SEJARAH DAN KONFLIK RITUAL MANTEN KUCING DI DESA PELEM KECAMATAN CAMPURDARAT KABUPATEN TULUNGAGUNG
Wisnu Aji Dwicahyono Universitas Negeri Malang NIM 207831409095 Pembimbing: Waskito, S.Sos, M.Hum Drs. Irawan, M.Hum ABSTRAK : Penelitian tentang konflik yang terjadi pada ritual manten kucing ini dilakukan untuk mengungkapkan terjadinya kecaman MUI Kabupaten Tulungagung terhadap ritual manten kucing pada tahun 2010 lalu. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) untuk mengetahui sejarah ritual manten kucing di Desa Pelem. (2) untuk mengetahui perkembangan dan konflik yang terjadi pada ritual manten kucing. (3) untuk mengetahui relevansi hasil penelitian ritual manten kucing dengan pendidikan sejarah. Metode penelitian yang yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah yang meliputi beberapa tahap yaitu Pemilihan topik, Heuristik, Verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber), Interpretasi (analisis dan sintesis), Historiografi (penulisan). Berdasarkan hasil penelitian yang telah didapat oleh peneliti dapat dijabarkan sebagai berikut (1) ritual manten kucing dimulai saat terjadi kemarau panjang yang melanda Desa Pelem pada zaman Belanda (belum diketahui secara pasti tahun kejadian tersebut). Pada saat yang sama seorang sesepuh Desa bernama Eyang Sangkrah mandi bersama sepasang kucing di coban krama yang dianggap membuat turunnya hujan. Pada saat itu belum dikenal istilah ritual karena belum ada tata cara tertentu pada peristiwa tersebut. Istilah ritual baru muncul pada masa Demang Sutomedjo yang mendapatkan wangsit untuk melaksanakan ritual memandikan kucing di coban krama pada saat terjadinya kemarau panjang. Ritual ini kemudian diteruskan oleh anak-anaknya yaitu Lurah Suwardi dan Bapak Djani. Perkembangan yang pesat terjadi saat manten kucing pada masa Kepala Desa Pelem saat ini yaitu Bapak Nugroho Agus. Pada masa ini ritual manten kucing dilaksanakan dalam bentuk kesenian dengan tujuan untuk melestarikan ritual manten kucing. (2) Pada saat dilaksanakan dalam bentuk seni, ritual manten kucing mendapatkan kecaman dari MUI Kabupaten Tulungagung karena dianggap sebagai ritual yang melecehkan agama Islam. Kesimpulan dari penelitian ini adalah ritual manten
1
2
kucing merupakan sebuah ritual minta hujan dari Desa Pelem Kecamatan Campurdarat Kabupaten Tulungagung yang telah berkembang dalam bentuk kesenian dan pernah mendapat kecaman MUI pada tahun 2010. Berdasarkan temuan data di atas maka peneliti memberikan beberapa saran yaitu: (1) Masyarakat Desa Pelem harus tetap melestarikan ritual minta hujan tersebut. (2) Masyarakat Tulungagung harus lebih mengenal ritual manten kucing sehingga tidak salah paham dalam mengartikan ritual tersebut. (3) Pemerintah Kabupaten Tulungagung dalam hal ini Disbudparpora harus tetap memiliki inisiatif dalam melestarikan ritual manten kucing. (4) Peneliti selanjutnya dianjurkan untuk meneliti makna pada ritual manten kucing.
KATA KUNCI : ritual manten kucing, konflik, Desa Pelem Sebuah kelompok masyarakat pada suatu daerah yang berinteraksi tentu menghasilkan sebuah kebudayaan yang unik dan mewakili jati diri masyarakat tersebut. Kebudayaan yang berkembang itu dapat berupa sebuah adat istiadat, nilai-nilai, dan ritual untuk memperingati sebuah peristiwa. Koentjaraningrat (1979:186) mengatakan bahwa ada tiga wujud kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat. Wujud pertama adalah kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya. Wujud dari kebudayaan pertama adalah sebuah abstrak yang terdapat dalam pikiran dari masyarakat yang mengembangkan kebudayaan tersebut. Hardjowirogo (dalam Mulyana 2006: 4) mengatakan bahwa religiusitas orang Jawa yang bersifat vertikal diukur dari pemahaman dan tindakan konkretnya sebagai kawula (hamba) Tuhan. Menyadari hal itu, orang Jawa selalu berusaha menempatkan dirinya dengan tepat. Simbol simplifikasi kebahasaan semacam ngawula (taat kepada Tuhan) dan mung titah sawantah (hanya hamba sahaya), tepa selira (memahami orang lain), menjadi ukuran asli sikap religius orang Jawa. Ritual minta hujan merupakan salah satu laku budaya yang ada pada masyarakat Jawa. Ritual tersebut merupakan salah satu bentuk kepasrahan seorang hamba kepada Tuhannya. Ritual minta hujan pada masyarakat Jawa sangat beragam bentuknya dan yang paling dikenal adalah ritual tiban. Ritual
3
tiban adalah sebuah ritual yang dilakukan dengan cara saling mencambuk antara beberapa orang yang terlibat dalam ritual. Mereka berharap dengan saling mencambukkan cemeti kepada lawan, maka hujan dapat segera turun dan kemarau panjang segera berlalu. Sebuah ritual budaya tentu memiliki perubahan yang ditujukan sebagai bentuk penyelarasan pada perkembangan zaman. Ritual budaya yang selalu berhubungan dengan kehidupan masyarakat Jawa juga mengalami perubahan tersebut. Mulai dengan masuknya Islam ke Nusantara, ritual budaya yang sesudah ada pada masyarakat Jawa juga mengikuti perubahan zaman tersebut. Berdasarkan fakta tersebut banyak masyarakat yang masih menginginkan eksistensi ritual budaya pada masa globalisasi melakukan inovasi-inovasi pada ritual budaya. Inovasi itu dapat berupa perubahan bentuk ritual yang seharusnya penuh dengan kesakralan menjadi sebuah pertunjukan yang profan. Peneliti mengambil tema manten kucing berdasarkan fakta-fakta yang telah diungkapkan sebelumnya. Selain itu, penulis juga melihat keunikan dari ritual yang dilakukan oleh masyarakat Desa Pelem tersebut. Keunikan tersebut adalah masyarakat Desa Pelem memiliki cara sendiri dalam meminta hujan, jika di daerah lain berkembang ritual tiban sebagai upaya untuk meminta hujan, masyarakat Desa Pelem mempunyai ritual sendiri berupa manten kucing. Dan yang menjadi inti ritual tersebut terletak pada ritual ngedus (memandikan) kucing pada sebuah coban (air terjun) yang ada di daerah tersebut. Peneliti menitikberatkan penelitian tentang manten kucing ini pada sisi konflik yang terjadi pada masyarakat, secara khusus terjadinya konflik dengan MUI Tulungagung pada hari jadi Kabupaten Tulungagung ke 805 yang lalu. Selain itu untuk menyelaraskan penelitian dengan bidang studi yang dijalani oleh peneliti, penelitian ini juga akan membahas relevansi manten kucing dengan pendidikan sejarah sebagai salah satu upaya pengenalan sejarah daerah kepada siswa yang kurang mengenal sejarah daerahnya. Peneliti menemukan beberapa penelitian terdahulu yang berhubungan dengan konflik-konflik yang pernah terjadi pada masyarakat seperti halnya dengan ritual manten kucing. Penelitian pertama yang ditemukan peneliti adalah
4
penelitian dari Danan Pariwara yang berjudul “Solusi Konflik Sosial Antara Minoritas Hindu dan Islam di Dusun Codo Desa Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten Malang 1965-1969”. Skripsi ini ditulis oleh Danan Pariwara pada tahun 2007. Pada penelitian ini digambarkan tentang adanya konflik sosial yang terjadi akibat munculnya agama Hindu pada Dusun Codo Desa Petungsewu. Kemunculan agama tersebut awalnya mendapat tentangan dari masyarakat sekitar yang merasa tidak setuju dengan adanya agama Hindu dan menganggap akan menjadi ancaman bagi agama Islam yang telah lama dianut oleh penduduk daerah itu. Pada penelitian itu juga dijabarkan penyelesaian konflik yang terjadi pada masyarakat tersebut. Penelitian kedua yang ditemukan oleh peneliti adalah penelitian dari Aulina Faizah yang berjudul “Politisasi Kesenian Ludruk di Kediri 1959-1966”. Penelitian ini ditulis pada tahun 2011. Pada penelitian ini peneliti menggambarkan politisasi sebuah kesenian yang merupakan bagian dari budaya oleh pemerintahan yang pada masa itu dipengaruhi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Ada persamaan penelitian tentang politisasi kesenian tersebut dengan penelitian ritual manten kucing yang akan ditulis oleh peneliti. Hal tersebut dapat dilihat dari masuknya ritual manten kucing dalam kalender wisata Jawa Timur yang tentu terdapat unsur politik yang mendasarinya. Penelitian ketiga yang ditemukan oleh peneliti adalah penelitian dari Vivien Ika Setyawati yang ditulis pada tahun 2004. Penelitian ini berjudul Perlawanan Kuli Perkebunan Tembakau di Sumatera Timur 1924-1929. Penelitian ini secara garis besar membicarakan tentang diskriminasi Pemerintah Kolonial Belanda dengan para pemilik modal terhadap kuli perkebunan yang seluruhnya adalah warga pribumi. Diskriminasi tersebut akhirnya menimbulkan konflik antara kuli perkebunan dengan Pemerintah Kolonial Belanda dan pemilik modal. Seluruh penelitian yang ditemukan oleh peneliti diatas memiliki kaitan dengan konflik yang terjadi pada masyarakat. Konflik-konflik itu sangat beragam, mulai dari konflik agama, golongan, maupun antara masyarakat dengan pemerintah. Hal tersebut memiliki kaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang meneliti tentang konflik yang terjadi pada ritual manten kucing.
5
Namun tentu ada perbedaan antara penelitian-penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Perbedaan itu terletak pada konflik yang terjadi pada ritual manten kucing itu merupakan konflik dari dua instansi yang saling memiliki kepentingan yaitu Dinas Pariwisata, Pemuda, Dan Olahraga dengan MUI Kabupaten Tulungagung dan masyarakat yang tidak setuju jika ritual manten kucing dianggap sebagai sebuah ritual yang menyimpang dari ajaran agama.
METODE PENELITIAN Penelitian ritual manten kucing ini juga menggunakan metode penelitian sejarah. Hal ini sesuai dengan bidang ilmu yang dipelajari oleh peneliti selama berada di bangku kuliah. Menurut Kuntowijoyo (2005: 90) penelitian sejarah mempunyai beberapa tahap, yaitu: pemilihan topik, heuristik, verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber), Interpretasi (analisis dan sintesis), historiografi (penulisan). Pemilihan topik penelitian merupakan awal dari proses penelitian yang akan dilaksanakan. Pemilihan topik ini dapat didasarkan pada sebuah peristiwa aktual yang terjadi pada masyarakat atau sesuai dengan bidang ilmu yang dipelajari oleh seorang peniliti. Pada penelitian ini, peneliti mengambil tema ritual manten kucing karena adanya peristiwa aktual yang terjadi saat pelaksanaan ritual tersebut. Heuristik merupakan metode pengumpulan sumber-sumber sejarah. Menurut Kuntowijoyo (2005:95) sumber-sumber sejarah dibagi menjadi tiga yaitu sumber tertulis atau dokumen, sumber tidak tertulis dalam hal ini adalah artefak, dan sumber lisan. Sumber tertulis adalah sumber-sumber data sejarah berupa surat resmi, catatan pemerintah, ataupun arsip. Pada penelitian tentang ritual manten kucing peneliti menggunakan data tertulis berupa arsip surat peringatan MUI tertanggal 9 November 2010. Sumber data tertulis tersebut merupakan sumber data tertulis yang sangat berkaitan dengan kajian penelitian yang diangkat oleh peneliti. Hal ini disebabkan kajian utama dari penelitian ritual manten kucing ini adalah konflik yang terjadi pada pelaksanaan ritual tersebut pada peringatan HUT Kabupaten Tulungagung.
6
Sjamsuddin (2007:134) mengungkapkan bahwa kritik eksternal adalah suatu penelitian atas asal-usul dari sumber, suatu pemeriksaan atas catatan atau peninggalan itu sendiri untuk mendapatkan semua informasi yang mungkin, dan untuk mengetahui apakah pada suatu waktu sejak asal mulanya sumber itu telah dirubah oleh orang-orang tertentu atau tidak. Kritik eksternal yang dilakukan pada penelitian ritual manten kucing ini adalah kritik terhadap arsip surat peringatan MUI berdasarkan tanggal yang sesuai dengan tanggal peristiwa penyelenggaraan ritual manten kucing yang dikecam tersebut. Kritik lain adalah kritik terhadap pelaku-pelaku dalam konflik ritual tersebut, dalam hal ini adalah Sekretaris Jenderal MUI melalui perannya dalam peristiwa tersebut, Kepala Seksi Sejarah Dinas Pariwisata Tulungagung melalui perannya sebagai penyelenggara. Selain itu kritik eksternal juga dilakukan terhadap Kepala Desa Pelem dalam kapasitasnya sebagai pelaku utama ritual manten kucing dan merupakan keturunan langsung dari pelaku pertama ritual tersebut. Kritik internal merupakan kritik terhadap aspek-aspek dalam dari suatu sumber tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini disebabkan sumber-sumber sejarah yang telah lolos dari kritik eksternal harus dikritik kembali sehingga dapat diketahui kebenaran dari sumber tersebut. Peneliti juga perlu melakukan kritik dengan membandingkan antara sumber data tertulis yaitu arsip, surat kabar, maupun catatan-catatan pemerintah dengan sumber data tidak tertulis yaitu laporan wawancara yang dilakukan dengan beberapa narasumber. Peneliti melakukan kritik internal terhadap arsip surat peringatan MUI dengan beberapa surat kabar cetak dan elektronik untuk mengetahui kebenaran dari sumber-sumber tersebut. Kebenaran yang dimaksudkan adalah kesesuaian sumber-sumber data tertulis tersebut dengan peristiwa yang terjadi. Hal ini dilakukan agar otentitas dan kebenaran sumber dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kaidah penelitian sejarah. Sebagai tahap akhir akan dilakukan historiografi (penulisan), di mana aspek kronologis dan aspek sistematis harus senantiasa diperhatikan dalam proses penulisan ini. Historiografi ini akan mengikuti suatu pola ekplanasi sehingga suatu peritiwa atau fenomena tidak hanya diberikan gambarannya saja, melainkan disertai dengan penjelasan-
7
penjelasan atas peristiwa atau fenomena tersebut.
HASIL PENELITIAN Tulungagung merupakan sebuah daerah yang memiliki peninggalan sejarah yang sangat banyak. Peninggalan sejarah itu berasal dari beberapa kerajaan Hindu-Buddha yang pernah berdiri di Jawa. Di antaranya adalah Kerajaan Mataram Lama yang berkedudukan di Jawa Tengah, Kerajaan Kadiri, Kerajaan Singhasari, dan Kerajaan Majapahit. Peninggalan-peninggalan itu beragam, ada yang berupa candi, prasasti, maupun kronogram. Sejarah dari Kabupaten Tulungagung diambil dari penanggalan prasasti Lawadan yaitu tanggal 18 November 1205. Prasasti ini berada di Desa Wates Kecamatan Campurdarat. Hal ini disebabkan penanggalan itu dikeluarkan oleh Raja Srngga atau yang lebih dikenal sebagai Dandang Gendhis atau Krtajaya, yaitu Raja Kadiri yang terakhir yang berkuasa antara tahun 1194-1222 M. Sedangkan prasasti lainnya dikeluarkan oleh kerajaan pada periode selanjutnya, yaitu kerajaan Singhasari. Menurut Dwi Cahyono (2002:18) Prasasti itu menerangkan bahwa Raja Srngga memberikan tanah perdikan (Sima) kepada masyarakat Thani (desa) Lawadan dan membebaskannya dari segala macam pajak. Namun tidak diketahui alasan pembebasan dari segala jenis pajak kepada masyarakat Thani Lawadan. Atas dasar adanya kehidupan sosial dan budaya di kawasan inilah Pemerintah Kabupaten Tulungagung memutuskan menjadikan angka tahun dari prasasti Lawadan sebagai penanggalan hari jadi Kabupaten Tulungagung. Desa Pelem merupakan sebuah desa yang terletak di bagian selatan Kabupaten Tulungagung kurang lebih 8 km dari pusat kota. Desa Pelem termasuk dalam wilayah Kecamatan Campurdarat dan merupakan desa terluas dari kecamatan tersebut. Seperti halnya desa-desa lain pada wilayah Kabupaten Tulungagung, sejarah Desa Pelem memiliki kaitan dengan cerita dan babad Tulungagung. Babad Tulungagung merupakan sebuah cerita yang menggambarkan awal berdirinya Kabupaten Ngrawa yang merupakan cikal bakal dari Kabupaten Tulungagung. Tim Penggali Sejarah dan Babad Tulungagung Dalam babad Tulungagung (1977:33) menerangkan ada seorang putri cantik
8
bernama Rara Ringgih (dikemudian hari dikenal dengan nama Rara Kembang Sore) yang disukai oleh seorang Adipati yang bernama Adipati Kalang. Berdirinya Desa Pelem terjadi ketika Rara Ringgih melarikan diri dari Adipati Kalang pada sebuah daerah yang banyak tumbuh pelem (mangga). Singkatnya setelah peristiwa tersebut nama daerah itu dinamakan sebagai Desa Pelem. Sejarah ritual manten kucing dimulai saat terjadinya kemarau panjang di Desa Pelem. Peristiwa ini terjadi pada zaman Belanda namun belum diketahui tanggal dan tahun pasti terjadinya kemarau panjang tersebut. Terjadinya kemarau panjang tersebut menyebabkan penduduk tidak dapat melakukan pekerjaannya sebagai petani. Hal ini disebabkan tanah pertanian penduduk sangat bergantung pada mata air dari air hujan . Ketergantungan penduduk terhadap air hujan ini disebabkan oleh belum adanya irigasi seperti yang telah ada sekarang ini. Kemarau panjang itu terjadi di Desa Pelem selama beberapa bulan. Suatu ketika sesepuh desa itu mandi dengan sepasang kucing pada sebuah telaga di dekat air terjun coban yang ada di dekat desa tersebut. Seketika pula hujan turun dan kemarau panjang yang terjadi di Desa Pelem berakhir. Penduduk yang mengetahui hal ini menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Eyang Sangkrahlah yang telah menurunkan hujan. Istilah yang digunakan pada masa itu adalah ngedus kucing bukan manten kucing seperti yang ada sekarang. Penduduk juga tidak menyebut hal itu sebagai sebuah ritual. Hal ini disebabkan tidak ada tata cara tertentu dalam melaksanakan ngedus kucing tersebut. Apa yang dilakukan Eyang Sangkrah itu memang sangat sederhana yaitu hanya mandi dengan sepasang kucing tanpa adanya tata cara seperti doa maupun sesajen yang mengiringinya. Istilah ritual manten kucing baru muncul pada zaman Demang Sutomedjo. Demang Sutomedjo merupakan keturunan dari Eyang Sangkrah yang pada waktu itu menjabat Kepala Desa Pelem. Pada masa Demang Sutomedjo, kemarau panjang kembali terjadi. Hal ini tentu berpengaruh pada kegiatan pertanian yang memang menjadi mata pencaharian dari masyarakat Desa Pelem. Penduduk mengajukan pendapat kepada Demang Sutomedjo untuk ngedus kucing di Coban Krama seperti yang dilakukan oleh Eyang Sangkrah sebelumnya. Namun belum
9
ada keputusan tentang siapa yang harus melaksanakan hal itu karena memang masa itu telah lewat beberapa periode. Suatu ketika Demang Sutomedjo mendapatkan wangsit untuk melakukan sebuah ritual ngedus kucing yang memiliki tata cara pelaksanaan. Dengan dasar wangsit itulah Demang Sutomedjo bersama-sama dengan perangkat desa dan masyarakat Desa Pelem melaksanakan ritual ngedus kucing yang kemudian diberi nama ritual manten kucing. Penerus selanjutnya dari ritual manten kucing setelah Demang Sutomedjo adalah anaknya yaitu Lurah Suwardi. Lurah Suwardi melaksanakan ritual manten kucing pada tahun 1967. Penyelenggaraan ritual ini disebabkan oleh adanya kemarau panjang di Desa Pelem pada tahun tersebut. Sebagai seorang Lurah dari Desa Pelem dan merupakan anak dari Demang Sutomedjo, Lurah Suwardi mengambil peran sebagai pemimpin ritual. Memang ritual manten kucing ini hanya dipimpin dan diselenggarakan atas persetujuan oleh keturunan dari Eyang Sangkrah. Hal ini dapat menjadi bumerang bagi ritual manten kucing sendiri karena hanya keturunan Eyang Sangkrah sehingga tidak dapat dipimpin oleh orang lain. Perkembangan dari manten kucing dapat dikatakan tetap seperti aslinya yaitu tetap digelar ketika terjadi kemarau panjang di Desa Pelem. Pada masa ini ritual manten kucing dilaksanakan oleh penerus dari Demang Sutomejo yang lainnya yaitu Bapak Djani. Bapak Djani juga merupakan anak dari Demang Sutomejo sendiri. Perkembangan ritual manten kucing pada tahun-tahun tersebut cenderung merupakan perkembangan ritual dengan tujuan melengkapi ritual manten kucing sebelumnya yang dianggap sederhana. Namun secara sifat, ritual ini tidak pernah berubah. Ritual manten kucing tetap dipertahankan sebagai sebuah ritual yang sakral dan hanya dilaksanakan jika terjadi kemarau panjang. Ritual minta hujan manten kucing mulai berkembang menjadi sebuah ritual yang tidak hanya bersifat sakral namun juga bersifat profan beberapa tahun belakangan ini. Perkembangan ini dimulai ketika Nugroho Agus yang merupakan keturunan Eyang Sangkrah mulai menjabat sebagai Kepala Desa Pelem pada tahun 2001. Nugroho Agus mempunyai beberapa pertimbangan untuk membuat ritual manten kucing ini menjadi bentuk pagelaran budaya yang profan sehingga dapat disaksikan oleh banyak orang. Hal tersebut tentu akan membuat masyarakat
10
sedikit demi sedikit mulai mengetahui seperti apa bentuk ritual manten kucing tersebut. Perjuangan Nugroho Agus dalam mengenalkan ritual manten kucing ini dapat dikatakan tidak mudah. Karena pada awalnya Pemerintah Kabupaten Tulungagung belum mempunyai peran dalam proses pengenalan ini. Perjuangan Nugroho Agus dalam mengenalkan ritual ini dimulai dengan mengikutkan ritual manten kucing dalam berbagai festival kebudayaan yang ada di Kabupaten Tulungagung maupun Provinsi Jawa Timur. Pada masa inilah ritual manten kucing mendapatkan kecaman dari MUI Kabupaten Tulungagung. Hal itu terjadi pada tahun 2010. Pada tahun tersebut manten kucing diselenggarakan dalam bentuk pagelaran budaya yang diikuti oleh seluruh kecamatan yang ada di Tulungagung. Tanpa sengaja ada sebuah kecamatan yang menampilkan ritual manten kucing melebihi apa yang menjadi acuan dari panitia. Hal inilah yang menyebabkan manten kucing dikecam MUI maupun masyarakat Islam yang menganggap ritual ini melecehkan agama karena menampilkan pernikahan kucing layaknya manusia. Hal ini berdampak pada penyelenggarakan pada tahun berikutnya, pada tahun 2011 manten kucing tidak dilaksanakan pada hari jadi Kabupaten Tulungagung namun diadakan pada sebuah festival di Surabaya. Hal ini secara ekplisit menunjukkan bahwa konflik tersebut mempunyai dampak pada penyelenggaraan ritual manten kucing walaupun pihak-pihak yang berkonflik menyatakan bahwa peristiwa tersebut sudah selesai. PENUTUP Kesimpulan Ritual manten kucing merupakan sebuah ritual minta hujan yang unik dari Desa Pelem Kecamatan Campurdarat Kabupaten Tulungagung. ritual minta hujan ini diadakan pada saat terjadi kemarau panjang di Desa Pelem. Alasan adanya ritual ini adalah penduduk Desa Pelem yang sebagian besar menjadi petani membutuhkan air hujan sebagai sumber pengairan utama dari lahan pertanian Desa Pelem. Sehingga jika terjadi kemarau panjang tentu penduduk tidak dapat melakukan kegiatan pertanian di lahan tersebut.
11
Perkembangan yang paling besar terjadi pada ritual manten kucing ini terjadi pada masa Kepala Desa Pelem yang merupakan cucu dari Demang Sutomedjo yaitu Bapak Nugroho Agus. Bapak Nugroho Agus berani membuat kemasan baru dalam melaksanakan ritual manten kucing. Dasar pemikiran dari perubahan kemasan ritual tersebut adalah keinginan untuk melestarikan ritual budaya yang merupakan warisan leluhur. Hal ini disebabkan ritual manten kucing yang selama ini dilakukan hanya ada pada saat terjadi kemarau panjang saja sehingga secara tidak langsung mengancam kelestarian ritual. Dengan dasar itulah Bapak Agus mengemas ritual manten kucing menjadi sebuah kesenian budaya yang menarik. Pemerintah Kabupaten Tulungagung selalu mengikutsertakan ritual manten kucing dalam pagelaran budaya dalam mengisi acara hari jadi Kabupaten Tulungagung. Secara rutin ritual manten kucing ditampilkan pada hari jadi Kabupaten Tulungagung setiap tahunnya. Sampai ketika pada saat ditampilkan dalam festival budaya pada tahun 2010 ritual manten kucing mendapatkan kecaman dari MUI Kabupaten Tulungagung karena dianggap sebagai sebuah ritual yang syirik. Peristiwa tersebut berawal dari penyelenggaraan ritual manten kucing dalam mengisi acara hari jadi Kabupaten Tulungagung tahun 2010. Penyelenggaran di tahun tersebut dikemas dalam bentuk festival budaya yang diikuti oleh kecamatan-kecamatan yang ada di Tulungagung. pagelaran ini mempunyai tujuan untuk menjadikan ritual manten kucing sebagai ritual yang dapat diterima oleh seluruh masyarakat Tulungagung. namun sesuatu yang tidak diduga sebelumnya muncul di tengah acara yaitu ketika salah satu kecamatan menampilkan ritual manten kucing melebihi apa yang telah digariskan oleh panitia sebelumnya. Saran Berdasarkan hasil penelitian tentang ritual manten kucing di atas maka dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut.
12
1. Masyarakat Desa Pelem secara khusus dan masayarakat Tulungagung secara umum harus melestarikan ritual manten kucing yang merupakan ritual minta hujan yang unik dari Kabupaten Tulungagung 2. Masyarakat Tulungagung harus mengenal lebih dalam ritual manten kucing ini agar tidak ada kesalahpahaman dalam memahami ritual manten kucing sehingga tercipta toleransi terhadap ritual ini. 3. Pemerintah Kabupaten Tulungagung dalam hal ini Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olaraga harus tetap mempunyai inisiatif untuk menjaga dan melestarikan ritual manten kucing agar tidak hilang dimasa mendatang. 4. Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik dengan tema ini untuk melakukan penelitian yang menekankan pada makna yang terkandung dalam ritual manten kucing yang belum dikaji pada penelitian ini dan upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Tulungagung untuk menciptakan toleransi terhadap ritual manten kucing dengan kelompok agama setelah peristiwa kecaman MUI terhadap ritual manten kucing pada tahun 2010.
DAFTAR RUJUKAN Cahyono, M. Dwi, e,a. 2002. Kronologi Pemukiman Awal Kawasan Tulungagung: Kearifan Ekologis Ciptakan Keteraturan Sistem SosialBudaya. Tulungagung: Pemerintah Kabupaten Tulungagung. Koentjaraningrat. 1979. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang. Mulyana, dkk. 2006. Kejawen Jurnal Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Narasi. Sjamsuddin, H. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Ombak. Tim Penggali Hari Jadi Tulungagung. 1977. Sejarah dan Babad Tulungagung. Tulungagung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tulungagung.