AL ISTIHSAN
ا ن Oleh H. Abdullah Qomaruddin Lc (Dosen STID Dirosat Islamiyah Al-Hikmah Jakarta dan pengajar di beberapa instansi pemerintah maupun swasta)
Pendahuluan Secara umum sumber hukum Islam ada dua. Sumber hukum yang muttafaq yang bersifat primer (Al Qur’an dan As Sunnah) dan sumber hukum yang yang mukhtalaf yang bersifat sekunder. Diantara sumber hukum yang mukhtalaf adalah Al Istihsan. Ada dua aliran dalam mensikapi Istihsan, antara penduduk Hijaz dan Iraq. Kubu Hijaz tokoh sentralnya adalah Imam Malik (sekalipun beliau juga mendukung penggunaan Istihsan sebagai sumber hukum) dan Imam Syafi’i yang dikenal dengan sebutan ahli hadits. Mereka menolak keberadaan Istihsan sebagai sumber hukum Islam. Kecuali Imam Malik beliau pernah mengatakan bahwa pemakaian Istihsan merambah 9/10 dari seluruh ilmu fiqh. 1 Sedangkan kubu Iraq tokoh sentralnya adalah Imam Abu Hanifah yang dekenal dengan sebutan ahli ra’yi, yang menjadikan Istihsan sebagai salah satu sumber hukum Islam. Sekalipun ada sebagian muridnya tidak sepandapat dengannya dalam hal ini. Dan masing-masing memiliki argumentasi. Defenisi dan Pengertian Istihsan Secara bahasa Ihtisan berasal dari kata hasan yang berarti adalah baik lawan dari qobaha yang berarti buruk. Kemudian di tambah tiga huruf yaitu alif- sin dan ta' , bewazan istif’al ,sehingga menjadi istahsana- yastahsinu- istihsaanan. Kata benda (mashdar) yang berarti
ح678 ا9: ;د@ ﺡ> وه7B ء وإEFG ا9B Menganggap dan meyakini sesuatu itu baik (baik secara fisik atau nialai) lawan dari Istiqbah, menganggap sesuatu itu buruk.2 Sedangkan secara istilah, ulama beragam dalam mendefinisikannya sekalipun esensinya hampir memiliki kesamaan. Berikut ini beberapa definisi Istihsan 1. Istihsan adalah
م9VG @رWX اEYB ر97O 8 9WZJG اKL ﻥEN ح97>O PQG دRB رة6B [G رة6VGة ا9Bﻡ Artinya: Ungkapan tentang dalil yang dikritik oleh mujtahid itu sendiri (karena) ketidaksanggupannya untuk memunculkannya disebabkan tidak adanya kata/ ibarah yang dapat membantu mengungkapankannya.3 1 2
Abu Zahroh, Ushul Fiqh, hal. 244 Al Fairuz Abadi, Al Qomus Al Muhith, hal 1189
1
2.
Istihsan adalah:
3.
Artinya: Meninggalkan/ mengalihkan hasil qiyas menuju/ mengambil qiyas yang lebih kuat darinya.4 Istihsan adalah:
[>;ي ﻡeس اQe EGس اQ7G اg ﻡ;ﺝRB ول9VGا
EY آPQG دkYﺏ7 ﻡEN kQmn ﺝkYoJ ﺏpq8ا Artinya: Mengambil kemaslahatan yang bersifat parsial dan meninggalkan dalil yang bersifat umum/ menyeluruh.5 4. Istihsan adalah
EN st ﻡ ﺡPuJ ﺏkGvJG اEN stO انRB ﻥن8ل ا9VO ن ه; ان8ا ول8 اRB ول9VG اEw7O ;يe;ﺝ[ اG [Nxq EGه اymzﻥ Artinya: Beralihnya seseorang dari menghukumkan suatu masalah dengan yang serupa karen adanya kesamaan-kesamaan kepada hal yang berbeda karena pertimbangan yang lebih kuat yang mengharuskan beralih dari yang pertama.6 5.
Istihsan adalah
;;ي ﻡ>[ )اﺏe;ﺝ[ اG ظLG8;ل اJ ﺵP ﺵﻡyQ~ دWﺝ8 وﺝ;@ اRك وﺝ[ ﻡyﺕ ( RQGا
6.
Artinya: Meninggalkan salah satu ijtihad yang tidak mencakup seluruh lafaznya karena pertimbangan yang lebih kuat darinya.7 Istihsan adalah
(ري6G )اELGس اQ7Gا Artinya: Qiyas yang tersembunyi8 3
Ibnul Quddamah, Raudhotun Nazhir, hal 86 Jasim Muhalhil, Al Jadawil, hal. 55 5 Asy Syatiby, Al Muwafaqot 4/205 6 Al Jayzani, Ma’alim Ushul Al Fiqh, hal 236, Abu Zahroh, hal 245, Beliau mengatakan bahwa definisi tersebut adalah definisi Hanafiyah. 7 Al Qorofi, Nafais Al Ushul, 9/4216 8 Al Bukhori, Kasyful Asror, 4/3 4
2
7.
Istihsan adalah:
(ي9ﻡ8;ي ﻡ>[ ) اe ه; اPQG9س ﺏQe o ﺕRB رة6B 8.
Artinya: Ungkapan tentang pengkhususan qiyas dengan dalil yang lebih kuat darinya 9 Istihsan adalah:
ﻡk:رVJG و اqyG>ء واu8 اOy EYB PQG9G اEw7ك ﻡyر ﺕuOا (EﺏyVG اRﺕ[ )اﺏQw7 ﻡV ﺏEN [رض ﺏVO Artinya Memprioritaskan untuk meninggalkan tuntutan sebuah dalil dengan cara pengkecualian, rukhsoh dan mu’arodloh karena sebagian tuntutannya bertentangan. [Ibnul Arobi]10 9. Istihsan adalah
[Y7V ﺏ9WZJGﻡ ا>[ ا Artinya: Sesuatu yang di anggap baik oleh seorang mujtahid berdasarkan akalnya11 Dari beberapa definisi istihsan di atas, nampak setiap ulama berbeda dalam mendefinikannya sekalipun ada beberapa sisi yang memiliki kemiripan. Seperti hubungan istihsan dengan qiyas. Istihsan yang memiliki sandaran. Sehingga kemudian ada pendapat bahwa sesungguhnya makna istihsan itu hanya ada dua. Definisi yang sahih dan disepakati dan definisi yang batal dan disepakati kebatalannya. Definisi yang sahih adalah
PQG دEYB PQG دQﺝyﺕ Rﺡ8;ي اe8 اPQG9G ﺏPJVGاو ه; ا k> آب اوRص ﻡq PQG9G هymz ﻥRB kGvJG اstول ﺏ9VGاو ا Artinya Mentarjih (memilah) dalil atas/ dengan dalil Atau mengamalkan/ mefungsikan dalil yang lebih kuat dan baik Atau Beralih dalam menghukum suatu masalah dari yang memiliki kemiripankemiripannya karena ada dalil khusus dari Al Qur’an atau sunnah Sedangkan definisi yang batal adalah definisi terakhir yaitu:
[Y7V ﺏ9WZJGﻡ ا>[ ا 9
Al Amidi, Al Ihkam fi Ushulil Ahkam, 4/57 Asy Syatiby, Al Muwafaqot, 4/208 11 As Syinqiti, Muzakiroh Ushul Fiqh, hal 167 10
3
Artinya: Sesuatu yang dianggap baik oleh seorang mujtahid berdasrkan akalnya. Karena tidak ada seorang ulamapun yang menjadikan istihsan sebagaai sumber hukum yang berdapat seperti itu. Karena mereka yang menggunakan istihsan selalu menyadandarkannya kepada dalail yang diakui oleh para ulama. Kedudukan Istihsan Dalam Sumber Hukum Islam Ada tiga sikap dan pandangan ulama dalam menggunakan istihsan sebagai sumber hukum Islam.12 Ada yang menolak istihsan sebagai sumber hukum Islam sama sekali. Mereka adalah kelompok ulama yang menafikan qiyas seperti Daud Azh Zhohiry, Mu’tazilah dan sebagian Syi’ah. Ada yang menjadikan istihsan sebagai sumber hukum Islam. Mereka adalah kelompok ulama Hanafiah, khususnya tokoh sentralnya Abu Hanifah. Dan yang lain adalah kelompok yang kadang menggunakan istihsan dan kadang menolaknya. Seperti Imam Syafi’I. Secara umum ada dua pendapat ulama dalam hal ini 1. Ada yang menganggapnya sebagai sumber hukum. Diantara ulama yang beranggapan sebagai sumber hukum adalah Imam Hanafi dan Imam Malik (sekalipun ia tidak terlalu membedakan antara istihsan dengan Maslahah Mursalah, sehingga beliau menyatakan bahwa istihsan telah merambah sampai 9/10 ilmu fiqh. Adapun alasan-alasan yang dikemukannya antara lain, 1.1. Firman Allah swt dalam surat Azzumar ayat 18 yang berbunyi
y7Í×‾≈s9'ρé&uρ ( ª!$# ãΝßγ1y‰yδ tÏ%©!$# y7Í×‾≈s9'ρé& 4 ÿ…çµuΖ|¡ômr& tβθãèÎ6−Fu‹sù tΑöθs)ø9$# tβθãèÏϑtFó¡o„ tÏ%©!$# ∩⊇∇∪ É=≈t7ø9F{$# (#θä9'ρé& öΝèδ Artinya: ”Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”.13 1.2. Sabda Rasul saw
R ا ﺡ9>B ;WN >;ن ﺡJYJGﻡ رأ@ ا Artinya: Apa yang dilihat kaum muslimin baik maka baik pula disisi Allah 1.3. Ijma' umat dalam kontek istihsan tentang boleh masuk kepemandian umum, tanpa pembatasan waktu dan penggunaan air serta ongkosnya. 2. Menganggap bukan sebagai sumber hukum. Diantara ulama yang menolaknya sebagai sumber hukum adalah Imam Syafi’i. Dalam bukunya ”Ar Risalah” beliau menyatakan bahwa haram bagi seseorang untuk mengatakan sesutau atas dasar 12 13
Lihat Ibnu Taimiyah, Qi’idah fil Istihsan, hal. 48-52 QS. Azzumar, ayat 18
4
Istihsan. Karena Istihsan hanyalah talazzuz.14 Beliau juga berkata ”Barang siapa yang beristihsan sungguh ia telah membuat syariat”15 Menurut beliau tidak boleh seorang hakim atau mufti menghukumi atau berfatwa kecuali dengan dalil yang kuat (khobar lazim) yang bersumber dari kitabullah, sunnah, ucapan ulama yang tidak diperdebatkan (ijma’) atau qiyas. Tidak boleh menetapkan hukum/ fatwa dengan Istihsan.16 Bahkan ada dikalangan Asy Syafi’iyah secara ekstrim mengkafirkan dan membid’ahkan.17 Adapun alasan mereka yang menolak istihsan sebagai sumber hukum,18 antara lain: 2.1. Karena kewajiban seorang muslim adalah mengikuti hukum Allah dan RasulNya atau qiyas yang berlandaskannya. Oleh karena itu hukum yang berasal dari Istihsan adalah produk manusia (wadh'i) yang hanya berdasarkan pertimbangan citra rasa dan kesenangan belaka (Tazawwuq dan Talazzuz) 2.2. Allah swt memerintahkan kita untuk kembali kepada nash atau qiyas apabila kita berselisih paham, bukan kepada hawa nafsu. Seperti Firmannya dalam Annisa ayat 59
’Îû ÷Λäôãt“≈uΖs? βÎ*sù ( óΟä3ΖÏΒ Í÷ö∆F{$# ’Í<'ρé&uρ tΑθß™§9$# (#θãè‹ÏÛr&uρ ©!$# (#θãè‹ÏÛr& (#þθãΨtΒ#u tÏ%©!$# $pκš‰r'‾≈tƒ ×öyz y7Ï9≡sŒ 4 ÌÅzFψ$# ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ tβθãΖÏΒ÷σè? ÷ΛäΨä. βÎ) ÉΑθß™§9$#uρ «!$# ’n<Î) çνρ–Šãsù &óx« ∩∈∪ ¸ξƒÍρù's? ß|¡ômr&uρ Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.19 2.3. Nabi Muhammad saw tidak pernah memberikan fatwa dengan menggunakan Istihsan. Misalnya ketika beliau ditanya tentang seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya ”Kamu bagiku mirip punggung ibuku”. Beliau tidak memberikan fatwa bersdasarkan Istihsan. Akan tetapi menunggu hingga turun ayat tentang Zihar beserta kafaratnya.20 Dan contoh lainnya. Atas dasar inilah, kita wajib menghindar penggunaan Istihsan tanpa adanya topangan nash. 2.4. Nabi saw juga tidak memperkanankan sahabat memeberi fatwa atau bersikap berdasarkan istihsan. Seperti pada kasus Usamah yang membunuh musuhnya 14 15 16 17 18 19 20
As Syafi’I, Ar Risalah , hal 219 Al Ghozali, Al Mustashfa, hal 29 As Syafi’I, Al Umm, bab Ibtholul Istihsan 7/298 Ibnul Arobi, Al Mahshul, hal. 131 Lihat Abu Zahroh, hal. 252-253, As Syafi’i, Al Umm 7/ 294-304 QS. Annisa ayat 59 Lihat Ashobuni, Mukhtashor Ibnu Katsir, 4/459
5
yang telah mengucapkan kalimat Laa Ila IllaLLah, karena kalimat itu di ucapkan di saat terdesak dan ancaman pedang yang terhunus. 2.5. Istihsan tidak memiliki batasan yang jelas dan kreteri-kreteian yang bisa dijadikan standar untuk membedakan antara haq dan batil, seperti halnya qiyas. Sehingga bisa menimbulkan bias. Namun demikian, sesungguhnya antara dua kubu tersebut di atas tidak ada perbedaan yang mendasar. Kareana Abu Hanifah yang menjadikan istihsan sebagai sumber hukum dalam artian mendahulukan nash atas qiyas. Bahkan beliau juga menolak penggunaan istihsan dalam artian mengamalkan sesuatu berdasarkan akal dan mengabaikan nash. Beliau berkata: “Janganlah kalian mengambil qiyas Zufar (salah seorang muridnya). Karena hal itu apabila kamu lakukan, maka kamu telah mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang harom. Dengan kata lain tidak ada satupun ulama yang menjadikan Istihsan sebagai sumber hukum berpendapat hanya berdasarkan akal semata, semua memiliki sandaran.21 Begitu juga Imam Syafii, beliau menolak istihsan semata-mata berdasarkan akal. Namun apabila tidak semata-mata karena akal, beliau dapat menerimanya bahkan beliau menggunakannya. Ibnul Qoyyim berkata: “Imam Syafii sangant menolak Istihsan namum pada beberapa kasus beliau menggunakan Istihsan. Diantaranya beliau mengganggap baik, bahwa mut’ah bagi orang kaya adalah seorang pembantu, orang miskin muqniah, sedangkan bagi orang yang sedang (tidak kaya juga tidak miskin) 30 dirham”.22 Begitu pula dengan Imam Ahmad yang kadang menolak istihsan, juga menggunakan Istihsan. Beliau berkata: “Aku menganggap baik untuk bertayamum setiap kali sholat. Padahal secara qiyas tayamum sama dengan berwudlu.23 Macam-macam Istihsan 1. Istihsan dilihat dari aspek pengalihan Ada tiga contoh dalam kasusu ini. 1.1. Mengalihkan qiyas zhohir mengambil qiyas khofi Contohnya pada kasus tanah wakaf pertanian (sawah). Dilihat dari kacamata qiyas kewajiban mengairi tanah (sawah) tersebut tidak otomatis termasuk wakaf tanah pertanian tersebut, apalagi memang tidak disebutkan saat mewakafkannya. Alasannya karena qiyas zhohir, yaitu mengqiyaskan wakaf kepada jual beli dimanan apabila terjadi transaksi atas suatu barang maka terjadi pemindahan kepemilikan sesuai akad yang disepakatinya/ dikemukannya. Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan maka kewajiban mengairi tanah wakaf (sawah) masuk dalam akad wakaf. Alasannya mengalihkan/ mengabaikan hasil qiyas zhohir mengambil hasil qiyas khofi. Karena tujuan dari wakaf tersebut adalah memanfaatkan hasil dari pertanian tersebut. Dan sawah itu tidak akan menghasilkan/ mendatangkan manfaat apabila tidak diairi. 1.2. Mengalihkan nash yang bersifat umum, mengambil hukum khusus. 21 22 23
Al Majmu’ 4/48 Badai’u Al Fawaid, 4/32 Ibu Al Quddamah, Al Mughni, 1/266
6
1.3.
Contohnya pada kasus Umar ra yang membatalkan hukum potong tangan seorang pencuri karena kejadiannya saat terjadi musim paceklik/ kelaparan. Padahal ayat potong tangan itu cukup jelas (5/38). Juga pada jual beli salam. Berdasarkan dalil umum tidak boleh. Karena Nabi saw bersabda: ”Janganlah kamu menjual yang tidak kamu miliki” [HR. Ahmad ]24 . Namun karena ada dalil khusu maka jual beli salam dibolehkan. Sabda Nabi saw ”Siapa yang melakukan jual beli salam, maka harus jelas ukuran, timbangan dan watunya”25 [HR. Bukhori] Mengalihkan/ mengabaikan hukum kulli mengambil hukum istitsna'i (pengkecualiaan) Contohnya pada orang yang makan saat puasa karena lupa. Kaidah umum, puasanya batal karena salah satu rukunnya, yaitu alimsak telah rusak. Namun karena ada dalil khusus yang mengkecualikannya, maka puasanya tidak batal. Yaitu sabda Nabi saw : "Siapa yang lupa padahal ia tengah puasa lalu ia makan atau minum, hendaknya ia menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya itu adalah makan dan minum yang diberikan Allah".26
2. Istihsan dilihat dari sanad/ sandaran yang digunakan dalam pengalihan/ pengabaian. Ada beberapa bentuk dalam hal ini, 27diantaranya adalah: 2.1. Istihsan yang sanad/ sandaranya berupa quwwatul atsar/ riwayat yang kuat. Contohnya pada kasus sisa air minum unggas carnivora sepeti burung elang, rajawali atau burung pemakan bangkai. Dilihat dari kacamata qiyas maka air itu menjadi najis. Yaitu apabila diqiyaskan kepada hewan buas. Karena ada kesamaan illatnya yaitu samasama hewan yang dagingnya haram dimakan. Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan, hukum air itu suci namun makruh. Karena hewan burung minum dengan paruhnya. Dan paruhnya adalah suci karena ia sejenis tulang yang kering. Ini berbeda dengan hewan buas yang minum dengan lidahnya yang mengandung air liur yang bersumber dari dagingnya yang najis/ haram. 2.2. Istihsan yang sandarannya berupa maslahat Contohnya pada kasus 'al ajir al musytarok' (pekerja yang terikat pada banyak orang) seperti tukang jahit, yang menghilangkan/ kehilangan bahan. Dilihat dari kacamata qiyas, ia tidak wajib mengganti apabila bukan karena kelalaiannya. Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan ia wajib menggantinya untuk menjaga agar hak milik orang tidak disia-siakan. 24
Asy Syaukani, Nailul Author 2/225 Azubaidi, Mukhtashor Sohih Bukhori, hal 226 26 . HR. Muslim, Sahih Muslim 1/415 27 Lihat Abu Zahroh, hal. 249-250, Ibnul Arobi, hal. 131, Adillah Tasyri, hal 163-173 25
7
2.3.
2.4.
2.5.
2.6.
Istihsan yang sandarannya berupa ijma Contohnya pada kasusu akad Istishna’ (pesanan). Menurut qiyas semestinya akad itu batal. Sebab objek akad tidak ada ketika akad itu berlangsung. Akan tetapi transaksi model ini telah dikenal dan sah sepanjang zaman, maka ia dipandang sebagai ijma’ atau ’urf ’aam yang dapat mengalahkan dalil qiyas. Yang demikian ini berarti merupakan perpindahan dari suatu dalil ke dalil yang lainyang lebih kuat. Istihsan yang sandarannya berupa qiyas Contohnya pada kasus wanita yang perlu pengobatan khusus. Pada hakikatnya seluruh tubuh wanita adalah aurat. Akan tetapi dibolehkan untuk melihat sebagaian tubuhnya karena hajat. Seperti untuk kepentingan pengobatan oleh seorang dokter. Di sini terdapat semacam pertentangan kaidah, bahwa seorang wanita adalah aurat, memandangnya akan mendatangkan fitnah. Sementara disisi lain akan terjadi masyaqqoh apabila tidak diobati. Dalam hal ini dipakai illat, at taysir (memudahkan). Istihsan yang sandarannya darurat. Contohnya pada sumur yang kejatuhan najis. Apabila sumur itu dikuras sangat tidak mungkin. Karena alat yang digunakan pasti terkontaminasi kembali dengan najis tersebut. Namun dengan pertimbangan darurat hal itu dapat dilakukan. Istihsan yang sandarannya berupa ’urf (budaya/ kebiasaan) Contoh orang yang bersumpah tidak makan daging (lahman). Namun kemudian ia makan ikan. Berdasarkan qiyas ia telah melanggar sumpahnya karena Al Qur’an menyebut ikan dengan kata ”lahman toriyyan” 28. Namun berdasarkan ’urf , ikan itu berbeda dengan daging.
Kesimpulan 1. Lafaz Istihsan adalah lafaz yang bersifat mujmalah (umum, memiliki makna lebih dari satu). Sehingga tidak boleh menetapkan hukum secara sah atau batal berdasarkan istihsan dalam artian umum (bahasa). 2. Sebuah konsep penalaran dalam rangka penggunaan rasio secara lebih luas untuk menggali dan menemukan hukum sesuatu kejadian yang tidak ditetapkan hukum dari sumber syariah yang tersurat (nash) atau sumber hukum yang dipersamakan dengan qiyas dan dengan sandaran yang kuat 3. Penggunaan istihsan dikalangan ulama yang menggunakanya sebagai sumber hukum hanya dalam arti yang benar. 4. Pengingkaran dan penolakan istihsan sebagai sumber hukum Islam dikalangan ulama yang menolaknya adalah dalam arti/ makna yang batil. Yaitu hanya menggunakan akal semata. 5. Penggunaan Istihsan hanya pada masalah-masalah juziyah saja agar tidak terjadi pemakain kaidah –yang tidak lain adalah qiyas- secara berlebihan sehingga meninggalkan ruh dan makna yang terkandung dalam syariat. 6. Pada prinsipnya Istihsan bersandar kepada dalil nash, ijma’ dan qiyas juga kepada kaidah yang berbunyi ”Ad dhorurat tubihul Mahzhurot”. 7. Esensi istihsan adalah menghindarkan kesulitan demi kemudahan. 28
QS Al Fathir ayat 12
8
8. Esensi istihsan menurut mazhab Hanafi adalah juga qiyas 9. Mengamalkan hukum yang berdasarkan istihsan dalam arti yang benar adalah sesuatu yang disepakati, tidak ada perselisihan dalam pengamalannya, yang diperselisihkan adalah penamaannya. Penutup Tiada gading yang tidak retak, tidak ada manusia yang sempurna. Ilmu yang dimiliki manusia adalah sangat terbatas. Oleh karena itu makalah yang sederhana ini tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan. Saran, kritik dan masukan sangat diharapkan. Demikianlah uraian singkat Istihsan ini semoga dapat memberikan manfaat. Kebenaran hanya milik Allah. Wallahu a’lam bis showab. Wal hamdulillah robbil ’alamin.
9
DAFTAR PUSTAKA 1. Al Qur’an Al Karim 2. Abdurrahman, Abdul Aziz bin Ali, Adilah At Tasyri’, tanpa penerbit, tahun 1406 H 3. Abu Zahroh, Muhammad, Ushul Fiqh, terbitan Dar Al Fikri Al ’Arobi, tanpa tahun 4. Al Bukhori, Abdul Aziz bin Ahmad, Kasyfu Al Asror An Ushul Fakhr Al Islam Al Bazdawi, terbitan Dar Al Kitab Al Arobi, Bairut, cetakan ke 2, tahun 1414 H/ 1994 5. Al Fayruz Abadi, Muhammad bin Ya’qub, Al Qomus Al Muhit, terbitan Muassah Ar Risalah, cetakan ke 6, tahun 1419 H/ 1998 6. Al Jayzani, Muhammad bin Husain bin Hasan, Ma’alim Ushul Al Fiqh ’Inda Ahli As Sunnah Wa Al Jama’ah, terbitan Dar Ibn Al Jauzi, Arab Sa’udi, cetakan ke 2, tahun 1419 H/ 1998 7. Al Maqdisi, Abdullah bin Ahmad bin Quddamah, Raudhotu An Nazhir, terbitan Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Bairut, cetakan 1, tahun 1401 H/ 1981 8. Al Amidi, Abul Hasan Ali bin Abi Ali bin Muhammad, Al Ihkam Fi Ushul Al Ahkam, terbitan Dar Al Kutub Al ilmiyah, Bairut, tahun 1400 H/ 1980 9. Al Mur’asyili, Yusuf bin Abdurrahman, Fihris Al Umm, terbitan Dar Al Ma’rifah, cetakan 1, tahun 1408 H 10. Al Qorofi, Ahmad bin Idris bin Abdurrahman, Nafais Al Ushul Fi Syarh Al Mahshul, terbitan Maktabah Nazzar Musthofa Al Baz, Arab Sa’udi, cetaka ke , tahun 1418 H/ 1998 11. Al Yasin, Jasim bin Muhammad bin Muhalhil, Al Jadawil Al Jami’ah Fi Al Ulum Al Nafi’ah, terbitan Muassasah Al Kalimah, Al Kuait, cetakan ke 4, tanpa tahun 12. An Naisaburi, Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, terbitan Dar Al Fikri, Bairut, cetakan ke 1, tahun 1408 H/ 1988 13. As Sarokhsi, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Abu Sahal, Ushul Fiqh, terbitan Dar Al Ma’rifah, Bairut, tanpa tahun 14. As Shobuni, Muhammad Ali, Mukhtashor Tafsir Ibn Katsir, terbitan Dar Al Qur’an, Bairut, cetakan ke 7, tahun 1402 H/1981 15. As Syafi’i, Muhammad bin Idris, Al Umm, terbitan Dar Al Ma’rifah, Bairut, cetakan ke 2, tahun 1393 H/1973 16. ____________, Ar Risalah, terbitan Maktabah Dar Ats Tsaqofah, cetakan ke 2, tahun 1403 H/ 1983 17. As Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, terbitan Maktabah Mushthofa Al Babi Al Halabi, Mesir, cetakan akhir, tanpa tahun 18. As Syatibi, Abu Ishaq, Al Muwafaqot Fi Ushul As Syari’ah, terbitan Al Maktabah At Tijariyah Al Kubro, tanpa tahun 19. As Syinqiti, Muhammad Al Amin bin Al Mukhtar, Muzakkiroh Ushul Al Fiqh, terbitan Al Maktabah As Salafiyah, Al Madinah Al Munawwaroh, tanpa tahun 20. Az Zubaidi, Ahmad bin Abdu Al Lathif, Mukhtashor Sohih Al Bukhori, terbitan Dar An Nafais, Bairut, cetakan ke 5, tahun 1412 H/ 1992
10
21. Az Zuhaili, Wahbah, Al Fiqhu Al Islami Wa Adillatuhu, terbitan Dar Al Fikri, Damaskus, cetakan ke 3, tahun 1409 H/ 1989 22. Ibnu Al Arobi, Al Qhodi Abu Bakar, Al Mahshul Fi Ushul Al Fiqh, terbitan Dar Al Bayariq, Yordan, cetakan 1, tahun 1408 H 23. Ibnu Taymiyah, Ahmad bin Abdulhalim, Qo’idah Fi Al Istihsan, editor Muhammad Aziz Syis, terbitan Dar ’Alam Al Fawaid, Arab Sa’udi, cetakan 1, tahun 1419 H 24. Ibn Quddamah, Abdullah bin Ahmad bin Muhammad, Al Mughni, terbitan Dar Al Kitab Al Arobi, cetakan tahun 1403 H/ 1983
11
\ دار1980 - هـ1400 \ ي9ﻡ8 ا9J ﻡR ﺏEYB E اﺏR ﺏEYB RGم \اﺏ; اtﺡ8 اﺹ;ل اEN مtﺡ8ا وتyQ \ ﺏkQJYVG اgtGا y>ﺵGون ا9 هـ \ ﺏ1406 \ EYB R ﺏRJﺡyG ا96B nOnVG ا96B آ;ر9G \ ا¤OyFG اkGاد وتyQ \ ﺏkNyVJG \ دار ا1973 هـ1393 \ 2 \ طEVNFG اKO ادرR ﺏ9Jم \ ﻡ8ا – وتyQ \ ﺏkNyVJG \ دار اk>Gون ا9 \ ﺏEqyG اPW E اﺏR ﺏ9J اﺡR ﺏ9J ﻡyt[ \ اﺏ; ﺏ7LGاﺹ;ل ا >ن6G EﺏyVG اytLG \ دار اk>Gون ا9ة \ ﺏyهnG اﺏ; ا9J[ \ ﻡ7LGاﺹ;ل ا kJYtG اk§ \ ﻡ4 \ طRQQG اPWYW ﻡR ﺏ9J ﻡR ﺏs¦ ﺝQFG \ اkVN>G;م اYVG اEN kVﻡZGاول ا9ZGا ¨O;tG\ ا kN7uG دار اk6t \ ﻡ1983 - هـ1403 \ 2 \ طEVNFG اKO ادرR ﺏ9J \ ﻡkGyGا \ k©QJYVG اg©tG ه©ـ \ دار ا1401-1981 \1 \ طE©97JG اk©اﻡ9e R© ﺏ9J أﺡRا ﺏ96B \yX>G اk:رو >ن6G – وتyQﺏ \ دار1988 - ه©ـ1408 \ 1©ﺏ;ري \ طQ>Gي اyQF©7Gج اZG اR ﺏsY ﻡRQG \ اﺏ; اsY ﻡQﺹ وتyQ \ ﺏytLGا ه©ـ \ دار1420 \ 1 \ طEtGJGي اyNVJG اEﺏyVG اR ﺏyt اﺏ; ﺏE:7G[ \ ا7LG اﺹ;ل اEN ;لoJGا ردن8رق \ اQ6Gا \ sOy©tGأن اy©7G \ دار ا1981 - ه©ـ1402 \ 7 \ طEﺏ;ﻥo©G اEYB 9J \ ﻡyQu آR اﺏyQL ﺕyoﻡ وتyQﺏ - ه©ـ1412 \ 5 ي \ ط9©QﺏnG©¬ اQYG ا9©6B R© ﺏ9©J اﺡRO9©G اR©Oﻡ©م ز8©ري \ ا6G اQ© ﺹyoﻡ وتyQ \ ﺏKmL>G \ دار ا1992 - هـ1419 \ 2 \ طEاﻥnQZG اR ﺡR ﺏRQ ﺡR ﺏ9J\ ﻡkBJZG واk>G اP أه9>B [7LG أﺹ;ل اsGVﻡ kO;دVG اkQﺏyVG اktYJJG;زي \ اZG اR \ دار اﺏ1998 \ k©LYG اk©6tJG \ اk>©Gون ا9© \ ﺏE7>F©G©ر اJG اR© ﺏRQ©ﻡ8 ا9©J¦ ﻡQF©G©[ \ ا7LGة اﺹ;ل اyآpﻡ >;رةJG اk>O9JGا
12
Fي \ دﻡytLG \ دار ا1989 - هـ1409 \ 3 \ طEYQﺡnG اk6آ;ر وه9G[ \ اG و ادEﻡx8[ ا7LGا kNyVJG هـ \ دار ا1408 \ 1 \ طEYFByJG اRJﺡyG ا96B ¬;O .م \ د8س اyWN ©WQYB ©YBأه© وye \ k©QJQG اRوف ﺏ©ﺏyVJG اsQYG ا96B R ﺏ9Jم أﺡx8¦ اQن \ﺵ8 اEN ة9Be kO;دVG اkQﺏyVG اktYJJG \ ا9m;اLG اsGB هـ \ دار1419\ 1 \ طKQ ﺵnOnB 9Jﻡ kGyG اk§ \ ﻡ1998 هـ1419 \ 6 وز اﺏدي \ طyQLG;ب ا7VO R ﺏ9J \ ﻡ°QJGﻡ;س ا7Gا ه©ـ1414\ 2 ©ري \ط6G ا9©J اﺡR© ﺏn©OnVG ا9©6B\ دويn©6Gم اx8 اyN اﺹ;لRB ارy8¬ اFآ وتyQ \ ﺏEﺏyVGب اtG \ دار ا1994 يy6tG اkOرZG اk6tJG \ اk>Gون ا9 \ ﺏE6FG \ اﺏ; اق اkVOyFG اﺹ;ل اEN ت7N;اJGا ه©ـ1419\ 2 \ طE©اﻥnQZG اR© ﺡR ﺏRQ ﺡR ﺏ9J \ ﻡkBJZG واk>G اP أه9>B [7LG أﺹ;ل اsGVﻡ kO;دVG اkQﺏyVG اktYJJG;زي \ اZG اR \ دار اﺏ1998 EﺏyVGب اtG \ دار ا1983 - هـ1403 \ kاﻡ9e R ﺏ9J ﻡR ﺏ9J اﺡRا ﺏ96B 9J \ اﺏ; ﻡE>±JGا ه©ـ1418 \ 2 \طE©Nاy7G اRJﺡy©G ا9©6B R© ﺏK©O ادرR© ﺏ9©J;ل \ اﺡo©JGح اy ﺵEN ﺹ;ل8 اKmLﻥ kO;دVG اkQﺏyVG اktYJJGز\ ا6G اELoار ﻡn ﻥk6t \ﻡ1998 \ E©6YG اE©ﺏ6G اELo ﻡk6tة \ ﻡyQq8 اkV6G \ اE;آﻥFG ا9J ﻡR ﺏEYB R ﺏ9Jور \ ﻡ8 اPQﻥ yoﻡ
13