Agustrisno
Serbadua yang Saling Melengkapi: Sistem Kepercayaan Masyarakat …
SERBADUA YANG SALING MELENGKAPI: Sistem Kepercayaan Masyarakat Cina Medan terhadap ‘Datuk’ dan ‘Pekong’1 Agustrisno Antropologi Fisip USU Medan
Abstrak Tulisan ini menggambarkan sistem kepercayaan sinkretis pada masyarakat Tionghoa di Kota Medan. Kepercayaan ‘shenisme’ atau kepercayaan terhadap berbagai makhluk gaib yang menjadi anutan turuntemurun bagi orang Tionghoa, ternyata telah pula mengadopsi unsur lokal yaitu dengan masuknya tokoh ‘Datuk’ sebagai makhluk gaib yang ikut disembah penganut ‘shenisme’ di Kota Medan. ‘Datuk’ dipercaya sebagai makhluk gaib yang mendiami dunia bawah, berasal muasal dari manusia, tetapi yang pernah hidup di daerah Sumatera Timur (Medan dan sekitarnya) di masa lampau. Dalam budaya lokal di Sumatera Timur, selain bermakna sebagai gelar bangsawan, ‘Datuk’ juga digunakan untuk menyebutkan makhluk gaib sebagai penghormatan.
Kata kunci: Cina, datuk, pekong, , yin-yang
Pendahuluan 1 Banyak ahli berpendapat bahwa kendatipun budaya Eropa yang memacu kemajuan teknik dan ilmu pengetahuan modern, serta kegiatan ekonomi yang pesat, namun etos Timur yang diwarnai ajaran Konfusius masih tetap kuat dirasakan di Asia (Sudiarja, 1996: 1). Pada umumnya mereka adalah masyarakat keturunan Cina termasuk yang ada di Indonesia. Keberadaan mereka masih berhubungan dan dipengaruhi oleh budaya leluhurnya. Di kota Medan masyarakat Cina merupakan kelompok yang penting dan berarti, terutama karena mereka dapat menguasai kehidupan di bidang ekonomi, baik di sektor perdagangan maupun industri tingkat 'menengah' dan 'atas' (Pelly, 1983:6). Keberhasilan mereka karena memiliki 'sikap mental yang responsif' terhadap perkembangan dan kemajuan zaman (Mattulada, 1980:5-18). Walaupun mereka dapat menampilkan nilai-nilai kehidupan kota yang majemuk, moderen dan serba kompleks, namun etos kehidupannya masih tetap 'diimbangi' oleh kepercayaan religius yang kuat. 1
Tulisan ini adalah makalah yang disampaikan pada Acara Seminar Internasional Asosiasi Tradisi Lisan di Hotel Indonesia Jakarta, pada tanggal 2-5 Oktober 2003.
Kepercayaan Masyarakat Cina di Kota Medan Masyarakat Cina Medan menganut lebih dari satu kepercayaan (sinkretisme), seperti Buddha, Khong Hu Cu, dan Tao, yang dikenal dengan istilah Tri Dharma, Sam Kauw atau 'San Chiao Wei Yi' (ketiga agama adalah satu) (Hadiluwih, 1994: 207-208). Di samping itu juga mereka tetap mempercayai berbagai makhluk gaib (supra-alami). Kepercayaan terhadap berbagai makhluk gaib seperti itu dikenal sebagai kepercayaan "shenisme" (Cheu Hock-Tong, 1982-83: 203; Bloomfield, 1986:39; Gondomono, 1995:91). Kepercayaan shenisme sudah ada sejak dahulu dan merupakan warisan secara temurun dari generasi ke generasi. Kepercayaan shenisme tidak memiliki kitab-kitab dan "tidak banyak dibicarakan orang" (Gondomono, 1995:92). Kepercayaan shenisme merupakan kepercayaan yang masih begitu "rahasia" dan jarang diungkapkan atau dijelaskan oleh orang Cina sendiri, apalagi oleh orang luar. Kepercayaan seperti itu dianggap sebagai tradisi "Hsien" (abadi) di dalam kehidupan masyarakat Cina (Bloomfield, 1986:43). Di antara jenis makhluk gaib yang mereka anggap penting adalah makhluk gaib 'tokoh' bersifat lokal (Onghokham, 1995:145). Makhluk gaib ini mereka anggap paling berpengaruh dalam kehidupan mereka sehari-hari (Bloomfield, 1986:36). Di kota Medan dan di Malaysia makhluk gaib 'tokoh' lokal ini disebut
1
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005
'Datuk' (Agustrisno, 1995:1; Tan Chee-Beng, 1981; Cheu Hock-Tong, 1982-83:103). Sebutan 'Datuk' identik dengan sebutan tokoh lokal setempat. Di Jawa lebih dikenal dengan sebutan 'Mbah' atau 'Kiayi' (Nio Joe-Lan, 1961:70; Salmon dan Denys Lombard, 1985:76). Di Taiwan disebut dengan 'Bo Gong' (untuk jenis yang laki-laki) dan 'Bo Po' (untuk jenis yang perempuan). Sedangkan di Hongkong, lebih dikenal dengan sebutan 'Tu Di' (Bloomfield, 1986:37-38). Menurut Salmon dan Denys Lombard, makhluk gaib tokoh bersifat lokal ini dahulunya adalah tokoh historis setempat, yang memiliki kepandaian atau 'kesaktian' dimasa hidupnya (1985:76). Fenomena sinkretisme kepercayaan orangorang Cina di kota Medan ini dimungkinkan karena telah terjadi tiga hal yang mereka alami dalam hidupnya. Pertama, proses sosialisasi dan enkulturasi secara turun-temurun dari warisan generasi sebelumnya tanpa dibedakan masingmasing kepercayaan itu. Apa yang diajarankan kepada mereka merupakan campuran dari berbagai sistem kepercayaan animisme, Taoisme, Konfucianisme, dan Budhisme. Akhirnya diterima begitu saja dan dianggap merupakan suatu tradisi dari kebudayaan Cina sebelumnya, yang dipopulerkan oleh tokoh-tokoh keagamaan mereka sendiri. Kedua, merupakan hasil dari pergulatan mencari 'jati diri' dalam proses interaksi mereka dengan alam sekitarnya, baik fisik ataupun sosialbudaya setempat. Sehingga, mereka tidak perlu membedakan-bedakan aliran ataupun mazhab yang satu dengan lainnya, yang penting unsur-unsur dari setiap kepercayaan dapat memberikan makna dan arti untuk kebahagiaan hidupnya. Ketiga, masuknya suatu faham atau aliran baru dari luar Cina, ternyata dapat berkembang bersama-sama dengan budaya, filsafat, kepercayaan dan agama yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu sering dinyatakan bahwa, salah satu karakteristik dari filsafat Cina adalah sifat toleran dan menghargai pendapat atau filsafat orang lain, walaupun mungkin pandangan itu berbeda maupun bertolak belakang sama sekali dengan filsafat yang telah berkembang dalam masyarakat (Lasiyo, 1996: 1112). Sebagai penganut kepercayaan sinkretisme masyarakat Cina di kota Medan mengenal berbagai makhluk gaib, antara lain adalah: "Thie Kong" atau Thian, Thien (Tuhan): dianggap sebagai "RAJA DEWA" atau DEWA TERTINGGI. Menurut kepercayaan mereka, 'Thie Kong' rupa wujudnya tidak dapat dilukiskan dan tidak dapat dicerna atau direka oleh daya fantastik atau akal pikiran manusia. Meskipun demikian, 'Thie Kong'
2
dipercayai menduduki kekuasaan yang paling tinggi dari segala-galanya di dunia ini, baik nyata (alami) maupun yang gaib (supra-alami). Untuk menyatakan rasa syukur dan pujian terhadap 'Thie Kong', biasanya mereka membuat sebuah altar pemujaan, yang dibuat dari bahan papan (kayu) dengan berukuran panjang sekitar 25 cm dan lebarnya 10 cm. Altar tersebut diberi cat berwarna merah dan di tengah-tengahnya dituliskan huruf Cina (Kanji), yang dituliskan dengan memper-gunakan cat berwarna kuning keemasan. Altar ini biasanya mereka letakan melekat di dinding luar rumah, dekat di sebelahan kanan pintu depan rumah. Altar ini dapat kita temui pada setiap bangunan rumah-rumah penduduk Cina di kota Medan, dengan posisi tegak (vertikal) setinggi 150 cm dari permukaan tanah, yang dilengkapi rak penyanggah yang diperbuat dari bahan papan ataupun logam, rak ini juga diberi cat berwarna merah. Rak tersebut berfungsi sebagai penempat berbagai peralatan penyembahan seperti: "hio" (gaharu) dan lilin merah (yang biasanya bertangkai) ataupun lampu listrik yang mirip seperti lilin merah (sebagai pengganti lilin merah). Altar 'Thie Kong' dapat juga ditemui di setiap bangunan klenteng 'Pe'Kong', namun bentuknya berbeda dari pada altar 'Thie Kong' yang terdapat dimasing-masing setiap rumah penduduk Cina. Altar 'Thie Kong' yang terdapat di klentengklenteng 'Pe'Kong' berukuran lebih besar, dan terpisah dengan bangunan klenteng 'Pe'Kong'. Sedangkan bentuknya pada masing-masing klenteng selalu bervariasi. Altar 'Thie Kong' ini biasanya diperbuat dari semen beton kira-kira setinggi meja makan dan juga diberi bercat warna merah, ukuran besarnya kira-kira 1 m persegi, terpisah dengan bangunan klenteng 'Pe'Kong' seolah-olah menghadap (menga-rah) persis ke pintu masuk ruangan klenteng 'Pe'Kong'. Saat melakukan pemujaan atau penyembahan terhadap 'Thie Kong', biasanya mereka lakukan pada tiap pagi dan menjelang malam hari. Jadi setiap hari mereka harus melakukannya sebanyak dua kali. Bagi setiap rumah tangga hanya seorang anggota keluarga saja yang melakukannya. "Pe'Kong": merupakan makhluk gaib (supraalami) yang menurut kepercayaan mereka 'Pe'Kong' mendiami dunia atas, kayangan, atau langit, tetapi memiliki pengaruh langsung terhadap kehidupan manusia di dunia ini. 'Pe'Kong' dapat diidentikan dengan sebutan "DEWA-DEWAI penjaga LANGIT". 'Pe'Kong' dahulunya juga adalah berasal dari manusia, yang pernah hidup di zaman dahulu di daratan Tiongkok (Cina).
Agustrisno
Serbadua yang Saling Melengkapi: Sistem Kepercayaan Masyarakat …
Menurut kepercayaan mereka, kehidupan di dunia 'Pe'Kong' (di alam gaib), seperti kehidupan di alam manusia ini, mereka ('Pe'Kong') juga memiliki sistem kemasyarakatannya sendiri. Struktur tertinggi dalam kemayarakatan dunia 'Pe'Kong' diduduki oleh "Hwan Tie Kong" (PANGLIMA PE'KONG). Untuk penyembahan terhadap 'Pe'Kong', mereka harus melakukannya di bangunan yang disebut klenteng, atau sering juga disebut 'Pe'Kong' saja. Bangunan klenteng 'Pe'Kong' biasanya diberi cat berwarna merah, dan atap anjungannya biasanya terdapat gambar naga. Menurut orang Cina, pada sebuah bangunan klenteng 'Pe'Kong' dapat dihuni oleh beberapa 'Pe'Kong'--jadi tidak hanya satu makhluk Pe'Kong saja--hal ini dapat ditandai dengan banyaknya jumlah arca maupun lukisan Pe'Kong yang ada di ruangan klenteng tersebut. Arca maupun lukisan 'Pe'Kong' tadi biasanya mereka susun sedemikian rupa mengarah (menghadap) altar 'Thie Kong', menurut kepercayaan mereka disusun sedemikian rupa karena makhluk 'Pe'Kong' juga tunduk dan memuja 'Thie Kong', karena 'Thie Kong' adalah penguasa tertinggi terhadap segala-galanya. 'Pe'Kong' dapat diajak berdialog (berkomunikasi). Para penganutnya dapat berkomunikasi dengan 'Pe'Kong' tidak hanya disaat melakukan aktivitas penyembahan, yang bersifat komunikasi satu arah, tetapi dapat juga dilakukan dengan komunikasi yang bersifat dua arah antara manusia dengan 'Pe'Kong', namun proses itu harus melalui seorang medium yang dikenal sebagai "tang-ki", 2 setelah lebih dahulu mengalami "jip-tang" (kesurupan), makhluk 'Pe'Kong' yang diundang memasuki tubuhnya. Sembahyang 'Pe'Kong' dilakukan di sebuah klenteng. Di kota Medan bangunan klenteng dibuat pada lokasi-lokasi tertentu saja. Besarnya ukuran bangunan klenteng saling bervariasi satu sama lain. Setiap bangunan klenteng dapat ditandai, karena biasanya dindingnya menggunakan cat merah dan anjungan atapnya terdapat ukiran bergambar naga. Setiap bangunan klenteng didekatnya pasti terdapat bangunan rumah 'Datuk'. Sebuah bangunan klenteng biasanya juga tidak hanya dihuni oleh satu 'Pe'Kong' tetapi dapat dihuni lebih dari satu 'Pe'Kong', itu dapat ditandai dengan banyaknya arca atau gambar lukisan 'Pe'Kong' yang terdapat di klenteng itu. Kecuali 2
Fung Yu-Lan menyebutnya sebagai "fang-shih" atau ahli ilmu gaib, lihat: Sejarah Ringkas Filsafat Cina, terjemahan Soejono Soemargono, hal. 171, penerbit Liberty-Yogyakarta, 1990
'Pe'Kong', setiap klenteng juga dihuni oleh 'Dewi Kuam-Im'. Proses penyembahan terhadap 'Pe'Kong' mula-mula harus mengambil seberkas bungkusan kertas yang disebut 'ang-phao' (kertas uang) yang telah tersedia sedemikian rupa. Bungkusan kertas itu berisi beberapa lembar kertas uang ('ang-phao'), dua batang lilin merah (yang bertangkai), dan sejumlah batang 'hio' (sebanyak 'Pe'Kong' yang mau disembahyangi di klenteng tersebut). Tata cara sembahyang 'Pe'Kong' adalah sebagai berikut: 1. Lilin merah bertangkai dinyalakan lalu diletakan pada tempat lilin yang telah tersedia; 2. 'Hio' (gaharu) dibakar, setelah marak lalu keluar dari ruangan klenteng untuk melakukan sembahyang 'Thie Kong' (Tuhan) yang altarnya terletak di dekat bangunan klenteng. Pada saat melakukan sembahyang 'Thie Kong' ditancapkan 'hio' sebanyak 3 (tiga) batang 'hio' pada tempat 'hio' ('hio low') yang ada di altar 'Thie Kong'; 3. Sambil memasuki ruangan klenteng, dilakukan penyembahan terhadap 'Meng Sin' (dewa penjaga pintu) klenteng dan menancapkan 'hio' (sekurang-kurangnya sebatang 'hio') pada altar 'Meng Sin'; 4. Melakukan sembahyang 'Pe'Kong' (atau 'Pe'Kong-Pe'Kong') yang ada dalam klenteng tersebut. Jumlah 'Pe'kong' dapat diketahui dari banyaknya arca atau lukisan yang ada di ruang klenteng. Masing-masing 'Pe'Kong' telah disediakan 'hio low' (tempat 'hio') sendiri, sekurang-kurangnya satu batang 'hio' untuk satu 'Pe'Kong'; 5. Selanjutnya keluar dari ruangan klenteng untuk melakukan sembahyang terhadap 'Datuk' yang rumahnya tidak jauh dari bangunan klenteng. Semua batang 'hio' yang tersisa ditancapkan; 6. Kembali memasuki ruangan klenteng 'Pe'Kong' untuk memberitahukan kepada 'Pe'Kong' maksud dan tujuan melakukan sembahyang 'Pe'Kong'. Hal ini dapat disampaikan langsung atau dapat juga melalui 'tang-ki' (medium). Jika maksud dan tujuan seseorang sembahyang 'Pe'Kong' ia sampaikan langsung kepada 'Pe'Kong', dalam hal ini tentu tidak terjadi dialog, namun jawabannya bisa langsung diperoleh dengan melakukan permainan 'Shim-Phui' (kayu nasib). 7. Setelah puas mengungkapkan segala kepentingan, maksud dan tujuan kepada 'Pe'Kong', untuk meninggalkan klenteng harus memasukkan sejumlah uang kedalam amplop ('ang-phao'). Biasanya hitungan jumlah uang yang dimasukkan ke dalam amplop harus berbilangan genap: 2, 4, 6, 8, 12 artinya boleh
3
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005
Rp.200,-, Rp.400,-, Rp.600,-, Rp.800,-, Rp.1.200,-, Rp.2.000,-, dan seterusnya. Sedangkan bilangan 10 (sepuluh) dianggap ganjil. "Datuk" hampir sama dengan 'Pe'Kong', tetapi hidupnya mendiami dunia bawah atau bumi. Asalusulnya juga adalah manusia, tetapi yang pernah hidup di daerah Sumatera Timur (Medan dan sekitarnya) di zaman dahulu. Dengan kata lain 'Datuk' merupakan tokoh lokal setempat. Boleh jadi kepercayaan ini mereka serap dari sistem kepercayaan asli penduduk Sumatera Timur, budaya masyarakat Melayu, karena istilah Datuk tidak asing bagi masyarakat Melayu. Menurut arti yang sebenarnya ada dua pengertian: pertama, adalah julukan atau gelar untuk para bangsawan ataupun tuan-tuan tanah di zaman feodal (kerajaan) Melayu tempo dulu; kedua, istilah 'Datuk' ini juga dipergunakan untuk menyebutkan makhluk gaib, sebagai ucapan penghormatan. Sebagaimana dengan 'Pe'Kong', makhluk gaib yang disebut dengan 'Datuk' juga mempunyai sistem kehidupan sebagaimana layaknya kehidupan di dunia manusia, hidup dengan sistem kemasyarakatan. Selain itu, menurut kepercayaan masyarakat Cina di kota Medan, 'Datuk' juga adalah makhluk yang beragama, agama yang dipeluk 'Datuk' adalah agama Islam. Oleh karena itu hukum syariat dalam agama Islam berlaku juga dalam kehidupan 'Datuk'. Sehubungan dengan itu, untuk dapat menjamin keserasian hubungan (interaksi) dengan 'Datuk', orang-orang Cina memantangkan aktivitas penyembahannya dengan memberikan sesajenan seperti daging babi, ataupun jenis makanan atau minuman yang dilarang (diharamkan) menurut ajaran agama Islam. Apabila hal itu dilanggar (tidak dipatuhi) maka 'Datuk' akan marah, dan dapat mendatangkan mala petaka. Biasanya untuk mengolah atau memasak sesajen yang akan dipersebahkan kepada 'Datuk', dipergunakan peralatan pemasak yang khusus, tidak bercampur dengan alat pemasak yang mereka pergunakan sehari-hari, hal ini untuk menjaga kekhawatiran adanya pencemaran terhadap hal-hal yang mungkin diharamkan menurut ajaran agama Islam. Diantara mereka ada juga yang menitipkan masakannya dengan orang lain--misalnya kepada tetangga mereka yang beragama Islam--atau dibeli saja di kedai (warung orang Islam) yang terdekat. Aktivitas penyembahan terhadap 'Datuk' mereka lakukan secara rutin pada setiap hari Kamis sore (menjelang malam Jum'at), persisnya hari Kamis sore menjelang magrib. Ini mereka lakukan di sebuah bangunan suci yang dibuat sedemikian rupa, biasanya disebut rumah Datuk. Pada sebuah
4
bangunan rumah Datuk bisa dihuni oleh lebih dari satu makhluk 'Datuk', sebagaimana klenteng dapat dihuni lebih dari satu makhluk 'Pe'Kong', namun pada rumah Datuk sulit menandainya, karena disana tidak ada (dilarang) membuat arca-arca, sesuai dengan ajaran agama Islam. Namun demikian, terkadang ada pula yang dibuatkan lukisan pada rumah Datuk-nya, inipun tidak dapat menjelaskan jumlah banyaknya makhluk 'Datuk' yang berhuni di rumah Datuk tersebut. Karena 'Datuk' dianggap makhluk gaib yang beragama Islam, hal ini juga mempengaruhi terhadap tata letak bangunan rumahnya. Letak bangunan rumah Datuk biasanya dibangun oleh para penganutnya di luar atau terpisah dengan bangunan rumah tempat tinggal orang-orang Cina. Itu disengaja dengan tujuan dan maksud agar terhindar dari kemungkinan pencemaran yang mungkin tidak diinginkan, misalnya terhadap bau makanan atau masakan yang diharamkan dan sebagainya. Sama seperti 'Pe'Kong', terhadap 'Datuk' juga dapat dilakukan komunikasi dua arah melalui perantara seorang "tang-ki". Hampir di setiap pekarangan rumah-rumah maupun di setiap pekarangan pabrik atau bangunan usaha milik orang-orang Cina di kota Medan terdapat sebuah bangunan kuil (rumah) 'Datuk'. Sama dengan klenteng 'Pe'Kong', sebuah rumah 'Datuk' bisa dihuni lebih dari satu 'Datuk'. Bangunan rumah (kuil) 'Datuk' ini tampak sedemikian rupa karena biasanya diletakkan tidak jauh (hanya beberapa meter saja) dari bangunan rumah atau perusahaan tersebut. Biasanya setiap sebuah bangunan rumah tempat tinggal atau sebuah bangunan perusahaan terdapat sebuah bangunan kuil (rumah) 'Datuk'. Berbeda dengan perumahan tempat tinggal yang disebut 'kompleks', walaupun sebuah 'kompleks' dihuni oleh banyak rumah tangga namun sebuah 'kompleks' biasanya hanya terdapat sebuah bangunan rumah (kuil) 'Datuk', dan ini biasanya dianggap milik bersama bagi para penghuni 'kompleks' tersebut. Dengan demikian setiap penghuni 'kompleks' yang melakukan aktivitas sembahyang 'Datuk' pada hari Kamis sore dapat melakukannya di tempat yang sama. Setiap bangunan klenteng didekatnya juga pasti terdapat bangunan rumah 'Datuk'. Demikian juga disetaip pelataran perkuburan orang-orang Cina. Jenis bangunan rumah (kuil) 'Datuk' kebanyakan diperbuat dari pada beton semen, diberi beratap yang juga semen atau seng. Orangorang Cina sebagai penganutnya sering kali memberikan warna putih (kapur) pada bangunan tersebut. Warna putih mengandung makna suci,
Agustrisno
Serbadua yang Saling Melengkapi: Sistem Kepercayaan Masyarakat …
karena 'Datuk' mereka anggap sebagai makhluk yang suci. Menurut mereka bangunan rumah (kuil) 'Datuk' yang dibuat dengan beton semen agar "tahan lama", "indah kelihatannya", dan juga lebih tampak "bersih". Upaya membangunan rumah (kuil) 'Datuk' sedemikian rupa karena adanya dorongan perasaan (emosi) yang amat mendalam di sanubari penganutnya yang disebabkan oleh adanya kekuasaan 'Datuk' terhadap kehidupannya. Kesemua itu dilakukan sebagai ungkapan dari 'rasa hormat', pengharapan 'keselamatan', 'rezeki', 'kesehatan', kemudahan, kesuksesan, dan lain-lain sebagainya. Adakalanya rumah (kuil) 'Datuk' dibuat sedemikian rupa karena 'permintaan 'Datuk' itu sendiri, yang dinyatakannya melalui medium (atau 'tang-ki'). Dalam rangka penyembahan terhadap 'Datuk' mereka menggunakan sarana peralatan utama sebagai berikut: 1. Lilin putih, lilin seperti itu melambangkan bahwa 'Datuk' dianggap suci, dan merupakan lilin yang biasa diminta oleh 'Datuk'. Menurut subjek penganutnya, 'Datuk' tidak mau (menolak) atau marah apabila disembahyangi dengan mempergunakan lilin yang berwarna merah, sebagaimana biasanya melakukan penyembahan terhadap 'Pe'Kong'. Lilin berfungsi sebagai alat penerangan, agar para makhluk gaib dapat melihat jelas wajah orang-orang yang datang melakukan penyembahyangan. Selain itu, lilin dapat juga sebagai pertanda dimulainya aktivitas upacara penyembahan. 2. Bunga 'Datuk', terdiri dari berbagai macam bahan ramuan, yang terdiri dari: 'bunga rampai' (isinya terdiri dari beraneka-macam warna dan jenis bunga, sedikit-dikitnya 3 macam jenis dan warna bunga), sejumput tembakau jawa, 5 gulung kecil daun nipah, kemenyan putih sebesar kelereng, daun sirih kira-kira 3 helai, gambir, kapur sirih, dan secuil buah pinang. Kesemua ramuan itu terbungkus di dalam daun pisang yang direkat ("dibiting") dengan lidi daun kelapa. Sewaktu melaksanakan aktivitas penyembahan terhadap 'Datuk' bungkusan itu dibuka lalu disuguhkan sebagai sesajen. Bunga 'Datuk' yang berisi ramuan tersebut di atas dapat diperoleh dengan membeli di pasar pada "tukang bunga". Pada umumnya orang-orang Cina di kota Medan sudah terbiasa mendapatkannya dengan cara berlangganan dengan "tukang bunga" di pasar. Atau berlangganan dengan "tukang bunga" yang setiap hari Kamis pagi menjajakan bunga dengan dari rumah ke rumah. Harga 'bunga
Datuk' perbungkusnya sebesar Rp. 1500,- sampai Rp. 2000,- . 3. Air putih, biasanya air putih yang sudah dimasak. Sewaktu menyuguhkan sebagai sesajen ditempatkan di dalam gelas sebagai minuman 'Datuk'. Masing-masing 'Datuk' mendapat segelas air putih, sekiranya sebuah bangunan rumah (kuil) 'Datuk' dihuni oleh empat 'Datuk' maka subjek penganutnya harus menyediakan empat gelas air setiap minggunya. 4. Hio, hio atau gaharu merupakan alat penyembahan yang sudah menjadi tradisi bagi mereka dalam melakukan aktivitas upacara penyembahan terhadap semua jenis makhluk supranatural yang dipercayai. Hio berfungsi sebagai "alat pemanggil" makhluk supranatural, termasuk 'Datuk', yang kemungkinan sedang "bepergian" atau tidak di tempatnya. Hio lebih dahulu dibakar kemudian diletakkan (ditancapkan) di 'hio low' (tempat hio). Sebagai pelengkap peralatan utama tersebut di atas, bagi orang-orang Cina Medan yang kondisi keuangannya memungkinkan, biasanya mereka akan menambah peralatan sesajen seperti: 5. Pisang "raja" atau pisang "barangan", banyaknya pisang yang disuguhkan sebagai sesajen biasanya "sesisir" pisang. 6. Panganan yang lain atau "jajanan" misalnya: kueh apem, permen atau bon-bon, dan sebagainya. Menurut subyek penganutnya, kehidupan 'Datuk' itu juga seperti kehidupan manusia, 'Datuk' hidup berkeluarga dan beranak pinak. Panganan berupa "jajanan" disenangi sekali oleh cucu-cucu 'Datuk'. Dalam rangka upacara penyembahan terhadap 'Datuk' peralatan utama (lilin putih, bunga 'Datuk', air putih, dan hio) di atas harus tetap ada. Sedang peralatan tambahan (pisang atau "jajanan") tidak semestinya, menurut mereka "kalau ada uang" saja. Di samping sarana peralatan utama dan tambahan, di dalam upacara penyembahan terhadap 'Datuk', ada lagi berupa peralatan khusus. Peralatan khusus ini baru disuguhkan sebagai sesajen tergantung situasi dan keadaan yang sudah ditentukan saja. Pada waktu menjelang datangnya hari-hari besar agama Islam--seperti: bulan puasa (Ramadhan), hari raya Idhul Fithri, Idhul Adha-karena 'Datuk' dianggap beragama Islam, 'Datuk' biasanya disuguhkan sesajen berupa: pulut kuning, kari kambing, ayam panggang, serta buah-buahan seperti jeruk manis, apel, dan sebagainya. Peralatan khusus itu juga sering mereka suguhkan sebagai sesajen dikala mereka melakukan upacara yang berkaitan dengan upacara ritus lingkaran
5
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005
kehidupan (life cycle rites) di dalam keluarga, seperti: kelahiran, perkawinan, ataupun kematian. Sebagaimana telah disinggung di atas, untuk menyuguhkan sesajen berupa peralatan khusus, harus dilakukan atau dipersiapkan dengan mempergunakan peralatan masak yang khusus, jangan bercampur dengan peralatan pemasak mereka sehari-hari. Apabila mereka tidak mempunyai waktu, ragu-ragu, atau tidak mengerti untuk mempersiapkan atau memasaknya, caranya mereka titipkan dengan mengupah pada tetangganya yang beragama Islam agar dimasakkan, atau dapat juga mereka beli di warung-warung penjual makanan Islam, agar tidak terjadi perselisihan dengan 'Datuk' yang dipercayai sebagai makhluk yang beragama Islam. Selanjutnya, terdapat juga peralatan yang dikategorikan sebagai peralatan permintaan, permintaan oleh 'Datuk' itu sendiri pada subyek penganutnya. Masing-masing 'Datuk' dapat saling bervariasi permintaannya. Berbagai peralatan permintaan seperti: kitab Al Qur'an, kopiah (peci), benda tajam (keris, pisau, rencong, parang, dan sebagainya), ayam putih, dan lain-lain sebagainya menurut selera permintaan masing-masing 'Datuk'. Peralatan permintaan ini disajikan akibat adanya peristiwa di dalam kehidupan mereka, misalnya karena pernah mengalami sakit, lalu berobat pada 'Datuk', dengan perjanjian apabila sembuh dari penyakit harus memenuhi permintaan 'Datuk' tersebut. Ada lagi peralatan yang sengaja diberikan oleh subjek penganutnya, yakni panji-panji (bendera). Panji-panji sengaja diberikan oleh subjek penganutnya sebagai pengokoh kedudukan (posisi) 'Datuk' di dalam kehidupan struktur alam supranaturalnya. Panji-panji ini dapat juga dikategorikan sebagai peralatan permintaan, terutama apabila mereka sudah merasa tercapai, dipenuhi atau terkabul berkat pemberian 'Datuk' terhadap maksud dan keinginannya yang mengandung makna resiprositas (saling memberi dan menerima) antara 'Datuk' dengan subyek penganutnya. Sehubungan ada sifat rutinitas dalam penyelenggaraan upacara pemujaan terhadap 'Datuk', orang-orang Cina sebagai subjek penganut sering kali menyebutkan istilah upacara penyembahan tersebut dengan "sembahyang bunga" dan "sembahyang daging". Aktivitas "sembahyang bunga" dilakukan setiap hari Kamis menjelang sore (malam Jum'at), sedangkan "sembahyang daging" dilakukan dalam rangka menyambut kedatangan hari-hari besar dalam agama Islam ataupun bersamaan dengan adanya upacara ritus sepanjang lingkaran hidup.
6
Sedangkan di luar itu upacara penyembahan terhadap 'Datuk' dianggap sebagai upacara yang bersifat aksidental, misalnya karena sakit, atau keinginan-keinginan lainnya. Untuk melaksanakan aktivitas upacara penyembahan (sembahyang) terhadap 'Datuk', subjek penganut harus "kui-pai". Kata "kui" artinya sikap, sedang "pai" artinya menyembah, jadi kata "kui-pai" berarti sikap subyek penganut dalam rangka penyembahan. Berlutut dan anggota tubuh harus membungkuk, kedua telapak tangan saling dirapatkan lalu didekatkan ke dada kemudian digoncang-goncang, kepala harus tunduk. Sikapsikap itu sering kali diiringi pula dengan ucapanucapan dalam bahasa Indonesia. Namun masingmasing subjek dapat berbeda-beda isinya, sebagai contoh: "...selamat sore 'Datuk', selamatkanlah kami keluar masuk, dan selamatkanlah anak-isteriku...." (Acai) "...selamat sore 'Datuk', selamatkanlah pabrik ini, yang bagus-bagus datang, yang buruk-buruk pergi...." (A Wan) "...'Datuk', inilah yang dapat kami persembahkan, terimalah 'Datuk', berilah kami keselamatan, dan murah rezeki...." (Tio Bi Mok) "...'Datuk', di sini kami datang, berikanlah keselamatan pada keluarga kami...." (Tamin) "...'Datuk', ini makanan kami berikan padamu, jagalah kami dan jauhkanlah kami dari bahaya...." (Min Ho) "...'Datuk', selamat-selamatkanlah usaha ini, dan berilah untung selalu, yang jelek-jelek, buruk, dijauhkan...." (Lam Min Fuk)
Pada umumnya isi kata-kata yang mereka ucapkan, mengharapkan suatu keselamatan dan terjauh dari segala mara bahaya, mendatangkan kebaikan di dalam kehidupan keluarga maupun dalam kehidupan bisnis mereka sehari-hari. Menurut subjek penganutnya, sebelum melakukan aktivitas upacara penyembahan terhadap 'Datuk', ada beberapa larangan yang harus dipatuhi. Sehari sebelum melakukan upacara sembahyang mereka dilarang makan daging babi atau minum minuman keras. Bagi wanita yang sedang haid (menstruasi) dilarang melakukan
Agustrisno
Serbadua yang Saling Melengkapi: Sistem Kepercayaan Masyarakat …
aktivitas sembayang 'Datuk'. 'Datuk' mereka anggap sebagai makhluk yang beragama Islam dan suci sehingga tidak suka dengan yang kotor-kotor ataupun yang haram menurut ajaran Islam. "Tie Cu Kong": adalah makhluk gaib yang bertugas sebagai penjaga rumah, yang berfungsi memberikan keselamatan, ketentraman, dan kedamaian hidup bagi orang-orang yang menghuni rumah tersebut, terutama adalah para anggota rumah tangganya, juga termasuk harta benda kekayaan yang ada di dalam rumah itu. "Meng Sin": adalah makhluk gaib yang dipercayai sebagai penjaga pintu rumah, yang tugasnya berfungsi menyeleksi segala makhluk yang keluar dan masuk atau melawati pintu rumah itu. "Chou Kun": adalah makhluk gaib yang mereka percayai sebagai penjaga dapur, agar setiap saat ibu-ibu yang memasak makanan di dapur, masakannya menjadi terasa lebih lezat dan mereka terhindar dari mara bahaya api serta pemborosan. "Cheng Ka Pua": adalah makhluk gaib yang dipercayai sebagai penjaga tempat tidur. Bagi anakanak yang tidur agar jangan sampai terjatuh atau diganggu oleh makhluk-makhluk gaib yang lainnya. Makhluk gaib ini sering juga dipercayai sebagai Dewi Pengasuh. "Pow Tho": adalah makhluk gaib yang dipercayai sebagai penjaga pintu kubur. Bagi masyarakat Cina yang ingin berziarah kekuburan salah seorang anggota keluarga-nya, mereka terlebih dahulu harus melakukan penyembahan kepada "Pow Tho" terlebih dahulu, "Pow Tho" inilah nantinya yang akan memberitahukan kepada si mati, bahwa keluarganya datang mau menziarahinya "Sin Cu": adalah arwah anggota keluarga yang dihormati, karena dimasa hidupnya mempunyai keistimewaan di dalam memper-juangkan kehidupan keluarganya. Apabila ada anggota keluarganya yang hidup dalam kesusahan, "Sin Cu" dapat dimintai pertolongan untuk menghadap kepada 'Pe'Kong' maupun 'Datuk' agar dapat membantu anggota keluarganya yang dalam kesusahan. Tang-Ki' Sebagai Pimpinan Upacara Ritual 'Tang-ki' (atau "fang-shih" menurut Fung YuLan, 1953:8; 1990:171) adalah ahli ilmu gaib yang tubuhnya dapat kesurupan, jadi tubuh seorang 'tang-ki' dapat dipergunakan sebagai makhluk supra-alami. Selain kata 'tang-ki' sering juga orang Cina Medan menyebutnya "juru kunci". "Juru kunci" berarti seseorang yang ahli membuka pintu misteri kehidupan (Nio, 1961: hlm. 85). Seorang 'tang-ki' dapat juga disamakan dengan shaman,
karena dapat juga berperan sebagai penyembuh. 'Tang-ki' maupun "juru kunci" dapat berperan sebagai medium antara manusia dengan makhluk gaib (supra-alami). Ketika melaksanakan tugasnya, 'tang-ki' lebih dahulu mengalami trance atau kesurupan, orang Cina Medan menyebut 'jip-tang'. 'Tang-ki' itu bisa kemasukan makhluk supra-alami yang menyurupi ('jip-tang') ke dalam dirinya. Dari bawah atau dari atas tubuhnya. Makhluk supraalami yang masuk dari bawah disebut 'Datuk', karena 'Datuk' penghuni alam bawah (bumi). Sedangkan yang masuk dari atas disebut 'Pe'Kong', 'Pe'Kong' makhluk supra-alami yang menghuni alam kayangan (langit). Ada beberapa hal yang menjadikan seseorang dapat sebagai 'tang-ki'. Pertama adalah pengalaman keagamaan khusus. Seseorang memperoleh keahlian sebagai 'tang-ki' diperoleh karena mimpi, ketika bermimpi dirinya kejatuhan ilham menjadi seorang 'tang-ki'. Ada pula yang mimpinya itu dialami oleh seorang ibu yang sedang hamil, dalam mimpinya ia didatangi dan diberi tahu oleh seseorang, kelak bila anaknya lahir dan menjadi dewasa ia akan menjadi seorang 'tang-ki'. Kedua, merupakan kodrat atau keturunan. Ketika lahir telah memilik pembawaan tubuh yang tertentu, tubuh yang telah dikodratkan oleh 'Thie Kong'. Tubuh dimaksud adalah tubuh yang disenangi makhluk supra-alami. Menurut orang-orang Cina Medan tubuh orang tersebut memiliki tulang yang lebih ringan dari tulang manusia biasa, dan indera pengelihatannya dapat melihat wujud yang kasat mata. Sebelum mejadi seorang 'tang-ki' dirinya selalu merasakan getaran emosi disaat-saat memasuki klenteng 'Pe'Kong' ataupun di kuil (rumah) 'Datuk'. Pada saat itu telinga seakan-akan tidak mendengarkan suara apapun, lama-lama tidak sadarkan diri ('jip-tang'). Ketika seorang 'tang-ki' sedang 'jip-tang' (kesurupan) makhluk supra-alami suaranya biasanya berubah, dalam hal ini yang dianggap berbicara itu bukanlah dirinya pribadi, melainkan makhluk supra-alami yang telah menguasai tubuhnya itu. Dengan demikian tubuh seorang 'tang-ki' dapat menjadi medium antara makhluk supra-alami dengan manusia yang mempercayainya. 'Tang-ki' adalah orang yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Dengan kebolehan-nya itu ia dapat membentuk sekelompok masyarakat pendukung yang mempercayai-nya. Terutama dalam meramal, menafsirkan mimpi, mengobati orang yang sakit, dan lain-lain. Sebagai medium antara manusia dan makhluk gaib (supra-alami) tugas utamanya adalah 'jip-tang' (kesurupan). Akan tetapi keadaan kesurupan ini bisa pulih kembali
7
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005
berkat kekuatan gaib (supra-alami) yang dimilikinya. Ada dua jenis makhluk gaib yang dapat menyurupinya yakni: 'Datuk' dan 'Pe'Kong'. Dalam proses kesurupan 'Datuk', mula-mula seorang 'tang-ki' melakukan upacara dengan membakar kemenyan di dupa seraya membaca mantera dalam bahasa Arab bercampur bahasa Indonesia dan sambil mengheningkan diri pada kepulan asap kemenyan. Pada saat-saat akan mencapai klimaks, perasaannya merasa ada getaran serta telinga seakan-akan sayup tidak mendengarkan apapun. Tidak lama setelah itu mulut 'tang-ki' secara refleks mengucapkan "Assalammu'alaikum" dengan keadaan tubuh yang gemetaran. Ucapan "Assalammu'alaikum" itu ditujukan kepada orang-orang yang berada disekitar dekat dengannya. Dalam keadaan seperti itu, menurut orang-orang Cina, 'tang-ki' sedang 'jip-tang'. Terjadilah dialog (tanya-jawab) antara 'tang-ki' dengan pasien atau orang yang ingin memperoleh kepastian. Dialog tersebut biasanya mempergunakan bahasa Indonesia. Biasanya dialog dimulai dengan menanyakan nama 'Datuk' yang menyurupi 'tang-ki': "'Datuk' Siapa namanya?". Lalu biasanya dijawab: "saya 'Datuk' .…. (dengan menyebutkan namanya), ada keperluan apa cucu...?". Orang yang berkepentingan dengan tanpa ragu-ragu menyampaikan maksud dan tujuannya. Proses 'jip-tang' ini biasanya berlangsung lebih kurang memakan waktu selama (2) dua jam. Syarat-syarat sebelum melakukan kesurupan ('jip-tang') 'Datuk', sepuluh hari sebelumnya seorang 'tang-ki' tidak boleh makan makanan yang dilarang menurut syariat Islam dan proses kesurupan ini biasanya dilakukan pada malam Jum'at. Hari Jum'at dianggap suci menurut ajaran syariat Islam, sebab 'Datuk' adalah makhluk gaib yang beragama Islam. Proses kesurupan 'Pe'Kong' tidak jauh berbeda. Bila untuk 'Datuk' membakar kemenyan, untuk 'Pe'Kong' dengan membakar 'hio' (gaharu) terlebih dahulu. Namun tidak semua 'tang-ki' 'Pe'Kong' dapat menjadi 'tang-ki' 'Datuk'. Tetapi semua 'tang-ki' 'Datuk' bisa menjadi 'tang-ki' 'Pe'Kong'. Orang-orang Cina Medan bila tubuhnya merasakan sakit biasanya pergi berobat kepada penyembuh. Selain mendatangi penyembuh yang ahli menurut sistem medis kesehatan moderen, mereka tidak jarang pula yang mendatangi para penyembuh alternatif yang sesuai menurut sistem pengobatan tradisinya. Mereka banyak yang mendatangi 'tang-ki' untuk berobat ataupun 'sinshe'. Sistem penyembuhan yang dilakukan seorang 'tang-ki' sama dengan peranan seorang 'shaman'.
8
Sedangkan sistem penyembuhan yang dilakukan oleh seorang 'sin-she' sama dengan peranan seorang dokter ataupun seorang 'tabib'. Seorang 'sin-she' agar dapat menjadi penyembuh terlebih dahulu harus memahami pengetahuan yang alami menurut konsep tradisi Cina. Hal itu diperoleh dengan cara belajar. Dengan memahami tentang alam semesta, termasuk anatomi tubuh manusia yang didasarkan sistem filsafat 'Yin-Yang' seorang 'sin-she' dapat memberikan pengobatan kepada orang yang sakit dengan ramu-ramuan tradisional (naturalistik). Sedangkan seorang 'tang-ki' dalam proses penyembuhannya lebih cenderung menggunakan cara-cara yang bersifat metafisis (personalistik), yaitu dengan melakukan 'jip-tang' (kesurupan). Keistimewaan 'Datuk' dan 'Pe'kong' dan Perbedaannya Baik makhluk gaib "Pe'Kong" maupun "Datuk", keduanya memiliki posisi yang istimewa di dalam sistem kehidupan alam gaib, bagi kepercayaan masyarakat Cina di kota Medan, keistimewaan kedua makhluk gaib tersebut adalah dapat diundang melalui perantara seorang "tang-ki" sehingga dapat diajak berdialog (komunikasi dua arah) dengan para penganutnya, dalam rangka untuk dimintai bantuannya, legitimasinya, ataupun kepastiannya sehubungan dengan kebutuhan hidup penganutnya di dunia ini. Bagi makhluk gaib lainnya hal ini dianggap tidak bisa untuk diajak berdialog langsung seperti itu. "Pe'Kong" maupun "Datuk", menurut keperca-yaan mereka masing-masing dianggap tidaklah hanya satu tetapi lebih dari satu atau banyak, seperti makhluk manusia. Di dalam dunia mereka yang gaib juga mengenal sistem kehidupan bermasyarakat. Perbedaan "Pe'Kong" dan "Datuk" pada Tabel 1:
Sistem Kehidupan Makhluk Gaib 3 Adanya berbagai makhluk gaib yang dipercayai masyarakat Cina di kota Medan, antara makhluk gaib yang satu dengan makhluk gaib yang lainnya, menurut mereka memiliki jalinan hubungan di dalam suatu sistem. 'Thie Kong' 3
Ketika wawancara pada para informan, pada umumnya orang Cina Medan lebih terbuka dan komunikatif apabila yang ditanyakan hal-hal yang bersifat nilai “yin” ketimbang hal-hal yang bersifat nilai “yang”. Menanyakan hal bisnis sukar sekali, tetapi menanyakan hal religi sangat terbuka mereka.
Agustrisno
Serbadua yang Saling Melengkapi: Sistem Kepercayaan Masyarakat …
dianggap menduduki posisi yang paling atas di dalam struktur dunia gaib, sebab segala sesuatunya yang ada dan mungkin ada adalah berada digenggaman kekuasaan-nya. Namun demikian, dalam rangka mewujudkan pelaksanaan kekuasaanNya itu, 'Thie Kong' menyerahkannya terutama kepada 'Pe'Kong' dan 'Datuk', serta makhlukmakhluk gaib yang lainnya. Dalam hal ini 'Thie Kong' mereka percayai hanya berfungsi sebagai pimpinan pucuk saja (Koentjaraningrat, 1977: 195B-206). Makhluk gaib yang menduduki posisi pada lapisan kedua atau menengah adalah 'Pe'Kong' dan 'Datuk'. Kedua makhluk gaib ini dianggap sebagai pesuruh utama bagi 'Thie Kong', secara implisit merupakan perwujudan dari 'Thie Kong' itu sendiri dalam rangka berhubungan langsung berkomunikasi dengan manusia. Oleh karena itu kedua makhluk gaib tersebut memiliki kekuasaan mencakup dari keseluruhan kebutuhan hidup manusia penganutnya secara nyata, dengan cara berdialog (komunikasi) lewat "tang-ki" yang kesurupan atau "jip-tang", sehingga 'Pe'Kong' ataupun 'Datuk' dapat dimintai bantuannya, legitimasinya, dan kepastiannya bagi para penganutnya (Koentjaraningrat, 1977: 195B-206). Apabila "tang-ki" berfungsi sebagai medium (perantara) antara manusia (penganutnya) dengan makhluk gaib, maka 'Pe'Kong' dan 'Datuk' dalam hal ini adalah berfungsi sebagai medium (perantara) antara makhluk manusia (penganutnya) dengan 'Thie Kong', dan juga medium antara makhluk gaib yang lainnya dengan 'Thie Kong'. Menurut kepercayaan masyarakat Cina, makhluk-makhluk gaib yang lainnya berada pada lapisan ketiga (bawah) dan hanya berkuasa pada hal-hal tertentu saja di dalam kehidupan manusia. Dengan demikian kekuasaan makhluk-makhluk gaib yang lainnya pengaruh kekuasaannya hanya bersifat terbatas di dalam kehidupan manusia (Koentjara-ningrat, 1977: 195B-206). Secara visual tatanan sistem struktur kepercayaan makhluk gaib masyarakat Cina di kota Medan dapat digambarkan sebagai bagan pada Gambar 1.
a b
f
c
e d
Gambar 1. Tatanan sistem struktur kepercayaan makhluk gaib masyarakat Cina di kota Medan Keterangan : A : Thie Kong B : Pe'Kong dan Datuk C : Tang-ki D : Manusia (subyek penganut) E : Batas dunia ‘Yin’ dan ‘Yang’ F : Makhluk gaib lainnya
Serbadua yang Saling Melengkapi 1. 'Datuk' dan 'Pe'Kong'
9
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005
Tabel 1. Perbedaan “Pe’kok’ dan “Datuk” “Pe’Kong” 1 Berasal dari orang/penduduk Cina yang pernah hidup di daratan Tiongkok pada zaman dahulu 2 3 4
5
6 7
8
9 10
11
12
13
14
Beragama non-Islam (Khong Hu Cu) Boleh/bisa makan daging babi Tidak dapat berbahasa Indonesia, tetapi Cina
3 4
Dalam penyembahan tidak mempergunakan bunga maupun (membakar) kemenyan Sebagai Dewa penguasa langit
5
Sering menyuruh penganutnya agar senantiasa menghormati “Datuk” Lilin yang dipergunakan dalam aktivitas penyembahan menggunakan lilin yang berwarna merah Memberikan petunjuk pada penganutnya berupa paksaan “Tang-ki” sebagai medium nya harus dari kalangan orang Cina saja Hanya disembahyangi apabila ada kepentingan saja atau pada harihari tertentu saja Bangunan Klenteng “Pe’Kong” oleh penganutnya dianggap menumpang di lahan wilayah kekuasaan “Datuk” “Pe’Kong” tidak pernah menentukan lokasi bangunan untuk Klentengnya Orang Cina jarang yang mau menjelaskan kepada orang lain (Non Cina)
7
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapatlah direfleksikan adanya makna filosofis yang tersirat di dalam kepercayaan masyarakat Cina di kota Medan. Berbagai makhluk gaib yang hidup di dunia gaib (supra-alami), di dalam filsafat "Yin-Yang" dapat dicirikan sebagai sifat-sifat yang terkategori kedalam Yin, karena sifat yang gaib menurut filsafat Yin-Yang adalah identik dengan Yin yang dapat dilawankan dengan sifat Yang, seperti makhluk manusia yang hidup di alam nyata (alami). Kendatipun makhluk gaib hidup di alam yang bersifat Yin, tetapi di dunia gaib juga berlaku hukum-hukum sebagaimana kehidupan di dunia manusia. Bila makhluk manusia memiliki sistem struktur sosial di dalam tatanan kehidupan sosialnya, maka makhluk gaib pun memiliki sistem struktur di dalam tatanan kehidupan alam gaibnya. Sistem struktur sosial alam gaib dapat terjadi dalam tiga lapisan sosial, yang terdiri dari yakni: lapisan pertama (atas) diduduki oleh "Thie Kong", lapisan yang kedua atau menengah diduduki oleh makhluk gaib yang disebut "Pe'Kong" dan "Datuk",
10
“Datuk” 1. Berasal dari orang/penduduk pribumi Melayu yang pernah hidup di daerah Sumatera Timur dan sekitaranya pada zaman dahulu. 2. Beragama Islam
6
8
9 10
11
Tidak boleh makan daging babi Tidak dapat berbahasa Cina, tetapi berbahasa Indonesia (Melayu) Dalam penyembahan mempergunakan bunga maupun (membakar) kemenyan Sebagai Dewa pengausa bumi (dunia bawah) Tidak pernah menyuruh penganutnya agar menghormati “Pe’Kong” Lilin yan dipergunakan dalam aktivitas penyembahan menggunakan lilin yang berwarna putih Memberikan petunjuk pada penganutnya berupa anjuran “Tang-Ki” sebagi mediumnya boleh orang Cina bisa juga bukan orang Cina Disembahyangi secara rutin pada setiap hari kamis sore
12
Bangunan rumah Datuk di anggap berada dalam lahan wilayah kekuasaannya sendiri
13
“Datuk” adakalanya menentukan lokasi bangunan untuk rumahnya sendiri Orang Cina mau menjelaskan kepada orang lain (Non-Cina).
14
sedangkan yang berada pada posisi lapisn ketiga atau bawah adalah makhluk-makhluk gaib yang lainnya. "Pe'Kong" dan "Datuk" kecuali keduanya sebagai makhluk gaib yang berada pada posisi lapisan menengah, kedua makhluk gaib ini juga memiliki keistimewaan. Keistimewaannya adalah dapat diundang untuk diajak berkomunikasi dengan/oleh manusia penganutnya, melalui seorang medium yang dikenal sebagai "tang-ki". Besar kemungkinan hal ini dipengaruhi oleh ajaran Khong Hu Cu sejak zaman dinasti Shang dan pada awal dinasti Chou Barat, "Pe'Kong" dan "Datuk" berfungsi sebagai mengabdi dan mengemban tugas dari "Thie Kong", dengan memiliki kekuasaan untuk memberi karunia maupun bencana dari "Thie Kong" sebagai penguasa tertinggi. Selanjutnya kedua makhluk gaib tersebut juga memiliki sistem struktur sosial alam gaibnya sendiri: sistem struktur sosial alam gaib "Pe'Kong" dan sistem struktur sosial alam gaib "Datuk". Tinggi atau rendahnya suatu makhluk gaib, baik
Agustrisno
Serbadua yang Saling Melengkapi: Sistem Kepercayaan Masyarakat …
"Pe'Kong" maupun "Datuk", di dalam masingmasing sistem struktur sosial alam gaibnya, menurut kepercayaan masyarakat Cina di kota Medan, dapat diukur dari keberhasilannya dalam memberikan: bantuan, legitimasi, ramalan, dan kepastian kepada kebutuhan manusia penganutnya di dunia ini, dan dalam hal ini dapat ditandai dengan semakin banyaknya panji-panji yang dia peroleh dari manusia penganutnya sebagai ucapan terimakasih. Dengan demikian makhluk gaib "Pe'Kong" atau "Datuk" tersebut semakin terkenal dikalangan penganutnya, dan memberikan peluang pula semakin sering dan semakin banyak pula manusia penganutnya yang mengakuinya. Dengan keberhasilannya melaksana-kan tugas-tugas untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia penganutnya, baik "Pe'Kong" maupun "Datuk" tadi, dalam melaksanakan tugas-tugasnya semakin menjadi sibuk, sehingga dia dibantu oleh "Pe'Kong" maupun "Datuk" yang menjadi bawahannya. Bila konsepsi-konsepsi tersebut di atas diimplikasikan dalam kehidupan yang bersifat Yang, yakni di dalam kehidupan manusia, maka dapatlah disimpulkan bahwa semakin sering seseorang dapat memberikan bantuannya kepada orang lain dan ternyata memuaskan pula, maka orang tersebut dengan sendirinya menduduki martabat yang semakin tinggi di dalam tatanan kehidupan, hal ini sesuai dengan salah satu pandangan hidup sifat kemuliaan/kebajikan yang diajarkan oleh Khong Hu Cu yang dikenal dengan Sin: kepercayaan, rasa untuk dapat dipercaya oleh orang lain dan dapat memegang janji dan menepati janji (Chau Ming, 1986:21). Seseorang yang bertabat tinggi dengan sendirinya dia adalah ciri seorang yang budiman. Ciri seorang yang budiman adalah berwibawa tetapi tidak congkak, majunya seorang budiman itu menuju ke atas (ibid). Hal tersebut juga pernah diungkapkan oleh To Thi Anh sebagai berikut: "Salah satu ciri pemikiran orang Cina ialah lebih menekankan kewajiban dari pada hak-hak ndividu dalam hubungannya dengan masyarakat. 'Jangan tanya apa yang dapat masyarakat buat untuk engkau; tanyalah apa yang dapat kau buat ntuk masyarakat.' Ajakan semacam ini tepat dengan semangat orang Cina" (To Thi Anh, 1984: 11). "Pe'Kong" dan "Datuk" mendapat posisi yang menguntungkan menurut ajaran I Ching, sebab keduanya menempati posisi menengah di dalam sistem struktur dunia alam gaib. Mereka dapat leluasa bergerak kearah manapun yaitu dapat berdialog langsung dengan manusia, sebagaimana telah disebutkan tadi.
Posisi yang semacam itu di dunia nyata (di alam kehidupan manusia) ditempati oleh "tang-ki", karena seorang "tang-ki" dapat bergerak menghubungkan antara makhluk gaib dengan manusia penganutnya. Dengan demikian, posisi seorang "tang-ki" keberadaannya juga istimewa dan menguntungkan, karena dirinya dapat berperan dalam menempati dua dimensi ruang kehidupan sekaligus, yaitu: alam gaib dan alam nyata. Karakteristik antara makhluk "Pe'Kong" dan "Datuk" masih dapat dibedakan lagi, menjadi sifatsifat yang saling bertentangan tetapi saling melengkapi. Perbedaan itu adalah makhluk "Pe'Kong" dianggap sebagai penguasa dunia atas (langit), mengandung nilai 'Yang'; sedangkan makhluk "Datuk" dianggap sebagai penguasa dunia bawah (bumi), mengandung nilai 'Yin'. 'Pe'Kong' berasal dari negeri Cina (negeri leluhurnya) ia didatangkan sebagai warisan, sedang 'Datuk' baru mereka ketemukan di daerah rantau. Proses penemuan itu akibat adapatasi mereka dengan kebudayaan atau kepercayaan religi penduduk setempat (kepercayaan masyarakat Mealayu). 'Tang-ki' dan 'Sin-she' 'Tang-ki' tidak hanya berperan sebagai medium, yang menghubungkan makhluk gaib (supra-alami) dengan subyek penganutnya, dan tidak hanya sebagai pimpinan informal yang berkaitan dengan aspek religi. Disebab dengan keahliannya itu dia juga dapat berperan dalam menempati dua dimensi ruang kehidupan sekaligus, di dunia alam gaib (supra-alami) dan di dunia alam nyata (alami). Selain itu seorang 'tangki' juga dapat berperan sebagai penyembuh alternatif di samping 'sin-she'. Orang-orang Cina di kota Medan kendatipun sudah mengakui sistem kesehatan moderen sesuai menurut sistem medis kedokteran, namun didalam melakukan penyembuhan terhadap penyakit, penyembuh alternatif terhadap sistem kesehatan tradisionalnya juga tidak ditinggalkan. Bila mereka sakit, mereka sering kali mendatangi 'tang-ki' maupun 'sin-she'. 'Tang-ki' adalah seorang penyembuh yang cara pengobatannya sama dengan seorang shaman, lebih cenderung melakukan sistem pengobatan atau penyembuhan dengan cara-cara yang supraalami. Sedangkan 'sin-she' adalah seorang penyembuh alternatif yang sama peranannya dengan seorang penyembuh yang disebut tabib. Kendatipun ada perbedaannya dengan sistem pengobatan moderen, sebagaimana yang dilakukan seorang dokter, namun cara-cara pengobatan yang dilakukan seorang 'sin-she' juga mempergunakan cara-cara yang bersifat alami sesuai menurut sistem pengetahuan tradisi Cina. Seorang yang akan
11
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005
menjadi ahli sebagai 'sin-she' dia harus belajar sistem pengetahuan tradisional Cina, tentang alam semesta dan anatomi tubuh manusia. Dengan mengetahui sistem anatomi tubuh manusia dia dapat memberikan pengobatan dengan memberikan obat berupa ramuan tradisional. 'Tang-ki' dan 'sin-she' keduanya merupakan ahli dalam pengobatan alternatif. Kendatipun keduanya berbeda namun saling melengkapi. Dalam hal ini seorang 'tang-ki' mengandung nilai-nilai yang bersifat 'Yin', sedangkan seorang 'sin-she' mengandung nilai-nilai yang bersifat 'Yang'. Seorang 'tang-ki' memperoleh keahliannya tidak mempelajari pengetahuan secara empiris, tetapi keahliannya itu diperolehnya merupakan kodrat 'Thie Kong', pembawaan sejak lahir atau karena kebetulan saja dengan penguatan mimpi. Di dalam melakukan penyembuhan terdapat penyakit lebih mengutama-kan aspek emosi. Sedangkan 'sin-she' memperoleh pengetahuannya dengan cara belajar dan dalam melakukan penyembuhan terhadap suatu penyakit dengan menggunakan pendekatan yang lebih bersifat rasio. Dengan demikian 'tang-ki' dan 'sin-she' dalam sistem kesehatan masyarakat Cina saling melengkapi yang bersifat emosi dan rasio, berupa 'Yin' dan 'Yang'. Jika 'tang-ki' dapat memberikan sugesti maka 'sin-she' memberikan reaksi. Dunia alami dan Dunia Supra-alami Secara metafisik, kosmologi terbagi dalam dua kategori: yang alami dan supra-alami. Dunia alami adalah alam tempat hidup manusia. Dunia supra-alami adalah alam tempat segala makhluk gaib hidup dan berada. Dunia alami memiliki sifatsifat sebagai berikut: empiris, labil (berubah-ubah), dan profan (biasa). Sedangkan dunia yang supraalami mengandung sifat-sifat: stabil (tetap), makhluk yang hidup di dalamnya mengandung pengertian metafisik, dan sakral (suci). Namun di dalam kepercayaan masyarakat Cina Medan, dunia yang bersifat supra-alami dapat dikategorikan menjadi dunia supra-alami atas (langit) dan dunia supra-alami bawah (bumi). Dunia supra-alami atas (langit) dihuni oleh makhluk gaib 'Pe'Kong' sedang dunia supra-alami bawah (bumi) sebagaima-na yang dihuni oleh 'Datuk'. Selanjutnya, dunia 'Pe'Kong' berasal dari negeri Cina, sedang dunia 'Datuk' berasal dari negeri tempat subyek merantau, dengan demikian dunia alami yang mengandung nilai-nilai 'Yang' dapat dikategorikan lagi menjadi dunia asal (negeri Cina) dan dunia rantau (kota Medan).
12
Kesimpulan Berdasarkan pengertian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa di dalam kehidupan dunia gaib yang dikategorikan sebagai Yin ternyata dapat dibedakan lagi menjadi: Yin-minor dan Yangminor (J.C.Cooper, 1981: 33). Pemikiran dualistik seperti itu merupakan klasifikasi simbolik yang kembar, berguna dalam rangka mencari kesimbangan (harmoni), di luar dan di dalam diri manusia. Pe’Kong dan Datuk keduanya mengandung nilai “Yin”. Namun keduanya dapat dibedakan lagi, Pe’Kong mewakili alam atas, langit, atau awang-awang dan berasal dari negeri leluhur (Cina) yang mengandung nilai “Yang”, sedangkan Datuk mewakili alam bawah, bumi, atau tanah yang ditemukan melalui proses adaptasi mengandung nilai “Yin”. Menurut asumsi tersebut, maka pasangannya nilai “Yang” pun bisa jadi dapat terpecah menjadi kelipatan dua “Yin” dan “Yang” lagi. Bagaikan deret ukur kelipatan dua, sebagaimana pandangan strukturalis Claude Levi-Strauss, manusia nirsadar terikat oleh satu hukum dan sistem pemikiran yang sifatnya memaksa dan selalu mempengaruhi dalam hidupnya. Hukum dan sistem itu ditaati tanpa dikenalnya (van Baal, 1988: 118). Sebagai akibat pergulatan manusia dengan lingkungannya, baik secara fisik maupun sosial (Suparlan, 1981/1982). DAFTAR PUSTAKA Agustrisno, 1985. Kepercayaan Orang Tionghoa Terhadap "Datuk": Studi Kasus di Desa Kedai Durian, Kecamatan Medan Johor, Kotamadya Medan, Skripsi S1, Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Medan. Anh, To Thi, 1984. Nilai Budaya Timur dan Barat: Konflik atau Harmoni?, Gramedia, Jakarta. Bloomfield, Frena., 1986. Di Balik Sukses Bisnis Orang-orang Cina, diterjemahkan oleh Tim Sang Saka Gotra, Jakarta. Cheu Hock-Tong, 1982-1983., "Tanggapan Keagamaan serta Implikasinya dalam Hidup Sosial: Suatu Kajian Komuniti Cina di Ampang, Selangor." Jurnal Antropologi dan Sosiologi., jilid.volume:10&11,hlm.90-118.Universitas Kebangsaan Malaysia,Bangi,Selangor, Malaysia. Cooper, J.C., 1981. Yin & Yang The Taoist Harmony of Oppsites, The Aquarian Press is part of the Thorsons Publishing Group Wellingborough, Norththamptonshire, NN8 2RQ, England.
Agustrisno
Serbadua yang Saling Melengkapi: Sistem Kepercayaan Masyarakat …
Chau Ming, Mengenal Beberapa Aspek Filsafat Konfusianisme Taoisme dan Buddhisme, Jakarta: Akademi Buddhis Nalanda, 1986. Fung Yu-Lan, 1953. A History of Chinese Philosophy Vol.II The Period of Classical Learning Century B.C. to the Twentieth Century A.D., translated by Derk Bodde, Princeton University Press, Leiden, Netherlands. Fung Yu-Lan, 1967., The Spirit of Chinese Philosophy., (terjemahan E.R. Huges), Stephen Austin and Sond Ltd., London. -----------,1990. Sejarah Ringkas Filsafat Cina (Sejak Confucius sampai Han Fei Tzu, terjemahan Soerjono Soemargono, Liberty, Yogyakarta.
------, 1996. Pemikiran Filsafat Cina (makalah yang disajikan pada internship Dosen-dosen filsafat Pancasila se-Indonesia pada tanggal 8-18 September 1996), Pusat studi Pancasila Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. ------, 1996. "Metafisika dalam Filasafat Cina", dalam: Jurnal Filsafat, seri 25, Mei 1996, hlm.6-14, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Lee T.Oei, 1995."Sifat-sifat Keagamaan Konfusianisme", dalam: Pergulatan Mencari Jati Diri. Interfidei, Yogyakarta. Lim Tji Kay, Kitab Suci Taoisme (Tao Tee Ching), Jakarta: SASANA, 1991.
Gondomono, 1996.,Membanting Tulang Menyembah Arwah, Kehidupan Kekotaan Masyarakat Cina, PT.Pustaka Firdaus, Jakarta.
Mattulada, 1980. "Mentalitas dan Ciri-ciri Kepribadian Bangsa Indonesia" dalam: Lontara, No.1, hlm.5-18, Universitas Hasanudin, Ujung Pandang. Nio Joe Lan, Peradaban Tionghoa Selajang Pandang, Djakarta: Keng Po, 1961.
Hadiluwih, Subanindyo, 1994. Studi Tentang Masalah Tionghoa di Indonesia (Studi Kasus di Medan), Dhian Doddy, Medan.
Onghokham, "Beberapa Aspek Agama Cina" dalam Pergulatan Mencari Jatidiri, Yogyakarta: Interfedei, 1995: hlm. 141-153.
Herman Tjahja, "Konsep Manusia Dalam Konfusianisme" di dalam: Tim Redaksi Driyarkara (penny.): Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, Jakarta: Gramedia, 1993.
Pelly, Usman., Urbanisasi dan Adaptasi Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, LP3ES, Jakarta, 1994. . Pelly, Usman dan Darmono, 1983. Pandangan tentang Makna Hidup dan Tradisi Masyarakat: Studi Kasus Sumatera Utara (makalah seminar Orientasi Sosial-Budaya ke-3), LIPI dan Institut Agama Islam Negeri Antasari, Banjarmasin.
J.C.Cooper, Yin & Yang The Taoist Harmony of Opposites, Wellingborough, Northamptonshire, NN82 RQ, England: The Aquarian Press, 1981. Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropolog Sosial, Jakarta: Dian Rakyat, 1977. Koentjaraningrat, 1973. Metodologi Penelitian Masyarakat, LIPI, Jakarta. Lasiyo, "Metafisika Dalam Filsafat Cina", Jurnal Filsafat Fakultas Filsafat Unversitas Gadjah Mada, Seri 25., Yogyakarta: Mei 1996. Lasiyo , 1992. Studi Tentang Agama Khonghucu sebagai Bentuk Kebangkitan Kehidupan Beragama Ethnik Cina di Indonesia, laporan penelitian untuk The Toyota Foundation, Japan. ------, 1993., Hand Out Sejarah Filsafat Cina Kuno, Yayasan Pembinaan Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta. ------, 1995. "Ajaran Konfusianisme, Tinjauan Sejarah dan Filsafat" dalam: Pergulatan Mencari Jati Diri, hlm.324, interfidei, Yogyakarta.
Putra, Heddy Shri Ahimsa, 1995. Islam Jawa dan Jawa Islam Sinkretisasi Agama di Jawa" makalah disajikan pada seminar sehari tentang kharisma warisan budaya Islam di Indonesia, 9 Nopember, Balai Kajian Nilai Tradisional, Yogyakarta. Salmon, Cl. dan D. Lombard, 1985. Klenteng-klenteng Masyarakat Tionghoa di Jakarta diterjemahkan oleh Staf Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta. Sudiarja, A., 1996."Ajaran Konfusianisme dalam Perspektif Keagamaan Tionghoa" dalam: Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa, hlm. 1-14, Lembaga Realino, Yogyakarta. Suparlan, Parsudi, 1981/1982., “Kebudayaan Masyarakat dan Agama: Agama sebagai sasaran Penelitian Antropologi”, dalam majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, Jakarta, Jilid X, No. 1, hal.1-15.
13
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005
To Thi Anh, Nilai Budaya Timur dan Barat, Jakarta: Gramedia, 1984. Tan Chee-Beng, 1981. "Cina Baba, Cina non-Baba dan Melayu sebuah catatan tentang Interaksi Etnis di Malaka" dalam: Prisma, No. 11, hlm.70-78, Jakarta. Wangania, Jopie.1976."Antropologi Terapan dan Masalah Penelitian mengenai 'overseas Chinese' di Asia Tenggara" dalam Berita Antropologi, Th.VIII, No.26, April,hlm.41-56,Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, Jakarta.
14