SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 | PENELITIAN
Sejarah dan Perkembangan Kota Denpasar sebagai Kota Budaya Ni Made Yudantini(1), Kadek Agus Surya Darma(1), Wayan Wiryawan (1) nmy
[email protected] (1)
Laboratorium P erumahan dan P ermukiman, P rogram S tudi A rsitektur, F akultas Teknik, U niv ersitas U day ana.
Abstrak Kota Denpasar merupakan ibukota Propinsi Bali yang didirikan pada masa pra-kolonial dimana Kota Denpasar mendapat pengaruh sistem pemerintahan kolonial. Asal mula perkembangan kota dapat dilihat dari sejarah Bali termasuk era pra-sejarah, periode Bali Kuno, periode Majapahit, dan pengaruh periode kedatangan Eropa ke Bali, memberikan pengaruh cukup signifikan terhadap perubahan karakter sosial-budaya kota. Periode Kemerdekaan Indonesia mengakibatkan dampak terhadap sistem struktur pemerintahan dan pembangunan kota yang cenderung mengakibatkan pertumbuhan penduduk, timbulnya masalah sarana-prasarana dan utilitas kota. Melalui studi kasus pada Kota Denpasar, dengan penjelajahan evolusi sejarah dan observasi terhadap peninggalanpeninggalan yang masih terdapat di Kota Denpasar, pene litian in i menyajikan informasi, dokumentasi tentang warisan budaya Kota Denpasar yang dilandasi oleh nilai budaya lokal Tri Hita Karana, serta perkembangannya. Penelitian ini juga bertujuan untuk konservasi kekayaan warisan budaya di Kota Denpasar termasuk tempat suci (pura), puri (kerajaan), pasar tradisional, alun-alun, arsitektur kolonial, ruang terbuka hijau, koridor sungai dan lingkungan sekitarnya untuk menuju transformasi Kota Denpasar menjadi Kota Budaya. Kata-kunci : Kota Denpasar, Kota Budaya, sejarah, Tri Hita Karana , warisan budaya
Pendahuluan Kota Denpasar merupakan salah satu kota di Bali dan menjadi pusat perkembangan bisnis, pendidikan dan pemerintahan. Pertumbuhan Kota Denpasar tidak terlepas dari pengaruh perkembangan global dan teknologi. Kota Denpasar tumbuh dan berkembang juga karena adanya pembauran atau perpaduan budaya dan konsepsi pola pikir warga kotanya. Perpaduan ini menciptakan budaya daerah dan kehidupan sosial warga yang berh ubungan dengan ruang dan waktu. Berdasarkan sejarah, sistem pemerintahan Kota Denpasar telah mengalami beberapa sistem, mulai dari ibu kota kerajaan pada jaman kolonial, kemudian menjadi ibukota administratif pada jaman kemerdekaan untuk wilayah ibukota, sampai akhirnya sekarang menjadi sebuah kota. Denpasar awalnya merupakan bagian dari Kabupaten Badung sebelum menjadi sebuah kota. Pola lintas dari pola kerajaan atau Catus Patha/Pempatan Agung menciptakan pusat ibukota selama era kerajaan di Jawa dan Bali (Bappeda, 2011). Dengan pengaruh perkembangan Kota Denpasar di masa lalu, tentu saja meninggalkan budaya, pola pikir, adat istiadat serta peninggalan kekayaan warisan budaya mulai jaman kerajaan, colonial dan kemerdekaan. Dengan adanya peninggalanpeninggalan warisan kebudayaan ini, maka Kota Denpasar merumuskan visi Kota Denpasar sebagai kota yang berwawasan budaya dengan mewujudkan Bali yang harmoni dan berkelanjutan di segala bidang (Bappeda, 2011). W arisan budaya ditekankan pada kegiatan seni, kegiatan sosial, serta peninggalan-peninggalan masa lalu seperti pura, puri, peken , alun-alun/ruang terbuka hijau, arsitektur peninggalan colonial dan style lainnya, koridor sungai dan tempat -tempat lain yang Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 177
Sejarah dan Perkembangan Kota Denpasar sebagai Kota Buday a
berkaitan dengan sejarah masa lampau. Selain itu, Kota Denpasar sebagai kota urban terdiri dari masyarakat campuran atau plural berdasarkan budaya yang muncul sebagai karakteristik Kota Denpasar. Adanya pikiran terbuka, kerjasama, dan kesetaraan sebagai karakteristik dari masyarakat multicultural, yang terdiri dari budaya yang dipengaruhi oleh agama Hindu, dan diperkaya dengan keragaman multi-budaya, etnis dan keragaman bangsa Indonesia. Keberagaman budaya ini telah menciptakan warna dan keunikan budaya di Kota Denpasar (Bappeda, 2011; Geriya, 2010). Pesatnya perkembangan global dan teknologi juga turut mengambil peran dalam munculnya permasalahan-permasalahan kota yang cukup signifikan dan tidak kalah pentingnya menurunkannya rasa kesadaran akan keberadaan kekayaan warisan budaya. Untuk itulah penelitian ini memaparkan informasi tentang evolusi sejarah Kota Denpasar, menguraikan dokumentasi dari observasi pada obyek-obyek warisan budaya untuk tujuan konservasi terhadap warisan budaya yang ada di Kota Denpasar. Diharapkan, penelitian ini juga menjadi sumbangsih untuk memperkaya pengetahuan tentang warisan budaya masa lampau di Kota Denpasar. Metodelogi Dalam penulisan artikel in i, merupakan hasil penelitian tentang sejarah berdasarkan qualitative research . Pengumpulan data berupa data sekunder yaitu studi literatur tentang sejarah Bali dan Kota Denpasar baik melalu i arsip dan dokumen instansi terkait, Internet, serta sumber-sumber sejarah lainnya. Observasi dilakukan untuk memahami keberadaan warisan budaya di Kota Denpasar kemudian disajikan dalam bentuk informasi sejarah dan dokumentasi warisan budaya Kota Denpasar. Keluaran dari penelitian ini diharapkan untuk lebih memahami tentang sejarah Kota Denpasar serta perkembangannya pada masa sekarang. Sejarah Bali dalam Pembentukan Kota Denpasar Kota Denpasar tidak terlepas dari sejarah Bali dimana ada lima periode sejarah yaitu pra-sejarah, Bali Kuno, Kerajaan Majapahit, kedatangan warga asing, dan jaman Kemerdekaan (Adhika, 1994; Alit, 1996; Hardiati, 2013). Periode pra-sejarah adalah ketika kehidupan masyarakat didasarkan pada kondisi alam seperti hidup di gua-gua dan menggunakan sumber daya air. Periode ini memperkenalkan teknik pertanian, " subak" sistem irigasi dan produksi padi di daerah Cekik (Ardika, 2013). Bukti lain adalah kapak batu dan adzes di Desa Sembiran, dan drum perunggu di daerah Pejeng, Ubud. Periode Bali Kuno (abad ke-9) adanya pengaruh Hindu dari Jawa dimana melahirkan sistem hidup komunal masyarakat di desa-desa tradisional ( desa adat), adanya pura Kahyangan Tiga, bale banjar, serta pola pempatan agung. Periode ketiga yaitu pengaruh Kerajaan Majapahit di Bali yang dimulai pada tahun 1343 dan didahului oleh inspansi Patih Gajah Mada ke Bali. Selama era ini, sistem sosial kasta ( Tri Wangsa yang terdiri dari Brahmana, ksatrya, dan Wisya) diperkenalkan oleh Dang Hyang Nirartha pada tahun 1480, dimana Brahmana memegang peranan penting pada masa ini (Pringle, 2004). Adanya kaligrafi Bali pada daun lontar/palm yang berisikan tentang terapi, filsafat, dan norma-norma arsitektur ( Hasta Kosala-Kosali). Geertz (1975) menyimpulkan bahwa Bali pada tahun 1478, seiring jatuhnya Kerajaan Majapah it, membawa perubahan besar dalam budaya Bali dan masyarakat. Banyak pendeta, tokoh-tokoh masyarakat datang ke Bali dan tercipta perubahan pengetahuan di bidang agama, sastra, budaya dan politik. Periode kedatangan warga asing dimulai dengan jatuhnya Kerajaan Majapahit di 1515. Periode ini juga mengakibatkan pengaruh pada kedua sistem budaya dan sosial Bali. Penggunaan "uang kepeng" (koin Cina), piring Cina, serta penggunaan ornament. Pengaruh dalam arsitektur menentukan tata letak bangunan, fungsi, ornamen, bahan bangunan dan konstruksi. Kedatangan pelaut Belanda di Bali pada 1597 yang dipimpin oleh Kapten Cornelis de Houtman dan diikuti pembentukan Dutch East India Company (VOC) pada tahun 1602. Selama periode ini, ada beberapa B 178 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Ni Made Yudantini
pemberontakan dan peperangan seperti Kerajaan Klungkung, Kerajaan Badung, Kerajaan Karangasem, dan Kerajaan Tabanan. Kedatangan orang asing membawa pengaruh terhadap perubahan gaya bangunan dengan gaya Barat seperti gedung perkantoran, sekolah, istana ( loji). Belanda melihat perubahan ini berdampak pada hancurnya arsitektur tradisional Bali, kemudian Belanda membuat undang-undang yang disebut Balisering untuk menjaga keberlanjutan arsitektur tradisional Bali (Geertz, 1975). Struktur pemerintah Belanda memberi pengaruh pada struktur pemerintahan tradisional dengan otoritas tertinggi adalah raja dengan dibantu oleh seorang controleur. Dalam struktur pemerintahan tradisional juga mempe rkenalkan patih (wakil bupati/menteri untuk raja), punggawa, perbekel dan terendah adalah kelian. Selama Perang Dunia II, Belanda diusir oleh Jepang, dan kemudian Indonesia merdeka pada tahun 1945, meskipun Belanda tidak mencoba untuk memerintah lagi, pada pertempuran tahun 1946 di Marga-Tabanan yang mengakhiri penjajahan Belanda. Periode kemerdekaan memperkenalkan sistem pemerintahan resmi dengan perencanaan top-down dan perencanaan bottom-up. Bali ditetapkan sebagai tujuan wisata melalui Rencana Induk Pariwisata di Bali yang dibuat oleh SCETO (konsultan Perancis) pada tahun 1966-1972. Ada sekitar 21 daerah yang diplot sebagai daerah pariwisata seperti Nusa Dua, Kuta, Sanur (Denpasar), serta Ubud. Pada tahun 1930 dengan kedatangan antropolog Margaret Mead dan Gregory Bateson, seniman Miguel Covarrubias dan W alter Spies, dan musikolog Colin McPhee membantu munculnya pariwisata di Bali. Sejak itulah Bali semakin terkenal dengan tujuan pariwisata di mata dunia (Alit, 1996; Ardika, 2013). Sekilas Kota Denpasar Menurut sejarah, Denpasar dibangun dan mencerminkan perubahan kepemimpinan. K ota Denpasar diyakin i berkaitan dengan keberadaan pohon beringin di sebelah utara pasar yang terletak di sebelah selatan Puri Satria. Di bawah pohon beringin terdapat taman kerajaan yang dibangun oleh raja I Gusti Ngurah Gde Pemecutan. Taman ini bernama Taman Denpasar atau taman di utara pasar, dimana 'den' yang berarti utara dan ‘pasar’ berarti pasar. Di daerah ini raja membangun puri Denpasar setelah kematian ayahnya di Kerajaan Badung pada tahun 1788. Ibukota Kerajaan Badung sebelumnya adalah di Puri Satria kemudian dip indahkan ke Puri Denpasar. Puri baru ini menerapkan pola catuspatha/ pempatan agung atau pola lintas jalan ( cross-road ) sebagai pengaruh dari perencanaan kota selama pengaruh Kerajaan Majapahit (Bappeda, 2011). Kota Denpasar terletak antara 08 35'31 "- 08 44'49" Lintang Selatan dan 115 10'23 "- 115 16'27" Bujur Timur, dan berbatasan dengan wilayah di Utara oleh Kecamatan Megwi dan Kabupaten Badung; di Timur berbatasan dengan Kecamatan Sukawati dan Kabupaten Gianyar; d i Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kuta, dan Kabupaten Badung; dan di Barat berbatasan dengan Kecamatan Kuta Utara dan Kabupaten Badung. Secara administratif, Kota Denpasar memiliki empat kecamatan dengan 43 desa. Empat kecamatan tersebut yaitu Denpasar Timur (22,31 km²), Denpasar Selatan (49.99 km²), Denpasar Barat (24,06 km²), dan Denpasar Utara (31,42 km²). Topografi Kota Denpasar meliputi reklamasi seluas 380 ha di Pantai Serangan. Dengan demikian Kota Denpasar memiliki luas total 127,78 km² atau 12,778 ha. Kota Denpasar terletak di wilayah dataran 0-75 m di atas permukaan laut. Kota Denpasar memiliki tiga sungai sebagai sumber air; Sungai Ayung, Sungai Badung, dan Sungai Mati dan ada beberapa anak sungai termasuk Tukad Tebe, Tukad Abianbase, Tukad Loloan, Tukad Ngejung, Tukad Punggawa, Tukad Rangda, dan Tukad Pekasih. Kota Denpasar memiliki dua musim yaitu musim hujan (musim hujan) dan musim ke ring dan masing-masing melibatkan sekitar enam bulan. Musim hujan rata-rata 236,7 mm per tahun dengan suhu antara 25.70⁰C dan 28.20⁰C. Kelembaban rata-rata 79,4% dengan mulai dari 79% menjadi 84% (Neraca Sumber Daya Alam Kota Denpasar, 2009). Populasi Kota Denpasar sebanyak 788.589 jiwa pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 880.600 jiwa pada tahun 2015. Masyarakat Kota Denpasar sebanyak 47.11% bekerja di se ktor perdagangan dan bisnis, 20.9% di se ktor jasa Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 179
Sejarah dan Perkembangan Kota Denpasar sebagai Kota Buday a
dan sosial, 10.43% di sektor industry dan sisanya tersebar pada sektor tansportasi, komunikasi, pertanian, keuangan dan ulititas (Badan Pusat Statistik Kota Denpasar, 2016). Masa Lalu hingga Masa Kini Pergerakan Kota Denpasar Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Kota Denpasar (201 1) mengklasifikasikan sejarah Denpasar menjadi tiga bagian sebagai berikut; Kota Denpasar dalam periode pra-kolonial; Kota Denpasar di era modern; dan pada periode pasca-modern. 1.
Periode Pra Kolonial
Pendirian Kerajaan Badung Pada jaman pra-kolonial ini beberapa bukti berupa prasasti dan tempat suci, menyebutkan tentang Kerajaan Badung (1350) diantaranya prasasti Blanjong Sanur (913), Pura Maospahit di Banjar Gerenceng dan Desa Tonja yang dibangun pada abad ke -14. Artefak-artefak menyebutkan kehidupan pada saat it u teroganisisr cukup baik yang dit andai dengan pertanian dengan sistem subaknya, pengaturan pesisir untuk kegiatan perdagangan di daerah Kuta dan Sanur. Hal ini juga menunjukkan adanya interaksi antara masyarakat setempat dengan pedagang asing seh ingga tumbuhnya berbagai komunit as etnis yang juga membentuk struktur desa-desa di Bali. Pada masa ekspedisi Patih Gajah Mada pada tahun 1343, dikenal dengan seorang panglima Arya Kenceng pendiri Kerjaan Badung dan Kerajaan Tabanan, yang menyerang Kerajaan Bedahulu kemudian dia menetap di Desa Buahan Kabupaten Tabanan, dan melahirkan keturunan -keturunan di Puri Alang Badung, Puri Pamecutan dan Puri Gelogor di Denpasar dan tetap menjalin kerjasama dengan kerajaan pusat di Kerajaan Sweca Linggarsapura Gelgel di Jawa. Pada pemerintahan Kyai Agung Di Made, Kerajaan Badung bekerjasama dengan VOC di bidang perdagangan dengan membangun kantor di pelabuhan Kuta sekitar abad ke -17 (Bappeda, 2011). Hubungan kekerabatan antara Raja Badung, di Puri Alang Badung dan I Dewa Agung Anom di Puri Sukawati, berjalan sangat baik dan ini berhubungan dengan warisan kewenangan dari Raja I Gusti Ngurah Pukulbe Ketewel. Salah satu putra mereka, I Gusti Pukulbe Aeng, adalah reinkarnasi dari I Dewa Agung Anom di Puri Sukawati, dan ia menjadi pewaris tahta Puri Alang Badung. I Gusti Pukulbe Aeng kemudian memindahkan tahtanya dan membangun sebuah istana di Puri Satria pada tahun 1750. Selama pemerintahan I Gusti Gde Rai di Puri Pamecutan, Raja Gusti Pukulbe Aeng di Puri Satria menguasai Kerajaan Badung. Kedua raja membentuk kemit raan yang solid yang memungkinkan stabilitas, dan pembentukan kebesaran dan integritas kerajaan Badung. Pembentukan Puri Denpasar (1788-1906) Puri Denpasar terbentuk secara resmi dengan raja pertama I Gusti Ngurah Made Pamecutan (1788 1813) yang berasal dari keturunan Puri Pamecutan. Pada masanya, beliau berhasil menguasai Kerajaan Jembrana (1805-1818). Kepemimpinan kemudian dilanjutkan oleh put ra beliau yaitu I Gusti Gde Ngurah, sedangkan putra keduanya I Gusti Gde Kesiman menjadi raja pertama di Puri Kesiman (1813-20 Nov 1865). Puri Denpasar selanjutnya diperintah oleh raja kedua yaitu I Gusti Ngurah Pukulbe (1813-1817). Raja ketiga, I Gusti Made Ngurah yang masih muda sehingga mudah terpengaruh oleh pamannya di Puri Kesiman dan pada era ini Kerajaan Badung merupakan pusak bisnis dan kota yang sibuk di bidang perdagangan. Pada masa pemerintahan raja Denpasar ke empat, I Gusti Gde Ngurah, beliau mendapat gelar Cokorda Denpasar yang dipercaya sebagai raja yang unggul di Kerajaan Badung meskipun Puri Kesiman tetap merupakan kerajaan yang memegang andil yang cukup penting di bidang politik dan ekonomi. Setelah raja Kesiman I Gusti Gde Kesiman meninggal tahun 1865, otoritas Kerajaan Badung pindah ke Puri Denpasar. Ada tiga raja yang memerintah sebelum terjadinya Puputan Badung yaitu I Gusti Gde Ngurah (raja Denpasar V, 1863 B 180 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Ni Made Yudantini
1883); I Gusti Alit Ngurah yang juga disebut I Gusti Ngurah Pukulbe Pamecutan (raja Denpasar VI, 1883-1902); dan I Gusti Made Agung (raja Denpasar VII, 1902 -20 September 1906) yang meninggal bersama-sama dengan Raja Pamecutan VIII, I Gusti Ngurah Pamecutan (Desember 1890 -1820 September 1906), terbunuh oleh Dewata ring Keris pada awal September 1906 (Bappeda, 2011). Periode Puputan Badung (1900-1906). Selama periode Puputan Badung (1906), Badung Raja, I Gusti Alit Ngurah (Raja Denpasar VI) meninggal pada tahun 1902 dan digantikan oleh adiknya, I Gusti Ngurah Made Agung (Raja Denpasar VII). Raja Denpasar yang baru diakui sebagai pemimpin yang baik, dengan perilakunya didasarkan pada nilai-n ilai yang benar dari agama Hindu, seperti yang ditunjukkan dalam Puputan Badung melawan agresi Belanda, di mana ia membela dan mempertahankan kedau latan wilayah Badung sampai kematiannya. Pertempuran bermula dari informasi yang salah pada tahun 1904 dimana tongkang Sri Kumala, yang dimiliki oleh kapten Cina, Kwee Tek Tjiang, terdampar di pantai Sanur. Orang-orang Sanur berusaha untuk membantu menyelamatkan tongkang dan muatannya, dan aturan tradisional Bali menentukan bahwa pemilik tongkang harus membayar orang Sanur yang memberikan bantuan. Namun Kwee Tek Tjiang mengeluh kepada Belanda di Singaraja dengan alasan bahwa tongkang it u disita oleh orang Sanur. Gubernur Belanda, Van Hentz, menggunakan insiden ini untuk langsung campur tangan dalam Kerajaan Badung memblokade pelabuhan dan perdagangan dari Kerajaan Badung utara, di Singaraja. Belanda juga dibantu oleh Gianyar dan Karangasem memblokade sisi timur Bali. Pertempuran ini dimulai pada tanggal 12 September 1906 dimana Belanda mengirim ekspedisi militer ke Selat Badung. Pelabuhan Sanur itu kemudian diduduki oleh Belanda. Karena benteng yang hanya 5 km dari Puri Denpasar, perkelahian pun terjadi antara pasukan Badung dan militer Belanda di daerah Sanur sampai Belanda menduduki Puri Kesiman, Denpasar, dan Pamecutan. Selama pertempuran, raja-raja Denpasar dan Pamecutan menginstruksikan staf mereka untuk membakar istana dan menghancurkan segala sesuatu di istana untuk mencegah Belanda melakukan kontrol dan menguasai tempat-tempat ini dan atribut mereka. Raja dan orang-orang Badung melakukan tradisi Bali mesatya; dalam pertempuran itu berarti mereka melakukan perang dengan ketulusan dan dengan kekudusan untuk mempertahankan bumi mereka. 2.
Periode Modern (Kolonial-Republik)
Sejak Puputan tahun 1906, Kerajaan Badung dikuasai oleh Belanda dan Belanda memulai pembangunan di segala bidang termasuk konstruksi, permukiman, museum, sekolah, perkantoran, pasar, pelabuhan serta infrastruktur lainnya seperti jalan raya, jembatan dan lainnya. Pada masa ini Denpasar tumbuh dengan beberapa desa tradisional serta adanya mult ikultrs seperti adanya permukiman Kampung Jawa. Pola catuspatha/pempatan agung sebagai nol kilometer kota Denpasar, sebagai pusat pemerintahan pada masa itu. Kedatangan artis, antroplog ke Bali juga ikut memberikan warna pada perkembangan Kota Denpasar yang secara tidak langsung ikut mempromosikan budaya Bali, seperti Charlie Chaplin, Margaret Mead, Le Mayeur yg tinggal di Bali sejak 1932. Sejak kemerdekaan, Denpasar menjadi bagian dari Sunda Kecil pada tanggal 24 Desember 1946 di bawah NIT (Negara Indonesia Timur) dan juga menjadi bagian dari Kabupaten Badung. Berdasarkan pertimbangan antara Provinsi Bali dan Kabupaten Badung, kesepakatan dibuat untuk meningkatkan status Kota Administratif Denpasar menjadi Kota Denpasar berdasarkan Peraturan No. 1/1992, 15 Januari 1992, yang memungkinkan pembentukan Kota Denpasar, dan diresmikan oleh Menteri dalam Negeri tanggal 27 Februari 1992.
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 181
Sejarah dan Perkembangan Kota Denpasar sebagai Kota Buday a
3.
Periode Post Modern
Dalam era ini, Kota Denpasar telah dikembangkan dari basis pertanian ke basis pariwisata dan ini telah mempengaruhi kinerja kota termasuk pengenalan arsitektur post -modern meskipun perubahan ini belum secepat kota-kota lain di Indonesia. Pariwisata adalah pengaruh yang signifikan dalam pertumbuhan Denpasar. Ini dimulai dengan pembangunan Bali Beach Hotel (sekarang dikenal sebagai The Grand Bali Beach) yang didirikan sebelum peraturan pada tinggi bangunan it u diberlakukan. Perkembangan bandara internasional juga telah dipengaruhi perkembangan lain dalam Denpasar dan sekitarnya. Sebagai konsekuensinya, pemerintah Bali mengeluarkan aturan untuk menjaga dan melestarikan arsitektur tradisional Bali melalui peraturan (Perda no 5/2005) termasuk arsitektur bangunan didefinisikan dalam tiga warna, yaitu Heritage Architecture, Arsitektur Tradisional Bali, dan Non-arsitektur tradisional Bali. Warisan Budaya Kota Denpasar dan Perkembangannya Seperti halnya UNESCO (1972) telah mengklasifikasikan cultural heritage menjadi dua yaitu tangible (fisik) dan intangible (non-fisik/maya). Demikian juga pemerintah Kota Denpasar telah memetakan kekayaan warisan budaya yang tersebar di Kota Denpasar berdasarkan sejarah kota dari masa pre histori sampai periode saat ini. W arisan budaya in i dapat dikategorikan menjadi warisan budaya dari masa Megalithik, masa klasik, dan masa Bali Baru (Bappeda, 2011). Dari periode Megalitik, warisan budaya Kota Denpasar termasuk patung-patung megalitik yang berbentuk manusia, monumental dan ukiran menunjukkan jenis kelamin atau alat kelamin; batu alam, lumpang batu; tabel batu atau dolmen; palung batu; bangunan punden berundak terlihat seperti piramida; masker/topeng wajah dengan ukiran sederhana; takhta batu; dan menhir (batu tegak tinggi sebagai media untuk menghormati leluhur). W arisan budaya Kota Denpasar era klasik terdiri dari elemen bangunan (tumpukan batu), candi, prasasti, arca, dan warisan lain seperti lingga dan jaladwara. Warisan budaya periode Bali Baru terdiri dari istana/puri, museum, hotel, universitas, permukiman tradisional termasuk pura Tri Kahyangan Tiga, pola perumahan tradisional, tempat pertemuan masyarakat (bale banjar), pasar tradisional, pemakaman Bali ( setra), dan permukiman masyarakat non-lokal seperti rumah panggung, loteng, rumah toko, masjid, dan makam kuno (Bappeda, 2011, pp. 9 -11).
Gambar 1. Pura Maospahit yang terdapat di Banjar Gerenceng, sebagai cagar budaya Kota Denpasar
B 182 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Ni Made Yudantini
Seiring dengan perkembangan Kota Denpasar, ada tiga budaya unggulan yang diberikan oleh UNESCO kepada Kota Denpasar sebagai W arisan Budaya Dunia (Geriya, 2016), antara lain keris pusaka yang ditetapka UNESCO pada tahun 2005, sistem irigasi tradisional subak yang ditetapkan UNESCO tahun 2012, dan seni tari Bali d itetapkan pada tahun 2015. Berbagai kegiatan dan partisipasi aktif telah dilakukan oleh pihak pemerintah dan masyarakat Kota Denpasar untuk tetap memelihara dan menumbuhkan kesadaran masyarakatnya akan kekayaan warisan budaya yang dimiliki. Setidaknya ada lima hal yang diuraikan oleh Geriya (2016) yaitu: 1. Revitalisasi pusaka budaya sebagai modal pembangunan Kota Denpasar ke depan; 2. Berkembangnya berbagai kegiatan festival yang berdasarkan pusaka budaya seperti Denpasar Festival, Sanur Village Festival, Festival Pesona Pulau Serangan; 3. Menguatnya tradisi pusaka seperti ritual Pangerebongan di Desa Kesiman dan tradisi Med-Medan di Banjar Kaja, Desa Sesetan; 4. Tumbuhnya kader-kader pelestari, komunitas kreatif hingga dibentuknya Dewan Pusaka Kota Denpasar; 5. Berkembangnya berbagai kajian, penerbitan dan dokumentasi tentang pusaka Kota Denpasar; 6. Berkembangnya ekonomi kreatif berbasis pusaka budaya unggulan sehingga meningkatkan taraf ekonomi masyarkat serta teknologi, pendidikan dan budaya. Dengan demikian, pelestarian yang telah dilakukan oleh Kota Denpasar tidak saja berbasis pada obyek-obyek yang berwujud secara phisik ( tangible ) namun juga telah melestarikan obyek-obyek budaya yang bersifat ‘maya’ ( intangible ) sebagai penyeimbang, penguat dan harmoni terhadap obyek phisik (Geriya, 2016). Melihat kembali sejarah Kota Denpasar yang telah ditetapkan oleh Bappeda (2011) ke dalam tiga periode yaitu pra-kolonial, era modern, dan pasca modern, Geriya (2016) melihat perkembangan Kota Denpasar secara histori lebih dari dua abad (1788 -2016) mencerminkan transformasi Continuity in Changes. Keberlanjutan dalam perubahan ini lebih lan jut dipaparkan oleh Geriya (2016) ke dalam tiga representasi pokok dan lima tahap pengembangan. Ketiga representasi pokok tersebut terdiri dari landasan multicultural (budaya tradisional/rakyat hingga modern), landasan legal (penet apan kelahiran Kota Denpasar 27 Pebruari 1788), dan landasan indentit as (Kota Denpasar sebagai kota berwawasan budaya). Lima tahap pengembangan dalam rangka memelihara dan mempertahankan budaya dan identitas Kota Denpasar sebagai kota budaya, terdiri dari pengembangan data dasar (kajian pemetaan kekayaan dan keragaman pusaka alam, budaya dan sujana); pengembangan jaringan kota pusaka; penguatan sinergi (sinergi kota berwawasan budaya, kota kreatif dan Denpasar sebagai kota cerdas); penguatan eksistensi (penghargaan dunia untuk tiga unggulan keris pusaka, subak dan seni tari); dan pengawalan berkelanjutan (tujuan Sustainable Development Goal’s 2015-2025).
Gambar 2. Salah satu warisan budaya intangible yaitu subak sistem yang masih terjaga di Kota Denpasar, di Desa Budaya Kertalangu, Kesiman. Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 183
Sejarah dan Perkembangan Kota Denpasar sebagai Kota Buday a
Kesimpulan W arisan budaya Kota Denpasar telah terpelihara dan terdokumentasi dengan baik yang berupa tangible dan intangible. Kekayaan warisan budaya ini tidak terlepas dari sejarah masa lampau serta perkembangannya hingga kini. Pemerintah Kota Denpasar semakin menyadari bahwa warisan budaya ini harus tetap dijaga dan diperkenalkan kepada generasi penerus, untuk itu berbagai kegiatan untuk pengenalan dan pemahaman terhadap kekayaan warisan budaya in i telah secara rutin dilaksanakan sehingga diharapkan senantiasa meningkatkan kewaspadaan, kesadaran akan nilai-nilai yang terkandung dalam warisan budaya tersebut. Bappeda (2011) menekankan bahwa konservasi warisan budaya Kota Denpasar harus memiliki tujuan yang jelas untuk melestarikan dan menjaga warisan fisik termasuk lingkungannya, dan untuk melestarikan nilai -nilai budaya untuk dapat diw arisankan kepada generasi berikutnya. Konservasi dapat dicapai melalui dokumentasi mutu, diskusi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang nilai-nilai budaya, norma dan estetika, dan dapat ditunjukkan melalui penampilan fisik dari warisan budaya yang memungkinkan orang untuk terlibat, memiliki pengalaman dan menghargai warisan budaya ini. Meskipun warisan budaya Kota Denpasar telah dipetakan secara menyeluruh, namun ke depannya untuk pengatahuan masih tetap harus dilanjutkan penelitian-penelitian berikutnya untuk menemukembangkan kekayaan warisan budaya yang mungkin ada belum tergali. Daftar Pustaka Adhika, I. M. (1994). Peran Banjar Dalam Penataan Komunitas Perkotaan di Bali, Studi Kasus Kota Denpasar. Master Thesis. Bandung, Indonesia: Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung. Alit, I Ketut. (1996). Diskrepansi Pola Pembangunan Fasilitas Lingkungan Secara Adat dan Dinas dalam penataan Ruang Desa-Desa Wisata di Bali. Master Thesis. Bandung: Institute Teknologi Bandung. Ardika, I.W. (2009). Sejarah Bali Kuno: Bali Te mpo Dulu. Retrieved 28 July 2015, from Museum Purbakala Bali http://serbasejarah.blogspot.com.au/2011/07/sejarah-bali-kuno-bali-tempodulu.html Badan Pusat Statistik Kota Denpasar. (2016). Denpasar Dalam Angka 2015. Badan Pusat Statistik Kota Denpasar, retrieved from https://denpasarkota.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/481, 28 Peb 2017. Bappeda. (2011). Penelusuran Sejarah Kota Denpasar . Denpasar: Pemerintah Kota Denpasar. Geertz, H. & Geertz, C. (1975). Kinship in Bali: University of Chicago Press Geriya, I.W. (2016). Denpasar Kota Pusaka: Dalam Paradigma Keunggulan, Kreatif , dan Cerdas Kekuatan Baru Menuju Harmoni dan Kebahagiaan. Denpasar: Strategic Meeting Organization of World Heritage (OWHC) Asia Pacific. Hardiati, E.S. (2013). Indonesian Heritage: Sejarah Awal. Bali Pada Periode Klasik Madya : Widya Wahana Library, Indonesia Pringle, R. (2004). A Short History of Bali; Indonesia's Hindu Realm. NSW, Australia: Allen & Unwin. UNESCO. (1972). Convention concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage. Paris: UNESCO.
B 184 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017