PENDAHULUAN Saxton (1968) menyebutkan bahwa penyesuaian perkawinan adalah ketika pasangan suami istri melibatkan satu sama lain dalam memberi respon untuk suatu kebutuhan yang diterima. Tetapi, bila salah satu pasangan hanya mampu menyesuaikan diri dengan dirinya saja tanpa melibatkan pasangannya maka akan merugikan penyesuaian pasangannya tersebut. Mulyono (2012) mengatakan bahwa salah satu kondisi yang mempersulit penyesuaian perkawinan adalah perkawinan antara pasangan yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, termasuk perkawinan antar etnis. Menurut Hurlock (1997 dalam Mulyono, 2012) bahwa proses penyesuaian yang baik mungkin akan sulit diperoleh bagi pasangan yang berbeda etnis, agama dan latar belakang sosial karena pasangan seperti ini biasanya mempunyai perbedaan minat, nilai dan bingkai rujukan. Asimilasi dalam perkawinan campuran yang disampaikan oleh Soekanto (1990) berguna untuk mengurangi perbedaan-perbedaan yang dianut. Salah satu bentuk asimilasi adalah perkawinan campuran (amalgamation). Terjadinya perkawinan antar etnis Tionghoa dan Dayak di Kalimantan Barat (KalBar) sudah ditemui sejak kedatangan etnis Tionghoa di KalBar. Djuweng (2010) mengatakan kedatangan orang Tionghoa disebut-sebut bagian dari sejarah perdagangan dan politik di Asia. Djuweng (2010) menyebutkan kedatangan pedagang Cina pertama kali ke Kalimantan sekitar abad ketiga karena ada peluang mendulang emas. Tentara-tentara Cina dan Mongol itu berhasil dipukul mundur. Djuweng (2010) menambahkan bahwa 1
2 sebagian masyarakat Cina yang dipukul mundur tersebut bergabung dengan masyarakat Cina lainnya yang sudah datang lebih dahulu dan sebagian lainnya menikah dengan wanita Dayak. Walaupun sudah disebut-sebut adanya hubungan yang saling timbal balik antara etnis Tionghoa dan Dayak, tetapi tentu keduanya memiliki perbedaan budaya mengenai kehidupan perkawinan. Menurut Mulyono (2012), perkawinan pada tradisi Cina melibatkan keluarga besar, sehingga pada tradisi Cina orangtua berperan penting dalam pengaturan perkawinan anak-anaknya. Pada generasi tua masyarakat Tionghoa, perkawinan diperuntukkan untuk keluarga bukan untuk diri sendiri, termasuk untuk meneruskan clannya (Hariyono, 1994). Walaupun demikian, Hariyono (1994) mengatakan bahwa ada pergeseran mengenai pendapat tersebut walau masih ada peranan penerusan clan. Sementara itu, menurut Andasputra (2011) pada etnis Dayak kekerabatan itu sangat penting terutama untuk kepentingan musyawarah (pembagian warisan dan hubungan perkawinan). Selain itu, masyarakat Dayak tidak mengenal adanya penurunan clan, karena masyarakat Dayak tidak mengenal
sistem
kekerabatan
matrilineal
atau
patrilineal
(Andasputra, 2011). Keluarga memainkan peranan yang penting dalam perkawinan agar tidak terdapat silsilah hubungan keluarga antar pasangan yang hendak menikah. Hubungan antara etnis Tionghoa dan Dayak dalam perkawinan dapat dijumpai saat ini. Menurut hasil wawancara yang dilakukan penulis, ditemukan bahwa adanya nilai-nilai yang telah disebutkan mengenai perkawinan pada dua etnis ini cukup memengaruhi kehidupan perkawinan dalam rumah tangga. Ada
3 yang cukup mampu bersama-sama menyepakati nilai masingmasing etnis namun ada juga yang tidak. Hurlock (1996) mengatakan bahwa studi menekankan kesulitan penyesuaian perkawinan yang hampir tidak terelakkan bila suami dan istri mendidik anak di rumah di mana pola keluarganya berbeda. Selain itu, Hurlock (1996) mengatakan bahwa salah satu dari faktor sulitnya penyesuaian perkawinan adalah perkawinan campuran. Lasswell (dalam Purgiyastuti, 2008) mengatakan bahwa faktor-faktor yang dapat memengaruhi penyesuaian perkawinan yaitu, latar belakang budaya dan kebiasaan, sikap beragama, kematangan emosi, kerukunan, cara pengambilan keputusan, dan usaha saling menghargai. Menurut Walgito (2000), kematangan emosi dan pikiran akan saling kait-mengait. Bila seseorang telah matang emosinya, telah dapat mengendalikan emosinya, maka individu akan dapat berpikir secara matang, berpikir secara baik, berpikir secara objektif. Saxton (1968) mengatakan bahwa kegagalan hubungan perkawinan tersebut disebabkan oleh salah satu dari sekian banyak faktor kegagalan, yaitu ketidakmatangan emosi pasangan tersebut. Apalagi kedua pasangan berasal dari latar belakang individu yang berbeda, baik itu ekonomi dan etnis (heterogenomy), dengan nilai yang berbeda-beda dan mereka bawa pada perkawinan, kedua pasangan diharapkan mampu untuk saling menyesuaikan (Saxton, 1968). Pada penelitian sebelumnya, Dean (1966) yang mengukur kematangan emosi terhadap penyesuaian perkawinan dengan korelasi antar suami, antar istri, juga suami istri, menemukan bahwa
4 penilaian diri sendiri dalam kematangan emosi berhubungan secara positif dengan penyesuaian pernikahan untuk korelasi antar suami (0, 28) dan antar istri (0,35) dan bahwa pada pengukuran kematangan emosi antar pasangan suami-istri berhubungan lebih kuat secara positif untuk para istri (0, 55). Berbeda dengan Purgiyastuti (2008) yang menemukan bahwa adanya hubungan yang positif dan signifikan antara kematangan emosi dengan penyesuaian perkawinan, korelasi yang ada (0, 805). Walaupun demikian, ada perbedaan yang ditemukan oleh Mulyono (2012) pada penelitian perkawinan
beda
etnis
Tionghoa-
Jawa.
Mulyono
(2012)
menemukan bahwa faktor adat-istiadat, ekonomi, agama, dan pemukiman menjadi faktor penting dalam penyesuaian perkawinan beda
etnis
sementara
penelitian
lain
menekankan
bahwa
kematangan emosi menjadi faktor yang berpengaruh dalam penyesuaian perkawinan. Itulah sebabnya Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan antara kematangan emosi dengan penyesuaian perkawinan beda etnis Tionghoa-Dayak di Kalimantan Barat?”
LANDASAN TEORI Penyesuaian Perkawinan Beda Etnis Spanier (1976) menyebutkan bahwa penyesuaian perkawinan merefleksikan perasaan dan pertanyaan tentang bagaimana interaksi, komunikasi dan konflik yang dialami oleh pasangan suami istri (Rachmawati, 2013).
5
Pengertian Perkawinan Beda Etnis Pengertian perkawinan beda etnis adalah bersatunya dua orang sebagai suatu ikatan dan komitmen legal yang mengandung tujuan bersama membentuk suatu kehidupan rumah tangga dan keluarga bahagia untuk saling berbagi keintiman fisik dan emosional, berbagi tanggung jawab, dan sumber pendapatan tetapi dengan latar belakang pasangan yang berbeda golongan manusia menurut kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma bahasa, sejarah, geografis, dan hubungan kekerabatan.
Etnis Dayak Djuweng dan Krenak (2010) menyatakan bahwa Dayak adalah nama kolektif yang kemudian membentuk sebuah label etnik untuk menyebut kira-kira 450 suku asli non muslim yang mendiami pulau Kalimantan (Borneo).
Etnis Tionghoa Coppel (1994) menyebutkan bahwa orang Tionghoa di Indonesia didefinisikan sebagai orang keturunan Tionghoa yang berfungsi sebagai warga negara atau berpihak pada masyarakat Tionghoa dan dianggap oleh orang pribumi Indonesia sebagai orang Tionghoa sehingga mendapatkan perlakuan tertentu sebagai akibatnya. Faktor-faktor yang Memengaruhi Penyesuaian Perkawinan Lasswell (dalam Purgiyastuti,2008) menyebutkan beberapa faktor yang memengaruhi penyesuaian perkawinan;
6 a. Latar belakang budaya dan kebiasaan Mulyono (2012) menjelaskan bahwa persamaan latar belakang budaya antara suami dan istri merupakan hal yang baik, sedangkan jika terdapat perbedaan latar belakang yang cukup besar maka hal tertentu ini dapat menyulitkan penyesuaian dalam pernikahan.
b. Sikap beragama DeGenova
(2005)
memaparkan
mengenai
sikap
beragama sebagai penyesuaian dalam perkawinan yaitu dapat
menerima
dengan
baik
keyakinan
beragama
pasangannya juga mengamalkan ritual keagamaannya.
c. Kematangan emosi Kematangan emosi dan pikiran akan saling kaitmengait. Bila seseorang telah matang emosinya, telah dapat mengendalikan emosinya, maka individu akan dapat berpikir secara matang, berpikir secara baik, berpikir secara objektif (Walgito, 2000)
d. Kerukunan DeGenova
dkk
(2005)
mengatakan
kerukunan
disebutkan sebagai usaha penyesuaian perkawinan untuk mengidentifikasi penyebab masalah dan keadaan dalam masalah tersebut, menangani konflik secara konstruktif dan memecahkan masalah.
7 e.
Cara Pengambilan Keputusan DeGenova
dkk
(2005)
menerangkan
bahwa
pengambilan keputusan ini adalah suatu usaha sebagai tugas dari perkawinan.
f. Usaha Saling Menghargai Usaha saling menghargai yang dimaksud adalah bila individu menyesuaikan moral, nilai, etika, keyakinan, filosofi dan tujuan hidup pasangannya.
Hal Penting bagi Kebahagiaan Perkawinan Menurut Hurlock (1996) empat pokok yang paling penting bagi kebahagiaan perkawinan adalah:
a. Penyesuaian dengan pasangan Bagaimanapun
juga
dalam
kasus
perkawinan,
hubungan interpersonal jauh lebih sulit untuk disesuaikan daripada kehidupan bisnis, sebab dalam perkawinan terdapat kerumitan karena ditimbulkan faktor kehidupan individual.
b. Penyesuaian seksual Masalah penyesuaian seksual merupakan masalah paling sulit dan seringkali menyebabkan pertengkaran dan ketidakbahagiaan perkawinan apabila kesepakatan ini tidak dapat dicapai dengan memuaskan.
8
c. Penyesuaian keuangan Uang dan kurangnya uang mempunyai pengaruh yang kuat
terhadap
penyesuaian
perkawinan.
Penyesuaian
keuangan sangat penting dilakukan untuk menghindar dua hal yang
kemungkinan
akan
terjadi.
Pertama,
adanya
percekcokkan yang terjadi karena istri berharap suami dapat menangani bagian dari tugasnya. Kedua, untuk menunjukkan bahwa mereka adalah keluarga yang berhasil maka mereka membeli harta benda untuk meningkatkan mobilitas sosial sebagai keluarga yang berhasil.
d. Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan Dengan perkawinan, setiap orang dewasa akan secara otomatis memperoleh sekelompok keluarga. Mereka itu adalah anggota keluarga pasangan dengan usia yang berbedabeda, yang kerapkali mempunyai minat dan nilai yang berbeda. Bahkan seringkali sangat berbeda dari pendidikan, budaya, dan latar belakang sosialnya.
Komponen Penyesuaian perkawinan Beda Etnis Menurut Spanier (1976), komponen penyesuaian pasangan dalam perkawinan adalah:
a. Kepuasan antar pasangan (Dyadic Satisfaction) Dyadic satisfaction atau kepuasaan hubungan adalah derajat kepuasan dalam hubungan.
9
b. Kohesivitas antar pasangan(Dyadic Cohesion) Dyadic cohesion atau kedekatan hubungan adalah kebersamaan atau kedekatan, yang menunjukkan seberapa banyak pasangan melakukan berbagai kegiatan secara bersama-sama dan menikmati kebersamaan yang ada.
c. Konsensus antar pasangan (Dyadic Consensus) Dyadic
Consensus
adalah
kesepahaman
atau
kesepakatan antar pasangan dalam berbagai masalah dalam perkawinan seperti keuangan, rekreasi, keagamaan.
d. Ekspresi efeksi (Affectional Expression) Affectional expression atau ekperesi afeksi adalah kesepahaman dalam menyatakan perasaan dan hubungan seks maupun masalah yang ada mengenai hal-hal tersebut. Bagi beberapa orang tidak mudah untuk membiarkan orang lain mengetahui siapa mereka, apa yang mereka rasakan atau apa yang mereka fikirkan.
Kematangan Emosi Pengertian Kematangan Emosi Coleman (dalam Saxton 1968) mendefinisikan kematangan emosi meliputi dua kali kesadaran: kesadaran akan kebutuhan dan nilai diri sendiri, juga kesadaran dan nilai orang lain maupun masyarakat yang lebih luas. Walgito (2000) menyebutkan kematangan emosi berarti dapat
berpikir
secara
obyektif,
tidak
bersifat
impulsif,
mengontrol emosi dengan baik, bersikap sabar dan penuh
10 pengertian, memiliki toleransi yang baik, bertanggungjawab, mandiri, tidak mudah frustrasi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kematangan emosi adalah satu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional yang ditunjukkan dengan kesadaran akan kebutuhan dan nilai diri sendiri dan juga orang lain, berpikir secara obyektif, tidak bersifat impulsif, mengontrol emosi dengan baik, bersikap sabar dan penuh pengertian, memiliki toleransi yang baik, bertanggungjawab, mandiri, tidak mudah frustrasi.
Komponen-komponen kematangan emosi Menurut Dean (1966), komponen dalam kematangan emosi meliputi komponen di bawah ini:
a. Ability to handle Stress Individu yang emosinya sudah matang, ditandai dengan kemampuannya menangani stres dalam kehidupan sehari-hari tanpa ketegangan yang tidak pantas.
b. Ability to handle Anger Individu
yang
sudah
matang
emosinya
dapat
menangani frustrasi dan kemarahan secara sosial berguna atau paling tidak memiliki tata cara yang hangat dalam bersosialisasi.
11
c. Healthy relationship with Authority Individu
yang sudah matang emosinya dapat
menerima suatu wewenang tetapi tidak bergantung pada wewenang tersebut.
d. Integration Individu menyatu dengan filosofi hidup dan moodnya. Apa yang dipikirkan individu tersebut tampak sejalan dengan perasaan yang dimunculkan oleh individu tersebut.
e. Self control Individu melakukan
yang sudah matang emosinya dapat
kontrol
menyeimbangkan
diri
dirinya,
yang
baik.
mengatur
Individu emosi,
dapat maupun
perilakunya.
f. Judgement Individu yang matang emosinya memiliki penilaian yang baik. Individu akan memberikan penilaian secara objektif, tidak memihak.
g. Heterosexual relationship Individu mengembangkan hubungan yang mendalam dan memberi kenyamanan kepada berbagai lawan jenis. Hubungan yang terjadi berupa kemampuan individu untuk bersikap kepada lawan jenis apa saja.
12 h. Attitude toward learning Sudut pandang individu lebih terbuka. Individu memandang
masalah
dari
berbagai
sisi
oleh
karena
pembelajaran yang ia dapatkan sepanjang hidupnya. Dia sudah memiliki perilaku yang terbuka terhadap pembelajaran, misalnya: “He is teachable”.
i. Intelectual maturity Individu yang sudah matang emosinya sudah mencapai level “dewasa” dari kematangan intelektual.
j. Responsibility Individu menjadi
lebih bertanggungjawab atas
konsekuensi dari sikapnya ataupun tindakannya.
k. Egocenteredness-sosioceneredness Individu
mulai
mengalihkan
pikirannya
untuk
kepentingan sosial daripada memikirkan kepentingan dirinya sendiri.
Pemusatan
pikiran
tidak
semata-mata
kepada
kebutuhan dirinya, melainkan kepada orang lain juga.
l. Communication Individu yang emosinya sudah matang mampu untuk mengkomunikasikan idenya secara efektif. Selain itu, individu juga sudah mampu untuk berkomunikasi dengan orang lain secara efektif.
13 m. Emotional security Individu yang sudah matang secara emosi akan memiliki rasa aman secara emosional. Individu tidak akan bergantung sepenuhnya kepada orang lain. Individu akan merasa aman walaupun berjauhan dengan orang dekatnya atau pasangannya.
n. Social poise Individu yang sudah matang emosinya akan memiliki sikap tenang yang sesuai dengan keadaannya. Individu yang mampu mengontrol dirinya akan memiliki keseimbangan dalam bersikap sehingga akan menunjukkan sikap tenangnya dalam berbagai situasi.
Hipotesis H0
: Tidak ada hubungan yang positif dan signifikan
antara kematangan emosi dengan penyesuaian perkawinan beda etnis. H1
: Ada hubungan yang positif dan signifikan antara
kematangan emosi dengan penyesuaian perkawinan beda etnis. Jika skor kematangan emosi tinggi, maka skor penyesuaian perkawinan tinggi. METODE Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan berdasarkan analisisnya adalah
penelitian
dengan
pendekatan
kuantitatif.
Penelitian
dilakukan sejak tanggal 20 Desember 2013 sampai tanggal 2 Januari
14 2014. Dalam pengambilan data, peneliti juga menjelaskan bahwa angket yang diberikan merupakan pengumpulan data untuk penyelesaian skripsi peneliti. Pelaksanaan penelitian dilakukan di Provinsi Kalimantan Barat, khusunya Kota Sanggau dan Kota Ngabang.
Partisipan Jumlah partisipan dalam peneilitian ini yaitu 40 orang yang terdiri dari 20 pria dan 20 wanita, menikah beda etnis TionghoaDayak, bertempat tinggal di Kalimantan Barat.
Prosedur Sampling Teknik pengambilan sampel atau teknik sampling yang dilakukan adalah non-probability sampling dengan Incidental Sampling. Pengambilan sampel ini dilakukan karena tidak adanya data terkait jumlah populasi yang akan dijadikan sampel.
Pengukuran Alat ukur yang digunakan adalah skala kematangan emosi yang penulis buat berdasarkan teori Dean (1966) dan Skala Penyesuaian Perkawinan yang dimodifikasi dari Dyadic Adjusment Scale milik Spanier (1976). Sebelumnya, Skala Kematangan Emosi telah melalui tahap validitas melalui validitas isi oleh expert judgement (dosen pembimbing utama dan dosen pembimbing pendamping). Skala Kematangan Emosi diuji dengan uji beda aitem menghasilkan 21 aitem gugur dan 35 aitem valid dari 56 aitem. Aitem bergerak dari Nilai α bergerak dari 0,219 – 0,684. Koefisien reliabilitas Alpha didapatkan melalui Alpha Cronbach dengan
15 α=0,904. Koefisien reabilitas Alpha Dyadic Adjusment Scale milik Spanier (1976) sebesar α=0,86 dan Dyadic Adjusment Scale dilakukan telah dilakukan validitas melalui criterion-related validity dan construct validity. Pada penelitian ini, dilakukan modifikasi skala, uji bahasa, validitas isi dan terjemahan Dyadic Adjusment Scale ke Bahasa Indonesia. Koefisien reabilitas Alpha setelah dimodifikasi, uji bahasa, validitas isi dan setelah diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahahasa Indonesia melalui Alpha Cronbach adalah α= 0,924. Semua aitem valid dari 32 aitem dan Nilai α aitem bergerak dari 0,296 – 0, 834.
Hasil Melalui uji statistik deskriptif ditemukan bahwa pada variabel kematangan emosi M= 110,25, SD= 20, N=40. Pada variabel penyesuaian perkawinan M= 119,75, SD= 20,44, N=40. Hasil uji analisis diferensial ditemukan bahwa sampel tidak berdistribusi normal, pada variabel kematangan emosi ditemukan sig. 0.150 (p>0.005) dan pada variabel penyesuaian perkawinan ditemukan berdistribusi normal dengan sig. 0.000 (p>0.005). Pada uji linieritas ditemukan sig. .623 dengan F=0,894. Pada uji hipotesis ditemukan rxy = 0,283 dan p= 0,038 (p<0,05) yang artinya H0 ditolak dan H1 diterima.
Pembahasan Dari
hasil
uji
hipotesis
dapat
disimpulkan
bahwa
kematangan emosi berhubungan positif dengan penyesuaian perkawinan (rxy= 0,283) dan signifikan yaitu p= 0,038 (p<0,05 one tailed). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kematangan
16 emosi maka penyesuaian perkawinan juga semakin tinggi. Penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Purgiyastuti (2008) yang mengatakan bahwa adanya hubungan positif dan signifikan antara kematangan emosi dengan penyesuaian perkawinan, yaitu r = 0, 805 dengan p sebesar 0,000 (p<0,05). Penelitian ini menolak penelitian Mulyono (2012) yang dilakukan secara kualitatif, yang menyebutkan bahwa faktor adat-istiadat, ekonomi, agama, dan pemukiman menjadi faktor penting dalam penyesuaian perkawinan beda etnis. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa variabel kematangan emosi memberikan sumbangan efektif sebesar 8% terhadap penyesuaian perkawinan. Artinya, ada 92% faktor lain yang memengaruhi
seseorang
untuk
menyesuaikan
diri
dengan
pasangannya yang berlatar belakang beda etnis. Walaupun uji hipotesis membuktikan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan pada variabel kematangan emosi dan penyesuaian perkawinan, namun hubungan tersebut rendah. Santoso (2008) mengatakan bahwa angka korelasi di atas 0,5 menunjukkan korelasi yang cukup kuat, sedangkan di bawah 0,5 korelasi lemah. Hal ini didukung dengan nilai determinasi yang hanya 8% pada variabel kematangan emosi untuk memberikan pengaruh pada penyesuaian perkawinan. Untuk sisanya (100% - 8% = 92%) adalah variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini, misalnya latar belakang budaya dan kebiasaan, sikap beragama, kerukunan, cara pengambilan keputusan dan usaha saling menghargai. Dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti ditemukan bahwa rata-rata tingkat kematangan emosi pasangan yang menikah
17 beda etnis terletak pada kategori tinggi dengan nilai Mean sebesar 110,25 dari nilai kategorisasi 0-175 dengan interval sebesar 35 dan SD= 20. Saxton (1968) mengatakan bahwa pasangan yang berasal dari latar belakang individu yang berbeda, baik itu ekonomi dan etnis (heterogenomy), membawa nilai-nilai yang berbeda sehingga mereka diharapkan mampu untuk saling menyesuaikan agar tidak mengalami keretakan hubungan perkawinan karena faktor ketidakmatangan emosi. Vincent dan Satir (dalam Cole, 1980) menemukan bahwa individu dan kelompok pasangan yang sejahtera secara emosional dalam perkawinan memiliki dampak yang signifikan untuk mampu menangani tuntutan-tuntutan dari lingkungan sekitar mereka. Ketidakmatangan emosi membuat individu tidak dapat menghadapi
krisis-krisis
yang
terjadi
dalam
kehidupan
berkeluarga, tampaknya hal inilah yang menjelaskan mengapa pasangan yang menikah saat remaja tidak matang secara emosi (Bartz, Nye, Lewis, Spanier, Otto dalam Cole, 1980). Pada wawancara ketika penelitian dilakukan, peneliti menemukan bahwa 82,5% usia pasangan saat menikah adalah lebih dari 21 tahun. Hal ini dibuktikan dengan nilai rata-rata kematangan emosi pada populasi berada dalam kategori tinggi. Selan itu, variabel penyesuaian perkawinan terletak pada kategori tinggi dengan nilai Mean sebesar 119,75 dari nilai kategorisasi 0-160 dengan interval sebesar 32 dan SD= 20,44. Hal ini karena kedua etnis memiliki persamaan nilai bahwa keluarga itu penting, namun memiliki perbedaan dalam memaknai pentingnya keluarga. Dawis (2009) mengatakan bahwa keluarga Tionghoa mensosialisasikan bahwa bakti anak kepada orangtua,
18 hormat kepada leluhur, dan pemilihan jodoh atau pasangan hidup sebagai lambang budaya Tionghoa. Etnis Dayak memandang bahwa kekerabatan itu sangat penting terutama untuk kepentingan musyawarah (pembagian warisan dan hubungan perkawinan) (Andasputra, 2011). Hubungan perkawinan yang dimaksud adalah untuk mengatur perkawinan pada etnis Dayak agar tidak terjadi perkawinan yang sumbang atau melakukan perkawinan sedarah hingga pada garis keturunan ke delapan (Andasputra dan Julipin, 2011).
Orang-orang
Tionghoa
menganut
sifat
patriarikal
(Haryono, 1993), sedangkan Andasputra dan Julipin (2011) menyebutkan bahwa orang dari etnis Dayak tidak menganut sistem mattrilineal atau patrilineal. Sistem kekerabatan berdasarkan ke dua belah pihak secara seimbang (Andasputra dan Julipin, 2011). Dawis (2009) menyebutkan bahwa adanya alasan keberatan orangtua terhadap pribumi sebagai suami atau istri anak-anak mereka adalah bahwa orang Tionghoa memiliki status lebih tinggi dari orang pribumi. Dalam penelitian yang dilakukan, peneliti menemukan bahwa subjek yang berasal dari etnis Tionghoa menganggap status antara entnisnya dan etnis lain adalah sama, tidak ada yang lebih tinggi. Hal tersebut didukung dengan pernyataan Haryono (1993) yang menyebutkan bahwa perkawinan campur hanya dapat terjadi di kalangan orang-orang yang semangat dan pikirannya tidak terikat oleh sentimen nilai-nilai kesukuan, seperti nilai-nilai familiisme dan etnosentrisme. Jika nilai-nilai familiismenya lemah, maka perasaan in group feelingnya juga lemah dan memudahkan terjadinya proses perkawinan campur (Haryono, 1993).
19 Hal ini didukung dengan kemampuan etnis Dayak yang mampu menyerap praktik kebudayaan dari etnis Cina atau Tionghoa (Djuweng, 2010). Orang Dayak yang lebih terbuka dapat menyerap lebih cepat budaya etnis lain, dalam hal ini apabila pasangannya berasal dari etnis Tionghoa. Selain itu, garis keturunan yang egalitarian (memandag seimbang pihak Ayah dan Ibu) bagi etnis Dayak tidak mempermasalahkan mengenai penerusan clan bagi etnis Tionghoa. Mulyono (2012) menyebutkan bahwa beberapa faktor yang memengaruhi penyesuaian di dalam perkawinan orang yang menikah beda etnis antara lain pendidikan dan penyesuaian dengan keluarga. Pada penelitian, 37,5% subjek mengenyam pendidikan SMA/SMK. Selain itu, subjek tidak hanya bergaul dengan keluarga dari dirinya saja, melainkan dengan pihak pasangannya juga. Subjek mengatakan bahwa mereka saling mengunjungi sanak saudara dari pihak pasangannya juga. Kekurangan dari penelitian ini adalah sedikitnya sampel yang diambil dikarenakan tidak diketahuinya sumber populasi orang yang menikah beda etnis Tionghoa-Dayak di Kalimantan Barat.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan yang diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa : 1.
Terdapat hubungan yang positif yang ditunjukkan dengan (rxy= 0,283) signifikansi
0,038 (sig.≤0.05). Hal ini
menyatakan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima.
20 2.
Kematangan emosi orang yang menikah beda etnis TionghoaDayak rata-rata masuk dalam kategori tinggi yaitu dengan nilai mean 110,25. Penyesuaian perkawinan orang yang menikah beda etnis Tionghoa-Dayak masuk dalam kategori tinggi dengan nilai mean 119,75.
3.
Sumbangan
efektif
(koefisien
determinasi)
variabel
kematangan emosi terhadap variabel penyesuaian perkawinan adalah 8%, faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini yaitu latar belakang budaya dan kebiasaan, sikap beragama, kerukunan, cara pengambilan keputusan dan usaha saling menghargai sebesar 92%. Saran Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, peneliti mengajukan beberapa saran bagi: 1.
Para
Psikolog
Perkembangan,
dan
Ilmuwan
Psikologi
di
Sosial
bidang dan
Psikologi
Budaya
agar
menggiatkan konseling pranikah pada calon pasangan yang akan
menikah
beda
etnis
Tionghoa-Dayak
untuk
mempertahankan kematangan emosi yang tinggi pada kedua etnis. 2.
Peneliti selanjutnya agar meneliti faktor lain yang sebesar 92%,
mungkin
saja
dapat
memengaruhi
penyesuaian
perkawinan para pasangan yang menikah beda etnis Tionghoa-Dayak, yang tidak diteliti oleh peneliti dalam penelitian ini, karena sumbangan efektif variabel kematangan emosi sebesar 8% saja. Selain itu, penulis juga menyarankan kepada peneliti selanjutnya agar melakukan penelitian tidak hanya di Kalimantan Barat, mungkin dapat dilakukan di
21 daerah lain misalnya di Kalimantan Selatan atau Kalimantan Timur yang populasi penduduk etnis Tionghoa dan Dayaknya lebih sedikit. 3.
Pasangan yang menikah beda etnis Tionghoa-Dayak untuk mempertahankan kematangan emosi yang sudah ada. Selain itu, disarankan agar mempertahankan komponen-komponen penyesuaian perkawinan yaitu kepuasan antar pasangan (dyadic satisfaction), kohesivitas antar pasangan (dyadic cohesion), kedekatan antar pasangan (dyadic consensus) dan ekpresi afeksi (affectional expresion).
Daftar Pustaka Andasputra, N & Djuweng, S.(2010). Manusia Dayak Orang Kecil yang Terperangkap Modernisasi cetakan ke Tiga. Pontianak: Institut Dayakologi. _____________& Julipin, V. (2011). Mencermati Dayak Kanayatn. Pontianak: Institut Dayakologi. Cole, C.L., Cole, A.L., Dean, D.G.(1980). Emotional Maturity and Marital Adjusment: A Decade Replication. Journal of Marriage and Family, vol. 42, No.3 (Aug., 1980), pp. 533539. Coppel, C.A. (1994). Tionghoa Indonesia dalam Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Dawis, A. (2009). Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
22 DeGenova, M.K., Rice, F.P. (2005). Intimate Relationship, Marriages, and Families. Sixth Edition. New York: McGraw Hill. Dean, D.G.(1966). Emotional Maturity and Marital Adjusment. Journal of Marriage and Family, vol. 28, No.4 (Nov., 1966), pp. 454-457. Hariyono, P. (1993). Kultur Cina dan Jawa; pemahaman menuju asimilas kultrural. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hurlock, E.B. (1996). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan Edisi Ke Lima.Jakarta: Erlangga. Mulyono, A.S. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyesuaian Perkawinan Pada Istri Beretnis Cina Yang Mempunyai Suami Beretnis Jawa. (2012). Tesis.(Tidak Diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata.Semarang. Purgiyastuti, A. (2008). Hubungan Antara Kematangan Emosi dengan Penyesuaian Diri dalam Perkawinan. Skripsi.(Tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga. Rachmawati, D., Mastuti, E. (2013). Perbedaan Tingkat Kepuasan Perkawinan Ditinjau Dari Tingkat Penyesuaian Perkawinan Pada Istri Brigif 1 Marinir Tni – Al Yang Menjalani Long Distance Marriage. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Volume 02, No. 01. Saxton, L. (1968). The Individual and the Marriage Family. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company, Inc. Spanier, G.B. Measuring Dyadic Adjustment: New Scales for Assessing the Quality of Marriage and Similar Dyads. Journal Of Marriage and the Family, vol. 38, No.1. (Feb., 1976), pp. 12-28. New York: Pennsylvania State University.
23 Soekanto, S. (1990). Sosiologi Suatu Pengantar Edisi keempat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Walgito,B.(2000).Bimbingan & Konseling Perkawinan. Yogyakarta: Andi.