SEBUAH NAMA DI JALUR PANTURA Sebuah nama menuntunku untuk mengingat lagi Kau, gadis kecil baik hati, Yang kukenal lewat dongeng tengah malam Matamu kuyu menempis waktu, Sepanjang jalan, Pantura utara, Kau cabikkan kuku. Dan kau tak pernah bertemu, Bahkan mengerti arti Ibu. Gadis kecil baik hati, di pinggir rel kereta dengan mulut berbusa. Dosa apakah yang menghantui wajah manismu, Kau pergi tanpa nama, Menggendong boneka sobek matanya. Hanya doa, dan kepulangan abadi Membawamu pada tempat indah, selain tanah negeri ini. Kudus, 12-13
RAHASIA (1) Kabar dan berita, Sekedar senyum saja; Langkahnya tetap menyusuri semesta Ada kabar-kabar yang tak menentu, Menunggu tanpa senyum lugu Ada kabar-kabar lalu lalang hinggap di pesawat televisi Ada yang salah memaknai hari dengan gosip dan gincu Ada yang rapuh menatap langit, Ada yang rapuh menatap kolong jembatan, (2) Ada segala hal yang rapuh dengan rahasia Ada hal-hal yang tak selesai dikatakan, Ada langkah yang tak tegap di perempatan Ada berita; ada rahasia Rahasia tetap tersimpan di dada, Rahasia menyusuri kelam, Hinggap di pucuk-pucuk kemauan Rahasia menuntun manusia yakin, memasuki ruang-ruang ingin, Rahasia tetap saja menikam, Tanpa ungkap, Rahasia tak berucap, ;ialah surga
KOTA DAN CERITA-CERITA Tiap pagi kudengar desisan membumbung api Dari cerobong asap yang tinggi tempat dibakarnya Bongkahan hasil bumi dikeruk dengan rakus Sampai hilang aus segala tembaga, segala Dalam kotak alat berat bersatu padu mengaduk semen dan batu jadi mercusuar Yang mengusir banyak kokok bekisar Jalanan jadi marka pada akhirnya bukan milik kita Adakah yang masih punya semburat ngilu Pada seseorang yang menanti hujan datang Dan menyewakan payungnya dengan senyuman Menanti hujan gerimis mengalir Dari ujung kukunya menanti ceceran rupiah Di pagi hari tanpa pernah mengenal kata sekolah Kota yang kucintai ini membuatku ingin pulang Bersama sekeranjang ingatan, tentang sawah dan tritisan di samping rumah dimana hujan mengalir Seperti anyelir yang mengedipkan kelopaknya Ke arah cahaya Tangerang, 2012
SEBONGKAH KENANGAN DARI LERENG MURIA Akung, aku tidak akan heran jika kau mulai saat ini akan sulit mengingat untuk menjumput masakanku. apalagi sekarang kau mulai suka seperti anak kecil, yang mengencingi kaki sendiri. Akung, aku hanya rindu engkau menyebut namaku. sekali waktu
batas kota, 2012
RINDU DAN CERITA KAYU-KAYU Pada mulanya adalah cinta. Pada mulanya adalah peminta Pada mulanya pohon. Terkumpul segala mohon Pada mulanya adalah domba. Pembelajaran pertama mengenai dosa Pada mulanya adalah dongeng. Berkumpulnya segala cengeng Terkumpul menjadi dua, jadilah perasaan paling muasal manusia: duga Terkumpul menjadi tiga: ajakan untuk sama-sama mengenal duka Pada akhirnya adalah Natalia: kepingan semesta Tangerang, Desember 2013
SEANDAINYA AKU ADALAH AMARAVATI Hanya seandainya saja Sebab aku bukan dia Tentu saja dia tak pernah mengenal aku Tentu dia tak pernah melakoni hidup aku Bisa saja, dia takkan betah jadi aku, makan pagi dengan sayur gori, hasil mengambil dari kebun sendiri, tak pernah mengenal alas kaki, sebab setiap pagi pun aku harus mencuci di kali, menumbuk terasi, ah apalagi? Dari kasur ke sumur dari sumur ke dapur dari dapur ke kasur lagi. Bau ikan! Untung hanya seandainya Aku tidak bisa membayangkan kalau dia jadi dia Dia kan tidak mengenal dia Dan dia belum tentu bisa menjadi dia dengan kehidupan yang berbeda Apa mungkin dia bisa menukar wangi bunga dadelion, wangi bunga kasturi, wangi tembakau dan wangi cengkeh dengan wangi terasi? Aku menolak kalau dia harus jadi dia yang suka bertelanjang kaki Aku tertarik ketika dia bilang seandainya saja Karena aku bukan dia Meskipun aku baru mengenalnya Aku tak pernah ingin menukar hidup, Tuhan. Tapi dia harus tahu dulu bahwa aku, Amaravati, tidak seperti yang dia bayangkan
Aku capek berkeliling dari malam ke malam, dari satu pintu ke pintu lainnya. Hanya wangi bunga yang bisa menyelamatkan aku, meskipun aku memiliki segalanya. Aku sebenarnya tidak memiliki segalanya, itu hanya kata orang-orang. Aku pun tak tahu memiliki apa. Aku tertarik dengan dia, karena aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya ketika kakinya itu menginjak rerumputan yang lembut dan daratan yang berlumpur. Seperti apakah rasanya? Bekasi, 2013