http://tanbihun.com/sejarah/sejarah-asal-mula-halal-bihalal/, 2-10-2010, pukul 19.00
SEJARAH ASAL MULA HALAL BIHALAL Filosofi Idul Fitri
Tanbihun.com – Seorang budayawan terkenal Dr Umar Khayam (alm), menyatakan bahwa tradisi Lebaran merupakan terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam. Kearifan para ulama di Jawa mampu memadukan kedua budaya tersebut demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat. Akhirnya tradisi Lebaran itu meluas ke seluruh wilayah Indonesia, dan melibatkan penduduk dari berbagai pemeluk agama. Untuk mengetahui akulturasi kedua budaya tersebut, kita cermati dulu profil budaya Islam secara global. Di negara-negara Islam di Timur Tengah dan Asia (selain Indonesia), sehabis umat Islam melaksanakan salat Idul Fitri tidak ada tradisi berjabatan tangan secara massal untuk saling memaafkan. Yang ada hanyalah beberapa orang secara sporadis berjabatan tangan sebagai tanda keakraban. Menurut tuntunan ajaran Islam, saling memaafkan itu tidak ditetapkan waktunya setelah umat Islam menyelesaikan ibadah puasa Ramadan, melainkan kapan saja setelah seseorang merasa berbuat salah kepada orang lain, maka dia harus segera minta maaf kepada orang tersebut. Bahkan Allah SWT lebih menghargai seseorang yang memberi maaf kepada orang lain (Alquran Surat Ali Imran ayat 134). Budaya sungkem Dalam budaya Jawa, seseorang “sungkem” kepada orang yang lebih tua adalah suatu perbuatan yang terpuji. Sungkem bukannya simbol kerendahan derajat, melainkan justru menunjukkan perilaku utama. Tujuan sungkem, pertama, adalah sebagai lambang penghormatan, dan kedua, sebagai permohonan maaf, atau “nyuwun ngapura”. Istilah “ngapura” tampaknya berasal dari bahasa Arab “ghafura”. 1
Para ulama di Jawa tampaknya ingin benar mewujudkan tujuan puasa Ramadan. Selain untuk meningkatkan iman dan takwa, juga mengharapkan agar dosa-dosanya di waktu yang lampau diampuni oleh Allah SWT. Seseorang yang merasa berdosa kepada Allah SWT bisa langsung mohon pengampunan kepada-Nya. Tetapi, apakah semua dosanya bisa terhapus jika dia masih bersalah kepada orangorang lain yang dia belum minta maaf kepada mereka? Nah, di sinilah para ulama mempunyai ide, bahwa di hari Lebaran itu antara seorang dengan yang lain perlu saling memaafkan kesalahan masingmasing, yang kemudian dilaksanakan secara kolektif dalam bentuk halal bihalal. Jadi, disebut hari Lebaran, karena puasa telah lebar (selesai), dan dosa-dosanya telah lebur (terhapus). Dari uraian di muka dapat dimengerti, bahwa tradisi Lebaran berikut halal bihalal merupakan perpaduan antara unsur budaya Jawa dan budaya Islam. Sejarah halal bihalal Sejarah asal mula halal bihalal ada beberapa versi. Menurut sebuah sumber yang dekat dengan Keraton Surakarta, bahwa tradisi halal bihalal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam, dengan istilah halal bihalal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bihalal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama. Sampai pada tahap ini halal bihalal telah berfungsi sebagai media pertemuan dari segenap warga masyarakat. Dan dengan adanya acara saling memaafkan, maka hubungan antarmasyarakat menjadi lebih akrab dan penuh kekeluargaan. Karena halal bihalal mempunyai efek yang positif bagi kerukunan dan keakraban warga masyarakat, maka tradisi halal bihalal perlu dilestarikan dan dikembangkan. Lebih-lebih pada akhir-akhir ini di negeri kita sering terjadi konflik sosial yang disebabkan karena pertentangan kepentingan. Makna Idul Fitri Ada tiga pengertian tentang Idul Fitri. Di kalangan ulama ada yang mengartikan Idul Fitri dengan kembali kepada kesucian. Artinya setelah selama bulan Ramadan umat Islam melatih diri menyucikan jasmani dan rohaninya, dan dengan harapan pula dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT, Maka memasuki hari Lebaran mereka telah menjadi suci lahir dan batin. Ada yang mengartikan Idul Fitri dengan kembali kepada fitrah, atau naluri religius. Hal ini sesuai dengan Alquran Surat Al-Baqarah ayat 183, bahwa tujuan puasa adalah agar orang yang melakukannya menjadi orang yang takwa atau meningkat kualitas religiusitasnya. 2
Ada pula yang mengartikan Idul Fitri dengan kembali kepada keadaan di mana umat Islam diperbolehkan lagi makan dan minum siang hari seperti biasa. Di kalangan ahli bahasa Arab, pengertian ketiga itu dianggap yang paling tepat. Dari ketiga makna tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam memasuki Idul Fitri umat Islam diharapkan mencapai kesucian lahir batin dan meningkat kualitas religiusitasnya. Salah satu ciri manusia religius adalah memiliki kepedulian terhadap nasib kaum yang sengsara. Dalam Surat Al-Ma’un ayat 1 -3 disebutkan, adalah dusta belaka kalau ada orang mengaku beragama tetapi tidak mempedulikan nasib anak yatim. Penyebutan anak yatim dalam ayat ini merupakan representasi dari kaum yang sengsara. Oleh karena itu dapat kita pahami, bahwa umat Islam yang mampu wajib memberikan zakat fitrah kepada kaum fakir miskin, dan pemberian zakat tersebut paling lambat sebelum pelaksanaan salat Idul Fitri. Aturan ini dimaksudkan, agar pada waktu umat Islam yang mampu bergembira ria merayakan Idul Fitri jangan ada orang-orang miskin yang sedih, atau sampai menangis, karena tidak ada yang dimakan. Agama Islam sangat menekankan harmonisasi hubungan antara si kaya dan si miskin. Orangorang kaya diwajibkan mengeluarkan zakat mal (harta), untuk dibagikan kepada delapan asnaf (kelompok), di antaranya adalah kaum fakir miskin. Dari uraian di muka dapat disimpulkan, bahwa Idul Fitri merupakan puncak dari suatu metode pendidikan mental yang berlangsung selama satu bulan untuk mewujudkan profil manusia yang suci lahir batin, memiliki kualitas keberagamaan yang tinggi, dan memelihara hubungan sosial yang harmonis. hf/www.wawasandigital.com ___________________________________ Drs H Ibnu Djarir Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah. =============================================================================== hp://aldi83.blog.dada.net/post/1207013313/HALAL+BIHALAL+MENURUT+AL-QURAN/ 3---10-2010 pukul 5.00
HALAL BIHALAL MENURUT AL-QURAN by aldi Komentar (1)
Halal bihalal merupakan tradisi khas masyarakat Indonesia. Sebuah tradisi yang meniscayakan beberapa tahapan, yaitu menahan amarah, memberi maaf, dan berbuat baik terhadap orang yang 3
bersalah. Al-Quran adalah kitab rujukan untuk memperoleh petunjuk dan bimbingan agama. Ada tiga cara yang diperkenalkan ulama untuk memperoleh pesan-pesan kitab suci itu. Petama, melalui penjelasan Nabi Saw., para sahabat beliau, dan murid-murid mereka. Hal ini dinamai tafsir birriwayah. Kedua, melalui analisis kebahasaan dengan menggunakan nalar yang didukung oleh kaidah-kaidah ilmu tafsir. Ini, dinamai tafsir bid-diriyah. Ketiga, melalui kesan yang diperoleh dari penggunaan kosa kata ayat atau bilangannya, dinamai tafsir bir-riwayah. Kajian ini akan mencoba mencari substansi halal bihalal melalui al-Quran dengan menitikberatkan pandangan pada cara yang ketiga. Untuk maksud tersebut, tulisan ini akan berpangkal tolak pada beberapa istilah yang lumrah digunakan dalam konteks halal bihalal, yaitu Idul Fitri, halal bihalal, dan Minal ‘Aidin wal-Faizin. Kata halal dari segi hukum diartikan sebagai sesuatu yang bukan haram; sedangkan haram merupakan perbuatan yang mengakibatkan dosa dan ancaman siksa. Hukum Islam memperkenalkan panca hukum yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Empat yang pertama termasuk kelompok halal (termasuk yang makruh, dalam arti, yang dianjurkan untuk dtinggalkan). Nabi saw. bersabda, “Abghadu al-halal ila Allah, ath-thalaq” (Halal yang paling dibenci Allah adalah pemutusan hubungan suami-istri). Jikalau halal bihalal diartikan dalam konteks hukum, hal itu tidak akan menyebabkan lahirnya hubungan harmonis antarsesama, bahkan mungkin dalam beberapa hal dapat menimbulkan kebencian Allah kepada pelakunya. Karena itu, sebaiknya kata halal pada konteks halal bihalal tidak dipahami dalam bihalal pengertian hukum. Dalam al-Quran, kata halal terulang sebanyak enam kali. Dua di antaranya pada konteks kecaman, yaitu: Katakanlah, ”Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (QS Yunus [10]: 59) Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orangorang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung. (itu adalah) kesenangan sementara yang sedikit, dan bagi mereka siksa yang pedih (QS AL-Nahl [16]: 116117). Kesan apakah yang dapat diperoleh dari ayat ini? Paling tidak, terdapat kecaman terhadap mereka yang mencampurbaurkan antara yang halal dan haram. Jika yang mencampurbaurkan saja telah dikecam dan diancam dengan siksa yang pedih, lebih-lebih lagi orang yang seluruh aktivitasnya adalah haram. Empat halal lainnya yang tersebut dalam al-Quran mempunyai dua ciri yang sama, yaitu 4
dikemukakan dalam konteks perintah makan (kulu) dan Kata halal digandengkan dengan kata thayyibah (baik). Perhatikan keempat ayat berikut: 1. Kuluu mimma fil ardhi halalan thayyiban (Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi) (QS. Al-Baqarah [2]: 168); 2. Wakuluu mimma razaqakumullah halalan thayyiban…(Dan makanlah makanan yang halal lagi baik, dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu) (QS. Al-Ma’idah [5]: 88); 3. Fakuluu mimma ghanimtum halalan thayyibaan (Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu) (QS. Al-Anfaal [8]: 69); 4. Fakuluu mimma razaqakumullahu halalan thayyiban (Maka makanlah halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu) (QS. An-Nahl [16]: 114). Kata makan dalam al-Quran sering diartikan “melakukan aktivitas apapun.” Ini agaknya disebabkan karena makan merupakan sumber utama perolehan kalori yang dapat menghasilkan aktivitas. Dengan demikian, perintah makan dalam ayat-ayat di atas bermakna perintah melakukan aktivitass, sedangkan aktivitasnya tidak sekedar halal, tetapi juga harus thayyib (baik). Nah, jika dikembalikan pada empat jenis halal yang diperkenalkan oleh hukum Islam, maka yang makruh tidak termasuk dalam kategori halalan thayyiban. Al-Quran menyatakan secara tegas cinta Allah (Innallaha yuhib) sebanyak delapan belas kali, yang dapat dirinci sebagai berikut: Masing-masing sekali untuk at-tawabin (orang yang bertobat), ash-shabirin (orang-orang sabar) dan shaffan wahida (orang yang berada dalam satu barisan/kesatuan); Masing-masing dua kali terhadap al-mutawakkilin (orang yang berserah diri kepada Allah) dan al-mutathahirin (orang-orang yag menyucikan diri); Masing-masing tiga kali terhadap al-muttaaqin (orang-orang yang bertaqwa) dan almuqsithin ( orang yang berlaku adil), dan lima kali terhdap al-muhsinin.
Kesan yang ditimbulkan oleh angka-angka itu paling tidak mengisyaratkan bahwa sikap yang paling disenangi oleh Allah adalah al-muhsinin (orang-orang yang berbuat baik terhadap mereka yang pernah melakukan kesalahn). Hal ini sesuai sekali dengan perintah al-Quran untuk melakukan perbuatan halal yang baik, tidak sekedar perbuatan halal (boleh, tetapi tidak menghasilkan kebaikan). Dalam al-Quran surat Ali-‘Imran ayat 134 diisyaratkan tingkat-tingkat terjalinnya keserasian hubungan; 5
Mereka yang menafkahkan hartanya, baik pada saat keadaan mereka senang (lapang) maupun sulit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan orang-orang yang bersalah (bahkan berbuat baik terhadap mereka). Sesungguhnya Allah menyukai mereka yang berbuat baik (terhadap orang yang bersalah). Di sini terbaca bahwa tahap pertama adalah menahan amarah, tahap kedua memberi maaf, dan tahap berikutnya adalah berbuat baik terhadap orang yang bersalah. Demikian sedikit dan banyak kesan yang dapat diperoleh dari ayat-ayat al-Quran berkaitan dengan halal-bihalal/maaf memaafkan. Sumber : Disunting dari buku "Wawasan al-Quran" karya M. Quraish Shihab, yang diterbitkan oleh Mizan. ====================================================================== http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&id=986&Itemid=4 3--10-2010 pukul 5.10
Data Pesantren Terbaru •
Pesantren Manbaul Falah ( Dadan Santosa RK) Pasirawi Rawamerta Karawang, Jawa Barat, Telp: 02677001664
HALAL-BIHALAL DAN TOLERANSI BERAGAMA Ditulis oleh Rizqon Khamami Idul Fitri memiliki arti kembali kepada kesucian, atau kembali ke asal kejadian. Idul Fitri diambil dari bahasa Arab, yaitu fithrah, berarti suci. Kelahiran seorang manusia, dalam kaca Islam, tidak dibebani dosa apapun. Kelahiran seorang anak, masih dalam pandangan Islam, diibaratkan secarik kertas putih. Kelak, orang tuanya lah yang akan mengarahkan kertas putih itu membentuk dirinya. Dan dalam kenyataannya, perjalanan hidup manusia senantiasa tidak bisa luput dari dosa. Karena itu, perlu upaya mengembalikan kembali pada kondisi sebagaimana asalnya. Itulah makna Idul Fitri.
Idul Fitri memiliki arti kembali kepada kesucian, atau kembali ke asal kejadian. Idul Fitri diambil dari bahasa Arab, yaitu fithrah, berarti suci. Kelahiran seorang manusia, dalam kaca Islam, tidak dibebani dosa apapun. Kelahiran seorang anak, masih dalam pandangan Islam, 6
diibaratkan secarik kertas putih. Kelak, orang tuanya lah yang akan mengarahkan kertas putih itu membentuk dirinya. Dan dalam kenyataannya, perjalanan hidup manusia senantiasa tidak bisa luput dari dosa. Karena itu, perlu upaya mengembalikan kembali pada kondisi sebagaimana asalnya. Itulah makna Idul Fitri. Dosa yang paling sering dilakukan manusia adalah kesalahan terhadap sesamanya. Seorang manusia dapat memiliki rasa permusuhan, pertikaian, dan saling menyakiti. Idul Fitri merupakan momen penting untuk saling memaafkan, baik secara individu maupun kelompok. Budaya saling memaafkan ini lebih populer disebut halal-bihalal. Fenomena ini adalah fenomena yang terjadi di Tanah Air, dan telah menjadi tradisi di negara-negara rumpun Melayu. Ini adalah refleksi ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling memberi kasih sayang. Dalam pengertian yang lebih luas, halal-bihalal adalah acara maaf-memaafkan pada hari Lebaran. Keberadaan Lebaran adalah suatu pesta kemenangan umat Islam yang selama bulan Ramadhan telah berhasil melawan berbagai nafsu hewani. Dalam konteks sempit, pesta kemenangan Lebaran ini diperuntukkan bagi umat Islam yang telah berpuasa, dan mereka yang dengan dilandasi iman. Menurut Dr. Quraish Shihab, halal-bihalal merupakan kata majemuk dari dua kata bahasa Arab halala yang diapit dengan satu kata penghubung ba (dibaca: bi) (Shihab, 1992: 317). Meskipun kata ini berasal dari bahasa Arab, sejauh yang saya ketahui, masyarakat Arab sendiri tidak akan memahami arti halal-bihalal yang merupakan hasil kreativitas bangsa Melayu. Halal-bihalal, tidak lain, adalah hasil pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Asia Tenggara. Halalbihalal merupakan tradisi khas dan unik bangsa ini. Kata halal memiliki dua makna. Pertama, memiliki arti 'diperkenankan'. Dalam pengertian pertama ini, kata halal adalah lawan dari kata haram. Kedua, berarti ‘baik’. Dalam pengertian kedua, kata ‘halal’ terkait dengan status kelayakan sebuah makanan. Dalam pengertian terakhir selalu dikaitkan dengan kata thayyib (baik). Akan tetapi, tidak semua yang halal selalu berarti baik. Ambil contoh, misalnya talak (Arab: Thalaq; arti: cerai), seperti ditegaskan Rasulullah SAW: Talak adalah halal, namun sangat dibenci (berarti tidak baik). Jadi, dalam hal ini, ukuran halal yang patut dijadikan pedoman, selain makna ‘diperkenankan’, adalah yang baik dan yang menyenangkan. Sebagai sebuah tradisi khas masyarakat Melayu, apakah halal-bihalal memiliki landasan teologis? Dalam Al Qur’an, (Ali 'Imron: 134-135) diperintahkan, bagi seorang Muslim yang bertakwa bila melakukan kesalahan, paling tidak harus menyadari perbuatannya lalu memohon ampun atas kesalahannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, mampu menahan amarah dan memaafkan dan berbuat kebajikan terhadap orang lain. Dari ayat ini, selain berisi ajakan untuk saling maaf-memaafkan, halal-bihalal juga dapat diartikan sebagai hubungan antar manusia untuk saling berinteraksi melalui aktivitas yang tidak dilarang serta mengandung sesuatu yang baik dan menyenangkan. Atau bisa dikatakan, bahwa 7
setiap orang dituntut untuk tidak melakukan sesuatu apa pun kecuali yang baik dan menyenangkan. Lebih luas lagi, berhalal-bihalal, semestinya tidak semata-mata dengan memaafkan yang biasanya hanya melalui lisan atau kartu ucapan selamat, tetapi harus diikuti perbuatan yang baik dan menyenangkan bagi orang lain. Dan perintah untuk saling memaafkan dan berbuat baik kepada orang lain seharusnya tidak semata-mata dilakukan saat Lebaran. Akan tetapi, harus berkelanjutan dalam kehidupan seharihari. Halal-bihalal yang merupakan tradisi khas rumpun bangsa tersebut merefleksikan bahwa Islam di negara-negara tersebut sejak awal adalah agama toleran, yang mengedepankan pendekatan hidup rukun dengan semua agama. Perbedaan agama bukanlah tanda untuk saling memusuhi dan mencurigai, tetapi hanyalah sebagai sarana untuk saling berlomba-lomba dalam kebajikan. Ini sesuai dengan Firman Allah, “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam) berbuat kebaikan". (Q.S. 2:148). Titik tekan ayat di atas adalah pada berbuat kebaikan dan perilaku berorientasi nilai. Perilaku semacam ini akan mentransformasi dunia menjadi sebuah surga. Firman Allah (SWT), “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang yang memintaminta ; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat ; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, benar (imannya) ; dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa". (Q.S. 2:177) Berangkat dari makna halal-bihalal seperti tersebut di atas, pesan universal Islam untuk selalu berbuat baik, memaafkan orang lain dan saling berbagi kasih sayang hendaknya tetap menjadi warna masyarakat Muslim Indonesia dan di negara-negara rumpun Melayu lainnya. Akhirnya, Islam di wilayah ini adalah Islam rahmatan lil ‘alamiin. Wallau a’lam. Rizqon Khamami, Mahasiswa Pasca Sarjana Jamia Millia Islamia (JMI) New Delhi, India. < Sebelumnya
Berikutnya >
========================================================== http://www.kaskus.us/showthread.php?t=4823696
3-10-2010 pukul 15.30 8
PANGERAN SAMBERNYAWA a.k.a Raden Mas SAID a.k.a MANGKUNEGARA Spoiler for senopati: Monopoli belanda di seluruh jawa misalnya di Batavia telah menguasai segalanya termasuk golongan etnis china yang berdagang di Indonesia pada masa itu juga telah tertekan dan tersingkir, maka pada 30 Juni 1742 pasukan Cina menyerang Mataram yang ada di Kartasura pada masa pemerintahan Paku Buwana II, penyerangan ini karena Mataram dianggap negara boneka Belanda. Penyerangan ini dipimpin oleh Mas Garendi / Sunan Kuning. Geger Pecinan ini telah membuat para bangsawan keraton melarikan diri misalnya Paku Buwana II(raja mataram ketika masih di kartasura/solo) lari ke Ponorogo Jawa Timur, Pangeran Puger membangun pertahanan di Sukowati, Sragen. Sedangkan RM Said / Mangkunegara waktu itu berusia 19 tahun membangun pertahanan di Randu lawang sebelah utara Surakarta dan karena satu misi maka bergabung dengan Sunan Kuning. Pada masa itu Said bergelar Pangeran Perang Wedhana Pamot Besur yang diangkat sebagai panglima perang dan menikah dengan Raden Ayu Kusuma Patahhati, sedangkan Mangkubumi lari ke Semarang untuk menemui belanda dan meminta dirinya diangkat sebagai Raja. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh belanda, dengan memberikan bantuan pada PB II mengusir pasukan cina dan akhirnya berhasil, karena kerusakan kraton di Kartosura makan kraton dipindah ke Surakarta/Solo. Tetapi berkat bantuan belanda tersebut bagian wilayah timur mulai dari rembang,, Surabaya, madura dan pasuruan di serahkan pada belanda dan pengangkatan raja harus seijin pemerintah belanda. Yang masih tetap melawan belanda adalah Pangeran Puger dan Mangkunegara, sehingga PB II meminta Mangkubumi untuk meredam para pejuang yang dianggap sebagai pemberontak itu. Keberhasilan Mangkubumi tidak mendapat sambutan baik dari belanda dan PB II malahan tanah lungguhnya dikurangi. Sehingga Mangkubumi lari dan bergabung dengan Mangkunegara untuk bergerilya melawan belanda. RM Said/Mangkunegara dinikahkan untuk yang kedua kali dengan Putri Mangkubumi yang bernama Raden Ayu Inten dan bergelar Pangeran Adipati Mangkunegara Senapati Panoto Baris Lelana Adikareng Noto. Nama Mangkunegara ini diambil dari nama ayahnya Arya Mangkunegara yang ditangkap belanda dan dibuang ke Srilangka, karena menentang kekuasaan Amangkurat IV (Paku Buwana I) karena latar belakang inilah RM Said sangat berkobar melawan belanda. Kehidupan Mangkunegara dihutan dan berpindah-pindah. Hingga pada saatnya PB II meninggal dunia dan kesempatan ini digunakan untuk mengangkat Mangkubumi menjadi raja di Mataram Ngayogyakarta dengan patihnya mangkunegara (1749) tetapi pemerintahan di Yogyakarta tidak diakui oleh kumpeni / belanda. Sedangkan oleh belanda putra pangeran yang bernama Pangeran Adipati Anom diangkat sebagai raja dengan gelar PB III di Matram Surakarta. Selama sembilan tahun bersama Mangkubumi 9
akhirnya Mangkunegara berselisih paham juga dan berpisah akhirnya berjuang sendiri dipedalaman yogyakarta dan sekitarnya. Perseteruan dua keturunan mataram yang sama-sama mengaku raja Mataram antara Mangkubumi dan Adipati Anom akhirnya dibawa oleh belanda dalam suatu Traktat perjanjian yang bernama Perjanjian Giyanti (1755) dan hasilnya adalah membagi 2 wilayah mataram yaitu bagian timur dengan nama Mataram Surakarta Hadiningrat dengan raja Sri Susuhunan Paku Buwana III dan bagian barat bernama Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat dengan raja Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono Senopati Ngalogo Abdurrahman Sayidin Panotogomo. Sedangkan Mangkunegara kini harus berperang melawan 3 kekuatan yaitu dari Yogyakarta, Surakarta dan pasukan Belanda. Menurut riwayat perang mangkunegara yaitu: selama setahun (1741-1742) bergabung dengan Laskar cina , kemudian selama sembilan tahun (1743-1752) bergabung dengan Mangkubumi.
Dalam masa itu Mangkunegara telah melakukan pertempuran sebanyak 250 kali dan berkali-kali mengkunegara lolos dalam penyergapan, keberhasilan membina pasukan yang militan sangat ditakuti sehingga mendapat julukan “Pangeran Samber Nyawa “, Dalam buku harian Mangkunegara ada dua pertempuran besar yaitu pertempuran di desa Sitakepyak selatan Rembang . pasukan musuh sebanyak 600 tewas yang dilukiskan seperti semut yang berjalan tiada henti sedangkan prajuritnya yang tewas hanya 3 orang 29 luka-luka.(1756) . dalam perang ini tercatat oleh belanda telah melakukan serangan gabungan yaitu 200 serdadu belanda, 400 pasukan Kesultanan Yogyakarta dan 400 Pasukan Surakarta. Bahkan kapten Ban Der Poll tewas terpenggal kepalanya dengan tangan kirinya di sambar oleh Pangeran Sambernyawa dan di berikan kepada selir Mbok Ajeng Wiyah selirnya sebagai tanda cinta Mangkunegara. Perang besar kedua yaitu di hutan dekat Blora pada tahun 1757. keganasan pasukan belanda yang menyerang dan menjarah harta orang desa membuat marah Sambernyawa yang akhirnya menyerang balik Kraton Yogyakarta dan mendudukinya hingga malam, bahkan patihnya yang bernama Joyosudirgo dipenggal kepalanya. Kejadian ini membuat marah pamanya atau mertuanya Mangkubumi dan menghadiahkan siapa saja yang berhasil membunuh Sambernyawa akan di bayar 500 real. Kehebatan Pangeran Sambernyawa tidak terkalahkan oleh siapapun hingga akhirnya belanda meminta bantuan kepada Paku Buwono III agar bisanya mengajak berunding secara kekeluargaan. Dan akhirnya atas permintaan secara kekeluargaan pula Mangkunegara berhenti berperang dihutan dan diakui kehebatannya dan akhirnya mendirikan istana di pinggiran Kali Pepe pada 1756 dan tempat inilah yang sekarang terkenal dengan nama istana Mangkunegara. Kemudian dibuat perjanjian Salatiga 17 maret 1757 dengan isi mangkunegara diangkat sebagai Adipati Miji (mandiri ) yang pangkatnya sejajar dengan Sultan dan Sunan dan daerah kekuasaanya meliputi: Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyun, Gunung Kidul, Pajang utara dan Kedu. Mangkunegara wafat pada 28 Desember 1795. Oleh pemerintah Indonesia Mangkunegara diangkat sebagai pahlawan Nasional dan disana didirikan Pendopo terbesar di Indonesia seluas 3500 meter persegi. 10