. Ini bahkan telah menjadi common-sense, terbukti pada saat ada satu unit manajemen (UM) yang diberi label "certified", mendadak sontak bermunculan berbagai pertanyaan yang mengundang sejumlah kontroversi: umumnya bukan karena berkaitan dengan kredibilitas lembaga sertifikasi dan sistemnya, tapi lebih karena takaran kondisi objektif tadi. Sertifikasi, sebagai sebuah instrumen, penting dan relevan, tapi, lagi-lagi, tidak sekarang. Namun demikian, bukan pula berarti inisiatif dan kerja sertifikasi tidak bisa dimulai. Kerja sertifikasi bisa dimulai dengan lebih fokus pada upaya membantu membenahi tatanan tadi. Apa persoalannya dan bagaimana caranya. Ditengah diskusi meluncur sebuah berita yang memilukan: Bahorok diterjang banjir bandang yang menewaskan ratusan warga. Kutipannya: Media Indonesia,Sabtu, 08 November 2003 13:22 WIB -----------------------------------------------------------------------Banjir Bahorok, Jadikah Pelajaran? Penulis: Dewanti Lestari ISAK TANGIS pilu warga maupun wisatawan lokal dan asing mengiringi jenazah korban banjir bandang yang berjajar di halaman Masjid Baiturahman, Pos Komando (Posko) Korban Banjir di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Sejumlah mayat yang baru ditemukan sudah dalam kondisi membusuk dan mengeluarkan bau menyengat. Hujan deras sejak Minggu sore (2/11) di kawasan pegunungan Bukit Barisan mengakibatkan meluapnya Sungai Bahorok, dan dalam sekejap air bah mencapai ketinggian 12 meter menyapu kawasan wisata hutan Bahorok dan menelan puluhan korban jiwa, serta meluluh-lantakkan ratusan rumah warga Desa Bahorok. Hingga Sabtu (8/11) pagi, Tim Pencari dan Penyelamat (SAR) dibantu personel Tentara Nasional Indonesia (TNI), kepolisian dan mahasiswa yang menyisiri bekas lokasi bencana di Desa Bukit Lawang ke arah hilir Sungai Bahorok menemukan 128 mayat korban, serta puluhan lainnya belum ditemukan. Penebangan
19
Menyaksikan musibah tersebut, Bupati Kabupaten Langkat, Syamsul Arifin, langsung berkomentar, musibah banjir bandang Sungai Bahorok, akibat penebangan hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). "Banjir besar melanda daerah tersebut, karena hutan dikawasan TNGL dibabat habis oleh penebangan 'illegal logging'," kata Syamsul di Desa Bahorok, sekitar 76 Km arah selatan Medan. Menurut Syamsul, hingga kini diperkirakan seluas 43.000 hektar hutan di kawasan hutan TNGL yang dilindungi pemerintah sudah habis 'dijarah' para penebang liar, dan mereka tak peduli keselamatan warga menjadi taruhannya. Syamsul mengatakan, aksi penebangan hutan di TNGL yang dilakukan para pemilik Hak Pengusaha Hutan (HPH) yang sudah habis izinnya dari pemerintah tersebut sudah berlangsung selama 10 tahun. "Kegiatan penebangan hutan yang dilakukan pengusaha tersebut diduga dibekingi oknum petugas, sehingga dapat berjalan mulus dan tidak menghadapi kendala di lapangan," kata Bupati Syamsul. Namun, lain Bupati lain masyarakat. Kalangan masyarakat di Desa Bukit Lawang yang ditemui justru meminta Pemda Kabupaten Langkat bertanggung jawab atas kerusakan ribuan hektare hutan TNGL yang mengakibatkan musibah itu. "Kami minta agar instansi terkait, termasuk Pemda Langkat bertanggung jawab atas kerusakan hutan itu," kata para pemuka masyarakat di desa Bukit Lawang. Kerusakan tersebut semakin nyata, karena sewaktu banjir menerjang desa itu ribuan meter kubik kayu bekas tebangan hanyut terbawa arus dan menerjang rumah-rumah penduduk berikut para penghuninya, yang saat musibah terjadi sedang tidur lelap. Bahkan, puluhan jenazah yang berhasil terindentifikasi pada bagian tubuhnya nampak memar bekas tertimpa kayu balok, sedangkan warga yang selamat juga mengatakan banyak korban tewas tertimpa balok yang hanyut terbawa banjir. "Kerusakan hutan semakin parah menyusul semakin banyaknya para penjarah kayu hutan yang disponsori para cukong kayu membabati kawasan hutan lindung tanpa mendapat hukuman tegas dari aparat," kata mereka. Abaikan lingkungan Menyikapi banjir bandang itu, 16 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Ornop (Organisasi Non-Pemerintah) untuk tragedi musibah Bahorok juga mengaitkan hal itu dengan sikap Pemda Kabupaten Langkat yang mengabaikan aspek lingkungan. Koalisi Ornop yang beranggotakan Walhi Sumut, Bitra Indonesia, YLI, YEL, Aji Medan, Bakumsu, Pekat, Sangkala, JJL, KSPPM, KPS, LAP, LBH LH, LBH Medan, PPLH Bahorok, P3R, Yes dan Fitra mengatakan, tragedi itu terjadi karena penebangan kayu secara ilegal di daerah hulu Sungai Bahorok yang dibekingi oknum aparat. Selain itu, mereka menyatakan, musibah juga akibat perambahan hutan yang dilakukan berbagai pengusaha dan terjadinya konversi hutan kawasan ekosistem Leuser di kawasan daerah aliran Sungai Bahorok menjadi areal perkebunan sawit yang itu semua berjalan legal. Kerusakan hutan di kawasan TNGL juga merupakan bagian dari tanggungjawab Balai Taman Nasional Gunung Leuser yang selama ini dinilai tidak melakukan fungsi pengawasan secara ketat. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mendesak pemerintah untuk segera mengeluarkan kebijakan penghentian penebangan hutan (moratorium logging), agar kejadian banjir bandang di Bahorok tidak terulang lagi di masa mendatang. "Banjir bandang yang terjadi di Bukit Lawang Bahorok lebih diakibatkan adanya kerusakan hutan di daerah hulu," kata Longgena Ginting, Direktur Eksekutif Nasional WALHI. Tingkat Kerusakan hutan di kawasan Kawasan Ekosistem Leuser dan TNGL yang melintasi batas Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumut, antara lain Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh Singkil, Aceh Tenggara dan Gayo Lues dengan Wilayah Kabupaten Karo dan Kabupaten Langkat di Sumut. Daerahdaerah tersebut memiliki kaitan erat dari sisi ekologis, terutama hubungan hulu-hilir Daerah Aliran Sungai (DAS). Tingkat Kerusakan TNGL saat ini, kata Longgena, adalah 170.000 Ha (22 persen) dari total luas TNGL yang 788.000 Ha. Oleh karena itu, dia menambahkan, bencana lingkungan lanjutan patut diwaspadai akan menimpa wilayah-wilayah hilir Leuser baik di Aceh maupun di Sumut. Laporkan oknum Menanggapi bencana di Bahorok, Wakil Presiden (Wapres) Hamzah Haz meminta masyarakat melaporkan para backing Hak Pengelolaan Hutan (HPH) liar yang melakukan tindakan liar, sehingga menyebabkan banjir, terutama yang terjadi di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Sumut. "Kalau ada backing, siapa itu. Kalau ada kaitannya dengan aparat TNI, serahkan pada Panglima TNI. Kalau terkait dengan aparat polisi serahkan kepada Kapolri," kata Wapres. Wapres menegaskan, tidak usah ragu-ragu untuk menindak
20
tegas pelaku penyebab bencana, apalagi korban bukan hanya harta benda tapi juga korban nyawa dan terjadi di daerah yang terkait wisata sehingga menyangkut nama baik Indonesia di dunia internasional. Sedangkan, Menteri Negara Lingkungan Hidup (LH) Nabiel Makarim mengingatkan, kasus banjir bandang Bahorok bisa terjadi di berbagai daerah lain dalam waktu dekat, terutama karena telah datangnya musim hujan, serta munculnya dampak negatif dari penebangan liar atau penebangan liar. Data Dephut 2003 menyebutkan, 43 juta hektar dari total 120.35 juta hektar hutan Indonesia sudah rusak, ditambah lagi laju degradasi mencapai 2,1 juta hektar per tahun dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Sementara itu, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mencatat, banjir bandang tersebut terkait erat penebangan kayu liar di hulu sungai Bahorok, dan karenanya jalan satu-satunya adalah menindak tegas pelaku dengan pengawasan dan penegakan hukum secara ketat. Deputi Internal Direktur Eksekutif ICEL, Indro Sugianto, menegaskan bahwa Pemerintah juga harus segera melakukan moratorium perizinan, baik yang berupa pengelolaan maupun pemanfaatan hutan, serta mencabut izin pendayagunaan daerah sekitar Taman Nasional Gunung Leuser untuk kepentingan pariwisata dan lainnya. ICEL juga mendesak tindakan tegas dengan hukuman berat bagi pelaku penebangan liar dilakukan secara komprehensif di seluruh wilayah Indonesia, karena jika tidak, bencana lainnya akan menyusul secara besar-besaran di semua tempat. "Sebanyak 1,6 sampai 2,4 juta hektare hutan Indonesia hilang setiap tahunnya, dan lihatlah bencana yang akan muncul di depan mata," katanya. (Ant/O-1)
“Masihkah sertifikasi relevan?,” tanya peserta diskusi. Ini memang merupakan pertanyaan yang amat penting untuk dibahas. Tujuannya agar sertifikasi bisa ditempatkan pada “celah” yang tepat agar ia relevan dan efektif. Dan sertifikasi juga harus terus menerus dikritisi agar ia tidak sekedar kegiatan rutin yang kehilangan makna misinya untuk mendorong sebuah perubahan pengelolaan hutan. Sikap kritis ini amat penting khususnya untuk kasus di Indonesia.
KACAMATA PENGUSAHA Di mata pengusaha, sertifikasi bukan isu utama. Sertifikasi akan dengan sendirinya dicari manakala para pemain hutan memang membutuhkannya. Ini bisa terlihat dari kehadiran ISO, OS, dan sebagainya yang dengan sendirinya dicari ketika para pengusaha membutuhkannya. Kemauan pengusaha itu bukan didasarkan pada keinginan mencari stempel semata, tapi juga dipandang aspek penting dalam posisi kempetitif perusahaan tersebut di pasar, baik dari segi biaya produksi (efisiensi) maupun efektifitas usaha. Mendiskusikan sertifikasi dari kacamata pengusaha dan the nature of forestry business penting untuk dilakukan. Seperti diketahui bersama, pengusaha dalam menjalankan bisnis selalu berpegang pada benefit-cost. Selama sertifikasi menjamin keuntungan pengusaha, pastilah akan dilaksanakan (sejauh marginal revenue tidak lebih kecil dari marginal cost). Ini sama sekali terlepas dari bentuk LEI, mau CBO atau bukan. Boleh dikata, justru pasarlah yang memegang peranan. Sejauh ini, pasar belum menuntut sertifikasi. Itu bisa terlihat dari betapa mudahnya kayu-kayu yang tidak jelas asal usulnya berlalu lalang di pasar perdagangan kayu.
The nature of forestry business. Bisnis di bidang kehutanan bukanlah bisnis yang bebas risiko. Malahan, risiko yang inheren dengannya sangatlah jauh lebih besar dibandingkan bisnis di bidang lain, seperti properti, manufacture, dan lain-lain. Faktor alam sangat memang peranan tinggi. Dan satu lagi, time lag of production yang sangat lama. Menanam hari ini, belum tentu akan diperoleh hasil di masa datang. Tegasnya, the nature of forestry
21
business sangat uncertain dan irreversible (disebabkan banyak hal, seperti faktor alam, konsistensi kebijakan pemerintah dan lain-lain). Dengan sendirinya, investasi yang ditanam memiliki ketidakpastian yang tinggi untuk tidak kembali. Sementara itu, ilmu kehutanan banyak berkembang pada teknik pemanenan daripada silvikultur (budidaya). Karena itu, pengusaha lebih memilih menebang daripada menanam (HPH lebih disukai dari HTI) yang memiliki faktor risiko lebih kecil. Dengan sifat semacam ini, pengusaha yang sudah membabat kayu sangat jarang mau menginvestasikan ke bidang kehutanan. Mereka lebih memilih ke sektor lainnya yang lebih kecil risikonya dan mampu memberikan kontinyu. Inilah mengapa HPH lebih banyak dimiliki oleh grup-grup bisnis konglomerasi yang memiliki aneka ragam unit bisnis. Unit bisnis di bidang kehutanan hanyalah sebagai cash cow untuk membiayai atau menumbuhkan bisnis lain. Setelah itu, ditinggalkan bisnis hutan yang akhirnya merana. Usahawan yang berpikir jangka panjanglah yang masih mempertanyakan investasi SFM apakah akan menguntungkan atau tidak. Jangan-jangan di masa mendatang ada model pengelolaan hutan lainnya (selain SFM) yang bisa memberikan jaminan yang lebih pasti. Sederhananya begini: Anda tentu tidak akan mau mencobacoba yang sesuatu yang belum pasti daripada yang sudah pasti. Jadi, misalkan seorang usahawan punya portfolio bisnis yang beragam, tidak hanya di sektor kehutanan, maka tentu dengan logika yang masuk akal usahawan tersebut akan lebih memberi perhatian pada bisnis yang lebih memberikan kepastian. Contoh ASTRA International coba bandingkan secara jujur, diantara unit-unit bisnis yang dimilikinya mana yang lebih mendapat perhatian (khususnya dalam hal investasi). Atau Barito group, yang katanya benar fokus di kehutanan. Apakah si Prayogo Pangestu benar-benar mengembalikan keuntungan yang dia dapat untuk investasi di kehutanan? Atau Mercubuana...atau...Dwima atau...masih banyak lagi... Selain itu, dari media massa nampaknya sebagian besar produser Indonesia menginginkan harga yang stabil ketimbang yang jingkrak-jingkrak. Kalau benar, itu tandanya produser tersebut risk averse. Tipe ini paling umum (tipe lainnya: risk lover dan risk neutral). Tidak heran, secara intuitif umumnya memilih harga stabil. Perbedaan antara risk averse dan lainnya terlihat sewaktu ada kebijakan stabilisasi harga. Yang risk averse pasti setuju, sedangkan risk neutral tidak setuju, pencinta risk lebih tidak setuju. “Menurut penganut risk averse, orang risk lover disebut orang gila. Menurut risk lover, orang risk averse dikira orang blo'on. Risk neutral, orang gila plus blo'on. Jadi dunia ini isinya orang gila, orang blo'on, dan orang gila dan blo'on pula :) Jadi wajar kan kalau hutan rusak,...”
SERTIFIKASI TAK HARUS MENUNGGU Banyak kemudian pertanyaan yang diajukan, dan sertifikasi boleh dikatakan kesulitan serta tak mampu menjawab keraguan dan pertanyaan di atas. Akan tetapi, pada dasarnya sertifikasi memang bukanla h isu utama dalam perbincangan yang berkaitan dengan masalah kehutanan. Sertifikasi bahkan bisa dikatakan masuk isu pinggiran, di bawah payung besar good governance. Dengan demikian, sertifikasi hanya menjawab satu permasalahan bukan jawaban semua permasalahan kehutanan. Pun demikian, sertifikasi bisa berkontribusi terhadap pengelolaan hutan yang lebih baik dengan memberikan pemantauan dan penilaian secara berkala terhadap beragam UM dan cara mengelolanya. Juga, melihat kemampuan sertifikasi untuk menghindari
22
praktik trial and error karena ada proses conscious learning sebagai cara untuk mereduksi uncertainties dalam kompleksitas persoalan yang ada. “Sering kita berfikir ada beberapa orang yang cukup "cerdas" untuk bikin policy, kemudian minta orang lain mengimplementasikan. Kalau tidak implemented menyalahkan para implementornya. Rasanya, cara seperti ini sudah saatnya berubah. Supaya tidak sering-sering masuk ke lubang yang sama” Moderator diskusi CBO-LEI di mailing list RI mengakui, memang benar ada persoalan lebih dahsyat ketimbang sertifikasi. Persoalan yang menyebabkan SFM kian tak terwujud. Padahal, perjuangan untuk menegakkan pengelolaan hutan yang lebih baik sudah dilakukan sejak akhir 1970-an bersamaan dengan kelahiran WALHI, lalu “era” SKEPHI dan seterusnya. Selama 30 tahun, bekerja, berbenah sana-sini, apa yang sekarang ini terpampang di depan mata? Hutan yang makin babak belur. Kalau mau memperbaiki kondisi hutan yang rusak saat ini diperlukan berbagai alat kerja agar membenahi hutan dari berbagai sisi. Sertifikasi adalah salah satu alat kerja, dan jelas belum tentu dapat memberikan jaminan kondisi ideal. Tapi, pada saat sertifikasi digunakan secara paralel dengan alat-alat kerja yang lain, akan terjadi kondisi yang melengkapi dan menjadi alat bantu yang baik. Sederhananya, seperti analogi banyak jalan menuju IPB Darmaga. Ada jalur yang cepat, misalnya jalan Situgede, ada pula lewat jalur yang macet seperti jika lewat Bubulak-Sindangbarang. Ada juga yang berputar agar jauh lewat Bantar Kambing, Ciampea dan beberapa lagi yg putar-putar tapi bisa tiba juga. Kalau SFM dianalogikan sama dengan kampus IPB Darmaga, maka dapat dibayangkan banyak jalan menuju SFM. Ada jalan yang macet dan membutuhkan waktu tempuh yang lebih lama, tapi ada juga yang cepat dan “praktis” setidaknya mendorong UM bisa bertingkah laku lebih baik. Sebagai alat mutakhir, perlu dipikirkan bagaimana sertifikasi dan LEI bagaimana bisa diefektifkan pada kondisi aktual sekarang ini. Dengan kata lain, memang tidak bisa menunggu untuk membenahi yg di luar sana itu dulu baru pakai alat ini. Tetapi, pada situasi saat ini justru diperlukan berbagai alat kerja agar bisa membenahi hutan dari berbagai sisi. Termasuk di dalamnya, sertifikasi juga merupakan proses pembelajaran dan penyempurnaan carut marut-nya pengaturan hutan di Indonesia saat ini. Kalau harus menunggu, akan “lebih” terlambat nantinya. Yang utama, kejujuran dan obyektifitas tetap dijaga. Sudah begitu, sebuah penelitian yang ditujukan untuk sertifikasi FSC di Indonesia yang dipresentasikan Januari 2003 di Hotel Santika Jakarta menyimpulkan sertifikasi di Indonesia sangat layak diteruskan karena bergerak dalam konteks lokal dengan mengharuskan FMU untuk menemukan solusi lokal terhadap permasalahan yang dihadapi tanpa menunggu perbaikan di tingkat nasionalnya. Dari temuan yang sama dapat diambil kesimpulan yang berbeda bersumber dari dua aliran pemikiran yang sekarang berkembang yang pertama: Bahwa harus terjadi perbaikan di tingkat nasional sebagai prakondisi sebelum hutan itu dapat dikelola secara lestari.dan yang kedua; bahwa menunggu perbaikan di tingkat nasional akan memakan waktu yang lama, dan sementara perbaikan ditingkat nasional berjalan solusi ditingkat lokal/lapangan bila memungkinkan dapat dilaksanakan. Kedua pemikiran tersebut mempunyai landasan dan argumentasi yang sah dan memang terserah pada masing-masing pihak untuk mengambil jalan yang dipilih.
23
BENTUK CBO SEPERTI APAKAH YANG DIBAYANGKAN COCOK UNTUK SEBUAH LEMBAGA AKREDITASI SEPERTI LEI? APA YANG KITA BAYANGKAN SEBAGAI CBO? ATAU ADAKAH BENTUK ORGANISASI YANG BISA MENEGASKAN REPRESENTASI STAKEHOLDER? LEI sebagai lembaga akreditasi sertifikasi sangatlah serius dalam mempersiapkan transformasi kelembagaan menjadi sebuah CBO. Itu yang ditegaskan Direktur Eksekutif LEI Dradjat Wibowo dalam emailnya ke R-I. Bentuk kelembaggan yang berupa yayasan memang sangat membantu LEI dalam berbagai hal. Namun, sejalan dengan beberapa perubahan yang terjadi di sektor yang berbasis sumberdaya alam (termasuk kehutanan), perubahan menjadi CBO dipandang sudah tak terelakkan lagi. Secara resmi, masih menurut Dradjat, Dewan Pengantun dan Badan Pengurus dalam rapat bulan September sudah memutuskan untuk mengubah kelembagaan LEI menjadi CBO pada Januari 2004. Soal, format badan hukum, itu yang perlu didiskusikan oleh calon konstituen dalam kongres nantinya. Soal bentuk LEI sebagai alat sertifikasi masa depan dapat mengambil bentuk apa saja asalkan dapat menjawab beberapa isu utama, demikian respon peserta diskusi. Isu pertama yang harus dijawab oleh LEI masa depan adalah independensi. LEI harus tetap bebas dari segala tekanan negatif, sehingga tetap bisa memberikan output yang obyektif dan dihargai. Isu kedua, legitimacy. "legitimacy" tidaklah bisa direduksi hanya dari segi peraturan hukum saja karena banyak produk hukum yang tidak dianggap (baca: dipandang sebelah mata). Bahkan disepelekan begitu saja karena dipandang tidak ada legitimacy-nya. Jadi legality saja tidaklah "sufficient condition " untuk legitimacy. Legitimacy perlu didukung oleh beberapa "moral values" juga. Proses pembuatan suatu keputusan misalnya harus partisipatif, memperhatikan kepentingan orang -orang yang terkena dampak keputusan tersebut, memperhatikan aspek -aspek "justice" atau keadilan dan juga memperhatikan kepentingan lain yang lebih besar. Kiranya legitimacy inilah yang mempengaruhi apakah konstituen-konstituen akan menerima atau melaksanakan nilai-nilai yang dianut oleh suatu organisasi atau institusi. Diyakini pula bentuk-bentuk partisipatif dimana keputusan dibuat dari bawah dengan melibatkan semua konstituen-konstituen yang ada akan menghasilkan institusi yg lebih legitimate. "… a criteria of legitimate institutions is that their legitimacy is rarely questioned. It is when these institutions are being changed or challenged that the legitimacy issue is raised.” (Dikutip oleh Yurdi Yasmi) Isu ketiga, kemampuan. Karena sertifikasi sekarang ini masih dalam tahap awal, keberadaan LEI termasuk isu sertifikasi harus ditegaskan secara aktif. Ini perlu kemampuan yang besar termasuk dari sisi finansial. Diperlukan, LEI yang high profile dan bergengsi. Dengan demikian, LEI layak menjadi organisasi terdepan di bidang kelestarian kehutanan. Memang, pada akhirnya, kredibilitas yang terbangun melalui proses yang panjang menjadi kata kuncinya. Gagasan LEI sebagai pendobrak sistem sertifikasi sebenarnya dapat diperluas menjadi membangun kekuatan untuk mendobrak kemacetan dalam sistem pembenahan prakondisi pelestarian hutan. Kalau ini bisa diwujudkan, maka ini dapat disebut sebagai “pemberontakan tak berdarah”. Dengan
24
kata lain, LEI di masa depan dapat menjadi alat sekaligus wadah untuk membangun perubahan. Tapi, tak semua sepakat dengan gagasan ini. Konsep dan gerakan kelestarian hutan sebenarnya telah terkubur sejak Orde Baru berkuasa. Hingga sekarang, belum ada gerakan yang mengindupkan kembali konsep kelestarian lingkungan secara nyata dan konsisten. Lebih-lebih, masing -masing pihak: LSM, pelaku ekonomi, pemerintah, ilmuwan, sulit untuk bersatu memangun satu kekuatan dengan tujuan tunggal: pembenahan secara tuntas prakondisi terciptanya kelestarian hutan. Masing-masing fihak terkesan dibelenggu wacana masing -masing dan kesulitan keluar untuk bersinergi satu sama lain.
BAGAIMANA PROSES-PROSES/TAHAPAN YANG DILAKUKAN AGAR PEMBENTUKAN CBO INI BISA MEREPRESENTASIKAN KERAGAMAN KEPENTINGAN DI INDONESIA (BAIK DARI SEGI GEOGRAFI, SEKTOR, ATAU ORGANISASI? Untuk membentuk CBO perlu diadakan pertemuan-pertemuan untuk menjaring beragam kepentingan yang bermain ekolabel ini. Paling tidak ada tiga mainstream golongan terwakili, yang percaya pada sustainble logging; golongan konservasi; dan golongan "poverty alleviation" (MH). Perlu diperhatikan untuk tidak terjebak dengan proses multipihak semu yang sering dilakukan. Mereka datang dari berbagai instutusi tetapi dengan visi yang sama. Representatif dari konstituen diusahakan bottom up, artinya proses pembentukan mulai dari daerah. Software boleh darimana saja tetapi hardware harus mulai dari konstituen paling dekat ke areal hutan, dalam proses ini dapat melibatkan LSM di tiap kabupaten atau propinsi, masukan dapat ditampung dari konstituen yang sudah atau sedang sertifikasi. Berkaitan dengan penilaian UM, proses identifikasi harus dimulai dari area lokal dan senantiasa berakhir pada level district (dimana urusan administrasi kehutanan terendah saat ini dijalankan). Dengan demikian ada kemungkinan perbedaan atau spesifikasi kasus 'siapa yang harus terlibat' dalam proses. Kondisi ini menuntut lebih banyak para fasilitator proses (termasuk asesor) berasal dari 'daerah' (bukan datang dari tempat yang jauh, karena kepakaran seseorang tidak menjamin ketelitian dan kejelian mengidentifikasi). Pertanyaannya apakah sebagai CBO-LEI memungkinkan adanya semacam 'branches' (fasilitator daerah) minimal pada level Eko-regional agar proses bisa lebih mengena (rasanya dulu LEI juga pernah mencoba membentuk Dewan Kehutanan Daerah?)?
SIAPA SAJA DAN APA SAJA SYARAT-SYARAT UNTUK BISA MENJADI ANGGOTA CBO? Dalam jagad sertifikasi, ada model-model yang bisa dipelajari. Misalnya saja model FSC yang warna NGO-nya kental atau model PEFC (Pan European Forest Certification) yang warna industrinya kental di mana perusahaan punya keterwakilan yang signifikan. Kedua lembaga ini memiliki perbedaan. FSC meski warna NGO-nya kental, tapi tidak ada dominasi NGO dalam proses pengambilan keputusan. Semua
25
setara. Kalau PEFC, karena semua anggotanya dari kalangan industri maka pengambil keputusan dominannya adalah industri. Salah satu syarat dari system keanggotaan CBO adalah terbuka yang memerlukan mekanisme pengambilan keputusan yang disepakati bersama. Kriterianya, yang berminat dan berkiprah di sertifikasi. Kualifikasinya, dapat bekerjasama dalam pengembangan sertifikasi. Berkaitan dengan sifat voluntary dari keanggotaan CBO dipandang punya risiko mendapatkan anggota yang tidak tepat. Untuk mengatasi problem itu ada dua pilihan yang bisa dilakukan: bersifat sukarela atau melalui penawaran kepada pihak-pihak (individual atau lembaga) atas dasar identifikasi pada minimal level ekoregional.
Keterlibatan pemerintah: pro & kontra Sampai di sini, terjadi perbedaan pandangan soal keterlibatan pemerintah (dan pengusaha) dalam keanggotaan CBO. Menurut argumentasi pendukung keikutsertaan pemerintah dalam CBO, pem erintah adalah salah satu stakeholder utama kehutanan. Adalah sebuah kerugian tidak mengikutsertakan mereka. Dengan tetap berjaringan, informasi dan aksi bisa di-share lebih baik. Keterlibatan wakil pemerintah dipandang penting untuk mengkomunikasikan apa yang terjadi di dunia sertifikasi kepada penentu kebijakan. Ada kekhawatiran kalau tidak dilibatkan, pemerintah akan bertindak halhal yant tidak diduga dan tidak masuk akal. Dan, itu yang ditakutkan banyak pengusahaan hutan. Pemerintah dipandang memiliki “hak veto” yang tidak dipunyai oleh pihak lain untuk menentukan boleh atau tidak boleh dilanjutkannya suatu pengusahaan hutan. Alasan bisa macam-macam dan sangat mudah dicarikan pembenarannya (Kasus PT Intraca, Inhutani, dan lainnya). Melibatkan wakil pemerintah tidak berarti tunduk dan terkooptasi kemauan penguasa. Kalaupun berargumentasi dan menjalin komunikasi dengan semua pihak itu dianggap penting, CBO-LEI ini dipandang bisa menjadi salah satu medan yang baik. “Dan kalau kita selalu menuntut kepada pemerintah untuk mau belajar dan berubah, barangkali ini juga forum yang tepat untuk memberi "pelajaran" kepada pemerintah.” Mengikutsertakan pemerintah juga bisa dipandang sebagai sebuah sikap untuk tidak menghindari “musuh” dalam membangun kekuatan. Karena, itu hanya akan menjadi kekuatan semu. Justru sebaliknya, bagaimana menggunakan pemerintah sebagai sparing partner yang akan memperkuat posisi tawar sertifikasi. Kooptasi kepentingan pemerintah dipandang sebagai tantangan kemampuan, daya upaya, dan strategi. Di pihak lain, sebagian peserta tidak setuju keberadaan wakil pemerintah dan produsen dalam CBO. Argumentasinya sederhana, sertifikasi adalah upaya (kepentingan) konsumen untuk melakukan tekanan terhadap produsen dan mendorong pemerintah yang mengatur pengelolaan hutan oleh produsen untuk mengeluarkan kebijakan dan tata-aturan yang memungkinkan terjadinya pengelolaan yang baik. Dengan sendirinya, produsen tidak bisa ikut serta dalam CBO. Demikian pula organisasi pemerintah dan atau organisasi lain, yang lebih condong mewakili aspirasi produsen, tidak dapat ikut dalam keanggotaan tersebut. Kalau tidak begitu, bagaimana bisa konsumen percaya? Bisa-bisa sertifikasi dituduh telah dimasuki kepentingan produsen dan atau wakil produsen. Akibatnya, akan muncul ketidakpercayaan konsumen. Dan, wajar kalau nantinya sertifikasi tidak diakui pasar, sebagus apa pun sistemnya.
26
Pendapat lain menyebutkan produsen—dalam hal ini adalah unit manajemen hutan—bisa saja menjadi anggota CBO karena mereka merupakan pemain lapangan yang bertanggungjawab langsung terhadap performance hutan yang dikelola. Sementara pemerintah adalah wasit yang mestinya berperan sebagai pemberi ramburambu dan penjaga bagaimana rambu-rambu itu dipatuhi. Karena itu ia harus berdiri di luar CBO. Dengan begitu, pemerintah bisa mengambil apa-apa saja yang dianggap bermanfaat dari aktifitas sertifikasi dengan CBOnya untuk membantu menjadi wasit yang lebih baik. Jadi, sepertinya sih, perlu dibedakan apa soal yang akan dibenahi? Kalau prakondisi terciptanya pengelolaan hutan lestari, maka seluruh komponen, utamanya yang paling dekat terkena dampak pembenahan, harus ikut terlibat dalam proses yang bottom up. Namun dalam konteks CBO-LEI sebagai representasi harmonisasi hubungan antara produsen-konsum en, maka pemerintah lebih baik diposisikan sebagai fasilitator. Ketika CBO-LEI dapat memberikan kontribusi positif, maka yang kemungkinan akan terjadi adalah bergairahnya pasar. Dalam kondisi ini pemerintah bisa tenang, tapi manakala negatif diharapkan masih ada stakeholder yang mampu dan sesuai tugasnya (salah satu tugas pemerintah: melayani masyarakat) untuk flash back dan mencari solusi lain. Jadi, sebaiknya pemerintah di luar CBO-LEI demi kebaikan CBO dan pemerintah. Paling tidak ada tiga alasan mengapa pemerintah sebaiknya tidak diperkenankan menjadi anggota di dalam CBO-LEI, Pertama, rasanya pemerintah lebih pas diletakkan sebagai mitra dan sekaligus kompetitor bagi CBO-LEI, bukan merupakan konstituen dari LEI. Keduanya berlomba memperoleh kepercayaan dari clients-nya. Pemerintah adalah entitas yang bertanggungjawab mengatur melalui berbagai akebijakan dan regulasi yang memungkinkan pengelolaan hutan yang baik dan lestari. Adalah tanggungjawab oemerintah untuk menjadikan hutan itu lestari. Ini juga bagus bagi pemerintah untuk tidak kikuk. Keputusan LEI akan mengikat konstituennya. Sedangkan wakil pemerintah akan sulit diikat oleh keputusan LEI. Mereka lebih terikat pada peraturan dan atasannya. Pertanyaan praktis, kalau mengikutsertakan pemerintah, siapa yang dianggap wakil pemerintah? Atau, surat mandat siapa yang mesti turun ke mereka: dirjen, menteri atau presiden? Kalau tujuannya untuk komunikasi, sharing informasi dan saling mempengaruhi, LEI lebih efektif manakala menjadi lebih independen. Independen berarti lebih obyektif, berani dan tidak harus berseberangan dengan pemerintah. Bisa juga LEI bahu membahu dengan pemerintah dalam mengusahakan PH yang lebih baik. Kedua, kepercayaan masyarakat (dalam dan luar negeri) akan lebih mudah diperoleh jika LEI merupakan wujud civil society atau masyarakat madani. Definisi masyarakat madani salah satunya adalah, masyarakat atau organisasi yang more or less tidak tergantung pada pemerintah. Tentu saja seandainya wakil pemerintah ada di dalamnya bukan berarti LEI tergantung pada pemerintah, tetapi akan lebih mudah jika mereka tidak ada di dalamnya. Ketiga, LEI bisa menjadi lokomotif bagi terkembangnya masyarakat madani di Republik ini. Suatu golongan klas menengah yang dinamis dan membuat perubahan. Jangan terlalu berharap pada golongan atas dan bawah untuk suatu perubahan. yang satu sangat sibuk menikmanti kekayaan atau kemapanan, sedang yang lain sangat sibuk untuk dapat survive di planet kehutanan ini.
27
Individu atau institusi? Selain persoalan keterlibatan pemerintah dalam CBO-LEI, yang juga mengemuka dalam diskusi adalah sistem keanggotaan CBO, lembaga atau individu? Dari situ maka yang tidak kalah pentingnya lagi adalah bagaimana mengelompokkan keanggotaan? Apakah berdasarkan kepentingan aspek, misalnya aspek sosial, aspek ekonomi atau aspek lingkungan? Atau berdasarkan kelompok stakeholder, misalnya LSM, Swasta, masyarakat adat, perguruan tinggi? Lalu bagaimana cara mengatur “keseimbangan suara?” Bagaimana cara menghindari dominasi keanggotaan dari perguruan tinggi atau swasta? Kalau ini tidak diatur maka bisa jadi satu kelompok akan “berkuasa” karena kelompok itu mempunyai anggota yg banyak/dominan? Sebagian melihat, sistem keanggotaan bisa individu maupun lembaga. Hanya saja, begitu sistem keanggotaannya lembaga, maka masalah keterwakilan akan menjadi isu sentral. Misalnya saja, individu A mewakili lembaga X, maka mekanisme apa yang menjamin bahwa individu A benar-benar mencerminkan atau bertindak sebagai wakil lembaga X. Parahnya lagi, wakil institusi X itu bisa saja tidak diaku oleh constituent yang dia wakili. Atau, pada kesempatan lain sangat susah bagi si A bertindak sebagai lembaga dan pribadi. Jadi, kalau memang boleh mewakili lembaga, maka individu A tersebut harus punya wewenang yang jelas dari lembaga yg dia wakili dalam CBO. Sedangkan untuk keanggotaan secara individu kelihatannya akan relatif lebih gampang. As long as you are committed as individual you are welcome. Yang dikemukakan tentunya pendapat pribadi, regardless lembaga. Walaupun, tentunya pemikiran individu sangat bias dengan keterkaitan pada lembaga dimana individu bekerja.
Keanggotan FSC Beberapa percikan dari moderator yang merupakan rasional FSC adalah sebagai berikut: 1. Munculnya sertifikasi merupakan respon terhadap kegagalan kebijakan yang merupakan domain pemerintah. Pemerintah yang seharusnya membuat kebijakan yang memungkinkan arah pengeloaan hutan menjadi lebih baik dari segi sosial, ekonomi dan ekologi, pada kenyataannya gagal. 2. Sertifikasi muncul dirancang sebagai instrumen pasar—yang mensyarakatkan adanya kredibilitas, independen, transparan. Campur tangan pemerintah dianggap mengganggu prinsip-prinsip itu—karena ia telah gagal membuat kebijakan yg baik; jadi biarkan saja pasar intervensi.. 3. FSC dirancang sebagai sebuah gerakan masyarakat sipil—sebuah gerakan yg secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya untuk menolak dominasi negara, dalam hal ini proses pengurusan hutan. Gerakan ini justru ingin mendorong negara/pemerintah untuk bergerak bersama menuju arah pengelolaan hutan yang lebih baik dengan jalan/rutenya masing -masing. 4. Sertifikasi hutan adalah sebuah konsep penilaian terhadap objek/sistem pengelolaan hutan sebagai produk dari kebijakan pemerintah dan kontrol pemerintah. Unit pengelola hutan pada dasarnya hanya merupakan operator yang melakukan A sampai Z yang ditunjukkan oleh pemerintah. Karena itu agak aneh juga kalau pemerintah ikut menjadi anggota FSC. Sementara salah satu tugas anggota FSC adalah menetapkan kebijakan, sistem dan standar sertifikasi—yang nantinya digunakan untuk menilai performace hutan yg dihasilkan dari kebijakan dan kontrol pemerintah.
28
5. Pemerintah tidak menjadi anggota FSC bukan berarti tidak bisa menjadi mitra dalam berbagai hal. Kolaborasi/dialog tetap seperti biasa yg dikehendaki.. Karena itu dalam dokumen FSC tercantum “Member organizations must have a governing board which is independent from government bodies and which is periodically renewed by election or appointment (By-laws para 32) dan dalam statuta nya disebutkan “The name of the Association shall be “FOREST STEWARDSHIP COUNCIL” which shall always be followed by the words “Asociación Civil”, or their abbreviation “A.C.” Jadi FSC adalah sebuah organisasi sipil.
PRAKATA:
Diskusi CBO-LEI di mailing list Rimbawan Interaktif (rimbawan-interaktif @yahoogroups.com) memasuki putaran III atau putaran terakhir. Pada diskusi putaran III ini, pancingan pertanyaan dilontarkan oleh moderator Dwi R. Muhtaman (lihat pengantar singkat diskusi 3 dibawah). Selain diskusi tentang CBO-LEI, pada saat yang bersamaan di mailing list ini tercatat ada tiga diskusi pararel. Karena masih berkaitan dengan topik sertifikasi dan SFM, maka perbincanganperbincangan tersebut juga direkam dalam rangkuman ini.
Diskusi Sesi III ini berlangsung dari tgl 9-13 November 2003. Saya mengundang semua anggota milis Rimbawan-interaktif untuk berpartisipasi dan menyumbangkan pemikiran, gagasan, informasi, pengalaman, kritik, counter-gagasan, pertanyaan, komentar, jawaban dan apa saja yang menurut Anda perlu dituangkan dalam diskusi kita. Diskusi ini hanya langkah awal. Selanjutnya mari kita—ya diskusi lagi..... Pertanyaannya: 1. 2.
Isu apa saja yg perlu dibahas dalam pertemuan regional, sektoral dan Kongres? Isu substansi sertifikasi (relevan atau tidak atau strategi agar ia releven), isu aturan main CBO/organisasi, isu apa...lagi....apa..apa lagi... Menurut Anda pertanyaan apa lagi yg perlu kita diskusikan jawabannya?
Dua pertanyaan itulah untuk Sesi III ini. Mari kita diskusikan. Terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya. Salam,
Moderator
29
KOMPLEKSITAS MELAHIRKAN KETIDAKPASTIAN “Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah keringkan tulang.” (Togu Manurung)
S
ituasi carut marut kehutanan Indonesia, rupanya masih mempengaruhi Diskusi CBO-LEI putaran III. Perdebatan tentang relevansi sertifikasi dalam situasi hutan sekarang ini masih mengemuka, bahkan boleh dikatakan bertambah tajam. Paling tidak terlihat dari komentar seorang peserta diskusi yang mengungkapkan perasaannya, bahwa ada ketidakjujuran dalam diskusi sertifikasi ini. Peserta tersebut melihat, diskusi yang berkembang tidak jauh berbeda dengan pola pembangunan a la Orde Baru dan Golkar. “Pokoknya, pembangunan harus jalan sesuai dengan demokrasi Pancasila. Pembangunan dan demokrasi hanya seolah. -olah. Orang Dayak yang tidak setuju, dipersilakan mundur. Pokoknya, Golkar-Orde Baru itu benar, jangan banyak tanya”. Dalam konteks diskusi sertifikasi di mailing list para rimbawan, para pendukung sertifikasi dipandang memiliki karakter yang sama. Misalnya, tidak pernah memberikan jawaban yang menyakinkan ketika merespon pertanyaan. Malah, lebih sering tidak memberi jawaban sama sekali. Dengan persamaan itu, menurutnya, sulit untuk dipercaya tujuan sertifikasi itu untuk mencapai pengelolaan hutan lestari, bahkan kelihatannya lebih suka hanya untuk ikut menikmati harta karun yang masih tersisa. Respon atas ketidakpercayaan ini kemudian muncul dari dua peserta lain yang melihat bahwa proses ini memang belum sempurna dan perlu pengawalan serta perbaikan yang
30
kurang dalam prosesnya. Bagi salah satu peserta, sertifikasi hanyalah salah satu jalan dari begitu banyak jalan menuju kelestarian hutan dan bisnis yang berkaitan. Soal adanya ketidakjujuran dalam diskusi dipandang sebagai sesuatu yang biasa dan akan tersingkir dengan sendirinya. Karena, pada dasarnya sertifikasi masih satu hal (bukan satu-satunya) yang perlu dicoba dan dikritisi. Kekukuhan pada pilihan (pro atau kontra sertifikasi) kadang juga tidak hanya didasari oleh ketidakjujuran dan ilmu "pokoknya". Kalaupun tidak mendapatkan titik temu dalam diskusi ini, dipandang memang tidak perlu dan tidak harus dipertemukan. Pun demikian, berdebat juga sesuatu yang perlu dilakukan, paling tidak untuk mengetahui apa yang terjadi di luar lingkup keyakinan seseorang untuk saling mengisi dan mengkoreksi. Seperti juga mazhab ilmu kehutanan yang bermacam-macam, justru dua kutub ini harus dipelihara, untuk saling memberikan koreksi dan tidak merasa paling benar sendiri. Secara konkret, peringatan tersebut memang diperlukan agar diskusi berjalan dengan jujur dan tidak perlu mematikan inisiatif lainnya. Pendukung sertifikasi yang jujur barangkali punya alasan tersendiri, bahwa ada sesuatu yang harus dilakukan untuk menyelamatkan sisa hutan dengan pendekatan ini. Prakondisi akan sedikit demi sedikit tercipta melalui proses menuju pencapaian yang lebih baik. Pendukung yang tidak menyetujui sertifikasi yang jujur juga punya alasan tersendiri untuk menyelamatkan hutan ini dengan menunggu situasi menjadi lebih baik dan kondusif untuk proses sertifikasi. Lantas, bisakah keduanya berjalan bersamasama dengan konsep masing-masing dan tidak saling menyalahkan, tapi saling mendukung, sepanjang dua hal yang berseberangan ini tidak bentrok satu sama lain? Proses pencapaian ke arah pengelolaan hutan yang lebih baik menjadi penting. Merespon tanggapan ini, peserta yang melotarkan rasa “pesimis”-nya di awal diskusi tersebut menyadari bahwa tidak ada proses yang sempurna. Juga, disadari bahwa tidak ada solusi tunggal yang mampu menjawab semua masalah. Tapi, di sisi lain, ungkapan skeptis atas ide sertifikasi ini tetap mengemuka. Ide sertifikasi ini mungkin mengalami modifikasi setelah mendapat kritik kanan-kiri, hanya saja bagaimana mungkin itu terjadi kalau setiap diskusi terjadi para pendukung sertifikasi tidak menjawab manakala ditanya. Tentu, ini tidak ada bedanya dengan perilaku banyak pejabat publik di negeri ini. Padahal, Kalau tanya-jawab itu terjadi, banyak informasi yang akan tergali dari banyak pihak. Banyak hal yang sebelumnya tidak terpikirkan akan akan muncul. Boleh jadi, seseorang akan berubah pikiran, pendirian, dan akhirnya prilaku. Selain itu, komentar peserta lain yang mengatakan bahwa sifat sertifikasi itu sukarela memunculkan banyak pertanyaan, seperti: Apa cost-nya juga bisa sukarela? Bagaimana cost akan terdistribusi? What is the impact of the cost on the forest being assessed? Peserta tersebut percaya bahwa jawaban-jawabannya akan kondisional. Dan, tidak mudah. Poin pokok yang ingin disampaikan adalah, apakah para peserta diskusi ini benar-benar memahami apa yang dibicarakan. “Jangan sampai terulang lagi ingin ke utara jalannya ke selatan.” Di sisi lain, keraguan soal voluntary ini juga memunculkan pertanyaan lain, seperti apakah nantinya sertifikasi akan menjadi mandatory? Yang terjadi bisa dua skenario, yakni mandatory dan voluntary. Apabila menggunakan skenario mandatory, apa asumsi-asumsi dasarnya? Bagaimanapun juga kalau menggunakan skenario ini, perlu “power” pemerintah. Hanya saja, apabila sebuah HPH telah mem -violate aturan main yang ada tidak jelas alasan apa yang membuat kita percaya bahwa HPH yang
31
bersangkutan tidak mem -violate aturan sertifikasi. Kalau pemerintah tak peduli terhadap aturan yang terjadi, tidak nampak alasan untuk percaya bahwa pemerintah akan tanggap terhadap pelanggaran yang akan terjadi dalam sertifikasi. Singkatnya, apabila pemerintah dipandang tidak efektif dalam mengendalikan bisnis hutan, mengharapkan skenario mandatory ini dipandang sebagai sesuatu yang sudah pasti konyol. Sedangkan sekenario voluntary, pertanyaan tentang asumsi-asumsi dasarnya menjadi penting. Lebih jauh lagi, berangkat dari informasi kerusakan hutan yang terjadi, juga tidak ada kepastian jumlah HPH yang bersedia di-assess untuk sertifikasi. Nampaknya, tidak akan cukup efektif. Apabila berangkat dari ide bahwa memenuhi aturan pemerintah merupakan syarat “harus” untuk lolos sertifikasi, tentu juga memunculkan pertanyaan-pertanyaan lain. Seperti, kalau aturan pemerintah yang jelas-jelas mandatory saja sudah diabaikan apapula dasar untuk percaya voluntary akan dilakukan. Voluntary yang mengandung mandatory pula? Ada semacam pandangan, para penganut skenario voluntary membuat kekeliruan asumsi kelas berat atau mengingkari kenyataan yang ada. Asumsi keliru ini juga nampaknya yang menopang perubahan jangka waktu HPH dari 20 tahun menjadi empat abad (20 tahun + daur + entah apa lagi). Ini jelas dipandang tidak efektif. Skenario ini jelas hanya akan meloloskan HPH yang memang sudah sepantasnya lolos (karena memang sudah baik) tapi tidak akan memperbaiki kinerja HPH yang “nakal” (baca: brengsek). Rusaknya hutan akibat “kenakalan” pemegang HPH ini tetap saja tidak akan teratasi oleh sertifikasi. Lalu, apa yang harus dilakukan? Mengenai biaya, memang benar uang mengalir dari tangan pengusaha ke tangan pelaksana sertifikasi. Pertanyaannya, apakah seluruh biaya sertifikasi merupakan bagian surplus legal yang tadinya dinikmati si pengusaha? Struktur HPH sekarang ini sangat memungkinkan meneruskan beban itu sepenuhnya ke hutan tanpa sepeser pun mengurangi surplus legal si pengusaha. Public wealth is being transfered into private wealth by public wealth advocate. Lagipula, kalau toh biaya itu keluar dari bagian surplus pengusaha (pengusaha yang HPH-nya baik), performance kehutanan secara keseluruhan tetap tidak berubah (lihat skenario voluntary). “Somebody got something for doing nothing. My conclusion remains the same .... certification is no more than about economic access.” Pandangan di atas kemudian direspon dengan ajakan aparat pemerintah yang mengikuti diskusi ini untuk menjawabnya. Hanya saja, dengan jumlah kunjungan sampai 50-an kali per tahun ke tiap PPHPH seharusnya violations dapat terdeteksi. Mengenai pesimisme peraturan saja tidak bisa ditegakkan, bisa dijawab dengan tidak perlunya menambah-nambah segepok peraturan baru. Skenario voluntary yang dikemukakan di atas, walaupun terseok-seok ada saja beberapa kelompok yang mencoba ikut aturan. Kalau pun kemudian aturan ini dilanggar, ini mirip dengan masalah etika. Ada tataran teoritis (ilmu etika: dimana kita membahas hal-hal ideal) dan ada tataran praksis, di mana salah benar tidak selalu hitam putih. Proses sertifikasi yang salah harus dihentikan dan perlu dibuatkan program pematuhan yang prosesnya dikawal untuk tetap dalam garis kepatuhan itu. Kalau memang tak berampun, toh mestinya konsesi HPH mereka sudah dicabut. Pasalnya, auditor juga manusia, bisa salah melihat “ampun-mengampun” dan nilai menilai ini. Mekanisme sertifikasi memungkinkan hal itu dikoreksi pihak luar, selain ada mekanisme internal utk terus menggiring proses.
32
Untuk Indonesia, ketika harus berhadapan mereka yang agak memaksa sertifikasi itu, argumen yang mungkin dimunculkan (tapi tetap dengan semangat untuk memperbaiki diri), bahwa kita semua pernah salah dan mulai sekarang ingin memperbaiki diri. Kalau tidak ada titik nol pengampunan ini, jelas semua juga tidak ada harapan. Persoalan biaya, nampaknya tidak terlalu bermasalah apabila menengok contoh kasus Perhutani. Biaya sertifikasi tidak seberapa dibandingkan keuntungan yang diperoleh Perhutani ketika menjual kayu sertifikasi mereka. Perdebatan di atas semakin seru ketika persoalan banyaknya jumlah kunjungan ditanggapi dengan pertanyaan, apakah sertifikasi itu akan menambah atau mengurai jumlah kunjungan? Penyebab begitu melimpahnya kunjungan dikarenakan aturan mainnya memang tidakk realistis dan sangat konyol. Saat bikin peraturan tidak terbayang bagaimana meng-enforce-nya. Benar, yang diperlukan itu bukan menambah peraturan, melainkan membenahinya sehingga lebih realistis dan rational. Semacam deregulasi. Sertifikasi juga dipandang akan menambah persoalan penebangan hutan legal dan illegal. Keduanya diibaratkan tertimpa harga runtuh. Dengan sertifikasi, yang legal dan baik malah dapat tambahan beban sertifikasi. Yang illegal pun akan semakin kompetitif. Jelas illegal logs itu sangat berpengaruh pada harga. Tanpa bermaksud meringankan dosa illegal logging, semua HPH dipandang dari dulu juga berlombalomba menebang pohon sebanyak-banyaknya. Dan, tanpa menyadari kemampuannya pemerintah juga mengobral HPH. Dalam pandangan peserta diskusi ini, moratorium hanya specific form of pengendalian supply. Moratorium is simply zero supply. Apa mengendalikan supply 0 (nol) meter kubik lebih mudah daripada mengendalikan supply 1 juta meter kubik? Kalau percaya moratorium bisa dijalankan mestinya orang yang sama juga percaya bahwa pengendalian supply itu sebenarnya bisa. Apa moratorium dan pengendalian supply are two different things? Komentar bahwa sertifikasi ‘hanyalah salah satu cara’ juga dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya dan extremely destructive. Kalimat itu sounds nice, wise, and very flexible. Dan sepertinya tidak pernah salah. Perenungan kembali tentang banyaknya jumlah kunjungan, akan memunculkan para pengawas yang masing -masing bisa mengucapkan kalimat yang sama, “ini hanya salah satu cara atau upaya', don't expect too much from what I am doing now”. Studi banding anggota DPR/DPRD yang sekarang ini kerap sekali terjadi juga bisa diklaim sebagai hanya salah satu cara memajukan bangsa ini. Hasilnya apa? Inefisiensi! Tapi bisa juga 'klaim bahwa suatu langkah hanya salah satu cara' is completely justified. Pertanyaannya, how do we distinguish justified claims from fake ones? Semestinya, uji dulu apakah langkah itu memenuhi sebagai 'syarat harus' atau 'syarat cukup' atau 'syarat harus dan cukup' untuk mencapai sesuatu. Kalau suatu langkah tidak memenuhi kriteria tersebut, itu pastilah langkah mubajir binti ornamental. Mengucapkan 'hanya salah satu cara' untuk menjustifikasi langkah mubajir itu sama dengan mengamini inefisiensi. Apabila hal ini dilakukan oleh banyak orang (sadar atau tidak) dalam jangka waktu yang lama akan menjadi extremely destructive, yang menempatkan Bohorok is just a joke. Dengan keadaan negara yang seperti sekarang, sudah semestinya penyusunan prioritas dilakukan dengan lebih tajam, tegas, sistematis, dan lebih berani ambil risiko. There is a high chance that we are selling a fake therapy or we are talking about something that we don't understand what the heck the thing is.
33
Bagi peserta lain, argumentasi yang dikemukan itu semua adalah bagian dari perenungan, karena karena soal komparasi insentif bagi yang legal dan illegal. Nyatanya yang legal lainnya dan tidak ikut sertifikasi bukan hanya tidak kena kunjungan tambahan, tetapi juga tidak kena "perhatian" publik yang juga mengakibatkan ongkos. Yang illegal kena "perhatian", tetapi malah semakin besar skalanya. Karena ongkos deal yang harus dilakukan juga bertambah besar. Sudah begitu, kegagalan law enforcement (internally) meningkatkan skala ill-log. Masalah yang sebenarnya, di tingkat policy makers, justru cara perenungan seperti itu tidak dipakai. Mungkin bukan hanya cara itu untuk memberi penjelasan (tapi ini pun bukan perenungannya policy makers). Misalnya, dengan situasi kebijakan dan kondisi lapangan yang mirip-mirip. Mengapa ada 4% jumlah HPH yang performance-nya secara signifikan lebih baik dari yang lain? Kalau ikutan yang 96% tentunya akan lebih enak. Peserta lainnya melihat, kegagalan law enforcement memang selalu jadi biang keladi. Padahal, kalau ditelisik lebih jauh, "law/policy" yang akan ditegakkan pun masih diragukan. Sudah sangat sering muncul di milis ini banyak sekali "policy-ajaib" yang dikeluarkan Departemen tertentu. "Policy" yang sama sekali tidak ada dasar ilmiahnya. Hanya turunan dari mimpi atau mitos si policy makers. Jika "law/policy" yang mau ditegakkan saja masih seperti itu, bagaimana dengan kualitasnya. Pertanyaanya: apakah masih perlu ditegakkan? Itu yang pertama. Yang kedua, policy yang sangat mendetail di mana hal-hal yang sangat kecil juga diurus dan sangat bersifat command and control, memang membutuhkan enforcement yang mahal. Dan ini memang dibuat seperti itu untuk memberi peluang korupsi. Seorang peserta yang berasal dari perusahaan HPH yang ikut serta dalam diskusi ini melihat, dalam praktek di lapangan sesungguhnya soal comply to regulation sudah didengungkan di tempatnya bekerja dan coba diupayakan agar selau berkembang. Dalam proses pencapaian standar SFM akan terbuka kemungkinan melakukan "terobosan" di lapangan. Langkah ini punya risiko, tetapi diusahakan risiko paling kecil dan siap untuk direvisi, toh kenyataannya peraturan dapat berubah sesuai kondisi. Kemudian, berdasarkan pengalaman, peserta ini melihat pemerintah cukup konsisten dengan peraturan. Masalahnya, yang namanya pemerintah itu sendiri beragam, mulai dari tingkat menteri sampai KRPH/camat. Ada yang lama dan ada yang baru diangkat. Ada yang terbuka untuk diskusi ada pula yang ditemui pun sulit. Di lapangan, mau tidak mau harus gesit dan sabar menghadapi keberagaman aparat atau birokrat. Persoalan biasanya akan timbul jika ada unsur kepemerintahan yang tidak sama pemahamannya dengan mereka yang ada di lapangan. Hal ini bisa terjadi karena perbedaan kecepatan mendapatkan informasi. Konsekuensinya, birokrat mulai tingkat atas sampai bawah harus “ditempel”, dalam arti komunikasi harus lancar, agar imbang dalam hal perkembangan informasi/peraturan. Contohnya, ada saat tertentu pekerja di lapangan akan menjadi "nara sumber" bagi aparat atau birokrat pada level tertentu, misalnya seorang KRPH, apakah sudah semua tahu apa itu CoC? Belum tentu, padahal itu adalah pekerjaannya sehari-harinya (TUK). Dalam kasus tertentu, mereka harus "joint" dengan LSM tertentu. Terkesan aneh memang, GO dan NGO digandeng, seperti terkesan tidak memiliki pendirian. “Tapi, apa boleh buat, the show must go on, hutan sudah terlanjur menjadi ‘milik’ semua pihak.”
34
KOMPLEKSITAS DAN KETIDAKPASTIAN Kompleksitas persoalan kehutanan Indonesia memang mewarnai dan mempengaruhi persepektif para peserta diskusi. Tercatat, ada tiga peserta yang kemudian mengeksplorasi lebih jauh pemahaman seputar kompleksitas. Dalam pandangan salah satu dari tiga peserta tersebut, melihat kompleksitas berarti ada paling tidak dua hal yang terkait (dari beragam dictionaries) tentu di sini jauh lebih banyak dari itu. Di bidang science sendiri, ini merupakan bidang baru yang emerge disebut complex system science atau science of complexity. Yang ditawarkan adalah bagaimana harnessing kompleksitas atau bekerja dalam kompleksitas untuk mencari suatu perbaikan outcomes. Dalam konteks aplikasi dikenal apa yang disebut adaptive management yang diinisiasi dari kerja-kerja Holling, Walters, Lee dimulai pada akhir 1960-1990-an. Para peserta yang pada diskusi putaran I ingin membangun fondasi untuk kemudian membuat bangunan yang bagus dapat dikatakan banyak dianut. Namun apakah masalah yang kompleks itu tersusun seperti itu, dari fondasi, tiang, dibuat atap, yang dilakukan secara step by step. Atau, masalah tersebut lebih kompleks dan ruwet yang kita tidak yakin mana yang fondasi dan atap. Keadaan di lapangan bisa jadi tidak seperti rumah tetapi seperti sebuah motor yang nggak ada fondasi dan atapnya, tetapi masing-masing memegang peran yang sama penting. “Rekan” baik kompleksitas adalah uncertainty atau ketidakpastian. Jika kita melihat keadaan di lapang kompleks dan ruwet maka solusi apapun yang ditawarkan punya uncertainty yang sangat tinggi. Permasalahan kemudian bagaimana menurunkan uncertainty tersebut. Sebenarnya, apabila satu solusi tidak bisa berjalan mengapa solusi terus diproduksi, sehingga menghasilkan kumpulan solusi "cerdas" tapi mandek semua. Tentu kita bisa menyalahkan beragam pihak sehingga solusi itu tidak berjalan. Jangan-jangan solusi tersebut tidak tepat dala m memandang kompleksitas hutan, para pihak serta interaksinya dengan antar mereka dan komponen-komponen lainnya. Adaptive management melihat rencana sebagai pembangkitan hipotesis, dan aksi sebagai uji hipotesis. Jadi kalau sertifikasi ini kita anggap sebuah hipotesis yang kita uji dalam kompleksitas dunia nyata, maka yang penting adalah setelah sekian tahun, adakah dunia nyata lebih baik atau jelek dengan sertifikasi. Diskusi ini bisa jadi refleksi untuk memperbaiki model mental kita akan permasalahan yang ada. Benarkah masalah ada fondasinya atau berupa sebuah web. Tentu akan sulit kalau kita merasa model mental kita merupakan pemetaan yang jernih dari realitas. Dengan pemantauan dan refleksi seperti kita bersama-sama dapat memanfaatkan kompleksitas, menurunkan uncertainties, untuk aksi-aksi berikutnya. Peserta yang lain melihat kompleksitas dan uncertainty itu umumnya muncul by design, alias dibuat. Prinsip kerja mobil, pesawat terbang, dan lain lain sebenarnya sederhana, sekalipun pengembangannya melahirkan kompleksitas. Grand design tetap: bagaimana hasil pembakaran bahan bakar melahirkan energi dorong yang mampu menggerakkan roda atau baling-baling dan seterusnya. Kompleksitas lahir karena tuntutan efisiensi, kenyamanan, keamanan, estetika, taste dan seterusnya. Demikian pula kelimuan, bagaimana pertidaksamaan menjelma menjadi differential dan antidifferential dan seterusnya. Secara keseluruhan, kompleksitas itu muncul karena menjawab tuntutan realitas. Kompleksitas itu, tentu saja akan melahirkan paradoks, karena ia akan mengurangi ketidak pastian di satu sisi (dalam mencapai tujuan misalnya) dan justru akan menambah ketidakpastian di sisi lain, berkaitan dengan kerja sistemnya - akibat semakin komplek semakin banyak variabel kontrolnya.
35
Kembali ke kompleksitas persoalan kehutanan, sertifikasi ada dimana? Apakah ia bagian dari grand design atau bagian dari variabel yang menambah kompleksitas dan sekaligus ketidak-pastian? Lalu SFM itu apa? Dari sisi produksi, tentunya kita hanya boleh menebang sebesar margin pertumbuhan alaminya. Dari titiik ini kemudian dikembangkan bahwa ambilan margin tadi harus mampu memenuhi rasa adil (sosialekonomi) dan tidak mengganggu lingkungan (ekologi). Bukankah begitu ideologi dasarnya?. Pertanyaan yang muncul, dan ini menjadi prakondisi penting yang harus dipenuhi, apakah tatanan pengurusan hutan kita berangkat dari titik ini? Kalau iya, apakah kompleksitas yang ada sekarang ini sebagai bagian dari upaya pengembangan? Kalau iya, apa arah dan dasar pengembangan ini? Nah kalau dalam analogi mobil dan pesawat terbang tadi pengembangan yang melahirkan kompeksitas didorong oleh tuntutan realitas akan efisiensi, kenyamanan, keamanan, cita rasa, dan estetika, lalu apa yang menjadi driving force dalam pengembangan pengurusan hutan yang ada sampai saat ini? Kalau ini semua belum jelas - artinya banyak ketidak pastian - padahal ini semua akan sangat menentukan hijau kuningnya UM di Hulu Mahakam. Lalu, apanya yang disertifikasi? Niat baik?
PANDANGAN BIROKRAT Kecaman dan kritik yang pedas pada keberadaan pemerintah dalam perkara pengurusan hutan lestari, mengundang seorang pegawai di Departemen Kehutanan untuk menanggapi. Tanggapannya tentu saja tidak perlu dianggap “mewakili” lembaga tempatnya bekerja. Menurutnya, lontaran-lontaran pedas itu tidak lagi hanya mengkritik suatu kebijakan lembaga tetapi juga mempunyai kecenderungan melakukan pelecehan pada para pegawai Dephut umumnya dan khususnya para pemantau miling list ini. Seolah-olah netter mengabaikan kenyataan ketidakberdayaan pegawai Dephut dalam struktur organisasi yang hirarkis dan tatanan senioritas yang kaku. Arogansi semacam ini bisa berakibat fatal, karena pada saat mengritik Dephut dan aparatnya, mata arogan pengritik akan sulit mengetahui kelemahan diri sendiri dan sistim hubungan kekuasaan yang mempengaruhi Dephut, karena kritik terlontar hanya terfokus pada kesalahan Dephut dan aparatnya. Akibatnya seperti pepatah, kuman di seberang kali tampak tetapi kuda nil dipelupuk mata tidak tampak. Birokrat pemerintah ini menduga, boleh jadi kesalahan pengritik dan yang dikritik hanya masalah derajat saja dan sama sekali bukan benar semua bagi pengritik dan salah semua bagi yang dikritik. Secara mikro sehari-hari, memang benar adanya bagi NGO termasuk lembaga penelitian --yang mendapat anggaran tahunan dari negara-negara Utara--, menandatangani kontrak, melaksanakannya secara jujur dan benar sebagaimana bunyi kontrak. Sehingga, mampu menjalankan fungsi yang dikehendaki oleh pedonor. Yaitu, berperan sebagai barisan kritikus (pada tingkat teknis dan kebijakan) pengelolaan kehutanan dengan sasaran pengambil kebijakan kehutanan di mana NGO dioperasikan. Tetapi kalau dilihat hubungan kekuasaan secara makro-global, peran antagonis yang diperankan NGO adalah sebagai minyak pelumas dari eksploitasi hutan tropis untuk kepentingan pasar yang notabene adalah negara ekonomi raksasa seperti Jepang. Peran minyak pelumas ini: (1) seolah-olah negara-negara Utara mempunyai perhatian terhadap ekses negatif dari pembangunan yang mereka resepkan, (2) seolah-seolah mereka mempunyai tindakan konkrit untuk menciptakan sistim kontrol “publik” (dalam tanda kutip karena jelas tidak bisa menjadi wakil yang sebenarnya) yang dicangkokan
36
di NGO-NGO, meskipun tidak pernah memadai karena memang sekadar mendapat peran berpura-pura, dan (3) NGO diminta untuk menunjukan bahwa amburadulnya pembangunan tidak ada hubungan dengan kontradiksi alamiah yang terkandung dalam konsep dan idiologi pembangunan yang mengekonomikan hutan tetapi melalui media massa (termasuk radio) ditunjukan bahwa yang tidak becus adalah negara pelaksana pembangunan, kebijakan dan aparatnya. Jadi tugas para NGO adalah mencari kesalahan manusia (human error) semata, bukan mencari kesalahan sistim, konsep, ide atau filsafat hidup. Perseteruan antara Dephut dengan NGO dana global bersama teman-teman IPB, bukan manifestasi perang Baratayuda (baca: debat pikir habis-an antar teman seprofesi) untuk mencapai kebenaran tingkat tinggi. Melainkan, hanya perang cakil (olok-mengolok) yang tidak ada artinya bagi keselamatan hutan tropis dan masyarakat penghuninya. Birokrat Dephut ini juga menyoroti pendapat bahwa selama ini (mulai masa kolonial) pemerintah belum cukup memberi ruang untuk terciptanya SFM. Menurutnya, Ketidakcukupan ini, pada masa kolonial dan Orde Baru diakibatkan oleh ketidakmauan pemerintah untuk memberi ruang kepada masyarakat yang tidak hanya sesuai dengan kepentingan pemerintah saat itu tetapi juga sesuai dengan paradigma ilmu kehutanan yang ada serta arah kebijakan ek onomi makro nasional. Hal ini dapat ditelusuri dari kurikulum pendidikan kehutanan selama ini dan titik berat pemerintah untuk memberi kesempatan sebesar-besarnya kepada partikelir, yang bisa diperiksa lebih lanjut pada produk -produk hukum nasional (UU-Pokok, PP, Inpres, Kepres, sampai SKB dan SK menteri) yang berkaitan dengan kehutanan dan bisnis serta orientasi pendidikan kehutanannya. Sedangkan ketidakmampuan memberi prasyarat tercapainya SFM saat ini, dipandangnya lebih karena ketidakberdayaan, baik pada tingkat sektoral maupun tingkat negara. Manifestasi ketidakberdayaan sangat beragam, mulai dari sikap plinplan, memelas sampai bringas, membodohi sampai sok pintar, loyo sampai dengaan super macho, merasa salah sampai marah-marah, terlalu mudah sampai dengan penuh kebimbangan, dan seterusnya tergantung pada relevansinya. Dalam pandangan pejabat Dephut ini, para netter RI pada umumnya beranggapan bahwa negara (Dephut) selalu mempunyai kontrol sepenuhnya, sebagaimana logika dasar manajemen kehutanan yang menempatkannya sebagai tuan-tanah. Batas hutan dan non-hutan harus jelas, batas negara sebagai unit ekonomi harus jelas, padahal logika teritorial (ruang) telah didominasi oleh logika waktu dalam hal ini melalui percepatan perputaran kapital yang demikian cepat dan tanpa batas. Bukankah territorial kontrolnya Belanda untuk mengontrol supply komoditi perkebunan pada abad ke 19, ditekuk habis dengan liberalisasi ekonominya Inggris berserta aliran kapital ke Asia Tenggara dengan Singapura sebagai betengnya. Dari acuan sejarah tersebut, jelas pendekatan interstate yang dilakukan menhut serta merta gagal sebagaimana kegagalan Belanda pada akhir abad ke 19. Perlu diuji memang sejauh mana kebenaran asumsi bahwa negara (Dephut) masih kuat semacam ini benar, kalau kuat seberapa kuatnya dan bila lemah serendah apa lemahnya. Tanpa mengetahui hal ini sangat sulit untuk memberi evaluasi, apalagi koreksi kepada yang ramai-ramai dikritik. Bagi rimbawan ini, masa jaya kehutanan telah usai, jaman trickle-down dolar dan yen telah dinikmati oleh generasi tua rimbawan. Dan, generasi muda rimbawan tinggal menanggung akibat dari kerusakan hutan dengan segala konsekuensi politik, ekonomi, dan budayanya. Sebagaimana dalam setiap lembaga pemerintah, di dalamnya selalu ada urutan “kebasahan”‚ dalam arti pendapatan baik di tingkat direktorat maupun jenjang kepangkatan, yang tidak bisa digeneralisasi. Menurut keyakinannya, masih banyak rimbawan di dalamnya yang mempunyai hati nurani dan
37
relatif bersih dari korupsi. Terlepas dari pendapatan, semua generasi muda rimbawan menerima warisan tanggung jawab berat. Apakah hal semacam ini bisa dianggap masalah sepele yang bisa dibicarakan dengan gelak-tawa yang penuh olok-olok khususnya kepada rimbawan muda yang kebetulan bekerja di Dephut. Nampaknya tidak harus begitu, Apakah saat ini rimbawan muda bisa dengan lantang menepuk dada, “Akulah rimbawan sejati” sebagaimana rimbawan pada 1970 dan 1980-an yang kesalahannya belum muncul dipermukaan? Citra rimbawan sekarang identik dengan pengirim banjir bandang! Legal atau illegal logging, keduanya pengirim banjir, titik. Bahkan, dianggap sebagai perampas hutan. Itu gambaran umum yang dominan di masyarakat. Secara intrinsik persyaratan tercapainya SFM sulit, kalau tidak mau dikatakan mustahil, dapat dipenuhi bila tidak mampu keluar dari paradigma kehutanan yang sudah usang dan keluar dari paradigma pembanguan dan ideologi pendukungannya yang sudah sulit dipertahankan untuk mencapai kesejahteraan umum. SFM adalah upaya tambal sulam untuk menutup lubang yang jumlah dan luas totalnya hampir sama dengan luas aslinya (seperti saringan tahu). Dan, lubang-lubang ini tidak hanya kelemahan pembangunan kehutanan tetapi kelemahan dasar pembangunan itu sendiri. Kalau benar bahwa sertifikasi dimaksudkan untuk merespon (menambal) kelemahan (ketidakberdayaan) pemerintah, tanpa menguji dan menelusuri kenapa kehutanan Indonesia menjadi seperti sekarang ini, bukankah nasibnya akan sama dengan TPI, TPTI, TPTJ, HTI, serta proses perencanaan yang tidak pernah terwujud? Perlu sekali dicari perubahan pemikiran dengan memunculkan paradigma ilmu kehutanan baru yang sesuai dengan keadaan sosial ekonomi dan budaya serta filsafat dasar masyarakat hutan tropis sendiri. Ajakan untuk belajar tentang ilmu kompleksitas sangatlah sesuai dengan masalah yang dihadapi sekarang ini. Dilihat dari sudut pandang sosiologi ilmu pengetahuan, kompleksitas study adalah gerakan internal dari ilmu pengetahuan (science) untuk mengkritik “kekaku-angkuhan” (rigidity) dan kelemahan science itu sendiri, utamanya pandangan Newtonean yang deterministik, hierarkis, mekanik, linier dan reduksionis yang telah berkuasa sejak pada akhir abad ke 19 (persis seperti kedudukan ilmu kehutanan yang telah menghegemonik pada waktu itu). Secara singkat, teori mekanistik Newton digoyahkan oleh teori Quantum Einstein (1905) yang ternyata pada mikro-level menunjukan bahwa alam beroperasi secara diskontinyu yang berlawanan dengan teori Newton yang menganggap kontinyu. Dunia menurut Newton adalah predictable berdasar time-reversible‚ atau timeless (mandek). Ternyata, Darwin dengan teori evolusinya membuktikan hal lain. Waktu alam adalah “a flow of time”. Teori Darwin menunjukan adanya irreversible process (persis seperti rusaknya hutan tropis). Kemudian organized kompleksitas yang lahir tahun 1960-an ini, menganalisa sistem secara keseluruhan sebagai kesatuan organik total (organic whole). Hal ini mengarah pada upaya mencari sintesa dan bukan reduksi sebagaimana teori Newton. Complex study mencari pemecahan masalah-masalah yang tidak bisa pulih kembali. Jadi menggeser teori equilibrium dan certainty-nya Newton ke arah uncertainty yang didukung temuan-temuan baru pada level mikro (quantum theory). Penggoyah Newton yang lain seperti Ilya Pregogine dkk yang melihat kompleksitas sebagai behavior‚ menunjukkan perubahan dengan menggambarkan realitas kolektif sebagai suatu proses. Dengan demikian kompleksitas memiliki hubungan dengan non-linearity. Penjelasan kompleksitas bisa diperoleh dari order-order-in chaos, order out of chaos, dan visual˜fractal geometry yaitu coordinate yang tidak bisa dimasukkan dalam katagori Eucledian, alias terletak di antaranya saja.
38
Kompleksitas memecah batas antara fisika dan matematika yang dulunya tidak mau bersatu. Dan kompleksitas dilahirkan dari perkembangan matematika dan ilmu alam. Hal ini simetri dengan menyatunya humanity (filsafat) dan ilmu pengetahuan sosial. Dan juga selaras dengan gerakan ekologi yang tidak hanya mengkaburkan batas disiplin ilmu tetapi juga menyatukan ilmu sosial dan filsafat juga. Pertanyaan yang sama (tentang kekakuan batas disiplin ilmu, reduksionis, mekanistik, linier, kepastian, dan sebagainya) bisa diarahkan ke ilmu kehutanan (termasuk sertifikasi), untuk mencari paradigma kehutanan. Setiap perubahan sosial selalu didahului dengan perubahan pemikiran, jadi gerakan mengkritisi ilmu kehutanan dan pembangunan kehutanan (bukan hanya Dephut) tidak lagi kebutuhan tetapi sudah menjadi keharusan, kalau benar-benar mau berupaya menyelamatkan hutan tropis dari kepunahan abadi. Betapa sedihnya kalau orang Indonesia nanti bila ingin melihat orangutan dan gajah saja harus ke San Diego melalui satelit. “Bangkitlah semua rimbawan muda dari dunia mitos kehutanan lama. Kalau tidak sekarang kapan Rimbawan muda memerdekan diri dari pengaruh pemikiran dunia rimbawan tua yang mewarisi segala masalah kehutanan Indonesia.” Kemudian berkaitan dengan angka laju kerusakan hutan yang dipermasalahkan, terlepas angka Sekjen yang 1,6 juta ha per tahun atau angka Baplan yang 3,8 juta yang digunakan sebagai titik ukur, sebenarnya bisa dilanjutkan dengan pertanyaan lanjutan “Berapa hektar atau berapa persen secara akumulatif yang bisa diselamatkan oleh keberadaan NGO, termasuk CIFOR, di Indonesia selama ini?” Hal ini penting untuk menunjukan keberhasilan kolektif tersebut tidak hanya untuk laporan ke dunia tetapi juga bagi masyarakat lokal.
Definisi Universal Sustainability Hal lain yang juga muncul dan menjadi bahan diskusi yang seru adalah perkara definisi universal sustainability. Soal ini muncul berkaitan terganggunya pikiran seorang peserta diskusi ketika berbicara tentang sertifikasi. Pasalnya, apa yang terjadi sekarang ini secara keseluruhan memustahilkan secara kasat mata pencapaian kelesatarian itu. "....Jadi saya melihat point kecil dalam mengembangkan kumpulan 50 definisi sustainability yang saya buat pada 1989 sampai menjadi 5000 definisi yang siap ditemukan hari ini...." (John Pezzey, 1997) Dalam Bruntland’s Commission, sustainable development didefinisikan sebagai a process in which the exploitation of resources, direction of investments, orientation of technology development and institutional changes are all in harmony, enhancing both current and future abilities to meet human needs and aspirations (WCED 1987). Bila merujuk pada Webster’s New World Dictionary (1988), the etymological root of sustainability is derived from the Latin verb sustenere (= to hold). This etymology is also reflected in the debate among Spanish-speaking scientists about whether sostenibilidad (from sostener) or sustentabilidad (from sustentar) is the more
39
accurate translation. The first term is closer to “being upheld” while the latter term is closer to “to uphold” (Becker 1997). The latter terminology indicates a strong normative component in the concept of sustainable development. Perkara definisi universal (tunggal) itu dipandang peserta lain sebagai sesuatu yang wajar. Bahkan, sebenarnya scientist telah putus asa untuk mencari definisi sustainability ini. Akhirnya Schanz (1999) sampai pada suatu kesimpulan bahwa ternyata mustahil untuk mendapatkan definisi tunggal sustainability ini. Konon katanya, karena kita melihat dunia ini dari berbagai perspectives/kacamata (paling tidak ada lima cara pandang) maka sangat tidak mungkin menemukan definisi tunggal SFM. Dia akhirnya mengakui pula bahwa SFM akan kandas dalam batasan perdebatan teoritis dan kurang bisa diapplikasikan di dunia nyata. Namun demikian, satu hal yang menarik, walaupun lebih dari 200-an definisi SFM, paling tidak semangat dan konsensus untuk mengelola hutan secara lestari sudah mulai terbentuk. SFM telah diterima sebagai suatu konsep universal walaupun "lack operational definition". Peserta lainnya lagi melihat, definisi sustainable (sustainability) sudah seharusnya mengandung hal penting dan perlu, yakni: "meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their needs." Dan, seperti sudah sering dikumandangkan, ada tiga prinsip/pilar kelestarian: 1. Kelestarian hasil (produksi; sustain yield principle) 2. Kelestarian lingkungan (ekosistem) 3. Kelestarian sosial (ekonomi?). Tiga prinsip kelestarian ini secara universal sudah tidak ada lagi yang mempermasalahkan. Orang sudah menerimanya sebagai suatu konsensus. Hanya saja apa yang orang tidak bisa menemukan (baca: bersepakat) adalah mendefinisikan apa yang dimaksud dengan tiga prinsip itu. Karena kita di bumi ini menganut value system yang berbeda dan punya latar belakang yang berbeda pula maka cara kita memandang sesuatu juga berbeda. Adil secara sosial menurut kita belum tentu menurut orang lain. Lestari secara ekologis belum tentu menurut local people. Dan, seterusnya. Jadi, prinsip-prinsip itu di samping secara universal telah diterima sebagai suatu yg harus dicapai, secara operational could be meaningless. Definisi universal dapat dikatakan memang berada di tataran teori. Sebaliknya, dalam tataran praksis di lingkungan sertifikasi, misalnya FSC, menggunakannya dalam bentuk Prinsip dan Kriteria lalu lembaga sertifikasi menurunkannya lagi dalam bentuk standar yang digabung dengan kualifikasi personel, tata cara mengaudit, kode etik organisasi, code of conduct, dan lain-lain. Itulah sistemnya yang harus diakreditasi oleh FSC. Proses yang kurang lebih serupa juga berlaku di LEI. Di dalam sistem itulah definisi SFM ada dan di kalangan sertifikasi SFM sudah jalan. Soal diakui secara universal, itu bukan sesuatu yang harus dicapai di tataran praksis. Untuk seorang peserta diskusi, hal tersebut tak perlu menjadi sesuatu yang menyedihkan. Pasalnya, definisi terhadap ketuhanan saja yang jauh lebih tua dari definisi kita tentang SFM masih membuat kita masih berada dalam agama-agama yang bermacam-macam, dan pada keadaan-keadaan ekstrim, kita masih saling membunuh. Pun demikian, ada semacam kekhawatiran bahwa definisi dari “definisi” pun belum disepakati, dan ada dugaan memang belum siap untuk bersepakat. Kita dapat merenungkan banyak contoh di sekitar kita, misalnya sistem silvikultur yang pernah dipakai mulai dari TPI lalu TPTI juga TPTJ dan lain-lain. Hasilnya, kondisi sekarang ini. Dengan demikian, seorang peserta diskusi mengajak semuanya untuk secara legowo mengakui bahwa kita belum siap menjadi anggota masyarakat "universal". Jangan kan soal definisi, tentang angka saja masih ramai. Bukan saja soal pengkritisan angka tersebut, tapi juga implikasi perbedaan angka itu. Toh, upaya macam ini perlu
40
didikung, karena angka sangat mendasar untuk membangun kesepakatan selanjutnya, misalnya ketika kita ke dokter pun, yang duluan diukur kan tensi darah berapa, umur berapa, berat, tinggi badan dan seterusnya barulah diperiksa. Coba bayangkan jika angka-angka yang sudah dicatat itu tidak akurat, beli obat di apotik pun percuma, rugi dan bisa-bisa keracunan karena angka-angka yang menjadi dasar "diagnosa" dokter tidak akurat. Padahal, terapi yang apa pun yang dibuat dokter ini dapat disebut "kesepakatan" dalam dunia kedokteran. Oleh karenanya, akibat angka "keliru" pada akhirnya membuat kesepakatan tidak ada gunanya. Pendeknya, masih diperlukan upaya “redefinisi” hal-hal yang berkaitan dengan masalah angka. Sampai di sini tampak jelas, berjuta ketidakpastian masih mengepung kita. Ketiadaan definisi universal tentang sustainability tadi bisa jadi bagian dari ketidakpastian itu. Itu artinya, antara mengambil langkah dengan diam saja hampir pasti sama hasilnya. Buktinya, inisiatif dan kerja sertifikasi selama ini hasilnya baru sampai tahap mempengaruhi membangun semangat. Fakta empirik bisa menggiring pemikiran bahwa semangat saja tidak sukup, apa bedanya dengan diam? Diam juga salah. Pun demikian, kalau pun akhirnya melangkah juga dengan langkah yang benar yang effektif dan prospektif membawa hasil nyata atas perbaikan hutan kita. Selain itu, peserta lain melihat adalah kurang tepat polemik ketiadaan definisi sustainability disejajarkan dengan pencarian definisi Tuhan. Bedanya sangat mendasar, karena proses pencariannya juga tidak hanya didominasi oleh rasio, tapi juga iman, juga dan hidayah yang belum tentu semua pencari mendapatkan-Nya. Karenanya tidak bisa disalahkan kalau kemudian banyak macam agama. Wong, bisikan hati yang menjadikannya bermacam iman yang berbeda-beda. Sedangkan soal main bunuh, itu dipandang tak ada kaitan dengan apakah seseorang paham betul tentang definisi Tuhan. Dalam logika yang sama, wong yang "paham" saja masih “menyikat” uang IDT yang identik dengan membunuh ribuan orang tak berdosa. Berkaitan dengan sertifikasi, ada harapan agar tidak terjebak pada definisi. Para pelaku, pengamat, praktisi, dan aktivis sertif ikasi sudah semestinya benar-benar tahu barang apa yang sedang dijual. Ada semacam sistem keyakinan bahwa barang itu betul-betul bisa efektif digunakan dan memang menjawab permasalahan. Penelitian sertifikasi di Indonesia yang dipresentasikan pada Januari 2003 di Hotel Santika Jakarta, sebetulnya ditujukan untuk sertifikasi FSC di Indonesia, demikian pula rekomendasi dan kesimpulannya. Namun mengingat keterkaitan LEI dan FSC yang sangat erat terutama dalam Joint Certification Program (JCP) relevansi penelitian tersebut untuk LEI juga tinggi. Walaupun agak kecewa juga bahwa LEI tidak banyak disinggung, termasuk proses pengembangan sistem sertifikasinya yang dulu melibatkan banyak pihak. Bila menelaah penelitian tersebut, beserta temuan-temuannya, berdasarkan informasi yang sama sebetulnya bisa diambil kesimpulan yang lain sama sekali, yaitu sertifikasi sangat layak diteruskan karena dia bergerak dalam konteks lokal dengan mengharuskan FMU untuk menemukan solusi lokal terhadap permasalahan yang dihadapi tanpa menunggu perbaikan ditingkat nasionalnya. Penilaian yang dilakukan dalam sertifikasi sering kali memiliki standar yang melebihi ketentuan pemerintah atau bahkan pada beberapa aspek, hal-hal yang tidak diatur oleh pemerintah. Seperti, perlunya pemetaan partisipatif (indikator S 1.1 Sertifikasi PHPL LEI ), pengakuan dan kompensasi formal penggunaan pengetahuan tradisional masyarakat (S 2.2), digunakannya cara penyelesaian sengketa yang tepat (S 1.4), terjaminnya hak asasi manusia, dan sebagainya. Peserta la in melihat, apabila prinsip P2 dan P3 FSC langsung diterapkan, untuk saat ini dapat dipastikan tidak ada satu pun konsesi hutan yang pantas untuk mendapat
41
sertifikasi. Tetapi jika prinsip tersebut dilepas, mungkin ada beberapa yang dapat disertifikasi. Berdasar kenyataan tersebut, sebenarnya sertifikasi belum waktunya untuk diterapkan. Namun, apa boleh buat: (1) pengelolaan hutan di Indonesia sudah berjalan dan harus tetap dikontrol dan (2) pihak yang mempersiapkan sistem (FSC dan LEI) sudah ada, (3) tuntutan pasar, jadi daripada mubazir sertifikasi boleh jalan. Akan tetapi, karena hampir semua konsesi pasti bermasalah terhadap P2 dan P3, maka seharusnya tidak ada yang layak mendapat sertifikasi. Kalau ada, pasti prosesnya tidak benar, setidaknya akan menuai masalah. Menurut pikiran peserta diskusi ini, LEI sudah mendapat banyak pelajaran berarti dalam kasus DRT. Persoalan itu dipandang peserta lain sebagai sesuatu yang dinamis menurut waktu. Menurut peserta yang bekerja di lembaga internasional ini, hasil adaptasi P&C dari salah satu negara di Amerika Latin, yang menyatakan salah satu P atau C FSC tidak bisa diimplementasikan dengan argumentasi yang baik, dapat diterima oleh FSC HQ. Di Indonesiaa, tidak ada forum FSC NWG yang pas untuk adaptasi terhadap P&C FSC. Forum ini bisa dipakai untuk mengkaji P2 dan P3 dari FSC, dan menurunkan indikator, verifier dan norms-nya. Sustainability itu locally and or culturally defined. Tidak ada satu pun standar yang dapat meng-cover kompleksitas dan keragaman dinamis ek o dan sosial sistem hutan di seluruh dunia ini. Setelah adaptasi kita bisa lihat apakah ada UM gaya HPH, hutan rakyat dan hutan komunitas yang memenuhi FSCbased standard tersebut. Dalam pandangan moderator, pertanyaan mengapa Indonesia tidak mempunyai NWG, berkaitan dengan keberadaan dan latar belakang LEI? Salah satu alasan LEI dibuat memang berdasarkan keinginan agar sertifikasi di Indonesia tidak di-"driven by" FSC. Karenanya, dari awal gagasan NWG ditolak. Indonesia ingin mempunyai sistem dan standar sendiri. Jadilah LEI. Studi P2/3 sebetulnya membuat FSC berada "di atas angin" yang "melemahkan” posisi LEI. Bukankah rekomendasi P2/3 tentang keberadaan NWG atau dialog nasional merumuskan dan menyepakati bagaimana FSC beroperasi. Isu LEI hampir tidak mendapat tempat. Peserta lain kemudian melihat, “banyak jalan menuju Roma”. Harapannya semoga saja LEI selalu menjadi sebuah learning organization yang menjadikan dirinya relevan dengan perbaikan PH di Indonesia.
Apa yang Harus Dibicarakan di Kongres? Secara langsung, tanggapan atas pertanyaan moderator di Diskusi CBO-LEI putaran III ini memang tidak banyak. Ada beberapa poin penting yang dipandang perlu untuk dibicarakan di Kongres CBO-LEI tersebut. Yakni, 1. Konstitusi CBO LEI perlu mendapat perhatian utama. 2. Pertanyaan tentang perlu tidaknya dibentulk CBO perlu dijawab kongres terlebih dulu. 3. Apabila poin nomor 2 dilakukan, bagaimana setiap stakeholders memandang perannya (dari perspectif mereka sendiri) 4. Bagaimana cara mengkoordinir peran itu sehing ga bisa mencapai tujuan CBO tsb? Dan yang penting lagi, siapa yg dianggap punya kapasitas dalam "coordination effort"
42
5. Mekanisme apa yang menjamin setiap stakeholder bisa berpartisipasi dengan nyata dan adanya equal decision making power. Untuk diperlukan banyak pendapat tentang tentang bentuk keanggotaan
-- --
Ringkas Tentang….
K
omunitas Rimbawan Interaktif Mailing list (milis) rimbawan interaktif (R-I) adalah media komunikasi untuk mendiskusikan berbagai permasalahan tentang hutan dan kehutanan di Indonesia. Anggota milis ini adalah berbagai individu atau organisasi yang datang dari berbagai latar belakang pendidikan dan pekerjaan. Milis ini dibentuk tanggal 30 Oktober 2000. Bertujuan untuk memberikan masukan, mendorong perubahan dari dalam dan luar terhadap institusi kehutanan, dan menyumbangkan berbagai macam pemikiran dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Diharapkan pemikiran-pemikiran yang muncul dalam milis ini bisa bermanfaat sebagai salah satu referensi, baik bagi pemerintah, ornop maupun individu-indvidu yang masih mempunyai komitmen untuk menyelamatkan sisa hutan Indonesia.
L
Saat ini anggota yang terdaftar dalam daftar anggota berjumlah sekitar 357, sedangkan beberapa yang pasif sekitar 250 an. Total jumlah anggota sekitar 600 an. Sampai saat ini sudah terkumpul 9500 an kumpulan diskusi dengan berbagai macam topik. Selain mendiskusikan lewat internet, beberapa kali diadakan temu darat/diskusi yang sudah dilakukan 4 x temu darat.
embaga Ekolabel Indonesia (LEI)
Sejak dirintis pada tahun 1993, Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) telah mengukuhkan perannya yang penting dalam dunia sertifikasi hutan di Indonesia. Waktu itu LEI adalah sebagai Kelompok Kerja yang bergerak di sertifikasi hutan. Pada Februari 1998 LEI resmi menjadi Yayasan Lembaga Ekolabel Indonesia. Visi Menjadi organisasi yang memperjuangkan terselenggaranya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan melalui sistem sertifikasi dan ekolabel yang kredibel Misi
43
1. Mengembangkan sistem sertifikasi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan. 2. Mengembangkan sistem akreditasi yang mengawasi terselenggaranya sistem sertifikasi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang kredibel. 3. Mengembangkan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan sistem sertifikasi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. 4. Memastikan pelaksanaan sistem sertifikasi ekolabel. 5. Mendorong terciptanya kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
44