SATU Love is that condition in which the happiness of another person is essential to your own - ROBERT A. HEINLEIN “Kenapa Mama harus pergi?” tanya seorang anak berusia sekitar delapan tahun. “Mama harus pergi Sayang,” ucap wanita yang dipanggil anak itu mama. “Jadi Mama mau ninggalin aku sama papa?” “Sayang, Mama harap kamu bisa mengerti. Ini bukan lagi rumah Mama.” “Mama jahat!” anak perempuan itu kini mulai menangis makin keras suaranya terdengar, dan badannya yang kecil itu bergetar. Nampak seorang lelaki tegap berdiri di ambang pintu, matanya pun berkaca-kaca. “Mama jangan pergi!” panggil anak perempuan itu berulang-ulang. Tapi wanita yang dipanggilnya mama itu tetap berjalan tanpa menoleh sedikitpun padanya. “Dexa masuk!” perintah laki-laki itu. Anak manis itu masih terduduk sambil mengisak, matanya basah dan hidung mungilnya merah. Laki-laki itu menghampiri anak perempuan bernama Dexa itu.
“Sayang berhenti menangis, masuk ke rumah.” “Tapi...tapi kenapa mama pergi, Pa?” “Masuk Sayang suatu saat nanti pasti kamu akan tahu kenapa mama harus pergi.” Anak kecil itu berdiri dan masuk ke rumah, air matanya masih berlinang di pipinya yang halus. ЖЖЖ Semenjak hari itu Dexa berubah, tidak lagi periang, tidak lagi lincah, tidak lagi bersemangat, tidak lagi tertawa, dan tidak lagi bahagia. Ia berubah menjadi anak yang pendiam, dingin, tempramental dan selalu menyendiri. Ia hanya mengurung diri di kamar dan tak mengizinkan siapa pun masuk kecuali papa dan pengasuhnya. Ia menghindar dari dunia luar, tak lagi mau bertemu orang banyak, tak mau sekolah dan tak lagi ingin bermain. Hal ini membuat Bram, papa Dexa, semakin khawatir dengan kedaan putri kecilnya itu. Beberapa kali Bram mendatangkan guru ke rumah untuk mengajar Dexa namun sekeras apapun Bram merayu putrinya untuk keluar jika Dexa tak menginginkannya ia tak akan melakukannya. Berkali-kali pula guru itu terpaksa pulang tanpa mengajar Dexa sehuruf pun.
2
Bram juga pernah memanggil psikiater untuk memeriksa keadaan putrinya itu namun Dexa tak mengeluarkan sepatah kata pun dan pergi meninggalkan psikiater itu kebingungan. Akhir-akhir ini Bram sering mendengar suarasuara dari kamar Dexa, suara tawa Dexa, suara ia bernyanyi, kadang suara derap kaki yang meloncatloncat. Namun setiap kali ia atau pengasuhnya masuk mereka hanya mendapati Dexa yang sedang duduk melamun atau sedang tertidur, terkadang ia tengah belajar membaca, sama sekali tanpa keceriaan. Matahari bersinar cerah, Bram mengetuk kamar Dexa pelan, gadis itu berdiri di balik pintu dengan rambut panjang yang berantakan karena baru bangun dari tidurnya. “Hari ini Papa mau ajak Dexa main, mau?” “Kemana?” jawab Dexa tak tertarik. “Kita pergi ke taman, terus kita beli coklat kita main ayunan dan kita lukis pemandangan kesukaan kamu. Gimana?” “Kita beli coklat?” “Iya, kita beli coklat kesukaanmu yang banyak.” “Oke, Dexa mandi dulu ya Pa. Jangan tinggalin Dexa.” gadis itu buru-buru berlari menuruni anak3
anak tangga dirumahnya dengan tas gendong berwarna coklat, ia tampak manis dengan baju sewarna tasnya. Untuk pertama kalinya Dexa menerima ajakan Bram. Bram sedang memanaskan mobilnya saat mendapati Dexa hanya mengamatinya dari ambang pintu, tak berani keluar. “Kenapa Sayang? Sini.” Bram memanggil Dexa. Dexa menggeleng kuat-kuat, “Dexa takut.” “Takut kenapa?” tanya Bram sedih. “Dexa takut ketemu orang banyak Pa.” Hampir dua tahun setelah kejadian itu, Dexa tak pernah pergi meninggalkan rumah, ia tak pernah lagi melihat orang lain selain Bram, guru, dan pengasuhnya. “Jangan takut, Papa akan selalu bersamamu.” ucap lelaki itu jengah sambil mengelus kepala Dexa. Taman ini tak pernah sepi dari pengunjung, selalu ada yang datang walau hanya sekedar dudukduduk memandangi langit biru yang cerah. Bram berjalan terseret-seret karena Dexa yang tak mau lepas menggelantung dari kakinya. Ia menghindar saat menemui orang yang mengenalnya, ia kaget saat tersentuh orang lain bahkan ia hampir menangis saat Bram menyuruhnya berbicara pada seorang anak
4
perempuan yang memintanya mengambilkan boneka yang jatuh di dekat kaki Dexa. “Papa, Dexa tidak suka berada disini. Dexa takut.” “Takut kenapa Dexa? Tidak ada orang jahat disini.” “Dexa takut bertemu teman-teman sekolah Dexa dulu, Dexa takut mereka mengejek sampai buat Dexa menangis karena aku tak punya Mama seperti Mama mereka di rumah. Orang-orang itu jahat padaku mereka mau menyakitiku, mereka mau membuat aku menangis,” ucap gadis kecil itu sambil menangis histeris. “Dexa, dengarkan Papa. Kejadian itu telah terjadi bertahun-tahun lalu, sekarang kau harus sudah bisa melupakannya dan memulai hidupmu yang baru. Papa akan selalu ada disampingmu. Lagipula coba kau lihat sekelilingmu, mereka orang-orang baik tidak ada yang mau berbuat jahat padamu.” Dexa mengangguk walau masih sesenggukan. “Sekarang kita kesana ya, Papa akan membelikanmu coklat dan kau bisa menggambar disana,” ucap Bram sambil menunjuk sebuah kotak pasir yang sepi. Coklat dan es krim Dexa meleleh dengan cepat karena cuaca yang panas, susah payah anak kecil itu menjaga agar es krim ditangannya tidak
5
mengotori gambar yang tengah ia buat. Sementara Bram asik membuat rumah-rumahan dari pasir. “Papa,” panggil Dexa. “Iya Dexa?” jawab Bram masih sibuk dengan rumahrumahan pasir yang dibuatnya. “Dexa sayang sekali sama Papa,” ucap gadis kecil itu. Bram berhenti dari rutinitasnya dan menatap tubuh kecil anak satu-satunya itu. Dexa tengah asik menggambar seakan kata-kata yang baru saja diucapkannya itu bukan kata-kata yang penting. “Papa juga sayang sekali sama Dexa,” ucap lelaki itu sambil tersenyum. “Papa tidak akan meninggalkan Dexa seperti Mama meninggalkan kita kan?” tanya Dexa membuat lelaki itu terdiam, ia tak mengantisipasi jawaban atas pertanyaan Dexa. “Iya Sayang,” katanya kemudian. “Berjanjilah,” ucap Dexa. “Papa berjanji.” Dexa tersenyum puas mendengar jawaban dari Bram. “Papa lihat, ini Dexa ini Mama dan ini teman baruku.” Ucap Dexa seraya memberikan buku gambarnya pada Bram. “Teman baru?” tanya lelaki itu bingung. Seingatnya Dexa tak pernah memiliki teman. 6
“Iya itu teman baruku, nanti Dexa kenalkan pada Papa.” “Hmm...baiklah kalau begitu. Sebaiknya kita pulang sekarang, hari mulai siang tak baik jika kau terkena matahari seperti ini.” Mereka berjalan berdampingan dan Bram tak sekalipun melepaskan genggaman tangannya pada Dexa. Papa tidak akan pernah sekalipun meninggalkanmu Dexa, Papa berjanji. ЖЖЖ
7