NILAI PANCASILA YANG TERCERMIN DALAM UPACARA ADAT ULUR-ULUR TELAGA BURET, DESA SAWO, KECAMATAN CAMPURDARAT, KABUPATEN TULUNGAGUNG
THE VALUE OF PANCASILA REFLECTED IN THE ULUR-ULUR TELAGA BURET TRADITIONAL CEREMONY, SAWO, CAMPURDARAT DISTRICT TULUNGAGUNG
Dela Harlianingtyas ¹ Margono ² Suwarno Winarno ³ Jurusan Hukum dan Kewaganegaraan Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang. Jl. Semarang 5 Malang E-mail:
[email protected]
ABSTRAK : Adapun tujuan dari penelitian ini adalah (1) Adapun tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui latar historis upacara adat Ulur-ulur di Desa Sawo, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, (2) mengetahui peralatan yang ada dalam pelaksanaan upacara adat Ulur-ulur di Desa Sawo, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, (3) mengetahui tata urutan upacara adat Ulur-ulur di Desa Sawo, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, (4) mengetahui nilai Pancasila yang tercermin dalam upacara adat Ulur-ulur di Desa Sawo, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung. Penelitian ini menggunakan metode penelitian Etnografi, dimana peneliti membatasi penelitian ini pada sistem pelaksanaan Ulur-ulur yang didalamnya tercermin nilai Pancasila dan berusaha memaparkan keadaan obyek yang diselidiki sebagaimana adanya. Prosedur pengumpulan data menggunakan observasi partisipatif, wawancara mendalam, analisis dokumen. Analisis data menggunakan reduksi data, penyajian data, kesimpulan atau verifikasi data. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah latar historis upacara adat Ulur-ulur dimulai dari cerita asal mula telaga, dewa padi yang membawa kemakmuran pangan bagi penduduk hingga akhirnya terwujud upacara sebagai ucapan terima kasih kepada Tuhan YME yang diadakan setiap satu tahun ¹ Dela Harlianingtyas Mahasiswa Universitas Negeri Malang ² Margono dosen Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang ³ Suwarno Winarno dosen Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang
sekali, kemudian peralatan yang digunakan dalam upacara terdiri dari perlengkapan upacara, perlengkapan tempat upacara, sesaji, sesaji kenduri. Tata cara dalam upacara Ulur-ulur yaitu malam sebelum upacara ada acara sarasehan, persiapan, perjalanan menuju tempat upacara, pembukaan, upacara ritual, mengheningkan cipta, unjuk atur, caos dahar (membakar dupa) dan siraman, tabur bunga, unjuk lengser, laporan panitia dan sambutan, selamatan/kenduri, ramah tamah. Nilai Pancasila yang tercermin dalam upacara antara lain, nilai religius, nilai kemanusiaan, nilai kerukunan, musyawarah, nilai gotong royong. Kata kunci: Nilai Pancasila, upacara adat Ulur-ulur ABSTRACT: this research aims at (1) knowing the historical background of Ulur-ulur traditional ceremony in Sawo village, Campurdarat Subdistrict, Tulungagung District, (2) knowing the tools used in that ceremony, (3) knowing the step order of that ceremony, (4) knowing Pancasila value reflected in that ceremony. This research uses ethnographic research method, in which the researcher limits this research to the practice system of Ulur-ulur. The data collecting uses participative observation, deep interview, conclusion or data verification. The research results are the historical background of Ulur-ulur traditional ceremony was started from the story of telaga, the rice god who brought rice prosperity for people so that it was a kind of ceremony as a thank to the God that was held once in every year; the tools used in this ceremony consists of ceremony place tools, offering and festivity offering. The step order in this ceremony are gathering, preparation toward ceremony place, opening, ritual ceremony, meditation, set performance, burning incense and spray ritual, sowing flower, stepping down performance, committee report and greeting, festivity, and warm-hearted gathering. Pancasila values reflected in this ceremony are religious, humanism, harmony, deliberation, and mutual aid values. Key Words: Pancasila Value, Ulur-ulur traditional ceremony
Pola pikir manusia yang semakin hari semakin berkembang menjadikan kreasi dan inovasi baru. Kreasi-kreasi yang dihasilkan manusia apabila tidak dijaga dan dilindungi nanti akan hilang ditelan jaman. Hal ini ditegaskan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X (dalam Anshoriy 2013: xi-xii) mengatakan bahwa Manusia mulai dari awal dan akhir zaman berkewajiban pada tiga perkara, yaitu tugas kemanusiaan (ngamanungsakake rasa kamanungsane), tugas duniawi: “Hamemayu Hayuning Bawânâ”, dan tugas ketuhanan (nyebarake agama suci). Manusia jangan sekali-kali merusak alam, tetapi berkewajiban
untuk menjaganya, dan berkarya agar memudahkan manusia bertahan hidup. Bukan itu saja, tetapi manusia juga wajib membangun rasa kemanusiaannya dalam hidup bermasyarakat. Kesemuanya tersirat dalam pesan yang terkandung dalam filosofi: “Hamemayu Hayuning Bawânâ”, sebagai sumber kearifan lokal yang sampai sekarang masih menjadi living philosophy di kalangan masyarakat Jawa. Di Indonesia mempunyai berbagai macam budaya. Budaya merupakan hasil pemikiran manusia yang dikembangkan sehingga terwujud sebuah karya untuk dijadikan milik manusia dengan belajar. Sikap manusia dilakukan terus menerus hingga menjadi sebuah kebiasaan yang turun temurun dari nenek moyang yang dinamakan tradisi. Salah satu budaya dan tradisi di Indonesia yaitu upacara adat Ulur-ulur Telaga Buret berada di Desa Sawo, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung. Indonesia memiliki dasar negara yaitu Pancasila dimana pancasila berasal dari sikap bangsa indonesia sendiri. Hal ini ditegaskan oleh Notonegoro (dalam Anshoriy, 2013:83) menjelaskan bahwa asal-usul bahan (kausa materialis) Pancasila adalah adat kebiasaan, kebudayaan dan agama-agama yang ada di Indonesia. METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dimana peneliti langsung ke sumber data untuk mendeskripsikan nilai Pancasila yang tercermin dalam upacara adat Ulur-ulur. .Jenis penelitian yang digunakan yaitu Etnografi dengan membatasi penelitian pada sistem pelaksanaan Ulur-ulur yang didalamnya tercermin nilai Pancasila. Penelitian dilakukan selama satu bulan di Desa Sawo, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung. Peneliti memperoleh data melalui wawancara kepada pihak-pihak yang terkait dan melalui dokumen tertulis tentang profil Ulur-ulur yang didukung dengan foto-foto pada saat pelaksanaan upacara Ulur-ulur. Analisis data kualitatif yang digunakan dengan model Miles dan Huberman, ada 3 langkah, yaitu (1) reduksi data, yaitu membuat ringkasan dimana data-data yang terkumpul dianalisis dan diringkas dan membuat kode dimana kode ini untuk mempermudah penacarian dan penggolongan yang berhubungan dengan permasalahan, (2) penyajian data dalam bentuk teks narasi atau uraian kemudian data yang sudah terkumpul diklarifikasi menurut kodenya, (3) kesimpulan atau verifikasi data. Pengecekan keabsahan temuan dilakukan dengan peningkatan ketekunan membaca berbagai buku maupun hasil penelitian atau dokumen-dokumen yang terkait atau sejenis. Langkah yang dilakukan pertama yaitu, tahap persiapan peneliti menentukan lokasi yang akan digunakan untuk penelitian, menyusun proposal diajukan dan didiskusikan kepada dosen maupun teman sejawat untuk mendapatkan kritik dan masukan mengenai topik maupun metode penelitian
agar dapat dibenahi, mengurus ijin kepada instansi-instansi yang terkait. Langkah kedua yaitu, pelaksanaan kegiatan pengumpulan data dengan wawancara dengan informan dan menelaah dokumen yang berkaitan, menganalisis data kemudian menyimpulkan hasil analisis. Langkah ketiga yaitu, penyelesaian dengan menyusun laporan hasil penelitian atau skripsi sesuai dengan pedoman penulisan karya ilmiah kemudian laporan disetujui para dosen setelah itu digandakan dan disampaikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan. HASIL DAN PEMBAHASAN Latar Historis Upacara Adat Ulur-ulur di Desa Sawo, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung Asal-usul adanya upacara adat Ulur-ulur berdasarkan paparan data dan hasil temuan yaitu, konon cerita nenek moyang dahulu
Telaga Buret tersebut
ada penunggu atau
penguasa. Penunggu atau penguasa tersebut bernama Jigang Jaya merupakan salah satu rombongan penunggang kuda yang kelelahan dan beristirahat disebuah hutan rimba. Jigang Jaya sebagai ketua rombongan melihat rombongan dan bayi yang digendong merasa kehausan kemudian cepat mengambil tindakan agar masalah itu tertangani. Tindakan yang dilakukan yaitu, menggali tanah kemudian tanah yang digali tersebut dengan kemurahan Tuhan Yang Maha Esa mengeluarkan sumber air yang deras hingga menjadi sebuah telaga yang diberi nama telaga “Madirda”. Bertepatan bulan Sela (Jawa) hari Jumat Legi rombongan meninggalakan tempat dan berpesan kepada arga sekitar agar menjaga dan merawat telaga. pesan tersebut apabila tidak dilaksanakan akan mendapat kutukan dari Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, sebaiknya setiap tahun, tepatnya bulan Sela, hari Jum’at Legi warga yang memanfaatkan air dari telaga berkenan untuk mengirimkan sesajian dan tidak boleh dicicipi terlebih dahulu, apabila dilanggar akan mendapatkan kutukan. Perintah maupun larangan Jigang Jaya dituruti oleh masyarakat dan tidak ada seorang pun yang berani melanggarnya, kemungkinan pula hingga sampai sekarang. Telaga Buret bagi ketiga desa yaitu, Sawo, Gedangan, dan Ngentrong merupakan tempat yang dianggap keramat. Tiga Desa tersebut setiap satu tahun sekali, tepat pada bulan Sela, hari Jum’at Legi bersama-sama mengadakan kegiatan Ulur-ulur atau selamatan di telaga tersebut. Menurut cerita Bapak Kepala Desa Gedangan bernama Mudjono bahwasannya apabila setiap tahun desa-desa tadi tidak mengadakan Ulur-ulur atau selamatan ke Telaga Buret, maka akan banyak terjadi halangan di desanya. Oleh sebab itu hingga sekarang kebiasaan tersebut tidak berani ditinggalkan. Telaga yang diyakini warga ada penunggu bernama Jigang Joyo berada di tepi sebelah timur hutan rimba di Dusun Buret, Desa Sawo, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten
Tulungagung. Disana juga ditemukan batu dasar semacam altar dan dua arca yang diyakini oleh penduduk setempat yaitu arca Dewi Sri dan Jaka Sedana yang merupakan Dewa Padi. Masyarakat yang sampai sekarang mengadakan upacara yaitu Desa Sawo, Desa Gedangan, Desa Ngentrong dan Desa Gamping. Hal ini disebabkan keempat desa tersebut diari oleh air dari telaga yang memberikan manfaat besar bagi kehidupan. Setiap tahun pada bulan Sela hari Jumat Legi keempat desa melakukan upacara Ulur-ulur. Upacara tersebut menjadi sebuah kebiasaan secara turun-temurun yang bertujuan untuk memperingati para leluhur yang mendapatkan kemurahan Tuhan Yang Maha Esa berupa sumber mata air. Tindakan-tindakan yang dilakukan nenek moyang dahulu adalah sebagai wujud bakti kepada keyakinan mereka kepada roh makhluk halus dan dewa-dewa. Wujud bakti mereka dengan mengadakan upacara setiap bulan Sela tepat hari Jumat Legi. Hal itu sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat (2010:81) mengatakan bahwa Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, atau makhluk halus lain, dan dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni dunia gaib lainnya itu. Peralatan yang Ada dalam Pelaksanaan Upacara Adat Ulur-ulur di Desa Sawo, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung Peralatan-peralatan yang digunakan dalam upacara adat Ulur-ulur berdasarkan hasil an temuan terbagi dalam tiga bagian yaitu, (1) perlengkapan upacara terdiri dari 12 (dua belas) payung songsong, 1 (satu) payung songsong susun dua, 10 (sepuluh) tempat bunga, 1 (satu) bokor tempat sesaji, 1 (satu) baki tempat ketu janur, 2 (dua) tungku padam, 1 (satu) bokor kecil tempat kemenyan/ratus, 3 (tiga) jodang tempat membawa sesaji, 2 (dua) kasedCD gending-gending monggang, son sistem-pengeras suara, bunga, kemenyan/ratus, arang kayu, sesaji dan sesajian komplit, Peraga upacara terdiri dari remaja Pa, Pi, dan dewasa. (2) perlengkapan tempat upacara terdiri dari terop lengkap, meja, kursi, son sistem lengkap, terpal, umbul-umbul, sepanduk, baliho, lain-lain yang dianggap penting. Perlengkapan tempat upacara dipergunakan untuk masyarakat yang hadir lebih merasa nyaman mengikuti upacara. Perlengkapan tempat upacara hanya sebagai alat pendukung dalam pelaksanaan upacara. (3) Perlengkapan sesaji terdiri dari, pisang raja 2 sisir, cok bakal uba rampen, badek, tike/candu, kemenyan, minyak fanbo, rokok klobot, kelapa 1 butir, telur ayam/ itik, topi janur 2 buah, boreh panji anom, koco, suri, kendi, tikar, mori, bunga telon. Perlengkapan sesaji kenduri terdiri dari, dahar suci uba rampen, dahar ambeng mule uba rampen, buceng robyong, buceng kuwat, jenang sengkolo, duabah (jadah) putih, duabah (jadah) merah, duabah (jadah) kuning, duabah (jadah) hitam, wajik, jenang dodol, ketan kinco, tape ketan, punten,
lepet, pipis kopyor, kupat luar, untir-untir, kerupuk bakar ketan, ampyang, keleman yang terdiri dari uwi, pohong, bentul, ubi rambat. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Anshoriy (2013:85) mengatakan bahwa aktivitas manusia yang saling berinteraksi tidak lepas dari berbagai penggunaan peralatan sebagai hasil karya manusia untuk mencapai tujuannya. Ditegaskan juga oleh Koentjaraningrat (2010:81) mengenai lima komponen religi salah satunya yaitu dalam ritus dan upacara religi biasanya dipergunakan bermacam-macam sarana dan peralatan. Tata Urutan Upacara Adat Ulur-ulur di Desa Sawo, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung Tata urutan upacara yang dimulai dari malam sebelum pelaksanaan upacara, diadakan acara sarasehan yang mendatangkan pakar budaya yang dilakukan oleh Paguyuban Sendang Tirto Mulya. Jumat pagi tepat jam 10.00 WIB. Upacara Ulur-ulur dilaksanakan. Memulai dengan pembawa acara membacakan susunan acara dilanjutkan dengan juru kunci menuju tempat semadi membakar dupa, hening cipta untuk menghormati pahlawan yang sudah mendahului kita, unjuk atur berisi maksud dan tujuan mengadakan upacara, caos dahar (obong dupa) oleh juru kunci empat desa, siraman patung Dewi Sri dan Jaka Sedana. Selesai siraman dilanjutkan dengan tabur bunga ke telaga, unjuk lengser berisi ucapan bahwasannya pelaksanaan upacara selesai dilaksanakan, laporan panitia dan sambutan-sambutan. Semua prosesi selesai kemudian dilakukan selamatan. Selamatan ini merupakan acara yang inti dari seluruh rangkaian upacara, bahwasannya selamatan ini merupakan ucapan terima kasih kepada Tuhan YME yang telah melimpahkan rahmat berupa air telaga. Di selamatan terdapat doa-doa yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam doa tersebut isinya ungkapan terima kasih. Acara yang paling terakhir yaitu ramah tamah. hal ini sesuai dengan pendapat Anshoriy (2013:85) mengatakan kebudayaan merupakan hasil olahan akal manusia tentang alam ini. Dalam arti ini, maka setiap produk akal manusia disebut kebudayaan seperti ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, seni, dan lain-lainnya. Nilai Pancasila yang Tercermin dalam Upacara Adat Ulur-ulur di Desa Sawo, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung 1.
Ketuhanan Yang Maha Esa Nilai religius semua masyarakat mengucapkan terima kasih kepada Tuhan YME atas
rahmat yang diberikan berupa sumber mata air. Masyarakat empat desa masih memegang kepercayaan nenek moyang bahwa telaga itu ada penunggu atau penguasa yang konon merupakan seseorang yang membuat telaga. Kepercayaan-kepercayaan masyarakat empat desa sesuai dengan pendapat Sunoto (1988: 2) mengatakan “percaya adanya jiwa-jiwa yang
menguasai alam, adanya kekuatan gaib yang terdapat di dalam alam ini dan lain sebagainya”. Doa-doa yang dipanjatkan dalam upacara Ulur-ulur ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan tidak mengandung simbol agama tertentu. Hal itu ditegaskan oleh pernyataan sesepuh desa bapak Pamuji yaitu “Doa yang dihaturkan tidak boleh mengandung simbol agama tertentu” . Darmodiharjo (1994: 24) mengatakan bahwa negara Indonesia tidak ada dan tidak boleh ada faham yang meniadakan dan mengingkari adanya Tuhan dan toleransi terhadap kebebasan memeluk agama dan kpercayaan masing-masing. 2.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Masyarakat empat desa mengadakan upacara Ulur-ulur tidak membeda-bedakan
suku, agama, keturunan maupun agama. Semua warga yang mengikuti upacara mendapatkan perlakuan sama. Tidak hanya terfokus warga empat desa saja yang boleh datang dalam pelaksanaan Ulur-ulur. Paguyuban Sendang Tirto Mulya yang mengurusi pelaksanaan Ulurulur juga mengundang dari paguyuban-paguyuban lain untuk bekerjasama melestarikan budaya. Sunoto (1988: 3-4) mengatakan bahwa kekhususan Bangsa Indonesia adalah adil dan beradab yang berati adil tidak merampas hak orang lain dan mempunyai sopan santun saling menghormati sesama makkluk Tuhan. Darmodiharjo (1994: 25) mengatakan “Setiap warganegara dijamin hak serta kebebasannya yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dengan orang seorang, dengan masyarakatnya, dan alam lingkungannya”. Jadi upacara Ulur-ulur masih menjujung tinggi kemanusiaan terbukti dengan memperlakukan manusia layaknya manusia tidak ada penindasan dan diperlakukan sama serta juga bekerjasama menghormati tamu dari paguyuban lain.
3.
Persatuan Indonesia Warga desa yang mendapat pengairan dari telaga hidup secara rukun dan bersama-
sama menjaga telaga agar air dalam telaga tersebut tidak kering tetap terus mengeluarkan sumber air. Pemanfaatan air telaga untuk pengairan diberlakukan sistem bergantian apabila pada saat musim kemarau ataupun pada saa
air dalam telaga kurang untuk pengairan
langsung ke empat desa. Sunoto (1988: 5) mengatakan “Bangsa Indonesia dengan ciri-cirinya guyub, rukun, bersatu, dan kekeluargaan, bertindak bukan semata-mata atas perhitungan untung rugi dan pamrih serta kepentingan pribadi. Oleh karena itu unsur persatuan sudah terdapat di dalam kehidupan masyarakat Indonesia bahkan sudah dilaksanakan oleh mereka”. Darmodiharjo (1994: 25) mengatakan “Nilai yang menjunjung tingi tradisi kejuangan dan kerelaan untuk berkorban dan membela kehormatan bangsa dan negara. Mengandung nilai patriotik serta penghargaan rasa kebangsaan sebagai realitas yang dinamis”. Warga masih
memiliki rasa cinta tanah air dan bersatu menjaga telaga tidak berebut air apabila air dalam telaga tidak cukup untuk mengairi keempat desa. Selain itu pada saat mengikuti upacara Ulur-ulur menggunakan sebuah pin yang bersimbolkan Burung Garuda dan Bendera Merah Putih. Selain itu pada rangkaian upacara ada sesi mengheningkan cipta yang bertujuan untuk mengenang jasa para pahalawan. 4.
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan Dahulu cerita mengenai upacara Ulur-ulur pernah berhenti beberapa tahun kemudian
oleh salah satu warga yang peduli terhadap budaya peninggalan nenek moyang yaitu bernama mbah Mangil (alm). Beliau mengajak pini sepuh untuk melestarikan kembali budaya nenek moyang. Akhirnya pada tahun 1996 terbentuklah sebuah paguyuban yang bernama Paguyuban Sendang Tirto Mulya. Tujuannya untuk melestarikan upacara adat Ulur-ulur dan menjaga kelestian lingkungan yang ada disekitar telaga. Di Paguyuban Sendang Tirto Mulya pemilihan ketua juga dipilih anggota, kebijakan yang diambil dasarnya musyawarah. Sunoto (1988: 6-7) mengatakan bahwa Kerakyatan berarti bahwa yang berdaulat atau yang berkuasa adalah rakyat. Darmodiharjo (1994: 26) mengatakan bahwa Dalam sila keempat ini, tercermin nilai yang mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat yang harus didahulukan. Jadi dalam upacara Ulur-ulur segala sesuatu dengan cara musyawarah untuk mengambil kebijakan.
5.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia Warga bergotong royong membersihkan lingkungan dan nglampet yaitu membuat
DAM atau bendungan. Sedangkan sekarang dalam pelaksanaan upacara warga emapat desa bergotong royong untuk mempersiapkan keperluan yang dibutuhkan dalam upacara. Pada saat upacara berlangsung para ibu-ibu keempat desa bersama-sama bergotong royong saling membantu mempersiapkan makanan yang dibuat dari rumah dibagikan secara adil tidak memilih-milih kepada seluruh masyarakat yang sudah datang ke upacara. Sunoto (1988: 7-8) mengatakan bahwa Keadilan sosial ialah sifat masyarakat adil dan makmur berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penghisapan, bahagia material dan bahagia spiritual, lahir dan batin. Istilah adil sudah saya terangkan yaitu menunjukkan bahwa orang harus memberi kepada orang lain apa yang menjadi haknya dan tahu mana haknya sendiri serta tahu apa kewajibannya kepada orang lain dan dirinya. Istilah gotong royong yang berarti berkarya bersama dan membagi hasil karya bersama tepat sekali untuk menerangkan apa arti keadilan sosial. Darmodiharjo (1994: 26) mengatakan bahwa Di dalam sila ini pun
terkandung nilai kedermawanan kepada sesama; nilai yang memberi tempat kepada sikap juga mengembangkan nilai untuk menghargai karya, dan norma yang menolak adanya kesewenang-wenangan, serta pemerasan kepada sesama. Jadi dalam upacara Ulur-ulur nilai gotong royong tetapa dijunjung tinggi. PENUTUP Kesimpulan Latar historis menegnai upacara adat Ulur-ulur Konon cerita telaga Buret ada penunggu atau penguasa yang bernama Mbah Jigang Joyo yaitu salah satu rombongan penunggang kuda yang beristirahat di sebuah hutan yang akhirnya untuk mengobati kehausan menggali tanah hingga mengeluarkan sumber air yang besar sampai menjadi sebuah telaga. Tepat bulan Sela hari Jumat Legi rombongan jigang Joyo meninggalkan tempat dan berpesan kepada warga yang memanfaatkan air telaga bahwasannya harus menjaga dan mengrim sesajian. Masyarakat masih percaya apabila tidak dilaksanakan akan mendapat kutukan. Warga yang memanfaatkan air dari telaga yaitu
Desa Sawo, Desa Gedangan, Desa
Ngentrong, Desa Gamping. Pelaksanaan upacara Ulur-ulur juga tidak lepas dari cerita dewa padi yaitu Dewi Sri dan Jaka Sedana yang memberi kemakmuran dalam bidang pangan. Dahulu perginya mbok Sri Sedana tepat pada bulan Sela hari Jumat Legi. Akhirnya warga setempat terutama keempat desa yang memanfaatkan air telaga mengadakan upacara Ulurulur setiap setahun sekali tepat pada bulan Sela hari Jumat Legi. Peralatan yang digunakan yaitu perlengkapan upacara ini digunakan pada saat pelaksanaan yaitu antara lain, 12 (dua belas) payung songsong, 1 (satu) payung songsong susun dua, 10 (sepuluh) tempat bunga, 1 (satu) bokor tempat sesaji, 1 (satu) baki tempat ketu janur, 2 (dua) tungku padam, 1 (satu) bokor kecil tempat kemenyan/ratus, 3 (tiga) jodang tempat membawa sesaji, 2 (dua) kased-cd gending-gending monggang, son sistem pengeras suara, bunga, kemenyan/ratus, arang kayu, sesaji dan sesajian komplit, peraga upacara terdiri dari remaja pa, pi, dan dewasa. Perlengkapan tempat upacara yang ada ditempat upacara yaitu, terop lengkap, meja, kursi, son sistem lengkap, terpal, umbul-umbul, sepanduk, baliho, lain-lain yang dianggap penting. Sesaji digunakan untuk upacara Ulur-ulur yaitu, pisang raja 2 sisir, cok bakal uba rampen, badek, tike/candu, kemenyan, minyak fanbo, rokok klobot, kelapa 1 butir, telur ayam/ itik, topi janur 2 buah, boreh panji anom, koco, suri, kendi, tikar, mori, bunga telon. Perlengkapan ini digunakan untuk memandikan arca dewi sri dan jaka sedana yang dianggap sebagai dewa padi. Sesaji kenduri ini digunakan pada saat selamatan/kenduri yaitu berupa dahar suci uba rampen, dahar ambeng mule uba rampen, buceng robyong, buceng kuwat, jenang sengkolo, duabah (jadah) putih, duabah (jadah)
merah duabah (jadah) kuning, duabah (jadah) hitam, wajik, jenang dodol, ketan kinco tape ketan, punten, lepet, pipis kopyor, kupat luar, untir-untir, kerupuk bakar ketan, ampyang, keleman yang terdiri dari uwi, pohong, bentul, ubi rambat. Pada malam hari sebelum upacara dilakukan ada acara sarasehan untuk membahas perkembangan dan kelestarian upacara Ulur-ulur. Upacara dimulai tepat pukul 10.00 WIB, upacara dibuka oleh pembawa acara kemudian dilanjutkan dengan juru kunci menuju tempat semedi dengan membakar kemenyan untuk menghaturkan maksud dan tujuan. Juru kunci selesai melakukan semedi kemudian melakukan hening cipta untuk mengenang jasa pahlawan. Dilanjutkan dengan membacakan unjuk atur oleh pimpinan ritual. Kegiatan selanjutnya yaitu caos dahar (obong dupa) dialnjutkan petugas membawa sesaji dan ketu janur menyerahkan kejuru siram kemudian drlanjutkan dengan siraman 2 arca Dewi Sri dan Jaka Sedana penyongsong mengikuti. Selesai siraman kemudian para petugas yang membawa bunga menuju telaga untuk menaburkan bunga di telaga. Seluruh rangkaian upacara sudah dilakukan kemudian dilakukan unjuk lengser dilanjutkan dengan laporan panitia dan sambutan pihak terkait. Acara selanjutnya yaitu selamatan atau kenduri disertai doa kemudian selamatan selesai dilanjutkan dengan acara ramah tamah untuk para tamu undangan maupun peserta upacara. Upacara adat Ulur-ulur mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Nilai religius semua masyarakat mengucapkan terima kasih kepada Tuhan YME atas rahmat yang diberikan berupa sumber mata air tercermin dalam doa-doa yang dipanjatkan. Selain itu nilai kerukunan antar umat beragama meskipun ada lima agama semua saling menghormati satu sama lain. Nilai yang tercermin dalam Pancasila sila kedua yaitu, nilai kemanusiaan yang terbukti dengan tidak adanya diskriminasi antar golongan maupun agama. Semua dianggap sama tidak membeda-bedakan. Nilai Pancasila sila ketiga yang terdapat dalam upacara Ulur-ulur yaitu, nilai persatuan, kerukunan, cinta tanah air dan rasa kebanggan terhadap kebudayaan. Hal ini bepegang pada Bhineka Tunggal Ika berbeda-beda tetap satu jua walaupun berbeda agama semua bersatu untuk melestarikan kebudayaan nenek moyang. Nilai Pancasila sila keempat dalam upacara Ulur-ulur yaitu, musyawarah mufakat. Masyarakat menggunakan asas musyawarah mufakat unyuk pengambilan kebijakan dalam membahas permasalahan untuk perkembangan dan kelestarian budaya peninggalan nenek moyang. Nilai Pancasila sila kelima dalam upacara Ulur-ulur yaitu, saling membantu dan bekerjasama dalam melaksanakan upacara Ulur-ulur. Nilai keadilan dan gotong royong juga tercermin dalam upacara Ulur-ulur. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran penulis adalah sebagai berikut: (1) diharapkan FIS dapat mengenalkan lagi budaya Ulur-ulur dan budaya asli Indonesia lainnya agar tidak punah dan tidak diambil oleh bangsa lain (2) disarankan jurusan HKn untuk mengintegrasikan lebih mendalam lagi mengenai kearifan lokal sehingga mahasiswa lebih mengenal budaya daerah masing-masing (3) diharapkan masyarakat Desa Sawo, Gedangan, Ngentrong, Gamping memahami makna dari upacara Ulur-ulur dan juga tetap melaksanakan serta melestarikan budaya Ulur-ulur (4) diharapkan tokoh tetua adat mengajarkan kepada generasi penerus mengenai tradisi Ulur-ulur tanpa mengurangi nilai budaya terkandung (5) Diharapkan untuk pengembang ilmiah selanjutnya fokus penlitian lebih dikembangkan misalnya melihat tradisi Ulur-ulur dari segi agama, sejarah, dan lingkungan (6) Dinas Pariwisata diharapakan lebih menjaga, melestarikan dan melindungi budaya-budaya di daerah agar tidak punah ataupun diambil oleh pihak lain.
DAFTAR RUJUKAN Anshoriy Ch, HM. Nasruddin. 2013. Strategi Kebudayaan Titik Balik Kebangkitan Nasional. Malang:UB Press. Darmodiharjo, Darji. 1984. Pancasila Suatu Orientasi Singkat. Jakarta:Aries Lima. Darmodiharjo, Darji. 1994. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Malang:Laboratorium Pancasila IKIP Malang. Catatan Artikel Seni dan Budaya. 2012. Definisi Upacara Adat. (Online), (http://catatansenibudaya.blogspot.com), diakses 10 Desember 2013. Kaelan. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta:Paradigma. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2011. Jakarta:Pusat Balai Bahasa. Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:Rineka Cipta. Koentjaraningrat. 2010. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta:Universitas Indonesia. Naskah Amandemen Lengkap UUD 1945. 2013. Yogyakarta:Pustaka Yutistia. Sunoto. 1988. Mengenal Filsafat Pancasila Pendekatan Melalui: Sejarah dan Pelaksanaannya. Yogyakarta:PT. Hanindita. Ulur-ulur Upacara Tradisional di Desa Sawo. 2006. Tulungagung:Paguyuban Sendang Tirto Mulya. Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel Makalah, Laporan Penelitian (Edisi Kelima). Malang: Biro
Admistrasi Akademik, Perencanaan, dan Sistem Informasi Kerjasama dengan Penerbit Universitas Negeri Malang. Wiyono, Bambang Budi. 2007. Metodologi Penelitian (Pendekatan Kuantitatif, Kulitatif, dan Action Research) (Burhanuddin, Ed). Malang:Universitas Negeri Malang Fakultas Ilmu Pendidikan.