alam kantongnya. Sebelum Lo In bertindak, tangannya yang kanan dimasukkan pula ke dalam sakunya dari mana ia keluarkan dua botol yang berisi pil dan puder. Tangannya diangkat tinggi-tinggi, matanya memandang tajam pada dua botol itu. Tiba-tiba ia berteriak kegirangan, "Hidup, hidup. Dia masih hidup. Ha ha ha !" Tampak si bocah berjingkrakan seperti orang gila. Apakah Lo In sudah hilang ingatannya ? Apa ia sudah jadi gila mendadak ? Kalau tidak, kenapa ia berjingkrakan sekonyongkonyong ? Tidak, Lo In tidak gila. Saking girangnya, setelah ia berpikir bahwa Liok Sinshe akan ketolongan dengan dua rupa obat ditangannya tadi, maka ia jadi berjingkrak-jingkrak. Maklumlah anak masih kecil yang kegirangannya meluap-luap. Di lain saat, kelihatan ia sudah berlari-larian menuju ke tepi jurang. Tapi di tengah jalan tiba-tiba ia rem larinya, lalu putar tubuh dan balik kembali. Benar-benar lucu kelakuannya si bocah Lo In. Apa maunya Lo In balik lagi ? Oh, kiranya ia balik ke rumahnya mengambil pedangnya Liok Sinshe yang disimpan rapi di balik pintu. Itu adalah satu pedang pendek, hanya kira-kira dua kaki panjangnya ketika Lo In hunus dari sarungnya. Pedang itu tidak mengkilap sinarnya, seperti kebanyakan pedang-pedang dari jago-jago Sungai Telaga (kang-ouw), hanya kebiru-biruan kalau terkena sinar matahari. Bentuknya tidak menarik, hingga pantas sekali kalau ia menjadi penghuni dalam sarung yang sudah kumel. Entah sudah berapa puluh tahun pedang itu dipakai oleh Liok Sinshe dalam hidupnya malang melintang dalam dunia Sungai Telaga. Siong Leng Tojin dan kawan-kawannya ketika melewatkan sang malam dalam rumah itu dengan pintu terpentang. Coba kalau ketika itu, pintu itu ditutup. Pasti senjata tajam Liok Sinshe akan dibeslag, meskipun bentuknya jelek, demikian pandangan Lo In si bocah. "Kenapa Liok Sinshe pakai pedang beginian ?" tanya Lo In pada dirinya sendiri, seraya membulak balik memeriksa. Ia baru pertama kali melihat senjatanya Liok Sinshe, selama ia ikuti penolongnya itu. Yang menarik hatinya si bocah adalah bobotnya pedang itu enteng sekali, maka ia memasuki pula ke dalam sarungnya, ia gantung di pinggangnya lalu jalan mundar mandir dengan sikap perwira. Sok aksi anak itu, tapi lucu laga lagunya dasar anak-anak. Sayang Liok Sinshe tidak ada. Coba ada, tentu akan terpingkal-pingkal melihat Lo In dalam gayanya sendiri menjual aksi. Lo In dilain saat sudah berada diluar rumah, dengan di pinggangnya menyandang pedang. Bocah itu dalam usia meningkat dua belas tahun, tubuhnya kurus dan lebih tinggi dari anak-anak biasa dalam usia pantarannya. Maka, kelihatan pantas sekali pedang warisan Liok Sinshe itu tergantung di pinggangnya yang ceking. Ia berdiri sejenak di depan rumah. Matanya memandang ke sekitarnya, kemudian gerakin kakinya melangkah. Ternyata kali ini ia bukannya lari ke tepi jurang, hanya ia lari menghampiri batu besar yang semalam ia pakai sembunyikan diri. Di depan batu mana kira-kira satu tindak jauhnya, ia hunus pedangnya lalu jongkok untuk menggali tanah. Sebentar lagi, ditangannya sudah terpegang satu kotak persegi empat dari ukuran empat cun dan tinggi dua cun. Setelah dipandang, ia mau masukkan barang itu ke dalam sakunya tapi berbarang pada saat itu ia kaget dan lompat mundur mendengar suara orang ketawa di balik batu.
"Hi hi hi ! Anak kecil, serahkan barang itu pada nenekmu." demikian Lo In dengar orang berkata, segera berkelebat tubuh dari balik batu, siapa ternyata ada si nenek jelek Kim Popo. Lo In kenali si nenek yang mengaku membokong Liok Sinshe. Amarahnya timbul seketika. "Nenek jahat, kau mau apa ?" tegurnya kasar. "Begini caranya kau sambut nenekmu ?" kata Kim Popo seraya tertawa haha-hihi. "Mana aku ada punya nenek jahat sepertimu." ejek Lo In. "Jangan banyak cakap, bocah ! Lekas serahkan barang ditanganmu !" teriak si nenek. Kelihatannya marah bila dikatakan nenek jahat. "Kau mau ini ?" Lo In tanya sambil angkat kotak tadi ditangannya. "Mari kasih aku." Kim Popo sambil sodorkan tangannya untuk menjambret. Lo In tarik pulang tangannya. "Hmm ! Nenek jahat, tidak semudah itu !" katanya. Kim Popo rada-rada heran melihat jambretannya gagal. Sebab menurut pendapatnya, ia sudah bergerak cepat. Tapi si bocah kelihatan lebih cepat pula menarik tangannya. Ia penasaran. Ia lompat menubruk untuk merampas barang ditangannya Lo In, tapi untuk kedua kalinya ia dibuat gregetan karena Lo In sudah dapat berkelit dengan manis dari terkaman. "Bocah ini licin seperti si tabib busuk. Aku tidak boleh sungkan-sungkan lagi !" dmeikian pikirnya Kim Popo dalam hati. Segera ia gunakan tipu Ki ong pek touw atau elang lapar menyambar kelinci, dua tangannya yang berkuku runcing menyambar berbareng mencengkeram dada Lo In. Satu jurus yang agak ganas untuk digunakan terhadap anak kecil. Namun si nenek tidak memikir ke situ, ia hanya ingin menyingkat waktu, barang yang diingini itu lekas pindah dalam tangannya. Lo In tahu bahayanya serangan itu, tapi ia tidak takut. Pikirnya denagn ia majukan dua tangan menangkis, keras lawan keras, rasanya serangan si nenek dapat dipatahkan. Tapi Lo In lupa memperhitungkan bahwa tenaga dalamnya kalah jauh di banding dengan si nenek. Maka tidak heran ia segera rasakan kelalaiannya, ketika tangannya bentrok dengan tangan si nenek, ia rasakan dadanya tergentar dan tubuhnya terlempar jumpalitan sampai sepuluh tindak. Cepat Lo In bangun tapi dadanya dirasakan masih sesak. Si nenek, sementara itu sudah lompat maju, berdiri di depannya. "Bocah bau, kau rasakan nenekmu punya lihai,ya ?" katanya dengan suara menjengeki. Lo In tidak berani menjawab sebab ia tengah coba memeras tenaga dalamnya untuk mendorong pergi rasa sesak dalam dadanya. Begitu ia rasakan enak dadanya, tiba-tiba ia rasakan tangannya dicekal orang. "Keluarkan hayo keluarkan barang itu !" perintah Kim Popo. Tangannya si nenek yang mencekal tangannya dirasakan Lo In seperti sepitan besi. Lo In mengawasi Kim Popo dengan sorot mata benci. Melihat anak kecil itu membandel, Kim Popo tidak sabaran. "Kau masih belum mau keluarkan ?" katanya. Tangannya dipakai memencet lebih keras hingga butiran-butiran keringat pada merembes keluar dari lubang-lubang tubuhnya Lo In, saking ia menahan sakit. Bandel dan keras kepala anak itu. Ia lebih suka menahan rasa sakit dari pada menangis keluarkan air mata. Matanya
menyala seperti berapi, tapi meluanpnya napsu membunuh ini hanya sejenak sebab segera tampak ia kalem lagi. Pelanpelan ia merogoh sakunya dan dikeluarkan kotak yang barusan ia gali. "Nenek jahat, tuh kau boleh gegares !" kata Lo In kasar sambil melemparkan kotak yang dipegangnya. Kim Popo lepaskan cekalannya lalu memungut barang yang ia impi-impikan itu ialah buku mungil 'Tiam-hiat Pit-koat' di dalam kotak itu. "Hehe, akhirnya kau menyerah juga bocah !" kata si nenek sambil coba buka kotak tadi tapi susah terbuka seperti ada kuncinya. "Hahaha !" kedengaran Lo In tertawa tiba-tiba. "Kau ketawai apa ? Lekas serahkan anak kuncinya !" bentak si nenek. "Hahaha !" kembali Lo In tertawa. Kim Popo naik pitam. "Binatang cilik, kau main gila........!" bentaknya. "Kau kira hanya kita berdua disini ?" potong Lo In, air mukanya bersenyum. Kim Popo sudah siap menyerang Lo In tapi hatinya gentar mendengar kata-katanya si bocah, memotong bicaranya. "Memangnya ada siapa lagi ?" ia menanya. "Masih ada yang belum mati dibokong olehmu. Hahaha, si nenek jahat kena perangkap." Lo In tertawa terbahak-bahak hingga menimbulkan rasa takut si nenek meningkat. Pikirnya, apa benar Liok Sinshe tidak mati ? Celaka ia kalau benar-benar mereka menggunakan perangkap. Liok Sinshe sudah pasti tak dapat mengampuni perbuatannya yang telengas membokong orang. Melihat Kim Popo seperti yang ketakutan, menengok sana sini sambil memegangi kotak lebih erat, seolah-olah yang takut dirampas orang. Lo In berkata pula, "Nenek jahat. Kau masih tunggu apa lagi. Tidak mau lepaskan kotak ditanganmu itu ?" "Kau mau mempermainkan aku ? Kau membokong orang. Apa Liok Sinshe tidak akan menagih ?" sahut Lo In dan ia tekankan suaranya menjadi keras diwaktu menyebut 'Liok Sinshe'. Justru tekanan suara 'Liok Sinshe' itu yang membikin semangatnya Kim Popo hampir terbang seketika. Maka lantas saja ia geraki kakinya melompat kabur. Sebelum jauh, Lo In yang jail sudah ambil batu kecil dan disentilkannya, jitu mengenakan sasaran diarah atas sedikit dari kibulnya hingga dirasakan sangat sakit. Dan ini dianggap Kim Popo ada Liok Sinshe yang melakukannya hingga ia lari lebih kencang lagi. Lo In tertawa geli menyaksikan Kim Popo lari terbirit-birit ketakutan. Sebenarnya tidak ada Liok Sinshe. Si nenek hanya takut bayangannya sendiri saja lari ketakutan. Tadi, ketika dipencet tangannya oleh Kim Popo, Lo In menyala matanya seperti yang mengeluarkan apai, napsu dari pembunuhan. Tapi hanya sejenak ia sudah jadi sabar lagi. Itulah ia ingat akan pesan Liok Sinshe yang berkata kepadanya, "Anak In, jika kau menghadapi sesuatu yang genting, harus berlaku tenang. Sebab ketenangan yang menimbulkan jalan pemecahan !" Kata-kata Liok Sinshe ini yang mengiang ditelinganya waktu itu hingga dari meluap amarahnya ia menjadi kalem dengan tiba-tiba. Dan kemudian timbul dalam otaknya yang cerdik suatu pikiran yang baik untuk menggertak si nenek lari tunggang langgang dengan cuma menyebut namanya Liok Sinshe. Kejadian itu ialah begitu mudah si nenek kena digertak, sungguh diluar dugaan Lo In. Sebab ia tidak tahu memang si
nenek jeri betul-betul pada Liok Sinshe sebagai akibat kesudahannya pertempuran pada lima tahun berselang dimana Kim Popo dipecundangi dengan sangat mudahnya ketika si nenek hendak merampas buku rahasia ilmu menotok jalan darah 'Tiam-hiat Pit-koat' dari tangannya si kakek she Kong. Lo In kemudian menghampiri pedangnya yang menggeletak ditanah lalu memungutnya, disorong lagi di pinggangnya yang ceking. Kali ini ia tidak balik ke rumahnya hanya memutar tubuh lari ke jurusan tepi jurang. Ia berlari-larian di tepi jurang yang curam itu sampai kemudian ia berhenti disuatu tempat yang ada bekas-bekas seperti disitulah Liok Sinshe sudah tergelincir masuk ke dalam jurang. Ia melongok ke bawah. Benar-benar jurang sangat curam. Entah berapa dalamnya dan didasarnya yang merupakan lembah, apa tidak ada banyak binatang buasnya. Tapi Lo In adalah lanak yang besar nyalinya. Ia tidak takut. Ia lebih perhatikan keselamatan Liok Sinshe dari pada bahaya yang bisa mengancam pada dirinya sendiri. Dengan berani Lo In merosot turun sambil memegangi pada akar-akar rotan yang tumbuh merembet di sana sini. Pelanpelan ia terus turun ke bawah. Dengan kepandaian entengi tubuh ajarannya Liok Sinshe, ia lompat sana sini dan akhirnya sampai juga ia pada tujuannya, di dasarnya jurang. Ia celigukan ke sekitarnya. Ia dapatkan banyak pepohonan yang rindang. Mendengak ke atas, tampak tebing jurang ada sangat curam. "Bagaimana aku bisa naik ke atas nanti ?" tanyanya pada diri sendiri, melihat tepi jurang ada demikian tinggi kelihatan dari sebelah bawah. Tapi Lo In tidak mau ambil pusing hal kembali naik keatas. Yang penting ia harus mencari Liok Sinshe. Tapi dimana ia harus mencarinya ? Lekas ia gerakin kakinya, mulai mencari Liok Sinshe, orang yang sangat cintai. Pikirnya, bagaimana pun ia harus ketemukan tubuhnya Liok Sinshe, baik dalam keadaan selamat maupun sudah mati. Kita balik sebentar, melihat Kim Popo yang lari tunggang langgang ketakutan. Setelah lari jauh, ia berhenti di bawah sebuah pohon besar yang rindang daunnya, dimana ia meneduh dengan adem, menyingkir dari terik panasnya matahari yang waktu itu tengah mencorong menerangi jagat. Ia taruh tongkatnya yang berat disampingnya. Lewat sesaat ia duduk, lantas tangan kirinya merogoh kantongnya. Dikeluarkan kotak yang ia rampas dari tangan Lo In. Mukanya berseri-seri, rupanya ia sangat puas dengan pekerjaannya yang berhasil. Entah terbuat dari apa, kotak itu kelihatannya sangat kuat tapi bobotnya enteng sekali. Ia periksa dengan seksama, karena kotak itu tak dapat dibuka, ia lantas dapatkan ada sebuah lubang kecil. Pikirnya, disinilah ada lubang kuncinya. Harus ia dapatkan anak kuncinya. Kalau tidak, cara bagaimana ia bisa membukanya. Di samping kegirangan, ia mendongkol dan penasaran. Ia coba membukanya dengan paksa tapi bagaimana juga kotak tak dapat dibuka. "Sialan !" ia mengeluh. "Dengan begini aku mesti kerja lagi untuk dapatkan anak kuncinya." ia meneruskan kata-katanya sambil membanting kotak itu sekerasnya. Justru dibanting, kotak itu menjadi terbuka sendirinya. Dari dalam lompat keluar sebuah buku yang bentuknya mungil. Matanya Kim Popo terbelalak saking heran. Ia tertegun
sejenak. Karena ini, ia terlambat mengambil buku yang diimpi-impikan sebab lain tangan sudah mencomotnya lebih dahulu. Itulah tangan orang yang lompat dari atas pohon, dengan sebat sekali sudah dahului Kim Popo mencomot buku mungil yang mencelat keluar dari kotaknya. Kim Popo tercengang oleh karenanya. Kapan ia mengawasi orang di depannya, kiranya ia ada satu thauto (pendeta yang piara rambut panjang) bermuka bengis. Dua anting-anting besar yang menghias di telinganya berkerincingan kalau ia geleng-geleng kepalanya, ramai kedengarannya. Si nenek menjadi sangat gusar. "Binatang, kau berani rampas barangku ?" ia membentak sambil lompat menubruk si thauto untuk merampas pulang buku yang dicomot si thauto tadi. Tapi tubrukannyaKim Popo kecele sebab dengan elakan badannya sedikit saja, Kim Popo telah menubruk angin. Gesit sekali caranya si thauto bergerak. Tentu saja Kim Popo yang adatnya angin-anginan, marahnya menjadi-jadi. "Binatang, kembalikan barangku ! Kalau tidak, hmm !" bentak Kim Popo, hatinya penasaran barusan tubrukannya gagal. "Kau ingin dapat pulang barangmu, harus tanya dulu orangku." sahut si thauto. Kim Popo kertak gigi, meskipun giginya sudah sisa tidak seberapa lagi. "Mana dia orangmu ?" bentaknya sengit. "Ini dianya..... ha ha !" sahut si thauto seraya unjuk dua kepalannya yang besar, mirip buah kelapa kata bohongnya. "Bagus !" kata Kim Popo mendelu, dadanya dirasakan hampir meledak. "Siapa bilang jelek ?" menggoda si thauto. Rupanya orang jenaka juga. Habis sabarnya Kim Popo, matanya mendelik hingga romannya tambah jelek. "Binatang, lihat seranganku !" serunya, sambil menerjang dengan tipu pukulan 'Hui heng tong lay' -- 'Angin taufan menghembus dari Timur', kepalan tangan kanannya mengarah dada disusul dengan tangan kirinya menyamber orang punya iga kanan. Cepat serangan saling susul ini datangnya tapi si thauto tidak gugup. Tangannya yang besar dibuka untuk menangkap kepalang lawan, sedang iga kanannya yang diarah dibiarkan saja menjadi sasaran totokan jarinya Kim Popo. "Aiyoo !" teriak si nenek tiba-tiba sambil lompat mundur. Si thauto tidak balas menyerang, hanya berdiri sambil terbahak-bahak ketawa mengawasi Kim Popo yang teraduhaduh seraya tangan kanannya memegangi dua jari tangan kirinya yang barusan dipakai menotok. Dengan tipu pukulan 'Angin taufan menghembus dari Timur', Kim Popo ingin sekali gebrak saja menjatuhkan si thauto yang kurang ajar. Ketika kepalannya hendak disambut dengan tangan si thauto yang besar, ia melihat bahaya, maka ia cepat tarik pulang. Tapi tangan kirinya ia teruskan nyelonong ke iga musuh. Pikirnya, si thauto tidak membuat penjagaan pada bagian ini, sudah pasti totokannya akan berhasil membikin lawannya terkulai rubuh. Tapi kesudahannya ada lain, si nenek telah menelan pil pahit. Dua jarinya yang dipakai menotok iga musuh dirasakan seperti menotok tiang besi, sakitnya bukan main sampai menyusup di ulu hati.
Melihat serangannya gagal, maka cepat ia lompat mundur sambil berteriak "Aiyoo !", saking tak tahan menahan sakitnya. Tapi Kim Popo, dasar si nenek bandel. Kalau hanya begitu saja ia sudah mesti jadi pecundang, maka sebentar lagi setelah ia memeras tenaga dalamnya buat usir rasa sakit tadi, segera ia kembali lakukan penyerangan. "Hahaha, nenek jelek !" goda si thauto. "Masih berani melawan ?" "Kiramu mukamu bagus ?" sahutnya menjerit saking mendongkol. Kata-katanya Kim Popo disusul dengan serangan gesit. Ia keluarkan ilmu entengi tubuhnya untuk melayani si thauto yang bertubuh tinggi besar. Pikirnya, si thauto rupanya ada punya ilmu 'tiang-pou-san' (ilmu kebal). Tubuhnya keras laksana besi, maka ia harus mencari kelemahannya yaitu dibagian matanya. Demikian, setelah bertempur sepuluh jurus, Kim Popo gunakan kepalannya yang kiri pura-pura menjotos ke arah perut, sedang sasarannya yang sebenarnya adalah sepasang matanya lawan. dua jari tangan kanannya, telunjuk dan tengah dengan sebat meluncur akan mengorek sepasang biji mata si thauto. Serangannya ini yang dinamai 'Lo wan tou ko' atau 'Lutung tua mencuri buah'. Cepat sih memang cepat gerakannya Kim Popo, cuma sayang, kembali ia dapat kerugian. Kepalan kirinya yang purapura menjotos kena ditangkap tangan si thauto, sedang dua jari tangan kanannya belum sampai pada sasarannya, ia rasakan tenaga dorongan yang keras pada kepalannya yang kena dipegang lawan. Tenaga dorongan itu benar-benar hebat sampai ia perpelanting dan jungkir balik ke belakang. Di lain saat, ketika ia sudah dapat tancap pula kakinya ditanah, ia rasakan sekujur tubuhnya gemetaran dan dadanya sesak. Untung lwekangnya cukup tinggi hingga tidak sampai mendapat luka di dalam. Meskipun demikian, nyalinya ciut seketika. Untuk melawan lagi si thauto jagoan itu, pikirnya tidak mungkin. Maka setelah ia rasakan badannya kembali normal, ia lantas saja putar tubuhnya dan lari. Persis seperti tempo hari ia tunggang langgang dipecundangi Liok Sinshe. "Haha, nenek jelek, kau mau lari !" Kim Popo dengar suaranya si thauto. Berbareng dengan ditutup kata-katanya, tampak si thauto geleng-geleng kepalanya. Sepasang antingnya segera melesat berbareng menyusul Kim Popo. Si nenek hanya berkaok satu kali lantas kelihatan tubuhnya terkulai dan mendeprok di tanah. Seluruh tubuhnya dirasakan lemas. Kiranya, sepasang anting-anting dikedua telinganya itu adalah senjata rahasianya si thauto. Sungguh lihai senjata rahasia itu. Cuma dengan geleng-geleng saja, sepasang anting-anting itu meleset laksana kilat hingga membuat Kim Popo semaput jatuh di tanah. Tidak mudah menggunakan senjata rahasia yang aneh itu kalau lwekang pemiliknya tidak tinggi. Sebab barang itu baru dapat melesat dari kuping di dorong oleh tenaga dalam yang istimewa. Si thauto tertawa gelak-gelak melihat si nenek sudah tidak berdaya. Ketika matanya melirik ke tanah, ia melihat kotak tempat buku menarik perhatiannya. Maka ia lantas pungut dan diperiksa. Kemudian rogoh sakunya, keluarkan itu buku mungil, dipaskan dalam kotak. Tiba-tiba kotak itu menutup seketika hingga si thauto kaget bukan main. Entah bagaimana rupanya ada alat
rahasianya yang ketekan. Maka kotak itu otomatis menutup buku yang ditaruh di dalamnya. Si thauto dari kaget menjadi ketawa girang melihat kemujijatan kotak dapat menutup sendiri. Maka ia lalu masukan kotak itu ke dalam sakunya. Pikirnya, pada suatu kesempatan ia akan membukannya nanti. Setelah mana ia menghampiri Kim Popo, memungut sepasang anting-antingnya yang jatuh tidak jauh dari si nenek dan dipakainya kembali. Thauto itu bengis romannya, menakuti tapi orangnya benarbenar jenaka. "Nenek bagus, bagaimana sekarang ?" ia menanya dengan senyum dikulum. Ia godai Kim Popo tidak lagi ia menyebut 'nenek jelek' tapi diganti jadi 'nenek bagus'. Enak kedengarannya tapi tidak enak berkumandang ditelinganya si nenek. Anggapnya ia telah disindir, maka matanya jadi mendelik. "Sudah aku berlaku murah barusan, tidak mengambil jiwamu, apa kau masih kurang terima ?" berkata si thauto. "Hmm ! Murah hati !" menggerutu Kim Popo. "Memang," berkata lagi si thauto. "Kalau aku berlaku kejam, barusan anting-antingku mengarah pada jalan darah kematian di bebokongmu. Apa ini aku sudah tidak berlaku murah ?" "Hmm !" mendengus si nenek. "AKu Kim Popo tidak rela dijatuhkan oleh lawan dengan jalan membokong." "Habis kau mau apa ? tanya si thauto, geli hatinya nampak orang kepala batu. "Kalau kau berani, merdekakan aku sekarang !" sahutnya ketus. "Jadi ? Kau mau bertempur lagi ?" tanya lagi si thauto. "Tidak ! Saat ini aku terima kalah. Tapi lihat, tiga tahun lagi akan kucari kau untuk menetapkan siapa unggul !" sahut Kim Popo tengik laganya. Si thauto tertawa terbahak-bahak lalu tanpa menghiraukan Kim Popo yang masih duduk mendeprok, ia tinggal pergi. "Binatang, kau mau siksa aku dengan cara begini !" teriak Kim Popo, matanya terbelalak keheranan melihat dengan begitu saja meninggalkan dirinya. "Lagi dua jam totokan pada jalan darahmu akan hilang sendirinya. Kau nenek bandel, mesti dihukum dijemur dipanasnya matahari dua jam. Hahaha !" demikian terdengar kata-kata si thauto, meskipun sudah jalan jauh kedengarannya tegas sekali kuping Kim Popo hingga ia jadi terkejut. Pikirnya, thauto itu hebat sekali tenaga dalamnya sampai bisa mengirim suara dari jauh. Terpaksa Kim Popo, si bandel, mesti menanti dua jam dibawah panasnya matahari untuk mendapat kebebasannya..... Kita kembali kepada Lo In yang tengah mencari Liok Sinshe di lembah dari jurang Tong-hong-gay. Dengan hati-hati ia mencari dipinggir-pinggiran lalu pelanpelan sedikit ke tengah, tapi belum juga ia dapatkan tandatanda yang mengunjuk dimana adanya Liok Sinshe. Kadangkadang ia mendongak ke atas mengawasi diantara tebingtebing dengan pengharapan matanya akan bentrok dengan gerakan sesuatu disana. Tapi sia-sia saja pengharapannya, malah cuaca pelan-pelan tanpa disadari sudah mulai gelap. Bermula Lo In kebingungan, bagaimana ia dapat naik pula ke atas, sedang hari sudah berubah menjadi malam ? Tapi belakangan hatinya menjadi senang. Lo In tidak memikirkan untuk kembali ke rumahnya lagi. Yang penting, ia harus cari terus Liok Sinshe sampai dapat
diketemukan. Untuk mengisi perutnya yang lapar, Lo In sudah banyak petik buah-buahan dimasukkan dalam perutnya. Ia rasakan lebih segar dan nyaman perutnya diisi buah-buahan dari pada diisi kue atau nasi. Untuk menghindarkan gangguan dari binatang buas maka malam itu Lo In tidur diatasnya sebuah pohon yang banyak cabang dahannya. Di atas dahan yang merupakan pembaringan baru, mana Lo In dapat cepat-cepat pulas. Pikirannya melayang-layang, mengingat-ingat tempat-tempat yang dijelajahinya dalam menemui Liok Sinshe, ia harus mencari suatu tempat yagn aman. Dimana ia bisa bersemedhi setiap malam untuk meyakinkan tenaga dalamnya. Sebagai satu anak yagn bernyali besar Lo In merasa penasaran Kim Popo yang sudah memencet tangannya sampai ia mengeluarkan keringat dingin. (Bersambung) Jilid 02 Pikirnya, nanti suatu waktu kalau lwekangnya sudah mahir ia akan cari si nenek buat diajak berkelahi lagi. Sebenarnya Lo In belum tentu kalah kalau ia layani si nenek dengan kegesitanya, jangan mengadu tenaga. Yang membuat ia pecundang adalah karena ia coba-coba adu tenaga dengan Kim Popo, yang sudah tentu bukan tandingannya. Dalam keadaan tiduran, kupingnya tiba-tiba mendengar suara gedebukan, datangnya dari sebelah selatan. Suara apa itu ? Ia pasang telinganya lagi, saban kira 1-2 menit ia degnar suara gedebukan itu. Di dorong oleh perasaan ingin tahu, ia turun dari atas pohon. Pelan-pelan ia hampiri tempat dimana ada suara gedebukan tadi. Setelah jalan beberapa lama, suara gedebukan itu makin nyata. Rupanya jaraknya sudah tidak jauh lagi. Maka Lo In rada cepatin jalannya. Segera dari kejauhan ia nampak seperti ada dua sinar menyorot ke arahnya. "Apa itu ?" tanyanya pada diri sendiri. Ia menduga akan binatang macan. Sebab menurut Liok Sinshe, matanya macan suka mencorong kalau diwaktu malam. Hati Lo In tabah, nyalinya besar, ia tidak takut. Ia menghampiri lebih dekat. Kiranya itu bukannya macan hanya seekor burung yang luar biasa besarnya, tengah kebut-kebutkan sayapnya ke tanah. Suaran gedebukan itu tiada lain dari pada sayapnya si burung tadi yang dihantamkan ke tanah. Lo In terus mengintip, ingin tahu apa maunya si burung yang besar luar biasa itu mengebut-ngebutkan sayapnya ke tanah. Ia ingat, kalau ia sedang main di tepi jurang sering melihat ada burung yang luar biasa besarnya melayang-layang diatas lembah. "Apakah bukan dianya ini ? " tanya Lo In pada dirinya sendiri. Menurut katanya Liok Sinshe, burung sebesar itu adalah burung rajawali yang biasa jinak dimiliki orang pandai yang menyepi tinggalnya di pegunungan. Malah Liok Sinshe namakan burung itu 'Kim-tiauw' atau 'Rajawali Emas' karena patuk dan kedua kakinya kekuning-kuningan seperti emas yang Liok Sinshe dapat lihat sendiri dari dekat pada suatu hari ia sedang mencari daun obat-obatan di lembah itu. Apa dia itu benar Kim-tiauw. Ingin Lo In menyaksikan dari dekat, tapi tak dapat ia lakukan itu. Sayapnya yang memukulmukul tanah bukan saja menerbitkan suara gedebukan tapi juga menerbitkan angin keras menderu. Kalau Lo In berani datang dekat, sekali dikibas sama sayapnya, pasti tubuhnya akan melayang entah berapa jauhnya.
Setelah memperhatikan agak lama, Lo In berpendapat si rajawali hanya mengibaskan sayapnya yang kanan saja, sedang yang kiri diam saja. Ia seperti mau terbang tapi tak bisa kalau cuma satu sayap. Pikir Lo In tentu rajawali ini mendapat luka parah pada sayap kirinya. Hatinya merasa kasihan, ingin ia periksa lukanya. Tapi bagaimana mendekatinya ? Otaknya lantas bekerja mencari akal. Matanya memandang ke sekitarnya tapi agaknya ia cemas tidak melihat jalan untuk pemecahan. Sebenrar lagi, setelah ia tundukkan kepala ia menengadah melihat keadaan diatasnya si rajawali. Tiba-tiba mulutnya bersenyum, rupanya ia sudah dapat akal untuk mendekati si rajawali yang dalam kesukaran. Bagaimana ? Dengan gunakan gerakan ilmu entengi tubuh 'Burung walet tembusi mega', ia enjot tubuhnya mencelat dan di lain detik sudah tampak ia berloncatan dari satu dahan ke lain dahan pohon. Dalam tempo pendek saja, ia sudah berada di atas pohon yang dekat sekali pada si burung rajawali. Si burung rajawali sama sekali engan kalau ada orang yang datang dekatinya. Ia masih sibuk gedebukan dengan sayapnya yang kanan. Lo In menunggu sampai sayap itu berhenti dikebaskan, pada saat mana enteng sekali tubuhnya melayang dan mencolok di punggungnya si rajawali yang ketika sadar ada orang menyerang, ia sudah tidak berdaya karena jalan darah di bagian sayap dan lehernya sudah kena ditotok oleh si bocah yang besar nyalinya. Ketika itu sayapnya yang kanan berhenti mengebas-ngebas sedang lehernya sudah menjadi kaku, tak dapat digeraki hingga ia tak dapat mematuk lawan yang berada di atas pungggungnya. Hanya sinar matanya saja mencorong seperti yang sedang gusar sekali. Meskipun mendapat kesukaran karena beratnya sayap si rajawali, juga dibawah sayapnya terdapat lukanya yang berat, Lo In dengan gembira sudah dapat mengobati lukanya itu memakai obatnya Liok Sinshe yang amat mustajab. Selain obat bubuk ditabur di tempat luka, juga Lo In paksa si rajawali menelan pilnya, setelah berkutatan lama ia membuka patuknya. "Tiauw-heng" kata si bocah pada si rajawali. "Aku ini temanmu, jangan takut. Maaf, kalau aku sudah berbuat sedikit kasar menolong kamu !" Gerak gerik Lo In lucu. Ia memanggil 'Tiauw-heng' atau 'Kanda rajawali' kepada si burung garuda yang tinggal membisu saja. Kuatir totokannya kurang kuat hingga si rajawali dapat geraki pula sayapnya, yang menyebabkan lukanya tidak bisa rapat, maka Lo In memberikan pula beberapa totokan sehingga betul-betul tenaganya si burung garuda menjadi lumpuh. Lukanya si rajawali ternyata kena panah beracun. Untung tenaganya si burung garuda sangat kuat hingga menjalarnya racun berjalan dengan perlahan dan keburu mendapat obatnya Liok Sinshe yang mustajab. Kalau saja sampai menanti besoknya lagi, terang jiwanya si rajawali tak akan ketolongan. Entah siapa yang begitu kejam melepaskan panah beracunnya. Lo In malam itu tidak jadi nginap di atas pohon yang banyak dahannya, yang ia tinggalkan. Sebaliknya ia tidur diatas pohon, tidak jauh dari mendekamnya si rajawali. Diam-diam ia siap sedia menghadapi kemungkinan datangnya orang jahat yang hendak mencelakakan si rajawali. Tapi syukur sampai hari sudah terang tanah, tidak ada
kejadian apa-apa. Lo In merosot turun dari atas pohon. Ia lihat si rajawali tengah memejamkan matanya. Rupanya ia juga bisa tidur karena tidak merasakan sakit lagi pada sayapnya yang kiri. Matanya dibuka ketika ia mendengar Lo In berkata, "Tiauw-heng, kau diam-diam saja mengaso. Tunggu aku akan mencari makanan untuk kau makan." Ia berkata sambil anggukan kepalanya seperti yang memberi hormat kepada saudara yang tuaan. Ah, benar-benar lucu kelakuannya Lo In. Kemudian ia putar tubuh dan meninggalkan tempat itu. Berkat kepandaiannya menyentil dengan batu kecil, maka dalam tempo pendek saja Lo In sudah dapat menyentil jatuh tiga ekor ayam hutan. Ketiga ekor ayam itu hendak ia bawa ke tempatnya. Pikirnya, Tiauw-heng tentu gembul makannya, tidak cukup kalau hanya 2-3 ekor ayam saja. Maka ia lalu mencari pula ayam di lain tempat dan segera ia sudah dapatkan lagi. Empat dari lima ekor ayam itu, Lo In taruh di depannya si rajawali, sedang yang seekor ia potong dan bersihkan dalam selokan jernih, karena air gunung mengalir disitu. Kemudian ia nyalakan api dan memanggang hasil buruannya. Sambil panggang ayam, matanya Lo In memandang pada si rajawali yang tinggal melotot saja mengawasi empat ekor ayam yang ada di depannya. Ia tak dapat kerjakan patuknya untuk menerkam hidangan didepannya itu sebab lehernya masih belum bisa digeraki karena pengaruh totokan Lo In. "Tiauw-heng." kata Lo In seraya bersenyum. "Kau tunggu sebentar. Kita nanti makan sama-sama. Bukankah itu ada lebih menyenangkan sebagai tanda terjalinnya persahabatan diantara kita ?" Si rajawali yang diajak bicara hanya matanya saja yang melotot sebagai jawaban, tapi kali ini sinarnya tidak bermusuhan. Setelah beres memanggang ayamnya, Lo In mendekati si rajawali. "Tiauw-heng, kau jangan marah. Lantaran aku ingin menolong jiwamu maka terpaksa dalam dua tiga hari ini aku bikin kau tidak berdaya. Kau sabarlah !" berkata Lo In sambil kemudian dengan sebat ia menotok bebas lehernya si rajawali berbareng ia lompat mundur takut dipatuk. Rupanya burung itu memahami akan kebaikan hatinya si anak kecil sebab ia tidak perhatikan Lo In lompat tapi terus saja ia gasak empat ekor burung itu satu persatu hingga dalam sekejapan saja telah hilang lenyap dalam perutnya. Lo In tertawa ngakak melihat kecepatan si rajawali memindahkan empat ekor ayam ke dalam perutnya. Hari itu usaha Lo In tidak memberikan hasil dalam mencari Liok Sinshe. Pada hari ketiga, ia datang dengan roman lesu mendekati si rajawali yang sekarang menjadi jinak. Barani ia memeluk lehernya dan menciumi patuknya yang indah seperti emas. "Tiauw-heng, aku mencari Liok Sinshe." ia kata pada si rajawali. "Apa kau lihat dia ada dimana ?" Seperti yang mengerti akan kata-kata manusia, burung itu geleng kepalanya. Lo In makin sayang pada burung itu yang rupanya mengerti akan omongan orang. Setelah menggelendoti tubuhnya burung yang seperti raksasa itu, Lo In ingat akan kewajibannya untuk memeriksa lukanya. "Tiauw-heng, mari aku periksa lukamu." ia berkata seraya
dengan sebatnya ia menyingkap sayap burung itu, dibawah mana ada terdapat lukanya yang parah. Lo In kerutkan keningnya. "Kau masih belum dapat geraki sayapmu yang terluka, Tiauwheng." katanya. Sementara itu, ia keluarkan obatnya dan mulai beri obat baru pada luka si rajawali, patuknya Lo In buka dengan tangannya yang kecil untuk dimasukan pil mujarabnya. Sungguh heran, burung itu menurut saja, jinak sekali dan pasrah apa yang diperbuat Lo In. Rupanya ia mengerti akan kebaikan orang. "Tiauw-heng, mulai saat kita ketemu, aku sudah tahu kau akan menjadi teman sebagai gantinya Liok Sinshe. Maka selanjutnya, harap kau selalu jangan meninggalkan aku, ya !" berkata Lo In sambil mengelus-elus sayapnya si rajawali. Burung itu angguk-anggukkan kepalanya, matanya merem melek, girang rupanya ia diusap-usap Lo In dengan kesayangan. Pada hari keenam si rajawali sudah sembuh benar-benar dari luka parahnya. Ia sudah dapat geraki kedua sayapnya seperti sedia kala. Setelah terbang beberapa putaran, ia turun di depan Lo In lalu mendekam dan kepalanya dianggukanggukkan seperti yang menghaturkan terima kasih atas pertolongannya si bocah. Lo In dapat memahami gerak gerik si burung garuda, maka sambil menubruk dan menciumi ia berbisik, "Tiauw-heng, kita sudah jadi saudara. Tak usah kau mengucap terima kasih segala." Tangannya mengelus-elus kepalanya si rajawali, ketika ia mau mengusap-usap patuknya tiba-tiba Lo In merasa heran. Dari matanya burung itu ada melelehkan air mata. Entahlah, kenapa burung itu menangis. Lo In terharu, bukan karena apa. Ia hanya terkenang akan dirinya Liok Sinshe. Dimanakah adanya penolong itu. Apakah dia masih hidup atau sudah mati ? Sebab sudah hampir seminggu ia mencari jejaknya belum juga berhasil menemuinya. Siapakah Liok Sinshe itu ? Apa dia Kwee Cu Gie ? Siapakah Kwee Cu Gie itu ? Dimana adanya kedua orang tuanya ? Mati sudah atau masih ada dalam dunia ini ? Kenapa Liok Sinshe begitu sayang dan memperhatikan dirinya begitu rupa ? Apa hubungan ia dengan Liok Sinshe ? Pusing Lo In memikirkannya itu semua. Malah jadi bertambah sedih hingga saling peluk dengan si rajawali, menangis sampai terdengar suaranya Lo In terisak-isak. Sang burung, rupanya ingin menghibur Lo In. Kemudian ia mementang sayapnya akan terbang ke atas pohonjauh disana, terpisah dari Lo In. Lo In yang cerdik mengerti maksudnya si rajawali. Maka ia juga telah berhenti menangis, ia gosok air matanya dengan tangan bajunya. Dalam hari-hari berikutnya dalam usaha mencari Liok Sinshe, Lo In dikawal oleh si rajawali. Senang hati Lo In. Sering ia ajak si rajawali bercanda. Hari-hari demikian mereka bergaul, hingga keakrabannya meningkat. Sering atau hampir saban hari, tampak Lo In pesiar di atas lembah sambil menunggang rajawali yang merupakan kapal terbangnya. Dasar anak-anak menghadapi apa yang baru, lupa pada yang lama. Ditemani si burung raksasa, Lo In merasa aman. Betah ia tinggal dalam lembah itu, lupa pulang ke rumahnya di atas
jurang Tong-hong-gay yang sebenarnya ia bisa pergi ke sana dengan mudah dengan menunggang kapal udaranya 'si rajawai'. Soal makanan Lo In tidak kekurangan, mau ikan ia dapat di sungai-sungai kecil yang banyak terdapat disitu. Mau daging ayam, kelinci, babi, mudah sekali ia dapat. Cuma tinggal perintah si rajawali yang pergi menangkapnya. Tapi Lo In lebih senang makan buah-buahan yang terdapat disitu. Ia rasakan badannya lebih segar dan nyaman dari pada makan ikan dan daging. Yang lucu, Lo In sudah dapat tundukkan kawanan kera liar dalam lembah itu. Mereka kelihatan sangat berterima kasih dan menganggap Lo In sbagai rajanya. Dengan begitu, Lo In bertambah banyak kawan. Bagaimana Lo In dapat tundukkan kawanan kera liar, kecil besar ? Itulah kejadian pada suatu hari ketika cuaca mendung. Selagi ia tiduran celentang di bawah sebuah pohon, tiba-tiba ia dikurung oleh kawanan monyet liar, bukan satu dua tapi adalah puluhan hingga ia merasa amat heran. Lo In bangkit, duduk, sambil kedua tangannya memeluk kedua dengkulnya yang ditekuk. Kepalanya menunduk seolah-olah yang tidak memperhatikan dirinya tengah dikurung oleh kawanan monyet galak. Suara cetcowetan yang ramai dari kawanan monyet itu tidak dihiraukan oleh Lo In. Terus saja ia berpura-pura mati ular. Kelihatannya kera-kera itu amat gusar pada si bocah. Bisa dilihat dari sikap dan gerakan mereka yang keluarkan suara 'her ! her !' sambil mulutnya nyengir-nyengir menakuti. Entahlah, kenapa mereka demikian benci pada Lo In. Mungkinkah karena perbuatannya Lo In ? Untuk melatih ginkang (ilmu entengi tubuh), Lo In saban hari melatih diri dengan mencelat sana sini di atas pohon. Gesit luar biasa hingga mengalahkan jauh dari kepandaian keraTIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ kera yang ada disitu. Rupanya hal inilah yang menyebabkan kawanan kera itu membenci Lo In. Mereka yang bermula merasa kagum melihat kegesitannya Lo In, belakangan merasa mengeri dan anggap Lo In adalah suatu saingan berat dalam dunianya. Lama juga sudah Lo In perhatikan sikap permusuhan dari mereka itu. Tapi Lo In tidak memperdulikan sampai pada saat itu baharu berasa bahwa dirinya benar-benar dibenci. Tapi Lo In tidak takut. Pikirnya kawanan kera itu tak dapat membuat susah dirinya. Ia mau lihat apa mereka bisa bikin terhadapnya. Tak perlu ia minta bantuan si rajawali yang dengan sayap raksasanya, sekali mengebas saja membuat puluhan kera itu akan sungsang sumbel dan terbang kemana tahu. Ia mau taklukan kawanan kera itu dengan usahanya sendiri. Dua yang paling besar diantara kawanan monyet itu, perdengarkan cetcewetannya lebih keras. Rupanya berupa bentakan-bentakan, memerintah pada kawan-kawannya untuk segera menggempur Lo In yang tinggal anteng-anteng saja. Memang dua kera besar itu adalah yang paling pandai dalam hal meloncat dari satu ke lain cabang pohon. Kawankawannya mengagumi kepandaiannya itu. Merekalah yang paling menaruh dendam pada Lo In, yang dianggap saingan alot. Meskipun bentak-bentakannya makin keras, kawanan kera itu masih belum berani menerjang Lo In. Rupanya mereka jeri sebab Lo In ada backingnya si rajawali.
Mereka sambil cetcowetan, celigukan sana sini seakan-akan mengamat-amati apakah si burung raksasa ada di sekitar situ mengawal si bocah. Si rajawali ternyata tidak ada. Memang tidak ada. Ia lagi terbang ke lain tempat untuk mencari makanan. Hatinya kawanan kera liar itu rupanya jadi berani, sebab suara 'hor, hor !' dari dua pimpinannya paling akhir dibarengi dengan menyerbunya mereka. Yang diserbu tiba-tiba saja lenyap dari pandangan mereka. Terdengar ramai-ramai suara cetcowetan kawanan kera itu. Sambil kepalanya pada mendongak ke atas dimana mereka lihat Lo In sedang bercokol di atas dahan sambil ketawaketawa. Kiranya diwaktu kawanan monyet itu melakukan penyerbuan serentak, dengan gerakan 'Walet terbang menembusi awan', tubuhnya Lo In mencelat ke atas, mencelok diatasnya sebatang dahan pohon, dimana si bocah sambil uncanguncang kaki mentertawakan lawan-lawannya yang ribut cetcowetan di sebelah bawah. Hanya dua tahun Lo In mendapat gemblengan tenaga dalam dari Liok Sinshe, ia sudah memanfaatkan sebaik-baiknya dalam latihan ginkeng (entengi tubuh), cukup untuk melayani kawanan kera yang menyerang dirinya dengan penuh kebencian. Degnan dikepalai oleh dua monyet besar tadi, kawanan monyet itu segera juga pada menaiki pohon, lelompatan mengepung Lo In yang segera unjuk kegesitannya untuk meloloskan diri dari kepungan mereka. Tampak Lo In loncat ke atas sebatang dahan yang lebih tinggi. Selag ia terbahak-bahak ketawa, sembari kedua tangannya bertepuk-tepuk keras menggodai kawanan monyet yang mengubar dirinya, tiba-tiba terdengar suara 'hor ! hor !' agaknya keras dan lebih bengis di atas kepalanya. Ketika ia mendongak, kiranya diatasnya ada dua kera lebih besar lagi dari dua kera besar tadi, yang ia lihat menjadi pemimpinnya. Itulah sepasang orang utan hitam legam, lengannya besarbesar, matanya tajam mengawasi Lo In seraya perdengarkan suara 'hor ! hor !' menakutkan. Diam-diam Lo In perhatikan, rupanya dua orang utan itu suami istri. Yang lelaki kepalanya hampir botak, yang perempuan matanya tertutup satu disebelah kiri, sedang dibelakangnya ada menggemblok anaknya, mulutnya ramai cetcewetan. Lo In hendak enjot tubuhnya menyingkir, tapi sudah terlambat. Si orang utan yang lelaki menyambar dari atas dan tepat dapat mencekal lengan Lo In. Sakit rasanya cekalan si orang utan, lebih-lebih Lo In kaget, tenaganya seperti lenyap oleh pengaruh cekalan itu hingga ia tak dapat berkutik. Celaka, pikirnya, apa ia bakalan mati ditangannya si orang utan ? Tengah hatinya berkuatir, sekonyong-konyong terdengar suaranya si rajawali dari jauh tengah mendatangi hingga ia jadi sangat kegirangan. Rupanya si orang utan sudah kenali suaranya si rajawali, tahu juga Lo In ada kawannya, maka ia jadi ketakutan. Dengan sendirinya, cekalannya yang melumpuhkan itu terlepas. Ia lompat pula ke atas, ajak bininya ikut lari. Angin seperti menderu kedengarannya ketika si rajawali sampai dengan kebasan sayapnya. Ia mencelok disatu dahan dekat Lo In. Saking berat badannya membuat pohon sampai tergetar rasanya. "Tiauw-heng, syukur kau datang. Kalau lambat sedikit saja, aku kena dicelakai si orang utan !" Lo In berkata pada
kawannya. Seperti yang mengerti, si rajawali tampak beringas romannya ketika mendengar ada makhluk yang mau bikin celaka kawannya. Lo In berbareng lompat mendekati si rajawali, ia usap-usap sayapnya. Tiba-tiba Lo In mendengar suara teriakan. Matanya yang awas segera dapat lihat si orang utan yang perempuan terpeleset jatuh. Ia sendiri dapat tolong dirinya karena sudah menjambret cabang pohon. Tapi anaknya, dalam kaget sudah melepaskan cekelan pada leheer ibunya hingga tidak ampun lagi anak orang utan itu meluncur jatuh terbanting di tanah dan pingsan. Dalam ketakutannya atas kedatangan si rajawali, dua orang utan itu sudah terbirit-birit lari, lompat dari satu ke lain cabang pohon. Rupanya yang perempuan kurang hati-hati memilih cabang pohon, maka ketika ia loncat ke cabang yang lapuk, ia kaget. Cepat lompat lagi ke lain cabang cuma saja saking gugupnya ia terpeleset dan menjerit ketika terpelanting. Yang lelaki berada beberapa tindak disebelah depan, ia kaget bukan main mendengar jeritan sang istri. Cepat ia putar tubuhnya tapi sudah tak dapat menolong anaknya yang terpelanting jatuh dari gendongan ibunya. Mulutnya cetcowetan ramai. Bersama istrinya, ia cepat-cepat turun ke bawah, lari menghampiri anaknya yang sudah tidak sadarkan diri. Sang ibu menubruk anaknya sambil menggoyang-goyang tubuh si orang utan kecil, mulutnya cetcowetan menangis. Segera banyak monyet-monyet yang datang merubung. Lo In yang melihat dan menyaksikan kejadian yang hebat itu, tidak tega hatinya. Entahlah, bagaimana keadaannya si anak orang utan itu. "Tiauw-heng, mari kita tolong dia." ia berkata pada si rajawali. Berbareng, ia geraki kakinya berloncatan ke bawah yang diikuti oleh si rajawali. Dengan hanya sekali kibasan sayapnya sudah sampai ditempat banyak kera berkumpul. Lo In tidak tahu bagaimana caranya memberi pertolongan. Sebab kalau ia dengan begitu saja datang dekat, tentu tidak dapat dipahami maksud baiknya. Apa lagi si orang utan sudah pernah memencet lengannya, tentu kedatangan Lo In dianggap akan menuntut balas, menggunakan kesempatan ketika mereka sedang kesusahan anaknya mendapat kecelakaan. Baik juga tongkrongan si rajawali dibuat jeri oleh kawanan kera itu. Ketika rajawali itu sampai, mendahului Lo In. Kawanan monyet itu sudah simpang siur lari. Malah dua orang utan itu, saking ketakutannya sudah lupa akan anaknya dan lari terbirit-birit. Anak orang utan itu jadi ditinggalkan sendirian. Lo In girang menampak kejadian itu diluar perhitungannya. Cepat ia dekati si anak orang utan, ia periksa, meraba-raba dadanya, pegang nadinya. Lucu, persis lagaknya seorang tabib. Ini, Lo In bukannya menjual aksi. Kelakuan ini meniru Liok Sinshe jika si tabib Liok diundang untuk mengobati orang sakit, ia suka turut dan menyaksikan caranya Liok Sinshe berbuat atas dirinya si pasien. Lo In girang karena si orang utan kecil tidak putus jiwanya. Ia hanya tidak berkutik karena pingsan, kaget jatuh dari tempat yang demikian tinggi. Kelakuan Lo In itu disaksikan oleh banyak kera dari kejauhan, terutama oleh dua orang utan dengan penuh rasa kuatir, apakah anaknya akan dibunuh mati Lo In. Buat merebut anaknya dari tangan Lo In, mereka tak berani lakukan, melihat
si rajawali tengah mendekam didekatnya. Melihat keadaan anak orang utan itu berat juga, tak dapat disembuhkan dengan seketika, maka ia lalu angkat tubuhnya, diempo lantas menghampiri si rajawali, ke atas punggung Lo In loncat. "Tiauw-heng, mari kita pergi !" kata Lo In. Berbareng si rajawali bangkit lalu mengebaskan kedua sayapnya akan kemudian terbang mumbul. Tinggal dua orang utan itu berteriak-teriak dengan cara dia sendiri. Rupanya mereka sangat gusar pada Lo In yang sudah merampas anaknya. Lo In ditempatnya sebuah gubuk yang dibangun diatas sebuah pohon besar. Memakan waktu juga menolong anak orang utan itu. Sebab anak orang utan itu kecuali mendapat luka dalam, juga tangannya yang sebelah kiri keseleo yang perlu ditolong dengan jalan mengurut tiap hari tiga kali. Selang empat hari, Lo In sudah bikin anak orang utan itu sembuh benar. Ia kelihatan suka pada Lo In yagn tadinya ditakuti. Dalam tempo empat hari mereka berkumpul, anak orang utan itu menjadi jinak, sering menggelendoti Lo In. Mulutnya cetcowetan seakan-akan mengajak bercakap-cakap. Tapi sayang Lo In tidak mengerti akan percakapannya. Meskipun begitu, Lo In suka pada anak orang utan itu. Sering ia ajak main, diajak bercakap dengan gerakan mulut dan tangan. Gembira kelihatannya anak orang utan itu. Pada hari yang keenam, Lo In berkata pada si anak orang utan, "Adikku, hari ini kau harus pulang menemui ayah ibumu. Harap selanjutnya kau akan menjadi sahabatku yang baik seperti aku punya Tiauw-heng." Sambil berkata, Lo In empo anak orang itu lalu keluar dari gubuknya. Dengan sekali suitan, segera kapal udaranya sudah datang. Dengan menumpang si rajawali, Lo In pergi ke tempat dimana ia telah dikeroyok kawanan monyet liar. Sesampainya disana, ia dapatkan keadaan sepi. Cuma ada beberapa kera yang lelompatan sana sini. Melihat Lo In datang dengan mengempo anak orang utan, monyet-monyet itu menjadi heran rupanya. Tapi sebentar lagi, tampak mereka datang lagi membawa kawan-kawannya. Diantaranya tampak itu sepasang orang utan. Mereka tidak berani datang dekat pada Lo In karena si rajawali mendekam di dekatnya. Bagaimana pun, dua orang utan itu terbelalak matanya melihat Lo In tengah mengempo anaknya yang cetcowetan menciumi pipinya si bocah. Lo In dapat melihat pada mereka, maka cepat ia turunkan anak orang utan itu dari empoannya sambil berkata, "Adikku, pergi kau ketemui ayah bundamu !" Lo In sambil menunjukkan kejurusan orang utan yang berada diatas pohon, yang tengah keheran-heranan mengawasi kejadian itu. Anak orang utan itu melihat ke jurusan yang ditunjuk oleh Lo In. Ia melihat pada ayah bundanya. Cepat ia lari sambil mulutnya cetcowetan. Sang ibu bapak juga tidak tinggal diam. Mereka loncat-loncat turun dari pohon dan memapaki anaknya yang lantas diempo oleh si ibu, diciumi dengan penuh kesayangan. Dalam empoan ibunya, sang anak cetcowetan sambil menunjuk-nunjuk kejurusan Lo In. Rupanya ia sedang bercerita tentang pertolongan yang diberikan Lo In dan kebaikannya si bocah hingga kelihatannya si ibu merasa sangat gegetun sekali, sedang si ayah angguk-anggukkan
kepalanya yang botak. Lo In menyaksikan itu semua dengan bersenyum. Kemudian putar tubuhnya menyamperi si rajawali, loncat ke punggungnya. "Mari kita pergi, Tiauw-heng !" katanya sambil tepok pundaknya si rajawali. Sebentar saja, Lo In sudah ada di udara bersama kapal terbangnya. Meskipun binatang, kawanan kera itu tahu akan kebaikan orang. Maka sejak itu, mereka telah menghapuskan kebenciannya dan tidak berani mengganggu lagi Lo In yang semula dianggap saingan alot. Malah yang lucu, sejak itu, Lo In boleh dikata tak usah susahsusah mencari buah-buahan lagi untuk makannya. Karena setiap pagi, ia dapatkan banyak buah-buahan berserakan di bawah pohon diatas mana ia tidur. Rupanya ini ada kiriman dari kawanan keras yang merasa berterima kasih, anak rajanya sudah ditolongi. Bebuahan itu ditaruh berserakan. Rupanya kera-kera itu takuti si rajawali. Maka seenaknya saja mereka melemparkan dan lari pergi. Lo In memahami ini, maka kepada rajawalinya ia memesan supaya ia tidak ganggu kera-kera yang mengantarkan bebuahan itu. Kawanan kera itu belakangan jadi berani karena melihat si rajawali tidak apa-apa. Maka buah-buah yang diantarnya, mereka tumpuk dengan rapih. Malah ada yang berani naik di pohon dan meletakan buahnya di depan gubuknya Lo In. Lo In terharu melihat kecintaannya kawanan kera itu. Maka terjalinlah persahabatan diantara kawanan kera itu dengan Lo In. Dalam pertemuan pertama dua orang utan, seperti manusia, mereka berlutut dihadapan Lo In sambil manggut-manggut. Di sampingnya ada anaknya yang juga turut berlutut. Mereka sangat berterima kasih atas pertolongannya Lo In sehingga anaknya selamat dari cengkeraman maut. Lo In ketawa. "Toa-hek, Ji-hek dan adikku," kata Lo In. "Kita orang sendiri, tak usah banyak pakai peradatan. Kalian bangunlah. Selanjutnya kita menjadi sahabat saling tolong !" Seperti yang mengerti omongan Lo In, mereka semua bangkit. Lo In tatkala itu duduk diatas sebuah batu, tengah menikmati mengalirnya air sungai, dalam mana banyak terdapat ikan-ikan yang sedang main-main. Lo In memanggil Toa-hek (si hitam kesatu) dan Ji-hek (si hitam kedua) kepada dua orang utan itu adalah panggilan dari keakraban persahabatan. Toa-hek dan Ji-hek serta anaknya menghampiri Lo In. Toa-hek mengusap-usap tangan, Ji-hek mengusap-usap pipi, sementara Siauw-hek (si kecil) lompat kepangkuan Lo In sambil cowet-cowetan ngomong dalam bahasanya sendiri. Lo In suka dan sayang pada Siauw-hek, maka ia elus-elus kepalanya, sambil katanya, "Siauw-hek, kau lekas gede. Nanti bisa bantu aku mencari Liok Sinshe." Sejak itulah mereka bergaul rapat. Supaya pergaulannya lebih leluasa lagi, maka pelan-pelan Lo In ada pelajari gerak gerik dan suaranya kera-kera diwaktu mereka berloncatan di pohon-pohon sambil cetcowetan. Berkat kecerdasan otaknya yang luar biasa, ia dapat kemajuan banyak dalam bahasa monyet, meskipun tidak seluruhnya. Cukup dengan membuka mulutnya, cowet-cowet, ia dapat memerintahkan kera-kera yang diajak bicara olehnya untuk melaksanakan titahnya dengan baik. Kawanan kera itu semakin menghargai dan menjunjung tinggi Lo In. Boleh dikatakan ia adalah raja monyet, karena tiap
titahnya dilaksanakan dengan kontan. Dengan adanya Toa-hek sebagai teman berlatih, lwekangnya Lo In meningkat. Kalau mula-mula satu kali pegang saja Lo In tak dapat berontak dari cekalan Toa-hek, pelan-pelan tangannya makin kuat hingga dari kewalahan Toa-hek menjadi pecundang. Dalam latihan tenaga, jangan bicara ilmu silat, sudah tentu Lo In ada di pihak unggul. Girang hatinya Lo In dengan kemajuan yang diluar perhitungannya itu. Maka pada suatu hari si rajawali ia ajak berlatih. "Tiauw-heng, tenagamu sangat hebat. Aku ingin sepertimu. Coba, mari kita berlatih !" Lo In menantang. "Mari !" si bocah mengundang lagi ketika melihat si rajawali tinggal diam mendekam saja. Ia pasang kuda-kuda untuk menerima serangan si rajawali. Sesudah kedap kedip matanya, si burung raksasa pelangpelan bangkit. Ketika Lo In menyambar dengan tangannya yang kuat sekarang, pikirnya, si rajawali tak kuat menahan serangannya. Tapi si bocah salah hitung. Sebab cuma sekali kebas saja dengan sayap kirinya, Lo In terdampar oleh angin kebasan hingga ia jatuh duduk. "Itu hebat, Tiauw-heng." ia berkata sambil nyengir dan rasakan pantatnya sakit juga bekas jatuh barusan. "Kau pelan-pelan dahulu. Jangan terlalu kuat mengebaskan sayapmu !" Lo In bicara seperti saja terhadap seorang partner, kawan selatihan. Tapi si burung raksasa seperti yang mengerti akan maksud Lo In. Benar saja kebasan yang selanjutnya dilakukan perlahan. Lo In menjadi girang. Sejak itu ia terus ajak si rajawali berlatih. Saban hari tenaganya Lo In meningkat an kegesitannya bertambah. Maka setelah lewat dua bulan, betul-betul luar biasa tenaga dalamnya si bocah. Ia sudah dapat menahan kebasan sayap si burung raksasa yang bagaimana keras juga. Hal mana membuat si rajawali juga merasa heran kelihatannya. Lo In bangga dengan latihannya. Ia kira semua itu dari tenaganya yang meningkat demikian hebatnya. Tapi ia tidak sadar bahwa tenaga dalamnya itu bisa demikian kokoh lantaran ia memakan buah Jit-goat-ko atau 'Buah bulan matahari' yang ia dapatkan diantara buah-buah yang diantar oleh kawan-kawannya. Buah itu bentuknya mungil, tidak besar, hanya sebesar telur angsa. Warnanya separuh merah dan separuh putih. Kapan buah itu dibelah, segera menyiarkan bau harum yang lama sekali memenuhi hidung. Kalau disedot, rasanya nyaman dan segar seluruh badannya. Ini baharu harumnya saja, apalagi buahnya kalau dimakan rasanya lezat sekali. Tenggorokan yang dilewati oleh buah itu, selama lima menit terus menerus akan mengeluarkan hawa wangi yang menyegarkan. Seluruh badan rasanya kaku sejenak tapi kemudian tangkas lagi. Tindakan berubah menjadi enteng, sedang tenaga entah dari mana sudah berlipat tambahnya. Buah itu Lo In dapatkan dua biji. Entah dari mana sang kera dapatkan ini, dua-duanya ia sikat habis setelah ia rasakan bagaimana harum dan enaknya buah itu, dimasukkan ke mulut lewat tenggorokannya. Di permulaan cerita dilukiskan bagaimana girang dan bangga Liok Sinshe menampak kecerdasannya Lo In. Si bocah bukan saja sudah mewariskan semua kepandaian Liok Sinshe yang dicatat dalam otaknya, juga rahasia dari ilmu menotok jalan darah yang terdapat dalam buku 'Tiam-hiat Pit-koat' sudah jadi miliknya Lo In.
Anak kecil itu tinggal memerlukan gemblengan tenaga alam yang sempurna, lantas ia akan berubah menjadi satu pendekar yang sukar menemui tandingan. Tapi peryakinan lwekang (tenaga dalam) yang sempurna bukannya gampang. Itu harus meminta bukan satu dua tahun tempo, tapi makan puluhan tahun. Meskipun demikian, Liok Sinshe yakin, dalam bimbingannya dalam waktu tidak sampai sepuluh tahun, ia bisa bikin Lo In menjadi jago tak terkalahkan. -- 5 -Hanya sayang sekali, Liok Sinshe yang mengasuh Lo In sampai setengah jalan, baru saja ia menggembleng lwekang Lo In dua tahun lamanya, tiba-tiba ada bencana dengan kedatangannya Siauw-san Ngo-ok dan kawan-kawannya. Liok Sinshe jatuh tergelincir ke dalam jurang yang jejaknya tak dapat diketemukan oleh Lo In yang berusaha mencarinya siang malam. Setelah dapat menahan kibasan sayap si rajawali yang demikian dahsyatnya, diam-diam Lo In merasa sangat geregetan. Ia sendiri merasa tenaga dalamnya ada hebat, tidak berani ia balas menyerang pada burung kesayangannya, kuatir nanti si rajawali terluka oleh karenanya. Sekarang, siapa yang ia dapat ajak berlatih setelah si burung raksasa tak berdaya menghadapi ia ? Pada suatu malam, ia keluar dari gubuknya. Tidak lagi ia leloncatan dari satu ke lain dahan pohon untuk turun ke bawah, meniru si burung raksasa. Benar-benar hebat ilmu entengi tubuhnya. Bagaimana ia dapat demikian hebat ginkangnya ? Inilah justru menjadi pertanyaan yang sampai sebegitu jauh belum dapat dijawab olehnya sendiri. Tidak jauh dari situ ada terdapat satu lapangan, cukup besar untuk berlatih silat. Di sekitarnya banyak tumbuh pohon, tinggi dan rendah, tidak rata. Dan ini semua bagi Lo In merupakan lapangan untuk melatih ginkangnya. Di bawah terangnya sang rembulan, Lo In tampak melatih ilmu silatnya ajaran Liok Sinshe dengan tangan kosong mula-mula. Pukulan-pukulannya ternyata luar biasa, semua menerbitkan angin menderu. Kapan ia tujukan pukulannya ke atas, cabangcabang pohon yang jaraknya dua tombak pada bergoyang dan daun-daunnya pada berjatuhan ke tanah. Gerakannya gesit luar biasa hingga yang tak melihat dengan mata kepala sendiri tentu akan tidak percaya Lo In mempunyai tenaga yang sempurna dan ilmu silat yang aneh-aneh melihat usianya baru masuk empat belas tahun. Lo In tidak merasa kalau ia dalam lembah itu diam-diam sudah melewatkan waktunya hampir 2 tahun. Pantas badannya makin tinggi, sedang romannya makin nyata kecakapannya. Sayang pakaiannya mulai compang camping. Maklumlah ia masuk ke dalam lembah itu tak membawa bekal pakaian. Jadi ia tiap hari mengenakan pakaian itu-itu juga. Setelah berlatih dengan tangan kosong, Lo In ganti berlatih dengan pedangnya, juga tidak kurang hebatnya. Kalau tak dapat dikatakan lebih hebat dan seram pula. Kecepatan memainkan pedang yang bobotnya sangat enteng, menimbulkan angin santar. Suaranya 'bat bet bat bet', bisa membuat musuh yang menghadapinya ciut nyalinya. Berhenti berlatih, Lo In duduk termenung di atas rumput. Ia masih penasaran, lalu bangkit dari duduknya menghampiri sebuah pohon siong (cemara) yang ukuran bulat batangnya sebesar betis orang gemuk. Ia pasang kuda-kudanya lalu kerahkan lwekangnya. Tampak seperti menghembus hawa putih dari embun-embunannya. Ia berdiri kira-kira satu tombak
dari pohon yagn mau dibuat sasarannya. Setelah merasa cukup kekuatan untuk menyerang, kedua tangannya digeraki berbareng, diulur ke depan. Angin menghembus keluar hebat bukan main. Segera terdengar suara 'krak !'. Disana, pohon siong yang dipakai sasaran, kelihatan tumbang. Tidak dapat menahan serangan Lo In yang dahsyat itu. Lo In berdiri bengong. Ia kagum akan tenaganya sendiri, berbareng ia menanya dirinya sendiri, dari mana mendapat tenaga yang luar biasa itu. "Celaka." katanya dalam hati kecilnya. "Tenagaku begini dahsyat, aku tidak boleh sembarangan pukul orang !" Sebentar lagi ia akan meninggalkan tempat. Lo In kira tidak ada yang lihat perbuatannya. Tidak tahunya, diam-diam sambil mendekam di atas dahan pohon, si rajawali menonton ia tengah berlatih silat dan matanya si burung terbelalak kagum menyaksikan Lo In memukul tumbang pohon siong. Sampai dibawah pohon, dengan gerakan 'walet terbang menembusi awan', ilmu entengi tubuh yang paling ia suka, Lo In sebentar saja sudah ada didalam gubuknya lagi. Bulak balik ia di pembaringannya. Tidak bisa tidur memikirkan akan keanehan tenaganya yang luar biasa. Tiba-tiba berkelebat dalam benaknya tentang 'Jit-goat-ko', buah mujizat yagn ia makan demikian harum dan lezat rasanya. Pikirnya, apakah oleh karena makan itu ? Ia kemudian merasa sangsi lagi sebab setelah ia makan buah itu, ia lantas rasakan perubahan aneh dalam tubuhnya, enteng dan gesit dirasakan tubuhnya, tenaganya pun meningkat entah berapa puluh kali karean si burung raksasa kontan pada hari-hari berikutnya tidak berdaya menghadapi ia berlatih. Dari mana kawanan kera itu dapatkan buah ajaib itu ? Maka pada keesokan harinya, ia lantas kumpulkan kawankawan keranya. Ia majukan pertanyaan, siapa diantaranya yang membawakan buah yang bentuknya macam telur angsa dan warnanya merah putih. Lo In gunakan bahasa monyet menanyakannya hingga puluhan monyet yang hadir dalam pertemuan itu pada cetcowetan ramai. Rupanya satu dengan lainnya pada saling bertanya. Tidak lama, satu kera yang berpotongan kecil tapi gesit, lompat ke depan Lo In, berlutut sambil anggukanggukkan kepala. Lo In girang melihatnya. "Pek-gan, jadi kau yang membawakannya untukku ?" ia menanya seraya mengeluselus kepalanya si kera. Pek-gan, kera itu dipanggil Lo In, artinya 'Mata Putih'. Ia ada satu kera jantan yang bertubuh kecil, tapi kegesitannya melebihi kawan-kawannya. Dua matanya putih seperti mata yang terbalik, tapi ia melihat terang sebagaimana biasa. Malah ada keistimewaannya, dengan sepasang matanya yang aneh itu, pada malam hari gelap ia dapat melihat tegas terang bagaikan siang hari. Ia mempunyai teman yang hampir sama gesit dan cerdasnya dengan dia. Kera ini kepalanya putih dan lebih jangkung sedikit, tapi kurusnya sama. Ia dipanggil 'PekTIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ tauw' oleh Lo In, artinya 'Kepala Putih'. Dua kera ini paling disayang oleh Lo In karena gayanya yang lucu dan sering bikin ketawa, baik dalam percakapan maupun dalam kelakuannya. Hingga bagi Lo In, mereka itu ada dua penghibur yagn menyenangkan. Lain dari itu, dalam soal mengantar buah-buahan mereka tidak sembarangan asal petik saja. Selalu mereka pilih buah-buah yang istimewa untuk dipersembahkanpada junjungannya. Oleh karenanya Lo In sangat menghargakan mereka.
Pek-gan senang kepalanya diusap-usap Lo In, matanya melirik bangga pada kawan-kawannya. "Pek-gan, coba kau terangkan dari mana kau dapatnya. Apa kau masih bisa dapatkan pula beberapa buah untukku ?" demikian kata Lo In dalam bahasa kera. Pek-gan geleng-geleng kepala. Mulutnya kemudian cetcowetan sambil tangannya menunjuk-nunjuk. Rupanya ia sedang cerita menuturkan pengalamannya. Lo In mengerti cerita Pek-gan. Kiranya buah mujizat itu si kera dapatkan pada satu tebing yang curam disebelah barat mereka sedang berkumpul. Pohonnya hanya mengeluarkan dua buah. Malah setelah dipetik buahnya, pohon itu lantas layu, daun-daunnya pada kuncup. "Tidak apa." kata Lo In. "Lain kali kau boleh bawakan lagi buah-buah lain yang sama baiknya. Nah, kau boleh kumpul lagi dengan teman-temanmu !" Lo In sambil tepuk-tepuk pundaknya si kera. Berbareng dengan ini, tiba-tiba Lo In dan kawanan kera menjadi kaget mendengar suara monyet berteriak-teriak minta tolong Lo In dan yang lain-lain pasang kuping untuk menegasi dari mana datangnya suara minta tolong itu. "Ah, itu suaranya Ji-hek !" kata Lo In sambil lompat dari duduknya. Terus ia gunakan ilmu entengi tubuhnya, memburu ke selatan. Semua kera paling kalut, masing-masing gunakan kecepatan lari menyusul Lo In. Sedang si rajawali juga tidak ketinggalan, pentang sayapnya dan terbang mendahului Lo In. Lo In tidak minta 'kapal terbangnya' stop dahulu untuk membawa dia, sebab ia tahu Ji-hek lebih perlu lekas ditolong, jikalau ia mendengar teriakannya yang menyayatkan hati. Ketika Lo In sampai disatu lapangan terbuka, ia lihat rajawalinya sedang bertempur dengan manusia, entah siapa dia. Tidak jauh dari mereka bertempur, tampak menggeletak Toa-hek, tengah dipeluki oleh Ji-hek sambil berteriak-teriak menangis minta pertolongan. Cepat Lo In menghampiri Ji-hek. Melihat Lo In datang, Ji-hek kegirangan. Mulutnya ramai menceritakan apa yang sudah terjadi. Kiranya Toa-hek sudah bertempur dengan orang yang sekarang lagi bertempur dengansi rajawali. Dalam keadaan tidak waspada, Toa-hek sudah dirubuhkan dengan senjata beracun. Lo In tidak perhatikan Ji-hek nyerocos cetcowetan. Ia terus saja memeriksa lukanya Toa-hek. Keadaannya parah juga, matanya meram saja ! Lo In girang sebab Toa-hek tidak terancam bahaya kematian karena lukanya. Cepat ia bersihkan darah di pundaknya Toa-hek. Dengan tangan bajunya lalu keluarkan obatnya, dioleskannya, sedang pil mustajabnya dimasukkan ke dalam mulutnya Toa-hek. Mustajab benar obatnya Lo In, warisan Liok Sinshe. Karena tidak lama setelah obat berjalan dalam perut dan pundaknya, Toa-hek sudah dapat membuka matanya dan merintih pelanpelan. Melihat Toa-hek sudah tertolong, maka Lo In bangun berdiri menyaksikan pertempuran si garuda dengan lawannya. Ia perhatikan musuhnya si garuda ternyata adalah seorang tua dengan hidung bengkok seperti patuk burung kakaktua, mulutnya lebar, jidatnya jantuk. Entah ada tanda apanya lagi di mukanya sebab hanya itu saja yang dapat dilihat dari kejauhan oleh Lo In. Ternyata orang tua itu ada punya lwekang hebat juga. Sebab samberan si rajawali terus dapat ditolak mundur. Tampak si rajawali napsu benar hendak membinasakan musuhnya. Angin pukulan si orang tua, seolah-olah tidak dihiraukan. Ia terus
menyambar musuhnya sambil perdengarkan pekikan yang gusar sekali. Entah ada permusuhan apa si rajawali begitu marahnya. Lo In lihat, orang tua itu mulai keteter. Ia mulai gunakan senjata rahasianya. Ser ! Ser ! Lo In dengar suaranya senjata rahasia si orang tua menyambar pada si rajawali. Tapi sampai sebegitu jauh dengan kebasan sayapnya, saban kali senjata rahasianya si orang tua dapat dijatuhkan. Lo In kuatir akan keselamatan burung kesayangannya. Maka ia lalu bersuit, si rajawali masih bernapsu bertempur. Suitan tanda memanggil Lo In seperti juga ia tidak mendengarnya. Tapi, ketika suitan yang kedua nadanya agak keras, membuat si rajawali tak dapat membandal panggilan tuannya. Ia putar tubuh dan terbang menghampiri Lo In. Sementara itu, si orang tua sudah memburu datang. Kiranya dia itu seorang tua dari usia kira-kira 50 tahun. Selain tanda-tanda yag Lo In dapat lihat terlebih dahulu, ia saksikan lagi, orang tuaitu mulutnya dan giginya omping. Entah tinggal berapa giginya, yang terang di sebelah depannya, atas bawah sudah sungsang sumbel. Segera Lo In dan si orang tua sudah berhadap-hadapan, kira satu tombak jauhnya. Sambil menunjuk dengan jarinya, si orang tua berkata pada Lo In, "Em ! Jadi kau ini tuannya si burung celaka itu ?" Lo In merasa tidak senang burungnya dikatai 'si burung celaka'. "Lotiang (orang tua), kau sudah celakai Toa-hek, lantas kau mau celakai juga aku punya Tiauw-heng, apa maksudmu ?" Lo In balik menanya tanpa menjawab pertanyaan orang yang diajukan lebih dahulu. "Aku tidak peduli kau punya Toa-hek, Tiauw-heng, Sam-heng, apa hek apa heng kek ! Asal aku mau bunuh, tidak ada orang yang berani rintangi !" si orang tua nyerocos, kasar betul. Suaranya nyaring macam gembreng pecah. Lo In mendongkol hatinya. Tapi ia tidak berani kurang ajar. Ia tetap berlaku sopan terhadap orang asing itu. Selama hampir dua tahun dalam lembah, hari itu, Lo In untuk yang pertama kalinya ketemu lagi dengan manusia. Di samping ia suka berlaku jail, mengocok orang, juga perangainya halus dan ingin bersahabat sama siapa juga. "Jadi lotiang masih marah sekarang ?" tanyanya. Matanya si orang asing mendelik. "Aku mau bunuh orang utan dan burung busukmu. Kau mau apa ?" bentaknya. Lo In kedip-kedipkan matanya, seperti yang ketakutan. "Lotiang, kau sebenarnya siapa ? Apa namamu ?" tanya Lo In tenang. "Hahaha." si orang asing ketawa, seraya tepuk-tepuk dadanya. "Tidak perlu kau tahu siapa aku sebab kau masih bocah. Tapi tidak apa aku sebutkan supaya mati merem. Hahaha, aku ini Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng dari Coa-kok !" Lo In tidak kaget si orang asing sebutkan namanya, sekaligus dengan gelarnya 'Toan Bilo-mo' atau 'Si Iblis Alis Buntung'. Yang membikin ia heran, Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng macam orang edan. Apa dia setengah atau memang betul-betul sinting ? Lo In tanya dirinya sendiri. Kalau orang baik-baik, tidak semestinya ia menyebutkan namanya yang seram sambil tepuk-tepuk dada dihadapan seorang anak kecil seperti Lo In. Sebab Lo In belum tahu apaapa dengan dunia Kang-ouw. Yang lebih aneh pula, Siauw Cu Leng pakai mengatakan
'supaya kau mati merem' segala, apakah maksudnya ? Apa ia mau bunuh juga Lo In ? Ini pun menjadi pertanyaan dalam hatinya si bocah. Lo In memandang mukanya si iblis, benar-benar saja kedua alisnya pendek (kuntugn), cuma setengah dari alisnya orang biasa. Setelah menyebutkan nama dan gelarnya, Siauw Cu Leng jalan mau menghampiri Toa-hek sehingga Toa-hek mengerang gusar sedang Ji-hek tampak siap sedia buat menjaga kalau suaminya diserang. "Hei, kau mau apa ?" tanya Lo In. "Ah, kau anak bau, tau apa !" sahut Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng seraya mengebaskan lengan bajunya. Dari mana mengembus angin keras, menyerang Lo In. Si Iblis Alis Buntung berdiri heran melihat Lo In tidak apa-apa. Si bocah tinggal tetap berdiri ditempatnya. Biasanya, kalau orang akan jungkir balik, apalagi ini anak kecil yang dikebas, kenapa dia diam saja ? Demikian tanya si iblis dalam hatinya. Apa kurang kencang kebasannya ? Maka ia lalu mengebas sekali lagi dengan lwekan ditambah menjadi 7 bagian, tapi...... Lo In masih berdiri ditempatnya sambil bersenyum geli. Rupanya ia masih merasa lucu atas kelakuan si iblis. Memang, kalau anak kecil biasanya yang dikebut pasti akan jungkir balik dan mungkin jatuh pingsan. Tapi kali ini Lo In yang dikebas, tidak bisa mempan sebab tenaga dalam Lo In ada diatasnya si Iblis Alis Buntung. "Silahkan, kau mau bunuh Toa-hek ?" tanya Lo In ketika melihat si iblis berdiri tertegun. Sebagai tokoh iblis yang ditakuti sepak terjangnya, tentu saja Siauw Cu Leng tidak mengira dapat dijatuhkan demikian mudah oleh satu anak kecil yang masih ingusan, kata hati kecilnya. Ia lalu lompat menerjang, menghajar Lo In dengan kedua tangannya yang menghembuskan angin besar. Debu dan tanah berterbangan saking hebatnya dilanggar angin serangan Siauw Cu Leng. Tapi Lo In sudah menghilang dari depannya. Bukan main kagetnya, cepat ia putar tubuhnya. Dilihat Lo In sudah berada dibelakangnya sambil anteng-anteng saja menggendong tangan. "Tanah tidak berdosa kau hajar begitu bengis, lotiang !" Lo In kata dengan jenaka. Malu bukan main si Iblis Alis Buntung diejek si bocah, naik pitam dia. "Bagus, kau jaga pukulan mautku !" teriaknya nyaring. Pukulan yang dikerahkan dengan tenaga maksimum kalau kena tubuh Lo In bisa hancur lebur berkeping-keping, tapi lagiTIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ lagi pukulan si iblis cuma bisa menghajar tanah sebab Lo In sudah bisa menghilang lagi kemana tahu. "Anak busuk, kau berani permainkan aku, Toan Bilo-mo ?" bentaknya sambil celigukan, matanya mencari bayangan Lo In. SI iblis benar heran. Entah bagaimana Lo In bergerak sebab tahu-tahu ia hanya menghajar tanah lagi. Ia marah-marah hanya untuk menyimpan mukanya dari perasaan malu sebab sebenarnya telah takut bukan main dalam menghadapi si bocah punya kegesitan yang seperti setan saja bisa menghilang. Pikirnya, kalau tidak siang-siang angkat kaki, ia bisa susah. Ia tahu bahwa saat itu Lo in berada di samping kirinya. Ia bukan menyerang lagi, hanya ia lompat ke depan dan angkat kaki terbirit-birit lari. Lo In tidak mau tanam bibit permusuhan, makanya ia tadi
hanya lawan si iblis dengan kelincahannya saja mengelakkan serangan-serangan. Ketika si iblis melarikan diri, ia hanya ketawa, tidak mengejar. Tapi tidak demikian dengan si rajawali, begitu meliaht Siauw Cu Leng lompat lari, ia juga gerakan sayapnya menyerang dari atas. Cakarnya yang bagaikan baja, nyaris mencomot hilang kepalanya si iblis, kalau Siauw Cu Leng tidak menggunakan tipu 'Keledai malas bergulingan diatas rumput', akan kemudian disusul dengan gerakan 'Lo hie ta teng' atau 'Ikan gabus meletik', untuk ia terus melarikan diri. Lo In tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan pertunjukan itu. ia tidak ijinkan si rajawali mengejar terus lawannya karena ia tahu orang itu sangat licik hingga mungkin burung kesayangannya nanti bisa dapat celaka oleh senjata rahasianya yang berbisa. Oleh karenanya ia lalu memperdengarkan suitannya memanggil si rajawali untuk terbang pulang. Tampak burung kesayangannya unjuk roman bengis dan penasaran. "Tiauw-heng, kau kenapa begitu marah pada dia ?" tanya Lo In seraya elus-elus sayapnya, sebagaimana biasa unjuk kesayangannya. Si rajawali tidak geleng atau anggukkan kepalanya, dia diam saja. Lo In mengerti burung kesayangannya sedang marah. Seketika itu ia ingat akan kejadian si burung raksasa menderita luka, ia terkena anak panah beracun. Maka cepat ia pungut anak panah yang barusan menancap dipundaknya Toa-hek. Ketika ia perhatikan dengan seksama, lantas ia mengerti bahwa yang memanah si rajawali adalah si Iblis Alis Buntung. Pantesan burung kesayangannya begitu marah pada Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng. "Tidak apa, lain kali kita ketemu, kita akan kasih hajaran padanya." menghibur Lo In pada burung garudanya. Si rajawali kali ini, mendengar Lo In mengucapkan kata-katanya telah memanggutkan kepalanya. Kenapa Toa-hek bertempur dengan Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng ? Itu adalah kebetulan kesompokan di jalanan. Ketika Siauw Cu Leng sedang jalan lewati pohon, tiba-tiba ada bayangan lompat dari atas. Ia kaget, cepat balik tubuhnya dan ia lantas berhadapan denga Toa hek sebab bayangan tadi memang Toa-hek yang barusan turun dari pohon. Sebenarnya, kalau Siauw Cu Leng tidak timbul niatan ingin menaluki si orang utan, ia teruskan jalannya, tentu tidak akan ada kejadian apa-apa, sebab Toa-hek juga tidak perdulikannya. Apa mau, Siauw Cu Leng ketarik dengan tubuhnya Toa-hek yang tegap dan kokoh kuat. Pikirnya, kalau ia bisa taluki orang utan ini dan dijadikan pembantunya, ada baiknya juga untuk disuruh-suruh. Segera ia datang mendekati, ia mulai mengganggu, mengundang kemarahan Toa-hek. Ia berhasil sebab Toa-hek lantas kedengaran menggerang gusar. Dengan gerakan 'Hek houw tam jiauw' atau 'Macan hitam mencengkeram', ia lompat menerjang. Tangan kanannya menyambar lengan kiri Toa-hek, sedang tangan kiri, dengan dua jarinya meluncur mau menotok 'hongbun-hiat', jalan darah di pundak kanan si orang utan. Inilah gerakan yang dilakukan dengan cepat. Pikirnya, dalam segebrakan itu ia akan bikin lawan tidak berdaya. Tapi perhitungan Siauw Cu Leng ternyata keliru sebab Toa-hek segera elakkan lengannya yang hendak dicekal sedang
tangan kiri si iblis yang hendak menotok pundak sudah kena ditangkis keras sekali hingga si iblis lompat mundur saking kaget dan kesakitan. "Apa mungkin monyet ini bisa ilmu silat ?" ia menanya dirinya sendiri, sambil matanya mengawasi Toa-hek. Tapi si orang utan yang sudah marah, tak mengasih kesempatan untuk Siauw Cu Leng banyak menanya-nanya dalam hatinya karena segera ia menyerang dengan tangannya yang gede berbulu dan kepaksa si iblis harus keluarkan kegesitannya untuk menyelamatkan diri. Ia rada ngeri untuk kasih tangannya bentrok lagi dengan tangan Toa-hek sebab barusan ketika ditangkis, ia rasakan tangannya seperti ditangkis sepotong besi sampai ia rasakan kesemputan tangannya. Sebaliknya, ia mau menggunakan lwekang, menggempur rubuh Toa-hek, hatinya tidka mengirakan karena ia ingin taluki si orang utan, bukannya hendak membunuhnya. Jadi, bagaimana ia harus berbuat ? Dalam berkelit sana sini, menghindarkan sambarang tangan Toa-hek, si iblis putar otaknya mencari jalan merobohkan Toa-hek. Ia dapat jalan rupanya sebab sebentar kemudian ia lompat keluar dari pertempuran, lari dikejar oleh Toa-hek. Siauw Cu Leng menyelinap dibalik sebuah pohon besar hampir dua pelukan, disini dia ajak Toa-hek main petak, berputar ia disini sampai kemudian ia berada dibelakang si orang utan. Diam-diam ia keluarkan panah beraacunnya, terdengar Toa-hek menjerit roboh karena pundaknya kena dilanggar senjata rahasia si iblis. Siauw Cu Leng kegirangan. Tapi baru saja dengan terbahakbahak ia ketawa seraya mendekati Toa-hek, dari atas pohon menyambar satu bayangan. Untung ia awas. Cepat berkelit selamatkan diri dari serangan. "Bangsat pembokong !" bentaknya sambil memandang orang yang membokong tadi. Ia terkejut juga sebab yang menyerang dirinya bukanlah manusia, tapi orang utan lagi, orang utan betina. Memang Jihek yang datang hendak menolong suaminya yang terancam bahaya. Segera mukanya si iblis berubah. Napsu membunuhnya tampak dari romannya yang beringas. Ia kerahkan lwekangnya, maksudnya hendak menghajar Ji-hek dengan sekali pukul saja. Tapi pada saat Ji-hek terancam bahaya, tiba-tiba terdengar suara si rajawali mendatangi, bagaikan kapal terbang yang hendak mendarat saja, si burung raksasa menyambar Siauw Cu Leng. Pohon dimana si iblis berdiri ada merintangi si rajawali menyambar dengan leluasa. Maka ia serempet Siauw Cu Leng dengan sayapnya hingga si iblis terpental bergulingan, sebelum ia berdaya untuk menyelamatkan dirinya. Ia bergulingan menjauhi pohon kemudian ia lompat bangun, lebih jauh lagi jaraknya dari pohon yang membuat si rajawali tidak leluasa. Maka dengan enak saja Kim-tiauw permainkan Siauw Cu Leng dengan kebasan sayap dan cakaran kedua kakinya yang tajam-tajam. Tapi Siauw Cu Leng ada satu tokoh iblis yang sudah terkenal dalam kalangan Kang-ouw. Maka tidak mudah si rajawali mencomot kepalanya yang saban kali hampir tercakar sebab ketika si iblis dapat memperbaiki posisinya, segera juga serangan-serangan si rajawali di balas dengan serangan tangan yang menghembuskan angin santar. Itulah Pek-kong-ciang, pukulan udara kosong yang digunakan Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng. Si rajawali dengan demikian terus ketahuan tiap
menyambarnya. Pertarungan dilakukan hebat sekali sebab si rajawali yang kenali musuhnya yang telah melukai ia, kelihatannya sangat bernapsu sekali hendak mencakar dan mematuk binasa musuhnya itu. Siauw Cu Leng menggempur dengan hati-hati, ia pun sudah siapkan panah beracunnya untuk merobohkan si rajawali. Justru ia sudah siap, tiba-tiba terdengar suitannya Lo In. Suitan pertama si rajawali belaga pilon, tapi suitan kedua yang nadanya agak keras, membuat si rajawali tak dapat meremehkan panggilan tuannya dan ia putar tubuh melayang balik menyampari Lo In. Siauw Cu Leng menyesal sekali ia terlambat melepas panah beracunnya karena gara-gara suitan Lo In. Oleh karena itu juga, maka Siauw Cu Leng sudah mendatangi Lo In dan marah-marah di depan si bocah seperti orang gila. Tapi kesudahannya ia kena dipecundangi si jago kecil dengan hanya menggunakan kegesitan entengi tubuhnya saja. Toa-hek sangat berterima kasih atas pertolongan Lo In. Tiba-tiba ia jatuhkan diri, menyembah di depan si jago cilik. "Kau terlalu menghargai aku, Toa-hek. Bangunlah !" berkata Lo In sambil tepuk-tepuk pundaknya Toa-hek. Lo In berjaln pulang dengan diiringi oleh tentara keranya. Dalam perjalanan, Lo In berpikir mungin dalam lembah itu bukan ia sendiri manusia yang menjadi penghuninya. Munculnya si Iblis Alis Buntung sudah tentu ada kawankawannya pula yang turut dengannya. Berpendapat bahwa disekitarnya lembah mesti ada orang-orang lainnya pula yang tinggal, maka dalam hatinya jago cilik kita ingin ia ketemukan mereka itu untuk menanyakan keterangan kalau-kalau diantaranya ada yang mengetahui tentang jejaknya Liok Sinshe. Meskipun hampir dua tahun sudah, Lo In menjadi penghuni lembah, belum pernah ia melupakan Liok Sinshe. Tiap hari ia masih terus mencari jejaknya Liok Sinshe. Malah tentara keranya dikerahkan untuk membantu mencarinya. Ia sangat mencintai Liok Sinshe yang ia anggap sebagai pengganti orang tuanya, yang ia tidak tahu siapa dan dima