sehingga dapat digunakan sebagai release enhancer substances karena dapat meningkatkan kelarutan zat aktif pada sediaan. Sedangkan tween 80 dapat digunakan sebagai release enhancer substances karena sifat tween 80 pada konsentrasi rendah dapat menurunkan tegangan antar muka antara obat dan medium, serta menaikkan laju kelarutan obat dalam medium (Noudeh et al., 2008).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dapat dirumuskan permasalahan yaitu : 1. Bagaimanakah pengaruh penambahan release enhancer substances gliserin, propilen glikol, dan tween 80 pada chitosan terhadap sifat fisik patch bukal mukoadhesif ekstrak daun sirih ? 2. Bagaimanakah pengaruh penambahan release enhancer substances gliserin, propilen glikol, dan tween 80 pada chitosan terhadap daya antibakteri patch bukal mukoadhesif ekstrak daun sirih ?
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan informasi dalam bidang farmasi mengenai pengaruh penggunaan release enhancer substances yaitu gliserin, propilen glikol, dan tween 80 terhadap daya antibakteri dan sifat fisik patch bukal mukoadhesif ekstrak daun sirih. Dengan demikian formulasi patch dengan penambahan release enhancer substances yang memberikan hasil optimal dapat
3
digunakan sebagai sediaan patch antibakteri di masyarakat. Sehingga masyarakat dapat merasakan kenyamanan dalam penggunaan patch tersebut.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan release enhancer substances gliserin, propilenglikol, dan tween 80 yang telah dikombinasikan dengan chitosan dan ekstrak daun sirih terhadap aktivitas antibakteri dan sifat fisik patch.
E. Tinjauan Pustaka
1. Tanaman Sirih (Piper betle L.) Tanaman sirih (Piper betle L.) merupakan tanaman yang berkhasiat sebagai antisariawan, antibatuk, dan antiseptik (Depkes, 1980). Foto tanaman sirih ditunjukkan pada gambar 1.
Gambar 1. Tanaman Sirih (Junaidi, 2011)
4
a. Sistematika Tanaman Kindom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae Kelas
: Dicotyledone
Bangsa
: Diperales
Suku
: Diperaceae
Marga
: Piper
Jenis
: Piper betle Linn (Depkes, 2000)
b. Nama simplisia : Piperis Folium (daun sirih). c. Deskripsi Tanaman Tanaman tumbuh merambat, tinggi dapat mencapai 15 m. Batang sirih berwarna coklat kehijauan, berbentuk bulat, beruas dan merupakan tempat keluarnya akar. Daunnya yang tunggal berbentuk jantung, berujung
runcing,
tumbuh
berselang-seling,
bertangkai,
dan
mengeluarkan bau yang sedap bila diremas. Panjangnya sekitar 5 - 8 cm dan lebar 2 - 5 cm. Bunganya majemuk berbentuk bulir dan terdapat daun pelindung ± 1 mm berbentuk bulat panjang. Pada bulir jantan panjangnya sekitar 1,5 - 3 cm dan terdapat dua benang sari yang pendek sedang pada bulir betina panjangnya sekitar 1,5 - 6 cm dimana terdapat kepala putik tiga sampai lima buah berwarna putih dan hijau kekuningan. Buahnya buah buni berbentuk bulat berwarna hijau keabu-
5
abuan. Akarnya tunggang, bulat dan berwarna coklat kekuningan (Mursito dan Heru, 2002) d. Kandungan Kimia Daun sirih mengandung minyak atsiri, terdiri atas chavicol, chavibetol, allylpyrocatechol, karvakrol, eugenol methylether, cineole (Dalimartha,
2000).
Hydroxychavicol
dapat
digunakan
sebagai
antibakteri (Nalina dan Rahim, 2007).
2.
Ekstraksi Ekstraksi adalah penyarian zat-zat berkhasiat atau zat-zat aktif dari
bagian tanaman obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut. Zat-zat aktif terdapat di dalam sel, namun sel tanaman dan hewan berbeda demikian pula ketebalannya, sehingga diperlukan metode ekstraksi dengan pelarut tertentu dalam mengekstraksinya. 1. Metode Ekstraksi Ekstrak tanaman diperoleh dengan cara mengekstraksi dari simplisia dengan metode tertentu. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan baku, daya penyesuaian dengan tiap metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak (Ansel, 1989). Ada beberapa macam metode ekstraksi, di antaranya : 1) Maserasi Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan
6
penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Depkes, 1986). Maserasi biasanya dilakukan pada temperatur 15-200C dalam waktu selama 3 hari sampai bahan-bahan yang larut akan melarut. Ekstrak hasil maserasi dipisahkan ampasnya dengan menapis atau menyari melalui ayakan atau saringan ke dalam wadahnya (Ansel, 1989). 2.
Perkolasi Perkolasi dapat dinyatakan sebagai proses penyarian simplisia
yang sudah halus dalam pelarut yang sesuai. Penyarian dilakukan dengan cara melewatkan penyari perlahan-lahan dalam suatu kolom. Perkolasi dilakukan dalam wadah silindris atau kerucut (perkolator) yang
memiliki
jalan
masuk
dan keluar
yang sesuai.
Penyari
dimasukkan secara kontinyu dari atas kolom, mengalir lambat melintasi simplisia yang umumnya berupa serbuk kasar. Hasil ekstraksi berupa bahan aktif yang tinggi, ekstraksi yang kaya ekstrak (Ansel, 1989; Voigt, 1994)
7
3.
Soxhletasi Soxhletasi merupakan salah satu metoda ekstraksi yang
berkesinambungan dengan menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi yang kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes, 2000). Kekurangan dari metode ini adalah waktu yang dibutuhkan untuk ekstraksi cukup lama sehingga kebutuhan energinya tinggi. 4.
Infundasi Infundasi merupakan proses penyarian yang paling umum
dilakukan untuk menyari kandungan zat aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh bakteri dan kapang karena bakteri dan kapang mudah tumbuh pada media berair. Infundasi dilakukan dengan menyari simplisia dengan derajat halus yang sesuai dalam panci dengan air secukupnya, dipanaskan di penangas air selama 15 menit terhitung mulai suhu air mencapai 90 oC sambil sesekali diaduk. Infus diserkai melalui kain flanel selagi panas, kemudian ditambah air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume infus yang dikehendaki (jika tidak dikatakan lain, dibuat infus 10 %) (Depkes, 2000).
8
3. Uraian Tentang Antibakteri Antibakteri merupakan senyawa kimia atau obat yang digunakan untuk membasmi bakteri, khususnya bakteri patogen yang merugikan manusia. Beberapa istilah yang digunakan untuk menjelaskan proses pembasmian bakteri yaitu germisida, bakterisida, bakteriostatik, antiseptik, dan desinfektan (Pelczar dan Chan, 1988). Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri atau membunuhnya, masing-masing dikenal sebagai kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Antibakteri tertentu aktivitasnya dapat ditingkatkan dari bakteriostatika menjadi bakterisida bila kadar antibakterinya ditingkatkan melebihi KHM. Pada prinsipnya terdapat lima mekanisme kerja antibakteri menurut Ganiswara (1995), yakni : a.
mengganggu metabolisme sel mikroba,
b.
menghambat sintesis dinding sel mikroba,
c.
mengganggu permeabilitas membran sel mikroba,
d.
menghambat atau merusak asam nukleat sel mikroba.
4. Penentuan Golongan Senyawa Aktif Antibakteri a. Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi
Lapis
Tipis
(KLT)
adalah
metode
pemisahan
fisikokimia. KLT digunakan untuk memisahkan senyawa secara tepat, prosedurnya sederhana, mudah dideteksi walaupun tidak secara langsung, dan
9
memerlukan jumlah cuplikan yang sedikit. Lapisan yang memisahkan terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam) ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisahkan berupa larutan, ditotolkan berupa pita atau bercak (Stahl, 1985). Fase gerak adalah medium dan terdiri atas satu atau lebih pelarut, bergerak di dalam fase diam yakni lapisan berpori karena adanya gaya kapiler (Stahl, 1985). Fase gerak yang digunakan dalam pemisahan sangat tergantung dari polaritas senyawa yang akan dideteksi. Sebaiknya menggunakan campuran pelarut organik yang memiliki polaritas serendah mungkin. Salah satu alasannya adalah mengurangi serapan dari setiap komponen pada campuran pelarut. Pengembangan kromatografi dilakukan dalam bejana yang sekecil mungkin (Sastrohamidjojo, 2002). Hasil elusi dari metode KLT berupa bercak-bercak yang terpisah pada pelat KLT (kromatogram). Deteksi atau identifikasi senyawa dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Deteksi kuantitatif dapat dilakukan dengan densitometri. Detektor ini dilengkapi dengan spektrofotometer yang panjang gelombangnya dapat diatur antara 200 nm sampai 700 nm (Stahl, 1985). Lazimnya identifikasi pada KLT digunakan harga Rf (Retention factor) yang menunjukkan jarak pengembangan senyawa pada kromatogram. Angka Rf berkisar antara 0,0 sampai 1,0. Nilai Rf sering dikonversi menjadi hRf yaitu 100 x Rf (Sastrohamidjojo, 2002).
Rf =
10
b. Identifikasi Golongan Senyawa Deteksi kualitatif dapat dilakukan dengan menggunakan sinar UV pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Bercak yang meredam (dark zones) pada UV254 menunjukkan adanya senyawa yang mengabsorbsi sinar UV254. Senyawa yang tereksitasi oleh sinar UV (λ 366) dapat mengemisikan sinar fluoresen atau fosforesen berwarna kuning, merah, orange, hijau, biru atau ungu (Sherma dan Fried, 1996). Apabila deteksi ini tidak tampak maka dapat dilakukan deteksi warna dan kimia seperti penggunaan anisaldehid-H2SO4 sebagai pereaksi semprot umum yang biasanya digunakan untuk mendeteksi golongan terpenoid dan pereaksi semprot FeCl3 untuk mendeteksi adanya golongan fenol (Wagner dan Bladt, 1984). c. Bioautografi Bioautografi merupakan metode yang spesifik dan efisien untuk menentukan senyawa aktif sebagai antibakteri sehingga dimungkinkan melakukan isolasi senyawa aktif tersebut. Keuntungan metode bioautografi adalah efisien untuk mendeteksi adanya senyawa antimikroba karena letak bercak dapat ditentukan walaupun berada dalam campuran yang kompleks sehingga dimungkinkan untuk mengisolasi senyawa aktif tersebut. Sedangkan kerugiannya adalah tidak dapat untuk menentukan harga KHM dan KBM (Pratiwi, 2009). Bioautografi terdiri dari 2 metode, yaitu bioautografi langsung dan bioautografi overlay. Pada bioautografi langsung, pelat KLT dielusi dengan
11
sistem elusi tertentu lalu disemprot suspensi mikroba atau dengan menyentuh pelat KLT selama beberapa waktu pada permukaan media kultur. Hambatan pertumbuhan mikroba berupa zona jernih dengan latar belakang keruh. Pada bioautografi overlay, pelat KLT dituangi media agar yang telah ditanami mikroba lalu diinkubasi setelah media memadat. Zona hambatan dilihat melalui penyemprotan permukaan media dengan garam tetrazolium seperti INT (iodonitrotetrazolium klorida) dan MTT (metilthiazoiltetrazolium klorida). Garam tetrazolium menunjukkan aktivitas dehidrogenase bakteri. Zona hambatan tampak sebagai zona jernih dengan latar belakang berwarna ungu (Pratiwi, 2009). d. Gas Chromatography – Mass Spectrometry (GC-MS) Gas Chromatography – Mass Spectrometry adalah metode pemisahan senyawa organik menggunakan dua metode analisis yakni kromatografi gas untuk menganalisis jumlah senyawa secara kuantitatif dan spektrometri massa untuk menganalisis struktur molekul senyawa analit (Agusta, 2000). Kromatografi gas merupakan teknik pemisahan untuk identifikasi senyawa volatil (mudah menguap) yang bermigrasi melalui kolom yang mengandung fase diam dengan kecepatan tertentu tergantung pada rasio distribusinya. Senyawa terelusi berdasarkan peningkatan titik didihnya dan interaksi antara solut dengan fase diam (Gandjar dan Rohman, 2004). Spektroskopi massa adalah metode analisis untuk mendapatkan berat molekul dengan mencari perbandingan massa terhadap muatan dari ion muatan yang diketahui, dengan
12
mengukur jari-jari orbit melingkarnya dalam medan magnetik seragam (Sastrohamidjojo, 1991).
5. Karies Gigi a.
Karies Gigi Karies dan maloklusi merupakan dua kelainan gigi yang paling umum.
Karies gigi berarti erosi pada gigi, sedangkan maloklusi berarti adanya kegagalan proyeksi gigi atas dan gigi bawah untuk saling berinterdigitasi dengan tepat (Guyton dan Hall, 1997). Karies adalah proses patologis yang terjadi karena adanya interaksi antara faktor-faktor di dalam mulut yang meliputi faktor
gigi dan saliva,
agen yang
berhubungan
dengan
mikroorganisme, serta faktor luar seperti umur, jenis kelamin, perilaku kesehatan gigi dan mulut, sosial ekonomi, dan ras (Sugito, 2000). Karies disebabkan oleh pengaruh kerja bakteri pada gigi dan bakteri yang paling umum adalah S. mutans. Peristiwa awal timbulnya karies adalah pengendapan plak.
Plak
gigi
didefinisikan
sebagai
berbagai
macam
populasi
mikroorganisme yang ditemukan pada permukaan gigi dalam bentuk biofilm yang melekat pada matriks ekstraselular dari polimer pada inang (Marsh, 2004). Sejumlah besar bakteri menempati plak dan siap menyebabkan karies. Bakteri bergantung pada karbohidrat, bila tersedia karbohidrat, maka sistem metabolismenya sangat diaktifkan dan bakteri tersebut memperbanyak diri. Selain itu bakteri memproduksi asam dan enzim proteolitik. Asam ini merupakan bahan perusak utama yang menyebabkan timbulnya karies sebab
13
pada media yang sangat asam secara lambat garam-garam kalsium gigi akan dilarutkan, dan sekali garam diabsorpsi, maka matriks yang tersisa dengan cepat dicerna oleh enzim proteolitik. Dibandingkan dengan dentin, enamel lebih tahan terhadap proses demineralisasi oleh asam, hal ini terutama terjadi karena kristal yang terdapat pada enamel sangat padat dan juga volume-nya kira-kira 200 kali lebih besar dari pada volume kristal pada dentin. Oleh karena itu enamel pada gigi dianggap sawar utama terhadap kemungkinan tumbuhnya karies (Guyton dan Hall, 1997). b. Bakteri Streptococcus mutans Streptococcus mutans adalah pencetus timbulnya plak gigi oleh karena bakteri ini bertindak sebagai fasilitator berbagai kuman lain. Plak gigi adalah penyebab utama terbentuknya karies gigi dan penyakit jaringan penyangga gigi (Ismiyatin, 2001). Streptococcus mutans termasuk dalam kelompok Streptococcus hemolitik alfa, atau disebut juga S. viridans. Streptococcus mutans dapat mensintesis banyak polisakarida seperti dekstran dan levans dari sukrosa dan memiliki peranan penting pada proses pembentukan plak gigi (Brooks et al., 2001). Habitat utama dari S. mutans adalah pada mulut, faring, dan usus (Loesche, 1986). Streptococcus mutans memiliki peranan yang cukup besar pada terbentuknya karies (Marsh, 2003; Desoet et al., 1990). Adanya S. mutans pada rongga mulut biasanya diikuti dengan terjadinya karies pada waktu ke 6-24 bulan (Mayooran et al., 2000).
14
6. Patch Bukal Mukoadhesif Beberapa tahun terakhir, perhatian tertuju pada pengembangan sistem penghantaran obat patch mukoadhesif menggunakan polimer mukoadhesif yang dapat dilekatkan pada jaringan terkait atau lapisan permukaan jaringan sebagai target berbagai macam absorptive mucosa seperti buccal (Jain, 2002). Ukuran ketipisan patch bukal antara 0,5-1,0 mm, apabila lebih kecil akan menyulitkan dalam pemakaiannya. Patch bukal mukoadhesif membutuhkan suatu polimer dengan sifat yang spesifik untuk memfasilitasi proses mukoadhesi. Menurut Grabovac et al. (2005), polimer mukoadhesif adalah makromolekul natural atau sintetis yang mampu bekerja pada permukaan mukosa. Polimer mukoadhesif sudah dikenalkan pada teknologi farmasi sejak 40 tahun yang lalu, namun baru beberapa tahun terakhir metode ini dapat diterima. Polimer mukoadhesif dianggap dapat sebagai terobosan baru sebagai sediaan lepas lambat dan meningkatkan sistem penghantaran obat secara lokal. Polimer mukoadhesif tersebut dibagi ke dalam dua kelompok (Kumar et al., 2010) : 1. Hydrophilic polymer Terdiri dari kelompok karboksilat
yang menunjukkan sifat
mukoadhesif paling baik, seperti polyvinyl pyrolidon (PVP), methyl cellulose, sodium carboxy methylcellulose (SCMC), hidroxy propyl cellulose (HPC), dan derivat selulosa.
15
2. Hydrogels Merupakan
kelas
polimer
biomaterial
yang
menunjukkan
karakteristik dasar hidrogel untuk mengembang dan mengabsorbsi air dengan cara adhesi pada mukus yang menutupi epitel. Hidrogel dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: a. Kelompok anionik Carbopol, poliakrilat, dan modifikasi silang keduanya b. Kelompok kationik Kitosan dan derivatnya c. Kelompok netral Eudragit-NE30D Polimer mukoadhesif harus memiliki beberapa sifat agar memperoleh profil mukoadhesif yang baik, antara lain berat molekul (hingga 100000), viskositas (hingga optimum), konsentrasi polimer adhesif optimum, fleksibilitas ikatan polimer, spatial confirmation, densitas cross-linked polimer
optimum,
muatan
dan
derajat
ionisasi
polimer
(anion>kation>nonionik), pH optimum media, hidrasi polimer optimum, durasi pemakaian, dan lama waktu kontak awal (Khainar et al., 2009). Patel et al. (2007) mengungkapkan bahwa kelekatan waktu mukoadhesi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain massa molekul dari polimer, waktu kontak antara polimer dan mukosa, rata-rata indeks pengembangan polimer dan membran biologi yang digunakan.
16
7. Mekanisme Mukoadhesif Konsep penggunaan bioadhesif polimer untuk memperlama waktu kontak telah mendapat perhatian dalam penghantaran obat secara transmukosal. Mekanisme bioadhesi beberapa makromolekul melalui permukaan membran mukosa belum diketahui secara pasti. Untuk membuat kontak yang baik, mukoadhesif harus tersebar pada permukaan untuk memicu kontak dan meningkatkan permukaan kontak, serta menginduksi difusi rantai makromolekul dengan membran mukosa. Agar bioadhesi dapat terjadi dengan baik, gaya tarikmenarik harus lebih mendominasi dari gaya tolak-menolak, keduanya terdapat selama proses adhesi (Kaul dan Kaur, 2011). Setiap langkah yang terlibat selama bioadhesi dapat dipengaruhi oleh sifat-sifat dari sediaan obat dan rute dimana sediaan tersebut dihantarkan, misalnya polimer yang terhidrasi sebagian dapat diabsorpsi oleh substrat dikarenakan tarik-menarik dengan permukaan air sehingga mekanisme mukoadhesi pada umumnya memiliki dua langkah yaitu tahap kontak dan tahap konsolidasi (Smart, 2005). Tahapan proses mukoadhesi ditunjukkan pada gambar 2.
Gambar 2. Tahapan proses mukoadhesi (Kaul et al., 2011)
17
Tahap pertama, terjadi kontak antara bioadhesif dan membran yang disebabkan karena pembasahan permukaan bioadhesif yang baik atau swelling dari bioadhesif (Hagerstrom et al., 2003). Ketika partikel mendekati membran mukosa, partikel akan mengalami kontak dengan gaya tolak (tekanan osmotik, tolakan elektrostatik) dan gaya tarik (gaya Van der Waals) sehingga partikel harus menghadapi penghalang ini untuk membuat kontak yang baik (Huang et al., 2000). Pada tahap kedua, ketika kontak telah terjadi, material bioadhesif berpenetrasi ke dalam celah-celah permukaan jaringan atau membentuk ikatan kimia. Hal ini dikarenakan interpenetrasi dari rantai bioadhesif ke membran mukosa.
8. Release Enhancer Substances pada Sistem Bukal Mukoadhesif Dalam formulasi sediaan semi solid, seringkali ditambahkan bahan humektan untuk memperbaiki konsistensinya yang juga dapat berfungsi sebagai kosolven yang dapat meningkatkan kelarutan bahan obat. Dengan meningkatnya kelarutan, maka bahan obat akan lebih mudah lepas dari basis yang selanjutnya akan berpengaruh pada efektifitasnya (Barry, 1983). Basis yang baik adalah basis yang tidak mengikat bahan obat terlalu kuat, karena obat harus lepas dari basis sebelum menembus kulit (Idson, 1975). Dua tahapan kerja obat secara topikal untuk dapat memberikan efek adalah obat harus dapat lepas dari basis dan menuju ke permukaan kulit, selanjutnya berpenetrasi melalui membran kulit untuk mencapai tempat aksinya (Melani et al., 2005). Propilen glikol dan gliserin berfungsi sebagai kosolven yang dapat meningkatkan kelarutan bahan
18
obat. Propilen glikol sebagai humektan dan kosolven pada kadar 10-24% (Boylan, 1994). Sedangkan tween 80 berfungsi sebagai surfaktan yang dapat meningkatkan persen pelepasan obat apabila konsentrasi surfaktan yang digunakan di bawah Critical Micelle Concentration (CMC). Konsentrasi di atas CMC diasumsikan dapat berinteraksi kompleks dengan obat yang dapat mempengaruhi persen pelepasan obat (Sudjaswadi, 1991).
9. Pemerian Bahan yang Digunakan a. Chitosan Chitosan merupakan jenis polimer alam yang mempunyai bentuk rantai linier, sebagai produk deasetilasi kitin melalui proses reaksi kimia menggunakan basa kuat (Muzarelli, 1988). Chitosan adalah poly-Dglucosamine
(tersusun
asetilglukosamin)
lebih
dari
5000
unit
glukosamin
dan
dengan berat molekul lebih dari satu juta dalton,
merupakan dietary fiber (serat yang bisa dimakan) kedua setelah selulosa. (Simunek et al., 2006). Chitosan mempunyai nama kimia poly D-glucosamine [beta (1-4) 2amino-deoxy-D-glucose], bentuk chitosan padatan amorf berwarna putih dengan struktur kristal tetap dari bentuk awal chitin murni. Chitosan mempunyai rantai yang lebih pendek daripada rantai chitin. Kelarutan chitosan dalam larutan asam serta viskositas larutannya tergantung dari derajat deasetilasi dan derajat degradasi polimer. Chitosan kering tidak mempunyai titik lebur. Bila chitosan disimpan dalam jangka waktu yang
19
relatif lama pada waktu sekitar 100oF maka sifat kelarutannya dan viskositasnya akan berubah. Bila chitosan disimpan lama dalam keadaan terbuka (terjadi kontak dengan udara) maka akan terjadi dekomposisi, warnanya menjadi kekuningan dan viskositas larutan menjadi berkurang. Kelarutan chitosan sangat dipengaruhi oleh bobot molekul, derajat deasetilasi, dan rotasi spesifiknya. Beragamnya rotasi spesifik bergantung pada sumber dan metode isolasi serta transformasinya. Dalam bentuk netralnya, chitosan mampu mengkompleks ion logam berat berbahaya seperti Cu, Cr, Cd, Mn, Co, Pb, Hg, Zn, dan Pd (Sugita et al., 2009). Chitosan hasil dari deasetilasi kitin, larut dalam asam encer seperti asam asetat dan asam formiat. Sifat fisik yang khas dari chitosan yaitu mudah dibentuk menjadi spons, larutan, gel, pasta, membran dan serat yang sangat bermanfaat dalam aplikasinya (Kaban, 2007). Struktur chitosan ditunjukkan pada gambar 3.
Gambar 3. Struktur Chitosan (Rifai, 2007)
b. Asam Asetat Asam asetat, asam etanoat atau asam cuka adalah senyawa kimia, asam organik yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam
20
makanan. Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2. Rumus ini seringkali ditulis dalam bentuk CH3-COOH, CH3COOH, atau CH3CO2H. Asam asetat murni (disebut asam asetat glasial) adalah cairan higroskopis tak berwarna, dan memiliki titik beku 16.7oC. Atom hidrogen (H) pada gugus karboksil (-COOH) dalam asam karboksilat seperti asam asetat dapat dilepaskan sebagai ion H+ (proton), sehingga memberikan sifat asam. Asam asetat adalah asam lemah monoprotik dengan nilai pKa = 4.8. Basa konjugasinya adalah asetat (CH3COO-). Sebuah larutan 1.0 M asam asetat (kira-kira sama dengan konsentrasi pada cuka rumah) memiliki pH sekitar 2.4.
Gambar 4. Struktur Asam Asetat (Rowe et al., 2009)
Struktur asam asetat pada gambar 4 menunjukkan bahwa molekulmolekul asam asetat berpasangan membentuk dimer yang dihubungkan oleh ikatan hidrogen. Dimer juga dapat dideteksi pada uap bersuhu 120oC. Dimer juga terjadi pada larutan encer di dalam pelarut tak berikatan hidrogen, dan kadang-kadang pada cairan asam asetat murni. Dimer dirusak dengan adanya pelarut berikatan hidrogen, misalnya air. Entalpi disosiasi dimer tersebut diperkirakan 65.0-66.0 kJ/mol, entropi disosiasi
21
sekitar 154-157 J mol-1 K-1. Sifat dimerisasi ini juga dimiliki oleh asam karboksilat sederhana lainnya.
c. Gliserin Gliserin merupakan cairan jernih, viskus, tidak berwarna, tidak berbau, higroskopis, dan memiliki rasa yang manis. Gliserin berfungsi sebagai kosolven, emolient, humektan, plasticizer, solven, pemanis, dan pengatur tonisitas. Kelarutan gliserin pada suhu 20 oC antara lain sedikit larut dalam aseton, praktis tidak larut dalam benzena, kloroform, minyak, larut dalam metanol, etanol 95%, dan air, larut dalam 1:500 dalam eter, dan 1:11 dalam etil asetat. Struktur gliserin ditunjukkan pada gambar 5.
Gambar 5. Struktur Gliserin (Rowe et al., 2009)
Dalam teknologi farmasetik, gliserin digunakan dalam berbagai macam formulasi termasuk oral, opthalmic, topical dan sediaan parenteral. Dalam formulasi farmasetikal topikal dan kosmetik, gliserin digunakan sebagai humektan dan emolient. Gliserin ditambahkan dalam gel dan juga sebagai aditif pada patch.
22
Gliserin bersifat higroskopis. Gliserin murni tidak mudah teroksidasi tetapi terdekomposisi pada panas menjadi zat yang toksik. Campuran gliserin dan air, etanol 95%, dan propilen glikol stabil secara kimia. Gliserin dapat mengkristal bila disimpan pada temperatur rendah. Kristal tidak meleleh dengan pemanasan sampai 20 oC. Gliserin sebaiknya disimpan di ruang kedap udara, sejuk, dan kering (Rowe et al., 2009).
d. Propilen glikol Propilen glikol menurut Rowe et al. (2003), propilen glikol mempunyai nama kimia 1,2 propanediol. Beberapa sinonim dari propilen glikol dikenal dengan nama-nama 1,2 Dihydroxypropane, E1520, 2hydroxypropanol, methyl ethylene glycol, propane 1,2-diol. Propilen glikol mempunyai rumus kimia C3H8O2, rumus struktur propilen glikol terlihat pada gambar 6. Propilen glikol biasanya difungsikan sebagai preservatif, humektan, plasticizer, pelarut dan stabilizer untuk vitamin.
Gambar 6. Rumus Struktur Propilenglikol (Rowe et al., 2009)
Propilen glikol dalam teknologi farmasi biasanya dikembangkan sebagai pelarut, ekstraktan dan preservatif untuk formulasi sediaan
23
parenteral maupun nonparenteral. Propilen glikol juga digunakan sebagai platicizer pada penyalutan. Propilen glikol mempunyai pemerian berupa cairan kental, jernih, tidak berwarna, rasa khas, praktis tidak berbau dan menyerap air pada udara lembab. Kelarutan propilen glikol dapat bercampur dengan air, aseton, eter, dan beberapa minyak. Propilen glikol pada temperatur dingin tetap stabil, tetapi pada temperatur tinggi akan teroksidasi menjadi propionaldehid, asam laktat, asam piruvat dan asam asetat. Propilen glikol termasuk zat kimia yang tetap stabil ketika tercampur dengan etanol (95%), gliserin, air, dan larutan yang telah disterilisasi dengan autoklaf (Rowe et al., 2003). Pada sediaan mukoadhesif, propilen glikol digunakan sebagai plasticizer (Semalty et al., 2008). Selain itu juga penambahan propilen glikol pada sediaan topikal juga dapat meningkatkan laju difusi (Agoes dan Darijanto, 1983).
e. Tween 80 Polysorbate 80 atau Tween 80 merupakan rangkaian dari asam lemak ester pada sorbitol dan anhidridanya dikopolimerisasi dengan kirakira 20, 5, atau 4 mol etilen oksida untuk masing-masing mol sorbitol dan anhidridanya. Oleh karena itu, produk akhirnya merupakan campuran molekul dengan berbagai macam ukuran (Rowe et al., 2009). Tween 80 memiliki karakteristik bau, hangat, dan rasa agak pahit. Pada suhu 25oC berwarna kuning dan memiliki bentuk fisik berupa cairan berminyak. Komposisi asam lemak pada tween 80 antara lain ≤ 5.0% asam
24
miristat; ≤ 16.0% asam palmitat; ≤ 8.0% asam palmitoleat; ≤ 6.0% asam stearat; ≤ 58.0-85.0% asam oleat; dan ≤ 4.0% asam linolenat (Rowe et al., 2009). Tween 80 berfungsi sebagai emulsifier, surfaktan nonionik, solubilizer, bahan pembasah, bahan perdispersi atau suspending agent pada kosmetik, produk makanan, sediaan farmasetik oral, parenteral, dan topikal, serta umumnya dianggap sebagai bahan yang nontoksik dan noniritan. Struktur tween 80 ditunjukkan pada gambar 7.
Gambar 7. Struktur Tween 80 (Sumaryani, 2009)
Tween 80 stabil pada elektrolit, asam lemah, dan basa lemah. Saponifikasi bertahap terjadi dalam asam kuat dan basa kuat. Ester asam oleat sensitif terhadap oksidasi. Tween 80 bersifat higroskopis dan harus diperiksa kadar airnya sebelum digunakan dan dikeringkan jika dibutuhkan. Selain itu, pada umumnya dengan surfaktan polyoxyethylene dalam penyimpanan jangka lama dapat menyebabkan terbentuknya peroksida. Tween 80 harus disimpan di dalam kontainer yang tertutup baik, terlindungi dari cahaya, dan disimpan di dalam tempat yang dingin serta kering (Rowe et al., 2009).
25
Fenol, tannin, tar, dan tarlike materials menyebabkan terjadinya perubahan warna dan/atau presipitasi pada tween 80. Aktivitas antimikroba pengawet paraben direduksi oleh adanya tween 80. WHO memiliki standar estimasi asupan tween 80 per hari, yang dihitung sebagai polysorbate ester ester total, yaitu hingga 25 mg/kg berat badan (Rowe et al., 2009). Tween 80 pada konsentrasi rendah dapat menurunkan tegangan antarmuka antara obat dan medium, serta menaikkan laju kelarutan obat dalam medium sedangkan tween 80 pada kadar yang lebih tinggi akan berkumpul membentuk agregat yang disebut misel. Selain itu, penggunaan tween 80 dengan kadar tinggi sampai CMC diasumsikan mampu berinteraksi kompleks dengan obat tertentu dan dapat mempengaruhi permeabilitas membran tempat absorbsi obat karena tween 80 dan membran memiliki komponen penyusun yang sama (Noudeh et al., 2008)
F. Landasan Teori Plak, gingivitis dan karies gigi disebabkan oleh bakteri Streptococcus mutans yang merupakan bakteri patogen pada mulut (Pratama, 2005) dan salah satu bakteri Gram positif fakultatif anaerob yang paling banyak ditemukan dalam biofilm (plak gigi) pada rongga mulut (Loesche, 2006). Plak dan karies gigi dapat dicegah dengan pemberian antibakteri (Mollet dan Grubenmann, 2001). Ekstrak daun sirih memiliki aktivitas antibakteri (Fathilah et al., 2000). Daun sirih mengandung minyak atsiri, terdiri atas chavicol, chavibetol, allylpyrocatechol,
26
karvakrol, eugenol methylether, cineole (Dalimartha, 2000). Hydroxychavicol sebagai antibakteri (Nalina dan Rahim, 2007). Polimer mukoadhesif terdiri dari polimer anionik (PAA, Karbopol, PCP, Na-CMC, Na-Hialuronik, Na-Alginat), polimer kationik (Chitosan), polimer nonionik (hidroksietilsellulosa, hidroksipropilsellulosa, PVP4400, PEG6000) dan polimer thiomer (konjugat cysteine dan PAA, polikarbopil dan Na-CMC (Grabovac et al., 2005). Chitosan banyak dipakai dalam pembuatan bukal adhesif karena bersifat biodegradable, non-toksik, dapat melekat pada mukosa mulut, dan dapat meningkatkan absorpsi obat (Rasool dan Khan, 2010). Chitosan sebagai polimer pada sistem bukal mukoadhesif dikombinasikan dengan release enhancer substances untuk meningkatkan pelepasan zat aktif dari dalam sediaan sehingga dapat meningkatkan efikasi. Gliserin, propilen glikol dan tween 80 digunakan sebagai release enhancer substances karena bahan-bahan tersebut dapat mempengaruhi karakteristik bukal adhesif dan pelepasan zat aktif. Pada sediaan mukoadhesif, propilen glikol digunakan sebagai plasticizer (Semalty et al., 2009). Selain itu penambahan propilen glikol pada sediaan topikal juga dapat meningkatkan laju difusi (Agoes et al., 1983). Tween 80 pada konsentrasi rendah dapat menurunkan tegangan antarmuka antara obat dan medium, serta menaikkan laju kelarutan obat dalam medium (Noudeh et al., 2008). Gliserin berfungsi sebagai kosolven, emolient, humektan, plasticizer, solven, pemanis, dan pengatur tonisitas (Rowe et al., 2009). Sediaan bukal patch diformulasikan dengan variasi penambahan release enhancer substances yaitu gliserin, propilen glikol dan tween 80 sebesar 1%.
27
Variasi
penambahan
release
enhancer
substances
diperkirakan
mampu
meningkatkan swelling index yang berbanding lurus dengan peningkatan pelepasan obat dari matriks sehingga zat aktif yang terlepas dari sediaan juga diperkirakan berbanding lurus dengan diameter penghambatan bakteri. Uji in vitro release merupakan salah satu cara evaluasi terhadap pelepasan obat dari sediaan patch bukal. Aktivitas antibakteri dari patch bukal dapat diketahui dengan uji in vitro pada bakteri.
G. Hipotesis Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan hipotesis : 1. Penambahan release enhancer substances gliserin, propilen glikol, dan tween 80 pada chitosan dapat berpengaruh terhadap sifat fisik patch bukal mukoadhesif ekstrak daun sirih. 2. Penambahan release enhancer substances gliserin, propilen glikol, dan tween 80 pada chitosan dapat berpengaruh terhadap aktivitas antibakteri patch bukal mukoadhesif.
28