Prolog
Seorang teman atau bahkan lebih dari sekedar teman, ya tepatnya adalah sahabat? Apa yang kalian tau tentang teman ataupun sahabat? Dua kata yang hampir serupa, namum mempunyai arti begitu berbeda menurtku sendiri. Teman, mungkinkah itu hanya sesorang yang datang dalam kehidupan kalian, lalu perlahan pergi dan terkadang hanya ada disaat kalian senang. Sedangkan sahabat, mungkinkah itu seseorang yang datang dalam
kehidupan
kalian,
dan
tidak
akan
meninggalkan kalian? Selalu bersama disaat senang atau sedih dan selalu mengulurkannya tangannya ketika kalian terjatuh? Apa perebedaan dari dua kata tersebut? Bukankah dua kata itu sama-sama mempunyai arti yang mirip jika hanya terdengar sesaat? Namun, mempunyai arti yang begitu berbeda ketika kalian mengetahuinya lebih dalam.
Sebuah kata teman dan sahabat. Kata yang terasa sulit untuk memasuki kehidupanku. Kata yang mungkin suatu saat bisa saja meninggalkan bekas yang teramat sakit. Bekas yang terasa sakit tanpa ada ujung, jika tidak menghentikannya sendiri.
2
Rain Seperti biasa apa yang selalu aku lakukan setiap jam istirahat sekolah, berdiam diri dibangku taman belakang sekolah dengan sebuah novel. Inilah kebiasaanku, menghindar dari keramaian dan lebih memilih berdiam diri dengan dunia yang aku ciptakan sendiri. Bagiku ini bukanlah hal yang membuatku menjadi tidak nyaman, justru ini sangat nyaman bagiku. Mungkin banyak orang bilang ini adalah hal yang membosankan, tetapi itu tidak berlaku pada diriku. Aku menikmatinya! Sifat introvert yang memaksaku seperti ini, sudah
berulang
kali
aku
mencoba
untuk
menghilangkan sifat introvertku ini, tetapi hasilnya tidak memuaskan. Sifat introvert ku ini sudah mendarah daging dalam tubuh dan jiwaku. Banyak teman sekelasku yang memandang aneh diriku, bagaimana tidak aneh. Aku saja selalu berdiam diri dan terkesan menarik diri dari 3
pergaulan, bahkan mungkin aku satu-satunya murid di sekolah ini yang tidak mempunyai teman. Ya, teman. Bukan mereka yang tidak mau berteman denganku, melainkan aku
yang perlahan-lahan
menjauh dari mereka. Menjauihi dunia nyata dan berbalik bermain dengan dunia yang aku ciptakan. Aku melirik jam yang melingkar di tangan kanan ku, waktu memang terlalu singkat untuk membiarkan aku bermain lebih lama dengan duniaku sendiri. Kaki ku aku langkahkan menuju ruang kelas yang tidaklah jauh dari taman belakang sekolah. Sepanjang jalan aku mendengar bisikanbisikan yang sudah biasa kudengar, bisikan yang terkadang menyudutkanku keluar dari dunia nyata, tetapi aku tidak terlalu peduli, terserah apa kata mereka.
Ini
hidupku
dan
aku
yang
akan
menjalaninya. Bukan mereka!
**** Setelah berkutat sekian lamanya dengan materi-materi yang disampaikan, akhirnya bel pulang 4
sekolah berbunyi. Segera saja aku membereskan peralatan yang aku keluarkan tadi, sejenak aku melihat kearah jendela. Gumpalan awan hitam pekat membentang tanpa arah, menutupi indahnya warna biru
langit,
sinar
mentari
pun
tidak
dapat
menembusnya. “Ngapain? Lihatin awan mendung?” Suara tersebut yang mengalihkan seluruh perhatianku, suara yang tidak aku harapkan. “Mendung kok lihatin mendung.” Suara tersebut terdengar lagi di gendang telingaku, bahkan aku tidak mengerti apa maksudnya. “Awan mendung disana, masih belum seberapa dengan hidupmu yang selalu diliputi mendung. Tidak ada sedikit sinar sedikitpun, menyedihkan!” Si
pemilik
suara
itu
pergi
setelah
mengucapkan kalimat itu. Perkataannya mengarah untuk menyindirku secara halus. Begitu kah dia menilaiku? Melalui pertimbangan apa dia bisa menyimpulkan hal tersebut? Hidupku yang katanya
5
selalu mendung dan tidak ada sinar sedikitpun. Benarkah seperti itu? Terserah apa kata dia! Aku merasa tidak seperti yang dia katakan, aku merasa senang dengan hidupku yang seperti ini. Rintikan air hujan mencoba menghentikan apa yang sedang aku fikirkan, air hujan yang kian detik semakin deras. Jika saja suara tersebut tidak menyita fikiranku, pastilah aku bisa pulang saat ini. Aku menghela nafas, aku tidak mungkin pulang dalam keadaan hujan deras seperti ini, terlebih lagi sambaran-sambaran petir terdengar dimana-mana. Lebih baik aku tunggu sampai hujan ini berhenti, novel yang tadi ku baca aku keluarkan. Kondisi kelas begitu sepi senyap, membuatku semakin nyaman untuk menunggu. Kondisi seperti inilah yang selalu membuatku nyaman, meskipun kata mereka ini adalah kondisi paling menyebalkan. Acara membaca novel yang aku lakukan tidak bisa fokus seutuhnya, perkataan seseorang tadi masih saja terus mengiang di gendang telingaku. Aku tidak 6
mengerti mengapa perkataannya mampu membuatku tidak fokus seperti ini, bahkan sudah berulang kali aku mencoba menghapusnya, tetapi nihil! Jurus apa sebenarnya yang dia lemparkan sehingga membuatku tidak fokus seperti ini? Setelah bergulat dengan apa yang ada didalam otakku, bergulat dengan sejumlah pertanyaan, dan bergulat apa yang aku rasakan. Aku menjadi tau apa maksud dari perkataan seseorang itu. Hidupku yang begitu mendung dan tidak ada sinar cahaya maksudnya adalah duniaku yang sunyi sendiri tanpa adanya seorang teman sebagai sinarnya. Begitulah sekelumit pemfikiran yang aku simpulkan. Menemukan
jawaban
dengan
apa
yang
mengganjal fikiranku, kini aku kembali fokus dengan novel yang sedari terbuka tanpa aku baca. Novel yang aku anggap menjadi teman saat aku bermain dengan duniaku sendiri. Hujan juga masih cukup deras, sepertinya hujan masih belum mengijinkan aku untuk pulang, dia lebih senang menahanku dalam
7
suasana seperti ini, dan menjebakku lebih lama lagi dalam dunia yang aku ciptakan sendiri. Braakkk! Suara dentuman keras membuat jantungku hampir saja lepas, aku alihkan penglihatanku mencari dimana sumber dari dentuman keras tersebut. Ternyata hanya pintu kelas yang tertutup karena tertiup angin. Mataku tidak sengaja melihat jam di tangan kananku, mataku membulat tetapi tidak sampai keluar. “Sudah jam setengah lima sore. Astaga aku terlalu lama menunggu.” Gumamku pelan. Kalau saja pintu kelas tidak tertiup angin dan menghasilkan dentuman keras, sudah pasti aku tidak akan bangkit dari keasyikanku membaca novel. Ku perhatikan jendela, rintikan hujan juga telah reda, sinar mentari mulai menyusup diantara sisa-sisa gumpalan awan mendung. Bagaimana bisa aku tidak sadar kalau hujan telah berhenti, begitu dalamkah aku memasuki dunia yang aku ciptakan? Sehingga hujan berhenti aku tidak mengetahuinya. 8
Langkah kakiku aku percepat, yang ada di dalam otakku hanyalah Mama. Ya Mama, manusia paling aku sayangi dan paling aku hormati, kerena beliau aku bisa melihat dunia nyata ini, karena beliau juga yang membuatku bertahan untuk tetap berada di dunia nyata ini, meskipun banyak orang yang merendahkanku. Mama pasti khawatir denganku, mungkin saja beliau sudah menghubungiku berpuluh-puluh kali. Tapi sayangnya ponselku mati karena kehabisan batrai. “Maafkan aku Mama, aku membuatmu khawatir hari ini.” Ujarku dalam hati selagi mempercepat langkahku. Bayangan Mama tiba-tiba saja lewat didalam fikiranku, aku bisa melihat wajah khawatirnya dan segenap pertanyaan yang dia lontarkan. Alunan music terdengar saat aku melewati salah satu
ruangan
langkahku,
alunan
eskul. Aku menghentikan music
tersebut
membuatku
penasaran. Dugaanku saat ini pasti anak-anak eskul 9
dance tengah berlatih. Entah mengapa seperti ada tarikan yang memaksaku untuk melihatnya, padahal otak dan hatiku sudah memberi perintah jangan! Tetapi tubuhku tidak mau diajak kompromi, sampai akhirnya aku melihat siapa yang tengah berada di ruangan eskul dance. Diam
tanpa
suara
aku
memperhatikan
seseorang didalam sana, dia terlihat begitu semangat latihan dance. Dia hanya sendirian, tidak ada teman yang menemaninya berlatih dance, dan setiap gerakan yang dilakukannya cukup enerjik. Aku tidak tau mengapa seakan ada magnet yang membuatku tidak bisa beranjak dari tempat ini, magnet yang mempunyai gaya tarik yang begitu besar. Dam! Segera saja aku menarik kepalaku dari balik pintu,
sepertinya
seseorang
itu
menyadari
keberadaanku. Disaat mendesak seperti ini, kadua kaki ku tidak bisa aku gerakkan, kaki ku seakan lumpuh total. Kesal! Aku sangat kesal mengapa bisa seperti ini. Sial! 10