SAWALA JURNAL ADMINISTRASI NEGARA ISSN 2302-2231 Terbit Sejak 10 September 2012 Vol. 2, No. 1, (Januari – April) 2012
DAFTAR ISI
4-17 Mengungkap Kekuatan Ekonomi Mikro Dalam Mengentaskan Kemiskinan di Indonesia Delly Maulana 18-26 Teknik Analisis Jejaring Sosial Dalam Penelitian Administrasi Negara Hikmah Nuraini 27-34 Eksklusi Sosial Pada Pasar Tradisional Sebagai Kegagalan Negara Usep Saepul Ahyar 35-53 Visi Pembangunan Nasional dan Lunturnya Modal Sosial Rahmatullah 54-66 Serangan Amerika Serikat Terhadap Irak (Untuk Kepentingan Menguasi Minyak) Feri Fadli Rizki 67-85 Peranan Jaring Pengaman Sosial Sebagai Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia Dalam Rangka Kebijakan Desentralisasi Lia Yulia
MENGUNGKAP KEKUATAN EKONOMI MIKRO DALAM MENGENTASKAN KEMISKINAN DI INDONESIA Oleh : Delly Maulana Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Serang Raya Email :
[email protected]
Abstract The power of micro-enterprises can be made as an alternative to reduce unemployment, because unemployment reduction will automatically give positive impact to reduce poverty in Indonesia. But these alternatives can not be implemented without the maximum support from the government, private sector, and NGOs by providing equal access for them. But the fact is that there are still inequities to access the capital, for instance the micro businesses often have difficulty to be able to get capital (such as a convoluted procedure) and second, there must be assurance, and the third is, many financial institutions do not provide capital for micro businesses. Therefore, in this paper the author will provide recommendations from the results of analysis, namely: first, the mutual cooperation (mutually beneficial) between the government, private and community elements medium (NGOs, academicians, journalists, professionals, etc.) in order to encourage the micro-economic as one fort to escape from poverty, and second, the Government should be able to create a regulatory which supports micro businesses. For example, in the era of regional autonomy, the local government must prioritize local regulations to support microenterprises; Third, government, private and community elements represented by NGOs should be able to make microfinance institutions to be strong and give distribution of justice in the process (not discriminatory ), and the fourth, microfinance institutions should be able to compete with the informal financial institutions with the advanced service pro micro, so that micro businesses will be interested and comfortable in performing loans. Keywords: micro-economic empowerment, poverty, and microfinance
A. Pendahuluan Globalisasi menciptakan keniscayaan bagi negara-negara dunia ketiga, terutama bagi Indonesia. Kekuatannya tidak bisa ditandingi oleh sistem regulasi yang tertutup. Globalisasi mempunyai dua mata pisau yang berefek, baik secara positif maupun secara negatif. Bagi negara maju, seperti Amerika, Jepang, Singapura, dan lain-lain, globalisasi
akan semakin menambah kemajuannya, tetapi bagi negara dunia ketiga, seperti Indonesia, globalisasi akan dapat menggilas negara tersebut sehingga membuat negara tersebut semakin terperosok ke dalam jurang kemiskinan. Logical Framework of Globalization adalah bagaimana dunia ini dijadikan dunia tanpa batas. Globalisasi juga sangat mengagungkan keterbukaan, terutama pada sektor perdagangan transaksionalnya, sehingga globalisasi sering dijadikan jargon oleh pecinta liberalisasi sebagai formula untuk mencapai tahapan, yakni dari tahapan negara yang miskin menjadi negara yang berkembang, serta menjadi negara yang maju. Analisa di atas akan semakin rasional, jika kita melihat ungkapan dari Stiglizt1, yaitu globalisasi telah menciptakan pertumbuhan bagi negara-negara di Asia dengan ditunjukkan oleh banyaknya orang yang sejahtera karena eksport industrialisasinya, tetapi banyak juga mengangap bahwa dengan globalisasi orang tereksploitasi oleh prosesnya 2. Oleh karena itu, globalisasi bagi negara-negara berkembang merupakan potret suram yang nyata akibat keganasan globalisasi tersebut, yakni semakin termiskinkannya orangorang secara global. Data menunjukkan, bahwa jika membandingkan kekayaan tiga keluarga terkaya di dunia, yakni Bill Gates, Sultan Brunei, dan keluarga Walton (Wal-Mart)-bila digabungkan akan bernilai 135 milyar dollar AS dengan masyarakat yang mendiami negara-negara terminkin maka jumlahnya setara dengan pendapatan tahunan 600 juta penduduk miskin.3 B. Globalisasi dan Kemiskinan Perubahan mekanisme dunia menuju pasar bebas merupakan paham yang telah di ungkapkan oleh dua orang penerap sistem ini, yakni Ronald Reagan dan Margaret Thatcher. Mereka mengungkapkan bahwa pasar bebas telah menjadi sebuah mekanisme yang dominan terhadap proses hubungan antar negara, sehingga negara-negara tersebut harus bisa terpacu untuk berkompetisi. Tetapi dalam realitasnya, kompitisi yang dijalankan sering dilakukan dengan tidak sehat dalam proses ekonomi, misalnya negara kuat sering melakukan protek-memprotek atau klaim-mengklim hasil produk. Kondisi 1
Stiglizt adalah Profesor ekonomi yang juga mantan orang Bank Dunia. Lembaga ini merupakan lembaga yang sangat mengagung-agungkan globalisasi sebagai sistem yang harus diterapkan di dunia ini. 2 Dikutip dalam bukunya Stiglizt dengan judul Globalisasi dan Kegagalan Lembaga-lembaga Keungan Internasional, hal 5 3 Jeremy Searbrook, Kemiskinan Global : Kegagalan Model Ekonomi Neoliberal, 2006 hal 24
tersebut diperparah dengan mekanisme yang dibuat oleh lembaga Internasional yang bernama World Trade Organization (WTO) melalui negosiasi-negosiasi GATT (General Agreement on Tariffs and Trade). Organisasi ini dimaksudkan untuk merancang sebuah sistem berdasarkan aturan guna membentuk kepatuhan global terhadap versi ‖perdagangan bebas‖ yang amat menyimpang. Sehingga negara-negara miskin sering dipaksa untuk membuka pasar terhadap negara-negara kaya untuk impor pertanian, manufaktur industri, sektor jasa, keuangan dan perbangkan, listrik, air serta produkproduk budaya melalui media.4 Tetapi ada juga yang mengungkapkan bahwa globalisasi merupakan mekanisme yang baik, sebab globalisasi merupakan kunci dari keberhasilan pembangunan. Globalisasi secara ekonomi didasarkan pada mekanisme pasar global serta dirangsang oleh mekanisme perkembangan teknologi sehingga globalisasi dapat mendorong transformasi ekonomi kepada semua negara-negara dunia ketiga sekaligus akan dapat mengurangi kemiskinan secara global. Globalisasi sebetulnya sangat dipengaruhi oleh bebarapa pemikir kapitalisme yang mempunyai paradigma filsafat ekonomi klasik, tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh dalam paradigma ini adalah Adam Smith dan dua pemikir yang tidak kalah pentingnya dalam pembentukan paradigma ini, yakni David Ricardo dan Thomas Robert Maltus. Paradigma ini juga sangat di elu-elukan oleh dua pemikir kontomporer, yakni Francis Fukuyama dan Thomas L. Friedman yang dua-duanya memberikan tesis tentang globalisasi, liberalisme, privatisasi, dan kapitalisme sebagai akhir sejarah. Dalam kasus Indonesia, maka negara ini belum mampu membendung pasar bebas. Keadaan ini sering dipandang sebagai sebuah keniscayaan atau takdir sehingga dalam prakteknya akan bisa membinasakannya. Contoh yang paling nyata adalah dalam sektor pertanian, negara ini belum bisa mampu membendung produk-produk dari luar yang mempunyai nilai kompetitif yang lebih dibandingkan dengan produk-produk pertanian dalam negeri. Dengan keadaan tersebut maka kita sering menjumpai buah-buahan import, padi import, kedelai import dan produk pertanian import lainnya (sampai-sampai di pasar tradisional pun ada). Sehingga pertanyaannya yang paling mendasar adalah apakah penguasa kita telah melindungi ekonomi rakyatnya ?. 4
Jeremy Searbrook, Kemiskinan Global : Kegagalan Model Ekonomi Neoliberal, 2006 hal 77
Keadaan tersebut merupakan fenomena yang mau tidak mau harus ditelan sebagai pil pahit, serta merupakan konsekuensi dari globalisasi yang logikanya harus diukur dari harga pasar. Jika melihat analisa yang diungkapkan oleh Mansour Fakih5 yang meminjam pendekatan Jhon Mellor yang sangat mendukung gagasan Adelman tentang derita pertanian di negara dunia ketiga maka yang Pertama, faktnya sampai saat ini penghasilan pertanian masih dihabiskan untuk membelanjakan barang pertanian (pupuk, bibit, dan lain-lain); Kedua, hasil pertanian dengan harga stabil atau turun tidak akan banyak menyerap tenaga kerja; dan yang Ketiga adalah, pendekatan ekonomi pedesaan yang di ungkapkan oleh Waterson tentang revolusi hijau (green revolution) justru makin memperlebar jurang antara petani kaya dengan petani miskin. Pengangguran dan kemiskinan merupakan masalah klasik yang selalu melekat serta menjadi ciri khas negara Indonesia. Masalah ini juga merupakan masalah yang paling pelik dihadapi oleh negara ini, sebab proses penyelenggaraan negara yang begitu panjang akan membayangkan adanya pengurangan angka pengangguran dan kemiskinan karena hal tersebut merupakan mainstream dari sebuah pembangunan. Menurut Muhajir Darwin dalam pemaparannya, bahwa tujuan pembangunan melalui kebijakan ekonomi adalah salah satunya menciptakan kesempatan lapangan kerja yang penuh akan sumberdaya ekonomis, termasuk tenaga kerja sehingga dapat mengurangi angka kemiskinan6. Chamber (1983) berpandangan kemiskinan umumnya ditandai oleh isolasi– berlokasi jauh dari pusat-pusat perdagangan, diskusi dan informasi, kurangnya nasehat dari penyuluh pertanian, kehutanan dan kesehatan serta pada banyak kasus juga ditandai dengan ketiadaan sarana bepergian. Kelompok masyarakat miskin amat rentan karena mereka tidak memiliki sistem penyangga kehidupan yang memadai. Kebutuhan kecil dipenuhi dengan cara menggunakan uangnya yang sangat terbatas jumlahnya, mengurangi konsumsi, barter, pinjam dari teman dan pedagang. Mereka juga mengalami ketidakberdayaan yang ditandai dengan diabaikannya mereka oleh hukum, ketiadaan
5 6
Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Pustaka Pelajar Hal 67-68 Pemaparan kuliah oleh Muhajir Darwin tentang kebijakan ekonomi dan non ekonomi di S2 UGM, 2006.
bantuan hukum bagi mereka, kalah dalam kompetisi mencari kerja dan mereka pun tidak memperoleh pelayanan publik yang optimal7. Kemiskinan kemudian lebih ditafsirkan sebagai suatu kondisi ketiadaan access pada pilihan-pilihan dan hak-hak yang seharusnya melekat di bidang sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan lingkungan hidup. Konsep yang amat dekat dengan konsep kemiskinan adalah impoverishment (hal-hal menyebabkan seseorang atau sesuatu menjadi lebih miskin). Proses impoverisment adalah sebuah proses aktif menghilangkan akses dan hak-hak dasar yang secara sistematik direproduksi dan diciptakan oleh sejumlah mekanisme global seperti kerusakan lingkungan hidup, kehancuran sumberdaya rakyat, inflasi, pengangguran dan politik utang luar negeri. Proses inilah yang dikenal sebagai proses pelemahan (disempowerment) ekonomi, ekologi, sosial, politik dan kebudayaan khususnya bagi kelompok-kelompok masyarakat minoritas dan terpinggirkan8. Menurut data BPS, penduduk miskin di Indonesia tahun 2011 dengan pengeluaran kurang dari Rp. 230 ribu mencapai 30 juta jiwa. Jika ditambahkan dengan penduduk ―hampir miskin‖ yang pengeluarnnya antara 233-280 ribu jumlahnya meningkat menjadi 57 juta jiwa orang atau 24 persendari total penduduk Indonesia. Jumlah itu akan membengkak jika menggunakan standar kemiskinan Internasionalyang kurang dari US$ 2 perhari. Menurut laporan Bank Dunia pada tahun 2009, sebanyak 50,7 persen atau lebih separuh dari penduduk negeri ini masih dalam kategori miskin.9 Dengan ungkapan-ungkapan di atas maka penulis akan memberikan sedikit analisa bahwa globalisasi secara realitas yang terjadi di Indonesia malah menyengsarakan rakyat, misalnya kemiskinan semakin bertambah. Hal yang perlu digaris bawahi adalah analisa pendapatan perkapita secara kuantitatif tidak bisa dijadikan barometer tingkat kemiskinan di Indonesia (walaupun penulis memberikan pemaparan data secara kuantitatif10) sebab data pendapatan perkapita yang dijadikan landasan untuk mengukur sejaumana tingkat tingkat kesejahteraan di Indonesia tidak sesuai dengan realitas, karena 7
Bahan bacaan training fasilitasi pemberdayaan masyarakat kerjasama inspirit innovation cirles dan access pada 21-26 Juni 2004 di Waingapu, Sumba. 8 Ibid 9 World Bank, World Development Indicators, 2011 10 Data tentang kemiskinan di Indonesia secara kuantitatif yang di ambil oleh penulis hanya dijadikan perbandingan antara realitas secara kualitatif dengan kuantitatif sehingga akan terlehat realitas dengan angka.
pendapatan perkapita Indonesia bisa diwakili hanya dengan 10% dari masyarakat negara ini. Sehingga kesimpulannya bahwa globalisasi akan menciptakan ketimpangan antara si kaya dengan si miskin. Dan faktannya itu benar !, bangsa ini mengalami kemiskinan yang sangat parah secara kasat mata. Misalnya di daerah Cirebon. Di daerah ini masih banyaknya masyarakatnya yang memakan roti basi, yang cilakanya makanan itu sebagai makanan pengganti nasi aking yang semakin kesini semakin merangkak naik harganya, akibat kenaikan harga beras yang membumbung tinggi11, perlu diketahui bahwa nasi aking adalah nasi bekas yang dikeringkan, dimasak serta dikonsumsi oleh masyarakat kita. Oleh karena itu, dengan melihat fenomena-fenomena tersebut, maka apa yang harus dilakukan supaya bangsa ini bisa terangkat dari jurang kemiskinan yang sudah terlalu dalam. Pertanyaan tersebut seharusnya bisa dijawab oleh negara ini melalui pemberdayaan masyarakat dengan dukungan kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro terhadap pengentasan kemiskinan. C. Upaya dan Realitas Pemberdayaan Usaha Mikro Untuk Pengentasan Kemiskinan Ada beberapa upaya yang dilakukan oleh pemerintah saat ini, misalnya Pemerintah menyiapkan 5.703 lembaga keuangan mikro di tingkat Kabupaten/Kota dan kecamatan seluruh Indonesia hingga tahun 2008. Langkah tersebut diambil untuk memberdayakan usaha mikro yang tersebar diberbagai daerah Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia12. Perbankan nasional mengalokasikan dana Rp 60,4 triliun untuk kredit usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) dari total kredit tahun ini sebesar Rp 106 triliun. Perekonomian Indonesia dibangun oleh 42 juta unit usaha, yang 99 persennya merupakan UMKM,‖ kata Aburizal dalam pidato pencanangan Tahun Keuangan Mikro Indonesia 2005 dan Program Aksi Penanggulangan Kemiskinan melalui Pemberdayaan UMKM di Pusat Promosi UMKM di Jakarta. Dia berharap, produktivitas UMKM akan meningkat 6 persen per tahun, dengan penyerapan tenaga kerja tumbuh 3 persen per tahun. Sedangkan
11 12
Berita Seputar Indonesia di RCTI hari rabu tanggal 20 Desember 2006. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/042006/16/0301.htm jam 10.20
nilai ekspor produk UMKM diharapkan juga naik secara bertahap 5,2-9,8 persen per tahun13. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengungkapkan komitmennya untuk memberikan akses terhadap ekonomi mikro, ungkapan tersebut diungkapkan pada saat pencanangan International Year of Micro Credit, 2005, di Indonesia, serta Gelar Karya UKM di Gedung SME Co Promotion Center, Jakarta, yang mengutip pernyataan Sekretaris PBB, Koffi Anan. Yakni, akses terhadap keuangan yang berkelanjutan (sustainable) memberikan kesempatan bagi penduduk miskin untuk melakukan kegiatan ekonomi produktif, yang pada gilirannya akan mengeluarkan mereka dari penjara kemiskinan (prison of poverty), hidup layak sebagaimana masyarakat lain14. Sebetulnya pemerintah telah menempuh beberapa upaya dalam menciptakan dan pengimplementasikan program pemberdayaan UMKM, seperti P4K, KUBE, PEMP, UPPKS, P2KP, dan PPK. Namun, program ini tidak optimal karena tidak sustainable dan berhenti di tengah jalan. Bahkan, November tahun ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah meluncurkan kredit usaha rakyat (KUR), yaitu kredit tanpa agunan dengan plafon sampai dengan Rp 500 juta khusus untuk UMKM yang belum bankable. Ini merupakan sepengalan upaya serta harapan pemerintah dalam memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah. Tetapi hal yang perlu digaris bawahi adalah bagaimana pemerintah harus bersikap serius, sustainable serta dapat merealisasikannya melalui kebijakan-kebijakan sampai ke tingkat bawah. Sehingga kebijakan-kebijakan tersebut dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat dan sekaligus dapat menjadi alternatif untuk upaya dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Bertolak
dari
kenyataan
inilah
maka
eksistensi
Usaha
Mikro
Kecil
Menengah (UMKM), telah mengambil tempat penting dalam masalah kesempatan kerja dan ketenagakerjaan di negara-negara berkembang.
15
Krisis ekonomi membuka
cakrawala bangsa Indonesia tentang rapuhnya sistem ekonomi yang dibangun hanya dengan segelintir konglomerasi. Sebelum terjadi krisis di era Orde Baru, ekonomi Indonesia dikuasai oleh 0,1% perusahaan besar yang hanya menyerap 2% dari angkatan kerja. Sedangkan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang mampu menampung 13
Tempo Interaktif Minggu 27 Pebruari 2005. Di kutip dari literature P2KP Rabu 20 Desember 2006 15 Saleh, 1986 hal 1 14
95% angkatan kerja, yakni tak kurang 110 juta orang, ternyata hanya menguasai sedikit sumber daya. Demikian pula pada saat Indonesia mengalami puncak krisis moneter pada tahun 1997, yang menyelamatkan perekonomian adalah kontribusi dari Small Medium Enterpries (Usaha Mikro Kecil Menengah, selanjutnya disingkat UMKM). UMKM terbukti kebal terhadap krisis ekonomi dan menjadi katup pengaman bagi dampak krisis, seperti pengangguran dan pemutusan hubungan kerja.16 Upaya-upaya pemberdayaan terhadap pelaku ekonomi mikro oleh pemerintah harus di dukung oleh semua elemen bangsa ini, yakni masyarakat tingkat bawah, menengah dan atas, serta di dukung oleh kekuatan swasta. Sehingga pemberdayaan tersebut mendapatkan hasil yang efektif, misalnya melalui program swasta berkewajiban memberikan sebagian dananya untuk proses pemberdayaan tersebut. Program ini bisa berjalan apabila di dukung oleh masyarakat itu sendiri dengan cara mencerahkan dirinya untuk berusaha berkiprah pada pemberadayaan, serta di dukung oleh pemerintah secara penuh yakni dengan cara memberikan kesempatan kepada semua pihak melalui mekanisme pengaturan yang adil atau tidak diskriminatif. Upaya ini pernah dilakukan oleh peraih Nobel Perdamaian Prof. Muhammad Yunus dimulai tahun 1976 dengan merintis Grameen Bank-nya. Grameen Bank adalah sebuah Lembaga Keuangan Pedesaan yang idealismenya menciptakan sistem pelayanan keuangan bagi masyarakat miskin, yang bepijak pada rasa saling percaya, akuntabilitas, partisipasi dan kreatifitas. Kredit mikro disalurkan tanpa mensyaratkan jaminan, melainkan jaminan kepercayaan bersama. Grameen Bank telah direplikasi lebih di 50 negara, termasuk di Indonesia. Hingga saat ini Grameen Bank dimiliki oleh masyarakat miskin yang dilayaninya. Peminjam terdiri dari kelompok miskin—umumnya perempuan—yang memiliki 90% sahamnya. Sedangkan 10% lainnya dimiliki oleh pemerintah. Hingga September 2006, Grameen Bank memiliki 2.247 kantor cabang dan melayani 6.676.938 anggota (96,7%-nya adalah perempuan) dengan nilai total outstanding kredit sebesar 458,81 juta dolar AS. Perjuangan Yunus selama 30 tahun17. Secara defenisi usaha mikro menurut BPS adalah industri kerajinan rumah tangga, yakni perusahaan atau usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja 1-4 orang,
16 17
Sumodiningrat, 2005 hal 33 Ibid
sedangkan industri kecil mempekerjakan 5-19 orang. Departemen Perindustrian dan Perdagangan mendifinisikan usaka mikro sebagai industri-perdagangan yang mempunyai tenaga kerja 1-4 orang. Sedangkan Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah mendefinisikan usaha mikro dan usaha kecil adalah suatu badan usaha milik WNI baik perorangan maupun berbadan hukum yang memiliki kekayaan bersih (tidak termasuk tanah dan bangunan) sebanyak-banyaknya Rp200 juta dan atau mempunyai omzet/nilai output atau hasil penjualan rata-rata per tahun sebanyak-banyaknya Rp1 milyar dan usaha tersebut berdiri sendiri18. Lembaga donor dunia pun mendefenisikan usaha mikro ini, seperti ADB (Asian Development Bank), ADB mendefinisikan usaha mikro sebagai usaha-usaha nonpertanian yang mempekerjakan kurang dari 10 orang termasuk pemilik usaha dan anggota keluarga. Sedangkan USAID mendefinisikan Usaha mikro sebagai kegiatan bisnis yang mempekerjakan maksimal 10 orang pegawai termasuk anggota keluarga yang tidak dibayar. Kadangkala hanya melibatkan 1 orang, yaitu pemilik yang sekaligus menjadi pekerja. Kepemilikan aset dan pendapatannya terbatas. Dan yang terakhir adalah lembaga yang sangat populer di kalangan kita serta mempunyai moto tidak ada kemiskinan di dunia yakni Bank Dunia. Bank Dunia mendefinisikan usaha mikro sebagai usaha gabungan (partnership) atau usaha keluarga dengan tenaga kerja kurang dari 10 orang, termasuk di dalamnya usaha yang hanya dikerjakan oleh satu orang yang sekaligus bertindak sebagai pemilik (self-employed). Usaha mikro sering merupakan usaha tingkat survival (usaha untuk mempertahankan hidup–survival level activities), yang kebutuhan keuangannya dipenuhi oleh tabungan dan pinjaman berskala kecil19. Dengan melihat beberapa defenisi tentang usaha mikro, maka hal yang perlu di garis bawahi adalah bagaimana kekuatan usaha mikro bisa dijadikan sebagai alternatif dalam mengurangi pengangguran. Karena pengurangan pengangguran secara otomatis akan memberikan dampak positif untuk bisa mengurangi kemiskinan di Indonesia. Tetapi alternatif tersebut tidak bisa jalan begitu saja tanpa mendapatkan dukungan secara maksimal dari pemerintah dan swasta dengan memberikan akses keadilan bagi usaha tersebut.
18 19
Di kutip dari Laporan SMERU Menteri Pemberdayaan Perempuan RI Tahun 1997-2003. Ibid
Peranan pemberdayaan seharusnya bisa terealisasi apabila pemerintah dan swasta bisa menciptakan suatu program yang sifatnya memberikan akses modal kepada usaha mikro, sebab kendala yang banyak dihadapi oleh usaha ini adalah masalah permodalan. Fenomena permodalan ini apabila kita kaji lebih empiris dilapangan, maka yang terjadi adalah ‖masih adanya ketidakadilan dalam penyalurannya‖. Misalnya, (1) usaha mikro sering dipersulit untuk bisa mendapatkan modal (seperti prosedur yang berbelit-belit), (2) harus ada jaminan, dan yang (3) banyak lembaga keuangan tidak menyediakan permodalan bagi usaha mikro. Data menunjukan bahwa pembiayaan yang bersumber dari lembaga keuangan non bank sebanyak 82.962 UKM atau mengalami peningkatan sebesar 10,93 persen, sedangkan perbankan sebanyak 385.383 UKM atau mengalami peningkatan sebesar 6,55 persen dan sumber permodalan lainnya sebanyak 661.629 UKM atau mengalami peningkatan sebesar 3,43 persen. Sedangkan sumber permodalan yang berasal dari modal ventura mengalami penurunan dari tahun sebelumnya hingga mencapai 50,18 persen yaitu dari 16.002 UKM menjadi 7.972 UKM20. Sehingga kesimpulannya adalah data tersebut menunjukan bahwa permodalan berasal dari lembaga keuangan informal sangat dinikmati oleh pelaku usaha mikro di Indonesia. Dengan fenomena di atas maka realitasnya usaha mikro sering mengalihkan pinjaman permodalan kepada lembaga-lemaga keuangan informal (rentenir), sehingga yang terjadi adalah penghisapan atau eksploitasi oleh lembaga informal. Eksploitasi tersebut dipraktekan dengan cara memberikan bunga yang tinggi oleh lembaga keuangan informal tersebut, tetapi herannya eksploitasi tersebut bisa dinikmati atau diterima oleh pelaku usaha mikro. Nah kejadian itu merupakan fenomena yang harus dijadikan bahan pertimbangan oleh pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan yang benar-benar pro terhadap usaha mikro. Menurut Marguiret Robinson (2000), pinjaman dalam bentuk micro credit merupakan salah satu upaya yang ampuh dalam menangani kemiskinan. Hal tersebut didasarkan bahwa pada masyarakat miskin sebenarnya terdapat perbedaan klasifikasi diantara mereka, yang mencakup: pertama, masyarakat yang sangat miskin (the extreme
20
Di kutip dari artikel tentang Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro sebagai salah pilar keuangan nasional oleh Wiloejo Wirjo Wijono
poor) yakni mereka yang tidak berpenghasilan dan tidak memiliki kegiatan produktif, kedua, masyarakat yang dikategorikan miskin namun memiliki kegiatan ekonomi (economically active working poor), dan ketiga, masyarakat yang berpenghasilan rendah (lower income) yakni mereka yang memiliki penghasilan meskipun tidak banyak.21 Pemerintah harus bekerjasama dengan swasta menciptakan suatu program yang benar-benar memberikan keadilan bagi usaha mikro. Hal yang paling mendasar adalah bagaimana membuat atau menciptakan lembaga keuangan mikro yang benar-benar bisa di akses oleh seluruh usaha mikro. Sebab dengan terciptanya lembaga keuangan yang khusus mengurusi usaha mikro, maka secara otomatis akan bisa memperkecil peranan lembaga keuangan informal yang bersifat eksploitasi terhadap pelaku usaha mikro. Karena secara realitas usaha mikro mempunyai signifikansi terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia. Menurut Asian Development Bank (ADB), lembaga keuangan mikro (microfinance) adalah lembaga yang menyediakan jasa penyimpanan (deposits), kredit (loans),
pembayaran berbagai transaksi jasa (payment services) serta money transfers yang ditujukan bagi masyarakat miskin dan pengusaha kecil (insurance to poor and lowincome households and their microenterprises). Sedangkan bentuk LKM dapat berupa: (1) lembaga formal misalnya bank desa dan koperasi, (2) lembaga semiformal misalnya organisasi non pemerintah, dan (3) sumber-sumber informal misalnya pelepas uang.22 Data BPS tahun 2005, menunjukkan bahwa dari jumlah 43,22 juta unit UKM tahun 2004 meningkat 1,61 persen dibandingkan dengan tahun 2003, dan jumlah ini merupakan bagian terbesar pelaku usaha di Indonesia. Sementara tenaga kerja yang diserap oleh UKM tahun 2004 mencapai 70,92 juta orang, turun 0,25 persen dibandingkan tahun 2003. Perkembangan kontribusi UKM dan kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja selama periode diatas menggambarkan produktivitas pelaku UKM. Produktivitas Usaha Kecil sebesar Rp10,37 juta per tenaga kerja tahun 2003, meningkat cukup besar pada tahun 2004 menjadi Rp11,57 juta per tenaga kerja. Sementara itu produktivitas kelompok Usaha Menengah dan Besar pada tahun 2003 masing-masing sebesar Rp33,70 juta dan Rp1,87 miliar per tenaga kerja per tahun. Pada
21 22
Ibid Ibid
tahun 2004 besaran ini meningkat masing-masing menjadi Rp38,71 juta dan Rp2,22 miliar per tenaga kerja per tahun.23 Dengan melihat data diatas maka saya beranalisa bahwa usaha-usaha mikro, kecil dan menengah bisa memberikan nilai yang positif terhadap penyerapan tenaga kerja, ditengah sulitnya penyerapan tenaga kerja formal. Sehingga penyerapan tenaga kerja tersebut dapat berefek dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Grameen Bank merupakan salah satu contoh yang harus ditiru untuk negara ini, sebab dengan meniru yang baik akan mendapatkan efek yang baik juga. Secara realita Bangladesh mempunyai kemiripan kondisi yang sama dengan Indonesia yakni masih berkutat dalam kemiskinan. Sehingga mudah-mudahan bisa berhasil apabila di adopsi di negara kita. Karena realitasnya Grameen Bank telah berhasil mengangkat derajat masyarakat miskin (terutama perempuan miskin) dinegaranya dan sekaligus mematahkan bahwa adopsi kebijakan-kebijakan tentang penegentasan kemiskinanan tidak selalu diadopsi dari pemikir-pemikir yang berasal dari negara-negara maju. D. Strategi Untuk Merealisasikan Kekuatan Ekonomi Mikro Dalam Pengentasan Kemiskinan Dengan melihat upaya pemerintah secara normatif serta realitas permasalahan yang ada dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui proses pemberdayaan ekonomi mikro sebagai pilar pembangunan, maka strategi-strategi yang harus digunakan adalah sebagai berikut : 1. Adanya kerjasama yang mutalisme (saling menguntungkan) antara pemerintah, swasta serta elemen masyarakat menengah (LSM, Akademsi, Wartawan, Profesional dll) untuk bisa mendorong ekonomi mikro sebagai salah satu benteng untuk menghindar dari kemiskinan. Strategi itu bisa dilakukan apabila ketiga elemen tersebut memiliki kesamaan visi dan misi dalam pembangunan, misalnya dalam pembinaan pemberdayaan ekonomi mikro. 2. Pemerintah harus bisa menciptakan regulasi yang pro terhadap pelaku usaha mikro. Misalnya dalam era otonomi daerah ini pemerintah daerah harus mengedepankan peraturan daerah yang pro terhadap usaha mikro. Maka peraturan daerah tersebut harus bisa mendorong kekuatan ekonomi lokal, bukan malah 23
Ibid
sebaliknya mendorong ekonomi sebagian kelompok orang saja yang nota benenya dari kalangan ekonomi maju (mendorong oligarki ekonomi lokal). Oleh karena itu jangan ada peraturan daerah yang mendorong resistensi masyarakat terhadap pemerintah daerah seperti penggusuran pedagang kaki lima tanpa memberikan solusi yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak.Hhal-hal tersebut harus dapat dihindari oleh pemerintah daerah apabila pemerintah ingin dan berniat menciptakan kekuatan ekonomi mikro sebagai pilar untuk upaya pengentasan kemiskinan di daerahnya. 3. Pemerintah, swasta, dan elemen masyarakat yang diwakili oleh LSM harus bisa membuat lembaga-lembaga keuangan mikro yang kuat serta mengedepankan distribusi keadilan dalam prosesnya (tidak diskriminatif). Hal tersebut supaya usaha mikro bisa terhindar dari rentenir (lemabaga keuangan informal) yang nota bene sangat mengeksploitasi usaha mikro dengan bunga yang tinggi. 4. Lembaga keuangan mikro harus bisa berkompetisi dengan lembaga keuangan informal dengan mengedepankan pelayanan yang pro terhadap usaha mikro, sehingga usaha mikro akan tertarik serta nyaman dalam melakukan pinjamannya. Dengan mengedepankan proses pelayanan yang tidak berbelit-belit. 5. Dan yang terakhir adalah bagaimana ketiga elemen tersebut mempunyai komitmen dalam bekerjasama untuk bisa merealisasikan visi dan misi dengan tujuan besar yakni melenyapkan kemiskinan di muka bumi Indonesia.
Daftar Pustaka
Fakih, Mansur. (2008), Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Jogjakarta : Pustaka Pelajar. Stiglitz, Joseph E. (2003), Globalisasi dan Kegagalan Lembaga-Lembaga Keuangan Internasional, Jakarta : PT. Ina Publikatama. Searbrook, Jaremy. (2006), Kemiskinan Global : Kegagalan Model Ekonomi Neoliberalisme, Yogyakarta : Resist Book. Sumodiningrat, Gunawan dan Riant Nugroho. (2005), Membangun Indonesia Emas, Model Pembangunan Indonesia Baru Menunju Bangsa-bangsa yang Unggur dalam Persaingan Global, Jakarta : Elex Media Kompetindo. http://www.accessindo.or.id/documents/APRIL%202006%203,%20OCA%20MANUAL %20Lamp%202%20Pemberdayaan.pdf http://data.worldbank.org/data-catalog/world-development-indicators http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/042006/16/0301.htm Tempo Interaktif Minggu 27 Pebruari 2005 http://cscs-indonesia.blogspot.com/2008/08/mengungkap-kekuatan-ekonomi-mikrodalam.htm http://www.smeru.or.id/report/field/usahamikro2/Buku%202%20Usaha%20Mikro%20Ed ited.pdf http://blog.umy.ac.id/ghea/files/2011/12/PEMBERDAYAAN-LEMBAGAKEUANGAN-MIKRO.pdf
TEKNIK ANALISIS JEJARING SOSIAL DALAM PENELITIAN ADMINISTRASI NEGARA Oleh : Hikmah Nuraini Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Email :
[email protected]
Abstract Social networks have been an important part of public administration study. The important is specially emerged since the rise of governance idea. Governance focused on network consept. Theory and concept of governance have stressing on development and empowerment of partnership capacity among institutions to solve of social and economy problems. The development of governance theory and concept in public administration study didn’t following by development and utilized the proper method to explore network issues in public administration. This study explored the utilization of social networks analysis for structural relationship among institutions. Social networks analysis focused on structure, so that will be able to in the research or evaluation public organization which based on networks. Keywords: Analysis, Networks, Public Administration, Research A. Pendahuluan Jejaring sosial atau social networks telah menjadi bagian penting dalam studi ilmu administrasi negara. Pentingnya jejaring ini terutama mengemuka sejak kemunculan ide governance. Governance atau yang sering diterjemahkan sebagai tata kelola pemerintahan menitikberatkan pada konsep networks atau jejaring. Sebagaimana dikemukakan oleh Gerry Stoker (1998:18) “governance is about autonomous self governing networks of actors”. Governance merujuk pada bekerjanya berbagai lembaga baik pemerintah ataupun non pemerintah seperti lembaga swaadaya masyarakat dan bisnis dalam pengelolaan pembangunan. Governance menitikberatkan pada hubungan yang saling bergantung antar berbagai institusi baik pemerintah ataupun non pemerintah dalam pengelolaan negara. Oleh karena itu konsep dan teori governance mengutamakan pengembangan dan pemberdayaan kapasitas kerjasama antar lembaga dalam mengatasi berbagai masalah ekonomi dan sosial. Ia tidak menggantungkan diri pada pemerintah semata. Governance menitikberatkan pada kondisi tertib hukum dan aksi kolektif dalam pengelolaan masalah-masalah masyarakat. Koiiman dan Vliet (1993) menjelaskan output
governance adalah terciptanya struktur dan keteraturan yang merupakan hasil dari interaksi dan konsensus dari berbagai aktor dalam masyarakat. Oleh karena itu interaksi antar aktor dalam jejaring atau networks menjadi kata kunci dalam konsep governance ini. Pentingnya jejaring atau networks ini sangat terlihat jelas dari konsepsi governance sebagaimana dikemukakan oleh Stokers (1998). Governance memiliki lima karakteristik yang berhubungan dengan jejaring atau networks. Pertama, governance merujuk pada himpunan lembaga dan aktor yang bekerjasama dan bekerja diluar organisasi pemerintah. Kedua, governance menjelaskan batas-batas yang kabur dan pertanggungjawaban masayarakat luas dalam memecahkan masalah-masalah publik. Ketiga, governance menitikberatkan pada ketergantungan antar aktor dan lembaga yang terlibat dalam berbagai aksi kolektif. Keempat, governance adalah jejaring aktor yang sifatnya independen. Terakhir, governance mengenali kapasitas lembaga dan aktor dalam penggunaan sumber daya masyarakat dan tidak tergantung pada pemerintah semata.kaji Jejaring dipandang sebagai konsep penting dalam administrasi negara seiring dengan meluasnya aktor-aktor yang terlibat dalam pengelolaan pemerintah (Aldrich dan Whetten 1981; Hjeren dan Porter 1981; Milward 1982; Provan 1983 dan Rhodes 1988). Namun demikian sampai saat ini kajian jejaring dalam administrasi publik hanya sebatas kerangka pemikiran. Ada beberapa studi kasus yang mengkaji jejaring kebijakan dalam beberapa area (sebagai contoh Chisholm 1989) tetapi sangat sedikit yang dilakukan ilmuwan administrasi publik. Penelitian jejaring dalam tradisi kebijakn publik sangat dipengaruhi oleh tiga aliran ilmu politik tradisi Amerika. Aliran pertama menitikberatkan pada inovasi kebijak. Kedua mereka yang tertarik mengkaji jejaring dalam proses agenda setting. Dan yang ketiga adalah mereka yang mengkaji jejaring dalam kaitannya dengan hasil-hasil kebijakan Aspek kebijakan lain yang menarik perhatian ilmuwan kebijakan publik adalah kaitan jejaring dengan kelompok kepentingan dan kekuasaan dalam masyarakat. Beberapa hasil penelitian terpenting dalam kajian ini adalah kerangka advokasi koalisi yang dilakukan oleh Sabatier dan Jenkins-Smith (1993,1999). Dalam kajian ini jejaring kebijakan
dipahami sebagai: (1) kumpulan dan keanggotaan dalam kelompok
kepentingan; (2) para spesialis kebijakan, dan birokrat terpilih dan pegawainya yang memiliki kepentingan khusus dan secara aktif mempengaruhi proses-proses kebijakan publik. Kajian-kajian terkini dalam tradisi ini memfokuskan pada penggunaan pendekatan jejaring kebijakan untuk melihat level adopsi dan perilaku kerjasama yang muncul dari jejaring. Beberapa tema yang menjadi kajian antara lain bagaimana pembentukan formasi jejaring dalam penanganan persoalan-persoalan aksi kolektif (Lubell at al 2002 dan Schneider et al 2003). Mereka mengasumsikan akan selalu ada hambatan aksi kolektif dalam organisasi untuk mencapai kerjasama dalam pengelolaan sumberdaya lokal. Tema lain yang menonjol dalam kajian ini adalah kajian mengenai jejaring pemerintahan daerah yang memfokuskan bagaimana terbentuknya jejaring politik antar aktor dalam meminimalisasikan masalah-masalah pembangunan daerah. Pada pertengahan 1990-an, penelitian jejaring telah menjadi tema penting dalam jurnal administrasi publik internasional. Beberapa jurnal membaha secara khusus membahas pentingnya manajemen jejaring dalam penyediaan layanan publik (Provan dan Milward 1991). Selanjutnya pada dekade ini bermunculan buku dan artikel yang membahas secara khusus tentang manajemen jejaring seperti diantaranya karya Kikcert, Klijn, dan Koppenjan (1997) yang berjudul ―Managing Complexs Networks‖. Sejak bebeapa tahun terakhir, beberapa ilmuwan tertarik untuk mengeksplorasi pola-pola jejaring atau aliansi kerjasama organisasi untuk meningkatkan kompetensi dan efektifitas organisasi. Beberapa isu yang menjadi kajian studi jejaring terkini adalah struktur jejaring, kinerja jejaring dan integrasi jejaring serta hubungannya dengan keseluruhan kinerja organisasi. Isu-isu ini sangat strategis terutama sejak mengutamanya peran organisasi diluar pemerintah seperti lembaga swadaya masyarakat dan bisnis dalam pengelolaan sumber daya dan urusan-urusan publik. Namun perkembangan konsep dan teori governance dalam administrasi publik ini belum banyak diikuti oleh pemanfaatan dan pengembangan metodologi yang sesuai untuk mengeksplorasi isu-isu jejaring dalam administrasi publik. Sebagian besar kajiankajian adminstrasi publik yang membahas isu-isu jejaring seperti efektifitas, koordinasi dalam organisasi publik, kerjasama antar daerah dan hubungan pusat daerah masih menggunakan studi kasus. Kelemahan metode ini adalah tidak mampu menjawab dan
mengidentifikasi pola-pola yang ada dalam struktur jejaring. Tanpa teridentifikasinya struktur jejaring ini maka seperti apa pola-pola struktur jejaring yang efektif dan yang kurang efektif tidak dapat dikenali lebih detail. Masih sedikitnya pemanfaatan analisis jejaring sosial tidak hanya berkaitan dengan persoalan bagaiaman sinergi antara pengembangan teori administrasi publik dan metode penelitian administrasi publik tetapi juga berkaitan dengan sulitnya untuk mengukur jejaring. Sulitnya mengukur jejaring mengakibatkan kajian-kajian administrasi publik yang mencoba mengeksplorasi permasalahan ini banyak menempatkannya sebagai metaphor, kerangka konseptual maupun teknis manajemen atau yang sering lebih dikenal sebagai networking. Masih sangat sedikit kajian-kajian dalam administrasi publik yang mengupas jejaring dengan pendekatan struktur. Berawal dari fenomena tersebut penelitian ini akan mengeksplorasi penggunaan analisis jejaring sosial untuk mengkaji hubungan struktural antara organisasi. Analisis jejaring sosial
memfokuskan pada struktur sehingga sangat berguna baik dalam
penelitian maupun dalamevaluasi pelaksanaan organisasi publik yang berbasis jejaring. B. Metode Penelitian Penelitian ini beusaha untuk menelaah secara kritis pengembangan teori dan metodologi jejaring dalam kajian kebijakan publik dan administrasi publik. Sehubungan dengan itu, metode penelitian yang dipilih yaitu metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini menggunakan sumber data sekunder terutama artikel dan bukubuku yang membahas tentang governance dan analisis jejaring sosial dalam administrasi publik. Namun demikian dalam penelitian ini juga digunakan beberapa contoh jejaring dalam konteks administrasi negara di Indonesia sehingga deskripsi yang dihasilkan sesuai dengan konteks yang ada. C. Hasil dan Pembahasan 1. Perkembangan Studi Jejaring dalam Administrasi Negara dan Kebijakan Publik Jejaring atau networks telah menjadi kajian yangmenarik para ilmuwan administrasi negara dan kebijakan publik beberapa tahun terakhir ini. Karya O‘Toole yang berjudul
“Treating networks seriously: practical and research-based agendas in public administration’ yang diterbitkan jurnal Public Administratio Review edisi 57 tahun 1997 dapat dikatak sebagai karya awal yang secara serius memfokuskan studi jejaring dalam penggunaan analisis jejaring dalam administrasi negara dan kebijakan publik. Sejak saat itulah banyak para ilmuwan Administrasi Negara dan kebijakan publik menekuni kajian ini. Tulisan Berry dan kawan-kawan (2004) berjudul ―Three Traditions of Networks Research: What The Public Management Research Agenda Can Learn from Other Research Communities‖ memaparkan secara baik bagaiman aperkembangan dan tradisi studi jejaring dalam administrasi negara dan kebijakan publik. Rethmeyer (2005) menjelaskan bahwa pendekatan teori jejaring dalam administrasi negara dan kebijakan publik telah matang dan saat ini telah menjadi subyek menarik dalam berbagai penelitian empiris. Bogason dan Toonen (1998) menjelaskan hubungan konsep jejaring dengan konsep-konsep lain dalam administrasi negara seperti kelembagaan baru atau neoinstitusionalism dan analisis manajemen baru atau sering disebut new public management. Mereka menekankan bahwa analisis jejaring akan sangat bermanfaat dalam menelaah dan memprediksi pola-pola saling ketergantungan, tata pelaksanaan pemerintahan yang bersifat non-hierarkhis, dan penyelesaian konflik. Isu-isu ini erat kaitannya dengan perkembangn desentralisasi dan devolusi yang meluas di banyak negara. Selain itu juga dibutuhkan jejaring untuk menghubungkan teori-teori lain seperti game theory, teori ketergantungan sumber dayadan teori wacana. Toonen (1998) lebih lanjut mempresentasikan kerangka meta-theoritis keterkaitan antara jejaring, manajemen dan lembaga-lembaga dalam administrasi negara. Menurutnya sangat penting untuk mengintegrasikan pendekatan jejaring dalam kajian kelembagaan dan manajerial administrasi negara. Milward dan Provan (1998) menyatakan bahwa sebagaian besar studi jejaring dalam administrasi negara selama ini hanya memfokuskan pada skema konseptual atau metafora. Untuk itu perlu ditingkatkan kajian jejaring dengan menggunakan langkahlangkah analisis yang lebih ketat dan ukuran-ukuran yang jelas. Gagasan ini oleh Wellman (1998) yang berpendapat bahwa jejaring adalah sebuah perspektif bukan hanya
sekedar alat analitik atau metaphora, karena itu jejaring akan sangat berguna untuk melihat berbagai masalah sosial. Hwang dan Moon (2008) memetakan studi jejaring dalam literatur administrasi negara dan kebijakan publik. Dari pemetaan mereka ditemukanbahwa kajian jejaring banyak didomonasi oleh bidang manajemen, kinerja pemerintahan, dan kerjasama. Perkembangan ini sangat erat kaitannya dengan isu governance yang mencakup perlunya pemerintahan kolaboratif, kerjasama antar sektoral dan kemitraan antar organisasi. Kelompok kajian lain yang cukup dominan adalah studi-studi jejaring yang berkenaan dengan efektivitas pengelolaan dan kinerja organisasi yang didalamnya mencakup isu-isu mengenai jejaring kebijakan, pembuatan dan perubahan kebijakan publik. Namun demikian analisis jejaring masih sangat sedikit sekali digunakan dalam studi-studi administrasi negara dan kebijakan publik yang berkaitan dengan tema-tema transfer kebijakan, partisipasi masyarakat dan reformasi kebijakan. Kurangnya perhatian sarjana administrasi negara terhadap perspektif jejaring dalam kajian ini cukup menarik mengingat isu-isu tersebut erat kaitannta dengan persoalan jejaring sosial 2. Penggunaan Analisis Jejaring untuk Memetakan Struktur Hubungan Pemerintahan Daerah di Indonesia; Suatu Studi Kasus Penggunaan teknologi informasi dalam organisasi pemerintahan atau yang sering dikenal dengan istilah e-goverment memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk membangun jejaring dengan organisasi lain. Dalam hal ini tehnologi internet memberikan berbagai kemudahan bagi pemerintah daerah untuk terhubung dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah tetangga, bisnis, lembaga swadaya masyarakat dan bahkan organisasi internasional. Jejaring pemerintahan dengan mediasi e-goverment ini dapat dipetakan dengan menggunakan analisis jejaring sosial. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah diambil dari hasil
pemetaan jejaring pemerintah daerah di Indonesia yang
dilakukan dengan menggunakan software Pajek dari UCINET. Pemetaan jejaring untuk pemerintahan daerah dapat dikelompokan dalam lima penggunaan jaringan yaitu : Penggunaan Jejaring Antar Pemerintah Daerah Di Indonesia Saat ini pemanfaatan e-goverment untuk membangun jejaring dengan pemerintah daerah tetangga masih sangat terbatas. Dari pemetaan yang dilakukan masih sangat
sedikit pemerintah yang terhubung dengan pemerintah daerah daerah lainnya dari total 433 pemerintah daerah di Indonesia. Jejaring Antar Pemerintah Daerah Dengan Pemerintah Propinsi Hampir sama dengan jarinngan antar pemerintah daerah. Masih sedikit pemerintah daerah yang menggunakan internet untuk menjalin hubungan dengan pemerintah propinsi. Penggunaan jejaring ini dapat ditemui pada beberapa pemerintah daerah di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang terhubung secara online Jejaring Pemerintah Daerah Dengan Presiden Beberapa pemerintah daerah terhubung secara langsung dengan website presiden. Beberapa pemda yang terhubung dengaan presiden tersebut berada di daerah relatif terpencil seperti ; Jayapura, Keerom, Maluku, Buru, Seram bagian timur dan Luwu. Internet tampaknya digunakan oleh pemda-pemda tersebut untuk memperluas akses informasi ke website presiden Jejaring Pemerintah Daerah Dengan Parlemen Di Indonesia Hubungan pemerintah daerah denngan parlemen baik dewan perwakilan rakyat maupun dewan perwakilan daerah relatif lebih aktif dibandingkan dengan hubungan pemerintah daerah denngan pemerintah daerah lainnya, propinsi ataupun presiden. Dari jejaring yang ada dapat dikatakan bahwa beberapa daerah terhubung dengan baik meski terkadang hanya terhubung dengan salah satu dari kedua lembaga tersebut. Internet telah digunakan oleh pemerintah daerah daerah di luar Jawa untuk menjalin hubungan baik dengan dewan perwakilan rakyat dan juga dewan perwakilan daerah. Jaringan Pemerintah Daerah Dengan Sektor Usaha Di Indonesia Sebagian besar pemerintah daerah tampaknya belum memanfaatkan fasilitas internet untuk mengembangkan jejaring dengan sektor usaha. Masih sangat sedikit pemerintah daerah yang terhubung dengan sektor usaha dan juga sebaliknya. Hanya bank BCA yang nampaknya mulai mengembangkan jejaring dengan beberapa pemerintah daaerah di Indonesia. Berperannya bank swasta terbesar di Indonesia dalam jejaring pemerintah daerah ini menarik untuk dicermati. Beberapa pemerintah daerah di Indonesia tampaknya lebih memilih menggunakan jasa bank swasta dibandingkan dengan bank pemerintah dalam sirkulasi keuangan daerah. Jejaring Pemerintah Daerah Dengan Kementrian Dan Baadan Strategis
Sebagian besar pemerintah daerah menggunakan internet untuk memperkuat hubungan denngan departemen atau badan strategis. Hal tersebut dapat diketahui dari jejaring yang telah ada saat ini bahwa hubungan pemerintah daerah dengan kementrian dan badan strategis kuat. Dari berbagai penggunaan jejaring organisasi dapat diketahui bahwa sifat jejaring organisasi yang diperuntukan untuk penyebarab informasi memiliki ciri-ciri memusat. Hal tersebut dapat terlihat pada jejaring antar pemerintah daerah dengan lembaga kepresidenan, kementrian dan badan strategis dimana lembaga-lembaga tersebut berada di pusat jejaring sedangkan pemerintah daerah ada di seputar jejaring sehingga dapat mengakses informasi langsung dari lembaga yang ada. D. Kesimpulan dan Saran Meskipun jaringan sosial telah menjadi bagian pembahasan penting dalam administrasi negara, namun penerapan analisis jaringan sosial dalampengkajianberbagai isudalam ilmu ini masih terbatas. Di Indonesia masih sangat sedikit sekali penerapan teknik analisis jaringan sosial dalam pengembangan studi ilmu administrasi negara di Indonesia. Kajian dalam paper ini memberikan contoh bagaimana penerapan teknik analisis jaringan sosial dalam perubahan kebijakan publik dan pemetaan jaringan pemerintahan daerah. Dari kajian yang ada saat ini banyak pemangku kepentingan yang terlibat dalam perumusan kebijakan publik dan pelayanan publik sehingga analisis jejaring dalam memetakan hubungan antar merekasemakin diperlukan. Aplikasi analisis jejaring ini diharapkan semakin banyak digunakan dalam penelitian administrasi negara sehingga dapat memotret masalah dengan komprehensif dan mampu menghasilkan alternatif penyelesaian masalah dengan tepat.
Daftar Pustaka Frederickson, H. George, 1997, The Spirit of Public Administration, San Francisco : Jossey-Bass Kickert, Walter J.M., Erik-Hans Klijn, Joop F.M. Koppenjan, 1997, Managing Complex Networks, London; Sage Publications. Lubell, Mark, Mark Schneider, John Scholz, and Mihriye Mete, 2002, Watershed Patnership and the Emergence of Collective Action Institutions, American Journal of Political Science 46(1):48-63 Provan, Keith G., and H. Brinton Milward, 1991, Institutional-Level Norms and Organizational Involvement in a Service Implementation Network, Journal Of Public Administration Research and theory, 1(4):139-417 Schneider, Mark, John Scholz, Mark Lubell, D. Mindruta, and M. Edwardsen, 2003, Building Consencual Institutions : Networks and The National Estuary Program, American Journal Of Political Science 47(1):142-156 Stoker, Gerry, 1998, Governing as Governance, Public Adminstration Review (65) (4) : 414-423
EKSKLUSI SOSIAL PADA PASAR TRADISIONAL SEBAGAI KEGAGALAN NEGERA Oleh: Usep Saepul Ahyar Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Serang Raya Email :
[email protected]
Abstrak Tulisan ini ingin menjawab hubungan negara (kebijakan), pasar tradisional dan masyarakat, dengan menggunakan kerangka analisa kelekatan (embeddedness) dari Blok dan Evans yang diadopsi oleh Achwan (2011). Selain itu, diharapkan akan menjawab mengapa pasar tradisional yang merupakan andalan ekonomi sebagian masyarakat Indonesia, terus meredup bersamaan dengan pesatnya perkembangan pasar modern, seperti super market, hypermarket dan pasar modern waralaba lian yang sedang menggejala. Dengan menggunakan kerangka analisa Blok dan Evans, terlihat hubungan yang tidak selaras diantara ketiganya. Hubungan yang terjadi di dunia pasar tradisional, memperlihatkan kerangka weak state dan weak institutional innovation sehingga terjadi institutional crisis. Dengan kata lain bahwa, pemerintah yang bertanggungjawab atas regulasi pasar dan persaingan usaha lebih berorientasi pada kepentingan pasar modern, sementara pasar tradisional, seperti dibiarkan berkembang seadanya. Kalaupun ada perhatian, orientasi revitalisasi diarahkan untuk meniru pada perkembangan pasar modern. Ha ini semakin mengeksklusi masyarakat dalam merevitalisasi pasar modern tersebut. Disamping kebijakan pemerintah terhadap pasar tradisional yang tidak begitu berhasil, pasar tradisional secara internal juga tidak banyak melakukan pembenahan dan inovasi, termasuk pembaharuan manajemen pasar tradisional dan mengembangkan modal sosial yang dimiliki oleh pasar tradisional. Dengan demikian, pasar tradisional semakin terdesak ditengan pesatnya perkembangan pasar modern. Perkebangan tersebut boleh dikatakan sebagai krisis pada pasar tradisonal. Jika terus dibiarkan, kemungkinan pasar tradional akan semakin punah. Modal sosial yang terbangun pada pasar tradisional juga, lambat laun akan menghilang, selain nasib jutaan orang yang menggantungkan hidup pada pasar tradisional akan semakin terpuruk. Dibutuhkan segera revitalisasi pasar tradisional dengan proses dan kebijakan yang tidak mengeksklusi modal sosial dan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pasar tradisional tersebut. Kata Kunci : Embeddedness, eksklusi sosial, Pasar Tradisional, institutional innovation
A. Pengantar Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli yang ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung, biasanya terjadi proses tawarmenawar. Dari segi bangunan fisik, terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Barang yang disediakan lebih banyak barang kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging, kain, pakaian barang elektronik, jasa dan lain-lain24. Berbeda dengan pasar tradisonal, di pasar modern tidak ada tawar menawar antara penjual dan pembeli secara langsung. Pelayanan juga dilakukan secara mandiri (swalayan) atau dilayani oleh pramuniaga. Contoh dari pasar modern adalah pasar swalayan (super market)25, hypermarket26, dan minimarket. Perbedaan lainnya adalah, dari sisi manajemen, pasar modern mempunyai manajemen yang lebih baik sehingga dapat terkelola dengan sistem yang dibuat. Hal ini terlihat dengan pembagian kerja yang baik, ada jaminan kemanan dan juga kebersihan. Dari sisi harga, pasar modern lebih pasti, tidak perlu tawar menawar harga. Menbandingkan antara keduanya, secara comon sense, kini pasar tradisional semakin tersisih dalam persaingan dengan pasar modern, seperti supermarket, mall dan hypermarket. Menurut hasil penelitian A.C. Nielen yang dikutif SMERU27, perkembangan pasar tradisional di Indonesua semakin terpuruk, hanya sekitar 8% per tahun, sedangkan pasar modern tumbuh dengan pesat, 31% per tahun. Keterpurukan ini, mengancam jutaan pedagang kecil yang bergantung dari pasar tradisional tersebut.
24
Contoh pasar tradisional yang terkenal antara lain pasar Beringharjo di Jogja, pasar Klewer di Solo, pasar Johar di Semarang (sumber www.wikipedia.com, diunduh tanggal 4 Desember 2012). 25 Artinya pasar besar atau toko yang menjual segala kebutuhan sehari-hari. (sumber www.wikipedia.com, diunduh tanggal 4 Desember 2012). 26 bentuk pasar modern yang sangat besar, dalam segi luas tempat dan barang-barang yang diperdagangkan. Selain tempatnya yang luas, hipermarket biasanya dan memiliki lahan parkir yang luas.Dari segi harga, barang-barang di hipermarket seringkali lebih murah dari pada supermarket, toko, atau pasar tradisional. (sumber www.wikipedia.com, diunduh tanggal 4 Desember 2012). 27 SMERU News Letter, Pasar Tradisional di Era Persaingan Global, Tradisional Markets in the Era of Global Competition, edisi No. 2: Apr-Jun/2007, Jakarta.
B. Pasar Tradisional dan Eksklusi Sosial Di Indonesia, Pasar tradisional diidentikkan sebagai tempat transaksi yang kumuh, kuno, panas dan atribut jelek lainnya disematkan pada pasar tradisional ini. Sehingga kebanyakan gagasan untuk revitalisasi pasar tersebut adalah mengubah pasar tradisional menjadi pasar modern. Tema revitalisasi pasar dibicarakan karena atas keprihatinan semakin merosotnya pasar tradisional. Dimana pasar tradisional, tidak lagi menjadi tempat tradisional yang menjadi tujuan. Ia kalah dengan supermarket, mall yang semakin marak atau oleh pasar-pasar modern lainnya. Padahal, jika melihat kebelakang, pasar tradisional merupakan icon pertumbuhan ekonomi lokal dan juga menjadi tujuan serta tempat transaksi kelas ekonomi menengah dan bawah. Namun saat ini, pasar tradisional hanya menjadi tempat aktivitas ekonomi wong cilik dan semakin terpinggirkan. Padahal jika diperhatikan, pasar tradisional ini mempunyai potensi cukup besar untuk menggerakan ekonomi bangsa ini. Demikianlah, pasar tradional dipinggirkan, dieksklusikan secara sistematis. Sekali lagi, kesan kumuh, kotor dan tidak sehat melekat erat dan sudah menjadi image yang menancap. Sehingga istilah wong pasar sering dipandankan dengan kesan urakan, jalanan dan tidak mengerti aturan. Gambaran (image) yang dilekatkan tersebut disadari atau tidak sangat merugikan pedagang pasar tradisional, karena didalamnya mengandung makna peyoratif. Inilah bentuk peminggiran yang nyata yang dilakukan selama ini. Image tersebut tidak serta merta muncul begitu saja, tetapi memalui proses panjang yang bermuara pada kebijakan pemerintah tentang pasar tradisional. Kebijakan pemerintah, cenderung mengabaikan pasar tradisional, dengan lebih berorientasi pada pasar modern. C. Eksklusi Sosial dan Pembangunan Eksklusi sosial dimaknai sebagai proses multi-dimensi, dimana terjadi berbagai bentuk
pengecualian/eksklusi
terhadap
masyarakat
atau
kelompok
tertentu.
Pengecualian/marginalisasi terjadi dalam partisipasi untuk pengambilan keputusan dan proses politik, akses ke sumber daya tenaga kerja dan material, dan integrasi ke dalam proses budaya umum. a multidimensional process, in which various forms of exclusion are combined: participation in decision making and political process,
access to employment and material resources, and integration into common cultural processes (Madanipour in Byrne: 2005)28 Dengan kata lain, proses eksklusi sosial merupakan proses yang menghalangi atau menghambat individu dan keluarga, kelompok dan kampung dari sumber daya yang dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial, ekonomi, dan politik di dalam masyarakat (Pierson, 2002)29. Masih menurut Pierson (2002), ada lima kekuatan yang mendorong terjadinya proses eksklusi sosial yaitu; 1) kemiskinan dan penghasilan rendah; 2) tidak ada akses ke pasar kerja; 3) lemahnya atau tidak ada dukungan sosial dan jaringan sosial; 4) efek dari kawasan
dan
lingkungan
komunitas/masyarakat
dari
sekitar layanan
(neighbourhood); publik.
Kelima
dan
5)
terputusnya
komponen tersebut
dapat
mengeksklusi individu atau kelompok orang (Pierson, 2002). D. Kelekatan Negara, ekonomi dan Masyarakat: sebagai sebuah kerangka Analisa Kelekatan (embeddedness) dapat dipahami sebagai bentuk hubungan saling ketergantungan antara institusi, yakni; negara, ekonomi dan masyarakat. Hubungan ini bersifat dinamis dan dapat berubah melalui inovasi kelembagaan (pembaruan internal manajemen perusahaan, pembaruan pola hubungan negara dan perusahaan). Perubahan ini dilakukan oleh aktor dalam negara, ekonomi mapun masyarakat (Achwan; 2011)30. Kelekatan hubungan yang saling melengkapi sering menjadi faktor penting keberhasilan kegiatan bisnis. Sebagai kerangka analisa, berikut matrik kerangka analisis embedding, stateekonomi-masyarakat dari Block dan Evans (2005)31 yang telah disesuaikan oleh Achwan (2011)32:
28
David Byrne, 2005. Social Exclusion, Open University Press, New York, USA Pierson, John. 2002. Tackling Social Exclusion, London and New York, Routledge 30 Achwan, Rochman (2011). Contesting Business Networks in Liberalising Economy and Polity: Evidence from Regional textile Business in Indonesia. Asian Social Science Vol 7, Number 1 31 Block, Fred., & Evans, Peter. (2005). The State and the Economy. In N. Smelser, & R. Swedberg, (eds.), The Handbook of Economic Sociology (2nd Edition). Princeton: Princeton University Press. 32 Achwan, Rochman (2011). Contesting Business Networks in Liberalising Economy and Polity: Evidence from Regional textile Business in Indonesia. Asian Social Science Vol 7, Number 1 29
Matrix 1: Embedding State-Ekonomi-Masyarakat Dimension State-Ekonomi State-Ekonomi-Masyarakat Institutional Embeddedness Development state; Strong Masyarakat Strong Politico-business oligarchy Liberal state Weak Masyarakat (unstable Weak business networks) Institutional Capability Institutional innovation Modernising commercial Strong trading Institutional crisis Institutional crisis Weak E. Pasar Tradisional: dalam kerangka kelekatan kelembagaan Hubungan (kelekatan) antara pasar trdisional, negara dan masyarakat, dapat dilihat dalam kerangka matrik diatas. Secara umum, hubungan yang terjadi di dunia pasar tradisional, memperlihatkan kerangka weak state dan weak institutional innovation sehingga terjadi institutional crisis. Mungkin bahasa lain adalah saling ―memeras‖ sambil menunggu kematian. Penilaian ini, dinilai dari tidak adanya pembaharuan dan inovasi internal, termasuk pembaharuan manajemen pasar, sementara di dalam konteks kebijakan, pada umumnya pemerintah daerah tidak banyak memberikan upaya perbaikan yang signifikan pada pasar tradisional tersebut. F. Faktor Penyebab dan Akibatnya Secara sederhana faktor penyebab institutional crisis pada pasar tradisional adalah faktor internal dan eksternal. Seperti dikemukana, faktor internal lebih karena lemahnya inovasi internal. Lembaga penelitian SMERU (2007)33, pernah mempublikasikan temuantemuan penting penyebab lesunya pasar-pasar tradisional. Mayoritas dari penyebab kelesuan tersebut adalah dikarenakan masalah faktor internal, yakni kinerja birokrasi yang mengelola pasar tradisional. Mayoritas pasar tradisional dikuasai dan dikelola oleh pemda setempat, biasanya di bawah kendali Dinas Pasar. Intansi inilah yang harus dikoreski bila ingin menumbuhkan pasar tradisional. 33
SMERU News Letter, Pasar Tradisional di Era Persaingan Global, Tradisional Markets in the Era of Global Competition, edisi No. 2: Apr-Jun/2007, Jakarta.
Selain itu, penataan toko dipasar tradisonal, seperti dibiarkan semerawut, sehingga persaingan menjadi kuarng baik. Disamping itu kondisi tersebut jelas manajemen kondisi pasar kurang kondusif untuk pengembangan usaha yang baik. Penelitian lain, yakni S. Leksono (2009)34 melihat merosotnya pamor pasar tradisional karena merosotnya modal sosial di pasar tradional. Kompetisi yang terjadi berkembang seperti di pasar modern saja, seperti gencarnya iklan produk dan kompetisi yang sangat kuat antar pedagang. Menurut S. Leksono (2009)35, hilangnya modal sosial di pasar juga karena disebabkan oleh semrawutnya sebuah pasar tradisional menandakan semakin menghilangnya modal sosial. Pasar tradisional, sekarang ini berkembang menjadi lebih individual. Terlihat dalam hal keengganan merawat pasar secara bersama-sama. Sementara dari faktor eksternal, tantangan pasar tradisional tidak kalah beranya. Ia ditantang oleh pasar modern; Minimarket, supermarket dan hypermarket. Pasar modern ini, bahkan sejak awal sering diawali dengan penggusuran pasar-pasar tradisional. Selain itu tidak adanya regulasi yang mengawasi persaingan antara pasar tradisional dengan minimarket, misalnya dari segi produk yang dijual. Sekarang, produk yang dijual di pasar tradisional, semuanya ada di minimarket, super market. Sementara itu, jarak antara pasar modern dan tradisional juga tidak diatur dengan baik, dengan demikian pasar tradional, semakin tergusur saja. G. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Dengan menggunakan kerangka matrik hubungan antara negara, pasar dan masyarakat (matrix 1), terlihat hubungan pasar tradisional dan negara menghasilkan intitutional crisis. Karena kelembagaan pasar tradisional lemah dalam mengembangkan inovasinya (weak institutional innovation), sementara negara, dalam hal ini Pemerintah daerah juga lemah dalam membuat regulasi mengenai pasar tradisional (weak state embeddednes). Dengan demikian, jika tidak ada inovasi yang berarti, pasar tradisional tinggal menunggu ―kematiannya‖.
34
Leksono. S., 2009. Runtuhnya Modal Sosial pasar Tradisional. CV. Citra. Malang
35
ibid
2. Faktor penyebab utama secara internal, karena psar tidak mampu responsif terhadap perkembangan konsumen, akhirnya image yang melekat adalah atribut yang meneksklusi/memarginalisasi pasar tradisional secara sistematis. Selain itu, sudah berkurangnya modal sosial yang dahulu tumbuh dan berkembang di dalam kelembagaan pasar tradisional. Kini, nilai-nilai yang menjadi modal sosial tidak dapat direprduksi dan disesuaikan secara kreatif dan dinamik
dalam
perkembangan modern. 3. Sementara tantangan dari pesatnya pasar-pasar modern, mini market waralaba juga ikut serta menjadi penyebab eksternal yang tidak kalah dahsyatnya, sehingga pasar tradisional menjadi kewalahan. Bahkan, menurut beberapa riset, uang masyarakat yang dibelanjakan di pasar tradisional jauh lebih sedikit dibanding yang dibelanjakan dipasar modern. 4. Diperparah dengan lemahnya institusi negara/pemerintah daerah dalam hal ini sebagai pengelola pasar, tidak mampu mengeluarkan regulasi yang menguntngkan bagi pasar tradisional. Kecenderungannya malah mematikan pasar tradisional tersebut. 5. Dari masalah diatas, sebaiknya pemerintah secepatnya melakukan kajian komprehenship, sehingga didapatkan gagasan perbaikan untuk menata ulang regulasi pasar tradisional, guna menyelamatkan ribuan bahkan jutaan orang yang tergantung pada pasar tradisional tersebut. Salah satu tindakan yang mungkin bisa diambil adalah menyusun regulasi persaingan usaha antara pasar modern dan pasar tradisional yang lebih berpihak pada kepentingan masyarakat umum. Jangan sampai pasar modern ini mematikan pasar tradisional yang telah ada jauh sebelum pasar-pasar modern ini ada.
Daftar Pustaka Achwan, Rochman (2011); “Contesting Business Networks in Liberalising Economy and Polity: Evidence from Regional textile Business in Indonesia”; Asian Social Science Vol 7; Number 1. Block, Fred., & Evans, Peter.(2005); The State and the Economy. In N. Smelser, & R. Swedberg, (eds.), The Handbook of Economic Sociology (2nd Edition); Princeton: Princeton University Press. David Byrne (2005); Social Exclusion; Open University Press; New York, USA. Leksono. S. (2009); Runtuhnya Modal Sosial pasar Tradisional; CV. Citra. Malang Pierson, John (2002); Tackling Social Exclusion; London and New York, Routledge. SMERU News Letter (2007); Pasar Tradisional di Era Persaingan Global, Tradisional Markets in the Era of Global Competition, edisi No. 2: Apr-Jun/2007, Jakarta. www.wikipedia.com, diunduh tanggal 4 Desember 2012
VISI PEMBANGUNAN NASIONAL DAN LUNTURNYA MODAL SOSIAL Oleh : Rahmatullah Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Serang Raya Email :
[email protected] Abstrak RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangs dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dalam bentuk rumusan, visi, misi dan arah pembangunan nasional. Visi pertama pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab berdasarkan falsafah pancasila. Visi ini amatlah penting dikarenakan menjadi identitas masyarakat Indonesia, ukuran ideal masyarakat Indonesia, juga menjadi pencerminan sikap terhadap bangsa lain. Namun tantangan terhadap konsistensi dari visi ini sangatlah besar baik dari sisi internal maupun eksternal, terlebih indikasi desakralisasi jatidiri bangsa terjadi begitu massif seperti menjamurnya budaya demoralisasi seperti korupsi, kolusi dan nepotisme, hilangnya rasa malu, pensakralan hal-hal profan dan pemprofanan hal-hal yang sifatnya sakral. Hal yang paling dihawatirkan saat ini adalah globalisasi telah membawa budaya lintas batas, dimana secara kebudayaan masyarakat Indonesia telah dijajah budaya barat dan lebih menyukai penetrasi budaya tersebut, yang secara tidak langsung telah berhasil membuat masyarakat Indonesia kehilangan identitasnya. Apakah RPJM Nasional yang yang didalamnya terdapat visi Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab berdasarkan falsafah pancasila, sudah siap dengan perubahan zaman, sudah memprediksi dan mempersiapkan langkah prefentif tehadap ‗penajajahan kultural‘ bangsa lain, atau malah visi RPJM hanya menjadi sekedar simbol tertulis yang sama sekali tidak membumi, sehingga ada atau tidak ada visi tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap batas deberkasi antara identitas bangsa dengan penetrasi budaya luar. Kata kunci : visi pembangunan nasional, RPJP, RPJM, modal sosial A. Latar Belakang Sejak dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945, terjadi berbagai perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu terjadinya perubahan dalam pengelolaan pembangunan, dengan tidak dibuatnya lagi garis-garis besar haluan
negara (GBHN) sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional. Disisi lain, Indonesia membutuhkan perencanaan pembangunan jangka panjang sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang dilakukan secara bertahap dalam upaya mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan kondisi tersebut, maka dibuatlah Undangundang terkait dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional yaitu Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 (UU No.17 tahun 2007) RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangs dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dalam bentuk rumusan, visi, misi dan arah pembangunan nasional. Kurun waktu RPJP Nasional adalah 20 (dua puluh) tahun. Pelaksanaan RPJP 2005-2025 terbagi kedalam tahap-tahap perencanaan pembangunan dalam periodisasi perencanaan pembangunan jangka menengah nasional 5 (lima) tahunan yang dituangkan dalam RPJM Nasional I Tahun 2005-2009, RPJM Nasional II Tahun 2010-2014, RPJM Nasional III Tahun 2015-2019, dan RPJM Nasional IV Tahun 2020-2024. RPJP Nasional digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan RPJM Nasional. Pentahapan pembangunan nasional disusun dalam masing-masing periode RPJM Nasional sesuai dengan visi, misi dan Program Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat. RPJM Nasional memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program kementrian/ lembaga dan lintas kementrian/lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. RPJMN memiliki peran strategis karena menjadi acuan dalam perjalanan bangsa, salah satu aspek yang dikaji dalam makalah ini adalah mengenai salah satu visi pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah pancasila. Jika dirunut dari Visi dan misi pembangunan nasional, disebutkan bahwa Visi pembangunan nasional harus
dapat dukur untuk mengetahui kemakmuran
yang ingin
dicapai.
tingkat kemandirian, kemajuan, keadilan dan Secara mendasar kemandirian
sesunguhnya
mencerminkan sikap sesorang atau sebuah bangsa mengenai dirinya, masyarakatnya, serta semangatnya dalam menghadapi tantangan-tantangan. Karena menyangkut sikap, kemandirian pada dasarnya adalah masalah budaya dalam arti seluas-luasnya. Sikap kemandirian harus dicerminkan dalam setiap aspek kehidupan, baik hukum, ekonomi, politik, sosial budaya, maupun pertahanan kemanan. Tingkat kemajuan suatu bangsa dinilai berdasarkan berbagai ukuran. Ditinjau dari indikator sosial, tingkat kemajuan suatu negara diukur dari kualitas sumber daya manusianya. Suatu bangsa dikatakan semakin maju apabila sumber daya manusianya memiliki kepribadian bangsa, berakhlak mulia, dan berkualitas pendidikan yang tinggi. Tingginya kualitas pendidikan penduduknya ditandai oleh makin menurunnya tingkat pendidikan terendah serta meningkatnya partisipasi pendidikan dan jumlah tenaga ahli serta profesional yang dihasilkan sistem pendidikan. Salah satu visi pembangunan nasional, yaitu Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab berdasarkan falsafah pancasila adalah memperkuat jatidiri dan karakter bangsa melelui pendidikan yang bertujuan membentuk manusia bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, mematuhi aturan hukum, memelihara kerukunan internal dan antar umat eragama, melaksanakan interaksi antarbudaya, mengembangkan modal sosial, menerapkan nilai-nilai luhur budaya bangsa, dan memiliki kebanggan sebagai bangsa Indonesia dalam rangka memantapkan landasan spiritual, moral, dan etika pembangunan bangsa. Dalam arah, tahapan, dan prioritas pembangunan jangka panjang, terdapat ukuran tercapainya indoneisia yang maju, mandiri, dan adil, pembangunan nasional dalam 20 tahun mendatang diarahkan pada pencapaian sasaran-sasaran pokok dalam hal ini pada aspek Terwujudnya Masyarakat Indonesia Berakhlakmulia, Bermoral, Beretika, Berbudaya, dan Beradab ditandai oleh hal-hal berikut: 1. Terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan falsafah pancasila yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam, beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan yang Maha Esa, berbudi luhur, toleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis dan berorientasi IPTEK. 2. Makin mantapnya budaya bangsa yang tercermin dalam meningkatnya peradaban, harkat dan martabat manusia Indonesia, dan menguatnya jati diri dan kepribadian bangsa. Arah pembangunan jangka panjang dalam upaya mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab adalah sangat penting bagi terciptanya suasana kehidupan masyarakat yang penuh toleransi, tenggang rasa, dan harmonis. Disamping itu kesadaran akan budaya memberikan arah bagi perwujudan identitas nasonal yang sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa dan menciptakan iklim kondusif dan harmonis sehingga nilai-nilai kearifan lokal mampu mersespon modernisasi secara positif dan produktif sejalan dengan nilai-nilai kebangsaaan; 1. Pembangunan agama diarahkan untuk menetapkan fungsi dan peran agama sebagai landasan moral dan etika dalam pembangunan, membina akhlak mulia, memupuk etos kerja, menghargai prestasi, dan menjadi kekuatan pendorong guna mencapai kemajuan dalam pembangunan. Disamping itu pembangunan agama diarahkan pula untuk meningkatkan kerukunan hidup antar umat beragama dengan meningkatkan rasa saling percaya dan harmonis antar keompok masyarakat sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang penuh toeransi, tenggang rasa dan harmonis. 2. Pembangunan dan pemantapan jatidiri bangsa ditujukan untuk mewujudkan karakter bangsa dan sisitem sosial yang berakar, unik, modern, dan unggul. Jatidiri tersebut merupakan kombinasi antara nilai luhur bangsa seperti religus, kebersamaan dan persatuan, serta nilai modern yang universal, mencakup etos kerja dan prinsip tata kepemerintahan yang baik. Pembangunan jatidiri bangsa tersebut dilakukan melalui transformasi, revitalisasi, dan reaktualisasi tata nilai budaya bangsa yang mempunyai potensi unggul dan memantapkan nilai modern yang membangun. Untuk memperkuat jatidiri dan kebanggaan bangsa, pembangunan olah raga diarahkan pada peningkatan budaya dan prestasi oleh raga.
Tulisan ini secara khusus membahas mengenai visi pertama pembangunan nasional yaitu Mewujudkan Masyarakat Berakhlak Mulia, Bermoral, Beretika, Berbudaya dan Beradab Berdasarkan Falsafah Pancasila. Visi ini amatlah penting dikarenakan menjadi identitas masyarakat Indonesia, ukuran ideal masyarakat Indonesia, juga menjadi pencerminan sikap terhadap bangsa lain. Namun tantangan terhadap konsistensi dari visi ini sangatlah besar baik dari sisi internal maupun eksternal, terlebih indikasi desakralisasi jatidiri bangsa terjadi begitu massif seperti menjamurnya budaya demoralisasi seperti korupsi, kolusi dan nepotisme, hilangnya rasa malu, pensakralan halhal profan dan pemprofanan hal-hal yang sifatnya sakral. Hal yang paling dihawatirkan saat ini adalah globalisasi telah membawa budaya lintas batas, dimana secara kebudayaan masyarakat Indonesia telah dijajah budaya barat dan lebih menyukai penetrasi budaya tersebut, yang secara tidak langsung telah berhasil membuat masyarakat Indonesia kehilangan identitasnya. Menjadi sebuah pertanyaan apakah RPJM Nasional yang yang didalamnya terdapat visi Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab berdasarkan falsafah pancasila, sudah siap dengan perubahan zaman, sudah memprediksi dan mempersiapkan langkah prefentif tehadap ‗penajajahan kultural‘ bangsa lain, atau malah visi RPJM hanya menjadi sekedar simbol tertulis yang sama sekali tidak membumi, sehingga ada atau tidak ada visi tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap batas deberkasi antara identitas bangsa dengan penetrasi budaya luar. Belum lagi aspek lain terkait identitas yang lebih pada ruang komunitas, yaitu pemerintah sering tidak menyadari, jika program-program yang dilakukan mencerminkan nilai-nlai yang jauh dari upaya mewujudkan akhlak mulia, bermoral dan bertetika, berbudaya dan beradab. Karena beberapa program malah meluruhkan hal-hal tersebut, seperti halnya pada program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang lebih mengajarkan masyarakat untuk berlomba-lomba merasa miskin atau menjadi bangga dengan kemiskinanya, membuat kecemburuan sosial diantara warga, memunculkan mentalitas masyarkat yang tidak berdaya, semakin menguatkan budaya kemisiknan, memberikan ikan bukan pancing. Pada program pemerintah lainnya, yaitu Program Nasional Pemberdayaan Nasional Mandiri (PNPM Mandiri) pada beberapa kasus telah memberikan kontribusi
dalam
menurunkannya
modal
masyarakat
Indonesia.
PNPM
yang
dirancang
memberdayakan masyarakat, dengan konsep dasar membangun partisipasi, ternyata memberikan dampak negatif, yaitu menumbuhkan rasa curiga mencurigai antar masyarakat terkait program yang pada akhirnya menjadi proyek yang diperebutkan warga, memunculkan keengganan masyarakat bergotong royong dengan dalih sudah ada PNPM, mendidik masyarakat memanipulasi dan mengkorupsi dana PNPM. Kondisi ini telah merubah struktur dan kultur masyarakat yang sudah ada yaitu bentuk-bentuk kearifan lokal, berbuat tanpa pamrih, saling membantu, tenggang rasa dan lain-lain. Modal sosial merupakan identitas atau jati diri bangsa yang harus dipupuk dan dijaga, selama bangsa ini ada. Sedangkan pemerintah atas dasar pembangunan mencoba memasukan unsur eksternal pada kebudayaan lokal terlebih ada kaitan dengan nilai materi yang secara tidak langsung merubah tatanan sosaial yang sudah ada. Berdarkan dua kondisi diatas, perlu adanya upaya untuk menajga kemurnian visi pembanguann nasional, dengan mengawal dan terus menerus mengevaluasi kondsi yang ada, sehingga ketika ada aspek yang diperkirakan menggangu harus segera diantisipasi, bukan dibiarkan dan dipelihara. Terkait itu perlu adanya kajian khusus mengenai modal sosial bangsa Indonesia, dan bagaimana supaya terus terkuatkan sehingga tidak terjadi penurunan. Dalam makalah ini sengaja dikaji mengenai modal sosial, tujuannya adalah agar menjadi
patokan dalam upaya membentengi identitas bangsa dari ancaman
pengaruh internal dan eksternal. Selain menjadi pelengkap dalam indikator visi pertama pembangunan nasional. B. Modal sosial Para sosiolog, analis kebijakan dan pekerja sosial, belakang ini cukup sering membicarakan mengenai modal dalam bentuk lain, seperti modal manusia, modal intelektual dan modal kultural atau budaya, yang juga dapat digunakan untuk keperluan tertentu atau diinvestasikan untuk kegiatan di masa yang akan datang. Modal manusia misalnya dapat meliputi keterampilan atau kemampuan yang dimiliki orang untuk melakukan tugas tertentu. Modal intelektual mencakup kecerdasan atau ide-ide yang dimilikii manusia untuk mengartikulasikan sebuah konsep atau pemikiran. Sedangkan modal kultural meliputi pengetahuan dan pemahaman komunitas terhadap praktek dan pedoman-pedoman hidup dalam masyarakat.
Konsep mengenai modal manusia,
intelektual dan kultural lebih sulit diukur, karena melibatkan pengetahuan yang dibawa orang dalam benaknya dan tidak mudah dihitung secara biasa. Modal sosial yang juga konsep yang tidak gampang diidentifikasi dan apalgi diukur secara kuantitas dan absolut. Modal sosial dapat didiskusikan dalam konteks komunitas yang kuat (strong community), masyarakat madani yang kokoh, maupun identitas negara bangsa (nation state identity). Modal sosial termsuk elemen-elemennya seperti kepercayan, kohesivitas, altruisme, gotong royong, jaringan dan kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi melalui beragam mekanisme, seperti meningkatnya partisipasi dalam proses demokrasi, menguatnya keserasian masyarakat, dan menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan (Suharto, 2008). Dua tokoh utama yang mengembangkan konsep modal sosial , yaitu Putnam dan Fukuyama, memberikan definisi modal sosial yang penting. Meskipun berbeda, definisi keduanya memiliki kaitan yang erat, terutama menyangkut konsep kepercayaan (trust). Putnam mengartikan modal sosial sebagai penampilan organisasi sosial seperti jaringanjaringan dan dan kepercayaan yang memfasilitasi adanya koordinasi dan kerjasama bagi keuntungan bersama. Menurut Fukuyama, modal sosial adalah kemampuan yang timbul dari adanya kepercayaan dari sebuah komunitas. Modal sosial dapat diartikan sebagai sumber (resource) yang timbul dari adanya interaksi antara orang-orang dalam satu komunitas. Namun demikian pengukuran modal sosial jarang melibatkan interaksi itu sendiri. Melainkan,hasil dari interaksi tersebut, seperti terciptanya atau terpeliharanya kepercayaan antar warga masyarakat. Sebuah interaksi dapat terjadi dalam skala individual maupun institusional. Secara individual, interaksi terjadi manakala relasi intim antar individu terbentuk satu sama lain yang kemudian melahirkan ikatan emosional. Secara institusional, interaksi dapat lahir pada saat individu dan tujuan suatu organisasi memiliki kesamaan dengan visi dan tujuan organisasi lainnya. Meskipun interaksi terjadi karena berbagai alasan, orang-orang berinteraksi, berkomunikasi dan kemudian menjalin kerjasama pada dasarnya dipengaruhi oleh keinginan untuk berbagai cara mencapai tujuan bersama yang tidak jarang berbeda dengan tujuan dirinya secara pribadi. Keadaan ini terutama terjadi pada interaksi yang berlangsung relatif lama. Interaksi ini melahirkan modal sosial yaitu ikatan-ikatan
emosional yang menyatukan orang untuk mencapai tujuan bersama, yang kemudian menumbuhkan kepercayaan dan kemanan yang tercipta dari adanya relasi yang relatif panjang. Seperti halnya modal finansial, modal sosial seperti ini dapat dilihat sebagai sumber yang dapat digunakan baik untuk kegiatan atau proses produksi untuk saat ini, ataupun bagi kegiatan di masa depan. Masyarakat yang memiliki modal sosial tinggi cenderung bekerja secara gotongroyong, cenderung merasa aman untuk berbicara dan mampu mengatasi perbedaanperbedaan. Sebaliknya masyarakat yang memiliki modal sosial rendah akan tampak adanya kecurigaan satu sama lain, merebaknya ‖kelompok kita‖ dan ―kelompok mereka‖, tiadanya kepastian hukum dan keteraturan sosial, serta sering munculnya kambing hitam. C. Parameter Modal sosial Modal sosial mirip bentuk-bentuk modal lainnya, dalam arti ia juga bersifat produktif. Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu sama lain, khsususnya relasi yang intim dan konsisten. Modal sosial menunjuk pada jaringan, norma dan kepercayaan yang berpotensi pada produkstifitas masyarakat. Namun demikian modal sosial berbeda dengan modal finansial, karena modal sosial bersifat kumulatif dan bertambah dengan sndirinya (self reinforcing) (Putnam, 1993). Modal sosial tidak akan habis jika dipergunakan, melainkan semakin meningkat. Rusaknya modal sosial lebih sering disebabkan oleh bukan karena dipakai, melainkan karena ia tidak dipergunakan. Berbeda denga modal manuisa, modal sosial juga menunjuk pada kemampuan orang untuk berasosiasi dengan orang lain (coleman 1988). Bersandar pada norma-norma dan nilai-nilai bersama, asosiasi antar manusia tersebut menghasilkan kepercayaan yang pada gilirannya memiliki nilai ekonomi yang besar dan terukur (Fukuyama, 1995). Merujuk pada Ridell (1997), ada tiga parameter modal sosial, yaitu kepercayaan (trust), norma-norma (norms) dan jaringan-jaringan (networks). 1. Kepercayaan Sebagaiman dijelaskan Fukuyama, kepercayaan adalah harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh perilaku jujur, teratur, dan kerjasama yang dianut oleh norma-norma yang dianut bersama. Kepercayaan sosial sosial merupakan penerapan terhadap pemahaman ini. Cox (1995) kemudian mencatat bahwa dalam masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan
tinggi, aturan-aturan sosial cenderung bersifat positif; hubungan-hubungan juga bersifat kerjasama. Kepercayaan sosial pada dasarnya produk dari modal sosial yang baik. Adanya modal sosial yang baik ditandai oleh adanya lembaga-lembaga sosial yang kokoh; modal sosial melahirkan kehidupan yang harmonis (Putnam, 1995). Kerusakan modal sosial akan menimbulkan anomie dan perilaku anti sosial (Cox, 1995). 2. Norma Norma terdiri dari pemahaman, nilai-nilai, harapan–harapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang. Norma-norma dapat bersumber dari agama, panduan moral, maupun standar-standar sekuler seperti halnya kode etik profesional. Norma-norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerjasama dimasa lalu dan diterapkan untuk mendukung iklim kerjasama (Putnam, 1993; Fukuyama, 1995). Norma-norma dapat merupakan prakondisi maupun produk kepercayaan sosial. 3. Jaringan Infrastruktur dinamis dari modal sosial berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar manusia (Putnam, 1993). Jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi
dan
interaksi,
memungkinkan
tmbuhnya
kepercayaan
dan
memperkuat kerjasama. Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringanjaringan sosial yang kokoh. Orang mengetahui dan bertemu orang dengan orang lain. Mereka kemudian membangun inter-relasi yang kental, baik bersifat formal maupun informal. Putnam berargumen bahwa jaringan-jaringan sosial yang erat akan memperkuat perasaan kerjasama antar anggotanya serta manfaat-manfaat dari partisipasinya itu. Bersandar pada parameter diatas, beberapa indikator kunci yang dapat dijadikan ukuran modal sosial antara lain (Suharto, 2006): -
Perasaan identitas
-
Perasaan memiliki atau sebaliknya perasaan alienasi
-
Sistem kepercayaan dan ideologi
-
Nilai-nilai dan tujuan-tujuan
-
Ketakutan-ketakutan
-
Sikap-sikap terhadap anggota lain dalam masyarakat
-
Persepsi mengenai akses terhadap pelayanan, sumber dan fasilitas (misalnya pekerjaan, pendapatan, pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi dan jaminan sosial)
-
Opini mengenai kinerja pemerintah yang dilakukan terdahulu
-
Keyakinan pada lembag-lembaga masyarakat dan orang-orang pada umumnya
-
Tingkat kepercayaan
-
Harapan-harapan yang ingin dicapai dimasa depan
Dapat dikatakan bahwa modal sosial dilahirkan dari bawah (bottom up), tidak hirarkis dan berdasar pada interaksi yang saling menguntungkan. Oleh karena itu modal sosial bukan merupakan produk dari inisiatif dan kebijakan pemeritah. Namun demikian, modal sosial dapat ditingkatkan atau dihancurkan oleh negara melalui kebijakan publik. D. Mengembangkan Modal sosial melalui Kebijakan Publik Dalam konteks kebijakan publik, modal sosial pada intinya menunjuk pada political will dan penciptaan jaringan-jaringan, kepercayaan dan nilai-nilai bersama, norma-norma dan kebersamaan yang timbul dari adanya interaksi manusia di dalam sebuah masyarakat. Pemerintah dapat mempengaruhi secara positif kepercayaan, kohesivitas, altruisme, gotong-royong, partisipasi, jaringan, kolaborasi sosial dalam sebuah komunitas. Modal sosial pada umumnya akan tumbuh dan berkembang bukan saja karena ada kesamaan tujuan dan kepentingan, melainkan pula karena adanya kebebasan menyatakan pendapat dan berorganisasi, terjalinnya relasi yang berkelanjutan, serta terpeliharanya komunikasi dan dialog yang efektif. Gambar berikut menunjukkan bagaimana kebijakan publik dapat mempengaruhi lingkaran modal sosial yang pada gilirannya menjadi pendorong keberhasilan pembangunan, khususnya pembangunan kesejahteraan sosial:
Tumbuhnya saling pengertian
PEMBANGU NAN SOSIAL
Interaksi efektif antar manusia
KEBIJAK AN PUBLIK
MODAL SOSIAL
Tumbuhnya niat baik, kepercayaan dan norma
Berkembangnya gotong royong, altruism, kohesifitas, keyakinan untuk berpartisipasi
PEMBANGU NAN KESEJAHTE RAAN SOSIAL
Gambar Kebijakan Publik dan Modal Sosial
E. Strategi Kebijakan Publik dalam Pengembangan Modal Sosial Beberapa strategi kebijakan publik yang dapat dirancang guna mempengaruhi tumbuh kembangnya modal sosial adalah sebagai berikut: 1. Memperkuat kepercayaan sosial (social trust) melalui: -
Model integrasi dan relasi di dalam dan diluar lembaga-lembaga pemerintahan
-
Proses-proses yang mampu mengatasi konflik dan pertentangan berdasarkan prinsip ‗win-win policy’
-
Desentralisasi dalam pengambilan keputusan
2. Menumbuhkembangkan nilai-nilai kebersamaan, melalui: -
Kurikulum pendidikan
-
Hukum dan kebijakan keteraturan
-
Perasaan bersama menganai identitas dan kepribadian sebagai satu negara bangsa
-
Peraturan yang mempromosikan nilai-nilai sosial positif, hak asasi manusia dan hak-hak publik
-
Kepastian standar
3. Mengembangkan kohesifitas dan altruisme, melalui; -
Pengurangan pajak bagi perorangan atau perusahaan yang melakukan kegiatan sosial
atau
Tanggungjawab
Sosial
Perusahaan
(Corporate
Social
Responsibility) -
Registrasi dan pengorganisasian kegiatan kedermawanan sosial
4. memperluas partisipasi lokal, melalui: -
Pendanaan proyek-proyek kemasyarakatan
-
Dukungan bagi program pengembangan masyarakat (community development) guna meningkatkan kapasitas masyarakat dan kepemimpinan lokal
-
Inisiatif-inisiatif yang memperkuat keluarga
5. Menciptakan jaringan dan kolaborasi, melalui; -
Kolaborasi diantara lembaga pemerintah dan antara lembaga pemerintah dan lembaga-Lembaga Swadya Masayarakat (LSM) serta lembaga usaha
-
Dukungan terhadap organisasi-organiasi sukarela untuk membangun jaringan dan aliansi
6. Meningkatkan keterlibatan masyarakat warga melalui proses tata pemerintahan yang baik (good governance), melalui: -
Kampanye agar orang terlibat dalam pemilihan pemerintah pusat dan daerah secara demokratis
-
Konsultasi dan advokasi kebijakan bagi warga masyarakat
-
Pelibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan dan penganalisisan implementasinya
-
Promosi dan sosialsiasi konsep mengenai masyarakat warga yang aktif
-
Penyediaan sarana informasi pemerintah yang dapat diakses secara luas oleh masyarakat
F. Manfaat Apa manfaat yang dapat diperoleh melalui strategi kebijakan publik yang difokuskan pada pengembangan modal sosial:
-
Meningkatnya partisipasi di dalam masyarakat sehingga terdapat kesempatan yang lebih luas dan kemampuan yang lebih baik dalam mencapai tujuan bersama
-
Meningkatnya partisipasi dalam proses-proses demokrasi sehingga pemerintah pusat dan lokal lebih akuntabel dan terbuka dalam mendengarkan beragam suara dan aspirasi masyarakat.
-
Menguatnya aksi bersama yang merefleksikan perasaan tanggungjawab bersama
-
Tumbuhnya dukungan bagi, dan kepercayaa daripada, individu dalam memenuhi kebutuhan dan aspirasinya.
-
Menguatnya perasaan memiliki, identitas dan kebanggaan bersama sebagai satu warga masyarakat
-
Menurunnya tingkat kejahatan, korupsi dan alienasi karena meningkatnya keterbukaan, kontrol sosial, kerjasama dan harmoni
-
Meningkatnya hubungan dan jaringan antar sektor pemerintah, swasta, lembaga sukarela dan keluarga
-
Terjadinya tukar menukar gagasan dan nilai diantara keragaman dan pluralitas warga masyarakat
-
Rendahnya biaya-biaya transaksi karena adanya koordinasi dan kerjasama yang erat dan memudahkan penyelasaian konflik
-
Meningkatnya kemampuan masyarakat dalam merespon guncangan yang datang tiba-tiba Karena adanya jaringan kerjasama yang erat diantara seluruh komponen masyarakat warga
-
Menguatnya kemampuan dan akses masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumber-sumber yanga da di sekitar mereka.
G. Pengembangan Masyarakat Dalam Ife Terdapat pembahasan mengenai Perubahan Dari Bawah, dimana ketika berbicara mengenai pembangunan masyarakat, maka harus memperhatikan beberapa aspek diantaranya: 1. Menghargai Pengetahuan Lokal
Menghargai pengetahuan lokal adalah sebuah komponen esensial dari aktivitas pengembangan masyarakat, dan ini dapat dirangkum dalam frase ‗masyarakat yang paling tahu‘. Diatas segalanya, anggota masyarakat memiliki pengalaman dari masyarakat tersebut, tentang kebutuhan dan masalah-masalahnya, kekuatan dan kelebihannya, dan ciri-ciri khasnya. Jika kita ingin terlibat dalam proses pengembangan masyarakat, ia harus dikerjakan daiatas pengetahuan lokal. Dalam hal ini pekerja pengembangan masyarakat boleh memberikan pengaruh ketika sudah lama menjadi anggota masyarakat. Masyarakat lokalah yang memiliki kearifan, pengetahuan, dan keahlian. Pekerja masyarakat harus mendengar dan belajar dari masyarakat, bukan mengajari masyarakat tentang problem dan kebutuhan mereka. 2. Menghargai kebudayaan lokal Suatu kebudayaan lokal masyarakat bisa terkikis oleh pemaksaan nilai-nilai dominan dari luar, dengan demikian tidak diperbolehkan menghilangkan nilai dan menganggap rendah pengalaman masyarakat lokal. Hal yang paling penting adalah bahwa nilai-nilai kultur lokal adalah utama dalam pengembangan masarakat, dan dengan demikian adalaha hakikat untuk seorang pekerja pengembangan masyarakat adalah berupaya mengerti dan menerima kultur lokal seperti itu, dan bila mungkin mengesahkan dan bekerja dengan kultur tersebut. Berupaya memaksankan suatu nilai lain hanya karena pekerja lebih terbiasa dan nyaman dengan itu adaah bentuk imperialisme cultural yang melemahkan dan berlawanan dengan prinsip pengembangan masyarakat. 3. Menghargai sumber daya lokal Salah satu prinsip penting dalam pengembangan masyarakat adalah keswadayaan, yang diturunkan langsung dari prinsip ekologis keberlanjutan. Keswadayaan pada hakikatnya berarti masyarakat bergantung pada sumber daya mereka sendiri, ketimbang sumber daya yang diberikan secara eksternal. Prinsip mendasar yang menyangga pembentukan komunitas adalah didasarkan atas pendekatanpendekatan yang menekankan penentuan nasib sendiri dan keswadayaan (yaitu bahwa masyarakat perlu diberdayakan untuk mengelola persoalan mereka sendiri,
yang mencakup merumuskan solusi-solusi mereka dan proses-proses untuk mencapainya). Permasalahan saat ini adalah bahwa hasil kebijakan dan program pembentukan komunitas terjadi dalam lingkup suatu kerangka yang kuat dari prioritas pemerintah, kebijakan pemerintah dan proses-proses pemerintah yang dipaksakan kepada masyarakat ketimbang yang berasal dari mereka. 4. Menghargai keterampilan Lokal Hal yang paling penting dalam hal menghargai keterampilan lokal adalah, ia lebih memberdayakan dibanding melemahkan. Seorang pekerja msyarakat dapat menghargai keterampilan lokal dengan membuat daftar ketermpilan, sekedar mencari tahu keterampilan yang dimiliki oleh setuip anggota masyarakat. Hal kadang yang menjadi tak terduga, karena tanpa disadari banyak anggota masyarakat yang memiliki potensi ketramapilan, tanpa harus menghadirka orang luar. Sedangkan tiding jarang pekerja sosial lebih memprioritaskan mendatangkan orang luar untuk proses pengembangan masyarakat. 5. Menghargai proses lokal Proses-proses yang digunakan dalam pengembangan masyarakat tidak perlu diimpor dari luar, karena mungkin terdapat proses-proses masyarakat lokal yang mengerti dan diterima dengan baik oleh masyarakat lokal. Meskipun demikian, godaaan bagi seorang pekerja masyarakat adalah mencoba mengadakan suatu proses yang telah ia pelajari dalam sebuah kursus, dari sebuah buku, atau telah ia gunakan dengan berhasil pada sebuah konteks yang lain. 6. Bekerja dalam solidaritas Pengalaman masyarakat lokal harus disahkan dan digunakan sebagai titik awal bagi setiap pekerja pengembangan masyarakat. Menyelonong masuk sebagai seorang pakar, bermaksud untuk campur tangan dan membuat perubahan dari suatu posisi pengetahuan dan keterampilan yang superior, merupakan jaminan kegagalan, dan hanya akan mempengaruhi struktur dan wacana keadaan yang melemahkan masyaakat. Pekerja masyarakat harus belajar melangkah mundur, mendengarkan, bertanya ketimbang memberikan jwaban, belajar, dan mencoba mengerti. Pekerja
masyarakat harus menghargai bahwa para anggota masyarakat mengetahui lebih banyak tentang masyarakat. Masalahnya, isu, kekuatan, kebutuhan dan cara-cara melakuka sesuatu dan bahwa setiap proses pengembangan masyarakat harus merupakan milik mereka bukan milik pekerja pengembangan masyarakat. H. Permasalahan Dalam RPJMN mengenai salah satu point Visi Pembangunan Nasional ―Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral beretika, berbudaya, , dan beradab didasarkan etika pancasila‖.Pada dasarnya hanya memaparkan konsep ideal, tanpa memberikan gambaran dan parameter yang jelas. Selain itu tidak dijelaskan bagaimana cara mempertahan kan identitas yang tersebutkan dalam misi sehingga ketika ada permasalahan atau demoralisasi yang disebabkan oleh berbagai permasalahn dari dalam bangsa maupun dari luar bisa jelas pentahapan dalam mengatasinya. Visi pembangunan nasional seolah-olah baru sekedar semboyan atau simbolisasi yang tidak membumi, terlebih hanya memberikan tujuan tanpa memprioritaskan bagaimana proses untuk mencapainya. Selain itu gejala demoralisasi semakin kentara saat ini, diantaranya sikap korupsi, kolusi dan nepotesme seolah sudah menjadi budaya. Permasalahan
lain
adalah
pemerintah
terkadang
tiak
konsisiten
dalam
mengimplementasikan visi tersebut malah terjebak pada program yang justru meruntuhkan struktur sosial, kohesifitas sosial yang juga merupakan identitas dan karakteristik masyarakat Indonesia. Beberapa program malah cenderung menyebabkan masyarakat
menjadi
materialis,
bukan
memberdayakan
malah
melemahkan,
menumbuhkan ketergantungan, dan memunculkan bibit konflik pada level lokal. Solusi Modal sosial merupakan unsur yang terdapat dalam visi pembangunan nasional ―Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral beretika, berbudaya dan beradab berdasarkan falsafah pancasila‖ diperlukan beberpa langkah dalam menjaga dan memelihara vsisi tersebut, diantaranya dengan upaya memperkuat Memperkuat kepercayaan sosial (social trust) melalui model integrasi dan relasi di dalam dan diluar lembaga-lembaga pemerintahan. Modal integrasi antar lenbaga pemerintahan maupun pihak luar merupakan aspek terpenting, janga sampai terjadi tumpang tindih atau tidak
adanya kesamaan model antara satu lembaga dengan lembaga lain padahal memiliki tujuan yang sama. Diperlukan adanya proses-proses
yang mampu mengatasi konflik dan
pertentangan berdasarkan prinsip ‗win-win policy’. Prinsip ini menekankan pada pentingnya
kebijakan
yang
membangun
kebersamaan
dengan
prinsip
saling
menguntungkan. Jangan sampai sebuah kebijakan dikeluarkan menguntungkan bagi satu pihak sedangkan pihak lain dirugikan, sebagaimana kebijakan pemerintah menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang kemudian memberikan substitusi atau kompensasi berupa program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang sebetulnya secara hakikat tidak memberikan dampak positif pada masyarakat. Solusi lainnya adalah perlunya desentralisasi dalam pengambilan keputusan, selama ini terjadi penyeragaman dalam banyak aspek maulai dari program amupun kebijakan dimana satu kebijakan disamaratakan tanpa melihat tingkat kebutuhan maupun heterogentas masayarakat yang ada dibawah. Proses desentralisasi merupakan bagian dari upaya menghimpun aspirasi dan keinginan masyarakat pada satu wilayah secara utuh. Terkait dengan perlunya desentralisasi dalam pengambilan keputusan, perlu adanya upaya menumbuhkembangkan nilai-nilai kebersamaan, melalui kurikulum pendidikan, hukum dan kebijakan keteraturan, perasaan bersama menganai identitas dan kepribadian sebagai satu negara bangsa, peraturan yang mempromosikan nilai-nilai sosial positif, hak asasi manusia dan hak-hak publik dan kepastian akan suatu standar. Selain itu upaya terus menerus dalam menjaga dan mempertahankan identitas adalah melalui mengembangkan kohesifitas dan altruisme, karena dalam sejarah panjang masyarakat Indonesia dua aspek ini merupakan kekayaan budaya bangsa. Upaya yang dilakuakan untuk mengembangkan kohesifitas dan altruism adalah melalui, pengurangan pajak bagi perorangan atau perusahaan yang melakukan kegiatan sosial atau Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility), jangan sampai perusahaan dihadapakan beban biaya pajak yang tinggi, biaya loby, biaya bawah meja yang menjadi budaya oknum aparat pemerintah, disi lain perusahaan ditekan untuk melngembangkan program CSR. Seiring dengan itu perlu adanya registrasi dan pengorganisasian kegiatan kedermawanan sosial, sehingga program yang sifatnya positif tidak berjalan masing-masing, dan tepat sasaran sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Partisipasi masyarakat lokal perlu terus dikembangkan, hal ini untuk menumbuhkan
kesadaran
dan
rasa
tanggungjawab
masyarakat
dalam
proses
pembangunan yang fokus pembangunan tersbut adalah untuk masyarakat sendiri. Pembnguanan partsispasi dilakukan melalui; pendanaan proyek-proyek kemasyarakatan yang didasarkan pada ‗kebetuhan‘ bukan pada ‗keinginan‘ dengan catatan bantuan pendanaan tidak merubah struktur sosial dan kultur masyarakat tersebut mendukung dengan menjaga keluhuran kearifan lokal. Dalam konteks desentralisasi perlu diperkuatnya
dukungan
bagi
program
pengembangan
masyarakat
(community
development) guna meningkatkan kapasitas masyarakat dan kepemimpinan lokal dan inisiatif-inisiatif yang memperkuat keluarga Pada dasarnya pembangunan dan upaya menjaga kepribadian bangsa perlunnya menciptakan jaringan dan kolaborasi, melalui sinergitas diantara lembaga pemerintah dan antara lembaga pemerintah dan lembaga-Lembaga Swadya Masayarakat (LSM) serta lembaga usaha, dan dukungan terhadap organisasi-organiasi sukarela untuk membangun jaringan dan aliansi Solusi terakhir dalam upaya menjaga dan meningkatkan keterlibatan masyarakat adalah melalui proses tata pemerintahan yang baik (good governance), yaitu dengan kampanye atau sosialisasi agar orang terlibat dalam pemilihan pemerintah pusat dan daerah secara demokratis menumbuhkan iklim konsultasi dan advokasi kebijakan bagi warga masyarakat, adanya pelibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan dan penganalisisan implementasinya, promosi dan sosialsiasi konsep mengenai masyarakat warga yang aktif, dan penyediaan sarana informasi pemerintah yang dapat diakses secara luas oleh masyarakat.
Daftar Pustaka Amrik, Mulya dan Sarosa Wicaksono (2008), CSR Untuk Penguatan Kohesi Sosial, Jakarta: Yayasan Indonesia Business Link. Ife, Jim dan Frank Tiserio (2008), Community Development, Alternatif Pengembangan Masyarat Era Globalisasi. Jogjakarta: Pustaka Pelajar Lawang, Robert MZ (2004), Kapital Sosial, Dalam Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar. Jakarta: UI Press. Suharto, Edi. (2008), Membangun Masyarakat Memberdayakan, Rakyat, Bandung: Alfabeta. Suharto, Edi. (2008), Kebijakan sosial sebagai kebijakan publik, Bandung: Alfabeta. Werthein, WF. (1999), Masyarakat Indonesia Dalam Transisi, Studi Perubahan sosial. Jogjakarta: Tiara Wacana.
SERANGAN AMERIKA SYARIKAT TERHADAP IRAK (UNTUK KEPENTINGAN MENGUASAI MINYAK) Oleh : Feri Fadli Rizki Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Serang Raya Email :
[email protected]
Abstract This study discusses about the U.S. invasion of Iraq in the name of democracy and human rights. American military attack causes violation of Iraq's sovereignty as a nation, it is inviting the world to condemn any reaction to the United States in Iraq. Because the invasion was based on economic motives for control of Iraqi oil. It can be seen from the actors involved, both state and non-state actors in behind of invasion. United States continues to perpetuate a new world order under their leadership, because neither party can prevent their actions. The study uses neo-realism approach as relation of security and military, and use the relative gains, which disproportionately benefit is not equal between one party to the other, because the United States came with the force of arms and dropped a sovereign government. Keywords: United States of America military attack on Iraq, violation of the sovereignty of the Iraqi people, the motives of the American economy over control of Iraq's oil
A. Pendahuluan
Keputusan Presiden Amerika Syarikat George. W. Bush untuk menghantarkan tenteranya ke Irak sangat membuat dunia tersentak. Meskipun dengan alasan pendemokrasian dan hak asasi manusia, dan mengambil senjata pemusnah massal milik Irak, tindakan ini mendapatkan kecaman yang begitu besar daripada pelbagai belahan dunia. Reaksi keras tidak hanya muncul dari luar negara, tetapi reaksi keras atas penolakan dihantarkannya tentera Amerika Syarikat ke Irak ditunjukkan oleh rakyat Amerika Syarikat sendiri. Tunjuk perasaan atas tindakan ini terjadi di mana-mana, baik di luar mahupun di dalam negara Amerika. Pernyataan-pernyataan Bush
yang
mengatasnamakan kedamaian dan pendemokrasian di Irak tidak dapat diterima oleh siapa pun pada masa itu. Konflik Amerika Irak sebelumnya pernah berlaku pada tahun 1991,
ketika Amerika berada di bawah pimpinan George Bush. Amerika bersama dengan pasukan multinasional pernah menyerang Irak dengan berlagak sebagai polis dunia, mengusir pendudukan tentera Irak di Kuwait. Tanpa bermaksud membenarkan tindakan Irak atas Kuwait pada masa itu, tapi kalau dibandingkan dengan serangan Israel ke Palestin, justru pendudukan itu lebih lama. Selepas peristiwa itu Amerika dapat mengendalikan PBB, sejumlah sanksi dijatuhkan pada Irak, mulai daripada embargo ekonomi, tentera dan pembekuan harta Irak di luar negara. Dengan begitu maka rakyat Irak yang menanggung akibatnya. Banyak berlaku kemiskinan, ratusan ribu nyawa hilang dan mengalami kekurangan gizi, terancam penyakit dan kematian kerana kurangnya sarana kesihatan (Republika, 1995). Hal ini pun berulang pada tahun 2003 di bawah pimpinan George W. Bush, Amerika kembali menyerang Irak. Serangan ini didasarkan pada dugaan Pemerintah Amerika atas pemilikan senjata pemusnah massal oleh Irak. Sebagai negara adikuasa semua tindakan mereka tak dapat dicegah, Bush dan pemerintahannya tidak mahu tahu mengenai tindakan-tindakan akibat serangan mereka. Motif mereka menyerang Irak, tidak hanya motif politik, tetapi juga motif ekonomi, iaitu penguasaan atas minyak Irak kerana sebelumnya Amerika pernah mengalami krisis minyak. Tidak hanya serangan senjata yang dilakukan Amerika, tapi penyebaran opini pengganas melalui media mengakibatkan makna bias pada istilah ini. Tuduhan Amerika terhadap Irak berkaitan dengan kepemilikan senjata pemusnah massal tidak terbukti. Serangan Amerika dan sekutunya ke Irak sangat jelas melanggar Piagam PBB seksyen 51 yang melarang menyerang negara lain kecuali untuk membela diri daripada serangan musuh. PBB, khasnya Dewan Keselamatan, yang memiliki kuasa untuk memelihara keselamatan dan perdamaian antarabangsa tidak dapat berdaya untuk menahan Amerika Syarikat. Jatuhnya Sadam Husein daripada tampuk kekuasaannya melalui serangan tentera Amerika ke Irak menunjukkan bahawa sebagai negara kuasa dunia, Amerika berkemampuan untuk menistakan kehendak rakyat di suatu negara, dan mengganti presiden pilihan rakyat dengan rejim baru yang dianggap lebih demokratik, serta berpendapat bahawa ini adalah yang terbaik untuk rakyat Irak (Wibisono 2006 : 80) Ertinya kedaulatan Irak sebagai sesebuah negara dan bangsa sudah dinafikkan.
Bagaimanapun proses perubahan di Irak menjadi tanggung jawab rakyat Irak sendiri tanpa campur tangan oleh pihak manapun.
Dunia sudah memasuki susunan baharu iaitu konsep yang dibuat atas kehendak Amerika Syarikat yang mendominasi dunia dan alam semesta. Amerika Syarikat dapat menyerang negara mana-mana dengan kekuatan tenteranya. Selain itu negara ini dapat menentukan negara mana di dunia yang boleh memiliki senjata dan negara mana yang tidak boleh. Negara ini pun hanya mampu memandang demokrasi dan hak asasi manusia dalam pandangan mereka sendiri. Mereka cenderung tidak melihat kumpulan kawasan dan kedaulatan negara lain. Sebab bagaimanapun serangan Amerika ke Irak selain mengenyampingkan PBB dan Dewan Keselamatan, juga telah melanggar hak asasi manusia dan kedaulatan sesebuah negara. Fakta ini menunjukkan
bahawa kekuatan tentera Amerika sukar dibendung,
kerana Amerika boleh melaksanakan hasratnya dengan cara apapun termasuk melalui kekuatan tentera. Jika masa ini Afghanistan dan Irak yang menjadi target serangan, boleh jadi pada masa berikutnya Iran, Suriah atau Korea yang menjadi sasaran target serangan tentera Amerika sebab negara-negara ini dikecam oleh Amerika kerana kepemilikan senjata nuklir. B. Reaksi Dunia Terhadap Serangan Amerika Serikat Ke Irak
Pada Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non Blok tarikh 24-25 Februari 2003, 116 negara anggota GNB (Gerakan Non Blok), termasuk 57 ahli Organisasi Islam Sedunia (OIC), sepakat menentang perang dan menyerukan penyelesaian damai atas krisis Irak melalui mekanisme Pertubuhan Bangsa-Bangsa (PBB). Tuntutan GNB maupun OIC sudah memperkuat gerakan menentang Perang Irak. Gerakan protes muncul hampir di seluruh dunia, tidak terkecuali di Inggris, Australia, dan Amerika sendiri. Pada tingkat kerajaan, seluruh negara di dunia, tidak menyokong rancangan kecuali Inggeris dan
Australia,
tidak
mendukung
rencana
AS
menyerang
Irak
(www2.kompas.com/kompas-cetak/0112/10/UTAMA/11.htm). Negara-negara anggota Organisasi Islam (OIC) bersepakat menolak serangan Amerika Syarikat terhadap Irak. Sikap tegas itu diputuskan dalam kesepakatan yang dikeluarkan pada akhir Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) kecemasan OIC di Doha, Qatar
pada tarikh 5 Mac 2003 . Bukan itu sahaja, dalam kesepakatan itu, selain menolak setiap serangan terhadap Irak, 57 negara daripada ahli OIC juga menolak setiap ancaman terhadap keselamatan semua negara Islam. Kesepakatan itu juga menyerukan kepada seluruh anggota OIC untuk menahan diri dengan tidak terlibat dalam hal ketenteraan yang ditujukan kepada keselamatan dan integriti teritorial Irak dan negara ahli OIC lainnya (www2.kompas.com/kompas-cetak/0303/06/UTAMA/166291.htm). Pada umumnya negara-negara Islam menolak serangan Amerika ke Irak, tetapi mereka tidak dapat mencegah tentera Amerika memasuki Irak. Sementara negara-negara di sekitaran tersebut tidak dapat memberikan bantuan kepada Irak dalam perang ini. menjadi basis serangan Amerika Syarikat terhadap Irak. Kuwait yang menjadi ahli OIC masih terlihat memberi sokongan kepada Amerika Syarikat, sedangkan, walaupun Kuwait dalam pernyataan rasminya dalam sidang OIC tidak menyokong serangan Amerika, tetapi Kuwait memberi tempat kepada hampir 140.000 ahli tentera Amerika Syarikat dan Inggeris, begitu juga dengan beberapa negara yang berada di kawasan Teluk (www2.kompas.com/kompas-cetak/0303/06/UTAMA/166291.htm). Pemegang hak veto, Perancis, Rusia, dan Cina, juga menolak rancangan Amerika untuk menyerang Irak seperti juga Amerika Syarikat dan Inggeris. Negara-negara ini pun mampu mematahkan semua keputusan yang akan dibuat oleh Dewan Keselamatan PBB. Usaha Amerika untuk mengajak Perancis, Rusia, Cina dan Jerman tidak berhasi. Akhirnya Amerika dan Inggeris meninggalkan Dewan Keselamatn PBB dan menyerang Irak pada tarikh20 Maret 2003 (www.swaramuslim.net/more.php). Kerajaan Arab Saudi, sebagai pimpinan Timur tengah tidak boleh berbuat apa-apa dan terlihat menyokong tindakan Amerika terhadap Irak. Sebab ramai tentera Amerika yang ditempatkan di wilayah Arab Saudi. Eratnya hubungan Arab Saudi dengan Amerika Syarikat, yang wujud melalui syarikat minyak macam Exxon, Texaco, atau Aramco, menyebabkan posisi kerajaan kaya minyak itu mulai menjauh daripada beberapa peristiwa penting di Timur Tengah. Apalagi sikap sokongan Amerika kepada Israel, yang menjadi musuh bersama Arab, membuat Arab Saudi dalam posisi yang sukar. Misal dalam perang Arab dengan Israel selama enam hari pada tahun 1967 dan Yom Kippur, kerajaan Arab Saudi tidak mengambil sikap apapun (Maha Adi 2004).
Peristiwa lain yang mengasingkan Arab Saudi dari komitmennya terhadap persaudaraan muslim, ialah desakan daripada Amerika agar menghentikan semua bantuan kewangannya kepada lembaga-lembaga Islam di seluruh dunia, setelah tragedi 11 September 2001 silam. Alasannya, semua organisasi agama sedang diselidiki keterkaitannya dengan jaringan pengganas antarabangsa. Sikap Amerika semakin menyusahkan Arab Saudi, sebab kerajaan ini juga menjadi penyokong kewangan PLO dan Yasser Arafat sebelum Perang Teluk I dan masih menjadi sumber dana bagi Hamas di Palestina. Penghentian bantuan itu akan mengucilkan Saudi dari gerakan Islam di pelbagai belahan dunia (Maha Adi 2004). Pada tahun 2002, dalam pertemuan negara-negara Arab Pangeran Abdullah menyatakan isu perbaikan hubungan dengan Israel sebagai langkah menuju stabiliti politik di kawasan itu. Memperbaiki hubungan dengan Israel ialah (langkah) yang pertama, untuk menyampaikan penolakan membantu Amerika menyerang Irak. Bagaimanapun sukar untuk mendesak tentera Amerika untuk keluar dari Arab Saudi. Sebab perang Iran dengan Irak, serangan Irak ke Kuwait, dan penyusupan tentera Irak ke sempadan Arab Saudi pada perang Teluk masih diwaspadai oleh Arab Saudi. Tetapi serangan teroris di dalam negara membuat Arab Saudi menimbang lagi untuk mendesak tentera Amerika keluar dari wilayah mereka (Maha Adi 2004). C. Akibat Daripada Serangan Amerika Terhadap Irak 1. Terlanggarnya kedaulatan bangsa Irak
Serangan tentera Amerika ke Irak pada bulan Maret 2003 telah menciderai kedaulatan Irak sebagai negara dan bangsa. Serangan tentera dan sekutu mereka tidak hanya menyebabkan hancurnya bangunan-bangunan fizik dan kemudahan awam di Irak, tetapi juga menyebabkan tergulingnya Sadam Hussein daripada tampuk kekuasaannya. Alasan Bush melakukan serangan dan menjatuhkan Saddam Hussein ialah untuk proses pendemokrasian dan hak asasi manusia di Irak, juga untuk membebaskan rakyat Irak daripada authoritanisme Sadam. Alasan ini ialah alasan yang jelas hanya dibuat-buat oleh kerajaan Amerika. Sebab bagaimanapun yang menentukan baik dan tidaknya pemimpin semestinya ialah rakyat Irak sendiri. Proses perubahan di Irak pun juga semestinya dilakukan oleh rakyat Irak sendiri, baik dalam bentuk revolusi atau reformasi.
Selepas serangan tentera, Amerika juga menangkap Saddam Hussein untuk kemudian membawanya ke Mahkamah. Tanpa kita mengetahui apa kuasa Amerika menangkap dan mengadili Saddam? Serangan ini tidak hanya menjejaskan terlanggarnya kedaulatan Irak sahaja yang tapi juga Undang-undang antarabangsa juga terlanggar, serta hak asasi manusia kerana akibat serangan ini rakyat sivil Irak ramai yang terkorban, baik wanita mahupun anak-anak (Gatra 19 Disember 2003). Serangan ini menyebabkan ratusan penduduk Irak terkorban dan seratus orang lagi meninggal setiap pekan. Sementara itu dipihak sekutu, lebih dari 1700 prajurit meninggal dan puluhan ribu terluka (Gray 2006 : 98). Tindakan Amerika ini jelas sudah melanggar kedaulatan Irak sebagai bangsa dan negara, sebab dengan menghantarkan tentera dan menduduki kawasan negara tersebut dengan paksaan kekuatan senjata, tindakan Amerika ini telah melanggar piagam PBB pasal 41 dan 42 mengenai pelarangan terhadap anggota PBB untuk melakukan resolusi secara ketenteraan kecuali telah diputuskan terlebih dahulu oleh Dewan Keselamatan (Hamid Basyaib, 2003). Dalam hal ini tiada satu pun yang dapat menahan hasrat Amerika dalam serangan ini, termasuk Dewan Keselamatan PBB, serangan ini menjadi hal yang buruk dalam prinsip-prinsip Multilateralisme. 2. Serangan membawa impak pada gerakan anti Amerika
Serangan Amerika ini mendapatkan protes daripada pelbagai pihak di seluruh dunia. Bila kerajaan-kerajaan daripada negara-negara terlihat diam dan tidak berbuat apaapa. Tetapi gerakan tunjuk perasaan berlaku. Begitu banyak suara yang menyatakan untuk menolak keluaran-keluaran Amerika. Selain itu serangan ini membawa impak dengan membesarnya gerakan pengganas. Sebab begitu banyak pandangan awam yang menyatakan bahawa, Israel yang sudah sangat lama menduduki tanah Palestin, justru tidak mendapatkan sanksi apapun, sedangkan Irak sudah dua kali diserang. D. Penyerangan Serangan Tentara Amerika Ke Irak 1. Motif ekonomi Amerika untuk menyerang Irak
Kepentingan Amerika untuk menduduki Irak melalui kekuatan tenteranya dapat dikatakan kerana kepentingan akan penguasaan minyak Irak. Hal ini disebabkan sebelumnya Amerika sempat mengalami krisis tenaga di dalam negera. Selama ini Irak dikenakan sanksi oleh PBB, baik secara ekonomi, dan perniagaan, tetapi dalam program
tenaga Amerika, minyak Irak dimasukkan sebagai bahagian daripada salah satu polisi tenaga Amerika. Padahal Amerika dan Irak tidak pernah memiliki hubungan diplomatik selama ini. Dalam dokumen-dokumen Satuan tenaga Maret 2001 dan 2003 yang dijalankan Dick Cheney berisi peta ladang minyak, jaringan paip, kilang minyak dan jalur akhir minyak Irak (Gray 2006 : 63). Maka motif penyerangan yang paling masuk akal ialah motif ekonomi, iaitu akses yang sebesar-besarnya terhadap minyak di Timur Tengah. Penguasaan minyak Timur Tengah ini mempunyai arti penting secara ekonomi bagi Amerika; Pertama, Kepentingan ekonomi makro Amerika, Stern (2000) mengatakan bahwa berdasarkan uji granger causality test menunjukkan bahawa pemasukkan tenaga menentukan tingkat GDP Amerika. Setiap kenaikan penggunaan pemasukkan tenaga sebesar 1% akan meningkatkan GDP Amerika sebesar 0,2–0,3 peratus. Maknanya tenaga (termasuk minyak didalamnya) mempunyai peran yang cukup menentukan dalam pertumbuhan ekonomi Amerika. Di sisi lain secara mikro ekonomi Boone (2001) mengatakan perkiraan menunjukkan bahawa 1 dollar yang dilaburkan dalam kegiatan minyak di Amerika hanya menghasilkan pengembalian sebesar 2,89 dollar dalam kurun waktu 7 tahun sedangkan pelaburan 1 dollar dalam kegiatan eksplorasi minyak di luar Amerika menghasilkan 10,27 dollar untuk kurun waktu yang sama. Ini berarti pelaburan di luar Amerika akan menghasilkan keuntungan 3,5 kali lipat dibandingkan jika melaburkan pada eksplorasi minyak di Amerika. Projek pelaburan eksplorasi minyak diluar Amerika tentulah akan lebih memiliki umur ekonomi yang lama jika dieksplorasi di wilayahwilayah yang kaya minyak dan kita tahu bahawa daerah kaya minyak dunia adalah Timur Tengah khususnya Saudi Arabia (simpanan minyak dunia terbesar, 262 bilion barel) dan Irak (kedua terbesar, 113 bilion barel simpanan minyak). Dua fakta diatas menunjukkan bahawa minyak menjadi faktor kunci penentu pertumbuhan ekonomi Amerika disatu sisi dan disisi lain bahawa bisnes minyak bagi konglomerat minyak Amerika jauh lebih menguntungkan untuk eksplorasi di luar Amerika, hal ini telah menjadi satu kekuatan ekonomi yang begitu besar yang diduga termasuk faktor yang mempercepat dasar luar negara Amerika untuk menyerang Irak dalam kaitannya dengan akses mereka terhadap daerah sumber minyak dunia tersebut.
Terlebih lagi ketika sejumlah pelaku bisnes minyak Amerika ini saat ini duduk dikerusi penting pada pemerintahan George W. Bush, antaranya seperti wakil presiden Amerika, Dick Cheney yang pernah selama lima tahun mengurus satu syarikat minyak Amerika, Halliburton Co. Motif akses minyak Irak juga semakin tampak ketika kita mendengar sebelum penyerangan tentera sekutu ke Irak tersebut, presiden Bush telah memanggil setidaknya 5 syarikat minyak Amerika dalam kontrak membangun kembali Irak pasca perang dimana satu antara syarikat tersebut ialah Halliburton Co. E. Hambatan Amerika Terhadap Akses Minyak 1. Anjuran Saddam Husein yang membahayakan bagi ekonomi Amerika
Saddam bagi Amerika tidak hanya kurang memberi akses terhadap Amerika untuk mengeksplorasi wilayah kaya minyak kedua dunia itu, tetapi juga melakukan tindakan-tindakan perniagaan antarabangsa yang akan semakin membahayakan akses Amerika terhadap minyak di masa depan. Tahun 2000 Saddam meminta ke PBB agar semua minyak dibayar menggunakan Euro. Bahkan lebih daripada itu,sejumlah dana Irak yang jumlahnya cukup besar 10 bilion dollar dirubah ke Euro. Sayangnya anjuran Saddam diikuti oleh Iran, yang mula melakukan transaksi penjualan minyaknya dengan Euro, bahkan Cina mulai menilai akan sangat berisiko kalau cadangan devisanya didominasi dengan dollar akibatnya Cina pun mulai menggolongkan cadangan devisa dengan Euro. Malaysia juga mengikuti langkah yang diambil oleh Cina dan Iran, Mahathir Muhammad berpendapat, akan berbahaya bagi kepentingan ekonomi dalam negara jika cadangan devisa suatu negara didominasi oleh dollar sehingga Malaysia pun berkepentingan untuk menggolongkan sebahagian dollarnya ke Euro. Fenomena ini cukup membuat dollar melemah terhadap Euro, apalagi kalau fenomena perubahan cadangan devisa bergulir bagaikan bola salju maka perekonomian Amerika dalam ancaman besar, sebab dollar akan terjatuh begitu rendah. Lalu apa hubungan dengan dollar yang melemah dengan akses Amerika terhadap minyak dunia?. Sadorsky (2000) dalam kajiannya menyebutkan bahawa dalam keadaan keseimbangan hayat, jika nilai tukar wang Amerika naik sebesar 1%, maka harga minyak mentah yang akan datang akan turun sebesar 0.737%. Kayu ukur perkiraan ini juga dapat dibaca; jika nilai tukar wang Amerika menurun sebesar 1% maka harga minyak mentah
yang akan datang akan naik sebesar 0.737%. Kalaulah anjuran Saddam pada masa lalu (sebelum masa jatuhnya) dalam bentuk pengalihan alat transaksi perniagaan antarabangsa ke Euro berjaya membuat negara-negara OPEC menggunakan Euro dalam transaksi niaga mereka, maka dollar dapat terjatuh sebesar 20-40%, itu berarti harga minyak mentah bagi Amerika di masa mendatang dapat naik sebesar 14,74 –29,48% dari harga minyak mentah yang mesti dibayar Amerika masa ini. 2. Kekuatan senjata merupakan jalan bagi Amerika untuk menguasai minyak Irak
Huraian di atas menunjukkan, bahawa berkerasnya Amerika untuk menyerang Irak disebabkan motif ekonomi, terutamanya dalam penguasaan atas minyak dunia. Sebab harga minyak dunia yang merambat naik akan mempengaruhi keadaan ekonomi dalam negara mereka, terutamanya dalam permasalahan tenaga. Minyak Irak ialah satu antara minyak yang kualitasnya baik di dunia, dan tidak boleh disentuh oleh Syarikatsyarikat Amerika, sebab Irak lebih memilih bekerjasama dengan negara-negara selain Amerika ,serta menggunakan Euro sebagai cadangan devisa daripada hasil minyaknya. Amerika pula secara diplomatik tidak memiliki hubungan perniagaan dengan Irak, sebab itu tidak ada pilihan lain untuk melakukan bisnes dengan Irak kecuali dengan menggunakan kekuatan tentera. F. Analisis 1. Teori neorealisme sebagai alat analisis serangan Amerika ke Irak
Sebenarnya ada beberapa teori yang boleh digunakan untuk menganalisis kajian ini, terutamanya teori neoliberalisme dan teori neorealisme. Namun yang lebih tepat menurut saya ialah teori neorealisme, sebab neoliberalisme lebih menekankan pada sisi ekonomi sedangkan neorealisme lebih menekankan pada aspek keselamatan. Meski sisi keselamatan wujud dalam neoliberalisme, tetapi bukan merupakan tumpuan dan penekanan. Daripada sisi kerjasamanya neoliberalisme mengenal faedah mutlak, iaitu saling bergantung dan menguntungkan satu sama lain. Sedangkan neorealisme menggunakan penggunaan relative gains, dimana keuntungan yang diperoleh tidak seimbang antara satu dengan yang lain. Dalam isu ini tidak ada kerjasama yang wujud antara Amerika dan Irak. Amerika datang ke Irak dengan kekuatan bersenjata dan melakukan penggulingan pemerintahan secara paksa dan memburukkan nama kerajaan Irak dalam kehidupan antarabangsa. Amerika selalu menyatakan bahawa pemerintah Irak
ialah kerajaan authoriter dan penuh rasuah, serta perlunya melakukan pendemokrasian di Irak. Keuntungan Amerika ialah mereka dapat menguasai dan memanfaatkan kekayaan alam Irak, dalam hal ini minyak demi kepentingan ekonomi Amerika. Isu ini memang terkait dengan ekonomi tetapi misi ekonomi yang dibawa Amerika ke Irak dilakukan melalui jalan paksa menggunakan kekuatan senjata. Sebab itu saya lebih memilih teori neorealisme daripada neoliberalisme. Di bawah ini saya menyimpulkan konsep neorealisme dalam membincangkan isu ini ditinjau dari aspek analisis, andaian dan konsep memaksakan kekuasaan oleh suatu negara. 1. Aktor Aktor yang terlibat dalam isu ini ialah aktor negara dan bukan negara, baik Amerika Syarikat mahu pun Irak. -
Amerika Syarikat: Aktor negara : Presiden Amerika Syarikat (Geoge W. Bush), Pentagon (Kementrian Keselamatan Amerika). Aktor bukan negara : Halliburton Co dan beberapa syarikat minyak Amerika.
-
Irak : Kerajaan Irak yang dipimpin Sadam Hussein
2. Andaian Segi ekonomi memang ditekankan pada isu ini tapi Amerika mencapai hasrat untuk menguasai Irak dengan tekanan senjata di bawah ketenteraan Amerika. Hal ini dapat dilihat dari: a. Sikap Amerika yang memburukkan nama Irak dengan tuduhan memiliki senjata pemusnah massal tanpa bukti yang kuat kepada seluruh dunia. Hal inilah yang dijadikan alasan Amerika untuk menyerang Irak. Sebab tidak ada jalan lain lagi selain itu. Amerika yang pada masa itu mengalami krisis minyak dan berimpak pada ekonomi memerlukan minyak untuk pertumbuhan ekonomi mereka. Sedangkan Irak lebih memilih bekerjasama dengan Perancis, Rusia, Jerman dan Cina untuk mengadakan perjanjian penyelidikan minyak. Irak juga menggunakan euro sebagai cadangan devisa untuk hasil minyaknya. Inilah yang menyebabkan Perancis, Jerman, Rusia dan Cina menentang serangan tentera Amerika tersebut. Selain itu Amerika pun melakukan penyebaran ideologi demokrasi ala Amerika
dengan keterlibatan mereka menjatuhkan Saddam Hussein daripada kerusi kekuasaan, dengan alasan kepemimpinan Saddam yang authoriter dan penindasan yang dirasakan oleh rakyat Irak selama bertahun-tahun. Intinya Amerika memiliki dalih datang ke Irak untuk membebaskan rakyat Irak daripada cengkeraman Sadam. Selepas itu mereka ingin menguasai Irak dengan membentuk kerajaan boneka di bawah kekuasaan mereka di Irak, yang terdiri daripada orang-orang yang menyokong Amerika sehingga mereka dengan mudahnya dapat menguasai Irak. b. Setelah Irak berhasil ditaklukkan dan dikuasai oleh Amerika maka dengan mudah mereka, menguasai kekayaan alam yang dimiliki Irak, dalam hal ini minyak dan memanfaatkannya untuk kepentingan mereka. Irak adalah negara yang memiliki cadangan minyak terbesar kedua di dunia dengan iaitu 113 bilion barel dan belum digunakan sepenuhnya, dengan produksi 2,4 juta barel perhari. Dengan ditaklukannya Irak maka Amerika dapat menguasai kawasan minyak tersebut dan menjamin kepentingan strategis Amerika serta kepentingan bisnes para pengusaha minyak Amerika di Irak. Selain itu mereka dapat memegang kendali atas polisipolisi ekonomi Irak yang disesuaikan dengan kepentingan mereka. 2. Memaksakan kekuasaan oleh suatu negara terhadap negara lain
Teori realisme menggunakan pendekatan relative gains, dimana satu pihak hanya ingin mengambil keuntungan daripada pihak yang lain. Dalam hal ini Amerika Syarikat melakukan penyerangan ke Irak melalui kekuatan senjata dengan maksud mengambil keuntungan daripada Irak. Bagi Amerika dengan jatuhnya rejim Saddam Hussein, keuntungan Amerika ialah Amerika dapat mengendalikan dasar ekonomi dan kerajaan Irak. Dengan begitu maka sumber-sumber alam yang dimiliki Irak sebagai penopang ekonomi mereka dapat dikuasai oleh Amerika. Apabila kekuatan Amerika diluaskan hingga ke Irak, sementara itu rakyat Irak harus mendapatkan kerugian akibat serangan ini. Hancurnya Infrastruktur dan jatuhnya korban jiwa dikalangan rakyat Irak merupakan gambaran penderitaan yang dialami oleh rakyat Irak akibat serangan Amerika ini. Keserakahan Amerika untuk menjaga perekonomiannya dan menguasai minyak Irak benar-benar sudah membuat mereka lupa akan erti negara bangsa dan kedaulatan. Tidak ada yang mampu mencegah serangan ini, baik Dewan Keselamatan PBB mahu pun
negara-negara yang sudah bekerjasama dengan Irak, iaitu Perancis, Jerman, Rusia, dan Cina.
Mereka
hanya
boleh
mengecam
tindakan
Amerika
tapi
tidak
dapat
membendungnya dengan kekuatan senjata. Dengan begitu Amerika dapat menguasai kekayaan sumber alam Irak dengan senjata untuk kepentingan ekonominya. Penggulingan Saddam oleh Amerika bukan didasarkan pada kepemilikan senjata pemusnah massal dan pembebasan rakyat Irak, tetapi didasarkan pada kerakusan Amerika akan minyak Irak. Kalau masa ini Irak yang diserang, boleh jadi negara lain, seperti Iran, Suriah dan Korut akan diserang pula dengan alasan kepemilikan senjata. G.
Kesimpulan
Daripada huraian-huraian di atas terlihat bahawa isu ini berkaitan dengan ekonomi tapi juga dalam perolehan misi ekonomi yang dibawa oleh satu negara, harus dilalui jalan penggunaan kekuatan angkatan bersenjata. Punca daripada pencerobohan Amerika ke negara Irak dan menjatuhkan pemerintahan yang berdaulat di sana ialah motif ekonomi. Dimana Amerika ingin menguasai sumber daya alam irak, iaitu minyak untuk memenuhi keperluan energi mereka dan menjaga pertumbuhan ekonomi mereka. Jadi teori neorealisme saya gunakan untuk menganalisis isu ini, kerana dalam teori ini disebutkan kondisi politik Internasional yang anarkis sehingga membuat negara-negara mencapai kepentingannya dengan memperbesar kekuatan. Dari isu ini pun kita dapat menarik kesimpulan bahawa Amerika sebagai negara adikuasa sudah melanggar Undangundang antarabangsa dan Hak azazi manusia. Amerika tak dapat dicegah oleh siapa pun untuk mendapatkan hasratnya termasuk PBB. Amerika pun cenderung menggunakan cara apa pun untuk mendapatkan kuasa, termasuk pemaksaan dengan jalan angkatan bersenjata
RUJUKAN
Basyaib, Hamid. 2003. Menghentikan Pembantaian Ilegal Amerika. http://www.islamlib.com/id/artikel/menghentikan-pembantaian-ilegal-as (20 Oktober 2008). Boone, Jeff, P. 2001. Empirical evidence for the superiority of non US oil and gas investment. Journal Energy Economics, Elsevier vol 23: 211-266. Gray, Jery D. 2006. Dosa-dosa media Amerika. Jakarta: Ufuk Press. Maha Adi, G, G. 2004. Pilihan bagi sang monarki. http://www.majalah.tempointeraktif.com/id/2004/06/07/LN/mbm.htm (20 Oktober 2008). Mustafa Abdul Rahman. 2003. OKI menolak total serangan AS ke Irak http :// www2.kompas.com/kompas-cetak/0303/06/UTAMA/166291.htm (20 Oktober 2008). Sadam dulu baru Bush. 2003. Majalah Gatra, 19 Disember: 2. Sadosky, Perry. 2000. The empirical relationship between energy futures prices and rates. Journal Energy Economics, Elsevier vol 22: 253-266. Stern, David, I. 2000. A multivariate cointegration analysis of the role in the US macroeconomy. Journal Energy Economics, Elsevier vol 22: 267-288 Wibisono, Makarim. 2006. Tantangan Diplomasi Multilateral. Jakarta: LP 3ES
PERANAN JARING PENGAMANAN SOSIAL SEBAGAI UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA DALAM KERANGKA KEBIJAKAN DESENTRASLISASI Oleh : Lia Yulia Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Serang Raya Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis Peranan Jaring Pengaman Sosial sebagai upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia dalam kerangka kebijakan desentralisasi mengetahui Upaya apa yang dilakukan untuk penanggulangan kemiskinan di Indonesia dalam kerangka kebijakan desentralisasi dan mengetahui kendala pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan sosial. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan lapangan, kemudian dianalisis secara kualitatif. artinya analisis ini tidak mempergunakan rumusan angka-angka sebagai alat bantu analisisnya melainkan lebih bersifat fenomenalogis. Perencanaan Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama adalah tahap sosialisasi data dan pengumpulan data, pengelompokan data sampai dengan tabulasi data, Tahap kedua pengolahan data, analisa data, laporan pendahuluan. Tahap ketiga, Sosialisasi hasil penelitian, di rencanakan di laksanakan melalui lokakarya dengan pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini. Tahap ke empat adalah penyusunan laporan akhir hasil penelitian dan publikasi di jurnal.
I. PENDAHULUAN Krisis moneter, ekonomi, dan bencana alam kekeringan serta kondisi politik yang terjadi belakangan ini telah menimbulkan dampak yang begitu luas dan berkepanjangan. Dampak dari kondisi kritis ini adalah kesejahteraan sosial masyarakat menurun terutama adalah bertambahnya penduduk dan rumah tangga miskin. Penanggulangan masalah kesenjangan telah dilakukan melalui arah kebijaksanaan pembangunan, yaitu kebijaksanaan pembangunan sektoral melalui bantuan pembangunan sektoral (DIP), pembangunan regional melalui bantuan pembangunan daerah (DADPD; dulu: SPABP-Inpres), dan pembangunan khusus. Kebijaksanaan pembangunan khusus juga dilaksanakan dalam rangka penanggulangan dampak krisis. Kebijaksanaan penanggulangan dampak krisis ini, yang disebut dengan kebijaksanaan Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net), adalah untuk menuntaskan berbagai masalah khusus.
A. Rumusan Masalah Kerangka desentralisasi yang dicanangkan pada tanggal 1 januari 2001 telah membawa kita memasuki paradigma baru penyelenggaraan pemerintahan Daerah dengan memberikan kewenangan (otoritas) yang luas, nyata dan bertanggungjawab secara proporsional kepada Daerah. Hal itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah sesuai dengan prinsip-prinsip Otonomi Daerah, yaitu: demokrasi (democratization), peran serta masyarakat (community participation), memperhatikan keanekaragaman (uniformity) Daerah, pemerataan dan keadilan serta terkelolanya potensi sumber daya di Daerah secara efisien dan efektif. Dengan perubahan paradigma tersebut, maka upaya-upaya untuk mengatasi kemiskinan dan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat miskin lebih menjadi tanggungjawab daerah yang cukup besar. Sehingga pada akhirnya permasalahanpermasalahan kemiskinan yang muncul akan banyak direspon, diputuskan dan dilaksanakan secara cepat dan efektif oleh Pemerintah Daerah, tanpa harus menunggu dan banyak tergantung pada instruksi dari Pemerintah Pusat. Dengan kewenangan daerah yang semakin besar tersebut, maka pemerintah daerah bersama DPRD-nya memiliki tanggung jawab dan keleluasan yang cukup besar untuk mengambil keputusan-keputusan penting dan strategis bagi upaya-upaya mengatasi kemiskinan dan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakatnya. Dalam era desentralisasi, konsep pengembangan kapasitas daerah diwujudkan dengan kemandirian daerah dan pemberdayaan masyarakat melalui pengentasan kemiskinan. Seiring dengan hal itu peningkatan tanggung jawab pemerintah terhadap kebutuhan dan kondisi daerah sangat diperlukan untuk proses pengambilan keputusan guna mengurangi kemiskinan di daerah. Pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan dalam rangka pengembangan usaha ekonomi produktif penduduk miskin, penyediaan prasarana dasar perdesaan, serta penyediaan pelayanan kebutuhan dasar dalam bidang kesehatan dan pendidikan, ternyata berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin secara signifikan. Belajar dari pengalaman pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan melalui program jaring pengaman sosial (social safety-net) tersebut, maka sejalan dengan
kebijakan desentralisasi, perlu ditetapkan kebijakan dan strategi yang tepat dalam pengelolaan program penanggulangan kemiskinan. Dalam kerangka desentralisasi dan mengatasi kemiskinan terdapat beberapa isu penting yang harus segera direspon oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Isu-isu tersebut diantaranya ialah : 1. Instrumen-instrumen apa yang dapat digunakan oleh pemerintah pusat dalam menanggulangi kemiskinan; 2. Program-program apa saja yang telah dan akan dilakukan pemerintah pusat dalam menanggulangi kemiskinan dan apa peranan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam program-program tersebut; 3. Apa peranan pemerintah provinsi selama ini dalam penanggulangan kemiskinan, serta fungsi-fungsi dan sumber daya yang diperlukan oleh provinsi guna mendukung kegiatan tersebut; 4. Bagaimana
melembagakan
partisipasi
masyarakat
dalam
setiap
proses
pengambilan keputusan untuk pembiayaan pembangunan di daerah (APBD); 5. Bagaimanakah pemerintah daerah mencari jalan keluar agar pajak-pajak dan retribusi daerah tidak membebani masyarakat miskin; 6. Bagaimanakah membangun mekanisme akuntabilitas pemerintah daerah dan pihak DPRD dalam menjamin pelaksanaan good governance dan efektivitas partisipasi masyarakat miskin; 7. Bagaimana mengimplementasikan inisiatif capacity building di daerah yang dapat meningkatkan kemampuan dan kapasitas mereka dalam menanggulangi kemiskinan; 8. Bagaimana memberdayakan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan membangun mekanisme
interaksi
antara
lembaga-lembaga
tersebut
dalam
upaya
penanggulangan kemiskinan; 9. Bagaimana mengembangkan mekanisme monitoring dan evaluasi (monev) yang dapat memberikan informasi yang dapat dipercaya tentang dampak-dampak desentralisasi terhadap permasalahan penangulangan kemiskinan; dan 10. Bagaimana melibatkan pemerintah daerah dalam setiap proses perumusan kebijakan nasional tentang penanggulangan kemiskinan untuk mencapai dan memelihara komitmen yang sudah dibangun.
Sejalan dengan kebijakan desentralisasi, Pemerintah Daerah memiliki peranan penting dalam melakukan upaya peningkatan penanggulangan kemiskinan dalam kurun waktu ke depan. Oleh karena itu, yang menjadi permasalahan di sini adalah: 1. Upaya apa yang dilakukan untuk penanggulangan kemiskinan di Indonesia dalam kerangka kebijakan desentralisasi? 2. Apa kendala pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia? II. TINJAUAN PUSTAKA Program jaring pengaman sosial (JPS) telah dimulai untuk menanggulangi dampak langsung dari krisis ekonomi serta mencegah dampak yang lebih buruk yang diderita oleh kelompok penduduk rentan krisis. Program JPS yang saat ini sedang berlangsung perlu dipahami dari dua sisi, yaitu dari sisi penanggulangan masalah kronis dan sisi penanggulangan masalah krisis. Krisis yang terjadi saat ini merupakan akumulasi dari masalah kronis dan krisis itu sendiri. Masalah kronis sesungguhnya merupakan masalah fundamental mewujud dalam tantangan internal dan eksternal. Tantangan internal mencakup kesenjangan antarmanusia, kesenjangan antardaerah, dan kesenjangan antarsektor kegiatan ekonomi, yang ditandai dengan adanya pengangguran, kemiskinan, dan ketidakberdayaan warga masyarakat untuk mengakses ke sumber-sumber ekonomi. Tantangan eksternal ditandai oleh peningkatan itensitas persaingan antarkawasan regional dalam memasuki era perdagangan bebas. Masalah krisis itu sendiri sesungguhnya merupakan masalah khusus yang bersifat shock. Masalah krisis mencakup terjadinya bencana alam kekeringan akibat El-Nino yang datang bersamaan dengan krisis moneter yang merembet dari negara-negara di kawasan asia. Dengan demikian, penanggulangan masalah kronis adalah agenda utama pembangunan ekonomi di era reformasi. Sebagai bagian dari upaya menanggulangi dampak krisis dan meningkatkan kesejahteraan penduduk rentan krisis, program JPS perlu dipertajam arah pelaksanaannya sehingga dapat menjangkau kelompok sasaran. Program JPS harus dipahami sebagai langkah penyelamatan ekonomi menuju arah pembangunan ekonomi normal dengan menekankan pada pemberdayaan masyarakat. Jadi program JPS harus dilihat dari kacamata paradigma pembangunan untuk rakyat (people-centered development), dan
sama sekali bukan pembangunan untuk aparat, atau proyek yang dilaksanakan oleh pemerintah. Program JPS adalah milik masyarakat sehingga harus dilaksanakan oleh masyarakat, dilestarikan dan dinikmati hasilnya oleh masyarakat. Di sisi lain, kelompok masyarakat yang mampu harus membantu kelompok masyarakat yang menderita krisis. Pelaksanaan JPS saat ini harus dipandang sebagai rangkaian pelaksanaan pembangunan dari, oleh, dan untuk rakyat (participatory development) sebagai langkah awal pembangunan jangka pendek guna meletakkan landasan yang mantap bagi pembangunan jangka menengah dan jangka panjang. Agar program JPS dapat dilangsungkan sesuai arah pelaksanaan pembangunan yang benar, pelaksanaan program JPS perlu terus dipantau dan dievaluasi. Kegiatan monitoring dan evaluasi dilakukan untuk menyempurnakan perumusan program selanjutnya. Sebagaimana kita ketahui, kemiskinan merupakan masalah yang kompleks, karena tidak saja berkenaan dengan rendahnya pendapatan dan tingkat konsumsi masyarakat, tetapi juga berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, ketidakberdayaan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan publik (powerlessness), ketidakmampuan menyampaikan aspirasi (voicelessness), serta berbagai masalah yang berkenaan dengan pembangunan manusia (human development). Oleh karena itu, upaya penanggulangan kemiskinan harus dilakukan secara komprehensif, mencakupi berbagai aspek kehidupan masyarakat, dan dilaksanakan secara terpadu. Dalam rangka penanggulangan kemiskinan, pemerintah telah dan sedang melaksanakan sekitar 15 (lima belas) program penanggulangan kemiskinan, termasuk program jaring pengaman sosial (JPS), yakni: Program Inpres Desa Tertinggal (IDT); Program Pengembangan Kecamatan (PPK); Program Kredit Pendayagunaan Teknologi Tepat Guna dalam rangka Pengentasan Kemiskinan (KP-TTG- Taskin); Program Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP); Program Kredit Usaha Tani (KUT); Pogram Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS); Program Operasi Pasar Khusus Beras (OPK-Beras); Program Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE); Program Beasiswa dan Dana Biaya Operasional Pendidikan Dasar dan Menengah (JPS-Bidang Pendidikan); Program JPS-Bidang Kesehatan; Program Padat Karya Perkotaan (PKP); Program Prakarsa Khusus Penganggur Perempuan (PKPP); Program Pemberdayaan Masyarakat melalui Pembangunan Prasarana Subsidi Bahan
Bakar Minyak (PPM-PrasaranaSubsidi BBM); Program Dana Bergulir Subsidi Bahan Bakar Minyak untuk Usaha Kecil dan Menengah; Program Dana Tunai Subsidi Bahan Bakar Minyak. Secara jujur harus diakui bahwa pendekatan pengelolaan program-program tersebut masih bersifat sentralistik, karena Pemerintah Daerah hanya dilibatkan pada tahap pelaksanaan program melalui alokasi dana dari Pemerintah Pusat, sehingga tanggung jawab Pemerintah Daerah sangat rendah, pengendalian pelaksanaan terlampau lemah, mekanisme pelaksanaannya kurang transparan dan akuntabel, dan para pemanfaat program (beneficaries) tidak mampu melakukan kontrol terhadap keefektifann program yang dilaksanakan. Sebagai contoh, dalam pelaksanaan program Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang ditujukan untuk meningkatkan pengembangan usaha ekonomi produktif penduduk miskin melalui pemberian dana bantuan modal usaha bergulir serta pembangunan prasarana pendukung, pola pengalokasian dana bersifat terpusat tanpa adanya dukungan pembiayaan dari Pemerintah Daerah, sehingga proses internalisasi tanggung jawab Pemerintah Daerah terhadap program penanggulangan kemiskinan masih sangat rendah. III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN A. Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui Upaya apa yang dilakukan untuk penanggulangan kemiskinan di Indonesia dalam kerangka kebijakan desentralisasi 2. Untuk mengetahui kendala pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia. B. Manfaat Penulisan Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk Kepentingan akademik a. Untuk menambah wawasan dan pemikiran serta menjadi motivasi untuk melakukan penelitian selanjutnya dalam rangka pengentasan kemiskinan. b. Untuk menambah perbendaharaan pengetahuan mengenai Peranan Jaring Pengaman Sosial sebagai upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia dalam kerangka kebijakan desentralisasi.
2. Untuk Kepentingan Praktis Memberi gambaran kepada masyarakat dan pemerintah akan pentingnya penanggulangan kemiskinan di Indonesia khususnya di Banten. IV. METODE PENELITIAN A. Sasaran Penelitian Sasaran penelitian ini adalah masyarakat miskin. Data diperoleh melalui observasi dengan berperan serta dan wawancara mendalam dari para informan. Informan dalam penelitian ini terdiri dari informan pangkal dan informan pokok (key informant) (Koentjaraningrat, 1991:130). Informan pangkal adalah orang yang dipandang mampu memberikan informasi secara umum dan mampu menunjuk orang lain sebagai informan pokok yang dapat memberikan informasi yang lebih mendalam. Informan pangkal penelitian ini adalah aparat pemerintah. B. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dan penelitian deskriptif merupakan gambaran tentang suatu masyarakat atau suatu kelompok orang tertentu. Gambaran tentang suatu gejala, hubungan antara dua gejala atau lebih menggambarkan karakteristik suatu masyarakat atau suatu kelompok orang tertentu, yang menurut Whitney (dalam Nazir, 1988:63-64) adalah mempelajari masalah dalam masyarakat dan tata cara yang berlaku, termasuk tentang hubungan, kegiatan, sikap, pandangan serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena. Pendekatan kualitatif berguna untuk menggambarkan suatu realita di dalam masyarakat. Abererombie (dalam Garna, 1999:32) menyatakan tujuan penelitian kualitatif adalah berupaya memahami gejala-gejala sedemikian rupa dan tidak memerlukan kuantitatif, atau karena gejala-gejala tersebut tidak memungkinkan diukur secara tepat. Untuk memahami gejala-gejala tersebut, maka perlu mempelajari menurut konteks sosial budaya. Pendekatan ini digunakan karena pertama, yang akan diteliti berkaitan dengan pemahaman gejala-gejala sosial budaya di masyarakat. Kedua, penelitian ini berupaya untuk memahami konteks sosial di masyarakat. Menurut Hebermas, metode kualitatif lebih leluasa menemukan keunikan-keunikan karena menempatkan objek sebagai pelaku kreatif dan dinamis (Mulkan, 2000).
B. Teknik Pengumpulan Data Data hasil penelitian ini nantinya akan dikumpulkan dalam pengelompokkan data primer (utama) dan data sekunder (penunjang). Oleh karena penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, maka teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah dengan cara melakukan wawancara mendalam (in-depth interview), observasi partisipan (partisipant observation), dan penggunaan dokumen (document used). 1. Wawancara Mendalam (observasi) Dengan wawancara peneliti dapat memperoleh informasi lengkap tentang berbagai lokasi kehidupan masyarakat yang tampak dalam kehidupan nyata sehari-hari. Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (in-depth interview) dan wawancara bebas berstruktur. Wawancara mendalam (in-depth interview) dilakukan dengan informan, Hal ini sesuai dengan pendapat (Moleong, 2002:136) sebagai berikut: Pendekatan
menggunakan
petunjuk
umum
wawancara.
Jenis
pendekatan
ini
mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok yang ditanyakan dalam proses wawancara. Penyusunan pokok-pokok itu dilakukan sebelum wawancara dilakukan. Pokok-pokok yang dirumuskan tidak perlu ditanyakan secara beruntun. Demikian pula penggunaan dan pemilihan kata-kata untuk wawancara dalam hal tertentu tidak perlu dilakukan sebelumnya. Petunjuk wawancara hanyalah berisi petunjuk secara garis besar tentang proses dan isi wawancara untuk menjaga agar pokokpokok yang direncanakan dapat tercakup seluruhnya. Petunjuk itu berdasarkan diri atas anggapan bahwa ada jawaban yang secara umum akan sama diberikan oleh para responden, tetapi yang jelas tidak ada perangkat pertanyaan baku yang disiapkan terlebih dahulu. Pelaksanaan wawancara dan pengurutan pertanyaan disesuaikan dengan keadaan responden dalam konteks wawancara yang sebenarnya. Selain itu di lakukan observasi. Teknik observasi adalah pengamatan yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat. Observasi dilakukan dengan mengumpulkan data dengan cara mengamati situasi sosial yang terjadi, menempatkan kegiatan tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi yang berlangsung dari aspek fisikal, memperhatikan apa saja yang dilakukan pada kegiatan sehari-hari seperti di rumah dan di luar rumah selama itu berlangsung. Cara lain yang ditempuh dalam teknik observasi ini adalah peneliti bertindak sebagai pengamat dengan menyaksikan kondisi masyarakat miskin dan mengikuti
aktifitas masyarakt miskin yang diteliti, mencatat dan melakukan tanya jawab dengan informan, kemudian dilanjutkan dengan analisis secara cermat tentang apa yang telah diamati tersebut. Metode ini digunakan dengan maksud untuk mengkaji bagaimana pola kehidupan masyarakat miskin khususnya di Banten 2. Metode Analisis Data Analisis data penelitian ini dilaksanakan bersamaan waktunya dengan tahap pengumpulan data di lapangan, bahkan analisis data dilakukan sejak awal dan sepanjang proses penelitian berlangsung. Seperti penelitian kualitatif pada umumnya, analisis data dilakukan pada saat berlangsungnya pengumpulan data. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang menuntut telaah rinci atas hal-hal yang bersifat spesifik dari obyek yang diteliti. Teknik analisis data dilakukan dengan induktif analisis yaitu suatu rancangan pengumpulan dan pengolahan data untuk mengembangkan teori. Kajian demikian dapat dilakukan dengan mengembangkan teori dan dapat pula dilakukan dengan mengembangkan teknik penelitian partisipasif yang menuntut keterlibatan peneliti secara intensif. C. Lokasi Penelitian Pengumpulan data mengenai jarak program pemerintah dalam pengentasan kemiskinan, penulis menetapkan lokasi penelitian di propensi Banten. Penetapan lokasi penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa masih banyaknya masyarakat miskin di wilayah Banten. D. Bagan Alur Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama adalah tahap sosialisasi data dan pengumpulan data, pengelompokan data sampai dengan tabulasi data, Tahap kedua pengolahan data, analisa data, laporan pendahuluan. Tahap ketiga, Sosialisasi hasil penelitian, di rencanakan di laksanakan melalui lokakarya dengan pihakpihak yang terkait dengan penelitian ini. Tahap ke empat adalah penyusunan laporan akhir hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian (jurnal).
Waktu kegiatan (Bulan ke) Deskripsi Kegiatan
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Konsolidas dan Persiapan Penyiapan bahan literatur Pengembangan&Penyusunan Instrumen Pengumpulan data Pengolahan Data Analisa Data Penyusunan Laporan V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Instrumen Dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Dalam Kerangka Desentralisasi Dalam penanggulangan masalah kemiskinan, instrumen-instrumen yang akan digunakan oleh pemerintah pusat adalah regulasi berupa pedoman teknis tentang standar pelayanan minimal; bantuan-bantuan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat miskin (matching grant), seperti Dana Alokasi Khusus (DAK) bagi penanggulangan masyarakat miskin, serta penghargaan-penghargaan yang diberikan dalam rangka meningkatkan motivasi dan prestasi masyarakat miskin. Sejalan dengan kebijakan desentralisasi, maka upaya penanggulangan kemiskinan akan difokuskan pada enam agenda : 1) Menetapkan kebijakan penanggulangan kemiskinan sebagai "Gerakan Nasional Penanggulangan Kemiskinan‖ agar semua pihak, yakni Pemerintah, Pemerintah Daerah, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat, dan perguruan tinggi. memiliki komitmen
yang sama dan berperan aktif dalam upaya penanggulangan
kemiskinan. 2) Menempatkan Pemerintah Daerah sebagai penanggungjawab utama dalam pengelolaan program penanggulangan kemiskinan, agar tercipta proses belajar
dan proses internalisasi tanggung jawab kepada Pemerintah Daerah, sehingga mengurangi pola sentralistik. 3) Mengembangkan kapasitas Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam rangka mendukung upaya penanggulangan kemiskinan. 4) Meningkatkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam menyediakan fasilitas pelayanan umum yang paling mendasar bagi masyarakat termasuk bagi penduduk miskin melalui pengembangan Standard Pelayanan Minimal. 5) Melakukan upaya penanggulangan kemiskinan secara komprehensif dalam rangka pemberdayaan masyarakat miskin. 6) Meningkatkan efektivitas pendayagunaan dana bantuan luar negeri dalam membiayai program penanggulangan kemiskinan. Implikasi utama dari kebijakan penanggulangan kemiskinan yang bersifat desentralistik tersebut adalah adanya kemungkinan tedadi resistensi dari beberapa instansi pemerintah pusat. Untuk itu, pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan tertentu masih perlu dilaksanakan oleh pemerintah pusat, seperti program pelayanan dasar dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Pengimplementasian kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, harus dilakukan secara koordinatif antara semua instansi terkait, yakni: 1) Koordinasi dalam perumusan kebijakan dan strategi penanggulangan kemiskinan. 2) Koordinasi dalam pengimplementasian program penanggulangan kemiskinan. 3) Koordinasi dalam pemantauan dan evaluasi pelaksanaan serta dampak yang ditimbulkan, termasuk koordinasi dalam mengatasi setiap masalah pengaduan masyarakat. Dalam rangka mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan program penanggulangan kemiskinan di Daerah, maka perlu ditempuh mekanisme sebagai berikut: 1) Penyaluran dana untuk program penanggulangan kemiskinan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dilakukan melalui mekanisme "Dana Alokasi Khusus (specific block grant)" untuk membiayai program penanggulangan kemiskinan, sehingga lebih memberikan kesan rasa memiliki dan tanggung jawab dalam pengelolaan APBD Kabupaten/Kota.
2) Pemerintah Daerah diwajibkan untuk menyediakan dana (sharing budget) dari APBD yang diformulasikan secara proporsional, dimana DPRD dan masyarakat dapat mengontrol pola pengalokasian anggaran, sehingga Pemerintah Daerah memiliki tanggung jawab terhadap pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. 3) Penetapan kegiatan dari setiap program penanggulangan kemiskinan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat (local needs), dengan pola pengelolaan kegiatan yang bertumpu pada kemampuan dan kemandirian masyarakat (community based management), agar masyarakat berperan aktif dalam seluruh proses pelaksanaannya. 4) Pengendalian dan pengawasan atas pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan harus melibatkan pihak-pihak independen, seperti lembaga swadaya masyarakat, organisasi berbasis masyarakat (community based organization), perguruan tinggi, dan pers. 5) Pengidentifikasian nama, jumlah, dan penyebaran penduduk miskin harus dilakukan secara bottom-up yang berawal dari Musyawarah Masyarakat Desa dalam forum Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), karena masyarakat sendirilah yang lebih mengetahui sesama warga desanya yang hidup dalam kondisi miskin. Data penduduk miskin yang ada selama ini sering kurang akurat dan kurang sesuai dengan kenyataan. Oleh karena itu Ada dua alasan mengapa Program ini penting untuk dilakukan. Pertama, tampaknya, bagi pemerintah dan Bank Dunia, krisis ini hanya semata-mata krisis moneter dan ekonomi; sehingga upaya penanggulangannya hanya bersifat moneter dan ekonomi. Padahal, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian sebelumnya, krisis ini juga krisis sosial dan politik. Sekalipun kedua bentuk krisis ini secara bertahap telah menuju arah pemulihan dan tidak berpengaruh langsung pada penyelenggaraan program JPS, namun karena pola penanganannya yang masih ―berbau‖ pola pemerintahan lama, dapat dipastikan Program JPS yang sedang berjalan tersebut dapat memicu gejolak social di atas komunitas yang telah mulai pulih. Karenanya, diperlukan upaya-upaya tambahan lain, agar tujuan penyelenggaraan program JPS tidak jauh menyimpang dari tujuan yang sebenarnya. Kedua, sesuai dengan tuntutan situasi yang berkembang, peran masyarakat
luas harus semakin besar dalam mengelola kegiatan pembangunan di masa mendatang. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah terlibatnya berbagai komponen masyarakat dalam kegiatan pemantauan pelaksanaan program-program JPS dan program pembangunan lainnya. Oleh karena itu, program pemantauan ini tidak saja bertujuan untuk meningkatkan efektifitas program JPS melainkan juga untuk memperkuat kapasitas masyarakat dan membangun
(menata)
mekanisme
kontrol
rakyat
terhadap
program-program
pembangunan, yang selama ini tidak berfungsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, salah satu
sebab utama terjadinya krisis di Indonesia adalah karena peran publik
menjalankan pengawasan terhadap pemerintah tidak berpangaruh terhadap kebijakan pemerintah. Dengan demikian, diharapkan hasil dari pelaksanaan program ini, dapat merumuskan dan mengembangkan metodologi dan perangkat-perangkat pengawasan yang berbasis komunitas, dan adanya jaringan kelompok-kelompok masyarakat untuk menjalankan ―development watch”. Sebagai langkah awal dari kegiatan pemantauan ini, telah dilakukan konsolidasi jaringan, sebagai upaya sosialisasi gagasan dan identifikasi simpul jaringan di kota/kabupaten. Untuk merumuskan konsep, desain/metodologi pemantauan, telah pula dilakukan workshop yang mewakili simpul jaringan. Proses ini dilakukan sebagai upaya membangun kesepahaman bersama, bahwa kegiatan pemantauan ini bukanlah project base, melainkan bagian dari gerakan masyarakat menjalankan peran-peran dan atau hakhaknya melakukan pengawasan. Untuk ini sebagai motto gerakan pengawasan ini adalah “kita berhak tahu” . Untuk mencapai hasil yang diharapkan tersebut, di lakukan kerjasama dengan Ford Foundation, khususnya dalam menata organisasi pelaksana (bengkel) sebagai secretariat jaringan, perangkat kerja monitoring (metodologi), dan sarana pendukung kegiatan disekretariat. Sedangkan untuk kegiatan pengawasan dan penguatan kapasitas masyarakat (kelompok komunitas basis) yang akan dijalankan oleh komunitas basis yang menjadi subjek pelaku pengawasan, akan dikerjasamakan dengan UNDP yang selama ini sangat berperan mendorong terbangunnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance).
B. Pembangunan Melalui Proses Perubahan Struktur Terhadap kenyataan ini, secara umum terdapat dua kelompok teori. Pertama, teori-teori yang menjelaskan bahwa kemiskinan ini terutama disebabkan oleh faktorfaktor internal atau faktor-faktor yang terdapat di dalam negeri negara yang bersangkutan. Teori ini dikenal dengan nama teori modernisasi. Kedua, teori-teori yang lebih banyak mempersoalkan faktor-faktor eksternal sebagai penyebab terjadinya kemiskinan di negara-negara tertentu. Kemiskinan dilihat terutama sebagai akibat dari bekerjanya kekuatan-kekuatan luar yang menyebabkan negara yang bersangkutan gagal melakukan pembangunannya. Teori ini masuk ke dalam kelompok teori struktural. Masalah yang kita hadapi dalam mewujudkan proses pembangunan yang benar melalui Program JPS untuk penanggulangan kemiskinan melalui perubahan struktur adalah masalah fundamental dan masalah schock berupa krisis ekonomi. Masalah fundamental yang terjadi adalah kesenjangan antarmanusia, antardaerah, dan antarsektor kegiatan ekonomi. Masalah kesenjangan meluas ke masalah pengangguran, kesejahteraan rakyat dan terutama masalah kemiskinan. Dalam aspek makro masalah kesenjangan merupakan implikasi dari kurangnya perhatian pada pencapaian pembangunan yang ditujukan untuk rakyat. Karena itu, proses pembangunan harus dari masyarakat, dilaksanakan oleh masyarakat, dan hasilnya dinikmati oleh masyarakat. Peran pemerintah adalah memperlancar dan mengendalikan pembangunan. Perubahan struktur ini melalui proses perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi yang tangguh, dari ekonomi subsistem ke ekonomi pasar, dari ketergantungan ke kemandirian. Seperti yang diungkapkan oleh teori modernisasi W.W. Rostow, dia menguraikan teorinya tentang proses pembangunan dalam sebuah masyarakat. Bagi Rostow pembangunan merupakan proses yang bergerak dalam sebuah garis lurus, yakni dari masyarakat yang terbelakang ke masyarakat yang maju. Rostow membagi proses pembangunan melalui lima tahap, yaitu: 1) Masyarakat tradisional; yaitu ilmu pengetahuan pada masyarakat ini masih belum banyak dikuasai; produksi masih sangat terbatas; masyarakat cenderung bersifat statis, dalam arti kemajuan berjalan dengan sangat lambat; dan produksi dipakai untuk konsumsi.
2) Prakondisi untuk lepas landas; yaitu meskipun sangat lambat tapi terus bergerak, mulai berkembang ide pembaharuan. 3) Lepas landas; yaitu tersingkirnya hambatan-hambatan yang menghalangi proses pertumbuhan ekonomi; tabungan dan investasi yang efektif meningkat dari 5 % menjadi 10 % dari pendapatan nasional atau lebih; dan industri-industri baru mulai berkembang dengan sangat cepat. 4) Bergerak ke kedewasaan; yaitu setelah lepas landas akan terjadi proses kemajuan yang terus bergerak ke depan meskipun kadang-kadang terjadi pasang surut; antara 10 % sampai 20 % dari pendapatan nasional selalu diinvestasikan kembali, supaya bisa mengatasi persoalan pertambahan penduduk; industri berkembang dengan pesat; dan barang yang dulu diimport diproduksi baik konsumsi atau modal. 5) Jaman konsumsi masal yang tinggi; yaitu konsumsi tidak lagi terbatas pada kebutuhan pokok untuk hidup tetapi meningkat ke kebutuhan yang lebih tinggi; produksi industri juga berubah dari kebutuhan dasar menjadi kebutuhan barang konsumsi yang tahan lama; dan pada titik ini pembangunan sudah merupakan sebuah proses yang berkesinambungan yang bisa menopang kemajuan secara terus menerus. Proses pembangunan yang benar ditandai oleh perubahan struktur masyarakat. karena itu perubahan struktur tersebut menunjukkan bahwa pembangunan adalah suatu proses yang harus dilaksanakan bersama-sama oleh masyarakat dan pemerintah. Masyarakat sebagai objek dan subjek harus berperan secara aktif dalam pembangunan, menikmati hasil pembangunan, dan melestarikan proses pembangunan secara berkesinambungan. Bantuan program yang dikelola langsung oleh masyarakat tampak menggerakkan perubahan struktur yang tumbuh dari masyarakat itu sendiri. Bantuan langsung ini memperkuat kemampuan masyarakat, terutama penduduk miskin, dalam meningkatkan taraf hidupnya dengan membuka kesempatan berusaha. Dalam pembangunan terencana, perubahan struktur masyarakat akan terjadi secara bertahap seiring dengan perkembangan kemandirian masyarakat dalam mengelola program pembangunan yaitu Program JPS. Pemerintah memberikan fasilitas dan
mendampingi masyarakat dalam mengelola bantuan program tersebut. Karena itu, pendampingan oleh pemerintah atau konsultan merupakan komponen penting. Bantuan program dan pendampingan harus dipandang sebagai stimulan bagi tumbuhnya swadaya masyarakat lebih luas. Proses perubahan struktur yang benar adalah yang berlangsung secara alamiah, yaitu yang menghasilkan harus menikmati, dan sebaliknya. Dengan berpedoman pada proses tersebut, setiap kegiatan produksi akan menghasilkan dan meningkatkan pendapatan. Kelebihan pendapatan yang diperoleh merupakan sumber pemupukan modal yang dapat diinvestasikan kembali untuk memperkuat sumber-sumber pendorong pertumbuhan. Suplus tersebut digunakan untuk membiayai investasi dan untuk menunjang penerapan
teknologi
baru
agar
dapat
meningkatkan
produktivitas
yang
berkesinambungan. Proses yang berkelanjutan itu dapat diartikan sebagai proses pembangunan yang tumbuh berkembang. Hasil akhir proses tersebut adalah meningkatnya produksi, konsumsi, dan terpenuhinya kebutuhan sosial-ekonomi.
VI. KESIMPULAN Kita memerlukan upaya khusus untuk memecahkan masalah menurunnya kondisi sosial ekonomi terutama rentannya kemiskinan. Dalam kondisi seperti ini pemerintah harus bersikap proaktif
dalam mengambil tindakan penanggulangan dan perbaikan
menuju kondisi normal. Langkah ini bukan monopoli pemerintah, namun melibatkan segenap unsur masyarakat, termasuk unsur dunia usaha, lembaga pengembangan swadaya masyarakat dan masyarakat itu sendiri. Upaya ini dapat dilakukan antara lain melalui optimalisasi pemanfaatan potensi terutama melalui Program JPS, dalam menentukan langkah pembangunan sekarang dan yang akan mendatang. Rakyat harus menjadi pelaku dalam pembangunan ekonomi. Masyarakat lokal perlu dibina dan dipersiapkan dapat merumuskan sendiri permasalahan yang dihadapi, merencanakan langkah-langkah yang diperlukan, melaksanakan rencana yang telah diprogramkan, menikmati produk yang dihasilkan, dan melestarikan program yang telah dirumuskan dan dilaksanakan. Berbagai kebijaksanaan dan program penanggulangan masalah kesenjangan dan peningkatan daya saing perlu dimantapkan dengan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk berperan secara aktif. Sejalan dengan perkembangan kemampuan masyarakat dalam pembangunan, campur tangan pemerintah baik di pusat maupun daerah diharapkan menjadi seminimal mungkin dan makin menumbuhkan peran aktif masyarakat. Kegiatan pembangunan yang dapat dilakukan oleh masyarakat harus diserahkan dan diselenggarakan sendiri oleh masyarakat lokal. Apabila mereka belum dapat melaksanakannya, tenaga profesional akan membantu mereka. Dalam hal ini semua unsur dapat berperan sebagai fasilitator, dinamisator dalam pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat sesuai dengan potensi aspirasi, dan kebutuhan masyarakat perlu kita pahami. Dengan visi, pedoman, mekanisme, koordinasi, dan instrumen pembangunan yang disepakati bersama, upaya pemberdayaan masyarakat akan dapat terwujud. Pembangunan di era reformasi perlu membuka peluang bagi keterlibatan masyarakat secara aktif dalam proses pembangunan ekonomi yang lebih demokratis.
Langkah operasional dapat dilaksanakan melelui kebersamaan kemitrausahaan yang saling menguntungkan untuk mewujudkan demokrasi ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Budiman Arief, “Teori Pembangunan Dunia Ketiga”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995; Chambers Robert, “Pembangunan Desa; Mulai Dari Belakang”, LP3ES, Jakarta, 1988; Esmara Hendra, “Teori Ekonomi dan Kebijaksanaan Pembangunan”, Gramedia, Jakarta, 1987; Kasryno Faisal, “Prospek Pengembangan Ekonomi Pedesaan”, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1984; Peet Richard With Hartwick, “Theories Of Development”, The Guilford Press, NewYork/London, 1999; Sumodiningrat Gunawan, “Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999; Todaro Michael P., Economic Development in The Third World”, Fourth Edition, Longman, New York, 1989; Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
B. Internet http://septianhputro.wordpress.com/2012/03/06/kemiskinan-di-indonesia/ http://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan http://www.pikiran-rakyat.com/node/171290 http://ml.scribd.com/doc/40227855/MAKALAH-Masalah-Kemiskinan-Di-Indonesia http://www.bisnis.com/articles/statistik-kemiskinan-29-89-juta-orang-indonesia-miskin http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/kemiskinan.shtml http://data.tnp2k.go.id/index.php?q=content/profil-kemiskinan-di-indonesia http://www.youtube.com/watch?v=2HU0Gp9zrWo